Anda di halaman 1dari 9

[05:04, 7/18/2020] Dr.

Ihsan : Fatty liver atau perlemakan hati merupakan kondisi akumulasi


trigliserida dan berbagai jenis lemak lain pada sel hepar. Pada fatty liver, kandungan lemak hepar
melebihi 5% dari seluruh berat hepar, atau ditemukan setidaknya 5-10% sel lemak pada biopsi
hepar. [1]

Fatty liver dapat terjadi terkait konsumsi alkohol (alcoholic liver disease atau ALD) melebihi 20 g/hari
pada wanita dan melebihi 30 g/hari pada pria. Selain itu, fatty liver juga dapat terjadi pada pasien
yang tidak mengkonsumsi alkohol (nonalcoholic fatty liver disease atau NAFLD). [2]

Fatty liver dapat terjadi terkait konsumsi alkohol (alcoholic liver disease atau ALD) melebihi 20 g/hari
pada wanita dan melebihi 30 g/hari pada pria. Selain itu, fatty liver juga dapat terjadi pada pasien
yang tidak mengkonsumsi alkohol (nonalcoholic fatty liver disease atau NAFLD). [2]

[05:04, 7/18/2020] Dr. Ihsan : Patofisiologi fatty liver atau perlemakan hati berbeda tergantung
jenisnya. Alcoholic liver disease (ALD) terjadi akibat akumulasi lemak dalam hepatosit karena
konsumsi alkohol kronik. Sementara, nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) diduga terjadi melalui
mekanisme “dua pukulan”. [5-8]

Alcoholic Liver Disease

Hepar merupakan organ utama dalam metabolisme alkohol. Akumulasi lemak dalam hepatosit
merupakan respon paling awal akibat konsumsi alkohol kronik dan alcohol use disorder.

Konsumsi alkohol meningkatkan NADH/NAD+ dalam hepatosit, sehingga mengganggu oksidasi asam
lemak dan menyebabkan perkembangan steatosis. Hal tersebut juga meningkatkan sintesis asam
lemak dan trigliserida, meningkatkan influks asam lemak bebas hepar dari jaringan adiposa, dan
kilomikron pada mukosa intestinal.

Inhibisi terhadap adenosine monophosphate activated kinase (AMPK) yang dimediasi etanol
meningkatkan lipogenesis dan mengurangi lipolisis dengan menghambat peroxisome proliferative-
activated receptor a (PPARa) dan stimulasi sterol regulatory element binding protein 1c (SREBP1c).
Selanjutnya, kerusakan mitokondria dan mikrotubulus oleh asetaldehid mereduksi oksidasi NADH
dan menghasilkan akumulasi very-low-density lipoprotein (VLDL). [5,6]

Nonalcoholic Fatty Liver Disease

Nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) terjadi melalui mekanisme yang dikenal dengan hipotesis
“dua pukulan”. “Pukulan pertama berupa akumulasi lemak pada sel hepar yang berhubungan
dengan resistensi insulin, akumulasi trigliserida dalam hepar, dan disregulasi asam lemak yang
menyebabkan steatosis.
“Pukulan” kedua menyebabkan cedera hepatoselular. Asam lemak yang berlebihan di hepar
membuat hepar lebih rentan untuk cedera. Oksidasi asam lemak peroksisom, produksi reactive
oxygen species (ROS) dari rantai respirasi mitokondria, metabolisme asam lemak sitokrom P450, dan
metabolisme derivat alkohol juga diduga berperan dalam menyebabkan cedera. Pelepasan mediator
inflamasi seperti leptin, TNF-alpha dan IL-6 juga menyebabkan kerusakan hepatosit pada obesitas.
Hepatosit akan mengalami ballooning, agregasi sitoskeletal, apoptosis, dan nekrosis. [7,8]

[05:04, 7/18/2020] Dr. Ihsan : Etiologi fatty liver atau perlemakan hati dapat berkaitan dengan
konsumsi alkohol atau tidak berkaitan dengan alkoholisme. Pada alcoholic liver disease (ALD),
penyebab fatty liver adalah konsumsi alkohol yang berlebihan, misalnya pada kasus alcohol use
disorder. Nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) paling sering disebabkan oleh obesitas, diabetes
melitus tipe 2, dan sindrom metabolik yang mencakup dislipidemia dan hipertensi. [9,10]

Alcoholic Liver Disease

Fatty liver merupakan keadaan yang umum ditemukan pada peminum alkohol yang mengonsumsi
lebih dari 40 g alkohol per hari secara reguler. Fatty liver dapat berlanjut dan tumpang tindih dengan
berbagai derajat inflamasi dan fibrosis progresif pada 10-35% pasien, atau dengan sirosis hepatis
pada 10-15% peminum berat. [9]

Nonalcoholic Fatty Liver Disease

Kondisi yang paling berhubungan dengan nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) adalah obesitas,
diabetes melitus tipe 2, dan sindrom metabolik. Selain itu, NAFLD juga dapat disebabkan oleh
gangguan metabolisme lemak, infeksi hepatitis C, dan tindakan pembedahan terkait penurunan
berat badan.

Penggunaan obat-obatan juga dapat menyebabkan NAFLD. Contoh obat-obatan ini adalah
amiodarone, tamoxifen, methotrexate, dan kortikosteroid. Penyebab lain mencakup kelaparan,
penyakit Wilson, dan penyakit Celiac. [10]

Faktor Risiko
Faktor risiko fatty liver berkaitan dengan jumlah konsumsi alkohol, jenis kelamin, usia, faktor
genetik, nutrisi, obat-obatan, dan penyakit medis (obesitas, diabetes, dan sindrom metabolik). [1,11-
15]

Alcoholic Liver Disease

Toksisitas langsung alkohol, pola konsumsi alkohol (episodik, binge, kontinu), durasi, dan jumlah
asupan alkohol (40-80 g/hari selama 10-12 tahun pada pria dan 20-40 g/hari pada wanita) adalah
hal-hal yang mempengaruhi timbulnya alcoholic liver disease (ALD).

Faktor risiko lain adalah koinfeksi virus hepatitis B dan C, serta merokok ≥1 bungkus per hari. Faktor
genetik yang berhubungan dengan peran enzim hepar dalam metabolisme alkohol (seperti alkohol
dehidrogenase, asetaldehid dehidrogenase, dan sitokrom P-450), juga mempengaruhi timbulnya
ALD. Selain itu, obesitas dan komorbiditas juga akan mempengaruhi progresivitas ALD. [11-13]

Nonalcoholic Fatty Liver Disease

Usia dan faktor genetik berkontribusi dalam nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD). Meski begitu,
faktor risiko utama adalah obesitas, diabetes, dan sindrom metabolik. [14] Sekitar 18-33% kasus
diabetes melitus tipe 2 ditemukan pada NAFLD, dan 66-83% kasus NAFLD diidentifikasi memiliki
penanda resistensi insulin. [15]

[05:04, 7/18/2020] Dr. Ihsan : Data epidemiologi fatty liver menunjukkan perbedaan demografis
antara etnis Kaukasia dan Asia. Pada populasi Asia, nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD)
dilaporkan juga ditemukan pada pasien dengan indeks massa tubuh yang lebih rendah. [1]

Global

Di Amerika Serikat, steatosis dilaporkan pada 25-35% populasi umum. Fatty liver ditemukan pada 90-
100% peminum alkohol berat, namun hanya 10-20% yang mengalami alcoholic liver disease (ALD)
yang bermakna secara klinis. Nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) ditemukan pada lebih dari 80%
pasien obesitas.

Studi pada populasi Asia melaporkan adanya NAFLD dan nonalcoholic steatohepatitis (NASH) pada
populasi dengan indeks massa tubuh yang lebih rendah. [1]
Indonesia

Belum terdapat data epidemiologi mengenai prevalensi alcoholic liver disease (ALD) maupun
nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) secara nasional di Indonesia. Sebuah studi di Palembang
menyatakan bahwa sekitar 7,9% dari 2.105 pasien poliklinik yang menjalani check up menderita
NAFLD. 39% di antaranya memiliki indeks massa tubuh yang normal. [16]

Mortalitas

Kematian terkait alkohol, tidak termasuk kecelakaan atau pembunuhan, ditemukan pada 22.073
kasus kematian di Amerika Serikat pada tahun 2006, dengan 13.000 di antaranya dikaitkan dengan
penyakit hati kronik. [13] Penyebab kematian terkait alcoholic liver disease (ALD) berupa
arteriosklerosis (20%), sirosis hepatis (17%), penyebab tidak diketahui (16%), dan kanker
ekstrahepatik (14%). Sedangkan pada nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD), penyebab kematian
antara lain arteriosklerosis (38%), penyebab tidak diketahui (19%), kanker ekstrahepatik (17%), dan
infeksi (8%). [3]

[05:04, 7/18/2020] Dr. Ihsan : Diagnosis fatty liver atau perlemakan hepar melibatkan anamnesis
untuk mencari faktor risiko, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang sesuai indikasi.
Nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) sering didiagnosis secara insidental, misalnya saat pasien
menjalani medical check up. [17]

Anamnesis

Dalam evaluasi awal fatty liver, dilakukan skrining untuk menilai ketergantungan atau
penyalahgunaan alkohol (alcohol use disorder) menggunakan Alcohol Use Disorders Identification
Test (AUDIT) dan kuisioner. Kemudian, penilaian lanjutan dilakukan terhadap berbagai faktor risiko
lain, riwayat penyakit dahulu, riwayat keluarga, riwayat pengobatan, serta penggunaan obat over
the counter (OTC) dan suplemen. Anamnesis juga perlu mengidentifikasi riwayat diet, aktivitas fisik,
peningkatan berat badan, dan gejala yang dirasakan pasien. [18,19]

Sebagian besar alcoholic liver disease (ALD) bersifat asimtomatik. Begitu pula dengan nonalcoholic
fatty liver disease (NAFLD) di mana keluhan hanya dialami sekitar 15% kasus. Kalaupun timbul gejala,
keluhan akan bersifat sangat tidak spesifik, misalnya rasa lelah, malaise, anoreksia, mual, abdominal
discomfort, dan ikterus. [1,20]
Pemeriksaan Fisik

Alcoholic liver disease (ALD) tanpa abnormalitas fisik mungkin saja terjadi. Hepatomegali
merupakan hal yang paling sering ditemui. Beberapa pasien ALD dapat menunjukkan tanda bahaya
konsumsi alkohol seperti hipertrofi kelenjar parotis bilateral, muscle wasting, dan tanda-tanda
neuropati perifer simetris. Selain itu, bisa juga ditemukan ginekomastia dan spider angioma. [1,6]

Hepatomegali juga ditemukan pada nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD). Identifikasi faktor risiko
seperti pengukuran indeks massa tubuh dan tekanan darah juga perlu dilakukan. Perlu juga diperiksa
tanda penyakit hati stadium lanjut seperti ikterus, spider angioma, palmar eritema, caput medusae,
ginekomastia, Dupuytren contracture, ascites, dan petechiae. [8,20]

Diagnosis Banding

Fatty liver dapat didiagnosis banding dengan alcohol use disorder, hepatitis viral, dan
hepatotoksisitas akibat obat. [1]

Alcohol Use Disorder

Pasien dengan alcoholic liver disease (ALD) dapat menunjukkan tanda konsumsi alkohol kronik
seperti pada alcohol use disorder. Oleh karenanya, diagnosis ALD harus dicurigai pada semua pasien
yang menunjukkan tanda dan gejala konsumsi alkohol kronik. Pada pasien dengan ALD, USG akan
membantu mengkonfirmasi adanya infiltrasi sel lemak pada hepar. [1]

Hepatitis Viral

Walaupun jarang, pasien dengan fatty liver dapat mengeluhkan ikterus yang perlu didiagnosis
banding dengan infeksi hepatitis. Untuk membedakan apakah ikterus disebabkan oleh fatty liver
atau hepatitis, dapat dilakukan pemeriksaan serologi terkait hepatitis misalnya IgM anti HAV untuk
hepatitis A, HbsAg dan HBV DNA untuk hepatitis B, serta HCV RNA untuk hepatitis C.

Hepatotoksisitas Akibat Obat


Obat adalah salah satu penyebab penting dari cedera hepar. Di Amerika Serikat, 50% gagal hepar
akut disebabkan oleh obat setiap tahunnya. Beberapa jenis obat yang dapat menyebabkan
hepatotoksisitas adalah propiltiourasil, interferon beta 1a, telithromycin, dan duloxetine. [26]

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis fatty liver adalah pemeriksaan
laboratorium, radiologi, dan biopsi hepar. Biopsi hepar merupakan baku emas dari diagnosis fatty
liver. [1,3]

Radiologi

Konfirmasi adanya infiltrasi lemak pada hepar sangat penting, dan dapat dilakukan melalui
pemeriksaan USG. USG dilaporkan memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas 95%. USG juga dapat
menilai tanda-tanda sirosis meski sensitivitas hanya 43-47% dan spesifisitas 54-89%. [17]

Computed Tomography (CT) scan dapat menilai lemak hati dan lemak viseral untuk mengukur
derajat adipositas pasien dengan sindrom metabolik dan nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD).
Namun, pada praktiknya pemeriksaan ini jarang digunakan untuk diagnosis fatty liver karena biaya
yang mahal, risiko radiasi, dan ketersediaan alat.

Magnetic Resonance Imaging (MRI) baik digunakan untuk mengidentifikasi NAFLD. Teknik MRI yang
lebih baru, seperti MR elastography dan proton density fat fraction dapat menilai tahap fibrosis
secara noninvasif untuk mendiagnosis dan menilai prognosis pasien dengan NAFLD. Akan tetapi
teknik ini mahal dan hanya tersedia pada pusat kesehatan khusus. [15]

Biopsi Hepar

Biopsi hepar merupakan baku emas untuk diagnosis fatty liver. Namun, karena sifatnya yang lebih
invasif, risiko efek samping tindakan yang lebih tinggi, biaya yang relatif lebih mahal, ketersediaan
ahli, dan kesediaan pasien, biopsi hepar jarang dilakukan secara rutin untuk mendiagnosis fatty liver.
Biopsi hepar dapat dipertimbangkan pada pasien yang dicurigai sirosis atau terdapat diagnosis
banding lain. [21]
ALD dan NAFLD memiliki spektrum patologis yang mirip, mulai dari steatosis sederhana hingga
sirosis hati. Meskipun begitu, pada pemeriksaan histopatologi dapat ditemukan degenerasi lemak
sel-sel hati dengan derajat yang lebih besar pada NAFLD dibanding ALD. Sedangkan, infiltrasi sel
inflamasi lebih jelas pada ALD dibandingkan NAFLD. Fibrosis vena atau perivenular, flebosklerosis,
dan flebitis limfositik juga lebih umum ditemukan pada ALD daripada NAFLD. [3]

Laboratorium

Beberapa pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk membedakan ALD dengan NAFLD.
Penanda biokimia yang dapat digunakan antara lain aspartate aminotransferase (AST), alanine
aminotransferase (ALT), mean corpuscular volume, carbohydrate deficient transferrin (CDT), dan
gamma glutamyl transferase (GGT). GGT lebih sensitif dan merupakan tes yang paling banyak
digunakan untuk mengevaluasi alkoholisme kronis. Meskipun begitu, CDT bersifat lebih spesifik dan
telah disetujui oleh FDA untuk mendeteksi penggunaan alkohol berat. Penelitian terbaru
menunjukkan sensitivitas 90% dan spesifisitas 98% jika CDT dikombinasikan dengan GGT.

AST dan ALT dapat meningkat pada alcoholic liver disease (ALD) dengan rasio AST:ALT > 1,0. Tetapi
pemeriksaan ini bersifat tidak spesifik. [13,18]

[05:04, 7/18/2020] Dr. Ihsan : Penatalaksanaan fatty liver berbeda tergantung jenisnya. Secara
umum, alcoholic liver disease (ALD) diobati dengan abstinensia, dukungan nutrisi, dan
kortikosteroid. Sedangkan, pada nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) pengobatan diarahkan ke
penurunan berat badan dan manajemen komorbiditas. [4]

Alcoholic Liver Disease

Penatalaksanaan alcoholic liver disease (ALD) meliputi modifikasi gaya hidup, terapi nutrisi,
medikamentosa, hingga transplantasi hepar jika diperlukan.

Modifikasi Gaya Hidup

Abstinensia terhadap alkohol akan membatasi perkembangan steatosis dan mencegah cedera hepar
lebih lanjut. Efikasi abstinensia akan meningkat jika dikombinasikan dengan modifikasi gaya hidup
seperti intervensi perilaku, stop rokok, pengawasan diet, dan pengendalia…
[05:04, 7/18/2020] Dr. Ihsan : Prognosis fatty liver tergantung pada tingkat kerusakan hepar yang
dialami pasien. Fatty liver sendiri mencakup berbagai kondisi patologi, mulai dari steatosis
sederhana, sirosis hati, hingga karsinoma hepatoseluler. [3]

Komplikasi

Alcoholic liver disease (ALD) disebabkan oleh konsumsi alkohol kronis seperti pada pasien alcohol
use disorder. Dilaporkan bahwa 20-40% pecandu alkohol akan mengalami fibrosis hepar, sekitar 10-
20% akan berkembang menjadi sirosis, kemudian 1-2% dari sirosis tersebut akan terdiagnosis
karsinoma hepatoselular.

Komplikasi lain yang dapat muncul akibat sirosis pada ALD adalah hipertensi portal, ascites,
peritonitis bakterial spontan, perdarahan variceal, ensefalopati hepatik, dan sindrom hepatorenal.
[18]

Pada nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD), komplikasi dapat berupa penyakit hepar stadium
akhir, karsinoma hepatoseluler, dan sirosis hepatis. Komplikasi juga dapat timbul berkaitan dengan
kondisi yang mendasari timbulnya NAFLD. NAFLD dapat disebabkan oleh obesitas, dislipidemia,
resistensi insulin, dan diabetes mellitus tipe 2. [8]

Prognosis

Steatosis dapat terjadi pada lebih dari 90% peminum alkohol berat. Steatosis ini umumnya tidak
bergejala dan bersifat reversibel dengan abstinensia. Namun, perlu diketahui bahwa konsumsi
sekitar 40-80 gram etanol per hari pada laki-laki atau 20-40 gram per hari pada wanita selama 10-12
tahun, merupakan faktor prediktor alcoholic liver disease (ALD) termasuk steatohepatitis alkoholik,
fibrosis, dan sirosis. [5,12]

Pasien dengan alcoholic liver disease (ALD) berisiko tinggi mengalami sirosis dan mortalitas terkait
steatosis. Sebuah studi retrospektif menunjukkan bahwa walaupun risiko karsinoma hepatoseluler
lebih rendah pada pasien ALD, prognosis pasien yang mengalami sirosis terkait ALD lebih buruk
dibandingkan pasien yang mengalami sirosis terkait hepatitis C atau nonalcoholic fatty liver disease
(NAFLD).
Studi terkait perkembangan penyakit jangka panjang pada NAFLD menunjukkan bahwa 30% pasien
NAFLD mengalami progresi pada biopsi hepar, 30% stabil, dan 30% lainnya mengalami perbaikan
dalam 3 tahun tanpa intervensi farmakologi. Toleransi glukosa abnormal dilaporkan sebagai faktor
risiko independen progresi penyakit.

Studi selama 10 tahun di Minnesota menunjukkan bahwa pasien NAFLD memiliki tingkat mortalitas
10% lebih tinggi dibandingkan kontrol. Keganasan dan penyakit kardiovaskular merupakan penyebab
kematian tersering. [1]

[05:04, 7/18/2020] Dr. Ihsan : Edukasi dan promosi kesehatan pada fatty liver mencakup keterangan
mengenai penyakit, penyebab, faktor risiko, pemeriksaan yang akan dilakukan, pilihan terapi, dan
prognosis. Edukasi mengenai gaya hidup sehat seperti abstinensia alkohol, pilihan makanan,
olahraga teratur, pengurangan berat badan, adalah beberapa komponen penting yang perlu
disampaikan. [1]

Pasien dengan fatty liver disarankan untuk menghentikan atau membatasi konsumsi alcohol.
Pembatasan konsumsi alkohol mampu memperbaiki cedera hepar dan mencegah progresi penyakit.
[25]

Nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) sering didiagnosis secara insidental misalnya saat pasien
menjalani pemeriksaan radiologi atau laboratorium untuk medical check up. Hingga saat ini, skrining
terkait NAFLD masih belum dianjurkan pada populasi umum ataupun diabetes karena belum cukup
bukti ilmiah yang mendukung terkait manfaat jangka panjang, efikasi biaya, dan metode skrining
yang terbaik.

Adapun upaya pencegahan yang dapat dilakukan pada NAFLD meliputi modifikasi faktor-faktor risiko
yang berhubungan dengan penyakit yang bisa menimbulkan NAFLD, misalnya obesitas, dislipidemia,
dan diabetes mellitus tipe 2. Modifikasi faktor risiko dapat dilakukan dengan gaya hidup sehat,
termasuk di dalamnya kendali berat badan, menjaga asupan nutrisi, dan aktivitas fisik secara rutin.
[20]

Anda mungkin juga menyukai