Peneliti:
Dra. Titi Muswati Putranti, M.Si
Maria Tambunan, S.IA
1
Daftar Isi
Daftar Isi .................................................................................................................1
Daftar Lampiran .......................................................................................................3
Ringkasan Eksekutif.................................................................................................4
1 Pendahuluan ......................................................................................................8
1.1 Pendidikan dalam kontek pembangunan Indonesia ................................8
1.2 Dilema pengetahuan pajak dalam kurikulum pendidikan .....................10
2 Tujuan dan Manfaat Kajian.............................................................................16
3 Kajian Literatur ...............................................................................................17
3.1 Kepatuhan Sukarela melalui self assessment system .............................17
3.2 Konsep Evaluasi Kebijakan ...................................................................25
3.3 Konsep Pendidikan ................................................................................27
4 Metode Penelitian dan Pengumpulan Data .....................................................29
5 Gambaran Umum Penyelenggaraan Pendidikan Sekolah Menengah Atas
di Indonesia .....................................................................................................31
5.1 Kebijakan Pemerintah mengenai Kurikulum ........................................35
5.2 Kebijakan Muatan Kurikulum IPS Ekonomi Saat Ini ...........................37
5.3 Kurikulum dengan kompetensi dasar Perpajakan pada media
pembelajaran berupa buku ajar Ekonomi untuk SMA/MA ..................39
5.4 Muatan Kompetensi Dasar pada Buku Bahan Ajar ...............................43
5.5 Peran Guru yang mengempu Kurikulum dengan kompetensi dasar
Perpajakan untuk SMA/MA ..................................................................47
6 Pengenalan Pengetahuan Perpajakan melalui Kurikulum ..............................48
6.1 Inisiatif Pemahaman Pengetahuan Perpajakan ......................................49
6.2 Hambatan masa lalu, kedepan dan tantangannya ..................................51
6.3 Pengalaman pendidikan pajak di Scandinavia.......................................56
7. Strategi pengembangan pengetahuan perpajakan melalui perubahan
kurikulum ........................................................................................................57
7.1 Strategi: Pemahaman pengetahuan pajak yang diharapkan dari siswa
didik .......................................................................................................57
7.2 Strategi: meningkatkan peran guru dalam pembelajaran perpajakan ....59
7.3 Strategi: mengoptimalkan peran penulis bahan ajar ..............................61
8. Simpulan dan Rekomendasi ............................................................................62
9. Referensi .........................................................................................................63
2
Daftar Lampiran
1) Materi Bab II APBN dan APBD dalam Buku Ekonomi 2: Ekonomi dan
Kehidupan SMA/MA untuk Kelas XI, Penerbit Pusat Perbukuan Departemen
Pendidikan Nasional.
2) Materi Bab 3 Keuangan Publik dan Kebijakan Fiskal dalam Buku Ekonomi Jilid
2 untuk SMA/MA Kelas XI, penerbit Erlangga.
3) Materi Bab 3 Sistem Anggaran di Indonesia dalam Buku Ekonomi Jilid 2 untuk
SMA dan MA Kelas XI, penerbit Erlangga.
4) Contoh Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Silabus
3
Ringkasan Eksekutif
5
umumnya tidak berasal dari bangku sekolah. Padahal titik berat untuk mencapai
kesadaran pajak secara sukarela (voluntary tax compliance) bagi siswa yang
dimulai dari bangku sekolah seharusnya berada pada sisi ideologi dan filosofi.
Kompetensi yang diharapkan untuk dimiliki siswa tidak sekedar kemampuan
teknis perpajakan seperti perhitungan utang pajak maupun pengenalan
beranekaragam perpajakan. Lebih dari hal itu, kurikulum diharapkan mampu
menumbuhkan pemahaman dari sisi “mengapa” dan “bagaimana” pajak. Materi
pengetahuan perpajakan yang diajarkan pada siswa didik seyogyanya harus
komprehensif tidak melulu soal kewajiban wajib pajak, tetapi lebih menekankan
layanan pemerintah kepada negara dan masyarakat. Pajak menjadi penting karena
masyarakat membutuhkan sarana publik.
Jika pemahaman perpajakan yang diharapkan untuk dipahami oleh siswa
adalah sesuatu yang bersifat filosofis sementara guru dituntut untuk mengajarkan
sesuatu yang bersifat abstrak, maka tidak dapat dipungkiri bahwa guru akan
memiliki tugas pengajaran yang tidak mudah. Mengajarkan sesuatu yang bersifat
filosofis menuntut kopetensi dan kreatifitas tersendiri. Pada tataran ini, guru
diharapkan untuk mampu menyampaikan materi dengan bahasa yang sederhana,
mudah dimengerti namun berada dalam koridor esensi yang diharapkan. Dengan
demikian, guru juga harus mampu menjelaskan hal-hal yang bersifat terapan yang
inline dengan materi filosofi yang diajarkan.
Untuk mendukung proses edukasi perpajakan yang baik dan menuju
kepada suatu kematangan pemahaman, sudah selayaknya didukung oleh fasilitas
yang secara fundamental mampu berjalan beriringan. Dalam konteks materi
perpajakan dalam kurikulum, penulis buku ajar juga pada dasarnya memiliki
pemahaman yang sama atas sasaran dan target pengajaran materi perpajakan.
Dengan demikian diharapkan adanya sinergi pemahaman dan tujuan antara
pemerintah yang memiliki kepentingan, guru yang melaksanakan proses
pengajaran serta penulis buku yang akan memfasilitasi bahan referensi siswa.
Langkah konkrit yang dapat dilakukan dengan melakukan intervensi
melalui kurikulum dalam mata pelajaran wajib bagi siswa SMA dan sederajat
dapat diusulkan dalam tahapan strategi berikut ini:
6
1) Penentuan target bahan ajar; tingkat atau kedalaman isi/kontek (content)
pengetahuan perpajakan yang diharapkan dipahami oleh masing-masing siswa
tanpa membedakan bidang keilmuan yang diminati oleh siswa.
2) Proses intervensi melalui kurikulum yang melibatkan para stakeholder atau
pihak-pihak yang berkepentingan seperti pemerintah, guru dan penulis buku.
3) Harmonisasi kebijakan yang ada dengan kebijakan yang akan dilaksanakan
terkait kurikulum serta penyusunan bentuk teknis pengimplementasian
kebijakan.
4) Sosialisasi kebijakan yang telah diperbaharui kepada pihak-pihak yang
dianggap berkepentigan serta teknis pengimplementasiannya dalam tataran
meso.
5) Implementasi kebijakan dengan penyesuaian seperlunya serta persiapan SDM
yang diperlukan serta monitoring pelaksanaan implementasi kebijakan
kurikulum terkait materi perpajakan.
6) Monitoring pelaksanaan implementasi kebijakan untuk membuat suatu
evaluasi atas kebijakan yang sedang diimplementasikan dalam rangka
penguatan untuk masa mendatang.
Terlepas dari kopetensi minat dari siswa seperti dikotomi antara IPS dan
IPA, materi perpajakan dapat menjadi mata pelajaran wajib bagi siswa. Dalam
tataran teknis pelaksanaan, mata pelajaran yang berhubungan dengan eksistensi
individu sebagai warga negara dapat diasimilasikan ke dalam mata pelajaran
kewarganegaraaan karena pada dasarnya mata pelajaran tersebut mencakup 4
(empat) pilar yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.
Dengan demikian, diharapkan siswa benar-benar mengetahui peranan mereka
sebagai warga negara. Oleh karenanya tercipta sebuah pemahaman mengenai
hubungan timbal balik antara negara dan masyarakat dalam hal pembiayaan
negara yang diwujudkan dalam bentuk pajak, bukan semata-mata pungutan wajib
yang menunjukkan otoritas negara semata. Harapannya dalam jangka panjang
akan timbul kesadaran untuk tercapai kepatuhan pajak secara sukarela (Voluntary
Tax Compliance) yang berkelanjutan.
7
1 Pendahuluan
1
Human Development Index (HDI) merupakan indikator holistik yang terdiri
komponen ekonomi berupa pendapatan nasional per kapita berdasarkan PPP, pendidikan
berupa GER (gross enrolment ratio) pada pendidikan dasar dan pendidikan yang
ditamatkan untuk sampai dengan umur 18 tahun dan tingkat kematian bayi yang
menunjukkan peningkatan yang konsisten dan terus menerus.
8
Development Index 2011, kondisi Indonesia dibandingkan negara-negara lain di
dunia adalah pada posisi terbawah dibandingkan dengan China (CHN), Malaysia
(MYS), Pilipina (PHL) dan India (IND). Hal ini menunjukkan kondisi Indonesia
(IDN) masih kalah dengan Pilipina (PHL) yang level pembangunannya hampir
sama. Namun demikian, kecepatan untuk peningkatan HDI nampaknya lamban
dibandingkan dengan kelompok negara-negara lainnya yang selevel tingkat
pembangunannya (Putranti, Handry dkk, 2012: 67-68).
UNESCO bahkan menyatakan bahwa Education Development Indeks
(EDI), Indonesia masuk ke dalam kategori medium. Berdasarkan data UNESCO
tahun 2011 yang berisi hasil pemantauan pendidikan dunia dari 127 negara, EDI
Indonesia berada pada posisi ke-69, sementara Malaysia di peringkat ke-65 dan
Brunei peringkat 34 (Okezone.com, 19 Februari 2013). Hal tersebut
mencerminkan pendidikan di Indonesia masih tertinggal dengan negara-negara
berkembang lainnya.
Tidak mengagetkan jika dalam buku Statistik Indonesia 2011 yang
diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tidak lebih dari
7% penduduk Indonesia yang bekerja yang mempunyai tingkat pendidikan
Diploma/Akademi/Universitas. Jika diperinci, hanya sekitar 4% tenaga kerja yang
berpendidikan setingkat universitas (BPS, 2011). Angka tersebut tentunya sangat
memprihatin karena pada umumnya, banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa
tingkat pendidikan mempengaruhi tingkat penghasilan dan jenis pekerjaan.
Karena itu sudah seharusnya menjadi tanggung jawab untuk meningkatkan
kuantitas penduduk yang mampu menamatkan pendidikan hingga Perguruan
Tinggi.
Upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia
saat ini, nampaknya hanya sebatas meningkatkan kualitas sarana dan prasarana
yang ada, pemerataan pendidikan dan pencapaian target standar nasional, dengan
tidak terlalu memperhatikan pembelajaran siswa akan pentingnya penanaman
karakter kebangsaan dan cinta tanah air. Mahfud MD (Kompas.com, 19 Februari
2013) menjelaskan bahwa pendidikan di Indonesia saat ini tidak mencerdaskan
masyarakat, tetapi hanya mendidik individu agar memiliki ketajaman otak atau
kemampuan berpikir. Sementara, pendidikan watak dan karakter sangat diabaikan
9
sehingga terjadi kemerosotan moral dan etika di tengah kehidupan masyarakat
Indonesia. Lebih lanjut Abbas (2012) mengatakan bahwa pengelolaan pendidikan
nasional kelihatannya gagal melahirkan anak-anak bangsa yang jujur dan
berakhlak mulia. Hal tersebut terlihat maraknya kasus penyelewangan dan
kebocoran APBN. Disamping itu, pondasi pendidikan secara nasional masih
lemah. Pelajaran yang diajarkan di bangku sekolah belum banyak mengekankan
basic learning skills dan masih rendah dari segi mentalitas (Kompas, 25/01/2012).
Bahkan Wakil Presiden Boediono (Kompas 27/082012) dengan tegas
menyebutkan, sampai saat ini kita belum punya konsepsi yang jelas mengenai
substansi pendidikan
10
melaporkan pajak dilakukan sendiri. Keberhasilan penerapan self assessment
system tentunya perlu didukung dengan sifat positif dari masyarakat, yaitu berupa
kepatuhan. Namun, pada kenyataannya kepatuhan inilah yang menjadi
permasalahan dalam pemungutan pajak di Indonesia. Sebagai gambaran tingkat
kepatuhan wajib pajak dalam rangka mematuhi kewajiban Pajak Penghasilan di
Indonesia tahun 2011 dapat disimak pada tabel 1.1.
Tabel 1
Rasio Penyampaian SPT Tahunan PPh 2011
Dalam tabel, dijelaskan bahwa rasio tingkat kepatuhan wajib pajak badan
hanya sebesar 32,72%, tingkat kepatuhan orang pribadi sebesar 54,72% dan total
tingkat kepatuhan WP PPh di Indonesia pada tahun 2011 hanya 52,72%. Hal
yang sama terjadi pada tingkat kepatuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam
menyampaikan SPT Masa PPN yang juga dikategorikan masih rendah, yaitu
hanya sebesar 42%, sebagaimana tabel berikut.
Tabel 2
Rasio Penyampaian SPT Masa PPN Juni 2012
11
Sistem self assessment yang kini tengah diterapkan di Indonesia
berimplikasi bahwa penerimaan negara akan memiliki tingkat dependensi yang
tinggi terhadap kesadaran wajib pajak (voluntary compliance). Hal ini
mengandung pemikiran bahwa wajib pajak merupakan pihak yang aktif dalam
melaksanakan kewajiban perpajakannya. Informasi yang dipublikasikan oleh
Direktorat Jenderal Pajak (DitJen Pajak) bahwa tingkat kesadaran pajak di
Indonesia mencapai 58,16% pada tahun 2010, mencapai 54,15% pada tahun 2009
dan 33,08% pada tahun 2008 (Kompas, 2011).
Bagaimana upaya meningkatkan kepatuhan yang dilakukan secara sadar
merupakan suatu permasalahan klasik yang belum berakhir. DitJen Pajak telah
melakukan berbagai upaya seperti (i) melakukan kegiatan sosialialisasi, (ii)
pendekatan persuasif, (iii) jemput bola, (iv) pelayanan yang lebih baik (v)
penegakan hukum. Termasuk mengajak tokoh-tokoh bangsa dan
masyarakat untuk menjadi panutan dalam melaporan SPT Tahunan PPh-nya
(pajak.go.id, 3 Maret 2013). Namun, semua hasil ini masih belum dapat
meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Hingga saat ini,
fakta-fakta mengenai keadaan DitJen Pajak (2012):
a. Populasi orang pribadi di Indonesia sekitar 240 juta jiwa dan jumlah badan
usaha (belum termasuk usaha mikro) adalah 22,6 juta badan usaha
b. Angkatan kerja berkisar sekitar 110 juta jiwa dan jumlah badan usaha aktif
adalah (di luar usaha mikro) adalah 12,9 juta badan usaha
c. 8,7 juta orang pribadi menyampaikan SPT Tahun 2011 dan 466 ribu
perusahaan melaporkan SPT Tahunan 2010
d. Rasio penyampaian SPT terhadap populasi untuk orang pribadi adalah 3,5%
sedangkan untuk badan usaha/perusahaan adalah sebesar 2,1%
e. Rasio penyampaian SPT terhadap WP orang pribadi terdaftar adalah 7,73%
sedangkan untuk badan usaha/perusahaan adalah sebesar 3,6%
f. Kontribusi UMKM dalam PDB adalah sebesar 61,9%
g. Kontribusi Wajib Pajak Besar dalam PBD adalah sebesar 38,1%
h. Penerimaan PPh Badan dari sektor UMKM terhadap total PPh Badan di
bawah 3% (untuk tahun 2009).
12
Hingga saat ini, jumlah pegawai DitJen Pajak mencapai 31.544 pegawai yang
berperan dalam meningkatkan kesadaran pajak 237,6 juta orang penduduk
Indonesia. Dari jumlah tersebut 14% berperan sebagai pemeriksa, 20% sebagai
Account Representatif/AR, 34% fungsi penerima pajak dan 66% bagian non
pengawasan IT. Jika dibandingkan dengan negara maju seperti Jepang yang
berpenduduk 126 juta orang, memiliki 56 ribu pegawai pajak. Secara kasat mata,
DitJen Pajak (2012) meyakini bahwa upaya pengedukasikan perpajakan akan
lebih mudah karena didukung oleh sumber daya yang memadai.
Selain melalui upaya socialization related, upaya peningkatan kepatuhan
yang dilakukan oleh DitJen Pajak lebih menekankan kepada sanksi baik berupa
sanksi administrasi, dengan dan bunga. Hal tersebut terlihat dari pengadopsian
perubahan Undang- Undang Nomor 16 tahun 2000 menjadi Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Pada UU KUP Tahun 2000 terdapat 12 jenis sanksi perpajakan sementara pada
perubahannya yakni UU KUP Tahun 2007 menjadi 23 jenis sanksi. Namun, jika
bercermin terhadap kondisi saat ini, menyitir pendapat Jatmiko, dkk (Jatmiko,
2006; Trivedi & Shera, 2005; Doran, 2009) hal tersebut masih dapat dianggap
sebagai suatu solusi yang baik dalam rangka mengubah kultur masyarakat
Indonesia agar semakin sadar pajak (Damayanti, 2012).
Jika pemerintah menginginkan suatu sistem yang sejalan dengan semangat
sistem self assessment, pemerintah seyogyanya membuat berbagai upaya yang
mendorong terciptanya kepatuhan sukarela (voluntarity tax compliance), bukanlah
suatu sistem yang mengutamakan pemaksaan (enforcement). Untuk menjawab itu
maka sudah selayaknya hal tersebut didukung dengan aparat pajak yang
berkualitas, profesional dan mendukung program yang diupayakan oleh DitJen
Pajak.
Salah satu faktor kurangnya kesadaran masyarakat Indonesia dalam
membayar pajak adalah minimnya pengetahuan masyarakat terhadap pajak,
sehingga banyak wajib pajak yang tidak melakukan kewajiban perpajakannya
dengan baik dan benar. Bahkan Fuad Rahmany, Direktur Jenderal Pajak mengakui
bahwa pengetahuan masyarakat soal pajak masih minim. Hal inilah menjadi salah
13
satu faktor rendahnya kesadaran masyarakat untuk membayar pajak (Jurnas.com,
27 Februari 2013).
Peningkatan kesadaran dan kepatuhan pajak dapat dilakukan melalui jalur
pendidikan yang terencana dengan baik. Hal tersebut dapat direalisasikan melalui
pengenalan pengetahuan pajak sejak dini. Dengan demikian, generasi muda
mempunyai pemahaman dan pengetahuan pajak yang baik. Hal ini senada dengan
yang disampaikan oleh Rahmani agar pajak dapat masuk dalam materi kurikulum
sekolah sebagai salah satu upaya menyadarkan kewajiban membayar pajak bagi
warga negara (rajawalinews.com, 27 Februari 2013). Namun, kesadaran pajak saja
bukanlah hal yang cukup, melainkan kesadaran tersebut harus berdampak positif
dalam kegiatan pembangunan negara yang seharusnya menjelma menjadi budaya
sadar pajak. Salah satu upaya DitJen Pajak dalam bentuk pembelajaran pajak yang
adalah penyelenggaraan pelatihan perpajakan bagi guru mata pelajaran Ekonomi,
Kewirausahaan dan Akuntansi SMK dan SMA walaupun masih terbatas di
wilayah DJP Jawa Tengah II (www.pajak.go.id, 2012).
Di negara maju, seperti Amerika Serikat pemahaman perpajakan telah
dilakukan sejak masyarakat berada di bangku sekolah (Michigan Local
Government State Elementary School, 2003). Meskipun tingkat kedalaman dan
keluasan kurikulum tersebut hanya sebatas bagaimana pemerintah menyediakan
layanan publik, namun informasi tersebut dapat terinternalisasikan di dalam
pikiran anak didik. Tidak hanya di negara maju seperti di Amerika Serikat, negara
berkembang seperti Brazil juga telah menerapkan pendidikan pajak di sekolah-
sekolah milik pemerintah sejak tahun 2004. Bahkan di negara bagian Brazil yaitu
Sao Paulo, telah terdapat sekitar 518 sekolah yang mengadopsi mata kuliah
perpajakan dalam kurikulumnya (Suradi, 2005).
Dengan memberikan pemahaman yang baik mengenai pentingnya pajak
dalam kegiatan pemerintahan serta bermanfaat bagi layanan masyarakat, hal ini
akan mendorong sikap positif yang akan tertanam bagi anak-anak tentang
tanggung jawab setiap warga negara kepada negaranya. Keberhasilan dalam
memulai proses edukasi yang berkelanjutan saat ini akan menjadi cikal bakal
terwujudnya masyarakat sadar pajak di masa mendatang. Asumsinya jika setiap
individu sadar atas hakekat kewajiban pajak sejak dini maka akan tercapai budaya
14
untuk sukarela membayar pajak dan kesadarannya untuk mendukung
pembangunan Negara. Sehingga yang terpenting adalah memberikan pemahaman
bagaimana fungsi pemerintah dalam negara. Belajar pengetahuan perpajakan itu
harus komprehensif tidak melulu soal kewajiban tetapi layanan pemerintah
kepada negara dan masyarakat. Pajak menjadi penting karena masyarakat
membutuhkan sarana publik. Jadi intinya pembelajaran pajak itu merupakan satu
kesatuan (Machfud Sidik, 2013).
Sebagai langkah konkret atas upaya ini, dapat diwujudkan dengan
mengasimilasikan pengetahuan perpajakan ke dalam kurikulum pendidikan. Hal
tersebut akan berjalan lebih efektif jika guru dan pihak yang berperan dalam
penerbitan buku-buku pelajaran sekolah (termasuk para penulis buku ajar) sudah
memiliki pemahaman yang mumpuni mengenai perpajakan. Dengan demikian
merupakan suatu hal yang perlu jika pendidikan pajak pada usia dini dilakukan
dengan mengedukasi tenaga pendidik dan pemangku kepentingan lainnya melalui
berbagai kegiatan dan bentuk kegiatan edukasi lainnya.
Langkah pertama untuk mewujudkan hal tersebut di atas antara lain
dengan melakukan pemantapan terhadap kurikulum pengetahuan pajak dan bahan
ajar. Pada kurikulum saat ini, di tingkat Sekolah Dasar (SD) pengetahuan dasar
perpajakan belum tersentuh. Pada tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP)
pengetahuan perpajakan telah dimasukan dalam kurikulum kelas 8 mata pelajaran
IPS dengan standar kompetensi Kegiatan Perekonomian Indonesia. Siswa
diharapkan dapat mendeskripsikan fungsi pajak dalam perekonomian nasional.
Adapun materi yang tecakup dalam standar kompetensi tersebut antara lain
pengertian, prinsip dan sistem pemungutan pajak KUP, tarif pajak, klasifikasi
pajak, jenis pajak (PPh/PPN/PPnBM/PBB/ Materai) dan contoh perhitungan, serta
fungsi pajak. Sementara pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat,
pengetahuan pajak dimasukan dalam kurikulum ekonomi kelas 11 pada mata
pelajaran IPS Ilmu Ekonomi dengan standar kompetensi Keuangan Negara. Siswa
diharapkan dapat mengidentifikasikan sumber-sumber penerimaan pemerintah
pusat dan daerah. Adapun materi yang tercakup dalam standar kompetensi
tersebut antara lain penerimaan negara berupa penerimaan pajak, Pajak Daerah,
Bagi Hasil Pajak.
15
Melalui kajian awal ini, untuk tujuan jangka pendek, dilakukan kajian
penguatan pengetahuan perpajakan bagi siswa didik (studi kasus pada SMA dan
sederajat di Provisi DKI Jakarta). Termasuk pemetaan terhadap Kurikulum,
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Perpajakan dalam pelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial. Kajian ini dibatasi pada tingkat Sekolah Menengah Atas dan
sederajat di Provinsi DKI Jakarta dan sekitarnya. Diharapkan dalam jangka
panjang dapat memberikan rekomendasi terhadap penyempurnaan kurikulum
yang berisi muatan pengetahuan pajak yang merupakan kerjasama Kementrian
Keuangan dengan Kementrian Pendidikan Nasional. Hal ini merupakan bentuk
investasi jangka panjang pemerintah untuk mempengaruhi perilaku generasi muda
yang sadar pajak dan kelak akan menjadi wajib pajak yang patuh dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya.
16
3 Kajian Literatur
17
151). Menyitir pendapat Puspitasari yang dikutip dari Nasucha (2004, 131),
kepatuhan wajib pajak pada dasarnya dapat digolongkan dalam 2 (dua) bagian
besar. Pertama, kepatuhan paksaan (compulsory compliance) dan konsensus
(voluntary compliance). Kepatuhan paksaan berarti orang akan mematuhi hukum
karena adanya unsur paksan dari kekuasaan yang bersifat legal dari penguasa.
Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa paksaan fisik sebagai monopoli penguasa
adalah dasar tercipta suatu ketertiban untuk tujuan hukum. Jadi, menurut teori
paksaan, unsur paksaan merupakan faktor penyebab orang-orang mematuhi
hukum. Pada teori konsensus, dasar ketaatan hukum terletak pada penerimaan
masyatakat terhadap suatu sistem hukum yaitu dasar legalitas hukum. Teori inilah
yang sejalan dengan upaya mewujudkan kepatuhan sukarela wajib pajak
(Voluntary Tax Compliance). Kepatuhan sukarela (voluntary compliance) ini
timbul karena wajib pajak sadar akan fungsi pajak dan menyadari kewajiban
mereka sebagai warga negara.
Idealnya kepatuhan perpajakan yang diinginkan adalah kepatuhan wajib
pajak secara sukarela yang dikenal dengan Voluntary Tax Compliance.
“Kepatuhan Wajib Pajak yang disebabkan dari rasa takut pada sanksi atau
hukuman merupakan kepatuhan yang bersifat semu dan akan mengurangi manfaat
dari penerapan sanksi. Apabila sanksi ditegakkan terhadap Wajib Pajak yang
melanggar ketentuan realisasi Law Enforcement akan mendorong Wajib Pajak
lain untuk memenuhi kewajiban perpajakannya, karena khawatir mengalami hal
yang sama. Namun, jika sanksi tidak ditegakkan lagi, mungkin kadar kepatuhan
Wajib Pajak akan menurun, bahkan sama sekali tidak patuh.” (Rosdiana dan
Irianto, 2012, h.19)
Voluntary Tax Compliance timbul dari kesadaran wajib pajak sebagai
warga negara untuk berperan serta dalam pembangunan negara. Konsep utama
dari Voluntary Tax Compliance adalah kesadaran wajib pajak. Kesadaran pajak
menurut Muliari sebagaimana dikutip oleh Dewinta dan Syafruddin adalah suatu
kondisi dimana seseorang mengetahui, mengakui, menghargai, dan menaati
ketentuan perpajakan yang berlaku serta memiliki kesungguhan dan keinginan
untuk memenuhi kewajiban perpajakannya (Dewinta dan Syafruddin, 2012, h.12).
Sehingga kesadaran pajak dapat dikatakan sebagai dorongan alam bawah sadar
18
wajib pajak untuk mengetahui dan mengerti dalam mentaati ketentuan perpajakan
yang berlaku. Sejatinya penciptaan voluntary tax compliance merupakan hal yang
diinginkan, tetapi dalam praktiknya hal ini tentu sangat sulit untuk diterapkan.
Diperlukan upaya-upaya menyeluruh dan usaha yang keras dari fiskus.
Selanjutnya Rosdiana menekankan bahwa kepatuhan sukarela hanya akan
terbangun jika fungsi-fungsi pemerintah dilaksanakan sungguh-sungguh, sesuai
dengan prinsip good governance. Pada dasarnya tidak ada manusia yang ingin
dikenakan pajak, tetapi kesadaran, pemahaman akan pentingnya pajak serta
adanya bukti positif yang ditunjukkan pemerintah-antara berupa keamanan,
pelayanan publik yang lebih baik, tersediannya barang publik, kesejahteraan
rakyat akan membuat rakyat lebih rela untuk membayar pajak.” (Rosdiana dan
Irianto, 2012, h.20),
Pendapat Loo (2006) yang dikutip oleh Palil bahwa sistem self assessment
secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai sistem yang dibangun untuk
menciptakan efisiensi administrasi dan kesadaran suka rela. Prinsip self
assessment dideskripsikan sebagai berikut:
“...based on declared mission and objective of self assessment from
various countries who have adopted the system to date, it seems that
voluntary compliance, administrative efficiency and improving fairness
and equity are the key motivating factors for introduction self assessment
system..”
Dalam sistem self assessment, kepatuhan yang diharapkan adalah kepatuhan yang
bersifat sukarela (voluntary tax compliance), bukan kepatuhan yang dipaksakan.
Perspektif hukum menurut Soerjono Soekanto yang dikutip oleh Puspitasari,
kepatuhan mengandung 4 proses utama, yaitu:
1) Indoctrination, yaitu orang mematuhi hukum karena diindoktrinasi untuk
berbuat seperti yang dikehendaki oleh kaidah hukum tersebut. Kegiatan ini
umumnya terjadi melalui proses sosialisasi sehingga mengetahui dan
mematuhi kaidah hukum tersebut.
2) Habituation, yaitu sikap lanjut dari proses sosialisasi, jika proses sosialisasi
dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang akan menjadi suatu
kebiasaan.
19
3) Utility, yaitu orang cenderung akan berbuat sesuatu karena memperoleh
manfaat dari sikap yang dilakukannya. Orang akan mematuhi hukum karena
merasakan kegunaan hukum untuk menciptakan keadaan yang diharapkan.
4) Group Identification, yaitu kepatuhan hukum berdasarkan pada kebutuhan
untuk mengadakan identifikasi dengan kelompok sosialnya. Kepatuhan
terhadap hukum dianggap merupakan sarana yang paling tepat untuk
mengadakan identifikasi tersebut.
20
Studi yang dilakukan oleh Berhane (Berhane, 2011) atas sejumlah siswa
semester terakhir di Mary School Addis Ababa, Ethiopia untuk mengetahui
hubungan antara apakah pendidikan mempengaruhi tingkah laku masyarakat
untuk memiliki kesadaran pajak (tax complience). Dalam studi tersebut Berhane
meminjam konsep Mohani (Mohani, 2001) untuk membuat suatu pengukuran
bahwa dalam peningkatan kesadaran perpajakan bahwa selain dari pengetahuan
perpajakan juga mengenai seberapa yakin individu tersebut memiliki kewajiban
pajak. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kesadaran pajak dipengaruhi
oleh pengetahuan perpajak melalui proses pendidikan.
Studi yang sejenis dilakukan oleh Amilin dan Yusnorillah (2009)
mengenai tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan pengetahuan perpajakan
terhadap motivasi untuk membayar pajak. Dalam penelitian tersebut ditemukan
bahwa pada dasarnya tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan tidak berpengaruh
terhadap motivasi untuk membayar pajak. Seharusnya semakin tinggi tingkat
pendidikan wajib pajak diharapkan semakin termotivasi untuk membayar pajak.
Selain itu, bagi wajib pajak yang berstatus karyawan diperoleh bahwa pada
dasarnya karyawan tidak mengetahui mekanisme administrasi perpajakan karena
pada dasarnya pemberi kerja telah melakukan pemotongan pajak sebelum
karyawan memperoleh penghasilan. Amilin dan Yusnorillah memberikan
rekomendasi berdasarkan berbagai tanggapan yang diperoleh ketika
mengumpulkan data bahwa pemberikan edukasi perpajakan bagi masyarakat
merupakan hal yang cukup penting.
Palil (2010) dalam studi yang berjudul Tax Knowledge and Tax
Complieance Determinants in Self Assesment System in Malaysia, menyitir
pendapat Eriksen dan Fallan bahwa pengetahuan mengenai fiskal berhubungan
erat dengan perilaku mengenai perpajakan,”...fiscal knowledge correlates with
attitude toward taxation and that tax behaviour can be improved by better
understanding of tax laws”. Selain itu, Palin mengutip pendapat Kirchler (Kirchler
et.al 2008) yang menekankan bahwa tax knowledge in individual tax payer is also
positive related to tax compliance.
Berbagai program mengenai informasi publik telah menjadi bahan ajar di
berbagai institusi pendidikan di Amerika Serikat, kegiatan usaha milik sendiri
21
(individual self business dan self employed) melalui mata pelajaran tertentu,
training, workshop sesuai dengan kebutuhan target peserta. Kegiatan tersebut
dipimpin oleh The Tax Payer Advocate Service, suatu badan independen yang
berkoordinasi dengan IRS (otoritas pajak). Hal yang sejenis juga telah dilakukan
di Australia yang dikenal dengan program Teaching Tax with Tax Files yang
diperkenalkan sejak 1998 bagi siswa yang berumur 9-12 tahun (Piller 2011, ATO,
2009).
Permasalahan yang muncul di berbagai kalangan tenaga pengajar ketika
mengajarkan materi perpajakan adalah bahwa materi perpajakan dianggap sesuatu
yang hal yang sulit karena selain berbicara masalah konseptual yang komplek
juga berhubungan dengan masalah teknis yang cukup rumit. Harrington, dkk
(Harrington, Drougras, Secker, 2011) mengutip pendapat Jones dan Duncan
(1995) bahwa untuk mengajarkan materi perpajakan bagi pelajar harus dilakukan
dengan pendekatan baru yaitu menekankan pada isu terkini dan tidak berfokus
kepada detail peraturan-peratura terkait tax complience.
Dalam pengajaran mata pelajaran perpajakan di Australia, dilakukan
dengan cara yang innovatif dengan menggunakan multimedia tax education yang
terdiri dari CD ROM dan hardcopy file yang berisi informasi mengenai
perpajakan terkini. Tujuan program ini adalah diharapkan siswa memiliki
kesadaran mengenai sumber penerimaan negara, bagaimana perimaan tersebut
direalokasikan, tanggung jawab wajib pajak, serta bagaimana peranan pajak dalam
kehidupan masyarakat.
Model Tax Curriculum (MTC) yang direvisi pada tahun 2007 oleh
Taxation Association and American Institute of Certified Public Accountant
(AICPA) memberikan ruang terhadap berbagai munculnya paradigma yang
menjadi penekanan oleh masing-masing sekolah sesuai dengan visi yang diemban
oleh sekolah tersebut. Dengan kata lain, dalam menyusun kurikulum tersebut
pengurus sekolah dapat memilih bagian dari perpajakan yang disesuaikan dengan
target outcome sekolah (Harrington, Drougras, Secker, 2011). Ketika menerapkan
kurikulum ini, siswa menggunakan perangkat teknologi untuk mempermudah
proses pembelajaran.
22
Salah satu indikator yang dapat membuat rakyat rela membayar pajak
adalah pemahaman akan pentingnya pajak. Hal ini serupa dengan pendapat
beberapa ahli antara lain Hyun dan Eriksen. Menurut Hyun sebagaimana dikutip
oleh Nicoleta “many non-economic factors which effect tax compliance are, the
willingness to pay for public provision, public education, tax morale, etc.”
(Nicoleta, 2011, h.1). Pentingnya pendidikan sebagai faktor yang mendukung sifat
wajib pajak menuju kepatuhan secara sukarela (voluntary tax compliance) juga
dijelaskan oleh Eriksen dan Fallan sebagaimana dikutip oleh Palil dan Mustapha
“Knowledge about tax law is assumed to be of more importance for preferences
and attitudes towards taxation.” (Palil dan Mustapha, 2011, h.2). Hal senada
mengenai pendidikan wajib pajak juga disampaikan oleh Soemitro, bahwa secara
umum dapat dikatakan bahwa makin tinggi pendidikan wajib pajak, maka makin
mudah pula bagi mereka untuk memahami peraturan perpajakan. Wajib Pajak
yang sudah memahami peraturan perpajakan termasuk memahami sanksi
administrasi dan pidana fiscal, diharapkan akan memenuhi kewajiban
perpajakannya. Oleh karena itu dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak,
selain faktor dari fiskus, faktor internal dalam diri wajib pajak juga penting yaitu
pengetahuan perpajakan. Pendidikan perpajakan dapat memberikan pengetahuan
kepada masyarakat akan pentingnya pajak terhadap pembangunan bangsa.
Survey yang dilakukan terhadap target grup orang muda berusia antara 16
– 20 tahun di Swedia terhadap pernyataan sebagai berikut: "Saya pikir tidak apa-
apa untuk menghindari pajak jika saya mendapatkan kesempatan." Dari sekitar
500.000 orang, jumlah orang yang setuju, dengan pernyataan itu pada tahun 2002
sebanyak 21%, sementara pada tahun 2001 yang setuju sebanyak 25%. Hasil
survey menunjukan peningkatan sikap positif dari kelompok muda di Swedia
(Mats Sjostrand at G25 meeting, Dublin Castle, Ireland, 14 April 2004, On
Influencing Taxpayer Behavior to Influence Taxpayer Compliance)
Survey tersebut dilakukan setelah pemerintah Swedia melakukan
kampanye untuk mempengaruhi sikap dan perilaku orang-orang muda.
Kecenderungan orang muda adalah membangun kebiasaan dan akan
mempertahankan kebiasaan mereka hingga dewasa. Oleh karena itu
pengembangan nilai-nilai cenderung dibentuk dari waktu ke waktu. Pemerintah
23
Swedia memulai kampanye yang bertujuan mengubah sikap orang-orang muda
dengan berkomunikasi secara langsung dengan gaya bahasa mereka.
Kampanye dimulai pada tahun 2002 dan tujuannya adalah untuk mempengaruhi
sikap orang-orang muda terhadap penggelapan pajak. Langkah pertama adalah
untuk mendidik kaum muda bagaimana pajak dibelanjakan. tujuannya adalah
untuk tidak membuat propaganda moral, tetapi untuk mendorong orang muda
untuk berbicara dan berpikir tentang pajak untuk dapat membuat keputusan
sendiri tentang apa yang secara moral benar dan salah. Kampanye berjalan selama
3 tahun.
Kegiatan yang dilakukan pada tahun kedua dari kampanye (tahun 2003) meliputi:
• Sebuah film iklan baru dalam cenemas yang bertujuan untuk menunjukkan
sebuah masyarakat di mana hanya orang-orang yang telah membayar pajak
yang benar akan berhak atas manfaat publik.
• Stiker kecil dengan pesan "dibayar oleh Anda" dikirim ke Kotamadya untuk
ditempelkan di bangku taman, tempat sampah, sekolah dan objek serupa yang
telah dibayar oleh pajak. Poscards dikirim ke semua orang dalam kelompok
sasaran dengan pesan yang sama.
Dari hasil survey terhadap kampanye di Swedia ini menunjukan telah sukses di
kalangan anak muda antara lain ditunjukan dalam data sbb:
• 90% melihat kampanye
• 50% telah membahas pajak dengan teman-teman atau orang tua
• Lebih dari 50% telah melihat film pertama (sekitar 5 kali) dan 78% ingin
melihatnya lagi
• Film menciptakan nilai positif tentang otoritas pajak dan pajak itu sendiri.
25
meeting common objective..” Evaluasi kebijakan berupa evaluasi empiris atas
dampak dari suatu kebijakan yang sedang berlangsung melalui berbagai program
untuk mencapai tujuan yang ditargetkan. Dampak dari kebijakan harus dapat
dilihat secara nyata meliputi (i) dampak bagi target grup, (ii) dampak bagi pihak
yang lebih luas dari target grup, (iii) dampak jangka panjang dan dampak saat ini,
(iv) biaya langsung untuk melaksanakan berbagai program (v) biaya tidak
langsung termasuk opportunity cost.
Dalam melakukan evaluasi kebijakan, maka hal-hal yang perlu
diperhatikan (Dye, 2002, 313):
a. Pengukuran atas dampak, bukan sekedar output. Dalam evaluasi
kebijakan, hal yang perlu diperhatikan bukan sekedar program-program
yang telah dilakukan pemerintah, melainkan dampak kebijakan yang
dilihat dari perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
b. Target grup. Target grup merupakan suatu populasi dalam masyarakat
dimana suatu kebijakan diimplementasikan. Dalam proses evaluasi
kebijakan, perubahan yang terjadi pada target grup merupakan bagian
yang sangat penting.
c. Non target grup. Kebijakan pemerintah memiliki dampak yang berbeda
dalam segmen yang berbeda. Namun, non target grup dapat memberikan
respon atas kebijakan yang diterapkan.
d. Short term dan long term effect. Hal ini menyangkut apakah kebijakan
tersebut didesain untuk mengatasi permasalahan dalam jangka pendek atau
untuk jangka panjang. Sebagaian besar kebijakan yang dihasilkan hanya
mampu menghasilkan dampak positif dalam jangka pendek.
e. Net benefit and cost. Mengetahui biaya langsung yang dikeluarkan atas
suatu program merupakan hal yang sangat penting. Hal ini sangat penting
bagi jangka pendek dan jangka panjang.
f. Indirect benefit and cost. Pada kenyataannya, pemerintah hanya
menghitung biaya langsung untuk mengimplementasikan program dan
sangat sulit untuk menghitung biaya tidak langsung yang dikeluarkan.
26
3.3 Konsep Pendidikan
28
dan perilaku siswa (Rosyada, 2004, h.29). Adapun ketiga variable yang menjadi
bagian integral dari hidden curriculum antara lain (Rosyada, 2004, h.29-32)
1) Variabel Oraganisasi, yakni kebijakan penugasan guru dan
pengelompokkan siswa untuk proses pembelajaran, yang dalam
konteks ini ada empat isu, yakni team teaching, kenaikan kelas,
pengelompokkan siswa berdasarkan kemampuan, dan pemfokusan
kurikulum.
2) Variabel system sosial, yakni suasana sekolah yang tergambar dari
pola-pola hubungan semua komponen sekolah.
3) Variabel budaya, yakni dimensi sosial yang terkait dengan system
kepercayaan, nilai-nilai dan struktur kognitif.
29
yang dilakukan dalam waktu tertentu dan tidak dipolakan untuk menyesuaikan
kepada kepentingan pengumpulan data.
Dalam pengumpulan data, peneliti melakukan studi literatur (library
research) mengenai penelitian terkait serta peraturan pemerintah mengenai
kurikulum. Selain itu, untuk mengetahui keadaan terkini mengenai gambaran
kurikulum siswa terkait materi perpajakan maka dilakukan studi kepustakaan serta
diskusi. Guna mendapat gambaran mengenai kebijakan kurikulum dan
implementasi pengajaran pengetahuan perpajakan pada para peserta didik, peneliti
melakukan wawancara dengan beberapa narasumber. Nara sumber mewakili
akademisi, pemerintah antara lain:
1) Akademisi - Dr. Machfud Sidik, M.Sc
2) Akademisi - Prof.Dr.Gunadi, Ak, M.Sc
3) Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Kapuskurbuk ) Kementrian
Pendidikan – Dr. Ramon Mohondas
4) Kasi Kurikulum dan Penilaian Bidang SMP/SMA Dinas Pendidikan
Provinsi DKI Jakarta – Drs. Budiyanto, M.Pd
5) Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum dan Guru IPS Ekonomi SMA
Negeri 8 Jakarta
6) Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum dan Guru IPS Ekonomi SMA
Negeri 1 Megamendung Bogor
7) Guru SMA Putra Bangsa Depok
8) Guru SMK Negeri 22 Jakarta
9) Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum dan Guru Kewirausahaan SMK
Negeri 24 Jakarta
10) Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum dan Guru IPS Ekonomi SMA
Islam PB Sudirman Cijantung Jakarta
11) Kepala Sekolah dan Guru Ekonomi SMA Negeri Unggulan MH Thamrin
Jakarta
12) Guru MA Darussa’adah Jakarta
13) Guru SMA Negeri 55 Jakarta
30
Untuk menghasilkan pemahaman yang menyeluruh peneliti melakukan
survey kepada 160 siswa didik yang mewakili 8 (delapan) SMA sederajat di
Jakarta, Depok dan Bogor. Responden siswa didik diminta untuk mengisi
pertanyaan terbuka untuk mendapatkan gambaran mengenai pemahaman siswa
terhadap hakekat dan manfaat dari pajak. Untuk melengkapi analisa, hasil
penelitian sementara kemudian didiskusikan dalam forum diskusi panel dengan
beberapa narasumber pada tanggal 20 sd 22 Maret 2013 pada Workshop Tax
Dissemination Through Formal Education: Understanding Opportunities and
Challenges yang diselenggarakan oleh P2Humas Direktorat Jenderal Pajak di
Jakarta.Workshop tersebut dihadiri oleh akademisi, pemerintah (DitJen Pajak dan
Diknas Pendidikan), dan tim pengajar mata pelajaran IPS dari berbagai SMA di
Jakarta.
Teknik analisis data dilakukan dengan teknik analisis data kualitatif yaitu
mengorganisasikan data, memilah-milahnya dalam satuan yang dapat dikelola,
mensintetiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting
dan apa yang dipelajari, serta memutuskan apa yang dapat dipelajari, serta
memutuskan apa yang dapat dideskripsikan kepada orang lain (Meleong, 2004).
Dalam menjawab permasalahan penelitian, peneliti membatasi fokus
pembahasan, yaitu:
a. Kebijakan kurikulum yang diteliti adalah kurikulum IPS khusunya mengenai
pengetahuan perpajakan.
b. Kurikulum yang dievaluasi adalah pada tingkat pendidikan Sekolah Menengah
Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan MA. Studi Kasus SMA
Sederajat di Jakarta.
32
b. meningkatkan, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai kebangsaan dan
cinta tanah air;
c. mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi;
d. meningkatkan kepekaan dan kemampuan mengapresiasi serta
mengekspresikan keindahan, kehalusan, dan harmoni;
e. menyalurkan bakat dan kemampuan di bidang olahraga, baik untuk
kesehatan dan kebugaran jasmani maupun prestasi; dan
f. meningkatkan kesiapan fisik dan mental untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang pendidikan tinggi dan/atau untuk hidup mandiri di masyarakat.
Sementara, pendidikan menengah kejuruan berfungsi:
a. meningkatkan, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai keimanan, akhlak
mulia, dan kepribadian luhur;
b. meningkatkan, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai kebangsaan dan
cinta tanah air;
c. membekali peserta didik dengan kemampuan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta kecakapan kejuruan para profesi sesuai dengan kebutuhan
masyarakat;
d. meningkatkan kepekaan dan kemampuan mengapresiasi serta
mengekspresikan keindahan, kehalusan, dan harmoni;
e. menyalurkan bakat dan kemampuan di bidang olahraga, baik untuk
kesehatan dan kebugaran jasmani maupun prestasi; dan
f. meningkatkan kesiapan fisik dan mental untuk hidup mandiri di masyarakat
dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi.
33
kesadaran siswa mengenai pentingnya komitmen kebangsaan dimana siswa akan
diajarkan mengenali nilai dan norma yang dianut dalam kehidupan bernegara.
Pembelajaran pola interaktif dalam kelas yang beragam seperti diskusi, debat dan
mendemonstrasikan suatu peranan kelompok tertentu merupakan suatu upaya
yang cukup baik untuk mencapai target pembelajaran yang diinginkan. Target
kurikulum yang berstandar pada kompetensi dasar merupakan alat ukur
pencapaian. Selain itu, adanya evaluasi dapat menjadi sarana untuk memahami
seberapa besar dan seberapa baik siswa telah memahami dan menghayati nilai-
nilai.
Dalam konteks sosialisas perpajakan melalui proses pembelajaran formal
di kelas, proses internalisasi nilai atau norma ini memiliki kelebihan-kelebihan
dibandingkan dengan agen sosial lainnya. Melalui mata pelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial, siswa dapat menerima sosialisasi secara langsung karena
kompetensi dasar mata pelajaran tersebut memuat kompetensi dimana siswa
diharapkan untuk benar-benar memahami dalam mencapai suatu target yang
ditetapkan dalam kurikulum. Selain itu, proses komunikasi yang efektif dapat
dilakukan melalui proses pembelajaran di kelas. Dengan demikian, nilai dan
norma yang disampaikan akan dapat dipahami oleh siswa dan hal tersebut akan
bertahan lebih lama dibandingkan dengan agen sosial lainnya.
Merujuk pasal 1 ayat (10) Undang-undang nomor 20 tahun 2003 Sistem
Pendidikan Nasional, ditetapkan bahwa jalur pendidikan sekolah/formal
merupakan jalur pendidikan terstruktur dan berjenjang. Oleh karenanya, terdapat
suatu landasan bahwa transfer pengetahuan perpajakan yang dilakukan di sekolah
oleh guru akan sesuai dengan tingkat kemampuan siswa untuk memahami. Jika
dibandingkan dengan suatu proses pembelajaran yang dilakukan oleh agen sosial
lainnya, dapat saja hal tersebut tidak berjalan dengan efektif karena proses
pembelajaran tersebut tidak terstrukur, komunikasi kurang efektif, terdapat
kemungkinan transfer pengetahuan yang tidak berjenjang serta tidak bertahap dan
hanya dilakukan seketika dalam rangka pemenuhan pelaksanaan suatu program.
Selain itu, sekolah mempunyai peranan yang fundamental dalam proses
pembelajaran pada peserta didik yang sesuai dengan proses perkembangan
individu. Individu yang memiliki tingkat edukasi yang baik akan menyadari
34
peranan dan pengaruh pemerintah terhadap tatanan kehidupannya. Sekolah akan
memberikan pengetahuan mengenai perpajakan dan peranan siswa didalamnya
nantinya. Sekolah dapat menjadi saluran pewarisan nilai dan sikap masyarakat.
35
5) Menyeluruh dan berkesinambungan
6) Belajar sepanjang hayat
7) Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah
36
Suatu hal yang dianggap baru dalam kurikulum yang akan
diimplementasikan pada tahun 2013 ini adalah bahwa buku wajib untuk siswa
akan disiapkan bersamaan dengan buku untuk guru/pengajar. Buku yang
disiapkan untuk guru dimaksudkan untuk melatih guru sebelum mengajar dan ini
merupakan kebijakan baru dalam kurikulum 2013. Secara paralel pda saat guru
dilatih maka buku bahan ajar bagi siswa akan dicetak dan didanai oleh
pemerintah untuk dibagikan kepada siswa didik
Pembelajaran muatan pajak pada kurikulum saat ini masih mengacu pada
kurikulum tahun 2006 yang hanya dimuat pada mata pelajaran ekonomi. Mata
pelajaran ekonomi merupakan mata pelajaran mengenai perilaku dan tindakan
manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan mengelolah sumber daya yang
ada melalui kegiatan produks, distribusi dan konsumsi. Khususnya pada
kurikulum kelas XI SMA semester 1 (ganjil) standar kompetensi, kompetensi
dasar dan indikator pencapaian kompetensi dapat digambarkan sebagai berikut.
ALOKASI
STANDAR
SMT KOMPETENSI DASAR WAKTU
KOMPETENSI
(JP)
1.1 Mengklasifikasi
6 jam
ketenagakerjaan
1. Memahami kondisi
1.
ketenagakerjaan dan 1.2 Mendeskripsikan tujuan 3 jam
dampaknya terhadap pembangunan ekonomi
pembangunan ekonomi.
1.3 Mendeskripsikan proses
3 jam
pertumbuhan ekonomi
37
ALOKASI
STANDAR
SMT KOMPETENSI DASAR WAKTU
KOMPETENSI
(JP)
1.4. Mendeskripsikan
pengangguran beserta
3 jam
dampaknya terhadap
pembangunan nasional
2.1. Menjelaskan
pengertian,fungsi,tujuan 3 jam
APBN dan APBD
2.2. Mengidentifikasi sumber-
sumber penerimaan 3 jam
2. Memahami APBN dan pemerintah pusat dan
APBD 2.3. Mendeskripsikan kebijakan
6 jam
pemerintah di bidang fiskal
38
5.3 Kurikulum dengan kompetensi dasar Perpajakan pada media
pembelajaran berupa buku ajar Ekonomi untuk SMA/MA
39
Tabel 4
Materi Pokok: Pendapatan Negara
41
Tema Bahan Ajar: Pemerintah berperan dalam kegiatan masyarakat sehari-hari
Pokok-pokok materi ajar:
1) Deskripsi dengan menggunakan contoh bagaimana pemerintah mempengaruhi
aktivitas masyarakat
2) Indentifikasi layanan yang diberikan oleh pemerintah seperti adanya
keamanan oleh polisi, adanya sekolah pemerintah, jalan raya, perpustakaan
dan terminal dan layanan publik lainnya.
Metode Pembelajaran:
1) Pemaparan dari guru mengenai peranan pemerintah dalam penyediaan layanan
publik dan siswa diminta untuk menuliskan layanan publik yang siswa didik
rasakan
2) Bermain peran (Role playing) dan pembuatan gambar layanan pemerintah
yang dirasakan oleh siswa dan yang ada di kota tersebut. Proses ini merupakan
proses penyadaran bagi siswa didik atas manfaat yang telah siswa terima.
3) Newspaper sleuths, mendistribusikan surat kabar atau majalah kepada siswa
didik dan membuat ringkasan mengenai pemerintah lokalnya atau layanan
publik yang ada di kotanya, dampak positif dari layanan pemerintah kepada
masyarakat.
4) Memberikan proses pembelajaran yang persuasif yakni bagaimana siswa didik
dapat berperan dalam membantu pemerintah untuk menyediakan layanan
publik.
5) Diskusi kelompok mengenai:
• Contoh layanan pemerintah yang paling penting bagi masyarakat.
• Contoh dan jenis layanan pemerintah yang paling sering digunakan
oleh siswa didik.
• Jenis layanan pemerintah yang tidak terlalu sering digunakan oleh
masyarakat.
• Layanan pemerintah yang sebaiknya ditambah dan diperbaiki.
• Layanan pemerintah yang paling besar biayanya untuk disediakan.
• Layanan pemerintah yang paling kecil biayanya untuk disediakan.
42
• Layanan pemerintah yang paling sering digunakan oleh orang tua
siswa didik.
• Layanan pemerintah yang paling jarang digunakan oleh pemerintah.
• Bagaimana siswa dapat membantu pemerintah untuk menyediakan
layanan umum.
Tabel 5
Perbandingan Buku Ajar Dengan Buku Teks
44
Pengetahuan perpajakan dalam buku Ekonomi karangan Alam Simorangkir ini
dijelaskan pada sub bab Pendapatan dan Pengeluaran Negara/Daerah. Dimana
dijelaskan Pendapatan (Penerimaan) negara dan hibah. Penerimaan dalam negeri
terdiri atas penerimaan perpajakan dan bukan pajak. Penerimaan pajak dibedakan
lagi menjadi penerimaan pajak dalam negeri dan penerimaan pajak perdagangan
internasional. Dalam memperluas pengetahuan penerimaan pajak dalam negeri,
buku ini juga memberikan ilustrasi Penerimaan Perpajakan dalam APBN.
Penerimaan pajak diperoleh dari penerimaan pajak dalam negeri seperti pajak
penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak bumi dan bangunan, dan penerimaan
pajak perdagangan internasional seperti bea masuk dan pajak ekspor. Dalam buku
ini tidak diilustrasikan mengenai jenis-jenis pajak daerah.
2) Buku Ekonomi karangan Wahyu Adji, Suwerdi dan Suratno untuk SMA/MA
Kelas XI
Pengetahuan perpajakan dalam buku Ekonomi karangan Wahyu Adji dan kawan-
kawan ini dijelaskan pada sub bab Komposisi APBN. Dimana dijelaskan
Pendapatan negara dan hibah. Penerimaan dalam negeri terdiri atas penerimaan
perpajakan dan bukan pajak. Penerimaan dalam negeri dapat berasal dari
45
penjualan minyak dan gas (penerimaan migas), atau bisa juga berasal dari
penerimaan non migas. Penerimaan non migas terdiri dari pajak, bea masuk, cukai
dan retribusi. Buku ini memberikan ilustrasi struktur pendapatan negara dan hibah
dalam APBN. Pada sub bab Kebijakan Fiskal Nasional, buku ini menjelaskan
berbagai macam tarif seperti tarif pajak proporsional, tarif pajak progresif, tarif
pajak regresif, tarif pajak tetap. Pengenalan macam-macam tarif tidak dikaitkan
dengan sistem penghitungan pajak, namun dalam kaitannya penjelasan konsep
penstabil otomatik dari fungsi kebijakan fiskal.
46
menarik. Biasanya setiap periode kurikulum dilakukan pengawasan ulang. Pada
kurikulun tahun 2006 yang dikenal dengan KTSP biasanya dilakukan pengawasan
oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan (PusKurBuk) Kementrian Pendidikan yang
menyangkut kedalaman kurikulum dan juga kebahasaan.
47
• Membedakan jenis-jenis pajak
• Menguraikan sistem perpajakan di Indonesia
• Menghitung pajak penghasilan
49
untuk membayar pajak yang akan dipergunakan kembali untuk melaksanakan
aktivitas organisasi tersebut dimana pada akhirnya digunakan untuk kepentingan
masyarakatnya.
Meninjam konsep perpajakan kontemporer, penyadaran akan perpajakan
dengan paradigma baru seharusnya dilaksanakan dengan berpijak pada prinsip
berikut:
1) Pajak tidak menekankan semata-mata pada pemaksaaan saja karena pada
prinsipnya pajak merupakan wujud kesadaran masyarakat dalam memberikan
kontribusi kepada negara. Model pemajakan tidak bersifat memaksa sehingga
pemungutan pajak tersebut tidak berkonotasi negatif. Hal tersebut
dimaksudkan untuk membedakan antara negara merdeka dengan negara yang
masih terjajah yang masih harus membayar pajak ke negara yang
menjajahnya.
2) Pajak akan dikembalikan kepada masyarakat sehingga seharusnya hasil
penerimaan pajak tidak semata-mata digunakan untuk membayar hutang atau
menutup defisit anggaran.
3) Pembayar pajak mendapat manfaat terutama akses dari pemerintah baik akses
ekonomi maupun informasi.
4) Pajak menggunakan ukuran manfaat yang nyata dirasakan oleh masyarakat
misalnya subsidi pendidikan dan pembangunan infrastruktur.
Pelaksanaan administrasi perpajakan yang didasarkan pada paradigma diatas
sejatinya akan mendorong terciptanya kesadaran pajak yang bersifat sukarela atau
voluntarily tax complience sehingga sistem perpajakan yang mengaplikasikan self
asessment system dapat dilaksanakan.
Jika bentuk diseminasi perpajakan tersebut diterjemahkan kedalam mata
pelajaran di sekolah, pada dasarnya materi perpajakan tersebut seharusnya
diletakkan di mata pelajaran atau bidang dimana setiap siswa diharuskan untuk
mengetahuinya. Dengan kata lain, materi perpajakan tersebut menjadi mata
pelajaran wajib bagi siswa. Dengan eksistensi materi perpajakan dalam mata
pelajaran wajib siswa, diharapkan siswa benar-benar mengetahui peranan mereka
sebagai warga negara di dalam negara nantinya dan bagaimana peranan negara
bagi mereka sebagai warga negara. Dengan kata lain, tercipta sebuah pemahaman
50
mengenai hubungan timbal balik antara negara dan masyarakat dalam hal
pembiayaan negara yang diwujudkan dalam bentuk pajak, bukan semata-mata
pungutan wajib yang menunjukkan otoritas negara semata.
Dalam tataran teknis, mata pelajaran yang berhubungan dengan eksistensi
individu sebagai warga negara dapat diasimilasikan ke dalam mata pelajaran
kewarganegaraaan karena pada dasarnya mata pelajaran tersebut mencakup 4
(emapat) pilar Pancasila yaitu UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.
Pengetahuan perpajakan secara khusus dapat dimasukkan sebagai bagian materi
UUD 1945 dalam mata pelajaran karena UUD 1945 pasal 23A mengatur hal
tersebut, yaitu “ pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
negara diatur dengan Undang-undang”. Namun, pemerintah pada dasarnya
memiliki wewenang untuk meletakkan materi perpajakan tersebut di mata
pelajaran wajib lainnya dengan mempertimbangkan perkembangan kurikulum.
Berdasarkan studi lapangan mengenai pengasimilasian mata pelajaran
perpajakan bagi siswa SMA dan sederajat, maka selain peleburan ke mata
pelajaran kewarganegaraan, dimungkinkan jika materi perpajakan tersebut
dileburkan ke dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Peleburan materi
perpajakan ke dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia dapat dilakukan melalui
berbagai tema-tema wacana yang disajikan dalam pelajaran tersebut. Pilihan
tersebut didasarkan pada pertimbangan (i) mata pelajaran Bahasa Indonesia
merupakan mata pelajaran wajib sehingga setiap siswa akan mengikuti pelajaran
tersebut (ii) mata pelajaran kewarganegaraan memiliki jumlah jam yang cukup
terbatas (iii) pengenalan pajak dengan bentuk tematik wacana lebih mudah untuk
dipahami dan lebih sederhana.
Hingga saat ini, mata pelajaran perpajakan bagi siswa SMA/SMK/MA dan
sederajat masih dianggap sebagai mata pelajaran pilihan dan merupakan keahlian
atas konsekuensi positif ketika siswa memutuskan untuk membidangi ilmu sosial.
Ketika materi ajar perpajakan menjadi bagian dari keahlian siswa ilmu sosial,
maka penekanannya lebih mengutamakan ketentuan teknis perpajakan seperti
51
perhitungan pajak pengasilan orang pibadi dan badan, pajak pertambahan nilai,
pajak bumi dan bangunan. Penekanan pada pemahaman siswa mengenai hakekat
pajak itu sendiri atau pemahaman filosofi sederhana mengenai perpajakan tidak
menjadi bagian prioritas. Oleh karenanya, pelajaran perpajakan seakan jauh dari
esensinya ketika kemampuan teknis perpajakan baik mengenai perhitungan dan
pengadministrasiannya dianggap jauh lebih penting dari esensi pemungutan pajak.
Belajar pajak bukanlah masalah kewajiban masyarakat yang terpenting. Tetapi
bagaimana fungsi pemerintah dalam negara.
Hal tersebut tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya ketika seorang siswa
memilih Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) terutama yang membidangi hal-hal
yang berhubungan dengan perkantoran. Pemenuhan kompetensi untuk mampu
secara teknis melakukan pengadministrasian perpajakan seperti pengisian
berbagai formulir pajak merupakan tuntutan tersendiri bagi siswa lulusan SMK
Ekonomi (wawancara dengan pihak SMA Putra Bangsa). Selain itu, para gurupun
merasa telah melakukan tanggung jawab jauh lebih baik ketika telah mengajarkan
hal-hal teknis tersebut kepada siswanya. Namun, perlu disadari bahwa pemenuhan
kompetensi tersebut sejatinya tidak menggerus esensi dari pajak itu sendiri,
melainkan sebelum penguatan kompetensi teknis perpajakan sebaiknya siswa
telah memahami esensi pemungutan pajak terlebih dahulu. Merupakan suatu hal
yang ironis ketika seorang siswa menguasai teknik perpajakan namun tidak
memahami esensi dari keahliannya.
Hal lain yang tidak kalah memprihatinkan adalah ketika materi perpajakan
tidak diajarkan atau diajarkan secara sepintas di Sekolah Mengengah Kejuruan
(SMK) lainnya yang tidak berfokus kepada kegiatan perkantoran seperti SMK
Pariwisata, SMK Farmasi, SMK Teknologi maupun SMA lainnya (interview
dengan pihak SMK 24 Jakarta). Hal tersebut sebagai konsekwensi logis dari
tuntutan kejuruan dalam penguatan kompetensi lulusannya. Hal tersebut dapat
dipahami mengingat kebutuhan pemenuhan kurikulum kejuruan yang ketat serta
jam pelajaran tidak secara khusus dialokasikan untuk pengenalan pelajaran
perpajakan. Meskipun demikian, pada dasarnya siswa sekolah kejuruan yang akan
menjadi angkatan kerja pada akhirnya harus mengetahui hak dan kewajibannya
ketika secara material dan formal telah cakap menjadi wajib pajak.
52
Uraian diatas tercermin dari pemahaman siswa mengenai perpajakan
khususnya di Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan survey sederhana yang dilakukan
ke 8 (delapan) Sekolah Menengah Atas dan sederajat yang dianggap mampu
mewakili keadaan dan kemampuan siswa di Jakarta. Survey dilakukan kepada 160
siswa baik yang mengambil jurusan IPA, IPS maupun kejuruan. Berdasarkan hasil
survey, ditemukan bahwa pada dasarnya siswa tersebut belum memahami urgensi
pemungutan pajak. Siswa juga belum memahami bahwa penerimaan yang berasal
dari pajak dialokasikan untuk kepentingan masyarakat termasuk manfaat tidak
langsung yang dirasakan oleh siswa. Tingkat pengetahuan perpajakan yang ada
saat ini sebatas dan berhenti pada tataran pengetahuan normatif yang secara tidak
sadar diperoleh dari iklan layanan masyarakat atau media lain yang pada
umumnya tidak berasal dari bangku sekolah.
Sebagaian besar siswa belum mampu menguraikan pemahaman mendasar
mengenai perpajakan, belum mampu menguraikan bahwa pajak merupakan
pungutan oleh pemerintah yang didasarkan pada undang-undang, dipergunakan
untuk membiayai kepentingan umum dan tidak mendapat manfaat langsung.
Selain itu, siswa juga belum mampu menguraikan fungsi dan peran negara dalam
penyediaan barang dan jasa publik dengan sederhana serta memberikan contoh
yang tepat mengenai alokasi tersebut.
Bahkan di hampir sebagaian siswa di beberapa sekolah tidak mampu
menjelaskan esensi pemungutan pajak. Siswa menyebutkan bahwa pajak
merupakan angsuran yang dikenakan setiap setahun sekali, pajak merupakan
pembayaran kepada suatu lembaga yang ada di negara, tuntutan kepada
masyarakat untuk membayar uang ke negara, anggaran biaya yang harus
dikeluarkan masyarakat untuk menjalankan usahanya, suatu bayaran yang wajib
untuk dibayarkan seseorang, pungutan suatu usaha, potongan yang dikenakan oleh
negara ketika seseorang mendapat penghasilan atau membeli barang. Bahkan
yang paling ironis dari berbagai jawaban tersebut adalah pungutan dari
masyarakat untuk membayar gaji pegawai BUMN (interview dengan pihak SMA
1 Megamendung dan SMA Negeri Unggulan MH Thamrin).
Hal lain yang tidak kalah mengejutkan bahwa di beberapa sekolah terdapat
jawaban siswa sangat variatif dan berbeda cukup signifikan antara satu siswa
53
dengan lainnya. Disparitas yang cukup jauh dan inkonsistensi menunjukkan
bahwa pada dasarnya siswa tersebut tidak memiliki pemahaman yang sama
mengenai pengetahuan esensi dari perpajakan secara utuh. Selain itu, sikap apatis
yang ditunjukkan oleh siswa terhadap hal-hal yang berhubungan dengan urusan
negara menjadi pekerjaan rumah tersendiri. Disparitas yang demikian variatif dan
jauh dari esensi serta sikap mental yang “tidak mau tau” menunjukkan bahwa
pada dasarnya siswa tersebut memerlukan edukasi perpajakan.
Namun, keadaan yang demikian tentu dipengaruhi baik secara langsung
maupun tidak dari pemahaman beberapa guru yang kurang mendalam terkait mata
pelajaran yang sedang diampunya. Hal ini tidak terlepas dari kompetensi dasar
guru yang pada dasarnya tidak menitikberatkan kepada materi perpajakan. Selain
itu, kurangnya ketersediaan referensi mengenai perpajakan sebagai bagian yang
mendukung bahan kurikulum pengajaran perpajakan. Guru harus memiliki
inisiatif ekstra untuk memperoleh asupan materi dari berbagai media. Selain itu,
keterbatasan pelatihan juga menjadi tantangan tersendiri meskipun di beberapa
sekolah berkualitas terdapat Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Forum
ini merupakan ajang untuk berbagi pengetahuan dan seharusnya bisa dijadikan
sebagai wadah untuk berbagi pengetahuan perpajakan. Persoalan baru muncul
ketika seorang guru yang bertugas di sekolah yang berada level menengah ke
bawah harus mengajarkan pajak sementara sumber daya finansial tidak cukup
mendukung bagi guru tersebut untuk memiliki referensi tersendiri. Terlebih jika
dalam upaya tersebutpun tidak ada katalis yang mendorong guru untuk terus
belajar seperti insentif. Meluangkan waktu dan biaya untuk mencari sesuatu yang
baru demi menciptakan suatu pengajaran yang berkualitas merupakan trade off
tersendiri bagi guru yang memiliki penghasilan minim.
Kegiatan sosialisasi yang ke sekolah-sekolah yang dilakukan oleh pihak
Ditjen Pajak melalui program Tax Goes to Campus memberikan warna tersendiri
dalam proses edukasi perpajakan. Namun, upaya bersifat momentum tersebut
akan lebih bermanfaat jika dilakukan simultan bagi guru-guru terlebih dahulu
sehingga guru tersebut dapat berfungsi sebagai agen perubahan (wawancara
dengan pihak SMA Putra Bangsa). Terlebih, upaya yang demikan belum mampu
menjangkau tiap-tiap sekolah meskipun secara psikologis guru-guru merasakan
54
bahwa siswa merupakan bagian dari masa depan perpajakan Indonesia.
Menggandeng guru mata pelajaran sebagai mitra sosialisasi merupakan langkah
investasi yang strategis mengingat pekerjaan ini adalah pekerjaan jangka panjang
yang membutuhkan sumber daya manusia yang besar dan biaya yang besar jika
dilakukan parsial oleh pihak Ditjen Pajak.
Jika pemerintah menggandeng para pendidik menjadi mitra edukasi pajak
merupakan suatu langkah strategis yang berani. Ketika pemerintah akan
mengasimilasikan pengetahuan perpajakan sebagai bahan ajar wajib bagi siswa,
sejatinya pemerintah menyiapkan tenaga-tenaga yang mampu membekali para
guru untuk memiliki pengetahuan perpajakan hingga pada tingkatan yang
diharapkan.
Dalam kontek buku bahan ajar, diakui oleh para penerbit (Erlangga dan
Bumi Aksara), buku pelajaran yang memuat materi pajak di SMA dan sederajat
lebih bersifat teknis dan bukan menyuguhkan filosofi peran dan fungsi negara
maupun pemahaman mengapa negera harus memungut pajak. Materi naskah
tuntutan penyelesaian ujian sekolah dan juga ujian nasional yang cenderung pada
tataran teknis perhitungan perpajakan sebagaimana telah digariskan dalam
kurikulum yang berlaku. Dari sisi penerbit yang cenderung berorientasi bisnis,
tentunya pemenuhan permintaan konsumen (guru, pembelajar, siswa) lebih
dikedepankan. Menyikapi perubahan kurikulum tahun 2013, jika bahan ajar
muatan pengetahuan perpajakan akan mengarah pada perubahan sikap siswa dan
lebih mengemukakan pemahaman fisolofi dasar mengapa pentingnya pajak bagi
pembangunan bangsa, maka DirJen Pajak dapat melakukan intervesnsi dalam
Kompetensi Dasar. Pada prinsipnya penulis naskah, editor dan penerbit dapat
menyesuaikan materi bahan ajar bila sesuai dengan Kopetensi Dasar yang telah
dirumuskan dalam kurikulum. Ini pula yang dilakukan oleh berbagai
lembaga/sektor atau kementrian yang akan memasukan muatan pengetahuan
dalam kurikulum nasional. Oleh karena itu, pemerintah juga perlu membekali
pihak-pihak lain yang terlibat dalam proses ini seperti penerbit buku.
Dilain pihak penulis naskah bahan ajar pengetahuan pajak harus
mempunyai kopetensi dibidang pengetahuan kebijakan fiskal, perpajakan serta
memiliki semangat kreatifitas untuk menstransfer pengetahuan. Dukungan dan
55
bantuan informasi perpajakan dari DirJen Pajak sebagai salah satu sumber
referensi bagi penulis naskah harus menjadi agenda tersendiri. Pelaksaanaan
program yang demikian tentu akan membutuhkan investasi yang besar namun
berdampak jangka panjang.
58
dan kewajiban warga negara dan pembangunan nasional, serta mata pelajaran
kewirausahaan, jika menyangkut masalah bidang kekhususan materi perpajakan
(Arief Rachman dalam workshop Februari 2013 di Jakarta).
59
disebutkan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran sebagai
proses belajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreativitas
berpikir yang dapat meningkatkan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan dan
pemahaman baru sebagai upaya peningkatan penguasaan yang baik terhadap
materi pelajaran.
Mengutip penelitian yang dilakukan Puspitasari (2010) mengenai
pembelajaran mata pelajaran ekonomi bahwa minat belajar ekonomi termasuk
perpajakan yang dianggap oleh sebagian orang cukup rumit dipengaruhi oleh
proses transfer materi pelajaran tersebut. Dengan demikian perlu dibangun suatu
konsensus bahwa mata pelajaran tersebut bermanfaat dan guru yang mengajarkan
sudah seharusnya kompeten untuk mengajarkan mata pelajaran tersebut.
Jika melihat kembali muatan mata pelajaran perpajakan yang terintegrasi
dalam pelajaran IPS terpadu, hal ini berimplikasi kepada guru yang mengajar
mata pelajaran tersebut. Guru yang memiliki latar belakang suatu bidang ilmu
sosial tertentu harus beradaptasi dengan mata pelajaran lainnya untuk dapat
menyampaikan materi dengan baik terutama mata pelajaran perpajakan yang
sering dianggap cukup rumit oleh berbagai kalangan. Dengan demikian,
pemenuhan kompetensi yang harus dimiliki guru merupakan pekerjaan rumah
awal sebelum mata pelajaran perpajakan tersebut disampaikan kepada siswa
karena diharapkan guru dapat melakukan transfer knowledge kepada siswa.
Transfer knowledge yang diharapkan bukanlah sekedar pengetahuan yang bersifat
informasi, melainkan menumbuhkan pemahaman mendasar dan kesadaran bagi
siswa mengenai pentingnya pajak dalam kelangsungan kegiatan negara. Hal dasar
dan bersifat filosofis yang paling tidak sudah dipahami oleh guru meliput:
1) Guru para pengampu mata pelajaran ekonomi memiliki pengetahuan
perpajakan yang bersifat filosofis dan praktis perpajakan sehingga para siswa
yang dididik mengetahui hal-hal mengenai perpajakan termasuk bagaimana
pajak tersebut dipungut dan dialokasikan dalam berbagai pos pengeluaran.
2) Guru pengampu mata kuliah mempu menanamkan kesadaran arti penting
pajak bagi keberlangsungan negara, serta mampu mengajak peserta didik
60
untuk mulai memiliki kebanggaan sebagai warga negara yang membayar
pajak.
61
8. Simpulan dan Rekomendasi
8.1 Simpulan
62
masyarakat dalam hal pembiayaan negara yang diwujudkan dalam bentuk pajak,
bukan semata-mata pungutan wajib yang menunjukkan otoritas negara semata.
Harapannya dalam jangka panjang akan timbul kesadaran untuk tercapai
kepatuhan pajak secara sukarela (Voluntary Tax Compliance) yang berkelanjutan.
8.2 Rekomendasi
9. Referensi
Dye, Thomas. (2002). Understanding Public Policy 10th Edition. New Jersey:
Prentice Hall.
Kasali, Rhenald. (2013). Kurikulum Orangtua untuk Anak. Jakarta: Kompas, edisi
5 Maret 2013.
Putranti, Titi Muswati, Handry Imansyah dan Maria Tambunan. (2012). Kajian
Kebijakan Ekonomi Hijau Indonesia, Depok: Pusat Kajian Ilmu
Administrasi FISIP UI.
Rosdiana, Haula dan Edi Slamet Irianto. (2012). Pengantar Ilmu Pajak. Jakarta :
PT.RajaGrafindo Persada, 2012.
Suradi, (2005). Kemana Pajak yang Telah Kami Bayar? Pendidikan Fiskal untuk
Warga Brazil. Palembang: Pusat Pendidikan Perpajakan.
64
Wahab Rochmat. (2004). Arah Kebijakan dan Strategi Pendidikan Dasar,
Menengah dan Tinggi di Indonesia, Balai Diklat Kesejahteraan Sosial
Yogyakarta.
Arum, Harjanti Puspa dan Zulaikha. (2012) “Pengaruh Kesadaran Wajib Pajak,
Pelayanan Fiskus, dan Sanksi Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak
Orang Pribadi Yang Melakukan Kegiatan Usaha dan Pekerjaan Bebas
(Studi di Wilayah KPP Pratama Cilacap).” Diponegoro Journal of
Accounting Vol 1 No. 1.
Alabede, James O, Zaimah Bt. Zainol Ariffin and Kamil Md Idris. (2011).
“Determinants of Tax Compliance Behaviour : A Porposed Model for
Nigeria.” International Research Journal of Finance and Economics-Isue
78.
Jatmiko, Agus Nugroho. (2006). “Pengaruh Sikap Wajib Pajak Pada Pelaksanaan
Sanksi Denda, Pelayanan Fiskus dan Kesadaran Perpajakan Terhadap
Kepatuhan Wajib Pajak (Studi Empiris Terhadap Wajib Pajak Orang
Pribadi di Semarang).” Universitas Dipenogoro, Tesis tidak diterbitkan.
Palil, Mohd Rizal dan Ahmad Fariq Mustapha. (2011). Determinants of Tax
Compliance in Asia : A cases of Malaysia. European Journal of Social
Sciences Volume 24.
Palil, Mohd Rizal dan Ahmad Fariq Mustapha. (2011). Factors Affecting Tax
Compliance Behaviour in Self Assesment System. African Journal of
Business Management Vol 5/
65
Palil, Mohammad Rizal. (2005). Taxpayer Knowledge: A Descriptive Evidence on
Demographic Factors in Malaysia. Jurnal Akuntansi dan Keuangan
Universitas Petra Vol 7.
Peraturan Perundang-undangan
66