Anda di halaman 1dari 52

MAKALAH

KEPERAWATAN KRITIS

ISSUE END OF LIFE DI KEPERAWATAN KRITIS

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 2

1. HENI AGUSTINI M P (036 STYC 13)


2. SUCI HENDRA LESTARI (093 STYC 13)
3. M. IRWAN SURYADI (059 STYC 13)
4. MUHAMAD SOPIAN (063 STYC 13)
5. RONI ANDANI (088 STYC 13)
6. MUHAMAD MAKSUM (067 STYC 13)

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN JENJANG S1
MATARAM
2017

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., atas limpahan dan
rahmat karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah “Issue End
Of Life di Keperawatan Kritis”. Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas
Mata Kuliah Keperawatan Kritis. Karena makalah ini tidak mungkin dapat
diselesaikan tanpa bantuan dari pihak-pihak tertentu, maka dalam kesempatan ini
penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. H. Zulkahfi., S.Kep., Ners., M.Kes., selaku Ketua STIKES YARSI Mataram.
2. Irwan Hadi, S.Kep., Ners., M.Kep., selaku Ka. Prodi S1 Keperawatan STIKES
YARSI Mataram.
3. Bq. Nur’ainun Apriani Idris, S.Kep., Ners., selaku dosen pembimbing
akademik.
4. Maelina Ariyanti, S.Kep., Ners., M.Kep., selaku dosen Mata Kuliah
Keperawatan Kritis.
5. Semua pihak yang ikut membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis membuat makalah ini dengan seringkas-ringkasnya dan bahasa
yang jelas agar mudah dipahami. Karena penulis menyadari keterbatasan yang
penulis miliki, penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca, agar
pembuatan makalah penulis yang berikutnya dapat menjadi lebih baik.
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Mataram, 21 Maret 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................. i


KATA PENGANTAR ............................................................................... ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iii

BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................... 1


1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 9
1.3 Tujuan Penulisan ...................................................................... 9
1.3.1 Tujuan Umum............................................................... 9
1.3.2 Tujuan Khusus .............................................................. 9
1.4 Manfaat Penulisan .................................................................... 9
1.5 Ruang Lingkup ......................................................................... 10
1.6 Metode Penulisan ..................................................................... 10
1.7 Sistematika Penulisan............................................................... 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 11


2.1 Konsep End Of Life .................................................................. 11
2.1.1 Definisi End Of Life ..................................................... 11
2.1.2 Perbedaan Mati Klinis dan Mati Biologis .................... 11
2.1.3 Prinsip-Prinsip End Of Life Care ................................. 12
2.2 Aspek Legal dalam Keperawatan Kritis................................... 14
2.2.1 Area Hukum ................................................................. 14
2.2.2 Prinsip Etik dalam Pengambilan Keputusan ................ 15
2.2.3 Informed Consent ......................................................... 18
2.2.4 Dokumentasi ................................................................. 20
2.3 Isu dan Masalah Legal dalam Keperawatan Kritis................... 20
2.3.1 Keputusan Tindakan Mempertahankan Hidup ............. 20
2.3.2 Masalah Kematian dan Menjelang Ajal ....................... 21
2.3.3 Transplantasi Organ dan Jaringan ................................ 21
2.3.4 Wrongful Death ............................................................ 22
2.3.5 Kelalaian dalam Keperawatan Kritis ............................ 22
2.3.6 Euthanasia .................................................................... 24
2.3.7 Do Not Resuscitation ................................................... 25

iii
BAB 3 PENUTUP...................................................................................... 47
3.1 Simpulan................................................................................... 47
3.2 Saran ......................................................................................... 49

DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan yang pesat di bidang teknologi dan pelayanan
kesehatan cukup berkontribusidalam membuat orang tidak lagi dirawat dalam
jangka waktu lama di rumah sakit. Pasien yang berada di unit perawatan kritis
dikatakan lebih sakit dibanding sebelumnya. Sekarang ini banyak pasien
yang dirawat di unit kritis untuk waktu 5 tahun sudah dapat menjalani rawat
jalan dirumah masing-masing. Pasien unit kritis yang ada sekarang ini tidak
mungkin bertahan hidup dimasa lalu dikarenakan buruknya sistem perawatan
kritis yang ada. Sudah direncanakan di beberapa rumah sakit akan adanya
unit kritis yang lebih besar dan kemungkinan mendapatkan pelayanan
perawatan kritis di rumah atau tempat-tempat alternatif lainnya. Perawat kritis
harus tetap memantau informasi terbaru dan mengembangkan kemampuan
yang dimiliki untuk mengelola metode dan teknologi perawatan terbaru.
Seiring dengan perkembangan perawatanyang dilakukan pada pasien semakin
kompleks dan banyaknya metode ataupun teknologi perawatan baru yang
diperkenalkan, perawat kritis dipandang perlu untuk selalu
meningkatkan pengetahuannya
Perawat ruang intensif/kritis harus memberikan pelayanan
keperawatan yangmencerminkan pemahaman akan aspek etika dan legal
keperawatan yang mencerminkan pemahaman akan aspek etika dan legal
kesehatan. Perawat ruang kritis harus bekerja sesuaidengan aturan yang ada
(standar rumah sakit/standar pelayanan maupun asuhan keperawatan).Etik
ditujukan untuk mengukur perilaku yang diharapkan dari manusia sehingga
jika manusiatersebut merupakan suatu kelompok tertentu atau profesi tertentu
seperti profesi keperawatan, maka aturannya merupakan suatu kesepakatan
dari kelompok tersebut yang disebut kode etik.Status pekerjaan sebagai
seorang perawat rumah sakit ataupun bagian dari staf paramedik tidak
membuat perawat bisa menghindari tanggung jawab dan kewajiban mematuhi
hukumdalam setiap tindakan/pelayanan keperawatan yang dilakukan.

5
Kumpulan hukum/peraturan keperawatan yang telah dikembangkan dikenal
sebagai standar pelayanan keperawatan. Standar pelayanan keperawatan
ditentukan dengan pengambilan keputusan atas tindakan profesionalyang
paling tepat dilakukan untuk mengatasi masalah yang ada
Do Not Resuscitate (DNR) atau Jangan Lakukan Resusitasi
merupakan suatu tindakan dimana dokter menempatkan sebuah instruksi
berupa informed concent yang telah disetujui oleh pasien ataupun keluarga
pasien di dalam rekam medis pasien, yang berfungsi untuk menginformasikan
staf medis lain untuk tidak melakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau
cardiopulmonary resuscitation (CPR) pada pasien. Pesan ini berguna untuk
mencegah tindakan yang tidak perlu dan tidak diinginkan pada akhir
kehidupan pasien dikarenakan kemungkinan tingkat keberhasilan CPR yang
rendah (Sabatino, 2015). Do Not Resusitate (DNR) adalah perintah yang
dilakukan oleh dokter berlisensi dalam konsultasinya dengan pasien atau
pengambilan keputusan yang menunjukkan dilakukan atau tidaknya CPR saat
cardiac atau respiratory arrest terjadi (Braddock, 2014). Secara etik DNR
merupakan sebuah pesan ambigu untuk praktisi kesehatan sehubungan
dengan tugasnya dalam menyelamatkan hidup (Junod, 2002).
DNR merupakan keputusan untuk mengabaikan CPR dan secara resmi
diperkenalkan sebagai alternative untuk end of life care pada awal tahun 1970
(Fallahi et al, 2016). Cardiopulmonary resuscitation (CPR) merupakan suatu
prosedur medis yang bersifat darurat dan dilakukan pada pasien dengan henti
nafas dan serangan jantung, namun dalam beberapa kasus tindakan ini tidak
sepenuhnya berhasil dan memberikan prognosis yang baik. Menurut Fallahi
et al (2016), dalam jurnalnya disebutkan bahwa hanya 20% pasien yang
mampu bertahan hidup setelah dilakukan CPR. Temuan lain di Amerika
Serikat juga telah memverifikasi bahwa hanya 10-15% dari pasien yang dapat
bertahan hidup setelah dilakukannya CPR, statistik ini tidak berubah selama
30 tahun terakhir (Yuen, 2011). Jarang sekali pasien dapat bertahan hidup
setelah dilakukan CPR ketika henti jantung yang timbul disebabkan oleh
penyakit selain jantung atau disfungsi organ. Harapan hidup pasien setelah
dilakukan tindakan CPR sangat buruk (<5%) bila henti jantung terjadi pada

6
pasien dengan gagal ginjal, kanker (kecuali dengan penyakit yang minimal),
atau AIDS; dan dengan tidak adanya penyakit penyebab yang irreversible,
diikuti dengan trauma, perdarahan, hipotensi yang berkepanjangan atau
pneumonia. Dibatasinya pelaksanaan CPR telah meningkatkan derajat
harapan hidup pasien sebesar 10,5% setelah tindakan CPR meskipun 7-10%
lainnya ditunda untuk dilakukan CPR. Pada beberapa negara di Amerika
Serikat, walaupun petugas gawat darurat sudah membatasi dilakukannya
tindakan CPR di lapangan, masih dapat ditemukan bukti CPR yang tidak
dikehendaki. Bahkan didapatkan 7% pasien yang dipulangkan dari rumah
sakit tidak menghendaki dilakukannya CPR (Hillberman,1997).
Sebelum tahun 1990, kebijakan formal untuk memfasilitasi pasien
perioperative dengan DNR order masih sangat jarang. Pada tahun 1993 The
American Society of Anesthesiologists melegalkan kebijakan ini sebagai
pedoman dan diperbaharui lagi tahun 1998 (Ewanchuk & Brindley, 2006). Di
Indonesia sendiri kebijakan DNR sudah lama diterapkan. Sesuai dengan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
519/Menkes/Per/Iii/2011 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan
Anestesiologi dan Terapi Intensif di Rumah Sakit, disebutkan didalamnya
bahwa prosedur pemberian atau penghentian bantuan hidup ditetapkan
berdasarkan klasifikasi setiap pasien di ICU dan HCU yaitu semua bantuan
kecuali RJP (DNAR = Do Not Attempt Resuscitation), dilakukan pada
pasien-pasien dengan fungsi otak yang tetap ada atau dengan harapan
pemulihan otak, tetapi mengalami kegagalan jantung, paru atau organ lain,
atau dalam tingkat akhir penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Tidak
dilakukan tindakan-tindakan luar biasa, pada pasien-pasien yang jika diterapi
hanya memperlambat waktu kematian dan bukan memperpanjang kehidupan.
Untuk pasien ini dapat dilakukan penghentian atau penundaan bantuan hidup.
Sedangkan pasien yang masih sadar dan tanpa harapan, hanya dilakukan
tindakan terapeutik/paliatif agar pasien merasa nyaman dan bebas nyeri
(Depkes, 2011).
Walaupun telah diterapkan Amestiasih (2015) menyebutkan dalam
jurnalnya, keputusan DNR dapat menimbulkan dilema psikis pada perawat

7
dikarenakan timbulnya penolakan dalam hati nurani seorang perawat.
Merawat pasien setiap hari, melihat perkembangan kondisi pasien, membuat
rencana DNR seperti dua sisi mata uang bagi perawat, disatu sisi harus
menerima bahwa pemberian tindakan CPR sudah tidak lagi efektif untuk
pasien namun di sisi lain muncul perasaan iba dan melihat pasien seolah-olah
keluarganya. Timbulnya dilema psikis ini juga dapat dipengaruhi oleh masih
belum adekuatnya sumber informasi tentang DNR yang dimiliki perawat.
Yand, et al (2001) mengatakan bahwa hampir semua perawat yang pernah
merawat pasien dengan DNR pernah merasa empati dan perawatan yang
dilakukan menjadi terhambat diakibatkan oleh perasaan empati tersebut.
Penegakkan diagnosa DNR menuntut perawat untuk menemukan cara
terbaik guna meningkatkan kualitas end of life care pada pasien (Fields,
2007). Perawat sebagai care giver dituntut untuk tetap memberikan perawatan
pada pasien DNR tidak berbeda dengan pasien lain pada umumnya, perawat
harus tetap memberikan pelayanan sesuai dengan advice dan kebutuhan
pasien tanpa mengurangi kualitasnya. End of life care yang perawat lakukan
dengan baik diharapkan dapat memberikan peacefull end of life bagi pasien,
seperti yang digambarkan dalam teori keperawatan peacefull end of life oleh
Rulland and Moore yang meliputi terhindar dari rasa sakit, merasakan
kenyamanan, penghormatan, kedamaian, dan mendapatkan kesempatan untuk
dekat dengan seseorang yang dapat merawatnya (Amestiasih, 2015).
End of life care merupakan salah satu tindakan yang membantu
meningkatkan kenyamanan seseorang yang mendekati akhir hidup (Ichikyo,
2016). End of life care adalah perawatan yang diberikan kepada orang-orang
yang berada di bulan atau tahun terakhir kehidupan mereka (NHS Choice,
2015). End of life care akan membantu pasien meninggal dengan
bermartabat. Pasien yang berada dalam fase tersebut biasanya menginginkan
perawatan yang maksimal dan dapat meningkatkan kenyamanan pasien
tersebut. End of life care merupakan bagian penting dari keperawatan paliatif
yang diperuntukkan bagi pasien yang mendekati akhir kehidupan. End of life
care bertujuan untuk membantu orang hidup dengan sebaik-baiknya dan
meninggal dengan bermartabat (Curie, 2014). End of life care adalah salah

8
satu kegiatan membantu memberikan dukungan psikososial dan spiritual
(Putranto, 2015). Jadi dapat disimpulkan bahwa End of life care merupaka
salah satu tindakan keperawatan yang difokuskan pada orang yang telah
berada di akhir hidupnya, tindakan ini bertujuan untuk membuat orang hidup
dengan sebaik-baiknya selama sisa hidupnya dan meninggal dengan
bermartabat.
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas maka penulis tertarik
untuk membahas lebih lanjut mengenai Issue End Of Life di Keperawatan
Kritis.
1.2 Rumusan Masalah
1.1.1 Bagaimana konsep end of life?
1.1.2 Apa saja aspek legal dalam keperawatan kritis?
1.1.3 Apa saja isu dan masalah legal dalam keperawatan kritis?
1.3 Tujuan.
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami tentang konsep
end of life, aspek legal dalam keperawatan kritis, isu dan masalah
legal dalam keperawatan kritis.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Dapat menuliskan konsep-konsep dan teori yang terdapat pada
konsep end of life.
2. Dapat mengetahui aspek legal dalam keperawatan kritis.
3. Dapat mengetahui isu dan masalah legal dalam keperawatan kritis.
1.4 Manfaat
1.1.1. Bagi Mahasiswa
Agar mahasiswa dapat mengetahui konsep end of life, aspek
legal dalam keperawatan kritis, isu dan masalah legal dalam
keperawatan kritis.
1.1.2. Bagi Pendidikan
Sebagai kerangka acuan dalam pembuatan makalah konsep end
of life, aspek legal dalam keperawatan kritis, isu dan masalah legal
dalam keperawatan kritis.

9
1.1.3. Penulis
Meningkatkan pengetahuan penulis mengenai konsep end of life,
aspek legal dalam keperawatan kritis, isu dan masalah legal dalam
keperawatan kritis..
1.5 Ruang Lingkup
Dalam penulisan makalah ini penulis membatasi masalah konsep end of
life, aspek legal dalam keperawatan kritis, isu dan masalah legal dalam
keperawatan kritis.
1.6 Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam penyusunan makalah adalah
metode Deskrisif dan teknik pengumpulan data dengan menggunakan teknik
studi kepustakaan yang mengambil materi dari berbagai sumber buku dan
melalui media internet.
1.7 Sistematika Penulisan
Penulisan karya tulis ini, penulis bagi dalam beberapa bab dan sub bab
yang disusun sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan meliputi : Latar Belakang, Tujuan, Manfaat, Ruang
Lingkup Metode Penulisan, Sistematika Penulisan.
BAB II : Tinjauan Pustaka : konsep end of life, aspek legal dalam
keperawatan kritis, isu dan masalah legal dalam keperawatan kritis.
BAB III : Penutup meliputi: Simpulan dan Saran

10
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep End Of Life


2.1.1 Definisi End Of Life
End of life adalah akhir dari kehidupan/sebuah kematian. End
of life care merupakan salah satu tindakan yang membantu
meningkatkan kenyamanan seseorang yang mendekati akhir hidup
(Ichikyo, 2016). End of life care adalah perawatan yang diberikan
kepada orang-orang yang berada di bulan atau tahun terakhir
kehidupan mereka (NHS Choice, 2015). End of life care akan
membantu pasien meninggal dengan bermartabat. Pasien yang berada
dalam fase tersebut biasanya menginginkan perawatan yang maksimal
dan dapat meningkatkan kenyamanan pasien tersebut. End of life care
merupakan bagian penting dari keperawatan paliatif yang
diperuntukkan bagi pasien yang mendekati akhir kehidupan. End of
life care bertujuan untuk membantu orang hidup dengan sebaik-
baiknya dan meninggal dengan bermartabat (Curie, 2014). End of life
care adalah salah satu kegiatan membantu memberikan dukungan
psikososial dan spiritual (Putranto, 2015). Jadi dapat disimpulkan
bahwa End of life care merupakan salah satu tindakan keperawatan
yang difokuskan pada orang yang telah berada di akhir hidupnya,
tindakan ini bertujuan untuk membuat orang hidup dengan sebaik-
baiknya selama sisa hidupnya dan meninggal dengan bermartabat.
2.1.2 Perbedaan Mati Klinis dan Mati Biologis
Mati klinis ditandai dengan henti nafas dan jantung (sirkulasi)
serta berhentinya aktivitas otak tetapi tidak irreversibel dalam arti
masih dapat dilakukan resusitasi jantung paru dan kemudian dapat
diikuti dengan pemulihan semua fungsi (Soenarjo et al, 2013).
Mati biologis merupakan kelanjutan mati klinis apabila pada
saat mati klinis tidak dilakukan resusitasi jantung paru. Mati biologis
berarti tiap organ tubuh secara biologis akan mati dengan urutan :

11
otak, jantung, ginjal, paru-paru, dan hati. Hal ini disebabkan karena
daya tahan hidup tiap organ berbeda-beda, sehingga kematian seluler
pada tiap organ terjadi secara tidak bersamaan. (Soenarjo et al, 2013)

Mati Biologis (Biological


Perbedaan Mati Klinis (Clinical Death)
Death)
Tanda Berhentinya detak jantung, Kematian yang terjadi akibat
denyut nadi dan pernafasan. degenerasi jaringan di otak
dan organ lainnya.
Fungsi Organ Beberapa organ seperti mata dan Beberapa organ akan mati
ginjal akan tetap hidup saat (tidak dapat berfungsi
terjadi mati klinis. kembali) setelah mati
biologis.
Organ dalam Organ dalam tubuh dapat Organ dalam tubuh tidak
tubuh digunakan sebagai transplantasi. dapat digunakan untuk
transplantasi.
Sifat Reversibel / dapat kembali Ireversibel/ tidak dapat
kembali
Pemerikasaan Pemeriksaan keadaan klinis Pemeriksaan keadaan klinis
dan Pemeriksaan Neurologis
Suhu Tubuh Hipertermia (> 36oC) dan Hipotermia (< 36oC)
terkadang ditemui Hipotermia
Kriteria 1) Berhentinya detak jantung 1) Dilatasi bilateral dan fixaxi
2) Berhentinya denyut nadi pupil
3) Berhentinya pernafasan 2) Berhentinya semua reflek
spontan. 3) Berhentinya respirasi tanpa
bantuan
4) Berhentinya aktivitas
cardiaovaskuler
5) Gambaran gelombang otak
datar

2.1.3 Prinsip-Prinsip End Of Life Care


Menurut NSW Health (2005) Prinsip End Of Life Care antara lain :
a Menghargai kehidupan dan perawatan dalam kematian
Tujuan utama dari perawatan adalah menpertahankan kehidupan,
namun ketika hidup tidak dapat dipertahankan, tugas perawatan
adalah untuk memberikan kenyamanan dan martabat kepada pasien
yang sekarat, dan untuk mendukung orang lain dalam
melakukannya.

12
b Hak untuk mengetahui dan memilih
Semua orang yang menerima perawatan kesehatan memiliki hak
untuk diberitahu tentang kondisi mereka dan pilihan pengobatan
mereka. Mereka memiliki hak untuk menerima atau menolak
pengobatan dalam memperpanjang hidup. Pemberi perawatan
memiliki kewajiban etika dan hukum untuk mengakui dan
menghormati pilihan-pilihan sesuai dengan pedoman.
c Menahan dan menghentikan pengobatan dalam mempertahankan
hidup
Perawatan end of life yang tepat harus bertujuan untuk memberikan
pengobatan yang terbaik untuk individu. Ini berarti bahwa tujuan
utama perawatan untuk mengakomodasi kenyamanan dan
martabat, maka menahan atau menarik intervensi untuk
mempertahankan hidup mungkin diperbolehkan dalam kepentingan
terbaik dari pasien yang sekarat.
d Sebuah pendekatan kolaboratif dalam perawatan
Keluarga dan tenaga kesehatan memiliki kewajiban untuk bekerja
sama untuk membuat keputusan bagi pasien yang kurang bisa
dalam pengambilan keputusan, dengan mempertimbangkan
keinginan pasien.
e Transparansi dan akuntabilitas
Dalam rangka menjaga kepercayaan dari penerima perawatan, dan
untuk memastikan bahwa keputusan yang tepat dibuat, maka proses
pengambilan keputusan dan hasilnya harus dijelaskan kepada para
pasien dan akurat didokumentasikan.
f Perawatan non diskriminatif
Keputusan pengobatan pada akhir hidup harus non-diskriminatif
dan harus bergantung hanya pada faktor-faktor yang relevan
dengan kondisi medis, nilai-nilai dan keinginan pasien.
g Hak dan kewajiban tenaga kesehatan
Tenaga kesehatan tidak berkewajiban untuk memberikan perawatan
yang tidak rasional, khususnya, pengobatan yang tidak bermanfaat

13
bagi pasien. Pasien memiliki hak untuk menerima perawatan yang
sesuai, dan tenaga kesehatan memiliki tanggung jawab untuk
memberikan pengobatan yang sesuai dengan norma-norma
profesional dan standar hukum.
h Perbaikan terus-menerus
Tenaga kesehatan memiliki kewajiban untuk berusaha dalam
memperbaiki intervensi yang diberikan pada standar perawatan end
of life baik kepada pasien maupun kepada keluarga.
2.2 Aspek Legal dalam Keperawatan Kritis
Merupakan aspek mengenai hak dan tanggung jawab legal terkait
dengan praktik keperawatan kritis yang merupakan hal penting bagi perawat
dan pasien. Perawat ruang intensif/kritis harus memberikan pelayanan
keperawatan yang mencerminkan pemahaman akan aspek etika dan legal
keperawatan yang mencerminkan pemahaman akan aspek etika dan legal
kesehatan. Perawat ruang kritis harus bekerja sesuai dengan aturan yang ada
(standar rumah sakit/standar pelayanan maupun asuhan keperawatan).
Adapun beberapa aspek legal dalam keperawatan kritis :
2.2.1 Area Hukum
Menurut Morton & Fontaine (2009), terdapat tiga area hukum
yang mempengaruhi praktik perawat perawatan kritis, yaitu hukum
adminstrasi, hukum sipil, dan hukum pidana.
a. Hukum Adminstrasi
Hukum adminstrasi merupakan suatu konsekuensi hukum
dan regulasi negara bagian dan federal yang terkait dengan praktik
perawat. Di negara bagian terdapat suatu badan legislasi yang
berfungsi untuk mengukuhkan akta praktek perawat. Dalam tiap
akta tersebut, praktik keperawatan didefinisikan, dan kekuasaannya
didelegasikan pada lembaga negara bagian biasanya disebut dengan
State Board of Nursing. Lembaga ini berfungsi menyusun regulasi
yang mengatur mengenai bagaimana penafsiran dan implementasi
dari akta praktek perawat seharusnya.

14
b. Hukum Sipil
Hukum sipil merupakan area kedua hukum yang
mempengaruhi praktik keperawatan. Salah satu area khusus hukum
sipil, hukum kerugian, membentuk landasan dari sebagian besar
kasus sipil yang melibatkan perawat.
c. Hukum Pidana
Area ketiga hukum yang relevan dengan praktik keperawatan
adalah hukum pidana. Berbeda dengan hukum sipil, dimana
individu yang seteru menuntut individu yang lain, hukum pidana
terdiri atas kasus tuntutan hukum yang diajukan oleh negara bagian,
pemerintah federal atau setempat terhadap perawat. Dalam hal ini
yang termasuk kasus pidana adalah penyerangan dan pemukulan,
pembunuhan akibat kelalaian, dan pembunuhan murni.
Di Indonesia pengaturan sanksi pidana secara umum diatur
dalam beberapa pasal pada KUH Pidana dan pengaturan secara khusus
dapat dijumpai pada pasal 190-200 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan. Oleh sebab itu, undang-undang kesehatan memungkinkan
diajukannya tuntutan kepada tenaga kesehatan yang melakukan
kesalahan atau kelalaian ketika menjalankan tugas pelayanan kesehatan.
Tuntutan itu dapat berupa gugatan untuk membayar ganti rugi kepada
korban atau keluarganya. Adapun dasar peraturan yang terdapat dalam
Undang-Undang tentang kesehatan yaitu Pasal 58 ayat (1) yang
berbunyi ”Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang
tenaga kesehatan dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan
kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan
yang diterimanya”.
2.2.2 Prinsip Etik dalam Pengambilan Keputusan
Sebagaimana yang tercermin dalam model pengambilan
keputusan, prinsip-prinsip etika yang relevan harus dipertimbangkan
ketika dilema etik muncul. Terdapat beberapa prinsip-prinsip etik yang
terkait dam pengaturan perawatan kritis, prinsip-prinsip ini

15
dimaksudkan untuk memberikan hormat dan martabat bagi semua yang
terlibat dalam pengambialn keputusan.
a. Menghargai otonomi (facilitate autonomy)
Suatu bentuk hak individu dalam mengatur kegiatan/prilaku dan
tujuan hidup individu. Kebebasan dalam memilih atau menerima
suatu tanggung jawab terhadap pilihannya sendiri. Prinsip otonomi
menegaskan bahwa seseorang mempunyai kemerdekaan untuk
menentukan keputusan dirinya menurut rencana pilihannya sendiri.
Bagian dari apa yang didiperlukan dalam ide terhadap respect
terhadap seseorang, menurut prinsip ini adalah menerima pilihan
individu tanpa memperhatikan apakah pilihan seperti itu adalah
kepentingannya (Curtin, 2002). Permasalahan dari penerapan
prinsip ini adalah adanya variasi kemampuan otonomi pasien yang
dipengaruhi oleh banyak hal, seperti tingkat kesadaran, usia,
penyakit, lingkungan Rumah SAkit, ekonomi, tersedianya informsi
dan lain-lain (Priharjo, 1995). Contoh: Kebebasan pasien untuk
memilih pengobatan dan siapa yang berhak mengobatinya sesuai
dengan yang diinginkan.
b. Kebebasan (freedom)
Prilaku tanpa tekanan dari luar, memutuskan sesuatu tanpa tekanan
atau paksaan pihak lain (Facione et all, 1991). Bahwa siapapun
bebas menentukan pilihan yang menurut pandangannya sesuatu
yang terbaik. Contoh : Klien dan keluarga mempunyai hak untuk
menerima atau menolak asuhan keperawatan yang diberikan.
c. Kebenaran (Veracity)  truth
Melakukan kegiatan/tindakan sesuai dengan nilai-nilai moral dan
etika yang tidak bertentangan (tepat, lengkap). Prinsip kejujuran
menurut Veatch dan Fry (1987) didefinisikan sebagai menyatakan
hal yang sebenarnya dan tidak bohong. Suatu kewajiban untuk
mengatakan yang sebenarnya atau untuk tidak membohongi orang
lain. Kebenaran merupakan hal yang fundamental dalam
membangun hubungan saling percaya dengan pasien. Perawat

16
sering tidak memberitahukan kejadian sebenarnya pada pasien yang
memang sakit parah. Namun dari hasil penelitian pada pasien dalam
keadaan terminal menjelaskan bahwa pasien ingin diberitahu
tentang kondisinya secara jujur (Veatch, 1978). Contoh : Tindakan
pemasangan infus harus dilakukan sesuai dengan SOP yang berlaku
dimana klien dirawat.
d. Keadilan (Justice)
Hak setiap orang untuk diperlakukan sama (facione et all, 1991).
Merupakan suatu prinsip moral untuk berlaku adil bagi semua
individu. Artinya individu mendapat tindakan yang sama
mempunyai kontribusi yang relative sama untuk kebaikan
kehidupan seseorang. Prinsip dari keadilan menurut beauchamp dan
childress adalah mereka uang sederajat harus diperlakukan
sederajat, sedangkan yang tidak sederajat diperlakukan secara tidak
sederajat, sesuai dengan kebutuhan mereka.
Ketika seseorang mempunyai kebutuhan kesehatan yang besar,
maka menurut prinsip ini harus mendapatkan sumber-sumber yang
besar pula, sebagai contoh: Tindakan keperawatan yang dilakukan
seorang perawat baik dibangsal maupun di ruang VIP harus sama
dan sesuai SAK.
e. Tidak Membahayakan (Nonmaleficence)
Tindakan/ prilaku yang tidak menyebabkan kecelakaan atau
membahayakan orang lain (Aiken, 2003). Contoh : Bila ada klien
dirawat dengan penurunan kesadaran, maka harus dipasang side
driil.
f. Kemurahan Hati (Benefiecence)
Menyeimbangkan hal-hal yang menguntungkan dan
merugikan/membahayakan dari tindakan yang dilakukan.
Melakukan hal-hal yang baik untuk orang lain. Merupakan prinsip
untuk melakukan yang baik dan tidak merugikan orang lain/pasien.
Prinsip ini sering kali sulit diterapkan dalam praktek keperawatan.
Berbagai tindakan yang dilakukan sering memberikan dampak yang

17
merugikan pasien, serta tidak adanya kepastian yang jelas apakah
perawat bertanggung jawab atas semua cara yang menguntungkan
pasien. Contoh: Setiap perawat harus dapat merawat dan
memperlakukan klien dengan baik dan benar.
g. Confidentially
Yang dimaksud confidentiality adalah menjaga privasi atau rahasia
klien, segala sesuatu mengenai klien boleh diketahui jika digunakan
untuk pengobatan klien ataumendapat izin dari klien. Sebagai
perawat kita hendaknya menjaga rahasia pasien itutanpa
memberitahukanya kepada orang lain maupun perawat lain.
Perawat memiliki komitmen menyeluruh tentang perlunya
mempertahankan privasidan kerahasiaan pasien sesuai kode etik
keperawatan. Beberapa hal terkait isu ini yangsecara fundamental
mesti dilakuakan dalam merawat pasien adalah :
1) Jaminan kerahasiaan dan jaminan pelayanan dari informasi
kesehatan yang diberikanharus tetap terjaga
2) Individu yang menyalahgunakan kerahsiaan, keamanan,
peraturan dan informasi dapatdikenakan hukuman/ legal aspek
2.2.3 Informed Consent
Informed consent merupakan suatu persetujuan tindakan medis
terhadap suatu hal yang dapat dilakukan pada dirinya. Informed consent
dinyatakan valid jika memenuhi tiga elemen yaitu : pasien harus
kompeten atau sadar untuk menyetujui, pasien harus diberikan
informasi yang adekuat sehingga mampu mengambil keputusan, dan
pasien pada saat pengambilan keputusan harus bebas dari ancaman atau
paksaan (Khan, Haneef, 2010).
Menurut Kepmenkes Nomor 290 Tahun 2008 tentang
persetujuan tindakan kedokteran, pasien yang kompeten adalah pasien
dewasa atau bukan anak menurut peraturan perundang-undangan atau
telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran fisiknya, mampu
berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami penyakit menyal
sehingga mampu membuat keputusan secara bebas.

18
Namun, pada beberapa keadaan, persetujuan tindakan tersebut
tidak diperlukan. Sebagai contoh keadaan darurat yang tidak
membutuhkan persetujuan tindakan dan pasien dapat melepaskan
haknya untuk memberikan persetujuan tindakan dengan menyatakan ia
tidak menginginkan informasi mengenai rencana terapi atau prosedur
(Morton, 2009).
Menurut Iwanowsky (2007), pengkajian dari kompetensi pasien
untuk memberikan informed consent merupakan isu yang terpisah.
Sebuah hasil survei yang cukup unik dilakukan pada Swedish Acute
Coronary Trialist mengenai pendapat tentang kompetensi pasien gawat
darurat, bahwa sebanyak 86% dari mereka berpikir bahwa pasien SKA
tidak akan mampu menerima informasi dengan baik terkait penjelasan
tentang informed consent itu sendiri. Namun, 68% dari mereka berpikir
bahwa jumlah informasi yang biasanya mereka berikan kepada pasien
sudah cukup banyak. Hasil ini sepertinya menunjukkan apa yang
banyak dipikirkan dan dirasakan oleh physicians lainnya diluaran sana
khususnya dalam memberikan informed consent : seperti halnya pasien
yang berkurang kompetensinya, bahkan yang lebih parah lagi
kebanyakan dari mereka tidak membacakan lembar informed consent
ini. Jadi poin yang terpenting dari hasil penelitian ini adalah bahwa
defisit dari kompetensi seorang pasien tidak mudah untuk dideteksi
dengan pemeriksaan medis rutin.
Biasanya, memperoleh persetujuan tindakan dari pasien atau
keluarga adalah tanggung jawab dokter, namun perawat sering diminta
untuk menyaksikan penandatanganan formulir persetujuan tersebut.
Pada kasus ini perawat bersaksi bahwa tanda tangan pada formulir
persetujuan tersebut adalah tanda tangan pasien atau keluarga. ketika
perawat menyaksikan seluruh penjelasan dokter mengenai sifat terapi
yang direncanakan, resiko, manfaat, dan kemungkin akibat perawat
dapat memberikan catatan pada formulir persetujuan tersebut atau pada
catatan perawat yang menyebutkan “prosedur disaksikan” (Morton,
2009).

19
2.2.4 Dokumentasi
Pepatah lama menyatakan bahwa, tidak melakukan dokumetasi
berarti tidak benar-benar melakukan keperawatan. Menurut hukum, jika
sesuatu tidak di dokumentasikan, berarti pihak yang bertanggungjawab
tidak melakukan apayang seharusnya dilakukan. Jika perawat tidak
melaksanaknnya atau menyelesaikan suatu aktivitas atau
mendokumentasikannya secara tidak benar, dia dapat dituntut
melakukan kelalaian atau malpraktik. Dokumentasi keperawatan harus
dapat dipercaya secara legal, yaitu harus memberika laporanyang akurat
mengenai perawatan yang diterima klien. Tappes, weiss, danwhitehead
(2001) menyatakan bahwa dokumentasi dapat dipercaya apabila
memenuhi hal-hal sebagai berikut:
a. Dilakukan pada periode waktu yang sama-perawata
didokumentasikan padawaktu perawatan diberikan.
b. Akurat, laporan yang akurat ditulis mengenai apa yang dilakukan
olehperawat dan bagaimana klien berespons.
c. Jujur, dokumentasi mencakup laporan yang jujur mengenai apa
yangsebenarnya dilakukan atau apa yang sebenarnya diamati.
d. Tepat, apa saja yang dianggap nyaman oleh sesorang untuk dibahas
dilingkungan umum didokumentasikan.
2.3 Isu dan Masalah Legal dalam Keperawatan Kritis
2.3.1 Keputusan Tindakan Mempertahankan Hidup
Bagi pasien yang menderita masalah kesehatan yang
menyangkut kelangsungan dan kualitas hidup diperlukan keputusan
yang tidak mengesampingkan hak-hak dari pasien. Masalah-masalah
kritis seperti koma, kematian otak, CPR dan DNR biasanya banyak
memerlukan keputusan yang menyangkut dilema etik. Keputusan yang
diambil oleh tenaga medis harus sesuai dengan keinginan dan
keputusan yang telah disepakati dengan keluarga.

20
2.3.2 Masalah Kematian dan Menjelang Ajal
a. Patient self- determinatioan Act
Perawat dan pasien harus lebih awal dalam mendiskusikan
surat resmi (advance directives) dari pasien ketika kesehatan pasien
masih dalam kondisi yang lebih baik tidak dalam masa kritis. Hal
ini dikarenakan keputusan yang akan diambil akan lebih banyak
membutuhkan waktu untuk mendiskusikan proses pembuatan
keputusan. Perawat harus menghormati keputusan dan keinginan
pasien dalam mengakhiri hidupnya, perawat juga harus
menghormati persepsi pasien mengenai kualitas hidup dalam
perawatan diakhir hidupnya dan menurut keyakinan atau adat dari
masing-masing pasien.
b. Advance directive
Pengajuan surat resmi adalah komunikasi spesifik tentang
tindakan medic yang dipilih oleh pasien. Beberapa tipe pengajuan
surat resmi yang biasa ada yaitu surat perintah untuk melakukan
DNR, perintah menghentikan kehidupan, surat wasiat dan lain-lain.
Hal ini penting bagi perawat untuk mengetahui jenis surat atau
perintah yang ditandatangani atau dimiliki pasien dan pengajuan itu
harus diikuti. Jika hal ini tidak dipatuhi atau dilaksanakan akan
mengakibatkan gugatan.
2.3.3 Transplantasi Organ dan Jaringan
Metode bedah semakin berkembang dan terapi obat
immunosupresive semakin efektif dalam meningkatkan jumlah maupun
jenis organ dan jaringan yang berhasil ditransplantasikan.
Profesi perawatan kritis harus memastikan bahwa keputusan
untuk menarik perawatan diri dibuat secara terpisah dari keputusan
untuk menyumbangkan organ. Disamping itu, donor jantung setelah
kematian sering dilakukan dalam operasi. Anggota perawatan kritis
perlu membuat rencana perawatan pasien meninggal sebagai mana
mestinya. Pendonor harus meninggal sesuai dengan kebijakan rumah

21
sakit yang ditentukan sebelum pengadaan organ. Tidak adanya proses
pengadaan organ menjadi penyebab langsung kematian.
2.3.4 Wrongful Death
Menurut Urden (2010), wrongful death merupakan kematian
pasien yang disebabkan oleh kelalaian dari petugas kesehatan
profesional ataupun dari organisasi rumah sakit tersebut.
Contoh Kasus :
Tn. B, 67 tahun, datang ke rumah sakit dengan COPD stadium
akhir, hipoksemia, dan retensi karbondioksida dan memakai bantuan
oksigen menggunakan nasal kanul. Keadaan Umum Tn.B sudah sangat
buruk. Perawat M datang dan kemudian langsung melepaskan oksigen
pasien dan mulai memindahkan pasien ke ruangan sebelah yang
jaraknya tidak terlalu jauh dari ruangannya yang sekarang. Keluarga
meminta agar oksigen tetap dipasang, tapi Perawat M mengatakan
bahwa ruangannya sangat dekat. Setelah pasien dipindahkan ke bed di
ruangan yang baru tersebut, pasien didapati berhenti bernapas.
Dari kasus diatas menunjukkan kelalaian perawat karena
melakukan pemindahan pasien tanpa memasang oksigen dimana
perawat tersebut tampak mengabaikan keadaan umum pasien dan hal
yang sangat mendasar dari kebutuhan dasar manusia yaitu oksigenasi.
Oleh karena itu, untuk menghindari liabilitas wrongful death,
penting sekali bagi perawat untuk memperhatikan keadaaan akut dan
kritis dari pasien, mengenali tanda dan gejala dari komplikasi ataupun
sesuatu yang membahayakan pasien, dan kewenangan untuk
melindungi pasien (Urden, 2010).
2.3.5 Kelalaian dalam Keperawatan Kritis
Kasus kelalaian dapat terjadi di berbagai tatanan dalam praktek
keperawatan. Kasus-kasus seperti ini berkembang dengan pesat seiring
dengan perkembangan ilmu maupun kemajuan teknologi dalam bidang
kesehatan, termasuk di dalamnya dalam ranah praktek keperawatan
kritis. Menurut Vestel KW (1995) dalam Ake (2003), menyampaikan

22
bahwa suatu perbuatan atau sikap tenaga kesehatan dianggap lalai, bila
memenuhi empat (4) unsur, yaitu:
a. Duty atau kewajiban tenaga kesehatan untuk melakukan tindakan
atau untuk tidak melakukan tindakan tertentu terhadap pasien
tertentu pada situasi dan kondisi tertentu. Seorang perawat
perawatan kritis bertanggung jawab secara legal dalam merawat
pasien dalam kondisi apapun. Jika perawat tersebut gagal
memberikan perawatan sebagaimana mestinya sesuai dengan
kondisi pasien, perawat tersebut dianggap melakukan pelanggaran
pada kewajibannya.
Contoh Kasus :
Seorang pasien yang dirawat di ICU dan baru saja dilakukan
pemasangan chest tube pada shift malam. Pada saat itu perawat lalai
dalam melakukan monitoring pasien dari pukul 23.00 sampai pukul
03.00, ketika dilakukan pengecekan kembali pada pukul 03.00
didapatkan keadaan pasien memburuk, pasien mengalami
penurunan kesadaran, oksimetri buruk, dan tanda-tanda vital dalam
keadaan jelek. Kemudian klien mengalami henti nafas dan henti
jantung, dan kemudian segera dilakukan resusitasi pada pasien.
Namun, ternyata pasien tetap tidak terselamatkan
b. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban
Pelanggaran kewajiban merupakan kegagalan untuk
bertindak secara konsisten sesuai standar perawatan (Urden, 2010).
Menurut Morton & Fontaine (2009), kelalaian terbukti benar atau
salah dengan membandingkan perilaku perawat dengan standar
perawatan. Pada umumnya, kelalaian dapat berupa kelalaian biasa
atau kelalaian berat. Kelalaian biasa menunjukkan kecerobohan
profesional, sedangkan kelalaian berat menunjukkan bahwa perawat
tersebut secara sengaja dan sadar mengabaikan resiko bahaya yang
telah diketahui pasien.

23
c. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh
pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan yang
diberikan oleh pemberi pelayanan.
d. Direct cause relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata,
dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab akibat antara
penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang setidaknya
menurunkan “Proximate cause”
2.3.6 Euthanasia
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang
berarti “baik”, dan thanatos, yang berarti “kematian” (Utomo,
2003:177). Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma
atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti
tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang
akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian
seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang
kematiannya (Hasan, 1995:145). Euthanasia sering di sebut juga dengan
istilah mercy killing / a good death (mati dengan tenang).
Istilah untuk pertolongan medis adalah agar kesakitan atau
penderitaan yang di alami seseorang yang akan meninggal diperingan.
Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam
kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya . Hal ini dapat
terjadi karna pertolongan dokter atas permintaan pasien atau
keluarganya karna penderitaan yang sangat hebat, dan tiada akhir
ataupun tindakan membiarkan saja oleh dokter kepada pasien yang
sedang sakit tanpa menentu tersebut, tanpa memberikan pengbatan
seperlunya. Euthanasia pada hakikatnya adalah pencabutan nyawa
seseorang yang menderita penyakit parah atas dasar permintaan atau
kepentingan orang itu sendiri. Euthanasia masih menimbulkan problem
keagamaan, hukum, dan moral di semua budaya dan tradisi keagamaan
Euthanasia adalah kematian yang dilakukan sebelum waktunya
yang biasa dilakukan pada akhir kehidupan, masih banyak dibicarakan

24
orang. Euthanasia biasanya berhubungan dengan pasien yang tak
mempunyai harapan lagi sedangkan pasien tersebut sangat menderita.
Suatu aspek yang penting tentang euthanasia adalah bahwa
pengakhiran hidup atau mengabaikan suatu tindakan yang dapat
memperpanjang hidup seseorang, yang dilaksanakan atas permintaan
pasien yang bersangkutan. Secara prinsip dapat dapat dikatakan bahwa
pasien yang bersangkutan adalah satu-satunya yang dapat menyatakan
bahwa hidupnya lebih lanjut baginya tak ada artinya dan tak
diharapkan lagi.
Ada empat metode euthanasia:
a. Euthanasia sukarela: ini dilakukan oleh individu yang secara sadar
menginginkan kematian.
b. Euthanasia non sukarela: ini terjadi ketika individu tidak mampu
untuk menyetujuikarena faktor umur, ketidak mampuan fisik dan
mental
c. Euthanasia tidak sukarela: ini terjadi ketika pasien yang sedang
sekarat dapatditanyakan persetujuan,.
d. Bantuan bunuh diri: ini sering diklasifikasikan sebagai salah satu
bentuk euthanasia.
Euthanasia dapat menjadi aktif atau pasif:
a. Euthanasia aktif menjabarkan kasus ketika suatu tindakan dilakukan
dengan tujuan untuk menimbulkan kematian
b. Euthanasia pasif menjabarkan kasus ketika kematian diakibatkan
oleh penghentian tindakan medis
2.3.7 DNR (Do Not Resuscitation)
1. Definisi DNR
Do Not Resuscitation atau jangan lakukan resusitasi
merupakan sebuah perintah tidak melakukan resusitasi yang ditulis
oleh seorang dokter dalam konsultasi dengan pasien atau pengambil
keputusan pengganti yang menunjukkan apakah pasien akan
menerima atau tidak tindakan CPR (Cardiopulmonary
Resuscitation) (Braddock & Clark, 2014). DNR merupakan

25
keputusan untuk mengabaikan CPR dan secara resmi diperkenalkan
sebagai alternative untuk end of life care pada awal tahun 1970
(Fallahi et al, 2016). Do Not Resuscitate (DNR) atau Jangan
Lakukan Resusitasi merupakan suatu tindakan dimana dokter
menempatkan sebuah instruksi berupa informed concent yang telah
disetujui oleh pasien ataupun keluarga pasien di dalam rekam medis
pasien, yang berfungsi untuk menginformasikan staf medis lain
untuk tidak melakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau
cardiopulmonary resuscitation (CPR) pada pasien. Pesan ini
berguna untuk mencegah tindakan yang tidak perlu dan tidak
diinginkan pada akhir kehidupan pasien dikarenakan kemungkinan
tingkat keberhasilan CPR yang rendah (Sabatino, 2015). DNR
diindikasikan jika seorang dengan penyakit terminal atau kondisi
medis serius tidak akan menerima cardiopulmonary resuscitation
(CPR) ketika jantung atau nafasnya terhenti. Form DNR ditulis oleh
dokter setelah membahas akibat dan manfaat dari CPR dengan
pasien atau pembuat keputusan dalam keluarga pasien (Cleveland
Clinic, 2010).
American Heart Association (AHA) mengganti istilah DNR
(Do Not Resuscitate) dengan istilah DNAR (Do Not Attempt
Resuscitate) yang artinya adalah suatu perintah untuk tidak
melakukan resusitasi terhadap pasien dengan kondisi tertentu, atau
tidak mencoba usaha resusitasi jika memang tidak perlu dilakukan,
sehingga pasien dapat menghadapi kematian secara alamiah,
sedangkan istilah DNR (Do Not Resuscitate) mengisyaratkan bahwa
resusitasi yang dilakukan akan berhasil jika kita berusaha (Brewer,
2008).
Di Amerika Serikat dan Inggris telah merekomendasikan
penggunaan DNR dan secara teratur diperbaiki berbeda dengan di
Switzerland.Penggunaan dan implikasi perintah DNR di rumah
sakit tidak pernah menarik perhatian media dan masyarakat.Swiss
Academi of Medical tidak menyebutkan DNR sampai tahun 1996

26
dan tidak pernah mendefinisikan secara spesifik mengenai
penggunaan dan implikasi perintah DNR (Perron, 2002).
Pengambilan keputusan DNR cenderung meningkat setiap
tahunnya. Fenomena ini disampaikan oleh Saczynski, et al (2012)
melalui penelitiannya bahwa dari total pasien yang berjumlah 4182
pasien antara tahun 2001 hingga 2007 di semua pusat kesehatan di
Massachusetts, total pasien yang mendapatkan tindakan DNR
adalah sebanyak 1051 pasien. Do Not Resusitation pada studi
mayoritas digambarkan di rumah sakit telah dilakukan pada pasien
bedah, Unit perawatan intensif (ICU), pasien stroke hemoragik, dan
populasi medicare. Sementara itu, penelitian yang meneliti DNR
dalam penatalaksanaan trauma, termasuk cedera otak traumatis
(TBI), pasien dirawat di ICU, dan terluka parah pasien yang
membutuhkan transfusi segera.Studi-studi sebelumnya pada pasien
dengan trauma melaporkan kematian yang tinggi dengan DNR (42-
99 %), pasien bedah (23-37%), stroke (40-64 %), dan ICU (51-
83%).Pasien dengan trauma ditemukan lebih rendah dilakukan
DNR sekitar 5-7%, di bandingkan dengan bedah umum (4-65%),
stroke (22-41%), dan ICU (9-13%). Mengidentifikasi karakteristik
awal yang dapat menyebabkan DNR sangat penting untuk lebih
dimanfaatkan .karena kurangnya studi DNR dalam pengaturan
trauma, kami mengusulkan untuk memeriksa perubahan dalam
DNR dari waktu ke waktu (Salottolo, 2015).
Keputusan penolakan resusitasi (DNAR) menurut Brewer
(2008) melibatkan tiga prinsip moral yang dapat dikaji oleh
perawat, yaitu autonomy, beneficience, dan nonmalefecience, ketiga
prinsip tersebut merupakan dilema etik yang menuntut perawat
berpikir kritis, karena terdapat dua perbedaan nilai terhadap
profesionalisme dalam memberikan asuhan keperawatan, secara
profesional perawat ingin memberikan pelayanan secara optimal,
tetapi disatu sisi terdapat pendapat yang mengharuskan penghentian
tindakan.

27
2. Tahapan DNR
Sebelum menulis form DNR, dokter harus
mendiskusikannya dengan pasien atau seseorang yang berperan
sebagai pengambil keputusan dalam keluarga pasien. Semua hal
yang didiskusikan harus didokumentasikan dalam rekam medis,
siapa saja yang mengikuti diskusi, dan yang terlibat dalam proses
pengambilan keputusan, isi diskusi serta rincian perselisihan apapun
dalam diskusi tersebut. Dokter merupakan orang yang paling efektif
dalam membimbing diskusi dengan mengatasi kemungkinan
manfaat langsung dari resusitasi cardiopulmonary dalam konteks
harapan keseluruhan dan tujuan bagi pasien. Sebuah perintah DNR
bukan berarti tidak memperlakukan, sebaliknya itu hanya berarti
pasien tidak akan dilakukan tindakan CPR. Pengobatan lain
(misalnya terapi antibiotic, transfuse, dialysis, atau penggunaan
ventilator) yang memungkinkan memperpanjang hidup masih
diberikan.Formulir DNR harus ditandatangani oleh pasien atau oleh
pembuatan keputusahan yang diakui atau dipercaya oleh pasien jika
pasien tidak dapat membuat atau berkomunikasi kepada petugas
kesahatan.Pembuat keputusan yang dipercaya oleh pasien dan
diakui secara hukum mewakili pasien seperti agen perawat
kesehatan yang ditetapkan dalam srata kuasa untuk perawatan
kesehatan, konservator, atau pasangan / anggota keluarga lainnya.
Dokter dan pasien harus menandatangani formulir tersebut,
menegaskan bahwa pasien akan diakui secara hukum keputusan
perawatan kesehatannya ketika telah memberikan persetujuan
instruksi DNR (EMSA).
Beberapa standar yang harus dilakukan pada saat diskusi
menentukan keputusan DNAR yaitu, dokter harus menentukan
penyakit/kondisi pasien, menyampaikan tujuan, memutuskan
prognosa, potensi manfaat dan kerugian dari resusitasi (CPR),
memberikan rekomendasi berdasarkan penilaian medis tentang
manfaat/kerugian CPR, dokter penanggung jawab harus hadir dalam

28
diskusi, mendokumentasikan isi diskusi, dan alasan pasien/keluarga
dalam pengambilan keputusan (Breault 2011).
3. Peran Perawat Dana Pelaksanaan DNR
Peran perawat dalam Do Not Resuscitation adalah
membantu dokter dalam memutuskan DNR sesuai dengan hasil
pemeriksaan kondisi pasien.Setelah rencana diagnosa DNR diambil
maka sesegera mungkin keluarga diberikan informasi mengenai
kondisi pasien dan rencana diagnosa DNR. Perawat juga dapat
berperan dalam pemberian informasi bersama- sama dengan dokter
(Amestiasih, 2015). Perawat sebagai care giver dituntut untuk tetap
memberikan perawatan pada pasien DNR tidak berbeda dengan
pasien lain pada umumnya, perawat harus tetap memberikan
pelayanan sesuai dengan advice dan kebutuhan pasien tanpa
mengurangi kualitasnya. End of life care yang perawat lakukan
dengan baik diharapkan dapat memberikan peacefull end of life bagi
pasien, seperti yang digambarkan dalam teori keperawatan peacefull
end of life oleh Rulland and Moore yang meliputi terhindar dari rasa
sakit, merasakan kenyamanan, penghormatan, kedamaian, dan
mendapatkan kesempatan untuk dekat dengan seseorang yang dapat
merawatnya (Amestiasih, 2015).
Perawat sebagai advokat pasien, menerima dan menghargai
keputusan pasien/keluarganya sekalipun keputusan tersebut tidak
sesuai dengan harapan perawat, karena perawat tidak dibenarkan
membuat keputusan untuk pasien/keluarganya dan mereka bebas
untuk membuat keputusan (Kozier et al, 2010). Pemahaman tentang
peran perawat sebagai pendukung dan advokasi pasien dapat
bertindak sebagai penghubung dan juru bicara atas nama
pasien/keluarganya kepada tim medis.
Menurut ANA (2004) Perawat sebaiknya memperhatikan
dan berperan aktif terhadap perkembangan kebijakan DNAR di
institusi tempat mereka bekerja, dan diharapkan dapat berkerja sama
dengan dokter selaku penanggung jawab masalah DNAR. Perawat

29
berperan sebagai pemberi edukasi kepada pasien dan keluarga
tentang keputusan yang mereka ambil dan memberikan informasi
yang relevan terkait perannya sebagai advokat bagi pasien dalam
memutuskan cara mereka untuk menghadapi kematian.
4. Prinsip Etik Pelaksanaan DNR
Keputusan keluarga/pasien untuk tidak melakukan resusitasi
pada penyakit kronis adalah merupakan keputusan yang dipandang
sulit bagi dokter dan perawat, karena ketidakpastian prognosis dan
pada saat keluarga menghendaki untuk tidak lagi dipasang alat
pendukung kehidupan. Keputusan sulit tersebut disebabkan karena
kurangnya kejelasan dalam peran tenaga profesional dalam
melakukan tindakan/bantuan pada saat kondisi kritis, meskipun
dukungan perawat terhadap keluarga pada proses menjelang
kematian adalah sangat penting (Adams, Bailey Jr, Anderson, dan
Docherty (2011).
Pasien Do Not Attempt Resuscitate (DNAR) pada kondisi
penyakit kronis/terminal dari sisi tindakan keperawatan tidak akan
berbeda dengan pasien pada umumnya, hanya memiliki makna
bahwa jika pasien berhenti bernapas atau henti jantung, tim medis
tidak akan melakukan resusitasi/Resusitasi Jantung Paru (RJP), hal
ini sesuai dengan definisi yang dikemukakan AHA, bahwa jika RJP
yang dilakukan tidak memberikan hasil signifikan pada situasi
tertentu, dan lebih membawa kerugian bagi pasien/keluarganya dari
segi materil maupun imateril, maka pelaksanaan RJP tidak perlu
dilakukan (Ardagh, 2000 dalam Basbeth dan Sampurna, 2009).
Dalam pelaksanaan DNR masih terdapat dilema, dalam
keperawatan prinsip etik yang digunakan dalan pelaksanan DNR
yaitu
Prinsip etik otonomy, di sebagian besar negara dihormati
secara legal, tentunya hal tersebut memerlukan keterampilan dalam
berkomunikasi secara baik, perawat secara kognitif memiliki
komunikasi terapeutik yang dapat dijadikan acuan untuk

30
membicarakan hak otonomi pasien/keluarganya, melalui informed
consent, pasien dan keluarga telah menentukan pilihan
menerima/menolak tindakan medis, termasuk resusitasi, meskipun
umumnya pasien/keluarga tidak memiliki rencana terhadap akhir
kehidupannya. Pada prinsip etik otonomy, perawat memberikan
edukasi tentang proses tersebut dengan cara-cara yang baik dan
tidak menghakimi pasien/keluarga dengan menerima
saran/masukan, tetapi mendukung keputusan yang mereka tetapkan
(AHA, 2005 dalam Basbeth dan Sampurna, 2009).
Prinsip etik beneficence pada penerimaan/penolakan
tindakan resusitasi mengandung arti bahwa pasien memilih apa
yang menurut mereka terbaik berdasarkan keterangan-keterangan
yang diberikan perawat. Pada etik ini, perawat memberikan
informasi akurat mengenai keberhasilan resusitasi, manfaat dan
kerugiannya, serta angka harapan hidup pasca resusitasi, termasuk
efek samping/komplikasi yang terjadi, lama masa perawatan, serta
penggunaan alat bantu pendukung kehidupan yang memerlukan
biaya cukup besar. Data-data dan informasi yang diberikan dapat
menjadi acuan pasien/keluarganya dalam menentukan keputusan
(Basbeth dan Sampurna, 2009).
Prinsip etik nonmalefecience berkaitan dengan pelaksanaan
tindakan RJP tidak membahayakan/merugikan pasien/keluarganya.
Menurut Hilberman, Kutner J, Parsons dan Murphy (1997) dalam
Basbeth dan Sampurna (2009) dikatakan bahwa banyak pasien
mengalami gangguan neurologi berupa disabilitas berat yang diikuti
dengan kerusakan otak pasca RJP, menyebabkan kerusakan otak
permanen (brain death), tingkat kerusakan otak berkaitan dengan
tindakan RJP bervariasi antara 10-83%. Tindakan RJP dikatakan
tidak merusak jika keuntungan yang didapatkan lebih besar.Pada
etik ini, perawat membantu dokter dalam mempertimbangkan
apakah RJP dapat dilakukan atau tidak terutama pada pasien dengan
angka harapan hidup relatif kecil dan prognosa yang buruk.

31
Menurut Adam et al (2011), dikatakan bahwa beberapa
penelitian menyebutkan bahwa masih didapatkan komunikasi yang
kurang baik antara perawat dan pasien/keluarganya mengenai
pelaksanaan pemberian informasi proses akhir kehidupan, sehingga
keluarga tidak memiliki gambaran untuk menentukan/mengambil
keputusan, serta pengambilan keputusan pada proses menjelang
kematian masih didominasi oleh perawat, sebaiknya perawat
berperan dalam memberikan dukungan, bimbingan, tetapi tidak
menentukan pilihan terhadap pasien/keluarganya tentang keputusan
yang akan dibuat.
5. Dilema etik
Pengambilan keputusan DNR harus menghargai otonomi
pasien.Otonomi membentuk salah satu dari tiga prinsip etika
biomedis yang diusulkan oleh Beaichamp dan Chldress, dan
mengacu untukmenghormati dalam pengambilan keputusan
kapasitas individu yang memungkinkan mereka untuk membuat
suatu pilihan tentang informasi kesehatan mereka.Dua prinip
lainnya adalah kebaikan ( manfaat secara keseluruhan untuk pasien)
dan tidak bersifat mencelakakan (menghindari penyebab
kerusakan). Namun bila diterapkan dalam dilema etika, dari tiga
prinsip tersebutakan saling bertentangan satu sama lain sehingga
mereka hanya menyediakan kerangka kerja untuk diskusi. Prinsip
etika utama paternalistik masa lalu, yaitu pandangan dokter dari
manfaat langsung kepada pasien (AAGBI, 2009).
Di Indonesia, kebijakan DNR sudah lama diterapkan namun
masih menjadi dilema bagi tenaga medis termasuk perawat. Sesuai
dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
519/Menkes/Per/Iii/2011 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Pelayanan Anestesiologi dan Terapi Intensif di Rumah Sakit,
disebutkan didalamnya bahwa prosedur pemberian atau penghentian
bantuan hidup ditetapkan berdasarkan klasifikasi setiap pasien di
ICU dan HCU yaitu semua bantuan kecuali RJP (DNAR = Do Not

32
Attempt Resuscitation), dilakukan pada pasien-pasien dengan fungsi
otak yang tetap ada atau dengan harapan pemulihan otak, tetapi
mengalami kegagalan jantung, paru atau organ lain, atau dalam
tingkat akhir penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Tidak
dilakukan tindakan-tindakan luar biasa, pada pasien-pasien yang
jika diterapi hanya memperlambat waktu kematian dan bukan
memperpanjang kehidupan.Untuk pasien ini dapat dilakukan
penghentian atau penundaan bantuan hidup.Sedangkan pasien yang
masih sadar dan tanpa harapan, hanya dilakukan tindakan
terapeutik/paliatif agar pasien merasa nyaman dan bebas nyeri
(Depkes, 2011).
Keputusan DNR dapat menimbulkan dilema psikis pada
perawat dikarenakan timbulnya penolakan dari hati nurani perawat
terhadap label DNR dan kondisi dilema itu sendiri. Timbulnya
dilema psikis ini juga dapat dipengaruhi oleh masih belum
adekuatnya sumber informasi tentang DNR yang dimiliki oleh
perawat.Perawat tidak dapat terhindar dari perasaan dilema.
Merawat pasien setiap hari, melihat perkembangan kondisi pasien,
membuat rencana DNR seperti dua sisi mata uang bagi perawat,
disatu sisi harus menerima bahwa pemberian tindakan CPR sudah
tidak lagi efektif untuk pasien namun di sisi lain muncul perasaan
iba dan melihat pasien seolah-olah keluarganya. Dua hal tersebut
dapat menjadikan perawat merasa dilemma (Amestiasih,
2015).Perasaan empati juga dapat dirasakan oleh perawat karena
DNR.Perasan empati ini dapat disebabkan pula oleh keputusan
DNR yang ada dan tidak adekuatnya sumber informasi DNR yang
dimiliki perawat. Perasaan empati yang muncul juga dapat menjadi
dampak dari tingginya intensitas pertemuan antara perawat dengan
pasien (Elpern, et al. 2005)

33
2.3.8 Contoh Kasus
1. Analisa Kasus
Ny. M seorang ibu rumah tangga, umur 35 tahun,
mempunyai seorang anak umur 4 tahun, Ny.M. berpendidikan SMA,
dan suami Ny.M bekerja sebagai PNS di suatu kantor kelurahan.
Saat ini Ny.M dirawat di ruang kandungan sejak 3 hari yang
lalu.Sesuai hasil pemeriksaan Ny.M positif menderita kanker rahim
grade III, dan dokter merencanakan untuk dilakukan operasi
pengangkatan kanker rahim. Semua pemeriksaan telah dilakukan
untuk persiapan operasi Ny.M. Menjelang dua hari operasi, Ny.M
hanya diam dan tampak cemas dan binggung dengan rencana operasi
yang akan dijalaninnya. Dokter hanya menjelaskan bahwa Ny.m
harus dioperasi karena tidak ada tindakan lain yang dapat dilakukan
dan dokter memberitahu perawat kalau Ny.M atau keluarganya
bertanya, sampaikan operasi adalah jalan terakhir. Dan jangan
dijelaskan tentang apapun, tunggu saya yang akan menjelaskannya.
Saat menghadapi hal tersebut Ny.M berusaha bertanya kepada
perawat ruangan yang merawatnya. Ny.M bertanya kepada perawat
beberapa hal, yaitu: “apakah saya masih bisa punya anak setelah
dioperasi nanti”.karena kami masih ingin punya anak. “apakah masih
ada pengobatan yang lain selain operasi” dan “apakah operasi saya
bisa diundur dulu suster”
Dari beberapa pertanyaan tersebut perawat ruangan hanya
menjawab secara singkat,“ibu kan sudah diberitahu dokter bahwa ibu
harus operasi”
“penyakit ibu hanya bisa dengan operasi, tidak ada jalan lain”
“yang jelas ibu tidak akan bisa punya anak lagi…”
“Bila ibu tidak puas dengan jawaban saya, ibu tanyakan
lansung dengan dokternya…ya.” Dan setelah menjawab beberapa
pertanyaan Ny.M. perawat memberikan surat persetujuan operasi
untuk ditanda tangani, tetapi Ny.M mengatakan “saya menunggu
suami saya dulu suster”, perawat mengatakan “secepatnya ya bu…

34
besok ibu sudah akan dioperasi”tanpa penjelasan lain, perawat
meninggalkan Ny.M.
Sehari sebelum operasi Ny.M berunding dengan suaminya
dan memutuskan menolak operasi dengan alasan, Ny.M dan suami
masih ingin punya anak lagi. Dengan penolakan Ny.M dan suami,
perawat mengatakan pada Ny.M dan suami” Ibu ibu tidak boleh
begitu, ibu harus dioperasi agar penyakit ibu tidak parah, kita hanya
berusaha” dan perawat meninggalkan pasien dan suami tanpa
penjelasan apapun. Dan setelah penolakan pasien tersebut, perawat
A datang ke Kepala ruangan dan mengatakan bahwa Ny.M menolak
untuk operasi. Ny.M masih ragu karena dokter belum menjelaskan
rencana operasi yang akan dilakukan, Kepala ruangan bertanya
kepada perawat A “kenapa tidak dijelaskan” Perawat A menjawab
“pesan dokter, saya tidak boleh menjelaskan tentang operasi
tersebut, disuruh menunggu dokter…”, kepala ruangan mengatakan “
kalau begitu buat surat pernyataan saja” dan kita sampaikan ke
dokter bedahnya. Dan sampai saat ini dokter belum menjelaskan
operasi yang akan dilakukan pada Ny.M dan keluarga. Dan akhirnya
pasien pulang. Beberapa hari kemudian Rumah Sakit mendapat surat
keluhan dari keluarga Ny.M yang berisi ketidakpuasan dari
pelayanan dimana Ny.M dirawat. Oleh karena itu pihak Rumah Sakit
(pimpinan) menanggapi surat tersebut dan berusaha mencari tahu
kebenaran kasus yang tejadi pada Ny.M dan akan mengambil
tindakan bila ada unsure pelanggaran kode etik dalam pelayanan
kesehatan yang dilakukan staff Rumah Sakit.
Sekilas berkaitan dengan ruangan, kepala ruangan adalah
Ners S1 yang bekerja telah lima tahun dan perawat A, adalah
perawat lulusan DIII baru bekerja diruang tersebut dua tahun.
2. Pembahasan Kasus
Hal pertama yang harus dilakukan oleh tim pencari fakta
adalah mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan beberapa
informasi yang diperlukan, baik dari internal maupun exsternal

35
ruangan termasuk staf yang terlibat, perawat primer, kepala ruangan
dan dokter yang merawat dan pasien/keluarga. Hal-hal lain yang
menyangkut prinsip-prinsip moral dalam pemberian asuhan
keperawatan dan berkaitan dengan standarisasi asuhan keperawatan
yang diberikan (SOP).
Pada kasus yang melibatkan Ny.M dapat dianalisa dengan
beberapa hal menyangkut nilai-nilai etika, prinsip moral dalam
professional keperawatan, Kode etik keperawatan (PPNI), hak-hak
pasien, hak dan kewajiban perawat dan juga bentuk standar praktek
keperawatan yang harus dilaksanakan pada pasien yang akan
menjalani operasi. Bila diidentifikasi masalah-masalah yang
mungkin merupakan pelanggaran etik yang terjadi dan merupakan
data dari informasi yang dibutuhkan, adalah sebagai berikut:
a. Berkaitan dengan prinsip-prinsip moral/etik dalam praktek
keperawatan, yaitu:
1) Otonomi pasien
Prinsip autonomy menegaskan bahwa seseorang
mempunyai kemerdekaan untuk menentukan keputusan
dirinya menurut rencana pilihannya sendiri. Bagian dari apa
yang diperlukan dalam ide terhadap respect terhadap
seseorang, menurut prinsip ini adalah menerima pilihan
individu tanpa memperhatikan apakah pilihan seperti itu
adalah kepentingannya.
Seperti telah banyak dijelaskan dalam teori bahwa
otonomi merupakan bentuk hak individu dalam mengatur
keinginan melakukan kegiatan atau prilaku. Kebebasan
dalam memilih atau menerima suatu tanggung jawab
terhadap dirinya sendiri.
Pada kasus Ny.M. bahwa pasien menginginkan
informasi yang banyak tentang tindakan operasi yang akan
dilakukan terhadap dirinnya, informasi-informasi yang
dibutuhkannya karena Ny.M berkeinginan bahwa ia masih

36
ingin punya anak lagi dan bila operasi dilakukan berarti
pasien merasa tidak akan mempunyai anak lagi. Tetapi
keinginan pasien untuk mendapat informasi yang lebih
banyak tidak terpenuhi, hal inilah yang menjadi dilema bagi
pasien sementara itu kondisi sakitnya akan membuat Ny.M
tidak tertolong lagi.
Penolakan Ny.M dan keluarga untuk dilakukan
operasi merupakan hak pasien tetapi, hak dan kewajiban
perawat juga untuk dapat memberikan asuhan keperawatan
yang optimal dengan membantu penyembuhan pasien yaitu
dengan jalan dilakukan operasi.
2) Advokasi perawat terhadap pasien
Advokasi merupakan salah satu peran perawat dalam
menjalankan praktek keperawaatan dan asuhan
keperawatannya. Perawat seharusnya memberikan penjelasan
lebih rinci dan mendukung pasien agar dapat berkonsultasi
kepada tim dokter yang akan melakukan operasinya.
Advoaksi perawat yang dapat dilakukan pada kondisi
kasus Ny.M, dapat berupa: penjelasan yang jelas dan terinci
tentang kondisi yang dialami Ny.M, melakukan konsultasi
dengan tim medis berkaitan denganmaslah tersebut, juga
harus disampaikan bahwa Ny.M ingin mempunyai anak lagi.
Bentuk-bentuk advokasi inilah yang memungkinkan tim baik
keperawatan dan medis akan bersama menjelaskan dengan
lengkap dan baik. Bentuk advokasi lainnya adalah Perawat
ruangan dapat membuat tim keperawatan dan medis dan
dapat menberikan informasi dan komunikasi yang baik pada
pasien.
b. Berkaitan hak-hak pasien
Pada teori telah dijelaskan bahwa pasien juga
mempunyai hak-hak yang harus diperhatikan oleh perawata
dalam praktek keperawatan, diantarannya yang berhubungan

37
dengan kasus Ny.M. Pasien berhak mendapatkan informasi yang
lengkap jelas, pasien berhak memperoleh informasi terbaru baik
dari tim medis dan perawat yang mengelolannya, pasien juga
berhak untuk memilih dan menolak pengobatan ataupun asuhan
bila merasa dirinnya tidak berkenan.
Ny.M. merasa bahwa dirinya tidak memperoleh
informasi yang diharapkannya, pasien berharap banyak informasi
dan hal-hal yang berkaitan dengan kondisinnya sehingga pasien
dapat memnentukan pilihannya dengan tepat. Apapun pilihan
pasien dan keputusan pasien setelah mendapatkan informasi yang
jela merupakan hak automi pasien.
c. Berkaitan Kode Etik Keperawatan (PPNI)
1) Kewajiban perawat dalam melaksanakan tugas.
Sebagai tenaga kesehatan yang memberikan
pelayanan langsung kepada individu, keluarga dan
masyarakat, perawat berkewajiban untuk melaksanakan kode
etik profesinya dan menjalankan semua kewajiban yang
didasari oleh nilai-nilai moral yang telah diatur dalam
profesinya.
Terdapat beberapa kewajiban perawat yang tidak
dijalankan dengan baik dalam kasus Ny.M. diantaranya
berkewajiban memberikan informasi, komunikasi kepada
pasien, memberikan peran perlindungan kepada pasien,
perawat wajib memberi kesempatan kepada pasien untuk
dapat menentukan pilihan dan memberikan alternative
penyelesaian atas kondisi dan keinginan pasien dalam arti
bahwa perawat wajib menghargai pilihan atau autonomi
pasien. Sesuai kode etik keperawatan (PPNI) bahwa perawat
senantiasa mengutamakan perlindungan dan keselamatan
pasien dalam melaksanakan tugas keperawatan serta matang
dalam melaksanakan tugas. Bila kewajiban diatas dapat
dilaksanakan dengan baik maka dapat memberikan

38
kesempatan kepada Ny.M dan keluarga dapat berfikir
rasional dan logic atas kondisi yang menimpannya.
2) Hubungan Perawat terhadap Pasien, Tenaga Kesehatan Lain
(Dokter)
Sesuai kode etik keperawatan (PPNI) bahwa perawat
senantiasa menjaga hubungan baik antar sesama perawat,
pasien dan tenaga kesehatan lain dengan tujuan keserasian
suasana dan ligkungan kerja maupun dalam mencapai tujuan
pelayanan kesehatan secara menyeluruh.
Pada kasus Ny.M terdapat beberapa dilema etik
yaitu perawat tidak mampu mengambil suatu keputusan yang
terbaik dari intruksi yang telah disampaikan oleh dokter
seharusnya perawat mengklarifikasi atas apa yang
disampaikan oleh tim medis dan perlunya tim konsultasi
yang berkaitan dengan masalah-masalah yang terggambar
pada kasus Ny.M. tim inilah yang merupakan kelompok yang
baik sebagai tempat untuk menjelaskan kondisi pasien. Tim
ini pun akan memberikan alternatif-alternatif atau masukan
yang berarti tentang dampak dari tindakan dan bila tidak
dilakukan tindakan. Tim ini juga terdiri dari beberapa profesi
yaitu: medis, keperawatan, dan tenaga lain yang berkaitan
dengan masalah Ny.M Hubungan yang baik harus diciptakan
sehingga pada setiap interaksi dengan pasien terjadi
komunikasi yang terintegrasi dan menyeluruh sehingga
informasi yang diberikan kepada pasien dapat sama dan
saling menunjang.
d. Berkaitan nilai-nilai praktek keperawatan professional.
Secara teori dikatakan bahwa nilai-nilai professional
perawat harus selalu dijalankan pada setiap berhubungan dan
melaksanakan praktek keperawatan, nilai-nilai professional yang
dimaksud yaitu Aesthetics, altruism, equality, freedom, human
dignity, justice dan truth. Dari kasus Ny.M dapat dikatakan

39
bahwa perawat ruangan melanggar nilai-nilai praktek
profesionalnya.
Sifat altruism yang ditunjukan pada pasien Ny.M tidak
terlihat sama sekali apalagi kepedulian “caring” terhadap Ny.M,
seakan perawat mengabaikan pasien, selayaknya perawat
menunjukan perhatiannya kepada pasien terhadap isu/kondisi
saat ini sehingga dampak dari tindakan/pengobatan dapat
melegakan bagi pasien. Disamping itu nilai kebebasan dalam
menentukan sikap terhadap tindakan/pengobatan yang diambil
oleh tim medis seharusnya perawat menggunakan kapasitasnya
secara independent, confidence, serta menghargai hak pasien.
Nilai yang lain adalah menghargai martabat manusia
dengan sikap empathy, respectfull, yang dapat dijalankan oleh
perawat menghadapi kasus Ny.M penting dalam melindungi hak
individu, memperlakukan pasien sesuai keinginannya.
Disamping nilai-nilai tersebut penting juga berkata jujur sesuai
kebenaran, walaupun kadang-kadang kebenaran itu akan
memberikan dampak yang tidak selalu baik, tetapi dalam nilai
kebenaran ini yang penting adalah perlu dilihat kondisi, dampak
dan apa keinginan pasien sehingga apa yang kita sampaikan
kepada pasien dapat diterima dan dipertimbangkan dengan baik,
apapun keputusannya dapat memberikan keduannya hal yang
baik yang telah dilaksanakan.
e. Tinjauan dari standar praktek dan SOP
Didalam standar praktek keperawatan pada pasien yang
akan dilakukan operasi harus dipersiapkan baik fisik dan mental,
termasuk memberikan informasi-informasi yang berkaitan
dengan rencana operasi yang akan dilakukan. Saat
penandatanganan persetujuan operasi harus dijelaskan, walaupun
kewajiban memberikan informasi hal tersebut adalah dokter yang
akan melakukan operasi, tetapi perawat harus tetap mendampingi
dan memberikan advokasi dan memberikan penjelasan lain

40
secara lengkap agar pasien dapat menjalani operasi dengan baik.
Didalam setiap SOP-pun hal ini telah diidentifikasi beberapa
tindakan yang harus dilakukan pada pasien yang akan menjalani
operasi, maka harus dilihat lagi apakah SOP di ruangan tersebut
telah tersedia dan selalu diperbaharui.
3. Penyelesaian Kasus
Dalam menyelesaikan kasus dilema etik yang terjadi pada
kasus Ny. M, dapat diambil salah satu kerangka penyelesaian etik,
yaitu kerangka pemecahan etik yang dikemukan oleh Kozier, erb.
(1989), dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Mengembangkan data dasar dalam hal klarifiaksi dilema etik,
mencari informasi sebanyaknya, berkaitan dengan:
1) Orang yang terlibat, yaitu: Pasien, suami pasien, dokter
bedah/kandungan, kepala ruangan dan perawat primer.
2) Tindakan yang diusulkan, yaitu: Akan dilakukan operasi
pengangkatan kandungan/rahim pada Ny.M. dan perawat
primer tidak boleh menyampaikan hal-hal yang berkaitan
dengan operasi, menunggu dokter bedahnya.
3) Maksud dari tindakan, yaitu: Agar kanker rahim yang dialami
Ny.M dapat diangkat (tidak menjalar ke organ lain) dan
pengobatan tuntas.
4) Konsekuensi dari tindakan yang diusulkan, yaitu: bila operasi
tetap dilaksanakan keinginan Ny.M dan keluarga untuk
mempunyai anak kemungkinan tidak bisa lagi dan bila
operasi tidak dilakukan penyakit/kanker rahim Ny.M
kemungkinan akan menjadi luas. Dan mengenai pesan dokter
untuk tidak menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan
rencana operasi Ny.M, bila dilaksanakan pesan tersebut,
perawat melannggar prinsip-prinsip moral, dan bila pesan
dokter tersebut melanggar janji terhadap teman sejawat.
b. Mengidentifikasi konflik yang terjadi berdasarkan situasi
tersebut.

41
1) Konflik yang terjadi pada perawat A, yaitu:
a) Bila menyampaikan penjelasan dengan selengkapnya
perawat kawatir akan kondisi Ny.M akan semakin parah
dan stress, putus asa akan keinginannya untuk
mempunyai anak.
b) Bila tidak dijelaskan seperti kondisi tersebut, perawat
tidak melaksanakan prinsip-prinsip professional perawat
c) Atas penolakan pasien perawat merasa hal itu kesalahan
dari dirinya
d) Berkaitan dengan pesan dokter, keduanya mempunyai
dampak terhadap prinsip-prinsip moral/etik.
e) Bila perawat menyampaikan pesan dokter, perawat A
melangkahi wewenang yang diberikan oleh dokter, tetapi
bila tidak disampaikan perawat A tidak bekerja sesuai
standar profesi.
2) Konflik yang terjadi pada Kepala Ruangan, yaitu:
a) Berkaitan dengan pesan dokter kondisinya sama dengan
perawat primer
b) Atas penolakan pasien merupakan gambaran manajemen
ruangan yang kurang terkoordinasi dengan baik.
c) Meninjau kembali SOP pada pasien yang akan dilakukan
operasi apakah masih relevan atau tidak.
c. Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang
direncanakan dan mempertimbangkan hasil akhir atau
konsekuensi tindakan tersebut.
1) Menjelaskan secara rinci rencana tindakan operasi termasuk
dampak setelah dioperasi.
2) Menjelaskan dengan jelas dan rinci hal-hal yang berkaitan
dengan penyakit bila tidak dilakukan tindakan operasi
3) Memberikan penjelasan dan saran yang berkaitan dengan
keinginan dari mempunyai anak lagi, kemungkinan dengan
anak angkat dan sebagainnya.

42
4) Mendiskusikan dan memberi kesempatan kepada keluarga
atas penolakan tindakan operasi dan memberikan alternative
tindakan yang mungkin dapat dilakukan oleh keluarga.
5) Memberikan advokasi kepada pasien dan keluarga untuk
dapat bertemu dan mendapat penjelasan langsung pada
dokter bedah, dan memfasilitasi pasien dan kelurga untuk
dapat mendapat penjelasan seluas-luasnya tentang rencana
tindakan operasi dan dampaknya bila dilakukan dan bila
tidak dilakukan.
d. Menentukan siapa yang terlibat dalam masalah tersebut dan siapa
pengambil keputusan yang tepat.
Perawat tidak membuat keputusan untuk pasien, tetapi
perawat membantu dalam membuat keputusan bagi dirinya dan
keluarganya, tetapi dalam hal ini perlu dipikirkan, beberapa hal:
1) Siapa yang sebaiknya terlibat dalam membuat keputusan dan
mengapa mereka ditunjuk.
2) Untuk siapa saja keputusan itu dibuat
3) Apa kriteria untuk menetapkan siapa pembuat keputusan
(social, ekonomi, fisiologi, psikologi dan peraturan/hukum).
4) Sejauh mana persetujuan pasien dibutuhkan
5) Apa saja prinsip moral yang ditekankan atau diabaikan oleh
tindakan yang diusulkan.
Dalam kasus Ny.M. dokter bedah yakin bahwa pembuat
keputusan, jadi atau tidaknya untuk dilakukan operasi adalah
dirinya, dengan memperhatikan faktor-faktor dari pasien, dokter
akan memutuskan untuk memberikan penjelasan yang rinci dan
memberikan alternatif pengobatan yang kemungkinan dapat
dilakukan oleh Ny.M dan keluarga. Sedangkan perawat primer
seharusnya bertindak sebagai advokasi dan fasilitator agar pasien
dan keluarga dapat membuat keputusan yang tidak merugikan
bagi dirinya, sehingga pasien diharapkan dapat memutuskan hal

43
terbaik dan memilih alternatif yang lebih baik dari penolakan
yang dilakukan.
Bila beberapa kriteria sudah disebutkan mungkin konflik
tentang penolakan rencana operasi dapat diselesaikan atau
diterima oleh pasien setelah mendiskusikan dan memberikan
informasi yang lengkap dan valid tentang kondisinya, dilakukan
operasi ataupun tidak dilakukan operasi yang jelas pasien telah
mendapat informasi yang jelas dan lengkap sehingga hak
autonomi pasien dapat dipenuhi serta dapat memuaskan semua
pihak. Baik pasien, keluarga, perawat primer, kepala ruangan dan
dokter bedahnya.
e. Mendefinisikan kewajiban perawat
Dalam membantu pasien dalam membuat keputusan,
perawat perlu membuat daftar kewajiban keperawatan yang
harus diperhatikan, sebagai berikut:
1) Memberikan informasi yang jelas, lengkap dan terkini
2) Meningkatkan kesejahteran pasien
3) Membuat keseimbangan antara kebutuhan pasien baik
otonomi, hak dan tanggung jawab keluarga tentang kesehatan
dirinya.
4) Membantu keluarga dan pasien tentang pentingnya sistem
pendukung
5) Melaksanakan peraturan Rumah Sakit selama dirawat
6) Melindungi dan melaksanakan standar keperawatan yang
disesuikan dengan kompetensi keperawatan professional dan
SOP yang berlaku diruangan.
f. Membuat keputusan.
Dalam suatu dilema etik, tidak ada jawaban yang benar
atau salah, mengatasi dilema etik, tim kesehatan perlu
dipertimbangkan pendekatan yang paling menguntungkan atau
paling tepat untuk pasien. Kalau keputusan sudah ditetapkan,
secara konsisten keputusan tersebut dilaksanakan dan apapun

44
yang diputuskan untuk kasus tersebut, itulah tindakan etik dalam
membuat keputusan pada keadaan tersebut. Hal penting lagi
sebelum membuat keputusan dilema etik, perlu mengali dahulu
apakah niat/untuk kepentinganya siapa semua yang dilakukan,
apakah dilakukan untuk kepentingan pasien atau kepentingan
pemberi asuhan, niat inilah yang berkaitan dengan moralitas etis
yang dilakukan.
Pada kondisi kasus Ny.M. dapat diputuskan menerima
penolakan pasien dan keluarga tetapi setelah perawat atau tim
perawatan dan medis, menjelaskan secara lengkap dan rinci
tentang kondisi pasien dan dampaknya bila dilakukan operasi
atau tidak dilakukan operasi. Penjelasan dapat dilakukan melalui
wakil dari tim yang terlibat dalam pengelolaan perawatan dan
pengobatan Ny.M. Tetapi harus juga diingat dengan memberikan
penjelasan dahulu beberapa alternatif pengobatan yang dapat
dipertanggung jawabkan sesuai kondisi Ny.M sebagai bentuk
tanggung jawab perawat terhadap tugas dan prinsip moral
profesionalnya. Pasien menerima atau menolak suatu tindakan
harus disadari oleh semua pihak yang terlibat, bahwa hal itu
merupakan hak, ataupun otonomi pasien dan keluarga.
Pada kasus diatas dapat diputuskan dan disimpulkan,
bahwa terjadi pelanggaran etik, dengan alasan-alasan dan
informasi yang telah ditelaah, yaitu:
1) Belum ada penjelasan yang lengkap dari perawat dan dokter
(Tim) berkaitan dengan tindakan operasi yang akan
dilakukan (tidak sesuai dengan SOP atau standar praktek
keperawatan)
2) Pasien dan keluarga tidak diberi kesempatan dan
mendiskusikan mengenai penyakit, akibat dan tindakan-
tindakan yang akan dilakukan terhadapnya

45
3) Berdasarkan kajian dan hasil analisa kasus bahwa hubungan
dokter, perawat dan psien tidak sesuai dengan harapan kode
etik keperawatan (PPNI)
4) Terdapat pelanggaran nilai-nilai moral dan professional
perawat, meliputi, otonomi, altruism, justice, truh dan lainya
5) Terdapat pelangaran hak-hak pasien, yaitu hak mendapatkan
informasi yang valid dan terkini.
Dengan alasan-alasan tersebut dan telah melalui langkah-
langkah penyelesaian etik maka Komite etik di Rumah Sakit
tersebut harus menentukan tindakan dengan hati-hati dan
terencana sesuai tingkat pelanggaran etik yang dilakukan baik
terhadap dokter, perawat primer (perawat A) dan kepala ruangan,
masing-masing perlu mendapatkan beberapa peringatan atau
bentuk pembinaan sesuai tingkat pelanggaran etik masing-
masing.

46
BAB 3
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dewasa ini kesadaran masyarakat mengenai hak.-haknya dalam
pelayanan kesehatan dan tindakan legal semakin meningkat. hal ini berarti
pengawasan kepada perawat selaku pemberi pelayanan kesehatan akan
semakin meningkat.
Banyak sekali isu-isu yang terkait dengan aspek legal khususnya
dalam keperawatan kritis dan gawat darurat. Isu-isu tersebut terdiri dari isu
yang berkaitan dengan kelalaian perawat maupun isu yang terkait bantuan
hidup pada pasien.
Oleh karena itu, penting sekali bagi seorang perawat kritis untuk
selalu menjalankan peran serta fungsinya dan melakukan tindakan sesuai
dengan standar keperawatan dan lebih memahami ataupun meningkatkan
pengetahuannya terkait isu yang berkaitan dengan aspek legal khususnya
pada ranah keperawatan kritis maupun keperawatan gawat darurat sehingga
perawat kritis dapat menghindari timbulnya permasalahan hukum yang rentan
sekali terjadi di dunia kesehatan ini.
Do Not Resuscitation atau jangan lakukan resusitasi merupakan
sebuah perintah tidak melakukan resusitasi yang ditulis oleh seorang dokter
dalam konsultasi dengan pasien atau pengambil keputusan pengganti yang
menunjukkan apakah pasien akan menerima atau tidak tindakan CPR
(Cardiopulmonary Resuscitation). DNR diindikasikan jika seorang dengan
penyakit terminal atau kondisi medis serius tidak akan menerima
cardiopulmonary resuscitation (CPR) ketika jantung atau nafasnya terhenti.
Sebelum menulis form DNR, dokter harus mendiskusikannya dengan pasien
atau seseorang yang berperan sebagai pengambil keputusan dalam keluarga
pasien.
Peran perawat dalam Do Not Resuscitation adalah membantu dokter
dalam memutuskan DNR sesuai dengan hasil pemeriksaan kondisi
pasien.Perawat berperan sebagai care giver dituntut untuk tetap memberikan
perawatan pada pasien DNR tidak berbeda dengan pasien lain pada

47
umumnya, perawat harus tetap memberikan pelayanan sesuai dengan advice
dan kebutuhan pasien tanpa mengurangi kualitasnya.Perawat sebagai advokat
pasien, menerima dan menghargai keputusan pasien/keluarganya,
pemahaman tentang peran perawat sebagai pendukung dan advokasi pasien
dapat bertindak sebagai penghubung dan juru bicara atas nama
pasien/keluarganya kepada tim medis.
Dalam keperawatan prinsip etik yang digunakan dalan pelaksanan
DNR diantaranya: Prinsip etik otonomy dimana pada prinsip etik ini perawat
memberikan edukasi tentang proses tersebut dengan cara-cara yang baik dan
tidak menghakimi pasien/keluarga dengan menerima saran/masukan, tetapi
mendukung keputusan yang mereka tetapkan. Prinsip etik moral beneficence,
perawat memberikan informasi akurat mengenai keberhasilan resusitasi,
manfaat dan kerugiannya, serta angka harapan hidup pasca resusitasi,
termasuk efek samping/komplikasi yang terjadi, lama masa perawatan, serta
penggunaan alat bantu pendukung kehidupan yang memerlukan biaya cukup
besar. Sedangkan prinsip moral nonmalefecience, perawat membantu dokter
dalam mempertimbangkan apakah RJP dapat dilakukan atau tidak terutama
pada pasien dengan angka harapan hidup relatif kecil dan prognosa yang
buruk.
Di Indonesia, kebijakan DNR sudah lama diterapkan namun masih
menjadi dilema bagi tenaga medis termasuk perawat. Terdapat peraturan
mentri kesehatan yang menyebutkan bahwa prosedur pemberian atau
penghentian bantuan hidup ditetapkan berdasarkan klasifikasi setiap pasien di
ICU dan HCU, dilakukan pada pasien-pasien dengan fungsi otak yang tetap
ada atau dengan harapan pemulihan otak, tetapi mengalami kegagalan
jantung, paru atau organ lain, atau dalam tingkat akhir penyakit yang tidak
dapat disembuhkan.Keputusan DNR dapat menimbulkan dilema psikis pada
perawat dikarenakan timbulnya penolakan dari hati nurani perawat terhadap
label DNR dan kondisi dilema itu sendiri. Timbulnya dilema psikis ini juga
dapat dipengaruhi oleh masih belum adekuatnya sumber informasi tentang
DNR yang dimiliki oleh perawat.

48
3.2 Saran
Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan
euthanasia sebagai salah satu materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan
dan dipertimbangkan sisi nilai-nilainya, baik sosial, etika, maupun moral.

49
DAFTAR PUSTAKA

AAGBI. (2009). Do Not Attempt Resuscitation (DNAR) Decisions in the


Perioperative Period. London. The Association of Anaesthetists of Great
Britain and Ireland
Adams, Judith A., Bailey Jr, Donald E., Anderson, Ruth A., &Docherty, Sharon
L. (2011).”Nursing Roles and Strategies in End-of-Life Decision Making in
Acute Care: A Systematic Review of the Literature.” Nursing Research and
Practice. Volume 2011. http://dx.doi.org/10.1155/2011/527834 diakses
pada 21 Maret 2017.
Ake, J. (2003). Malpraktek dalam Keperawatan. Jakarta : EGC
American Nurses Association. (2004). Home Health Nursing : Scope and
Standards of Practice. USA : Mosby
Amestiasih, Tia., Ratnawati, Retty., Setyo Rini, Ika. (2015). Studi Fenomenologi:
Pengalaman Perawat dalam Merawat Pasien dengan Do Not Resuscitate
(DNR) di Ruang ICU RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten, Jurnal
Medika Respati
Basbeth, F; &Sampurna, B. (2009),”Analisis Etik Terkait Resusitasi Jantung
Paru”,Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 59, Nomor: 11, Nop
2009;http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/
691/696 diakses pada 21 Maret 2017
Braddock, Clarence H., Clark, Jonna Derbenwick. (2014). Do Not Resusitate
(DNR) Order. University of Washington School of Medicine
Breault, Joseph L. (2011). DNR, DNAR, or AND is language important. Ochsner
J. 2011 Winter; 11(4): 302–306. PMCID: PMC3241061
Brewer, Brenda Carol. (2008). Do not abandon, do not resuscitate; a patient
advocay position. Journal of Nursing Law.
Cleveland Clinic. (2010). Do Not Resuscitate” (DNR) Orders and Comfort Care.
Retrieved from
https://my.clevelandclinic.org/ccf/media/Files/Bioethics/DNR%20Hando
ut%204_28.pdf?la=en diakses pada 21 Maret 2017

50
Curie, M. (2014). What are palliative care and end of life care. Marie Curie
Support
Depkes RI. (2011). Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anestesiologi dan
Terapi Intensif di Rumah Sakit.
http://bppsdmk.depkes.go.id/web/filesa/peraturan/4.pdf diakses tanggal
21 Maret 2017
Emsa. Emergency Medical Services Prehospital Do Not Resuscitate (Dnr) Form.
Retrieved From
Http://Www.Emsa.Ca.Gov/Media/Default/Pdf/Dnrform.Pdf
Ewanchuk, Mark., Brindley, Peter G. (2006). Ethics review: Perioperative do-not-
resuscitate orders – doing ‘nothing’ when ‘something’ can be done,
Critical Care
Fallahi et al. (2016). The Iranian Physicians Attitude Toward The Do
NotResuscitate Order, Journal of Multidisciplinary Healthcare
Field, J. M., M. F. Hazinski, et al. (2010). Part 1: Executive Summary: 2010
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary
Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care, Circulation 122.
Guwandi,J. (2002). Hospital Law (Emerging doctrines & Jurisprudence). Jakarta :
Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Guwandi. (2004). Hukum Medik (Medical Law). Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Hanlon, S., Connor, M., Peters, C., Connor, M. (2013). Nurses’ attitudes towards
do not attempt resuscitation orders, Clinical Nursing Studies, Vol 1, (1),
43-50
Hendrik. (2011). Etika & Hukum Kesehatan. Jakarta : EGC
Hilberman M., Kutner J., Parsons D., Murphy DJ. (1997). Marginally effective
medikal care: ethical analysis of issues in cardiopulmonary resuscitation
(CPR), Journal of Medical Ethics
Ichikyo, K. 2016. End of Life: Helping With Comfort and Care. National Institute
on Aging
Junod Perron, N., Morabia, A., Torrenté, A. (2002). Evaluation of do not
resuscitate orders (DNR) in a Swiss Community Hospital, J Med Ethics

51
Keputusan Menteri Kesehatan No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran
Kozier, Barbara., Erb, Glenora.,Berman, Audrey., &Snyder, Shirlee.
J.,(2010),”Fundamental of nursing: concept, process, and practice”.
7 th Edition. Alih Bahasa. Ed: Widiarti,
Dewi.,Mardella,Eka.Anisa.,Subekti, Budhi. Nike.,Helena, Leni. Jakarta:
EGC
NSW Health. (2005). Guidelines for end-of-life care. Sidney: NSW Department
of Health
Perron. J, Morabia. A, Torrente. A. (2002). Evaluation of do not resuscitate orders
(DNR) in a Swiss community hospital. J Med Ethics. Vol. 28
Potter & Perry. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses
dan Praktek. EGC; Jakarta
Putranto, R. (2015). Modul Paliatif. Jakarta : Rumah Sakit DR Cipto
Mangunkusumo
Sabatino, Charles. (2015). Do Not Resusitate (DNR) Order.
http://www.merckmanuals.com/home/fundamentals/legal-and-ethical-
issues/do-not-resuscitate-dnr-orders diakses 21 Maret 2017
Saczynski, J. S., E. Gabbay, et al. (2012). "Increase in The Proportion of Patients
Hospitalized With Acute Myocardial Infarction With Do-Not- Resuscitate
Orders Already in Place Between 2001 and 2007: A Nonconcurrent
Prospective Study." Clinical Epidemiology 4: 267-274
Salottolo, K, et all. (2015). The epidemiology of do-not-resuscitate orders in
patients with trauma: a community level one trauma center observational
experience. Scandinavian Journal of Trauma,Resuscitation and
Emergency Medicine. Vol. 23 (No, 9)
Treas, Leslie S., Wilkinson, Judith M. (2010).”Basic nursing: concepts, skills, &
reasoning”. New York. F.A. Davis
Undang-Undang Kesehatan No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Yuen JK., Reid C., Fetters MD. (2011). Hospital Do-Not-Resuscite Orders: Why
They Have Failed and How To Fix Them 26(7):791–797, J Gen Intern
Med.

52

Anda mungkin juga menyukai