Anda di halaman 1dari 31

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN GANGGUAN

SISTEM PENCERNAAN DAN METABOLIK ENDOKRIN:


THYPOID DAN DM JUVENIL

OLEH:

KELOMPOK 1 :

ARVANDO SINAGA 1902001 DIAN SILABAN 1902004


DESI SIRINGORINGO 1902002 EVITA SARAGI 1902006
DEVI SIANTURI 1902003

DOSEN PENGAMPU : KINO SIBORO, Am.Keb,SKM

PRODI D-III KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU


KESEHATAN

KESEHATAN BARU DOLOKSANGGUL

T.A 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat
sederhana yang berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN
GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN DAN METABOLIK ENDOKRIN: THYPOID
DAN DM JUVENIL”. Adapun tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk menyelesaikan
tugas dari ibu KINO SIBORO, Am.Keb,SKM
Harapan penulis semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca. Makalah ini penulis akui masih banyak kekurangan karena
pengalaman yang penulis miliki sangat kurang, Oleh karena itu penulis mengharapkan para
pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang membangun untuk kesempurnaan
makalah ini.

Doloksanggul, 12 Juni 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...........................................................................................................i

DAFTAR ISI .........................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .........................................................................................................1


1.2 Tujuan Penulisan ......................................................................................................3

BAB II ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN THYPOID

2.1 Teoritis Medis


2.1.1 Definisi ..............................................................................................................4
2.1.2 Etiologi .............................................................................................................4
2.1.3 Patofisiologi ......................................................................................................4
2.1.4 Manifestasi Klinis ............................................................................................5
2.1.5 Pemeriksaan Penunjang .................................................................................6
2.1.6 Penatalaksanaan ..............................................................................................7
2.1.7 Pencegahan ......................................................................................................8
2.1.8 Discharge Planning .........................................................................................8
2.1.9 Komplikasi .......................................................................................................8
2.2 Teoritis Keperawatan
2.2.1 Pengkajian .......................................................................................................9
2.2.2 Diagnosa Keperawatan ...................................................................................9
2.2.3 Intervensi Keperawatan .................................................................................9
2.2.4 Implementasi Keperawatan ..........................................................................10
2.2.5 Evaluasi ...........................................................................................................10

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN DM JUVENILE

3.1 Teoritis Medis


3.1.1 Definisi .............................................................................................................11
3.1.2 Anatomi Fisiologi ...........................................................................................13
3.1.3 Etiologi ............................................................................................................14
3.1.4 Patofisiologi .....................................................................................................15
3.1.5 Manifestasi Klinis ...........................................................................................16
ii
3.1.6 Penatalaksanaan .............................................................................................16
3.1.7 Pencegahan .....................................................................................................19
3.1.8 Discharge Planning ........................................................................................19
3.1.9 Komplikasi ......................................................................................................19
3.2 Tinjauan kasus dan teoritis Keperawatan
3.2.1 Pengkajian ......................................................................................................20
3.2.2 Diagnosa Keperawatan ..................................................................................23
3.2.3 Intervensi Keperawatan ................................................................................23
3.2.4 Implementasi Keperawatan ..........................................................................25
3.2.5 Evaluasi ...........................................................................................................25

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan ..............................................................................................................26


4.2 Saran .........................................................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................................27

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1.1.1 Thypoid

Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh
Salmonella typhi. Demam tifoid ditandai dengan panas berkepanjangan yang diikuti
dengan bakteremia dan invasi bakteri Salmonella typhi sekaligus multiplikasi ke dalam
sel fagosit mononuclear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan peyer’s patch
(Soedarmo, et al., 2015).

Penyakit ini mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat
menimbulkan wabah. Demam tifoid mulai dikenali sebagai penyakit menular yang
disebabkan oleh bacillus (salmonella) pada tahun 1880 di Amerika serikat. Wabah
penyakit demam typhoid pertama kali muncul di Amerika Serikat pada tahun 1907
yang disebabkan oleh Mary Mallon yang dikenal sebagai karier tifoid yang sehat, dan
dijuluki sebagai “typhoid mary” (filio, et al., 2013).

Demam tifoid terjadi di seluruh dunia, terutama pada negara berkembang dengan
sanitasi yang buruk. Delapan puluh persen kasus tifoid di dunia berasal dari Banglades,
Cina, India, Indonesia, Laos, Nepal, Pakistan.

Demam tifoid menginfeksi setiap tahunnya 21.6 juta orang (3.6/1.000 populasi)
dengan angka kematian 200.000/tahun. Insidensi demam tifoid tinggi (>100 kasus per
10.000 populasi per tahun) dicatat di Asia tengah, Asia selatan, Asia tenggara, Afrika,
Amerika Latin, dan Oceania (kecuali Australia dan Selandia baru) serta yang termasuk
rendah

1.1.2 Diabetes Mellitus Juvenile

Secara klinis adalah kumpulan dari gangguan metabolisme yang ditandai oleh
tingginya kadar glukosa darah yang abnormal. Keadaan hiperglikemia terjadi akibat
resistensi sel tubuh terhadap aktivitas insulin, defisiensi insulin, atau keduanya.
Biasanya dalam keadaan ini juga terjadi gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan
protein.

1
Tingkat kesakitan dan kematian adalah akibat dari gangguan metabolisme
akut,komplikasi jangka panjang dapat mempengaruhi aliran darah secara makro
maupun mikro menyebabkan retinopati, nefropati, neuropati, penyakit jantung
ischemic, dan obstruksi arteri yang menyebabkan gangren pada ektremitas bawah
( diabetic foot).

Diabetes mellitus pada anak bukanlah sebuah kelainan yang sering di temui dalam
praktek klinis sehari - hari prevalensinya hanya 3% di Inggris, dan menurut beberapa
literatur lain hanyalah 2- 5 % dari seluruh populasi, diabetes pada anak melibatkan
beberapa faktor namun kelainan genetis dan kerusakan sel beta pankreas akibat reaksi
autoimmun pada islet sel B pankreas yang mengakibatkan defisiensi yang cukup besar
pada produksi insulin ( insulin endogen ).

Faktor utama dalam penyebab diabetes pada anak, kerusakan sel B pulau langerhans
pankreas ini menyebabkan ketergantungan individu secara absolut terhadap insulin dari
luar( insulin eksogen ) “insulin dependent diabetes mellitus” (IDDM)dan kebutuhan
akan pemantauan kadar glukosa darah rutin, serta perubahan pola konsumsi sehari -
hari yang cukup ekstrem.

Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit kronik dengan insiden yang semakin
meningkat di seluruh dunia. Penyakit ini tidak hanya menyerang orang dewasa, tetapi
juga pada anak. Diabetes mellitus ditandai dengan peningkatan kadar gula darah akibat
gangguan produksi insulin, gangguan kerja insulin, atau keduanya. Berdasarkan
penyebabnya, DM dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu DM tipe 1, DM tipe 2,
DM tipe lain dan diabetes pada kehamilan atau gestasional. Pada anak, jenis DM
tersering adalah tipe 1, terjadi defisiensi insulin absolut akibat kerusakan sel kelenjar
pankreas oleh proses autoimun. Masalah utama DM tipe1 di Indonesia adalah
kesadaran masyarakat dan tenaga kesehatan yang kurang sehingga banyak pasien
tidak terdiagnosis dan tidak mendapatkan tatalaksana adekuat.

Diabetes mellitus pada anak bukanlah sebuah kelainan yang sering di temui dalam
praktek klinis sehari hari prevalensinya hanya 3% di Inggris, dan menurut
beberapa literatur lain hanyalah 5 % dari seluruh populasi, diabetes pada anak
melibatkan beberapa faktor namun kelainan genetis dan kerusakan sel beta pankreas
akibat reaksi autoimmun pada islet sel B pankreas yang mengakibatkan defisiensi
yang cukup besar pada produksi insulin ( insulin endogen ) merupakan faktor

2
utama dalam penyebab diabetes pada anak, kerusakan sel B pulau langerhans
pankreas ini menyebabkan ketergantungan individu secara absolut terhadap insulin
dari luar( insulin eksogen ) “insulin dependent diabetes mellitus” ( IDDM )dan
kebutuhan akan pemantauan kadar glukosa darah rutin, serta perubahan pola
konsumsi sehari-hari yang cukup ekstrem.

1.2 Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui konsep teoritis medis dan pengaplikasian asuhan keperawatan pada
anak dengan dengan gangguan sistem pencernaan dan metabolik endokrin: Thypoid
dan Diabetes Mellitus Juvenile.

3
BAB II

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN THYPOID

2.1 Teoritis Medis


2.1.1 Definisi

Demam tifoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan
bakterimia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat difus, pembentukan
mikroabses dan ulserasi Nodus peyer di distal ileum. (Soegeng Soegijanto, 2002)

Tifus abdominalis adalah suatu infeksi sistem yang ditandai demam, sakit
kepala, kelesuan, anoreksia, bradikardi relatif, kadang-kadang pembesaran dari
limpa/hati/kedua-duanya. (Samsuridjal D dan heru S, 2003)

2.1.2 Etiologi
Salmonella typhi yang menyebabkan infeksi invasif yang ditandai oleh
demam, toksemia, nyeri perut, konstipasi/diare. Komplikasi yang dapat terjadi
antara lain: perforasi usus, perdarahan, toksemia dan kematian. (Ranuh,
Hariyono, dan dkk. 2001)
Etiologi demam tifoid dan demam paratipoid adalah S.typhi, S.paratyphi A,
S.paratyphi b dan S.paratyphi C. (Arjatmo Tjokronegoro, 1997)
2.1.3 Patofisiologi
Transmisi terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi
urin/feses dari penderita tifus akut dan para pembawa kuman/karier.
Empat F (Finger, Files, Fomites dan fluids) dapat menyebarkan kuman ke
makanan, susu, buah dan sayuran yang sering dimakan tanpa dicuci/dimasak
sehingga dapat terjadi penularan penyakit terutama terdapat dinegara-negara yang
sedang berkembang dengan kesulitan pengadaan pembuangan kotoran (sanitasi)
yang andal. (Samsuridjal D dan heru S, 2003)
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung selama 7-14 hari (bervariasi antara
3-60 hari) bergantung jumlah dan strain kuman yang tertelan. Selama masa
inkubasi penderita tetap dalam keadaan asimtomatis. (Soegeng soegijanto, 2002)

4
Pathway

2.1.4 Manifestasi Klinis


Gejala klinis pada anak umumnya lebih ringan dan lebih bervariasi
dibandingkan dengan orang dewasa. Walaupun gejala demam tifoid pada anak
lebih bervariasi, tetapi secara garis besar terdiri dari demam satu minggu/lebih,
terdapat gangguan saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Dalam minggu
pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya
seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi, serta
suhu badan yang meningkat.
Pada minggu kedua maka gejala/tanda klinis menjadi makin jelas, berupa
demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung, bisa
disertai gangguan kesadaran dari ringan sampai berat. Lidah tifoid dan tampak
kering, dilapisi selaput kecoklatan yang tebal, di bagian ujung tepi tampak lebih
kemerahan. (Ranuh, Hariyono, dan dkk. 2001)
Sejalan dengan perkembangan penyakit, suhu tubuh meningkat dengan
gambaran ‘anak tangga’. Menjelang akhir minggu pertama, pasien menjadi
bertambah toksik. (Vanda Joss & Stephen Rose, 1997)

5
Gambaran klinik tifus abdominalis
Keluhan:
- Nyeri kepala (frontal) 100%
- Kurang enak di perut 50%
- Nyeri tulang, persendian, dan otot 50%
- Berak-berak 50%
- Muntah 50%
Gejala:
- Demam 100%
- Nyeri tekan perut 75%
- Bronkitis 75%
- Toksik 60%
- Letargik 60%
- Lidah tifus (“kotor”) 40%
(Sjamsuhidayat,1998)
2.1.5 Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap
Dapat ditemukan leukopeni, dapat pula leukositosis atau kadar leukosit
normal. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder.
2) Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal setelah
sembuh. Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan penanganan
khusus
3) Pemeriksaan Uji Widal
Uji Widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap bakteri
Salmonella typhi. Uji Widal dimaksudkan untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum penderita Demam Tifoid. Akibat adanya infeksi oleh Salmonella
typhi maka penderita membuat antibodi (aglutinin) yaitu:

 Aglutinin O: karena rangsangan antigen O yang berasal dari tubuh bakteri

 Aglutinin H: karena rangsangan antigen H yang berasal dari flagela bakteri

 Aglutinin Vi: karena rangsangan antigen Vi yang berasal dari simpai bakter.

6
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglitinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis Demam Tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
menderita Demam Tifoid. (Widiastuti Samekto, 2001)

2.1.6 Penatalaksanaan
Tatalaksana demam tifoid pada anak dibagi atas dua bagian besar, yaitu
tatalaksana umum yang bersifat suportif dan tatalaksana khusus berupa
pemberian antibiotik sebagai pengobatan kausal. Tatalaksana demam tifoid juga
bukan hanya tatalaksana yang ditujukan kepada penderita penyakit tersebut,
namun juga ditujukan kepada penderita karier salmonella typhi, pencegahan pada
anak berupa pemberian imunisasi tifoid dan profilaksis bagi traveller dari daerah
non endemik ke daerah yang endemik demam tifoid.
1) Tatalaksana umum
Tatalaksana umum (suportif) merupakan hal yang sangat penting dalam
menangani demam tifoid selain tatalaksana utama berupa pemberian
antibiotik. Pemberian rehidrasi oral ataupun parenteral, penggunaan
antipiretik, pemberian nutrisi yang adekuat serta transfusi darah bila ada
indikasi, merupakan tatalaksana yang ikut memperbaiki kualitas hidup seorang
anak penderita demam tifoid. Gejala demam tifoid pada anak lebih ringan
dibanding orang dewasa, karena itu 90 % pasien demam tifoid anak tanpa
komplikasi, tidak perlu dirawat di rumah sakit dan dengan pengobatan oral
serta istirahat baring di rumah sudah cukup untuk mengembalikan kondisi
anak menjadi sehat dari penyakit tersebut.
2) Tatalaksana antibiotik
Pemilihan obat antibiotik lini pertama pengobatan demam tifoid pada anak di
negara berkembang didasarkan pada faktor efikasi, ketersediaan dan biaya.
Berdasarkan ketiga faktor tersebut, kloramfenikol masih menjadi obat pilihan
pertama pengobatan demam tifoid pada anak, terutama di negara berkembang.
Hal ini berbeda dengan dewasa, dimana obat antibiotik lini pertamanya adalah
pilihan terapi antibiotik untuk demam tifoid golongan fluorokuinolon, seperti
ofloksasin, siprofloksasin, levofloksasin atau gatifloksasin. Persoalan
pengobatan demam tifoid saat ini adalah timbulnya resistensi terhadap
beberapa obat antibiotik yang sering digunakan dalam pengobatan demam
tifoid atau yang disebut dengan Multi Drug Resistance (MDR). S. Typhi yang

7
resisten terhadap kloramfenikol, yang pertama kali timbul pada tahun 1970,
kini berkembang menjadi resisten terhadap obat ampisilin, amoksisilin,
trimetoprimsulfametoksazol dan bahkan resisten terhadap fluorokuinolon.
2.1.7 Pencegahan
Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan makanan
dan minuman yang tidak terkontaminasi, higiene perorangan terutama
menyangkut kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi yang baik, dan
tersedianya air bersih seharihari. Strategi pencegahan ini menjadi penting seiring
dengan munculnya kasus resistensi. Selain strategi di atas, dikembangkan pula
vaksinasi terutama untuk para pendatang dari negara maju ke daerah yang
endemik demam tifoid.
2.1.8 Discharge Planning
1. Penderita harus dapat diyakinkan cuci tangan dengan sabun setelah defekasi
2. Mereka yang diketahui sebagai karier dihindari untuk mengelola makanan
3. Lalat perlu dicegah menghinggapi makanan dan minuman.
4. Penderita memerlukan istirahat
5. Diet lunak yang tidak merangsang dan rendah serat
(Samsuridjal D dan Heru S, 2003)

6. Berikan informasi tentang kebutuhan melakukan aktivitas sesuai dengan


tingkat perkembangan dan kondisi fisik anak
7. Jelaskan terapi yang diberikan: dosis, dan efek samping
8. Menjelaskan gejala-gejala kekambuhan penyakit dan hal yang harus dilakukan
untuk mengatasi gejala tersebut
9. Tekankan untuk melakukan kontrol sesuai waktu yang ditentukan.
(Suriadi & Rita Y, 2001)

2.1.9 Komplikasi
Perdarahan usus, peritonitis, meningitis, kolesistitis, ensefalopati,
bronkopneumonia, hepatitis. (Arif mansjoer & Suprohaitan 2000)

Perforasi usus terjadi pada 0,5-3% dan perdarahan berat pada 1-10% penderita
demam tifoid. Kebanyakan komplikasi terjadi selama stadium ke-2 penyakit dan
umumnya didahului oleh penurunan suhu tubuh dan tekanan darah serta kenaikan
denyut jantung.Pneumonia sering ditemukan selama stadium ke-2 penyakit, tetapi

8
seringkali sebagai akibat superinfeksi oleh organisme lain selain Salmonella.
Pielonefritis, endokarditis, meningitis, osteomielitis dan arthritis septik jarang
terjadi pada hospes normal. Arthritis septik dan osteomielitis lebih sering terjadi
pada penderita hemoglobinopati. (Behrman Richard, 1992)

2.2 Teoritis Keperawatan


2.2.1 Pengkajian
1. Riwayat keperawatan
2. Kaji adanya gejala dan tanda meningkatnya suhu tubuh terutama pada malam
hari, nyeri kepala, lidah kotor, tidak nafsu makan, epistaksis, penurunan
kesadaran
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
1) Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
2) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak ada
nafsu makan, mual, dan kembung
3) Risiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake
cairan, dan peningkatan suhu tubuh
2.2.3 Intervensi Keperawatan
1. Mempertahankan suhu dalam batas normal
 Kaji pengetahuan klien dan keluarga tentang hipertermia
 Observasi suhu, nadi, tekanan darah, pernafasan
 Berri minum yang cukup
 Berikan kompres air biasa
 Lakukan tepid sponge (seka)
 Pakaian (baju) yang tipis dan menyerap keringat
 Pemberian obat antipireksia
 Pemberian cairan parenteral (IV) yang adekuat
2. Meningkatkan kebutuhan nutrisi dan cairan
 Menilai status nutrisi anak
 Ijinkan anak untuk memakan makanan yang dapat ditoleransi anak,
rencanakan untuk memperbaiki kualitas gizi pada saat selera makan anak
meningkat.

9
 Berikan makanan yang disertai dengan suplemen nutrisi untuk meningkatkan
kualitas intake nutrisi
 Menganjurkan kepada orang tua untuk memberikan makanan dengan teknik
porsi kecil tetapi sering
 Menimbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama, dan dengan skala
yang sama
 Mempertahankan kebersihan mulut anak
 Menjelaskan pentingnya intake nutrisi yang adekuat untuk penyembuhan
penyakit
 Kolaborasi untuk pemberian makanan melalui parenteral jika pemberian
makanan melalui oral tidak memenuhi kebutuhan gizi anak
3. Mencegah kurangnya volume cairan
 Mengobservasi tanda-tanda vital (suhu tubuh) paling sedikit setiap 4 jam
 Monitor tanda-tanda meningkatnya kekurangan cairan: turgor tidak elastis,
ubun-ubun cekung, produksi urin menurun, memberan mukosa kering, bibir
pecah-pecah
 Mengobservasi dan mencatat berat badan pada waktu yang sama dan dengan
skala yang sama
 Memonitor pemberian cairan melalui intravena setiap jam
 Mengurangi kehilangan cairan yang tidak terlihat (Insensible Water
Loss/IWL) dengan memberikan kompres dingin atau dengan tepid sponge
 Memberikan antibiotik sesuai program
2.2.4 Implementasi Keperawatan

Sesuai Intervensi Keperawatan

2.2.5 Evaluasi

Masalah teratasi

10
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN


DIABETES MELITUS TIPE 1 (DM JUVENILE)
3.1 Teoritis Medis
3.1.1 Definisi

Diabetes militus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik


dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya (Purnamasari, 2009).

Menurut American Diabetes Assosiation (ADA, 2010), diabetes militus


merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dan kronis dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekrasi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya yan membutuhkan peralatan medis dan pendidikan pengelolaan
mandiri untuk mencegah komplikasi akut dan menurunkan risiko komplikasi
jangka panjang.

Menurut WHO, diabetes militus di definisikan sebagai suatu penyakit atau


gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan
tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat,
lipid dan protein sebagai akibat dari insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi
insulin dapat disebabkan oleh gangguan produksi insulin beta Langerhans
kelenjar pankreas atau disebabkan oleh kurang responsifnya selsel tubuh
terhadap insulin (Depkes, 2008).

Klasifikasi

Diabetes mellitus diklasifikasikan berdasarkan patogenesis yang


menyebabkan hiperglikemia, dan gangguan homeostatis glukosa, dikenal 2 jenis
penyebab utama dalam diabetes. Kedua penyebab memperlihatkan patogenesis
yang sama dengan tingkat kerusakan sel B pangkreas yang bertingkat . Akhir
dari kedua perjalanan penyakit ini relatif sama namun etiologinya berbeda.

1. Diabetes Mellitus Tipe 1

11
Diebetes mellitus tipe 1 dahulu dikenal sebagai insulin dependent diabetes
melitus ( IDDM )atau juvenile onset diabetes adalah abnormalitas homeostatis
glukosa ditandai dengan kerusakan permanen sel beta pankreas akibat dari
proses autoimmunitas yang menyebabkan turunya produksi insulin sehingga
kadar insulin endogen plasma turun sehingga menyebabkan ketergantungan
insulin exogen untuk mencegah proses komplikasi yang mengancam jiwa yaitu
keto-acidosis. Diabetes tipe 1 umumnya ditemukan pada kasus pediatrik anak
dengan rataan umur 7 - 15 tahun, namun dapat juga muncul pada berbagai
usia. Diabetes mellitus tipe 1 ini terdiri dari 4 fase pada proses perjalanan
penyakit yaitu:

1) Kerusakan sel beta akibat autoimmun dan penurunan progresif sekresi


insulin.
2) Onset gejala - gejala diabetes.
3) Transient remmision “Honeymoon periode”.
4) Keadaan diabetes yang tetap dengan berbagai komplikasi kronis, dan akut
yang mengancam jiwa
2. Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes tipe ini dikenal juga sebagai diabetes mellitus onset dewasa,
namun pada kasus pediatrik anak maupun remaja anak maupun remaja yang
mengidap biasanya mengalami kelebihan berat badan (obsesitas),namun
belum sampai membutuhkan koreksi insulin eksogen keadan ini diakibatkan
resistensi insulin tingkat sel dan kadang diikuti pula oleh kurangnya sekresi
insulin. Diabetes type ini juga dikenal dengan nama Maturity Onset Diabetes
of the young (MODY), Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus ( NIDDM).
Gambaran diabetes mellitus tipe 2 tidak sejelas diabetes mellitus tipe
1yang biasanya anak tampak sakit dan lelah diikuti dengan gejala polidipsi
dan polisuria, pada kasus diabetes tipe 2 biasanya pasien anak datang dengan
kelebihan berat badan dan seringkali kelelahan akibat dari kekurangan
insulin yang biasanya dalam pemeriksaan diikuti dengan ditemukannya
glikosuria. Riwayat adanya polisuria dan polydipsia biasanya tidak
diketemukan. Dewasa ini menurut beberapa literatur terjadi peningkatan 10
kali jumlah pasien anak dengan diabetes pada banyak pusat pelayanan
diabetes. Pada pasien anak diabetes mellitus tipe 2 dengan riwayat herediter

12
diabetes mellitus biasanya juga diketemukan defisiensi insulin hal ini
dikenali dengan (MODY) yang membutuh koreksi insulin dari luar. Pada tipe
ini tidak diketemukan adanya kerusakan sel beta pangkreas akibat autoimun
atau terkait (HLA), namun pada tipe ini diketemukan adanya mutasi dari alel
gen yang membentuk sel Beta, dan glukokinase hati. Mutasi pada gen yang
membentuk transporter glukosa yaitu GLUT-2 juga bertanggung jawab
dalam proses perjalanan penyakit diabetes mellitus tipe 2 ini.
3.1.2 Anatomi Fisiologi

Membahas fisiologi insulin tidak lepas dari pangkreas sebagai produsen


insulin, secara anatomis pangkreas merupakan glandular retroperitonial yang
terletak dekat dengan duodenum, memiliki 3 bagian yaitu kepala badan dan ekor.
Vaskularisasi pangkreas berasal dari arteri splenica dan arteri
pancreaticoduodenalis superior dan inferior sedangkan islet sel pangkreas
dipersyarafi oleh syaraf sympatis,syaraf parasympatis dan syaraf sensoris serta
neurotransmiter dan meuropeptida yang dilepaskan oleh ujung terminal syaraf
tersebut memegang peranan penting pada sekresi endokrin sel pulau langerhans.
Aktivasi nervus vagus akan mengakibatkan sekresi insulin, glukagon dan
polipetida pangkreas. Sebagian besar pankreas tersusun atas sel eksokrin yang
tersebar pada lobulus ( acinus ) dipisahkan oleh jaringan ikat dan dihubungkan
oleh ductus pancreatikus yang bermuara pada duodenum.

Bagian eksokrin pangkreas memproduksi enzim - enzim bersifat basa yang


membantu pencernaan. Bagian endokrin pankreas merupakan bagian kecil dari
pangkreas dengan massa sekitar 1 - 2 % massa pangkreas dengan bentuk granula
- granula yang terikat pada acinus oleh jaringan ikat yang kaya akan pembuluh
darah dengan 2 jenis sel yang predominan yaitu sel A dan Sel B, sel B
membentuk 73% - 75% bagian endokrin pankreas merupakan dengan insulin
sebagai hormon utama yang di sekresikan. Sel A membentuk 18 - 20 % massa
endokrin dengan glukagon sebagai hormon sekresi utama, sedangkan sel D
membentuk 4 - 6% massa endokrin pangkreas dengan sekresi hormone
somatostatin. 1% bagian kecil dari pangkreas mensekresikan polipeptida
pangkreas. Secara khusus tulisan ini hanya membahas 2 hormon regulator kadar
glukosa diatas yaitu Insulin dan Glukagon.

13
Secara singkat kerja fisiologis insulin adalah mentransportasi glukosa kedalam
sel otot dan hati terkait dengan kadar glukosa didalam darah, efek kerja insulin
berlawanan dengan glukagon sebuah polipeptida hormone yang dihasilkan pula
oleh sel B pangkreas yang akan memicu proses pembentukan glukosa di dalam
hati melalui proses glikolisis dan glukoneogenesis.

Insulin dilepaskan oleh sel beta pangkreas setelah terjadi transport glukosa
oleh GLUT-2 masuk kedalam sel beta, glukosa yang masuk kedalam sel beta
akan mengalami proses glikolisis oleh glikokinase menjadi glukosa Phospate,
yang mengaktifkan pembentukan Asetyl-Co A masuk kedalam siklus krebbs
dalam mitokondria untuk dirubah menjadi ATP ( Adenosine Tri Phospat )
sehingga meningkatkan jumlah ATP dalam sel hal ini akan menginkativasi
pompa kalium sensitif ATP, lalu menginduksi depolarisasi dari membran plasma
dan voltage dependent calcium channel, menyebabkan influks calcium extrasel
yang merangsang pergerakan cadangan kalsium intrasel sehingga menginduksi
terjadinya pengikatan granula produsen insulin ke membran sel dan pelepasan
insulin kedalam peredaran darah.

Produksi insulin sehingga kadar insulin endogen plasma turun sehingga


menyebabkan ketergantungan insulin exogen untuk mencegah proses komplikasi
yang mengancam jiwa yaitu keto-acidosis. Diabetes tipe 1 umumnya ditemukan
pada kasus pediatrik anak dengan rataan umur 7 - 15 tahun, namun dapat juga
muncul pada berbagai usia. Diabetes mellitus tipe 1 ini terdiri dari 4 fase pada
proses perjalanan penyakit yaitu:

1. Kerusakan sel beta akibat autoimmun dan penurunan progresif sekresi insulin.
2. Onset gejala - gejala diabetes.
3. Transient remmision “Honeymoon periode”.
4. Keadaan diabetes yang tetap dengan berbagai komplikasi kronis, dan akut
yang mengancam jiwa
3.1.3 Etiologi

Dokter dan para ahli belum mengetahui secara pasti penyebab diabetes tipe- 1.
Namun yang pasti penyebab utama diabetes tipe 1 adalah faktor
genetik/keturunan. Resiko perkembangan diabetes tipe 1 akan diwariskan melalui
faktor genetik.

14
1. Faktor Genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi mewarisi
suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I.
Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen
HLA (human leucosite antigen). HLA merupakan kumpulan gen yang
bertanggung jawab atas antigen transplantasi dan proses imun lainnya.
2. Faktor-faktor Imunologi
Adanya respons autotoimun yang merupakan respons abnormal dimana
antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap
jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing, yaitu
autoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen.
3. Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan
destruksi sel beta.
3.1.4 Patofisiologi
Perjalanan penyakit ini melalui beberapa periode menurut ISPAD Clinical
Practice Consensus Guidelines tahun 2009, yaitu:
 Periode pra-diabetes
 Periode manifestasi klinis diabetes
 Periode honey-moon
 Periode ketergantungan insulin yang menetap.

1. Periode pra-diabetes
Pada periode ini gejala-gejala klinis diabetes belum nampak karena baru ada
proses destruksi sel β-pankreas. Predisposisi genetik tertentu memungkinkan
terjadinya proses destruksi ini. Sekresi insulin mulai berkurang ditandai
dengan mulai berkurangnya sel β-pankreas yang berfungsi. Kadar C-peptide
mulai menurun. Pada periode ini autoantibodi mulai ditemukan apabila
dilakukan pemeriksaan laboratorium.
2. Periode manifestasi klinis
Pada periode ini, gejala klinis DM mulai muncul. Pada periode ini sudah
terjadi sekitar 90% kerusakan sel β-pankreas. Karena sekresi insulin sangat
kurang, maka kadar gula darah akan tinggi/meningkat. Kadar gula darah yang
melebihi 180 mg/dl akan menyebabkan diuresis osmotik. Keadaan ini
15
menyebabkan terjadinya pengeluaran cairan dan elektrolit melalui urin
(poliuria, dehidrasi, polidipsi). Karena gula darah tidak dapat di-uptake
kedalam sel, penderita akan merasa lapar (polifagi), tetapi berat badan akan
semakin kurus. Pada periode ini penderita memerlukan insulin dari luar agar
gula darah di-uptake kedalam sel.
3. Periode honey-moon
Periode ini disebut juga fase remisi parsial atau sementara. Pada periode ini
sisa-sisa sel β-pankreas akan bekerja optimal sehingga akan diproduksi insulin
dari dalam tubuh sendiri. Pada saat ini kebutuhan insulin dari luar tubuh akan
berkurang hingga kurang dari 0,5 U/kg berat badan/hari. Namun periode ini
hanya berlangsung sementara, bisa dalam hitungan hari ataupun bulan,
sehingga perlu adanya edukasi ada orang tua bahwa periode ini bukanlah fase
remisi yang menetap.
4. Periode ketergantungan insulin yang menetap.
Periode ini merupakan periode terakhir dari penderita DM. Pada periode ini
penderita akan membutuhkan insulin kembali dari luar tubuh seumur
hidupnya.
3.1.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis diabetes dikaitkan dengan konsekuensi metabolic


defisiensi insulin (Price & Wilson)

1) Kadar glukosa puasa tidak normal


2) Hiperglikemia berat berakibat glukosurya yang akan menjadi dieresis
osmotik yang meningkatkan pengeluaran urin (Poliuria) dan timbul rasa
haus (Polidipsia)
3) Rasa lapar yang semakin besar (Polifagia), BB berkurang
4) Lelah dan mengantuk
5) Gejala lain yang dikeluhkan adalah kesemutan, gatal, mata kabur,
impotensi, peruritas vulva.
3.1.6 Penatalaksanaan
Tatalaksana pasien dengan DM tipe 1 tidak hanya meliputi pengobatan
berupa pemberian insulin. Ada hal-hal lain selain insulin yang perlu
diperhatikan dalam tatalaksana agar penderita mendapatkan kualitas hidup yang

16
optimal dalam jangka pendek maupun jangka panjang (Rustama DS, dkk. 2010;
ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines. 2009)
Terdapat 5 pilar manajemen DM tipe 1, yaitu:
1. Insulin
Insulin merupakan terapi yang mutlak harus diberikan pada penderita DM
Tipe 1. Dalam pemberian insulin perlu diperhatikan jenis insulin, dosis
insulin, regimen yang digunakan, cara menyuntik serta penyesuaian dosis
yang diperlukan.
a. Jenis insulin: kita mengenal beberapa jenis insulin, yaitu insulin kerja
cepat, kerja pendek, kerja menengah, kerja panjang, maupun insulin
campuran (campuran kerja cepat/pendek dengan kerja menengah).
Penggunaan jenis insulin ini tergantung regimen yang digunakan.
b. Dosis insulin: dosis total harian pada anak berkisar antara 0,5-1 unit/kg
berat badan pada awal diagnosis ditegakkan. Dosis ini selanjutnya akan
diatur disesuaikan dengan faktor-faktor yang ada, baik pada penyakitnya
maupun penderitanya.
c. Regimen: kita mengenal dua macam regimen, yaitu regimen konvensional
serta regimen intensif. Regimen konvensional/mix-split regimen dapat
berupa pemberian dua kali suntik/hari atau tiga kali suntik/hari.
Sedangkan regimen intensif berupa pemberian regimen basal bolus. Pada
regimen basal bolus dibedakan antara insulin yang diberikan untuk
memberikan dosis basal maupun dosis bolus.
d. Cara menyuntik: terdapat beberapa tempat penyuntikan yang baik dalam
hal absorpsinya yaitu di daerah abdomen (paling baik absorpsinya),
lengan atas, lateral paha. Daerah bokong tidak dianjurkan karena paling
buruk absorpsinya.
Penyesuaian dosis: Kebutuhan insulin akan berubah tergantung dari
beberapa hal, seperti hasil monitor gula darah, diet, olahraga, maupun usia
pubertas terkadang kebutuhan meningkat hingga 2 unit/kg berat
badan/hari), kondisi stress maupun saat sakit.
2. Diet
Secara umum diet pada anak DM tipe 1 tetap mengacu pada upaya
untuk mengoptimalkan proses pertumbuhan. Untuk itu pemberian diet terdiri
dari 50-55% karbohidrat, 15-20% protein dan 30% lemak. Pada anak DM
17
tipe 1 asupan kalori perhari harus dipantau ketat karena terkait dengan dosis
insulin yang diberikan selain monitoring pertumbuhannya. Kebutuhan kalori
perhari sebagaimana kebutuhan pada anak sehat/normal. Ada beberapa
anjuran pengaturan persentase diet yaitu 20% makan pagi, 25% makan siang
serta 25% makan malam, diselingi dengan 3 kali snack masing-masing 10%
total kebutuhan kalori perhari. Pemberian diet ini juga memperhatikan
regimen yang digunakan. Pada regimen basal bolus, pasien harus mengetahui
rasio insulin:karbohidrat untuk menentukan dosis pemberian insulin.
3. Aktivitas fisik/exercise
Anak DM bukannya tidak boleh berolahraga. Justru dengan
berolahraga akan membantu mempertahankan berat badan ideal, menurunkan
berat badan apabila menjadi obes serta meningkatkan percaya diri. Olahraga
akan membantu menurunkan kadar gula darah serta meningkatkan
sensitivitas tubuh terhadap insulin. Namun perlu diketahui pula bahwa
olahraga dapat meningkatkan risiko hipoglikemia maupun hiperglikemia
(bahkan ketoasidosis). Sehingga pada anak DM memiliki beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjalankan olahraga, di antaranya
adalah target gula darah yang diperbolehkan untuk olahraga, penyesuaian
diet, insulin serta monitoring gula darah yang aman.
Apabila gula darah sebelum olahraga di atas 250 mg/dl serta
didapatkan adanya ketonemia maka dilarang berolahraga. Apabila kadar gula
darah di bawah 90 mg/dl, maka sebelum berolahraga perlu menambahkan
diet karbohidrat untuk mencegah hipoglikemia.
4. Edukasi
Langkah yang tidak kalah penting adalah edukasi baik untuk penderita
maupun orang tuanya. Keluarga perlu diedukasi tentang penyakitnya,
patofisiologi, apa yang boleh dan tidak boleh pada penderita DM, insulin
(regimen, dosis, cara menyuntik, lokasi menyuntik serta efek samping
penyuntikan), monitor gula darah dan juga target gula darah ataupun HbA1c
yang diinginkan.
5. Monitoring kontrol glikemik
Monitoring ini menjadi evaluasi apakah tatalaksana yang diberikan sudah
baik atau belum. Kontrol glikemik yang baik akan memperbaiki kualitas
hidup pasien, termasuk mencegah komplikasi baik jangka pendek maupun
18
jangka panjang. Pasien harus melakukan pemeriksaan gula darah berkala
dalam sehari. Setiap 3 bulan memeriksa HbA1c. Di samping itu, efek
samping pemberian insulin, komplikasi yang terjadi, serta pertumbuhan dan
perkembangan perlu dipantau
3.1.7 Pencegahan
1) Mempertahankan berat badan ideal. Jika anak memiliki berat badan
berlebih, maka upayakan untuk menguranginya sekitar 5-10% untuk
mengurangi risiko. Diet kalori dan rendah lemak sangat dianjurkan sebagai
cara terbaik menurunkan berat badan dan mencegah DM tipe-2.
2) Perbanyak makan buah dan sayur. Dengan mengonsumsi berbagai macam
buah dan sayur setiap hari, maka risiko DM tipe-2 dapat berkurang.
3) Kurangi minum minuman manis dan bersoda.
4) Aktif berolahraga. Upayakan untuk berolahraga setidaknya 30 menit dalam
sehari untuk mencapai berat badan ideal dan menekan tingginya risiko DM
tipe-2. Selain itu berolahraga juga bisa menurunkan kadar gula darah dan
meningkatkan kadar insulin.
5) Batasi waktu penggunaan gadget
3.1.8 Discharge Planning
1) Kurangi konsumsi makanan yang banyak mengandung gula dan karbohidrat
2) Jangan mengurangi jadwal makan atau menunda waktu makan, karena hal ini
akan menyebabkan fluktuasi (ketidak stabilan ) kadar gula darah
3) Perbanyak konsumsi makanan yang banyak mengandung serat, seperti
sayuran dan sereal
4) Hindari makanan tinggi lemak dan mengandung banyak kolestrol LDL.,
antara lain : daging merah, produk susu, kuning telur, mentega, saus salad
dan makanan pencuci mulut berlemak lainnya
3.1.9 Komplikasi

1) Hipoglikemia
2) Hiperglikemia
3) Penyakit jantung dan pembuluh darah
4) Kerusakan saraf (neuropati).
5) Kerusakan ginjal (nefropati)
6) Kerusakan mata

19
3.2 Tinjauan Kasus dan Teoritis Keperawatan

Seorang anak laki-laki berusia 6 tahun berat badan saat ini 22 kg dibawa ke rumah sakit
oleh orangtuanya. Pada saat dikaji kesadaran anak apatis, turgor lambat kembali, pada saat
diraba daerah ekstremitas terasa dingin dan lembab, frekuensi nadi 128x/m, frekuensi napas
30x/menit, anak tersebut menangis lemah. Riwayat masuk rumah sakit; dibawa ke RS karena
penurunan kesadaran, sebelumnya pasien sering buang air kecil dan merasa haus, nafsu
makan sebelum sakit baik, berat badan sebelum sakit 24 kg, dan tidak ada riwayat sakit berat
sebelumnya. Gula darah puasa 300 mg/dl, Gula darah post pandrial: 573 mg/dl. Klien
direncanakan akan diperiksa kadar HbA1c. Orang tua pasien juga merasa sangat terpukul,
bingung harus bagaimana, dan khawatir dengan kondisi anaknya karena kata dokter
penyakitnya disebabkan karena gangguan fungsi pankreas dan membutuhkan pengobatan
jangka panjang. Bahkan kalau tidak mendapatkan penatalaksanaan yang tepat bisa
mengancam keselamatan jiwa.

3.2.1 Pengkajian
A. Identitas
1. Identitas Pengkaji
Nama Pengkaji : Ucup Supriadi, M.Kep.,
Ners Tanggal Pengkajian : 14 Januari 2019
Waktu Pengkajian : Pukul 10.00 WIB
2. Identitas Pasien
Nama : An. F Umur : 6 tahun
Tanggal Lahir : 11 Januari 2013
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat : Kanci, Astanajapura, Kab. Cirebon
Tanggal Masuk RS : 13 Januari 2019
Tanggal Pengkajian : 14 Januari 2019
3. Diagnosa Medis :
Diabetes Melitus
4. Identitas Penanggungjawab
Nama : Ny. J Umur : 47 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta

20
Hubungan dengan Pasien : Ibu Kandung
No. Handphone : 089654182833
B. Keluhan Utama : Penurunan Kesadaran, sering kencing dan sering merasa haus
C. Riwayat Kesehatan
1. Riwayat kesehatan sekarang
Pada saat dilakukan pengkajian didapatkan hasil Berat badan 22 kg,
kesadaran apatis, turgor kulit tidak elastis, akral teraba dingin dan lembab, anak
tampak menangis lemah. Pada saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital
didapatkan hasil : nadi 128x/menit, Pernafasan 30x/menit. GDS Puasa 300
mg/dl, GDS post pandrial 573 mg/dl..
2. Riwayat kesehatan masa lalu
 Kecelakaan : orang tua pasien mengatakan An. F tidak pernah mengalami
kecelakaan.
 Pernah dirawat : orang tua pasien mengatakan An. F pernah dirawat karena
keluhan yang sama.
 Operasi : orang tua pasien mengatakan An. F tidak pernah operasi.
 Alergi : orang tua pasien mengatakan An. F tidak  mempunyai riwayat
alergi.
3. Riwayat kesehatan keluarga
Keluarga orang tua pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang
memiliki penyakit yang sama.
D. Pemeriksaan fisik (Head to Toe)
1. Keadaan umum Pasien mengalami penurunan kesadaran dan An. F tampak
menangis lemah.
 Kesadaran : Apatis
 GCS : 12 ( Eye : 3, Verbal : 4, Motorik : 5 )
 Tanda Vital Tekanan darah : 110/70 mmHg Nadi : 128 kali/menit
Pernafasan : 30 kali/menit Suhu : 37,5 °C
2. Wajah
Inspeksi : Bentuk wajah simestris, pasien tampak menangis lemah.
3. Kepala
a) Inspeksi : bentuk kepala normal, rambut lurus berwarna hitam, tidak
terdapat hidrosefalus maupun mikrosefalus.
b) Palpasi : tidak ada benjolan, tidak ada ketombe pada kulit kepala.
21
4. Telinga
a) Inspeksi : bentuk telinga simetris, tidak ada serumen maupun cairan
yang keluar dari telinga.
b) Palpasi : tidak ada nyeri tekan pada telinga.
5. Mata
Inspeksi : Sklera berwarna putih kekuningan, konjungtiva anemis, pupil isokor.
6. Hidung
a) Inspeksi : Hidung simetris, tidak terdapat pernafasan cuping hidung dan
tidak terdapat polip.
b) Palpasi : Tidak ada nyeri tekan pada sinus maksilaris dan frontalis.
7. Mulut Inspeksi : Tidak ada pembengkakan pada gusi, gigi berwarna putih
kekuningkuningan, tidak ada karang gigi, lidah tidak kotor, bibir sedikit kering.
8. Leher
Inspeksi : Bentuk leher simestris, normal (tidak terlalu panjang/pendek, tidak
ada pembesaran kelenjar getah bening, tidak ada deformitas.
9. Dada/thoraks/jantung
a) Inspeksi : Bentuk simetris, tidak ada lesi dan hematom.
b) Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, ictus kordis teraba pada ics ke 5
c) Perkusi : Pulmo : sonor, cordis : redup
d) Auskultasi : Tidak terdapat suara nafas tambahan, bunyi jantung
normal S1 dan S2
10. Abdomen
a) Inspeksi : Tidak ada lesi, tidak ada hematom
b) Auskultasi : Bising usus 10 kali/menit
c) Palpasi : Tidak ada asites, batas organ teraba : kuadran I (liver),
Kuadran II (lambung), Kuadran III (Usus, ginjal, apendiks), kuadran IV
(rahim, usus, ginjal).
d) Perkusi : Suara perut tympani
11. Genitalia
Orang tua pasien mengatakan An. F tidak mengalami gangguan pada daerah
genitalianya.
12. Rectum
Orang tua pasien mengatakan An. F tidak mengalami gangguan pada daerah
anusnya.
22
13. Ekstremitas
a) Inspeksi : Kulit berwarna sawo matang, tidak ada lesi, dan tidak ada
polidaktili.
b) Palpasi : Akral teraba dingin dan lembab, kekuatan otot lemah dan
turgornya tidak elastis.
3.2.2 Diagnosa Keperawatan
1. Resiko infeksi berhubungan dengan peningkatan kadar insulin
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan sirkulasi
darah ke perifer
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan asidosis metabolik
4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan hilangnya cairan sekunder dari
diuresis
3.2.3 Intervensi

TUJUAN/
NO. DX KRITERIA HASIL INTERVENSI (NIC) RASIONAL
(NOC)
1. Resiko Setelah dilakukan 1) Berikan cairan  Agar kebutuhan
infeksi b/d tindakan oral dan cairan pasien
peningkatan keperawatan parenteral sesua terpenuhi dengan
kadar selama 5 x 24 jam kebutuhan baik
insulin diharapkan status 2) Anjurkan pasien  Agar kadar
imun meningkat untuk tidak glukosa pasien
dari skala 1 (sangat mengkonsumsi tetap berada dalam
terganggu) keskala makanan yang rentan normal
4 (ringan), dengan tinggi kadar  Agar asupan
1. kriteria hasil: glukosa dan pasien dapat
Kesadaran makanan tinggi terpenuhi secara
composmentis lemak teratur
2. GDS puasa : 3) Instruksikan  Agar pasien
200 mg/dl 3. pasien atau orang mendapatkan gizi
GDS Post tua untuk jangan yang baik
pandrial : 300 menunda waktu
mg/dl makan.

23
4) Kolaborasi dengan
ahli gizi terkait
diet makanan yang
sesuai dengan
penyakit
pasien.
2. Ketidakefek Setelah dilakukan 1) Monitor kulit  Untuk mengetahui
tifan perfusi tindakan sesering mungkin keadaan kulit
jaringan keperawatan 2) Tingkatkan intake pasien
perifer b/d selama 4 x 24 jam cairan oral dan  Agar kebutuhan
penurunan diharapkan status parenteral cairan pasien
sirkulasi sirkulasi pasien 3) Berikan asupan dapat terpenuhi
darah ke dapat membaik nutrisi secara dengan baik
perifer adekuat.  Agar nutrisi pasien
4) Anjurkan pasien terpenuhi dengan
menghindari baik
makanan yang  Agar kadar
tinggi glukosa glukosa pasien
tidak meningkat
3. Ketidakefek Setelah dilakukan 1) Posisikan pasien  Untuk mengurangi
tifan pola tindakan dengan posisi sesak pada klien
nafas b/d keperawatan semi fowler.  Untuk mengetahui
dengan selama 4 x 24 jam 2) Observasi adanya kondisi pernafasan
asidosis diharapkan status suara nafas pasien
metabolik tanda vital pasien tambahan  Untuk mengetahui
normal dengan 3) Monitor tanda keadaan umum
kriteria hasil : vital sesering pasien
 Kesadaran mungkin.  untuk membantu
Compos 4) Pasang oksigen memenuhi
Mentis sesuai kebutuhan kebutuhan oksigen
 Anak terlihat pasien
tenang
 Pernafasan
20x/menit

24
4. Kekurangan Setelah dilakukan 1) Observasi adanya  Untuk mengetahui
volume tindakan tanda-tanda adanya tanda-
cairan b/d keperawatan dehidrasi tanda dehidrasi
hilangnya selama 5 x 24 jam 2) Observasi kulit  Untuk mengetahui
cairan diharapkan sesering mungkin keadaan
sekunder keseimbangan 3) Observasi  Untuk menilai
dari diuresis cairan pasien pengeluaran urine jumlah urin yang
normal pasien dikeluarkan per24
4) Monitor tanda jam
vital  Untuk mengetahui
5) Tingkatkan intake keadaan umum
cairan oral dan pasien
parenteral.  Untuk memenuhi
dan mengganti
cairan tubuh yang
hilang

3.2.4 Implementasi
Sesuai Intervensi keperawatan
3.2.5 Evaluasi
Masalah Teratasi

25
BAB IV
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Diabetes militus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya (Purnamasari, 2009).
Menurut American Diabetes Assosiation (ADA, 2010), diabetes militus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dan kronis dengan karakteristik hiperglikemia yang
terjadi karena kelainan sekrasi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya yan
membutuhkan peralatan medis dan pendidikan pengelolaan mandiri untuk mencegah
komplikasi akut dan menurunkan risiko komplikasi jangka panjang.
Demam tifoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan
bakterimia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat difus, pembentukan
mikroabses dan ulserasi Nodus peyer di distal ileum. (Soegeng Soegijanto, 2002)
Tifus abdominalis adalah suatu infeksi sistem yang ditandai demam, sakit kepala,
kelesuan, anoreksia, bradikardi relatif, kadang-kadang pembesaran dari
limpa/hati/kedua-duanya. (Samsuridjal D dan heru S, 2003)
5.2 Saran
Kami merasa bersyukur dan bangga dapat menyelesaikan makalah ini dengan
sedemikian rupa, tetapi, makalah ini belumlah sempurna seperti makalah yang
sempurna. Oleh karena itu, penulis memohon kritik dan saran dari para pembaca karena
kami sadar tiada hal yang sempurna di muka bumi ini.

26
DAFTAR PUSTAKA

Arif Mansjoer, Suprohaitan, Wahyu Ika W, Wiwiek S. Kapita Selekta Kedokteran. Penerbit
Media Aesculapius. FKUI Jakarta. 2000.
Arjatmo Tjokronegoro & Hendra Utama. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke
Tiga. FKUI. Jakarta. 1997.
Behrman Richard. Ilmu Kesehatan Anak. Alih bahasa: Moelia Radja Siregar & Manulang.
Editor: Peter Anugrah. EGC. Jakarta. 1992.
Joss, Vanda dan Rose, Stephan. Penyajian Kasus pada Pediatri. Alih bahasa Agnes Kartini.
Hipokrates. Jakarta. 1997.
Ranuh, Hariyono dan Soeyitno, dkk. Buku Imunisasi Di Indonesia, edisi pertama. Satgas
Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2001.
Samsuridjal Djauzi dan Heru Sundaru. Imunisasi Dewasa. FKUI. Jakarta. 2003.
Sjamsuhidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. EGC. Jakarta. 1998.
Soegeng Soegijanto. Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan. Salemba Medika.
Jakarta. 2002.
Suriadi & Rita Yuliani. Buku Pegangan Praktek Klinik Asuhan Keperawatan pada Anak.
Edisi I. CV Sagung Seto. Jakarta. 2001.
Widiastuti Samekto. Belajar Bertolak dari Masalah Demam Typhoid. Badan Penerbit
Universitas Diponegoro. Semarang. 2001.

27

Anda mungkin juga menyukai