Anda di halaman 1dari 6

Nama : Lisa Atria Ariyani

Kelas : XI IPA 10
No : 17

LIBYA

LIBYA BAHAS KERJASAMA MIGAS DENGAN INDONESIA

JAKARTA. Delegasi National Oil Corporation of Libya (NOC), yang dipimpin Dr. Shokri
Ghanem melakukan kerja sama dengan Indonesia dalam sektor minyak dan gas bumi
(migas), Kamis (6/5). Kerja sama ini sebagai tindak lanjut penandatanganan nota
kesepahaman antara Kementerian Energi Sumber Daya Alam (ESDM) dan NOC yang telah
diwujudkan dengan pada tanggal 7 Februari 2008 di Tripoli.

Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh, yang menerima kunjungan delegasi, menyampaikan
bahwa sektor energi di Indonesia memiliki peranan penting dalam membangun perekonomian
nasional. “Peran sektor energi ditunjukkan secara nyata dari beberapa indikator, yaitu sebagai
sumber pendapatan negara, energi dan bahan baku domestik, penyerapan tenaga kerja, serta
efek berantai lainnya. Khusus untuk migas, sektor ini telah menyumbangkan sekitar 1/5 dari
total pendapatan negara,” kata Darwin di Kantor KESDM.

Dia juga menjelaskan, pemerintah Indonesia telah menyediakan kebijakan fiskal sebagai
bagian dari kebijakan investasi. “Kami telah mereformasi dan mengatur kembali kerangka
regulasi bagi industri energi di Indonesia demi mewujudkan iklim investasi yang
menguntungkan di sektor energi dan mineral”.

Area kerja sama mencakup eksplorasi hulu, eksploitasi, dan pemanfaatan energi dan mineral.
Selain itu, kedua belah pihak juga membahas mengenai kegiatan hilir melalui partisipasi dan
pengembangan proyek kilang, pelatihan, penelitian dan program pembangunan di bidang
energi dan mineral, serta promosi kerja sama antara isntitusi perminyakan dan pusat ilmiah.

KERJASAMA INDONESIA- LIBYA MEMBANGUN GERBANG


EKONOMI DI ASIA AFRIKA

 Melihat kesuksesan revolusi rakyat Libya yang dimulai di Benghazi pada tanggal 17
Februari 2011 lalu, sudah selayaknya dunia internasional merasa optimis atas proses
demokratisasi di Libya dan dunia Arab keseluruhan. Revolusi yang dimulai di Tunisia,
berlanjut ke Mesir lalu menyebar di berbagai belahan dunia Arab mematahkan satu argumen
yang banyak dianut oleh pengamat politik dan ekonomi tentang wilayah tersebut yaitu bahwa
rakyat Arab kebanyakan lebih memilih stabilitas daripada kebebasan berpolitik dan mereka
tidak menginginkan “sistem demokrasi barat” di negri mereka. Berpuluh-puluh tahun
lamanya rakyat Arab hidup dalam suatu sistem sosial politik dimana kepemimpinan nasional
tidak mempunyai interaksi langsung dengan publik kebanyakan dan semua sumber-sumber
ekonomi penting berada di tangan “lingkaran dalam” penguasa. Hal ini tentunya pernah juga
terjadi negri Indonesia yang akhirnya berujung pada peristiwa Mei 1998. Satu hal yang
sangat membedakan kondisi Libya sekarang dengan Indonesia di tahun 1998 adalah Libya
tidak mempunyai utang luar negri dan bahkan mempunyai cadangan devisa yang sangat besar
relatif terhadap populasinya sehingga pembangunan infrastruktur bisa segera dikerjakan
apabila kondisi keamanan dan politik di dalam negri mendukung untuk hal tersebut.

Sebelum Revolusi, kontraktor-kontraktor Indonesia sudah cukup aktif dalam menjajaki dan
mengerjakan proyek-proyek infrastruktur baik di sektor Migas/Energi maupun infrastruktur
Sipil yang jumlahnya mencapai lebih dari USD 2 milyar. Pertanyaannya kemudian adalah
apakah pemerintahan pasca revolusi nanti masih akan menghormati kontrak-kontrak yang
ditandatangani oleh pemerintah pra-revolusi dengan berbagai perusahaan Indonesia di masa
lampau dan bagaimana proses klaim terhadap pembayaran yang tertunda dan aset-aset
perusahaan-perusahaan Indonesia yang tertinggal di sana? Bagi perusahaan-perusahaan
Indonesia yang sedang menggarap proyek di Libya, kekhawatiran yang lain adalah
bagaimana caranya meyakinkan para pekerjanya untuk kembali bekerja di Libya disamping
tentunya strategi para managernya untuk meyakinkan para pemegang saham dan penyandang
dana untuk kembali melakukan aktifitas bisnis di negri Afrika Utara tersebut.

LIBYA-KADIN JAJAKI KERJASAMA INVESTASI DAN PELUANG


PERDAGANGAN

Komite Tetap Kegiatan Hulu Migas Kadin Indonesia adakan pertemuan dengan Delegasi
National Oil Corporation (NOC) Libya yang dipimpin oleh Shokri Ganem pada Jumat,
7/5/2010 di Grand Hyatt Jakarta.
Saat ini potensi investasi di Libya di segala bidang sekitar 1,4 Triliun Dollar AS. Libya juga
menargetkan peningkatan produksi minyak hingga 2 juta barrel minyak per hari sehingga
butuh tambahan investasi dan tenaga ahli perminyakan. Selama ini peluang itu banyak
dimanfaatkan India, Pakistan dan China. NOC Libya tertarik berinvestasi di Kilang balongan
dan Bojanegara yang sahamnya dimiliki PT Pertamina dan memasok minyak mentah untuk
kedua kilang itu dengan harga internasional.rnrnKetua Komite Tetap Hulu Migas, Sammy
Hamzah mengatakan, Lybia menyiapkan dana bebas untuk diinvestasikan ke Indonesia,
nilainya miliaran dolar AS.
"Lybia telah menyediakan dana yang tidak ada embel-embel politiknya. Biasanya kan kalau
pendanaan dari luar, selalu dibarengi dengan permintaan tertentu, tetapi kali ini Lybia hanya
murni berinvestasi di Indonesia," terangnya.

Sammy menambahkan, dalam rangkain pertemuan dengan Lybia yang dipimpin oleh Dr.
Shokri Ghanem, pemerintah hanya sebagai fasilitator tetapi Kadin (pengusaha) sendiri yang
menindaklanjuti. Prinsipnya kalau pun ada investasi pengusaha Indonesia ke Lybia skemanya
tetap bisnis to bisnis. Lanjutnya, saat ini Lybia sedang mengerjakan banyak proyek yang
membutuhkan investor banyak. Pengusaha Indonesia memiliki peluang untuk masuk dalam
proyek infrastruktur di Lybia.

Selain itu, sebagai timbal balik rencana ekspor minyak mentah ke Indonesia, diharapkan
Libya mengimpor lebih banyak produk asal Indonesia. John A. Prasetio, Wakil Ketua Umum
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Kerja Sama Ekonomi Internasional,
mengatakan pemerintah Libya sangat mendorong produk Indonesia dapat dijual di negara itu.
Selama ini, produk asal Indonesia yang diekspor ke Libya relatif kecil.

John menjelaskan, Libya tidak hanya berposisi sebagai negara penghasil minyak mentah,
tetapi juga berkeinginan mendiversifikasi kegiatan perekonomian seperti perdagangan produk
lain. Libya, tambahnya, sangat menggantungkan perekonomiannya pada minyak mentah.
Sementara itu, Ketua Komite Tetap OKI dan Timur Tengah Fachry Thaib mengatakan
peningkatan ekspor ke Libia sangat ditentukan kegigihan dari pengusaha dan eksportir
Indonesia untuk dapat bersaing dengan produk dari negara lain. Menurut dia, selama ini
sudah cukup banyak ekspor ke Libia seperti minyak sawit, ban, baterei kerajinan dan produk
lainnya.

"Kami mengharapkan barang ekspor ke sana meningkat. Bergantung pada kegigihan


pengusaha dan eksportir Indonesia untuk meningkatkan ekspor." Sebelumnya, ekspor
nonmigas Indonesia ke Libya pada 2007 mencapai US$ 34,48 juta. Pada 2008 angka tersebut
meningkat menjadi US$ 44,67 dan pada 2009 melonjak menjadi US$ 56,16 juta. Dilansir dari
Media Nasional, Kompas, Bisnis Indonesia dan Investor Daily.

PERDAGANGAN INDONESIA DENGAN LIBYA STOP SEMENTARA

Menurut Ketua Kadin dan OKI, Fachry Tayib, kondisi di Libya saat ini dirasa kurang
memungkinkan untuk ekspor impor Indonesia.
Kondisi politik di Libya yang semakin memanas tidak memungkinkan Indonesia melakukan
kegiatan ekspor impor. Menurut Ketua Kamar Dagang dan Industri atau Kadin Indonesia
Komite Timur Tengah dan Organisasi Konferensi Islam atau OKI, Fachry Tayib, untuk
sementara perdagangan antara Indonesia dan Libya dihentikan.

Meskipun volume perdagangan antara Indonesia dan Libya tidak terlampau besar, namun
sebenarnya sejak tahun lalu justeru kedua negara sedang mengupayakan meningkatkan
kerjasama perekonomian.

Menurut Fachry Tayib, jika selama ini perdagangan minyak berperan penting, kedepannya
nanti komoditas lain akan diperbanyak. “Kita banyak kirim kesana ban, kemudian furniture,
dan kertas. Delegasi Libya sudah beberapa kali datang kesini. Mereka mau bikin jalan 2.500
kilometer keliling dari Libya sampai ke Tunisia, kalau nggak salah sampai ke Maroko."

Ketua Kadin Komite Timur Tengah ini menambahkan, "Kita sudah announce kepada rekan-
rekan kita supaya ikut berbisnis ke Libya, tahun lalu masih oke ya nggak ada masalah apa-
apa, sempat ada teken kontrak 1,2 milyar dollar. Mereka mau membangun gedung, bangun
jalan, membangun tangki air.”

Sejak bergejolaknya beberapa negara di kawasan Timur Tengah sepanjang tahun ini,
FachryTayib mengakui Indonesia kehilangan peluang eskpor. Meksi tidak sebesar
jika dibandingkan dengan ekspor produk asal Indonesia ke Amerika dan negara-negara
Eropa, namun ditegaskannya perdagangan dengan Libya dan negara-negara lain di Timur
Tengah berpotensi tumbuh.

“Saudi sangat menjadi andalan, Mesir juga bagus, Iran bagus, Irak mulai, tapi sentralnya kan
umumnya di Dubai. Kadang-kadang kita hanya impor di Duba,i kita nggak tahu sasaran
tujuannya kemana”, ungkap Fachry.

Sementara, menurut pengamat Timur Tengah dari The Indonesian Society for Midle East,
Smith Alhadar, sebagai negara netral posisi Indonesia  tetap berpeluang besar diterima 
termasuk sektor perdagangan  jika akhirnya nanti Libya dipimpin oleh pemerintahan
baru. “Cukup bagus bagi posisi Indonesia, karena kita tidak terlibat konflik secara langsung.
Sehingga dengan adanya kemenangan oposisi membuka peluang bagi Indonesia. Karena
bagaimanapun juga, rezim yang baru ini akan memerlukan mitra-mitra baru di bidang
perdagangan”, ungkap Alhadar.

Pengamat Timur Tengah ini juga mengingatkan Indonesia agar tidak terburu-buru melakukan
hubungan jika pemerintahan baru di Libya nanti terbentuk, termasuk dalam membangun
hubungan dagang. "Musti dilihat dulu Libya yang bagaimana yang akan terbentuk nanti.
Kalau Libya bisa berjalan dengan mulus kedepan, membentuk sebuah negara demokratis,
maka peluang bagi Indonesia cukup besar untuk ikut masuk dalam urusan ekonomi”,
demikian ungkap Smith Alhadar.

Menurut catatan Kadin Indonesia, ekspor produk Indonesia ke Libya hingga Mei 2011
mencapai 10 juta dollar Amerika dan realisasi ekspor tahun lalu sebesar 23 juta dolar
Amerika.
PENGUSAHA YAKIN KERJASAMA EKONOMI INDONESIA- LIBYA
TAK TERGANGGU PASCA GADDAFI

Presiden Direktur Medco Energy Internasional optimis bisnis minyak yang sudah
dikembangkannya di Libya akan tetap berjalan baik.

Meski masih bersifat menunggu perkembangan politik pasca tewasnya penguasa Libya,
Moammar Gaddafi, namun Lukman Mahfoedz, selaku Presiden Direktur Medco Energy
Internasional, tetap optimistis bahwa bisnis minyak yang sudah dikembangkannya di Libya
akan tetap berjalan baik. Ia juga yakin bahwa peluang kerjasama dengan Libya di berbagai
sektor selain minyak, juga masih sangat terbuka bagi Indonesia.

Kepada VOA di Jakarta, Jumat, Lukman Mahfoedz menegaskan, meski saat ini Libya sedang
dalam masa transisi namun posisi usahanya dalam bekerjasama dengna pihak Libya akan
tetap aman dan tetap berproduksi.

“Kita itu menandatangani kontrak dengan National Oil Company tahun 2005, ini tidak
bergantung kepada siapa Presidennya, kita berpendapat the owner oleh semua pemerintahan,
aset-aset kita di sana dalam keadaan yang alhamdulillah cukup baik. (Jadi tetap) kita akan
meneruskan pekerjaan eksplorasi dan development nya,” ujar Lukman.

Lukman Mahfoedz juga menambahkan saat ini justeru kegiatan kerjasama  dengan Libya
sedang aktif dalam upaya meningkatkan produksi minyak.

Lukman menambahkan, “Kita alhamudulillah sukses mendapatkan kira-kira rasio kita itu 90
persen, dari 20 sumur yang dibor di sana 18 itu berhasil dan mudah-mudahan tahun 2014-
2015 sudah selesai sehingga tahap pertama produksi itu bisa  terpenuhi, kontraknya 30 tahun
2005 sampai 2035.”

Medco Energi Internasional yang sudah merupakan perusahaan publik sempat menghentikan
operasionalnya sejak Maret hingga  pertengahan September 2011 akibat semakin
memanasnya situasi di  Libya dan aktif kembali pada 21 September.

Target dari kerjasama tersebut dapat menghasilkan  minyak sebesar 50 ribu barrel per hari
dengan asumsi harga 80 dollar Amerika per barrel. Meksi demikian diakui Lukman
Mahfoedz sampai saat ini pihaknya belum dapat menentukan negara-negara yang nantinya
menjadi tujuan ekspor dari hasil minyak yang didapat.

Ia menjelaskan sejak ditandatangani kerjasama sampai saat ini masing-masing pihak yaitu
Medco Enegeri sudah  menanam investasi sebesar 200 juta dolar Amerika dan National Oil
Company Libya sebesar 200 juta dollar Amerika.  Ia juga menambahkan seharusnya
pemerintah Indonesia aktif melakukan pendekatan dengan Libya karena negara tersebut 
memiliki potensi ekonomi cukup besar sehingga Indonesia memiliki peluang melakukan
kerjasama di berbagai sektor.

“Libya ini mempunyai potensi yang penting dan strategis kedepannya, karena mereka
mempunyai minyak jadi  revenue yang didapat dari minyak itu sangat potensial dipakai untuk
pembangunan  negara dan itu memerlukan kontractor, pembangunan jalan, infrastructure,
telecommunication dan lain sebagainya, itu kan (pemerintah) Indonesia bisa memanfaatkan.”

Hal senada juga disampaikan pengamat Timur Tengah dari The Indonesian Society for Midle
East, Smith Alhadar. Ia berpendapat sikap netral yang ditunjukkan Indonesia  terhadap Libya
dapat membuat posisi Indonesia berpeluang besar melakukan berbagai kerjasama dengan
Libya.

“Sehingga Indonesia dalam hal ini bisa ikut serta di dalamnya, apalagi kalau  Indonesia bisa
mengirimkan peacekeeping forces nanti kalau diperlukan di Libya  untuk kita ikut
berkontribusi  bagi perdamaian di Libya dan  terbentuknya sebuah pemerintahan  baru di
Libya yang demokratis, menghormati hak-hak asasi manusia  disampaing kita mempunyai
peluang dagang yang  cukup besar, kita memerlukan Libya  soalnya, saya  melihat dari segi
minyak,” demikian menurut Smith Alhadar.

Anda mungkin juga menyukai