Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

GANGGUAN SPEKTRUM AUTISME

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna mengikuti ujian akhir
Kepaniteraan Klinik Madya di Department SMF Psikiatri
Rumah Sakit Jiwa Daerah Abepura

Oleh :
Devi Debora Takimai 2019086016368
DJustiella Karrang 2019086016291
Lea Tabuni 2019086016476

Pembimbing:
dr. Manoe Bernd Paul Sp.KJ, M.Kes

DEPARTEMEN SMF PSIKIATRI


RUMAH SAKIT JIWA ABEPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA- PAPUA
2021
DAFTAR ISI

COVER JUDUL ............................................................................................................................................1i


DAFTAR ISI...................................................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................................2
1.1 LATAR BELAKANG..............................................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................................................4
2.1. DEFINISI AUTISME............................................................................................................................4
2.2. EPIDEMIOLOGI.................................................................................................................................6
2.3. ETIOLOGI..........................................................................................................................................7
2.4. GAMBARAN KLINIS...........................................................................................................................8
2.5. DIAGNOSIS.....................................................................................................................................10
2.6. PROGNOSIS...................................................................................................................................11
2.7. MANAGEMENT AUTISME..............................................................................................................11
2.7.1 NON MEDIKAMENTOSA............................................................................................................12
2.7.2 TERAPI MEDIKAMENTOSA........................................................................................................18
BAB III PENUTUP........................................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................................22
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


ASD (Autism Spectrum Disorders) atau autistic disorder telah didefinisikan oleh APA
(American Psychiatric Assotiation) merupakan gangguan atau kecacatan perkembangan dengan
karakteristik abnormalitas dalam komunikasi verbal dan non verbal, perilaku berulang dan
kerusakan interaksi kondisi yang menggambarkan individu yang seolah-olah mereka hidup
dalam dunianya sendiri. Di dalam PPDGJ III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa di Indonesia III) gangguan spektrum autisme disebut sebagai Autisme Masa Kanak. Gejala-
gejala gangguan autistik secara klinis dapat dilihat dalam 3 tahun pertama kehidupan dan
menetap sepanjang kehidupan.1,2

Austik ini menarik untuk di pelajari mengingat jumlah anak yang didiagnosis sebagai
austic meningkat dari tahun ke tahun. Frugteveen (2000) mengemukakan pada awalnya hanya
tedapat 1: 10.000, pada tahun 2000 terdapat 1: 1.500 anak dengan austik. Walaupun belum ada
data resmi mengenai jumlah anak yang didiagnosis sebagai austik, namun lembaga sensus
amerika Serikat melaporkan bahwa paad tahun 2004 di Indonesia terdapat 475.000 anak dengan
ciri-ciri autistic. Sedangkan perbandingan penderita autis antara laki-laki dan perempaun adalah
2,6-4 : 1, namun anak perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang lebih berat.

Gangguan autistik terjadi akibat gangguan neurobiologis yang memengaruhi fungsi otak
sedemikian rupa sehingga anak tidak mampu berinteraksi dan berkomunikasi secara efektif.
Karena berbeda individu dengan autisme mempunyai ciri dan tingkat keparahan gejala yang
sangat berbeda, autisme disebut sebagai suatu “spektrum” gangguan, yaitu sekelompok
gangguan dengan cakupan ciri yang serupa. Oleh karena itu muncul istilah ASDs (Autis
Spectrum Disorders) atau GSA (Gangguan Spektrum Autism).

Autisme mempengaruhi sekitar 0,5 -1 dalam 1000 anak dengan rasio antara laki-laki dan
wanita 4:1. Menurut suatu studi, autisme meningkat pada populasi kanak-kanak. Pada tahun
1966, 4-5 bayi per 10.000 kelahiran berkembang menjadi autisme, sedangkan pada tahun 2003,
dua studi menunjukkan bahwa antara 14-39 bayi per 10.000 terjadi perkembangan gangguan
tersebut. Meskipun tidak ada pertanyaan yang lebih banyak kasus klinis yang terdeteksi,
peningkatan prevalensi autisme di perdebatkan sebagai praktek diagnostik telah berubah selama
bertahun-tahun dan telah berubah evaluasi kasus yang sebelumnya tidak dikenal.3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI AUTISME


Autisme merupakan gangguan perkembangan fungsi otak yang mencakup bidang afek
dan sosial, komunikasi verbal dan non-verbal, imajinasi, fleksibilitas, lingkup interest (minat),
kognisi dan atensi, ini merupakan suatu kelainan dengan ciri perkembangan yang terlambat atau
yang abnormal dari hubungan sosial dan bahasa. Autisme secara tipikal ditandai sebagai bagian
dari kelompok gangguan yang terdiri dari Sindrom Asperger (AS) dan gangguan menetap /
Pervasive Developmental Disorders (PDD) lainnya.4
Menurut DSM 5, Autisme spectrum disorder merupakan bagian dari pervasive
developmental disorder (PDD) atau Gangguan Perkembangan Perfasive(GPP). Pervasive artinya
meresap atau mendasari sehingga mengakibatkan gangguan lain dan PDD adalah suatu gangguan
perkembangan pada anak, dimana terdapat 3 bidang perkembangan yang terganggu, yaitu
komunikasi, interaksi social dan perilaku. Gejala-gejala tersebut harus sudah ada sejak sebelum
usia 3 tahun, walaupun biasanya diagnosis ditegakkan saat berusia 3 tahun.

Adapun gangguan-gangguan yang timbul pada penderita autisme dapat meliputi berbagai bidang,
diantaranya:5

1. Gangguan dalam bidang komunikasi verbal maupun non verbal.


 Terlambat bicara atau tidak dapat bicara.
 Mengeluarkan kata-kata yang tak dapat dimengerti oleh orang lain yang sering 
disebut sebagai “bahasa planet”.
 Tidak mengerti dan tidak menggunakan kata-kata dalam konteks yang sesuai
 Meniru (ekolalia) tanpa mengerti artinya.
 Kadang bicaranya monoton seperti robot dan mimik datar.
2. Gangguan dalam bidang interaksi sosial.
 Menolak atau menghindar untuk bertatap mata.
 Tidak menoleh bila dipanggil, sehingga sering dikira mengalami ketulian.
 Merasa tidak senang bila dipeluk.
 Tidak ada usaha untuk melakukan interaksi dengan orang.
 Bila menginginkan sesuatu maka ia menarik lengan orang yang terdekat
dan mengharapkan tangan tersebut melakukan sesuatu untuknya.
 Bila didekati untuk bermain justru menjauh.
 Tidak berbagi kesenangan dengan orang lain.
3. Gangguan dalam bidang perilaku dan bermain.
 Umumnya seperti tidak mengerti cara bermain.
 Anak dapat terlihat hiperaktif (tidak bisa diam, melompat,berputar),
sehingga sering salah diagnosis dengan ADHD(Attention Deficit Hyperactivity
Disorder).
 Kadang anak terlalu diam (duduk diam dengan tatapan mata yang kosong).
4. Gangguan dalam bidang perasaan/emosi.
 Tidak ada atau kurangnya rasa empati.
 Tertawa-tawa sendiri, menangis atau marah tanpa sebab yang nyata.
 Sering mengamuk tak terkendali (temper tantrum), terutama bila tidak bisa 
mendapatkan apa yang diinginkan, bahkan bisa menjadi agresif dan destruktif.
5. Gangguan dalam persepsi sensoris.
 Mencium-cium, menggigit atau menjilat mainan atau benda apa saja.
 Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga.
 Tidak menyukai rabaan atau pelukan. Bila digendong cenderung merosot
untuk melepaskan diri dari pelukan.
 Merasa sangat tidak nyaman bila memakai pakaian dari bahan tertentu.

2.2. EPIDEMIOLOGI
Autisme terdapat pada semua negara di dunia, serta tidak memandang ras, etnis, agama,
maupun latar belakang sosial ekonomi. Secara global prevalensinya berkisar 5 per 10.000
penduduk, dan pengidap autisme laki-laki lebih banyak dibandingkan wanita (lebih kurang 4
kalinya). Pada wanita seringkali lebih berat dan ditemukan adanya riwayat keluarga dengan
gangguan kognitif. Autisme mempengaruhi sekitar 0,5-1 dalam 1000 anak dengan dengan rasio
antara laki-laki dan wanita 4:1. Menurut suatu studi, autisme meningkat di populasi kanak-
kanak. Pada tahun 1966, 4-5 bayi per 10.000 kelahiran dikembangkan autisme, sedangkan pada
tahun 2003, dua studi menunjukkan bahwa antara 14-39 bayi per 10.000 mengembangkan
gangguan tersebut. Meskipun tidak ada pertanyaan yang lebih banyak kasus klinis yang
terdeteksi, peningkatan prevalensi autisme di perdebatkan sebagai praktek diagnostik telah
berubah selama bertahun-tahun dan telah berubah evaluasi kasus yang sebelumnya tidak dikenal.
Di Indonesia belum ada angka yang tepat mengenai angka kejadian autisme.6
2.3. ETIOLOGI
Autisme bukanlah gangguan fungsional semata, namun didasari oleh gangguan organik
dalam perkembangan otak. Penyebab spesifik dari autisme pada 90-95% adalah tidak
diketahui.1,2 Sehingga penanganan maupun riset autisme ini melibatkan banyak bidang, baik
kedokteran, pendidikan, psikologi, sosial dan sebagainya. Ada beberapa bukti yang sudah
terkumpul untuk mendukung penyebab autisme:7

1. Faktor psikodinamik dan keluarga.

2. Kelainan organik-neurologik-biologik.

3. Faktor genetik.

4. Faktor imunologik.

5. Faktor perinatal.

6. Faktor neuroanatomi.

7. Faktor biokimia.

Secara umum autisme disebabkan adanya gangguan perkembangan “neurobiologik” yang


mengakibatkan adanya gangguan struktur maupun fungsi otak. Beberapa bagian otak yang
diduga terlibat dalam autisme adalah amigdala, yaitu pusat pengendalian emosional terhadap
rangsangan dari luar dan hipokampus yang penting dalam fungsi memori. sel-sel saraf yang
terdapat di amigdala ditemukan bentuknya kecil, abnormal dan tampak lebih padat dibanding sel
normal. Dari hasil penelitian juga ditemukan adanya sirkulasi darah yang lebih lambat pada
beberapa bagian lapisan luar otak (korteks), dan menurunnya jumlah sel yang bertugas
meneruskan sinyal-sinyal penghambat gerakan tubuh yang berpusat di otak kecil (serebelum) ke
korteks. Dengan foto MRI didapat gambaran pengisutan (hipoplasi) serebelum dan sisterna
limbik. Tanda-tanda ini mengarahkan para ahli pada suatu hipotesis, bahwa awal terjadinya
autisme infantil adalah sebelum lahir.8
Akhir-akhir ini ditemukan bahwa pada otak penderita autisme, secara makroskopis ukuran
otaknya lebih besar dibanding normal. Dicurigai pembesaran ini karena kegagalan proses
perampingan/pemangkasan sel-sel saraf (apoptosis) yang tidak diperlukan lagi pada saat
perkembangan otak berlangsung. Jawaban yang lebih pasti dan rinci atas pertanyaan dimana dan
bagaimana bentuk gangguan otak anak autisme sampai sekarang belumlah ada.8

Pada pemeriksaan menggunakan PET ditemukan penurunan sintesis 5-HT di korteks dan
thalamus.Namun di plasma maupun di platelet ditemukan peningkatan kadar serotonin yang bisa
mencapai 25%.Diperkirakan bahwa gangguan metabolisme serotonin sangat berperan dalam
patologi autisme. Menurunkan triptofan dengan menginhibisi pengambilan kembali 5-HT adalah
salah satu usaha untuk memperbaiki simptom autisme.9

Peningkatan opioid endogen ada kaitannya dengan perilaku melukai sendiri dan ini akan
berkontribusi ke simptom lain dari autisme melalui serotoninergik dan aksis hypothalamic-
pituitary adrenal (HPA) secara tidak langsung sehingga terjadi sekresi proopiomelanokortin,
kortisol dan oksitosin. Defisiensi melatonin menyebabkan gangguan tidur.9

2.4. GAMBARAN KLINIS 


 KARAKTERISTIK ANAK AUTIS10
1. Karakteristik dalam interaksi social
a. Menyendiri (aloof) : terlihat pada anak yang menarik diri, acuh tak acuh, dan kesal
bila diadakan pendekatan sosial serta menunjukkan perilaku dan perhatian yang
terbatas (tidak hangat)
b. Pasif : dapat menerima pendekatan sosial dan bermain dengan anak lain jika pola
permaiannya disesuaikan dengan dirinya.
c. Aktif tapi aneh: secara spontan akan mendekati anak lain, namun interaksi ini
seringkali tidak sesuai dan sering hanya sepihak.

2. Karakteristik dalam komunikasi antara lain adalah :


a. Bergumam
b. Sering mengalami kesukaran dalam memahami arti kata-kata dan kesukaran dalam
mengggunakan bahasa dalam konteks yang sesuai dan benar
c. Sering mengulang kata-kata yang baru saja mereka dengar atau yang pernah
mereka dengar sebelumnya tanpa bermaksud untuk berkomunikasi.
d. Bila bertanya sering menggunakan kata ganti orang dengan terbalik, seperti "saya"
menjadi "kamu" dan menyebut diri sendiri sebagai "kamu";
e. Sering berbicara pada diri sendiri dan mengulang potongan kata atau lagu dari
iklan tv dan mengucapkannya di muka orang lain dalam suasana yang tidak sesuai.
f. Penggunaan kata-kata yang aneh atau dalam arti kiasan, seperti seorang anak
berkata "sembilan" setiap kali ia melihat kereta api.
g. Mengalami kesukaran dalam berkomunikasi walaupun mereka dapat berbicara
dengan baik, karena tidak tahu kapan giliran mereka berbicara, memilih topic
pembicaraan, atau melihat kepada lawan bicaranya.
h. Bicaranya monoton, kaku, dan menjemukan.
i. Kesukaran dalam mengekspresikan perasaan atau emosinya melalui nada suara.
j. Tidak menunjukkan atau memakai gerakan tubuh untuk menyampaikan
keinginannya, tetapi dengan mengambil tangan orang tuanya untuk mengambil
obyek yang dimaksud.
k. Mengalami gangguan dalam komunikasi nonverbal; mereka sering tidak
menggunakan gerakan tubuh dalam berkomunikasi untuk mengekspresikan
perasaannya atau untuk merabarasakan perasaan orang lain, misalnya
menggelengkan kepala, melambaikan tangan, mengangkat alis, dan sebagainya.

3. Karakteristik dalam perilaku dan pola bermain


a. Abnormalitas dalam bermain, seperti stereotip, diulang-ulang dan tidak kreatif
b. Tidak menggunakan mainannya dengan sesuai
c. Menolak adanya perubahan lingkungan dan rutinitas baru
d. Minatnya terbatas, sering aneh, dan diulang-ulang
e. Hiperaktif pada anak prasekolah atau sebaliknya hipoaktif
f. Gangguan pemusatan perhatian, impulsifitas, koordinasi motorik terganggu,
kesulitan dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari

4. Karakteristik kognitif
a. Hampir 75-80% anak autis mengalami retardasi mental dengan derajat rata-rata
sedang.
b. Sebanyak 50% dari idiot savants (retardasi mental yang menunjukan kemampuan
luar biasa) adalah seorang penyandang autisme.

2.5. DIAGNOSIS
Deteksi dini dapat dilakukan melalui kuesioner Checklist for Autism in Toddlers
(CHAT). Kuesioner ini dapat digunakan untuk deteksi dini anak dengan GSA yang berusia 18–
36 bulan, dilakukan dengan observasi dan mengajukan pertanyaan kepada orangtua yang
menemukan adanya satu atau lebih gejala, seperti; (1) keterlambatan bicara; (2) gangguan
komunikasi/ interaksi sosial; (3) perilaku yang berulang ulang pada anak mereka.

CHAT terdiri dari 2 bagian, yaitu:

A. Sembilan buah pertanyaan yang diajukan pada orangtua/pengasuh dengan jawaban Ya


atau Tidak:
1. Senang di ayun-ayun, diguncang-guncang
2. Tertarik memperhatikan anak lain
3. Suka memanjat tangga
4. Suka main ciluk-ba, petak umpet
5. Bermain pura-pura membuat minuman
6. Meminta dengan menunjuk
7. Menunjuk benda
8. Bermain dengan benda kecil
9. Memberikan benda utk menunjukkan sesuatu

 
B. Lima pengamatan perilaku anak, yang dijawab dengan jawaban Ya atau Tidak.
1. Anak memandang mata pemeriksa
2. Anak melihat ke benda yang ditunjuk
3. Bermain pura-pura membuat minum
4. Menunjuk benda yang disebut
5. Menumpuk kubus

 Interpretasi (penafsiran) CHAT


 Risiko tinggi menderita Gangguan Spektrum Autisme jika menjawab tidak pada butir A5,
A7, B2-4  
 Risiko rendah menderita Gangguan Spektrum Autisme jika menjawab tidak pada butir
A7, B4
 Kemungkinan adanya gangguan perkembangan lain jika menjawab  tidak pada 3 butir
atau lebih dari butir A1-4, A6, A8-9, B1, B5

2.6. PROGNOSIS
Prognosa untuk penyandang autis tidak selalu buruk. Bagi banyak anak, gejala autisme
membaik dengan pengobatan dan tergantung pada umur. Beberapa anak autis tumbuh dengan
menjalani kehidupan normal atau mendekati normal. Anak-anak dengan kemunduran
kemampuan bahasa di awal kehidupan, biasanya sebelum usia 3 tahun, mempunyai resiko
epilepsi atau aktivitas kejang otak. Selama masa remaja, beberapa anak dengan autisme dapat
menjadi depresi atau mengalami masalah perilaku. Dukungan dan layanan tetap dibutuhkan oleh
penderita autis walaupun umur bertambah, tetapi ada pula yang dapat bekerja degan sukses dan
hidup mandiri dalam lingkungan mendukung.1,2

2.7. MANAGEMENT AUTISME


Pengelolaan anak dengan autisme memerlukan pendekatan lintas sektoral, agar anak bisa
berkembang optimal dan hidup mandiri. Yang perlu ditekankan bahwa tidak ada satu metode pun
yang dewasa ini dapat menyembuhkan autisme, namun hanya mengembangkan potensi dasar
anak ke arah yang optimal. Penyembuhan seorang anak dimulai dengan diagnosa dini yang tepat.
Diagnosa yang salah akan sangat merugikan anak tersebut, oleh karena dengan tatalaksana yang
tidak tepat anak tak akan mendapatkan kemajuan yang diinginkan. Setelah seorang anak
terdiagnosa dengan autisme, maka secepat mungkin harus dilakukan intervensi dini. Sangatlah
penting bahwa anak mendapatkan stimulasi semaksimal mungkin dan keluar dari dunianya.
Kemudian dilakukan assessment yang lengkap pada anak tersebut untuk mengetahui taraf
gangguan perkembangan yang dideritanya, untuk kemudian mendapatkan terapi sesuai
kebutuhannya.  Secara garis besar penanganan autisme dapat dibagi dalam beberapa kelompok
sebagai berikut.12

2.7.1 NON MEDIKAMENTOSA

I. TERAPI PERKEMBANGAN/INTERVENSI DINI

Para ahli menemukan bahwa anak autisme paling baik belajar pada lingkungan yang
mengembangkan minat dan ketrampilan mereka dengan cara merujuk kebutuhan-kebutuhan
mereka, berupa intervensi yang konsisten dan terstruktur sesuai tingkat perkembangan anak. Hal-
hal yang esensial antara lain metode pembelajaran yang terstruktur untuk memberikan perhatian
terhadap stimuli lingkungan, orang lain, imitation motorik dan verbal, penggunaan bahasa,
bagaimana cara bermain dengan mainan dan cara berinteraksi sosial dengan yang lain.9,12

Aktivitas latihan fisik di kelompok membantu mereka untuk mengembangkan


keseimbangan tubuh, koordinasi dan ketrampilan motorik. Pada saat istirahat (snack time),
pelatih mendorong interaksi sosial anak, misalnya dengan mengembangkan model penggunaan
bahasa bagaimana cara minta tambahan snack, dan sebagainya. Jadwal yang konsisten membuat
anak autisme dapat merencanakan aktivitas harian mereka berdasarkan pengalaman-pengalaman
yang diperoleh. Diperlukan perhatian yang optimal dari para “pelatih”, perbandingan antara
pelatih dengan penyandang autisme yang diharapkan adalah 1:2 atau 1:1.9,11

II. TERAPI PERILAKU

Gangguan perilaku pada autisme biasanya merupakan satu gejala yang membuat orangtua
menyadari bahwa anaknya berbeda perkembangannya dengan anak lain seusianya. Selain
hiperaktivitas, impulsivitas, gerakan stereotik, cara bermain yang tidak sama dengan anak lain,
juga adanya agresivitas, temper tantrum dan perilaku yang cenderung melukai diri sendiri.
Kondisi ini sangat menguras tenaga maupun psikis orang-orang disekitarnya.13

Pendekatan perilaku bertujuan untuk mengurangi stereotipi, kekakuan, agresifitas dan


self injury behaviour. Terapi perilaku ini juga disesuaikan untuk masing-masing anak sesuai
dengan gangguannya. Apapun metodenya sebaiknya sesegera dan seintensif mungkin, Sebaiknya
memang dilakukan terpadu dengan terapi-terapi lain, apabila terdapat perilaku yang sulit
dikendalikan, mungkin intervensi medikamentosa diperlukan terlebih dahulu, agar anak dapat
diberi terapi yang lain.7,13

Bila seseorang mendapat “reward” yang menyenangkan atas apa yang dilakukannya
(aktifitas atau perilaku tertentu), maka akan cenderung untuk mengulangi atau melanjutkan
perilaku/aktifitas tersebut. Dasar inilah yang dikembangkan menjadi suatu metode terapi oleh Dr.
O. Ivar Lovaas sejak ± 28 tahun silam. Metode tersebut bercirikan sangat intensif dalam waktu,
terstruktur dan melalui tahap-tahap ulangan dimana anak diberikan suatu perintah dan senantiasa
mendapat “reward” bila mengerjakannya dengan benar. Metode ini dapat diterapkan dalam toilet
training pada anak dengan autisme.14

Untuk mencapai tujuan yang telah disebutkan diatas, kita harus mencapai tujuan antara,
yaitu berbagai kemampuan perilaku yang terdiri dari:9,14

 Komunikasi dua arah secara aktif, artinya anak harus mampu memulai suatu
topik pembicaraan lebih dahulu secara aktif.
 Sosialisasi ke dalam setiap lingkungan, dimulai dengan lingkungan keluarga dan teman-
temannya.
 Menghilangkan atau meminimalkan perilaku autistiknya.
 Kemampuan (pre) akademik, sesuai dengan perkembangan umur dan kecerdasan (IQ)
nya.
 Kemampuan bantu diri (bina diri) yang memadai, sehingga mampu merawat diri sendiri
secara mandiri.

Untuk mencapai tujuan antara ini, dengan sendirinya setiap anak harus mampu menguasai
kemampuan-kemampuan perilaku dasar, seperti: kepatuhan, kontak mata, menirukan, bahasa
reseptif (kognitif) dan bahasa ekspresif. Dengan memiliki kemampuan-kemampuan dasar dari
perilaku ini, diharapkan anak akan lebih mudah dan lancar menerima pelatihan perilaku yang
semakin kompleks.14

III. TERAPI WICARA

Keterlambatan dan abnormalitas dalam berbahasa dan berbicara merupakan keluhan yang
sering diajukan para orangtua, hampir 100% mengalami hal ini. Komunikasi non verbal juga
mengalami gangguan, sering tidak dapat menggunakan gerakan tubuh dalam berkomunikasi,
seperti menggeleng, mengangguk, menunjuk, melambai dan mengangkat alis.10,14

Intervensi dalam bentuk terapi wicara perlu dilakukan, seperti diketahui bahwa tidak
semua individu dengan autisme akan dapat berkomunikasi dengan cara verbal, sekitar 25-10%
kemungkinan tetap non verbal. Terapi wicara yang diberikan pada individu dengan autisme
berbeda dengan gangguan lain, sehingga diperlukan pengetahuan yang baik mengenai ciri-ciri
bicara dan berbahasa anak autistik. Terapi ini harus diberikan sejak dini dan dengan intensif,
bersama dengan terapi-terapi yang lain14.

IV. TERAPI EDUKASI

Hambatan pada individu dengan autisme terutama pada interaksi sosialnya. Hal ini akan
berlanjut bila tidak segera ditangani pada usia sekolah, anak akan mengalami kesulitan dalam
berkomunikasi, bersosialisasi dengan lingkungan barunya (teman, guru). Oleh karena itu
sebaiknya anak sesegera mungkin dikenalkan dengan lingkungannya. Intervensi dalam berbagai
bentuk pelatihan ketrampilan sosial, ketrampilan sehari-hari agar anak jadi mandiri (self care).
Berbagai metode pengajaran telah diuji cobakan pada gangguan ini. Antara lain metode
TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication Handicapped
Children). Dikembangkan oleh Eric Schopler pada awal tahun 1970an, merupakan suatu sistem
pendidikan khusus untuk anak dengan autisme, di School of Psychiatry at the University of
North Carolina in Chapel Hill. Metode ini merupakan suatu program yang sangat terstruktur
yang mengintegrasikan metode klasikal yang individual, metode pengajaran yang sistematik,
terjadwal dan dalam ruang kelas yang ditata secara khusus.15

V. TERAPI OKUPASI

Keterampilan motorik pada individu dengan autisme sering terganggu, baik motorik
kasar maupun halus. Diperlukan intervensi terapi okupasi / fisik agar individu dengan autisme
dapat melakukan gerakan, memegang, menggunting, menulis, melompat dengan terkontrol dan
teratur sesuai kebutuhan saat itu.15

VI. AIT (AUDITORY INTEGRATION TRAINING)

Banyak individu dengan autisme mengalami hipersensitivitas terhadap suara dan


mengganggu pendengaran mereka, Mereka sering tampak menutup telinga dengan kedua tangan
bila mendengar nada suara tertentu, yang untuk orang lain tidak menimbulkan masalah. Suara-
suara tersebut dapat sedemikian “menyakitkan”, sehingga mereka dapat berteriak, menjerit tiba-
tiba, tetapi setelah suara-suara tersebut hilang, mereka kembali biasa seperti tidak pernah terjadi
sesuatu. Contoh: suara pengering rambut, mesin cuci, penyedot debu, mixer, bahkan suara
microwave.15

Pada intervensi AIT awalnya ditentukan suara yang mengganggu pendengaran dengan
perangkat audiometer. Lalu diikuti dengan seri terapi yang memperdengarkan suara-suara yang
direkam, tapi tidak disertai dengan suara yang menyakitkan. Selanjutnya dilakukan desensitisasi
terhadap suara-suara yang menyakitkan tersebut.Berbagai jenis terapi lain telah dicoba dan
dikembangkan seperti: holding therapy, brain gym, visual therapy, aversive therapy, dan lain-
lain. Yang patut diingat adalah semua terapi pada dasarnya adalah baik, namun harus
dipertimbangkan sesuai atau tidak sesuai dengan si anak.15

VII. INTERVENSI KELUARGA


Yang dimaksud keluarga disini bisa hanya keluarga inti (ayah + ibu, ayah atau ibu saja +
anak-anak), namun dapat pula ditambah dengan anggota keluarga lain yang memiliki pengaruh
pada pengasuhan seorang anak, bisa kakek atau nenek, paman atau bibi, dan lainnya.7,15

Pada dasarnya anak hidup dalam keluarga, perlu bantuan keluarga baik perlindungan,
pengasuhan, pendidikan maupun dorongan untuk dapat tercapainya perkembangan yang optimal
dari seoang anak, mandiri dan dapat bersosialisasi dengan lingkungannya. Untuk itu dibutuhkan
keluarga yang dapat berinteraksi positif satu sama lain (antar anggota keluarga) dan saling
mendukung. Oleh karena itu pengolahan keuarga dalam kaitannya dengan manajemen terapi
menjadi sangat pentin, tanpa dukungan keluarga rasanya sulit sekali kita dapat melaksanakan
terapi apapun pada individu dengan autisme.7,15

VIII. TERAPI ABA

Terapi ABA (Applied Behaviour Analysis) adalah program terapi terstruktur yang


berfokus mengajarkan seperangkat keterampilan khusus untuk anak-anak dengan autisme. Terapi
ini mengajarkan anak autisme untuk memahami dan mengikuti instruksi verbal, merespon
perkataan orang lain, mendeskripsikan sebuah benda, meniru ucapan dan gerakan orang lain,
hingga mengajarkan baca tulis.

Penelitian menunjukan bahwa terapi ABA dapat memberikan dampak yang positif
terhadap perkembangan kemampuan sosial dan akademik anak autisme. Selain itu, terapi
autisme ini juga bertujuan untuk:

 Meningkatkan keterampilan perawatan diri


 Meningkatkan keterampilan bermain
 Meningkatkan kemampuan anak untuk mengelola perilaku mereka sendiri

IX. TERAPI DIET 

Anak-anak autisme pada umumnya menderita multiple food allergy. Hal ini akan
terungkap bila dilakukan pemeriksaan darah untuk “comprehensive food allergy”. Protein dari
susu sapi (casein) dan gandum (gluten) adalah rangkaian asam amino yang sulit dicerna. Bila
pencernaan anak sempurna maka casein maupun gluten akan dilepas seluruh rantainya sehingga
terjadilah asam amino yang kemudian diserap oleh tubuh guna pertumbuhan. Namun bila
pencernaan tidak sempurna, maka rantai tersebut tak lepas seluruhnya. Masih ada rantai pendek,
2 atau 3 asam amino yang bergandengan yang disebut peptide.16

Sebagiaan dari peptide masuk aliran darah, kemudian dikeluarkan dengan urin, namun
sebagian masuk ke otak, menembus sawar otak. Di otak peptide tersebut disergap oleh opioid-
receptor dan kemidian berfungsi seperti morphin. Hal ini mempengaruhi aspek perilaku, atensi,
kognisi dan sensoris anak.Oleh karena itu tidak ada salahnya untuk tidak mengkonsumsi susu
sapi dan tepung terigu. Anak dibiasakan makanan yang lebih sehat dan variatif sehingga
kebutuhan gizi tetap terpenuhi.16

X. TERAPI SENSORI INTEGRASI

Terapi sensori integrasi adalah pengorganisasian informasi melalui sensori-sensori


(sentuhan, gerakan, kesadaran tubuh dan gravitasinya, penciuman, pengecapan, penglihatan dan
pendengaran) yang sangat berguna untuk menghasilkan respons yang bermakna.16

Terapi sensori integrasi seperti yang dianjurkan oleh DR. Ayres, dilakukan dalam ruang
terapi khusus. Dalam ruangan tersebut tersedia berbagai alat yang dapat memfasilitasikan
aktifitas-aktifitas yang akan memberi masukan input-input sensorik, mendukung terjadinya
respons adaptif dan memperbaiki fungsi batang otak dan talamus.Setiap anak memiliki masalah
yang berbeda sehingga aktivitas yang diberikan pun berbeda dari anak yang satu dengan lainnya.
Pemberian aktivitas disesuaikan dengan kondisi anak yang bersangkutan. Pada pendekatan
sensori integrasi, okupasi terapi harus bekerja berdasarkan urutan perkembangan, stabilitas
digunakan srbagai dasar untuk meningkatkan mobilitas. Urutan yang harus diikuti adalah:16

1. Kemampuan untuk mempertahankan dalam posisi awal.

2. Meningkatkan stabilitas pada posisi yang telah dicapai.

3. Kemampuan untuk bergerak dari posisi gerakan lurus.

4. Integrasi gerakan yang telah dikuasai dengan gerakan rotasi.


Terapi sensori integrasi dapat memperbaiki fungsi otak anak-anak dengan autisme,
sehingga perilaku anak-anak tersebut jadi membaik dan lebih adaptif. Setelah terapi sensori
integrasi ini berhasil, anak dapat memproses berbagai informasi sensorik yang kompleks dengan
lebih baik. Maka anak akan mampu menyimak dan merespons usaha orang tua atau pengasuhnya
untuk melakukan interaksi sosial dan selanjutnya membantu perkembangan emosi dan
kognitifnya. Tentu saja hal-hal tersebut akan memberikan pengaruh yang besar bagi kemampuan
anak untuk melakukan berbagai aktifitas sehari-hari.16

Masalah regulasi seperti pola tidur, pola makan dan eliminasi, biasanya paling dahulu
berkurang pada bulan-bulan pertama terapi. Perbaikan dalam fungsi yang mendasar ini seringkali
diikuti dengan perbaikan kesahatan anak secara keseluruhan dan anak tampil lebih ”cerah”, nada
ekspresi muka jadi lebih bervariasi dan anak lebih terbuka untuk diajak berinteraksi; meskipun
pada mulanya hanya berupa interaksi singkat pada tahap non verbal. Kemajuan dalam dorogan
untuk melakukan interaksi ini biasanya mulai terlihat pada munculnya ”joint attention”. Maka
anak jadi lebih mudah diajari, karena menarik perhatian si anak menjadi lebih mudah.16

XI. OLAH MUSIK

Aktivitas utama anak-anak pada umumnya adalah bermain. Lingkungan dan suasana
yang menyenangkan dan familiar digunakan sebagai pendekatan yang mudah diterima oleh anak,
yaitu menggabungkan kegiatan bermain dengan berolah musik.17

Dalam hal ini musik diperkenalkan melalui lagu atau bunyi, sehingga merangsang
kemampuan pendengaran dan kemampuan verbal dengan menirukan lagu bunyi yang
diperdengarkan. Selanjutnya, anak mendapatkan stimulasi untuk melakukan gerakan sesuai
dengan irama lagu (melatih koordinasi tubuh). Suasana musikal yang dihasilkan dapat membantu
terciptanya komunikasi dan interaksi social.17

2.7.2 TERAPI MEDIKAMENTOSA


Obat hanyalah terapi pendamping, bukan yang utama. Perlu dinyatakan bahwa belum ada
obat yang dapat menyembuhkan autisme. Obat dibutuhkan hanya untuk membantu mengatasi
masalah-masalah yang timbul yang tidak dapat diatasi dengan metoda non obat, seperti
hiperaktivitas, agresivitas, menyakiti diri dan insomnia. Atau bila metoda intervensi non obat
dikombinasikan dengan obat, diharapkan intervensinya dapat maksimal. Obat-obat yang sering
dipakai adalah :18

STIMULAN.13,18

Inatensi mungkin merupakan satu gejala yang mengganggu proses belajar. Harus dibedakan
antara inatensi yang merupakan bagian dari gejala autisme dengan inatensi sebagai gejala
gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD).

 Deksamfetamin dan Levoamfetamin.


 Metilfenidat. Dapat meningkatkan atensi dan mengurangi distraktibilitas. Dosis: 0,3
mg/kg.

AGONIS RESEPTOR ALPHA ADRENERGIK. 7,18

Agonis reseptor alpha adrenergik (Klonidin) dilaporkan dapat menurunkan agresivitas,


temper tantrum, impulsivitas dan hiperaktivitas. Mulai dengan dosis rendah: 0,025-0,05 mg 2
kali/hari dinaikkan secara bertaap sampai dosis maksimum 0,3-0,6 mg/hari dalam 3-4 kali/hari.

BETA ADRENERGIK BLOCKER.18

Beta adrenergik blocker (Propanolol) dipakai dalam mengatasi agresivitas terutama yang
disertai dengan agitasi dan anxietas. Dosis: 1-5 mg/kg/hari atau lebih.

POTENT LONG ACTING OPIOID ANTAGONIST. 7,18

Potent long acting opioid antagonist (Naltrekson) memiliki potensi untuk mengatasi
perilaku melukai diri sendiri dan ritual, dosis: 0,5-2 mg/kg/hari.

SPESIFIK SEROTONIN REUPTAKE INHIBITOR (SSRI). 7,18

SSRI digunakan untuk mengatasi perilaku stereotipik seperti perilaku yang melukai diri
sendiri, resisten terhadap perubahan hal-hal rutin, ritual obsesif dengan anxietas yang tinggi.
Pemberian SSRI dimulai dari dosis terkecil dan secara bertahap dinaikkan sampai mencapai
dosis terapeutik.

 Fluoxetine.
 Fluvoksamin.

NEUROLEPTIK.7,18

 Neuroleptik tipikal potensi rendah (Thioridazine).


Dapat menurunkan agreivitas dan agitasi. Dosis: 0,5-3 mh/kg/hari, dibagi dalam 2-3
kali/hari.
 Neuroleptik tipikal potensi tinggi (Haloperidol dan Pimozide).
Dalam dosis kecil: 0,25-3 mg/hari, dapat menurunkan agresivitas, hiperaktivitas,
iritabilitas dan stereotipik.
 Neuroleptik atipikal (Risperidon).
Bila digunakan dalam dosis yang direkomendasikan: 0,5-3 mg/hari dibagi dalam 2-3
kali/hari, dapat dinaikkan 0,25 mg setiap 3-5 hari sampai dosis inisial tercapai 1-2
mg/hari dalam 4-6 minggu, akan tampak perbaikan pada hubungan sosial, atensi dan
gejala obsesif.

ANTI EPILEPS.18

Anti epilepsi (Asam valproat) digunakan bila penderita autisme mengalami epilepsi (1/3
kasus autisme mengidap epilepsi).

NOOTROPIK. 18

Nootropik (Pirasetam) digunakan untuk memperbaiki gangguan perkembangan bahasa,


karena terbukti obat ini mampu memperbaiki fungsi hemisfer kiri otak.
BAB III
PENUTUP

Pemahaman mengenai etiologi, diagnosis dan penatalaksanaan autisme pada anak-anak


selalu berubah secara dramatis sejak 2 dekade terakhir. Dari berbagai penelitian yang telah
dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa diagnosis dini autisme merupakan hal penting yang
akan mempengaruhi outcome dari penatalaksanaan autisme.

Pada individu dengan autisme diperlukan bantuan manajemen terapi yang komprehensif
dan terpadu antar disiplin ilmu yang terkait, agar dapat tercapai target terapi seperti yang
diharapkan. Mengingat masing-masing individu dengan autisme adalah unik, tidak ada yang
sama satu dengan yang lain (kembar sekalipun), maka pendekatan manajemen terapi yang
diberikan juga sebaiknya disesuaikan dengan masing-masing kondisi anak. Dukungan keluarga
sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan terapi. Selain itu dapat juga digunakan terapi
dengan menggunakan video game mindlight yang terbukti dapat mengurangi gejala kecemasan
pada anak autisme.

Sebaiknya tidak menunda pemberian terapi, sedini mungkin, agar anak dapat menerima
yang sesuai dan adekuat sehingga dapat berkembang seoptimal mungkin. Tidak ada kata
terlambat, lebih baik terlambat daripada tidak diterapi sama sekali.

DAFTAR PUSTAKA
1. Bryson SE, Rogers SJ, Fombonne E. Autism : Early Detection, Intervention, Education,
and Psychopharmacological Management. Can J Psychiatry, Vol 48, No 8, September
2003 : 506-514.
2. Budhiman M. Penanganan Autisme Secara Komprehensif. Dalam: Seminar dan
Workshop on Fragile-X, Mental Retardation, Autism and Related disorders. Semarang.
2002: 46-60.
3. Depkes RI, 1993; Selvi, Vineeta, & Paul, 2010; Guerra, 2011; Rai, 2011, dan Dufault et
al, 2012
4. Edi TMSO. Diagnosis Dini Autisme. Dalam: Penatalaksanaan Holistik Autisme. Jakarta.
2000: 9-12.
5. Faradz SMH. Genetic Evaluation of Autism with Special Reference to Fragile-X
Syndrome. Dalam: Konferensi Nasional AutismeI.Jakarta. 2003: 8-14.
6. Ginanjar, 2007 dan The National Institute of Child Health and Human Development &
U.S. Department of Health and Human Services, 2005
7. Gunadi T. Snoezelen. Dalam: Penatalaksanaan Holistik Autisme. Kongres Nasional
Autisme Indonesia Pertama. Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. 2003:
43-51. 
8. Handojo Y. Manajemen Tata Laksana Terapi Perilaku Anak Dengan Kebutuhan Khusus
(Autisme). Dalam: Penatalaksanaan Holistik Autisme. Kongres Nasional Autisme
Indonesia Pertama. Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. 2003: 153-163.
9. Hartono B. Aspek Medik Autisme Infantil. Media Medika Indonesian, Vol.33, No.4,
Penerbit FK Undip Semarang, 1998: 209-213.
10. Lieke, et all. 2015. The Effect of the Video Game Mindlight On Anxiety Symptoms in
Children With an Autism Spectrum Disorder. Biomed Central Psychiatry : Netherlands
11. Purba JS. Patogenesis Autisme Menuju Tatalaksana Holistik dan Terintegrasi. Dalam:
Penatalaksanaan Holistik Autisme. Jakarta. 2000: 321-325.
12. Rahmawati D. Gangguan Berbahasa dan Bicara Pada Anak Dengan Autisme Infantil:
Kumpulan Makalah Simposium Neuropediatri “The Child Who Does Not Speak”.
Penerbit FK Undip Semarang, 2002: 15-23.
13. Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott.2010. Kaplan & Sadock's Buku Ajar
Psikiatri Klinis, 2nd Edition; EGC.Jakarta. 
14. Setiyono A. Terapi Sensori Terintegrasi. Dalam: Penatalaksanaan Holistik Autisme.
Kongres Nasional Autisme Indonesia Pertama. Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FKUI. Jakarta. 2003: 35-41.
15. Setyowatie FFS. Olah Musik Bagi Anak Dengan Kebutuhan Khusus (Autisme). Dalam:
Penatalaksanaan Holistik Autisme. Kongres Nasional Autisme Indonesia Pertama.
Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. 2003: 185-203.
16. Supargo A. Farmakoterapi Pada Autisme. Dalam: Penatalaksanaan Holistik Autisme.
Kongres Nasional Autisme Indonesia Pertama. Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FKUI. Jakarta. 2003: 43-51. 
17. Wahyuni LK. Penatalaksanaan Problem Oromotor Pada Autisme. Dalam:
Penatalaksanaan Holistik Autisme. Kongres Nasional Autisme Indonesia Pertama.
Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. 2003: 43-51. 
18. WidyawatiI. Manajemen Multidisplin Pada Individu Autisme. Dalam: Konferensi
Nasional Autisme I. Jakarta. 2003: 61-66.

Anda mungkin juga menyukai