Anda di halaman 1dari 64

BAB I

PENDAHULUAN

Perlemakan hati non alkoholik merupakan kondisi yang semakin disadari


dapat berkembang menjadi penyakit hati lanjut. Spektrum penyakit perlemakan hati
ini mulai dari perlemakan hati sederhana (simple steatosis) sampai pada
steatohepatitis non alkoholik (non alcoholic steatohepatitis = NASH), fibrosis, dan
sirosis hati. Setelah mendapat berbagai nama, seperti penyakit Laennec non
alkoholik, hepatitis metabolic, dan hepatitis diabetes, akhirnya steatohepatitis non
alkoholik seperti yang diperkenalkan Ludwig tahun 1980 menjadi nama yang
dipergunakan secara luas.1

Prevalensi perlemakan hati non alkoholik berkisar antara 15-20% pada


populasi dewasa di Amerika Serikat, Jepang, dan Italia. Diperkirakan 20-30% di
antaranya berada dalam fase yang lebih berat (steatohepatitis non alkoholik).
Sebuah penelitian terhadap populasi dengan obesitas di Negara maju mendapatkan
60% perlemakan hati sederhana, 20-25% steatohepatitis non alkoholik, dan 2-3%
sirosis. Dalam laporan yang sama disebutkan pula bahwa 70% pasien diabetes
mellitus tipe 2 mengalami perlemakan hati, sedangkan pada pasien dislipidemia
angkanya sekitar 60%.1
Obat merupakan salah satu penyebab penting dari kerusakan hati. Lebih
dari 900 jenis obat, toksin dan herbal telah dilaporkan dapat mengakibatkan
kerusakan pada sel-sel hati, dan 20−40% dari semua kejadian gagal hati fulminan
diakibatkan oleh obat. Kerusakan hati akibat obat (Drugs Induced Liver Injury)
adalah alasan paling banyak dimana suatu obat dapat ditarik dari peredarannya
ataupun dibatasi penggunaannya. Manifestasi dari kerusakan hati yang diinduksi
oleh obat sangat bervariasi, mulai dari peningkatan enzimenzim hati yang tanpa
gejala (asimptomatik) sampai terjadinya gagal hati fulminan.2

Hepatotoksisitas yang diinduksi oleh obat adalah penyebab paling sering dari
gagal hati akut di AS.Karena hati bertanggung jawab untuk memusatkan dan
memetabolisme sebagian besar obat-obatan, hati adalah target utama untuk
kerusakan yang disebabkan oleh obat. Di antara obat hepatotoksik, asetaminofen
(parasetamol) adalah yang paling sering dipelajari. Namun, berbagai agen
farmakologis yang berbeda dapat menyebabkan kerusakan hati, termasuk anestesi,
obat antikanker, antibiotik, agen antituberkulosis, antiretroviral, dan obat jantung.
Selain itu, sejumlah besar terapi medis tradisional dan obat herbal mungkin juga
hepatotoksik.
Alcoholic liver disease(ALD) adalah salah satu penyebab utama tahap akhir
penyakit hati di seluruh dunia. Alcoholic liver disease(ALD) memiliki spektrum
penyakit yang luas, meliputi steatosis sederhana, steatohepatitis, dan sirosis. Secara
khusus, kematian jangka pendek pada pasien dengan Steatohepatitis alkoholik berat
sangat tinggi hingga 40% -50%.3
Beberapa sistem penilaian prognostik, sampai saat ini, telah dikembangkan
dan divalidasi untuk digunakan pada pasien dengan hepatitis alkoholik . Sindrom
klinis penyakit kuning dan kelainan fungsi hati pada pengguna alkohol umumnya
disebut hepatitis alkoholik. Namun, terlepas dari onset tiba-tiba pada presentasi
klinis, istilah ini tampaknya berubah bahwa Hepatitis Alkoholik biasanya terkait
dengan fibrosis luas atau sirosis dan sering mengikuti perjalanan alami yang
panjang .3
Steatohepatitis alkoholik berat adalah entitas penyakit patologis,
didefinisikan sebagai koeksistensi steatosis, pembesara hepatoseluler, infiltrasi
neutrofilik, dan fibrosis perisinusoidal . Steatohepatitis alkoholik berat tidak secara
eksklusif disertai oleh Hepatitis Alkoholik tetapi dapat menjadi bagian pada setiap
tahapan yang berbeda dari Alcoholic Liver Disease yang terdiri dari steatosis,
steatohepatitis, fibrosis, dan sirosis . Namun, tidak banyak yang diketahui pasien
Steatohepatitis akut mana yang akan berkembang menjadi Hepatitis Alkoholik yang
terbukti secara klinis. Selain itu, insiden dan prevalensi Steatohepatitis alkoholik
berat atau Hepatitis alkoholik yang sebenarnya di antara pengguna alkohol masih
belum jelas karena ketidakpastian di balik diagnosis klinis Hepatitis Alkoholik dan
terbatasnya jumlah penelitian dengan biopsi hati untuk memastikan diagnosis
histologis Steatohepatitis Alkoholik.3

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Non Alcoholic Fatty Liver Diasease

2.1.1 Definisi Non Alcoholic Fatty Liver Diasease

Sampai saat ini masih terdapat beberapa ketidaksepahaman dalam

terminologi penyakit perlemakan hati, misalnya mengenai pemilihan istilah

perlemakan hati non alkoholik (non alcoholic fatty liver) atau penyakit

perlemakan hati non alkoholik (non alcoholic fatty liver diasease). Pada

umumnya disepakati bahwa steatohepatitis non alkoholik (non alcoholic

steatohepatitis = NASH) merupakan perlemakan hati pada tingkat yang

lebih berat.1

Dikatakan sebagai perlemakan hati apabila kandungan lemak di dalam

hati (sebagian besar terdiri dari trigliserida) melebihi 5% dari seluruh berat

hati. Karena pengukuran berat hati sangat sulit dan tidak praktis, diagnosis

dibuat berdasarkan analisis spesimen biopsi jaringan hati, yaitu

ditemukannya minimal 5-10% sel lemak dari seluruh hepatosit. Kriteria lain

yang juga sangat penting adalah pengertian non alkoholik. Batas untuk

menyatakan seseorang minum alkohol yang tidak bermakna sempat menjadi

perdebatan, tetapi lebih banyak ahli yang menyepakati bahwa konsumsi

alcohol sampai 20 gram per hari masih bisa dikatakan sebagai non

alkoholik.1,4

Menurut pedoman AASLD tahun 2012 definisi NAFLD adalah

memerlukan persyaratan sebagai berikut: (a) ada bukti steatosis dengan

pencitraan atau histologi hati dan (b) tidak ada penyebab sekunder

3
akumulasi lemak pada hati seperti konsumsi alkohol yang bermakna,

penggunaan obat yang steatogenik atau penyakit heriditer. Telah diketahui

banyak kondisi atau penyakit lain yang menyebabkan steatosis tanpa atau

dengan hepatitis (steatohepatitis), selain akibat alkohol dan non-alkoholik.

Dikenal 4 golongan penyebab penyakit tersebut, yaitu: nutrisi, obat-obatan,

kelainan metabolik atau genetik, dan penyebab lain.5

NAFL dan istilah terkait5

Istilah Definisi

Non Alcoholic Fatty Liver Mencakup seluruh penyakit perlemakan hati pada
Disease (NAFLD) individu tanpa konsumsi alkohol yang signifikan,
mencakup perlemakan hati sampai steatohepatitis
dan sirosis.

Non Alcoholic Fatty Liver Terdapat steatosis hati tanpa adanya bukti cedera
(NAFL) hepatoseluler dalam bentuk pembengkakan
hepatosit dan tanpa adanya bukti fibrosis. Resiko
sirosis dan kegagalan hati minimal.

Non Alcoholic Terdapat steatosis hati dengan bukti adanya cedera


Steatohepatitis (NASH) (pembengkakan) hepatoseluler, dengan atau tanpa
fibrosis. Dapat berkembang menjadi sirosis,
kegagalan hati, dan jarang menjadi kanker hati.

NASH Sirosis Sirosis dengan bukti histologis, baik saat ini


maupun sebelumnya, pernah mengalami steatosis
atau steatohepatitis

Sirosis Kriptogenik Sirosis tanpa penyebab yang jelas. Pasien dengan


sirosis kriptogenik memiliki banyak faktor resiko,
seperti obesitas dan sindrom metabolik.

4
2.1.2 Etiologi Steatosis Hepatic 5

Macrovesicular steatosis
Konsumsi alkohol berlebihan
- Hepatitis C (genotype 3)
- Penyakit Wilson
- Lipodystrophy
- Kelaparan
- Abetalipoproteinemia
- Obat-obatan (ex. Amiodarone, methotrexate, tamoxifen, corticosteroids)
Microvesicular steatosis
- Sindrom Reye
- Obat-obatan (valproate, pengobatan antivirus)
- Perlemakan hati akibat kehamilan
- Sindrom HELLP
- Kelainan metabolism bawaan (ex. Defisiensi LCAT, penyakit
penyimpanan kolesterol, penyakit Wolman)

2.1.3 Epidemiologi

Prevalensi perlemakan hati non alkoholik berkisar antara 15-20%

pada populasi dewasa di Amerika Serikat, Jepang, dan Italia. Diperkirakan

20-30% di antaranya berada dalam fase yang lebih berat (steatohepatitis non

alkoholik). Sebuah penelitian terhadap populasi dengan obesitas di Negara

maju mendapatkan 60% perlemakan hati sederhana, 20-25% steatohepatitis

non alkoholik, dan 2-3% sirosis. Dalam laporan yang sama disebutkan pula

bahwa 70% pasien diabetes mellitus tipe 2 mengalami perlemakan hati,

sedangkan pada pasien dislipidemia angkanya sekitar 60%.1

Di Indonesia penelitian mengenai perlemakan hati non alkoholik

masih belum banyak. Lesmana melaporkan 17 pasien steatohepatitis non

5
alkoholik, rata-rata berumur 42 tahun dengan 29% gambaran histologi hati

menunjukkan steatohepatitis disertai fibrosis. Sebuah studi populasi dengan

sampel cukup besar oleh Hasan dkk mendapatkan prevalensi perlemakan

hati non alkoholik sebesar 30,6%. Faktor risiko penting yang dilaporkan

adalah obesitas, diabetes mellitus, dan hipertrigliserida.6,7

2.1.4 Faktor Resiko

Terdapat beberapa faktor risiko yang dianggap berperan dalam

patogenesis NAFLD. Faktor risiko yang telah diketahui adalah obesitas,

hiperglikemia dan hipertrigliseridemia merupakan faktor risiko yang

berhubungan dengan NAFLD pada penderita dewasa dan anak. Walaupun

sebagian besar kasus terjadi pada penderita yang berusia 50-60 tahun,

namun saat ini ditemukan kecendrungan peningkatan kasus pada anak.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh El-Karaksy HM dkk di Mesir

pada tahun 2011 didapatkan bahwa data antropometri seperti IMT,

ketebalan lipatan kulit subskapula, perbandingan lingkaran perut dengan

paha, gambaran ekogenisitas hati melalui pemeriksaan USG dan pemerik-

saan laboratorium seperti resistensi insulin dan dislipidemia merupakan

prediktor NASH. Penyebab NAFLD diantaranya:5

1. Primer, yaitu sindrom metabolik

2. Sekunder, yaitu:

a. Nutrisional, seperti total parenteral nutrition, kehilangan berat

badan yang cepat, kelaparan, pembedahan bypass pada saluran

cerna.

6
b. Obat-obatan, seperti glukokorti-koid, estrogen, tamoxifen,

meto-treksat, zidovudin, amiodaron, tetrasiklin intravena,

didadosin, kokain, perhexilen, hiper-vitaminosis A, diltiazem.

c. Toksin, seperti toksin jamur (Amanita phalloides, lepiota),

bahan petrokimia, fosfor, toksin Bacillus cereus.

d. Metabolik, seperti lipodistrofi, disbetalipoproteinemia,

penyakit Weber-Christian, penyakit Wolman dan sindrom

Reye.

e. Lain-lain, seperti inflammatory bowel disease, HIV,

diverticulosis usus dengan pertumbuhan bakteri.

Faktor Resiko Yang Berhubungan dengan NAFLD5

Faktor Resiko Faktor Resiko, dalam Penelitian*


- Obesitas - Sindrom polikistik ovarium
- Diabetes Mellitus Tipe 2 - Hipotiroidisme
- Dislipidemia - Hipopituitari
- Sindrom Metabolik** - Hipogonadism
- Pengangkatan pancreas-
duodenum
*Beberapa penelitian menunjukkan bahwa diabetes mellitus tipe 1 meningkatkan
kejadian steatosis hepatic berdasarkan gambaran hati, tetapi memiliki bukti
histologis yang terbatas
**Definisi sindrom metabolik menurut The Adult Treatment Panel III
membutuhkan setidaknya tiga atau lebih gambaran berikut: (a) lingkar pinggang >
102 cm untuk pria dan > 88 cm untuk wanita, (b) kadar trigliserida 150 mg/dL atau
lebih, (c) kadar High Density Lipoprotein (HDL) < 40 mg/dL pada pria dan < 50
mg/dL pada wanita, (d) tekanan darah sistolik 130 mmHg atau lebih, atau tekanan
darah diastolic 85 mmHg atau lebih, dan (e) kadar gula darah puasa 110 mg/dL atau
lebih
7
2.1.5 Patogenesis

Pengetahuan mengenai pathogenesis steatohepatitis non alkoholik

masih belum memuaskan. Dua kondisi yang sering berhubungan dengan

steatohepatitis non alkoholik adalah obesitas dan diabetes mellitus, serta dua

abnormalitas metabolik yang sangat kuat kaitannya dengan penyakit ini

adalah peningkatan suplai asam lemak ke hati serta resistensi insulin.

Hipotesis yang sampai saat ini banyak diterima adalah the two hit theory

yang diajukan oleh Day dan James.1

Hit pertama terjadi akibat penumpukan lemak di hepatosit yang dapat

terjadi karena berbagai keadaan, seperti dislipidemia, diabetes mellitus, dan

obesitas. Seperti diketahui bahwa dalam keadaan normal, asam lemak bebas

dihantarkan memasuki organ hati lewat sirkulasi darah arteri dan portal. Di

dalam hati, asam lemak bebas akan mengalami metabolism lebih lanjut,

seperti proses re-esterifikasi menjadi trigliserida atau digunakan untuk

pembentukan lemak lainnya. Adanya peningkatan massa jaringan lemak

tubuh, khususnya pada obesitas sentral, akan meningkatkan penglepasan

asam lemak bebas yang kemudian menumpuk di dalam hepatosit.1

8
Gambar 1. Konsep Patogenesis Steatohepatitis Non Alkoholik.1

Bertambahnya asam lemak bebas di dalam hati akan menimbulkan

peningkatan oksidasi dan esterifikasi lemak. Proses ini terfokus di

mitokondria sel hati sehingga pada akhirnya akan mengakibatkan kerusakan

mitokondria itu sendiri. Inilah yang disebut hit kedua. Peningkatan stress

oksidatif sendiri dapat juga terjadi karena resistensi insulin, peningkatan

konsentrasi endotoksin di hati, peningkatan aktivitas un-coupling protein

mitokondria, peningkatan aktivitas sitokrom P-450 2E1, peningkatan

cadangan besi, dan menurunnya aktivitas anti oksidan. Ketika stress

okdidatif yang terjadi di hati melebihi kemampuan perlawanan anti oksidan,

maka aktifasi sel stelata dan sitokin pro inflamasi akan berlanjut dengan

inflamasi progresif, pembengkakan hepatosit dan kematian sel,

pembentukan badan Mallory, serta fibrosis. Meskipun teori two-hit sangat

popular dan dapat diterima, agaknya penyempurnaan akan terus dilakukan

9
karena makin banyak yang berpendapat bahwa yang sesungguhnya terjadi

adalah lebih dari dua hit.1

Gambar 2. Teori two-hit pada Steatohepatitis Non Alkoholik.4

2.1.6 Manifestasi Klinis

Sebagian besar pasien dengan perlemakan hati non alkoholik tidak

menunjukkan gejala maupun tanda-tanda adanya penyakit hati. Beberapa

pasien melaporkan adanya rasa lemah, malaise, keluhan tidak enak dan

seperti mengganjal di perut kanan atas. Pada kebanyakan pasien,

hepatomegali merupakan satu-satunya kelainan fisik yang didapatkan.

Umumnya pasien dengan perlemakan hati non alkoholik ditemukan secara

kebetulan pada saat akan dilakukan pemeriksaan lain, misalnya dalam

medical check up. Sebagian lagi datang dengan komplikasi sirosis seperti

asites, perdarahan varises, atau bahkan sudah berkembang menjadi

hepatoma.1

10
2.1.7 Diagnosis

Diagnosis NAFL ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan

anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pencitraan hati

dan biosi hati. Pada pasien NAFL umumnya asimtomatik, namun lebih dari

setengah pasien dengan perlemakan hati atau NASH mengeluh keletihan,

malaise, atau ketidaknyamanan abdominal bagian atas. Pada pasien dengan

sirosis karena NASH yang progresif dapat berkembang menjadi asites,

edema, dan jaundice. Tidak lupa juga harus ditanyakan faktor risiko NAFL

seperti diabetes melitus, dislipidemia, penyakit hepatitis B dan C.1

Biopsi hati merupakan gold standard pemeriksaan penunjang untuk

menegakkan diagnosis dan sejauh ini masih menjadi satu-satunya metode

untuk membedakan steatosis non alkoholik dengan perlemakan tanpa atau

disertai inflamasi. Masih menjadi perdebatan apakah biopsi hati perlu

dilakukan sebagai pemeriksaan rutin dalam proses penegakan diagnosis

perlemakan hati non alkoholik. Sebagian ahli mendukung dilakukannya

biopsy karena pemeriksaan histopatologi mampu menyingkirkan etiologi

penyakit hati lain, membedakan steatosis dari steatohepatitis,

memperkirakan prognosis, dan menilai progresi fibrosis dari waktu ke

waktu. Alasan dari kelompok yang menentang biopsy hati antara lain

prognosis yang umumnya belum baik, belum tersedianya terapi yang benar-

benar efektif, dan resiko serta biaya dari tindakan biopsy itu sendiri. Oleh

karenanya, pemeriksaan radiologis dan kimia darah terus menerus diteliti

dan dioptimalkan sebagai metode pemeriksaan alternatif yang bersifat non

invatif.1

11
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium

Perlu diketahui bahwa pemeriksaan laboratorium tidak dapat secara

akurat membedakan steatosis dengan steatohepatitis, dan NAFLD dengan

dengan perlemakan hati alkoholik. Peningkatan kadar aspartate

aminotransferase (AST), alanine aminotransferase (ALT), ataupun

keduanya biasa terdapat pada penderita NAFLD, dengan peningkatan

kurang 4 kali batas normal. Derajat peningkatan kadar aminotransferase

tidak dapat digunakan sebagai faktor prediksi. Meskipun dalam beberapa

kasus kadar ALT lebih tinggi daripada kadar AST, kadar AST mungkin

dapat lebih tinggi daripada kadar ALT terutama bila ada sirosis.1

The Dallas Heart Study dan Dyonisos Nutrition and Liver Study

melaporkan 30 dan 25 % dari orang dewasa di Amerika dan Italia mengidap

NAFLD. Dalam studi Bellentani ini, 79 dan 55% pasien dengan NAFLD

mempunyai kadar aminotransferase yang normal. Hal ini menunjukkan

bahwa enzim hati bukan penanda yang baik untuk diagnosis NAFLD.

Pemeriksaan laboratorium lengkap pada penderita NAFLD adalah meliputi

aspartate aminotransferase (AST), alanine aminotransferase (ALT), gamma

glutamyl transpeptidase (GGT), albumin, bilirubin, international

normalized ratio (INR), dan platelet. Pemeriksaan albumin, bilirubin, dan

INR dapat menunjukkan kadar abnormal pada penderita NAFLD yang berat

– berhubungan dengan sirosis hepatis, tetapi tidak dapat diandalkan untuk

membedakan tahap awal penyakit. Akan tetapi semua pemeriksaan tersebut

mempunyai keterbatasan yang sama.1

b. Pencitraan
12
Metode pencitraan yang umum digunakan untuk mendeteksi NAFLD

adalah ultrasonografi (USG), computerized tomography (CT) dan magnetic

resonance imaging (MRI). Untuk diagnosis NAFLD, pemeriksaan USG hati

adalah pilihan pencitraan yang umum dan paling banyak digunakan dalam

praktek klinik dan penelitian di masyarakat. Hal ini dikarenakan mudah

dikerjakan, biaya relatif murah, tidak invasive, banyak tersedia dan

mempunyai nilai akurasi yang baik. Untuk mendeteksi steatosis,

pemeriksaan USG mempunyai sensitivitas sebesar 89% dan spesifisitas

93%.7 Pada pemeriksaan USG, perlemakan hati memberikan gambaran

peningkatan ekogenik difus yang disebut ‘bright liver’ dengan atenuasi

posterior dibandingkan dengan ekhogenitas ginjal. Pada umumnya

perlemakan hati bersifat difus, tetapi pada beberapa kasus dapat bersifat

setempat (localized) yang mengenai sebagian parenkhim hati. Berdasarkan

penilaian gambaran ekogenitas hati dan pembuluh darah intrahepatik, secara

USG perlemakan hati dapat dibedakan dalam 3 derajat, yakni derajat ringan,

derajat sedang dan derajat berat.8

13
Gambar 3. Ultrasonografi sagital menunjukkan intensitas ekhogenitas di
kedua parenkim hati (L) dan korteks renal (K). Gambar (a) tidak adanya
steatosis, (b) derajat ringan (c) derajat berat (d) derajat berat.8

Derajat Keparahan NAFL pada USG8

No. Derajat Gambaran


1 Ringan (Mild) Peningkatan ekogenitas difus parenkim hati
dibandingkan korteks renal, tetapi pembuluh darah
intrahepatik masih tervisualisasi dengan normal
2 Sedang (Moderate) Peningkatan ekogenitas difus moderate parenkim hati
dengan visualisasi pembuluh darah intrahepatik sedikit
kabur
3 Berat (Severe) Peningkatan ekogenitas hati nyata dengan sulitnya
visualisasi dari dinding vena porta dan diafragma.
Bagian hati yang lebih dalam juga mungkin sulit
divisualisasikan

Pada pemeriksaan CT-scan non-kontras, perlemakan hati tampak

hipodens dan tampak lebih gelap daripada limpa. Pembuluh darah hepatik

terlihat yang relatif cerah, dan dapat terjadi kesalahan diagnosis apabila

14
pemeriksaan CT-scan dengan injeksi kontras. Ketiga teknik pencitraan di

atas (USG, CT-scan dan MRI) terbukti memiliki sensivitas yang baik untuk

mendeteksi perlemakan hati lebih dari 30%.7 Akan tetapi tidak ada metode

pencitraan ini yang dapat membedakan antara steatosis sederhana dan NASH

atau menunjukkan tahap fibrosis.8

Gambar 4. Gambaran steatosis


hepatic diffuse pada axial
precontrast (a) dan postcontrast
(b) CT Scan abdominal.
Perhatikan densitas hepar
dibandingkan dengan limpa pada
gambaran precontrast dan
postcontrast.8

c. Biopsi Hati

Hasil histopatologi dari biopsi hati merupakan gold standard untuk

diagnosis NAFLD. Biopsi hati adalah satu-satunya metoda diagnosis

NAFLD yang dapat membedakan berbagai derajat NAFLD dari steatosis

sederhana, steatohepatitis, dengan dan tanpa fibrosis dan sirosis. Hasil

biopsi hati tidak dapat digunakan untuk membedakan antara NAFLD

dengan penyakit perlemakan hati alkoholik karena keduanya memiliki

gambaran histologi yang sama. Peranan biopsi hati pada NAFLD:4

1. Menyingkirkan penyebab penyakit hati yang lain

15
2. Membedakan steatosis dengan NASH

3. Memperkirakan prognosis berdasarkan derajat fibrosis yang

ditemukan

4. Menentukan progresivitas fibrosis dari waktu ke waktu

Gambar 5. Gambaran Histologi Non Alcoholic Steatohepatitis. Neutrofil


(panah) berdekatan dengan sel hepatosit yang membengkak yang
mengandung microvesicular fat.4

Algoritma Diagnosa NAFLD.5


16
2.1.9 Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari NAFLD cukup luas, mencakup kondisi berikut :9
 Alcoholic Hepatitis
 Alcoholism
 Alpha1-Antitrypsin Deficiency
 Autoimmune Hepatitis
 Celiac Sprue
 Cirrhosis
 Drug-Induced Hepatotoxicity
 Hemochromatosis
 Hepatitis A
 Hepatitis B
 Hepatitis C
 Hepatitis D
 Hepatitis E
 Hepatitis, Viral
 Hyperthyroidism
 Hypothyroidism
 Isoniazid Hepatotoxicity
 Malabsorption
 Primary Biliary Cholangitis
 Primary Sclerosing Cholangitis
 Protein-Losing Enteropathy
 Vitamin A Toxicity
 Wilson Disease

Steatosis dapat diamati pada histologi dalam kondisi berikut:
• Kelebihan alkohol
• Total nutrisi parenteral (TPN)
• Steatohepatitis nonalkohol (NASH) - Diagnosis NASH dapat ditegakkan
hanya jika kelebihan alkohol (> 10 g / hari) dapat dikecualikan
17
• Penyakit hati yang diinduksi oleh obat (mis. Penyakit yang disebabkan oleh
asam valproat, tetrasiklin, agen antivirus seperti zidovudine, amiodarone,
perhexiline maleate, metotreksat, kortikosteroid, atau estrogen)
•Penyakit hati metabolik dan kesalahan metabolisme bawaan lainnya
• Reye syndrome

2.1.10 Penatalaksanaan

a. Pengaturan Diet dan Olahraga

Intervensi terhadap gaya hidup dengan tujuan mengurangi berat badan

merupakan terapi lini pertama bagi steatohepatitis non alkoholis. Target

penurunan berat badan adalah untuk mengoreksi resitensi insulin dan

obesitas sentral. Penurunan berat badan secara bertahap terbukti dapat

memperbaiki konsentrasi AST dan ALT serta gambaran histopatologi

hati pada pasien dengan steatohepatitis non alkoholik. Perlu

diperhatikan bahwa penurunan berat badan yang bolak- balik naik turun

(sindrom yo-yo) justru memicu progresi penyakit hati. Hal ini terjadi

akibat meningkatnya aliran asam lemak bebas ke hati sehingga

peroksidasi lemak pun meningkat. Sebaliknya penurunan berat badan

yang bertahap ternyata tidak mudah dilakukan dan seringkali sulit

dipertahankan. Latihan jasmani dan pengaturan diet menjadi inti terapi

dalam usaha mengurangi berat badan. Aktivitas fisik hendaknya berupa

latihan bersifat aerobik paling sedikit 30 menit sehari. Esensi

pengaturan diet tidak bebeda dengan diet pada diabetes: mengurangi

asupan lemak total menjadi <30% dari total asupan energi, mengurangi

asupan lemak jenuh, mengganti dengan karbohidrat kompleks yang

mengandung setidaknya 15gr serat kaya akan buah dan sayuran.1

18
b. Terapi Farmakologis

Vitamin E

Vitamin E dikenal sebagai antioksidan lipofilik dan memberikan efek

dengan mereduksi peroksidase lemak, menangkal radikal bebas dan

mestabilisasi membrane fosfolipid sel. Vitamin E juga menghambat

ekspresi hepatic transforming growth factor dan melindungi fibrosis hati.

Menurut rekomendasi 2012, vitamin E sebesar 800UI/hari

direkomendasikan untuk pasien dewasa non diabetes dengan NASH. Akan

tetapi tidak direkomendasikan pada pasien NASH dengan diabetes,NAFLD

tampa biopsy hati,sirosis NASH atau sirosis kriptogenik. Efek positif

pemberian vitamin E diduga akan menghilang saat penghentian terapi, oleh

karena itu mungkin diperlukan terapi jangka panjang. Akan

tetapi,penggunaan jangka panjang diasosiasikan dengan peningkatan

mortalitas oleh berbagai sebab.10

Silymarin atau MilkThistle11

Silymarin Milk thistle diekstrak dari buah dan biji silybum marinum, yang

termasuk keluarga Asteraceae / Compositae . Merupakan kompleks

flavonoidterdiri dari keluarga flavonoligna (silybin, isosilybin, silychristin,

isosilychristin, dansilydianin) dan flavonoid (taxifolin), dimana 50-70%

adalah silybin, aktif secara komponen biologis. Komponen aktif ini adalah

ekstrak lipofilik yang terdiri dari empat isomerflavonolignans (silibinin,

isosilibin, silidianin dan silichristine), yang secara umum dikenal sebagai

silymarin.

19
Sementara data mengenai pengaruh silymarin pada pasien NAFLD terbatas,

silymarin memberikan sifat antioksidan, anti-inflamasi dan anti-fibrotik .

Meski secara biologis mekanisme aksi tidak sepenuhnya dipahami ,hal ini

memodulasi produksi sitokin. Silymarin, juga telah terbukti meningkatkan

serum glutathione dan kadar glutation peroksidase dan juga memengaruhi

sistem enzim yang terkaitglutathione dan superoksida dismutase .Oleh

karena itu, ia meningkatkan profil oksidatif dengan cara menghambat

produksi sitokin pro-inflamasi. Silybin bertindak sebagai chelator ringan

dari besi yang membantu menghambat pembentukan leukotrien oleh sel

Kupffer dan mencegah penipisan glutathione dari hepatosit .Silymarin

memiliki sifat menstabilkan membran yang menstabilkan membran

hepatositstruktur, dengan demikian, mencegah racun memasuki hepatosit

melalui entero-hepatikresirkulasi. Ini juga mendorong regenerasi hati

dengan menstimulasi nukleol polimerase A dan meningkatkan sintesis

protein ribosom. Silymarin menghambat peroksidasi lipid dengan

menangkap radikal bebas dan bertindak sebagai agen antifibrotik yang

menginduksi apoptosis sel-sel stelata hati atau menginduksi degradasi

deposit kolagen.

Pada suatu penelitian silimarin diberikan 280 mg/hari selama 24 minggu,

menurunkan level transaminase pada pasien dengan NAFLD. Sementara

pada pasien dengan sirosis dan diabetes diobati dengan silymarin untuk

jangka waktu 12 bulan dengan dosis 600mg / hari, mengurangi resistensi

insulin dan secara signifikan mengurangi kadar insulin puasa, menunjukkan

peningkatan aktivitas insulin endogen dan eksogen

20
Andiabetik dan Sensulin Sensitizer

- Metformin

- Tiazolidindion

Hepatoprotektor( UDCA/Ursodeoxyholic Acid)

Tabel Tatalaksana NAFLD/NASH12

2.1.11 Komplikasi

Pada pasien dengan perlemakan hati non alkoholik, steatohepatitis

dapat berkembang menjadi sirosis dengan komplikasi. Diabetes yang tidak

terkontrol dan hipertrigliseridemia juga memperburuk fibrosis dan memiliki

risiko terjadinya karsinoma hepatoseluler. Tahapan akhir dari NASH

seringkali tidak dikenali dan menyebabkan sirosis kriptogenik. Fibrosis

21
yang progresif seringkali tertutupi oleh steatosis yang stabil atau bahkan

membaik. Sirosis tersebut meningkatkan risiko terjadinya karsinoma

hepatoseluler.1

2.1.12 Prognosis

Steatosis dapat reversible dengan penurunan berat badan, pembatasan

konsumsi alkohol atau keduanya. Steatohepatitis dapat progresif menjadi

fibrosis hati dan sirosis. Pasien dengan perlemakan hati memiliki risiko

tinggi untuk berkembang menjadi sirosis dan meningkatkan mortalitas

seiring dengan tingkat keparahan seatosis pada biopsi. Fibrosis dan sirosis

ditemukan pada 15-50% pasien dengan NASH.1

2.2 Drug Induced Liver Injury

2.2.1 Definisi Drug Induced Liver Injury

Kerusakan hati akibat obat (Drug Induced Liver Injury) adalah kerusakan
hati yang berkaitan dengan gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh karena
terpajan obat atau agen non-infeksius lainnya. FDA-CDER (2001) mendefinisikan
kerusakan hati sebagai peningkatan level alanine aminotransferase (ALT/SGPT)
lebih dari tiga kali dari batas atas nilai normal, dan peningkatan level alkaline
phosphatase (ALP) lebih dari dua kali dari batas atas nilai normal, atau peningkatan
level total bilirubine (TBL) lebih dari dua kali dari batas atas nilai normal jika
berkaitan dengan peningkatan alanine aminotransferase atau alkaline
phosphatase.13

22
Definisi Drug Induced Liver Injury berdasarkan tipe kerusakan yangterjadi
pada hati4

2.2.2 Etiologi

Cedera hati dapat menyertai inhalasi, ingesti atau pemberian secara parenteral dari
sejumlah obat farmakologis dan bahan kimia. Terdapat kurang lebih 900 jenis obat,
toksin dan herbal yang telah dilaporkan dapat mengakibatkan kerusakan pada sel-
sel hati.2 Beberapa diantaranya seperti pada tabel 1 dibawah ini merupakan
penyebab paling sering dari Drug Induced Liver Injury.

Tabel Obat-obat yang telah dilaporkan dapat menyebabkan Drug-Induced


Liver Injury14

23
Penelitian yang dilakukan oleh Kazuto Tajiri and Yukihiro Shimizu di Jepang
mengungkapkan bahwa penyebab dari Drug Induced Liver Injury diantaranya
adalah asetaminofen (16,9%), anti-HIV seperti Stavudine, Didanosine, Nepirapine,
Zidovudine (16,8%), Troglitazone (11,7%), anti konvulsan seperti Asam Valproat
dan phenitoin (10,3%), anti kanker (12,3%) yang meliputi Flutamide (3,3%),
Cyclophosphamide (3,1%), Methotrexate (3,0%) dan Cytarabine (2,9%), Antibiotik
(8,7%) seperti Trovafloxacin (3,2%), Sulfa/trimethoprim (2,9%) dan
Clarithromycin (2,8%), Anestesi seperti Halothane (4,8%), Obat Anti-tuberculosis,
Isoniazid (3,2%), Diklofenak (3,1%) dan Oxycodone (3,1%).15

24
Tabel Perubahan terpenting dari morfologi hati yang diakibatkan oleh
beberapa obat dan kimia yang digunakan.16

2.2.3 Epidemiologi

Angka kejadian DILI (Drug Induced Liver Injury) sebagian besar tidak diketahui
dengan pasti, hal ini dikarenakan penelitian prospektif pada populasi yang
berhubungan dengan kerusakan hati yang diakibatkan oleh obat masih relatif
rendah. Angka kejadian DILI pada populasi umum diperkirakan 1−2 kasus per
100.000 orang pertahun. Pada pusat rujukan tersier kira-kira terdapat 1,2% hingga
6,6% kasus penyakit hati akut yang diakibatkan oleh DILI. Sedangkan estimasi
insiden DILI adalah 14 per 100.000 pasien per tahun pada penelitian prospektif
yang dilakukan di Prancis bagian utara, yang berarti 10 kali lebih tinggi dari rata-
rata yang dilaporkan oleh penelitian lain.5 Laporan terbaru mengindikasikan bahwa
DILI terjadi dalam 1/100 pasien yang dirawat di bagian penyakit dalam. 14 DILI
25
adalah kejadian yang jarang tetapi terkadang menjadi penyakit yang serius.
Diagnosis yang cepat dan akurat sangat penting di dalam praktek

sehari-hari.15

Di negara-negara barat, penyebab mayoritas DILI adalah obat antibiotik,


antikonvulsan dan agen psikotropika.Laporan lain menyebutkan bahwa
Asetaminofen merupakan penyebab utama DILI di negara-negara barat.7 Di
Amerika Serikat, amoksisilin/klavulanat, INH, nitrofurantoin dan florokuinolons
adalah penyebab DILI yang terbanyak. Perbedaan diantara penelitian di AS dan
Eropa dikarenakan terdapat perbedaan di dalam penggunaan obat-obat yang
diterima di masing-masing negara dan kebiasaan di dalam meresepkan obat. Di
negara Asia, herbal dan suplemen diet adalah penyebab paling sering dari DILI.
Herbal dan suplement diet baru-baru ini menyebabkan kurang dari 10% kasus DILI
di negara-negara barat.17

2.2.4 Faktor Resiko

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya Drug Induced Liver Injury
antara lain:2

a. Ras

Beberapa obat memiliki perbedaan toksisitas terhadap ras tertentu. Misal, ras kulit
hitam akan lebih rentan terhadap toksisitas isoniazid. Laju metabolisme dikontrol
oleh enzim P-450 dan itu berbeda pada tiap individu

b. Umur

Reaksi obat jarang terjadi pada anak-anak. Resiko kerusakan hepar meningkat pada
orang dewasa oleh karena penurunan klirens, interaksi obat, penurunan aliran darah
hepar, variasi ikatan obat, dan volume hepar yang lebih rendah. Ditambah lagi,
kurangnya asupan makanan, infeksi, dan sering mondok di rumah sakit menjadi
alasan penting akan terjadinya hepatotoksisitas obat.
26
c. Jenis Kelamin

Walaupun alasannya tidak diketahui, reaksi obat pada hepar lebih banyak pada
wanita.

d. Konsumsi alkohol

Peminum alkohol akan lebih rentan pada toksisitas obat karena alkohol
menyebabkan kerusakan hepar dan perubahan sirotik yang mengubah metabolisme
obat. Alkohol menyebabkan deplesi simpanan glutation yang menyebabkannya
lebih rentan terhadap toksisitas obat.

e. Penyakit hepar

Pada umumnya, pasien dengan penyakit hati kronis tidak semuanya memiliki
peningkatan resiko kerusakan hepar. Walaupun total sitokrom P450 berkurang,
beberapa orang mungkin terpengaruh lebih dari yang lainnya. Modifikasi dosis
pada penderita penyakit hati harus berdasarkan pengetahuan mengenai enzim
spesifik yang terlibat dalam metabolisme.

Pasien dengan infeksi HIV dan Hepatitis B atau C, resiko efek hepatotoksik
meningkat jika diberikan terapi antiretroviral. Pasien dengan sirosis juga resikonya
meningkat terhadap dekompensasi pada obat.

f. Faktor genetik

Gen unik mengkode tiap protein P-450. Perbedaan genetik pada enzim P450
menyebabkan reksi abnormal terhadap obat, termasuk reaksi idiosinkratik.
Debrisoquine merupakan obat antiaritmia yang menyebabkan rendahnya
metabolisme karena ekspresi dari P-450-II-D6.

Hal ini dapat diidentifikasi dengan amplifikasi PCR dari gen mutasi.

g. Penyakit lain

Seseorang dengan AIDS, malnutrisi, dan puasa lebih rentan terhadap reaksi obat
karena rendahnya simpanan glutation.

h. Formulasi obat
27
Obat-obatan long-acting lebih menyebabkan kerusakan hepar dibandingkan dengan
obat-obatan short-acting.

Faktor Resiko yang Berhubungan dengan DILI18

2.2.5 Patofisiologi dan Mekanisme Drug Induced Liver Injury

a. Metabolisme Obat

Sebagian besar obat bersifat lipofilik sehingga membuat mereka mampu menembus
membran sel intestinal. Obat kemudian diubah lebih hidrofilik melalui proses-
proses biokimiawi di dalam hepatosit, menghasilkan produkproduk larut air yang
diekskresi ke dalam urin atau empedu. Biotransformasi hepatik ini melibatkan jalur
oksidatif utamanya melalui sistem enzim sitokrom P-450.19

28
Metabolisme Obat19

Sistem Enzim yang Berperan Dalam Detoksifikasi

1. Sistem tahap I

Sistem detoksifikasi tahap I, melibatkan terutama enzim supergene sitokrom P-450,


secara umum merupakan enzim pertahanan pertama melawan bahan asing.
Sebagian besar bahan kimia dimetabolisme melalui biotransformasi tahap I. Pada
reaksi umum tahap I, enzim sitokrom P-450 (CYP450) menggunakan oksigen dan
sebagai kofaktor, NADH, untuk menambah kelompok reaktif, misalnya hidroksil
radikal. Sebagai hasil dari tahap ini dalam detoksifikasi, diproduksi suatu molekul
reaktif yang lebih toksik daripada molekul awal. Apabila molekul reaktif ini tidak
berlanjut pada metabolisme selanjutnya, yaitu tahap II (konjugasi), dapat
menyebabkan kerusakan pada protein, RNA, dan DNA di dalam sel. Beberapa
penelitian menunjukkan bukti terhadap hubungan antara terjadinya induksi tahap I
dan/atau berkurangnya aktivitas tahap II dengan meningkatnya resiko penyakit,
misalnya kanker, SLE, dan penyakit Parkinson.19

2. Sistem tahap II

29
Reaksi konjugasi pada tahap II umumnya mengikuti aktivasi tahap I, dimana akan
mengakibatkan xenobiotik yang telah larut air dapat diekskresikan melalui urin atau
empedu. Beberapa macam reaksi konjugasi terdapat di dalam tubuh, termasuk
glukoronidasi, sulfas, dan konjugasi glutation serta asam amino. Reaksi ini
memerlukan kofaktor yang tercukupi melalui makanan.19

Banyak yang diketahui mengenai peran dari sistem enzim tahap I pada metabolism
bahan kimia seperti halnya aktivasinya oleh racun lingkungan dan komponen
makanan tertentu. Walau begitu, peran detoksifikasi tahap I pada praktek klinik
tidak terlalu diperhatikan. Kontribusi dari sistem tahap II lebih diperhatikan dalam
penelitian dan praktek klinik. Dan hanya sedikit yang diketahui saat ini mengenai
peran sistem detoksifikasi pada metabolism zat endogen.19

b. Mekanisme Hepatotoksisitas

Mekanisme jejas hati karena obat yang mempengaruhi protein transport pada
membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis hepatosit karena
asam empedu. Terjadi penumpukan asam-asam empedu di dalam hati karena
gangguan transport pada kanalikuli yang menghasilkan translokasi Fas sitoplasmik
ke membran plasma, dimana reseptor-reseptor ini mengalami pengelompokan
sendiri dan memacu kematian sel melalui apoptosis. Disamping itu, banyak reaksi
hepatoseluler melibatkan sistem sitokrom P-450 yang mengandung heme dan
menghasilkan reaksi-reaksi energi tinggi yang dapat membuat ikatan kovalen obat
dengan enzim, sehingga menghasilkan ikatan baru yang tidak punya peran.19

30
Ilustrasi yang menggambarkan mekanisme terjadinya DILI, yang meliputi
metabolisme obat, kerusakan hepatosit, aktivasi sistem imun dan
menghasilkan terjadinya kerusakan jaringan. CYP (Cytochrome P450), IFN
(Interferon), IL (Interleukin), NL (Natural Killer Cell), NKT (Natural Killer
T Cell), dan TNF (Tumor Necrosis Factor).10

Kompleks enzim-obat ini bermigrasi ke permukaan sel di dalam vesikel-vesikel


untuk berperan sebagai imunogen-imunogen sasaran serangan sitolitik sel T,
merangsang respons imun multifaset yang melibatkan sel-sel sitotoksik dan
berbagai sitokin. Obat-obat tertentu menghambat fungsi mitokondria dengan efek
ganda pada beta-oksidasi dan enzim-enzim rantai respirasi. Metabolit-metabolit
toksis yang dikeluarkan dalam empedu dapat merusak epitel saluran empedu.19

Kerusakan dari sel hepar terjadi pada pola spesifik dari organella intraseluler yang
terpengaruh. Hepatosit normal terlihat di tengah-tengah gambar yang dipengaruhi
melalui 6 cara.

a. Kerusakan hepatosit

Ikatan kovalen dari obat ke protein intraseluler dapat menyebabkan penurunan


ATP, menyebabkan gangguan aktin. Kegagalan perakitan benang-benang aktin di
permukaan hepatosit menyebabkan rupturnya membran hepatosit.
31
b. Gangguan protein transport

Obat yang mempengaruhi protein transport di membran kanalikuli dapat


mengganggu aliran empedu. Hilangnya proses pembentukan vili dan gangguan
pompa transport misal multidrug resistance–associated protein 3 (MRP3)
menghambat ekskresi bilirubin, menyebabkan kolestasis.

c. Aktivasi sel T sitolitik

Ikatan kovalen dari obat pada enzim P-450 dianggap imunogen, mengaktifkan sel
T dan sitokin dan menstimulasi respon imun multifaset.

d. Apoptosis hepatosit

Aktivasi jalur apoptosis oleh reseptor Fas TNF menyebabkan berkumpulnya


caspase interseluler, yang berakibat pada kematian sel terprogram (apoptosis).

e. Gangguan mitokondria

Beberapa obat menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda pada α-oksidasi
(mempengaruhi produksi energi dengan cara menghambat sintesis dinucleotide
adenine nicotinamide dan dinucleotide adenine flavin, yang menyebabkan
menurunnya produksi ATP) dan enzim rantai respirasi.

f. Kerusakan duktus biliaris

Metabolit racun yang diekskresikan di empedu dapat menyebabkan kerusakan


epitel duktus biliaris.

32
Mekanisme Hepatotoksisitas21

Secara patofisiologik, obat yang dapat menimbulkan kerusakan pada hati dibedakan
atas dua golongan yaitu hepatotoksin yang predictable dan yang unpredictable.21

1. Predictable Drug Reactions (intrinsik) : merupakan obat yang dapat


dipastikan selalu akan menimbulkan kerusakan sel hepar bila diberikan
kepada setiap penderita dengan dosis yang cukup tinggi. Dari golongan ini
ada obat yang langsung merusak sel hati, ada pula yang merusak secara tidak
langsung yaitu dengan mengacaukan metabolisme atau faal sel hati. Obat
hepatotoksik predictable yang langsung merusak sel hati umumnya tidak
digunakan lagi untuk pengobatan. Contohnya ialah karbon tetraklorid dan
kloroform. Hepatotoksin yang predictable yang merusak secara tidak
langsung masih banyak yang dipakai misalnya parasetamol, tetrasiklin,

33
metotreksat, etanol, steroid kontrasepsi dan rifampisin. Tetrasiklin, etanol
dan metotreksat menimbulkan steatosis yaitu degenerasi lemak pada sel hati.
Parasetamol menimbul kan nekrosis, sedangkan steroid kontrasepsi dan
steroid yang mengalami alkilasi pada atom C--17 menimbulkan ikterus
akibat terhambatnya pengeluaran empedu. Rifampisin dapat pula
menimbulkan ikterus karena mempengaruhi konjugasi dan transpor bilirubin
dalam hati.21

2. Unpredictable Drug Reactions/Idiosyncratic drug reactions: kerusakan


hati yang tim bul disini bukan disebabkan karena toksisitas intrinsik dari
obat, tetapi karena adanya reaksi idiosinkrasi yang hanya terjadi pada orang-
orang tertentu. Ciri dari kelainan yang bersifat idiosinkrasi ini ialah
timbulnya tidak dapat diramalkan dan biasanya hanya terjadi pada sejumlah
kecil orang yang rentan. Menurut sebab terjadinya, reaksi yang berdasarkan
idiosinkrasi ini dapat dibedakan dalam dua golongan yaitu karena reaksi.
hipersensitivitas dan karena kelainan metabolisme. 21

Tabel Reaksi Obat Idiosinkrasi dan Sel-Sel yang dipengaruhinya21

34

Reaksi Hipersensitivitas

Biasanya terjadi setelah satu sampai lima minggu dimana terjadi proses sensitisasi.
Biasanya dijumpai tanda-tanda sistemik berupa demam, ruam kulit, eosinofilia dan
kelainan histologik berupa peradangan granulomatosa atau eosinofilik pada hati.
Dengan memberikan satu atau dua challenge dose, gejala-gejala di atas biasanya segera
timbul lagi.

− Reaksi idiosinkrasi karena kelainan metabolisme (Metabolicidiosyncratic)

Mempunyai masa laten yang sangat bervariasi yaitu antara satu minggu sampai lebih
dari satu tahun. Biasanya tidak disertai demam, ruam kulit, eosinofilia maupun kelainan
histopatologik yang spesifik seperti di atas. Dengan memberikan satu atau dua
challenge dose kelainan ini tidak dapat diinduksi untuk timbul lagi ; untuk ini obat perlu
diberikan lagi selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Hal ini menunjukkan
bahwa diperlukan waktu yang cukup lama agar penumpukan metabolit hepatotoksik
dari obat sampai pada taraf yang memungkinkan terjadinya kerusakan hati.

Mekanisme terjadinya kerusakan hati yang dimediasi oleh sistem imun22

35
2.2.6 Klasifikasi Drug-Induced Liver Injury

Berdasarkan The Councils for International Organizations of Medical

Scinces (CIOMS) DILI dibagi menjadi tiga tipe, yaitu:15,23

1. Tipe Hepatoseluler/Parenkimal

Tipe hepatoseluler didefinisikan sebagai peningkatan alanine aminotranferase (ALT)


> 2 kali batas atas nilai normal (ULN=upper Limit of Normal) atau R ≥ 5, dimana R
adalah rasio aktivitas serum ALT/aktivitas alkaline phosphatase (ALP), yang keduanya
terjadi peningkatan terhadap batas atas nilai normal. Kerusakan hati lebih berat terjadi
pada tipe hepatoseluler daripada tipe kolestasis atau campuran, dan pasien dengan
peningkatan bilirubin level pada kerusakan hati hepatoseluler mengindikasikan
kerusakan hati yang serius dengan tingkat kematian yang tinggi. Tipe ini ditemukan
rata-rata 0,7 sampai 1,3 dari 100.000 individu yang menerima pemberian obat.

2. Tipe Kolestasis

Tipe kolestasis didefinisikan sebagai peningkatan atau R ≤ 2.

3. Tipe Campuran

Tipe campuran didefinisikan sebagai peningkatan ALT > 2 kali ULN dan 2<R<5.
Pasien dengan tipe kolestasis atau campuran lebih sering berkembang menjadi penyakit
kronik daripada tipe hepatoseluler.

Drug-Induced Liver Injury Network (DILIN) mengembangkan sistem penilaian untuk


menentukan derajat berat Drug-Induced Liver Injury berdasarkan gejala, ikterik,
membutuhkan perawatan rumah sakit, tanda-tanda gagal hati dan kematian atau
membutuhkan transplantasi hati.17

Derajat Berat DILI berdasarkan DILIN Prospective Study17

36
2.2.7 Manifestasi Klinis

Gambaran klinis hepatotoksisitas karena obat sulit dibedakan secara klinis dengan
penyakit hepatitis atau kolestasis dengan etiologi lain. Riwayat pemakaian obat-obatan
atau substansi hepatotoksik lain harus dapat diungkap. Onset umumnya cepat, gejala
berupa malaise dan ikterus, serta dapat terjadi gagal hati akut berat terutama bila pasien
masih meminum obat tesebut setelah awitan hepatotoksisitas. Apabila jejas hepatosit
lebih dominan maka konsentrasi aminotransferase dapat meningkat hingga paling tidak
lima kali batas atas normal, sedangkan kenaikan konsentrasi alkali fosfatase dan
bilirubin menonjol pada kolestasis. Mayoritas reaksi obat idiosikratik melibatkan
kerusakan hepatosit seluruh lobus hepatik dengan derajat nekrosis dan apoptosis
bervariasi. Pada kasus ini gejala hepatitis biasanya muncul dalam beberapa hari atau
minggu sejak mulai minum obat dan mungkin terus berkembang bahkan sesudah obat
penyebab dihentikan pemakaiannya.19

37
2.2.8 Diagnosis 24

Algoritma penegakan diagnosis DILI25

38
Elemen yang diperlukan untuk pelaporan kasus DILI17

Mengidentifikasi reaksi obat dengan pasti adalah hal yang sulit tetapi kemungkinan
sekecil apapun adanya reaksi terhadap obat harus dipertimbangkan pada setiap pasien
dengan disfungsi hati. Riwayat pemakaian obat harus diungkap dengan seksama
termasuk di dalamnya obat herbal atau obat alternatif lainnya. Obat harus selalu

39
menjadi diagnosis banding pada setiap abnormalitas tes fungsi hati dan/atau histologi.
Keterlambatan penghentian obat yang menjadi penyebab berhubungan dengan resiko
tinggi kerusakan hati persisten. Bukti bahwa pasien tidak sakit sebelum minum obat,
menjadi sakit selama minum obat dan membaik secara nyata setelah penghentian obat
merupakan hal esensial dalam diagnosis hepatotoksisitas karena obat.24

Elemen pendukung untuk menilai dan membantu di dalam melaporkan beberapa


kasus DILI17

40
2.2.9 Penatalaksanaan

Kecuali penggunaan N-acetylcysteine untuk keracunan asetaminofen (parasetamol),


tidak ada antidotum spesifik terhadap setiap obat. Terapi efek hepatotoksik obat terdiri
dari penghentian segera obat-obatan yang dicurigai. Jika dijumpai reaksi alergi berat
dapat diberikan kortikosteroid, meskipun belum ada bukti penelitian klinis dengan
kontrol. Demikian juga penggunaan ursodiol pada keadaan kolestatik. Pada obat-
obatan tertentu seperti amoksisilin, asam klavulanat dan fenitoin berhubungan dengan
sindrom dimana kondisi pasien memburuk dalam beberapa minggu sesudah
pengobatan dihentikan dan perlu waktu berbulan-bulan untuk pulih seperti sedia kala.
Prognosis gagal hati akut karena reaksi idiosinkratik obat buruk, dengan angka
mortalitas lebih dari 80%.24

NAC berfungsi sebagai antidotum keracunan asetaminofen, bekerja melalui sejumlah


mekanisme perlindungan. Karena NAC adalah prekursor glutathione, NAC
meningkatkan konsentrasi glutathione yang tersedia untuk konjugasi NAPQI. NAC
juga meningkatkan konjugasi sulfat dari APAP yang tidak termetabolisme, berfungsi
sebagai antiinflamasi dan antioksidan, dan memiliki efek inotropik positif.26

Selain itu, NAC meningkatkan konsentrasi oksida nitrat lokal dan meningkatkan aliran
darah mikrosirkulasi, meningkatkan pengiriman oksigen lokal ke jaringan perifer. Efek
mikrovaskular dari terapi NAC berbuhungan dengan penurunan morbiditas dan
mortalitas.NAC sebagai hepatoprotektif maksimal bila diberikan dalam 8 jam setelah
konsumsi asetaminofen. NAC harus diberikan, terlepas dari waktu sejak overdosis.
Terapi dengan NAC telah terbukti menurunkan tingkat kematian pada pasien yang
datang dengan gagal hati fulminan.26

41
Algoritme penatalaksanaan DILI15

2.2.10 Beberapa Obat yang Dapat Mengakibatkan DILI

a. Hepatotoksisitas obat anti tuberkulosis (OAT)

Obat anti tuberculosis terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan


etambutol/streptomisin, dan tiga obat yang disebut pertama bersifat hepatotoksik.
Faktor-faktor resiko hepatotoksisitas yang pernah dilaporkan adalah usia lanjut, pasien
perempuan, status nutrisi buruk, konsumsi tinggi alkohol, memiliki dasar penyakit hati,
karier hepatitis B, prevalensi hepatitis viral yang meningkat di negara sedang
berkembang, hipoalbuminemia, tuberculosis lanjut, serta pemakaian obat yang tidak
sesuai aturan dan status asetilatornya. Telah dibuktikan secara meyakinkan adanya
keterkaitan HLADR2 dengan tuberkulosis paru pada berbagai populasi dan keterkaitan

42
varian gen NRAMP1 dengan kerentanan terhadap tuberkulosis, sedangkan resiko
hepatotoksisitas karena obat anti tuberkulosis berkaitan juga dengan tidak adanya
HLA-DQA1*0102 dan adanya HLA-DQB1*0201 disamping usia lanjut, albumin
serum < 3,5 gram/dl dan tingkat penyakit yang moderat atau tingkat lanjut berat.
Dengan demikian resiko hepatotoksisitas pada pasien dengan obat anti tuberkulosis
dipengaruhi faktor-faktor klinis dan genetik. Pada pasien TB dengan hepatitis C atau
HIV mempunyai resiko hepatotoksisitas terhadap obat anti tuberkulosis lima dan empat
kali lipat. Sementara pasien tuberkulosis dengan karier HbsAg-positif dan
HbeAgnegatif yang inaktif dapat diberikan obat standar jangka pendek INH,
rifampisin, etambutol dan/atau pirazinamid dengan syarat pengawasan tes fungsi hati
paling tidak dilakukan setiap bulan. Sekitar 10% pasien tuberkulosis yang
mendapatkan isoniazid mengalami kenaikan konsentrasi aminotransferase serum
dalam minggu-minggu pertama terapi yang nampaknya menunjukkan respons adaptif
terhadap metabolit toksik obat. Isoniazid dilanjutkan atau tidak tetap akan terjadi
penurunan konsentrasi aminotransferase sampai batas normal dalam beberapa minggu.
Hanya sekitar 1% yang berkembang menjadi seperti hepatitis viral; 50% kasus terjadi
pada 2 bulan pertama dan sisanya baru muncul beberapa bulan kemudian.19,24

b. Hepatotoksisitas obat kemoterapi

Jejas hati yang timbul selama kemoterapi kanker tidak selalu disebabkan oleh
kemoterapi itu sendiri. Klinisi harus memperhatikan faktorfaktor lain seperti reaksi
obat terhadap antibiotik, analgesik, antiemetik, atau obat lainnya. Problem-problem
medis yang sudah ada sebelumnya, tumor, imunosupresi, virus hepatitis dan infeksi
lain, serta defisiensi nutrisi atau nutrisi parenteral total, semuanya mungkin
mempengaruhi kerentanan hospes terhadap terjadinya jejas hati. Sebagian besar reaksi
hepatotoksisitas obat bersifat idiosinkratik, melalui mekanisme imunologik atau variasi
pada respons metabolik pejamu. Siklofosfamid, suatu alkylating agent, diubah oleh
sistem sitokrom P-450 di hati menjadi 4-hydroxycyclophosphamide. Meskipun
mengalami metabolism di hati, siklofosfamid dapat diberikan pada keadaan enzim hati
dan/atau bilirubin yang meningkat. Melfalan dengan cepat dihidrolisis dalam plasma

43
dan sekitar 15% diekskresi tanpa perubahan dalam urin. Pada dosis yang dianjurkan
tidak bersifat hepatotoksisitas, hanya menimbulkan abnormalitas tes fungsi hati
sementara pada dosis tinggi pada transplantasi sumsum tulang otology. Klorambusil
berhubungan dengan kerusakan hati. Busulfan, kelas alkilsulfonat, cepat hilang dari
darah dan diekskresikan lewat urin. Metabolisme lewat hati tidak begitu penting
sehingga pada dosis standar tidak menimbulkan hepatotoksisitas. Cytosine
Arabinoside (Ara-C) efek hepatotoksisitasnya belum jelas. 5-FU tidak menimbulkan
kerusakan hati bila diberikan secara per oral dan jarang dilaporkan menimbulkan
hepatotoksisitas pada pemberian intravena. Akan tetapi berbeda bila diberikan secara
intraarterial dengan pompa infuse untuk terapi metastasis hepar karena kanker
kolorektal dimana terjadi hepatotoksisitas berupa jejas hepatoseluler dengan
peningkatan aminotransferase, alkali fosfatase, dan bilirubin serum, atau terjadinya
striktur duktus biliaris intrahepatik atau ekstrahepatik dengan peningkatan bilirubin dan
alkali fosfatase. 6-mercaptopurine (6-MP) bersifat hepatotoksik terutama bila dosis
melebihi dosis yang biasa digunakan (dosis dewasa 2 mg/kg) dan dapat berupa
hepatoseluler atau kolestatik. Perbedaan rute obat oral atau parenteral tidak mengubah
sifat hepatotoksisitasnya. Azatioprin (AZ) memiliki sifat hepatotoksisitas meskipun
jarang terjadi. Hepatotoksisitas berupa peningkatan konsentrasi bilirubin serum dan
alkali fosfatase dengan peningkatan sedang konsentrasi aminotransferase dan secara
histologik berupa kolestasis dengan nekrosis parenkim hati yang bervariasi.
6thioguanine dikenal menyebabkan penyakit oklusi vena. Metotreksat (MTX) pada
dosis standar diekskresi tanpa perubahan melalui urin. Pada dosis tinggi sebagian
dimetabolisir oleh hati menjadi 7-hydroxymethotrexate. Pada terapi rumatan leukemia
akut anak-anak, metotreksat dapat menimbulkan fibrosis dan sirosis hati. Pada
pemakaian dosis tinggi, MTX meningkatkan aminotransferase dan lactate
dehydrogenase (LDH). Pasien arthritis rematoid atau psoriasis dengan MTX dosis
kumulatif kurang dari 2 gram mempunyai insidens hepatotoksisitas yang rendah
meskipun durasi terapinya lama, 24-48 bulan. Dengan demikian pemakaian MTX dosis
rendah jangka panjang dapat menimbulkan fibrosis/sirosis, sementara dosis tinggi
menyebabkan perubahan tes fungsi hati. Gemcitabine sering menyebabkan kenaikan

44
transaminase sementara tetapi tidak bermakna. Mitoksantron mempunyai insidens
toksisitas serius lebih rendah dibandingkan obat-obat kanker antrasiklin yang lain, dan
hanya menimbulkan kenaikan konsentrasi AST dan ALT sementara saja. Insidensi
disfungsi hati karena pemakaian bleomycin sangat rendah. Hepatotoksisitas mitomysin
belum jelas, tetapi ditemukan dalam konsentrasi tinggi dalam empedu. Paclitaxel dan
docetaxel sebagian besar diekskresi melalui hati dan perlu hati-hati pada pasien dengan
gangguan fungsi hati. Etoposide tidak menimbulkan hepatotoksisitas pada dosis
standar meskipun diekskresikan terutama dalam empedu. Cisplatin jarang
menyebabkan hepatotoksisitas pada dosis standar tetapi kadang-kadang dijumpai
kenaikan AST. Pada dosis tinggi cisplatin menimbulkan kenaikan AST dan ALT.
Procarbazine dikenal dapat menyebabkan hepatitis granulomatosa. Hydroxyurea dapat
menimbulkan toksisitas hati dan pernah dilaporkan sebagai penyebab peliosis
hepatis.19,24

c. Hepatotoksisitas obat anti inflamasi non steroid

Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) merupakan salah satu obat yang sering
diresepkan meskipun penggunaannya tidak selalu tepat sasaran. Resiko epidemiologik
hepatotoksisitas golongan obat ini rendah (1-8 kasus per 100.000 pasien pengguna
OAINS). Hepatotoksisitas karena OAINS dapat terjadi kapan saja setelah obat
diminum, tetapi efek samping berat sangat sering terjadi dalam 6-12 minggu dari awal
pengobatan. Ada dua pola klinis utama hepatotoksisitas karena OAINS. Pertama,
adalah hepatitis akut dengan ikterus, demam, mual, transaminase naik sangat tinggi,
dan kadang-kadang dijumpai eosinofilia. Pola yang lain adalah dengan gambaran
serologik (Anti Nuclear Factor – positif) dan histologik (inflamasi periportal dengan
infiltrasi plasma dan limfosit serta fibrosis yang meluas ke dalam lobul hepatik) dari
hepatitis kronik aktif. Tes fungsi hati dapat kembali normal dalam 4-8 minggu sejak
penghentian obat penyebab. Dua mekanisme utama bertanggungjawab atas jejas hati
oleh OAINS, yaitu hipersensitivitas dan aberasi metabolik. Meskipun masih perlu
diteliti lebih lanjut, faktor-faktor resiko hepatotoksisitas idiosinkratik karena OAINS
meliputi perempuan, umur >50 tahun, dan penyakit autoimun yang mendasari. Faktor

45
resiko lain adalah paparan obat lain yang juga bersifat hepatotoksik pada saat
bersamaan. Reaksi hipersensitivitas sering mengalami titer anti-nuclear factor atau
antibodi anti smooth-muscle yang bermakna, limfadenopati, dan eosinofilia. Aberasi
metabolik dapat terjadi karena polimorfisisme genetic yang dapat mengubah
kerentanan terhadap bermacam-macam obat. Pasien yang mengalami hepatotoksisitas
karena OAINS harus dianjurkan untuk tidak minum OAINS lagi selamanya.
Parasetamol merupakan obat pilihan untuk analgesic sedangkan aspirin dapat
digunakan sebagai pengganti OAINS, karena toksisitas OAINS berhubungan dengan
struktur molekul cincin diphenylamine yang tidak dimiliki aspirin.19,24

2.2.11 Prognosis

Prognosis hepatotoksisitas imbas obat sangat bervariasi tergantung keadaan


klinik pasien dan tingkat kerusakan hati. Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat
antara tahun 1998-2001 menunjukan overall survival rate(termasuk dengan
transplantasi hati) sebesar 72%. Akibat dari gagal hati akut ditentukan oleh etiologi,
derajat ensefalopati hepatikum saat masuk perawatan dan komplikasi yang timbul,
seperti infeksi.25

2.3 Hepatitis Alkoholik

2.3.1 Definisi Hepatitis Alkoholik


Hepatitis alkoholik adalah peradangan hati yang disebabkan oleh minuman
beralkohol. Meskipun hepatitis alkoholik paling mungkin terjadi pada peminum berat
selama bertahun-tahun, hubungan antara peminum alkohol dan hepatitis alkoholik
merupakan hal yang kompleks. Tidak semua peminum berat mengalami hepatitis
alkoholik, dan penyakit ini dapat terjadi pada orang yang hanya minum sedikit. Orang
yang terus minum alkohol dapat mengalami kerusakan hati yang lebih serius dalam
bentuk sirosis dan gagal hati 27
2.32 Manifestasi Klinik
Bentuk ringan dari hepatitis alkoholik mungkin tidak memperlihatkan gejala
yang nyata, tanda-tanda dan gejala yang termasuk 28:

46
1. Kehilangan nafsu makan
2. Mual dan muntah
3. Nyeri abdomen dan nyeri tekan
4. Menguning dari kulit dan mata (jaundice)
5. Demam
6. Pembengkakan abdomen akibat penumpukan cairan (asites)
7. Fatigue

2.3.3 Patofisiologi
Hepatitis alkoholik terjadi ketika hati dirusak oleh alkohol yang diminum.
Etanol-zat turunan dari alkohol dalam bir, anggur dan minuman keras menghasilkan
bahan kimia yang sangat beracun, seperti asetaldehida. Zat ini memicu peradangan
kimia yang menghancurkan sel-sel hati. Kemudian, jaringan-jaringan seperti bekas
luka, dan knot kecil jaringan menggantikan jaringan hati yang sehat, mengganggu
kemampuan hati untuk berfungsi. Jaringan parut ini bersifat ireversibel, yang disebut
sirosis, merupakan tahap akhir dari penyakit hati alkoholik 29
Risiko meningkat seiring dengan waktu, jumlah yang dikonsumsi
Penggunaan alkohol yang berat dapat menyebabkan penyakit hati, dan risiko
meningkat dengan lamanya waktu dan jumlah alkohol yang di minum. Tapi karena
banyak orang yang minum minuman keras atau minuman pesta tidak pernah
mengalami hepatitis alkoholik atau sirosis, kemungkinan bahwa faktor lain selain
alkohol berperan. Hal ini termasuk :
1. Faktor genetik. Setelah mutasi pada gen tertentu yang mempengaruhi
metabolisme alkohol dapat meningkatkan resiko penyakit hati alkoholik serta
alkohol terkait kanker dan komplikasi lain dari minum berat.
2. Jenis hepatitis lainnya. Jangka panjang penyalahgunaan alkohol memperburuk
kerusakan hati yang disebabkan oleh jenis lain dari hepatitis, khususnya
hepatitis C.
3. Malnutrisi. Banyak orang yang minum sangat kekurangan gizi, baik karena

47
mereka sering menggantikan alkohol untuk makanan, atau karena alkohol dan
produk sampingan yang beracun mencegah tubuh menyerap nutrisi, khususnya
protein, vitamin tertentu dan lemak. Dalam kedua kasus, kurangnya nutrisi
kontribusi terhadap kerusakan sel hati 29

2.3.4 Faktor Risiko


Faktor risiko untuk hepatitis alkoholik meliputi:
1. Penggunaan alkohol.
Peminum berat alkohol yang konsisten atau pesta minuman keras adalah faktor
risiko utama untuk hepatitis alkoholik, meskipun sulit untuk secara tepat
mendefinisikan apa yang merupakan peminum berat karena orang-orang sangat
bervariasi dalam kepekaan mereka untuk alkohol. Minum moderat secara
umum didefinisikan sebagai tidak lebih dari dua gelas sehari untuk pria dan satu
untuk wanita. Pesta minuman keras biasanya didefinisikan sebagai lebih dari
empat minuman beralkohol dalam satu duduk untuk wanita, dan lebih dari lima
minuman dalam satu duduk untuk laki-laki. Juga menjadi bahan perdebatan
adalah apakah jenis tertentu alkohol menyebabkan kerugian lebih dari yang
lain. Beberapa ahli percaya bahwa anggur kurang merusak daripada minuman
keras atau bir, tetapi hal ini belum terbukti.
Perlemakan adalah temuan universal di kalangan peminum berat dan hingga
40% dari mereka dengan asupan alkohol sedang (10-80 mg / hari) juga
menunjukkan perubahan perlemakan hati. BAmbang batas asupan alkohol
harian 40 g diperlukan untuk menghasilkan perubahan patologis hepatitis
alkoholik. Konsumsi lebih dari 80 g alkohol per hari berhubungan dengan
peningkatan keparahan hepatitis alkoholik, tetapi tidak pada prevalensi
keseluruhan. Terdapat hubungan yang jelas tergantung dosis antara asupan
alkohol dan kejadian sirosis alkoholik. Asupan harian lebih dari 60 g alkohol
pada pria dan 20 g alkohol pada wanita secara signifikan meningkatkan risiko
sirosis.32

48
2. Jenis kelamin. Wanita memiliki risiko lebih tinggi terkena hepatitis alkoholik
daripada pria. Perbedaan ini mungkin hasil dari perbedaan dalam cara alkohol
diserap dan dipecah.
3. Faktor genetik. Para peneliti telah menemukan sejumlah mutasi genetik yang
mempengaruhi cara alkohol dimetabolisme di dalam tubuh. Memiliki satu atau
lebih dari mutasi ini dapat meningkatkan resiko hepatitis alkoholik 2

2.3.5 Diagnosis
1. Riwayat dan pemeriksaan fisik2
Pasien-pasien dengan hepatitis alkoholik simptomatik yang secara klinis biasanya
datang dengan gejala nausea, malaise, dan demam ringan. Presentasi klinis dapat
dipicu oleh komplikasi gangguan fungsi hati atau hipertensi portal, seperti
pendarahan saluran cerna bagian atas dari varises esofagus, kebingungan dan
kelesuan dari ensefalopati hepatik, atau peningkatan lingkar perut dari asites.
2. Tes darah. Ini memeriksa tingkat tinggi tertentu enzim terkait hati, seperti
aspartat aminotransferase (AST) dan alanine aminotransferase (ALT).
3. USG
4. Biopsi hati30

49
Biopsi Hepar31
2.3.6 Tatalaksana

1.Hentikan minum alkohol


Jika pasien telah didiagnosa dengan hepatitis alkoholik, maka pasien harus berhenti
minum alkohol. Ini satu-satunya cara untuk membalikkan kerusakan hati atau, dalam
kasus-kasus yang lebih maju, untuk mencegah penyakit menjadi lebih buruk. Jika
pasien tergantung pada alkohol dan ingin berhenti minum, dokter dapat
merekomendasikan terapi yang disesuaikan untuk kebutuhan pasien. Termasuk obat-
obatan, konseling, program pengobatan rawat jalan atau rawat inap.

2. Terapi Asites
Dapat dikendalikan dengan terapi konservatif yang terdiri atas :
 Istirahat
 Diet rendah garam : untuk asites ringan dicoba dulu dengan istirahat dan diet rendah
garam dan penderita dapat berobat jalan dan apabila gagal maka penderita harus
dirawat.

50
 Diuretik : Pemberian diuretik hanya bagi penderita yang telah menjalani diet rendah
garam dan pembatasan cairan namun penurunan berat badannya kurang dari 1 kg
setelah 4 hari. Mengingat salah satu komplikasi akibat pemberian diuretik adalah
hipokalem dan hal ini dapat mencetuskan hepatic, maka pilihan utamadiuretic adalah
spironolacton, dan dimulai dengan dosis rendah, serta dapat dinaikkan dosisnya
bertahap tiap 3-4 hari, apabila dengan dosis maksimal diuresisnya belum tercapai
maka dapat kita kombinasikan dengan furosemid
 Albumin: Albumin juga seringkali dipakai untuk meningkatkan respons terhadap
diuretik pada pasien sirosis dengan komplikasi asites. Latar belakang teorinya adalah
kekurangan albumin untuk mengikat furosemid sehingga obat hanya beredar di
plasma dan tidak berhasil mencapai nefron proksimal. Akibatnya terapi diuretika
tidak akan memberikan respons yang baik. Ketika ditambahkan albumin volume
distribusi akan menurun, obat akan diikat dan dibawa ke ginjal untuk kemudian keluar
bersama urine sehingga diuresis pun membaik.

3. Pengobatan untuk malnutrisi


Dokter dapat menyarankan diet khusus untuk membalikkan kekurangan gizi
yang dapat terjadi pada orang dengan hepatitis alkoholik. Pasien dapat dirujuk ke
ahli gizi yang dapat membantu menilai pola makan pasien dan menyarankan
perubahan untuk meningkatkan vitamin dan nutrisi. Jika pasien memiliki kesulitan
cukup makan untuk mendapatkan vitamin dan nutrisi yang dibutuhkan tubuh, dokter
dapat merekomendasikan makan melalui selang tabung ( NGT ) Diet kaya nutrisi dan
cairan khusus kemudian dilewatkan melalui selang tabung 33
Jenis-jenis makanan yang baik dikonsumsi pada saat diet hepatitis antara lain
: Roti, nasi, jenis umbi-umbian yang tidak menimbulkan gas seperti wortel dan
kentang, dan intinya makanan yang mengandung hidrat arang. Selain itu, madu, selai,
manisan atau sari buah juga baik dikonsumsi pada saat diet hepatitis. Selain
mengkonsumsi makanan yang mengandung hidrat arang yang tinggi, mereka yang
menjalani diet hepatitis perlu untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung

51
protein tinggi seperti telur, daging, ikan, tempe dan tahu, ayam, sayur-sayuran serta
buah-buahan.
encepalophaty Dalam hal ini pilih buah yang tentu saja yang tidak
menimbulkan gas. makanan cepat saji atau fast food ( junk food) merupakan makanan
yang sangat buruk untuk liver kita. orang yang sedang melakukan diet hepatitis harus
menjauhi makanan-makanan tersebut. Tubuh kita tidak mendapatkan apapun dari
makanan tersebut, hanya rasa kenyang saja. makanan tersebut sangat menggangu
terhadap diet hepatitis. makanan cepat saji tersebut penuh dengan kolesterol tinggi,
gula, kalori yang sangat sedikit, dan bahan kimiawi yang bersifat liver toksik.

4. Terapi Perdarahan karena pecahnya Varises Esofagus


Langkah terpenting dalam penatalaksanaan perdarahan varises akut adalah
resusitasi dini dan proyeksi jalan napas untuk mencegah aspirasi. Endoskopi dini
memungkinkan pemeriksaan saluran cerna bagian atas dan diagnosis akurat lokasi
perdarahan serta keputusan penatalaksanaan. Cara-cara untuk mengatasi perdarahan
dibahas sebagai berikut:

A. Terapi Farmakologis
Vasopresin
Vasopresin menurunkan aliran darah portal, aliran darah kolateral sistemik portal, dan
tekanan varises. Obat ini memiliki efek samping sistemik bermakna seperti
peningkatan resistensi perifer dan penurunan curah jantung,denyut jantung, dan aliran
darah koroner.

Vasopresin dengan Nitrogliserin


Penambahan nitrogliserin meningkatkan efek vasopresin pada tekanan portal dan
menurunkan efek samping vaskuler. Ada tiga uji klinik yang membandingkan
vasopresin saja dengan vasopresin plus nitrogliserin. Kumpulan data dari ketiganya
memperlihatkan bahwa kombinasi tersebut dapat menunjukkan penurunan yang
bermakna dalam kegagalan mengatasi perdarahan.

52
Glipresin dengan atau tanpa nitrogliserin
Glipresin adalah analog sintetik vasopresin yang memiliki efek vasokonstriksi
sistemik segera dan diikuti efek hemodinamik portal akibat konversi lambat menjadi
vasopresin.

Somatostatin dan Octreide


Somatostatin menyebabkan vasokonstriksi sphlancnic selektif dan menurunkan
tekanan portal dan aliran darah portal. Somatostatin secara bermakana tampak
menurunkan kegagalan mengatasi perdarahan pada sebuah penelitian dan tidak
memperlihatkan perbedaan bermakna terhadap plasebo pada penelitian lainnya.
Tujuh penelitian membandingkan keampuhannya terhadap vasopresin dan
memperlihatkan bahwa somatostatin menurunkan kegagalan mengatasi perdarahan
dan terkait dengan efek samping yang lebih sedikit.

B. Terapi Endoskopik
Skleroterapi
Skleroterapi varises endoskopik didasarkan pada konsep bahwa perdarahan
dari varises dapat dihentikan oleh pembentukan trombus dalam varises yang berdara,
sekunder akibat pemberian obat sklerosan yang diinjeksikan intravariseal atau
paravariseal. Pada uji klinik skleroterapi untuk perdarahan akut, terdapat banyak
variasi dalam hal jenis sklerosan yang dipakai, pengalaman operator, cara pemberian
intravariseal atau paravariseal, dan jadwal follow up. Lebih lanjut interpretasi hasil
dari uji klinik skleroterapi injeksi dengan terapi non-invasif dipersulit dengan
dimasukkannya pasien yang tidak mengalami perdarahan aktif pada saat randomisasi.

53
Ligasi varises
Teknik ini merupakan modifikasi dari yang digunakan untuk ligasi hemoroid
interna. Penggunaannya pada manusia pertama kali diperkenalkan pada tahun 1988
dan uji acak berikutnya yang membandingkan ligasi dengan skleroterapi
memperlihatkan penurunan bermakana dalam hal angka komplikasi dan perbaikan
kelangsungan hidup. Uji klinik lainnya membuktikan bahwa ligasi varises dapat
mengatasi perdarahan varises akut dan tidak ada perbedaaan bermakna dalam hal
mengendalikan perdarahan aktif antara ligasi dan skleroterapi.

Terapi endoskopi lainnya


Pengendalian perdarahan dengan memakai perekat jaringan (glue) seperti
sianoakrilat atau bukrilat telah dilaporkan pada sekitar 90% kasus. Namun terdapat
angka perdarahan ulang ynag sama dibandingkan skleroterai dan terjadi komplikasi
yang bermakna dalam bentuk kejadian serebrovaskuler terkait injeksi perekat
jaringan dan risiko kerusakan pada alat.

C. Tamponade Balon
Bentuk terapi ini sangat efektif dalam mengatasi perdarahan akut sampai 90%
pasien meskipun sekitar 50 % nya mengalami perdarahan ulang ketika balon
dikempiskan. Namun, cara ini dapat menimbulkan komplikasi yang berat seperti
ulseras esofagus dan pneumonia aspirasi pada 15-20% pasien. Meskipun begitu, cara
ini mungkin dapat menjadi terapi penyelamat pada perdarahan varises masif yang tak
terkendali. Sebelum dapat diberikan terapi lainnya.

5. Ensefalopati Hepatik
Penentuan diet pada penderita sirosis hati sering menimbulkan dilema. Di satu
sisi, diet tinggi protein untuk memperbaiki status nutrisi akan menyebabkan
hiperamonia yang berakibat terjadinya ensefalopati. Sedangkan bila asupan protein
rendah maka kadar albumin dalam darah akan menurun sehingga terjadi malnutrisi

54
yang akan memperburuk keadaan hati. Untuk itu, diperlukan suatu solusi dengan
nutrisi khusus hati, yaitu Aminoleban Oral.
Aminoleban Oral mengandung AARC kadar tinggi serta diperkaya dengan
asam amino penting lain seperti arginin, histidin, vitamin, dan mineral. Nutrisi khusus
hati ini akan menjaga kecukupan kebutuhan protein dan mempertahankan kadar
albumin darah tanpa meningkatkan risiko terjadinya hiperamonia. Pada penderita
sirosis hati yang dirawat di rumah sakit, pemberian nutrisi khusus ini terbukti
mempercepat masa perawatan dan mengurangi frekuensi perawatan. 30

6. Obat untuk mengurangi peradangan hati


Orang dengan hepatitis alkoholik berat dapat mempertimbangkan pengobatan
jangka pendek dengan obat-obat untuk mengendalikan peradangan hati. Dalam situasi
tertentu, dokter dapat merekomendasikan kortikosteroid atau pentoxifylline 2 x 400
mg.

7.Transplantasi hati
Ketika fungsi hati sangat terganggu, transplantasi hati mungkin satu-satunya
pilihan bagi sebagian orang. Meskipun transplantasi hati sering berhasil, jumlah orang
yang menunggu transplantasi jauh melebihi jumlah organ yang tersedia. Untuk alasan
itu, transplantasi hati pada orang dengan penyakit hati alkoholik adalah kontroversial.
Beberapa pusat kesehatan mungkin enggan untuk melakukan transplantasi hati pada
orang dengan penyakit hati alkoholik karena mereka percaya sejumlah besar akan
kembali ke minum setelah operasi.27

2.3.7 Diagnosis Banding28


- Pancreatitis kronik
- Hepatitis B
- Hepatitis C

55
2.3.8 Komplikasi
Komplikasi hepatitis alkoholik meliputi:
1. Peningkatan tekanan darah dalam vena portal
Darah dari limpa usus dan pankreas memasuki hepar melalui pembuluh darah
besar yang disebut vena portal. Jika jaringan parut memperlambat sirkulasi normal
melalui hati, darah ini tersumbat, yang menyebabkan peningkatan tekanan dalam
pembuluh darah (hipertensi portal)29
2. Pembesaran pembuluh darah (Varises)
Ketika sirkulasi melalui vena portal diblokir, darah dapat kembali ke pembuluh
darah lainnya di perut dan kerongkongan. Pembuluh darah ini berdinding tipis, dan
karena pembuluh ini penuh dengan darah lebih dari yang dapat dibawa, maka sewaktu-
waktu dapat pecah dan mengalami pendarahan. Perdarahan masif di perut bagian atas
atau kerongkongan dari pembuluh darah adalah keadaan darurat yang mengancam
nyawa yang membutuhkan perawatan medis segera .27
3. Retensi cairan
Ketika alkoholik hepatitis menjadi parah, tanda-tanda dikirim ke ginjal-ginjal
untuk menahan garam dan air didalam tubuh. Kelebihan garam dan air pertama-tama
berakumulasi dalam jaringan dibawah kulit pergelangan-pergelangan kaki dan kaki-
kaki karena efek gaya berat ketika berdiri atau duduk. Akumulasi cairan ini disebut
edema atau pitting edema. Pembengkakkan seringkali memburuk pada akhir hari
setelah berdiri atau duduk dan mungkin berkurang dalam semalam sebagai suatu akibat
dari kehilangan efek-efek gaya berat ketika berbaring.
Ketika lebih banyak garam dan air yang tertahan, cairan juga mungkin
berakumulasi dalam rongga perut antara dinding perut dan organ-organ perut.
Akumulasi cairan ini (disebut ascites) menyebabkan pembengkakkan perut,
ketidaknyamanan perut, dan berat badan yang meningkat. Hepatitis alkoholik dapat
menyebabkan sejumlah besar cairan menumpuk di rongga perut (asites). Cairan perut
dapat menjadi terinfeksi dan memerlukan pengobatan dengan antibiotik. Meskipun
tidak mengancam jiwa, asites biasanya merupakan tanda hepatitis alkoholik lanjut atau

56
sirosis.29
4. Memar dan pendarahan
Hepatitis alkoholik mengganggu produksi protein yang membantu darah untuk
membeku. Akibatnya, pasien mungkin memar dan berdarah lebih mudah dari biasanya.
5. Ikterus
Ini terjadi ketika hati tubuh pasien tidak dapat menghapus bilirubin ( residu tua
sel darah merah ) dari dalam darah. Akhirnya, bilirubin menumpuk membangun dan
disimpan di kulit dan bagian putih mata, menyebabkan warna kuning.
6. Ensefalopati Hepatika
Beberapa protein-protein dalam makanan yang terlepas dari pencernaan dan
penyerapan digunakan oleh bakteri-bakteri yang secara normal hadir dalam usus.
Ketika menggunakan protein untuk tujuan-tujuan mereka sendiri, bakteri-bakteri
membuat unsur-unsur yang mereka lepaskan kedalam usus. Unsur-unsur ini kemudian
dapat diserap kedalam tubuh. Beberapa dari unsur-unsur ini, contohnya, ammonia,
dapat mempunyai efek-efek beracun pada otak. Biasanya, unsur-unsur beracun ini
diangkut dari usus didalam vena portal ke hati dimana mereka dikeluarkan dari darah
dan di-detoksifikasi.
Ketika sirosis hadir, sel-sel hati tidak dapat berfungsi secara normal karena
mereka rusak atau karena mereka telah kehilangan hubungan normalnya dengan darah.
Sebagai tambahan, beberapa dari darah dalam vena portal membypass hati melalui
vena-vena lain. Akibat dari kelainan-kelainan ini adalah bahwa unsur-unsur beracun
tidak dapat dikeluarkan oleh sel-sel hati, dan, sebagai gantinya, unsur-unsur beracun
berakumulasi dalam darah.
Ketika unsur-unsur beracun berakumulasi secara cukup dalam darah, fungsi
dari otak terganggu, suatu kondisi yang disebut hepatic encephalopathy. Tidur waktu
siang hari daripada pada malam hari (kebalikkan dari pola tidur yang normal) adalah
diantara gejala-gejala paling dini dari hepatic encephalopathy. Gejala-gejala lain
termasuk sifat lekas marah, ketidakmampuan untuk konsentrasi atau melakukan
perhitungan-perhitungan, kehilangan memori, kebingungan, atau tingkat-tingkat

57
kesadaran yang tertekan. Akhirnya, hepatic encephalopathy yang parah/berat
menyebabkan koma dan kematian.
Unsur-unsur beracun juga membuat otak-otak dari pasien-pasien dengan sirosis
sangat peka pada obat-obat yang disaring dan di-detoksifikasi secara normal oleh hati.
Dosis-dosis dari banyak obat-obat yang secara normal di-detoksifikasi oleh hati harus
dikurangi untuk mencegah suatu penambahan racun pada sirosis, terutama obat-obat
penenang (sedatives) dan obat-obat yang digunakan untuk memajukan tidur. 29

7. Sirosis Hepar
Seiring waktu, peradangan hati yang terjadi pada hepatitis alkoholik dapat
menyebabkan jaringan parut ireversibel dari hati (sirosis). Sirosis sering menyebabkan
kegagalan hati, yang terjadi ketika hati rusak tidak lagi mampu berfungsi secara
memadai .30

Klasifikasi Sirosis Hati30


Klasifikasi sirosis hati menurut Child – Pugh :
Skor/parameter 1 2 3
Bilirubin(mg %) < 2,0 2-<3 > 3,0
Albumin(mg %) > 3,5 2,8 - < 3,5 < 2,8
Protrombin time > 70 40 - < 70 < 40
(Quick %)
Asites 0 Min. – sedang Banyak (+++)
(+) – (++)
Hepatic Tidak ada Stadium 1 & 2 Stdium 3 & 4
Ensephalopathy

2.9 Prognosis
Prognosis jangka panjang dari individu dengan hepatitis alkoholik sangat tergantung
pada apakah pasien telah terdiagnosis sirosis dan apakah pasien terus minum. Dengan
berhenti meminum alkohol, pasien dengan penyakit ini menunjukkan peningkatan

58
progresif dalam fungsi hati selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun, dan
gambaran histologis dari hepatitis alkoholik aktif sembuh. Jika penyalahgunaan
alkohol terus berlanjut, hepatitis alkoholik selalu berlanjut dan berlanjut menjadi sirosis
selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Dalam satu studi, perkiraan
kelangsungan hidup 5 tahun setelah dirawat di rumah sakit untuk hepatitis alkoholik
yang parah adalah 31,8%. Steatohepatitis hati terkait alkohol yang membutuhkan rawat
inap adalah subtipe paling berbahaya dari penyakit hati terkait alkohol.28

59
BAB III

KESIMPULAN

Perlemakan hati non alkoholik atau Non-Alcoholic Fatty Liver Disease

(NAFLD) merupakan kondisi akumulasi lemak pada hati tanpa adanya konsumsi

alkohol yang berlebih (kurang dari 20 gram per minggu). Spektrum kelainan hati yang

termasuk dalam NAFLD antara lain steatosis sederhana (perlemakan tanpa inflamasi),

lalu steatosis yang disertai inflamasi (non-alcoholic steatohepatitis – NASH) dan dapat

berkembang menjadi fibrosis, fibrosis tingkat lanjut dan pada akhirnya sirosis.

Penyakit perlemakan hati non alkoholik adalah diagnosis klinikopato-logis yang

ditandai secara histologis dengan adanya penumpukan lemak di hepatosit dimana

penyebab lain dari penyakit hati telah disingkirkan. Obesitas, DM tipe 2, jenis kelamin

perempuan dan hiperlipidemia merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan

NAFLD.

Diagnosis NAFLD ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan penunjang, berupa laboratorium, radiologi dan biopsi hati.

Biopsi hati merupakan pemeriksaan baku emas namun jarang dilakukan karena

biayanya mahal dan dapat menimbulkan komplikasi.

Prinsip utama dalam tatalaksana adalah menurunkan berat badan dan


melindungi hepatosit. Tatalaksana yang diberikan adalah pengaturan diet dan olahraga,
pemberian antioksidan, insulin sensitisizers, asam ursodeoksikolat dan tindakan
pembedahan.
Kerusakan hati akibat obat (Drug Induced Liver Injury) adalah kerusakan hati yang
berkaitan dengan gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh karena terpajan obat atau
agen non-infeksius lainnya. Lebih dari 900 jenis obat, toksin dan herbal telah

60
dilaporkan dapat mengakibatkan kerusakan pada sel-sel hati. Kerusakan hati akibat
obat (Drugs Induced Liver Injury) adalah alasan paling banyak dimana suatu obat dapat
ditarik dari peredarannya ataupun dibatasi di dalam penggunaannya.
Manifestasi dari kerusakan hati yang diinduksi oleh obat sangat bervariasi, mulai
dari peningkatan enzim-enzim hati yang tanpa gejala (asimptomatik) .
Mengidentifikasi reaksi obat dengan pasti adalah hal yang sulit tetapi kemungkinan
sekecil apapun adanya reaksi terhadap obat harus dipertimbangkan pada setiap pasien
dengan disfungsi hati. Riwayat pemakaian obat harus diungkap dengan seksama
termasuk di dalamnya obat herbal atau obat alternatif lainnya. Obat harus selalu
menjadi diagnosis banding pada setiap abnormalitas tes fungsi hati.
Terapi efek hepatotoksik obat terdiri dari penghentian segera obat-obatan yang
dicurigai. Jika dijumpai reaksi alergi berat dapat diberikan kortikosteroid, meskipun
belum ada bukti penelitian klinis dengan control.
Hepatitis alkoholik adalah peradangan hati yang disebabkan oleh minuman
beralkohol, Etanol-zat turunan dari alkohol dalam bir, anggur dan minuman keras
menghasilkan bahan kimia yang sangat beracun, seperti asetaldehida. Zat ini memicu
peradangan kimia yang menghancurkan sel-sel hati. Kemudian, jaringan-jaringan
seperti bekas luka, dan knot kecil jaringan menggantikan jaringan hati yang sehat,
mengganggu kemampuan hati untuk berfungsi. Jaringan parut ini bersifat ireversibel,
yang disebut sirosis, merupakan tahap akhir dari penyakit hati alkoholik.Terapi
pertama yang paling penting adalah pasien harus berhenti minum alkohol dan terapi
obat-obatan untuk mengendalikan peradangan hati.

61
DAFTAR PUSTAKA

1. Hasan, Irsan. 2009. Perlemakan Hati Non Alkoholik, Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta Pusat. Interna Publishing.
2. Mehta N. Drug-Induced Hepatotoxicity. 2019
http://www.emedicine.medscape.com/article/169814-overview.
3. Won Kim, Dong Jon K. Severe Alcoholic Hepatitis-Current Concepts, Diagnosis
and Treatment Options.2017.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4209414/
4. Sherlock S, Dooley J. Diseases of The Liver and Biliary System, Chapter 25:
Nutritional and Metabolic Liver Disease. 11th Edition, page 423-429. United
Kingdom: Blackwell Science, Blackwell Publishing, 2002.
5. Chalasani, N., Younossi, Z., Lavine, J.E., et.al. The Diagnosis and Management
of Non-Alcoholic Fatty Liver Disease: Practice Guideline by The American
Association for Study of Liver Diseases, American College of Gastroenterology,
and The American Gastroenterological Association. J Hepatology AASLD 2012.
6. Gani RA. Manifestasi klinis dan penatalaksanaan non-alcoholic fatty liver disease
(NAFLD). In: Lesmana LA, Gani RA, Hasan I, Wijaya IP, Mansjoer A, editors.
Abstrack Liver Up To Date 2002. Perkembangan terkini diagnosis dan
penatalaksanaan penyakit hati dan saluran empedu. Jakarta: PIP Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2002. P28-30.
7. Hasan I, Gani RA, Machmud R et al. Prevalence and risk factors for non-alcoholic
fatty liver in Indonesia. J Gastroenterol Hepatol. 2002; 17 (Suppl): A154.
8. Al-Tubaikh, J.A. Internal Medicine: An Illustrated Radiological Guide. Berlin;
Springer-Verlag, 2010.
9. Tommolino E, et al. Fatty Liver. 2019. Dikutip dari
https://emedicine.medscape.com/
10. Adiwinata R. Tatalaksana Terkini Perlemakan Hati Non Alkoholik. Jurnal
Penyakit Dalam Indonesia. 2015.

62
11. Roy K et al. The role of silymarin in the management of non-alcoholic fatty liver
disease: Time to clear the mist. 2019. doi: 10.31989/bchd.v2i5.622
12. Sumidha Yoshio. Current and future pharmacological therapies for
NAFLD/NASH. 2017. doi: 10.1007/s00535-017-1415-1
13. Dhingra MS. Drug Induced Liver Injury. 2006.
14. Chau TN. Drug Induced Liver Injury: An Update. The Hongkong Medical Diary
2008; 13(3): 23−26
15. Tajiri K and Shimizu Y. Practical Guidelines for Diagnosis and Early
Management of Drug-Induced Liver Injury. World J Gastroenterol 2008; 14(44):
6774–6785
16. Dienstag JL and Isselbacher KJ. Toxic and Drug Induced Hepatitis. In Harrison’s:
Principles of Internal Medicine 16th Edition. Editors: Kasper DL, Fauci AS,
Longo DL, et al. 2005;1838−1844
17. Fontana RJ, Seeff LB, Andrade RJ, Msson EB, Day CP, Serrano C, et al. Meeting
report: Standardization of Nomenclature and Causality Assessment in Drug-
Induced Liver Injury: Summary of a Clinical Research Workshop. Hepatology
2010; 52:730−742
18. Kaplowitz N. Drug Induced Liver Injury. Clinical Infectious Diseases 2004;
38(2): 44–8
19. Benvie. Hepatoksisitas Obat. 2009.
20. Holt MP and Ju C. Mechanisms of Drug-Induced Liver Injury. The AAPS Journal
2006; 8(1): 48−54
21. Lee WM. Drug Induced Hepatotoxicity. N Engl J Med 2003; 349:474−485
22. Adams DH, Ju C, Ramaiah SK, Uetrecht J, and Jaeschke H. Mechanisms of
Immune-Mediated Liver Injury. Toxicological Sciences 2010; 115(2): 307–321.
23. Bénichou C. Criteria of Drug-Induced Liver Disorders. Report of An International
Consensus Meeting. J Hepatol. 1990;11:272–276.
24. Bayupurnama P. Hepatoksisitas Imbas Obat. Dalam Buku ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi VI. Editor Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk. 2014.
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta.
25. Yue Cheng Yu et al. CSH guidelines for the diagnosis and treatment of drug-
induced liver injury.2017.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5419998/
26. Farell E.S. Acetaminophen Toxicity.2018.
https://emedicine.medscape.com/article/820200-overview
27. O'Shea RS, et al. Alcoholic liver disease. American Journal of Gastroenterology.
2010;105:14.

63
28. Heuman D et al. Alcoholic Hepatitis. 2019.
https://emedicine.medscape.com/article/170539
29. Carithers RL, et al. Alcoholic liver disease. In: Feldman M, et al. Sleisinger and
Fordtran's Gastrointestinal and Liver Disease. 9th ed. Philadelphia, Pa.: Saunders;
2010.
30. Setyohadi,Bambang, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Pusat
penerbitan Ilmu Penyakit dalam FKUI Jakarta.2006
31. Maryani, Sutadi. Sirosis Hepatic.Bagian ilmu penyakit dalam USU.Medan.2000
32. Catherine F. Alcoholic Liver Diasease.2018.
http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/hepatolo
gy/alcoholic-liver-disease/.
33. Krenitsky.2002. Nutrition for patient with hepatic failure.http://www.mja.com

64

Anda mungkin juga menyukai