Anda di halaman 1dari 74

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


PT. TIMAH Tbk, memiliki salah satu unit penambangan timah primer yaitu
Unit Produksi Timah Primer (UPTP) yang terletak di TB Batu Besi, Desa Burong
Mandi, Kecamatan Damar, Kabupaten Belitung Timur, Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung. UPTP melakukan kegiatan pertambangan timah primer berkerjasama
dengan kontraktor yaitu PT. Bumi Mineral Sejahtera (BMS).
UPTP menerapkan sistem tambang terbuka dengan metode open pit. UPTP
memiliki empat blok penambangan, dan saat ini blok 3 adalah blok yang sedang
dijadikan lokasi penambangan. Alat mekanis yang digunakan dalam kegiatan
penggalian dan pemuatan overburden yaitu Excavator SANY untuk penmuatan
tanah overburden, sedangkan alat angkut yang digunakan adalah Artifical Dump
Truck Merk Volvo seri A35E dan FMX 440.
Penelitian difokuskan pada analisis rasio bahan bakar ADT Volvo A35E dan
FMX 440 pada pengupasan overburden yang digunakan untuk mengevaluasi
konsumsi bahan bakar dan meningkatkan produksi dump truck.
Lokasi penelitian berada pada blok 3 dengan tujuan disposal. Pada Blok 3 ini
terdapat dua fleet dengan 1 alat gali – muat dilayani 2 dump truck. Pada bulan
terakhir yaitu bulan Desember 2019 terjadi peningkatan rasio bahan bakar pada
dump truck yang melebihi 0,26 l/BCM.
Rasio bahan bakar itu sendiri adalah perbandingan antara konsumsi bahan
bakar dan produksi alat angkut pada satu jam alat angkut bekerja. Dengan adanya
geometri dan kondisi jalan angkut yang kurang baik dibeberapa titik seperti itu perlu
dilakukan perhitungan dan evaluasi terhadap rasio bahan bakar dump truck menurut
data aktual perusahaan, pengamatan lapangan dan usulan setelah perbaikan
geometri dan kontruksi jalan angkut.
Hal ini bertujuan untuk memberikan pertimbangan terhadap penentuan kondisi
jalan angkut tambang yang lebih baik dalam kegiatan pengangkutan overburden,
sehingga pada penggunaan bahan bakar dump truck akan lebih efisien dan
mendekati dengan batas rasio bahan bakar perusahaan yang telah ditentukan.

1
1.2. Permasalahan
Permasalahan yang ditemui di daerah penelitian di UPTP terdapat peningkatan
konsumsi bahan bakar selama 3 bulan terakhir sebesar 3,30 ltr/jam. Hal ini
disebabkan adanya kemiringan jalan angkut yang melebihi peraturan KepMen
ESDM No.1827 K/30/MEM/2018 yaitu 12% dan terdapat amblasan yang melebihi
5 cm pada jalan angkut yang menyebabkan produksi akan menurun dan konsumsi
bahan bakar dump truck akan lebih banyak. Selain itu kurangnya motor grader yang
digunakan untuk pemerataan jalan pada jalan tambang menuju disposal dari loading
point. Oleh karena itu, terjadi peningkatan fuel ratio melebihi batas yang ditetapkan
oleh perusahaan yaitu 0,26 l/BCM.

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah :
1) Menganalisis karakteristik kondisi Jalan Angkut seperti kemiringan jalan
angkut (grade), amblesan jalan tambang, serta geomotri jalan tambang.
2) Menganalisis pengaruh karakteristik lingkungan kerja khususnya kondisi
kemiringan jalan angkut (grade), amblesan jalan tambang, serta gemotri jalan
terhadap rasio bahan bakar dump truck (l/BCM) Volvo A35E dan Volvo FMX
440.
3) Menganalisis tingkat konsumsi bahan bakar (l/jam) dan produksi dump truck
(BCM/jam) Volvo A35E dan Volvo FMX 440.
4) Menganalisis rasio bahan bakar (l/BCM) aktual, teori dan usulan berdasarkan
pada perhitungan rimpull dump truck dan memperoleh rasio bahan bakar
(l/BCM) yang lebih efisien setelah perbaikan kondisi jalan angkut tambang.

1.4. Batasan Masalah


Batasan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :
1) Data pengamatan diambil pada Blok 3 bagian Utara mulai dari jalan angkut
tambang loading point menuju disposa untuk Volvo A35E dan FMX 440.

2) Faktor yang mempengaruhi konsumsi bahan bakar hanya didasarkan pada


beberapa parameter, yaitu kemiringan jalan, rolling resistance, perawatan
jalan dan jarak angkut dari loading point menuju disposal.
3) Pengaturan mesin dump truck diatur pada kondisi mesin standar tanpa
mengalami perubahan.
4) Hanya mengkaji berdasarkan rasio bahan bakar alat angkut tanpa dipengaruhi
2
oleh biaya operasional lainnya.

1.5. Metode Penelitian


Tahap-tahap penelitian yang diterapkan pada penelitian kali ini mengacu pada
lima hal pokok, antara lain :
1) Studi Literatur
Dilakukan dengan mencari dan mengumpulkan data yang berkaitan dengan
penelitian antara lain berasal dari literatur materi penelitian, paper, buku
referensi dan SOP dari UPTP serta skripsi di perpustakaan Program Studi
Teknik Pertambangan, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Yogyakarta.
2) Orientasi
Menentukan lokasi untuk dijadikan lokasi penelitian agar mendukung kegiatan
studi lapangan.
3) Studi lapangan
Dilakukan dengan melakukan pengamatan secara langsung dilapangan dan
mencari informasi pendukung yang berkaitan dengan masalah yang akan
dibahas dengan bimbingan pembimbing lapangan.
4) Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan pada saat melakukan penelitian terdiri dari data
primer dan data sekunder.
(1) Data Primer Mencakup :
a) Kondisi front penambangan
b) Geometri jalan angkut
c) Cycle time dump truck Volvo A35E dan FMX440
d) Data amblasan jalan angkut

3
Gambar 1.1
Alur Pikir Penelitian

4
(2) Data Sekunder :
a) Peta kesampaian daerah dan sequence area tambang Blok 3 UPTP.
b) Data kondisi geologi area tambang Blok 3 UPTP.
c) Spesifikasi alat gali-muat dan dump truck, yaitu SANY SY365H, Volvo
FMX 440 dan Volvo A35E
d) Kapasitas alat mekanis yang digunakan.
e) Jam Kerja.
f) Konsumsi bahan bakar pada dump truck Volvo A35E dan FMX 440.

5) Pengolahan Data
Data yang telah terkumpul diolah untuk kemudian digunakan sebagai data
analisis. Pengolahan data dilakukan menggunakan perangkat komputer dan
analisis statistik. Pengolahan dilakukan terhadap data yang ada dengan
perhitungan – perhitungan secara teoritis, yang selanjutnya dilakukan analisis
hasil olahan tersebut untuk menentukan faktor – faktor penyebab
meningkatnya rasio bahan bakar dump truck.
6) Analisis Hasil Pengolahan Data
Menganalisis data hasil pengolahan untuk mengambil kesimpulan.

1.6. Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian ini adalah :
1) Dapat digunakan perusahaan sebagai acuan untuk mengevaluasi konsumsi
bahan bakar dump truck.
2) Mengetahui seberapa besar pengaruh kondisi dan geometri jalan angkut
terhadap rasio bahan bakar dump truck.

5
BAB II
TINJAUAN UMUM

2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Penelitian


Unit Pertambangan Timah Primer (UPTP) Batubesi secara administratif
terletak di Desa Burong Mandi, Kecamatan Damar, Kabupaten Belitung Timur,
Kepulauan Bangka Belitung. UPTP Batubesi secara geografis terletas pada
koordinat antara 2°46’18”LS - 2°47’38”LS dan 108°13’25”BT - 108°15’25”BT.
Lokasi UPTP Batubesi berjarak ± 67 km ke timur dari Bandara Internasional H.A.S
Hanandjoeddin dan dapat ditempuh dengan jalan darat menggunakan kendaraan
roda dua ataupun roda empat selama ± 60 menit. Luas IUP UPTP Batubesi adalah
603.5 ha.

Batas UPTP Batubesi secara administrasi sebagai berikut:


1) Pada bagian Utara berbatasan dengan Desa Burongmandi
2) Pada bagian Timur berbatasan dengan Desa Burongmandi
3) Pada bagian Selatan berbatasan dengan Desa Mengkubang
4) Pada bagian Barat berbatasan dengan Desa Mengkubang

Gambar 2.1
Peta Kesampaian Daerah
(Sumber: PT. TIMAH Tbk)

2.2 Keadaan Geologi


2.2.1 Morfologi
Secara umum, daerah tambang UPTP Batubesi mempunyai topografi yang
6
bervariasi mulai dari dataran rendah hingga perbukitan. Morfologi awal wilayah
penambangan UPTP Batubesi berada pada area perbukitan dengan ketinggian bukit
tertinggi yaitu 286 mdpl yang berada di utara Pit Blok 3 Batubesi sedangkan di selatan
didominasi oleh dataran rendah berupa perkebunan karet. Daerah ini banyak dijumpai
vegetasi yang sebagian besar merupakan tumbuhan hutan tropika dan semak belukar.

2.2.2 Genesa

Pada lokasi penelitian endapan greisen terbentuk pada kontak bagian atas
antara intrusi granit, kadang-kadang muncul berupa stockwork. Mineralisasi muncul
secara irregular (tidak beraturan) yang terkonsentrasi pada sekitar zona kontak.
Sedangkan untuk endapan skarn mengalami rekristalisasi dari batuan samping
akibat adanya intrusi. Sehingga batugamping menjadi marbel, shale menjadi
hornfles, serta batupasir kuarsa. Kemudian adanya infiltrasi antara fluida
hidrothermal-metamorfik mengakibatkan terubahnya batuan gamping yang
sebelumnya sudah terbentuk pada tahapan pertama menjadi skarn.
Endapan timah primer terbentuk sebagai bagian dari proses magmatisme
pembentukan batuan beku granit yang merupakan batuan bersifat asam. Sebagai
larutan sisa yang banyak mengandung gas maka mudah bergerak mengisi rongga
dan celah batuan yang ada di atasnya. Dengan demikian endapan timah primer
terjebak di bagian atas tubuh batuan granit, di celah-celah retakan dan rongga batuan
yang berada di atasnya.
Sebagian besar endapan timah primer di Bangka dan Belitung sebagian
besarnya saat ini diketemukan pada batuan yang sudah lapuk, sehingga mudah
dikakukan kegiatan pemanbangan (penggalian). Oleh karena itu, perlu dilakukan
serangkaian kegiatan persiapan penambangan untuk dapat melakukan kegiatan
penambangan timah primer.

2.2.3 Stratigrafi
Wilayah penelitian (Pit Batubesi) disusun oleh tiga satuan batuan yaitu Satuan
Batupasir sisipan Batulempung, Intrusi Diorit dan Intrusi Granit. penjelasan masing-
masing satuan sebagai berikut :
1. Satuan Batupasir dengan sisipan Batulempung
Batuan berwarna abu-abu, berukuran butir pasir sedang (0,25 – 0,5 mm), struktur
masif, sortasi baik, bentuk butir sub-rounded hingga sub-angular, kemas grain
supported, komposisi fragmen berupa kuarsa (80%), komposisi matriks berupa
7
mineral lempung (20%). Nama batuan = Batupasir Batuan berwarna coklat
keungu-unguan, berukuran butir lempung hingga lanau (0,004 – 0,125 mm),
Struktur berlapis, sortasi baik, bentuk butir tak teramati, kemas tak teramati,
komposisi berupa mineral lempung (100%). Nama batuan = Batulempung. Pada
beberapa lokasi ditemukan batubesi (magnetit) dan fragmen hematit.
2. Satuan Diorit
Batuan berwarna abu-abu kehijau-hijauan, berukuran kristal 0,5-3 mm, struktur
masif, tekstur berdasarkan kristalitas holokristalin, berdasar granularitas faneritik,
berdasar bentuk kristal euhedral-subhedral, komposisi mineral berupa kuarsa
(15%), plagioklas (60%), hornblende (18%), biotit (5%) dan klorit (2%). Nama
Batuan = Diorit. Pada beberapa tempat, batuan telah mengalami alterasi
prospolitik dalam tingkat rendah.
3. Satuan Granit
Batuan berwarna putih keabu-abuan, berukuran kristal 1-7 mm, struktur masif,
tekstur berdasar kristalinitas holokristalin, berdasar granularitas faneritik,
berdasar bentuk kristal euhedral-subhedral, komposisi berupa kuarsa (40%),
plagioklas (20%), orthoklas (30%), biotit (10%). Pada beberapa tempat, batuan
mengalami alterasi argilik dan greisen.

2.2.4 Struktur Geologi


Struktur geologi daerah peneitian terdiri dari Struktur sesar-sesar geser, Sesar
geser kiri berarah timur laut-barat daya yang memotong sesar geser kanan berarah
timur tenggara-barat barat laut. Kedua jenis sesar tersebut memotong seluruh satuan
batuan yang ada. Peta geologi dapat dilihat pada gambar 2.2.

Gambar 2.2
Peta Geologi Regional Daerah Burungmandi (PT. Timah, 2016)
8
Gambar 2.3
Stratigrafi dan Litologi Lapisan (PT. Timah, 2016)

2.3 Persiapan Penambangan

Endapan timah primer terbentuk sebagai bagian dari proses magmatisme


pembentukan batuan beku granit yang merupakan batuan bersifat asam. Sebagai
larutan sisa yang banyak mengandung gas maka mudah bergerak mengisi rongga
dan celah batuan yang ada di atasnya. Dengan demikian endapan timah primer
terjebak di bagian atas tubuh batuan granit, di celah-celah retakan dan rongga
batuan yang berada di atasnya.
Sebagian besar endapan timah primer di Bangka dan Belitung sebagian
besarnya saat ini diketemukan pada batuan yang sudah lapuk, sehingga mudah
dikakukan kegiatan penambangan (penggalian). Oleh karena itu, perlu dilakukan
serangkaian kegiatan persiapan penambangan untuk dapat melakukan kegiatan
penambangan timah primer. Persiapan penambangan ini meliputi beberapa kegiatan
sebagai berikut:

2.3.1 Pembukaan Lokasi Penambangan dan Pembersihan Lahan


Pembukaan lokasi penambangan merupakan kegiatan awal untuk
mempersiapkan medan kerja yang baik untuk kegiatan penambangan. Kegiatan
pembukaan lokasi penambangan meliputi pekerjaan pembersihan lahan dari
vegetasi (land clearing), pengupasan overburden dan pembuatan jalan akses
9
penambangan.
Pembersihan dan pembukaan lahan dari semak-semak dan pohon besar
menggunakan Bulldozer. Penanganan tersebut mempunyai tujuan untuk
memudahkan pekerjaan selanjutnya yaitu pengupasan overburden pada
penambangan timah.

2.3.2 Pengupasan Lapisan Tanah Pucuk (Pre Stripping top soil)


Lapisan top soil dan sub soil adalah lapisan yang banyak mengandung unsur
hara dengan ketebalan antara 10–40cm, sedangkan sub soil mempunyai ketebalan
sekitar 3–5m.

Gambar 2.4
Lapisan Tanah Pucuk / Top Soil

Setelah pembukaan dan pembersihan lahan, kegiatan selanjutnya adalah


pengupasan lapisan tanah pucuk atau top soil dan sub soil yang sangat kaya akan
unsur hara. Untuk kegiatan pengupasan lapisan tanah pucuk ini menggunakan alat
mekanis yaitu Excavator jenis SANY SY365H.

2.3.3 Pengupasan Overburden


Setelah kegiatan penggusuran dan pengupasan lapisan tanah pucuk selesai
dikerjakan, selanjutnya yang dilakukan adalah pengupasan overburden yang terdiri
dari tanah dan batuan. Overburden yang terdiri dari batu pasir dan batu lempung
ditangani dengan tiga metode, yaitu:
1) Direct Digging
Overburden digali langsung dengan menggunakan alat gali-muat yaitu
Excavator SANY SY365H.
2) Ripping dan Dozing
Untuk overburden yang agak keras dilakukan penggaruan (Ripping), kemudian
dilakukan kegiatan penggusuran material dengan menggunakan Bulldozer.
10
2.4. Kegiatan Penambangan

2.4.1 Kegiatan Pembongkaran


Alat bongkar yang digunakan di PT. TIMAH Tbk di UPTP untuk
pembongkaran overburden adalah jenis Excavator SANY SY365H, dengan
kapasitas bucket 2,3 m3 , kegiatan pembongkaran pada fleet pertama dan fleet kedua
menggunakan jenis Excavator yang sama (lihat Gambar 2.5).

Gambar 2.5
Kegiatan Pembongkaran Overburden

2.4.2 Kegiatan Pemuatan


Alat muat yang digunakan untuk kegiatan pemuatan overburden adalah jenis
Excavator SANY SY365H, dengan kapasitas bucket 2,3 m3, pemuatan
dikombinasikan dengan artificial dump truck Volvo A35E dengan kapasitas vessel
sebesar 33,5 m3 pada fleet pertama, sedangkan pada fleet kedua dikombinasikan
dengan dump truck Volvo FMX440, kapasitas vessel sebesar 18 m3 (lihat Gambar
2.6).

Gambar 2.6
Kegiatan Pemuatan oleh Excavator SANY SY365H
11
2.4.3 Kegiatan Pengangkutan Overburden

Untuk kegiatan pengangkutan overburden dari lokasi penambangan menuju


lokasi disposal menggunakan dump truck jenis Volvo A35E dan FMX440 (lihat
Gambar 2.7). Jarak untuk Fleet pertama yaitu 675 m dan untuk Fleet kedua berjarak
900 m.

Gambar 2.7
Kegiatan Pengangkutan menuju Disposal

2.5. Penimbunan Overburden


Top soil merupakan overburden yang paling atas dan terdiri dari tanah
ataupun batu lempung. Lapisan material ini memiliki kandungan unsur hara tinggi
yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya vegetasi. Oleh karena itu, pada
tahap penimbunan, jenis material ini dipisahkan dari yang lain (overburden dan
interburden) karena pada penutupan tambang, material ini dipergunakan pada tahap
reklamasi.
Pada tahap penimbunan ini, hal-hal yang harus diperhatikan yaitu:
1) Lokasi Penimbunan
Tidak terlalu jauh dari lokasi hauling dan dumping karena akan mempengaruhi
waktu edar alat yang kemudian berdampak pada produksi.
2) Kestabilan timbunan
Material yang ditimbun merupakan material loose dengan void yang besar
sehingga harus dilakukan penataan ulang pada area disposal, material yang
keras dibuang pada bagian tepi, sedangkan material pasir/lepas ditengah
dengan tujuan mencegah terjadinya longsoran, kemudian top soil berada
diatasnya.
12
Gambar 2.8
Kegiatan Penimbunan Overburden

Kegiatan penimbunan overburden berada pada disposal dimana lokasi


penimbunan untuk dump truck Volvo A35E dan Volvo FMX 440 (lihat Gambar
2.8). Secara keseluruhan kondisi buruk disposal harus selalu diperhatikan dan
diperbaiki sehingga tidak menghambat laju dump truck yang akan berdampak pada
produksi dump truck tersebut.

13
BAB III
DASAR TEORI

3.1. Pembongkaran Overburden


Proses penggalian tanah maupun batuan dapat dilakukan dengan cara
mekanis maupun dengan metode peledakan. Pemilihan metode dalam melakukan
penggalian ini sangat penting agar dapat menggunkan metode yang tepat dan efisien
sesuai karakteristik bahan galian.
Apabila mempergunakan alat gali mekanis, maka harus dipelajari berbagai
macam kriteria penggalian yang telah dikenal luas. Dengan memahami kriteria
penggalian tersebut dapat diharapkan akan mampu memilih alat gali mekanis yang
sesuai dengan kondisi lapangan dimana penggalian dilakukan.

Gambar 3.1
Klasifikasi Rippability menurut Singh
(Sumber : Z.T. Bieniawski, 1989)

3.1.1. Pembongkaran Overburden dengan Menggunakan Alat Mekanis

Pembongkaran overburden dengan mengunakan alat mekanis yang pertama


harus mengetahui kualitas massa batuan. Klasifikasi massa batuan untuk
kepentingan penggaruan yang melibatkan parameter mesin penggaru dan sifat-sifat
fisik, mekanik dan dinamik massa batuan diberikan oleh K=klasifikasi
kemampugaruan (rippability chart). Rippability index adalah suatu angka yang
menunjukkan kemapuan suatu batuan tersebut mudah tidaknya untuk dilakukan
penggaruan. Parameter yang dipakai dalam klasifikasi menurut Weaver (dalam Z.T.
14
Bieniawski, 1989:187) adalah kecepatan seismik, kekerasan batuan, tingkat
pelapukan, jarak kekar, kemenerusan kekar, jarak pemisahan kekar dan orientasi
kekar terhadap penggalian

Gambar 3.2
Grafik Kriteria Kemampugaruan Pettifier dan Fookes
(Sumber: Pettifier dan Fookes, 1994)

Klasifikasi Kemampugaruan telah digunakan dengan hasil memuaskan di


daerah Afrika Selatan oleh Weaver. Namun demikian perlu diketahui bahwa
klasifikasi ini selanjutnya dimodifikasi oleh Singh dkk yang hanya melibatkan sifat-
sifat batuan seperti kuat tekan uniaksial, beban titik, young's modulus, dan
kecepatan rambat gelombang seismik di lapangan (lihat Gambar 3.1). Kemudian
Pettifer dan Fookes mencoba untuk melakukan beberapa modifikasi terhadap
kriteria penggaruan yang digunakan (lihat Gambar 3.2).

3.2. Pengangkutan Overburden


Kegiatan pengangkutan overburden adalah suatu kegiatan dengan
memindahkan lapisan tanah atau batuan yang berada di atas lapisan timah menuju
tempat penimbunan atau disposal. Keadaan baik atau buruknya kondisi kerja dan
jalan angkut akan mempengaruhi waktu edar alat, produktivitas dan tingkat
konsumsi bahan bakar alat angkut tersebut. Perkerasan jalan yang kurang baik akan
15
mengkibatkan terjadinya amblasan pada permukaan roda alat angkut yang
menghambat laju kendaraan. Oleh karena itu perawatan jalan angkut harus
dilakukan secara rutin sesuai dengan kebutuhan dan kondisi kerja aktual apalagi
pada saat musim penghujan.

3.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengangkutan Overburden


Kegiatan pengangkutan overburden dari lokasi pemuatan menuju
disposal dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah :

3.3.1. Kondisi Front Kerja


Tempat kerja tidak hanya harus memenuhi syarat bagi pencapaian sasaran
produksi tetapi juga harus aman bagi penempatan alat angkut beserta mobilitas
pekerja yang berada disekitarnya. Tempat kerja yang sempit akan memperkecil
waktu edar alat karena tidak ada cukup tempat untuk berbagai kegiatan, seperti
keleluasaan tempat untuk berputar ataupun mengambil posisi sebelum dilakukan
kegiatan pemuatan. Penyesuaian pola pemuatan material pada alat angkut
tergantung dengan pemilihan alat dan dimensi kerja alat gali muat dan alat angkut.

3.3.2. Keadaan Jalan Angkut


Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan jalan angkut adalah
sebagai berikut :
1) Lebar Jalan Angkut
Penentuan lebar jalan angkut minimum untuk jalan lurus didasarkan pada rule
of thumb yang dikemukakan menurut “AASTHO (American Association of
State Transportation Highway Officials)” dengan persamaan sebagai berikut :
L = (n x Wt) + (n +1)(0,5 x Wt) ............................................................ (3.1)
Keterangan :
L = Lebar minimum jalan angkut lurus, m
N = Jumlah jalur
Wt = Lebar alat angkut total, m
Nilai dari angka 0,5 pada rumus diatas menunjukkan bahwa ukuran aman kedua
kendaraan yang sedang berpapasan adalah sebesar 0,5 Wt, yaitu setengah lebar
terbesar dari alat angkut yang bersimpangan (lihat gambar 3.3).

16
Gambar 3.3
Lebar Jalan Angkut Lurus
(Sumber : Walter W. Kaufman and James C. Ault, 1997)

Keterangan :

W = Lebar jalan angkut minimum pada tikungan, meter


n = Jumlah jalur
U = Jarak jejak roda kendaraan, meter
Fa = Lebar juntai depan, meter
Fb = Lebar juntai belakang, meter
Ad = Jarak as roda depan dengan bagian depan truk, meter
Ab = Jarak as roda belakang dengan bagian belakang truk, meter
C = Jarak antara dua truk yang akan bersimpangan, meter
Z = Jarak sisi luar truk ke tepi jalan, meter
Fa = Ad x sin α
Fb = Ab x sin α
α = Sudut penyimpangan (belok) roda depan

2) Lebar pada jalan tikungan


Untuk menentukan lebar jalan angkut pada tikungan harus disesuaikan dengan
pemilihan alat angkut yang akan digunakan pada proses penambangan. Lebar
jalan angkut pada tikungan selalu lebih besar dari pada lebar jalan lurus (lihat
Gambar 3.4).

17
Gambar 3.4
Lebar Jalan Angkut Pada Tikungan
(Sumber : Walter W. Kaufman and James C. Ault, 1997)

Untuk jalur ganda, lebar minimum pada tikungan dihitung berdasarkan pada :
- Lebar jejak ban.
- Lebar juntai atau tonjolan (overhang) alat angkut bagian depan dan
belakang roda saat membelok.
- Jarak antara alat angkut yang bersimpangan.
- Jarak (spasi) alat angkut terhadap tepi jalan.

Menurut Walter dan James (1977) perhitungan terhadap lebar jalan angkut
pada tikungan atau belokan dapat menggunakan persamaan :
W = 2 ( U + Fa + Fb + Z ) + C ....................................................... (3.2)
C = Z = ½ (U + Fa + Fb)

Gambar 3.5
Sudut Penyimpangan Maksimum Roda Kendaraan
(Sumber : Suwandi, 2004)

3) Kemiringan jalan angkut (grade)


Kemiringan jalan angkut (grade) merupakan suatu faktor penting yang harus
18
diamati secara detail dalam kegiatan kajian terhadap kondisi jalan tambang. Hal
ini dikarenakan kemiringan jalan angkut berhubungan langsung dengan
kemampuan alat angkut, baik dalam pengereman maupun dalam mengatasi
tanjakan. Kemiringan jalan angkut biasanya dinyatakan dalam persen (%).

4) Sudut Penyimpangan Maksimum Roda Kendaraan


Sudut Penyimpangan Maksimum Roda Kendaraan berhubungan dengan
konstruksi kendaraan atau alat angkut yang digunakan, dimana jari-jari
lingkaran yang dimiliki oleh roda belakang dan roda depan berpotongan di
pusat dengan sudut sama terhadap sudut penyimpangan roda depan (lihat
Gambar 3.5). Dalam penentuan besarnya sudut penyimpangan maksimum roda
kendaraan menurut Suwandi (2004), rumus yang digunakan adalah :

𝑤
𝑅= …….……………….………........................................ (3.3)
sin α

Keterangan :
R = jari-jari truk membelok, m
W = jarak antara poros depan dan belakang, m
α = sudut penyimpangan roda depan (derajat)

Menurut Sulistyana (2017) dihitung dengan mempergunakan rumus :


Δh
Grade (α) = x100% ................................................................... ..(3.4)
Δx
Keterangan :
Δh = Beda tinggi antara dua titik yang diukur
Δx = Jarak datar antara dua titik yang diukur
Secara umum kemiringan jalan maksimum yang tidak dapat dilalui
dengan baik oleh alat angkut besarnya berkisar antar 10% - 18%. Akan tetapi
untuk jalan naik maupun turun lebih aman kemiringan jalan maksimum
sebesar 8%.

5) Superelevasi
Suwandi (2004) menyatakan kemiringan jalan pada tikungan yang terbentuk
oleh batas antara tepi jalan terluar dengan tepi jalan terdalam karena perbedaan
ketinggian. Bagian tikungan jalan perlu diberi superelevasi, yakni dengan cara
meninggikan jalan pada sisi luar tikungan (lihat Gambar 3.6).

19
Gambar 3.6
Superelevasi Jalan Angkut
(Sumber : Jieun Beek dan Yooson Choi, 2017)

Hal ini bertujuan untuk menghindari/ mencegah kendaraan tergelincir ke luar


jalan atau terguling, sehingga kendaraan akan dapat aman saat berada
padatikungan. Menurut Suwandi (2014) besarnya superelevasi dapat dihitung
dengan menggunakan rumus sebagai berikut
𝑣2
𝑒+𝑓 = ………………………………………………………(3.5)
127 𝑅

Keterangan :
e = Superelevasi, m/m
V = Kecepatan rencana alat angkut
f = faktor gesekan
R = Radius Tikungan, m

6) Konstruksi Jalan Angkut


Secara keseluruhan, jalan harus mampu untuk menahan berat atau beban
kendaraan maksimum yang berat diatasnya. Sehingga apabila daya dukung
jalan yang ada tidak dapat menahan beban yang diterima, maka kondisi jalan
akan mengalami penurunan dan pergeseran jalan maupun tanah dasarnya yang
selanjutnya berakibat jalan akan bergelombang dan banyak cekungan-
cekungan.
Tabel 3.1
Daya Dukung Material
(Sumber : Walter W. Kaufman and James C. Ault, 1997)
Jenis Material Daya Dukung
Hard Sound Rock 120,000

20
Jenis Material Daya Dukung
Medium Hard Rock 80,000
Hard pan overlying rock 24,000
Compact gravel and boulder gravel formations 20,000
Soft rock 16,000
Compact sand and gravelly sand, very compact sand 12,000
Hard dry consolidatd clay 10,000
Loose coarse to medium sand; medium compact fine 8,000
Compact sand-clay soils 6,000
Loose fine sand; medium compact sand-inorganic silt 4,000
Firm stiff clay 3,000
Loose saturated sand clay soils, medium soft clay 2,000

Suatu alat yang ditempatkan di atas material akan memberikan ground


pressure. Perlawanan yang diberikan material itulah yang disebut dengan daya
dukung material. Untuk menghitung kemampuan jalan angkut terhadap berat beban
kendaraan dan muatannya yang akan melaluinya, maka perlu diketahui berat beban
kendaraan yang diteruskan roda terhadap permukaan jalan melalui as roda biasanya
bergantung dari tekanan ban dalam dan kekuatan ban luar dan daya dukung
material.
Setelah luas bidang kontak (contact area) antara roda kendaraan dengan
permukaan jalan dapat diketahui. Persamaan yang digunakan sebagai berikut
Purifoy (2006) :

0,9 ×Beban yang diterima roda (lbs) ...........................................


Luas bidang kontak (𝑖𝑛2) = (3.6)
Tekanan udara ban (𝑝𝑠𝑖)

Beban pada tiap roda (lb) .................................... ...


Beban pada permukaan jalan (psi) = (3.7)
Luas bidang kontak (𝑖𝑛2)

Untuk mengetahui macam pengeras jalan angkut terhadap beban kendaraan


yang akan melaluinya perlu diketahui daya dukung material terhadap beban
kendaraan pada permukaan jalan angkut. Besarnya daya dukung bermacam-macam
tergantung materialnya (lihat Tabel 3.1).

3.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Alat Angkut


Produksi pada suatu industri pertambangan merupakan salah satu kunci untuk
mencapai keuntungan. Produksi yang dihasilkan pada industri perusahaan
21
dipengaruhi oleh beberapa, diantaranya adalah :

3.4.1. Efisiensi Kerja


Efisiensi kerja adalah penilaian terhadap suatu pelaksanaan pekerjaan atau
merupakan perbandingan antara waktu yang dipakai untuk bekerja dengan waktu
tersedia yang dinyatakan dalam persen (%). Efisiensi kerja ini akan mempengaruhi
kemampuan alat mekanis, faktor manusia, mesin, cuaca dan kondisi kerja secara
keseluruhan akan menentukan besarnya efisiensi kerja. Menurut Indonesianto,
(2013) menghitung efisiensi kerja dapat menggunakan persamaan :
𝑊𝑒
𝐸𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛𝑠i 𝐾𝑒𝑟𝑗𝑎 = 𝑥 100% ………………………...………………...(3.8)
𝑊𝑡

Keterangan :
Ek : Efisiensi kerja
We : Waktu kerja efektif (menit)
Wt : Waktu kerja tersedia (menit)

3.4.2. Waktu Edar Alat Angkut


Waktu edar alat angkut (dump truck) pada umumnya terdiri dari waktu
menunggu alat untuk dimuat, waktu mengatur posisi untuk dimuati, waktu diisi
muatan, waktu mengangkut muatan, waktu dumping, dan waktu kembali kosong.
Menurut Indonesianto (2013) untuk mengetahui waktu edar suatu alat angkut dapat
digunakan rumus sebagai berikut :

Cta = Ta1 + Ta2 + Ta3 + Ta4 + Ta5 + Ta6 .......................................... (3.9)

Keterangan :
Cta = Waktu edar alat angkut, menit
Ta1 = Waktu mengambil posisi untuk siap dimuati, detik
Ta2 = Waktu diisi muatan, detik
Ta3 = Waktu mengangkut muatan, detik
Ta4 = Waktu mengambil posisi untuk penumpahan, detik
Ta5 = Waktu muatan ditumpahkan (dumping), detik
Ta6 = Waktu kembali kosong, detik

3.4.3. Faktor Pengembangan Material (Swell factor)


Pengembangan material adalah suatu perubahan berupa penambahan

22
volume material yang diganggu dari bentuk aslinya, sedangkan berat material tetap
(lihat Gambar 3.7). Berdasarkan perubahan tersebut, pengukuran volume atau bobot
isi material dibedakan atas :
1) Keadaan asli (bank condition)
Keadaan material yang masih alami dan belum mengalami ganguan dari luar
sama sekali, sehingga mengakibatkan butiran-butiran material yang ada masih
terkonsolidasi dengan baik. Satuan volume material dalam keadaan asli seperti
ini disebut meter kubik dalam keadaan asli (Bank Cubic Meter/BCM).

2) Keadaan terberai (loose condition)


Material yang telah tergali atau terbongkat dari tempat aslinya akan mengalami
perubahan volume yaitu akan mengalami proses mengembang. Hal ini
disebabkan adanya penambahan rongga udara di antara butiran-butiran
material. Sehingga satuan volume material dalam keadaan terberai sering
disebut meter kubik dalam keadaan terberai (Loose Cubic Meter/LCM).
3) Keadaan padat (compacted condition)
Keadaan padat akan dialami oleh material yang mengalami proses pemadatan.
Adanya penyusutan rongga udara di antara butiran-butiran material tersebut,
volumenya berkurang tetapi beratnya sama. Satuan volume material dalam
keadaan padat disebut meter kubik dalam keadaan padat (Compacted Cubic
Meter/CCM).

1.2 0.9
1.0

Change in earth
Volume
Gambar 3.7
Faktor Pengembangan Material (Swell Factor)

Rumus untuk menghitung swell factor (SF) menurut Purifoy (2006), yaitu :
a) Rumus Swell Factor berdasarkan volume :
𝐵𝑎𝑛𝑘 𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒
𝑆𝐹 = …………………………………………………(3.10)
𝐿𝑜𝑜𝑠𝑒 𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒

23
b) Rumus Swell Factor berdasarkan densitas :
𝐵𝑎𝑛𝑘 𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒
𝑆𝐹 = …………………………………………………(3.11)
𝐿𝑜𝑜𝑠𝑒 𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒

3.4.4. Faktor Pengisian Bucket (Bucket Fill Factor)


Faktor pengisian dari suatu alat gali muat dipengaruhi oleh kapasitas bucket,
jenis dan sifat material yang ditangani. Indonesianto Yanto (2013) menyatakan
Faktor pengisian merupakan perbandingan antara kapasitas nyata suatu bucket alat
gali muat dengan kapasitas bucket yang dinyatakan dalam persen (%). Semakin
besar factor pengisian maka Semakin besar pula kemampuan nyata dari alat terebut.
Faktor pengisian mangkuk disebut juga bucket fill factor. Faktor pengisian ini dapat
mempengaruhi efisiensi penambangan dan tingkat pencapaian target produksi yang
telah ditentukan. Faktor pengisian dari suatu alat gali muat dipengaruhi oleh
kapasitas bucket, jenis dan sifat material yang ditangani. Suatu penentuan faktor
pengisian alat gali muat selalu dipengaruhi dengan kondisi kerja (lihat Tabel 3.3).

Tabel 3.2
Faktor Pengisian Bucket (Bucket Fill Factor)
(Sumber : SANY Handbook 30th Edition, 2009)

Excavating Condition Bucket Factor


Excavating natural ground of
Easy 1.10 – 1.20
clay soil, clay or soft soil
Excavating natural ground of
Average soil such as sandy soil and 1.00 – 1.10
dry soil
Rather Difficult Loading well balsted rock 0.80 – 0.90
Difficult Loading poorly blasted rock 0.70 – 0.80

3.5. Kemampuan Produksi Alat Angkut


Produksi alat angkut dipengaruhi oleh banyaknya trip atau lintasan yang
dapat dicapai oleh alat angkut tersebut. Banyaknya trip dipengaruhi oleh waktu edar
dan efisiensi kerja alat. Indonesianto (2013) menyatakan untuk menghitung
produksi alat angkut :
1) Banyaknya Trip (T)
60 .....................................................................................................
T= (3.12)
Cta

24
Keterangan :
T = Banyaknya trip, trip/jam
Cta = Waktu edar dump truck, menit
60 = Konversi dari menit ke jam

2) Produksi Alat Angkut


Pta = T x Kb x F x n x Ek x SF............................................................... (3.13)
Keterangan :
Pta = Produksi alat angkut, BCM/jam.
T = Banyaknya trip, trip/jam.
Kb = Kapasitas mangkuk (bucket capacity), m3.
F = Faktor pengisian mangkok excavator, %.
n = Banyaknya pemuatan mangkok excavator.
Ek = Efisiensi kerja, %.
SF = Swell factor

3.6. Tahanan yang Mempengaruhi Gaya Gerak Kendaraan


Sesuatu benda yang akan bergerak secara otomatis akan mempunyai suatu
gaya tahan untuk menahan suatu benda tersebut tetap statis. Pada alat angkut juga
memiliki tahanan yang mempengaruhi haya gerak kendaraan, tahanan – tahanan
tersebut adalah :

3.6.1. Tahanan Gelinding (Rolling Resistance)


Tahanan gelinding/gulir adalah tahanan yang berusaha menahan putaran roda
kendaraan (lb). Jika tahanan gulir semakin besar akan menyebabkan gaya yang
diperlukan untuk menarik kendaraan di atas tanah semakin besar, hal ini akan
menyebabkan konsumsi bahan bakar yang dipergunakan alat angkut semakin
banyak. Purifoy (2006) menyatakan besarnya Rolling resistance dapat
menggunakan rumus :
𝑅𝑅 𝑓𝑎𝑐𝑡𝑜𝑟 = 40 𝑙𝑏/𝑡𝑜𝑛 + 30 𝑙𝑏/𝑡𝑜𝑛/𝑖𝑛𝑐ℎ 𝑥 𝑡𝑖𝑟𝑒 𝑝𝑒𝑛𝑒𝑡𝑟𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 (𝑖𝑛𝑐ℎ) ...(3.14)
𝑅𝑅 = 𝑅𝑅 𝑓𝑎𝑐𝑡𝑜𝑟 (𝑙𝑏/𝑡𝑜𝑛) 𝑥 𝐺𝑟𝑜𝑠𝑠 𝑚𝑎𝑐ℎ𝑖𝑛𝑒 𝑤𝑒𝑖𝑔ℎ𝑡 (𝑡𝑜𝑛𝑠) ...................... (3.15)
Keterangan :
Tire penetration : Amblasan ban pada permukaan jalan angkut, inch
Gross machine weight : Berat keseluruhan alat angkut, tons

25
Faktor-faktor yang mempengaruhi tahanan gulir yaitu :
1) Berat muatan yaitu semakin besar muatan yang diberikan akan memberikan
nilai tahanan gulir semakin besar pula
2) Keadaan jalan yaitu semakin keras dan rata jalan tersebut, semakin kecil
tahanan gulirnya.
3) Gesekan dalam (internal friction) yaitu jika terdapat penambahan daya
mekanis antara mesin dan ban akan meningkatkan tahanan gulir.
4) Pengemudi, yaitu keahlian operator untuk mengemudikan kendaraannya secara
baik akan mempengaruhi besarnya nilai tahanan gulir.

Tabel 3.3
Parameter Kerusakan Jalan Angkut
(Sumber : PT. BMS, 2016)

Pengamatan langsung di lapangan menunjukkan berbagai macam besarnya


amblasan roda alat angkut pada permukaan jalan angkut tambang. Standar
perusahaan mengenai kondisi atau kerusakan permukaan jalan yang amblas oleh
beban alat angkut tergantung suatu perusahaan (lihat Tabel 3.3).

3.6.2. Tahanan Kemiringan (Grade Resistance)


Grade resistance adalah tahanan yang timbul dan harus diatasi oleh gaya
dari mesin dikarenakan kendaraan bergerak menanjak atau kemiringan positif.
Kemiringan jalan angkut (grade) merupakan suatu faktor penting yang harus
diamati secara detail dalam kegiatan analisis pengaruh kondisi jalan tambang
terhadap konsumsi bahan bakar alat angkut. Faktor-faktor yang mempengaruhi
tahanan kemiringan yaitu :
1) Besarnya kemiringan jalan, (%)
2) Berat kendaraan, ton

Jika kendaraan bergerak naik diperlukan tambahan tenaga untuk mengatasi


grade resistance. Tetapi jika bergerak turun, tenaga mesin pada roda ditambah oleh
26
adanya pengaruh keadaan jalan turun yang mengurangi pemakaian rimpull atau
kemiringan jalan bernilai negative (grade assistance), sehingga akan terjadi
pengereman dan penambahan tenaga mesin untuk menahan laju kendaraan.
Besarnya nilai kemiringan rata-rata untuk setiap 1 % kemiringan yaitu ± 20 lbs/ton.
Hal ini didukung dengan kenyataan dilapangan bahwa alat angkut jarang yang
sanggup mengatasi tanjakan ≥ 15 %. Purifoy (2006) menyatakan tahanan
kemiringan dapat dihitung dengan rumus :

𝐺𝑅 𝑓𝑎𝑐𝑡𝑜𝑟 = 20 𝑙𝑏/𝑡𝑜𝑛 𝑥 % 𝑔𝑟𝑎𝑑𝑒 ………...……………………………..(3.16)

produksi yang telah ditentukan. Faktor pengisian dari suatu alat gali muat
dipengaruhi oleh kapasitas bucket, jenis dan sifat material yang ditangani. Suatu
penentuan faktor pengisian alat gali muat selalu dipengaruhi dengan kondisi kerja
(lihat Tabel 3.3).

𝐺𝑅 = 𝐺𝑅 𝑓𝑎𝑐𝑡𝑜𝑟 (𝑙𝑏/𝑡𝑜𝑛) 𝑥 𝐺𝑟𝑜𝑠𝑠 𝑚𝑎𝑐ℎ𝑖𝑛𝑒 𝑤𝑒𝑖𝑔ℎ𝑡 (𝑡𝑜𝑛𝑠) ........................ (3.17)


Keterangan :
Grade : Kemiringan jalan angkut, %
Gross machine weight : Berat keseluruhan alat angkut, tons

3.7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Bahan Bakar


Kegiatan pengangkutan lapisan tanah penutup dari front menuju disposal
dengan menggunakan alat angkut juga membutuhkan bahan bakar. Bahan bakar ini
digunakan oleh mesin alat angkut agar tetap dapat berjalan. Biaya untuk penyediaan
bahan bakar bagi semua alat berat yang bekerja di industri pertambangan tidaklah
sedikit. Apabila biaya penyediaan bahan bakar sangatlah besar, hal ini dapat
mempengaruhi keuntungan yang akan di dapat oleh suatu perusahaan. Sehingga
penggunaan bahan bakar inilah harus digunakan seefisien mungkin agar
menghemat penggunaan bahan bakar pada berbagai alat berat yang digunakan
dalam proses pertambangan. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi
bahan bakar. Faktor – faktor yang mempengaruhi konsumsi bahan bakar tersebut
adalah :

3.7.1. Sistem penggerak


Daya mesin dan operating gear merupakan faktor utama yang menentukan
besar tenaga yang tersedia untuk drawbarpull pada alat angkut. Secara umum sistem

27
mengerakkan mesin yang terdapat pada dump truck (lihat Gambar 3.8).

Gambar 3.8
Powertrain
(Sumber : Uicker, Pennock, & Shigley, 2003)

Mesin menggerakan torque converter yang menggerakan transmisi untuk


kemudian menggerakan diferensial (differential). Melalui diferensial tersebut, roda
gigi dan roda kendaraan digerakkan (lihat Gambar 3.9). Daya keluaran awal sebagai
Brake Horsepower (bhp) yaitu daya keluaran yang di produksi oleh mesin,
kemudian diteruskan melalui driver wheel ke roda menjadi daya tarik alat tersebut

Gambar 3.9
Transmisi daya (Power Transmission)
(Sumber : Uicker, Pennock, & Shigley, 2003)

3.7.2. Rimpull
Rimpull menurut Purifoy (2006) adalah besarnya gaya atau kekuatan tarik
yang dapat diberikan oleh mesin kepada roda atau ban penggeraknya yang
menyentuh permukaan jalur jalan. Rimpull yang dapat dihasilkan pada setiap gear
tidak sama, pada gear rendah rimpull yang tersedia besar namun dengan kecepatan
yang rendah, sedangkan pada gear tinggi rimpull yang tersedia kecil akan tetapi

28
kecepatan yang dihasilkan tinggi. Penggunaan rimpull berbeda – beda setiap
kondisi jalan yang dilewati oleh alat angkut.
Apabila kondisi jalan angkut terdapat banyak amblasan dan kemiringan jalan
angkut tinggi, maka dibutuhkan rimpull yang besar. Sebaliknya, apabila dalam jalan
angkut tidak banyak amblasan dan kemiringan jalan angkut standart kurang lebih
8%, maka rimpull yang dibutuhkan kecil. Rimpull dinyatakan dalam pounds (lbs)
dan biasanya sudah tercantum dalam spesifikasi mesin. Sehingga setiap alat dapat
mempunyai rimpull yang berbeda-beda. Purifoy (2006) menyatakan apabila tidak
terdapat spesifikasi rimpul pada buku panduan alat, maka rimpul dapat dihitung
dengan rumus :
375 x HP x eff .....................................................................................................................................
𝑅𝑖𝑚𝑝𝑢𝑙𝑙 = (3.18)
Speed (mph)

Keterangan :
HP : Tenaga Mesin (HP)
Speed : Kecepatan (mph)
Eff : Effisiensi Mesin; Untuk kendaraan beroda ban 80-85%

3.7.3 Rimpull Untuk Percepatan


Rimpull untuk percepatan adalah penambahan kecepatan dari kendaraan
bergerak yang di peroleh dari “gaya percepatan” yang di ambil dari kelebihan
rimpull. Rate percepatan sangat bergantung pada berat kendaraan tersebut dan
kelebihan rimpull pada masing-masing gear alat angkut.
Apabila tidak ada kelebihan rimpull maka kecepatan laju kendaraan tak dapat
di tambah lagi. Pengamatan langsung di lapangan menunjukkan bahwa dalam
keadaan truck bermuatan dan kosongan apabila berada pada jalan yang menanjak
dan menurun akan ada gaya percepatan yang di berikan oleh alat angkut untuk
mempertahankan kecepatan dan menambah laju kecepatan kendaraan. Hal ini
bertujuan untuk mempercepat waktu edar alat angkut dalam kegiatan pemindahan
overburden. Percepatan alat angkut dapat dihitung dengan rumus:

𝐹.𝑔 .............................................................................................................................................................................
a= (3.19)
𝑊

Keterangan :
a = percepatan, ft/dt2
F = gaya percepatan, lb
29
g = percepatan gravitasi, 32,2
ft/dt2 W = berat kendaraan, lb

Angka rimpull yang efektif dibutuhkan untuk percepatan, diambil dari


angka yang mendekati angka pada kolom rimpull yang dibutuhkan pada tabel 3.4
di atas. Rimpull untuk percepatan angkanya harus lebih kecil dari pada sisa rimpull
yang tersedia.

Tabel 3.4
Tabel rate percepatan untuk setiap berat 1 Ton
(Sumber : R.L Peurifoy, 2006)
Rimpull yang
Rate percepatan
dibutuhkan
(mph/menit)
(lb/ton)
3,3 5
6,6 10
13,2 20
19,8 30
33,0 50
66,0 100
132,0 200
198,0 300
270,4 400
338,1 500
405,7 600
473,3 700
540,9 800
608,5 900
676,2 10000

3.7.4. Daya Alat (Horse Power)


Indonesianto (2013) menyatakan daya alat angkut atau horse power adalah
usaha yang dilakukan per satuan waktu. Dalam hal ini usaha adalah gaya yang
diperlukan untuk memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain (jarak).
Satuan tenaga adalah TK (tenaga kuda) atau HP (horsepower).
Menghitung kebutuhan bahan bakar yang digunakan pada setiap alat mekanis
menggunakan nilai dari HP yang tersedia pada mesin yaitu brake horse power (bhp)
atau HP mesin yang dihitung dari “torque” mesin (dari engkol mesin), bukan
drawbar horsepower (dbhp) yang merupakan HP yang disediakan pada roda.

3.7.5. Torque
Torque mesin (engine Torque) adalah gaya (lbf) yang diperlukan untuk
memutar engkol mesin dalam satuan lb.ft (lihat Gambar 3.10). Torque mesin juga
30
dapat digunakan untuk mengetahui besar HP mesin.
1 HP = 550 lb.ft/detik
= 33.000 lb.ft/menit

Gambar 3.10
Perputaran Engkol Mesin
(Sumber : Hermans, 2017)

3.7.6. Load Factor


Menurut Indonesianto (2013), Load factor adalah suatu faktor pengali untuk
memperoleh horse power yang sesungguhnya, sehubungan dengan pengertian
bahwa tenaga maksimum tidak dipergunakan menerus selama periode kerja, jadi
besar kecilnya load factor tergantung pada kondisi kerjanya. Besarnya load factor
dapat dihitung dengan menggunakan pengamatan rpm selama satu jam dan
hourmeter (jam kerja mesin). load factor juga dapat diketahui dari perhitungan
besarnya jumlah rimpull yang terpakai. Indonesianto (2013), menyatakan rumus
perhitungan Load Factor :

Dengan melakukan pengamatan rpm


RPM terpakai senyatanya
𝐿𝑜𝑎𝑑 𝐹𝑎𝑐𝑡𝑜𝑟 =
RPM tersedia dalam mesin pada HP maksimal
……..………….(3.20)

Dengan menggunakan hourmeter (jam kerja mesin)

ℎ𝑜𝑢𝑟𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 𝑚𝑒𝑠𝑖𝑛 (jam kerja mesin) .................................................................


𝐿𝑜𝑎𝑑 𝑓𝑎𝑐𝑡𝑜𝑟 = (3.21)
𝑤𝑎𝑡𝑐ℎ 𝑡𝑖𝑚𝑒 (waktu sebenarnya)

Apabila rimpull terpakai dan rimpull maksimalnya diketahui, load factor dapat
31
dihitung dengan rumus :
Rimpull terpakai
𝐿𝑜𝑎𝑑 𝑓𝑎𝑐𝑡𝑜𝑟 =
Rimpull maksimal
………………………………………… (3.22)

3.8. Perhitungan Konsumsi Bahan Bakar


Menghitung kebutuhan bahan bakar solar pada suatu alat sangat penting
dilakukan. Indonesianto (2013) menyatakan perhitungan dengan rumus sebagai
berikut:
Berat bahan bakar terpakai/kW.jam×brakeHP×𝐿𝑜𝑎𝑑 𝐹𝑎𝑐𝑡𝑜𝑟
Konsumsi bbm(gall/jam) = (3.23)
berat bahan bakar per gallon

Keterangan:

Berat bahan bakar terpakai/kW/jam : Berat bahan bakar yang masuk ke mesin
selama satu jam, lb/kW.jam
Brake Hp : Tenaga mesin, kW
Load factor : Beban kerja alat
Berat bahan bakar per gallon : Berat bahan bakar dalam satu gallon, lb/gal

3.9. Rasio Bahan Bakar Alat Angkut


Alat angkut merupakan bagian terbesar dari keseluruhan biaya peralatan
penambangan. Konsumsi bahan bakar selalu merupakan biaya operasi utama yang
terkait dengan alat angkut. Sejumlah faktor berkontribusi terhadap konsumsi bahan
bakar. Faktor-faktor ini termasuk beban truk, kecepatan, tenaga, berat (kosong dan
muatan), akselerasi, waktu idle, kualitas bahan bakar, aerodinamika, kualitas
permukaan jalan dan ban, penyelarasan roda dan tekanan pada ban, kemiringan
jalan angkut, gaya mengemudi operator, suhu luar, cuaca dan pemeliharaan truk.
Sebagian besar faktor-faktor ini dapat dikontrol sampai batas tertentu oleh operator
tambang. Manajemen yang memadai dari faktor-faktor ini dapat secara signifikan
mengurangi konsumsi bahan bakar truk sambil memberikan kinerja truk yang
diperlukan, tanpa investasi penting dari perubahan operasional.
Konsumsi bahan bakar berlebih akan mengakibatkan bertambahnya rasio
bahan bakar alat angkut terhadap produksi alat angkut pada satuan waktu. Rasio
bahan bakar alat angkut merupakan perbandingan konsumsi bahan bakar (ltr/jam)
dengan produksi alat angkut pada satuan waktu tertentu (bcm/jam). Rumus dalam
perhitungan rasio bahan bakar menurut Indonesianto (2013):

32
Konsumsi bahan bakar
Rasio Bahan Bakar (l/jam) = ..(3.24)
Produksi alat angkut pada satuan waktu tertentu

Keterangan :
Konsumsi Bahan Bakar : Besarnya bahan bakar yang digunakan oleh alat
angkut, l/jam
Produki Alat Angkut : Produksi alat angkut pada satuan waktu tertentu,
BCM/jam

Hays (dalam Vladislav Kecojevic dan Dragan Komljenovic, 2010 : 45)


menjelasakan bahwa saat idle, mesin truk beroperasi sekitar 10% daya penuh.
Kondisi alat angkut, geometri dan perkerasan jalan angkut tambang yang harus
diperhatikan untuk memperkecil pemakaian bahan bakar. Kondisi kerja alat angkut
pada pengupasan overburden berpengaruh pada produksi alat angkut tersebut.
Menghitung rasio bahan bakar pada suatu alat sangat penting dilakukan.

3.10. Teori Korelasi


Menurut Ronald(1993), korelasi merupakan teknik analisis yang termasuk
dalam salah satu teknik pengukuran asosiasi atau hubungan (measures of
association Pengukuran asosiasi merupakan istilah umum yang mengacu pada
sekelompok teknik dalam statistik bivariat yang digunakan untuk mengukur
kekuatan hubungan antara dua variabel. Pengukuran asosiasi mengenakan nilai
numerik untuk mengetahui tingkat asosiasi atau kekuatan hubungan antar variabel.

3.10.1. Pengertian Korelasi


Menurut Ronald (1993), korelasi adalah istilah statistik yang menyatakan
derajat hubungan linear antara dua variabel atau lebih, yang ditemukan oleh Karl
Pearson. Korelasi Pearson Product Moment (PPM) merupakan salah satu teknik
analisis statistik yang digunakan dalam penelitian. Teknik analisis statistik ini untuk
melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi dan mencoba untuk menghubungkannya.
Besarnya angka korelasi disebut koefisien korelasi dinyatakan dengan lambang r.

3.10.2. Kegunaan Korelasi


Pengunaan teknik analisis statistik yaitu korelasi sangat membantu dalam
melihat hubungan – hubungan antar variabel. Kegunaan korelasi ini disajikan
sebagai berikut :

33
1) Untuk menyatakan ada atau tidaknya hubungan yang signifikan antara variabel
satu dengan yang lainnya.
2) Untuk menyatakan besarnya sumbangan variabel satu terhadap yang lainnya
yang dinyatakan dalam persen. Dengan demikian, maka r2 disebut koefisien
determinasi atau koefisien penentu. Hal ini disebabkan r2 terjadi dalam variabel
terikat Y yang mana ditentukan oleh variabel X.

3.10.3. Pola atau Bentuk Hubungan antara Dua Variabel


Menurut Jonathan (2016), koefesien korelasi ialah pengukuran statistik
kovarian atau asosiasi antara dua variabel. Besarnya koefesien korelasi berkisar
antara +1 s/d -1. Koefesien korelasi menunjukkan kekuatan (strength) hubungan
linear dan arah hubungan dua variabel acak. Jika koefesien korelasi positif, maka
kedua variabel mempunyai hubungan searah, artinya jika nilai variabel X tinggi,
maka nilai variabel Y akan tinggi pula. Sebaliknya, jika koefesien korelasi negatif,
maka kedua variabel mempunyai hubungan terbalik artinya jika nilai variabel X
tinggi, maka nilai variabel Y akan menjadi rendah (dan sebaliknya). Sehingga
orelasi yang terjadi antara dua variabel adalah sebagai berikut :
1) Korelasi Linear Positif (+1)
Perubahan salah satu nilai variabel diikuti perubahan nilai variabel yang
lainnya secara teratur dengan arah yang sama. Jika nilai variabel X mengalami
kenaikan, maka variabel Y akan ikut naik. Jika nilai variabel X mengalami
penurunan, maka variabel Y akan ikut turun. Apabila nilai koefisien korelasi
mendekati +1 (positif satu) berarti pasangan data variabel X dan variabel Y
memiliki korelasi linear positif yang kuat atau sempurna.
2) Korelasi Linear Negatif (-1)
Perubahan salah satu nilai variabel diikuti perubahan nilai variabel yang
lainnya secara teratur dengan arah yang berlawanan. Jika nilai variabel X
mengalami kenaikan, maka variabel Y akan turun. Jika nilai variabel X korelasi
mendekati -1 (negatif Satu) maka hal ini menunjukan pasangan data variabel
X dan variabel Y memiliki korelasi linear negatif yang kuat/erat/sempurna.
3) Tidak Berkorelasi (0)
Kenaikan nilai variabel yang satunya bisa diikut dengan penurunan variabel
lainnya atau kadang-kadang diikuti dengan kenaikan variabel yang lainnya.
Arah hubungannya tidak teratur, bisa searah atau pun berlawanan. Apabila

34
Nilai Koefisien Korelasi mendekati 0 (Nol) berarti pasangan data variabel X
dan variabel Y memiliki korelasi yang sangat lemah atau berkemungkinan
tidak berkorelasi.

Tabel 3.5
Intreprestasi Koefisien Korelasi (r)
(Sumber : Jonathan Sarwono, 2016)
Besar Nilai Koefisien Korelasi (r) Interpretasi
0 Tidak Berkorelasi
0,01 – 0,20 Sangat Rendah
0,21 – 0,40 Rendah
0,41 – 0,60 Agak rendah
0,61 – 0,80 Cukup
0,81 – 0,99 Tinggi
1 Sangat Tinggi

3.10.4. Menghitung Nilai Koefisien Korelasi (r)


Menghitung korelasi antara variabel bebas (independent) dengan variabel
terikat (dependent) menurut Jonathan (2016) :

n.∑ XY−(∑ X).(∑ Y)


R= .......................................................................................(3.25)
√(n.∑ 𝑥2−(∑ 𝑥)2).(n.∑ Y2−(∑ Y)2)

Keterangan :
r = Koefisien korelasi
n = Jumlah pasangan variabel X dan Y
∑X = Jumlah variabel X
∑Y = Jumlah variabel Y
∑X2 = Jumlah kuadrat variabel X
∑Y2 = Jumlah kuadrat variabel Y
Setelah nilai koefisien korelasi (r) diperoleh, langkah selanjutnya adalah
menginterpretasikan nilai koralsi untuk melihat kuat atau lemahnya korelasi kedua
variabel dengan menggunakan table interpretasi (lihat Tabel 3.5).

3.11. Konstruksi Jalan Angkut


Kontruksi jalan angkut pada jalan tambang sangat berpengaruh terhadap kondisi
35
pada jalan angkut. Apabila memiliki kontruksi jalan angkut yang baik, maka kerja dari
alat angkut akan optimal. Jika kontruksi jalan angkut buruk dengan memiliki banyak
amblasan maka akan menghambat operasi alat angkut.
3.11.1. Perkerasan Jalan
Perkerasan jalan adalah peletakan peletakan lapisan struktut jalan di atas badan
jalan, berfungsi menerima beban lalu lintas dan meneruskannya ke badan jalan pada
segala kondisi cuaca. Ada dua jenis perkerasan jalan yang dikenal sekarang ini yaitu
perkerasan dengan metode bahan pengikat (bound method) dan perkerasan dengan
metode tanpa bahan penghikat (unbound method). Perkerasan dengan bound method
umumnya digunakan untuk perkerasan jalan raya dimana bahan kontruksi yang biasa
digunakan seperti aspal dan semen.
Sedangkan perkerasan dengan unbound method umumnya digunakan untuk
perkerasan jalan tambang dimana metode ini seluruh kontruksi perkerasan tersusun
dari butiran lepas dan tanpa pengikat.
Pada dasarnya rancangan perkerasan jalan meliputi kegiatan pegukuran
kekuatan dan sifat penting lainnya dari lapisan permukaan perkerasan jalan dan
masing – masing lapisan di bawahnya dan menetapkan ketebalan permukaan
perkerasan, lapisan pondasi, dan material lain yang akan dihampar di atas tanah asli.
Maksud dari rancangan perkerasan jalan adalah untuk memilih kombinasi
material dan tebal lapisan yang memenuhi syarat pelayanan dengan biaya yang murah
dan waktu pakai jalan yang panjang. Perkerasan jalan angkut tambang harus cukup kuat
untuk menahan berat kendaraan dan muatan yang melaluinya, dan permukaan jalan
harus dapat menahan gesekan roda kendaraan, pengaruh air permukaan ataupun air
hujan.
Bila daya dukung jalan yang ada tidak dapat menahan beban yang diterima,
maka kondisi jalan akan mengalami penurunan dan pergeseran yang selanjutnya
mengakibatan jalan bergelombang dan banyak amblasan. Tujuan utama dalam
perkerasan jalan angkut adalah membangun dasar jalan yang memungkinkan dimana
dalam pengangkutan muatan, pemindahan beban pada poros roda yang diteruskan
melalui lapisan pondasi tidak boleh melampaui daya dukung tanan dasar (sub grade).
3.11.2. Tanah Dasar (Subgrade)
Lapisan tanah dasar adalah lapisan tanah yang berfungsi sebagai tempat
perletakan lapis perkerasan dan mendukung konstruksi perkerasan jalan diatasnya

36
dengan tebal 30 cm . Lapisan tanah dasar dapat berupa tanah asli yang dipadatkan. jika
tanah aslinya baik, atau tanah urugan yang didatangkan dari tempat lain. Persyaratan
CBR yang dikehendaki dalam perkerasan >3%.
Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung dari
sifat-sifat dan daya dukung tanah dasar.
Umumnya persoalan yang menyangkut tanah dasar adalah sebagai berikut :
1) Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) akibat beban lalu lintas.
2) Sifat mengembang dan menyusutnya tanah akibat perubahan kadar air.
3) Daya dukung tanah yang tidak merata akibat adanya perbedaan sifat-sifat tanah
pada lokasi yang berdekatan atau akibat kesalahan pelaksanaan misalnya
kepadatan yang kurang baik.

3.11.3. Lapisan Pondasi Bawah (Sub Base Course)


Lapisan pondasi bawah (sub base course) adalah bagian lapisan perkerasan
antara lapisan pondasi atas dan tanah dasar. Lapisan ini harus cukup kuat, mempunyai
CBR <20%.
Fungsi dari lapisan pondasi bawah yaitu :
1) Bagian dari konstruksi perkerasan untuk menyebarkan beban roda ke tanah
dasar.
2) Lapis peresapan, agar air tanah tidak berkumpul di pondasi.
3) Lapisan untuk mencegah partikel-partikel halus dari tanah dasar naik ke lapisan
pondasi atas.
4) Lapis pelindung lapisan tanah dasar dari beban roda-roda alat berat (akibat)
lemahnya daya dukung tanah dasar) pada awal-awal pelaksanaan pekerjaan.
5) Lapis pelindung lapisan tanah dasar dari pengaruh cuaca terutama hujan.

3.11.4. Lapisan Pondasi Atas (Base Course)


Lapisan pondasi atas (base course) adalah bagian lapisan perkerasan jalan
yang terletak antara lapisan permukan dan lapisan pondasi bawah. Terletak dibawah
lapisan permukaan membuat lapisan ini menerima pembebanan yang paling berat
akibat muatan, sehingga material yang digunakan harus berkualitas tinggi dengan nilai
CBR >50%.

37
Gambar 3.11
Susunan Lapisan Perkerasan (Suwandi, 2004)

Fungsi dari lapisan pondasi atas yaitu :


1) Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda dan menyebarkan
beban ke lapisan bawahnya.
2) Lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah.
3) Bantalan terhadap lapisan permukaan.

3.11.5 Lapisan Permukaan (Surface Course)


Lapisan permukaan (Surface Course) adalah lapisan perkerasan yang terletak
paling atas dan bersentuhan langsung dengan roda kendaraan.
Fungsi dari lapisan permukaan yaitu:

1) Lapisan yang langsung menahan akibat beban roda kendaraan.


2) Lapisan yang langsung menahan gesekan akibat rem kendaraan (lapisaus).
3) Lapisan yang mencegah air hujan yang jatuh di atasnya tidak meresap ke
lapisan bawahnya dan melemahkan lapisan tersebut.
4) Lapisan yang menyebarkan beban ke lapisan bawah, sehingga dapat dipikul oleh
lapisan di bawahnya (lihat Gambar 3.11)

38
BAB IV
HASIL PENELITIAN

4.1 Kondisi Tempat Kerja


Pada lokasi penelitian di Blok 3 diketahui terdapat beberapa tempat kerja
untuk mengupas overburden. Penelitian ini difokuskan pada dua tempat kerja
pengupasan overburden yang berbeda.
Pada semua tempat kerja di lokasi penelitian cara untuk mengupas
overburden dengan cara gali langsung (lihat Gambar 4.1). Hal ini dikarenakan
pembongkaran overburden memiliki kekuatan massa batuan yang relatif lemah
sehingga masih bisa menggunakan alat mekanis, maka dilakukanlah pengupasan
overburden dengan cara gali langsung tanpa melakukan peledakan.

4.1.1 Kondisi Tempat Kerja Pertama


Pengupasan overburden menggunakan alat pengalian dan pemuatan yaitu
sebuah excavator SANY SY365H serta alat pengakutan yang digunakan yaitu 2
dump truck Volvo A35E dan 2 dump truck Volvo FMX 440. Tempat kerja yang
pertama memiliki area kerja yang luas sehingga dapat memperkecil waktu edar alat.
Sehingga dump truck tidak perlu maju mundur untuk mengambil posisi pemuatan.
Namun pada dasar area kerja memiliki permukaan yang kurang merata (lihat
Gambar 4.1), sehingga diperlukan motor grader untuk melakukan perawatan pada
permukaan jalan di tempat kerja pertama.

Gambar 4.1
Kondisi Tempat Kerja
39
4.2 Kondisi Jalan Angkut
Suatu evaluasi konsumsi bahan bakar dump truck pada pengupasan
overburden diperlukan untuk analisis terhadap kondisi kerja dan geometri jalan
angkut. Dalam penelitian ini faktor yang mempengaruhi konsumsi bahan bakar
adalah kemiringan jalan angkut, amblesan jalan, berat muatan dan jarak
pengangkutan dari loading point menuju disposal.
Lokasi penelitian difokuskan pada jalan angkut mulai dari loading point ke
disposal pada dua Fleet. Pada Fleet pertama dan Fleet kedua dump truck yang
digunakan adalah Volvo A35E dan Volvo FMX440 dengan alat muatnya Excavator
SANY SY365H untuk setiap Fleet. Keadaan jalan angkut pada penelitian kali ini
dapat dijelaskan dengan memperhatikan kondisi dan geometri jalan angkut. Untuk
memudahkan dalam pengamatan dan perhitungan, maka jalan angkut yang
menghubungkan antara tempat pemuatan menuju tempat disposal dibagi dalam
beberapa Fleet jalan. Pembagian Fleet jalan ini didasarkan pada perbedaan
kemiringan, tikungan dan lebar jalan angkut.

4.2.1 Konstruksi Jalan Angkut


Lapisan dasar jalan angkut (subgrade) adalah batulempung kompak dan
kerikil dipadatkan dengan lapisan kedap air sebagai perkerasan penahan beban roda
dump truck. Berdasarkan pengamatan di lapangan, kondisi jalan angkut masih
kurang baik, berat beban kontak pada masing-masing dump truck melebihi daya
dukung tanah tersebut. Sehingga hal ini mengakibatkan banyak terdapat amblasan
di jalan angkut mulai dari 2 cm sampai 40 cm, sehingga kondisi ini cukup
mempengaruhi waktu edar dari dump truck dan konsumsi bahan bakar akan
semakin banyak. Semakin kurang kuat perkerasan jalan akan menghambat laju dump
truck dan tahanan gelinding semakin besar.

4.2.2 Lebar dan Kemiringan Jalan Angkut

Jalan angkut yang dilalui setiap dump truck di masing – masing Fleet berbeda
dan mempunyai geometri jalan yang berbeda juga. Oleh karena itu dibagilah Fleet-
Fleet jalan yang dilalui dump truck dengan rata – rata lebar jalan 11 m, lebar jalan
tertinggi 15 m dan tersempit 5m (lihat Lampiran G Tabel G.1 sampai Tabel G.2).
Pada penelitian kali ini, kemiringan jalan angkut pada jalur utama dibagi
dalam beberapa Fleet. Fleet ini untuk mempermudah perhitungan kemiringan jalan.
Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan kemiringan jalan angkut terbesar
40
pada Fleet pertama adalah 8,90% pada Segmen 6-7 dan kemiringan jalan terkecil -
6,65 % pada Segmen 17-18, untuk Fleet kedua yang terbesar adalah 4,65 % pada
Segmen 7-8 dan yang terkecil -9,35 % pada Segmen 10-11 (lihat Lampiran Tabel
G.3 – Tabel G.4). Berdasarkan perhitungan rimpull, kemampuan maksimal mesin
untuk mengatasi tanjakan dump truck Volvo A35E pada kegiatan pengangkutan
overburden adalah 14,7% dan untuk Volvo FMX440 adalah 11,4%.

4.2.2. Superelevasi
Jalan angkut pada pengangkutan overburden memiliki beberapa tikungan
dengan lebar tikungan yang berbeda. Jari-jari tikungan minimal pada jalan angkut
yang dilalui dump truck adalah 6,5 m. Untuk superelevasi berdasarkan kecepatan
rata-rata dump truck pada saat membelok sebesar ± 20 km/jam, nilai superelevasi
maksimal yang dapat di lalui dump truck Volvo A35E adalah 0,17 m/m dan pada
Volvo FMX440 adalah 0,19 m/m (lihat lampiran H)

41
Gambar 4.2
Peta Jalan Tambang PT TIMAH Tbk

42
4.3 Waktu Edar Dump truck
Apabila melakukan perhitungan produksi dump truck baik itu aktual maupun
rencana diperlukan perhitungan data waktu edar yang diambil dari pengamatan di
lapangan. Waktu edar dump truck yang diperoleh adalah waktu edar rata-rata yang
ditempuh oleh dump truck mulai dari waktu menunggu untuk dimuati sampai pada
posisi mulai menunggu untuk dimuati kembali (lihat Lampiran F).
Tabel 4.1
Rata – Rata Waktu Edar Dump truck
Waktu (Menit)
Ritase
Fleet Dump truck Position Hauling Manuver
Loading Dumping Return Total (rit/jam)
(Empty) (Load) Dumping

Volvo A35 E
Pertama 0,66 1,90 4,07 0,48 0,39 3,62 11,19 6

Volvo
Kedua 0,26 1,33 3,64 0,26 0,45 3,52x 9,46 6
FMX440

4.4 Faktor Pengisian Bucket


Faktor pengisian bucket (bucket fill factor) merupakan suatu faktor yang
menunjukkan besarnya kapasitas nyata bucket dengan kapasitas bucket menurut
spesifikasi alat muat. Kapasitas bucket berdasarkan spesifikasinya untuk Excavator
SANY SY365H adalah 2,3 m3. Besarnya faktor pengisian pada kondisi pemuatan
yang rata-rata baik dengan jumlah pemuatan 5 – 8 kali bucket sesuai dengan
Specification and Application handbook of SANY 30th edition adalah :
Excavator SANY SY365H = 90 %.

4.5 Waktu Kerja Efektif Dump truck


Waktu kerja efektif adalah waktu kerja yang benar-benar digunakan oleh alat
mekanis untuk produksi. Besarnya waktu kerja efektif sangat bergantung pada
hambatan-hambatan yang terjadi pada saat alat melakukan pekerjaan. Pada
kenyataannya di lapangan waktu kerja yang tersedia tidak dapat digunakan
sepenuhnya karena adanya hambatan-hambatan yang dapat mengurangi waktu
kerja yang tersedia. Perusahaan telah menetapkan jadwal waktu kerja adalah dua
shift, dengan rincian waktu 9 jam/shift. Total waktu kerja dalam satu minggu adalah
125 jam atau 18 jam/hari. Adapun hambatan yang terjadi adalah :

43
4.5.1 Hambatan Yang Dapat Dihindari.
Hambatan yang dapat dihindari disebabkan adanya penyimpangan terhadap
waktu kerja yang telah dijadwalkan oleh perusahaan.
1) Keterlambatan datang karyawan
Waktu yang terbuang disebabkan kurang disiplinnya karyawan dalam
mematuhi waktu yang sudah ditentukan (waktu masuk kerja).
2) Waktu istirahat lebih awal
Waktu yang terbuang disebabkan pekerja sudah menghentikan pekerjaannya di
lokasi kerja sebelum waktu istirahat yang sudah terjadwal.
3) Terlambat kerja setelah istirahat
Waktu yang terbuang disebabkan oleh operator dan alat belum mulai bekerja
kembali tepat setelah jam istirahat selesai.
4) Berhenti sebelum akhir kerja
Waktu yang terbuang disebabkan karena berhentinya aktifitas kerja sebelum
waktu yang ditentukan (waktu akhir kerja).
5) Rest And Meal.
Waktu yang digunakan untuk istirahat, makan dan minum, serta keperluan
operator lainnya, misalnya buang air besar/kecil dan lain-lain.

4.5.2 Hambatan Yang Tidak Dapat Dihindari


Hambatan tidak dapat dihindari disebabkan oleh kegiatan atau kejadian yang
memang harus terjadi dan tak dapat dihindari atau diganti pada lain waktu.
1) Pre Start
Waktu yang digunakan untuk pengecekan ringan terhadap kerusakan-
kerusakan kecil serta pemanasan terhadap alat mekanis.
2) Mobilitization/Other
Waktu yang digunakan untuk memindahkan alat dari suatu tempat ke tempat
lain dalam kegiatan penambangan. Dimana pindah posisi disebabkan karena
adanya perintah dari pengawas.
3) Refueling
Waktu yang digunakan untuk pengisian bahan bakar terhadap alat agar alat
tersebut siap untuk dioperasikan.
4) Rain and slippery
Disebabkan karena adanya hujan, sehingga kegiatan produksi berhenti dan bisa
44
juga karena adanya kegiatan di area penambangan. Misalnya Bulldozer
menggusur material, Motor grader melakukan perataan jalan.

4.6 Efisiensi Kerja


Efisiensi kerja dump truck merupakan perbandingan antara waktu kerja
produktif dump truck dengan waktu kerja yang tersedia, dinyatakan dalam persen
(%). Efisiensi kerja inilah sangat mempengaruhi ketercapain produksi dari sutau
perusahaan. Apabila efisiensi kerja rendah maka akan didapatkan produksi yang
sedikit, apabila efisiensi kerja pada suatu perusahaan tinggi maka ketercapaian
produksi pun akan tinggi. Efisiensi kerja digunakan untuk mengetahui sejauh mana
kinerja alat mekanis yaitu SANY SY365H terhadap penggunaan waktu kerja
masing-masing alat mulai dari pemuatan dan pengangkutan overburden dari lokasi
penambangan menuju disposal. Effisiensi kerja dump truck berdasarkan data
perusahaan untuk Volvo A35E pada Fleet pertama adalah 71% Volvo FMX440
pada Fleet kedua adalah 73% (lihat lampiran O)

4.7 Kemampuan Produksi Dump truck


Pada lokasi pemuatan overburden dari loading menuju lokasi disposal,
pengangkutan overburden dilayani oleh 2 unit Volvo A35E di Fleet pertama. Data
aktual perusahaan mengenai produksi dump truck Volvo A35E di Fleet pertama adalah
71,92 bcm/jam dan dump truck Volvo FMX440 di Fleet kedua adalah 57,97 bcm/jam
, sedangkan untuk kemampuan produksi teoritis berdasarkan pengamatan waktu edar
dump truck di lapangan dapat dilihat pada Lampiran O.

Tabel 4.2
Kemampuan Produksi Dump truck
Produktivitas Produksi Setiap Fleet
No Fleet Dump truck
(bcm/jam) (bcm/jam) (bcm/bulan)
1 Pertama Volvo A35 E 71,92 143,84 77.676,6
2 Kedua FMX 440 57,97 115,95 62.615,71

4.8 Perhitungan Rolling Resistance dan Grade Resistance


Rolling resintance adalah suatu hambatan yang menahan putaran roda yang
terjadi akibat adanya kontak antara ban dump truck dengan permukaan jalan angkut.
Sedangkan grade resistance adalah suatu hambatan yang terjadi karena adanya
kemiringan jalan yang dilalui oleh suatu dump truck tersebut. Apabila dump truck

45
ingin bergerak maka tenaga yang tersedia harus dapat mengatasi kedua jenis tahanan
ini. Apabila semakin banyak amblasan yang terjadi dalam setiap jalan angkut yang
dilalui maka nilai rolling resistance ini akan semakin besar, begitu pula dengan nilai
grade resistance akan semakin besar apabila tanjakan pada suatu jalan angkut
kemiringannya semakin curam. Jika nilai rolling resistance dan grade resistance
tinggi maka akan semakin besar tenaga yang dibutuhkan untuk menggerakkan
dump truck tersebut.
Apabila tenaga yang dibutuhkan untuk menggerakkan dump truck semakin
besar, maka hal ini akan mempengaruhi tingkat konsumsi bahan bakar. Konsumsi
bahan bakar pada kondisi tersebut akan meningkat dan akan lebih boros. Serta
kondisi jalan angkut harus benar-benar diperhatikan untuk memperlancar kegiatan
pengangkutan overburden apalagi pada saat musim penghujan. Sebab hal ini juga
akan mempengaruhi keadaan jalan, waktu edar dump truck, dan konsumsi bahan
bakar.
Tahanan gelinding dan tahanan kemiringan dump truck pada setiap Fleet jalan
berbeda-beda, ada beberapa Fleet jalan yang menunjukkan amblasan roda yang
relatif dalam, yaitu pada tingkat high level severity dan ini tidak di anjurkan oleh
perusahaan, dimana kondisi jalan melebihi parameter aman perkerasan jalan yaitu
5 cm pada jalan angkut tambang (medium level severity). Berdasarkan pengamatan
di lapangan mengenai amblasan roda dan kemiringan jalan angkut, tahanan
gelinding dengan rata rata 9,44% dan kemiringan jalan angkut dengan nilai tertinggi
11,87% dan terendah -11,87% dan dapat dilihat pada Lampiran I Tabel I.1 sampai
Tabel I.2.

4.9 Perhitungan Load factor Dump truck

Load factor atau faktor pengali untuk memperoleh penggunaan daya mesin
yang sesungguhnya dan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat
konsumsi bahan bakar mesin, untuk mengetahui besarnya load factor bisa diketahui
dengan perhitungan rimpull yang terpakai dibagi dengan rimpull yang tersedia.
Dengan memasukkan parameter daya tarik dump truck, effisiensi mesin dan
kecepatan pada masing-masing gear dump truck maka dapat diperoleh Rimpull
yang tersedia pada setiap gear dump truck. Pengamatan difokuskan pada dua dump
truck yaitu Volvo A35E di Fleet pertama dan Volvo FMX440 di fleet kedua dengan

46
beban kerja, rimpull dan tenaga mesin yang berbeda.
4.9.1 Rimpull Setiap Gear Dump truck
Beban kerja maksimum yang masih dapat ditarik oleh dump truck dapat
diperoleh berdasarkan pengamatan dan spesifikasi dump truck yang digunakan.
Rimpull pada masing masing dump truck yaitu Volvo A35E dan Volvo FMX440
dapat dilihat pada Tabel 4.3 dan Tabel 4.4.

Tabel 4.3
Rimpull Pada Setiap Gear Dump truck Volvo A35E
Speed
Rimpull
Transmisi (mile per km/jam (lb)
hour)
Gigi 1 3,9 6,3 34.245,19
Gigi 2 5,6 9,0 23.849,33
Gigi 3 6,8 10,9 19.640,63
Gigi 4 9,9 16,0 13.490,53
Gigi 5 14,3 23,0 9.339,59
Gigi 6 18,1 29,1 7.378,80
Gigi 7 23,9 38,4 5.588,13
Gigi 8 31,6 50,9 4.226,46
Gigi 9 35,4 56,9 3.772,77

Tabel 4.4
Rimpull Pada Setiap Gear Dump truck Volvo FMX440
Speed
Rimpull
Transmisi (mile per km/jam (lb)
hour)
Gigi 1 4,16 6,69 28.350,36
Gigi 2 6,42 10,33 18.370,33
Gigi 3 8,92 14,35 13.221,69
Gigi 4 12,15 19,55 9.706,79
Gigi 5 16,74 26,94 7.045,25
Gigi 6 19,6 31,54 6.017,22
Gigi 7 24,75 39,83 4.765,15
Gigi 8 33,21 53,44 3.551,26
Gigi 9 37,38 60,15 3.155,10
Gigi 10 41,91 67,44 2.814,07
Gigi 11 46,53 74,88 2.534,66
Gigi 12 50,23 80,84 2.347,95

Besarnya rimpull disesuaikan dengan kondisi dump truck, kecepatan pada


setiap gear, efisiensi dump truck dan tenaga mesin. Dump truck pada Volvo A35E
dengan berat total 61 ton memiliki rimpull terbesar pada gear pertama yaitu 34.245
lb, dan Volvo FMX 440 dengan berat total 41 ton memiliki rimpull terbesar
47
pada gear pertama yaitu 28.350,36 lb. Semakin besar beban dan hambatan yang
diterima oleh dump truck, semakin besar pula rimpull yang digunakan, begitu juga
sebaliknya.

4.9.2 Daya mesin


Menghitung kebutuhan bahan bakar yang digunakan adalah nilai dari daya
mesin yang dihitung dari “torque” mesin (dari engkol mesin) atau brake
horsepower (bhp), bukan drawbar horsepower (dbhp) yang merupakan HP yang
disediakan (available) pada roda. Brake horsepower pada dump truck Volvo A35E
sebesar 223 BHP, sedangkan pada dump truck Volvo FMX440 sebesar 175 BHP
(lihat Lampiran N).

4.9.3 Load Factor


Besarnya load factor dapat dihitung dengan menggunakan perbandingan
besarnya jumlah rimpull yang terpakai dengan rimpull yang tersedia pada setiap
gear dump truck. Pada jalan angkut tambang dari front penambangan sampai
disposal, dump truck Volvo A35E di Fleet pertama memiliki load factor rata-rata
0,90 untuk keadaan truk bermuatan dan 0,43 untuk keadaan truk tanpa muatan, dan
untuk dump truck Volvo FMX440 memiliki load factor rata-rata 0,95 untuk keadaan
truk bermuatan dan 0,44 untuk keadaan truk kosong. Besarnya load factor pada
dump truck akan mempengaruhi konsumsi bahan bakar, dengan pengertian bahwa
load factor adalah faktor pengali untuk memperoleh daya mesin yang sesungguhnya
digunakan oleh dump truck tersebut (lihat Lampiran P)

4.10 Perhitungan Konsumsi Bahan Bakar Dump truck


Kebutuhan bahan bakar diperlukan untuk mengetahui seberapa banyak
konsumsi bahan bakar yang digunakan oleh dump truck saat proses produksi. Di
dalam perhitungan konsumsi bahan bakar, beberapa parameter yang harus diketahui
adalah brake horse power, besarnya bahan bakar yang masuk ke mesin, densitas
bahan bakar dan load factor dump truck. Besarnya nilai dari parameter tersebut
dapat diketahui melalui data dari perusahaan dan hasil perhitungan langsung
dilapangan.
Data aktual perusahaan mengenai konsumsi bahan bakar untuk dump truck
tipe Volvo A35E di Fleet pertama pada penelitian ini adalah 24,30 l/jam, dump
truck Volvo FMX440 di Fleet kedua pada penelitian ini adalah 16,20 l/jam.

48
Perhitungan konsumsi bahan bakar dump truck pada penelitian ini berada pada dua
loading point dan dua dump truck yang berbeda. Dump truck yang digunakan adalah
Volvo A35E dan dump truck Volvo FMX440.
Perbedaan data – data konsumsi bahan bakar aktual yang didapat dari
perusahaan dikarenakan jarak dan kondisi kerja dari setiap Fleet berbeda. Sehingga
perbedaan jarak dan kondisi kerja ini yang mengakibatkan perbedaan pada besaran
konsumsi bahan bakar pada setiap Fleet. Pada keadaan waktu tunggu atau idle time
dump truck, menurut Hays (1990) pada Haul truck fuel consumption and CO2
emission under various engine load conditions 2010, konsumsi bahan bakar dump
truck pada idle time berkisar 10% dari kebutuhan total pada saat dump truck berjalan.
Data yang didapat dari perusahaan yaitu nilai parameter untuk perhitungan
kebutuhan bahan bakar solar sebagai berikut :
1) BBM yang masuk ke mesin : 0,38 lb/ kw.hr
2) Densitas bbm : 7,3 lb/ gallon

Setelah mengetahui nilai parameter tersebut, maka kebutuhan bahan bakar


solar untuk dump truck dapat diketahui dengan perhitungan pemakaian rimpull pada
berbagai macam pembebanan atau load factor dump truck. Besarnya penggunaan
bahan bakar pada setiap Fleet akan bergantung dengan kemiringan jalan angkut,
jarak dan kondisi permukaan jalan angkut. Sehingga besarnya kecilnya rimpull yang
digunakan oleh dump truck berpengaruh terhadapa penentuan sedikit banyaknya
konsumsi bahan bakar. Apabila dump truck membutuhkan rimpull yang besar,
maka kebutuhan bahan bakarnya akan besar. Serta sebaliknya apabila rimpull yang
dibutuhkan kecil, bahan bakar yang diperlukan akan sedikit. Konsumsi bahan bakar
berdasarkan perhitungan rimpull dump truck Volvo A35E di Fleet pertama dan
Volvo FMX440 di Fleet kedua dapat dilihat pada Lampiran P Tabel P.1 sampai Tabel
P.2

49
Gambar 4.3
Grafik Kemiringan Jalan Angkut Sebelum Perbaikan di Fleet Pertama Bagian Pertama

50
Gambar 4.4
Grafik Kemiringan Jalan Angkut Sebelum Perbaikan di Fleet Pertama Bagian Kedua

51
Gambar 4.5
Grafik Kemiringan Jalan Angkut Sebelum Perbaikan di Fleet Kedua Bagian Pertama

52
Gambar 4.6
Grafik Kemiringan Jalan Angkut Sebelum Perbaikan di Fleet Kedua Bagian Kedua
53
Konsumsi bahan bakar setelah disesuaikan dengan pemakaian rimpull untuk dump
truck Volvo A35E di Fleet pertama adalah 18,57 l/jam, untuk Volvo FMX440 di Fleet
kedua adalah 14,83 l/jam. Kategori konsumsi bahan bakar berdasarkan Specification and
Application handbook of Volvo A35E edition dibedakan menjadi tiga katagori yaitu Low,
Medium dan High consumption of Fuel rate.
Sehingga dapat diartikan bahwa dump truck Volvo di Fleet pertama dalam satu jam
beroperasi membutuhkan bahan bakar 18,57 liter. Sedangkan dump truck Volvo FMX440
di Fleet kedua dalam satu jam beroperasi membutuhkan bahan bakar 14,83 liter.

Tabel 4.5
Spesifikasi dan Kategori Konsumsi Bahan Bakar Dump truck
(Sumber : Specification and Application handbook of Volvo, 2009)

Medium
Fleet Type Low (lt/jam) High (l/jam)
(lt/jam)

1 Volvo A35E 15,5 ~ 17,5 17,5 ~ 23,5 23,5 ~ 27,5

2 Volvo FMX440 10,5 ~ 13,5 13,5 ~ 15,5 15,5 ~ 18,5

Berdasarkan Specification and Application handbook of Volvo, konsumsi bahan


bakar dump truck Volvo A35E di Fleet pertama maupun dump truck Volvo FMX440 di Fleet
kedua termasuk pada kategori medium condition yaitu masuk diantara 17,5-23,5 l/jam dan
13,5-15,5 l/jam. Sedangkan menurut data aktual perushaan konsumsi bahan bakar volvo
A35E adalah 24,30 l/jam dan Volvo FMX440 adalah 16,20 l/jam dimana dengan konsumsi
bahan bakar demikian masuk dalam kondisi High Consumption of Fuel Rate.

54
BAB V
PEMBAHASAN

Dalam rangka peningkatan produksi Dump Truck dan optimalisasi konsumsi


bahan bakar Dump Truck untuk mendapatkan rasio bahan bakar yang lebih kecil,
maka perlu dilakukan kajian teknis tentang kondisi kerja, geometri jalan dan beban
kerja Dump Truck pada kegiatan pengangkutan overburden. Pada penelitian ini,
kajian teknis penggunaan bahan bakar hanya di fokuskan pada Dump Truck Volvo
A35E dan Volvo FMX440. Untuk memperbaiki dan mengurangi rasio bahan
bakar Dump Truck dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan
melakukan perbaikan kondisi kerja baik berupa perkerasan, kemiringan jalan
angkut dan perawatan alat secara rutin, sehingga Dump Truck dapat bekerja secara
optimal.

5.1. Kondisi Jalan Angkut


Jalan angkut merupakan salah satu faktor penting yang menentukan lancar
tidaknya produksi dan rasio bahan bakar Dump Truck. Buruknya kondisi dan
geometri jalan angkut akan menyebabkan kinerja Dump Truck yang semakin besar
dan kemungkinan Dump Truck mengalami breakdown. Rimpull yang di butuhkan
akan semakin besar sehingga berpengaruh terhadap konsumsi bahan bakar yang
semakin banyak. Geometri jalan angkut meliputi lebar jalan, kemiringan jalan dan
konstruksi jalan.

5.1.1. Lebar Jalan Angkut


Lebar jalan angkut yang menghubungkan lokasi pengupasan overburden
menuju ke lokasi disposal pada beberapa bagian, khususnya pada jalan menuju
disposal perlu dilakukan usaha pelebaran jalan. Hal ini dikarenakan belum
sesuainya lebar aktual jalan angkut dengan lebar jalan berdasarkan perhitungan
lebar jalan minimum pada keadaan lurus dan tikungan. Ketidaksesuaian ini akan
mengganggu kelancaran dan waktu edar Dump Truck. Bila kondisi ini dapat
diperbaiki, diharapkan dapat meningkatkan produksi dari Dump Truck dan rasio
bahan bakar semakin kecil.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, diketahui lebar jalan angkut lurus
55
bervariasi dan ada beberapa yang tidak sesuai perhitungan yaitu 13 m sehingga
perlu dilakukanya pelebaran jalan angkut. Perhitungan lebar jalan minimum pada
tikungan juga didasarkan pada kendaraan terbesar yang melintas di jalan angkut
tambang. Berdasarkan perhitungan lebar jalan minimum pada tikungan adalah
sebesar 12 meter (lihat Lampiran G). Pada pengukuran dilapangan beberapa jalan
lurus dan tikungan belum sesuai dengan perhitungan jalan minimum sehingga
perlu perbaikan dan pelebaran (lihat lampiran Q Tabel Q.1 – Tabel Q.2).

5.1.2. Jari-jari Tikungan dan Superelevasi


Bila jari-jari jalan terlalu kecil dan jalan memiliki tikungan yang cukup
tajam, maka hal tersebut akan mengurangi pemakaian gigi/gear Dump Truck dan
memperlambat laju kendaraan. Hal ini akan menyebabkan waktu tempuh (travel
time) Dump Truck dari loading point ke disposal akan semakin lama. Dengan
bertambahnya waktu edar, akan menurunkan produksi Dump Truck.
Berdasarkan perhitungan teori pada jalan tikungan, diketahui bahwa jalan
tikungan mempunyai jari-jari sebesar 6,5 m untuk Volvo A35E dan 6,08 m
untuk Volvo FMX440. Sehingga pada beberapa segmen jalan baik di Fleet
pertama, Fleet kedua masih terdapat jari – jari tikungan yang belum sesuai dengan
batas minimal. Oleh karenan itu diperlukan pelebaran jalan menggunakan
bulldozer untuk membuat jari – jari tikungan baru yang sesuai dengan batas
minimal.
Dengan kecepatan laju truk rata-rata 17 km/jam pada saat berbelok, angka
superelevasi yang dipakai adalah 0,17 m/m maka secara teori beda tinggi yang
harus dibuat antara sisi dalam dan sisi luar tikungan jalan angkut adalah 1,09 meter
untuk Volvo A35E dan 1,15 meter unutk Volvo FMX440. Pada keadaan aktual
superelvasi telah sesuai. Sehingga dapat mengurangi penyebab Dump Truck
terguling, akibat gaya sentrifugal pada tikungan sudah sesuai. Sebab apabila
tikungan jalan dengan superelavasi yang kecil akan membuat gaya sentrifugal
Dump Truck di tikungan berkurang, sehingga dapat menyebabkan Dump Truck
terguling dan juga dapat menyebabkan muatan tumpah saat Dump Truck melewati
jalan tersebut.

5.1.3. Kemiringan Jalan Angkut (Grade)


Kemiringan jalan angkut yang besar akan menimbulkan banyak kerugian.
Ini disebabkan karena Dump Truck akan membutuhkan tenaga berlebih dan waktu

56
yang lebih lama untuk dapat melewati di jalan tersebut. Bila letak loading point
berada pada elevasi yang jauh dibawah elevasi disposal, maka penggunaan
kemiringan jalan angkut kecil akan memperpanjang jarak tempuh truk akan tetapi
dapat di atasi dengan menambah percepatan pada kecepatan Dump Truck sehingga
waktu tempuh akan semakin singkat. Semakin besar kemiringan jalan angkut
semakin pendek jarak dan kecepatan semakin kecil, sebaliknya semakin kecil
kemiringan jalan angkut semakin panjang jarak tetapi kecepatan semakin besar
dan waktu tempuh dapat lebih cepat.
Kemampuan maksimal Dump Truck Volvo A35E dan Volvo FMX440
pada jalan angkut menanjak berdasarkan perhitungan secara teoritis dari
spesifikasi Dump Truck adalah 18,4% dan 21,7% (lihat Lampiran K). Kemiringan
jalan angkut yang besar akan mempunyai banyak dampak merugikan, baik dari
kondisi Dump Truck maupun dari pemakaian bahan bakar.

5.1.4. Konstruksi Jalan Angkut


Konstruksi jalan angkut mempengaruhi kecepatan dan pemakaian rimpull
Dump Truck. Bila daya dukung material jalan lebih kecil dari beban yang diterima
oleh permukaan jalan, maka yang akan terjadi adalah amblasnya permukaan jalan
oleh roda Dump Truck, hal ini akan menyebabkan nilai tahanan gelinding menjadi
semakin besar. Untuk mengatasi hal tersebut, maka Dump Truck memerlukan
rimpull yang lebih besar. Berdasarkan data perusahaan daya dukung material pada
jalan angkut tambang saat itu berkisar 15.000 lb/ft2. Perhitungan secara
pengamatan lapangan dengan mendasarkan pada spesifikasi dan beban Dump
Truck Volvo A35E dan Volvo FMX440, daya dukung material beberapa jalan
angkut masih lebih kecil daripada beban Dump Truck terhadap permukaan jalan
sehingga akan terjadi amblasan pada roda Dump Truck, bahkan apabila pada
musim penghujan akan mengakibatkan kondisi jalan yang kurang baik dan
perkerasan permukaan jalan angkut semakin buruk. Beban yang diterima pada
permukaan jalan angkut akan berbeda sesuai dengan jenis Dump Truck (lihat
Tabel 5.1).

Tabel 5.1
57
Beban Permukaan Jalan Angkut
Beban
Tekanan Udara Luas Daerah
Ban (psi) Permukaan Jalan
No Dump Truck Kontak (in2)
(lb/ft2)
1 Volvo A35E 21,5 367,28 3.441,6
2 Volvo FMX440 18,3 287,41 2.836,2

Kondisi secara aktual di lapangan pada setiap Fleet masih terdapat amblasan
pada permukaan jalan angkut yang dilalui oelh Dump Truck. Hal ini menunjukkan
perlu adanya perkerasan jalan untuk meningkatkan daya dukung tanah agar tidak
terjadi amblasan. Perbaikan yang bias diberikan untuk peningkatan nilai
kepadatan tanah, yaitu dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1) Mengupas badan jalan yang mengalami kerusakan sampai lapis tanah keras.
2) Menambahkan materal baru, material yang disarankan yaitu batulempung.
3) Melakukan pembentukan geometri badan jalan sesuai standar teoritis.
4) Penyiraman dengan menggunakan water truck.
5) Melakukan pemadatan dengan compactor.
6) Melakukan uji CBR lapangan untuk mengetahui daya dukung tanah baru.
Apabila belum sesuai dilakukan pemadatan lagi dengan menggunakan
compactor. Pemilihan material batulempung (claystone) dikarenakan kemudahan
mendapatkannya di lapangan dan jumlahnya yang banyak terdapat di area
penambangan, dengan begitu akan menjadi lebih ekonomis karena hanya
memakai material yang terdapat di area tambang.

5.2. Pengaruh Kemiringan Jalan dan Tahanan Gelinding Jalan Angkut


Terhadap Konsumsi Bahan Bakar
Kemiringan jalan yang tinggi membuat kecepatan mesin berkurang dan
waktu tempuh yang semakin lama, sehingga dibutuhkan tenaga yang cukup untuk
mempertahankan kecepatan. Salah satu caranya adalah memberikan tenaga yang
lebih besar dengan menambahkan rimpull pada mesin. Kemiringan jalan angkut
dibagi menjadi dua bagian, yaitu kemiringan menanjak dan kemiringan turun.
Besarnya pengaruh kemiringan jalan angkut dan tahanan gelinding jalan
angkut terhadap konsumsi bahan bakar dan produksi Dump Truck apabila
kemiringan jalan angkut terlalu tinggi akan mengakibatkan rimpull yang di

58
butuhkan besar dan kecepatan Dump Truck semakin kecil. Hal ini akan
mempengaruhi banyaknya rasio bahan bakar Dump Truck dalam pemindahan
overburden dari loading point menuju disposal. Kemiringan jalan angkut pada
kondisi aktual di lapangan masih terdapat yang melebihi acuan dari perusahaan
yaitu 12%, serta untuk tahanan gelinding masih banyak segmen jalan yang
mempunyai amblasan roda Dump Truck yang melebihi batas aman atau standar
perusahaan, dimana batas aman berada pada kondisi medium severity yaitu
amblasan maksimal 5 cm pada jalan angkut tambang.
Sedangkan untuk batas kecepatan maksimal pada jalan angkut tambang
adalah 20 km/jam yang terdapat pada gear 4 di Dump Truck. Pengaruh kemiringan
jalan menanjak terhadap konsumsi bahan bakar Dump Truck dengan tahanan
kemiringan yang divariasikan mulai dari 1% - 8% berdasarkan perhitungan
rimpull (lihat Tabel 5.2).

Tabel 5.2
Konsumsi Bahan Bakar Volvo A35E Berdasarkan Kemiringan dan Tahanan
Gelinding Jalan Angkut
Amblasan Rolling Total Gear Load Factor Bbm (ltr/jam) Bbm (ltr/km)
Grade
(cm) Resistance Resistance load empty load empty load empty load empty

1% 5 4,95% 5,95% 4 5 0,75 0,39 24,69 12,68 1,56 0,18


2% 5 4,95% 6,95% 4 5 0,82 0,35 27,08 11,39 1,71 0,23
3% 5 4,95% 7,95% 3 5 0,74 0,33 24,31 10,74 2,23 0,26
4% 5 4,95% 8,95% 3 5 0,78 0,31 25,73 10,08 2,37 0,30
5% 5 4,95% 9,95% 2 5 0,83 0,14 27,16 4,60 3,03 0,40
6% 5 4,95% 10,95% 2 5 0,78 0,14 25,66 4,71 2,86 0,47
7% 5 4,95% 11,95% 2 5 0,82 0,12 27,08 4,06 3,02 0,50
8% 5 4,95% 12,95% 2 5 0,86 0,09 28,34 2,95 3,16 0,55

Amblasan Rolling Total Gear Load Factor Bbm (ltr/jam) Bbm (ltr/km)
Grade
(cm) Resistance Asistance load empty load empty load empty load empty

-1% 5 4,95% 3,95% 5 5 0,69 0,42 22,81 13,63 1,00 1,02


-2% 5 4,95% 2,95% 5 5 0,74 0,41 24,31 13,58 1,06 0,84
-3% 5 4,95% 1,95% 5 5 0,69 0,44 22,70 14,49 0,99 0,79
-4% 5 4,95% 0,95% 5 5 0,70 0,47 22,83 15,39 1,00 0,78
-5% 5 4,95% -0,05% 5 5 0,64 0,54 20,95 17,74 0,92 0,67
-6% 5 4,95% -1,05% 5 5 0,65 0,55 21,49 18,09 0,94 0,63
-7% 5 4,95% -2,05% 5 5 0,64 0,58 21,10 19,20 0,92 0,59
-8% 5 4,95% -3,05% 5 5 0,58 0,71 19,06 23,36 0,83 0,60

Tabel 5.2 menunjukkan bahwa setiap penambahan 1% kemiringan jalan


angkut mengakibatkan penambahan konsumsi bahan bakar Dump Truck Volvo
A35E sebesar 0,15 l/km untuk keadaan bermuatan naik dan 0,05 l/km untuk
keadaan kosongan naik. Sedangkan pada setiap penurunan 1% kemiringan jalan
angkut mengakibatkan pengurangan konsumsi bahan bakar Dump Truck Volvo

59
A35E sebesar 0,06 l/km untuk keadaan bermuatan turun dan 0,01 l/km untuk
keadaan kosongan turun. Grafik konsumsi bahan bakar pada konsumsi bermuatan
dan tanpa muatan ditunjukkan pada Gambar 5.1 sampai Gambar 5.4.

Gambar 5.1
Grafik Konsumsi Bahan Bakar Volvo A35E Keadaan Muatan Naik

Gambar 5.2
Grafik Konsumsi Bahan Bakar Volvo A35E Keadaan Kosong Naik

Gambar 5.3
Grafik Konsumsi Bahan Bakar Volvo A35E Keadaan Muatan Turun

60
Gambar 5.4
Grafik Konsumsi Bahan Bakar Volvo A35E Keadaan Kosong Turun

Hubungan tahanan gelinding dan kemiringan jalan terhadap konsumsi bahan


bakar Dump Truck sangatlah erat dengan nilai R2 (koefisien determinasi) adalah 0,9
pada keadaan truk bermuatan naik dan 0,98 pada keadaan truk kosong naik.
Sedangkan pada keadaan kemiringan turun, nilai R2 adalah 0,77 pada keadaan truk
bermuatan turun dan 0,89 pada keadaan truk kosong turun.Konsumsi bahan bakar
untuk Dump Truck Volvo FMX440 pada kemiringan jalan angkut dari 1% sampai
12% akan berbeda (lihat Tabel 5.2).

Gambar 5.5
Grafik Konsumsi Bahan Bakar Volvo A35E Keadaan Muatan Naik (Total Resistance)

Gambar 5.6
Grafik Konsumsi Bahan Bakar Volvo A35E Keadaan Kosong Naik (Total Resistance)
61
Gambar 5.7
Grafik Konsumsi Bahan Bakar Volvo A35E Keadaan Muatan Turun (Total Asistance)

Gambar 5.8
Grafik Konsumsi Bahan Bakar Volvo A35E Keadaan Kosong Turun (Total Asistance)

Tabel 5.3
Konsumsi Bahan Bakar Volvo FMX440 Berdasarkan Kemiringan dan
Tahanan Gelinding Jalan Angkut
Alat Grade Amblas Rolling Total Gear Load Factor Bbm (ltr/jam) Bbm (ltr/km)
Angkut an Resista Resista load empty load empty load empty load empty
(cm) nce nce
Volvo 1% 5 4,95% 5,95% 3 5 0,80 0,22 20,67 5,67 1,09 0,30
FMX 2% 5 4,95% 6,95% 3 5 0,77 0,20 19,76 5,26 1,05 0,33
440
3% 5 4,95% 7,95% 3 5 0,80 0,25 20,70 6,49 1,10 0,36
4% 5 4,95% 8,95% 3 5 0,84 0,23 21,65 5,98 1,15 0,37
5% 5 4,95% 9,95% 3 5 0,89 0,23 23,01 5,80 1,22 0,39
6% 5 4,95% 10,95% 2 5 0,89 0,22 22,85 5,63 1,64 0,41
7% 5 4,95% 11,95% 2 5 0,86 0,21 22,10 5,48 1,59 0,42
8% 5 4,95% 12,95% 2 5 0,95 0,04 24,51 1,00 1,76 0,60
Alat Grade Amblas Rolling Total Gear Load Factor Bbm (ltr/jam) Bbm (ltr/km)
Angkut an Resista Resista load empty load empty load empty load empty
(cm) nce nce
Volvo -1% 5 4,95% 3,95% 5 5 0,85 0,38 21,85 9,73 0,67 0,24
FMX -2% 5 4,95% 2,95% 5 5 0,77 0,42 19,84 10,87 0,60 0,20
440
-3% 5 4,95% 1,95% 5 5 0,72 0,46 18,42 11,76 0,56 0,21
-4% 5 4,95% 0,95% 5 5 0,67 0,47 17,17 11,98 0,52 0,18
-5% 5 4,95% -0,05% 5 5 0,71 0,50 18,35 12,87 0,56 0,19
-6% 5 4,95% -1,05% 5 5 0,72 0,52 18,45 13,44 0,56 0,19
-7% 5 4,95% -2,05% 5 5 0,64 0,54 16,42 13,91 0,50 0,15
-8% 5 4,95% -3,05% 5 5 0,64 0,76 16,42 19,53 0,50 0,14

62
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa setiap penambahan 1% kemiringan jalan
angkut mengakibatkan penambahan konsumsi bahan bakar Dump Truck Volvo
FMX440 sebesar 0,04 l/km untuk keadaan bermuatan naik dan 0,03 l/km untuk
keadaan kosongan naik. Sedangkan pada setiap penuruman 1% kemiringan jalan
angkut mengakibatkan pengurangan konsumsi bahan bakar Dump Truck Volvo
FMX440 sebesar 0,07 l/km untuk keadaan bermuatan turun dan 0,01 l/km untuk
keadaan kosongan turun. Grafik konsumsi bahan bakar pada kondisi bermuatan
dan tanpa muatan ditunjukkan pada Gambar 5.5 sampai Gambar 5.8.

Gambar 5.9
Grafik Konsumsi Bahan Bakar Volvo FMX440 Keadaan Muatan Naik

Gambar 5.10
Grafik Konsumsi Bahan Bakar Volvo FMX440 Keadaan Kosong Naik

63
Gambar 5.11
Grafik Konsumsi Bahan Bakar Bakar Volvo FMX440 Keadaan Muatan Turun

Gambar 5.12
Grafik Konsumsi Bahan Bakar Bakar Volvo FMX440 Keadaan Kosong Turun

Hubungan tahanan gelinding dan kemiringan jalan terhadap konsumsi bahan


bakar Dump Truck sangatlah erat dengan nilai R2 (koefisien determinasi) adalah
0,84 pada keadaan truk bermuatan naik dan 0,76 pada keadaan truk kosong naik.
Sedangkan pada keadaan kemiringan jalan angkut turun, nilai R2 adalah 0,72 pada
keadaan truk bermuatan turun dan 0,83 pada keadaan truk kosong turun. Semakin
kecil kemiringan jalan angkut akan mempercepat laju kendaraan, meningkatkan
produksi Dump Truck dan memperkecil konsumsi bahan bakar.

64
Gambar 5.13
Grafik Konsumsi Bahan Bakar Bakar Volvo FMX440 Keadaan Muatan Naik
(Total Resistance)

Gambar 5.14
Grafik Konsumsi Bahan Bakar Bakar Volvo FMX440 Keadaan Kosong Naik
(Total Resistance)

Gambar 5.15
Grafik Konsumsi Bahan Bakar Bakar Volvo FMX440 Keadaan Muatan Turun
(Total Asistance)

65
Gambar 5.16
Grafik Konsumsi Bahan Bakar Bakar Volvo FMX440 Keadaan Kosong Turun
(Total Asistance)

5.3. Rasio Bahan Bakar Berdasarkan Rimpull Dump Truck


Konsumsi bahan bakar Dump Truck pada industri pertambangan sangatlah
berpengaruh dengan pendapatan keuntungan dari suatu perusahaan. Sebab biaya
penyediaan bahan bakar untuk Dump Truck tidaklah sedikit, membutuhkan biaya
yang banyak. Oleh karena itu, pemakaian bahan bakar yang efisien sangatlah
membantu dalam proses pengematan. Dalam penggunaan bahan bakar, faktor-
faktor yang mempengaruhi antara lain, kemiringan jalan angkut (grade),
penggunaa gear pada Dump Truck, dan umur mesin.
Besarnya pengaruh kemiringan jalan angkut dan tahanan gelinding jalan
angkut terhadap konsumsi bahan bakar dan produksi Dump Truck apabila grade
jalan angkut terlalu tinggi akan mengakibatkan rimpull yang di butuhkan besar
dan kecepatan Dump Truck semakin kecil. Hal ini akan mempengaruhi banyaknya
rasio bahan bakar Dump Truck dalam pemindahan overburden dari loading point
menuju disposal. Kemiringan jalan angkut pada kondisi aktual di lapangan masih
terdapat kemiringan jalan angkut yang melebihi 12%, serta untuk tahanan
gelinding masih banyak segmen jalan yang mempunyai amblasan roda Dump
Truck yang melebihi batas aman atau standart perusahaan, dimana batas aman
berada pada kondisi medium severity yaitu amblasan maksimal 5 cm pada jalan
angkut tambang.
Selain itu penggunaan gear akan mempengaruhi konsumsi bahan bakar pada
suatu Dump Truck. Apabila pemakaian gear tidak sesuai acuan maka akan
memperbesar konsumsi bahan bakar dari suatu Dump Truck. Penggunaan gear ini
berhubungan langsung dengan kemiringan jalan angkut, apabila kemiringan jalan
66
angkut besar maka dibutuhkan gear rendah yang bertujuan untuk memberikan
tenaga yang besar kepada alat sehingga alat dapat melewati suatu kemiringan jalan
tersebut. Namun kondisi seperti ini akan memperbesar kebutuhan bahan bakar
Dump Truck. Akan berbeda jika kemiringan jalan angkut relatif datar, maka
dibutuhkan tenaga yang tidak cukup besar dan dapat menggunakan gear yang
tinggi sebab tenaga yang dibutuhkan oleh mesin untuk melewati jalan tersebut
tidak sebesar tenaga yang dibutuhkan untuk melewati jalan dengan kemiringan
yang curam.
Kemudian faktor dari umur Dump Truck juga mempengaruhi konsumsi
bahan bakarnya. Apabila umur Dump Truck semakin tua, maka umur mesin pada
alat tersebut akan semakin tua juga. Mesin yang tua akan meningkatkan konsumsi
bahan bakar bakar sebab terjadinya kerak mesin yang mengakibatkan tenaga
mesin yang dihasilkan tidak terlalu kuat, performa mesin jelek dan bensin akan
boros. Kemudian juga dapat terjadi penyumpatan di filter udara, hal ini terjadi
karena banyaknya kotoran yang menumpuk. Kotoran ini mengakibatkan sirkulasi
udara jadi tidak lancar karena terhambat. Ketika kekurangan udara, performa
mesin menurun dan hanya menghasilkan sedikit tenaga. Karena tenaganya sedikit,
pengemudi akan lebih menginjak pedal gas lebih dalam. Akhirnya konsumsi
bahan bakar jadi boros. Serta dengan mesin tua juga akan menyebabkan
terkikisnya piston, sehingga tekanan kompresinya rendah dan pemborosan dalam
penggunaan bahan bakar.
Kemudian untuk data – data produksi Dump Truck aktual, teori dan
seharusnya berdasarkan perhitungan rimpull (lihat Tabel 5.4)

Tabel 5.4
Produksi Dump Truck Volvo A35E Data Aktual Perusahaan dan Data
Pengamatan Lapangan di Fleet Pertama
Dump truck Volvo Cycle Time Ritase Produksi Produksi
No
A35E (min) (rit) (bcm/jam) (bcm/hari)
1 Data Aktual - - 70,61 1.270,98
Perusahaan
2 Data Pengamatan 11,19 6 71,92 1.294,56
Lapangan

Tabel 5.4 menunjukkan angka perbedaan produksi Dump Truck dengan data
aktual perusahaan dengan pengamatan waktu edar langsung di lapangan.

67
Tabel 5.5
Produksi Dump Truck Volvo FMX440 Data Aktual Perusahaan dan Data
Pengamatan Lapangan di Fleet Kedua
Dumptruck Volvo Cycle Time Ritase Produksi Produksi
No
FMX440 (min) (rit) (bcm/jam) (bcm/hari)
1 Data Aktual - - 55,2 993,6
Perusahaan
2 Data Pengamatan 9,46 6 57,97 1.043,46
Lapangan

Dari data produksi aktual dan teori, maka rasio bahan bakar Dump Truck
dapat diketahui dengan perbandingan banyaknya konsumsi bahan bakar dengan
produksi Dump Truck setiap jamnya. Rasio bahan bakar Dump Truck adalah :
Tabel 5.6
Rasio Bahan Bakar Volvo A35E di Fleet Pertama
Dump truck Volvo Produksi BBM Rasio BBM
No
FMX440 (bcm/jam) (ltr/jam) (ltr/bcm)
1 Data Aktual Perusahaan 70,61 24,30 0,34
2 Sebelum Perbaikan 71,92 18,48 0,26

Tabel 5.7
Rasio Bahan Bakar Volvo FMX440 di Fleet Kedua
Dump truck Volvo Produksi BBM Rasio BBM
No
A35E (bcm/jam) (ltr/jam) (ltr/bcm)
1 Data Aktual Perusahaan 55,2 16,20 0,29
2 Sebelum Perbaikan 57,97 14,74 0,26

Angka rasio bahan bakar akan lebih baik atau sesuai yang diharapkan
perusahaan jika nilainya semakin kecil, sehingga biaya yang di keluarkan
perusahaan akan semakain sedikit dalam proses penambangan. Batas maksimal
perusahaan untuk rasio bahan bakar Dump Truck adalah 0,80 l/BCM. Rasio bahan
bakar aktual dan sebelum perbaiakan kondisi jalan berdasarkan perhitungan
rimpull Dump Truck Volvo A35E di Fleet pertama aktualnya adalah 0,34 l/BCM
dan sebelum perbaikan 0,26 l/BCM, dan untuk Dump Truck Volvo FMX440 di
Fleet kedua aktualnya adalah 0,29 l/BCM dan sebelum perbaikan 0,26 l/BCM.
Pada kondisi tersebut, Dump Truck masih berada di atas batas aman dari target
maksimal rasio bahan bakar perusahaan, sehingga perlu dilakukan perbaikan
kondisi kerja dan jalan angkut terhadap pemakaian bahan bakar Dump Truck
untuk meningkatkan produksi dan mengefisiensikan penggunaan bahan bakar.

68
5.4. Pengaruh Perbaikan dan Perawatan Jalan Angkut Terhadap Rasio
Bahan Bakar Dump Truck
Kondisi jalan yang baik dan sesuai dengan acuan perusahaan akan
membantu dalam penghematan konsumsi bahan bakar dan peningkatan produksi.
Oleh karena itu, kondisi aktual jalan angkut yang kurang baik pada beberapa
segmen jalan harus segera diperbaiki pada kondisi medium severity yaitu
amblasan tidak lebih dari 5 cm dengan penambahan lapisan perkerasan dan
perataan jalan angkut. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan bantuan alat mekanis
yaitu grader yang digunakan untuk perataan jalan (lihat Gambar 5.17). Serta dapat
dilakukan dengan cara dumping di jalan yang amblas, kemudian dilakukan
pemadatan di area tersebut. Kemudian untuk penanganan apabila terjadi
kemiringan jalan angkut yang melebihi acuan perusahaan yaitu 12%, maka
mengurangi lapisan tanah dengan cara mendorong dari atas ke bawah (dozing)
menggunakan dozer.
Selain itu, harus juga dilaksanakan road maintenance yaitu melakukan
pemeliharaan dan perawatan jalan angkut. Pada saat melakukan road maintenance
harus menggunakan rambu batas kecepatan, peringatan, barikade dan flagmen
untuk mengendalikan dan mengurangi bahaya pada personel perawatan jalan

(lihat Gambar 5.17). Perhatian yang harus diberikan pada jalan tambang adalah
perawatan (maintenance) yang dilakukan dengan cara sistematis dan terukur
untuk menhgetahui jenis – jenis kerusakan pada jalan tambang.

Gambar 5.17
Motor Grader CAT – GD01 untuk Perawatan Jalan

Perbaikan kondisi jalan angkut pada segmen jalan yang rusak akan
69
menurunkan konsumsi bahan bakar dan meningkatkan produksi Dump Truck pada
pemindahan overburden. Waktu tempuh pengangkutan overburden dari loading
point menuju disposal akan semakin cepat sehingga produksi semakin meningkat.
Selain dengan perbaikan kondisi jalan yaitu dengan menurunkan kemiringan
jalan angkut yang disesuaikan dengan acuan perusahaan yaitu kemiringan jalan
angkut sebesar 12%. Perbaikan dan inovasi baru juga dilakukan dengan
pembuatan dan pemasangan rambu – rambu jalan yang akan dipasang di setiap
segmen jalan.

Sehingga operator dapat mudah melihat rambu – rambu tersebut. Rambu –


rambu yang dipasang di setiap segmen jalan ini bertujuan untuk mengatur
penggunaan gear pada Dump Truck yang digunakan dan untuk mengarahkan
operator dalam menggunakan kecepatan yang optimal saat melewati suatu segmen
jalan (lihat Gambar 5.18 dan Gambar 5.19).

Gambar 5.18 Gambar 5.19


Rambu Penggunaan Gear Rambu Tikungan Tajam

Rambu – rambu ini mempunyai arti gear dan kecepatan yang harus
digunakan oleh operator. Gear 5 maksudnya adalah penggunaan optimal gear saat
melewati suatu segmen adalah gear 5 dengan kecepatan 25 – 35 Km/jam.
Kemudian untuk rambu – rambu ditikungan juga diberi petunjuk bahwa jalan
menikung dan batas kecepatan yang wajib digunakan adalah 17 Km/jam. Kegiatan
ini apabila terlaksana dan dipatuhi oleh operator maka dapat menghemat
konsumsi bahan bakar pada suatu Dump Truck. Serta dapat juga untuk
mempercepat waktu edar suatu Dump Truck, sehngga nantinya produksi akan
lebih meningkat. Apabila konsumsi bahan bakar rendah sedangkan produksi
meningkat maka rasio bahan bakar pada suatu perusahaan akan rendah.
70
Pada perhitungan waktu tempuh setelah perbaikan jalan angkut dari loading
point menuju disposal berdasarkan pemakaian rimpull Dump Truck di Fleet
pertama adalah 10,48 menit (lihat Lampiran R). Perhitungan konsumsi bahan
bakar Dump Truck setelah perbaikan kemiringan jalan angkut dan amblesan tidak
lebih dari 5 cm (lihat Lampiran Q Tabel Q.3).
Waktu tempuh setelah perbaikan dari loading point menuju disposal
berdasarkan pemakaian rimpull Dump Truck di Fleet kedua adalah 8,78 menit
(lihat Lampiran R). Kemudian perhitungan konsumsi bahan bakar Dump Truck
setelah perbaikan kemiringan jalan angkut dan amblesan tidak lebih dari 5 cm
(lihat Lampiran Q Tabel Q.4).
Kemudian untuk produksi Dump Truck data aktual perusahaan, data
pengamatan lapangan dan setelah perbaikan kondisi jalan angkut yaitu dengan
kemiringan jalan angkut maksimal 12% dan amblasan tidak lebih dari 5 cm
berdasarkan perhitungan rimpull (lihat Tabel 5.8 sampai Tabel.10).

Tabel 5.8
Produksi Dump Truck Volvo A35E Fleet Pertama Setelah Perbaikan
Dump Truck Volvo Cycle Time Ritase Produksi Produksi
No
A35E (min) (rit) (bcm/jam) (bcm/hari)
Data Aktual
1 - - 70,61 1.270,98
Perusahaan
Data Pengamatan
2 11,19 6 71,92 1.294,56
Lapangan
3 Usulan Perbaikan 10,48 6 76,79 1.382,22

Tabel 5.9
Produksi Dump Truck Volvo FMX440 di Fleet Kedua Setelah Perbaikan
Dumptruck Volvo Cycle Time Ritase Produksi Produksi
No A35E (min) (rit) (bcm/jam) (bcm/hari)
Data Aktual
1 - - 55,2 993,6
Perusahaan
Data Pengamatan
2 9,46 6 57,97 1.043,46
Lapangan
3 Usulan Perbaikan 8,78 6 62,46 1.124,28

Kemudian setelah perbaikan kondisi jalan dengan kemiringan jalan angkut


maksimal sebesar 12% dan amblesan maksimal 5 cm, maka konsumsi bahan
bakarnya dapat dilihat pada table 5.22.

71
Tabel 5.10
Konsumsi Bahan Bakar Dump Truck Setelah Perbaikan
Travel Time BBM Idlle BBM
BBM (l/hr) (hour) BBM (liter)
Fleet Jenis Alat (liter) BBM Ritase (l/hr)
Load Empty Load Empty Load Empty (liter) (rit)
1 Volvo A35E 83,67 38,89 0,212 0,118 17,77 4,58 22,35 0,89 2,5 58,11
2 Volvo FMX440 89,69 31,22 0,208 0,148 18,69 4,63 23,52 0,75 2,4 57,79

Setelah perbaikan kondisi jalan angkut, konsumsi bahan bakar Dump Truck Volvo
A35E di Fleet pertama adalah 15,79 l/jam, untuk Volvo FMX440 di Fleet kedua adalah
12,31 l/jam. Sehingga rasio bahan bakar Dump Truck setelah perbaikan akan dapat
diketahui (lihat Tabel 5.11 - Tabel 5.12).

Tabel 5.11
Rasio Bahan Bakar Setelah Perbaikan Volvo A35E di Fleet Pertama
Dumptruck Produksi BBM Rasio BBM
No Volvo A35E (BCM/jam) (l/jam) (l/BCM)
1 Data Aktual Perusahaan 70,61 24,30 0,34
Data Pengamatan
2 71,92 18,57 0,26
Lapangan
3 Usulan Perbaikan 76,79 15,79 0,21

Tabel 5.12
Rasio Bahan Bakar Setelah Perbaikan Volvo FMX440 di Fleet Kedua
Dumptruck Produksi BBM Rasio BBM
No Volvo FMX440 (BCM/jam) (l/jam) (l/BCM)
1 Data Aktual Perusahaan 55,2 16,20 0,29
Data Pengamatan
2 57,97 14,83 0,26
Lapangan
3 Usulan Perbaikan 62,46 12,31 0,20

Rasio bahan bakar setelah perbaikan kondisi jalan dengan kemiringan jalan
angkut tidak lebih 12% dan amblasan tidak lebih dari 5 cm berdasarkan perhitungan
rimpull Dump Truck tidak melebihi dari batas pemakaian perusahaan yaitu 0,80 l/BCM.
Rasio bahan bakar untuk Volvo A35E di Fleet pertama adalah 0,21 l/BCM, sedangkan
untuk Volvo FMX440 di Fleet kedua adalah 0,20 l/BCM.

72
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan perhitungan dapat disimpulkan beberapa hal
sebagai berikut :
1) Kondisi jalan angkut aktual untuk dump truck Volvo A35E pada fleet pertama :
a) Masih terdapat amblasan jalan di atas 5 cm pada segmen 0-10, segmen 20-24,
segmen 25-32, segmen 34-45.
b) Terdapat jalan angkut yang tidak sesuai teori geometri jalan angkut tambang,
menurut perhitungan yaitu kurang dari 12 m, terdapat pada segmen 6-13,
segmen 14-20, segmen 25-31, segmen 37-39.

2) Kondisi jalan angkut aktual untuk dump truck Volvo FMX440 pada fleet kedua :
a) Masih terdapat amblasan jalan di atas 5 cm pada segmen 0-12, segmen 16-17,
segmen 20-24, segmen 25-32, segmen 34-45, segmen 46-60

b) Terdapat kemiringan jalan angkut yang melebihi peraturan KepMen ESDM


yaitu sebesar 12 % pada segmen 10-11. (KepMen ESDM No.1827
K/30/MEM/2018)
c) Terdapat jalan angkut yang tidak sesuai teori geometri jalan angkut tambang,
menurut perhitungan yaitu kurang dari 12 m, terdapat pada segmen 0-3, segmen
11-20, segmen 25-31, segmen 37-39, segmen 47-53

3) Konsumsi bahan bakar dan produktivitas dump truck berdasarkan data aktual
dari Perusahaan, berdasarkan pengamatan lapangan dan setelah rekomendasi
perbaikan jalan angkut adalah sebagai berikut :
a) Konsumsi bahan bakar dan produktivitas dump truck Volvo A35E di fleet
pertama adalah :
• Berdasarkan data aktual dari Perusahaan, konsumsi bahan bakar sebesar
24,30 l/jam dan produktivitas dump truck sebesar 70,61 BCM/jam.
• Berdasarkan pengamatan lapangan sebelum rekomendasi perbaikan jalan
angkut, konsumsi bahan bakar sebesar 18,57 l/jam dan produktivitas dump
73
truck sebesar 71,92 BCM/jam.
• Setelah rekomendasi perbaikan jalan angkut, konsumsi bahan bakar
menjadi 15,79 l/jam dan produksi dump truck sebesar 76,79 BCM/jam.
b) Konsumsi bahan bakar dan produksi dump truck Volvo FMX440 di fleet
kedua adalah :
• Data aktual perusahaan, konsumsi bahan bakar 16,20 l/jam dan produksi
dump truck sebesar 55,20 BCM/jam.
• Berdasarkan pengamatan lapangan, konsumsi bahan bakar 14,83 l/jam dan
produksi dump truck sebesar 57,97 BCM/jam.
• Setelah rekomendasi perbaikan jalan angkut konusumsi bahan bakar 12,31
l/jam dan produksi dump truck sebesar 62,46 BCM/jam.

4) Rasio bahan bakar menurut data aktual perusahaan, pengamatan lapangan dan
setelah rekomendasi perbaikan jalan angkut berdasarkan pada perhitungan
rimpull, yaitu sebesar :
a) Rasio bahan bakar data aktual perushaan untuk Volvo A35E di fleet pertama
0,34 l/BCM, menurut pengamatan lapangan 0,26 l/BCM, dan setelah
rekomendasi perbaikan jalan menjadi 0,21 l/BCM.
b) Rasio bahan bakar data aktual perusahaan untuk Volvo FMX440 di fleet
kedua sebesar 0,29 l/BCM, menurut pengamtan lapangan 0,26 l/BCM, dan
setelah rekomendasi perbaikan jalan menjadi 0,20 l/BCM.

6.2. Saran
Saran yang dapat ditulis dari hasil penelitian ini adalah meningkatkan
perawatan jalan angkut sehingga tidak terdapat kemiringan jalan angkut yang
melebihi KepMen ESDM yaitu sebesar 12 % (KepMen ESDM No.1827
K/30/MEM/2018) dan tidak terjadi amblasan yang menghambat laju kendaraan
apalagi saat musim penghujan. Menambah jumlah motor grader yang pada awalnya
hanya berjumlah 1 menjadi 3 ditempatkan pada loading point, jalan angkut dari
loading point menuju disposal, serta pada disposal area sehingga perawatan jalan
lebih efektif dan tidak ada amblesan jalan yang melebihi 5 cm.

74

Anda mungkin juga menyukai