Anda di halaman 1dari 25

PERSEPSI HARMONI DAN RELASI SOSIAL DALAM UNGKAPAN

TRADISIONAL KELOMPOK ETNIK KABOLA DI KABUPATEN ALOR PROPINSI


NUSA TENGGARA TIMUR
SUATU KAJIAN DALAM PERSPEKTIF LINGUISTIK KEBUDAYAAN

Thomas John Tanglaa, S.Pd., M.A1, Aguatina Aloojaha, S.Pd, M.Li2


1
Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Tribuana Kalabahi
2
Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Tribuana Kalabahi
email: jotangmicahel@gmail.com

ABSTRACT

Traditional expressions used by Kabola community in Alor Regency, East Nusa Tenggara is
an interesting linguistic phenomenon to be studied. This research was conducted in order to
analyze and describe the cultural values hidden behind these traditional expressions. This
research is descriptive qualitative study, using primary data directly obtained from data
source that are key informants of kabola tribe in Lawahing Village, District of Kabola. Data
were collected by introspective method with inducement technique. The data were analyzed
by the method of padan and agih then the result was presented in formal and informal
method. In general, culturals value expressed by the traditional expression of Kabola was
related to ethic and morality. Those values may be used as the principle foundation to build
up a harmoni life in the society. Furthermore, functionally, the expressions are the media of
eduction in family and society, as well, they have become tool of control, in order to
encourage the society to obey the norms and rules applied in the society.
Keywords: traditional expression, culture value, kabola

ABSTRAKSI

Ungkapan tradisional yang digunakan oleh masyarakat suku Kabola di Kabupaten Alor, Nusa
Tenggara Timur merupakan fenomena kebahasaan (linguistik) yang menarik untuk dikaji.
Sehubungan dengan hal itu, penelitian ini dilakukan dalam rangka menganalisis dan
mendeskripsikan nilai budaya yang terkandung dalam berbagai ungkapan tradisional tersebut.
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dan menggunakan data primer yang langsung
didapatkan dari sumber data yaitu informan kunci dan masyarakat suku Kabola di Desa
Lawahing, Kecamatan Kabola. Data dikumpulkan dengan metode introspeksi dan metode
cakap dengan teknik pancingan. Data dianalisis dengan metode padan dan metode agih
kemudian hasilnya disajikan dengan metode formal dan informal. Secara umum, nilai budaya
yang terkandung di dalam ungkapan-ungkapan tradisional bahasa Kabola berkaitan dengan
etika moral dan sopan santun. Nilai-nilai tersebut dapat digunakan sebagai pijakan untuk
membangun kehidupan bersama yang rukun dan dan membangun relasi sosial yang
harmonis. Secara fungsional, peran ungkapan-ungkapan larangan tersebut adalah sebagai alat
pendidikan keluarga dan masyarakat, sekaligus sebagai alat kontrol dan pengawas agar
masyarakat selalu mematuhi norma dan aturan yang berlaku dalam masyarakat.

Kata kunci: ungkapan tradisional, nilai budaya, kabola


1. Pendahuluan
Bahasa memiliki keterkaitan yang erat dengan budaya suatu kelompok etnik
masyarakat. Menurut Koencoroningrat (1992) (via Bustan dan Sumitri, 2009) perbedaan
sosok kebudayaan suatu kelompok etnik menyata dalam bahasa yang mereka gunakan dalam
berkomunikasi. Pandangan ini didasari pada fakta bahwa bahasa (a language) merupakan
salah satu unsur bawahan langsung yang membentuk isi kebudayaan satu kelompok
masyarakat. Hal ini berarti bahwa bahasa yang digunakan dalam realitas kehidupan suatu
kelompok masyarakat baik dalam tataran interaksi makro maupun mikro, seperti dalam
peristiwa tutur (speech event) atau tindak tutur (speech act) tertentu merupakan cerminan
sosok kebudayaan yang dianut warga kelompok masyarakat yang bersangkutan (Duranti,
1997). Dikatakan demikian karena menurut Humbolt (via Foley, 1997: 19), perbedaan nyata
antar bahasa bukan sekedar perbedaan bunyi atau tanda tetapi perbedaan perspektif dunia
(weltanssichena). Dengan demikian, selain menyingkap dunia secara faktual yang terjadi,
bahasa juga dipakai untuk mengungkap cara pandang yang dianut suatu kelompok
masyarakat tertentu (De Vito, 1970 dalam Bustan dan Sumitri, 2009).
Hal ini sejalan dengan pandangan Shipley (1970) dalam Ola (1997: 26) yang
mengatakan bahwa fungsi bahasa adalah untuk menyampaikan pesan atau pandangan dari
seseorang kepada orang lain, sehingga menimbulkan reaksi pada orang lain pula. Dalam hal
ini, Shipley memberikan penekanan pada fungsi sosial dan artistik bahasa daripada fungsi-
fungsi yang lain. Lebih lanjut, De Vito (1970) dalam Ola (1997: 30) mengatakan: “Language
is a potentially self-reflective, structured system of symbols which catalog the objects, events,
and relation in the world”. Dari pernyataan tersebut di atas, dengan sangat jelas De Vito
menekankan pada peranan atau fungsi bahasa yang begitu esensi, yakni sebagai media yang
saling mengantarkan segala nilai, rasa, karsa maupun pandangan hidup suatu masarakat
terhadap masayarakat itu sendiri, lingkungan maupun dunia diluar masyarakat itu.
Hymes (dalam Bustan dan Sumitri, 2009) menyatakan bahwa realitas penggunaan
bahasa sebagai unsur kebudayaan satu kelompok masyarakat tercermin antara lain, dalam
ungkapan-ungkapan tradisional yang sering digunakan oleh anggota-anggota suatu kelompok
masyarakat dalam berkomunikasi, baik dalam situasi yang formal maupun informal. Bentuk
atau struktur satuan kebahasaan yang digunakan dalam ungkapan-ungkapan tradisional
tersebut merupakan wadah makna yang menyingkap seperangkat persepsi yang dianut warga
kelompok masyarakat yang bersangkutan tentang dunia di sekitarnya. Salah satu persepsi
yang tergurat dalam satuan kebahasaan tersebut adalah persepsi tentang harmoni dan relasi
sosial kemasyarakatan.
Persepsi tentang harmoni dan relasi sosial kemasyarakatan merupakan norma dan
kaidah sosial budaya tetesan masa lalu atau warisan leluhur yang berfungsi sebagai penuntun
moral dan pedoman etika bagi warga kelompok masyarakat yang bersangkutan dalam menata
sikap dan perilaku hidup setiap hari dalam rangka pemertahanan kehidupan bermasyarakat
yang harmoni. Pandangan ini mengisyaratkan pula bahwa bahasa yang digunakan dalam
realitas kehidupan satu kelompok masyarakat selain menyandang fungsi komunikatif, juga
mengemban fungsi integratif yang dapat menyatupadukan warga kelompok masyarakat
bersangkutan dalam suatu kesatuan hidup bersama, yang dalam perspektif sosiolinguistik
dikenal dengan sebutan atau istilah guyub tutur (speech community).
Seperti halnya bahasa yang dipakai kelompok etnik lain, bahasa Kabola yang
dipakai kelompok etnis Kabola (KEK) di kabupaten Alor, propinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT), juga mengembang fungsi integratif yang menyatupadukan warga KEK dalam
kesatuan hidup bersama berdasarkan nilai-nilai yang dianut bersama sebagai penuntun moral
dan pedoman etika bagi warga kelompok masyarakat yang bersangkutan dalam menata sikap
dan perilaku hidup setiap hari. Pengejewantahan fungsi itu dapat dilihat, antara lain, dalam
bentuk ungkapan tradisional yang dipakai baik di dalam konteks sosial maupun konteks
budaya, yang didalamnya tergurat seperangkat makna budaya tentang sistem harmoni dan
relasi sosial dalam kehidupan bermasyarakat warga KEK.
Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar generasi muda di kalangan KEK di
kabupaten Alor, tidak lagi mengetahui ungkapan-ungkapan tradisional bahasa Kabola. Jika
demikian, asumsinya adalah bahwa mereka memiliki pemahaman yang sangat terbatas
bahkan mungkin tidak mengetahui sama sekali akan fungsi, makna, dan nilai yang
tersirat/terinternalisasi di balik ungkapan-ungkapan tradisional etniknya. Walaupun
ungkapan-ungkapan tradisional bahasa Kabola memiliki makna dan nilai luhur, namun hasil
survai awal terhadap KEK menunjukkan bahwa bahasa ungkapan-ungkapan tradisional itu
hanya dimiliki oleh beberapa orang tua yang dianggap tokoh adat dan tokoh masyarakat.
Kondisi ini sangat memprihatinkan, walaupun para penutur ungkapan tradisional
mengatakan bahwa ungkapan-ungkapan tradisional itu penting karena mengandung sejumlah
filsafat hidup masyarakat bahasa Kabola yang perlu dipelihara dan diwariskan turun temurun.
Selain itu, meskipun dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, hingga kini belum
diketahui cara pemeliharaan yang semestinya, agar kekayaan budaya tersebut tidak punah.
Oleh karena itu, diperlukan upaya sesegera mungkin untuk mengadakan penelitian/kajian
untuk mengungkapkan makna dan nilai yang ada dibalik pemakaian ungkapan tradisional
masyaqrakat bahasa Kabola.
Dalam penelitian ini, dikaji realitas penggunaan bahasa sebagai salah satu unsur
bawahan langsung yang membentuk sosok kebudayaan KEK dalam tautan dengan fungsi
integratif yang diperaninya. Mengingat masalah ini memiliki cakupan yang begitu luas, maka
titik incar utama yang menjadi sasaran analisis adalah berkenaan dengan persepsi kelompok
etnis Kabola tentang sistem harmoni dan relasi sosial. Masalah tersebut ditelaah secara
khusus dengan merujuk pada karasteristik bentuk, fungsi dan makna satuan kebahasaan
dalam sejumlah ungkapan tradisional yang biasa digunakan warga kelompok etnis Kabola
sebagai wahana pemertahanan harmoni dan relasi sosial terutama dalam lingkup kehidupan
mereka dengan sesama saudaranya yang masih tercakup dalam satu temali kekerabatan
lelengbala sebagai satu klan atau suku.
Secara objektif, penelitian ini dilakukan karena satuan kebahasaan yang digunakan
dalam ungkapan tradisional tersebut memiliki karakteristik fungsi dan makna khas dalam
menyingkap persepsi KEK tentang sistem harmoni dan relasi sosial. Kekhasan sebagai
kekhususan pembeda karakteristik fungsi dan makna satuan kebahasaan itu bertalian erat
dengan konteks sosial budaya KEK sebagai latar nirkata yang mendasari pemberian nilai
terhadap satuan kebahasaan itu. Seperti disinggung sebelumnya, persepsi tersebut berfungsi
sebagai penuntun moral dan pedoman etika bagi warga KEK dalam menata sikap dan
perilaku hidup mereka setiap hari, terutama dengan sesama saudaranya yang masih tercakup
dalam satu temali kekerabatan lelengbala sebagai kelompok satu klan. Secara maknawi,
penggunaan ungkapan tradisional itu disasarkan pada penciptaan suatu tatanan kehidupan
yang aman, tenteram dan damai, sebagaimana diamanatkan leluhurnya bahwa sebagai
saudara sesulur, mereka harus selalu seia dalam perbuatan dan sekata dalam tuturan. Selain
alasan tersebut, penelitian ini dilakukan pula karena belum ada hasil kajian yang mendalami
secara khusus persepsi KEK tentang sistem harmoni dan relasi sosial ditinjau dari perspektif
linguistik kebudayaan dengan menggunakan ancangan etnografi dialogis berperspektif emik
sebagai sebuah inovasi keilmuan dalam kajian antropologi bermatra sosial guna
menggantikan ancangan etnografi analogis berperspektif etik yang banyak diterapkan pada
masa silam, dimana hasil analisis makna datanya cenderung bersifat subjektif (Spradley,
1997).

2. Kerangka Teori
2.1. Teori Linguistik Kebudayaan
Kerangka teori utama yang memayungi penelitian ini adalah linguistik kebudayaan
sebagai salah satu perspektif teoritis dalam linguistik kognitif yang mengkaji hubungan
kovariatif antara bahasa dan kebudayaan yang dianut satu kelompok masyarakat. Titik incar
utama yang menjadi sasaran pemerian dalam linguistik kebudayaan adalah analisis makna
bahasa sebagai cerminan makna budaya dengan tujuan untuk mengetahui pemahaman budaya
warga kelompok masyarakat bersangkutan dalam memandang dunia (Palmer, 1996:10-26;
Foley, 1991:5). Bertalian dengan itu, menurut Mbete (1997), linguistik kebudayaan
merupakan sebuah cakrawala baru dalam kajian linguistik karena bahasa yang digunakan
dalam realitas kehidupan satu kelompok masyarakat tidak saja dipahami sebagai sebuah
fenomena linguistik, tetapi juga dimaknai sebagai sebuah fenomena sosial dan fenomena
budaya. Dalam kaitan dengan peran bahasa sebagai fenomena sosial dan fenomena budaya,
fokus utama yang menjadi sasaran pemerian dalam kajian linguistik kebudayaan adalah
analisis perilaku bahasa dan pola penggunaanya dalam konteks sosial dan konteks budaya.
Dengan demikian, analisis linguistik kebudayaan lebih banyak bermuara pada penjaringan
arti, penggalian makna dan penemuan nilai di balik penggunaan bahasa dalam satu realitas
kehidupan satu guyub tutur dengan tujuan untuk mengetahui cara pandang mereka tentang
dunia, baik dunia yang secara faktual terjadi maupun dunia simbolik.
Analisis makna dalam kajian linguistik kebudayaan bergayut dalam satu kesatuan
dengan analisis bentuk atau struktur dan fungsi karena, seperti disinggung sebelumnya,
bentuk adalah tanda yang tampak secara fisik dan makna merupakan gaung dari bentuk atau
isyarat dari kehendak yang dijelma lewat fungsi (Purbo Hawidjojo, 1998:53-54). Hal ini
berimplikasi bahwa pengkajian bentuk atau struktur bahasa tidak dapat berdiri sendiri tanpa
menyinggung aspek makna yang terwadah di dalamnya karena bahasa merupakan sebuah
instrumen pengungkap makna. Bentuk atau struktur bahasa merefleksikan fungsi dan makna
yang terwadah dalam bentuk atau struktur tersebut hanya dapat dipahami secara tepat
berdasarkan fungsi yang diperaninya, sebagaimana dikemukakan Wierzbicka (1996:3) bahwa
mempelajari struktur bahasa tanpa mengacu pada aspek makna ibarat mempelajari rambu
lintas dilihat dari ciri-ciri fisik saja, seperti berapa berat dan jenis cat yang digunakan, atau
seperti mempelajari struktur mata tanpa mengacu pada masalah penglihatan. Pandangan itu
dielaborasi lebih lanjut dalam penelitian ini dengan pendapat Frawley (1992:59-60) yang
mengatakan bahwa makna bahasa merupakan kerangka konseptual yang menggambarkan
kategorisasi dalam dunia, sehingga bentuk atau struktur dan makna bahasa tersebut dilihat
sebagai wadah yang berisi gambaran berkas mental warga guyub tutur yang menjadi subjek
penutur bahasa bersangkutan. Hal ini selaras dengan pandangan Geertz (dalam Pals,
2001:369) yang mengatakan, jika ingin memahami aktivitas kebudayaan yang salah satu
unsur utamanya adalah bahasa, maka metode yang dipandang tepat adalah metode penafsiran
karena analisis kebudayaan pada hakekatnya bukan sebuah ilmu eksperimental untuk mencari
sebuah hukum, tetapi merupakan sebuah penafsiran untuk mencari makna, yakni makna
budaya yang terkonseptualisasi dalam bahasa.
Meski demikian, Ochs (1988: 9), makna budaya yang terkonseptualisasi dalam satu
bahasa tidak berlaku semesta untuk semua bahasa. Makna budaya yang terkonseptualisasi
dalam satu bahasa bersifat khas dan khusus, sehingga hanya berlaku dalam realitas kehidupan
guyub tutur bahasa bersangkutan. Hal itu diperkuat pula dengan pandangan Humbolt (dalam
Cassirier, 1997: 183-184) yang mengatakan bahwa perbedaan nyata antarbahasa bukan
sekadar perbedaan bunyi atau perbedaan tanda, tetapi perbedaan antarbahasa sesungguhnya
berkenaan dengan perbedaan perspektif dunia, sebagaimana tercermin dalam simbol-simbol.
Simbol meliputi apa yang dirasakan dan dialami manusia, sedangkan rujukan menunjuk pada
benda atau objek yang menjadi rujukan simbol tersebut, berupa hal-hal yang dapat dipikirkan
dalam pengalaman manusia. Hubungan antara simbol dan benda atau objek yang menjadi
rujukannya disebut makna, sehingga penafsiran makna lebih bermanfaat jika menggunakan
teori relasional tentang makna karena, dalam teori tersebut, sistem makna budaya disandikan
dalam simbol-simbol dan sistem simbol utama yang menyandikan makna budaya adalah
bahasa (Spradley, 1997: 123). Oleh karena itu, analisis makna bahasa yang digunakan dalam
realitas kehidupan satu guyub tutur menjadi pintu masuk untuk mengetahui karakteristik
sistem makna budaya, sebagaimana terpatri dalam peta pengetahuan warga guyub tutur
bahasa bersangkutan.
Empat langkah pokok sebagai pilar pijakan dalam proses penafsiran makna, menurut
Mannheim (dalam Bungin, 2007), adalah sebagai berikut: terjemah, tafsir, ekstrapolasi, dan
pemaknaan. Terjemah adalah upaya mengemukakan materi atau substansi yang sama dengan
menggunakan media berbeda. Mengacu pada materi terjemahan, dibuat penafsiran untuk
mencari latar belakang dan konteksnya guna menemukan konsep yang lebih jelas.
Ekstrapolasi bertujuan mengungkap berbagai fenomena yang terkandung di balik yang
tersajikan sesuai kemampuan daya pikir manusia pada tataran empirik logik. Pemaknaan
merupakan upaya lebih jauh dari penafsiran yang tidak hanya memerlukan kemampuan
integratif manusia berupa kemampuan inderawi, daya pikir, dan akal budi, tetapi juga
menjangkau hal-hal etik dan transendental. Dengan demikian, interaksionisme simbolik
digunakan pula sebagai perspektif teoretis dan orientasi metodologis dalam penelitian ini
karena dimensi paling penting yang menjadi fokus perhatian dalam interaksionisme simbolik
adalah menggali dan menemukan makna di balik yang sensual. Salah satu kerangka
konseptual penting dalam interaksionisme simbolik adalah perilaku dan interaksi manusia
dapat diperbedakan karena ditampilkan melalui simbol bermakna (Muhadjir, 1995; Palmer:
2003:9; Bungin, 2007:181-185).
Terkait dengan itu, menurut Blummer (dalam Bungin, 2007:191), tiga premis utama
yang diggunakan sebagai basis argumentasi dalam penerapan teori interaksionisme simbolik
adalah sebagai berikut: (1) individu memberi tanggapan terhadap sesuatu secara simbolik
sesuai batasan yang diberikan terhadap situasi yang dihadapinya; (2) makna adalah hasil
interaksi sosial yang dinegoisasi melalui bahasa; dan (3) makna yang ditafsirkan individu
dapat saja berubah dari waktu ke waktu sejalan dengan perubahan konteks situasi. Penerapan
ketiga premis itu dikaitkan pula dengan pendapat Geertz (dalam Pals, 2001:382) yang
mengatakan bahwa analisis kebudayaan tidak saja berkaitan dengan masalah makna sebagai
sesuatu yang murni bermuatan sistem simbol, tetapi juga berkenaan dengan pandangan dunia,
sebagaimana diisyaratkan Humbolt (dalam Cassirier, 1997) bahwa bahasa merupakan jendela
dunia satu kelompok masyarakat yang menjadi subjek penutur bahasa bersangkutan (Kaelan,
2001; Mulyana, 2005; Finochiaro, 1974).
Selain menggunakan teori lingusitik kebudayaan, penelitian ini juga menggunakan
beberapa hasil penelitian terdahulu yang terkait sebagai acuan. Hasil penelitian dimaksud
tersebut adalah sebagai berikut.
Bustan & Sumitri (2009) dalam laporan penelitiannya berjudul Persepsi Guyub
Tutur Manggarai Tentang Signifikansi Harmoni Sosial menemukan bahwa terdapat beberapa
ungkapan tradisional dalam bahasa dan kebudayaan Manggarai yang menyingkap persepsi
Guyub Tutur Manggarai tentang signifikansi harmoni sosial. Ungkapan-ungkapan tradisional
ini secara fungsional digunakan sebagai nasehat atau petuah, saran atau perintah, media
pengingat, bahkan sindiran yang bertujuan mengingatkan warga Guyub Tutur Manggarai
untuk selalu menjaga persatuan dan kesatuan dalam kelompok klan (suku) yang tercakup
dalam satu temali kekerabatan, yang terbentuk karena kesamaan hubungan darah struktur asal
usul. Penyingkapan persepsi ini dilakukan dengan pendekatan struktural terhadap satuan
kebahasaan yang membentuk strukur ungkapan-ungkapan tradisional tersebut yakni bentuk,
makna dan fungsi. Mengingat objek kajian yang akan dikaji dalam penelitian ini sama dengan
pada penelitian yang disebutkan di atas, maka penulis akan mengacu pada pendekatan yang
digunakan dalam penelitian terdahulu. Walaupun demikian, pemilihan lokasi penelitian dan
informan pada penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu. Lokasi penelitian terdahulu
adalah wilayah perkotaan dengan informan adalah masyarakat yang tinggal di kota,
sedangkan dalam penelitian ini penulis menggunakan informan yang tinggal di desa. Hal ini
dilakukan mengingat kehidupan di wilayah pedesaan masih memiliki kecendrerungan
mempraktikkan nilai-nilai budaya tradisional daripada kehidupan masyarakat di kota yang
sudah bersifat multietnis dan dipengaruhi dengan budaya modern. Dengan demikian data
yang diperoleh dalam penelitian ini diharapkan memiliki konten dan sifat yang masih asli
atau otentik.
Penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan ungkapan tradisional adalah penelitian
yang dilakukan oleh Ni Wayan Sumitri (2007) dalam laporan penelitiannya yang berjudul
‘Nilai Sesenggakan dalam Ungkapan Tradisional Bali dalam Perspektif Linguistik
Kebudayaan’ (Linguistika, 2007). Penelitian ini mendeskripsikan salah satu variasi bentuk
ungkapan tradisional Bali yaitu sesenggekan atau ungkapan sindiran, sebagai salah satu
wujud dan praktek gaya berbahasa lisan masyarakat Bali. Sumitri mengamati makna-makna
budaya yang terdapat dalam sesenggekan dengan pendekatan struktural dan semiotik sebagai
dasar kerangka berpikirnya. Temuan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah sesenggakan
atau ungkapan sindiran dalam masyarakat Bali terbentuk dari inspirasi fenomena alam seperti
tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, binatang, aktivitas, dan benda mati. Kandungan maknanya
memiliki kaitan makna dengan nilai-nilai budaya dan norma-norma masyarakat etnik Bali
dalam hubungan fungsional dengan lingkungan alam dan fungsi sosial budayanya. Nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya adalah nilai pendidikan, nilai etika dan moral, dan nilai
kebersamaan. Nilai-nilai budaya ini menjadi pijakan seseorang dalam kehidupan
bermasyarakat.

2.2. Konsep Ungkapan Tradisional


Menurut Alan Dundes, ungkapan tradisional sukar sekali untuk didefinisikan.
Meskipun demikian, dengan mengutip Carventes, Dundes mendefinisikan ungkapan
tradisional sebagai ‘kalimat pendek yang disarikan dari pengalaman yang
panjang’(Dananjaya, 1984: 28). Artinya, ungkapan tradisional berisi nasihat atau ajaran dari
orang-orang bijak yang sudah mengalami berbagai pengalaman hidup. Di dalam ungkapan
tradisional terdapat ajaran, nasihat, pendidikan moral dan norma sosial yang dapat dijadikan
pedoman dalam menjalani kehidupan. Pada umumnya, ungkapan tradisional mengandung arti
kiasan yang berhubungan dengan perilaku seseorang atau anggota masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari.
Pengertian ungkapan tradisional sebagaimana disebutkan di atas juga mencakup di
dalamnya konsep peribahasa, pepatah dan perumpamaan. Alwi, dkk (dalam Rahmawati,
2014: 16) menjelaskan peribahasa adalah kalimat yang tetap susunannya, biasanya
mengiaskan maksud tertentu. Sementara, istilah pepatah diartikan sebagai kalimat pendek
berisi kiasan tentang keadaan atau tingkah laku, mengungkapkan pikiran yang berfaedah atau
kebenaran yang wajar. Hal senada dikemukakan oleh Badudu (dalam Rahmawati, 2014:16)
yang menjelaskan arti pepatah sebagai kiasan yang dinyatakan dengan kalimat selesai, tetapi
kalimat yang seolah-olah dipatah-patahkan, yang dikiaskan adalah sesuatu tentang keadaan
atau kelakuan seseorang. Selanjutnya, perumpamaan adalah kalimat yang mengungkapkan
keadaan seseorang dengan mengambil perbandingan dari alam sekitar yang senantiasa
didahului oleh kata-kata perbandingan dari alam sekitar. Perumpamaan dimulai dengan kata
sebagai, bak, laksana, penaka, seumpama, sepantun, dan sebagainya (Badudu dalam
Rahmawati, 2014:17)
Ungkapan tradisional memiliki tiga sifat yang hakiki, yaitu bahwa pertama,
peribahasa itu harus berupa satu kalimat ungkapan, tidak cukup hanya berupa satu kata
tradisional saja; kedua, peribahasa ada dalam bentuk yang sudah standar; ketiga, suatu
peribahasa harus memiliki vitalitas atau daya hidup tradisi lisan yang dapat dibedakan dari
bentuk-bentuk klise tulisan yang berbentuk syair, iklan, reportase, olahraga, dan sebagainya
(Brundvand dalam Dananjaya, 1984: 28).
Berdasarkan sifat hakiki tersebut, peribahasa dibedakan menjadi empat golongan
besar yaitu (1) peribahasa yang sesungguhnya (true proverbs), (2) peribahasa yang tidak
lengkap, (3) peribahasa perumpamaan dan (4) ungkapan yang mirip peribahasa.
Peribahasa yang sesungguhnya adalah ungkapan tradisional yang memiliki sifat-
sifat: (1) kalimatnya lengkap, (2) bentuknya biasanya kurang mengalami perubahan, (3)
mengandung kebenaran dan kebijaksanaan. Sementara, peribahasa yang tidak lengkap adalah
ungkapan tradisional yang memiliki sifat-sifat: (1) kalimatnya tidak lengkap, (2) bentuknya
sering berubah, (3) jarang mengungkapkan kebijaksanaan, (4) biasanya bersifat kiasan.
Peribahasa perumpamaan adalah ungkapan tradisional yang biasanya dimulai dengan kata-
kata “seperti”, ‘bagai” dan lain-lain, sedangkan ungkapan-ungkapan yang mirip peribahasa
merupakan ungkapan-ungkapan yang digunakan untuk menghina (insult), nyeletuk (retort);
atau suatu jawaban pendek, yang tajam atau lucu, dan merupakan peringatan yang dapat
menyakitkan hati (wisecracks) (Dananjaya, 1984: 29-30).

3. Metode Penilitian
Penelitian ini menggunakan metode kerja lapangan dengan pendekatan etnografi dan
etik-emik. Melalui pendekatan etnografi, peneliti dapat memahami khasanah ungkapan
tradisional dimaksud, dengan cara masuk dan menjadi bagian dari penutur atau pemilik
ungkapan tradisional tersebut (insider). Hal ini lebih dimungkinkan karena peneliti sendiri
adalah penutur bahasa Kabola dan merupakan anggota warga Kelompok Etnis Kabola.
Sementara dengan pendekatan etik-emik, peneliti berupaya untuk mendekatkan makna yang
ditafsirkan oleh peneliti dengan makna yang diberikan oleh penutur ungkapan tradisional
bahasa Kabola. Jawaban akhir mengenai makna ungkapan tradisional yang diberikan
merupakan hasil diskusi antara peneliti dengan khalayak sasaran (pemilik/ pendukung budaya
Kabola).
Data penelitian ini diperoleh dari informan yang adalah penutur bahasa. Informan
dimaksud terdiri dari tua adat dan tokoh masyarakat. Data dikumpulkan dengan metode
simak, yaitu menyimak ungkapan tradisional yang digunakan oleh masyarakat suku Kabola.
Metode simak dapat disejajarkan dengan metode pengamatan atau observasi dalam ilmu
sosial, khususnya Antropologi. Di samping itu, juga digunakan metode cakap, yaitu metode
penyediaan data dengan melakukan percakapan antara peneliti dan informan. Metode ini
dapat disejajarkan dengan metode wawancara dalam ilmu sosial, khususnya Antropologi
(Sudaryanto, 1993: 133--138; Mahsun, 2005: 92).
Dalam menganalisis data digunakan metode padan dan metode agih. Metode padan
adalah metode analisis bahasa yang alat penentunya berada di luar, terlepas, dan tidak
menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan, sedangkan metode agih adalah metode
analisis bahasa dengan alat penentu yang berasal dari bahasa itu sendiri (Sudaryanto, 1993:
13; Mahsun, 2005: 120). Metode padan yang digunakan dalam menganalisis data penelitian
ini adalah metode padan referensial yang alat penentunya adalah kenyataan yang ditunjuk
oleh bahasa atau referent bahasa dan metode padan pragmatis yang alat penentunya adalah
mitra wicara. Metode padan digunakan dalam menentukan makna ungkapan larangan,
sedangkan metode agih digunakan untuk mengetahui bentuk ungkapan larangan. Selanjutnya,
tahap-tahapan analisis data meliputi (1) transkripsi data dari bahasa lisan ke dalam bahasa
tulis dan mencatat data tertulis, (2) pengalihbahasaan ungkapan tradisional larangan dari
bahasa Kabola ke dalam bahasa Indonesia, (3) menentukan bentuk dan klasifikasi ungkapan
tradisional larangan, dan (4) mengidentifkasi makna yang terkandung dalam ungkapan
tradisional larangan.
4. Hasil dan Pembahasan
4.1. Kategori dan Makna Ungkapan Tradisional Bahasa Kabola
Berdasarkan analisis data yang diperoleh, terdapat 28 ungkapan atau pepatah yang
merefleksikan cara pandang masyarakat suku Kabola terhadap sistem harmoni dan relasi
sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Dari ranah pemakaiannya, ungkapan-ungkapan
tradisional tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori yaitu: ungkapan
tradisional dalam aspek-aspek (1) kawin mawin, (2) kebersamaan dan tolong menolong, (3)
negoisasi dalam perundingan atau diskusi, (4) perbuatan baik dan perilaku saling
menghormati, (5) pengakuan dan kepercayaan akan kemampuan orang lain, dan (6) sindiran
kepada orang sombong.

1. Ungkapan tradisional dalam aspek kawin mawin


Ungkapan tradisional yang berkenaan dengan kawin mawin di sini adalah pesan atau
nasehat yang diberikan pada saat proses perkawinan. Pesan-pesan dalam bentuk
ungkapan atau pepatah tersebut berisi harapan atau permintaan kepada pihak mempelai
perempuan maupun mempelai laki-laki untuk melakukan hal-hal yang dipandang baik.
Ungkapan-ungkapan tradisional tersebut adalah sebagai berikut:

(1). Ha yang e awel mati meng, ha yang e ei towong awain (Pergilah, buatlah bakul
besar, pergilah, lahirkan banyak anak)
“Pergi dan urus suamimu dan keluarganya dengan baik”
Pepatah ini merupakan nasehat orang tua kepada kepada anak perempuannya saat
hendak melepaskannya ke rumah suaminya. Mereka berpesan agar ia dapat bermanfaat
dan melakukan hal-hal yang membanggakan suami dan keluarganya. Frase awel mati
meng (buatlah bakul) menyiratkan peran perempuan sebagai ibu rumah tangga yang
cakap mengurus rumah tangga serta turut membantu suami dalam bekerja menafkahi
keluarga. Sedangkan frase ei towong awain (lahirkan banyak anak) meyiratkan peran
perempuan sebagai alat penyambung keturunan bagi keluarga laki-laki. Ketika kedua
peran ini dilakukan maka akan tercipta hubungan yang harmonis antara keluarga laki-
laki dan keluarga perempuan.

(2). Deme e malu asala ha puin yang dang (Jangan membawa abu tungku dari
rumah)
“Tidak membawa kebiasaan dan gaya hidup di rumah sendiri ke tempat lain.
Sesuaikan dengan adat dan kebiasaan tempat lain”
Pepatah ini sebenarnya merupakan nasehat kepada anak perempuan agar setelah
menikah nanti, tidak membawa adat dan kebiasaan atau cara hidup dari rumahnya ke
rumah suaminya. Dia harus menyesuaikan diri dengan adat kebiasaan dan cara hidup
suami dan keluarganya. Frase deme e malu (abu tungku) menyiratkan kebiasaan dan
perilaku dalam rumah atau dalam keluarga si perempuan, misalnya cara berbicara,
kebiasaan makan (jenis makanan), kebiasaan tidur, gaya berpakaian dan sebagainya.
Dengan pepatah ini diharapkan si perempuan mampu menyesuaikan diri dengan
kebiasaan dan cara hidup di rumah suaminya. Jika hal ini dilakukan, maka akan
mengurangi terciptanya konflik dalam rumah tangga mereka.

(3). Si tawoil yang tang mi tup bo eng tepiri ara, ti ba loung empiri bo osele ara
(Air yang mengalir sampai ke laut ada mata airnya, pohon yang cabang dan
daunnya rimbun ada akarnya)
“Ke manapun kamu pergi dan berada, jangan lupa darimana kamu berasal”
Pepatah ini sebenarnya merupakan nasehat untuk setiap anak agar menghormati
saudara lelaki ibunya yang disebut sebagai pohon pelepas yaitu yang telah melepaskan
ibun si anak untuk menikah dengan ayahnya sehingga melahirkannya. Dalam adat
perkawinan masyarakat Kabola, posisi saudara laki-laki ibu, yang disebut pohon
pelepas’dalam hubungannya dengan perkawinan si anak perempuan, sangat penting.
Pohon pelepas dipercaya sebagai si pemberi berkat atas kehidupan perkawinan si anak
perempuan. Karena itulah menghargai dan menghormatinya akan mendatangkan berkah
atas rumah tangga yang dibangun. Kata-kata eng tepiri (mata air) dan osele (akar)
melambangkan asal dari mana datangnya kehidupan. Analogi inilah yang digunakan
dalam bentuk ungkapan tradisional di atas. Selanjutnya, dalam perkembangnnya,
ungkapan ini juga sering digunakan untuk mengingatkan setiap orang (anggota
masyarakat Kabola) agar ke manapun mereka pergi dan di manapun mereka berada, agar
tidak melupakan kampung asal dan keluarga mereka.

(4). Med ping om dul mi amudi, Med bu’u no’o ami no’o u tameng (Jatuhkan ke
dalam piring yang bersih, taruhlah di atas tikar yang bagus)
“Pelihara dan lindungi anak perempuan kami dengan makan, minum, pakai dan
tempat tidur yang layak”
Pepatah ini merupakan pesan yang diberikan orang tua pihak perempuan kepada
pihak laki-laki dalam sebuah perkawinan, agar mereka memelihara dan melindungi anak
perempuan. Isi dari ungkapan ini adalah harapan sekaligus permintaan kepada mempelai
laki-laki dan keluarganya untuk memberikan jaminan kehidupan yang layak bagi anak
perempuan mereka. Frase ping om dul (piring yang bersih) menyiratkan makan minum
yang tercukupi, sedangkan dan bu’u no’o ami no’o (tikar yang bagus) menyiratkan
tempat tinggal (rumah) yang layak dan nyaman.

2. Ungkapan tradisional dalam aspek kebersamaan, gotong royong dan tolong


menolong
Beberapa ungkapan tradisional merupakan nasehat untuk menjaga kebersaaman,
selalu bekerjasama dan hidup tolong menolong antar sesama anggota kelompok etnik
Kabola karena mereka merupakan satu keluarga yang berasal dari satu nenek moyang.
Ungkapan-ungkapan tradisional tersebut adalah sebagai berikut:

(5). Hiuw do nu ahai hu po’o, nami piri nu ahai hu tawain, hali waling he ma pi
mong puhur, butu waling he ma pi taring sata (Hanya satu telur ayam yang
menetas, hanya satu manusia yang melahirkan, jika itu *mamar (kebun kemiri,
kelapa atau pinang), mari sama-sama kita menjaganya, jika itu ladang, mari
sama-sama kita membersihkannya)
“Kita ini bersaudara karena berasal dari satu keturunan. Mari hidup bersama dan
saling bekerjasama”
Pepatah ini merupakan nasehat untuk hidup dalam persekutuan dan persaudaraan
diantara anggota kelompok masyarakat etnik Kabola. Frasa hiuw do nu (satu telur ayam)
dan nami piri nu (satu manusia) menceritakan asal usul masyarakat Kabola yang berasal
dari satu keturunan atau nenek moyang. Oleh karena itu dalam segala urusan, hendaknya
ada kerjasama dan tolong menolong diantara sesama anggota masyarakat sebagaimana
kehidupan dalam sebuah keluarga.

(6). Bulung hele pi tu’uin, tang madang pi blala (Langit turun kita tongkat, laut naik
kita palang)
“Jika ada masalah atau persoalan, kita akan hadapi bersama-sama”
Pepatah ini merupakan nasehat untuk bersama-sama menghadapi suatu masalah
yang berat. Frase bulung hele (langit turun) dan tang madang (laut naik) merupakan
simbol masalah atau kesulitan. Pepatah ini juga merupakan wujud keyakinan masyarakat
suku Kabola dalam mengatasi persoalan kehidupan. Dengan ungkapan ini, masyarakat
suku Kabola diingatkan untuk bersikap optimis, yaitu bahwa semua masalah yang berat
dapat diselesaikan asalkan dihadapi secara bersama-sama.

(7). To owoho to atele, te to apuin tatang to apuin (Ikut menggendong, ikut


mengangkat, perpegangan kaki, bergandengan tangan)
“Mari bekerjasama melakukan suatu pekerjaan”
Sama halnya dengan pepatah (6), ungkapan tradisional ini juga merupakan nasehat
untuk bekerja bersama dalam menyelesaikan suatu pekerjan. Namun demikian, ungkapan
ini lebih bersifat ajakan.

(8). Tom tui, tamot tele (Hati saling mengikat, belakang saling menutupi)
“Saling percaya satu dengan yang lain”.
Pepatah ini merupakan nasehat untuk saling mempercayai satu sama lain. Dua orang
yang saling percaya diibaratkan seperti dua pribadi yang telah menjadi satu. Dalam hal
ini dianalogikan seperti hati yang saling mengikat (tom tui)

(9). Tang mati lawuhang, ho nouw du pite’e naring mi nouw (Laut telah bergelora,
bungkus saya dengan sedikit selimutmu)
“Saya sedang berada dalam masalah yang besar, ulurkan tanganmu dan bantulah
saya”
Pepatah ini merupakan pernyataan minta tolong kepada sesorang agar dapat keluar
dari masalah yang sedang dihadapi. Pada umumnya, masalah dalam konteks ini berkaitan
dengan urusan-urusan seperti urusan adatiah, misalnya kawin mawin, urusan
pembangunan rumah, ataupun masalah hutang pitutang. Orang yang membutuhkan
pertolongan misalnya pinjaman uang, ataupun barang, akan mengajukan permintaan
dengan pepatah ini. dan Frase tang mati lawuhang (laut telah bergelora) melambangkan
masalah berat yang sedang dihadapi, sedangkan frase ho nouw du pite’e naring mi nouw
(bungkus saya dengan sedikit selimutmu) melambangkan pertolongan yang diberikan.
Sebagai sesama anggota klan atau suku, maka wajib hukumnya untuk memberikan
pertolongan bagi orang yang sedang berada dalam kesulitan seperti ini.
(10). Bu’u mi ta pepe e sa lahoil, Lang low mi ta pepe e sa lahir (Bentangkan tikar
agar rata, bentangkan belahan yang panjang agar lurus)
“Lupakan masalah atau konflik yang baru terjadi, mari sama-sama kita kembali
ke tujuan kita”
Pepatah ini merupakan nasehat untuk saling melupakan dan memaafkan kesalahan
satu sama lain, dan kembali bergandengan tangan mencapai tujuan yang sudah
ditetapkan. Pepatah ini biasanya dikatakan saat terjadi konflik antar anggota masyarakat
lalu dibawa ke para tetua untuk diselesaikan. Para tetua biasanya akan meminta agar
masalah atau konflik yang timbul segera diuraikan secara jelas dengan pendekatan
kekeluargaan. Setelah itu, mereka akan meminta untuk pihak-pihak yang bertikai saling
bermaaf-maafan dan kembali kepada kehidupan yang harmonis dan saling mengasihi.
Memaafkan dan melupakan kesalahan sehingga bisa kembali hidup rukun diiabratkan
seperti membentangkan tikar dan belahan (bambu) sehingga menjadi rata dan lurus.

3. Ungkapan tradisional terkait negoisasi dalam perundingan atau diskusi


(11). No bini lawen, No mol ulu (Gunung saya sangat tinggi, jurang saya sangat
dalam)
“Saya tidak mampu memenuhi permintaan kamu”
Pepatah ini merupakan pernyataan negoisasi dalam pembicaraan atau perundingan
terkait suatu urusan. Ungkapan ini menyatakan bahwa seseorang tidak mampu
memenuhi permintaan atau tuntutan dari pihak lain. Ungkapan ini merupakan bentuk
pengakuan akan kekurangan dan ketidakmampuan diri sekaligus juga merupakan bentuk
permohonan kepada pihak lain untuk memaafkan dan memaklumi keadaan tersebut.
Terkadang, ungkapan tradisional ini digunakan dalam acara perkawinan, yaitu digunakan
oleh pihak mempelai pria untuk menegoisasi nilai belis atau mahar mempelai wanita.
Dengan ungkapan tradisional ini, pihak mempelai pria memohon keringanan nilai belis
karena ketidakmampuan mereka secara ekonomi.
(12). Dei butu ara bihi, bati ara te’e, Dei dil ara lap, neme ara ta (Buka saja ladang
dahulu, tanam saja jagung dahulu, berburu saja dahulu di hutan, mencari kerang
saja dahulu di laut)
“Saat ini hanya ini (sedikit dan belum cukup) yang bisa kita lakukan atau
berikan, bila waktunya nanti kita akan melengkapinya”
Pepatah ini sebenarnya merupakan negoisasi yang dilakukan dalam perundingan
perkawinan, dikarenakan persiapan perkawinan yang belum seratus persen. Ungkapan
ini, mengisyaratkan bahwa dengan persiapan yang ada pada saat ini, sebaiknya acara
perkawinannya dilaksanakan saja dahulu, sedangkan hal-hal terkait belis/ mahar akan
dilengkapi setelah perkawinan. Selanjutnya ungkapan ini juga biasa digunakan dalam
berbagai pembicaraan atau perundingan terkait urusan lainnya, yaitu meminta untuk
tidak menunda suatu urusan atau pekerjaan meskipun persiapannya belum sempurna.
Dengan ungkapan ini, diharapkan suatu urusan atau pekerjaan dapat segera dimulai
sambil melengkapi hal-hal masih kurang di tengah jalan.

(13). Na ho pehe abeti, na ho nei nod (Busurmu yang sudah kencang saya
longgarkan, pedang yang sudah terhunus saya ikat kembali)
“Berhentilah marah dan maafkanlah kami”
Pepatah ini merupakan negoisasi yang dilakukan untuk menghentikan kemarahan
seseorang karena kesalahan yang kita lakukan. Busur panah ‘pehe’ dan pedang ‘nei’
adalah senjata yang digunakan untuk berperang. Untuk meminta seseorang
menghentikan amarahnya, dilukiskan dengan frase pehe abeti (longgarkan tali busur) dan
nei nod (masukkan pedang ke sarung). Biasanya, setelah amarah reda, orang yang
bersalah akan meminta maaf dan memberikan sesuatu (denda) sebagai tanda permintaan
maafnya..

(14). Il nu asar puin bo na asar mi amuj dang (Sisir bambu sudah saya pakai (untuk
menangkap kutu) tapi tidak mendapat apa-apa)
“Sebuah perbedaan pendapat yang tidak akan menemukan kata sepakat”
Pepatah ini merupakan suatu pernyataan bahwa meskipun sudah berusaha, dua pihak
yang berunding tidak menemukan kata sepakat. Ungkapan ini juga merupakan cara
menyatakan ketidaksetujuan seseorang tentang suatu hal ataupun ketidaksetujuan
terhadap pendapat pihak lain. Dengan pepatah ini maka diharapkan masing-masing bisa
menerima perbedaan pandangan tersebut dan menjalaninya.

(15). Yang hui mati laa’na mi lolang, yang ti doro lawen toho lolang (Sudah masuk
melewati batu hitam yang besar, sudah naik melewati ujung pohon yang tinggi)
“Pembicaraan telah mencapai kata sepakat”
Pepatah ini merupakan penutup dari sebuah pembicaraan atau perundingan terkait
suatu kegiatan yang akan dilakukan. Jika ungkapan ini telah dikatakan maka artinya
pembicaraan atau perundingan telah mencapai kata sepakat, dan tidak boleh ada pihak
lain yang berkebaratan untuk melaksanakan kesepakatan tersebut.

4. Ungkapan tradisional terkait perbuatan baik dan perilaku saling menghormati

(16). Subei luhu mi ang, wa mehene waha bac (Tebu manis dari ujung kepangkal,
kelapa muda gurih di seluruh bagiannya)
“Dalam sepanjang hidupmu, lakukanlah perbuatan yang baik saja”
Pepatah ini merupakan pesan para orangtua kepada generasi muda untuk selalu
melakukan perbuatan-perbuatan yang baik saja. Hal ini dinasehatkan karena dipercaya
bahwa dengan selalu berbuat baik, hidup sesorang akan selalu diberkati dengan
keberhasilan. Perbuatan baik dilukiskan seperti tebu yang manis dan kelapa yang gurih.

(17). Hatang low we atang naring ta ihir, hadele te’ete we hadele naring ta ab
(Karena lenganmu panjang, maka kau bentangkan di atasku, karena bahumu
tegap maka kau sandarkan di badanku)
“Jangan bersikap sombong dan memandang remeh orang lain karena memiliki
kelebihan”
Pepatah ini merupakan nasehat sekaligus sindiran kepada mereka yang sombong dan
suka meremehkan orang lain karena memiliki kelebihan baik soal kemampuan diri
maupun dalam hal kekayaan. Frase hatang low (tanganmu panjang) dan hadele te’ete
(dadamu tegap) melambangkan kelebihan yang dimiliki, sedangkan frase atang naring ta
ihir (kau bentangkan tangan di atasku) dan hadele naring ta ab (kau sandarkan dada di
badanku) melambangkan sikap sombong dan meremehkan orang lain.

(18). Hano’o ti holo dang, hano’o wui halala dang (Jangan menjadikan dirimu
seperti pohon yang jatuh menindih, Jangan menjadikan dirimu seperti batu titian
yang menghancurkan)
“Jangan menjadi orang yang suka meyusahkan dan menindas orang lain”
Pepatah ini merupakan nasehat kepada mereka, yang karena memiliki kuasa, suka
bertindak kejam dan menindas orang lemah. Pohon yang jatuh menindih ‘ti holo’i dan
batu titian yang menghancurkan ”wui halala” adalah gambaran perilaku manusia yang
menindas dan menyusahkan kehidupan orang lain. Seorang yang memiliki kekuasaan
misalnya pemimpin, pejabat ataupun orang kaya diharapkan tidak menggunakan
kekuasaannya untuk menyusahkan orang lain.

(19). Luil mi hi’i dang, tang mi awa dang (Jangan cabai dipetik, jangan garam
ditumpah)
“Jangan berkata dan bertindak kasar”
Pepatah ini juga merupakan nasehat untuk tidak memperlakukan orang dengan kata-
kata dan perbuatan yang kasar. Cabai ‘luil’ yang pedas dan garam ‘tang’ yang asin
menggambarkan kata-kata dan tindakan yang dapat melukai perasaan seseorang. Dengan
pepatah ini, masyarakat suku Kabola diharapkan selalu menjaga tutur kata dan tindakan
yang sopan sehingga tercipta kehidupan yang rukun dan harmonis.

(20). Haring bel lamuli o ei, naring di bel lamuli o ei (Bukan kamu saja yang adalah
anak anjing yang jahat, saya juga)
“Jangan saling meremehkan karena kita sama-sama punya kemampuan,”
Pepatah ini biasanya diucapkan antar sesama tokoh masyarakat, agar tidak saling
meremehkan satu dengan yang lain karena mereka pada dasarnya memiliki kemampuan
dan peran yang sama penting dalam masyarakat. Bel lamuli (anjing jahat) adalah julukan
bagi orang-orang yang memiliki kemampuan dan posisi yang penting dalammasyarakat
misalnya para tetua adat, pemimpin kampung, dan sebagainya. Dengan pepatah ini, akan
timbul sikap saling menghormati dan menghargai di antara mereka.

(21). Lopo-lopo tang tawoil tele (Lopo-lopo (nama ikan) membuat keruh laut yang
mengalir
“seorang yang merusak hubungan orang”
Lopo-lopo merupakan jenis ikan yang biasa bergerak dengan mengibaskan ekornya
di permukaan pasir di dasar laut sehingga air laut menjadi kotor dan keruh. Pepatah ini
merujuk pada pertama, seseorang yang mengacau dalam pembicaraan atau perundingan
di sebuah pertemuan dan akibatnya tidak tercapai kata sepakat. Kedua, seseorang yang
karena ulahnya merusak komunikasi dan hubungan antar pihak dalam masyarakat.
Seseorang yang suka mengadu domba dan merusak relasi sosial dalam masyarakat sering
dijuluki dengan ungkapan ini.
(22). Tamoto nami ene dang (Jangan memberi belakang kepada orang)
“Jangan mangacuhkan dan meremehkan orang lain”
Pepatah ini merupakan nasehat kepada anak-anak muda agar tidak mengacuhkan dan
meremehkan orang lain, khususnya orang yang lebih tua, sebaliknya selalu mendengar
dan menghormati mereka. Sikap mengacuhkan atau meremehkan orang dilukiskan
dengan sikap tubuh membelakangi orang.

5. Ungkapan tradisional terkait sindiran terhadap kesombongan


Dalam kehidupan bermasyarakat, seringkali didapati orang-orang tertentu yang suka
menyombongkan diri karena penampilan luarnya, misalnya pakaiannya, perhiasannya,
atau karena kecantikan wajahnya. Juga terdapat orang-orang yang memiliki gengsi atau
kebanggaan yang berlebihan terhadap dirinya. Terhadap orang-orang seperti ini,
ungkapan atau pepatah yang sering digunakan adalah sebagai berikut:
(23). Lete-lete ama lew-lew, ho’o wana hul dopong towo (Dari jauh suaranya merdu,
ternyata datang memakai tongkat)
“Berpenampilan gagah dan menarik tetapi tidak punya kemampuan dan
ketrampilan apapun”.

(24). Sini duir slaka potong mi, potong yo bo’oil om hele (Pisau cina di dalam
gagang, gagangnya saja yang membuat gagah)
“Berpenampilan gagah dan menarik tetapi tidak punya kemampuan dan
ketrampilan apapun”
Kedua pepatah di atas merupakan sebuah sindiran. Kedua pepatah memiliki makna
yang sama yaitu sindiran kepada sesorang yang memiliki penampilan luar gagah dan
menarik, tetapi tidak memiliki kemampuan atau ketrampilan yang bisa mendukung
hidupnya, seperti kemampuan berburu, menangkap ikan, berladang atau bertukang.
Penampilan luar yang gagah diibaratkan dengan suara yang merdu ‘ama lew-lew’ atau
gagang pisau yang indah ‘slaka potong yo bo’oil’. Sedangkan ketidakmampuan atau
kekurangan diri dilambangkan seperti orang (tua) memakai tongkat ‘dopong towo’ dan
pisau cina ‘sini duir’. Pisau cina biasa dikenal sebagai pisau yang tumpul. Dengan
demikian, ungkapan dalam bentuk sindiran tersebut sekaligus menasehati orang agar
tidak sombong dengan penampilan luarnya, tetapi yang terpenting adalah memiliki
kecakapan atau kemampuan dalam diri.
(25). Alambaha meleng dek-dek, te edik ara hama dang (Rumah Kebun berdiri tinggi,
kaki sudah dijinjit tapi tak sampai)
“Keinginan terlampau tinggi, hingga tak mampu mewujudkannya”
Pepatah ini juga merupakan sebuah sindiran sekaligus lelucon yang
menggambarkan keadaan dimana oleh karena mahar atau belis seorang perempuan yang
diminta oleh orang tuanya terlampau tinggi, maka tak ada lelaki yang mampu
melamarnya, dan akibatnya anak perempuan tersebut menjadi perawan tua. Selain itu,
ungkapan ini juga biasa dipakai untuk menyindir orang yang keinginannya terlampau
tinggi tetapi tidak memiliki kemampuan untuk mewujudkannya. Pepatah ini mengajarkan
masyarakat diajarkan untuk hidup realistis.

(26). Aring du bel awu wele (Kamu adalah anjing berleher putih)
“Kamu adalah orang yang masih memikul beban, jangan sombong”
Pepatah ini sebenarnya merupakan sindiran sekaligus peringatan yang ditujukan
kepada seseorang yang belum melunasi mahar atau belis istrinya tetapi dalam
kesehariannya berlagak sombong terhadap keluarga istrinya. Seharusnya ia menjaga
sikapnya dan menghormati keluarga istrinya karena ia adalah orang yang dianggap masih
memikul beban hutang di lehernya. Dengan pengertian yang sama, pepatah ini juga biasa
digunakan untuk menyindir sekaligus mengingatkan seseorang akan beban hutangnya
(uang maupun benda) yang belum dilunasi. Dengan menyindir menggunakan ungkapan
ini, diharapkan si penghutang akan malu dan segera melunasi kewajibannya.

6. Ungkapan tradisional dalam aspek pengakuan dan penghormatan akan


ketokohan dan kemampuan seseorang.
(27). Tubi ta haluhu, maring mi po’o (Pucuk yang dipotong bertunas kembali)
“Selalu ada keturunan yang meneruskan ketokohan seseorang”
Pepatah ini mamiliki padanan yang hampir sama dengan peribahasa patah tumbuh
hilang berganti. Pepatah ini bermakna bahwa kemampuan dan kecakapan seorang tokoh
akan diteruskan kepada keturunannya (anaknya). Namun demikian, pepatah ini sekaligus
juga merupakan sebuah pengakuan dan penghormatan terhadap seorang tokoh karena
kecakapan atau kemampuan yang dimiliki. Anak seorang pemimpin misalnya diyakini
mewarisi sifat-sifat kepemimpinan orang tuanya. Hal ini dilukiskan dengan analogi
pucuk pohon yang bertunas kembali setelah setelah dipotong.
(28). Ha mihi dehe pali’i du lolo, ha toho dehe bulung tu’uin (Jika kau duduk
penuhlah bumi, jika kau berdiri tertopanglah langit)
“Hanya kamu yang mampu melakukan pekerjaan ini”
Pepatah ini merupakan pengakuan dan kepercayaan bagi seseorang, biasanya para
tetua dan tokoh masyarakat, diamana dipercaya bahwa hanya mereka yang dipandang
mampu menangani suatu pekerjaan atau urusan tertentu dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan ungkapan ini, sekaligus menyatakan pengakuan dan penghormatan terhadap
seseorang karena kemampuan atau kecakapannya.

4.2. Nilai Budaya Ungkapan Tradisional Bahasa Kabola


Ungkapan tradisional dalam bahasa Kabola memiliki nilai budaya yang menyiratkan cara
pandang masyarakat etnik Kabola tentang sistem harmoni dan relasi sosial dalam kehidupan
bermasyarakat. Nilai budaya dalam ungkapan-ungkapan tradisional tersebut berkaitan dengan
etika moral dan perilaku sopan santun dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai tersebut
digunakan sebagai pijakan untuk membangun kehidupan bersama yang rukun dan relasi
sosial yang harmonis.
Berdasarkan makna kotekstualnya, dapat dikatakan bahwa pesan atau isi dari ungkapan-
ungkapan tradisional tersebut merupakan nasehat bagi setiap anggota masyarakat etnik
Kabola untuk menampilkan sikap dan perilaku yang baik sehingga tercipta kerukunan dan
kebersamaan diantara sesama anggota kelompok. Tuntutan sikap dan perilaku yang baik ini
bahkan sudah harus dimulai sejak pembentukan sebuah keluarga seperti pesan dalam
ungkapan tradisional (1), (2), (3) dan (4), dimana suami dan istri diminta untuk saling
menopang dan mengisihi satu sama lain, serta menjalankan peran mereka masing-masing
demi terciptanya kehidupan keluarga yang harmonis.
Lebih lanjut, masyarakat etnik Kabola yang merupakan satu rumpun keluarga atau klan,
dianjurkan untuk hidup dalam persatuan, bekerjasama dan saling tolong menolong diantara
sesama anggota kelompok, seperti yang tersirat dalam ungkapan tradisional (5) sampai
dengan ungkapan tradisional (10). Dasar persatuan dan kekeluargaan adalah ikatan darah satu
klan yang digambarkan dengan ungkapan hiuw do nu ahai hu po’o, nami piri nu ahai hu
tawain (hanya satu telur ayam yang menetas, hanya satu manusia yang melahirkan), yang
berarti bahwa seluruh anggota kelompok etnik Kabola adalah keluarga karena berasal dari
satu keturunan. Ikatan darah ini menjadi landasan yang kokoh bagi seluruh rumpun etnik
Kabola dalam membangun kehidupan bersama termasuk dalam meyelesaikan berbagai
masalah dan konflik.
Nilai budaya lainnya yang tersirat dalam ungkapan tradisional bahasa Kabola adalah
sikap toleran, memaafkan dan menerima perbedaan serta kekurangan orang lain. Hal ini
ditampilkan dalam ungkapan-ungkapan tradisional (10, (12), (13), (14), dan (15). Di sini
terlihat bahwa sikap toleran, memaafkan dan menerima perbedaan serta kekurangan orang
lain merupakan nilai budaya yang sangat penting, bukan saja untuk menghindari timbulnya
konflik, tetapi juga sekaligus untuk mengatasi konflik yang timbul.
Nilai budaya dalam ungkapan tradisional masyarakat etnik Kabola juga mendorong
setiap anggota kelompok untuk selalu berbuat baik, berkata dan berperilaku lembut, tidak
menindas dan menyusahkan orang lain, dan saling menghormati. Hal ini tercermin dalam
ungkapan tradisional (16) sampai dengan ungkapan tradisional (22). Pesan-pesan yang
ditampilkan dalam ungkapan-ungkapan tradisional tersebut menegaskan bahwa masyarakat
etnik Kabola adalah masyarakat yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan yang universal,
dan karena itulah sifat-sifat yang melecehkan nilai kemanusiaan seperti bersikap kasar,
kejam, memandang rendah orang lain serta menindas dan menyusahkan orang lain sangat
dilarang dalam kehidupan masyarakat etnik Kabola. Hal ini ditegaskan dengan penggunaan
negasi dang ‘tidak’ atau ‘jangan’ sebagai pertanda larangan dalam ungkapan-ungkapan
tradisional tersebut, yaitu anjuran untuk tidak memilki dan menampilkan sikap-sikap negatif
tersebut.
Berkenaan dengan perilaku negatif, satu lagi sifat yang tidak diinginkan dalam
kehidupan masyarakat etnik Kabola adalah sikap angkuh atau sombong dan tidak tahu diri.
Ungkapan-ungkapan tradisional (23), (24), (25 ) dan (26), merupakan sindiran yang ditujukan
kepada orang yang angkuh atau sombong padahal ada kekurangan dan cela pada dirinya.
Misalnya seperti yang ditunjukkan dalam ungkapan (23) dan (24) dimana seseorang yang
secara fisik luar tampak gagah padahal tidak memiliki kemampuan diri. Pada sisi yang lain,
akan ada pengakuan dan penghargaan kepada seseorang yang memiliki kecakapan dan
kemampuan diri yang unggul, sebagaimana yang ditampilkan dalam ungkapan tradisional
(27) dan (28).
Secara fungsional, selain sebagai media pendidikan dan alat kontrol perilaku masyarakat
dalam mematuhi norma sosial dan aturan yang berlaku, ungkapan-ungkapan tradisional
masyarakat etnik Kabola juga berfungsi sebagai wadah penyimpan dan bentuk koservasi
kearifan lokal masyarakat etnik Kabola, dimana nilai-nilai budaya yang merupakan kearifan
lokal tersebut dapat dilihat sebagai cerminan sikap dan perilaku ideal masyarakat suku
Kabola dalam bermasyarakat.

5. Kesimpulan
Ungkapan tradisional bahasa Kabola merupaka sebuah fenomena linguistik yang
tumbuh dan berakar dari budaya masyarakat etnik Kabola. Ungkapan tradisional ini
mengekspresikan pikiran dan perasaan kelompok etnik Kabola berkenaan dengan sistim
harmoni dan relasi sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Ungkapan-ungkapan tersebut
berbentuk pepatah atau peribahasa yang menggunakan bahasa kiasan untuk menyampaikan
pesan atau isinya. Penggunaan bahasa kiasan tersebut guna menghindari kelugasan arti yang
dapat menyinggung perasaan orang yang mendengarnya.
Ungkapan tradisional bahasa Kabola mengandung nilai-nilai sosial budaya yang khas;
nilai-nilai yang menunjukkan ciri dan identitas masyarakat etnik Kabola dalam pergaulan
ditengah-tengah masyarakat multi kultur. Nilai-nilai tersebut antara lain berbuat baik,
persatuan, gotong royong dan tolong menolong, toleransi dan menerima perbedaan atau
kelemahan oarang lain, saling menghargai dan hormat-menghormati, tidak angkuh dan
mengakui kelebihan dan kemampuan orang lain. Nilai-nilai budaya tersebut masih relevan
untuk digunakan sebagai pedoman tingkah laku bagi masyarakat etnik Kabola.
Ungkapan tradisional bahasa Kabola biasanya digunakan untuk menyampaikan nasehat,
perintah atau larangan. Dengan demikian, ungkapan-ungkapan tersebut befungsi sebagai
media pendidikan bagi keluarga dan masyarakat dalam berperilaku berdasarkan dengan
norma dan aturan yang ditetapkan. Labih jauh lagi, ungkapan-ungkapan tersebut juga
berfungsi sebagai bentuk koservasi nilai-nilai kearifan lokal masyarakat etnik Kabola.

Daftar Pustaka

Bungin, B. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan


Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana. Bustan & Sumitri (2009)
Bustan, F dan Sumitri N. W, 2009. Persepsi Guyub Tutur Manggarai Tentang
Signifikansi Harmoni Sosial: Analisis Linguistik Kebudayaan. Jurnal Linguistika
Vol. 17, tahun 2010.
Cassirier, E. 1997. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia.
Diindonesikan oleh Alois A. Nugroho. Jakarta: Gramedia. Dananjaya, James.1984.
Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafiti Press.
Finochiaro, M. 1974. English as a Second Language: from Theory to Practice. New
York: Regent Publishing.
Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. Oxford:
Blackwell Publishers.
Frawley, W. 1992. Linguistic Semantics. New Jersey: Lawrence Erlbaum
Kaelan. 2004. Filsafat Analitis Menurut Ludwig Wittgenstein. Yogyakarta: Paradigma.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya.
Jakarta: Rajawali Press.
Mbete, A. M. 1997. “Linguistik sebagai Realisasi Pola Ilmiah Pokok Kebudayaan
Universitas Udayana.” Makalah. Disampaikan dalam Ceramah Pramagister
Program Studi Magister (S2) Linguistik dan Kajian Budaya Universitas Udayana
Denpasar 1997. Denpasar: Program Studi Magister (S2) Linguistik dan Kajian
Budaya Universitas Udayana.
Muhadjir, N. 1995. Metodologi Penelitian Kualitatif: Telaah Positivistik, Rasionalistik,
Phenomenologik, Realisme Metaphisik. Yogyakarta: Rake Sarasin Mulyana, 2005
Ochs, E. 1988. Culture and Language Development. Cambridge: Cambridge University
Press.
Ola, Simon Sabon. 2009. Makna dan Nilai Tuturan Ritual Lewak Tapo Pada Kelompok
Etnik Lamaholot di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur. Humaniora Journal
of UGM, Volume 21
Samarin, W.J. 1988. Ilmu Bahasa Lapangan. Yogyakarta: Kanisius.
Palmer, G. B. 1996. Toward a Theory of Cultural Linguistics. Austin: The University of
Texas Press.
Palmer, R. E. 2003. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi. Diterjemahkan
oleh Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pals, D. L. 2001. Dekonstruksi Kebenaran: Kritik Tujuh Teori Agama. Diterjemahkan
oleh I. R. Muzir dan M. Syukri. Yogyakarta: IRCISoD
Spradley, J. P. 1997. Metode Etnografi. Diterjemahkan oleh M. Z. Elizabeth.
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian
Wahana Kebudayaan secara

Anda mungkin juga menyukai