Anda di halaman 1dari 15

MODUL PSIKOLOGI INDUSTRI DAN ORGANISASI

(PSI 305)

MODUL 12
EMPLOYEE ENGAGEMENT AND ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP
BEHAVIOR (OCB)

DISUSUN OLEH
AISYAH RATNANINGTYAS, M.Psi., Psikolog

UNIVERSITAS ESA UNGGUL


2020

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 0 / 15
EMPLOYEE ENGAGEMENT AND ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP
BEHAVIOR (OCB)

Karyawan yang memiliki Engagement dengan perusahaan tidak akan mengatakan


“wani piro” jika diberikan tugas tambahan di luar job description dan jam kerjanya. Tugas
rutin dilakukan dengan optimal, tugas tambahan dikerjakan dengan senang dan tulus.
Karyawan berpikir untuk mempertahankan dan memajukan perusahaan.

A. Employee Engagement
1. Pengertian Employee Engagement
Employee Engagement, lebih dari sekedar satisfaction. Employee engagement
merupakan proses seorang karyawan untuk terlibat (involve), antusias (enthusiast), memiliki
komitmen dan memberi usaha lebih (extra effort) untuk perusahaan/ organisasi tempatnya
bekerja
Menurut Gibbons, employee engagement adalah hubungan emosional dan intelektual
yang tinggi yang dimiliki oleh karyawan terhadap pekerjaannya, organisasi, manajer, atau
rekan kerja yang memberikan pengaruh untuk menambah discretionary effort dalam
pekerjaannya

2. Komponen Engagement
Engagement memiliki tiga komponen dimana ketiga komponen tersebut saling
beririsan atau bersinggungan satu sama lain, yaitu:
a. Rasional : Memahami (think) nilai & tujuan perusahaan
b. Emosional : Merasakan (feel) terikat pada organisasi
c. Motivasional : Keinginan bertindak (act) lebih dari yang diharapkan perusahaan

Adapun ilustrasi yang menggambarkan hubungan ketiga komponen tersebut, dapat


dilihat di gambar di bawah ini.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 1 / 15
Ketiga komponen tersebut dapat lebih kita pahami dengan contoh pernyataan-
pernyataan pada tabel di bawah ini.

3. Aspek – aspek Employee Engagement


Menurut Macey dan Schneider (2008) employee engagement memiliki tiga aspek,
yaitu:
a. Trait engagement
Merupakan pandangan positif mengenai kehidupan dan pekerjaan. Meliputi
kepribadian yang proaktif, kepribadian yang dinamis, mempunyai sifat dan afeksi
yang positif, dan mempunyai sifat yang berhati-hati.
b. State engagement
Merupakan perasaan memiliki energi. Meliputi kepuasan (afektif), keterlibatan,
komitmen, dan pemberdayaan.
c. Behavioral engagement
Merupakan perilaku melebihi tugas yang dibebankan atau disebut perilaku peran
ekstra. Meliputi perilaku sukarela, perilaku proaktif atau inisiatif personal, ekspansi
peran dan adaptif.
Sedangkan Marciano (2010), menjelaskan ada lima dimensi mengenai employee
engagement antara lain;
a. Dimensi organisasi
Yaitu karyawan merasa bangga terhadap perusahaan tempat mereka bekerja dan
menghormati/menghargai sesama pekerja. Visi, misi, nilai-nilai, tujuan, kebijakan
dan tindakan organisasi menggambarkan kepeduliannya terhadap karyawan.
b. Dimensi kepemimpinan

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 2 / 15
Yaitu karyawan merasakan bahwa atasannya siap sedia untuk menghadapi pimpinan
tertinggi demi kebaikan tim dan organisasi dan mampu melakukan advokasi terhadap
bawahan.
c. Dimensi anggota kelompok
Yaitu karyawan dapat menghargai rekan kerja, mereka juga akan meningkatkan
usahanya.
d. Dimensi pekerjaan
Yaitu karyawan mendapatkan pekerjaan yang menantang, bermakna dan
memberikan hasil. Semakin tinggi tingkat kesulitan pekerjaan menuntut karyawan
menggunakan keterampilannya. Keberhasilan menyelesaikan tugas yang menan-tang
memberikan perasaan bangga. Semakin sejalan tugas seorang karyawan dengan
tujuan perusahaan maka pekerjaan tersebut semakin memberikan makna.
e. Dimensi individual
Yaitu karyawan merasa dihargai, dihormati dan dianggap penting. Karyawan ingin
bekerja pada organisasi yang jujur, diperlakukan secara adil dan hormat serta penuh
pertimbangan

4. Faktor – faktor Employee Engagement


Menurut Marciano (2010) ada 7 faktor yang mendorong terjadinya employee
engagement, yaitu:
a. Recognition
Recognition (pengakuan), karyawan merasa kontribusi mereka diketahui dan
diapresiasi, pemberian reward diberikan berdasarkan kinerja dan para atasan secara
regular mengakui anggota timberhak mendapatkannya.
b. Empowerment
Empowerment (pemberdayaan), para atasan menyediakan peralatan kerja, sumber
daya dan pelatihan yang dibutuhkan karyawan untuk sukses dalam pekerjaan,
memberikan otonomi dan didorong untuk mengambil resiko.
c. Supportive feedback
Supportive feedback (umpan balik yang mendukung) berarti para atasan memberikan
feedback yang spesifik pada waktunya dalam suatu media yang mendukung, tulus,
dan konstruktif, bukan untuk membuat malu atau menghukum.
d. Partnering

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 3 / 15
Partnering (kemitraan), karyawan diperlakukan sebagai mitra bisnis dan secara aktif
berkolaborasi dalam pengambilan keputusan bisnis, menerima informasi keuangan,
mendapatkan keleluasaan dalam pengambilan keputusan, atasan bertindak sebagai
pendorong untuk pengembangan dan pertumbuhan karyawan.
e. Expectations
Expectations (harapan), dimana para atasan menjamin bahwa sasaran, tujuan dan
prioritas bisnis secara jelas ditetapkan dan dikomunikasikan, karyawan mengetahui
standar kinerja mereka yang dievaluasi dengan bertanggung jawab.
f. Considerations
Considerations (perhatian) dimana para atasan, manajer dan anggota tim
menunjukkan rasa tenggang, kepedulian dan perhatian satu sama lain, para atasan
secara aktif berusaha memahami pendapat dan perhatian karyawan dan memahami
serta mendukung saat karyawan mengalami permasalahan pribadi.
g. Trust
Trust (rasa percaya), dimana para atasan menunjukkan kepercayaan dan yakin
dengan skill dan kemampuan karyawan, sebaliknya karyawan percaya bahwa atasan
mereka akan bekerja dengan tepat melalui mereka, para atasan memenuhi janji dan
komitmen mereka sehingga karyawan mempercayai para atasan

5. Membangun Employee Engagement


Untuk membangun employee engagement, dapat dilakukan oleh beberapa pihak, antara
lain:
a. Tanggung Jawab Perusahaan/ Organisasi
• Harus membangun High Performance Culture
• Oleh karena itu harus jelas sistem Reward/Punishment
• Harus dibangun budaya menghargai karyawan dari mulai yang sederhana (pujian,
pengahargaan khusus, financial, non financial)
• Harus ada performance management sistem (visi jelas, target, coaching, feedback,
appraisal, development karyawan)
b. Tanggung Jawab Manager
Manager memastikan suasana kerja partisipatif, rasa keterlibatan, komunikasi 2 arah,
apresiasi dan menghindari aliran kebatinan
c. Tanggung Jawab Karyawan
Karyawan bertanggung jawab membuat suasana kerja nyaman, kondusif, memanfaat
semua fasilitas serta pola komunikasi yang ada.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 4 / 15
B. Work Engagement
1. Pengertian Work Engagement
Work Engagement adalah aspek-aspek yang meliputi emosi positif, keterlibatan secara
penuh dalam melakukan dan menyelesaikan pekerjaan serta dikarakteristikan ke dalam 3
(tiga) dimensi utama, yaitu dedication (dedikasi), vigor (semangat) dan absorption
(kemampuan untuk bersungguh-sungguh dalam bekerja). (Schaufeli dan Bakker, 2004).
Menurut Kahn, 1990 (Zamralita, 2017) Work Engagement didefinisikan sebagai penguasaan
karyawan sendiri terhadap peran mereka dalam pekerjaan, dimana mereka akan mengikat diri
dengan pekerjaannya, kemudian akan bekerja dan mengekspresikan diri secara fisik, kognitif
dan emosional selama memerankan performanya.
Seorang karyawan dikatakan memilki work engagement dalam pekerjaannya apabila
karyawan tersebut dapat mengidentifikasi diri secara psikologis dengan pekerjaannya, dan
menganggap pekerjaannya penting untuk dirinya selain untuk organisasi. (Brown dalam
Robbins, 2003) Menurut Bakker, (2011) karyawan yang memiliki work engagement tinggi
akan bekerja dengan semangat dan merasakan hubungan yang mendalam dengan perusahaan
dimana mereka bekerja, mereka mendorong inovasi dan mendorong kemajuan organisasi.
Beberapa tahun belakangan ini, minat untuk mengkaji work engagement tampak
semakin besar, beberapa peneliti menegaskan work engagement dapat memprakirakan
produktivitas karyawan, keberhasilan organisasi dan kinerja finansial. (Bates dalam Yudiani,
2017). Kemudian Agustian (2012) menyebutkan pentingnya work engagement tidak hanya
pada perusahaan swasta, namun perusahaan negara (BUMN) juga organisasi, bahkan instasi
pemerintahan.

2. Aspek-aspek Work Engagement


Menurut Schaufeli dan Bakker (2003) terdapat 3 (tiga) dimensi yang merupakan
karakteristik dari work engagement dan akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Vigor (semangat)
Merujuk pada tingkat energi dan mental yang kuat selama bekerja, keberanian untuk
berusaha sekuat tenaga dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, dan tekun dalam
menghadapi kesulitan bekerja. Vigor juga melihat ketekunan seseorang untuk
menghadapi masalah. Individu yang memiliki vigor dapat memunculkan diri ketika
ingin berbicara mengenai apa yang dipikirkannya dan melakukan pekerjaan dengan
sebaik-baiknya. Ketika individu yang memiliki vigor sangat peduli terhadap
pekerjaannya, dan berkomitmen untuk memberikan yang terbaik dalam bekerja.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 5 / 15
b. Dedication (dedikasi)
Mempunyai arti merasa terlibat sangat kuat dalam suatu pekerjaan dan mengalami rasa
kebermaknaan, antusiasme, kebanggaan, inspirasi dan tantangan. Individu yang
memiliki dedication terdapat rasa bangga dan antusias dalam dirinya dan tidak tergila-
gila dengan pekerjaannya. Hal ini dikarenakan dorongan yang kuat untuk bekerja
berasal dari dalam dirinya dan bekerja merupakan sesuatu yang menyenangkan untuk
dirinya.
c. Absorption (kemampuan untuk bersungguh-sungguh dalam bekerja)
Digambarkan sebagai konsentrasi penuh di tempat kerja, pengalaman yang
membahagiakan dalam bekerja, penuh konsentrasi dan serius dalam melaksanakan
pekerjaannya. Hal ini dikarenakan individu dengan absorption terkait secara koginitif
dengan pekerjaannya. Selanjutnya, individu-individu ini merasa waktu tidak berjalan
ketika mereka sedang bekerja dan kesulitan untuk memisahkan diri dengan
pekerjannya.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi work engagement


Pada dasarnya, faktor-faktor yang menpengaruhi work engagement yang
dikemukakan oleh Schaufeli & Bakker, 2003 (dalam Hakanen, Bakker, Schaufeli, 2006)
ymenyatakan bahwa ada 2 (dua) faktor yang mempengaruhi work engagement seseorang,
yaitu:

a. Model JD-R (job demand-resources model), meliputi lingkungan fisik, sosial,


organisasi, gaji, peluang untuk jenjang karir, dukungan atasan dan rekan kerja serta
feedback dari hasil performance selama bekerja.
b. modal psikologis (psychological capital) yang terdiri dari self efficacy atau
kepercayaan terhadap diri sendiri, perasaan optimis (optimism), harapan mengenai
masa depan (hope), serta resiliensi atau keteguhan selama masa-masa sulit (resilience).

C. Organizational Citzenship Behavior (OCB)


1. Pengertian OCB
Beberapa ahli memberikan definisi mengenai Organizational Citizenship Behavior (OCB).
Organ, Podsakoff dan McKenzie (2006) mendefinisikan OCB sebagai perilaku individual
yang bersifat bebas yang tidak secara langsung mendapat penghargaan dari sistem imbalan
formal, dan secara keseluruhan mendorong keefektifan fungsi-fungsi organisasi. Bersifat
bebas dan sukarela, karena perilaku tersebut tidak diharuskan oleh persyaratan peran atau

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 6 / 15
deskripsi jabatan, yang secara jelas dituntut berdasarkan kontrak dengan organisasi;
melainkan sebagai pilihan personal (Organ dalam Novliadi, 2007).
Definisi lain dikemukakan oleh Robbins (2003). Robbins berpendapat bahwa OCB
merupakan perilaku yang tidak termasuk dalam tuntutan tugas formal, tetapi perilaku tersebut,
tidak diragukan dapat meningkatkan efektivitas fungsional organisasi. OCB juga dijelaskan
oleh Garay (2006) sebagai atau kinerja extra-role, yaitu perilaku sukarela dari seorang pekerja
untuk mau melakukan tugas atau pekerjaan di luar tanggung jawab atau kewajibannya demi
kemajuan atau keuntungan organisasinya.
Berdasarkan beberapa definisi mengenai organizational citizenship behavior di atas, dapat
disimpulkan bahwa OCB merupakan perilaku yang diharapkan muncul pada karyawan di
mana karyawan tersebut melakukan pekerjaan di luar tuntutan peran dan tanggung jawab
tanpa menilai bahwa imbalan atas pekerjaannya tersebut merupakan hal yang sangat
penting,dan perilaku tersebut merupakan perilaku yang diharapkan oleh organisasi sebagai
upaya untuk meningkatkan efektivitas fungsional organisasi.

2. Dimensi OCB
Organ (dalam Organ et al. 2006) merupakan tokoh yang pertama menjelaskan mengenai
lima dimensi yang ada pada OCB, yaitu:
a. Altruism.
Dimensi ini merupakan perilaku membantu karyawan lain tanpa ada paksaan pada
tugas–tugas yang berkaitan erat dengan operasi-operasi organisasional (kemauan
untuk memberikan bantuan kepada pihak lain), perilaku membantu orang lain dalam
menghadapi masalah dalam pekerjaannya. Perilaku ini dapat berupa membantu rekan
kerja baru dalam mempelajari pekerjaannya, membantu rekan kerja yang mengalami
kelebihan beban kerja. Perilaku ini akan mendorong solidaritas yang sangat
dibutuhkan dalam tim kerja.
b. Conscientiousness.
Dimensi ini merupakan perilaku yang berusaha memenuhi tingkat di atas standar
minimum yang disyaratkan. Bentuk perilaku karyawan pada dimensi ini antara lain:
karyawan berusaha supaya tingkat kehadirannya di atas batas minimum,
menyelesaikan tugasnya di bawah tenggat waktu yang ditetapkan, dan lain-lain.
Perilaku ini akan mendorong efisiensi dan efektivitas karyawan. Perilaku seseorang
yang tepat waktu, tingkat kehadiran tinggi, dan berada di atas persyaratan normal yang
diharapkan.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 7 / 15
c. Sportsmanship.
Dimensi ini berkaitan dengan hal-hal yang karyawan pilih untuk tidak dilakukan.
Dimensi ini lebih menekankan pada aspek-aspek positif organisasi daripada aspek-
aspek negatifnya, mengindikasikan perilaku tidak senang protes, tidak mengeluh, dan
tidak membesar-besarkan masalah. Dengan kata lain, karyawan diharapkan
berpandangan positif terhadap permasalahan yang terjadi di organisasi atau
kekurangan yang ada di organisasi.
d. Civic virtue.
Dimensi ini merupakan perilaku yang berkaitan dengan partisipasi aktif karyawan
yang bersifat sukarela dalam bentuk tanggung jawab untuk terlibat di dalam peraturan
atau proses penataan dalam organisasi, berpartisipasi dalam kegiatan organisasi dan
memikirkan kehidupan organisasi. Bentuk perilaku yang ditampilkan seperti
menghadiri pertemuan-pertemuan, berdiskusi dengan rekan kerja untuk mendapatkan
solusi dari masalah yang sedang terjadi di organisasi, mengambil bagian dari kegiatan
yang dilakukan oleh organisasi yang telah menjadi tradisi dan identitas organisasi, dan
sebagainya. Dimensi ini diharapkan membuat karyawan tidak merasa antipati terhadap
organisasi, menumbuhkan sense of belonging dan loyalitas terhadap
organisasi/perusahaan.
e. Courtesy.
Dimensi ini digambarkan dengan perilaku berbuat baik dan hormat kepada orang lain.
Dimensi kelima ini diharapkan menciptakan harmonisasi di lingkungan kerja antar
karyawan, dan pada akhirnya akan membentuk lingkungan kerja yang menyenangkan
bagi semua pihak. Perilaku tersebut dilakukan dengan tujuan mencegah masalah
dengan orang lain yang berkaitan dengan pekerjaan. Sopan santun merupakan
tindakan yang dapat membantu mencegah masalah-masalah yang terjadi di antara
rekan kerja.

3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi OCB


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada latar belakang, bahwa terdapat dua faktor
yang berkaitan dengan OCB, yaitu:
a. Faktor lingkungan
Beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan faktor lingkungan, antara lain:
1. Kepuasan kerja.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 8 / 15
Pada penelitian yang dilakukan oleh Hasanbasri (2007), didapati hasil bahwa
kepuasan kerja memiliki hubungan yang positif dengan OCB. Hasil tersebut
dapat dijelaskan yaitu apabila karyawan mendapatkan rasa kepuasan dalam
pekerjaannya, maka karyawan dapat menampilkan perilaku yang melebihi dari
kewajiban formal yang ditentukan ketika melaksanakan tugas.
2. Komitmen kerja.
Hasil penelitian Hasanbasri (2007) juga mendapati hasil bahwa komitmen
kerja memiliki hubungan yang positif dengan OCB. Hasanbasri menjelaskan
bahwa komitmen organisasi yang tinggi akan berakibat pada berbagai sikap
dan perilaku positif, seperti misalnya menghindari tindakan, perilaku dan sikap
yang merugikan nama baik organisasi, kesetiaan kepada pimpinan, kepada
rekan setingkat dan kepada bawahan, produktivitas yang tinggi, kesediaan
menyelesaikan konflik melalui musyawarah dan sebagainya.
3. Kualitas interaksi atasan-bawahan serta persepsi dukungan organisasional
memiliki hubungan yang positif dengan OCB (Novliadi, 2007).
Ketika kualitas interaksi atasan-bawahan dan dukungan organisasional yang
dipersepsikan tinggi oleh karyawan akan membuat mereka “merasa
berkewajiban” untuk memberi imbal baliknya (reciprocity), ada perasaan
“hutang budi” kepada organisasi ataupun atasannya yang harus dibalas.
Mereka akan membalasnya dengan bekerja “lebih dari” yang seharusnya dapat
mereka kerjakan atau menunjukkan OCB yang tinggi dalam bekerja. Jadi, ada
pertukaran antara karyawan dengan organisasi dan antara karyawan dengan
atasannya.
4. Gaya kepemimpinan.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Brahmana dan Sofyandi (2007),
menunjukkan hasil bahwa gaya kepemimpinan transformasional memiliki
hubungan yang positif dengan OCB. Pemimpin transformasional mampu
memotivasi pekerja agar mampu menginternalisasikan dan memprioritaskan
sejumlah faktor penting bagi pencapaian kepentingan individu. Pekerja yang
secara intrinsik termotivasi untuk memenuhi atau mencapai visi kolektif dalam
organisasi tanpa mengharapkan imbalan dalam jangka pendek akan ecara
sukarela memberikan kontribusi dalam usaha-usaha pencapaian walaupun hal
tersebut tidak termasuk dalam tugas tanggung jawab formalnya (Wang et al.
dalam Brahmana & Sofyandi, 2007).

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 9 / 15
5. Iklim organisasi.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Suresh dan Venkatammal (2010), didapati
hasil bahwa iklim organisasi memiliki pengaruh terhadap munculnya OCB.
Menurut Brief dan Motowidlo (dalam Suresh & Venkatammal, 2010) iklim
organisasi yang pro-sosial, yaitu yang ditandai dengan suasana yang hangat,
bersahabat, suportif dan kooperatif dapat mendorong munculnya OCB
b. Faktor individu.
Beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan faktor individu, antara lain:
1. Tipe kepribadian.
Purba dan Seniati (2004), dalam penelitiannya menyatakan bahwa ”BIG FIVE
Factor” terdapat pengaruh yang signifikan terhadap OCB dan dimensi-
dimensinya. Lima Faktor Kepribadian ”Big Five Factor” merupakan suatu
pendekatan yang digunakan dalam psikologi untuk melihat kepribadian
manusia melalui trait yang terdiri dari lima dimensi (Kumar, 2009). Semakin
tinggi trait extraversion yang ditampilkan dalam bentuk mudah bergaul dan
aktif, trait openness to experience yang ditampilkan dalam bentuk imajinatif
dan kreatif, trait conscientiousness yang ditampilkan dalam bentuk
bertanggung jawab, tekun, dan berorientasi pada keberhasilan. Semakin terikat
karyawan tersebut secara emosional dengan perusahaan, maka semakin
cenderung ia membantu rekan kerja dan atasan dalam hal penyelesaian tugas,
pencegahan masalah dalam bekerja, dan pemberian semangat dan penguatan,
serta semakin cenderung ia membantu organisasi secara keseluruhan, dengan
cara menolerir situasi yang kurang ideal dalam bekerja, peduli pada
kelangsungan hidup perusahaan dan patuh pada peraturan dan tata tertib
perusahaan (Purba & Seniati, 2004).
2. Motivasi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Selamat (2010), didapati hasil bahwa
motivasi intrinsik memiliki korelasi dengan OCB sebesar 0.681, sedangkan
motivasi ekstrinsik yaitu sebesar 0.498. Berdasarkan hasil tersebut dapat
dikatakan bahwa motivasi memiliki hubungan yang positif dengan OCB.
Individu yang termotivasi secara intrinsik, mengarahkan perilaku mereka untuk
kebutuhan internal dan melakukan suatu perilaku untuk penghargaan intrinsik
serta kepuasan, dibandingkan dengan faktor eksternal, tekanan atau reward.
3. Mood.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 10 / 15
Menurut Forgas dan George (dalam Messer & White, 2006), mood berdampak
pada bagaimana karyawan menangani tugas-tugasnya sehingga memengaruhi
penilaian dan perilaku organisasi. Beberapa hasil penelitian yang dikutip oleh
Messer dan White (2006), dinyatakan bahwa positive mood memiliki hubungan
yang positif dengan OCB, hasil penelitian tersebut antara lain menyatakan
bahwa karyawan dengan mood yang positif kemungkinan akan lebih
membantu dibandingkan dengan karyawan yang “moody” (Carlson, Charlin, &
Miller, 1988; Schnake, 1991); menemukan korelasi yang signifikan antara
mood positif dengan altruism dan pelayanan kepada pelanggan (George, 1991);
karyawan dengan mood positif memiliki intensi lebih tinggi secara signifikan
untuk menunjukkan OCB dibandingkan dengan karyawan lainnya (Williams &
Shiaw, 1999). Tetapi pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Messer dan
White (2006), didapati bahwa karyawan dengan mood positif tidak terbukti
menunjukkan OCB yang lebih tinggi dibandingkan dengan karyawan dengan
mood yang netral.

4. Manfaat Perilaku OCB


Berdasarkan hasil penelitian dari Organ et al. (2006) mengenai manfaat OCB terhadap
kinerja organisasi dapat disimpulkan beberapa manfaat OCB, antara lain:
a. Meningkatkan produktivitas rekan kerja.
Karyawan yang menolong rekan kerja lain akan mempercepat penyelesaian
tugas rekannya, dan pada gilirannya meningkatkan produktivitas rekan tersebut.
Seiring dengan berjalannya waktu, perilaku membantu yang ditunjukkan
karyawan akan membantu menyebarkan best practice ke seluruh unit kerja
atau kelompok.
b. Meningkatkan produktivitas manajer.
Karyawan yang menampilkan civic virtue akan membantu manajer
mendapatkan saran atau umpan balik yang berharga dari karyawan tersebut
untuk meningkatkan efektivitas unit kerja. Karyawan yang sopan, yang
menghindari konflik dengan rekan kerja akan membantu manajer terhindar
dari krisis manajemen.
c. Menghemat sumber daya yang dimiliki manajemen dan organisasi secara
keseluruhan.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 11 / 15
Jika karyawan saling tolong menolong dalam menyelesaikan masalah pada
suatu pekerjaan sehingga tidak perlu melibatkan manajer, konsekuensinya
manajer dapat memakai waktunya untuk melakukan tugas lain, seperti
membuat perencanaan. Karyawan yang menampilkan conscentiousness yang
tinggi hanya membutuhkan pengawasan minimal dari manajer sehingga
manajer dapat mendelegasikan tanggung jawab yang lebih besar kepada
mereka, ini berarti lebih banyak waktu yang diperoleh manajer untuk
melakukan tugas yang lebih penting. Karyawan yang menampilkan
sportsmanship akan menolong manajer sehingga tidak menghabiskan waktu
terlalu banyak untuk berurusan dengan keluhan-keluhan karyawan.
d. Membantu menghemat energi sumber daya yang langka untuk memelihara
fungsi kelompok.
Keuntungan dari perilaku menolong adalah meningkatkan semangat, moril,
dan kerekatan kelompok, sehingga anggota kelompok (atau manajer) tidak
perlu menghabiskan waktu dan energi untuk pemeliharaan fungsi kelompok.
Karyawan yang menampilkan perilaku courtesy terhadap rekan kerja akan
mengurangi konflik dalam kelompok, sehingga waktu yang dihabiskan untuk
menyelesaikan konflik manajemen berkurang.
e. Menjadi sarana efektif untuk mengkoordinasi kegiatan-kegiatan kelompok
kerja.
Menampilkan perilaku civic virtue akan membantu koordinasi di antara
anggota kelompok, yang akhirnya secara potensial meningkatkan efektivitas
dan efisiensi kelompok. Menampilkan perilaku courtesy akan menghindari
munculnya masalah yang membutuhkan waktu dan tenaga untuk diselesaikan.
f. Meningkatkan kemampuan organisasi untuk menarik dan mempertahankan
karyawan terbaik.
Perilaku menolong dapat meningkatkan moril dan kerekatan serta perasaan
saling memiliki di antara kelompok, sehingga akan meningkatkan kinerja
organisasi dan membantu organisasi menarik dan mempertahankan karyawan
yang baik. Memberi contoh pada karyawan lain dengan menampilkan perilaku
sportsmanship akan menumbuhkan loyalitas dan komitmen pada organisasi.
g. Meningkatkan stabilitas kinerja organisasi.
Membantu tugas karyawan yang tidak hadir di tempat kerja atau yang
mempunyai beban kerja berat akan meningkatkan stabilitas dari kinerja unit

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 12 / 15
kerja. Karyawan yang menampilkan conscientiousness cenderung
mempertahankan tingkat kinerja yang tinggi secara konsisten.
h. Meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi dengan perubahan
lingkungan.
Karyawan yang mempunyai hubungan dekat dengan keadaan di lapangan,
dengan sukarela memberi informasi tentang perubahan yang terjadi di
lingkungan dan memberi saran tentang bagaimana merespon perubahan
tersebut, sehingga organisasi dapat beradaptasi dengan cepat. Karyawan yang
secara aktif hadir dan berpartisipasi pada pertemuan-pertemuan organisasi
akan membantu menyebarkan informasi yang penting yang harus diketahui
oleh organisasi. Karyawan yang menampilkan perilaku conscientiousness akan
meningkatkan kemampuan organisasi beradaptasi dengan perubahan yang
terjadi di lingkungannya.

LATIHAN SOAL
Sebutkan aspek-aspek dari employee engagement, work engagement dan OCB.

JAWABAN

Employee Engagement
Ada tiga aspek, yaitu:
a. Trait engagement : Merupakan pandangan positif mengenai kehidupan dan pekerjaan.
b. State engagement : Merupakan perasaan memiliki energi
c. Behavioral engagement : Merupakan perilaku melebihi tugas yang dibebankan atau disebut
perilaku peran ekstra.

Work Engagement
Ada 3 (tiga) dimensi yaitu:
a. Vigor (semangat)
b. Dedication (dedikasi)
c. Absorption (kemampuan untuk bersungguh-sungguh dalam bekerja)

Organizational Citizenship Behavior (OCB)

lima dimensi yang ada pada OCB, yaitu:

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 13 / 15
a. Altruism: digambarkan dengan perilaku membantu karyawan lain tanpa ada paksaan
pada tugas–tugas yang berkaitan erat dengan operasi-operasi organisasional (kemauan
untuk memberikan bantuan kepada pihak lain), perilaku membantu orang lain dalam
menghadapi masalah dalam pekerjaannya.
b. Conscientiousness : digambarkan dengan perilaku yang berusaha memenuhi tingkat di
atas standar minimum yang disyaratkan.
c. Sportsmanship : berkaitan dengan hal-hal yang karyawan pilih untuk tidak dilakukan.
d. Civic virtue : Dimensi ini merupakan perilaku yang berkaitan dengan partisipasi aktif
karyawan yang bersifat sukarela dalam bentuk tanggung jawab untuk terlibat di dalam
peraturan atau proses penataan dalam organisasi, berpartisipasi dalam kegiatan
organisasi dan memikirkan kehidupan organisasi.
e. Courtesy : digambarkan dengan perilaku berbuat baik dan hormat kepada orang lain.

DAFTAR PUSTAKA
1. Miner, John B. 1992. Industrial Organizational Psychology. New York: Mc.Graw Hill
2. Munandar, A.S. 2001. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: UI Press
3. Aamodt, MG.2004. Industrial & Organizational Psychology.Belmont:
Wadsworth/Thomson Learning
4. Irma Adnan.2010. Psikologi Industri & Organisasi. Univ Terbuka
5. Ratnaningtyas, A. 2012. Motivasi Dosen dalam Melakukan Perilaku Kewargaan
Organisasi (PKO) Ditinjau dari Teori Self-Determination. Tesis.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id 14 / 15

Anda mungkin juga menyukai