Anda di halaman 1dari 30

BAB II

KAJIAN TEORI/PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Untuk memberikan inspirasi dan mendasari dilakukannya penelitian ini,

maka penulis terlebih dahulu melihat penelitian-peneliian yang pernah dilakukan

oleh penulis dan cendekiawan lain. Selanjutnya hasil penelusuran ini akan

menjadi acuan penulis untuk tidak mengangkat objek pembahasan yang sama.

Adapun beberapa judul penelitian yang ditulis oleh cendekiawan adalah sebagai

berikut:

1. Nelfi Westi (2017) skripsi Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas

Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang

berjudul “Munasabah Dalam Surah Al-Jumu’ah (Kajian muna>sabah pada

Tafsir Al-Asas Karya Said Hawwa”. Dalam penelitian tersebut, peneliti

mengungkap muna>sabah yang ada pada tafsir Al-Asas karya Said Hawwa

yang mana menurutnya, Said Hawwa sangat sempurna dalam mengkaji

muna>sabah dalam kitab tafsirnya. Objek penelitiannya difokuskan kepada

Surah al-Jumu’ah.

2. Lukmanul Hakim, Änalisis Tentang Aspek muna>sabah dalam kitab tafsir

Al-Maraghi (Studi muna>sabah antara surah dan antara ayat), Disertasi

Program Pasca Sarjana Univertsitas Islam Negeri Jakarta Tahun 2005 M.

Dalam penelitian ini mendeskripsikan muna>sabah antar surah dan ayat

dengan ayat serta pendekatan yang digunakan dalam mempertahankan

kesatuan ayat.

9
10

3. Herman (2019) skripsi Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas

Ushuluddin, Adab dan Dakwah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN)

Pontianak yang berjudul “Muna>sabah Penutup Surah dengan Muqaddimah

surah berikutnya dalam Al-Qur’an (Telaah terhadap Tafsir Al-Misbah Juz 30

Karya M. Quraish Shihab). Dalam penelitian tersebut mengungkap satu jenis

muna>sabah saja yakni muna>sabah penutup surah dengan awal surah

berikutnya dalam Al-Qur’an yang dibatasi hanya pada seputar juz 30 pada

tafsir Al-Misbah.

4. M. Sarifudin (2017) skripsi Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas

Ushuluddin Adab dan Humaniora, Institut Agama Islam (IAIN) Salatiga yang

berjudul, “Kajian Teori Muna>sabah Dalam Penafsiran Al-Quran (Telaah

atas Surah Ar-Rahman dalam Tafsir Al-Mishbah.

Berdasaran paparan data di atas, maka penelitian ini berbeda dengan

penelitian sebelumnya. Dalam penelitian ini membahas mengenai muna>sabah

antara nama surah dengan kandungannya pada Juz 29 tafsir Kementerian Agama

RI Tahun 2010 sehingga menjadikan penelitian ini berbeda dengan penetian

sebelumnya.

B. Kajian Teori
1. Definisi Munasabah

Dalam kamus mu’jam Al-wasith muna>sabah berasal dari kata nasaba

yuna>sibu muna>sabatan yang artinya dekat (qarib), dan menyerupai

(Ibrahim Musthafa, 924). Muna>sabah sama artinya dengan al-muqarrabah

yang berarti mendekatkan dan menyesuaikan (Lois Ma’luf, 1976. 803). Dari

kata Tanasub yang artinya hubungan (‫ )التعالق‬dan pertalian )‫(األرتباط‬. Dalam


11

al-Munawwir, kamus arab-Indonesia (1997, 1412) muna>sabah yaitu

kecocokan, kepantasan, kesesuaian, dan muna>sabah juga diartikan al-

musyakalah yang berarti menyerupai, perhubungan dan sesuai (Mahmud

Yunus, 2009: 499). Kata muna>sabah adalah sinonim (muraadif) dengan kata

al-muqarrabah dan al-musyakalah, yang masing-masing berarti berdekatan

dan persamaan (Suma, 2013: 23).

Dalam kehidupan sehari-hari sering kita mendengar kata Nasab yang

artinya punya hubungan kekeluaragaan. Pengertian ini bisa kita temukan

dalam Al-Qur’an diantaranya adalah surah Al-Saffat ayat 158 dan Al-

Mukminun ayat 101 (Fuad Al-Baqi, 1364: 698).

Surah Al-Saffat ayat 158:


َ ْ‫ت ْال ِجنَّةُ اِنَّ ُه ْم لَ ُمح‬
َ‫ض ُر ْون‬ َ َ‫َو َجعَلُ ْوا بَ ْينَهٗ َوبَيْنَ ْال ِجنَّ ِة ن‬
َ ‫سبًا ۗ َولَقَ ْد‬
ِ ‫ع ِل َم‬
Artinya: Dan mereka mengadakan (hubungan) nasab (keluarga) antara
Dia (Allah) dan jin. Dan sungguh, jin telah mengetahui bahwa
mereka pasti akan diseret (ke neraka), petunjuk. (QS. Al-Saffat {37}
158)

Surah Al-Mukminun ayat 101:


َ‫س ۤا َءلُ ْون‬
َ َ ‫اب بَ ْينَ ُه ْم يَ ْو َم ِٕى ٍذ َّو ََل َيت‬
َ ‫س‬َ ‫َل ا َ ْن‬ ُّ ‫فَ ِا َذا نُ ِف َخ فِى ال‬
ٓ َ َ‫ص ْو ِر ف‬
Artinya: Apabila sangkakala ditiup maka tidak ada lagi pertalian keluarga
di antara mereka pada hari itu (hari Kiamat), dan tidak (pula)
mereka saling bertanya. (QS. Al-Mukminun {23} 101).

Secara etimologis muna>sabah )‫ (المناسبة‬berasal dari mashdar an-nasabu

)‫ (النسب‬berarti al-qarabah )‫(القرابة‬. Orang arab mengatakan fulan yunasibu

fulanan, ahuwa yunasibuhu maksudnya qoribuhu. Orang yang berasal dari

nasab yang sama disebut karabat atau qarabah karena kedekatannya. Dari

kata nasab itulah dibentuk menjadi al-muna>sabah dalam arti al-muqarabah,

kedekatan satu sama lain. Oleh sebab itu muna>sabah adalah sesuatu yang

masuk akal, jika dikemukaan kepada akal mereka. Mencari kedekatan antara
12

dua hal adalah mencari hubungan atau kaitan antara keduanya seperti

hubungan sebab-akibat, persamaan, perbedaan dan hubungan-hubungan lain

yang bisa ditemukan antara dua hal (Ilyas Yunahar, 2013: 207).

Pengertian terminologis muna>sabah dalam sudut pandang al-Suyuti

adalah terkait hubungan ayat dengan ayat ataupun surah dengan surah yang

satu dengan yang lain persesuaian dan persambungannya, baik yang satu ‘am

dan yang lainnya khas. Hubungan itu bisa juga muncul dari penalaran (‘aqli),

pengindraan (hisssi), atau melalui kemestian dalam pikiran (al-talazzum al-

dzihni) seperti hubungan sebab akibat ‘illat dan ma’lul dua hal yang serupa

atau dua hal yang berlainan (Suyuti, 1921:471).

Sebelum memaparkan definisi di awal pembukaan pembahasan

muna>sabah al-Suyuti menguraikan rentetan perjalanan yang mengiringi

perkembangan dan tokoh yang mengkaji terkait ilmu muna>sabah, dia

menginformasikan bahwa seorang murid Abu Ja’far bin Zubair yaitu Abu

Hayyan telah menulis kitab secara khusus terkait muna>sabah dengan judul

al-Burhan fi Muna>sabah Tartib Suwar Al-Qur’an. Kitab ini menjelaskan

tentang muna>sabah Al-Qur’an antar surah, lalu disusul oleh al-Suyuti

dengan judul Asrar al-Tanzil, dalam kitab ini al-Suyuti mengumpulkan

keserasian dan kesesuaian antar setiap surah dan ayat, yang disertai oleh

kandungan penjelasan tentang sisi kemukjizatan dan keindahan bahasa

(ushlub al-balaghah) dan dia meringkas kitabnya itu di dalam kitab yang lebih

kecil yang Ia beri judul tana>sub ad-durar fi tana>sub al-suwar (Nelfi

Westi, 2017: 18).


13

Romli Abdul Wahid (2002: 91) menyatakan bahwa muna>sabah adalah

keserupaan dan kedekatan di antara berbagai ayat, surah dan kalimat yang

mengakibatkan adanya hubungan. hubungan tersebut bisa berbentuk

keterkaitan makna ayat-ayat dan macam-macam hubungan atau keniscayaan

dalam pikiran, seperti hubungan sebab dan musabab, hubungan kesetaraan

dan hubungan perlawanan.

Ibnu Arabi Sebagaimana dikutip oleh Imam As-Suyuti mengartikan


bahwa muna>sabah itu kepada “keterkaitan ayat-ayat Al-Qur’an antara
sebagiannya yang lain. Sehingga Ia terlihat sebagai suatu ungkapan yang rapi
dan sistematis.” Jadi munasabah adalah suatu ilmu yang membahas suatu
keterkaitan atau keserasian ayat-ayat Al-Quran antara satu dengan yang
lainnya (Kadr M. Yusuf, 2012:96).

Menurut Quraish Sihab dalam bukunya yang berjudul “Kaidah Tafshir”

mendefinisikan muna>sabah dari segi bahasa bermakna kedekatan. Nasab

adalah kedekatan hubungan antara seseorang dengan yang lain disebabkan

oleh hubungan darah atau keluarga (Shihab, 2013: 243).

Saifuddin Herlambang, (2018: 35) mengungkapkan bahwa muna>sabah

Al-Qur’an adalah hubungan satu ayat dengan ayat lain dilihat dari segi

keumuman dan kekhususannya, rasional dan perasaannya, dan lain

sebagainya yang berhubungan dengan persoalan sebab musabbab, persamaan

dan pertentangannya.

Chaerudji Abdul Malik, (2007: 190-191) memaparkan bahwasannya

Muna>sabah adalah ilmu yang menerangkan mengenai hikmah korelasi

urutan ayat Al-Qur’an atau usaha pemikiran manusia untuk menggali rahasia

hubungan antarayat atau antarsurat yang diterima oleh akal. Melalui ilmu ini

rahasia Ilahi dapat terungkap dengan jelas yang dengan itu sanggahan dari-
14

Nya bagi mereka yang selalu meragukan keberadaan Al-Qur’an sebagai

wahyu akan tersampaikan.

Muna>sabah dalam pengertian penulis adalah suatu ilmu yang

membahas tentang keterkaitan antarayat dan keterkaitan antarsurat yang

dikaji untuk mengetahui ayat dan surah yang saling berhubungan satu sama

lain baik itu hubungan ayat dan ayat sesudahnya, hubungan kelompok ayat,

hubungan surah dan surah sebelumnya, nama surah dan isi kandungan dari

surah tersebut. Ilmu ini memang merupakan salah satu ilmu dalam Ulumul

Qur’an yang mengandung dikotomi antara ilmuwan ahli Qur’an. Namun ilmu

ini memiliki peranan yang penting untuk dibahas karena untuk mengetahui

munasabah itu tauqifi ataukah ijtihadi.

Beberapa pandangan mengenai Muna>sabah dalam sudut pandang ahli

ilmu Qur’an, yaitu:

a. Ibnu Al-‘Arabi berpendapat dalam kitabnya Siraj Al-muridin. Keterkaitan

atau hubungan ayat-ayat Al-Qur’an antara yang satu dengan yang lainnya

sehingga seperti satu kata yang runtut dan teratur maknanya merupakan

ilmu yang mulia, tidak ada yang membicarakannya kecuali hanya seorang

yang kompeten yang mengkaji surah Al-Baqarah kemudian Allah

membukakan hati kami (manusia) untuk mendalaminya (muna>sabah pada

Al-Baqarah), maka keika kami tidak mendapatkan ilmu tentangnya dan

kami melihat ada kemalasan pada manusia (pengkaji muna>sabah) ini,

maka kamu berhenti disitu dan kami serahkan urusannya kepada Allah swt

(As-Suyuti,1971: 972-973). Jadi dapat disimpulkan bahwa hanya orang


15

yang kompeten dan hatinya terbuka yang Allah Swt berikan kemampuan

untuk menemukan muna>sabah dalam Al-Qur’an.

b. Fakhr Al-Din Al-Razi (606H/1210 M) termasuk tafsir yang memperhatikan

aspek koherensi dalam Al-Qur’an pada tafsirnya Mafatih al-Ghaib, Ia

berpendapat bahwa “kebanyakan keindahan Al-Qur’an itu terletak pada

urutan dan hubungan antara ayat-ayatnya” Imam al-Razi meyakini bahwa

Al-Qur’an adalah suatu kesatuan, tidak ada kekacauan dan pertentangan

didalamnya, Ia menguatkan pendapatnya dengan berbagai bukti termasuk

ketika menafsirkan Surah Hud ayat 1.

‫ت ِم ْن لَّد ُْن َح ِكي ٍْم َخبِي ٍْر‬


ْ َ‫صل‬ ْ ‫ۤال ٰر ۗ ِك ٰتبٌ اُحْ ِك َم‬
ِ ُ‫ت ٰا ٰيتُهٗ ث ُ َّم ف‬
Artinya: Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatNya disusun
dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci. yang diturunkan
dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu. (QS. Hud
{11}1)

Kalimat “yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi” mengandung

pengertian bahwa redaksi dari susunan Al-Qur’an tertata secara teratur dan

solid layaknya bangunan yang kuat dan kukuh (Nelfi westi. 2017:19-20).

c. Burhan Al-Din Al-Biqa’I (809-885 H) mengatakan bahwa Al-Qur’an

merupakan satu kesatuan, yang ayat dan surah-surahnya saling bertautan,

“segala puji bagi Allah yang menurunkan sebuah kitab suci yang

berghubungan antara surah-surah dan ayat-ayatnya (Fath, 2010; 169). Al-

Biqa’I berpendapat bahwa siapa yang memahami kehalusan dan keindahan

susunan kalimat, Ia akan mengetahui bahwa Al-Qur’an adalah mukjizat dari

segi kefasihan lafaznya dan kemuliaan makna yang terkandung didalamnya.

Kemukjizatan juga disebabkan oleh susunan kata dan surahnya.


16

d. Imam Al-Maraghi menegaskan bahwa Al-Qur’an merupakan kesatuan yang

kokoh dan kuat. Setiap kalimat yang menyusun ayat-ayatnya dipilih oleh

Allah dengan bijaksana. Semuanya berada dalam puncak keserasian dan

pepaduan, diletakkan dalam posisi yang paling tepat (Fath. 2010: 230).

e. Subhi Salih berkata “Jika meneliti Al-Qur’an, maka kita akan menemukan
bahwa Al-Qur’an merupakan kitab yang sangat perhatian terhadap salah
keserasian dan keteraturan tersebut (Fath, 2010: 338).

f. Manna Al-Qaththan berkata “Ayat Al-Qur’an mempunyai hubungan yang


saling mmenyatukan. Seperti sifat-sifat orang mukmin yang berhadapan
dengan sifat-sifat orang muysrik, pahala bagi orang yang pertama dan
siksa bagi yang kedua. Atau ayat-ayat yang berisi ajaran tauhid dan
penyucian diri setelah ayat-ayat yang menerangkan alam semesta dan
begitu seterusnya (Westi, 2017: 21).

g. Muhamad Zafzaf dalam Al-Ta’rif bi Al-Qur’an wa Al-Hadits berkata


“keterkaitan antara kalian dan ayat-ayat dalam Al-Quran cukup dibuktikan
dengan membaca satu ayat dalam satu surah. Kita pasti menemukan
kepastian, kekokohan dan ikatan yang sempurna antara ayat tersebut”
(Fath, 2010:338).

Dari semua perincian dan pengertian yang telah diuraikan dapatlah pula

diambil kesimpulan bahwa muna>sabah merupakan pengetahuan yang

menggali atau mencari tahu atas hubungan ayat dengan ayat dan surah dengan

surah yang terdapat dalam Al-Qur’an.

2. Sejarah Perkembangan Munasabah

Menurut Asy-Syarahbani, seperti yang dikutip oleh Az-Zarkasyi dalam

Al-Burhan, orang pertama yang menampakkan muna>sabah dalam penafsiran

Al-Qur’an ialah Abu Bakar An-Naisaburi (w.324 H). Sayangnya kitab

tafsiran An-Naisaburi yang dimaksudkan sangatlah sulit dijumpai sekarang

seperti yang dinyatakan oleh Adz-Dzahabi.


17

Menurut Saifuddin Herlambang (2018: 35) ulama‘ pertama yang telah

memperkenalkan ilmu munasabah ayat Alquran menurut beberapa ulama‘

adalah Abu Bakar an-Naisaburi, dia adalah ulama‘ yang memiliki ilmu yang

sangat luas dalam bidang syari‘at dan adab. Diriwayatkan bahwa setiap dia

memberikan mengajian/pelajaran tentang suatu ayat, pasti dia menjelaskan

hikmah dan alasan kenapa suatu ayat posisinya di sini, dan lain sebagainya.

Sedemikian besar perhatian An-Naisaburi teradap muna>sabah terlihat


jelas dari ungkapan as-Suyuthi: Setiap kali ia (An-Naisaburi) duduk di atas
kursi, bila dibacakan Al-Qur’an kepadanya, beliau berkata: Mengapa ayat
ini diletakkan di samping surat ini?” Beliau sering mengeritik ulama
Baghdad karena mereka tidak mengetahui (tentang masalah itu).

Tindakan An-Naisaburi merupakan kejutan yang sangat menarik dan

langkah baru dalam dunia tafsir pada saat itu. Beliau mempunyai kemampuan

yang istimewa untuk menyingkap persesuaian, baik antara ayat maupun antar

surat, terlepas dari segi tepat tidaknya dan pro kontra terhadap apa yang

dicetuskan oleh beliau. Atas dasar itu, beliau dekenal sebagai Bapak Ilmu

muna>sabah (Chaerudji Abdul Malik, 2007: 191).

Dalam perkembangannya, muna>sabah meningkat menjadi salah satu

cabang dari ilmu Al-Qur’an. Ulama yang datang kemudian menuyusun

pembahasan muna>sabah secara khusus. Di antara kitab yang secara khusus

membicarakkan muna>sabah ialah al-Burhan fi muna>sabati tartib al-

Qur’an susunan Ahmad Ibn Ibrahim al-Andalusi (w.807 H). Menurut

pengarang Tafsir An-Nur, penulis yang membahas muna>sabah dengan

sangat baik ialah Burhanuddin al-Biqa’I dalam kittab Nazhm ad-Durar fi

Tanasubil Ayati was Suwar.


18

As-Suyuthi membahas tema muna>sabah dalam kitab Al-Itqan dengan

topik khusus yang berjudul Fi Muna>sabatil Ayat sebelum membahas ayat

ayat musyatabihat. Adapun Az-Zarkasyi memaparkan mengenail soal

muna>sabah dalam al-burhan dengan topik yang berjudul Ma’rifatul

muna>sabah bainal ayati sesudah membahas asbab an-nuzul, meskipun tidak

dalam satu pasal tersendiri. Manna’ al-Qaththan yang menulis terkemudian

dari Subhi Shalih tetap menempatkan muna>sabah dalam satu pasal

tersendiri. Sebaliknya, Sa’id ramadlan Al-Buthi tidak membicarakkan

muna>sabah dalam buku Min rawa’il Quran (Chaerudji Abdul Malik, 2007:

191).

Pada tataran praktisnya, ada beberapa istilah yang digunakan oleh para

mufassir mengenai pengistilahan muna>sabah. Fakhruddin Ar-Razi

menggunakan istilah taálluq sebagai sinonim muna>sabah. Hal ini terlihat

ketika Ia menafsirkan Surah Hud (11) ayat 16-17.

Ia menulis sebagai berikut: ketahuilah bahwa pertalian (ta’Alluq)


antara ayat ini dan ayat sebelumnya jelas, yaitu apakah orang-orang
kafir itu sama dengan orang yang mempunyai bukti yang nyata dari
Tuhannya; sama dengan orang-orang yang menghendaki kehidupan duni
dan perhiasannya dan orang itu tidaklah memperoleh di akhirat kecuali
neraka (Said, Hasani Ahmad, 2015:31).
Kemudian ulama’ yang lain seperti Sayyid Quthb (w. 1966 M) dalam

Tafsir fi Zhilal Al-Qur’an menggunakan lafal irtibath sebagai pengganti

istilah muna>sabah. Seperti ketika beliau menafsirkan Surah Al-Baqarah

ayat 188. Rasyid Ridho (w. 1935 M) menggunakan istilah Al-ittishal dan Al-

ta’lil. Hal ini terlihat ketika menafsirkan Surah Al-Ma’idah ayat 30. Al-
19

Alusi (w. 1854 M) menggunakan istilah tartib ketika menafsirkan kaitan

surah Maryam dan thaha (Quthb, Sayyid, 1386: 99).

Wacana ilmu muna>sabah erat kaitannya dengan latar belakang

diskursus kedudukan tartib Al-Mushaf (penyusunan surah-surah dalam

mushaf Al-Qur’an). Polemik yang mengemukakan sebagaimana telah diulas

di awal adalah apakah penyusunannya berdasar pada tauqifi atau ijtihadi. Jika

penyusunannya berdasarkan petunjuk Nabi atau yang lebih dikenal dengan

tauqifi atau penusunannya berdasarkan wahyu, maka penyusunannya tidak

serampangan, tetapi mengandung nilai-nilai filosofi atau hikmah yang sangat

dalam, melebihi karya susunan yang dibuat manusia biasa. Oleh sebab itu,

pertanyaannya menjadi, apakah perlu muna>sabah dalam penafisiran Al-

Qur’an? (Said, Hasani Ahmad, 2015: 34).

Dalam bahasan tartib Al-ayat wa Al-suwar, tauqifi yang dimaksud di

atas adalah hanya dalam hal ayat, bukan pada bahasan surah. Hal ini

sebagaimana Khalid Utsman Al-Sabt menulis dalam Kitab Kaidah berikut:

Susunan tauqifi terdapat pada ayat, bukan (pada bahasan) surah.

Kalau melihat kaidah di atas, tidak ada jalan untuk berijtihad lagi
dalam hal tauqifi susunan ayat, tetapi masih terbuka pintu ijtihad untuk
tartib fi Al-suwar. Penyusunan tartib Al-Mushaf yang bukan berdasarkan
kronologi turunnya (tartib Al-nuzul) pada hakikatnya mendorong untuk
mengkaji susunan setiap surah yang ada pada mushaf. Setiap sesuatu yang
telah tersusun mempunyai alasan mengapa susunanya seperti itu atau apakah
susunannya sudah memiliki hubungan yang serasi antara satu dan lainnya.
Ukuran yang digunakan untuk menilai apakah serasi atau tidak adalah
20

melalui kemampuan pengungkapan bahasa sebagai citra rasa kemampuan


yang dimiliki oleh manusia. (Said, Hasani Ahmad, 2015: 35).
Jadi awal penerapan ilmu muna>sabah pertama kali oleh Abu Bakar
An-Naisaburi (w.324 H) yang mana Ia mendapat berbagai tanggapan dari
beberapa Ulama Qur’an. Ada yang setuju dengan ilmu muna>sabah dan
sebagian lagi ada yang tidak menerima jikalau ilmu muna>sabah diterapkan
dalam menafsirkan Al-Qur’an.
3. Jenis-Jenis Munasabah

Quraish shihab (2019: 209-210) membagi muna>sabah menjadi dua

yakni: pertama, hubungan kedekatan antara ayat atau kumpulan ayat-ayat al-

Quran satu dengan yang lainnya. Ini dapat mencakup banyak ragam, antara

lain:

a. Hubungan kata demi kata dalam satu ayat

b. Hubungan ayat dengan ayat sesudahnya

c. Hubungan kandungan ayat dengan fashilah atau penutupnya

d. Hubungan surah dengan surah berikutnya

e. Hubungan awal surah dengan penutupnya

f. Hubungan nama surah dengan tema utamanya

g. Hubungan uraian akhir surah dengan uraian awal surah berikutnya.

Kedua, hubungan makna satu ayat dengan ayat lain, misalnya

pengkhususannya, atau penetapan syarat terhadap ayat lain yang tidak

bersyarat, dan lain-lain. QS. al-Maidah 5: 3, misalnya menjelaskan aneka

makanan yang haram, antara lain darah. Tetapi QS. al-An’am 6: 145

menjelaskan bahwa yang haram adalah darah yang mengalir. Nah, ada

muna>sabah antara ayat al-Maidah dan al-An’am yang disebut di atas.


21

Ramli Abdul Wahid (2002: 91) membagi macam-macam muna>sabah

kedalam beberapa kategori. Adapun macam-macam muna>sabah yakni

sebagai berikut:

a. Muna>sabah antara surah dengan surah sebelumnya

Surah-surah yang ada dalam Al-Qur’an memiliki muna>sabah

masing-masing, ini dikarenakan surah yang datang kemudian

menjelaskan hal-hal secara umum pada surah yang terdapat sebelumnya

(Anwar, 2012: 65). Selain itu, muna>sabah yang terdapat dalam Al-

Qur’an dapat berupa tema sentral yang ada dalam beberapa surah. Ini

juga dapat diartikan dengan berbagai surah atau ayat yang saling

berkaitan dikarenakan adanya keserasian dalam sebuah tema atau

pembahasan (Anwar, 2012: 67).

b. Muna>sabah nama surah dengan kandungannya

Nama-nama surah yang terdapat di dalam Al-Qur’an mempunnyai

hubungan dengan pembahasan pokok yang terdapat di dalam surah,

misalnya surah al-fatihah disebut juga dengan ummu al-kitab karena di

dalamnya terdapat tujuan hadirnya Al-Qur’an (Wahid, 2002: 91).

c. Muna>sabah antara kalimat dengan kalimat

Terdapat muna>sabah antara satu kalimat dengan kalimat lainnya

dalam Al-Qu’ran. Misalnya ialah adanya penggunaan ‘athaf (kata

penghubung) dan terkadang juga tidak menggunakannya (Wahid 2002:

91).

d. Muna>sabah antara ayat dengan ayat dalam satu surah


22

Muna>sabah sabah dalam bentuk ini dengan jelas dan terdapat dalam

surah-surah pendek. Misalnya: al-ikhlas, masing-masing ayat pada surah

tersebut menggunakan tema sentral tentang keesaan Tuhan (Wahid 2002:

99).

e. Muna>sabah antara penutup ayat dengan isi ayat

Muna>sabah ini diterapkan dengan menghubungkan atau

mengaitkan ayat-ayat pada akhir surah dengan ayat yang terletak pada

pertengahan surah, ini bertujuan untuk memperkukuh atau menguatkan

makna yang terkandung di dalam ayat (Anwar 2012: 74).

f. Muna>sabah antara awal uraian dengan akhir uraian surah

Ini merupakan muna>sabah yang menghubungkan ayat yang satu

yang terletak pada awal ayat dalam surah dengan ayat lain yang terdapat

dalam surah yang sama, ini dikarenakan karena adanya keserasian atau

kaitan antara dua ayat yang terletak dalam urutan walaupun dengan

susunan yang berbeda (Wahid 2002: 101).

g. Muna>sabah antara akhir surah dengan awal surah berikutnya

Muna>sabah seperti ini dapat terjadi bila akhir ayat pada sebuah

surah ternyata terddapat keserasian atau hubungan yang saling berkaitan

dengan awal ayat pada surah berikutnya (Wahid, 2002: 102).

Berbeda halnya menurut Kadar M. Yusuf (2012: 97-104) yang

mengklasifikasikan bentuk muna>sabah dalam dua bentuk, yakni zhahir (jelas)

dan Mudhmar (tersembunyi). Muna>sabah zhahir terdiri dari beberapa bentuk,

yaitu sebagai berikut,


23

a. Suatu ayat menyempurnakan penjelasan ayat sebelumnya. Artinya, penjelasan

suatu ayat mengenai suatu persoalan kadang-kadang belum sempurna atau

lengkap, kemudian ayat berikutnya menyempurnakan penjelasan itu. Hal ini

misalnya dapat dilihat dalam firman Allah QS. Al-Baqarah 2: 3-5 yang

berbunyi,

‫صلَ ٰوة َ َو ِم َّما َرزَ ۡق ٰنَ ُه ۡم‬ َّ ‫ب َويُ ِقي ُمونَ ٱل‬ ِ ‫ٱلَّذِينَ يُ ۡؤ ِمنُونَ بِ ۡٱلغ َۡي‬
‫نز َل ِمن قَ ۡب ِل َك‬ ِ ُ ‫نز َل إِلَ ۡي َك َو َما ٓ أ‬
ِ ُ ‫ َوٱلَّذِينَ يُ ۡؤ ِمنُونَ بِ َما ٓ أ‬٣ َ‫يُن ِفقُون‬
ٓ ٓ
‫أ ُ ْو ٰلَئِ َك َعلَ ٰى هُدٗ ى ِمن َّر ِب ِه ۡۖۡم َوأ ُ ْو ٰلَئِ َك ُه ُم‬٤ َ‫َو ِب ۡٱأل ٓ ِخ َرةِ ُه ۡم يُوقِنُون‬
٥ َ‫ۡٱل ُم ۡف ِل ُحون‬
Artinya: (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan
shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan
kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran)
yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah
diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan)
akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan
mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung(QS. Al-
Baqarah 2: 3-5).

b. Taukid (menguatkan). Suatu ayat menguatkan isi kandungan ayat lainnya. Hal

ini sebagai contoh, dapat dilihat dalam firman Allah QS. Al-Baqarah 2: 149-

150:

ُ‫ت فَ َو ِل َو ۡج َه َك ش َۡط َر ۡٱل َم ۡس ِجد ِۡٱل َح َر ِۖۡام َو ِإنَّ ۥه‬ َ ‫ث خ ََر ۡج‬ ُ ‫َو ِم ۡن َح ۡي‬
‫ث‬ُ ‫ َو ِم ۡن َح ۡي‬١٤٩ َ‫ٱَّللُ بِ ٰغَ ِف ٍل َع َّما ت َعۡ َملُون‬ َّ ‫لَ ۡل َح ُّق ِمن َّربِ َۗ َك َو َما‬
‫ث َما ُكنت ُ ۡم‬ ُ ‫ت فَ َو ِل َو ۡج َه َك ش َۡط َر ۡٱل َم ۡس ِجد ِۡٱل َح َر ِِۚام َو َح ۡي‬ َ ‫خ ََر ۡج‬
‫اس َعلَ ۡي ُك ۡم ُح َّجةٌ ِإ ََّّل‬ ِ َّ‫فَ َولُّواْ ُو ُجو َه ُك ۡم ش َۡط َر ۥهُ ِلئ َ ََّّل يَ ُكونَ ِللن‬
‫ٱخش َۡونِي َو ِألُتِ َّم نِعۡ َمتِي‬ ۡ ‫ظلَ ُمواْ ِم ۡن ُه ۡم فَ ََّل ت َ ۡخش َۡو ُه ۡم َو‬ َ َ‫ٱلَّذِين‬
١٥٠ َ‫َعلَ ۡي ُك ۡم َولَ َعلَّ ُك ۡم تَهۡ تَدُون‬
Artinya: Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah
wajahmu ke arah Masjidil Haram, sesungguhnya ketentuan itu
benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-kali
tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. Dan dari mana saja
kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil
24

Haram. Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka


palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi
manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara
mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah
kepada-Ku (saja). Dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu,
dan supaya kamu mendapat petunjuk(Al-Baqarah 2: 149-150).

c. Tafsir (menjelaskan). Suatu ayat menjelaskan atau menafsirkan ayat

sebelumnya. Kadang-kadang ada ayat yang membicarakan suatu

permasalahan atau istilah, tetapi ayat itu tidak menjelaskan maksud

permasalaha dan istilah itu. Kemudian ayat berikutnya menjelaskan makna,

konsep atau karakteristik istilah yang digunakan. Maka muna>sabah antara

kedua ayat tersebut terletak pada hubungan penjelas (mufassir) dengan yang

dijelaskan (mufassar), yaitu ayat kedua menjelaskan makna ayat pertama.

Contohnya dalam QS. Al-Baqarah 2: 26-27 yang berbunyi,

‫ض ٗة فَ َما فَ ۡوقَ َه ِۚا َفأ َ َّما‬


َ ‫ب َمث َ َّٗل َّما َبعُو‬ َ ‫ض ِر‬ ۡ ‫ي ِ أَن َي‬ ‫ٱَّللَ ََّل َي ۡست َ ۡح ٓۦ‬
َّ ‫ِإ َّن‬
ْ‫ٱلَّذِينَ َءا َمنُواْ فَيَعۡ لَ ُمونَ أَنَّهُ ۡٱل َح ُّق ِمن َّربِ ِه ۡۖۡم َوأ َ َّما ٱلَّذِينَ َكفَ ُروا‬
‫ض ُّل بِِۦه َكثِ ٗيرا َويَهۡ دِي بِِۦه َكثِ ٗير ِۚا‬
ِ ُ‫َّل ي‬ ۘ ٗ َ ‫ٱَّللُ بِ ٰ َهذَا َمث‬
َّ َ‫فَيَقُولُونَ َماذَآ أ َ َراد‬
‫ٱَّللِ ِم ۢن بَعۡ ِد‬ َّ َ‫ٱلَّذِينَ يَنقُضُونَ َعهۡ د‬٢٦ َ‫ض ُّل ِب ِ ٓۦه ِإ ََّّل ۡٱل ٰفَ ِس ِقين‬ ِ ُ‫َو َما ي‬
‫ض‬ ِۚ ِ ‫ص َل َويُ ۡف ِسدُونَ فِي ۡٱأل َ ۡر‬ َ ‫ٱَّللُ ِب ِ ٓۦه أَن يُو‬ َّ ‫طعُونَ َما ٓ أ َ َم َر‬ َ ‫ِمي ٰث َ ِقِۦه َو َي ۡق‬
ٓ
٢٧ َ‫أ ُ ْو ٰلَ ِئ َك هُ ُم ۡٱل ٰ َخس ُِرون‬
Artinya: Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa
nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang
beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari
Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah
maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?". Dengan
perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan
perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk.
Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang
fasik. (Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah
perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah
(kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan
di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi(QS. Al-
Baqarah 2: 26-27)
25

Ayat 26 nya menggunakan istilah fasiqin, tetapi ia tidak menjelaskan

maksud atau karakteristik fasiqin tersebut. Maka ayat 27 nya lah yang

menjelaskan maksud dan kriteria fasiqin itu.

Selain muna>sabah yang zhahir (jelas) ada bentuk yang kedua yakni

muna>sabah yang mudhmar (tersembunyi). Muna>sabah yang tersembunyi

adalah keterkaitan atau keserasian yang tidak jelas, pada lahiriahnya seolah-olah

suatu ayat terasing dari ayat yang lain atau alur pembicaraannya tidak ada

ketersambungan. Akan tetapi, apabila dianalisis secara dalam akan terlihat

keterkaitannya. Muna>sabah jenis ini dapat dilihat dari tiga aspek, yakni:

a. Ayat tersebut dihubungkan oleh huruf ‘athaf seperti yang terlihat dalam Surah

Saba 34: 2

‫س َما ٓ ِء‬ ِ َ‫ض َو َما يَ ۡخ ُر ُج ِم ۡن َها َو َما ي‬


َّ ‫نز ُل ِمنَ ٱل‬ ِ ‫يَعۡ لَ ُم َما يَ ِل ُج فِي ۡٱأل َ ۡر‬
٢ ‫ور‬ُ ُ‫ٱلر ِحي ُم ۡٱل َغف‬
َّ ‫َو َما َيعۡ ُر ُج فِي َه ِۚا َو ُه َو‬
Artinya: Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang ke luar
daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik
kepadanya. Dan Dialah Yang Maha Penyayang lagi Maha
Pengampun (QS. Saba 34: 2)

Muna>sabah dengan waw athaf ini biasanya menghubungkan dua hal

yang berlawanan, seperti masuk dan keluar, turun dan naik, langit dan bumi,

rahmat dan azab, serta targhib dan tarhib.

b. Al-Mudhaddah (berlawanan), yaitu dua ayat berurutan yang

memperbincangkan dua hal yang berlawanan seperti surga dan neraka serta

kafir dan iman. Hal ini misalnya terlihat dalam surah an-Nisa 4: 150,151, dan

152 yang berbunyi:


26

‫س ِل ِهۦ‬ َّ َ‫س ِلِۦه َويُ ِريدُونَ أَن يُ َف ِرقُواْ بَ ۡين‬


ُ ‫ٱَّللِ َو ُر‬ َّ ‫ِإنَّٱلَّذِينَ يَ ۡكفُ ُرونَ ِب‬
ُ ‫ٱَّللِ َو ُر‬
َ‫ض َويُ ِريدُونَ أَن َيت َّ ِخذُواْ بَ ۡين‬ ٖ ۡ‫ض َون َۡكفُ ُر ِب َبع‬ ٖ ۡ‫َو َيقُولُونَ نُ ۡؤ ِم ُن ِب َبع‬
ٓ
‫عذَابٗ ا‬ َ َ‫أ ُ ْو ٰلَئِ َك ُه ُم ۡٱل ٰ َك ِف ُرونَ َح ٗق ِۚا َوأ َ ۡعت َ ۡدنَا ِل ۡل ٰ َك ِف ِرين‬١٥٠ ‫يَّل‬ ‫سبِ ا‬َ ‫ٰذَ ِل َك‬
‫س ِلِۦه َولَ ۡم يُفَ ِرقُواْ بَ ۡينَ أ َ َح ٖد ِم ۡن ُه ۡم‬ َّ ِ‫ َوٱلَّذِينَ َءا َمنُواْ ب‬١٥١ ‫ُّم ِه ٗينا‬
ُ ‫ٱَّللِ َو ُر‬
ٓ
١٥٢ ‫ورا َّر ِح ٗيما‬ َّ َ‫ور ُه ِۡۚم َو َكان‬
ٗ ُ‫ٱَّللُ َغف‬ َ ‫ف يُ ۡؤتِي ِه ۡم أ ُ ُج‬ َ ‫أ ُ ْو ٰلَئِ َك‬
َ ‫س ۡو‬
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-
rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan
kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: "Kami
beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap
sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu)
mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau
kafir). Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami
telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang
menghinakan. Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para
rasul-Nya dan tidak membeda-bedakan seorangpun di antara
mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya.
Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang(QS. An-
Nisa 4: 150-152)

c. Istithrad (sampai), yaitu perbincangan suatu ayat mengenai suatu masalah

sampai kepada hal lain yang tidak berkaitan langsung dengan masalah yang

sedang diperbincangkan, tetapi hukumnya sama dengan hal yang

diperbincangkan itu. Hal ini seperti yang terdapat dalam surah Al-A’raf 7: 26:

ُ َ‫يش ۖۡا َو ِلب‬


‫اس‬ ٗ ‫س ۡو ٰ َء ِت ُك ۡم َو ِر‬
َ ‫اسا يُ ٰ َو ِري‬ ٗ َ‫ٰيَبَنِ ٓي َءادَ َم قَ ۡد أَنزَ ۡلنَا َعلَ ۡي ُك ۡم ِلب‬
٢٦ َ‫ٱَّللِ لَ َعلَّ ُه ۡم َيذَّ َّك ُرون‬
َّ ‫ت‬ ِ َ‫ٱلت َّ ۡق َو ٰى ٰذَ ِل َك خ َۡي ِۚر ٰذَ ِل َك ِم ۡن َءا ٰي‬
Artinya: Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu
pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan.
Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu
adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-
mudahan mereka selalu ingat (QS. Al-A’raf 7: 26)

Perbincangan seperti ini berguna untuk husn at-takhallush

(memperindah peralihan), yaitu al-Quran beralih dari suatu pembicaraan


27

kepada pembicaraan yang lain guna memotivasi pendengar untuk

memperhatikannya. Hal ini juga terdapat dalam surah An-Nisa 4: 172:

ِۚ ‫ع ۡبدٗا ِ ََّّللِ َو ََّل ۡٱل َم ٰ ٓلَئِ َكةُ ۡٱل ُمقَ َّرب‬


‫ُونَ َو َمن‬ َ َ‫ف ۡٱل َمسِي ُح أَن يَ ُكون‬ َ ‫لَّن يَ ۡستَن ِك‬
١٧٢ ‫يعا‬ ٗ ‫ش ُرهُ ۡم ِإلَ ۡي ِه َج ِم‬ ُ ‫سيَ ۡح‬َ َ‫يَ ۡستَن ِك ۡف َع ۡن ِعبَادَتِِۦه َويَ ۡست َ ۡك ِب ۡر ف‬
Artinya: Al Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah, dan
tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat (kepada Allah).
Barangsiapa yang enggan dari menyembah-Nya, dan
menyombongkan diri, nanti Allah akan mengumpulkan mereka
semua kepada-Nya(QS. An-Nisa 4: 172).

Lain halnya dengan Rosihon Anwar (2001: 136-138), merujuk pada

beberapa pendapat ulama membagi muna>sabah menjadi tujuh bagian

diantaranya:

a. Muna>sabah antar surah dengan surah sebelumnya, berfungsi untuk

menerangkan dan menyempurnakan ungkapan pada surah sebelumnya,

seperti korelasi antara QS. Al-Baqarah 2: 152 dan 186.

b. Muna>sabah antar nama Surah dan tujuan turunnya. Setiap surah memiliki

tema pembimaraan yang menonjol yang tercermin dalam nama masing-

masing surah, seperti surah al-Baqarah, surah Yusuf, surah an-Naml, surah

al-Jin. Dalam surah al-Baqarah (diartikan sebagai lembu betina) inti

pembicaraannya adalah cerita tentang lembu betina tersebut dipaparkan

dalam QS. Al-Baqarah 2: 67-71, yang berisi tentang kekuasaan

membangkitkan orang mati. Surah al-Baqarah ini memiliki inti

pembicaraan mengenai kekuasaan Allah dan keimanan pada hari akhir.

c. Muna>sabah antar bagian ayat. Bentuk munasabah ini sering dinyatakan

dalam pola tadhadat (perlawanan). Contohnya adalah QS. Al-Hadid ayat


28

4. Kata yalij (masuk) dengan kata yakhruj (keluar) serta kata yanzil (turun)

pada ayat tersebut dengan kata ya’ruj (naik) terdapat korelasi perlawanan.

d. Muna>sabah antar ayat yang letaknya berdampingan. Bentuk muna>sabah

ini sering terlihat dengan jelas atau juga tidak terlihat dengan jelas.

Muna>sabah antar ayat yang terlihat jelas biasanya menggunakan pola

taukid, tafsir, i’tiradh, dan tasydid. Sedangkan muna>sabah antar ayat

yang tidak jelas dapat dilihat melalui qarain maknawiyyah (hubungan

makna) yang terlihat dalam empat pola muna>sabah, yaitu tanzhir

(perbandingan), al-mudhadat (perlawanan), istithradh (penjelasan lebih

lanjut), dan takhallush (perpindahan).

e. Muna>sabah ah antar kelompok ayat dengan kelompok ayat di

sampingnya. Contoh misalnya dalam QS. al-Baqarah 2: 1-20, misalnya

Allah memberi penjelasan-Nya tentang kebenaran dan fungsi al-Quran

bagi orang-orang yang bertakwa. Dalam kelompok ayat-ayat berikutnya

dibicarakan kelompok manusia dan sifat-sifat mereka yang berbeda-beda,

yaitu mukmin, kafir, dan munafik (Rosihon Anwar, 2010: 92).

f. Muna>sabah antar fashilah (pemisah) dan isi ayat. Muna>sabah ini

memiliki fungsi menguatkan (tamkin) makna yang terkandung dalam suatu

ayat. Contohnya QS. Al-Ahzab 33: 25. Pada ayat ini Allah menghindarkan

orang-orang mukmin dari peperangan, bukan karena lemah, melainkan

karena Allah Maha kuat dan Maha perkasa. Terdapatnya fashilah antara

kedua penggalan ayat di atas dimaksudkan agar pemahaman terhadap ayat

menjadi lurus dan sempurna. Tujuan dari fashilah adalah memberi


29

penjelasan tambahan yang meskipun tanpa fashilah ayat tersebut sudah

jelas.

g. Muna>sabah antar awal surah dengan akhir surah yang sama. Contoh

muna>sabah ayat ini terdapat QS. Al-Qashash yang bermula dengan

menjelaskan perjuangan Nabi Musa dalam menghadapi kekejaman fir’aun.

Atas perintah dan pertolongan Allah, Nabi Musa berhasil keluar dari Mesir

dengan penuh tekanan (QS. Al-Qashash ayat 1-5). Di akhir surah, Allah

menyampaikan kabar gembira kepada Nabi Muhammad saw yang

menghadapi tekanan dari kaumnya dan janji Allah atas kemenangannya.

Di awal surah Nabi Musa As. tidak akan menolong orang kafir.

Muna>sabah di sini terletak dari sisi kesamaan kondisi yang dihadapi oleh

kedua Nabi tersebut.

Dalam buku Ulumul Qur’an (Metodologi Studi al-Qur’an), Luqman Abdul

Jabbar (2012: 76) menyebutkan varian muna>sabah dalam Al-Qur’an menurut

para ulama yang menekuni ilmu muna>sabah Al-Qur’an mengemukakan bahkan

membuktikan keserasian yang dimaksud, setidak-tidaknya hubungan itu meliputi:

1) Hubungan antara satu surah dengan surah sebelumnya. Satu surah berfungsi

menjelaskan surah sebelumnya, misalnya di dalam Surah al-Fatihah 1: 6

disebutkan,

ۡ َ ‫َاٱلص ٰ َر‬ ۡ
َ ‫طٱل ُم ۡست َ ِق‬
٦ ‫يم‬ ِ ‫ٱه ِدن‬
Artinya: Tunjukilah kami jalan yang lurus(QS. Al-Fatihah 1: 6)

Lalu dijelaskan dalam surah al-Baqarah 2: 2, bahwa jalan lurus itu adalah

mengikuti petunjuk Al-Quran, sebagaimana disebutkan,


30

٢ َ‫ب فِي َۛ ِه هُدٗ ى ِل ۡل ُمت َّ ِقين‬ ُ َ ‫ٰذَ ِل َك ۡٱل ِك ٰت‬


َ َۛ ‫ب ََّل َر ۡي‬
Artinya: Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertakwa(Al-Baqarah 2: 2).
2) Hubungan antara nama surah dengan isi atau tujuan surah. Nama-nama

surah biasanya diambil dari suatu masalah pokok di dalam satu surah,

misalnya surah An-Nisa, yang bermakna perempuan karena di dalamnya

banyak menceritakan tentang persoalan perempuan.

3) Hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surah.

Misalnya surah al-Mukminun 23: 1 yang dimulai dengan,

١ َ‫قَ ۡد أ َ ۡفلَ َح ۡٱل ُم ۡؤ ِمنُون‬


Artinya: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman(QS. Al-
Mukminun 23: 1)

Kemudian diakhiri dengan ayat,

َّ ٰ ‫نت خ َۡي ُر‬


١١٨ َ‫ٱلر ِح ِمين‬ َ َ ‫ٱغ ِف ۡر َو ۡٱر َح ۡم َوأ‬
ۡ ‫ب‬ِ ‫َوقُل َّر‬
Artinya: Dan katakanlah:Ya Tuhanku berilah ampun dan berilah rahmat,
dan Engkau adalah Pemberi rahmat Yang Paling baik (QS. Al-
Mukminun 23: 118)

4) Hubungan antara satu ayat dengan ayat yang lain dalam satu surah.

Misalnya kata muttaqin di dalam surah al-Baqarah 2: 2 yang berbunyi,

٢ َ‫ب ِفي َۛ ِه هُدٗ ى ِل ۡل ُمت َّ ِقين‬ ُ َ ‫ٰذَ ِل َك ۡٱل ِك ٰت‬


َ َۛ ‫ب ََّل َر ۡي‬
Artinya: Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah 2: 2)

dijelaskan pada ayat berikutnya mengenai ciri-ciri orang-orang yang

bertakwa,

٣ َ‫صلَ ٰوة َ َو ِم َّما َرزَ ۡق ٰنَ ُه ۡم يُن ِفقُون‬ ِ ‫ٱلَّذِينَ يُ ۡؤ ِمنُونَ ِب ۡٱلغ َۡي‬
َّ ‫ب َويُ ِقي ُمونَ ٱل‬
31

Artinya: (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang


mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang
Kami anugerahkan kepada mereka (QS. Al-Baqarah 2: 2).

5) Hubungan antara kata atau kalimat (fashilah) dalam satu ayat. Misalnya

dalam surah al-Hadid 57: 4 yang berbunyi,

‫ٱست َ َو ٰى َعلَى‬ ۡ ‫ض فِي ِست َّ ِة أَي َّٖام ث ُ َّم‬ َ ‫ت َو ۡٱأل َ ۡر‬ َّ ‫ُه َوٱلَّذِي َخلَقَ ٱل‬
ِ ‫س ٰ َم ٰ َو‬
َ‫نز ُل ِمن‬ ِ ‫ض َو َما َي ۡخ ُر ُج ِم ۡن َها َو َما َي‬ ِ ‫ش َيعۡ لَ ُم َما َي ِل ُج ِفي ۡٱأل َ ۡر‬ ۡۖ ِ ‫ۡٱل َع ۡر‬
َّ ‫س َما ٓ ِء َو َما َيعۡ ُر ُج ِفي َه ۖۡا َو ُه َو َم َع ُك ۡم أ َ ۡينَ َما ُكنت ُ ِۡۚم َو‬
َ‫ٱَّللُ ِب َما ت َعۡ َملُون‬ َّ ‫ٱل‬
٤ ‫صير‬ ِ َ‫ب‬

Artinya: Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa:
Kemudian Dia bersemayam di atas ´Arsy. Dia mengetahui apa
yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan
apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan
Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hadid 57: 4).

6) Hubungan antara fashilah dengan isi ayat. Misalnya di dalam surah al-

Ahzab 33: 25 disebutkan,

‫َو َردَّٱللَّ ُهٱلَّذِينَ َكفَ ُرواْ بِغ َۡي ِظ ِه ۡم لَ ۡم يَنَالُواْ خ َۡي ٗر ِۚا َو َكفَى ٱللَّ ُه ۡٱل ُم ۡؤ ِمنِين َۡٱل ِقتَا ِۚ َل‬
٢٥ ‫ٱَّللُ قَ ِويًّا َع ِز ٗيزا‬
َّ َ‫َو َكان‬

Artinya: Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan
mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh
keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang
mukmin dari peperangan. Dan adalah Allah Maha Kuat lagi
Maha Perkasa(QS. Al-Ahzab 33: 25).

7) Hubungan antara penutup surah dengan awal surah berikutnya. Misalnya

penutup surah Al-Waqiah 56: 96 yang berbunyi,

٩٦ ‫ٱس ِم َر ِب َك ۡٱل َع ِظ ِيم‬ َ َ‫ف‬


ۡ ‫س ِب ۡح ِب‬
32

Artinya: Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha


Besar(QS. Al-Waqiah 56: 96)

Lalu surah berikutnya, yaitu surah al-Hadid 57: 1 yang berbunyi,

١ ‫يز ۡٱل َح ِكي ُم‬


ُ ‫ض َو ُه َو ۡٱلعَ ِز‬
ۡۖ ِ ‫ت َو ۡٱأل َ ۡر‬
ِ ‫س ٰ َم ٰ َو‬
َّ ‫سبَّ َح ِ ََّّللِ َما ِفي ٱل‬
َ
Artinya: Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih
kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dialah Yang
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. Al-Hadid 57: 1).

Bertitik tolak dari perincian atau macam-macam muna>sabah menurut

beberapa ahli di atas, mengandung dua komponen inti yaitu berkisar pada

hubungan antara ayat dengan ayat dan antara surah dengan surah dalam, maka

uraian tentang muna>sabah ini bertolak dari dua komponen tersebut. Kemudian

dua komponen inti itu dirinci oleh para ulama menjadi delapan macam hubungan,

baik berkaitan dengan ayat maupun surah.

4. Manfaat Muna>sabah

Karena mengetahui muna>sabah abah menepati posisi yang juga penting

dalam bidang tafsir, banyak sekali manfaat muna>sabah yang dapat diambil dari

disiplin ilmu ini. Manna’ al-Qaththan mendeskripsikan fungsi muna>sabah

sebagai alat menguak keluasan makna dan kemukjizatan Al-Qur’an dari sisi

balaghahnya. Selain itu, muna>sabah dapat dijadikan sebagai kacamata untuk

melihat untaian yang teratur dari firman Allah swt. dan keindahan uslub-uslub Al-

Qur’an. Az-Zarkasyi lebih jauh menjelaskan bahwa fungsi muna>sabah adalah

menggabungkan bagian-bagian kalimat yang lain sehingga tampak adanya

keterkaitan antara keduanya. Adapun Al-Qadi Abu Bakar bin al-Aroby

menjelaskan bahwa mengaitan sebagaian dengan sebagian yang lain dari al-
33

Qur’an sehingga tampak seperti satu kalimat dan satu susunan, merupakan ilmu

yang sangat mulia (Rosihon Anwar, 2011: 181-182).

Prof. Dr. Nashruddin Baidan mengungkapkan bahwa mempelajari

muna>sabah ini mempunyai faedah dan kegunaan yang banyak , antara lain

sebagai berikut

a. Untuk membantu dalam menafsirkan ayat ayat alQuran.bila orang tidak

menemukan sebab nuzulnya.Setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau

suatu ayat dengan kalimat atau ayat yang lain, dimungkinkan seseorang akan

mudah mengistibathkan hukum huum atau isi kandungannya.

b. Mengatahui munasabah atau hubungan antara bagian alQuran baik antara

alimat kalimat atau ayat, maupun surat suratnya yang satu dengan yang

lain,akan lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab

alQuran,sehingga memperkuat keyakinan seseorang terhadap kewahyuan

alQuran dan kemujizatannya.(Abdul Djalal,H..A, 1998:165).

c. Untuk memahami keutuhan, keindahan, dan kehalusan bahasa,serta

membantu seseorang dalam mmahami keutuhan makna alQuran itu sendiri.

d. Untuk menemukan korelasi atau hubugan antara ayat, sangat diperlukan

kejernihan rohani dan rasio, agar orang terhindar dari kesalahan penafsiran

(Muhammad Chirzin, 1998:58).

Menurut Ahmad (2013:99) muna>sabah secara global, mempunyai arti

penting ditinjau dari sisi balaghahnya, dimana korelasi antara ayat dengan ayat

menjadikan keutuhan yang indah dalam tata bahasa Al-Qur’an, dan bila

dipenggal, maka keserasian, kehalusan dan keindahan yang akan hilang. Oleh
34

sebab itu mengetahui dan menguasai ilmu muna>sabah sangatlah besar

manfaatnya, khususnya bagi mereka yang ingin mendalami ilmu Al-Quran dan

tafsirnya.

Menurut Abdur Razak (2010:81) ilmu muna>sabah itu paling sedikit

berfungsi sebagai ilmu pendukung atau penopang dalam menafsirkan ayat-ayat

Al-Qur’an. Bahkan tidak jarang pendekatan ilmu muna>sabah penafsiran akan

semakin menjadi jelas dan karenanya maka imu muna>sabah cukup memiiki

peranan dalam meningkatkan kualitas penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an.

Hasani Ahmad Said (2015: 155) berpendapat bahwa manfaat muna>sabah

dalam memahami ayat Al-Qur’an adalah paling tidak memberikan pemahaman

akan keindahan bahasa serta membantu dalam memahami keutuhan makna Al-

Qur’an.

Menurut Saifuddin Herlambang (2018: 35) mengatakan bahwa

muna>sabah memiliki manfaat yaitu supaya sebagian dari pembicaraan atau

percakapan bisa menguatkan sebagian lainnya serta untuk menghindari kesalahan

dalam memahami makna dan maksud ayat Alquran. Sebagaimana suatu ayat yang

bisa dikuatkan oleh ayat lainnya karena adanya hubungann antara keduannya atau

karena suatu ayat yang posisinya sebagai penyempurna ayat lain.

Di antara kegunaan ilmu muna>sabah seperti dikemukakan az-Zarkasyi

ialah dapat menjadikan bagian demi bagian pembicaraan menjadi tersusun

demikian rupa laksana sebuah bangunan yang tampak kokoh lagi serasi antara

bagian demi bagiannya. Ilmu muna>sabah itu paling sedikit berungsi sebagai ilu

pendukung atau penopang dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Bahkan tidak


35

jarang dengan pendekatan ilmu muna>sabah penafsiran akan semakin menjadi

jelas, mudah dan indah. Karenanyya, ilmu muna>sabah cukup memiliki peranan

dalam mengingatkan kualitas penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an (Muhammad Amin

Suma, 2013: 36).

Manfaat ilmu muna>sabah atau faedahnya bagi mufassir yaitu memperluas

pemahaman terhadap ayat yang sedang ditafsirkan. Hal tersebut dapat diihat dari

muna>sabah suatu ayat dengan berbagai ayat ainnya yang terdapat dalam berbagai

surah, dimana ayat-ayat itu memperbincangkan permasalah yang sama. Maka

penafsiran yang enggunakan metode tematik mempunyai kaitan yang erat dengan

ilmu muna>sabah. Mustofa Muslim menegaskan “Terdapat hubungan yang kuat

antara ilmu muna>sabah dan tafsir tematik, terutama tematik suatu surah. Sebab,

mengmati dan mempelajari ayat atau kumpulan ayat yang turun denga latar

belakang atau peristiwa yang berbeda kemudian diletakkan dalam suatu surah

(Kadar M. Yusuf, 2016:107-108).

Manfaat muna>sabah dalam pandangan penulis dapat memahami

keindahan bahasa Al-Qur’an seta sebagai penguat dari hubungan atau keterkaitan

dari suatu surah dengan surah lainnya serta antara nama surah dengan

kandungannya.

5. Langkah-langkah mengetahui Munasabah

Untuk meneliti muna>sabah susunan ayat dan surah dalam Al-Qur’an

diperlukan ketelitian dan pemikiran yang mendalam. Cara yang dapat dilakukan

adalah dengan melakukan penelitian terhadap susunan surah, mengingat mushaf

utsmani tidak disusun melalui sistem kronologi turun (tartib al-nuzul). Para ulama
36

mencari hubungan antara ayat terakhir surah terdahulu dengan ayat pertama surah

berikutnya, seolah-olah hubungan kedua surah itu terjadi secara langsung melalui

ayat (Abd. Rozak 2010:80).

Menurut Salman Harun (2017:828) langkah-langkah umum untuk

menemukan muna>sabah antara ayat-ayat al-Qur’an adalah sebagai berikut:

a. Temukan tujuan paparan surah

b. Buat kesimpulan-kesimpulan pendahuluan yang menyampaikan kepada

tujuan utama surah itu

c. Analisis mana kesimpulan-kesimpulan pendahuluan yang lebih dekat dan

mana yang agak jauh dari tujuan itu

d. Ketika ditemukan kesesuaian makna kalimat-kalimat dengan kesimpulan-

kesimpulan pendahuluan itu. Susun konklusi-konklusi yang mungkin

dimabil sampai diperoleh kesimpulan final.

Menurut Abd. Rozak (2010:80), aada beberapa langkah yang perlu

diperhatikan untuk menemukan munasabah ini, yaitu:

a. Memperhatikan tujuan pembahasan suatu surah yang menjadi objek

pencarian;

b. Memperhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengn tujuan yang dibahas

dalam surah;

c. Menentukan tingkatan uraian tertentu apakah ada hubungannya atau tidak

d. Dalam mengambil kesimpulannya hendaknya memperhatikan ungkapan-

ungkapan bahasannya dengan benar dan tidak berlebihan.


37

Ramli Abdul Wahid (2002; 66), menjelaskan bahwa ada beberapa langkah

untuk menemukan korelasi atau muna>sabah antara lain adalah sebagai berikut:

a. Melihat tema sentral dari surah tertentu.

b. Melihat premis-premis yang diperlukan untuk mendukung tema sentral.

c. Mengadakan kategorisasi terhadap premis-premis berdasarkan jauh dan

dekatnya kepada tujuan.

d. Melihat kalimat-kalimat yang saling mendukung di dalam premis.

Menurut Hasani Ahmad Said bahwa ulama terdahulu pada umunya

menempuh satu di antara tiga cara berikut dalam menjelaskan hubungan antara

ayat sebagai berikut:

a. Mengelompokkan sekian banyak ayat dalam satu kelompok tema-tema,

kemudian menjelaskan hubungannya dengan kelompok ayat-ayat berikutnya.

b. Menemukan tema sentral dari satu surah lalu mengembalikan uraian

kelompok ayat-ayat kepada tema sentral itu.

c. Menghubungkan ayat dengan ayat sebelumnya dengan menjelaskan

keserasiannya.

Setelah melihat berbagai macam bentuk muna>sabah diatas dengan

berbagai macam jenisnya yang telah dikemukakan para ulama “ulum Al-Qur’an”

kini coba pergunakan teori tersebut untuk menganalisa muna>sabah nama surah

dengan kandungannya pada juz 29 dengan menggunakan tafsir Kementerian

Agama RI Tahun 2010 yang mana telah diketahui bahwa tafsir ini adalah tafsir

tahlili di dalam penafsirannya juga menggunakan pendekatan ilmu muna>sabah.


38

DR. Kadar M. Yusuf M, Ag Mengungkapkan dalam bukunya yang

berjudul Studi Al-Qur’an bahwa langkah langkah untuk mengetahui muna>sabah

yaitu:

a. Topik inti yang diperbincangkan dalam ayat .Mufassir perlu mengetahui

permasalahan utama yang diperbincangkan oleh suau ayat. Hal ini dapat

diketahui melalui istilah-istilah yang digunakan dan alur pembicaraannya.

Permasalahan utama itu mungkin juga terdapat dalam ayat yang akan

ditafsirkan atau mungkin juga terdapat dalam ayat sebelumnya, dimana ayat

yang akan ditafsirkan itu subtopiknya atau penjelasan lebih jauh tentang

permasalahan utama.

b. Topik inti itu biasanya mempunyai sub-sub topik. Jika topik inti telah

diketahui maka perlu pula dilihat dan dipahami hal hal yang dicakupi oleh

topik inti tersebut.

c. Sub-sub topik itu mempunyai unsur unsur tersendiri pula.Maka masing

masing ayat, ada yang berbincang mengenai topik inti subtopik,dan ada pula

yang memperbincangkan unsur unsur yang ada pada subtopic munasabah

Aquran dapat dilihat dari sisi ini.

Dari beberapa teori mengenai langkah-langkah untuk mengetahui

muna>sabah oleh berbagai ilmuwan di atas, dapat disimpulkan bahwa kesemua

teori tersebut hamper sama yaitu melihat topik surah, melihat tema dan menetukan

tujuan pembahaan dari surah tersebut

Anda mungkin juga menyukai