Anda di halaman 1dari 9

Cerita dari Yamdena

Setelah Oil Boom pada tahun 1970-an, perekonomian nasional Indonesia


mulai melirik hutan. Bisa dimaklumi, karena cadangan minyak bumi semakin tipis
(diperkirakan akan mencapai ambang batas produksi tidak lebih dari 25 tahun
lagi), juga karena harga minyak bumi di pasar internasional juga terus menurun,
sementara sektor manufaktur dan sektor industri non-migas lainnya belum bisa
diandalkan. Maka, pada dasawarsa 80-an, industri kehutanan menjadi primadona
baru untuk ekspor nasional. Pulau-pulau besar yang kaya hutan (Kalimantan, Papu
Barat, Sumatera dan Sulawesi) segera menjadi sasaran utama investasi. Tapi,
seperti juga minyak dan gas bumi yang merupakan sumber daya yang tidak dapat
diperbaharui (non-renewable resources), hasil hutan juga segera menipis
menjelang akhir 80-an. Tetapi, roda pembangunan ekonomi yang rakus sumber
daya alam ini harus tetap berlangsung. Maka, pulau-pulau kecil pun menjadi
sasaran berikutnya. Kepulauan Maluku tak terkecuali. Dalam waktu singkat,
pembalakan hutan besar-besaran terjadi di pulau-pulau Halmaera, Bacan, Obi,
Sulu Taliabu, Buru dan Seram. Tahun 1986, giliran kepulauan Aru dan Tanimbar.
Salah satu konsesi hutan (HPH, Hak Pengusahaan Hutan) yang paling
menghebohkan adalah PT. Alam Nusa Segar (ANS) di pulau Yamdena, pulau
utama gugus Tanimbar.
Setelah memperoleh izin operasinya, perusahaan milik taipan konglomerat
nomor satu di Indonesia ini, Liem Swie Liong dari Salim Group, segera memulai
survei awalnya pada tahun 1988. Namun, kali ini mereka kena batunya. Penduduk
asli 18 desa yang masuk dalam wilayah konsesi seluas 64.000 hektar itu menolak
dan mengajukan protes. Selain karena mereka memang tidak pernah diajak bicara,
juga karena wilayah konsesi itu menjarah sampai ke ladang-ladang, tanah pusaka
dan kawasan keramat (sacred ancestral land) mereka. Dengan angkuh, petugas
perusahaan dan pemerintah setempat malah melarang mereka masuk ke dalam
wilayah konsesi. Bahkan menakut-nakuti mereka dengan menghadirkan petugas
militer dan polisi. Mula-mula, penduduk mengajukan protes ‘sopan’: mengadu ke
DPRD II Kabupaten Maluku Tenggara dan DPRD I Propinsi Maluku. Seperti
biasa, suara rakyat ini sama sekali tidak diacuhkan. Mei 1990, beberapa tetua adat
Yamdena kemudian berangkat ke Jakarta dan mengadukan nasib mereka ke DPR-
RI. Beberapa tokoh masyarakat Tanimbar di Jakarta segera mengontak media
massa. Majalah TEMPO memuat laporan investigasi awal kasus ini dan mulai
memancing debat terbuka. Para tetua adat tersebut sekaligus menyerahkan mandat
kepada tokoh-tokoh masyarakat Tanimbar agar segera membentuk organisasi
pendukung yang bertugas khusus melakukan lobi, kampanye dan aksi-kasi protes,
pertanyaan politik, sekaligus pencarian dana. Mei 1990, terbentuklah Ikatan
Cendikiawan Tanimbar Indonesia (ICTI) di Jakarta, sebagai juru bicara resmi
masyarakat Yamdena.
Jaringan Kerja Pelestarian Hutan Indonesia (SKEPHI) dan Indonesian
Front for the Defense of Human Right (INFIGHT) segera tanggap. Mereka
mengontak para tetua adat dan tokoh masyarakat Tanimbar tersebut. Serangkaian
pertemuan marathon berlangsung pada tengah sampai jelang akhir tahun 1990.
Akhirnya disepakati untuk mulai menggarap kasus ini mulai dari pusat
konfliknya: langsung di Yamdena! Seorang organizer diutus ke Yamdena untuk
memulai misi tersebut. Melalui jalur panjang dan rumit dari Manado, Ternate,
Ambon dan Tual – setelah gagal menembus pengawalan ketat petugas keamanan
di jalur Kupang dan Dili – sang organizer mendarat di Yamdena pada Februari
1991.

Kerja awal segera dimulai: rangkaian pertemuan regular dari kampung ke


kampung, hampir tiap malam, sampai pertengahan 1991. Selama hampir tiga
bulan tersebut, kegiatan pengorganisasian masih terbatas hanya pada
penggalangan kesepakatan-kesepakatan dan penyamaan presepsi tentang masalah
atau kasus yang dihadapi. Karena itu, diskusi-diskusi yang berlangsung di rumah-
rumah penduduk, di ladang, di pantai, bahkan di atas perahu dan sampan, lebih
dipusatkan pada ‘analisis sosial’ konsesi hutan. Ketika para tetua dewan-dewan
adat dari 18 desa itu akhirnya sepakat untuk membentuk komite-komite aksi di
desa masing-masing, barulah dilakukan satu pelatihan bersama metodologi dasar
pengorganisasian bagi para pemuda yang terpilih. Sampai awal tahun 1992, sudah
siap sekitar 60 orang organiser lokal yang terlatih dalam metodologi
pengorganisasian, terutama teknik-teknik memfasilitasi pertemuan secara
partisipatif, penggunaan media kreatif untuk penyebaran informasi secara cepat,
penggalangan masa, pemetaan kawasan, pencatatan data dan informasi lapangan,
dll. Merekalah yang kemudian secara aktif bekerja membentuk dan menjalanakan
komite-komite aksi yang bertanggung jawab lagsung kepada Dewan Adat desa
masing-masing. Arus informasi mulai berlangsung secara sistematik antar setiap
kampung dan desa serta dari dan ke Jakarta.

  ICTI semakin aktif. Masih difasilitasi oelh SKEPHI dan INFIGHT organisasi
yang sebagai besar anggota maupun pengurusnya adalah guru-guru sekolah,
karyawan swasta dan bahwakan banyak juga pegawai negeri ini, mulai belajar
merancang strategi aksi, merumuskan pernyataan-pernyataan dan siaran-siaran
pers, bahkan juga bagaimana membangun jaringan kerja dengan organisasi lain,
terutapa dengan ORNOP dan mahasiswa. Forum-forum komunikasi mahasiswa
dari berbagai kota (Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta) kemudian ikut membantu
memfasilitasi aktivis ICTI memobilisasi gerakan-gerakan massa. Rangkaian
protes ke DPR RI, Menteri Kehutanan, juga ke Kantor Pusat ANS, mulai
berlangsung tanpa henti. Di tingkat internasional, World Rainforest Movement
(WRM) dan Down to Earth (DtE) merupakan dua mitra paling aktif melakukan
lobi dan kampanye yang bahwkan sampai berhasil memasukkan kasus Yamdena
ke dalam agenda perdebatan politik Parlemen Eropa. Bersama Jaringan Dunia
Ketiga atau Third World Network (TWN), keduanya juga aktif memasok banyak
data dan informasi untuk keperluan kampanye di Indonesia. Salah satu kampanye
yang bergema keras waktu itu adalah lembar-lembar fakta bergambar Don’t Sink
Our Island! (Jangan Tenggelamkan Pulau Kami!) yang beredar luas di kalangan
anak-anak sekolah di Eropa. Anak-anak itu kemudian menyertakan
kesetiakawanan mereka dengan menulis surat protes ke Menteri Kehutanan
Republik Indonesia. Satu kontainer penuh surat anak-anak Eropa dan dari
beberapa bagian dunia lainnya itu sempat membuat Menteri Kehutanan kala itu,
Hasyrul Harahap, kewalahan dan meminta ICTI tidak mendramatisir persoalan.
Kalawarna DtW dari London hampir setiap nomor memuat perkembangan kasus
Yamdena, sementara SKEPHI mengorganisir beberapa wartawan Jakarta untuk
terus memuat laporan-laporan investigasi dari lapangan.
Semua perkembangan ini membuat pihak perusahaan dan pemerintah
memberi reaksi semakin keras. Mereka tetap keras kepala menolak semua protes
rakyat Yamdena. Hal ini membuat rakyat Yamdena tidak dapat menahan
kesabaran lagi. Pada suatu hari di bulan November 1992, para organizer lokal
melakukan mobilisasi orang-orang kamping mengepung (blokade) beberapa
kawasan konsesi dimana base camps PT. ANS berapa. Mereka membakar 1 base
camp dan merusak beberapa alat berat. Pihak perusahaan segera meminta bantuan
aparat keamanan dan bentrok fisik tak terhindarkan. Puluhan penduduk luka-luka
dan 42 orang, termasuk 4 orang tetua adat yang juga menjabat sebagai Kepada
Desa, ditangkap polisi dan kemudian diangkut dan ditahan di penjara kota Tual,
ibukota Kabupaten Maluku Tenggara, di Kepulauan Sei. Sang organiser kembali
diutus ke lapangan untuk melakukan investigasi. Bersama dua orang pengacara
sukarela (orang Yamdena juga) dari Semarang dan Jakarta yang ditugaskan oleh
ICTI mendampingi organiser  lokal di kampung-kampung sejak Desember 1991,
dibantu oleh seorang organiser dan fasilitator dari satu NGO lokal di Kepulauan
Kei, ‘Tim Empat’ ini berhasil mengumpulkan data kejadian di lapangan. Bahkan,
juga berhasil mengontak beberapa pastor dan Wakil Uskup Amboina di Tual
untuk meminta dukungan. Uskup Amboina sendiri akhirnya mengeluarkan
pernyataan keras dan mengancam akan memberlakukan eks-komunikasi kepada
para pejabat pemerintah beragama Katolik di Yamdena maupuan Ambon yang
terbukti lebih membela kepentingan perusahaan ketimbang kepentingan rakyat
Yamdena. Atas jasa Wakil Uskup di Tual yang melakukan negosiasi dengan polisi
dan kejaksanaan, akhirnya 38 orang penduduk yang ditahan dibebaskan
menjelang Natal 1992, kecuali 4 Kepada Desa dan 2 pengacara utusan ICTI
sebagai jaminan dan untuk keperluan penyidikan. Sang organiser sendiri ikut
bersama penduduk yang dibebaskan pulang kampung dan segara melakukan
koordinasi kembai untuk menyusun langkah-langkah baru. Rangkaian pertemuan
regular mulai berlangsung lagi hampir setiap malam bergiliran dari kampung ke
kampung. Kali ini lebih difokuskan pada cara-cara mengantisipasi kemugkinan
provokasi karena pada saat itu diperoleh informasi ada 8 orang anggota
KOPASSUS khusus didatang dari Jakarta untuk memata-matai kegiatan
penduduk.
Keadaan di lapangan semakin panas. Penahanan beberapa orang itu
bukannya membuat penduduk jera, malah semakin membakar semangat mereka.
Secara kebetulan, 4 pengacara sukarela lainnya utusan ICTi dari Jakarta dan
Surabaya mengalami musibah. Pesawat tua Mandala yang membawa mereka jatuh
ketika akan mendarat di Bandar Ambon, Januari 1993. Semua penumpang dan
awak pesawat meninggal. Jenazah mereka diterbangkan kembali ke Jakarta, tetapi
informasi ini segera terdengar juga oleh penduduk di Yamdena dua hari
kemudian. Misa duka segera berlangsung di semua kampung dan desa, sementara
di Jakarta dilakukan misa khusus. Momentum ini dimanfaatkan oleh
pada organiser lokal untuk semakin memperkuat rasa kesetiakawanan mereka
dan, dalam sekejap, 4 orang itu segera menjadi martir perjuangan mereka. Mereka
berjanji dan bersumpah tidak akan mundur lagi.

Celakanya, reaksi perusahaan dan pemerintah malah semakin menyulut api


dalam sekam. Mereka tetap menolak protes dan tuntutan rakyat Yamdena. Alasan
yang paling sering mereka ajukan adalah bahwa konsesi tersebut telah menjalani
proses kaji kelayakan ekonomis maupun teknis yang dapat
dipertanggungjawabkan, bahkan AMDALnya pun dilaksanakan oleh perusahaan
konsultan dan Pusat Studi Lingkungan (PSL), Universitas Pattimura telah
memenuhi persyaratan ilmiah dan disepakati para pakar. Menghadapi argument
ini, ICTI kemudian mencoba meminta bantuan SKEPHI untuk menguhubungi
lembang-lembaga penelitian perguruan tinggi. Gagasan pokoknya adalah: bikin
AMDAL tandingan! Secara resmi, tidak ada yang bersedia membantu, tetapi
secara pribadi ada beberapa orang pakar dan peneliti senior dari Pusat Pengkajian
Klimatologi IPB dan Universitas Gajah Mada menyatakan kesediannya.
Masalahnya kemudian adalah: dana! Sebagai peneliti professional (semuanya
bergelar Ph.D), mereka mengajukan anggaran cukup mahal, karena memang
membutuhkan banyak bahan dan peralatan canggih, seperti foto-foto citra satelit,
peta-peta geomorfologi, sampel-sampel laboratorium, dll. Total anggaran yang
diajukan lebih dari Rp 100 juta! Melalui perundingan yang cukup alot, akhirnya
ICTI menyatakan bersedia menyiapkan dana Rp 60 juta saja. Kesepakatan dicapai
dengan pada peneliti tersebut (2 pakar tanah dan hutan dari IPB dan 2 pakar
biologi lingkungan dan sosial-ekonomi dari Gajah Mada) bersedia ‘dibayar
miring’.

ICTI segera mengontak semua orang Yamdena perantauan di seluruh


Indonesia dan di luar negeri, terutama di Belanda. Satu tim khusus bahkan
melakukan perjalanan dari rumah ke rumah menyusur Pulau Jawa. Misa minggu
di seluruh paroki yang banyak orang Yamdena diminta menyisihkan dana kolekte
khusus, termasuk anak-anak, berapapun yang mereka sanggup sisihkan.
Para organiser lokal di kampung-kampung juga mulai bergerak secara sistematis.
Beberapa proyek ekonomi juga mulai dijalankan untuk menghimpun data.
Walhasil, pada April 1993, ICTI akhirnya dapat memenuhi kesanggupannya
untuk membayar tim pakar peneliti. Tim ini melakukan serangkaian diskusi
persiapan dengan ICTI dan SKEPHI di Jakarta, kemudian berangkatkah ke
Yamdena dan tiba di bulan Juli 1993. Langkah pertamanya adalah koordinasi
dengan Dewan Adat dan dengan para organiser lokal. Tim memberikan latihan
tekniks singkat kepada para organiser lokal sebagai tenaga lapangan.

Para organiser lokal kemudian melatih penduduk di desa masing-masing.


Cara kerja ini sangat membantu tim mengumpulkan semua data dan sampel yang
diperlukan hanya dalam jangka waktu kurang dari 8 minggu. Tim pulang ke
Bogor dan Yogya untuk melakukan pengujian laboratorium, analisis dan
penulisan laporan akhir. November 1993, laporan selesai dan diserahkan kepada
ICTI. Masih difasilitasi oleh SKEPHI, ICTI berhasil mengontak LIPI yang
kemudian bersedia menyelenggarakan satu seminar ilmiah khusus untuk
mempresentasikan hasil penelitian tersebut langsung oleh tim pakar penelitinya.
Seminar berlangsung di Gedung LIPI Jakarta dan dibuka langsung sendiri oleh
Ketua LIPI. Selain para akademisi, wartawan dan aktivis NGO, semua pihak
‘lawan’ (unsur pemerintah dan perusahaan) juga diundang. Debat seru
berlangsung, diliput oleh media massa, yang akhirnya menyimpulkan bahwa
AMDAL resmi PT. ANS sangat tidak memadai dan banyak manipulasi.

Hasil seminar ini disambut dengan aksi protes yang semakin marak pula.
Para aktivitas muda ICTI, dibantu oleh aktivitas dari forum-forum komunikasi
mahasiswa, memobilisasi massa lebih besar lagi, termasuk para ‘preman Ambon’
di Jakarta, melakukan demonstrasi bahkan sampai ke Kantor Pusat PT. ANS. Ini
memaksa direksi Salim Group, diwakili oleh ‘putra mahkota’nya, Anthony Salim,
duduk di meja perundingan dengan ICTI. Ini kemajuan lain lagi karena
sebelumnya mereka selalu menghindar untuk bertemu langsung dan selalu
melempar tanggung jawab ke Menteri Kehutanan. Akhirnya, pendapat umum
yang semakin keras memaksa Menteri Kehutanan kala itu, Hasyrul Harahap,
terpaksa pula bersedia duduk berunding langsung dengan ICTI. Rangkaian
perundingan alot berlangsung lagi yang pada awal tahun 1994, memaksa Menteri
Kehutanan mengeluarkan surat keputusan (SK) resmi mencabut izin HPH PT.
ANS, memerintahkan penghentian sementara semua operasi perusahaan yang
sedang berlangsung di lapangan, dan menyatakan moratorium hutam Yamdena
selama 3 tahun minimal, sampai dicapai kesepakatan baru dengan ICTI dan
masyarakat Yamdena.

ICTI dan rakyat Yamdena merayakan ‘kemenangan pertama’ ini bahkan


yang pertama dalam sejarah sengketa wilayah dan konsesi hutan di Indonesia
sepanjang Order Baru yang dimenangkan oleh rakyat atas kekuasaan mereka
sendiri. Selama masa memoratorium, ICTI tetap aktif, termasuk keberhasilan
mereka melobi beberapa lembaga internasional untuk menempatkan seorang tetua
adat sebagai wakil tetap mereka di International Office of Indigenous People yang
berkedudukan di London. Wakil inilah yang kemudian melancarkan lobi dan
kampanye internasional semakin gencar, dibantu oleh WRM, DtO dan Kantor
Perwakilan SKEPHI Eropa di Amsterdam, yang akhirnya menghasilkan satu
‘Deklarasi Khusus Parlemen Eropa Mengenai Yamdena’ pada bulan Mei 1997.
ICTI kemudian juga lebih memfokuskan aktivitasnya pada penyusunan konsep
alternatif pengelolaan hutan Yamdena yang berbasis masyarakat setempat. Para
organisasi pendukung, terutama SKEPHI, terus membantu mereka. Bahkan Tim
Peneliti ‘sewaan’ tadi kini menyatakan bersedia membantu perumusan konsep
alternatif tersebut secara ‘prodeo’. Sementar itu, para organiser lokal di Yamdena
juga terus melanjutkan kerja lapangan mereka, termasuk mulai menyesuaikan
bentuk kegiatan mereka sesuai dengan perkembangan baru tersebut. Pelatihan-
pelatihan diadakan lagi, tapi kali ini lebih difokuskan untuk mempersiapkan
masyarakat mendukung konsep alternatif yang sedang diperjuangkan melalui
ICTI. Karena itu, pelatihan-pelatihan lebih diarahkan pada aspek-aspek teknis
budidaya kehutanan (agroforestry), manajemen sumberdaya lokal, pengembangan
kelembagaan, pemetaan kawasan, pemantauan status lingkungan dan ekosistem,
perancangan program, dll. Semuanya dirancang dalam modul-modul sederhana
dan media kerakyatan dan visual yang dibantu khusus oleh NGO lokal, Yayasan
Nen Masil di Kei dan Jaringan Baileo Maluku di Ambon. Satu pusat pelatihan
lokal mulai dibangun di Desa Baumaki, persis di seberang teluk pelabuhan
Saumlaki, ibukota Kecamatan Tanimbar Selatan. Beberapa balai pertemuan dan
juga lahan-lahan percobaan (demplot) dibangun di beberapa kampung strategis.
Anak-anak muda kemudian dipilih untuk mengikuti beberapa kegiatan magang
dan exposure ke daerah lain (Jawa, Sumatera dan NTT). Ini melahirkan beberapa
cikap bakal NGO lokal di Yamdena yang semuanya langsung didirikan, dikelola
dan dikendalikan sendiri oleh masyarakat setempat.

Ketika masa memoratorium berakhir, tahun 1996, Menteri Kehutanan


yang baru, Prof. Dr. Djamaluddin Suryohadikusumo yang lebih mau mendengar
dan lebih terbuka, melakukan kunjungan lapangan langsung ke Yamdena.
Hasilnya, Departemen Kehutanan menyepakati sebagian besar usulan ICTI:
pengelolaan hutan Yamdena akan diteruskan dengan syarat (1) dikelola oleh
BUMN, bukan perusahaan swasta; (2) dalam bentuk budidaya kehutanan
disepakati HTI (Hutan Tanaman Industri) kayu jati sesuai hasil kajian teknis dan
ekosistem Tim Peneliti ICTI, bukan pembalakan hutan; (3) melibatkan
masyarakat setempat dalam seluruh proses dan tahap pelaksanaan; dan (4)
mengkukuhkan hak-hak ulayat tradisional masyarakat setempat dalam bentuk
pembagian pemilikan saham (equity share) sebanyak 2% dari total investasi.
Tetapi, sekali lagi, sistem birokrasi sentralistik telah membuat pelaksanaan
rencana ini diwarnai banyak manipulasi. Salah satu yang membuat rakyat
Yamdena kembali marah dan protes adalah fakta bahwa PT. INHUTANI II –
sebagai BUMN yang disepakati menjadi pelaksana proyek, bekerja sama dengan
satu perusahaan swasta sebagai sub-kontraktor, PT. Mohtra Agung ternyata hanya
bicara dan merekrut orang-orang Yamdena yang bekerja sebagai pegawai negeri
di kota Saumlaki, ibukota kecamatan Tanimbar Selatan, sebagai ‘wakil-wakil’
masyarakat adat Yamdena yang dicantumkan namanya sebagai wakil pemegang
saham. Dewan-dewan Adat kembali protes, masyakarat menolak dan ICTI,
dibantu oleh SKEPHI dan satu NGO lain, Bina Lingkungan Hidup (BLH),
akhirnya mengajukan gugatan hukum ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara)
Ambon. Proses peradilan berlangsung sampai awal 1997 dan, seperti sudah dapat
diduga sebelumnya, PTUN menolak gugatan tersebut. Tetapi, rakyat Yamdena
juga tidak bergeming. Para organiser lokal kembali bergerak memobilisasi
gerakan ‘pembangkangan’ dalam bentuk boikot. Ini membuat proyek raksasa itu
kembali menjadi macet total atau paling tidak tersendat-sendat. Keadaan status
quo ini terus berlangsung sampai akhirnya gelombang reformasi melanda republic
ini dengan tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto pada Mei 1998. Semenjak itu,
semakin tidak jelas nasib proyek ini, tertelan oleh hiruk pikuk reformasi politik
dan ekonomi nasional. Namun, satu hal jelas dan tetap: kerja pengorganisasian
masyarakat lokal di Yamdena tidak pernah berhenti sampai sekarang. Bahkan,
dalam hal tertentu, semakin intensif dan mulai menemukan bentuk-bentuk
kemandiriannya.

Anda mungkin juga menyukai