Anda di halaman 1dari 48

Referat

INFEKSI DERMATOFITA

Disusun oleh:
Mentari Diandra Sativa G4A019018
Ruth Deanita Purba G4A019023
Habib Laksmana Prima G4A019024

Pembimbing:
dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK

SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2021
LEMBAR PENGESAHAN

Referat
INFEKSI DERMATOFITA

Disusun Oleh :
Mentari Diandra Sativa G4A019018
Ruth Deanita Purba G4A019023
Habib Laksmana Prima G4A019025

Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat


Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal Juli 2021

Dokter Pembimbing:

dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK


DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 5
A. Definisi Dermatofitosis............................................................................... 5
B. Epidemiologi Dermatofitosis ..................................................................... 5
C. Klasifikasi Dermatofitosis ......................................................................... 6
1. Tinea kapitis ........................................................................................ 6
2. Tinea barbae ...................................................................................... 18
3. Tinea korporis ................................................................................... 21
4. Tinea kruris ....................................................................................... 28
5. Tinea manus....................................................................................... 31
6. Tinea pedis ......................................................................................... 34
7. Tinea unguium................................................................................... 39
III. KESIMPULAN ............................................................................................ 45
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 46
I. PENDAHULUAN

Dermatofitosis adalah salah satu kelompok dermatomikosis superfisialis yang


disebabkan oleh jamur dermatofit, terjadi sebagai reaksi pejamu terhadap produk
metabolit jamur dan akibat invasi oleh suatu organisme pada jaringan hidup.
Terdapat tiga langkah utama terjadinya infeksi dermatofit, yaitu perlekatan
dermatofit pada keratin, penetrasi melalui dan di antara sel, serta terbentuknya
respon pejamu. Terdapat tiga genus penyebab dermatofitosis, yaitu Trichophyton,
Microsporum, dan Epidermophyton, yang dikelompokkan dalam kelas
Deuteromycetes. Dari ketiga genus tersebut telah ditemukan 41 spesies, terdiri dari
17 spesies Microsporum, 22 spesies Trichophyton, 2 spesies Epidermophyton.
Spesies terbanyak yang menjadi penyebab dermatofitosis di Indonesia adalah
Trichophyton rubrum (T. rubrum) (Kurniati, 2008; Adiguna, 2004).

Klasifikasi dermatofitosis didasarkan pada lokasi infeksi dan juga ciri tertentu.
Secara garis besar dermatofitosis dibagi menjadi: 1) tinea kapitis, 2) tinea barbae,
3) tinea korporis, 4) tinea manus, 5) tinea kruris, 6) tinea pedis dan 7) tinea
unguium. Penegakan diagnosis dermatofitosis pada umumnya dilakukan secara
klinis, dapat diperkuat dengan pemeriksaan mikroskopis, kultur, dan pemeriksaan
dengan lampu wood pada spesies tertentu. Pada pemeriksaan dengan KOH 10–
20%, tampak dengan KOH 10–20%, tampak dermatofit yang memiliki septa dan
percabangan hifa. Pemeriksaan kultur dilakukan untuk menentukan spesies jamur
penyebab dermatofitosis (Sharma et al., 2015)

Terjadinya dermatofitosis melalui 3 tahap utama, yaitu perlekatan, dengan


keratinosit, penetrasi melewati dalam sel dan pembentukan respon imun. Adanya
virulensi jamur, mekanisme penghindaran, kondisi imunitas pejamu yang lemah
memudahkan infeksi dermatofit. Mekanisme pertahanan pejamu terhadap infeksi
dermatofit terdiri dari pertahanan non spesifik dan spesifik yang melibatkan
surveilan sistem imun (Sharma et al., 2015).
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Dermatofitosis
Infeksi dermatofita atau yang lazim disebut sebagai dermatofitosis adalah
infeksi kulit superfisial yang disebabkan oleh jamur dermatofita yang
menyerang jaringan kulit yang mengandung keratin seperti stratum korneum,
rambut dan kuku (Carrol et al., 2015). Dermatofita merupakan sekelompok
jamur yang memiliki kemampuan untuk membentuk molekul yang berikatan
dengan keratin dan menggunakannya sebagai sumber nutrisi untuk
pembentukan kolonisasi. Penyebab dermatofitosis adalah spesies dari
Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton, yang dikelompokkan dalam
kelas Deuteromycetes. Dermatofitosis juga biasanya disebut dengan tinea dan
diberi nama sesuai dengan lokasi anatomisnya seperti tinea kapitis, tinea barbae,
tinea korporis, tinea kruris, tinea unguium, tinea manus dan tinea pedis (Anra et
al., 2017).
B. Epidemiologi Dermatofitosis
Dermatofitosis tersebar diseluruh dunia dengan prevalensi berbeda-beda
pada tiap negara (Abbas et al., 2012). Infeksi jamur ini banyak ditemukan di
negara berkembang maupun negara yang beriklim tropis dan memiliki suhu
serta kelembaban tinggi. Selain itu, penyakit ini banyak diderita oleh orang-
orang yang kurang mengerti akan kebersihan dan banyak bekerja ditempat
panas serta banyak berkeringat (Kanti, E. A. A., 2014).
Dari data Profil Kesehatan Indonesia 2010 didapat bahwa penyakit kulit dan
jaringan subkutan menjadi peringkat ketiga dari 10 besar penyakit terbanyak
pada pasien rawat jalan di rumah sakit se-Indonesia berdasarkan jumlah
kunjungan yaitu sebanyak 192.414 kunjungan dan 122.076 kunjungan
diantaranya merupakan kasus baru (Kementrian Kesehatan, R.I., 2011). Sampai
saat ini angka kejadian dermatofitosis di Indonesia dilaporkan masih cukup
tinggi. Di Jawa Barat Bramono dan kawan kawan melaporkan dermatofitosis
banyak tersebar di daerah pedesaan dengan penyebab utama Trichophyton
rubrum, sedangkan di Samarinda Kalimantan Timur (2009-2010), dijumpai
bahwa dermatomikosis menduduki tempat ke-2 dari 10 besar penyakit kulit dan
kelamin, dan dermatofitosis merupakan infeksi terbanyak. Tipe klinis
dermatofitosis yang paling banyak ditemukan adalah tinea kruris (41,46%),
umumnya pada laki-laki (54,88%) dengan penyebab utama Trichophyton
rubrum (Kardhani et al, 2009).
C. Klasifikasi Dermatofitosis
1. Tinea kapitis
a. Definisi
Tinea kapitis adalah infeksi dermatofita terjadi pada skalp dan
rambut kepala yang ditandai dengan alopesia setempat dan terbentuknya
skuama. Tinea kapitis disebabkan oleh dermatofita genus Trichophyton
dan Microsporum selain Trichophyton concentricum. Trichophyton
concentricum dapat mengenai skalp, tetapi tidak rambut kepala.Tinea
kapitis merupakan dermatofitosis yang paling sering terjadi dan
mengenai anak-anak dengan usia dominan antara 3 sampai 7 tahun,
walaupun dapat juga mengenai neonatus dan dewasa. Distribusi
dermatofita berbeda tiap negara tergantung beberapa faktor yaitu letak
geografi, iklim dan gaya hidup (Verma, 2008).
b. Cara Penularan
Penularan infeksi jamur dapat terjadi secara langsung maupun tidak
langsung. Penularan langsung melalui epitel kulit dan rambut yang
mengandung jamur baik dari manusia, binatang, atau tanah. Penularan
tak langsung dapat melalui tanaman, kayu, pakaian, dan barang-barang
lain yang dihinggapi jamur, atau dapat juga melalui debu dan air. Cara
penularan dapat terjadi secara tidak langsung juga dapat melalui fomite
misalnya sisir, topi, sarung bantal, mainan, dan kursi teater. Ada
beberapa faktor yang dapat mempermudah penularan infeksi jamur
(Verma, 2008) :
1) Faktor asal jamur
Sifat asal jamur, apakah antropofilik, zoofilik, atau geofilik
menentukan keparahan infeksi jamur. Jamur antropofilik
menyebabkan perjalanan penyakit yang kronik dan residif karena
reaksi penolakan tubuh yang sangat ringan. Sementara jamur
geofilik menyebabkan gejala akut ringan sampai sedang dan mudah
sembuh.
2) Keutuhan kulit. Kulit yang intak tanpa adanya lesi lebih sulit untuk
terinfeksi jamur.
3) Suhu dan kelembaban. Kondisi tubuh yang berkeringat
menyebabkan lingkungan menjadi lembap sehingga mempermudah
tumbuhnya jamur.
4) Sosial ekonomi. Infeksi jamur secara umum lebih banyak
menyerang masyarakat golongan sosial ekonomi menengah ke
bawah karena rendahnya kesadaran dan kurangnya kemampuan
untuk memelihara kebersihan diri dan lingkungan.
5) Usia dan jenis kelamin. Tinea kapitis sering terjadi pada anak-anak
dan lebih banyak ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan
perempuan.
c. Etiologi
Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan
dermatofitosis. Golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin.
Sumber penularannya dapat berasal dari manusia (antropofilik) M.
audouinii, T. tonsurans, hewan (zoofilik) M. canis, dan tanah (geofilik).
Survei di Amerika Serikat mendapatkan bahwa jumlah anggota keluarga
yang banyak, lingkungan hidup padat, dan kondisi sosioekonomi yang
kurang dapat berperan pada peningkatan insidens tinea kapitis akibat
Trichophyton tonsurans di beberapa populasi kota (Bennasar, 2010).
Dermatofita termasuk kelas fungi imperfekti yang terbagi menjadi
tiga genus, yaitu Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton.
Tinea kapitis dibagi menjadi dua tipe, yaitu tipe inflamasi dan non
inflamasi. Tipe inflamasi terdiri dari cerion celsi dan tinea favosa,
sedangkan tipe non inflamasi terdiri dari grey patch dan black dot.
Spesies tersering yang menyebabkan tipe grey patch adalah
Microsporum audouini, tipe black dot adalah Trichophyton tonsuran
dan T. violaceum, tipe cerion celsi M. canis dan M. gypseum, sedangkan
etiologi tipe tinea favosa T. schoenleini (Budimulja, 2007).
d. Patogenesis
Berdasarkan patogenesisnya tinea kapitis dapat dijelaskan sebagai
berikut (Hube et al., 2015):
1) Lesi non inflamasi, disebabkan invasi jamur ke batang rambut
terutama oleh M.audouini dan penularan dari anak ke anak melalui
alat cukur rambut, penggunaan topi dan sisir yang sama. M.canis
dapat ditularkan melalui hewan peliharaan ke anak, dan anak-anak.
2) Lesi inflamasi, disebabkan oleh T. tonsurans, M. canis, T.
verrucosum, dan lain-lain. Spora masuk melalui celah di batang
rambut atau kulit kepala sehingga menyebabkan infeksi klinis.
Trauma di kulit kepala juga membantu inokulasi. Dermatofit
awalnya menyerang stratum korneum kulit kepala, yang dapat
diikuti oleh infeksi rambut. Menyebar ke folikel rambut lain
kemudian terjadi infeksi regresi dengan atau tanpa respon
peradangan. Gejala klinis bervariasi sesuai dengan jenis invasi
rambut, imun tubuh, dan tingkat respons inflamasi. Berdasarkan
invasinya infeksi jamur dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a) Endotrik; infeksi di dalam batang rambut tanpa merusak
kutikula, biasanya oleh Trchophyton spp yang ditandai dengan
adanya rantai spora yang besar.
b) Eksotrik; infeksi terjadi di batang rambut luar dan menyebabkan
kerusakan kutikula. Biasanya disebabkan oleh Microsporum
spp.
e. Manifestasi Klinis
Gejala klinis pada tinea capitis dapat dilihat berdasarkan jenis tinea
kapitis tersebut, yaitu (Budimulja, 2007) (Suyoso, 2007):
1) Grey patch ringworm
Grey patch ringworm merupakan tinea kapitis yang biasanya
disebabkan oleh genus Microsporum dan sering ditemukan pada
anak – anak. Penyakit mulai dengan papul merah yang kecil di
sekitar rambut. Papul ini melebar dan membentuk bercak yang
menjadi pucat dan bersisik. Keluhan penderita adalah rasa gatal.
Warna rambut menjadi abu-abu dan tidak berkilat lagi. Rambut
mudah patah dan terlepas dari akarnya, sehingga mudah dicabut
dengan pinset tanpa rasa nyeri. Semua rambut di daerah tersebut
terserang oleh jamur, sehingga dapat terbentuk alopesia setempat.
Tempat-tempat ini terlihat sebagai grey patch.
Grey patch yang di lihat dalam klinik tidak menunjukkan batas-
batas daerah sakit dengan pasti. Pada pemeriksaan dengan lampu
wood dapat di lihat flouresensi hijau kekuningan pada rambut yang
sakit melampaui batas-batas grey tersebut. Pada kasus-kasus tanpa
keluhan pemeriksaan dengan lampu wood ini banyak membantu
diagnosis. Tinea kapitis tipe ini penyebab terseringnya adalah
Microsporum audouinii.
Pada pemeriksaan dermoskopi dapat didapatkan “comma”,
“corkscrew” dan morse code-like hair yang menjadi tanda tinea
kapitis. Pada pemeriksaan kalium hidroksida (KOH) 10% dari
pencabutan rambut kepala dapat ditemukan artrokonidia di luar
batang rambut (ektotriks). Pemeriksaan hair pull test didapatkan
rambut terlepas > 5 helai dengan patah di beberapa mili diatas muara
folikel rambut.

Gambar 2.1. Gray-patch ringworm.


2) Black dot ringworm
Black dot ringworm terutama disebabkan oleh Trichophyton
tonsurans dan Trichophyton violaceum. Pada permulaan penyakit,
gambaran klinisnya menyerupai kelainan yang di sebabkan oleh
genus Microsporums. Rambut yang terkena infeksi patah, tepat pada
rambut yang penuh spora. Ujung rambut yang hitam di dalam folikel
rambut ini memberi gambaran khas, yaitu black dot, ujung rambut
yang patah kalau tumbuh kadang-kadang masuk ke bawah
permukaan kulit. Pada pemeriksaan dengan lampu wood dapat di
lihat flouresensi hijau kekuningan pada rambut yang sakit. Pada
pemeriksaan pull test rambut patah tepat di muara folikel rambut.

Gambar 2.2. Black dot ringworm.

3) Cerion celsi
Cerion celsi adalah reaksi peradangan yang berat pada tinea
kapitis, berupa pembengkakan yang menyerupai sarang lebah
dengan serbukan sel radang yang padat disekitarnya. Gambaran
khas berupa massa inflamasi berbentuk boggy, berbatas tegas,
dengan supurasi yang berasal dari orifisium folikular. Bila
penyebabnya Microsporum caniis dan Microsporum gypseum,
pembentukan kerion ini lebih sering dilihat, kurang terlihat jelas bila
penyebabnya adalah Trichophyton violaceum. Kelainan ini dapat
menimbulkan jaringan parut dan berakibat alopesia yang menetap,
jaringan parut yang menonjol kadang-kadang juga dapat terbentuk.
Pasien juga dapat mengalami gejala-gejala infeksi seperti demam,
lemah, nyeri tekan, dan pembesaran kelenjar getah bening.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan plak, bulat berwarna
dull-red dengan batas tegas, membasah disertai pus yang merembes
dari pustul folikular, krusta kekuningan, skuama putih, dengan area
alopesia berbatas tegas. Pada inflamasi tipe kerion celsi timbul
folikulitis supuratif dan infiltrasi subkutan. Gambaran ‘boggy’
disertai pus yang tampak membasah dari folikel. Pembengkakan
tersebut nyeri dan rambut mudah lepas. Pus yang timbul bukan
akibat infeksi sekunder dari invasi bakteri, sehingga tidak
diperlukan terapi antibakteri (antibiotik). Seringkali, plak berwarna
dull-red berbatas tegas yang dipenuhi pustul, dan disebut sebagai
agminate folikulitis (Schieke, 2012). pemeriksaan dengan larutan
KOH mendapatkan artrokonidia ektotriks.

Gambar 2.3. Kerion celsi.

4) Tinea favosa
Tinea favosa merupakan infeksi kronis dermatofita pada kepala,
kulit tidak berambut atau kuku, ditandai krusta kering dan tebal
dalam folikel rambut yang menyebabkan terjadinya alopesia
jaringan parut. Tinea favosa umumnya diderita sebelum dewasa
hingga berlanjut sampai dewasa dan berhubungan dengan malnutrisi
atau gizi buruk. Penyebab tersering adalah T.scholeinii, kadang-
kadang T.violaceum dan M.gypseum. Lesi ditandai dengan bercak-
bercak eritem folikuler disertai skuama ringan perifolikuler dan
invasi hifa yang progresif menggelembungkan folikel sehingga
terjadi papul kekuningan cekung, mengelilingi rambut yang kering
dan kusam. Awalnya hanya berupa papul plak kuning kemerahan
yang kemudian membentuk krusta tebal; berwarna kekuningan
(skutula). Skutula dapat berkonfluens membentuk plak besar dengan
mousy odor dan meluas serta meninggalkan area sentral yang atrofi
dan alopesia.

Gambar 2.4. Tinea favosa.

f. Penegakan Diagnosis
Diagnosis boleh ditegakkan dengan gejala klinis dan hasil tes
laboratorium. Tes laboratorium yang dapat digunakan, yaitu (Suyoso,
2007) :
1) Pemeriksaan KOH
Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan dengan
mikroskop, mula-mula dengan pembesaran 10x10, kemudian
pembesaran 10x40. Sediaan diambil dari kulit kepala dengan cara
kerokan pada lesi yang diambil menggunakan sikat atau blunt solid
scapel. Pengambilan sampel terdiri rambut sampai akar rambut serta
skuama. Setelah sampel diambil kemudian sampel diletakkan di atas
object glass, kemudian ditambahkan 1-2 tetes larutan KOH.
Konsentrasi larutan KOH untuk sediaan rambut adalah 10% dan
untuk kulit 20%. Setelah sediaan dicampurkan dengan KOH,
ditunggu 15-20 menit untuk melarutkan jaringan. Untuk
mempercepat pelarutan dapat dilakukan pemanasan sediaan basah
diatas api kecil. Pada saat mulai keluar uap dari sediaan tersebut,
pemanasan sudah cukup. Bila terjadi penguapan yang berlebihan
maka akan terbentuk kristal KOH, sehingga tujuan yang diinginkan
tidak tercapai. Untuk melihat elemen jamur lebih nyata dapat
ditambahkan zat warna pada sediaan KOH. Preparat dengan larutan
KOH ini yang didapatkan terlihat hifa panjang dan bersepta,
sedangkan untuk preparat langsung terlihat hifa atau spora di dalam
rambut (endotrik) dan di luar rambut (ektotrik).

Gambar 2.5. Pemeriksaan KOH pada tinea kapitis.

2) Wood-lamp
Filter sinar ultraviolet (wood) memunculkan fluoresensi hijau
dari beberapa jamur dermatofita, terutama spesies Microsporum.
Lampu Wood adalah prosedur screening yang berguna untuk
mengambil spesimen dari infeksi Microsporum. Pada grey patch
dan black dot ringworm dapat dilihat fluoresensi hijau kekuningan-
kuningan.
Gambar 2.6. Pemeriksaan lampu wood pada tinea capitis.

3) Kultur
Medium kultur yang digunakan untuk jamur dermatofit adalah
sabouraud dextrose agar. Pemeriksaan dengan pembiakan
diperlukan untuk menyokong pemeriksaan langsung sediaan basah
dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan
dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan yaitu
sabouraud dextrose agar.
Antibiotik seperti kloramfenikol dan cycloheximide
ditambahkan ke media untuk mencegah pertumbuhan dari bakteri
atau jamur kontaminan. Kerokan yang diambil pada lesi di kulit
kepala dengan menggunakan sikat kemudian diratakan di
permukaan media kultur. Kebanyakan dermatofit tumbuh pada
derajat suhu 26 derajat selsius dan diperlukan waktu tumbuh kurang
lebih 2 minggu.
g. Diagnosis Banding
1) Dermatitis seboroik
Peradangan yang erat dengan keaktifan glandula sebasea yang
aktif pada bayi dan insiden puncak pada usia 18-40 tahun.
Manifestasi pada dermatitis seboroik didapatkan eritema, skuama
yang berminyak dan kekuningan dengan batas tidak tegas, rambut
rontok mulai dari vertex dan frontal. Krusta tebal dapat berbau tidak
sedap dan meluas ke dahi, glabella, telinga postaurikular, leher,
daerah supraorbital, liang telinga luar, lipatan nasolabial, sternal,
payudara, interskapular, umbilikus, lipat paha dan anogenital.
2) Psoriasis
Psoriasis adalah penyakit yang penyebabnya autoimun bersifat
kronik dan residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema
berbatas tegas dengan skuama yang kasar, berlapis-lapis dan
trasparan disertai fenomena tetesan lilin, auspitz dan kobner.
Penyakit ini mengenai semua umur namun umumnya pada dewasa
dan pria lebih banyak dibandingkan wanita. Predileksi psoriasis
adalah scalp, ekstremitas bagian ekstensor terutama siku serta lutut
serta lumbosacral.
3) Alopesia aerata
Etiologi alopesia areata sampai sekarang belum diketahui namun
sering dihubungkan dengan infeksi lokal, kelainan endokrin dan
stres emosional. Gejala klinis terdapat bercak berbentuk bulat atau
lonjong dan terjadi kerontokan rambut pada kulit kepala, alis,
janggut dan bulu mata. Pada tepi daerah yang botak ada rambut yang
terputus, bila dicabut terlihat bulbus yang atrofi. Pada pemeriksaan
histopatologi ditemukan rambut banyak dalam fase anagen, folikel
rambut terdapat berbagai ukuran, tetapi lebih kecil dan tidak matang,
bulbus rambut didalam dermis dan dikelilingi oleh infiltrasi limfosit.
h. Tata laksana
Pengobatan yang ideal dan cocok untuk anak-anak adalah sediaan
bentuk likuid, terasa enak, terapi singkat, keamanan yang baik dan
sedikit interaksi antar obat, berikut adalah berbagai obat yang dapat
digunakan untuk tinea kapitis (Suyoso, 2007; Siregar, 2004; Patel,
2009):
1) Griseovulfin
Sediaan : 125, 250, 500mg
Dosis : 20-25 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 2 kali pemberian
dalam sehari.
Griseofulvin menunjukkan efektivitas paling baik untuk infeksi
Microsporum sp. Diberikan selama 6-8 minggu. Pemberian pertama
untuk 2 minggu kemudian dilakukan pemeriksaan lampu Wood.
Bila masih positif maka sebaiknya dosis dinaikkan hingga batas
rentang maksimumnya. Bila hasil negatif maka obat diteruskan
sampai 6 minggu.
Kegagalan pengobatan tinea kapitis dengan griseofulvin dapat
disebabkan karena :
a) dosis tidak adekuat,
b) pasien tidak patuh,
c) gangguan absorbsi pencernaan,
d) interaksi obat,
e) jenis dermatofit yang resisten terhadap griseofuvin,
f) terjadi reinfeksi terutama dari anggota keluarga atau teman
bermain.
2) Kapsul itrakonazol
Sediaan 100 mg
Dosis 3-5 mg/KgBB/hari selama 4-6 minggu
Itrakonazol juga efektif mengeradikasi tinea kapitis yang
disebabkan Microsporum sp. maupun Trichophyton sp.
3) Tablet terbinafin
Sediaan : tablet 250 mg
Diberikan untuk anak umur > 2 tahun. Monitor laboratorium fungsi
liver dan darah lengkap diperiksa bila pemakaian lebih 6 minggu.
Tterbinafin dosis 3-6 mg/kgBB/hari dapat mengatasi infeksi
Trichophyton sp. selama 2-4 minggu, dan Microsporum sp. selama
4-8 minggu.
4) Shampo ketokonazol 1% - 2%, dipakai 2-3 kali/ minggu didiamkan
5 menit baru dicuci. Shampo obat berguna untuk mempercepat
penyembuhan. Penggunaan antijamur topikal dapat mengurangi
risiko transmisi kepada orang lain pada tahap awal terapi sistemik
tinea kapitis dan dapat diberikan sampai 2-4 minggu. Selain itu dapat
digunakan juga selenium sulfida (1% dan 2,5%), zinc pyrithione
(1% dan 2%) dan povidon iodin 2,5%.
i. Prognosis
Prognosis kasus tinea kapitis tergantung dari berat ringannya
inflamasi yang ditimbulkan oleh organisme penyebab, sensitivitas
organisme terhadap pengobatan dan adanya kekambuhan. Kekambuhan
biasanya tidak terjadi bila telah diberikan terapi yang adekuat serta
penemuan dan pengobatan terhadap binatang atau orang lain di
sekitarnya yang terinfeksi dan juga karier asimptomatik. Rambut yang
terinfeksi biasanya dapat tumbuh kembali, namun jika infeksi tidak
diobati dan bertahan lama maka mungkin dapat terjadi alopesia
permanen. Etiologi T. violacaum, T. tonsurans menyebabkan infeksi
yang menetap (Nasution, 2013).
Prognosis tinea kapitis secara umum baik. Namun perlu diketahui
bahwa penyakit ini erat kaitannya dengan higienitas pasien sehingga
meskipun keluhan sudah tidak muncul apabila kebersihan tidak
terpelihara dapat terjadi infeksi berulang. Faktor-faktor yang menjadi
penyulit kesembuhan dan atau menunjang kekambuhan tinea kapitis
diantaranya (El-Gohary et al, 2014):
1) Lesi luas
2) Higienitias personal buruk
3) Terapi tidak adekuat
2. Tinea barbae
a. Definisi
Tinea barbae adalah infeksi dermatofita langka yang menyerang
kulit, rambut, dan folikel rambut pada janggut dan kumis. Tinea barbae
pertama kali diperkenalkan oleh Gruby pada tahun 1842 sebagai infeksi
jamur pada area janggut, di mana bagian dari jamur tersebut membentuk
selubung yang terus menerus di sekitar rambut (CholletA, 2015). Gruby
menamakan jamur itu "mentagrophyte," yang berarti "tanaman dagu.".
Tinea barbae juga dikenal sebagai tinea sycosis, karena salah satu
manifestasi klinisnya adalah peradangan pada folikel rambut. Tinea
barbae biasanya dikaitkan dengan penularan dari penggunaan pisau
cukur yang tidak bersih yang digunakan oleh tukang cukur. Oleh karena
itu, itu sering disebut sebagai Barber’itch’ dan kurap jenggot (Bonifaz,
2003).
b. Etiologi
Tinea barbae disebabkan oleh beberapa dermatofita, termasuk
organisme, zoofilik dan antropofilik; namun, infeksi dermatofit zoofilik
lebih sering terjadi. Seringkali, hewan (misalnya, sapi, kuda, kucing,
anjing) merupakan sumber infeksi. Spesies Trichophyton adalah yang
paling umum, sehingga istilah trichophytosis barbae juga digunakan. Di
antara dermatofit zoofilik, T. mentagrophytes var granulosum dan
Trichophyton verrucosum adalah agen penyebab yang paling umum.
Microsporum canis dan Trichophyton mentagrophytes var erinacei
dapat menyebabkan tinea barbae tetapi jarang terjadi (Szepietowski,
2008).
T.rubrum dan Trichophyton violaceum adalah dermatofita
antropofilik yang paling sering menyebabkan tinea barbae; namun,
infeksi dari Trichophyton megninii (endemik di Sardinia, Sisilia,
Portugal) dan Trichophyton schoenleinii (endemik di Eurasia, Afrika,
Brasil) juga dapat terjadi, terutama di daerah endemik. Infeksi kulit pada
janggut oleh dermatofita antropofilik mungkin merupakan hasil
autoinokulasi dari tinea pedis atau onikomikosis. Organisme penyebab
lain yang dilaporkan termasuk Trichophyton interdigitale dan
Microsporum nanum (Yin X, 2011).
c. Manifestasi Klinis
Secara klinis tinea barbae muncul sebagai dua morfologi yang
berbeda, inflamasi dan noninflamasi. Gejala klinis yang khas
menimbulkan plak, pustular yang akhirnya menjadi abses yang
menutupi permukaan kulit disertai rasa gatal dan rambut patah.
Manifestasi klinis pada jenis inflamasi terlihat pada jenis dermatofitosis
zoofilik dan manifestasi klinis noninflamasi pada dermatofitosis
antropofilik (Rutecki, 2012).
Bentuk inflamasi klasik tinea barbae mengembangkan lesi
karakteristik yang disebut kerion. Kerion adalah nodul atau plak
eritematosa, berawa, lunak, sering steril, dan sinus yang mengering.
Biasanya terlokalisasi di dagu, pipi, atau leher, keterlibatan bibir atas
jarang terjadi. Rambut di area ini tampak tidak berkilau, rapuh, dan
mudah dicabut. Rambut longgar atau patah, dan pencabutannya mudah
dan tidak menyakitkan. Massa keputihan berisi nanah melibatkan akar
rambut dan folikel. Seiring waktu, permukaan nodul indurasi ditutupi
oleh eksudat dan kerak. Kerion bisa soliter atau multipel tetapi biasanya
unilateral. Pasien dengan tinea barbae inflamasi mungkin memiliki
gejala konstitusional seperti demam dan malaise. Kerion adalah pustula
steril yang berkumpul, tetapi kadang-kadang mereka dapat menjadi
superinfeksi dengan bakteri kulit dan menyebabkan limfadenopati
regional (Singh, 2017).
Tinea barbae noninflamasi adalah dermatofitosis superfisial
pruriginosa, yang muncul sebagai plak skuamosa eritematosa difus
dengan pustula dan papula perifolikular. Kadang-kadang, lesi tinea
barbae superfisial tidak dapat dibedakan dari tinea facial dengan plak
bersisik datar dengan bagian tengah yang bersih dan tepi aktif berbentuk
cincin yang terdiri dari vesikel dan pustula (Szepietowski, 2008).
Gambar 2.7. Manifestasi klinis tinea barbae

d. Penegakan Diagnosis
Diagnosis tinea barbae seringkali hanya klinis. Pengetahuan tentang
penyakit dan presentasi klinisnya, bersama dengan riwayat dan
pemeriksaan fisik yang baik, dapat membantu dalam diagnosis dini.
Karena pengobatan utama untuk tinea barbae adalah terapi antijamur
sistemik untuk waktu yang lama dengan potensi efek samping, sehingga
penting untuk memastikan diagnosis. Diagnosis dapat ditegakkan
dengan sederhana, pemeriksaan mikroskopis langsung dari kerokan
kulit dari lesi atau dengan visualisasi langsung dari daerah yang terkena
di bawah lampu Wood. Visualisasi area yang terkena di bawah lampu
Wood adalah penggunaan yang terbatas, karena sebagian besar
dermatofita yang menyebabkan tinea barbae tidak berfluoresensi
kecuali untuk spesies Microsporum. Pemeriksaan KOH 10% dilakukan
dan dapat ditemukan hifa panjang bersepta seperti tinea pada umumnya
(Rutecki, 2000).
e. Tata laksana
Perawatan utama untuk tinea barbae adalah terapi antijamur oral.
Agen topikal dapat digunakan, tetapi hanya sebagai terapi tambahan.
Agen antijamur oral yang telah terbukti efektif dalam pengelolaan tinea
barbae adalah terbinafine, azoles, dan griseofulvin. Griseofulvin
dulunya merupakan obat yang diminati, tetapi sekarang jarang
digunakan karena efek sampingnya, resistensi obat, kebutuhan untuk
terapi yang berkepanjangan, dan peningkatan angka kekambuhan
karena pembersihan obat yang cepat dari kulit.Dulunya, tinea barbae
berikan griseovulfin selama 12 minggu. Laporan kasus terbaru telah
menunjukkan resolusi lengkap dari tinea barbae dengan 4-6 minggu
terapi dengan terbinafine dan azoles. Meskipun empat minggu
pengobatan sudah cukup, beberapa penulis menyarankan melanjutkan
pengobatan selama 2 sampai 3 minggu setelah resolusi lesi. Dosis yang
direkomendasikan untuk agen antijamur yang tersedia untuk tinea
barbae adalah (Duarte, 2019; Rutecki, 2000):
1) Terbinafine 125 mg sampai 250 mg sekali sehari
2) Ketoconazole 200 sampai 400 mg sehari
3) Flukonazol 200 mg sekali sehari
4) Itrakonazol 100 mg sekali sehari
Efek samping yang umum untuk terbinafine dan azoles termasuk
mual, sakit perut, diare, ruam, peningkatan transaminase, dan gangguan
penglihatan. Ketika pada terapi antijamur sistemik, pemantauan berkala
fungsi hati, ginjal, dan hematopoietik dianjurkan (Hainer, 2003;Furlan,
2017).
f. Edukasi
Tinea barbae adalah penyakit menular di mana seseorang dapat
terinfeksi baik dari hewan atau manusia melalui kontak langsung atau
tidak langsung. Setelah diagnosis tinea barbae dibuat, penekanan harus
ditempatkan pada mengidentifikasi sumber infeksi. Pasien dan anggota
keluarga harus diskrining untuk infeksi dermatofit lainnya seperti tinea
kapitis, tinea pedis, onikomikosis, dll. Hewan peliharaan dan ternak
harus diperiksa untuk dermatofitosis zoonosis dan diobati dengan tepat
dengan bantuan dokter hewan untuk mencegah infeksi ulang. Hindari
berbagi sisir, sikat, dan topi untuk mengurangi penularan antar anggota
keluarga (Rutecki, 2000).
3. Tinea korporis
a. Definisi
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan tubuh yang
mengandung keratin atau zat tanduk, misal stratum korneum pada
epidermis, rambut, serta kuku, yang disebabkan oleh infeksi jamur
dermatofita yaitu Epidermophyton, Mycrosporum dan Trycophyton dan
diantaranya adalah tinea corporis dan tinea cruris (James, 2011). Tinea
kruris sebagai salah satu dermatofitosis sering ditemukan pada kulit lipat
paha, genitalia, daerah pubis, perineum dan perianal. Penyakit ini
merupakan penyakit terbanyak yang ditemukan di daerah inguinal, yaitu
sekitar 65-80% dari semua penyakit kulit di inguinal (Yossela, 2015).
Tinea corporis adalah infeksi jamur golongan dermatofita pada kulit
halus tidak berambut (glabrous skin) di daerah wajah, leher, badan,
lengan, tungkai, dan glutea (Budimulja, 2011).
b. Etiologi
Etiologi penyakit ini merupakan jamur golongan dermatofita, antara
lain Trichophyton rubrum, Epidermophyton floccosum, Trichophyton
mentagrophytes, dan Trichophyton verrucosum (Schieke, 2015).
Tricophyton rubrum dengan prevalensi 47% dari semua kasus tinea
corporis. (Lesher, 2012).
Golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin sehingga
jamur jenis ini menyerang lapisan-lapisan kulit mulai dari stratum
korneum hingga stratum basalis. Penularan penyakit ini terjadi karena
adanya kontak dengan debris keratin yang mengandung hifa jamur
(Kurniati & Rosita, 2008).
c. Faktor Predisposisi
Faktor resiko yang dapat menimbulkan penyakit tinea kruris, dapat
dibagi menjadi 2 yaitu faktor risiko internal dan faktor risiko eksternal
(Behzadi dkk, 2014) :
1) Internal
Faktor risiko internal lebih banyak pada usia remaja dan dewasa,
jenis kelamin laki-laki tapi tidak menutup kemungkinan pada
wanita, memiliki pengetahuan dan perilaku higienitas yang kurang,
mengalami keringat yang berlebihan, obesitas (BMI ≥ 25), memiliki
penyakit metabolik seperti diabetes melitus, mengalami defisiensi
imunitas, riwayat penggunaan obat-obatan seperti antibiotik,
kortikosteroid, dan imunosupresan lainnya.
2) Eksternal
Faktor risiko eksternal yang dapat menyebabkan infeksi
diantaranya Iklim yang panas, lingkungan yang kotor dan lembab,
pemakaian bahan pakaian yang tidak menyerap keringat, lingkungan
sosial budaya dan ekonomi, suka bertukar handuk, pakaian dan
celana dalam dengan teman atau anggota keluarga yang menderita
tinea.
d. Manifestasi Klinis
1) Anamnesis
Keluhan utama dan keluhan tambahan pasien biasanya adalah
rasa gatal pada badan dan daerah kruris (lipat paha), intergluteal
sampai ke gluteus, dan genitalia. Dapat pula meluas ke supra pubis
dan abdomen bagian bawah. Pasien biasanya pernah memiliki
keluhan yang serupa sebelumnya. Faktor risiko dari tinea yaitu
pasien berada pada tempat yang beriklim agak lembab, memakai
pakaian ketat, bertukar pakaian dengan orang lain, berkeringat
banyak, dan menderita diabetes melitus (Janik & Heffernan, 2008).
2) Pemeriksaan fisik
Efloresensi terdiri atas bermacam-macam bentuk, baik yang
primer maupun sekunder, pada tinea kruris berupa makula/ plak
eritematosa, berbatas tegas meluas dari lipat paha hingga ke paha
bagian dalam dan seringkali bilateral. Peradangan di bagian tepi lesi
lebih terlihat dengan bagian tengah tampak seperti menyembuh
(central clearing). Pada tepi lesi dapat disertai vesikel, pustul, dan
papul, terkadang terlihat erosi disertai keluarnya serum akibat
garukan. Pada lesi kronis dapat ditemukan adanya likenifikasi
disertai skuama dan hiperpigmentasi (Yosella, 2015; Schieke &
Garg, 2012).
Gambar 2.8. Tinea corporis.

e. Pemeriksaan Penunjang
Gejala klinis dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis terdiri
atas pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pemeriksaan lain
seperti pemeriksaan histopatologik dan imunologik tidak diperlukan.
1) Kerokan kulit dengan larutan KOH 10%
Pada pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur
diperlukan bahan klinis yang berupa kerokan kulit. Bahan-bahan
kerokan kulit ini diambil dengan cara mengerok bagian kulit yang
mengalami lesi. Sebelumnya kulit dibersihkan, lalu dikerok dengan
skalpel steril dan jatuhannya ditampung dalam lempeng-lempeng
steril. Kemudian sediaan dituangi larutan KOH 10%. Hasil positif
jika ditemukan hifa bersepta atau bercabang dan berspora (Hidayati
et al., 2009).

Gambar 2.9. Pemeriksaan mikroskopis langsung dengan KOH 10%

2) Pemeriksaan dengan lampu wood


Pemeriksaan lampu Wood adalah pemeriksaan yang
menggunakan sinar ultraviolet dengan panjang gelombang 360 nm.
Sinar ini tidak dapat dilihat. Bila sinar ini diarahkan ke kulit yang
mengalami infeksi oleh jamur dermatofita tertentu, sinar ini akan
berubah menjadi dapat dilihat dengan memberi warna (fluoresensi).
Beberapa jamur yang memberikan fluoresensi yaitu M. canis, M.
audouini, M. ferrugineum dan T. schoenleinii (Hay dan Moore,
2004). Pada kasus tinea korporis dan kruris, lampu Wood digunakan
untuk menyingkirkan diagnosis banding dari eritrasma yang akan
tampak sebagai efloresensi merah bata (Hidayati et al., 2009).
3) Biakan jamur dengan media Sabouroud
Kultur dilakukan dalam media agar sabaroud dextrose agar
(SDA) pada suhu kamar (25-30⁰C), kemudian satu minggu dilihat
dan dinilai apakah ada pertumbuhan jamur.Spesies jamur dapat
ditentukan melalui bentuk koloni, bentuk hifa dan bentuk
spora.Kultur jamur merupakan metode diagnostik yang lebih
spesifik, namun membutuhkan waktu yang lebih lama dan
sensitivitas ynag rendah, harga lebih mahal dan biasanya digunakan
pada kasus yang berat dan tidak respon terhadap pengobatan
sistemik (Wiratma, 2011).
f. Penegakan Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dengam melihat gambaran klinis dan lokasi terjadinya lesi dan
pemeriksaan penunjang. Gejala klinisnya berupa rasa gatal yang
meningkat pada saat berkeringat. Pemeriksaan fisik didapatkan adanya
lesi eritematosa dan atau papulovesikel yang multipel dengan batas
tegas dan tepi yang meninggi, berbentuk polisiklik atau bulat berbatas
tegas, polimorfik dan tepi lebih aktif. Pada pemeriksaan penunjang yaitu
dilakukan pemeriksaan mikroskopis langsung dengan kerokan dan tetes
KOH serta kultur (Yossela, 2015).
g. Diagnosis Banding
1) Kandidiasis
Lesi makula dan plak eritem disertai lesi satelit membentuk
gambaran korimbiformis, disertai dengan pseudomembran.
Predileksi khas pada lipatan payudara, intergluteal, inguinal, lipat
ketiak, umbilical. Pada pemeriksaan KOH 10-20% didapatkan
pseudohifa dan blastospora (Siregar, 2004).
2) Eritrasma
Ditandai oleh lesi kulit berupa lebih eritema, batas lesi tegas,
kering tidak ada satelit, pemeriksaan dengan sinar Wood positif
memperlihatkan fluorensensi merah bata (Hidayati et al., 2009).
3) Psoriasis
Lesi berupa plakat eritema berbatas tegas disertai skuama lebih
tebal dan berlapis-lapis seperti mika. Keluhan biasanya menahun
dan terdapat tanda khas psoriasis seperti autpitz sign, fenomena
koebner, candle sign. Predileksi pada daerah wajah, ekstremitas
ekstensor, daerah lumbosacral (Siregar, 2004).
h. Tata laksana
Formulasi topikal dapat membasmi area yang lebih kecil dari
infeksi, tetapi terapi oral diperlukan di mana wilayah infeksi yang lebih
luas yang terlibat atau di mana infeksi kronis atau berulang. Infeksi
dermatofita dengan krim topikal antifungal hingga kulit bersih (biasanya
membutuhkan 3 sampai 4 minggu pengobatan dengan azoles dan 1
sampai 2 minggu dengan krim terbinafine) dan tambahan 1 minggu
hingga secara klinis kulit bersih. Terapi topikal untuk pengobatan tinea
kruris termasuk: terbinafine, butenafine, ekonazol, miconazole,
ketoconazole, klotrimazole, ciclopirox (Yossela, 2015).
Infeksi dermatofitosis dapat pula diobati dengan terapi sistemik.
Beberapa indikasi terapi sistemik dari infeksi dermatofita antara lain
(Yossela, 2015):
1) Infeksi kulit yang luas.
2) Infeksi kulit yang gagal dengan terapi topikal.
3) Infeksi kulit kepala.
4) Granuloma majocchi.
5) Onychomicosis dengan melibatkan lebih dari 3 buah kuku.
Terapi medikamentosa pada dermatofitosis, termasuk di antaranya
(Yossela, 2015):
1) Griseovulfin: pada masa sekarang, dermatofitosis pada umumnya
dapat diatasi dengan pemberian griseovulvin. Obat ini bersifat
fungistatik. Secara umum griseovulfin dalam bentuk fine particle
dapat diberikan dengan dosis 0,5 – 1 untuk orang dewasa dan 0,25 –
0,5 g untuk anak- anak sehari atau 10 – 25 mg per kg berat badan.
Lama pengobatan bergantung pada lokasi penyakit, penyebab
penyakit dan keadaan imunitas penderita. Setelah sembuh klinis di
lanjutkan 2 minggu agar tidak residif.
2) Butenafine adalah salah satu antijamur topikal terbaru
diperkenalkan dalam pengobatan tinea kruris dalam dua minggu
pengobatan dimana angka kesembuhan sekitar 70%.
3) Flukonazol (150 mg sekali seminggu) selama 4-6 minggu terbukti
efektif dalam pengelolaan tinea kruris dan tinea corporis karena 74%
dari pasien mendapatkan kesembuhan.
4) Itrakonazol dapat diberikan sebagai dosis 400 mg / hari diberikan
sebagai dua dosis harian 200 mg untuk satu minggu.
5) Terbinafine 250 mg / hari telah digunakan dalam konteks ini klinis
dengan rejimen umumnya 2-4 minggu.
6) Itrakonazol diberikan 200 mg / hari selama 1 minggu dianjurkan,
meskipun rejimen 100 mg / hari selama 2 minggu juga telah
dilaporkan efektif.
7) Ketokonazol bersifat fungistatik. Pada kasus resisten terhadap
griseovulfin dapat diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg perhari
selama 10 hari – 2 minggu pada pagi hari setelah makan. Selama
terapi 10 hari, gambaran klinis memperlihatkan makula
hipopigmentasi dan hiperpigmentasi. Pemeriksaan ulang KOH 10%
dapat tidak ditemukan kembali
Penatalaksanaan dermatofitosis tidak hanya diselesaikan secara
medikamentosa, namun dapat juga dilakukan secara nonmedikamentosa
dan pencegahan dari kekambuhan penyakit sangat penting dilakukan,
seperti mengurangi faktor predisposisi, yaitu menggunakan pakaian
yang menyerap keringat, mengeringkan tubuh setelah mandi atau
berkeringat, dan membersihkan pakaian yang terkontaminasi (Yossela,
2015).
i. Prognosis
Prognosis tinea korporis secara umum baik. Namun perlu diketahui
bahwa penyakit ini erat kaitannya denga higienitas pasien sehingga
meskipun keluhan sudah tidak muncul apabila kebersihan tidak
terpelihara dapat terjadi infeksi berulang. Faktor-faktor yang menjadi
penyulit kesembuhan dan atau menunjang kekambuhan tinea korporis
diantaranya luas lesi, higienitias personal buruk, bertahan pada
lingkungan dan kebiasaan berpakian yang lembab, dan terapi tidak
adekuat (El-Gohary et al, 2014).
j. Komplikasi
Penderita tinea corporis dapat terjadi komplikasi infeksi sekunder
oleh mikroorganisme candida atau bakteri. Pemberian obat steroid
topikal dapat mengakibatkan eksaserbasi jamur sehingga menyebabkan
penyakit menyebar dan bertambah parah (Budimulja, 2011).
4. Tinea kruris
a. Definisi
Tinea kruris adalah penyakit jamur yang disebabkan oleh jamur jenis
dermatofita pada sela paha, perineum dan sekitar anus. Lesi kulit dapat
terbatas pada daerah genitokrural saja atau bahkan meluas ke daerah
sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah atau bagian tubuh
yang lain. Tinea kruris mempunyai nama lain ekzema marginatum,
jockey itch, ringworm of the groin, dhobie itch. Kelainan ini dapat
bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang
berlangsung seumur hidup (Budimulja, 2010).
b. Etiologi
Penyebab utama dari tinea kruris adalah Trichopyhton rubrum
(90%) dan Epidermophython fluccosum Trichophyton mentagrophytes
(4%), Trichopyhton tonsurans (6%) (Trelia, 2003).
c. Manifestasi Klinis
Penderita merasa gatal dan kelainan lesi berupa plakat berbatas tegas
terdiri atas bermacam-macam efloresensi kulit (polimorfik). Bentuk lesi
yang beraneka ragam ini dapat berupa sedikit hiperpigmentasi dan
skuamasi menahun. Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi
bulat atau lonjong, berbatas tegas, terdiri atas eritema, skuama, kadang-
kadang dengan vesikel dan papul di tepi lesi. Daerah di tengahnya
biasanya lebih tenang, sementara yang di tepi lebih aktif yang sering
disebut dengan central healing. Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta
akibat garukan. Kelainan kulit juga dapat dilihat secara polisiklik,
karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu (Abdelal, 2013).
d. Penegakan Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yaitu adanya
kelainan kulit berupa lesi berbatas tegas dan peradangan dimana pada
tepi lebih nyata daripada bagian tengahnya. Pemeriksaan mikologi
ditemukan elemen jamur pada pemeriksaan kerokan kulit dengan
mikroskopik langsung memakai larutan KOH 10-20%. Pemeriksaan
KOH paling mudah diperoleh dengan pengambilan sampel dari batas
lesi. Hasil pemeriksaan mikroskopis KOH 10 % yang positif, yaitu
adanya elemen jamur berupa hifa yang bercabang dan atau artrospora.
Pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur di perlukan bahan
klinis, yang dapat berupa kerokan kulit, rambut, dan kuku (Budimulja,
2010).
e. Tata laksana
Penatalaksanaan tinea kruris dapat dibedakan menjadi dua yaitu
higenisitas sanitasi dan terapi farmakologi. Melalui higienis sanitasi,
dan tinea kruris dapat dihindari dengan mencegah faktor risiko seperti
celana dalam yang digunakan, hendaknya dapat menyerap keringat dan
diganti setiap hari. Selangkangan atau daerah lipat paha harus bersih dan
kering. Hindari memakai celana ketat, terutama yang digunakan dalam
waktu yang lama. Menjaga agar daerah selangkangan atau lipat paha
dan bagian tubuh lainnya tetap kering adalah salah satu faktor yang
mencegah terjadinya infeksi tinea kruris (Budimulja, 2010).
Masa sekarang, dermatofitisis pada umumnya dapat diatasi dengan
pemberian griseofulvin yang bersifat fungistatik. Bagan dosis
pengobatan griseofulvin berbeda-beda. Secara umum, griseofulvin
dalam bentuk fine particle dapat di berikan denggan dosis 0,5-1 g untuk
orang dewasa dan 0,25-0,5 g untuk anak –anak sehari atau 10-25 mg per
kg berat badan. Lama pengobatan tergantung dari lokasi penyakit dan
keadaan imunitas penderita. Efek samping griseofulvin jarang dijumpai,
yang merupakan keluhan utama ialah sefalgia yang di dapati pada 15%
penderita. Efek samping yang lain dapat berupa gangguan traktus
digestifus ialah nausea, vomitus, dan diare. Obat tersebut juga bersifat
fotosensitif dan dapat menggangu fungsi hepar (Budimulja, 2010).
1) Topikal
Obat topikal konvensional, misalnya asam salisilat 2-4%, asam
benzoate 6-12%, sulfur 4-6%, vioform 3%, undesilat 2-5%, dan zat
warna. Obat-obat baru diantaranya tolnafat 2%, toksilat, haloprogin,
imidazole, siklopiroksolamin, naftifine masing-masing 1%.
2) Sistemik
Diberikan jika lesi meluas dan kronik yaitu dengan griseofulvin
500-1.000 mg selama 2-3 minggu dianjurkan untuk dibagi 4 kali per
hari atau ketokonazol 200 mg/hari selama 10 hari sampai 2 minggu
pada pagi hari setelah makan. Ketokonazol yang bersifat
hepatotoksik busa diganti dengan itrakonazol 200 mg 2 kali sehari
dalam kapsul selama 3 hari. Usaha untuk mengurangi rasa gatal yang
muncul dengan pemberian antihistamin.
f. Prognosis
Prognosis tinea cruris secara umum adalah baik apabila pengobatan
dilakukan dengan baik serta selalu menjaga kelembapan dan kebersihan
kulit (Budimulja, 2010).
5. Tinea manus
a. Definisi
Tinea manus adalah dermatofitosis pada tangan yang sering terjadi
di tangan yang dominan digunakan dan sering berhubungan dengan
Tinea pedis. Tinea manus biasanya asimptomatis dengan perjalanan
penyakit dalam hitungan bulan sampai tahun. Etiologi tersering dari
tinea manus adalah Trichophyton rubrum. Tinea manus pertama kali
dijelaskan oleh Fox pada tahun 1870 dan Pellizaari tahun 1888. Bersama
dengan tinea pedis, tinea manus adalah salah satu tipe dermatofitosis
kronis yang biasa dan sering diderita pada usia dewasa. Hal ini mungkin
berkaitan dengan kurangnya glandula sebasea dan lipid fungistatiknya
(Underhill, 2007).
b. Etiologi dan faktor risiko
Terdapat tiga genus penyebab dermatofitosis yaitu trichophyton,
microsporum, dan epidermophyton. Spesies yang menjadi penyebab
Tinea manus ialah: Tricophyton rubrum, Epidermophyton floccosum,
dan Trichophyton mentagrophytes (Budimulya, 2007; Rihadmaja,
2015). Sementara faktor faktor yang mempengaruhi terjadinya tinea
manus adalah (Siregar, 2005):
1) Udara yang lembab
2) Tanah yang basah
3) Lingkungan yang padat
4) Sosial ekonomi rendah
5) Adanya sumber penularan disekitarnya
6) Penyakit sistemik
7) Penggunaan obat antibiotik.
8) Penggunanaan pelindung tangan yang tertutup dengan waktu yang
lama
c. Manifestasi Klinis
Pasien dapat mengeluhkan gatal pada sela-sela jari, bersisik, basah,
pecah-pecah ataupun mengelupas. Tinea manus biasanya terbentuk
unilateral dan terdiri dari 2 tipe (Wolff, 2012):
1) Dishidrotik
Lesi segmental atau anular berupa vesikel dengan skuama di tepi ada
telapak tangan, jari-jari dan tepi lateral tangan.
2) Hiperkeratotik
Berbentuk vesikel yang mengering dan membentuk lesi sirkular atau
irregular, eritematosa, dengan skuama difus. Garis-garis tangan
menjadi semakin jelas. Lesi kronik dapat mengenai seluruh telapak
tangan dan jari disertai fisurra.

Gambar 2.10. Gambaran klinis tinea manus.

d. Penegakan Diagnosis
Diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan dari anamnesis dan dengan
gejala klinis yaitu sebagai berikut (Soekandar, 2001; Budymulia, 2007):
1) Anamnesis
Pasien mengeluhkan rasa gatal yang sangat menggangu dan
gatal akan semakin bertambah jika tangan terutama daerah luka
terkena air atau basah, dapat juga dengan keluhan telapak tangan
pecah-pecah, ataupun bersisik.
2) Pemeriksaan fisik
Dilihat dimana terjadinya infeksi dan jenis lesinya. Lesi
tergantung dari jenis tinea. Secara umum lesi sering ditemukan di
jari IV dan V berbentuk fisura yang nyeri bila disentuh serta
gambaran warna keputihan yang tampak basah. Pada tahap awal lesi
ditemukan di sela jari yang kemudian meluas ke punggung tangan
dan telapak tangan.
3) Pemeriksaan laboratorium
a) Mikroskopis
Pemeriksaan menggunakan KOH (10%) yang merupakan
skrining dalam kasus tinea. sampel yang diperiksa diambil dari
area lesi yang aktif yang diletakkan pada gelas objek yang diberi
KOH (10%) lalu diperiksa dibawah mikroskop. Hasil
pemeriksaan positif bila pada gambaran dibawah mikroskop
terlihat hifa atau spora yang menandakan adanya infeksi jamur
aktif dan pseudohifa atau yeast.
b) Kultur
Pemeriksaan kultur adalah pemeriksaan utama dalam kasus
tinea. Namun memiliki beberapa hambatan berupa biaya yang
mahal serta waktu yang lama sehingga tidak secara rutin
dilakukan. Namun pemeriksaan kultur dibutuhkan ketika terapi
oral jangka panjang diberikan namun masih belum memberikan
hasil maksimal dan bila diagnosis masih meragukan. Kultur
sediaan yang biasa dilakukan pada media Sabourod’s Dextrose
Agar (SDA).
e. Tata laksana
Bila lesi masih basah, maka sebaiknya direndam dalam larutan
kalium permanganate 1/5.000 atau larutan asam asetat 0.25% selama 15-
30 menit, 2 – 4 kali sehari. Bila peradangan hebat dapat dikombinasikan
dengan obat antibiotik sitemik misalnya penisilin prokain, penisilin V,
fluklosasilin, eritromisin atau spiramisin dengan dosis yang adekuat.
Kalau peradangan sudah berkurang, diberikan obat topikal anti jamur
berspektrum luas antara lain, haloprogin, klotrimazol, mikonazol atau
ketokonazol. Obat sistemik tidak biasanya digunakan. Namun bila
digunakan harus dikombinasi dengan obat – obat anti jamur topical.
Obat – obat sistemik tersebut antara lain:
1) Griseofulvin 500-1000mg/hari selama 2-6 minggu,
2) Ketokonazol 200mg/hari selama 4 minggu,
3) Itrakonazol 100mg/hari selama 2 minggu
4) Terbinafin 250mg/hari selama 1-2 minggu.
f. Edukasi
Pasien diminta untuk menghilangkan faktor-faktor yang
menyebabkan lesi semakin parah atau kegiatan yang meghambat
penyembuhan, misalnya mengusahakan daerah lesi selalu kering,
meningkatkan kebersihan dan menghindari pemakaian pelindung
tangan yang tertutup terlalu lama, misalnya menggunakan sarung
tangan, serta jangan memakai peralatan pribadi secara bersama – sama
(Soekandar, 2001).
6. Tinea pedis
a. Definisi
Tinea pedis atau yang disebut juga athlete’s foot adalah salah satu
infeksi jamur superfisial pada kulit kaki yang sering terjadi pada kasus
dermatofitosis umumnya saat ini (William et al., 2016). Diperkirakan
sekitar 70% populasi di seluruh dunia telah terinfeksi tinea pedis.
Tingkat insidensi tinea pedis pada dewasa secara signifikan lebih banyak
daripada tinea pedis pada anak – anak dan lebih banyak pada pria
daripada wanita (Behzadi et al., 2014).
b. Etiologi
Tinea pedis biasanya disebabkan tersering oleh Trichophyton
rubrum atau Trichophyton mentagrophytes, kadang juga disebabkan
oleh Epidermophyton floccosum dan Microsporum namun sangat jarang
sekali. Secara garis besar gejala klinis tinea pedis dikelompokkan
menjadi tipe interdigital, tipe vesicular, tipe moccasin (Andrew, 2013).
c. Faktor Risiko
Tinea pedis dipengaruhi dengan beberapa keadaan seperti iklim
tropis, banyak keringat, dan lembab. Penyakit ini banyak diderita oleh
orang-orang yang kurang mengerti kebersihan dan banyak bekerja di
tempat panas, yang banyakberkeringat serta di tempat yang memiliki
kelembaban kulit yang tinggi (William et al., 2016).
Infeksi tinea pedis juga menyerang berbagai tingkat pekerjaan,
khususnya pekerjaan yang menuntut pemakaian sepatu yang ketat dan
tertutup, bertambahnya kelembaban karena keringat, pecahnya kulit
karena mekanis, dan paparan terhadap jamur merupakan faktor
predisposisi yang menyebabkan tinea pedis (Hakim, 2013).
Kurangnya kebersihan memegang peranan penting terhadap infeksi
tinea pedis. Keadaan gizi kurang akan menurunkan imunitas seseorang
dan mempermudah seseorang terjangkit tinea pedis (Napitupulu, et al.,
2016).
d. Manifestasi Klinis
Gejala klinis dari tinea pedis terdiri dari 4 jenis bentuk atau
kombinasinya (William, et al., 2016).
1) Tipe interdigital
Merupakan bentuk tinea pedis yang paling umum. Terdapat
erosi dan eritema pada kulit interdigital dan subdigital, terutama
di sisi lateral jari ketiga, keempat dan kelima. Umumnya, infeksi
menyebar pada sekitar bagian dalam dari kaki, dan jarang
menyebar ke punggung kaki. Adanya oklusi dan ko-infeksi dari
bakteri lain akan menyebabkan maserasi interdigital, pruritus
dan bau.
Gambar 2.11. Tinea pedis tipe interdigital.

2) Tipe kronik hiperkeratotik (Moccasin)


Tinea pedis tipe kronik hiperkeratotik biasanya bilateral.
Terdapat lesi pada sebagian atau seluruh telapak kaki, bagian
lateral dan medial kaki. T. rubrum merupakan patogen utama.
Ciri lain tinea pedis kronik hiperkeratotik adalah adanya vesikel
yang cepat sembuh dengan diameter kurang dari 2 mm dan
eritema yang bervariasi.

Gambar 2.12. Tinea pedis tipe Moccasin.

3) Tipe vesikobulosa
Tinea pedis tipe vesikobulosa umumnya disebabkan oleh T.
interdigitale (T. mentagrophytes var. mentagrophytes), memiliki
wujud kelainan kulit seperti vesikel dengan diameter lebih dari
3 mm, vesikopustula, atau bulla pada telapak kaki dan area
periplantar. Tipe ini jarang ditemukan.
Gambar 2.13. Tinea pedis tipe vesikulobulosa.

4) Tipe akut ulseratif


Tinea pedis yang diakibatkan kombinasi T. interdigitale dan
koinfeksi bakteri gram negatif. Temuan klinis yang didapat
adalah vesikopustula dan ulserasi purulen pada telapak kaki.
Sering juga ditemukan sellulitis, limfangitis, limfadenopati, dan
demam.
e. Penegakan Diagnosis
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
mikroskopis, kultur, dan pemeriksaan menggunakan lampu wood
(William et al., 2016).
1) Pemeriksaan mikroskopik
Diagnosis klinis infeksi dermatofita dapat dikonfirmasi
dengan pemeriksaan mikroskopik, tetapi pemeriksaan
mikroskopis tidak dapat mengidentifikasi agen infeksius.
Sampel kulit diambil dengan kerokan dari telapak kaki, tumit,
dan sisi kaki. Pada pemeriksaan ini, dermatofit memiliki septa
serta cabang hifa pada preparat KOH 10-20% (William et al.,
2016).
2) Kultur
Identifikasi fungi superfisial didasarkan pada makroskopik,
mikroskopis dan karakteristik metabolisme dari organisme.
Sabourad’s Dextrose Agar (SDA) merupakan medium isolasi
yang paling umum digunakan karena menampilkan deskripsi
morfologi (Vhisnu et al., 2015).
3) Wood-lamp
Pemeriksaan dengan lampu wood (365nm) dapat
menunjukkan flourescence pada jamur patogen tertentu. Pada
tinea pedis ditemukan flouresensi negatif di luar eritrasma pada
infeksi interdigital (Vhisnu et al., 2015).
f. Tata laksana
Infeksi tinea pedis dapat diobati dengan terapi topikal. Terapi
sistemik diberikan jika terdapat lesi luas di permukaan tubuh dan tidak
sembuh dengan pengobatan menggunakan agen topikal. Terapi topikal
pada tinea pedis adalah clotrimazole, miconazole, sulconazole,
oxiconazole, ciclopirox, econazole, ketoconazole, naftifine, terbinafine,
flutrimazol, bifonazole, efinaconazole, and butenafine diketahui efektif
untuk terapi topical antifungal (Vhisnu et al., 2015).
Terapi sistemik untuk tinea pedis pada dewasa efektif diberikan
terbinafrine 250 mg/hari selama 2 minggu atau itraconazole 200mg dua
kali/hari selama 1 minggu dan tinea pedis untuk anak diberikan
terbinafrine 3-6mg/ kgBB/ hari selama 2 minggu itraconazole 5mg/
kgBB/ hari selama 2 minggu (Vhisnu et al., 2015).
g. Pencegahan dan pengendalian
Jamur penyebab tinea pedis menyukai bagian kulit yang lembap dan
basah. Pemakaian sepatu yang sangat tertutup dalam waktu yang lama
dapat menyebabkan keringat berlebih sehingga menambah kelembapan
di daerah sekitar kaki. Pemakaian kaus kaki berbahan tidak menyerap
keringat juga dapat menambah kelembapan kulit kaki. Menjaga kaki
agar tetap kering dan bersih merupakan metode terbaik untuk
pencegahan. Metode lain yang cukup baik adalah menggunakan sepatu
dengan aliran udara yang baik dan tidak ketat (William et al., 2016).
Penggunaan bedak antiseptik di kaki terutama sela – sela jari
sangatlah dianjurkan untuk mencegah terjadinya tinea pedis. Bedak
Tolnaftate (Tinactin) atau bedak Zeasorb, tepung beras, tepung maizena
dapat diberikan di kaki, kaos kaki, dan sepatu untuk menjaga agar kaki
tetap kering (William et al., 2016).
7. Tinea unguium
a. Definisi & Etiologi
Tinea unguium atau istilah lainnya onikomikosis merupakan infeksi
pada lempeng kuku yang disebabkan oleh jamur kulit dermatofita,
nondermatofita, maupun yeast. Beberapa penelitian menyebutkan
bahwa 80-90% kasus Tinea unguium disebabkan oleh jamur
dermatofita, khususnya Trichophyton rubrum dan Trichophyton
mentagrophytes, 5-17 % lainnya disebabkan oleh yeast terutama
Candida sp, dan 3-5 % disebabkan oleh non-dermatofita seperti
Aspergillus sp atau Scopulariopsis (Setianingsih et al., 2015).
b. Patogenesis
Onikomikosis primer disebabkan oleh karena infeksi jamur pada
kuku yang sehat. Probabilitas infeksi terjadi karena suplai vaskuler yang
rusak (yaitu dengan bertambahnya usia, insufisiensi vena kronis,
penyakit arteri perifer), setelah trauma (mis: patah tungkai bawah), atau
gangguan persarafan (mis: cedera pleksus brachialis, trauma tulang
belakang. Sedangkan onikomikosis sekunder, pada kuku kaki biasanya
terjadi setelah tinea pedis. Pada kuku tangan onikomikosis sekunder
setelah tinea manum, tinea korporis atau tinea kapitis (Kurniati, 2008).
Dermatofita dapat bertahan hidup pada stratum korneum, yang
menyediakan sumber nutrisi bagi dermatofita dan pertumbuhan jamur
Mycelia. Infeksi dermatofita melibatkan tiga tahap: perlekatan pada
keratinosit, penetrasi melalui dan diantara sel-sel, dan membangun
respon pejamu. Perlekatan jamur superfisial harus mengatasi berbagai
kendala seperti menahan pengaruh sinar ultraviolet, variasi suhu, dan
kelembaban, kompetisi dengan flora normal, dan sphingosines yang
diproduksi oleh keratin agar artrokonidia, elemen infeksius, dapat
melekat pada jaringan keratin (Kurniati, 2008).
Selanjutnya adalah penetrasi, spora berkembang dan menembus
stratum korneum lebih cepat daripada deskuamasi. Penetrasi dapat
terjadi bila sekresi proteinase, lipase, dan enzim mukolitik, yang
memberikan nutrisi bagi jamur. Membangun respon pejamu, tingkat
peradangan dipengaruhi baik oleh status imunologi dan organisme yang
terlibat. Deteksi kekebalan dan kemotaksis untuk inflamasi dapat terjadi
melalui beberapa mekanisme. Beberapa jamur memiliki faktor-faktor
kemotaksis berat molekul rendah seperti yang dihasilkan bakteri.
Komplemen lainnya diaktifkan melalui jalur alternatif, untuk
menciptakan turunan faktor kemotaksis (Kurniawati, 2008).
c. Manifestasi Klinis
Onikomikosis dikelompokkan dalam empat gambaran klinis yang
berkaitan dengan jenis patogen serta jalur masuknya (Anugrah, 2016):
Gambaran klinis Etiologi Patogen lain
Onikolisis dan
penebalan subungual. Trichophyton
OSDL T. Mentagrophytes
Diskolorasi kuning rubrum
kecokelatan.
Aspergillus terreus
Warna keputihan pada Acremonium
Trichophyton
OSPT lempeng kuku potronii
mentagrophytes
(white island) Fusarium
oxysporum
Hiperkeratotik
subungual Trichophyton
OSP & OSPP rubrum
Onikolisis proksimal
Leukonikia
Onikomikosis Kuku menebal dan Hasil akhir dari OSD, OSPT, dan
distrofik total distrofik OSP
Ket: OSD, onikomikosis subungual lateral; OSPT, onikomikosis superfisial putih;
OSP, onikomikosis subungual proksimal; OSPP, onikomikosis subungual putih
proksimal
Gambar 2.13. Manifestasi klinis dari (A) OSD (B) OSPT (C) OSP

d. Pemeriksaan Penunjang
Dua pemeriksaan penunjang utama yaitu pemeriksaan mikroskopik
dan kultur. Pemeriksaan mikroskopik dapat menghasilkan 10% negatif
palsu dan pemeriksaan kultur dapat menghasilkan 30% negatif palsu.
Pemeriksaan mikroskopik dilakukan dengan preparat KOH 10%.
Sampel diambil dari kerokan jaringan dasar kuku yang terinfeksi. Pada
mikroskop akan tampak elemen jamur berupa hifa atau ragi, tetapi tidak
bisa membedakan spesies; untuk itu diperlukan pemeriksaan tambahan,
yaitu kultur (Haneke, 2003).
e. Diagnosis Banding
1) Psoriasis kuku
Psoriasis ini ditandai dengan lubang atau bercak yang
berminyak, onikolisis dan distrofi kuku. Lubang ini mulai
berkembang dari lesi psoriasis yang ada pada proksimal matriks
kuku. Kedalaman dan durasi lubang mencerminkan keparahan dari
psoriasis pada kuku. Pada kuku terdapat reaksi inflamasi terutama
infiltrat limfosit pada dermis atas dengan kapiler yang melebar,
spongiosis dengan eksositosik limfositik, dan parakeratosis yang
mengandung neutrofil tunggal (Haneke, 2003).
2) Paronikia
Paronikia adalah inflamasi yang mengenai lipatan kulit disekitar
kuku. Paronikia ditandai dengan pembengkakan jaringan yang nyeri
dan bernanah. Bila infeksi berlangsung kronik maka terdapat celah
horizontal pada dasar kuku. Biasanya mengenai 1-3 jari terutama
jari telunjuk dan jari tengah. Penyebab terjadinya paronikia ini
adalah akibat trauma yang kemudian terjadi pemisahan antara
lempeng kuku dari eponikium, celah ini kemudian terkontaminasi
oleh piogenik atau jamur (Haneke, 2003).
f. Tata laksana
Pengobatan tergantung jenis klinis, jamur penyebab, jumlah kuku
yang terinfeksi, dan tingkat keparahan keterlibatan kuku. Pengobatan
sistemik selalu diperlukan pada pengobatan subtipe OSP (Onikomikosis
Subungual Proksimal) dan subtipe OSD (Onikomikosis Subungual
Distal) yang melibatkan daerah lunula. OSPT (Onikomikosis Superfisial
Putih) dan OSD (Onikomikosis Subungual Distal) yang terbatas pada
distal kuku dapat diobati dengan agen topikal. Kombinasi pengobatan
sistemik dan topikal akan meningkatkan kesembuhan. Tingkat
kekambuhan tetap tinggi, bahkan dengan obat-obat baru, sehingga
dibutuhkan kerjasama yang baik antara pasien dan tenaga kesehatan
(Anugrah, 2016).
1) Topikal
Penggunaan agen topikal harus dibatasi pada kasus-kasus yang
melibatkan kurang dari setengah lempeng kuku distal atau jika tidak
dapat mentoleransi pengobatan sistemik. Agen yang tersedia
termasuk amorolfine, ciclopirox, tioconazole, dan efinaconazole
(Anugrah, 2016).
a) Amorolfine termasuk obat antijamur golongan morpholine
sintetis dengan spektrum fungisida yang luas. Bersifat fungisidal
pada C. albicans dan T. mentagrophytes. Obat ini dioleskan pada
kuku yang terkena sekali atau dua kali seminggu selama 6-12
bulan. Amorolfine telah terbukti efektif pada sekitar 50% kasus
infeksi jamur kuku distal. Efek samping lacquer amorolfine
jarang dan terbatas, berupa rasa terbakar, pruritus, dan eritema.
b) Ciclopirox merupakan turunan hydroxypyridone dengan
aktivitas antijamur spektrum luas terhadap T. rubrum, S.
brevicaulis, dan Candida spesies. Obat dioleskan pada kuku
sekali sehari. Durasi pengobatan yang dianjurkan adalah hingga
24 minggu untuk kuku tangan dan sampai 48 minggu untuk kuku
kaki. Efek samping yang sering adalah eritema periungual dan
lipat kuku.
c) Tioconazole adalah antijamur imidazole, tersedia sebagai larutan
28%.
d) Eficonazole 10% adalah obat antijamur golongan triazole. Obat
ini diaplikasikan sekali sehari pada kuku selama 48 minggu.
2) Sistemik
Obat sistemik utama yang diindikasikan dan secara luas
digunakan untuk pengobatan onikomikosis adalah terbinafine dan
itraconazole. Griseofulvin juga diindikasikan, tetapi lebih jarang
digunakan (Anugrah, 2016).
1) Terbinafin bekerja menghambat enzim squalene epoxidase yang
penting untuk biosintesis ergosterol, komponen integral dinding
sel jamur. Lebih dari 70% terbinafine diserap setelah pemberian
oral, dan tidak terpengaruh asupan makanan. Terbinafine
dimetabolisme sebagian besar melalui ginjal dan diekskresikan
dalam urin. Terbinafine sangat lipofilik, sehingga terdistribusi
dengan baik di kulit dan kuku. Pengobatan biasanya dengan
dosis 250 mg per hari selama 6 bulan untuk infeksi jamur kuku
tangan dan 12 bulan untuk infeksi jamur kuku kaki. Terbinafine
memiliki efek fungisida yang luas dan kuat terhadap
dermatofita, terutama T. rubrum dan T. mentagrophytes, tetapi
memiliki aktivitas fungistatik rendah terhadap spesies Candida
dibandingkan golongan azole.
2) Itrakonazol aktif terhadap berbagai jamur termasuk ragi dan
dermatofita. Seperti terbinafine, obat ini dikonsumsi sekali
sehari (200 mg per dosis) selama 6 bulan untuk infeksi jamur
kuku tangan dan selama 9 bulan untuk infeksi jamur kuku kaki.
3) Griseofulvin adalah obat fungistatik lemah, bertindak
menghambat sintesis asam nukleat dan menghambat sintesis
dinding sel jamur. Pada orang dewasa, dosis yang dianjurkan
adalah 500-1000 mg per hari selama 6-9 bulan untuk infeksi
kuku tangan dan 12-18 bulan untuk infeksi kuku kaki. Sebaiknya
dikonsumsi dengan makanan berlemak untuk meningkatkan
penyerapan dan bioavailabilitas. Tingkat kesembuhan mikologi
untuk infeksi kuku hanya 30-40% .
3) Laser
Laser mempunyai efek bakterisidal. Energi yang disalurkan
menyebabkan hipertermia lokal, destruksi mikroorganisme patogen,
dan stimulasi proses penyembuhan. Energi laser bekerja melalui
mekanisme denaturasi molekul, baik total maupun parsial pada
organisme patogen. Energi laser menghasilkan reaksi fotobiologi
atau fotokimia yang merusak sel patogen atau melalui mekanisme
yang memicu respons imun yang menyerang organisme patogen
(Anugrah, 2016).
Hasil penelitian menunjukkan laser dapat memberikan
“perbaikan sementara pada kasus onikomikosis”. Laser belum
dikatakan sebagai terapi onikomikosis serta masih sedikit penelitian
mengenai peran laser pada onikomikosis. Laser yang banyak
digunakan pada penelitian onikomikosis antara lain Nd:YAG,
titanium safir (Ti:Sapphire), dan laser diode. Energi laser dapat
diberikan secara terpulsasi untuk menghasilkan energi yang lebih
besar dalam waktu lebih singkat. Durasi pulsasi mulai dari milidetik
(10-3 detik) sampai femtodetik (10-15 detik) telah dipelajari
penggunaannya pada kasus onikomikosis (Anugrah, 2016).
III. KESIMPULAN

Infeksi dermatofita adalah infeksi kulit superfisial yang disebabkan oleh jamur
dermatofita yang menyerang jaringan kulit yang mengandung keratin seperti
stratum korneum, rambut dan kuku. Terdapat tiga genus penyebab dermatofitosis,
yaitu Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton, dengan spesies terbanyak
penyebabnya adalah Trichophyton rubrum.

Infeksi dermatofita dibagi berdasarkan manifestasi klinis dan lokasi


kejadiannya. Klasifikasi dermatofita adalah tinea kapitis, barbae, korporis, kruris,
manus, pedis dan unguim. Tatalaksana tinea dapat menggunakan agen topikal
maupun sistemik, dengan beberapa obat yang sering digunakan adalah griseovulfin,
terbinafin dan itrakonazol. Prognosis tinea sebagian besar baik tergantung pada
tipe, keparahan serta terapi yang adekuat.
DAFTAR PUSTAKA

Abbas KA, Mohammed AZ, Mahmoud SI. 2012. Superficial Fungal infections.
Mustansiriya Medical Journal. 11:75-7. Available at
https://www.iasj.net/iasj?func=fulltext&aId=52145.
Abdelal, E.B., Shalaby, M.A.S., Abdo, H.M., Alzafarany, M.A., Abubakr, A.A.
2013. Detection of dermatophytes in clinically normal extracrural sites in
patients with tinea cruris. The Gulf Journal of Dermatology and
Venereology; (20)1: 31-39.
Adiguna MS. 2004. Epidemiologi Dermatomikosis di Indonesia. Dalam:
Budimulya U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widati
S, editor. Dermatomikosis Superfisialis. Edisi ketiga. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Anra, Y., Putra, I.B. and Lubis, I.A., Profil dermatofitosis pada narapidana
Lembaga
Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta, Medan. Majalah Kedokteran
Nusantara The Journal Of Medical School, 50(2), pp.90-94.
Anugrah R. 2016. "Diagnostik dan Tatalaksana Onikomikosis". CKD-244.
Vol.43(9): 675 – 8.
Behzadi, P. 2014. Dermatophyte fungi: Infections, Diagnosis and Treatment.
Sikkim Manipal University Medical Journal; 1(2): 53-54
Budimulja U. 2011. Mikosis. Dalam Sri Luniwih, Menaldi,Hamzah M, dan
Aisah, Kusmarinah. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-6. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Budimulja U. Mikosis.Dalam : Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, penyunting.
Ilmu penyakit kulit dan kelamin.Edisi ke-5. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2007.h.92-100.
Budimulja, U. 2010. Mikosis. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 4. Jakarta
: FKUI.
Carrol, K.C., Butel, J.S., ... Mietzner, T., 2015. Jawetz Melnick & Adelbergs
Medical
Microbiology 27th Edition, McGraw Hill Professional.
El-Gohary M. Van Zuuren EJ, Fedorowics Z, Burgess H, Doney L. 2014.
Topical Antifungal Treatment for Tinea. Cochrane Databse System
Review.
El-Gohary, M., J. Zuuren, Z. Fedorowics, H. Burgess, dan L. Doney. 2014.
Topical Antifungal Treatment for Tinea Cruris and Tinea Corporis.
Cochrane Databse System Review.
Haneke E. 2003. Histopathology of common nail conditions. In : Baran R,
Dowber RP, Haneke E, Tosti A, Bristow I, editors. A Text Atlas of Nail
Disorders. 3rd ed. London: Taylor & Francis Group.
Hidayati, A.N. 2009. Mikosis Superfisialis di Divisi Mikologi Unit Rawat Jalan
Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2003-
2005.Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin ; 21(1)1-8.
Hube B. Hay R, Brasch J, Veraldi S, Schaller M. 2015. Dermatomycoses and
Inflammation: The adaptive balance between growth, damage, and survival.
Journal of Medical Mycology. 25(1).
James, W., Berger, dan D. Elston. 2011. Andrews’ Disease of the Skin, Clinical
Dermatology 11th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier.
Kanti, E.A.A., Rahmanisa, S., 2014. Tinea Corporis With Grade I Obesity In
Women
Domestic Workers Age 34 Years. Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung Medula
Kardhani, A., Rachmi, E., Nurjanti, L, 2009. Pola distribusi penderita
Dermatofitosis
berdasarkan unur, jenis kelamin, dan tipe klinis di bagian/SMF Ilmi
Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Unmul/RSUDAWS Samarinda, Tugas
akhir skripsi hal 50-56
Katzung BG. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 8. Jakarta: EGC.
Kementrian Kesehatan, R.I., 2011. Profil Kesehatan Indonesia 2010. Kemenkes
RI.
Jakarta.
Kurniati & Rosita C. 2008. Etiopatogenesis Dermatofitosis. Surabaya: Fakultas
Kedokteran UNAIR
Kurniati, CR. 2008. "Etiopatogenesis dermatofitosis". Jurnal Berkala Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin. Vol.20:243-50.
Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widati S. editor.
Dermatomikosis Superfisialis cetakan ke 2. Jakarta, Balai Penerbit FKUI,
2004 : h.24-30.
Lakshmanan A, Ganeshkumar P, Mohan S R, Hemamalini M, Madhavan R.
Epidemiological and clinical pattern of dermatomycoses in rural India.
Indian J Med Microbiol 2015;33, Suppl S1:134-6
Lesher, J. L. 2012. Tinea corporis. US: Medical College of Georginia.
Manjula, P., Parameswari, K. 2016. A Study of Nondermatophytic
Dermatomycosis in Patients Attending a Tertiary Care Hospital in
Vijayawada, Andhra Pradesh, India. Int.J.Curr.Microbiol.App.Sci (2016)
5(4): 452-458
Nasution MA, Muis K, Rusmawardiana. Tinea Kapitis. Dalam : Budimulya U,
Paramata, N.R., Maidin, A., Massi, N. 2009. The Comparison of Sensitivity Test
of Itraconazole Agent The Causes of Dermatophytosis in Glabrous Skin In
Makassar. Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanudin.
Schieke, M., Garg, A. 2012. Fungal Disease: Superficial Fungal Infection. In:
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, eds.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th Edition Volume 2.
New York: McGraw-Hill. p.2277-97
Setianingsih I, Arianti DC, Fadilly A. 2015. "Prevalence and risk factor analysis
of Tinea unguium infection on pig farmer in the Tanah Siang Sub-district,
Central Kalimantan". Jurnal Epidemiologi dan Penyakit Bersumber
Binatang. Vol. 5, No. 3: 155 – 161.
Sharma, Vishnu, et.al. 2015. Dermatophytes: Diagnosis of dermatophytosis and
its Treatment. African Journal of Microbiology Research. ISSN 1996-
0808. Vol.
9(19),pp. 1286-1293, 13 May, 2015
Siregar RS. 2014. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Siregar, R.S. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit.Edisi 2.Jakarta :
EGC.
Straten, V.R.M., Hossain, A.M., Ghannoum, A.M. 2003. Cutaneus infections
Dermatophytosis, onychomycosis and tinea versicolor. Elsevier; 86-92.
Trelia, B. 2003. Mikosis superficial. Fakultas Kedoteran Gigi Universitas
Sumatera.
Weller R, Hunter JA, Savin JA, Dahl MV. 2008. Clinical Dermatology. Edisi
ke-4.Massachusetts: Blackwell Publishing; h.251.
Yossela, T. 2015. Diagnosis and Treatment of Tinea Cruris. J MAJORITY
Volume 4 Nomor 2.

Anda mungkin juga menyukai