Anda di halaman 1dari 31

BAB III

DASAR TEORI

3.1. Pembongkaran Overburden


Proses penggalian tanah maupun batuan dapat dilakukan dengan cara
mekanis maupun dengan metode peledakan. Pemilihan metode dalam melakukan
penggalian ini sangat penting agar dapat menggunkan metode yang tepat dan
efisien sesuai karakteristik bahan galian.
Apabila mempergunakan alat gali mekanis, maka harus dipelajari berbagai
macam kriteria penggalian yang telah dikenal luas. Dengan memahami kriteria
penggalian tersebut dapat diharapkan akan mampu memilih alat gali mekanis
yang sesuai dengan kondisi lapangan dimana penggalian dilakukan.
Serta apabila metode yang digunakan adalah peledakan, maka harus
dipelajari metode peledakan yang digunakan agar tercipta kegiatan peledakan
yang efektif dan aman.

Gambar 3.1
Klasifikasi Rippability menurut Singh
(Sumber : Z.T. Bieniawski, 1989)

3.1.1. Pembongkaran Overburden dengan Menggunakan Alat Mekanis


Pembongkaran overburden dengan mengunakan alat mekanis yang
pertama harus mengetahui kualitas massa batuan. Klasifikasi massa batuan untuk
kepentingan penggaruan yang melibatkan parameter mesin penggaru dan sifat-
sifat fisik, mekanik dan dinamik massa batuan diberikan oleh K=klasifikasi
kemampugaruan (rippability chart). Rippability index adalah suatu angka yang
menunjukkan kemapuan suatu batuan tersebut mudah tidaknya untuk dilakukan
penggaruan. Parameter yang dipakai dalam klasifikasi menurut Weaver (dalam
Z.T. Bieniawski, 1989 : 187) adalah kecepatan seismik, kekerasan batuan, tingkat
pelapukan, jarak kekar, kemenerusan kekar, jarak pemisahan kekar dan orientasi
kekar terhadap penggalian

Gambar 3.2
Grafik Kriteria Kemampugaruan Pettifier dan Fookes
(Sumber: Pettifier dan Fookes, 1994)
Klasifikasi Kemampugaruan telah digunakan dengan hasil memuaskan di
daerah Afrika Selatan oleh Weaver. Namun demikian perlu diketahui bahwa
klasifikasi ini selanjutnya dimodifikasi oleh Singh dkk yang hanya melibatkan
sifat-sifat batuan seperti kuat tekan uniaksial, beban titik, young's modulus, dan
kecepatan rambat gelombang seismik di lapangan (lihat Gambar 3.1). Kemudian
Pettifer dan Fookes mencoba untuk melakukan beberapa modifikasi terhadap
kriteria penggaruan yang digunakan (lihat Gambar 3.2).
3.1.2. Pembongkaran Overburden dengan Metode Peledakan
Pada proses penambangan terdapat bermacam – macam cara untuk
melepaskan material dari batuan induknya, salah satu cara menggunakan
pemboran dan peledakan. Pekerjaan ini ditempuh apabila cara lain yang lebih
efektif tidak dapat digunakan terhadap batuan, misalnya dengan alat mekanis.
Metode pembongkaran dan peledakan dilakukan dengan melihat daya
tahan batuan terhadap peledakan yang dipengaruhi oleh keadaan batuan dan
tingkat sedimentasi. Daya tahan batuan terhadap peledakan ini sering disebut
Rock blastability. Pada batuan kompak dan keras, peledakan dapat dikontrol
dengan baik sedangkan pada batuan yang banyak rekahannya, sebagian energi
peledakan akan diteruskan ke dalam rekahan dan energi peledakan menjadi
berkurang untuk membongkar massa batuan. Pembobotan massa batuan yang
berhubungan dengan peledakan adalah pembobotan massa batuan berdasarkan
nilai indeks peledakan, salah satunya adalah blastability index menurut Lilly
(1986). Parameter - parameter untuk pembobotan tersebut meliputi Rock Mass
Description (RMD), Joint Plane Spacing (JPS), Joint Plane Orientation (JPO),
Specific Gravity Influence (SGI), dan Hardness (H) (lihat Tabel 3.1). Berikut ini
adalah persamaan untuk mencari blastability index (BI) :
BI = 0,5 (RMD + JPS + JPO + SGI + H)...............................................(3.1)

Tabel 3.1
Bobot Nilai Setiap Parameter Blastability Index
(Sumber: Carlos Lopez Jimeno, 1995)
)

Dari hasil pembobotan nilai tiap parameter blastability index, dapat


diketahui faktor batuan (Aₒ) dengan persamaan :
Aₒ = BI x 0,12.............................................................................................(3.2)
Penentuan distribusi ukuran fragmentasi hasil peledakan metode Kuz-Ram
terdiri dari dua persamaan, yaitu persamaan Kuznetzov untuk menentukan ukuran
fragmentasi rata - rata (X) dan persamaan Rossin-Rammler untuk menentukan
persentase fragmentasi pada ukuran tertentu. Persamaan Kuznetzov adalah
sebagai berikut :
19
𝑉 0,8 1
𝐸 −
X̄ = 𝐴𝑜 𝑥 ( ) 𝑥𝑄 6𝑥 ) 30
…….…………………………………..(3.3)
𝑄 ( 115

Keterangan:

X̄ = Ukuran fragmentasi rata-rata, cm


Ao = Faktor Batuan
V
= Volume batuan per lubang ledak, m3
Q = Jumlah bahan peledak equivalent per lubang ledak, kg
E = Relative Weight Strength (ANFO=100 TNT=115)
3.2. Pengangkutan Overburden
Kegiatan pengangkutan overburden adalah suatu kegiatan dengan
memindahkan lapisan tanah atau batuan yang berada di atas lapisan timah menuju
tempat penimbunan atau disposal. Keadaan baik atau buruknya kondisi kerja dan
jalan angkut akan mempengaruhi waktu edar alat, produktivitas dan tingkat
konsumsi bahan bakar alat angkut tersebut. Perkerasan jalan yang kurang baik
akan mengkibatkan terjadinya amblasan pada permukaan roda alat angkut yang
menghambat laju kendaraan. Oleh karena itu perawatan jalan angkut harus
dilakukan secara rutin sesuai dengan kebutuhan dan kondisi kerja aktual apalagi
pada saat musim penghujan.

3.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengangkutan Overburden


Kegiatan pengangkutan overburden dari lokasi pemuatan menuju
disposal dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah :
3.3.1. Kondisi Front Kerja
Tempat kerja tidak hanya harus memenuhi syarat bagi pencapaian sasaran
produksi tetapi juga harus aman bagi penempatan alat angkut beserta mobilitas
pekerja yang berada disekitarnya. Tempat kerja yang sempit akan memperkecil
waktu edar alat karena tidak ada cukup tempat untuk berbagai kegiatan, seperti
keleluasaan tempat untuk berputar ataupun mengambil posisi sebelum dilakukan
kegiatan pemuatan. Penyesuaian pola pemuatan material pada alat angkut
tergantung dengan pemilihan alat dan dimensi kerja alat gali muat dan alat angkut.
3.3.2. Keadaan Jalan Angkut
Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan jalan angkut adalah
sebagai berikut :
1) Lebar Jalan Angkut
Penentuan lebar jalan angkut minimum untuk jalan lurus didasarkan pada
rule of thumb yang dikemukakan menurut “AASTHO (American Association of
State Transportation Highway Officials)” dengan persamaan sebagai berikut :
L = (n x Wt) + (n +1)(0,5 x Wt).............................................................(3.5)
Keterangan :
L = Lebar minimum jalan angkut lurus, m
N = Jumlah jalur
Wt = Lebar alat angkut total, m

Nilai dari angka 0,5 pada rumus diatas menunjukkan bahwa ukuran aman
kedua kendaraan yang sedang berpapasan adalah sebesar 0,5 Wt, yaitu setengah
lebar terbesar dari alat angkut yang bersimpangan. Ukuran 0,5 Wt juga digunakan
untuk jarak dari tepi kanan atau kiri jalan ke alat angkut yang melintasi secara
berlawanan (lihat Gambar 3.4).

Gambar 3.4
Lebar Jalan Angkut Lurus
(Sumber : Walter W. Kaufman and James C. Ault, 1997)
Keterangan :
W = Lebar jalan angkut minimum pada tikungan, meter
n = Jumlah jalur
U = Jarak jejak roda kendaraan, meter
Fa = Lebar juntai depan, meter
Fb = Lebar juntai belakang, meter
Ad = Jarak as roda depan dengan bagian depan truk, meter
Ab = Jarak as roda belakang dengan bagian belakang truk, meter
C = Jarak antara dua truk yang akan bersimpangan, meter
Z = Jarak sisi luar truk ke tepi jalan, meter
Fa = Ad x sin α
Fb = Ab x sin α
α = Sudut penyimpangan (belok) roda depan

2) Lebar pada jalan tikungan


Untuk menentukan lebar jalan angkut pada tikungan harus disesuaikan
dengan pemilihan alat angkut yang akan digunakan pada proses penambangan.
Lebar jalan angkut pada tikungan selalu lebih besar dari pada lebar jalan lurus
(lihat Gambar 3.3).

Gambar 3.3
Lebar Jalan Angkut Pada Tikungan
(Sumber : Walter W. Kaufman and James C. Ault, 1997)
Untuk jalur ganda, lebar minimum pada tikungan dihitung berdasarkan pada :
- Lebar jejak ban.
- Lebar juntai atau tonjolan (overhang) alat angkut bagian depan dan belakang
roda saat membelok.
- Jarak antara alat angkut yang bersimpangan.
- Jarak (spasi) alat angkut terhadap tepi jalan.
Menurut Walter dan James (1977) perhitungan terhadap lebar jalan angkut
pada tikungan atau belokan dapat menggunakan persamaan :
W = 2 ( U + Fa + Fb + Z ) + C........................................................(3.4)
C = Z = ½ (U + Fa + Fb)

Gambar 3.5
Sudut Penyimpangan Maksimum Roda Kendaraan
(Sumber : Suwandi,2004)

3) Kemiringan jalan angkut (grade)


Kemiringan jalan angkut (grade) merupakan suatu faktor penting yang harus
diamati secara detail dalam kegiatan kajian terhadap kondisi jalan tambang.

Hal ini dikarenakan kemiringan jalan angkut berhubungan langsung dengan


kemampuan alat angkut, baik dalam pengereman maupun dalam mengatasi tanjakan.
Kemiringan jalan angkut biasanya dinyatakan dalam persen (%).

4) Sudut Penyimpangan Maksimum Roda Kendaraan


Sudut Penyimpangan Maksimum Roda Kendaraan berhubungan dengan
konstruksi kendaraan atau alat angkut yang digunakan, dimana jari-jari lingkaran
yang dimiliki oleh roda belakang dan roda depan berpotongan di pusat dengan
sudut sama terhadap sudut penyimpangan roda depan (lihat Gambar 3.5). Dalam
penentuan besarnya sudut penyimpangan maksimum roda kendaraan menurut
Suwandi (2004), rumus yang digunakan adalah :
𝑊
R= …….………………………………………...................... (3.6)
Sin
α
Keterangan :
R = jari-jari truk membelok, m
W = jarak antara poros depan dan belakang, m
α = sudut penyimpangan roda depan (derajat)
Menurut Sulistyana (2017) dihitung dengan mempergunakan rumus sebagai
berikut
Δh
Grade (α) = x100%....................................................................(3.7)
Δx
Keterangan :
Δh = Beda tinggi antara dua titik yang
diukur Δ x = Jarak datar antara dua titik yang
diukur
Secara umum kemiringan jalan maksimum yang tidak dapat dilalui dengan
baik oleh alat angkut besarnya berkisar antar 10% - 18%. Akan tetapi untuk jalan
naik maupun turun lebih aman kemiringan jalan maksimum sebesar 8%.

5) Superelevasi
Suwandi (2004) menyatakan kemiringan jalan pada tikungan yang terbentuk
oleh batas antara tepi jalan terluar dengan tepi jalan terdalam karena perbedaan
ketinggian. Bagian tikungan jalan perlu diberi superelevasi, yakni dengan cara
meninggikan jalan pada sisi luar tikungan (lihat Gambar 3.6).

Gambar 3.6
Superelevasi Jalan Angkut
(Sumber : Jieun Beek dan Yooson Choi, 2017)
Hal ini bertujuan untuk menghindari/ mencegah kendaraan tergelincir ke luar
jalan atau terguling, sehingga kendaraan akan dapat aman saat berada
padatikungan. Menurut Suwandi (2014) besarnya superelevasi dapat dihitung
dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
𝑉2
e+f= ……………………………………………...………………….(3.8)
127 𝑅
Keterangan :
e = Superelevasi, m/m
V = Kecepatan rencana alat angkut
f = faktor gesekan
R = Radius Tikungan, m

6) Konstruksi Jalan Angkut


Secara keseluruhan, jalan harus mampu untuk menahan berat atau beban
kendaraan maksimum yang berat diatasnya. Sehingga apabila daya dukung jalan
yang ada tidak dapat menahan beban yang diterima, maka kondisi jalan akan
mengalami penurunan dan pergeseran jalan maupun tanah dasarnya yang
selanjutnya berakibat jalan akan bergelombang dan banyak cekungan-cekungan.
Tabel 3.2
Daya Dukung Material
(Sumber : Walter W. Kaufman and James C. Ault, 1997)
Jenis Material Daya Dukung
Hard Sound Rock 120,000
Medium Hard Rock 80,000
Hard pan overlying rock 24,000
Compact gravel and boulder gravel formations 20,000
Soft rock 16,000
Compact sand and gravelly sand, very compact sand 12,000
Hard dry consolidatd clay 10,000
Loose coarse to medium sand; medium compact fine 8,000
Compact sand-clay soils 6,000
Loose fine sand; medium compact sand-inorganic silt 4,000
Firm stiff clay 3,000
Loose saturated sand clay soils, medium soft clay 2,000

Suatu alat yang ditempatkan di atas material akan memberikan ground


pressure. Perlawanan yang diberikan material itulah yang disebut dengan daya
dukung material. Untuk menghitung kemampuan jalan angkut terhadap berat
beban kendaraan dan muatannya yang akan melaluinya, maka perlu diketahui
berat beban kendaraan yang diteruskan
roda terhadap permukaan jalan melalui as roda biasanya bergantung dari tekanan
ban dalam dan kekuatan ban luar dan daya dukung material.
Setelah luas bidang kontak (contact area) antara roda kendaraan dengan
permukaan jalan dapat diketahui. Persamaan yang digunakan sebagai berikut
Purifoy (2006) :

0,9 ×Beban yang diterima roda (lbs).............................................


Luas bidang kontak (𝑖𝑛2) = Tekanan udara ban (𝑝𝑠𝑖) (3.9)

Beban pada tiap roda (lb)......................................


Beban pada permukaan jalan (psi) = (3.10)
Luas bidang kontak (𝑖𝑛2)

Untuk mengetahui macam pengeras jalan angkut terhadap beban kendaraan


yang akan melaluinya perlu diketahui daya dukung material terhadap beban
kendaraan pada permukaan jalan angkut. Besarnya daya dukung bermacam-
macam tergantung materialnya (lihat Tabel 3.2).

3.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Alat Angkut


Produksi pada suatu industri pertambangan merupakan salah satu kunci
untuk mencapai keuntungan. Produksi yang dihasilkan pada industri perusahaan
dipengaruhi oleh beberapa, diantaranya adalah :
3.4.1. Efisiensi Kerja
Efisiensi kerja adalah penilaian terhadap suatu pelaksanaan pekerjaan atau
merupakan perbandingan antara waktu yang dipakai untuk bekerja dengan waktu
tersedia yang dinyatakan dalam persen (%). Efisiensi kerja ini akan
mempengaruhi kemampuan alat mekanis, faktor manusia, mesin, cuaca dan
kondisi kerja secara keseluruhan akan menentukan besarnya efisiensi kerja.
Menurut Indonesianto, (2013) menghitung efisiensi kerja dapat menggunakan
persamaan :
𝑊𝑒
𝐸𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛𝑠i 𝐾𝑒𝑟𝑗𝑎 = 𝑥 100% ………………………...………………...(3.11)
𝑊𝑡

Keterangan :
Ek : Efisiensi kerja
We : Waktu kerja efektif
(menit)
Wt : Waktu kerja tersedia (menit)

3.4.2. Waktu Edar Alat Angkut


Waktu edar alat angkut (dump truck) pada umumnya terdiri dari waktu
menunggu alat untuk dimuat, waktu mengatur posisi untuk dimuati, waktu diisi
muatan, waktu mengangkut muatan, waktu dumping, dan waktu kembali kosong.
Menurut Indonesianto (2013) untuk mengetahui waktu edar suatu alat angkut
dapat digunakan rumus sebagai berikut :

Cta = Ta1 + Ta2 + Ta3 + Ta4 + Ta5 + Ta6...........................................(3.12)

Keterangan :
Cta = Waktu edar alat angkut, menit
Ta1 = Waktu mengambil posisi untuk siap dimuati,
detik Ta2 = Waktu diisi muatan, detik
Ta3 = Waktu mengangkut muatan, detik
Ta4 = Waktu mengambil posisi untuk penumpahan, detik
Ta5 = Waktu muatan ditumpahkan (dumping), detik
Ta6 = Waktu kembali kosong, detik

3.4.3. Faktor Pengembangan Material (Swell factor)


Pengembangan material adalah suatu perubahan berupa penambahan
volume material yang diganggu dari bentuk aslinya, sedangkan berat material
tetap (lihat Gambar 3.7). Berdasarkan perubahan tersebut, pengukuran volume
atau bobot isi material dibedakan atas :
1) Keadaan asli (bank condition)
Keadaan material yang masih alami dan belum mengalami ganguan dari luar
sama sekali, sehingga mengakibatkan butiran-butiran material yang ada masih
terkonsolidasi dengan baik. Satuan volume material dalam keadaan asli seperti ini
disebut meter kubik dalam keadaan asli (Bank Cubic Meter/ BCM).

2) Keadaan terberai (loose condition)


Material yang telah tergali atau terbongkat dari tempat aslinya akan
mengalami perubahan volume yaitu akan mengalami proses mengembang. Hal ini
disebabkan adanya penambahan rongga udara di antara butiran-butiran material.
Sehingga satuan volume material dalam keadaan terberai sering disebut meter
kubik dalam keadaan terberai (Loose Cubic Meter/ LCM).
3) Keadaan padat (compacted condition)
Keadaan padat akan dialami oleh material yang mengalami proses
pemadatan. Adanya penyusutan rongga udara di antara butiran-butiran material
tersebut, volumenya berkurang tetapi beratnya sama. Satuan volume material
dalam keadaan padat disebut meter kubik dalam keadaan padat (Compacted Cubic
Meter/ CCM).

1.2 0.9
1.0

Change in earth Volume

Gambar 3.7
Faktor Pengembangan Material (Swell Factor)

Rumus untuk menghitung swell factor (SF) menurut Purifoy (2006), yaitu :
a) Rumus Swell Factor berdasarkan volume :

SF  Bank Volume
…................................................................................. (3.13)
Loose
Volume
b) Rumus Swell Factor berdasarkan densitas :

Loose
SF 
Density …................................................................................
Bank
Density

3.4.4. Faktor Pengisian Bucket (Bucket Fill Factor)


Faktor pengisian dari suatu alat gali muat dipengaruhi oleh kapasitas bucket, jenis
dan sifat material yang ditangani. Indonesianto Yanto (2013) menyatakan Faktor
pengisian merupakan perbandingan antara kapasitas nyata suatu bucket alat gali
muat (munjung) dengan kapasitas bucket yang dinyatakan dalam persen (%).
Semakin besar factor pengisian maka Semakin besar pula kemampuan nyata dari
alat terebut. Faktor pengisian mangkuk disebut juga bucket fill factor. Faktor
pengisian ini dapat mempengaruhi efisiensi penambangan dan tingkat pencapaian
target produksi yang telah ditentukan. Faktor pengisian dari suatu alat gali muat
dipengaruhi oleh kapasitas bucket, jenis dan sifat material yang ditangani. Suatu
penentuan faktor pengisian alat gali muat selalu dipengaruhi dengan kondisi kerja
(lihat Tabel 3.3).
Tabel 3.3
Faktor Pengisian Bucket (Bucket Fill Factor)
(Sumber : SANY Handbook 30th Edition, 2009)

Excavating Condition Bucket Factor


Excavating natural ground of
Easy 1.10 – 1.20
clay soil, clay or soft soil
Excavating natural ground
Average of soil such as sandy soil 1.00 – 1.10
and
dry soil
Rather Difficult Loading well balsted rock 0.80 – 0.90
Difficult Loading poorly blasted rock 0.70 – 0.80

3.5. Kemampuan Produksi Alat Angkut


Produksi alat angkut dipengaruhi oleh banyaknya trip atau lintasan yang
dapat dicapai oleh alat angkut tersebut. Banyaknya trip dipengaruhi oleh waktu
edar dan efisiensi kerja alat. Indonesianto (2013) menyatakan untuk menghitung
produksi alat angkut :
1) Banyaknya Trip (T)
60.......................................................................................................
T= (3.15)
Cta
Keterangan :
T = Banyaknya trip, trip/jam
Cta = Waktu edar dump truck, menit
60 = Konversi dari menit ke jam
2) Produksi Alat Angkut
Pta = T x Kb x F x n x Ek x SF..................................................................(3.16)
Keterangan :
Pta = Produksi alat angkut, BCM/jam.
T = Banyaknya trip, trip/jam.
Kb = Kapasitas mangkuk (bucket capacity), m3.
F = Faktor pengisian mangkok excavator, %.
n = Banyaknya pemuatan mangkok excavator.
Ek = Efisiensi kerja, %.
SF = Swell factor

3.6. Tahanan yang Mempengaruhi Gaya Gerak Kendaraan


Sesuatu benda yang akan bergerak secara otomatis akan mempunyai suatu
gaya tahan untuk menahan suatu benda tersebut tetap statis. Pada alat angkut juga
memiliki tahanan yang mempengaruhi haya gerak kendaraan, tahanan – tahanan
tersebut adalah :
3.6.1. Tahanan Gelinding (Rolling Resistance)
Tahanan gelinding/gulir adalah tahanan yang berusaha menahan putaran
roda kendaraan (lb). Jika tahanan gulir semakin besar akan menyebabkan gaya
yang diperlukan untuk menarik kendaraan di atas tanah semakin besar, hal ini
akan menyebabkan konsumsi bahan bakar yang dipergunakan alat angkut semakin
banyak. Purifoy (2006) menyatakan besarnya Rolling resistance dapat
menggunakan rumus :
𝑅𝑅 𝑓𝑎𝑐𝑡𝑜𝑟 = 40 𝑙𝑏/𝑡𝑜𝑛 + 30 𝑙𝑏/𝑡𝑜𝑛/𝑖𝑛𝑐ℎ 𝑥 𝑡𝑖𝑟𝑒 𝑝𝑒𝑛𝑒𝑡𝑟𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 (𝑖𝑛𝑐ℎ) ...(3.17)
𝑅𝑅 = 𝑅𝑅 𝑓𝑎𝑐𝑡𝑜𝑟 (𝑙𝑏/𝑡𝑜𝑛) 𝑥 𝐺𝑟𝑜𝑠𝑠 𝑚𝑎𝑐ℎ𝑖𝑛𝑒 𝑤𝑒𝑖𝑔ℎ𝑡 (𝑡𝑜𝑛𝑠).......................(3.18)
Keterangan :
Tire penetration : Amblasan ban pada permukaan jalan angkut, inch
Gross machine weight : Berat keseluruhan alat angkut, tons

Faktor-faktor yang mempengaruhi tahanan gulir yaitu :


1) Berat muatan yaitu semakin besar muatan yang diberikan akan memberikan
nilai tahanan gulir semakin besar pula
2) Keadaan jalan yaitu semakin keras dan rata jalan tersebut, semakin kecil
tahanan gulirnya.
3) Gesekan dalam (internal friction) yaitu jika terdapat penambahan daya
mekanis antara mesin dan ban akan meningkatkan tahanan gulir.
4) Pengemudi, yaitu keahlian operator untuk mengemudikan kendaraannya
secara baik akan mempengaruhi besarnya nilai tahanan gulir.

Tabel 3.4
Parameter Kerusakan Jalan Angkut
(Sumber : PT. BMS, 2016)

Pengamatan langsung di lapangan menunjukkan berbagai macam besarnya


amblasan roda alat angkut pada permukaan jalan angkut tambang. Standar
perusahaan mengenai kondisi atau kerusakan permukaan jalan yang amblas oleh
beban alat angkut tergantung suatu perusahaan (lihat Tabel 3.4).

3.6.2. Tahanan Kemiringan (Grade Resistance)


Grade resistance adalah tahanan yang timbul dan harus diatasi oleh gaya
dari mesin dikarenakan kendaraan bergerak menanjak atau kemiringan positif.
Kemiringan jalan angkut (grade) merupakan suatu faktor penting yang harus
diamati secara detail dalam kegiatan analisis pengaruh kondisi jalan tambang
terhadap konsumsi bahan bakar alat angkut. Faktor-faktor yang mempengaruhi
tahanan kemiringan yaitu :
1) Besarnya kemiringan jalan, (%)
2) Berat kendaraan, ton
Jika kendaraan bergerak naik diperlukan tambahan tenaga untuk mengatasi
grade resistance. Tetapi jika bergerak turun, tenaga mesin pada roda ditambah
oleh adanya pengaruh keadaan jalan turun yang mengurangi pemakaian rimpull
atau kemiringan jalan bernilai negative (grade assistance), sehingga akan terjadi
pengereman dan penambahan tenaga mesin untuk menahan laju kendaraan.
Besarnya nilai kemiringan rata-rata untuk setiap 1 % kemiringan yaitu ± 20
lbs/ton. Hal ini didukung dengan kenyataan dilapangan bahwa alat angkut jarang
yang sanggup mengatasi tanjakan ≥ 15 %. Purifoy (2006) menyatakan tahanan
kemiringan dapat dihitung dengan rumus :

𝐺𝑅 𝑓𝑎𝑐𝑡𝑜𝑟 = 20 𝑙𝑏/𝑡𝑜𝑛 𝑥 % 𝑔𝑟𝑎𝑑𝑒 ………...……………………………..(3.19)

produksi yang telah ditentukan. Faktor pengisian dari suatu alat gali muat
dipengaruhi oleh kapasitas bucket, jenis dan sifat material yang ditangani. Suatu
penentuan faktor pengisian alat gali muat selalu dipengaruhi dengan kondisi kerja
(lihat Tabel 3.3).

𝐺𝑅 = 𝐺𝑅 𝑓𝑎𝑐𝑡𝑜𝑟 (𝑙𝑏/𝑡𝑜𝑛) 𝑥 𝐺𝑟𝑜𝑠𝑠 𝑚𝑎𝑐ℎ𝑖𝑛𝑒 𝑤𝑒𝑖𝑔ℎ𝑡 (𝑡𝑜𝑛𝑠).........................(3.20)

Keterangan :

Grade : Kemiringan jalan angkut, %


Gross machine weight: Berat keseluruhan alat angkut, tons

3.7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Bahan Bakar


Kegiatan pengangkutan lapisan tanah penutup dari front menuju disposal
dengan menggunakan alat angkut juga membutuhkan bahan bakar. Bahan bakar
ini digunakan oleh mesin alat angkut agar tetap dapat berjalan. Biaya untuk
penyediaan bahan bakar bagi semua alat berat yang bekerja di industri
pertambangan tidaklah sedikit. Apabila biaya penyediaan bahan bakar sangatlah
besar, hal ini dapat mempengaruhi keuntungan yang akan di dapat oleh suatu
perusahaan. Sehingga penggunaan bahan bakar inilah harus digunakan seefisien
mungkin agar menghemat penggunaan bahan bakar pada berbagai alat berat yang
digunakan dalam proses pertambangan. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi
konsumsi bahan bakar. Faktor – faktor yang mempengaruhi konsumsi bahan bakar
tersebut adalah :

Gambar 3.8
Powertrain
(Sumber : Uicker, Pennock, & Shigley, 2003)

3.7.1. Sistem penggerak


Daya mesin dan operating gear merupakan faktor utama yang menentukan
besar tenaga yang tersedia untuk drawbarpull pada alat angkut. Secara umum sistem
penggerak yang mengerakkan mesin yang terdapat pada kendaraan dump truck (lihat
Gambar 3.8).
Mesin menggerakan torque converter yang menggerakan transmisi untuk
kemudian menggerakan diferensial (differential). Melalui diferensial tersebut,
roda gigi dan roda kendaraan digerakkan (lihat Gambar 3.9). Daya keluaran awal
sebagai Brake Horsepower (bhp) yaitu daya keluaran yang di produksi oleh
mesin, kemudian diteruskan melalui driver wheel ke roda menjadi daya tarik alat
tersebut (rimpull).

Gambar 3.9
Transmisi daya (Power Transmission)
(Sumber : Uicker, Pennock, & Shigley,
2003)
3.7.2. Rimpull
Rimpull menurut Purifoy (2006) adalah besarnya gaya atau kekuatan tarik
yang dapat diberikan oleh mesin kepada roda atau ban penggeraknya yang
menyentuh permukaan jalur jalan. Rimpull yang dapat dihasilkan pada setiap gear
tidak sama, pada gear rendah rimpull yang tersedia besar namun dengan
kecepatan yang rendah, sedangkan pada gear tinggi rimpull yang tersedia kecil
akan tetapi kecepatan yang dihasilkan tinggi. Penggunaan rimpull berbeda – beda
setiap kondisi jalan yang dilewati oleh alat angkut.
Apabila kondisi jalan angkut terdapat banyak amblasan dan kemiringan
jalan angkut tinggi, maka dibutuhkan rimpull yang besar. Sebaliknya, apabila
dalam jalan angkut tidak banyak amblasan dan kemiringan jalan angkut standart
kurang lebih 8%, maka rimpull yang dibutuhkan kecil. Rimpull dinyatakan dalam
pounds (lbs) dan biasanya sudah tercantum dalam spesifikasi mesin. Sehingga
setiap alat dapat mempunyai rimpull yang berbeda-beda. Purifoy (2006)
menyatakan apabila tidak terdapat spesifikasi rimpul pada buku panduan alat,
maka rimpul dapat dihitung dengan rumus :
375 x HP x eff....................................................................................................................................
𝑅𝑖𝑚𝑝𝑢𝑙𝑙 = (3.21)
Speed (mph)

Keterangan :

HP : Tenaga Mesin (HP)


Speed : Kecepatan (mph)
Eff : Effisiensi Mesin; Untuk kendaraan beroda ban 80-85%

3.7.3 Rimpull Untuk Percepatan


Rimpull untuk percepatan adalah penambahan kecepatan dari kendaraan
bergerak yang di peroleh dari “gaya percepatan” yang di ambil dari kelebihan
rimpull. Rate percepatan sangat bergantung pada berat kendaraan tersebut dan
kelebihan rimpull pada masing-masing gear alat angkut.
Apabila tidak ada kelebihan rimpull maka kecepatan laju kendaraan tak
dapat di tambah lagi. Pengamatan langsung di lapangan menunjukkan bahwa
dalam keadaan truck bermuatan dan kosongan apabila berada pada jalan yang
menanjak dan menurun akan ada gaya percepatan yang di berikan oleh alat
angkut untuk mempertahankan kecepatan dan menambah laju kecepatan
kendaraan. Hal ini bertujuan untuk mempercepat waktu edar alat angkut dalam
kegiatan pemindahan overburden. Percepatan alat angkut dapat dihitung dengan
rumus:

𝐹.𝑔..............................................................................................................................................................................
a= (3.22)
𝑊

Keterangan :

a = percepatan, ft/dt2
F = gaya percepatan, lb
g = percepatan gravitasi, 32,2
ft/dt2 W = berat kendaraan, lb
Angka rimpull yang efektif dibutuhkan untuk percepatan, diambil dari
angka yang mendekati angka pada kolom rimpull yang dibutuhkan pada tabel 3.5
di atas. Rimpull untuk percepatan angkanya harus lebih kecil dari pada sisa
rimpull yang tersedia.
Tabel 3.5
Tabel rate percepatan untuk setiap berat 1 Ton
(Sumber : R.L Peurifoy, 2006)
Rimpull yang
Rate percepatan
dibutuhkan
(mph/menit)
(lb/ton)
3,3 5
6,6 10
13,2 20
19,8 30
33,0 50
66,0 100
132,0 200
198,0 300
270,4 400
338,1 500
405,7 600
473,3 700
540,9 800
608,5 900
676,2 10000

3.7.4. Daya Alat (Horse Power)


Indonesianto (2013) menyatakan daya alat angkut atau horse power adalah
usaha yang dilakukan per satuan waktu. Dalam hal ini usaha adalah gaya yang
diperlukan untuk memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain (jarak).
Satuan tenaga adalah TK (tenaga kuda) atau HP (horsepower).
Menghitung kebutuhan bahan bakar yang digunakan pada setiap alat
mekanis menggunakan nilai dari HP yang tersedia pada mesin yaitu brake horse
power (bhp) atau HP mesin yang dihitung dari “torque” mesin (dari engkol
mesin), bukan drawbar horsepower (dbhp) yang merupakan HP yang disediakan
pada roda.
3.7.5. Torque
Torque mesin (engine Torque) adalah gaya (lbf) yang diperlukan untuk
memutar engkol mesin dalam satuan lb.ft (lihat Gambar 3.10). Torque mesin juga
dapat digunakan untuk mengetahui besar HP mesin.
1 HP = 550 lb.ft/detik
= 33.000 lb.ft/menit

Gambar 3.10
Perputaran Engkol Mesin
(Sumber : Hermans, 2017)

3.7.6. Load Factor


Menurut Indonesianto (2013), Load factor adalah suatu faktor pengali
untuk memperoleh horse power yang sesungguhnya, sehubungan dengan
pengertian bahwa tenaga maksimum tidak dipergunakan menerus selama periode
kerja, jadi besar kecilnya load factor tergantung pada kondisi kerjanya. Besarnya
load factor
dapat dihitung dengan menggunakan pengamatan rpm selama satu jam dan
hourmeter (jam kerja mesin). load factor juga dapat diketahui dari perhitungan
besarnya jumlah rimpull yang terpakai.
Indonesianto (2013), menyatakan rumus perhitungan Load Factor
: Dengan melakukan pengamatan rpm
RPM terpakai senyatanya
𝐿𝑜𝑎𝑑 𝐹𝑎𝑐𝑡𝑜𝑟 =RPM tersedia dalam mesin pada HP ……..………….(3.23)
maksimal

Dengan menggunakan hourmeter (jam kerja mesin)


ℎ𝑜𝑢𝑟𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 𝑚𝑒𝑠𝑖𝑛 (jam kerja mesin).................................................................
𝐿𝑜𝑎𝑑 𝑓𝑎𝑐𝑡𝑜𝑟 = 𝑤𝑎𝑡𝑐ℎ 𝑡𝑖𝑚𝑒 (waktu sebenarnya) (3.24)
Apabila rimpull terpakai dan rimpull maksimalnya diketahui, load factor dapat
dihitung dengan rumus :

𝐿𝑜𝑎𝑑 𝑓𝑎𝑐𝑡𝑜𝑟 = Rimpull maksimal ………………………………………… (3.25)


Rimpull terpakai

3.8. Perhitungan Konsumsi Bahan Bakar


Menghitung kebutuhan bahan bakar solar pada suatu alat sangat penting
dilakukan. Indonesianto (2013) menyatakan perhitungan dengan rumus sebagai
berikut:

Berat bahan bakar terpakai/kW.jam×brakeHP×𝐿𝑜𝑎𝑑 𝐹𝑎𝑐𝑡𝑜𝑟


Konsumsi bbm(gall/jam) = berat bahan bakar per gallon (3.26)

Keterangan:

Berat bahan bakar terpakai/kW/jam : Berat bahan bakar yang masuk ke mesin
selama satu jam, lb/kW.jam
Brake Hp : Tenaga mesin, kW
Load factor : Beban kerja alat
Berat bahan bakar per gallon : Berat bahan bakar dalam satu gallon, lb/gal

3.9. Rasio Bahan Bakar Alat Angkut


Alat angkut merupakan bagian terbesar dari keseluruhan biaya peralatan
penambangan. Konsumsi bahan bakar selalu merupakan biaya operasi utama yang
terkait dengan alat angkut. Sejumlah faktor berkontribusi terhadap konsumsi
bahan bakar. Faktor-faktor ini termasuk beban truk, kecepatan, tenaga, berat
(kosong dan muatan), akselerasi, waktu idle, kualitas bahan bakar, aerodinamika,
kualitas
permukaan jalan dan ban, penyelarasan roda dan tekanan pada ban, kemiringan
jalan angkut, gaya mengemudi operator, suhu luar, cuaca dan pemeliharaan truk.
Sebagian besar faktor-faktor ini dapat dikontrol sampai batas tertentu oleh
operator tambang. Manajemen yang memadai dari faktor-faktor ini dapat secara
signifikan mengurangi konsumsi bahan bakar truk sambil memberikan kinerja
truk yang diperlukan, tanpa investasi penting dari perubahan operasional.
Konsumsi bahan bakar berlebih akan mengakibatkan bertambahnya rasio
bahan bakar alat angkut terhadap produksi alat angkut pada satuan waktu. Rasio
bahan bakar alat angkut merupakan perbandingan konsumsi bahan bakar (ltr/jam)
dengan produksi alat angkut pada satuan waktu tertentu (bcm/jam). Rumus dalam
perhitungan rasio bahan bakar menurut Indonesianto (2013):
Konsumsi bahan bakar
Rasio Bahan Bakar (l/jam) = ..(3.27)
Produksi alat angkut pada satuan waktu
tertentu

Keterangan :
Konsumsi Bahan Bakar : Besarnya bahan bakar yang digunakan oleh alat
angkut, l/jam
Produki Alat Angkut : Produksi alat angkut pada satuan waktu tertentu,
BCM/jam
Hays (dalam Vladislav Kecojevic dan Dragan Komljenovic, 2010 : 45)
menjelasakan bahwa saat idle, mesin truk beroperasi sekitar 10% daya penuh.
Kondisi alat angkut, geometri dan perkerasan jalan angkut tambang yang harus
diperhatikan untuk memperkecil pemakaian bahan bakar. Kondisi kerja alat
angkut pada pengupasan overburden berpengaruh pada produksi alat angkut
tersebut. Menghitung rasio bahan bakar pada suatu alat sangat penting dilakukan.

3.10. Teori Korelasi


Menurut Ronald (1993), korelasi merupakan teknik analisis yang termasuk
dalam salah satu teknik pengukuran asosiasi atau hubungan (measures of
association). Pengukuran asosiasi merupakan istilah umum yang mengacu pada
sekelompok teknik dalam statistik bivariat yang digunakan untuk mengukur
kekuatan hubungan antara dua variabel. Pengukuran asosiasi mengenakan nilai
numerik untuk mengetahui tingkat asosiasi atau kekuatan hubungan antar
variabel.
3.10.1. Pengertian Korelasi
Menurut Ronald (1993), korelasi adalah istilah statistik yang menyatakan
derajat hubungan linear antara dua variabel atau lebih, yang ditemukan oleh Karl
Pearson. Korelasi Pearson Product Moment (PPM) merupakan salah satu teknik
analisis statistik yang digunakan dalam penelitian. Teknik analisis statistik ini
untuk melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi dan mencoba untuk
menghubungkannya. Besarnya angka korelasi disebut koefisien korelasi
dinyatakan dengan lambang r.

3.10.2. Kegunaan Korelasi


Pengunaan teknik analisis statistik yaitu korelasi sangat membantu dalam
melihat hubungan – hubungan antar variabel. Kegunaan korelasi ini disajikan
sebagai berikut :
1) Untuk menyatakan ada atau tidaknya hubungan yang signifikan antara
variabel satu dengan yang lainnya.
2) Untuk menyatakan besarnya sumbangan variabel satu terhadap yang lainnya
yang dinyatakan dalam persen. Dengan demikian, maka r2 disebut koefisien
determinasi atau koefisien penentu. Hal ini disebabkan r2 terjadi dalam
variabel terikat Y yang mana ditentukan oleh variabel X.

3.10.3. Pola atau Bentuk Hubungan antara Dua Variabel


Menurut Jonathan (2016), koefesien korelasi ialah pengukuran statistik
kovarian atau asosiasi antara dua variabel. Besarnya koefesien korelasi berkisar
antara +1 s/d -1. Koefesien korelasi menunjukkan kekuatan (strength) hubungan
linear dan arah hubungan dua variabel acak. Jika koefesien korelasi positif, maka
kedua variabel mempunyai hubungan searah, artinya jika nilai variabel X tinggi,
maka nilai variabel Y akan tinggi pula. Sebaliknya, jika koefesien korelasi negatif,
maka kedua variabel mempunyai hubungan terbalik artinya jika nilai variabel X
tinggi, maka nilai variabel Y akan menjadi rendah (dan sebaliknya). Sehingga
orelasi yang terjadi antara dua variabel adalah sebagai berikut :
1) Korelasi Linear Positif (+1)
Perubahan salah satu nilai variabel diikuti perubahan nilai variabel yang
lainnya secara teratur dengan arah yang sama. Jika nilai variabel X
mengalami kenaikan, maka variabel Y akan ikut naik. Jika nilai variabel X
mengalami
penurunan, maka variabel Y akan ikut turun. Apabila nilai koefisien korelasi
mendekati +1 (positif satu) berarti pasangan data variabel X dan variabel Y
memiliki korelasi linear positif yang kuat atau sempurna.
2) Korelasi Linear Negatif (-1)
Perubahan salah satu nilai variabel diikuti perubahan nilai variabel yang
lainnya secara teratur dengan arah yang berlawanan. Jika nilai variabel X
mengalami kenaikan, maka variabel Y akan turun. Jika nilai variabel X
mengalami penurunan, maka nilai variabel Y akan naik.Apabila nilai
koefisien korelasi mendekati -1 (negatif Satu) maka hal ini menunjukan
pasangan data variabel X dan variabel Y memiliki korelasi linear negatif yang
kuat/erat/sempurna.
3) Tidak Berkorelasi (0)
Kenaikan nilai variabel yang satunya bisa diikut dengan penurunan variabel
lainnya atau kadang-kadang diikuti dengan kenaikan variabel yang lainnya.
Arah hubungannya tidak teratur, bisa searah atau pun berlawanan. Apabila
Nilai Koefisien Korelasi mendekati 0 (Nol) berarti pasangan data variabel X
dan variabel Y memiliki korelasi yang sangat lemah atau berkemungkinan
tidak berkorelasi.
Tabel 3.6
Intreprestasi Koefisien Korelasi
(r)
(Sumber : Jonathan Sarwono, 2016)
Besar Nilai Koefisien Korelasi (r) Interpretasi
0 Tidak Berkorelasi
0,01 – 0,20 Sangat Rendah
0,21 – 0,40 Rendah
0,41 – 0,60 Agak rendah
0,61 – 0,80 Cukup
0,81 – 0,99 Tinggi
1 Sangat Tinggi

3.10.4. Menghitung Nilai Koefisien Korelasi (r)


Menghitung korelasi antara variabel bebas (independent) dengan variabel
terikat (dependent) menurut Jonathan (2016) :
√(n.∑ X2−(∑ X)2).(n.∑ Y2−(∑ Y)2)
n.∑ XY−(∑ X).(∑ Y)
r=
……………………………………… …….(3.28)
Keterangan :

r = Koefisien korelasi
n = Jumlah pasangan variabel X dan Y
∑X = Jumlah variabel X
∑Y = Jumlah variabel Y
∑X2 = Jumlah kuadrat variabel X
∑Y2 = Jumlah kuadrat variabel Y

Setelah nilai koefisien korelasi (r) diperoleh, langkah selanjutnya adalah


menginterpretasikan nilai koralsi untuk melihat kuat atau lemahnya korelasi kedua
variabel dengan menggunakan table interpretasi (lihat Tabel 3.6).

3.11. Konstruksi Jalan Angkut


Kontruksi jalan angkut pada jalan tambang sangat berpengaruh terhadap
kondisi pada jalan angkut. Apabila memiliki kontruksi jalan angkut yang baik,
maka kerja dari alat angkut akan optimal. Jika kontruksi jalan angkut buruk
dengan memiliki banyak amblasan maka akan menghambat operasi alat angkut.
3.11.1. Perkerasan Jalan
Perkerasan jalan adalah peletakan peletakan lapisan struktut jalan di atas
badan jalan, berfungsi menerima beban lalu lintas dan meneruskannya ke badan
jalan pada segala kondisi cuaca. Ada dua jenis perkerasan jalan yang dikenal
sekarang ini yaitu perkerasan dengan metode bahan pengikat (bound method) dan
perkerasan dengan metode tanpa bahan penghikat (unbound method). Perkerasan
dengan bound method umumnya digunakan untuk perkerasan jalan raya dimana
bahan kontruksi yang biasa digunakan seperti aspal dan semen.
Sedangkan perkerasan dengan unbound method umumnya digunakan
untuk perkerasan jalan tambang dimana metode ini seluruh kontruksi perkerasan
tersusun dari butiran lepas dan tanpa pengikat.
Pada dasarnya rancangan perkerasan jalan meliputi kegiatan pegukuran
kekuatan dan sifat penting lainnya dari lapisan permukaan perkerasan jalan dan
masing – masing lapisan di bawahnya dan menetapkan ketebalan permukaan
perkerasan, lapisan pondasi, dan material lain yang akan dihampar di atas tanah
asli.
Maksud dari rancangan perkerasan jalan adalah untuk memilih kombinasi
material dan tebal lapisan yang memenuhi syarat pelayanan dengan biaya yang
murah dan waktu pakai jalan yang panjang. Perkerasan jalan angkut tambang
harus cukup kuat untuk menahan berat kendaraan dan muatan yang melaluinya,
dan permukaan jalan harus dapat menahan gesekan roda kendaraan, pengaruh air
permukaan ataupun air hujan.

Bila daya dukung jalan yang ada tidak dapat menahan beban yang
diterima, maka kondisi jalan akan mengalami penurunan dan pergeseran yang
selanjutnya mengakibatan jalan bergelombang dan banyak amblasan. Tujuan
utama dalam perkerasan jalan angkut adalah membangun dasar jalan yang
memungkinkan dimana dalam pengangkutan muatan, pemindahan beban pada
poros roda yang diteruskan melalui lapisan pondasi tidak boleh melampaui daya
dukung tanan dasar (sub grade).

3.11.2. Tanah Dasar (Subgrade)


Lapisan tanah dasar adalah lapisan tanah yang berfungsi sebagai tempat
perletakan lapis perkerasan dan mendukung konstruksi perkerasan jalan diatasnya
dengan tebal 30 cm . Lapisan tanah dasar dapat berupa tanah asli yang dipadatkan.
jika tanah aslinya baik, atau tanah urugan yang didatangkan dari tempat lain.
Persyaratan CBR yang dikehendaki dalam perkerasan >3%.
Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung dari
sifat-sifat dan daya dukung tanah dasar.
Umumnya persoalan yang menyangkut tanah dasar adalah sebagai berikut :
1) Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) akibat beban lalu lintas.
2) Sifat mengembang dan menyusutnya tanah akibat perubahan kadar air.
3) Daya dukung tanah yang tidak merata akibat adanya perbedaan sifat-sifat
tanah pada lokasi yang berdekatan atau akibat kesalahan pelaksanaan misalnya
kepadatan yang kurang baik.

3.11.3. Lapisan Pondasi Bawah (Sub Base Course)


Lapisan pondasi bawah (sub base course) adalah bagian lapisan perkerasan
antara lapisan pondasi atas dan tanah dasar. Lapisan ini harus cukup kuat,
mempunyai CBR <20%.
Fungsi dari lapisan pondasi bawah yaitu :
1) Bagian dari konstruksi perkerasan untuk menyebarkan beban roda ke tanah
dasar.
2) Lapis peresapan, agar air tanah tidak berkumpul di pondasi.
3) Lapisan untuk mencegah partikel-partikel halus dari tanah dasar naik ke
lapisan pondasi atas.
4) Lapis pelindung lapisan tanah dasar dari beban roda-roda alat berat (akibat)
lemahnya daya dukung tanah dasar) pada awal-awal pelaksanaan pekerjaan.
5) Lapis pelindung lapisan tanah dasar dari pengaruh cuaca terutama hujan.

3.11.4. Lapisan Pondasi Atas (Base Course)


Lapisan pondasi atas (base course) adalah bagian lapisan perkerasan jalan
yang terletak antara lapisan permukan dan lapisan pondasi bawah. Terletak
dibawah lapisan permukaan membuat lapisan ini menerima pembebanan yang
paling berat akibat muatan, sehingga material yang digunakan harus berkualitas
tinggi dengan nilai CBR >50%.

Gambar 3.11
Susunan Lapisan Perkerasan (Suwandi, 2004)
Fungsi dari lapisan pondasi atas yaitu :
1) Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda
dan menyebarkan beban ke lapisan bawahnya.
2) Lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah.
3) Bantalan terhadap lapisan permukaan.

3.11.5 Lapisan Permukaan (Surface Course)


Lapisan permukaan (Surface Course) adalah lapisan perkerasan yang
terletak paling atas dan bersentuhan langsung dengan roda kendaraan.
Fungsi dari lapisan permukaan yaitu:
1) Lapisan yang langsung menahan akibat beban roda kendaraan.
2) Lapisan yang langsung menahan gesekan akibat rem kendaraan (lapisaus).
3) Lapisan yang mencegah air hujan yang jatuh di atasnya tidak meresap ke
lapisan bawahnya dan melemahkan lapisan tersebut.
4) Lapisan yang menyebarkan beban ke lapisan bawah, sehingga dapat dipikul oleh
lapisan di bawahnya (lihat Gambar 3.11)

Anda mungkin juga menyukai