Anda di halaman 1dari 12

PENGKAJIAN

Menurut American Pain Society, kegagalan staf untuk secara rutin mengkaji nyeri
dan peredaan nyeri adalah alasan yang paling umum untuk nyeri yang tidak reda pada
pasien yang dirawat di rumah sakit. Pengkajian nyeri sama pentingnya dengan metode
terapi. Nyeri pasien harus dikaji pada interval teratur untuk menentukan keefektifan terapi,
munculnya efek samping, kebutuhan penyesuaian dosis, atau kebutuhan akan dosis
tambahan guna mengatasi nyeri akibat prosedur. Nyeri harus dikaji ulang pada interval
yang tepat setelah pemberian obat nyeri atau intervensi lainnya, seperti 30 menit setelah
dosis morfin IV.
Dalam perawatan kritis, berbagai kondisi bisa menyertai sehingga pengkajian nyeri
pasien dan terapi lanjutannya sulit dilakukan. Kondisi ini meliputi :
• Penurunan kesadaran
• Terpasang ventilator
• Intubasi endotrakheal
• Pengaruh obat sedasi
• Kaum lansia dan anak-anak
• Pengaruh Budaya
• Kurangnya pengetahuan
Kesalahan yang umum terjadi di kalangan profesional perawatan kesehatan adalah bahwa mereka
yang paling berkualifikasi untuk menentukan adanya dan keparahan nyeri pasien. Tidak adanya
tanda fisik atau perilaku seringkali salah diinterpretasikan sebagai tidak ada nyeri. Agar dapat
melakukan pengkajian nyeri yang efektif, perawat perawatan kritis harus mendapatkan laporan diri
pasien. Pengamatan perilaku dan perubahan parameter fisik harus dipertimbangkan dengan laporan
diri pasien.
a. Laporan diri pasien
Karena nyeri adalah pengalaman subjektif, laporan diri pasien adalah sumber
informasi yang paling andal mengenal adanya nyeri dan intensitasnya. Laporan diri
pasien harus diperoleh tidak hanya pada saat intirahat, namun selama aktifitas rutin,
seperti pada saat batuk, napas dalam dan miring. Apabila pasien dapat berkomunikasi
perawat perawatan kritis harus menerima gambaran nyeri pasien sebagai sesuatu yang
valid. Dalam mengkaji kualitas nyeri, perawat harus mendapatkan gambaran verbal
spesifik mengenai nyeri pasien misalnya seperti “terbakar”, “remuk”, “tertusuk”,
“tumpul” atau “tajam” dengan teknik PQRSTU,yaitu :

ii
 P : Provokatif/ Paliatif
 Q : Quality
 R : Region/ Radiation
 S : Severity
 T : Timing
 U : Understanding/ Pemahaman tentang nyeri
b. Observasi
Pasien yang mengalami nyeri dapat memperlihatkan manifestasi perilaku khusus.
Perilaku perlindungan seperti guarding, menarik diri, dan menghindari gerakan akan
melindungi pasien dari stimulus yang menimbulkan nyeri. Upaya yang dilakukan oleh
pasien untuk meredakan nyeri seperti menggosok daerah nyeri, mengganti posisi atau
meminta obat pereda nyeri adalah perilaku paliatif. Menangis, merengek atau menjerit
adalah perilaku afektif dan menggambarkan respon emosional terhadap nyeri.
Pasien yang tidak dapat bicara dapat menggunakan ekspresi wajah atau mata,
gerakan tangan atau tungkai untuk menyatakan nyerinya. Kegelisahan atau agitasi dapat
terlihat pada pasien yang tidak dapat memberikan respon. Masukan dari keluarga dapat
membantu menginterpretasikan manifestasi perilaku nyeri yang spesifik berdasarkan
pengetahuan mereka terhadap perilaku nyeri pasien sebelum dirawat di rumahsakit.
c. Parameter Fisiologis
Perawat perawatan kritis terampil dalam mengkaji status fisik pasien yang
meliputi perubahan tekanan darah, frekuensi jantung atau pernapasan. Oleh karena itu
masuk akal apabila observasi terhadap efek fisiologis nyeri akan membantu pengkajian
nyeri. Akan tetapi, pada pasien yang sakit kritis, mungkin sulit menghubungkan
perubahan fisiologis ini secara khusus dengan nyeri bukan penyebab lainnya.
Kadangkala terdapat perbedaan antara laporan diri pasien dengan manifestasi
perilaku dan fisiologis. Sebagai contoh, satu orang pasien dapat melaporkan nyeri
bernilai 2 dari 10, sementara ia mengalami takikardi, diaforesis, dan splinting
pernapasan. Pasien yang lain dapat memberikan laporan diri 8 dari 10 sambil
tersenyum. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh penggunaan aktivitas pengalihan,
keterampilan koping, kepercayaan mengenai nyeri, latar belakang budaya, ketakutan
akan kecanduan, atau takut menyusahkan staf keperawatan (Gonce P, Fontaine D,
Hudak C, Gallo B, 2012)
2. Pengukuran intensitas nyeri

Nyeri dinilai berdasarkan tingkah laku manusia, yang secara kultur mempengaruhi,
sehingga latar belakang mempengaruhi ekspresi dan pemahaman terhadap nyeri.
Nyeri merupakan respon fisiologis terhadap kerusakan jaringan dan juga mempengaruhi
respon emosional dan tingkah laku berdasarkan pengalaman nyeri seseorang dimasa lalu
dan persepsi terhadap nyeri.
Definisi nyeri sendiri dalam asuhan keperawatan adalah ketika seseorang merasakan
nyeri dan menyatakannya. Perhatian harus diberikan kepada pasien yang tidak
mampu berkomunikasi secara verbal. Persepsi dan interpretasi terhadap input nosiseptif,
respon emosional terhadap persepsi (misal, depresi, takut, cemas, dan menderita), dan
tingkah laku sebagai respon terhadap emosi dan persepsi yang menuntun observer untuk
yakin bahwa seseorang sedang merasakan nyeri (misal, mengeluhkan nyeri, meringis).
Persepsi nyeri kelihatannya sama pada berbagai suku akan tetapi batas ambang nyeri
berbeda antara suku atau ras.
Penilaian skala nyeri dapat dibagi atas pasien yang memiliki kemampuan verbal
dan dapat melaporkan sendiri rasa sakitnya (self reported) dan pasien dengan
ketidakmampuan verbal baik karena terganggu kognitifnya, dalam keadaan tersedasi,
ataupun berada dalam mesin ventilator.
a. Skala nyeri verbal (Self Reported)
Ada beberapa skala nyeri yang dapat digunakan. Pada umumnya skala ini
dibagi atas skala kategorik (tidak sakit, sakit ringan, sakit sedang, dan sakit berat).
Ataupun penggunaan skala yang digambarkan sebagai garis horizontal atau vertikal
yang ujung-ujungnya diberi nilai “0” menandakan tidak ada nyeri dan “10”
menandakan nyeri yang hebat.
1) Verbal Rating Scale
Verbal Rating Scale terdiri dari beberapa nomor yang menggambarkan tingkat
nyeri pada pasien. Pasien ditanya bagaimana sifat dari nyeri yang dirasakannya.
Peneliti memilih nomor dari skor tingkat nyeri tersebut dari apa yang dirasakan
pasien. Skor tersebut terdiri dari empat poin yaitu :
• 0 = Tidak ada nyeri atau perasaan tidak enak ketika ditanya
• 1 = Nyeri yang ringan yang dilaporkan pasien ketika ditanya
• 2 = Nyeri sedang yang dilaporkan pasien ketika ditanya
• 3 = Nyeri dihubungkan dengan respon suara, tangan atau lengan tangan, wajah
merintih atau menangis
Keempat poin ini secara luas digunakan oleh klinisi untuk menentukan tingkat
kebenaran dan keandalan. Untuk pasien yang memiliki gangguan kognitif,
skala nyeri verbal ini sulit digunakan.
2) Visual Analogue Scale
Cara lain untuk menilai intensitas nyeri yaitu dengan menggunakan Visual
Analog Scale (VAS). Skala berupa suatu garis lurus yang panjangnya biasaya 10
cm (atau 100 mm), dengan penggambaran verbal pada masing-masing ujungnya,
seperti angka 0 (tanpa nyeri) sampai angka 10 (nyeri terberat). Nilai VAS 0 - <4
= nyeri ringan, 4 - <7 = nyeri sedang dan 7-10 = nyeri berat.

3) Wong Baker Faces Pain Scale


Banyak digunakan pada pasien pediatrik dengan kesulitan atau keterbatasan
verbal. Dijelaskan kepada pasien mengenai perubahan mimik wajah sesuai rasa nyeri
dan pasien memilih sesuai rasa nyeri yang dirasakannya.
b. Skala Nyeri Non Verbal

Biasanya digunakan untuk pasien yang mengalami limitasi verbal baik karena
usia, kognitif, maupun karena berada dibawah pengaruh obat sedasi dan di dalam mesin
ventilator. Berdasarkan guidelines yang dikeluarkan AHCPR tahun 1992 menyatakan
penggunaan baik fisiologis dan respon tingkah laku terhadap nyeri untuk dilakukan
penilaian ketika self-report tidak bisa dilakukan
1) Skala FLACC
Skala ini merupakan skala perilaku yang telah dicoba pada anak usia 3-7
tahun. Setiap kategori (Faces, Legs,Activity, Cry, dan Consolability) diberi nilai 0-2
dan dijumlahkan untuk mendapatkan total 0-10

2) Behavioral Pain Scale


Penggunaan indikator tingkah laku dan fisiologis untuk menilai nyeri pada
pasien dewasa yang tidak responsif, tidak komunikatif telah dikemukakan oleh
Payen pada tahun 2001. Payen membandingkan prospektif 30 pasien yang berada
dalam mekanikal ventilator yang mendapat sedasi dan analgesi. BPS digunakan
untuk menilai rasa nyeri yang dialami pasien pada prosedur yang menyakitkan
seperti tracheal suctioning ataupun mobilisasi tubuh. Skala ini sudah divalidasi.
BPS terdiri dari tiga penilaian, yaitu ekspresi wajah, pergerakan ekstremitas, dan
komplians dengan mesin ventilator. Setiap subskala diskoring dari 1 (tidak ada
respon) hingga 4 (respon penuh). Karena itu skor berkisar dari 3 (tidak nyeri)
hingga 12 (nyeri maksimal).
Skor BPS sama dengan 6 atau lebih dipertimbangkan sebagai nyeri yang tidak
dapat diterima (unacceptable pain).
I Description Score
t
Facial expression Relaxed 1
Partially tightened 2
Fully tightened 3
Grimacing 4
Upper Limbs No movement 1
Partially bent 2
Fully bent with finger flexion 3
Permanently retracted 4
Compliance with
ventilation Tolerating movement 1
Coughing but tolerating ventilation 2
for most of the time

Fighting ventilator 3
Unable to control ventilation 4
Total 3 to 12

(Sumber : Urden L, Stacy K, 2010)


3) Colorado Behavioral Numerical Pain Scale (CBNPS)
CBNPS dikembangkan dari skala BPS oleh Salmore tahun 2002 untuk menilai
nyeri pada pasien yang tersedasi yang menjalani pemeriksaan saluran cerna, baik
endoskopi maupun kolonoskopi. Rasa nyeri pasien dinilai dengan skala yang lebih
mudah, tanpa harus menggunakan ekspresi verbal. Skala CBNPS dibentuk
berdasarkan keadaan yang dinilai sesuai dengan penilaian nyeri oleh Agency of
Health Care (USA) tahun 1992. CBNPS menilai tingkah laku yang dideskripsikan
dengan skala 0-5, yang berkorelasi dengan peningkatan nyeri. Pada penelitian
Salmore juga dikemukakan persamaan skor dalam numerik, dengan nilai 0 tidak ada
nyeri hingga 5 yaitu nyeri hebat
SKOR TINGKAH LAKU
0 Rileks, tidak ada ekspresi wajah
1 Mengeluh, mengerutkan dahi, gelisah/tidak tenang
2 Wajah meringis, memproteksi posisi tubuh
3 Menangis, Resistif
4 Menjerit, melempar sesuatu
5 Melawan
4) Four score

Petunjuk kategori pengkajian individu dengan menggunakan 4 skor, yaitu:


a. Respon mata, tingkat respon terbaik setidaknya setelah 3 percobaan dalam
upaya untuk memperoleh tingkat kesadaran terbaik.
 E4 : jika mata tertutup, pemeriksa harus membukanya dan memeriksa
dengan penelusuran jari atau benda. 1 kelopak mata membuka akan cukup
dalam kasus kelopak mata edema trauma wajah. jika tidak ada penelusuran
horizontal, penelusuran vertikal periksa. berkedip apabila di perintah harus
didokumentasikan. Hal ini berarti pasien sadar sepenuhnya.
 E3 : menunjukkan kelopak mata terbuka tapi tidak tidak ada tracking
 E2 :menunjukkan kelopak mata terbuka dengan suara yang keras
 E1 : menunjukkan kelopak mata terbuka dengan rangsangan nyeri
 E0 :menunjukkan kelopak mata tidak terbuka walaupun dengan
rangsangan nyeri
b. Respon motorik, tingkatan respon terbaik dari lengan
 M4 : menunjukkan bahwa pasien menunjukkan setidaknya 1 dari 3 posisi
tangan (acungan jempol, kepalan tangan atau peace sign) dengan kedua tangan
 M3 : menunjukkan bahwa pasien menyentuh tangan pemeriksa setelah
diberikan rangsangan nyeri dengan menekan sendi temporomandibular atau
saraf supraorbital (dapat melokalisasi nyeri).
 M2 :menunjukkan respon fleksi tungkai atas terhadap nyeri
 M1 :menunjukkan ekstensi tungkai
 M0 :tidak ada respon terhadap nyeri atau mioklonus status epileptikus
c. Refleks Brainstem, tingkat respon terbaik. Dengan memeriksa refleks pupil dan
kornea. Refleks kornea di tes dengan meneteskan 2-3 tetes cairan steril pada kornea
dengan jarak 4-6 inchi, cotton swab bisa dipergunakan. Refleks batuk pada
pengisapan trakhea di tes hanya ketika refleks pupil dan kornea tidak ada.
 B4 : menunjukkan refleks pupil dan kornea ada, baik
 B3 : menunjukkan salah satu pupil lebar dan tetap
 B2 : menunjukkan salah satu refleks tidak ada, refleks pupil atau kornea
 B1 :refleks pupil dan refleks kornea tidak ada
 B0 : refleks pupil, refleks kornea dan refleks batuk (yang menggunakan
pengisapan trakhea) tidak ada
d. Respirasi, memastikan pola pernapasan spontan pada pasien tidak terintubasi.
 R4 : Tidak terintubasi, pola napas reguler
 R3 : Tidak terintubasi, pola napas cheyne-stokes
 R2 : Tidak terintubasi, pola napas irreguler
 R1 : bernafas dengan menggunakan ventilator, namun PaCO2 masih dalam
batas normal
 R0 : bernafas dengan menggunakan ventilator atau
apneua (Mayo, 2005)
5) Critical-Care Pain Observation Tool (CPOT)
Salah satu alat yang paling umum digunakan di ICU adalah Critical-Care Pain
Observation Tool (CPOT), yang telah terbukti dapat diandalkan dan valid dalam
berbagai populasi pasien sakit kritis. Alat ini memerlukan evaluasi dari 4 kategori
berikut:
Indikator Skor Deskripsi
Ekspresi wajah Rileks, netral 0 Tidak terlihat adanya ketegangan
otot
Tegang 1 Merengut, menurunkan alis
Meringis 2 semua gerakan wajah sebelumnya
ditambah kelopak mata tertutup
rapat (pasien bisa juga dengan
mulut terbuka atau menggigit
tabung endotrakeal)
Gerakan tubuh Adanya gerakan 0 tidak bergerak sama sekali (tidak
atau posisi selalu berarti tidak adanya rasa
normal sakit) atau posisi normal (gerakan
tidak ditujukan terhadap adanya
lokasi nyeri atau tidak dibuat untuk
tujuan perlindungan)
Gerakan 1 lambat, gerakan hati-hati,
perlindungan menyentuh lokasi nyeri, mencari
perhatian melalui gerakan
Gelisah 2 menarik tabung, mencoba untuk
duduk, bergerak badan atau
meronta-ronta, tidak mengikuti
perintah, mencoba untuk bangun
dari tempat tidur
Kepatuhan Toleran terhadap 0 Alarm tidak aktif, ventilasi mudah
dengan ventilator dan
ventilator gerakan
(pasien Batuk tapi masih 1 Batuk, alarm mungkin aktif tapi
diintubasi) toleran berhenti secara spontan
Melawan 2 Tidak sinkron : blocking ventilasi,
ventilator alarm aktif secara terus menerus
vokalisasi Berbicara dengan 0 Berbicara dengan nada normal atau
(pasien nada normal atau tidak ada suara
diekstubasi). tidak ada suara
Mendesah, 1 Mendesah, mengerang
mengerang
Menangis 2 Menangis terisak-isak
terisak-
isak
Ketegangan otot Rileks 0 Tidak resisten terhadap gerakan
pasif
Tegang 1 Resistan terhadap gerakan pasif
Sangat tegang 2 Resisten kuat terhadap gerakan
pasif
Skor 0-2 untuk setiap kategori, tergantung pada tingkat respon pasien. Total skor
maksimum adalah 8. Penilaian nyeri yang tepat merupakan bagian penting dari perawatan
berkualitas bagi pasien sakit kritis, dan penggunaan ukuran nyeri yang valid dapat
membantu dalam evaluasi teknik manajemen nyeri multidisiplin untuk pasien sakit kritis
nonverbal (Gelinas C dkk, 2006).
Keterbatasan dari banyak alat penilaian perilaku nyeri (seperti CPOT) adalah perlunya
perhatian khusus pada setiap gerakan, sehingga penting bagi perawat untuk hati-hati
mengevaluasi setiap kemampuan pasien untuk menunjukkan perilaku yang diperlukan dalam
penilaian.
DAFTAR PUSTAKA

Ahlers, S. J. G. M., A. M. v. d. Veen, et al. (2010). "The Use of the Behavioral Pain Scale to
Assess Pain in Conscious Sedated Patients." Critical Care and Trauma 110.

Ahlers S, Aletta M,Tibboel M, Knibbe C, Pharm D. (2010). “Comparison of different


pain scoring systems in critically ill patients in a general ICU”. Criticall Care

Alspach, J. (2006). Core Curriculum for Critical Care Nursing. America, American
Association of Critical Care Nursing.

Bar J, Puntillo K, et all. (2013). “Clinical Practice guidelines for the management of
pain, agitation, and delirium in adult patients in the intensive care unit”. Am J
Health- Syat Pharm

Anda mungkin juga menyukai