Psikologi Industri Organisasi
DISUSUN OLEH :
Nabil Ibrahim Afandi
210110140234
PROGRAM STUDI MANAJEMEN KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
IMPLIKASI-IMPLIKASI PANDEMI UNTUK 10 ASPEK PSIKOLOGI PSIKOLOGI
Pandemi: Implication-implikasi untuk Riset dan Praktek di Psikologi Industri dan Organisasi
Abstrak
Pandemics mempunyai peran sejarah dalam merubah bentuk dunia dalam berbagai cara.
COVID-19, pandemik global yang sedang berlangsung saat ini, menimbulkan berbagai
spekulasi terhadap berbagai perubahan yang akan timbul sebagai dampak dari krisis ini,
dalam bidang pekerjaan dan manusia yang bekerja dalam berbagai organisasi.
Dalam artikel ini akan didiskusikan 10 riset paling relevan, topik-topik riset dan praktek
dalam bidang Industrial and Organizational (IO) psychology, yang disinyalir terdampak oleh
COVID-19.
Dalam setiap topik yang akan dibahas dalam krisis pandemi ini akan tercipta "Tantangan
Baru Hubungan Pekerjaan", akan tetapi juga bermunculan juga berbagai peluang. Topik-
topik yang didiskusikan akan termasuk di dalamnya kesehatan dan keselamatan kerja, juga
"Masalah Pekerjaan-Keluarga", telekomunikasi, teamwork virtual, pekerjaan yang tak aman,
pekerjaan yang genting, kepemimpinan, peraturan tentang sumberdaya manusia, tenaga
kerja yang semakin menua, dan karir.
Dengan demikian dapat didiskusikan lebih lanjut, berbagai cara di mana IO psychology baik
riset maupun praktek dapat dialamatkan pada dampak COVID-19 terhadap bidang
pekerjaan dan proses dalam organisasi, berdampak pada para pekerja dan pada bentuk dari
berbagai pekerjaan dan organisasi di masa depan baik jangka pendek maupun jangka
panjang.
Artikel ini disimpulkan bersama , dengan mengundang para periset dan praktisi psikologi IO,
agar bisa diarahkan pada tantangan dan peluang terhadap COVID-19, dengan cara, secara
proaktif melakukan inovasi dalam bidang pekerjaan dalam rangka memberikan dukungan
pada para pekerja, organisasi, dan masyarakat umum.
Terjadi dalam sejarah manusia, bahwa pandemi telah merubah cara manusia bekerja dan
mengorganisir, contoh-contohnya adalah:
Black Plague pada tahun 1350, hukum dan prilaku perburuhan telah berubah, demikian
juga dengan kompensaai, berubah di sepanjang Eropa Barat (Cohn,
2007).
Flu Pandemik tahun 1918, berdampak pada perubahan usia angkatan kerja, kenaikan upah
buruh, sebagai respon dari aksi protes para buruh yang secara beramai ramai meninggalkan
pekerjaannya sebagai aksi protes terhadap kondisi pekerjaan mereka, hal ini terjadi di
Amerika Serikat ( Freeman, 2020; Clay, 2020). Berlanjut pula dengan perbaikan kesehatan
dan keselamatan kerja, termasuk di dalamnya munculnya skema asuransi kesehatan bagi
para pekerja (Spinney, 2020).
Tahun 2003 SARS Pandemik, berdampak pada perbaikan pada jaminan kesejahtraan dan
kesehatan sebagai akibat dari para pekerja yang dianggap esensial (Maunder et al., 2006)
Untuk pandemi COVID-19 dirasakan masih terlalu dini untuk mengetahui dampak psikologis,
ekonomi, ekonomi dan perubahan prilaku. Akan tetapi sebagaimana bukti sejarah di atas,
telah dapat dirasakan perubahan-perubahan secara global, perubahan cara bekerja, dan
angka pengangguran yang terus meroket.
Per 7 Mei 2020 1 dari 5 pekerja di Amerika Serikat telah mengajukan "Unemployment
Benefit". Per 3 Maret 2020 dilaporkan European Union bahwa 1 juta orang kehilangan
pekerjaan (Zsiros,
2020)
Yunani dan Spanyol diramalkan akan mengalami angka pengangguran 19.90% and 18.90%,
Jerman 4% pengangguran. Merespon akan hal itu, European Central Bank mengumumkan
akan memberikan program stimulus ekonomi sebesar lebih dari €870 milyard, jumlah yang
setara denga an 7.3% GDP di Eurozone (Lagarde, 2020).
Jerman memproyeksikan 3 juta pekerja akan mengalami PHK akibat krisis ini. 500 ribu
pengusaha telah mengajukan "government subsidized Kurzarbeit" suatu dana pemotongan
jam kerja, sebagai kompensasi kerugian karena pendeknya jam kerja (Schmitz, 2020).
Demikian juga yang terjadi di Asia; angka ekspor Cina turun secara drastis, 400 juta pekerja
informal di India akan terlantar tanpa pekerjaan (Thomas, 2020).
Lebih luas lagi bahwa telah tercatat, kekurangan sumberdaya dan suplai medikal dan tidak
lancarnya suplai makanan terjadi di seluruh belahan dunia.
Jelas bahwa krisis Pandemi COVID-19 telah memunculkan berbagai tantangan, termasuk
berbagai tekanan terhadap konsekuensi psikologis tiap individu (Van Bavel et al., 2020).
Tantangan-tantangan ini membutuhkan penyesuaian karena adanya perubahan terhadap
proses dalam bidang pekerjaan, membutuhkan keseimbangan baru, berkaitan dengan multi
peran dalam pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Pada waktu yang bersamaan dengan kondisi krisis ini muncul pula berbagai peluang,
khususnya berbagai sumberdaya yang dapat diberikan oleh berbagai organisasi penyerap
pekerja, untuk mendukung para pekerja saat ini dan di masa depan. Contoh dari berbagai
kesempatan ini adalah meningkatnya kebutuhan dukungan dalam organisasi mengenai
kepemimpinan, digitalisasi proses pekerjaan, implementasi teamwork yang lebih efektif, dan
perubahan dalam manajemen kesehatan.
Industrial and organizational (IO) psychology secara unik mengambil posisi untuk
menyediakan panduan tentang bagaimana COVID-19 dan pandemi-pandemi yang mungkin
saja muncul di kemudian hari berdampak pada manusia dalam suatu organisasi, dengan
cara memberikan saran-saran dan berbagai masukan yang berdasarkan bukti-bukti yang
nyata, saat menghadapi krisis seperti ini. Saran dan panduan ini seyogyanya datang dari
para periset dan praktisi.
Dalam artikel ini, kita akan fokus pada 10 area riset yang relevan dan memungkinkan untuk
diaplikasikan.
2. Masalah Bekerja-Keluarga
5. Ketidakamanan bekerja
6. Pekerja tidak tetap
7. Kepemimpinan
8. Sumberdaya manusia
10. Karir
Perspektif psikologi dalam Kesehatan dan Keselamatan dalam bekerja, akan fokus pada
faktor dalam lingkungan kerja yang tentunya akan membatasi seorang pekerja sebagaimana
juga hal ini dapat mengancam kualitas kehidupan dalam bekerja. Faktor yang
membahayakan biasa diaebut dengan "job stressors" dan proteksi terhadap bahaya ini
disebut dengan "job resources.”
Derajat bahaya tentunya berbeda dari satu pekerjaan dengan pekerjaan lainnya, sebagai
contoh seorang tenaga kesehatan berbeda derajat dalam menghadapi bahaya bila
dibandingkan dengan pekerja yang bekerja dari rumah.
Bekerja di tempat dengan tingkat stres yang tinggi dan kondisi yang tidak aman disaat
pandemi tidak hanya berakibat pada kesehatan mental dan kesejahtraan seorang pekerja
pada saat ini akantetapi juga berakibat buruk di masa depan yang disebut dengan "post-
traumatic stress symptoms" (Maunder et al., 2006; McAlonan et al., 2007).
Selain tenaga kesehatan, tenaga kerja yang juga mengalami ancaman bahaya dalam sektor
kesehatan di antaranya adalah pekerjaan-pekerjaan bidang jasa yang melayani masyarakat
secara langsung.
Secara umum, pekerja yang bekerja dari rumah selama pandemi mengalami kondisi yang
lebih baik, karena tidak menghadapi resiko terinfeksi virus secara langsung. Karyawan yang
belum terbiasa bekerja dari rumah, memungkinkan untuk mengalami kekurangan area yang
layak untuk bekerja, termasuk juga peralatan dan material untuk memenuhi kebutuhannya
dalam bekerja. Dapat terjadi pula karyawan yang kesulitan menstruktur ulang waktu kerja.
Walaupun kelelahan dalam bekerja mungkin berkurang, tetapi kualitas hubungan antar
pekerja memungkinkan akan terjadi penurunan (Allen, Golden, &
Tidak hanya di sektor kesehatan perlu juga diteliti 'job stress' di sektor-sektor lainnya dalam
bisnis dan industri (sebagai contoh toko swalayan, transportasi dan perusahaan logistics)
Pertama, riset dalam bidang kesehatan dan keselamatan karyawan saat pandemi sebaiknya
tidak hanya terfokus pada faktor penyebab stres saja, tetapi juga pada berbagai sumberdaya
yang dapat meringankan efek-efek negatif saat menghadapi situasi sres yang tinggi. Sebagai
contoh, seorang periset dapat membangun "model umum" seperti job-demands-resources
model (Bakker, Demerouti, & Sanz-Vergel,
2014).
Meneliti tidak hanya faktor organisasi, seperti iklim bekerja yang aman, strategi komunikasi
yang baik dalam organisasi tetapi juga kebutuhan individu, sebagai contoh level training
yang mumpuni dan juga "coping strategy" (Maunder et
Dari perspectif para praktisi adalah sangat penting untuk meneliti intervensi yang
memungkinkan untuk mengurangi "post-traumatic symptoms" bagi karyawan yang
menghadapi situasi traumatik.
Kedua, dalam kaitannya dengan pekerja nakes ataupun "other front line workers", mereka
tidak hanya kurang beruntung, tetapi berpotensi untuk tidak efisien dalam bekerja selain
membuat kesalahan yang beresiko terhadap keselamatannya, sebagai contoh hasil riset
yang menyimpulkan bahwa higenitas tangan seorang nakes terabaikan bila terjadi shif yang
panjang, atau jeda antar shift yang terlalu singkat Dai, Milkman, Hofmann, & Staats, 2015).
Untuk itu Periset diperlukan untuk meneliti potensi-potensi bahaya seperti di atas.
Ketiga, ketika melakukan studi tentang kesehatan dan keselamatan pekerja, harus
diperhitungkan pula kondisi alami yang dinamis dari krisis pandemi ini. Tingkat stres saat
persiapan menghadapi krisis dan saat "high crisis" tentunya berbeda. Karena pengurangan
"stressors" tidak bisa dilakukan saat situasi "high crisis" dan sumber daya kemungkinan
telah berkurang keefektifannya. Dari perspektif riset, waktu pengukuran adalah sangat
penting. Pada saat yang sama dinamika karakteristik pada krisis pandemi memberi peluang
untuk melakukan studi temporer aspek untuk "job stress" lebih terperinci dengan setingan
yang lain (Sonnentag, Pundt, & Albrecht, 2014).
Sampai saat ini riset mengenai kesehatan pekerja dalam kondisi wabah ini dilakukan secara
potong lintang secara alami dan digunakan secara eksklusif sebagai pengukuran "self
report"
Di satu sisi riset seperti ini dpat dimaklumi karena pengumpulan data harus dilakukan
segera, dengan sumber dana terbatas. Di sisi lain cara ini hanya menghasilkan wawasan
yang terbatas terhadap proses kausal.
Seyogyanya periset harus mencoba untuk mengimplementasikan desain riset yang lebih
kuat.
Terlebih lagi melibatkan partisipan riset kemungkinan menjadi masalah terserdiri khususnya
bagi orang-orang yang sedang terlibat dalam mode krisis ini. Dalam hal ini
Secara praktek
Brooks et al. (2018) merekomendasikan implikasi yang penting berdasarkan bukti-bukti dari
hasil riset selama krisis SARS. Implikasi-implikasi itu termasuk di dalamnya persiapan
pelatihan yang cukup tentang kontrol terhadap infeksi, menlmbangun kohesi tim, dukungan
sosial, meningkatkan strategi komunikasi, persiapan terhadap pengalaman negatif,
pengembangan "coping strategy" yang memadai.
2. Masalah Kerja-Keluarga
Lewis (2020) menyebut masa ini sebagai "a disaster of feminism" sebagaiman juga
pendapat beberapa ahli memprediksikan pasangan-pasangan suami istri, akan kembali ke
hubungan peran gender tradisional, di mana sebelumnya "dual earner" bertransisi menjadi
"parenthood" , sebagai akibat dari krisis pandemi.
Dengan adanya berbagai temuan ini, para sarjana dalam bidang organisasi seharusnya
menemukan metodologi alternative seperti "time use data" untuk melengkapi data "self
report" dari dinamika Kerja-Keluarga selama krisis pandemi ini.
Secara praktikal terjadi pula beberapa perubahan dalam hal Kerja-Keluarga, diantaranya
perubahan kebijakan tentang cuti keluarga (see also Guan, Deng, & Zhou, 2020)
Sebagai contoh adalah perusahan-perusahaan yang menerapkan cuti keluarga tak berbayar,
sesuai dengan kebijakan yang berlaku di negaranya, apabila terjadi anggota keluarga
terinfeksi virus, dan menyebabkan seorang karyawan terpaksa mengambil cuti untuk
merawat dan melakukan isolasi mandiri.
Analisa Cross-cultural yang menganalisa dampak dari cuti berbayar pada kemampuan
beradaptasi terhadap krisis pandemi pada keluarga dapat digunakan sebagai saran yang
dapat diaplikasikan sebagai proteksi bagi karyawanan. Dengan demikian Organisasi-
organisasi dapat menolong untuk mengurangi konflik Kerja-Keluarga.
Individu dapat belajar untuk memiliki strategi baru dalam mengelola stres terhadap
perkerjaan dan keluarganya.
Para supervisor dan pengambil keputusan hendaknya dapat memiliki pengertian yang
komprihensif terhadap orang tua yang bekerja, dengan demikian diharapkan tercipta
kebijakan yang 'family friendly'.
3. Telecommuting
Telecommuting (juga dikenal sebagai telework, flexplace, dan remote work) adalah
alternative cara bekerja di mana pekerja tidak harus datang ke tempat kerjanya (kantor).
Di Amerika Serikat telecommuting sudah mulai dijalankan di tahun 1970 (Avery & Zabel,
2001).
Saat pandemi ini telecommuting sudah menjadi hal lazim, terjadi di mana-mana, dengan
tujuan "physical distancing"
Ada beberapa literatur yang menunjukan hal yang substansial mengenai hubungan antara
telecommuting dengan individu dan organisasi. Membandingkan hasil yang didapat dari
bekerja dengan telecommuting dan dan bekerja di kantor, dari sisi poduktivitas dan 'job
satisfaction''. Analisa-Meta menunjukan bahwa hampir tidak ada perbedaan akan hal
tersebut. Perbedaan seringkali muncul pada para pelakunya. Meskipun demikian, literatur
tersebut belum meneliti secara lebih terperinci yang mengaitkannya dengan berbagai variasi
dari bekerja jarak jauh dengan hasil yang didapat. Contohnya adalah saling ketergantungan
antara satu tugas dengan yang lain, frekwensi dan komunikasi yang alami, kohesi tim,
kebiasaan-kebiasaan supervisor, berbagi pengetahuan, persepsi akan kepercayaan.
Begitu banyaknya karyawan yang melakukan pekerjaan dari jarak jauh selama pandemi ini,
dengan berbagai kondisi pekerjaan dan berbagai industri, sudah saatnya bagi kita untuk
melakukan studi akan hal ini.
Dengan demikian kita dapat menyampaikan bagaimana praktek yang terbaik akan hal ini
dengan melakukan analisa 'evidence-based', sehingga dapat dimanfaatkan oleh
stakeholders maupun para praktisi itu sendiri. Bagaimanapun akan ssulit bahi seorang
periset untuk mendesain dan mengimplementasikan hasil studinya diwaktu singkat, namun
hal ini dapat dipermudah dengan mengambil data yang sudah ada mengenai objektif dari
organisasi, produktifitas, cara berkomunikasi, dll. Singkatnya berbagai faktor yang berkaitan
dengan upaya produktifitas diambil sebagai pertimbangan.
Hambatan terbesar dari seorang karyawan untuk bekerja jarak jauh adalah, budaya
perusahaan itu sendiri yang tidak mendukung untuk itu. (e.g., Batt &
Valcour, 2003; Brewer, 2000). Ini terjadi bila organisasinya lebih banyak melakukan budaya
face-time dibandingkan dengan result-oriented dan menilai prestasi seseorang lebih kepada
kehadirannya (Shockley &
Allen, 2010). Secara spekulatif ke depan akan terjadi perubahan cara pandang di kalangan
eksekutif seiring dengan perubahan budaya ini.
Para periset yang seharusnya meneliti dampak dari perubahan budaya dan efektifitas pelaku
telecommuting dan juga kesejahtraannya.
Tantangan dalam telecommuting adalah peran seseorang dalam pekerjaan dan perannya
dalam keluarga, di mana keduanya terjadi di satu tempat yang sama (Kossek, Lautsch, &
Eaton, 2006).
Sebagian periset menganggap fokus pada strategi praktis dalam mempertahankan peran-
peran ini secara terpisah adalah yang lebih baik, sebagian lagi sebagaimana terdapat di
beberapa literatur dan media masa, berpendapat bahwa mempunyai tempat yang terpisah
di rumah dengan pintu sebagaimana seseorang pergi ke tempat bekerja.
Bagaimanapun semua ini membutuhkan penelitian empiris lebih lanjut, untuk melihat
seberapa besar manfaat dari ide ini.
Terakhir adalah pendapat dari praktisi, yaitu bahwa rekomendasi yang utama telecommuter
harus meyakinkan bahwa telecommuting tidak digunakan sebagai bentuk lain dari
"childcare". Sehingga beberapa organisasi dapat meminta telecommuter yang memiliki anak
untuk menandatangani kontrak, bahwa yang bersangkutan memiliki pengaturan alternatif
untuk menangani anak-anaknya.
Diperlukan qulitatif riset, dengan para orang tua yang mengalami hal ini, mendengar
berbagai suka dukanya sehingga membuka jalan dan mendapatkan pengertian yang lebih
baik dan praktek yang terbaik dalam hal telecommuting.
4. Tim kerja Virtual
Istilah ini berkaitan erat dengan konsep telecommuting, kolaborasi tim, melalui media alat
elektronik dan teknologi komunikasi (e.g., Hertel, Geister, & Konradt, 2005; Maynard,
Gilson, Jones Young, &
Vartiainen, 2017).
Secara umum tim kerja virtual memberikan banyak keuntungan, di antaranya adalah; lebih
memungkinkan untuk memperluas kehadiran para ahli jika pemilihan staf berdasarkan
kompetensi. Fleksibilitas sehingga dapat memberdayakan anggota tim, dapat memanfatkan
zona waktu sehingga pekerjaan dapat dikerjakan secara "rapidly", koneksi dengan supplier
dan kustomer lebih dekat, mengurangi biaya perjalanan dan ruangan kantor dengan
infrastruktur yang secukupnya, integrasi orang per orang dengan mobilitas rendah,
mengurangi arus lalu-lintas dan juga polusi udara. Pada saat yang bersamaan tim kerja
virtual juga memiliki berbagai resiko, seperti: Isolasi sosial, diperlukan kepercayaan lebih
dan potensi konflik, kontrol dari 'team leader' menjadi lebih rendah, 'feedback' yang lambat
dari proses-proses di dalam tim, hambatan dalam teknologi yang menyebabkan kerepotan
dan makan waktu, membutuhkan 'self-organizing', dan gangguan dari kehidupan pribadi
(misalnya telephone di luar jam kerja), keengganan untuk mengajari 'team-leader' dalam
penggunaan teknologi lebih tepat dan benar.
Pandemi COVID-19 telah merubah situasi, kerja tim virtual menjadi solusi yang dianggap
signifikan karena memecahkan masalah mengenai 'physical distancing' di tempat kerja. Hal
yang menarik adalah bahwa dalam beberapa hal penggunaan alat-alat tambahan untuk
virtual bahkan memperbaiki proses menjadi lebih baik dibandingkan dengan tim yang
bertatap muka, contohnya rapat tim menjadi lebih terstruktur, anggota tim mendapatkan
informasi yang lebih 'reliable'. Konsekwensi dari hal ini, anggota tim memerlukan
pembiasaan, bahkan pelatihan dalam penggunaan alat-alat, lebih khusus untuk bidang-
bidang yang sebelumnya tidak banyak menggunakan teknologi komunikasi. Diperlukan juga
panduan, yang akan memudahkan penggunaan alat-alat tersebut. Bagaimanapun, hal yang
positif adalah, kerja tim virtual sangat memungkinkan dilakukan walaupun pandemi telah
berakhir karena membantu dalam proses kerja, sebagaimana juga tim yang selalu siap saat
pandemi yang lain terjadi lagi.
Untuk itu organisasi dan 'team leader', perlu untuk mengambil pelajaran dari situasi ini,
untuk diimplementasikan kemudian.
Untuk mendukung aktifitas ini, maka diperlukan berbagai riset mengenai berbagai
keperluan dan kesulitan pada saat ini, contohnya adalah dengan menggunakan pendekatan
"critical incidents approach" (Breuer, Hüffmeier, Hibben, & Hertel, 2019). Demikian juga
dengan pendekatan-pendekatan lainnya mengingat bahwa "virtuality" ini mempunyai
banyak dimensi, di antaranya sinkronisasi, penyebaran secara geografik, dll.
Secara umum, masih diperlukan riset tentang, tim "social bonding", mengatasi kelelahan
dan masalah "self-motivation"
5. Ketidakamanan Kerja
Peningkatan ketidakamanan-kerja adalah problema jangka pendek dan jangka panjang yang
akan menghasilkan "outcome" yang negatif bagi individu, organisasi dan juga bagi
komunitas (De
Pertama: beberapa karyawan merasa bahwa hal ini dapat diterima untuk kondisi jangka
pendek.
Kedua: Merupakan hal penting bagi karyawan untuk mendapatkan informasi yang
transparan dan komunikasi rutin mengenai bagaimana perusahaan menangani
'pengurangan karyawan'. Hal ini dipercaya akan mengurangi kondisi ketidakamanan-kerja
dan mendapatkan respon yang lebih positif dari karyawan yang mengalaminya (Jiang &
Lavaysse, 2018; Richter et al., 2016; Skarlicki et al., 2008).
Apabila situasi-situasi ini dikelola dengan baik dengan tujuan untuk mengurangi
ketidakpastian, hal ini akan menolong bagi perusahaan apabila harus memanggil kembali
karyawan yang sudah dirumahkan, karena karyawan tersebut akan mempunyai persepsi
yang baik terhadap perusahaan dan bekerja kembali dengan baik.
Krisis pandemi COVID-19 memberikan peluang untuk meneliti kualitas dan struktur tenaga
kerja di pasar tenaga kerja, khususnya dampaknya terhadap tenaga kerja tidak tetap.
Tenaga kerja tidak tetap yang secara luas, beresiko, tidak pasti, dan tidak dapat diprediksi.
Di kalangan terpelajar pekerja tidak tetap didefinisikan secara lebih spesifik sebagai
pekerjaan yang tidak stabil, berjangka pendek, tidak memiliki posisi tawar yang baik,
mendapatkan upah rendah, hak-haknya dan proteksinya sangat minim, tidak menjamin
kebebasannya dalam berserikat untuk menuntut hak-haknya.
Krisis pandemi COVID-19 mengekspose kerawanan pada tenaga kerja ini, diperparah oleh
masalah yang sudah ada dalam struktur pekerja. Para pekerja tidak tetap sangat rawan
untuk kehilangan pekerjaan selama krisis ekonominyang disebabkan oleh COVID-19.
Sementara para pekerja dengan gaji tetap dapat melakukan telecommuting dan
melanjutkan pekerjaannya, para pekerja dengan upah rendah yang dihitung perjam kerja
dan berbagai pekerjaan tidak tetap tidak dapat melanjutkan pekerjaannya selama "physical
distancing" dan kemudian akan kehilangan pekerjaannya.
Krisis pandemi COVID-19 adalah peluang yang penting bagi Psikologi IO untuk kembali fokus
pada para pekerja tidak tetap ini.
Berbagai bidang, para ekonom, sosiolog dan praktisi kesehatan publik sudah melakukan
studi tentang pekerja tidak tetap dan mengemukakan berbagai teori tentang hal ini, namun
bidang psikologi berkontribusi dengan riset-riset yang lebih sedikit.
Siapa yang paling rentan terdampak, faktor-faktor apa saja yang memperburuk kesulitan
keuangan dan mental, apa yang dapat menolong masyarakat agar dapat bertahan dalam
ketidakpastian ekonomi.
Contohnya adalah, reset mengatakan bahwa pekerja tidak tetap rentan terhadap
konsekuensi kesehatan dan ekonomi dari krisis pandemi COVID-19 ini, reset sangat
diperlukan pula untuk mengerti tentang mekanisme yang berlaku dan bagaimana
mengintervensinya secara efektif.
7. Kepemimpinan
Bill gates berpendapat bahwa "Dalam setiap krisis seorang pemimpin mempunya dua
tanggung jawab penting; memecahkan masalah dan mencegah terjadi kembali"
Riset dapat fokus pada peran individu, perbedaan yang muncul dalam kepemimpinannya
saat krisis. Sebagai tambahan reset dapat fokus pada dinamika, interaktif, dan multilevel
kepemimpinan yang secara alami muncul saat krisis pandemi.
Krisis pandemi COVID-19 memerlukan pemimpin yang dapat mengelola paradok antara
kesehatan karyawan dan kemanusiaan di satu sisi, dan berfokus pada profit di sisi yang lain.
Psikolog sosial menawarkan "identity leadership" sebagai bentuk yang dinilai efektif pada
masa krisis. Di mana para pemimpin mewakili dan mempromosikan minat dari bawahannya,
menciptakan identitas sosial kolektif di antara mereka (Haslam, Reicher, & Platow, 2011;
Van Bavel et al., 2020).
Penting untuk melakukan studi tentang kepemimpinan dengan fokus yang spesifik apakah
proaes kepemimpinan berubah dalam peroide waktu tertentu atau di negara/regional
tertentu dalam kaitannya dengan krisis pandemi COVID-19 dibandingkan dengan perode
waktu dan negara/regional yang lain.
Tambahan peluang untuk riset, adalah penting untuk membahas implikasi dari praktek
'evidence-based'.
Kedua, tidak banyak pemimpin pernah menerima training yang formal dalam menghadapi
krisis, penting untuk mengintegrasikan pengetahuan tentang majemen krisis dengan
keterampilan menuju pengembangan kepemimpinan masa depan dari berbagai kesalahan
yang dibuat semasa krisis.
Ketiga, para pemimpin seharusnya memotivasi diri mereka maupun bawahannya untuk
menjaga kesehatan, sambil tetap memelihara performa yang tinggi dalam pekerjaan.
8. Kebijakan Sumberdaya Manusia
Pekerja lapangan, khususnya di bidang industri yang kritikal, di mana tidak memungkinkan
untuk menutup total produksinya, maka dapat melakukan modifikasi shift, yang biasanya
jam 8 hingga jam 4, menjadi lebih fleksibel untuk mengurangi jumlah karyawan yang bekerja
pada saat yang sama. Di saat yang sama HRD menerapkan budaya sehat dan higienis.
Lebih dari itu HRD perlu untuk menentukan kebiasaan-kebiasaan yang diperlukan oleh
tenaga kerja yang memungkinkan bagi organisasi untuk mencapai "goal" yang telah
dicanangkan melalui pemilihan 'human resources' yang tepat.
Beberapa perusahaan yang terpaksa melakukan penurunan kapasitas (Downsizing), ada cara
untuk melaksanakannya yaitu dengan cara 'commitment-oriented'.
HR manager harus mengusahakan cara yang transparan dan adil tentang cara mengukur
'downsizing' ini.
Tenaga kerja usia lanjut merupakan tantangan sekaligus peluang bagi perusahaan.
Tantangan, karena performa kerja yang telah menurun, peluang, mereka dapat menjadi
sumber ilmu karena telah mengalami pengalaman bekerja yang begitu lama.
Dampak dari COVID-19 bagi pekerja lanjut usia, lebih bijaksana bagi seorang periset untuk
mengadopsi "
"Lifespan
influences" ini agar dapat diuji dengan pertanyaan-pertanyaan riset berkaitan dengan
dampak krisis pandemi COVID-19 terhadap pekerja lanjut usia, periset sebaiknya
menggunakan "differential susceptibility" (Belsky & Pluess, 2009) dan "differential impact
theoretical frameworks" (e.g., Ungar, 2017) untuk melengkapinya.
Di satu sisi "differential susceptibility" menyarankan bahwa perbedaan yang terjadi pada
individu (mis.: Usia, personaliti) membuat individu tersebut lebih/kurang rentan terhadap
fitur yang ada di lingkungannya. Kemudian "Differential susceptibility" akan fokus
perhatiannya pada karakter individual, yang akan menjawab mengapa seseorang
lebih/kurang rentan terhadap pengaruh lingkungannya termasuk perubahan-perubahan
yang terjadi dalam faktor lingkungan. Kemudian "Differential susceptibility" melihat dari sisi
interaksinya terhadap situasi, di mana secara kronologis usia dapat ditafsirkan sebagai
karakter seseorang.
Sebagai contoh periset dapat bertanya tentang bagaimana lingkungan secara berbeda-beda
dapat mendukung pekerja di usia yang berbeda-beda., Seperti: "bagaimana, bekerja dari
rumah secara berbeda mempengaruhi proses kerja dari pekerja dalam berbagai usia?"
Secara umum, istilah "age management" mengacu pada berbagai dimensi di mana
dengannya sumberdaya manusia dikelola di dalam organisasi, secara eksplisit berfokus pada
usia, dan secara umum mengelola usia tenagakerja melalui peraturan yang berlaku dan
kompromi secara kolektif.
Pada saat yang sama para praktisi hendaknya berhati-hati dalam menyesuaikan kebijakan
kerja pada pekerja dalam usia yang berbeda- beda, khususnya bila tidak dilandasibdengan
bukti empiris.
10. Karir
Karir adalah urutan dari pengalaman kerja seseorang dalam kedupannya (Hall, 2002).
Dalam skenario yang terbaik krisis pandemi COVID-19 cepat terkontrol dan para pekerja
yang terkena PHK dapat kembali ke perusahaan tempat mereka bekerja sebelumnya.
Apabila pandemi bertahan dalam waktu yang lama, maka akan ada perusahaan-perusahaan
yang tutup secara permanen dan mengakibatkan angka pengangguran pun bertambah.
Riset menunjukan bahwa apabila seseorang berulangkali mengalami kehilangan
pekerjaannya maka secara signifikan berimbas pada perkembangan karirnya (e.g., Gregg &
Tominey,
Selain itu tidak adanya pekerjaan mungkin juga menyebabkan berubahnya karir seseorang,
berganti bidang pekerjaan.
Demikian juga dengan pekerja yang tidak terkena PHK, situasi pandemi ini juga dapat
menciptakan ketidakamanan kerja, bagaimanapun ketidakamanan kerja juga dapat
menyebabkan karir seseorang beresiko.
Krisis pandemi COVID-19 ini juga berimbas pada angkatan prakerja, dan para pelajar dalam
pilihan karirnya.
Selain berpotensi pada efek negative dalam karir, Krisis pandemi COVID-19 ini juga dapat
memberikan peluang. Perubahan pekerjaan di bidang karir yang berbeda juga dapat
menjadi lebih berkualitas.
Sebagai tambahan krisis pandemi ini juga membuat sebagian orang menyadari bahwa,
kesehatan, koneksi sosial dengan keluarga, teman dan komunitas selama ini kurang
mendapat nilai yang cukup. Dengan demikian "goals" dalam pekerjaan dan di luar pekerjaan
menjadi pertimbangan yang holistik.
Hal penting untuk diteliti adalah mempelajari bagaimana krisis berimbas pada pengalaman
karir seseorang. Selain itu seorang periset dapat menginvestigasi bagaimana krisis merubah
sumber karir, sikap dan prilaku terhadap karir, termasuk juga, aspirasi karir, perubahan
dalam perkembangan karir, baik dari sisi positif maupun dari sisi negatif.
Pada prakteknya, kebijakan publik harus fokus pada berkembangnya virus melalui ukuran
kesehatan publik dan menolong agar orang-orang tetap dapat bekerja, dengan mendukung
secara finansial bisnis-bisnisnyang paling terkena imbas.
Sekolah dapat membantu para pelajar lebih mengeksplorasi berbagai kemungkinan karir
yang dapat menjadi pilihan, khususnya berbagai kemungkinan perubahan yang dapat terjadi
setelah pandemi ini berlalu.
Akhirnya, seorang konsultan karir dapat mengambil krisis ini sebagai peluang untuk
membantu kliennya untuk meninjau kembali prioritasnya dalam karir dan kehidupan.
Sumber:
https://www.cambridge.org/core/journals/industrial-and-organizational-
psychology/article/pandemics-implications-for-research-and-practice-in-industrial-and-
organizational-psychology/1B702A23756307A6658F02576C8CED51
Dampak dari Stres dalam Bekerja terhadap Kepuasan dalam Bekerja, Sebuah Studi dalam
Sektor Telekomunikasi di Pakistan
Pendahuluan
Stres pada dasarnya, dalam Ilmu Fisika adalah berupa tekanan terhadap suatu objek yang
berpotensi untuk membuat kerusakan, dapat membengkokan atau memecahkan. Dalam hal
stres terhadap manusia, seringkali dijelaskan sebagai respon tubuh terhadap suatu
permintaan, baik yang menguntungkan maupun yang tidak menguntungkan. Stres adalah
kondisi di mana terjadi, tekanan terhadap seseorang, melebihi kemampuannya untuk
menanganinya. Hal penyebab stres disebut "Stressor". Apabila hal ini terjadi secara terus
menerus dalam waktu yang lama tanpa jeda, maka akan berdampak buruk secara fisik
maupun tingkah laku seseorang.
Stres dalam pekerjaan adalah salah satu resiko yang penting dalam menciptakan lingkungan
kerja yang sehat. Ada beberapa faktor penyebab stres di lingkungan kerja. Disebut juga
sebagai 'Job Stressors' yang menjadikan suatu pekerjaan menjadi 'stressfull dan sulit bagi
seorang karyawan, baik dalam bidang jasa maupun bidang manufaktur.
Selain itu ada beberapa faktor 'stressor' tambahan yang berkaitan dengan interaksi antar
karyawan, seperti konflik dengan supervisor, konflik dengan kolega, konflik dengan
bawahan, konflik dengan peraturan yang diberikan oleh manajemen.
Stres dalam lingkungan pekerjaan, di mana seorang karyawan dituntut untuk menyelesaikan
perkerjaannya dengan sebaik baiknya, sedangkan pekerjaan tersebut berada di luar
kemampuan dan sumberdaya yang tersedia. Terjadi pula kondisi, di mana terjadi jurang
yang lebar, antara harapan untuk mendapatkan timbal balik yang layak dari seorang
karyawan dengan apa yang ia dapatkan. Hal yang dapat terjadi adalah, karyawan tersebut
menghindari tugasnya, baik secara; psikologis (dengan tidak berminat atau tidak terlalu
terlibat dengan pekerjaan tersebut) maupun secara fisik (dengan sering datang terlambat,
ketidak hadiran, kemalasan, dll) atau meninggalkan pekerjaan tersebut (keluar dari
pekerjaan tersebut)
Sektor Telekomunikasi adalah sektor yang berkembang sangat pesat di negara Pakistan.
Persaingan yang ketat terjadi di antara 6 Operator 'mobile' dan 1 Operator 'fixed line'
bersekala besar dan sedikit operator 'fixed line' bersekala kecil. Untuk itu penulis merasa
perlu akan adanya studi terhadap Kepuasaan terhadap suatu pekerjaan, khususnya dalam
sektor Telekomunikasi ini. Yang mana hal ini akan menambah nilai terhadap riset yang ada,
khususnya terhadap negara berkembang seperti Pakistan.
Pertanyaan dari Riset ini adalah: Bagaimanakah dampak stres dalam pekerjaan terhadap
kepuasan dari suatu pekerjaan (Job stress Vs. Job Satisfaction)
Tinjauan Literatur
Beberapa studi telah menentukan hubungan antara 'Job Stres' dan Job Satisfaction' dua hal
tersebut menjadi fokus hangat dalam riset-riset 'Human Resources Management'
Beberapa stres juga dipengaruhi oleh beberapa 'stressor'. Di antara beberapa faktor
penyebab stres, satu yg digarisbawahi adalah konflik peran. Hal ini berefek negatif secara
signifikan terhadap 'job satisfaction'. (David
Yong Gun Fie, Syed Shah Alam, Zaini Abdullah and Nilufar Ahsan, 2009). Beban kerja dan
ketidak pastian karir juga menjadi penyebab negative 'job satisfaction'. (Laura McCann,
Carmel
Lingkungan secara fisik sangat mempengaruhi 'Job Satisfaction', Hal ini dapat meliputi hal-
hal seperti pencahayaan, kebisingan, tempratur, humiditas, udara yang bersih, sirkulasi
udara, paparan terhadap zat berbahaya. (National Institute of occupational
safety and health, division of behavioral and biomedical science, motivation and stress
research
that feeling safe in the work environment was very important to employee job satisfaction.
Female employees considered feeling safe in the workplace an especially important job
satisfaction factor compared with male workers (Survey report SHRM, 2009). Having a
window,
or daylight within 15 ft (5 m), strongly improves satisfaction with lighting and increasing
workstation size also improves satisfaction with privacy (Veitch J.A, Charles K.E, Newsham
G.R, Marquardt C.J.G & Geerts J 2003). A study of managers of Chinese restaurant in Hong
Kong showed that the physical work environment is one of the important determinants of
job
satisfaction in that industry (Lam et al. 2001). A study of 360 technical supervisors showed
that
the employees who perceive their physical work environment adequate are more satisfied
with
'Job stress' yang disebabkan oleh aspek organisasi. (Leka, et al.,2004). A study of naval
personnel of Malaysia examined the relationship between stress and job satisfaction.
Results
revealed that occupational stress was negatively associated with eight job satisfaction (Nor
Metodologi:
Sampel:
139
kuisoner menghasilkan. 5 kuisoner dari 139 were diskualifikasi karena tidak lengkap.
Sample terdiri dari 60% pria dan 40% wanita. 70% responden adalah single dan 30%.
90% of karyawan berpengalaman selama 5 tahun. 10% responden berpengalaman lebih dari
5 tahun.19% responden adalah intermediate, 45 % bachelors dan 36 % master.
Instrumen:
Satisfaction diukur dengan 20 item scale short form dari 5 item likert scale of
Health, Ohio (NOISH) job stress digunakan untuk mengukur job satisfaction. Terdiri dari 3
seksi untuk mengukur 3 facets stress yang diambil dalam studi ini. R eliability
score (cronbach’s alpha) dari konflik di tempat kerja adalah 0.496, Beban Kerja 0.675 dan
fisik lingkungan and 0.46. Sementara reliability score dari MSQ adalah 0.87.
Hasilnya:
Dalam Table 1 dari model summary nilai dari R square adalah 0.312, menggambarkan
bahwa job satisfaction dari karyawan
Ditunjukan di angka 31.20% dari variasi dalam job stress.
Dalam Table 2 model nilai fitness (ANOVA) adalah 63.13% pada level signifikan level 0.000
Adalah model yang tepat. Dalam Table 3 T-statistics menunjukan bahwa nilai konstan adalah
5.45 dengan
P<0.05 sementara koefisien dari stres (beta) adalah -0.599 dengan P<0.05. at a statistically
significant level
Kesimpulan
Seseorang yang mengalami stres yang berlebihan cenderung untuk mendapatkan job
satisfying yang lebih rendah. Kemungkinan yang terjadi adalah tidak terpenuhinya
kebutuhan dasar hakiku. Sebagaimana terdapat dalam studi dan literatur (Caplan 1991;
Keller, 1975), kondisi saat ini pun masih sama. Subyek dengan job satisfaction yang rendah
ditenggarai untuk mengalami atres dalam bentuk beban kerja, konflik peran, lingkungan
secara fisik, bila dibandingkan dengan subyek dengan jib satisfaction yang lebih tinggi.
Dikarenakan kompetisi di sektor industri telecom yang semakin sengit, begitu pula tekanan
pada para karyawan, agar mereka dapat bersaing, seringkali bertentangan dengan
kebutuhannya, beban kerja yang berat, lingkungan kerja yang tidak sehat, menyebabkan job
stress yang akhirnya menyebabkan turunnya job satisfaction.
Sumber: https://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?
doi=10.1.1.651.8287&rep=rep1&type=pdf