Anda di halaman 1dari 15

PERAN GEOMORFOLOGI DALAM MENGKAJI BAHAYA ABRASI

DAN AKRESI DITINJAU DARI PERUBAHAN GARIS PANTAI

Paper Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Geomorfologi Terapan

Dosen Pengampu:
Dr. Pipit Wijayanti, M. Sc

Oleh:
Diah Ainurrohmah (S881908001)

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN GEOGRAFI


UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2020

ABSTRAK

1
Geomorfologi merupakan ilmu yang mengkaji tentang bentuk lahan di permukaan
bumi beserta proses yang membentuknya. Geomorfologi dapat diterapkan dalam
berbagai bidang kajian, termasuk kajian kebencaan. Paper disusun dengan tujuan
untuk mengetahui peran geomorfologi dalam mengkaji pengaruh proses
geomorfik terhadap bahaya geomorfik yang terjadi di wilayah pesisir, yang
berupa erosi pantai atau abrasi dan akresi (sedimentasi) yang berdampak pada
perubahan garis pantai. Metode yang digunakan dalam penyusunan paper ini
adalah metode studi literatur dengan mengumpulkan informasi dari jurnal ilmiah
terkait. Hasil studi literatur menunjukkan bahwa ketika mengkaji tetang abrasi dan
akresi, geomorfologi turut berperan di dalamnya. Selain kedua proses tersebut
merupakan bagian dari proses geomorfik, perubahan garis pantai yang disebabkan
oleh kedua proses tersebut juga dipengaruhi oleh kondisi morfologi lahan.
Pengolahan data terkait perubahan garis pantai dilakukan dengan menggunakan
aplikasi SIG dan Penginderaan Jauh untuk memvisualisasikan dan membantu
dalam membuat pemodelan evolusi perubahan garis pantai untuk mengetahui
kondisinya di masa lalu serta kemungkinan di masa mendatang, agar potensi
kerusakan dan bahaya yang terjadi bisa diminimalisasi.

Kata kunci: Geomorfologi, Abrasi, Akresi, Garis Pantai

PENDAHULUAN

2
Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari dan menginterpretasikan
bentuk lahan di pennukaan bumi beserta proses-proses yang membentuk dan
memodifikasi bentuk lahan (Panizza, 1996; Huggett, 2011 dalam Marfai, 2014).
Seiring perkembangannya, geomorfologi juga bisa digunakan sebagai dasar untuk
mengkaji bahaya alami (natural hazard) yang terjadi di suatu wilayah. Secara
spesifik, dalam geomorofologi ada istilah bahaya alami yang disebut dengan
bahaya geomorfik (geomorphological hazard), yaitu rangkaian ancaman terhadap
sumber daya manusia yang timbul dari ketidakstabilan fitur permukaan bumi
(Gares et al., 1994). Bahaya geomorfik akan memiliki pengaruh pada perubahan
bentuk lahan karena kestabilan geomorfiknya terganggu (Marfai, 2014).
Hal tersebut sebagaimana yang dikemukakan oleh Verstappen (1995) dalam
(Marfai, 2014) yang membagi studi geomorfologi ke dalam tiga kelompok, salah
satunya yaitu studi geomorfologi yang diterapkan dalam studi bahaya lingkungan
terhadap masyarakat (study on environmental hazards for society). Studi tentang
bahaya lingkungan merupakan terapan geomorfologi yang mengkaji tentang
bahaya pada masa yang akan datang ataupun terkait dengan bencana pada masa
lampau yang pernah terjadi (Gorum et al., 2008).
Bahaya alam dapat terjadi di daratan maupun di lautan termasuk wilayah
pesisir. Berbagai macam bencana alam yang terjadi di wilayah kepesisiran antara
lain berupa gempa bumi, tsunami, banjir, banjir genangan pasang air laut (rob),
badai, penurunan muka tanah (land subsidence), dan erosi pantai atau abrasi
(Sanjoto et al, 2016). Berbagai kejadian bencana alam tersebut mempunyai
dampak terhadap lingkungan di wilayah kepesisiran, menimbulkan potensi
kerusakan dan dapat menimbulkan gangguan pada aktivitas sehari-hari
masyarakat lokal di sekitamya. Data dan informasi tentang proses, persebaran,
mekanisme, dan besaran suatu bencana di wilayah kepesisiran dapat dipelajari
melalui studi geomorfologi kebencanaan, yang tentunya dengan melibatkan peran
studi geomorfologi pesisir itu sendiri. Dalam kaitannya dengan dinamika wilayah
pesisir, geomorfologi digunakan untuk mempelajari karakteristik fisik wilayah
kepesisiran, baik berupa morfologi dan morfometri maupun proses-proses fisik
yang terjadi di suatu wilayah kepesisiran tersebut (Marfai, 2014).

3
Salah satu dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas dinamika pesisir adalah
terjadinya perubahan garis pantai. Garis pantai merupakan batas antara daratan
dan lautan yang terus berubah bentuk dan posisinya secara terus menerus karena
kondisi lingkungan yang dinamis. Berbagai proyek pembangunan dibuat di daerah
garis pantai, menempatkan tekanan besar di atasnya, yang mengarah ke beragam
bahaya pesisir seperti abrasi, intrusi air laut, pemutihan karang, perubahan garis
pantai; dan lain-lain.
Erosi pesisir atau abrasi adalah salah satu dari proses fisik ini yang dapat
mengikis dan merombak elemen padat garis pantai serta sedimen, biasanya oleh
kekuatan alam seperti gelombang, arus pasang surut dan littoral dan deflasi.
Mengingat abrasi adalah masalah global yang mempengaruhi hampir setiap
negara di dunia yang memiliki garis pantai. Ini adalah bahaya yang
mempengaruhi garis pantai yang berkaitan dengan beberapa perubahan dalam
iklim, gangguan atmosfer dan perubahan konstan dalam badan air.
Selain faktor abrasi, perubahan garis pantai juga diakibatkan oleh faktor
akresi atau penambahan garis pantai yang disebabkan karena adanya sedimentasi
(Arief et al., 2011). Dalam mengkaji potensi bahaya abrasi dan akresi yang terjadi
di wilayah pesisir, tentunya tak terlepas dari kondisi geomorfologinya karena
perubahan geomorfologi pantai dapat disebabkan karena dinamika kemiringan
pantai dan distribusi sedimen yang menyebabkan terjadinya abrasi dan akresi pada
pantai (Kalay D.E et al., 2014).
Meskipun dampak dari bahaya geomorfik, seperti abrasi dan akresi tidak
memiliki dampak langsung pada kehidupan manusia dan biasanya terjadi dalam
skala waktu yang lama Gares et al., (1994), hal itu bukan berarti bisa kita
mengabaikan dampak tersebut begitu saja. Oleh sebab itu, studi geomorfologi
kebencanaan penting untuk dilakukan, bukan hanya untuk memahami berbagai
bentuk lahan yang rawan menimbulkan potensi bencana dan proses-proses
geomorfologi yang berpotensi menimbulkan kerusakan. Studi geomorfologi
kebencanaan juga meliputi analisis terhadap berbagai dinamika dan perubahan
akibat aktivitas manusia yang berpotensi menimbulkan perubahan pada bentuk
lahan, dan berpotensi menimbulkan bencana (Marfai, 2014), termasuk abrasi dan

4
akresi yang berpotensi menimbulkan kerusakan pantai karena berkurang atau
bertambahnya garis pantai, dengan memanfaatkan aplikasi Sistem Informasi
Geografi (SIG) untuk membantu membuat pemodelan yang berguna untuk
mengetahui perubahan yang telah terjadi serta memperkirakan kemungkinan
terjadinya perubahan di masa depan. Berdasarkan latar belakang tersebut, terkait
pengaruh kondisi geomorfologi dalam menyebabkan terjadinya bahaya alam,
paper ini disusun dengan tujuan untuk mengetahui peran geomorfologi dalam
mengkaji bahaya abrasi dan akresi yang dapat ditinjau dari perubahan garis pantai
di wilayah pesisir.

METODE
Metode yang digunakan dalam penyusunan paper ini adalah metode studi
literatur, yaitu metode pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaah
terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang
ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan (Nazir, 2013). Dalam paper
ini permasalahan yang dikaji adalah peran geomorfologi dalam mengkaji bahaya
abrasi dan akresi yang dapat ditinjau dari perubahan garis pantai di wilayah
pesisir, sehingga informasi yang dikumpulkan dari jurnal-jurnal ilmiah terkait
adalah penelitian-penelitian sebelumnya yang membahas tentang pengaruh abrasi
dan akresi dalam menyebabkan terjadinya perubahan garis pantai dengan berbagai
faktor morfodinamiknya.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Erosi pantai atau abrasi dan akresi merupakan bahaya geomorfik yang dapat
dikategorikan sebagai bahaya geomorfik karena proses eksogenik dengan
magnitudo dan frekuensi yang tinggi atau rendah (Slaymaker, 1996 dalam
Hibbeler, 2007). Terjadinya abrasi dan akresi tersebut dapat berdampak pada
perubahan garis pantai, baik berupa pengurangan atau penambahan luas garis
pantai. Lokasi dan perubahan posisi garis pantai tersebut dari waktu ke waktu
merupakan unsur penting bagi para ilmuwan, insinyur dan manajer pesisir
(Douglas & Crowell 2000 dalam Prasad & Kumar, 2014). Lembaga bantuan dan

5
pengembangan juga bergantung pada informasi tersebut untuk memfasilitasi
pengembangan langkah-langkah efektif untuk mencegah, mengurangi atau
mengelola bencana (Prasad & Kumar, 2014).
Studi tentang evolusi garis pantai merupakan hal yang penting untuk
dilakukan sebagai salah satu bidang penelitian paling kompleks dalam
geomorfologi pesisir (Stephenson & Brander, 2003). Beberapa studi terkait yang
menunjukkan pentingnya studi evolusi garis pantai diantaranya yaitu Schwarzer et
al., (2003) melakukan studi tentang perubahan sedimentologis dan morfologis
pada permukaan pantai selama kondisi permukaan laut yang relatif stabil di
wilayah Bight Pomeranian, Laut Baltik Selatan pada beberapa skala waktu mulai
dari terjadinya peristiwa badai (events); variasi musiman (seasonal); dampak
peristiwa badai tunggal pada skala decade (decade); variasi sedimentologis dan
geomorfologis dan perubahan pada muka pantai yang lebih rendah hanya dapat
diukur pada skala abad (century) ke millennium (milenial), karena kekuatan
pendorong utama adalah proses yang berlangsung lama seperti fluktuasi
permukaan laut atau neotektonik. Efek dari proses pesisir yang aktif pada skala
waktu yang berbeda dapat berinteraksi, Schwarzer et al., (2003) berpendapat
bahwa pemahaman komprehensif tentang perilaku pesisir berskala besar
memerlukan investigasi dari baik dari peristiwa jangka pendek maupun proses
jangka panjang. Pendapat tersebut merangkum masalah lama menghubungkan
studi proses dengan pendekatan historis untuk pengembangan bentuk lahan
(Stephenson & Brander, 2003).
Malvarez & Cooper (2000) juga menunjukkan pentingnya studi evolusi
garis pantai dengan mempresentasikan model zona selancar yang mereka klaim
memungkinkan pemahaman evolusi morfodinamika pantai. Lokasi studi mereka
yaitu di Pantai Runkerry, Irlandia. Melalui model tersebut mereka berupaya untuk
mengkarakterisasi proses induksi gelombang pada seluruh zona selancar dan
menghasilkan output yang berguna untuk interpretasi geomorfologis
morfodinamika pantai. Manajemen zona pesisir akan sangat diuntungkan dari
penggunaan model seperti itu, terutama di garis pantai yang banyak digunakan
seperti Costa del Sol, di Spanyol.

6
Secara lebih spesifik, beberapa studi kasus yang menunjukkan perubahan
garis pantai sebagai akibat terjadinya erosi pantai atau abrasi dan akresi,
diantaranya yaitu penelitian yang berjudul “An Application Of GIS And Coastal
Geomorphology For Large Scale Assessment Of Coastal Erosion And
Management: A Case Study Of Ghana” yang dilakukan oleh Boateng (2016)
menunjukkan adanya pengaruh kondisi geomorfologi terhadap erosi pantai
(abrasi). Penelitian ini bertujuan untuk memberikan penilaian skala besar terhadap
resesi pantai di Ghana melalui investigasi lapangan, geomorfologi pesisir terapan,
dan teknik SIG untuk area studi kasus terpilih yang mencakup 203 km dari garis
pantai 540 km di Ghana yang dibagi menjadi tiga zona utama berdasarkan
karakteristik geomorfologi, yaitu pantai Timur, Tengah dan Barat.
Dalam penelitian ini, studi geomorfologi pesisir turut berperan di
dalamnya yaitu setelah identifikasi daerah studi kasus, survei atau investigasi
lapangan dilakukan di daerah studi kasus yang menawarkan kesempatan untuk
membangun titik kontrol di lapangan, mengumpulkan bukti lapangan tentang
proses erosi dan mengidentifikasi penyebab erosi di wilayah studi kasus.
Investigasi lapangan memfasilitasi penerapan konsep geologi-pantai untuk
menjelaskan berbagai faktor yang bertanggung jawab atas erosi pantai pada
wilayah studi kasus. Melalui pengamatan lapangan, titik-titik erosi dan berbagai
perkembangan pantai yang berisiko erosi diidentifikasi. Ini juga membantu dalam
pengembangan pemahaman tentang proses fisik yang beroperasi di sepanjang
pantai dan pengaruhnya terhadap geomorfologi dan erosi pantai. Gambar 1 berikut
ini menunjukkan perbedaan tingkat keparahan erosi garis pantai di Ghana.

7
Gambar 1. Tingkat keparahan erosi garis pantai Ghana

Penilaian perubahan garis pantai pada penelitian ini telah mengungkapkan


bahwa erosi pantai di sepanjang pantai Ghana umumnya meningkat dari barat ke
timur, yang bertepatan dengan arah pergeseran pantai yang panjang. Ini
menunjukkan bahwa banyak tanjung alami, teluk dan struktur buatan (dermaga)
yang mencegat sedimen litoral di sepanjang pantai memiliki pengaruh signifikan
terhadap evolusi pesisir. Menariknya, telah diidentifikasi bahwa tanah penyangga
pantai menawarkan keuntungan besar untuk mengurangi beberapa efek dari erosi
pantai.
Akan tetapi, hasil penilaian menunjukkan bahwa setelah diidentifikasi
ternyata bukan hanya faktor-faktor seperti kondisi geologi (batuan) yang lunak,
intervensi manajemen yang tidak terkoordinasi, energi gelombang tinggi dan
badai berkontribusi terhadap erosi pantai yang cepat di Ghana tetapi juga
penambangan pasir pantai untuk konstruksi, intersepsi sedimen litoral oleh
struktur pantai buatan yang tidak terkoordinasi dan intersepsi sedimen fluvial oleh
bendungan khususnya bendungan Akosombo di Sungai Volta (Boateng et al.
2012) sangat signifikan. Mensah (1997) mengamati bahwa praktik penambangan
pantai komersial telah berlangsung lebih dari 40 tahun di Ghana. Meskipun

8
penambangan pantai dilarang pada akhir 1990-an, telah diidentifikasi melalui
survei lapangan bahwa praktiknya masih tersebar luas di seluruh pantai.
Penelitian lainnya berjudul “Pemantauan Perubahan Garis Pantai Jangka
Panjang Dengan Teknologi Geo-Spasial Di Pesisir Bagian Barat Kabupaten
Tuban, Jawa Timur” yang dilakukan oleh Sartimbul et al (2019). Penelitian
tersebut bertujuan untuk mengetahui tren perubahan garis pantai jangka panjang
dalam kurun waktu 1973-2018 dan memprediksi garis pantai di Tuban bagian
barat dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh dan Sistem Informasi
Geografis (SIG) untuk pemantauan perubahan garis pantai di pantai dengan Citra
Landsat tahun 1973, 1988, 1998, 2008, 2017, and U.S Army Map Service tahun
1964. Selain itu juga menggunakan aplikasi Digital Shoreline Analysis System
(DSAS) untuk memperhitungkan perubahan garis pantai menggunakan dengan
menggunakan metode Net Shoreline Movement (NSM) dan End Point Rate (EPR)
untuk menganalisis perubahan garis pantai yang telah terjadi, sedangkan metode
Linear Regression Rate (LRR) digunakan untuk memprediksi perubahan garis
pantai pada 10 tahun mendatang.
Penelitian ini menunjukkan adanya keterkaitan antara kondisi geomorfologi
pantai dengan perubahan garis pantai yang dilakukan melalui pengukuran
kemiringan pantai di Pantai Bulu (Desa Bulumeduro), Pantai Bancar (Desa
Bancar), Pantai Gadon (Desa Gadon), Pantai Surindah (Desa Temaji), Pantai Pasir
Putih (Desa Remen), Pantai Mentosa (Desa Mentosa) dan Pantai Cemara (Desa
Sugihwaras). Menurut Kalay D.E et al., (2014) besarnya kemiringan pantai
mengindikasikan kawasan tersebut memiliki gelombang pecah yang cukup besar
yang dapat menyebabkan terjadinya abrasi pada sepanjang garis pantai. Akresi di
Kecamatan Bacar, Kecamatan Tambakboyo dan Kecamatan Jenu sebagian besar
terjadi pada daerah dekat muara sungai, dekat reklamasi pantai, jetty, daerah yang
ditanami cemara laut dan daerah yang sudah terbangun seawall. Abrasi pada
kawasan ini sebagian besar terjadi di kawasan yang tidak memiliki bangunan
permanen (seawall) dan daerah yang berdekatan dengan jetty. Hal itu sejalan
dengan yang dikemukakan oleh Marfai (2014) terkait 3 faktor penyebab erosi
pantai, salah satunya yaitu perubahan pola arus yang terjadi karena adanya

9
bangunan yang menjorok ke laut (termasuk bangunan penahan gelombang dan
bangunan tegak lurus pantai seperti groin, jetty, dan lain sebagainya.

Gambar 2. Peta Perubahan Garis Pantai di Pesisir Bagian Barat Kabupaten


Tuban Tahun 2008-2017

Selain kedua penelitian tersebut, ada pula penelitian terbaru yang mengkaji
hal serupa yaitu penelitian berjudul “Kajian Morfodinamika Pesisir dan
Kerawanan Abrasi di Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali” yang dilakukan oleh
Wicaksono et al., (2020) dengan menggunakan Aplikasi Digital Shoreline
Analysis System (DSAS) untuk membantu dalam menghitung laju pergerakan dan
perubahan garis pantai dari tahun 2000 hingga tahun 2019. DSAS adalah aplikasi
komputer yang menghitung statistik laju perubahan dari berbagai posisi historis
garis pantai dalam sistem informasi geografis (Thieler et al., 2009 dalam
Wicaksono et al., 2020). Seperti halnya dengan dua penelitian sebelumnya,
penelitian ini juga mengkaji tentang morfodinamika pesisir sebagai bagian dari
kajian geomorfologi pesisir.
Penelitian ini menyajikan visualisasi dan analisis sebaran erosi dan
sedimentasi dari garis pantai di Kabupaten Buleleng melalui pemetaan multiskala
dan multitemporal dengan memanfaatkan citra Landsat, Sentinel-2A, dan SPOT-
7. Melalui citra Landsat, dapat dilihat variasi garis pantai selama 20 tahun (2000 -
2019). Dalam rentang waktu 20 tahun tersebut, garis pantai di sebagian

10
Kabupaten Buleleng cenderung mengalami akresi. Berdasarkan pengolahan data
dari citra diketahui bahwa garis pantai semakin bertambah panjang dalam kurun
waktu 20 tahun, yaitu mengalami penambahan sebesar 0,875 km. Sedangkan
abrasi yang terjadi di lokasi penelitian termasuk dalam kategori ringan karena
memang proses yang dominan terjadi adalah akresi.
Sedimen pantai yang menyebabkan akresi berasal dari tiga sumber, yaitu
erosi sungai, erosi pantai, erosi dasar laut namun sungai yang memberikan
masukan yang relatif besar (sekitar 90 %) terhadap pengangkutan sedimen yang
terjadi di pantai (Pethick, 1984 dalam Wicaksono et al., 2020). Oleh karena itu,
dijumpai pendangkalan muara sungai akibat sedimentasi. Akresi pada pantai
disebabkan oleh penumpukan sedimen yang berasal dari daratan dan terendapkan
di pantai terutama melalui muara sungai (Parman, 2010). Akan tetapi, secara
keseluruhan diketahui bahwa terjadinya penambahan panjang garis pantai ini tidak
hanya disebabkan oleh morfodinamika, tetapi juga disebabkan oleh faktor
antropodinamika, berupa pembuatan pelabuhan, dermaga, dan bangunan
pelindung pantai lainnya.

Gambar 3. Peta Perubahan Garis Pantai Citra Landsat di Sebagian Kabupaten


Buleleng, Bali Utara

11
Penelitian-penelitian telah disebutkan di atas menunjukkan bagaimana
peran geomorfologi dalam mengkaji bahaya geomorfik yang berupa erosi pantai
atau abrasi dan akresi (sedimentasi) yang berakibat pada perubahan garis pantai.
Berkaitan dengan hal itu, peran geomorfologi menjadi vital karena geomorfologi
digunakan untuk mempelajari karakteristik fisik wilayah kepesisiran, baik berupa
morfologi dan morfometri maupun proses-proses fisik yang terjadi di suatu
wilayah kepesisiran. Dengan demikian, geomorfologi kebencanaan merupakan
salah satu aspek penting yang berkontribusi dalam kajian perencanaan dan
pengelolaan wilayah kepesisiran seeara terpadu. Kontribusi tersebut dilakukan
melalui analisis, pemetaan dan pemodelan perubahan garis pantai. Analisis,
pemetaan, dan pemodelan tersebut dibantu dengan teknologi SIG dan
Penginderaann Jauh (Marfai, 2014). Ketiga penelitian yang telah diulas juga
menggunakan aplikasi SIG dalam memvisualisasikan terjadinya perubahan garis
pantai dengan membuat pemodelan maupun dengan pengolahan citra pengindraan
secara temporal.
Melalui hasil pengolahan data perubahan garis pantai diharapkan dapat
meminimalisasi kerusakan yang terjadi, karena episode signifikan terjadinya erosi
pantai sering dikaitkan dengan peristiwa cuaca ekstrem (badai pantai, gelombang
badai dan banjir) tetapi juga dengan tsunami, baik karena gelombang dan arus
cenderung memiliki intensitas yang lebih besar, dan karena gelombang badai
terkait atau genangan tsunami dapat memungkinkan gelombang dan arus untuk
menyerang bentang alam yang biasanya di luar jangkauan mereka (UNSDR,
2017, yang tentunya dapat menimbulkan keruskaan, bahkan bahaya alami.
Selain kesamaan dalam hal penggunaan aplikasi SIG, ketiga penelitian
yang telah diulas di atas juga menunjukkan kesamaan lainnya yaitu
memperlihatkan bahwa pada dasarnya terjadinya perubahan garis pantai bukan
hanya disebabkan oleh kondisi fisik (geomorfologi) wilayah pesisir pantai yang
bersangkutan, tapi juga dipengaruhi oleh faktor antropodinamika (Wicaksono et
al., 2020) melalui beragam aktivitas manusia dalam memanfaatkan wilayah pesisir
pantai. Hal itu sejalan yang disampaikan UNSDR (2017) bahwa aktivitas manusia
juga dapat sangat mempengaruhi kecenderungan bentuk lahan untuk terkikis.

12
Sebagai contoh, konstruksi struktur pantai (misalnya pemecah gelombang, groin
(penghalang pantai) dan dinding laut) dapat menyebabkan perubahan dalam jalur
transportasi sedimen pantai, yang mengakibatkan abrasi di beberapa daerah dan
akresi di daerah lain.
Abrasi menjadi bahaya ketika masyarakat tidak beradaptasi dengan
dampaknya terhadap manusia, lingkungan dan infrastruktur yang dibangun.
Banyak pemukiman manusia dibangun di daerah yang rentan terhadap abrasi,
dengan perkiraan awal menunjukkan bahwa sekitar 70 persen dari garis pantai
global mengalami abrasi. Tetapi sulit untuk secara akurat menghitung distribusi
global dari bahaya dan risiko, karena bentuk-bentuk lahan pantai dan pemukiman
manusia dapat bervariasi secara signifikan pada skala spasial dari meter ke
kilometer, dan set data skala global saat ini tidak memadai untuk penilaian pada
skala ini. Penilaian skala nasional menyoroti bahwa ada variabilitas spasial yang
cukup besar dalam risiko pada skala halus ini.
Oleh sebab itu, geomorfologi kebencanaan, sebagai bagian dari
geomorfologi terapan yang mengkaji tentang bentuk lahan dan proses
geomorfologi dalam kaitannya dengan aspek bahaya dan bencana alam
diharapkan dapat digunakan untuk membantu pemecahan masalah kebencanaan
dan memberikan kontribusi terhadap kegiatan manajemen kebencanaan sebagai
salah satu pendekatan dalam melakukan kajian pengelolaan wilayah kepesisiran
secara terpadu dalam berbagai skala.

KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah dijabarkan, dapat disimpulkan bahwa
geomorfologi memiliki peran penting dalam studi kebencanaan yang terjadi
wilayah pesisir melalui perubahan garis pantai yang disebabkan karena bahaya
geomorfik akibat proses eksogenik berupa erosi pantai atau abrasi dan akresi
(sedimentasi). Meskipun bahaya geomorfik berupa abrasi dan akresi tidak akan
menimbulkan dampak negatif secara langusng pada kehidupan manusia dan
biasanya terjadi dalam skala waktu yang lama, tapi jika permasalahan tersebut

13
diabaiakan tanpa studi lebih lanjut untuk melakukan pencegahan, itu juga dapat
menyababkan terjadinya kerusakan lingkungan di masa mendatang.

DAFTAR PUSTAKA
Arief, M., Winarso, G., & Prayogo, T. (2011). Kajian Perubahan Garis Pantai
Menggunakan Data Satelit Landsat Di Kabupaten Kendal. Penginderaan
Jauh, 8, 71–80.
Boateng, I. (2016). An application of GIS and coastal geomorphology for large
scale assessment of coastal erosion and management : A case study of
Ghana An application of GIS and coastal geomorphology for large scale
assessment of coastal erosion and management : a case stud. November.
https://doi.org/10.1007/s11852-012-0209-0
Gares, P. A., Sherman, D. J., & Nordstrom, K. F. (1994). Geomorphology and
natural hazards. Geomorphology, 10(1–4), 1–18.
https://doi.org/10.1016/0169-555X(94)90004-3
Gorum, T., Gonencgil, B., Gokceoglu, C., & Nefeslioglu, H. A. (2008).
Implementation of reconstructed geomorphologic units in landslide
susceptibility mapping: The Melen Gorge (NW Turkey). Natural Hazards,
46(3), 323–351. https://doi.org/10.1007/s11069-007-9190-6
Hibbeler, L. (2007). The Role of Geomorphology in Natural Hazards
Management.
Kalay D.E, Manilet, K., & Wattimury, J. J. (2014). Kemiringan Pantai Dan
Distribusi Sedimen Pantai Di Pesisir Utara Pulau Ambon. Jurnal TRITON,
10(2), 91–103.
Malvarez, G. C., & Cooper, J. A. G. (2000). A whole surf zone modelling
approach as an aid to investigation of nearshore and coastal
morphodynamics. Journal of Coastal Research, 16(3), 800–815.
https://doi.org/10.2307/4300090
Muh Aris Marfai. (2014). Peranan geomorfologi kebencanaan dalam pengelolaan
wilayah kepesisiran di indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar.
Prasad, D. H., & Kumar, N. D. (2014). Coastal Erosion Studies — A Review.

14
2014(March), 341–345.
Sanjoto et al. (2016). Tanggap Diri Masyarakat Pesisir Dalam Menghadapi
Bencana Erosi Pantai (Studi Kasus Masyarakat Desa Bedono Kabupaten
Demak). Jurnal Geografi Volume 13 No 1 (91 dari 100).
Sartimbul, A. (2019). Pemantauan Perubahan Garis Pantai Jangka Panjang dengan
Teknologi Geo-Spasial di Pesisir Bagian Barat Kabupaten Tuban, Jawa
Timur. Jurnal Geografi, 11(1). https://doi.org/10.24114/jg.v11i1.11409.
Schwarzer, K., Diesing, M., Larson, M., Niedermeyer, R. O., Schumacher, W., &
Furmanczyk, K. (2003). Coastline evolution at different time scales -
Examples from the Pomeranian Bight, southern Baltic Sea. Marine Geology,
194(1–2), 79–101. https://doi.org/10.1016/S0025-3227(02)00700-4
Stephenson, W. J., & Brander, R. W. (2003). Coastal geomorphology into the
twenty-first century. March 2015.
https://doi.org/10.1191/0309133303pp398pr.
UNISDR. (2017). 7. Coastal Erosion Hazard and Risk Assessment. Words into
Action Guidelines: National Disaster Risk Assessment.
https://www.unisdr.org/files/52828_07coastalerosionhazardandriskassess.pd
f.
Wicaksono, A., Mada, U. G., Winastuti, R., & Mada, U. G. (2020). Kajian
Morfodinamika Pesisir dan Kerawanan Abrasi Di Kabupaten Buleleng ,
Provinsi Bali. February.

15

Anda mungkin juga menyukai