Anda di halaman 1dari 44

BAB II

KAJIAN TEORI

A. KAJIAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan tentang Konservasi dalam Lingkungan Hidup.

2.1.1. Pengertian Konservasi.

Menurut kamus Oxford, kata konservasi berasal dari to conserve, yang berarti: (i) to

use as little of something as possible so that it last long (menggunakan sesuatu sedikit mungkin

sehingga ia dapat bertahan lama), (ii) to protect something and prevent it from being changed

or destroyed (melindungi sesuatu dan mencegahnya dari perubahan dan kerusakan). Dalam

pengertian yang pertama, Konservasi berarti Penghematan. Pengertian ini dipakai dalam istilah

konservasi air (water conservation). Tumbuh-tumbuhan di daerah melakukan adaptasi

morfologis dan fisiologis untuk mengkonservasi air, alias menghemat air. Pengertian kedua

memiliki arti yang serupa dengan perlindungan. Menurut The Harper Collins dictionary of

environmental science, conservation: the management, protection and preservation of natural

resources and environment. Dalam pengertian ini, Konservasi mencakup arti yang luas,

mencakup pengelolaan, perlindungan dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. 1

Konservasi adalah pelestarian atau perlindungan. Secara harfiah, konservasi berasal dari

bahasa Inggris, (Inggris) Conservation yang artinya pelestarian atau perlindungan.2 Sedangkan

1
Wiryono, 2013, Pengantar Ilmu Lingkungan, Pertelon Media: Bengkulu, cet. 1, hal. 152.
2
Reif, J.A. Levy, Y. 1993. Password: Kamus Bahasa Inggris Untuk Pelajar. PT. Kesaint Blanc Indah Corp.
Bekasi. 1993 , dikunjungi pada tanggal 25 Juli 2017 pukul 14.08.
menurut ilmu lingkungan, Konservasi adalah (a) Upaya efisiensi dari penggunaan energi,

produksi, transmisi, atau distribusi yang berakibat pada pengurangan konsumsi energi di lain

pihak menyediakan jasa yang sama tingkatannya. (b) Upaya perlindungan dan pengelolaan

yang hati-hati terhadap lingkungan dan sumber daya alam; (c) (fisik) Pengelolaan terhadap

kuantitas tertentu yang stabil sepanjang reaksi kimia atau transformasi fisik; (d) Upaya suaka

dan perlindungan jangka panjang terhadap lingkungan; (e) Suatu keyakinan bahwa habitat

alami dari suatu wilayah dapat dikelola, sementara keaneka-ragaman genetik dari spesies dapat

berlangsung dengan mempertahankan lingkungan alaminya. 3 Konservasi diartikan sebagai

upaya pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana dengan berpedoman pada asas

pelestarian. Sumber daya alam adalah unsur-unsur hayati yang terdiri dari sumber daya alam

nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) dengan unsur non hayati di sekitarnya

yang secara keseluruhan membentuk ekosistem.4 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Konservasi Sumber Daya Alam adalah pengelolaan sumber daya alam (hayati) dengan

pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan persediaan dengan tetap

memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keragamannya. 5 Pengertian Konservasi

Sumber Daya Alam menurut Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5

Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya

dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediannya dengan tetap

memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. 6 Dan Pengertian

Konservasi sumber daya alam dijelaskan juga menurut Pasal 1 Angka 18 Undang-Undang

3
http://www.biology-online.org/dictionary/Conservation dikunjungi pada tanggal 25 Juli 2017 pukul 14.08.
4
KEHATI, Materi Kursus Inventarisasi flora dan fauna Taman Nasional Meru Betiri, Malang, 2000, hal. 8.
5
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, 2005
cet. 3, hal. 589.
6
Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49 (Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419).
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup, Konservasi Sumber Daya Alam adalah Pengelolaan sumber daya alam untuk menjamin

pemanfaatannya secara bijaksana serta kesinambungan ketersediaannya dengan tetap

memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya. 7

2.1.2. Sasaran Konservasi.

Berhasilnya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berkaitan erat

dengan tercapainya tiga sasaran konservasi yaitu: (a) Menjamin terpeliharanya proses ekologis

yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan

kesejahteraan manusia (perlindungan sistem penyangga kehidupan). (b) Menjamin

terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya sehingga mampu

menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan

kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati bagi kesejahteraan. (c)

Mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga terjamin

kelestariannya. Akibat sampingan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kurang

bijaksana, belum harmonisnya penggunaan dan peruntukan tanah serta belum berhasilnya

sasaran konservasi secara optimal, baik di darat maupun di perairan dapat mengakibatkan

timbulnya gejala erosi, polusi dan penurunan potensi sumber daya alam hayati (pemanfaatan

secara lestari).8

2.1.3. Tujuan dan Manfaat Konservasi.

7
Pasal 1 Angka 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059).
8
Departemen Kehutanan, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Bidang Konservasi Sumber Daya Alam,
BKSDA Jawa Timur 1, Surabaya, 2000, hal.21.
Secara hukum tujuan konservasi tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yaitu

bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan

ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat

dan mutu kehidupan manusia.9 Selain tujuan yang tertera di atas tindakan konservasi

mengandung tujuan: (a) Preservasi yang berarti proteksi atau perlindungan sumber daya alam

terhadap eksploitasi komersial, untuk memperpanjang pemanfaatannya bagi keperluan studi,

rekreasi dan tata guna air; (b) Pemulihan atau restorasi, yaitu koreksi kesalahan-kesalahan masa

lalu yang telah membahayakan produktivitas pengkalan sumber daya alam; (c) Penggunaan

yang seefisien mungkin. Misal teknologi makanan harus memanfaatkan sebaik-baiknya biji

rambutan, biji mangga, biji salak dan lain-lainnya yang sebetulnya berisi bahan organik yang

dapat diolah menjadi bahan makanan; (d) Penggunaan kembali (recycling) bahan limbah

buangan dari pabrik, rumah tangga, instalasi-instalasi air minum dan lain-lainnya. Penanganan

sampah secara modern masih ditunggu-tunggu; (e) Mencarikan pengganti sumber alam yang

sepadan bagi sumber yang telah menipis atau habis sama sekali. Tenaga nuklir menggantikan

minyak bumi; (f) Penentuan lokasi yang paling tepat guna. Cara terbaik dalam pemilihan

sumber daya alam untuk dapat dimanfaatkan secara optimal, misalnya pembuatan waduk yang

serbaguna di Jatiluhur, Karangkates, Wonogiri, Sigura-gura; (g) Integrasi, yang berarti bahwa

dalam pengelolaan sumber daya diperpadukan berbagai kepentingan sehingga tidak terjadi

pemborosan, atau yang satu merugikan yang lain. Misalnya, pemanfaatan mata air untuk suatu

kota tidak harus mengorbankan kepentingan pengairan untuk persawahan.10 Sumber daya alam

flora fauna dan ekosistemnya memiliki fungsi dan manfaat serta berperan penting sebagai

unsur pembentuk lingkungan hidup yang kehadirannya tidak dapat digantikan. Tindakan tidak

9
Ibid., hal.5.
10
Dwidjoseputro, Ekologi Manusia dengan Lingkungannya, Erlangga: Jakarta, 1994, cet. 3, hal. 32.
bertanggungjawab akan mengakibatkan kerusakan, bahkan kepunahan flora fauna dan

ekosistemnya. Kerusakan ini menimbulkan kerugian besar yang tidak dapat dinilai dengan

materi, sementara itu pemulihannya tidak mungkin lagi. Oleh karena itu sumber daya tersebut

merupakan modal dasar bagi kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia harus

dilindungi, dipelihara, dilestarikan dan dimanfaatkan secara optimal sesuai dengan batasbats

terjaminnya keserasian, keselarasan dan keseimbangan. Pada dasarnya konservasi merupakan

suatu perlindungan terhadap alam dan makhluk hidup lainnya. Sesuatu yang mendapat

perlindungan maka dengan sendiri akan terwujud kelestarian Manfaat-manfaat konservasi

diwujudkan dengan: (a) Terjaganya kondisi alam dan lingkungannya, berarti upaya konservasi

dilakukan dengan memelihara agar kawasan konservasi tidak rusak; (b) Terhindarnya bencana

akibat perubahan alam, yang berarti gangguan-gangguan terhadap flora fauna dan

ekosistemnya pada khususnya serta sumber daya alam pada umumnya menyebabkan

perubahan berupa kerusakan maupun penurunan jumlah dan mutu sumber daya alam tersebut;

(c) Terhindarnya makhluk hidup dari kepunahan, berarti jika gangguan-gangguan penyebab

turunnya jumlah dan mutu makhluk hidup terus dibiarkan tanpa upaya pengendalian akan

berakibat makhluk hidup tersebut menuju kepunahan bahkan punah sama sekali; (d) Mampu

mewujudkan keseimbangan lingkungan baik mikro maupun makro, berarti dalam ekosistem

terdapat hubungan yang erat antara makhluk hidup maupun dengan lingkungannya; (e) Mampu

memberi kontribusi terhadap ilmu pengetahuan, berarti upaya konservasi sebagai sarana

pengawetan dan pelestarian flora fauna merupakan penunjang budidaya, sarana untuk

mempelajari flora fauna yang sudah punah maupun belum punah dari sifat, potensi maupun

penggunaannya; (f) Mampu memberi kontribusi terhadap kepariwisataan, berarti ciri-ciri dan
obyeknya yang karakteristik merupakan kawasan ideal sebagai saran rekreasi atau wisata

alam.11

2.1.4. Strategi Konservasi.

Strategi pelestarian nasional memberi ringkasan mengenai sumber daya alam

terpulihkan dari negara tersebut yang berkenaan dengan ekosistem, sumber daya genetik,

sistem produksi alami (hutan margasatwa, perikanan) hidrologi dan kawasan tangkapan air,

ciri-ciri estetika dan geologi, situs budaya dan potensi rekreasi. Juga perlu diidentifikasi

bagaimana suatu bangsa ingin menggunakan sumber daya alamnya serta pola desain tata guna

lahan yang akan tetap menjaga ketersediaan sumber daya alam secara umum memaksimalkan

manfaat jangka panjang dalam batas-batas yang ditentukan oleh kebutuhan spesifik negara

tersebut, seperti ruang untuk hidup, lahan pertanian, hasil hutan, ikan, energi dan industri.

Strategi ini biasanya berupa keputusan untuk menetapkan atau mempertahankan suatu sistem

nasional kawasan yang dilindungi, lebih disukai bila mencakup beberapa kategori kawasan

dengan tujuan pengelolaan yang berbeda. Strategi Konservasi nasional yaitu: (a) Perlindungan

Sistem Penyangga Kehidupan Berdasarkan fungsi utama kawasan dalam penataan ruang, maka

kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, kawasan resapan air, sempadan pantai, sempadan

sungai, kawasan sekitar danau atau waduk, kawasan sekitar mata air, kawasan suaka alam,

hutan bakau, taman nasional, cagar alam, taman wisata alam dan kawasan rawan bencana alam

termasuk dalam kawasan lindung yang keberadaannya perlu dijaga dan di lindungi. Usaha-

usaha dalam tindakan perlindungan sistem penyangga kehidupan, antara lain: (i) Perlindungan

daerah-daerah pegunungan yang berlereng curam dan mudah terjadi erosi dengan membentuk

hutan-hutan dilindungi; (ii) Perlindungan wilayah pantai dengan pengelolaan yang terkendali

bagi daerah hutan bakau dan hutan pantai serta daerah hamparan karang; (iii) Perlindungan

11
KEHATI, Materi Kursus Inventarisasi flora dan fauna Taman Nasional Meru Betiri, Malang: 2000, hal.10.
daerah aliran sungai, lereng perbukitan dan tepi sungai, danau dan ngarai (revine) dengan

pengelolaan yang terkendali terhadap vegetasi; (iv) Pengembangan daerah aliran sungai sesuai

dengan rencana pengembangan secara menyeluruh; (v) Perlindungan daerah hutan luas

misalnya dijadikan taman nasional, suaka marga satwa dan cagar alam; (vi) Perlindungan

tempat-tempat yang mempunyai nilai unik, keindahan yang menarik atau memiliki ciri khas

budaya (cagar budaya); (vii) Mengadakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)

sebagai suatu syarat mutlak untuk melaksanakan semua rencana pembangunan. 12 (b)

Pengawetan keanekaragaman jenis flora fauna beserta ekosistemnya Pengawetan jenis

tumbuhan dan satwa dilakukan dengan cara menetapkan jenis tumbuhan dan satwa yang

dilindungi. Perlindungan terhadap ekosistem dilakukan dengan cara penetapan kawasan suaka

alam. (c) Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistem. Sumber daya

alam hayati dan ekosistemnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat dan menigkatkan mutu kehidupan manusia. Pemanfaatan secara lestari dilakukan

melalui kegiatan: (i) Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam secara

nonkonsumtif seperti pariwisata, penelitian, pendidikan dan pemantauan lingkungan; (ii)

Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar antara lain dengan pengembangan perikanan,

kehutanan dan pemunguntan hasil hutan secara lestari, pengaturan perdagangan flora fauna

melalui peraturan dan pengawasan dalam menentukan jatah (quota) dan perijinan, memajukan

bududaya dan perbaikan selektif (permuliaan) semua jenis yang mempunyai nilai langsung

bagi manusia.13

2.1.5. Cara-cara Konservasi.

12
Bambang Pamulardi, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, PT RajaGrafindo Persada:
Jakarta, cet. 2, hal. 179.
13
Ibid., hal.11.
Kekayaan flora fauna merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan sampai batas-batas

tertentu yang tidak mengganggu kelestarian. Penurunan jumlah dan mutu kehidupan flora

fauna dikendalikan melalui kegiatan konservasi secara insitu maupun eksitu. (a) Konservasi

insitu (di dalam kawasan) adalah konservasi flora fauna dan ekosistem yang dilakukan di dalam

habitat aslinya agar tetap utuh dan segala proses kehidupan yang terjadi berjalan secara alami.

Kegiatan ini meliputi perlindungan contoh-contoh perwakilan ekosistem darat dan laut beserta

flora fauna di dalamnya. Konservasi insitu dilakukan dalam bentuk kawasan suaka alam (cagar

alam, suaka marga satwa), zona inti taman nasional dan hutan lindung. Tujuan konservasi insitu

untuk menjaga keutuhan dan keaslian jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya secara

alami melalui proses evolusinya. Perluasan kawasan sangat dibutuhkan dalam upaya

memelihara proses ekologi yang esensial, menunjang sistem penyangga kehidupan,

mempertahankan keanekaragaman genetik dan menjamin pemanfaatan jenis secara lestari dan

berkelanjutan. (b) Konservasi eksitu (di luar kawasan) adalah upaya konservasi yang dilakukan

dengan menjaga dan mengembangbiakkan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitat alaminya

dengan cara pengumpulan jenis, pemeliharaaan dan budidaya (penangkaran). Konservasi

eksitu dilakukan pada tempat-tempat seperti kebun binatang, kebun botani, taman hutan raya,

kebun raya, penangkaran satwa, taman safari, taman kota dan taman burung. Cara eksitu

merupakan suatu cara memanipulasi obyek yang dilestarikan untuk dimanfaatkan dalam upaya

pengkayaan jenis, terutama yang hampir mengalami kepunahan dan bersifat unik. Cara

konservasi eksitu dianggap sulit dilaksanakan dengan keberhasilan tinggi disebabkan jenis

yang dominan terhadap kehidupan alaminya sulit berdaptasi dengan lingkungan buatan. (c)

Regulasi dan penegakan hukum adalah upaya-upaya mengatur pemanfaatan flora dan fauna

secara bertanggung jawab. Kegiatan kongkritnya berupa pengawasan lalu lintas flora dan

fauna, penetapan quota dan penegakan hukum serta pembuatan Peraturan dan pembuatan

Undang-Undang di bidang konservasi. (d) Peningkatan peran serta masyarakat adalah upaya
untuk meningkatkan kepedulian masyarakat dalam konservasi sumber daya alam hayati.

Program ini dilaksanakan melalui kegiatan pendidikan dan penyuluhan. Dalam hubungan ini

dikenal adanya kelompok pecinta alam, kader konservasi, kelompok pelestari sumber daya

alam, LSM dan lain-lainnya.14

2.1.6. Sejarah Konservasi di Indonesia.

Konservasi sumber daya alam hayati di Indonesia dimulai dengan peraturan mengenai

kehutanan di Jawa dan Madura, yaitu dengan ditetapkannya Reglement op het beheer en de

exploitatie der houtbossen op Java en Madoera pada tahun 1865. Peraturan ini diganti dengan

suatu boschreglement yang baru pada tahun 1874. Pada tahun 1897 diagnti lagi dengan

Reglement voor het den dienst van het Boschwezen op Java en Madoera, keduanya berlaku

sampai tahun 1913. Adapun yang dipakai sebagai landasan kerja Jawatan Kehutanan adalah

yang ditetapkan pada tahun 1927, yaitu Reglement voor het beheer der bosschen van den Lande

op Jawa en Madoera, yang dikenal juga sebagai Boschordonnantie voor Jawa en Madoera

1927.

Untuk hutan di luar Jawa dan Madura pada waktu itu tidak ada peraturannya. Pada

permulaan tahun 1937 telah diajukan Rancangan Boschordonnantie Buitengewesten kepada

Volksraad, akan tetapi sampai pecah Perang Dunia ke-II, rancangan tersebut belum selesai

dibicarakan. Ordonansi yang penting di bidang perlindungan satwa adalah

Dierenbeschermingsordonnantie yang berlaku sejak tanggal 1 Juli 1931 untuk seluruh wilayah

Hindia Belanda (Indonesia ). Berdekatan dengan ordonansi ini adalah peraturan tentang

perburuan, yaitu Jachtordonnantir 1931 dan Jachtordonnantie Java en Madoera 1940.

Ordonansi yang mengatur perlindungan alam adalah Natuurbeschermingsordonnantie 1941.

14
Kumpulan Materi MBSC IX Meru Betiri Service Camp, SukaMade: 1997, hal. 49.
Ordonansi ini mencabut ordonansi yang mengatur cagar-cagar alam dan suaka-suaka

margasatwa, yaitu Natuurmonumenten en Wildreservatenordonnantie 1932 dan

menggantikannya dengan Natuurbeschermingsordonnantie 1941 tersebut.

Ordonansi tersebut dikeluarkan untuk melindungi kekayaan alam di Hindia Belanda

(Indonesia). Peraturan-Peraturan yang tercantum di dalamnya berlaku terhadap suaka-suaka

alam atau Natuurmonumenten, dengan perbedaan atas suaka-suaka margasatwa dan cagar-

cagar alam. Keempat ordonansi tersebut di atas, yaitu Dierenbeschermingsordonnantie 1931,

Jachtordonnantie 1931, Jachtordonnantie Java en Madoera 1940, dan

Natuurbeschermingsordonnantie 1941 dicabut berlakunya dengan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya, yang diundangkan pada tanggal 10 Agustus 1990. 15

Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tersebut

di antaranya menyatakan bahwa Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa

kekayaan berupa sumber daya alam yang berlimpah, baik di darat, di perairan maupun di udara

yang merupakan modal dasar pembangunan nasional di segala bidang. Modal dasar sumber

daya alam tersebut harus dilindungi, dipelihara, dilestarikan, dan dimanfaatkan secara optimal

bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan mutu kehidupan manusia pada

umumnya menurut cara yang menjamin keserasian, keselarasan dan keseimbangan, baik antara

manusia dengan Tuhan penciptanya, antara manusia dengan masyarakat maupun antara

manusia dengan ekosistemnya. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya sebagai bagian dari modal dasar tersebut pada hakikatnya merupakan bagian

integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila. Sumber

15
Koesnadi Hardjasoemantri, 1991, Hukum Perlindungan Lingkungan; Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya, cet. 1, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta, hal. 2.
daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan bagian terpenting dari sumber daya alam yang

terdiri dari alam hewani, alam nabati ataupun berupa fenomena alam, baik secara masing-

masing maupun bersama-sama mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk

lingkungan hidup, yang kehadirannya tidak dapat diganti. Mengingat sifatnya yang tidak dapat

diganti dan mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan manusia, maka upaya

konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah menjadi kewajiban mutlak dari

tiap generasi. Tindakan yang tidak bertanggung jawab yang dapat menimbulkan kerusakan

pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam ataupun tindakan yang melanggar

ketentuan tentang perlindungan tumbuhan dan satwa yang dilindungi, diancam dengan pidana

yang berat berupa pidana badan dan denda. Pidana yang berat tersebut dipandang perlu karena

kerusakan atau kepunahan salah satu unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya akan

mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat yang tidak dapat dinilai dengan materi,

sedangkan pemulihannya kepada keadaan semula tidak mungkin lagi. Oleh karena sifatnya

yang luas dan menyangkut kepentingan masyarakat secara keseluruhan, maka upaya

konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan

kewajiban Pemerintah serta masyarakat. Peran serta rakyat akan diarahkan dan digerakkan oleh

Pemerintah melalui kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna. Untuk itu, Pemerintah

berkewajiban meningkatkan pendidikan dan penyuluhan bagi masyarakat dalam rangka sadar

konservasi.

Berhasilnya Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berkaitan erat

dengan tercapainya tiga sasaran konservasi, yaitu: (a) Menjamin terpeliharanya proses ekologis

yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan

kesejahteraan manusia (perlindungan sistem penyangga kehidupan); (b) menjamin

terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya sehingga mampu

menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan


kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati bagi kesejahteraan

(pengawetan sumber plasma nutfah); (c) mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya

alam hayati sehingga terjamin kelestariannya. Akibat sampingan penerapan ilmu pengetahuan

dan teknologi yang kurang bijaksana, belum harmonisnya penggunaan dan peruntukan tanah

serta belum berhasilnya sasaran konservasi secara optimal, baik di darat maupun perairan,

dapat mengakibatkan timbulnya gejala erosi genetik, polusi, dan penurunan potensi sumber

daya alam hayati (pemanfaatan secara lestari).

Mengingat Negara Republik Indonesia adalah negara berdasar atas hukum, maka

pengelolaan konservasi sumber daya alam hayati beserta ekosistemnya perlu diberi dasar

hukum yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi usaha

pengelolaan tersebut. Dewasa ini kenyataan menunjukkan bahwa peraturan perundang-

undangan yang mengatur konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang bersifat

nasional belum ada. Peraturan perundan-gundangan warisan pemerintah kolonial yang

beraneka ragam coraknya, sudah tidak sesuai lagi dengan tingkat perkembangan hukum dan

kebutuhan bangsa Indonesia. Perubahan-perubahan yang menyangkut aspek-aspek

pemerintahan, perkembangan kependudukan, ilmu pengetahuan, dan tuntutan keberhasilan

pembangunan pada saat ini menghendaki Peraturan Perundang-undangan di bidang konservasi

sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang bersifat nasional sesuai dengan aspirasi

bangsa Indonesia. Upaya pemanfaatan secara lestari sebagai salah satu aspek konservasi

sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, belum sepenuhnya dikembangkan sesuai dengan

kebutuhan. Demikian pula pengelolaan kawasan pelestarian alam dalam bentuk taman

nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam, yang menyatukan fungsi perlindungan

sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta

ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari. Peraturan Perundang-undangan yang bersifat

nasional yang ada kaitannya dengan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
seperti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Kehutanan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1982

Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah mengalami

Perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1982

Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1988,

dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan belum

mengatur secara lengkap dan belum sepenuhnya dapat dipakai sebagai dasar hukum untuk

pengaturan lebih lanjut. Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya yang bersifat nasional dan menyeluruh sangat diperlukan sebagai dasar hukum

untuk mengatur perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis

tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam

hayati dan ekosistemnya agar dapat menjamin pemanfaatannya bagi kesejahteraan masyarakat

dan peningkatan mutu kehidupan manusia.16

2.2. Pengaturan (Regulasi) tentang berbagai Ketentuan yang mengatur

tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; dan

Kebijakan Strategis Nasional dalam Penataan Ruang secara Nasional dan

Daerah.

2.2.1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

16
Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419).
Pasal 18 ayat (1) berbunyi Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-

daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,

kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-

Undang.

Pasal 18 ayat (2) berbunyi Pemerintahan Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Kota

mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut Asas Otonomi dan Tugas

Pembantuan.

Pasal 18 ayat (3) berbunyi Pemerintahan Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Kota

memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui

pemilihan umum.

Pasal 18 ayat (4) berbunyi Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai

Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.

Pasal 18 ayat (5) berbunyi Pemerintah Daerah menjalankan Otonomi seluas-luasnya,

kecuali Urusan Pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai Urusan

Pemerintah Pusat.

Pasal 18 ayat (6) berbunyi Pemerintahan Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah

dan Peraturan-Peraturan lain untuk melaksanakan Otonomi dan Tugas Pembantuan.

Pasal 18 ayat (7) berbunyi Susunan dan Tata Cara Penyelenggaraan Pemerintahan

Daerah diatur dalam Undang-Undang.17

17
Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 18A ayat (1) berbunyi Hubungan Wewenang antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota atau antara Provinsi dan Kabupaten dan

Kota, diatur dengan Undang-Undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman

Daerah.

Pasal 18A ayat (2) berbunyi Hubungan Keuangan, Pelayanan Umum, Pemanfatan

Sumber Daya Alam dan Sumber Daya lainnya antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan

Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang.18

Pasal 18B ayat (1) berbunyi Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan

Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-

Undang.

Pasal 18B ayat (2) berbunyi Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur

dalam Undang-Undang.19

2.2.2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

Kehutanan.

Undang-Undang Kehutanan ini diundangkan pada tanggal 24 Mei 1967. Undang-

Undang ini telah mengalami beberapa perubahan berhubung semakin penting akan

pengawasan hutan dan pelestarian dalam perkembangan hidup di zaman modern ini.

18
Pasal 18A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
19
Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 1 Angka 9 berbunyi Hutan Konservasi adalah Kawasan Hutan dengan ciri khas

tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa

serta ekosistemnya.20

Pasal 6 ayat (1) berbunyi Hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu: (a) Fungsi Konservasi; (b)

Fungsi Lindung, dan; (c) Fungsi Produksi.

Pasal 6 ayat (2) berbunyi Pemerintah menetapkan Hutan berdasarkan Fungsi Pokok

sebagai berikut: (a) Hutan Konservasi; (b) Hutan Lindung, dan; (c) Hutan Produksi.21

Pasal 7 berbunyi Hutan Konservasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf

a terdiri dari: a) Kawasan Hutan Suaka Alam; b) Kawasan Hutan Pelestarian Alam, dan; c)

Taman Buru.22

Pasal 8 ayat (1) berbunyi Pemerintah dapat menetapkan Kawasan Hutan tertentu untuk

tujuan khusus.

Pasal 8 ayat (2) Penetapan kawasan hutan dengan tujuan khusus, sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diperlukan untuk kepentingan umum seperti: a) penelitian dan pengembangan; b)

pendidikan dan latihan, dan; c) religi dan budaya.

Pasal 8 ayat (3) Kawasan Hutan dengan tujuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), tidak mengubah Fungsi Pokok Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.23

20
Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167).
21
Perhatikan Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167).
22
Perhatikan Penjelasan Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167).
23
Perhatikan Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167).
2.2.3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-Undang ini diundangkan pada tanggal 11 Maret 1982, selanjutnya disingkat

UULH (Undang-Undang Lingkungan Hidup).

Pasal 2 berbunyi Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dilaksanakan

berdasarkan asas: a) tanggung jawab negara; b) kelestarian dan keberlanjutan; c) keserasian

dan keseimbangan; d) keterpaduan; e) manfaat; f) kehati-hatian; g) keadilan; h) ekoregion; i)

keanekaragaman hayati; j) pencemar membayar; k) partisipatif; l) kearifan lokal; m) tata kelola

pemerintahan yang baik; dan n) otonomi daerah.24

Pasal 3 berbunyi Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bertujuan: a)

melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan hidup; b) menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia; c) menjamin

kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem; d) menjaga kelestarian

fungsi lingkungan hidup; e) mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan

hidup; f) menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan; g)

menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak

asasi manusia; h) mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana; i)

mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan j) mengantisipasi isu lingkungan global. 25

Pasal 57 ayat (1) berbunyi Pemeliharaan Lingkungan Hidup dilakukan melalui upaya: a)

Konservasi Sumber Daya Alam; b) Pencadangan Sumber Daya Alam; dan/atau c) Pelestarian

Fungsi Atmosfer.

24
Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5059).
25
Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5059).
Pasal 57 ayat (2) berbunyi Konservasi Sumber Daya Alam sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf a meliputi kegiatan: a) Perlindungan Sumber Daya Alam; b) Pengawetan Sumber

Daya Alam; dan c) Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam.

Pasal 57 ayat (3) berbunyi Pencadangan Sumber Daya Alam sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf b merupakan Sumber Daya Alam yang tidak dapat dikelola dalam jangka waktu

tertentu.

Pasal 57 ayat (4) berbunyi Pelestarian Fungsi Atmosfer sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf c meliputi: a) Upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim; b) Upaya Perlindungan

lapisan ozon; dan c) Upaya Perlindungan terhadap hujan asam.26

2.2.4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Undang-Undang ini yang selanjutnya disebut Undang-Undang Konservasi Hayati

(UUKH), diundangkan pada tanggal 10 Agustus 1990. Dalam Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya, Penulis mendefinisikan Konsiderans (Pertimbangan) dalam UUKH bahwa

Sumber Daya Alam Hayati Indonesia dan Ekosistemnya; serta Unsur-unsur Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya yang mempunya kedudukan serta peranan penting bagi

kehidupan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, dimana pada dasarnya saling tergantung

antara satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi sehingga kerusakan dan kepunahan

salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem, oleh karena itu perlu dikelola dan

dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan seimbang serta terpelihara dengan sebaik-

baiknya bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada

umumnya, baik masa kini maupun masa depan. Dalam hal ini, Penulis memaparkan aturan atau

26
Perhatikan Penjelasan Pasal 57 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059).
ketentuan yang mengatur tentang pemanfaatan, pelestarian, pengawetan dan perlindungan

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati sebagai berikut:

Pasal 1 Angka 2 berbunyi bahwa Konservasi Sumber Daya Alam Hayati adalah

Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana

untuk menjamin kesinambungan persediannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan

kualitas keanekaragaman dan nilainya. 27

Pasal 2 berbunyi bahwa Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

berasaskan Pelestarian Kemampuan dan Pemantapan Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya secara serasi dan seimbang28

Pasal 3 berbunyi bahwa Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan

ekosistemnya sehingga dapat dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan

masyarakat dan mutu kehidupan manusia.29

Pasal 5 berbunyi Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dilakukan

melalui kegiatan: a) Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan; b) Pengawetan

keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; c) Pemanfaatan secara

lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. 30

2.2.5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

27
Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419).
28
Perhatikan Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419).
29
Perhatikan Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419).
30
Perhatikan Penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419).
Pasal 4 berbunyi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilaksanakan

dengan tujuan: (a) melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan

memperkaya Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta sistem ekologisnya secara

berkelanjutan; (b) menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintah

Daerah dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; (c) memperkuat peran

serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam

pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan,

dan keberkelanjutan; dan d) meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya Masyarakat

melalui peran serta masyarakat dalam Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil.31

Pasal 23 ayat (1) berbunyi Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya

dilakukan berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomis secara menyeluruh dan terpadu dengan

pulau besar di dekatnya.

Pasal 23 ayat (2) berbunyi Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya

diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan berikut: (a) konservasi; (b) pendidikan

dan pelatihan; (c) penelitian dan pengembangan; (d) budidaya laut; (e) pariwisata; (f) usaha

perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari; (g) pertanian organik; dan/atau;

(h) peternakan.

Pasal 23 ayat (3) berbunyi kecuali untuk tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan,

serta penelitian dan pengembangan, Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya

wajib: (a) memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan; (b) memperhatikan kemampuan

sistem tata air setempat; serta c) menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.

31
Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4739).
Pasal 23 ayat (4) berbunyi Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan memenuhi persyaratan pada ayat (3) wajib

mempunyai HP-3 yang diterbitkan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan

kewenangannya.

Pasal 23 ayat (5) berbunyi Untuk pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan perairan di

sekitarnya yang telah digunakan untuk kepentingan kehidupan Masyarakat, Pemerintah atau

Pemerintah Daerah menerbitkan HP-3 setelah melakukan musyawarah dengan Masyarakat

yang bersangkutan.32

Pasal 28 ayat (1) berbunyi Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

diselenggarakan untuk: (a) menjaga kelestarian Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; (b)

melindungi alur migrasi ikan dan biota laut lain; (c) melindungi habitat biota laut; dan d)

melindungi situs budaya tradisional.

Pasal 28 ayat (2) berbunyi Untuk kepentingan konservasi sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), sebagian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dapat ditetapkan sebagai Kawasan

Konservasi.

Pasal 28 ayat (3) berbunyi Kawasan Konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

yang mempunyai ciri khas sebagai satu kesatuan Ekosistem diselenggarakan untuk melindungi:

(a) sumber daya ikan; (b) tempat persinggahan dan/atau alur migrasi biota laut lain; (c) wilayah

yang diatur oleh adat tertentu, seperti sasi, ma mane'e, panglima laot, awig-awig, dan/atau

istilah lain adat tertentu; dan (d) ekosistem pesisir yang unik dan/atau rentan terhadap

perubahan.33

32
Pasal 23 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4739).
33
Perhatikan Penjelasan Pasal 28 ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739).
2.2.6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan

Ruang.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang

merupakan Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang.

Undang-Undang tersebut selanjutnya disingkat UU Penataan Ruang atau UU Tata Ruang.

Pasal 2 berbunyi Dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, penataan ruang

diselenggarakan berdasarkan asas: (a) keterpaduan; (b) keserasian, keselarasan, dan

keseimbangan; (c) keberlanjutan; (d) keberdayagunaan dan keberhasilgunaan; (e) keterbukaan;

(f) kebersamaan dan kemitraan; (g) pelindungan kepentingan umum; (h) kepastian hukum dan

keadilan; dan (i) akuntabilitas.34

2.2.7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintahan Daerah.

Pasal 57 berbunyi Penyelenggara Pemerintahan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota

terdiri atas Kepala Daerah dan DPRD dibantu oleh Perangkat Daerah.

Pasal 58 berbunyi Penyelenggara Pemerintahan Daerah, sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 57, dalam menyelenggarakan Pemerintahan Daerah berpedoman pada Asas

Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang terdiri atas: (a) kepastian hukum; (b) tertib

penyelenggara negara; (c) kepentingan umum; (d) keterbukaan; (e) proporsionalitas; (f)

profesionalitas; (g) akuntabilitas; (h) efisiensi; (i) efektivitas; dan (j) keadilan.35

34
Perhatikan Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4725).
35
Perhatikan Penjelasan Pasal 58 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5679).
2.2.8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang

Penanggulan Bencana.

Pasal 5 berbunyi bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjadi penanggung jawab

dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.36

Pasal 6 berbunyi bahwa Tanggung jawab Pemerintah dalam Penyelenggaraan

Penanggulangan Bencana meliputi: (a) pengurangan risiko bencana dan pemaduan

pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan; (b) pelindungan masyarakat dari

dampak bencana; (c) penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena

bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum; (d) pemulihan kondisi dari

dampak bencana; (e) pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam anggaran

pendapatan dan belanja negara yang memadai; (f) pengalokasian anggaran penanggulangan

bencana dalam bentuk dana siap pakai; dan (g) pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan

kredibel dari ancaman dan dampak bencana.37

2.2.9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 Tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia mengatur tentang Kebijakan dan

Strategis Penataan Ruang Wilayah Nasional yang diatur sebagai berikut:

Pasal 4 berbunyi Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah nasional meliputi

kebijakan dan strategi pengembangan struktur ruang dan pola ruang. 38

Pasal 5 ayat (1) berbunyi Kebijakan pengembangan struktur ruang sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4 meliputi: (a) peningkatan akses pelayanan perkotaan dan pusat

36
Perhatikan Penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4723).
37
Perhatikan Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4723).
38
Perhatikan Penjelasan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833).
pertumbuhan ekonomi wilayah yang merata dan berhierarki; dan (b) peningkatan kualitas dan

jangkauan pelayanan jaringan prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, dan sumber daya

air yang terpadu dan merata di seluruh wilayah nasional.

Pasal 5 ayat (2) berbunyi Strategi untuk peningkatan akses pelayanan perkotaan dan pusat

pertumbuhan ekonomi wilayah meliputi: (a) menjaga keterkaitan antarkawasan perkotaan,

antara Kawasan Perkotaan dan Kawasan Perdesaan, serta antara Kawasan Perkotaan dan

Wilayah di sekitarnya; (b) mengembangkan pusat pertumbuhan baru di kawasan yang belum

terlayani oleh pusat pertumbuhan; (c) mengendalikan perkembangan kota-kota pantai; dan (d)

mendorong kawasan perkotaan dan pusat pertumbuhan agar lebih kompetitif dan lebih efektif

dalam pengembangan wilayah di sekitarnya.

Pasal 5 ayat (3) berbunyi Strategi untuk peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan

jaringan prasarana meliputi: (a) meningkatkan kualitas jaringan prasarana dan mewujudkan

keterpaduan pelayanan transportasi darat, laut, dan udara; (b) mendorong pengembangan

prasarana telekomunikasi terutama di kawasan terisolasi; (c) meningkatkan jaringan energi

untuk memanfaatkan energi terbarukan dan tak terbarukan secara optimal serta mewujudkan

keterpaduan sistem penyediaan tenaga listrik; (d) meningkatkan kualitas jaringan prasarana

serta mewujudkan keterpaduan sistem jaringan sumber daya air; dan (e) meningkatkan jaringan

transmisi dan distribusi minyak dan gas bumi, serta mewujudkan sistem jaringan pipa minyak

dan gas bumi nasional yang optimal.39

Pasal 6 berbunyi bahwa Kebijakan dan Strategi Pengembangan Pola Ruang sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4 meliputi: (a) Kebijakan dan Strategi pengembangan Kawasan

39
Perhatikan Penjelasan Pasal 5 ayat (2) huruf b Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun
2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833).
Lindung; (b) Kebijakan dan Strategi pengembangan Kawasan Budi Daya; dan (c) Kebijakan

dan Strategi pengembangan Kawasan Strategis Nasional.40

Pasal 7 ayat (1) berbunyi Kebijakan pengembangan Kawasan Lindung sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 6 huruf a meliputi: (a) pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi

Lingkungan Hidup; dan (b) pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat

menimbulkan kerusakan Lingkungan Hidup.

Pasal 7 ayat (2) Strategi untuk pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi

Lingkungan Hidup meliputi: (a) menetapkan Kawasan Lindung di ruang darat, ruang laut, dan

ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi; (b) mewujudkan Kawasan berfungsi Lindung

dalam satu wilayah pulau dengan luas paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas pulau

tersebut sesuai dengan kondisi ekosistemnya; dan (c) mengembalikan dan meningkatkan fungsi

kawasan lindung yang telah menurun akibat pengembangan kegiatan budi daya, dalam rangka

mewujudkan dan memelihara keseimbangan ekosistem wilayah.

Pasal 7 ayat (3) berbunyi Strategi untuk pencegahan dampak negatif kegiatan manusia

yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup meliputi: (a) menyelenggarakan upaya

terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup; (b) melindungi kemampuan lingkungan

hidup dari tekanan perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan

agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya; (c)

melindungi kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain

yang dibuang ke dalamnya; (d) mencegah terjadinya tindakan yang dapat secara langsung atau

tidak langsung menimbulkan perubahan sifat fisik lingkungan yang mengakibatkan lingkungan

hidup tidak berfungsi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan; (e) mengendalikan

pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana untuk menjamin kepentingan generasi masa

40
Pasal 6 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4833).
kini dan generasi masa depan; (f) mengelola sumber daya alam tak terbarukan untuk menjamin

pemanfaatannya secara bijaksana dan sumber daya alam yang terbarukan untuk menjamin

kesinambungan ketersediaannya dengan tetap.41

Pasal 8 ayat (1) berbunyi Kebijakan pengembangan Kawasan budi daya sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 6 huruf b meliputi: (a) perwujudan dan peningkatan keterpaduan dan

keterkaitan antarkegiatan budi daya; dan (b) pengendalian perkembangan kegiatan budi daya

agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Pasal 8 ayat (2) berbunyi Strategi untuk perwujudan dan peningkatan keterpaduan dan

keterkaitan antarkegiatan budi daya meliputi: (a) menetapkan Kawasan budi daya yang

memiliki nilai strategis nasional untuk pemanfaatan sumber daya alam di ruang darat, ruang

laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi secara sinergis untuk mewujudkan

keseimbangan Pemanfaatan Ruang wilayah; (b) mengembangkan kegiatan budi daya unggulan

di dalam Kawasan beserta prasarana secara sinergis dan berkelanjutan untuk mendorong

pengembangan perekonomian kawasan dan wilayah sekitarnya; (c) mengembangkan kegiatan

budi daya untuk menunjang aspek politik, pertahanan dan keamanan, sosial budaya, serta ilmu

pengetahuan dan teknologi; (d) mengembangkan dan melestarikan kawasan budi daya

pertanian pangan untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional; (e) mengembangkan pulau-

pulau kecil dengan pendekatan gugus pulau untuk meningkatkan daya saing dan mewujudkan

skala ekonomi; dan (f) mengembangkan kegiatan pengelolaan sumber daya kelautan yang

bernilai ekonomi tinggi di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), Zona Ekonomi Ekslusif

Indonesia, dan/atau landas kontinen untuk meningkatkan perekonomian nasional.

Pasal 8 ayat (3) berbunyi Strategi untuk pengendalian perkembangan kegiatan budi daya

agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan meliputi: (a) membatasi

41
Perhatikan Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf b Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun
2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833).
perkembangan kegiatan budi daya terbangun di kawasan rawan bencana untuk meminimalkan

potensi kejadian bencana dan potensi kerugian akibat bencana; (b) mengembangkan perkotaan

metropolitan dan kota besar dengan mengoptimalkan pemanfaatan ruang secara vertikal dan

kompak; (c) mengembangkan ruang terbuka hijau dengan luas paling sedikit 30% (tiga puluh

persen) dari luas kawasan perkotaan; dan (d) membatasi perkembangan kawasan terbangun di

kawasan perkotaan besar dan metropolitan untuk mempertahankan tingkat pelayanan prasarana

dan sarana kawasan perkotaan serta mempertahankan fungsi kawasan perdesaan di sekitarnya.

(e) mengembangkan kegiatan Budi Daya yang dapat mempertahankan keberadaan Pulau-Pulau

Kecil.42

2.3.0. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 tentang

Penyelenggaraan Penataan Ruang.

Pasal 2 berbunyi Pengaturan penataan ruang diselenggarakan untuk: a) mewujudkan

ketertiban dalam penyelenggaraan penataan ruang; b) memberikan kepastian hukum bagi

seluruh pemangku kepentingan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab serta hak dan

kewajibannya dalam penyelenggaraan penataan ruang; dan c) mewujudkan keadilan bagi

seluruh pemangku kepentingan dalam seluruh aspek penyelenggaraan penataan ruang. 43

2.3.1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2010 Tentang

Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang.

Pasal 3 berbunyi Peraturan Pemerintah ini mengatur bentuk dan tata cara peran

masyarakat dalam penataan ruang pada tahap perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan

pengendalian pemanfaatan ruang di tingkat Nasional, Provinsi, dan/atau Kabupaten/Kota. 44

42
Perhatikan Penjelasan Pasal 8 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun
2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833).
43
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5103).
44
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2011 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran
Masyarakat Dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 118, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5160).
Pasal 4 berbunyi Tujuan pengaturan bentuk dan tata cara peran masyarakat dalam

Penataan Ruang adalah: a) menjamin terlaksananya hak dan kewajiban masyarakat di bidang

penataan ruang sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; b) mendorong peran

masyarakat dalam penataan ruang; c) menciptakan masyarakat yang ikut bertanggung jawab

dalam Penataan Ruang; d) mewujudkan pelaksanaan Penataan Ruang yang transparan, efektif,

akuntabel, dan berkualitas; dan e) meningkatkan kualitas pelayanan dan pengambilan

kebijakan penataan ruang.45

2.3.2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2016 Tentang

Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).

Dalam Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang setiap Perencanaan atau Pelaksanaan

Pembangunan suatu wilayah dalam Pola Tata Ruang Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota wajib

diperlukan sebagai dasar pembangunan berkelanjutan adalah sebagai berikut:

Pasal 2 ayat (1) berbunyi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib membuat

KLHS untuk memastikan bahwa prinsip Pembangunan Berkelanjutan telah menjadi dasar dan

terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau Kebijakan, Rencana, dan/atau

Program.

Pasal 2 ayat (2) berbunyi KLHS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan

ke dalam penyusunan atau evaluasi: (a) Rencana Tata Ruang Wilayah beserta rencana rincinya,

RPJP Nasional, RPJP Daerah, RPJM Nasional, dan RPJM Daerah; dan (b) Kebijakan,

Rencana, dan/atau Program yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko Lingkungan

Hidup.46

45
Pasal 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran
Masyarakat Dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 118, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5160).
46
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2016 Tentang Kajian Lingkungan Hidup
Strategis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 228, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5941).
Pasal 3 ayat (1) berbunyi Selain rencana tata ruang wilayah beserta rencana rincinya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a, KLHS wajib dilaksanakan dalam

penyusunan atau evaluasi rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil beserta rencana

rincinya, rencana zonasi kawasan strategis nasional tertentu untuk pulau-pulau kecil terluar

serta rencana pengelolaan dan zonasi kawasan konservasi perairan.

Pasal 3 ayat (2) berbunyi Kebijakan, Rencana, dan/atau Program yang berpotensi

menimbulkan dampak dan/atau risiko Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal

2 ayat (2) huruf b, meliputi: (a) Kebijakan, Rencana, dan/atau Program pemanfaatan ruang

dan/atau lahan yang ada di daratan, perairan, dan udara yang berpotensi menimbulkan dampak

dan/atau risiko Lingkungan Hidup yang meliputi: 1) perubahan iklim; 2) kerusakan,

kemerosotan, dan/atau kepunahan keanekaragaman hayati; 3) peningkatan intensitas dan

cakupan wilayah bencana banjir, longsor, kekeringan, dan/atau kebakaran hutan dan lahan; 4)

penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam; 5) peningkatan alih fungsi kawasan hutan

dan/atau lahan; 6) peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya keberlanjutan

penghidupan sekelompok masyarakat; dan/atau 7) peningkatan risiko terhadap kesehatan dan

keselamatan manusia; dan (b) Kebijakan, Rencana, dan/atau Program lain berdasarkan

permintaan masyarakat.

Pasal 3 ayat (3) berbunyi Penyusun Kebijakan, Rencana, dan/atau Program menetapkan

Kebijakan, Rencana, dan/atau Program yang wajib dilaksanakan KLHS berdasarkan ketentuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a.47

2.3.3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Izin

Lingkungan.

47
Perhatikan Penjelasan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2016
Tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 228,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5941).
Dalam Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang usaha/kegiatan yg dimiliki oleh orang

itu baik itu orang-perseorangan dan/atau badan hukum dalam rangka perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat memperoleh izin Usaha dan/atau Kegiatan

adalah sebagai berikut:

Pasal 1 Angka 1 berbunyi Izin Lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap

orang yang melakukan Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL dalam

rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat memperoleh izin

Usaha dan/atau Kegiatan.48

Pasal 1 Angka 2 berbunyi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, yang

selanjutnya disebut Amdal, adalah kajian mengenai dampak penting suatu Usaha dan/atau

Kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan

keputusan tentang penyelenggaraan Usaha dan/atau Kegiatan. 49

Pasal 1 Angka 3 berbunyi Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan

Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut UKL-UPL, adalah pengelolaan dan pemantauan

terhadap Usaha dan/atau Kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup

yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan Usaha dan/atau

Kegiatan.50

Pasal 2 ayat (1) berbunyi Setiap Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki Amdal

atau UKL-UPL wajib memiliki Izin Lingkungan.

48
Pasal 1 Angka 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5285).
49
Pasal 1 Angka 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5285).
50
Pasal 1 Angka 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5285).
Pasal 2 ayat (2) berbunyi Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh

melalui tahapan kegiatan yang meliputi: a) penyusunan Amdal dan UKL-UPL; b) penilaian

Amdal dan pemeriksaan UKL-UPL; dan c) permohonan dan penerbitan Izin Lingkungan. 51

2.3.4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Pasal 2 ayat (1) berbunyi Analisis mengenai dampak lingkungan hidup merupakan

bagian kegiatan studi kelayakan rencana usaha dan/atau kegiatan.

Pasal 2 ayat (2) berbunyi Hasil analisis mengenai dampak lingkungan hidup digunakan

sebagai bahan perencanaan pembangunan wilayah.

Pasal 2 ayat (3) berbunyi Penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan hidup dapat

dilakukan melalui pendekatan studi terhadap usaha dan/atau kegiatan tunggal, terpadu atau

kegiatan dalam kawasan.52

Pasal 7 ayat (1) berbunyi Analisis mengenai dampak lingkungan hidup merupakan syarat

yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang

diterbitkan oleh pejabat yang berwenang. 53

Pasal 14 ayat (1) berbunyi Kerangka acuan sebagai dasar pembuatan analisis dampak

lingkungan hidup disusun oleh pemrakarsa.54

Pasal 17 ayat (1) berbunyi Pemrakarsa menyusun analisis dampak lingkungan hidup,

rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup,

51
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5285).
52
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 59).
53
Pasal 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59).
54
Pasal 14 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59).
berdasarkan kerangka acuan yang telah mendapatkan keputusan dari instansi yang bertanggung

jawab.

Pasal 17 ayat (2) berbunyi Penyusunan analisis dampak lingkungan hidup, rencana

pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup, berpedoman pada

pedoman penyusunan analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan

hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang ditetapkan oleh Kepala instansi yang

ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.55

2.3.5. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 122 Tahun 2012 Tentang

Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Pasal 2 ayat (3) berbunyi Reklamasi tidak dapat dilakukan pada Kawasan Konservasi dan

alur laut.56

Pasal 3 ayat (1) berbunyi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan setiap orang yang akan

melaksanakan reklamasi wajib membuat perencanaan Reklamasi.

Pasal 3 ayat (2) berbunyi Perencanaan Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan melalui kegiatan: (a) penentuan lokasi; (b) penyusunan rencana induk; (c) studi

kelayakan; dan (d) penyusunan rancangan detail.57

Pasal 26 berbunyi bahwa Pelaksanaan Reklamasi wajib menjaga dan memperhatikan: (a)

keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat; (b) keseimbangan antara kepentingan

pemanfaatan dan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil; serta

(c) persyaratan teknis pengambilan, pengerukan, dan penimbunan material.58

55
Pasal 17 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59).
56
Pasal 2 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 122 Tahun 2012 Tentang Reklamasi Di Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 267).
57
Pasal 3 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 122 Tahun 2012 Tentang Reklamasi Di Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 267).
58
Pasal 26 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 122 Tahun 2012 Tentang Reklamasi Di Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 267).
Pasal 31 ayat (1) berbunyi Monitoring dan Evaluasi Reklamasi dilakukan oleh Menteri,

Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup, Gubernur, Bupati/Walikota atau Pejabat yang ditunjuk sesuai

dengan kewenangannya.

Pasal 31 ayat (2) berbunyi Monitoring dan Evaluasi sebagaimana yang dimaksud pada

ayat (1) dilakukan pada tahap pelaksanaan Reklamasi agar sesuai dengan perencanaan dan Izin

Lingkungan.59

2.3.6. Peraturan Menteri Pekerjaan dan Perumahan Umum Nomor 40/PRT/M Tahun

2007 Tentang Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai.

Pasal 2 ayat (1) berbunyi Pengaturan Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan

Reklamasi Pantai dimaksudkan untuk memberikan acuan bagi pemerintah daerah dalam

perencanaan tata ruang pada kawasan yang sudah dilakukan Reklamasi.

Pasal 2 ayat (2) berbunyi Pengaturan Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan

Reklamasi Pantai bertujuan untuk mewujudkan Rencana Tata Ruang di Kawasan Reklamasi

Pantai agar sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. 60

2.3.7. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029.

Pasal 2 berbunyi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi didasarkan asas: (a) Tri Hita

Karana; (b) Sad Kertih; (c) keterpaduan; (d) keserasian, keselarasan dan keseimbangan; (e)

keberlanjutan; (f) keberdayagunaan dan keberhasilgunaan; (g) keterbukaan; (h) kebersamaan

59
Pasal 31 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 122 Tahun 2012 Tentang Reklamasi Di Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 267).
60
Pasal 2 Peraturan Menteri Pekerjaan dan Perumahan Umum Nomor 40/PRT/M Tahun 2007 Tentang Pedoman
Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai.
dan kemitraan; (i) perlindungan kepentingan umum; (j) kepastian hukum dan keadilan; dan (k)

akuntabilitas.61

2.3.8. Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 Tentang Rencana

Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung Tahun 2013-2033.

Pasal 3 berbunyi Penataan Ruang Wilayah Kabupaten bertujuan untuk mewujudkan

Kabupaten Badung sebagai Pusat Kegiatan Nasional dan destinasi pariwisata internasional

yang berkualitas, berdaya saing dan berjatidiri budaya Bali melalui sinergi pengembangan

Wilayah Badung Utara, Badung Tengah dan Badung Selatan secara berkelanjutan berbasis

kegiatan pertanian, jasa dan kepariwisataan menuju kesejahteraan masyarakat sebagai

implementasi dari falsafah Tri Hita Karana.62

B. LANDASAN TEORITIS

2.3. Teori Legislasi.

Teori Legislasi merupakan salah satu teori yang sangat penting di dalam kerangka

menganalisis tentang proses penyusunan Peraturan Perundang-undangan. Karena dengan

adanya teori itu, dapat digunakan untuk menilai tentang produk Perundang-undangan yang

akan dibuat, apakah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat tersebut, sesuai atau tidak

dengan teori legislasi. Teori Legislasi berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu legislation

of theory, bahasa Belandanya, disebut dengan theorie van de wetgeving (teori membuat atau

menyusun Undang-Undang), sedangkan dalam bahasa Jerman disebut theorie der

gesetzgebung.

61
Perhatikan Penjelasan Pasal 2 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi Bali 2009-2029 (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2009 Nomor 16, Tambahan
Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 15).
62
Pasal 3 Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Badung Tahun 2013-2033 (Lembaran Daerah Kabupaten Badung Tahun 2013 Nomor 26, Tambahan
Lembaran Daerah Kabupaten Badung Nomor 25).
Ada dua suku kata yang terdapat dalam teori legislasi, yaitu teori dan legislasi.

Pengertian Legislasi disajikan dari pandangan para ahli dan yang tercantum dalam kamus

hukum. Anis Ibrahim menyajikan pengertian legislasi, Legislasi sebagai: suatu proses

pembuatan hukum dalam rangka melahirkan hukum positif. Legislasi ini dimulai dari tahap

perencanaan pembuatan hukum, penyusunan, formulasi, pembahasan, pengesahan,

pengundangan, hingga sosialisasi produk hukum. (dalam arti hukum Perundang-

undangan/Peraturan Perundang-undangan).63 Undang-Undang yang mengatur tentang

penyusunan legislasi telah ditentukan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4

Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang telah disempurnakan

dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Perundang-undangan/Peraturan Perundang-undangan dengan Landasan Filosofis, Sosiologis

dan Yuridis.

Landasan Filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangan

pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebantinan serta falsafah

bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan Landasan Sosiologis menggambarkan

bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.

Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan

masalah dan kebutuhan masyarakat. Sedangkan Landasan Yuridis menggambarkan bahwa

Peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan

hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan

dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. 64

63
Anis Ibrahim, Legislasi Dalam Perspektif Demokrasi: Analisis Interaksi Poltiik Dan Hukum Dalam Proses
Pembentukan Peraturan Daerah Di Jawa Timur, Program Doktor Ilmu Hukum Undip, Semarang, 2008, hal.
114.
64
H. Salim HS, Penerapan Teori Hukum pada Peneltiian Tesis dan Disertasi (Edisi Pertama), cet. 4, Rajawali
Pers: Jakarta, 2016, hal. 38-39.
2.4. Teori Kewenangan.

Istilah teori kewenangan berasal dari terjemahan bahasa Inggris, yaitu authority of

theory, istilah yang digunakan dalam bahasa Belanda, yaitu theorie van het gezag, sedangkan

dalam bahasa Jermannya, yaitu theorie der autoritat. Teori Kewenangan berasal dari dua suku

kata, yaitu teori dan kewenangan. Sebelum dijelaskan pengertian teori kewenangan, berikut ini

disajikan konsep teoretis tentang kewenangan H.D. Stoud, seperti dikutip Ridwan HR,

menyajikan pengertian tentang kewenangan. Kewenangan adalah keseluruhan aturan-aturan

yang berkenan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum

publik di dalam hubungan hukum publik.65 Ada dua unsur yang terkandung dalam pengertian

konsep kewenangan yang disajikan oleh H.D. Stoud, yaitu: (i) adanya aturan-aturan hukum;

dan (ii) sifat hubungan hukum. Menurut Ateng Syafrudin, ada dua unsur-unsur yang tercantum

dalam kewenangan, meliputi: (i) adanya kekausaan formal; dan (ii) kekuasaan diberikan oleh

undang-undang.66 Sementara itu, pengertian kewenangan ditemukan dalam Black’s Law

Dictionary. Kewenangan atau authority adalah: Right to exercise powers; to implement and

enforce laws; to to exact obedience; to command; to judge. Control ever; jurisdiction. Often

synonymous with power.67 Dalam Konstruksi ini, kewenangan tidak hanya diartikan sebagai

hak untuk melakukan praktik kekuasaan, namun kewenangan juga diartikan: (i) untuk

menetapkan dan menegakkan hukum; (ii) ketaatan yang pasti; (iii) perintah; (iv) memutuskan;

(v) pengawasan; (vi) yurisdiksi; atau (vii) kekuasaan. Pada umumnya, kewenangan diartikan

sebagai kekuasaan. Kekuasaan merupakan: Kemampuan dari golongan atau golongan untuk

menguasai orang lain atau golongan lain berdasarkan kewibawaan, kewenangan, kharisma atau

kekuatan fisik.68 Fokus kajian teori kewenangan adalah berkaitan dengan sumber kewenangan

65
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2008, hal. 110.
66
Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab,
Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Universitas Parahyangan: Bandung, 2000, hal. 22.
67
Henry Campbel Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co.: Amerika Serikat, 1978, hal. 121.
68
H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi
(Edisi Pertama), cet. 4, PT RajaGrafindo Persada: Jakarta, hal. 185.
dari pemerintah dalam melakukan perbuatan hukum, baik dalam hubungannya dengan hukum

publik maupun dalam hubungannya dengan hukum privat.69

2.5. Teori Kebijakan Publik.

Harold Laswell dan Abraham Kaplan mendefinisikannya sebagai suatu program yang

diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu, nilai-nilai tertentu, dan praktik-praktik tertentu (a

projected program of goals, values, and practices). David Easton mendefinisikan sebagai

akibat aktivitas pemerintah (the impact of government activity). James Anderson

mendefinisikannya sebagai a relative stable, purposive course of action followed by an actor

or set of actors in dealing with a problem or matter of concern. James Lester dan Robert

Steward mendefinisikannya sebagai a process or a series or pattern of governmental activities

or decissions that are design to remedy some public problem, either real or imagined. Austin

Ranney mendefinisikannya sebagai a selected line of action or declaration of intern. Steven A.

Peterson mendefinisikannya sebagai government action to adress some problem. B.G. Peters

mendefinisikannya sebagai the sum of government activities, wheter acting directly or through

agents, as it ahs an influence on the lives of citizens. Carl I. Friedrick mendefinisikannya

sebagai serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam

suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang yang ada. Kebijakan yang diusulkan

tersebut ditujukan untuk memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam

rangka mencapai tujuan tertentu. William Jenkins mendefinisikan Kebijakan Publik sebagai a

set of interrelated decisions taken by a political actor or group of actors concerning the

selection of goals and the means of achieving them within a specified situations where those

decisions should, in principle, be within the power of those actors to achieve . . . . public policy

is agoal oriented behavior on the part of government . . . . . . Public Policies are decisions

69
Ibid., hal. 193.
taken by government which define a goal and set out means toachieve it. Michael Howlett dan

M. Ramesh mengemukakan bahwa public policy is a complex phenomenon consisting of

numerous decisions amde by numerous individual and organizations. It is often shaped by

earlier policies and is frequently linked closely with other semingly unrelated decisions.

Thomas R. Dye mendefinisikannya sebagai segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah,

mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil

berbeda (What government do why they do it, and what difference irt makes). Public Policy is

a set of action guildelines or rules that results from the actions or lack of actions of

governmental entities. Public policy related to the social or legislative ramifications of

government policies. The corollary glossary term political aspects is customarily applied to

the process of arriving at those policies. Kita bisa menemukan lebih dari selusin definisi

kebijakan publik, dan tidak ada daris atu definisi tersebut yang keliru, semuanya benar dan

saling melengkapi. Hanya satu hal yang perlu dicatat, beberapa ilmuwan sosial, beberapa

ilmuwan sosial di Indonesia menggunakan istilah kebijaksanaan sebagai kata ganti policy.

Perlu ditekankan, kebijaksanaan bukanlah kebijakan, karena (ke)bijaksana(an) adalah salah

satu dari ciri kebijakan publik yang unggul yang akan kita bahas di bagian belakang. Namun,

untuk kebutuhan kita sendiri, ada baiknya kita merumuskan definisi yang sederhana bahwa:

Kebijakan Publik adalah keputusan yang dibuat oleh negara, khususnya pemerintah, sebagai

strategi untuk merelisasikan tujuan negara yang bersangkutan. Kebijakan Publik adalah strategi

untuk mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk

menuju pada masyarakat yang dicita-citakan. Dengan demikian, kebijakan publik adalah

sebuah fakta strategis daripada fakta politis ataupun teknis. Sebagai sebuah strategi, dalam

kebijakan publik sudah terangkum preferensi-preferensi politis dari para aktor yang terlibat

dalam proses kebijakan, khususnya pada proses perumusan. Sebagai sebuah strategi, kebijakan

publik tidak saja bersifat positif, namun juga negatif, dalam arti pilihan keputusan selalu
bersifat menerima salah satu dan menolak yang lain. Meskipun terdapat ruang bagi win-win

dan sebuah tuntutan dapat diakomodasi, pada akhirnya ruang bagi win-win sangat terbatas

sehingga kebijakan publik lebih banyak pada ranah zero-sum-game, yaitu menerima yang ini,

dan menolak yang lain. Dalam pemahaman ini, istilah keputusan termasuk juga ketika

pemerintah memutuskan untuk tidak memutuskan atau memutuskan untuk tidak mengurus isu

terkait. Dengan demikian, pemahaman di sini mengacu pada pemahaman Dye, bahwa

kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan

pemerintah.70

2.6. Teori Asas-asas dan Ilmu Peraturan Perundang-undangan.

Asas dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah principle, sedangkan di dalam Kamus

Umum Besar Bahasa Indonesia asas dapat berarti hukum dasar atau fundamen, yakni sesuatu

yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat. Selain itu, asas juga diartikan sebagai dasar

cita-cita. Asas hukum merupakan sesuatu yang sangat mendasar dalam hukum yang harus

dipedomani. Peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan asas dalam

hukum. Demikian pula dengan implementasi atau pelaksanaan hukum dalam kehidupan sehari-

hari serta segala putusan hakim harus senantiasa mengacu pada asas dalam hukum sehingga

tidak boleh bertentangan dengannya. Pembahasan Asas Peraturan Perundang-undangan

berkaitan erat dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia yang cenderung menganut pada

civil law sebagai akibat dari sikap represif penjajahan Negara Belanda yang nota bene

menganut civil law. Secara garis besar, sistem hukum dibagi dua macam yaitu sistem Eropa

Kontinental yang berkembang di Benura Eropa kecuali wilayah Inggris dan Anglo Saxon yang

berkembang di wilayah Inggris. Dalam sistem ini hukum lebih banyak dibentuk melalui

undang-undang bahkan ada kecenderungan untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi atau

70
Riant Nugroho, Public Policy, Teori Kebijakan, Analisis Kebijakan, Proses Kebijakan, Perumusan,
Implementasi, Evaluasi, Revisi Risk Management dalam Kebijakan Publik, Kebijakan sebagai The Fifth Estate.
Metode Penelitian Kebijakan. PT. Elex Media Komputerindo Kelompok Gramedia: Jakarta, hal. 53-55.
sekurang-kurangnya dilakukan kompilasi.71 Asas adalah dasar atau sesuatu yang dijadikan

tumpuan berpikir, berpendapat dan bertindak.72 Asas-Asas Pembentuk Peraturan Perundang-

undangan berarti dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan dalam menyusun Peraturan

Perundang-undangan. Padanan kata asas adalah prinsip yang berarti kebenaran yang menjadi

pokok dasar dalam berpikir, berpendapat dan bertindak. Pemahaman terhadap asas dalam

pendekatan ilmu hukum merupakan landasan utama yang menjadi dasar atau acuan bagi

lahirnya suatu aturan. Pemahaman terhadap asas hukum perlu sebagai tuntutan etis dalam

mendalami Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Asas Hukum mengandung tuntutan

etis, dan dapat dikatakan melalui Asas Hukum, Peraturan Hukum berubah sifatnya menjadi

bagian dari suatu tatanan etis. Asas Hukum merupakan sebuah aturan dasar atau merupakan

Prinsip Hukum yang masih bersifat abstrak. Dapat pula dikatakan bahwa Asas dalam Hukum

merupakan dasar yang melatar belakangi suatu Peraturan yang bersifat konkrit dan bagaimana

hukum itu dapat dilaksanakan.73 Asas Hukum adalah pikiran dasar yang bersifat umum dan

abstrak. Asas Hukum terdapat dalam setiap sistem hukum dan menjelma dalam setiap Hukum

Positif. Asas Hukum merupakan unsur penting dan pokok dari peraturan hukum. Pembentukan

hukum praktis sedapat mungkin berorientasi pada asas-asas hukum. Asas hukum menjadi

dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif. Dalam pandangan beberapa

ahli, asas mempunyai arti yang berbeda-beda. Asas adalah sesuatu yang menjadi tumpuan

berfikir atau berpendapat, dan asas dapat juga berarti merupakan hukum dasar.74 Dalam rangka

menciptakan suatu Peraturan Perundang-undangan yang baik yakni dengan diterimanya

peraturan tersebut di dalam masyarakat, maka peraturan tersebut harus terbentuk dan berasal

dari adanya suatu sistem yang baik. Kedudukan teori dalam ilmu hukum mempunyai

71
Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, MandarMadju: Bandung, 1998, hal.
30.
72
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga), Balai Pustaka: Jakarta,
2002, hal. 70.
73
Fence M. Wantu dkk, Cara Cepat Belajar Hukum Acara Perdata(Jakarta: Reviva Cendekia,2002), hal. 13.
74
Ibid., hal.13.
kedudukan yang sangat penting dalam proses penciptaan hukum itu sendiri. 75 Ilmu

Pengetahuan Perundang-undangan (Gesetzgebungswissenschaft) atau science of legislation

(wetgevingswetenschap) merupakan ilmu interdisipliner yang mempelajari tentang

Pembentukan Peraturan Negara.76 Tokoh-tokoh utama yang mencetuskan bidang ilmu ini

antara lain adalah Peter Noll dengan istilah Gesetzgebungslehre, Jurgen Roodig dengan istilah

wetgevingsleer atau wetgevingskunde, dan W.G. van der Velden dengan istilah

wetgevingstheorie, sedangkan di Indonesia diajukan oleh A. Hamid S. Attamimi dengan istilah

Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan.77 Di Indonesia, dalam berbagai literatur banyak

dikenal berbagai istilah seperti Perundangan, Perundang-undangan, Peraturan Perundang-

undangan, dan Peraturan negara. Dalam Belanda biasa dikenal istilah wet, wetgeving, wettelijke

regels, atau wettelijke regeling(en). Istilah Perundang-undangan berasal dari istilah wettelijke

regels. Berbeda dengan istilah Peraturan Negara yang merupakan terjemahan dari

staatsregeling, istilah staats berarti negara, dan regeling adalah peraturan. Istilah Perundangan

berasal dari kata Undang, bukan berasal dari kata Undang-Undang. Kata Undang tidak

memiliki konotasi dengan pengertian wet atau Undang-Undang, karena istilah Undang

mempunyai arti tersendiri. Adapun yang dimaksud dengan Peraturan Negara adalah Peraturan-

Peraturan tertulis yang diterbitkan oleh instansi resmi baik dalam pengertian lembaga atau

Pejabat tertentu, sedangkan yang dimaksud dengan Peraturan Perundangan adalah Peraturan

mengenai tata cara Pembuatan Peraturan Negara.78 Sehubungan dengan definisi Perundang-

undangan, Bagir Manan memberikan gambaran umum tentang pengertian Perundang-

undangan sebagai berikut: (i) Peraturan Perundang-undangan merupakan keputusan tertulis

75
Otje Salman dan Anthon F.Susanto (Teori Hukum:Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali,
(Bandung PT.Refika Aditama, 2008), hal. 1-2.
76
Pendapat tersebut dinyatakan oleh Burkhardt Krems, seorang Profesor Ilmu Perundang-undangan yang
berasal dari Jerman. Burkhardt Krems juga membagi ilmu Perundang-undangan menjadi 2 (dua) cabang yang
lebih terspesialisasi: 1). Teori Perundang-undangan, 2). Ilmu Perundang-undangan.
77
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Yogyakarta: Kanisius, 2007, hal.1-6.
78
Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, Penerbit Mandar Maju: Bandung 1989, hal. 1-2.
yang dikeluarkan Pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang, berisi aturan tingkah laku

yang bersifat mengikat umum; (ii) Merupakan aturan-aturan tingkah laku yang berisi

ketentuan-ketentuan mengenai hak, kewajiban, fungsi, status, atau suatu tatanan; (iii)

Merupakan Peraturan yang mempunyai ciri-ciri umum-abstrak atau abstrak-umum, artinya

tidak mengatur atau tidak ditujukan pada objek, peristiwa atau gejala konkret tertentu. 79

Sehubungan dengan definisi tersebut, Bagir Manan juga menyatakan bahwa Peraturan

Perundang-undangan memiliki peranan yang makin besar dari hari ke hari, khususnya di

Indonesia. Hal ini disebabkan oleh hal-hal berikut: (i) Peraturan Perundang-undangan

merupakan kaidah hukum yang mudah dikenal (diidentifikasi), mudah diketemukan kembali,

dan mudah ditelusuri. Sebagai kaidah hukum tertulis, bentuk, jenis, dan tempatnya jelas. Begitu

pula pembuatnya; (ii) Peraturan Perundang-undangan memberikan kepastian hukum yang

lebih nyata karena kaidah-kaidahnya mudah diidentifikasi dan mudah diketemukan kembali;

(iii) Struktur dan sistematika Peraturan Perundang-undangan lebih jelas sehingga

memungkinkan untuk diperiksa kembali dan diuji baik segi-segi formal maupun materi

muatannya; (iv) Pembentukan dan pengembanan Peraturan Perundang-undangan dapat

direncanakan. Faktor ini sangat penting bagi negara-negara yang sedang membangun termasuk

membangun sistem hukum baru yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan

masyarakat.80 Berkaitan dengan Perundang-undangan akan dibahas pula tentang lembaga atau

Pejabat yang berwenang untuk mengeluarkannya. Lembaga tersebut meliputi presiden,

kementerian, kepala lembaga pemerintahan non-kementrian, direktorat jenderal kementrian,

badan negara, pemerintah daerah, dan kepala daerah. Kesemuanya disesuaikan dengan

masanya, baik sebelum perubahan UUD NRI 1945 maupun sesudah perubahan. Sehubungan

dengan fase yang pernah dilalui oleh Bangsa Indonesia, maka akan dipelajari pula jenis

79
Bagir Manan, “Ketentuan-Ketentuan tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam
Pembangunan Hukum Nasional” (makalah disampaikan pada Pertemuan Ilmiah tentang Kedudukan Biro-Biro
Hukum/Unit Kerja Departemen/LPND dalam Pembangunan Hukum, Jakarta, 19-20 Oktober 1994), hal. 13.
80
Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind. Hill, co: Jakarta, 1992, hal. 8.
Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan kondisi politik dan hukum saat produk hukum

yang bersangkutan dikeluarkan. Jenis Peraturan Perundang-undangan tersebut dibagi menjadi

peraturan pada masa peninggalan zaman Hindia Belanda, peninggalan Zaman Orde Lama, dan

peninggalan Zaman Orde Baru. Peraturan Perundang-undangan tersebut mengalami perubahan

dari waktu-waktu, disesuaikan dengan kondisi masyarakat dan pemerintahan yang sedang

berdaulat. Berkaitan dengan sistem pemerintahan Indonesia yang mengenal Asas Sentralisasi

dan Otonomi Daerah yang berdasarkan Asas Desentralisasi, maka akan dibahas pula Peraturan

Perundang-undangan yang dibuat di tingkat Pemerintahan Pusat dan tingkat Pemerintahan

Daerah. Peraturan pada tingkat Pemerintah Pusat biasanya meliputi hal-hal yang memang tidak

dilimpahkan ke Daerah, seperti masalah agama, keamanan, pertahanan, fiskal, moneter, dan

hubungan internasional, sedangkan pada tingkat Pemerintahan Daerah, Peraturan Perundang-

undangan yang dipelajari meliputi peraturan yang dikeluarkan oleh kepala daerah yaitu

Gubernur, Walikota/Bupati, dan juga Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD. Ranah yang

diatur adalah kewenangan selain milik Pemerintah Pusat sebagaimana telah dijelaskan

sebelumnya. Produk-produk hukum yang dikenal pada masa sekarang meliputi Undang-

Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan

Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Kepala Lembaga Pemerintahan Non-Departemen,

Peraturan Direktorat Jenderal Kementrian, Peraturan Badan Negara, Peraturan Daerah, dan

Peraturan Kepala Daerah. Terhadap Peraturan-Peraturan tersebut, akan dilakukan telaah

tentang fungsi dari masing-masing dan juga muatannya. Materi muatan setiap Peraturan

Perundang-undangan berbeda. Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi

hal-hal yang mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 yang meliputi: hak-hak asasi manusia; hak dan kewajiban warga negara;

pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara; wilayah

negara dan pembagian daerah; kewarganegaraan dan kependudukan; dan keuangan negara. Di
samping itu, materi muatan Undang-Undang juga bisa berasal dari perintah Undang-Undang

lain. Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) sama dengan

materi muatan Undang-Undang. Materi muatan Peraturan Pemerintah (PP) berisi materi untuk

menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Materi muatan Peraturan Presiden

(Perpres) berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk

melaksanakan Peraturan Pemerintah. Materi muatan Peraturan Daerah (Perda) adalah seluruh

materi muatan dalam rangka Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, dan

menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-

undangan yang lebih tinggi. Dari susunan (hierarki) dan jenis di atas, tampak bahwa semakin

ke bawah, materi muatan Peraturan masing-masing semakin mengkerucut. Dengan

mengkerucutnya materi muatan, orang akan lebih mempermudah menentukan materi muatan

yang terbawah karena yang terakhir ini sebagai hasil residu peraturan di atasnya. 81 Berkaitan

dengan hal tersebut diatas; Dalam konteks Indonesia, Asas-Asas Pembentukan Perundang-

undangan diatur dalam Pasal 137 dan Pasal 138 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 juncto

Pasal 5 dan pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011 juncto Pasal 237 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014

meliputi asas-asas pembentukan dan asas-asas materi muatan. Adapun asas-asas pembentukan

meliputi: (a) kejelasan tujuan; (b) kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; (c)

kesesuaian antara jenis dan materi muatan; (d) dapat dilaksanakan; (e) kedayagunaan dan

kehasilgunaan; (f) kejelasan rumusan; dan (g) keterbukaan. Sedangkan asas-asas materi

muatan perundang-undangan meliputi: (a) pengayoman; (b) kemanusiaan; (c) kebangsaan; (d)

kekeluargaan; (e) kenusantaraan; (f) bhineka tunggal ika; (g) keadilan; (h) kesamaan

kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; (i) ketertiban dan keapstian hukum; dan (j)

keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.82

81
Laporan Kompendium Bidang Hukum Perundang-undangan, Ibid.
82
Umbu Rauta, 2016, Konstitusionalitas Pengujian Peraturan Daerah, GENTA Publishing: Yogyakarta, cet. 1,
hal. 7.

Anda mungkin juga menyukai