Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

GLOBALISASI PERSPEKTIF
TRANSKULTURAL DALAM
KEPERAWATAN (DIVERSITY DALAM
KEPERAWATAN)

DISUSUN OLEH :

IDA AYU PUTU


ANZANI (195140094)
DOSEN PEMBIMBING
RESA LIVIA NICA,S.kep,.M,kes

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS MITRA INDONESIA
2019/2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunainya
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Perspektif dan Prinsip
Transkultural dalam Keperawatan

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dalam pembelajaran tarnskultural


keperawatan yang bertujuan agar mahasiswa mampu menganalisis fenomena budaya
kesehatan pasien dan menerapkan konsep dan prinsip transkultural yang sesuai. Semoga
makalah ini memenuhi kriteria penilaian dan bermanfaat bagi pembaca.

Bandar Lampung,2 Mei 2020

Ida Ayu Putu Anzani


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring berkembangnya zaman di era globalisasi saat ini, terjadi peningkatan jumlah
penduduk baik populasi maupun variasinya. Keadaan ini memungkinkan adanya
multikultural atau variasi kultur pada setiap wilayah. Tuntutan kebutuhan masyarakat akan
pelayanan kesehatan yang berkualitas pun semakin tinggi. Hal ini menuntut setiap tenaga
kesehatan profesional termasuk perawat untuk mengetahui dan bertindak setepat mungkin
dengan prespektif global dan medis bagaimana merawat pasien dengan berbagai macam latar
belakang kultur atau budaya yang berbeda dari berbagai tempat di dunia dengan
memperhatikan namun tetap pada tujuan utama yaitu memberikan asuhan keperawatan yang
berkualitas. Penanganan pasien dengan latar belakang budaya disebut dengan transkultural
nursing. Tanskultural nursing adalah suatu daerah/wilayah keilmuan budaya pada proses
belajar dan praktek keperawatan yang fokusnya memandang perbedaan dan kesamaan
diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya
manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan
keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya kepda manusia (Leininger, 2002).
Proses keperawatan transkultural diaplikasikan untuk mengurangi konflik perbedaan budaya
atau lintas budaya antara perawat sebagai profesional dan pasien.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

1. Menjelaskan konsep dan prinsip dalam asuhan keperawatan transkultur

2. Mengetahui dan memahami pengkajian asuhan keperawatan budaya dan berbagai


instrumen pengkajian budaya

3. Dapat mengaplikasikan konsep dan prinsip transkultural nursing di sepanjang fase


kehidupan manusia

.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perspektif Transkultural dalam Keperawatan
2.1.1 Keperawatan Transkultural dan Globalisasi dalam
Pelayanan Kesehatan
Dunia saat ini sedang mengalami era globalisasi. Globalisasi memungkinkan adanya
perpindahan penduduk (imigrasi) antar negara atau daerah yang menyebabkan peningkatan
jumlah penduduk dalam negara, baik populasi maupun variasinya. Menurut United Nations
Population Fund (2011), pada akhir bulan oktober tahun 2011 jumlah penduduk dunia akan
mencapai tujuh miliar penduduk. Ini memungkinkan adanya multikultural atau variasi kultur
pada suatu wilayah. Berdasar pada hal tersebut, penting bagi setiap tenaga kesehatan
profesional termasuk perawat untuk mengetahui dan bertindak dengan perspektif global
bagaimana merawat pasien dengan berbagai macam latar belakang kultur atau budaya yang
berbeda dari berbagai tempat di dunia saat ini. Penanganan pasien dengan perbedaan latar
belakang budaya disebut dengan transkultural nursing.

Menurut Leininger (2002), transkultural nursing adalah suatu area/wilayah keilmuan


budaya pada proses belajar dan praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan
kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai
budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan untuk memberikan
asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya kepada manusia, yang dalam
penggunaannya bertujuan untuk mengembangkan sains dan pohon keilmuan yang humanis
sehingga tercipta praktik keperawatan pada kultur yang spesifik dan universal kultur dengan
nilai-nilai dan norma-norma yang diyakini dan dilakukan hampir semua kultur, misalnya
seperti budaya minum the yang dapat membuat tubuh sehat. Berdasarkan definisi Leininger
diatas, dalam melaksanakan praktik keperawatan yang bersifat humanis, perawat perlu
memahami landasan teori dan praktik keperawatan yang berdasarkan budaya. Budaya yang
telah menjadi kebiasaan tersebut diterapkan dalam asuhan keperawatan transkultural
berdasarkan kerangka kerja keperawatan transkultural yang dikenal dengan Leininger Sunrise
Model (Leininger, 2002) dan tiga strategi utama intervensi Leininger, yaitu pemeliharan
terhadap budaya, negosiasi budaya dan merestrukturisasi budaya.

Bila seorang perawat mengabaikan landasan teori dan praktik keperawatan yang
berdasarkan budaya atau keperawatan transkultural, perawat akan mengalami cultural shock.
Cultural shock akan dialami oleh klien pada suatu kondisi dimana perawat tidak mampu
beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya dan kepercayaan. hal ini dapat menyebabkan
munculnya rasa ketidaknyamanan, ketidakberdayaan, dan beberapa akan mengalami
disorientasi. salah satu contoh yang sering ditemukan adalah ketika klien sedang mengalami
nyeri. pada beberapa daerah atau negara diperbolehkan seseorang untuk mengungkapkan rasa
nyeri dengan berteriak atau menangis. tetapi bila seandainya perawat terbiasa dengan hanya
meringis jika merasa nyeri, ia akan menganggap sikap pasien mengganggu dan tidak sopan.
maka perawat pun akan meminta pasien bersuara pelan, bahkan tak jarang akan memarahinya
karena dianggap mengganggu pasien lainnya. kebutaan budaya yang dialami oleh perawat ini
akan berakibat pada perununan kualitas keperawatan yang diberikan. Penting bagi perawat
untuk memahami cultural sendiri sebelum memahami keperawatan transkultural. Konsep
tentang budaya dan gambaran perilaku dan sikap yang mencerminkan budaya tertuang dalam
ilmu antropologi kesehatan.

Dalam menerapkan keperawatann transkultural, tak hanya budaya yang harus


diperhatikan, namun paradigma keperawatan pun perlu diingat agar dapat diaplikasikan
dalam keperawatan transkultural. Leoninger (1985) mengartikan paradigma keperawatan
transkultural sebagai cara pandang, keyakinan, nilai-nilai, konsep-konsep dalam
terlaksananya asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya terhadap empat
konsep sentral keperawatan, yaitu: manusia, komponen sehat sakit, lingkungan serta
keperawatan (Andrew and Boyle, 1995)

2.1.2 Konsep dan Prinsip dalam Asuhan Keperawatan Transkultural


Tuntutan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan pada saat ini, termasuk
tuntutan terhadap asuhan keperawatan yang berkualitas akan semakin tinggi. Dengan adanya
globalisasi, dimana perpindahan penduduk antar negara menyebabkan adanya pergeseran
terhadap tuntutan asuhan keperawatan. Sehingga, perawat tidak hanya dituntut untuk bisa
berkembang pada masa kini tapi perawat pun harus berkembang dari masa lalu, seperti
kebudayaan klien, latar belakag klien, dan lain sebagainya. 3 Menurut J.N Giger dan
Davidhizar konsep dan prinsip dalam asuhan keperawatan ada beberapa, antara lain:

1. Budaya
Norma atau aturan tindakan dari anggota kelompok yang dipelajari, dan
dibagi serta memberi petunjuk dalam berfikir, bertindak dan mengambil keputusan.
2. Cultural
Seseorang yang memiliki pertentanan antara dua individu dari budaya, gaya
hidup, dan hukum hidup. Contohnya, Didin adalah anak yang dilahirkan dari
pasangan suku sunda dan batak.
3. Diversity
Diversity atau keragaman budaya adalah suatu bentuk yang ideal dari asuhan
keperawatan yang dibutuhkan untuk memberikan asuhan budaya individu,
kepercayaan, dan tindakan.
4. Etnosentris
Prsepsi yang dimiliki oleh individu yang menganggap bahwa budayanya
adalah yang terbaik diantara budaya-budaya yang dimiliki oleh orang lain.
5. Ras
Perbedaan manusia didasarkan pada asal muasal manusia.
6. Cultural shock
Suatu keadaan yang dialami klien pada suatu kondisi dimana perawat tidak
mampu beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya dan kepercayaan. Hal ini dapat
menyebabkan munculnya rasa ketidaknyamanan, ketidakberdayaan dan beberapa
mengalami disorientasi.
7. Diskriminasi
Perbedaan perlakuan individu atau kelompok berdasarkan ras, etnik, jenis
kelamin, sosial, dan lain sebagainya.
8. Sterotyping
Anggapan suatu individu atau kelompok bahwa semua anggota dari kelompok
budaya adalah sama. Seperti, perawat beranggapan bahwa semua orang Indonesia
menyukai nasi.
9. Assimilation
Suatu proses individu untuk membangun identitas kebudayaannya, sehingga
akan menghilangkan budaya kelompoknya dan memperoleh budaya baru.
10. Perjudice
Adalah prasangka buruk atau beranggapan bahwa para pemimpin lebih suka
untuk menghukum terlebih dahulu suatu anggota.

2.1.3 Pengkajian Asuhan Keperawatan Budaya


Perawat dalam menjalankan tugasnya sering menghadapi klien yang memiliki latar
belakang etnik, budaya, dan agama yang berbeda. Untuk menghadapi situasi ini penting bagi
perawat untuk memahami bahwa klien memiliki pendangan dan interpretasi mengenai
penyakit dan kesehatan yang berbeda. Pandangan tersebut didasarkan pada keyakinan sosial-
budaya klien.

Perawat harus sensitif dan waspada terhadap keunikan warisan budaya dan tradisi
kesehatan klien dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien dari latar belakang
kebudayaan yang berbeda. Perawat harus mengkaji dan mendengarkan dengan cermat
tentang konsistensi warisan budaya klien. Pengakajian tentang budaya klien merupakan
pengkajian yang sisrematik dan komprehensif dari nilai-nilai pelayanan budaya, kepercayaan,
dan praktik individual, keluarga, komunitas. Tujuan engkajian budaya adalah untuk
mendapatkan informasi yang signifikan dari klien sehingga perawat dapat menerapkan
kesamaan budaya ( Leininger dan MC Farland, 2002).

Perawat dalam melakukan pengkajian terhadap kebudayaan klien dimulai dari


menentukan warisan kultural budaya klien, latar belakang organisasi sosial, dan keterampilan
bahasa serta 5 menayakan penyebab penyakit atau masalah untuk mengetahui klien
mendapatkan pengobatan rakyat secara tradisional baik secara ilmiah maupun
mesogisoreligus atau kata ramah, suci untuk mencegah dan mengatasi penyakit. Hal ini
dilakukan untuk pemenuhan kompoen pengakajian budaya untuk menyediakan informasi
yang berguna dalam mengumpulkan data kebudayaan klien.

Model matahari terbit dari leininger menggambarkankeberagaman budaya dalam


kehidupan sehari-hari dan membantu melaksanakan pengkajian budaya yang dilakukan
secara komprehensif. Model ini beranggapan bahwa nilai-nilai pelayanan budaya,
kepercayaan, dan praktik merupakn hal yang tidak dapat diubah dalam budaya dan dimensi
struktur sosia lmasyarakat, konteks lingkungan, bahasa dan riwayat etik atau peristiwa
bersejarah dari kelompok tertentu(Potter dan perry, fundamental keperawatan ed 7, 187)

Tahapan pengkajian budaya dimulai dari mengetahui perubahan demografik populasi


pad lingkungan praktik komunitas yang disebut dengan data sensus. Data sensus didapatkan
dari data sensus lokal dan regional serta laporan pelayanan kesehatan. Langkah berikutnya
perawta menggunakan teknik wawancara yang terbuka, terfokus, dan kntras untuk
mendorong klien menceritakan nilai-ilai, kepercayaan, dan praktik dalam warisan budayanya(
Spradley, 1979).

Dalam melaksanakan pengkajian budaya seorang perawt menjalin hubungan dengan


klien dan memiliki keterampilam dalam berkomuknikasi. Pengkajian budaya yang
komprehensif membutuhkan keterampilan, waktu hingga persiapan dan antisipasi sangat
diperlukan.

2.1.4 Beberapa Instrumen Pengkajian Budaya


Pada abad ke-21 ini,tuntutan terhadap asuhan keperawatan semakin besar, tak hanya
asuhan keperawatan yang melihat sisi medisnya saja, tetapi juga melihat dari sisi budaya. Jika
melihat dari sisi budaya, ini termasuk ilmu keperawatan yang memasuki level midle theory
range, yaitu teori transkultural nursing.

Tanskultural nursing adalah suatu daerah/wilayah keilmuan budaya pada proses


belajar dan praktek keperawatan yang fokusnya memandang perbadaan dan kesamaan
diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya
manusia, kepercayaan 6 dan tindakan, dan ilmu ini digunakanuntuk memberikan
asuhankeperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya kepda manusia (Leininger,
2002). Transkultural nursing mempunyai tahapan yang sama dengan proses keperawatan;
antara lain pengkajian, diagnosis, perencanaan, implemantasi dan evaluasi. Pengkajian dalam
transkultural nursing memiliki instrument atau komponen tersendiri, antara lain; warisan dan
sejarah etnik, variasi biologis, religious dan kepercayaan, organisasi sosial, komunikasi,
waktu, kepercayaan perawatan dan prakteknya, serta pengalaman sebagai tenaga proposional.

Warisan budaya dan sejarah etnik sering membawa pada nilai-nilai dan norma yang
berlaku pada suatu adat istiadat, ras klien, atau dalam hal ini dapat dikaji tentang persepsin
sehat dan sakit menurut budaya klien, keikutsertaan cara-cara budaya dalam proses
perawatan. Relijius dan kepercayaan ini dalah faktor yang sangat mempengaruhi karena
membawa motivasi tersendiri untuk menempatkan kebenaran di atas segalanya. Kajian
religious dapat meliputi agama yang dianut, sudut pandang pasien terhadap penyeban
penyakit, proses penyembuhannya serta sisi positif agama pasien yang dapat membantu
proses kesembuhanya. Variasi biologis, perbedaan biologis antara anggota kelompok kultur,
seperti struktur dan bentuk tubuh, warna kulit, variasi enzimatik dan genetik, kerentanan
terhadap penyakit, variasi nutrisi. Pengkajian organisasi sosial mengacu pada unit keluarga
dan kelompok sosial, dimana di lihat tentang keadaan soal keluarga seperti ekonomi,
pergaulan sosial. Sedangkan pada kelompok sosila klien dapat dilihat sejarah lingkungan dan
kondisi lingkungan.

Komunikasi adalah hal terpenting dalam pelangsanaakn proses asuhan keperawatan,


ketidak berhasilan komunikasi dapat menghambat proses diagnosis dan tindakaan serta dapat
membawa pada hasil yang trgis. Dalam hal ini perawat harus dapat melihat bahasa yang
digunakan pasien secra verbal maupun non verbal. Ruang personal menujukkan sikap klien
yang harus ditanggapi oleh perawat secara sensitive, sehingga kidatk menimbulkkan rasa
ketidak nyamanan pasien. Bukan hanya mengenai ruang personal yang harus menjadi
pertimbangan tetapi juga mengenai waktu ,orientasi waktu berbeda-deada dalam setiap ethic
ada yang memprioritaskan pada saat ini ada juga yang saat mendatang. Perbedaan orientasi
waktu ini akan membawa pada perencaan asuhan jangka panjang. Keyakinan perawtan klien
juga menjadi factor kajian, di sini perawat harus melihat bagai mana keyakinan dan praktik
pengobatan tradisional yang dipercai pasien dlam proses penyembuhannya apakah dapat
membantu atau memperparah penyakitnnya. Dan 7 factor kajian terakhir yang mempengaruhi
adalh pengalam an propesional perawtan itu sendiri dalam menangggapi atau dalam member
asuhan keperawatan itu.

2.2 Aplikasi Konsep dan Prinsip Transkultural Sepanjang


Daur Kehidupan Manusia.
2.2.1 Perawatan Kehamilan dan Kelahiran
Kehamilan dan kelahiran bayi pun dipengaruhi oleh aspek sosial dan budaya dalam
suatu masyarakat. Dalam ukuran-ukuran tertentu, fisiologi kelahiran secara universal sama.
Namun proses kelahiran sering ditanggapi dengan cara-cara yang berbeda oleh aneka
kelompok masyarakat (Jordan, 1993).

Berbagai kelompok yang memiliki penilaian terhadap aspek kultural tentang


kehamilan dan kelahiran menganggap peristiwa itu merupakan tahapan yang harus dijalani
didunia. Salah satu kebudayaan masyarakat kerinci di Provinsi Jambi misalnya, wanita hamil
dilarang makan rebung karena menurut masyarakat setempat jika wanita hamil makan rebung
maka bayinya akan berbulu seperti rebung. Makan jantung pisang juga diyakini menurut
keyakinan mereka akan membuat bayi lahir dengan ukuran yang kecil.

Dalam kebudayaan Batak, wanita hamil yang menginjak usia kehamilan tujuh bulan
diberikan kepada ibunya ulos tondi agar wanita hamil tersebut selamat dalam proses
melahirkan. Ketika sang bayi lahir pun nenek dari pihak ibu memberikan lagi ulos tondi
kepada cucunya sebagai simbol perlindungan. Sang ibu akan menggendong anaknya dengan
ulos tersebut agar anaknya selalu sehat dan cepat besar. Ulos tersebut dinamakan ulos
parompa.
Pantangan dan simbol yang terbentuk dari kebudayaan hingga kini masih
dipertahankan dalam komunitas dan masyarakat. Dalam menghadapi situasi ini, pelayanan
kompeten secara budaya diperlukan bagi seorang perawat untuk menghilangkan perbedaan
dalam pelayanan, bekerja sama dengan budaya berbeda, serta berupaya mencapai pelayanan
yang optimal bagi klien dan keluarga

Menurut Meutia Farida Swasono salah satu contoh dari masyarakat yang sering
menitikberatkan perhatian pada aspek krisis kehidupan dari peristiwa kehamilan dan
kelahiran 8 adalah orang jawa yang di dalam adat adat istiadat mereka terdapat berbagai
upacara adat yang rinci untuk menyambut kelahiran bayi seperti pada upacara mitoni,
procotan, dan brokohan.

Perbedaan yang paling mencolok antara penanganan kehamilan dan kelahiran oleh
dunia medis dengan adat adalah orang yang menanganinya, kesehatan modern penanganan
oleh dokter dibantu oleh perawat, bidan, dan lain sebagainya tapi penangana dengan adat
dibantu oleh dukun bayi. Menurut Meutia Farida Swasono dukun bayi umumnya adalah
perempuan, walaupun dari berbagai kebudayaan tertentu, dukun bayi adalah laki laki seperti
pada masyarakat Bali Hindu yang disebut balian manak dengan usia di atas 50tahun dan
profesi ini tidak dapat digantikan oleh perempuan karena dalam proses menolong persalinan,
sang dukun harus membacakan mantra mantra yang hanya boleh diucapkan oleh laki laki
karena sifat sakralnya.

Proses pendidikan atau rekrutmen untuk menjadi dukun bayi bermacam macam. Ada
dukun bayi yang memperoleh keahliannya melalui proses belajar yang diwariskan dari nenek
atau ibunya, namun ada pula yang mempelajari dari seorang guru karena merasa terpanggil.
Dari segi budaya, melahirkan tidak hanya merupakan suatu proses semata mata berkenaan
dengan lahirnya sang bayi saja, namun tempat melahirkan pun harus terhindar dari berbagai
kotoran tapi “kotor” dalam arti keduniawian, sehingga kebudayaan menetapkan bahwa proses
mengeluarkan unsur unsur yang kotor atau keduniawian harus dilangsungkan di tempat yang
sesuai keperluan itu. Jika dokter memiliki obat obat medis maka dukun bayi punya banyak
ramuan untuk dapat menangani ibu dan janin, umumnya ramuan itu diracik dari berbagai
jenis tumbuhan, atau bahan bahan lainnya yang diyakini berkhasiat sebagai penguat tubuh
atau pelancar proses persalinan.

Menurut pendekatan biososiokultural dalam kajian antropologi, kehamilan dan


kelahiran dilihat bukan hanya aspek biologis dan fisiologis saja, melainkan sebagai proses
yang mencakup pemahaman dan pengaturan hal-hal seperti; pandangan budaya mengenai
kehamilan dan kelahiran, persiapan kelahiran, para pelaku dalam pertolongan persalinan,
wilayah tempat kelahiran berlangsung, cara pencegahan bahaya, penggunaan ramuan atau
obat-obatan tradisional, cara menolong kelahiran, pusat kekuatan dalam pengambilan
keputusan mengenai pertolongan serta perawatan bayi dan ibunya.

Berdasarkan uraian diatas, perawat harus mampu memahami kondisi kliennya yang
memiliki budaya berbeda. Perawat juga dituntut untuk memiliki keterampilan dalam
pengkajian 9 budaya yang akurat dan komprehensif sepanjang waktu berdasarkan warisan
etnik dan riwayat etnik, riwayat biokultural, organisasi sosial, agama dan kepercayaan serta
pola komunikasi. Semua budaya mempunyai dimensi lampau, sekarang dan mendatang.
Untuk itu penting bagi perawat memahami orientasi waktu wanita yang mengalami transisi
kehidupan dan sensitif terhadap warisan budaya keluarganya.

2.2.2 Perawatan dan Pengasuhan Anak


Disepanjang daur kehidupannya, manusia akan melewati masa transisi dari awal masa
kelahiran hingga kematiannya. Kebudayaan turut serta mempengaruhi peralihan tersebut.
Dalam asuhan keperawatan budaya, perawat harus paham dan bias mengaplikasikan
pengetahuannya pada tiap daur kehidupan manusia. Salah satu contohnya yaitu aplikasi
transkultural pada perawatan dan pengasuhan anak.

Setiap anak diharapkan dapat berkembang secara sempurna dan simultan, baik
perkembangan fisik, kejiwaan dan juga sosialnya sesuai dengan standar kesehatan, yaitu
sehat jasmani, rohani dan sosial. Untuk itu perlu dipetakan berbagai unsur yang terlibat dalam
proses perkembangan anak sehingga dapat dioptimalkan secara sinergis.Menurut Urie
Bronfenbrenner (1990) setidaknya ada 5 (lima) sistem yang berpengaruh terhadap tumbuh
kembang anak,yaitu:Pertama,sistem mikro yang terkait dengan setting individual di mana
anak tumbuh dan berkembang yang meliputi:keluarga,teman sebaya,sekolah dan lingkungan
sekitar tetangga. Kedua,sistem meso yang merupakan hubungan di antara mikro
sistem,misalnya hubungan pengalaman-pengalam an yang didapatkan di dalam keluarga
dengan pengalaman di sekolah atau pengalaman dengan teman sebaya. Ketiga,sistem exo
yang menggambarkan pengalaman dan pengaruh dalam setting sosial yang berada di luar
kontrol aktif tetapi memiliki pengaruh langsung terhadap perkembangan
anak,seperti,pekerjaan orang tua dan media massa. Keempat,sistem makro yang merupakan
budaya di mana individu hidup seperti:ideologi,budaya,sub-budaya atau strata sosial
masyarakat. Kelima,sistem chrono yang merupakan gambaran kondisi kritis transisional
(kondisi sosio-historik).

Keempat sistem pertama harus mampu dioptimalkan secara sinergis dalam


pengembangan berbagai potensi anak sehingga dibutuhkan pola pengasuhan,pola
pembelajaran,pola pergaulan 10 termasuk penggunaan media massa,dan pola kebiasaan
(budaya) yang koheren dan saling mendukung. Proses sosialisasi pada anak secara umum
melalui 4 fase, yaitu:

1. Fase Laten (Laten Pattern)

pada fase ini proses sosialisasi belum terlihat jelas. Anak belum merupakan kesatuan
individu yang berdiri sendiri dan dapat melakukan kontak dengan lingkungannya. Pada fase
ini anak masih dianggap sebagai bagian dari ibu,dan anak pada fase ini masih merupakan satu
kesatuan yang disebut “two persons system”.

2. Fase Adaptasi (Adaption)

pada fase ini anak mulai mengenal lingkungan dan memberikan reaksi atas
rangsangan-rangsang an dari lingkungannya. Orangtua berperan besar pada fase
adaptasi,karena anak hanya dapat belajar dengan baik atas bantuan dan bimbingan
orangtuanya.

3. Fase Pencapaian Tujuan (Goal Attainment)

pada fase ini dalam sosialisasinya anak tidak hanya sekadar memberikan umpan balik
atas rangsangan yang diberikan oleh lingkungannya,tapi sudah memiliki maksud dan tujuan.
Anak cenderung mengulangi tingkah laku tertentu untuk mendapatkan pujian dan
penghargaan dari lingkungannya.

4. Fase Integrasi (Integration)

pada fase ini tingkah laku anak tidak lagi hanya sekadar penyesuaian (adaptasi)
ataupun untuk mendapatkan penghargaan,tapi sudah menjadi bagian dari karakter yang
menyatu dengan dirinya sendiri.

Interaksi anak dengan lingkungannya secara tidak langsung telah mengenalkan


dirinya pada kultural atau kebudayaan yang ada di sekelilingnya. Lingkungan dan keluarga
turut berperan serta dalam tumbuh kembang anak. Hal ini pun tidak terlepas dari pengaruh-
pengaruh budaya yang ada di sekitarnya. Sebagai perawat, dalam memberikan pengasuhan
dan perawatan perlu mengarahkan anak pada perilaku perkembangan yang normal,
membantu dalam memaksimalkan kemampuannya dan menggunakan kemampuannya untuk
koping dengan membantu mencapai keseimbangan perkembangan yang penting. Perawat
juga harus sangat melibatkan anak dalam merencanakan proses perkembangan. Karena
preadolesens memiliki keterampilan kognitif dan sosial yang meningkat sehingga dapat
merencnakan aktifitas perkembngan.

Dalam lingkungannya, anak diharuskan bekerja dan bermain secara kooperatif dalam
kelompok besar anak-anak dalam berbagai latar belakang budaya. Dalam proses ini, anak 11
mungkin menghadapi masalah kesehatan psikososial dan fisik (misalnya meningkatnya
kerentanan terhadap infeksi pernapasan, penyesuaian yang salah di sekolah, hubungan
dengan kawan sebaya tidak adekuat, atau gangguan belajar). Perawat harus merancang
intervensi peningkatan kesehatan anak dengan turut mengkaji kultur yang berkembang pada
anak. Agar tidak terjadi konflik budaya terhadap anak yang akan mengakibatkan tidak
optimalnya pegasuhan dan perawatan anak.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan :

1. Proses keperawatan transkultural merupakan salah satu dasar teori untuk memenuhi
asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya pasien.

2. Proses keperawatan transkultural diaplikasikan untuk mengurangi konflik perbedaan


budaya atau lintas budaya antara perawat sebagai profesional dan pasien.

3. Perilaku budaya terkait sehat sakit masyarakat secara umum masih banyak dilakukan pada
keluarga secara turun temurun.

4. Sehat dan sakit atau kesehatan dalam perspektif transkultural nursing diartikan pandangan
masyarakat tentang kesehatan spesifik bergantung pada kelompok kebudayaannya teknologi
dan non-teknologi pelayanan kesehatan yang diterima bergantung pada budaya nilai dan
kepercayaan yang dianutnya.

5. Proses keperawatan transkultural terdiri dari tahap pengkajian keperawatan transkultural,


diagnosa keperawatan transkultural, rencana tindakan keperawatan transkultural, tindakan
keperawatan transkultural dan evaluasi tindakan keperawatan transkultural.

6. Prinsip pengkajian keperawatan transkultural berpedoman pada model konsep dari


Leininger. Konsep utama dari model sunrise berupa cultural care, world view, culture and
social culture dimention, generic care system, proffesional system, culture care preservation,
culture care accomodation, culture care repattering, culture congruent.

7. Rencana tindakan transkultural didasari pada prinsip rencana tindakan dari teori Sunrise
Model yang terdiri dari 3 strategi tindakan, yaitu perlindungan perawatan budaya atau
pemeliharaannya, akomodasi perawatan budaya atau negosiasi budaya, perumusan kembali
dan restrukturasi.
DAFTAR PUSTAKA

Afifah, Efy. “KERAGAMAN BUDAYA DAN PERSPEKTIF TRANSKULTURAL


DALAM KEPERAWATAN”.http://staff.ui.ac.id/internal/132051049/material/
transkulturalnursing.pdf. Aplication pdf (18 Oktober 2011)

Andrew, M.M. and Boyle, J.S. (1995). Transcultural Concepts in Nursing Care. 2 nd
Ed. Philadelphia: J.B. Lippincot Company, hal 1-131.

Elsaerodji, Fahmi. “Pertumbuhan dan Perkembangan Anak: Perspektif Sosial Budaya


Jawa”. http://atfahmi.depsos.org/2011/01/27/pertumbuhan-dan-perkembangan-anak-
perspektifsosial-budaya-jawa.html. css (23 Oktober 2011)

Ginger, J. N. dan Davidhizar (1995). Transcultural Nursing: Assessment and


Intervention. St. Louis: Mosby, hal 1-157.

Kozier, B., Erb, G., Berman A.J., & Snyder. (2004). Fundamentals of Nursing:
Concepts, Process, and Practice . 7th Ed. New Jersey: Pearson Education, Inc. Hal. 205-221.

Novieastari, Enie. “Perkembangan Transkultural dalam Keperawatan”.


http://staff.ui.ac.id/internal/132014715/material/PerkembanganTranskulturaldalamKeperawat
an.pdf. Aplication pdf (18 Oktober 2011)

Novieastari, Enie. “Transcultural Nursing Care”.


http://staff.ui.ac.id/internal/132014715/ material/NursingPerspectiveinTranscultural.pdf.
Aplication pdf (18 Oktober 2011) Pratiwi, Arum. (2011). Buku Ajar Keperawatan
Transkultural. Yogyakarta: Penerbit Gosyen Publishing.

Potter, P. A. & Perry, A. G. (2005). Fundamentals of Nursing: Concepts, Procces,


and Practice. 6 th Ed. St. Louis, MI: Elsevier Mosby. Hal. 118-136.

Potter, P. A. & Perry, A. G. (2009). Fundamentals of Nursing. 7 th Ed. (Terj. dr.


Adrina Ferderika). Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai