Anda di halaman 1dari 20

CRICTICAL BOOK REPORT

TEORI ANTROPOLOGI KLASIK ( antropologi kontemporer)


Achmad Fedyani Sifuddin,Ph

NAMA MAHASISWA : DEWINA IRAWAN


NIM : 3173122010
DOSEN PENGAMPU : Dr.RATIH BAIDURI,M.Si
MATA KULIAH : TEORI ANTROPOLOGI KLASIK

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

DESEMBER
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, dimana atas berkat
dan rahmatNya, saya dapat menyelesaikan tugas Critical Book Teori Antropologi Klasik tepat
waktu. Atas dukungan yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka saya mengucapkan
banyak terima kasih kepada ibu guru dosen pengampu mata kuliah teori antropologi klasik.

Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang
membutuhkan, khususnya bagi kamimahasiswa sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.
Amin.

Medan, Desember 2018

Penyusun
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Rasionalisasi Pentingnya CBR


Sering kali kita bingung memilih buku referensi untuk kita baca dan dipahami, terkadang
kita memilih satu buku,namun kurang memuaskan hati kita. Misalnya dari segi analisis bahasa
dan pembahasan. Oleh karena itu penulis membuat critical book report ini untuk mempermudah
pembaca dalam memilih buku referensi,terkhusus pada pokok bahasan tentang Teori Antropolgi
Klasik.
1.2 Tujuan Penulisan CBR
 Untuk memenuhi tugas mata kuliah Antropologi Klasik.
 Mencari dan mengetahui informasi yang ada dalam buku yang dikritik.
 Melatih diri untuk berfikir kritis dalam mencari infornasi yang di berikan oleh setiap
materi yang ada dalam sebuah buku.
1.3 Manfaat CBR
 Agar pembaca maupun penulis tanggap terhadap hal – hal penting yang ada didalam
buku.
 Untuk memahami tentang demografi yang dibahas di buku yang dikritik.
 Melatih kemampuan penulis dalam mengkritik sebuah buku dan membandingkannya
dengan buku yang lain.
1.4 Identitas Buku
Judul Buku : Antropolgi Kontemporer
Penulis : Achmad Fedyani Saifuddin,Ph

Penerbit : Kencana Prenda Medi Group


Tahun Terbit : 206
Kota Terbit : Jakarta
ISBN : 979-3925-10-8
BAB II
RINGKASAN ISI BUKU

Konfik secara etimologi berasal dari kata kerja latin configere yang berarti saling memukul.
Secara terminologi dalam sudut pandang sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara
dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain
dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik merupakan suatu gejala yang
umumnya muncul sebagai akibat dari interaksi manusia dalam hidup bermasyarakat. Konflik akan timbul
ketika terjadi persaingan baik individu maupun kelompok. Konflik juga bisa dipicu karena adanya
perbedaan pendapat antara komponen-komponen yang ada di dalam masyarakat membuatnya saling
mempertahankan ego dan memicu timbulnya pertentangan. Bukan hanya di masyarakat konflik juga bisa
terjadi di satuan kelompok masyarakat terkecil, keluarga, seperti konflik antar saudara atau suami-istri.

Beberapa pengertian konflik atau definisi konflik yang dikeluarkan oleh beberapa ahli.Dr. Robert
M.Z. Lawang, mengatakan bahwa konflik adalah perjuangan untuk memperoleh nilai, status, kekuasaan,
dimana tujuan dari mereka yang berkonflik, tidak hanya memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk
menundukkan saingannya. Sedangkan menurut Soerjono Soekanto, adalah proses sosial dimana orang
atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lain yang disertai
ancaman dan kekerasan.

Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan
sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan
ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.
Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok
lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua
atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994:249).

Teori Konflik

Teori ini bukanlah suatu teori yang terpadu ataupun komprehensif. Mungkin karena
alasan inilah teori konflik kedengarannya kurang begitu cocok untuk diangkat sejajar dengan
teori- teori sosiologi lainnya. Fokus kajiannya adalah mengenal dan menganalisis kehadiran
konflik dalam kehidupan sosial, sebab, dan bentuknya, serta akibatnya dalam perubahan sosial.
Namun, sejak tahun 1950-an teori konflik menjadi populer sebagai oposisi terhadap Teori
Fungsional Parsons yang dianggap berat sebelah pada konsesus nilai, integrasi, dan solidaritas.
Menganggap pendekatan Parsons itu terlalu bersifat normatif, padahal dalam sistem tidak hanya
tertib normatif tetapi juga substratum yang melahirkan konflik- konflik. Keduanya saling
berpadu bergantian antara stabilitas dan insabilitas

Pengabaian kenyataan- kenyataan diatas pendekatan fungsional dapat dipandang sebagai


pendekatan reaksioner, dan mengabaikan realita sosial yang sebenarnya. Disinalah teori konflik
mengusung beberapa asumsi yang dikembangkannya, antara lain (1) setiap masyarakat
senantiasa berada didalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir, dengan perkataan lain
perubahan sosial merupakan gejala yang merekat pada setiap masyarakat (2) setiap masyarakat
mengandung konflik- konflik didalam dirinya, atau dengan perkataan lain konflik adalah gejala
yang merekat pada masyarakat

Para ahli teori konflik mengakui kebesaran Marx sebagai pionir dan mewarikan teori ini
hanya saja Ralf Dahrendorf, Lewis Coser, dan Randall Collins, yang dikenal pendukung teori
konflik non-Marxis, memiliki pandangan yang berbeda.

Pendapat penting dari tokoh teori konflik non- Marxis lainnya, dikemukakan oleh Collins
dalam karyanya Conflict Sociology: Toward an Explanatory Science. Sesungguh model
konfliknya ini lebih komprehensif dari sebelumnya karena kajian dia tidak hanya membatasi
pada konflik ekonomi maupun konflik organisasi birokrasi. Modelnya ini dapat diterapkan pada
bidang- bidang institusional apa saja, seperti keluarga, organisasi agama, komunitas intelektual
ilmiah, politik, dan militer. Beberapa pernyataan yang terkenal adalah:

Terciptanya solidaritas emosional tidak menggantikan konflik, melainkan merupakan salah satu
alat utama yang digunakan dalam konflik. Upacara- upacara emosional dapat digunakan untuk
untuk dominasi dalam suatu kelompok atau organisasi, upacara- upacara itu merupakan
wahana dengan persekutuan yang dibentuk dalam perjuangan melawan kelompok- kelompok
lain, upacara- upacara itu dapat digunakan untuk menentukan hierarki prestise status dimana
beberapa kelompok mendominasi kelompok lainnya dengan memberikan sesuatu yang ideal
untuk menyamakan kondisi- kondisi orang bawahan itu1

Faktor Penyebab Konflik

1).Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.


Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan
yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau
lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani
hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika
berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan
berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.

2).Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.


Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian
kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan
perbedaan individu yang dapat memicu konflik.

1
3).Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok. Manusia memiliki perasaan, pendirian
maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan,
masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang
orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh,
misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat
menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka
sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena
dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para
pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan
uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari
lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara
satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di
masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik,
ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok
dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena
perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai,
sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan
memperbesar bidang serta volume usaha mereka.

4).Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.


Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung
cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial.
Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak
akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang
biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-
nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja
dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser
menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai
kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang
cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan
istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak,
akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya
penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan
masyarakat yang telah ada.

Jenis-Jenis Konflik

Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 6 macam :

1)      konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam
keluarga atau profesi (konflik peran (role))
2)      Konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).

3)      Konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).

4)      Konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara)

5)      Konflik antar atau tidak antar agama

6)      Konflik antar politik.

Akibat Konflik

Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut :

1)      meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan
kelompok lain.

2)      keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.

3)      perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga
dll.

4)      kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.

5)      dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.

Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat memghasilkan
respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan
kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa
sebagai berikut:

• Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk
mencari jalan keluar yang terbaik.

• Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk
“memenangkan” konflik. Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan
percobaan yang memberikan “kemenangan” konflik bagi pihak tersebut
Fungsi Konflik

Achmad Fedyani Saifudin (1986) menyebutkan fungsi konflik sebagai berikut:

1) Konflik berfungsi mencegah dan mempertahankan identitas dan batas-batas kelompok sosial
dan masyarakat. 

2)Konflik dapat melenyapkan unsur-unsur yang memecah belah dan menegakkan kembali
persatuan. Konflik dapat meredakan ketegangan antara pihak-pihak yang bertentangan sehingga
dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa konflik berfungsi sebagai stabilisator sistem
sosial. 

3) Konflik suatu kelompok dengan kelompok lain menghasilkan mobilisasi energi para anggota
kelompok yang bersangkutan sehingga kohesi setiap kelompok ditingkatkan. 

4) Konflik dapat menciptakan jenis-jenis interaksi yang baru diantara pihak-pihak bertentangan
yang sebelumnya tidak ada. Konflik berlaku sebagai rangsangan untuk menciptakan aturan-
aturan dan sistem norma yang baru, yang mampu mengatur pihak-pihak yang bertentangan
sehingga keteraturan sosial kembali terwujud. 

5) Konflik dapat mempersatukan orang-orang atau kelompok-kelompok yang tadinya tidak


saling berhubungan. Koalisi dan organisasi dapat timbul dimana kepentingan pragmatik utama
dan pelakunya terlibat.

b.      Konsensus

Konsensus adalah sebuah frasa untuk menghasilkan atau menjadikan sebuah kesepakatan
yang disetujui secara bersama-sama antar kelompok atau individu setelah adanya perdebatan dan
penelitian yang dilakukan dalam kolektif intelijen untuk mendapatkan konsensus pengambilan
keputusan.2[4] Konsensus yang dilakukan dalam gagasan abstrak, tidak mempunyai implikasi
terhadap konsensus politik praktis akan tetapi tindak lanjut pelaksanaan agenda akan lebih
mudah dilakukan dalam memengaruhi konsensus politik. Konsensus bisa pula berawal hanya
merupakan sebuah pendapat atau gagasan yang kemudian diadopsi oleh sebuah kelompok
kepada kelompok yang lebih besar karena bedasarkan kepentingan (seringkali dengan melalui
sebuah fasilitasi) hingga dapat mencapai pada tingkat konvergen keputusan yang akan
dikembangkan. Kesepakatan kata atau permufakatan bersama (mengenai pendapat, pendirian,
dsb) yg dicapai melalui kebulatan suara

Konsensus menekankan pendapat bahwa bagian-bagian dari organisasi sosial, nilai-nilai,


norma-norma, peranan-peranan, dan lembaga-lembaga (institusi) adalah kesatuan yang erat
secara keseluruhan. Masyarakat mempunyai tujuan yang sama sepakat tentang apa yang benar

2
dan apa yang tidak benar, dan digunakan dalam membantu perangkat kegiatan satu sama lain.
Sehingga seseorang dapat dikatakan penjahat karena dasar-dasar konsensus dan mengancam
stabilitas sosial secara keseluruhan.3[5] Emile Durkheim (1964[1893]) berteori bahwa isi dan
sifat umum Undang-undang tumbuh dari semacam “solidaritas” yang mencirikan masyarakat
tersebut.

Undang-undang dibuat berdasarkan kesepakatan bersama dan terbentuk dari prilaku


masyarakat itu sendiri ketika masyarakat melakukan tindakan-tindakan penyimpangan maka
lahirlah aturan-aturan perundang-undangan tersebut untuk dapat mengontrol prilaku
menyimpang yang ditimbulkan oleh masyarakat tersebut. Maka wajar ketika disuatu daerah atau
negara  yang masyarakatnya terdapat banyak penyimpangan maka Undang-undangnya pun
banyak mengalami perubahan maupun penambahan. Menurut Sumner (1906) bahwa pembuatan
Undang-undang tidak dapat mengubah adat-istiadat dengan cepat dan mudah dan bahwa
semua hukum mengalir secara langsung dari adat-istiadat atau bahwa hukum tidak dapat
memasukan perubahan sosial manapun.

Jadi Undang-undang yang di buat tidak dapat berpengaruh secara langsung terhadap adat-
istiadat maupun kebiasaan yang telah ada di dalam masyarakat, namun Undang-undang dapat
mengikat setiap anggota dari masyarakat dengan aturan-aturan yang bersifat normatif sehingga
tetap dapat mengontrol masyarakat secara umum dan luas.

c.       Konflik dan Konsensus di Indonesia dalam pandangan Antropologi

Konflik-konflik yang terjadi di Indonesia umumnya berkembang di sekeliling garis


multikulturalitas masyarakat. Nuansa suku bangsa, etnis, agama, dan pelapisan sosial mewarnai
konflik-konflik violence sekaligus vandal. Konflik yang menyeret wacana primordial umum
terjadi dalam konflik di Kalimantan (antara etnis Madura, Melayu, dan Dayak), di Ambon, Poso,
dan Halmahera (kaum migran, pribumi, Muslim, Nasrani, klien-klien elit politik), kerusuhan
sosial dan etnis Mei 1998 di Jakarta, konflik Aceh, serta pembantaian 1966 di Jawa dan Bali,
adalah sebagian konflik dalam aras ini.4[6] 

Sebelum dilakukan pembahasan masing-masing konflik, terlebih dahulu dipaparkan


sejumlah teori yang berupaya menjelaskan aneka alur konflik. Dari teori, sebab musabab konflik
di Indonesia akan lebih mudah dipetakan. Pemahaman atas alur-alur konflik sekaligus
diharapkan mampu memberi sumbangan bahwa kendati integrasi nasional Indonesia telah
dibakukan, di arus bawah (juga level elit) konsensus nasional sesungguhnya masih terus
berproses

4
Pendekatan Antropologis 

Sesuai namanya, pendekatan antropologis fokus pada aspek manusia selaku sumber
konflik. Perhatian diberikan pada ada tidaknya mekanisme resolusi konflik dalam masyarakat.
Akar-akar konflik yang diidentifikasi pendekatan ini umumnya adalah terdiri atas sengketa batas
wilayah antarkelompok, kepemilikan sumberdaya, pola pengairan tanah, kepemimpinan, atau
dinamika keluarga (prosedur warisan, pertikaian rumah tangga, dan hubungan antara laki-laki
dan perempuan).

Keuntungan dari penekanan atas aspek manusia dalam terdiri atas dua. Pertama, fokus
pada how to solve conflict dengan mengajukan pertanyaan langsung seperti apakah faktor
penyebab konflik keragaman agama, etnis, bahasa, distribusi sumber daya, atau masalah yang
berkaitan dengan faktor geografis? Kedua, menolak penjelasan konflik yang state-centric. Untuk
ini, negara diposisikan hanya sebagai fasilitator, sementara tokoh-tokoh masyarakat dari pihak
yang berkonflik diperlakukan sebagai subyek: Mereka duduk satu meja untuk mencari akar
masalah dan resolusinya. Hal ini misalnya tampak jelas saat proses penyelesaian konflik Poso
dan Maluku lewat Deklarasi Malino I dan II. Yusuf Kalla (wapres saat itu, mewakili negara)
bertindak sebagai fasilitator sementara pihak-pihak yang dipertemukan adalah wakil-wakil
masyarakat yang benar-benar terlibat dan memahami konflik. 

2.      Legitimasi dan Dominasi

Secara etimologi Legitimasi berasal dari bahasa inggris yaitu legitimize yang berarti
adalah kualitas hukum yang berbasis pada penerimaan putusan dalam peradilan,dapat pula
diartikan seberapa jauh masyarakat mau menerima dan mengakui kewenangan, keputusan atau
kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin. 5[7] Dalam konteks legitimasi, maka hubungan
antara pemimpin dan masyarakat yang dipimpin lebih ditentukan adalah keputusan masyarakat
untuk menerima atau menolak kebijakan yang diambil oleh sang pemimpin. sedangkan
Legitimasi tradisional mengenai seberapa jauh masyarakat mau menerima kewenangan,
keputusan atau kebijaksaan yang diambil pemimpin dalam lingkup tradisional, seperti dalam
kehidupan keraton yang seluruh masyarakatnya terikat akan kewenagan yang dipegang oleh
pimpinan mereka dan juga karena hal tersebut dapat menimbulkan gejolak dalam nurani mereka
bahwa mereka adalah bawahan yang selalu menjadi alas dari pemimpinnya.

Legitimasi Kekuasaan.

5
Kekuasaan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi tingkah
laku orang lain sehingga orang lain menjadi sesuai dengan yang diinginkan oleh orang yang
memiliki kekuasaan tersebut. Namun dalam mempelajari kehidupan politik, kekuasaan tidak
hanya sebagai kemampuan untuk mempengaruhi orang lain akan tetapi juga dipandang sebagai
kemampuan untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijaksanaan yang mengikat seluruh
anggota masyarakat. Suatu kekuasaan akan memunculkan sebuah kewenangan. Laswell dan
Kaplan menyatakan bahwa wewenang (authority) merupakan sebuah kekuasaan formal, atau
dengan kata lain wewenang merupakan kekuasaan yang memiliki keabsahan atau legitimasi.

Kewenangan seseorang belum lengkap jika seseorang belum mendapatkan legitimasi.


Legitimasi merupakan penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral pemimpin
untuk memerintah, membuat, dan melaksanakan keputusan politik.  Secara garis besar legitimasi
merupakan hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin, hubungan itu lebih ditentukan
oleh yang dipimpin karena penerimaan dan pengakuan atas kewenangan hanya berasal dari yang
diperintah.

Secara umum alasan utama mengapa legitimasi menjadi penting bagi pemimpin
pemerintahan. Pertama, legitimasi akan mendatangkan kestabilan politik dari kemungkinan-
kemungkinan untuk perubahan sosial. Pengakuan dan dukungan masyarakat terhadap pihak yang
berwenang akan menciptakan pemerintahan yang stabil sehingga pemerintah dapat membuat dan
melaksanakan keputusan yang menguntungkan masyarakat umum. Pemerintah yang memiliki
legitimasi akan lebih mudah mengatasi permasalahan daripada pemerintah yang kurang
mendapatkan legitimasi.

Adanya pengakuan seseorang terhadap keunggulan orang lain pada hakekatnya


menunjukkan adanya keabsahan atas keunggulan yang dimiliki fihak yang disebut belakangan.
Pengakuan tersebut murni diperlukan karena tanpa adanya pengakuan tersebut, maka keunggulan
yang dimiliki seseorang tidak mempunyai makna apapun. Menurut Gaetano Mosca, pengakuan
terhadap keberadaan elit yang dapat dinyatakan sebagai suatu legitimasi ini diistilahkan sebagai
suatu ‘political formula’ yang maksudnya adalah terdapatnya suatu keyakinan yang
menunjukkan mengapa ‘the rullers’ dipatuhi kepemimpinannya.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Max Weber menyatakan pendapatnya bahwa
terdapat tiga macam ‘legitimate domination’ yang menunjukkan dalam kondisi seperti apa
sehingga seseorang atau sekelompok orang mampu mendominasi sejumlah besar orang lainnya.
Ketiga macam legitimate domination tersebut adalah: (a) traditional domination, (b) charismatic
domination, dan (c) legal-rational domination.6[8]

a.       Traditional Domination (Dominasi Tradisional)

6
Dominasi ini mendasarkan pada tradisi yang ada dan berlaku di tengah-tengah
masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian legitimasi yang diperoleh elit tentu saja
didasarkan pada tradisi yang ada dan berlaku. Dalam dominasi tradisional dapat diketemukan
massa dengan kepercayaan yang mapan terhadap kesucian tradisi yang ada. Sehingga pada
gilirannya individu-individu yang terpilih sebagai pemimpin yang berkuasa bukan dilihat dari
kharisma atau kemampuan yang dimilikinya, tetapi semata-mata atas dasar kesepakatan bersama
anggota-anggota masyarakat yang sudah mentradisi.

Dalam dominasi tradisional ini hubungan yang terjadi antara elit dan massa tidak jarang
merupakan sebuah hubungan yang lebih bernuansa personal. Kesempatan massa untuk direkrut
sebagai staf administrasi dilihat berdasarkan pada pertimbangan loyalitas pribadi bukan
berdasarkan kemampuan yang dimiliki. Hal ini menunjukkan bahwa massa mempunyai kesetian
yang tinggi terhadap penguasa, dan sebaliknya penguasa juga mempunyai kewajiban untuk
memenuhi segala kebutuhan massa. Akan tetapi walaupun terdapat ikatan yang sangat kuat
antara massa dan elit penguasa, masih saja terdapat keleluasaan bagi penguasa secara pribadi
mempergunakan otoritasnya sesuai dengan kehendaknya.     

b.      Charismatic Domination (Dominasi Karismatik)

Merupakan dominasi yang mendasarkan pada kharisma yang melekat pada diri
seseorang. Perihal kharisma, Weber memberi pengertian sebagai “suatu sifat tertentu dari suatu
kepribadian seorang individu berdasarkan mana orang itu dianggap luar biasa dan diperlakukan
sebagai seseorang yang mempunyai sifat unggul atau paling sedikit dengan kekuatan-kekuatan
yang khas dan luar biasa”. Elit atau penguasa yang kemunculannya didasarkan pada kharisma
yang dimiliki, pada umumnya akan berupaya menunjukkan bukti tentang keelitannya dengan
cara menunjukkan kemampuannya untuk melakukan hal-hal yang tidak mampu dilakukan oleh
orang awam, pada umumnya merupakan hal-hal yang bersifat ajaib. Semakin mampu seorang
individu menunjukkan bukti-bukti yang hebat dan relatif langka, maka akan semakin tinggi pula
legitimasi yang akan diperolehnya sebagai elit yang berkuasa.

c.       Legal-Rational Domination

Dominasi ini pada hakekatnya didasarkan pada kesepakatan anggota masyarakat terhadap
seperangkat peraturan yang diundangkan secara resmi. Individu yang berperan sebagai elit di
masyarakat yang memberlakukan dominasi tipe ini diakui keberadaanya atas kemampuan yang
dimilikinya dan persyaratan menurut peraturan yang berlaku. Demikian pula dengan seleksi bagi
individu-individu yang dapat menduduki posisi elit ini juga diatur secara tegas oleh peraturan
yang secara resmi berlaku. Persyaratan-persyaratan yang diajukan untuk menduduki posisi
tertentu belum tentu sama dengan posisi lain yang dibutuhkan, karena semakin tinggi posisi yang
dituju, persyaratan yang harus dipenuhi juga semakin tinggi pula begitu pula dengan kemampuan
yang dimiliki juga harus semakin besar. Sebagai akibat dari kesepakatan-kesepakatan tersebut,
maka individu-individu yang tidak memiliki kemampuan akan sulit untuk dapat menduduki
posisi tertentu sebagai elit. Hanya individu-individu yang mempunyai kemampuan dan
dipandang telah memenuhi persyaratan yang bisa mendapatkan legitimasi.

Dalam tradisi teori kritik, adalah Jurgen Habermas (1975), salah satu tokoh penting yang
menekankan amat pentingnya eksistensi keteraturan normatif sebagai sumber stratifikasi. Karena
itu, kedudukan Habermas dalam teori-teori antropologi semakin disadari pentingnya semenjak
1980-an. Meski Habermas menyadari benar pentingnya norma-norma sebagai sumber stratifikasi
dan dominasi, seperti halnya Durkheim dan Parsons, ia mengakui peranan legitimasi dalam
melestarikan norma-norma tersebut. Daripada membungkus norma-norma tersebut dengan
otoritas moral, Habermas memandang legitimasi sebagai bentuk-bentuk kekuasaan.

Ideologi legitimasi yang lain akhir-akhir ini semakin menonjol adalah ilmu pengetahuan.
Analisis Habermas mengenai peranan ilmu pengetahuan memberikan pemahaman lebih lanjut
tentang bagaimana ideologi merupakan bentuk-bentuk kekuasaan. Dalam menekankan fungsi
ideologis dari ilmu pengetahuan, ia mengelaborasi tema sentral dari aliranpemikiran Frankfrurt.
Khususnya semenjak Perang Dunia II keputusan-keputusan politik “ilmiah”. Dengan istilah ini
Habermas mencakupi baik dampak yang luas dari ilmu pengetahuan dan teknologi dan kemauan
spesifik kaum politisi untuk menerima nasihat ilmuwan. Ilmu alamiah dan teknologi telah begitu
sukses dalam mengungkapkan tingkat materi yang kaum politisi dan warga negara
berkeinginanuntuk mendengar pendapat ilmuwan. Masalahnya adalah bahwa yang terkandung
dalam rekomendasi ilmiah tidak hanya sarana atau cara mencapai tujuan tetapi tujuan itu sendiri.
Namun, tujuan yang diupayakan oleh ilmuwan, menurut Habermas, tidak dibicarakan secara
menyeluruh dan eksplisit dalam forum-forum politik. Sebagai akibatnya, timbullah konflik
kepentingan satu sama lain. Rahasia militer, misalnya, menentukan sistem untuk melakukan
pengujian senjata nuklir. Juga, teknologi ruang angkasa menentukan kebutuhannya sendiri.
Secara mnenyeluruh, teknologi ilmiah didorong kepada pertumbuhan kemajuan materi dan turut
mengabadikan kapitalisme secara tersamar.

Ilmu pengetahuan dan teknologi lainnya adalah bentuk-bentuk kekuasaan.Ilmu


pengetahuan dan teknologi lainnya adalah kekuasaan sejauh keduanya mampu mencegah
meningkatnya pertanyaan, seperti pertanyaan seseorang, misalnya, distribusi yang tidak setara
mengenai ganjaran dan kesempatan.Dengan menyajikan gambaran yang kacau mengenai realitas
sosial yang meredam konflik-konflik di antarakepentingan-kepentingan di bawah consensus
yang tidak autentik, ilmu pengetahuan dan kekuasaan mendorong lestarinya sistem kelas dan
menghalangi kesadaran akan alternatif. Keduanyanya mematikan keinginan untuk berubah ke
arah kehidupan yang lebih baik. Sejauh keduanya menutup kemungkinan, ideologi membekukan
status quo yang tidak berakar dalam konsensus yang absah yang muncul dari diskusi rasional.
Analisis ini berada dalam tradisi Marxis mengenai distorsi ideologi dan kesadaran yang keliru.
Habermas mengukur sistem politik dari masyarakat kapitalis terhadap standar warga masyarakat
yang berbasis kemauan rasional dan menemukan mereka memiliki kemauan itu.7[9]

Faktor-faktor yang menghambat ekspresi atau mencegah pembicara dari menjadi sadar
akan kepentingan mereka membentuk prasangka wacana rasional dan menghasilkan konsensus
yang dipaksakan. Ketika tiba pada kepentingan bersama, orang harus menyadari apa yang
sesungguhnya mereka inginkan. Ideologi kapitalis mencegah tercapainya konsensus rasional
dengan cara menekan kesadaran akan kepentingan individu yang sebenarnya. Mereka
memfasilitasi kesadaran yang salah. Masyarakat kapitalis memperkuat, dalam apa yang disebut
Habermas, sebagai “model supresif dari kepentingan yang dapat digeneralisasi”. Tatkala tradisi
yang lebih tua seperti hukum alam dan privatisme sipil mengalami kemerosotan, kapitalisme
maju dapat mengalami krisis legitimasi. Dalam krisis seperti itu negara tidak akan menerima
kesetiaan massal yang dibutuhkan untuk pengendalian ekonomi.

Dalam menggeser landasan legitimasi dari nilai-nilai substansif ke prosedur linguistik,


Habermas terdorong kepada kondisi konflik dengan sumber utama legitimasi fungsionalisme.
Bagi Parsons, legitimasi dari negara demokrasi didasarkan pada aktivisme instrumental, yang
legitimasi itu sendiri meruakan refleksi dari protetantisme (Parsons, 1965). Namun, menurut
Habermas, sistem filosofis religius pada rezim masa lampau menjadi kurang efektif. Ideologi
pencapaian, misalnya, yang menyatakan bahwa ganjaran disebarkan menurut distribusi
individual (distributive justice), kehilangan kekuatannya melalui perubahan sosial. Juga, norma-
norma prosedural dari demokrasi sebagai landasan justifikasi tidaklah memadai. Legitimasi
dominasi politik tidak dapat disetarakan dengan norma-norma bagi organisasi demokratis dari
dominasi. Melainkan, landasan legitimasi harus diupayakan dalam semacam bentuk interaksi
komunikatif yang mampu menghasilkan konsensus rasional.

3.      Integrasi Sosial dan Nasional dalam Perbedaan Multikulturalisme

Integrasi berasal dari bahasa inggris “integration” yang berarti kesempurnaan atau
keseluruhan. integrasi sosial dimaknai sebagai proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang
saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat
yang memilki keserasian fungsi.8[10]

Definisi lain mengenai integrasi adalah suatu keadaan di mana kelompok-kelompok etnik
beradaptasi dan bersikap komformitas terhadap kebudayaan mayoritas masyarakat, namun masih
tetap mempertahankan kebudayaan mereka masing-masing. Integrasi memiliki 2 pengertian,
yaitu :

8
1)      Pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan sosial dalam suatu sistem sosial tertentu

2)      Membuat suatu keseluruhan dan menyatukan unsur-unsur tertentu

a.      Integrasi Sosial

Integrasi sosial adalah jika yang dikendalikan, disatukan, atau dikaitkan satu sama lain itu
adalah unsur - unsur sosial atau kemasyarakatan.Suatu integrasi sosial diperlukan agar
masyarakat tidak bubar meskipun menghadapi berbagai tantangan, baik berupa tantangan fisik
maupun konflik yang terjadi secara sosial budaya. Suatu pola hubungan yang mengakui adanya
perbedaan ras dalam masyarakat, tetapi tidak memberikan makna penting pada perbedaan ras
tersebut.

Menurut pandangan para penganut fungsionalisme structural, system social senantiasa


terintegrasi di atas dua landasan berikut: (1)Suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas
tumbuhnya consensus di antara sebagian besar anggota masyarakat tentang nilai-nilai
kemasyarakatan yang bersifat fundamental. (2)Masyarakat terintegrasi karena berbagai anggota
masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan social (cross-cutting affiliations).

Suatu integrasi sosial di perlukan agar masyarakat tidak bubar meskipun menghadapi
berbagai tantangan, baik merupa tantangan fisik maupun konflik yang terjadi secara sosial
budaya.Penganut konflik berpendapat bahwa masyarakat terintegtrasi atas paksaan dan karena
adanya saling ketergantungan di antara berbagai kelompok.

Syarat-Syarat Integrasi Sosial

Integrasi social akan terbentuk di masyarakat apabila sebagian besar anggota masyarakat
tersebut memiliki kesepakatan tentang batas-batas territorial dari suatu wilayah atau Negara
tempat mereka tinggal.

Selain itu, sebagian besar masyarakat tersebut bersepakat mengenai struktur


kemasyarakatan yang di bangun, termasuk nilai-nilai, norma-norma, dan lebih tinggi lagi adalah
pranata-pranata sosisal yang berlaku dalam masyarakatnya, guna mempertahankan keberadaan
masyarakat tersebut. Selain itu, karakteristik yang di bentuk sekaligus manandai batas dan corak
masyarakatnya. Menurut William F. Ogburn da Mayer Nimkoff, syarat berhasilnya suatu
integrasi social adalah:

Anggota-anggota masyarakat merasa bahwa mereka berhasil saling mengisi kebutuhan-


kebutuhan satu dengan yang lainnya. Hal ini berarti kebutuhan fisik berupa sandang dan pangan
serta kebutuhan sosialnya dapat di penuhi oleh budayanya. Terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan
ini menyebabkan masyarakat perlu saling menjaga keterikatan antara satu dengan lainnya.
Masyarakat berhasil menciptakan kesepakatan (consensus) bersama mengenai norma-norma dan
nilai-nilai social yang di lestarikan dan di jadikan pedoman dalam berinteraksi satu dengan yang
lainnya, termasuk menyepakati hal-hal yang di larag menurut kebudayaannya.

Norma-norma dan nilai social itu berlaku cukup lama dan di jalankan secara konsisten
serta tidak mengalami perubahan sehingga dapat menjadi aturan baku dalam melangsungkan
proses interaksi social. kesepakatan tentang batas-batas teritorial, nilai-nilai, norma-norma, dan
pranata-pranata sosial.

Bentuk Integrasi Sosial terbagi menjadi 2 yaitu :

1)      Asimilasi : pembauran kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli.
2)      Akulturasi : penerimaan sebagian unsur-unsur asing tanpa menghilangkan kebudayaan asli.

Integrasi sosial akan terbentuk apabila sebagian besar masyarakat memiliki kesepakatan
tentang batas-batas teritorial, nilai-nilai, norma-norma, dan pranata-pranata social.

Faktor-Faktor Pendorong Integrasi:

Faktor Internal terdiri dari (kesadaran diri sebagai makhluk sosial, tuntutan kebutuhandan
jiwa dan semangat gotong royong)

Faktor External terdiri dari :

Ø  tuntutan perkembangan zaman,


Ø  persamaan kebudayaan
Ø  terbukanya kesempatan berpartisipasi dalam kehidupan bersama
Ø  persaman visi, misi, dan tujuan
Ø  sikap toleransi
Ø  adanya kosensus nilai
Ø  adanya tantangan dari luar

b.      Integrasi Nasional

Istilah integrasi nasional berasal dari dua kata yaitu integrasi dan nasional. Istilah
integrasi mempunya arti pembaruan/penyatuan sehingga menjadi kesatuan yang utuh/bulat.
Istilah nasional mempunyai pengertian kebangsaan, bersifat bangsa sendiri, meliputi suatu
bangsa seperti cita - cita nasional, tarian nasional, perusahaan nasional(kamus besar bahasa
indonesia : 1989 dalam suhady 2006 : 36). Hal - hal yang menyangkut bangsa dapat berupa adat
istiadat, suku, warna kulit, keturunan, agama, budaya, wilayah/daerah, dan sebagainya.9[11]

9
Sehubungan dengan penjelesan kedua istilah di atas maka integrasi nasional identik
dengan integrasi bangsa yang mempunyai pengertian suatu proses penyatuan atau pembaruan
berbagai aspek sosial budaya kedalam kesatuan wilayah dan pembukaan identitas nasional atau
bangsa(kamus besar bahasa indonesia : 1989 dalam suhady 2006 : 36-37) yang harus dapat
menjamin terwujudnya keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam mencapai tujuan
bersama sebagai suatu bangsa. Integrasi nasional sebagai suatu konsep dalam kaitan dengan
wawasan kebangsaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berlandaskan pada aliran
pemikiran/paham integralistik yang dicetuskan oleh G.W.F Hegl (1770-1831 dalam suhady
2006:38) yang berhubungan dengan paham idealisme untuk mengenal dan memahami sesuatu
harus dicari kaitannya dengan yang lain dan untuk mengenal manusia harus dicari dikaitkan
dengan yang lain dan untuk mengenal manusia harus dikaitkan dengan masyarakat di sekitarnya
dan untuk mengenal suatu masyarakat harus dicari kaitannya dengan proses multikulturalisme.

c.       Integrasi Sosial Dan Nasional Dalam Perspektif Antropologi

Mengapa dalam sebuah integrasi nasional di Indonesia membutuhkan integrasi sosial?


Jawabannya mudah saja, karena negara Indonesia sebagai negara multikultur memerlukan
sebuah keselarasan sosial dalam membangun sebuah keselarasan nasional. Dalam hal ini, saya
mengambil sudut pandang multikultural, yakni sikap saling menghormati atau menjaga
kestabilan hubungan sosial dengan saling menghormati antar suku, etnis, atau agama.

Kerap kali kita menemukan kasus perang antar suku-etnis, ataupun pembantaian atas
nama agama, hal ini sebenarnya disebabkan oleh kurangnya rasa toleransi serta berkembanganya
sikap entosentrisme, yaitu melakukan pembenaran atas diri sendiri dan menganggap suku, etnis,
atau agama lain sebagai hal yang rendah. Ini sesungguhnya yang amat salah. Hal tersebut
tentunya akan menjauhkan kita dari proses integrasi sosial yang kita idamkan.

Sebuah sikap multikultural akan menjaga kita untuk tetap hidup dengan harmoni yang
senantiasa terjaga. Sikap saling menghargai ini tentunya akan menjaga sebuah hubungan sosial
contohnya pada Kota Jakarta yang notabene kota dengan berbagai macam suku, etnis, dan
agama, ke arah kehidupan madani. Dan oleh karena sikap multikulturalisme itulah integrasi
sosial terwujud. Kesempurnaan hubungan sosial yang dibalut oleh rasa saling menghargai.

Dari sebuah integrasi sosial, tentunya hal ini akan membentuk sebuah inetgrasi nasional
yang impelemntasinya akan menjaga keutuhan NKRI. Integrasi dalam masyarakat yang telah
tertata dan terjaga tentunya akan membuat sebuah kehidupan bernegara akan mengalami tingkat
yang sempurna dalam proses kehiudpan sosial-budaya serta bidang lainya.

Dan sebuah akhir kata, dimana agar tiap-tiap indiidu masyarakat dapat menjaga keutuhan
NKRI, dengan memulai sikap multikultural yang tak lagi melakukan pelecehan yang berbau
SARA. Karena sebuah proses kehancuran bangsa dimulai ketika rakyatnya tak lagi merasa
bersatu dibawah naungan negara tersebut.
BAB III

PEMBAHASAN/ANALISIS
Analisis dari saya mengenai penjelasan konflik, konsensus, legitimasi, dan integrasi adalah
pertama, konflik merupakan sebuah proses yang ada didalam masyarakat. Gejala umum yang
terjadi karena interaksi sosial. Ada banyak faktor yang menyebabkan konflik, perbedaan yang
ada di masyarakat. Setiap masyarakat pasti selalu bergerak dalam proses perubahan yang tidak
pernah berakhir. Salah satu penyebab konflik adalah perbedaan budaya, hal ini sangat cocok
dengan pembahasan dari mata kuliah ini yang memandang dari segi Antropologi mengenai
kebudayaan yang ada di dalam masyarakat. Perbedaan latar belakang budaya inilah yang
terkadang menimbulkan konflik, karena banyak pemikiran individu yang dipengaruhi oleh
kelompok-kelompoknya. Selain itu konflik mempunya bebarapa fungsi yang menguntung
masyarakat.
Kedua, kosensus dalam konflik adalah sebuah kesepakatan bersama yang diambil untuk sebuah
keputusan. Hal ini membentuk sebuah pemahaman masyarakat dalam satu kesepakatan nilai dan
norma serta aturan yang harus ditaati. Seperti sebuah undang-undang.
Ketiga, legitimasi. Dalam pengertiannya legitimasi adalah kualitas hukum hubungan antara
pemimpin dengan kekuasaannya, dapat diartikan pula seberapa jauh masyarakat mau menerima
dan mengakui kewenangan, keputusan atau kebijakan yang diambil seorang pemimpin. Jadi
legitimasi menurut analisis kami, merupakan kekuasaan yang dijalankan oleh seorang penguasa,
dan cara penguasa mendominasi masyarakat yang ada dibawahnya.
Terakhir tentang integrasi. Dalam integrasi sosial dan nasional sangat dibutuhkan guna meredam
dan menyatukan kembali unsur-unsur yang berbeda. Suatu integrasi sosial diperlukan agar
masyarakat tidak bubar meskipun menghadapi berbagai tantangan, baik berupa tantangan fisik
maupun konflik yang terjadi secara sosial budaya. Sedangkan integrasi nasional identik dengan
integrasi bangsa yang mempunyai pengertian suatu proses penyatuan atau pembaruan berbagai
aspek sosial budaya kedalam kesatuan wilayah dan pembukaan identitas nasional atau bangsa.

Kekurangan dan Kelebihan Isi buku


 Isi buku yang lengkap membahas keseluruhan pembahasan mengenai consensus dan
konflik.
 Kertas yang digunakan cukup baik sehingga tulisan menjadi jelas.
 Tulisan cukup terang sehingga pembaca bias membaca dengan baik.
 Cover buku yang keras membuat cover tidak akan rusak.
 Adanya indeks membuat pembaca mudah mencari kata yang ingin dicari.
 Pemilihan kata yang cukup tinggi sehingga membuat pembaca terkadang kurang
mengerti apa maksud penulis.
 Penggunaan bahasa asing yang tidak ada penjelasan artinya, menyulitkan pembaca untuk
tau maksud penulis saat itu juga.
BAB IV
PENUTUP

 Kesimpulan

  Konflik merupakan suatu gejala yang umumnya muncul sebagai akibat dari interaksi manusia
dalam hidup bermasyarakat. Konflik akan timbul ketika terjadi persaingan baik individu maupun kelompok.
Faktor penyebab konflik, perbedaan individu, perbedaan latar belakang kebudayaan, perbedaan kepentingan
dan perubahan nilai. Fungsi konflik (1)Konflik berfungsi mencegah dan mempertahankan identitas dan
batas-batas kelompok sosial dan masyarakat, (2) Konflik dapat melenyapkan unsur-unsur yang memecah
belah dan menegakkan kembali persatuan, (3) Konflik dapat menciptakan jenis-jenis interaksi yang baru
diantara pihak-pihak bertentangan yang sebelumnya tidak ada, (4) Konflik dapat mempersatukan orang-
orang atau kelompok-kelompok yang tadinya tidak saling berhubungan.

Konsensus menekankan pendapat bahwa bagian-bagian dari organisasi sosial, nilai-nilai, norma-
norma, peranan-peranan, dan lembaga-lembaga (institusi) adalah kesatuan yang erat secara keseluruhan.
Masyarakat mempunyai tujuan yang sama sepakat tentang apa yang benar dan apa yang tidak benar, dan
digunakan dalam membantu perangkat kegiatan satu sama lain. Antopologi menganalisi konflik dari segi
manusianya.

Legitimasi berasal dari bahasa inggris yaitu legitimize yang berarti adalah kualitas hukum yang
berbasis pada penerimaan putusan dalam peradilan,dapat pula diartikan seberapa jauh masyarakat mau
menerima dan mengakui kewenangan, keputusan atau kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin. Max
Weber menyatakan pendapatnya bahwa terdapat tiga macam ‘legitimate domination’ yang menunjukkan
dalam kondisi seperti apa sehingga seseorang atau sekelompok orang mampu mendominasi sejumlah besar
orang lainnya. Ketiga macam legitimate domination tersebut adalah: (a) traditional domination, (b)
charismatic domination, dan (c) legal-rational domination.

Integrasi berasal dari bahasa inggris “integration” yang berarti kesempurnaan atau keseluruhan.
integrasi sosial dimaknai sebagai proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam
kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memilki keserasian fungsi.
integrasi nasional identik dengan integrasi bangsa yang mempunyai pengertian suatu proses penyatuan atau
pembaruan berbagai aspek sosial budaya kedalam kesatuan wilayah dan pembukaan identitas nasional atau
bangsa
DAFTAR PUSTAKA
Saifuddin,Achmad Fedyani. (2006) Antropologi kontemporer.Jakarta : Kencana Prenada Group

Anda mungkin juga menyukai