ABSTRACT
Traditional expressions used by Kabola community in Alor Regency, East Nusa Tenggara is
an interesting linguistic phenomenon to be studied. This research was conducted in order to
analyze and describe the cultural values hidden behind these traditional expressions. This
research is descriptive qualitative study, using primary data directly obtained from data
source that are key informants of kabola tribe in Lawahing Village, District of Kabola. Data
were collected by introspective method with inducement technique. The data were analyzed
by the method of padan and agih then the result was presented in formal and informal
method. In general, culturals value expressed by the traditional expression of Kabola was
related to ethic and morality. Those values may be used as the principle foundation to build
up a harmoni life in the society. Furthermore, functionally, the expressions are the media of
eduction in family and society, as well, they have become tool of control, in order to
encourage the society to obey the norms and rules applied in the society.
Keywords: traditional expression, culture value, kabola
ABSTRAKSI
Ungkapan tradisional yang digunakan oleh masyarakat suku Kabola di Kabupaten Alor, Nusa
Tenggara Timur merupakan fenomena kebahasaan (linguistik) yang menarik untuk dikaji.
Sehubungan dengan hal itu, penelitian ini dilakukan dalam rangka menganalisis dan
mendeskripsikan nilai budaya yang terkandung dalam berbagai ungkapan tradisional tersebut.
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dan menggunakan data primer yang langsung
didapatkan dari sumber data yaitu informan kunci dan masyarakat suku Kabola di Desa
Lawahing, Kecamatan Kabola. Data dikumpulkan dengan metode introspeksi dan metode
cakap dengan teknik pancingan. Data dianalisis dengan metode padan dan metode agih
kemudian hasilnya disajikan dengan metode formal dan informal. Secara umum, nilai budaya
yang terkandung di dalam ungkapan-ungkapan tradisional bahasa Kabola berkaitan dengan
etika moral dan sopan santun. Nilai-nilai tersebut dapat digunakan sebagai pijakan untuk
membangun kehidupan bersama yang rukun dan dan membangun relasi sosial yang
harmonis. Secara fungsional, peran ungkapan-ungkapan larangan tersebut adalah sebagai alat
pendidikan keluarga dan masyarakat, sekaligus sebagai alat kontrol dan pengawas agar
masyarakat selalu mematuhi norma dan aturan yang berlaku dalam masyarakat.
2. Kerangka Teori
2.1. Teori Linguistik Kebudayaan
Kerangka teori utama yang memayungi penelitian ini adalah linguistik kebudayaan
sebagai salah satu perspektif teoritis dalam linguistik kognitif yang mengkaji hubungan
kovariatif antara bahasa dan kebudayaan yang dianut satu kelompok masyarakat. Titik incar
utama yang menjadi sasaran pemerian dalam linguistik kebudayaan adalah analisis makna
bahasa sebagai cerminan makna budaya dengan tujuan untuk mengetahui pemahaman budaya
warga kelompok masyarakat bersangkutan dalam memandang dunia (Palmer, 1996:10-26;
Foley, 1991:5). Bertalian dengan itu, menurut Mbete (1997), linguistik kebudayaan
merupakan sebuah cakrawala baru dalam kajian linguistik karena bahasa yang digunakan
dalam realitas kehidupan satu kelompok masyarakat tidak saja dipahami sebagai sebuah
fenomena linguistik, tetapi juga dimaknai sebagai sebuah fenomena sosial dan fenomena
budaya. Dalam kaitan dengan peran bahasa sebagai fenomena sosial dan fenomena budaya,
fokus utama yang menjadi sasaran pemerian dalam kajian linguistik kebudayaan adalah
analisis perilaku bahasa dan pola penggunaanya dalam konteks sosial dan konteks budaya.
Dengan demikian, analisis linguistik kebudayaan lebih banyak bermuara pada penjaringan
arti, penggalian makna dan penemuan nilai di balik penggunaan bahasa dalam satu realitas
kehidupan satu guyub tutur dengan tujuan untuk mengetahui cara pandang mereka tentang
dunia, baik dunia yang secara faktual terjadi maupun dunia simbolik.
Analisis makna dalam kajian linguistik kebudayaan bergayut dalam satu kesatuan
dengan analisis bentuk atau struktur dan fungsi karena, seperti disinggung sebelumnya,
bentuk adalah tanda yang tampak secara fisik dan makna merupakan gaung dari bentuk atau
isyarat dari kehendak yang dijelma lewat fungsi (Purbo Hawidjojo, 1998:53-54). Hal ini
berimplikasi bahwa pengkajian bentuk atau struktur bahasa tidak dapat berdiri sendiri tanpa
menyinggung aspek makna yang terwadah di dalamnya karena bahasa merupakan sebuah
instrumen pengungkap makna. Bentuk atau struktur bahasa merefleksikan fungsi dan makna
yang terwadah dalam bentuk atau struktur tersebut hanya dapat dipahami secara tepat
berdasarkan fungsi yang diperaninya, sebagaimana dikemukakan Wierzbicka (1996:3) bahwa
mempelajari struktur bahasa tanpa mengacu pada aspek makna ibarat mempelajari rambu
lintas dilihat dari ciri-ciri fisik saja, seperti berapa berat dan jenis cat yang digunakan, atau
seperti mempelajari struktur mata tanpa mengacu pada masalah penglihatan. Pandangan itu
dielaborasi lebih lanjut dalam penelitian ini dengan pendapat Frawley (1992:59-60) yang
mengatakan bahwa makna bahasa merupakan kerangka konseptual yang menggambarkan
kategorisasi dalam dunia, sehingga bentuk atau struktur dan makna bahasa tersebut dilihat
sebagai wadah yang berisi gambaran berkas mental warga guyub tutur yang menjadi subjek
penutur bahasa bersangkutan. Hal ini selaras dengan pandangan Geertz (dalam Pals,
2001:369) yang mengatakan, jika ingin memahami aktivitas kebudayaan yang salah satu
unsur utamanya adalah bahasa, maka metode yang dipandang tepat adalah metode penafsiran
karena analisis kebudayaan pada hakekatnya bukan sebuah ilmu eksperimental untuk mencari
sebuah hukum, tetapi merupakan sebuah penafsiran untuk mencari makna, yakni makna
budaya yang terkonseptualisasi dalam bahasa.
Meski demikian, Ochs (1988: 9), makna budaya yang terkonseptualisasi dalam satu
bahasa tidak berlaku semesta untuk semua bahasa. Makna budaya yang terkonseptualisasi
dalam satu bahasa bersifat khas dan khusus, sehingga hanya berlaku dalam realitas kehidupan
guyub tutur bahasa bersangkutan. Hal itu diperkuat pula dengan pandangan Humbolt (dalam
Cassirier, 1997: 183-184) yang mengatakan bahwa perbedaan nyata antarbahasa bukan
sekadar perbedaan bunyi atau perbedaan tanda, tetapi perbedaan antarbahasa sesungguhnya
berkenaan dengan perbedaan perspektif dunia, sebagaimana tercermin dalam simbol-simbol.
Simbol meliputi apa yang dirasakan dan dialami manusia, sedangkan rujukan menunjuk pada
benda atau objek yang menjadi rujukan simbol tersebut, berupa hal-hal yang dapat dipikirkan
dalam pengalaman manusia. Hubungan antara simbol dan benda atau objek yang menjadi
rujukannya disebut makna, sehingga penafsiran makna lebih bermanfaat jika menggunakan
teori relasional tentang makna karena, dalam teori tersebut, sistem makna budaya disandikan
dalam simbol-simbol dan sistem simbol utama yang menyandikan makna budaya adalah
bahasa (Spradley, 1997: 123). Oleh karena itu, analisis makna bahasa yang digunakan dalam
realitas kehidupan satu guyub tutur menjadi pintu masuk untuk mengetahui karakteristik
sistem makna budaya, sebagaimana terpatri dalam peta pengetahuan warga guyub tutur
bahasa bersangkutan.
Empat langkah pokok sebagai pilar pijakan dalam proses penafsiran makna, menurut
Mannheim (dalam Bungin, 2007), adalah sebagai berikut: terjemah, tafsir, ekstrapolasi, dan
pemaknaan. Terjemah adalah upaya mengemukakan materi atau substansi yang sama dengan
menggunakan media berbeda. Mengacu pada materi terjemahan, dibuat penafsiran untuk
mencari latar belakang dan konteksnya guna menemukan konsep yang lebih jelas.
Ekstrapolasi bertujuan mengungkap berbagai fenomena yang terkandung di balik yang
tersajikan sesuai kemampuan daya pikir manusia pada tataran empirik logik. Pemaknaan
merupakan upaya lebih jauh dari penafsiran yang tidak hanya memerlukan kemampuan
integratif manusia berupa kemampuan inderawi, daya pikir, dan akal budi, tetapi juga
menjangkau hal-hal etik dan transendental. Dengan demikian, interaksionisme simbolik
digunakan pula sebagai perspektif teoretis dan orientasi metodologis dalam penelitian ini
karena dimensi paling penting yang menjadi fokus perhatian dalam interaksionisme simbolik
adalah menggali dan menemukan makna di balik yang sensual. Salah satu kerangka
konseptual penting dalam interaksionisme simbolik adalah perilaku dan interaksi manusia
dapat diperbedakan karena ditampilkan melalui simbol bermakna (Muhadjir, 1995; Palmer:
2003:9; Bungin, 2007:181-185).
Terkait dengan itu, menurut Blummer (dalam Bungin, 2007:191), tiga premis utama
yang diggunakan sebagai basis argumentasi dalam penerapan teori interaksionisme simbolik
adalah sebagai berikut: (1) individu memberi tanggapan terhadap sesuatu secara simbolik
sesuai batasan yang diberikan terhadap situasi yang dihadapinya; (2) makna adalah hasil
interaksi sosial yang dinegoisasi melalui bahasa; dan (3) makna yang ditafsirkan individu
dapat saja berubah dari waktu ke waktu sejalan dengan perubahan konteks situasi. Penerapan
ketiga premis itu dikaitkan pula dengan pendapat Geertz (dalam Pals, 2001:382) yang
mengatakan bahwa analisis kebudayaan tidak saja berkaitan dengan masalah makna sebagai
sesuatu yang murni bermuatan sistem simbol, tetapi juga berkenaan dengan pandangan dunia,
sebagaimana diisyaratkan Humbolt (dalam Cassirier, 1997) bahwa bahasa merupakan jendela
dunia satu kelompok masyarakat yang menjadi subjek penutur bahasa bersangkutan (Kaelan,
2001; Mulyana, 2005; Finochiaro, 1974).
Selain menggunakan teori lingusitik kebudayaan, penelitian ini juga menggunakan
beberapa hasil penelitian terdahulu yang terkait sebagai acuan. Hasil penelitian dimaksud
tersebut adalah sebagai berikut.
Bustan & Sumitri (2009) dalam laporan penelitiannya berjudul Persepsi Guyub
Tutur Manggarai Tentang Signifikansi Harmoni Sosial menemukan bahwa terdapat beberapa
ungkapan tradisional dalam bahasa dan kebudayaan Manggarai yang menyingkap persepsi
Guyub Tutur Manggarai tentang signifikansi harmoni sosial. Ungkapan-ungkapan tradisional
ini secara fungsional digunakan sebagai nasehat atau petuah, saran atau perintah, media
pengingat, bahkan sindiran yang bertujuan mengingatkan warga Guyub Tutur Manggarai
untuk selalu menjaga persatuan dan kesatuan dalam kelompok klan (suku) yang tercakup
dalam satu temali kekerabatan, yang terbentuk karena kesamaan hubungan darah struktur asal
usul. Penyingkapan persepsi ini dilakukan dengan pendekatan struktural terhadap satuan
kebahasaan yang membentuk strukur ungkapan-ungkapan tradisional tersebut yakni bentuk,
makna dan fungsi. Mengingat objek kajian yang akan dikaji dalam penelitian ini sama dengan
pada penelitian yang disebutkan di atas, maka penulis akan mengacu pada pendekatan yang
digunakan dalam penelitian terdahulu. Walaupun demikian, pemilihan lokasi penelitian dan
informan pada penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu. Lokasi penelitian terdahulu
adalah wilayah perkotaan dengan informan adalah masyarakat yang tinggal di kota,
sedangkan dalam penelitian ini penulis menggunakan informan yang tinggal di desa. Hal ini
dilakukan mengingat kehidupan di wilayah pedesaan masih memiliki kecendrerungan
mempraktikkan nilai-nilai budaya tradisional daripada kehidupan masyarakat di kota yang
sudah bersifat multietnis dan dipengaruhi dengan budaya modern. Dengan demikian data
yang diperoleh dalam penelitian ini diharapkan memiliki konten dan sifat yang masih asli
atau otentik.
Penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan ungkapan tradisional adalah penelitian
yang dilakukan oleh Ni Wayan Sumitri (2007) dalam laporan penelitiannya yang berjudul
‘Nilai Sesenggakan dalam Ungkapan Tradisional Bali dalam Perspektif Linguistik
Kebudayaan’ (Linguistika, 2007). Penelitian ini mendeskripsikan salah satu variasi bentuk
ungkapan tradisional Bali yaitu sesenggekan atau ungkapan sindiran, sebagai salah satu
wujud dan praktek gaya berbahasa lisan masyarakat Bali. Sumitri mengamati makna-makna
budaya yang terdapat dalam sesenggekan dengan pendekatan struktural dan semiotik sebagai
dasar kerangka berpikirnya. Temuan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sesenggakan
atau ungkapan sindiran dalam masyarakat Bali terbentuk dari inspirasi fenomena alam seperti
tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, binatang, aktivitas, dan benda mati. Kandungan maknanya
memiliki kaitan makna dengan nilai-nilai budaya dan norma-norma masyarakat etnik Bali
dalam hubungan fungsional dengan lingkungan alam dan fungsi sosial budayanya. Nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya adalah nilai pendidikan, nilai etika dan moral, dan nilai
kebersamaan. Nilai-nilai budaya ini menjadi pijakan seseorang dalam kehidupan
bermasyarakat.
3. Metode Penilitian
Penelitian ini menggunakan metode kerja lapangan dengan pendekatan etnografi dan
etik-emik. Melalui pendekatan etnografi, peneliti dapat memahami khasanah ungkapan
tradisional dimaksud, dengan cara masuk dan menjadi bagian dari penutur atau pemilik
ungkapan tradisional tersebut (insider). Hal ini lebih dimungkinkan karena peneliti sendiri
adalah penutur bahasa Kabola dan merupakan anggota warga Kelompok Etnis Kabola.
Sementara dengan pendekatan etik-emik, peneliti berupaya untuk mendekatkan makna yang
ditafsirkan oleh peneliti dengan makna yang diberikan oleh penutur ungkapan tradisional
bahasa Kabola. Jawaban akhir mengenai makna ungkapan tradisional yang diberikan
merupakan hasil diskusi antara peneliti dengan khalayak sasaran (pemilik/ pendukung budaya
Kabola).
Data penelitian ini diperoleh dari informan yang adalah penutur bahasa. Informan
dimaksud terdiri dari tua adat dan tokoh masyarakat. Data dikumpulkan dengan metode
simak, yaitu menyimak ungkapan tradisional yang digunakan oleh masyarakat suku Kabola.
Metode simak dapat disejajarkan dengan metode pengamatan atau observasi dalam ilmu
sosial, khususnya Antropologi. Di samping itu, juga digunakan metode cakap, yaitu metode
penyediaan data dengan melakukan percakapan antara peneliti dan informan. Metode ini
dapat disejajarkan dengan metode wawancara dalam ilmu sosial, khususnya Antropologi
(Sudaryanto, 1993: 133--138; Mahsun, 2005: 92).
Dalam menganalisis data digunakan metode padan dan metode agih. Metode padan
adalah metode analisis bahasa yang alat penentunya berada di luar, terlepas, dan tidak
menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan, sedangkan metode agih adalah metode
analisis bahasa dengan alat penentu yang berasal dari bahasa itu sendiri (Sudaryanto, 1993:
13; Mahsun, 2005: 120). Metode padan yang digunakan dalam menganalisis data penelitian
ini adalah metode padan referensial yang alat penentunya adalah kenyataan yang ditunjuk
oleh bahasa atau referent bahasa dan metode padan pragmatis yang alat penentunya adalah
mitra wicara. Metode padan digunakan dalam menentukan makna ungkapan larangan,
sedangkan metode agih digunakan untuk mengetahui bentuk ungkapan larangan. Selanjutnya,
tahap-tahapan analisis data meliputi (1) transkripsi data dari bahasa lisan ke dalam bahasa
tulis dan mencatat data tertulis, (2) pengalihbahasaan ungkapan tradisional larangan dari
bahasa Kabola ke dalam bahasa Indonesia, (3) menentukan bentuk dan klasifikasi ungkapan
tradisional larangan, dan (4) mengidentifkasi makna yang terkandung dalam ungkapan
tradisional larangan.
4. Hasil dan Pembahasan
4.1. Kategori dan Makna Ungkapan Tradisional Bahasa Kabola
Berdasarkan analisis data yang diperoleh, terdapat 28 ungkapan atau pepatah yang
merefleksikan cara pandang masyarakat suku Kabola terhadap sistem harmoni dan relasi
sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Dari ranah pemakaiannya, ungkapan-ungkapan
tradisional tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori yaitu: ungkapan
tradisional dalam aspek-aspek (1) kawin mawin, (2) kebersamaan dan tolong menolong, (3)
negoisasi dalam perundingan atau diskusi, (4) perbuatan baik dan perilaku saling
menghormati, (5) pengakuan dan kepercayaan akan kemampuan orang lain, dan (6) sindiran
kepada orang sombong.
(1). Ha yang e awel mati meng, ha yang e ei towong awain (Pergilah, buatlah bakul
besar, pergilah, lahirkan banyak anak)
“Pergi dan urus suamimu dan keluarganya dengan baik”
Pepatah ini merupakan nasehat orang tua kepada kepada anak perempuannya saat
hendak melepaskannya ke rumah suaminya. Mereka berpesan agar ia dapat bermanfaat
dan melakukan hal-hal yang membanggakan suami dan keluarganya. Frase awel mati
meng (buatlah bakul) menyiratkan peran perempuan sebagai ibu rumah tangga yang
cakap mengurus rumah tangga serta turut membantu suami dalam bekerja menafkahi
keluarga. Sedangkan frase ei towong awain (lahirkan banyak anak) meyiratkan peran
perempuan sebagai alat penyambung keturunan bagi keluarga laki-laki. Ketika kedua
peran ini dilakukan maka akan tercipta hubungan yang harmonis antara keluarga laki-
laki dan keluarga perempuan.
(2). Deme e malu asala ha puin yang dang (Jangan membawa abu tungku dari
rumah)
“Tidak membawa kebiasaan dan gaya hidup di rumah sendiri ke tempat lain.
Sesuaikan dengan adat dan kebiasaan tempat lain”
Pepatah ini sebenarnya merupakan nasehat kepada anak perempuan agar setelah
menikah nanti, tidak membawa adat dan kebiasaan atau cara hidup dari rumahnya ke
rumah suaminya. Dia harus menyesuaikan diri dengan adat kebiasaan dan cara hidup
suami dan keluarganya. Frase deme e malu (abu tungku) menyiratkan kebiasaan dan
perilaku dalam rumah atau dalam keluarga si perempuan, misalnya cara berbicara,
kebiasaan makan (jenis makanan), kebiasaan tidur, gaya berpakaian dan sebagainya.
Dengan pepatah ini diharapkan si perempuan mampu menyesuaikan diri dengan
kebiasaan dan cara hidup di rumah suaminya. Jika hal ini dilakukan, maka akan
mengurangi terciptanya konflik dalam rumah tangga mereka.
(3). Si tawoil yang tang mi tup bo eng tepiri ara, ti ba loung empiri bo osele ara
(Air yang mengalir sampai ke laut ada mata airnya, pohon yang cabang dan
daunnya rimbun ada akarnya)
“Ke manapun kamu pergi dan berada, jangan lupa darimana kamu berasal”
Pepatah ini sebenarnya merupakan nasehat untuk setiap anak agar menghormati
saudara lelaki ibunya yang disebut sebagai pohon pelepas yaitu yang telah melepaskan
ibun si anak untuk menikah dengan ayahnya sehingga melahirkannya. Dalam adat
perkawinan masyarakat Kabola, posisi saudara laki-laki ibu, yang disebut pohon
pelepas’dalam hubungannya dengan perkawinan si anak perempuan, sangat penting.
Pohon pelepas dipercaya sebagai si pemberi berkat atas kehidupan perkawinan si anak
perempuan. Karena itulah menghargai dan menghormatinya akan mendatangkan berkah
atas rumah tangga yang dibangun. Kata-kata eng tepiri (mata air) dan osele (akar)
melambangkan asal dari mana datangnya kehidupan. Analogi inilah yang digunakan
dalam bentuk ungkapan tradisional di atas. Selanjutnya, dalam perkembangnnya,
ungkapan ini juga sering digunakan untuk mengingatkan setiap orang (anggota
masyarakat Kabola) agar ke manapun mereka pergi dan di manapun mereka berada, agar
tidak melupakan kampung asal dan keluarga mereka.
(4). Med ping om dul mi amudi, Med bu’u no’o ami no’o u tameng (Jatuhkan ke
dalam piring yang bersih, taruhlah di atas tikar yang bagus)
“Pelihara dan lindungi anak perempuan kami dengan makan, minum, pakai dan
tempat tidur yang layak”
Pepatah ini merupakan pesan yang diberikan orang tua pihak perempuan kepada
pihak laki-laki dalam sebuah perkawinan, agar mereka memelihara dan melindungi anak
perempuan. Isi dari ungkapan ini adalah harapan sekaligus permintaan kepada mempelai
laki-laki dan keluarganya untuk memberikan jaminan kehidupan yang layak bagi anak
perempuan mereka. Frase ping om dul (piring yang bersih) menyiratkan makan minum
yang tercukupi, sedangkan dan bu’u no’o ami no’o (tikar yang bagus) menyiratkan
tempat tinggal (rumah) yang layak dan nyaman.
(5). Hiuw do nu ahai hu po’o, nami piri nu ahai hu tawain, hali waling he ma pi
mong puhur, butu waling he ma pi taring sata (Hanya satu telur ayam yang
menetas, hanya satu manusia yang melahirkan, jika itu *mamar (kebun kemiri,
kelapa atau pinang), mari sama-sama kita menjaganya, jika itu ladang, mari
sama-sama kita membersihkannya)
“Kita ini bersaudara karena berasal dari satu keturunan. Mari hidup bersama dan
saling bekerjasama”
Pepatah ini merupakan nasehat untuk hidup dalam persekutuan dan persaudaraan
diantara anggota kelompok masyarakat etnik Kabola. Frasa hiuw do nu (satu telur ayam)
dan nami piri nu (satu manusia) menceritakan asal usul masyarakat Kabola yang berasal
dari satu keturunan atau nenek moyang. Oleh karena itu dalam segala urusan, hendaknya
ada kerjasama dan tolong menolong diantara sesama anggota masyarakat sebagaimana
kehidupan dalam sebuah keluarga.
(6). Bulung hele pi tu’uin, tang madang pi blala (Langit turun kita tongkat, laut naik
kita palang)
“Jika ada masalah atau persoalan, kita akan hadapi bersama-sama”
Pepatah ini merupakan nasehat untuk bersama-sama menghadapi suatu masalah
yang berat. Frase bulung hele (langit turun) dan tang madang (laut naik) merupakan
simbol masalah atau kesulitan. Pepatah ini juga merupakan wujud keyakinan masyarakat
suku Kabola dalam mengatasi persoalan kehidupan. Dengan ungkapan ini, masyarakat
suku Kabola diingatkan untuk bersikap optimis, yaitu bahwa semua masalah yang berat
dapat diselesaikan asalkan dihadapi secara bersama-sama.
(8). Tom tui, tamot tele (Hati saling mengikat, belakang saling menutupi)
“Saling percaya satu dengan yang lain”.
Pepatah ini merupakan nasehat untuk saling mempercayai satu sama lain. Dua orang
yang saling percaya diibaratkan seperti dua pribadi yang telah menjadi satu. Dalam hal
ini dianalogikan seperti hati yang saling mengikat (tom tui)
(9). Tang mati lawuhang, ho nouw du pite’e naring mi nouw (Laut telah bergelora,
bungkus saya dengan sedikit selimutmu)
“Saya sedang berada dalam masalah yang besar, ulurkan tanganmu dan bantulah
saya”
Pepatah ini merupakan pernyataan minta tolong kepada sesorang agar dapat keluar
dari masalah yang sedang dihadapi. Pada umumnya, masalah dalam konteks ini berkaitan
dengan urusan-urusan seperti urusan adatiah, misalnya kawin mawin, urusan
pembangunan rumah, ataupun masalah hutang pitutang. Orang yang membutuhkan
pertolongan misalnya pinjaman uang, ataupun barang, akan mengajukan permintaan
dengan pepatah ini. dan Frase tang mati lawuhang (laut telah bergelora) melambangkan
masalah berat yang sedang dihadapi, sedangkan frase ho nouw du pite’e naring mi nouw
(bungkus saya dengan sedikit selimutmu) melambangkan pertolongan yang diberikan.
Sebagai sesama anggota klan atau suku, maka wajib hukumnya untuk memberikan
pertolongan bagi orang yang sedang berada dalam kesulitan seperti ini.
(10). Bu’u mi ta pepe e sa lahoil, Lang low mi ta pepe e sa lahir (Bentangkan tikar
agar rata, bentangkan belahan yang panjang agar lurus)
“Lupakan masalah atau konflik yang baru terjadi, mari sama-sama kita kembali
ke tujuan kita”
Pepatah ini merupakan nasehat untuk saling melupakan dan memaafkan kesalahan
satu sama lain, dan kembali bergandengan tangan mencapai tujuan yang sudah
ditetapkan. Pepatah ini biasanya dikatakan saat terjadi konflik antar anggota masyarakat
lalu dibawa ke para tetua untuk diselesaikan. Para tetua biasanya akan meminta agar
masalah atau konflik yang timbul segera diuraikan secara jelas dengan pendekatan
kekeluargaan. Setelah itu, mereka akan meminta untuk pihak-pihak yang bertikai saling
bermaaf-maafan dan kembali kepada kehidupan yang harmonis dan saling mengasihi.
Memaafkan dan melupakan kesalahan sehingga bisa kembali hidup rukun diiabratkan
seperti membentangkan tikar dan belahan (bambu) sehingga menjadi rata dan lurus.
(13). Na ho pehe abeti, na ho nei nod (Busurmu yang sudah kencang saya
longgarkan, pedang yang sudah terhunus saya ikat kembali)
“Berhentilah marah dan maafkanlah kami”
Pepatah ini merupakan negoisasi yang dilakukan untuk menghentikan kemarahan
seseorang karena kesalahan yang kita lakukan. Busur panah ‘pehe’ dan pedang ‘nei’
adalah senjata yang digunakan untuk berperang. Untuk meminta seseorang
menghentikan amarahnya, dilukiskan dengan frase pehe abeti (longgarkan tali busur) dan
nei nod (masukkan pedang ke sarung). Biasanya, setelah amarah reda, orang yang
bersalah akan meminta maaf dan memberikan sesuatu (denda) sebagai tanda permintaan
maafnya..
(14). Il nu asar puin bo na asar mi amuj dang (Sisir bambu sudah saya pakai (untuk
menangkap kutu) tapi tidak mendapat apa-apa)
“Sebuah perbedaan pendapat yang tidak akan menemukan kata sepakat”
Pepatah ini merupakan suatu pernyataan bahwa meskipun sudah berusaha, dua pihak
yang berunding tidak menemukan kata sepakat. Ungkapan ini juga merupakan cara
menyatakan ketidaksetujuan seseorang tentang suatu hal ataupun ketidaksetujuan
terhadap pendapat pihak lain. Dengan pepatah ini maka diharapkan masing-masing bisa
menerima perbedaan pandangan tersebut dan menjalaninya.
(15). Yang hui mati laa’na mi lolang, yang ti doro lawen toho lolang (Sudah masuk
melewati batu hitam yang besar, sudah naik melewati ujung pohon yang tinggi)
“Pembicaraan telah mencapai kata sepakat”
Pepatah ini merupakan penutup dari sebuah pembicaraan atau perundingan terkait
suatu kegiatan yang akan dilakukan. Jika ungkapan ini telah dikatakan maka artinya
pembicaraan atau perundingan telah mencapai kata sepakat, dan tidak boleh ada pihak
lain yang berkebaratan untuk melaksanakan kesepakatan tersebut.
(16). Subei luhu mi ang, wa mehene waha bac (Tebu manis dari ujung kepangkal,
kelapa muda gurih di seluruh bagiannya)
“Dalam sepanjang hidupmu, lakukanlah perbuatan yang baik saja”
Pepatah ini merupakan pesan para orangtua kepada generasi muda untuk selalu
melakukan perbuatan-perbuatan yang baik saja. Hal ini dinasehatkan karena dipercaya
bahwa dengan selalu berbuat baik, hidup sesorang akan selalu diberkati dengan
keberhasilan. Perbuatan baik dilukiskan seperti tebu yang manis dan kelapa yang gurih.
(17). Hatang low we atang naring ta ihir, hadele te’ete we hadele naring ta ab
(Karena lenganmu panjang, maka kau bentangkan di atasku, karena bahumu
tegap maka kau sandarkan di badanku)
“Jangan bersikap sombong dan memandang remeh orang lain karena memiliki
kelebihan”
Pepatah ini merupakan nasehat sekaligus sindiran kepada mereka yang sombong dan
suka meremehkan orang lain karena memiliki kelebihan baik soal kemampuan diri
maupun dalam hal kekayaan. Frase hatang low (tanganmu panjang) dan hadele te’ete
(dadamu tegap) melambangkan kelebihan yang dimiliki, sedangkan frase atang naring ta
ihir (kau bentangkan tangan di atasku) dan hadele naring ta ab (kau sandarkan dada di
badanku) melambangkan sikap sombong dan meremehkan orang lain.
(18). Hano’o ti holo dang, hano’o wui halala dang (Jangan menjadikan dirimu
seperti pohon yang jatuh menindih, Jangan menjadikan dirimu seperti batu titian
yang menghancurkan)
“Jangan menjadi orang yang suka meyusahkan dan menindas orang lain”
Pepatah ini merupakan nasehat kepada mereka, yang karena memiliki kuasa, suka
bertindak kejam dan menindas orang lemah. Pohon yang jatuh menindih ‘ti holo’i dan
batu titian yang menghancurkan ”wui halala” adalah gambaran perilaku manusia yang
menindas dan menyusahkan kehidupan orang lain. Seorang yang memiliki kekuasaan
misalnya pemimpin, pejabat ataupun orang kaya diharapkan tidak menggunakan
kekuasaannya untuk menyusahkan orang lain.
(19). Luil mi hi’i dang, tang mi awa dang (Jangan cabai dipetik, jangan garam
ditumpah)
“Jangan berkata dan bertindak kasar”
Pepatah ini juga merupakan nasehat untuk tidak memperlakukan orang dengan kata-
kata dan perbuatan yang kasar. Cabai ‘luil’ yang pedas dan garam ‘tang’ yang asin
menggambarkan kata-kata dan tindakan yang dapat melukai perasaan seseorang. Dengan
pepatah ini, masyarakat suku Kabola diharapkan selalu menjaga tutur kata dan tindakan
yang sopan sehingga tercipta kehidupan yang rukun dan harmonis.
(20). Haring bel lamuli o ei, naring di bel lamuli o ei (Bukan kamu saja yang adalah
anak anjing yang jahat, saya juga)
“Jangan saling meremehkan karena kita sama-sama punya kemampuan,”
Pepatah ini biasanya diucapkan antar sesama tokoh masyarakat, agar tidak saling
meremehkan satu dengan yang lain karena mereka pada dasarnya memiliki kemampuan
dan peran yang sama penting dalam masyarakat. Bel lamuli (anjing jahat) adalah julukan
bagi orang-orang yang memiliki kemampuan dan posisi yang penting dalammasyarakat
misalnya para tetua adat, pemimpin kampung, dan sebagainya. Dengan pepatah ini, akan
timbul sikap saling menghormati dan menghargai di antara mereka.
(21). Lopo-lopo tang tawoil tele (Lopo-lopo (nama ikan) membuat keruh laut yang
mengalir
“seorang yang merusak hubungan orang”
Lopo-lopo merupakan jenis ikan yang biasa bergerak dengan mengibaskan ekornya
di permukaan pasir di dasar laut sehingga air laut menjadi kotor dan keruh. Pepatah ini
merujuk pada pertama, seseorang yang mengacau dalam pembicaraan atau perundingan
di sebuah pertemuan dan akibatnya tidak tercapai kata sepakat. Kedua, seseorang yang
karena ulahnya merusak komunikasi dan hubungan antar pihak dalam masyarakat.
Seseorang yang suka mengadu domba dan merusak relasi sosial dalam masyarakat sering
dijuluki dengan ungkapan ini.
(22). Tamoto nami ene dang (Jangan memberi belakang kepada orang)
“Jangan mangacuhkan dan meremehkan orang lain”
Pepatah ini merupakan nasehat kepada anak-anak muda agar tidak mengacuhkan dan
meremehkan orang lain, khususnya orang yang lebih tua, sebaliknya selalu mendengar
dan menghormati mereka. Sikap mengacuhkan atau meremehkan orang dilukiskan
dengan sikap tubuh membelakangi orang.
(24). Sini duir slaka potong mi, potong yo bo’oil om hele (Pisau cina di dalam
gagang, gagangnya saja yang membuat gagah)
“Berpenampilan gagah dan menarik tetapi tidak punya kemampuan dan
ketrampilan apapun”
Kedua pepatah di atas merupakan sebuah sindiran. Kedua pepatah memiliki makna
yang sama yaitu sindiran kepada sesorang yang memiliki penampilan luar gagah dan
menarik, tetapi tidak memiliki kemampuan atau ketrampilan yang bisa mendukung
hidupnya, seperti kemampuan berburu, menangkap ikan, berladang atau bertukang.
Penampilan luar yang gagah diibaratkan dengan suara yang merdu ‘ama lew-lew’ atau
gagang pisau yang indah ‘slaka potong yo bo’oil’. Sedangkan ketidakmampuan atau
kekurangan diri dilambangkan seperti orang (tua) memakai tongkat ‘dopong towo’ dan
pisau cina ‘sini duir’. Pisau cina biasa dikenal sebagai pisau yang tumpul. Dengan
demikian, ungkapan dalam bentuk sindiran tersebut sekaligus menasehati orang agar
tidak sombong dengan penampilan luarnya, tetapi yang terpenting adalah memiliki
kecakapan atau kemampuan dalam diri.
(25). Alambaha meleng dek-dek, te edik ara hama dang (Rumah Kebun berdiri tinggi,
kaki sudah dijinjit tapi tak sampai)
“Keinginan terlampau tinggi, hingga tak mampu mewujudkannya”
Pepatah ini juga merupakan sebuah sindiran sekaligus lelucon yang
menggambarkan keadaan dimana oleh karena mahar atau belis seorang perempuan yang
diminta oleh orang tuanya terlampau tinggi, maka tak ada lelaki yang mampu
melamarnya, dan akibatnya anak perempuan tersebut menjadi perawan tua. Selain itu,
ungkapan ini juga biasa dipakai untuk menyindir orang yang keinginannya terlampau
tinggi tetapi tidak memiliki kemampuan untuk mewujudkannya. Pepatah ini mengajarkan
masyarakat diajarkan untuk hidup realistis.
(26). Aring du bel awu wele (Kamu adalah anjing berleher putih)
“Kamu adalah orang yang masih memikul beban, jangan sombong”
Pepatah ini sebenarnya merupakan sindiran sekaligus peringatan yang ditujukan
kepada seseorang yang belum melunasi mahar atau belis istrinya tetapi dalam
kesehariannya berlagak sombong terhadap keluarga istrinya. Seharusnya ia menjaga
sikapnya dan menghormati keluarga istrinya karena ia adalah orang yang dianggap masih
memikul beban hutang di lehernya. Dengan pengertian yang sama, pepatah ini juga biasa
digunakan untuk menyindir sekaligus mengingatkan seseorang akan beban hutangnya
(uang maupun benda) yang belum dilunasi. Dengan menyindir menggunakan ungkapan
ini, diharapkan si penghutang akan malu dan segera melunasi kewajibannya.
5. Kesimpulan
Ungkapan tradisional bahasa Kabola merupaka sebuah fenomena linguistik yang
tumbuh dan berakar dari budaya masyarakat etnik Kabola. Ungkapan tradisional ini
mengekspresikan pikiran dan perasaan kelompok etnik Kabola berkenaan dengan sistim
harmoni dan relasi sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Ungkapan-ungkapan tersebut
berbentuk pepatah atau peribahasa yang menggunakan bahasa kiasan untuk menyampaikan
pesan atau isinya. Penggunaan bahasa kiasan tersebut guna menghindari kelugasan arti yang
dapat menyinggung perasaan orang yang mendengarnya.
Ungkapan tradisional bahasa Kabola mengandung nilai-nilai sosial budaya yang khas;
nilai-nilai yang menunjukkan ciri dan identitas masyarakat etnik Kabola dalam pergaulan
ditengah-tengah masyarakat multi kultur. Nilai-nilai tersebut antara lain berbuat baik,
persatuan, gotong royong dan tolong menolong, toleransi dan menerima perbedaan atau
kelemahan oarang lain, saling menghargai dan hormat-menghormati, tidak angkuh dan
mengakui kelebihan dan kemampuan orang lain. Nilai-nilai budaya tersebut masih relevan
untuk digunakan sebagai pedoman tingkah laku bagi masyarakat etnik Kabola.
Ungkapan tradisional bahasa Kabola biasanya digunakan untuk menyampaikan nasehat,
perintah atau larangan. Dengan demikian, ungkapan-ungkapan tersebut befungsi sebagai
media pendidikan bagi keluarga dan masyarakat dalam berperilaku berdasarkan dengan
norma dan aturan yang ditetapkan. Labih jauh lagi, ungkapan-ungkapan tersebut juga
berfungsi sebagai bentuk koservasi nilai-nilai kearifan lokal masyarakat etnik Kabola.
Daftar Pustaka