Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

PENGUATAN KAPASITAS DAN INTERVENSI GIZI


DI TINGKAT DAERAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Praktikum Kapita Selekta
Dosen Pengampu:
Tati Ruhmawati, SKM.,M .Kes

Disusun Oleh:
Kelompok 4

Elen Putri Milenia P17336118413


Nuni Husni Wahidah P17336118414
Nabila Fatharani K. P17336118420
Neneng Ani Sulastri P17336118421
Nuva Arafatul Fadilah P17336118428
Alda Adzika P17336118433
Data Affan Dharma S. P17336118436

PRODI D - IV PROMOSI KESEHATAN


POLTEKKES KEMENKES BANDUNG
BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“Penguatan Kapasitas dan Intervensi Gizi di Tingkat Daerah” yang disusun dan
diajukan untuk memperoleh nilai Praktikum Mata Kuliah Kapita Selekta.
Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini banyak menemui hambatan
dan rintangan, namum berkat tekad dan dorongan yang kuat dari berbagai pihak
akhirnya makalah dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Untuk itu pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan laporan ini, terutama kepada :
1. Ridwan Setiawan, S.Kp, M. Kes, selaku Ketua Program Studi D-IV Promosi
Kesehatan.
2. Tati Ruhmawati, SKM.,M .Kes, selaku Dosen Pembimbing mata kuliah Kapita
Selekta.
3. Rekan-rekan seangkatan, Kelompok 4 Konseling Program Studi D-IV Promosi
Kesehatan.
Demikian penyusunan makalah ini penulis buat, semoga dapat bermanfaat
bagi pembaca sekalian. Terima kasih untuk semua bimbingan, arahan, kritikan, dan
saran yang telah diberikan oleh semua pihak kepada penulis. Semoga Allah SWT
melimpahkan rahmat dam kemudahan kepada kita semua.

Bandung, September 2021

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................i

DAFTAR ISI.................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah.................................................................................1

B. Tujuan.............................................................................................................2

C. Rumusan Masalah...........................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................4

A. Memperkuat Kapasitas dan Intervensi Gizi di Tingkat Daerah......................4

B. Permasalahan Gizi Masyarakat.......................................................................5

C. Politik dan Pemerintahan................................................................................7

D. Solusi Permasalahan Gizi Masyarakat..........................................................14

BAB III PENUTUP.....................................................................................................16

A. Kesimpulan...................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Keadaan gizi dan kesehatan masyarakat tergantung pada tingkat konsumsi,
Indonesia menghadapi masalah gizi ganda, yakni masalah gizi kurang dan
masalah gizi lebih. Masalah gizi kurang umumnya disebabkan oleh kemiskinan,
kurangnya persediaan pangan, kurang baiknya kualitas lingkungan (sanitasi),
kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi, menu seimbang dan kesehatan,
dan adanya daerah miskin gizi (iodium). Sebaliknya masalah gizi lebih
disebabkan oleh kemajuan ekonomi pada lapisan masyarakat tertentu yang
disertai dengan minimnya pengetahuan tentang gizi, menu seimbang, dan
kesehatan. Dengan demikian, sebaiknya masyarakat meningkatkan perhatian
terhadap kesehatan guna mencegah terjadinya gizi salah (malnutrisi) dan risiko
untuk menjadi kurang gizi (Mohamad Agus Salim, 2015; Mohamad Agus Salim ,
2013).
Masalah gizi merupakan masalah yang ada di tiap-tiap negara, baik negara
miskin, negara berkembang dan negara maju. Negara miskin cenderung dengan
masalah gizi kurang, hubungan dengan penyakit infeksi dan negara maju
cenderung dengan masalah gizi lebih (Soekirman, 2000; Mohamad Agus Salim,
2012). Saat ini di dalam era globalisasi dimana terjadi perubahan gaya hidup dan
pola makan, Indonesia menghadapi permasalahan gizi ganda. Di satu pihak
masalah gizi kurang yang pada umumnya disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya
persediaan pangan, kurang baiknya kualitas lingkungan, kurangnya pengetahuan
masyarakat tentang gizi. Selain itu masalah gizi lebih yang disebabkan oleh
kemajuan ekonomi pada lapisan masyarakat tertentu disertai dengan kurangnya
pengetahuan tentang gizi (Azrul,2004; Subandi, 2005; Subandi, 2011).

1
Penanganan gizi buruk sangat terkait dengan strategi sebuah bangsa dalam
menciptakan sumber daya manusia yang sehat, cerdas, dan produktif.Upaya
peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas dimulai dengan cara
penanganan pertumbuhan anak sebagai bagian dari keluarga dengan asupan gizi
dan perawatan yang baik. Dengan lingkungan keluarga yang sehat, maka hadirnya
infeksi menular ataupun penyakit masyarakat lainnya dapat dihindari. Di tingkat
masyarakat faktor-faktor seperti lingkungan yang higienis, ketahanan pangan
keluarga, pola asuh terhadap anak dan pelayanan kesehatan primer sangat
menentukan dalam membentuk anak yang tahan gizi buruk. Secara makro,
dibutuhkan ketegasan kebijakan, strategi, regulasi, dan koordinasi lintas sektor
dari pemerintah dan semua stakeholders untuk menjamin terlaksananya poin-poin
penting seperti pemberdayaan masyarakat, pemberantasan kemiskinan, ketahanan
pangan, dan pendidikan yang secara tidak langsung akan mengubah budaya buruk
dan paradigma di tataran bawah dalam hal perawatan gizi terhadap keluarga
termasuk anak.
Hambatan utama untuk perbaikan gizi di Indonesia adalah kurangnya
kapasitas dalam mengimplementasikan program di tingkat daerah. Komitmen
pusat yang kuat terhadap pendekatan multisektoral untuk gizi belum sepenuhnya
diterjemahkan ke dalam pemberian layanan gizi berkualitas kepada masyarakat.
Alasan utama adalah adanya kesenjangan yang signifikan dalam intervensi gizi
spesifik yang esensial, khususnya untuk mengatasi anemia, malnutrisi akut
(wasting), obesitas dan PMBA. Selain itu, kapasitas daerah dalam merencanakan,
melaksanakan, menganggarkan dan memantau intervensi gizi di tingkat daerah
masih perlu ditingkatkan.

B. Tujuan
Untuk mengetahui cara memperkuat kapasitas dan intervensi gizi di tingkat
daerah dalam rangka perbaikan gizi di Indonesia.

2
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas,maka rumusan masalah dari makalah ini
adalah “Bagaimana cara memperkuat kapasitas dan intervensi gizi di tingkat
daerah dalam rangka perbaikan gizi di Indonesia?”

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Memperkuat Kapasitas dan Intervensi Gizi di Tingkat Daerah


Hambatan utama untuk perbaikan gizi di Indonesia adalah kurangnya
kapasitas dalam mengimplementasikan program di tingkat daerah. Komitmen
pusat yang kuat terhadap pendekatan multisektoral untuk gizi belum sepenuhnya
diterjemahkan ke dalam pemberian layanan gizi berkualitas kepada masyarakat.
Alasan utama adalah adanya kesenjangan yang signifikan dalam intervensi gizi
spesifik yang esensial, khususnya untuk mengatasi anemia, malnutrisi akut
(wasting), obesitas dan PMBA.
Selain itu, kapasitas daerah dalam merencanakan, melaksanakan,
menganggarkan dan memantau intervensi gizi di tingkat daerah masih perlu
ditingkatkan. Dengan adanya desentralisasi berarti bahwa kabupaten memiliki
sumber daya dan tanggung jawab yang lebih besar untuk mengelola program gizi
daripada sebelumnya dan hal yang sama berlaku di tingkat desa dengan
diperkenalkannya Dana Desa. Selain itu, pemerintah di daerah diharapkan dapat
melakukan koordinasi lintas sektor yang efektif di dalam sistemnya tersendiri dan
dengan sedikit pengalaman dalam hal bekerja secara multisektoral. Oleh karena
itu, penting untuk pemerintah di daerah memiliki panduan dan dukungan teknis
yang jelas untuk secara efektif menyediakan serangkaian utuh intervensi gizi
spesifik dan gizi sensitif yang ditingkatkan. Aspek penting termasuk
meningkatkan cakupan layanan yang komprehensif, menambah jumlah dan
kapasitas penyedia layanan gizi, memastikan bahwa sistem pengadaan dan
pasokan produk gizi (suplemen dan peralatan) efisien dan memperkenalkan
peraturan yang lebih kuat untuk mempromosikan gizi yang sehat.
Untuk mendukung intervensi pemenuhan gizi yang optimal, diperlukan peran
berbagai pihak mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaksana

4
pelayanan kesehatan sampai masyarakat. Selain itu Perguruan Tinggi sebagai
pihak ketiga juga merupakan mitra strategis dalam melakukan pendampingan
pelaksanaan Intervensi pemenuhan gizi agar dapat mengetahui proses serta
kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Intervensi sensitif maupun intervensi
spesifik sehingga dapat memberikan rekomendasi perbaikan kualitas pelayanan
kesehatan ibu dan bayi baru lahir yang terintegrasi dan berdampak terhadap
Perencanaan setiap daerah.
Terdapat bukti-bukti ilmiah yang kuat tentang intervensi gizi yang efektif
untuk pencegahan gizi kurang. Intervensi tersebut adalah intervensi spesifik
(intervensi langsung) dan intervensi sensitif (intervensi tidak langsung).
Intervensi spesifik dilakukan melalui peningkatan konsumsi makanan dalam hal
kuantitas dan kualitas, dan upaya pencegahan dan pengobatan penyakit. Jumlah
dan komposisi zat gizi dalam makanan harus sesuai dengan kebutuhan untuk
pertumbuhan optimal dan harus menjaga kebersihan dan keamanan makanan dan
makanan bergizi seimbang. Intervensi sensitif merupakan upaya peningkatan
kualitas lingkungan misalnya air bersih, fasilitas sanitasi dan kebiasaan-
kebiasaan bersih dan sehat seperti cuci tangan dengan sabun dan buang air besar
di jamban.

B. Permasalahan Gizi Masyarakat


UNICEF (1988) telah mengembangkan kerangka konsep makro, sebagai salah
satu strategi untuk menanggulangi masalah kurang gizi. Dalam kerangka tersebut
ditunjukkan bahwa masalah gizi kurang disebabkan oleh:
1. Penyebab langsung
Makanan dan penyakit dapat secara langsung menyebabkan gizi kurang.
Timbulnya gizi kurang tidak hanya dikarenakan asupan makanan yang
kurang, tetapi juga penyakit. Anak yang mendapat cukup makanan tetapi
sering menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian

5
pula pada anak yang tidak memperoleh cukup makan, maka daya tahan
tubuhnya akan melemah dan akan mudah terserang penyakit.
2. Penyebab tidak langsung
Ada 3 penyebab tidak langsung yang menyebabkan gizi kurang yaitu :
a. Ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai. Setiap keluarga
diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota
keluarganya dalam jumlah yang cukup baik jumlah maupun mutu gizinya.
b. Pola pengasuhan anak kurang memadai. Setiap keluarga dan mayarakat
diharapkan dapat menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap
anak agar dapat tumbuh kembang dengan baik baik fisik, mental dan
sosial.
c. Pelayanan kesehatan dan lingkungan kurang memadai. Sistim pelayanan
kesehatan yang ada diharapkan dapat menjamin penyediaan air bersih dan
sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga
yang membutuhkan.
Ketiga faktor tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan
dan ketrampilan keluarga. Makin tinggi tingkat pendidikan, pengetahuan dan
ketrampilan, makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola
pengasuhan maka akan makin banyak keluarga yang memanfaatkan
pelayanan kesehatan.
3. Pokok masalah di masyarakat
Kurangnya pemberdayaan keluarga dan kurangnya pemanfaatan sumber
daya masyarakat berkaitan dengan berbagai faktor langsung maupun tidak
langsung.
4. Akar masalah
Kurangnya pemberdayaan wanita dan keluarga serta kurangnya
pemanfaatan sumber daya masyarakat terkait dengan meningkatnya
pengangguran, inflasi dan kemiskinan yang disebabkan oleh krisis ekonomi,
politik dan keresahan sosial yang menimpa Indonesia sejak tahun 1997.

6
Keadaan tersebut teleh memicu munculnya kasus-kasus gizi buruk akibat
kemiskinan dan ketahanan pangan keluarga yang tidak memadai.

C. Politik dan Pemerintahan


1. Komitmen Politik
Komitmen nasional untuk gizi ditunjukkan melalui keputusan pemerintah
untuk memasukkan target gizi dalam RPJMN 2014-2019 dan komitmen ini
telah menguat dalam beberapa tahun terakhir. Pemerintah telah berjanji untuk
memenuhi target gizi global WHA pada tahun 2025 (WHO, 2012) dan
merupakan penandatangan target yang sama yang terdapat dalam SDGs (UN,
2015). Pada tahun 2011, Indonesia bergabung dengan Gerakan Peningkatan
Gizi (Scaling up Nutrition/SUN Movement) dan meluncurkan Gerakan
Nasional Percepatan Perbaikan Gizi pada Seribu Hari Pertama Kehidupan.
Inisiatif yang lebih baru adalah peluncuran pada tahun 2017 tentang
Gerakan Penurunan Stunting Nasional sebagai bagian dari kampanye anti-
kemiskinan yang lebih luas dari Pemerintah. Ini bertujuan untuk memperkuat
dukungan politik dan kepemimpinan untuk gizi di semua tingkatan, dan untuk
memperkuat koordinasi dan konvergensi lintas berbagai sektor. Pada tahun
2018, gerakan ini sedang dilaksanakan di 100 kabupaten prioritas dengan
tingkat kemiskinan dan prevalensi stunting yang tinggi, dan rencananya
adalah untuk memperluas ke seluruh 514 kabupaten yang ada pada 2021.
Gerakan Masyarakat untuk Hidup Sehat (Germas), yang dimulai tahun 2016,
adalah program kesehatan masyarakat nasional yang juga menggunakan
pendekatan multisektoral. Program ini melibatkan 18 kementerian dan
lembaga. Salah satu dari enam kegiatan utama Germas adalah penyediaan
makanan sehat dan akselerasi perbaikan gizi.

7
2. Peraturan perundang-undangan
Satu dari beberapa strategi yang direkomendasikan dalam konsolidasi
Kajian Sektor Kesehatan 2014 adalah untuk Memperkuat desain,
implementasi dan pemantauan hukum, peraturan dan standar untuk gizi. Ada
kemajuan terbatas dalam menetapkan perundang-undangan nasional untuk
melindungi dan mempromosikan gizi yang baik. Perundang-undangan
mencakup hak atas pangan (No. 18, 2012), perlindungan pemberian ASI
eksklusif pengawasan dalam penggunaan susu formula (No. 33, 2012),
fortifikasi tepung terigu dengan zat besi (No 153, 2001) dan iodisasi garam
(No 69, 1994). Meskipun hal ini menggembirakan, ruang lingkup legislasi,
penegakan dan pemantauan masih perlu ditingkatkan dan masih belum
komprehensif.
Cakupan garam beryodium rumah tangga yang cukup di Indonesia tetap
berada di sekitar 60-70% sejak tahun 1998 meskipun data survei tahun 2013
menunjukkan sedikit peningkatan menjadi 77% (Kementerian Kesehatan,
2013). Data tentang kualitas dan konsumsi garam beryodium tingkat rumah
tangga belum tersedia pada Riskesdas 2018. Meskipun telah diketahui bahwa
fortifikasi tepung terigu merupakan hal yang wajib, rekomendasi WHO belum
sepenuhnya diterapkan (WHO, 2009). Peraturan untuk mendukung PMBA
belum sepenuhnya mematuhi Kode Internasional tentang Pemasaran
Pengganti ASI (WHO, 1981).
Selain itu, yang paling penting adalah masih terbatasnya legislasi yang
mengatur lingkungan pangan dan membatasi akses ke makanan dan minuman
yang tinggi gula, garam dan lemak yang berkontribusi terhadap obesitas yang
meningkat. Berbagai pengawasan berhasil diterapkan di negara-negara lain
dan basis data global tentang intervensi yang diambil oleh pemerintah yang
berbeda telah dikompilasi dalam kerangka NOURISHING framework yang
dikembangkan oleh Dana Penelitian Kanker Dunia Internasional (World
Cancer Research Fund International, 2018). Kerangka program yang

8
disesuaikan dengan konteks Indonesia telah diusulkan untuk menangani
Beban Ganda Masalah Gizi yang mencakup intervensi gizi spesifik dan
program gizi sensitif yang dapat diterapkan di sepanjang siklus kehidupan
(Shrimpton & Rokx, 2013).
Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2, ada beberapa intervensi yang
dapat berdampak pada pengurangan Beban Ganda Masalah Gizi tetapi
membutuhkan peraturan pemerintah untuk ditegakkan. Secara khusus,
legislasi yang jauh lebih kuat diperlukan untuk mengendalikan penjualan
makanan dan minuman yang tidak sehat di sekolah, iklan untuk anak-anak
dan juga label makanan.

Tabel 2. Intervensi Program untuk Menanggulangi Beban Ganda


Masalah Gizi di Sepanjang Siklus Hidup
Tahap Intervensi Langsung Intervensi Tidak Langsung
Kehidupan (Gizi Spesifik) (Gizi Sensitif)
Konsepsi sampai 1.Pemberian mikronutrien 1.Garam 1.Mencegah 1.Kebijakan fiscal
kelahiran (tablet tambah darah) beryodium pernikahan dini pangan
2.Pemberian makanan 2.Fortifikasi dan kehamilan 2.Perencanaan kota
tambahan dengan energy tepung remaja
dan protein seimbang 3.Fortifikasi 2.Program bantuan
3.Obat cacing minyak tunai bersyarat
4.Pengurangan asap rumah (dengan
tangga/rokok pendidikan gizi)
5.Pengobatan radikal untuk
dugaan malaria
6.Kelambu berinteksida
Anak Balita 1.Promosi pemberian ASI 1.Kode pemasaran
(0-5 tahun) eksklusif pengganti ASI
2.Promosi pemberian 2.Program bantuan
makanan pendamping tunai bersyarat
ASI yang tepat (dengan

9
3.Intervensi cuci tangan pendidikan gizi)
menjada kebersihan
4.Pemberian vitamin A
dan Zinc, dan
mikronutrien lainnya
sesuai kebutuhan
5.Obat cacing
6.Manajemen/ tatalaksana
gizi buruk akut
Anak 1.Berbasis sekolah 1.Tidak ada mesin
(5-18 tahun) 2.Menyediakan makanan penjual otomatis
sehat atau penjualan
3.Promosi dan makanan cepat
penyediaan latihan fisik saji di sekolah
harian 2.Tidak ada iklan
4.Pemberian tablet makanan yang
tambah darah ditujukan untuk
mingguan/ obat cacing anak-anak
Dewasa 1.Konseling oleh 1.Pelabelan
(18+ tahun) penyedia layanan media makanan
tentang diet sehat 2.Petunjuk terkait
2.Dorongan di tempat gizi
kerja untuk berolahraga 3.Kontrol klaim
dan makan makanan makanan
sehat
3.Berolahraga secara
teratur

3. Sumber daya manusia

10
Konsolidasi Kajian Sektor Kesehatan 2014 memiliki satu rekomendasi
khusus untuk memperkuat kompetensi ahli gizi dan tenaga kesehatan yang
menyediakan layanan gizi. Kemajuan dalam hal penguatan kapasitas
tenaga kesehatan dalam beberapa tahun terakhir terjadi meskipun belum
optimal. Meskipun memiliki jumlah tenaga ahli gizi yang cukup dan
terlatih yang siap untuk ditugaskan di puskesmas, namun, penugasan para
ahli gizi terlatih di seluruh wilayah masih belum merata, dengan daerah
terpencil yang mengalami tingkat kekurangan gizi tertinggi, sangat kurang
mendapatkan pelayanan.
Kementerian Kesehatan bertanggung jawab untuk merencanakan,
membuat pedoman yang menetapkan layanan spesifik yang harus
diberikan untuk meningkatkan gizi, serta pengadaan dan pasokan beberapa
suplai gizi sementara pemerintah provinsi dan kabupaten bertanggung
jawab untuk memberikan berbagai layanan dasar kepada masyarakat.
Standar Pelayanan Minimal (SPM) ini telah ditetapkan oleh Kementerian
Dalam Negeri untuk lima sektor. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 2
tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) telah ditetapkan
SPM untuk enam sektor termasuk bidang kesehatan. SPM untuk sektor
kesehatan diamanatkan berdasarkan peraturan (No. 43, 2016) dan
dioperasionalkan oleh Kementerian Kesehatan. Jenis pelayanan dasar
bidang kesehatan pada SPM Kesehatan tersebut terdiri dari 12 pelayanan,
yang didasarkan pada kelompok umur. Saat ini, pedoman teknis untuk
SPM bidang kesehatan sedang dalam proses penyusunan sebagai revisi
pedoman teknis SPM yang lama. Lampiran 3 mengilustrasikan bagaimana
target terkait gizi yang terdapat dalam RPJMN 2015-2019 tercermin pada
indikator yang terdapat dalam rencana strategis (RENSTRA) Kementerian
Kesehatan dan dalam layanan gizi di SPM yang akan dikerjakan oleh
pemerintah kabupaten.

11
Salah satu strategi yang diusulkan dalam konsolidasi Kajian Sektor
Kesehatan 2014 adalah untuk meningkatkan cakupan dan kualitas paket
layanan kesehatan dan gizi terpadu untuk mengatasi kekurangan gizi dan
kelebihan gizi.
Tabel 3 menyajikan 10 intervensi gizi spesifik yang telah terbukti
secara global (The Lancet Maternal and Child Nutrition Series) pada tahun
2013 sebagai hal yang esensial untuk mengatasi kekurangan gizi (The
Lancet, 2013) dan juga empat intervensi lebih lanjut yang dianggap
penting untuk intervensi gizi spesifik. Saat ini, dari 14 intervensi tersebut
hanya hanya 9 yang merupakan program nasional, 2 intervensi yang
sebagian diimplementasikan dan 3 intervensi yang belum menjadi
kebijakan nasional saat ini. Intervensi gizi spesifik yang berdasarkan bukti
global perlu dipastikan tercermin dalam SPM sektor kesehatan dan
dikerjakan melalui layanan gizi di tingkat daerah dengan cakupan penuh.
Paling tidak 10 intervensi gizi esensial harus dimasukkan ke dalam
kebijakan dan panduan nasional, dan tercermin dalam layanan yang
diberikan di tingkat daerah dengan cakupan penuh.

Tabel 3 Intervensi Gizi Menurut The Lancet Maternal and Child


Nutrition Series

Intervensi Implementasi di Indonesia Cakupan Tantangan


Manajemen/ Implementasi sebagian Data tidak tersedia Manajemen berbasis
tatalaksana gizi Kebijakan saat ini adalah masyarakat untuk SAM
buruk akut penanganan berbasis fasilitas belum dimasukkan ke dalam
untuk anak dengan gizi buruk kebijakan nasional. Akses
akut . ke manajemen berbasis
fasilitas masih terbatas
terutama di daerah terpencil.

12
Manajemen/ Implementasi tidak ada Balita dengan keadaan
tatalaksana balita Tidak ada kebijakan untuk kurus belum ditangani
kurus manajemen balita kurus. secara komprehensif melalui
Kebijakan saat ini adalah dukungan dan konseling
untuk memberikan biscuit untuk ibu, namun dengan
tinggi energi dan protein. melakukan pemberian
biskuit yang memiliki
tantangan terkait dengan
kapatuhan dan
efektivitasnya.
Garam beryodium Program nasional 47% rumah tangga Konsumsi universal garam
Kebijakan saat ini terkait wajib mengkonsumsi garam beryodium belum terpenuhi.
iodisasi garam sudah ada, dan beryodium (Kemenkes,
garam beryodium tersedia di 2013).
seluruh daerah.
77% rumah tangga
mengkonsumsi garam
beryodium yang cukup
berdasarkan tes cepat
(Kemenkes, 2013).
Pemberian Program nasional 53,5% anak usia 6-59 Hampir separuh anak tidak
vitamin A Kebijakan saat ini adalah bulan menerima vitamin menerima Vitamin A sesuai
pemberian vitamin A untuk A sesuai standar (6-11 standar sebingga cakupan
usia 6-59 bulan dua kali bulan 1 kali, 12-59 bulan penuh belum tercapai.
setahun. 2 kali) (Kemenkes,
2018).
Bubuk multi Implementasi tidak ada Anemia terjadi pada 28%
mikronutrien Fortifikasi makanan tingkat anak balita dan belum
fortifikasi tingkat rumah tangga dengan bubuk terkendali (Kemenkes,
rumah tangga multi mikronutrien dianjurkan 2015)
untuk memperbaiki status zat

13
besi dan mengurangi anemia
pada bayi dan anak usia 6-23
bulan.

D. Solusi Permasalahan Gizi Masyarakat


Menurut Hadi (2005), solusi yang bisa kita lakukan adalah berperan bersama-
sama. Peran Pemerintah dan Wakil Rakyat (DPRD/DPR) dengan membuat
kebijakan yang berpihak pada rakyat, misalnya kebijakan yang mempunyai
filosofi yang baik “menolong bayi dan keluarga miskin agar tidak kekurangan gizi
dengan memberikan Makanan Pendamping (MP) ASI”. Peran perguruan tinggi
juga sangat penting dalam memberikan kritik maupun saran bagi pemerintah agar
supaya pembangunan kesehatan tidak menyimpang dan tuntutan masalah yang riil
berada di tengah-tengah masyarakat, mengambil peranan dalam mendefinisikan
ulang kompetensi ahli gizi Indonesia dan memformulasikannya dalam bentuk
kurikulum pendidikan tinggi yang dapat memenuhi tuntutan zaman
Solusi yang bisa dilakukan adalah :
1. Upaya perbaikan gizi akan lebih efektif jika merupakan bagian dari kebijakan
penangulangan kemiskinan dan pembangunan SDM. Membiarkan penduduk
menderita masalah kurang gizi akan menghambat pencapaian tujuan
pembangunan dalam hal pengurangan kemiskinan. Berbagai pihak terkait
perlu memahami problem masalah gizi dan dampak yang ditimbulkan begitu
juga sebaliknya, bagaimana pembangunan berbagai sektor memberi dampak
kepada perbaikan status gizi. Oleh karena itu tujuan pembangunan beserta
target yang ditetapkan di bidang perbaikan gizi memerlukan keterlibatan
seluruh sektor terkait.
2. Dibutuhkan adanya kebijakan khusus untuk mempercepat laju percepatan
peningkatan status gizi. Dengan peningkatan status gizi masyarakat
diharapkan kecerdasan, ketahanan fisik dan produktivitas kerja meningkat,
sehingga hambatan peningkatan ekonomi dapat diminimalkan.

14
3. Pelaksanaan program gizi hendaknya berdasarkan kajian ‘best practice’
(efektif dan efisien) dan lokal spesifik. Intervensi yang dipilih dengan
mempertimbangkan beberapa aspek penting seperti: target yang spesifik tetapi
membawa manfaat yang besar, waktu yang tepat misalnya pemberian Yodium
pada wanita hamil di daerah endemis berat GAKY dapat mencegah cacat.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Hambatan utama untuk perbaikan gizi di Indonesia adalah kurangnya
kapasitas dalam mengimplementasikan program di tingkat daerah. Komitmen
pusat yang kuat terhadap pendekatan multisektoral untuk gizi belum sepenuhnya
diterjemahkan ke dalam pemberian layanan gizi berkualitas kepada masyarakat.
Alasan utama adalah adanya kesenjangan yang signifikan dalam intervensi gizi
spesifik yang esensial, khususnya untuk mengatasi anemia, malnutrisi akut
(wasting), obesitas dan PMBA. Selain itu, kapasitas daerah dalam merencanakan,
melaksanakan, menganggarkan dan memantau intervensi gizi di tingkat daerah
masih perlu ditingkatkan. Dengan adanya desentralisasi berarti bahwa kabupaten
memiliki sumber daya dan tanggung jawab yang lebih besar untuk mengelola
program gizi daripada sebelumnya dan hal yang sama berlaku di tingkat desa
dengan diperkenalkannya Dana Desa.
Selain itu, pemerintah di daerah diharapkan dapat melakukan koordinasi lintas
sektor yang efektif di dalam sistemnya tersendiri dan dengan sedikit pengalaman
dalam hal bekerja secara multisektoral. Oleh karena itu, penting untuk pemerintah
di daerah memiliki panduan dan dukungan teknis yang jelas untuk secara efektif
menyediakan serangkaian utuh intervensi gizi spesifik dan gizi sensitif yang
ditingkatkan.
Aspek penting termasuk meningkatkan cakupan layanan yang komprehensif,
menambah jumlah dan kapasitas penyedia layanan gizi, memastikan bahwa
sistem pengadaan dan pasokan produk gizi (suplemen dan peralatan) efisien dan
memperkenalkan peraturan yang lebih kuat untuk mempromosikan gizi yang
sehat.

16
Menurut Hadi (2005), solusi yang bisa kita lakukan adalah berperan bersama-
sama. Peran Pemerintah dan Wakil Rakyat (DPRD/DPR) dengan membuat
kebijakan yang berpihak pada rakyat, misalnya kebijakan yang mempunyai
filosofi yang baik “menolong bayi dan keluarga miskin agar tidak kekurangan gizi
dengan memberikan Makanan Pendamping (MP) ASI”.

17
DAFTAR PUSTAKA

Watson, Fiona., Minarto., dkk. 2019. _Kajian Sektor Kesehatan : Pembangunan gizi
di Indonesia_. Jakarta : Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat.

Symond, Denas., Purnakarya, Indral., dkk. 2020. _Peningkatan penerapan intervensi


gizi terintegrasi untuk anak stunting di kabupaten Pasaman Barat_. Jurnal : Gizi.

18

Anda mungkin juga menyukai