Perlawanan rakyat Maluku terhadap penjajah dilakukan sejak tahun 1512, dipimpini oleh
Sultan Khairun dan Sultan Baabullah (1575). Kemarahan rakyat terhadap Portugis sudah
tidak dapat dibendung lagi, karena mereka selalu bersikap sewenang-wenang kepada rakyat.
Pada tahun 1533, rakyat Ternate membakar benteng milik Portugis yang dipimpin oleh
Dajalo. Portugis pun membalas tindakan rakyat Ternate, dan segera mengirim bala-bantuan
dari Malaka di bawah pimpinan Antonio Galvao pada tahun 1536. Mereka menyerbu Temate
dan berhasil mengalahkannya. Dengan demikian, Portugis masih dapat mempertahankan
kekuasaannya di wilayah Maluku. Selama Galvao berkuasa (1536-1540), ia berhasil menjalin
hubungan baik dengan rakyat Maluku. Namun, setelah Galvao diganti, Portugis kembali
memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku. Perlawanan rakyat Maluku pun
kembali berkobar di bawah pimpinan Sultan Khairun yang berakhir pada tahun 1565 melalui
perundingan. Perundingan tersebut berlangstmg antara Gubernur Lopez de Mosquita dan
Sultan Khairun. Namun, tidak lama setelah perjanjian itu ditandatangani; Sultan Khairun
dibunuh oleh kaki-tangan Portugis. Kejadian tersebut menyulut kemarahan rakyat, terutama
Sultan Baabullah, putra Sultan Khairun. Peperangan pun berkobar dan berakhir dengan
kemenangan Temate.
Namun, perjuangan rakyat Maluku untuk mengusir penjajah belum selesai, karena selain
oleh Portugis, Maluku pun dijajah oleh VOC (Belanda). Sama halnya dengan Portugis, VOC
pun bertujuan untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku. Dalam meraih
ambisinya tersebut, VOC bekerja sama dengan Ternate di bawah pimpinan Sultan Hamzah.
Tindakan VOC yang memonopoli perdagangan di Maluku mengundang perlawanan rakyat di
bawah pimpinan Kokiali di Kepulauan Ambon. Pemerintah Belanda mengirimkan pasukan
untuk memadamkan perlawanan tersebut di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Antonio Van
Dieman yang datang dari Batavia pada tahun 1637 dan 1638. Perlawanan berhasil
dipadamkan dan Kokiali gugur dalam pertempuran. Sementara itu, di Hitu pun timbul
perlawanan yang dipimpin oleh Telukabesi, namun pada tahun 1646, perlawanan itu dapat
dikalahkan oleh Belanda.
Pada tahun 1649, Belanda melaksanakan Hongi (perjalanan keliling dengan menggunakan
perahu kecil) dengan tujuan membinasakan tanaman pala dan cengkeh milik rakyat. Tindakan
tersebut menimbulkan perlawanan dari rakyat Maluku di bawah pimpinan Saidi. Namun
perlawanan rakyat Maluku dapat dikalahkan, Saidi tertangkap dan dihukum mati (1656).
Pada tahun 1675, di daerah Jailolo terjadi lagi perlawanan rakyat. Seperti biasa, Belanda
berhasil mengalahkan perlawanan rakyat Maluku. Sementara itu, Belanda melakukan
penangkapan terhadap Sultan Jamaluddin dari Tidore. Penangkapan tersebut dilakijkan
karena sultan tidak bersedia untuk menyerahkan Seram Timur kepada Belanda. Tindakan
Belanda tersebut kembali menimbulkan kemarahan rakyat Maluku.
Sultan Nuku (putra Sultan Jamaluddin) melakukan perlawanan terhadap VOC. Dengan
siasat cerdiknya, Sultan Nuku memperalat bangsa Inggris untuk memerangi Belanda. Setelah
berhasil mengusir Belanda, Sultan Nuku berbalik menyerang Inggris dan berhasil
mengusirnya. Selain para pejuang yang telah disebutkan di atas, terdapat pejuang Maluku lain
yang bernama Thomas Matulesi (Kapitan Pattimura). Perlawanan yang dilakukannya diawali
dengan menyerbu Benteng Duurstede (Benteng Belanda) di Saparua. Ia berhasil merebut
benteng tersebut. Gubernur Van Middelkoop segera mengirim pasukan dari Ambon di bawah
pimpinan Mayor Beetjes. Pasukan ini mendarat di Saparua pada tanggal 20 Mei 1817, dan
disambut dengan tembakan rakyat Saparua; kemudian pasukan Beetjes memutar haluan ke
sebuah tikungan teluk di sebelah kiri benteng. Di sana pun mereka disambut dengan
tembakan. Akhirnya, pasukan tersebut bermaksud untuk mundur, akan tetapi pasukan
Pattimura terus mengejarnya. Di dalam pertempuran tersebut, Mayor Beetjes tewas. Sebagai
pembalasan atas kekalahannya, Belanda segera menempatkan kapal-kapal perangnya di
perairan Saparua. Mereka menembakkan#meriam ke arah benteng Duurstede. Namun,
mereka gagal menangkap Pattimura. Oleh karena itu, Belanda menggunakan
politikdevideetimpera(politikadudomba).
Belanda mengumumkan kepada masyarakat, barangsiapa yang dapat memberi tahu dimana
Pattimura berada, akan diberi hadiah uang sebesar 1000 gulden. Siasat ini berhasil dilakukan.
Raja Boi memberi tahu tempat persembunyian Pattimura. Belanda mengerahkan pasukan
besar-besaran untuk menangkap Pattimura di Bukit Boi. Pada tanggal 16 Desember 1817,
Pattimura ditangkap dan dij atuhi hukuman mati. Ia digantung di benteng Nieuw Victoria di
Ambon. Penangkapan Pattimura mengakhiri perjuangan rakyat Maluku.
3. Benteng Belgica
Gubernur Jenderal
Pieter Both adalah
orang dibalik
pembangunan
benteng ini. Benteng
yang dibangun pada
tahun 1611 ini
terletak di Kota
neira, Desa
Nusantara,
Kecamatan Banda
Neira.
4. Benteng Beverwijk
Maluku juga punya Pulau Nusa Laut yang ada bentengnya juga. Benteng ini
bernama Benteng Beverwijk yang bisa ditemukan tepatnya di Pulau Nusa Laut,
Desa Sila, Kecamatan Nusa Laut.
5. Benteng Calombo
6. Benteng Concordia
7. Benteng Duurstede
8. Benteng Haarlem
Berhasil merebut
Benteng Duurstede,
bukan berarti Kapitan
Pattimura selamat dari
pertempuran balas
dendam dan ajalnya.
Terbukti Pahlawan
Nasional yang sering kita
lihat di uang 1000
Rupiah ini, gugur di
hukum mati di Benteng
New Vitoria ini. Benteng
yang kini menjadi
Markas kodam XVI
Pattimura ini dibangun
pada 1602 oleh Belanda dan sekarang bisa kita lihat di Kelurahan Uritetu, Kecamatan
Sirimau, Kota Ambon.
10. Benteng Kapahaha
Benteng ini dimiliki oleh Kerajaan Hitu dan dibangun pada tahun 1643 sebagai basis
pertahanan kerajaan dari VOC. Benteng Kapahaha adalah benteng alam yang terletak di
Desa Morela.
Benteng dengan
nama lain Redut
Amahai ini
dibangun pada
tahun 1630 oleh
Belanda. Benteng
ini dapat kita
jumpai di Pulau
Seram tepatnya di
jalan Poros
Amahai-Masohi,
Kecamatan
Amahai, Maluku
Tengah.
12. Benteng Hollandia (Banda)
Benteng ini
terletak di Desa
Sirisori Sarani,
Kecamatan
Saparua, Pulau
Saparua. Benteng
ini dibangun
pada tahun 1624
namun masih
terbuat dari kayu.
Kemudian pada
tahun 1652,
benteng ini
dipugar oleh
Belanda menjadi
benteng batu.
23. Benteng Barneveld
Sejarah dari benteng ini adalah pada tahun 1558 bangsa Portugis datang dan
bermukim di Labuha, mereka mendirikan sebuah benteng kecil. Tidak lama benteng ini
dibangun, bangsa Spanyol datang berdagang di benteng ini yang kemudian harinya benteng
ini justru direbut oleh Spanyol dari Portugis. Tahun 1609 Laksamana Muda Simon Hoen
bersama dengan Sultan Ternate menuntut Spanyol agar benteng ini diserahkan kepada
mereka. Benteng ini pun segera diserahkan oleh Spanyol. Kemudian benteng ini direnovasi
dan diperkuat atas gagasan Hoen, Louis Schot dan Jan Dirkjzoon. Empat bastionkemudian
dibangun dan benteng ini dinamai dengan nama Barnaveld.
Ketika dikuasai Belanda pada tahun 1609, benteng ini dipugar dengan kapur dan batu.
Di tengah-tengah benteng dibangun sebuah rumah yang kokoh dengan atap dari rumput
kering dan ruangan bawah tanah dengan dinding setebal satu kaki. Di sekitar benteng
ditemukan batu prasasti besar dengan tulisan Latin dan di bagian kanan batu prasasti tersebut
terdapat tanda keluarga Pieter Both, Gubernur Jenderal pertama VOC. Benteng berbentuk
segi empat dilengkapi dengan tembok pertahanan yang rendah. Pada tembok pertahanan ini
ditempatkan masing-masing sebuah bastion lengkap dengan meriam. Pintu gerbang utama
dibangun berbentuk melengkung, menghadap ke arah Sungai Amasing yang konon menjadi
pintu masuk ke Teluk Labuha yang menghadap ke Selat Bacan.
Benteng Barneveld ini berada di Jalan Benteng Barneveld, Amasing Kota, Benteng
Barneveld di Pulau Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara . Dari atas
benteng ini, kalian dapat melihat pantai dan perkampungan penduduk serta keindahan
panorama lainnya. Selain itu, di benteng ini kita juga bisa melihat meriam berusia ratusan
tahun.
KAPITAN KAKIALI
Kakiali adalah putera Tepil yang bergelar Kapitan Hitu dan berketurunan dari Perdana
Jamilu (Nusapati) adalah seorang dari para Perdana (pemimpin) Hitu di Jasirah Hitu Pulau
Ambon. Kakiali terkenal sebagai pahlawan dalam perang Hitu I tahun 1634 1643 melawan
penjajah Belanda (VOC). Politik monopoli perdagangan dan hongi tochten pada zaman VOC
sangat menyengsarakan rakyat di kerajaan Hitu (Tanah Hitu). Karena itu rakyat Hitu
(Ambon) di Maluku Tengah mengadakan perlawanan yang dipimpin oleh Kakiali. Pada tahun
1634 peperangan mulai berkobar melawan Belanda dan rakyat Hitu dibantu oleh Gimelaha
Luhu dari Jasirah Hoamual di Seram Barat dan para pejuang dari Hatuhaha di Pulau Haruku
dan rakyat Iha dari Pulau Saparua. Selain itu rakyat Hitu mendapat bantuan dari Makassar
dan Ternate. Setelah digempur dengan armada oleh pasukan Belanda yang dikirim dari
Batavia (Jakarta), para pejuang Hitu terpaksa menyingkir dan bertahan di gunung Wawani
yang dijadikan benteng pertahanan yang kuat dan dipimpin panglima Hitu Patiwani. Pada
tahun 1635 Kakiali dapat ditangkap melalui suatu tipu daya dalam perundingan dengan
Belanda. Ia dibuang ke Batavia. Tahun 1637, Kakiali dipulangkan ke Hitu untuk
menentramkan rakyat Hituyangsemakinbergolak.
Bersama dengan Kakiali datang pula Gubernur Jenderal van Diemen. Ia meminta
bantuan Sultan Hamzah dari Ternate (politik adu domba) untuk bersama-sama melawan Hitu.
Kemudian diangkatlah Gubernur Gerard Demmer. Tokoh Belanda yang keras ini mulai
mengadakan serangan besar-besaran ke benteng Wawani. Pada tahun 1643 Belanda dapat
menduduki Wawani setelah perang tersebut dikosongkan pasukan Hitu dan Panglima
Patiwani. Kakiali kembali menyusun siasat baru melawan Belanda dengan rencana meminta
bantuan Makassar, namun dia dikhianati oleh teman-temannya sendiri. Kakiali gugur bukan
karena peluru VOC. Pada tanggal 16 Agustus 1643 seorang kenalannya yang baik yaitu
Fransisco de Toire (seorang Spanyol) setelah disogok uang oleh Belanda, ia membunuh
Kakiali pada saat sedang tidur. Kakiali ditikam dengan sebilah keris. Pahlawan dari Wawani
ini meninggal seketika. Namun perlawanan rakyat Hitu belum berhenti. Peperangan
diteruskan pada tahun 1643 1646 sebagai perang Hitu II yang dipimpin oleh Kapitan
Tulukabessy dan Imam Rijali.
KAPITAN TULUKABESSY
Hairun diangkat menjadi Sualtan Ternate menggantikan Sultan Tabarija pada tahun
1538. Pada permulaan pemerintahannya, hubungan dengan orang-orang Portugis agak baik.
Tetapi kemudian timbul pertentangan-pertentangan karena ulah Portugis yang memulai
dengan politik menopoli perdagangan rempah-rempah yang ditentang kerajaan Ternate. Sejak
tahun 1515 hubungan baik dengan Portugis terganggu. Gubernur Duarto dEca menuntut
penyerahan hasil cengkih dari Pulau Makian. Hairun menolak. Tindakan penghinaan terjadi
lagi. Sultan Hairun dan ibunya ditangkap dan dipenjarakan. Rakyat Ternate angkat senjata
dan perdamaian tidak akanterjadilagi.
Peperangan yang timbul di antara tahun 1563 1570 menghancurkan usaha-usaha
perdagangan Portugis. Sultan Hairun mengirim putranya Babullah dengan suatu armada yang
kuat menyerang orang-orang Portugis di Ambon. Mereka dibantu oleh rakyat Hitu dan orang-
orang Jawa. Sebaliknya armada Portugis yang dipimpin Antonio Peaz menyerang armada
Ternate dan sekutunya. Peperangan di Ambon dan sekitarnya berlangsung seru bahkan
beralih menjadi perang agama antara penduduk beragama Islam melawan penduduk
beragama Kristen, jalan keperdamaiandicari.
Pada tanggal 27 Pebruari 1570 diadakan perdamaian antara Ternate dan Portugis.
Dengan hikmat Sultan Hairun bersumpah atas Quran dan Gubernur Lopez de Mesquita atas
Kitab Misa, bahwa mereka akan memelihara perdamaian yang kekal. Tetapi keesokan
harinya Mesquita berkhianat. Ketika Hairun datang mengunjunginya di benteng, Mesquita
menyuruh saudaranya Antoni Pimentel membunuhnya. Sejak tanggal 28 Pebruari 1570
sampai tahun 1575 terjadi perang antara kerajaan Ternate dan Portugis. Yang memaklumkan
perang itu adalah Babullah putera Sultan Hairun yang diangkat menjadi Sultan Ternate. Pada
saat itu ia bersumpah tidak akan menghentikan perang sebelum semua orang Portugis terusir
dari kerajaannya.
JOHAN PAIS
Johan Pais adalah Orang Kaya Hative di Pulau Ambon Jasirah Laitimor. Ia juga
menjabat sebagai pembantu pendeta. Jan Pais ini dituduh mengepalai perlawanan di Leitimor.
Gubernur Belanda yaitu Arnold de Vlamingh van Oudshoorn menangkapnya. Ia disiksa
untuk mengakui kesalahannya. Dia dituduh berkomplot dengan Kimelaha Madjiraa yaitu
wakil Sultan Ternate yang berkuasa di Jasirah Huamoal Pulau Seram untuk mengusir
kompeni Belanda. Sesudah itu dia akan menjadi kepala dari semua orang Kristen dan Madjira
dari semua orang Islam.
Sewaktu disiksa Jan Pais mengaku, tetapi dalam keadaan tidak disiksa dia
menyangkal. De Vlamingh berpendapat bahwa dia bersalah. Pada malam hari dia dieksekusi
mati. Kepalanya dipancung dan tubuhnya dibagi empat. Peristiwa ini terjadi secara rahasia
agar tidak diketahui rakyat, mungkin juga supaya jangan menimbulkan kegoncangan di
kalangan rakyat. Keesokan harinya Orang-Orang Kaya (pemimpin Negeri) diundang ke
benteng Victoria dan mereka menyaksikan keganasan de Vlamingh itu, maksudnya untuk
menakutkan mereka.
Bersalah tidaknya Jan Pais ini, memerlukan penyelidikan lebih lanjut. Namun yang jelas
bahwa di daerah Leitomor, rakyat yang sudah lama menderita dan jenuh dengan tuntutan-
tuntutan VOC, bangkit menyerang Belanda dimana-mana. Jan Pais adalah pahlawan mereka
yang tampil membela kebenaran dan keadilan dan diakui sebagai salah seorang pejuang
kemerdekaan rakyat Maluku.
KAPITAN ULUPAHA
Kapitan Ulupaha berasal dari Negeri (Desa) Seith di Jasirah Hitu Pulau Ambon. Ia
adalah pembantu dari Thomas Matulessy alias Kapitan Pattimura pemimpin perang Pattimura
melawan Belanda tahun 1817. Kapitan yang sudah berumur lanjut ini (80 tahun) ditugaskan
Pattimura untuk mempertahankan Front Hitu di Pulau Ambon dan menjadi pemimpin
pasukan. Rakyat Jasirah Hitu mengangkat senjata setelah mendengar jatuhnya Benteng
Duurstede di PulauSaparua.
Pada permulaan peperangan, pasukan Ulupaha telah mengancam dan menyerang
benteng Amsterdam di Negeri Hila dan pos-pos penjagaan Belanda di Larike, Liang dan
Waai. Pada waktu peperangan sedang berkobar di kepulauan Lease melawan Belanda pada
tanggal 15 Oktober 1817, Ulupaha menggerakkan pasukan menyerang benteng Belanda di
Negeri Larike. Namun gagal diduduki, oleh karena Belanda mengerahkan pasukannya yang
besar dari laut dan darat yang dipimpin Mayor Meyer. Serangan Belanda kemudian ditujukan
ke pusat pertahanan Ulupaha di Seith dan Negeri-Negeri di sekitarnya. Ulupaha dan
pasukannya berjuang mempertahankan Negeri-Negeri di Jasirah Utara Hitu dengan bantuan
pasukan AlifurudariSeram.
Pada tanggal 16 oktober 1817, Laksamana Buyskes sebagai Panglima tertinggi
Belanda yang datang sendiri ke Maluku memerintahkan serangan umum ke Hitu
menyebabkan terjadilah pertempuran yang seru antara kedua belah pihak. Pasukan Ulupaha
akhirnya terdesak dan bergerilya di hutan-hutan. Ulupaha lalu menyingkir ke Seram Barat
dan menggabungkan diri dengan pasukan dari Negeri Luhu menyerang benteng Belanda di
Luhu. Benteng tersebut akhirnyajatuhketanganpasukanUlupaha.
Belanda kembali menyerang Seram Barat dan menduduki benteng Luhu. Kemudian
ekspedisi khusus diadakan untuk menangkap Ulupaha. Pada bulan Januari 1818 pahlawan tua
ini digotong dengan tanda memasuki benteng Victoria, tanggal 19 Pebruari 1818, sidang kilat
Pengadilan Ambon menjatuhkan hukuman mati dan pada tanggal 20 Pebruari 1818 pahlawan
tua ini dieksekusi hukuman mati gantung di lapangan yang berada di depan benteng Victoria.
SAID PRINTAH
Said Printah alias Pattikakang adalah raja pertama Negeri (Desa) Siri Sori Islam di
Pulau Saparua dari marga Pattisahusiwa. Penulis-penulis Belanda menulis nama Said juga
sebagai Sayat (Sayat Printah). Tokoh ini ikut berjuang menentang Belanda dalam perang
Pattimura tahun 1817 bersama Sarasa Sanaki yaitu Patti Siri Sori Islam yanag diangkat
Thomas Matulessy Kapitan Pattimura dan yang menandatangani Proklamasi Haria. Verheull
menulis bahwa Said Printah dihukum mati gantung pada pagi hari tanggal 16 Desember 1817
bersama ketiga pahlawan lainnya yaitu Anthone Rhebok Kapten Borgor, Philip Latumahina
Letnan Borgor, Melchior Kesaulya alias Pattisaha dan Thomas Matulessy alias Pattimura.
Sebenarnya nama Said Printah sebagai Raja Siri Sori Islam yang mati digantung pada pagi
hari tanggal 16 Desember 1817 itu tidak ada namanya dalam surat keputusan eksekusi dari
Buyskes bersama ketiga pahlawan di atas. Hal ini diperkuat lagi oleh daftar silsilah keturunan
raja-raja Siri Sori Islam, yang menjelaskan bahwa raja mereka yang pertama adalah Said
Printah alias Pattikahang. Ia diberhentikan dengan hormat pada tahun 1819, meninggalnya
kapan tidak diketahui. Dengan demikian jelas bahwa Said Printah tidak termasuk pahlawan
yang dihukum mati gantung pada pagi tanggal 6 Desember 1817. Sejarahwan I. O.
Nanulaitta, mengatakan bahwa Said Printah adalah raja Siri Sori Islam, tokoh historis yang
berjuang melawan Belanda, juga dihukum mati gantung. Hanya saja vonis Raad van Yustitie
harus membuktikan missing link ini dan juga keputusan Buyskes. Tapi kedua-duanya belum
ditemui atau tidak ada. Sejarahwan J. A. Pattikayhatu berpendapat bahwa yang dimaksud
Verheull dengan Said atau Sayat Printah itu adalah Melchior Kasaulya yaitu tokoh yang
diangkat Pattimura untuk mewakili raja Siri Sori yaitu Salomon Kesaulya yang telah
berkhianat dan tewas dalam pertempuran Waisisil.
ANTHONE RHEBOK
Anthone Rhebok Kapten orang Borgor, salah satu dari keempat pahlawan dalam
perang Pattimura pada tahun 1817 yang dipimpin oleh Thomas Matulessy Kapitan Pattimura.
Anthone Rhebok bersama Thomas Matulessy dan pasukan rakyat merebut benteng Duurstede
dan memimpin pertempuran melawan ekspedisi tentara Belanda di pantai Waisisil di Pulau
Saparua. Anthone Rhebok juga diserahi tugas oleh Thomas Matulessy untuk mengatur
pertahanan rakyat di Pulau Nusalaut dan merebut benteng Belanda yaitu Beverwijk di Sila
Leinitu. Ia juga aktif di medan-medan pertempuran di Pulau Saparua dan sekitarnya.
Pahlawan dari staf inti Thomas Matulessy Kapitan Pattimura yang juga bekas mantan
pasukan Korps Limaratus tentara cadangan Inggris itu tertangkap bersama Patih Negeri
Tiouw Jacobus Pattiwael pada tanggal 13 November 1817. Mereka diangkut dengan kapal
perang Evertsen ke Ambon. Di atas kapal dia bertemu dengan panglimanya Thomas
Matulessy dan lain-lain tawanan. Anthone Rhebok mendapat hukuman mati gantung oleh
Pengadilan Belanda Ambonsche Raad van Justitie. Laksamana Buyskes mengesahkan
hukuman tersebut dengan Surat Keputusan tanggal 13 Desember 1817 Nomor 131. Akhirnya
pada tanggal 16 Desember 1817 Anthone Rhebok menaiki tiang gantungan sebagai orang
kedua bersama Thomas Matulessy di lapangan eksekusi di depan benteng Victoria di kota
Ambon.
PHILIPS LATUMAHINA
Philips Latumahina Letnan orang Borgor, salah satu dari keempat pahlawan dalam
perang Pattimura di tahun 1817. Bersama Thomas Matulessy dan pasukan rakyat merebut
benteng Duurstede pusat pertahanan Belanda di kota Saparua dan membantu Thomas dalam
pertempuran melawan tentara Belanda di pantai Waisisil di Saparua. Philips juga ikut
memimpin pertempuran-pertempuran di Saparua, Tiouw dan tempat-tempat pertempuran
Lainnya di Jasirah Hatawano dan Jasirah Tenggara(OuwUllath).
Pahlawan yang adalah staf inti Thomas Matulessy Kapitan Pattimura ini juga bekas
mantan pasukan Korps Limaratus. Ia tertangkap bersama Johanis Matulessy kakak Thomas
Matulessy pada tanggal 13 Nopember 1817 oleh pasukan Letnan Veerman di Hutan Booi
Paperu. Mereka ditahan dan diangkut dengan kapal perang Reygersbergen. Pada tanggal 12
Desember 1817, Ambonsche Raad van Justitie (Pengadilan Belanda di Kota Ambon)
menjatuhkan hukuman mati gantung atas diri Letnan Philips Latumahina. Vonis ini disahkan
oleh Laksanaman Buyskes dengan Surat Keputusan tanggal 13 Desember 1817 Nomor 129.
Pada tanggal 16 Desember 1817 pagi hari, dengan disaksikan oleh para hakim, pasukan
Alifuru dari Ternate dan Tidore serta rakyat kota Ambon, Philips Latumahina menjalani
hukuman gantung. Philips yang pertama-tama naik tiang gantungan. Ketika algojo
melaksanakan tugasnya, Philips jatuh terpelanting karena tali gantungannya putus, sebab
badannya besar, gemuk dan kuat. Dengan sudah payah, dia diseret ke atas lagi kemudian
dipasang lagi jerat yang baru maka beberapa saat kemudian pahlawan ini tewas.
MELCHIOR KESAULYA
Melchior Kesaulya yang namanya dieja sebagai Melojier Kesaulya alias Kapitan
Pattisaha adalah raja Siri Sori yang diangkat Thomas Matulessy sebagai pembantuanya
menggantikan raja Salomon Kesaulya yang berkhianat dan tewas dalam pertempuran di
pantai Waisisil dengan Mayor Beetjes tanggal 20 Mei 1817. Melchior-lah yang
menandatangani Proklamasi Haria pada musyawarah besar di Baileu Haria tanggal 28 Mei
1817. Ia diangkat oleh Thomas Matulessy Kapitan Pattimura sebagai salah satu komandan
pasukan rakyat di Pulau Haruku untuk merebut benteng Belanda Zeelandia dibawah
pimpinan Kapitan Lukas Selanno yang dibantuolehKapitanLukasLisapalyaliasKapitanAron.
Ketiga kapitan ini pernah berdinas dalam kesatuan tentara Inggris yaitu Korps
Limaratus dibawah pimpinan Sersan Mayor Thomas Matulessy. Pada akhir peperangan,
Melchior tertangkap dan dibawa bersama para kapitan lain ke Ambon. Dia diputuskan
mendapat hukuman mati gantung oleh Ambonsche Raad van Yustitie (Pengadilan Belanda di
Ambon). Vonisnya disahkan Laksamana Buyskes dengan Surat Keputuan tanggal 13
Desember 1817 Nomor 132. Ia naik tiang gantungan pada pagi hari tanggal 16 Desember
1817 bersama Thomas Matulessy, Anthone Rhebok dan Philips Latumahina. Melchior
Kesaulya merupakan orang ketika yang naik tiang gantuangan dan yang terakhir adalah
pahlawan Thomas Matulessy.
Pada tanggal 16 Desember 1817 pagi hari, dengan disaksikan oleh para hakim,
pasukan Alifuru dari Ternate dan Tidore serta rakyat kota Ambon, Philips Latumahina
menjalani hukuman gantung. Philips yang pertama-tama naik tiang gantungan. Ketika algojo
melaksanakan tugasnya, Philips jatuh terpelanting karena tali gantungannya putus, sebab
badannya besar, gemuk dan kuat. Dengan sudah payah, dia diseret ke atas lagi kemudian
dipasang lagi jerat yang baru maka beberapa saat kemudian pahlawan ini tewas.
KAPITAN PAULUS TIAHAHU
Paulus Tiahahu adalah seorang Kapitan perang dari Negeri Abubu di Pulau Nusalaut
yang turut dalam perang Pattimura tahun 1817. Paulus dan Anthone Rhebok ditugaskan
Pattimura untuk mengatur pertahanan di Nusalaut. Bersama-sama dengan pasukan rakyat ia
merebut benteng Beverwyik di Negeri Sila Leinitu. Pasukan Belanda di benteng tersebut
disergap dan dibunuh. Para pejuang dari Nusalaut mengambil bahagian pula dalam
pertempuran-pertempuran di Saparua, Haruku dan Jasirah Hatawano di Pulau Saparua. Juga
raja-raja dan pati di Pulau Nusalaut ikut menandatangani Proklamasi Haria di Baileu Haria
tanggal 28 Mei 1817.
Paulus mempunyai seorang putri yang bernama Martha Christina. Putrinya selalu
mendampingi dirinya dalam medan-medan pertempuran. Semangat tempur srikandi Nusalaut
yang masih remaja ini selalu mengobarkan semangat pasukan Pattimura. Selain memimpin
kaum wanita ikut pertempuran, ia berada juga di tengah-tengah pasukan dengan ayahnya
menghadang musuh dan menggabungkan keberaniannya dalam medan pertempuran di Ouw
Ullath Jasirah Tenggara Pulau Saparua. Pertempuran heroik di Front Ouw Ullath berakhir
dengan kekalahan pejuang-pejuang rakyat. Kapitan Paulus Tiahahu, putrinya Martha
Christina, Raja Hehanussa dari Negeri Titawaai, Raja Ullath dan Pati Ouw tertangkap.
Mereka dibawa kekapalperangEverstsen.
Di kapal ini para pejuang bertemu dengan Thomas Matulessy dan para tawanan
lainnya. Sesudah diinterogasi, Buyskes menjatuhkan hukuman mati terhadap Paulus Tiahahu.
Tanggal 16 Nopember 1817, Kapitan Paulus dengan putrinya Martha Christina diangkut ke
Nusalaut dan ditahan di benteng Beverwyik. Pada tanggal 17 Nopember 1817, sesuai dengan
vonis yang dijatuhkan Buyskes ia dihukum mati tembak oleh regu penembak Belanda di
depan benteng Beverwyik. Putrinya tidak dapat membelanya. Setelah itu Martha dilepaskan
dan ia berkeliaran di hutan-hutan, sehingga akhirnya ditangkap dan meninggal di atas kapal
perang Eversten pada tanggal 2 Januari 1818.
YAKOB SAHETAPY
Yakob Sahetapy adalah kepala sekolah rakyat sekaligus guru agama di Saparua. Dia
adalah Bapak Rohani bagi rakyat yang berjuang khususnya bagi pejuang di medan
pertempuran. Menjelang penyerbuan benteng Duurstede di kota Saparua, ia menaikkan doa
untuk para pejuang.
Di dalam musyawarah, guru Sahetapy juga menaikkan doa agar Tuhan selalu
menyertai perjuangan rakyat. Mazmur 17 menjadi pedoman untuk memperkuat iman para
pejuang. Pengaruh Sahetapy sangat besar di kalangan rakyat dan pimpinan perang, khususnya
bagi Thomas Matulessy Kapitan Pattimura. Pada akahir peperangan Yakob Sahetapy
tertangkap dan dibawa ke Ambon. Pengadilan menjatuhkan hukuman mati gantung
kepadanya. Tetapi Laksanaman Buyskes mengubah hukuman itu menjadi hukuman
pembuangan ke Jawa. Yakob kemudian dibuang bersama Yohannis Matulessy (kakak
Thomas Matulessy) ke Surabaya untuk bekerja di perkebunan pemerintah.
YEREMIAS LATUIHAMALLO
Yeremias Latuihamallo adalah penasihat utama Thomas Matulessy Kapitan
Pattimura, ia berasal dari Negeri Porto di Pulau Saparua, berumur 47 tahun waktu pecah
perang Pattimura tahun 1817. Ia disebut pula dengan nama Salemba. Pada waktu
pemerintahan Inggris, dituduh membunuh Residen Inggris di Saparua. Karena itu ia
ditangkap dan dibuang ke Jawa, lalu ke Madras (India). Kemudian dibebaskan dan kembali
menetap di Porto. Dia diangkat oleh Pattimura menjadi raja Negeri Porto menggantikan Raja
W. P. Nanlohy dan Yeremias ikut menandatangani Proklamasi Haria tanggal 28 Mei 1817 di
Baileu Negeri Haria sebagai perwujudan tekad seluruh rakyat menentang kelaliman
pemerintahan Belanda.
\Yeremias Latuihamallo alias Salemba pada akhir peperangan tertangkap. Tanggal 24
Desember 1817 diinterogasi dan pada tanggal 2 Pebruari 1818 dia dihukum mati gantung
oleh Ambonsche Raad van Justitie (Pengadilan Belanda di Ambon). Dia dipersalahkan
menjadi penasehat utama Thomas Matulessy Kapitan Pattimura dan turut bertanggung jawab
atas segala peristiwa yang telah terjadi. Tetapi nasibnya agak baik. Buykes memberi
keampunan kepadanya karena tidak terbukti pernah membunuh seseorang. Hukumannya
diperingan menjadi hukuman pembungan ke Pulau Jawa selama 25 tahun. Yeremias
Latuihamallo berangkat ke pengasingan dengan kapal perang Wilhelmina.
Dari satu daerah, Nuku berpindah ke daerah lain, dari perairan yang satu menerobos
ke perairan yang lain, berdiplomasi dengan Belanda maupun dengan Inggris, mengatur
strategi dan taktik serta terjun ke medan perang. Semuanya dilakukan hanya dengan tekad
dan tujuan yaitu membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah dan hidup damai dalam
alam yang bebas merdeka. Cita-citanya membebaskan seluruh kepulauan Maluku terutama
Maluku Utara (Maloko Kie Raha) dari penjajah bangsa asing. Untuk itu Nuku berjuang tanpa
mengenal istirahat sampai di hari tuanya.
Pemerintah Kolonial Belanda yang berpusat di Batavia (Jakarta) dengan gubernur-
gubernurnya yang ada di Ambon, Banda dan Ternate selalu berhadapan dengan Prince Rebel
(raja pemberontak) ini yang terus mengganjal kekuasaan Kompeni (Belanda) tanpa
kompromi. Mereka semua tidak mampu menghadapi konfrontasi Nuku. Nuku merupakan
musuh bebuyutan yang tidak bisa ditaklukan, bahkan tidak pernah mundur selangkahpun saat
bertempurmelwanBelandadidaratmaupundilaut.
Ia adalah seorang pejuang yang tidak dapat diajak kompromi. Semangat dan perjuangannya
tidak pernah padam, walaupun kondisi fisiknya mulai dimakan usia. Kodrat rohaninya tetap
kuat dan semangat tetap berkobar sampai ia meninggal dalam usia 67 tahun pada tahun 1805.
Sebagai penghargaan terhadap jasa-jasa dan pengorbanannya, Pemerintah Republik Indonesia
mengukuhkan Sultan Nuku sebagai PAHLAWAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN.
Kesimpulan:
Perlawanan rakyat Maluku terhadap penjajah dilakukan sejak tahun 1512, dipimpini
oleh Sultan Khairun dan Sultan Baabullah (1575). Kemarahan rakyat terhadap Portugis sudah
tidak dapat dibendung lagi, karena mereka selalu bersikap sewenang-wenang kepada rakyat.
Namun, perjuangan rakyat Maluku untuk mengusir penjajah belum selesai, karena selain oleh
Portugis, Maluku pun dijajah oleh VOC (Belanda). Sultan Nuku (putra Sultan Jamaluddin)
melakukan perlawanan terhadap VOC. Dan juga terdapat pejuang Maluku lain yang bernama
Thomas Matulesi (Kapitan Pattimura). Pada tanggal 16 Desember 1817, Pattimura ditangkap
dan dij atuhi hukuman mati. Ia digantung di benteng Nieuw Victoria di Ambon. Penangkapan
Pattimura mengakhiri perjuangan rakyat Maluku.