Transformasi Laplace
Transformasi Laplace
G(s) = Gx + Gy
𝒋𝝎 Bidang 𝒔
𝒋𝝎 𝟏 𝒔𝟏
𝐨 𝝈𝟏 𝝈
Gy G
Positif
𝜽
G’x 0
Gx Re
′
𝜽
Negatif
G’ G’y
di mana Gx dan Gy adalah besaran-besaran nyata. Besar dari besaran kompleks (Gx
+ jGy) diberikan oleh √G2x + G2y dan sudut 𝜃 dari (Gx + jGy) diberikan oleh 𝜃 = tan -1
(Gy/Gx ). Gambar 2-1 menujukkan bidang kompleks dan dua besaran kompleks
representative. Sudut 𝜃 diukur dari sumbu nyata positif. Putaran yang berlawanan
arah dengan arah putaran jarum jam didefenisikan seabagai arah positif untuk
pengukuran sudut.
Fungsi-fungsi kompleks G(s) yang biasa dijumpai dalam system control linier
adalah fungsi-fungsi s yang berharga tunggal dan ditentukan secara unik untuk suatu
harga s yang diberikan. Suatu fungsi kompleks G(s) dikatakan analitik dalam suatu
daerah, jika G(s) dan turunan-turunannya dalam daerah tersebut ada, turunan fungsi
analitik G(s) diberikan oleh
𝑑 𝐺 (𝑠 + ∆𝑠) − 𝐺 (𝑠)
𝐺 (𝑠) = lim
𝑑𝑠 ∆𝑥→0 ∆(𝑠)
Δ𝐺
= lim
∆𝑥→0 Δ𝑠
Harga turunan tersebut tidak tergantung pada pilihan lintasan ∆𝑠. Karena ∆𝑠 =
∆𝜎 + 𝑗∆𝜔, maka ∆𝑠 dapat mendekati nol dengan tak-terhingga lintasan yang
berbeda. Dapat ditunjukkan, tetapi disini dinyatakan tanpa pembuktian, bahwa jika
turunan yang diambil sepanjang dua lintasan khusus, yaitu ∆𝑠 = ∆𝜎 dan ∆𝑠 = 𝑗∆𝜔,
adalah sama, maka turunan tersebut adalah unik untuk setiap lintasan lain ∆𝑠 = ∆𝜎 +
𝑗∆𝜔.
𝑑 Δ𝐺 𝑥 Δ𝐺 𝑦
𝐺 (𝑠) = lim ( +𝑗 )
𝑑𝑠 ∆𝜎→0 Δ𝜎 Δ𝜎
∂𝐺 𝑥 ∂𝐺 𝑦
= +𝑗
∂𝜎 ∂𝜎
Untuk lintasan khusus lain ∆𝑠 = 𝑗∆𝜔 (lintasan sejajar dengan sumbu khayal), maka
𝑑 Δ𝐺 𝑥 Δ𝐺 𝑦
𝐺 (𝑠) = lim ( +𝑗 )
𝑑𝑠 𝑗∆𝜔→0 𝑗Δ𝜔 𝑗Δ𝜔
∂𝐺 𝑥 ∂𝐺 𝑦
= −𝑗 +𝑗
∂𝜔 ∂𝜔
∂𝐺 𝑥 ∂𝐺 𝑦 ∂𝐺 𝑦 ∂𝐺 𝑥
+𝑗 = −𝑗
∂𝜎 ∂𝜎 ∂𝜔 ∂𝜔
∂𝐺 𝑥 ∂𝐺 𝑦 ∂𝐺 𝑦 ∂𝐺 𝑥
= dan =
∂𝜎 ∂𝜔 ∂𝜎 ∂𝜔
Dipenuhi, maka turunan 𝑑𝐺 (𝑠)/𝑑𝑠 ditentukan secara unik. Dua syarat ini dikenal
sebagai syarat Cauchy-Riemann.
1
𝐺 (𝑠) =
𝑠+1
Selanjutnya
1
𝐺 (𝜎 + 𝑗𝜔) =
𝜎 + 𝑗𝜔 + 1
= 𝐺 𝑥 + 𝑗𝐺 𝑦
dimana
σ+1 −𝜔
𝐺𝑥 = 2 2
dan 𝐺𝑦 =
(𝜎 + 1) + 𝜔 (𝜎 + 1)2 + 𝜔 2
Dapat dilihat bahwa, kecuali pada 𝑠 = −1 (yaitu 𝜎 = −1, 𝜔 = 0), 𝐺(𝑠) memenuhi
syarat Cauchy-Riemann:
∂𝐺 𝑥 ∂𝐺 𝑦 𝜔2 − (𝜎 + 1)2
= =
∂𝜎 ∂𝜔 [(𝜎 + 1)2 + 𝜔 2 ] 2
∂𝐺 𝑦 ∂𝐺 𝑥 2𝜔2 − (𝜎 + 1)
=− =
∂𝜎 ∂𝜔 [(𝜎 + 1)2 + 𝜔 2 ] 2
Dengan demikian 𝐺 (𝑠) = 1/(𝑠 + 1) adalah analitik diseluruh bidang s kecuali pada
𝑠 = −1. Turunan 𝑑𝐺(𝑠)/𝑑𝑠 kecuali pada 𝑠 = −1 adalah
𝑑 ∂𝐺 𝑥 ∂𝐺 𝑦 ∂𝐺 𝑦 ∂𝐺 𝑥
𝐺 (𝑠) = +𝑗 = −𝑗
𝑑𝑠 ∂𝜎 ∂𝜎 ∂𝜔 ∂𝜔
1
=−
(𝜎 + 𝑗𝜔 + 1)2
1
=−
(𝑠 + 1)2
𝑑 1 1
( )=−
𝑑𝑠 𝑠 + 1 (𝑠 + 1)2
Titik-titik pada bidang 𝑠 yang menyebabkan fungsi 𝐺 (𝑠) analitik disebut titik
ordiner (ordinary), sedangkan titik pada bidang 𝑠 yang menyebabkan
fungsi 𝐺 (𝑠)tidak analitik disebut titik singuler (singular). Titik-tirik singuler yang
menyebabkan fungsi 𝐺 (𝑠) atau turunan-turunannya mendekati tak terhingga disebut
pole. Sebagai contoh,
𝐾(𝑠 + 𝑧)
𝐺 (𝑠) = (2 − 1)
(𝑠 + 𝑝 1 ) (𝑠 + 𝑝 2 )2
Jika 𝐺(𝑠) mendekati tak terhingga untuk 𝑠 mendekati – 𝑝dan jika fungsi
𝐺(𝑠)(𝑠 + 𝑝 )𝑛 (𝑛 = 1,2,3, …)
mempunyai harga tak terhingga tak nol di 𝑠 = − 𝑝, maka 𝑠 = − 𝑝 disebut pole orde
𝑛. Jika 𝑛 = 1, pole tersebut pole sederhana. Jika 𝑛 = 2,3,…, pole tersebut disebut
pole orde dua, pole orde tiga, dan seterusnya.
Titik-titik yang menyebabkan fungsi 𝐺(𝑠)sama dengan nol disebut zero. Fungsi
yang diberikan oleh Persamaan (2-1) mempunyai zero di 𝑠 = −𝑧. Jika titik-titik di
tak terhingga dimasukkan, maka 𝐺 (𝑠) mempunyai jumlah pole dan zero yang sama.
Fungsi 𝐺 (𝑠) yang diberikan oleh Persamaan (2-1) mempunyai dua buah zero di tak
terhingga di samping sebuah zero terhingga di 𝑠 = −𝑧 karena
𝐾
lim 𝐺 (𝑠) ≑ lim →0
𝑠→∞ 𝑠→∞ 𝑠2
Jadi, 𝐺 (𝑠)mempunyai tiga buah pole dan tiga buah zero (satu zero terhingga dan dua
zero tak terhingga).
Pemetaan yang dinyatakan dengan suatu fungsi analitik adalah konformal. Jadi,
dua kurva halus (smoot) pada bidang 𝑠 yang berpotongan dan membentuk sudut 𝜃
dipetakkan menjadi dua kurva halus pada bidang 𝐹(𝑠) yang berpotongan dan
membentuk sudut 𝜃 yang sama. (Perhatikan bahwa distori bentuk dua kurva tersebut
mungkin terjadi dalam pemetaan, walaupun ukuran dan pengertian sudut tetap
dijaga).
Jika fungsi 𝐺 (𝑠)adalah regular dan berharga tunggal dalam suatu wawasan
Γ, maka bayangan kurva kontinyu dalam Γ pada pemetaan 𝑧 = 𝐹(𝑠) juga merupakan
kurva kontinyu.
Untuk membuktikan bahwa pemetaan yang dinyatakan dengan suatu fungsi analitik
𝑧 = 𝐹 (𝑠) adalah konformal, tinjau suatu kurva halus 𝑠 = 𝑠(𝜁 ), yang melalui suatu
titik ordiner. Jika kita tulis 𝑧 0 = 𝐹(𝑠 0), maka
𝐹 (𝑠) − 𝐹(𝑠 0)
𝑧 − 𝑧0 = (𝑠 − 𝑠 0)
𝑠 − 𝑠0
Dengan demikian,
𝐹(𝑠)− 𝐹(𝑠 0)
/𝑧 − 𝑧 0 =/ 𝑠 − 𝑠0
+/(𝑠 − 𝑠 0)
di mana /(𝑠 − 𝑠 0) adalah sudut antara sumbu nyata positif dan vector dari 𝑠 0 ke 𝑠.
Jika 𝑠 mendekati 𝑠 0 sepanjang kurva halus 𝑠(𝜉 ), maka /(𝑠 − 𝑠 0) adalah sudut
𝜃 1 antara sumbu nyata positif dan garis singgung kurva tersebut pada 𝑠 0. dengan
cara yang sama, jika 𝑧 mendekati 𝑧 0, maka /𝑧 − 𝑧 0 mendekati ф 1 yang merupakan
sudut antara sumbu nyata positif dan garis singgung dari 𝐹(𝑠) pada 𝑧 0. sehingga kita
peroleh
𝜙 1 =/𝐹 ′ (𝑠 0) + 𝜃 1
dengan syarat bahwa 𝐹 ′ (𝑠 0), turunan dari 𝐹(𝑠) yang dihitung pada 𝑠 = 𝑠 0, tidak
beraharga nol. [Perhatikan bahwa jika 𝐹′(𝑠) ≠ 0 tidak dipenuhi, maka /𝐹 ′ (𝑠 0)
tidak terdefenisi]. Dengan demikian
𝜙 1−𝜃 1 =/𝐹 ′ (𝑠 0)
Perhatikan juga bahwa 𝜙 1−𝜃 1 tidak tergantung pada kurva halus khusus 𝑠 = 𝑠(𝜉 )
tetapi tergantung pada titik 𝑠 0 .
Dengan menggunakan kurva halus yang lain 𝑠 = 𝑠 2(𝜉 ) yang melalui titik 𝑠 0 ,
kita dapat melakukan analisis serupa sehingga diperoleh
𝜙 2−𝜃 2 =/𝐹 ′ (𝑠 0)
𝜙 1−𝜃 1 = 𝜙 2−𝜃 2
atau
𝜙 2− 𝜙 1 = 𝜃 2 − 𝜃 1
jadi, ukuran dan pengertian sudut pada pemetaan ini tetap di jaga. Sekarang telah
kita lihat bahwa pemetaan yang dinyatakan dengan suatu fungsi analitik 𝑧 = 𝐹(𝑠)
adalah konformal disetiap titik yang menyebabkan 𝐹(𝑠) reguler dan 𝐹′(𝑠) ≠ 0.
𝑠 = variabel kompleks
= 𝐴𝑒 −𝛼𝑡 untuk 𝑡 ≥ 0
𝐴
=
𝑠+𝛼
Terlihat bahwa fungsi eksponensial menimbulkan satu pole pada bidang kompleks.
Dengan melakukan integrasi ini, kita anggap bahwa bagian nyata dari 𝑠 lebih besar
dari −∝. (Perhatikan bahwa anggapan semacam ini di perlukan agar integral tersebut
konvergen mutlak).
Transformasi Laplace suatu fungsi 𝑓(𝑡) ada jika 𝑓(𝑡) secara sepotong-sepotong
kontinyu pada setiap selang-terhingga (finite interval) dalam daerah 𝑡 > 0 dan jika
fungsi tersebut mempunyai orde eksponensial dengan membesarnya 𝑡 menuju tak
terhingga. Dengan kata lain, integral Laplace harus konvergen. Suatu fungsi 𝑓(𝑡)
mempunyai orde eksponensial jika ada suatu konstanta nyata positif, 𝜎 sedemikian
rupa sehingga fungsi
𝑒 −𝜎𝑡 |𝑓(𝑡)|
Mendekati nol jika 𝑡 mendekati tak terhingga, jika limit fungsi 𝑒 −𝜎𝑡 |𝑓(𝑡)|mendekati
nol untuk 𝜎 lebih besar dari 𝜎 𝑐 dan limit tersebut mendekati tak terhingga untuk 𝜎
lebih kecil 𝜎 𝑐 , maka harga 𝜎 𝑐 disebut absis konvergensi.
Mendekati nol jika 𝜎 > −𝛼. Dalam hal ini absis konvergensinya adalah 𝜎 𝑐= −𝛼.
∞
integral ∫0 𝑓(𝑡)𝑒 −𝑠𝑡 𝑑𝑡 konvergen hanya jika 𝜎, bagian nyata dari 𝑠, lebih besar dari
absis konvergensi 𝜎 𝑐 . Jadi operator 𝑠 harus dipilih sebagai suatu konstanta
sedemikian rupa sehingga integral ini konvergen.
Dalam bentuk pole dari fungsi 𝐹(𝑠), absis konvergensi 𝜎 𝑐 merupakan bagian nyata
dari pole yang ditempatkan di palinngkanan pada bidang 𝑠. sebagai contoh, untuk
fungsi 𝐹(𝑠) berikut,
𝐾(𝑠 + 3)
𝐹 (𝑠) =
(𝑠 + 1)(𝑠 + 2)
absis konvergensi 𝜎 𝑐 sama dengan −1. dengan dilihat bahwa untuk fungsi-fungsi
seperti 𝑡, sin 𝜔𝑡, dan 𝑡 sin 𝜔𝑡, absis konvergensinya sama dengan nol. Untuk fungsi-
fungsi seperti 𝑒 −𝑐𝑡 , 𝑡𝑒 −𝑐𝑡 , 𝑒 −𝑐𝑡 sin 𝜔𝑡, dan sebagainya, absis konvergensinya sama
dengan −𝑐 . Akan tetapi untuk fungsi-fungsi yang membesar secara lebih cepat dari
fungsi eksponensial tersebut, tidak mungkin mempunyai absis konvergensi. Oleh
2 2
karena itu, fungsi-fungsi seperti 𝑒 𝑡 dan 𝑡𝑒 𝑡 tidak mempunyai transformasi
Laplace.
2
Pembaca harus berhati-hati bahwa sekalipun 𝑒 𝑡 (untuk 0 < 𝑡 < ∞) tidak
mempunyai transformasi Laplace, tetapi fungsi waktu yang didefenisikan oleh
2
𝑓 (𝑡) = 𝑒 𝑡 untuk 0 ≤ 𝑡 ≤ 𝑇 < ∞
Dalam menurunkan transformasi Laplace dari 𝑓(𝑡) = 𝐴𝑒 −𝛼𝑡 pada Contoh 2-1, kita
anggap bahwa bagian nyata dari 𝑠 lebih besar dari −𝛼 (absis konvergensi). Suatu
pertanyaan yang mungkin secara tiba-tiba timbul adalah mengenai berlaku atau
tidaknya transformasi Laplace yang diperoleh pada daerah 𝜎 < −𝛼 pada bidang 𝑠.
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus menggunakan teori variable kompleks.
Pada teori variable kompleks, ada suatu teorema yang dikenal sebagai teorema
perluasan analitik (analytic extension theorem). Teoremaini menyatakan bahwa jika
dua buah fungsi analitik mempunyai harga yang sama pada panjang terhingga
sepanjang busur itu dalam daerah analitik kedua fungsi tersebuut, maka kedua fungsi
tadi mempunyai harga yang sama diseluruh daerah analitik. Busur kesamaan tersebut
biasanya adalah sumbu nyata atau sebagian dari sumbu nyata. Dengan menggunakan
teorema ini bentuk 𝐹(𝑠) ditentukan dengan suatu integrasi yang memperbolehkan 𝑠
mempunyai suatu bilangan nyata positif yang lebih besar dari absis konvergensi,
yang berlaku untuk setiap harga kompleks 𝑠 dalam daerah anlitik. Jadi, sekalipun
kita anggap bagian nyata dari 𝑠 lebih besar dari absis konvergensi,
∞
agar ∫0 𝑓(𝑡)𝑒 −𝑠𝑡 𝑑𝑡 konvergen mutlak, akan tetapi setiap transformasi Laplace
dari 𝐹(𝑠) yang telah diperoleh, berlaku diseluruh bidang 𝑠 kecuali pada pole dari
𝐹 (𝑠).
Jika suatu fungsi 𝑓(𝑡) mempunyai transformasi Laplace, maka transformasi Laplace
dari 𝐴𝑓 (𝑡), dimana 𝐴 adalah suatu konstanta, diberikan oleh
Hubungan ini secara mudah dapat diturunkan dari defenisi transformasi Laplace.
Dengan cara yang sama, jika 𝑓 1(𝑡) dan 𝑓 2(𝑡) mempunyai transformasi Laplace,
maka transformasi Laplace dari 𝑓 1(𝑡) + 𝑓 2(𝑡) diberikan oleh
[𝑓 1(𝑡) + 𝑓 2(𝑡)] = [𝑓 1(𝑡)] + [𝑓 2(𝑡)]
Hubungan ini secara mudah juga dapat dibuktikan dari defenisi transformasi
Laplace.
Berikut ini kita akan menurunkan transformasi Laplace beberapa fungsi yang
sering dijumpai. Perhatikan bahwa transformasi Laplace setiap fungsi 𝑓(𝑡)yang
dapat ditransformasi dengan integral Laplace, diperoleh dengan mengalikan 𝑓(𝑡)dan
𝑒 −𝑠𝑡 kemudian mengintegrasiakan hasil perkalian ini dari 𝑡 = 0 sampai 𝑡 = ∞.
[Perhatikan bahwa setelah kita melalui metoda untuk mencari transforamsi Laplace,
kita tidak perlu lagi menurunkan transformasi Laplace setiap saat. Table transformasi
Laplace secara mudah dapat digunakan untuk mencari transformasi Laplace suatu
fungsi 𝑓(𝑡) yang diberikan].
= A = konstan untuk 𝑡 = 0
Di sini, fungsi tangga tersebut tidak didefenisikan pada 𝑡 = 0. tetapi ini tidak penting
karena
0+
∫ 𝐴𝑒 −𝑠𝑡 𝑑𝑡 = 0
0−
Di dalam melakukan integrasi ini, kita anggap bahwa bagian nyata dari 𝑠 lebih besar
dari nol (absis konvergensi) sehingga lim 𝑒 −𝑠𝑡 adalah nol. Seperti telah dinyatakan
𝑡→∞
sebelumnya bahwa transformasi Laplace yang diperoleh tersebut berlaku diseluruh
bidang 𝑠 kecuali pada pole 𝑠 = 0.
Fungsi tangga yang tingginya satu disebut fungsi tangga satuan. Fungsi tangga
satuan yang terjasi pada 𝑡 = 𝑡 0, sering ditulis sebagai 𝑢(𝑡 = 𝑡 0)atau 1(𝑡 = 𝑡 0).
Dalam buku ini kita akan menggunakan notasi 1(𝑡 = 𝑡 0)kecuali ada pertanyaan lain.
Fungsi tangga dengan tinggi 𝐴 selanjutnya dapat ditulis sebagai 𝑓(𝑡) = 𝐴 1 (𝑡 = 𝑡 0).
Transformasi Laplace fungsi tangga satuan yang didefenisikan oleh
= 1 untuk t > 0
Adalah 1/s, atau
1
[1(𝑡)] =
𝑠
Secara fisis, fungsi tangga yang terjadi pada 𝑡 = 0 merupakan sinyal konstan yang
secara tiba-tiba dikenakan pada system, saat 𝑡 sama dengan nol.
= 𝐴𝑡 untuk t ≥ 0
∞
𝑒 −𝑠𝑡 ∞ 𝐴𝑒 −𝑠𝑡
= 𝐴𝑡 | −∫ 𝑑𝑡
−𝑠 0 0 −𝑠
𝐴 ∞ −𝑠𝑡
= ∫ 𝑒 𝑑𝑡
𝑠 0
𝐴
=
𝑠2
= 𝐴 sin 𝜔𝑡 untuk t ≥ 0
karena
1 𝑗𝜔𝑡
sin 𝜔𝑡 = (𝑒 − 𝑒 −𝑗𝜔𝑡 )
2𝑗
Dengan demikian
𝐴 ∞ 𝑗𝜔𝑡
[𝑓(𝑡)] = ∫ (𝑒 − 𝑒 −𝑗𝜔𝑡 )𝑒 −𝑠𝑡 𝑑𝑡
2𝑗 0
𝐴 1 𝐴 1
= −
2𝑗 𝑠 − 𝑗𝜔 2𝑗 𝑠 + 𝑗𝜔
𝐴𝜔
=
𝑠2 + 𝜔2
Transformasi Laplace dari cos 𝜔𝑡 dapat diperoleh dengan cara yang sama.
Pada pasal ini kita akan membahas beberapa teorema transformasi Laplace yang
berguna dalam mengkaji system kontrol.
Translasi fungsi. Kita akan mencari transformasi Laplace dari fungsi yang
translasikan, 𝑓(𝑡 − 𝛼 ). Di sini 𝑓(𝑡) dianggap nol untuk 𝑡 < 0 atau 𝑓(𝑡 − 𝛼 ) = 0
untuk 𝑡 − 𝛼. Fungsi 𝑓 (𝑡) dan 𝑓 (𝑡 − 𝛼 ) ditunjukkan pada Gambar 2-3.
f(t) 𝒇(𝒕 − 𝜶)
0 f 0 𝜶 𝒇
∞
= 𝑒 𝛼𝑠 ∫ 𝑓(𝑡 − 𝛼)𝑒 −𝑠𝑡 𝑑𝑡
0
Persamaan yang terakhir ini menyatakan bahwa transformasi Laplace dari fungsi
waktu 𝑓 (𝑡) yang ditranslasikan sebesar 𝛼 sama dengan perkalian 𝐹 (𝑠) dengan 𝑒 −𝛼𝑠 .
Untuk menunjukkan pengertian secara lebih jelas bahwa 𝑓(𝑡 − 𝛼 ) sama dengan
nol untuk 𝑡 < 𝛼, fungsi yang ditranslasikan perlu ditulis sebagai 𝑓(𝑡 − 𝛼 )1(𝑡 − 𝛼 ).
Dengan notasi ini, maka
Transformasi Laplace dari 𝑓(𝑡) diperoleh sebagai berikut: Fungsi pulsa 𝑓(𝑡) dapat
dipandang sebagai fungsi tangga dengan tinggi 𝐴 dan mulai pada 𝑡 = 0 yang
disuperposisikan dengan fungsi tangga negatif setinggi 𝐴 dan mulai pada 𝑡 =
𝑡 0 ;jadi,
𝐴 𝐴 −𝑠𝑡
= − 𝑒 0
𝑠 𝑠
𝐴
= (1 − 𝑒 −𝑠𝑡 0 )
𝑠
Contoh 2-6. Fungsi impulsa. Fungsi impulsa merupakan kasus khusus dari fungsi
pulsa. Tinjau fungsi impulsa berikut:
𝐴
𝑓 (𝑡) = lim untuk 0 < 𝑡 < 𝑡 0
𝑡→0 𝑡0
Karena tinggi fungsi impulsa adalah 𝐴/ 𝑡 0 dan durasinya adalah 𝑡 0 , maka luas
daerah dibawah kurva impulsa adalah 𝐴. Jika durasi 𝑡 0 mendekati nol, maka tinggi
𝐴/𝑡 0 mendekati tak terhingga, tetapi luas daerah di bawah kurva impulsa tetap sama
dengan 𝐴. Perhatikan bahwa luas ini merupakan ukuran dari impulsa.
𝑑 −𝑠𝑡 0 )
(
𝑑𝑡 0 [𝐴 1 − 𝑒 ]
= lim
𝑡 0 →0 𝑑
𝑑𝑡 0 (𝑡 0 𝑠 )
𝐴𝑠
=
𝑠
=𝐴
Jadi, transformasi Laplace dari fungsi impulsa sama dengan luas daerah dibawah
kurva impulsa.
Fungsi impulsa luas satu disebut fungsi impulsa satuan atau fungsi delta Dirac.
Fungsi impulsa satuan yang terjadi pada 𝑡 = 𝑡 0 biasanya dinyatakan dengan
𝛿(𝑡 − 𝑡 0 ). 𝛿 (𝑡 − 𝑡 0 ) ini mempunyai persyaratan berikut:
𝛿 (𝑡 − 𝑡 0 ) = 0 untuk t ≠ 𝑡 0
𝛿(𝑡 − 𝑡 0 ) = ∞ untuk 𝑡 = 𝑡 0
∞
∫ 𝛿(𝑡 − 𝑡 0 )𝑑𝑡 = 1
−∞
Suatu impulsa yang besarnya tak terhingga dan durasinya nol merupakan
khayalan matematik yang tidak pernah terjadi dalam system fisik. Akan tetapi, jika
masukan pulsa ke sistem sangat besar dan durasinya sangat singkat di bandingkan
dengan konstanta waktu system, maka masukan pulsa tersebut dapat didekati sebagai
fungsi impulsa. Sebagai contoh, jika suatu masukan gaya atau torsi 𝑓(𝑡) dikenakan
ke sistem selama selang waktu 0 < 𝑡 < 𝑡 0 yang sangat singkat, dan jika 𝑓(𝑡) cukup
𝑡
besar sedemikian rupa sehingga ∫0 0 𝑓(𝑡)𝑑𝑡 tidak dapat diabaikan, maka masukan
ini dapat dianggap sebagai masukan impulsa. Masukan impulsa mencatu energy ke
system selama selang waktu yang sangat singkat.
𝑑
𝛿(𝑡) = 1(𝑡)
𝑑𝑡
Sebaliknya, jika fungsi impulsa satuan 𝛿(𝑡) diintegrasi, maka hasilnya merupakan
fungsi tangga satuan 1(𝑡).Dengan konsep fungsi impulsa, kita dapat
mendiferemsiasikan suatu fungsi yang mengandung diskontinyuitas, sehingga
diperoleh impulsa yang besarnya sama dengan tinggi tiap-tiap diskontinyuitas.
Perkalian 𝑓 (𝑡) dengan 𝑒 −𝛼𝑡 . Jika 𝑓 (𝑡) dapat ditransformasi dengan integral
Laplace, menjadi 𝐹 (𝑠), maka transformasi Laplace dari 𝑒 −𝛼𝑡 𝑓(𝑡) diperoleh sebagai
berikut:
∞
−𝛼𝑡
[𝑒 𝑓(𝑡)] = ∫ 𝑒 −𝛼𝑡 𝑓(𝑡)𝑒 −𝑠𝑡 𝑑𝑡
0
= 𝐹 (𝑠 + 𝛼 ) (2 − 2)
Kita lihat bahwa perkalian 𝑓 (𝑡) dengan 𝑒 −𝛼𝑡 mempunyai pengaruh mengubah
𝑠 menjadi (𝑠 + 𝛼) dalam transformasi Laplace. Sebaliknya, penggantian 𝑠 dengan
(𝑠 + 𝛼)ekivalen dengan pengalian 𝑓(𝑡) dengan 𝑒 −𝛼𝑡 . (Perhatikan bahwa 𝛼 dapat
berupa bilangan nyata atau kompleks).
Hubungan yang diberikan oleh Persamaan (2-2) sanngat berguna dalam mencari
transformasi Laplace dari fungsi-fungsi seperti 𝑒 −𝛼𝑡 sin 𝜔𝑡 dan 𝑒 −𝛼𝑡 cos 𝜔𝑡. sebagai
contoh, karena
𝜔
[sin 𝜔𝑡] = = 𝐹(𝑠)
𝑠2 + 𝜔2
Maka berdasarkan Persamaan (2-2), transformasi Laplace dari 𝑒 −𝛼𝑡 sin 𝜔𝑡 diberikan
oleh
Jika 𝑡 diubah menjadi 𝑡/𝛼, dimana 𝛼 adalah suatu konstanta positif, maka fungsi
𝑓(𝑡) berubah menjadi 𝑓(𝑡/𝛼). Jika transformasi Laplace dari 𝑓(𝑡) kita nyatakan
dengan 𝐹(𝑠), maka transformasi Laplace dari 𝑓(𝑡/𝛼) dapat diperoleh sebagai
berikut:
∞
𝑡 𝑡
[𝑓 ( )] = ∫ 𝑓 ( ) 𝑒 −𝑠𝑡 𝑑𝑡
𝛼 0 𝛼
∞
= 𝛼 ∫ 𝑓(𝑡 1) 𝑒 −𝑠 1 𝑡 1 𝑑𝑡 1
0
= 𝛼𝐹(𝑠 1)
atau
𝑡
[𝑓 ( )] = 𝛼𝐹(𝛼𝑠)
𝛼
𝑡 5
[𝑓 ( )] = [𝑒 −0,2𝑡 ] = 5𝐹 (5𝑠) =
5 5𝑠 + 1
Hasil ini dapat diperikas secara mudah dengan mencari transformasi Laplace dari
𝑒 −0,2𝑡 secara langsung sebagai berikut:
1 5
[𝑒 −0,2𝑡 ] = =
𝑠 + 0.2 5𝑠 + 1
Catatan untuk batas bawah integral Laplace. Pada beberapa kasus, 𝑓(𝑡) mempunyai
impulsa pada 𝑡 = 0. Dalam hal ini batas bawah integral Laplace harus ditentukan
secara jelas, yaitu 0- atau 0+, karena transformasi Laplace yang diperoleh dengan
kedua batas bawah ini akan berbeda. Jika perbedaan batas bawah integral Laplace
semacam itu diperlukan, maka kita gunakan notasi berikut:
∞
−𝑠𝑡
+[𝑓(𝑡 )] = ∫ 𝑓(𝑡)𝑒 𝑑𝑡
0+
∞ 0+
−𝑠𝑡
−[𝑓(𝑡 )] = ∫ 𝑓(𝑡)𝑒 𝑑𝑡 = +[𝑓(𝑡)] + ∫ 𝑓(𝑡)𝑒 −𝑠𝑡 𝑑𝑡
0− 0−
+[𝑓(𝑡 )] ≠ −[𝑓(𝑡)]
Karena
0+
∫ 𝑓(𝑡)𝑒 −𝑠𝑡 𝑑𝑡 ≠ 0
0−
Untuk kasus tersebut. Jelaslah, bahwa jika 𝑓(𝑡) tidak mempunyai fungsi impulsa
pada 𝑡 = 0, maka
+[𝑓(𝑡 )] = −[𝑓(𝑡)]
Teorema diferensiasi. Transformasi Laplace dari turunan fungsi 𝑓(𝑡) diberikan
sebagai
𝑑
[ 𝑓(𝑡)] = 𝑠𝐹 (𝑠) − 𝑓 (0) (2 − 3)
𝑑𝑡
f(f)
f (f)
f(0+)=A
A f(0-)=A f(0+)=A
f(0-)=0
0 f 0 f
(a) (b)
Untuk suatu fungsi 𝑓(𝑡) yang diberikan, harga𝑓 (0 +) dan 𝑓(0−) adalah
penting jika 𝑓(𝑡) mempunyai diskontinyuitas pada 𝑡 = 0, karena pada kasus macam
ini, 𝑑𝑓(𝑡)/𝑑𝑡 akan melibatkan fungsi impulsa pada 𝑡 = 0. Apabila 𝑓 (0 +) ≠
𝑓(0 −), maka Persamaan (2-3) harus dimodifikasi menjadi
𝑑
[ 𝑓(𝑡)] = 𝑠𝐹 (𝑠) − 𝑓(0 + )
+ 𝑑𝑡
𝑑
[ 𝑓(𝑡)] = 𝑠𝐹 (𝑠) − 𝑓(0 − )
− 𝑑𝑡
𝑓(0) 1 𝑑
𝐹(𝑠) = + [ 𝑓(𝑡)]
𝑠 𝑠 𝑑𝑡
𝑑
[ 𝑓 (𝑡)] = 𝑠𝐹 (𝑠) − 𝑓(0)
𝑑𝑡
Dengan cara yang sama, untuk turunan kedua dari 𝑓(𝑡), kita peroleh hubungan
berikut:
𝑑2
[ 𝑓(𝑡)] = 𝑠 2 𝐹 (𝑠) − 𝑠𝑓(0) − 𝑓(0)
𝑑2
di mana 𝑓(0) adalah harga 𝑑𝑓(𝑡)/𝑑𝑡 yang dihitung pada 𝑡 = 0. Untuk menurunkan
persamaan ini, definisikan
𝑑
𝑓 (𝑡) = 𝑔(𝑡)
𝑑𝑡
Selanjutnya
𝑑2 𝑑
[ 𝑓 (𝑡)] = [ 𝑔(𝑡)]
𝑑2 𝑑
= 𝑠[𝑔(𝑡) − 𝑔(0)
𝑑
= 𝑠 [ 𝑓 (𝑡)] − 𝑓(0)
𝑑
Dengan cara yang sama, untuk turunan ke 𝑛 dari 𝑓 (𝑡), kita peroleh
𝑑𝑛
[ 𝑓(𝑡)] = 𝑠 𝑛 𝐹 (𝑠) − 𝑠 𝑛−1 𝑓 (0) − 𝑠 𝑛−2 𝑓 (0) − ⋯ − 𝑠𝑓(0)(𝑛−2) − 𝑓(0)(𝑛−1)
𝑑𝑡 𝑛
Dimana 𝑓 (0), 𝑓 (0), … , 𝑓(0)(𝑛−1) masing-masing menyatakan harga
𝑑𝑓(𝑡) (𝑛−1) 𝑛−𝑡
𝑓(𝑡), 𝑑𝑡
,…,𝑑 𝑓(𝑡)/𝑑𝑡 , yang dihitung pada 𝑡 = 0. Apalagi diperlukan
perbedaan 𝑙 + dan 𝑙 − kita substitusikan 𝑡 = 0 + atau 𝑡 = 0 − kedalam
𝑓(𝑡), 𝑓(𝑡), … , 𝑓(𝑡)(𝑛−1) , bergantung pada transformasi yang akan dilakukan 𝑙 + atau
𝑙− .
Perhatikan bahwa, agar transformasi Laplace turunan ke 𝑛 dari 𝑓(𝑡) ada, maka
𝑑𝑡 𝑓(𝑡)/𝑑𝑡 𝑡 harus dapat ditranformasi dengan integral Laplace.
Perhatikan juga bahwa jika semua harga awal 𝑓(𝑡) dan turunan-turunannya
sama dengan nol, mak tranformasi Laplace turunan ke 𝑛 dari 𝑓(𝑡) sama dengan
𝑠 𝑛 𝐹 (𝑠).
= 𝐴 cos 𝜔𝑡 untuk 𝑡 ≥ 0
Tranformasi Laplace dari fungsi cosines dapat diperoleh secara langsung seperti
pada kasus fungsi sinusoida. Akan tetapi, disini akan ditunjukkan teorema
diferensiasi, dengan menurunkan transformasi Laplace fungsi cosines dari
transformasi Laplace fungsi sinus. Jika kita defenisikan
= sin 𝜔𝑡 untuk 𝑡 ≥ 0
maka
𝜔
𝐹 (𝑠) = [sin 𝜔𝑡] =
𝑠2 + 𝜔2
𝑑 𝐴
[𝐴cos 𝜔𝑡] = [ sin 𝜔𝑡]
𝑑𝜔
𝐴
= [𝑠𝐹 (𝑠) − 𝑓 (0)]
𝜔
𝐴 𝜔
= ( 2 − 0)
𝜔 𝑠 + 𝜔2
𝐴𝑠
=
𝑠2 + 𝜔2
Teorema harga akhir. Jika 𝑓(𝑡) dan 𝑑𝑓(𝑡)/𝑑𝑡 dapat ditranformasi dengan integral
Laplace, jika
∞
𝑑
lim ∫ [ 𝑓 (𝑡)] 𝑒 −𝑠𝑡 𝑑𝑡 = lim [𝑠𝐹 (𝑠) − 𝑓 (0)]
𝑠→0 0 𝑑𝑡 𝑠→0
∞
𝑑 ∞
∫ [ 𝑓 (𝑡)] 𝑑𝑡 = 𝑓(𝑡) | = 𝑓 (∞) − 𝑓(0)
0 𝑑𝑡 0
Dengan demikian,
Teorema harga akhir menyatakan bahwa perilaku keadaan tunak 𝑓(𝑡) adalah
sama dengan perilaku 𝑠𝐹(𝑠) disekitar 𝑠 = 0. Dengan demikian dapat diperoleh harga
𝑓(𝑡) pada 𝑡 = ∞ secara langsung dari 𝐹 (𝑠).
Perhatikan bahwa 𝑓(𝑡) adalah fungsi sinusoida sin 𝜔𝑡, maka 𝑠𝐹(𝑠) mempunyai
pole pada 𝑠 = ±𝑗𝜔 sehingga lim 𝑓 (𝑡) tidak ada. Oleh karena itu, teorema ini tidak
𝑡→0
berlaku untuk fungsi semacam ini. Jika 𝑓 (𝑡) mendekati tak terhingga untuk 𝑡
mendekati rak terhingga, maka lim 𝑓 (𝑡) tidak ada, sehingga teorema harga akhir
𝑡→0
tidak dapat digunakan untuk kasus ini. Kita harus yakin bahwa semua kondisi untuk
teorema harga akhir ini telah di penuhi sebelum menggunakannya pada soal yang
diberikan.
Teorema harga awal berikut merupakan teman imbangan teorema harga akhir.
Teorema harga awal memungkinkan untuk mencari harga 𝑓 (𝑡) pada 𝑡 = 0 + secara
langsung dari transformasi Laplace 𝑓 (𝑡). Teorema harga awal tidak memberikan
harga 𝑓 (𝑡) tepat pada 𝑡 = 0 teta[I harga fungsi 𝑓(𝑡) pada saat 𝑡 sedikit lebih besar
dari nol.
Teorema harga awal. Jika 𝑓(𝑡) dan 𝑑𝑓(𝑡)/𝑑𝑡 keduanya dapat ditranformasikan
dengan integral Laplace dan jika lim 𝑠𝐹 (𝑠) ada, maka
𝑠→0
Untuk membuktikan teorema ini, kita gunakan persamaan untuk + dari 𝑑𝑓(𝑡)/𝑑𝑡 ;
yakni,
𝑑
[ 𝑓 (𝑡)] = 𝑠𝐹 (𝑠) − 𝑓(0 + ) (2 − 4)
+ 𝑑𝑡
Untuk selang waktu 0+≤ 𝑡 ≤ ∞, jika 𝑠 mendekati tak terhingga, maka 𝑒 −𝑠𝑡
mendekati nol. (Perhatikan bahwa untuk kondisi ini kita harus menggunakan
𝑙 + bukan 𝑙 − ). Oleh karena itu
∞
𝑑
lim ∫ [ 𝑓(𝑡)] 𝑒 −𝑠𝑡 𝑑𝑡 = 0 (2 − 5)
𝑠→∞ 0 𝑑𝑡
Dalam menggunakan teorema harga awal, kita tidak di batasi oleh letak pole dari
𝑠𝐹 (𝑠). (Jadi teorema harga awal berlaku untuk fungsi sinusoida). Seringkali teorema
harga awal dan teorema harga akhir memberiakn hasil pengecekan secara mudah
pada suatu jawab. (Perhatikan bahwa teorema ini memungkinkan kita untuk meramal
perilaku sistem dalam wawasan waktu tampa melakukan transformasi balik dari
fungsi dalam wawasan 𝑠 ke fungsi waktu).
𝐹(𝑠) 𝑓 −1 (0)
[∫ 𝑓(𝑡)𝑑𝑡] = + (2 − 6)
𝑠 𝑠
𝐹(𝑠) 𝑓 −1 (0 + )
[∫ 𝑓 (𝑡)𝑑𝑡] = +
+ 𝑠 𝑠
𝐹(𝑠) 𝑓 −1 (0 − )
[∫ 𝑓(𝑡)𝑑𝑡] = +
− 𝑠 𝑠
∞
𝑒 −𝑠𝑡 ∞ 𝑒 −𝑠𝑡
= [∫ 𝑓 (𝑡)𝑑𝑡] | − ∫ 𝑓(𝑡) 𝑑𝑡
−𝑠 0 0 −𝑠
1 1 ∞
= ∫ 𝑓(𝑡)𝑑𝑡 | + ∫ 𝑓 (𝑡) 𝑒 −𝑠𝑡 𝑑𝑡
𝑠 𝑡=0 𝑠 0
𝑓 −1 (0) 𝐹(𝑠)
= +
𝑠 𝑠
Kita lihat bahwa integrasi dalam wawasan waktu diubah menjadi pembagian
dalam wawasan 𝑠. Jika harga awal dari integral adalah nol, maka transformasi
Laplace dari integral 𝑓(𝑡) diberikan oleh 𝐹(𝑠)/𝑠.
𝑓 1 (𝑡) ∗ 𝑓 2 (𝑡)
Operasi matematik 𝑓 1 (𝑡) ∗ 𝑓 2 (𝑡) disebut konvolusi. Perhatikan bahwa jika kita
nyatakan 𝑡 − 𝜏 = ξ, maka
𝑡 0
∫ 𝑓 1 (𝑡 − 𝜏)𝑓 2 (𝜏)𝑑𝜏 = − ∫ 𝑓 1 (𝜉 )𝑓 2 (𝑡 − 𝜉 )𝑑𝜉
0 𝑡
𝑡
= ∫ 𝑓 1 (𝜏)𝑓 2 (𝑡 − 𝜏)𝑑𝜏
0
𝑡
= ∫ 𝑓 1 (𝜏)𝑓 2 (𝑡 − 𝜏)𝑑𝜏
0
= 𝑓 2 (𝑡) ∗ 𝑓 1 (𝑡)
Gambar 2-5(a) menunjukkan kurva 𝑓 1 (𝑡), 𝑓 1 (𝑡 − 𝜏), dan 𝑓 2 (𝜏). Gambar 2-5 (b)
menunjukkan hasilkali dari 𝑓 1 (𝑡 − 𝜏) dan 𝑓 2 (𝜏). Bentuk kurva 𝑓 1 (𝑡 − 𝜏)𝑓 2 (𝜏)
bergantung pada 𝑡.
𝒇𝟐 (𝝉)
f1(f) 𝒇𝟏 (𝒕 − 𝝉)
𝒕 = 𝟏, 𝟓 3
2 2 2
1 1 1
A
0 1 2 f -1 0 1 2 0 1 2 3
𝝉
(a)
𝒇𝟏 (𝒕 − 𝝉)𝒇𝟐 (𝝉)
4
𝒕 = 𝟏, 𝟓
𝒇𝟐 (𝝉) 3
0 1 2 3
(b)
Gambar 2-5. (a) Kurva 𝒇𝟏 (𝒕)𝒇𝟐 (𝒕 − 𝝉), dan 𝒇𝟐 (𝝉); (b) 𝒇𝟏 (𝒕 − 𝝉)𝒇𝟐 (𝝉)
𝑓(𝑡) 𝐹(𝑠)
1 Impulsa satuan 𝛿(𝑡) 1
2 Tangga satuan 1(𝑡) 1
𝑠
3 𝑡 1
𝑠2
4 𝑒 −𝑎𝑡 1
𝑠+𝑎
5 𝑡𝑒 −𝑎𝑡 1
(𝑠 + 𝑎)2
6 sin 𝜔𝑡 𝜔
𝑠 + 𝑎2
2
7 cos 𝜔𝑡 𝑠
𝑠 + 𝑎2
2
8 𝑡𝑛 (𝑛 = 1,2,3, … ) 𝑛!
𝑠 𝑛+1
9 𝑡 𝑛 𝑒 −𝑎𝑡 (𝑛 = 1,2,3, … ) 𝑛!
(𝑠 + 𝑎)𝑛+1
10 1 1
(𝑒 −𝑎𝑡 − 𝑒 −𝑏𝑡 )
𝑏−𝑎 (𝑠 + 𝑎)(𝑠 + 𝑏)
11 1 𝑠
(𝑏𝑒 −𝑏𝑡 − 𝑎𝑒 −𝑎𝑡 ) (𝑠 + 𝑎)(𝑠 + 𝑏)
𝑏−𝑎
12 1 1 1
[1 + (𝑏𝑒 −𝑎𝑡 − 𝑎𝑒 −𝑏𝑡 )]
𝑎𝑏 𝑎−𝑏 𝑠(𝑠 + 𝑎)(𝑠 + 𝑏)
13 𝑒 −𝑎𝑡 sin 𝜔𝑡 𝜔
(𝑠 + 𝑎)2 𝜔 2
14 𝑒 −𝑎𝑡 cos 𝜔𝑡 𝑠+𝑎
(𝑠 + 𝑎)2 𝜔 2
15 1 1
(𝑎𝑡 − 1 + 𝑒 −𝑎𝑡 )
𝑎2 2
𝑠 (𝑠 + 𝑎)
16 𝜔𝑛 𝜔 𝑛2
𝑒 −𝜁𝜔 𝑛 𝑡 sin 𝜔 𝑛 √1− 𝜁 2 𝑡
√1− 𝜁2 𝑠 2 + 2𝜁𝜔 𝑛 𝑠 + 𝜔 𝑛2
17 −1 𝑠
𝑒 −𝜁𝜔 𝑛 𝑡 sin(𝜔 𝑛 √1− 𝜁 2 𝑡 − 𝜙) 𝑠 + 2𝜁𝜔 𝑛 𝑠 + 𝜔 𝑛2
2
√1− 𝜁 2
√1− 𝜁 2
𝜙 = tan−1
𝜁
18 1 𝜔 𝑛2
1− 𝑒 −𝜁𝜔 𝑛 𝑡 sin(𝜔 𝑛 √1− 𝜁 2 𝑡 + 𝜙)
√1− 𝜁 2 𝑠(𝑠 2 + 2𝜁𝜔 𝑛 𝑠 + 𝜔 𝑛2 )
√1− 𝜁 2
𝜙 = tan−1
𝜁
1 [𝐴𝑓(𝑡)] = 𝐴𝐹 (𝑠)
Di mana
∞
𝐹 1(𝑠) = ∫ 𝑓 1(𝑡)𝑒 −𝑠𝑡 𝑑𝑡 = [𝑓 1(𝑡)]
0
∞
𝐹 2(𝑠) = ∫ 𝑓 1(𝑡)𝑒 −𝑠𝑡 𝑑𝑡 = [𝑓 2(𝑡)]
0
Selanjutnya
𝑡 ∞
[∫ 𝑓 1(𝑡 − 𝜏) 𝑓 2(𝜏)𝑑𝜏 ] = [∫ 𝑓 1(𝑡 − 𝜏) 1 (𝑡 − 𝜏)𝑓 2(𝜏)𝑑𝜏 ]
0 0
∞ ∞
= ∫ 𝑒 −𝑠𝑡 [∫ 𝑓 1(𝑡 − 𝜏) 1 (𝑡 − 𝜏)𝑓 2(𝜏)𝑑𝜏 ] 𝑑𝑡
0 0
Dengan subtitusi 𝑡 − 𝜏 = 𝜆 ke dalam persamaan terakhir ini dan dengan mengubah
urutan integrasi, yang diperbolehkan dalam kasusu ini karena 𝑓 1(𝑡) dan 𝑓 2(𝑡) dapat
ditransformasi dengan integral Laplace, kita peroleh
𝑡 ∞ ∞
[∫ 𝑓 1(𝑡 − 𝜏) 𝑓 2(𝜏)𝑑𝜏 ] = ∫ 𝑓 1(𝑡 − 𝜏) 1 (𝑡 − 𝜏)𝑒 −𝑠𝑡 𝑑𝑡 ∫ 𝑓 2(𝜏) 𝑑𝜏
0 0 0
∞ ∞
= ∫ 𝑓 1(𝜆) 𝑒 −𝑠(𝜆=𝜏) 𝑑𝜆 ∫ 𝑓 2(𝜏) 𝑑𝜏
0 0
∞ ∞
= ∫ 𝑓 1(𝜆) 𝑒 −𝑠𝜆 𝑑𝜆 ∫ 𝑓 2(𝜏) 𝑒 −𝑠𝜏 𝑑𝜏
0 0
= 𝐹 1(𝑠)𝐹 2(𝑠)
[𝐹 1(𝑠)] = 𝑓(𝑡)
1 𝑐+𝑗∞
𝑓 (𝑡) = ∫ 𝐹 (𝑠)𝑒 𝑠𝑡 𝑑𝑠 (𝑡 > 0) (2 − 8)
2𝜋𝑗 𝑐−𝑗∞
dan jika transformasi Laplace balik dari 𝐹 1(𝑠), 𝐹 2(𝑠), … , 𝐹 𝑛(𝑠) telah tersedia,
maka
−1 [𝐹(𝑠)] −1 [𝐹 −1 [𝐹 −1 [𝐹
= 1(𝑠)] + 2(𝑠)] + ⋯+ 𝑛 (𝑠)]
𝐵(𝑠)
𝐹(𝑠) =
𝐴(𝑠)
di mana 𝐴(𝑠) dan 𝐵(𝑠) adalah polinominal dalam 𝑠, dan derajat 𝐵(𝑠) tidak lebih
tinggi dari 𝐴(𝑠).
Dalam menggunakan teknik uraian pecahan parsial untuk mencari transformasi
Laplace balik dari 𝐹 (𝑠) = 𝐵(𝑠)/𝐴(𝑠), terlebih dahulu kita haru mengetahui akar-
akar polinominal penyebut 𝐴(𝑠). (Dengan kata lain, metoda ini tidak dapat
digunakan sebelum polinominal penyebut dapat diuraikan atas factor-faktornya).
𝐵(𝑠) 𝐾 (𝑠 + 𝑧 1 )(𝑠 + 𝑧 2 ) … (𝑠 + 𝑧 𝑚 )
𝐹(𝑠) = =
𝐴(𝑠) (𝑠 + 𝑝 1 )(𝑠 + 𝑝 2 ) … (𝑠 + 𝑝 𝑛 )
𝐵(𝑠) 𝑎1 𝑎2 𝑎𝑛
𝐹(𝑠) = = + + ⋯+ (2 − 10)
𝐴(𝑠) 𝑠 + 𝑝 1 𝑠 + 𝑝 2 𝑠 + 𝑝𝑛
= 𝑎𝑘
Kita lihat bahwa semua suku uraian menjadi nol, kecuali 𝑎 𝑘 . Jadi residu
𝑎 𝑘 diperolehh dari
𝐵(𝑠)
𝑎𝑘 = [ (𝑠 + 𝑝 𝑘 )] 𝑠=−𝑝𝑘 (2 − 11)
𝐴(𝑠)
Perhatikan bahwa karena 𝑓(𝑡) merupakan fungsi nyata dari waktu, maka jika
𝑝 1 dan 𝑝 2 merupakan konjugasi kompleks 𝑎 1 dan 𝑎 2 juga merupakan konjugasi
kompleks. Untuk kasus ini kita hanya perlu menghitung 𝑎 1 atau 𝑎 2, karena yang
lainnya dapat diketahui secara automatis.
−1 [
𝑎𝑘
] = 𝑎 𝑘 𝑒 −𝑝 𝑘 𝑡
𝑠 + 𝑝𝑘
𝑠+3 𝑎1 𝑎2
𝐹 (𝑠) = = +
(𝑠 + 1)(𝑠 + 2) 𝑠 + 𝑠 𝑠 + 𝑠
𝑠+3
𝑎2 = [ (𝑠 + 2)] 𝑠=−2= 1
(𝑠 + 1)(𝑠 + 2)
Selanjutnya,
2 −1
=−1 [ ] +−1 [ ]
𝑠+1 𝑠+2
= 2𝑒 −𝑡 −𝑒 −2𝑡 (𝑡 ≥ 0)
𝑠 3 + 5𝑠 2 + 9𝑠 + 7
𝐺 (𝑠) =
(𝑠 + 1)(𝑠 + 2)
𝑠+3
𝐺 (𝑠) = 𝑠 + 2 +
(𝑠 + 1)(𝑠 + 2)
Suku ketiga pada ruas kanan persamaan terakhir adalah 𝐹(𝑠) pada Contoh 2-8.
Perhatikan bahwa transformasi Laplace dari fungsi impulsa satuan 𝛿(𝑡) adalah 1 dan
transformasi Laplace 𝑑𝛿(𝑡)/𝑑𝑠 adalah 𝑠. Selanjutnya kita peroleh transformasi
Laplace balik dariu 𝐺(𝑠) sebagai berikut
𝑑
𝑔(𝑡) = 𝛿 (𝑡) + 2𝛿 (𝑡) + 2𝑒 −𝑡 −𝑒 −2𝑡 (𝑡 ≥ 0)
𝑑𝑡
𝐵(𝑠) 𝛼 𝑠+𝛼
2 𝑎 𝑎
𝐹 (𝑠) = 𝐴(𝑠) = (𝑠+𝑝1 )(𝑠+𝑝 + 3 +⋯+ 𝑛 (2 − 12)
1 ) 2𝑠+𝑝 𝑠+𝑝𝑛 3
𝑎3 𝑎𝑛
= [(𝛼 1𝑠 + 𝛼 2 ) + (𝑠 + 𝑝 1 )(𝑠 + 𝑝 2) + ⋯ + (𝑠 + 𝑝 1 )(𝑠 + 𝑝 2) ] 𝑠=−𝑝1
𝑠 + 𝑝3 𝑠 + 𝑝𝑛
Kita lihat bahwa semua suku uraian menjadi nol kecuali suku (𝛼 1𝑠 + 𝛼 2 ).
Dengan demikian,
𝐵(𝑠)
(𝛼 1𝑠 + 𝛼 2 ) 𝑠=−𝑝 1 =[ (𝑠 + 𝑝 1 )(𝑠 + 𝑝 2) ] 𝑠=−𝑝1 (2 − 13)
𝐴(𝑠)
Karena 𝑝 1 adalah besaran kompleks, maka kedua ruas Persamaan (2-13) merupakan
bessaran kompleks. Dengan menyamakan bagian nyata kedua rumus ruas Persamaan
(2-13), kita peroleh persamaan. Dengan cara yang sama, dengan menyamakan
bagian khayal kedua rumus Persamaan (2-13), kita peroleh persamaan yang lain.
Dari kedua persamaan ini kita dapat menentukan 𝛼 1 dan 𝛼 2 .
𝑠+1
𝐹 (𝑠) =
𝑠(𝑠 2+ 𝑠 + 1)
𝑠+1 𝛼1 𝑠 + 𝛼2 𝑠 𝑎
= + (2 − 14)
𝑠(𝑠 2 2
+ 𝑠 + 1) 𝑠(𝑠 + 𝑠 + 1) 𝑠
𝑠+1
( ) 𝑠=−0,5−𝑗0,866 = (𝛼 1𝑠 + 𝛼 2 ) 𝑠=−0,5−𝑗0,866
𝑠
atau
0,5 − 𝑗0,866
= 𝛼 1 (−0,5 − 𝑗0,866) + 𝛼 2
−0,5 − 𝑗0,866
Dengan menyamakan masing-masing bagian nyata dan khayal kedua ruas persamaan
ini, kita peroleh
atau
𝛼 1 + 𝛼 2 = −1
𝛼 1 − 𝛼 2 = −1
𝛼 1 = −1, 𝛼 2= 0
Untuk menentukan harga 𝑎, kita kalikan kedua ruas Persamaan (2-14) dengan 𝑠,
dan memasukkan 𝑠 = 0, sebagai berikut:
𝑠(𝑠 + 1)
𝑎=[ 2 ] 𝑠=−𝑝 1 = 1
𝑠(𝑠 + 𝑠 + 1)
Dengan demikian
−𝑠 1
𝐹 (𝑠) = +
𝑠(𝑠 2 + 𝑠 + 1) 𝑠
1 𝑠 + 0,5 0,5
= − 2 2
+
𝑠 (𝑠 + 0,5) + 0,866 (𝑠 + 0,5)2 + 0,8662
𝐵 (𝑠)
𝐹 (𝑠) =
𝐴 (𝑠)
𝑏𝑟 𝑏 𝑟−1 𝑏1 𝑎 𝑟+1
= 𝑟
+ 𝑟−1
+⋯+ +
(𝑠 + 𝑝 1 ) (𝑠 + 𝑝 1 ) 𝑠 + 𝑝 1 𝑠 + 𝑝 𝑟+1
𝑎 𝑟+2 𝑎𝑛
+ +⋯+ (2 − 15)
𝑠 + 𝑝 𝑟+2 𝑠 + 𝑝𝑛
𝐵(𝑠)
𝑏𝑟 = [ (𝑠 + 𝑝 1 )𝑟 ] 𝑠=−𝑝 1
𝐴(𝑠)
𝑑 𝐵(𝑠)
𝑏 𝑟−1 = { [ (𝑠 + 𝑝 1 )𝑟 ]} 𝑠=−𝑝1
𝑑𝑠 𝐴(𝑠)
1 𝑑 𝑗 𝐵(𝑠)
𝑏 𝑟−𝑗 = { [ (𝑠 + 𝑝 1 )𝑟 ]} 𝑠=−𝑝1
𝑗! 𝑑𝑠 𝑗 𝐴(𝑠)
1 𝑑𝑟−1 𝐵(𝑠)
𝑏1 = { 𝑟−1 [ (𝑠 + 𝑝 1 )𝑟 ]} 𝑠=−𝑝1
(𝑟 − 1)! 𝑑𝑠 𝐴(𝑠)
𝐵(𝑠)
𝑏𝑟 = [ (𝑠 + 𝑝 1 )𝑟 ] 𝑠=−𝑝1
𝐴(𝑠)
Jika kita kalikan kedua ruas Persamaan (2-15) dengan (𝑠 + 𝑝 1 )𝑟 dan kemusian
mendefenisikan terhadap 𝑠,
𝑑 𝐵(𝑠)
[ (𝑠 + 𝑝 1 )𝑟 ]
𝑑𝑠 𝐴(𝑠)
𝑑 (𝑠 + 𝑝 1 )𝑟 𝑑 (𝑠 + 𝑝 1 )𝑟
= 𝑏𝑟 [ ] + 𝑏 𝑟−1 [ ]+⋯
𝑑𝑠 (𝑠 + 𝑝 1 )𝑟 𝑑𝑠 (𝑠 + 𝑝 1 )𝑟−1
𝑑 (𝑠 + 𝑝 1 )𝑟 𝑑 (𝑠 + 𝑝 1 )𝑟
+ 𝑏1 [ ] + 𝑎 𝑟+1 [ ]+⋯
𝑑𝑠 𝑠 + 𝑝 1 𝑑𝑠 𝑠 + 𝑝 𝑟+1
𝑑 (𝑠 + 𝑝 1 )𝑟
+ 𝑎𝑛 [ ]
𝑑𝑠 𝑠 + 𝑝 𝑛
Suku pertama ruas kanan persamaan yang terakhir ini sama dengan nol. Suku kedua
menjadi 𝑏 𝑟−1 . Tiap suku lain yang mengandung (𝑠 + 𝑝 1 ) berpanngkat sebagai
salah satu faktornya, akan berharga nol jika dimasukkan harga 𝑠 mendekati −𝑝 1.
Sehingga
𝑑 𝐵(𝑠)
𝑏 𝑟−1 = lim [ (𝑠 + 𝑝 1 )𝑟 ]
𝑠→−𝑝 1 𝑑𝑠 𝐴(𝑠)
𝑑 𝐵(𝑠)
={ [ (𝑠 + 𝑝 1 )𝑟 ]} 𝑠=−𝑝1
𝑑𝑠 𝐴(𝑠)
−1 [
1 𝑡 𝑛−1
] = 𝑒 −𝑝1 𝑡
(𝑠 + 𝑝 1 )𝑛 (𝑛 − 1)!
𝐵(𝑠)
𝑎𝑘 = [ (𝑠 + 𝑝 𝑘 ) ] 𝑠=−𝑝𝑘 (𝑘 = 𝑟 + 1, 𝑟 + 2, … , 𝑛)
𝐴(𝑠)
𝑠 2 + 2𝑠 + 3
𝐹 (𝑠) =
(𝑠 + 1)3
𝐵 (𝑠) 𝑏3 𝑏2 𝑏1
𝐹 (𝑠) = = 3
+ 2
+
𝐴 (𝑠) (𝑠 + 1) (𝑠 + 1) 𝑠+1
𝐵(𝑠)
𝑏3 = [ (𝑠 + 1 )3 ] 𝑠=−1
𝐴(𝑠)
= (𝑠 2 + 2𝑠 + 3) 𝑠=−1 = 2
𝑑 𝐵(𝑠)
𝑏2 = { [ (𝑠 + 1 )3 ]} 𝑠=−1
𝑑𝑠 𝐴(𝑠)
𝑑
= [ (𝑠 2 + 2𝑠 + 3)] 𝑠=−1
𝑑𝑠
= (2𝑠 + 3) 𝑠=−1 = 0
1 𝑑2 𝐵(𝑠)
𝑏1 = { 2[ (𝑠 + 1 )3 ]} 𝑠=−1
(3 − 1)! 𝑑𝑠 𝐴(𝑠)
1 𝑑2
= [ (𝑠 2 + 2𝑠 + 3)] 𝑠=−1
2! 𝑑𝑠 2
1
= (2) = 1
2
2 1
=−1 [ ] +−1 [ ]
(𝑠 + 1 )3 𝑠+1
= (𝑡 2 +1)𝑒 −𝑡 (𝑡 ≥ 0)
Pada pasal 2-1 sampai dengan 2-4 telah kkita bahas beberapa konsep teknik
metoda transformasi Laplace. Pasal ini membahas penggunaan metoda transformasi
Laplace untuk menyelesaikan persamaan diferensial linier.
Jika semua syarat awal adalah nol, maka transformasi Laplace dari persamaan
diferensial diperoleh hanya dengan menggati 𝑑/𝑑𝑡 dengan 𝑠, 𝑑2 /𝑑𝑡 2 dengan 𝑠 2 dan
seterusnya.
[𝑘𝑥] = 𝑘𝑋(𝑠)
[𝑓(𝑡)] = 𝐹(𝑠)
Suku pertama ruas kanan Persamaan (2-18) menyatakan jawab persamaan diferensial
jika semua syarat awal berharga nol (jawab khusus). Suku kedua ruas kanan
persamaan ini menyatakan pengaruh syarat awal (jawal komplementer). Jawab
waktu persamaan diferensial tersebut diperoleh dengan membalik transformasi
Laplace 𝑋(𝑠) sebagai berikut:
−1 [
𝐹 (𝑠) −1 [
𝑚𝑠𝑥(0) + 𝑚𝑥̇ (0)
𝑥 (𝑡) = ]+ ] (2 − 19)
𝑚𝑠 2 + 𝑘 𝑚𝑠 2 + 𝑘
Sebagai suatu contoh, jika 𝑓(𝑡) adalah suatu fungsi tangga satuan (unit step
function), maka 𝐹 (𝑠) = 1/𝑠 dan Persamaan (2-19) menjadi
−1 [
𝐹 (𝑠) −1 [
𝑚𝑠𝑥(0) + 𝑚𝑥̇ (0)
𝑥 (𝑡) = ]+ ]
𝑠(𝑚𝑠 2 + 𝑘) 𝑚𝑠 2 + 𝑘
1 1 𝑘 𝑘 𝑚 𝑘
= ( − cos √ 𝑡) + [𝑥(0) cos √ 𝑡 + 𝑥̇ (0) √ sin √ 𝑡]
𝑘 𝑘 𝑚 𝑚 𝑘 𝑚
Dapat dilihat bahwa syarat awal 𝑥(0) dan 𝑥(0) tampak pada jawab persamaan
tersebut. Jadi 𝑥(𝑡) tidak mempunyai konstanta tak tentu.
1
𝐹 (𝑠) =
1 − 𝑒 −𝑠
𝑒 −𝑠 = 1
Atau
𝑒 −(𝜎+𝑗𝜔) = 𝑒 −𝜎 (cos 𝜔 − 𝑗 sin 𝜔) + 1
𝑠 = ±2𝑛𝜋 (𝑛 = 0,1,2, … )
SOAL A-2-2. Turunan fungsi impulsa satuan 𝛿(𝑡) disebut fungsi “doublet satuan”.
(Jadi, integral fungsi doublet satuan adalah fungsi impulsa satuan). Secara
matematis, suatu contoh fungsi doublet satuan 𝑢 2 (𝑡) dapat dinyatakan sebagai
1 1 2 −𝑡 𝑠 1 −2𝑡 𝑠
[𝑢 2 (𝑡)] = lim ( − 𝑒 0 + 𝑒 0 )
𝑡 0 →0 𝑡 2
0 𝑠 𝑠 𝑠
1 𝑡 2022 2𝑡 2022
= lim [1 − 2 (1 − 𝑡 0 𝑠 + + ⋯ ) + (1 − 2𝑡 0 𝑠 + + ⋯ )]
𝑡 0 →0 𝑡 2
0𝑠 2 2
1
= lim 2 [𝑡 2022 + (orde yang lebih tinggi dari 𝑡 0 𝑠 )] = 𝑠
𝑡 0 →0 𝑡 0𝑠
SOAL A-2-3. Metoda grafis untuk menghitung residu akan sangat mennghemat
waktu jika system melibatkan beberapa pole dan zero konjugasi kompleks.
𝑠+𝑧
𝐹 (𝑠) =
𝑠(𝑠 + 𝑝 1 )(𝑠 + 𝑝 2 )
𝑧 − 𝑝 1 = |𝑧 − 𝑝 1 |𝜙 1
−𝑝 1 = |0 − 𝑝 1 |𝜃 1
dan
𝑝 2−𝑝 1 = |𝑝 2−𝑝 1 |𝜃 2
|𝑧 − 𝑝 1 |
𝑎 2= 𝜙 − 𝜃1 − 𝜃2
|0 − 𝑝 1 |. |𝑝 2– 𝑝 1 | 1
𝒋𝝎
−𝒑𝟏
𝜽𝟏
ф𝟏
−𝒛 0 𝝈
𝜽𝟐
−𝒑𝟐
(Pehatikan bahwa residu pada pole di titik asal dapat diperleh secara mudah dengan
perhitungan aljabar)
𝑠+𝑧 𝑧
𝑎1 = [ ] 𝑠=0 = =1
(𝑠 + 𝑝 1 )(𝑠 + 𝑝 2 ) 𝑝1 𝑝2
𝑧 − 𝑝 1 = 1 60°
0 − 𝑝 1 = 1 120°
𝑝 2– 𝑝 1 = 1,75 90°
Sehingga,
1
𝑎2 = 60° − 120° − 90°
1x1,75
= 0,578 − 150°
= −0,5 − 𝑗0,289
𝑎 3 = −0,5 + 𝑗0,289
Metoda grafis dalam perhitungan residu semacam itu adalah cukup mudah
apabila seorang insinyur hanya memerlukan taksiran kasir harga residu tampa
melakukan perhitungan-perhitungan yang teliti. Meskipun demikian, perhatikan
bahwa perhitungan grafis semacam itu tidak dapat diterapkan untuk pole berulang.
√15
3 2√3 2
𝑋 (𝑠) = 2 = = 2
𝑠 + 3𝑠 + 6 √5 √15
(𝑠 + 1,5)2 + ( 2 )
SOAL A-2-5. Tinjau system mekanik yang ditunjukkan pada Gambar 2-7. Misalnya
system tersebut dibuat bergerak dengan menggunakan gaya impuls satuan. Tentukan
osilasi yang dihasiakan. Anggaplah bahwa sistem tersebut mula-mula diam.
𝐠𝐚𝐲𝐚 𝒌
𝐢𝐦𝐩𝐮𝐥𝐬𝐚
𝒎
𝜹 (𝒕)
𝑚𝑥̈ + 𝑘𝑥 = 𝛿(𝑡)
Dengan subtitusi syarat awal 𝑥(0) dan 𝑥̇ (0) = 0 ke dalam persamaan terakhir dan
menyelesaikannya untuk 𝑋(𝑠), kita peroleh
1
𝑋(𝑠) =
𝑚 𝑠2 +𝑘
1 𝑘
𝑥 (𝑡) = sin √ 𝑡
√𝑚𝑘 𝑚
Osilasi yang dihasilkan adalah gerak harmonic sederhana. Amplitude osilasi tersebut
adalah 1/√𝑚𝑘.
SOAL A-2-6. Tinjau fungsi periodik 𝑓 𝑝(𝑡) yang mempunyai perioda 𝑇. Jika 𝑓(𝑡)
merupakan fungsi waktu yang sedemikian rupa sehingga 𝑓 (𝑡) = 𝑓 𝑝(𝑡) dalam selang
0 < 𝑡 < 𝑇 dan 𝑓 (𝑡) = 0 di luar selang 0 < 𝑡 < 𝑇, maka 𝑓 𝑝(𝑡) dapat di nyatakan
sebagai.
[𝑓(𝑡)] = 𝐹(𝑠)
𝐹 (𝑠)
=
1 − 𝑒 −𝑇𝑠
SOAL-SOAL
SOAL B-2-1. Tentukan transformasi Laplace dari fungsi 𝑓(𝑡) yang didefenisikan
sebagai
1
𝑓 (𝑡) = untuk 0 < 𝑡 < 𝑎
𝑎2
1
=− untuk 2𝑎 < 𝑡 < 𝑎
𝑎2
SOAL B-2-4. Dengan menggunakan teorema harga akhir, tentukan harga akhir
𝑓(𝑡) yang transformasi Laplacenya diberikan oleh
10
𝐹 (𝑠) =
𝑠(𝑠 + 1)
Periksa hasilnya dengan mencari transformasi Laplace balik dari 𝐹 (𝑠) kemudian
menghitung 𝑓 (𝑡) → ∞.
SOAL B-2-5. Diberikan
1
𝐹 (𝑠) =
(𝑠 + 2)2
𝑎𝑥̇ + 𝑏𝑥 = 𝑘, 𝑥 (0) = 𝑥 0
SOAL B-2-9. Tinjau system yang ditunjukkan pada Gambar 2-7. System mula-mula
diam. Misalkan kereta tersebut dibuat bergerak dengan menggunakn gaya impulsif
yang mempunyai kekuatan 1. Daptakah kereta tersebut di hentikan oleh gaya
impulsif lain yang kekuatannya sama?
LATAR BELAKANG MATEMATIKA-MATRIKS
3-1 PENDAHULUAN
Dalam menurunkan model matematik sistem kontrol modern, kita temui bahwa
persamaan deferensial yang terlibat mungkin cukup rumit karena keanekaragaman
masukan dan keluaran. Pada kenyataannya, banyaknya masukan dan keluaran suatu
system yang kompleks dapat mencapai ratusan. Untuk menyederhanakan ekspresi
matematik persamaan system, sebaiknya digunakan notasi matriks-vaktor.
Sebenarnya, untuk kerja teoritis, penyederhanaan notasi yang diperoleh dengn
menggunakan operasi matriks-vektor adalah sangat mudah, terutama untuk analisis
dan sintesis sistem kontrol modern.
Dengan menggunakan notasi matriks-vektor, kita dapat mengerjakan persoalan-
persoalan yang besar dan rumit menjadi mudah dengan mengikuti format sistimatik
untuk menyatakan persamaan system dan menghitungnya dengan komputer.
Sasaran utama bab ini adalah membarikan defenisi matriks dan aljabar matriks
yang diperlukan untuk menganalisis system control pada bab selanjutnya.
dimana aij menyatakan elemen ke (i,j) matriks A.matriks ini menpunyai n baris dan
m kolom dan disebut matriks n x m. indeks pertama menyatakan banyak baris dan
indeks kedua banyak kolom. Matriks A sering ditulis (aij).
Kesamaan dua buah matriks. Dua matriks disebut sama jika dan hanya jika
elemen-elemen yang saling berkaitan mempunyai harga yang sama. Perhatikan
bahwa matriks-matriks yang sama mempunyai bayak baris dan kolom yang sama.
Vektor. Suatu matriks yang hanya mempunyai satu kolom seperti:
𝑥1
𝑥2
.
[ . ]
.
𝑥n
disebut vaktor kolom. Vektor kolom yang mempunyai n elemen disebut vektor n atau
vektor n dimensi.
Suatu matriks yang hanya mempunyai satu baris seperti:
[𝑥1 𝑥2 … 𝑥𝑛 ]
disebut vektor baris.
Matriks nol. Matriks nol adalah matriks yang semua elemennya berhargaa nol.
Determinan matriks. Setiap metrics persegi mempunyai suatu harga determinan.
Determinan ini mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1. Jika du baris atau dua kolom yang berurutan ditukar, maka harga determinan
berubah tanda.
2. Jika terdapat baris atau kolom yang hanya terdiri dari elemen nol, maka
harga determinan nol.
3. Jika elemen-elemen suatu baris ( atau kolom) tepat samaa dengan k kali
elemen-elemen baris (atau kolom) yang lain, maka harga determinan adalah
nol.
4. Jika pada suatau baris (atau kolom) ditambahkan suatu konstanta yang
dikalikan dengan baris (atau kolom ) yang lain, maka harga determinan tidak
berubah.
5. Jika suatu determinan dikalikan dengan suatu konstanta, maka hanya satu
baris (atau kolom) yang dikalikan dengan konstanta tersebut. Oleh karena itu
determinan dari k matriks persegi A n x n sama dengan kn kali determinan
A, atau
|𝑘A| = 𝑘 𝑛 |A|
6. Determinan dari hasil kali dua buah matriks A dan B sama dengan hasil kali
determinan-determinannya, atau
Perhatikan bahwa
(A∗ ) ∗ = A
Jika A adalah suatu matriks nyata ( matriks yang elemennya marupakan bilangan
nyata), maka transpose konjugasi A∗ adalah sama dengan transpose A′.
Matriks Hermitian. Matriks yang elemenya merupakan besaran kompleks
disebut matriks kompleks. Jika suatu matriks kompleks A memenuhi hubungan
A = A∗ atau 𝑎𝑖𝑗 = 𝑎̅ 𝑖𝑗
dimana 𝑎̅ 𝑖𝑗 adalah konjugasi kompleks dari 𝑎𝑖𝑗 maka A disebut maktriks Hermitian.
Sebagai contoh :
1 4 + 𝑗3
A=[ ]
4 − 𝑗3 2
Jika suatu matriks Hermitian ditulis sebagai A = B + jC, dimana B dan C adalah
matriks nyata , maka
B = B′ dan C = −C′
Pada contoh di atas ,
1 4 0 3
A = B + 𝑗C = [ ]+𝑗[ ]
4 2 −3 0
Perkalian matriks dengan skalar. Hasil perkalian suatu matriks dengan suatu skalar
adalah suatu matriks yang setiap elemennya dikalikn dengan skalar tersebut; jadi
untuk matriks A dan skalar k,
𝑘𝑎 11 𝑘𝑎 12 … 𝑘𝑎 1𝑚
𝑘𝑎 21 𝑘𝑎 22 … 𝑘𝑎 2𝑚
. . .
𝑘A = . . .
. . .
[ 𝑘𝑎 1𝑛 𝑘𝑎 𝑛2 … 𝑘𝑎 𝑛𝑚 ]
Perkalian matriks dengan matriks. Perkalian suatu matriks dengan matriks lain
hnya dapat dilakukan di antara matriks-matriks yang “conformable” (yang berarti
bahwa banyak kolom matriks pertama harus sama dengan banyak baris matriks
kedua). Kalau hal ini tidak dipenuhi, maka perkalian kedua matriks tersebut tidak
terdefinisi.
Misal A adalah matriks n x m dan B adalah matriks m x p. selanjutnya hassil
perkalian AB, yang kit abaca “ A dikalikan di belakang (postmultiplied) dengn B”
atau “B dikalikan di depan (premultiplied) dengan A”, didefinisikan sebagai berikut:
𝑚
Matriks hasil kali C mempunyai banyak beris yang sama dengan A dan banyak
kolom yang sama dengan B. jadi matriks C adalaah matriks n x p.
Harus diperhatikan bahwa sekali pun A dan B dapaat dioperasikan untuk
perkaliaan AB, bukan berarti dapat dioperasikan untuk perkaliaan BA, dalam hal ini
BA tidak terdefenisi.
Hukum asosiasif dan distributive berlaku untuk perkalian matriks; yaitu,
(AB) C = A (BC)
(A + B) C = AC + BC
C (A + B) = CA + CB
Kita peroleh
5 6] 5 10]
A=[ dan BA = [
10 12 6 12
Jelaslah, AB ≠ BA.
Perhatikan bahwa untuk suatu matriks diagonal A = diag (a11, a22, …, ann)
𝑘
𝑎11 0
𝑘
𝑎22
.
A= .
.
0 𝑘
𝑎𝑛𝑛
[ ]
𝑘 𝑘 𝑘
= diag (𝑎11 , 𝑎22 , … , 𝑎𝑛𝑛 )
Sifat-sifat lebih lanjut dari matriks. Transpose dari A + B dan AB diberikan oleh
(A +B)′ = A′ + B′
(AB)′ = B′A′
Untuk membuktikan hubungan yang disebut belakangan, perhtikan bahwa elemen ke
(i,j ) dari AB adalah
𝑚
Yang sama dengan elemen ke ( j,i ) dari AB, tau elemen ke ( i, j ) dari (AB)′
sehingga, (AB)′ = B′A′. Sebagai contoh, tinjau
1 4 4 2
A=[ ] dan B=[ ]
2 3 5 6
Maka
24 26
A=[ ]
23 22
“Rank “ dari matriks. Suatu matriks A dikatakan mempunyai “rank” m jika ada
suatu submattriks M m x m dari A sedemikian sehingga determinan dari M tidak
berharga nol dan setiap determinan dari submatriks r x r ( dimana r ≥m + 1 ) dari A
berharga nol.
Sebagai contoh, tinjau matriks berikut:
1 2 3 4
A = [ 01 1
0
−1
1
0]
2
1 1 0 2
Perhatikan bahwa |A| = 0. Salah satu submetriks terbesar yang determinannya tidak
berhargaa nol adalah
1 2 3
0 1 −1 ]
A=[ 1 0 1
Jadi, kofaktor Aij dari elemen aij adalah (-1)i+j kali determinan matriks yang
dibentuk dengan menghilangkn baris ke i dan kolom j dari A. perhatikan
bahwa kofaktor Aij dari elemen aij adalah elemen dari suku aij pada
penguraian determinan |A|karena dapat ditunjukkan bahwa
𝑎𝑖1 𝐴𝑖1 + 𝑎𝑖2 𝐴𝑖2 + ⋯ + 𝑎𝑖𝑛 𝐴𝑖𝑛 = |A|
Jika 𝑎𝑖1 , 𝑎𝑖2 , … , 𝑎𝑖𝑛 diganti denga 𝑎𝑗1 , 𝑎𝑗2 , … , 𝑎𝑗𝑛 , maka
𝑎𝑗1 𝐴𝑖1 + 𝑎𝑗2 𝐴𝑖2 + ⋯ + 𝑎𝑗𝑛 𝐴𝑖𝑛 = 0 (𝑖 ≠ 𝑗)
Karena determinan dari A dalam hal ini mempunyai dua baris yang identik.
Oleh karena itu kita peroleh
n
Jadi, matriks “ adjoint” dari A adalah transpose dari matriks yang elemenya
adalah kofaktor dari A atau
A11 A21 … A𝑛1
A12 A 22 … A𝑛2
. . .
adj A = . . .
. . .
[ A1𝑛 A2𝑛 … A𝑛𝑛 ]
Perhatiakan bahwa elemen baris ke j dan kolom ke i dari hasil kali A (adj A) adalah
n 𝑛
Jadi A ( adj A ) adalah suatu matriks diagonal yang elemen diagonal yang sama
dengan |A|. Jadi
A (adj A) = |A| I
Dengan cara yang sama, elemen baris ke j dan kolom ke i dari hasil kali ( adj A )
adalah
n 𝑛
Dengan demikian
1 2 0 3 6 −4
A(adj A) = [3 −1 −2] [7 −3 2]
1 0 −3 1 2 −7
1 0 0
= 17 [0 1 0]
0 0 1
= |A|I
Matriks balik. Jika suatu suatu matriks persegi A, terdapat suatu matriks B
sedemikian sehingga BA = AB =I, maka B dinyatakan sebagai A-1 dan disebut
maktris balik dari A. matriks balik dari A ada jika determinan A tidak berharga nol
atau A adalah matriks nonsingular.
Dari definisi, matriks balik A-1 mempunya sifat bahwa
AA−1 = A−1 A = I
dimana I adalah maktris identitas. Jika A adalah matriks nonsingular dan AB = C,
maka B= A-1C. Ini dapat dilihat dari persamaan.
A−1 AB = IB = B = A−1 C
Jika A dan B adalah matriks-matriks nonsiguler, maka hasil kali AB adalah matriks
nonseguler. Selanjutnya,
(AB)−1 = B−1 A−1
Jadi kebalikan dari suatu matriks adalah transpose dari matriks kofaktornya, dibagi
dengan determinan matriks asal. Jika A diberikan oleh
𝑎 11 𝑎 12 … 𝑎 1𝑛
𝑎 21 𝑎 22 … 𝑎 2𝑛
. . .
A=[ . . . ]
. . .
𝑎 𝑛1 𝑎 𝑛2 … 𝑎 𝑛𝑚
maka
𝐴11 𝐴21 𝐴𝑛1
…
|A| |A| |A|
𝐴12 𝐴22 𝐴𝑛2
…
|A| |A| |A|
−1
adj A . . .
A = = . . .
| A| . . .
𝐴1𝑛 𝐴2𝑛 𝐴𝑛𝑚
…
|A| |A| |A|
[ ]
di mana Aij adalah kofaktor aij dari matriks A. jadi elemen-elemen pada kolom ke i
dari A-1 adalah 1/ ǀAǀ kali kofaktor-kofaktor baris ke i dari matriks asal A. sebagai
contoh, jika A diberikan oleh
1 2 0
A = 3 −1 −2]
[
1 0 −3
Berikut ini kita berikan rumus untuk mencari matriks balik untuk matriks 2 x 2
dan matriks 3 x 3. Untuk matriks A 2 x 2, dimana
𝑎 𝑏]
A=[ , 𝑎𝑑 − 𝑏𝑐 ≠ 0
𝑐 𝑑
1 𝑑 −𝑏]
A−1 = 𝑎𝑑−𝑏𝑐 [
−𝑐 𝑎
Lagi, di sini perkalian A(𝑡) dan 𝑑B(𝑡)/𝑑𝑡 [atau 𝑑A(𝑡)/𝑑𝑡 dan 𝑑B(𝑡)] pada
umumnya tidak kumutatif.
Diferensiasi A−1 (𝑡). Jika suatu matriks A(𝑡) dan matriks baliknya A−1 (𝑡) dapat di
deferensiasikan terhadap t, maka turunan A−1 (𝑡) diberikan oleh
𝑑A−1 (𝑡) 𝑑A(𝑡) −1
= −A−1 (𝑡) A (𝑡)
𝑑𝑡 𝑑𝑡
Hasil ini dapat diperoleh dengan mendiferensiasikan A(𝑡)A−1 (𝑡) terhadap 𝑡. Karena
𝑑 𝑑
A(𝑡)A−1 (𝑡) = I = 0
𝑑𝑡 𝑑𝑡
maka kita peroleh
SOAL A-3-1. Tunjukkan bahwa jika A adalah suatu matriks persegi, maka A + A′
adalah matriks simetrik dan A − A′ adalaah matriks simetrik miring.
𝑎 𝑏 𝑐
A = [𝑑 𝑒 𝑓]
𝑔 ℎ 𝑖
Maka
2𝑎 𝑏+𝑑 𝑐+𝑔
A + A′ = [𝑏 + 𝑑 2𝑒 𝑓 + ℎ ] = matriks simetriks
𝑐+𝑔 𝑓+ℎ 2𝑖
dan
0 𝑏−𝑑 𝑐
A − A = [𝑑 − 𝑏 0 𝑓 − ℎ ] = matriks simetrik miring
𝑔−𝑐 ℎ−𝑓 0
1 2 0 1 0
A = [3 −1 1] B = [2 3]
1 5 2 1 −1
Jawab.
5 6
AB = [ 2 −4]
13 13
1 2 2
𝑥1 𝑥2 𝑥𝑛
𝑥12 𝑥22 𝑥𝑛2
V= .. .. ..
. . .
[ 𝑥1𝑛−1 𝑥2𝑛−1 𝑥𝑛𝑛−1 ]
Cari determian V untuk kasus n =3 dan n=4.
Untuk n=4,
A B
| | = |A + B|. |A − B|
B A
Jawab.
A B
| |
C D
𝑠+1 −1
A=[ ]
𝑠+2 𝑠
Jawab.
𝑠 1
A−1 𝑠2 2
= [ + 2𝑠 + 2 𝑠 + 2𝑠 + 2]
𝑠+2 𝑠
2 2
𝑠 + 2𝑠 + 2 𝑠 + 2𝑠 + 2
SOAL A-3-6. Selesaikan persamaan simultan yang terdiri dari tiga persamaan
berikut:
𝑥1 + 3𝑥2 + 𝑥3 = 1
2𝑥1 + 𝑥2 =2
𝑥1 + 𝑥2 + 2𝑥3 = 3
1 3 1 𝑥1 1
A = [2 1 0] x = [𝑥2 ] b = [2]
1 1 2 𝑥3 3
kita peroleh
Ax = b
Dengan demikian
x = A−1 b
di mana
1 0 3 1 3 1 2 5 1
| | −| | | | −
1 2 1 2 1 0 9 9 9
1 2 0| 1 1
|1 1| 4 1 2
A−1 = −| −| | = 9 −9 −9
−9 1 2 1 2 2 0
2 5
2 1 1 3 1 3 1
[ |1 | −| | | |] [ −9 −9 9]
1 1 1 2 1
Jadi
2 5 1 11
−
𝑥1 9 9 9 1 9
4 1 2
[𝑥2 ] = − − [2] = [ −49 ]
9 9 9
𝑥3 1 2 5 3 10
[ −9 −9 9] 9
SOAL-SOAL
SOAL B-3-1. Tunjukkan bahwa setiap matriks persegi dapat ditulis sebagai jumlah
matriks Hermitiann dan matriks Hermitian miring.
1. |A| = |A′|
2. |AB| = |A||B|
3. |(AB)′ | = |A||B|
1 2 3
A = [4 0 1]
2 1 2