Mikro REG 2020 Kel6 Corynebacterium Diphtheriae
Mikro REG 2020 Kel6 Corynebacterium Diphtheriae
Kelompok : 6
Disusun Oleh :
Nethanya Cantigi Sekar Kinasih 10719023
Muhtadi Ihsan Nugraha 10719037
Adinda Mutiara 10719044
Muhammad Dzaki Naufal Ramadhan 10719066
Stevanie 10719068
Trifena Gabriele 10719078
Marcella Adriana Aridewo 10719085
Ditri Arita 10719104
Chelzsya Athaayaa Nurman 10719108
1
1. PENGGOLONGAN MIKROBA
2
Bakteri ini bersifat anaerob fakultatif, tetapi pertumbuhan maksimal diperoleh pada bakteri
dengan suasana aerob. Hal ini disebabkan bakteri akan lebih tahan terhadap pengaruh cahaya,
pengeringan dan pembekuan. Namun, bakteri suasana aerob dapat dengan mudah dimatikan
oleh desinfektan.
Terdapat tiga biotipe C. diphtheriae yang dapat dibedakan oleh tingkat keparahan
penyakit pada manusia, yaitu:
a. Gravis
Bakteri agak kasar, berbentuk rata, berwarna abu-abu sampai hitam, ukuran paling
besar dibanding jenis lainnya, bentuk pemukul dan bentuk halter, granula
metakromatik sedikit.
b. Mitis
Berukuran lebih kecil dari jenis bakteri gravis, koloni licin, berbentuk cembung dan
berwarna hitam. Bentuk bakteri batang pleomorfik dengan sejumlah granula
metakromatik
c. Intermedius
Koloni berukuran kecil dan licin dengan pusat berwarna hitam, batang pendek,
terwarnai dengan selang-seling pita biru terang dan gelap, serta tidak terdapat granula
metakromatik.
Ketiga tipe diatas sedikit berbeda dalam morfologi koloni dan sifat-sifat biokimia,
seperti kemampuan metabolisme nutrisi tertentu. Perbedaan virulensi dari tiga tipe dapat
dikaitkan dengan kemampuan relatif mereka untuk memproduksi toksin difteri, strain
toksigenik atau nontoksigenik, dan tingkat pertumbuhan masing-masing. Waktu regenerasi
secara in vitro pada umumnya adalah 60 menit, sedangkan biotipe intermedius memiliki
waktu generasi sekitar 100 menit dan mitis memiliki waktu generasi dari sekitar 180 menit.
Dalam tenggorokan (in vivo), tingkat pertumbuhan yang tinggi memungkinkan bakteri untuk
lebih cepat dalam menyerang jaringan.
Habitat Corynebacterium dhypteriae banyak ditemukan pada saluran pernapasan
(selaput mukosa) dan kulit yang terluka. Corynebacterium dhypteriae banyak menginfeksi
manusia dan hewan tidak mudah terkena penyakit yang disebabkan oleh Corynebacterium
dhypteriae, yaitu penyakit difteri. Bakteri ini juga tersebar luas di lingkungan dan dapat
diisolasi dari tanah, air, bahan tumbuhan dan hewan.
Tipe difteri berdasarkan lokasi anatomi nya adalah nasal diphtheria, tonsillar
[faucial] diphtheria, pharyngeal diphtheria, laryngeal atau laryngotracheal diphtheria, dan
3
non-respiratory diphtheria. Serta, Corynebacterium diphtheriae non-toksik sering dijumpai
pada nasofaring, telinga & kotoran mata.
2. MEDIA PERTUMBUHAN MIKROBA PENGHASIL
Media pertumbuhan yang cocok untuk Corynebacterium diphtheriae adalah medium
selektif cystine tellurite blood agar (CTBA). Selektivitas media terletak pada tellurite yang
dapat menghambat pertumbuhan bakteri lainnya. Menurut WHO, media yang cocok untuk
pertumbuhan Corynebacterium diphtheriae adalah CTBA dan medium hoyle.
Media CTBA mengandung agar base darah (oxoid), kalium tellurite dan sistin. Agar
base darah mengandung 36 g media agar darah dalam 900 air suling. Kalium tellurite yang
digunakan adalah 0,3 g dan dilarutkan dalam 100 mL air suling. Sistin yang digunakan
sebanyak 22 mg dan dilarutkan pada 2 tetes asam klorida 5% . Pencampuran media dan
reagen dilakukan dengan cara media agar base darah yang telah disterilkan dan berada pada
suhu 45-50oC ditambahkan 50 mL darah domba , kemudian ditambahkan sistin yang telah
terlarut dan tambahkan juga 75 mL kalium tellurite, lalu dihomogenkan dengan cara dikocok
secara perlahan kemudian dituang ke dalam cawan petri sebanyak 15-20 mL.
Bakteri Corynebacterium dapat tumbuh karena kemampuan dari bakteri tersebut
untuk mereduksi tellurite menjadi tellurium yang menyebabkan koloni pada medium CTBA
berwarna hitam atau keabuan. Campuran tellurite dalam konsentrasi 0,3%-0,8% yang ada
pada medium CTBA berfungsi untuk menghambat bakteri lain. Akan tetapi, tellurite dapat
bersifat toksik bila konsentrasinya terlalu tinggi sehingga perlu diperhatikan penambahan
tellurite pada pembuatan media untuk menghindari kemungkinan jumlah bakteri
C.diphtheriae yang dikultur dalam jumlah sedikit yang berpengaruh terhadap hasi menjadi
negatif palsu.
(Khariri, Sariadji, Sunarno, & dkk., 2015)
Medium lain yang disarankan WHO untuk menumbuhkan Corynebacterium
diphtheriae adalah medium Hoyle. Komposisi medium hoyle adalah ekstrak daging, peptone,
natrium klorida, kalium tellurit, darah kuda yang telah didefibrinasi, agar. [ CITATION leg \l
1033 ] Selain itu, dapat juga digunakan Loeffler agar, Mueller-Miller tellurite agar, atau
Tinsdale tellurite agar.
4
Gambar 2.1. Komposisi CTBA (Remel, 2008)
3. METODE IDENTIFIKASI
Koloni yang terbentuk pada media agar adalah warna hitam atau keabuan. Hal
ini disebabkan karena Corynebacterium memiliki kemampuan untuk mereduksi
tellurite menjadi tellurium. Namun pengujian media selektif ini masih kurang spesifik
karena adanya beberapa bakteri yang dapat tumbuh dalam medium CTBA seperti
Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae, Enterobacter sakazakii,
5
Klebsiella pneumoniae dan Candida albicans. . Selain itu, metode media selektif
belum dapat membedakan C. diphteriae yang toksigenik dan nontoksigenik. Berikut
adalah contoh interpretasi pertumbuhan C. diphteriae pada media CTBA.
6
maka bakteri bersifat nontoksigenik. Berikut adalah contoh hasil interpretasi
pengujian Elek Test.
7
Gen tox/dtx GGTGAACGGCA 21 61.90% 68.52°C 139 bp
(Reverse) CCGTCTGCAA
DNA Primer 5 µl
Molecular water 3 µl
TOTAL 12.5 µl
Hasil interpretasi PCR adalah adanya penampakan pita DNA pada titik marker
DNA yang sesuai, yaitu 139 bp untuk gen dtx dan 182 bp untuk gen dtxR. C.
diphteriae bersifat toksigenik bila pada kedua marker DNA (139 bp dan 182 bp)
terdapat pita. Sedangkan bila pita DNA hanya terdapat pada 182 bp dapat
disimpulkan bahwa C. diphteriae bersifat nontoksigenik. Bila tidak ada penampakan
pita DNA pada kedua marker maka dapat disimpulkan bahwa bakteri bukan
merupakan C. diphteriae. Berikut adalah contoh hasil interpretasi uji PCR.
8
Gambar 3.3. Hasil Interpretasi PCR dan Elektroforesis (Sunarno, 2013)
4. SENYAWA ANTIKANKER
Menurut WHO, kanker adalah istilah dari kelompok penyakit yang bisa
mempengaruhi bagian tubuh. Istilah lainnya menyebutkan bahwa kanker adalah tumor ganas.
Salah satu ciri yang sangat umum adalah adanya pertumbuhan sel abnormal yang cepat dan
diluar batasan yang mampu mempengaruhi bagian tubuh lain didekatnya. Senyawa sitotoksik
adalah senyawa atau proses yang memiliki kemampuan menghancurkan atau membunuh sel.
Istilah ini biasa digunakan untuk obat kemoterapi yang membunuh sel kanker, namun bisa
juga untuk mendeskripsikan racun seperti bisa. Salah satu golongan senyawa yang dapat
berfungsi sebagai antikanker adalah golongan toksin. Senyawa yang termasuk ke dalam
golongan ini adalah toksin difteri yang dihasilkan oleh Corynebacterium diphtheriae.
Diphtheria toxin (62 kDa protein dengan 535 asam amino) adalah eksotoksin dengan
rantai tunggal yang dihasilkan oleh Corynebacterium diphtheriae ketika diinfeksi oleh
bakteriofag B. Produksi senyawa toksik ini dipicu oleh represor yang diaktifkan oleh Fe2+
dan DtxR yang dikodekan oleh genom C difteri. Ekspresi toksik bergantung pada keadaan
fisiologis C difteri. Ketika kondisi Fe2+ menjadi substrat pembatas laju pertumbuhan, Fe2+
berdisosiasi dari DtxR membuat gen toksik tidak tertekan dan toksin difteri disintesis ke
dalam media kultur dengan kecepatan maksimal. Diphtheria toxin sendiri merupakan
molekul dengan bentuk Y yang terdiri dari 2 daerah fungsional berbeda, yaitu A dan B.
Fragmen A yang berlokasi di N-terminus, terdiri juga dari domain katalis (domain C) mampu
menghentikan sintesis protein sel inang dengan menonaktifkan faktor elongasi-2 (EF-2)
sehingga dapat mencegah sintesis protein sel dalam sel eukariotik yang kemudian dapat
9
mengakibatkan kematian sel. Fragmen B memiliki 2 daerah/domain, yaitu receptor-binding
domain (domain R) dan domain transmembran (domain T).
10
Gambar 4.3. Mekanisme Internalisasi Diphtheria toxin (Shafie,dkk.,2019)
11
Gambar 4.4. DT385 Menginhibisi Angiogenesis & Mengurangi Tumor
(Zhang,dkk.,2010)
Gambar 4.5. Tabel Reseptor Permukaan Sel yang Menjadi Target Diphtheria toxin dan
Keberadaannya dalam Sel Normal dan Sel Ganas (Shafie,dkk.,2019)
12
Denileukin diftitox (DD / Ontak) atau DAB389IL-2 adalah suatu protein fusi yang
pada bagian receptor-binding domain (domain R) pada Diphtheria toxin berikatan dengan
molekul Interleukin-2. Karena domain IL-2 yang spesifik, memungkinkan Diphtheria toxin
memediasi aktivitas sitotoksik pada sel-sel yang mengekspresikan reseptor IL-2 (IL-2R).
Reseptor IL-2 secara selektif diekspresikan pada sel T-limfosit, sel B, dan natural killer cell
(NK). Sekitar 50% kasus CTCL (Cutaneous T-cell lymphomas) mengekspresikan IL-2R
(dibuktikan berdasarkan pewarnaan imunohistokimia). IL-2 reseptor dapat dibagi menjadi 3
subtipe berdasarkan afinitas. Setiap subtipe merupakan kombinasi dari subunit : alpha (CD25,
p 55), beta (CD122, p75), dan gamma (CD132, p 64). Reseptor dengan afinitas rendah terdiri
dari subunit IL-2R-α/γ (CD25, CD132) subunit yang berikatan dengan IL-2, tetapi tidak
menyebabkan adanya aktivitas internalisasi atau aktivasi. Reseptor dengan afinitas sedang
dan tinggi tersusun dari subunit IL-2R-β/γ (CD122, CD132) and Il-2R-α/β/γ (CD25, CD122,
CD133) subunit, keduanya menyebabkan aktivitas internalisasi dan memberi sinyal
transduksi. Adanya subunit beta dan gamma sangat penting untuk sensitivitas dan
internalisasi dari toksin fusi (Diphtheria toxin). Adapun mekanisme aksi dari Diphtheria
toxin adalah Diphtheria toxin akan terikat pada reseptor IL-2 kemudian masuk ke dalam sel
melalui proses endositosis. Setelah diinternalisasi, terjadi pengasaman ;hal ini penting untuk
translokasi fragmen A dari Diphtheria toxin ke dalam sitoplasma. Fragmen A yang
diinternalisasi akan mengkatalisis pembelahan nicotinamide adenine dinucleotide (NAD)
menjadi nicotinamide yang mengakibatkan transfer ADP ke faktor elongasi 2 (EF-2). Hal ini
mengakibatkan penghambatan perpanjangan mRNA dan pada akhirnya akan menghambat
sintesis protein. Hal ini memicu kematian sel secara apoptosis (kematian sel terprogram).
Bentuk pertama dari protein fusi Diphtheria toxin adalah DAB486-IL-2, yang dilakukan uji
kliniknya pertama kali pada awal tahun 1990 melalui pengujian terhadap 18 pasien penderita
keganasan hematologis (termasuk CTCL). Setelah pengobatan, ditemukan antibodi terhadap
DAB486-IL-2, Diphtheria toxin, dan IL-2 pada banyak pasien. Terlepas dari temuan ini,
konklusinya adalah belum ditunjukkannya efek anti tumor dari DAB486-IL-2. Hesketh dan
rekan kerjanya kemudian mengeksplorasi fungsi DAB486-IL-2 pada cutaneous T-cell
lymphoma. Sama seperti temuan sebelumnya, ditemukan adanya antibodi terhadap DAB484-
IL-2, DT, atau IL-2 namun tidak mempengaruhi respon dalam pengobatan. Pengamatan in
vitro sebelumnya juga menemukan hubungan antara sitotoksisitas dari DAB486-IL-2 dengan
durasi interaksi ligand-reseptor. Lalu dilakukan uji terhadap 23 pasien dengan waktu infusi
90 menit, kemudian dilanjutkan studi dengan uji terhadap 20 pasien dengan waktu infusi 60
menit. Namun keduanya belum dapat menentukan konklusi spesifik efek terhadap antibodi.
13
Sebuah studi fase 2 melibatkan 14 pasien CTCL sekali lagi membuktikan efikasi dari obat
ini. Namun seperti pada penelitian-penelitian sebelumnya, keberadaan antibodi anti DT tidak
berpengaruh dalam pengobatan. DAB389-IL-2 merupakan modifikasi dari DAB486-IL-2
dengan pengurangan 97 asam amino dari domain pengikat reseptor dan menghasilkan protein
fusi dengan afinitas 5 kali lipat lebih besar pada sel target. Modifikasi ini juga mengakibatkan
peningkatan 10 kali lipat potensi dari molekul dan meningkatkan paruh hidupnya. Toksin fusi
DAB389-IL-2 ini kemudian dikenal dengan Denileukin difitox (DD). Uji klinik fase I/II
dilakukan oleh saleh dan rekan kerjanya terhadap 35 pasien penderita CTCL untuk
mengevaluasi keefektivitas formulasi DAB389-IL-2. Uji klinik ini mendapat tingkat respon
34% pada berbagai rentang dosis. Banyak pasien melaporkan adanya gejala CTCL yang
dialami berkurang namun pasien-pasien tersebut juga umumnya mengalami beberapa efek
samping, yaitu demam, menggigil, dan mual. Beberapa fase I dan fase II juga dilakukan
setelahnya dan kesimpulan dari uji-uji tersebut adalah tidak ditemukannya hubungan antara
adanya IL-2Rα terhadap respon klinis, namun yang terpenting adalah pasien melaporkan
adanya pengurangan gejala yang dialami dan peningkatan kualitas hidup. Uji klinik fase III
dilakukan oleh Olsen dan rekan kerjanya. Berdasarkan uji yang mereka lakukan, disimpulkan
dari 71 pasien, dengan 68% pasien penderita penyakit stadium IIB atau lebih lanjut, terdapat
tingkat respon sekitar 30% , perbedaan kelompok dosis yang dilakukan tidak menunjukkan
hasil yang jauh berbeda, namun adanya kemanjuran dosis tinggi pada pasien dengan penyakit
stadium BII atau lanjut, sekitar 68% pasien mengalami perbaikan klinis terhadap pruritus
yang dialami. Hasil dari uji klinik fase III ini kemudian membawa persetujuan dari FDA
untuk pengobatan CTCL dengan nama denileukin diftitox (ONTAK) pada tahun 2008.
B. Tagraxofusp
Tagraxofusp (atau SL-401) adalah protein rekombinan yang terdiri dari toksin difteri
(DT) tanpa domain pengikat terminal-C yang menyatu dengan interleukin-3 (IL-3). Bagian
terakhir protein ini mengikat CD123 di permukaan sel tumor. Akibatnya, toksin difteri
diinternalisasi di dalam sel tumor pengekspres CD123. Ini merusak sintesis protein dan
memicu kematian sel, terutama oleh penghambatan Faktor Elongasi 2 (EF2 ).
CD123 pertama kali dilaporkan menjadi target potensial dalam penyakit hematologi
oleh Jordan dan rekan pada tahun 2000. Mereka menunjukkan bahwa rantai alfa reseptor
interleukin-3 diekspresikan dalam sel punca leukemia CD34 + / CD38 di LMA, sedangkan
tidak ada di permukaan sel induk sel CD34 + / CD38- turunan sumsum tulang normal. Selain
14
itu, tingkat ekspresi CD123 yang tinggi telah terbukti terlibat dalam peningkatan proliferasi
dan hasil yang lebih buruk pada beberapa neoplasma hematologi. Oleh karena itu, CD123
adalah salah satu target terapeutik utama di Perkembangan terapi baru saat ini pada
keganasan myeloid.
15
ditunjukkan sebelumnya. Selain itu juga dilakukan beberapa penelitian pada hewan untuk
menguji efikasi dari toksin difteri yang direkayasa dan untuk mengetahui dosis yang tepat
dan kesiapannya untuk uji pada manusia. Setelah itu dilakukan juga studi oleh peneliti dari
Mayo Clinic mengenai fungsi Diphtheria toxin pada sel-sel turunan myeloid progenitor yang
berbeda dan ditemukannya potensi pada beberapa gangguan myeloid (mastositosis sistemik,
eosinofilia klonal, myelofibrosis) dan sel induk leukemia (menyebabkan leukemia myeloid
akut). Pengujian lain juga dilakukan oleh Institut Faber Cancer dan memperoleh kesimpulan
SL-401 ini menginduksi apoptosis dari pDC (sel dendritik plasmasitoid), yang digunakan
untuk mengatasi resistensi pengobatan pada multiple myeloma.
Uji klinik pada manusia pertama dilakukan oleh American Society of Clinical
Oncology (ASCO) dengan melibatkan 31 pasien. Uji ini dilakukan untuk mengetahui potensi
SL-401 pada beberapa penyakit neoplasma hematologi. Adapun temuannya yaitu
menunjukkan adanya toksisitas ringan dan aktivitas biologis menjanjikan dan ditemukan juga
efek samping utama yang dilaporkan yaitu demam, menggigil, hipotensi, dan
hipoalbuminemia. Data uji klinik fase 1 pertama kali diterbitkan pada tahun 2008. Beberapa
poin yang dapat diperhatikan yaitu yang pertama, dosis toleransi maksimum, yaitu 12,5
μg/kg/hari, yang bisa di infus selama 15 menit, dua kali sehari sehari dengan total enam dosis
dalam satu siklus. Kedua, toksisitas dan efek samping dapat diatasi. Selain itu, uji ini juga
menunjukkan untuk pasien dengan penyakit yang sulit disembuhkan dan pasien dengan AML
yang belum pernah diobati sebelumnya tidak menunjukkan adanya respon terhadap
eksperimen pengobatan ini. Tingkat ekspresi IL-3R yang tinggi pada BPDCN menjadi dasar
penelitian aktivitas SL-40. Uji coba prospektif pertama dilakukan pada tahun 2014 pada 11
pasien penderita BPDCN, dan 78% pasien memberi respon yang positif, namun adanya efek
samping seperti edema dan hipoalbuminemia. Uji klinik fase II dilakukan oleh American
Society of Hematology pada Desember 2017. Hasil uji coba menunjukkan tidak ada efek
samping yang serius, tidak seperti bentuk imunoterapi lainnya, dan aktivitas klinis yang
terjadi pada berbagai keganasan hematologi, paling efektif di BPDCN.
Kesimpulannya kombinasi dari Diphtheria toxin dengan IL-3 ini dinamakan SL-401
(tagraxofusp) dan telah melewati uji klinik fase 2 dengan aktivitas yang sangat kuat pada
blastic plasmacytoid dendritic cell neoplasm (BPDCN) dan hematologi ganas lainnya. Obat
ini telah disetujui oleh FDA pada Desember 2018 untuk BPDCN dewasa dan anak-anak.
5. KESIMPULAN
16
Corynebacterium diphtheriae merupakan bakteri patogen penyebab difteri. Bakteri ini
memiliki dua jenis yaitu toxigenic dan nontoxigenic. Toxigenic Corynebacterium diphtheriae
menyerang nasal, tonsillar, pharyngeal, laryngeal. Sedangkan Nontoxigenic sering dijumpai
juga pada nasofaring, telinga, dan kotoran mata. Media selektif yang digunakan untuk
mendeteksi bakteri ini adalah Cystine tellurite blood agar (CTBA), media ini mengandung
agar base darah (oxoid), kalium tellurite, dan sistin. Metode identifikasinya dapat dilakukan
secara konvensional dan molekular. Metode konvensional yaitu dengan cara menggunakan
metode media selektif (CTBA) dan dilanjutkan dengan metode immunopreipitasi (Elek Test).
Metode Molekular yaitu dengan cara PCR. Senyawa antikanker yang dihasilkan oleh bakteri
ini adalah Diphtheriae toxin. Produk hasil pemanfaatannya dapat digunakan sebagai
immunotoksin, yaitu denileukin diftitox untuk pengobatan CTCL dan tagraxofusp untul
pengobatan BPDCN.
6. DAFTAR PUSTAKA
Alkharabsheh, O., & Frankel, A. E. (2019). Clinical Activity and Tolerability of SL-401
(Tagraxofusp): Recombinant Diphtheria Toxin and Interleukin-3 in Hematologic
Malignancies. Biomedicines, 7(1), 6. Retrified 10 November, from
https://doi.org/10.3390/biomedicines7010006
Beziat, G., & Ysebaert, L. (2020). Tagraxofusp for the Treatment of Blastic Plasmacytoid
Dendritic Cell Neoplasm (BPDCN): A Brief Report on Emerging Data. OncoTargets
and therapy, 13, 5199–5205. Retrified 10 November, from
https://doi.org/10.2147/OTT.S228342
17
Kaminetzky, D., & Hymes, K. B. (2008). Denileukin diftitox for the treatment of cutaneous
T-cell lymphoma. Biologics : targets & therapy, 2(4), 717–724. Retrified 10
November, from https://doi.org/10.2147/btt.s3084
Murphy, J. (1996, January 01). Corynebacterium Diphtheriae. Retrieved November 15, 2020,
from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK7971/
Remel. (2008). Cystine Tellurite Blood Agar. Retrieved November 14, 2020, from
http://tools.thermofisher.com/content/sfs/manuals/IFU1348.pdf
Sariadji, K., Khairiri, Sunarno, Puspandari, N., Muna, F., & Rukminiati, Y. (2015).
Selektivitas Medium Cystine Tellurite Blood Agar (CTBA) terhadap Beberapa Isolat
Bakteri. Jurnal Kefarmasian Indonesia, 5(1), 19-24. Retrieved November 14, 2020,
from
https://www.researchgate.net/publication/313124173_Selektivitas_Medium_Cystine_
Tellurite_Blood_Agar_CTBA_terhadap_Beberapa_Isolat_Bakteri.
Sariadji, K., & Sunarno. (2017). Toksigenitas Corynebacterium diphtheriae Pada Sampel
Kejadian Luar Biasa Difteri Tahun 2010 – 2015 Menggunakan Elektes. Jurnal
Kesehatan Andalas, 6(1), 208-212. Retrieved November 14, 2020, from
https://www.researchgate.net/publication/339879179_Toksigenitas_Corynebacterium
_diphtheriae_Pada_Sampel_Kejadian_Luar_Biasa_Difteri_Tahun_2010_-
_2015_Menggunakan_Elektes.
Shafiee, F., Aucoin, M. G., & Jahanian-Najafabadi, A. (2019). Targeted Diphtheria Toxin-
Based Therapy: A Review Article. Frontiers in microbiology, 10, 2340. Retrified 10
November, from https://doi.org/10.3389/fmicb.2019.02340
Sunarno, Sariadji, K., & Wibowo, H. A. (2013). Potensi Gen dtx dan dtxR Sebagai Marker
untuk Deteksi dan Pemeriksaan Toksigenitas Corynebacterium diphtheriae. Buletin
Penelitian Kesehatan, 41(1), 1-10. Retrieved November 14, 2020, from
http://ejournal.litbang.kemkes.go.id/index.php/BPK/article/viewFile/3053/3022
Vinante, F., & Rigo, A. (2013). Heparin-binding epidermal growth factor-like growth
factor/diphtheria toxin receptor in normal and neoplastic hematopoiesis. Toxins, 5(6),
1180–1201. Retrified 10 November, from https://doi.org/10.3390/toxins5061180
18
World Health Organization.(2018).Cancer. Retrieved 9 November, from
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/cancer
Zhang, Y., Schulte, W., Pink, D., Phipps, K., Zijlstra, A., Lewis, J. D., & Waisman, D. M.
(2010). Sensitivity of cancer cells to truncated diphtheria toxin. PloS one, 5(5),
e10498. Retrified 10 November, from https://doi.org/10.1371/journal.pone.0010498
LAMPIRAN
19
BORANG PEMANTAUAN DISKUSI KELOMPOK
KELOMPOK :6
MATA KULIAH : FA2113 Mikrobiologi Farmasi
TANGGAL : 15 November 2020
JUDUL TUGAS : Senyawa Antikanker Diphtheria Toxin dari Corynebacterium diphtheriae
SUPERVISOR : Nur Azizah Fitria FREKUENSI KONSULTASI : 1x
NAMA DAN NIM ANGGOTA KELOMPOK :
5 Stevanie 1071906
8
Penilaian kelompok :
20
Nilailah kinerja kelompok Anda dengan penulisan angka yang sesuai.
1 – tidak ada 2 – kurang sekali 3 – cukup 4 – baik 5 – baik sekali
Bagian yang belum dimengerti dengan jelas dan rinci: habitat Apa yang dilakukan oleh kelompok ?
asli bakteri, komposisi media CTBA, interpretasi hasil uji Mencari sumber-sumber informasi ilmiah
media selektif, Elek Test, dan PCR, spesifikasi desain primer dan mencoba memahaminya, melakukan
dan komposisi mastermix, target spesifik toksin difteri, asistensi dengan Bu Azizah, berdiskusi
mekanisme aksi toksin difteri, produksi toksin difteri dalam kelompok.
KELOMPOK : 6
JUDUL TUGAS : Senyawa Antikanker Diphtheria Toxin dari Corynebacterium
diphtheriae
1 2 3 4
21
baik (Aktif di kelompok)
Hal positif yang dimiliki : Aktif dan terbuka dengan segala kritik yang diberikan
KELOMPOK : 6
JUDUL TUGAS : Senyawa Antikanker Diphtheria Toxin dari Corynebacterium
diphtheriae
1 2 3 4
22
Menjelaskan materi yang ditugaskan ke anggota lain di kelompok dengan v
baik (Aktif di kelompok)
Hal positif yang dimiliki : Teliti dan kritis terhadap pekerjaan yang dilakukan
KELOMPOK : 6
JUDUL TUGAS : Senyawa Antikanker Diphtheria Toxin dari Corynebacterium
diphtheriae
1 2 3 4
23
Mengerjakan materi yang ditugaskan dengan baik v
Hal positif yang dimiliki : aktif di kelompok, mengerjakan tugas lengkap & tepat waktu
KELOMPOK : 6
JUDUL TUGAS : Senyawa Antikanker Diphtheria Toxin dari Corynebacterium
diphtheriae
1 2 3 4
24
Selalu datang tepat waktu sesuai perjanjian pertemuan kelompok v
Hal positif yang dimiliki : aktif di kelompok dan mau saling membantu
KELOMPOK : 6
JUDUL TUGAS : Senyawa Antikanker Diphtheria Toxin dari Corynebacterium
diphtheriae
25
1 2 3 4
KELOMPOK : 6
JUDUL TUGAS : Senyawa Antikanker Diphtheria Toxin dari Corynebacterium
diphtheriae
26
1 2 3 4
KELOMPOK : 6
JUDUL TUGAS : Senyawa Antikanker Diphtheria Toxin dari Corynebacterium
diphtheriae
27
1 = kurang sekali 2 = cukup 3 = baik 4 = baik sekali
1 2 3 4
Hal positif yang dimiliki : Aktif di kelompok, mampu menjelaskan materi dengan baik, dan
menyelesaikan tugas tepat waktu
KELOMPOK : 6
JUDUL TUGAS : Senyawa Antikanker Diphtheria Toxin dari Corynebacterium
diphtheriae
28
1 2 3 4
Hal positif yang dimiliki : Menyelesaikan tugas dengan baik dan tepat waktu serta teliti
terhadap pekerjaan yang dilakukan
KELOMPOK : 6
JUDUL TUGAS : Senyawa Antikanker Diphtheria Toxin dari Corynebacterium
diphtheriae
29
1 2 3 4
Hal positif yang dimiliki : Materi yang dikerjakan dengan baik dan tepat waktu
KELOMPOK : 6
JUDUL TUGAS : Senyawa Antikanker Diphtheria Toxin dari Corynebacterium
diphtheriae
30
1 2 3 4
Hal positif yang dimiliki : Aktif berpendapat dan membantu sesama anggota saat
pengerjaan tugas
KELOMPOK : 6
JUDUL TUGAS : Senyawa Antikanker Diphtheria Toxin dari Corynebacterium
diphtheriae
31
1 2 3 4
Hal positif yang dimiliki : berinisiatif membantu, bertanggung jawab dengan tugasnya
KELOMPOK : 6
JUDUL TUGAS : Senyawa Antikanker Diphtheria Toxin dari Corynebacterium
diphtheriae
32
1 2 3 4
Hal positif yang dimiliki : berinisiatif membantu, bertanggung jawab dengan tugasnya
KELOMPOK : 6
JUDUL TUGAS : Senyawa Antikanker Diphtheria Toxin dari Corynebacterium
diphtheriae
33
1 = kurang sekali 2 = cukup 3 = baik 4 = baik sekali
1 2 3 4
Hal positif yang dimiliki : aktif berpendapat dan mengerjakan tugas dengan baik dan tepat
waktu
KELOMPOK : 6
JUDUL TUGAS : Senyawa Antikanker Diphtheria Toxin dari Corynebacterium
diphtheriae
34
1 2 3 4
Hal positif yang dimiliki : aktif dalam kelompok dan mengerjakan tugas tepat waktu
KELOMPOK : 6
JUDUL TUGAS : Senyawa Antikanker Diphtheria Toxin dari Corynebacterium
diphtheriae
35
1 2 3 4
Hal positif yang dimiliki : inisiatif untuk membagi tugas anggota, aktif berdiskusi dan
mengingatkan tugas kelompok
KELOMPOK : 6
JUDUL TUGAS : Senyawa Antikanker Diphtheria Toxin dari Corynebacterium
diphtheriae
36
1 = kurang sekali 2 = cukup 3 = baik 4 = baik sekali
1 2 3 4
Hal positif yang dimiliki : aktif berdiskusi dan mengingatkan tugas anggota kelompok
KELOMPOK : 6
JUDUL TUGAS : Senyawa Antikanker Diphtheria Toxin dari Corynebacterium
diphtheriae
37
1 2 3 4
Hal positif yang dimiliki : mengerjakan tugas dengan tepat waktu dan baik
KELOMPOK : 6
JUDUL TUGAS : Senyawa Antikanker Diphtheria Toxin dari Corynebacterium
diphtheriae
38
1 2 3 4
Hal positif yang dimiliki : mengerjakan dengan baik dan mengingkatkan tugas kepada
anggota lain dan aktif berpendapat
39