Anda di halaman 1dari 16

GIZI DAN PENYAKIT

GANGGUAN PADA PARU-PARU


EMFISEMA

Dosen:
Prof. dr. Endang Laksminingsih MPH, Dr.PH

Disusun Oleh:
Citra Sari Nasrianti (1906430232)

PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
2020
Daftar Isi

Daftar Isi................................................................................................................................ 1
Latar belakang......................................................................................................................... 3
Definisi ................................................................................................................................... 3
Klasifikasi Emfisema ............................................................................................................... 4
Tanda dan Gejala ..................................................................................................................... 5
Faktor Risiko........................................................................................................................... 5
Patofisiologi ............................................................................................................................ 7
Tata Laksana Gizi.................................................................................................................... 8
Pencegahan ............................................................................................................................14
Daftar Referensi ...................................................................................................................15
I. Latar belakang
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah suatu keadaan yang ditandai oleh
keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Keterbatasan aliran udara ini
biasanya progresif dan disertai respons inflamasi abnormal paru terhadap partikel atau gas
toksik PPOK merupakan sebuah kelompok penyakit dengan gejala klinis bronkhitis kronis
dan emfisema. Faktor risiko PPOK meliputi dua kelompok besar yaitu faktor pejamu dan
pajanan lingkungan. Faktor pejamu meliputi genetik, hipereaktivitas jalan napas dan
pertumbuhan paru. Pajanan lingkungan meliputi kebiasaan merokok, polusi udara, infeksi,
debu dan bahan kimia di tempat kerja serta status sosial ekonomi. Faktor genetik akan
meningkatkan atau menurunkan risiko seseorang terhadap perkembangan PPOK.
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2002 PPOK menempati urutan
kelima sebagai penyebab kematian di dunia dan WHO memprediksi tahun 2030 PPOK
akan menempati urutan ketiga sebagai penyebab kematian di dunia. Dari hasil Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013 menunjukan bahwa prevalensi PPOK di Indonesia
sebanyak 3,7%. Pada survey penderita PPOK di 17 Puskesmas yang berada di Jawa Timur,
prevalensi emfisema paru 13,5%, bronkitis kronik 13,5%, dan asma 7,7%.
Emfisema merupakan kontributor terbesar dalam kejadian PPOK. Pada emfisema
terjadi distensi rongga udara di sebelah distal bronkiolus terminalis dengan disertai
destruksi septum alveolaris.2 Terdapat beberapa faktor risiko penyebab emfisema
diantaranya polusi udara dan faktor genetik. Polusi udara didapatkan dari merokok,
paparan debu, sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2) dan gas beracun
lainnya.Sedangkan faktor genetik yang dapat menyebabkan emfisema adalah defisiensi
alfa-1 antitripsin.
II. Definisi
Emfisema adalah jenis penyakit paru obstruktif kronik yang melibatkan kerusakan
pada kantung udara (alveoli) di paru-paru. Emfisema paru merupakan suatu peruabahn
anatomi parenkim paru yang ditandai oleh pembesaran alveolus dan ductus alveolaris.
Emfisema paru-paru adalah keadaan pembesaran paru-paru yang disebabkan oleh
menggembungnya alveoli secara berlebihan yang disertai atau tanpa disertai robeknya
dinding alveoli tergantung dengan kerusakan alveoli. Udara pernafasan akan terdapat di
dalam rongga jaringan interstitial atau tetap berada di dalam rongga alveoli saja. Proses
dapat berjalan secara akut maupun kronik. Secara umum, emfisema paru-paru ditandai
dengan dipsnoea ekspiratorik, hyperpnoea dan mudahnya penderita mengalami kelelahan
(Subronto, 2003).

III. Klasifikasi Emfisema

Berdasarkan lokasi kerusakan:


1. Centriacinar emfisema
Salah satu jenis emfisema paru-paru yang ditandai dengan pembesaran rongga
udara di bagian proksimal acinus, terutama pada tingkat bronchiolus repiratorius.
2. Distal acinar emfisema
salah satu jenis emfisema paru-paru yang terbatas pada ujung distal alveolus di
sepanjang septum interlobularis dan di bawah pleura membentuk bula.
3. Panacinar emfisema
satu jenis emfisema paru-paru yang ditandai dengan pembesaran rongga udara
yang relatif seragam di seluruh acinus.Merupakan bentuk yang jarang, gambaran
khas nya adalah tersebar merata di seluruh paru-paru, meskipun bagian-bagian
basal cenderung terserang lebih parah. Tipe ini sering timbul pada hewan dengan
defisiensi alfa-1 anti tripsin.(Kamus Kedokteran Dorland, 2002)
4. Irregular emfisema
kerusakan pada parenkim paru tanpa menimbulkan kerusakan pada asinus.
IV. Tanda dan Gejala
Dua dari gejala utama emfisema adalah sesak napas dan batuk kronis. Ini muncul di tahap
awal. Seseorang dengan sesak napas, atau dyspnea, merasa tidak mampu menarik napas.
Ini mungkin mulai hanya saat aktivitas fisik, tetapi ketika penyakit berkembang, itu dapat
mulai terjadi selama istirahat juga. Emfisema dan COPD berkembang selama beberapa
tahun. Pada tahap selanjutnya, orang tersebut mungkin sering mengalami
 infeksi paru-paru
 banyak lendir
 mengi
 nafsu makan berkurang dan penurunan berat badan
 kelelahan
 bibir berwarna biru atau lapisan kuku, atau sianosis, karena kekurangan oksigen
 kecemasan dan depresi
 masalah tidur
 sakit kepala di pagi hari karena kekurangan oksigen, saat bernapas di malam hari
sulit
V. Faktor Risiko
Faktor risiko PPOK meliputi 2 kelompok besar yaitu faktor pejamu dan pajanan
lingkungan. Penyakit biasanya timbul akibat interaksi kedua faktor tersebut. Faktor pejamu
meliputi genetik, hipereaktivitas jalan napas dan pertumbuhan paru. Pajanan lingkungan
meliputi kebiasaan merokok, polusi udara, infeksi, debu dan bahan kimia di tempat kerja.
Merokok merupakan temuan paling umum yang diberhubungan dengan luasnya
emfisema pascamati. Merokok dapat menganggu pegerakan silia, menghambat fungsi
makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hipersekresi kelenjar mukus, dan pajanan
yang masif dapat menyebabkan perubahan emfisematus. Paparan akut dari rokok ini sendiri
dapat menyebabkan kerusakan paru tetapi apabila bersamaan dengan faktor genetik maka
akan menyebabkan kerusakan yang lebih parah.
Alfa-1 antitripsin (AAT) merupakan inhibitor penting pada elastase neutrofil pada
paru. Elastase neutrofil adalah protease utama yang terlibat dalam cedera paru-paru akut,
sindrom gangguan pernapasan akut, serta banyak banyak proses inflamasi lain seperti
emfisema, fibrosis kistik, PPOK, penyembuhan luka, rheumathoid arthritis, dan iskemia
reperfusi. Paparan akut rokok tidak langsung menyebabkan emfisema, tetapi hal ini
menyebabkan terjadinya proses inflamasi dan stres oksidatif. Dari sekian banyak sel yang
berperan, makrofag alveolar (AMs) memiliki peran yang paling penting. Paparan rokok
memicu pengaktifan makrofag alveolar yang akan memproduksi sitokin pro-inflamasi
yang mengaktifkan sel lain, dan kemokin yang menarik neutrofil dan sel T limfosit yang
merupakan faktor paling menonjol dalam inflamasi. Adapun sitokin pro-inflamasi yang
berperan seperti TNF-a, IL-1b, IL-6 and IL-8.
AMs juga merupakan sumber utama terjadinya penurunan protease elastin yang
mendorong sebagian besar kerusakan septal. Produksi oksidan terkait inflamasi oleh AMs
juga berkontribusi dalam degradasi septal. Oksidan terkait inflamasi termasuk NO dan
turunan nitrogen reaktif bereaksi dengan asam lemak tak jenuh untuk menghasilkan asam
lemak nitrasi (NFAs), termasuk asam 10-nitro-oleat (OA-NO2) dan asam 12-nitrolinole ic
(LNO2), produk reksi NO yang paling umum dalam aliran darah manusia.
Kontributor penting lain yang berperan terhadap disregulasi imun pada emfisema
adalah peroxisome proliferator–activated receptor γ (PPAR-γ). PPAR-γ diekspresikan di
APC. Paparan rokok dapat mengaktifkan PPAR-γ yang akan mengubah penyerapan
antigen, pematangan sel, aktivasi, migrasi, dan produksi sitokin.
Selain rokok, genetik juga merupakan faktor risiko kejadian PPOK. Defisiensi alfa-
1 antitripsin dapat menyebabkan emfisema. Hal tersebut berhubungan erat dengan peran
neutrofil. Inhibisi elastase neutrofil dan enzim tertentu merupakan mekanisme utama
terjadinya emfisema. Apabila terjadi penurunan kadar alfa-1 antitripsin hingga 35%, maka
proteksi terhadap parenkim paru berkurang sehingga terjadi pelepasan elastase neutrofil.
15% perokok yang mengalami penurunan VEP1. Jumlah tersebut meningkat ketika orang
tersebut mempunyai defisiensi alfa-1 antitripsin. Jadi alfa-1 antitripsin dapat memperburuk
keadaan penderita emfisema yang disebabkan oleh rokok. Selain itu, peningkatan kejadian
defisiensi alfa-1 antitripsin juga meningkat pada orang yang memiliki kebiasaan merokok.
Orang yang mengalami defisiensi alfa-1 antitripsin mempunyai risiko 4,37 kali
lebih besar untuk mengidap emfisema dibanding orang normal. Apabila disertai merokok
angka tersebut meningkat menjadi 10

VI. Patofisiologi

Alveoli dan saluran udara distal kecil terutama dipengaruhi oleh penyakit, diikuti oleh efek
di saluran udara yang lebih besar. Recoil elastis biasanya bertanggung jawab untuk
membuka bronkiolus. Namun, dengan emfisema, bronkiolus kehilangan fungsi
menstabilkannya dan oleh karena itu menyebabkan kolapsnya saluran udara yang
mengakibatkan gas terperangkap secara distal
Ada erosi pada septa alveolar yang menyebabkan pembesaran ruang udara yang
tersedia di alveoli. Terkadang ada pembentukan bula dengan dinding tipis jaringan paru
yang berkurang.
Merokok berkontribusi pada pengembangan kondisi awalnya dengan mengaktifkan
proses inflamasi. Iritan yang dihirup menyebabkan sel-sel inflamasi dilepaskan dari
leukosit polimorfonuklear dan makrofag alveolar untuk pindah ke paru-paru. Sel-sel
inflamasi dikenal sebagai enzim proteolitik, yang biasanya dilindungi paru-paru karena
aksi antiprotease seperti alpha1-antitrypsin. Namun, iritasi akibat merokok akan
berdampak pada alpha1-antitrypsin, mengurangi aktivitasnya. Oleh karena itu emfisema
berkembang dalam situasi ini ketika produksi dan aktivitas antiprotease tidak cukup untuk
melawan efek berbahaya dari produksi protease berlebih. Akibat dari hal ini adalah
kerusakan dinding alveolar dan kerusakan jaringan elastis dan kolagen. Hilangnya jaringan
alveolar menyebabkan pengurangan area permukaan untuk pertukaran gas, yang
meningkatkan laju aliran darah melalui sistem kapiler paru.

VII. Tata Laksana Gizi


Kebutuhan makronutrien
Tata laksana nutrisi pada PPOK bertujuan untuk mencegah dan memperbaiki malnutrisi,
serta mempertahankan fungsi respirasi. Hipermetabolisme yang terjadi pada PPOK karena
peningkatan REE (untuk aktifitas pernapasan), dan peningkatan inflamasi sistemik yang
diketahui dari peningkatan TNF-α. Mempertahankan keseimbangan energi yang optimal
pada PPOK penting dilakukan untuk menjaga berat badan, massa bebas lemak, dan kondisi
tubuh yang baik.
Sesuai dengan analisis American Dietetic Association (ADA), prevalensi IMT <20 kg/m2
terdapat pada 30% pasien PPOK. pasien PPOK harus mendapatkan asupan kalori dan
protein yang cukup, untuk mempertahankan berat badan, massa bebas lemak, dan status
nutrisi yang adekuat, Walaupun asupan nutrisi pada pasien PPOK baik, namun kehilangan
berat badan tetap terjadi karena peningkatan Resting Energy Expenditure (REE) dan Total
Energy Expenditure (TEE) independent. Idealnya kebutuhan energi ditentukan dengan
menggunakan indirect calorimetry. Namun, jika tidak ada indirect calorimetry, dapat
memakai formula Harris Benedict. Kebutuhan kalori basal ditentukan berdasarkan formula
Harris benedict, sedangkan kebutuhan total dikalikan faktor stres yang sesuai dengan
derajat hipermetabolisme pasien. Besarnya faktor stres pada PPOK (eksaserbasi akut)
mencapai ≥ 1,5. Menurut Pia kebutuhan energi pada PPOK sebesar ≥ 1,7 x REE.
Sedangkan menurut Thorsdottir dkk, asupan energi pada pasien PPOK 125%-156% (±
140%) dari basal energy expenditure. Selain itu, kebutuhan energi dapat dihitung dengan
mengalikan BB dengan 25-30 kkal/kgBB. Kebutuhan protein 20% dari energi total atau
1,2-1,7 gram/kgBB/hari. Pia dkk mengatakan, kebutuhan protein pada PPOK ≥1,5
gram/kgBB. Pendapat lain mengatakan, pada pasien PPOK yang stabil dapat diberikan
protein 15-20% KET, lemak 30-45% KET, dan karbohidrat 40-55% KET. Menurut
Thorsdottir dkk, asupan protein 1,2-1,7 gram/kgBB/hari, cukup untuk mencegah
proteolisis pada pasien PPOK yang dirawat di rumah sakit dengan eksaserbasi akut.
Metabolisme karbohidrat menghasilkan CO2 yang lebih banyak dibandingkan
makronutrien lain (khususnya lemak). Suatu penelitian klinis yang menggunakan
modifikasi komposisi makronutrien menghasilkan jumlah CO2 yang lebih kecil
dibandingkan standard formula yang kalorinya sama tetapi dengan tinggi karbohidrat.
Namun demikian, perbaikan klinis yang dihasilkan tidak konsisten. Keburukan dari
pemberian nutrisi tinggi lemak adalah lambatnya pengosongan lambung, sehingga perut
tidak nyaman, kembung, dan merasa cepat kenyang. Hal ini penting diperhatikan dalam
menentukan toleransi pasien terhadap formula nutrisi komersial, karena penundaan
pengosongan lambung bisa mengakibatkan distensi abdomen yang lama. Pemberian serat
sebaiknya ditingkatkan secara bertahap, dan perlu memperhatikan gangguan absorpsi
kalsium pada konsumsi serat yang berlebih. Pemberian serat bertujuan untuk mencegah
konstipasi, sehingga mengurangi begah dan abdominal discomfort. Asupan serat sebaiknya
tidak melebihi 14 g/1000 kkal.
Kebutuhan mikronutrien
Berdasarkan beberapa penelitian, sejumlah antioksidan seperti vitamin C, vitamin E, β-
karoten, dan selenium berhubungan dengan fungsi paru-paru yang sehat. Suatu penelitian
yang menilai hubungan antara asupan antioksidan dan fungsi paru-paru selama tiga tahun
pada suatu populasi, menunjukkan adanya korelasi positif antara fungsi paru-paru dan
asupan vitamin C, vitamin E, dan karotenoid. Begitu juga penelitian pada golongan
karotenoid, lutein/zeaxanthin ternyata memiliki hubungan yang kuat dengan fungsi paru-
paru, yang terlihat dari perbaikan FEV dan FEV1. Adanya hubungan yang erat antara
antioksidan dan kesehatan fungsi pernapasan menjadikan penggunaan antioksidan sebagai
terapi baru untuk menurunkan inflamasi pada berbagai penyakit sistem pernapasan
Suatu metaanalisis membuktikan bahwa asupan makanan seorang perokok mengandung
tinggi energi, lemak, SAFA, kolestrol, dan alkohol serta rendah antioksidan dan serat
dibandingkan bukan perokok. Seorang perokok mempunyai turnover metabolisme vitamin
C sebesar 35 mg/hari, sehingga dianjurkan untuk meningkatkan asupan makanan yang
banyak mengandung vitamin C, atau meningkatkan suplementasi vitamin C lebih dari 35
mg/hari dari dietary reference intake (DRI). Pada pasien PPOK, terdapat penurunan kadar
vitamin B kompleks, sehingga disarankan pemberian suplementasi vitamin B kompleks,
agar terjadi keseimbangan oksidan antioksidan
Vitamin D memegang peranan penting dalam proses mineralisasi matriks tulang yang
berhubungan langsung dengan bone mineral density (BMD). Asupan kalsium dan vitamin
D pada pasien PPOK harus diperhatikan, terutama pada pasien dengan asupan yang kurang
atau pada konsumsi serat yang berlebihan yang dapat mengganggu absorpsi kalsium.
Penelitian oleh Monadi dkk, menunjukkan adanya hubungan antara kadar 25-
hydroxyvitamin D serum dengan FEV1, sehingga disarankan untuk mengoptimalkan
kebutuhan vitamin D pada pasien PPOK. Rekomendasi asupan kalsium adalah : 1200-1500
mg/hari, sedangkan vitamin D 400 IU/hari.
Tabel 1. Suplementasi vitamin C dan E pada PPOK
No Suplementasi Jumlah Pasien Efek
1 200 IU/hari vitamin E, dan 500 mg/hari 21 PPOK dan 10 Terdapat peningkatan
vitamin C selama 1 bulan kontrol signifikan waktu
latihan (10 orang
pasien PPOK)
2 50 mg/hari -tokoferol dan 20 mg/hari 29.133 orang Tidak mempengaruhi
ß-karoten, selama 5-8 tahun rekuren dan insiden
dari batuk dan sesak
3 400 IU vitamin E/hari selama 12 30 orang pasien Spirometri : Tidak ada
minggu PPOK perbaikan dan
perubahan signifikan
4 400 IU vitamin E (group A) dan 24 orang pasien Terdapat perbaikan
dibandingkan dengan standard terapi PPOK klinis dan fungsi paru
(group B/plasebo), 2x/hari selama 8 yang sama pada kedua
minggu kelompok
5 Group 1(9) : vit.E 400 mg/hr. 35 orang pasien Tidak ada perbaikan
Group 2(9) : vit.E 200 mg/hr PPOK fungsi paru
Group 3(9) : vit.C 250 mg/hr
Group plasebo 8 orang. Intervensi
diberikan selama 12 minggu.
6 Vit. A selama 30 hari diberikan untuk 36 orang sehat dan 21 Perbaikan rerata
orang sehat bukan perokok, perokok orang pasien PPOK fungsi paru (FEV1)
sehat, PPOK derajat ringan, PPOK pada group vitamin A
sedang, PPOK berat, dan PPOK
dengan eksaserbasi
Sumber :
Tsiligianni LG. A systemic review of the role of vitamin insufficiencies and
supplementation in COPD. Respiratory Research, rev. 2010. Biomed Central.

Kebutuhan cairan
Kebutuhan cairan pada lansia normal : 30-35 ml/kgBB/hari (50-65 tahun), dan 25-30
ml/kgBB/hari (> 65 tahun). Pada kondisi tertentu, seperti gagal jantung, rekomendasi
kebutuhan cairan 1500 ml/hari. Pada pasien PPOK asupan cairan harus cukup dan
dianjurkan banyak, terutama jika pasien demam dan untuk mengurangi kekentalan sputum.
Untuk mencegah abdominal discomfort disarankan agar pasien minum dengan volume
kecil setelah makan atau di antara waktu makan.

Kebutuhan nutrien spesifik


Asam amino rantai cabang (AARC)
Penelitian oleh Morrisson dkk, membuktikan bahwa pada pasien underweight dengan
kondisi muscle wasting dan emfisema, terdapat penurunan kadar AARC (leusin, dan valin),
glutamin, glutamat, dan alanine serta peningkatan kadar glutamin dan tirosin. Penurunan
kadar AARC pada PPOK terutama disebabkan penurunan kadar asam amino leusin. Insulin
sebagai hormon anabolik dapat mempengaruhi metabolisme asam amino, khususnya
AARC. Walaupun telah banyak penelitian yang menyatakan tentang penurunan kadar
AARC pada pasien PPOK, tetapi penelitian tentang efek pemberian AARC masih terbatas.
Rekomendasi dosis asupan AARC, untuk pasien PPOK, masih belum jelas.
Omega-3
Polyunsaturated fatty acids (PUFA) atau asam lemak tak jenuh ganda (omega-3 dan
omega-6) adalah asam lemak esensial yang harus ada dalam makanan sehari hari, karena
tubuh manusia tidak dapat mensintesisnya. Omega-3 terdiri dari docosahexaenoic acid
(DHA) dan eicosapentaenoic acid (EPA). Omega-6 terdiri dari arachidonic acid (AA).
Fungsi PUFA adalah sebagai komponen membran sel, berpengaruh pada fluiditas
membran serta mempengaruhi enzim yang terdapat pada membran sel dan reseptor. PUFA
mengatur berbagai fungsi dalam tubuh, termasuk tekanan darah, pembekuan darah,
perkembangan dan fungsi otak serta sistem saraf. Bahan makanan sumber omega-3 adalah
ikan, sedangkan omega-6 dapat diperoleh dari daging, susu, dan telur. Rasio optimal
omega-6/omega-3 yang disarankan adalah 4:1.
Tabel 2. PUFA dan bahan makanan sumber
PUFA Sumber
Omega-3 Walnut, minyak flaxseed, minyak kanola
Α-linolenic acid (ALA) Ikan, minyak ikan
Eicosapentaenoic acid (EPA) Ikan, minyak ikan
Docosahexaenoic acid (DHA)
Omega-6 Minyak : jagung, biji bunga matahari, kacang
Linoleic acid (LA) kedelai, safflower, dan cottonseed
γ-linolenic acid Minyak : evening primrose, borage, black
Arachidonic acid (AA) current seed
Daging, ayam/unggas, susu, telur
Sumber :
Fetterman JW, Zdanowicz MM. Therapeutic potential of omega-3 PUFA in disease. Am J Health-
Syst harm 2009;66(1): 1169-1177

Omega-3 (ALA) dan omega-6 (LA) merupakan precursor dari eicosanoids. Eicosanoids
adalah derivat dari AA (prostaglandin-2, Tromboksan-2, Leukotrien-4, asam
hydroxyeikosatetraenoik) dan EPA (prostaglandin-3, tromboksan-3, Leukotrien-5, asam
hydroxyeikosatetraenoik). EPA dan AA merupakan kunci dari mediasi dan regulasi proses
inflamasi. Efek inflamasi AA lebih kuat dibandingkan EPA. EPA, DHA dan AA memiliki
peran yang berbeda dalam mediator inflamasi. Peningkatan konsumsi EPA dan DHA akan
meningkatkan komposisi asam lemak omega-3 dalam sel-sel inflamasi dengan
mengorbankan AA. Omega-3 mempengaruhi produksi mediator inflamasi pada tingkat sel
melalui perubahan transkripsi gen. Faktor transkripsi gen yang penting dalam respon
inflamasi adalah nuklear faktor kappa beta (NF-kB), yang harus diaktifkan sebelum
melakukan translokasi ke dalam inti untuk memulai transkripsi gen. DHA dan EPA
dianggap mampu menghambat aktivasi NF-kB, sehingga mengurangi transkripsi dari
sejumlah sitokin inflamasi dan kemokin. Omega-3 memiliki efek antiinflamasi dengan cara
menurunkan produksi sitokin-sitokin.
Data tentang rekomendasi dosis asupan omega 3 untuk pasien PPOK, masih belum jelas.
Sedangkan rekomendasi dosis optimal untuk kesehatan tubuh, sebesar 0,5-1,8 g/hari, atau
mengkonsumsi dua porsi ikan/minggu. Rekomendasi WHO untuk omega-3 minimal 0,3-
0,5 gram/hari untuk EPA dan DHA, sedangkan untuk asam linolenat disarankan sebanyak
0,8-1,1 gram/hari. Pemberian suplementasi omega-3 lebih dari 3 g/hari, akan menimbulkan
efek samping antara lain perdarahan, dan gangguan gastrointestinal.
N-acetyl-L-cysteine (NAC)
N-acetyl-L-cysteine berasal dari asam amino L-sistein. Sistein merupakan asam amino
yang mengandung sulfur, precursor antioksidan seluler GSH (glutation). Glutation adalah
antioksidan utama di dalam dan di luar sel, dan disintesis dari sistein, glisin, dan asam
glutamat. Glutation merupakan antioksidan yang kuat, berfungsi memproteksi asam lemak
dari kerusakan akibat radikal bebas. Sintesis glutation sangat tergantung dari adekuasi
asupan protein, dan menurun pada kondisi inflamasi. Sistein merupakan faktor utama
dalam sintesis glutation, namun ketersediaan sistein di dalam tubuh terbatas. Sistein dapat
diproduksi tubuh dari asam amino metionin. Dalam metabolismenya, metionin akan
berubah menjadi homosistein, dan kemudian menjadi sistein. Perubahan tersebut
melibatkan peran asam folat, vitamin B12, dan vitamin B6. Bahan makanan sumber sistein
antara lain semua sumber protein (telur, ikan, daging, dan susu), dan dalam jumlah kecil
terdapat dalam brokoli, cabai, dan bawang. Sedangkan bahan makanan sumber metionin
adalah daging, ayam, ikan, telur, susu, dan kacang-kacangan. Pemberian NAC bertujuan
sebagai antioksidan (meningkatkan produksi GSH), dan mukolitik, sehingga dapat
menurunkan eksaserbasi akut. Beberapa penelitian telah membuktikan efek terapi dari
NAC, tetapi pemberian NAC tidak dapat dijadikan sebagai maintenance.

VIII. Pencegahan
Karena COPD adalah istilah umum yang digunakan untuk penyakit seperti Emfisema,
strategi pencegahannya sangat mirip. Saran paling umum untuk mencegah emfisema, dan
semacamnya, adalah berhenti merokok, dan untuk menghindari menghirup polutan
berbahaya
Daftar Referensi

Antariksa B, Djajalaksana S, Pradjanaparamita, Riyadi J, Yunus F, Suradi dkk. Penyakit Paru


Obstruktif Kronis. Diagnosis dan penatalaksanan. Edisi Juli, 2011. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia (PDPI).
Erni Ade, (2013). TATA LAKSANA NUTRISI PADA KASUS PENYAKIT PARU
OBSTRUKTIF KRONIS. Universitas Indonesia
Fetterman JW, Zdanowicz MM. Therapeutic potential of omega-3 PUFA in disease. Am J Health-
Syst harm 2009;66(1): 1169-1177
Global initiative for chronic obstructive lung disease. Gobal strategy for the diagnosis,
management, and preventive of chronic obstruktive pulmonary disease. Medical
Communication Resources Inc. 2011
Jonathan, S., Damayanti, T., & Antariksa, B. (2019). Pathophysiology of Emphysema. Jurnal
Respirologi Indonesia, 39(1).
Mahan LK, Stump SE. Pulmonary diseases. Krause’s. Food, Nutrition, & Diet Therapy. 11th
edition
Morrison WL, Gibson JNA, Scrimgeour C, Rennie MJ. Muscle wasting in emphysema. Clin Sci
1988;75:415-420.
Nelms M, Sucher K, Lacey K, Roth SL. Nutrition Therapy for Chronic
Obstructive Pulmonary Disease. In : Nutrition Therapy and Pathophysiology. 2nd edition.
Hal.652-663, 2011. Wadsworth Cengage Learning.
Oktaria, D., & Ningrum, M. S. (2017). Pengaruh Merokok dan Defisiensi Alfa-1 Antitripsin
terhadap Progresivitas Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) dan Emfisema. Majority.
Petty, T. L. (1989). Prevention of emphysema. Postgraduate Medicine, 86(6), 115–123.
doi:10.1080/00325481.1989.11704477
Pia S, Gronberg AM, Hulthe´n L, et al. Energy and nutrient intake in patients with COPD
hospitalized owing to an acute exacerbation. Scandinavian Journal of Nutrition 2005;49(3):
116-121
Rennard SI. Chronic obstruktive pulmonary disease, linking outcomes and pathobiology of disease
modification. Proc Am Thorac Soc 2006; 3: 276- 80
Schunemann HJ, Bryden JB, Grant B, Freudenheim, Muti P, Brown R, et al. The relation of serum
levels of antioxidants viamin C and E, retinol and carotenoids with pulmonary function in the
general population. An J Respir Crit Care Med 2001;163:1246-55
Schunemann HJ, McCann S, Grant B, Trevisan M, Muti P, Freudenheim J. Lung function in
relation to intake of carotenoid and other antioxidant vitamins in a population-based study.
Am J Epidemiol 2002; 155: 463-71
Stump SE. Nutrition and Diagnosis-Related Care. 6th edition, 2008. h. 278-281. Lippincot
Williams & Wilkins.
Tsiligianni LG. A systemic review of the role of vitamin insufficiencies and supplementation in
COPD. Respiratory Research, rev. 2010. Biomed Central.

Anda mungkin juga menyukai