Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna mengikuti ujian akhir
Kepaniteraan Klinik Madya di Department SMF Psikiatri
Rumah Sakit Jiwa Daerah Abepura
Oleh :
Devi Debora Takimai 2019086016368
DJustiella Karrang 2019086016291
Lea Tabuni 2019086016476
Pembimbing:
dr. Manoe Bernd Paul Sp.KJ, M.Kes
Austik ini menarik untuk di pelajari mengingat jumlah anak yang didiagnosis sebagai
austic meningkat dari tahun ke tahun. Frugteveen (2000) mengemukakan pada awalnya hanya
tedapat 1: 10.000, pada tahun 2000 terdapat 1: 1.500 anak dengan austik. Walaupun belum ada
data resmi mengenai jumlah anak yang didiagnosis sebagai austik, namun lembaga sensus
amerika Serikat melaporkan bahwa paad tahun 2004 di Indonesia terdapat 475.000 anak dengan
ciri-ciri autistic. Sedangkan perbandingan penderita autis antara laki-laki dan perempaun adalah
2,6-4 : 1, namun anak perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang lebih berat.
Gangguan autistik terjadi akibat gangguan neurobiologis yang memengaruhi fungsi otak
sedemikian rupa sehingga anak tidak mampu berinteraksi dan berkomunikasi secara efektif.
Karena berbeda individu dengan autisme mempunyai ciri dan tingkat keparahan gejala yang
sangat berbeda, autisme disebut sebagai suatu “spektrum” gangguan, yaitu sekelompok
gangguan dengan cakupan ciri yang serupa. Oleh karena itu muncul istilah ASDs (Autis
Spectrum Disorders) atau GSA (Gangguan Spektrum Autism).
Autisme mempengaruhi sekitar 0,5 -1 dalam 1000 anak dengan rasio antara laki-laki dan
wanita 4:1. Menurut suatu studi, autisme meningkat pada populasi kanak-kanak. Pada tahun
1966, 4-5 bayi per 10.000 kelahiran berkembang menjadi autisme, sedangkan pada tahun 2003,
dua studi menunjukkan bahwa antara 14-39 bayi per 10.000 terjadi perkembangan gangguan
tersebut. Meskipun tidak ada pertanyaan yang lebih banyak kasus klinis yang terdeteksi,
peningkatan prevalensi autisme di perdebatkan sebagai praktek diagnostik telah berubah selama
bertahun-tahun dan telah berubah evaluasi kasus yang sebelumnya tidak dikenal.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Adapun gangguan-gangguan yang timbul pada penderita autisme dapat meliputi berbagai bidang,
diantaranya:5
2.2. EPIDEMIOLOGI
Autisme terdapat pada semua negara di dunia, serta tidak memandang ras, etnis, agama,
maupun latar belakang sosial ekonomi. Secara global prevalensinya berkisar 5 per 10.000
penduduk, dan pengidap autisme laki-laki lebih banyak dibandingkan wanita (lebih kurang 4
kalinya). Pada wanita seringkali lebih berat dan ditemukan adanya riwayat keluarga dengan
gangguan kognitif. Autisme mempengaruhi sekitar 0,5-1 dalam 1000 anak dengan dengan rasio
antara laki-laki dan wanita 4:1. Menurut suatu studi, autisme meningkat di populasi kanak-
kanak. Pada tahun 1966, 4-5 bayi per 10.000 kelahiran dikembangkan autisme, sedangkan pada
tahun 2003, dua studi menunjukkan bahwa antara 14-39 bayi per 10.000 mengembangkan
gangguan tersebut. Meskipun tidak ada pertanyaan yang lebih banyak kasus klinis yang
terdeteksi, peningkatan prevalensi autisme di perdebatkan sebagai praktek diagnostik telah
berubah selama bertahun-tahun dan telah berubah evaluasi kasus yang sebelumnya tidak dikenal.
Di Indonesia belum ada angka yang tepat mengenai angka kejadian autisme.6
2.3. ETIOLOGI
Autisme bukanlah gangguan fungsional semata, namun didasari oleh gangguan organik
dalam perkembangan otak. Penyebab spesifik dari autisme pada 90-95% adalah tidak
diketahui.1,2 Sehingga penanganan maupun riset autisme ini melibatkan banyak bidang, baik
kedokteran, pendidikan, psikologi, sosial dan sebagainya. Ada beberapa bukti yang sudah
terkumpul untuk mendukung penyebab autisme:7
2. Kelainan organik-neurologik-biologik.
3. Faktor genetik.
4. Faktor imunologik.
5. Faktor perinatal.
6. Faktor neuroanatomi.
7. Faktor biokimia.
Pada pemeriksaan menggunakan PET ditemukan penurunan sintesis 5-HT di korteks dan
thalamus.Namun di plasma maupun di platelet ditemukan peningkatan kadar serotonin yang bisa
mencapai 25%.Diperkirakan bahwa gangguan metabolisme serotonin sangat berperan dalam
patologi autisme. Menurunkan triptofan dengan menginhibisi pengambilan kembali 5-HT adalah
salah satu usaha untuk memperbaiki simptom autisme.9
Peningkatan opioid endogen ada kaitannya dengan perilaku melukai sendiri dan ini akan
berkontribusi ke simptom lain dari autisme melalui serotoninergik dan aksis hypothalamic-
pituitary adrenal (HPA) secara tidak langsung sehingga terjadi sekresi proopiomelanokortin,
kortisol dan oksitosin. Defisiensi melatonin menyebabkan gangguan tidur.9
4. Karakteristik kognitif
a. Hampir 75-80% anak autis mengalami retardasi mental dengan derajat rata-rata
sedang.
b. Sebanyak 50% dari idiot savants (retardasi mental yang menunjukan kemampuan
luar biasa) adalah seorang penyandang autisme.
2.5. DIAGNOSIS
Deteksi dini dapat dilakukan melalui kuesioner Checklist for Autism in Toddlers
(CHAT). Kuesioner ini dapat digunakan untuk deteksi dini anak dengan GSA yang berusia 18–
36 bulan, dilakukan dengan observasi dan mengajukan pertanyaan kepada orangtua yang
menemukan adanya satu atau lebih gejala, seperti; (1) keterlambatan bicara; (2) gangguan
komunikasi/ interaksi sosial; (3) perilaku yang berulang ulang pada anak mereka.
B. Lima pengamatan perilaku anak, yang dijawab dengan jawaban Ya atau Tidak.
1. Anak memandang mata pemeriksa
2. Anak melihat ke benda yang ditunjuk
3. Bermain pura-pura membuat minum
4. Menunjuk benda yang disebut
5. Menumpuk kubus
2.6. PROGNOSIS
Prognosa untuk penyandang autis tidak selalu buruk. Bagi banyak anak, gejala autisme
membaik dengan pengobatan dan tergantung pada umur. Beberapa anak autis tumbuh dengan
menjalani kehidupan normal atau mendekati normal. Anak-anak dengan kemunduran
kemampuan bahasa di awal kehidupan, biasanya sebelum usia 3 tahun, mempunyai resiko
epilepsi atau aktivitas kejang otak. Selama masa remaja, beberapa anak dengan autisme dapat
menjadi depresi atau mengalami masalah perilaku. Dukungan dan layanan tetap dibutuhkan oleh
penderita autis walaupun umur bertambah, tetapi ada pula yang dapat bekerja degan sukses dan
hidup mandiri dalam lingkungan mendukung.1,2
Para ahli menemukan bahwa anak autisme paling baik belajar pada lingkungan yang
mengembangkan minat dan ketrampilan mereka dengan cara merujuk kebutuhan-kebutuhan
mereka, berupa intervensi yang konsisten dan terstruktur sesuai tingkat perkembangan anak. Hal-
hal yang esensial antara lain metode pembelajaran yang terstruktur untuk memberikan perhatian
terhadap stimuli lingkungan, orang lain, imitation motorik dan verbal, penggunaan bahasa,
bagaimana cara bermain dengan mainan dan cara berinteraksi sosial dengan yang lain.9,12
Gangguan perilaku pada autisme biasanya merupakan satu gejala yang membuat orangtua
menyadari bahwa anaknya berbeda perkembangannya dengan anak lain seusianya. Selain
hiperaktivitas, impulsivitas, gerakan stereotik, cara bermain yang tidak sama dengan anak lain,
juga adanya agresivitas, temper tantrum dan perilaku yang cenderung melukai diri sendiri.
Kondisi ini sangat menguras tenaga maupun psikis orang-orang disekitarnya.13
Bila seseorang mendapat “reward” yang menyenangkan atas apa yang dilakukannya
(aktifitas atau perilaku tertentu), maka akan cenderung untuk mengulangi atau melanjutkan
perilaku/aktifitas tersebut. Dasar inilah yang dikembangkan menjadi suatu metode terapi oleh Dr.
O. Ivar Lovaas sejak ± 28 tahun silam. Metode tersebut bercirikan sangat intensif dalam waktu,
terstruktur dan melalui tahap-tahap ulangan dimana anak diberikan suatu perintah dan senantiasa
mendapat “reward” bila mengerjakannya dengan benar. Metode ini dapat diterapkan dalam toilet
training pada anak dengan autisme.14
Untuk mencapai tujuan yang telah disebutkan diatas, kita harus mencapai tujuan antara,
yaitu berbagai kemampuan perilaku yang terdiri dari:9,14
Komunikasi dua arah secara aktif, artinya anak harus mampu memulai suatu
topik pembicaraan lebih dahulu secara aktif.
Sosialisasi ke dalam setiap lingkungan, dimulai dengan lingkungan keluarga dan teman-
temannya.
Menghilangkan atau meminimalkan perilaku autistiknya.
Kemampuan (pre) akademik, sesuai dengan perkembangan umur dan kecerdasan (IQ)
nya.
Kemampuan bantu diri (bina diri) yang memadai, sehingga mampu merawat diri sendiri
secara mandiri.
Untuk mencapai tujuan antara ini, dengan sendirinya setiap anak harus mampu menguasai
kemampuan-kemampuan perilaku dasar, seperti: kepatuhan, kontak mata, menirukan, bahasa
reseptif (kognitif) dan bahasa ekspresif. Dengan memiliki kemampuan-kemampuan dasar dari
perilaku ini, diharapkan anak akan lebih mudah dan lancar menerima pelatihan perilaku yang
semakin kompleks.14
Keterlambatan dan abnormalitas dalam berbahasa dan berbicara merupakan keluhan yang
sering diajukan para orangtua, hampir 100% mengalami hal ini. Komunikasi non verbal juga
mengalami gangguan, sering tidak dapat menggunakan gerakan tubuh dalam berkomunikasi,
seperti menggeleng, mengangguk, menunjuk, melambai dan mengangkat alis.10,14
Intervensi dalam bentuk terapi wicara perlu dilakukan, seperti diketahui bahwa tidak
semua individu dengan autisme akan dapat berkomunikasi dengan cara verbal, sekitar 25-10%
kemungkinan tetap non verbal. Terapi wicara yang diberikan pada individu dengan autisme
berbeda dengan gangguan lain, sehingga diperlukan pengetahuan yang baik mengenai ciri-ciri
bicara dan berbahasa anak autistik. Terapi ini harus diberikan sejak dini dan dengan intensif,
bersama dengan terapi-terapi yang lain14.
Hambatan pada individu dengan autisme terutama pada interaksi sosialnya. Hal ini akan
berlanjut bila tidak segera ditangani pada usia sekolah, anak akan mengalami kesulitan dalam
berkomunikasi, bersosialisasi dengan lingkungan barunya (teman, guru). Oleh karena itu
sebaiknya anak sesegera mungkin dikenalkan dengan lingkungannya. Intervensi dalam berbagai
bentuk pelatihan ketrampilan sosial, ketrampilan sehari-hari agar anak jadi mandiri (self care).
Berbagai metode pengajaran telah diuji cobakan pada gangguan ini. Antara lain metode
TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication Handicapped
Children). Dikembangkan oleh Eric Schopler pada awal tahun 1970an, merupakan suatu sistem
pendidikan khusus untuk anak dengan autisme, di School of Psychiatry at the University of
North Carolina in Chapel Hill. Metode ini merupakan suatu program yang sangat terstruktur
yang mengintegrasikan metode klasikal yang individual, metode pengajaran yang sistematik,
terjadwal dan dalam ruang kelas yang ditata secara khusus.15
V. TERAPI OKUPASI
Keterampilan motorik pada individu dengan autisme sering terganggu, baik motorik
kasar maupun halus. Diperlukan intervensi terapi okupasi / fisik agar individu dengan autisme
dapat melakukan gerakan, memegang, menggunting, menulis, melompat dengan terkontrol dan
teratur sesuai kebutuhan saat itu.15
Pada intervensi AIT awalnya ditentukan suara yang mengganggu pendengaran dengan
perangkat audiometer. Lalu diikuti dengan seri terapi yang memperdengarkan suara-suara yang
direkam, tapi tidak disertai dengan suara yang menyakitkan. Selanjutnya dilakukan desensitisasi
terhadap suara-suara yang menyakitkan tersebut.Berbagai jenis terapi lain telah dicoba dan
dikembangkan seperti: holding therapy, brain gym, visual therapy, aversive therapy, dan lain-
lain. Yang patut diingat adalah semua terapi pada dasarnya adalah baik, namun harus
dipertimbangkan sesuai atau tidak sesuai dengan si anak.15
Pada dasarnya anak hidup dalam keluarga, perlu bantuan keluarga baik perlindungan,
pengasuhan, pendidikan maupun dorongan untuk dapat tercapainya perkembangan yang optimal
dari seoang anak, mandiri dan dapat bersosialisasi dengan lingkungannya. Untuk itu dibutuhkan
keluarga yang dapat berinteraksi positif satu sama lain (antar anggota keluarga) dan saling
mendukung. Oleh karena itu pengolahan keuarga dalam kaitannya dengan manajemen terapi
menjadi sangat pentin, tanpa dukungan keluarga rasanya sulit sekali kita dapat melaksanakan
terapi apapun pada individu dengan autisme.7,15
Penelitian menunjukan bahwa terapi ABA dapat memberikan dampak yang positif
terhadap perkembangan kemampuan sosial dan akademik anak autisme. Selain itu, terapi
autisme ini juga bertujuan untuk:
Anak-anak autisme pada umumnya menderita multiple food allergy. Hal ini akan
terungkap bila dilakukan pemeriksaan darah untuk “comprehensive food allergy”. Protein dari
susu sapi (casein) dan gandum (gluten) adalah rangkaian asam amino yang sulit dicerna. Bila
pencernaan anak sempurna maka casein maupun gluten akan dilepas seluruh rantainya sehingga
terjadilah asam amino yang kemudian diserap oleh tubuh guna pertumbuhan. Namun bila
pencernaan tidak sempurna, maka rantai tersebut tak lepas seluruhnya. Masih ada rantai pendek,
2 atau 3 asam amino yang bergandengan yang disebut peptide.16
Sebagiaan dari peptide masuk aliran darah, kemudian dikeluarkan dengan urin, namun
sebagian masuk ke otak, menembus sawar otak. Di otak peptide tersebut disergap oleh opioid-
receptor dan kemidian berfungsi seperti morphin. Hal ini mempengaruhi aspek perilaku, atensi,
kognisi dan sensoris anak.Oleh karena itu tidak ada salahnya untuk tidak mengkonsumsi susu
sapi dan tepung terigu. Anak dibiasakan makanan yang lebih sehat dan variatif sehingga
kebutuhan gizi tetap terpenuhi.16
Terapi sensori integrasi seperti yang dianjurkan oleh DR. Ayres, dilakukan dalam ruang
terapi khusus. Dalam ruangan tersebut tersedia berbagai alat yang dapat memfasilitasikan
aktifitas-aktifitas yang akan memberi masukan input-input sensorik, mendukung terjadinya
respons adaptif dan memperbaiki fungsi batang otak dan talamus.Setiap anak memiliki masalah
yang berbeda sehingga aktivitas yang diberikan pun berbeda dari anak yang satu dengan lainnya.
Pemberian aktivitas disesuaikan dengan kondisi anak yang bersangkutan. Pada pendekatan
sensori integrasi, okupasi terapi harus bekerja berdasarkan urutan perkembangan, stabilitas
digunakan srbagai dasar untuk meningkatkan mobilitas. Urutan yang harus diikuti adalah:16
Masalah regulasi seperti pola tidur, pola makan dan eliminasi, biasanya paling dahulu
berkurang pada bulan-bulan pertama terapi. Perbaikan dalam fungsi yang mendasar ini seringkali
diikuti dengan perbaikan kesahatan anak secara keseluruhan dan anak tampil lebih ”cerah”, nada
ekspresi muka jadi lebih bervariasi dan anak lebih terbuka untuk diajak berinteraksi; meskipun
pada mulanya hanya berupa interaksi singkat pada tahap non verbal. Kemajuan dalam dorogan
untuk melakukan interaksi ini biasanya mulai terlihat pada munculnya ”joint attention”. Maka
anak jadi lebih mudah diajari, karena menarik perhatian si anak menjadi lebih mudah.16
Aktivitas utama anak-anak pada umumnya adalah bermain. Lingkungan dan suasana
yang menyenangkan dan familiar digunakan sebagai pendekatan yang mudah diterima oleh anak,
yaitu menggabungkan kegiatan bermain dengan berolah musik.17
Dalam hal ini musik diperkenalkan melalui lagu atau bunyi, sehingga merangsang
kemampuan pendengaran dan kemampuan verbal dengan menirukan lagu bunyi yang
diperdengarkan. Selanjutnya, anak mendapatkan stimulasi untuk melakukan gerakan sesuai
dengan irama lagu (melatih koordinasi tubuh). Suasana musikal yang dihasilkan dapat membantu
terciptanya komunikasi dan interaksi social.17
STIMULAN.13,18
Inatensi mungkin merupakan satu gejala yang mengganggu proses belajar. Harus dibedakan
antara inatensi yang merupakan bagian dari gejala autisme dengan inatensi sebagai gejala
gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD).
Beta adrenergik blocker (Propanolol) dipakai dalam mengatasi agresivitas terutama yang
disertai dengan agitasi dan anxietas. Dosis: 1-5 mg/kg/hari atau lebih.
Potent long acting opioid antagonist (Naltrekson) memiliki potensi untuk mengatasi
perilaku melukai diri sendiri dan ritual, dosis: 0,5-2 mg/kg/hari.
SSRI digunakan untuk mengatasi perilaku stereotipik seperti perilaku yang melukai diri
sendiri, resisten terhadap perubahan hal-hal rutin, ritual obsesif dengan anxietas yang tinggi.
Pemberian SSRI dimulai dari dosis terkecil dan secara bertahap dinaikkan sampai mencapai
dosis terapeutik.
Fluoxetine.
Fluvoksamin.
NEUROLEPTIK.7,18
ANTI EPILEPS.18
Anti epilepsi (Asam valproat) digunakan bila penderita autisme mengalami epilepsi (1/3
kasus autisme mengidap epilepsi).
NOOTROPIK. 18
Pada individu dengan autisme diperlukan bantuan manajemen terapi yang komprehensif
dan terpadu antar disiplin ilmu yang terkait, agar dapat tercapai target terapi seperti yang
diharapkan. Mengingat masing-masing individu dengan autisme adalah unik, tidak ada yang
sama satu dengan yang lain (kembar sekalipun), maka pendekatan manajemen terapi yang
diberikan juga sebaiknya disesuaikan dengan masing-masing kondisi anak. Dukungan keluarga
sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan terapi. Selain itu dapat juga digunakan terapi
dengan menggunakan video game mindlight yang terbukti dapat mengurangi gejala kecemasan
pada anak autisme.
Sebaiknya tidak menunda pemberian terapi, sedini mungkin, agar anak dapat menerima
yang sesuai dan adekuat sehingga dapat berkembang seoptimal mungkin. Tidak ada kata
terlambat, lebih baik terlambat daripada tidak diterapi sama sekali.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bryson SE, Rogers SJ, Fombonne E. Autism : Early Detection, Intervention, Education,
and Psychopharmacological Management. Can J Psychiatry, Vol 48, No 8, September
2003 : 506-514.
2. Budhiman M. Penanganan Autisme Secara Komprehensif. Dalam: Seminar dan
Workshop on Fragile-X, Mental Retardation, Autism and Related disorders. Semarang.
2002: 46-60.
3. Depkes RI, 1993; Selvi, Vineeta, & Paul, 2010; Guerra, 2011; Rai, 2011, dan Dufault et
al, 2012
4. Edi TMSO. Diagnosis Dini Autisme. Dalam: Penatalaksanaan Holistik Autisme. Jakarta.
2000: 9-12.
5. Faradz SMH. Genetic Evaluation of Autism with Special Reference to Fragile-X
Syndrome. Dalam: Konferensi Nasional AutismeI.Jakarta. 2003: 8-14.
6. Ginanjar, 2007 dan The National Institute of Child Health and Human Development &
U.S. Department of Health and Human Services, 2005
7. Gunadi T. Snoezelen. Dalam: Penatalaksanaan Holistik Autisme. Kongres Nasional
Autisme Indonesia Pertama. Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. 2003:
43-51.
8. Handojo Y. Manajemen Tata Laksana Terapi Perilaku Anak Dengan Kebutuhan Khusus
(Autisme). Dalam: Penatalaksanaan Holistik Autisme. Kongres Nasional Autisme
Indonesia Pertama. Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. 2003: 153-163.
9. Hartono B. Aspek Medik Autisme Infantil. Media Medika Indonesian, Vol.33, No.4,
Penerbit FK Undip Semarang, 1998: 209-213.
10. Lieke, et all. 2015. The Effect of the Video Game Mindlight On Anxiety Symptoms in
Children With an Autism Spectrum Disorder. Biomed Central Psychiatry : Netherlands
11. Purba JS. Patogenesis Autisme Menuju Tatalaksana Holistik dan Terintegrasi. Dalam:
Penatalaksanaan Holistik Autisme. Jakarta. 2000: 321-325.
12. Rahmawati D. Gangguan Berbahasa dan Bicara Pada Anak Dengan Autisme Infantil:
Kumpulan Makalah Simposium Neuropediatri “The Child Who Does Not Speak”.
Penerbit FK Undip Semarang, 2002: 15-23.
13. Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott.2010. Kaplan & Sadock's Buku Ajar
Psikiatri Klinis, 2nd Edition; EGC.Jakarta.
14. Setiyono A. Terapi Sensori Terintegrasi. Dalam: Penatalaksanaan Holistik Autisme.
Kongres Nasional Autisme Indonesia Pertama. Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FKUI. Jakarta. 2003: 35-41.
15. Setyowatie FFS. Olah Musik Bagi Anak Dengan Kebutuhan Khusus (Autisme). Dalam:
Penatalaksanaan Holistik Autisme. Kongres Nasional Autisme Indonesia Pertama.
Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. 2003: 185-203.
16. Supargo A. Farmakoterapi Pada Autisme. Dalam: Penatalaksanaan Holistik Autisme.
Kongres Nasional Autisme Indonesia Pertama. Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FKUI. Jakarta. 2003: 43-51.
17. Wahyuni LK. Penatalaksanaan Problem Oromotor Pada Autisme. Dalam:
Penatalaksanaan Holistik Autisme. Kongres Nasional Autisme Indonesia Pertama.
Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. 2003: 43-51.
18. WidyawatiI. Manajemen Multidisplin Pada Individu Autisme. Dalam: Konferensi
Nasional Autisme I. Jakarta. 2003: 61-66.