Anda di halaman 1dari 201

2020

LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

LABORATORIUM
PENGEMBANGAN
AKUNTANSI

MODUL BREVET A

Brevet A Halaman 1
UNIVERSITAS GUNADARMA
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

KETENTUAN UMUM & TATACARA


PERPAJAKAN ( KUP )

Brevet A Halaman 2
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

ISTILAH – ISTILAH UMUM BAB


1
PERPAJAKAN

1. Wajib Pajak (WP)


WP adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk
pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.
2. Pengusaha Kena Pajak (PKP)
PKP adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)
dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenakan pajak berdasarkan UU Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM)
3. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
NPWP adalah nomor yang diberikan kepada WP sebagai sarana dalam administrasi
perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas WP.
4. Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP)
NPPKP adalah nomor yang diberikan kepada Pengusaha yang memenuhi syarat
sebagai PKP.

Brevet A Halaman 3
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

KEWAJIBAN MENDAFTARKAN BAB


2
DIRI DAN MELAPORKAN USAHA

1. KEWAJIBAN MENDAFTARKAN DIRI UNTUK MENDAPATKAN NPWP


Semua WP (Orang Pribadi, Badan, Badan Usaha Tetap (BUT) berdasarkan sistem
self assessment wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk
dicatat sebagai WP dan sekaligus untuk mendapatkan NPWP.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU KUP & Penjelasan jis KEP-
516/PJ./2000 jo KEP-515/PJ./2000 Kewajiban Mendaftarkan Diri untuk Mendapatkan
NPWP:
a. Orang Pribadi berpenghasilan diatas PTKP (termasuk OP yg mendapatkan
penghasilan dari satu pemberi kerja yg tidak menjalankan usaha atau pekerjaan
bebas). Kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap wanita kawin
yang dikenakan pajak secara terpisah, karena hidup terpisah berdasarkan
keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian
pemisahan penghasilan dan harta.
b. Semua badan.
Setiap Wajib Pajak (WP) hanya diberikan satu NPWP.

2. MELAPORKAN USAHA UNTUK MENDAPATKAN NPPKP


Setiap Pengusaha yang dikenakan PPN berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai
PKP dan kepadanya diberikan NPPKP.
Pengusaha orang pribadi berkewajiban melaporkan usahanya pada kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Pengusaha
(apabila pada tempat tinggal tersebut ada kegiatan usaha) dan tempat kegiatan usaha

Brevet A Halaman 4
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

dilakukan. Bagi Pengusaha Badan, kewajiban melaporkan usahanya tersebut adalah pada
kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan
Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan.

3. TEMPAT PENDAFTARAN WP / PELAPORAN PENGUSAHA TERTENTU.


Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (3) UU KUP Jis KEP-515/PJ./2000 Jo.
KEP.516/PJ.2000 adalah sebagai berikut:
a. Orang Pribadi mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak. Sedangkan, orang pribadi
pengusaha tertentu, yaitu Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai tempat
usaha tersebar di beberapa tempat, misalnya pedagang elektronik yang
mempunyai toko di beberapa pusat perbelanjaan, disamping wajib mendaftarkan
diri pada kantor Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
tinggal Wajib Pajak, juga diwajibkan mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan
Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha Wajib Pajak
dilakukan.
b. Pemungut atau Pemotong mendaftarkan diri pada kantor Kantor Pelayanan Pajak
yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha
dilakukan.
c. Badan mendaftaran diri pada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat kedudukan pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan.

Tempat Pelaporan Usaha


Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU KUP tempat pelaporan usaha adalah sebagai berikut:
a. Pengusaha orang pribadi berkewajiban melaporkan usahanya pada Kantor
Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal pengusaha dan
tempat kegiatan usaha dilakukan.

Brevet A Halaman 5
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

b. Badan berkewajiban melaporkan usahanya tersebut pada Kantor Pelayanan Pajak


yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan pengusaha dan tempat kegiatan
usaha dilakukan.
Tempat pendaftaran WP atau pelaporan Pengusaha tertentu berdasarkan KEP-
515/PJ./2000 & KEP-516/PJ./2000 adalah sebagai berikut:
a. KPP PND: BUMN dan BUMD di DKI , termasuk anak perusahaan BUMN yang
penyertaan modal induknya > 50% kecuali selama ini telah terdaftar di KPP
domisili.
b. KPP PMA: PMA TIDAK MASUK BURSA di DKI Kecuali selama ini telah
terdaftar di KPP domisili.
c. KPP BADORA: Badan Usaha Tetap (BUT) dan orang asing di DKI.
d. KPP Perusahaan Masuk Bursa: WP Perusahaan Masuk Bursa kecuali
BUMN/BUMD, selama ini telah terdaftar di KPP domisili.
e. KPP Setempat: BUMD, PMA tidak masuk bursa dan BUT serta orang asing
diluar DKI.
f. KPP Tempat Cabang/Perwakilan atau Kegiatan Usaha: BUMN/BUMD,
BADORA, Perusahaan Masuk Bursa (khusus PPh PEMOTONGAN
/PEMUNGUTAN dan PPN/ PPn BM).
g. KPP Tempat Tinggal dan KPP Tempat Kegiatan Usaha: WP orang
pribadipengusaha tertentu yang mempunyai beberapa tempat usaha.
Catatan:
- Untuk WP yang baru terdaftar terhitung mulai tanggal berlakunya keputusan ini
(1 Januari 2001).
- Untuk WP BUMN, PMA, dan PMB baru dapat memilih mendaftarkan diri di
KPP domisili.

4. NPWP

Brevet A Halaman 6
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

Pengertian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) beradsarkan Pasal 1 angka 6 UU KUP
adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi
perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak
dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. NPWP Terdiri dari 15 (lima
belas) digit, yaitu 9 (sembilan) digit pertama merupakan kode Wajib Pajak dan 6 (enam)
digit berikutnya merupakan Kode Administrasi Perpajakan.

5. FUNGSI NPWP DAN NPPKP


a. Fungsi NPWP :
1) Sarana dalam administrasi perpajakan;
2) Identitas WP;
3) Menjaga ketertiban pembayaran pajak;
4) Dicantumkan dalam setiap dokumen perpajakan.
Setiap WP hanya diberikan satu NPWP
b. Fungsi NPPKP :
1) Identitas PKP;
2) Dicantumkan dalam pemenuhan kewajiban PPN/PPnBM.
Format NPWP
XX.XXX.XXX.X – XXX.XXX

Kode WP Kode KPP Kode Cabang

6. JANGKA WAKTU PENDAFTARAN NPWP DAN PELAPORAN PKP


Berdasarkan Kep- 516/PJ./2000 jo. Kep- 161/PJ./2001) jangka awaktu
pendaftaran NPWP dan Pelaporan PKP sebagai berikut:
a. NPWP
1) Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan: Paling lambat 1 bulan
setelah saat usaha mulai dijalankan.
Brevet A Halaman 7
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

2) Wajib Pajak Orang Pribadi Non Usahawan: Paling lambat pada akhir bulan
berikutnya apabila sampai dengan suatu bulan dalam satu tahun buku
memperoleh penghasilan yang melebihi PTKP.
b. PKP
1) Sebelum penyerahan barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP).
2) Paling lama akhir bulan berikut setelah s/d suatu masa dalam tahun buku nilai
peredaran usaha melebihi batasan Pengusaha Kecil.

7. PENERBITAN NPWP DAN/ATAU NPPKP SECARA JABATAN


Direktorat Jenderal Pajak dapat menerbitkan NPWP dan/atau NPPKP secara jabatan,
apabila WP atau PKP tidak mendaftarkan diri dan/atau tidak melaporkan usahanya.

8. SANKSI TIDAK MENDAFTARKAN DIRI / MELAPORKAN USAHA


Terhadap WP/PKP yang tidak mendaftarkan diri/melaporkan usahanya, dikenakan
sanksi perpajakan yang berlaku.

9. SYARAT-SYARAT UNTUK MEMPEROLEH NPWP DAN NPPKP


Syarat untuk memperoleh NPWP dan NPPKP adalah sebagai berikut:
a. Untuk WP Orang Pribadi Non-Usahawan:
Fotokopi KTP/Kartu Keluarga/SIM/Paspor
b. Untuk WP Orang Pribadi Usahawan :
1) Fotokopi KTP/Kartu Keluarga/SIM/Paspor;
2) Fotokopi Surat Izin Usaha atau Surat Keterangan Tempat Usaha dari instansi
yang berwenang.
c. Untuk WP Badan :
1) Fotokopi akte pendirian;
2) Fotokopi KTP salah seorang pengurus;

Brevet A Halaman 8
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

3) Fotokopi Surat Izin Usaha atau Surat Keterangan Tempat Usaha dari instansi
yang berwenang.
d. Untuk Bendaharawan sebagai Pemungut/Pemotong:
1) Fotokopi surat penunjukan sebagai bendaharawan;
2) Fotokopi tanda bukti diri KTP/Kartu Keluarga/SIM/Paspor.
e. Apabila WP pemohon berstatus cabang, maka harus melampirkan fotokopi kartu
NPWP atau Bukti Pendaftaran WP Kantor Pusatnya. Apabila permohonan
ditandatangani oleh orang lain, perlu dilengkapi surat kuasa.
Fotokopi sebagai kelengkapan formulir pendaftaran WP tersebut di atas harus
disahkan oleh Petugas Pendaftaran WP kecuali dalam hal pendaftaran dilakukan melalui
pos, maka fotokopi harus disahkan oleh pejabat/instansi yang berwenang.

10. PENERBITAN NPWP DAN ATAU PENGUKUHAN PKP SECARA JABATAN


Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) UU KUP Dirjen Pajak menerbitkan NPWP dan atau
PPKP secara jabatan apabila orang pribadi atau badan yang telah memenuhi syarat
sebagai WP/PKP tetapi tidak mendaftarkan diri dan atau tidak melaporkan usahanya.

11. WAJIB PAJAK PINDAH ALAMAT


Bagi WP pindah alamat berdasarkan Kep- 516 /PJ/2000, Permohonan WP dengan
surat pernyataan pindah:
a. KPP Lama: Menerbitkan surat pindah kepada wajib paja.
b. KPP Baru: Menerbitkan surat pemberitahuan pindah, dikirimkan ke KPP Lama.
Kemudian KPP baru menerbitkan NPWP dan atau SPPKP (menggunakan nomor
lama dengan mengganti kode KPP baru)

12. PENGHAPUSAN NPWP


Berdasarkan KEP- 516 /PJ./2000 penghapusan NPWP dilakukan dalam hal:
a. WP meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan
Brevet A Halaman 9
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

b. Wanita kawin tidak dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan


c. Warisan yang belum terbagi (dalam kedudukan sebagai subjek pajak) sudah
selesai dibagi
d. WP badan yang telah dibubarkan secara resmi berdasarkan ketentuan perundang-
undangan yang berlakuWP BUT yang karena sesuatu hal kehilangan statusnya
sebagai BUT
e. WP Orang Pribadi yang tidak memenuhi syarat lagi untuk dapat digolongkan
sebagai Wajib Pajak
*Penghapusan NPWP harus diselesaikan dalam jangka waktu 12 bulan sejak tanggal
diterimanya permohonan secara lengkap.
13. PENCABUTAN PENGUKUHAN PKP

Pencabutan pengukuhan PKP berdasarkan KEP- 516 /PJ./2000) dilakukan dalam hal:
a. WP pindah alamat ke wilayah Kerja KPP lain.
b. WP bubar.
c. WP tidak memenuhi syarat lagi sebagai PKP.
*Pencabutan Pengukuhan PKP harus diselesaikan dalam jangka waktu 12 bulan sejak
tanggal diterimanya permohonan secara lengkap.

Brevet A Halaman 10
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

PEMBAYARAN PAJAK BAB


3

Pembayaran pajak dengan menggunakan SSP (Surat Setoran Pajak) dan mulai 1 januari
2016 mulai digunakan e-Billing. E-Billing pajak menurut Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
adalah metode pembayaran pajak secara elektronik menggunakan kode billing. kode
billing adalah deretan kode unik yang diperoleh dari E-Billing dan digunakan sebagai
kode pembayaran pajak. Pembayaran pajak menggunakan E-Biliing dapat dilakukan baik
melalui ATM atau bank persepsi ke kas negara dimana pun seluruh Indonesia (Pasal 10
UU KUP) melalui kantor pos atau bank badan usaha milik negara atau bank lain
yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. E-Billing dihasilkan dari Billing System atau
sistem e-Billing. Billing system merupakan sistem yang menerbitkan kode billing untuk
pembayaran atau penyetoran penerimaan negara secara elektronik. Sistem e-Billing akan
membimbing pengguna mengisi Surat Setoran Pajak (SSP) elektronik dengan tepat dan
benar sesuai dengan transaksi yang ingin dituntaskan.

1. BATAS WAKTU PEMBAYARAN


Batas pembayaran Pajak ditentukan sebagai berikut:
a. Pembayaran Masa
Batas Pembayaran
Batas Pelaporan
(Paling Lambat)
No. Jenis Pajak
(Pasal 2 PMK Undang Undang di bidang
242/PMK.03/2014) Perpajakan
Pph pasal 4(2) setor
1 Tgl 15 bulan berikutnya Tgl 20 bulan berikutnya
sendiri
2 Pph pasal 4(2) Tgl 10 bulan berikutnya Tgl 20 bulan berikutnya

11
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

pemotongan
3 Pph pasal 15 setor sendiri Tgl 15 bulan berikutnya Tgl 20 bulan berikutnya
4 Pph pasal 15 pemotongan Tgl 10 bulan berikutnya Tgl 20 bulan berikutnya
5 Pph pasal 21 Tgl 10 bulan berikutnya Tgl 20 bulan berikutnya
6 Pph pasal 23/26 Tgl 10 bulan berikutnya Tgl 20 bulan berikutnya
7 Pph pasal 25 Tgl 15 bulan berikutnya Tgl 20 bulan berikutnya
Pph pasal 22 impor setor
sendiri (dilunasi Saat penyelesaian
8
bersamaan dg bea masuk, dokumen PIB
PPN, PPnBM)
Pph pasal 22 impor yang Hari kerja terakhir minggu
9 1hari kerja berikutnya
pemungutan oleh BC berikutnya
Hari yang sama dg
Pph pasal 22 pemungutan 14 hari setelah masa pajak
10 pembayaran atas
oleh bendaharawan berakhir
penyerahan barang
11 Pph pasal 22 migas Tgl 10 bulan berikutnya Tgl 20 bulan berikutnya
Pph pasal 22 pemungutan
12 Tgl 10 bulan berikutnya Tgl 20 bulan berikutnya
oleh WP badan tertentu
Akhir bulan berikutnya
setelah masa pajak Akhir bulan berikutnya setelah
13 PPN & PPnBM
berakhir & sebelum SPT masa pajak berakhir
masa PPN disampaikan
Tgl 15 bulan berikutnya
PPN atas kegiatan Akhir bulan berikutnya setelah
14 setelah Masa Pajak
membangun sendiri masa pajak berakhir
berakhir
PPN atas pemanfaatan Tgl 15 bulan berikutnya Akhir bulan berikutnya setelah
15
BKP tidak berwujud setelah saat terutangnya Masa Pajak berakhir

Brevet A Halaman 12
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

dan/atau JKP dari Luar pajak


Daerah Pabean
PPN & PPnBM
Akhir bulan berikutnya setelah
16 Pemungutan Tgl 7 bulan berikutnya
masa pajak berakhir
Bendaharawan
Harus disetor pada hari
PPN dan/ atau PPnBM
yang sama dengan
pemungutan oleh Pejabat
pelaksanaan pembayaran
17 Penandatanganan Surat
kepada PKP Rekanan
Perintah Membayar
Pemerintah melalui
sebagai Pemungut PPN
KPPN
PPN & PPnBM Tgl 15 bulan berikutnya
Akhir bulan berikutnya setelah
18 Pemungutan selain setelah Masa Pajak
masa pajak berakhir
bendaharawan berakhir
Pph 25 WP kriteria
tertentu yang dapat
Harus dibayar paling
melaporkan beberapa 20 hari setelah berakhirnya
19 lama pada akhir Masa
Masa Pajak dalam satu Masa Pajak terakhir
Pajak terakhir.
SPT Masa. (Pasal 3 ayat
(3B) UU KUP)
Pembayaran masa selain
pph 25 WP kriteria
Harus dibayar paling
tertentu yang dapat
lama sesuai dengan batas 20 hari setelah berakhirnya
20 melaporkan beberapa
waktu untuk masing- Masa Pajak terakhir.
Masa Pajak dalam satu
masing jenis pajak.
SPT Masa. (Pasal 3 ayat
(3B) UU KUP)

Brevet A Halaman 13
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

b. Pembayaran kekurangan pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan harus


dibayar lunas selambat-lambatnya sebelum SPT Tahunan disampaikan.
c. STP, SKPKB, SKPKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, dan Putusan Banding yang meneyebabakan jumlah pajak yang
harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan
sejak tanggal diterbitkan.
Apabila tanggal tersebut jatuh pada hari libur (hari nasional, hari Sabtu, atau
Minggu), maka penyetoran dilakukan pada hari kerja berikutnya. Setiap
keterlambatan pembayaran dikenakan bungan sebesar 2% sebulan untuk seluruh
masa, yang dihitung sejak saat jatuh tempo.
Ketentuan terkait SPT Masa PPh Pasal 25 sebagai berikut:
a. Dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 adalah:
1) WP OP yang tidak menjalankan usaha atau tidak melakukan pekerjan bebas.
2) WP OP yang dalam satu tahun Pajak menerima atau memperoleh penghasilan
neto tidak melebihi PTKP (kepada WP ini juga dikecualikan dari kewajiban
menyampaikan SPT Tahunan)
b. Wajib Pajak yang melakukan pembayaran PPh Pasal 25 melalui bank persepsi
atau kantor pos persepsi dengan sistem pembayaran secara online dan Surat
Setoran Pajak (SSP)-nya telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi
Pembayaran Negara (NTPN), maka SPT Masa PPh Pasal 25 dianggap telah
disampaikan ke KPP sesuai dengan tanggal validasi yang tercantum pada SSP.

Brevet A Halaman 14
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

PELAPORAN BAB
4

1. SPT MASA
SPT atau Surat Pemberitahuan adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk
melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak dan atau bukan objek pajak dan atau
harta dan kewajiban menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan.
SPT Masa terdiri dari :
a. SPT Masa PPh Pasal 25
Merupakan angsuran PPh Pasal 25 berdasarkan SPT tahun pajak sebelumnya.
Dokumen yang disampaikan dalam pelaporan SPT Masa ke kantor pelayanan
pajak adalah formulir e-Billing. Berlaku untuk wajib pajak orang pribadi dan
badan.
b. SPT Masa PPh Pasal 21/26
Merupakan pelaporan pemungutan atas penghasilan yang diberikan kepada
karyawan selama satu bulan. SPT Masa ini menggunakan formulir sebagai berikut
1) E-Billing (jika ada pembayaran)
2) SPT Masa PPh Pasal 21/26 (karyawan tetap)
3) Bukti pemotongan PPh Pasal 21 (karyawan tidak tetap)
c. SPT Masa PPh Pasal 23/26
Merupakan pelaporan pemungutan atas penghasilan yang diberikan kepada pihak
lain atas jasa dan modal selama satu bulan. Pelaporan SPT ini bersifat insidentil
sepanjang obyek PPh Pasal 23 atau 26. SPT Masa ini menggunakan formulir
sebagai berikut:
1) E-Billing (jika ada pembayaran)
2) SPT Masa PPh Pasal 21/26 (karyawan tetap)
3) Bukti pemotongan PPh Pasal 21 (karyawan tidak tetap)
Brevet A Halaman 15
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

d. SPT Masa PPN


Merupakan SPT untuk melaporkan Pajak Keluaran dan Pajak masukan. Formulir
yang digunakan :
1) Jika ada pembayaran di lampiri e-Billing
2) Formulir 1195 atau 1195 PE

Batas Akhir Pelaporan Spt Masa


Batas Akhir pelaporan SPT Masa ditentukan sebagai berikut:
JENIS YANG MELAPORKAN BATAS AKHIR
PELAPORAN SPT PELAPORAN
PPh Pasal 21 Pemotong PPh Pasal 21 20 hari setelah berakhirnya
masa pajak
PPh Pasal 22 Impor Bea Cukai 14 hari setelah berakhirnya
masa pajak
PPh Pasal 22 Bendaharawan 14 hari setelah berakhirnya
masa pajak
PPh Pasal 23/26 Pemotong PPh Pasal 23/26 20 hari setelah berakhirnya
masa pajak setelah
pemungutan dilakukan
PPh Pasal 25 Wajib Pajak yang 20 hari setelah berakhirnya
(OP dan Badan) mempunyai NPWP masa pajak
PPN dan PPnBM Pengusaha Kena Pajak 20 hari setelah masa pajak
berakhir
PPN Bea Cukai Bea Cukai 7 hari setelah pembayaran
pajak

Brevet A Halaman 16
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

Jika tanggal pembayaran yaitu tanggal 20 jatuh hari libur, hari Sabtu atau hari Minggu
maka pelaporan dilakukan pada hari tanggal 20 tersebut. Misalnya tanggal 20 hari
minggu, maka pelaporan dilakukan pada hari Jum’at tanggal 18.

Ketentuan terkait SPT Masa PPh Pasal 25


Dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 adalah :
a. WP OP yang tidak menjalankan usaha atau tidak melakukan pekerjan bebas.
b. WP OP yang dalam satu tahun Pajak menerima atau memperoleh penghasilan
neto tidak melebihi PTKP (kepada WP ini juga dikecualikan dari kewajiban
menyampaikan SPT Tahunan)
c. Wajib Pajak yang melakukan pembayaran PPh Pasal 25 melalui bank persepsi
atau kantor pos persepsi dengan sistem pembayaran secara online dan Surat
Setoran Pajak (SSP)-nya telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi
Pembayaran Negara (NTPN), maka SPT Masa PPh Pasal 25 dianggap telah
disampaikan ke KPP sesuai dengan tanggal validasi yang tercantum pada SSP.

Tempat penyampaian spt masa


SPT Masa dapat disampaiaka n secara langsung oleh wajib pajak ke kantor
pelayanann pajak dan akan diberi tanggal penerimaan dan bukti penerimaan oleh tugas
yang ditunjuk (Pasal 6 ayat 1). SPT Masa dapat juga dikirimkan melalui kantor pos secara
tercatat. Bukti pengiriman sebagai bukti penerimaan.

2. SPT TAHUNAN
Fungsi Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh) adalah
sebagai saranan wajib pajak untuk menetapkan sendiri besarnya pajak yang terutang
dengan cara :
a. Melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang
sebenarnya terutang.
Brevet A Halaman 17
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

b. Melaporkan pembayaran pajak yang telah dilaksanakan sendiri dalam suatu tahun
pajak/bagian tahun pajak
c. Melaporkan pemotongan/pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak lain dalam
suatu tahun pajak (Psal 3 ayat (1) UU KUP)

Ketentuan Penyampaian SPT Tahunan :


a. SPT Tahunan yang telah diisi dengan benar, lengkap dan ditandatangani harus
disampaikan ke KPP/Kapenpa selambat-lambatnya paling lama 4 bulan
setelah akhir Tahun Pajak
b. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib
Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
c. SPT Tahunan dapat diambil pada tempat wajib pajak terdaftar atau dicetak
sendiri oleh wajib pajak namun sesuai dengan format yang baku.
d. SPT Tahunan setelah ditanda tangani oleh wajib pajak atau kuasanya dapat
disampaikan langsung ke kantor pelayanan pajak tempat wajib pajak terdaftar
(menerima bukti penerimaan) atau melalui kantor pos secara tercatat (sebagai
bukti penerimaan)
e. Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh
harus dibayar lunas sebelum SPT PPh disampaikan.

3. SANKSI PERPAJAKAN.
Sanksi perpajakan akan dikenakan:
a. Apabila SPT Masa tidak disampaikan atau disampaikan melampaui batas waktu
yang ditentukan maka dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp
25.000 (mulai SPT Masa Januari 2001 sebesar Rp 50.000)
b. Apabila SPT Tahunan tidak disampaikan atau disampaikan melampaui batas
waktu yang ditentukan maka dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar

Brevet A Halaman 18
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

Rp 50.000 (mulai SPT Tahunan Januari 2001 sebesar Rp 100.000) (Pasal 7 Ayat
2).

4. PERPANJANGAN WAKTU PENYAMPAIAN SPT TAHUNAN


WP berhak mengajukan permohonan perpanjangan waktu penyampaian SPT
Tahunan Pajak Penghasilan, apabila WP tidak dapat menyelesaikan/menyiapkan laporan
keuangan tahunan atau benar-benar mengalami kesulitan sehingga sulit untuk memenuhi
batas waktu penyelesaian. Dalam mengajukan permohonan perlu diperhatikan beberapa
hal, antara lain :
a. Permohonan tersebut harus diajukan secara tertulis sebelum batas waktu
penyampaian SPT Tahunan berakhir dengan menyebutkan alasan-alasanya.
b. Melunasi kekurangan penyetoran pajak yang terutang beserta sanksi administrasi
berupa bunga;
c. Memberikan pernyataan tertulis tentang besarnya pajak yang harus dibayar
berdasarkan penghitungan sementara.

Pada umumnya wajib pajak yang meminta perpanjangan ini laporan keuangannya
sedang diaudit oleh kantor Akuntan Publik dan belum selesai pemeriksaannya.
Permohonan perpanjangan ini harus dilakukan sendiri oleh wajib pajak:
a. Sebelum batas waktu penyampaian SPT berakhir
b. Menyebutkan alasan jelas
c. Jika dalam 7 hari kerja tidak ditanggapi olah kantor pajak tempat wajib pajak
terdaftar maka permohonan wajib pajak diterima
d. Perpanjangan dilakukan dalam dua kali tempo 3 bulan. Misalnya perpanjangan
pertama berlaku sampai 30 Juni 20xxx
e. Jika belum selesai dapat mengajukan permohonan perpanjangan lagi yang kedua
kalinya atau yang terakhir yang berlaku samapai 3 bulan kemudian.

Brevet A Halaman 19
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

SANKSI YANG DIKENAKAN BAB


5
AKIBAT PERPANJANGAN

Dalam hal pajak diperbolehkan menunda penyampaian surat pemberitahuan dan ternyata
penghitungan sementara pajak yang terutang kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya
terutang maka atas kekurangan pembayaran pajak tersebut dikenakan bunga sebesar 2%
sebulan yang dihitung dari saat berakhirnya kewajiban menyampaikan Surat
Pemberitahuan sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut, dan
bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan

1. PEMBETULAN SPT TAHUNAN


Pembetulan SPT Tahunan atau masa dapat dilakukan di tempat Pelayanan Terpadu
dengan melampirkan dokumen-dokumen yang diperlukan (Pasal 8 UU KUP).
Jika dalam jangka waktu 2 tahun sesudah berakhirnya Bagian Tahun Pajak atau Tahun
Pajak, wajib pajak dapat membetulkan sendiri SPT Tahunan yang telah disampaikan
sepanjang Dirjen Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan dengan melampirkan
formulir SPT Tahunan yang telah disampaikan dan mencantumkan kata “SPT
TAHUNAN 1770 PEMBETULAN” dan disampaikan pada kantor pelayanan pajak wajib
pajak terdaftar.
Syarat-syarat pembetulan :
a. Pembetulan dengan kemauan sendiri
b. Melampirkan foto copy SPT yang telah disampaikan
c. Melampirkan SSP lembar ke-3 jika ada pembayaran tambahan.

2. SANKSI PERPAJAKAN AKIBAT PEMBETULAN

Brevet A Halaman 20
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

a. Pembetulan yang dilakukan kurang dari 2 tahun jika ada kekurangan


pembayaran pajak akibat pembetulan tersebut maka akan dikenakan sanksi
sebesar 2% sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar dihitung sejak saat
penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai tanggal pembayaran
karena pembetulan Surat Pemberitahuan ( Pasal 8 ayat 1)
b. Jika melebihi batas waktu 2 tahun masih dapat diperbolehkan asala belum
dilakukan tindakan pemerikasanaan dengan denda administrasi berupa
kenaikan sebesar 50% dari pajak yang belum dibayarkan. Syarat yang harus
dipenuhi :
1) Pajak-pajak yang dibayar harus m,enjadi lebih besar atau
2) Rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau
3) Jumlah harta menjadi lebih besar
4) Jumlah modal menjadi lebih besar
c. Jika sudah diperiksa pun masih dapat dibetulkan asalakan belum dilakukan
tindakan penyidikan maka wajib pajak dengan kemauan sendiri
mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai
pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang sebenarnya terutang beserta
sanksi administrasi berupa denda 2 kali jumlah pajak yang kurang bayar.

3. SANKSI PERPAJAKAN
a. Bunga
Sanski admnistrasi berupa bunga dikenakan karena :
1) Terlambat membayar PPh Pasal 21q atau pemungutan PPh Pasal 23, Pasal
25 atau PPh Pasal 29 melampaui batas waktu yang telah ditentukan
2) Kekurangan pembayaran akibat pembetulan sendiri selama dalam waktu
24 bulan setelah penyampaian SPT
3) Kekurangan pembayaran akibat permohonan perpanjangan SPT
4) Sanksi dikenakan pada waktu Pemeriksaan
Brevet A Halaman 21
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

b. Kenaikan
1) SPT yang tidak disampaikan pada waktunya walaupun telah ditegur secara
tertulis dan tidak juga disampaikan dalam jangka waktu yang telah
ditentukan dalam surat Teguran, maka Dirjen Pajak dapat menerbitkan
SKPKB dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% dari
p;ajak yang tidak atau kurang di bayar dalam satu tahun pajak.
2) Wajib pajak yang tidak menggunakan pembukuan sebagaimana mestinya
akan dikenakan sanksi kenaikan sebesar 50% dari pajak yang seharusnya
dibayar.
3) Wajib pajak yang berkewaiban untuk melakukan pemungutan atau
pemotongan PPh Pasal 21, 23 atau PPN namun tidak melakukan
pemotongan, melakukan pemotongan namun kurang, tidak menyetor
pemotongan yang telah dilakukan maka akan dikenakan sanksi kenaikan
sebesar 100%.
C. Sanksi Pidana
1) Apabila wajib pajak karena kealpaannya tidak menyampaikan SPT
Tahunan atau menyampaikan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Diancam
dengan pidana kurungan selama-lamanya satu tahun dan denda setinggi-
tingginya dua kali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang
dibayar. (Pasal 38)
2) Apabila wajib pajak dengan sengaja tidak menyampaikan SPT Tahunan
atau menyampaikan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Diancam dengan
pidana penjara selama-lamanya enam kali dan denda setinggi-tingginya
empatkali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang bayar (Pasal
39).

Brevet A Halaman 22
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

3) Apabila wajib pajak melakukan percobaan untuk menyampaikan SPT


Tahunan dan atau keterangan yang isisnya tidak benar atau tidak lengkap
dalam rangka mengajukan restitusi atau melakukan kompensasi pajak di
pidana dengan pidana penjara selama-lamanyha 6 tahun dan denda
setinggi-tingginya empat kali jumlah restitusi yang dimohon/atau
kompensasi yang dilakukan oleh wajib pajak.

Brevet A Halaman 23
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

SURAT KETETAPAN PAJAK BAB


6

Surat Ketetapan Pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak
Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar

1. SKPLB
a. Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang
dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.
Menurut ketentuan ayat ini Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan untuk:
1) Pajak Penghasilan apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah
pajak yang terutang;
2) Pajak Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada
jumlah pajak yang terutang. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung
dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang dipungut
oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut; atau
3) Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar
lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.
4) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tersebut diterbitkan setelah dilakukan
pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak yang
menyatakan kurang bayar, nihil, atau lebih bayar yang tidak disertai dengan
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Apabila Wajib
Pajak setelah menerima Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dan

Brevet A Halaman 24
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

menghendaki pengembalian kelebihan pembayaran pajak, wajib mengajukan


permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2).
b. Berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak, setelah meneliti
kebenaran pembayaran pajak, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
apabila terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar masih dapat diterbitkan lagi apabila
berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau data baru ternyata pajak yang lebih
dibayar jumlahnya lebih besar daripada kelebihan pembayaran pajak yang telah
ditetapkan.

Contoh Kasus:
Pajak Penghasilan ȃ Wajib Pajak telah memperoleh pengembalian pendahuluan
kelebihan pajak sebesar Rp 80.000.000,00. ȃ Dari pemeriksaan diperoleh hasil
sebagai berikut:
a. Pajak Penghasilan yang terutang sebesar Rp 100.000.000,00
b. Kredit pajak, yaitu:
- Pajak Penghasilan Pasal 22 Rp 20.000.000,00
- Pajak Penghasilan Pasal 23 Rp 40.000.000,00
- Pajak Penghasilan Pasal 25 Rp 90.000.000,00
Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar dengan penghitungan sebagai berikut:
- Pajak Penghasilan yang terutang sebesar Rp 100.000.000,00
- Kredit Pajak:
Pajak Penghasilan Pasal 22 Rp 20.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal 23 Rp 40.000.000,00
Pajak Penghasilan Pasal 25 Rp 90.000.000.00 (+)
Rp 150.000.000,00
Brevet A Halaman 25
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

- Jumlah Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak Rp 80.000.000,00 (-)
- Jumlah pajak yang dapat dikreditkan Rp 70.000.000,00 (-)
- Pajak yang tidak/kurang dibayar Rp 30.000.000,00
- Sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% Rp 30.000.000,00 (+)
- Jumlah yang masih harus dibayar Rp 60.000.000,00

2. SKPKB
a. Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur
Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam
hal-hal sebagai berikut:
1) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang
terutang tidak atau kurang dibayar;
2) Apabila surat pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara
tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam
surat teguran;
3) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak
seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya
dikenai tarif 0% (nol persen);
4) apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29
tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang;
atau
5) apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a).
Brevet A Halaman 26
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

b. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf e ditambah
dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak
atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai
dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
c. Jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d ditambah dengan sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar:
1) 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang
dibayar dalam satu Tahun Pajak;
2) 100% (seratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang
dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan
dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor; atau
3) 100% (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar.
d. Besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam Surat
Pemberitahuan menjadi pasti sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan perpajakan apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak tidak
diterbitkan surat ketetapan pajak.
e. Walaupun jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tetap dapat diterbitkan
ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan
persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, apabila Wajib Pajak
setelah jangka waktu tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian
Brevet A Halaman 27
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

pada pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai


kekuatan hukum tetap.
f. Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

3. SKPKBT (SURAT KETETAPAN PAJAK KURANG BAYAR TAMBAHAN)


a. Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila
ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang
terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
Untuk menampung kemungkinan terjadinya suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar yang ternyata telah ditetapkan lebih rendah atau pajak yang terutang dalam
suatu Surat Ketetapan Pajak Nihil ditetapkan lebih rendah atau telah dilakukan
pengembalian pajak yang tidak seharusnya sebagaimana telah ditetapkan dalam
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam Jangka
waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak,
Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak.
b. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar
100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
c. Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan apabila Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan itu diterbitkan berdasarkan keterangan
tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal
Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
Brevet A Halaman 28
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

d. Apabila jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah
lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan
ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan
persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal Wajib Pajak
setelah jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dipidana karena melakukan tindak
pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
e. Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.

4. STP (SURAT TAGIHAN PAJAK)


a. Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:
1) Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat
salah tulis dan/atau salah hitung;
2) Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga;’
3) pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi
tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat
waktu;
4) pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak
mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya,
selain:
a) Identitas Pembeli Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 13 Ayat (5)
Huruf B Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 Dan
Perubahannya; Atau
Brevet A Halaman 29
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

b) Identitas Pembeli Serta Nama Dan Tandatangan Sebagaimana Dimaksud


Dalam Pasal 13 Ayat (5) Huruf B Dan Huruf G Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984 Dan Perubahannya, Dalam Hal Penyerahan
Dilakukan Oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran;
5) Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa
penerbitan faktur pajak; atau g. Pengusaha Kena Pajak yang gagal
berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6a) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
1984 dan perubahannya.
b. Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan
hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak.
c. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak,
bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat
Tagihan Pajak.
d. Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf d, huruf e, atau huruf f masing-masing, selain wajib menyetor pajak
yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen)
dari Dasar Pengenaan Pajak.
e. Terhadap Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g
dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari
jumlah pajak yang ditagih kembali, dihitung dari tanggal penerbitan Surat
Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sampai dengan tanggal
penerbitan Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu)
bulan.

Brevet A Halaman 30
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

f. Tata cara penerbitan Surat Tagihan Pajak diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
Contoh Kasus:
1. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar. Pajak
Penghasilan Pasal 25 tahun 2008 setiap bulan sebesar Rp 100.000.000,00 jatuh
tempo misalnya tiap tanggal 15 Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan Juni 2008
dibayar tepat waktu sebesar Rp 40.000.000,00. Atas kekurangan Pajak
Penghasilan Pasal 25 tersebut diterbitkan Surat Tagihan Pajak pada tanggal 18
September 2008 dengan penghitungan sebagai berikut :
- Kekurangan bayar Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan Juni 2008
(Rp100.000.000,00-Rp 40.000.000,00) = Rp 60.000.000,00
- Bunga = 3 x 2% x Rp 60.000.000,00 = Rp 3.600.000,00 (+)
- Jumlah yang harus dibayar = Rp 63.600.000,00

2. Hasil penelitian Surat Pemberitahuan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak


Penghasilan tahun 2008 yang disampaikan pada tanggal 31 Maret 2009 setelah
dilakukan penelitian ternyata terdapat salah hitung yang menyebabkan Pajak
Penghasilan kurang bayar sebesar Rp1.000.000,00. Atas kekurangan Pajak
Penghasilan tersebut diterbitkan Surat Tagihan Pajak pada tanggal 12 Juni 2009
dengan penghitungan sebagai berikut:
- Kekurangan bayar Pajak Penghasilan = Rp 1.000.000,00
- Bunga = 3 x 2%x Rp1.000.000,00 = Rp 60.000,00 (+)
- Jumlah yang harus dibayar = Rp 1.060.000,00

5. PENAGIHAN PAJAK
a. Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah
Brevet A Halaman 31
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak
atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk seluruh
masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan
atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung
penuh 1 (satu) bulan.
b. Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran
pajak juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per
bulan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan bagian dari bulan dihitung
penuh 1 (satu) bulan.
Contoh Kasus:
1. Jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar sebesar Rp 10.000.000,00 yang diterbitkan tanggal 7 Oktober 2008, dengan
batas akhir pelunasan tanggal 6 November 2008. Jumlah pembayaran sampai dengan
tanggal 6 November 2008 Rp 6.000.000,00. Pada tanggal 1 Desember 2008
diterbitkan Surat Tagihan Pajak dengan perhitungan sebagai berikut:
Pajak yang masih harus dibayar = Rp 10.000.000,00
Dibayar sampai dengan jatuh tempo pelunasan = Rp 6.000.000,00 (-)
Kurang dibayar = Rp 4.000.000,00
Bunga 1 (satu) bulan (1 x 2% x Rp4.000.000,00) = Rp 80.000,00

2. Wajib Pajak menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebesar Rp 1.120.000.00
yang diterbitkan pada tanggal 2 Januari 2009 dengan batas akhir pelunasan tanggal 1
Februari 2009. Wajib Pajak tersebut diperbolehkan untuk mengangsur pembayaran
pajak dalam jangka waktu 5 (lima) bulan dengan jumlah yang tetap sebesar Rp
224.000,00. Sanksi administrasi berupa bunga untuk setiap angsuran dihitung sebagai
berikut:

Brevet A Halaman 32
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

angsuran ke-1: 2% x Rp 1.120.000.00 = Rp 22.400,00


angsuran ke-2: 2% x Rp 896.000.00 = Rp 17.920,00
angsuran ke-3: 2% x Rp 672.000,00 = Rp 13.440,00
angsuran ke-4: 2% x Rp 448.000.00 = Rp 8.960,00
angsuran ke-5: 2% x Rp 224.000,00 = Rp 4.480,00

Brevet A Halaman 33
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

PROSEDUR PEMERIKSAAN BAB


7

1. PROSES PEMERIKSAAN
Direktur Jendral Pajak berwenang memakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pemeriksaan dapat dilakukan secara terpisah atas jenis dan tujuan tahun pajak yang
ada yang disampaikan oleh wajib pajak. Pemeriksaan dapat dilakukan atas SPT Masa
PPN saja, SPT Tahunan PPh21 Tahun 19XX saja, atau SPT Tahunan PPh Badan saja
atau dapat dilakukan secara bersamaan. Pemeriksaan biasanya meliputi satu tahun pajak
atau satu mas pajak saja atau tahun berjalan.
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan sendiri atau tim dengan rincian :
a. Pemeriksaan oleh Kantor Pelayanan Pajak dengan Pemeriksaan Sederhana Kantor
(Wajib pajak datang ke kantor pelayanan Pajak) atau Pemeriksaan sederhana
lapangan (Pemeriksaan di tempat wajib pajak) Pemeriksaan ini dapat berupa satu
jenis pajak atau semua jenis pajak.
b. Pemeriksaan oleh Kantor Pemeriksa dan Penyidik pajak, Kanwil atau Kantor
Pusat Ditjen pajak. Pemeriksaan ini biasanya semua jenis pajak atau pemeriksaan
lengkap.
c. Pemeriksaan akan menunjukkan surat perintah Pemeriksaan dan kartu tanda
pengenal jika melakukan Pemeriksaan dan wajib pajak akan mendapatkan hasil
Pemeriksaan jika wajib pajak diperiksa.
Undang-undang perpajakan memberikan wewenang melakukan penelitian serta
penyelidikan terhadap wajib pajak yang meminta pengembalian kelebihan pembayaran
pajak.
a. Pengertian

Brevet A Halaman 34
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk :


1) Mencari
2) Mengumpulkan
3) Mengolah
Data dan / atau keterangan lainnya dalam rangka pengawasan kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
b. Sasaran Pemeriksaan
Yang menjadi sasaran pemeriksaan maupun penyidikan adalah untuk mencari
adanya
1) Interprestasi undang-undang yang tidak benar
2) Kesalahan hitung
3) Penggelapan secara khusus dari penghasilan
4) Pemotongan dan pengurangan tidak sesungguhnya, yang dilakukan wajib
pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.
c. Tujuan pemeriksaan
1) Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan :
a) SPT lebih bayar dan / atau rugi
b) SPT tidak disampaikan atau terlambat
c) SPT memenuhi kriteria yang ditentukan oleh dirjen pajak untuk diperiksa
d) Adanya indikasi tidak dipenuhi kewajiabn –kewajiabn selain kewajiban
pada butir 2
2) Tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan :
a) Pemberian NPWP secara jabatan atau pencabutan NPWP
b) Pemberian NPWP secara jabatan dan pengukuhan atau pencabutan
NPPKP
c) Penentuan jumlah angsuran, bagi wajib pajak baru
Brevet A Halaman 35
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

d) Wajib pajak pengajuan keberatan atau banding


e) Pengumpulan bahan untuk menyusun norma penghitungan
f) Pencocokan data dan atau alat keterangan
g) Penetuan wajib pajak berlokasi di daerah tertentu
h) Penentuan tempat terhutang PPN dan / atau PPh Pasal 21 (untuk ijin
sentralisasi)
i) Tujuan selain pada butir ke 1 s/d ke 8
d. Hak-hak wajib pajak dalam pemeriksaan :
1) Meminta kepada pemeriksa pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal
Pemeriksaan.
2) Meminta tindasan surat pemeriksan pajak
3) Menolak untuk diperiksa apabila si pemeriksa tidak dapat menunjukkan Tanda
Pengenal Pemeriksaan.
4) Meminta penjelasan tentang maksud dan tujuan pemeriksaan
5) Meminta tanda bukti peminjaman buku-buku, catatan, serta dokumen yang
dipinjam oleh pemeriksa pajak
6) Meminta rincian berkenaan dengan hal-hal yang berbeda antara hasil
pemeriksaan dengan surat pemberitahuan (SPT) mengenai koreksi-koreksi
yang dilakukan oleh pemeriksa pajak terhadap SPT yang telah disampaikan.
7) Mengajukan pengaduan apabila kerahasiaan usaha wajib pajak di bocorkan
kepada pihak lain yang tidak berhak.
8) Memperoleh lembar asli berita acara penyelenggara atas tempat atau ruangan
tertentu ( jika tempat wajib pajak dilakukan penyegelan).
e. Kewajiban wajib pajak dalam pemeriksaan
1) Memperlihatkan dan meminjamkan buku-buku, catatan-catatan, dokument
lainnya yang berkaitan dengan usaha wajib pajak yang diperlukan oleh
pemeriksa
2) Memberi kesempatan kepada pemeriksa
Brevet A Halaman 36
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

3) Memberikan keterangan lisan dan atau tertulis yang diminta pemeriksa.


f. Lain-lain
1) Pemeriksaan pajak dapat dilakukan oleh seorang pemeriksa atau kelompok
pemeriksa
2) Pemeriksa dapat dilakukan di kantor atau pabrik atau tempat usaha atau di
tempat tinggal atau tempat lain yang diduga ada kaitannya dengan kegiatan
usaha atau pekerjaan wajib pajak atau ditempat yang ditentukan oleh Direktur
Jendral Pajak.
3) Apabila wajib pajak tidak memberi kesempatan kepada pemeriksa pajak untuk
memasuki tempat atau ruangan tertentu dan menolak memberi bantuan guna
kelancaran Pemeriksaan, maka pajak berwenang melakukan penyegelan.

2. HASIL PEMERIKSAAN
Setelah memakukan Pemeriksaan, Dirjen Pajak akan mengeluarkan surat ketetapan
pajak atas hasil Pemeriksaan tersebut :
a. SKPLB (Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar)
Jika wajib pajak mempunyai utang pajak akan dikompensasikan dengan utang
pajak tersebut (Pasal 11 ayat 1 UU KUP)
b. SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar)
Jumlah kekurangan pajak ditambah ( Pasal 13 UU KUP):
1) 2% sebulan untuk selamanya 24 bulsn, dihitung mulai saat terhutangnya pajak
atau berakhirnya masa pajak sampai diterbitkannya surat ketetapan pajak.
2) Kenaikan 50% dari pajak Penghasilan yang kurang atau tidak dibayar selama
satu tahun pajak.
3) Kenaikan 100% dari pajak penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak
atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor dan kurang disetor dan
dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetorkan

Brevet A Halaman 37
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

4) Kenaikan 100% dari pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar.
a) SKPKBT (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
Dirjen Pajak dapat menerbitkan SKPKBT dalam jangka waktu 10 tahun
sesudah saat terutang, berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau
tahun pajak apabila ditemukan data baru atau data yang semula belum
terungkap yang mengakibatkan penambhan jumlah pajak yang terutang.
Saksi yang diberikan adalah kenaikan sebesr 100% dari jumlah
kekurangan pajak tersebut ( Pasal 15 ayat 2 UU KUP)
b) SKPN (Surat Ketetapan Pajak Nihil)
Apabila jumlah pajak yang dibayar atau jumlah pajak penghasilan yang
dipotong atau dipungut sama dengan pajak yang terutang

Brevet A Halaman 38
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

PENGAJUAN PERMOHONAN BAB


8
PENINJAUAN KEMBALI

Direktur Jendral Pajak karena jabatan atau karena permohonan wajib pajak dapat
membetulkan sura ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Keberatan,
Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak benar atau
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, yang dalam penerbitannya
terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung dan atau kekeliruan penerapan ketentuan
tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan (Pasal 16 ayat 1 UU KUP)

Direktur Jendral Pajak dalam jangka waktu 12 bulan sejak tanggal permohonan
diterima, harus memberi keputusan atas permohonan pembetulan yang diajukan. Apabila
jangka waktu tersebut lewat maka permohonan pembetulan yang diajukan dianggap
diterima (Pasal 16 ayat 1 UU KUP).

RESTITUSI
Direktur jenderal pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari wajib pajak dengan kriteria tertentu harus
menerbitkan surat ketetapan paling lambat 12 bulan sejak surat permohonan diterima
kecuali untuk kegiatan tertentu yang ditetapkan dengan keputusan Dirjen Pajak (Pasal
17B UU KUP).
Apabila setelah lewat jangka waktu 12 bulan Direktur Jendral Pajak tidak memberi
suatu keputusan, permohonan pengambilan kelebihan pembayaran pajak dianggap
dikabulkan dan SKPKB harus diterbitkan dalam jangka waktu 1 bulan setelah 12 bulan
tersebut (jangka waktu berakhir) Pasal 17B ayat 2

Brevet A Halaman 39
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

Pengajuan restisusi dapat dilakukan dengan cara mengisi SPT dengan lebih bayar dan
mengajukan restitusi secara tertulis. Bukti pengajuan restitusi merupakan bukti atau
dokumen bagi wajib pajak. Jika alam waktu 12 bulan tidak dilakukan tindakan
pemeriksaan maka permohonan restitusi dianggap diterima.
Pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan barang kena pajak atau perolehan
barang kena pajak atau perolehan jasa kena pajak sering terjadi dalam satu masa pajak,
Pajak asukan (PM) yang dikreditkan lebih besar dari pada Pajak Keluaran (PK) maka
selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dikompensasikan pada masa
berikutnya. Tetapi selisih atau kelebihan pajak tersebut terjadi pada akhir tahun buku,
maka selisih lebih tersebut dapat diminta kembali dengan jalan mengajukan permohonan
permintaan kembali atas selisih tersebut, hal ini sering disebut "Restitusi”
a. Sebab-sebab terjadinya kelebihan pembayaran pajak :
1) Jumlah Pajak Masukan dibayarkan lebih besar dari pada jumlah pajak
keluaran yang dipungut dalam satu masa pajak.
2) Disamping itu kemungkinan terjadi pembayaran pajak bukan disebabkan
adanya selisih labih pajak masukan dibandingkan pajak keluaran, malainkan
semata0mata disebabkan kekeliruan pemungutan pajak yang dilakukan oleh
Pengusaha Kena Pajak (PKP). Peristiwa ini dinamakan kelebihan pembayaran
pajak yang seharusnya tidak terhutang.
b. Mekanisme Restitusi
Restitusi melalui Kantor Pelayanan Pajak
Mekanisme restitusi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) hendaknya perlu
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1) Permohonan pengemablian kelebihan pembayaran pajak masukan dilakukan
diatas
Ketentuan sebagai berikut :
a) Kelebihan yang disebabkan oleh kegiatan ekspor Barang Kena Pajak
(BKP) atau penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak (JKP)
Brevet A Halaman 40
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

kepada pemungut pajak pertambahan nilai (PPN), dapat diminta kembali


pada setiap masa pajak (pasal 9 ayat 11 dan 12 UU PPN 1984)
b) Kelebihan yang disebabkan oleh kegiatan usaha lainnya, hanya dapat
diminta kembali pada akhir tahun buku dalam hal SPT Masa PPN nya
menunjukkan bahwa jumlah pajak masukan lebih besar dari jumlah pajak
keluaran (Pasal 9 ayat 10 UU PPN 1984)
2) Pajak Masukan dapat diminta kembali adalah :
a) Pajak Masukan yang berasal dari perolehan barang kena pajak dan atau
jasa Kena Pajak yang diekspor
b) Pajak Masukan yang berasal dari perolehan barang kena pajak dan jasa
kena pajak yang diserahkan kepada pemungut PPN tersebut.
c) Seluruh pajak masukan yang dibayar untuk perolehan barang kena pajak
dan jasa kena pajak yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha
yang menghasilkan penyerahan kena pajak.
3) Jumlah pajak masukan yang dikembalikan adalah :
a) Untuk kelebihan pajak masukan pada masa pajak sebanyaknya sebesar 7%
dari ekspor dalam masa pajak atau nilai penyerahan kepada pemungut
PPN
b) Selisih lebih pajak masukan tersebut diatas terjadi pada masa pajak
terakhir dari suatu tahun buku
c) Seluruh kelebihan pembayaran pajak masukan bagi permintaan
pengembalian (restitusi) yang diajukan pada akhir tahun buku yang SPT
Masa PPN-nya lebih bayar

Brevet A Halaman 41
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

PAJAK PENGHASILAN ORANG PRIBADI

Brevet A Halaman 42
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

SUBYEK PAJAK PENGHASILAN BAB


1
ORANG PRIBADI

1. PENGERTIAN PAJAK PENGHASILAN


Pajak Penghasilan adalah pajak atas penghasilan yang dikenakan terhadap subyek
pajak dalam tahun pajak

2. SUBYEK PAJAK PENGHASILAN


Pajak penghasilan dikenakan terhadap subyek pajak atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh dalam tahun pajak.
a. Yang menjadi Subjek Pajak adalah:
1) Orang pribadi;
2) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang
berhak;
3) Badan;
4) Bentuk usaha tetap.
b. Subjek Pajak terdiri dari Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri.
1) Yang dimaksud dengan Subjek Pajak dalam negeri adalah:
a) Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang
berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu
tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat
tinggal di Indonesia;
b) Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia; kecuali unit
tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
1) Pembentukannya berdasarkan ketentuan
Brevet A Halaman 43
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

2) Peraturan perundang-undangan;
3) Pembiayaannya bersumber dari anggaran
4) Pendapatan dan belanja negara atau anggaran
5) Pendapatan dan belanja daerah;
c) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang
berhak.
2) Yang dimaksud dengan Subjek Pajak luar negeri adalah:
a) Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
b) Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
(3) Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang
dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia
atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
a) Tempat kedudukan manajemen;
b) Cabang perusahaan;
c) Kantor perwakilan;
d) Gedung kantor;
Brevet A Halaman 44
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

e) Pabrik;Bengkel;
f) Gudang
g) Ruang untukpromosi dan penjualan
h) Pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran
yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan; perikanan, peternakan,
pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
i) Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
j) Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain,
sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu
12 (dua belas) bulan;
k) Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak
bebas;
l) Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di indonesia.
m) Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa,
atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk
menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
(6) Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya.”

2. TIDAK TERMASUK SUBJEK PAJAK PENGHASILAN


a. Badan perwakilan negara asing;
b. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari
negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja
pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga
negara indonesia dan di indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan

Brevet A Halaman 45
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan
memberikan perlakuan timbal balik;
c. Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan keputusan menteri
keuangan, dengan syarat:
(a) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;
(b) Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan
dari indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya
berasal dari iuran para anggota;
d. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan
keputusan menteri keuangan dengan syarat bukan warga negara indonesia dan
tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari indonesia."

Brevet A Halaman 46
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

KEWAJIBAN MENGISI DAN MENYAMPAIKAN BAB


SPT TAHUNAN PPH WAJIB PAJAK ORANG
2

PRIBADI

1. KEWAJIBAN MENGISI DAN MENYAMPAIKAN SPT TAHUNAN PPh


WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
Wajib Pajak orang pribadi setiap tahun harus melaporkan penghasilannya yang
diperoleh selama satu tahun. Penghasilan yang dilaporkan adalah setiap tambahan
kemampuan ekonomis wajib pajak yang berupa uang dan berupa barang (sesuai dengan
pasal 4 ayat 1 UU PPh). Seandainya ada penghasilan netto yang belum dilaporkan dalam
tahun yang sebelumnya maka dapat dilaporkan dengan mengadakan pembetulan atas SPT
yang telah dilaporkan. Yang diwajibkan menyampaikan SPT Tahunan adalah:
a. Wajib pajak orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari
kegiatan usaha dan/ atau pekerjaan bebas.
b. Wajib pajak orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari
modal dan lain-lain
c. Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan dan / atau yang memperoleh
penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan lebih dari satu
pemberi kerja.
d. Kuasa warisan yang belum terbagi
e. Pejabat negara, PNS, anggota ABRI dan pegawai BUMN/BUMD sesuai dengan
Keputusan Presiden No. 33 tahun 1996
f. Warga negara Indonesia yang bekerja pada perwakilan negara asing dan
perwakilan organisasi internasional
g. Orang asing yang berada di Indonesia

Brevet A Halaman 47
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

h. Masing-masing suami istri yang dikenakan pajak penghasilan secara terpisah


dalam hal:
1) Suami istri talah hidup terpisah
2) Dikehendaki secara tertulis oleh suami istri berdasarkan perjanjian pemisahan
harta dan penghasilan (Dalam hal ini suami istri wajib memiliki NPWP)

2. DIKECUALIKAN DARI KEWAJIBAN UNTUK MENGISI SPT


TAHUNAN PPH ORANG PRIBADI
Orang pribadi yang tidak diwajibkan memiliki NPWP adalah (Kep DJP 27/1995):
a. Tidak mempunyai penghasilan lain selain penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan atau jabatan dari satu pemberi kerja (Pasal 8 ayat 1 UU PPh)
b. Memperoleh penghasilan netto usaha yang tidak melebihi jumlah penghasilan
tidak kena pajak.

Brevet A Halaman 48
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

JENIS-JENIS PENGHASILAN YANG BAB


3
DILAPORKAN

1. PENGHASILAN NETTO DALAM NEGERI DARI USAHA, PEKERJAAN


BEBAS
Pada sub bab ini digunakan untuk menghitung besarnya seluruh penghasilan dalam
negeri yang diterima oleh wajib pajak sendiri, isteri dan anak/anak angkat yang belum
dewasa dari usaha dan/ atau pekerjaan bebas baik yang menyelenggarakan pembukuan
atau melakukan pencatatan dan memilih menggunakan Norma Penghitungan dalam
Tahun Pajak yang bersangkutan (Pasal 14 UU PPh)
Dalam melaporkan penghasilannya disarankan menggunakan pembukuan. Namun
jika tidak sanggup diperbolehkan menggunakan Norma Penghitungan penghasilan
netto yang prosentasenya ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (Kep 01/Pj.7/1991).
Norma perhitungan penghasilan netto hanya boleh digunakan oleh Wajib pajak orang
pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp 600.000.000 boleh
menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Netto dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jendral Pajak dalam jangka waktu
3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Jadi apabila wajib pajak ingin
menggunakan norma untuk tahun 2000 maka permohonan tersebut sudah diajukan ke
Kantor Pelayanan terdaftar paling lambat 31 maret 2000. Wajib pajak orang pribadi yang
tidak memberitahukan kepada Direktorat Jendral Pajak untuk menghitung penghasilan
netto dengan menggunakan Norma Penghitungan penghasilan Netto, dianggap memilih
menyelenggarakan pembukuan.
Dalam hal Wajib Pajak dengan status kawin pisah harta, jumlah Rp 600.000.000
tersebut merupakan gabungan peredaran usaha atau penerimaan bruto dari usaha suami,
istri dan atau/anak angkat yang belum dewasa.

Brevet A Halaman 49
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak
atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun
sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana pasal pasal 6 ayat 2 : Apabila
penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di dapat
kerugian , maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun
pajak berukutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun, dianggap sebagai
penghasilan atau kerugian suaminya kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima
atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong PPh Pasal 21 dan pekerjaan
tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota
keluarga lainnya.Lihat pasal 8 ayat 1.
Berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UU No.36 tahun 2008 tentang PPh Norma
Penghitungan Penghasilan Neto hanya boleh digunakan oleh Wajib Pajak orang pribadi
yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya kurang
dari jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Untuk dapat
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto tersebut, Wajib Pajak orang
pribadi harus memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3
(tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.

Penghasilan suami istri dikenakan pajak secara terpisah apabila:


a. Suami istri telah hidup terpisah
b. Dikehendaki secara tertulis oleh suami istri berdasarkan perjanjian pemisahan
harta dan penghasilan (pasal 8 ayat 2 UU PPh). Dalam hal ini penghasilan netto
suami istri dikenakan pajak berdasarkan penggabungan penghasilan netto suami
istri dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami istri dihitung
sesuai dengan perbandingan penghasilan netto mereka.
Cara memperhitungkan dan melaporkan penghasilan netto:
a. Wajib Pajak menggunakan norma perhitungan

Brevet A Halaman 50
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

Prosentase norma yang digunakan dalam menghitung penghasilan netto


adalah berdasarkan Kep. Dirjen Pajak N0. KEP-01/Pj.7/1991 tanggal 9 Januari
1991 tentang norma penghitungan netto dan tata cara pembuatan catatan bagi
Wajib Pajak yang dapat menghitung penghasilan netto dengan menggunakan
norma perhitungan. Masing-masing Wajib Pajak akan mendapatkan klasifikasi
Lapangan Usaha (KLU) untuk memudahkan mencari prosentase norma sesuai
dengan KEP 01/PJ.7/1991.
Contoh :
Untuk perdagangan umum adalah 10%. Sehingga Wajib Pajak mempunyai
penghasilan omzet/peredaran usaha sebesar Rp 450.000.000 maka penghasilan
nettonya sebesar 10% X Rp 450.000.000 = Rp 45.000.000
b. Wajib Pajak menggunakan Pembukuan
Wajib pajak orang pribadi yang omzet/peredaran brutonya melebihi Rp
600.000.000 dan mulai tahun 2008 Rp 4.800.000.00 dalam satu pajak diwajibkan
mengadakan pembukuan.Dalam menghitung penghasilan netto bagi wajib pajak
orang pribadi mengurangkan penghasilan bruto dengan biaya-biaya yang
diperbolehkan dalam tahun fiskal. Biaya yang boleh dikurangkan pada
penghasilan bruto adalah Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan. Biaya yang dapat dikurangkan pada penghasilan bruto berdasarkan
Undang-Undang PPh No 36 tahun 2008 dikelompokkan menjadi 2 yaitu:
1) Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha, antara lain:
a) Biaya pembelian bahan;
b) Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
c) Termasuk upah, gaji, honorarium, bonus,
d) Gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan
e) Dalam bentuk uang;
f) Bunga, sewa, dan royalti;
Brevet A Halaman 51
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

g) Biaya perjalanan;
h) Biaya pengolahan limbah;
i) Premi asuransi;
j) Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan; pengeluaran untuk promosi, perlu dibedakan
antara biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi dengan biaya
yang pada hakekatnya merupakan sumbangan. Biaya yang benar-benar
dikeluarkan untuk promosi boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
k) Biaya administrasi; dan
l) Pajak kecuali Pajak Penghasilan;
2) Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan
amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 dan Pasal 11A; Penyusutan atas pengeluaran untuk
memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk
memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari
1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A.
Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan harta tak
berwujud serta pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
(satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi.
3) Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan iuran yang
dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya tidak atau belum disahkan
oleh Menteri Keuangan tidak boleh dibebankan sebagai biaya
4) Kerugian karena penjualan atau pengalihan hartayang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaanatau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih,dan
memelihara penghasilan. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta
Brevet A Halaman 52
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

yang menurut tujuan semula tidak dimaksudkan untuk dijual atau dialihkan
yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang
dimiliki tetapi tidak digunakan dalam perusahaan, atau yang dimiliki tetapi
tidak digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan,
tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
5) Kerugian selisih kurs mata uang asing. Kerugian karena selisih kurs mata uang
asing dapat disebabkan oleh adanya fluktuasi kurs yang terjadi sehari-hari,
atau oleh adanya kebijaksanaan Pemerintah di bidang moneter. Kerugian
selisih kurs mata uang asing yang disebabkan oleh fluktuasi kurs,
pembebanannya dilakukan berdasarkan sistem pembukuan yang dianut, dan
harus dilakukan secara taat asas. Apabila Wajib Pajak menggunakan sistem
pembukuan berdasarkan kurs tetap (kurs historis), pembebanan kerugian
selisih kurs dilakukan pada saat terjadinya realisasi atas perkiraan mata uang
asing tersebut. Apabila Wajib Pajak menggunakan sistem pembukuan
berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku
pada akhir tahun, pembebanannya dilakukan pada setiap akhir tahun
berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku
pada akhir tahun.Rugi selisih kurs karena kebijaksanaan Pemerintah di bidang
moneter dapat dibukukan dalam perkiraan sementara di neraca dan
pembebanannya dilakukan bertahap berdasarkan realisasi mata uang asing
tersebut.
6) Biaya penelitian dan pengembangan perusahaanyang dilakukan di
Indonesia;Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan. Biaya yang dikeluarkan
untuk keperluan beasiswa, magang dan pelatihan dalam rangka peningkatan
kualitas sumber daya manusia dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan,
dengan memperhatikan kewajaran dan kepentingan perusahaan
Brevet A Halaman 53
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

7) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagihdengan syarat:


a) Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporanlaba rugi komersial;
b) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutangyang tidak dapat ditagih
kepada DirektoratJenderal Pajak; dan
c) Telah diserahkan perkara penagihannyakepada Pengadilan Negeri atau
instansipemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian
tertulis mengenaipenghapusan piutang/pembebasan utangantara kreditur
dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalampenerbitan
umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya
telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu
d) Syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk
penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k;
yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan;
8) Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
9) Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
10) Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah;
11) Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah; dan
12) Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1)
didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun
pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
Brevet A Halaman 54
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan
berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.

Dengan demikian pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan


memelihara penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak, tidak boleh dibebankan
sebagai biaya.
Contoh:
Dana Pensiun A yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri
Keuangan memperoleh penghasilan bruto yang terdiri dari:
Penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak sesuai dengan Pasal 4 ayat (3)
huruf h sebesar Rp 100.000.000,00
Penghasilan bruto lainnya sebesar Rp 300.000.000,00
Jumlal penghasilan bruto Rp 400.000.000,00
Apabila seluruh biaya adalah sebesar Rp 200.000.000,00, maka biaya yang
boleh dikurangkan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan
adalah sebesar 3/4 x Rp 200.000.000,00 = Rp 150.000.000,00.
Demikian pula bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham
tidak dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang dividen yang diterimanya tidak
merupakan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f.
Bunga pinjaman yang tidak boleh dibiayakan tersebut dapat dikapitalisasi
sebagai penambah harga perolehan saham.

Biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.


Biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah
Pengeluaran-pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan upaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, antara lain:
1) Pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan pribadi pemegang saham,
pembayaran bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk keperluan

Brevet A Halaman 55
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

pribadi peminjam serta pembayaran premi asuransi untuk kepentingan


pribadi, tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
2) Pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan
pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan, namun bagi
pegawai yang bersangkutan premi tersebut merupakan penghasilan.
3) Pengeluaran-pengeluaran sehubungan dengan pekerjaan yang boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam bentuk uang.
Pengeluaran yang dilakukan dalam bentuk natura atau kenikmatan,
misalnya fasilitas menempati rumah dengan cuma-cuma, tidak boleh
dibebankan sebagai biaya, dan bagi pihak yang menerima atau menikmati
bukan merupakan penghasilan. Namun demikian, pengeluaran dalam
bentuk natura atau kenikmatan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 9
ayat (1) huruf e, boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pihak yang
menerima atau menikmati bukan merupakan penghasilan.

2. PENGHASILAN NETTO DALAM NEGERI SEHUBUNGAN DENGAN


PEKERJAAN
Wajib Pajak yang bekerja sebagai karyawan swasta maupun pemerintah akan
melaporkan pemghasilannya tersebut dalam “penghasilan netto sehubungan dengan
pekerjaan”. Wajib pajak tersebut akan menerima formulir 1721-A dari bagian penggajian
pada perusahaanya dan digunakan sebagai dasar dalam pengisian “penghasilan neeto
sehubungan dengan pekerjaan”.
Apabila Istri mempunyai penghasilan lebih dari satu pemberi kerja dan terdapat
anak/anak angkat yang belum dewasa memperoleh penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari pemberi kerja yang tidak wajib memotong PPh pasal 21 serta pemberi
kerja yang bukan merupakan subyek pajak, maka penghasilan tersebut digabung dan
dimasukkan dalam “Penghasilan netto sehubungan dengan pekerjaan”.

Brevet A Halaman 56
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

Penghasilan dan biaya yang digunakan untuk menghitung penghasilan netto dalam
negeri sehubungan dengan pekerjaan yang dilaporkan dalam lapiran I SPT Tahunan PPh
Wajib Pajak Orang Pribadi meliputi:
a. Penghasilan bruto
1) Gaji/Uang pensiun/THT
2) Tunjangan PPh
3) Tunjangan lainnya, uang penggantian, uang lembur dan sebagainya
4) Honorarium, Imbalan lain sejenisnya
5) Premi asuransi yang dibayar pemberi kerja
6) Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan yang dikenakan pemotongan
PPh Pasal 21
7) Tantiem, Bonus, Gratifikasi, Jasa produksi, THR
b. Pengurang
1) Biaya jabatan
Yaitu Biaya yang diberikan untuk karyawan tetap yang masih aktif bekerja,
biaya jabatan ini merupakan biaya yang fiktif (tidak riil), biaya ini merupakan
kebijaksanaan pemerintah, karena setiap orang yang berpenghasilan, tentu ada
biaya yang telah ia keluarkan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 521 tahun 1998 biaya
jabatan adalah sebesar 5% x penghasilan bruto atau maksimal Rp
108.000/bulan dan Rp 1.296.000/tahun, kemudian pilih yang terkecil
berdasarkan masa kerja dengan ketentuan sbb:
a) Biaya jabatan melekat pada perusahaan dia bekerja
b) Tergantung masa kerja
2) Biaya pensiun
Biaya diberikan kepada mantan karyawan/pensiunan bulanan. Biaya pensiun
perbulan Rp 36.000/bulan
3) Iuran pensiun dan iuran THT
Brevet A Halaman 57
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

3. PENGHASILAN NETTO DALAM NEGERI LAINNYA (TIDAK


TERMASUK YANG FINAL)
Apabila Wajib Pajak memperoleh penghasilan yang tidak teratur maka penghasilan
tersebut dapat dimasukkan pada bagian ini. Bagian ini dapat digunakan untuk melaporkan
besarnya penghasilan netto dalam negeri lainnya seperti bunga, dividen, royalti, sewa,
penghargaan dan hadiah, keuntungan dari penjualan/pengalihan harta dan penghasilan
lain-lain yang diterima wajib pajak sendiri, istri dan anak/anak angkat yang belum dewasa
dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Penghasilan lain tersebut adalah sebagai berikut:
a. Bunga;
Bunga yang diteri oleh wajib pajak atau isteri dan anak/anak angkat atas pinjaman
kepada orang pribadi atau badan usaha. Untuk penghasilan bunga yang diperoleh
dari bunga bank dimasukkan ke dalam penghasilan yang dikenakan pajak final di
cantumkan pada lampiran III SPT 1770 Tahunan PPh Orang Pribadi. Dalam
pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan sehubungan
dengan jaminan pengembalian utang. Premium terjadi apabila misalnya surat
obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto terjadi apabila surat
obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan
penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan
bagi yang membeli obligasi.
b. Dividen,
Dividen yaitu penghasilan berupa penghasilan dari investasi yang diberikan
kepada pemegang saham. Yang dimaksud dengan dividen adalah bagian laba
dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
Termasuk dalam pengertian dividen:
1) Pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung dengan nama
dan dalam bentuk apapun
Brevet A Halaman 58
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

2) Pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang


disetor
3) Pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran kecuali saham
bonus berasal dari kapitalisasi agio saham baru dan revaluasi aktiva tetap
4) Pembagian laba dalam bentuk apapun
5) Pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran
6) Jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh
pemegang saham karena pembelian kembali saham –saham oleh perseroan
yang bersangkutan
7) Pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan,
jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, jika pembayaran
kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang
dilakukan secara sah.
8) Pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima
sebagai penebusan tanda-tanda tersebut.
9) Bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi
10) Bagian laba yang diterima oleh pemegang polis
11) Pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi
12) Pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang
dibebankan sebagai biaya perusahaan
c. Royalti;
Yang dimaksud dengan royalti adalah setiap imbalan dengan nama apapun yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak sendiri, istri dan anak/anak angkat yang
belum dewasa sehubungan dengan penyerahan penggunaan hak kepada pihak
lain, berupa:
1) Hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten merk dagang,
formula, atau rahasia perusahaan.

Brevet A Halaman 59
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

2) Hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan
ilmu pengetahuan
3) Informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun
mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman dibidang industri, atau
bidang usaha lainnya.
d. Sewa
Pengertian sewa adalah imbalan yang diterima atau diperoleholeh Wajib Pajak,
isteri dan anak/anak angkat dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan
dengan penggunaan harta gerak atau harta tak gerak, misalnya sewa mobil, sewa
kantor, sewa rumah, dan sewa gudang
e. Penghargaan dan hadiah
Jenis hadiah dan penghargaan untuk tujuan perpajakan dapat dibedakan:
1) Hadiah Undian (Final masuk lampiran III SPT 1770) (Final sebesar 20%)
Yang dimaksud dengan hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam
bentuk apapun yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak, istri dan
anak/anak angkat yang pemberiannya melalui cara undian (PP 42/1994)
2) Hadian dan Penghargaan perlombaan (tarif 15%)
Yang dimaksud dengan hadiah dan penghargaan perlombaan adalah hadiah
atau penghargaan yang diberikan melalui suatu perlombaan atau adu
ketangkasan, misalnya:
a) Lomba olah raga
b) Lomba kecantikan
c) Kuis televisi
3) Penghargaan atau suatu prestasi tertentu, misalnya penghargaan atas
penemuanbenda purbakala, penghargaan dalam menjualkan suatu produk
(Tidak final)
4) Hadiah sehubungan dengan pekerjaan pemberian jasa dan kegiatan lainnya
yang pemberiannya tidak melalui cara undian atau perlombaan (Tidak final).
Brevet A Halaman 60
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

f. Keuntungan dari penjualan/pengalihan harta


Yang dimaksud dengan keuntungan dari penjualan/pengalihan harta adalah
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sendiri,isteri, anak/anak
angkat yang belum dewasa sehubungan dengan penjualan/pengalihan harta,
termasuk:
1) Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal
2) Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan,
kecuali yang dialihkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat, termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau
penguasaan antara pihak –pihak yang bersangkutan.
Pengusaha kecil adalah pengusaha yang nilai aktivanya tidak termasuk tanah
dan bangunan tidak lebih dari Rp 600.000.000 (Kep Men.Keu
No.604/KMK.04/1994
3) Keuntungan karena penjualan harta pribadi, misalnya saham yang tidak
diperdagangkan di bursa efek.
(Pasal 4 ayat (1) huruf d dan pasal 8 UU PPh
g. Lain-lain
Penghasilan dari luar usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sendiri,
isteri, anak/anak angkat yang belum dewasa.
Contoh:
1) Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
2) Keuntungan karena pembebasan hutang
3) Penerimaan piutang yang telah dihapuskan
4) Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing
5) Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak
Brevet A Halaman 61
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

6) Anak sebagai penyanyi


7) Honor main sinetron anak

4. DAFTAR PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PPh OLEH PIHAK LAIN


DAN PPh YANG DITANGGUNG PEMERINTAH.
Bagi Wajib Pajak yang menerima penghasilan tetapi sudah dipotong oleh pihak
lain atau PPh-nya sudah ditanggung pemerintah maka PPh yang sudah dipotong tersebut
dilaporkan dalam lampiran II SPT 1770 Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi. PPh yang
sudah dipotong oleh pihak lain dan ditanggung pemerintah digunakan untuk membuat
permohonan kredit pajak.

5. PENGHASILAN NETTO DAN PAJAK ATAS PENGHASILAN YANG


DIBAYAR / DIPOTONG / TERUTANG DI LUAR NEGERI
Dimungkinkan warga negara Indonesia mempunyai usaha dan penghasilan dari luar
negeri (Investasi, bunga, isteri bekerja di luar negari dsb). Penghasilan dari luar negeri
tersebut dilaporkan dalam bagian ini, yaitu:
a. Melaporkan rincian penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri dan
penghitungan kredit pajak luar negeri dari Wajib Pajak sendiri, isteri, anak/anak
angkat yang belum dewasa dalam tahun pajak yang bersangkutan, kecuali
penghasilan:
1) Isteri yang sudah berpisah
2) Isteri yang mengadakan perjanjian pisah harta dan penghasilan secara tertulis
b. Mengajukan permohonan kredit pajak luar negeri
(Pasal 24 UU PPh jo Kep.Men.Keu.No. 640/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember
1994)
Permohonan kredit pajak luar negeri harus dilampiri:
1) Laporan keuangan dari penghasilan yang berasal dari usaha di luar negeri
2) Fotokopi surat pemberitahuan pajak yang disampaikan di luar negeri

Brevet A Halaman 62
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

3) Fotokopi dokumen pembayaran pajak di luar negeri


Penghasilan yang telah dipotong pajak penghasilan diluarnegeri tersebut dapat
digunakan sebagai kredit pajak dalam negeri yang berarti mengurangi pajak
terutang di dalam negeri melalui mekanisme pengkreditan PPh pasal 24 yaitu
dengan cara memilih antara penghasilan yang telah dipotong di luar negeri dengan
kredit pajak yang dihitung dari penghasilan netto. Yang diperbolehkan dikreditkan
adalah yang paling kecil antara PPh yang telah dipotong di luar negeri dengan
perhitungan dari penghasilan netto luar negeri dibandingkan dengan total
penghasilan tersebut. Jika ada kompensasi kerugian yang masih dapat
dikompensasikan maka perhitungan penghasilan netto setelah kompensasi
kerugian.

6. PENGHASILAN YANG TELAH DIKENAKAN PAJAK YANG


BERSIFAT FINAL, DAN DIKENAKAN PAJAK TERSENDIRI
Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan yang dikenakan pajak bersifat final
dan untuk Wajib Pajak Orang pribadi yang berstatus kawin dan tidak pisah harta maka
penghasilan Istri dan penghasilan anak yang masih dalam tanggungan yang sudah
dipotong pajaknya oleh pemberi kerja wajib dilaporkan pada Lampiran III SPT 1770
Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi untuk penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri.
Penghasilan yang dikenakan pajak final dan dikenakan pajak tersendiri adalah:
a. Dikenakan pajak bersifat final
1) Bunga deposito, tabungan dan simpanan
Bunga/diskonto obligasi yang dijual di bursa efek dan diskonto SBI
2) Nilai Penjualan saham di Bursa Efek
3) Hadiah/penghargaan perlombaan dan hadiah undian

Brevet A Halaman 63
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

4) Pesangon, THT (Tunjangan Hari Tua) dan tebusan pensiun yang


dibayar sekaligus
5) Komisi pemasaran barang dan jasa
6) Honorarium atas beban APBN/APBD
7) Nilai pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan
8) Nilai bangunan yang diterima dalam rangka bangun guna serah
9) Sewa atas tanah dan atau bangunan
10) Jasa pelaksanaan konstruksi
11) Distributor/penyalur/dealer/agen: Produk pertaminan, premix, rokok, tepung
terigu, dan gula pasir
12) Penghasilan lain yang dikenakan pajak bersifat final
b. Dikenakan pajak tersendiri;
1) Penghasilan istri dari satu pemberi kerja
2) Penghasilan anak dari pekerjaan

7. PENGHASILAN TIDAK TERMASUK OBYEK PAJAK


Yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah:
a. Bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para
penerima zakat yang berhak;
b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial
atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
c. Warisan;

Brevet A Halaman 64
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

d. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti
penyertaan modal;
e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau
Pemerintah;
f. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa;
g. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan
Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1) Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2) Bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik
Daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang
memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah
modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan
saham tersebut;
h. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
i. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana
dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan;
j. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi;

Brevet A Halaman 65
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

k. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5


(lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha;
l. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa
bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau
kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1) Merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan
dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan; dan
2) Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

8. KOMPENSASI KERUGIAN
Jika wajib pajak orang pribadi yang menggunakan pembukuan mengalami kerugian
dalam tahun-tahun sebelumnya maka kerugian fiskal nya dapat dikompensasikan selama
5 (lima) tahun sejak dialaminya kerugian (Pasal 6 ayat 2 UU PPh)
Kompensasi kerugian hanya diperbolehkan diisi oleh Wajib Pajak yang
menyelenggarakan pembukuan. Kompensasi yang boleh diisikan adalah jumlah kerugian
fiskal yang telah terjadi untuk tahun pajak 5 (lima) tahun.
Jika pengeluaran-pengeluaran yang diperbolehkan secara fiskal terdapat kerugian-
kerugian fiskal maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan netto
atau laba fiskal selama 5 (lima) tahun berturut-turut di mulai sejak tahun berikutnya
sesudah tahun diperolehnya kerugian tersebut:
Contoh:
PT A dalam tahun 1995 menderita kerugian fiskal sebesar Rp 1.200.000.000,00. Dalam
5 (lima) tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A sebagai berikut :
1996 : laba fiskal Rp 200.000.000,00
1997 : rugi fiskal (Rp 300.000.000,00)
1998 : laba fiskal Rp N I H I L
1999 : laba fiskal Rp 100.000.000,00
Brevet A Halaman 66
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

2000 : laba fiskal Rp 800.000.000,00


Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :
Rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.200.000.000,00)
Laba fiskal tahun 1996 Rp 200.000.000,00 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.000.000.000,00)
Rugi fiskal tahun 1997 Rp 300.000.000,00
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 1998 NIHIL
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 1999 Rp 100.000.000,00 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 900.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2000 Rp 800.000.000,00 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 1995 (Rp 100.000.000,00)
Rugi fiskal tahun 1995 sebesar Rp 100.000.000,00 yang masih tersisa pada akhir tahun
2000 tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2001, sedangkan
rugi fiskal tahun 1997 sebesar Rp 300.000.000,00 hanya boleh dikompensasikan
dengan laba fiskal tahun 2001 dan tahun 2002, karena jangka waktu lima tahun yang
dimulai sejak tahun 1998 berakhir pada akhir tahun 2002.

Brevet A Halaman 67
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK BAB


4

Wajib pajak orang pribadi mendapat pengurangan pajak penghasilan sebesar


Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sesuai dengan keadaan keluarga menurut
ketentuan. Penerapan PTKP dilakukan dengan melihat keadaan pada awal tahun pajak
atau awal bagian tahun pajak. Penghitungan PTKP untuk pegawai lama (tahun
sebelumnya sudah bekerja di Indonesia) dilakukan dengan melihat keadaan pada awal
tahun takwim (1 Januari). Bagi pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia
dalam bagian tahun takwim, besarnya PTKP tersebut berdasarkan keadaan pada awal
bulan dari bagian tahun takwim yang bersangkutan.
Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun berdasarkan Undang-Undang Pajak
penghasilan No 36 tahun 2008 mulai 2009 diberikan paling sedikit sebesar:
1. Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk
diri Wajib Pajak orang pribadi;
2. Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib
Pajak yang kawin;
3. Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah)
tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung denganpenghasilan
suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan
4. Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap
anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta
anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang
untuk setiap keluarga.

Penghasilan Tidak Kena Pajak mulai berlaku tahun pajak 2016 diberikan sebesar:

Brevet A Halaman 68
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

1. Rp 36.000.000 (Tiga puluh enam juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang
pribadi;
2. Rp 3.000.000 (satu juta dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang
kawin;
3. Rp 36.000.000 (Tiga puluh enam juta rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang
penghasilannya digabung dengan penghasilan suami, dalam hal isteri:
a. Bukan karyawati, tetapi mempunyai penghasilan dari usaha / pekerjaan bebas
yang tidak ada hubungannya dengan usaha / pekerjaan bebas suami, anak /
anak angkat yang belum dewasa.
b. Bukan karyawati, tetapi pada pemberi yang bukan sebagai pemotong
pemotong pajak walaupun tidak mempunyai penghasilan dari usaha /
pekerjaan bebas.
c. Bekerja sebagai karyawati pada lebih dari 1 (satu) pemberi kerja.
4. Rp 3.000.000 (Tiga juta rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah
dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang
menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap
keluarga.

Penghasilan Tidak Kena Pajak mulai berlaku tahun pajak 2018 diberikan sebesar:
1. Rp 54.000.000 (Lima puluh empat juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang
pribadi;
2. Rp 4.500.000 (Empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak
yang kawin;
3. Rp 54.000.000 (Lima puluh empat juta rupiah) tambahan untuk seorang isteri
yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami, dalam hal isteri:
a. Bukan karyawati, tetapi mempunyai penghasilan dari usaha / pekerjaan bebas
yang tidak ada hubungannya dengan usaha / pekerjaan bebas suami, anak /
anak angkat yang belum dewasa.
Brevet A Halaman 69
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

b. Bukan karyawati, tetapi pada pemberi yang bukan sebagai pemotong


pemotong pajak walaupun tidak mempunyai penghasilan dari usaha /
pekerjaan bebas.
c. Bekerja sebagai karyawati pada lebih dari 1 (satu) pemberi kerja.
5. Rp 4.500.000 (Empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota
keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak
angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk
setiap keluarga.

PTKP untuk wajib pajak yang melakukan pisah harta adalah sebesar PTKP masing-
masing. Namun status kawin dan tanggungan diikutkan pada suami sebagai kepala
keluarga.

Brevet A Halaman 70
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

TARIF DAN KREDIT PAJAK BAB


5

1. TARIF PAJAK
Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi orang pribadi
berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan no 36 tahun 2008 sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
sampai dengan Rp 50.000.000,00 5%
(dua puluh lima juta rupiah) (lima persen)
di atas Rp 50.000.000,00 15%
(lima puluh juta rupiah) (lima belas persen)
s.d. Rp 200.000.000,00
(seratus juta rupiah)
di atas Rp 200.000.000,00 25%
(seratus juta rupiah) (dua puluh lima persen)
s.d. Rp 500.000.000,00
(dua ratus juta rupiah)
di atas Rp 500.000.000,00 35%
(dua ratus juta rupiah) (tiga puluh lima persen)

2. KREDIT PAJAK
Wajib pajak yang memperoleh penghasilan dan dipotong PPh oleh pihak lain (PPh
pasal 21, 22, 23, 24) atau PPh yang ditanggung pemerintah dapat dikurangkan dari PPh
terutang:
a. Untuk PPh pasal 21 PPh yang dapat dikreditkan dari PPh terutang adalah yang
berasal dari Form 1721-A1 atau bukti potong PPh pasal 21.
b. Untuk PPh Pasal 22 berasal dari bukti potong pemungut PPh Pasal 22 (Bukti
potong dapat berupa SSP atau dokumen lain)
c. Untuk PPh Pasal 23 berasal dari bukti potong PPh Pasal 23

Brevet A Halaman 71
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

d. Untuk PPh Pasal 24 berasal dari perhitungan PPh pasal 24

3. PPh YANG SUDAH DIBAYAR SENDIRI


Dalam tahun berjalan biasanya wajib pajak diwajibkan untuk membayar angsuran
PPh Pasal 25. Namun secara insidentil juga biasanya mereka membayar fiskal luar negeri
jika mereka melakukan perjalanan ke luar negeri. Pembayaran tersebut dapat mengurangi
PPh terutang. PPh yang dibayar sendiri meliputi:
a. PPh Pasal 25
Merupakan pembayaran bulanan berdasarkan SPT tahun sebelumnya
b. Pembayaran surat tagihan pajak
Jika angsuran PPh Pasal 25 tidak dibaya, kemudian terbit STP dan dibayar maka
pembayaran tersebut dapat dikreditkan namun hanya sebesar pokok pajaknya
saja.
c. Fiskal luar negeri (PP 17/98 jo PP 42/2000)
Fiskal luar negeri dikenakan bagi WP yang bertolak ke luar negeri dengan
ketentuan:
Udara : Rp 1.000.000 per penerbangan
Laut : Rp 500.000 per perjalanan

4. PENGISIAN SPT TAHUNAN


NO KODE NAMA FORMULIR KETERANGAN
FORMU
LIR
1 1770 SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Induk SPT
Pribadi
2 1770-I Perhitungan penghasilan Netto dalam Lampiran I
Negeri

Brevet A Halaman 72
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

3 1770-II Daftar pemotongan / pemungutan Lampiran II


PPh oleh pihak lain, PPh yang
ditanggung pemerintah,penghasilan
netto dan pajak atas penghasilan yang
dibayar/dipotong/terutang di Luar
negeri
4 1770-III Penghasilan yang telah dikenakan Lampiran III
pajak bersifat final, dikenakan pajak
tersendiri dan penghasilan yang tidak
termasukobyek pajak

5. LAMPIRAN YANG HARUS DISERTAKAN DALAM SPT PPH ORANG


PRIBADI
Lampiran yang harus disertakan dalam SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi
adalah:
a. Seluruh lampiran SPT Tahunan yang ada yang telah dibakukan (1770,1770-I,
1770-II, 1770-III)
b. Neraca dan rugi laba (jika menggunakan pembukuan)
c. Daftar aktiva yang dimiliki dan digunakan untuk usaha (jika menggunakan
pembukuan)
d. Rekapitulasi bulanan peredaran bruto (jika menggunakan norma perhitungan
penghasilan netto)
e. Surat Setoran Pajak (SSP) lembar ke-3 (jika SPT wajib pajak kurang Kurang
Bayar)
f. Daftar susunan keluarga yang menjadi tanggungan wajib pajak (nama, tanggal
lahir, hubungan keluarga dan pekerjaan)

Brevet A Halaman 73
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

g. Foto copy 1721-A1 dari pemberi kerja (jika karyawan swasta termasuk BUMN
dan BUMD)
h. Foto copy 1721-A2 dari pemberi kerja (jika PNS, ABRI atau pejabat negara)
i. Surat kuasa (jika ditanda tangani selain wajib pajak)
j. Lembar perhitungan pajak penghasilan (jika wajib pajak yang kawin dengan
perjanjian pemisahan harta dan penghasilan)
k. Lembar perhitungan PPh pasal 25 (jika ada kompensasi kerugian atau penghasilan
tidak teratur atau lebih bayar)
l. Daftar harta dan daftar hutang wajib pajak

6. LAIN-LAIN
a. Wajib pajak yang belummempunyai npwp harus mendaftarkan diri terlebih dahulu
di kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal wajib
pajak
b. SPT Tahunan dapat diambil sendiri oleh Wajib Pajak di tempat wajib pajak
terdaftar
c. Wajib pajak dapat menggunakanmata uang rupiah dan dalam bahasa Indonesia.
Jika menggunakan bahasa Inggris harus mengajukan permohonan. Untuk wajib
pajak asing dapat menggunakan bahasa inggris dan mata uang $ USA
d. Angka-angka dalam SPT Tahunan berikut lampiran disajikan dalam rupiah penuh

Brevet A Halaman 74
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI


(PPN) DAN PAJAK PERTAMBAHAN
NILAI BARANG MEWAH (PPnBM)

Brevet A Halaman 75
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

KARAKTERISTIK DAN PENGERTIAN BAB


1
DASAR DAN MEKANISME PPN

1. LATAR BELAKANG PENGGANTIAN PPN DENGAN PPN


Pajak Penjualan yang pemungutannya berdasarkan Undang Undang nomor 35 tahun
1953, sejak tanggal 1 April 1985 telah diganti oleh Pajak Pertambahan Nilai yang
pemungutannya didasarkan pada Undang Undang nomor 8 tahun 1983.
Latar belakang penggantian tersebut adalah karena ppn mempunyai kelemahan
sebagai berikut :
a. Tidak netral terhadap pola konsumsi dalam negeri
b. Tidak netral dalam perdagangan dalam negeri
c. Tidak mendukung persaingan dalam dunia perdagangan internasional

2. KARAKTERISTIK PPN
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mempunyai karekteristik sebagai berikut:
a. PPN merupakan pajak tidak langsung
Ditinjau dari sudut pandang ekonomi, beban pajak dialihkan kepada pihak lain,
yaitu pihak yang mengkonsumsi barang atau jasa yang menjadi objek pajak.
Sedangkan ditinjau dari sudut pandang yuridis, tanggung jawab pembayaran pajak
kepada kas negara tidak berada ditangan pihak yang memikul beban pajak.
b. Pajak Objektif.
Sebagai pajak objektif, timbulnya kewajiban untuk membayar PPN ditentukan
oleh adanya objek pajak. Kondisi subjektif subjek pajak tidak ikut menentukan.
PPN tidak membedakan antara konsumen berupa orang atau badan, antara

Brevet A Halaman 76
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

konsumen yang berpenghasilan tinggi dengan yang rendah. Jika mereka


menggunakan barang atau jasa dari jenis yang sama diperlakukan sama.
c. Multi Stage Tax.
PPN yang dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur
distribusi. Setiap penyerahan barang yang menjadi objek PPN mulai dari tingkat
pabrik(manufaktur) kemudian ditingkat pedagang besar (wholeseller) dalam
berbagai bentuk atau nama sampai dengan tingkat pedagang pengecer (retailer)
dikenakan PPN.
Contoh :

Pabrik Benang Garmen Pabrik Tekstil Tekstil

Pabrik Garmen Benang Pedagang Besar Garmen Garmen

Pedagang Eceran Garmen Konsumen

d. Mekanisme Pemungutan PPN Mengunakan Faktur Pajak.


Setiap penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, Pengusaha Kena
Pajak yang bersangkutan diwajibkan untuk membuat Faktur Pajak sebagai bukti
pemungutan pajak. Bagi pembeli, importir, atau penerima jasa merupakan bukti
pembayaran pajak. Berdasarkan faktur pajak inilah akan dihitung jumlah pajak
terutang dalam satu masa pajak, yang wajib dibayar ke kas negara.
e. PPN adalah Pajak atas Konsumsi Umum Dalam Negeri.
Sebagai Pajak atas konsumsi umum dalam negeri, PPN hanya dikenakan atas
konsumsi Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan didalam
negeri.
f. Pajak Pertambahan Nilai Bersifat Netral
Dalam mekanisme pemungutannya, PPN mengenal dua prinsip, yaitu :
Brevet A Halaman 77
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

1) Prinsip tempat asal, mengandung pengertian bahwa PPN dipungut di tempat


asal barang atau jasa yang akan dikonsumsi
2) Prinsip tempat tujuan, berarti bahwa PPN dipungut di tempat barang atau jasa
dikonsumsi.
Dalam prinsip ini, komoditi impor akan menanggung beban pajak yang sama
dengan barang produksi dalam negeri. Sebaliknya barang produksi dalam negeri
yang akan diekspor tidak dikenakan PPN, karena akan dikenakan PPN di negara
tempat komoditi ekspor tersebut akan dikonsumsi. Supaya daya saing komoditi
ekspor Indonesia dengan produk domestik negara pengimpor tidak dipengaruhi
oleh PPN Indonesia masih diperlukan sarana lain berupa pengenaan PPN atas
komoditi ekspor dengan tarif 0 %
g. Tidak menimbulkan dampak pengenaan Pajak Berganda
Pajak berganda dapat dihindari karena PPN dipungut atas dasar nilai tambah saja.
Keadaan ini berbeda dengan situasi dalam era ppn 1951 yang dalam
pelaksanaannya, Pengusaha tidak diberi hak untuk memperoleh kembali ppn yang
dibayar atas perolehan bahan baku atau barang modal, sehingga ppn yang terutang
sepenuhnya merupakan hasil perkalian tarif ppn dengan peredaran bruto.

3. PENGERTIAN DASAR ISTILAH TEKNIS PPN


Beberapa istolah yang digunakan dalam teknis pelaksanaan pajak pertambahan Nilai
(PPN) berdasarkan Undang-Undang PPN No. 42 tahun 2009 adalah sebagai berikut:
a. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat,
perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona
Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-
Undang yang mengatur mengenai kepabeanan.
b. Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa
barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.

Brevet A Halaman 78
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

c. Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-
Undang ini.
d. Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena
Pajak.
e. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau
perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau
tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang
karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
f. Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
g. Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak.
h. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
i. Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke
dalam Daerah Pabean.
j. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean adalah
setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean.
k. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud adalah setiap kegiatan mengeluarkan Barang
Kena Pajak Berwujud dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean.
l. Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual, termasuk kegiatan
tukar-menukar barang, tanpa mengubah bentuk dan/atau sifatnya.
m. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik
yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik
negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun,
firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan
bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Brevet A Halaman 79
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

n. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam
kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,
mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak
berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor
jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
o. Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan
Undang-Undang ini.
p. Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk
dan/atau sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau
mempunyai daya guna baru atau kegiatan mengolah sumber daya alam, termasuk
menyuruh orang pribadi atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.
q. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai
Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang
terutang.
r. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini
dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
s. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor
Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini
dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang
yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa
Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean
di dalam Daerah Pabean.
Brevet A Halaman 80
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

t. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk
ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundangundangan
yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak,
tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
yang dipungut menurut Undang-Undang ini.
u. Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya
menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya
membayar harga Barang Kena Pajak tersebut.
v. Penerima Jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya
menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya
membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut.
w. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak
yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
x. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar
oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau
perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari
luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.
y. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut
oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak,
penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.
z. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.
aa. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendahara pemerintah, badan, atau
instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut,
menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas

Brevet A Halaman 81
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada
bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah tersebut.
bb. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah setiap kegiatan pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean di luar Daerah
Pabean.
cc. Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke
luar Daerah Pabean.

4. METODA PENGHITUNGAN PPN


Ada tiga metoda dalam penghitungan PPN, yaitu :
a. Addition Method, berdasarkan metode ini PPN dihitung dari penjumlahan seluruh
unsur nilai tambah dikalikan tarif PPN yang berlaku.
b. Subtraction Method, berdasarkan metode ini PPN dihitung dari selisih antara
harga jual dengan harga beli dikalikan dengan tarif pajak yang berlaku.
c. Credit Method, berdasarkan metode ini PPN dihitung dari selisih antara pajak
yang dibayar pada saat pembelian dengan pajak yang dipungut pada saat
penjualan.
Dari tiga metoda tersebut, undang-undang PPN menganut Credit Method dengan
metoda ini walaupun pengenaan PPN dapat dihindari kemungkinan timbulnya pengenaan
pajak berganda. Dalam Credit Method dikenal adanya istilah Pajak Masukan yaitu pajak
yang dibayar pada saat pembelian barang kena pajak atau jasa kena pajak dan Pajak
Keluaran yatiu pajak yang dipungut pada saat penyerahan barang kena pajak atau jasa
kena pajak. Setiap pemungutan PPN, pengusaha kena pajak yang bersangkutan wajib
membuat faktur pajak.

Brevet A Halaman 82
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

OBYEK , SUBYEK DAN TARIF PPN BAB


2

1. OBYEK PPN
Pajak PPN berdasar UU no 42 tahun 2009 dikenakan atas :
a. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha;
b. Impor Barang Kena Pajak;
c. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha;
d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean;
e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
f. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh
g. Pengusaha Kena Pajak;
h. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

Pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:


a. Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karenasuatu perjanjian;
b. Pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau
perjanjian sewa guna usaha (leasing);
c. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru
lelang;
d. Pemakaian sendiri dan/atau pemberian cumacuma atas Barang Kena Pajak;

Brevet A Halaman 83
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

e. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan
semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran
perusahaan;
f. Penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau
penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;
g. Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; dan
h. Penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka
perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang
penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak
yang membutuhkan Barang Kena Pajak.

Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam
Kitab Undang- Undang Hukum Dagang;
b. Penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;
c. Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f
dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak
terutang;
d. Pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang
melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena
Pajak; dan
e. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan
yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.

Brevet A Halaman 84
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

Pada dasarnya, sejak 1 Januari 1995 semua barang dikenakan PPN, kecuali undang-
undang menetapkan sebaliknya sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 1
huruf c Undang-undang PPN tahun 1984.
Barang yang tidak dikenakan PPN (Pasal 4A UU PPN NO 42 Tahun 2009) adalah:
a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya; meliputi:
1) Minyak mentah (crude oil);
2) Gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi
langsung oleh masyarakat;
3) Panas bumi;
4) Asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu
permata, bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit,
granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat,
opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk,
tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras,
yarosif, zeolit, basal, dan trakkit;
5) Batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan
6) Bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak,
serta bijih bauksit.
b. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak. Barang
kebutuhan pokok yang sangan dibutuhkan oleh rakyat banyak meliputi:
1) Beras;
2) Gabah;
3) Jagung;
4) Sagu;
5) Kedelai;
6) Garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;

Brevet A Halaman 85
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

7) Daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses
disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak
dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain,
dan/atau direbus;
8) Telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan,
diasinkan, atau dikemas;
9) Susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun
dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya,
dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
10) Buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah
melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading,
dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
11) Sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan,
dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang
dicacah.
c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan,
warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang
dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang
diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan
d. Uang, emas batangan, dan surat berharga.

JASA KENA PAJAK


Seperti halnya barang, pada hakikatnya semua jasa dikenakan PPN, kecuali UU PPN
1984 menentukan sebaliknya.
Dalam upaya memberikan gambaran kepada masyarakat (Wajib Pajak) telah
dikeluarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-05/PJ./1994 tentang 28
jenis jasa yang dikenakan PPN sebagai berikut :

Brevet A Halaman 86
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

a. Jasa pencarian sumber-sumber minyak dan gas bumi dan jasa pengeboran di
bidang minyak dan gas bumi, termasuk kegiatan pengeboran sumur minyak
dan gas bumi, kegiatan pemasangan pipa, casing, tubin, cementing dan
sejenisnya
b. Jasa pengeboran, penggalian dan jasa penunjang di bidang pertambangan
umum
c. Jasa perbaikan dan perawatan meliputi perbaikan dan perawatan mesin tenaga,
mesin industri, alat-alat berat, mesin listrik, alat-alat elektronik, kapal,
pesawat terbang, kendaraan bermotor, jasa salvage, jasa pengerukan dan
sejenisnya
d. Jasa persewaan barang tidak bergerak: meliputi persewaan pabrik,
gedung/bangunan untuk perkantoran, untuk tempat usaha/pertokoan, untuk
tempat tinggal (flat, rumah tinggal) kecuali hotel, losmen, motel dan rumah
penginapan lainnya, dan sejenisnya.
e. Jasa persewaan barang bergerak: meliputi persewaan mesin dan peralatan
(termasuk mesin dan peralatan untuk pertanian , pertambangan, industri
pengolahan, konstruksi telekomunikasi perkantoran dan penjualan), persewaan
pesawat udara, persewaan alat angkutan darat, dan persewaan barang bergerak
lainnya.
f. Jasa persewaan kapal (bare boat dan time charter)
g. Jasa hukum : termasuk jasa pengacar, jasa notaris dan PPAT, jasa LBH, jasa
konsulen pajak dan jasa hukum lainnya.
h. Jasa akuntansi dan pembukuan: termasuk jasa pengurusan pembukuan,
pemeriksaan pembukuan, jasa pengolahan data dan tabulasi yang merupakan
bagian dari jasa akuntansi dan pembukuan.
i. Jasa pengolahan data tabulasi, baik dengan komputer maupun secara manual
dan jasa di bidang komputer.

Brevet A Halaman 87
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

j. Jasa perusahaan dan jasa perdagangan: meliputi jasa makelar (broker), jasa
keagenan, jasa pengurusan perusahaan (manajemen), jasa penaksiran nilai
(valuer, appraisal dan surveyor), jasa perencanaan, jasa konsultan manajemen,
jasa penerjemahan, jasa stenografi, jasa pelaporan persidangan, dan
sejenisnya.
k. Jasa periklanan dan riset pemasaran : termasuk jasa periklanan dengan media
cetak radio, televisi dan bioskop, pembuatan dan pemasangan poster/gambar
dan tulisan untuk iklan seperti pamflet, brosur dan macam-macam reklame
lainnya.
l. Jasa bangunan, arsitek dan teknik : termasuk jasa konsultasi bangunan, jasa
arsitek/perancang bangunan, jasa perancang interior, jasa perancang
pertamanan, jasa bangunan dan teknik dalam hubungan dengan industri
pengolaha, konstruksi atau kegiatan lain, jasa survey geologi, penyelidikan
tamban/ pencarian bijih tambang , jasa pemetaan dan foto udara, dan jasa
penyelidikan lainnya.
m. Jasa pematangan tanah (land clearing) : termasuk jasa pembongkaran
bangunan, jasa pengerukan, kecuali jasa pematangan tanah untuk transmigrasi
dan reboisasi.
n. Jasa pembersihan : kecuali jasa pembersihan kota yang dilakukan oleh dan
atas nama Dinas Kebersihan Kota.
o. Jasa pembasmian hama, kecuali jasa pembasmian hama dalam lingkungan
pertanian, peternakan serta pembasmian hama untuk kepentingan umum.
p. Jasa pelabuhan laut dan pelabuhan udara.
q. Jasa ekspedisi muatan darat, laut dan udara.
r. Jasa pergudanagan : termasuk cold storage, dan jasa pergudangan lainnya.
s. Jasa biro perjalanan.

Brevet A Halaman 88
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

t. Jasa perawatan jasmani : termasuk jasa pusat kebugaran jasmani (fitness


centre), jasa pemeliharaan rambur dan kecantikan (salon kecantikan), panti
pijat kecualipanti pijat tradisonal yang dibawah pembinaan Pemerintah.
u. Jasa pelimpahan barang tidak berwujud berupa hak dengan nama dan dalam
bentuk apapun, seperti royalty, paten, merek dagang dan sejenisnya.
v. Jasa penebangan hutan : meliputi pemotongan, jasa penyeradan, jasa
pengulitan dan jasa sejenisnya.
w. Jasa pengamanan, meliputi jasa pengamanan pabrik, jasa pengamanan kantor,
jasa pengamanan pengiriman barang, jasa pengaman orang dan jasa
sejenisnya.
x. Jasa pemindahan barang, yaitu jasa pemindahan barang dari satu tempat ke
tempat lain termasuk jasa penderekan mobil, jasa pindah rumah, dan jasa
sejeninsnya.
y. Jasa pengurusan dan konsultasi pesta, termasuk jasa pengurusan dan
konsultasi pesta perkawinan dengan segala tata caradan tata upacara adat, jasa
pengurusan dan konsultasi pesta ulang tahun, jasa pengurusan dan konsultasi
upacara tradisional dan jasa sejenisnya.
z. Jasa pelabuhan sungai.
aa. Jasa ekspedisi muatan sungai
bb. Jasa pembawa acara (master of ceremonies), yaitu jasa pembawa acara
hiburan, jasa pembawa acara perlombaan/ pertandingan dan jasa sejenisnya,
kecuali untuk program penyiaran radio dan televisi.

Jasa yang tidak dikenakan PPN


Jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan nilai menurut Pasal 4A UU PPN No 42
tahun 2009 meliputi:
a. Jasa dibidang pelayanan kesehatan medik, meliputi : jasa dokter umum, dokter
spesialis , dokter gigi, jasa ahli kesehatan seperti ahli akupunktur, ahli gigi,
Brevet A Halaman 89
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

ahli gizi, dan ahli fisioterapi; jasa kebidanan dan dukun bayi; jasa paramedis
dan perawat; jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium
kesehatan, dan sanatorium; jasa psikolog dan psikiater; dan jasa pengobatan
alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal.
b. Jasa di bidang pelayanan sosial, meliputi : Jasa pelayanan panti asuhan dan
panti jompo, jasa pemadam kebakaran, kecuali yang komersial, jasa
pemberian pertolongan pada kecelakaan, jasa lembaga rehabilitasi, jasa
penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman termasuk krematorium, dan jasa
di bidang olahraga, kecuali yang komersial.
c. Jasa di bidang pengiriman suratdengan perangko, meliputi : jasa pengiriman
surat, dengan menggunakan perangko temple dan menggunakan cara lain
pengganti perangko temple.
d. Jasa di bidang keuangan, meliputi:
1) Jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka,
sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan
dengan itu;
2) Jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada
pihak lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun
dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya;
3) Jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah,
berupa:
a) Sewa guna usaha dengan hak opsi;
b) Anjak piutang;
c) Usaha kartu kredit; dan/atau
d) Pembiayaan konsumen
4) Jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah
dan fidusia; dan
5) Jasa penjaminan.
Brevet A Halaman 90
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

e. Jasa asuransi, yang dimaksud dengan “jasa asuransi” adalah jasa


pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan reasuransi,
yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis asuransi,
tidak termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen asuransi, penilai kerugian
asuransi, dan konsultan asuransi.
f. Jasa di bidang keagamaan, meliputi jasa pelayanan rumah-rumah ibadah, jasa
pemberian khotbah atau dakwah dan jasa penyelenggaraan kegiatan
keagamaan, dan jasa lainnya di bidang keagamaan.
g. Jasa di bidang pendidikan, meliputi: jasa meliputi:
1) Jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan
luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan
akademik, dan pendidikan profesional;dan
2) Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.
h. Jasa di bidang kesenian dan hiburan meliputi semua jenis jasa yang dilakukan
oleh pekerja seni dan hibunran
i. Jasa di bidang penyiaran yang tidak bersifat iklan meliputi jasa penyiaran
radio dan televisi baik yang dilakukan oleh instansi Pemerintah maupun
swasta yang bukan bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang
bertujuan komersil.
j. Jasa di bidang angkutan umum, meliputi jasa angkutan umum di darat, di laut,
di danau, maupun disungai yang dilakukan pemerintah maupun oleh swasta
dan jasa nagkutan udara di luar negeri termasuk didalamnya jasa angkutan
dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan
udara luar negeri tersebut.
k. Jasa di bidang tenaga kerja, meliputi jasa tenaga kerja, jasa penyediaan tenaga
kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas
hasil kerja dari tenaga kerja tersebut, dan jasa penyelenggaraan latihan bagi
tenaga kerja.
Brevet A Halaman 91
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

l. Jasa di bidang perhotelan, meliputi jasa persewaan kamar termasuk


tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel serta fasilitas
yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap dan jasa
persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah
penginapan, motel, losmen dan hostel.
m. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintah
secara umum. Eliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi
pemerintah, antara lain pemberian Izin Mendirikan Bangunan, pemberian lzin
Usaha Perdagangan, pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, dan pembuatan
Kartu Tanda Penduduk.
n. Jasa penyediaan tempat parkir. Yang dimaksud dengan jasa penyediaan tempat
parkir adalah jasa penyediaan tempat parkir yang dilakukan oleh pemilik
tempat parkir dan/atau pengusaha kepada pengguna tempat parkir dengan
dipungut bayaran.
o. Jasa telepon umum. Yang dimaksud dengan jasa telepon umum dengan
menggunakan uang logam adalah jasa telepon umum dengan menggunakan
uang logam atau koin, yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta.
p. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos dan
q. Jasa boga ataukatering

Daerah Pabean
Daerah pabean adalah wilayah RI yang didalamnya berlaku peraturan perundang-
undangan Pabean yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara diatasnya
serta tempat-tempat tertentu di Zona Economi Eksklusif dan Landas Kontinen.
Dengan demikian, maka seluruh wilayah Republik Indonesia adalah Daeah Pabean.

Brevet A Halaman 92
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

Lingkungan Perusahaan atau Pekerjaan


Yang dimaksud dengan Penyerahan dilakukan dalam lungkungan perusahaan atau
pekerjaannya sebagai Pengusaha Kena Pajak adalah dalam rangka kegiatannya
sehari-hari sebagai Pengusaha Kena Pajak. Apabila perusahaan real estate
menyerahkan hadiah sebuah mobil kepada pembeli sebagai hadiah yang diundi,
maka atas penyerahan mobil tidak dikenakan pajak, karena dilakukan tidak dalam
lingkungan perusahaan atau pekerjaan sebuah real estate, tetapi apabila penyerahan
mobil tersebut dikaitkan dengan penyerahan rumah , misalnya setiap pembeli rumah
ukuran tertentu diberi hadiah sebuah mobil, maka harga jual mobil merupakan
bagian dari harga jual rumah, karena merupakan satu paket penyerahan rumah dan
mobil.

Pemanfaatan BKP tidak Berwujud atau JKP dari Luar Daerah Pabean
didalam Daerah Pabean
Titik tolak yang mendasari pengenaan pajak atas pemanfaatan BKP tidak berwujud
dan JKP dari luar daerah pabean didalam daerah pabean adalah prinsip destinasi.
Berdasarkan prinsip ini, pajak dikenakan di tempat tujuan BKP atau JKP
dimanfaatkan. BKP tidak berwujud dapat berupa hak paten, hak cipta dan merk
dagang. Saat mulai pemanfaatan ditentukan oleh peristiwa hukum yang lebih dahulu
dilakukan , yaitu :
a. Saat secara nyata BKP tidak berwujud atau JKP tersebut digunakan
b. Saat harga perolehannya dinyatakan sebagai utang
c. Saat harga jual atau penggantian ditagih oleh pihak yang menyerahkan
d. Saat harga perolehan dibayar sebagian atau seluruhnya
e. Saat ditandatangani surat perjanjian

Brevet A Halaman 93
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

Membangun Sendiri yang Dilakukan tidak Dalam Lingkungan Perusahaan


atau Pekerjaan
Suatu kegiatan membangun sendiri dikenakan PPN apabila memenuhi persyaratan:
a. Dilakukan tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan
b. Yang dibangun adalah bangunan untuk tempat tinggal tidak termasuk fasilitas
penunjang, tetapi kalau untuk tempat usaha termasuk semua fasilitas penunjang
c. Luas bangunan 400 m2 atau lebih
d. Bangunan bersifat permanen, artinya bangunan tahan sampai dengan 25 tahun
atau lebih
e. Khusus untuk bangunan diatas tanah dalam lingkungan real estate hanya yang
tanahnya diperoleh sebelum 1 Januari 1995

Penyerahan Aktiva yang Dilakukan oleh PKP yang menurut Tujuan Semula
tidak untuk Diperjualbelikan
Dalam memori penjelasan pasal 16D UU PPN 1984 menegaskan, bahwa penyerahan
mesin, peralatan, parabotan atau aktiva lain yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan oleh PKP dikenakan PPN sepanjang PPN yang dibayar saat
perolehannya dapat dikreditkan. Dalam ketentuan tersebut ada dua persyaratan yang
harus dipenuhi, yaitu :
a. Yang melakukan penyerahan atau pemindahtanganan adalah PKP
b. PPN pada saat perolehan aktiva menurut ketentuan dapat dikreditkan
Kedua syarat tersebut harus dipenuhi, jika salah satunya tidak dipenuhi, maka tidak
dikenakan PPN.

2. SUBYEK PAJAK
a. Pengusaha
Dalam Pasal 1 huruf k UU PPN 1984 dirumuskan, bahwa Pengusaha adalah orang
pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam lingkungan perusahaan atau
Brevet A Halaman 94
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang,


melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar
daerah pabean, melakukan usaha jasa atau memanfaatkan jasa dari luar daerah
pabean.
b. Pengusaha Kena Pajak
Dalam Pasal 1 huruf l UU PPN 1984 ditentukan bahwa Pengusaha Kena Pajak
adalah:
1) Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak, berarti
telah memiliki Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
2) Pengusaha yang menyerahkan BKP dan/atau JKP
3) Pengusaha yang mengekspor BKP yang telah dikukuhkan sebagai PKP
4) Pengusaha Kecil yang mengajukan permohonan untuk dikukuhkan menjadi
PKP
c. Pengusaha Kecil
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 648/KMK.04/1994 tanggal 29
Desember 1994 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-
05/PJ.05/1995 tanggal 15 Februari 1995 ditetapkan bahwa Pengusaha Kecil adalah
Pengusaha yang dalam satu tahun buku melakukan penyerahan :
1) BKP dengan jumlah peredaran bruto tidak lebih dari Rp 240 juta
2) JKP dengan jumlah peredaran bruto tidak lebih dari Rp 120 juta

Apabila Pengusaha disamping melakukan penyerahan BKP juga melakukan


penyerahan JKP, maka kriteria Pengusaha Kecil adalah :
1) Sepanjang seluruh jumlah penyerahan tidak lebih dari Rp 240 juta dalam hal
lebih dari 50 % dari seluruh jumlah peredaran bruto berasal dari penyerahan
BKP

Brevet A Halaman 95
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

2) Sepanjang seluruh jumlah penyerahan tidak lebih dari Rp 120 juta dalam hal
lebih dari 50 % dari seluruh jumlah peredaran bruto berasal dari penyerahan
JKP
3) Sepanjang seluruh jumlah penyerahan tidak lebih dari Rp 120 juta dalam hal 50
% dari peredaran bruto berasal dari penyerahan BKP atau JKP

Menurut Peraturan Menteri Keuangan No. 197/PMK.03/2013, pengusaha kecil


adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak (BKP/JKP) dengan jumlah peredaran bruto/penerimaan bruto tidak lebih dari
Rp 4.800.000.000.
d. Hubungan Istimewa
Berdasarkan Pasal 2 UU PPN 1984, Hubungan Istimewa dapat terjadi, karena
1) Penyertaan
a) Pengusaha yang mempunyai penyertaan langsung atau tidak langsung sebesar
25 % atau lebih d\pada pengusaha lain
b) Hubungan antar pengusaha dengan penyertaan 25 % atau lebih pada dua
pengusaha atau lebih
c) Hubungan antara dua pengusaha atau lebih yang modalnya sebesar 25 % atau
lebih dipegang oleh satu pengusaha
2) Penguasaan Manajemen
Pengusaha yang satu menguasai pengusaha lainnya atau dua atau lebih
pengusaha berada dibawah penguasaan pengusaha yang sama baik langsung
maupun tidak langsung
3) Hubungan Kekeluargaan
a) Hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan
lurus satu derajat dan/ atau kesamping satu derajat
b) Sedarah lurus satu derajat : ayah, ibu dan anak
c) Sedarah kesamping satu derajat : kakak dan adik
Brevet A Halaman 96
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

d) Semenda lurus satu derajat : mertua dan anak tiri


e) Semenda kesamping satu derajat : ipar
f) Hubungan antara suami isteri jika ada perjanjian pemisahan harta dan
penghasilan
e. Kewajiban Pengusaha Kena Pajak
Berdasarkan pasal 3A ayat 1 UU PPN 1984 Pengusaha Kena Pajak wajib :
1) Memiliki Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
2) Memungut PPN dan PPnBM yang terutang
3) Menyetor PPN yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar
daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan PPnBM
yang terutang
4) Melaporkan penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang

3. TARIF PPN
a. Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
b. Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
1) Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
2) Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
3) Ekspor Jasa Kena Pajak.
c. Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling
rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang
perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari
pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
a. Kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu Di dalam daerah pabean;
b. Penyerahan barang kena pajak tertentu atau Penyerahan jasa kena pajak tertentu;
c. Impor barang kena pajak tertentu;
Brevet A Halaman 97
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

d. Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud Tertentu dari luar daerah pabean
di dalam daerah Pabean; dan
e. Pemanfaatan jasa kena pajak tertentu dari luar Daerah pabean di dalam daerah
pabean

Brevet A Halaman 98
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

KARAKTERISTI, LATAR BELAKANG BAB


3
DAN MEKANISME PENGENAAN
PPnBM

1. KARAKTERISTIK PPnBM
a. PPnBM merupakan pungutan tambahan disamping PPN
b. PPnBM hanya dipungut satu kali yaitu pada saat impor BKP yang tergolong
mewah, atau atas penyerahan BKP yang tergolong mewah yang dilakukan oleh
PKP Pabrikan dari BKP yang tergolong mewah tersebut
c. PPnBM tidak dapat dikreditkan dengan PPN
d. Apabila Eksportir mengekspor BKP yang tergolong mewah, PPnBM yang dibayar
pada saat perolehannya dapat diminta kembali

2. LATAR BELAKANG PENGENAAN PPNBM


a. PPN berdampak regresif, yaitu semakin tinggi kemampuan konsumen, semakin
ringan beban pajak yang dipikul. Untuk mengurangi regresivitas ini, terhadap
konsumen yang mengkonsumsi BKP yang tergolong mewah dikenakan beban
pajak tambahan yaitu PPnBM.
b. Konsumsi BKP yang tergolong mewah bersifat kontraproduktif. Hal ini
merupakan upaya untuk mengurangi pola konsumsi tinggi yang tidak produktif
dalam masyarakat.
c. Produsen kecil dan tradisional menghadapi saingan berat dari komoditi impor.
Dengan motivasi ini, pengenaan PPnBM dimaksudkan untuk melindungi
produsen kecil dan tradisional atau untuk tujuan proteksi
d. Tuntutan peningkatan penerimaan negara dari tahun ke tahun

Brevet A Halaman 99
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

3. MEKANISME PENGENAAN PPNBM ATAS KENDARAAN BERMOTOR


(KMK-272/KMK.04/1995)
a. Impor kendaraan bermotor dalam keadaan terbongkar (CKD) oleh ATPM atau
Pabrikan tidak dikenakan PPnBM
b. Penyerahan didalam daerah pabean kendaraan bermotor dalam keadaan CKD
tersebut oleh ATPM dikenakan PPnBM dengan DPP 125% (biaya karoseri
ditetapkan 25%)
c. Impor kendaraan jenis sedan dalam keadaan terpasang/CBU oleh bukan ATPM
dikenakan PPnBM. Dalam nilai CIF < 80% nilai CIF kendaraan sejenis yang
diimpor ATPM, maka dppnya untuk menghitung PPN dan PPnBM sebesar 150%
d. Impor kendaraan bermotor jenis sedan dalam keadaan terpasang oleh ATPM tidak
dikenakan PPnBM. Penyerahan didaerah pabean kendaraan jenis impor dikenakan
PPnBM.

Pengelompokan BKP Yang Tergolong Mewah Jenis Kendaraan Bermotor (PP


50/1994 Jo PP 36/1996 Jo PP 14/1998)
a. Kelompok kendaraan bermotor dengan tarif 20% :
1) Kendaraan bermotor beroda dua yang isi silindernya 250 cc atau kurang
2) Kendaraan bermotor jenis kombi, minibus, van dan pick up yang memakai
bahan bakar bensin
b. Kelompok kendaraan bermotor dengan tarif 25% :
Kendaraan bermotor jenis kombi, minibus, van dan pick up yang memakai bahan
bakar solar
c. Kelompok kendaraan bermotor dengan tarif 35% :
1) Kendaraan bermotor beroda dua yang isi silindernya lebih dari 250 cc
2) Kendaraan bermotor jenis bus, kecuali yang dibuat di dalam negeri
3) Kendaraan bermotor jenis sedan dan station wagon lebih dari 1600 cc atau
kurang yang kandungan lokalnya 60% atau kurang
Brevet A Halaman 100
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

4) Kendaraan bermotor jenis jeep ya g kandungan lokalnya 60% atau kurang


5) Kendaraan bermotor jenis mobil balap dan caravan

PPnBM yang terutang Ditanggung oleh Pemerintah atas penyerahan di dalam


daerah pabean :
a. Kendaraan bermotor jenis sedan dan station wagon yang dibuat di dalam
negeri dengan isi silinder kurang dari 1600 cc dan kandungan lokalnya lebih
dari 60%
b. Kendaraan bermotor jenis jeep, kombi, minibus, van dan pick up yang dibuat
di dalam negeri dengan kandungan lokal lebih dari 60%

Impor dan Penyerahan Di Daerah Pabean Yang Tidak Dikenakan PPnBM


a. Semua jenis kendaraan bermotor untuk dinas ABRI, POLRI dan Protokoler
kenegaraan sepanjang dananya dari APBN/APBD
b. Kendaraan bermotor jenis jeep, kombi, minibus, van, pick up, sedan, bus dan
sedan yang digunakan untuk kendaraan tahanan, kendaraan pemadam
kebakaran, kendaraan jenazah dan kendaraan angkutan umum
c. Kendaraan bermotor jenis van dan pick up yang digunakan untuk kendaraan
angkutan barang

Pengelompokan BKP Yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor


(KMK 644/KMK.04/1994 Jo KMK 274/KMK.04/1994)
a. Kelompok Tarif 10% meliputi :
1) Kelompok kepala susu atau susu yang diasamkan/diragi, mengandung
tambahan gula atau pemanis lainnya atau tidak, diberi aroma atau tidak,
diberi rasa atau tidak, mengandung tambahan buah-buahan, biji-bijian,
cocoa atau tidak, yoghurt, kephir, whey, keju, mentega atau lemak atau
minyak yang diperoleh dari susu yang dibotolkan atau dikemas.
Brevet A Halaman 101
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

2) Kelompok air buah dan air sayuran, yang belum meragi dan tidak
mengandung alkohol, mengandung tambahan gula atau pemanis lainnya
maupun tidak, mengandung aroma atau tidak, serta dibotolkan/dikemas.
3) Kelompok minuman yang tidak mengandung alkohol, mengandung
tambahan gula atau pemanis lainnya maupun tidak, mengandung aroma
maupun tidak, yang dibotolkan/dikemas, serta air soda yang
dibotolkan/dikemas.
4) Kelompok wangi-wangian, produk kecantikan untuk pemeliharaan kulit,
tangan, kaki, dan rambut serta preparat rias lainnya.
5) Kelompok alat rumah tangga, pesawat pendingin, pesawat pemanas, mesin
jual barang otomatis termasuk mesin penukar uang, dan pesawat
penerima siaran televisi.
6) Kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen,
kondominium, town house, dan sejenisnya.
b. Kelompok Tarif 20% meliputi :
1) Kelompok semua permadani kecuali yang dibuat dari wool atau bulu
hewan dan sutera.
2) Kelompok barang saniter dan perlengkapannya, kecuali yang terbuat dari
plastik, seng atau semen.
3) Kelompok alat-alat fotografi, alat sinematografi, alat optik, alat perekam
suara atau gambar, alat reprosuksi suara atau gambar, media rekam,
pesawat penerima dan pengirim suara, pesawat siaran televisi dan
bagiannya.
4) Kelompok mesin pengatur suhu udara, pesawat pendingin dan pesawat
pemanas (kecuali yang sudah termasuk kelompok tarif 10%), mesin
seterika, mesin cuci, mesin pengering, pesawat elektromagnetik, pesawat
cukur dan pesawat pangkas rambut serta instrumen mesin.

Brevet A Halaman 102


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

5) Kelompok alat-alat rumah tangga tertentu, dan untuk permainan selain


yang sudah termasuk kelompok tarif PPnBM 35%, kecuali dibuat di dalam
negeri.
c. Kelompok Tarif 35% meliputi :
1) Kelompok minuman yang mengandung alkohol.
2) Kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari kulit
atau kulit tiruan, kecuali yang di buat di dalam negeri.
3) Kelompok permadani yang dibuat dari jenis bahan tertentu (wool atau bulu
hewan halus lainnya atau sutera).
4) Kelompok semua jenis alas kaki, kecuali yang di buat di dalam negeri.
5) Kelompok barang-barang yang seluruh atau sebagian terbuat dari kristal,
batu pualam, granit dan/atau onyx, kecuali yang di buat di dalam negeri.
6) Kelompok barang-barang pecah belah, kecuali yang di buat di dalam
negeri.
7) Kelompok barang-barang yang terbuat dari keramik, kecauli yang di buat
di dalam negeri.
8) Kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari
logam mulia dan/atau mutiara, atau campuran dari padanya, kecuali yang
di buat di dalam negeri.
9) Kelompok pesawat udara, kecuali yang digunakan untuk keperluan negara
dan angutan umum.
10) Kelompok kapal siar, bahtera dan kendaraaan air tertentu, kecuali untuk
keperluan negara dan angutan umum.
11) Kelompok peralatan dan perlengkapan olahraga golf, power boating,
gantole dan terbang layang, menyelam.
12) Kelompok senjata api, senjata angin dan gas besrta peralatannya kecuali
untuk keperluan negara.

Brevet A Halaman 103


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

13) Kelompok barang-barang perabot rumah tangga dan kantor, kecuali untuk
keperluan negara.
14) Kelompok perlengkapan untuk permainan dalam ruangan, diatas dan
didalam taman hiburan untuk orang dewasa dan anak-anak.

Brevet A Halaman 104


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

SAAT DAN TEMPAT PAJAK BAB


4
TERUTANG

Dalam pasal 11 UU PPN no 42 tahun 2009, saat pajak terutang ditentukan sebagai
berikut:
1. Penyerahan Barang Kena Pajak;
2. Impor Barang Kena Pajak;
3. Penyerahan Jasa Kena Pajak;
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean;
5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;
6. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
7. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; atau ekspor
8. Ekspor Jasa Kena Pajak.

1. SAAT PAJAK TERUTANG


Berdasarkan pasal 33 PP nomor 50/1994, Saat Pajak terutang dikelompokkan
sebagai berikut :
a. Saat pajak terutang atas penyerahan BKP berwujud yang menurut sifat atau
hukumnya berupa barang bergerak :
1) Pada saat barang diserahkan secara langsung kepada pembeli, atau
2) Pada saat barang diserahkan secara langsung kepada pihak ketiga atas nama
pembeli, atau
3) Pada saat barang diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa angkutan
b. Saat pajak terutang atas penyerahan BKP berwujud yang menurut sifat atau
hukumnya berupa barang tidak bergerak :

Brevet A Halaman 105


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

1) Pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai BKP secara
yuridis, atau
2) Pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai BKP secara
nyata.
c. Saat pajak terutang atas penyerahan BKP tidak berwujud adalah pada saat yang
terjadi lebih dahulu dari peristiwa hukum di bawah ini :
1) Pada saat harga penyerahannya dinyatakan sebagai piutang, atau
2) Pada saat dilakukan penagihan, atau
3) Pada saat diterima pembayaran baik untuk sebagian atau seluruhnya termasuk
apabila pembayaran diterima sebelum pemanfaatan, atau
4) Pada saat ditanda tangani kontrak apabila saat terjadinya a s/d c diatas tidak
diketahui
d. Saat pajak terutang atas penyerahan JKP
1) Jasapemborong bangunan atau barang tak bergerak lainnya :
Pada saat penyerahan jkp, sedangkan tahap-tahap pembayaran dilakukan
sebagai p embayaran yang diterima sebelum dilakukan penyerahan
2) Jasa Kena Pajak lainnya :
a) Pada saat tersedianya barang atau fasilitas untuk dipakai baik sebagian
maupun seluruhnya, atau
b) Pada saat dilakukan penagihan pembayaran atau penggantian, atau
c) Pada saat pembayaran dalam hal pembayaran diterima sebelum dilakukan
penyerahan
e. Saat pajak terutang atas impor BKP pada saat BKP dimasukkan kedalam daerah
pabean
f. Saat pajak terutang atas ekspor BKP pada saat BKP dikeluarkan dari daerah
pabean

Brevet A Halaman 106


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

g. Saat pajak terutang atas pemindahtanganan aktiva yang menurut tujuan semula
tidak untuk diperjualbelikan dan persediaan BKP yang masih tersisa pada saat
pembubaran perusahaan :
1) Pada saat ditandatangani akta pembubaran, atau
2) Pada saat diketahui bahwa perusahaan tersebut nyata-nyata sudah tidak
melakukan kegiatan usaha atau sudah dibubarkan berdasarkan hasil
pemeriksaaan, atau
3) Pada ssat diketahui bahwa perusahaan tersebut telah bubar berdasarkan data
atau dokumen yang ada
h. Saat pajak terutang untuk peristiwa atau perbuatan hukum lainnya :
1) Membangun sendiri yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan tidak dalam
lingkungan perusahaan atau pekerjaan, yaitu pada saat mulai dilakukan
pembangunan.
2) Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar daerah pabean didalam
daerah pabean adalah pada saat dimanfaatkan didalam daerah pabean, yaitu :
a) Pada saat secara nyata digunakan oleh pihak yang memanfaatkan, atau
b) Pada saat harga perolehannya dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang
memanfaatkan
c) Pada saat haga jual atau penggantiannya ditagih oelh pihak yang
menyerahkan
d) Pada saat harga perolehannya dibayar oleh pihak yang memanfaatkan
e) Pada saat ditanda tangani kontrak apabila kelima hal diatas tidak diketahui
dengan pasti.
3) Penyerahan BKP dan/atau JKP kepada Pemungut PPN, adalah pada saat
pembayaran
4) Pembayaran diterima sebelum dilakukan penyerahan BKP dan/atau JKP,
adalah pada saat pembayaran.

Brevet A Halaman 107


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

2. TEMPAT PAJAK TERUTANG


Berdasarkan pasal 12 undang-undang PPN 1984 Jo PP No 50 tahun 1994 pasal
34 ditetapkan bahwa tempat pajak terutang :
a. Penyerahan di dalam daerah Pabean adalah di tempat tinggal atau tempat
kedudukan dan tempat kegiatan usaha di lakukan.
b. Impor barang kena pajak adalah di tempat barang kena pajak (BKP) di masukkan
di dalam Daerah Pabean.
c. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean adalah di tempat orang pribadi atau badan yang memanfaatkan
terdaftar sebagai WP.
d. Kegiatan membangun sendiri adalah di tempat bangunan didirikan.
e. Lain-lain. Berdasarkan KEP-35/PJ./1995 Jo SE/19/PJ.54/1995 ditetapkan sebagai
berikut :
1) Dalam hal di tempat tinggal orang pribadi tidak dilakukan kegiatan usaha,
maka terutang pajak di tempat kegiatan usaha dilakukan.
2) Pelaporan usaha cukup dilakukan kepada KPP yang wilayahnya meliputi
tempat usaha.
3) Dalam hal pengusaha telah dikukuhkan sebagai PKP yang ditempat
tinggalnya, pengukuhan tersebut akan dicabut setelah dilakukan pemeriksaan
f. Bagi PKP yang memiliki lebih dari 1 NPPKP, penyerahan BKP atau JKP dari
pusat ke cabang dan antar cabang terutang PPN dengan dasar pengenaan pajak
adalah harga jual dikurangi laba bruto.

3. PEMUSATAN TEMPAT PAJAK TERUTANG


Dengan pemohonan tertulis, PKP yang memiliki lebih dari 1 tempat usaha dapat
mengajukan permohonan pemusatan tempat pajak terutang sepanjang memenuhi syarat
sebagai berikut :
a. PKP menyelenggarakan pembukuan secara terpusat.
Brevet A Halaman 108
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

b. Kantor cabang tidak melakukan kegiatan penyerahan BKP atau JKP. Semua
kegiatan penjualan dan administrasi hanya dilakukan di tempat yang dipilih sebagai
tempat PPN terutang.
c. Kantor cabang hanya menyimpan persediaan dan menyerahkan kepada pembeli
atas perintah kantor pusat.
d. Kantor cabang tidak diperbolehkan membuat faktur pajak baik untuk kantor pusat
maupun kantor cabang.

Dalam surat permohonan tersebut PKP harus memberikan informasi tentang :


a. Struktur Organisasi, administrasi, pembukuan dan keuangan perusahaan.
b. Jangka waktu penyampaian dokumen antara kantor pusat dengan cabang atau
sebaliknya berkaitan dengan masa pajak yaitu 1 bulan takwim.
c. Fungsi dan wewenang kantor cabang.
d. Jumlah cabang diseluruh Indonesia.
e. Contoh speciment faktur pajak yang digunakan.

Berdasarkan informasi tersebur Dirjen Pajak melakukan penelitian untuk memperoleh


keyakinan bahwa :
a. Pembukuan PKP terpusat.
b. Penjualan/pembelian/impor barang modal/bahan baku/pembantu dilakukan oleh
kantor pusat atau salah satu cabang.
c. Bentuk faktur pajak hanya satu.
d. Tidak memungkinkan penghitungan, pemunggutan dan pembayaran pajak di
cabang-cabang yang ada.
Setelah dilakukan pemeriksaan, Dirjen Pajak akan memberikan persetujuannya
terhadap permohonan PKP untuk melakukan pemusatan tempat PPN terutang di satu
tempat atau lebih sesuai dengan permintaan.

Brevet A Halaman 109


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

FAKTUR PAJAK BAB


5

1. FAKTUR PAJAK
Faktur Pajak adalah bukti peungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak
(PKP) karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena
Pajak (JKP) atau oleh Ditjen Bea dan Cukai karena impor BKP.
Faktur Pajak wajib dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak untuk setiap penyerahan BKP
dan/ atau JKP (Pasal 13 ayat 1 UU PPN 1984)

2. JENIS FAKTUR PAJAK


Berdasarkan pasal 13 UU PPN 1984 dikenal 3 (tiga) macam Faktur Pajak, yaitu
a. Faktur Pajak Standar
Adalah Faktur Pajak yang bentuk dan isinya telah ditetapkan oleh Undang-
undang. Dalam pasal 13 ayat 5 UU PPN 1984 ditetapkan bahwa dalam Faktur
Pajak Standar harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan BKP/JKP yang
meliputi :
1) Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
2) Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak
atau penerima Jasa Kena Pajak;
3) Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan
harga;
4) Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
5) Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
6) Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
7) Nama dan tanda tangan yang berhak

Brevet A Halaman 110


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

8) Menandatangani Faktur Pajak.


b. Faktur Pajak Gabungan
Adalah Faktur Pajak Standar yang cara penggunaannya diperkenankan kepada PKP
atas beberapa kali penyerahan BKP/JKP kepada pembeli atau penerima jasa yang
sama yang dilakukan dalam satu Masa Pajak, dan harus dibuat selambat-lambatnya
pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan BKP/ JKP.

3. SAAT PEMBUATAN FAKTUR PAJAK


Faktur Pajak Standar harus dibuat pada:
a. Saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
b. Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi
sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa
Kena Pajak;
c. Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap
pekerjaan; atau
d. Saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

4. KEWAJIAN PENGUSAHA KENA PAJAK WAJIB MEMBUAT FAKTUR


PAJAK
Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf a atau huruf f dan/atau Pasal 16D;
b. Penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf c;
c. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf g; dan/atau
d. Ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h.
Brevet A Halaman 111
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

5. TATA CARA PENGISIAN FAKTUR PAJAK


a. Faktur Pajak harus diisi dengan lengkap, jelas, benar, baik secara formal maupun
materiil dan ditandatangani oleh pejabat perusahaan yang ditunjuk oleh PKP
b. Kolom tanggal pembayaran diisi dalam hal terjadi pembayaran yang diterima
sebelum penyerahan BKP atau JKP. Khusus bagi Faktur Pajak Gabungan, tanggal
penyerahan diisi dengan tanggal awal penyerahan BKP/JKP sampai dengan
tanggal akhir dari masa pajak yang dibuatkan Faktur Pajak Gabungan dengan
melampirkan daftar tanggal penyerahan dari masing-masing Faktur Penjualan
c. Apabila jumlah BKP dan/ atau JKP yang diserahkan tidak dapat ditampung dalam
satu Faktur Pajak, dapat ditempuh dua cara, yaitu :
1) Boleh dipecah menjadi lebih dari satu Faktur Pajak dan masing-masing Faktur
Pajak harus diisi dengan lengkap sesuai dengan ketentuan yang berlaku
2) Dapat dibuat satu Faktur Pajak asalkan menunjuk nomor dan tanggal Faktur
Penjualan yang bersangkutannnn dan Faktur Penjualan tersebut dilampirkan
d. Pengisian yang tidak sesuai dengan ketentuan akann berakibat Faktur Pajak
tergolong sebagai Faktur Pajak cacat sehingga Pajak Masukannya tidak dapat
dikredikan
e. Faktur Pajak yang terdapat kesalahan dalam pengisian supaya dibetulkan dengan
cara dibuat Faktur Pajak Standar Pengganti. Faktur Pajak yang salah merupakan
lampiran dan pada Faktur Pajak Pengganti dibubuhi cap yang mencantumkan
nomor seri, kode dan tanggal Faktur Pajak Standar yang diganti
f. Membetulkan Faktur Pajak tidak boleh dengan cara lain, sseperti dengan coretan,
dihapus atau menggunakan tipp-ex.
g. Dalam hal Faktur Pajak hilang, PKP yang berkepentingan dapat minta Faktur
Pajak Pengganti kepada PKP yang menjual dengan tembusan kepada KPP atau
tempat PKP penjual dan pembeli dikukuhkan.

Brevet A Halaman 112


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

6. LARANGAN MEMBUAT FAKTUR PAJAK


a. Dalam pasal 14 UU PPN 1984 diatur larangan membuat Faktur Pajak sebagai
berikut:
b. Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai PKP dilarang membuat Faktur Pajak
c. Dalam hal Faktur Pajak telah dibuat, maka Pengusahs dimaksud wajib menyetor
pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak ke Kas Negara.

7. PENYETORAN DAN PELAPORAN PPN


a. Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) harus dilakukan paling lama akhir bulan
berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan.
b. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan paling lama
akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.

8. SANKSI
Berdasarkan pasal 14 ayat 1 huruf e dan pasal 14 ayat 4 UU KUP ditetapkan, bahwa
Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai PKP tetapi membuat Faktur Pajak atau
Pengusha yang telah dikukuhkan sebagai PKP tetapi tidak membuat Faktur Pajak atau
tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak dikenakan sanksi berupa denda administrasi
sebesar 2 % dari Dasar Pengenaan Pajak

Brevet A Halaman 113


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

DASAR PENGENAAN PAJAK BAB


6
1. PENGERTIAN DASAR PENGENAAN PAJAK
Menurut pasal 1 huruf n, o, p, q, dan w undang-undang PPN 1984, dasar pengenaan
pajak adalah nilai berupa uang yang akan dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak
terutang. Yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah :
a. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini
dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
b. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor
Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang- Undang ini
dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang
yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa
Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
c. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk
ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak,
tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
yang dipungut menurut Undang-Undang ini.
d. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.

Brevet A Halaman 114


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

e. Nilai lain adalah nilai berupa uang yang digunakan sebagai DPP bagi penyerhan
BKP atau JKP yang memenuhi kriteria tertentu yaitu :
1) Untuk pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma adalah harga jual atau
penggantian tidak termasuk laba kotor.
2) Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah harga jual rata-
rata.
3) Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film.
4) Untuk persediaan BKP yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan
adalah harga pasar wajar.
5) Untuk aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang
masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah harga pasar wajar.
6) Untuk penyerahan jasa biro perjalanan/pariwisata adalah 10% dari jumlah
tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
7) Untuk jasa pengiriman paket adalah 10% dari jumlah tagihan.
8) Untuk penyerahan PKP pedagang eceran adalah 20% dari seluruh jumlah
penyerahan BKP.
9) Untuk anjak piutang adalah 5% dari service charge, provisi dan discount.

2. PENGENAAN PPN TERHADAP PEDAGANG ECERAN


Pedagang eceran adalah pengusaha yang dalam lingkungan perusahaan atau
pekerjaannya melakukan usaha perdagangan dengan cara sebagai berikut :
a. Tidak bertindak sebagai penyalur kepada pedagang lainnya.
b. Menyerahkan BKP melalui tempat penjualan eceran.
c. Melakukan transaksi jual beli secara spontan tanpa didahului penawaran tertulis,
pemesanan, kontrak atau lelang dan pada umumnya bersifat tunai.
d. Jumlah peredaran bruto dalam satu tahun buku atau bagian dari tahun buku
melebihi batasan pengusaha kecil.

Brevet A Halaman 115


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

3. CARA MENGHITUNG PPN TERUTANG TERHADAP PEDAGANG


ECERAN
Pedagang eceran dapat memilih nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak (pasal 29
ayat 3 PP No 50 tahun 1994), dengan cara sebagai berikut :
a. PPN yang terutang atas penyerahan BKP sama dengan 10% dari harga jual BKP.
b. PPN yang dibayar oleh pedagang eceran adalah 10% x 20% x harga jual seluruh
barang dagangan.
Berdasarkan Kep-12/PJ./1995 Jo SE-04/PJ.53/1995 diberikan penegasan sebagai
berikut :
a. PKP pedagang eceran yang tidak menggunakan nilai lain sebagai DPP wajib
memberitahukan secara tertulis kepada KPP tempat pengukuhan.
b. Dalam hal pedagang eceran yang disamping melakukan pedagangan eceran juga
melakukan kegiatan lain maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
1) Jika jumlah peredarannya yang berasal dari kegiatan lain lebih dari 50% dari
seluruh peredaran barang dan jasa maka PKP tersebut wajib membuat SPT
masa PPN bentuk formulir 1195.
2) Apabila jumlah peredaran yang berasal dari kegiatan lain tidak melebihi 50%
maka PKP wajib menggunakan SPT masa PPN bentuk formulir 1195PE dan
menggunakan nilai lain sebagai DPP.

Brevet A Halaman 116


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

PEDOMAN PENGKREDITAN BAB


7
PAJAK MASUKAN

1. PRINSIP DASAR PENGKREDITAN PAJAK


Prinsip dasar pengkreditan pajak masukan sebagaimana diatur dalam pasal 9
undang-undang PPN 1984 dapat dirinci :
a. Pajak masukan dalam suatu masa pajak dapat dikreditkan dalam pajak keluaran
untuk masa pajak yang sama.
b. Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan
penyerahan yang terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor
barang modal dapat dikreditkan.
c. Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang
memenuhi persyaratan.
d. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak
Masukan, selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh
Pengusaha Kena Pajak.
e. Apabila dalam suatu masa pajak, pajak masukan lebih besar dari pajak keluaran,
selisihnya merupakan kelebihan pajak masukan yang dapat dikompensasikan pada
masa pajak berikutnya.
f. Atas kelebihan pajak masukan pada suatu masa pajak dapat diajukan permohonan
pengembalian pada akhir tahun buku.
g. Dikecualikan dari ketentuan atas kelebihan pajak masukan dapat diajukan
permohonan pengembalian pada setiap masa pajak oleh:
1) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;

Brevet A Halaman 117


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

2) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak


dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan
Nilai;
3) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang Pajak Pertambahan Nilainya tidak
dipungut;
4) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud;
5) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Jasa Kena Pajak; dan/atau
6) Pengusaha Kena Pajak dalam tahap belum berproduksi.

2. PERSYARATAN PAJAK MASUKAN YANG DAPAT DIKREDITKAN :


a. Persyartan Formil yaitu :
1) Tercantum dalam faktur pajak standar.
2) Pajak masukan dan pajak keluaran dalam masa pajak yang sama atau dalam
masa pajak yang tidak sama sepanjang belum melampaui bulan ketiga setelah
akhir tahun buku yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai
biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
b. Persyaratan Materil yaitu :
a.) Berhubungan langsung dengan kegiatan usaha.
b.) Belum dibebankan sebagai biaya.

3. PAJAK MASUKAN YANG TIDAK DAPAT DIKREDITKAN


Dalam pasal 9 ayat 8 dan pasal 16B ayat 3 UU PPN No 42 Tahun 2009, Pajak
Masukan yang tidak dapat dikreditkan adalah :
a. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum pengusaha
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

Brevet A Halaman 118


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

b. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai
hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
c. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon,
kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak;
e. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa KenaPajak yang Faktur Pajaknya tidak
memenuhiketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13ayat (5)atau ayat (9)
atau tidak mencantumkan nama,alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli
barang Kena Pajak atau penerima jasa kena pajak.
f. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
g. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya
ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
h. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang
ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan; dan
i. Perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum
Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a)
j. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak
Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak
berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang
bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan
pemeriksaan.

Brevet A Halaman 119


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

4. .PAJAK MASUKAN ATAS PEMAKAIAN SENDIRI BKP (SE-01/PJ/1991)


a. Pemakaian sendiri untuk tujuan konsumtif, yang berasal dari produknya sendiri
terutang PPN. PPN tersebut merupakan Pajak Keluaran dan merupakan Pajak
Masukan bagi PKP yang bersangkutan dan Pajak Masukannya tidak dapat
dikreditkan.
b. Pemakaian sendiri untuk tujuan produktif, yaitu pemakaian hasil produksi sendiri
untuk keperluan yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha. Atas
pemakaian sendiri ini terutang PPN. Pajak Keluaran harus dibayar sendiri oleh
PKP tersebut. PPN yang dibayar merupakan Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan, sehingga Faktur Pajak yang dibuat harus Faktur Pajak Standar.

Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan bagi PKP yang pphnya menggunakan


Norma Penghitungan Penghasilan Netto ( Pasal 9 ayat 7 UU PPN 1984 Jo KMK
nomor 594/KMK.04/1994 Jo SE-13/PJ.54/1995 Jo SE-43/PJ.5/1995)
a. Pengusaha yang memilih menggunakan Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan
wajib memberitahukan secara tertulis kepada KPP dengan cara membubuhkan
catatan pada kolom yang tersedia dalam SPT Masa PPN
b. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dihitung berdasarkan persentase sebagai
berikut :
c. 70 % dari Pajak Keluaran, dalam hal PKP menyerahkan BKP
d. 40 % dari Pajak Keluaran, dalam hal PKP menyerahkan JKP
e. PKP wajib menyelenggarakan catatan jumlah peredaran bruto yang menjadi DPP
secara terpisah tentang jumlah peredaran bruto yang berasal dari penyerahan tidak
kena pajak dalam hal PKP juga melakukan penyerahan tidak kena pajak
f. Bagi PKP yang tidak sepenuhnya menyelenggarakan pencatatan peredaran bruto,
sehingga tidak diketahui dengan pasti jumlah peredaran brutonya dan dari hasil
pemeriksaan ternyata jumlah peredaran bruto lebih besar dari yang dilaporkan

Brevet A Halaman 120


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

dalam SPT Masa PPN, maka Pajak Keluaran dihitung berdasarkan tarif dikalikan
dengan jumlah peredaran berdasarkan hasil pemeriksaan
g. Dalam hal PKP melakukan ekspor dan/atau menyerahkan BKP/JKP kepada
Pemungut PPN, sehingga terjadi kelebihan pembayaran pajak, pengembaliannya
dilakukan sesuai dengan KEP-28/PJ./1996.
h. Bagi PKP yang wajib menyelenggarakan pembukuan tetapi tidak bersedia
memperlihatkan pembukuannya, sehingga tidak diketahui dengan pasti jumlah
peredaran bruto yang sebenarnya, tidak boleh menggunakanpedoman
Pengkreditan Pajak Masukan dalam menghitung Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan
i. Apabila dalam satu Masa Pajak PKP tidak memenuhi syarat untuk menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Netto, maka mulai permulaan tahun buku
berikutnya, PKP tersebut tidak diperbolehkan menggunakan Pedoman
Pengkreditan.

Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan bagi PKP yang Melakukan Penyerahan


yang Terutang PPN atau PPN yang terutang Ditanggung Pemerintah atau
Dibebaskan dari Pengenaan PPN
a. Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP dan/atau JKP yang digunakan
untuk menghasilkan penyerahan kena pajak, disamping itu juga digunakan untuk
kegiatan yang tidak terutang PPN atau terutang PPN tetapi ppnnya ditanggung
Pemerintah atau dibebaskan dari PPN, dapat dikreditkan dengan cara :
1) Pajak yang dikreditkan sebanding dengan persentase penggunaan barang modal
yang digunakan untuk kegiatan usaha yang terutang PPN
2) Dalam hal Pajak Masukan telah dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang
dipungut dalam masa pajak yang sama, maka setelah akhir tahun buku dihitung
kembali bagian dari Pajak Masukan itu yang harus dibayar kembali ke Kas
Negara dengan rumus :
Brevet A Halaman 121
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

P’ X PM/T

P’ : persentase rata-rata penggunaan barang modal untuk kegiatan lain dalam


Satu tahun buku
PM : Pajak Masukan atas perolehan dan pemeliharaan barang modal yang telah
Dikreditkan
T : masa manfaat barang modal (untuk bangunan : 10 tahun & untuk barang
Modal lainnya : 5 tahun)
b. Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP dan/atau JKP yang :
1) Nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahan hasil
dari unit atau kegiatan tersebut tidak terutang PPN atau terutang PPN tetapi
ppnnya ditanggung Pemerintah atau dibebaskan dari pengenaan PPN tidak
dapat dikreditkan
2) Nyata-nyata digunakan untuk kegiatan usaha yang akan menghasilkan
penyerahan yang terutang PPN dapat dikreditkan
3) Digunakan baik untuk kegiatan yang akan menghasilkan penyerahan
terutang PPN maupun untuk kegiatan yang akan menghasilkan
penyerahannya yang ppnnya ditanggung oleh Pemerintah atau dibebaskan
dari pengenaan PPN dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang
dipungut dalam masa pajak yang sama, kemudian setelah akhir tahun buku
wajib menghitung kembali bagian Pajak Masukan tersebut yang akan
dibayar kembali ke Kas Negara dengan cara :

Untuk Barang Modal : X/Y x PM/T


Untuk bukan Barang Modal : X/Y x PM

X : Jumlah seluruh peredaran selama satu tahun buku yang tidak terutang
Brevet A Halaman 122
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

PPN atau PPN ditanggung Pemerintahatau dibebaskan dari PPN


Y : Jumlah seluruh peredaran dalam satu tahun buku
PM : Pajak Masukan yang telah dikreditkan
T : Masa manfaat barang modal (untuk bangunan : 10 tahun & untuk barang
Modal lainnya : 5 tahun)

c. Hasil penghitungan kembali PM tersebut tidak perlu dibayar langsung ke Bank


Persepsi atau Kantor Pos dan Giro tetapi cukup diperhitungkan didalam SPT Masa
PPN
d. Harus dilakukan paling lambat bulan ketiga setelah akhir tahun buku menggunakan
lampiran SPT Masa PPN formulir 1195 B3
e. Jika masa manfaat tersebut sudah lewat, tidak perlu dilakukan penghitungan
kembali.

Brevet A Halaman 123


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

PEMUNGUT PPN BAB


8

1. PEMUNGUT PPN
Berdasarkan Pasal 16A UU PPN, Pemungut PPN adalah :
a. Instansi Pemerintah :
1) Kantor Perbendaharaan Negara
2) Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah
b. Badan-badan tertentu :
1) Pertamina
2) Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya di bidang Pertambangan
3) Badan Usaha Milik Negara dan Daerah
4) Bank Pemerintah dan Bank Pembangunan Daerah

2. OBYEK PEMUNGUTAN DI BIDANG PPN :


Obyek pemungutan di bidang ppn
a. Setiap pembayaran yang dilakukan oleh Pemungut PPN, kecuali :
1) Pembayaran yang jumlahnya tidak lebih dari Rp 500.000 termasuk
PPN/PPnBM dan tidak merupakan jumlah yang terpecah-pecah
2) Pembayaran untuk pembebasan tanah
3) Pembayaran atas penyerahan BKP yang ppnnya ditanggung oleh Pemerintah
4) Pembayaran BBM dan Non BBM yang penyerahannya dilakukan oleh
Pertamina
5) Pembayaran atas jasa telekomunikasi yang diserahkan oleh PT Telkom
6) Pembayaran atas Jasa Angkutan Udara Dalam Negeri
7) Pembayaran kepada perseorangan yang mnyewakan ruangan atau rumah
tinggal yang nilai sewa seluruhnya tidak melebihi Rp 30.000.000 setahun

Brevet A Halaman 124


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

8) Pembayaran untuk penyerahan bukan BKP dan bukan JKP


9) Pembayaran untuk penyerahan JKP yang dilakukan oleh Instansi Pemerintah
yang menjalankan fungsi Pemerintah
10) Pembayaran atas penyerahan JKP yang dilakukan oleh Instansi Pemerintah
kepada Instansi Pemerintah lainnya sepanjang dananya berasal dari APBN/D
dan Instansi Pemerintah yang menerima pembayaran memasukkannya
kedalam Mata Anggaran penerimaan instansi tersebut
11) Pembayaran kepada Rekanan non PKP atau non NPWP yang tidak didasarkan
atas kontrak.
b. Pembayaran kepada Rekanan non PKP atau non NPWP yang menyerahkan BKP
atau JKP berdasarkan kontrak /purchase order

3. OBYEK PEMUNGUTAN DI BIDANG PPNBM :


Dalam hal Pemungut PPN melakukan pembayaran kepada Rekanan non Pabrikan
atas penyerahan BKP yang Tergolong Mewah, maka tidak perlu memungut PPnBM
karena atas penyerahan ini hanya terutang PPN, tidak terutang PPnBM.

4. MEKANISME PEMUNGUTAN
a. Saat pajak terutang adalah pada saat pembayaran. Dalam pasal 30 PP nomor 50/
1994 ditetapkan bahwa pajak yang terutang dipungut pada saat pembayaran oleh
Pemungut PPN
b. Pada saat PKP Rekanan memasukkan tagihan diwajibkan membuat :
1) Faktur Pajak yang sudah diisi lengkap
2) SSP yang hanya diisi Identitas PKP Rekanan dan Jumlah PPN terutang,
sedangkan kolom Masa Pajak dan tanggal pembuatan serta tanda tangan
dikosongi
c. Faktur Pajak dibuat rangkap 3 (tiga) dengan peruntukan :
Lembar ke-1 : untuk Pemungut PPN
Brevet A Halaman 125
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

Lembar ke-2 : untuk PKP yang bersangkutan


Lembar ke-3 : untuk kepala KPP melalui Pemungut PPN
d. SSP dibuat rangkap 5 (lima) dengan peruntukan :
Lembar ke-1 : untuk PKP Rekanan
Lembar ke-2 : untuk KPP melalui KPKN
Lembar ke-3 : untuk PKP Rekanan guna dilampirkan pada SPT Masa PPN
Lembar ke-4 : untuk Bank Persepsi / Kantor Pos dan Giro
Lembar ke-5 : untuk Pemungut PPN
e. Dalam hal Bank Pemerintah atau Bank Pembangunan Daerah bertindak sebagai
Kasir dari Bendaharawan Pemerintah, maka Faktur Pajak dan SSP yang
diteruskan ke Bank yang bersangkutan melalui Bendaharawan. Yang diwajibkan
memungut dan melapor adalah Bank yang bersangkutan
f. Saat Pelaporan
1) Bagi Bendaharawan / KPKN selaku Pemungut PPN, pajak yang telah
dipungut dan telah disetor ke Kas Negara melalui Bank Persepsi selambat-
lambatnya tanggal 7 bulan berikutnya dan dilaporkan ke KPP selambat-
lambatnya tanggal 14 pada bulan yang sama dengan bulan setoran
2) Bagi badan-badan tertentu selaku Pemungut PPN, pajak yang telah dipungut
dan telah disetor ke Kas Negara selambat-lambatnya tanggal 15 bulan
berikutnya, wajib dilaporkan kepada KPP selambat-lambatnya tanggal 20 pada
bulan yang sama dengan bulan dilakukan setoran
3) Atas pembayaran yang tidak wajib dipungut PPN/PPnBM, tetap dilaporkan
dengan cara mencantumkan sebagai catatan pada halaman yang kosong yang
terdapat pada formulir Laporan Pemungutan PPN/PPnBM
4) Bagi PKP Rekanan, jumlah pembayaran yang telah diterima dari Pemungut
PPN dilaporkan dalam SPT Masa PPN pada masa pajak diterima pembayaran,
apabila pembayaran diterima dari KPKN, dilaporkan dalam SPT Masa PPN
pada masa pajak sesuai dengan tanggal mesin kas register.
Brevet A Halaman 126
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

5. PENGAWASAN DAN SANKSI


Pengawasan dan Sanksi yang dapat diterapkan terhadap Pemungut PPN dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Berdasarkan pasal 6 dan pasal 9 Keputusan Menteri Keuangan nomor
1287/KMK.04/1988. Bagi Bendarawan selaku Pemungut PPN yang tidak
melaksanakan kewajibannya dengan baik dapat dikenakan sanksi melalui :
1) Pengawasan yang dilakukan oleh KPKN dengan cara tidak menyetujui
permintaan pembayaran berikutnya yang diajukan oleh Bendaharawan
2) Pengawasan dilakukan juga oleh Kepala KPP dengan cara mengirim Surat
Tegoran kepada Bendaharawan yang belum menyampaikan laporan tentang
pemungutan dan penyetoran ppn/PPnBM yang telah dilakukan. Surat Tegoran
ini ditembuskan kepada Kepala KPKN yang bersangkutan
b. Berdasarkan Surat Edaran Seri PPN-133 diberikan penegasan lebih lanjut bahwa
bagi KPKN dan Bendaharawan yang tidak melaksanakan kewajibannya, dapat
dikenakan sanksi di bidang Kepegawaian atau bahkan apabila memenuhi unsur
pidana dapat dikenakan sanksi pidana

6. KETENTUAN KHUSUS
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan nomor 238/ KMK.04/1996, dilakukan
penunjukan perusahaan operator telepon seluler sebagai Pemungut PPN atas Impor
dan/atau penyerahan pesawat telepon.
Sebagai petunjuk pelaksanaannya adalah Surat Edaran dirjen Pajak nomor SE-
15/PJ.531/1996 yang menegaskan bahwa Perusahaan Operator Telepon Seluler juga
berkedudukan sebagai PKP yang wajib memungut, menyetor dan melaporkan PPN yang
terutang atas penyerahan jasa pengaktifan dan pulsa atas telepon seluler.
Kewajiban Perusahaan Operator Telepon Seluler sebagai PKP adalah sebagai
berikut :

Brevet A Halaman 127


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

a. Besarnya PPN yang harus dipungut atas telepon seluler yang akan diaktifkan
adalah :
1) Dalam hal merk ponsel tersebut terdaftar dan operator adalah ATPM/Dealer
dari ponsel tersebut, maka PPN yang harus dipungut sebesar 10 % dari harga
ponsel ditambah biaya pengaktifan
2) Dalam hal ponsel tersebut terdaftar dan operatornya bukan dealer dari ATPM
dan ponsel tersebut didukung dengan Faktur Pajak dari ATPM/Dealer, maka
besarnya PPN yang dipungut sebesar 10 % dari biaya pengaktifan
3) Dalam hal ponsel tersebut merknya terdaftar dan operatornya bukan dealer
dari ATPM dan ponsel tersebut tidak didukung oleh Faktur Pajak, maka
besarnya PPN yang harus dipungut adalah adalah 10 % dari (Rp 4.000.000 +
biaya pengaktifan)
4) Dalam hal ponsel tersebut merknya terdaftar dan operatornya bukan dealer
dari ATPM dan ponssel didukung Faktur Pajak yang bukan dari ATM/dealer,
maka besarnya PPN yang harus dipungut adalah 10 % dari (Rp 4.000.000 –
DPP yang tercantum dalam Faktur Pajak + biaya pengaktifan)
5) Dalam hal ponsel tersebut merknya tidak terdaftar dan ponsel tersebut
didukung dengan Faktur Pajak, besarnya PPN yang dapat dipungut adalah 10
% dari (Rp 4.000.000 – DPP yang tercantum dalam Faktur Pajak + biaya
pengaktifan)
6) Dalam hal ponsel tersebut merknya tidak terdaftar dan tidak didukung dengan
Faktur Pajak , besarnya PPN yang harus dipungut adalah 10 % dari Rp
4.000.000 + biaya pengaktifan
b. PPN wajib dipungut pada saat pengaktifan ponsel oleh operator
c. Pelaporan menggunakan SPT Masa PPN 1195
d. Saat penyetoran dan pelaporan mengikuti mekanisme yang sudah ada.

Brevet A Halaman 128


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

PAJAK BUMI DAN BANGUNAN


( PBB )

Brevet A Halaman 129


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

DASAR HUKUM & ISTILAH BAB


1

1. DASAR HUKUM PAJAK BUMI DAN BANGUNAN


Dalam Negara Republik Indonesia yang kehidupan rakyat dan perekonomiannya
sebagian besar bercorak agraris, bumi termasuk perairan dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya mempunyai fungsi penting dalam membangun masyarakat adil
dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Oleh karena itu bagi mereka yang memperoleh manfaat dari bumi dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya, karena mendapat sesuatu hak dari kekuasaan negara, wajar
menyerahkan sebagian dari kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui
pembayaran pajak.
Dalam rangka penyederhanaan beberapa jenis pungutan atas tanah dan bangunan,
maka pungutan yang diatur dalam :
a. Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908;
b. Ordonansi Verponding Indonesia 1923;
c. Ordonansi Verponding 1928;
d. Ordonansi Pajak Kekayaan 1932;
e. Ordonansi Pajak Jalanan 1942;
Pasal 14 huruf j, huru k, dan huruf l Undang Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1957
tentang Peraturan Umum Pajak Daerah; Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang
Nomo 11 Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi (IPEDA) dan lain-lain Peraturan
perundang-undangan sepanjang mengenai tanah dan bangunan, "Dinyatakan tidak
berlaku lagi dan diganti dengan pungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)."

Dasar Hukum Pemungutan :


a. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

Brevet A Halaman 130


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

b. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1985 tentang Persentase Nilai Jual Kena
Pajak Pada Pajak Bumi dan Bangunan.
c. Keputusan Menteri Keuangan No. 1002/KMK.04/ 1985 tentang Tata Cara
pendaftaran objek pajak PBB.
d. Keputusan Menteri Keuangan No. 1003/KMK.04/ 1985 tentang Penuntun
Klasifikasi dan besarnya Nilai Jual objek Pajak sebagai dasar Pengenaan PBB.
e. Keputusan Menteri Keuangan No. 1006/KMK.04/ 1985 tentang Tata Cara
penagihan PBB dan pe- nunjukkan pejabat yang berwenang mengeluarkan Surat
Paksa.
f. Keputusan Menteri Keuangan No. 1007/KMK.04/ 1985 tentang Pelimpahan
Wewenang Penagihan Pajak Bumi dan Bangunan kepada Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I dan/atau Bupai/Walikota madya Kepala Daerah Tingkat II.
g. Keputusan Gubernur KDKI Jakarta No. 816 Ta-hun 1989 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pemungut- an Pajak Bumi dan Bangunan di Wilayah DKI Jakarta.
h. Peraturan Pelaksanaan Lainnya.
i. Undang-Undang nomor 12 Tahun 1994.
Dengan demikian maka Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dapat didefinisikan adalah
“Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan/atau bangunan berdasarkan Undang-
undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang nomor 12 Tahun 1994”.
PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan
oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan/atau bangunan. Keadaan subyek (siapa yang
membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.

Undang – Undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Restibusi Daerah.
Dengan diberlakunta Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi
Daerah, maka kewenangan dalam pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor
Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) telah diserahkan ke pemerintah kabupaten/kota.
Brevet A Halaman 131
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

Pasal 77 UU No. 28 tahun 2009 menyatakan bahwa Objek Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai,
dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang
digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Jadi
untuk PBB sektor Pertambangan, Perhutanan, dan Perkebunan (PBB P3) masih di
bawah wewenang pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

2. OBJEK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN


Objek PBB adalah "Bumi dan/atau Bangunan":
Pengertian Bumi : Permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi yang ada
dibawahnya. Contoh : sawah, ladang, kebun, tanah. pekarangan, tambang, dll.
Pengertian Bangunan : Konstruksi teknik yang ditanamkan atau dilekatkan secara tetap
pada tanah dan/atau perairan di wilayah Republik Indonesia.
Termasuk dalam pengetian Bangunan :
a. Jalan lingkungan yang terletak dalam satu komplek bangunan, seperti hotel,
pabrik, dan emplasemennya yang merupakan suatu kesatuan dengan komplek
Bangunan tersebut .
b. Jalan Tol
c. Kolam renang
d. Pagar mewah
e. Tempat olah raga
f. Galangan kapal, dermaga
g. Taman mewah
h. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dan
i. Menara

Brevet A Halaman 132


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

3. OBJEK PBB YANG DIKECUALIKAN


Pada dasarnya semua tanah dan bangunan yang berada di wilayah negara kita ini bisa
dimasukkan sebagai “Objek Pajak”. Namun terhadap tanah dan bangunan tertentu dapat
dikecualikan atau tidak dikenakan pungutan Pajak Bumi dan Bangunan.
Berdasarkan ketentuan pasal 77 ayat 3 UU nomor 28 tahun 2009 terdapat
berbagai objek yang tidak dikenakan PBB yaitu:
a. digunakan oleh pemerintah dan daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan;
b. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial,
kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk
memperoleh keuntungan;
c. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;
d. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah
penggembalaan yang dikuasai oleh desa, tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
e. digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan
timbal balik; dan
f. digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan
dengan Peraturan Menteri Keuangan.

4. SUBYEK PAJAK DAN WAJIB PAJAK


Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata :
a. Mempunyai Suatu Hak Atas Bumi, Dan/Atau;
b. Memperoleh Manfaat Atas Bumi, Dan/Atau;
c. Memiliki, Menguasai Atas Bangunan, Dan/Atau;
d. Memperoleh manfaat atas bangunan.
Jadi Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi
atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh

Brevet A Halaman 133


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas
Bangunan.

Wajib Pajak
Wajib Pajak adalah Subjek Pajak (orang pribadi/badan) yang dikenakan kewajiban
membayar pajak. Pada umumnya setiap orang/badan yang secara nyata mempunyai hak
atas bumi atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai dan atau
memperoleh manfaat atas bangunan yang bersangkutan bisa dikenakan pajak bumi dan
bangunan . Apabila suatu bidang tanah dan bangunan tidak diketahui secara jelas siapa
yang menanggung pajaknya, maka yang menetapkan adalah Direktorat Jendral Pajak.
Penetapan ini ditentukan berdasarkan bukti-bukti apakah ada perjanjian antara pemilik
dan penyewa yang mengatur, siapa yang menanggung kewajiban pajaknya dan siapa yang
secara nyata mendapat manfaat atas bidang tanah dan bangunan tersebut. Tetapi bila
ternyata orang atau badan yang ditetapkan sebagai pihak yang harus membayar pajak itu
menolak, maka yang bersangkutan dapat memberikan keterangan tertulis kepada Direktur
Jendral Pajak. Dalam hal ini DirJen Pajak dapat menyetujui atau mungkin menolaknya
dengan alasan-alasan tertentu. Jawaban dapat diperoleh dalam jangka waktu satu bulan
sejak diterimanya keterangan tersebut.
Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau
Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat
atas Bumi, dan/ atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.

5. CARA MENDAFTARKAN OBJEK PBB


Orang atau Badan yang menjadi Subyek PBB harus mendaftarkan Objek Pajaknya ke
Kantor Pelayanan PBB atau Kantor Penyuluhan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi
letak objek tersebut, dengan menggunakan formulir Surat Pemberitahuan Objek Pajak
(SPOP) yang tersedia gratis di Kantor Pelayanan PBB/Kantor Penyuluhan Pajak setempat.

Brevet A Halaman 134


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

6. DASAR PENGENAAN PBB


Dasar pengenaan PBB adalah "Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)". NJOP ditentukan per
wilayah berdasarkan keputusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dengan
terlebih dahulu memperhatikan :
a. harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar;
b. perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan
telah diketahui harga jualnya
c. nilai perolehan baru
d. penentuan nilai jual objek pengganti.
Nilai Jual Objek Pajak ditetapkan setiap 3 tahun oleh menkeu, kecuali untuk daerah
tertentu ditetapkan setiap tahun tergantung perkembangan daerahnya. Penetapan besarnya
NJOP dilakukan oleh Kepala Daerah.

7. NILAI JUAL OBJEK PAJAK TIDAK KENA PAJAK (NJOPTKP)


NJOPTKP adalah batas NJOP atas bumi dan/atau bangunan yang tidak kena pajak.
Besarnya NJOPTKP adalah Rp 8.000.000,- dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Setiap Wajib Pajak memperoleh pengurangan NJOPTKP sebanyak satu kali dalam
satu Tahun Pajak.
b. Apabila wajib pajak mempunyai beberapa Objek Pajak, maka yang mendapatkan
pengurangan NJOPTKP hanya satu Objek Pajak yang nilainya terbesar dan tidak
bisa digabungkan dengan Objek Pajak lainnya.
Menurut pasal 77 ayat 4 UU no. 28 tahun 2009 Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak
Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk
setiap Wajib Pajak.

8. DASAR PENGHITUNGAN PBB


Dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP).
Besarnya NJKP adalah sebagai berikut :
Brevet A Halaman 135
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

a. 40% untuk objek pajak perumahan yang wajib pajaknya perseorangan dengan
NJOP sama atau lebih dari Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)
b. 20% untuk objek pajak lainnya.
Nilai Jual Kena Pajak PBB-P2, yaitu suatu persentase tertentu yang ditetapkan
serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100%. Persentase NJKP ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
a. Besarnya tarip PBB adalah 0,5%
Menurut pasal 80 ayat 1 UU no. 28 tahun 2009 besarnya Tarif Pajak Bumi
dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan paling tinggi sebesar
0,3% (nol koma tiga persen).
Rumus penghitungan PBB = Tarif x NJKP
1) Jika NJKP = 40% x (NJOP - NJOPTKP) maka besarnya PBB
= 0,5% x 40% x (NJOP-NJOPTKP)
= 0,2% x (NJOP-NJOPTKP)
2) Jika NJKP = 20% x (NJOP - NJOPTKP) maka besarnya PBB
= 0,5% x 20% x (NJOP-NJOPTKP)
= 0,1% x (NJOP-NJOPTKP)
b. Tarif PBB-P2
Paling tinggi 0,3% (UU PDRD). Rumus Perhitungan PBB-P2:
Tarif x (NJOP - NJOPTKP)
max. 0,3% x (NJOP - NJOPTKP)
Contoh penerapan Tarif PBB di beberapa wilayah :
1) Tarif PBB untuk wilayah Jakarta :
NJOPKP Kurang dari Rp 200.000.000 = 0,01%
NJOPKP Rp 200.000.000 – Rp 2.000.000.000 = 0,1 %
NJOPKP Rp2.000.000.000 – Rp10.000.000.000 = 0,2 %
NJOPKP Diatas Rp 10.000.000.000 = 0,3 %
2) Tarif PBB untuk wilayah kota Depok :
Brevet A Halaman 136
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

NJOPKP Kurang dari Rp 1.000.000.000 = 0,125%


NJOPKP Diatas Rp 1.000.000.000 = 0,25 %
3) Tarif PBB untuk wilayah kota Bekasi
NJOPKP sampai dengan Rp 500.000.000 = 0,1 %
NJOPKP diatas Rp 500.000.000 = 0,15%
NJOPKP diatas Rp 1.000.000.000 = 0,25%
4) Tarif PBB untuk wilayah kota Bogor :
NJOPKP Kurang dari Rp 1.000.000.000 = 0,1 %
NJOPKP Diatas Rp 1.000.000.000 = 0,2 %
5) Tarif PBB untuk wilayah kab. Bogor :
NJOPKP Kurang dari Rp 1.000.000.000 = 0,11 %
NJOPKP Diatas Rp 1.000.000.000 = 0,22 %

9. TEMPAT PEMBAYARAN PBB


Wajib Pajak yang telah menerima Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), Surat
Ketetapan Pajak (SKP) dan Surat Tagihan Pajak (STP) dari Kantor Pelayanan PBB atau
disampaikan lewat Pemerintah Daerah harus melunasinya tepat waktu pada tempat
pembayaran yang telah ditunjuk dalam SPPT yaitu Bank Persepsi atau Kantor Pos dan
Giro.

10. SAAT YANG MENENTUKAN PAJAK TERUTANG.


Saat yang menentukan pajak terutang atau belum dibayar adalah keadaan Objek Pajak
pada tanggal 1 Januari. Dengan demikian segala mutasi atau perubahan atas Objek Pajak
yang terjadi setelah tanggal 1 Januari akan dikenakan pajak pada tahun berikutnya.
Contoh : A menjual tanah kepada B pada tanggal 2 Januari 1996.
Kewajiban PBB Tahun 1996 masih menjadi tanggung jawab A. Sejak Tahun Pajak 1997
kewajiban PBB menjadi tanggung jawab B.

Brevet A Halaman 137


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

SURAT PEMBERITAHUAN BAB


2
OBJEK PAJAK (SPOP)

1. DEFINISI SPOP
Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) adalah sarana bagi Wajib Pajak (WP) untuk
mendaftarkan Objek Pajak yang akan dipakai sebagai dasar untuk menghitung Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB) yang terutang.

2. HAK WAJIB PAJAK


a. Memperoleh formulir SPOP secara gratis pada setiap Kantor Pelayanan PBB,
Kantor Penyuluhan Pajak, atau tempat lain yang ditunjuk.
b. Memperoleh penjelasan, keterangan tentang tata cara pengisian maupun
penyampaian kembali SPOP pada Kantor Pelayanan PBB/Kantor Penyuluhan
Pajak.
c. Memperoleh tanda terima pengembalian SPOP dari Kantor Pelayanan
PBB/Kantor Penyuluhan Pajak.
d. Memperbaiki/mengisi ulang SPOP apabila terjadi kesalahan dalam pengisian
dengan melampirkan foto kopi bukti yang sah (sertifikat tanah, akta jual beli
tanah, dan lain-lain).
e. Menunjuk orang/pihak lain selain pegawai Direktorat Jenderal Pajak dengan
surat kuasa khusus bermeterai, sebagai kuasa Wajib Pajak untuk mengisi dan
menandatangani SPOP.
f. Mengajukan permohonan tertulis mengenai penundaan penyampaian SPOP
sebelum batas waktu dilampaui dengan menyebutkan alasan-alasan yang sah.
3. KEWAJIBAN WAJIB PAJAK
1. Mendaftarkan Objek Pajak dengan cara mengisi SPOP.

Brevet A Halaman 138


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

2. Mengisi SPOP dengan jelas, benar, dan lengkap:


 Jelas berarti dapat dibaca sehingga tidak salah tafsir
 Benar berarti data yang diisi sesuai dengan keadaan yang sebenarnya
 Lengkap berarti terisi semua dan ditandatangani.
3. Menyampaikan kembali SPOP yang telah diisi WP ke Kantor Pelayanan PBB atau
Kantor Penyuluhan Pajak setempat selambat-lambatnya 30 hari setelah formulir SPOP
diterima.
4. Melaporkan perubahan data Objek Pajak/WP kepada Kantor Pelayanan PBB atau
Kantor Penyuluhan Pajak setempat dengan cara mengisi SPOP sebagai
perbaikan/pembetulan SPOP sebelumnya.
4. SANKSI
a. Sanksi Administrasi
1. Dalam hal WP tidak menyampaikan kembali SPOP pada waktunya dan setelah
ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam surat
teguran, maka akan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dengan sanksi berupa
denda administrasi sebesar 25% dari PBB yang terutang.
2. Apabila pengisian SPOP setelah diteliti atau diperiksa ternyata tidak benar
(lebih kecil), maka akan diterbitkan SKP degan sanksi berupa denda administrasi
sebesar 25% dari selisih besarnya PBB yang terutang.
b. Sanksi Pidana
1) Barang siapa karena kealpaannya tidak mengembalikan SPOP atau
mengembalikan SPOP tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan/ atau
melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga menimbulkan kerugian bagi
negara, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau
denda setinggi-tingginya 2 (dua) kali lipat pajak yang terutang;
2) Barang siapa karena dengan sengaja :

Brevet A Halaman 139


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

a) Tidak mengembalikan atau menyampaikan SPOP kepada Direktorat Jenderal


Pajak
b) Menyampaikan SPOP tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan/atau
melampirkan keterangan yang tidak benar
c) Memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen yang palsu atau
dipalsukan seolah-olah benar
d) Tidak memperlihatkan data atau tidak meminjamkan surat atau dokumen
lainnya
e) Tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang
diperlukan.sehingga menimbulkan kerugian pada negara, dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun atau denda setinggi-tingginya
sebesar 5 (lima) kali pajak yang terutang. Sanksi pidana tersebut dilipatkan dua
apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum
lewat satu tahun, terhitung sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh
pidana penjara yang dijatuhkan atau sejak dibayarnya denda.

Sanksi pidana tersebut dilipatkan dua apabila seseorang melakukan lagi tindak
pidana di bidang perpajakan sebelum lewat satu tahun, terhitung sejak selesainya
menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan atau sejak
dibayarnya denda.
Terhadap bukan Wajib Pajak yang bersangkutan yang melakukan tindakan
sebagaimana huruf iv dan huruf v, dipidana dengan pidana kurungan selama-
lamanya 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 2.000.000,-

Brevet A Halaman 140


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK BAB


3
TERUTANG DAN TATA CARA
PEMBAYARAN PBB

1. SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK TERUTANG.


Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) adalah Surat Keputusan Kepala Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KP.PBB) mengenai pajak terutang.yang harus
dibayar dalam 1 (satu) tahun pajak.

2. Hak Wajib Pajak.


a. Menerima SPPT PBB setiap tahun pajak, paling lambat bulan Juni atau satu bulan
setelah menyerahkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP).
b. Mendapatkan penjelasan segala sesuatu yang berhubungan dengan ketetapan PBB.
c. Mengajukan keberatan dan pengurangan.
d. Mendapatkan Surat tanda Terima Setoran (STTS) PBB dari Bank/Kantor
Pos dan Giro yang tercantum pada SPPT atau Tanda Terima Sementara
(TTS) dari petugas pemungut PBB Kelurahan/Desa yang ditunjuk resmi.

3. Kewajiban Wajib Pajak.


a. Menandatangani bukti tanda terima SPPT dan mengirimkannya kembali
kepada Lurah/Kepala Desa/Dinas Pendapatan Daerah/Kantor Penyuluhan
Pajak untuk diteruskan ke atau Kantor Pelayanan PBB yang menerbitkan
SPPT.
b. Melunasi PBB pada tempat yang telah ditentukan.

Brevet A Halaman 141


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

4. Cara Mendapatkan SPPT.


a. Mengambil sendiri di Kantor Kelurahan/Kepala Desa/di tempat Wajib
Pajak terdaftar atau tempat lain yang ditunjuk.
b. Dalam rangka pelayanan, SPPT dapat dikirim melalui kantor Pos dan Giro
atau diantarkan oleh aparat Kelurahan/Desa.

5. TATA CARA PEMBAYARAN PBB.


a. Pembayaran dapat dilakukan melalui :
1) bank atau Kantor Pos dan Giro yang tercantum pada SPPT atau
2) Petugas pemungut PBB Kelurahan/Desa yang ditunjuk resmi.
b. Pembayaran harus dilakukan sekaligus (tidak diperkenankan mencicil).

Brevet A Halaman 142


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

PENGURANGAN PAJAK BUMI BAB


4
DAN BANGUNAN

1. PENGERTIAN
Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pemberian keringanan
pajak yang terutang atas Objek Pajak dalam hal :
a. Kondisi tertentu Objek Pajak yang ada hubungannya dengan Subyek Pajak
dan/atau karena sebab-sebab tertentu lainnya, yaitu :
1) lahan pertanian/perkebunan/perikanan/peternakan yang hasilnya sangat terbatas
yang dimiliki/dikuasai atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi.
2) Objek Pajak yang nilai jualnya meningkat disebabkan karena adanya
pembangunan atau perkembangan lingkungan yang dimiliki/dikuasai atau
dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang berpenghasilan rendah.
3) Objek Pajak yang dimiliki/dikuasai atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Orang
Pribadi yang penghasilannya semata-mata berasal dari pensiun, sehingga
kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi.
4) Objek Pajak yang dimiliki/dikuasai atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Badan
yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas yang serius sepanjang tahun,
sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban rutin perusahaan.
5) Objek Pajak yang dimiliki/dikuasai atau dimanfaatkan oleh masyarakat
berpenghasilan rendah lainnya sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi.
a. Terkena bencana alam seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor.
b. Terkena sebab-sebab lain yang luar biasa seperti kebakaran, kekeringan
(puso).

Brevet A Halaman 143


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

2. CARA PENGAJUAN PERMOHONAN


a. Permohonan pengurangan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada
Kepala Kantor Pelayanan PBB yang menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak
Terutang (SPPT)/Surat Ketetapan Pajak (SKP).
b. Isi surat permohonan menyebutkan prosentase pengurangan yang diminta
c. Pengajuan permohonan dilakukan dengan ketentuan :
1) Untuk ketetapan PBB s/d Rp 25.000,- dapat diajukan secara perseorangan atau
kolektif (melalui Kepala Desa/Lurah yang bersangkutan) dengan formulir yang
telah ditentukan.
2) Untuk ketetapan PBB di atas Rp 25.000,- harus diajukan oleh WP yang
bersangkutan dengan melampirkan fotokopi SPPT/SKP PBB Tahun Pajak
yang dimohonkan.
3) Untuk WP Badan, melampirkan fotokopi :
a) SPPT/SKP PBB tahun yang dimohonkan;
b) SPT PPh tahun terakhir beserta lampirannya.
d. Untuk Objek Pajak yang terkena bencana alam, hama tanaman, dan sebab lain
yang luar biasa dan bersifat massal diajukan oleh Kepala Desa/Lurah dengan
diketahui oleh Camat dengan mencantumkan nama-nama Wajib Pajak yang
dimohonkan pengurangannya dengan mempergunakan formulir yang telah
ditentukan.
e. Permohonan diajukan selambat-lambatnya 60 hari sejak SPPT/SKP diterima WP.
f. Apabila batas waktu pengajuan tersebut tidak dipenuhi, maka permohonannya
tidak diproses, dan Kepala Kantor Pelayanan PBB yang bersangkutan harus
memberitahukan secara tertulis kepada WP/Kepala Desa/Lurah, disertai penjelasan
seperlunya.

Brevet A Halaman 144


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

3. BENTUK KEPUTUSAN
Keputusan atas permohonan pengurangan besarnya PBB yang diajukan WP dapat
berupa:
a. Mengabulkan seluruh permohonan;
b. Mengabulkan sebagaian atau;
c. Menolak.

Brevet A Halaman 145


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

SURAT KETETAPAN BAB


5
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

1. SKP
Surat Ketatapan Pajak (SKP) adalah Surat Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan yang memberitahukan besarnya pajak yang terutang termasuk denda
administrasi, kepada Wajib Pajak (WP).

2. DASAR PENERBITAN SKP


SKP diterbitkan apabila :
a. Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) tidak disampaikan kembali dalam
jangka waktu 30 hari dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan
sebagaimana ditentukan dalam surat teguran.
b. Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain yang ada ternyata jumlah
pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP
yang disampaikan oleh WP.
3. JUMLAH PAJAK TERUTANG DALAM SKP
a. Jumlah pajak yang terutang dalam SKP yang disebabkan oleh pengembalian SPOP
lewat 30 hari setelah diterima WP, adalah sebesar pokok pajak ditambah dengan
denda administrasi sebesar 25% dihitung dari pokok pajak.
b. Jumlah pajak yang terutang dalam SKP yang disebabkan oleh hasil pemeriksaan
atau keterangan lainnya, dihitung berdasarkan SPOP ditambah denda administrasi
25% dari selisih pajak yang terutang.

4. CARA PENYAMPAIAN SKP


SKP disampaikan kepada WP melalui :

Brevet A Halaman 146


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

a. Kantor Pelayanan PBB/Kantor Penyuluhan Pajak.


b. Kantor Pos dan Giro.
c. Pemerintah Daerah.

5. BATAS WAKTU PELUNASAN SKP


SKP harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak SKP diterima oleh
WP.

6. LAIN-LAIN
Atas SKP dapat diajukan keberatan/pengurangan.

Brevet A Halaman 147


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

SURAT TAGIHAN BAB


6
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

1. STP
Surat Tagihan Pajak (STP) adalah Surat Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan (KP.PBB) untuk menagih pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar ditambah denda administrasi sebesar 2 (dua) persen per bulan.

2. DASAR PENERBITAN STP


a. Wajib Pajak (WP) tidak melunasi pajak yang terutang sedangkan saat jatuh tempo
pembayaran Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)/Surat Ketetapan Pajak
(SKP) telah lewat.
b. WP melunasi pajak yang terutang setelah lewat saat jatuh tempo pembayaran
SPPT/SKP tetapi denda administrasi tidak dilunasi.

3. CARA PENYAMPAIAN STP


STP disampaikan kepada WP melalui:
a. Kantor Pelayanan PBB/Kantor Penyuluhan Pajak.
b. Kantor Pos dan Giro.
c. Pemerintah Daerah.

4. BATAS WAKTU PELUNASAN STP


STP harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal STP diterima WP.

Brevet A Halaman 148


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

5. SANKSI ADMINISTRASI
Sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) setiap bulan,
untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung dari saat
jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran.

6. LAIN-LAIN
a. Atas STP tidak dapat diajukan keberatan.
b. WP dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali atas STP jika ternyata WP
telah melunasi kewajiban pajaknya.
c. Pajak yang terutang dalam STP apabila tidak dilunasi setelah jangka waktu yang
telah ditentukan dapat ditagih dengan surat paksa.

Brevet A Halaman 149


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

KEBERATAN ATAS PENGENAAN BAB


7
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

1. ALASAN PENGAJUAN KEBERATAN


a. Pajak yang terutang pada Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) atau Surat
Ketetapan Pajak (SKP) yang diterbitkan tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya,
karena kesalahan :
1) luas Objek Pajak bumi dan/atau bangunan;
2) klasifikasi Objek Pajak bumi dan/atau bangunan;
3) penetapan/pengenaan.
b. Terdapat perbedaan penafsiran peraturan perundang-undangan tentang PBB antara
Wajib Pajak (WP) dan Fiskus.
c. Kesalahan Penetapan Subyek Pajak sebagai WP oleh Direktorat Jenderal
Pajak.

2. TATA CARA PENGAJUAN KEBERATAN


a. Membuat permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Kepala
Kantor Pelayanan PBB.
b. Disampaikan dalam batas waktu 3 (tiga) bulan sejak diterimanya SPPT atau SKP.
c. Memuat alasan yang jelas
d. Melampirkan foto kopi sebagai berikut :
1) Bukti pemilikan hak atas tanah/sertifikat; dan/atau
2) Bukti Surat Ukur/Rincik; dan/atau
3) Akta Jual Beli; dan/atau
4) SPPT/SKP; dan/atau
5) Izin Mendirikan Bangunan (IMB); dan/atau
Brevet A Halaman 150
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

6) Bukti resmi lainnya.

3. BENTUK KEPUTUSAN.
Keputusan keberatan dapat berupa:
a. Diterima seluruhnya, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan
keberatan dan/atau diperoleh dalam peninjauan terbukti kebenarannya.
b. Diterima sebagian, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan
keberatan dan/atau diperoleh dalam peninjauan sebagian terbukti kebenarannya.
c. Ditolak, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan
dan/atau diperoleh dalam peninjauan tidak terbukti kebenarannya.
d. Ditambah jumlah pajaknya, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam
pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam peninjauan lapangan, menunjukkan
adanya peningkatan jumlah luas dan/atau Nilai Jual Objek Pajak.

4. LAIN-LAIN.
a. Keberatan terhadap SPPT/SKP harus diajukan per Objek Pajak dan per tahun
pajak.
b. Surat keberatan yang diajukan langsung oleh WP akan diberi Tanda Bukti
Penerimaan, dan surat keberatan yang dikirim malalui Pos Tercatat, Resi Tanda
Pengiriman menjadi Tanda Bukti Penerimaan.
c. Pengajuan permohonan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak.
Persyaratan Pengajuan Keberatan
1) Syarat Formal
2) Syarat Materiil
Untuk dapat dipertimbangkan sebagai permohonan keberatan, pengajuan
keberatan harus memenuhi syarat formal sebagai berikut :
a. Keberatan diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal
diterimanya SPPT/SKP oleh WP.
Brevet A Halaman 151
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

b. Dalam hal keadaan terpaksa (force majeur) WP harus dapat memberikan dan
membuktikan alasan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi.
c. Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
d. Diajukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama yang
menerbitkan SPPT/SKP;
e. Dalam hal dikuasakan kepada pihak lain harus melampirkan surat kuasa.
Selain memenuhi syarat formal, pengajuan keberatan juga harus memenuhi syarat
materiil sebagai berikut :
a. Diajukan masing-masing dalam satu Surat Keberatan kecuali yang diajukan
secara kolektif melalui Lurah/Kepala Desa setempat untuk setiap SPPT/SKP
per tahun pajak;
b. Mengemukakan alasan yang jelas dan mencantumkan besarnya Pajak Bumi
dan Bangunan menurut perhitungan WP.
Pengajuan Keberatan Tidak Menunda Kewajiban Membayar Pajak dan
Pelaksanaan Penagihan Pajak
Meskipun WP mengajukan keberatan, kewajiban pembayaran pajak tetap harus
dilaksanakan dan penagihan tetap berjalan sebagaimana ketentuan yang berlaku.

Keputusan Keberatan
Keputusan keberatan atas SPPT/SKP berupa:
a. Menolak, apabila permohonan keberatan WP memenuhi persyaratan formal
atau formal dan material, dan setelah dilakukan pemeriksaan ditemukan
bahwa alasan yang diajukan oleh wajib pajak tidak tepat atau tidak benar.
b. Menerima seluruhnya atau sebagian, apabila alasan WP sesuai dengan
data/keterangan yang diperoleh dari hasil pemeriksaan dan diterima
seluruhnya berdasarkan perhitungan WP, atau atas perintah Undang-undang.
menerima sebagian, apabila sebagian alasan WP sesuai dengan
data/keterangan yang diperoleh dari hasil pemeriksaan.
Brevet A Halaman 152
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

c. Tidak dapat diterima, apabila permohonan keberatan WP tidak memenuhi


persyaratan jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2
ayat (3) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nmor KEP-59/PJ.6/2000.
d. Menambah besarnya jumlah pajak yang terutang, apabila berdasarkan hasil
pemeriksaan diperoleh perhitungan yang menambah besarnya jumlah pajak
yang terutang.
 Lain-Lain
a. Keberatan terhadap SPPT dan atau SKP dengan ketetapan sampai dengan Rp
100.000,00 dapat diajukan secara perseorangan ataupun kolektif melalui
Kepala Desa/Lurah yang bersangkutan.
b. Keberatan terhadap SPPT dan atau SKP dengan ketetapan di atas Rp
100.000,00 harus diajukan oleh WP secara perseorangan.
c. KPP Pratama setelah menerima Surat Keberatan dari WP memberikan tanda
terima.
d. Tanda terima dari KPP Pratama/tanda pengiriman Surat Keberatan melalui
pos tercatat/sejenisnya merupakan tanda bukti bagi kepentingan WP.

Brevet A Halaman 153


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

KELEBIHAN PEMBAYARAN BAB


PAJAK BUMI DAN BANGUNAN 8

1. PENGERTIAN
Kelebihan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah selisih antara pajak
yang dibayar dengan pajak yang terutang. Kelebihan pembayaran PBB terjadi dalam hal
pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak (WP) lebih besar dari jumlah PBB yang
seharusnya terutang.
2. PENYEBAB TERJADINYA KELEBIHAN PEMBAYARAN
a. Perubahahan peraturan
b. Surat Keputusan Pemberian Pengurangan
c. Surat Keputusan Penyelesaian Keberatan
d. Kekeliruan pembayaran.

3. TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN


a. Mengajukan permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia yang jelas kepada
Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan PBB yang menerbitkan
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)/Surat Ketetapan Pajak (SKP)/Surat
Tagihan Pajak (STP).
b. Surat permohonan disampaikan langsung atau dikirim melalui pos tercatat
c. Surat permohonan dilampiri dengan dokumen yang berkaitan dengan Objek Pajak
yang dimohonkan berupa:
1) Fotokopi SPPT/SKP/STP dan Surat Keputusan tentang Keberatan/Banding
dan/atau Surat Keputusan tentang pemberian pengurangan;
2) Asli Surat Tanda Terima Setoran (STTS) PBB.

Brevet A Halaman 154


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

d. Meminta tanda bukti penerimaan surat permohonan (yang sudah lengkap) dari pejabat
Kantor Pelayanan PBB yang ditunjuk.

4. PELAKSANAAN PENGEMBALIAN
a. Dalam jangka waktu 12 bulan sejak diterimanya surat permohonan secara lengkap
dari WP, Kantor Pelayanan PBB harus menerbitkan :
1) Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak (SKKPP) PBB, apabila jumlah
yang dibayar ternyata lebih besar dari yang seharusnya terutang;
2) Surat Pemberitaan (SPb), apabila jumlah yang dibayar sama dengan jumlah
PBB yang seharusnya terutang;
3) Surat Ketetapan Pajak (SKP) apabila jumlah yang dibayar ternyata kurang dari
jumlah PBB yang seharusnya terutang.
4) Kepala Kantor Pelayanan PBB harus menerbitkan Surat Perintah Membayar
Kelebihan Pajak PBB (SPMKP.PBB) dalam jangka waktu 6 (enam) bulan
sejak diterbitkannya SKKPP.PBB.
b. Dalam hal WP mempunyai utang PBB atas objek lainnya dalam wilayah Dati II
yang sama, maka kelebihan pembayaran PBB yang tercantum dalam SKKPP.PBB
langsung diperhitungkan terlebih dahulu.
c. WP dapat mengajukan permohonan agar kelebihan pembayaran PBB
diperhitungkan dengan penetapan PBB yang akan datang.
d. Atas sisa penghitungan sebagaimana dimaksud pada huruf c dan d, dapat
diterbitkan SPMKP.PBB.

Brevet A Halaman 155


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

PENGAJUAN DAN PENYELESAIAN BAB


9
BANDING PBB

1. PENGERTIAN
Wajib Pajak (WP) yang tidak/belum puas terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak
atas keberatannya, dapat mengajukan banding kepada Badan Peradilan Pajak (BPP).
Sebelum BPP dibentuk permohonan banding diajukan kepada Majelis Pertimbangan Pajak
(MPP).

2. TATA CARA PENGAJUAN BANDING


a. Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan
memuat alasan yang jelas;
b. Permohonan banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal
diterimanya Surat Keputusan atas Keberatan oleh WP;
c. Permohonan banding harus dilampiri foto kopi Surat Keputusan atas Keberatan.

3. BENTUK PUTUSAN BANDING


a. Putusan banding dapat berupa :
1) Diterima seluruhnya
2) Diterima sebagian
3) Ditolak
4) Menambah jumlah PBB yang terutang.
b. Putusan banding oleh BPP merupakan putusan akhir dan bersifat tetap serta bukan
merupakan keputusan Tata Usaha Negara.

Brevet A Halaman 156


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

4. IMBALAN BUNGA
Apabila pengajuan permohonan banding diterima sebagian atau seluruhnya, maka
kelebihan pembayaran (bila ada) dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar
2% sebulan untuk selama-lamanya 24 bulan.

5. LAIN-LAIN
Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan
pelaksanaan penagihan pajak.

Brevet A Halaman 157


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

KLASIFIKASI BUMI & BANGUNAN BAB


10

Untuk memudahkan penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang terutang atas
suatu objek pajak berupa tanah (bumi) dan/atau bangunan perlu diketahui pengelompokan
objek pajak menurut nilai jualnya, tarif, Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
(NJOPTKP), dan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP).
Pengelompokan Objek Pajak menurut nilai jual tersebut lazim disebut dengan klasifikasi
tanah (bumi) dan bangunan.
1. NILAI JUAL OBJEK PAJAK TIDAK KENA PAJAK
Sejak tahun 1995 NJOPTKP ditetapkan sebesar Rp 8.000.000,- untuk tiap Wajib
Pajak (WP). Apabila WP mempunyai lebih dari satu Objek Pajak maka yang
mendapatkan NJOPTKP hanya satu objek, yaitu yang nilainya paling tinggi. Mulai tahun
2010 NJOPTKP berdasarkan Undang-Undang PDRD ditetapkan paling rendah sebesar
Rp 10.000.000

2. TARIF PAJAK BUMI DAN BANGUNAN


Tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dikenakan atas Objek Pajak sebelum
berlakuknya undang-Undang PDRD adalah tarif tunggal yaitu sebesar 0,5%. Setalh
berlakunya undang-undang ditetapkan maksimal 3%.

3. NILAI JUAL KENA PAJAK


Nilai Jual Kena Pajak ditetapkan :
a. Untuk Objek Pajak jenis penggunaan perumahan yang Wajib Pajaknya Orang
Pribadi dengan NJOP bernilai Rp 1 milyar atau lebih dan tidak dimiliki, dikuasai
atau dimanfaatkan oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS), ABRI, dan para pensiunan

Brevet A Halaman 158


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

termasuk janda atau dudanya yang berpenghasilan semata-mata dari gaji atau uang
pensiun ditetapkan sebesar 40 %.
b. Untuk Objek Pajak lainnya ditetapkan sebesar 20% .

4. PENERAPAN KLASIFIKASI BUMI DAN/ATAU BANGUNAN


Contoh Kasus:
Objek perumahan tanah dan bangunan perumahan:
Luas Bumi 1.000 m2 dengan nilai jual Rp 840.000,00/m2 Nilai jual tanah tersebut
termasuk kelas 17 dengan nilai jual Rp 802.000,- /m2
Luas Bangunan 400 m2 dengan nilai jual Rp 1.000.000,00/m2. Nilai jual bangunan
tersebut termasuk kelas 2 dengan nilai jual Rp 968.000,- /m2
Penghitungan PBB-nya :
Jumlah NJOP bumi :1.000 x Rp 802.000,- = Rp 802.000.000,-
Jumlah NJOP Bangunan : 400 x Rp 968.000,- = Rp 387.200.000,-
NJOP sebagai dasar pengenaan PBB = Rp 1.189.200.000,-
NJOPTKP = Rp 10.000.000,-
NJOP untuk penghitungan PBB = Rp 1.179.200.000,-
PBB yang terutang : 0,3% x Rp 472.480.000,- = Rp 3.537.600,-

Brevet A Halaman 159


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

Klasifikasi, Penggolongan, dan Ketentuan Nilai Jual Bumi Kelompok A


Kelas Penggolongan, Nilai Jual Permukaan Nilai Jual (Rp/M2)
Bumi (Tanah)
1 2 3
1 > 3.000.000 s/d 3.200.000 3.100.000
2 > 2.850.000 s/d 3.000.000 2.925.000
3 > 2.708.000 s/d 2.850.000 2.779.000
4 > 2.573.000 s/d 2.708.000 2.640.000
5 > 2.444.000 s/d 2.573.000 2.508.000
6 > 2.261.000 s/d 2.444.000 2.352.000
7 > 2.091.000 s/d 2.261.000 2.176.000
8 > 1.934.000 s/d 2.091.000 2.013.000
9 > 1.789.000 s/d 1.934.000 1.862.000
10 > 1.655.000 s/d 1.789.000 1.722.000
11 > 1.490.000 s/d 1.655.000 1.573.000
12 > 1.341.000 s/d 1.490.000 1.416.000
13 > 1.207.000 s/d 1.341.000 1.274.000
14 > 1.086.000 s/d 1.207.000 1.147.000
15 > 977.000 s/d 1.086.000 1.032.000
16 > 855.000 s/d 977.000 916.000
17 > 748.000 s/d 855.000 802.000
18 > 655.000 s/d 748.000 702.000
19 > 573.000 s/d 655.000 614.000
20 > 501.000 s/d 573.000 537.000
21 > 426.000 s/d 501.000 464.000
22 > 362.000 s/d 426.000 394.000
23 > 308.000 s/d 362.000 335.000

Brevet A Halaman 160


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

24 > 262.000 s/d 308.000 285.000


25 > 223.000 s/d 262.000 243.000
26 > 223.000 s/d 262.000 243.000
27 > 178.000 s/d 223.000 200.000
28 > 142.000 s/d 178.000 160.000
29 > 142.000 s/d 142.000 128.000
30 > 91.000 s/d 114.000 103.000
31 > 73.000 s/d 91.000 82.000
32 > 55.000 s/d 73.000 64.000
33 > 41.000 s/d 55.000 48.000
34 > 31.000 s/d 41.000 36.000
35 > 23.000 s/d 31.000 27.000
36 > 17.000 s/d 23.000 20.000
37 > 12.000 s/d 17.000 14.000
38 > 8.400 s/d 12.000 10.000
39 > 5.900 s/d 8.400 7.150
40 > 4.100 s/d 5.900 5.000
41 > 2.900 s/d 4.100 3.500
42 > 2.000 s/d 2.900 2.450
43 > 1.400 s/d 2.000 1.700
44 > 1.050 s/d 1.400 1.200
45 > 760 s/d 1.050 910
46 > 550 s/d 760 660
47 > 410 s/d 550 480
48 > 310 s/d 410 350
49 > 240 s/d 310 270
50 > 170 s/d 240 200

Brevet A Halaman 161


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

> 170 140

Klasifikasi, Penggolongan, dan Ketentuan Nilai Jual Bumi Kelompok B


Kelas Penggolongan, Nilai Jual Permukaan Nilai Jual (Rp/M2)
Bumi (Tanah)
1 2 3
1 > 67.390.000 s/d 69.700.000 68.545.000
2 > 65.120.000 s/d 67.390.000 66.255.000
3 > 62.890.000 s/d 65.120.000 64.000.000
4 > 60.700.000 s/d 62.890.000 61.795.000
5 > 58.550.000 s/d 60.700.000 59.625.000
6 > 56.440.000 s/d 58.550.000 57.495.000
7 > 54.370.000 s/d 56.440.000 55.405.000
8 > 52.340.000 s/d 54.370.000 53.355.000
9 > 50.350.000 s/d 52.340.000 51.345.000
10 > 48.400.000 s/d 50.350.000 49.375.000
11 > 46.490.000 s/d 48.400.000 47.445.000
12 > 44.620.000 s/d 46.490.000 45.555.000
13 > 42.790.000 s/d 44.620.000 43.705.000
14 > 44.000.000 s/d 42.790.000 41.895.000
15 > 39.250.000 s/d 41.000.000 40.125.000
16 > 37.540.000 s/d 39.250.000 38.395.000
17 > 35.870.000 s/d 37.540.000 36.705.000
18 > 34.240.000 s/d 35.870.000 35.055.000
19 > 32.650.000 s/d 34.240.000 33.445.000
20 > 31.100.000 s/d 32.650.000 31.875.000
21 > 29.590.000 s/d 31.100.000 30.345.000

Brevet A Halaman 162


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

22 > 28.120.000 s/d 29.590.000 28.855.000


23 > 26.690.000 s/d 28.120.000 27.405.000
24 > 25.300.000 s/d 26.690.000 25.995.000
25 > 23.950.000 s/d 25.300.000 24.625.000
26 > 22.640.000 s/d 23.950.000 23.295.000
27 > 21.370.000 s/d 22.640.000 22.005.000
28 > 20.140.000 s/d 21.370.000 20.755.000
29 > 18.950.000 s/d 20.140.000 19.545.000
30 > 17.800.000 s/d 18.950.000 18.375.000
31 > 16.690.000 s/d 17.800.000 17.245.000
32 > 15.620.000 s/d 16.690.000 16.155.000
33 > 14.590.000 s/d 15.620.000 15.105.000
34 > 13.600.000 s/d 14.590.000 14.095.000
35 > 12.650.000 s/d 13.600.000 13.125.000
36 > 11.740.000 s/d 12.650.000 12.195.000
37 > 10.870.000 s/d 11.740.000 11.305.000
38 > 10.040.000 s/d 10.870.000 10.455.000
39 > 9.250.000 s/d 10.040.000 9.645.000
40 > 8.500.000 s/d 9.250.000 8.875.000
41 > 7.790.000 s/d 8.500.000 8.145.000
42 > 7.120.000 s/d 7.790.000 7.455.000
43 > 6.490.000 s/d 7.120.000 6.805.000
44 > 5.900.000 s/d 6.490.000 6.195.000
45 > 5.350.000 s/d 5.900.000 5.625.000
46 > 4.840.000 s/d 5.350.000 5.095.000
47 > 4.370.000 s/d 4.840.000 4.605.000
48 > 3.940.000 s/d 4.370.000 4.155.000

Brevet A Halaman 163


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

49 > 3.550.000 s/d 3.940.000 3.745.000


50 > 3.200.000 s/d 3.550.000 3.375.000

Klasifikasi, Penggolongan, dan Ketentuan Nilai Jual Bangunan Kelompok A


Kelas Penggolongan, Nilai Jual Bangunan Nilai Jual (Rp/M2)
(Rp/M2)
1 2 3
1 > 1.034.000 s/d 1.366.000 1.200.000
2 > 902.000 s/d 1.034.000 968.000
3 > 744.000 s/d 902.000 823.000
4 > 656.000 s/d 744.000 700.000
5 > 534.000 s/d 656.000 595.000
6 > 476.000 s/d 534.000 505.000
7 > 382.000 s/d 476.000 429.000
8 > 348.000 s/d 382.000 365.000
9 > 272.000 s/d 348.000 310.000
10 > 256.000 s/d 272.000 264.000
11 > 194.000 s/d 256.000 225.000
12 > 188.000 s/d 194.000 191.000
13 > 136.000 s/d 188.000 162.000
14 > 128.000 s/d 136.000 132.000
15 > 104.000 s/d 128.000 116.000
16 > 92.000 s/d 104.000 98.000
17 > 74.000 s/d 92.000 83.000
18 > 68.000 s/d 74.000 71.000
19 > 52.000 s/d 68.000 60.000
20 > 52.000 50.000

Brevet A Halaman 164


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

Klasifikasi, Penggolongan, dan Ketentuan Nilai Jual Bangunan Kelompok B


Kelas Penggolongan, Nilai Jual Bangunan Nilai Jual (Rp/M2)
(Rp/M2)
1 2 3
1 > 14.700.000 s/d 15.800.000 15.250.000
2 > 13.600.000 s/d 14.700.000 14.150.000
3 > 12.550.000 s/d 13.600.000 13.075.000
4 > 11.550.000 s/d 12.550.000 12.050.000
5 > 10.600.000 s/d 11.550.000 11.075.000
6 > 9.700.000 s/d 10.600.000 10.150.000
7 > 8.850.000 s/d 9.700.000 9.275.000
8 > 8.050.000 s/d 8.850.000 8.450.000
9 > 7.300.000 s/d 8.050.000 7.675.000
10 > 6.600.000 s/d 7.300.000 6.950.000
11 > 5.850.000 s/d 6.600.000 6.225.000
12 > 5.150.000 s/d 5.850.000 5.500.000
13 > 4.500.000 s/d 5.150.000 4.825.000
14 > 3.900.000 s/d 4.500.000 4.200.000
15 > 3.350.000 s/d 3.900.000 3.625.000
16 > 2.850.000 s/d 3.350.000 3.100.000
17 > 2.400.000 s/d 2.850.000 2.625.000
18 > 2.000.000 s/d 2.400.000 2.200.000
19 > 1.666.000 s/d 2.000.000 1.833.000
20 > 1.366.000 s/d 1.666.000 1.516.000

Brevet A Halaman 165


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

Klasifikasi, Penggolongan, dan Ketentuan Nilai Jual Bumi Kelompok A


Kelas Penggolongan, Nilai Jual Permukaan Nilai Jual (Rp/M2)
Bumi (Tanah)
1 2 3
1 > 3.000.000 s/d 3.200.000 3.100.000
2 > 2.850.000 s/d 3.000.000 2.925.000
3 > 2.708.000 s/d 2.850.000 2.779.000
4 > 2.573.000 s/d 2.708.000 2.640.000
5 > 2.444.000 s/d 2.573.000 2.508.000
6 > 2.261.000 s/d 2.444.000 2.352.000
7 > 2.091.000 s/d 2.261.000 2.176.000
8 > 1.934.000 s/d 2.091.000 2.013.000
9 > 1.789.000 s/d 1.934.000 1.862.000
10 > 1.655.000 s/d 1.789.000 1.722.000
11 > 1.490.000 s/d 1.655.000 1.573.000
12 > 1.341.000 s/d 1.490.000 1.416.000
13 > 1.207.000 s/d 1.341.000 1.274.000
14 > 1.086.000 s/d 1.207.000 1.147.000
15 > 977.000 s/d 1.086.000 1.032.000
16 > 855.000 s/d 977.000 916.000
17 > 748.000 s/d 855.000 802.000
18 > 655.000 s/d 748.000 702.000
19 > 573.000 s/d 655.000 614.000
20 > 501.000 s/d 573.000 537.000
21 > 426.000 s/d 501.000 464.000
22 > 362.000 s/d 426.000 394.000
23 > 308.000 s/d 362.000 335.000

Brevet A Halaman 166


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

24 > 262.000 s/d 308.000 285.000


25 > 223.000 s/d 262.000 243.000
26 > 223.000 s/d 262.000 243.000
27 > 178.000 s/d 223.000 200.000
28 > 142.000 s/d 178.000 160.000
29 > 142.000 s/d 142.000 128.000
30 > 91.000 s/d 114.000 103.000
31 > 73.000 s/d 91.000 82.000
32 > 55.000 s/d 73.000 64.000
33 > 41.000 s/d 55.000 48.000
34 > 31.000 s/d 41.000 36.000
35 > 23.000 s/d 31.000 27.000
36 > 17.000 s/d 23.000 20.000
37 > 12.000 s/d 17.000 14.000
38 > 8.400 s/d 12.000 10.000
39 > 5.900 s/d 8.400 7.150
40 > 4.100 s/d 5.900 5.000
41 > 2.900 s/d 4.100 3.500
42 > 2.000 s/d 2.900 2.450
43 > 1.400 s/d 2.000 1.700
44 > 1.050 s/d 1.400 1.200
45 > 760 s/d 1.050 910
46 > 550 s/d 760 660
47 > 410 s/d 550 480
48 > 310 s/d 410 350
49 > 240 s/d 310 270
50 > 170 s/d 240 200

Brevet A Halaman 167


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

> 170 140

Klasifikasi, Penggolongan, dan Ketentuan Nilai Jual Bumi Kelompok B


Kelas Penggolongan, Nilai Jual Permukaan Nilai Jual (Rp/M2)
Bumi (Tanah)
1 2 3
1 > 67.390.000 s/d 69.700.000 68.545.000
2 > 65.120.000 s/d 67.390.000 66.255.000
3 > 62.890.000 s/d 65.120.000 64.000.000
4 > 60.700.000 s/d 62.890.000 61.795.000
5 > 58.550.000 s/d 60.700.000 59.625.000
6 > 56.440.000 s/d 58.550.000 57.495.000
7 > 54.370.000 s/d 56.440.000 55.405.000
8 > 52.340.000 s/d 54.370.000 53.355.000
9 > 50.350.000 s/d 52.340.000 51.345.000
10 > 48.400.000 s/d 50.350.000 49.375.000
11 > 46.490.000 s/d 48.400.000 47.445.000
12 > 44.620.000 s/d 46.490.000 45.555.000
13 > 42.790.000 s/d 44.620.000 43.705.000
14 > 44.000.000 s/d 42.790.000 41.895.000
15 > 39.250.000 s/d 41.000.000 40.125.000
16 > 37.540.000 s/d 39.250.000 38.395.000
17 > 35.870.000 s/d 37.540.000 36.705.000
18 > 34.240.000 s/d 35.870.000 35.055.000
19 > 32.650.000 s/d 34.240.000 33.445.000
20 > 31.100.000 s/d 32.650.000 31.875.000
21 > 29.590.000 s/d 31.100.000 30.345.000

Brevet A Halaman 168


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

22 > 28.120.000 s/d 29.590.000 28.855.000


23 > 26.690.000 s/d 28.120.000 27.405.000
24 > 25.300.000 s/d 26.690.000 25.995.000
25 > 23.950.000 s/d 25.300.000 24.625.000
26 > 22.640.000 s/d 23.950.000 23.295.000
27 > 21.370.000 s/d 22.640.000 22.005.000
28 > 20.140.000 s/d 21.370.000 20.755.000
29 > 18.950.000 s/d 20.140.000 19.545.000
30 > 17.800.000 s/d 18.950.000 18.375.000
31 > 16.690.000 s/d 17.800.000 17.245.000
32 > 15.620.000 s/d 16.690.000 16.155.000
33 > 14.590.000 s/d 15.620.000 15.105.000
34 > 13.600.000 s/d 14.590.000 14.095.000
35 > 12.650.000 s/d 13.600.000 13.125.000
36 > 11.740.000 s/d 12.650.000 12.195.000
37 > 10.870.000 s/d 11.740.000 11.305.000
38 > 10.040.000 s/d 10.870.000 10.455.000
39 > 9.250.000 s/d 10.040.000 9.645.000
40 > 8.500.000 s/d 9.250.000 8.875.000
41 > 7.790.000 s/d 8.500.000 8.145.000
42 > 7.120.000 s/d 7.790.000 7.455.000
43 > 6.490.000 s/d 7.120.000 6.805.000
44 > 5.900.000 s/d 6.490.000 6.195.000
45 > 5.350.000 s/d 5.900.000 5.625.000
46 > 4.840.000 s/d 5.350.000 5.095.000
47 > 4.370.000 s/d 4.840.000 4.605.000
48 > 3.940.000 s/d 4.370.000 4.155.000

Brevet A Halaman 169


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

49 > 3.550.000 s/d 3.940.000 3.745.000


50 > 3.200.000 s/d 3.550.000 3.375.000

Klasifikasi, Penggolongan, dan Ketentuan Nilai Jual Bangunan Kelompok A


Kelas Penggolongan, Nilai Jual Bangunan Nilai Jual (Rp/M2)
(Rp/M2)
1 2 3
1 > 1.034.000 s/d 1.366.000 1.200.000
2 > 902.000 s/d 1.034.000 968.000
3 > 744.000 s/d 902.000 823.000
4 > 656.000 s/d 744.000 700.000
5 > 534.000 s/d 656.000 595.000
6 > 476.000 s/d 534.000 505.000
7 > 382.000 s/d 476.000 429.000
8 > 348.000 s/d 382.000 365.000
9 > 272.000 s/d 348.000 310.000
10 > 256.000 s/d 272.000 264.000
11 > 194.000 s/d 256.000 225.000
12 > 188.000 s/d 194.000 191.000
13 > 136.000 s/d 188.000 162.000
14 > 128.000 s/d 136.000 132.000
15 > 104.000 s/d 128.000 116.000
16 > 92.000 s/d 104.000 98.000
17 > 74.000 s/d 92.000 83.000
18 > 68.000 s/d 74.000 71.000
19 > 52.000 s/d 68.000 60.000
20 > 52.000 50.000

Brevet A Halaman 170


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

Klasifikasi, Penggolongan, dan Ketentuan Nilai Jual Bangunan Kelompok B


Kelas Penggolongan, Nilai Jual Bangunan Nilai Jual (Rp/M2)
(Rp/M2)
1 2 3
1 > 14.700.000 s/d 15.800.000 15.250.000
2 > 13.600.000 s/d 14.700.000 14.150.000
3 > 12.550.000 s/d 13.600.000 13.075.000
4 > 11.550.000 s/d 12.550.000 12.050.000
5 > 10.600.000 s/d 11.550.000 11.075.000
6 > 9.700.000 s/d 10.600.000 10.150.000
7 > 8.850.000 s/d 9.700.000 9.275.000
8 > 8.050.000 s/d 8.850.000 8.450.000
9 > 7.300.000 s/d 8.050.000 7.675.000
10 > 6.600.000 s/d 7.300.000 6.950.000
11 > 5.850.000 s/d 6.600.000 6.225.000
12 > 5.150.000 s/d 5.850.000 5.500.000
13 > 4.500.000 s/d 5.150.000 4.825.000
14 > 3.900.000 s/d 4.500.000 4.200.000
15 > 3.350.000 s/d 3.900.000 3.625.000
16 > 2.850.000 s/d 3.350.000 3.100.000
17 > 2.400.000 s/d 2.850.000 2.625.000
18 > 2.000.000 s/d 2.400.000 2.200.000
19 > 1.666.000 s/d 2.000.000 1.833.000
20 > 1.366.000 s/d 1.666.000 1.516.000

Brevet A Halaman 171


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

PENDAFTARAN & PENDATAAN BAB


11
OBJEK PBB

1. PENDAFTARAN OBJEK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB)


Pendaftaran Objek PBB dilakukan oleh Subyek Pajak dengan cara mengambil dan
mengisi formulir Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) secara jelas, benar dan
lengkap dengan disertai sket/denah Objek Pajak dan ditandatangani serta dikembalikan ke
Kantor Pelayanan PBB yang bersangkutan atau tempat lain yang ditunjuk untuk
pengambilan dan pengembalian SPOP. Formulir SPOP disediakan dan dapat diambil
gratis di Kantor Pelayanan PBB atau tempat lain yang ditunjuk.

2. PENDATAAN OBJEK PAJAK


Pendataan Objek Pajak Bumi dan Bangunan dilakukan oleh Kantor Pelayanan PBB
dengan menggunakan SPOP dan dilaksanakan sekurang-kurangnya untuk satu wilayah
administrasi desa/kelurahan.
Pendataan dapat dilakukan dengan cara:
a. Penyebaran SPOP:
Hanya dapat dilakukan pada daerah/wilayah yang tidak/belum mempunyai peta,
terpencil dan mempunyai potensi PBB yang relatif kecil.
b. Identifikasi Objek Pajak
Dilakukan pada daerah/wilayah yang sudah memiliki peta garis/peta foto yang
dapat menentukan posisi relatif Objek Pajak, namun tidak mempunyai data
administrasi pembukuan PBB hasil pendataan 3 (tiga) tahun terakhir secara
lengkap.
c. Verifikasi Objek Pajak

Brevet A Halaman 172


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

Dilakukan pada daerah/wilayah yang sudah memiliki peta garis/peta foto dan sudah
mempunyai data administrasi pembukuan PBB hasil pendataan 3 (tiga) tahun
terakhir secara lengkap.
d. Pengukuran Bidang Objek Pajak
Dilakukan pada daerah/wilayah yang hanya memiliki sket desa/kelurahan, sehingga
belum dapat digunakan untuk menentukan posisi relatif Objek Pajak, namun
letaknya strategis dan mempunyai potensi PBB yang pesat.

Brevet A Halaman 173


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

PENAGIHAN PAJAK BUMI DAN BAB


12
BANGUNAN

1. DASAR PENAGIHAN
Dasar penagihan Pajak Bumi dan Bangunan adalah :
a. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)
b. Surat Ketetapan Pajak (SKP)
c. Surat Tagihan Pajak (STP)

2. PELAKSANAAN PENAGIHAN
a. Pajak yang terutang dalam SPPT/SKP yang tidak/kurang dibayar setelah lewat
jatuh tempo pembayaran akan ditagih dengan Surat Tagihan Pajak (STP)
termasuk denda administrasi-nya. Jumlah tagihan yang tercantum dalam STP
harus dilunasi selambat-lambatnya 1 bulan sejak STP diterima oleh Wajib
Pajak (WP).
b. Setelah tujuh hari sejak jatuh tempo yang tercantum dalam STP, utang pajak
beserta denda belum dibayar, segera diterbitkan Surat Teguran .
c. Dalam hal WP tidak melunasi utang pajak beserta denda dalam waktu yang telah
ditentukan dalam Surat Teguran, Surat Paksa harus segera diterbitkan setelah 21
hari sejak tanggal Surat Teguran dengan dibebani biaya pelaksanaan penagihan
paksa sebesar Rp 25.000,-.
d. Apabila dalam waktu 1 x 24 jam sejak tanggal pemberitahuan Surat Paksa utang
pajak beserta denda belum juga dilunasi, segera diterbitkan Surat Perintah
Melakukan Penyitaan dengan biaya pelaksanaaan sita sebesar Rp 75.000,-
dibebankan kepada WP.

Brevet A Halaman 174


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

e. Dalam waktu sepuluh hari setelah tindakan penyitaan, utang pajak beserta denda
belum dilunasi, pelaksanaan penagihan akan dilanjutkan dengan tindakan
pelelangan melalui Kantor Lelang Negara, setelah terlebih dahulu diumumkan
melalui surat kabar.
Dalam hal biaya penagihan paksa dan biaya pelaksanaan sita belum dibayar, maka
akan dibebankan kepada WP bersama-sama dengan biaya iklan untuk pengumuman lelang
dalam surat kabar dan biaya lelang pada saat pelelangan.
Catatan:
a. Apabila WP melunasi utang pajaknya beserta denda dan biaya-biaya lainnya
sebelum pelaksanaan penyitaan, maka Surat Perintah Melakukan Penyitaan
dicabut.
b. Apabila WP melunasi utang pajaknya beserta denda dan biaya-biaya lainnya
sebelum pelaksanaan lelang, maka Pengumuman Lelang dibatalkan

3. HAK-HAK WAJIB PAJAK


a. Meminta Juru Sita memperlihatkan tanda pengenal Juru Sita Pajak Negara.
b. Menerima salinan Surat Paksa dan Salinan Berita Acara Penyitaan.
c. Menentukan urutan barang yang akan dilelang
d. Sebelum pelaksanaan lelang mendapat kesempatan terakhir untuk melunasi utang
pajak beserta denda termasuk biaya penyitaan, iklan, dan biaya pembatalan lelang
serta melaporkan pelunasan tersebut kepada Kantor Pelayanan PBB yang
bersangkutan.

4. KEWAJIBAN WAJIB PAJAK


a. Membantu Juru Sita Pajak Negara dalam melaksanakan tugasnyda engan :
1) memperbolehkan memasuki ruangan, tempat usaha, tempat tinggal;
2) memberikan keterangan lisan atau pun tertulis yang diperlukan;
b. Barang yang disita dilarang dipindahtangankan, dihipotikkan, atau disewakan.
Brevet A Halaman 175
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

5. LAIN-LAIN
Juru Sita Pajak Negara berhak meminta bantuan Kepolisian Negara atau aparat
Pemerintah Daerah dalam rangka pelaksanaan penagihan pajak negara.

Brevet A Halaman 176


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN


BANGUNAN (BPHTB)

Brevet A Halaman 177


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

DEFINISI, OBYEK BPHTB BAB


1

1. DEFINISI
a. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan , yang selanjutnya disebut pajak;
b. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa
hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh
orang pribadi atau badan;
c. Hak atas tanah adalah hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian diperkuat oleh Undang-
undang Nomor 21 Tahun 1997 yang kemudian di perbaharui dengan Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2000.

BPHTB dinamai Bea, bukan Pajak. Hal ini disebabkan karena :


a. Ciri pertama, pembayaran pajak terjadi lebih dahulu daripada saat terutang.
Contohnya, pembeli tanah bersertifikat sudah diharuskan membayar BPHTB
terjadi juga dalam bea materai. Siapapun pihak yang membeli meterai tempel,
berarti ia sudah membayar bea materai, walaupun belum terjadi saat terutang
pajak.
b. Ciri kedua adalah frekuensi pembayaran bea terutang dapat dilakukan secara
insidensial atau berkali-kali dan tidak terikat oleh waktu. Misalnya, membeli atau
membayar materai tempel dapat dilakukan kapan saja. Demikian pula dengan
membayar BPHTB terutang. Hal ini tentunya berbeda dengan pajak, yang harus
dibayar sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan

Brevet A Halaman 178


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

2. OBJEK PAJAK
Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan meliputi :
a. Pemindahan hak karena:
1) Jual beli
2) Tukar-menukar
3) Hibah
4) Hibah wasiat
5) Waris
6) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya
7) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
8) Penunjukan pembeli dalam lelang
9) Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap
10) Penggabungan usaha
11) Peleburan usaha
12) Pemekaran usaha
13) Hadiah.
b. Pemberian hak baru karena :
1) Kelanjutan pelepasan hak
2) di luar pelepasan hak.
Hak atas tanah adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak
milik atas satuan rumah susun atau hak pengelolaan.

Jenis Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan


a. Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh
Pemerintah.

Brevet A Halaman 179


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

b. Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh
perundang-undangan yang berlaku.
c. Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-
bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang
ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria.
d. Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang
memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam
perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa
atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan
dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e. Hak milik atas satuan rumah susun adalah hak milik atas satuan yang bersifat
perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga
hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang
bersangkutan.
f. Hak pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain,
berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah
untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah
tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.

3. OBJEK PAJAK YANG TIDAK DIKENAKAN BPHTB.


a. perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik

Brevet A Halaman 180


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

b. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan


pembangunan guna kepentingan umum
c. badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri
d. orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan
tidak adanya perubahan nama
e. orang pribadi atau badan karena wakaf
f. untuk digunakan kepentingan ibadah.

4. SUBJEK PAJAK
Yang menjadi subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak
atas tanah dan atau bangunan. Subjek pajak sebagaimana tersebut yang dikenakan
kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak menurut Undang-undang Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan.

5. TARIF PAJAK
Tarif Pajak ditetapkan sebesar 5 % (lima persen)

6. BPHTB KARENA HIBAH WASIAT DAN PEMBERIAN HAK


PENGELOLAAN
a. Besarnya bea atau pajak yang terutang atas perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan karena hibah wasiat yang diterima oleh :
1) Orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat ke atas dan kebawah termasuk suami / isteri
dikenakan 0 % dari bea atau pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan yang seharusnya terutang.
2) Orang pribadi selain pada butir a dan badan hukum tertentu dikenakan sebesar
50 % dari bea atau pajak atas perolehan perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan yang seharusnya terutang.
Brevet A Halaman 181
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

b. Besarnya bea atau pajak yang terutang atas perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan karena pemberian hak pengelolaan :
1) 0 % (nol persen) dari bea atau pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan yang seharusnya terutang, apabila penerima hak pengelolaan adalah
Departemen, Pemerintah Daerah Tingkat I,II, Lembaga Pemerintah lainnya dan
Perusahaan Umum (PERUM) Pembangunan Perumahan Nasional
(PERUMNAS),dan dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas BPHTB yag
diterbitkan oleh Kepala KPPBB yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah
yang diberikan Hak Pengelolaan.
2) 25 % (dua puluh lima persen) dari bea atau pajak atas perolehan hak atas tanah
dan atau bangunan yang seharusnya terutang, apabila penerima hak
pengelolaan selain dimaksud pada huruf a.

7. DASAR PENGENAAN DAN CARA PENGHITUNGAN PAJAK


Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak. Nilai Perolehan
Objek Pajak dalam hak :
a. jual beli adalah harga transaksi
b. tukar-menukar adalah nilai pasar objek pajak tersebut
c. hibah adalah nilai pasar objek pajak tersebut
d. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar objek
pajak tersebut
e. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar objek pajak
tersebut
f. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam
Risalah Lelang
g. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan
hukum tetap adalah nilai pasar objek pajak tersebut

Brevet A Halaman 182


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

h. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai
pasar objek Pajak tersebut
i. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar objek pajak
tersebut.
1) Apabila Nilai Perolehan Objek Pajak tidak diketahui atau lebih rendah
daripada Nilai Jual Objek Pajak yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi
dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan pajak yang
dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan.
2) Apabila Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan belum ditetapkan ,
Menteri dapat menetapkan besarnya Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan
Bangunan.
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp.
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena
waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke
bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp. 300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah). dan dapat diubah dengan Peraturan Pemerintah.
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak
dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak.
Besarnya pajak yang terutang :
5 % X Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak
contoh :
a. Pada tanggal 2 Juli 1998, Wajib Pajak "A" membeli tanah dengan Nilai Perolehan
Objek Pajak Rp 55.000.000,00 Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp
60.000.000,00. Karena Nilai Perolehan Objek Pajak berada di bawah Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak, Maka perolehan hak atas tanah tersebut
tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Brevet A Halaman 183
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

b. Pada tanggal 1 Agustus 1998 membeli tanah dengan :


Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 80.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak
Tidak Kena Pajak Rp 60.000.000,00
Nilai Perolehan Objek Pajak
Kena Pajak Rp 20.000.000,00
Pajak yang terutang :
5 % x Rp 20.000.000,00 = Rp 1.000.000,00
c. Pada tanggal 1 Maret 2003 , Bapak Rahmat membeli sebuah rumah seluas
200M2 yang berada diatas sebidang tanah hak milik seluas 500 M2 di Kota
Bogor dengan harga perolehan sebesar Rp500.000.000,- Berdasarkan data
SPPT PBB atas objek tersebut ternyata NJOPnya sebesar Rp.600.000.000,-
(tanah dan bangunan). Bila NPOPTKP ditentukan sebesar Rp50.000.000,-
maka kewajiban BPHTB yang harus dipenuhi oleh Bapak Rahmat tersebut
adalah : 5% x (600.000.000 - 50.000.000) = Rp27.500.000,-

8. SAAT DAN TEMPAT PAJAK TERUTANG


Saat yang menentukan pajak yang terutang atas perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan untuk :
a. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta
b. tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta
c. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta
d. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat
dan ditandatangani akta
e. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatangani akta
f. lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang

Brevet A Halaman 184


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

g. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum yang tetap
h. hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan
haknya ke Kantor Pertanahan.
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak
tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak
j. pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat
keputusan pemberian hak
k. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.

Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak
Tempat Pajak yang terutang adalah di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II, atau
Kotamadya Daerah Tingkat II, atau Propinsi Daerah Tingkat I untuk Kotamadya
Administratif yang meliputi letak tanah dan atau bangunan.

9. PEMBAYARAN
a. Wajib Pajak membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada
adanya surat ketetapan pajak.
b. Pajak yang terutang dibayar di Bank Persepsi/ Kantor Pos atau tempat pembayaran
yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan Surat Setoran BPHTB sebelum :
1) akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan ditandatangani oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah/Notaris;
2) Risalah Lelang untuk pembeli ditandatangani oleh kepala Kantor Lelang/ Pejabat
Lelang;
3) dilakukan pendaftaran hak oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kotamadya
dalam hal pemberian hak baru dan pemindahan hak karena pelaksanaan Putusan
Hakim atau hibah wasiat.

Brevet A Halaman 185


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

PERMOHONAN KEBERATAN, BAB


2
BANDING PENGURANGAN DAN
PENGEMBALIAN B P H T B

1. TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN KEBERATAN


a. Yang Dapat Diajukan Keberatan
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak
atas suatu
1) Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
(SKBKB);
2) Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
Tambahan (SKBKBT);
3) Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar
(SKBLB);
4) Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil (SKBN).
b. Syarat-Syarat Mengajukan Keberatan
1) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan
mengemukakan jumlah pajak yang terutang menurut perhitungan Wajib Pajak
dengan disertai alasan-alasan yang jelas
2) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak
tanggal diterimanya SKBKB atau SKBKBT atau SKBLB atau SKBN, kecuali
apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat
dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
3) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan tidak dianggap sebagai Surat
Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.

Brevet A Halaman 186


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

4) Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat


Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan
melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut
bagi kepentingan Wajib Pajak.
c. Permintaan Penjelasan
1) Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan,
Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal
yang menjadi dasar pengenaan pajak.
2) Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis
d. Jangka Waktu Penyelesaian
1) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan
sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas
keberatan yang diajukan.
2) Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan
seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak
terutang.
3) Apabila jangka waktu 12 (dua belas) bulan telah lewat dan Direktur Jenderal
Pajak tidak memberi suatu keputusan , keberatan yang diajukan tersebut
dianggap dikabulkan.

2. TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN BANDING


a. Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
Apabila Wajib Pajak tidak atau belum puas dengan keputusan yang diberikan atas
keberatan, maka dapat mengajukan banding. Wajib Pajak dapat mengajukan
permohonan banding hanya kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP)
terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pajak.
b. Syarat-Syarat Pengajuan Banding
Brevet A Halaman 187
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

1) Tertulis dalam bahasa Indonesia


2) Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan keberatan
diterima.
3) Alasan yang jelas
4) Dilampiri salinan dari Surat Keputusan atas keberatan
c. Sifat Putusan
Putusan BPSP merupaka putusan akhir dan bersifat tetap dan bukan Keputusan
Tata Usaha Negara.
d. Imbalan Bunga
Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding diterima sebagian atau
seluruhnya, maka kelebihan pembayaran dikembalikan dengan ditambah imbalan
bunga sebesar 2% sebulan, untuk selama-lamanya 24 bulan.

3. PENGURANGAN
Atas permohonan Wajib Pajak, dapat diberikan pengurangan BPHTB dalam hal :
a. tanah dan atau bangunan digunakan untuk kegiatan sosial dan pendidikan yang
semata-mata tidak bertujuan mencari keuntungan.
b. kondisi tertentu tanah dan atau bangunan yang ada hubungannya dengan Wajib
Pajak.
c. hibah kepada orang pribadi dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat ke atas atau ke bawah.
Besarnya pengurangan BPHTB ditetapkan sebesar :
a. 50% dari pajak yang seharusnya terutang untuk Wajib Pajak tersebut pada butir a
dan b;
b. 75% dari pajak yang seharusnya terutang untuk Wajib Pajak tersebut pada butir c.

4. PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN


a. Pengajuan Pengembalian Atas Kelebihan Pembayaran Pajak
Brevet A Halaman 188
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan


pembayaran pajak kepada Direktur Jenderal Pajak.
b. Syarat-Syarat Pengajuan Kelebihan Pembayaran
1) Tertulis dalam bahasa Indonesia
2) menyebutkan jumlah kelebihan pembayaran.
3) Alasan yang jelas
c. Jangka Waktu Penyelesaian
1) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan
sejak diterimanya permohonan harus memberikan keputusan.
2) Apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan te;ah terlampaui dan
Direktur Jenderal Pajak tidak memberi keputusan, permohonan kelebihan
pambayaran pajak dianggap dikabulkan serta Surat Ketetapan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar harus diterbitkan dalam jangka
waktu paling lama 1 (satu) bulan.
3) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan dalam jangka waktu
Paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Bea Perolahan
Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar.
d. Imbalan Bunga
Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah lewat jangka
waktu 2 (dua) bulan, Direktur Jenderal Pajak memberikan imbalan bunga sebesar
2 % (dua persen) sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran
pajak.
Dalam hal Wajib Pajak mempunyai utang BPHTB dalam wilayah Daerah Tingkat
II yang sama, maka kelebihan pembayaran BPHTB diperhitungkan dahulu dengan
utang BPHTB dan atau PBB.

Brevet A Halaman 189


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

5. LAIN-LAIN
Pengajuan keberatan dan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan
pelaksanaan penagihan pajak.

Brevet A Halaman 190


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

BEA METERAI

Brevet A Halaman 191


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

DASAR HUKUM, OBYEK DAN BAB


1
TARIF BEA MATERAI

1. DASAR HUKUM
Dasar hukum pengenan pajak Bea Materai adalah:
a. UU Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai
b. PP No. 24 Tahun 2000 tentang perubahan tarif Bea Materai dan Besarnya Batas
Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Materai

2. ISTILAH-ISTILAH
Isilah-istlah yang terdapat dalam pengenaan bea materai adalah:
a. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud
tentang : perbuatan,- keadaan/ kenyataan bagi seseorang dan/ atau pihak-pihak
yang berkepentingan.
b. Benda Meterai adalah meterai tempel dan kertas meterai yang dikeluarkan oleh
Pemerintah R.I.
c. Pemeteraian Kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Meterai yang dilakukan
oleh Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Meterainya belum
dilunasi sebagaimana mestinya.
d. termasuk : parap, teraan/ cap tanda tangan/ cap parap, teraan cap nama/ tanda
lainnya sebagai pengganti tanda tangan.
e. Pejabat Pos adalah pejabat Perum Pos dan Giro yang diserahi tugas melayani
permintaan pemeteraian kemudian.

3. OBJEK BEA METERAI


Dokumen yang dikenakan Bea Meterai adalah :
Brevet A Halaman 192
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya ( a.l. Surat Kuasa, Surat Hibah, Surat
Pernyataan) yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian
mengenai perbuatan, kenyataan/ keadaan yang bersifat perdata.
b. Akta-akta Notaris termasuk salinannya
c. Akta-akta yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-
rangkapnya
d. Surat yang memuat jumlah uang yaitu :
1) Yang menyebutkan penerimaan uang;
2) Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalan rekening
bank
3) Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank
4) Yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya/sebagian telah dilunasi/
diperhitungkan.
e. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep dan cek
f. Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan:
1) Surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan
2) Surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya,
jika digunakan untuk tujuan lain/ digunakan oleh orang lain, lain dari maksud
semula

4. TARIF BEA METERAI


a. Berdasar PP 42 Tahun 2000 Pasal 2, Tarif Bea Meterai Rp. 6.000,- untuk
dokumen :huruf a, huruf b, huruf e, dan huruf f (PP 42 Tahun 2000 Pasal 2)
1) Surat perjanjian dan surat-surat lainnya ( a.l. Surat Kuasa, Surat Hibah, Surat
Pernyataan) yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat
pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan/ keadaan yang bersifat perdata.
2) Akta-akta Notaris termasuk salinannya

Brevet A Halaman 193


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

3) Akta-akta yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-


rangkapnya.
4) Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan:
a) Surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan
b) Surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan
tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain/ digunakan oleh orang lain,
lain dari maksud semula
b. Untuk dokumen huruf d dan e dikenakan :
1) Surat yang memuat jumlah uang yaitu :
a) Yang menyebutkan penerimaan uang;
b) Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalan
rekening bank
c) Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank
d) Yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya/sebagian telah
dilunasi/ diperhitungkan.
2) Surat berharga seperti wesel, promes, aksep dan cek
a) Nominal sampai Rp. 250.000,- tidak dikenakan Bea Meterai
b) Nominal antara Rp. 250.000,- sampai Rp. 1.000.000,- dikenakan Bea
Meterai Rp. 3.000,-
c) Nominal diatas Rp. 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp. 6.000,-
c. Cek dan Bilyet giro dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp. 3.000,- tanpa
batas pengenaan besarnya harga nominal (Pasal 3 PP 24 Tahun 2000)
d. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal
sampai dengan Rp. 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp. 6.000,-
e. Sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum dalam
surat kolektif yang mempunyai jumlah harga nominal sampai dengan Rp.
1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp. 3.000,-, sedangkan yang mempunyai

Brevet A Halaman 194


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

harga nominal lebih dari Rp. 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai dengan tarif
sebesar Rp. 6.000,-.

5. BUKAN OBJEK/TIDAK DIKENAKAN BEA METERAI


a. Dokumen yang berupa :
1) Surat Penyimpanan Barang
2) Konsemen
3) Surat angkutan penumpang dan barang
4) Keterangan pemindahan yang dituliskan diatas dokumen sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, b dan c
5) Bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang
6) Surat Pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim
7) Surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat sebagaimana
dimaksud dalam hurup a sampai hurup f.
b. Segala bentuk ijasah
c. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya
yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan
untuk mendapatkan pembayaran itu.
d. Tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas pemerintah daerah dan
bank.
e. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat
disamakan dengan itu dari kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.
f. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi.
g. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada
penabung oleh bank, koperasi dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang
tersebut.
h. Surat gadai yang diberikan oleh perusahaan umum pegadaian.

Brevet A Halaman 195


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

i. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam
bentuk apapun.

6. SAAT DAN PIHAK YANG TERUTANG BEA METERAI


a. Saat terutang :
1) Dokumen yang dibuat oleh satu pihak, pada saat dokumen diserahkan
2) Dokumen yang dibuat oleh lebih dari satu pihak, pada saat selesainya
dokumen dibuat.
3) Dokumen yang dibuat di luar negeri, pada saat digunakan di Indonesia.
b. Pihak yang terutang :
Bea Meterai terutang oleh pihak yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat
dari dokumen, kecuali pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain

7. PENGGUNAAN DAN PELUNASAN BEA METERAI


a. Bentuk ukuran, warna meterai tempel dan kertas meterai, demikian pula
percetakan, pengurusan, penjualan serta penelitian keabsahannya ditetapkan oleh
Menteri Keuangan.
b. Bea Meterai atas dokumen dilunasi dengan cara :
1) menggunakan benda meterai
2) menggunakan cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan
c. Meterai tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas
dokumen yang dikenakan Bea Meterai
d. Meterai tempel direkatkan ditempat dimana tanda tangan akan dibubuhkan.
e. Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan dan tahun
dilakukan dengan tinta atau yang sejenis dengan itu, sehingga sebagian tanda
tangan di atas kertas dan sebagian lagi di atas meterai tempel.
f. Jika digunakan lebih dari satu meterai tempel, tanda tangan harus dibubuhkan
sebagaian di atas semua meterai tempel dan sebagian di atas kertas.
Brevet A Halaman 196
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

g. Kertas meterai yang sudah digunakan, tidak boleh digunakan lagi.


h. Jika isi dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu panjang untuk dimuat
seluruhnya di atas kertas meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang
masih tertinggal dapat digunakan kertas tidak bermeterai.
i. Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud angka 1 sampai angka f tidak dipenuhi
maka dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.
j. Dokumen sebagaimana yang dimaksud dalam objek Bea Meterai tidak atau
kurang dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda administrasi sebesar
200% ( dua ratus persen ) dari Bea Meterai yang tidak atau kurang bayar.
k. Pemegang dokumen atas dokumen sebagaimana dimaksud pada angka 10 harus
melunasi Bea Meterai yang terhutang dengan cara pemeteraian kemudian.
l. Pejabat pemerintah, hakim, panitera, jurusita, notaris dan pejabat umum lainnya,
masing-masing dalam tugas atau jabatannya tidak dibenarkan :
1) Menerima mempertimbangkan atau menyimpan dokumen yang Bea
Meterainya tidak atau kurang bayar.
2) Melekatkan dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar sesuai
dengan tarifnya pada dokumen lain yang berkaitan.
3) Membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dari dokumen yang Bea
Meterainya tidak atau kurang dibayar.
4) Memberikan keterangan atau catatan pada dokukmen yang tidak atau kurang
dibayar sesuai dengan tarif Bea Meterainya.
m. Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan angka 12 dikenakan sangsi
administratif sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku
n. Kewajiban pemenuhan Bea Meterai dan denda administrasi yang terhutang
menurut undang-undang Bea Meterai daluwarsa setelah lampau waktu 5 tahun,
terhitung sejak tanggal dokumen dibuat.

Brevet A Halaman 197


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

Cara Pelunasan Bea Materai


a. Pelunasan Bea Meterai dengan Menggunakan Meterai Tempel
Cara mempergunakan meterai tempel :
1) Meterai Tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas
dokumen yang dikenakan Bea Meterai.
2) Meterai Tempel direkatkan di tempat dimana tanda tangan akan dibubuhkan.
3) Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan
tahun dilakukan dengan tinta atau yang sejenis dengan itu, sehingga sebagian
tanda tangan di atas kertas dan sebagian lagi di atas Meterai Tempel.
4) Jika digunakan lebih dan satu Meterai Tempel, tanda tangan harus dibubuhkan
sebagian di atas semua Meterai Tempel dan sebagian di atas kertas.
5) Pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Tempel tetapi tidak
memenuhi ketentuan di atas, dokumen yang bersangkutan dianggap tidak
bermeterai.
b. Pelunasan Bea Meterai dengan Menggunakan Kertas Meterai
Cara mempergunakan kertas meterai :
1) Sehelai Kertas Meterai hanya dapat digunakan untuk sekali pemakaian.
2) Kertas Meterai yang sudah digunakan, tidak boleh digunakan lagi.
3) Jika isi dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu panjang untuk dimuat
seluruhnya di atas Kertas Meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang
masih tertinggal dapat digunakan kertas tidak bermeterai.
4) Jika sehelai Kertas Meterai karena sesuatu hal tidak jadi digunakan dan dalam
hal ini belum ditandatangani oleh yang berkepentingan, sedangkan dalam
Kertas Meterai telah terlanjur ditulis dengan beberapa kata/kalimat yang
belum merupakan suatu dokumen yang selesai dan kemudian tulisan yang ada
pada Kertas Meterai tersebut dicoret dan dimuat tulisan atau keterangan baru,
maka Kertas Meterai yang demikian dapat digunakan dan tidak Perlu dibubuhi
meterai lagi.
Brevet A Halaman 198
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

5) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud di atas tidak dipenuhi, dokumen


yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.
c. Pelunasan dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan
Pelunasan dengan cara membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin
Teraan memerlukan beberapa syarat sebagai berikut:
1) Pelunasan Bea Meterai dengan mesin teraan meterai hanya diperkenankan
kepada penerbit dokumen yang melakukan pemeteraian dengan jumlah rata-
rata setiap hari minimal sebanyak 50 dokumen.
2) Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan mesin
teraan meterai harus melakukan prosedur sebagai berikut:
a) mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan
Pajak setempat dengan mencantumkan jenis/merk dan tahun pembuatan mesin
teraan meterai yang akan digunakan, serta melampirkan surat pernyataan
tentang jumlah rata-rata dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai setiap
hari.181
b) melakukan penyetoran Bea Meterai di muka minimal sebesar Rp
15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak Ke Kas Negara melalui Bank Persepsi.
c) menyampaikan laporan bulanan penggunaan mesin teraan meterai kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat paling lambat tanggal 15 setiap
bulan.
d) Ijin penggunaan mesin teraan meterai berlaku selama 2 (dua) tahun sejak
tanggal ditetapkannya, dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.
d. Pelunasan dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan Sistem
Komputerisasi
1) Pelunasan Bea Meterai dengan sistem komputerisasihanya diperkenankan
untuk dokumen yang berbentuk surat yang memuat jumlah uang dalam Pasal 1

Brevet A Halaman 199


LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

huruf d PP No. 24 Tahun 2000 dengan jumlah rata-rata pemeteraian setiap


hari minimal sebanyak 100 dokumen.
a) mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Direktur Jenderal
Pajak dengan mencantumkan jenis dokumen dan perkiraan jumlah rata-
rata dokumen yang akan dilunasi Bea Meterai setiap hari.
b) pembayaran Bea Meterai di muka minimal sebesar perkiraan jumlah
dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai setiap bulan, dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (ke Kas Negara melalui Bank
Pensepsi).
c) menyampaikan laporan bulanan tentang realisasi penggunaan dan saldo
Bea Meterai kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat tanggal 15
setiap bulan.182
2) Ijin pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas
dengan sistem komputerisasi berlaku selama saldo Bea Meterai yang telah
dibayar pada saat mengajukan ijin masih mencukupi kebutuhan pemeteraian 1
(satu) bulan berikutnya.

8. KETENTUAN PIDANA
a. Barang siapa meniru atau memalsukan meterai tempel kertas meterai atau meniru
dan memalsukan tanda tangan yang perlu untuk mensahkan meterai.
b. Barang siapa dengan sengaja menyimpan dengan maksud untuk diedarkan atau
memasukkan ke negara Indonesia meterai palsu, yang dipalsukan atau yang dibuat
dengan melawan hak.
c. Barang siapa dengan sengaja menggunakan, menjual, menawarkan menyerahkan,
menyediakan untuk dijual atau dimasukkan ke negara Indonesia meterai yang
mereknya, capnya, tanda tangannya, tanda sahnya atau tanda waktunya
mempergunakan telah dihilangkan seolah-olah meterai itu belum dipakai dana
atau menyuruh orang lain menggunakannya dengan melawan haknya.
Brevet A Halaman 200
LABORATORIUM PENGEMBANGAN AKUNTANSI

d. Barang siapa menyimpan bahan-bahan atau perkakas-perkakas yang diketahuinya


digunakan untuk melakukan salah satu kejahatan untuk meniru dan memalsukan
benda meterai.
e. Barang siapa dengan sengaja menggunakan cara lain (sesuai Pasal 7 UU Bea
Meterai) dipidana penjara selama-lamanya 7 tahun dan tindak pidana ini adalah
bentuk kejahatan.

Brevet A Halaman 201

Anda mungkin juga menyukai