Anda di halaman 1dari 10

FOCUS GROUP DISCUSSION

I. Pendahuluan
Focus Group Discussion 2019 adalah salah satu dari rangkaian Olimpiade
Ekonomi Islam Temilnas pada babak semifinal. FGD memfokuskan pada
kemampuan kelompok peserta Olimpiade melakukan Public Speaking, Persuasive
Speaking, analisis masalah, serta mencari solusi terkait suatu permasalahan.

Focus Group Discussion 2019 mengambil inspirasi dari sistem Model United
Nation dengan sedikit penyesuaian agar tujuan dari FGD tercapai. Focus Group
Discussion mengambil Tema ZISWAF, Sociopreneur, dan Halal industri yang
dibuat dengan cerita fiktif dengan sedemikian rupa untuk mendapatkan tujuan
diskusi pada babak semifinal FGD.
II. Peraturan dan Tata Tertib Focus Group Discussion
Petunjuk Pelaksanaan Focus Group Discussion :

1. Babak FGD diikuti oleh 10 tim terbaik yang terpilih dari babak perempat final

2. 10 tim tersebut dibagi menjadi 2 sesi. Masing-masing sesi terdiri atas 5 tim.

3. Babak FGD akan dilaksanakan dengan sistem roleplay.

4. Topik FGD akan disampaikan saat technical meeting babak semifinal dan final
berlangsung.

5. Masing-masing tim akan memilih sesi dan peran roleplay pada saat technical meeting
babak semifinal dan final berlangsung.

6. Babak FGD akan dibuka dengan pemaparan tema/topik oleh moderator.

7. Babak FGD terdiri dari 3 sesi : Sesi Pertama, yaitu sesi opening statement dari
masingmasing tim. Secara bergiliran masing-masing perwakilan tim menyampaikan
pernyataan pembuka ataupun insights mengenai tema/permasalahan yang disampaikan oleh
moderator. Waktu yang diberikan untuk penyampaian opening statement adalah 2 menit. Sesi
Kedua, yaitu sesi argumentasi. Masing-masing tim dipersilahkan menyampaikan argumentasi
dengan menyebutkan sumber dan data yang valid untuk memperkuat argumen. Sesi Ketiga,
yaitu sesi memberikan solusi dan closing statement. Masing-masing tim menyampaikan
solusi yang diberikan atas kasus tersebut dan memberikan pernyataan final terkait peran yang
diampu dalam roleplay FGD. Terdapat sesi tanya jawab dengan juri pada sesi pemaparan
solusi. Waktu yang diberikan untuk pemaparan solusi dan penyampaian closing statement
adalah 6 menit dan sesi tanya jawab dengan juri adalah 4 menit.
III. Alur Focus Group Discusiion
Foscus Group Discussion dibagi menjadi 3 sesi,
1. Sesi mengeluarkan pendapat
Pada sesi ini setiap kelompok peserta dipersilahkan untuk mengeluarkan pendapatnya
terkait kasus dengan digilir oleh moderator.
Batas waktu untuk mrngrluarkan pendapat bagi setiap kelompok adalah 2 menit.

2. Sesi mengeluarkan argumen

Pada sesi ini para kelompok peserta dipersilahkan berargumen terkait pendapat dari
kelompok peserta lain, dan para kelompok peserta dipersilahkan untuk memulai
argumen ataupun melawan argumen kelompok lain.

Sesi mengeluarkan argumen adalah 20 menit (setiap kelompok dibatasi maksimal


menyampaikan argumen 4 menit).

3. Sesi memberikan solusi dan closing statement


Masing-masing tim menyampaikan solusi yang diberikan atas kasus tersebut dan
memberikan pernyataan final terkait peran yang diampu dalam roleplay FGD.
Terdapat sesi tanya jawab dengan juri pada sesi pemaparan solusi. Waktu yang
diberikan untuk pemaparan solusi dan penyampaian closing statement adalah 6 menit
dan sesi tanya jawab dengan juri adalah 4 menit.

IV. Indikator Penilaian

Komponen Penilaian Bobot Skala Penilaian


Performa dan body language 10% 0-100
Etika penyampaian pendapat dan Penggunaan 15% 0-100
tutur bahasa yang baik dan benar
Kebenaran isi, data, dan ketajaman analisis 35% 0-100
Penguasaan materi dan wawasan 30% 0-100
Keaktifan dan kerjasama tim 10% 0-100
V. Sistem FGD
FGD memiliki sistem permainan sebagai berikut :

Sistem sesi mengeluarkan pendapat.


1. Para kelompok peserta akan dipilih untuk menyampaikan pendapat secara
bergantian oleh moderator.
2. Para kelompok peserta yang dipilih dipersilahkan untuk memilih satu perwakilan
untuk mengeluarkan pendapat.
3. Penyampaian pendapat dibatasi hanya 2 menit per kelompok peserta.
4. Tidak ada pertanyaan

Sistem sesi mengeluarkan argumen


1. Para kelompok peserta dipersilahkan untuk mengeluarkan argumen.
2. Para kelompok peserta yang ingin melawan argumen harus mengangkat tangan
dahulu lalu menunggu instruksi dari moderator.
3. Sesi pengeluaran argumen diatur oleh moderator.

Sistem sesi membrikan solusi dan closing statement


1. Para kelompok peserta dipersilahkan untuk maju dan mempresentasikan solusi
dengan sukarelawan dengan prosedur mengangkat tangan dan meminta dari
moderator.
2. Apabila tidak ada sukarelawan para kelompok peserta dipilih oleh moderator.
3. Penyampaian solusi diwakilkan oleh satu orang untuk setiap kelompok peserta.
4. Pada sesi tanya jawab dengan juri, para kelompok peserta dipersilahkan untuk
membantu dengan maju kedepan dan berdiskusi
5. Sesi tanya jawab dibatasi 4 menit
NASKAH FGD SEMIFINAL :

Hala Value Chain Industri Kelapa Sawit dalam Perspektif ZISWAF & Sociopreneur

5 stakeholders :
1. Pemerintah
2. Pengusaha sawit
3. WALHI (Wahana Lingkungan Hidup)
4. Masyarakat dan LSM
5. Badan Sertifikasi Halal Negeri

Familiar kah Anda dengan barang-barang berikut : mentega, minyak goreng, sampo,
sabun, atau detergen? Barang-barang di samping merupakan barang kebutuhan sehari-hari
yang acap kali kita pakai. Bahkan menjadi barang yang wajib ada karena sebegitu pentingnya
menyokong aktivitas harian kita.
Mentega, minyak goreng, dan sebagainya adalah beberapa produk yang dihasilkan
dari hasil pengolahan suatu komoditas utama yang diproduksi massal di Indonesia.
Komoditas tersebut kerap kali dituding sebagai pemantik problematika di tengah prestasinya
mendulang pundi-pundi devisa pendapatan bagi negara.
Sawit menjadi opsi pertama dalam bahan campuran banyak industry baik hilir
maupun hulu, karena sawit memiliki beberapa kelebihan dibandingkan bahan pesaingnya
(misal : minyak bunga matahari, rapeseed, dan minyak kedelai). Sawit relative lebih cepat
masa penanaman hingga masa panennya, yang hanya memerlukan waktu empat tahun.
Sementara pesaing sawit membutuhkan waktu lebih lama. Kelapa sawit merupakan
komoditas paling efisien dalam penggunaan lahan, yakni dari lahan seluas 17,32 juta hektare,
menghasilkan 56,65 juta ton atau menyumbang 40% dari total produksi minyak sawit global.
Proses penanaman, perawatan hingga menghasilkan produk sawit siap panen oleh perusahaan
sawit yang telah berstatus korporasi rata-rata membutuhkan maksimal pembiayaan Rp, 1,3
triliun. Nominal dana yang relative “murah” untuk pengadaan komoditas ekspor
dibandingkan dengan pengadaan komoditas ekspor yang lain.
Atas banyaknya peran dan kontribusi sawit dalam penyediaan barang-barang baik
barang konsumsi maupun barang produksi dalam kehidupan, hal ini membuat industri sawit
menjadi bisnis yang sangat menguntungkan bagi perusahaan. Oleh karena itu tak heran
apabila banyak pembukaan lahan untuk perkebunan sawit terutama pada negara-negara
tropis. Hal tersebut juga didorong dengan banyaknya permintaan pasar global terhadap
minyak kelapa sawit yang dibuktikan dengan nilai ekspor yang meningkat. Dirjen Industri
Agro Kemenperin menyampaikan, minyak sawit berpotensi menjadi pemasok utama pasar
minyak nabati dunia, karena produktivitasnya lebih tinggi dibanding minyak nabati lainnya.
Kebutuhan minyak nabati dunia tahun 2020 diperkirakan mencapai 210 juta ton dan pada
tahun 2050 mencapai 365 juta ton. Minyak kelapa sawit diyakini dapat memenuhi gap
permintaan tersebut dengan kebutuhan lahan hanya 1,5 juta hektare per tahun pada 2025.
Sawit dapat dikatakan sebagai tulang punggung devisa negara dari sector non-migas,
misalnya pada 2016, nilai ekspor sawit mencapai 18,22 miliar dolar AS dari total nilai ekspor
132 miliar dolar AS. Neraca perdagangan pada 2017 mengalami surplus 11,84 miliar dolar
AS dan penyumbang devisa terbesar masih berasal dari ekspor minyak sawit dan produk
turunannya. Industri kelapa sawit dari hulu sampai hilir merupakan salah satu sektor ekonomi
yang sangat strategis. Saat ini, luas perkebunan kelapa sawit diperkirakan mencapai 11,6 juta
hectare.
Prestasi sawit tidak hanya berkisar pada nilai ekspor yang menakjubkan, namun juga
industri sawit nyatanya mampu menyerap tenaga kerja dalam negeri sebanyak 5,7 juta orang,
dengan 2,2 juta orang merupakan orang-orang yang terlibat langsung dalam perkebunan sawit
rakyat. Industri sawit telah menyediakan 17 juta lapangan kerja bagi masyarakat, sehingga
secara tidak langsung turut serta dalam penurunan rasio gini di negara ini.
Sawit juga memegang peranan penting dalam pengadaan biodiesel atau disebut
dengan program B20. Program mandatori biodiesel 20 persen (B-20) yang digadang oleh
Greenpeace untuk mengurangi ketergantungan penggunaan bahan bakar fossil. Terkait
program mandatori B-20, mengatakan, pihaknya senantiasa berkoordinasi dengan pelaku
industri otomotif dan komponennya untuk mengembangkan mesin dan peralatan canggih
yang lebih adaptif dengan penggunaan bahan bakar biodiesel. Salah satu misi untuk
mewujudkan tujuan mulia tersebut, diwujudkan dalam tujuan jangka panjang, yaitu
mendorong pertumbuhan industri pengolahan sawit terutama yang membawa teknologi
canggih dan terkini untuk menghasilkan aneka produk hilir seperti super edible oil, golden
nutrition, bio plastic, bio surfactant, hingga green fuel.
Long story short, sawit dipandang sebagai industry non-migas yang sarat akan
multiplier effect pada tak hanya perekonomian Indonesia namun juga tujuan pembangunan
bangsa, yakni kesejahteraan rakyat.
Selain sisi positif industri sawit, sudah sejak lama dari sudut pandang pelaku industri
sawit, mereka merasa jadi sasaran kampanye hitam. Namun, tak bisa dipungkiri industri sawit
dan pelakunya baik korporasi maupun sawit rakyat masih menyisakan masalah-masalah pelik
dari persoalan tenaga kerja, lingkungan, agraria, sosial dan lainnya.
Pertama, tidak dapat dipungkiri bahwa ekspansi dan perluasan perkebunan terutama
oleh korporasi-korporasi skala besar juga menjadi salah satu penyebab utama konflik agraria.
Setidaknya terdapat 208 konflik agraria di sektor perkebunan sepanjang 2017. Dari data
tersebut, perkebunan sawit masih menjadi penyebab mayoritas konflik. Ketimpangan
kepemilikan lahan perkebunan antara korporasi dan rakyat juga menjadi sorotan
permasalahan perkebunan sawit. Korporasi besar industri sawit juga kerap memanfaatkan
celah kebijakan untuk melakukan ekspansi ke kawasan-kawasan hutan. Korporasi besar kerap
memanfaatkan pekebun fiktif sebagai pemilik perkebunan kelapa sawit.
Kedua, perkebunan sawit dianggap mencacati kaidah perlindungan lingkungan hidup.
Sekiranya ada 800-an perkebunan sawit yang tercatat beroperasi dalam kawasan hutan. Hal
tersebut pulalah yang disinyalir menjadi dalang dari kebakaran hutan yang marak terjadi di
Indonesia. Lebih malang lagi, kebakaran hutan juga tidak dapat dipungkiri akan berbanding
lurus dengan tingkat kepunahan beberapa spesies fauna di hutan. Misalnya untuk jenis fauna
primata orang utan, The Nature Conservacy mencatat terjadi penurunan kepadatan Orang
Utan Kalimantan dari sekitar 0,45-0,75 individu/km2 menjadi hanya 0,15-0,40 individu/km2.
Data tersebut menjadi salah satu bukti yang mengindikasikan bahwa telah ada fauna yang
terganggu ‘keseimbangannya’ perkara ekspansi dan perluasan perkebunan sawit.
Pembukaan lahan untuk ekspansi dan perluasan lahan sawit dituding menjadi dalang
utama peningkatan emisi gas yang tidak dapat dinetralisir yang menimbulkan gas rumah
kaca. Peristiwa deforestasi dan alih fungsi lahan (ILUC) juga menjadi sorotan dalam hal-hal
yang dianggap menyalahi kaidah lingkungan. Data Greenpeace menunjukkan besaran hutan
yang hilang selama 2 tahun terakhir setara dengan dua kali luas Singapura. Perwakilan
WALHI mengatakan saat ini kebakaran hutan masih menjadi persoalan di tengah fokus
pemerintah mengejar perkembangan sawit. Meskipun pemerintah telah berkomitmen untuk
membatasi perluasan lahan sawit, namun komitmen pemerintah sangat diragukan
konsistensinya.
Ketiga, ancaman perang dagang. Pada awal April 2017, Parlemen Uni Eropa
mengeluarkan Resolusi yang menilai industri sawit menciptakan masalah deforestasi,
degradasi habitat satwa, korupsi, pekerja anak dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Akibat beberapa penyelewangan pada industry sawit, suatu aliansi negara
memberlakukan kebijakan boikot minyak sawit yang sedikit banyak mempengaruhi sentimen
global di pasar bursa berjangka yang turut menyeret turun harga sawit. Meskipun
implementasi dari boikot total sawit masih akan berlaku pada tahun mendatang, namun sudah
banyak pelaku industry turunan sawit yang menghentikan penggunaan dan produksi sawit
dalam industrinya.
Boikot sawit oleh aliansi negara tersebut bukan hanya ditilik dari kacamata
pedagangan saja, namun terdapat tudingan diskriminasi sebab nyatanya pembukaan lahan
untuk perkebunan nabati tidak hanya dilakukan oleh produsen sawit, namun juga produsen
minyak nabati lain, seperti penggunaan lahan untuk minyak nabati berbahan biji bunga
matahari atau minyak kedelai. Misalnya saja, kedelai hanya mampu menghasilkan 48,23 juta
ton dari luasnya lahan 110,36 juta hektare, dibanding sawit yang menghasilkan 56 ton dari 17
juta hektar lahan.
Sementara itu, sejumlah organisasi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
berharap boikot tersebut justru dapat menjadi pendorong perubahan tata kelola perkebunan
sawit di negeri ini menjadi lebih baik.
Keempat, permasalahan HAM. Permasalahan HAM diawali dengan ketidakadilan
yang dialami oleh tenaga kerja korporasi perusahaan sawit, masyarakat adat yang menjadi
pihak pertama yang terkena dampak pembukaan lahan perkebunan sawit.
Kelima, perkara transparansi. Hak Guna Usaha adalah informasi yang sesungguhnya
wajib diterbitkan sebagai bahan yang dikaji oleh masyarakat atau public dalam menilai dan
mengetahui kinerja dari aparatur yang mengelola kekayaan negara. Namun, pemerintah
terkait menolak membuka data HGU dari perusahaan sawit dengan pertimbangan tertentu.
Padahal HGU termasuk sebagai informasi publik yang diterbitkan pemerintah sehingga
masyarakat sepatutnya dapat memintanya. Informasi adalah bagian dari hak asasi termasuk
dalam hal ini perizinan HGU. Publikasi izin HGU pada perkebunan sawit termasuk dalam
bentuk kebijakan partisipatif yang dapat diupayakan rakyat.
Keenam, korupsi. Peraturan agrarian mengenai sawit yang dinilai memiliki cukup
celah dan berakhir dimaanfaatkan oleh korporasi perusahaan sawit dalam mengeksploitasi
usahanya tentu saja akan melibatkan praktik-praktik illegal para pemangku kebijakan di ranah
agraria. Korupsi dan peristiwa memakan hak orang lain tidak hanya berlaku pada aparatur
negara saja, namun juga dapat dilancarkan oleh stakeholder lain yang memanfaatkan maupun
melakukan wanprestasi terhadap regulasi. Penggiat Lingkungan Hidup menyebut ada banyak
perusahaan terkenal yang tidak serius dalam penanganan penggundulan hutan (deforestasi) di
Indonesia. Dalam laporan "Final Countdown", Penggiat lingkungan hidup
mendokumentasikan deforestasi yang luas dan pelanggaran hak asasi manusia oleh 25
kelompok produsen minyak sawit.
Ratusan orang dari kota Adil dan kota Makmur melakukan protes kepada pemerintah,
khususnya Menteri Agraria dan Tata Ruang terkait permasalahan kerakyatan khususnya pada
reforma agraria. Masyarakat meminta pemerintah untuk benar-benar terbuka terhadap
informasi Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit yang ada di daerahnya. Hal ini
karena masyarakat berpikir jika pemerintah menutupi-nutupi informasi, maka kecurigaan
masyarakat akan semakin kuat terhadap adanya kesengajaan menutupi praktik kotor
perkebunan kelapa sawit. Pemerintah masih tetap berpegang teguh tidak membuka informasi
terkait data HGU dari perusahaan sawit dengan pertimbangan tertentu. Hak Guna Usaha
adalah informasi yang sesungguhnya wajib diterbitkan sebagai bahan yang dikaji oleh
masyarakat atau public dalam menilai dan mengetahui kinerja dari aparatur yang mengelola
kekayaan negara.

Saat ini masyarakat kota Adil dan kota Makmur telah menuding beberapa konflik
seperti konflik, penggunaan areal yang tidak seharusnya, pencemaran, deforestasi, dan
lainnya adalah tak lain masalah yang muncul dari permsalahan agrarian yang bersumber dari
perkebunan sawit. Dalam hal ini, masyarakat Dusun Pulau Sentosa berkonflik dengan PT
Bukit Bintang Sawit Korporasi atas perlakuannya terhadap rakyat di daerah tersebut, yaitu
melakukan penggusuran rakyat tanpa disertai dengan legalitas hak atas tanah dan
ditemukannya titik api di konsesi korporasi ini.

Para pengusaha sawit banyak yang kurang sadar dan tidak peduli dengan
permasalahan reforma agrarian yang terdapat dalam praktek bisnisnya. Para pengusaha hanya
fokus pada tujuannya yakni mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya demi
keberlangsungan bisnisnya. Tidak dapat dipungkiri, para pengusaha sering melakukan suap
menyuap dengan pejabat pemangku kebijakan agraria atau pihak terkait izin lahan
perkebunan sawit untuk mengekspansi bisnisnya.

Pemerhati lingkungan hidup tidak akan diam saja atas konflik dan pelanggaran
aktivitas para pengusaha sawit terhadap masyarakat di daerah tersebut dan akan terus
menuntut pemerintah untuk tidak menutupi informasi Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan
kelapa sawit, fokus pada persoalan pokok pertanahan nasional, khususnya terkait
penyelesaian konflik guna mewujudkan reforma agrarian, segera mengimplementasi
Kebijakan Moratorium kelapa Sawit dan penggunaan ekosistem gambut, bersikap tegas dan
berpihak kepada masyarakat dengan melakukan evaluasi perizinan terhadap HGU yang
bermasalah dengan masyarakat, dan melakukan penertiban terhadap aktivitas perkebunan
kelapa sawit yang tidak mempunyai HGU.
Disamping banyak manfaat dan produk yang dapat dihasilkan dari pengolahan kelapa
sawit oleh korporasi, juga prestasi sawit yang berjasa terhadap sumbangan devisa negara dan
menurunan angka kemiskinan, banyak juga permasalahan yang terjadi pada tubuh korporasi
perkebunan kelapa sawit. Permasalahan tersebut antara lain legalitas Hak Guna Usaha,
kepemilikan lahan, praktik kotor, permasalahan lingkungan seperti kebakaran hutan,
deforestasi, peningkatan emisi gas rumah kaca, permasalahan HAM, dan transparansi
pemerintah terkait data Hak Guna Usaha Perkebunan kelapa sawit.
Sementara itu, negeri Thoyyib adalah negeri yang saat ini tengah meniti
perkembangan industry halal dengan menggalakkan kampanye-kampanye halal. Hal tersebut
tak lain adalah upaya untuk menyediakan suplai produk halal yang terjamin ke-Halal-annya
mulai proses produksi hulu hingga hilir. Isu pada perkebunan sawit mau tidak mau
memengaruhi sentiment masyarakat mengenai status halal minyak kelapa sawit. Kelapa sawit
bukan bahan yang kemarin sore digunakan dalam proses produksi. Hampir setiap produk
rumahan yang digunakan masyarakat memiliki minyak kelapa sawit sebagai campuran
bahannya. Tak ayal, masyarakat mulai mengurangi penggunaan sawit dan beralih ke minyak
nabati yang lain. Menanggapi hal ini, Badan Sertifikasi Halal negeri Thoyyib menyatakan
tidak ada yang salah dengan proses produksi kelapa sawit yang terjadi di negeri mereka.
Jika dihubungkan dengan pengoptimalan industry halal yang ada di negeri Thoyyib,
maka segala sesuatunya dalam praktek industry harus dilakukan dengan cara yang halal, atau
dikenal dengan halal value chain. Untuk meyakinkan industry dan produknya tersebut benar
dikatakan halal, maka dibutuhkan penerbitan sertifikasi halal dari Badan Sertifikasi Halal
Negeri Thoyyib.
Melihat peliknya masalah yang melingkupi tubuh korporasi perkebunan sawit ini,
presiden negeri Thoyyib memutuskan untuk mempertemukan 5 stakeholder yang
berkepentingan untuk menyatakan sikap dalam focus group discussion yang dilaksanakan di
Kota Pahlawan pada 15 April 2019.
Jika dilihat dari permasalahan yang sedang terjadi dalam hal perkebunan kelapa sawit
saat ini apakah dapat dibilang industry kelapa sawit ini dikatakan halal dan layak untuk
dipertahankan?
Tim Anda Memainkan Peran Sebagai Perwakilan Pemerintah Dalam Diskusi Tersebut

Tanggal 14 April 2019. Diskusi Terbuka Pun Dimulai.

*cerita ini adalah kasus fiktif

Selamat Berdiskusi

Anda mungkin juga menyukai