Disusun Oleh:
TAHUN 2021
1
A. Adaptasi Ibu &Pproses Menyusui
Proses adaptasi psikologi pada seorang ibu sudah dimulai sejak hamil. Wanita
hamil akan mengalami perubahan psikologis yang nyata sehingga memerlukan adaptasi.
Perubahan mood seperti sering menangis, lekas marah, dan sering sedih atau cepat
berubah menjadi senang merupakan manifestasi dari emosi yang labil. Proses adaptasi
berbeda-beda antara satu ibu dengan ibu yang lain.Perubahan peran seorang ibu
memerlukan adaptasi yang harus dijalani. Tanggung jawab bertambah dengan hadirnya
bayi yang baru lahir. Dorongan serta perhatian anggota keluarga lainnya merupakan
dukungan positif untuk ibu. Dalam menjalani adaptasi setelah melahirkan, ibu akan
mengalami fase-fase sebagai berikut :
1) Fase taking in
Fase taking in yaitu periode ketergantungan. Periode ini berlangsung dari hari
pertama sampai hari kedua setelah melahirkan. Pada fase ini, ibu sedang berfokus
terutama pada dirinya sendiri. Ibu akan berulang kali menceritakan proses persalinan
yang dialaminya dari awal sampai akhir. Ketidaknyamanan fisik yang dialami ibu pada
fase ini seperti rasa mules, nyeri pada jahitan, kurang tidur dan kelelahan merupakan
sesuatu yang tidak dapat dihindari. Hal tersebut membuat ibu perlu cukup istirahat untuk
mencegah gangguan psikologis yang mungkin dialami, seperti mudah tersinggung,
menangis. Hal ini membuat ibu cenderung menjadi pasif. Pada fase ini petugas kesehatan
harus menggunakan pendekatan yang empatik agar ibu dapat melewati fase ini dengan
baik.
2) Fase taking hold
Fase taking hold yaitu periode yang berlangsung 3-10 hari setelah melahirkan.
Pada fase ini ibu timbul rasa khawatir akan ketidakmampuan dan rasa tanggung jawabnya
dalam merawat bayi.Ibu mempunyai perasaan sangat sensitif sehingga mudah
tersinggung dan gampang marah. Kita perlu berhati-hati menjaga komunikasi dengan ibu.
Dukungan moril sangat diperlukan untuk menumbuhkan kepercayaan diri ibu.Bagi
petugas kesehatan pada fase ini merupakan kesempatan yang baik untuk memberikan
berbagai penyuluhan dan pendidikan kesehatan yang diperlukan ibu nifas. Tugas kita
adalah mengajarkan cara merawat bayi, cara menyusu yang benar, cara merawat luka
2
jahitan, senam nifas, memberikan pendidikan kesehatan yang dibutuhkan ibu seperti gizi,
istirahat, kebersihan diri dan lain-lain.
3) Fase letting go
Fase letting go yaitu periode menerima tanggung jawab akan peran barunya. Fase ini
berlangsung sepuluh hari setelah melahirkan. Ibu sudah mulai menyesuaikan diri dengan
ketergantungan bayinya. Ibu memahami bahwa bayi butuh disusui sehingga siap terjaga
untuk memenuhi kebutuhan bayinya.Keinginan untuk merawat diri dan bayinya sudah
meningkat padafase ini. Ibu akan lebih percaya diri dalam menjalani peran
barunya.Pendidikan kesehatan yang kita berikan pada fase sebelumnya akan sangat
berguna bagi ibu. Ibu lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan diri dan
bayinya.Dukungan suami dan keluarga masih terus diperlukan oleh ibu. Suami dan
keluarga dapat membantu merawat bayi,mengerjakan urusan rumah tangga sehingga ibu
tidak telalu terbebani. Ibu memerlukan istirahat yang cukup, sehingga mendapatkan
kondisi fisik yang bagus untuk dapat merawat bayinya.
Menyusui adalah cara yang optimal dalam memberikan nutrisi dan mengasuh bayi,
dengan penambahan makanan pelengkap pada paruh kedua tahun pertama, kebutuhan
nutrisi, imunologi, dan psikososial dapat terpenuhi hingga tahun kedua dan tahun tahun
berikutnya, Banyak ibu yang beranggapan bahwa menyusui merupakan aktivitas alami,
sehingga tidak memerlukan persiapan atau perawatan khusus. Hal ini tidak sepenuhnya
benar,terutama bagi ibu yang menyadari bahwa air susu sangat penting dan utama bagi
bayi .
1.Persiapan menyusui
Tubuh ibu bersiap untuk menyusui pada awal kehamilan, dan payudara pun mulai
berkembang. Tubuh ibu mengumpulkan persediaan energi dan nutrisi lainya untuk
membantu memproduksi ASI. Kapanpun bayi lahir, ASI tetap mengandung kolostrum
Laktasi merupakan proses yang sangat efisien. Selama laktasi, metabolisme ibu sedikit
melambat untuk menghasilkan energi yang diperoleh dari makanan. Persediaan ASI
tergantung pada kebutuhan bayi. Ketika bayi tumbuh dan berkembang, maka ibu akan
memproduksi lebih banyak ASI. Terkait itu, ibu perlu menyadari bahwa bayi harus
disusui sesuai permintaanya, dan ibu memastikan bahwa ibu menyusu dengan posisi yang
3
tepat. Ibu tidak perlu mengkonsumsimakanan yang khusus dalam jumlah besar agar bisa
menyusui bayinya.ibu hanya memerlukan beberapa kalori tambahan. Bila ibu tidak dapat
makan dengan baik, ia harus tetap memproduksi ASI. Ibu membutuhkan kalori kira kira
500 kalori tambahan setiap hari.
2. Teknik dasar menyusui
Menurut penelitian, hampir semua masalah mulai dari puting susu lecet sampai
berkurangnya ASI, disebabkan karena kesalahan pada saat menyusui.Bayi menghisap
secara alamiah, akan tetapi pada awalnya mungkin dia mengalami kesulitan menemukan
puting susu ibunya. Cara menolong paling mudah adalah dengan menempelkan pipinya
kepayudara. Lalu masukkan puting ke mulut bayi. Ibu dapat melancarkan aliran air susu
dengan cara menekan nekan areola. Untuk menghentikan hisapan, masukkan sebuah jari
di sudut mulutnya atau dorong dagunya ke bawah perlahan lahan dengan ibu jari dan jari
telunjuk. Pindahkan bayi ke payudara yang satunya lagi sampai selesai menyusui.
Dengan demikian, bayi menerima air susu dengan volume yang sama dari setiap
payudara setiap hari. Ibu pun terhindar dari pembekakan payudara akibat terlalu penuh
dengan air susu.
3. Posisi menyusui
Ada banyak cara untuk memposisikan diri dan bayi selama proses menyusui
berlangsung. Sebagian ibu memilih menyusui dalam keadaan berbaring miring,Seorang
ibu sebaiknya memposisikan diri dan bayinya sedemikian rupa agar kenyamanan
menyusui dapat tercapai
a.Posisi ibu duduk
b.posisi ibu tidur miring
4. Manfaat menyusui
1) Bagi bayi:
a) Komposisi sesuai kebutuhan.
b) Kalori dari ASI memenuhi kebutuhan bayi sampai usia enam bulan.
c) ASI merupakan zat pelindung.
d) Perkembangan psikomotorik lebih cepat.
4
e) Menunjang perkembangan kognitif.
f) Memperkuat ikatan batin ibu dan anak
2) Bagi ibu:
a) Mencegah perdarahan pasca persalinan
b) Mencegah anemia defisiensi besi
c) Mempercepat ibu kembali ke berat badan sebelum hamil
d) Menunda kesuburan
e) Mengurangi kemungkinan kanker payudara
B. Asuhan Kebidanan dalam Pelayanan PNC
1. Prinsip praktik dan asuhan postnatal
a. Kerja Tim Dan Kolaborasi Dalam Asuhan
Meskipun bidan adalah profesi yang mandiri dan profesional dalam asuhan kebidanan
nifas terutama adalah kasus nifas fisiologis maupun risiko rendah, namun bidan perlu
tetap berkewajiban kerja dalam tim maupun kolaburasi dalam memberikan asuhan
kebidanan, untuk memberikan asuhan yang komprehensif dan aman. Bidan bekerja
sebagai bagian dari tim profesional, yang masing-masing membawa ketrampilan,
otonomi atau kewenangan serta perspektif tertentu pada asuhan ibu dan keluarga. Adapun
yang dimaksud kerja tim dalam pelayanan kebidanan adalah kerja dengan sesama profesi
bidan, dengan berbagai pengalaman dan ketrampilan masing-masing. Sedangkan
kolaborasi dalam asuhan kebidanan terutama adalah kerjasama dengan profesi lain dalam
sebuah tim profesional untuk memberikan asuhan kebidanan yang komprehensif. Kerja
tim kolaborasi dalam menjalankan praktik profesional ini dikenal dengan istilah
interprofessional collaburation (IPC). Sesuai Kode etik bidan Indonesia dan standar
asuhan kebidanan, bahwa bidan dalam memberikan asuhan kebidanan mempunyai
kewenangan asuhan mandiri terutama pada kasus fisiologis, serta melakukan asuhan
kolaburasi dan rujukan pada kasus-kasus berisiko, patologi dan komplikasi. Maka
diperlukan kerjasama dalam tim profesional dan kolaborasi dalam memberikan asuhan
kebidanan. Kerjasama kolaborasi dengan profesi lain yang terkait dalam ruang lingkup
asuhan kebidanan nifas, misalnya dokter spesialis kebidanan, perawat maternitas, petugas
laboratorium, ahli gizi, petugas fisiotherapi, dan psikolog klinis. Dalam kerjasama dalam
tim dan kolaborasi ini Anda perlu memperhatikan beberapa komponen di bawah ini :
5
1) Anda harus bekerja secara kooperatif dalam tim dan menghargai ketrampilan,
keahlian dan kontribusi kolega atau tim Anda.
2) Anda harus bersedia berbagi ketrampilan dan pengalaman anda yang
bermanfaat bagi kolega bidan dalam tim Anda.
3) Anda harus berkonsultasi dengan tim kolaborasi, maupun menerima masukan
dan saran dari kolega/tim, jika saran tersebut tepat dan baik.
4) Anda harus memperlakukan tim dan kolega anda secara adil dan tanpa
diskriminasi.
Standar kewenangan bidan juga mewajibkan bidan untuk merujuk setiap ibu atau
bayi yang mengalami risiko, penyulit maupun komplikasi ke fasilitas pelayanan
kesehatan yang lebih mampu menangani, sehingga ditangani oleh tim profesional
yang tepat (Baston & Hall, 2012).
b. Komunikasi Efektif
Memberikan asuhan berpusat pada ibu nifas (women centered) selama periode
postnatal mewajibkan bidan untuk membina hubungan dan berkomunikasi secara
efektif dengan mereka. Bidan harus menyadari pentingnya petunjuk yang diberikan
kepada ibu postnatal selama pemberian asuhan. Bidan harus meyakinkan ibu
postnatal, bahwa ibu adalah fokus perhatian bidan dalam memberikan asuhan. Bidan
harus selalu memberikan penjelasan kepada ibu postnatal tentang asuhan yang akan
diberikan dan tahapan asuhan apa yang akan dilalui oleh ibu. Beri penjelasan
mengapa asuhan kebidanan penting dilakukan. Menurut Baston & Hall (2012).
Bidan yang memberikan asuhan kebidanan postnatal perlu memastikan bahwa
lingkungan pelayanan kebidanan tempat ibu nifas atau postnatal diasuh, mendukung
praktik kerja yang aman dan efektif serta melindungi ibu dan keluarga dari bahaya
maupun risiko. Menurut Standar Profesi Bidan (2007) serta Permenkes RI No. 28
tahun 2017 tentang Ijin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan, salah satu kewenangan
bidan adalah melaksanakan pelayanan kesehatan pada masa nifas dan menyusui.
6
Salah satu rekomendasi kebijakan utama adalah ibu harus memiliki pilihan
tentang dimana mereka dapat memperoleh pilihan tentang asuhan postnatal. Untuk
memfasilitasi hal ini, bidan harus bekerja di berbagai tatanan pelayanan kebidanan
dalam sistem pelayanan kebidanan. Misalnya bidan bekerja pada tatanan pelayanan
primer seperti; Puskesmas, Klinik Pratama, Rumah Bersalin dan Praktik Mandiri
Bidan; maupun berkerja pada tatanan pelayanan sekunder dan tersier, misalnya
Rumah sakit, RSKIA, Puskesmas PONED, dan rumah sakit pusat rujukan tersier.
Bidan juga dapat berkerja secara mandiri dalam memberikan asuhan kebidanan
holistik yang berpusat pada ibu, atau dalam pusat layanan tersier besar yang memberi
asuhan bagi ibu yang memiliki kebutuhan kesehatan postnatal khusus, misalnya
postnatal operatif, atau ibu yang mengalami penyulit dan komplikasi pada masa
postnatal. Model asuhan kebidanan yang tepat dapat berpengaruh dalam menentukan
asuhan yang mungkin diterima ibu, siapa yang memberi asuhan, dan kapan diberikan
asuhan kebidanan. Bidan perlu mempertimbangkan cara terbaik untuk memberi
asuhan sehingga dapat memengaruhi perkembangan yang akan datang bagi
kepentingan terbaik ibu dan keluarga.
7
mendorong hubungan positif dari hubungan dengan ibu postnatal guna membantu ibu
mencapai adaptasi positif menjadi orang tua dan meningkatkan pilihan gaya hidup
dan asuhan yang akan menguntungkan ibu, bayi dan keluarga di masa mendatang
(Varney, 2007).
2. Pemeriksaan Posnatal
Pemeriksaan fisik :
a. Vital Sign
8
Dalam vital sign yang perlu di cek yaitu: suhu, nadi, pernapasan, dan juga
tekanan darah. Suhu tubuh diukur setiap 4 sampai 8 jam selama beberapa hari
pascapartum karena demam biasanya merupakan gejala awal infeksi. Suhu tubuh
38oC mungkin disebabkan oleh dehidrasi pada 24 jam pertama setelah persalinan
atau karena awitan laktasi dalam 2 sampai 4 hari. Demam yang menetap atau
berulang diatas 24 jam pertama dapat menandakan adanya infeksi. Bradikardi
merupakan perubahan fisiologis normal selama 6 sampai 10 hari pascapartum
dengan frekuensi nadi 40 sampai 70 kali/menit. Frekuensi diatas 100kali/menit
dapat menunjukan adanyya infeksi, hemoragi, nyeri, atau kecemasan, nadi yang
cepat dan dangkal yang dihubungkan dengan hipotensi, menunjukan hemoragi,
syok atau emboli. Tekanan darah umumnya dalam batasan normal selama
kehamilan. Wanita pascapartum dapat mengalami hipotensi ortostatik karena
dieresis dan diaphoresis, yang menyebabkan pergeseran volume cairan
kardiovasukuler, hipotensi menetap atau berat dapat merupakan tanda syok atau
emboli. Peningkatan tekanan darah menunjukan hipertensi akibat kehamilan, yang
dapat muncul pertama kali pada masa pascapartum. Kejang eklamsia dilaporkan
terjadi sampai lebih dari 10 hari pascapartum.
c. Dada
Inspeksi irama napas, dengarkan bunyi nafas dan bunyi jantung, hiting
frekuensi. Payudara: pengkajian payudara pada ibu post partum meliputi inspeksi
ukuran, bentuk, warna, dan kesimetrisan dan palpasi konsisten dan apakah ada
nyeri tekan guna menentukan status laktasi. Normalnya putting susu menonjol,
9
areola berwarna kecoklatan, tidak ada nyeri tekan, tidak ada bekas luka, ,
payuadara simetris dan tidak ada benjolan atau masa pada saat di palpasi.
d. Abdomen
Menginspeksi adanya striae atau tidak, adanya luka/insisi, adanya linea
atau tidak. Involusi uteri: kemajuan involusi yaitu proses uterus kembali ke
ukuran dan kondisinya sebelum kehamilan, di ukur dengan mengkaji tinggi dan
konsistensi fundus uterus, masase dam peremasan fundus dan karakter serta
jumlah lokia 4 sampai 8 jam. TFU pada hari pertama setinggi pusat, pada hari
kedua 1 jari dibawah pusat, pada hari ketiga 2 jari dibawah pusat, pada hari
keempat 2 jari diatas simpisis, pada hari ketujuh 1 jari diatas simpisis, pada hari
kesepuluh setinggi simpisi. Konsistensi fundus harus keras dengan bentuk bundar
mulus. Fundus yang lembek atau kendor menunjukan atonia atau subinvolusi.
Kandung kemih harus kosong agar pengukuran fundus akurat, kandung kemih
yang penuh menggeser uterus dan meningkatkan tinggi fundus.
f. Perineum
Pengkajian darerah perineum dan perineal dengan sering untuk
mengidentifikasi karakteristik normal atau deviasi dari normal seperti hematoma,
memar, edema, kemerahan, dan nyeri tekan. Jika ada jahitan luka, kaji keutuhan,
hematoma, perdarahaan dan tanda-tanda infeksi (kemerahan, bengkak dan nyeri
tekan). Daerah anus dikaji apakah ada hemoroid dan fisura. Wanita dengan
persalinan spontan per vagina tanpa laserasi sering mengalami nyeri perineum
yang lebih ringan. Hemoroid tampak seperti tonjolan buah anggur pada anus dan
10
merupakan sumber yang paling sering menimbulkan nyeri perineal. Hemoroid
disebabkan oleh tekanan otot-otot dasar paanggul oleh bagian terendah janin
selama kehamila akhir dan persalinan akibat mengejan selama fase ekspulsi.
11
mengeluh merasa mulas pada perut dan masih merasa nyeri pada jahitan luka. Ibu
mengatakan merasa cemas dengan keadaanya. Sedangkan data obyektif diperoleh
dari pemeriksaan abdomen selama 7 hari yaitu luka jahitan baik tidak ada tanda-
tanda infeksi.
12
partum adalah perdarahan dalam kala IV lebih dari 500-600 cc dalam 24 jam
setelah anak dan plasenta lahir (Rukiyah, 2012). Perdarahan pasca persalinan
lanjut sebagian besar pasien akan kembali lagi ke tempat bersalin dengan keluhan
perdarahan setelah beberapa hari pulang kerumah dan subinvolusio uterus
(Nugroho, T. 2012). Secara global, 80% kematian ibu pada penyebab secara
langsung, yaitu perdarahan (25%) biasanya perdarahan pasca persalinan, sepsis
(15%), hipiertensi dalam kehamilan (12%), partus macet (8%), komplikasi aborsi
tidak aman (13%) dan sebab-sebab lain (8%) dan (6%) anemia (Depkes, 2014).
Menurut Gani (2013) prevalensi perdarahan pasca persalinan adalah 21,3% pada
populasi penelitian yang terdiri dari 1000 ibu yang di interview faktor-faktor yang
terkait dengan perdarahan pasca persalinan adalah usia, jumlah kehamilan, lama
persalinan, penyisipan obat-obatan buatan sendiri di vagina, rest plasenta, dan
istirahat selama masa post partum. Menurut Talluri, dkk (2016) perdarahan pasca
persalinan juga bisa menjadi penyebab morbiditas berat jangka panjang dengan
sekitar 12% wanita yang bertahan dalam perdarahan post partum akan mengalami
anemia berat.
Perdarahan pasca persalinan adalah penyebab utama kematian ibu nifas di negara-
negara berpenghasilan rendah dan penyebab utama hampir seperempat dari semua
kematian maternal secara global. Hal ini dapat dikelompokkan menjadi primer
dan sekunder tergantung pada waktu perdarahan setelah persalinan. Perdarahan
post partum primer/perdarahan postpartum awal terjadi dalam waktu 24 jam
setelah persalinan dan post partum sekunder terjadi dari 24 jam setelah
melahirkan sampai minggu ke 6 dari masa nifas. Perdarahan post partum
merupakan penyebab penting kematian maternal khususnya dinegara
berkembang. Faktor-faktor yang menyebabkan perdarahan post partum adalah
grande multipara, jarak persalinan pendek kurang dari 2 tahun, persalinan yang
dilakukan dengan tindakan seperti pertolongan kala III sebelum waktunya
sehingga terjadi rest plasenta, pertolongan persalinan oleh dukun, persalinan
dengan tindakan paksa, dan persalinan dengan narkosa (Manuaba dkk, 2013).
Data dari World Health Organization (WHO) tahun 2012 menunjukkan sebanyak
558.000 perempuan meninggal dunia akibat masalah persalinan, lebih rendah dari
jumlah kematian ibu tahun 2013 yaitu sebanyak 581.000. Kematian ibu sebanyak
99 persen akibat masalah persalinan atau kelahiran terjadi di negara berkembang.
WHO menyatakan bahwa kematian maternal adalah kematian seseorang wanita
waktu hamil atau dalam 42 hari sesudah berakhirnya kehamilan oleh sebab
apapun, terlepas dari tuanya kehamilan dan tindakan yang dilakukan untuk
mengakhiri kehamilan (WHO, 2015).
Pemberian asuhan kebidanan kepada ibu dalam masa nifas sangat penting
dilakukan yang bertujuan untuk menjaga kesehatan ibu dan bayi, melaksanakan
deteksi dini adanya komplikasi dan infeksi, memberikan pendidikan pada ibu
serta memberikan pelayanan kesehatan pada ibu dan bayi. Selama masa nifas ibu
akan mengalami perubahan. Pelayanan atau asuhan merupakan cara penting untuk
memonitor dan mendukung kesehatan ibu nifas normal dan mengetahui secara
dini bila ada penyimpangan yang ditemukan dengan tujuan agar ibu dapat melalui
masa nifasnya dengan selamat (Widyasih, dkk. 2013).
13
6. Asuhan kebidanan pada puerperium abnormal
Kelainan masa nifas dapat dibagi menjadi dua kategori besar. Mereka
yang muncul setelah melahirkan yang sulit atau retensi plasenta disebut sebagai
"umum", sedangkan kelainan seperti sub dan anoestrus, siklus tidak teratur,
folikel kistik, tidak adanya aktivitas ovarium, perkembangbiakan berulang dan
peningkatan jumlah inseminasi per kehamilan digambarkan sebagai "spesial".
Karena kelainan "umum" dipahami dengan baik, makalah ini membahas secara
lebih rinci kelainan "khusus" masa nifas. Berdasarkan aksioma bahwa banyak
aspek dari kelainan "khusus" dapat disebabkan oleh disfungsi hati (seperti dalam
kasus perlemakan hati), informasi disajikan berdasarkan eksperimen yang
dilakukan dengan model sapi perah over-condition (AM) yang menderita baik
keseimbangan energi negatif yang parah (NEB) dan sindrom hati berlemak
selama awal menyusui. Model sapi ini menjamin NEB yang parah, dengan
penurunan berat badan dan perubahan yang jelas dalam skor kondisi tubuh (BCS),
produksi susu yang lebih rendah, konsentrasi lemak susu yang lebih tinggi,
penurunan sementara insulin darah dan konsentrasi glukosa, peningkatan
konsentrasi lemak non-esterifikasi dalam darah. asam (NEFAs) dan beta-
hidroksibutirat (BHB) serta peningkatan konsentrasi hati tri-asil-gliserol (TAG)
selama minggu-minggu pertama pasca melahirkan. Selain itu, model ini mengarah
pada insiden penyakit metabolik dan infeksi yang lebih tinggi. Perhatian khusus
diberikan pada frekuensi denyut LH dan nilainya dalam memprediksi terjadinya
ovulasi post partum pertama, perilaku estrus dan kualitas oosit. Sapi dengan
perlemakan hati (>50 mg TAG/g jaringan hati) memiliki interval yang lebih lama
antara partus dan ovulasi pertama dan menunjukkan lebih sedikit panas berdiri
dalam 100 hari pertama pascapersalinan, tetapi proporsi panas yang terdeteksi,
dibandingkan dengan "panas" endokrinologis lebih tinggi di dikonfirmasi AM-
sapi. Selain itu, ketika sapi AM datang berahi, panasnya bertahan lebih lama dan
memiliki tingkat kebuntingan lebih tinggi setelah AI. Namun, kapasitas
14
perkembangan oosit pada sapi AM, dan khususnya oosit yang ditakdirkan untuk
berovulasi antara 80 dan 120 hari pp, terpengaruh secara merugikan. Kami
menyimpulkan bahwa kondisi perlemakan hati merupakan pemicu berbagai
masalah, termasuk penyakit metabolik dan infeksi, serta penurunan kesuburan.
Pencegahan kegemukan berlebih saat melahirkan (BCS>3.5) adalah jaminan
terbaik untuk nifas normal.
7. Konsep home visit
a. Home visit atau kunjungan rumah
Adalah kegiatan pendukung bimbingan dan konseling untuk memperoleh
data, keterangan, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya permasalahan
klien melalui kunjungan kerumahnya. Kegiatan ini memerlukan kerjasama yang
penuh dari orang tua dan keluarga lain.20 Menurut Prayitno kunjungan rumah
atau home visit bisa bermakna upaya mendeteksi kondisi keluarga dalam
kaitannya dengan permasalahan individu atau klien yang menjadi tanggung jawab
pembimbing atau konselor dalam pelayanan bimbingan dan konseling.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat peneliti simpulkan bahwa home
visit merupakan salah satu teknik pengumpulan data klien yang dilakukan oleh
konselor dengan cara mengunjungi tempat tinggal klien, yang tujuannya untuk
memperoleh informasi yang lebih lengkap dan akurat tentang permasalahan klien
sehingga home visit yang dilakukan berjalan dengan lancar.
15
Pelaksanaan home visit ini menimbulkan kedekatan secara psikologis dan
emosional antara konselor dan klien sehingga terciptanya hubungan yang
harmonis dan saling timbal balik, pelaksanaan home visit ini bukan hanya tertuju
kepada klien tapi juga kepada keluarga klien, dengan dilakukannya home visit ini
keluarga juga mendapatkan pandangan, arahan, motivasi, pemahaman,
keterampilan, sikap, nilai-nilai dan cara yang perlu dilaksanakan oleh keluarga
dalam menetralisir taruma dan menguatkan diri klien untuk menyelesaikan
masalah yang dialami anak korban kejahatan seksual.
1) Tujuan umum
Secara umum, kunjungan rumah bertujuan untuk memperoleh data
yang lebih lengkap dan akurat tentang klien berkenaan dengan
masalah yang dihadapinya, serta digalangkannya komitmen orang tua
dan anggota keluarga lainnya dalam rangka penanggulangan masalah
klien.
2) Tujuan khusus
Secara khusus tujuan kunjungan rumah berkenaan dengan
fungsi-fungsi bimbingan. Misalnya dalam kaitannya dengan fungsi
pemahaman, kunjungan rumah bertujuan untuk lebih memahami kondisi
klien, kondisi rumah dan keluarga. Agar terpahaminya permasalahan klien
dan upaya pengentasannya dari ini dapat mencegah timbulnya masalah
lagi serta dapat berlanjut untuk mewujudkan fungsi pengembangan dan
pemeliharaan serta advokasi. Jadi dengan melakukan home visit akan
mempermudah konselor dalam menyelesaikan masalah klien dan
penanganan masalah klien akan cepat teratasi karena penyelesaian
masalah klien dilakukan secara kompleks yaitu dari klien, keluarga, dan
lingkungan sosial klien sehingga kedua tujuan home visit diatas akan
tercapai.
16
c. Komponen Home Visit
Ada tiga komponen pokok berkenaan dengan home visit yaitu:
1) Kasus.
Kunjungan rumah difokuskan pada penanganan kasus yang
dialami oleh klien yang terkait dengan faktor-faktor keluarga. Kasus klien
terlebih dahulu dianalisis, difahami, disikapi, dan diberikan perlakuan
awal tertentu dan selanjutnya diberikan pelayanan bimbingan dan
konseling yang memadai. Perlakuan awal terhadap kasus dilakukan
melalui kunjungan rumah, hasil kunjungan rumah dilakukan dalam
pelayanan bimbingan dan konseling.
2) Keluarga
Keluarga yang menjadi fokus kunjungan rumah meliputi
kondisi-kondisi yang menyangkut:
a) Orang tua atau wali klien
b) Anggotakeluargayanglain.
c) Orang-orang yang tinggal dalam lingkungan keluarga
d) Kondisi fisik rumah, isinya, dan lingkungannya.
e) Kondisi ekonomi dan hubungan sosioemosional yang terjadi dalam
keluarga.
Semua kondisi-kondisi yang berkenaan dengan keluarga diatas,
dianalisis dan dicermati dalam kaitannya diri dan permasalahan kasus
klien. Selanjutnya keterkaitan kondisi-kondisi tersebut ditindak lanjuti.
3) Konselor (Pembimbing)
Konselor atau pembimbing bertindak sebagai perencana,
pelaksanaan dan sekaligus pengguna hasil-hasil kunjungan rumah.
Dalam pelaksanaan home visit ini dapat diperjelas bahwa penanganan
masalah yang dialami oleh klien dilakukan oleh keluarga klien, atas
arahan dan pemahaman yang diberikan konselor. Keluarga klien akan
17
dikembangkan kemampuannya mengenai wawasan, pengetahuan,
keterampilan, nilai dan sikap oleh konselor pada saat proses
pelaksanaan home visit berlangsung. Seluruh kegiatan home visit
dikaitkan langsung dengan pelayanan bimbingan dan konseling dan
kegiatan pendukung layanan bimbingan dan konseling lainnya.
18
3) Peran Klien
Keikut sertaan klien dalam kegiatan kunjungan rumah, diwujudkan
melalui persetujuannya terhadap penyelenggaraan kunjungan rumah.
Keterbukaan, objektivitas, kenyamanan suasana, kelancaran kegiatan,
serta dampak positif bagi klien dan keluarganya, menjadi
pertimbangan dan kreteria keterlibatan klien.
4) Kegiatan
Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh konselor dalam
melakukan kunjungan rumah adalah melakukan pembicaraan atau
wawancara dengan anggota keluarga klien sesuai dengan
permasalahan klien. Selain itu juga melakukan pengamatan terhadap
berbagai objek dalam keluarga atau rumah yang dikunjungi dan
lingkungan sekitarnya tentunya atas izin pemilik rumah.
7) Evaluasi
Untuk mengetahui hasil-hasil dari kunjungan rumah, hasil
harus dilakukan evaluasi.Dengan terlaksananya semua teknik tersebut
dengan sistematis dan kerjasama yang baik antar semua pihak yang
terkait akan mempermudah pelaksanaan home visit yang dilakukan
konselor.
Pelaksanaan kegiatan kunjungan rumah juga menempuh tahap-
tahap kegiatan seperti: perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, analisis
hasil evaluasi, tindak lanjut dan laporan.
19
a) Perencanaan
Pada tahap perencanaan, hal-hal yang dilakukan adalah
1) Menetapkan kasus dan klien yang mengalaminya
yang
2) memerlukan kunjungan rumah
3) Meyakinkan klien tentang pentingnya kunjungan
rumah
4) Menyiapkan data atau informasi pokok yang perlu
dikomunikasikan kepada keluarga
5) menetapkan materi kunjungan rumah atau data
yang perlu diungkapkan dan peranan masing-
masing anggota keluarga yang akan ditemui
6) Menyiapkan kelengkapan administrasi.
7)
b) Pelaksanaan
Pada tahap ini hal-hal yang dilakukan adalah :
1) mengomunikasikn rencana kegiatan kunjungan
rumah kepada berbagai pihak yang terkait
2) melakukan kunjungan rumah dengan melakukan
kegiatan-kegiatan:
a. Bertemu orang tua atau wali klien atau anggota keluarga lainnya
b. Membahas permasalahan klien
c. Melengkapi data
d. Mengembangkan komitmen orang tua atau wali klien atau anggota
keluarga lainnya
e. Menyelenggarakan konseling keluarga apabila memungkinkan
f. Merekam dan menyimpulkan hasil kegiatan.
3) Evaluasi
Pada tahap ini hal-hal yang dilakukan
adalah:
a) Mengevaluasi proses pelaksanaan kunjungan
rumah
20
b) Mengevaluasi kelengkapan dan keakuratan
hasilkunjungan rumah, serta komitmen orang tua,
wali dan anggota keluarga lain
c) Mengevaluasi penggunaan data hasil kunjungan
rumah dalam pengentasan masalah klien
d) Analisis terhadap keberhasilan penggunaan
hasilkunjungan rumah terhadap penanganan kasus,
khususnya pengentasan masalah klien.
5) Tindak lanjut
a) Mempertimbangkan apakah diperlukan
kunjungan rumah ulang atau lanjutan
b) Mempertimbangkan tindak lanjut layanan dengan
menggunakan data hasil kunjungan rumah yang
lebih atau akurat.
6) Laporan
Pada tahap ini pembimbing atau konselor
melakukan kegiatan:
a) Menyusun laporan kegiatan home visit
b) Menyampaikan laporan kepada pihak terkait
c) Mendokumentasikan laporan.
21
2) Pada umumnya orang tua cenderung memberikan kesan yang baik
tentangkeluarganya, sehingga informasi yang diberikan belum
tentu menggambarkan keadaan yang sesungguhnya.
3) Orang tua klien belum menyadari pentingnya kunjungan rumah.
4) Hambatan bagi pembimbing tau konselor yang belum matang
secara pribadi dan dalampemahaman sosial yaitu adanya kesukaran
ketika berhubungan dengan orang tua. Adanya perasaan curiga dari orang
tua jika tujuan home visit tidak jelas.
22
tahun 2014 ada 33 per 100.000 kelahiran hidup di tahun 2015meningkat menjadi 35 per
100.000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Kota Semarang,2015). Kematian ibu yang
tertinggi di Kota Semarang tertinggi adalah karena Eklamsi(48,48%), penyebab lainnya
adalah karena perdarahan (24,24%), disebabkan karena penyakit sebesar 18,18%, infeksi
sebesar 3,03% dan lain lain sebesar 6,06% (ProfilKesehatan Kota Semarang,2015). Dan
sebenarnya masalah-masalah tersebut dapatdiminimalisir dengan dilakukannya deteksi
secara dini oleh tenaga kesehatan.
Deteksi dini resiko tinggi ibu hamil adalah kegiatan penjaringan terhadap ibu-
ibuhamil yang terdeteksi mengalami kehamilan resiko tinggi pada suatu wilayah tertentu
ataukegiatan yang dilakukan untuk menemukan ibu hamil yang mempunyai faktor risiko
dankomplikasi kebidanan. Oleh karenanya deteksi dini oleh tenaga kesehatan dan
masyarakattentang adanya faktor resiko dan komplikasi, serta penanganan yang adekuat
sedinimungkin, merupakan kunci keberhasilan dalam penurunan angka kematian ibu dan
bayiyang dilahirkannya.
Kegiatan deteksi dini resiko tinggi ibu hamil yang dilaksanakan oleh bidan di
desayaitu memberikan pelayanan antenatal untuk ibu selama kehamilannya serta
dilaksanakansesuai dengan Standar Pelayanan Kebidanan (SPK), kompetensi bidan
Indonesia danwewenang bidan yang diatur dalam Kepmenkes RI
No.900/Men.Kes/SK/VII/2002.
Di bidang kebidanan, saat ini terdapat upaya sebagai deteksi dini terhadap faktor
resiko kehamilan yaitu menggunakan metode Kartu Skor Poedji Rochjati (KSPR)
yangdikeluarkan oleh Depertemen Save Motherhood Rumah Sakit Umum Dokter
SoetomoSurabaya yang masih digunakan secara manual. Pada mulanya kartu ini
diciptakan olehPoedji Rochjati pada tahun 1992-1993 pada proyek penelitian di
Kabupaten Probolinggo.KSPR disusun dengan format yang sederhana dengan tujuan agar
mudah dalam proses pengisian oleh tenaga kesehatan dalam rangka melakukan skrining
terhadap ibu hamil danmengelompokkan ibu kedalam kategori sesuai dengan masalahnya
23
sehingga dapatmenentukan dalam proses pengambilan keputusan dan intervensi yang
tepat terhadap ibuhamil berdasarkan kartu tersebut (Manuaba, 2009).
Evidence Based Midwifery Practice dalam asuhan ibu nifas dapat disimpulkan sebagai
asuhan kebidanan pada ibu nifas berdasarkan bukti penelitian yang telah teruji menurut
metodologi ilmiah yang sistematis.
Peraturan moral yang paling utama adalah jujur sehingga bidan harus menjelaskan
kondisi kliennya saat ini dan komplikasi yang dapat terjadi padanya. Kejujuran ini penting
agar dapat membangun rasa saling percaya dan hubungan yang baik antara mereka. Bidan
perlu menjelaskan plus minus dari tindakan berbasis EBP yang diberikan pada ibu nifas. Hal
lain yang harus diperhatikan bidan adalah prinsip otonomi. Otonomi bersifat umum, tetapi
24
berlaku juga dalam asuhan kebidanan, dimana bidan harus dapat menghargai pilihan
kliennya.
4. Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas dengan Memanfaatkan Evidence Based Practice
Prinsip-prinsip dalam asuhan nifas yang mendasari untuk EBM terbaik dan untuk
mengoptimalkan kesehatan ibu dan bayinya:
25
Periode kunjungan nifas (KF) :
KF 1 : pada periode 6 (enam) jam sampai dengan 2 (dua) hari pasca persalinan;
KF 2 : pada periode 3 (tiga) hari sampai dengan 7 (tujuh) hari pasca persalinan;
KF 3 : pada periode 8 (delapan) hari sampai dengan 28 (dua puluh delapan) hari pasca
persalinan;
KF 4 : pada periode 29 (dua puluh sembilan) sampai dengan 42 (empat puluh dua) hari
pasca persalinan.
Pelayanan KB tetap dilaksanakan sesuai jadwal dengan membuat perjanjian dengan
petugas. Diutamakan menggunakan MKJP
26