Anda di halaman 1dari 66

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


PUSAT KAJIAN ILMU ADMINISTRASI

Menggunakan dana dari Manajemen Keuangan Publik –


Multi Donor Trust Fund (PFM-MDTF), Direktorat Jenderal Pajak yang didukung
oleh Bank Dunia melakukan penelitian awal mengenai:

PENGUATAN PENGETAHUAN PERPAJAKAN BAGI


SISWA DIDIK MENUJU VOLUNTARY TAX
COMPLIANCE YANG BERKELANJUTAN
(Studi Kasus pada Sekolah Menengah Atas dan Sederajat
di Provinsi DKI Jakarta)

Peneliti:
Dra. Titi Muswati Putranti, M.Si
Maria Tambunan, S.IA

Depok, Februari 2013

1
Daftar Isi
Daftar Isi .................................................................................................................1
Daftar Lampiran .......................................................................................................3
Ringkasan Eksekutif.................................................................................................4
1 Pendahuluan ......................................................................................................8
1.1 Pendidikan dalam kontek pembangunan Indonesia ................................8
1.2 Dilema pengetahuan pajak dalam kurikulum pendidikan .....................10
2 Tujuan dan Manfaat Kajian.............................................................................16
3 Kajian Literatur ...............................................................................................17
3.1 Kepatuhan Sukarela melalui self assessment system .............................17
3.2 Konsep Evaluasi Kebijakan ...................................................................25
3.3 Konsep Pendidikan ................................................................................27
4 Metode Penelitian dan Pengumpulan Data .....................................................29
5 Gambaran Umum Penyelenggaraan Pendidikan Sekolah Menengah Atas
di Indonesia .....................................................................................................31
5.1 Kebijakan Pemerintah mengenai Kurikulum ........................................35
5.2 Kebijakan Muatan Kurikulum IPS Ekonomi Saat Ini ...........................37
5.3 Kurikulum dengan kompetensi dasar Perpajakan pada media
pembelajaran berupa buku ajar Ekonomi untuk SMA/MA ..................39
5.4 Muatan Kompetensi Dasar pada Buku Bahan Ajar ...............................43
5.5 Peran Guru yang mengempu Kurikulum dengan kompetensi dasar
Perpajakan untuk SMA/MA ..................................................................47
6 Pengenalan Pengetahuan Perpajakan melalui Kurikulum ..............................48
6.1 Inisiatif Pemahaman Pengetahuan Perpajakan ......................................49
6.2 Hambatan masa lalu, kedepan dan tantangannya ..................................51
6.3 Pengalaman pendidikan pajak di Scandinavia.......................................56
7. Strategi pengembangan pengetahuan perpajakan melalui perubahan
kurikulum ........................................................................................................57
7.1 Strategi: Pemahaman pengetahuan pajak yang diharapkan dari siswa
didik .......................................................................................................57
7.2 Strategi: meningkatkan peran guru dalam pembelajaran perpajakan ....59
7.3 Strategi: mengoptimalkan peran penulis bahan ajar ..............................61
8. Simpulan dan Rekomendasi ............................................................................62
9. Referensi .........................................................................................................63

2
Daftar Lampiran

1) Materi Bab II APBN dan APBD dalam Buku Ekonomi 2: Ekonomi dan
Kehidupan SMA/MA untuk Kelas XI, Penerbit Pusat Perbukuan Departemen
Pendidikan Nasional.
2) Materi Bab 3 Keuangan Publik dan Kebijakan Fiskal dalam Buku Ekonomi Jilid
2 untuk SMA/MA Kelas XI, penerbit Erlangga.
3) Materi Bab 3 Sistem Anggaran di Indonesia dalam Buku Ekonomi Jilid 2 untuk
SMA dan MA Kelas XI, penerbit Erlangga.
4) Contoh Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Silabus

3
Ringkasan Eksekutif

Sistem self assessment yang kini tengah diterapkan di Indonesia


berimplikasi bahwa penerimaan negara akan memiliki tingkat dependensi yang
tinggi terhadap kesadaran wajib pajak. Hal ini mengandung pemikiran bahwa
wajib pajak merupakan pihak yang aktif dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya. Jika pemerintah menginginkan suatu sistem yang sejalan dengan
semangat sistem self assessment, pemerintah seyogyanya membuat berbagai
upaya yang mendorong terciptanya kepatuhan sukarela (voluntarity tax
compliance). Salah satu faktor kurangnya kesadaran masyarakat Indonesia dalam
membayar pajak adalah minimnya pengetahuan masyarakat terhadap pajak,
sehingga wajib pajak tidak melakukan kewajiban perpajakannya dengan baik dan
benar. Dengan memberikan pemahaman yang baik mengenai pentingnya pajak
dalam kegiatan pemerintahan serta bermanfaat bagi layanan masyarakat, hal ini
akan mendorong sikap positif yang akan tertanam tentang tanggung jawab setiap
warga negara kepada negaranya.
Keberhasilan dalam memulai proses edukasi yang berkelanjutan saat ini
akan menjadi cikal bakal terwujudnya masyarakat sadar pajak di masa mendatang.
Dengan berasumsi bahwa setiap individu sadar atas hakekat kewajiban pajak sejak
dini maka akan tercapai budaya untuk sukarela membayar pajak dan kesadarannya
untuk mendukung pembangunan negara. Dengan demikian, salah satu hal
penting adalah memberikan pemahaman bagaimana fungsi pemerintah dalam
negara. Salah satu tumpuan keberhasilan dan kebersinambungan (sustainability)
sistem administrasi perpajakan yang menganut sistem pemungutan self assessment
yang sebagian besar dianut di berbagai belahan negara di dunia adalah terciptanya
kepatuhan perpajakan. Idealnya kepatuhan perpajakan yang diinginkan adalah
kepatuhan wajib pajak secara sukarela yang dikenal dengan Voluntary Tax
Compliance. Dalam arti bahwa kepatuhan timbul karena wajib pajak sadar akan
fungsi pajak dan menyadari kewajiban mereka sebagai warga negara
Sebagai langkah konkret atas upaya untuk mencapai kesadaran kewajiban
perpajakan dapat diwujudkan dengan mengasimilasikan pengetahuan perpajakan
ke dalam pendidikan formal yaitu dalam kurikulum pendidikan. Hal tersebut akan
4
berjalan lebih efektif jika guru dan pihak yang berperan dalam penerbitan buku-
buku pelajaran sekolah (termasuk para penulis buku ajar) sudah memiliki
pemahaman yang mumpuni mengenai filosofi perpajakan. Melalui kajian awal ini,
untuk tujuan jangka pendek, dilakukan kajian penguatan pengetahuan perpajakan
bagi siswa didik (studi kasus pada SMA dan sederajat di Provinsi DKI Jakarta),
termasuk pemetaan terhadap Kurikulum, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Perpajakan dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Kajian ini dibatasi pada
tingkat Sekolah Menengah Atas dan sederajat di Provinsi DKI Jakarta dan
sekitarnya. Pengumpulan data melalui studi kepustakaan, wawancara mendalam
kepada akademisi, praktisi pendidikan dan survey pada siswa didik SMA dan
sederajat. Diharapkan dalam jangka panjang dapat memberikan rekomendasi
terhadap penyempurnaan kurikulum yang berisi muatan pengetahuan pajak.
Hingga saat ini, mata pelajaran perpajakan bagi siswa SMA/SMK/MA dan
sederajat masih dianggap sebagai mata pelajaran pilihan dan merupakan keahlian
atas konsekuensi positif ketika siswa memutuskan untuk membidangi ilmu sosial.
Ketika materi ajar perpajakan menjadi bagian dari keahlian siswa ilmu sosial,
maka penekanannya lebih mengutamakan ketentuan teknis perpajakan seperti
perhitungan pajak pengasilan orang pibadi dan badan, pajak pertambahan nilai,
pajak bumi dan bangunan. Sementara, penekanan pada pemahaman siswa
mengenai hakekat pajak itu sendiri atau pemahaman filosofi sederhana mengenai
perpajakan tidak menjadi prioritas. Oleh karenanya pelajaran perpajakan seakan
jauh dari esensinya ketika kemampuan teknis perpajakan baik mengenai
perhitungan dan pengadministrasiannya dianggap jauh lebih penting dari esensi
pemungutan pajak.
Hasil survey dilakukan kepada 160 siswa SMA sederajat di Provinsi DKI
Jakarta, Bogor dan Depok, baik yang mengambil jurusan IPA, IPS maupun
kejuruan menunjukan bahwa sebagian besar siswa belum memahami urgensi
pemungutan pajak. Siswa juga belum memahami bahwa penerimaan yang berasal
dari pajak dialokasikan untuk kepentingan masyarakat termasuk manfaat tidak
langsung yang dirasakan oleh siswa. Tingkat pengetahuan perpajakan yang ada
saat ini sebatas dan berhenti pada tataran pengetahuan normatif yang secara tidak
sadar diperoleh dari iklan layanan masyarakat atau media lain yang pada

5
umumnya tidak berasal dari bangku sekolah. Padahal titik berat untuk mencapai
kesadaran pajak secara sukarela (voluntary tax compliance) bagi siswa yang
dimulai dari bangku sekolah seharusnya berada pada sisi ideologi dan filosofi.
Kompetensi yang diharapkan untuk dimiliki siswa tidak sekedar kemampuan
teknis perpajakan seperti perhitungan utang pajak maupun pengenalan
beranekaragam perpajakan. Lebih dari hal itu, kurikulum diharapkan mampu
menumbuhkan pemahaman dari sisi “mengapa” dan “bagaimana” pajak. Materi
pengetahuan perpajakan yang diajarkan pada siswa didik seyogyanya harus
komprehensif tidak melulu soal kewajiban wajib pajak, tetapi lebih menekankan
layanan pemerintah kepada negara dan masyarakat. Pajak menjadi penting karena
masyarakat membutuhkan sarana publik.
Jika pemahaman perpajakan yang diharapkan untuk dipahami oleh siswa
adalah sesuatu yang bersifat filosofis sementara guru dituntut untuk mengajarkan
sesuatu yang bersifat abstrak, maka tidak dapat dipungkiri bahwa guru akan
memiliki tugas pengajaran yang tidak mudah. Mengajarkan sesuatu yang bersifat
filosofis menuntut kopetensi dan kreatifitas tersendiri. Pada tataran ini, guru
diharapkan untuk mampu menyampaikan materi dengan bahasa yang sederhana,
mudah dimengerti namun berada dalam koridor esensi yang diharapkan. Dengan
demikian, guru juga harus mampu menjelaskan hal-hal yang bersifat terapan yang
inline dengan materi filosofi yang diajarkan.
Untuk mendukung proses edukasi perpajakan yang baik dan menuju
kepada suatu kematangan pemahaman, sudah selayaknya didukung oleh fasilitas
yang secara fundamental mampu berjalan beriringan. Dalam konteks materi
perpajakan dalam kurikulum, penulis buku ajar juga pada dasarnya memiliki
pemahaman yang sama atas sasaran dan target pengajaran materi perpajakan.
Dengan demikian diharapkan adanya sinergi pemahaman dan tujuan antara
pemerintah yang memiliki kepentingan, guru yang melaksanakan proses
pengajaran serta penulis buku yang akan memfasilitasi bahan referensi siswa.
Langkah konkrit yang dapat dilakukan dengan melakukan intervensi
melalui kurikulum dalam mata pelajaran wajib bagi siswa SMA dan sederajat
dapat diusulkan dalam tahapan strategi berikut ini:

6
1) Penentuan target bahan ajar; tingkat atau kedalaman isi/kontek (content)
pengetahuan perpajakan yang diharapkan dipahami oleh masing-masing siswa
tanpa membedakan bidang keilmuan yang diminati oleh siswa.
2) Proses intervensi melalui kurikulum yang melibatkan para stakeholder atau
pihak-pihak yang berkepentingan seperti pemerintah, guru dan penulis buku.
3) Harmonisasi kebijakan yang ada dengan kebijakan yang akan dilaksanakan
terkait kurikulum serta penyusunan bentuk teknis pengimplementasian
kebijakan.
4) Sosialisasi kebijakan yang telah diperbaharui kepada pihak-pihak yang
dianggap berkepentigan serta teknis pengimplementasiannya dalam tataran
meso.
5) Implementasi kebijakan dengan penyesuaian seperlunya serta persiapan SDM
yang diperlukan serta monitoring pelaksanaan implementasi kebijakan
kurikulum terkait materi perpajakan.
6) Monitoring pelaksanaan implementasi kebijakan untuk membuat suatu
evaluasi atas kebijakan yang sedang diimplementasikan dalam rangka
penguatan untuk masa mendatang.

Terlepas dari kopetensi minat dari siswa seperti dikotomi antara IPS dan
IPA, materi perpajakan dapat menjadi mata pelajaran wajib bagi siswa. Dalam
tataran teknis pelaksanaan, mata pelajaran yang berhubungan dengan eksistensi
individu sebagai warga negara dapat diasimilasikan ke dalam mata pelajaran
kewarganegaraaan karena pada dasarnya mata pelajaran tersebut mencakup 4
(empat) pilar yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.
Dengan demikian, diharapkan siswa benar-benar mengetahui peranan mereka
sebagai warga negara. Oleh karenanya tercipta sebuah pemahaman mengenai
hubungan timbal balik antara negara dan masyarakat dalam hal pembiayaan
negara yang diwujudkan dalam bentuk pajak, bukan semata-mata pungutan wajib
yang menunjukkan otoritas negara semata. Harapannya dalam jangka panjang
akan timbul kesadaran untuk tercapai kepatuhan pajak secara sukarela (Voluntary
Tax Compliance) yang berkelanjutan.

7
1 Pendahuluan

1.1 Pendidikan dalam kontek pembangunan Indonesia

Disadari bahwa pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam


pembangunan suatu negara. Pembangunan sektor pendidikan sangat perlu
mendapat prioritas utama. Pendidikan yang berkualitas akan melahirkan Sumber
Daya Manuasi (SDM) yang unggul yang mampu menciptakan inovasi-inovasi
bagi kemajuan suatu negara. Generasi muda harus dibekali dengan pendidikan
yang berkualitas, memiliki pengetahuan dan keterampilan serta menguasai
teknologi. Pada tahap selanjutnya akan menjadi aset bangsa yang akan
menyumbang bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu sejalan
dengan tujuan Millenium Development Goals (MDGs), Indonesia sebagai salah
satu negara yang ikut dalam deklarasi MDGs harus memberikan pendidikan dasar
untuk semua anak-anak (undp.or.id, 27 Februari 2013).
Menyadari pentingnya memajukan pendidikan, pemerintah berkomitmen
menetapkan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari total APBN. Namun
pada kenyataannya, pendidikan di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan
dengan negara-negara di dunia. Pendidikan nasional ternyata tak terlihat pada
output-nya yang berdampaknya pada peningkatan kualitas SDM bangsa.
Mengambil contoh negara terdekat Singapura merupakan salah satu negara maju
yang berhasil mengelola pendidikannya dengan baik. (Kompas, 25 Januari 2013).
Laporan dari United Nations Development Programme (UNDP) tahun
2009 menunjukan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/
HDI)1 Indonesia di urutan ke-111 dengan indeks 0,840 dari 182 negara. Bahkan
peringkat HDI Indonesia terus menurun pada tahun 2011 dan 2012 di posisi ke
124 dari 187 negara di dunia (Kompas, 25 Januari 2013). Berdasarkan data World

1
Human Development Index (HDI) merupakan indikator holistik yang terdiri
komponen ekonomi berupa pendapatan nasional per kapita berdasarkan PPP, pendidikan
berupa GER (gross enrolment ratio) pada pendidikan dasar dan pendidikan yang
ditamatkan untuk sampai dengan umur 18 tahun dan tingkat kematian bayi yang
menunjukkan peningkatan yang konsisten dan terus menerus.

8
Development Index 2011, kondisi Indonesia dibandingkan negara-negara lain di
dunia adalah pada posisi terbawah dibandingkan dengan China (CHN), Malaysia
(MYS), Pilipina (PHL) dan India (IND). Hal ini menunjukkan kondisi Indonesia
(IDN) masih kalah dengan Pilipina (PHL) yang level pembangunannya hampir
sama. Namun demikian, kecepatan untuk peningkatan HDI nampaknya lamban
dibandingkan dengan kelompok negara-negara lainnya yang selevel tingkat
pembangunannya (Putranti, Handry dkk, 2012: 67-68).
UNESCO bahkan menyatakan bahwa Education Development Indeks
(EDI), Indonesia masuk ke dalam kategori medium. Berdasarkan data UNESCO
tahun 2011 yang berisi hasil pemantauan pendidikan dunia dari 127 negara, EDI
Indonesia berada pada posisi ke-69, sementara Malaysia di peringkat ke-65 dan
Brunei peringkat 34 (Okezone.com, 19 Februari 2013). Hal tersebut
mencerminkan pendidikan di Indonesia masih tertinggal dengan negara-negara
berkembang lainnya.
Tidak mengagetkan jika dalam buku Statistik Indonesia 2011 yang
diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tidak lebih dari
7% penduduk Indonesia yang bekerja yang mempunyai tingkat pendidikan
Diploma/Akademi/Universitas. Jika diperinci, hanya sekitar 4% tenaga kerja yang
berpendidikan setingkat universitas (BPS, 2011). Angka tersebut tentunya sangat
memprihatin karena pada umumnya, banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa
tingkat pendidikan mempengaruhi tingkat penghasilan dan jenis pekerjaan.
Karena itu sudah seharusnya menjadi tanggung jawab untuk meningkatkan
kuantitas penduduk yang mampu menamatkan pendidikan hingga Perguruan
Tinggi.
Upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia
saat ini, nampaknya hanya sebatas meningkatkan kualitas sarana dan prasarana
yang ada, pemerataan pendidikan dan pencapaian target standar nasional, dengan
tidak terlalu memperhatikan pembelajaran siswa akan pentingnya penanaman
karakter kebangsaan dan cinta tanah air. Mahfud MD (Kompas.com, 19 Februari
2013) menjelaskan bahwa pendidikan di Indonesia saat ini tidak mencerdaskan
masyarakat, tetapi hanya mendidik individu agar memiliki ketajaman otak atau
kemampuan berpikir. Sementara, pendidikan watak dan karakter sangat diabaikan

9
sehingga terjadi kemerosotan moral dan etika di tengah kehidupan masyarakat
Indonesia. Lebih lanjut Abbas (2012) mengatakan bahwa pengelolaan pendidikan
nasional kelihatannya gagal melahirkan anak-anak bangsa yang jujur dan
berakhlak mulia. Hal tersebut terlihat maraknya kasus penyelewangan dan
kebocoran APBN. Disamping itu, pondasi pendidikan secara nasional masih
lemah. Pelajaran yang diajarkan di bangku sekolah belum banyak mengekankan
basic learning skills dan masih rendah dari segi mentalitas (Kompas, 25/01/2012).
Bahkan Wakil Presiden Boediono (Kompas 27/082012) dengan tegas
menyebutkan, sampai saat ini kita belum punya konsepsi yang jelas mengenai
substansi pendidikan

1.2 Dilema pengetahuan pajak dalam kurikulum pendidikan

Pada dasarnya tujuan utama pendidikan di Indonesia adalah agar sumber


daya manusia yang ada dapat membantu dalam proses pembangunan bangsa. Oleh
karenanya menjadi penting menamankan pengetahuan dan pemahaman atas dasar-
dasar kenegaraan dalam masyarakat Indonesia agar menumbuhkan rasa kecintaan
terhadap bangsa. Salah satu pengetahuan dasar kenegaraan yang penting diberikan
kepada masyarakat adalah pengetahuan mengenai fungsi dan peran pemerintah.
Pemerintah harus menjalankan fungsinya antara lain mengalokasikan sumber-
sumber ekonomi, mendistribusikan pendapatan untuk kesejahteraan setiap lapisan
masyarakat. Pemerintah juga mempunyai fungsi stabilisasi seperti mengatasi
masalah pengangguran, inflasi serta sebagai regulator. Untuk melaksanakan
fungsi tersebut, maka diperlukan sumber-sumber pembiayaan. Pajak mempunyai
peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan fungsi negara/pemerinah. Dalam
Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia, pos penerimaan
negara terbagi menjadi penerimaan dari Pajak, dan Penerimaan bukan Pajak.
Penerimaan dari sektor perpajakan masih mendominasi lebih dari 70 % seluruh
penerimaan negara.
Sejak tax reform taun 1983, Indonesia telah menerapkan system self
assessment dimana fiskus memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk
melaksanakan kewajiban perpajakannya mulai dari menghitung, menyetor hingga

10
melaporkan pajak dilakukan sendiri. Keberhasilan penerapan self assessment
system tentunya perlu didukung dengan sifat positif dari masyarakat, yaitu berupa
kepatuhan. Namun, pada kenyataannya kepatuhan inilah yang menjadi
permasalahan dalam pemungutan pajak di Indonesia. Sebagai gambaran tingkat
kepatuhan wajib pajak dalam rangka mematuhi kewajiban Pajak Penghasilan di
Indonesia tahun 2011 dapat disimak pada tabel 1.1.

Tabel 1
Rasio Penyampaian SPT Tahunan PPh 2011

Uraian Badan Orang Pribadi Total


WP Terdaftar Wajib SPT 1.590.154 16.104.163 17.694.317
SPT Tahunan PPh 520.375 8.812.251 9.332.626
Rasio Kepatuhan (%) 32,72 54,72 52,74
Sumber : Ortax.org diunduh pada tanggal 19 Februari 2013

Dalam tabel, dijelaskan bahwa rasio tingkat kepatuhan wajib pajak badan
hanya sebesar 32,72%, tingkat kepatuhan orang pribadi sebesar 54,72% dan total
tingkat kepatuhan WP PPh di Indonesia pada tahun 2011 hanya 52,72%. Hal
yang sama terjadi pada tingkat kepatuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam
menyampaikan SPT Masa PPN yang juga dikategorikan masih rendah, yaitu
hanya sebesar 42%, sebagaimana tabel berikut.

Tabel 2
Rasio Penyampaian SPT Masa PPN Juni 2012

Uraian Pengusaha Kena Pajak


PKP Terdaftar 775.000
SPT Masa PPN 325.000
Rasio Kepatuhan (%) 42
Sumber : bisnis.com, 3 Maret 2013 (data diolah kembali)

Rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak ini disebabkan oleh kurangnya


kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Kesadaran wajib pajak memiliki
pengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak. Semakin tinggi
kesadaran wajib pajak, maka semakin tinggi pula kepatuhan wajib pajak,
begitupun sebaliknya (Arum dan Zulaikha, 2012, h.6).

11
Sistem self assessment yang kini tengah diterapkan di Indonesia
berimplikasi bahwa penerimaan negara akan memiliki tingkat dependensi yang
tinggi terhadap kesadaran wajib pajak (voluntary compliance). Hal ini
mengandung pemikiran bahwa wajib pajak merupakan pihak yang aktif dalam
melaksanakan kewajiban perpajakannya. Informasi yang dipublikasikan oleh
Direktorat Jenderal Pajak (DitJen Pajak) bahwa tingkat kesadaran pajak di
Indonesia mencapai 58,16% pada tahun 2010, mencapai 54,15% pada tahun 2009
dan 33,08% pada tahun 2008 (Kompas, 2011).
Bagaimana upaya meningkatkan kepatuhan yang dilakukan secara sadar
merupakan suatu permasalahan klasik yang belum berakhir. DitJen Pajak telah
melakukan berbagai upaya seperti (i) melakukan kegiatan sosialialisasi, (ii)
pendekatan persuasif, (iii) jemput bola, (iv) pelayanan yang lebih baik (v)
penegakan hukum. Termasuk mengajak tokoh-tokoh bangsa dan
masyarakat untuk menjadi panutan dalam melaporan SPT Tahunan PPh-nya
(pajak.go.id, 3 Maret 2013). Namun, semua hasil ini masih belum dapat
meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Hingga saat ini,
fakta-fakta mengenai keadaan DitJen Pajak (2012):
a. Populasi orang pribadi di Indonesia sekitar 240 juta jiwa dan jumlah badan
usaha (belum termasuk usaha mikro) adalah 22,6 juta badan usaha
b. Angkatan kerja berkisar sekitar 110 juta jiwa dan jumlah badan usaha aktif
adalah (di luar usaha mikro) adalah 12,9 juta badan usaha
c. 8,7 juta orang pribadi menyampaikan SPT Tahun 2011 dan 466 ribu
perusahaan melaporkan SPT Tahunan 2010
d. Rasio penyampaian SPT terhadap populasi untuk orang pribadi adalah 3,5%
sedangkan untuk badan usaha/perusahaan adalah sebesar 2,1%
e. Rasio penyampaian SPT terhadap WP orang pribadi terdaftar adalah 7,73%
sedangkan untuk badan usaha/perusahaan adalah sebesar 3,6%
f. Kontribusi UMKM dalam PDB adalah sebesar 61,9%
g. Kontribusi Wajib Pajak Besar dalam PBD adalah sebesar 38,1%
h. Penerimaan PPh Badan dari sektor UMKM terhadap total PPh Badan di
bawah 3% (untuk tahun 2009).

12
Hingga saat ini, jumlah pegawai DitJen Pajak mencapai 31.544 pegawai yang
berperan dalam meningkatkan kesadaran pajak 237,6 juta orang penduduk
Indonesia. Dari jumlah tersebut 14% berperan sebagai pemeriksa, 20% sebagai
Account Representatif/AR, 34% fungsi penerima pajak dan 66% bagian non
pengawasan IT. Jika dibandingkan dengan negara maju seperti Jepang yang
berpenduduk 126 juta orang, memiliki 56 ribu pegawai pajak. Secara kasat mata,
DitJen Pajak (2012) meyakini bahwa upaya pengedukasikan perpajakan akan
lebih mudah karena didukung oleh sumber daya yang memadai.
Selain melalui upaya socialization related, upaya peningkatan kepatuhan
yang dilakukan oleh DitJen Pajak lebih menekankan kepada sanksi baik berupa
sanksi administrasi, dengan dan bunga. Hal tersebut terlihat dari pengadopsian
perubahan Undang- Undang Nomor 16 tahun 2000 menjadi Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Pada UU KUP Tahun 2000 terdapat 12 jenis sanksi perpajakan sementara pada
perubahannya yakni UU KUP Tahun 2007 menjadi 23 jenis sanksi. Namun, jika
bercermin terhadap kondisi saat ini, menyitir pendapat Jatmiko, dkk (Jatmiko,
2006; Trivedi & Shera, 2005; Doran, 2009) hal tersebut masih dapat dianggap
sebagai suatu solusi yang baik dalam rangka mengubah kultur masyarakat
Indonesia agar semakin sadar pajak (Damayanti, 2012).
Jika pemerintah menginginkan suatu sistem yang sejalan dengan semangat
sistem self assessment, pemerintah seyogyanya membuat berbagai upaya yang
mendorong terciptanya kepatuhan sukarela (voluntarity tax compliance), bukanlah
suatu sistem yang mengutamakan pemaksaan (enforcement). Untuk menjawab itu
maka sudah selayaknya hal tersebut didukung dengan aparat pajak yang
berkualitas, profesional dan mendukung program yang diupayakan oleh DitJen
Pajak.
Salah satu faktor kurangnya kesadaran masyarakat Indonesia dalam
membayar pajak adalah minimnya pengetahuan masyarakat terhadap pajak,
sehingga banyak wajib pajak yang tidak melakukan kewajiban perpajakannya
dengan baik dan benar. Bahkan Fuad Rahmany, Direktur Jenderal Pajak mengakui
bahwa pengetahuan masyarakat soal pajak masih minim. Hal inilah menjadi salah

13
satu faktor rendahnya kesadaran masyarakat untuk membayar pajak (Jurnas.com,
27 Februari 2013).
Peningkatan kesadaran dan kepatuhan pajak dapat dilakukan melalui jalur
pendidikan yang terencana dengan baik. Hal tersebut dapat direalisasikan melalui
pengenalan pengetahuan pajak sejak dini. Dengan demikian, generasi muda
mempunyai pemahaman dan pengetahuan pajak yang baik. Hal ini senada dengan
yang disampaikan oleh Rahmani agar pajak dapat masuk dalam materi kurikulum
sekolah sebagai salah satu upaya menyadarkan kewajiban membayar pajak bagi
warga negara (rajawalinews.com, 27 Februari 2013). Namun, kesadaran pajak saja
bukanlah hal yang cukup, melainkan kesadaran tersebut harus berdampak positif
dalam kegiatan pembangunan negara yang seharusnya menjelma menjadi budaya
sadar pajak. Salah satu upaya DitJen Pajak dalam bentuk pembelajaran pajak yang
adalah penyelenggaraan pelatihan perpajakan bagi guru mata pelajaran Ekonomi,
Kewirausahaan dan Akuntansi SMK dan SMA walaupun masih terbatas di
wilayah DJP Jawa Tengah II (www.pajak.go.id, 2012).
Di negara maju, seperti Amerika Serikat pemahaman perpajakan telah
dilakukan sejak masyarakat berada di bangku sekolah (Michigan Local
Government State Elementary School, 2003). Meskipun tingkat kedalaman dan
keluasan kurikulum tersebut hanya sebatas bagaimana pemerintah menyediakan
layanan publik, namun informasi tersebut dapat terinternalisasikan di dalam
pikiran anak didik. Tidak hanya di negara maju seperti di Amerika Serikat, negara
berkembang seperti Brazil juga telah menerapkan pendidikan pajak di sekolah-
sekolah milik pemerintah sejak tahun 2004. Bahkan di negara bagian Brazil yaitu
Sao Paulo, telah terdapat sekitar 518 sekolah yang mengadopsi mata kuliah
perpajakan dalam kurikulumnya (Suradi, 2005).
Dengan memberikan pemahaman yang baik mengenai pentingnya pajak
dalam kegiatan pemerintahan serta bermanfaat bagi layanan masyarakat, hal ini
akan mendorong sikap positif yang akan tertanam bagi anak-anak tentang
tanggung jawab setiap warga negara kepada negaranya. Keberhasilan dalam
memulai proses edukasi yang berkelanjutan saat ini akan menjadi cikal bakal
terwujudnya masyarakat sadar pajak di masa mendatang. Asumsinya jika setiap
individu sadar atas hakekat kewajiban pajak sejak dini maka akan tercapai budaya

14
untuk sukarela membayar pajak dan kesadarannya untuk mendukung
pembangunan Negara. Sehingga yang terpenting adalah memberikan pemahaman
bagaimana fungsi pemerintah dalam negara. Belajar pengetahuan perpajakan itu
harus komprehensif tidak melulu soal kewajiban tetapi layanan pemerintah
kepada negara dan masyarakat. Pajak menjadi penting karena masyarakat
membutuhkan sarana publik. Jadi intinya pembelajaran pajak itu merupakan satu
kesatuan (Machfud Sidik, 2013).
Sebagai langkah konkret atas upaya ini, dapat diwujudkan dengan
mengasimilasikan pengetahuan perpajakan ke dalam kurikulum pendidikan. Hal
tersebut akan berjalan lebih efektif jika guru dan pihak yang berperan dalam
penerbitan buku-buku pelajaran sekolah (termasuk para penulis buku ajar) sudah
memiliki pemahaman yang mumpuni mengenai perpajakan. Dengan demikian
merupakan suatu hal yang perlu jika pendidikan pajak pada usia dini dilakukan
dengan mengedukasi tenaga pendidik dan pemangku kepentingan lainnya melalui
berbagai kegiatan dan bentuk kegiatan edukasi lainnya.
Langkah pertama untuk mewujudkan hal tersebut di atas antara lain
dengan melakukan pemantapan terhadap kurikulum pengetahuan pajak dan bahan
ajar. Pada kurikulum saat ini, di tingkat Sekolah Dasar (SD) pengetahuan dasar
perpajakan belum tersentuh. Pada tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP)
pengetahuan perpajakan telah dimasukan dalam kurikulum kelas 8 mata pelajaran
IPS dengan standar kompetensi Kegiatan Perekonomian Indonesia. Siswa
diharapkan dapat mendeskripsikan fungsi pajak dalam perekonomian nasional.
Adapun materi yang tecakup dalam standar kompetensi tersebut antara lain
pengertian, prinsip dan sistem pemungutan pajak KUP, tarif pajak, klasifikasi
pajak, jenis pajak (PPh/PPN/PPnBM/PBB/ Materai) dan contoh perhitungan, serta
fungsi pajak. Sementara pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat,
pengetahuan pajak dimasukan dalam kurikulum ekonomi kelas 11 pada mata
pelajaran IPS Ilmu Ekonomi dengan standar kompetensi Keuangan Negara. Siswa
diharapkan dapat mengidentifikasikan sumber-sumber penerimaan pemerintah
pusat dan daerah. Adapun materi yang tercakup dalam standar kompetensi
tersebut antara lain penerimaan negara berupa penerimaan pajak, Pajak Daerah,
Bagi Hasil Pajak.

15
Melalui kajian awal ini, untuk tujuan jangka pendek, dilakukan kajian
penguatan pengetahuan perpajakan bagi siswa didik (studi kasus pada SMA dan
sederajat di Provisi DKI Jakarta). Termasuk pemetaan terhadap Kurikulum,
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Perpajakan dalam pelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial. Kajian ini dibatasi pada tingkat Sekolah Menengah Atas dan
sederajat di Provinsi DKI Jakarta dan sekitarnya. Diharapkan dalam jangka
panjang dapat memberikan rekomendasi terhadap penyempurnaan kurikulum
yang berisi muatan pengetahuan pajak yang merupakan kerjasama Kementrian
Keuangan dengan Kementrian Pendidikan Nasional. Hal ini merupakan bentuk
investasi jangka panjang pemerintah untuk mempengaruhi perilaku generasi muda
yang sadar pajak dan kelak akan menjadi wajib pajak yang patuh dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya.

2 Tujuan dan Manfaat Kajian

Kajian ini memiliki tujuan dan manfaat, antara lain:


1) Mengevaluasi kurikulum perpajakan pada Sekolah Menengah Atas dan
sederajat yang saat ini berlaku.
2) Mengevaluasi bahan ajar perpajakan pada Sekolah Menengah Atas dan
sederajat yang saat ini berlaku.
3) Menganalisis pemahaman pengetahuan perpajakan pada siswa didik
Sekolah Menengah Atas dan sederajat.
4) Menganalisis pemahaman pengetahuan dan kompetensi guru yang
mengampu pengetahuan perpajakan pada Sekolah Menengah Atas dan
sederajat.
5) Mengidentifikasi strategi yang dapat diterapkan untuk memberikan
pemahaman pengetahuan perpajakan pada siswa didik Sekolah
Menengah Atas dan sederajat.
6) Memberikan rekomendasi bagi DitJen Pajak bentuk sosialisasi
perpajakan sebagai upaya untuk penguatan kurikulum pengetahuan
pajak pada siswa didik Sekolah Menengah Atas dan sederajat.

16
3 Kajian Literatur

3.1 Kepatuhan Sukarela melalui self assessment system

Salah satu tumpuan keberhasilan dan kebersinambungan (sustainability)


sistem administrasi perpajakan yang menganut sistem pemungutan self assessment
yang sebagian besar dianut di berbagai belahan negara di dunia adalah terciptanya
kepatuhan perpajakan (Palil, 2010). Konsep dan pengertian mengenai kepatuhan
pajak (tax compliance) wajib pajak banyak diberikan oleh para ahli perpajakan.
Nurmantu, mendefinisikan kepatuhan perpajakan sebagai suatu keadaan dimana
Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak
perpajakannya (Nurmantu, 2005, h.148). James sebagaimana dikutip oleh Gunadi
melihat kepatuhan pajak dari segi hukum sebagai berikut “kepatuhan pajak (tax
compliance) adalah wajib pajak yang mempunyai kesediaan untuk memenuhi
kewajiban pajaknya sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa perlu diadakannya
pemeriksaan, investigasi seksama, peringatan ataupun ancaman, dalam penerapan
sanksi baik hukum maupun administrasi.” (Gunadi, 2005, h.5). Definisi tax
compliance berikutnya yang lebih comprehensive dipaparkan oleh Song and
Yarbrough yang disitir oleh Palil bahwa “tax compliance should be defined as
taxpayers’ ability and willingness to comply with tax laws which are determined
by ethics, legal environment and other situational factors at a particular time and
place.” (Palil dan Mustapha, 2011, h.7-8). Berdasarkan definisi kepatuhan pajak
(tax compliance) tersebut dapat ditarik benang merah bahwa kepatuhan pajak
adalah upaya yang dilakukan oleh wajib pajak atau kesediaan wajib pajak dalam
menjalankan kewajiban perpajakan tanpa ada paksaan dari fiskus.
Kelman sebagaimana disitir oleh Ancok, juga membedakan konsep
kepatuhan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok ‘compliance’ dan
‘internalization’. Pada tingkatan ‘compliance’ orang membayar pajak semata-
mata didorong oleh rasa takut mendapat hukuman. Sedangkan ‘internalization’
dijelaskan untuk menggambarkan perilaku orang yang membayar pajak karena
didorong oleh keyakinan yang sudah diinternalisasi ke dalam diri bahwa
membayar pajak itu adalah kewajiban sebagai warganegara (Ancok, 1986, h.150-

17
151). Menyitir pendapat Puspitasari yang dikutip dari Nasucha (2004, 131),
kepatuhan wajib pajak pada dasarnya dapat digolongkan dalam 2 (dua) bagian
besar. Pertama, kepatuhan paksaan (compulsory compliance) dan konsensus
(voluntary compliance). Kepatuhan paksaan berarti orang akan mematuhi hukum
karena adanya unsur paksan dari kekuasaan yang bersifat legal dari penguasa.
Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa paksaan fisik sebagai monopoli penguasa
adalah dasar tercipta suatu ketertiban untuk tujuan hukum. Jadi, menurut teori
paksaan, unsur paksaan merupakan faktor penyebab orang-orang mematuhi
hukum. Pada teori konsensus, dasar ketaatan hukum terletak pada penerimaan
masyatakat terhadap suatu sistem hukum yaitu dasar legalitas hukum. Teori inilah
yang sejalan dengan upaya mewujudkan kepatuhan sukarela wajib pajak
(Voluntary Tax Compliance). Kepatuhan sukarela (voluntary compliance) ini
timbul karena wajib pajak sadar akan fungsi pajak dan menyadari kewajiban
mereka sebagai warga negara.
Idealnya kepatuhan perpajakan yang diinginkan adalah kepatuhan wajib
pajak secara sukarela yang dikenal dengan Voluntary Tax Compliance.
“Kepatuhan Wajib Pajak yang disebabkan dari rasa takut pada sanksi atau
hukuman merupakan kepatuhan yang bersifat semu dan akan mengurangi manfaat
dari penerapan sanksi. Apabila sanksi ditegakkan terhadap Wajib Pajak yang
melanggar ketentuan realisasi Law Enforcement akan mendorong Wajib Pajak
lain untuk memenuhi kewajiban perpajakannya, karena khawatir mengalami hal
yang sama. Namun, jika sanksi tidak ditegakkan lagi, mungkin kadar kepatuhan
Wajib Pajak akan menurun, bahkan sama sekali tidak patuh.” (Rosdiana dan
Irianto, 2012, h.19)
Voluntary Tax Compliance timbul dari kesadaran wajib pajak sebagai
warga negara untuk berperan serta dalam pembangunan negara. Konsep utama
dari Voluntary Tax Compliance adalah kesadaran wajib pajak. Kesadaran pajak
menurut Muliari sebagaimana dikutip oleh Dewinta dan Syafruddin adalah suatu
kondisi dimana seseorang mengetahui, mengakui, menghargai, dan menaati
ketentuan perpajakan yang berlaku serta memiliki kesungguhan dan keinginan
untuk memenuhi kewajiban perpajakannya (Dewinta dan Syafruddin, 2012, h.12).
Sehingga kesadaran pajak dapat dikatakan sebagai dorongan alam bawah sadar

18
wajib pajak untuk mengetahui dan mengerti dalam mentaati ketentuan perpajakan
yang berlaku. Sejatinya penciptaan voluntary tax compliance merupakan hal yang
diinginkan, tetapi dalam praktiknya hal ini tentu sangat sulit untuk diterapkan.
Diperlukan upaya-upaya menyeluruh dan usaha yang keras dari fiskus.
Selanjutnya Rosdiana menekankan bahwa kepatuhan sukarela hanya akan
terbangun jika fungsi-fungsi pemerintah dilaksanakan sungguh-sungguh, sesuai
dengan prinsip good governance. Pada dasarnya tidak ada manusia yang ingin
dikenakan pajak, tetapi kesadaran, pemahaman akan pentingnya pajak serta
adanya bukti positif yang ditunjukkan pemerintah-antara berupa keamanan,
pelayanan publik yang lebih baik, tersediannya barang publik, kesejahteraan
rakyat akan membuat rakyat lebih rela untuk membayar pajak.” (Rosdiana dan
Irianto, 2012, h.20),
Pendapat Loo (2006) yang dikutip oleh Palil bahwa sistem self assessment
secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai sistem yang dibangun untuk
menciptakan efisiensi administrasi dan kesadaran suka rela. Prinsip self
assessment dideskripsikan sebagai berikut:
“...based on declared mission and objective of self assessment from
various countries who have adopted the system to date, it seems that
voluntary compliance, administrative efficiency and improving fairness
and equity are the key motivating factors for introduction self assessment
system..”

Dalam sistem self assessment, kepatuhan yang diharapkan adalah kepatuhan yang
bersifat sukarela (voluntary tax compliance), bukan kepatuhan yang dipaksakan.
Perspektif hukum menurut Soerjono Soekanto yang dikutip oleh Puspitasari,
kepatuhan mengandung 4 proses utama, yaitu:
1) Indoctrination, yaitu orang mematuhi hukum karena diindoktrinasi untuk
berbuat seperti yang dikehendaki oleh kaidah hukum tersebut. Kegiatan ini
umumnya terjadi melalui proses sosialisasi sehingga mengetahui dan
mematuhi kaidah hukum tersebut.
2) Habituation, yaitu sikap lanjut dari proses sosialisasi, jika proses sosialisasi
dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang akan menjadi suatu
kebiasaan.

19
3) Utility, yaitu orang cenderung akan berbuat sesuatu karena memperoleh
manfaat dari sikap yang dilakukannya. Orang akan mematuhi hukum karena
merasakan kegunaan hukum untuk menciptakan keadaan yang diharapkan.
4) Group Identification, yaitu kepatuhan hukum berdasarkan pada kebutuhan
untuk mengadakan identifikasi dengan kelompok sosialnya. Kepatuhan
terhadap hukum dianggap merupakan sarana yang paling tepat untuk
mengadakan identifikasi tersebut.

Isu penting mengenai Self Assessment System (SAS) meliputi tax


education, tax knowledge, the simplicity of the system dan tax audit, fines and
penalty. Dalam pengimplementasiannya di berbagai negara, sistem ini terus
berkembang dengan mengembangkan perspektif yang diasimilasikan baik berasal
dari administrator maupun dari masyarakat. Dengan demikian, didapatkan suatu
keseimbangan yaitu adanya sistem yang user friendly dan dapat menghimpun
pajak dengan biaya yang direncanakan.
Pada dasarnya perilaku kepatuhan seorang wajib pajak cenderung
dipengaruhi oleh perilaku wajib pajak lainnya. Perilaku tersebut dipengaruhi oleh
pengetahuan perpajakan mengenai hukum pajak atau peraturan secara umum
mengenai perpajakan (Kasipillai et al, 2003). Selain itu, Hardiningsih (2011) juga
berpendapat bahwa kesadaran wajib pajak dalam membayar pajak akan meningkat
bila dalam masyarakat muncul persepsi positif terhadap pajak. Meningkatnya
pengetahuan perpajakan masyarakat melalui pendidikan perpajakan baik formal
maupun non formal akan berdampak positif terhadap kesadaran wajib pajak dalam
membayar pajak.
Pendidikan perpajakan telah diterapkan bagi wajib pajak di sebagian besar
negara di negara yang menganut sistem self assessment termasuk di Amerika
Serikat, Kanada dan Inggris. Pendidikan perpajakan (Eriksen dan Fallan, 1996)
meliputi program formal dan informal yang dilakukan oleh otoritas pajak atau
lembaga independen dimana lembaga tersebut memfasilitasi pembelajaran
perpajakan termasuk mengenai pengisian lembaran surat pemberitahuan serta
menekankan pada awareness atas tanggung jawab masyarakat dalam sistem
perpajakan di negaranya.

20
Studi yang dilakukan oleh Berhane (Berhane, 2011) atas sejumlah siswa
semester terakhir di Mary School Addis Ababa, Ethiopia untuk mengetahui
hubungan antara apakah pendidikan mempengaruhi tingkah laku masyarakat
untuk memiliki kesadaran pajak (tax complience). Dalam studi tersebut Berhane
meminjam konsep Mohani (Mohani, 2001) untuk membuat suatu pengukuran
bahwa dalam peningkatan kesadaran perpajakan bahwa selain dari pengetahuan
perpajakan juga mengenai seberapa yakin individu tersebut memiliki kewajiban
pajak. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kesadaran pajak dipengaruhi
oleh pengetahuan perpajak melalui proses pendidikan.
Studi yang sejenis dilakukan oleh Amilin dan Yusnorillah (2009)
mengenai tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan pengetahuan perpajakan
terhadap motivasi untuk membayar pajak. Dalam penelitian tersebut ditemukan
bahwa pada dasarnya tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan tidak berpengaruh
terhadap motivasi untuk membayar pajak. Seharusnya semakin tinggi tingkat
pendidikan wajib pajak diharapkan semakin termotivasi untuk membayar pajak.
Selain itu, bagi wajib pajak yang berstatus karyawan diperoleh bahwa pada
dasarnya karyawan tidak mengetahui mekanisme administrasi perpajakan karena
pada dasarnya pemberi kerja telah melakukan pemotongan pajak sebelum
karyawan memperoleh penghasilan. Amilin dan Yusnorillah memberikan
rekomendasi berdasarkan berbagai tanggapan yang diperoleh ketika
mengumpulkan data bahwa pemberikan edukasi perpajakan bagi masyarakat
merupakan hal yang cukup penting.
Palil (2010) dalam studi yang berjudul Tax Knowledge and Tax
Complieance Determinants in Self Assesment System in Malaysia, menyitir
pendapat Eriksen dan Fallan bahwa pengetahuan mengenai fiskal berhubungan
erat dengan perilaku mengenai perpajakan,”...fiscal knowledge correlates with
attitude toward taxation and that tax behaviour can be improved by better
understanding of tax laws”. Selain itu, Palin mengutip pendapat Kirchler (Kirchler
et.al 2008) yang menekankan bahwa tax knowledge in individual tax payer is also
positive related to tax compliance.
Berbagai program mengenai informasi publik telah menjadi bahan ajar di
berbagai institusi pendidikan di Amerika Serikat, kegiatan usaha milik sendiri

21
(individual self business dan self employed) melalui mata pelajaran tertentu,
training, workshop sesuai dengan kebutuhan target peserta. Kegiatan tersebut
dipimpin oleh The Tax Payer Advocate Service, suatu badan independen yang
berkoordinasi dengan IRS (otoritas pajak). Hal yang sejenis juga telah dilakukan
di Australia yang dikenal dengan program Teaching Tax with Tax Files yang
diperkenalkan sejak 1998 bagi siswa yang berumur 9-12 tahun (Piller 2011, ATO,
2009).
Permasalahan yang muncul di berbagai kalangan tenaga pengajar ketika
mengajarkan materi perpajakan adalah bahwa materi perpajakan dianggap sesuatu
yang hal yang sulit karena selain berbicara masalah konseptual yang komplek
juga berhubungan dengan masalah teknis yang cukup rumit. Harrington, dkk
(Harrington, Drougras, Secker, 2011) mengutip pendapat Jones dan Duncan
(1995) bahwa untuk mengajarkan materi perpajakan bagi pelajar harus dilakukan
dengan pendekatan baru yaitu menekankan pada isu terkini dan tidak berfokus
kepada detail peraturan-peratura terkait tax complience.
Dalam pengajaran mata pelajaran perpajakan di Australia, dilakukan
dengan cara yang innovatif dengan menggunakan multimedia tax education yang
terdiri dari CD ROM dan hardcopy file yang berisi informasi mengenai
perpajakan terkini. Tujuan program ini adalah diharapkan siswa memiliki
kesadaran mengenai sumber penerimaan negara, bagaimana perimaan tersebut
direalokasikan, tanggung jawab wajib pajak, serta bagaimana peranan pajak dalam
kehidupan masyarakat.
Model Tax Curriculum (MTC) yang direvisi pada tahun 2007 oleh
Taxation Association and American Institute of Certified Public Accountant
(AICPA) memberikan ruang terhadap berbagai munculnya paradigma yang
menjadi penekanan oleh masing-masing sekolah sesuai dengan visi yang diemban
oleh sekolah tersebut. Dengan kata lain, dalam menyusun kurikulum tersebut
pengurus sekolah dapat memilih bagian dari perpajakan yang disesuaikan dengan
target outcome sekolah (Harrington, Drougras, Secker, 2011). Ketika menerapkan
kurikulum ini, siswa menggunakan perangkat teknologi untuk mempermudah
proses pembelajaran.

22
Salah satu indikator yang dapat membuat rakyat rela membayar pajak
adalah pemahaman akan pentingnya pajak. Hal ini serupa dengan pendapat
beberapa ahli antara lain Hyun dan Eriksen. Menurut Hyun sebagaimana dikutip
oleh Nicoleta “many non-economic factors which effect tax compliance are, the
willingness to pay for public provision, public education, tax morale, etc.”
(Nicoleta, 2011, h.1). Pentingnya pendidikan sebagai faktor yang mendukung sifat
wajib pajak menuju kepatuhan secara sukarela (voluntary tax compliance) juga
dijelaskan oleh Eriksen dan Fallan sebagaimana dikutip oleh Palil dan Mustapha
“Knowledge about tax law is assumed to be of more importance for preferences
and attitudes towards taxation.” (Palil dan Mustapha, 2011, h.2). Hal senada
mengenai pendidikan wajib pajak juga disampaikan oleh Soemitro, bahwa secara
umum dapat dikatakan bahwa makin tinggi pendidikan wajib pajak, maka makin
mudah pula bagi mereka untuk memahami peraturan perpajakan. Wajib Pajak
yang sudah memahami peraturan perpajakan termasuk memahami sanksi
administrasi dan pidana fiscal, diharapkan akan memenuhi kewajiban
perpajakannya. Oleh karena itu dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak,
selain faktor dari fiskus, faktor internal dalam diri wajib pajak juga penting yaitu
pengetahuan perpajakan. Pendidikan perpajakan dapat memberikan pengetahuan
kepada masyarakat akan pentingnya pajak terhadap pembangunan bangsa.
Survey yang dilakukan terhadap target grup orang muda berusia antara 16
– 20 tahun di Swedia terhadap pernyataan sebagai berikut: "Saya pikir tidak apa-
apa untuk menghindari pajak jika saya mendapatkan kesempatan." Dari sekitar
500.000 orang, jumlah orang yang setuju, dengan pernyataan itu pada tahun 2002
sebanyak 21%, sementara pada tahun 2001 yang setuju sebanyak 25%. Hasil
survey menunjukan peningkatan sikap positif dari kelompok muda di Swedia
(Mats Sjostrand at G25 meeting, Dublin Castle, Ireland, 14 April 2004, On
Influencing Taxpayer Behavior to Influence Taxpayer Compliance)
Survey tersebut dilakukan setelah pemerintah Swedia melakukan
kampanye untuk mempengaruhi sikap dan perilaku orang-orang muda.
Kecenderungan orang muda adalah membangun kebiasaan dan akan
mempertahankan kebiasaan mereka hingga dewasa. Oleh karena itu
pengembangan nilai-nilai cenderung dibentuk dari waktu ke waktu. Pemerintah

23
Swedia memulai kampanye yang bertujuan mengubah sikap orang-orang muda
dengan berkomunikasi secara langsung dengan gaya bahasa mereka.
Kampanye dimulai pada tahun 2002 dan tujuannya adalah untuk mempengaruhi
sikap orang-orang muda terhadap penggelapan pajak. Langkah pertama adalah
untuk mendidik kaum muda bagaimana pajak dibelanjakan. tujuannya adalah
untuk tidak membuat propaganda moral, tetapi untuk mendorong orang muda
untuk berbicara dan berpikir tentang pajak untuk dapat membuat keputusan
sendiri tentang apa yang secara moral benar dan salah. Kampanye berjalan selama
3 tahun.

Kegiatan-kegiatan berikut dilakukan pada tahun pertama kampanye (tahun 2002)


meliputi:

• Sebuah film iklan di bioskop-bioskop dan TV yang tujuannya adalah untuk


menggambarkan untuk apa pajak digunakan dan bagaimana kondisi
masyarakat tanpa pajak.
• Informasi pajak di sekolah seperti menggunakan media kain tray (untuk
digunakan di kantin sekolah) dengan gambar kota yang menyoroti barang dan
jasa publik
• Surat dari otoritas pajak yang dikirim ke semua orang dalam kelompok
sasaran
• Sebuah website dengan informasi tentang pajak
• debat media massa melalui siaran pers dan artikel
• Partai politik diberitahu bahwa kampanye harus dilihat sebagai non-politik

Kegiatan yang dilakukan pada tahun kedua dari kampanye (tahun 2003) meliputi:

• Sebuah film iklan baru dalam cenemas yang bertujuan untuk menunjukkan
sebuah masyarakat di mana hanya orang-orang yang telah membayar pajak
yang benar akan berhak atas manfaat publik.
• Stiker kecil dengan pesan "dibayar oleh Anda" dikirim ke Kotamadya untuk
ditempelkan di bangku taman, tempat sampah, sekolah dan objek serupa yang
telah dibayar oleh pajak. Poscards dikirim ke semua orang dalam kelompok
sasaran dengan pesan yang sama.

Kegiatan kampanye tahun ketiga (tahun 2004) meliputi:

• Sebuah film yang digunakan di sekolah-sekolah yang mendorong diskusi


tentang pajak. Para guru menerima bahan terlebih dahulu untuk
mempersiapkan kegiatan role-playing untuk siswa agar mereka mendiskusikan
mengenai topik penggelapan pajak.
• Sebuah surat dikirim ke pengusaha yang memiliki karyawan kurang dari lima
di sektor perdagangan tertentu bersama-sama dari lembaga perpajakan dan
24
asosiasi perdagangan yang sesuai. Surat itu mendorong pengusaha untuk
mengambil sikap terhadap penggelapan pajak

Dari hasil survey terhadap kampanye di Swedia ini menunjukan telah sukses di
kalangan anak muda antara lain ditunjukan dalam data sbb:
• 90% melihat kampanye
• 50% telah membahas pajak dengan teman-teman atau orang tua
• Lebih dari 50% telah melihat film pertama (sekitar 5 kali) dan 78% ingin
melihatnya lagi
• Film menciptakan nilai positif tentang otoritas pajak dan pajak itu sendiri.

3.2 Konsep Evaluasi Kebijakan

Kebijakan dalam konteks governance merupakan sesuatu yang harus atau


yang tidak harus dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah merupakan sesuatu yang
memiliki otoritas untuk membuat suatu aturan dalam masyarakat, melakukan
kegiatan distribusi sumber daya bagi masyarakat melalui pemungutan pajak serta
menyediakan layanan publik. Dengan demikian, kebijakan tersebut dapat
mengatur berbagai hal seperti perilaku dalam masyarakat, organisasi
pemerintahan, pendistribusian sumber daya atau menarikan pajak dalam suatu
kurun waktu (Dye, 2002, 1).
Lebih lanjut, Dye (2002) menjelaskan bahwa studi kebijakan merupakan
“the description and explanation of the causes and consequences of government
activity”. Dalam penekanannya, kebijakan difokuskan kepada sebuah deskripsi
muatan kebijakan, dampak sosial ekonomi bagi masyarakat, dampak bagi
berbagai institusi serta evaluasi atas konsekuensi pelaksanaan kebijakan baik yang
diharapkan maupun yang tidak diharapkan. Suatu kebijakan publik pada dasarnya
tidak permanen, melainkan harus disesuaikan dengan perubahan keadaan yang
dipengaruhi oleh permasalahan politik, sosial, ekonomi maupun perubahan
informasi. Dengan demikian, suatu kebijakan perlu dievaluasi pada suatu kurun
waktu.
Dye mendefinisikan bahwa evaluasi kebijakan merupakan, “...the
assessment of the overall effectiveness of a national program in meeting its
objective, or assessment of the relative effectiveness of two or more program in

25
meeting common objective..” Evaluasi kebijakan berupa evaluasi empiris atas
dampak dari suatu kebijakan yang sedang berlangsung melalui berbagai program
untuk mencapai tujuan yang ditargetkan. Dampak dari kebijakan harus dapat
dilihat secara nyata meliputi (i) dampak bagi target grup, (ii) dampak bagi pihak
yang lebih luas dari target grup, (iii) dampak jangka panjang dan dampak saat ini,
(iv) biaya langsung untuk melaksanakan berbagai program (v) biaya tidak
langsung termasuk opportunity cost.
Dalam melakukan evaluasi kebijakan, maka hal-hal yang perlu
diperhatikan (Dye, 2002, 313):
a. Pengukuran atas dampak, bukan sekedar output. Dalam evaluasi
kebijakan, hal yang perlu diperhatikan bukan sekedar program-program
yang telah dilakukan pemerintah, melainkan dampak kebijakan yang
dilihat dari perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
b. Target grup. Target grup merupakan suatu populasi dalam masyarakat
dimana suatu kebijakan diimplementasikan. Dalam proses evaluasi
kebijakan, perubahan yang terjadi pada target grup merupakan bagian
yang sangat penting.
c. Non target grup. Kebijakan pemerintah memiliki dampak yang berbeda
dalam segmen yang berbeda. Namun, non target grup dapat memberikan
respon atas kebijakan yang diterapkan.
d. Short term dan long term effect. Hal ini menyangkut apakah kebijakan
tersebut didesain untuk mengatasi permasalahan dalam jangka pendek atau
untuk jangka panjang. Sebagaian besar kebijakan yang dihasilkan hanya
mampu menghasilkan dampak positif dalam jangka pendek.
e. Net benefit and cost. Mengetahui biaya langsung yang dikeluarkan atas
suatu program merupakan hal yang sangat penting. Hal ini sangat penting
bagi jangka pendek dan jangka panjang.
f. Indirect benefit and cost. Pada kenyataannya, pemerintah hanya
menghitung biaya langsung untuk mengimplementasikan program dan
sangat sulit untuk menghitung biaya tidak langsung yang dikeluarkan.

26
3.3 Konsep Pendidikan

Para ahli mendefinisikan pendidikan dengan beragam sudut pandang


berdasarkan orientasi, konsep dasar yang digunakan, aspek yang ditekankan atau
falsafah yang melandasinya. Definisi pendidikan menurut para ahli sebagai
berikut (Rosdiana, 2011, 33):
a. Pendidikan sebagai Proses Transformasi Budaya
b. Pendidikan sebagai Proses Pembentukan Pribadi
c. Pendidikan sebagai Proses Penyiapan Warganegara
d. Pendidikan sebagai Proses Penyiapan Tenaga Kerja
Jika meminjam konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Marzuki
(2008), pendidikan seharusnya merupakan agent of change dengan demikian
harus dikonstruksi ulang agar memiliki karakter unggul dan mampu menjawab
tantangan global. Selain itu, disebutkan juga bahwa pendidikan harus mengemban
misi character building sehingga peserta didik dapat berpartisipasi dalam mengisi
pembangunan di masa mendatang.
Bentuk dari pelaksaan misi tersebut dapat diterjemahkan dengan
pendidikan khusus maupun tambahan yang membawa nilai dari misi yang
diemban. Pendidikan yang berfokus pada pembangunan karakter tidak sekedar
mengajarkan bagaimana benar atau salah, melainkan pendidikan tersebut
menanamkan kebiasaan yang baik sehingga peserta didik memahami, mampu
merasakan dan mau melakukan misi tersebut.
Pada hakikatnya, pendidikan memiliki tujuan yang baik bagi manusia
sebagaimana dikatakan Suyitno, bahwa tujuan pendidikan adalah terwujudnya
manusia ideal atau manusia yang dicita-citakan sesuai dengan nilai-nilai dan
norma-norma yang dianut (Suyitno, 2009, h.7). Dalam mencapai tujuan
pendidikan tersebut, maka diperlukan sistem pembelajaran yang sistematik yang
diatur melalui kebijakan kurikulum. Oleh karenanya tujuan pendidikan
diterjemahkan dalam kurikulum pendidikan. Taba sebagaimana dikutip oleh
Rosyada menjelaskan bahwa kurikulum biasanya terdiri dari pertanyaan-
pertanyaan tentang tujuan umum, tujuan khusus, yang mengindikasikan kelompok
bahan-bahan ajar terpilih, yang juga menyatakan tentang model-model
27
pelaksanaan proses pembelajaran, dan juga mencakup program evaluasi hasil
belajar. Sementara, Robert Gagne sebagaimana disitir oleh Rosyada memaparkan
bahwa kurikulum adalah sekwensi isi dan bahan pelajaran yang dideskripsikan
sedemikian rupa sehingga pembelajaran setiap unitnya itu dapat diselesaikan
sebagai sebuah satuan utuh, dan masing-masing unit tersebut juga
mendeskripsikan kapabilitas (kompetensi) siswa yang harus dikuasai mereka
(Rosyada, 2004, h.27). Sehingga kurikulum adalah serangkaian konsep yang
disusun untuk menjabarkan bahan/materi yang akan diajarkan, tujuan
pembelajaran, termasuk dalam proses pembelajaran.
Sukmadinata menjabarkan kurikulum dalam beberapa karakteristik,
(Rosyada, 2004, h.26-27), yaitu :
1) Kurikulum sebagai suatu substansi, yakni bahwa kurikulum adalah
sebuah rencana kegiatan belajar para siswa di sekolah, yang mencakup
rumusan-rumusan tujuan, bahan ajar, proses kegiatan pembelajaran,
jadwal dan evaluasi hasil belajar.
2) Kurikulum sebagai sebuah system, yakni bahwa kurikulum merupakan
rangkaian konsep tentang berbagai kegiatan pembelajaran yang
masing-masing unit kegiatan memiliki keterkaitan secara koheren
dengan lainnya, dan bahwa kurikulum itu sendiri memiliki keterkaitan
dengan semua unsure dalam system pendidikan secara keseluruhan.
3) Kurikulum merupakan sebuah konsep yang dinamis, yakni bahwa
kurikulum merupakan konsep yang terbuka dengan berbagai gagasan
perubahan serta penyesuaian-penyesuaian dengan tuntutan pasar atau
tuntutan idealism pengembangan peradaban umat manusia.

Dalam perkembangannya, Glatthorn menyatakan bahwa selain written


curriculum sebagaimana yang telah dijabarkan diatas, terdapat pula hidden
curriculum yang tidak kalah pentingnya. Hidden curriculum adalah kurikulum
yang tidak menjadi bagian untuk dipelajari, yang secara lebih definitive
digambarkan sebagai berbagai aspek dari sekolah di luar kurikulum yang
dipelajari, namun mampu memberikan pengaruh dalam perubahan nilai, persepsi

28
dan perilaku siswa (Rosyada, 2004, h.29). Adapun ketiga variable yang menjadi
bagian integral dari hidden curriculum antara lain (Rosyada, 2004, h.29-32)
1) Variabel Oraganisasi, yakni kebijakan penugasan guru dan
pengelompokkan siswa untuk proses pembelajaran, yang dalam
konteks ini ada empat isu, yakni team teaching, kenaikan kelas,
pengelompokkan siswa berdasarkan kemampuan, dan pemfokusan
kurikulum.
2) Variabel system sosial, yakni suasana sekolah yang tergambar dari
pola-pola hubungan semua komponen sekolah.
3) Variabel budaya, yakni dimensi sosial yang terkait dengan system
kepercayaan, nilai-nilai dan struktur kognitif.

Dalam proses penyusunan kurikulum, Wiles dan Bondi menyatakan perlu


adanya ‘concerns’ yakni fokus kurikulum yang menjadi kepedulian dan perhatian,
yang bertujuan agar struktur kurikulum menjadi konsisten dan ter-setting.
Penyusunan kurikulum menurut Wiles juga memerlukan perencanaan, antara lain
filsafat dan tujuan pendidikan, dan perkembangan sistem pembelajaran,
perkembangan materi, manajemen serta pendidikan guru (Rosyada, 2004, h.37-
38).

4 Metode Penelitian dan Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Peneliti mengumpulkan


informasi/data dan kemudian mengklasifikasikannya berdasarkan kategori-
kategori dalam upaya menemukan pola dan realitas gejala yang dikaji. Dalam
pendapat Lawrence Newman, disebutkan bahwa in qualitative paradigma of
research, in which researches collect, analyze, and interpret data simultanously
(Neuman,2003). Melalui pendekatan kualitatif peneliti menganalisa bagaimana
kurikulum SMA dan sederajat saat ini dan menggambarkan dengan detail
mengenai penjabaran pengetahuan perpajakan serta indikator yang digunakan
sebagai ukuran atas keberhasilan pengajaran materi perpajakan. Berdasarkan
dimensi waktu, penelitian ini merupakan cross sectional yaitu suatu penelitian

29
yang dilakukan dalam waktu tertentu dan tidak dipolakan untuk menyesuaikan
kepada kepentingan pengumpulan data.
Dalam pengumpulan data, peneliti melakukan studi literatur (library
research) mengenai penelitian terkait serta peraturan pemerintah mengenai
kurikulum. Selain itu, untuk mengetahui keadaan terkini mengenai gambaran
kurikulum siswa terkait materi perpajakan maka dilakukan studi kepustakaan serta
diskusi. Guna mendapat gambaran mengenai kebijakan kurikulum dan
implementasi pengajaran pengetahuan perpajakan pada para peserta didik, peneliti
melakukan wawancara dengan beberapa narasumber. Nara sumber mewakili
akademisi, pemerintah antara lain:
1) Akademisi - Dr. Machfud Sidik, M.Sc
2) Akademisi - Prof.Dr.Gunadi, Ak, M.Sc
3) Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Kapuskurbuk ) Kementrian
Pendidikan – Dr. Ramon Mohondas
4) Kasi Kurikulum dan Penilaian Bidang SMP/SMA Dinas Pendidikan
Provinsi DKI Jakarta – Drs. Budiyanto, M.Pd
5) Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum dan Guru IPS Ekonomi SMA
Negeri 8 Jakarta
6) Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum dan Guru IPS Ekonomi SMA
Negeri 1 Megamendung Bogor
7) Guru SMA Putra Bangsa Depok
8) Guru SMK Negeri 22 Jakarta
9) Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum dan Guru Kewirausahaan SMK
Negeri 24 Jakarta
10) Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum dan Guru IPS Ekonomi SMA
Islam PB Sudirman Cijantung Jakarta
11) Kepala Sekolah dan Guru Ekonomi SMA Negeri Unggulan MH Thamrin
Jakarta
12) Guru MA Darussa’adah Jakarta
13) Guru SMA Negeri 55 Jakarta

30
Untuk menghasilkan pemahaman yang menyeluruh peneliti melakukan
survey kepada 160 siswa didik yang mewakili 8 (delapan) SMA sederajat di
Jakarta, Depok dan Bogor. Responden siswa didik diminta untuk mengisi
pertanyaan terbuka untuk mendapatkan gambaran mengenai pemahaman siswa
terhadap hakekat dan manfaat dari pajak. Untuk melengkapi analisa, hasil
penelitian sementara kemudian didiskusikan dalam forum diskusi panel dengan
beberapa narasumber pada tanggal 20 sd 22 Maret 2013 pada Workshop Tax
Dissemination Through Formal Education: Understanding Opportunities and
Challenges yang diselenggarakan oleh P2Humas Direktorat Jenderal Pajak di
Jakarta.Workshop tersebut dihadiri oleh akademisi, pemerintah (DitJen Pajak dan
Diknas Pendidikan), dan tim pengajar mata pelajaran IPS dari berbagai SMA di
Jakarta.
Teknik analisis data dilakukan dengan teknik analisis data kualitatif yaitu
mengorganisasikan data, memilah-milahnya dalam satuan yang dapat dikelola,
mensintetiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting
dan apa yang dipelajari, serta memutuskan apa yang dapat dipelajari, serta
memutuskan apa yang dapat dideskripsikan kepada orang lain (Meleong, 2004).
Dalam menjawab permasalahan penelitian, peneliti membatasi fokus
pembahasan, yaitu:
a. Kebijakan kurikulum yang diteliti adalah kurikulum IPS khusunya mengenai
pengetahuan perpajakan.
b. Kurikulum yang dievaluasi adalah pada tingkat pendidikan Sekolah Menengah
Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan MA. Studi Kasus SMA
Sederajat di Jakarta.

5 Gambaran Umum Penyelenggaraan Pendidikan Sekolah


Menengah Atas di Indonesia

Badan Pusat Statistik (2011) mempublikasikan bahwa angka partisipasi


murni untuk pendidikan SMA/SMK/MA di Indonesia terus meningkat sejak tahun
2008 hingga 2011. Pada tahun 2008, angka partisipasi murni mencapai 67,39%,
kemudian meningatkan menjadi 67,43% di tahun 2009, 67,73% di tahun 2010 dan
hingga 68, 12% di tahun 2011. Secara khusus, di DKI Jakarta, angka partisipasi
31
murni untuk pendidikan SMA/MA mencapai 71, 50% di tahun 2008, meningkat
menjadi 72,02% di tahun 2009, menurun ke angka 71,96% pada 2010 dan 68,85%
di tahun 2011.
Hingga tahun ajaran 2009/2010, Direktorat Pendidikan Menengah
mencatat bahwa terdapat 11.036 Sekolah Menengah Atas (SMA) di Indonesia
yang terbagi menjadi 5.034 SMA Negeri dan 6.002 SMA Swasta dengan
pendaftar sebesar 1.179.168 untuk SMA Negeri dan 511.850 untuk SMA Swasta.
Selain itu, di Indonesia terdapat pendidikan menengah setingkat SMA yang
berada dibawah Direktorat Pendidikan Jenderal Menengah Kementerian Agama,
yaitu Madrasah Aliya. Secara spesifik, Madrasah Aliyah menekankan kepada
community based dan ikatan emosional keagamaan.
Arah kebijakan pendidikan saat ini menekankan pada (Wahab, 2004):
a. Pemberdayaan lembaga pendidikan, dimana dalam konteks pemberdayaan
lembaga pendidikan lebih didasarkan kepada kemandirian lembaga dalam
mengelola institusinya
b. Desentralisasi pendidikan, dengan adanya desentralisasi pendidikan
diharapkan dapat mewujudkan program-program yang pelaksanaannya sesuai
dengan kondisi masing-masing sehingga output yang diharapkan lebih efektif
dan efisien.
c. Akuntabilitas pendidikan, pada dasarnya pendidikan merupakan salah satu
cost center, namun pada dasarnya pendidikan harus mampu menunjukkan
pertanggungjawaban kepada publik berupa kegiatan-kegiatan yang bermakna.
d. Relevansi pendidikan, kurikulum pendidikan harus senantiasa ditelaah untuk
menjawab perkembangan dan tantangan di setiap zaman
e. Pemberdayaan masyarakat, masyarakat merupakan stakeholder utama proses
pendidikan. Selain pemerintah yang bertanggung jawab atas proses
pelaksanaan pendidikan, masyarakat perlu diberdayakan dan berpartisipasi.
Dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan SMA seperti yang tertuang dalam
Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan, pendidikan menengah berfungsi:
a. meningkatkan, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai keimanan, akhlak
mulia, dan kepribadian luhur;

32
b. meningkatkan, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai kebangsaan dan
cinta tanah air;
c. mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi;
d. meningkatkan kepekaan dan kemampuan mengapresiasi serta
mengekspresikan keindahan, kehalusan, dan harmoni;
e. menyalurkan bakat dan kemampuan di bidang olahraga, baik untuk
kesehatan dan kebugaran jasmani maupun prestasi; dan
f. meningkatkan kesiapan fisik dan mental untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang pendidikan tinggi dan/atau untuk hidup mandiri di masyarakat.
Sementara, pendidikan menengah kejuruan berfungsi:
a. meningkatkan, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai keimanan, akhlak
mulia, dan kepribadian luhur;
b. meningkatkan, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai kebangsaan dan
cinta tanah air;
c. membekali peserta didik dengan kemampuan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta kecakapan kejuruan para profesi sesuai dengan kebutuhan
masyarakat;
d. meningkatkan kepekaan dan kemampuan mengapresiasi serta
mengekspresikan keindahan, kehalusan, dan harmoni;
e. menyalurkan bakat dan kemampuan di bidang olahraga, baik untuk
kesehatan dan kebugaran jasmani maupun prestasi; dan
f. meningkatkan kesiapan fisik dan mental untuk hidup mandiri di masyarakat
dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi.

Pendidikan di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik


menjadi warga negara yang memiliki komitmen yang kuat dan konsisten untuk
mempertahankan kebangsaan Indonesia yang siap menuju globalisasi. Penajaman
komitmen kebangsaan dalam kehidupan masyarakat harus dilakukan melalui
suatu proses yang terus menerus terutama bagi generasi muda. Sekolah
merupakan lembaga formal dimana siswa yang merupakan generasi muda
memperoleh ilmu pengetahuan dan pendidikan yang tidak diperoleh dalam
keluarga. Sekolah merupakan lembaga yang berfungsi untuk membangun

33
kesadaran siswa mengenai pentingnya komitmen kebangsaan dimana siswa akan
diajarkan mengenali nilai dan norma yang dianut dalam kehidupan bernegara.
Pembelajaran pola interaktif dalam kelas yang beragam seperti diskusi, debat dan
mendemonstrasikan suatu peranan kelompok tertentu merupakan suatu upaya
yang cukup baik untuk mencapai target pembelajaran yang diinginkan. Target
kurikulum yang berstandar pada kompetensi dasar merupakan alat ukur
pencapaian. Selain itu, adanya evaluasi dapat menjadi sarana untuk memahami
seberapa besar dan seberapa baik siswa telah memahami dan menghayati nilai-
nilai.
Dalam konteks sosialisas perpajakan melalui proses pembelajaran formal
di kelas, proses internalisasi nilai atau norma ini memiliki kelebihan-kelebihan
dibandingkan dengan agen sosial lainnya. Melalui mata pelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial, siswa dapat menerima sosialisasi secara langsung karena
kompetensi dasar mata pelajaran tersebut memuat kompetensi dimana siswa
diharapkan untuk benar-benar memahami dalam mencapai suatu target yang
ditetapkan dalam kurikulum. Selain itu, proses komunikasi yang efektif dapat
dilakukan melalui proses pembelajaran di kelas. Dengan demikian, nilai dan
norma yang disampaikan akan dapat dipahami oleh siswa dan hal tersebut akan
bertahan lebih lama dibandingkan dengan agen sosial lainnya.
Merujuk pasal 1 ayat (10) Undang-undang nomor 20 tahun 2003 Sistem
Pendidikan Nasional, ditetapkan bahwa jalur pendidikan sekolah/formal
merupakan jalur pendidikan terstruktur dan berjenjang. Oleh karenanya, terdapat
suatu landasan bahwa transfer pengetahuan perpajakan yang dilakukan di sekolah
oleh guru akan sesuai dengan tingkat kemampuan siswa untuk memahami. Jika
dibandingkan dengan suatu proses pembelajaran yang dilakukan oleh agen sosial
lainnya, dapat saja hal tersebut tidak berjalan dengan efektif karena proses
pembelajaran tersebut tidak terstrukur, komunikasi kurang efektif, terdapat
kemungkinan transfer pengetahuan yang tidak berjenjang serta tidak bertahap dan
hanya dilakukan seketika dalam rangka pemenuhan pelaksanaan suatu program.
Selain itu, sekolah mempunyai peranan yang fundamental dalam proses
pembelajaran pada peserta didik yang sesuai dengan proses perkembangan
individu. Individu yang memiliki tingkat edukasi yang baik akan menyadari

34
peranan dan pengaruh pemerintah terhadap tatanan kehidupannya. Sekolah akan
memberikan pengetahuan mengenai perpajakan dan peranan siswa didalamnya
nantinya. Sekolah dapat menjadi saluran pewarisan nilai dan sikap masyarakat.

5.1 Kebijakan Pemerintah mengenai Kurikulum

Perkembangan kurikulum bagi sekolah dasar dan menengah sangat


dipengaruhi keadaan politik pemerintahan. Di lain sisi, kurikulum merupakan urat
nadi pendidikan meskipun tidak dikatakan sebagai sesuatu yang menguasai proses
pendidikan. Namun, pada akhirmya, kekuatan yang mampu melakukan intervensi
atas proses pendidikan tersebut akan memperoleh manfaat dari proses yang
diintervensi melalui proses pembelajaran atas suatu materi pelajaran (Hasan,
2009, 28). Lebih lanjut Hasan (2009) mengemukakan bahwa kekuatan yang
dimaksudkan bukanlah pertarungan kekuatan kelompok politik, melainkan bentuk
situasi kehidupan bangsa di suatu masa tertentu yang kemudian menjadi suatu
kekuatan bersama bangsa dalam menentukan arah dan isi pendidikan.
Mengutip pendapat Zuhri, kurikulum merupakan seperangkat rencana
pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
tertentu. Sementara silabus merupakan rencana pembelajaran pada suatu dan/atau
kelompok mata pelajaran/ tema tertentu yang mencakup standar kompetensi,
kompetensi dasar, materi pokok/ pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator
pencapaian kompetensi untuk penilaian, penilaian, alokasi waktu dan sumber
belajar (Zuhri, 2010).
Prinsip pengembangan kurikulum dapat dilakukan sesuai dengan
relevansinya dibawah koordinasi dinas pendidikan setempat. Secara umum,
pengembangan kurikulum dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip berikut:
1) Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, kepentingan peserta
didik dan lingkungannya
2) Beragam dan terpadu
3) Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
4) Relevan dengan kebutuhan kehidupan

35
5) Menyeluruh dan berkesinambungan
6) Belajar sepanjang hayat
7) Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah

Mengutip pendapat Hasan (2009), perlu diingatkan kembali bahwa


meskipun kurikulum tersebut diusahakan mampu menjawab tantangan dan
kebutuhan politik negara, namun kelemahan dalam proses pengembangan
kurikulum saat ini adalah setelah proses penyusunan, tidak diikuti dengan proses
sosialisasi yang baik. Guru dianggap sudah mengetahui tujuan kompetensi dari
kurikulum yang disusun dan mampu melaksanakan dengan inisiatif.
Memasuki kerangka kerja kurikulum tahun 2013, Kementrian Pendidikan
saat ini terus melakukan persiapan. Kurikulum 2013 akan diimplementasikan
secara bertahap (Ramon Mohandas PhD, Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan
(Kapuskurbuk) Kementrian Pendidikan dalam workshop di Jakarta, Februari
2013) yakni di SD kelas 1 (30%) dan kelas 4 (30%), SMP kelas 7 (100%) dan
SMA kelas X (100%). Pada dasarnya standar kompetensi lulusan (SKL) satuan
pendidikan, tetap mengacu pada standar proses, standar penilaian dan juga
kerangka dasar kurikulum. Landasar pengembangan kurikulum yakni mencakup
(1) Aspek filosofis yang memuat filosofi pendidikan yang berbasis pada nilai-
nilai luhur, nilai akademik, kebutuhan peserta didik dan masyarakat.
Kurikulum berorientasi pada pengembangan kompetensi.
(2) Aspek yuridis, mengacu pada RPJMN 2010-2014 sektor pendidikan
mengisyaratkan perubahan pada metodologi pembelajaran dan penataan
kurikulum. Sementara berdasrakan Inpres Nomor 1 tahun 2010 ditekankan
percepatan pelaksanaan prioritas pembangunan nasional pada
penyempurnaan kurikulum dan metode pembelajaran aktif berdasarkan
nilai-nilai budaya bangsa untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa.
(3) Aspek konseptual, yang mencakup relevansi, model kurikulum berbasis
kompetensi, kurikulum lebih dari sekedar dokumen, proses pembelajaran
(mencakup aktivitas belajar, output belajar, outcome belajar), penilaian yang
merupakan kesesuaian teknik penilaian dengan kompetensi serta
penjejangan penilaian.

36
Suatu hal yang dianggap baru dalam kurikulum yang akan
diimplementasikan pada tahun 2013 ini adalah bahwa buku wajib untuk siswa
akan disiapkan bersamaan dengan buku untuk guru/pengajar. Buku yang
disiapkan untuk guru dimaksudkan untuk melatih guru sebelum mengajar dan ini
merupakan kebijakan baru dalam kurikulum 2013. Secara paralel pda saat guru
dilatih maka buku bahan ajar bagi siswa akan dicetak dan didanai oleh
pemerintah untuk dibagikan kepada siswa didik

5.2 Kebijakan Muatan Kurikulum IPS Ekonomi Saat Ini

Pembelajaran muatan pajak pada kurikulum saat ini masih mengacu pada
kurikulum tahun 2006 yang hanya dimuat pada mata pelajaran ekonomi. Mata
pelajaran ekonomi merupakan mata pelajaran mengenai perilaku dan tindakan
manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan mengelolah sumber daya yang
ada melalui kegiatan produks, distribusi dan konsumsi. Khususnya pada
kurikulum kelas XI SMA semester 1 (ganjil) standar kompetensi, kompetensi
dasar dan indikator pencapaian kompetensi dapat digambarkan sebagai berikut.

Mata Pelajaran : EKONOMI


Kelas : XI IPS
Tahun Pelajaran : 2012/2013
Tabel 3
Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar dan Alokasi Waktu

ALOKASI
STANDAR
SMT KOMPETENSI DASAR WAKTU
KOMPETENSI
(JP)
1.1 Mengklasifikasi
6 jam
ketenagakerjaan
1. Memahami kondisi
1.
ketenagakerjaan dan 1.2 Mendeskripsikan tujuan 3 jam
dampaknya terhadap pembangunan ekonomi
pembangunan ekonomi.
1.3 Mendeskripsikan proses
3 jam
pertumbuhan ekonomi
37
ALOKASI
STANDAR
SMT KOMPETENSI DASAR WAKTU
KOMPETENSI
(JP)
1.4. Mendeskripsikan
pengangguran beserta
3 jam
dampaknya terhadap
pembangunan nasional
2.1. Menjelaskan
pengertian,fungsi,tujuan 3 jam
APBN dan APBD
2.2. Mengidentifikasi sumber-
sumber penerimaan 3 jam
2. Memahami APBN dan pemerintah pusat dan
APBD 2.3. Mendeskripsikan kebijakan
6 jam
pemerintah di bidang fiskal

2.4. Mengidentifikasi jenis-jenis


pengeluaran pemerintah
3 jam
pusat dan pemerintah
daerah
3.1 Mengenal jenis produk
6 jam
dalam bursa efek
3. Mengenal pasar modal
3.2 Mendeskripsikan
6 jam
mekanisme kerja bursa efek
4.1. Mengidentififikasi
manfaat,keuntungan dan
3 jam
faktor-faktor pendorong
perdagangan internasonal
4.2. Mengidentiifikasi kurs tukar
valuta asing,dan neraca 3 jam
4. Memahami pembayaran
perekonomian 4.3. Menjelaskan konsep
terbuka tarif,kuota,larangan
3 jam
ekspor,subsidi,dan
dumping
4.4. Menjelaskan pengertian
devisa,fungsi sumber-
3 jam
sumber devisa dan tujuan
penggunaannya

Sumber: Program Tahunan SMAN 8 Jakarta

38
5.3 Kurikulum dengan kompetensi dasar Perpajakan pada media
pembelajaran berupa buku ajar Ekonomi untuk SMA/MA

Pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) di SMA pengetahuan perpajakan


digambarkan sebagai berikut (Sumber SMAN 8 Jakarta):
1) Mata Pelajaran : Ekonomi
2) Kelas / Semester : XI (sebelas) / ganjil
3) Standar Kompetensi adalah Memahami APBN dan APBD
4) Kompetensi Dasar meliputi:
a. Menjelaskan pengertian,fungsi,tujuan APBN dan APBD
b. Mengidentifikasi sumber-sumber penerimaan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah (mencakup pengetahuan sumber penerimaan
dari pajak)
c. Mendeskripsikan kebijakan pemerintah di bidang fiskal
d. Mengidentifikasi jenis-jenis pengeluaran pemerintah pusat dan
pemerintah daerah
5) Indikator Pencapaian Kompetensi adalah mengidentifikasi sumber-sumber
pendapatan Negara dan hibah dalam APBN/APBD
6) Alokasi waktu yang diberikan sekitar 3 x 45 meniT
7) Tujuan Pembelajaran
Siswa dapat mengidentifikasi sumber-sumber pendapatan negara dan
hibah dalam APBN/APBD.
• Karakter siswa yang diharapkan: Kerja keras, Jujur, saling
menghargai.
• Kewirausahaan / Ekonomi Kreatif : Kerja keras, jujur, saling
menghargai orang lain, , inovatif,
8) Materi Pokok: Pendapatan negara
9) Uraian Materi: Pendapatan negara dan hibah dalam APBN/APBD
10) Pendekatan: Kontekstual
11) Metode Pembelajaran: Diskusi kelompok dan studi kepustakaan
12) Strategi Pembelajaran

39
Tabel 4
Materi Pokok: Pendapatan Negara

Tatap Muka Terstruktur Mandiri

• Memahami • Mengkaji referensi untuk Siswa dapat


APBNdan APBD mengidentifikasi sumber- Mengidentifikasi
sumber pendapatan sumber-sumber
negara dan hibah dalam pendapatan negara dan
APBN/APBD hibah dalam
APBN/APBD.

13) Skenario Pembelajaran


i. Kegiatan Awal
a. Apersepsi
Guru mengulas kembali pembahasan materi yang lalu tentang fungsi
APBN dan APBD. Pada APBN dan APBD dicatat sumber-sumber
pendapatan negara. Kemudian guru memberi penjelasan yang
singkat dan jelas tentang sumber-sumber pendapatan negara yang
menjadi fokus dalam pembelajaran kali ini.
b. Motivasi
Siswa dapat memahami apa saja yang menjadi sumber pendapatan
negara.
ii. Kegiatan Inti
Eksplorasi
Dalam kegiatan eksplorasi, guru:
a. Siswa dapat Menjelaskan sumber-sumber penerimaan pemerintah
pusat dan pemerintah daerah. (nilai yang ditanamkan: Kerja keras,
Jujur, saling menghargai.);
Elaborasi
Dalam kegiatan elaborasi, guru:
a. Siswa dikelompokkan menjadi dua kelompok besar (disesuaikan
dengan jumlah siswa). (nilai yang ditanamkan: Kerja keras, Jujur,
saling menghargai.);
40
b. Kelompok pertama diberi tugas mengidentifikasi sumber-sumber
pendapatan negara dan hibah dalam APBN. (nilai yang
ditanamkan: Kerja keras, Jujur, saling menghargai.);
c. Kelompok kedua diberi tugas untuk mengidentifikasi sumber-
sumber pendapatan negara dan hibah dalam APBD. (nilai yang
ditanamkan: Kerja keras, Jujur, saling menghargai.);
d. Masing-masing kelompok mempersentasikan tugasnya di depan
kelas, sedangkan kelompok yang lain menanggapi. (nilai yang
ditanamkan: Kerja keras, Jujur, saling menghargai.);
e. Dengan bimbingan guru, siswa membuat kesimpulan. (nilai yang
ditanamkan: Kerja keras, Jujur, saling menghargai.);
Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, Siswa:
a. Menyimpulkan tentang hal-hal yang belum diketahui (nilai yang
ditanamkan: Kerja keras, Jujur, saling menghargai.);
b. Menjelaskan tentang hal-hal yang belum diketahui. (nilai yang
ditanamkan: Kerja keras, Jujur, saling menghargai.)

iii. Kegiatan Akhir


a. Guru dan siswa melakukan refleksi (nilai yang ditanamkan: Kerja
keras, Jujur, saling menghargai.);
b. Penilaian (nilai yang ditanamkan: Kerja keras, Jujur, saling
menghargai.);
• Hasil kerja kelompok (kognitif)
• Lembar pengamatan (afektif)
• Lembar pengamatan (psiko motorik)
c. Siswa mengerjakan soal-soal evaluasi yang terdapat pada buku teks
Ekonomi (nilai yang ditanamkan: Kerja keras, Jujur, saling
menghargai.)

Di bawah ini contoh gambaran kurikulum berbahan ajar perpajakan di Elementary


School of Michigan Local Government pada tahun 2003.

41
Tema Bahan Ajar: Pemerintah berperan dalam kegiatan masyarakat sehari-hari
Pokok-pokok materi ajar:
1) Deskripsi dengan menggunakan contoh bagaimana pemerintah mempengaruhi
aktivitas masyarakat
2) Indentifikasi layanan yang diberikan oleh pemerintah seperti adanya
keamanan oleh polisi, adanya sekolah pemerintah, jalan raya, perpustakaan
dan terminal dan layanan publik lainnya.

Metode Pembelajaran:
1) Pemaparan dari guru mengenai peranan pemerintah dalam penyediaan layanan
publik dan siswa diminta untuk menuliskan layanan publik yang siswa didik
rasakan
2) Bermain peran (Role playing) dan pembuatan gambar layanan pemerintah
yang dirasakan oleh siswa dan yang ada di kota tersebut. Proses ini merupakan
proses penyadaran bagi siswa didik atas manfaat yang telah siswa terima.
3) Newspaper sleuths, mendistribusikan surat kabar atau majalah kepada siswa
didik dan membuat ringkasan mengenai pemerintah lokalnya atau layanan
publik yang ada di kotanya, dampak positif dari layanan pemerintah kepada
masyarakat.
4) Memberikan proses pembelajaran yang persuasif yakni bagaimana siswa didik
dapat berperan dalam membantu pemerintah untuk menyediakan layanan
publik.
5) Diskusi kelompok mengenai:
• Contoh layanan pemerintah yang paling penting bagi masyarakat.
• Contoh dan jenis layanan pemerintah yang paling sering digunakan
oleh siswa didik.
• Jenis layanan pemerintah yang tidak terlalu sering digunakan oleh
masyarakat.
• Layanan pemerintah yang sebaiknya ditambah dan diperbaiki.
• Layanan pemerintah yang paling besar biayanya untuk disediakan.
• Layanan pemerintah yang paling kecil biayanya untuk disediakan.
42
• Layanan pemerintah yang paling sering digunakan oleh orang tua
siswa didik.
• Layanan pemerintah yang paling jarang digunakan oleh pemerintah.
• Bagaimana siswa dapat membantu pemerintah untuk menyediakan
layanan umum.

5.4 Muatan Kompetensi Dasar pada Buku Bahan Ajar

Untuk menunjang proses belajar mengajar berdasarkan kurikulum yang


ada, maka diperluan buku Ajar. Bahan ajar atau buku bahan ajar tidak dapat
dipisahkan dari paket pembelajaran, yang berisi bahan-bahan pembelajaran.
Bahan ajar dipakai untuk membantu pembelajaran dan pebelajar dalam kegiatan
pembelajaran. Pembelajaran tidak perlu lagi terlalu banyak menyajikan materi
dalam tatap muka, sehingga mempunyai banyak waktu untuk membimbing
pebelajar (M. Asrori Ardiansyah).
Buku bahan ajar tentunya berbeda dengan buku teks. Bahan ajar biasanya
dirancang dan disusun berdasarkan prinsip-prinsip instruksional. Fungsi buku
bahan ajar (sebagai bagian dari paket pembelajaran) dimaksudkan untuk melayani
terhadap pembelajaran individual disamping dapat dipakai dalam pembelajaran
klasikal. Tabel di bawah ini dapat memberikan informasi perbedaan antara buku
ajar dengan buku teks.

Tabel 5
Perbandingan Buku Ajar Dengan Buku Teks

Buku teks Buku ajar


1. Mengasumsikan minat dari 1. Menimbulkan minat dari
pembaca pembaca
2. Ditulis terutama untuk digunakan 2. Ditulis dan dirancang untuk
guru dirancang untuk dipasarkan dipakai siswa
secara luas
3. Belum tentu menjelaskan tujuan 3. Menjelaskan tujuan instruksional
instruksional
4. Disusun secara linier (lurus 4. Disusun berdasarkan pola belajar
berurutan) yang fleksibel (sesuai kebutuhan
5. Strukturnya berdasarkan logika siswa)
bidang ilmu (content) 5. Strukturnya berdasarkan
43
6. Belum tentu memberikan latihan kebutuhan siswa dan kompetensi
7. Tidak mengantisipasi kesukaran akhir yang akan di capai
belajar siswa 6. Berfokus pada pemberian
8. Belum tentu memberikan kesempatan bagi siswa untuk
rangkuman berlatih
9. Gaya penulisan (bahasanya) 7. Mengakomodasi kesukaran
naratif tetapi tidak komunikatif belajar siswa
10. Sangat padat 8. Selalu memberikan rangkuman
11. Dikemas untuk dijual secara 9. Gaya penulisan (bahasanya
umum komunikatif dan semi formal
12. Tidak mempunyai mekanisme 10. Kepadatan berdasarkan
untuk mengumpulkan umpan laik kebutuhan siswa
dari pemakai 11. Dikemas untuk digunakan
13. Tidak memberikan saran- dalam proses instruksional
saran cara mempelajari buku 12. Mempunyai mekanis untuk
tersebut umpan balik dari siswa
13. Menjelaskan cara mempelajari
bahan ajar
Sumber: M. Asrori Ardiansyah, M.Pd

Muatan kompetensi dasar mengenai sumber-sumber penerimaan


pemerintah pusat dan pemerintah daerah (mencakup pengetahuan sumber
penerimaan dari pajak) dalam buku ajar dapat dicontohkan dari beberapa sumber
referensi.
1) Buku Ekonomi karangan Alam Simorangkir untuk SMA dan MA Kelas XI
Dalam bab 3 mengenai sistem anggaran di Indonesia membahas mengenai:
a) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/APBD)
meliputi:
a. Arti, Tujuan, dan Fungsi APBN
b. Prinsip, Asas, dan Cara Penyusunan APBN
b) Pendapatan dan Pengeluaran Negara/Daerah
a. Pendapatan Negara dan Hibah dalam APBN/APBD
b. Pengeluaran Negara dalam APBN/APBD
c) Kebijakan Fiskal (Kebijakan Anggaran)
a. Pengertian Kebijakan Fiskal
b. Tujuan Kebijakan Fiskal
c. Macam-macam Kebijakan Fiskal

44
Pengetahuan perpajakan dalam buku Ekonomi karangan Alam Simorangkir ini
dijelaskan pada sub bab Pendapatan dan Pengeluaran Negara/Daerah. Dimana
dijelaskan Pendapatan (Penerimaan) negara dan hibah. Penerimaan dalam negeri
terdiri atas penerimaan perpajakan dan bukan pajak. Penerimaan pajak dibedakan
lagi menjadi penerimaan pajak dalam negeri dan penerimaan pajak perdagangan
internasional. Dalam memperluas pengetahuan penerimaan pajak dalam negeri,
buku ini juga memberikan ilustrasi Penerimaan Perpajakan dalam APBN.
Penerimaan pajak diperoleh dari penerimaan pajak dalam negeri seperti pajak
penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak bumi dan bangunan, dan penerimaan
pajak perdagangan internasional seperti bea masuk dan pajak ekspor. Dalam buku
ini tidak diilustrasikan mengenai jenis-jenis pajak daerah.

2) Buku Ekonomi karangan Wahyu Adji, Suwerdi dan Suratno untuk SMA/MA
Kelas XI

Dalam bab 3 mengenai Keuangan Publik dan Kebijakan Fiskal membahas


mengenai:
a. Pengertian APBN dan APBD
b. Dasar Hukum
c. Fungsi APBN dan APBD
d. Penyusunan APBN
e. Tujuan Perubahan Format dan Format Baru APBN
f. Komposisi APBN
g. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
h. Komposisi APBD
i. Hubungan antara Keuangan Pusat dan Daerah
j. Kebijakan Fiskal Nasional

Pengetahuan perpajakan dalam buku Ekonomi karangan Wahyu Adji dan kawan-
kawan ini dijelaskan pada sub bab Komposisi APBN. Dimana dijelaskan
Pendapatan negara dan hibah. Penerimaan dalam negeri terdiri atas penerimaan
perpajakan dan bukan pajak. Penerimaan dalam negeri dapat berasal dari

45
penjualan minyak dan gas (penerimaan migas), atau bisa juga berasal dari
penerimaan non migas. Penerimaan non migas terdiri dari pajak, bea masuk, cukai
dan retribusi. Buku ini memberikan ilustrasi struktur pendapatan negara dan hibah
dalam APBN. Pada sub bab Kebijakan Fiskal Nasional, buku ini menjelaskan
berbagai macam tarif seperti tarif pajak proporsional, tarif pajak progresif, tarif
pajak regresif, tarif pajak tetap. Pengenalan macam-macam tarif tidak dikaitkan
dengan sistem penghitungan pajak, namun dalam kaitannya penjelasan konsep
penstabil otomatik dari fungsi kebijakan fiskal.

Proses Penyusunan Bahan Ajar


Buku Bahan Ajar dapat disiapkan atau ditulis sendiri oleh pembelajar
(guru) yang akan dipakai dalam kegiatan pembelajaran. Namun pembelajar dapat
juga memanfaatkan buku teks atau bahan dan informasi lain yang sudah ada untuk
dikenas atau disusun kembali menjadi bahan ajar tersendiri. Informasi lain dapat
diperoleh misalnya dari buku-buku, leaflet, informasi dari Direktorat Jenderal
Pajak melalui KPP setempat. Namun banyak guru yang menggunakan buku teks
pelajaran yang disusun oleh tim penyusun buku yang diterbitkan oleh beberapa
penerbit.
Dari hasil diskusi dalam Workshop Tax Dissemination Through Formal
Education: Understanding Opportunities and Challenges yang diselenggarakan
oleh P2Humas Direktorat Jenderal Pajak pada tanggal 20 sd 22 Maret 2013 di
Jakarta, dapat disimak proses pembuatan buku pelajaran oleh penerbit buku pada
umumnya. Pembuatan buku pelajaran pada prinsipnya berpatokan pada dokumen
kurikulum yang sedang berlaku. Sehingga penulis atau tim penulis yang
menyusun naskah buku pelajaran, harus memahami rumusan dalam Kompetensi
Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) dalam kurikulum. Naskah buku pelajaran
yang dibuat penulis, kemudian diperiksa oleh editor yang mempunyai keahlian
atas materi tersebut dan bertanggung jawab pada isi buku. Naskah buku
disesuaikan dengan muatan KI dan KD dalam kurikulum yang berlaku. Kontrol
terakhir dilakukan oleh pembaca ahli atau editor ahli yang biasanya dari
perguruan tinggi sesuai dengan kompetensi keilmuannya. Sebelum dilakukan
pencetakan hasil akhir, buku diberi ilustrasi berupa gambar dan desain yang

46
menarik. Biasanya setiap periode kurikulum dilakukan pengawasan ulang. Pada
kurikulun tahun 2006 yang dikenal dengan KTSP biasanya dilakukan pengawasan
oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan (PusKurBuk) Kementrian Pendidikan yang
menyangkut kedalaman kurikulum dan juga kebahasaan.

5.5 Peran Guru yang mengempu Kurikulum dengan kompetensi dasar


Perpajakan untuk SMA/MA

Secara umum, untuk menunjang kemampuan guru dalam mengajarkan


mata pelajaran perpajakan bagi siswa, bagian-bagian yang harus dipahami oleh
guru yang disarikan dari modul pengajaran yang disusun oleh komite guru-guru
SMA berjudul kebijakan moneter, keuangan negara dan pajak (Nurmawan, dkk, ):
a. Kebijakan Moneter; guru mampu memahami dan mengelaborasikan:
• Definisikan kebijakan moneter
• Tujuan kebijakan moneter
• Membandingkan kebijakan diskonto, pasar terbuka, pembatasan kredit
dan cadangan kas
• Menggolongkan kebijakan moneter ke dalam kebiajak uang ketat dan
uang longgar
b. Keuangan Negara; guru mampu memahami dan mengelaborasikan:
• Menjelaskan definisi APBN
• Mengidentifikasikan tujuan APBN
• Menguraikan fungsi APBN
• Mengidentifikasikan sumber penerimaan dan pengeluaran dalam
APBN
• Mengidentifikasikan kebijakan fiskal
• Mengidentifikasikan tujuan kebijakan fiskal
• Mengklasifikasikan macam-macam kebijakan fiskal
c. Perpajakan; guru mampu memahami dan mengelaborasikan:
• Mengidentifikasikan pengertian pajak
• Mengidentifikasikan pungutan resmi selain pajak
• Menguraikan fungsi utama pajak

47
• Membedakan jenis-jenis pajak
• Menguraikan sistem perpajakan di Indonesia
• Menghitung pajak penghasilan

6 Pengenalan Pengetahuan Perpajakan melalui Kurikulum

Dewasa ini, proses asimilasi pengetahuan bagi masyarakat secara umum


dan peserta didik secara khusus pada dasarnya masih berjalan parsial meskipun
terdapat irisan di dalamnya. Dapat dipahami, bahwa secara pragmatis sasaran
pemerintah masih menyasar kepada pencapaian penerimaan pajak dari penduduk
yang telah berstatus sebagai wajib pajak saat ini. Meskipun demikian, perubahan
strategi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk menuju sistem
administrasi perpajakan yang modern yang efektif dan efisien perlu diapresiasi.
Secara terbuka pihak DitJen Pajak menyebutkan bahwa salah satu
penyebab utama belum kuatnya kepercayaan masyarakat terhadap Ditjen Pajak
adalah akibat ketidakpahaman sebagian besar masyarakat terhadap pengetahuan
dan ketentuan perpajakan yang berlaku. Meskipun pihak Ditjen Pajak tidak
menutup mata bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh pihak interen Ditjen Pajak
sendiri membuka peluang semakin meningginya tingkat resistensi masyarakat
terhadap masalah perpajakan (www.pajak.go.id).
Beberapa upaya telah dilakukan oleh DitJen Pajak dalam melakukan
sosialisasi pengetahuan perpajakan antara lain dalam kegaitan tax goes to school,
tax goes to campus, tax road show, kuis pajak, cerdas cermat perpajakan, kuliah
umum, olimpiade pajak, tax compitition, tax essay compitition, school goes to tax
office, campus goes to tax office, workshop, seminar, diskusi interaktif,
penyebaran informasi, iklan layanan masyarakat, leaflet dan penerbitan buku-
buku ketentuan peraturan perpajakan dan pengetahuan perpajakan lainnya. Survey
sederhana juga telah dilakukan terhadap 154 responden yang mewakili
pelajar/mahasiswa, pengusaha, PNS/Guru dan karyawan oleh Kanwil DitJen
Pajak Sulawesi Selatan, Barat dan Tenggara (SulSelBarTeng) pada tahun 2013
menunjukan bahwa nilai-nilai perpajakan diperlukan untuk mendukung bela
negara. Sebanyak 62% responden juga setuju jika pengenalan pajak dilakukan
48
sejak dini. Bahkan 66% responden menyatakan dukungannya apabila pengetahuan
perpajakan dimasukan dalam kurikulum. Sementara materi perpajakan perlu
dimasukan dalam bahan pembelajaran merupakan pendapat dari 52 responden.
Saat ini DitJen Pajak berupaya untuk berinvestasi dalam dunia pendidikan
melalui asimilasi pengetahuan pajak ke dalam kurikulum. Upaya ini tentunya
merupakan langkah strategis yang dapat berdampak positif jangka panjang.
Sehingga intervensi pada Kompetensi Dasar pada kebijakan kurikulum
pendidikan nasional merupakan suatu terobosan yang perlu didukung oleh
kementrian terkait.

6.1 Inisiatif Pemahaman Pengetahuan Perpajakan

Diseminasi pengetahuan perpajakan semakin vital dikala negara semakin


tergantung kepada penerimaan yang berasal dari pajak. Penggalian potensi baik
melalui intensifikasi dan ekstensifikasi memberikan suatu mozaik yang sangat
besar ketika masyarakat kurang memahami seluk beluk perpajakan atau bahkan
cenderung apatis. Namun, sikap mental apatis akan sedikit demi sedikit tergerus
ketika masyarakat merasakan bahwa mereka berperan penting dalam suatu sistem.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembelajaran perpajakan yang
dilakukan saat ini seharusnya tidak ditujukan semata-mata untuk memenuhi
kompetensi ajar atau menciptakan siswa yang mampu menyelesaikan soal-soal
ujian. Lebih dari sekedar hal tersebut, siswa diharapkan memiliki kesadaran
bahwa nantinya mereka akan berperan dalam sistem ketatanegaraan.
Mengutip pendapat Mahfud MD dalam sebuah seminar “Dinamika
Perpajakan: Antara Idealisme dan Realita”, pemungutan pajak di era demokrasi
ini sudah selayaknya meninggalkan konsep upeti. Ketika seorang warga negara
dikenakan pajak dengan prinsip upeti atau dengan bahasa modern dapat
dievolusikan menjadi official assessment system, maka pengertian yang terdapat
didalamnya bahwa pajak tersebut digunakan untuk kepentingan penguasa yang
mengelolah negara dan kepentingan menjalankan pemerintahan. Penyadaran pajak
sejatinya dimulai dari eksistensi suatu negara yang didirikan oleh warga negara
sebagai organsisasi tertinggi yang mempunyai fungsi untuk mengatur warganya

49
untuk membayar pajak yang akan dipergunakan kembali untuk melaksanakan
aktivitas organisasi tersebut dimana pada akhirnya digunakan untuk kepentingan
masyarakatnya.
Meninjam konsep perpajakan kontemporer, penyadaran akan perpajakan
dengan paradigma baru seharusnya dilaksanakan dengan berpijak pada prinsip
berikut:
1) Pajak tidak menekankan semata-mata pada pemaksaaan saja karena pada
prinsipnya pajak merupakan wujud kesadaran masyarakat dalam memberikan
kontribusi kepada negara. Model pemajakan tidak bersifat memaksa sehingga
pemungutan pajak tersebut tidak berkonotasi negatif. Hal tersebut
dimaksudkan untuk membedakan antara negara merdeka dengan negara yang
masih terjajah yang masih harus membayar pajak ke negara yang
menjajahnya.
2) Pajak akan dikembalikan kepada masyarakat sehingga seharusnya hasil
penerimaan pajak tidak semata-mata digunakan untuk membayar hutang atau
menutup defisit anggaran.
3) Pembayar pajak mendapat manfaat terutama akses dari pemerintah baik akses
ekonomi maupun informasi.
4) Pajak menggunakan ukuran manfaat yang nyata dirasakan oleh masyarakat
misalnya subsidi pendidikan dan pembangunan infrastruktur.
Pelaksanaan administrasi perpajakan yang didasarkan pada paradigma diatas
sejatinya akan mendorong terciptanya kesadaran pajak yang bersifat sukarela atau
voluntarily tax complience sehingga sistem perpajakan yang mengaplikasikan self
asessment system dapat dilaksanakan.
Jika bentuk diseminasi perpajakan tersebut diterjemahkan kedalam mata
pelajaran di sekolah, pada dasarnya materi perpajakan tersebut seharusnya
diletakkan di mata pelajaran atau bidang dimana setiap siswa diharuskan untuk
mengetahuinya. Dengan kata lain, materi perpajakan tersebut menjadi mata
pelajaran wajib bagi siswa. Dengan eksistensi materi perpajakan dalam mata
pelajaran wajib siswa, diharapkan siswa benar-benar mengetahui peranan mereka
sebagai warga negara di dalam negara nantinya dan bagaimana peranan negara
bagi mereka sebagai warga negara. Dengan kata lain, tercipta sebuah pemahaman

50
mengenai hubungan timbal balik antara negara dan masyarakat dalam hal
pembiayaan negara yang diwujudkan dalam bentuk pajak, bukan semata-mata
pungutan wajib yang menunjukkan otoritas negara semata.
Dalam tataran teknis, mata pelajaran yang berhubungan dengan eksistensi
individu sebagai warga negara dapat diasimilasikan ke dalam mata pelajaran
kewarganegaraaan karena pada dasarnya mata pelajaran tersebut mencakup 4
(emapat) pilar Pancasila yaitu UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.
Pengetahuan perpajakan secara khusus dapat dimasukkan sebagai bagian materi
UUD 1945 dalam mata pelajaran karena UUD 1945 pasal 23A mengatur hal
tersebut, yaitu “ pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
negara diatur dengan Undang-undang”. Namun, pemerintah pada dasarnya
memiliki wewenang untuk meletakkan materi perpajakan tersebut di mata
pelajaran wajib lainnya dengan mempertimbangkan perkembangan kurikulum.
Berdasarkan studi lapangan mengenai pengasimilasian mata pelajaran
perpajakan bagi siswa SMA dan sederajat, maka selain peleburan ke mata
pelajaran kewarganegaraan, dimungkinkan jika materi perpajakan tersebut
dileburkan ke dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Peleburan materi
perpajakan ke dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia dapat dilakukan melalui
berbagai tema-tema wacana yang disajikan dalam pelajaran tersebut. Pilihan
tersebut didasarkan pada pertimbangan (i) mata pelajaran Bahasa Indonesia
merupakan mata pelajaran wajib sehingga setiap siswa akan mengikuti pelajaran
tersebut (ii) mata pelajaran kewarganegaraan memiliki jumlah jam yang cukup
terbatas (iii) pengenalan pajak dengan bentuk tematik wacana lebih mudah untuk
dipahami dan lebih sederhana.

6.2 Hambatan masa lalu, kedepan dan tantangannya

Hingga saat ini, mata pelajaran perpajakan bagi siswa SMA/SMK/MA dan
sederajat masih dianggap sebagai mata pelajaran pilihan dan merupakan keahlian
atas konsekuensi positif ketika siswa memutuskan untuk membidangi ilmu sosial.
Ketika materi ajar perpajakan menjadi bagian dari keahlian siswa ilmu sosial,
maka penekanannya lebih mengutamakan ketentuan teknis perpajakan seperti

51
perhitungan pajak pengasilan orang pibadi dan badan, pajak pertambahan nilai,
pajak bumi dan bangunan. Penekanan pada pemahaman siswa mengenai hakekat
pajak itu sendiri atau pemahaman filosofi sederhana mengenai perpajakan tidak
menjadi bagian prioritas. Oleh karenanya, pelajaran perpajakan seakan jauh dari
esensinya ketika kemampuan teknis perpajakan baik mengenai perhitungan dan
pengadministrasiannya dianggap jauh lebih penting dari esensi pemungutan pajak.
Belajar pajak bukanlah masalah kewajiban masyarakat yang terpenting. Tetapi
bagaimana fungsi pemerintah dalam negara.
Hal tersebut tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya ketika seorang siswa
memilih Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) terutama yang membidangi hal-hal
yang berhubungan dengan perkantoran. Pemenuhan kompetensi untuk mampu
secara teknis melakukan pengadministrasian perpajakan seperti pengisian
berbagai formulir pajak merupakan tuntutan tersendiri bagi siswa lulusan SMK
Ekonomi (wawancara dengan pihak SMA Putra Bangsa). Selain itu, para gurupun
merasa telah melakukan tanggung jawab jauh lebih baik ketika telah mengajarkan
hal-hal teknis tersebut kepada siswanya. Namun, perlu disadari bahwa pemenuhan
kompetensi tersebut sejatinya tidak menggerus esensi dari pajak itu sendiri,
melainkan sebelum penguatan kompetensi teknis perpajakan sebaiknya siswa
telah memahami esensi pemungutan pajak terlebih dahulu. Merupakan suatu hal
yang ironis ketika seorang siswa menguasai teknik perpajakan namun tidak
memahami esensi dari keahliannya.
Hal lain yang tidak kalah memprihatinkan adalah ketika materi perpajakan
tidak diajarkan atau diajarkan secara sepintas di Sekolah Mengengah Kejuruan
(SMK) lainnya yang tidak berfokus kepada kegiatan perkantoran seperti SMK
Pariwisata, SMK Farmasi, SMK Teknologi maupun SMA lainnya (interview
dengan pihak SMK 24 Jakarta). Hal tersebut sebagai konsekwensi logis dari
tuntutan kejuruan dalam penguatan kompetensi lulusannya. Hal tersebut dapat
dipahami mengingat kebutuhan pemenuhan kurikulum kejuruan yang ketat serta
jam pelajaran tidak secara khusus dialokasikan untuk pengenalan pelajaran
perpajakan. Meskipun demikian, pada dasarnya siswa sekolah kejuruan yang akan
menjadi angkatan kerja pada akhirnya harus mengetahui hak dan kewajibannya
ketika secara material dan formal telah cakap menjadi wajib pajak.

52
Uraian diatas tercermin dari pemahaman siswa mengenai perpajakan
khususnya di Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan survey sederhana yang dilakukan
ke 8 (delapan) Sekolah Menengah Atas dan sederajat yang dianggap mampu
mewakili keadaan dan kemampuan siswa di Jakarta. Survey dilakukan kepada 160
siswa baik yang mengambil jurusan IPA, IPS maupun kejuruan. Berdasarkan hasil
survey, ditemukan bahwa pada dasarnya siswa tersebut belum memahami urgensi
pemungutan pajak. Siswa juga belum memahami bahwa penerimaan yang berasal
dari pajak dialokasikan untuk kepentingan masyarakat termasuk manfaat tidak
langsung yang dirasakan oleh siswa. Tingkat pengetahuan perpajakan yang ada
saat ini sebatas dan berhenti pada tataran pengetahuan normatif yang secara tidak
sadar diperoleh dari iklan layanan masyarakat atau media lain yang pada
umumnya tidak berasal dari bangku sekolah.
Sebagaian besar siswa belum mampu menguraikan pemahaman mendasar
mengenai perpajakan, belum mampu menguraikan bahwa pajak merupakan
pungutan oleh pemerintah yang didasarkan pada undang-undang, dipergunakan
untuk membiayai kepentingan umum dan tidak mendapat manfaat langsung.
Selain itu, siswa juga belum mampu menguraikan fungsi dan peran negara dalam
penyediaan barang dan jasa publik dengan sederhana serta memberikan contoh
yang tepat mengenai alokasi tersebut.
Bahkan di hampir sebagaian siswa di beberapa sekolah tidak mampu
menjelaskan esensi pemungutan pajak. Siswa menyebutkan bahwa pajak
merupakan angsuran yang dikenakan setiap setahun sekali, pajak merupakan
pembayaran kepada suatu lembaga yang ada di negara, tuntutan kepada
masyarakat untuk membayar uang ke negara, anggaran biaya yang harus
dikeluarkan masyarakat untuk menjalankan usahanya, suatu bayaran yang wajib
untuk dibayarkan seseorang, pungutan suatu usaha, potongan yang dikenakan oleh
negara ketika seseorang mendapat penghasilan atau membeli barang. Bahkan
yang paling ironis dari berbagai jawaban tersebut adalah pungutan dari
masyarakat untuk membayar gaji pegawai BUMN (interview dengan pihak SMA
1 Megamendung dan SMA Negeri Unggulan MH Thamrin).
Hal lain yang tidak kalah mengejutkan bahwa di beberapa sekolah terdapat
jawaban siswa sangat variatif dan berbeda cukup signifikan antara satu siswa

53
dengan lainnya. Disparitas yang cukup jauh dan inkonsistensi menunjukkan
bahwa pada dasarnya siswa tersebut tidak memiliki pemahaman yang sama
mengenai pengetahuan esensi dari perpajakan secara utuh. Selain itu, sikap apatis
yang ditunjukkan oleh siswa terhadap hal-hal yang berhubungan dengan urusan
negara menjadi pekerjaan rumah tersendiri. Disparitas yang demikian variatif dan
jauh dari esensi serta sikap mental yang “tidak mau tau” menunjukkan bahwa
pada dasarnya siswa tersebut memerlukan edukasi perpajakan.
Namun, keadaan yang demikian tentu dipengaruhi baik secara langsung
maupun tidak dari pemahaman beberapa guru yang kurang mendalam terkait mata
pelajaran yang sedang diampunya. Hal ini tidak terlepas dari kompetensi dasar
guru yang pada dasarnya tidak menitikberatkan kepada materi perpajakan. Selain
itu, kurangnya ketersediaan referensi mengenai perpajakan sebagai bagian yang
mendukung bahan kurikulum pengajaran perpajakan. Guru harus memiliki
inisiatif ekstra untuk memperoleh asupan materi dari berbagai media. Selain itu,
keterbatasan pelatihan juga menjadi tantangan tersendiri meskipun di beberapa
sekolah berkualitas terdapat Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Forum
ini merupakan ajang untuk berbagi pengetahuan dan seharusnya bisa dijadikan
sebagai wadah untuk berbagi pengetahuan perpajakan. Persoalan baru muncul
ketika seorang guru yang bertugas di sekolah yang berada level menengah ke
bawah harus mengajarkan pajak sementara sumber daya finansial tidak cukup
mendukung bagi guru tersebut untuk memiliki referensi tersendiri. Terlebih jika
dalam upaya tersebutpun tidak ada katalis yang mendorong guru untuk terus
belajar seperti insentif. Meluangkan waktu dan biaya untuk mencari sesuatu yang
baru demi menciptakan suatu pengajaran yang berkualitas merupakan trade off
tersendiri bagi guru yang memiliki penghasilan minim.
Kegiatan sosialisasi yang ke sekolah-sekolah yang dilakukan oleh pihak
Ditjen Pajak melalui program Tax Goes to Campus memberikan warna tersendiri
dalam proses edukasi perpajakan. Namun, upaya bersifat momentum tersebut
akan lebih bermanfaat jika dilakukan simultan bagi guru-guru terlebih dahulu
sehingga guru tersebut dapat berfungsi sebagai agen perubahan (wawancara
dengan pihak SMA Putra Bangsa). Terlebih, upaya yang demikan belum mampu
menjangkau tiap-tiap sekolah meskipun secara psikologis guru-guru merasakan

54
bahwa siswa merupakan bagian dari masa depan perpajakan Indonesia.
Menggandeng guru mata pelajaran sebagai mitra sosialisasi merupakan langkah
investasi yang strategis mengingat pekerjaan ini adalah pekerjaan jangka panjang
yang membutuhkan sumber daya manusia yang besar dan biaya yang besar jika
dilakukan parsial oleh pihak Ditjen Pajak.
Jika pemerintah menggandeng para pendidik menjadi mitra edukasi pajak
merupakan suatu langkah strategis yang berani. Ketika pemerintah akan
mengasimilasikan pengetahuan perpajakan sebagai bahan ajar wajib bagi siswa,
sejatinya pemerintah menyiapkan tenaga-tenaga yang mampu membekali para
guru untuk memiliki pengetahuan perpajakan hingga pada tingkatan yang
diharapkan.
Dalam kontek buku bahan ajar, diakui oleh para penerbit (Erlangga dan
Bumi Aksara), buku pelajaran yang memuat materi pajak di SMA dan sederajat
lebih bersifat teknis dan bukan menyuguhkan filosofi peran dan fungsi negara
maupun pemahaman mengapa negera harus memungut pajak. Materi naskah
tuntutan penyelesaian ujian sekolah dan juga ujian nasional yang cenderung pada
tataran teknis perhitungan perpajakan sebagaimana telah digariskan dalam
kurikulum yang berlaku. Dari sisi penerbit yang cenderung berorientasi bisnis,
tentunya pemenuhan permintaan konsumen (guru, pembelajar, siswa) lebih
dikedepankan. Menyikapi perubahan kurikulum tahun 2013, jika bahan ajar
muatan pengetahuan perpajakan akan mengarah pada perubahan sikap siswa dan
lebih mengemukakan pemahaman fisolofi dasar mengapa pentingnya pajak bagi
pembangunan bangsa, maka DirJen Pajak dapat melakukan intervesnsi dalam
Kompetensi Dasar. Pada prinsipnya penulis naskah, editor dan penerbit dapat
menyesuaikan materi bahan ajar bila sesuai dengan Kopetensi Dasar yang telah
dirumuskan dalam kurikulum. Ini pula yang dilakukan oleh berbagai
lembaga/sektor atau kementrian yang akan memasukan muatan pengetahuan
dalam kurikulum nasional. Oleh karena itu, pemerintah juga perlu membekali
pihak-pihak lain yang terlibat dalam proses ini seperti penerbit buku.
Dilain pihak penulis naskah bahan ajar pengetahuan pajak harus
mempunyai kopetensi dibidang pengetahuan kebijakan fiskal, perpajakan serta
memiliki semangat kreatifitas untuk menstransfer pengetahuan. Dukungan dan

55
bantuan informasi perpajakan dari DirJen Pajak sebagai salah satu sumber
referensi bagi penulis naskah harus menjadi agenda tersendiri. Pelaksaanaan
program yang demikian tentu akan membutuhkan investasi yang besar namun
berdampak jangka panjang.

6.3 Pengalaman pendidikan pajak di Scandinavia

Pendidikan di negara Skandinavia diupayakan untuk sesuai (inline) dengan


kebijakan dan tujuan negara. Negara Skandinavia menyadari bahwa pencapaian
nilai yang diharapkan harus dipenetrasikan ke masing-masing warga negaranya
agar terjadi usaha menuju pencapaian yang berkesinambungan. Kebijakan ini
telah dicanangkan sejak akhir tahun 1990. Hal ini disadari merupakan pekerjaan
jangka panjang dan hasil yang diperoleh melewati suatu proses yang melibatkan
berbagai pihak, termasuk guru sebagai agen sosialisasi. Dalam formalisasi tujuan
tersebut, kurikulum yang akan diajarkan kepada siswa setidaknya mencakup dua
hal yaitu:
1) General introductory part, yaitu bagian yang berisi tujuan pembelajaran serta
penjelasan filosofi akan pentingnya pelajaran tersebut. Hal ini menjadi bagian
dari kurikulum pelajaran wajib bagi sekolah khususnya sekolah milik
pemerintah.
2) Bagian yang menjadi kompetensi siswa

Bagian materi pembelajaran yang menjadi pelajaran wajib tersebut


menjadi perhatian penting pemerintah melalui penentuan outcomes dari proses
pembelajaran tersebut dari masing-masing tingkatan. Beberapa dari pelajaran
wajib tersebut adalah “ bagaimana peran penduduk dalam proses pemerintahan,
bagaimana peran pemerintah atas warga negara dan mengapa penduduk
membayar pajak”?. Tidak dapat dipungkiri bahwa berdasarkan evaluasi yang
dilakukan pendidikan belum mampu memenuhi esensi pembelajaran yang
diharapkan oleh berbagai faktor. Namun, penentuan tujuan dari pembuatan
kurikulum dan evaluasi yang terus menerus merupakan suatu langkah yang
dianggap mampu menuju kepada suatu perbaikan yang dipimpin oleh kementerian
bersangkutan dengan koordinasi yang baik dengan kementerian yang memiliki
56
kepentingan. Suatu hal positif yang dicapai dari kebijakan tersebut adalah
semakin terciptanya warna social inclusiveness bagi generasinya.

7. Strategi pengembangan pengetahuan perpajakan melalui


perubahan kurikulum

Langkah konkrit yang dapat dilakukan dengan melakukan intervensi


melalui kurikulum dalam mata pelajaran wajib bagi siswa SMA dan sederajat
dapat diusulkan dalam tahapan strategi berikut ini:
1) Penentuan target bahan ajar; tingkat atau kedalaman isi/kontek (content)
pengetahuan perpajakan yang diharapkan dipahami oleh masing-masing
siswa tanpa membedakan bidang keilmuan yang diminati oleh siswa.
2) Proses intervensi melalui kurikulum yang melibatkan para stakeholder
atau pihak-pihak yang berkepentingan seperti pemerintah, guru dan
penulis buku.
3) Harmonisasi kebijakan yang ada dengan kebijakan yang akan
dilaksanakan terkait kurikulum serta penyusunan bentuk teknis
pengimplementasian kebijakan.
4) Sosialisasi kebijakan yang telah diperbaharui kepada pihak-pihak yang
dianggap berkepentigan serta teknis pengimplementasiannya dalam tataran
meso.
5) Implementasi kebijakan dengan penyesuaian seperlunya serta persiapan
SDM yang diperlukan serta monitoring pelaksanaan implementasi
kebijakan kurikulum terkait materi perpajakan.
6) Monitoring pelaksanaan implementasi kebijakan untuk membuat suatu
evaluasi atas kebijakan yang sedang diimplementasikan dalam rangka
penguatan untuk masa mendatang.

7.1 Strategi: Pemahaman pengetahuan pajak yang diharapkan dari siswa


didik

Tidak dapat dipungkiri dan dipersalahkan bahwa di dalam pikiran


pragmatis sebagaian besar siswa tujuan pembelajaran adalah mampu
menyelesaikan soal-soal baik ketika ujian akhir sekolah, ujian nasional maupun
57
ujian masuk perguruan tinggi. Hal cukup lumrah bahwa pada dasarnya ukuran
keberhasilan siswa yang ada di masyarakat adalah pencapaian melalui nilai
kuantitatif dalam rapor sekolah maupun ketika siswa tersebut diterima di salah
satu perguruan tinggi terkemuka.
Sejatinya, proses pembelajaran tidak hanya transfer informasi, melainkan
transformasi secara menyeluruh. Hal ini berarti pembelajaran tersebut pada
dasarnya membentuk individu yang menghayati secara sadar apa yang
dipelajarinya dan bagaimana pelajaran tersebut diutilisasikan dalam kehidupannya
sebagai suatu individu dan sebagai bagian dari masyarakat. Pemahaman yang
mendalam yang bersifat filosofis memerlukan proses pembelajaran yang tidak
instan.
Dalam konteks perpajakan, titik berat untuk mencapai kesadaran pajak
secara sukarela (voluntary tax compliance) bagi siswa nantinya, yang dimulai dari
bangku sekolah seharusnya berada pada sisi ideologi dan idealis. Kompetensi
yang diharapkan untuk dimiliki siswa tidak sekedar kemampuan teknis perpajakan
seperti perhitungan utang pajak maupun pengenalan beranekaragam perpajakan.
Lebih dari hal itu, kurikulum diharapkan mampu menumbuhkan pemahaman dari
sisi “mengapa” dan “bagaimana” pajak (interview dengan Kasi Kurikulum
Pemprov DKI). Materi pengetahuan perpajakan yang diajarkan pada siswa didik
seyogyanya harus komprehensif tidak melulu soal kewajiban wajib pajak, tetapi
lebih menekankan layanan pemerintah kepada negara dan masyarakat. Pajak
menjadi penting karena masyarakat membutuhkan sarana publik. Jadi intinya
pembelajaran pajak itu merupakan satu kesatuan (wawancara dengan Dr. Machfud
Sidik). Kompetensi inti kurikulum perpajakan seyogyanya mencakup pada tiga
aspek dasar yakni (i) sikap yang berarti munculnya perilaku yang sadar tentang
hakekat pentingnya negara memungut pajak, (2) pengetahuan, yakni memahami
hakekat fungsi dan peranan pemerintah serta tujuan negara memungut pajak, (3)
ketrampilan, mampu mengemukakan sikap dan pengetahuannya dalam kertas
kerja, diskusi, pemenuhan penilaian.
Oleh karenanya integrasi muatan pengetahuan perpajakan dalam
kurikulum pendidikan nasinonal tahun 2013 hendaknya memasukan pada mata
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PPKn) yang memuat pemahaman hak

58
dan kewajiban warga negara dan pembangunan nasional, serta mata pelajaran
kewirausahaan, jika menyangkut masalah bidang kekhususan materi perpajakan
(Arief Rachman dalam workshop Februari 2013 di Jakarta).

7.2 Strategi: meningkatkan peran guru dalam pembelajaran perpajakan

Jika pemahaman perpajakan yang diharapkan oleh siswa adalah sesuatu


yang bersifat filosofis sementara guru dituntut untuk mengajarkan sesuatu yang
bersifat abstrak, maka tidak dapat dipungkiri bahwa guru akan memiliki tugas
pengajaran yang tidak mudah. Mengajarkan sesuatu yang bersifat filosofis
menuntut kreatifitas tersendiri. Pada tataran ini, guru diharapkan untuk mampu
menyampaikan materi dengan bahasa yang sederhana, mudah dimengerti namun
berada dalam koridor esensi yang diharapkan. Dengan demikian, guru juga harus
mampu menjelaskan hal-hal yang bersifat terapan yang inline dengan materi
filosofi yang diajarkan. Pengajaran yang bersifat satu arah dimana guru sebagai
penceramah dan siswa menjadi pendengar bukanlah strategi yang baik. Diskusi
yang aktif antara guru dan siswa maupun siswa dalam kelompok diharapkan
mampu meningkatkan minat siswa.
Dalam tingkat Sekolah Menengah Atas dan sederajat, guru memiliki
peranan yang cukup vital dalam pencapaian target kurikulum meskipun kurikulum
saat ini berbasis kompetensi. Pada umumnya, guru bersikap sebagai intelektual
organis, bagian birokrasi dan state society, maka guru berperan sebagai media
untuk kepentingan regime. Akan tetapi jika guru berperan sebagai agen maka dia
akan bertindak sebagai pengembang kurikulum, berdasarkan ruang dan waktu
yang tersedia akan memodifikasi kurikulum. Biasanya guru mempunyai otoritas
dalam melaksanakan tugas, berorientasi pada civil society, kreatif dalam
mengembangkan hiden curiculum, sehingga pedidikan politik bertujuan untuk
national building (Zuhri, 2010).
Guru sebagai pihak yang berperan penting dalam proses pembelajaran
sudah selayaknya memiliki kerangka konseptual yang digunakan sebagai
pedoman untuk melaksanakan proses belajar mengajar. Jika merujuk ke Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU SPN)

59
disebutkan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran sebagai
proses belajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreativitas
berpikir yang dapat meningkatkan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan dan
pemahaman baru sebagai upaya peningkatan penguasaan yang baik terhadap
materi pelajaran.
Mengutip penelitian yang dilakukan Puspitasari (2010) mengenai
pembelajaran mata pelajaran ekonomi bahwa minat belajar ekonomi termasuk
perpajakan yang dianggap oleh sebagian orang cukup rumit dipengaruhi oleh
proses transfer materi pelajaran tersebut. Dengan demikian perlu dibangun suatu
konsensus bahwa mata pelajaran tersebut bermanfaat dan guru yang mengajarkan
sudah seharusnya kompeten untuk mengajarkan mata pelajaran tersebut.
Jika melihat kembali muatan mata pelajaran perpajakan yang terintegrasi
dalam pelajaran IPS terpadu, hal ini berimplikasi kepada guru yang mengajar
mata pelajaran tersebut. Guru yang memiliki latar belakang suatu bidang ilmu
sosial tertentu harus beradaptasi dengan mata pelajaran lainnya untuk dapat
menyampaikan materi dengan baik terutama mata pelajaran perpajakan yang
sering dianggap cukup rumit oleh berbagai kalangan. Dengan demikian,
pemenuhan kompetensi yang harus dimiliki guru merupakan pekerjaan rumah
awal sebelum mata pelajaran perpajakan tersebut disampaikan kepada siswa
karena diharapkan guru dapat melakukan transfer knowledge kepada siswa.
Transfer knowledge yang diharapkan bukanlah sekedar pengetahuan yang bersifat
informasi, melainkan menumbuhkan pemahaman mendasar dan kesadaran bagi
siswa mengenai pentingnya pajak dalam kelangsungan kegiatan negara. Hal dasar
dan bersifat filosofis yang paling tidak sudah dipahami oleh guru meliput:
1) Guru para pengampu mata pelajaran ekonomi memiliki pengetahuan
perpajakan yang bersifat filosofis dan praktis perpajakan sehingga para siswa
yang dididik mengetahui hal-hal mengenai perpajakan termasuk bagaimana
pajak tersebut dipungut dan dialokasikan dalam berbagai pos pengeluaran.
2) Guru pengampu mata kuliah mempu menanamkan kesadaran arti penting
pajak bagi keberlangsungan negara, serta mampu mengajak peserta didik

60
untuk mulai memiliki kebanggaan sebagai warga negara yang membayar
pajak.

7.3 Strategi: mengoptimalkan peran penulis bahan ajar

Untuk mendukung proses edukasi perpajakan yang baik dan menuju


kepada suatu kematangan pemahaman, sudah selayaknya didukung oleh fasilitas
yang secara fundamental mampu berjalan beriringan. Dalam konteks materi
perpajakan dalam kurikulum, penulis buku ajar juga pada dasarnya memiliki
pemahaman yang sama atas sasaran dan target pengajaran materi perpajakan.
Dengan demikian diharapkan adanya sinergi pemahaman dan tujuan antara
pemerintah yang memiliki kepentingan, guru yang melaksanakan proses
pengajaran serta penulis buku yang akan memfasilitasi bahan referensi siswa.
Ketika perpajakan menjadi bahan ajar yang bersifat wajib, penulis harus
menempatkan materi tersebut sebagai sesuatu yang tidak bersifat keahlian atau
bersifat khusus dan sangat spesifik. Jika pajak menjadi bagian dari kurikulum
wajib, maka penulis yang perlu memperhatikan landasan filosofis, landasan
akademis dan landasan yuridis penulisannya. Dengan adanya pemahaman yang
demikian, penulis dapat menyusun suatu referensi yang komprehensif dan dapat
dipahami oleh siswa secara umum.
Hal lain yang menjadi catatan penting adalah penulis diharapkan mampu
menyampaikan materi perpajakan yang bersifat filosofis yaitu “ apa”,
“bagaimana” dan “ mengapa” ke dalam bahasa siswa. Pekerjaan tersebut bukanlah
hal yang mudah karena menulis pemahaman filosofis kedalam sebuah bahasa
sederhana namun tidak keluar dari koridor memerlukan keterampilan khusus.
Dalam hal ini, penulis diharapkan mampu menyampaikan pesan berupa bahan ajar
perpaja kan kedalam bahasa siswa sehingga hal tersebut dapat membantu guru
dalam proses pengajaran.

61
8. Simpulan dan Rekomendasi

8.1 Simpulan

Invonasi kebijakan yang diupayakan oleh DitJen Pajak melalui investasi


dalam dunia pendidikan melalui asimilasi pengetahuan pajak ke dalam kurikulum
merupakan langkah strategis yang dapat berdampak positif jangka panjang.
Sekolah merupakan lembaga yang berfungsi untuk membangun kesadaran siswa
mengenai pentingnya komitmen kebangsaan dimana siswa akan diajarkan
mengenali nilai dan norma yang dianut dalam kehidupan bernegara. Melalui
evaluasi kebijakan berupa evaluasi empiris atas dampak dari suatu kebijakan yang
sedang berlangsung melalui berbagai program sosialisasi perpajakan dimaksudkan
untuk mencapai tujuan tercapaikan kesadaran akan kewajiban perpajakan bagi
setiap individu warga negara Indonesia. Dampak dari kebijakan melalui
kurikulum SMA dan sederajat diharapkan mampu mempunyai dampak jangka
panjang akan kesadaran perpajakan. Dalam evaluasi kebijakan, bukan sekedar
program-program yang telah dilakukan pemerintah, melainkan dampak kebijakan
yang dilihat dari perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Siswa SMA dan
sederajat merupakan suatu target grup agar kebijakan diimplementasikan. Dalam
proses evaluasi kebijakan, perubahan yang terjadi pada target grup merupakan
bagian yang sangat penting.
Secara umum, pengembangan kurikulum dilakukan berdasarkan prinsip-
prinsip antara lain berpusat pada potensi siswa didik, perkembangan pengetahuan,
kebutuhan akan pencapaian sasaran kebijakan. Bentuk diseminasi pengetahuan
perpajakan dapat diterjemahkan kedalam mata pelajaran di sekolah. Pada
dasarnya materi perpajakan tersebut seharusnya diletakkan di bidang dimana
setiap siswa diharuskan untuk mengetahuinya. Terlepas dari kopetensi minat dari
siswa seperti dikotomi antara IPS dan IPA. Materi perpajakan dapat menjadi mata
pelajaran wajib bagi siswa. Dengan harapan siswa benar-benar mengetahui
peranan mereka sebagai warga negara di dalam negara nantinya dan bagaimana
peranan negara bagi mereka sebagai warga negara. Oleh karenanya tercipta
sebuah pemahaman mengenai hubungan timbal balik antara negara dan

62
masyarakat dalam hal pembiayaan negara yang diwujudkan dalam bentuk pajak,
bukan semata-mata pungutan wajib yang menunjukkan otoritas negara semata.
Harapannya dalam jangka panjang akan timbul kesadaran untuk tercapai
kepatuhan pajak secara sukarela (Voluntary Tax Compliance) yang berkelanjutan.

8.2 Rekomendasi

Pengetahuan perpajakan dapat diasimilasikan dengan bahan ajar wajib


bagi siswa melalui kurikulum yang terintegrasi. Pemahaman pengetahuan
perpajakan bagi siswa SMA sederajat perlu menekankan pada filosofi pentingnya
peran dan fungsi pemerintah serta peran pajak dalam pembiayaan pembangunan.
Para pemangku kepentingan dalam hal ini Kementrian Keuangan dan Kementrian
Pendidikan dapat saling berperan meningkatkan kerjasama dalam menerjemahkan
kebutuhan pemahaman pengetahuan perpajakan untuk tercapainya kesadaran
pajak yang berkelanjutan. Intervensi melalui jalur pendidikan merupakan investasi
jangka panjang yang dapat diintegrasikan dalam kebijakan serta program yang
terencana dengan baik. Upaya merubah perilaku generasi muda dalam memahami
pengetahuan perpajakan akan berdampak pada kepatuhannya sebagai wajib pajak
pada masa mendatang.

9. Referensi

Abbas, Hafid. (2013). Anggaran dan Pelapukan Pendidikan. Jakarta: Kompas,


edisi 26 Januari 2013.

Amilin, Yusnorillah Fanny. (2009). Analisi Pengaruh Tingkat Pendidikan dan


Jenis Pekerjaan Wajib Pajak terhadap Motivasi dalam Memenuhi
Kewajiban Pajak. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Berhane Zelalem. (2011). The Influence of Tax Education on Tax Compliance


Attitude. Ethiopia: Addis Ababa University Press.

Dye, Thomas. (2002). Understanding Public Policy 10th Edition. New Jersey:
Prentice Hall.

Hasan, Hamid. (2009). Perkembangan Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta:


Universitas Pendidikan Indonesia.
63
Hasan, Hamid S. (2013). Kurikulum 2013. Jakarta: Presentasi.

Kasali, Rhenald. (2013). Kurikulum Orangtua untuk Anak. Jakarta: Kompas, edisi
5 Maret 2013.

Kerlinger, Fred N. (1992). Foundations of behavioral research third edition.


United States of America : Harcourt Brace College Publishers.

Lie, Anita. (2013). Kurikulum sebagai Kendaraan. Jakarta: Kompas, edisi 26


Februari 2013.

Nugroho, Riant. (2011), Public Policy. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Nurmawan, Kebijakan Moneter, Keuangan Negara dan Pajak. Modul Kompetensi


IPS Ekonomi, Jakarta, MGMP.

Nurmantu, Safri. (2005). Pengantar Perpajakan. Jakarta : Kelompok Yayasan


Obor Indonesia.

Putranti, Titi Muswati, Handry Imansyah dan Maria Tambunan. (2012). Kajian
Kebijakan Ekonomi Hijau Indonesia, Depok: Pusat Kajian Ilmu
Administrasi FISIP UI.

Rachman, Arief. (2013). Integrasi Materi Perpajakan Dalam Kurikulum


Pendidikan Nasional. Jakarta: Presentasi.

Rosdiana Haula, (2012) Evaluasi Kebijakan Pungutan Negara atas Sektor


Pendidikan. Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas
Indonesia.

Rosdiana, Haula dan Edi Slamet Irianto. (2012). Pengantar Ilmu Pajak. Jakarta :
PT.RajaGrafindo Persada, 2012.

Rosdiana, Haula dan Rasin Tarigan.(2005) Perpajakan : teori dan aplikasi.


Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Soemitro, Rochmat. (1998). Asas dan Dasar Perpajakan 2. Bandung : Refika


Aditama.

Sjostrand, Mats. (2004). Presentation On Influencing Taxpayer Behavior to


Influence Taxpayer Compliance. Ireland: G25 meeting, Dublin Castle.

Suradi, (2005). Kemana Pajak yang Telah Kami Bayar? Pendidikan Fiskal untuk
Warga Brazil. Palembang: Pusat Pendidikan Perpajakan.

64
Wahab Rochmat. (2004). Arah Kebijakan dan Strategi Pendidikan Dasar,
Menengah dan Tinggi di Indonesia, Balai Diklat Kesejahteraan Sosial
Yogyakarta.

Jurnal dan Karya Ilmiah

Arum, Harjanti Puspa dan Zulaikha. (2012) “Pengaruh Kesadaran Wajib Pajak,
Pelayanan Fiskus, dan Sanksi Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak
Orang Pribadi Yang Melakukan Kegiatan Usaha dan Pekerjaan Bebas
(Studi di Wilayah KPP Pratama Cilacap).” Diponegoro Journal of
Accounting Vol 1 No. 1.

Alabede, James O, Zaimah Bt. Zainol Ariffin and Kamil Md Idris. (2011).
“Determinants of Tax Compliance Behaviour : A Porposed Model for
Nigeria.” International Research Journal of Finance and Economics-Isue
78.

Cumminggas Ronald, Vazquez, dkk. (2005). Effect of Tax Morale on Tax


Compliance: Experimental and Survey Evidence. Public Policy
Baltimore.

Gunadi. (2005). “Fungsi Pemeriksaan Terhadap Peningkatan Kepatuhan Pajak


(Tax Compliance).” Jurnal Perpajakan Indonesia Volume 4-5.

Hardiningsih Pancawati. (2012). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemauan


Membayar Pajak, Jurnal Dinamika Keuangan dan Perbankan, Vol. Nov.

Jatmiko, Agus Nugroho. (2006). “Pengaruh Sikap Wajib Pajak Pada Pelaksanaan
Sanksi Denda, Pelayanan Fiskus dan Kesadaran Perpajakan Terhadap
Kepatuhan Wajib Pajak (Studi Empiris Terhadap Wajib Pajak Orang
Pribadi di Semarang).” Universitas Dipenogoro, Tesis tidak diterbitkan.

Marzuki, Konsep Dasar Pendidikan Karakter, Universitas Islam Syarif


Hidayatullah.

Palil, Mohd Rizal dan Ahmad Fariq Mustapha. (2011). Determinants of Tax
Compliance in Asia : A cases of Malaysia. European Journal of Social
Sciences Volume 24.

Palil, Mohd Rizal dan Ahmad Fariq Mustapha. (2011). Factors Affecting Tax
Compliance Behaviour in Self Assesment System. African Journal of
Business Management Vol 5/

Palil, Mohammad Rizal. (2010). Tax Knowledge Determinants in Self


Assessment System in Malaysia, Birmingham Business School.

65
Palil, Mohammad Rizal. (2005). Taxpayer Knowledge: A Descriptive Evidence on
Demographic Factors in Malaysia. Jurnal Akuntansi dan Keuangan
Universitas Petra Vol 7.

Pertama, Hamdi Aniiza, Hseng Lasarus Kamuntuan, Siti Lestari. (2013).


Sosialisasi Perpajakan Kepada Kalangan Pendidikan. Jakarta:Kanwil DJP
Sulawesi Selatan, Barat dan Tenggara.

Puspitasari, Chandra Dewi. (2010). Mendorong Tingkat Kepatuhan Pajak melalui


Penegakan Hukum terhadap Aparat, Universitas Negeri Yogyakarta.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-


Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan


Penyelenggaraan Pendidikan

Website, Media Masa dan lainnya

Jurnas.com, 27 Februari 2013


Kompas.com, 19 Februari 2013
Kompas, 25 Januari 2013
Kompas 27 Agustus 2012
Kompas, 25 Januari 2012
Okezone.com, 19 Februari 2013
Ortax.org
rajawalinews.com
undp.or.id, 27 Februari 2013
http://www.majalahpendidikan.com/2011/05/fungsi-buku-bahan-ajar.html

66

Anda mungkin juga menyukai