Dosen:
Prof. dr. Endang Laksminingsih MPH, Dr.PH
Disusun Oleh:
Citra Sari Nasrianti (1906430232)
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
2020
Daftar Isi
Daftar Isi................................................................................................................................ 1
Latar belakang......................................................................................................................... 3
Definisi ................................................................................................................................... 3
Klasifikasi Emfisema ............................................................................................................... 4
Tanda dan Gejala ..................................................................................................................... 5
Faktor Risiko........................................................................................................................... 5
Patofisiologi ............................................................................................................................ 7
Tata Laksana Gizi.................................................................................................................... 8
Pencegahan ............................................................................................................................14
Daftar Referensi ...................................................................................................................15
I. Latar belakang
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah suatu keadaan yang ditandai oleh
keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Keterbatasan aliran udara ini
biasanya progresif dan disertai respons inflamasi abnormal paru terhadap partikel atau gas
toksik PPOK merupakan sebuah kelompok penyakit dengan gejala klinis bronkhitis kronis
dan emfisema. Faktor risiko PPOK meliputi dua kelompok besar yaitu faktor pejamu dan
pajanan lingkungan. Faktor pejamu meliputi genetik, hipereaktivitas jalan napas dan
pertumbuhan paru. Pajanan lingkungan meliputi kebiasaan merokok, polusi udara, infeksi,
debu dan bahan kimia di tempat kerja serta status sosial ekonomi. Faktor genetik akan
meningkatkan atau menurunkan risiko seseorang terhadap perkembangan PPOK.
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2002 PPOK menempati urutan
kelima sebagai penyebab kematian di dunia dan WHO memprediksi tahun 2030 PPOK
akan menempati urutan ketiga sebagai penyebab kematian di dunia. Dari hasil Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013 menunjukan bahwa prevalensi PPOK di Indonesia
sebanyak 3,7%. Pada survey penderita PPOK di 17 Puskesmas yang berada di Jawa Timur,
prevalensi emfisema paru 13,5%, bronkitis kronik 13,5%, dan asma 7,7%.
Emfisema merupakan kontributor terbesar dalam kejadian PPOK. Pada emfisema
terjadi distensi rongga udara di sebelah distal bronkiolus terminalis dengan disertai
destruksi septum alveolaris.2 Terdapat beberapa faktor risiko penyebab emfisema
diantaranya polusi udara dan faktor genetik. Polusi udara didapatkan dari merokok,
paparan debu, sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2) dan gas beracun
lainnya.Sedangkan faktor genetik yang dapat menyebabkan emfisema adalah defisiensi
alfa-1 antitripsin.
II. Definisi
Emfisema adalah jenis penyakit paru obstruktif kronik yang melibatkan kerusakan
pada kantung udara (alveoli) di paru-paru. Emfisema paru merupakan suatu peruabahn
anatomi parenkim paru yang ditandai oleh pembesaran alveolus dan ductus alveolaris.
Emfisema paru-paru adalah keadaan pembesaran paru-paru yang disebabkan oleh
menggembungnya alveoli secara berlebihan yang disertai atau tanpa disertai robeknya
dinding alveoli tergantung dengan kerusakan alveoli. Udara pernafasan akan terdapat di
dalam rongga jaringan interstitial atau tetap berada di dalam rongga alveoli saja. Proses
dapat berjalan secara akut maupun kronik. Secara umum, emfisema paru-paru ditandai
dengan dipsnoea ekspiratorik, hyperpnoea dan mudahnya penderita mengalami kelelahan
(Subronto, 2003).
VI. Patofisiologi
Alveoli dan saluran udara distal kecil terutama dipengaruhi oleh penyakit, diikuti oleh efek
di saluran udara yang lebih besar. Recoil elastis biasanya bertanggung jawab untuk
membuka bronkiolus. Namun, dengan emfisema, bronkiolus kehilangan fungsi
menstabilkannya dan oleh karena itu menyebabkan kolapsnya saluran udara yang
mengakibatkan gas terperangkap secara distal
Ada erosi pada septa alveolar yang menyebabkan pembesaran ruang udara yang
tersedia di alveoli. Terkadang ada pembentukan bula dengan dinding tipis jaringan paru
yang berkurang.
Merokok berkontribusi pada pengembangan kondisi awalnya dengan mengaktifkan
proses inflamasi. Iritan yang dihirup menyebabkan sel-sel inflamasi dilepaskan dari
leukosit polimorfonuklear dan makrofag alveolar untuk pindah ke paru-paru. Sel-sel
inflamasi dikenal sebagai enzim proteolitik, yang biasanya dilindungi paru-paru karena
aksi antiprotease seperti alpha1-antitrypsin. Namun, iritasi akibat merokok akan
berdampak pada alpha1-antitrypsin, mengurangi aktivitasnya. Oleh karena itu emfisema
berkembang dalam situasi ini ketika produksi dan aktivitas antiprotease tidak cukup untuk
melawan efek berbahaya dari produksi protease berlebih. Akibat dari hal ini adalah
kerusakan dinding alveolar dan kerusakan jaringan elastis dan kolagen. Hilangnya jaringan
alveolar menyebabkan pengurangan area permukaan untuk pertukaran gas, yang
meningkatkan laju aliran darah melalui sistem kapiler paru.
Kebutuhan cairan
Kebutuhan cairan pada lansia normal : 30-35 ml/kgBB/hari (50-65 tahun), dan 25-30
ml/kgBB/hari (> 65 tahun). Pada kondisi tertentu, seperti gagal jantung, rekomendasi
kebutuhan cairan 1500 ml/hari. Pada pasien PPOK asupan cairan harus cukup dan
dianjurkan banyak, terutama jika pasien demam dan untuk mengurangi kekentalan sputum.
Untuk mencegah abdominal discomfort disarankan agar pasien minum dengan volume
kecil setelah makan atau di antara waktu makan.
Omega-3 (ALA) dan omega-6 (LA) merupakan precursor dari eicosanoids. Eicosanoids
adalah derivat dari AA (prostaglandin-2, Tromboksan-2, Leukotrien-4, asam
hydroxyeikosatetraenoik) dan EPA (prostaglandin-3, tromboksan-3, Leukotrien-5, asam
hydroxyeikosatetraenoik). EPA dan AA merupakan kunci dari mediasi dan regulasi proses
inflamasi. Efek inflamasi AA lebih kuat dibandingkan EPA. EPA, DHA dan AA memiliki
peran yang berbeda dalam mediator inflamasi. Peningkatan konsumsi EPA dan DHA akan
meningkatkan komposisi asam lemak omega-3 dalam sel-sel inflamasi dengan
mengorbankan AA. Omega-3 mempengaruhi produksi mediator inflamasi pada tingkat sel
melalui perubahan transkripsi gen. Faktor transkripsi gen yang penting dalam respon
inflamasi adalah nuklear faktor kappa beta (NF-kB), yang harus diaktifkan sebelum
melakukan translokasi ke dalam inti untuk memulai transkripsi gen. DHA dan EPA
dianggap mampu menghambat aktivasi NF-kB, sehingga mengurangi transkripsi dari
sejumlah sitokin inflamasi dan kemokin. Omega-3 memiliki efek antiinflamasi dengan cara
menurunkan produksi sitokin-sitokin.
Data tentang rekomendasi dosis asupan omega 3 untuk pasien PPOK, masih belum jelas.
Sedangkan rekomendasi dosis optimal untuk kesehatan tubuh, sebesar 0,5-1,8 g/hari, atau
mengkonsumsi dua porsi ikan/minggu. Rekomendasi WHO untuk omega-3 minimal 0,3-
0,5 gram/hari untuk EPA dan DHA, sedangkan untuk asam linolenat disarankan sebanyak
0,8-1,1 gram/hari. Pemberian suplementasi omega-3 lebih dari 3 g/hari, akan menimbulkan
efek samping antara lain perdarahan, dan gangguan gastrointestinal.
N-acetyl-L-cysteine (NAC)
N-acetyl-L-cysteine berasal dari asam amino L-sistein. Sistein merupakan asam amino
yang mengandung sulfur, precursor antioksidan seluler GSH (glutation). Glutation adalah
antioksidan utama di dalam dan di luar sel, dan disintesis dari sistein, glisin, dan asam
glutamat. Glutation merupakan antioksidan yang kuat, berfungsi memproteksi asam lemak
dari kerusakan akibat radikal bebas. Sintesis glutation sangat tergantung dari adekuasi
asupan protein, dan menurun pada kondisi inflamasi. Sistein merupakan faktor utama
dalam sintesis glutation, namun ketersediaan sistein di dalam tubuh terbatas. Sistein dapat
diproduksi tubuh dari asam amino metionin. Dalam metabolismenya, metionin akan
berubah menjadi homosistein, dan kemudian menjadi sistein. Perubahan tersebut
melibatkan peran asam folat, vitamin B12, dan vitamin B6. Bahan makanan sumber sistein
antara lain semua sumber protein (telur, ikan, daging, dan susu), dan dalam jumlah kecil
terdapat dalam brokoli, cabai, dan bawang. Sedangkan bahan makanan sumber metionin
adalah daging, ayam, ikan, telur, susu, dan kacang-kacangan. Pemberian NAC bertujuan
sebagai antioksidan (meningkatkan produksi GSH), dan mukolitik, sehingga dapat
menurunkan eksaserbasi akut. Beberapa penelitian telah membuktikan efek terapi dari
NAC, tetapi pemberian NAC tidak dapat dijadikan sebagai maintenance.
VIII. Pencegahan
Karena COPD adalah istilah umum yang digunakan untuk penyakit seperti Emfisema,
strategi pencegahannya sangat mirip. Saran paling umum untuk mencegah emfisema, dan
semacamnya, adalah berhenti merokok, dan untuk menghindari menghirup polutan
berbahaya
Daftar Referensi