Anda di halaman 1dari 19

PENGARUH EMPLOYEE ENGAGEMENT DAN WORK-LIFE

BALANCE TERHADAP KINERJA KARYAWAN DENGAN


KEPUASAN KERJA SEBAGAI VARIABEL MODERATING
DI RUMAH SAKIT LAVALETTE MALANG

Tugas Filsafat Metodologi Penelitian

PANJI ARIK INDRASWARA


22071000091

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER MANAJEMEN


UNIVERSITAS MERDEKA MALANG
2023
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka ini merupakan dasar perumusan hipotesis beserta teori yang mendasari

hubungan antar variabel dalam menggambarkan pengaruh dari Employee Engagement dan Work-life

Balance terhadap kinerja karyawan dengan kepuasan kerja sebagai variabel moderating.

A. Landasan Teori

1. Teori Employee Engagement

1.1 Definisi Employee Engagement

Employee Engagement merupakan keterikatan karyawan dengan perusahaan atau organisasi

dan dapat tumbuh karena adanya kecocokan antara karyawan dengan visi dan misi organisasi.

Engagement terjadi ketika seseorang secara sadar waspada dan secara emosi terhubung dengan

orang lain. Ketika karyawan sudah terikat (engaged) karyawan memiliki suatu kesadaran

terhadap tujuan perannya untuk memberikan layanannya sehingga membuat karyawan akan

memberikan seluruh kemampuan terbaiknya. Karyawan yang mempunyai engagement yang

tinggi akan merasa nyaman dalam lingkungan kerjanya sehingga menurunkan keinginan untuk

berpindah (Khan dalam Luthans dan Peterson, 2002).

Robinson et al (dalam Nusatria dan Suharmono, 2013) memberikan definisi Employee

Engagement sebagai sikap positif yang di tunjukkan karyawan terhadap organisasi dan nilai

perusahaan. Seorang karyawan yang terikat (employee engaged) memiliki kesadaran terhadap

bisnis, dan bekerja dengan rekan kerja untuk meningkatkan kinerja dalam perkerjaan untuk

keuntungan organsasi. Kesadaran bisnis yang dimiliki oleh karyawan akan membuatnya

memberikan upaya terbaik mereka dalam meningkatkan kinerja.

Benthal (dalam Mujiasih, 2015) mengartikan Employee Engagement adalah suatu keadaan

dimana manusia merasa dirinya menemukan arti diri secara utuh, memiliki motivasi dalam

bekerja, mampu menerima dukungan dari orang lain secara positif, dan mampu bekerja secara

efektif dan efisien di lingkungan kerja. Schaufeli & Bakker (2004) mendefinisikan Employee

Engagement sebagai keadaan pikiran yang positif, memuaskan, sikap pandang yang berkaitan

dengan pekerjaannya.
1.2 Teori Aspek Employee Engagement

Menurut Macey dan Schneider (2008) Employee Engagement memiliki tiga aspek, yaitu:

1. Trait engagement yaitu pandangan positif mengenai kehidupan dan pekerjaan. Meliputi

kepribadian yang proaktif, kepribadian yang dinamis, mempunyai sifat dan afeksi yang

positif, dan mempunyai sifat yang berhati-hati.

2. State engagement yaitu perasaan memiliki energi meliputi kepuasan (afektif), keterlibatan,

komitmen, dan pemberdayaan.

3. Behavioral engagement yaitu perilaku melebihi tugas yang dibebankan atau disebut

perilaku peran ekstra. Meliputi perilaku sukarela, perilaku proaktif atau inisiatif personal,

ekspansi peran dan adaptif.

Menurut Schaufeli & Bakker (2010) menjelaskan Employee Engagement memiliki tiga

aspek, yaitu:

1. Vigor dicirikan dengan energi tingkat tinggi dan fleksibilitas mental saat bekerja, keinginan

untuk menginvestasikan upaya dalam pekerjaan, dan tetap teguh meski menghadapi

berbagai kesulitan. Perilaku yang terbentuk dari aspek ini seperti, mencoba alternatif lain

ketika menghadapi kesulitan saat bekerja, karyawan berusaha menjaga kualitas hasil

kerjanya, dan merasa tertantang ketika diberikan banyak tugas oleh karyawan.

2. Dedication mengacu pada keterlibatan yang kuat pada pekerjaan dan mengalami rasa

penting, antusias dan tertantang terhadap pekerjaan. Perilaku yang terbentuk dari aspek ini

seperti, karyawan ikut andil dalam berbagai aktivitas untuk memajukan perusahaan,

karyawan berusaha mengumpulkan tugas sesuai dengan waktu yang ditentukan oleh

perusahaan, karyawan menaati aturan yang berlaku di perusahaan, dan karyawan berusaha

menyelesaikan tugasnya meskipun itu sulit.

3. Absorption dicirikan dengan berkonsentrasi secara penuh dan merasa asyik dengan

pekerjaannya, sehingga waktu terasa berlalu dengan cepat dan sulit melepaskan diri dari

pekerjaan. Pendeknya, karyawan yang terikat memiliki level energi yang tinggi dan

antusias dengan pekerjaan mereka. Perilaku yang terbentuk dari aspek ini seperti, karyawan
merasa senang dalam bekerja dan fokus terhadap pekerjaanya sehingga waktu bekerja yang

dirasakan oleh karyawan tersebut berlalu begitu cepat.

Marciano (dalam Zulkarnain & Hadiyani 2014) menjelaskan ada lima dimensi mengenai

Employee Engagement antara lain:

1. Dimensi organisasi yaitu karyawan merasa bangga terhadap perusahaan tempat mereka

bekerja dan menghormati/menghargai sesama pekerja. Visi, misi, nilai-nilai, tujuan,

kebijakan dan tindakan organisasi menggambarkan kepeduliannya terhadap karyawan

2. Dimensi kepemimpinan yaitu karyawan merasakan bahwa atasannya siap sedia untuk

menghadapi pimpinan tertinggi demi kebaikan tim dan organisasi dan mampu melakukan

advokasi terhadap bawahan

3. Dimensi anggota kelompok yaitu karyawan dapat menghargai rekan kerja, mereka juga

akan meningkatkan usahanya.

4. Dimensi pekerjaan yaitu karyawan mendapatkan pekerjaan yang menantang, bermakna dan

memberikan hasil. Semakin tinggi tingkat kesulitan pekerjaan menuntut karyawan

menggunakan keterampilannya. Keberhasilan menyelesaikan tugas yang menan-tang

memberikan perasaan bangga. Semakin sejalan tugas seorang karyawan dengan tujuan

perusahaan maka pekerjaan tersebut semakin memberikan makna.

5. Dimensi individual yaitu karyawan merasa dihargai, dihormati dan dianggap penting.

Karyawan ingin bekerja pada organisasi yang jujur, diperlakukan secara adil dan hormat

serta penuh pertimbangan.

1.3 Teori Faktor-faktor yang Mempengaruhi Employee Engagement

Menurut Marciano (2010) ada 7 faktor yang mendorong terjadinya Employee Engagement,

yaitu:

1. Recognition (pengakuan) yaitu karyawan merasa kontribusi mereka diketahui dan

diapresiasi, pemberian reward diberikan berdasarkan kinerja dan para atasan secara regular

mengakui anggota timberhak mendapatkannya.


2. Empowerment (pemberdayaan) yaitu para atasan menyediakan peralatan kerja, sumber

daya dan pelatihan yang dibutuhkan karyawan untuk sukses dalam pekerjaan, memberikan

otonomi dan didorong untuk mengambil resiko.

3. Supportive feedback (umpan balik yang mendukung) berarti para atasan memberikan

feedback yang spesifik pada waktunya dalam suatu media yang mendukung, tulus, dan

konstruktif, bukan untuk membuat malu atau menghukum

4. Partnering (kemitraan) yaitu karyawan diperlakukan sebagai mitra bisnis dan secara aktif

berkolaborasi dalam pengambilan keputusan bisnis, menerima informasi keuangan,

mendapatkan keleluasaan dalam pengambilan keputusan, atasan bertindak sebagai

pendorong untuk pengembangan dan pertumbuhan karyawan.

5. Expectations (harapan) yaitu dimana para atasan menjamin bahwa sasaran, tujuan dan

prioritas bisnis secara jelas ditetapkan dan dikomunikasikan, karyawan mengetahui standar

kinerja mereka yang dievaluasi dengan bertanggung jawab.

6. Considerations (perhatian) dimana para atasan, manajer dan anggota tim menunjukkan rasa

tenggang, kepedulian dan perhatian satu sama lain, para atasan secara aktif berusaha

memahami pendapat dan perhatian karyawan dan memahami serta mendukung saat

karyawan mengalami permasalahan pribadi.

7. Trust (rasa percaya), dimana para atasan menunjukkan kepercayaan dan yakin dengan skill

dan kemampuan karyawan sebaliknya karyawan percaya bahwa atasan mereka akan

bekerja dengan tepat melalui mereka, para atasan memenuhi janji dan komitmen mereka

sehingga karyawan mempercayai para atasan.

Menurut Saks (2006) Employee Engagement dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:

1. Job Characteristics

Menurut Kahn (dalam Saks, 2006) kebermaknaan psikologis dapat dicapai dari

karakteristik tugas yang memberikan pekerjaan yang menantang, bervariasi, menggunakan

keterampilan yang berbeda, pertimbangan pribadi, dan kesempatan untuk memberikan

kontribusi. Pekerjaan yang memiliki karakteristik pekerjaan tinggi, maka dapat mendorong
karyawan lebih memaknai pekerjaan atau menjadi lebih engaged.

2. Reward and Recognition

Menurut Maslach et al (dalam Saks, 2006) kurangnya reward dan recognition dapat

mendorong terjadinya burnout dan disengagement. Saat karyawan menerima reward dan

recognition dari organisasi, mereka akan memiliki rasa kewajiban untuk merespon dengan

tingkat engagement yang lebih tinggi.

3. Perceived Organizational & Supervisor Support

Menurut Kahn & May et al (dalam Saks, 2006) hubungan yang didasari dukungan

dan rasa saling percaya dari atasan, serta organisasi, dapat menciptakan rasa aman secara

psikologis. Sebuah studi yang dilakukan oleh Schaufeli dan Bakker (dalam Saks, 2006)

menemukan bahwa dukungan dari orang lain akan mendorong terjadinya keterikatan. Dua

variabel yang menangkap esensi dari dukungan sosial yang dirasakan adalah perceived

organizational support dan perceived supervisor support. Perceived organizational support

mengarah pada kepercayaan bahwa organisasi akan menghargai kontribusi dan peduli pada

kesejahteraan karyawan. Ketika karyawan percaya bahwa organisasi peduli pada mereka,

maka karyawan akan lebih engaged. Perceived supervisor support juga dianggap sama

pentingnya dengan perceived organizational support. Karyawan yang memiliki persepsi

dukungan organisasi positif akan memiliki komitmen organisasi, afeksi terkait dengan

pekerjaan, keterlibatan pada pekerjaan, perfomansi yang meningkat, mengalami reduksi

tegangan serta adanya keinginan untuk menetap (Rhoades & Eisenberg, 2002).

4. Distributive & Procedural Justice

Penelitian yang dilakukan oleh Colquitt et al (dalam Saks, 2006) tentang keadilan

organisasi menemukan bahwa persepsi keadilan berkaitan dengan hasil organisasi, seperti

kepuasan kerja, komitmen organisasi, OCB, withdrawal, dan performansi. Ketika karyawan

memiliki persepsi yang tinggi tentang keadilan organisasi, maka mereka akan terikat

terhadap perusahaan. Disisi lain, persepsi yang rendah terhadap keadilan akan

menyebabkan karyawan melakukan withdrawal dan disengaged (Saks, 2006).


2. Teori Work-life Balance

2.1 Definisi Work-life balance

Work-life balance atau keseimbangan kehidupan didalam pekerjaan menurut Hudson (2005),

menyatakan bahwa work-life balance merupakan tingkat kepuasan yang berkaitan dengan peran

ganda dalam kehidupan seseorang. Work-life balance umumnya dikaitkan dengan keseimbangan,

atau mempertahankan segala aspek yang ada didalam kehidupan manusia. Maka dapat

disimpulkan bahwa work-life balance adalah suatu bentuk keseimbangan yang terjadi dalam

kehidupan seseorang dimana mereka tidak melupakan tugas dan kewajibannya dalam bekerja

tanpa harus mengabaikan segala aspek dalam kehidupan pribadinya.

Singh dan Khanna (2011) menyatakan work-life balance sebagai konsep luas yang

melibatkan penetapan prioritas yang tepat antara “pekerjaan” (karir dan ambisi) pada satu sisi dan

“kehidupan” (kebahagiaan, waktu luang, keluarga dan pengembagan spiritual) di sisi lain.

Kebanyakan orang saat terjun dalam dunia kerja jadi kehilangan keseimbangan dalam hidup

mereka. Semakin tinggi karir mereka atau semakin tinggi bisnis yang dijalankan, maka semakin

sulit bagi mereka untuk menikmati hidup. Akhirnya waktu untuk keluarga dan “me time” jadi

terkuras, emosi tidak terkontrol, kesehatan menurun.

Schermerhorn dalam Ramadhani (2013) mengungkapkan bahwa work-life balance adalah

kemampuan seseorang untuk menyeimbangkan antara tuntutan pekerjaan dengan kebutuhan

pribadi dan keluarganya sebagai instrumen dalam memberikan perhatian yang seimbang antara

domain kerja (working domain) dengan domain non-kerja (non-working domain). Hal ini juga

selaras dengan pendapat Frame dan Hartog dalam Moedy (2013) yang memaparkan bahwa work-

life balance berarti karyawan dapat dengan bebas menggunakan jam kerja yang fleksibel untuk

menyeimbangkan pekerjaan atau karyanya dengan komitmen lain seperti keluarga, hobi, seni, dan

tidak hanya fokus terhadap pekerjaannya.

2.2 Teori Komponen Work-life Balance

Komponen Work-Life Balance Menurut Fisher (2013), meliputi empat komponen penting,

yaitu:
1. Waktu

Meliputi banyaknya waktu yang digunakan untuk bekerja dibandingkan dengan waktu

yang untuk aktivitas lain diluar kerja.

2. Perilaku

Meliputi adanya tindakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Hal ini berdasarkan

pada keyakinan seseorang bahwa dia mampu mencapai apa yang dia inginkan dalam

pekerjaannya dan tujuan pribadinya.

3. Ketegangan

Meliputi kecemasan, tekanan, kehilangan aktivitas penting pribadi dan sulit

mempertahankan atensi.

4. Energi

Meliputi energi yang digunakan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Energi

merupakan sumber terbatas dalam diri manusia, sehingga apabila individu kekurangan energi

untuk melakukan aktivitas, maka dapat meningkatkan stres.

2.3 Aspek Work-life Balance

Menurut Mcdonald dan Breadly (2005), menyatakan bahwa terdapat tiga aspek dalam

work-life balance, yaitu sebagai berikut:

1. Keseimbangan Waktu

Berfokus pada keseimbangan waktu yang diberikan pada pekerjaan dan diluar

pekerjaan. Keseimbangan waktu berarti jumlah waktu yang diperoleh seseorang ketika

bekerja dan kegiatan diluar pekerjaan. Hasil yang diharapkan dengan keseimbangan

waktu adalah meningkatkan konsentrasi, meningkatnya produktivitas, meningkatkan

kepuasan kerja, organisasi waktu menjadi lebih baik dan mengurangi stres.

2. Keseimbangan Keterlibatan

Berfokus pada kesetaraan dalam keterlibatan psikologis dalam pekerjaan maupun

peran diluar pekerjaan, sehingga dapat menikmati waktu yang ada dan terlibat baik secara

fisik maupun emosional dalam kegiatan sosialnya.

3. Keseimbangan Kepuasan
Berfokus pada tingkat keseimbangan kepuasan seseorang dalam pekerjaan maupun

diluar pekerjaan. Kepuasan akan timbul apabila seseorang dapat mengakomodasi

kebutuhan pekerjaan dan diluar pekerjaan dengan baik. Hal tersebut dapat dilihat dari

kondisi keluarga, hubungan antara rekan kerja dan kualitas maupun kuantitas pekerjaan

yang telah diselesaikan.

2.4 Teori Dimensi Work-life Balance

Menurut Hudson (2005), menyatakan bahwa pengembangan alat ukur tersebut

menghasilkan golongan menjadi empat dimensi, yaitu:

1. Work interfence with personal life (WIPL)

Dimensi ini mengacu pada sejauh mana pekerjaan dapat mengganggu kehidupan

pribadi, individu. Misalnya, bekerja dapat membuat seseorang sulit mengatur waktu

untuk kehidupan pribadinya.

2. Personal life Interfence with work (PLIW)

Dimensi ini mengacu pada sejauh mana kehidupan pribadi individu mengganggu

kehidupan pekerjaannya. Misalnya, apabila individu memiliki masalah didalam

kehidupan pribadinya, hal ini dapat mengganggu kinerja individu pada saat bekerja

3. Personal life enhancement of work (PLEW)

Dimensi ini mengacu pada sejauh mana kehidupan pribadi seseorang dapat

meningkatkan performa individu dalam dunia kerja. Misalnya, apabila individu merasa

senang dikarenakan kehidupan pribadinya menyenangkan, maka hal ini dapat membuat

suasana hati individu pada saat bekerja menjadi menyenangkan.

2.5 Teori Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Work-Life Balance

Menurut Fisher (2013), menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi work-life balance, yaitu:

1. Karakteristik Kepribadian

Terdapat hubungan antara tipe attachment yang didapatkan individu ketika masih

kecil dengan work-life balance. Individu yang memiliki secure attachment cenderung
mengalami positive spillover dibandingkan individu yang memiliki insecure attachment.

2. Karakteristik Keluarga

Menjadi salah satu aspek penting yang dapat menentukan ada tidaknya konflik

antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Misalnya konflik peran dan ambigiunitas peran

dalam keluarga dapat mempengaruhi work-life balance.

3. Karakteristik Pekerjaan

Meliputi pola kerja, beban kerja dan jumlah waktu yang digunakan untuk bekerja

dapat memicu adanya konflik baik konflik dalam pekerjaan maupun konflik dalam

kehidupan pribadi.

4. Sikap

Dimana dalam sikap terdapat komponen seperti pengetahuan, perasaan-perasaan dan

kecenderungan untuk bertindak. Sikap dari masing-masing individu merupakan salah

satu faktor yang mempengaruhi work-life balance

3. Teori Kinerja Karyawan

3.1 Definisi Kinerja Karyawan

Pencapaian kinerja organisasi secara keseluruhan perlu didukung dengan adanya

kontribusi optimal dari masing-masing individu yang ada pada organisasi berupa kinerja

karyawan. Hal ini dikarenakan kinerja karyawan merupakan salah satu komponen penting yang

dianggap sebagai kriteria utama dalam pengelolaan sumber daya manusia untuk mencapai

tujuan organisasi. Pengukuran dan evaluasi kinerja karyawan pada setiap organisasi berbeda.

Terlepas dari tujuannya, organisasi memerlukan penilaian kinerja yang akurat dan efisien

sehingga dapat memberikan rekomendasi kebijakan yang sesuai bagi pengembangan sumber

daya manusia pada organisasi tersebut (Ramos-villagrasa, 2019). Suatu organisasi

perusahaan didirikan karena memiliki maksud tertentu yang ingin dan harus dicapai. Untuk

menggapai tujuannya tiap organisasi di pengaruhi perilaku organisasi. Salah satu aktivitas

yang paling banyak di laksanakan dalam organisasi adalah kinerja karyawan, yakni

bagaimana melaksanakan semua yang berhubungan dengan pekerjaan atau peranan dalam

organisasi. Arti kinerja atau performance merupakan gambaran atas tingkat pencapaian
pelaksanaan suatu program aktivitas atau kebijakan dalam mencapai sasaran, tujuan visi dan

misi organisasi yang di tuangkan dalam perencanaan strategi suatu organisasi.

Arti kata kinerja berasal dari kata job performance dan di aritkan juga

actualiperformance atau prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang telah di capai oleh

seorang karyawan. Menurut Oxfoord Dictionary, kinerja (performance) merupakan suatu

tindakan proses atau cara bertindak atau melakukan tugas organisasi. Moeheriono (2012)

menyebutkan, arti kinerja karyawan atau definisi performance sebagai hasil kinerja yang

dapat diraih oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi baik secara

kualitatif maupun secara kuantitatif, sesuai dengan kewenangan, tugas dan tanggung jawab

masing-masing guna mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak menyalahi

hukum dan sesuai dengan moral maupun etika.

Kinerja atau performance merupakan gambaran mengenai tingkat pencapaian

pelaksanaan program aktivitas atau kebijakan dalam mencapai sasaran, tujuan, visi

dan misi organisasi yang di tuangkan dalam perencanaan dan strategi organisasi. Kinerja

sebagai hasil dari fungsi pekerjaan/kegiatan seseorang atau kelompok dalam suatu kegiatan

organisasi yang dipengaruhi oleh berbagai hal guna mencapai tujuan organisasi dalam waktu

tertentu. Fungsi aktivitas atau pekerjaan yang dimaksud yakni pelaksanaan pekerjaan atau

aktivitas seseorng atau kelompok yang menjadi wewenang dan tanggung jawabnya dalam

suatu organisasi. Pelaksanaan hasil pekerjaan/prestasi kerja tersebut ditujukan guna

mencapai tujuan organisasi dalam periode tertentu (Tika, 2006).

Menurut (Afandi, 2018) menyatakan kinerja adalah sejauh mana seseorang telah

melaksanakan strategi organisasi dalam mencapai tujuan sesuai dengan perannya dan

memperlihatkan kompetensi yang dimiliki relevan bagi organisasi.

Emron Edison, Yohny Anwar (2017) menunjukkan bahwa kinerja adalah hasil dari proses

yang menyelesaikan pekerjaan selama periode waktu tertentu, berdasarkan aturan atau

kesepakatan yang telah ditetapkan sebelumnya.


3.2 Teori Tujuan Penilaian Kinerja Karyawan

Tujuan penilaian kinerja atau prestasi kerja karyawan pada dasarnya meliputi

(Veithzal, 2015):

1. Mengetahui tingkat prestasi karyawan selama bekerja

2. Pemberian imbalan yang sesuai, misalnya untuk pemberian kenaikan gaji berkala, gaji

pokok, kenaikan gaji istimewa, insentif uang

3. Mendorong tanggung jawab dari karyawan

4. Membedakan karyawan satu dengan karyawan yang lainnya

5. Pengembangan SDM yang dapat dibedakkan dalam :

a. Penugasan kembali, seperti diadakan mutasi transfer, rotasi pekerjaan

b. Promosi, kenaikan jabatan.

c. Training atau latihan.

6. Meningkatkan motivasi kerja

7. Meningkatkan semangat kerja

8. Memperkuat hubungan antar karyawan dengan atasan

3.3 Manfaat Kinerja

Menurut (Wibowo, 2017) penilaian kinerja dapat dipergunakan untuk kepentingan

yang lebih luas, seperti:

1. Evaluasi tujuan dan saran, dilakukan dengan memberikan umpan balik terhadap proses

perencanaan dalam menetapkan tujuan sasaran kinerja organisasi dimasa yang akan

datang

2. Evaluasi rencana, jka penilaian kinerja yang dicapai tidak sesuai dengan rencana maka

dicari penyebabnya

3. Evaluasi lingkungan, melakukan penilaian terhadap kondisi lingkungan yang dihadapi

saat proses pelaksanaan yang sesuai harapan seperti kurang kondusif, yang menyebabkan

kesulitan atau kegagalan

4. Evaluasi proses kinerja, dengan melakukan penilaian terkait kendala dalam proses

pelaksanaan kinerja. Mulai dari mekanisme kerja yang berjalan sesuai yang diharapkan,
hingga masalah kepemimpinan dan hubungan dengan rekan kerja

5. Evaluasi pengukuran kinerja, menilai kinerja yang telah dilakukan dan menilai sistem

review dan coaching telah berjalan sesuai dengan metode yang digunakan

6. Evaluasi hasil, apabila terdapat hambatan dan masalah akan dicari faktor penyebabnya

dan berusaha memperbaikinya

3.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Karyawan

Menurut Widodo dalam (Cintani & Noviansyah, 2020) kinerja pengaruhi

dipengaruhi oleh:

1. Kualitas dan kemampuan pegawai berkaitan dengan pendidikan atau pelatihan, semangat

kerja, motivasi kerja, sikap mental dan kondisi fisik pegawai

2. Sarana pendukung, yaitu hal yang berhubungan dengan lingkungan kerja dalam

organisasi seperti keselamatan kerja, kesehatan kerja, sarana produksi, teknologi. Terkait

kesejahteraan pegawai (upah atau gaji, jaminan sosial, keamanan kerja)

3. Supra sarana yaitu kebijakan sarana pemerintah serta hubungan industrial manajemen.

3.5 Teori Dimensi dan Indikator Kinerja Karyawan

Aspek-aspek kinerja karyawan dapat dilihat sebagai berikut:

a. Hasil kerja, bagaimana karyawan memperoleh hasil dari yang dikerjakannya.

b. Kedisiplinan yakni ketepatan dalam menjalankan tugas, bagaimana seseorang

menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan tuntutan waktu yang diperlukan.

c. Tanggung jawab dan kerja sama, bagaimana seseorang mampu bekerja dengan baik

tanpa tergantung ada tidaknya kontrol.

Aspek-aspek menunjukkan bahwa kinerja karyawan merupakan hasil kerja secara

kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melakukan tugasnya

sesuai dengan tanggung jawab yang di berikan padanya (Anwar A.A Prabu Mangkunegara,

2012).

Secara umum, kinerja karyawan merupakan kontribusi maupun prestasi kerja


karyawan terhadap target yang telah ditentukan oleh organisasi (Hatane, 2015; Yuniawan et

al., 2020). Penelitian tentang kinerja karyawan telah banyak dilakukan mengingat pentingnya

peran karyawan dalam organisasi, tak terkecuali bagi perbankan. Sebagai salah satu industri

penyedia jasa, kinerja karyawan khususnya dalam memberikan pelayanan sesuai prosedur

dan service level agreement merupakan salah satu hal penting yang harus diperhatikan

(Yuniawan et al., 2020). Karyawan pada sektor perbankan di Pakistan dipengaruhi oleh gaji

dan tunjangan yang diterima, keamanan kerja, dan mekanisme pemberian bonus bagi

karyawan (Hafoor Awan, 2014).

Kinerja karyawan merupakan pekerjaan yang dilakukan seseorang dalam melaksanakan

tugas yang diberikan kepadanya, berdasarkan catatan, pengalaman, integritas, dan waktu

(Hasibuan, 2017). Kinerja karyawan yaitu hasil kerja yang dihasilkan oleh seorang karyawan

untuk mencapai tujuan yang diharapkan (Mangkunegara, 2017). Selain itu, terdapat dimensi dan

indikator yang yang diukur dalam kinerja karyawan adalah:

1. Kualitas kerja

Mewakili kebersihan, ketelitian dan kemampuan untuk melakukan

pekerjaan dengan baik, agar dapat mengurangi kesalahan di dalam

penyelesaiaan suatu pekerjaan yang di tugaskan. Indikator dalam dimensi ini

mencangkup :

a. Pelaksanaan kerja yang efektif

b. Mengurangi kesalahan dalam bekerja

c. Jumlah unit

2. Kuantitas Kerja

Hasil dari penyelesaian pekerjaan diselesaikan dibawah kondisi normal,

dengan melihat banyaknya jenis kegiatan yang dilaksanakan dalam satu waktu

yang dapat terlaksana sesuai harapan perusahaan. Indikator dalam dimensi ini

mencangkup:

a. Target Kerja

b. Volume Pekerjaan
c. Jumlah unit

3. Ketepatan Waktu

Penggunaan waktu kerja atau kegiatan yang disetarakan dengan prosedur

perusahaan agar suatu pekerjaan dapat terselesaikan pada waktu yang ditentukan.

Indikator dalam dimensi ini mencangkup:

a. Ketepatan waktu menyelesaikan sutau tugas

b. Batas waktu menyelesaikan suatu tugas

4. Teori Kepuasan Kerja

4.1 Definisi Kepuasan Kerja

Seseorang yang memiliki tingkat kepuasan kerja tinggi akan mempunyai perasaan

positif terhadap pekerjaannya, sementara orang yang tidak puas akan memiliki perasaan yang

negatif tentang pekerjaannya. Sehingga karyawan yang memiliki rasa kepuasan terhadap

pekerjaannya akan berkinerja lebih baik (Stephen P. Robbins, 2015). Kepuasan kerja adalah

respon perasaan terhadap aspek dalam pekerjaannya melalui hasil penilaian pekerjaan sebagai

rasa menghargai dalam mencapai salah satu nilai yang penting dalam pekerjaan (Afandi,

2018). Selain itu, kepuasan kerja merupakan perasaan yang mendukung karyawan dengan

pekerjaannya maupun dengan kondisi dirinya. Perasaan yang berhubungan dengan pekerjaan

terkait aspek upah, gaji yang diterima, promosi, hubungan dengan rekan kerja, penempatan

kerja, jenis pekerjaan, struktur organisasi perusahaan, dan mutu pengawasan. Sedangkan

perasaan yang berhubungan dengan dirinya seperti umur, kondisi kesehatan, kemampuan, dan

pendidikan (Mangkunegara, 2017)

Berdasarkan teori kepuasan kerja diatas maka, kepuasan kerja merupakan perasaan

yang dirasakan karyawan terhadap pekerjaan yang dilakukan, atas apa yang telah diterimanya

di tempat kerja yang bisa mempengaruhi hasil kerja karyawan

Gagasan tentang kepuasan individu yang menjadi faktor kinerja penting dalam

bisnis, dapat ditemukan dalam berbagai penelitian psikologi dan perilaku manusia di awal

dan pertengahan abad ke-20. Abraham Maslow, salah satu peneliti terkemuka pada
periode itu mengembangkan serangkaian teori yang terkait dengan kebutuhan pribadi

individu. Dalam “Theory of Human Motivasi "(1943), Maslow memperkenalkan"

hierarki kebutuhan "(Gambar 1), menunjukkan bahwa perilaku individu dapat

didefinisikan dengan daftar hierarki kebutuhan yang perlu dipenuhi untuk meningkatkan

kepuasan hidup; mulai dari kebutuhan dasar seperti kebutuhan fisiologis dan keamanan,

kemudian meluas ke cinta dan kepemilikan dan akhirnya tingkat “lebih tinggi” seperti

harga diri dan aktualisasi diri.

Gambar 1. Hierarki kebutuhan Maslow


Sumber: diadaptasi dari Maslow (1943), hal.
388-389

Menurut Thomas Wright (2009) menemukan bahwa ketika karyawan memiliki tingkat

kesejahteraan psikologis dan kepuasan kerja yang tinggi, akan melakukan pekerjaan lebih

baik dan kecil kemungkinannya untuk meninggalkan pekerjaan. Karyawan yang puas tidak

hanya baik dan efektif tetapi juga efisien

4.2 Teori Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yang disebutkan oleh

(Luthans, 2006) yaitu :

1. Pekerjaan itu sendiri

Pekerjaan itu sendiri dianggap menarik dan merupakan pekerjaan yang


memberikan kesempatan untuk berkembang, mendapatkan pengalaman,

meningkatkan keterampilan dan mengambil tanggung jawab selama pekerjaan

itu.

2. Gaji atau upah

Hasil yang diterima pekerja tersebut meliputi tingkat gaji dan kesesuaian

dengan pekerjaan yang dilakukan

3. Pengawasan

Keterikatan hubungan antara karyawan dengan pemimpin terkait dengan

pekerjaan dan kualitas kerja.

4. Kesempatan promosi

Berkaitan dengan perkembangan karir karyawan untuk dapat tumbuh dan

berkembang didalam organisasi dengan memberikan kesempatan kenaikan

jabatan

5. Rekan Kerja

Tingkatan hubungan dengan sesama karyawan

6. Kondisi kerja

Berkaitan dengan lingkungan kerja di lingkungan kerja seperti peralatan

kerja, ventilasi, penempatan dan sebagainya

4.3 Teori Dimensi dan Indikator Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja juga dijadikan indikator dari perbedaan apa yang diinginkan

karyawan dari tempat kerjanya dengan yang diberikan perusahaan. Karyawan menentukan

seberapa senang dari apa yang didapatkan dalam pekerjaan, pemberi kerja, dan lingkungan

kerjanya secara keseluruhan Adapun dimensi dan indikator kepuasan kerja oleh (Luthans,

2006) diantaranya adalah:

1. Gaji atau Upah

Uang tidak hanya memenuhi kebutuhan dasar, tetapi juga memenuhi

kebutuhan yang lebih tinggi. Indikator untuk dimensi ini adalah:

a. Gaji sesuai dengan tanggungjawab


b. Tunjangan sesuai dengan harapan

c. Gaji dan tunjangan lebih besar dari pesaing

d. Imbalan sesuai dengan usaha

e. Kenaikan gaji rutin

2. Pekerjaan itu sendiri

Karakteristik pekerjaan dan desain kerja, menunjukkan umpan balik dan

otonomi dari pekerjaan itu sendiri telah terbukti menjadi dua faktor motivasi

terpenting yang terkait dengan pekerjaan. Indikator untuk dimensi ini adalah:

a. Pekerjaan yang menarik

b. Kesempatan untuk belajar hal-hal baru dalam pekerjaan

c. Tingkat tanggung jawab dalam pekerjaan

d. Pencapaian keberhasilan

e. Membuat kemajuan

3. Promosi

Berhubungan dengan perkembangan karir didalam perusahaan pemberian

kenaikan jabatan dan kesempatan untuk maju. Indikator dalam dimensi ini

mencangkup :

a. Tingkat kemajuan

b. Standar promosi

c. Kenaikan jabatan

d. Kenaikan gaji

e. Kenaikan promosi secara berkala

4. Pengawasan

Dukungan yang diberikan pimpinan dalam melakukan pekerjaan yang

dilakukan agar dapat memotivasi karyawan. Indikator yang dalam dimensi ini

mencangkup :

a. Manajer memberi dukungan pekerjaan

b. Manajer memiliki motivasi

c. Manajer memberi kebebasan mengambil keputusan yang bertanggung


jawab

d. Manajer mau mendengarkan pegawai

e. Manajer jujur dan adil

5. Rekan Kerja

Rekan kerja yang ramah dan kooperatif adalah sumber kepuasan kerja bagi

karyawan. Kelompok kerja yang baik membuat pekerjaan menyenangkan

menjadi sumber dukungan, kenyamanan, nasihat, dan dukungan bagi pekerja.

Indikator untuk dimensi ini adalah:

a. Karyawan mendapat dukungan dari rekan kerja

b. Ada bantuan dari sesama rekan kerja yang sedang mengalami kesulitan

c. Kekeluargaan terjalin dengan baik di tempat kerja

6. Kondisi Kerja

Kondisi kerja yang baik (bersih, lingkungan yang menarik), akan membuat

mereka nyaman melakukan pekerjaan mereka. Sebaliknya, jika situasi kerja

buruk (panas, bising), individu akan merasa lebih sulit untuk menyelesaikan

pekerjaan. Indikator dalam dimensi ini yaitu suasana kerja seperti peralatan

kerja, ventilasi, tata ruang dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai