Anda di halaman 1dari 191

KOMUNIKASI KESEHATAN

Penulis: Mega Ardina, M.Sc.


Editor: Aditya Pratama
Tata Sampul: Quella
Pracetak: Antini, Dwi, Wardi

Cetakan Pertama, Februari 2021

Penerbit
DIVA Press
(Anggota IKAPI)
Sampangan Gg.Perkutut No.325-B
Jl. Wonosari, Baturetno
Banguntapan Yogyakarta
Telp: (0274) 4353776, 081804374879
Fax: (0274) 4353776
E-mail: redaksi_divapress.com
Sekred.divapress@gmail.com
Blog: www.blogdivapress.com
Website: www.divapress-online.com

ISBN 978-623-293-320-0
DAFTAR ISI

Daftar Isi.................................................................................. 1

Kata Pengantar........................................................................ 3

BAB I PENGANTAR KOMUNIKASI KESEHATAN......... 5

A. Ruang Lingkup dan Pengertian Komunikasi Kesehatan.... 5

B. Karakteristik dan Fungsi Komunikasi Kesehatan............... 11

C. Pesan dalam Komunikasi Kesehatan.................................. 15

D. Faktor Penghambat Komunikasi dan Cara Mengatasinya.. 26

BAB II PROMOSI KESEHATAN......................................... 39

A. Teori yang Mendasari Promosi Kesehatan......................... 39

B. Tujuan dan Manfaat Promosi Kesehatan............................ 48

C. Strategi Promosi Kesehatan................................................ 53

D. Contoh Kegiatan Promosi Kesehatan................................. 56

BAB III KOMUNIKASI TERAPEUTIK............................... 81

A. Teori Psikologi Komunikasi yang Mendasari 81


Komunikasi Terapeutik...........................................................

1
B. Tujuan dan Manfaat Komunikasi Terapeutik..................... 100

C. Tahap Komunikasi Terapeutik........................................... 103

D. Strategi Komunikasi Terapeutik......................................... 110

BAB IV PERILAKU SEKS PRANIKAH.............................. 145

A. Latar Belakang.................................................................... 145

B. Rumusan Masalah............................................................... 147

C. Tujuan................................................................................. 147

D. Metode Penelitian............................................................... 148

E. Pembahasan Hasil Penelitian.............................................. 156

F. Kesimpulan......................................................................... 175

G. Rekomendasi...................................................................... 176

2
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami haturkan ke hadirat Allah SWT, atas
semua karunia ilmu dan pengetahuan sehingga penulis bisa
menyelesaikan penyusunan buku Komunikasi Kesehatan ini.
Komunikasi kesehatan berkaitan erat dengan bagaimana individu
dalam masyarakat berupaya menjaga kesehatannya. Komunikasi
kesehatan juga berurusan dengan berbagai isu yang berhubungan
dengan kesehatan. Fokus dalam komunikasi kesehatan meliputi
transaksi hubungan kesehatan secara spesifik, termasuk berbagai faktor
yang ikut berpengaruh terhadap transaksi yang dimaksud. Proses
penyampaian pesan kesehatan oleh komunikator melalui saluran/media
tertentu kepada komunikan dengan tujuan untuk mendorong perilaku
manusia tercapainya kesejahteraan sebagai kekuatan yang mengarah
kepada keadaan (status) sehat utuh secara fisik, mental (rohani), dan
sosial.
Setiap orang akan terlibat dalam kegiatan komunikasi kesehatan
bukan hanya ketika mereka mencari atau mendapat pelayanan
kesehatan, namun juga saat berbicara tentang kesehatan dengan
keluarga, tetangga atau orang yang disayanginya, bahkan saat mereka
menyebarkan pesan-pesan yang berhubungan dengan kesehatan melalui
berbagai media. Komunikasi kesehatan juga mengarah pada jalannya
proses komunikasi dan pesan yang membahas banyak tentang isu
kesehatan. Pada kategori bidang ini pengetahuan dapat dikategorikan
dalam dua kelompok besar, yaitu perspektif berdasarkan proses, dan

3
perspektif berdasarkan pesan. Dalam pendekatan berdasarkan proses,
maka akan banyak membahas dan menggali cara-cara dalam
penyampaian pemaknaan kesehatan, diinterpretasi, dan dipertukarkan.
Dalam perspektif proses, investigasi interaksi dan strukturasi simbolik
disampaikan dengan mengaitkan dengan kesehatan. Sebaliknya pada
perspektif pesan, hal tersebut terpusat pada pembentukan pesan
kesehatan yang efektif, usaha-usaha strategis untuk menciptakan
komunikasi yang efektif, sehingga dapat mengubah perilaku
masyarakat untuk menjalankan pola hidup sehat.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah membantu penerbitan buku ini. Akhir kata,
semoga buku ini bermanfaat bagi para pembaca. Penulis meyakini
masih banyak kekurangan dalam penyusunan buku ini. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk
penyempurnaan tulisan di edisi berikutnya.

Yogyakarta, Januari 2021


Penulis

4
BAB I

PENGANTAR KOMUNIKASI KESEHATAN

A. Ruang Lingkup Komunikasi Kesehatan


Manusia adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan sesama
dalam kehidupan sehari-hari. Tidak dapat dihindari, manusia akan
selalu berhubungan dengan manusia lainnya. Hubungan manusia
dengan individu, hubungan manusia dengan kelompok, atau hubungan
kelompok dengan kelompok inilah yang disebut sebagai interàksi
sosial. Dalam interaksi sosial, peran komunikasi sangatlah penting
karena dengan adanya komunikasi, manusia dapat saling bersosial
dengan manusia yang lainnya.
Dalam dunia kesehatan, komunikasi mempunyai peran dalam
menyampaikan layanan dan promosi kesehatan. Menurut Asnani, MR
(2009), penelitian ekstensif menunjukkan bahwa tidak peduli seberapa
mahir seorang tenaga medis, jika dia tidak mampu membuka
komunikasi yang baik dengan klien maka ia tidak akan membantu
apapun. Kesehatan saat ini merupakan isu penting dalam kehidupan
masyarakat dunia. Aktivitas masyarakat yang dituntut untuk serba cepat
dan faktor lingkungan yang menyediakan kepraktisan dalam makanan
yang dikonsumsi banyak memengaruhi kesehatan. Sementara itu,
konsep kesehatan masyarakat dunia visi terbesarnya adalah dapat
merubah sistem atau memiliki pengaruh besar dalam memengaruhi

5
kesehatan faktor lingkungan diantara faktor-faktor perilaku dan
pelayanan kesehatan
Pada 2 dekade atau 20 tahun yang lalu, telah ada banyak cara yang
efektif untuk mengubah perilaku seseorang mengenai kesehatan. Salah
satunya adalah kolaborasi dari para ahli psikolog dan komunikasi. Pada
tahun 90-an telah ada riset mengenai nutrisi dan rokok, yaitu smoke
intervension. Dengan adanya riset tersebut lalu muncul HEHB, yaitu
pendidikan kesehatan yang bertujuan untuk mengubah perilaku yang
berbasis pada bukti-bukti, seperti riset dan temuan yang membuktikan
mengenai pentingnya kesehatan.
Dalam buku yang berjudul "Health Communication" yang ditulis
oleh Richard K (2006), dijelaskan bahwa awal mula munculnya
komunikasi kesehatan yaitu dari masyarakat Amerika yang tidak
memedulikan dan memperhatikan kesehatan. Namun, setelah adanya
perang dunia ke-2, orang baru mulai untuk peduli akan pentingnya
kesehatan.
Para dokter awalnya mengandalkan akal sehat atau common sense
yang hanya mengadopsi logika pendek. Tidak dibutuhkan pakar atau
ahli, pengetahuan umum mudah untuk diketahui orang dengan
mempelajari logikanya sendiri. Dalam hal ini, setiap orang dianggap
dapat langsung melakukan dan memutuskan tindakan kesehatan tanpa
perlu melakukan riset kesehatan yang mendalam.
Ada begitu banyak tantangan yang dihadapi sehingga masalah
kesehatan yang semakin banyak sudah tidak mampu diatasi dengan
riset dan teknologi. Riset tersebut tidak hanya mengenai kesehatan
melainkan juga mengenai perilaku seseorang. Beberapa ilmu

6
pengetahuan seperti teori, riset dan praktek kesehatan akan
memunculkan agenda kesehatan di masa yang akan datang. Oleh sebab
itu, para peneliti harus melakukan riset lagi mengenai perubahan
perilaku seseorang mengenai kesehatan. Melihat perkembangan bidang
kesehatan saat ini, isu kesehatan menjadi penting untuk dikaji melalui
bidang ilmu komunikasi dengan adanya masukan dari banyak
penelitian bidang kesehatan. Isu-isu terebut pada akhirnya menekankan
pentingnya kesehatan bagi kehidupan masyarakat dan perhatian pada
aspek psikis maupun sosial atas penggunaan pengobatan non-medis
yang dikenal dengan istilah Complementary and Alternative Medicine
(CAM).
Komunikasi adalah suatu bentuk interaksi manusia yang bisa
memengaruhi satu manusia dengan manusia lain yang dilakukan secara
sengaja maupun tidak sengaja. Komunikasi tidak terbatas pada bentuk
komunikasi verbal saja, namun juga dapat melalui bentuk ekspresi
muka, seni, lukisan, dan teknologi. Menurut Lydia Harlina
Martono & Satya Joewana (2008), komunikasi adalah suatu proses
penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain yang bertujuan
untuk memberitahu, mengemukakan pendapat, dan mengubah perilaku
atau mengubah sikap yang dilakukan baik secara langsung ataupun
tidak langsung. Sehingga, empat komponen penting dalam komunikasi
adalah sumber, penerima, pesan, dan saluran.
Komunikasi mengacu pada pertukaran informasi dan menyiratkan
berbagi makna di antara pihak yang berkomunikasi. Komunikasi
memiliki tujuan: (1) memulai tindakan; (2) mengetahui kebutuhan dan
hasil yang ingin di capai; (3) bertukar informasi, ide, sikap dan

7
keyakinan, (4) memunculkan pemahaman; serta (5) membangun dan
memelihara hubungan (U.S. Office of Disease Prevention and Health
Promotion, 2004).
Manusia berkomunikasi dan berbagi informasi dengan berbagai
cara. Pada manusia, komunikasi dilakukan melalui bahasa lisan ataupun
tulisan, namun komununikasi non verbal juga memainkan peran
penting dalam interaksi manusia. Postur tubuh, ekspresi, atau bahkan
pakaian yang kita kenakan berkontribusi dalam penyampaian pesan.
Manusia akan terus-menerus mengomunikasikan informasi baik
sengaja maupun tidak sengaja dengan membagikan persepsi, niat dan
perasaan, termasuk juga tentang identitas. Orang yang tidak dapat
berkomunikasi, maka tidak dapat melakukan apapun dalam proses
penyampaian pesan, seperti dalam hal kecil tersenyum atau tertawa.
Waktu penyampaian dalam pengiriman sinyal pesan sama kuatnya
seperti kita tersenyum ataupun tertawa. Dalam waktu yang sangat
singkat bahkan hitungan detik orang lain mampu menangkap maksud
dari komunikasi yang dilakukan.
Komunikasi pada manusia tidak selalu melibatkan pertukaran
informasi dengan orang lain. Dalam komunikasi dapat juga melibatkan
hal-hal yang terjadi dalam diri seseorang, melalui penggunaan proses
seperti refleksi. Jadi, dalam banyak situasi sehari-hari, manusia dapat
menyelesaikan masalah menggunakan pendekatan komunikasi dan
dapat memikirkan berbagai tindakan alternatif serta dapat pula
memonitor hasil interaksi kita dengan orang lain.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, komunikasi yang efektif
berperan penting dalam kemampuan kita di masyarakat sebagai fungsi

8
dari anggota masyarakat. Hal ini merupakan aspek kunci dari
terciptanya hubungan, apakah ini terjadi dalam keluarga, pendidikan,
pekerjaan atau sosial. Oleh sebab itu, ketika dalam hubungan terjadi
keretakan atau terjadi konflik yang mengakibatkan salah satu pihak
menjadi stres, keluhan pertama yang sering dikaitkan adalah karena
adanya komunikasi yang buruk. Seperti sering kita mendengar sebuah
frasa „Saya mencoba menjelaskan tetapi dia tidak akan mendengarkan‟
dan sebagainya.
Departemen Kesehatan dan Layanan Manusia mendefinisikan
komunikasi kesehatan sebagai studi dan penggunaan strategi
komunikasi untuk menginformasikan dan memengaruhi keputusan
individu atau komunitas yang bertujuan meningkatkan kesadaran akan
kesehatan. Dengan demikian, perbedaan pertama yang terlihat adalah
fokus studi ini pada kesehatan. Perbedaan utama kedua adalah
penggunaan strategi untuk memberi informasi dan pengaruh keputusan.
Komunikasi kesehatan juga mengarah pada jalannya proses
komunikasi dan pesan yang membahas banyak tentang isu kesehatan.
Pada kategori bidang ini pengetahuan dapat dikategorikan dalam dua
kelompok besar, yaitu perspektif berdasarkan proses, dan perspektif
berdasarkan pesan. Dalam pendekatan berdasarkan proses, maka akan
banyak membahas dan menggali cara-cara dalam penyampaian
pemaknaan kesehatan, diinterpretasi dan dipertukarkan. Dalam
perspektif proses, investigasi interaksi dan strukturasi simbolik
disampaikan dengan mengaitkan dengan kesehatan. Sebaliknya pada
perspektif pesan, hal tersebut terpusat pada pembentukan pesan
kesehatan yang efektif, usaha-usaha strategis untuk menciptakan

9
komunikasi yang efektif sehingga dapat mencapai tujuan para
stakeholder bidang kesehatan.
Dalam hal ini, komunikasi kesehatan dapat dikatakan sebagai
komunikasi persuasif karena memiliki kemampuan untuk memengaruhi
khalayak. Bentuk dari memengaruhi khalayak berupa kampanye, iklan,
promosi dan lain sebagainya, yang bertujuan untuk mengubah perilaku
khalayak untuk menerapkan pola hidup sehat.
Tingkatan dari dampak kesehatan berkaitan dengan area cakupan,
yaitu pendidikan mengenai kesehatan yang mencakup individu dan
kelompok sosial yang bertujuan untuk memengaruhi keadaan kesehatan
yang lebih baik. Kesehatan mempunyai kaitan dengan budaya dan
status sosial sehingga pendekatannya lebih luas ke individu dan
kelompok. Banyak pula promosi-promosi yang sudah dilakukan dan
berfokus kepada bagaimana cara agar orang ataupun kelompok
mengubah perilakunya akan pola hidup sehat dan pencegahan penyakit-
penyakit berbahaya.
Pihak yang dapat memengaruhi dan menentukan perubahan perilaku
ke tahap yang lebih baik, yaitu individu, jaringan sosial, organisasi,
komunitas, dan masyarakat. Individu merupakan target penting dalam
menentukan keberhasilan pesan yang disampaikan, karena diperlukan
kesadaran dari individu untuk dapat berubah ke sikap yang
memedulikan kesehatan. Faktor jaringan sosial seperti lingkungan
pertemanan mampu memengaruhi individu untuk melakukan perubahan
kebiasaan menjadi lebih baik.

10
B. Karakteristik dan Fungsi Komunikasi Kesehatan
Komunikasi kesehatan yaitu proses penyampaian pesan kesehatan
oleh komunikator melalui saluran/media tertentu kepada komunikan
dengan tujuan untuk mendorong perilaku manusia tercapainya
kesejahteraan sebagai kekuatan yang mengarah kepada keadaan (status)
sehat utuh secara fisik, mental (rohani), dan sosial.
Secara umum, ruang lingkup komunikasi kesehatan lebih sempit
daripada komunikasi manusia. Komunikasi kesehatan berkaitan erat
dengan bagaimana individu dalam masyarakat berupaya menjaga
kesehatannya. Komunikasi kesehatan juga berurusan dengan berbagai
isu yang berhubungan dengan kesehatan. Fokus dalam komunikasi
kesehatan meliputi transaksi hubungan kesehatan secara spesifik,
termasuk berbagai faktor yang ikut berpengaruh terhadap transaksi
yang dimaksud.
Dalam tingkat komunikasi, komunikasi kesehatan merujuk pada
bidang-bidang seperti program kesehatan nasional dan dunia, promosi
kesehatan, serta rencana kesehatan publik. Dalam konteks kelompok
kecil, komunikasi kesehatan merujuk pada bidang-bidang seperti rapat-
rapat membahas perencanaan pengobatan, laporan staf, dan interaksi
tim medis.
Dalam konteks interpersonal, komunikasi kesehatan termasuk dalam
komunikasi manusia yang secara langsung memengaruhi profesional
dengan profesional dan profesional dengan klien. Komunikasi
kesehatan dipandang sebagai bagian dari bidang-bidang ilmu yang
relevan, fokusnya lebih spesifik dalam hal pelayanan kesehatan.
Beberapa karakteristik komunikasi, antara lain sebagai berikut.

11
1. Komunikasi adalah suatu proses. Komunikasi merupakan
serangkaian tindakan atau peristiwa yang terjadi secara
berurutan.
2. Komunikasi adalah upaya yang disengaja dan punya
tujuan (dilakukan dalam keadaan sadar).
3. Komunikasi menuntut adanya partisipasi dan kerjasama dari para
pelaku yang terlibat. Aktifitas komunikasi akan berlangsung
dengan baik, apabila pihak-pihak yang terlibat berkomunikasi.
4. Komunikasi bersifat simbolis. Komunikasi pada dasarnya
merupakan tindakan yang dilakukan dengan menggunakan
lambang-lambang.
5. Komunikasi bersifat transaksional. Komunikasi pada dasarnya
menuntut dua tindakan; memberi dan menerima.
6. Komunikasi menembus faktor ruang dan waktu. Komunikasi
menembus faktor ruang dan waktu maksudnya bahwa para
peserta atau pelaku yang terlibat dalam komunikasi tidak harus
hadir pada waktu serta tempat yang sama.
Secara umum, banyak sekali teori, model dan perspektif mengenai
komunikasi kesehatan. Adapun model teoritik dan praktis tersebut,
menurut Alo Liliwari (2011), antara lain:
1. Komunikasi persuasive atau komunikasi yang berdampak pada
perubahan perilaku kesehatan.
2. Faktor-faktor psikologi individual yang memengaruhi persepsi
terhadap kesehatan:
a. Stimulus (objek persepsi) à sense organ dan permaknaan
stimulus (respons).

12
b. Bagaimana mengorganisir stimulus à berdasarkan aturan,
schemata dan label.
c. Interpretasi dan evaluasi berdasarkan pengetahuan,
pengalaman dan lain-lain.
d. Memory.
e. Recall.
3. Teori yang digunakan adalah teori persepsi pendidikan kesehatan
(health education), yang bertujuan memperkenalkan perilaku
hidup sehat melalui informasi dan pendidikan kepada individu
dengan menggunakan aktivitas material maupun terstruktur.
Cakupan pendidikan kesehatan meliputi:
a. Jenis pendidikan profesional dibidang kesehatan (kurikulum,
dan lain-lain).
b. Jenjang pendidikan profesi.
c. Pelatihan profesional (jenis, jenjang dan kurikulum).
d. Pendidikan masyarakat (informal).
e. SDM pendidik, dan lain-lain.
4. Pemasaran sosial yang bertujuan untuk memperkenalkan atau
mengubah perilaku positif melalui penerapan prinsip-prinsip
pemasaran dengan mengintervensi informasi kesehatan yang
bermanfaat bagi komunitas.
5. Penyebarluasan informasi kesehatan; melalui media (sosialisasi
informasi, pendidikan, hiburan, opini, pemberitaan dan lain-lain).
6. Advokasi, pendamping melalui komunitas, kelompok atau media
massa yang bertujuan untuk memperkenalkan:
a. Kebijakan.

13
b. Peraturan.
c. Program-program untuk memperbarui kesehatan.
7. Risiko komunitas, bertujuan untuk menyebarluaskan informasi
yang benar mengenai risiko yang dihadapi oleh masyarakat
terhadap informasi kesehatan.
8. Komunikasi dengan klien, meliputi informasi untuk seorang
individu, misalnya informasi yang berkaitan dengan kondisi
kesehatan individu.
9. Informasi kesehatan untuk para konsumen, satu aktivitas
komunikasi yang ditunjukkan kepada para individu-konsumen
demi membantu individu untuk memahami kesehatan individu.
10. Merancang health entertain atau hiburan yang didalamnya
mengandung informasi kesehatan.
11. Kommunikasi kesehatan yang interaktif yakni komunikasi
kesehatan yang dilakukan melalui media interaktif sehungga
terjadi dialog dan diskusi antar sumber dengan penerima melalui
media massa.
12. Strategi komunikasi, yang meliputi desain pilihan:
a. Komunikator kesehatan.
b. Pesan-pesan kesehatan.
c. Media kesehatan.
d. Komunikan kesehatan (audiens-sasaran komunikasi).
e. Mereduksi hambatan komunikasi.
Komunikasi kesehatan memiliki peran untuk menentukan tingkatan
kesehatan dari masyarakat mengenai baik atau buruknya. Beberapa hal
yang ditingkatkan, yaitu: (1) pengaruh kepercayaan, persepsi, dan

14
sikap; (2) pengetahuan dan kesadaran terhadap masalah kesehatan; (3)
efektivitas pencegahan dan promosi; (4) memperbaiki keadaan yang
sedang parah sehingga menjadi lebih baik; (5) dampak penyakit yang
ditentukan oleh ras dan etnik serta faktor sosial ekonomi terutama yang
berhubungan dengan kemiskinan; (6) membantu menyatukan hubungan
organisasi; (7) tindakan cepat; (8) tunjukkan manfaat dari perubahan
perilaku; (9) permintaan untuk layanan kesehatan; serta (10)
menyangkal mitos dan kesalahpahaman.

C. Pesan dalam Komunikasi Kesehatan


Adanya penelitian yang menggali dan terkait dengan konsep
sehat/sakit dalam aplikasi yang luas ternyata bukan sekedar
menyangkut kondisi berdasarkan pengukuran biomedis. Secara
sederhana ada konsep disease yang dimaksudkan sebagai adanya
gangguan atau ketidakteraturan pada anatomi tubuh atau fisik.
Fakta bahwa sehat dan sakit juga mengarah pada adanya keragaman
batasan pada masing-masing individu akibat pengaruh konstruk sosial
dan budaya dalam lingkungannya. Dengan demikian konsep disease
menjadi sesuatu yang berbeda dengan illness yang terstruktur oleh
budaya, berdasarkan pengalaman perorangan dalam mengartikan dan
mengalami kondisi tidaknyamanan pada tubuhnya. Ada orang atau
masyarakat yang membatasi pada pengalaman somatik, yang lain pada
disfungsi mental, serta pada gilirannya aspek sosial emosional dan
kognitif menjadi aspek-aspek yang tidak terpisahkan bahkan saling
tumpang tindih. Ini bisa menjadi kritik utama atas dikotomi disease-

15
illness, yaitu adanya kondisi dikotomi tubuh-pikiran yang tidak
tersentuh oleh bidang biomedis.
Disease berakar pada kondisi sakit tubuh sehingga dianggap bersifat
riil, konkret, ilmiah dan objektif, sebaliknya dengan illness. Pada abad
modern ini, di mana komunikasi sudah dianggap sebagai salah satu
kebutuhan pokok, orang menganggap bahwa proses komunikasi
bukanlah suatu hal yang mandiri, lepas dari dunia lain. Istilah “dunia
lain” yang dimaksudkan adalah bahwa komunikasi selalu berada dalam
ruang atau batas waktu tertentu dan komunikasi tidak lepas dari
komponen-komponen itu. Pada taraf sederhana, komunikasi hanya
diartikan sebagai setiap pembicaraan satu atau sekelompok lainnya
tanpa melalui perantara atau media apa pun. Sekarang, komunikasi
telah sangat kompleks dan rumit, aksesnya sangat luas, dan dengan
biaya yang makin murah. Hal ini menjadi penanda bahwa seiring
dengan perkembangan teknologi komunikasi dan tingkat kebutuhan
manusia akan media komunikasi memberikan peluang setiap orang
untuk berkomunikasi dengan orang lain.
Istilah komunikasi berpangkal pada perkataan latin communis yang
artinya membuat kebersamaan atau membangun kebersamaan antara
dua orang lebih. Komunikasi juga berasal dari asal kata dalam bahasa
latin communico yang artinya membagi. Sebuah defenisi singkat dibuat
oleh Harold D. Lasswell (2009), bahwa cara yang tepat untuk
menerangkan suatu tindakan komunikasi ialah menjawab pertanyaan
“siapa yang menyampaikan, apa yang disampaikan, melalui saluran
apa, kepada siapa dan apa pengaruhnya”. Paradigma Lasswell
menunjukkan bahwa kamunikasi meliputi lima unsur sebagai

16
pertanyaan, yaitu: dari siapa yang menyampaikan?; apa yang
disampaikan?; melalui saluran apa?; kepada siapa?; serta apa
pengaruhnya?
1. Komunikator
Komunikator merupakan orang yang menyampaikan
informasi atau pesan. Komunikator juga sering disebut source,
sender atau encoder. Dalam komunikasi interpersonal
komunikator bisa juga menjadi komunikan karena sifatya yang
transaksional.
2. Pesan
Pesan adalah keseluruhan dari apa yang disampaikan oleh
komunikator. Pesan ini mempunyai inti pesan yang sebenarnya
menjadi pengaruh di dalam usaha mencoba mengubah sikap dan
tingkah laku komunikan. Inti pesan dari komunikasi akan selalu
mengarah kepada tujuan akhir komunikasi itu. Dalam proses
komunikasi, pesan yang disampaikan kepada komunikan agar
sesuai dengan tujuannya, maka:
a. Pesan hendaknya dirancang dan disampaikan sedemikian rupa
sehingga dapat menarik perhatian sasaran yang dimaksud.
b. Pesan hendaknya menggunakan tanda-tanda yang tertuju
kepada pengalaman yang sama antara sumber dan sasaran
sehingga sama-sama dapat dimengerti.
c. Pesan hendaknya dapat membangkitkan kebutuhan pribadi
pihak sasaran dan menyarankan beberapa cara untuk
memperoleh kebutuhannya itu.

17
d. Pesan menyarankan satu jalan untuk memperoleh kebutuhan
itu yang layak bagi situasi kelompok, tepat sasaran berada
saat ia digerakkan untuk memberi tanggapan.
3. Medium
Medium secara mendasar adalah alat-alat yang bersifat teknis
atau fisik yang mengubah pesan menjadi sinyal sehingga
memungkinkan untuk ditransmisikan pada saluran. Saluran
(channel) adalah alat-alat yang secara fisik menjadi tempat di
mana sinyal ditransmisikan. Medium ini sangat menentukan
efektif atau tidaknya sebuah komunikasi. Media dibagi menjadi
tiga yaitu, media dalam bentuk ucapan atau bunyi (The Speaking
Woard), media dalam bentuk tulisan (The Printed Writing), dan
media dalam bentuk gambar hidup (The Audio Visual Media).
Media dalam bentuk ucapan membutuhkan kehadiran
komunikator sebagai medium. Terbatas pada saat ini dan
sekarang, media dalam bentuk ucapan juga memproduksi
berbagai tindak komunikasi. Sementara media dalam bentuk
tulisan membuat sebuah teks yang dapat merekam media dalam
bentuk ucapan dan dapat lahir secara mandiri tanpa hadirnya
komunikator. Media dalam bentuk gambar hidup menggunakan
saluran-saluran yang dibuat oleh ahli mesin untuk memproduksi
karya-karya komunikasi.
4. Komunikan
Komunikan adalah penerima pesan yang disampaikan oleh
komunikator. Bisa terdiri atas satu orang, kelompok ataupun
massa. Komunikan adalah elemen penting dalam proses

18
komunikasi, karena keberhasilan komunikator itu dapat dilihat
sejauh mana komunikan dapat merepresentasikan pesan yang
ditujukan kepadanya. Pesan dari seorang komunikator yang tepat
sasaran akan mampu melahirkan perubahan sikap maupun
tingkah laku.
5. Efek (Effect)
Efek komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian
pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada
orang lain (komunikan). Pikiran ini bisa merupakan gagasan,
informasi, opini, dan lain-lain yang muncul dari benaknya.
Perasaan bisa berupa keyakinan, kepastian, keragu-raguan,
kekhawatiran, kemarahan, keberanian, kegairahan, dan
sebagainya yang timbul dari lubuk hati. Efek dalam proses
komunikasi juga merupakan sebuah akibat setelah terjadinya
proses komunikasi. Efek ini dapat terjadi pada komunikator,
komunikan, maupun lingkungan. Efek ini dapat berbentuk
langsung maupun tidak langsung (memerlukan waktu).
Proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap, yaitu komunikasi
secara primer dan komunikasi secara sekunder. Proses komunikasi
secara primer adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan
sesorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (symbol)
sebagai media. Dalam komunikasi primer bahasa sebagai lambang,
paling banyak digunakan karena bahasa dapat menunjukkan pernyataan
seseorang mengenai hal-hal, baik yang konkrit maupun yang sifatnya
abstrak. Bahasa dapat mengilustrasikan kejadian sekarang, masa lalu
maupun yang akan datang. Melalui bahasa, seorang komunikator dapat

19
secara langsung merubah komunikan. Menurut Effendy (2004), ada tiga
dampak terhadap komunikan melalui bahasa yaitu: dampak kognitif,
dampak efektif, dan dampak behavioral. Dampak kognitif pada
komunikan dan menyebabkan komunikan tersebut menjadi tahu atau
meningkat intelektualitasnya. Dampak afektif yaitu proses penerimaan
pesan oleh komunikan yang menyebabkan perubahan sikap seorang
komunikan. Dampak behavioral yaitu dampak yang timbul pada
komunikan dalam bentuk tindakan atau kegiatan.
Proses komunikasi secara sekunder adalah adalah proses
penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan
menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai
lambang sebagai media pertama. Dalam komunikasi sekunder, pesan
disampaikan kepada khalayak luas yang heterogen dan anonim. Karena
jangkaunnya yang luas, komunikasi sekunder menyebabkan arus balik
dari komunikan (khalayak) tidak terjadi pada saat pesan itu dilancarkan.
1. Isi Pesan
Pesan adalah suatu komponen dalam proses komunikasi
berupa paduan dari pikiran dan perasaan seseorang dengan
menggunakan lambang, bahasa atau lambang-lambang lainnya
yang disampaikan kepada orang lain. Menurut Hafied (2006),
pesan adalah serangkaian isyarat atau simbol yang diciptakan
oleh seseorang untuk maksud tertentu dengan harapan bahwa
penyampaian isyarat atau simbol itu akan berhasil dalam
menimbulkan sesuatu.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pesan
adalah suatu materi yang disampaikan kepada orang lain dalam

20
bentuk gagasan baik verbal maupun nonverbal, untuk
menyatakan maksud tertentu sesuai dengan kebutuhan orang lain
berkenaan dengan manfaat dan kebutuhannya. Pesan dapat
berupa gagasan, pendapat dan sebagainya yang sudah
diuntungkan dalam suatu bentuk dan melalui lambang
komunikasi diteruskan kepada orang lain atau komunikan.
2. Komunikasi Verbal
Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan
kata-kata, baik itu secara lisan maupun tulisan. Komunikasi
verbal paling banyak dipakai dalam hubungan antar manusia,
untuk mengungkapkan perasaan, emosi, pemikiran, gagasan,
fakta, data, dan informasi serta menjelaskannya, saling bertukar
perasaan dan pemikiran, saling berdebat, dan bertengkar.
Unsur penting dalam komunikasi verbal, dapat berupa kata
dan bahasa (Hardjana, 2007).
a. Kata
Kata merupakan lambang terkecil dari bahasa. Kata
merupakan lambang yang mewakili sesuatu hal, baik itu
orang, barang, kejadian, atau keadaan. Makna kata tidak ada
pada pikiran orang. Tidak ada hubungan langsung antara kata
dan hal. Yang berhubungan langsung hanyalah kata dan
pikiran orang (Julia, T.Wood, 2009). Komunikasi verbal
merupakan sebuah bentuk komunikasi yang diantarai
(mediated form of communication). Seringkali kita mencoba
membuat kesimpulan terhadap makna apa yang diterapkan
pada suatu pilihan kata. Kata MODUL KOMUNIKASI

21
VERBAL DAN NON VERBAL terdiri dari 8 kata yang kita
gunakan merupakan abstraksi yang telah disepakati
maknanya, sehingga komunikasi verbal bersifat intensional
dan harus 'dibagi' (shared) di antara orang-orang yang terlibat
dalam komunikasi tersebut.
b. Bahasa
Bahasa adalah suatu sistem lambang yang memungkinkan
orang berbagi makna. Dalam komunikasi verbal, lambang
bahasa yang dipergunakan adalah bahasa lisan, tertulis pada
kertas, ataupun elektronik (Agus, 2003). Bahasa memiliki tiga
fungsi yang erat hubungannya dalam menciptakan
komunikasi yang efektif. Fungsi itu digunakan untuk
mempelajari dunia sekitarnya, membina hubungan yang baik
antar sesama dan menciptakan ikatan-ikatan dalam kehidupan
manusia.
3. Komunikasi Non Verbal
Manusia berkomunikasi menggunakan kode verbal dan
nonverbal. Kode nonverbal disebut isyarat atau bahasa diam
(silent language). Melalui komunikasi nonverbal kita bisa
mengetahui suasana emosional seseorang, apakah ia sedang
bahagia, marah, bingung, atau sedih. Kesan awal kita mengenal
seseorang sering didasarkan pada perilaku nonverbalnya, yang
mendorong kita untuk mengenal lebih jauh.
Komunikasi nonverbal adalah semua isyarat yang bukan kata-
kata. Pesan-pesan nonverbal sangat berpengaruh terhadap
komunikasi. Pesan atau simbol-simbol nonverbal sangat sulit

22
untuk ditafsirkan dari pada simbol verbal. Bahasa verbal sealur
dengan bahasa nonverbal, contoh ketika kita mengatakan “ya”
pasti kepala kita mengangguk. Komunikasi nonverbal lebih jujur
mengungkapkan hal yang mau diungkapkan karena spontan
(Widyo Nugroho, 2003). Komunikasi nonverbal jauh lebih
banyak dipakai daripada komunikasi verbal. Komunikasi
nonverbal bersifat tetap dan selalu ada.
Komunikasi nonverbal meliputi semua aspek komunikasi
selain kata-kata sendiri seperti bagaimana kita mengucapkan
kata-kata (volume), fitur, lingkungan yang memengaruhi
interaksi (suhu, pencahayaan), dan benda-benda yang
memengaruhi citra pribadi dan pola interaksi (pakaian, perhiasan,
meubel). Komunikasi nonverbal memiliki beberapa jenis, yaitu:
a. Sentuhan (Haptic)
Sentuhan atau tactile message, merupakan pesan
nonverbal, nonvisual, dan nonvokal. Alat penerima sentuhan
adalah kulit, yang mampu menerima dan membedakan
berbagai emosi yang disampaikan orang melalui sentuhan.
Alma I Smith, seorang peneliti dari Cutaneous
Communication Laboratory mengemukakan bahwa berbagai
perasaan yang dapat disampaikan melalui sentuhan, salah
satunya adalah kasih sayang (mothering) dan sentuhan itu
memiliki khasiat kesehatan
b. Komunikasi Objek
Penggunaan komunikasi objek yang paling sering
dijumpai adalah penggunaan pakaian. Orang sering dinilai

23
dari jenis pakaian yang digunakannya, walaupun ini termasuk
bentuk penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan
persepsi. Contohnya dapat dilihat pada penggunaan seragam
oleh pegawai sebuah perusahaan, yang menyatakan identitas
perusahaan tersebut.
c. Kronemik
Chronomics refers to how we perceive and use time to
define identities and interactions (Wood, 2012). Kronemik
merupakan bagaimana komunikasi nonverbal yang dilakukan
ketika menggunakan waktu, yang berkaitan dengan peranan
budaya dalam konteks tertentu.
d. Gerakan Tubuh (Kinestetik)
Gerakan tubuh biasanya digunakan untuk menggantikan
suatu kata atau frasa. Beberapa bentuk dari kinestetik yaitu:
1) Emblem, yaitu gerakan tubuh yang secara langsung dapat
diterjemahkan kedalam pesan verbal tertentu. Biasanya
berfungsi untuk menggantikan sesuatu. Misalnya,
menggangguk sebagai tanda setuju; telunjuk di depan
mulut tanda jangan berisik.
2) Ilustrator, yaitu gerakan tubuh yang menyertai pesan
verbal untuk menggambarkan pesan sekaligus melengkapi
serta memperkuat pesan. Biasanya dilakukan secara
sengaja. Misalnya, memberi tanda dengan tangan ketika
mengatakan seseorang gemuk/kurus.
3) Affect displays, yaitu gerakan tubuh khususnya wajah yang
memperlihatkan perasaan dan emosi. Seperti misalnya

24
sedih dan gembira, lemah dan kuat, semangat dan
kelelahan, marah dan takut. Terkadang diungkapkan
dengan sadar atau tanpa sadar. Dapat mendukung atau
berlawanan dengan pesan verbal.
4) Regulator, yaitu gerakan nonverbal yang digunakan untuk
mengatur, memantau, memelihara atau mengendalikan
pembicaraan orang lain. Regulator terikat dengan kultur
dan tidak bersifat universal. Misalnya, ketika kita
mendengar orang berbicara, kita menganggukkan kepala,
mengerutkan bibir, dan fokus mata.
5) Adaptor, yaitu gerakan tubuh yang digunakan untuk
memuaskan kebutuhan fisik dan mengendalikan emosi.
Dilakukan bila seseorang sedang sendirian dan terjadi
tanpa disengaja. Misalnya, menggigit bibir, memainkan
pensil ditangan, garuk-garuk kepala saat sedang cemas dan
bingung.
e. Proxemik
Proxemik adalah bahasa ruang. Proxemik adalah jarak
yang digunakan ketika berkomunikasi dengan orang lain,
termasuk juga tempat atau lokasi posisi berada. Pengaturan
jarak menentukan seberapa dekat tingkat keakraban seseorang
dengan orang lain. Jarak mampu mengartikan suatu
hubungan. Richard West dan Lynn H. Turner pada
Introducing Communication Theory (2007) membagi zona
proksemik pada berbagai macam pembagian, yaitu :

25
1) Jarak intim, jaraknya dari 0-45 cm. (Fase dekat 0-15 cm,
Fase Jauh 15-45 cm), jarak ini dianggap terlalu dekat
sehingga tidak dilakukan di depan umum
2) Jarak personal, jaraknya 45-120 cm. (Fase dekat 45-75 cm
yang bisa disentuh dengan uluran tangan; Fase jauh 75-
120 cm yang bisa disentuh dengan dua uluran tangan.
Jarak ini menentukan batas kendali fisik atas orang lain,
yang bisa dilihat rambut, pakaian, gigi, muka. Bila ruang
pribadi ini diganggu, kita sering merasa tidak nyaman.
3) Jarak sosial, jaraknya 12-360 cm.
4) Jarak publik, lebih dari 360-750 cm.
f. Lingkungan
Lingkungan juga dapat digunakan untuk menyampaikan
pesan-pesan tertentu. Ruang lingkup lingkungan di antaranya
seperti penggunaan ruang, jarak, temperatur, penerangan, dan
warna.
g. Vokalik
Vokalik atau paralanguage adalah unsur nonverbal dalam
sebuah ucapan, yaitu cara berbicara. Misalnya adalah nada
bicara, nada suara, keras atau lemahnya suara, kecepatan
berbicara, kualitas suara, intonasi, dan lain-lain.

D. Faktor Penghambat Komunikasi dan Cara Mengatasinya


Penghambat dapat dartikan sebagai halangan atau rintangan yang
dialami. Dalam konteks komunikasi dikenal pula istilah “gangguan”
(mekanik maupun semantik), gangguan ini masih termasuk ke dalam

26
hambatan komunikasi. Efektivitas komunikasi salah satunya akan
sangat tergantung kepada seberapa besar hambatan komunikasi yang
terjadi.
Di dalam setiap kegiatan komunikasi, sudah dapat dipastikan akan
menghadapi berbagai hambatan. Hambatan dalam kegiatan komunikasi
yang manapun tentu akan memengaruhi efektivitas proses komunikasi
tersebut. Karena ketika sampai pada ranah komunikasi massa, maka
jenis hambatannya akan relatif lebih kompleks sejalan dengan
kompleksitas komponen yang terdapat dalam komunikasi massa. Hal
lain yang perlu diketahui yaitu komunikasi harus bersifat heterogen.
Setiap individu memiliki cara berfikir yang berbeda, terutama dalam
menyelesaikan suatu permasalahan. Ada yang bersikap santai, ada yang
cuek. Bahkan ada yang menyikapi sesuatu dengan emosional. Hal ini
dipengaruhi dari sudut pandang masing-masing individu dan setiap
individu memiliki karakteristik yang berbeda, cara berkomunikasi, di
mana terkadang semua hal itu menjadi masalah dalam membangun
hubungan dalam bermasyarakat.
Oleh karena itu penghambat dalam meciptakan komunikasi yang
efektif salah satunya adalah sikap emosional yang berlebihan bagi
masing-masing individu saat menghadapi situasi tertentu semakin
memperburuk proses komunikasi itu sendiri. Pada saat kita mendapat
sedikit masalah, sedangkan masalah tersebut masuk pada kategori
masalah yang sepele, mestinya dapat diselesaikan dengan baik, akan
tetapi individu atau kelompok lainnya menyikapi dengan cara yang
emosional maka akan menjadi bumerang dan krisis komunikasi bagi
individu maupun kelompok.

27
Dalam bukunya Agung Nugroho (2008), komunikasi interpersonal
mampu memahami tentang sikap dan perilaku setiap individu, serta
dapat menghindari kemungkinan terjadinya komunikasi yang tidak
sehat dalam menghadapi situasi tertentu.
1. Faktor Situasional dapat Memengaruhi Persepsi
Situasi yang menyenangkan akan menciptakan komunikasi
yang menyenangkan pula, dan akan menimbulkan persepsi yang
baik pula. Karena pada dasarnya sikap emosi akan mudah
terpancing saat berada pada situasi yang salah, sehingga akan
membentuk persepsi di mana ego akan lebih mendominasi.
Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau
hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan
menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada
stimuli inderawi. Jalaludin Rakhmat dalam bukunya
menyebutkan beberapa faktor dalam pembentukan persepsi
manusia. Oleh sebab itu, faktor yang pertama adalah fungsional,
berasal dari kebutuhan serta pengalaman masa lalu.
Dalam hal ini Krech dan Cruthfield (1962) juga merumuskan,
persepsi bersifat selektif secara fungsional, objek yang mendapat
tekanan dalam persepsi kita biasanya objek yang memenuhi
tujuan individu yang melakukan persepsi. Beberapa contohnya
adalah faktor kebutuhan, kesiapan mental, suasana emosional,
dan latar belakang budaya terhadap persepsi, serta faktor biologis
juga menyebabkan persepsi yang berbeda. Kedua merupakan
faktor stuktural, berasal dari sifat stimuli fisik dan efek saraf
yang ditimbulkanya pada sistem saraf individu.

28
Dari pemaparan di atas dapat dipahami, persepsi merupakan
keadaan di mana manusia dapat memberi penilaian terhadap
suatu objek dan peristiwa yang sedang dihadapi. Oleh sebab itu
faktor situasional akan berpengaruh besar terhadap proses
terbentuknya persepsi. Dalam situasi yang menyenangkan akan
menimbulkan persepsi yang menyenangkan, begitu pula
sebaliknya, jika berada pada situasi yang salah maka akan
terbentuk persepsi yang salah pula, serta akan menjadi
penghambat dalam proses komunikasi yang terjadi.
2. Pengaruh Konsep Diri dalam Komunikasi Interpersonal
Setiap individu memiliki konsep diri yang berbeda, hal itu
dapat terbentuk dari cara berfikir masing-masing yang
terpengaruh dari penilaian individu lain. Misal cara berfikir yang
selalu menaruh rasa curiga terhadap individu lain, maka itu
adalah konsep diri yang terbentuk dalam diri sebagai orang yang
tidak pernah mudah menaruh rasa percaya terhadap sesuatu.
Terkadang konsep diri dapat disebut dengan kepribadian, saat
manusia memiliki konsep diri yang baik maka dapat
mencerminkan pula pribadi yang baik.
Konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri
kita. Persepsi tentang diri ini boleh bersifat psikologis, sosial dan
fisis. Gabriel Marcel filusuf eksistensialis menulis tentang
peranan orang lain dalam memahami diri, kita mengenal diri kita
dengan mengenal orang lain terlebih dahulu. Bagaimana anda
mengenal diri saya, akan membentuk konsep diri saya.
Terbentuknya konsep diri dipengaruhi oleh faktor pergaulan dan

29
kebiasaan di mana setiap personal memberi penilaian, proses
komunikasi yang baik akan memengaruhi konsep diri yang baik
pula. Dan sebaliknya, jika konsep diri sudah terbentuk dengan
hal yang tidak baik, maka hal itu akan menghambat terjadinya
komunikasi inter personal.
Salah satu teori populer yang digunakan untuk melihat
dinamika dari self-awareness, yang berkaitan dengan perilaku,
perasaan, dan motif seseorang adalah teori Jendela Johari. Model
yang diciptakan oleh Joseph Luft dan Harry Ingham di tahun
1955 ini berguna untuk mengamati cara kita memahami diri kita
sendiri sebagai bagian dari proses komunikasi. Joseph Luft dan
Harrington Ingham, mengembangkan konsep Johari Window
sebagai perwujudan bagaimana seseorang berhubungan dengan
orang lain yang digambarkan sebagai sebuah jendela. “Jendela‟
tersebut terdiri dari matrik 4 sel, masing-masing sel
menunjukkan daerah self (diri) baik yang terbuka maupun yang
disembunyikan. Keempat sel tersebut adalah daerah publik,
daerah buta, daerah tersembunyi, dan daerah yang tidak disadari.
Keempat gambar dapat dilihat sebagai berikut:

30
Gambar 1.1 Jendela Johari
Sumber: http://bit.ly/2QxqVpk

a. Open area adalah informasi tentang diri kita yang diketahui


oleh orang lain seperti nama, jabatan, pangkat, status
perkawinan, lulusan mana, dan lain-lain. Area terbuka
merujuk kepada perilaku, perasaan, dan motivasi yang
diketahui oleh diri kita sendiri dan orang lain. Bagi orang
yang telah mengenal potensi dan kemampuan dirinya sendiri,
kelebihan dan kekurangannya sangatlah mudah untuk
melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi diri
sendiri maupun orang lain sehingga orang dengan tipe ini
pasti selalu menemui kesuksesan setiap langkahnya, karena
orang lain tahu kemampuannya begitu juga dirinya sendiri.
Ketika memulai sebuah hubungan, kita akan

31
menginformasikan sesuatu yang ringan tentang diri kita.
Makin lama maka informasi tentang diri kita akan terus
bertambah secara vertikal sehingga mengurangi hidden area.
Makin besar open area, makin produktif dan menguntungkan
hubungan interpersonal kita.
b. Hidden area berisi informasi yang kita tahu tentang diri kita
tapi tertutup bagi orang lain. Informasi ini meliputi perhatian
kita mengenai atasan, pekerjaan, keuangan, keluarga,
kesehatan, dan lain-lain. Dengan tidak berbagi mengenai
hidden area, biasanya akan menjadi penghambat dalam
berhubungan. Hal ini akan membuat orang lain
miskomunikasi tentang kita, yang kalau dalam hubungan
kerja akan mengurangi tingkat kepercayaan orang. merujuk
kepada perilaku, perasaan, dan motivasi yang diketahui oleh
orang lain, tetapi tidak diketahui oleh diri kita sendiri.
c. Blind area yang menentukan bahwa orang lain sadar akan
sesuatu tapi kita tidak. Pada daerah ini orang lain tidak
mengenal kita sementara kita tahu kemampuan dan potensi
kita, bila hal tersebut yang terjadi maka umpan balik dan
komunikasi merupakan cara agar kita lebih dikenal orang
terutama kemampuan kita, hilangkan rasa tidak percaya diri
mulailah terbuka. Misalnya bagaimana cara mengurangi
grogi, bagaimana caranya menghadapi dosen A, dan lain-lain.
Oleh sebab itu, dengan mendapatkan masukan dari orang lain,
blind area akan berkurang. Makin kita memahami kekuatan
dan kelemahan diri kita yang diketahui orang lain, maka akan

32
bagus dalam bekerja tim. merujuk kepada perilaku, perasaan,
dan motivasi yang diketahui oleh diri kita sendiri, tetapi tidak
diketahui oleh orang lain.
d. Unknown area adalah informasi yang orang lain dan juga kita
tidak mengetahuinya. Sampai kita dapat pengalaman tentang
sesuatu hal atau orang lain melihat sesuatu akan diri kita
bagaimana kita bertingkah laku atau berperasaan. Misalnya
ketika pertama kali seneng sama orang lain selain anggota
keluarga kita. Kita tidak pernah bisa mengatakan perasaan
“cinta”. Jendela ini akan mengecil sehubungan kita tumbuh
dewasa, mulai mengembangkan diri atau belajar dari
pengalaman.
3. Atraksi Interpersonal
Komunikasi interpersonal merupakan proses interaksi yang
berlangsung secara tatap muka. Dalam proses komunikasi ini
akan terbentuk sebuah atraksi interpersonal, di mana individu
mencoba memprediksi sesuatu yang akan terjadi. Menghindari
garis-garis atraksi dan penghindaran dalam sistem sosial, artinya
mampu meramalkan dari mana pesan akan muncul, kepada siapa
pesan itu akan mengalir, dan bagaimana pesan itu akan di terima.
Atraksi interpersonal akan berpengaruh terhadap efektifitas
komunikasi. Komunikasi dapat dikatakan efektif jika ada
kenyamanan dan hal yang menyenangkan bagi komunikan. Jika
individu melakukan komunikasi dengan individu lain yang tidak
disukai, akan menimbulkan perasaan yang tidak nyaman dan
proses komunikasi dinilai tidak efektif.

33
4. Hubungan Interpersonal
Hubungan interpersonal akan melibatkan dan membentuk dua
pihak, yaitu hubungan antara anda dan saya, di mana kita bisa
saling berbagi pengalaman. Hal ini dapat dinamakan proses
perkenalan, saat masing-masing individu saling bertemu dan
memulai interaksi. Hubungan ini akan selalu berubah karena
membutuhkan tindakan tertentu untuk membentuk
keseimbangan. Menurut Jalaluddin Rakhmat (2007), tiga sikap
untuk menumbuhkan hubungan interpersonal:
a. Sikap percaya, hal ini penting untuk menentukan efektifitas
dalam berkomunikasi. Jika sikap ini dapat diwujudkan, proses
komunikasi akan berlangsung dengan baik dan akan
menimbulkan interaksi yang menyenangkan.
b. Sikap Suportif, merupakan proses mengurangi sikap difensif
dalam komunikasi. Sikap difensif akan terjadi saat individu
merasa bahwa dirinya tidak dapat menerima, atau bahkan saat
melakukan kebohongan dan tidak jujur. Misal dalam kasus
penipuan, disini pelaku akan menggunakan sikap difensif
untuk melindungi diri.
c. Sikap terbuka sangat berpengaruh dalam membentuk
komunikasi interpersonal yang efektif. Sikap ini akan
mengurangi perasaan curiga atau sikap tidak percaya terhadap
individu lain saat berlangsungnya komunikasi interpersonal.
5. Pelayanan
Dalam era kompetensi bisnis yang ketat seperti sekarang,
kepuasan pelanggan merupakan hal yang utama, pelanggan

34
diibaratkan seorang raja yang harus dilayani namun hal ini bukan
berarti menyerahkan segalanya kepada pelanggan. Pemantauan
dan pengukuran terhadap kepuasan pelanggan telah menjadi hal
yang esensial bagi setiap perusahaan. Hal ini dikarenakan
pelayanan yang diberikan suatu perusahaan dapat memberikan
umpan balik dan masukan bagi keperluan pembangunan dan
implentasi strategi peningkatan kepuasan pelanggan. Perhatian
terhadap kepentingan pelanggan dengan cara melihat kebutuhan
serta kepuasan atas pelayanan menjadi faktor kunci untuk
keberhasilan usaha di tengah iklim persaingan yang ketat.
Memahami sudut pandang pelanggan menyadari kepuasan
pelanggan dapat membangun kepercayaan emosional dan rasa
percaya bangi kedua belah pihak.
Pelayanan Keperawatan merupakan bagian dari pelayanan
kesehatan yang meliputi pelayanan dasar dan pelayanan rujukan.
Semuanya dapat dilaksanakan oleh tenaga keperawatan dalam
meningkatkan derajat kesehatan. Oleh karena itu sebagai bagian
dari pelayanan kesehatan, maka pelayanan keperawatan
dilakukan oleh tenaga komunikator yang dalam pelayanannya
memiliki tugas, di antaranya memberikan asuhan keperawatan
keluarga, komunitas dalam pelayanan kesehatan dasar dan akan
memberikan asuhan keperawatan secara umum pada pelayanan
rujukan.
Dalam Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang
kesehatan tercantum pada pasal 23 ayat 1 yang berbunyi bahwa
tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan

35
kesehatan. Kemudian ayat 2 yang berbunyi kewenangan untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan sebagai mana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang
dimiliki. Ini merupakan dasar hukum yang sangat kuat bagi
tenaga komunikator dalam memberikan asuhan keperawatan
kepada klien.
Bentuk pelayanan kesehatan adalah:
a. Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama (Primer)
Pelayanan yang lebih mengutamakan pelayanan yang
bersifat dasar dan dilakukan bersama masyarakat dan
dimotori oleh:
1) Dokter Umum (Tenaga Medis).
2) Komunikator Mantri (Tenaga Paramedis).
Pelayanan kesehatan primer (primary health care), atau
pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan kesehatan
yang paling depan, yang pertama kali diperlukan masyarakat
pada saat mereka mengalami gangguan kesehatan atau
kecelakaan. Primary health care pada pokoknya ditunjukan
kepada masyarakat yang sebagian besarnya bermukim di
pedesaan, serta masyarakat yang berpenghasilan rendah di
perkotaan. Pelayanan kesehatan ini sifatnya berobat jalan
(Ambulatory Services). Diperlukan untuk masyarakat yang
sakit ringan dan masyarakat yang sehat untuk meningkatkan
kesehatan mereka atau promosi kesehatan. Contohnya:
puskesmas, puskesmas keliling, klinik.
b. Pelayanan Kesehatan Tingkat Kedua (Sekunder)

36
Pelayanan kesehatan sekunder adalah pelayanan yang
lebih bersifat spesialis dan bahkan kadang kala pelayanan
subspesialis, tetapi masih terbatas. Pelayanan kesehatan
sekunder dan tersier (secondary and tertiary health
care), adalah rumah sakit, tempat masyarakat memerlukan
perawatan lebih lanjut (rujukan). Di Indonesia terdapat
berbagai tingkat rumah sakit, mulai dari rumah sakit tipe D
sampai dengan rumah sakit kelas A. Pelayanan kesehatan
dilakukan oleh:
1) Dokter spesialis.
2) Dokter subspesialis terbatas.
Pelayanan kesehatan ini sifatnya pelayanan jalan atau
pelayanan rawat (inpantient services).Diperlukan untuk
kelompok masyarakat yang memerlukan perawatan inap,
yang sudah tidak dapat ditangani oleh pelayanan kesehatan
primer. Contoh: rumah Sakit tipe C dan rumah sakit tipe D.
c. Pelayanan Kesehatan Tingkat Ketiga (Tersier)
Pelayanan kesehatan tersier adalah pelayanan yang lebih
mengutamakan pelayanan subspesialis serta subspesialis luas.
Pelayanan kesehatan dilakukan oleh:
1) Dokter subspesialis.
2) Dokter subspesialis luas.
Pelayanan kesehatan ini sifatnya dapat merupakan
pelayanan jalan atau pelayanan rawat inap (rehabilitasi).
Diperlukan untuk kelompok masyarakat atau klien yang
sudah tidak dapat ditangani oleh pelayanan kesehatan

37
sekunder. Contohnya: rumah sakit tipe A dan rumah sakit tipe
B.

38
BAB II

PROMOSI KESEHATAN

A. Teori yang Mendasari promosi Kesehatan


Pasal 1 Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan menjelaskan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat, baik
secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap
orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Sehat
mencakup empat aspek, yaitu fisik (badan), mental (jiwa), sosial, dan
ekonomi. Secara luas, derajat kesehatan mencakup faktor perilaku;
faktor genetika (keturunan); faktor lingkungan fisik, kimia, dan biologi;
serta faktor pelayanan kesehatan.
Berdasarkan hal tersebut, tolok ukur kesehatan seseorang tidak
hanya dilihat dari aspek fisik, mental, spiritual, dan sosial, tetapi juga
produktivitasnya. Kelima tolok ukur tersebut saling memengaruhi
dalam mewujudkan tingkat kesehatan seseorang, kelompok, atau
masyarakat. Dengan kata lain, kesehatan bersifat menyeluruh sehingga
upaya pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat
harus dilakukan secara bersama-sama.
Kesehatan menduduki hal penting dalam kehidupan manusia,
bahkan ada kalimat “kesehatan itu sangat mahal” sehingga perlu upaya
untuk menjaga dan meningkatkan kualitas kesehatan (Setyabudi dan
Mutia, 2017). Dalam hal ini, pendidikan kesehatan berperan penting
karena melalui pendidikan kesehatan ini kita dapat memperoleh
pengetahuan dan pemahaman pentingnya kesehatan supaya tercapai
perilaku hidup sehat. Seorang pakar pendidikan menyatakan sebuah
39
gagasan bahwa pendidikan kesehatan membutuhkan pertimbangan dan
pengetahuan yang cermat dari segi pengetahuan, sikap, sasaran,
persepsi, status sosial, struktur kekuasaan, tradisi budaya, dan aspek-
aspek publik lainnya yang harus ditangani (Derryberry dalam Yusky,
2017).
Pendidikan kesehatan diinformasikan kepada masyarakat secara luas
dengan harapan dapat mengubah perilaku kesehatan masyarakat yang
lebih baik. Dengan kata lain, pendidikan kesehatan dapat
dikembangkan melalui konsep promosi kesehatan, yang berlangsung
seiring dengan perubahan paradigma kesehatan dalam masyarakat
(public health). Perubahan paradigma kesehatan terjadi sebagai akibat
adanya perubahan pola penyakit, gaya hidup, lingkungan, dan
sebagainya. Paradigma kesehatan ini telah berubah dari paradigma
pembangunan kesehatan yang lebih mengutamakan pelayanan
kesehatan yang bersifat kuratif dan rehabilitatif.
Upaya pendidikan kesehatan masyarakat berkembang pada tahun
1960-an, dan semakin berkembang pada tahun 1975-an menjadi
“penyuluhan kesehatan”. Pada tahun 1980-an terbit buku The Black
Report di Inggris yang memperlihatkan bahwa masyarakat lapisan
sosio-ekonomi atas memiliki kesempatan lebih besar untuk terhindar
dari penyakit dan tetap sehat dibandingkan dengan masyarakat lapisan
sosial di bawahnya, sehingga kesenjangan pada bidang kesehatan
semakin membesar. Selanjutnya, pada tahun 1990-an, terdapat
pendekatan yang lebih luas, tidak hanya mencakup pendidikan
kesehatan, tetapi juga keterlibatan langsung masyarakat dalam
menetapkan tujuan kesehatan mereka sendiri. Pendekatan inilah yang

40
disebut dengan promosi kesehatan. Dengan demikian, promosi
kesehatan (yang mencakup perilaku dan pendidikan kesehatan) dan
status kesehatan masyarakat berada dalam suatu pola hubungan yang
saling memengaruhi (Maulana, 2009).
Hal tersebut senada dengan pendapat Susilowati (2016) mengenai
gambaran sejarah singkat tentang promosi kesehatan. Susilowati (2016)
mengungkapkan bahwa terdapat pergeseran istilah dari pendidikan
kesehatan, perilaku kesehatan, hingga promosi kesehatan.

Pendidikan Perilaku Promosi


kesehatan kesehatan kesehatan

Gambar 2.1 Perubahan Istilah Promosi Kesehatan


Sumber: Susilowati (2016)

Promosi kesehatan tidak terlepas dari perkembangan sejarah


kesehatan masyarakat di Indonesia dan dipengaruhi oleh perkembangan
promosi kesehatan internasional dengan dimulainya program
Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD) pada tahun 1975
dan Deklarasi Alma Ata tahun 1978 (Depkes dalam Susilowati, 2016).
Istilah health promotion sudah mulai dicetuskan sekitar tahun 1986
41
pada saat konferensi internasional di Ottawa, Kanada pada tahun 1986.
Akan tetapi, istilah promosi kesehatan masih belum dikenal di
Indonesia karena pada saat itu istilah yang dipakai adalah “penyuluhan
kesehatan”.
Susilowati (2016) menguraikan sejarah perkembangan promosi
kesehatan di Indonesia sebagai berikut.
1. Sebelum Tahun 1965
Istilah “pendidikan kesehatan” dipakai pada periode sebelum
tahun 1965. Pendidikan kesehatan berperan sebagai pelengkap
pelayanan kesehatan, utamanya ketika terjadi kegawatdaruratan
seperti terjangkitnya wabah penyakit. Sasaran pendidikan
kesehatan adalah individu, dengan tujuan untuk mengubah
pengetahuan tentang kesehatan.
2. Periode Tahun 1965-1975
Pada periode ini, sasaran program pendidikan kesehatan
mulai ditujukan kepada masyarakat. Melalui Health Educational
Service, dilakukan peningkatan tenaga kesehatan profesional.
Sasaran program ini adalah perubahan pengetahuan masyarakat
tentang kesehatan.
3. Periode Tahun 1975-1985
Pada periode ini, istilah “pendidikan kesehatan” berubah
menjadi “penyuluhan kesehatan”. Wujud nyata program
penyuluhan kesehatan pada periode ini adalah dibentuknya
dokter kecil pada program UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) di
sekolah-sekolah dasar. Selain itu, departemen kesehatan sudah
mulai aktif melakukan pembinaan dan pemberdayaan

42
masyarakat. Pada periode ini pula lahirlah program Posyandu
(Pos Pelayanan Terpadu) sebagai pusat pemberdayaan dan
mobilisasi masyarakat.
Sasaran program tetap sama dengan periode sebelumnya,
yaitu mengharapkan agar terjadi perubahan perilaku masyarakat
terkait kesehatan. Konsep pendidikan kesehatan pada periode ini
diprioritaskan pada pemberian informasi kesehatan melalui
media dan teknologi kepada masyarakat agar masyarakat
tergerak untuk melakukan perilaku hidup sehat. Akan tetapi,
perubahan perilaku masyarakat tentang hidup sehat berlangsung
sangat lambat sehingga pada tahun 1984 terjadi perubahan
penggunaan istilah dari “penyuluhan kesehatan” menjadi
“promosi kesehatan”.
4. Periode Tahun 1985-1995
Pada periode ini dibentuk Direktoral Peran Serta Masyarakat
(PSM) yang bertugas memberdayakan masyarakat, yang
selanjutnya berubah nama menjadi Pusat PKM yang bertugas
menyebarkan informasi, komunikasi, kampanye, dan pemasaran
sosial bidang kesehatan.
5. Periode tahun 1995-sekarang
Pada periode ini, sasaran promosi kesehatan tidak hanya
perubahan perilaku, tetapi perubahan kebijakan menuju
perubahan sistem atau faktor lingkungan kesehatan.
Dalam Piagam Ottawa (Suparyanto, 2011) terdapat pemaparan yang
berbunyi health promotion is the process of enabling people to increase
control over and improve their health. Artinya, promosi kesehatan

43
yaitu upaya yang dilakukan terhadap masyarakat sehingga mereka mau
dan mampu memelihara serta meningkatkan kesehatan mereka sendiri.
Promosi kesehatan menurut Piagam Ottawa ini mencakup dua dimensi,
yaitu kemauan dan kemampuan. Dengan demikian, penggunaan istilah
promosi kesehatan di Indonesia dipicu oleh perkembangan dalam level
internasional (Susilowati, 2016).
Selanjutnya, pengertian promosi kesehatan yang tercantum dalam
Piagam Ottawa diperbarui oleh WHO menjadi “Proses pemberdayaan
rakyat (individu dan masyarakat) yang memungkinkan mereka mampu
mengendalikan determinan-determinan kesehatan sehingga dapat
meningkatkan derajat kesehatannya” (Susilowati, 2016). Oleh karena
itu, pihak yang harus terlibat dalam proses pengendalian dan perbaikan
kesehatan adalah rakyat atau individu itu sendiri.
Hal tersebut sejalan dengan Keputusan Menteri Kesehatan No.
1114/MENKES/SK/VII/2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Promosi
Kesehatan di Daerah, yang menjelaskan bahwa promosi kesehatan
adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui
pembelajaran dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat, agar mereka
dapat menolong diri sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang
bersumber daya masyarakat, sesuai kondisi budaya setempat dan
didukung kebijakan publik yang berwawasan kesehatan (Kemenkes,
2011). Promosi kesehatan merupakan segala bentuk kombinasi
pendidikan kesehatan dan intervensi yang terkait dengan ekonomi,
politik, dan organisasi yang dirancang untuk memudahkan perubahan
perilaku dan lingkungan yang kondusif bagi kesehatan (Green dalam
Suparyanto, 2011).

44
Promosi kesehatan merupakan proses pemberdayaan atau
mendirikan masyarakat untuk memelihara, meningkatkan, dan
melindungi kesehatannya melalui peningkatan kemauan, kemampuan,
dan lingkungan yang sehat. Promosi kesehatan mencakup aspek
perilaku, yaitu upaya memotivasi, mendorong, dan membangkitkan
kesadaran akan potensi yang dimiliki masyarakat agar mereka mampu
memelihara dan meningkatkan kesehatannya (Notoatmodjo, 2010).
Terkait dengan hal itu, dalam Piagam Ottawa disebutkan lima butir
upaya promosi kesehatan (Susilowati, 2016), yaitu:
1. Kebijakan berwawasan kesehatan.
2. Lingkungan yang mendukung.
3. Reorientasi pelayanan kesehatan.
4. Keterampilan individu.
5. Gerakan masyarakat.
Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan tidak dapat dilepaskan dari
faktor-faktor yang memengaruhi kesehatan. Marmot (Susilowati, 2016)
mengemukakan sekurang-kurangnya terdapat sepuluh faktor yang dapat
memengaruhi kesehatan.

45
Gambar 2.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kesehatan
Sumber: Susilowati, 2006. Diadaptasi dari Marmot

Promosi kesehatan mempunyai peranan yang sangat penting dalam


proses pemberdayaan masyarakat, yaitu memperoleh pembelajaran
dari, oleh dan bersama masyarakat sesuai dengan lingkungan sosial
budaya setempat, agar masyarakat dapat menolong dirinya sendiri di
bidang kesehatan (Fitriani, 2011). Promosi kesehatan tidak lepas dari
media karena melalui media, pesan-pesan yang disampaikan dapat
lebih menarik dan dipahami, sehingga sasaran dapat mempelajari pesan

46
tersebut dan sasaran dapat memutuskan untuk mengadopsi perilaku
yang positif (Notoatmodjo, 2010).

Gambar 2.3 Konsep Promosi Kesehatan


Sumber: Diadaptasi dari Susilowati (2016)

Secara umum, promosi kesehatan mencakup aspek-aspek antara lain


perilaku, lingkungan, sosial, dan ekonomi.
1. Aspek Perilaku
Aspek ini dapat didefinisikan sebagai upaya untuk mendorong
dan membangkitkan kesadaran suatu potensi yang dimiliki
masyarakat agar tergerak untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatannya.
2. Aspek Lingkungan

47
Aspek lingkungan mencakup suasana yang memengaruhi
perkembangan perilaku yang berhubungan dengan aspek sosial
dan aspek ekonomi.
3. Aspek Sosial
Promosi kesehatan pada aspek sosial dapat terwujud apabila
seseorang mampu berkomunikasi dan berinteraksi secara baik
dengan orang lain dalam konteks tertentu.
4. Aspek Ekonomi
Aspek ini dapat terwujud bila seseorang memiliki suatu
kegiatan yang bisa mendatangkan penghasilan bagi hidupnya
sendiri dan keluarganya.

B. Tujuan dan Manfaat Promosi Kesehatan


Secara ringkas, tujuan promosi kesehatan adalah (1) tercapainya
perubahan perilaku individu, keluarga, dan masyarakat dalam
membina dan memelihara perilaku sehat dan lingkungan sehat, dan
(2) terbentuknya perilaku sehat pada individu, keluarga, kelompok,
dan masyarakat yang sesuai dengan konsep hidup sehat, baik fisik,
mental, dan sosial, sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan
kematian. Penjabaran tujuan promosi kesehatan tersebut secara
praktis adalah:
1. Tersosialisasinya program-program kesehatan.
2. Terwujudnya masyarakat yang berbudaya, hidup bersih, dan
sehat.
3. Terwujudnya gerakan hidup sehat di masyarakat.

48
Susilowati (2016) mengemukakan bahwa tujuan dilaksanakannya
promosi kesehatan pada dasarnya merupakan visi promosi kesehatan itu
sendiri, yaitu menciptakan masyarakat yang:
1. Mau (willingness) memelihara dan meningkatkan kesehatannya.
2. Mampu (ability) memelihara dan meningkatkan kesehatannya.
3. Memelihara kesehatan, berarti mau dan mampu mencegah
penyakit, dan melindungi diri dari gangguan-gangguan
kesehatan.
4. Meningkatkan kesehatan, berarti mau dan mampu meningkatkan
kesehatannya karena derajat kesehatan, baik individu, kelompok,
maupun masyarakat bersifat dinamis.
Tujuan promosi kesehatan menurut WHO (Susilowati, 2016) terdiri
atas tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum promosi kesehatan
adalah mengubah perilaku individu/masyarakat di bidang kesehatan,
sedangkan tujuan khususnya adalah:
1. Menjadikan kesehatan sebagai sesuatu yang bernilai bagi
masyarakat.
2. Menolong individu agar mampu secara mandiri/berkelompok
mengadakan kegiatan untuk mencapai tujuan hidup sehat.
3. Mendorong pengembangan dan penggunaan secara tepat sarana
pelayanan kesehatan yang ada.
Sementara itu, tujuan operasional dari promosi kesehatan adalah
agar masyarakat:
1. Memiliki pengertian yang lebih baik tentang eksistensi dan
perubahan-perubahan sistem dalam pelayanan kesehatan serta
cara memanfaatkannya secara efektif dan efisien.

49
2. Memiliki tanggung jawab besar pada kesehatan dirinya sendiri,
serta keselamatan lingkungan dan masyarakatnya.
3. Melakukan langkah-langkah positif dalam mencegah terjadinya
sakit, mencegah berkembangnya sakit menjadi lebih parah, dan
mencegah keadaan ketergantungan melalui rehabilitasi cacat
karena penyakit.
4. Mempelajari apa yang dapat dilakukannya sendiri dan bagaimana
caranya, tanpa selalu meminta pertolongan kepada sistem
pelayanan kesehatan yang normal.
Secara khusus, Green (Susilowati, 2016) membagi tujuan promosi
kesehatan menjadi tiga tingkatan, yaitu tujuan program, tujuan
pendidikan, dan tujuan perilaku. Tujuan program merupakan
pernyataan tentang target capaian dalam periode waktu tertentu yang
berhubungan dengan status kesehatan. Tujuan pendidikan merupakan
deskripsi perilaku yang akan diraih dalam mengatasi masalah kesehatan
yang ada. Sementara itu, tujuan perilaku berhubungan dengan
pengetahuan dan sikap.
Dalam promosi kesehatan, visi utamanya adalah meningkatkan
kemampuan masyarakat untuk meningkatkan dan memelihara
kesehatannya. Melakukan upaya pemberdayaan masyarakat di bidang
kesehatan adalah misi promosi kesehatan. Pencapaian visi dan misi
tersebut tidak dapat terlepas dari beberapa aktivitas pokok, seperti
advokasi, menjembatani, dan memampukan.
Advokasi merupakan upaya terencana untuk mendapatkan dukungan
dan keputusan dari para pembuat keputusan untuk langsung
memecahkan suatu permasalahan. Menjembatani dapat diartikan bahwa

50
promosi kesehatan merupakan perekat kemitraan di bidang pelayanan
kesehatan dan membina suasana kondusif untuk mewujudkan perilaku
hidup bersih dan sehat dalam masyarakat. Memampukan berarti
memberikan keterampilan kepada masyarakat agar mandiri dalam
bidang kesehatan dengan melakukan penyuluhan pendidikan, pelatihan,
dan meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup
bersih dan sehat.
Promosi kesehatan mencakup setidaknya empat ruang lingkup, yaitu
lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan, dan faktor genetik (faktor
kependudukan).

Gambar 2.4 Cakupan Promosi Kesehatan


Sumber: Diadaptasi dari Susilowati (2016)

51
Keempat cakupan promosi kesehatan saling memengaruhi.
Perilaku dapat memengaruhi lingkungan, demikian juga lingkungan
dapat memengaruhi perilaku. Faktor pelayanan kesehatan berperan
dalam meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat
apabila pelayanan tersebut digunakan oleh masyarakat. Sementara
itu, faktor kependudukan (faktor genetik) yang kurang
menguntungkan dapat berkurang risikonya apabila seseorang berada
dalam lingkungan yang sehat dan menerapkan perilaku hidup sehat.
Oleh karena itu, dalam hal ini perilaku menduduki peran penting
dalam kesehatan. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
ruang lingkup yang paling utama pada promosi kesehatan adalah
perilaku dan lingkungan yang berpengaruh terhadap perilaku.

Aspek Promosi
No. Sasaran Tujuan
Kesehatan
1 Promotif Kelompok orang sehat Agar tetap sehat
dan meningkatkan
kesehatannya
2 Preventif Kelompok berisiko Tidak jatuh sakit
tinggi (ibu hamil, lanjut
usia, dan lainnya)
3 Kuratif Kelompok penderita Sembuh dan tidak
penyakit menjadi parah
4 Rehabilitatif Kelompok penderita Agar segera pulih
yang baru sembuh kesehatannya
Tabel 2.1 Ruang Lingkup Promosi Kesehatan
Sumber: Syafrudin dan Yudhia (2009)

52
Secara garis besar, sasaran promosi kesehatan dijelaskan sebagai
berikut.
1. Individu/Keluarga
Promosi kesehatan bagi individu/keluarga bertujuan agar
informasi baik secara langsung maupun melalui berbagai sarana
media, dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk meningkatkan
kemampuan memelihara dan melindungi kesehatannya, dapat
menerapkan sikap hidup bersih dan lingkungan yang sehat, serta
ikut berperan dalam kegiatan sosial yang berkaitan dengan
kesehatan.
2. Masyarakat atau LSM
Masyarakat atau LSM diharapkan dapat mengembangkan
usaha-usaha peningkatan kualitas kesehatan dan saling bekerja
sama untuk mewujudkan lingkungan hidup yang sehat.
3. Lembaga Pemerintah
Promosi kesehatan yang diberikan kepada lembaga
pemerintah berkontribusi dalam pembuatan kebijakan terkait
dengan kesehatan dan diharapkan lembaga pemerintah peduli
dan mendukung upaya pengembangan perilaku dan lingkungan
hidup yang sehat.

C. Strategi Promosi Kesehatan


Untuk mencapai sasaran, kegiatan promosi kesehatan memerlukan
strategi. Syafrudin dan Yudhia (2009) mengemukakan bahwa promosi
kesehatan dapat dilakukan dengan strategi berikut ini.
1. Advokasi (Advocacy)

53
Strategi advokasi adalah pendekatan kepada para pembuat
keputusan/pemangku kepentingan di berbagai sektor kesehatan
sehingga para pembuat keputusan/pemangku kepentingan dapat
mendukung program kesehatan yang ingin dicapai.
2. Dukungan Sosial (Social Support)
Dukungan sosial diajukan melalui tokoh-tokoh masyarakat
untuk mewujudkan kemampuan masyarakat dalam memelihara
dan meningkatkan kesehatan mereka. Dalam hal ini, tokoh
masyarakat berperan sebagai jembatan/perantara antara peran
mereka sebagai pelaksana program dan masyarakat sebagai
penerima program kesehatan. Bentuk dukungan sosial antara lain
pelatihan, seminar, lokakarya, dan sebagainya.
3. Pemberdayaan Masyarakat (Empowerment)
Tujuan utama pemberdayaan masyarakat dalam hal ini adalah
mewujudkan kemampuan masyarakat dalam memelihara dan
meningkatkan kesehatan mereka sendiri. Kegiatan ini dapat
berwujud penyuluhan kesehatan, pengorganisasian dan
pengembangan masyarakat dalam bentuk koperasi, dan
sebagainya. Meningkatnya kualitas ekonomi masyarakat akan
berdampak terhadap kemampuan dalam memelihara kesehatan.
Dalam Piagam Ottawa (Susilowati, 2016) dirumuskan lima strategi
promosi kesehatan, yaitu:
1. Kebijakan berwawasan kesehatan (healthy public policy) atau
pengembangan kebijakan untuk mewujudkan masyarakat yang
sehat

54
Mengembangkan kebijakan pembangunan kesehatan di setiap
sektor dilaksanakan dengan mencermati dampak negatif terhadap
kesehatan masyarakat dan lingkungan sekitar. Contohnya adalah
adanya kebijakan (perundang-undangan) yang mengatur bahwa
pembangunan pabrik harus mempertimbangkan dampak negatif
terhadap lingkungan di sekitarnya.
2. Lingkungan yang mendukung (supportive environment) atau
pembinaan suasana, iklim, dan lingkungan yang mendukung
Mengembangkan jaringan kemitraan dan suasana yang
mendukung perlu diupayakan agar masyarakat termotivasi dalam
melakukan peningkatan kesehatan. Strategi ini ditujukan kepada
para pengelola tempat umum, termasuk pemerintah kota, agar
menyediakan sarana/fasilitas yang mendukung terciptanya
perilaku hidup sehat bagi masyarakatnya, seperti penyediaan
lahan sampah, tempat buang air kecil/besar, dan lain sebagainya.
3. Reorientasi pelayanan kesehatan (reorient health services)
Pemerintah dan swasta berperan sebagai penyelenggara
pelayanan kesehatan, sedangkan masyarakat adalah pengguna
pelayanan kesehatan. Orientasi ini perlu dilakukan perubahan
bahwa masyarakat bukan lagi sekadar pengguna pelayanan
kesehatan, tetapi sekaligus sebagai penyelenggara pelayanan
keshatan. Dengan kata lain, penyelenggaraan pelayanan
kesehatan harus melibatkan masyarakat.
4. Keterampilan individu (personal skill) atau peningkatan
kemampuan dan keterampilan perorangan

55
Memberikan pelatihan keterampilan individu dalam
memelihara dan meningkatkan kesehatan penting dilakukan,
salah satunya dengan penyuluhan mengenai cara memelihara,
mencegah, dan mengobati suatu penyakit.
5. Gerakan masyarakat (community action) atau upaya memperkuat
kegiatan masyarakat
Upaya ini dapat dilakukan dengan memberikan bantuan dan
dukungan terhadap kegiatan yang sudah berjalan di masyarakat
supaya berkembang, juga mendorong masyarakat untuk
melakukan kegiatan dan berperan aktif dalam peningkatan
kesehatan. Contohnya adalah kegiatan bina karya remaja dengan
memberikan keterampilan kerja agar dapat dimanfaatkan untuk
memperoleh suatu penghasilan.

D. Contoh Kegiatan Promosi Kegiatan


Promosi kesehatan dapat dilakukan pada beberapa tatanan, antara
lain tatanan keluarga, tatanan sekolah, tatanan di tempat kerja, tatanan
di tempat-tempat umum, dan tatanan di institusi pelayanan kesehatan.
1. Promosi Kesehatan pada Tatanan Keluarga
Pelaksana promosi kesehatan pada tatanan keluarga adalah
orang tua, terutama ibu, untuk memberikan pendidikan kesehatan
tingkat dasar kepada anak-anaknya sejak lahir dan keluarganya.
2. Promosi Kesehatan pada Tatanan Sekolah
Pelaksana promosi kesehatan di sekolah adalah guru karena
peran guru sebagai pengganti orang tua ketika di lingkungan

56
sekolah. Sekolah dan lingkungan yang sehat dapat mendukung
anak didik untuk berperilaku hidup sehat.
3. Promosi Kesehatan pada Tatanan di Tempat Kerja
Di tempat kerja, promosi kesehatan ditujukan kepada
karyawan, dengan pemimpin perusahaan dan pengurus pada
sektor kesehatan berperan sebagai promotornya. Contohnya
adalah penyediaan fasilitas kesehatan bagi karyawan.
4. Promosi Kesehatan pada Tatanan di Tempat-Tempat Umum
Penyediaan fasilitas umum seperti toilet umum, tempat
sampah, dan sebagainya merupakan bentuk-bentuk promosi
kesehatan pada tatanan tempat umum seperti pasar, terminal bus,
stasiun, dan sebagainya.
5. Promosi Kesehatan pada Tatanan di Institusi Pelayanan
Kesehatan
Tentunya promosi kesehatan di institusi pelayanan kesehatan,
seperti rumah sakit, puskesmas, poliklinik, dan lain sebagainya
sangat strategis agar masyarakat yang menggunakan pelayanan
kesehatan dapat membaca dan mengetahui berbagai informasi
melalui media-media yang disediakan.
Selain itu, hal penting yang berkaitan dengan kegiatan promosi
kesehatan adalah metode dan teknik yang digunakan. Metode dan
teknik promosi kesehatan berdasarkan sasarannya dapat dibagi menjadi
tiga, yaitu metode promosi kesehatan individual, kelompok, dan
massal.
1. Metode Promosi Kesehatan Individual

57
Metode promosi individual bersifat komunikasi langsung,
misalnya antara petugas kesehatan dengan kliennya.
2. Metode Promosi Kesehatan Kelompok
Metode promosi kelompok dalam hal ini terbagi menjadi dua,
yaitu kelompok kecil dan kelompok besar. Pada kelompok kecil,
promosi kesehatan dapat dilakukan misalnya dengan berdiskusi
tentang suatu topik menyangkut kesehatan sehingga beberapa
orang yang terlibat dalam diskusi tersebut dapat memperoleh
informasi tentang kesehatan. Berbeda halnya dengan kelompok
kecil, promosi kesehatan pada kelompok besar dapat berupa
pengadaan seminar dengan metode ceramah dan tanya jawab
mengenai topik tertentu dalam bidang kesehatan.
3. Metode Promosi Kesehatan Massal
Sasaran metode promosi kesehatan secara massal cukup
kompleks, meliputi kelompok umur, tingkat pendidikan,
ekonomi, sosial-budaya, dan lain sebagainya. Pelaksana atau
promotor kesehatan harus memperhatikan sasaran promosi
kesehatan sehingga tingkat kedalaman materi, teknik
penyampaian, dan sebagainya perlu dipertimbangkan. Teknik
yang dapat digunakan dalam promosi kesehatan massal di
antaranya:
a. Penyampaian pesan dengan ceramah umum yang dapat
dilaksanakan misalnya di tempat-tempat umum, lapangan
terbuka, dan forum umum.
b. Penyampaian pesan melalui media elektronik (radio, televisi,
internet, dan lain sebagainya).

58
c. Penyampaian pesan melalui media cetak (koran, majalah,
buku, selebaran, buletin, dan sebagainya).
d. Penyampaian pesan melalui media di luar ruang (spanduk,
baliho, poster, dan sebagainya).
1. Promosi Kesehatan pada Ranah Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dari lingkungan dan dari sinilah
perlu ditanamkan konsep perilaku hidup bersih dan sehat. Pada
ranah rumah tangga, penanaman konsep perilaku hidup bersih
dan sehat harus ditanamkan kepada anak sejak dini karena
keluarga merupakan kunci utama untuk meningkatkan kualitas
kesehatan. Jika keluarga sehat, akan terbentuk masyarakat yang
sehat. Dengan kata lain, sehat harus diawali dari rumah.
Dalam hal ini, anggota keluarga harus diberdayakan supaya
tahu, mau, dan mampu mempraktikkan hidup bersih dan sehat.
Dengan menerapkannya terlebih dahulu di dalam keluarga, akan
lebih mudah menerapkan dalam lingkungan yang lebih luas.
Penerapan hidup bersih dan sehat dalam keluarga bermanfaat
antara lain setiap anggota keluarga menjadi sehat dan tidak
mudah sakit; anak tumbuh sehat; anggota keluarga giat bekerja;
serta pengeluaran biaya rumah tangga dapat dialokasikan untuk
memenuhi gizi keluarga, pendidikan, dan lainnya. Sasaran
promosi kesehatan dalam ranah keluarga terdiri atas ibu hamil
dan ibu menyusui, anak dan remaja, usia lanjut, dan pengasuh
anak.

59
Gambar 2.5 Promosi Kesehatan Berupa Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat dalam Lingkungan Keluarga/Rumah Tangga
Sumber: https://bit.ly/2JKEKL8

Gambar 2.6 Promosi Kesehatan Perilaku Hidup Bersih dan


Sehat

60
Sumber: https://bit.ly/2PHJJ4Q

Metode yang digunakan untuk kegiatan promosi kesehatan


dalam ranah keluarga adalah dengan penyuluhan langsung
maupun tidak langsung (penyebaran brosur, leaflet, poster, atau
pemasangan spanduk). Kegiatan ini dapat diselenggarakan oleh
instansi pelayanan kesehatan terdekat (misalnya puskesmas)
melalui kerja sama dengan kantor kelurahan setempat.
Upaya promosi kesehatan dalam ranah keluarga dapat
diwujudkan misalnya dengan pemanfaatan lahan rumah untuk
tanaman obat keluarga (Latif, 2010). Pemanfaatan lahan rumah
untuk tanaman obat keluarga merupakan salah satu alternatif
pengobatan yang bersifat minim biaya dan memenuhi asas
aksesibilitas, yang dapat dimanfaatkan sebagai upaya
pencegahan dan pengobatan sederhana dalam lingkup keluarga.
Kegiatan promosi kesehatan ini diharapkan dapat meningkatkan
pemahaman keluarga tentang tanaman obat keluarga dan
mendorong supaya mau dan mampu menjaga kesehatan individu
dan keluarga.
Ismarwati dkk. (2011) mengemukakan bahwa promosi
kesehatan mengenai kanker serviks dan deteksi dini kanker
serviks pada wanita dapat dilakukan dengan media audio-visual
(berupa pemutaran film) dan metode diskusi interaktif. Sasaran
promosi kegiatan dalam hal ini adalah remaja putri serta ibu-ibu
dari berbagai kelompok seperti PKK, pengurus posyandu,
dasawisma, dan dharmawanita dengan berbagai latar belakang

61
pekerjaan dan status ekonomi di Perumahan Griya Wirokerten
Indah (Ismarwati dkk., 2011). Sebelum dilakukan kegiatan
promosi kesehatan ini, ibu-ibu tersebut belum mendapatkan
informasi secara spesifik tentang kanker serviks dan cara
mendeteksi dini. Promosi kesehatan dengan media audio-visual
dan diskusi interaktif ini secara efektif dapat memberikan
pengetahuan kepada ibu-ibu mengenai kanker serviks serta
mendorong (perilaku) ibu-ibu tersebut untuk dapat melakukan
deteksi dini kanker serviks dan menjaga kesehatan reproduksi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Horhoruw dan
Laksmono (2014), kunci perilaku hidup bersih pada ranah
keluarga tidak hanya ditentukan oleh keluarga itu sendiri, tetapi
juga orang lain dalam lingkungan masyarakat. Pada penelitian
tersebut didapatkan bahwa terdapat beberapa kepala keluarga
yang belum dapat menerapkan perilaku hidup bersih berupa
membuang air di jamban. Penelitian yang dilakukan pada kepala
keluarga di Desa Tawiri, Kecamatan Teluk Ambon, Kota Ambon
ini menjelaskan bahwa terdapat setidaknya enam variabel yang
berhubungan dengan perilaku penggunaan jamban, seperti
ketersediaan jamban di rumah, pengetahuan tentang penggunaan
jamban, sikap terhadap penggunaan jamban, dukungan tokoh
masyarakat, dukungan petugas kesehatan, dan dukungan tokoh
agama. Dari keenam variabel tersebut, dukungan tokoh agama
paling dominan berpengaruh.
Keadaan yang demikian menunjukkan bahwa promosi
kesehatan dalam ranah keluarga tidak dapat dipisahkan atau

62
saling terkait dengan beberapa faktor, seperti faktor pengetahuan
individu, faktor penyedia pelayanan kesehatan, faktor pihak lain
(misalnya tokoh agama), dan lain sebagainya. Berbagai faktor
tersebut memilik peran yang penting mengingat keluarga (rumah
tangga) dapat menjadi ancaman penularan penyakit jika tidak
dikelola dengan baik. Penerapan perilaku hidup sehat di ranah
keluarga merupakan kebutuhan mutlak seiring dengan
munculnya berbagai penyakit.
2. Promosi Kesehatan pada Ranah Sekolah
Promosi kesehatan pada ranah sekolah adalah upaya untuk
menciptakan sekolah menjadi satu lingkungan yang mampu
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat sekolah sekurang-
kurangnya dengan tiga kegiatan utama, yaitu penciptaan
lingkungan sekolah yang sehat, pemeliharaan dan pelayanan
kesehatan di sekolah, dan upaya pendidikan kesehatan yang
berkesinambungan. Sekolah memiliki peran yang strategis dalam
upaya melaksanakan promosi kesehatan karena sebagian besar
anak usia 6-18 tahun terpajan secara terus-menerus dalam
lembaga pendidikan. Sekolah mendukung pertumbuhan dan
perkembangan alamiah seorang anak sebab seorang anak di
sekolah mempelajari berbagai pengetahuan termasuk kesehatan.
Lingkungan sekolah merupakan aspek penting yang dapat
memengaruhi proses belajar mengajar selain kesehatan warga
sekolah, sehingga komponen-komponen lingkungan sekolah
perlu diperhatikan sedemikian rupa supaya tidak menimbulkan
permasalahan kesehatan. Sebagai contoh, atap bocor, dinding

63
tidak bersih, lantai kotor, tangga tidak memenuhi syarat,
pencahayaan kurang baik, ventilasi tidak memenuhi persyaratan
kesehatan, kepadatan kelas tidak ideal, jarak papan tulis terlalu
dekat dengan meja belajar, tidak tersedia tempat cuci tangan,
tidak tersedia air bersih, tidak tersedia toilet, sampah tidak
dikelola dengan baik, saluran pembuangan air limbah tidak
memenuhi persyaratan kesehatan, jajanan di kantin sekolah dan
kebersihannya tidak terjaga, serta tidak ada upaya pengendalian
vektor penyakit dapat menimbulkan berbagai permasalahan
kesehatan di lingkungan sekolah. Oleh karena itu, berdasarkan
komponen-komponen tersebut, perlu dilakukan promosi
kesehatan yang dirancang sedemikian rupa agar memenuhi target
dan sasaran yang diharapkan.
Beberapa upaya konkret promosi kesehatan yang dapat
dilakukan di lingkungan sekolah adalah:
a. Mencuci tangan dengan air bersih yang mengalir dan sabun.
b. Menyediakan kantin sekolah yang bersih dari segi tempat dan
makanan yang disediakan.
c. Menyediakan tempat sampah berdasarkan kategori jenis
sampah.
d. Mengajak warga sekolah untuk membuang sampah pada
tempatnya.
e. Mengajak warga sekolah untuk mengikuti kegiatan olahraga
di sekolah.
f. Melakukan penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi
badan siswa setiap bulan.

64
g. Menanam pepohonan hijau.
h. Mengimbau dan mengajak warga sekolah untuk tidak
merokok.
i. Memberantas jentik-jentik nyamuk di sekolah secara rutin.
j. Menyediakan jamban sekolah yang bersih.
k. Mengimbau buang air besar dan kecil di jamban sekolah.

Gambar 2.7 Poster Promosi Kesehatan di Sekolah

65
Sumber: https://bit.ly/2zxoUPu

Gambar 2.8 Praktik Cara Mencuci Tangan sebagai Bentuk Promosi


Kesehatan
Sumber: https://bit.ly/2qx7kH2

Beberapa contoh promosi kesehatan dalam lingkungan


sekolah adalah pemberian informasi tentang HIV/AIDS
menggunakan metode ceramah pada siswa SMK Tritech
Informatika dan SMK Namira Tech Nusantara Medan (Guspita,
2017) Jumlah remaja menduduki populasi terbesar di Indonesia.
Usia remaja berada pada transisi kehidupan dari masa anak-anak
menuju masa dewasa, yang sebagian besar waktu mereka
habiskan di institusi pendidikan (SMP-SMA), sehingga sekolah
merupakan wadah yang tepat untuk memberikan berbagai
pengetahuan, di antaranya informasi tentang HIV/AIDS.

66
Penelitian yang dilakukan Guspita (2017) ini dihasilkan temuan
bahwa promosi kesehatan tentang penyakit HIV/AIDS dapat
memberikan pengetahuan yang cukup signifikan kepada para
siswa yang menjadi sasaran kegiatan promosi kesehatan. Metode
ceramah dalam promosi kesehatan ini sangat efektif dilakukan
untuk menyampaikan pesan-pesan terkait penyakit HIV/AIDS
dan dapat mendorong para siswa untuk menerapkan perilaku
pencegahan penyakit HIV/AIDS sekaligus sebagai agen-agen
perubahan di masyarakat (Guspita, 2017).
Promosi kesehatan yang senada juga berperan besar dalam
meningkatkan pengetahuan siswa mengenai reproduksi remaja
(Karundeng dkk., 2015). Promosi kegiatan ini dilakukan dengan
metode pembagian leaflet yang berisi informasi atau pesan
mengenai reproduksi remaja, disertai dengan metode ceramah
dan tanya jawab. Kesimpulan pada promosi kesehatan ini adalah
siswa sebagai target sasaran (siswa SMP Negeri 08 Bitung)
antusias dalam menerima informasi dan memberikan respons
yang baik dan diharapkan dapat mendorong mereka untuk
mengubah perilaku dan sikap terkait dengan bidang reproduksi
remaja (Karundeng dkk., 2015).
3. Promosi Kesehatan pada Ranah Tempat Kerja
Promosi kesehatan pada ranah tempat kerja merupakan upaya
pemberdayaan para pekerja/karyawan agar tahu, mau, dan
mampu mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat, serta
berperan aktif dalam mewujudkan tempat kerja yang bersih dan
sehat. Tujuan penerapan perilaku hidup bersih dan sehat dalam

67
ranah tempat kerja adalah menjaga, memelihara, dan
mempertahankan kesehatan para pekerja/karyawan supaya tetap
sehat dan produktif. Aktivitas yang mendukung perilaku hidup
bersih dan sehat di dalam ranah tempat kerja adalah:
a. Mengonsumsi makanan bergizi.
b. Melakukan aktivitas fisik setiap hari.
c. Tidak merokok di tempat kerja.
d. Mencuci tangan dengan air bersih mengalir dan sabun.
e. Menggunakan air bersih.
f. Memberantas jentik-jentik nyamuk di tempat kerja.
g. Menggunakan jamban bersih untuk buang air kecil/besar.
h. Membuang sampah pada tempatnya.

68
Gambar 2.9 Contoh Poster Promosi Kesehatan di Lingkungan
Tempat Kerja
Sumber: https://bit.ly/2SOwwWF

69
Gambar 2.10 Poster Perilaku Hidup Sehat di Tempat Kerja
Sumber: https://bit.ly/2QuD2QQ

Promosi kesehatan di lingkungan tempat kerja penting


dilakukan karena jika pekerja sering mengalami sakit, akan
berdampak pada kerugian perusahaan dan pekerja yang
bersangkutan. Di tempat kerja yang menjadi objek kajian
Zahtamal dkk. (2015), gaya hidup tidak sehat merupakan salah
satu penyebab kasus kesakitan dan kematian para pekerja
sehingga diperlukan perubahan perilaku hidup menjadi perilaku
hidup sehat. Dalam hal ini, promosi kesehatan berperan untuk
mengubah perilaku pekerja. Perubahan perilaku di tempat kerja
bersifat kompleks, tidak hanya didorong oleh faktor individu,
tetapi juga peran faktor eksternal (Zahtamal dkk., 2015). Dengan

70
kata lain, promosi kesehatan di tempat kerja bersifat multilevel
sehingga prinsip pemilihan strategi dan metode promosi
kesehatan yang dilakukan harus disesuaikan dengan level sasaran
yang dituju. Zahtamal dkk. (2015) melakukan penelitian tentang
implementasi promosi kesehatan di tempat kerja dengan
menggunakan pendekatan komprehensif.
Penelitian tentang strategi dalam melakukan promosi
kesehatan di tempat kerja juga dilakukan oleh Nadra (2017).
Penelitian ini dilakukan di VICO (Virginia Indonesia Company),
LLC, yaitu salah satu perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja
Sama (KKKS) yang ditunjuk BP MIGAS untuk melakukan
proses pengeboran minyak dan gas bumi. Nadra (2017)
mengemukakan bahwa dalam sebuah perusahan besar yang
memiliki banyak pekerja, kesehatan akan berpengaruh positif
terhadap produktivitas perusahaan. Menurut Kurnawidjaja
(Nadra, 2017), promosi kesehatan pekerja didefinisikan sebagai
upaya mengubah perilaku yang merugikan kesehatan populasi
pekerja, agar mendapatkan kondisi kesehatan dan kapasitas kerja
yang optimal dengan cara mengombinasikan dukungan
pendidikan, organisasi kerja, lingkungan, dan keluarga.
Bentuk promosi kesehatan di lingkungan kerja cenderung
dilakukan untuk upaya melindungi keselamatan dan kesehatan
pekerja dengan menggunakan peraturan, prosedur, dan
pemenuhan sarana-sarana, di samping melalui program yang
dikemas dalam bentuk kegiatan bersama yang dilaksanakan oleh
perusahaan. Dalam perusahaan VICO, terdapat salah satu divisi

71
yaitu HSE (Health, Safety, and Environment), yang bertanggung
jawab terhadap pencegahan dan penanggulangan penyakit dan
kecelakaan kerja. Secara umum, bentuk promosi kesehatan yang
dilakukan di perusahan VICO adalah (Nadra, 2017):
a. Menyediakan klinik pelayanan kesehatan yang memiliki
fasilitas berupa laboratorium medis, X-ray, treadmill test,
dan MCU.
b. Menyediakan 4 unit ambulans dan fasilitas lain seperti
BLS (Basic Life Support) dan firs aider di beberapa lokasi.
c. Melakukan kegiatan pencegahan penyakit berupa cek
kesehatan para pekerja kepada semua warga perusahaan
secara berkala.
d. Menerbitkan informasi kesehatan (sekali dalam sebulan)
melalui artikel tentang permasalahan kesehatan dan
penyakit yang sedang tren, baik di ruang lingkup VICO,
nasional, maupun internasional kepada seluruh pekerja
VICO di Indonesia, untuk meningkatkan pengetahuan dan
kesadaran pekerja tentang pentingnya masalah kesehatan
dan bagaimana cara mencegahnya.
e. Mengadakan forum seminar kesehatan dengan
mengundang pembicara ahli dari rumah sakit yang
berafiliasi dengan VICO sejumlah 6 kali dalam setahun
dengan topik tertentu yang disesuaikan dengan tren
kesehatan pekerja di VICO.
f. Membuat program yang bertujuan untuk memantau
kesehatan kepada para pekerja VICO dan kontraktor yang

72
memiliki risiko obesitas dan memiliki riwayat penyakit
kronis dengan harapan pekerja yang bersangkutan dapat
memperbaiki perilaku hidupnya sehingga dapat
meningkatkan kesehatannya.
g. Menyelenggarakan pelatihan bantuan hidup dan
pertolongan pertama pada kecelakaan tahap dasar (first aid
training), seperti keracunan, gigitan ular, luka dan patah
tulang, luka bakar, dan transportasi. Pelatihan ini
dilaksanakan setiap bulan dengan sasaran seluruh pekerja
VICO Indonesia.
h. Menyediakan kotak P3K (first aid box) yang dapat
dipergunakan untuk memberikan pertolongan pertama
pada kecelakaan.
i. Melakukan kegiatan pengambilan sampel air dan
pemantauan kualitas air yang digunakan di area VICO
Indonesia untuk memastikan bahwa kualitas air yang
dihasilkan telah memenuhi persyaratan kesehatan.
j. Melakukan promosi kesehatan dalam bentuk lain, seperti
publikasi internet, bulletin board, sosialisasi, kampanye,
dan sebagainya untuk pencegahan penyakit.
k. Menyediakan informasi kesehatan melalui papan
pengumuman, poster, roll-up banner, dan pop-up display
banner yang berisi kampanye tertentu, seperti Hari Cuci
Tangan dengan Sabun Dunia, virus Zika, obesitas, dan lain
sebagainya.

73
l. Menjamin higienitas kantin di VICO, baik dari segi tempat
maupun makanan yang disediakan.
m. Memberikan fasilitas pelayanan rutin berupa pembersihan
kamar mandi pekerja maupun toilet umum.
n. Menyediakan tempat sampah di banyak titik berdasarkan
kategori jenis sampah.
Berdasarkan berbagai promosi kegiatan yang dilakukan oleh
VICO Indonesia, Nadra (2017) menyimpulkan bahwa strategi
promosi kesehatan di VICO Indonesia telah menjalankan prinsip
promosi kesehatan yang dikemukakan oleh Piagam Ottawa.
Dengan demikian, diharapkan bahwa upaya peningkatan
pengetahuan dan kualitas kesehatan para pekerja di VICO
Indonesia bisa mendapatkan hasil yang optimal.
4. Promosi Kesehatan pada Ranah Tempat Publik
Tempat publik terdiri atas stasiun, terminal, pasar, taman, dan
sebagainya yang merupakan sarana yang disediakan oleh
pemerintah atau swasta, atau bahkan perorangan, yang dapat
digunakan untuk kegiatan masyarakat. Pada sarana-sarana publik
seperti pariwisata, transportasi umum, sarana ibadah, sarana
olahraga, sarana perdagangan, dan sebagainya perlu
dilaksanakan pula promosi kesehatan. Promosi kesehatan dalam
hal ini adalah upaya pemberdayaan masyarakat pengunjung dan
pengelola tempat publik supaya tahu, mau, dan mampu
mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat serta berperan
aktif dalam menciptakan tempat-tempat publik yang bersih dan
sehat. Dengan demikian, masyarakat yang berada di tempat-

74
tempat publik akan terjaga kesehatannya, tidak tertular penyakit,
dan/atau tidak menularkan penyakit.
Tempat publik yang bersih dan sehat harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut.
a. Menyediakan air bersih.
b. Menyediakan jamban bersih.
c. Menyediakan tempat sampah sesuai dengan jenis-jenis
sampah.
d. Memberikan larangan atau imbauan untuk tidak merokok.
e. Memberikan pengumuman supaya tidak meludah
sembarangan.
f. Memberantas jentik-jentik nyamuk.
Sejalan dengan persyaratan tersebut, maka masyarakat
umum/pengunjung yang memanfaatkan fasilitas/sarana/tempat
publik harus menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat, yaitu:
a. Mencuci tangan dengan air bersih mengalir dan sabun.
b. Membuang air kecil/besar di jamban.
c. Membuang sampah pada tempatnya.
d. Tidak merokok.
e. Tidak meludah sembarangan.
f. Menutup makanan dan minuman dengan baik.

75
Gambar 2.11 Pemasangan Poster Kesehatan di Stasiun
Sumber: https://bit.ly/2RCVhn6

Gambar 2.12 Spanduk Promosi Kesehatan di Tempat Publik


Sumber: https://bit.ly/2JLmtxt

76
Tempat publik berpotensi tinggi sebagai perantara penularan
penyakit, pencemaran lingkungan, maupun gangguan kesehatan
lainnya karena aktivitas manusia sehari-hari tidak dapat
dilepaskan dari interaksi sosial, bekerja, belajar, atau lainnya
(Rozaaqi, 2017). Melihat hal ini, promosi kesehatan juga penting
dilakukan di tempat publik, contohnya di Terminal Bratang,
Surabaya (Rozaaqi, 2017). Promosi kesehatan di terminal adalah
upaya untuk mencegah, mengontrol, mengawasi, dan
mengendalikan segala hal yang ada di lingkungan terminal
terutama yang dapat menularkan terjadinya suatu penyakit.
Dalam hal ini, promosi kesehatan di terminal meliputi kawasan
tanpa rokok dan ketersedeiaan lingkungan yang sehat. Terminal
perlu memperhatikan aspek promosi kesehatan, pencegahan
penyakit, penyembuhan penyakit, dan pemulihan eksehatan yang
terpadu dan berkesinambungan sehingga pengelola, pengguna,
dan pengunjung terminal dapat terlindungi kesehatannya.
Gambaran promosi kesehatan di lingkungan Terminal
Bratang, Surabaya, adalah sebagai berikut.
a. Terdapat peraturan mengenai kawasan tanpa rokok
b. Tidak ditemukan adanya penjual rokok di lingkungan
terminal ini
c. Disediakan ruang khusus untuk merokok
d. Lingkungan terminal cukup bersih
e. Tersedia tempat sampah di kantor, ruang terbuka, kantin,
ruang tunggu, mushola, dan kamar mandi, berdasarkan
kategori jenisnya

77
f. Terdapat media promosi kesehatan terkait imbauan untuk
membuang sampah pada tempatnya
g. Tersedia air bersih di lingkungan Terminal Bratang, Surabaya
Dengan demikian, tempat publik yang dalam hal ini Terminal
Bratang, Surabaya, memiliki upaya promotif dan preventif untuk
mencegah hal-hal yang dapat membahayakan kesehatan individu
yang ada di lingkungan terminal (Rozaaqi, 2017).
5. Promosi Kesehatan pada Ranah Instansi Pelayanan
Kesehatan
Institusi pelayanan kesehatan merupakan sarana yang
diselenggarakan oleh pemerintah/swasta/perorangan yang dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan pelayanan kesehatan bagi
masyarakat, seperti rumah sakit, puskesmas, atau klinik. Promosi
kesehatan dalam ranah instansi pelayanan kesehatan adalah
upaya untuk memberdayakan klien, masyarakat pengunjung, dan
petugas pelayanan kesehatan, dengan tujuan agar mereka tahu,
mau, dan mampu menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat
serta berperan aktif dalam mewujudkan instansi pelayanan
kesehatan yang bersih dan sehat.
Promosi kesehatan dalam bentuk upaya menanamkan perilaku
hidup bersih dan sehat di dalam ranah instansi pelayanan
kesehatan diperlukan untuk mencegah penularan penyakit,
infeksi nosokomial, dan mewujudkan institusi kesehatan yang
sehat, yang antara lain mencakup:
a. Menggunakan air bersih.
b. Mencuci tangan dengan air bersih mengalir dan sabun.

78
c. Menggunakan jamban untuk buang air kecil/besar.
d. Membuang sampah pada tempatnya.
e. Tidak merokok di dalam institusi kesehatan.
f. Tidak meludah di sembarang tempat.
g. Memberantas jentik-jentik nyamuk.

Gambar 2.13 Poster di Poliklinik Kesehatan


Sumber: https://bit.ly/2RG48UX

Salah satu contoh promosi kesehatan di instansi pelayanan


kesehatan adalah adanya poster hipertensi yang terdapat di
Puskesmas Talaga, Kabupaten Majalengka (Amalia, 2013). Amalia
(2013) melakukan penelitian tentang kepahaman masyarakat
pengunjung Puskesmas Talaga mengenai poster hipertensi yang

79
dipajang di puskesmas tersebut. Secara keseluruhan, sebagian besar
pengunjung tertarik untuk membaca poster hipertensi tersebut
karena ditulis dengan menggunakan bahasa Sunda. Desain, warna,
bahasa, ukuran huruf, dan penjelasan yang sederhana mampu
memberikan informasi secara signifikan kepada masyarakat
pengunjung puskesmas. Selain itu, pemasangan poster di lokasi
yang strategis pada puskesmas tersebut juga memengaruhi
keberterimaan pesan promosi kesehatan tentang hipertensi kepada
masyarakat pengunjung puskesmas.

80
BAB III

KOMUNIKASI TERAPEUTIK

A. Teori Psikologi Komunikasi yang Mendasari Komunikasi


Terapeutik
Komunikasi sebagai ilmu yang multidisiplin mempunyai banyak
pengertian dan makna yang sesuai dengan latar belakang bidang ilmu
yang memberi pengertian. Ahli-ahli ilmu sosial telah berkali-kali
mengungkapkan bahwa kurangnya komunikasi akan menghambat
perkembangan kepribadian, dan Ashley Montagu dalam Rakhmat
(2005) menuliskan “The most important agency through which the
child learns to be human is communication, verbal also non verbal”.
Komunikasi juga erat kaitannya dengan perilaku dan pengalaman
kesadaran manusia, sehingga komunikasi menarik perhatian peneliti
psikologi.
Dilihat dari sejarah perkembangan dari komunikasi yang dibesarkan
oleh ahli psikologi seperti Wilbur Schramm sebagai sarjana psikologi,
Kurt Lewin sebagai ahli psikologi dinamika kelompok, Paul Lazarfeld
adalah psikolog yang banyak dipengaruhi oleh Sigmund Freud sebagai
bapak psikoanalisis. Namun demikian, komunikasi bukanlah
subdisiplin dari psikologi. Komunikasi menembus banyak ilmu, dan
sebagai gejala perilaku, komunikasi dipelajari bermacam-macam
disiplin ilmu.
Komunikasi mempelajari juga peristiwa sosial berupa interaksi
manusia satu dengan manusia yang lainnya, dan menganalisanya secara
psikologi. Psikologi juga meneliti kesadaran dan pengalaman manusia,

81
terutama pada perilaku manusia dan mencoba menyimpulkan proses
kesadaran yang menyebabkan terjadinya perilaku tersebut.
Psikologi komunikasi berkaitan erat dengan proses komunikasi yang
efektif didalam interaksi yang dilakukan oleh manusia. Pemahaman
terhadap manusia lainnya menjadikannya syarat yang harus dipenuhi
untuk keberhasilan penyampaian pesan atau berkomunikasi dengan
manusia lainnya. Menurut Fisher dalam Rakhmat (2005) terdapat
empat pendekatan psikologi komunikasi sebagai berikut:
1. Penerimaan stimuli secara inderawi (sensory reception of
stimuly)
Proses komunikasi yang terjadi ketika panca indera yakni
mata, hidung, telinga, kulit dan mulut mendapatkan stimuli dari
lingkungan sekitar yang berpengaruh terhadap indera.
2. Proses yang mengantarai stimuli dan respons (internal mediation
of stimuly)
Pada proses ini, stimuli yang ditangkap oleh panca indera,
diolah oleh otak dan respon yang terjadi dari proses yang terjadi
pada otak adalah tersenyum, tertawa, tepuk angan yang dapat
diartikan dari perasaan bahagia atau gembira.
3. Prediksi respons (prediction of response)
Pada pendekatan ini, respons yang terjadi pada masa lalu
dapat dilihat dan diramalkan responsnya untuk masa akan
datang, akan tetapi harus mengetahui sejarah respons terdahulu
sebelum meramalkan respons pada saat ini.
4. Peneguhan respons (reinforcement of response)

82
Peneguhan adalah respons lingkungan atau orang lain pada
respons organisme yang asli. Sementara itu, menurut ahli lain
menyebut peneguhan respons sebagai feedback atau umpan
balik.
Menurut George A. Miller dalam Rakhmat (2005) mendefinisikan
psikologi sebagai berikut “psychology is the science that attempts to
describe, predict, and control mental and behavioral events”. Oleh
sebab itu, psikologi komunikasi adalah ilmu yang berusaha
menguraikan, meramalkan, dan mengendalikan peristiwa mental dan
behavioral dalam komunikasi. Peristiwa mental yang dimaksudkan ini
dimaksud oleh Fisher sebagai internal mediation of stimuli sebagai
akibat dari proses komunikasi. Sementara itu, peristiwa behavioral
adalah apa yang nampak ketika orang sedang berkomunikasi.
Ciri-ciri pendekatan psikologi komunikasi terlihat dari penggunaan
perspektif keilmuan lain, sekaligus menggambarkan kemandirian dari
psikologi komunikasi itu sendiri. Konsep ini menunjukkan bahwa
psikologi komunikasi berperan dalam perubahan perilaku manusia,
terutama pada saat manusia berkomunikasi dengan manusia lainnya
secara interpersonal, kelompok maupun massa. Saat komunikasi
berlangsung, orang mampu melihat dan menganalisis baik komunikasi
verbal dan non verbalnya orang yang terlibat dalam proses komunikasi
tersebut.
Pada saat pesan sampai kepada komunikator, psikologi melihat ke
dalam proses penerimaan pesan tersebut kemudian menganalisa faktor-
faktor personal dan situasional yang turut berpengaruh didalamnya, dan
menjelaskan berbagai corak komunikasi yang tampak pada peserta

83
komunikasi ketika sendirian maupun kelompok. Dengan demikian,
dapat dipahami bahwa perkembangan psikologi komunikasi tidak
terlepas dari kontribusi disiplin ilmu yang lainnya seperti filsafat,
sosiologi, antropologi dan psikologi itu sendiri. Melalui kontribusi
tersebut, lahirlah psikologi komunikasi sebagai ilmu yang berusaha
menguraikan, meramalkan dan mengendalikan peristiwa mental dan
behavioral dalam komunikasi. Selanjutnya akan dibahas mengenai teori
yang memengaruhi perkembangan psikologi komunikas yang
digolongkan sebagai berikut ini:
1. Grand Theory
Grand theory adalah teori yang mempunyai cakupan secara
luas, berlaku kapan, di mana dan oleh siapa saja. Bersifat
universal dan komunal, tidak hanya memiliki satu golongan saja.
Grand theory dalam perkembangan ilmu komunikasi yang
menyangkut dengan perilaku manusia adalah:
a. Teori Piaget
Teori ini menekankan pada tingkat-tingkat perkembangan
intelegensi. Menurut Piaget, perkembangan struktur kognitif
dibagi menjadi empat tingkatan, yaitu :
1) Intelegensi sensorismotor, terdapat pada anak berumur 0 –
1,5/2 tahun. Kemampuan anak masih terbatas pada
penginderaan rangsangan-rangsangan dan memberikan
reaksi-reaksi motoris yang mekanistis.
2) Representasi pada operasional yang terjadi pada usia 2 – 7
tahun. Dalam fase ini terjadi pembentukan simbol-simbol
untuk memungkinkan anak tersebut berpikir. Sifat anak

84
pada usia ini masih terpusat pada diri sendiri atau
egosentris.
3) Operasi konkret, terjadi pada usia 7 – 11 tahun. Pada fase
ini anak-anak tidak lagi egosentris, melainkan banyak
berorientasi keluar, kepada obyek-obyek yang konkret.
Anak-anak pada masa ini lebih aktif dan banyak bergerak,
tetapi perbuatannya tidak selalu dapat dilepaskan dari hal
yang konkret.
4) Operasi format, terjadi antara umur 11 – 15 tahun. Pada
masa ini individu tidak lagi tertarik pada obyek yang nyata
saja atau konkret, tetapi sudah mampu menyusun
kesimpulan dan hipotesa atas dasar simbol-simbol semata.
b. Teori McDougall yang dikembangkan dengan teori instingnya
Teori ini menyatakan bahwa insting adalah kecenderungan
suatu tingkah laku tertentu dalam situasi tertentu.
Kecenderungan tingkah laku tidak dipelajari sebelumnya,
namun sudah merupakan bawaan sejak lahir. Meski pada
manusia, insting sudah banyak berkurang, tetapi menurut
Dougall insting manusia masih jelas tampak pada emosi.
c. Teori Kognisi Individu yang dikembangkan oleh David Krech
Teori ini menyatakan bahwa kognisi seseorang bukan
suatu cermin dunia fisik namun ia lebih merupakan suatu
bagian dari kepribadian yang didalamnya obyek-obyek yang
terpilih kemudian memiliki sewaktu peranan yang besar,
semuanya itu ditangkap dalam proses terbentuknya kognisi.

85
Setiap organisasi kognisi memiliki dua faktor penentu utama,
yaitu faktor stimulus dan faktor personal.
d. Teori tongkat adaptasi
Dalam teori ini disebutkan bahwa ada tiga tingkatan
adaptasi yaitu: stimulus yang direspon merupakan pusat
perhatian, stimulus yang datang mendadak membentuk latar
belakang menjadi pusat perhatian. Pengalaman yang lalu
dengan stimulus yang serupa akan menarik perhatian. Dengan
demikiann, semua stimulus memberikan batas hubungan
tingkat adaptasi.
e. Teori keseimbangan dalam perubahan kognisi
Teori keseimbangan adalah suatu petunjuk keseimbangan
yang berada dalam sistem kognisi kepada yang lebih luas
bahwa unsur-unsur dari sistem membentuk kesatuan yang
tidak bertentangan dalam interaksi.
f. Teori kohesivitas dalam kelompok oleh Scashore
Kelompok yang lebih kecil rata-rata lebih kohesif daripada
kelompok yang lebih besar, demikian juga halnya dengan
jangkauannya.
g. Teori pembentukan kelompok oleh Loomes dan Beegle
Menurut Loomes dan Beegle, setiap kelompok dibentuk
oleh salah satu faktor berikut ini:
1) Ikatan pertalian keluarga.
2) Keanggotaan kelompok sains.
3) Keanggotaan kelompok keagamaan.
4) Usia.

86
5) Jenis kelamin dan persamaan sikap.
h. Teori peradaban manusia oleh Ibnu Khaldun
Menurut Ibnu Khaldun, perkembangan masyarakat
mengacu kepada kaidah-kaidah sosial hanya dapat diketahui
apabila data yang dikumpulkan itu dilakukan analisis banding
serta dicari korelasinya. Perwujudan manusia dicirikan oleh
kemajuan dan kejatuhan, bahkan kemusnahan yang berulang
kali.
i. Teori perkembangan masyarakat oleh Ferdinan Tonnies
Masyarakat adalah bentuk karya cipta manusia yang
merupakan usaha manusia untuk mengadakan dan
memelihara relasi-relasi timbal balik. Relasi sosial itu adalah
ciptaan kemauan manusia yang mendasari kemauan
masyarakat itu sendiri. Kemudian masyarakat berkembang
atau sistem sosial sebagai perubahan linear dari kecil atau
sederhana sampai menjadi besar atau kompleks.
j. Teori evolusi budaya oleh Julian H. Stewart
Budaya manusia itu berkembang menurut arah yang
berbeda. Revolusi budaya tidak bersifat uniliniear, bahkan
multiliniear. Evolusi manusia merupakan interaksi antara ciri-
ciri fisik dan budaya, setiap ciri itu saling memengaruhi satu
sama lain. Manusia mempunyai upaya untuk menciptakan
penyelesaian yang rasional dalam kehidupan mereka terutama
dalam alam dan masalah teknis dan juga mereka berupaya
untuk mentransformasi penyelesaian tersebut kepada generasi
berikut dan anggota lain dalam masyarakatnya.

87
2. Middle Range Theory
Teori ini merupakan kelompok teori yang didasarkan pada
fakta sosial. Teori ini lahir sebagai studi empirik atau lapangan.
Yang tergolong dalam studi empirik atau lapangan ini adalah:
a. Expectancy theory of motivation
Teori ini sepenuhnya bergantung pada harapan seseorang
terhadap reward yang menyatakan bahwa motivasi seseorang
untuk mencapai sesuatu tergantung pada produk atau hasil
kali estimasi seseorang tentang taraf kemungkinan suskes
apabila ia mengajarkan suatu itu dengan nilai yang akan
diperoleh atas kesuksesan tersebut.
b. Achievement motivation theory (McCelland)
c. Two factor theory: kepuasan manusia dalam bekerja.
d. Teori peyimpangan: teori differential association (Edwin H.
Suterland) bersumber dari pergaulan yang berbeda.
e. Teori Labeling (Edwin M. Lemert) seseorang menyimpang
karena adanya proses labeling berupa julukan, cap, etiket oleh
masyarakat.
f. Teori Merton; merupakan bantahan-bantahan teori yang
memandang dari sisi mikro.
g. Teori penularan (Le Bon)
h. Teori konvergensi (Horton dan Hunt)
Perilaku kerumunan muncul dari sejumlah orang yang
mempunyai dorongan, maksud dan kebutuhan serupa.

88
i. Teori Malthus; jumlah penduduk berkembang menurut deret
ukur, sementara jumlah makanan hanya dapat ditingkatkan
menurut deret hitung.
j. Teori transisi demografi; menyangkal teori Malthus
k. Teori Frustasi agresi; orang akan melakukan agresi manakala
usaha mencapai kepuasannya terhalangi.
l. Teori fakta sosial; teori fungsionalisme struktural (Robert K.
Merton); menekankan pada kesatuan dan menyebabkan
konflik dan perubahan dalam masyarakat. Masyarakat suatu
sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian yang saling
berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan. Asumsi dasar;
setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap
lainnya.
Komunikasi dan psikologi merupakan bidang yang sama-sama
melibatkan manusia dan terkait satu sama lain. Komunikasi adalah
kegiatan bertukar informasi yang dilakukan oleh manusia untuk
mengubah pendapat atau perilaku manusia lainnya. Sementara perilaku
manusia merupakan objek bagi ilmu psikologi. Oleh sebab itu,
terbentuklah teori psikologi komunikasi. Selain beberapa pengertian
komunikasi yang diramu oleh ahli psikologi, psikologi juga
menghasilkan teori yang berkaitan dengan ilmu komunikasi,
diantaranya sebagai berikut ini:
1. Teori psikoanalisis, yang menyataan bahwa manusia
dikendalikan oleh keinginan terpendam di dalam dirinya (homo
valens).

89
2. Teori behaviorisme, yang menyatakan bahwa manusia sangat
dipengaruhi oleh informasi dari media massa. Hal tersebut
dilandasi oleh konsep behaviorisme, yaitu manusia dianggap
sangat dikendalikan oleh alam (homo mechanicus).
3. Teori psikolog kognitif, berisi konsep yang melihat manudia
sebagai makhluk yang aktif mengorganisasikan dan mengolah
informasi yang diterima (homo sapiens).
4. Teori psikologi humanistik, menekankan pada konsep yang
menggambarkan manusia sebagai pelaku aktif dalam
merumuskan strategi transaksional dengan lingkungannya (homo
ludens).
Proses komunikasi ini dapat dilakukan dalam diri manusia sendiri,
orang lain dan kumpulan manusia dalam proses sosial (massa).
Merujuk pendapat tersebut maka Burgon & Huffner (2002)
mengategorikan 3 jenis komunikasi, yaitu:
1. Komunikasi intrapersonal; komunikasi yang terjadi dalam diri
sendiri maka tindak balas yang dilakukan ialah dalam internal
diri sendiri. Contohnya komunikasi yang terjadi saat melakukan
perenungan atau berdialog dengan diri sendiri.
2. Komunikasi interpersonal; komunikasi yang dilakukan dengan
orang lain sehingga tindak balas dan evaluasinya memerlukan
orang lain. Contoh, komunikasi dengan dokter, perawat, teman,
dosen, orang tua.
3. Komunikasi massa; komunikasi yang dilakukan dalam kumpulan
manusia yang terjadi proses sosial di dalamnya, baik melalui
media atau langsung dan bersifat one way communication.

90
Contohnya komunikasi yang terjadi melalui media massa seperti
koran, TV, website, radio dan sebagainya.
Selanjutnya tulisan ini akan membahas tentang komunikasi
interpersonal sebagai teori yang mendasari bahasan tentang komunikasi
terapeutik. Komunikasi interpersonal dapat diartikan sebagai
penggunaan bahasa atau pikiran yang terjadi di dalam diri komunikator
dan dapat diartikan bahwa komunikasi interpersonal adalah komunikasi
yang membutuhkan pelaku atau personal lebih dari satu orang dan juga
tatap muka. Menurut Mulyana (2008) bentuk kegiatan komunikasi yang
kerap dilakukan oleh manusia adalah komunikasi intepersonal yaitu
komunikasi antara orang-orang secara tatap muka yang memungkinkan
setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung baik
secara verbal maupun non verbal.
Kelebihan dari sistem komunikasi ini adalah umpan balik atau
respon yang bersifat segera. Menurut Tubb dan Moss (2005), ada lima
hal yang menjadikan ukuran bagi komunikatif efektif, yaitu
pemahaman, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang makin
baik, dan tindakan.
1. Pemahaman
Arti pokok pemahaman adalah penerimaan yang cermat atas
kandungan stimuli seperti yang dimaksud oleh pengirim pesan
(komunikator) dan dikatakan efektif, bila penerima (komunikan)
memperoleh pemahaman yang cermat atas pesan yang
disampaikan.
2. Kesenangan

91
Komunikasi tidak semua ditujukan untuk menyampaikan
maksud tertentu, karena adakalanya berkomunikasi hanya
sekedar untuk bertegur sapa dan menimbulkan kebahagiaan
bersama.
3. Memengaruhi Sikap
Tindakan memengaruhi orang lain dan berusaha agar orang
lain memahami ucapan adalah bagian dari kehidupan sehari-hari.
Pada waktu menentukan tingkat keberhasilan berkomunikasi
ternyata kegagalan dalam mengubah sikap orang lain belum
tentu karena orang lain tersebut tidak memahami apa yang
dimaksud. Dalam hal ini kegagalan dalam mengubah pandangan
seseorang jangan disamakan dengan kegagalan dalam
meningkatkan pemahaman, karena memahami dan menyetujui
adalah dua hal yang sama sekali berlainan.
4. Memperbaiki Hubungan
Komunikasi yang dilakukan dalam suasana psikologis yang
positif dan penuh kepercayaan akan sangat membantu
terciptanya komunikasi yang efektif. Apabila hubungan manusia
dibayang-bayangi oleh ketidakpercayaan, maka pesan yang
disampaikan oleh komunikator yang paling kompeten dapat
mengubah makna.
5. Tindakan
Mendorong orang lain untuk melakukan tindakan sesuai
dengan yang diinginkan, merupakan hasil yang paling sulit
dicapai dalam berkomunikasi. Lebih mudah mengusahakan agar
pesan dapat dipahami orang lain daripada mengusahakan agar

92
pesan tersebut disetujui sebagai tindakan “feedback” dari
komunikasi paling tinggi yang diharapkan oleh pemberi pesan.
Selain ukuran bagi komunikasi efektif di atas, berikut ini merupakan
klasifikasi komunikasi interpersonal yang dibagi menjadi empat bagian
yaitu:
1. Interaksi intim
Interaksi intim termasuk komunikasi diantara teman baik,
anggota keluarga, dan orang-orang yang sudah mempunyai
ikatan emosional yang kuat.
2. Percakapan sosial
Percakapan sosial adalah interaksi untuk menyenangkan
seseorang secara sederhana. Tipe komunikasi tatap muka penting
bagi pengembangan hubungan informal dalam organisasi.
misalnya dua orang atau lebih sedang membicarakan politik atau
gosip.
3. Interogasi atau pemeriksaan
Interogasi atau pemeriksaan adalah interaksi seseorang yang
ada dalam kontrol, yang meminta atau bahkan menuntut
informasi dari yang lain. Misalnya interogasi terhadap kasus
korupsi yang dilakukan oleh anggota KPK terhadap koruptor.
4. Wawancara
Wawancara adalah salah satu bentuk komunikasi
interpersonal di mana dua orang terlibat dalam percakapan yang
berupa tanya jawab. Misalnya wawancara reporter televisi
terhadap masyarakat korban banjir di Jakarta.

93
Dalam komunikasi interpersonal, komunikator sebagai pelaku utama
dalam proses komunikasi memegang peranan penting terutama dalam
mengendalikan jalannya proses komunikasi. Untuk itu seorang
komunikator harus terampil berkomunikasi dan juga kaya akan ide
serta penuh kreativitas dalam merangkai pesan yang akan disampaikan.
Pesan yang disampaikan bisa mengandung ide, informasi, opini,
kepercayaan, dan perasaan kepada orang lain. Tingkat kepercayaan
kepada komunikator ditentukan oleh keahliannya dan dapat tidaknya
untuk diberikan kepercayaan. Umumnya komunikator dianggap sebagai
ahli, berasal dari hasil pendidikan yang baik atau dikarenakan oleh
status sosial atau jabatan profesi yang tinggi. Untuk mencapai
komunikasi yang tepat, seorang komunikator harus memiliki aspek
berikut ini:
1. Kepercayaan (credibility)
Kredibilitas adalah seperangkat persepsi tentang kelebihan-
kelebihan yang dimiliki sumber sehingga diterima atau diikuti
oleh khalayak atau penerima.
2. Daya Tarik (attractive)
Daya tarik adalah salah satu faktor yang harus dimiliki oleh
seorang komunikator selain kredibilitas, faktor daya tarik banyak
menentukan berhasil tidaknya komunikasi.
3. Kekuatan (power)
Kekuatan adalah kepercayaan diri yang harus dimiliki orang
lain. Kekuatan juga bisa diartikan sebagai kekuasan di mana
khalayak dengan mudah menerima suatu pendapat atau pesan
apabila pesan disampaikan oleh orang yang memiliki kekuasan.

94
Berkaitan dengan aspek kredibilitas yang harus dimiliki oleh
komunikator dalam komunikasi interpersonal dalam menyampaikan
pesan, sumber kredibilitas sebagai komunikator terdapat pada aspek
berikut ini:
1. Kompetensi (competence) adalah penguasaan yang dimiliki oleh
komunikator terhadap masalah yang sedang dibahasnya.
2. Sikap (character) menunjukkan pribadi komunikator, apakah dia
tegar atau toleransi terhadap prinsip.
3. Tujuan (intention) menunjukkan apakah hal-hal yang
disampaikan itu punya maksud baik atau buruk.
4. Kepribadian (personality) menunjukkan apakah komunikator
memiliki pribadi yang hangat dan bersahabat.
5. Dinamika (dynamism) menunjukkan apakah hal yang
disampaikan tersebut menarik atau tidak menarik.
Selain hal yang telah disampaikan di atas, hubungan interpersonal
merupakan hal yang sangat penting untuk dibahas. Hubungan adalah
sekumpulan harapan yang dimiliki oleh dua orang bagi perilaku mereka
berdasarkan pola perilaku diantara mereka. Dapat didefinisikan bahwa
setiap kali kita berkomunikasi, kita bukan hanya sekedar
menyampaikan isi pesan namun juga menemukan kadar suatu
hubungan. Apabila hubungan interpersonal kita baik, maka semakin
terbuka seseorang untuk mengungkapkan dirinya. Makin cermat
persepsi tentang dirinya maupun orang lain sehingga kegiatan
komunikasi akan berlangsung dengan efektif. Pada saat hubungan-
hubungan interpersonal berkembang, proses komunikasi bergerak pada
tingkatan yang relatif dangkal dan tidak intim akan bergerak menuju

95
tingkatan yang lebih dalam dan personal. Komunikasi yang dikatakan
efektif dalam hal ini tampak atau ditandai oleh hubungan interpersonal
yang baik. Berikut ini dijelaskan tentang faktor yang menumbuhkan
hubungan interpersonal dalam komunikasi interpersonal:
1. Kepercayaan (trust)
Kepercayaan adalah kemauan seseorang untuk bertumpu pada
orang lain di mana kita memiliki keyakinan padanya, yang
didasarkan oleh situasi seseorang dan konteks sosialnya.
2. Sikap Suportif
Sikap suportif adalah sikap yang mengurangi sikap defensif
dalam komunikasi. Sikap ini artinya bertahan atau melindungi
diri. Orang akan menjadi defensif ketika dia tidak mau menerima
suatu keadaan, dilanda kecemasan, tidak jujur, dan tidak empati.
Komunikasi interpersonal menjadi gagal dengan sikap defensif
tersebut.
3. Sikap terbuka (open mindness)
Sikap terbuka mempunyai pengaruh yang besar dalam
menyukseskan komunikasi interpersonal. Dapat dikatakan
terbuka apabila telah bisa menilai pesan secara objektif dengan
menggunakan data atau logika.
Melalui konsep komunikasi interpersonal yang terdapat pada
psikologi komunikasi, saat pesan sampai kepada komunikator atau
penerima pesan, psikologi melihat ke dalam proses penerimaan pesan
tersebut, menganalisanya faktor personal dan situasional yang
memengaruhinya kemudian menjelaskan berbagai corak setiap peserta
komunikasi. Oleh sebab itu, di dalam psikoterapi, muncul metode baru

96
teknik penyembuhan jiwa yang dikenal sebagai komunikasi terapeutik.
Dengan metode ini, terapis mengarahkan komunikasi sedemikian rupa
sehingga klien dihadapkan pada situasi dan pertukaran pesan yang
dapat menimbulkan hubungan sosial yang bermanfaat. Komunikasi
terapeutik memandang gangguan jiwa bersumber pada gangguan
komunikasi, pada ketidakmampuan klien dalam mengungkapkan
dirinya.
Terapeutik merupakan kata sifat yang dihubungkan dengan seni dari
penyembuhan (Anas, 2014) sehingga terapeutik dapat diartikan sebagai
segala sesuatu yang memfasilitasi proses penyembuhan. Oleh sebab itu,
komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan dan
dilakukan untuk membantu penyembuhan/pemulihan klien.
Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi profesional bagi tenaga
medis, seperti dokter, perawat, analis kesehatan, ahli gizi, ahli
kandungan, dan sebaganya. Komunikasi dalam keperawatan merupakan
alat untuk mengimplementasikan proses keperawatan. Seorang tenaga
medis dapat membantu klien mengatasi masalah yang dihadapinya
melalui komunikasi melalui pendekatan yang direncanakan dalam hal
membantu kliennya. Untuk itulah, komunikasi terapeutik
mengembangkan hubungan interpersonal antara klien dan tenaga
medis. Proses ini meliputi kemampuan khusus, karena tenaga medis
harus memperhatikan pada berbagai interaksi dan tingkah laku non
verbal di samping dengan sengaja memberi informasi untuk
kepentingan klien dan memaksimalkan rencana perawatan. Dapat
didefinisikan juga bahwa komunikasi terapeutik ialah pengalaman
interaktif bersama antara tenaga medis dan klien dalam komunikasi

97
dengan tujuan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh klien.
Sementara itu, menurut Sheldon (2009) komunikasi terapeutik adalah
proses yang berkesinambungan antara tenaga medis dan klien
mengembangkan hubungan tidak hanya untuk berbagi informasi, tetapi
juga membantu pertumbuhan dan penyembuhan.
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dilakukan atau
dirancang untuk tujuan terapi. Seorang terapis dapat membantu klien
mengatasi masalah yang dihadapinya melalui komunikasi (Damaiyanti,
2014). Komunikasi terapeutik adalah modalitas dasar intervensi utama
yang terdiri atas teknik verbal dan non verbal yang digunakan untuk
membentuk hubungan antara terapis dan klien dalam pemenuhan
kebutuhan. Oleh karena itu, komunikasi terapeutik merupakan hal
pentng dalam kelancaran pelayanan kesehatan yang dilakukan terapis
untuk mengetahui apa yang dirasakan dan diinginkan klien. Oleh sebab
itu, dapat disimpulkan bahwa komunikasi terapeutik adalah komunikasi
secara verbal maupun non verbal yang diterapkan oleh komunikator
untuk mempercepat penyembuhan klien.
Model konsep dan teori keperawatan oleh Hildegard Peplau
menjelaskan tentang kemampuan dalam memahami diri sendiri dan
orang lain yang mencakup empat komponen sentral, yaitu
interpersonal, perawat, klien, dan ansietas. Dari keempat komponen
tersebut, salah satu yang paling disoroti adalah komponen
interpersonal.
Proses interpersonal didefinisikan sebagai proses interaksi secara
simultan dengan orang lain dan saling pengaruh-memengaruhi satu
dengan lainnya dengan tujuan untuk membina suatu hubungan. Maka

98
proses interpersonal antara komunikator dan klien ini menggambarkan
metode transformasi energi atau ansietas klien oleh komunikator yang
terdiri dari empat fase, yaitu:
1. Fase Orientasi
Lebih difokuskan untuk membantu klien menyadari
ketersediaan bantuan dan rasa percaya terhadap kemampuan
komunikator untuk berperan serta secara efektif dalam
pemberian askep (asuhan keperawatan) pada klien. Tahap ini
ditandai dengan komunikator melakukan kontrak awal untuk
membangun kepercayaan dn terjadi pengumpulan data.
2. Fase identifikasi
Terjadi ketika komunikator memfasilitasi ekspresi perilaku
klie dan memberikan askep yang tanpa penolakan diri.
Komunikator memungkinkan pengalaman menderita sakit
sebagai suatu kesempatan untuk mengorientasi kembali perasaan
dan menguatkan bagian yang positif dan kepribadian klien
3. Fase eksplorasi
Fase ini komunikator membantu klien dalam memberikan
gambaran kondisi klien dan seluruh aspek yang terlibat
didalamnya. Suatu situasi di mana klien dapat merasakan nilai
hubungan sesuai pandangan/persepsinya terhadap situasi. Fase
ini menjadi inti dari proses interpersonal.
4. Fase resolusi
Fase ini klien secara bertahap membebaskan diri dari
ketergantungan dengan tena profesional. Ini berarti bahwa klien

99
diberi kesempatan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri
berdasarkan kemampuan yang dimiliki.

B. Tujuan dan Manfaat Komunikasi Terapeutik


Dalam konteks pelayanan keperawatan kepada klien, hal pertama
yang harus dimiliki oleh klien adalah kepercayaan. Klien harus percaya
bahwa komunikator mampu memberikan pelayanan keperawatan dala
mengatasi keluhan atau masalah yang sedang dialaminya. Demikian
juga komunikator harus dapat dipercaya dan diandalkan atas
kemampuan yang telah dimiliki komunikator (Simamora, 2011).
Memiliki keterampilan berkomunikasi terapeutik dengan baik,
komunikator akan lebih mudah menjalin hubungan kepercayaan dengan
klien, sehingga proses komunikasi akan lebih efektif dalam mencapai
tujuaan bersama dan memberikan kepuasan profesional dalam
pelayanan keperawatan dan akan meningkatkan profesi (Damaiyanti,
2012).
Tujuan komunikasi terapeutik:
1. Membantu klien untuk memperjelas dan mengurangi beban
perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk
mengubah situasi yang ada bila klien percaya pada hal-hal yang
diperlukan.
2. Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan
yang efektif dan mempertahankan kekuatan egonya.
3. Memengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri
dalam hal peningkatan derajat kesehatan.

100
4. Mempererat hubungan dan interaksi antara klien dan terapis
(tenaga kesehatan) secara profesional, proporsional dalam rangka
membantu penyelesaian masalah klien.
Fungsi komunikasi terapeutik adalah untuk mendorong dan
menganjurkan kerjasama antara komunikator dan klien melalui
hubungan yang baik. Komunikator berusaha mengungkapkan perasaan
klien, mengidentifikasi dan mengkaji masalah serta mengevaluasi
tindakan yang dilakukan dalam tindakan keperawatan. Seorang
komunikator profesional selalu mengupayakan untuk berperilaku
terapeutik, yang berarti bahwa tiap interaksi yang dilakukan
menimbulkan dampak terapeutik yang memungkinkan klien untuk
tumbuh dan berkembang. Tujuan hubungan terapeutik diarahkan pada
pertumbuhan klien, meliputi;
1. Meningkatkan tingkat kemandirian klien melalui proses realisasi
diri, penerimaan diri dan rasa hormat terhadap diri sendiri.
2. Identitas diri yang jelas dan rasa integritas yang tinggi.
3. Kemampuan untuk membina hubungan interpersonal yang intim
dan saling tergantung dan mencintai.
4. Meningkatkan kesejahteraan klien dengan peningkatan fungsi
dan kemampuan memuaskan kebutuhan serta mencapai tujuan
personal yang realistik.
Menciptakan komunikasi yang hangat antara klien dan komunikator
dilakukan untuk menghasilkan rasa percaya dan rasa nyaman pada diri
klien, sehingga proses pertukaran perasaan dan sikap akan berjalan
dengan baik. Hal mendasar dari ciri-ciri komunikasi terapeutik adalah:
1. Keikhlasan

101
Keikhlasan komunikator diharapkan untuk tetap bersikap baik
sehingga komunikator dapat mengeluarkan segala perasaan yang
dimiliki secara tepat dalam menyikapi segala sikap dan perilaku
klien tanpa menyalahkan atau menghukum klien, sehingga
hubungan saling menguntungkan akan meningkat. Komunikator
harus menyadari tentang nilai, sikap dan perasaan yang dimiliki
terhadap keadaan klien. Komunikator yang mampu menunjukkan
rasa ikhlasnya mempunyai kesadaran mengenai sikap yang
dipunyai terhadap klien sehingga mampu belajar untuk
mengkomunikasikan secara tepat.
2. Empati
Empati merupakan suatu perasaan yang jujur, sensitif dan
tidak dibuat-buat atau objektif. Empati merupakan perasaan
“pemahaman” dan “penerimaan” komunikator terhadap perasaan
yang dialami klien dan kemampuan merasakan dunia pribadi
klien. Dalam proses keperawatan, tentu akan ada suka maupun
duka. Hal tersebut ditekankan kepada komunikator agar bisa
mengendalikan emosinya dengan baik, sehingga tidak terlihat
oleh klien. Perasaan yang timbul akibat mengetahui kondisi atau
keadaan klien yang memprihatinkan atau buruk perlu disikapi
oleh komunikator dengan mengontrol perasaannya dengan baik.
Sikap empati memperbolehkan komunikator untuk berpartisipasi
terhadap sesuatu yang berkaitan dengan klien yang sedang
mengalami emosi. Empati cenderung bergantung pada kesamaan
pengalaman diantara orang yang terlibat komunikasi.
3. Kehangatan

102
Hubungan saling percaya antara komunikator dengan klien
akan membuat klien memiliki rasa keterbukaan. Suasana yang
hangat dalam komunikasi antara komunikator dengan klien akan
menunjukkan rasa penerimaan komunikator terhadap kliennya,
komunikator akan mendorong klien untuk mengekspresikan ide-
ide dan menuangkannya dalam bentuk perbuatan tanpa rasa takut
dimaki atau dikonfrontasi, sehingga klien akan mengekspresikan
perasaannya secara mendalam. Apabila sudah memasuki suasana
seperti ini, komunikator akan lebih mudah mengetahui segala
kebutuhan klien. Kehangatan juga dapat ditunjukan melalui
komunikasi non verbal melalui penampilan yang tampak tenang,
suara yang meyakinkan dan sentuhan atau pegangan tangan yang
halus menunjukkan rasa kasih sayang terhadap klien.

C. Tahapan Komunikasi Terapeutik


Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang terstruktur dan
memiliki tahapan-tahapan. Stuart (2009) menjelaskan bahwa dalam
prosesnya komunikasi terapeutik terbagi menjadi empat tahapan
sebagai berikut ini:
1. Tahapan Persiapan/Pra Interaksi
Pra interaksi dimulai sebelum kontak pertama dengan klien.
Tahapan ini merupakan masa persiapan sebelum berhubungan
dan berkomunikasi dengan klien. Tenaga kesehatan dalam hal ini
komunikator perlu melakukan evaluasi diri apabila merasakan
ketidakpastian terkait kasus yang sedang akan dihadapinya, bisa
melalui membaca kembali kasus yang sebelumnya pernah

103
diselesaikan, berdiskusi dengan teman sekelompok tenaga
kesehatan atau berdiskusi dengan tutor atau seniornya. Menurut
Suryani (2005) pada tahap ini komunikator menggali perasaan
dan mengidentifikasi kelebihan dan kekurangannya. Pada tahap
ini juga komunikator mencari informasi tentang klien, kemudian
merancang strategi untuk pertemuan pertama dengan klien.
Tahap ini harus dilakukan oleh seorang komunikator untuk
memahami dirinya, mengatasi kecemasannya dan meyakinkan
dirinya bahwa dia siap untuk berinteraksi dengan klien. Hal yang
perlu dilakukan pada tahap ini adalah :
a. Mengumpulkan dan kaji data tentang klien. Kegiatan ini
penting dilakukan untuk mengetahui informasi tentang klien
sehingga komunikator bisa memahami klien dan mengetahui
identitas klien yang digunakan untuk saat memulai interaksi.
(informasi yang mendetail, akan lebih memudahkan
penyampaian pesan atau proses komunikasi yang akan
terjadi).
b. Mengeksplorasi perasaan, fantasi dan ketakutan diri. Sebelum
berinteraksi dengan klien, komunikator perlu melakukan
evaluasi atau mengkaji perasaannya sendiri. Perasaan apa
yang muncul berkaitan dengan interaksi yang akan
dilakukannya dengan klien. Apakah ada kecemasan yang
muncul? Apa yang dicemaskan?
c. Menganalisis kekuatan dan kelemahan sendiri. Kegiatan ini
sangat penting dilakkan agar komunikator mampu mengatasi
kelemahannya secara maksimal pada saat berinteraksi dengan

104
klien. Misalnya seorang komunikator mungkin mempunyai
kekuatan mampu memulai pembicaraan dan sensitif terhadap
perasaan orang lain, keadaan ini mungkin bisa dimanfaatkan
komunikator untuk memudahkannya dalam membuka
pembicaraan dengan klien dan membina hubungan saling
percaya (Suryani, 2006).
d. Membuat rencana pertemuan pertama dengan klien.
Komunikator perlu merencanakan pertemuan pertama dengan
klien mencakup kapan, di mana dan strategi apa yang akan
digunakan selama pertemuan berlangsung. Menyesuaikan
waktu yang tepat, membuat kegiatan yang akan dilakukan
dengan klien, dan tempat yang sesuai agar klien merasa
nyaman.
2. Tahap Perkenalan/Orientasi
Tahap perkenalan ini merupakan kegiatan yang dilakukan
ketika komunikator dengan klien bertemu untuk pertama kalinya.
Komunikator harus memperkenalkan dirinya terlebih dahulu
kepada klien, yang artinya komunikator bersikap terbuka pada
klien dan diharapkan dapat mendorong klien untuk membuka
dirinya. Tujuan pada tahap perkenalan ini untuk memvalidasi
keakuratan data dan rencana yang telah dibuat dengan keadaan
klien saat ini, serta mengevaluasi hasil tindakan yang lalu terkait
hal yang telah dilakukan berama klien. Untuk membangun
hubungan tersebut, perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut ini :
a. Tetapkan alasan klien untuk mencari bantuan.

105
b. Bina hubungan saling percaya, penerimaan dan komunikasi
terbuka.
c. Terapis mengkaji klien dengan mengeksplorasi pikiran,
perasaan dan tindakan klien.
d. Identifikasi masalah klien berdasarkan prioritas dan diagnosis.
e. Tetapkan tujuan bersama dengan klien.
f. Rumuskan bersama kontrak yang bersifat saling
menguntungkan, mencakup nama, peran, tanggungjawab,
harapan, tujuan, tempat pertemuan, waktu pertemuan, kondisi
untuk terminasi dan kerahasiaan.
Perkenalan merupakan kegiatan yang dilakukan saat pertama
kali bertemu dengan klien. Hal yang perlu dilakukan adalah :
a. Memberi salam
b. Memperkenalkan identitas diri sebagai perawat.
c. Menanyakan nama klien.
d. Menyepakati pertemuan (kontrak).
e. Menghadapi kontrak.
f. Memulai percakapan awal.
g. Menyepakati masalah klien.
h. Mengakhiri perkenalan.
Orientasi dilaksanakan pada awal setiap pertemuan, pertama,
kedua dan seterusnya. Tujuan tahap orientasi adalah untuk
memvalidasi kekurangan data, rencana yang telah dibuat dengan
keadaan klien terbaru pada saat bertemu dan mengevaluasi hasil
tindakan yang lalu. Adapun hal-hal yang perlu dilakukan sebagai
berikut :

106
a. Memberikan salam dan tersenyum kepada klien
b. Melakukan validasi (kognitif, psikomotor, afektif)
c. Melakukan kegiatan yang akan dilakukan pada pertemuan
saat itu
d. Menjelaskan tujuan
e. Menjelaskan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan
kegiatan
f. Menjelaskan kerahasiaan
3. Tahap Kerja
Tahap ini merupakan inti hubungan perawatan klien yang
terkait erat dengan pelaksanaan rencana tindakan keperawatan
yang akan dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai.
Dengan kata lain, tahapan ini merupakan inti dari keseluruhan
proses komunikasi terapeutik. Komunikator dan klien bekerja
bersama-sama untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh
klien. Pada tahap ini komunikator dituntut memiliki kemampuan
untuk mendorong klien mengungkapkan perasaan dan
pikirannya. Komunikator juga dituntut untuk mempunyai
kepekaan dan tingkat analisis yang tinggi terhadap adanya
perubahan dalam respons verbal maupun nonverbal yang
dilakukan oleh klien. Perlu dilakukan active listening selama
tahap ini, dikarenakan komunikator membantu klien untuk
mendefinisikan masalah yang dihadapi, bagaimana cara
mengatasi masalahnya, dan mengevaluasi cara atau alternatif
pemecahan masalah yang telah dipilih. Melalui proses ini,
diharapkan komunikator mampu menyimpulkan percakapannya

107
dengan klien. Kesimpulan ini merupakan perpaduan dan
penegasakan hal-hal yang penting dalam percakapan dan
membantu perawat-klien memiliki pikiran dan ide yang sama.
Hal ini akan membantu klien dalam menggali hal dan tema
emosional yang penting. Proses yang dilakukan tersebut
bertujuan menyukseskan tindakan keperawatan. Tujuan tindakan
keperawatan adalah :
a. Meningkatkan pengertian dan pengenalan klien akan dirinya,
perilakunya, perasaannya, pikirannya. Tujuan ini sering
disebut tujuan kognitif.
b. Mengembangkan, mempertahankan dan meningkatkan
kemampuan klien secara mandiri menyelesaikan masalah
yang dihadapi. Tujuan ini sering disebut tujuan afektif atau
psikomotor.
c. Melaksanakan terapi/teknikal keperawatan.
d. Melaksanakan pendidikan kesehatan.
e. Melaksanakan kolaborasi.
f. Melaksanakan observasi dan monitoring.
4. Tahap Terminasi
Tahap terminasi merupakan akhir dari setiap pertemuan
komunikator dengan klien. Terminasi dibagi menjadi dua, yaitu
terminasi sementara dan terminasi akhir. Berikut ini
penjelasannya :
a. Terminasi sementara
Terminasi sementara adalah akhir dari setiap pertemuan
komunikator dan klien. Pada terminasi sementara ini,

108
komunikator akan bertemu kembali dengan klien pada waktu
yang telah ditentukan dan disepakati.
b. Terminasi akhir
Terminasi akhir terjadi jika komunikator telah
menyelesaikan proses keperawatan secara keseluruhan.
Berikut ini komponen dari tahap terminasi :
1) Menyimpulkan hasil kegiatan, evaluasi proses dan hasil.
Dalam hal ini komunikator mengevaluasi pencapaian
tujuan dari interaksi yang telah dilakukan. Evaluasi ini
disebut juga evaluasi objektif. Selama proses evaluasi,
komunikator tidak boleh terkesan menguji kemampuan
klien, akan tetapi lebih kepada pengulangan atau
menyimpulkan.
2) Memberikan reinforcement positif. Komunikator perlu
melakukan evaluasi subjektif dengan menanyakan
perasaan klien setelah berinteraksi dengan perawat.
Komunikator perlu mengetahui bagaimana perasaan klien
yang dihadapinya setelah berinteraksi. Apakah klien
merasa bahwa interaksi tersebut ada gunanya? Atau
interaksi tersebut justru menimbulkan masalah baru bagi
klien.
3) Merencanakan tindak lanjut dengan klien terhadap
interaksi yang telah dilakukan. Tindakan ini juga disebut
sebagai pekerjan rumah untuk klien. Tindak lannjut yang
diberikan harus relevan atau sesuai dengan interaksi yang
akan dilakukan sesuai kesepakatan berikutnya.

109
4) Melakukan kontrak untuk pertemuan selanjutnya. Kontrak
ini penting dilakukan agar terdapat kesepakatan antara
komunikator dan klien untuk pertemuan berikutnya.
Kontrak yang dibuat termasuk waktu, tempat dan tujuan
interaksi.
5) Mengakhiri kegiatan dengan cara yang baik
Menurut Stuart G.W (1998) dalam Suryani (2006)
menyatakan bahwa proses terminasi perawat-klien merupakan
aspek penting dalam asuhan keperawatan, sehingga jika hal
tersebut tidak dilakukan dengan baik oleh perawat, maka regresi
dan kecemasan dapat terjadi lagi pada klien. Timbulnya respon
tersebut sangat dipengaruhi oleh kemampuan komunikator untuk
terbuka, empati dan responsif terhadap kebutuhan klien pada
pelaksanaan tahap sebelumnya.

D. Strategi Komunikasi Terapeutik


Dalam proses komunikasi, ada yang disebut dengan hambatan.
Hambatan tersebut bisa dikarenakan oleh pemahaman yang berbeda,
komunikasi tidak tepat sasaran, penafsiran yang berbeda, atau bahasa
yang digunakan, sehingga pesan yang disampaikan tidak sampai
kepada penerima pesan. Sementar itu, di dalam komunikasi terapeutik
yang dikemukakan oleh Williams (2016), ada beberapa faktor yang
menghambat terciptanya komunikasi yang efektif berikut ini:
1. Changing the subject (Mengubah subjek atau topik)
Mengubah topik pembicaraan akan menunjukkan kurangnya
empati terhadap klien. Hal ini akan menjadikan klien merasa

110
tidak nyaman, tidak tertarik dan cemas, sehingga idenya menjadi
kacau dan informasi yang ingin didapatkan klien tidak tercukupi.
2. Offering false reasurance (mengungkapkan keyakinan palsu atau
salah)
Memberikan keyakinan yang tidak sesuai dengan kenyataan
akan berbahaya karena bisa mengakibatkan klien tidak memiliki
rasa percaya terhadap perawat.
3. Giving advice (memberi nasehat)
Memberi nasehat menunjukkan bahwa komunikator tahu
yang terbaik dan seolah-olah klien tidak dapat berpikir untuk diri
sendiri. Klien juga merasa bahwa klien harus melakukan apa
yang dipertahankan oleh perawat. Hal ini akan berakibat pada
penolakan klien karena klien merasa lebih berhak untuk
menentukan masalah mereka sendiri.
4. Using Defensive comments (komentar yang bertahan)
Komentar defensif yang dikemukakan oleh perawat, dapat
mengakibatkan klien tidak mempunyai hal untuk berpendapat,
sehingga klien menjadi tidak peduli. Sikap defensif ini dapat
muncul karena komunikator merasa terancam yang disebabkan
hubungan dengan klien. Agar hal ini tidak terjadi, komunikator
perlu mendengarkan klien meskipun mendengarkan belum tentu
setuju.
5. Asking Prying or Probing questions (pertanyaan penyelidikan)
Pertanyaan penyelidikan akan membuat klien menjadi
defensif, karena klien merasa digunakan dan dinilai hanya untuk

111
sebuah informasi yang klien dapat berikan. Banyak klien yang
marah karena pertanyaan yang bersifat pribadi.
6. Using cliches (menggunakan kata klise)
Kata-kata klise menunjukkan kurangnya penilaian pada
hubungan komunikator dan klien. Klien akan merasa bahwa
komunikator tidak peduli dengan situasinya.
7. Listening Inattentively (mendengarkan dengan tidak
memperhatikan)
Komunikator menunjukkan sikap tidak tertarik ketika klien
sedang mencoba mengeksplorasikan perasaannya, maka klien
akan merasa bahwa dirinya tidak penting dan komunikator sudah
bosan dengannya.
Manusia melakukan komunikasi sepanjang rentang hidupnya, sejak
bayi dalam rahim ibu sampai dengan lanjut usia. Sejak dalam
kandungan, anak berkomunikasi dengan ibunya dengan cara
menendang dan melakukan pergerakan-pergerakan secara teratur,
sedangkan ibu atau ayahnya berkomunikasi dengan elusan atau
panggilan dekat perut ibu. Hal ini dilakukan untuk membina hubungan
dan interaksi dengan anak untuk memberikan stimulasi komunikasi.
Pada komunikasi terapeutik pada anak, komunikator perlu
memperhatikan usia dan tingkat tumbuh kembang anak yang akan
dijelaskan pada pembahasan berikut sesuai dengan karakteristik
kliennya.
1. Pada Klien Anak-anak
Berkomunikasi dengan anak-anak, orang dewasa harus
menggunakan komunikasi yang bisa dipahami anak, karena

112
anak-anak pun menggunakan bahasa atau isyarat yang bisa
dipahami oleh orang dewasa. Orang dewasa harus memahami
apa yang dipikirkan dan perasaan apa yang akan disampaikan
anak dengan bahasa yang tepat. Aspek berikut ini penting dalam
berkomunikasi dengan anak, agar anak dapat memahami pesan
yang ingin disampaikan oleh orang dewasa tersebut:
a. Orang dewasa harus menggunakan bentuk bahasa yang
bermakna bagi anak yang sedang diajak berkomunikasi.
1) Menggunakan bahasa isyarat seperti menunjuk obyek
secara jelas jika obyek tersebut ingin dilihat anak.
2) Memilih kata-kata yang tepat dan struktur bahasa yang
mudah dipahami oleh anak.
b. Anak berusaha agar komunikasinya dipahami orang lain.
1) Anak menggunakan isyarat tertentu untuk menyampaikan
keinginan atau mengungkapkan perasaannya agar orang
dewasa paham dengan apa yang dia inginkan.
2) Semakin bertambah besar anak, komunikasi dengan
isyarat semakin berkurang karena pemahaman komunikasi
anak berkembang lebih baik.
Bayi berkomunikasi melalui kode-kode khusus untuk
menyampaikan keinginannya, komunikasi ini disebut
komunikasi prabicara atau prespeech. Komunikasi ini bersifat
sementara, berlangsung selama tahun pertama kelahiran bayi,
dan akan berakhir seiring dengan perkembangan bayi atau anak
telah menunjukkan kematangan fungsi mental dan emosionalnya.
Berikut ini uraian empat bentuk komunikasi prabicara:

113
a. Tangisan
Paska lahir, tangisan bayi merupakan bentuk komunikasi
bayi kepada orang dewasa. Menangis merupakan salah satu
cara pertama yang dapat dilakukan bayi untuk berkomunikasi
dengan dunia luar. Melalui tangisan, bayi memberi tahu
kebutuhannya, seperti lapar, dingin, panas, lelah dan
kebutuhan lainnya yang harus diperhatikan seperti pipis atau
buang air besar.
b. Ocehan dan celoteh
Ocehan (cooing) timbul karena bunyi eksplosif awal yang
disebabkan oleh perubahan gerakan mekanisme „suara‟.
Ocehan ini terjadi pada awal bulan kehidupan bayi, seperti
merengek, menjerit, menguap, bersin, dan menangis.
Sebagian ocehan akan berkembang menjadi celoteh
(babbling) dan sebagian akan menghilang. Sebagian bayi
mulai berceloteh pada awal bulan kedua, kemudian
mengalami peningkatan antara bulan keenam dan kedelapan.
Celoteh merupakan indikator mekanisme perkembangan otot
saraf bayi. Berceloteh adalah praktek verval sebagai dasar
perkembangan gerakan terlatih yang dikehendaki dalam
berbicara. Celoteh mempercepat keterampilan berbicara dan
mendorong keinginan berkomunikasi dengan orang lain.
Berceloteh membantu bayi merasakan bahwa dia bagian dari
kelompok sosial.
c. Isyarat

114
Isyarat adalah gerakan anggota badan tertentu yang
berfungsi sebagai pengganti atau pelengkap berbicara. Contoh
bahasa isyarat pada masa bayi sebagai berikut ini:
1) Mendorong puting susu dari mulut artinya kenyang atau
tidak lapar.
2) Tersenyum dan mengacungkan tangan yang berarti dia
ingin digendong.
3) Menggeliat, meronta, dan menangis pada saat dikenakan
pakaian atau dimandikan, artinya bayi tidak suka akan
pembatasan gerak.
d. Ekspresi emosional
Ungkapan emosional bayi dilakukan melalui perubahan
gestur tubuh dan roman muka bayi, dengan contoh sebagai
berikut ini:
1) Tubuh yang mengejang atau gerakan-gerakan tangan atau
kaki disertai jeritan dan wajah tertawa adalah bentuk
ekspresi kegembiraan pada bayi.
2) Menegangkan badan, gerakan membanting tangan atau
kaki, roman muka tegang dan menangis adalah bentuk
ungkapan marah atau tidak suka.
Setiap anak memiliki keunikan dan cara yang berbeda-beda
dalam menyampaikan kebutuhan ataupun keinginan mereka
kepada orang dewasa. Untuk berkomunikasi dengan anak,
diperlukan pendekatan atau teknik khusus agar hubungan yang
dijalankan berlangsung dengan baik sesuai dengan tumbuh
kembang anak. Secara umum, cara berkomunikasi pada anak

115
menggunakan komunikasi verbal dan non verbal. Menurut
Mundakir (2006) dalam , teknik komunikasi verbal dapat beruba
menulis, menggambar, gerakan gambar keluarga, sociogram,
menggambar bersama dalam keluarga dan teknik bermain.
Komunikasi verbal bagi kebanyakan anak dan orang tua sering
mendapat kesulitan karena harus membicarakan perasaan-
perasaannya. Sementar itu, teknik komunikasi non verbal yang
sering digunakan pada anak yaitu bercerita, bibliotherapy,
mimpi, menyebutkan permintaan, bermain dan permainan,
melengkapi kalimat, serta teknik pro dan kontra. Penjelasan dari
masing masing tekniknya sebagai berikut:
a. Teknik Verbal
1) Bercerita (story telling)
Bercerita menggunakan bahasa anak dapat menghindari
ketakutan-ketakutan yang yang terjadi selama anak
dirawat. Teknik strory telling dapat dilakukan dengan cara
meminta anak menceritakan pengalamannya ketika sedang
diperiksa dokter. Teknik ini juga dapat menggunakan
gambar dari suatu peristiwa (misalnya gambar
komunikator waktu membantu makan) dan meminta anak
untuk menceritakannya dan selanjutnya komunikator
masuk dalam masalah yang dihadapi anak. Tujuan dari
teknik ini adalah membantu anak masuk dalam
masalahnya.
2) Bibliotherapy

116
Bibliotheraphy (biblioterapi) adalah teknik komunikasi
terapeutik pada anak yang dilakukan dengan menggunakan
buku-buku dalam rangka proses therapeutic dan
supportive. Sasarannya adalah membantu anak
mengungkapkan perasaan-perasaan dan perhatiannya
melalui aktivitas membaca. Cara ini dapat memberi
kesempatan pada anak untuk menjelajahi suatu kejadian
yang sama dengan keadaannya, tetapi sedikit berbeda.
Pada dasarnya, buku tidak mengancam karena anak dapat
sewaktu-waktu menutup buku tersebut atau berhenti
membacanya saat dia merasa tidak aman atau tidak
nyaman. Hal terpenting diperhatikan pada saat
menggunakan buku sebagai sarana berkomunikasi dengan
anak adalah mengetahui emosi dan pengetahuan anak serta
melakukan penghayatan terhadap cerita sehingga dapat
menyampaikan pesan atau isi buku tersebut dengan bahasa
yang sederhana dan dapat dipahami anak untuk kemudian
diambil kesimpulan bersama dengan anak.
3) Mimpi
Mimpi adalah aktivitas tidak sadar sebagai bentuk
perasaan dan pikiran yang ditekan ke alam tidak sadar.
Mimpi ini dapat digunakan oleh komunikator untuk
mengidentifikasi adanya perasaan bersalah, perasaan
tertekan, perasaan jengkel, atau perasaan marah yang
mengganggu anak sehingga terjadi ketidaknyamanan.
4) Meminta untuk menyebutkan keinginan

117
Ungkapan ini penting dalam berkomunikasi dengan
anak. Dengan meminta anak untuk menyebutkan
keinginan, dapat diketahui berbagai keluhan yang
dirasakan anak dan keinginan tersebut dapat menunjukkan
perasaan dan pikiran anak pada saat itu.
5) Bermain dan permainan
Bermain adalah salah satu bentuk komunikasi yang
paling penting dan dapat menjadi tehnik yang paling
efektif untuk berhubungan dengan anak. Dengan bermain
dapat memberikan petunjuk mengenai tumbuh kembang
fisik, intelektual dan sosial. Terapeutik Play sering
digunakan untuk mengurangi trauma akibat sakit atau
masuk rumah sakit atau untuk mempersiapkan anak
sebelum dilakukan prosedur medis atau perawatan
sehingga komunikator dapat melakukan permainan
bersama anak, dan komunikator dapat bertanya serta
mengeksplorasi perasaan anak selama di rumah sakit.
6) Melengkapi kalimat (sentences completion)
Teknik komunikasi ini dilakukan dengan cara meminta
anak menyempurnakan atau melengkapi kalimat yang
dibuat perawat. Dengan teknik ini, komunikator dapat
mengetahui perasaan anak tanpa bertanya secara langsung
kepadanya, misalnya terkait dengan kesehatannya atau
perasaannya. Pernyataan dimulai dengan yang netral
kemudian dilanjutkan dengan pernyataan yang difokuskan
pada perasaannya.

118
7) Pro dan Kontra
Penggunaan teknik komunikasi ini sangat penting
dalam menentukan atau mengetahui perasaan dan pikiran
anak. Anak diminta mengajukan pilihan positif atau
negatif sesuai dengan pendapat anak. Teknik komunikasi
ini dilakukan dengan tujuan mengeksplorasi perasaan-
perasaan anak, baik yang menyenangkan maupun tidak
menyenangkan. Teknik ini penting diterapkan untuk
menciptakan hubungan baik antara komunikator dan anak.
Teknik ini dimulai dari hal-hal yang bersifat netral,
selanjutnya hal yang serius. Perhatikan contoh berikut.
Topik netral: anak diminta menceritakan hobinya,
selanjutnya anak diminta menyebutkan kebaikan-kebaikan
dari hobinya dan keburukan-keburukan dari hobinya.
Topik khusus: anak diminta menceritakan pengalamannya
di rawat di rumah sakit, selanjutnya anak diminta
menyebutkan kebaikan-kebaikan dan keburukan
keburukan dirawat di rumah sakit.
b. Teknik Non Verbal
1) Menulis
Menulis adalah pendekatan komunikasi yang secara
efektif tidak saja dilakukan pada anak tetapi juga pada
remaja. Ungkapan rasa yang sulit dikomunikasikan secara
verbal bisa ampuh dengan komunikasi lewat tulisan. Cara
ini dapat dilakukan apabila anak sudah memiliki
kemampuan untuk menulis. Melalui cara ini, anak akan

119
dapat mengekspresikan dirinya baik pada keadaan sedih,
marah, atau lainnya dan biasanya banyak dilakukan pada
anak yang jengkel, marah, dan diam. Komunikator dapat
memulai komunikasi dengan anak melalui cara memeriksa
atau menyelidiki tulisan. Dengan meminta anak menulis,
komunikator dapat mengetahui apa yang dipikirkan anak
dan bagaimana perasaan anak.
2) Menggambar
Teknik ini dilakukan dengan cara meminta anak untuk
menggambarkan sesuatu terkait dengan dirinya, misalnya
perasaan, apa yang dipikirkan, keinginan, dan lain-lain.
Dasar asumsi dalam menginterpretasi gambar adalah anak-
anak mengungkapkan dirinya melalui coretan atau gambar
yang dibuat. Dengan gambar, akan dapat diketahui
perasaan anak, hubungan anak dalam keluarga, adakah
sifat ambivalen atau pertentangan, serta keprihatinan atau
kecemasan pada hal-hal tertentu. Pengembaangan dari
teknik menggambar ini adalah anak dapat menggambarkan
keluarganya dan dilakukan secara bersama antara keluarga
(ibu/ayah) dengan anak. Anak diminta menggambar suatu
lingkaran untuk melambangkan orang-orang yang berada
dalam lingkungan kehidupannya dan gambar bundaran-
bundaran di dekat lingkaran menunjukkan
keakraban/kedekatan. Menggambar bersama dalam
keluarga merupakan satu alat yang berguna untuk
mengungkapkan dinamika dan hubungan keluarga. Stuart

120
(1998) menguraikan bahwa dalam berkomunikasi dengan
anak dapat digunakan beberapa teknik, yaitu penggunaan
nada suara, mengalihkan aktivitas, penggunaan jarak fisik,
ungkapan marah, dan sentuhan.
3) Nada suara
Gunakan nada suara lembut, terutama jika emosi anak
dalam keadaan tidak stabil. Hindari berteriak karena
berteriak hanya akan mendorong pergerakan fisik dan
merangsang kemarahan anak semakin meningkat.
4) Aktivitas pengalihan
Untuk mengurangi kecemasan anak saat
berkomunikasi, gunakan aktivitas pengalihan, misalnya
membiarkan anak bermain dengan barang-barang
kesukaannya, seperti boneka, handphone, mobil-mobilan,
kacamata, dan lain-lain. Komunikasi dilakukan sambil
menggambar bersama anak. Bermacam-macam aktivitas
ini akan berdampak fokus anak teralihkan sehingga dia
merasa lebih rileks/santai saat berkomunikasi.
Pembicaraan atau komunikasi akan terasa lancar dan
efektif jika kita sejajar. Saat berkomunikasi dengan anak,
sikap ini dapat dilakukan dengan cara membungkuk atau
merendahkan posisi kita sejajar dengan anak. Dengan
posisi sejajar, kita dapat mempertahankan kontak mata
dengan anak dan mendengarkan secara jelas apa yang
dikomunikasikan anak.
5) Ungkapan Marah

121
Kadang-kadang anak merasa jengkel, tidak senang, dan
marah. Pada situasi ini, izinkanlah anak untuk
mengungkapkan perasaan marahnya serta dengarkanlah
dengan baik dan penuh perhatian apa yang menyebabkan
dia merasa jengkel dan marah Untuk memberikan
ketenangan pada anak saat marah, duduklah dekat dia,
pegang tangan/pundaknya, atau peluklah dia. Dengan cara-
cara seperti tersebut, anak akan merasa aman dan tenang
bersama Anda.
6) Sentuhan
Sentuhan adalah kontak fisik yang dilakukan dengan
cara memagang sebagian tangan atau bagian tubuh anak,
misalnya pundak, usapan di kepala, berjabat tangan, atau
pelukan, bertujuan untuk memberikan perhatian dan
penguatan terhadap komunikasi yang dilakukan antara
anak dan orang tua. Dengan kontak fisik berupa sentuhan
ini, anak merasa dekat dan aman selama komunikasi.
Teknik ini efektif dilakukan saat anak merasa sedih,
menangis, atau bahkan marah.
7) Penerapan komunikasi sesuai dengan tingkat
perkembangan anak
Perkembangan komunikasi pada bayi dan anak
tergantung dari perkembangan otak dan fungsi
kognitifnya. Perkembangan ini juga berhubungan dengan
kematangan atau kemampuan organ sensorik dalam
menerima rangsangan atau stimulus internal maupun

122
eksternal. Perkembangan komunikasi pada bayi dan anak
juga dipengaruhi oleh kuatnya stimulus internal dan
eksternal yang masuk dalam diri anak melalui reseptor
pendengarannya dan organ sensorik lainnya.
Perkembangan komunikasi pada anak mempunyai
karakteristik yang berbeda-beda dan spesifik pada setiap
tingkat perkembangannya. Berikut ini akan diuraikan
perkembangan komunikasi, mulai bayi, toddler dan
prasekolah, usia sekolah, dan remaja.
a) Penerapan komunikasi pada bayi (0 – 1 tahun)
Sesaat setelah bayi dilahirkan dan ibu diizinkan
menggendong si kecil dalam dekapannya, itulah awal
seorang ibu berkomunikasi dengan bayinya. Meskipun
baru dilahirkan, bayi bisa dengan cepat belajar
mengenali dunianya melalui pancaindranya. Bayi
terlahir dengan kemampuan menangis karena dengan
cara itu mereka berkomunikasi. Bayi menyampaikan
keinginannya melalui komunikasi nonverbal. Bayi akan
tampak tenang serta merasa nyaman dan aman jika ada
kontak fisik yang dekat, terutama dengan orang yang
dikenalnya (ibu). Tangisan bayi itu adalah cara bayi
memberitahukan bahwa ada sesuatu yang tidak enak ia
rasakan, misalnya lapar, popok basah, kedinginan,
lelah, dan lain-lain. Bayi yang agak besar akan merasa
tidak nyaman jika dia melakukan kontak fisik dengan
orang yang tidak dikenalnya. Bayi akan tersenyum,

123
menggerak-gerakkan kaki dan tangannya berulang-
ulang jika dia ingin menyatakan kegembiraannya, serta
menjerit, menangis, atau merengek jika dia merasa
tidak nyaman. Bayi juga akan tersenyum dan
kegirangan jika dia merasa kenyang, aman atau
nyaman, serta menangis atau gelisah jika merasa lapar,
basah, buang air besar, digigit nyamuk, atau
kepanasan/kedinginan.
b) Penerapan komunikasi pada kelompok toddler (1 – 3
tahun) dan pra sekolah (3 – 6 tahun)
Pada kelompok usia ini, anak sudah mampu
berkomunikasi secara verbal ataupun nonverbal. Anak
sudah mampu menyatakan keinginan dengan
menggunakan kata-kata yang sudah dikuasainya. Ciri
khas anak kelompok ini adalah egosentris, yaitu mereka
melihat segala sesuatu hanya berhubungan dengan
dirinya sendiri dan melihat sesuatu hanya berdasarkan
sudut pandangnya sendiri. Anak tidak mampu
membedakan antara kenyataan dan fantasi sehingga
tampak jika mereka bicara akan banyak ditambahi
dengan fantasi diri tentang obyek yang diceritakan.
Contoh implementasi komunikasi dalam keperawatan
sebagai berikut:
(1) Memberitahu apa yang terjadi pada diri anak.
(2) Memberi kesempatan pada anak untuk menyentuh
alat pemeriksaan yang akan digunakan.

124
(3) Nada suara rendah dan bicara lambat. Jika anak
tidak menjawab, harus diulang lebih jelas dengan
pengarahan yang sederhana.
(4) Hindarkan sikap mendesak untuk dijawab seperti
kata-kata, “jawab dong”.
(5) Mengalihkan aktivitas saat berkomunikasi, misalnya
dengan memberikan mainan.
(6) Menghindari konfrontasi langsung.
(7) Jangan sentuh anak tanpa disetujui oleh anak.
(8) Bersalaman dengan anak saat memulai interaksi
karena bersalaman dengan anak merupakan cara
untuk menghilangkan perasaan cemas.
(9) Mengajak anak untuk menggambar, menulis, atau
bercerita untuk menggali perasaan dan pikiran anak.
c) Penerapan komunikasi pada usia sekolah (7 – 11 tahun)
Pada masa ini, anak sudah mampu untuk memahami
komunikasi penjelasan sederhana yang diberikan. Pada
masa ini, anak akan banyak mencari tahu terhadap hal-
hal baru dan akan belajar menyelesaikan masalah yang
dihadapinya berdasarkan pengetahuan yang
dimilikinya. Pada masa ini, anak harus difasilitasi
untuk mengekspresikan rasa takut, rasa heran,
penasaran, berani mengajukan pendapat, dan
melakukan klarifikasi terhadap hal-hal yang tidak jelas
baginya. Contoh implementasi komunikasi dalam
keperawatan sebagai berikut:

125
(1) Memperhatikan tingkat kemampuan bahasa anak
dengan menggunakan kata sederhana yang spesifik.
(2) Menjelaskan sesuatu yang ingin diketahui anak.
(3) Pada usia ini, keingintahuan pada aspek fungsional
dan prosedural dari obyek tertentu sangat tinggi.
(4) Jangan menyakiti atau mengancam sebab ini akan
membuat anak tidak mampu berkomunikasi secara
efektif.
Perkembangan komunikasi pada usia remaja ditunjukkan
dengan kemampuan berdiskusi atau berdebat. Pada usia remaja,
pola perkembangan kognisinya sudah mulai berpikir secara
konseptual. Masa ini adalah masa peralihan anak menjadi
dewasa, sedangkan secara emosional sudah mulai menunjukkan
perasaan malu. Anak usia remaja sering kali merenung
kehidupan tentang masa depan yang direfleksikan dalam
komunikasi. Sehubungan dengan perkembangan komunikasi,
yang dapat kita lakukan adalah mengizinkan remaja berdiskusi
atau curah pendapat pada teman sebaya. Hindari beberapa
pertanyaan yang dapat menimbulkan rasa malu dan jaga
kerahasiaan dalam komunikasi karena akan menimbulkan
ketidakpercayaan dari remaja. Remaja adalah masa transisi dari
anak-anak ke dewasa. Remaja sering tidak mendapat tempat
untuk mengekspresikan ungkapan hatinya dan cenderung
tertekan. Hal ini dapat memengaruhi komunikasi remaja
terutama komunikasi dengan orang tua atau orang dewasa
lainnya. Terkait dengan permasalahan di atas, dalam

126
berkomunikasi dengan remaja, komunikator atau orang dewasa
lain harus mampu bersikap sebagai sahabat. Remaja sudah mulai
menunjukkan jati diri. Biasanya remaja lebih senang berkumpul
bersama teman sebaya ketimbang dengan orang tua. Berikut ini
sikap perawat, orang tua, atau orang dewasa lain yang perlu
diperhatikan saat berkomunikasi dengan remaja:
a. Menjadi pendengar yang baik dan memberi kesempatan pada
mereka untuk mengekspresikan perasaannya, pikiran, dan
sikapnya.
b. Mengajak remaja berdiskusi terkait dengan perasaan, pikiran,
dan sikapnya.
c. Jangan memotong pembicaraan dan jangan berkomentar atau
berespons yang berlebihan pada saat remaja menunjukkan
sikap emosional.
d. Memberikan support atas segala masalah yang dihadapi
remaja dan membantu untuk menyelesaikan dengan
mendiskusikannya.
e. Komunikator atau orang dewasa lain harus dapat menjadi
sahabat buat remaja, tempat berbagi cerita suka dan duka.
f. Duduk bersama remaja, memeluk, merangkul, mengobrol,
dan bercengkerama dengan mereka serta sering melakukan
makan bersama.
Komunikasi verbal dan non verbal remaja perlu diperhatikan,
seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan nada suara yang
memberikan tanda tentang status emosionalnya. Keberhasilan
berkomunikasi dengan remaja dapat dipengaruhi oleh suasana

127
psikologis antara komunikator atau orang tua atau orang dewasa
lainnya dengan remaja, antara lain:
a. Suasana hormat menghormati.
Remaja akan akan mampu berkomunikasi dengan baik
apabila pendapat pribadinya dihormati, ia lebih senang kalau
ia boleh turut berpikir dan mengemukakan pikirannya.
b. Suasana saling menghargai.
Segala pendapat, perasaan, pikiran, gagasan, dan sistem
nilai yang dianut perlu dihargai. Meremehkan dan
menyampingkan harga diri mereka akan dapat menjadi
kendala dalam jalannya komunikasi.
c. Suasana saling percaya.
Saling memercayai bahwa apa yang disampaikan itu benar
adanya akan dapat membawa hasil yang diharapkan.
d. Suasana saling terbuka.
Terbuka untuk mengungkapkan diri dan terbuka untuk
mendengarkan orang lain. Hanya dalam suasana keterbukaan
segala alternatif dapat tergali.
Berkomunikasi dengan anak yang sudah masuk usia remaja
sebenarnya lebih mudah. Pemahaman mereka sudah memadai
untuk bicara tentang masalah yang kompleks dan dalam
berkomunikasi dengan remaja, kita tidak bisa mengendalikan
alur pembicaraan, mengatur, atau memegang kendali secara
otoriter. Remaja sudah punya pemikiran dan perasaan sendiri
tentang hal yang ia bicarakan. Respons yang sering diungkapkan
oleh orang tua kepada anaknya yang bisa menyebabkan

128
terputusnya komunikasi adalah mengancam, memperingatkan,
memerintah, menilai, mengkritik, tidak setuju, menyalahkan,
menasihati, menyelesaikan masalah, menghindar, mengalihkan
perhatian, menertawakan, mendesak, memberi kuliah, mengajari,
mencemooh, membuat malu, menyelidiki, mengusut.
Komunikasi dua arah, yaitu bergantian yang berbicara dan yang
mendengarkan. Jangan mendominasi pembicaraan serta sediakan
waktu untuk remaja untuk menyampaikan pendapatnya.
a. Mendengar aktif artinya tidak hanya sekadar mendengar,
tetapi juga memahami dan menghargai apa yang diutarakan
remaja. Terima dan refleksikan emosi yang ditunjukkan,
misalnya dengan mengatakan, “Ayah tahu kamu merasa kesal
karena diejek seperti itu.”
b. Sediakan waktu yang cukup untuk berkomunikasi dengan
remaja. Jika sedang tidak bisa, katakan terus terang daripada
Anda tidak fokus dan memutus komunikasi dengan remaja.
Cari dan sediakan waktu untuk berkomunikasi.
c. Jangan memaksa remaja untuk mengungkapkan sesuatu yang
dia rahasiakan karena akan membuatnya tidak nyaman dan
enggan berkomunikasi. Anak remaja sudah mulai memiliki
privasi yang tidak boleh diketahui orang lain termasuk orang
tuanya.
d. Utarakan perasaan jika ada perilaku remaja yang kurang tepat
dan jangan memarahi atau membentak. Misalnya, “Ayah
khawatir sekali kalau kamu tidak langsung pulang ke rumah.
Kalau mau ke rumah teman, telepon dulu agar Ayah tenang.”

129
e. Dorong anak untuk mengatakan hal-hal positif tentang
dirinya. Misalnya, “Aku sedang berusaha belajar menguasai
fisika” daripada “Aku ga bisa Fisika”.
f. Perhatikan bahasa tubuh remaja. Orang tua harus bisa
menangkap sinyal-sinyal emosi dari bahasa tubuhnya.
g. Hindari komentar menyindir atau meremehkan anak. Berikan
pujian pada aspek yang dia lakukan sekecil apapun. Hindari
ceramah panjang dan menyalahkan anak
2. Pada Klien Dewasa
Dalam berkomunikasi dengan dewasa sampai dengan lansia,
diperlukan pengetahuan tentang sikap-sikap yang khas. Berikut
ini sikap-sikap psikologis spesifik pada orang dewasa terhadap
komunikasinya.
a. Orang dewasa atau lansia melakukan komunikasi berdasarkan
pengetahuan atau pengalamannya sendiri. Sikap perawat:
Menggunakan motivasi untuk mencari pengetahuan sendiri
sesuai yang diinginkan. Tidak perlu mengajari, tetapi cukup
memberikan motivasi untuk menggantikan perilaku yang
kurang tepat.
b. Berkomunikasi pada orang dewasa atau lansia harus
melibatkan perasaan dan pikiran. Gunakan perasaan dan
pikiran orang dewasa atau lansia sebagai kekuatan untuk
merubah perilakunya.
c. Komunikasi adalah hasil kerja sama antara manusia yang
saling memberi pengalaman serta saling mengungkapkan
reaksi dan tanggapannya mengenai suatu masalah. Bekerja

130
sama dengan orang dewasa/lansia untuk menyelesaikan
masalah, memberikan kesempatan pada lansia untuk
mengungkapkan pengalaman dan memberi tanggapan sendiri
terhadap pengalaman tersebut.
Di samping sikap, kita juga harus memperhatikan atau
mampu menciptakan suasana yang dapat mendorong efektivitas
komunikasi pada kelompok usia dewasa ataupun lansia.
Upayakan penciptaan suasana komunikasi yang dapat mencapai
tujuan yang diinginkan.
a. Suasana hormat menghormati.
Orang dewasa dan lansia akan mampu berkomunikasi
dengan baik apabila pendapat pribadinya dihormati, ia lebih
senang kalau ia boleh turut berpikir dan mengemukakan
pikirannya.
b. Suasana saling menghargai.
Segala pendapat, perasaan, pikiran, gagasan, dan sistem
nilai yang dianut perlu dihargai. Meremehkan dan
menyampingkan harga diri mereka akan dapat menjadi
kendala dalam jalannya komunikasi.
c. Suasana saling percaya.
Saling memercayai bahwa apa yang disampaikan itu benar
adanya akan dapat membawa hasil yang diharapkan. Jangan
melakukan penyangkalan pada apa yang dikomunikasikan
oleh orang dewasa atau lansia, karena mereka akan tidak
percaya dengan Anda dan mengakibatkan tujuan komunikasi
tidak tercapai.

131
d. Suasana saling terbuka.
Keterbukaan dalam komunikasi sangat diperlukan, baik
bagi orang dewasa maupun lansia. Maksud terbuka adalah
terbuka untuk mengungkapkan diri dan terbuka untuk
mendengarkan orang lain. Hanya dalam suasana keterbukaan
segala alternatif dapat tergali.
Komunikasi verbal dan nonverbal adalah bentuk komunikasi
yang harus saling mendukung satu sama lain. Seperti halnya
komunikasi pada anak-anak, perilaku nonverbal sama pentingnya
pada orang dewasa dan juga lansia. Ekspresi wajah, gerakan
tubuh, dan nada suara memberi tanda tentang status emosional
dari orang dewasa dan lansia. Orang dewasa yang sakit dan
dirawat di rumah sakit bisa merasa tidak berdaya, tidak aman,
dan tidak mampu ketika dikelilingi oleh tokoh-tokoh yang
berwenang. Status kemandirian mereka berubah menjadi status
ketika orang lain yang memutuskan kapan mereka makan dan
kapan mereka tidur. Ini merupakan pengalaman yang
mengancam dirinya ketika orang dewasa tidak berdaya dan
cemas dan ini dapat terungkap dalam bentuk kemarahan dan
agresi. Dengan dilakukan komunikasi yang sesuai dengan
konteks klien sebagai orang dewasa oleh para profesional, klien
dewasa akan mampu menunjukkan perilaku yang adaptif dan
mampu mencapai penerimaan terhadap masalahnya. Berikut ini
teknik komunikasi yang secara khusus yang harus Anda terapkan
saat berkomunikasi dengan orang dewasa:

132
a. Penyampaian pesan langsung kepada penerima tanpa
perantara. Dengan penyampaian langsung, klien akan lebih
mudah untuk menerima penjelasan yang disampaikan.
Penggunaan telepon atau media komunikasi lain, misalnya
tulisan akan dapat menimbulkan salah persepsi karena tidak
ada feedback untuk mengevaluasi secara langsung.
b. Saling memengaruhi dan dipengaruhi, maksudnya
komunikasi antara komunikator dan klien dewasa harus ada
keseimbangan dan tidak boleh ada yang mendominasi.
Komunikator jangan selalu mendominasi peran sehingga
klien ditempatkan dalam keadaan yang selalu patuh. Teknik
ini menekankan pada hubungan saling membantu (helping-
relationship).
c. Melakukan komunikasi secara timbal balik secara langsung,
maksudnya komunikasi timbal balik dapat meminimalkan
kemungkinan terjadinya salah persepsi. Hubungan dan
komunikasi secara timbal balik ini menunjukkan pentingnya
arti hubungan komunikator dengan klien.
d. Komunikasi secara berkesinambungan, tidak statis dan
bersifat dinamis.
3. Pada Klien Lanjut Usia
Lanjut usia (lansia) adalah suatu kejadian yang pasti akan
dialami oleh semua orang yang dikarunia usia panjang. Lanjut
usia merupakan kelompok umur pada manusia yang telah
memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya. Secara biologis,
penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses

133
penuaan secara terus-menerus yang ditandai dengan menurunnya
daya tahan fisik, yaitu semakin rentannya terhadap serangan
penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan
terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan,
serta sistem organ. Secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih
dipandang sebagai beban daripada sebagai sumber daya.
Sementara itu, dari aspek sosial, penduduk lanjut usia merupakan
satu kelompok sosial sendiri yang berbeda dengan kelompok usia
produktif dan mempunyai karakteristik yang spesifik.
Permasalahan lansia terkait dengan komunikasi, pada umumnya
terjadi akibat kemunduran fisik, mental, sosial, kondisi penyakit,
produktivitas kerja menurun, serta hubungan dan komunikasi
terbatas. Adanya keterbatasan komunikasi pada lansia yang
diakibatkan proses menua (aging process) mengharuskan
komunikator memahami kondisi tersebut. WHO
mengelompokkan lansia menjadi empat kelompok yang meliputi:
a. middle age (usia pertengahan), yaitu kelompok usia 45-59
tahun.
b. elderly, antara 60-74 tahun.
c. Usia antara 75-90 tahun.
d. Very old, lebih dari 90 tahun.
Sementara itu, klasifikasi lansia berdasarkan kronologis usia
meliputi
a. Young old: 60-75 tahun.
b. Middle old: 75-84 tahun.
c. Old-old: > 85 tahun.

134
Untuk mempermudah memahami bagaimana melakukan
pendekatan ataupun bagaimana strategi komunikasi pada lansia,
tenaga medis perlu tahu masalah dan penyakit yang sering
dihadapi oleh lansia sebagai berikut.

Gejala yang Sering Dihadapi Lansia


Mudah jatuh Berat badan menurun
Mudah lelah Sukar menahan buang air
kecil (sering ngompol)
Nyeri dada Sukar menahan buang air
besar
Sesak napas pada waktu Gangguan sulit tidur
melakukan kerja fisik
Berdebar-debar (palpitasi) Kesemutan pada anggota
badan
Pembengkakan kaki bagian Mudah gatal-gatal
bawah
Nyeri pinggang atau Keluhan pusing-pusing
punggung
Nyeri pada sendi pinggul Sakit kepala
Tabel 3.1. Penyakit yang Sering Dihadapi Lansia

Gangguan komunikasi pada lansia sering terjadi karena


masalah-masalah fisik yang dialami dan penurunan fungsi dari
pancaindranya. Perubahan-perubahan tersebut dapat
menghambat proses penerimaan dan interpretasi terhadap
135
maksud komunikasi. Perubahan ini juga menyebabkan klien
lansia mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Di samping
itu, hal yang menyebabkan kesulitan komunikasi pada lansia
adalah perubahan kognitif yang berpengaruh pada tingkat
inteligensia, kemampuan belajar, daya memori dan motivasi
klien. Berikut ini gejala-gejala penolakan lansia yang
menyebabkan gagalnya komunikasi dengan lansia.
a. Tidak percaya terhadap diagnosis, gejala, perkembangan,
serta keterangan yang diberikan petugas kesehatan.
b. Mengubah keterangan yang diberikan sedemikian rupa
sehingga diterima keliru.
c. Menolak membicarakan perawatannya di rumah sakit.
d. Menolak ikut serta dalam perawatan dirinya secara umum,
khususnya tindakan yang langsung mengikutsertakan dirinya.
e. Menolak nasihat-nasihat, misalnya istirahat baring, berganti
posisi tidur, terutama jika nasihat tersebut demi kenyamanan
klien.
Faktor-faktor yang memengaruhi komunikasi terapeutik pada
lansia:
a. Faktor klien meliputi kecemasan dan penurunan sensori
(penurunan pendengaran dan penglihatan, kurang hati-hati,
tema yang menetap, misal kepedulian terhadap kebugaran
tubuh, kehilangan reaksi, mengulangi kehidupan, takut
kehilangan kontrol, dan kematian).
b. Faktor komunikator meliputi perilaku komunikator terhadap
lansia dan ketidakpahaman perawat.

136
c. Faktor lingkungan: lingkungan yang bising dapat
menstimulasi kebingungan lansia dan terganggunya
penerimaan pesan yang disampaikan
Hambatan komunikasi yang efektif pada lansia berhubungan
dengan keterbatasan fisik yang terjadi akibat dari proses menua
(aging process), antara lain fungsi pendengaran yang menurun,
mata yang kabur, tidak adanya gigi, suara yang mulai melemah,
dan sebagainya. Berikut ini adalah cara mengatasi hambatan
berkomunikasi pada lansia;
a. Menjaga agar tingkat kebisingan minimum.
b. Menjadi pendengar yang setia, sediakan waktu untuk
mengobrol.
c. Menjamin alat bantu dengar yang berfungsi dengan baik.
d. Yakinkan bahwa kacamata bersih dan pas.
e. Jangan berbicara dengan keras atau berteriak, bicara langsung
dengan telinga yang dapat mendengar dengan lebih baik.
f. Berdiri di depan klien, jangan terlalu jauh dari lansia.
g. Pertahankan penggunaan kalimat yang pendek dan sederhana.
h. Beri kesempatan bagi klien untuk berpikir.
i. Mendorong keikutsertaan dalam aktivitas sosial, seperti
perkumpulan orang tua, kegiatan rohani.
j. Berbicara pada tingkat pemahaman klien.
k. Selalu menanyakan respons, terutama ketika mengajarkan
suatu tugas atau keahlian.
Untuk mengurangi pengaruh negatif atau mengurangi
hambatan-hambatan yang terjadi, diperlukan komunikasi yang

137
efektif antara komunikator dan klien. Berikut ini akan dipaparkan
bagaimana komunikator dapat meningkatkan komunikasi pada
klien lansia sebagai bentuk pendekatan dalam melakukan
komunikasi pada lansia sebagai berikut:
a. Buat suasana yang menyenangkan dan usahakan berhadapan
langsung dengan klien, baik fisik maupun emosi.
b. Untuk memulai komunikasi berikan instruksi maupun
informasi.
Tips yang bisa dipertimbangkan sebagai berikut.
a. Beri waktu ekstra. Biasanya lansia menginginkan menerima
informasi lebih banyak dan lebih rinci dibanding klien yang
lebih muda. Waktu ekstra diberikan mengingat ada beberapa
lansia yang kemungkinan cara berkomunikasi kurang baik
dan kurang fokus sehingga membutuhkan waktu yang lebih
lama.
b. Hindari ketidakpedulian. Klien lansia ingin merasakan bahwa
komunikator menyediakan waktu yang berkualitas untuk
klien. Enam puluh (60) detik pertama adalah waktu untuk
menciptakan kesan pertama dengan penuh perhatian.
c. Duduk berhadapan dengan klien. Klien yang mengalami
gangguan pendengaran akan membaca bibir untuk menerima
informasi yang diberikan perawat.
d. Pelihara kontak mata. Kontak mata adalah penting pada
komunikasi nonverbal.
e. Sampaikan kepada klien bahwa komunikator senang bertemu
klien sehingga klien menaruh kepercayaan kepada perawat.

138
Memelihara kontak mata merupakan hal positif dan dapat
menciptakan suasana nyaman sehingga klien lebih terbuka
menerima tambahan informasi.
f. Mendengarkan, kurangi kegagalan komunikasi dengan
mendengarkan cerita klien lansia.
g. Bicara pelan dengan jelas dan nyaring.
h. Gunakan kata-kata sederhana, pendek. dan singkat untuk
memudahkan penerimaan klien lansia.
i. Fokuskan pada satu pembicaraan karena klien lansia tidak
mampu memfokuskan pembicaraan pada banyak topik yang
berbeda.
j. Beri catatan untuk instruksi yang rumit agar menghindari
kebingungan klien.
k. Gunakan gambar atau tabel untuk mempermudah
pemahaman.
l. Ringkas poin utama untuk memberikan penekanan pada topik
utama pembicaraan.
m. Beri kesempatan pada lansia untuk bertanya.
n. Cari tempat yang tenang untuk mencegah kebingungan dan
menciptakan suasana kondusif dalam komunikasi.
o. Gunakan sentuhan untuk memberikan kenyamanan pada
lansia dan sebagai bentuk perhatian komunikator kepada
lansia.
Di samping pendekatan di atas, keterampilan komunikasi
yang penting dilakukan komunikator pada saat komunikasi
dengan lansia sebagai berikut.

139
a. Komunikator membuka wawancara dengan memperkenalkan
diri serta menjelaskan tujuan dan lama wawancara.
b. Berikan waktu yang cukup kepada klien untuk menjawab,
berkaitan dengan pemunduran kemampuan untuk merespons
verbal.
c. Gunakan kata-kata yang tidak asing bagi klien sesuai dengan
latar belakang sosiokulturalnya.
d. Gunakan pertanyaan yang pendek dan jelas karena klien
lansia kesulitan dalam berpikir abstrak.
e. Komunikator dapat memperlihatkan dukungan dan perhatian
dengan memberikan respons nonverbal, seperti kontak mata
secara langsung, duduk, dan menyentuh klien.
f. Komunikator harus cermat dalam mengidentifikasi tanda-
tanda kepribadian klien dan distress yang ada.
g. Komunikator tidak boleh berasumsi bahwa klien memahami
tujuan dari wawancara pengkajian.
h. Komunikator harus memperhatikan respons klien dengan
mendengarkan dengan cermat dan tetap mengobservasi.
i. Tempat mewawancarai diharuskan tidak pada tempat yang
baru dan asing bagi klien.
j. Lingkungan harus dibuat nyaman dan kursi harus dibuat
senyaman mungkin.
k. Lingkungan harus dimodifikasi sesuai dengan kondisi lansia
yang sensitif terhadap suara berfrekuensi tinggi atau
perubahan kemampuan penglihatan.

140
l. Komunikator harus mengonsultasikan hasil wawancara
kepada keluarga klien atau orang lain yang sangat mengenal
klien.
m. Memperhatikan kondisi fisik klien pada waktu wawancara.
Secara spesifik, pendekatan komunikasi pada lansia dapat
dilakukan berdasarkan empat aspek, yaitu pendekatan aspek
fisik, psikologis, sosial, dan spiritual. Berikut uraian dari
keempat pendekatan komunikasi pada lansia:
a. Pendekatan fisik.
Mencari informasi tentang kesehatan objektif, kebutuhan,
kejadian yang dialami, perubahan fisik organ tubuh, tingkat
kesehatan yang masih bisa dicapai dan dikembangkan, serta
penyakit yang dapat dicegah progresivitasnya. Pendekatan ini
relatif lebih mudah dilaksanakan dan dicarikan solusinya
karena riil dan mudah diobservasi.
b. Pendekatan psikologis.
Karena pendekatan ini sifatnya abstrak dan mengarah pada
perubahan perilaku, umumnya membutuhkan waktu yang
lebih lama. Untuk melaksanakan pendekatan ini, komunikator
berperan sebagai konselor, advokat, suporter, dan interpreter
terhadap segala sesuatu yang asing atau sebagai penampung
masalah-masalah rahasia yang pribadi dan sebagai sahabat
yang akrab bagi klien.
c. Pendekatan sosial.
Pendekatan ini dilaksanakan untuk meningkatkan
keterampilan berinteraksi dengan lingkungan. Mengadakan

141
diskusi, tukar pikiran, bercerita, bermain, atau mengadakan
kegiatan-kegiatan kelompok merupakan implementasi dari
pendekatan ini agar klien dapat berinteraksi dengan sesama
lansia ataupun dengan petugas kesehatan.
d. Pendekatan spiritual.
Komunikator harus bisa memberikan kepuasan batin
dalam hubungannya dengan Tuhan atau agama yang
dianutnya, terutama ketika klien dalam keadaan sakit atau
mendekati kematian. Pendekatan spiritual ini cukup efektif,
terutama bagi klien yang mempunyai kesadaran tinggi dan
latar belakang keagamaan yang baik.
Menurut Mundakir (2006) mengidentifikasi beberapa teknik
komunikasi yang dapat digunakan komunikator dalam
berkomunikasi dengan lansia sebagai berikut.
a. Teknik asertif. Asertif adalah menyatakan dengan
sesungguhnya, terima klien apa adanya. Komunikator
bersikap menerima yang menunjukkan sikap peduli dan sabar
untuk mendengarkan dan memperhatikan klien serta berusaha
untuk mengerti/memahami klien.
b. Responsif. Reaksi spontan komunikator terhadap perubahan
yang terjadi pada klien dan segera melakukan klarifikasi
tentang perubahan tersebut. Teknik ini merupakan bentuk
perhatian komunikator kepada klien yang dilakukan secara
aktif untuk memberikan ketenangan klien. Berespons berarti
bersikap aktif atau tidak menunggu permintaan dari klien.

142
Contoh: “Apa yang bapak pikirkan saat ini? Apakah yang bisa
saya bantu untuk bapak?”
c. Fokus. Dalam berkomunikasi, sering kita jumpai lansia
berbicara panjang lebar dan mengungkapkan pernyataan-
pernyataan di luar materi dan tidak relevan dengan tujuan
terapi. Sehubungan dengan hal tersebut, komunikator harus
tetap fokus pada topik pembicaraan dan mengarahkan
kembali komunikasi lansia pada topik untuk mencapai tujuan
terapi. Sikap ini merupakan upaya komunikator untuk tetap
konsisten terhadap materi komunikasi yang diinginkan.
d. Suportif. Lansia sering menunjukkan sikap labil atau berubah-
ubah. Perubahan ini perlu disikapi dengan menjaga kestabilan
emosi klien lansia dengan cara memberikan dukungan
(suportif). Tersenyum dan mengangguk ketika lansia
mengungkapkan perasaannya sebagai sikap hormat dan
menghargai lansia berbicara. Sikap ini dapat menumbuhkan
kepercayaan diri klien lansia sehingga lansia tidak merasa
menjadi beban bagi keluarganya. Dengan demikian,
diharapkan klien termotivasi untuk mandiri dan berkarya
sesuai kemampuannya. Selama memberi dukungan, jangan
mempunyai kesan menggurui atau mengajari klien karena ini
dapat merendahkan kepercayaan klien kepada perawat.
e. Klarifikasi. Klarifikasi adalah teknik yang digunakan
komunikator untuk memperjelas informasi yang disampaikan
klien. Hal ini penting dilakukan komunikator karena
seringnya perubahan yang terjadi pada lansia dapat

143
mengakibatkan proses komunikasi lancar dan kurang bisa
dipahami. Klarifikasi dilakukan dengan cara mengajukan
pertanyaan ulang atau meminta klien memberi penjelasan
ulang dengan tujuan menyamakan persepsi.
f. Sabar dan ikhlas. Perubahan yang terjadi pada lansia
terkadang merepotkan dan seperti anak-anak. Perubahan ini
harus disikapi dengan sabar dan ikhlas agar hubungan antara
komunikator dan klien lansia dapat efektif. Sabar dan ikhlas
dilakukan supaya tidak menimbulkan kejengkelan
komunikator yang dapat merusak komunikasi dan hubungan
komunikator dan klien.

144
BAB IV

PERILAKU SEKS PRANIKAH REMAJA

Di era globalisasi ini kebebasan muncul dari segala aspek.


Kebudayaan asing masuk dengan mudah, padahal tidak sesuai dengan
kebudayaan di negara tertentu yang melanggar aturan dan norma yang
berlaku. Sebagai contoh kebudayaan asing yaitu free sexs. Itu tidak
cocok dengan kebudayaan kita di Indonesia yang masih menerapkan
adat ketimuran dan mayoritas penduduknya beragama Islam, yang
melarang perilaku seks bebas.
Seks pra-nikah secara umum dapat diartikan sebagai hubungan
seks yang dilakukan ramaja sebelum menikah. Perilaku seks pra-nikah
merupalan perilaku seks yang dilakukan tanpa memulai proses
pernikahan yang resmi menurut hukum maupun menurut agama dan
kepercayaan masing-masing individu. Pada seorang remaja, perilaku
seks pra-nikah tersebut dapat dimotivasi oleh rasa sayang dan cinta
dengan didominasi oleh perasaan kedekatan dan gairah yang tinggi
terhadap pasanganny, tanpa disertai komitmen yang jelas. Berikut ini
adalah hasil penelitian Ardina (2017: 148) mengenai Opini Mahasiswa
terhadap Perilaku Seks Pranikah.

A. Latar Belakang

Maraknya perilaku seks bebas atau seks pranikah adalah bukti


rusaknya tata pergaulan, karena perilaku ini bukan hanya dilakukan
oleh kaum remaja tapi juga mereka yang telah berusia lebih tua.

145
Menurut Tu (2012), perilaku seks pranikah adalah hubungan seks
antara pria dan wanita meskipun tanpa adanya ikatan selama ada
ketertarikan secara fisik. Jika hal ini dilakukan oleh generasi muda,
maka akan berdampak tidak baik.
Selain itu, rusaknya tata sistem pergaulan tidak lain merupakan
dampak langsung dari sistem sekularisme–kapitalisme, serta akibat dari
sistem pendidikan yang tidak mementingkan nilai-nilai moral. Hal
tersebut akhirnya melahirkan para pelajar yang bergaya hidup
materialis dan hedonis, yang mengagungkan kebebasan. Sementara
budaya sekuler liberal sebagaimana tampak pada musik, film, fashion,
dan lainnya mendorong munculnya berbagai rangsangan seksual
melalui berbagai media, yang dengan mudah bisa diakses oleh para
pelajar. Semua itu ditambah dengan kemudahan dalam mengakses
internet, yang telah berdampak sangat serius pada kerusakan generasi
muda di Indonesia.

Generasi muda yang telah terpengaruh oleh budaya sekuler


liberal tersebut seringkali tidak memikirkan dampak yang ditimbulkan,
seperti hamil sebelum nikah, putus sekolah, dan tingginya pengidap
HIV/AIDS. Dalam kasus perilaku ini, sesungguhnya generasi muda di
Indonesia telah digerogoti. Tingginya angka perilaku seks bebas
berimbas pada bertambahnya jumlah pengidap HIV/AIDS. Secara
kumulatif jumlah kasus AIDS tertinggi berada pada usia 20-29 tahun,
yaitu sebanyak 32%, sedangkan pada usia 30-39 tahun sebanyak
29,4%, 40-49 tahun 11,8%, 50-59 tahun 3,9%, kemudian 15-19 tahun

146
sebanyak 3%. Oleh sebab itu, harus ada upaya serius untuk memerangi
perilaku seks bebas di kalangan generasi muda (Kemenkes RI, 2015).

Dalam skala yang lebih kecil, Daerah Istimewa Yogyakarta


merupakan kota pendidikan, yang memiliki jumlah universitas cukup
banyak. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan DIY (2015), jumlah
penderita HIV di Daerah Istimewa Yogyakarta sebanyak 3146 orang.
Dari jumlah tersebut 1.249 di antaranya sudah sampai tahap AIDS.
Salah satu penyebab besarnya penderita HIV/AIDS di Yogyakarta
adalah perilaku seks bebas di kalangan mahasiswa yang masih masuk
dalam kategori remaja akhir. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui
bagaimana opini mahasiswa dari beberapa universitas, terhadap
perilaku seks pranikah yang sedang marak di kalangan generasi muda
saat ini.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang pada pendahuluan dari buku ini, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini meliputi beberapa hal, yaitu
terkait dengan bagaimana opini mahasiswa terhadap perilaku seks
pranikah di Yogyakarta? dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
opini mahasiswa terhadap perilaku seks pranikah di Yogyakarta?
Rumusan masalah inilah yang akan menjadi fokus pembahasan dalam
buku ini.

C. Tujuan

147
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian
dalam buku ini meliputi beberapa hal, yaitu mengetahui opini
mahasiswa terhadap perilaku seks pranikah di Yogyakarta serta
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi opini mahasiswa
terhadap perilaku seks pranikah di Yogyakarta.

D. METODE PENELITIAN

Buku hasil penelitian ini dimulai dengan melakukan


identifikasi permasalahan sosial yang sedang terjadi di masyarakat, dan
kemudian dibuat rumusan masalah untuk dapat mencari solusi jawaban
atas permasalahan tersebut. Tahap penelitian selanjutnya menentukan
metode penelitian yang meliputi penentuan obyek penelitian,
menentukan model penelitian, teknik pengumpulan data, hingga
analisis data penelitian.

Metode Dasar
Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam
meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi,
suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa
sekarang yang bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau
lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-
sifat serta hubungan antarfenomena yang diselidiki (Nazir, 2013).
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan mix
method, yaitu perpaduan antara antara penelitian kualitatif dan

148
kuantitatif. Cresswell (2010) menyatakan bahwa ada enam strategi
penelitian dalam mix methode yaitu strategi eksplanatoris sekuensial
(KUAN  kual), strategi eksplanatoris sekuensial (KUAL  kuan),
strategi transformative sekuensial (KUAL  kuan kemudian KUAN 
kual), strategi triangulasi konkuren (KUAN + KUAL), strategi
embedded konkuren (kual + KUAN/kuan + KUAL), dan strategi
transformatif konkuren (KUAN + KUAL kemudian kual KUAN).
Dalam penelitian ini menggunakan strategi eksplanatoris
sekuensial (KUAN  kual). Strategi ini diterapkan dengan
pengumpulan dan analisis data kuantitatif pada tahap pertama yang
diikuti oleh pengumpulan dan analisis data kualitatif pada tahap kedua
yang dibangun berdasarkan hasil awal kuantitatif. Bobot atau prioritas
lebih diberikan pada data kuantitatif. Proses pencampuran (mixing
porcess) dalam strategi initerjadi ketika hasil data kuantitatif yang
diinformasikan diperkuat dengan pengumpulan data kualitatif pada
pembahasannya.
Pendekatan penelitian secara kualitatif diperoleh melalui
metode deskriptif analisis, yaitu mengumpulkan fakta dan
menguraikannya secara menyeluruh dan diteliti sesuai dengan
persoalan yang akan dikaji (Bungin, 2013). Penelitian kualitatif dalam
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara detail opini
mahasiswa Perguruan Tinggi Muhammadiyah terhadap perilaku seks
pranikah.
Teknik pelaksanaan penelitian kuantitatif yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode survei. Metode survei adalah penyelidikan
yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang

149
ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual, baik tentang
institusi sosial, ekonomi, atau politik dari suatu kelompok ataupun
suatu daerah (Nazir, 2013). Dalam pelaksanaannya semua informasi
dikumpulkan dari responden dengan menggunakan kuesioner, dengan
dibatasi pada pengertian survei sampel sebagai informasi dari sebagian
populasi untuk mewakili seluruh populasi yang ada (Singarimbun dan
Effendi, 2011).

Lokasi Penelitian
Penelitian ini direncanakan dilakukan di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Daerah tersebut mewakili sebagai lokasi penelitian
dibandingkan dengan daerah lainnya, dikarenakan Yogyakarta
merupakan kota pelajar yang memiliki jumlah mahasiswa yang cukup
besar. Universitas yang dipilih adalah Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta (UMY), Universitas Ahmad Dahlan (UAD), dan
Universitas „Aisyiyah Yogyakarta (UNISA). Tiga universitas ini dipilih
karena tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi, akan
tetapi juga menanamkan nilai-nilai moral dan keislaman sebagai
pondasi bagi mahasiswanya agar tidak melakukan perilaku yang
menyimpang.

Sampel Penelitian
Pengambilan sampel lokasi dipilih secara segaja (purposive)
sebanyak 3 universitas yaitu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
(UMY), Universitas Ahmad Dahlan (UAD), dan Universitas „Aisyiyah
Yogyakarta (UNISA). Dari masing-masing universitas tersebut,

150
kemudian dengan cara acak (random) diambil 20 orang mahasiswa
sehingga diperoleh 60 mahasiswa sebagai responden. Pada
pengambilan data kualitatif dilakukan dengan cara wawancara
mendalam terhadap beberapa mahasiswa sebagai key informan untuk
mendapatkan informasi pendukung. Dengan pendidikan nilai-nilai
agama yang diberikan di perkuliahan, diharapkan opini mahasiswa
mengenai perilaku seks pranikah akan semakin baik.

Metode Pengumpulan Data


Pengumpulan data dalam penelitian ini ditujukan untuk
menjawab pertanyaan dan tujuan yang telah ditentukan secara tepat,
cermat, rinci. Untuk itu teknik pengambilan data yang dilakukan adalah
observasi, wawancara, dan pencatatan.
1. Teknik pengisian kuesioner
Merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan
menyerahkan kuesioner kepada mahasiswa dan melakukan
interview langsung dengan mereka.
2. Teknik wawancara
Merupakan teknik pengumpulan data yang dilaksanakan
dengan jalan melakukan tanya jawab secara langsung dengan
60 mahasiswa menggunakan daftar pertanyaan berupa
kuesioner yang telah dipersiapkan terlebih dahulu.
3. Teknik pencatatan
Merupakan teknik pengumpulan data dengan cara mencatat
semua data dari berbagai sumber yang berkaitan dengan
penelitian ini.

151
Jenis Data
Untuk melengkapi hasil penelitian yang dilakukan ini maka jenis
data yang dipergunakan ada dua macam yaitu:
1. Data primer: data yang diperoleh secara langsung dari
mahasiswa melalui jawaban-jawaban dari daftar pertanyaan
yang telah disiapkan. Data primer dalam penelitian ini meliputi
karakteristik mahasiswa dan opini mahasiswa mengenai
perilaku seks pranikah.
2. Data sekunder: data yang diperoleh dari buku, catatan, dan
penelitian atau dokumen-dokumen yang dikumpulkan untuk
mendukung data primer.

Metode Analisis Data


Analisis dilakukan terhadap data yang bersifat kualitatif
maupun kuantitatif. Analisis data secara kuantitatif dilakukan pada
data-data yang diformat sesuai tujuan penelitian yang dijabarkan ke
dalam variabel yang sifatnya dapat diuji secara statistik. Sedangkan
sebagai pelengkap pembahasan isinya dilakukan analisis secara
kualitatif.
1. Pengolahan Data Kualitatif
Pengolahan data kualitatif dilakukan dengan menggunakan
Model Miles dan Haberman. Analisis data dilakukan secara reduksi,
diklasifikasi untuk dibuat kategori-kategori berdasarkan variabel yang
dicari, untuk selanjutnya diinterpretasi. Miles dan Haberman dalam
Sugiyono (2012) mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data

152
kualitatif dilakukan secara terus menerus hingga tuntas. Langkah-
langkah analisis datanya sebagai berikut: (1) Reduksi data, merangkum
data yang diperoleh di lapangan yang jumlahnya banyak, memilih hal-
hal pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, mencari pola dan
temanya; (2) Penyajian data, bisa dilakukan dalam bentuk uraian
singkat, hubungan antar kategori dan teks yang bersifat naratif. Inti
dalam penyajian ini adalah mengetahui apa isi yang disajikan; (3)
Conclusion drawing atau verification, yakni penarikan kesimpulan dan
verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat
sementara, dan akan berubah bila ditemukan bukti-bukti yang
mendukung pada tahap pengumpulan berikutnya. Data kualitatif yang
akan diteliti dari lapangan mengacu pada hipotesis ke satu dan kedua.
2. Pengolahan Data Kuantitatif
Untuk menjawab hipotesis pertama tentang opini mahasiswa
PTM terhadap perilaku seks pranikah, dianalisis dengan penyekoran
dari setiap item pertanyaan. Maing-masing pertanyaan diberi lima
variasi jawaban yaitu sangat setuju, setuju, netral, tidak setuju, dan
sangat tidak setuju. Pengkategorian skor tersebut terlebih dahulu dicari
deviasi standard (σ) dan mean teoritisnya (μ). Selanjutnya skor tersebut
digolongkan ke dalam kategori opini negatif dan positif berdasarkan
interval skor kemudian dilakukan uji Independent Samples T-Test untuk
lebih dalam melihat seberapa jauh perbedaan antara opini positif dan
negatif mahasiswa.
Untuk menjawab hipotesis kedua mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi opini mahasiswa digunakan analisis regresi linier
berganda, karena terdapat satu variabel dependen yaitu opini dan

153
beberapa variabel independen meliputi umur, pendidikan, pengalaman,
sikap mahasiswa terhadap perilaku seks pranikah, keluarga, teman,
tempat tinggal, dan media.
Pengujian menggunakan analisis regresi linier berganda,
dengan persamaan regresi sebagai berikut :
Y = A + b1x1 + b2x2 + b3x3 + b4x4 + b5x5 + b6x6 + b7x7 + b8x8
Dimana :
Y = Opini
A = Nilai konstanta
b1, b2, b3……b8 = Koefisien regresi
X1 = umur
X2 = pendidikan
X3 = pengalaman
X4 = sikap mahasiswa terhadap perilaku seks pranikah
X5 = keluarga
X6 = teman
X7 = tempat tinggal
X8 = media

Pengujian hipotesis :

H0 : b1 = b2 = b3 = b4 = b5 = b6 = b7 = b8 = 0
Ha : b1  b2  b3  b4  b5  b6  b7  b8  0
: Tidak ada pengaruh antara faktor umur, pendidikan,
H0 pengalaman, sikap mahasiswa terhadap perilaku seks
pranikah, keluarga, teman, tempat tinggal, dan media

154
dengan opini mahasiswa PTM terhadap perilaku seks
pranikah
Ha : Ada pengaruh antara faktor umur, pendidikan, pengalaman,
sikap mahasiswa terhadap perilaku seks pranikah, keluarga,
teman, tempat tinggal, dan media dengan opini mahasiswa
PTM terhadap perilaku seks pranikah

Kriteria pengujian :
Dengan menggunakan software SPSS 16.0 maka dapat dilakukan
analisis sebagai berikut :
a. R square atau koefisien determinasi menunjukkan persen
variabel dependent yang dapat diterangkan oleh variabel
independent. Untuk jumlah variabel independent yang lebih
dari 2 maka digunakan adjusted R square.
b. Dari uji ANOVA atau F test untuk mengetahui apakah variabel
independent secara bersama-sama berpengaruh terhadap
variabel dependent, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
Jika nilai sig <  (0,05) maka variabel independent secara
bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependent.
c. Uji t dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh
masing-masing variabel independent terhadap variabel
dependent, maka pengambilan keputusannnya adalah sebagai
berikut (dengan taraf signifikansi  = 0,05):
Jika, nilai Sig. < α → H0 ditolak
nilai Sig. ≥ α → H0 diterima

155
E. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

Karakteristik mahasiswa merupakan informasi yang berkaitan


dengan latar belakang keadaan sosial mahasiswa, yang didapatkan
dalam penelitian ini melalui wawancara. Karakteristik mahasiswa
dalam penelitian ini mencakup aspek-aspek yang ada dalam diri
mahasiswa dan juga aspek lain yang berkaitan dengan faktor-faktor
yang mempengaruhi opini mahasiswa. Karakteristik mahasiswa
meliputi umur, pendidikan, dan pengalaman mahasiswa dalam
mengakses informasi terkait bahaya seks pranikah.

Umur
Penilaian seseorang berdasarkan pada tingkat umur mereka.
Seseorang yang lebih tua akan berpikiran berdasarkan pada berbagai
pertimbangan dan pengalaman, sedangkan yang muda tidak dapat
melihat sesuatu dengan cara pandang yang sama, sehingga reaksi
mereka terhadap sesuatu akan berbeda. Berdasar hasil penelitian,
kisaran umur responden adalah 18-23 tahun, rata-rata umur responden
adalah 19 tahun, dan standar deviasinya adalaah 1,15. Distribusi umur
mahasiswa akan ditunjukkan pada tabel 4.1 berikut ini.

Tabel 4.1. Distribusi Umur Mahasiswa, (n=60)


No Kategori Umur (tahun) Persentase (%)
1 Muda (< 20) 51,67
2 Sedang (20-22) 43,33

156
3 Tua (> 22) 5,00
Total 100,00
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, 2017

Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas umur mahasiswa


berada pada kategori umur muda. Dalam penelitian ini dengan
diketahuinya kondisi mayoritas umur mahasiswa, maka peneliti mampu
menganalisis hubungan umur mahasiswa dengan opini mereka tentang
perilaku seks pranikah. Umur dapat mempengaruhi kemampuan
berpikir mahasiswa. Semakin tua umur mahasiswa maka cenderung
memiliki pengetahuan yang lebih banyak, sehingga mempengaruhi
kemampuan berpikirnya. Oleh karena itu diharapkan semakin tua
mahasiswa, opininya tentang perilaku seks pranikah akan semakin baik.

Pendidikan
Pendidikan dalam penelitian ini dimaknai sebagai semester yang
telah ditempuh oleh mahasiswa pada saat kuliah. Berdasar data yang
terkumpul dari penelitian ini, pendidikan mahasiswa dikategorikan
menjadi 3 yaitu rendah (kurang dari 3 semester), sedang (3-5 semester),
dan tinggi (lebih dari 5 semester). Rata-rata mahasiswa telah
menempuh pendidikan selama 4 semester, dengan standar deviasi
sebesar 1,81. Sebaran mahasiswa berdasarkan pendidikan dapat dilihat
pada Tabel 4.2 di bawah ini.

157
Tabel 4.2 Kategori Mahasiswa berdasarkan pendidikan (n=60)
Pendidikan Persentase (%)
1. Rendah (<3 semester) 45,00
2. Sedang (3-5 semester) 38,33
3. Tinggi (>5semester) 16,67
Total 100,00
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, 2017

Tabel 4.2 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden


mahasiswa berada dalam kategori pendidikan rendah yaitu sebanyak
45%, namun demikian mahasiswa dengan pendidikan yang berada pada
kategori sedang dan tinggi jika dijumlahkan lebih banyak yaitu sebesar
55%. Dengan diketahuinya kondisi pendidikan mahasiswa, maka
peneliti mampu menganalisis hubungan pendidikan dengan opini
mahasiswa terhadap perilaku seks pranikah. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, maka cara
pandang dan berpikirnya juga akan lebih maju. Dalam penelitian ini
diharapkan opini mahasiswa terhadap perilaku terhadap seks pranikah
menunjukkan hasil yang baik.

Pengalaman
Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah diketahui,
dialami, dirasakan, dan ditanggung oleh mahasiswa yang berhubungan
dengan sesuatu hal. Banyaknya pengalaman akan mempengaruhi sikap
mahasiswa dalam menghadapi dan memecahkan permasalahan.

158
Mahasiswa yang memiliki banyak pengalaman cenderung lebih
bijaksana dalam menghadapi suatu peristiwa karena sudah dapat
memperkirakan risiko yang akan dihadapi dari keputusan yang diambil.
Dalam penelitian ini, pengalaman adalah lama waktu mahasiswa
mengakses informasi terkait bahaya seks pranikah. Opini mahasiswa
terhadap perilaku seks pranikah akan ditentukan oleh pengalamannya.
Rata-rata pengalaman mahasiswa dalam mengakses informasi
mengenai bahaya seks pranikah adalah selama 2,48 tahun dengan
standard deviasi sebesar 1,37. Sebaran pengalaman mahasiswa dalam
mengakses informasi terkait bahaya seks pranikah dapat dilihat pada
Tabel 4.3 berikut ini.

Tabel 4.3. Pengalaman Mahasiswa dalam Mengakses Informasi Bahaya


Seks Pranikah, (n=60)
Kategori Pengalaman (tahun) Persentase (%)
1. Baru (<2 tahun) 33,33
2. Sedang (2-3 tahun) 46,67
3. Lama (>3 tahun) 20,00
Total 100,00
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, 2017

Tabel 4.3 di atas memperlihatkan pengalaman mahasiswa dalam


mengakses informasi terkait bahaya seks pranikah lebih banyak pada
kategori sedang, yaitu telah 2-3 tahun memiliki pengalaman mengakses
informasi mengenai seks pranikah yaitu sebesar 46,67%. Mahasiswa
yang berada dalam kategori baru sebesar 33,33% dan yang berada
dalam kategori lama sebesar 20% dari total responden. Hasil tersebut

159
menunjukkan pengalaman mahasiswa dalam mengakses informasi
terkait bahaya seks pranikah rata-rata berada dalam kategori sedang.
Dengan demikian diharapkan opini mahasiswa akan semakin baik,
yaitu mengetahui bahaya seks pranikah dan tidak mendukung terhadap
perilaku seks pranikah tersebut.

Sikap mahasiswa terhadap perilaku seks pranikah


Faktor-faktor yang dapat membentuk opini menurut D.W.
Rajecki dalam Ruslan (2010), mempunyai tiga komponen yang dikenal
dengan istilah ABCs of attitude yaitu Affect (perasaan atau emosi),
Behaviour (tingkah laku), dan Cognition (pengertian atau nalar).
a. Affect (perasaan atau emosi)
Komponen ini berkaitan dengan rasa senang, suka, sayang, takut,
benci, sedih dan kebanggaan hingga muak atau bosan terhadap sesuatu,
sebagai akibat setelah merasakannya atau timbul setelah melihat dan
mendengarnya. Komponen afektif tersebut merupakan evaluasi
berdasarkan perasaan seseorang yang secara emotif (aspek emosional)
untuk menghasilkan penilaian, yaitu “baik atau buruk”.
b. Behaviour (tingkah laku)
Komponen ini lebih menampilkan tingkah laku atau perilaku
seseorang, misalnya bereaksi untuk memukul, menghancurkan,
menerima, menolak, mengambil, membeli dan lain sebagainya. Jadi
merupakan komponen yang menggerakkan seseorang secara aktif
(action element) untuk melakukan “tindakan atau berperilaku” atas
suatu reaksi yang sedang dihadapinya.
c. Cognition (pengertian atau nalar)

160
Komponen kognisi ini berkaitan dengan penalaran seseorang
untuk menilai suatu informasi, pesan fakta dan pengertian yang
berkaitan dengan pendiriannya. Komponen ini menghasilkan penilaian
atau pengertian dari seseorang berdasarkan rasio atau kemampuan
penalarannya. Artinya kognitif tersebut merupakan aspek kemampuan
intelektualitas seseorang yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan.
Ketiga komponen di atas menunjukkan tentang bagaimana sikap
mahasiswa terhadap perilaku seks pranikah dapat diketahui. Dengan
mengetahui sikap mahasiswa, akan dapat mencerminkan opini yang
terbentuk pada mahasiswa tersebut. Hal ini dikarenakan opini
merupakan ungkapan dari sikap seseorang. Ungkapan tersebut bisa
berbentuk bahasa lisan, tulisan, bahasa tubuh maupun gesture. Sikap
mahasiswa terhadap perilaku seks pranikah dapat dilihat pada tabel 4.4
berikut ini.

Tabel 4.4. Sikap Mahasiswa terhadap Perilaku Seks Pranikah, (n=60)


No. Sikap Skor Persentase
(%)
1 Sangat Tidak Mendukung 19 – 22 48,33
2 Tidak Mendukung 23 – 27 40,00
3 Netral 28 – 32 11,67
Total 100,00
Sumber : Analisis Data Primer, 2017

Berdasarkan Tabel 4.4 di atas diketahui bahwa mayoritas sikap


mahasiswa terhadap perilaku seks pranikah adalah sangat tidak
mendukung, yaitu sebanyak 48,33%, diikuti dengan sikap yang tidak

161
mendukung sebanyak 40%. Mahasiswa yang netral sebanyak 11,67%
dan dari hasil penelitian tidak ditemukan mahasiswa yang mendukung
terhadap perilaku seks pranikah. Responden yang tidak mendukung
perilaku seks pranikah menyampaikan bahwa hal itu tidak seharusnya
dilakukan oleh mahasiswa yang masih kuliah. Selain itu, mereka juga
menyampaikan jika perilaku seks pranikah dapat menyebabkan
berbagai masalah pada kesehatan.
Mahasiswa yang memilih untuk bersikap sangat tidak
mendukung, memiliki penjelasan bahwa hal itu tidak sesuai dengan
norma agama. Perilaku seks pranikah harus dihindari karena
merupakan dosa besar. Responden juga menyampaikan jika perilaku
seks pranikah berdampak negatif pada masa depan mereka, mulai dari
hamil di luar nikah, aborsi, Penyakit Menular Seksual (PMS), hingga
kematian ibu dan bayi. Mahasiswa yang telah memiliki pengalaman
dan informasi yang cukup banyak mengenai bahaya seks pranikah
cenderung sangat menolak dengan perilaku tersebut.

Opini Mahasiswa terhadap Perilaku Seks Pranikah di Yogyakarta


Opini mahasiswa merupakan penilaian atau ekspresi mahasiswa
tentang perilaku seks pranikah yang diekspresikan dalam bentuk
perkataan. Opini mahasiswa tentang perilaku seks pranikah ini
menggambarkan sejauh mana opini yang terbentuk di kalangan
mahasiswa tentang perilaku seks pranikah. Opini mahasiswa terhadap
perilaku seks pranikah dibentuk oleh sikapnya terhadap hal tersbut.
Berdasarkan tabel 4.4, diketahui bahwa sebagian besar sikap
mahasiswa sangat tidak setuju dengan perilaku seks pranikah. Dengan

162
demikian dapat diketahui juga jika opini mahasiswa terhadap perilaku
seks pranikah adalah negatif atau sangat tidak setuju.
Hipotesis kedua dalam penelitian ini yaitu faktor-faktor internal
yang diduga mempengaruhi opini mahasiswa Perguruan Tinggi
Muhammadiyah terhadap perilaku seks pranikah adalah umur,
pendidikan, pengalaman, dan sikap mahasiswa terhadap perilaku seks
pranikah, dan faktor-faktor eksternal yang diduga mempengaruhi opini
mahasiswa Perguruan Tinggi Muhammadiyah terhadap perilaku seks
pranikah adalah keluarga, tempat tinggal, dan media.
Untuk menguji hipotesis kedua dalam penelitian ini digunakan
analisis regresi linier berganda dengan menggunakan SPSS 16 dengan
metode backward. Variabel dependen adalah opini ( Y ) dan variabel
independent ( X ) meliputi umur, pendidikan, pengalaman, sikap
mahasiswa terhadap perilaku seks pranikah, keluarga, teman, tempat
tinggal, dan media. Metode backward pada tahap awal ditampilkan
hasil dari semua variabel independen, kemudian tahap selanjutnya satu
demi satu variabel yang tidak signifikan atau tidak berpengaruh secara
nyata terhadap variabel dependen dikeluarkan. Dengan demikian pada
akhir tahap ini hanya ditampilkan variabel independen yang signifikan
saja. Berdasarkan regresi linier berganda dengan metode backward,
maka faktor-faktor yang diduga mempengaruhi opini mahasiswa
terhadap perilaku seks pranikah ditampilkan pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5. Hasil Regresi Linier Berganda Metode Backward Faktor-
faktor yang Diduga Mempengaruhi Opini Mahasiswa terhadap Perilaku
Seks Pranikah di Yogyakarta

163
No Varibel Koefisien Nilai Signifikansi
Regresi (B) t
1 Umur (X1) -0,0431 0,965 0,339
2 Pendidikan (X2) -0,1640 -1,170 0,247
3 Pengalaman (X3) -0,0001 0,890 0,378
4 Sikap (X4) 0,2970 5,059 0,000
5 Keluarga (X5) 0,5700 5,602 0,000
6 Teman (X6) -0,0926 -1,089 0,281
7 Tempat tinggal (X7) -0,0151 -0,502 0,618
8 Media (X8) 0,3880 2,203 0,032
Konstanta 10,012
R square 0,979
Adjusted R square 0,976
F hitung 304,044
Sumber : Analisis Data Primer, 2017

Pada hasil output backward, diperoleh variabel sikap mahasiswa


terhadap perilaku seks pranikah, keluarga, dan media berpengaruh
nyata pada opini mahasiswa terhadap perilaku seks pranikah,
sedangkan variabel yang lain yaitu umur, pendidikan, pengalaman,
teman, dan tempat tinggal tidak berpengaruh nyata. Dari Tabel di atas
diketahui bahwa koefisien determinasi hasil regresi (Adjusted R
Square) senilai 0,976 atau 97,6%. Besarnya koefisien determinasi
merupakan salah satu kriteria untuk menentukan bahwa fungsi regresi
yang digunakan cukup tepat atau tidak. Semakin tinggi nilai R square
(mendekati 1) yang diperoleh maka semakin tepat model fungsi regresi
tersebut. Diperoleh Adjusted R Square senilai 97,6 % ini berarti

164
variabel umur, pendidikan, pengalaman, sikap mahasiswa, keluarga,
teman, dan tempat tinggal secara bersama-sama berpengaruh terhadap
opini mahasiswa terhadap perilaku seks pranikah sebesar 97,6 %,
sedangkan variabel lain di luar model berpengaruh terhadap opini
mahasiswa terhadap perilaku seks pranikah sebesar 1 – 0,976 = 0,024
atau sebesar 2,4 %.

Dengan menggunakan metode backward, variabel independen


yang tidak berpengaruh secara nyata terhadap variabel dependen
dikeluarkan satu demi satu, sehingga pada akhir tahap ini hanya
ditampilkan variabel independen yang signifikan saja. Hasil regresi
dengan metode backward faktor yang berpengaruh signifikan terhadap
opini mahasiswa meliputi variabel sikap mahasiswa terhadap perilaku
seks pranikah, keluarga, dan media. Hasil tersebut secara keseluruhan
dapat dilihat pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6. Hasil Regresi Linier Berganda Metode Backward Faktor


yang Berpengaruh Signifikan terhadap Opini Mahasiswa terhadap
perilaku seks Pranikah di Yogyakarta

165
Variabel Nama Variabel Koefisien T Tingkat
Regresi Kesalahan
X4 Sikap 0,288 6,348 0,000
X5 Keluarga 0,512 6,874 0,000
X8 Media 0,380 2,706 0,000
Konstanta 9,981
R 0,989
R Square 0,978
Adjusted R Square 0,977
Standard Error of the 0,493
Estimate 830,117
F hitung
Sumber : Analisa Data Primer, 2017

Nilai F hitung sebesar 830,117 dengan tingkat kesalahan 0,000


(nyata pada alpha 0,05) maka model regresi bisa dipakai untuk
memprediksi opini mahasiswa terhadap perilaku seks pranikah atau
bisa dikatakan bahwa sikap mahasiswa, keluarga, dan media secara
bersama-sama berpengaruh terhadap opini mahasiswa terhadap
perilaku seks pranikah.
Berdasarkan nilai koefisien regresi (B) menunjukkan bahwa
variabel sikap mahasiswa terhadap perilaku seks pranikah mempunyai
pengaruh positif sebesar 0,288 yang menunjukkan bahwa setiap upaya
penambahan satu satuan nilai sikap mahasiswa, maka akan ada
penambahan skor opini mahasiswa terhadap perilaku seks pranikah
senilai 0,288. Variabel keluarga mempunyai pengaruh positif sebesar
0,512 yang menunjukkan bahwa setiap upaya penambahan satu satuan
nilai keluarga maka akan ada penambahan skor opini mahasiswa
terhadap perilaku seks pranikah 0,512. Variabel media mempunyai
166
pengaruh positif sebesar 0,380 yang menunjukkan bahwa setiap
penambahan satu satuan nilai media maka akan ada penambahan skor
opini mahasiswa terhadap perilaku seks pranikah 0,380.

Berdasarkan pada Tabel 4.6. persamaan regresi yang diperoleh sebagai


berikut :

Y = 9,981 + 0,288X4 + 0,512 X5 + 0,380 X8

Keterangan :
X4 = Sikap Mahasiswa terhadap Perilaku Seks Pranikah
X5 = Keluarga
X8 = Media
Y = Opini Mahasiswa terhadap Perilaku Seks Pranikah

Berdasarkan persamaan regresi dapat terlihat bahwa Y


mempunyai nilai konstanta sebesar 9,981 yang berarti apabila harga Xi
= 0 maka Y memiliki nilai sebesar 9,981. Hal ini berarti meskipun tidak
ada faktor-faktor yang berpengaruh, maka opini mahasiswa terhadap
perilaku seks pranikah sebesar 9,981.
Sikap mahasiswa terhadap perilaku seks pranikah berpengaruh
terhadap opini mahasiwa terhadap perilaku seks pranikah, yaitu
semakin baik sikapnya terhadap perilaku seks pra nikah maka opininya
akan semakin baik, begitu juga sebaliknya. Hasil penelitian ini sesuai
dengan Teori Integrated Behavior Model dalam Suwarni (2015) yang
menjelaskan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh berbagai

167
faktor yang saling terintegrasi. Inisiasi seks pranikah remaja dalam
Integrated Behavior Model dipengaruhi oleh niat berperilaku, sikap,
norma subyektif, pengetahuan, lingkungan (teman sebaya) dan faktor
personal (meliputi persepsi kontrol yang dirasakan dan keyakinan diri).
Berdasarkan hasil penelitian, keluarga mempengaruhi opini
mahasiswa terhadap perilaku seks pranikah, karena keluarga khususnya
orang tua mempunyai peran penting dalam perkembangan anak-
anaknya sejak usia dini. Dengan demikian orang tua seharusnya
berperan sebagai sumber informasi tentang pendidikan seks yang paling
efektif. Kendati demikian, nampaknya peranan ini sulit dilakukan oleh
orang tua dengan alasan: 1) Orang tua merasa tidak memiliki tingkat
pengetahuan yang cukup untuk menjawab pertanyaan tentang
kesehatan reproduksi, 2) Orang tua tidak tahu batasan informasi yang
pantas diberikan kepada anaknya, 3) Orang tua tidak tahu umur yang
tepat bagi anak untuk mulai memberikan pendidikan seks, 4) Orang tua
tidak mengetahui cara berkomunikasi dengan anaknya layaknya
seorang sahabat, 5) Orang tua kurang mampu menciptakan suasana
terbuka dan nyaman untuk membahas seksualitas dengan anak.
Pendidikan seksualitas seharusnya diberikan mulai sejak usia
dini oleh orang tua, akan tetapi banyak orang tua enggan menjelaskan
tentang seksualitas kepada anaknya karena beranggapan anak akan tahu
dengan sendirinya setelah dewasa. Hal ini justru dapat membuat anak
memperoleh informasi yang salah dan menyesatkan. Seks adalah
sesuatu yang alami, seringkali orang tua mengatakan hal ini kepada
anak-anak yang beranjak remaja ketika anak-anak mulai bertanya

168
mengenai seks khususnya bila anak perempuan mengalami haid
pertama atau anak lelaki mengalami mimpi basah.
Dari hasil penelitian juga ditemukan bahwa orang tua mahasiswa
hanya memberikan informasi mengenai bahaya perilaku seks pranikah
sekilas saja, yaitu berupa peringatan-peringatan, misalnya melarang
untuk nonton video porno dan tidak sembarangan bergaul. Sebagian
mahasiswa yang lain menyampaikan jika orang tua mereka selektif dan
mengetahui teman bergaul anaknya, melarang anaknya untuk pacaran,
dan meluangkan waktu untuk berdiskusi, sehingga mereka mengetahui
dampak atau bahaya seks pranikah dari orang tua.
Hasil penelitian ini sesuai dengan apa yang disampaikan Yani
(2006) bahwa orang tua dapat menjadi salah satu pengaruh terkuat
dalam kehidupan remaja, termasuk pengambilan keputusan seksual.
Hal ini akan berhubungan dengan rendahnya kenakalan remaja, dan
perilaku berisiko pada remaja, serta dapat mencegah remaja menjadi
seksual aktif dalam usia yang lebih muda. Peran primer orang tua
dalam membantu remaja untuk mencegah dan mengurangi perilaku
seksual remaja berisiko.
Lestari (2015) juga menyampaikan bahwa pendidikan seks
seharusnya menjadi tanggung jawab orang tua untuk menyampaikan
pada anak-anak. Orang tua tidak boleh bersikap apatis dan tidak
berperan aktif untuk memberikan pendidikan seks sejak usia dini
kepada anaknya. Pendidikan seks hendaknya dilakukan oleh orang tua
sebagai orang yang paling dekat dengan anak dan dapat membuat anak
merasa aman. Orang tua merupakan pendidik sentral dalam pemberian
pendidikan seks pada anak, maka pemahaman orang tua terhadap seks

169
akan menjadi faktor penentu keberhasilan. Orang tua sebagai pendidik
seks utama bagi anak harus memiliki kerjasama yang baik dalam
pencapaian tujuan pendidikan seks. Peran orang tua dalam pendidikan
seks (Lestari, 2015) diantaranya: (a) peran kerjasama antara orang tua;
(b) evaluator dalam pendidikan seks; (c) pendamping; (d) pendidik; dan
(e) pemantau dalam pendidikan seks. Pembagian tugas antara orang tua
sebagai pendidik merupakan hal yang penting dalam pendidikan seks,
dimana ayah merupakan representasi dari figur laki-laki dan ibu adalah
representasi dari figur perempuan. Dengan pembagian tugas itu, anak
akan mengetahui aspekaspek seksualitas dan akan berkembang dalam
hidup. Mengembangkan persepsi tentang seksualitas secara seimbang
dan lengkap akan membuat anak berpikir positif tentang seksualitas.
Peran pendampingan dalam pendidikan seks pada anak dilakukan
orang tua dengan menjelaskan tentang apa dan bagaimana yang harus
dilakukan anak setelah baligh. Pada peran orang tua sebagai pendidik
terkait seks dilakukan dengan menjelaskan masalah seks secara
lengkap. Orang tua juga dapat berperan sebagai pemantau terhadap
anaknya terkait seks. Hal ini dilakukan orang tua dengan mendampingi
anak dalam menghadapi persoalan seksual. Anak akan mengalami
kebingungan tanpa adanya pendampingan dari orang tua, jangan
sampai anak menjadikan teman sebaya sebagai pusat untuk bertanya.
Peran pendampingan mutlak harus dilakukan orang tua agar
mengetahui apa yang harus dilakukan pada anaknya terkait dengan
permasalahan seks. Orang tua harus berusaha menjadi sahabat bagi
anak dalam persoalan seks, sehingga anak akan berani mengungkapkan
tentang seks kepada orangtuanya. Peran orang tua terkait dengan

170
pendidikan seks bagi anaknya yaitu sebagai pemantau. Dalam hal ini
orang tua berperan sebagai kontrol yang baik agar tujuan pendidikan
seks bagi anakanaknya dapat tercapai. Orang tua dalam melaksanakan
perannya pada pendidikan seks bagi anak sangat penting untuk
memahami dan menguasai cara berkomunikasi dan memilih waktu
yang tepat dalam menyampaikan pendidikan seks. Kemampuan orang
tua untuk berkomunikasi dalam keluarga secara positif dapat membuat
anak mengerti bagaimana mencegah berperilaku negatif terkait dengan
seks sehingga anak dapat terhindar dari perilaku seks pranikah.
Orang tua harus memiliki pengetahuan kesehatan reproduksi
yang cukup, supaya dapat memberikan edukasi kepada anaknya. Hal ini
sesuai dengan apa yang disampaikan Febriano dalam Angwarmase
(2016), bahwa mayoritas remaja awalnya melakukan hubungan seksual
hanya karena ingin coba-coba dan penasaran. Hal ini terjadi karena
kurangnya pengetahuan kesehatan reproduksi dan persepsi tentang
seksual yang dimiliki remaja. Selain itu, kurangnya pengawasan orang
tua di rumah seringkali membuat remaja merasa nyaman dan aman
untuk melakukan hubungan seksual. Hal tersebut dikarenakan
pengetahuan orang tua yang tidak cukup untuk berkomunikasi tentang
seksualitas dengan anak, seharusnya anak mendapatkan informasi yang
tepat dari orang tua agar tidak mendapatkan informasi yang salah dari
luar, karena menurut survei kebanyakan remaja mendapatkan informasi
tentang seks dari teman sebayanya dan media elektronik.
Selain orang tua, hasil penelitian juga menunjukkan jika media
juga berpengaruh terhadap opini mahasiswa terhadap perilaku seks
pranikah. Mahasiswa menyampaikan jika media yang sering digunakan

171
untuk mengakses informasi mengenai bahaya perilaku seks pranikah
adalah internet yaitu melalui google, youtube, dan media sosial lainnya.
Sebagian besar mahasiswa yang lebih tertarik memilih internet untuk
mengakses informasi kesehatan reproduksi, termasuk bahaya seks
pranikah. Mahasiswa menyampaikan jika informasi yang didapatkan
dari internet akan lebih lengkap, karena penjelasan yang didapatkan
dari orang tua biasanya tidak lengkap karena hanya berupa peringatan-
peringatan. Terkait dengan hal tersebut, mahasiswa juga
menyampaikan jika seringkali menemukan informasi mengenai
kesehatan reproduksi khususnya bahaya seks pranikah yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Hasil penelitian ini sesuai dengan yang disampaikan Kurniawati
dan Baroroh (2016: 52), bahwa internet sebagai media digital telah
menawarkan berbagai macam kemudahan seiring perkembangan
zaman. Manusia modern begitu sangat dimanjakan oleh media ini.
Kedekatan mahasiswa dengan media digital telah membawa perubahan
yang sangat berarti. Perubahan yang telah terjadi dan sedang berproses
membawa mereka menjadi lebih mudah dalam mendapatkan akses
terhadap informasi yang ada. Kedekatan mahasiswa dengan media
digital telah membawa perubahan yang sangat berarti. Perubahan yang
telah terjadi dan sedang berproses membawa mereka menjadi lebih
mudah dalam mendapatkan akses terhadap informasi yang ada.
Sebagian besar para remaja menggunakan gadget dan
handphone canggih, mudahnya akses pornografi yang tidak dibarengi
dengan pengetahuan tentang seks akan berdampak pada pemahaman
yang salah tentang seks pada remaja. Minimnya pengetahuan tentang

172
seks yang diikuti kemudahan akses pornografi justru mendorong remaja
untuk mencobacoba pengalaman baru (Dwiyanti, 2012). Tayangan
media massa yang menonjolkan aspek pornografi diyakini sangat erat
hubungannya dengan peningkatan rangsangan seksual yang terjadi pada
remaja. Rangsangan seksual dari luar seperti film-film seks, sinetron,
buku-buku bacaan dan majalah-majalah bergambar seksi serta
pengamatan secara langsung terhadap perbuatan seksual, dapat
mengakibatkan memuncaknya reaksi-reaksi seksual dan kematangan
seksual yang lebih cepat pada diri remaja.

Saat ini internet dapat dengan mudah diakses melalui ponsel


pintar atau smartphone pada dasarnya adalah media yang netral, maka
manusia sebagai pengguna yang dapat menentukan tujuan media
tersebut digunakan dan manfaat yang dapat diambil. Berdasarkan
asumsi tersebut, maka pendidikan media dan pemahaman akan
penggunaannya menjadi suatu hal yang penting bagi semua orang.
Terutama, dalam penelitian ini adalah para mahasiswa yang kerap
menggunakan internet untuk mencari beragam informasi untuk
menunjang pendidikannya. Pemahaman dan penggunaan media ini
disebut literasi media internet (Adiarsi, dkk., 2015: 472).
Kemampuan literasi media akan membuat opini mahasiswa
semakin baik. Kemampuan literasi media, khususnya media internet,
wajib dimiliki para mahasiswa jika tidak ingin tertinggal dan menjadi
asing di antara lingkungan yang sudah diterpa arus informasi digital.
Diharapkan literasi media para mahasiswa akan penggunaan media
internet dapat mengurangi efek buruk dari penggunaan media tersebut

173
dan juga informasi yang tidak dapat dipungkiri merembet pada hal
negatif seperti: konsumerisme, budaya kekerasan, budaya ngintip
pribadi orang, bahkan kematangan seksual lebih cepat terjadi pada usia
anak-anak (Rahmi, 2013).
Media social (Social Networking) adalah sebuah media online
dimana para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi,
dan menciptakan isi meliputi blog, sosial network sosial mengajak
siapa saja yang tertarik untuk berpertisipasi dengan memberi kontribusi
dan atau jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Media feedback
secara terbuka, memberi komentar, serta membagi informasi dalam
waktu yang cepat dan tak terbatas.
Internet dan media social juga merupakan dunia tanpa batas juga
memiliki kehidupan pornografi yang tanpa batas pula. Dari mulai anak-
anak sampai orang dewasa jika mereka menginginkannya mereka dapat
dengan mudah mengakses situs-situs yang berbau pornografi. Pada
mahasiswa yang kurang mendapatkan pengawasan hal ini akan sangat
berbahaya, mereka akan mendapatkan informasi yang belum bisa di
pertanggungjawabkan kebenarannya dari internet. Berhubungan dengan
internet pasti kita juga akan menilik tentang sosial media yang sudah
menjadi tren di kalangan para mahasiswa. Terdapat berbagai macam
sosial media seperti facebook, twitter, instagram dan lain-lain. Dalam
sosial media tersebut mahasiswa dapat dengan mudahnya menemukan
hal baru yang berbau pornografi dan seks, group-group yang
berhubungan tentang sekspun telah tersedia.
Suwarni (2015) juga menyampaikan bahwa remaja menganggap
media massa sebagai sumber informasi seksual yang lebih penting

174
dibandingkan orangtua dan teman sebaya, karena media massa
memberikan gambaran yang lebih baik mengenai keinginan dan
kemungkinan yang positif mengenai seks dibandingkan permasalahan
dan konsekuensinya. Oleh karena itu, sudah seharusnya jika generasi
muda saat ini diedukasi untuk dapat mengakses berita dari sumber yang
dapat dipercaya, baik itu media cetak, online, atau lainnya, juga untuk
menyaring informasi yang bermanfaat dan tidak bermanfaat.

F. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dipaparkan


dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Opini mahasiswa terhadap perilaku seks pranikah adalah negatif


atau sangat tidak mendukung. Responden menyampaikan bahwa
hal itu tidak sesuai dengan norma agama dan merupakan dosa
besar. Responden juga menyampaikan jika perilaku seks pranikah
berdampak negatif pada masa depan mereka, mulai dari hamil di
luar nikah, aborsi, Penyakit Menular Seksual (PMS), hingga
kematian ibu dan bayi. Mahasiswa yang telah memiliki informasi
yang cukup mengenai bahaya seks pranikah cenderung sangat
menolak dengan perilaku tersebut.
2. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap opini mahasiswa
mengenai perilaku seks pranikah adalah sikap mahasiswa terhadap
perilaku seks pranikah, keluarga, dan media.
3. Sikap mahasiswa terhadap perilaku seks pranikah berpengaruh
terhadap opini mahasiwa terhadap perilaku seks pranikah.

175
Sebagian besar mahasiswa menyatakan sangat tidak mendukung
perilaku seks pranikah karena tidak sesuai dengan norma agama,
berbahaya untuk kesehatan, dan mengancam masa depan mereka.
4. Keluarga khususnya orang tua mahasiswa hanya memberikan
informasi mengenai bahaya perilaku seks pranikah secara sekilas
saja, yaitu berupa peringatan-peringatan, misalnya melarang untuk
nonton video porno dan tidak sembarangan bergaul. Tidak semua
orang tua selektif dan mengetahui teman bergaul anaknya,
melarang pacaran, dan meluangkan waktu untuk berdiskusi,
sehingga anak mengetahui dampak negatif atau bahaya seks
pranikah.
5. Hasil penelitian menunjukkan jika media berpengaruh terhadap
perilaku seks pranikah. Media yang sering digunakan untuk
mengakses informasi mengenai bahaya perilaku seks pranikah
adalah internet yaitu melalui google, youtube, dan media sosial
lainnya. Sebagian besar mahasiswa yang lebih tertarik memilih
internet untuk mengakses informasi kesehatan reproduksi,
termasuk bahaya seks pranikah. Mahasiswa menyampaikan jika
informasi yang didapatkan dari internet akan lebih lengkap, karena
penjelasan yang didapatkan dari orang tua biasanya tidak lengkap.

G. Rekomendasi
Mengacu pada kesimpulan di atas maka peneliti mengajukan
beberapa saran atau rekomendasi untuk beberapa pihak yaitu:
1. Mengingat norma agama dapat menjadi pondasi setiap mahasiswa
untuk tidak mendukung perilaku seks pranikah, maka pembuat

176
kebijakan harus memasukkan norma agama, baik pada pendidikan
formal maupun non formal.
2. Hasil penelitian menjukkan jika informasi mengenai bahaya seks
pranikah yang didapatkan dari orang tua seringkali tidak lengkap,
padahal orang tua memegang peranan penting dalam pendidikan
kesehatan reproduksi. Dengan demikian, orang tua harus
menambah pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi
khususnya bahaya perilaku seks pranikah, sehingga dapat
menyampaikan informasi tersebut sejak usia dini dengan cara yang
benar.
3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media memiliki pengaruh
terhadap opini mahasiswa, dengan demikian kemampuan literasi
media harus ditingkatkan. Bagi akademisi dan pihak-pihak terkait
sebaiknya memberikan pengetahuan mengenai literasi media,
sehingga dapat mengurangi efek buruk dari penggunaan media
tersebut.

177
DAFTAR PUSTAKA

Agus M. Hardjana. 2003. Yogyakarta: Kanisius.

Alo Liliweri. 2011. Komunikasi serba ada serba makna. Kencana :


Jakarta.

Ardina. 2017. Opini Mahasiswa terhadap Perilaku Seks Pranikah.

Journal of Health Studies, 1 (2): 148-160.

Arwani. 2003. Komunikasi Dalam Keperawatan. Jakarta : Penerbit

Buku Kedokteran EGC.

Burton, Graeme. 2017. Yang Tersembunyi Di Balik Media. Yogyakarta:


Jalasutra.

Cangara, Hafied. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada.

Damaiyanti, Mukhripah. 2010. Komunikasi Terapeutik Dalam Praktik


Keperawatan. Bandung : PT. Refika Aditama

Departemen Kesehatan RI. Undang-Undang Republik Indonesia


Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI: 2009.

Effendy, Uchjana Onong. 2004. Ilmu Komunikasi Teori dan Prkatek.


Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

178
Fitriani, S. 2011. Promosi Kesehatan, Edisi pertama cetakan pertama.
Yogyakarta: Graha Ilmu.

G. W, Stuart. 1998. Keperawatan Jiwa. Penerbit Buku Kedokteran:

EGC.

G. W, Stuart. 2009. Principle and Practice of Psychiatric Nursing. St.

Louis : Mosby.

Hafied Cangara. 2007. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Raja

Grafindo Perkasa.

Hardiansyah. 2015. Komunikasi Pelayanan Publik Konsep Dan


Aplikasi. Yogyakarta: Penerbit Gava Media.

Harold D. Lasswell 2009 Structure an Function of Communication in


Societ.

Jalaludin, Rakhmat. 2007. Persepsi Dalam Proses Belajar Mengajar.


Jakarta: Rajawali Pers.

Julia T. Wood. 2009. Communication in Our Lives. USA: University of


North Carolina at Capital Hill.

Krech, David., Richard S. Crutchfield, dan Egerton L. Ballachey. 1962.


Individual in Society: A Textbook of Social Psychology. New York:
McGraw-Hill. Book Company, Inc.

179
Liliweri, Alo. 2008. Dasar-dasar Komunikasi Kesehatan. Jakarta :
Pustaka Pelajar

Liliweri, Alo. 2010. Strategi Komunikasi Masyarakat. Yogyakarta:


LKIS.

Machfoedz, Machmud. 2009. Komunikasi Keperawatan (Komunikasi


Terapeutik). Yogyakarta: Ganbika

Martono, Lydia Harlina. 2008. Belajar Hidup Bertanggung Jawab,


Menangkal Narkoba dan Kekerasan. Jakarta: Balai Pustaka.

Maulana, Heri D.J. 2009. Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC.

Mulyana, Deddy. 2000. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung :


PT. Remaja Rosdakarya Offset.

Mundakir. 2006. Komunikasi Keperawatan Aplikasi dalam Pelayanan.


Yogyakarta: Graha Ilmu

Notoatmodjo, S. 2007. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta:


Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. 2010a. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta:


Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. 2010b. Promosi Kesehatan: Teori dan Aplikasi. Edisi


revisi. Jakarta: Rineka Cipta.

180
Nurjannah Intansari. 2001. Hubungan Terapeutik Komunikator dan
Klien. Yogyakarta : CV. Media Pressindo

Rahmi, A. 2013. Pengenalan Literasi Media. Jurnal Walisongo,


Volume 8, Nomor 2, 261–275.
Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya

Richard K, 2006. Health Communication. Springer; Softcover reprint


of hardcover 1st ed.

Setyabudi, Ratih Gayatri dan Mutia Dewi. 2017. “Analisis Strategi


Promosi Kesehatan dalam Rangka Meningkatkan Kesadaran Hidup
Sehat oleh Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. RM. Soedjarwadi Provinsi
Jawa Tengah.” Jurnal Komunikasi, Volume 12, Nomor 1, Oktober
2017.

Sheldon, Lisa Kennedy. 2010. Komunikasi untuk Keperawatan:


Berbicara dengan Klien Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Erlangga

Stewart L. Tubbs dan Sylvya Moss, 2005. Human Communication

Konteks-Konteks Komunikasi , Bandung. Penerbit PT. Rosda Karya.

Suryani. 2006. Komunikasi Terapeutik Teori dan Praktek. Penerbit.


Buku Kedokteran; EGC.

Suwarni, Linda. 2015. Inisiasi Seks Pranikah Remaja dan Faktor yang
Mempengaruhi. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 10 (2) (2015), 169-
177.

181
Jurnal Online :

Syafrudin dan Yudhia Fratidhina. 2009. Promosi Kesehatan untuk


Mahasiswa Kebidanan. Jakarta: Trans Info Media.

Simamora, R.H. 2009. Buku Ajar Pendidikan dalam Keperawatan.


Jakarta: EGC.

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2009. Metode Penelitian Pendidikan.


Bandung: Rosdakarya.

Wood, J.T. (2012). Komunikasi Teori dan Praktik. Jakarta: Salemba


Humanika.

Sumber Penunjang

Abidin, Ahmad Najmun. 2014. “Metode dan Alat Bantu (Media) pada
Promosi Kesehatan.” Diakses dari
http://abidinsumatera.blogspot.com/2014/04/metode-dan-alat-
bantu-media-pada.html pada 01 November 2018 pukul 07.55 WIB.

Arianto, Dwi Agung Nugroho. 2008. “Pengaruh Motivasi, Budaya


Organisasi, dan Kepuasan kerja Terhadap Kinerja Karyawan Pada
PT. Nyonya Meneer. Semarang”. Jurnal Dinamika Ekonomi Bisnis.
Vol. 5 No. 2

Asnani. 2009. Pertumbuhan dan Perkembangan. Diakses melalui


http://asnani-biology.blogspot.com/2009/05/pertumbuhan-dan-
perkembangan.html pada tanggal 10 November 2018
182
Astuti, Yanti Dwi. 2017. “Peperangan Generasi Digital Natives
Melawan Digital Hoax Melalui Kompetisi Kreatif.” Informasi
Kajian Ilmu Komunikasi Volume 47, No.2, Desember 2017.
Diakses dari
http;//journal.uny.ac.id/index.php/informasi/article/download/16658
/pdf_1 diakses tanggal 8 November 2018 pukul 20:20 WIB.

Amalia, Icca stella. 2013. “Evaluasi Media Poster Hipertensi pada


Pengunjung Puskesmas Talaga Kabupaten Majalengka.” Jurnal
Kesehatan Masyarakat, 9(1), 2013: 1-8, diakses dari
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/kemas pada 26 Oktober
2018 pukul 14.00 WIB.

Baharuddin, Harsan. 2018. “Permasalahan Kesehatan di Indonesia dan


Solusinya.” Diakses dari
https://harsanbaharuddin.wordpress.com/2018/01/12/permasalahan
-kesehatan-di-indonesia/ pada 01 November 2018 pukul 7.00 WIB

Buyung, Irawadi. 2015. “Media Informasi bagi Masyarakat Menengah


Berbasis SMS Gateway.” Jurnal Informatika, Vol. 9, No. 1, Januari
2015. Diakses dari
http://journal.uad.ac.id/index.php/JIFO/article/view/2041 pada 8
November 2018 pukul 06.50 WIB.

Cohen-Almagor, Raphael. 2013. “Freedom of Expression V. Social


Responsibility: Holocaust Denial in Canada.” Journal of Mass
Media Ethics 28 (1):42-56. Diakses dari

183
www.researchgate.net/publication/235352626_Freedom_of_Expres
sion_v_Social_Responsibility_Holocaust_Denial_in _Canada pada
tanggal 8 November 2018 pukul 20:40 WIB

Guspita, Helpia. 2017. “Efektivitas Promosi Kesehatan Menggunakan


Metode Ceramah tentang HIV/AIDS terhadap Pengetahuan dan
Sikap Remaja di SMK Tritech Informatika dan SMK Namira Tech
Nusantara Medan Tahun 2016.” Jurnal Ilman, Vol. 5, No. 1, pp. 33-
40, Februari 2017 diakses dari
http://jurnal.stimsukmamedan.ac.id/index.php/ilman pada 27
Oktober 2018 pukul 10.00 WIB.

Horhoruw, Andrias dan Laksmono Widagdo. 2014. “Perilaku Kepala


Keluarga dalam Menggunakan Jamban di Desa Tawiri Kecamatan
Teluk Ambon Kota Ambon.” Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia,
Vol. 9 No.2, Agustus 2014, diakses dari
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=476098&val
=1285&title=Perilaku%20Kepala%20Keluarga%20dalam%20Men
ggunakan%20Jamban%20di%20Desa%20Tawiri%20Kecamatan%
20Teluk%20Ambon%20Kota%20Ambon pada 26 Oktober 2018
pukul 13.00 WIB.

Ismarwati dkk. 2011. “Promosi Kesehatan dalam Meningkatkan


Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Deteksi Dini Kanker Serviks pada
Ibu-Ibu Anggota Pengajian.” Berita Kedokteran Masyarakat, Vol.
27, No. 2, Juni 2011, diakses dari

184
https://journal.ugm.ac.id/bkm/article/view/3406 pada 27 Oktober
2018 pukul 9.30 WIB.

Karundeng dkk. 2015. “Pengaruh Promosi Kesehatan Reproduksi


Remaja terhadap Pengetahuan dan Sikap Siswa SMP Negeri 08
Bitung.” Jurnal Bidan Ilmiah, Vol. 3, No. 2, Juli – Desember 2015,
diakses dari https://media.neliti.com/media/publications/91055-ID-
pengaruh-promosi-kesehatan-reproduksi-re.pdf pada 27 Oktober
2018 pukul 10.10 WIB.

Komariah, Kokom dan Priyo Subekti. 2016. “Penggunaan Media


Massa sebagai Agen Sosialisasi Dinas Kesehatan Kabupaten
Tasikmalaya dalam Meningkatkan Kesadaran Masyarakat akan
Pentingnya Imunisasi.” Jurnal Ilmiah Program Studi Hubungan
Masyarakat, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016: 12-21. Diakses dari
jurnal.unpad.ac.id/profesi-humas/article/download/9502/4360 pada
8 November 2018.

Wijetunge, P, dan Alahakoon, U. 2009. “Empowering 8: The


Information Literacy Model Developed in Sri Lanka to Underpin
Changing Education Paradigms of Sri Lanka.” Sri Lankan Journal
of Librarianship and Information Management 1(1): 31–41. DOI:
http://doi.org/10.4038/sllim.v1i1.430. dalam Juliswara, V. 2017.
“Mengembangkan Model Literasi Media yang Berkebhinekaan
dalam Menganalisis Informasi Berita Palsu (Hoax) di Media
Sosial.” Jurnal Pemikiran Sosiologi, 4(2), 1–23.

185
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Promosi Kesehatan di Daerah
Bermasalah Kesehatan: Panduan bagi Petugas Kesehatan di
Puskesmas. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Diakses dari
http://www.depkes.go.id/resources/download/promosi-
kesehatan/panduan-promkes-dbk.pdf pada 23 Oktober 2018 pukul
14.49 WIB.

Latif, Rr. Vita Nur. 2010. “Pemanfaatan Lahan Rumah untuk Tanaman
Obat Keluarga (Toga), sebagai Bentuk Upaya Promosi Kesehatan
Masyarakat pada Level Keluarga.” Biofarm: Jurnal Ilmiah
Pertanian, Vol. 13, No.9, 2010, diakses dari
http://jurnal.unikal.ac.id/index.php/biofarm/article/view/279 pada
27 Oktober 2018 pukul 09.30 WIB

Nadra, Khansa. 2017. “Situasi Stragegi Promosi Kesehatan di VICO


Indonesia, Tahun 2016.” Jurnal Promkes, Vol. 5, No. 1, Juli 2017:
93-104, diakses dari
https://www.researchgate.net/publication/327469161_SITUASI_ST
RATEGI_PROMOSI_KESEHATAN_DI_VICO_INDONESIA_TAHU
N_2016 pada 26 Oktober 2018 pukul 13.53 WIB.

National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion


(US) Office on Smoking and Health. 2014. The Health
Consequences of Smoking—50 Years of Progress: A Report of the
Surgeon General. Atlanta (GA): Centers for Disease Control and
Prevention (US)

186
Pakku, Josef Kristian dkk. 2013.“Pemanfaatan Media Komunikasi
Kesehatan (Studi Kasus pada Radio Gamasi FM di Kota
Makassar).” Diakses dari
http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/5567 pada 04
November 2018 pukul 23.11 WIB.

Rahadi, Dedi Rianto. 2017. “Perilaku Pengguna dan Informasi Hoax di


Media Sosial.” Jurnal Manajemen & Kewirausahaan Volume 5 No.
2, 2017
http://jurnal.unmer.ac.id/index.php/jmdk/article/download/1342/933
diakses tanggal 8 November 2018 pukul 22:32 WIB

Rozaaqi, Riana Bintang. 2017. “Gambaran Promosi Kesehatan di


Tempat Umum Terminal Bratang, Surabaya.” Jurnal Keperawatan
dan Kebidanan, Vol. 9, No. 1, 2017, diakses dari
https://jurnalonline.lppmdianhusada.ac.id/index.php/jkk/article/vie
w/97 pada 27 Oktober 2018 pukul 10.16 WIB.

Suparyanto. 2011. “Konsep Promosi Kesehatan” dalam http://dr-


suparyanto.blogspot.com/2011/12/konsep-promosi-kesehatan.html,
diunduh pada 25 Oktober 2018 pukul 21.12 WIB.

Susilowati, Dwi. 2016. Promosi Kesehatan: Modul Bahan Ajar Cetak


Keperawatan. Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber
Daya Manusia Kesehatan, Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia
Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Diakses
dari http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-

187
content/uploads/2017/08/Promkes Komprehensif.pdf pada 25
Oktober 2018 pukul 17.36 WIB

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang


Kesehatan. Diakses dari
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/UU%20Nomo
r%2036%20Tahun2%20009%20tentang%20Kesehatan.pdf pada 01
November 2018.

Yustisa dkk. 2014. “Efektivitas Penggunaan Media Cetak dan Media


Elektronika dalam Promosi Kesehatan terhadap Peningkatan
Pengetahuan dan Perubahan Sikap Siswa SD.” Jurnal Kesehatan
Lingkungan Vol. 4, No.1, Mei 2014: 29-39. Diakses dari
http://poltekkes-
denpasar.ac.id/files/JURNAL%20KESEHATAN%20LINGKUNGAN
/Putu%20Fanny%20Yustisa1,%20I%20Ketut%20Aryana2,%20I%2
0Nyoman%20Gede%20Suyasa3.pdf pada 01 November 2018 pukul
16.40 WIB.

Yusky, Margaretha. 2017. “Pentingnya Pendidikan Kesehatan untuk


Perilaku yang Lebih Baik” 2 Desember 2017. Diakses dari
https://www.kompasiana.com/yuskymargaretha/5a22934d543f873c
b2252552/pentingnya-pendidikan-kesehatan-untuk-perilaku-yang-
lebih-baik pada 25 Oktober 2018 pukul 20.00 WIB.

Zuhtamal dkk. 2015. “Model Promosi Kesehatan di Tempat Kerja


Multilevel: Bagaimana Implementasinya dalam Mengubah Perilaku

188
Pekerja? Suatu Kajian Kepustakaan.” Jurnal Kesehatan Komunitas,
Vol. 2, No.6, Mei 2015, diakses dari
https://www.researchgate.net/publication/315815370_Model_Prom
osi_Kesehatan_di_Tempat_Kerja_Multilevel_Bagaimana_Impleme
ntasinya_dalam_Mengubah_Perilaku_Pekerja_Suatu_Kajian_Kepu
stakaan pada 26 Oktober 2018 pukul 13.08 WIB.

http:www.viva.co.id/amp/gayahidup/kesehatan-intim/1021790-92-
persen-berita-hoax-kesehatan-dari-media-sosial diakses pada 8
November 2018 pukul 22;35 WIB

http;//antaranews.com/berita/626813/survei-menyebutkan-hoax-
terbanyak-soal-info-kesehatan diakses pada 9 November 07:05 WIB

http://currentnursing.com/nursing_theory/interpersonal_theory.html
diakses tanggal 19 November 2018

189

Anda mungkin juga menyukai