ICTI semakin aktif. Masih difasilitasi oelh SKEPHI dan INFIGHT organisasi
yang sebagai besar anggota maupun pengurusnya adalah guru-guru sekolah,
karyawan swasta dan bahwakan banyak juga pegawai negeri ini, mulai belajar
merancang strategi aksi, merumuskan pernyataan-pernyataan dan siaran-siaran
pers, bahkan juga bagaimana membangun jaringan kerja dengan organisasi lain,
terutapa dengan ORNOP dan mahasiswa. Forum-forum komunikasi mahasiswa
dari berbagai kota (Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta) kemudian ikut membantu
memfasilitasi aktivis ICTI memobilisasi gerakan-gerakan massa. Rangkaian
protes ke DPR RI, Menteri Kehutanan, juga ke Kantor Pusat ANS, mulai
berlangsung tanpa henti. Di tingkat internasional, World Rainforest Movement
(WRM) dan Down to Earth (DtE) merupakan dua mitra paling aktif melakukan
lobi dan kampanye yang bahwkan sampai berhasil memasukkan kasus Yamdena
ke dalam agenda perdebatan politik Parlemen Eropa. Bersama Jaringan Dunia
Ketiga atau Third World Network (TWN), keduanya juga aktif memasok banyak
data dan informasi untuk keperluan kampanye di Indonesia. Salah satu kampanye
yang bergema keras waktu itu adalah lembar-lembar fakta bergambar Don’t Sink
Our Island! (Jangan Tenggelamkan Pulau Kami!) yang beredar luas di kalangan
anak-anak sekolah di Eropa. Anak-anak itu kemudian menyertakan
kesetiakawanan mereka dengan menulis surat protes ke Menteri Kehutanan
Republik Indonesia. Satu kontainer penuh surat anak-anak Eropa dan dari
beberapa bagian dunia lainnya itu sempat membuat Menteri Kehutanan kala itu,
Hasyrul Harahap, kewalahan dan meminta ICTI tidak mendramatisir persoalan.
Kalawarna DtW dari London hampir setiap nomor memuat perkembangan kasus
Yamdena, sementara SKEPHI mengorganisir beberapa wartawan Jakarta untuk
terus memuat laporan-laporan investigasi dari lapangan.
Semua perkembangan ini membuat pihak perusahaan dan pemerintah
memberi reaksi semakin keras. Mereka tetap keras kepala menolak semua protes
rakyat Yamdena. Hal ini membuat rakyat Yamdena tidak dapat menahan
kesabaran lagi. Pada suatu hari di bulan November 1992, para organizer lokal
melakukan mobilisasi orang-orang kamping mengepung (blokade) beberapa
kawasan konsesi dimana base camps PT. ANS berapa. Mereka membakar 1 base
camp dan merusak beberapa alat berat. Pihak perusahaan segera meminta bantuan
aparat keamanan dan bentrok fisik tak terhindarkan. Puluhan penduduk luka-luka
dan 42 orang, termasuk 4 orang tetua adat yang juga menjabat sebagai Kepada
Desa, ditangkap polisi dan kemudian diangkut dan ditahan di penjara kota Tual,
ibukota Kabupaten Maluku Tenggara, di Kepulauan Sei. Sang organiser kembali
diutus ke lapangan untuk melakukan investigasi. Bersama dua orang pengacara
sukarela (orang Yamdena juga) dari Semarang dan Jakarta yang ditugaskan oleh
ICTI mendampingi organiser lokal di kampung-kampung sejak Desember 1991,
dibantu oleh seorang organiser dan fasilitator dari satu NGO lokal di Kepulauan
Kei, ‘Tim Empat’ ini berhasil mengumpulkan data kejadian di lapangan. Bahkan,
juga berhasil mengontak beberapa pastor dan Wakil Uskup Amboina di Tual
untuk meminta dukungan. Uskup Amboina sendiri akhirnya mengeluarkan
pernyataan keras dan mengancam akan memberlakukan eks-komunikasi kepada
para pejabat pemerintah beragama Katolik di Yamdena maupuan Ambon yang
terbukti lebih membela kepentingan perusahaan ketimbang kepentingan rakyat
Yamdena. Atas jasa Wakil Uskup di Tual yang melakukan negosiasi dengan polisi
dan kejaksanaan, akhirnya 38 orang penduduk yang ditahan dibebaskan
menjelang Natal 1992, kecuali 4 Kepada Desa dan 2 pengacara utusan ICTI
sebagai jaminan dan untuk keperluan penyidikan. Sang organiser sendiri ikut
bersama penduduk yang dibebaskan pulang kampung dan segara melakukan
koordinasi kembai untuk menyusun langkah-langkah baru. Rangkaian pertemuan
regular mulai berlangsung lagi hampir setiap malam bergiliran dari kampung ke
kampung. Kali ini lebih difokuskan pada cara-cara mengantisipasi kemugkinan
provokasi karena pada saat itu diperoleh informasi ada 8 orang anggota
KOPASSUS khusus didatang dari Jakarta untuk memata-matai kegiatan
penduduk.
Keadaan di lapangan semakin panas. Penahanan beberapa orang itu
bukannya membuat penduduk jera, malah semakin membakar semangat mereka.
Secara kebetulan, 4 pengacara sukarela lainnya utusan ICTi dari Jakarta dan
Surabaya mengalami musibah. Pesawat tua Mandala yang membawa mereka jatuh
ketika akan mendarat di Bandar Ambon, Januari 1993. Semua penumpang dan
awak pesawat meninggal. Jenazah mereka diterbangkan kembali ke Jakarta, tetapi
informasi ini segera terdengar juga oleh penduduk di Yamdena dua hari
kemudian. Misa duka segera berlangsung di semua kampung dan desa, sementara
di Jakarta dilakukan misa khusus. Momentum ini dimanfaatkan oleh
pada organiser lokal untuk semakin memperkuat rasa kesetiakawanan mereka
dan, dalam sekejap, 4 orang itu segera menjadi martir perjuangan mereka. Mereka
berjanji dan bersumpah tidak akan mundur lagi.
Hasil seminar ini disambut dengan aksi protes yang semakin marak pula.
Para aktivitas muda ICTI, dibantu oleh aktivitas dari forum-forum komunikasi
mahasiswa, memobilisasi massa lebih besar lagi, termasuk para ‘preman Ambon’
di Jakarta, melakukan demonstrasi bahkan sampai ke Kantor Pusat PT. ANS. Ini
memaksa direksi Salim Group, diwakili oleh ‘putra mahkota’nya, Anthony Salim,
duduk di meja perundingan dengan ICTI. Ini kemajuan lain lagi karena
sebelumnya mereka selalu menghindar untuk bertemu langsung dan selalu
melempar tanggung jawab ke Menteri Kehutanan. Akhirnya, pendapat umum
yang semakin keras memaksa Menteri Kehutanan kala itu, Hasyrul Harahap,
terpaksa pula bersedia duduk berunding langsung dengan ICTI. Rangkaian
perundingan alot berlangsung lagi yang pada awal tahun 1994, memaksa Menteri
Kehutanan mengeluarkan surat keputusan (SK) resmi mencabut izin HPH PT.
ANS, memerintahkan penghentian sementara semua operasi perusahaan yang
sedang berlangsung di lapangan, dan menyatakan moratorium hutam Yamdena
selama 3 tahun minimal, sampai dicapai kesepakatan baru dengan ICTI dan
masyarakat Yamdena.