PENDAHULUAN
Hepatotoksisitas yang diinduksi oleh obat adalah penyebab paling sering dari
gagal hati akut di AS.Karena hati bertanggung jawab untuk memusatkan dan
memetabolisme sebagian besar obat-obatan, hati adalah target utama untuk
kerusakan yang disebabkan oleh obat. Di antara obat hepatotoksik, asetaminofen
(parasetamol) adalah yang paling sering dipelajari. Namun, berbagai agen
farmakologis yang berbeda dapat menyebabkan kerusakan hati, termasuk anestesi,
obat antikanker, antibiotik, agen antituberkulosis, antiretroviral, dan obat jantung.
Selain itu, sejumlah besar terapi medis tradisional dan obat herbal mungkin juga
hepatotoksik.
Alcoholic liver disease(ALD) adalah salah satu penyebab utama tahap akhir
penyakit hati di seluruh dunia. Alcoholic liver disease(ALD) memiliki spektrum
penyakit yang luas, meliputi steatosis sederhana, steatohepatitis, dan sirosis. Secara
khusus, kematian jangka pendek pada pasien dengan Steatohepatitis alkoholik berat
sangat tinggi hingga 40% -50%.3
Beberapa sistem penilaian prognostik, sampai saat ini, telah dikembangkan
dan divalidasi untuk digunakan pada pasien dengan hepatitis alkoholik . Sindrom
klinis penyakit kuning dan kelainan fungsi hati pada pengguna alkohol umumnya
disebut hepatitis alkoholik. Namun, terlepas dari onset tiba-tiba pada presentasi
klinis, istilah ini tampaknya berubah bahwa Hepatitis Alkoholik biasanya terkait
dengan fibrosis luas atau sirosis dan sering mengikuti perjalanan alami yang
panjang .3
Steatohepatitis alkoholik berat adalah entitas penyakit patologis,
didefinisikan sebagai koeksistensi steatosis, pembesara hepatoseluler, infiltrasi
neutrofilik, dan fibrosis perisinusoidal . Steatohepatitis alkoholik berat tidak secara
eksklusif disertai oleh Hepatitis Alkoholik tetapi dapat menjadi bagian pada setiap
tahapan yang berbeda dari Alcoholic Liver Disease yang terdiri dari steatosis,
steatohepatitis, fibrosis, dan sirosis . Namun, tidak banyak yang diketahui pasien
Steatohepatitis akut mana yang akan berkembang menjadi Hepatitis Alkoholik yang
terbukti secara klinis. Selain itu, insiden dan prevalensi Steatohepatitis alkoholik
berat atau Hepatitis alkoholik yang sebenarnya di antara pengguna alkohol masih
belum jelas karena ketidakpastian di balik diagnosis klinis Hepatitis Alkoholik dan
terbatasnya jumlah penelitian dengan biopsi hati untuk memastikan diagnosis
histologis Steatohepatitis Alkoholik.3
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
perlemakan hati non alkoholik (non alcoholic fatty liver) atau penyakit
perlemakan hati non alkoholik (non alcoholic fatty liver diasease). Pada
lebih berat.1
hati (sebagian besar terdiri dari trigliserida) melebihi 5% dari seluruh berat
hati. Karena pengukuran berat hati sangat sulit dan tidak praktis, diagnosis
ditemukannya minimal 5-10% sel lemak dari seluruh hepatosit. Kriteria lain
yang juga sangat penting adalah pengertian non alkoholik. Batas untuk
alcohol sampai 20 gram per hari masih bisa dikatakan sebagai non
alkoholik.1,4
pencitraan atau histologi hati dan (b) tidak ada penyebab sekunder
3
akumulasi lemak pada hati seperti konsumsi alkohol yang bermakna,
banyak kondisi atau penyakit lain yang menyebabkan steatosis tanpa atau
Istilah Definisi
Non Alcoholic Fatty Liver Mencakup seluruh penyakit perlemakan hati pada
Disease (NAFLD) individu tanpa konsumsi alkohol yang signifikan,
mencakup perlemakan hati sampai steatohepatitis
dan sirosis.
Non Alcoholic Fatty Liver Terdapat steatosis hati tanpa adanya bukti cedera
(NAFL) hepatoseluler dalam bentuk pembengkakan
hepatosit dan tanpa adanya bukti fibrosis. Resiko
sirosis dan kegagalan hati minimal.
4
2.1.2 Etiologi Steatosis Hepatic 5
Macrovesicular steatosis
Konsumsi alkohol berlebihan
- Hepatitis C (genotype 3)
- Penyakit Wilson
- Lipodystrophy
- Kelaparan
- Abetalipoproteinemia
- Obat-obatan (ex. Amiodarone, methotrexate, tamoxifen, corticosteroids)
Microvesicular steatosis
- Sindrom Reye
- Obat-obatan (valproate, pengobatan antivirus)
- Perlemakan hati akibat kehamilan
- Sindrom HELLP
- Kelainan metabolism bawaan (ex. Defisiensi LCAT, penyakit
penyimpanan kolesterol, penyakit Wolman)
2.1.3 Epidemiologi
20-30% di antaranya berada dalam fase yang lebih berat (steatohepatitis non
non alkoholik, dan 2-3% sirosis. Dalam laporan yang sama disebutkan pula
5
alkoholik, rata-rata berumur 42 tahun dengan 29% gambaran histologi hati
hati non alkoholik sebesar 30,6%. Faktor risiko penting yang dilaporkan
sebagian besar kasus terjadi pada penderita yang berusia 50-60 tahun,
2. Sekunder, yaitu:
cerna.
6
b. Obat-obatan, seperti glukokorti-koid, estrogen, tamoxifen,
Reye.
steatohepatitis non alkoholik adalah obesitas dan diabetes mellitus, serta dua
Hipotesis yang sampai saat ini banyak diterima adalah the two hit theory
obesitas. Seperti diketahui bahwa dalam keadaan normal, asam lemak bebas
dihantarkan memasuki organ hati lewat sirkulasi darah arteri dan portal. Di
dalam hati, asam lemak bebas akan mengalami metabolism lebih lanjut,
8
Gambar 1. Konsep Patogenesis Steatohepatitis Non Alkoholik.1
mitokondria itu sendiri. Inilah yang disebut hit kedua. Peningkatan stress
maka aktifasi sel stelata dan sitokin pro inflamasi akan berlanjut dengan
9
karena makin banyak yang berpendapat bahwa yang sesungguhnya terjadi
pasien melaporkan adanya rasa lemah, malaise, keluhan tidak enak dan
medical check up. Sebagian lagi datang dengan komplikasi sirosis seperti
hepatoma.1
10
2.1.7 Diagnosis
dan biosi hati. Pada pasien NAFL umumnya asimtomatik, namun lebih dari
edema, dan jaundice. Tidak lupa juga harus ditanyakan faktor risiko NAFL
waktu. Alasan dari kelompok yang menentang biopsy hati antara lain
prognosis yang umumnya belum baik, belum tersedianya terapi yang benar-
benar efektif, dan resiko serta biaya dari tindakan biopsy itu sendiri. Oleh
invatif.1
11
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
kasus kadar ALT lebih tinggi daripada kadar AST, kadar AST mungkin
dapat lebih tinggi daripada kadar ALT terutama bila ada sirosis.1
The Dallas Heart Study dan Dyonisos Nutrition and Liver Study
NAFLD. Dalam studi Bellentani ini, 79 dan 55% pasien dengan NAFLD
bahwa enzim hati bukan penanda yang baik untuk diagnosis NAFLD.
INR dapat menunjukkan kadar abnormal pada penderita NAFLD yang berat
b. Pencitraan
12
Metode pencitraan yang umum digunakan untuk mendeteksi NAFLD
adalah pilihan pencitraan yang umum dan paling banyak digunakan dalam
perlemakan hati bersifat difus, tetapi pada beberapa kasus dapat bersifat
USG perlemakan hati dapat dibedakan dalam 3 derajat, yakni derajat ringan,
13
Gambar 3. Ultrasonografi sagital menunjukkan intensitas ekhogenitas di
kedua parenkim hati (L) dan korteks renal (K). Gambar (a) tidak adanya
steatosis, (b) derajat ringan (c) derajat berat (d) derajat berat.8
hipodens dan tampak lebih gelap daripada limpa. Pembuluh darah hepatik
terlihat yang relatif cerah, dan dapat terjadi kesalahan diagnosis apabila
14
pemeriksaan CT-scan dengan injeksi kontras. Ketiga teknik pencitraan di
atas (USG, CT-scan dan MRI) terbukti memiliki sensivitas yang baik untuk
mendeteksi perlemakan hati lebih dari 30%.7 Akan tetapi tidak ada metode
pencitraan ini yang dapat membedakan antara steatosis sederhana dan NASH
c. Biopsi Hati
15
2. Membedakan steatosis dengan NASH
ditemukan
2.1.10 Penatalaksanaan
diperhatikan bahwa penurunan berat badan yang bolak- balik naik turun
(sindrom yo-yo) justru memicu progresi penyakit hati. Hal ini terjadi
asupan lemak total menjadi <30% dari total asupan energi, mengurangi
18
b. Terapi Farmakologis
Vitamin E
Silymarin Milk thistle diekstrak dari buah dan biji silybum marinum, yang
adalah silybin, aktif secara komponen biologis. Komponen aktif ini adalah
silymarin.
19
Sementara data mengenai pengaruh silymarin pada pasien NAFLD terbatas,
Meski secara biologis mekanisme aksi tidak sepenuhnya dipahami ,hal ini
deposit kolagen.
pada pasien dengan sirosis dan diabetes diobati dengan silymarin untuk
20
Andiabetik dan Sensulin Sensitizer
- Metformin
- Tiazolidindion
2.1.11 Komplikasi
21
yang progresif seringkali tertutupi oleh steatosis yang stabil atau bahkan
hepatoseluler.1
2.1.12 Prognosis
fibrosis hati dan sirosis. Pasien dengan perlemakan hati memiliki risiko
seiring dengan tingkat keparahan seatosis pada biopsi. Fibrosis dan sirosis
Kerusakan hati akibat obat (Drug Induced Liver Injury) adalah kerusakan
hati yang berkaitan dengan gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh karena
terpajan obat atau agen non-infeksius lainnya. FDA-CDER (2001) mendefinisikan
kerusakan hati sebagai peningkatan level alanine aminotransferase (ALT/SGPT)
lebih dari tiga kali dari batas atas nilai normal, dan peningkatan level alkaline
phosphatase (ALP) lebih dari dua kali dari batas atas nilai normal, atau peningkatan
level total bilirubine (TBL) lebih dari dua kali dari batas atas nilai normal jika
berkaitan dengan peningkatan alanine aminotransferase atau alkaline
phosphatase.13
22
Definisi Drug Induced Liver Injury berdasarkan tipe kerusakan yangterjadi
pada hati4
2.2.2 Etiologi
Cedera hati dapat menyertai inhalasi, ingesti atau pemberian secara parenteral dari
sejumlah obat farmakologis dan bahan kimia. Terdapat kurang lebih 900 jenis obat,
toksin dan herbal yang telah dilaporkan dapat mengakibatkan kerusakan pada sel-
sel hati.2 Beberapa diantaranya seperti pada tabel 1 dibawah ini merupakan
penyebab paling sering dari Drug Induced Liver Injury.
23
Penelitian yang dilakukan oleh Kazuto Tajiri and Yukihiro Shimizu di Jepang
mengungkapkan bahwa penyebab dari Drug Induced Liver Injury diantaranya
adalah asetaminofen (16,9%), anti-HIV seperti Stavudine, Didanosine, Nepirapine,
Zidovudine (16,8%), Troglitazone (11,7%), anti konvulsan seperti Asam Valproat
dan phenitoin (10,3%), anti kanker (12,3%) yang meliputi Flutamide (3,3%),
Cyclophosphamide (3,1%), Methotrexate (3,0%) dan Cytarabine (2,9%), Antibiotik
(8,7%) seperti Trovafloxacin (3,2%), Sulfa/trimethoprim (2,9%) dan
Clarithromycin (2,8%), Anestesi seperti Halothane (4,8%), Obat Anti-tuberculosis,
Isoniazid (3,2%), Diklofenak (3,1%) dan Oxycodone (3,1%).15
24
Tabel Perubahan terpenting dari morfologi hati yang diakibatkan oleh
beberapa obat dan kimia yang digunakan.16
2.2.3 Epidemiologi
Angka kejadian DILI (Drug Induced Liver Injury) sebagian besar tidak diketahui
dengan pasti, hal ini dikarenakan penelitian prospektif pada populasi yang
berhubungan dengan kerusakan hati yang diakibatkan oleh obat masih relatif
rendah. Angka kejadian DILI pada populasi umum diperkirakan 1−2 kasus per
100.000 orang pertahun. Pada pusat rujukan tersier kira-kira terdapat 1,2% hingga
6,6% kasus penyakit hati akut yang diakibatkan oleh DILI. Sedangkan estimasi
insiden DILI adalah 14 per 100.000 pasien per tahun pada penelitian prospektif
yang dilakukan di Prancis bagian utara, yang berarti 10 kali lebih tinggi dari rata-
rata yang dilaporkan oleh penelitian lain.5 Laporan terbaru mengindikasikan bahwa
DILI terjadi dalam 1/100 pasien yang dirawat di bagian penyakit dalam. 14 DILI
25
adalah kejadian yang jarang tetapi terkadang menjadi penyakit yang serius.
Diagnosis yang cepat dan akurat sangat penting di dalam praktek
sehari-hari.15
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya Drug Induced Liver Injury
antara lain:2
a. Ras
Beberapa obat memiliki perbedaan toksisitas terhadap ras tertentu. Misal, ras kulit
hitam akan lebih rentan terhadap toksisitas isoniazid. Laju metabolisme dikontrol
oleh enzim P-450 dan itu berbeda pada tiap individu
b. Umur
Reaksi obat jarang terjadi pada anak-anak. Resiko kerusakan hepar meningkat pada
orang dewasa oleh karena penurunan klirens, interaksi obat, penurunan aliran darah
hepar, variasi ikatan obat, dan volume hepar yang lebih rendah. Ditambah lagi,
kurangnya asupan makanan, infeksi, dan sering mondok di rumah sakit menjadi
alasan penting akan terjadinya hepatotoksisitas obat.
26
c. Jenis Kelamin
Walaupun alasannya tidak diketahui, reaksi obat pada hepar lebih banyak pada
wanita.
d. Konsumsi alkohol
Peminum alkohol akan lebih rentan pada toksisitas obat karena alkohol
menyebabkan kerusakan hepar dan perubahan sirotik yang mengubah metabolisme
obat. Alkohol menyebabkan deplesi simpanan glutation yang menyebabkannya
lebih rentan terhadap toksisitas obat.
e. Penyakit hepar
Pada umumnya, pasien dengan penyakit hati kronis tidak semuanya memiliki
peningkatan resiko kerusakan hepar. Walaupun total sitokrom P450 berkurang,
beberapa orang mungkin terpengaruh lebih dari yang lainnya. Modifikasi dosis
pada penderita penyakit hati harus berdasarkan pengetahuan mengenai enzim
spesifik yang terlibat dalam metabolisme.
Pasien dengan infeksi HIV dan Hepatitis B atau C, resiko efek hepatotoksik
meningkat jika diberikan terapi antiretroviral. Pasien dengan sirosis juga resikonya
meningkat terhadap dekompensasi pada obat.
f. Faktor genetik
Gen unik mengkode tiap protein P-450. Perbedaan genetik pada enzim P450
menyebabkan reksi abnormal terhadap obat, termasuk reaksi idiosinkratik.
Debrisoquine merupakan obat antiaritmia yang menyebabkan rendahnya
metabolisme karena ekspresi dari P-450-II-D6.
Hal ini dapat diidentifikasi dengan amplifikasi PCR dari gen mutasi.
g. Penyakit lain
Seseorang dengan AIDS, malnutrisi, dan puasa lebih rentan terhadap reaksi obat
karena rendahnya simpanan glutation.
h. Formulasi obat
27
Obat-obatan long-acting lebih menyebabkan kerusakan hepar dibandingkan dengan
obat-obatan short-acting.
a. Metabolisme Obat
Sebagian besar obat bersifat lipofilik sehingga membuat mereka mampu menembus
membran sel intestinal. Obat kemudian diubah lebih hidrofilik melalui proses-
proses biokimiawi di dalam hepatosit, menghasilkan produkproduk larut air yang
diekskresi ke dalam urin atau empedu. Biotransformasi hepatik ini melibatkan jalur
oksidatif utamanya melalui sistem enzim sitokrom P-450.19
28
Metabolisme Obat19
1. Sistem tahap I
2. Sistem tahap II
29
Reaksi konjugasi pada tahap II umumnya mengikuti aktivasi tahap I, dimana akan
mengakibatkan xenobiotik yang telah larut air dapat diekskresikan melalui urin atau
empedu. Beberapa macam reaksi konjugasi terdapat di dalam tubuh, termasuk
glukoronidasi, sulfas, dan konjugasi glutation serta asam amino. Reaksi ini
memerlukan kofaktor yang tercukupi melalui makanan.19
Banyak yang diketahui mengenai peran dari sistem enzim tahap I pada metabolism
bahan kimia seperti halnya aktivasinya oleh racun lingkungan dan komponen
makanan tertentu. Walau begitu, peran detoksifikasi tahap I pada praktek klinik
tidak terlalu diperhatikan. Kontribusi dari sistem tahap II lebih diperhatikan dalam
penelitian dan praktek klinik. Dan hanya sedikit yang diketahui saat ini mengenai
peran sistem detoksifikasi pada metabolism zat endogen.19
b. Mekanisme Hepatotoksisitas
Mekanisme jejas hati karena obat yang mempengaruhi protein transport pada
membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis hepatosit karena
asam empedu. Terjadi penumpukan asam-asam empedu di dalam hati karena
gangguan transport pada kanalikuli yang menghasilkan translokasi Fas sitoplasmik
ke membran plasma, dimana reseptor-reseptor ini mengalami pengelompokan
sendiri dan memacu kematian sel melalui apoptosis. Disamping itu, banyak reaksi
hepatoseluler melibatkan sistem sitokrom P-450 yang mengandung heme dan
menghasilkan reaksi-reaksi energi tinggi yang dapat membuat ikatan kovalen obat
dengan enzim, sehingga menghasilkan ikatan baru yang tidak punya peran.19
30
Ilustrasi yang menggambarkan mekanisme terjadinya DILI, yang meliputi
metabolisme obat, kerusakan hepatosit, aktivasi sistem imun dan
menghasilkan terjadinya kerusakan jaringan. CYP (Cytochrome P450), IFN
(Interferon), IL (Interleukin), NL (Natural Killer Cell), NKT (Natural Killer
T Cell), dan TNF (Tumor Necrosis Factor).10
Kerusakan dari sel hepar terjadi pada pola spesifik dari organella intraseluler yang
terpengaruh. Hepatosit normal terlihat di tengah-tengah gambar yang dipengaruhi
melalui 6 cara.
a. Kerusakan hepatosit
Ikatan kovalen dari obat pada enzim P-450 dianggap imunogen, mengaktifkan sel
T dan sitokin dan menstimulasi respon imun multifaset.
d. Apoptosis hepatosit
e. Gangguan mitokondria
Beberapa obat menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda pada α-oksidasi
(mempengaruhi produksi energi dengan cara menghambat sintesis dinucleotide
adenine nicotinamide dan dinucleotide adenine flavin, yang menyebabkan
menurunnya produksi ATP) dan enzim rantai respirasi.
32
Mekanisme Hepatotoksisitas21
Secara patofisiologik, obat yang dapat menimbulkan kerusakan pada hati dibedakan
atas dua golongan yaitu hepatotoksin yang predictable dan yang unpredictable.21
33
metotreksat, etanol, steroid kontrasepsi dan rifampisin. Tetrasiklin, etanol
dan metotreksat menimbulkan steatosis yaitu degenerasi lemak pada sel hati.
Parasetamol menimbul kan nekrosis, sedangkan steroid kontrasepsi dan
steroid yang mengalami alkilasi pada atom C--17 menimbulkan ikterus
akibat terhambatnya pengeluaran empedu. Rifampisin dapat pula
menimbulkan ikterus karena mempengaruhi konjugasi dan transpor bilirubin
dalam hati.21
34
−
Reaksi Hipersensitivitas
Biasanya terjadi setelah satu sampai lima minggu dimana terjadi proses sensitisasi.
Biasanya dijumpai tanda-tanda sistemik berupa demam, ruam kulit, eosinofilia dan
kelainan histologik berupa peradangan granulomatosa atau eosinofilik pada hati.
Dengan memberikan satu atau dua challenge dose, gejala-gejala di atas biasanya segera
timbul lagi.
Mempunyai masa laten yang sangat bervariasi yaitu antara satu minggu sampai lebih
dari satu tahun. Biasanya tidak disertai demam, ruam kulit, eosinofilia maupun kelainan
histopatologik yang spesifik seperti di atas. Dengan memberikan satu atau dua
challenge dose kelainan ini tidak dapat diinduksi untuk timbul lagi ; untuk ini obat perlu
diberikan lagi selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Hal ini menunjukkan
bahwa diperlukan waktu yang cukup lama agar penumpukan metabolit hepatotoksik
dari obat sampai pada taraf yang memungkinkan terjadinya kerusakan hati.
35
2.2.6 Klasifikasi Drug-Induced Liver Injury
1. Tipe Hepatoseluler/Parenkimal
2. Tipe Kolestasis
3. Tipe Campuran
Tipe campuran didefinisikan sebagai peningkatan ALT > 2 kali ULN dan 2<R<5.
Pasien dengan tipe kolestasis atau campuran lebih sering berkembang menjadi penyakit
kronik daripada tipe hepatoseluler.
36
2.2.7 Manifestasi Klinis
Gambaran klinis hepatotoksisitas karena obat sulit dibedakan secara klinis dengan
penyakit hepatitis atau kolestasis dengan etiologi lain. Riwayat pemakaian obat-obatan
atau substansi hepatotoksik lain harus dapat diungkap. Onset umumnya cepat, gejala
berupa malaise dan ikterus, serta dapat terjadi gagal hati akut berat terutama bila pasien
masih meminum obat tesebut setelah awitan hepatotoksisitas. Apabila jejas hepatosit
lebih dominan maka konsentrasi aminotransferase dapat meningkat hingga paling tidak
lima kali batas atas normal, sedangkan kenaikan konsentrasi alkali fosfatase dan
bilirubin menonjol pada kolestasis. Mayoritas reaksi obat idiosikratik melibatkan
kerusakan hepatosit seluruh lobus hepatik dengan derajat nekrosis dan apoptosis
bervariasi. Pada kasus ini gejala hepatitis biasanya muncul dalam beberapa hari atau
minggu sejak mulai minum obat dan mungkin terus berkembang bahkan sesudah obat
penyebab dihentikan pemakaiannya.19
37
2.2.8 Diagnosis 24
38
Elemen yang diperlukan untuk pelaporan kasus DILI17
Mengidentifikasi reaksi obat dengan pasti adalah hal yang sulit tetapi kemungkinan
sekecil apapun adanya reaksi terhadap obat harus dipertimbangkan pada setiap pasien
dengan disfungsi hati. Riwayat pemakaian obat harus diungkap dengan seksama
termasuk di dalamnya obat herbal atau obat alternatif lainnya. Obat harus selalu
39
menjadi diagnosis banding pada setiap abnormalitas tes fungsi hati dan/atau histologi.
Keterlambatan penghentian obat yang menjadi penyebab berhubungan dengan resiko
tinggi kerusakan hati persisten. Bukti bahwa pasien tidak sakit sebelum minum obat,
menjadi sakit selama minum obat dan membaik secara nyata setelah penghentian obat
merupakan hal esensial dalam diagnosis hepatotoksisitas karena obat.24
40
2.2.9 Penatalaksanaan
Selain itu, NAC meningkatkan konsentrasi oksida nitrat lokal dan meningkatkan aliran
darah mikrosirkulasi, meningkatkan pengiriman oksigen lokal ke jaringan perifer. Efek
mikrovaskular dari terapi NAC berbuhungan dengan penurunan morbiditas dan
mortalitas.NAC sebagai hepatoprotektif maksimal bila diberikan dalam 8 jam setelah
konsumsi asetaminofen. NAC harus diberikan, terlepas dari waktu sejak overdosis.
Terapi dengan NAC telah terbukti menurunkan tingkat kematian pada pasien yang
datang dengan gagal hati fulminan.26
41
Algoritme penatalaksanaan DILI15
42
varian gen NRAMP1 dengan kerentanan terhadap tuberkulosis, sedangkan resiko
hepatotoksisitas karena obat anti tuberkulosis berkaitan juga dengan tidak adanya
HLA-DQA1*0102 dan adanya HLA-DQB1*0201 disamping usia lanjut, albumin
serum < 3,5 gram/dl dan tingkat penyakit yang moderat atau tingkat lanjut berat.
Dengan demikian resiko hepatotoksisitas pada pasien dengan obat anti tuberkulosis
dipengaruhi faktor-faktor klinis dan genetik. Pada pasien TB dengan hepatitis C atau
HIV mempunyai resiko hepatotoksisitas terhadap obat anti tuberkulosis lima dan empat
kali lipat. Sementara pasien tuberkulosis dengan karier HbsAg-positif dan
HbeAgnegatif yang inaktif dapat diberikan obat standar jangka pendek INH,
rifampisin, etambutol dan/atau pirazinamid dengan syarat pengawasan tes fungsi hati
paling tidak dilakukan setiap bulan. Sekitar 10% pasien tuberkulosis yang
mendapatkan isoniazid mengalami kenaikan konsentrasi aminotransferase serum
dalam minggu-minggu pertama terapi yang nampaknya menunjukkan respons adaptif
terhadap metabolit toksik obat. Isoniazid dilanjutkan atau tidak tetap akan terjadi
penurunan konsentrasi aminotransferase sampai batas normal dalam beberapa minggu.
Hanya sekitar 1% yang berkembang menjadi seperti hepatitis viral; 50% kasus terjadi
pada 2 bulan pertama dan sisanya baru muncul beberapa bulan kemudian.19,24
Jejas hati yang timbul selama kemoterapi kanker tidak selalu disebabkan oleh
kemoterapi itu sendiri. Klinisi harus memperhatikan faktorfaktor lain seperti reaksi
obat terhadap antibiotik, analgesik, antiemetik, atau obat lainnya. Problem-problem
medis yang sudah ada sebelumnya, tumor, imunosupresi, virus hepatitis dan infeksi
lain, serta defisiensi nutrisi atau nutrisi parenteral total, semuanya mungkin
mempengaruhi kerentanan hospes terhadap terjadinya jejas hati. Sebagian besar reaksi
hepatotoksisitas obat bersifat idiosinkratik, melalui mekanisme imunologik atau variasi
pada respons metabolik pejamu. Siklofosfamid, suatu alkylating agent, diubah oleh
sistem sitokrom P-450 di hati menjadi 4-hydroxycyclophosphamide. Meskipun
mengalami metabolism di hati, siklofosfamid dapat diberikan pada keadaan enzim hati
dan/atau bilirubin yang meningkat. Melfalan dengan cepat dihidrolisis dalam plasma
43
dan sekitar 15% diekskresi tanpa perubahan dalam urin. Pada dosis yang dianjurkan
tidak bersifat hepatotoksisitas, hanya menimbulkan abnormalitas tes fungsi hati
sementara pada dosis tinggi pada transplantasi sumsum tulang otology. Klorambusil
berhubungan dengan kerusakan hati. Busulfan, kelas alkilsulfonat, cepat hilang dari
darah dan diekskresikan lewat urin. Metabolisme lewat hati tidak begitu penting
sehingga pada dosis standar tidak menimbulkan hepatotoksisitas. Cytosine
Arabinoside (Ara-C) efek hepatotoksisitasnya belum jelas. 5-FU tidak menimbulkan
kerusakan hati bila diberikan secara per oral dan jarang dilaporkan menimbulkan
hepatotoksisitas pada pemberian intravena. Akan tetapi berbeda bila diberikan secara
intraarterial dengan pompa infuse untuk terapi metastasis hepar karena kanker
kolorektal dimana terjadi hepatotoksisitas berupa jejas hepatoseluler dengan
peningkatan aminotransferase, alkali fosfatase, dan bilirubin serum, atau terjadinya
striktur duktus biliaris intrahepatik atau ekstrahepatik dengan peningkatan bilirubin dan
alkali fosfatase. 6-mercaptopurine (6-MP) bersifat hepatotoksik terutama bila dosis
melebihi dosis yang biasa digunakan (dosis dewasa 2 mg/kg) dan dapat berupa
hepatoseluler atau kolestatik. Perbedaan rute obat oral atau parenteral tidak mengubah
sifat hepatotoksisitasnya. Azatioprin (AZ) memiliki sifat hepatotoksisitas meskipun
jarang terjadi. Hepatotoksisitas berupa peningkatan konsentrasi bilirubin serum dan
alkali fosfatase dengan peningkatan sedang konsentrasi aminotransferase dan secara
histologik berupa kolestasis dengan nekrosis parenkim hati yang bervariasi.
6thioguanine dikenal menyebabkan penyakit oklusi vena. Metotreksat (MTX) pada
dosis standar diekskresi tanpa perubahan melalui urin. Pada dosis tinggi sebagian
dimetabolisir oleh hati menjadi 7-hydroxymethotrexate. Pada terapi rumatan leukemia
akut anak-anak, metotreksat dapat menimbulkan fibrosis dan sirosis hati. Pada
pemakaian dosis tinggi, MTX meningkatkan aminotransferase dan lactate
dehydrogenase (LDH). Pasien arthritis rematoid atau psoriasis dengan MTX dosis
kumulatif kurang dari 2 gram mempunyai insidens hepatotoksisitas yang rendah
meskipun durasi terapinya lama, 24-48 bulan. Dengan demikian pemakaian MTX dosis
rendah jangka panjang dapat menimbulkan fibrosis/sirosis, sementara dosis tinggi
menyebabkan perubahan tes fungsi hati. Gemcitabine sering menyebabkan kenaikan
44
transaminase sementara tetapi tidak bermakna. Mitoksantron mempunyai insidens
toksisitas serius lebih rendah dibandingkan obat-obat kanker antrasiklin yang lain, dan
hanya menimbulkan kenaikan konsentrasi AST dan ALT sementara saja. Insidensi
disfungsi hati karena pemakaian bleomycin sangat rendah. Hepatotoksisitas mitomysin
belum jelas, tetapi ditemukan dalam konsentrasi tinggi dalam empedu. Paclitaxel dan
docetaxel sebagian besar diekskresi melalui hati dan perlu hati-hati pada pasien dengan
gangguan fungsi hati. Etoposide tidak menimbulkan hepatotoksisitas pada dosis
standar meskipun diekskresikan terutama dalam empedu. Cisplatin jarang
menyebabkan hepatotoksisitas pada dosis standar tetapi kadang-kadang dijumpai
kenaikan AST. Pada dosis tinggi cisplatin menimbulkan kenaikan AST dan ALT.
Procarbazine dikenal dapat menyebabkan hepatitis granulomatosa. Hydroxyurea dapat
menimbulkan toksisitas hati dan pernah dilaporkan sebagai penyebab peliosis
hepatis.19,24
Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) merupakan salah satu obat yang sering
diresepkan meskipun penggunaannya tidak selalu tepat sasaran. Resiko epidemiologik
hepatotoksisitas golongan obat ini rendah (1-8 kasus per 100.000 pasien pengguna
OAINS). Hepatotoksisitas karena OAINS dapat terjadi kapan saja setelah obat
diminum, tetapi efek samping berat sangat sering terjadi dalam 6-12 minggu dari awal
pengobatan. Ada dua pola klinis utama hepatotoksisitas karena OAINS. Pertama,
adalah hepatitis akut dengan ikterus, demam, mual, transaminase naik sangat tinggi,
dan kadang-kadang dijumpai eosinofilia. Pola yang lain adalah dengan gambaran
serologik (Anti Nuclear Factor – positif) dan histologik (inflamasi periportal dengan
infiltrasi plasma dan limfosit serta fibrosis yang meluas ke dalam lobul hepatik) dari
hepatitis kronik aktif. Tes fungsi hati dapat kembali normal dalam 4-8 minggu sejak
penghentian obat penyebab. Dua mekanisme utama bertanggungjawab atas jejas hati
oleh OAINS, yaitu hipersensitivitas dan aberasi metabolik. Meskipun masih perlu
diteliti lebih lanjut, faktor-faktor resiko hepatotoksisitas idiosinkratik karena OAINS
meliputi perempuan, umur >50 tahun, dan penyakit autoimun yang mendasari. Faktor
45
resiko lain adalah paparan obat lain yang juga bersifat hepatotoksik pada saat
bersamaan. Reaksi hipersensitivitas sering mengalami titer anti-nuclear factor atau
antibodi anti smooth-muscle yang bermakna, limfadenopati, dan eosinofilia. Aberasi
metabolik dapat terjadi karena polimorfisisme genetic yang dapat mengubah
kerentanan terhadap bermacam-macam obat. Pasien yang mengalami hepatotoksisitas
karena OAINS harus dianjurkan untuk tidak minum OAINS lagi selamanya.
Parasetamol merupakan obat pilihan untuk analgesic sedangkan aspirin dapat
digunakan sebagai pengganti OAINS, karena toksisitas OAINS berhubungan dengan
struktur molekul cincin diphenylamine yang tidak dimiliki aspirin.19,24
2.2.11 Prognosis
46
1. Kehilangan nafsu makan
2. Mual dan muntah
3. Nyeri abdomen dan nyeri tekan
4. Menguning dari kulit dan mata (jaundice)
5. Demam
6. Pembengkakan abdomen akibat penumpukan cairan (asites)
7. Fatigue
2.3.3 Patofisiologi
Hepatitis alkoholik terjadi ketika hati dirusak oleh alkohol yang diminum.
Etanol-zat turunan dari alkohol dalam bir, anggur dan minuman keras menghasilkan
bahan kimia yang sangat beracun, seperti asetaldehida. Zat ini memicu peradangan
kimia yang menghancurkan sel-sel hati. Kemudian, jaringan-jaringan seperti bekas
luka, dan knot kecil jaringan menggantikan jaringan hati yang sehat, mengganggu
kemampuan hati untuk berfungsi. Jaringan parut ini bersifat ireversibel, yang disebut
sirosis, merupakan tahap akhir dari penyakit hati alkoholik 29
Risiko meningkat seiring dengan waktu, jumlah yang dikonsumsi
Penggunaan alkohol yang berat dapat menyebabkan penyakit hati, dan risiko
meningkat dengan lamanya waktu dan jumlah alkohol yang di minum. Tapi karena
banyak orang yang minum minuman keras atau minuman pesta tidak pernah
mengalami hepatitis alkoholik atau sirosis, kemungkinan bahwa faktor lain selain
alkohol berperan. Hal ini termasuk :
1. Faktor genetik. Setelah mutasi pada gen tertentu yang mempengaruhi
metabolisme alkohol dapat meningkatkan resiko penyakit hati alkoholik serta
alkohol terkait kanker dan komplikasi lain dari minum berat.
2. Jenis hepatitis lainnya. Jangka panjang penyalahgunaan alkohol memperburuk
kerusakan hati yang disebabkan oleh jenis lain dari hepatitis, khususnya
hepatitis C.
3. Malnutrisi. Banyak orang yang minum sangat kekurangan gizi, baik karena
47
mereka sering menggantikan alkohol untuk makanan, atau karena alkohol dan
produk sampingan yang beracun mencegah tubuh menyerap nutrisi, khususnya
protein, vitamin tertentu dan lemak. Dalam kedua kasus, kurangnya nutrisi
kontribusi terhadap kerusakan sel hati 29
48
2. Jenis kelamin. Wanita memiliki risiko lebih tinggi terkena hepatitis alkoholik
daripada pria. Perbedaan ini mungkin hasil dari perbedaan dalam cara alkohol
diserap dan dipecah.
3. Faktor genetik. Para peneliti telah menemukan sejumlah mutasi genetik yang
mempengaruhi cara alkohol dimetabolisme di dalam tubuh. Memiliki satu atau
lebih dari mutasi ini dapat meningkatkan resiko hepatitis alkoholik 2
2.3.5 Diagnosis
1. Riwayat dan pemeriksaan fisik2
Pasien-pasien dengan hepatitis alkoholik simptomatik yang secara klinis biasanya
datang dengan gejala nausea, malaise, dan demam ringan. Presentasi klinis dapat
dipicu oleh komplikasi gangguan fungsi hati atau hipertensi portal, seperti
pendarahan saluran cerna bagian atas dari varises esofagus, kebingungan dan
kelesuan dari ensefalopati hepatik, atau peningkatan lingkar perut dari asites.
2. Tes darah. Ini memeriksa tingkat tinggi tertentu enzim terkait hati, seperti
aspartat aminotransferase (AST) dan alanine aminotransferase (ALT).
3. USG
4. Biopsi hati30
49
Biopsi Hepar31
2.3.6 Tatalaksana
2. Terapi Asites
Dapat dikendalikan dengan terapi konservatif yang terdiri atas :
Istirahat
Diet rendah garam : untuk asites ringan dicoba dulu dengan istirahat dan diet rendah
garam dan penderita dapat berobat jalan dan apabila gagal maka penderita harus
dirawat.
50
Diuretik : Pemberian diuretik hanya bagi penderita yang telah menjalani diet rendah
garam dan pembatasan cairan namun penurunan berat badannya kurang dari 1 kg
setelah 4 hari. Mengingat salah satu komplikasi akibat pemberian diuretik adalah
hipokalem dan hal ini dapat mencetuskan hepatic, maka pilihan utamadiuretic adalah
spironolacton, dan dimulai dengan dosis rendah, serta dapat dinaikkan dosisnya
bertahap tiap 3-4 hari, apabila dengan dosis maksimal diuresisnya belum tercapai
maka dapat kita kombinasikan dengan furosemid
Albumin: Albumin juga seringkali dipakai untuk meningkatkan respons terhadap
diuretik pada pasien sirosis dengan komplikasi asites. Latar belakang teorinya adalah
kekurangan albumin untuk mengikat furosemid sehingga obat hanya beredar di
plasma dan tidak berhasil mencapai nefron proksimal. Akibatnya terapi diuretika
tidak akan memberikan respons yang baik. Ketika ditambahkan albumin volume
distribusi akan menurun, obat akan diikat dan dibawa ke ginjal untuk kemudian keluar
bersama urine sehingga diuresis pun membaik.
51
protein tinggi seperti telur, daging, ikan, tempe dan tahu, ayam, sayur-sayuran serta
buah-buahan.
encepalophaty Dalam hal ini pilih buah yang tentu saja yang tidak
menimbulkan gas. makanan cepat saji atau fast food ( junk food) merupakan makanan
yang sangat buruk untuk liver kita. orang yang sedang melakukan diet hepatitis harus
menjauhi makanan-makanan tersebut. Tubuh kita tidak mendapatkan apapun dari
makanan tersebut, hanya rasa kenyang saja. makanan tersebut sangat menggangu
terhadap diet hepatitis. makanan cepat saji tersebut penuh dengan kolesterol tinggi,
gula, kalori yang sangat sedikit, dan bahan kimiawi yang bersifat liver toksik.
A. Terapi Farmakologis
Vasopresin
Vasopresin menurunkan aliran darah portal, aliran darah kolateral sistemik portal, dan
tekanan varises. Obat ini memiliki efek samping sistemik bermakna seperti
peningkatan resistensi perifer dan penurunan curah jantung,denyut jantung, dan aliran
darah koroner.
52
Glipresin dengan atau tanpa nitrogliserin
Glipresin adalah analog sintetik vasopresin yang memiliki efek vasokonstriksi
sistemik segera dan diikuti efek hemodinamik portal akibat konversi lambat menjadi
vasopresin.
B. Terapi Endoskopik
Skleroterapi
Skleroterapi varises endoskopik didasarkan pada konsep bahwa perdarahan
dari varises dapat dihentikan oleh pembentukan trombus dalam varises yang berdara,
sekunder akibat pemberian obat sklerosan yang diinjeksikan intravariseal atau
paravariseal. Pada uji klinik skleroterapi untuk perdarahan akut, terdapat banyak
variasi dalam hal jenis sklerosan yang dipakai, pengalaman operator, cara pemberian
intravariseal atau paravariseal, dan jadwal follow up. Lebih lanjut interpretasi hasil
dari uji klinik skleroterapi injeksi dengan terapi non-invasif dipersulit dengan
dimasukkannya pasien yang tidak mengalami perdarahan aktif pada saat randomisasi.
53
Ligasi varises
Teknik ini merupakan modifikasi dari yang digunakan untuk ligasi hemoroid
interna. Penggunaannya pada manusia pertama kali diperkenalkan pada tahun 1988
dan uji acak berikutnya yang membandingkan ligasi dengan skleroterapi
memperlihatkan penurunan bermakana dalam hal angka komplikasi dan perbaikan
kelangsungan hidup. Uji klinik lainnya membuktikan bahwa ligasi varises dapat
mengatasi perdarahan varises akut dan tidak ada perbedaaan bermakna dalam hal
mengendalikan perdarahan aktif antara ligasi dan skleroterapi.
C. Tamponade Balon
Bentuk terapi ini sangat efektif dalam mengatasi perdarahan akut sampai 90%
pasien meskipun sekitar 50 % nya mengalami perdarahan ulang ketika balon
dikempiskan. Namun, cara ini dapat menimbulkan komplikasi yang berat seperti
ulseras esofagus dan pneumonia aspirasi pada 15-20% pasien. Meskipun begitu, cara
ini mungkin dapat menjadi terapi penyelamat pada perdarahan varises masif yang tak
terkendali. Sebelum dapat diberikan terapi lainnya.
5. Ensefalopati Hepatik
Penentuan diet pada penderita sirosis hati sering menimbulkan dilema. Di satu
sisi, diet tinggi protein untuk memperbaiki status nutrisi akan menyebabkan
hiperamonia yang berakibat terjadinya ensefalopati. Sedangkan bila asupan protein
rendah maka kadar albumin dalam darah akan menurun sehingga terjadi malnutrisi
54
yang akan memperburuk keadaan hati. Untuk itu, diperlukan suatu solusi dengan
nutrisi khusus hati, yaitu Aminoleban Oral.
Aminoleban Oral mengandung AARC kadar tinggi serta diperkaya dengan
asam amino penting lain seperti arginin, histidin, vitamin, dan mineral. Nutrisi khusus
hati ini akan menjaga kecukupan kebutuhan protein dan mempertahankan kadar
albumin darah tanpa meningkatkan risiko terjadinya hiperamonia. Pada penderita
sirosis hati yang dirawat di rumah sakit, pemberian nutrisi khusus ini terbukti
mempercepat masa perawatan dan mengurangi frekuensi perawatan. 30
7.Transplantasi hati
Ketika fungsi hati sangat terganggu, transplantasi hati mungkin satu-satunya
pilihan bagi sebagian orang. Meskipun transplantasi hati sering berhasil, jumlah orang
yang menunggu transplantasi jauh melebihi jumlah organ yang tersedia. Untuk alasan
itu, transplantasi hati pada orang dengan penyakit hati alkoholik adalah kontroversial.
Beberapa pusat kesehatan mungkin enggan untuk melakukan transplantasi hati pada
orang dengan penyakit hati alkoholik karena mereka percaya sejumlah besar akan
kembali ke minum setelah operasi.27
55
2.3.8 Komplikasi
Komplikasi hepatitis alkoholik meliputi:
1. Peningkatan tekanan darah dalam vena portal
Darah dari limpa usus dan pankreas memasuki hepar melalui pembuluh darah
besar yang disebut vena portal. Jika jaringan parut memperlambat sirkulasi normal
melalui hati, darah ini tersumbat, yang menyebabkan peningkatan tekanan dalam
pembuluh darah (hipertensi portal)29
2. Pembesaran pembuluh darah (Varises)
Ketika sirkulasi melalui vena portal diblokir, darah dapat kembali ke pembuluh
darah lainnya di perut dan kerongkongan. Pembuluh darah ini berdinding tipis, dan
karena pembuluh ini penuh dengan darah lebih dari yang dapat dibawa, maka sewaktu-
waktu dapat pecah dan mengalami pendarahan. Perdarahan masif di perut bagian atas
atau kerongkongan dari pembuluh darah adalah keadaan darurat yang mengancam
nyawa yang membutuhkan perawatan medis segera .27
3. Retensi cairan
Ketika alkoholik hepatitis menjadi parah, tanda-tanda dikirim ke ginjal-ginjal
untuk menahan garam dan air didalam tubuh. Kelebihan garam dan air pertama-tama
berakumulasi dalam jaringan dibawah kulit pergelangan-pergelangan kaki dan kaki-
kaki karena efek gaya berat ketika berdiri atau duduk. Akumulasi cairan ini disebut
edema atau pitting edema. Pembengkakkan seringkali memburuk pada akhir hari
setelah berdiri atau duduk dan mungkin berkurang dalam semalam sebagai suatu akibat
dari kehilangan efek-efek gaya berat ketika berbaring.
Ketika lebih banyak garam dan air yang tertahan, cairan juga mungkin
berakumulasi dalam rongga perut antara dinding perut dan organ-organ perut.
Akumulasi cairan ini (disebut ascites) menyebabkan pembengkakkan perut,
ketidaknyamanan perut, dan berat badan yang meningkat. Hepatitis alkoholik dapat
menyebabkan sejumlah besar cairan menumpuk di rongga perut (asites). Cairan perut
dapat menjadi terinfeksi dan memerlukan pengobatan dengan antibiotik. Meskipun
tidak mengancam jiwa, asites biasanya merupakan tanda hepatitis alkoholik lanjut atau
56
sirosis.29
4. Memar dan pendarahan
Hepatitis alkoholik mengganggu produksi protein yang membantu darah untuk
membeku. Akibatnya, pasien mungkin memar dan berdarah lebih mudah dari biasanya.
5. Ikterus
Ini terjadi ketika hati tubuh pasien tidak dapat menghapus bilirubin ( residu tua
sel darah merah ) dari dalam darah. Akhirnya, bilirubin menumpuk membangun dan
disimpan di kulit dan bagian putih mata, menyebabkan warna kuning.
6. Ensefalopati Hepatika
Beberapa protein-protein dalam makanan yang terlepas dari pencernaan dan
penyerapan digunakan oleh bakteri-bakteri yang secara normal hadir dalam usus.
Ketika menggunakan protein untuk tujuan-tujuan mereka sendiri, bakteri-bakteri
membuat unsur-unsur yang mereka lepaskan kedalam usus. Unsur-unsur ini kemudian
dapat diserap kedalam tubuh. Beberapa dari unsur-unsur ini, contohnya, ammonia,
dapat mempunyai efek-efek beracun pada otak. Biasanya, unsur-unsur beracun ini
diangkut dari usus didalam vena portal ke hati dimana mereka dikeluarkan dari darah
dan di-detoksifikasi.
Ketika sirosis hadir, sel-sel hati tidak dapat berfungsi secara normal karena
mereka rusak atau karena mereka telah kehilangan hubungan normalnya dengan darah.
Sebagai tambahan, beberapa dari darah dalam vena portal membypass hati melalui
vena-vena lain. Akibat dari kelainan-kelainan ini adalah bahwa unsur-unsur beracun
tidak dapat dikeluarkan oleh sel-sel hati, dan, sebagai gantinya, unsur-unsur beracun
berakumulasi dalam darah.
Ketika unsur-unsur beracun berakumulasi secara cukup dalam darah, fungsi
dari otak terganggu, suatu kondisi yang disebut hepatic encephalopathy. Tidur waktu
siang hari daripada pada malam hari (kebalikkan dari pola tidur yang normal) adalah
diantara gejala-gejala paling dini dari hepatic encephalopathy. Gejala-gejala lain
termasuk sifat lekas marah, ketidakmampuan untuk konsentrasi atau melakukan
perhitungan-perhitungan, kehilangan memori, kebingungan, atau tingkat-tingkat
57
kesadaran yang tertekan. Akhirnya, hepatic encephalopathy yang parah/berat
menyebabkan koma dan kematian.
Unsur-unsur beracun juga membuat otak-otak dari pasien-pasien dengan sirosis
sangat peka pada obat-obat yang disaring dan di-detoksifikasi secara normal oleh hati.
Dosis-dosis dari banyak obat-obat yang secara normal di-detoksifikasi oleh hati harus
dikurangi untuk mencegah suatu penambahan racun pada sirosis, terutama obat-obat
penenang (sedatives) dan obat-obat yang digunakan untuk memajukan tidur. 29
7. Sirosis Hepar
Seiring waktu, peradangan hati yang terjadi pada hepatitis alkoholik dapat
menyebabkan jaringan parut ireversibel dari hati (sirosis). Sirosis sering menyebabkan
kegagalan hati, yang terjadi ketika hati rusak tidak lagi mampu berfungsi secara
memadai .30
2.9 Prognosis
Prognosis jangka panjang dari individu dengan hepatitis alkoholik sangat tergantung
pada apakah pasien telah terdiagnosis sirosis dan apakah pasien terus minum. Dengan
berhenti meminum alkohol, pasien dengan penyakit ini menunjukkan peningkatan
58
progresif dalam fungsi hati selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun, dan
gambaran histologis dari hepatitis alkoholik aktif sembuh. Jika penyalahgunaan
alkohol terus berlanjut, hepatitis alkoholik selalu berlanjut dan berlanjut menjadi sirosis
selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Dalam satu studi, perkiraan
kelangsungan hidup 5 tahun setelah dirawat di rumah sakit untuk hepatitis alkoholik
yang parah adalah 31,8%. Steatohepatitis hati terkait alkohol yang membutuhkan rawat
inap adalah subtipe paling berbahaya dari penyakit hati terkait alkohol.28
59
BAB III
KESIMPULAN
(NAFLD) merupakan kondisi akumulasi lemak pada hati tanpa adanya konsumsi
alkohol yang berlebih (kurang dari 20 gram per minggu). Spektrum kelainan hati yang
termasuk dalam NAFLD antara lain steatosis sederhana (perlemakan tanpa inflamasi),
lalu steatosis yang disertai inflamasi (non-alcoholic steatohepatitis – NASH) dan dapat
berkembang menjadi fibrosis, fibrosis tingkat lanjut dan pada akhirnya sirosis.
penyebab lain dari penyakit hati telah disingkirkan. Obesitas, DM tipe 2, jenis kelamin
NAFLD.
fisik dan pemeriksaan penunjang, berupa laboratorium, radiologi dan biopsi hati.
Biopsi hati merupakan pemeriksaan baku emas namun jarang dilakukan karena
60
dilaporkan dapat mengakibatkan kerusakan pada sel-sel hati. Kerusakan hati akibat
obat (Drugs Induced Liver Injury) adalah alasan paling banyak dimana suatu obat dapat
ditarik dari peredarannya ataupun dibatasi di dalam penggunaannya.
Manifestasi dari kerusakan hati yang diinduksi oleh obat sangat bervariasi, mulai
dari peningkatan enzim-enzim hati yang tanpa gejala (asimptomatik) .
Mengidentifikasi reaksi obat dengan pasti adalah hal yang sulit tetapi kemungkinan
sekecil apapun adanya reaksi terhadap obat harus dipertimbangkan pada setiap pasien
dengan disfungsi hati. Riwayat pemakaian obat harus diungkap dengan seksama
termasuk di dalamnya obat herbal atau obat alternatif lainnya. Obat harus selalu
menjadi diagnosis banding pada setiap abnormalitas tes fungsi hati.
Terapi efek hepatotoksik obat terdiri dari penghentian segera obat-obatan yang
dicurigai. Jika dijumpai reaksi alergi berat dapat diberikan kortikosteroid, meskipun
belum ada bukti penelitian klinis dengan control.
Hepatitis alkoholik adalah peradangan hati yang disebabkan oleh minuman
beralkohol, Etanol-zat turunan dari alkohol dalam bir, anggur dan minuman keras
menghasilkan bahan kimia yang sangat beracun, seperti asetaldehida. Zat ini memicu
peradangan kimia yang menghancurkan sel-sel hati. Kemudian, jaringan-jaringan
seperti bekas luka, dan knot kecil jaringan menggantikan jaringan hati yang sehat,
mengganggu kemampuan hati untuk berfungsi. Jaringan parut ini bersifat ireversibel,
yang disebut sirosis, merupakan tahap akhir dari penyakit hati alkoholik.Terapi
pertama yang paling penting adalah pasien harus berhenti minum alkohol dan terapi
obat-obatan untuk mengendalikan peradangan hati.
61
DAFTAR PUSTAKA
1. Hasan, Irsan. 2009. Perlemakan Hati Non Alkoholik, Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta Pusat. Interna Publishing.
2. Mehta N. Drug-Induced Hepatotoxicity. 2019
http://www.emedicine.medscape.com/article/169814-overview.
3. Won Kim, Dong Jon K. Severe Alcoholic Hepatitis-Current Concepts, Diagnosis
and Treatment Options.2017.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4209414/
4. Sherlock S, Dooley J. Diseases of The Liver and Biliary System, Chapter 25:
Nutritional and Metabolic Liver Disease. 11th Edition, page 423-429. United
Kingdom: Blackwell Science, Blackwell Publishing, 2002.
5. Chalasani, N., Younossi, Z., Lavine, J.E., et.al. The Diagnosis and Management
of Non-Alcoholic Fatty Liver Disease: Practice Guideline by The American
Association for Study of Liver Diseases, American College of Gastroenterology,
and The American Gastroenterological Association. J Hepatology AASLD 2012.
6. Gani RA. Manifestasi klinis dan penatalaksanaan non-alcoholic fatty liver disease
(NAFLD). In: Lesmana LA, Gani RA, Hasan I, Wijaya IP, Mansjoer A, editors.
Abstrack Liver Up To Date 2002. Perkembangan terkini diagnosis dan
penatalaksanaan penyakit hati dan saluran empedu. Jakarta: PIP Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2002. P28-30.
7. Hasan I, Gani RA, Machmud R et al. Prevalence and risk factors for non-alcoholic
fatty liver in Indonesia. J Gastroenterol Hepatol. 2002; 17 (Suppl): A154.
8. Al-Tubaikh, J.A. Internal Medicine: An Illustrated Radiological Guide. Berlin;
Springer-Verlag, 2010.
9. Tommolino E, et al. Fatty Liver. 2019. Dikutip dari
https://emedicine.medscape.com/
10. Adiwinata R. Tatalaksana Terkini Perlemakan Hati Non Alkoholik. Jurnal
Penyakit Dalam Indonesia. 2015.
62
11. Roy K et al. The role of silymarin in the management of non-alcoholic fatty liver
disease: Time to clear the mist. 2019. doi: 10.31989/bchd.v2i5.622
12. Sumidha Yoshio. Current and future pharmacological therapies for
NAFLD/NASH. 2017. doi: 10.1007/s00535-017-1415-1
13. Dhingra MS. Drug Induced Liver Injury. 2006.
14. Chau TN. Drug Induced Liver Injury: An Update. The Hongkong Medical Diary
2008; 13(3): 23−26
15. Tajiri K and Shimizu Y. Practical Guidelines for Diagnosis and Early
Management of Drug-Induced Liver Injury. World J Gastroenterol 2008; 14(44):
6774–6785
16. Dienstag JL and Isselbacher KJ. Toxic and Drug Induced Hepatitis. In Harrison’s:
Principles of Internal Medicine 16th Edition. Editors: Kasper DL, Fauci AS,
Longo DL, et al. 2005;1838−1844
17. Fontana RJ, Seeff LB, Andrade RJ, Msson EB, Day CP, Serrano C, et al. Meeting
report: Standardization of Nomenclature and Causality Assessment in Drug-
Induced Liver Injury: Summary of a Clinical Research Workshop. Hepatology
2010; 52:730−742
18. Kaplowitz N. Drug Induced Liver Injury. Clinical Infectious Diseases 2004;
38(2): 44–8
19. Benvie. Hepatoksisitas Obat. 2009.
20. Holt MP and Ju C. Mechanisms of Drug-Induced Liver Injury. The AAPS Journal
2006; 8(1): 48−54
21. Lee WM. Drug Induced Hepatotoxicity. N Engl J Med 2003; 349:474−485
22. Adams DH, Ju C, Ramaiah SK, Uetrecht J, and Jaeschke H. Mechanisms of
Immune-Mediated Liver Injury. Toxicological Sciences 2010; 115(2): 307–321.
23. Bénichou C. Criteria of Drug-Induced Liver Disorders. Report of An International
Consensus Meeting. J Hepatol. 1990;11:272–276.
24. Bayupurnama P. Hepatoksisitas Imbas Obat. Dalam Buku ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi VI. Editor Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk. 2014.
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta.
25. Yue Cheng Yu et al. CSH guidelines for the diagnosis and treatment of drug-
induced liver injury.2017.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5419998/
26. Farell E.S. Acetaminophen Toxicity.2018.
https://emedicine.medscape.com/article/820200-overview
27. O'Shea RS, et al. Alcoholic liver disease. American Journal of Gastroenterology.
2010;105:14.
63
28. Heuman D et al. Alcoholic Hepatitis. 2019.
https://emedicine.medscape.com/article/170539
29. Carithers RL, et al. Alcoholic liver disease. In: Feldman M, et al. Sleisinger and
Fordtran's Gastrointestinal and Liver Disease. 9th ed. Philadelphia, Pa.: Saunders;
2010.
30. Setyohadi,Bambang, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Pusat
penerbitan Ilmu Penyakit dalam FKUI Jakarta.2006
31. Maryani, Sutadi. Sirosis Hepatic.Bagian ilmu penyakit dalam USU.Medan.2000
32. Catherine F. Alcoholic Liver Diasease.2018.
http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/hepatolo
gy/alcoholic-liver-disease/.
33. Krenitsky.2002. Nutrition for patient with hepatic failure.http://www.mja.com
64