Anda di halaman 1dari 76

ANALISIS KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN

SIKAP SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN


FLIPPED CLASSROOM PADA MATERI LAJU REAKSI

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah
Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:
Shoimatul Maemanah
11140162000024

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA


JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
LEMBAR PENGESAHAI\ UJIAN MI]NAQASAH

Skripsi berjudul Analisis Kemampuan Pemecahan Masalah dan Sikap Siswa


melalui Model Pembelajaran Flipped Classroom pada Materi Laju Reaksi
disusun oleh Shoimatul Maemanah, Nomor Induk Mahasiswa 11140162000024,
diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, IJIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan telah dinyatakan LULUS dalam Ujian Munaqasah pada tanggal l0
Juli 2019 dihaapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar
Sarjana Pendidikan 51 (S.Pd) dalam bidang Pendidikan Kimia.

Jakan,lo Juli 2019

Panitia Uj ian Munaqasah,


Tanggal Tanda Tangan

Ketua Panitia

Burhanudin Milama M.Pd %″ 弩


NIP。 197702012008011011

Peng町 11

Dedilwandio M.Si
Zノ 汁zο
比 l′

NIP,197105282000031001

PenguJ1 2
t0 -01. -1.otg
Dewi NIumiatio MoSi
NIDN,0315048003

Mengetahui,

Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

NIP.197103191998032001
ii
iii
ABSTRAK

Shoimatul Maemanah (NIM. 11140162000024). Analisis Kemampuan


Pemecahan Masalah dan Sikap Siswa melalui Model Pembelajaran Flipped
Classroom pada Mata Materi Laju Reaksi. Skripsi, Program Studi
Pendidikan Kimia, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.

Kemampuan pemecahan masalah dan sikap siswa masih rendah pada


pembelajaran kimia materi laju reaksi. Salah satu penyebabnya adalah kurang
tepat dalam penggunaan model pembelajarannya. Tujuan penelitian untuk
mengetahui tingkat kemampuan pemecahan masalah, tingkat sikap siswa, dan
respon siswa melalui model pembelajaran flipped classroom pada materi laju
reaksi. Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 2 Kabupaten Tangerang dengan
subjek penelitian sebanyak 34 siswa dari kelas XI MIPA 2. Penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan instrumen tes esai kemampuan
pemecahan masalah, angket sikap siswa, dan wawancara respon siswa. Hasil tes
esai tingkat kemampuan pemecahan masalah dan angket tingkat sikap siswa
masing-masing ditentukan berdasarkan indikator Bransford & Stein dan
Krathwohl. Analisis hasil tes esai, angket, dan wawancara menggunakan
persentase Riduwan. Hasil persentase data terdiri dari: 1) Tes esai sebesar 72
tingkat mencari dan memahami masalah, 79,75 tingkat meyusun strategi
pemecahan masalah yang baik, 87,50 tingkat mengeksplorasi solusi, dan 87
tingkat memikirkan dan mendefinisikan kembali problem dan solusi dari waktu ke
waktu; 2) Angket sikap siswa sebesar 75,3 tingkat penerimaan, 71,6 tingkat
menanggapi, 74,9 tingkat penilaian, 77,9 tingkat mengelola, dan 87,1 tingkat
karakterisasi; dan 3) Wawancara sebesar 80 respon siswa terhadap pembelajaran
model pembelajaran flipped classroom-problem solving dan respon siswa akibat
pembelajaran flipped classroom-problem solving terhadap kemampuan
pemecahan masalah dan 30 respon siswa terhadap evaluasi pembelajaran untuk
mengetahui gambaran pemecahan masalah siswa dalam tahap menyelesaikan soal.
Kesimpulan dari penelitian ini bahwa penggunaan model pembelajaran flipped
classroom dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, sikap, dan
respon siswa.

Kata kunci: Kemampuan pemecahan masalah, sikap siswa, model pembelajaran


flipped classroom.

iv
ABSTRACT

Shoimatul Maemanah ( NIM. 11140162000024). The Analysis of Problem


Solving Skill and Student’s attitude Through Learning model of Flipped
Classroom on Reaction Rate Lesson. Thesis, Chemistry Education Study
Program, Department of Natural Science Education, The Faculty of Tarbiya
and Teaching Sciences, Islamic State University Syarif Hidayatullah Jakarta.

The Problem Solving Skill and Student’s attitude are still low on chemistry
learning in reaction rate. The reason is the use of inappropriate learning model.
This research is aimed to know The problem solving skill rate, student’s attitude
rate, and student’s response through learning model of Flipped Classroom on
reaction rate lesson. This had been done at SMA Negeri 2 Kabupaten Tangerang
with the number of research subjects is 34 students of class XI MIPA 2. It is a
quantitative descriptive with essay test instrument of problem solving skill,
student’s attitude questionnaires, and the interview of student’s responses. The
result of essay test of problem solving skill rate and student’s attitude
questionnaires is determined by based on Branford & Stein and Krathwohl
indicators. The result of questionnaire is analyzed and determined by student
behavior rate based on Krathwohl indicators. The analysis of essay test,
questionnaires and uses Riduwan percentage. The result of data percentage are as
follows:1) Essay test rate is 72 of problem finding and understanding level,
managing strategy good problem solving rate is 79,75, solution exploration rate is
87,50, and the rate of rethinking and redefining problem and solution from time to
time is 87; 2) The student’s attitude and acceptance level rate is 75,3 The
characteristic rate is 87,1; 3) The interview rate is 80 and similar with student’s
response rate through learning model of Flipped Classroom-problem solving
toward the problem solving skill and the student’s response rate toward learning
evaluation to know the student problem solving description in test completing
phase is 30. The conclusion of the research is that the use of Flipped Classroom
learning model is able to improve the student’s problem solving skill, attitude and
responses.

Keywords: Problem solving skill, student’s attitude, Flipped Classroom learning


model.

v
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrohiim

Alhamdulillahirabil’alamin, Puji syukur kehadirat Allah Subhanahuu Wa


Ta’ala yang telah memberikan limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Analisis
Kemampuan Pemecahan Masalah dan Sikap Siswa melalui Model
Pembelajaran Flipped Classroom pada Mata Materi Laju Reaksi”. Sholawat
serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad Sholallahu
Alaihi Wassalam beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir
zaman.

Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah
memberikan dukungan dan bantuan dalam penyusunan skripsi ini. Dengan tulus,
ikhlas, dan randah hati penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dr. Sururin, M.Ag., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.


2. Burhanudin Milama, M.Pd., selaku Program Studi Pendidikan Kimia Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Hj. Siti Suryaningsih, M.Si., selaku dosen pembimbing I yang telah
memberikan ide, meluangkan waktu, memberikan ilmu, bimbingan, motivasi,
dan semangat serta saran kepada penulis dengan penuh kesabaran dan
keikhlasan dalam penyusunan skripsi ini hingga akhir.
4. Luki Yunita, M.Pd., selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan ide,
meluangkan waktu, memberikan ilmu, bimbingan, motivasi, dan semangat
serta saran kepada penulis dengan penuh kesabaran dan keikhlasan dalam
penyusunan skripsi ini hingga akhir.
5. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan IPA, Khususnya dosen Program Studi
Pendidikan Kimia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah mendidik dan memberikan kepada penulis
selama penulis menjadi mahasiswa di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

vi
6. Guru-guru dan siswa/i di SMAN 2 Kabupaten Tangerang yang telah
membantu penulis dalam melakukan pengambilan data di sekolah.
7. Orang tua tersayang yaitu Bapak H. Jufri, S.Ag dan Ibu Hj. Nasipah, S.Pd
yang telah memberikan kasih sayang, bimbingan serta motivasi dalam
penyusunan skripsi ini, baik moril maupun materil.
8. Kakak-kakakku tercinta yaitu Tamsil Mutakin, M.Pd., Dini Mardhiyah,
M.Pd., dan Ahda Sulukin Nisa, S.Pd yang telah memberikan ide, doa, dan
menjadi penyemangat dalam penulisan skripsi ini.
9. Teman-teman seperjuangan di Pendidikan Kimia 2014 Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang saling
memberikan motivasi dan semangat selama perkuliahan dan penyelesaian
skripsi.
10. Semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak kekurangan, untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan,
kritik, dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi semua pihak yang
menggunakannaya.

Jakarta, 10 Juli 2019

Shoimatul Maemanah
NIM. 11140162000024

vii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH................................... i


LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI .............................. ii
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI .............................................. iii
ABSTRAK ...................................................................................................... iv
ABSTRACT .................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xi
DAFTAR TABEL........................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................. 7
C. Pembatasan Masalah ............................................................................ 7
D. Rumusan Masalah ................................................................................ 7
E. Tujuan Penelitian ................................................................................. 8
F. Manfaat Penelitian ............................................................................... 8
BAB II KAJIAN TEORI ............................................................................... 9
A. Deskripsi Teori ..................................................................................... 9
1. Kemampuan Pemecahan Masalah ................................................. 9
2. Tahapan dalam Pemecahan Masalah............................................. 10
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemecahan Masalah.............. 12
4. Sikap Siswa ................................................................................... 13
a. Pengertian Sikap....................................................................... 13
b. Komponen Sikap ...................................................................... 14
c. Tingkat Sikap ........................................................................... 15
d. Dimensi Sikap .......................................................................... 17
e. Karakteristik Sikap ................................................................... 18
f. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Sikap ......... 19

viii
5. Model Pembelajaran Flipped Classroom ...................................... 20
a. Pengertian Model Pembelajaran Flipped Classroom .............. 20
b. Landasan yang Mendasari Pembelajaran Flipped
Classroom................................................................................ 24
c. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran
Flipped Classroom .................................................................. 24
6. Metode Problem Solving ............................................................... 25
a. Langkah-langkah Metode Problem Solving ........................... 25
b. Kelebihan dan Kekurangan Metode Problem Solving ........... 26
7. Tinjauan Materi Laju Reaksi ......................................................... 27
a. Konsep Laju Reaksi ................................................................ 27
b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Reaksi ..................... 28
c. Persamaan Laju Reaksi ........................................................... 31
d. Teori Tumbukan ...................................................................... 32
B. Penelitian Relevan................................................................................ 33
C. Kerangka Berpikir ................................................................................ 36
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .................................................... 37
A. Tempat dan Waktu ............................................................................... 37
B. Metode Penelitian................................................................................. 37
C. Alur Penelitian ..................................................................................... 37
D. Populasi dan Sampel ............................................................................ 40
1. Populasi .......................................................................................... 40
2. Sampel ........................................................................................... 40
E. Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 40
1. Variabel yang Diteliti ..................................................................... 40
2. Sumber Data ................................................................................... 40
3. Instrumen Penelitian....................................................................... 40
F. Kalibrasi Instrumen .............................................................................. 46
1. Validitas Instrumen ........................................................................ 46
2. Reliabilitas Instrumen .................................................................... 48
3. Taraf kesukaran .............................................................................. 49

ix
4. Daya Pembeda................................................................................ 50
G. Teknik Analisis Data ............................................................................ 51
1. Analisis Hasil Instrumen Tes ......................................................... 51
2. Analisis Hasil Lembar Angket ....................................................... 52
3. Analisis Hasil Lembar Wawancara ................................................ 53
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................ 54
A. Hasil Penelitian .................................................................................... 54
1. Hasil Tes Esai Kemampuan Pemecahan Masalah ......................... 54
2. Hasil Angket Sikap Siswa .............................................................. 57
3. Hasil Wawancara Respon Siswa .................................................... 58
B. Pembahasan .......................................................................................... 60
1. Kemampuan Pemecahan Masalah.................................................. 60
2. Sikap Siswa .................................................................................... 67
3. Respon Siswa ................................................................................. 73
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 74
A. Kesimpulan .......................................................................................... 74
B. Saran..................................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 75
LAMPIRAN .................................................................................................... 83

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir ........................................................................ 36


Gambar 3.1 Alur Penelitian.............................................................................. 39
Gambar 4.1 Hasil tes Esai Tingkat Kemampuan Pemecahan Masalah ........... 55
Gambar 4.2 Hasil Angket Tingkat Sikap Siswa............................................... 57
Gambar 4.3 Data Hasil Wawancara ................................................................. 59
Gambar 4.4 Soal Tes Esai Kemampuan Pemecahan Masalah ......................... 62
Gambar 4.5 Contoh Jawaban Tingkat Mencari dan Mamahami Masalah ....... 62
Gambar 4.6 Contoh Jawaban Tingkat Menyusun Strategi Pemecahan Masalah
yang Baik....................................................................................... 64
Gambar 4.7 Contoh Jawaban Tingkat Mengeksplorasi Solusi ........................ 65
Gambar 4.8 Contoh Jawaban Tingkat Memikirkan dan Medefinisikan
Kembali Problem dan Solusi dari Waktu ke Waktu ................. 67

xi
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbandingan Traditional Classroom dengan Flipped


Classroom ........................................................................................ 22
Tabel 2.2 Definisi Sempit dan Luas Model Pembelajaran Flipped
Classroom ........................................................................................ 23
Tabel 3.1 Indikator Soal Instrumen Tes ........................................................... 41
Tabel 3.2 Pedoman Penskoran Tes Kemampuan pemecahan Masalah ........... 43
Tabel 3.3 Indikator Angkat Sikap Siswa.......................................................... 44
Tabel 3.4 Kisi-kisi Pedoman Wawancara Siswa.............................................. 45
Tabel 3.5 Interpretasi Koefisien Korelasi ........................................................ 47
Tabel 3.6 Hasil Uji validitas Instrumen Tes Esai ............................................. 47
Tabel 3.7 Kriteria Reliabilitas .......................................................................... 48
Tabel 3.8 Kategori Butir Soal .......................................................................... 49
Tabel 3.9 Hasil Uji Taraf Kesukaran ............................................................... 49
Tabel 3.10 Klasifikasi Interpretasi Daya Pembeda .......................................... 50
Tabel 3.11 Hasil Uji Daya Pembeda ................................................................ 50
Tabel 3.12 Interpretasi Tingkat Kemampuan Pemecahan Masalah ................. 51
Tabel 3.13 Kriteria Penilaian Sikap ................................................................. 52
Tabel 3.14 Interpretasi Tingkat Sikap Siswa ................................................... 53
Tabel 3.15 Interpretasi Respon Siswa .............................................................. 53
Tabel 4.1 Hasil Tes Esai Tingkat Kemampuan Pemecahan Masalah secara
Keseluruhan ..................................................................................... 56
Tabel 4.2 Hasil Tes Esai secara Berkelompok ................................................. 56
Tabel 4.3 Hasil Angket Tingkat Sikap Siswa secara Keseluruhan .................. 58

xii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ............................................. 83


Lampiran 2 Lembar Kerja Siswa ..................................................................... 94
Lampiran 3 Nilai Siswa SMAN 2 Kabupaten Tangerang 2017/2018.............. 98
Lampiran 4 Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Pemecahan Masalah ........ 102
Lampiran 5 Kisi-kisi Instrumen Tes Kemampuan Pemecahan Masalah
Siswa Materi Laju Reaksi ............................................................. 104
Lampiran 6 Kunci Jawaban Instrumen Tes Kemampuan Pemecahan
Masalah ......................................................................................... 116
Lampiran 7 Validasi Instrumen Tes Esai oleh Dosen Ahli .............................. 139
Lampiran 8 Pedoman Penilaian Sikap ............................................................. 152
Lampiran 9 Instrumen Penilaian Sikap ............................................................ 154
Lampiran 10 Lembar Instrumen Penilaian Sikap............................................. 161
Lampiran 11 Validasi Instrumen Penilaian Sikap Siswa oleh Ahli ................. 164
Lampiran 12 Hasil Uji Validasi Tes Esai dengan SPSS .................................. 168
Lampiran 13 Hasil Uji Reliabilitas Tes Esai dengan SPSS ............................. 172
Lampiran 14 Hasil Uji Tingkat Kesukaran Tes Esai ....................................... 174
Lampiran 15 Hasil Uji Daya Pembeda Tes Esai .............................................. 177
Lampiran 16 Instrumen Tes Kemampuan Pemecahan Masalah ...................... 180
Lampiran 17 Contoh Jawaban Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa . 184
Lampiran 18 Hasil Tes Kemampuan Pemecahan Masalah .............................. 199
Lampiran 19 Hasil Tes Esai Tingkat Mencari dan Memahami Masalah ......... 204
Lampiran 20 Hasil Tes Esai Tingkat Menyusun Strategi Pemecahan Masalah
yang Baik .................................................................................... 206
Lampiran 21 Hasil Tes Esai Tingkat Mengeksplorasi Solusi .......................... 208
Lampiran 22 Hasil Tes Esai Tingkat Memikirkan dan Mendefinisikan
Kembali Problem dan Solusi dari Waktu ke Waktu ................... 210
Lampiran 23 Kesimpulan Hasil Tes Kemampuan Pemecahan Masalah ......... 212
Lampiran 24 Contoh Jawaban Angket Sikap Siswa ........................................ 213
Lampiran 25 Hasil Angket Sikap Siswa .......................................................... 216

xiii
Lampiran 26 Kesimpulan Hasil Angket Penilaian Sikap Siswa ...................... 218
Lampiran 27 Kisi-kisi Pedoman Wawancara Respon Siswa ........................... 219
Lampiran 28 Pedoman Wawancara Respon Siswa .......................................... 220
Lampiran 29 Validasi Pedoman Wawancara Siswa oleh Ahli......................... 221
Lampiran 30 Transkip Hasil Wawancara ......................................................... 223
Lampiran 31 Data Hasil Wawancara ............................................................... 235
Lampiran 32 Dokumen Kegiatan Penelitian .................................................... 238
Lampiran 33 Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian .......................... 241
Lampiran 34 Lembar Uji Referensi ................................................................. 242
Lampiran 35 Surat Bimbingan Skripsi ............................................................. 266

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kimia merupakan salah satu subjek yang dipelajari oleh siswa
dalam pendidikan formal tingkat menengah atas. Kimia merupakan cabang
ilmu pengetahuan alam yang dapat mengembangkan potensi siswa dan
menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, yang
memungkinkan untuk bersaing dengan manusia dari negara lain dalam era
industri dan globalisasi. Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 21 Tahun 2016 tentang standar isi pendidikan dasar
dan menengah, pada kompetensi isi bagian humaniora, salah satu
kompetensinya ialah kemampuan memecahkan masalah. Cakupan
kompetensinya ialah merumuskan masalah, mengajukan hipotesis,
menentukan variabel, memilih instrumen, mengolah dan menganalisis
data, menarik kesimpulan, dan mengkomunikasikan serta menganalisis
dan menyelesaikan permasalahan. Hal ini membuktikan bahwa pentingnya
seorang siswa memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik
Kompetensi kemampuan pemecahan masalah sesuai dengan
kemampuan yang harus dimiliki pada abad ini, yaitu abad 21. Kemampuan
abad 21 teridiri dari kemampuan berpikir kritis, kolaborasi, dan
kemampuan pemecahan masalah (Rotherham & Willingham, 2010).
Kemampuan pemecahan masalah meliputi mencari dan memahami
masalah, menyusun strategi pemecahan yang baik, mengeksplorasi solusi,
memikirkan dan mendefinisikan kembali masalah dan solusi dari waktu ke
waktu (Bransford & Stein dalam Santrock, 2015, hal 371-373).
Siswa yang mempunyai kemampuan pemecahan masalah yang
baik memungkinkan untuk bersifat lebih objektif dalam mengambil

1
2

keputusan dalam kehidupannya, siswa akan menjadi terampil menyeleksi


informasi yang relevan kemudian menganalisisnya dan akhirnya
menyelidiki kembali hasilnya. Kemampuan pemecahan masalah juga
dapat mendukung siswa untuk merumuskan konsep dan bekal bagi siswa
untuk menyelesaikan permasalahan kimia dengan mengembangkan
gagasannya. Jika kemampuan pemecahan masalah siswa rendah, maka
siswa sulit untuk mengambil solusi dari suatu masalah yang dihadapi,
karena siswa tidak dapat mengumpulkan informasi yang relevan serta
tidak dapat menganalisis ataupun menyadari betapa pentingnya meneliti
kembali hipotesis yang diperoleh. Rotherham & Willingham (2010)
menegaskan bahwa rendahnya kemampuan pemecahan masalah
dipengaruhi oleh pembelajaran yang dilakukan guru, memuat kurikulum
yang digunakan, model pembelajaran yang digunakan oleh guru, dan jenis
tes yang diujikan.
Pembelajaran di Indonesia masih menekankan pada kemampuan
mengingat fakta, terminologi dan hukum sains, dan hanya mampu
menggunakan pengetahuan sains yang bersifat umum, serta masih bersifat
teacher-center. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara yang dilakukan
oleh Rejeki, D. P., M. Hasan, & A. G. Haji (2015) di SMAN 1 Kreung
Barona Jaya, Aceh Besar, memaparkan bahwa guru masih menggunakan
metode belajar yang berpusat pada guru (teacher center), dan jarang
menggunakan metode pembelajaran yang dapat melibatkan peserta didik
untuk terlibat langsung dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara pendahuluan dengan
guru kimia SMAN 1 Gunung Sari, Lombok Barat oleh Dewi & Hamid
(2015) menyatakan bahwa guru sering menggunakan pendekatan
konvensional seperti ceramah, demonstrasi, dan diskusi yang berpusat
pada guru dalam proses pembelajaran, dan sebagian besar siswa pasif
dalam proses belajar mengajar. Peristiwa ini juga dialami oleh Nelyza,
Hasan, & Musman (2015) dalam hasil observasinya di kelas XI MAS
Ulumul Qur’an Banda Aceh. Guru masih menggunakan metode ceramah
3

selama pembelajaran, sementara peserta didik hanya terlibat pasif. Hal ini
memungkinkan rendahnya kemampuan pemecahan masalah pada siswa di
Indonesia.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan Sulistyowati
(2012) di sebuah SMA di Kabupaten Purwarejo kelas XI IPA diketahui
bahwa ketuntasan klasikal siswa belum mencapai 85%. Hal ini
dikarenakan pembelajaran kurang mengarahkan siswa untuk dapat
memecahkan masalah sehingga kemampuan pemecahan masalah kimia
siswa masih kurang. Husain (2016) dalam studi pendahuluan penelitian
tesisnya di SMK Teknologi Penerbangan Hasanuddin Makasar pada tahun
ajaran 2013/2014 menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah
kimia peserta didik masih rendah karena peserta didik mengalami
kesulitan dalam mengerjakan dan menganalisis soal-soal perhitungan
kimia dalam bentuk narasi. Perhitungan kimia merupakan materi yang
dianggap sulit oleh peserta didik, sebab materi ini menggabungkan antara
pemahaman konsep kimia, kemampuan pemecahan masalah, dan
kemampuan matematis peserta didik. Hal ini sesuai dengan hasil
wawancara yang dilakukan oleh Rejeki, D. P., M. Hasan, & A. G. Haji
(2015) di SMAN 1 Kreung Barona Jaya, Aceh Besar, menegaskan bahwa
peserta didik sulit memahami pelajaran kimia terutama pada materi
perhitungan. Hasil observasi dan wawancara peneliti di salah satu SMA
Negeri di Kabupaten Tangerang, rata-rata nilai Ujian Akhir Sekolah
semester ganjil 2017/2018 kelas XI MIPA 1 sampai 6 yaitu 52,5 dengan
materi ujian hidrokarbon, termokimia, laju reasi, dan kesetimbangan, dan
kemampuan pemecahan masalah dapat nilai 2-2,5 dari nilai maksimum 5.
Hal ini menambahkan data bahwa kemampuan pemecahan masalah dan
nilai kimia pada materi perhitungan kimia ternilai rendah.
Kemampuan pemecahan masalah dapat dikembangkan dalam
proses pembelajaran yang tepat yaitu pembelajaran yang melibatkan siswa
secara langsung. Sebagaimana peribahasa yang disampaikan oleh
Benjamin Franklin “Tell me and I forget, Teach me and I may remember,
4

involve me and I Learn”. Hal ini menyatakan bahwa pembelajaran yang


baik ialah pembelajaran yang melibatkan siswa secara langsung dalam
pembelajaran.
Pembelajaran yang tepat dapat meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah dan dapat meningkatkan sikap positif siswa terhadap
pembelajaran. Berdasarkan penelitian Childs dan Sheehan (2009),
menyatakan bahwa sikap siswa terhadap pembelajaran kimia masih
rendah, karena kimia merupakan mata pelajaran dengan konseptual yang
paling sulit dalam kurikulum dan siswa dituntut berjuang untuk
mengasosiasikan konsep kimia dengan berbagai aktivitas sehari-hari.
Olakanmi (2017) menambahkan bahwa sikap yang masih rendah terhadap
kimia dikarenakan kurangnya minat terhadap kimia dan latar belakang
akademis siswa yang buruk.
Berdasarkan pemasalahan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan
bahwa kemampuan pemecahan masalah dan sikap siswa terhadap
pembelajaran kimia tergolong masih rendah. Peningkatan kemampuan
pemecahan masalah dan sikap siswa terhadap pembelajaran kimia
memerlukan pembelajaran yang mendukung aktivitas siswa untuk
berperan aktif dalam pembelajaran sehingga siswa dijadikan sebagai pusat
pembelajaran dan guru sebagai fasilitator. Salah satu model pembelajaran
yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa dan
sikap siswa terhadap pembelajaran kimia ialah model pembelajaran flipped
classroom. Dalam penelitian Olakanmi (2017) yang bertujuan mengetahui
pengaruh model flipped classroom terhadap sikap siswa pada
pembelajaran kimia, adanya hasil yang signifikan yaitu sikap siswa positif
pada materi laju reaksi menggunakan model flipped classroom.
Menurutnya, mereka lebih mempunyai persiapan dan pendekatan baru
(model flipped classroom) memungkinkan mereka untuk belajar dan
memahami konsep/materi pembelajaran.
Pada model pembelajaran flipped classroom, siswa memiliki
persiapan di rumah untuk melalukan pembelajaran di kelas dengan
5

menonton video pembelajaran yang telah disiapkan guru (Bishop &


Matthew, 2013). Video tersebut merupakan perangkat multimedia dan
teknologi sebagai media pembelajaran. Guru merekam materi yang biasa
dijelaskan di depan kelas menjadi materi berbentuk video. Video diberikan
sebelum pembelajaran berlangsung, didistribusikan dengan bantuan media
chatting yang ada pada ponsel siswa. Penggunaan video sebelum
pembelajaran dipilih untuk mengefisiensikan biaya dan waktu
pembelajaran di kelas (Bishop & Matthew, 2013) dan memudahkan siswa
untuk beradaptasi dalam pembelajaran (Long, T., Joanne, L., & Michael,
W, 2016). Dalam penelitian Long, T., Joanne, L., & Michael, W (2016),
ada 40 peserta (78,4%) yang setuju dengan penggunaan video sebelum
pembelajaran. Mereka lebih menyukai pembelajaran melalui video dari
pada melalui format teks/tulisan.
Model ini dapat meningkatkan keterlibatan siswa dalam
pembelajaran, keterlibatan dengan konten, dan keterlibatan dengan guru
melalui konstruk konsep yang telah dipersiapkan di rumah dalam
penyelesaian soal dan berdiskusi secara aktif dengan teman sebaya di
dalam kelas (M. K. Seery, 2015; J. Nouri, 2016). Siswa yang telah
mengetahui konten belajar memungkinkan untuk menghemat waktu
mencari sumber belajar, seperti browsing internet di kelas yang biasa
dilakukan model konvensional. Siswa lebih banyak menghabiskan waktu
di dalam kelas sehingga memungkinkan untuk mendapatkan informasi
tambahan melalui pemecahan masalah dan diskusi kasus.
Penyelesaian soal di awal pembelajaran dapat meningkatkan
motivasi dan pemahaman materi siswa (Brown, 2016). Dalam
penyelesaian soal, siswa tidak takut kehabisan waktu, karena pada
pembelajaran ini waktu pembelajaran lebih efisien. Diskusi dilakukan
bersama teman sebaya untuk memecahkan masalah dalam soal yang telah
diberikan di awal pembelajaran dan mempresentasikannya di depan kelas.
Untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa dan mengkaji ulang
hipotesis yang telah ada, siswa diberikan soal kembali. Kegiatan ini
6

dipandang dapat meningkatkan persepsi/ sikap positif siswa dalam


pembelajaran (Caligaris, M., Georgina, R., & Lorena, L, 2016).
Penelitian Caligaris, M., Georgina, R., & Lorena, L (2016)
memaparkan bahwa ada 61% peserta didik bersikap positif dalam
pembelajaran yang menggunakan model flipped classroom dan lebih
memilih model ini dibandingkan model pembelajaran konvensional.
Model ini juga dapat mengurangi kebosanan siswa dan dapat
meningkatkan berpikir tingkat tinggi siswa, seperti kemampuan
pemecahan masalah (Lee & Lai, 2017). Penelitian yang dilakukan Sri
Utami (2017) di SMAN 1 Parung untuk mengetahui pengaruh model
pembelajaran flipped classroom tipe peer instruction flipped terhadap
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa pada materi peluang,
memiliki rata-rata hasil tes kemampuan pemecahan masalah matematika
siswa sebesar 72,72 yang terdiri dari 85% pada indikator memahami
masalah, 75% pada indikator membuat rencana penyelesaian, 77% pada
indikator melaksanakan rencana dan 51% pada indikator meninjau
kembali langkah penyelesaian.
Penelitian ini akan menggabungkan model flipped classroon
dengan metode problem solving. Langkah-langkah model flipped
classroon salah satunya diskusi. Metode problem solving diterapkan pada
saat diskusi. Keuntungan model flipped classroom dapat ditambahkan
dengan kegiatan problem solving. Penggabungan model ini dimungkinkan
untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa. Dalam
metode problem solving dituntut untuk memecahkan masalah yang
kompleks/rumit dan tidak bersifat kontekstual. Masalah dapat berupa
hitungan kompleks/rumit seperti yang ada dalam materi laju reaksi. Selain
hitungan kompleks, dalam penyelesaian masalah materi laju reaksi
diperlukan langkah-langkah pemecahan masalah yang berurutan. Hal ini
pun didukung oleh Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(permendikbud) Nomor 21 Tahun 2016, kemampuan pemecahan masalah
dapat dikembangkan melalui pembelajaran materi laju reaksi.
7

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk


mengadakan penelitian dengan judul “Analisis Kemampuan Pemecahan
Masalah dan Sikap Siswa melalui Model Pembelajaran Flipped
Classroom pada Materi Laju Reaksi”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas teridentifikasi beberapa
masalah antara lain:
1. Siswa cenderung pasif dalam proses pembelajaran
2. Kurangnya variasi guru pada proses pengajaran, guru masih dominan
menggunakan model pembelajaran konvensional dan bersifat teacher
oriented
3. Kemampuan pemecahan masalah kimia siswa masih rendah
4. Sikap siswa terhadap pembelajaran kimia masih rendah
C. Pembatasan Masalah
Peneliti memberikan batasan penelitian untuk penelitian terarah
dan tidak terjadi penyimpangan terhadap masalah yang akan dibahas.
Pembatasan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Pembelajaran dilakukan dengan model pembelajaran flipped
classroom menurut Bregmann & Sams digabungkan dengan metode
problem solving menurut Djamarah & Zain.
2. Penelitian ini menggunakan indikator tingkat kemampuan pemecahan
masalah menurut Bransford & Stein dan tingkat sikap siswa
berdasarkan Krathwohl
3. Materi laju reaksi kelas XI IPA
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada pembatasan masalah yang telah diuraikan, maka
masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana tingkat kemampuan pemecahan masalah melalui model
pembelajaran flipped classroom pada materi laju reaksi?
2. Bagaimana tingkat sikap siswa melalui model pembelajaran flipped
classroom pada materi laju reaksi?
8

3. Bagaimana respon siswa mengenai penggunaan model pembelajaran


flipped classroom pada materi laju reaksi?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini
bertujuan untuk:
1. Mengetahui tingkat kemampuan pemecahan masalah menurut
Bransford & Stein dan tingkat sikap siswa menurut Krathwohl melalui
model pembelajaran flipped classroom pada materi laju reaksi.
2. Mengetahui respon siswa mengenai penggunaan model pembelajaran
flipped classroom pada materi laju reaksi.
F. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian , maka hasil penelitian diharapkan
memiliki sejumlah manfaat, antara lain:
1. Bagi Guru
Bagi guru, sebagai bahan pertimbangan yang tepat bagi guru untuk
menggunakan model pembelajaran flipped classroom dalam proses
pembelajaran.
2. Bagi Sekolah
Hasil penelitian ini menambah referensi model pembelajaran
berbasis teknologi yang dapat digunakan sekolah dan diharapkan
mampu meningkatkan kualitas pembelajaran kimia di sekolah.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi untuk
penelitian lanjutan yang berkaitan dengan model pembelajaran flipped
classroom atau kemampuan pemecahan masalah dan sikap siswa.
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Deskripsi Teori
1. Kemampuan Pemecahan Masalah
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kemampuan ialah
kecakapan dalam melakukan sesuatu. Menurut Ormrod (2008, hal.
393) pemecahan masalah adalah menjawab pertanyaan dengan
memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan yang sudah ada, baik
pertanyaan yang belum terjawab maupun situasi yang sulit.
Pemecahan masalah juga dapat diartikan sebagai menemukan solusi
pada masalah yang khusus melalui pemikiran yang tersusun secara
langsung (Solso, Maclin O & Maclin M, 2008, hal. 434). Menurut
Slameto (1991, hal. 139), pemecahan masalah mencakup
menghasilkan atau menciptakan sesuatu yang baru melalui kegiatan
yang kompleks melalui pemikiran yang dan berhubungan erat antara
keduanya.
Wena (2009, hal. 52) mendefinisikan pemecahan masalah sebagai
salah satu cara mengatasi situasi baru dari beberapa aturan yang
diterapkan dalam menemukan gabungan beberapa hal baru. Siswa
dituntut untuk mengumpulkan bagian menjadi satu kesatuan, disajikan
dengan menggali informasi sampai memeriksa kembali pelaksanaan
pemecahan masalah

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, kemampuan pemecahan


masalah adalah menyelesaikan konsep sesuai dengan kemampuan
individu dalam menyelesaikan masalah yang diberikan. Kemampuan
pemecahan masalah membutuhkan suatu upaya untuk dapat
mengembangkannya, tidak serta merta dimiliki oleh suatu individu.
Kemampuan pemecahan masalah merupakan kecakapan/ kemampuan
tingkat tinggi (HOTS), karena melibatkan semua aspek pengetahuan.

9
10

2. Tahapan dalam Pemecahan Masalah


Menurut Dewey dalam Slameto (1991, hal. 141), langkah-langkah
dalam pemecahan masalah sebagai berikut: kesadaran akan adanya
masalah; merumuskan masalah; mencari data dan merumuskan
hipotesa-hipotesa; menguji hipotesa-hipotesa dan kemudian menerima
hipotesa-hipotesa yang benar.
Tahapan pemecahan masalah menurut Polya (1957, hal. 16-17) ada
4 tahap: Tahap pertama yaitu memahami masalah (understanding the
problem), pada tingkat ini dapat diidentifikasikan melalui pertanyaan:
Apa yang tidak diketahui dan atau apa yang ditanyakan? Bagaimana
kondisi soal? Mungkinkah kondisi dinyatakan dalam bentuk
persamaan atau hubungan lainnya? Apakah kondisi yang ditanyakan
cukup untuk mencari yang ditanyakan? Tahap ke dua yaitu menyusun
rencana pemecahan (devising a plan), pada tingkat ini dapat
diidentifikasikan melalui pertanyaan: Pernahkah ada soal serupa
sebelumnya? Dapatkah metode yang cara lama digunakan untuk
masalah baru? Apakah harus dicari unsur lain? Kembalilah pada
definisi. Tahap ke tiga yaitu melaksanakan rencana penyelesaian
(carrying out the plan), pada tingkat ini meliputi: Melaksanakan
rencana strategi pemecahan masalah pada butir dan memeriksa
kebenaran tiap langkahnya. Tahap ke empat memeriksa atau meninjau
kembali langkah penyelesaian (looking back), pada tingkat ini dapat
diidentifikasikan melalui pertanyaan: Bagaimana cara memeriksa hasil
yang diperoleh? Dapatkah hasil atau cara itu digunakan untuk masalah
ini?

Sementara itu, Hayes (1989) dalam Solso, Maclin O & Maclin m


(2008, hal. 437) mengemukakan beberapa tahapan pemecahan
masalah, yaitu: a. Mengidentifikasi permasalahan; b. Representasi
masalah; c. Memecahkan sebuah solusi; d. Merealisasikan rencana; e.
Mengevaluasi rencana; f. Mengevaluiasi solusi
11

Bransford & Stein dalam Santrock (2015, hal. 371-373) telah


melakukan usaha untuk menspesifikasikan langkah-langkah/tahapan
yang harus dilalui individu untuk menyelesaikan masalah secara
efektif. Berikut empat tahapan pemecahan masalah:

a. Mencari dan memahami masalah ialah berusaha mendapatkan dan


mengetahu kebenaran sesuatu yang harus diselesaikan. Sebelum
suatu masalah dapat dipecahkan, ia harus dikenali dahulu.
b. Menyusun strategi pemecahan masalah yang baik. Setelah siswa
menemukan masalah dan mendefinisikannya secara jelas, mereka
perlu menyusun strategi untuk memecahkannya. Dianatara strategi
yang efektif adalah menentukan sub tujuan, menggunakan
alogaritma, dan mengandalkan heuristic. Menentukan sub tujuan
adalah menentukan tujuan intermediate yang membuat siswa bisa
berada dalam posisi yang lebih baik untuk mencapai tujuan atau
solusi final. Alogaritma adalah strategi yang menjamin solusi atas
satu persoalan. Analisis cara tujuan adalah sebuah heuristic dimana
seorang mengidentifikasikan tujuan dari suatu masalah, menilai
situasi yang ada sekarang, dan mengevaluasi apa-apa yang
dibutuhkan untuk mengurangi perbedaan antara dua kondisi
tersebut.
c. Mengeksplorasi solusi ialah megadakan penyelidikan penyelesaian/
pemecahan masalah. Setelah menganggap telah memecahkan
problem, mungkin tak tahu apakah solusinya efektif atau tidak,
kecuali mengevaluasinya. Perlu dipertimbangkan kriteria untuk
efektivitas solusi.
d. Memikirkan dan mendefinisikan kembali problem dan solusi dari
waktu ke waktu ialah mencari upaya untuk menyelesaikan sesuatu
dengan pertimbangan. Orang yang pandai dalam memecahkan
masalah biasanya termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya dan
membuat kontribusi yang orisinil.
12

Dari pendapat di atas, peneliti menyimpulkan adanya kesamaan


antara pendapat Polya dan Bransford & Stein dalam Santrock, namun
peneliti memilih menggunakan bahasa menurut Bransford & Stein
dalam Santrock pada penelitian ini, karena pendapatnya lebih terbaru.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tahapan dapat diartikan pula
sebagai tingkatan, maka Peneliti menyebut tahap dalam pembahasan
ini untuk selanjutnya disebut ‘tingkat’.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemecahan Masalah


Ormrod (2008, hal. 398-402) menjelaskan faktor-faktor yang
mempengaruhi pemecahan masalah adalah: pertama, memori kerja
menempatkan batas atas mengenai seberapa banyak siswa dapat
berpikir pada saat mereka mengerjakan suatu soal.
Kedua, bagaimana siswa menyandikan (encode) suatu masalah
mempengaruhi pendekatan mereka dalam usahanya untuk
memecahkannya. Ketiga, strategi berikut ini dapat membentuk para
siswa menyandikan soal secara efektif tanpa membuatnya menjadi
korban set mental yang tidak produktif: Sajikan soal secara konkret,
doronglah siswa untuk membuat soal-soal menjadi konkret bagi diri
mereka sendiri, tunjukan aspek-aspek apa saja dari soal tersebut yang
dapat dipecahkan siswa, berikan soal-soal yang terlihat berbeda
dipermukaannya namun mensyaratkan prosedur pemecahan masalah
yang sama atau mirip, campurlah jenis-jenis soal yang dikerjakan
para siswa pada satu sesi latihan, mintalah siswa bekerja dalam
kelompok untuk mendefinisikan beberapa cara mempresentasikan
suatu soal, siswa biasanya memecahkan soal secara lebih efektif bila
mereka mempunyai basis pengetahuan yang menyeluruh dan
terintegrasi baik yang relevan dengan topik itu
Keempat, pemecahan masalah yang sukses tergantung pada
kesuksesan pemanggilan kembali (retrieval) pengetahuan yang
13

relevan. Kelima, pemecahan masalah yang kompleks mensyaratkan


keterlibatan metakognitif.
4. Sikap Siswa
a. Pengertian Sikap
Sikap atau yang dalam bahasa Inggris disebut attitude adalah
suatu cara bereaksi terhadap satu perangsang. Suatu kecenderungan
untuk bereaksi dengan cara tertentu terhadap sesuatu perangsang
atau situasi yang dihadapi dan relatif tetap (Walgito, 2003, hal.
127). Pada dasarnya sikap merupakan konsep evaluasi berkenaan
dengan objek tertentu, mengugah motif untuk bertingkah laku. Ini
berarti bahwa sikap mengandung unsur penilaian dan reaksi afekif,
yang tidak sama dengan motif, akan tetapi menghasilkan motif
tertentu. Motif inilah yang kemudian menentukan tingkah laku
nyata atau terbuka, sedangkan reaksi afektifnya merupakan reaksi
tertutup. Sikap juga digambarkan dalam berbagai kualitas dan
intensitas yang berbeda dan bergerak secara kontiniu dari positif
melalui area netral ke arah negatif (Walgito, 2003, hal. 127)..
Berbagai pengertian sikap dimasukkan ke dalam tiga kerangka
pemikiran. Pertama adalah kerangka pemikiran yang diwakili oleh
para psikologi seperti Louis Thustone, Renis Likert, dan Charles
Osgood, sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan.
Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung
atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau
tidak memihak (unfavorable) (Berkowitz, 1972 dalam Azwar,
2013, hal. 4-5).
Kelompok pemikiran yang kedua diwakili oleh para ahli
seperti Chave, Borgadus, Lapierre, Mead, dan Gordon Allpor
(Azwar, 2013, hal. 5), sikap merupakan semacam kesiapan untuk
bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Kelompok
pemikiran yang ketiga adalah kelompok yang berorientasi kepada
skema triadik. Menurut kerangka pemikiran ini suatu sikap
14

merupakan konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif, dan


konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan
berperilaku terhadap suatu objek.
Sikap seseorang bisa terwujud dalam bentuk perasaan senang
atau tidak senang, setuju atau tidak setuju, suka atau tidak suka
terhadap hal-hal tersebut. Berdasarkan konsep di atas, berkaitan
dengan objek penelitian ini sikap artinya kecenderungan siswa
untuk bertindak seperti menyukai atau menolak, positif atau negatif
pada pembelajaran menggunakan model flipped classroom pada
materi laju reaksi.
b. Komponen Sikap
Adapun komponen-komponen yang terdapat dalam sikap
adalah sebagai berikut:
1) Komponen kognitif (konsep perseptual) adalah komponen
yang berisikan apa yang diyakini dan apa yang dipikirkan
seseorang mengenai objek sikap tertentu, fakta, pengetahuan,
dan keyakinan tentang objek. Misalnya sikap terhadap senjata
nuklir. Komponen kognitif dapat meliputi beberapa informasi
tentang ukurannya, secara pelepasannya, jumlah kepala nuklir
pada setiap rudal dan beberapa keyakinan tentang negara-
negara yang mungkin memilikinya.
2) Komponen afektif (komponen emosional) adalah terdiri dari
seluruh perasaan atau emosi seseorang terhadap objek,
terutama penilaian. Tumbuhnya rasa senang oleh kenyataan
seseorang terhadap objek sikap. Semakin dalam komponen
keyakinan positif maka akan semakin senang orang terhadap
objek sikap. Misalnya, kekhawatiran akan terjadi
penghancuran oleh nuklir pada kehidupan manusia. Keyakinan
negatif ini akan menghasilkan penilaian negatif pula terhadap
nuklir.
15

3) Komponen perilaku/ konasi/ konatif (komponen perilaku)


adalah terdiri dari kesiapan seseorang untuk bereaksi atau
kecenderungan untuk bertindak terhadap objek. Bila seseorang
menyenangkan suatu objek maka kecenderungan individu
tersebut akan mendekati objek dan sebaliknya (Bimo Walgito,
2003, hal. 127-128).
c. Tingkat Sikap
Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat
diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki
penguasaan kognitif tingkat tinggi. Menurut Krathwohl (1975)
dalam Sudijono (2005, hal 54-56), tingkat sikap siswa dibagi lima
tingkat, yaitu receiving, responding, valuing, organization,
characterization by a value or value complex.
1) Receiving
Receiving atau attending (menerima atau memperhatikan)
adalah kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan
(stimulus) dari luar yang datang kepada dirinya dalam bentuk
masalah, situasi, gejala dan lain-lain. Termasuk dalam jenjang
ini misalnya: kesadaran dan keinginan untuk menerima
stimulus, mengontrol dan menyeleksi gejala-gejala atau
rangsangan yang datang dari luar. Receiving juga sering diberi
pengertian sebagai kemauan untuk memperhatikan suatu
kegiatan atau suatu objek. Pada tingkat ini peserta didik dibina
untuk mereka bersedia menerima nilai atau nilai-nilai yang
diajarkan kepada mereka, dan mereka mau menggabungkan
diri ke dalam nilai itu atau mengidentikkan dengan nilai itu
2) Responding
Responding atau menanggapi mengandung arti “adanya
partisipasi aktif”. Jadi kemampuan menanggapi adalah
kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengikutsertakan
dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dan membuat
16

reaksi terhadapnya dengan salah satu cara. Jenjang ini


setingkat lebih tinggi ketimbang jenjang receiving.
3) Valuing
Valuing atau menilai artinya memberikan nilai atau
memberikan penghargaan terhadap suatu kegiatan atau objek,
sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan, dirasakan akan
membawa kerugian atau penyesalan. Valuing merupakan
tingkat sikap yang lebih tinggi lagi daripada receiving dan
responding. Dalam kaitan dengan proses belajar mengajar,
peserta didik di sini tidak hanya mau menerima nilai yang
diajarkan tetapi mereka telah berkemampuan untuk menilai
konsep atau fenomena, yaitu baik atau buruk. Bila sesuatu
ajaran yang telah mampu mereka nilai telah mampu untuk
mengatakan “itu adalah baik”, maka ini peserta didik telah
menjalani proses penilaian. Nilai itu telah mulai dicamkan
(internalized) dalam dirinya. Dengan demikian nilai tersebut
telah stabil dalam diri peserta didik.
4) Organization
Organization atau mengatur/ mengelola, artinya
mempertemukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru
yang lebih universal, yang membawa kepada perbaikan umum.
mengatur atau mengorganisasikan merupakan pengembangan
diri nilai ke dalam satu sistem organisasi, termasuk di
dalamnya hubungan satu nilai dengan nilai lain, pemantapan
dan prioritas nilai yang telah dimiliknya.
5) Characterization by a value or value complex
Characterization by a value or value complex atau
karakterisasi dengan suatu nilai atau komplek nilai, yakni
keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki seseorang,
yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya.di
sini proses internalisasi nilai telah menempati tempat tertinggi
17

dalam suatu hirarki nilai. Nilai itu telah tertanam secara


konsisten pada sistemnya dan telah mempengaruhi emosinya.
Ini merupakan tingkat sikap tertinggi, karena sikap batin
peserta didik telah benar-benar bijaksana. Ia telah memiliki
philosopy of life yang mapan. Jadi pada tingkat ini peserta
didik telah memiliki sistem nilai yang mengontrol tingkah
lakunya untuk suatu waktu yang cukup lama, sehingga
membentuk karakteristik “pola hidup”, tingkah lakunya
menetap, konsisten dan dapat diramalkan.

Dari 5 tingkat sikap siswa di atas, dapat disimpulkan sebagai


berikut: Receiving/ penerimaan (A1); Responding/ menganggapi (A2);
Valuing/ penilaian (A3); Organizatio / Organisasi (A4);
Characterization by a value or value complex/ (A5).

d. Dimensi Sikap
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
nomor 21 tahun 2016 tentang standar isi pendidikan dasar dan
menengah, kompetensi inti dari sikap mencakup dimensi toleransi,
jujur, disiplin, bertanggung jawab, kerjasama, santun, responsif.
Peneliti menggunakan tingkat dan dimensi sikap ini sebagai
rujukan pembuatan instrumen angket sikap siswa.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke lima, arti
masing-masing dimensi tersebut: toleransi adalah berikap
menenggang pendirian yang berbeda atau bertentangan dengan
pendirian sendiri atau sikap dan tindakan yang menghargai
keberagaman latar belakang, pandangan, dan keyakinan. Jujur
adalah perilaku dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan
pekerjaan, tidak berbohong dan tidak berbuat curang. Disiplin
adalah tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada
berbagai ketentuan dan peraturan. Tanggung jawab adalah sikap
dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan
18

kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri,


masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan
Tuhan Yang Maha Esa. Kerjasama adalah bekerja bersama-sama
dengan orang lain untuk mencapai tujuan bersama dengan saling
berbagi tugas dan tolong menolong secara ikhlas. Santun adalah
sikap baik dalam pergaulan baik dalam berbahasa maupun
bertingkah laku. Norma kesantunan bersifat relatif, artinya yang
dianggap baik/santun pada tempat dan waktu tertentu bisa berbeda
pada tempat dan waktu yang lain. Responsif adalah sikap memberi
tanggapan terhadap apa yang dikemukakan atau yang terjadi.
e. Karakteristik Sikap
Menurut M. Sherif, faktor psikis yang turut menyusun
pribadi orang dan dirumuskan ke dalam lima buah sifat khas dari
sikap yaitu: sikap tidak dibawa orang sejak ia dilahirkan, sikap
dapat berubah-ubah, sikap tidak berdiri sendiri, objek sikap hanya
satu hal tertentu saja, tetapi juga dapat merupakan kumpulan dari
hal-hal tersebut, dan sikap mempunyai segi-segi motivasi dan segi-
segi perasaan (Gerungan, 2004, hal. 164-165).
Sikap tidak dibawa orang sejak ia dilahirkan, tetapi
dibentuk atau dipelajarinya sepanjang perkembangan orang itu
dalam hubungan dengan objeknya. Sifat ini membedakannya
dengan sifat biogenetis seperti lapar, haus, kebutuhan akan istirahat
dan sebagainya.
Sikap dapat berubah-ubah, karena itu sikap dapat dipelajari
orang atau sebaliknya. Sikap dapat dipelajari sehingga sikap dapat
berubah pada seseorang bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat-
syarat tertentu yang mempermudah berubahnya sikap pada orang
itu. Contohnya, seorang yang memliki penyakit dan dapat sembuh
apabila dia makan daging ular, sedangkan dia tidak menyukai
daging ular, tapi untuk kesembuhannya ia tetap memakannya.
19

f. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Sikap


Manusia merupakan makhluk sosial sehingga manusia
memiliki sikap sosial yang terbentuk dari adanya interaksi sosial.
Dalam interaksinya tersebut terjadi hubungan yang saling
mempengaruhi diantara individu yang satu dengan individu yang
lainnya, terjadi hubungan timbal balik yang turut mempengaruhi
pola perilaku masing-masing individu. Individu bereaksi
membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis
yang dihadapinya. Diantaranya faktor-faktor yang mempengaruhi
terbentuknya sikap adalah: pengalaman pribadi, pengaruh orang
lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, media massa,
lembaga pendidikan dan lembaga agama, dan pengaruh faktor
emosional (Azwar, 2013, hal. 30-36).
Sikap dapat dibentuk dari pengalaman pribadi. Pengalaman
pribadi harus meninggalkan kesan yang kuat, sehingga apa yang
telah terjadi atau yang sedang kita alami akan ikut membentuk atau
mempengaruhi penghayatan yang lebih mendalam dan berbekas.
Pengaruh orang lain yang dianggap penting dapat
mempengaruhi terbentuknya sikap kita terhadap suatu hal. Diantara
orang yang dianggap penting bagi individu adalah orang tua,
teman, guru dan lain-lain. Pada umumnya, individu cenderung
untuk memiliki sikap yang searah dengan sikap orang yang
dianggapnya penting. Kecenderungan ini diantara lain dimotivasi
oleh keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang
dianggap penting tersebut.
Kebudayaan memiliki pengaruh yang besar terhadap
pembentukan sikap kita. Kebudayaan memiliki norma-norma yang
harus dijunjung tinggi yang akan mempengaruhi sikap kita
terhadap berbagai masalah yang dihadapi.
Media massa mempunyai pengaruh besar dalam
pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian
20

informasi, media massa membawa pesan-pesan yang berisi sugesti


yang dapat mengarahkan opini seseorang, sehingga akan
mempengaruhi sikap seseorang.
Lembaga pendidikan serta lembaga agama mempunyai
pengaruh dalam pembentukan sikap, karena meletakkan konsep
moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk
diperoleh dari pendidikan dan ajaran-ajaran agama.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-
faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap adalah: faktor
internal yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam diri seseorang
seperti pengalaman pribadi dan pengaruh faktor emosional. Faktor
eksternal yaitu faktor-faktor yang berada di luar individu seperti
pengaruh kebudayaan, media massa, pengaruh orang lain yang
dianggap penting, dan lembaga keagamaan.
5. Model Pembelajaran Flipped Classroom
a. Pengertian Model Pembelajaran Flipped Classroom
Secara umum model diartikan sebagai kerangka konseptual. Weil
dan Joyce mendefinisikan model pembelajaran adalah suatu rencana
atau pola yang dapat digunakan untuk merancang tatap muka di kelas
atau pembelajaran tambahan di luar kelas untuk menajamkan materi
pengajaran (Rusman, 2012, hal. 133). Lestari & Yudhanegara (2017,
hal. 37) menyatakan bahwa model pembelajaran adalah suatu pola
interaksi siswa dan guru di dalam kelas yang terdiri dari strategi,
pendekatan, metode, dan teknik pembalajaran yang diterapkan dalam
pelaksanaan kegiatan pembelajaran di kelas. Dari beberapa pendapat
dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah kerangka
konseptual yang merupakan suatu prosedur sistematis yang dijadikan
sebagai pedoman dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas untuk
pengelolaan pengajaran di dalam kelas dapat mencapai tujuan tertentu.
Saat ini banyak dikembangkan model pembelajaran diantaranya
adalah model pembelajaran flipped classroom.
21

Model pembelajaran flipped classroom hadir karena perkembangan


teknologi yang berpengaruh besar terhadap dunia pendidikan.
Teknologi yang semakin canggih saat ini dapat menjadi suatu fasilitas
belajar yang efektif bagi guru dan siswa. Flipped classroom pertama
kali diperkenalkan oleh Jonathan Bergamann dan Aaron Sams pada
tahun 2007. Secara sederhana, Djajalaksana (2014) dalam
penelitiannya juga mengartikan flipped classroom adalah konsep yang
berprinsip untuk menukarkan kegiatan-kegiatan di kelas seperti
penjelasan-penjelasan guru melalui presentasi di kelas, dengan
kegiatan-kegiatan yang biasanya dilakukan di luar kelas seperti
mengerjakan pekerjaan rumah.
Model pembelajaran flipped classroom dimaksudkan untuk
pembelajaran yang dilakukan di kelas lebih efektif. Pada pembejalaran
kelas konvensional umumnya banyak waktu dihabiskan untuk
menjalaskan materi ajar, tetapi sedikit sekali siswa untuk melakukan
analisis, sintesis dan evaluasi dari permasalahan yang guru berikan
kepada siswanya. Flipped instruction dikenal juga sebagai flipped
classroom yaitu membalikkan penerimaan dan penggunaan materi di
kelas tradisoinal dengan menggunakan waktu di kelas untuk
mengklarifikasi pertanyaan dari memberi materi baru (Jeffery L. Loo,
dkk, 2016). Bregmann dan Sams membandingkan model
pembelajaran konvensional dengan model pembelajaran Flipped
Classroom. Pada model pembelajaran konvensional, siswa datang ke
kelas dengan rasa bingung dengan pekerjaan rumah yang diberikan
dipertemuan sebelumnya. Biasanya guru menghabiskan 25 menit
pertama untuk membahas pekerjaan rumah yang siswa belum pahami.
Guru memberikan materi baru selama 30 sampai 45 menit dan sisanya
dihabiskan di kelas dengan latihan secara mandiri atau kelompok.
Akan tetapi pada model pembelajaran Flipped Classroom, waktu
diatur dengan sepenuhnya. Di awal pembelajran siswa perlu
menanyakan pertanyaan tentang materi yang telah dikirim melalui
22

video, jadi guru umumnya menjawab pertanyaan tersebut selama


menit pertama di kelas. Hal ini membiarkan guru menyelesaikan
miskonsepsi sebelum mereka berlatih dan melakukan penyelesaian
dalam penerapan konsep. Waktu sisa digunakan lebih luas untuk
aktivitas sendiri untuk penyelesaian masalah secara langsung.
Bergmann & Sams (2012, hal. 15) menjelaskan perbandingan
Traditional Classroom dengan Flipped Classroom dalam tabel 2.1
berikut:
Tabel 2. 1 Perbandingan Traditional Classroom dengan Flipped
Classroom

Traditional Classroom Flipped Classroom


Aktifitas Waktu Aktifitas Waktu
Apresepsi 5 menit Apresepsi 5 menit

Membahas 30 – 45 menit Tanya jawab isi 10 menit


pekerjaan rumah video
pertemuan
sebelumnya
Guru mengajarkan Bimbingan dan 75 menit
materi baru latihan individu
dan atau kegiatan
kelompok

Bimbingan dan 20 – 35 menit


latihan individu
dan atau kegiatan
kelompok
23

Selain itu, Wolff dan Chan, Flipped Classroom adalah proses


pembelajaran dimana guru memberikan suatu video atau audio
pembelajaran kepada siswanya sebelum kegiatan belajar di dalam
kelas. Siswa dapat melihat video di luar kelas pada waktu sebelum
pembelajaran berlangsung yang dikhususkan untuk kegiatan tanya-
jawab, diskusi, latihan atau kegiatan lainnya pada saat di kelas
nantinya. Menurut Bishop & verleger (2013) mendefinisikan model
pembelajaran flipped classroom ke dalam 2 bagian, yaitu dalam arti
sempit dan luas, dijelaskan pada tabel 2.2 berikut:

Tabel 2. 2 Definisi Sempit dan Luas Model Pembelajaran Flipped


Classroom

Model Pembelajaran Flipped Classroom dalam arti sempit


Di dalam kelas Di luar kelas
Latihan soal dan pemecahan Menonton video pemelajaran
masalah yang diberikan

Model Pembelajaran Flipped Classroom dalam arti luas


Di dalam kelas Di luar kelas
Kegiatan tanya jawab Menonton video pembelajaran

Pembelajaran berkelompok/ Quiz dan latihan soal yang


pemecahan masalah yang bersifat bersifat tertutup
terbuka

Dari beberapa pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa model


pembelajaran flipped classroom adalah model pembelajaran kelas
terbalik, artinya materi terlebih dahulu diberikan melalui video
pembelajaran yang harus ditonton siswa sebelum pembelajaran kelas
berlangsung dan pada sesi belajar di kelas digunakan untuk penerapan
konsep melalui tes individual dan melakukan diskusi kelompok serta
mengerjakan tes pemahaman di akhir pembelajaran. Dalam penelitian
24

ini, model Flipped Classroom akan dikombinasikan dengan metode


problem solving, untuk meningkatkan dalam analisis kemampuan
pemecahan masalah siswa.

b. Landasan yang Mendasari Pembelajaran Flipped Classroom


Flipped Learning Network (2014) menerangkan empat landasan
yang mendasari pembelajaran flipped classroom:
1) Flexible Environtment yakni guru membangun ruang dan waktu
yang memungkinkan siswa untuk berinteraksi dan berpikir pada
pembelajaran.
2) Learning Culture yakni guru memberikan siswa kesempatan
untuk terlibat dalam kegiatan yang berarti tanpa guru sebagai
pusat.
3) Intentional Content yakni guru memprioritaskan konsep yang
digunakan dalam interaksi langsung.
4) Professional Educator yakni guru ada untuk siswa dalam setiap
umpan balik dari siswa baik dalam kelompok kecil dan kelas
secara real time jika dibutuhkan, melalui penilaian formatif
selama pembelajaran.
c. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Flipped
Classroom
Kelebihan model pembelajaran flipped classroom ialah
siswa mampu menerapkan kemampuannya di dalam kelas saat
pembelajaran berlangsung, dengan adanya menonton video di luar
pembelajaran menunjukan bahwa adanya kesiapan siswa untuk
belajar. Video yang diberikan sebelum pembelajaran
memungkinkan siswa untuk menjeda, memundurkan, dan
meninjau kembali sesuai yang mereka inginkan. Hal ini
memungkinkan siswa untuk belajar pada kecepatannya masing-
masing (Schultz, D., S. Duffield, S. C. Rasmussen, & J. Wageman,
2014).
25

Kekurangan model pembelajaran flipped classroom ialah


siswa tidak dapat bertanya langsung kepada guru karena tidak
adanya kehadiran guru dalam video (Schultz, D., S. Duffield, S. C.
Rasmussen, & J. Wageman, 2014). Setiap pembelajaran baru
dilakukan melalui menonton video diluar pembelajaran,
memungkinkan adanya perlawanan bagi siswa yang terbiasa
diberikan pembelajaran dengan penyampaian langsung oleh guru
(Olakanmi, 2017).
6. Metode Problem Solving
Metode problem solving (metode pemecahan masalah) bukan
hanya sekedar metode mengajar, tetapi juga merupakan suatu metode
berpikir, sebab dalam problem solving dapat menggunakan metode-
metode lainnya yang dimulai dengan mencari data sampai menarik
kesimpulan. Metode ini diterapkan saat langkah diskusi pada model
flipped classroom.
a. Langkah-langkah Metode Problem Solving
Penggunaan metode ini dengan mengikuti langkah-langkah
sebagai berikut (Djamarah & Zain, 2013, hal. 91):
1) Adanya masalah yang jelas untuk dipecahkan. Masalah ini harus
tumbuh dari siswa sesuai dengan taraf kemampuannya.
2) Mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk
memecahkan masalah tersebut.
3) Menetapkan jawaban sementara dari masalah tersebut. Dugaan
jawaban ini tentu saja didasarkan kepada data yang telah
diperoleh, pada langkah kedua di atas.
4) Menguji kebenaran jawaban sementara tersebut. Dalam langkah
ini siswa harus berusaha memecahkan masalah sehingga betul-
betul yakin bahwa jawaban tersebut betul-betul cocok. Apakah
sesuai dengan jawaban sementara atau sama sekali tidak sesuai.
Untuk menguji kebenaran jawaban ini tentu saja diperlukan
26

metode-metode lainnya seperti demonstrasi, tugas diskusi, dan


lain-lain.
5) Menarik kesimpulan. Artinya siswa harus sampai kepada
kesimpulan terakhir tentang jawaban dari masalah tadi.
b. Kelebihan dan Kekurangan Metode Problem Solving
1) Kelebihan Metode Problem Solving
a) Metode ini dapat membuat pendidikan di sekolah menjadi
lebih relevan dengan kehidupan, khususnya dengan dunia
kerja.
b) Proses belajar mengajar melalui pemecahan masalah dapat
membiasakan siswa menghadapi permasalahan di dalam
kehidupan dalam keluarga, bermasyarakat, dan bekerja
kelak, suatu kemampuan yang sangat bermakna bagi
kehidupan manusia.
c) Metode ini merangsang pengembangan kemampuan
berpikir siswa secara kreatif dan menyeluruh, karena dalam
proses belajarnya, siswa banyak melakukan mental dengan
menyoroti permasalahan dari berbagai segi dalam rangka
mencari pemecahan (Djamarah & Zain, 2013, hal. 92-93).
2) Kekurangan Metode Problem Solving
a) Menentukan suatu masalah yang tingkat kesulitannya
sesuai dengan tingkat berpikir siswa, tingkat sekolah dan
kelasnya serta pengetahuan dan pengalaman yang telah
dimiliki siswa, sangat memerlukan keterampilan dan
kemampuan guru. Sering orang beranggapan keliru bahwa
metode pemecahan masalah hanya cocok untuk SLTP,
SLTA, dan PT saja. Padahal, untuk siswa SD sederajat juga
bisa dilakukan dengan tingkat kesulitan permasalahan yang
sesuai dengan taraf kemampuan berpikir anak.
27

b) Proses belajar mengajar dengan menggunakan metode ini


sering memerlukan waktu yang cukup banyak dan sering
terpaksa mengambil waktu pelajaran lain.
c) Mengubah kebiasaan siswa belajar dengan mendengarkan
dan menerima informasi dari guru menjadi belajar dengan
banyak berpikir memecahkan permasalahan sendiri atau
kelompok, yang kadang-kadang memerlukan berbagai
sumber belajar, merupakan kesulitan tersendiri bagi siswa
(Djamarah & Zain, 2013, hal. 93).
7. Tinjauan Materi Laju Reaksi
a. Konsep Laju Reaksi
Laju atau keceapatan mengacu pada sesuatu yang terjadi
dalam satu satuan waktu (Petrucci, Harwood, & Herring, 2011, hal.
197). Laju reaksi (reaction rate) , yaitu perubahan konsentrasi
reaktan atau produk terhadap waktu (M/s).

Reaktan → produk

Persamaan ini memberitahu bahwa, selama berlangsungnya


suatu reaksi, molekul reaktan bereaksi sedangkan molekul produk
terbentuk. Sebagai hasilnya, dapat diamati jalannya reaksi dengan
cara menurunnya konsentrasi reaktan atau meningkatnya
konsentrasi produk.

A→B

Menurunnya jumlah molekul A dan meningkatnya jumlah


molekul B seiring dengan waktu. Jadi, untuk reaksi di atas dapat
dinyatakan laju sebagai

∆[𝐴] ∆[𝐵]
Laju = − atau laju =
∆𝑡 ∆𝑡

dengan ∆[A] dan ∆[B] adalah perubahan konsentrasi (dalam


molekul) selama waktu ∆t. Karena konsentrasi A menurun selama
28

selang waktu tersebut ∆[A] merupakan kuantitas negatif. Laju


reaksi adalah kuantitas positif, sehingga tanda minus diperlukan
dalam laju untuk lajunya positif. Sebaliknya, laju pembentukan
produk tidak memerlukan tanda minus sebab ∆[B] adalah kuantitas
positif (konsentrasi B meningkat seiring waktu) (Chang, 2005, hal.
30).

b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Reaksi


1) Sifat Pereaksi
Dalam suatu reaksi kimia, terjadi pemutusan ikatan dan
pembentukan ikatan baru, sehingga kelajuan reaksi harus
tergantung pada macam ikatan yang terdapat (Sastrohamidjojo,
2010, hal. 159).
2) Konsentrasi Perekasi
Percobaan menunjukkan bahwa kelajuan reaksi kimia yang
bersifat homogen tergantung pada konsentrasi pereaksi-
pereaksi. Rekasi heterogen berbanding dengan luas permukaan
antara fasa-fasa pereaksi. Kelajuan suatu reaksi homogen
tergantung pada konsentrasi dari pereaksi-pereaksi dalam
larutan. Larutan dapat berupa cairan atau gas. Dalam larutan
cairan konsentrasi pereaksi dapat diubah berdasarkan
penambahan pereaksi atau pengambilan pereaksi atau dengan
pengubahan volume dari sistem atau berdasarkan penambahan
atau pengurangan pelarut. Dalam suatu reaksi A → B,
penambahan A dapat menyebabkan kenaikan, penurunan, atau
tidak ada perubahan dalam kelajuan. Secara kuantitatif
pengaruh konsentrasi ada kelajuan hanya dapat diperoleh
berdasarkan percobaan (Sastrohamidjojo, 2010, hal. 159-160).
Konsentrasi berperan terhadap laju reaksi dalam hubungan
linear yakni semakin tinggi konsentrasi awal, maka semakin
tinggi laju reaksi yang akan diperoleh (Fatimah, 2013, hal. 16).
29

3) Suhu
Penurunan dalam suhu akan menurunkan kelajuan dan ini
tidak tergantung apakah reaksi eksotermis atau endotermis.
Perubahan kelajuan terhadap suhu dinyatakan oleh suatu
perubahan dalam tetapan kelajuan spesifik k. Untuk setiap
reaksi, k naik dengan kenaikan suhu. Besarnya kenaikan
berbeda-beda dari satu reaksi dengan reaksi lainnya
(Sastrohamidjojo, 2010, hal. 166).
Pada tahun 1889, Svante Arrhenius menunjukkan bahwa
konstanta laju reaksi kimia bervariasi dengan suhu sesuai
dengan rumus:

k = Ae−Ea/RT

Dengan mengambil logaritma alami di kedua sisi


persamaan ini, kita mendapatkan rumus berikut:

Ea
In k = − + In A
RT

Grafik In k versus 1/T adalah suatu garis lurus sehingga


memberikan metode grafis untuk menentukan energi aktivasi
suatu reaksi. Kita juga dapat menurunkan suatu vaiasi penting
dari persamaan ini dengan menuliskan dua kali -masing-
masing dengan nilai k berbeda dan suhunya- dan kemudian
mengeliminasi konstanta In A. Hasilnya dinamakan juga
Persamaam Arrhenius:

k2 Ea 1 1
In = ( − )
k1 R T1 T2

(Petrucci, Harwood, & Herring, 2011, hal. 217).

4) Tekanan
Untuk reaksi gas, laju sering diukur dari segi tekanan gas
(Petrucci, Harwood, & Herring, 2011, hal. 209). Penambahan
30

tekanan dan memperkecil volume akan memperbesar


konsentrasi sehingga dapat memperbesar laju reaksi (Purba &
Sarwiyati, 2018, hal. 135). Untuk reaksi hipotesis, A(g) →
produk, terkanan parsial awal, (PA)0, dan tekanan parsial pada
waktu t, (PA)t, dikaitkan melalui rumus:
(P )
In (P A) t = −kt
A 0

(Petrucci, Harwood, & Herring, 2011, hal. 209).


5) Luas Permukaan
Pada campuran pereaksi yang heterogen, reaksi hanya
terjadi pada bidang batas campuran yang selanjutnya kita sebut
bidang sentuh. Oleh karena itu, semakin luas bidang sentuh,
semakin cepat reaksi berlangsung. Semakin halus ukuran
kepingan zat padat, semakin luas permukaannya (Purba &
Sarwiyati, 2018, hal 133).
6) Katalis
Katalis atau pada beberapa tahun lalu disebut katalisator
adalah zat atau spesi yang digunakan untuk mempercepat suatu
reaksi (Fatimah, 2013, hal. 155). Secara teori, suatu katalis
yang idela tidak akan dikonsumsi (ikut bereaksi) sehingga akan
dikembalikan lagi diakhir reaksi dalam bentuk dan jumlah
sama dengan kondisi semula. Namun dalam prakteknya tidak
demikian karena dalam proses reaksi katalis mengalami
perubahan kimia dan mengambil perubahan aktivasi
(deaktivasi) (Fatimah, 2013, hal. 156).
Menurut fasanya, katalis dapat dibagi menjadi dua jenis,
yaitu katalis homogen dan katalis heterogen. Katalis homogen
yakni katalis yang memiliki fasa sama dengan reaktan yang
dikatalisisnya. Katalis heterogen yakni katalis yang memiliki
fasa berbeda dengan reaktan yang dikatalisis. Kebanyakan
untuk katalis ini ada pada industri besar seperti industri minyak
31

bumi yang menggunakan katalis silica alumina berfasa padatan


untuk mengkonversi minyak mentah yang diuapkan (fasa gas)
(Fatimah, 2013, hal. 158).
c. Persamaan Laju Reaksi
Laju reaksi terukur, sering kali sebanding dengan
konsentrasi reaktan suatu pangkat (orde reaksi).
A→B
v = k[A][B]

Koefisien k disebut konstanta laju, yang tidak bergantung


pada konsentrasi (tetapi bergantung pada suhu). Persamaan sejenis
ini, yang ditentukan secara eksperimen, disebut hukum laju reaksi.
Secara formal, hukum laju adalah persamaan yang menyatakan laju
reaksi v sebagai fungsi dari konsentrasi semua spesies yang ada,
termasuk produknya (Atkins, 1996, hal. 335).

1) Orde Reaksi
Orde reaksi terhadap suatu komponen merupakan pangkat
dari konsentrasi komponen itu, dalam hukum laju. Contohnya,
reaksi dengan hukum laju dalam v = k[A][B] merupakan orde
pertama dalam A dan juga orde pertama dalam B. Orde
keseluruhan rekasi merupakan penjumlahan orde semua
komponennya. Jadi, keseluruhan hukum laju v = k[A][B]
adalah orde kedua (Atkins, 1996, hal. 335).
Orde rekasi ke nol keseluruhan mempunyai hukum laju
yang jumlah eksponennya, m + n+ ... sama dengan 0. Sebagai
contoh, kita ambil dengan reaktan tunggal A yang
terdekomposisi menjadi produk, A → produk. Jika reaksi
mempunyai orde ke nol, hukum lajunya adalah
laju reaksi (v) = k[A]0 = k = konstan
Ciri lain reaksi orde ke nol adalah: grafik konsentrasi-waktu
merupakan garis lurus dengan kemiringan negatif, laju reaksi
32

yang sama dengan k dan tetap konstan di sepanjang reaksi,


adalah negatif dari kemiringan garis ini, dan satuan k sama
dengan laju rekasi: mol/ L s atau M s-1.
Reaksi orde pertama keseluruhan memiliki hukum laju
dengan jumlah eksponen, m + n ... sama dengan 1. Jenis yang
sangat umum dari reaksi orde pertama, dan satu-satunya jenis
yang akan dibahas adalah reaksi satu reaktan terdekomposisi
menjadi beberapa produk, A → produk . Hukum lajunya, v =
k[A] (Petrucci, Harwood, & Herring, 2011, hal. 205-206).
Reaksi orde kedua keseluruhan memiliki hukum laju
dengan jumlah eksponen, m + n ... sama dengan 2. Seperti pada
reaksi orde ke nol dan reaksi orde pertama, pembahasan
dibatasi pada reaksi yang melibatkan dekomposisi satu reaktan,
A → produk . Hukum lajunya, v = k[A]2 (Petrucci, Harwood,
& Herring, 2011, hal. 211).
2) Menentukan Persamaan Laju
Pada tingkat dasar, penentuan persamaan laju
menggunakan metode laju awal reaksi. Metode penentuan orde
reaksi berdasar nilai laju awal reaksi didasarkan pada asumsi
bahwa reaksi bersifat tergantung secara stoikiometri terhadap
waktu reaksi. Oleh karenanya, konsentrasi reaktan pada suatu
waktu tertentu untuk digunakan sebagai panduan penentuan
orde reaksi menimbulkan banyak kesalahan. Laju awal rekasi
dipilih karena dapat menggambarkan kecenderungan pola
dekomposisi reaktan untuk membentuk suatu produk secara
komparatif pada dua atau lebih kondisi awal reaksi yang
berbeda (Fatimah, 2013, hal 27).
d. Teori Tumbukan
Secara kualitatif, teori tumbukan dapat menerangkan
adanya empat faktor yang mempengaruhi kelajuan reaksi. Pertama,
kelajuan reaksi kimia bergantung pada sifat dari pereaksi-pereaksi,
33

karena energi aktivasi berbeda dari reaksi satu dengan reaksi lain.
Kedua, kelajuan reaksi bergantung pada konsentrasi pereaksi-
pereaksi, karena jumlah tumbukan naik sesuai dengan kenaikan
konsentrasi. Ketiga, kelajuan reaksi tergantung pada suhu, karena
kenaikan suhu mengakibatkan molekul-molekul bergerak lebih
cepat, molekul-molekul bertumbukan lebih sering dan tumbukan-
tumbukan akan lebih hebat dan itulah rupanya yang menyebabkan
reaksi. Sesuai dengan teori tumbukan hanya molekul-molekul yang
mempunyai cukup energi yang dapat bereaksi, sehingga tumbukan-
tumbukan menjadi efektif pada suhu yang lebih tinggi. Keempat,
kelajuan reaksi tergantung pada adanya katalisator, karena
bagaimana pun dalam katalis tumbukan dibuat menjadi lebih
efektif atau mengaktivasi dibuat lebih rendah (Sastrohamidjojo,
2010, hal. 170).
B. Penelitian Relevan
Penelitian relevan yang berkaitan dengan penelitian ini diantaranya
adalah:
1. Penelitian selanjutnya berjudul “Implementasi Model Problem Based
Learning Berbantuan Tes Superitem Terhadap Kemampuan
Pemecahan Masalah Materi Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan: pada
tahun 2016. Subjek penelitian ini adalah 35 siswa kelas XI MIPA 2
SMAN 1 Martapura. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
kemampuan pemecahan masalah pada materi Kelarutan dan Hasil Kali
Kelarutan dapat berkembang jika pembelajaran dilakukan melibatkan
siswa secara langsung, contohnya dengan menggunakan model
Problem Based Learning (Yanti, N. R., B. Suharto, & Syahmani,
2016).
2. Penelitian yang terkait dengan judul “Facilitating Higher-order
Thinking with The Flipped Classroom Model: A Students Teacher’s
Experience in a Hongkong Secondary School” dilakukan oleh Kin-
yuen Lee dan Yiu-chi Lai, dilakukan di Sekolah menengah umum di
34

Hongkong dengan 28 sampel. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa


sebagian besar siswa dapat menganalisis prasyarat tugas dan model
desain dengan cara yang kreatif dan siswa cenderung menerima model
pembelajaran ini. Menurut peneliti, hal ini memungkinkan untuk
meningkatkan kemampuan berikir tingkat tinggi siswa dengan
menggunakan flipped classroom model.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Olakanmi (2016) berjudul “The Effect
of a Flipped Classrom Model of Instruction on Students’ Performance
and Attitudes Towards Chemistry”, dilakukan di Niger Valley
Secondary School. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa model
pembelajaran flipped classroom dapat meningkatkan sikap siswa.
Sikap siswa pada pembelajaran dengan menggunakan model
pembelajaran flipped classroom lebih positif daripada pada
pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran
konvensional.
4. Penelitian yang berjudul “Fliped Learning in Higher Education
Chemistry: Emerging Trends and Potential Direction” oleh Michael
K. Seery (2015), penelitian ini menunjukkan bahwa pendekatan flipped
learning sangat populer di kalangan siswa. Para pendidik
mengadopsinya sebagai sarana untuk mengembangkan lingkungan
belajar yang aktif, untuk meningkatkan keterlibatan, dan memberikan
waktu pembelajaran untuk mengembangkan pemahaman yang lebih
dalam dan disiplin.
5. Penelitian yang berjudul “Penerapan Pembelajaran Pemecahan
Masalah Model Polya untuk Menyelesaikan Soal-soal Pemecahan
Masalah pada Siswa kelas IX 1 SMP Negeri 1 Jember Semester Ganjil
Tahun Ajaran 2012/2013” oleh Athar Zaif, Sunardi, dan Nurcholif
Diah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya peningkatan
ketuntasan hasil belajar siswa dalam menyelesaikan pemecahan
masalah dengan presentase sebesar 75,7 yang berarti telah memenuhi
ketuntasan klasikal. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa kendala
35

utama pemecahan masalah ialah siswa belum terbiasa menyelesaikan


permasalahan menggunakan tahapan pemecahan masalah.
6. Penelitian yang berjudul “Penerapan Pendekatan Scientific dengan
Model problem Based Learning untuk Meningkatkan Sikap dan
Prestasi Belajar Matematika siswa SMP Negeri 9 Merauke oleh Eka
Sri Rahayu. Hasil ini menunjukkan bahwa adanya peningkatan sikap
siswa dari 75% menjadi 91,67% pada kategori sangat baik. Sikap dapat
meningkat melalui kegiatan diskusi, yaitu mengamati, saling bertanya,
menalar, mencoba, dan mengkomunikasikan hasil belajar.
7. Penelitian yang berjudul "Peningkatan Pemahaman Konsep dan Kerja
Sama Siswa Kelas X melalui Model Discovery Learning oleh V. F.
Setyaningrum, Putriaji H., dan Sugeng N., di SMA Kesatrian 1
Semarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap kerja sama
siswa meningkat dari 65,96% menjadi 72,98%. Penelitian ini
menyatakan bahwa model pembelajaran yang melibatkan siswa secara
aktif dapat meningkatkan kerja sama dalam kelompok, partisipasi, dan
komunikasi.
36

C. Kerangka Berpikir

Kemampuan pemecahan masalah dan sikap


siswa pada materi laju reaksi masih rendah

masihrendah
Pembelajaran menggunakan model pembelajaran
flipped classroom.
1. Menonton video dan membaca materi
pembelajaran di rumah
2. Tanya jawab isi video
3. Diskusi memecahkan soal kuis bersama
kelompok
4. Presentasi hasil diskusi di depan kelas
5. Latihan akhir

Indikator tingkat Kemampuan Pemecahan Indikator tingkat Sikap


Masalah Siswa
1. Mencari dan memahami masalah 1. Tingkat penerimaan (A1)
(K1) 2. Tingkat partisipasi (A2)
2. Menyusun strategi pemecahan 3. Tingkat penilaian (A3)
yang baik (K2) 4. Tingkat organisasi(A4)
3. Mengeksplorasi solusi (K3) 5. Tingkat karakterisasi (A5)
4. Memikirkan dan mendefinisikan
kembali masalah dan solusi dari
waktu ke waktu (K4)

Respon siswa positif terhadap model pembelajaran flipped


classroom

Model pembelajaran flipped classroom dapat meningkatkan


kemampuan pemecahan masalah dan sikap siswa pada
materi laju reaksi
Gambar 2. 1 Kerangka Berpikir
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di salah satu SMA Negeri di Kabupaten
Tangerang pada semester ganjil tahun ajaran 2018/2019, yaitu 23, 24, dan 30
Oktober 2018.
B. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Penelitian
deskriptif diartikan sebagai penelitian yang tidak bertujuan memeriksa
hipotesis, melainkan hanya menjelaskan keadaan sebenarnya variabel
dilapangan (Arikunto, 2007, hal. 234). Penelitian deskriptifnya berupa
deskriptif kuantitatif yaitu mendeskripsikan data berupa angka dalam bentuk
statistik deskriptif yang terdiri atas grafik portrayais, hubungan, sentral
tendensi, dan variabilitas (Usman & Akbar, 2009, hal. 130). Penelitian ini
mendeskripsikan tingkat kemampuan pemecahan masalah menurut Bransford
& Stein, tingkat sikap siswa menurut Karthwohl, dan respon siswa melalui
model pembelajaran flipped classroom pada materi Laju reaksi
C. Alur Penelitian
Menurut Noor (2011, hal. 35) Penelitian deskriptif memiliki langkah-
langkah tertentu dalam pelaksanaannya. Langkah-langkah tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Diawali dengan Adanya Masalah
Tahap ini juga dikenal sebagai studi pendahuluan. Kemampuan
pemecahan masalah yang merupakan kemampuan yang harus dimiliki
pada abad 21 dan sikap siswa pada pelajaran kimia masih rendah. Model
pembelajaran yang diterapkan pun kurang memfasilitasi kemampuan
pemecahan masalah. Hal tesebut yang mendasari tahap ini dan
menimbulkan pertanyaan untuk dilakukan penelitian.

37
38

2. Menentukan Jenis Informasi yang Diperlukan


Informasi yang diperlukan dalam penelitian ini berupa Kompetensi
Inti, Kompetensi Dasar, silabus kurikulum 2013 revisi, standar isi mata
pelajaran kimia. Studi literatur yang diperlukan berupa studi kemampuan
pemecahan masalah, sikap, dan model pembelajaran flipped classroom.
Informasi tersebut didapatkan melalui jurnal, kepustakaan, internet, atau
sumber lainnya.
3. Menentukan Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data memerlukan dua unsur penopang,
yaitu instrumen dan sampel. Instrumen yang digunakan dalam penelitian
ini berupa tes esai, angket, dan wawancara. Prosedur pengumpulan data
yang dilakukan oleh peneliti diawali dengan pembuatan RPP Kurikulum
2013 revisi pada materi laju reaksi dengan kompetensi dasar menentukan
orde reaksi dan tetapan laju reaksi berdasarkan data hasil percobaan.
Penelitian dilanjutkan dikelas dengan menerapkan model pembelajaran
flipped classroom-metode problem solving kemudian diuji dengan tes esai
kemampuan pemecahan masalah. Penelitian diakhiri dengan pengisian
angket sikap siswa dan wawancara siswa untuk mengetahui respon siswa
terhadap pembelajaran yang dilakukan.
4. Menentukan Prosedur Pengolahan Informasi atau Data
Peneliti melakukan penskoran tes esai, analisa jawaban, dan analisa
ketercapaian siswa pada tingkat kemampuan pemecahan masalah. Hasil
angket dianalisa untuk mengetahui tingkat sikap siswa pada pembelajaran.
Hasil wawancara dianalisa untuk mengetahui respon siswa terhadap
pembelajaran yang dilakukan. Semua hasil diinterpretasikan melalui
persentase menurut Riduwan.
5. Menarik Kesimpulan Penelitian
Pada tahap ini peneliti menarik kesimpulan mengenai tingkat
kemampuan masalah, sikap siswa, dan respon siswa melalui model
pembelajaran flipped classroom pada materi laju reaksi.
39

Studi Pendahuluan

Analisis KI, KD, Studi kepustakaan Studi kepustakaan


Studi
silabus kurikulum 2013 model kemampuan
kepustakaan
revisi, standar isi mata pembelajaran pemecahan
sikap siswa
pelajaran kimia flipped classroom masalah

Membuat perangkat Membuat instrumen


pembelajaran (RPP, dll) penelitian

Validasi instrumen

Revisi

Tes esai Angket Lembar


Wawancara

Temuan

Analisis Data

Kesimpulan

Gambar 3. 1 Alur Penelitian


40

D. Populasi dan Sampel

1. Populasi
Populasi adalah subjek/objek yang ditetapkan peneliti dari ruang
lingkup gagasan yang berkualitas dan berkarakteristik tertentu”
(Sugiyono, 2012, hal. 117). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
siswa di salah satu SMA Negeri di Kabupaten Tangerang semester ganjil
tahun ajaran 2018-2019.
2. Sampel
Sampel merupakan sesuatu dari banyaknya populasi yang ada
(Sugiyono, 2012, hal. 118). Teknik sampelnya ialah purposive sampling,
yaitu adanya pertimbangan dalam penentuan sampel yang akan
digunakan. Teknik sampel ini digunakan untuk keefektifan dalam analisis
kemamuan pemecahan masalah. Sampel dalam penelitian ini adalah 34
siswa kelas XI MIPA 2 semester ganjil di salah satu SMA Negeri di
Kabupaten Tangerang tahun ajaran 2018-2019.

E. Teknik Pengumpulan Data


Data diperoleh dari hasil tes esai, lembar angket, dan lembar wawancara.
Pengumpulan data harus memerhatikan variabel dan sumber data.
1. Variabel
Variabel yang digunakan adalah model pembelajaran flipped
classroom sebagai variabel independen. Kemampuan pemecahan masalah,
sikap siswa, dan respon siswa pada pembelajaran flipped classroom
sebagai variabel dependen.
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan adalah siswa. Siswa sebagai sampel
penelitian.
3. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan yaitu tes esai (uraian) kemampuan
pemecahan masalah, lembar angket sikap siswa dan lembar wawancara
respon siswa.
41

a. Tes
Tes adalah stimulus sebagai alat bantu penilaian untuk
mendapatkan jawaban diberikan kepada seseorang (Margono, 2007, hal.
170). Tes yang digunakan ialah tes esai (uraian), tes esai yaitu tes yang
jawabannya diuraikan tidak kaku berpatokan pada literatur yang ada
melainkan berdasar pada kalimat dengan pemikiran pribadi (Margono,
2007, hal. 170). Menurut Arikunto (2006, hal. 162) tes esai adalah tes
yang pertanyaannya biasa didahulu dengan kata bagaimana, jelaskan,
uraikan yang dijawab dengan uraian kata-kata. Tes esai yang digunakan
ialah tes esai bentuk bebas atau terbuka, yaitu pelaku menjawab tes
tersebut sesuai dengan kehendaknya (Sudijono, 2005, hal. 100). Tes esai
yang bertujuan mengetahui tingkat kemampuan pemecahan masalah
melalui model pembelajaran flipped classroom pada materi laju reaksi.
Tes yang diberikan pada siswa mencakup 16 soal. Pada setiap tes
diajukan 3 soal lanjutan yang dituntut untuk diselesaikan dalam waktu
kurang dari atau sama dengan 5 menit. Komptensi dasar yang digunakan
dalam tes esai ini ialah menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi laju
reaksi menggunakan teori tumbukan dan menentukan orde reaksi dan
tetapan laju reaksi berdasarkan data hasil percobaan. Indikator soal
digunakan untuk menerangkan lebih jelas aspek yang harus muncul pada
siswa dalam mengerjakan soal, indikator soal tersaji dalam tabel 3.2
berikut:
Tabel 3. 1 Indikator Soal Instrumen Tes
Aspek
Nomor
Kompetensi Kemampuan Deskripsi
Soal yang
Dasar Pemecahan Indikator
Digunakan
Masalah
3.6 Mencari dan Mengidentifikasi 2, 5, 6, 7,
Menjelaskan memahami unsur-unsur 8, 9, 10,
faktor-faktor masalah. yang diketahui 11, 12, 13,
yang dan yang 14, 15, 16,
mempengaruhi ditanyakan pada 17, 18, 19
42

laju reaksi soal


menggunakan Menyusun Menentukan
teori strategi langkah-langkah
tumbukan pemecahan penyelesaian
3.7 masalah yang dengan memilih
Menentukan baik. konsep yang
orde reaksi sesuai dengan
dan tetapan permasalahan
laju reaksi
Mengeksplorasi Menjalankan
berdasarkan
solusi. rencana
data hasil
penyelesaian
percobaan
sesuai dengan
langkah-langkah
yang telah
dirancang
Memikirkan dan Memeriksa
mendefinisikan kebenaran hasil
kembali problem dengan
dan solusi dari menuliskan cara
waktu ke waktu. lain atau bekerja
secara mundur.
Serta menarik
kesimpulan dari
hasil yang
diperoleh

Rubrik penskoran diperlukan dalam pemberian skor tes esai


kemampuan pemecahan masalah. Rubrik yang digunakan berdasarkan
studi Schoen dan Oehmke yang dikemukakan oleh Dedi, dkk (2004)
disajikan dalam lampiran 4 dan tabel 3.2 berikut:
43

Tabel 3. 2 Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Pemecahan Masalah

Menyusun Memikirkan dan


Mencari dan strategi mendefinisikan
Mengeksplorasi
Skor memahami pemecahan kembali problem
solusi
masalah masalah dan solusi dari
yang baik waktu ke waktu
Salah Tidak ada Tidak melakukan Tidak ada
menginterpre rencana, perhitungan pemeriksaan/ tidak
0 tasikan/ salah membuat ada keterampilan
sama sekali rencana yang lain
tidak relevan
Salah Membuat Melaksanakan Ada pemeriksaan
menginterpre rencana yang prosedur yang tetapi tidak tuntas
tasikan tidak dapat benar, mungkin atau salah
1 sebagian dilaksanakan menghasilkan
soal, jawaban yang
mengabaikan benar tetapi salah
kondisi soal perhitungan
Memahami Membuat Melakukan proses Pemeriksaan
masalah soal rencana yang benar dan dilaksanakan untuk
selengkapnya pemecahan mendapatkan melihat kebenaran
yang benar, hasil yang benar proses
2 tetapi salah
dalam hasil/
tidak ada
hasil

Membuat
rencana tetapi
3
belum
lengkap
Membuat
rencana
sesuai dengan
4 prosedur dan
mengarah
pada solusi
yang benar
44

b. Angket
Angket atau kuesioner ialah instrumen atau teknik pengumpulan
data yang dijawab oleh responden secara tertulis dari beberapa pertanyaan
yang diberikan (Margono, 2007, hal. 167; Sugiyono, 2012, hal. 199).
Angket yang digunakan adalah jenis angket terstruktur, yaitu adanya
pilihan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diberikan (Margono,
2007, hal. 168). Angket digunakan di akhir pembelajaran. Angket
digunakan untuk mengetahui tingkat sikap siswa menurut Karthwohl
melalui model pembelajaran flipped classroom pada Laju reaksi. Indikator
angket dibuat untuk mengetahui lebih jelas aspek dan nomor butir soalnya,
tersaji pada lampiran 10 dan tabel 3.3 berikut:
Tabel 3. 3 Indikator Angket Sikap Siswa

Nomor Butir
No Dimensi Sikap Aspek Penilaian Sikap
Soal
1 Jujur Mengelola (A4)
11,
Penilaian (A3)
19

2 Disiplin Karakterisasi (A5) 1,


Mengelola (A4) 4
3 Bertanggung Menanggapi (A2) 7,
jawab Mengelola (A4) 20
4 Kerjasama Menanggapi (A2) 12,
Penerimaan (A1) 13
5 Santun Karakterisasi 2, 3
6 Responsif Penerimaan (A1) 5,
Menanggapi (A2) 6, 8, 15
Penilaian (A3) 16,
Mengelola (A4) 14, 17, 18
7 Toleransi Penerimaan (A1) 9, 10
45

c. Wawancara
Wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang
dilakukan dengan mengajukan pertanyaan kepada narasumber oleh
peneliti dengan menyampaikan beberapa pertanyaan secara langsung
(Lestari & yudhanegara, 2017, hal. 238). Ada dua jenis wawancara yang
dapat dilakukan, yaitu terstruktur dan tidak terstruktur. Penelitian ini
menggunakan wawancara terstruktur yaitu adanya pedoman wawancara
saat wawancara berlangsung (Lestari & Yudhanegara, 2017, hal. 238),
peneliti telah mengetahui informasi atau data yang diperoleh Sugiyono,
2012, hal. 194). Wawancara dilakukan pada 10 siswa untuk mengetahui
lebih dalam mengenai respon siswa terhadap model pembelajaran flipped
classoom dengan metode problem solving. Pedoman wawancara
terstruktur akan lebih jelas jika terlebih dahulu dibuat kisi-kisinya,
sebagaimana tersaji dalam lampiran 33 dan tabel 3.4 berikut:
Tabel 3. 4 Kisi-kisi Pedoman Wawancara Siswa

No Aspek yang Diteliti Indikator Nomor Pertanyaan


1 Pemahaman mengenai Respon siswa terhadap
model pembelajaran pembelajaran flipped
1, 2, 3, 4
classroom-problem
solving
2 Pengingkatan Respon siswa akibat
kemampuan pemecahan pembelajaran flipped
masalah calssroom- problem
5, 6
solving terhadap
kemampuan
pemecahan masalah
3 Evaluasi Mengetahui gambaran
pemecahan masalah
7, 8
siswa dalam tahap
menyelesaikan soal
46

melalui model
pembelajaran flipped
classroom- problem
solving

F. Kalibrasi Instrumen
Setelah dibuat instrumen berupa tes esai kemampuan pemecahan masalah,
lembar angket sikap siswa dan respons siswa berupa lembar wawancara.,
maka instrumen harus di kalibrasi untuk dapat digunakan untuk mengukur
variabel yang diinginkan. Kalibrasi instrumen tes itu meliputi uji validitas, uji
realibilitas, taraf kesukaran, dan daya pembeda. Pada penelitian ini, kalibrasi
instrumen tes esai diujikan pada kelas XII MIPA 3 semester ganjil di salah
satu SMA Negeri di Kabupaten Tangerang tahun ajaran 2018/2019.
1. Validitas Instrumen
Validitas merupakan kadar kesahihan data yang diungkapkan
peneliti dengan data yang terjadi pada objek penelitian. Instrumen yang
valid berarti dapat mempertimbangkan apa yang selayaknya diukur
(Sugiyono, 2012, hal. 173). Instrumen yang divalidasi yaitu tes esai,
lembar angket, dan lembar wawancara. Tes kemampuan pemecahan
masalah dilakukan validitas oleh dosen ahli dan proses uji coba instrumen.
Materi tes ialah materi kelas XI IPA, maka tes akan di uji cobakan kepada
siswa kelas XII IPA. Penguji validitas pada instrumen nontest (lembar
angket dan lembar wawancara) dilakukan oleh dosen ahli.
Pengujian validitas instrumen (validitas butir) menggunakan uji
Point Biserial dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Mp − Mt p
γpbi = √
St q

Keterangan:
pbi = koefisien korelasi biserial
Mp = rerata skor dari subjek yang menjawab betul bagi item
yang dicari validatasnya
Mt = rerata skor total
47

St = Standar deviasi dari skor total


p = proporsi siswa yang menjawab benar
q = proporsi siswa yang menjawab salah

(Arikunto, 2006, hal. 79)

Perhitungan pbi dapat menentukan validitas instrumen yaitu


dengan membandingkan rtabel point biserial dan tabel harga kritik r
product moment. Jika hasil perhitungan pbi ≤ rtabel, dan rtabel ≤ harga kritik
dalam tabel, maka soal tersebut dinyatakan tidak valid (Arikunto, 2006,
hal. 75). Interpretasi nilai koefisien korelasi yang diperoleh dapat dilihat
pada Tabel 3.4.

Tabel 3. 5 Interpretasi Koefisien Korelasi

Koefisien Korelasi Kriteria Validitas


0,80 < 𝛾𝑝𝑏𝑖 ≤ 1,00 Sangat tinggi
0,60 < 𝛾𝑝𝑏𝑖 ≤ 0,80 Tinggi
0,40 < 𝛾𝑝𝑏𝑖 ≤ 0,60 Cukup
0,20 < 𝛾𝑝𝑏𝑖 ≤ 0,40 Rendah
0,00 < 𝛾𝑝𝑏𝑖 ≤ 0,20 Sangat rendah

(Arikunto, 2006, hal. 75)

Hasil uji validitas tes kemampuan pemecahan masalah oleh ahli


terdapat pada lampiran 8 dan menggunakan alat SPSS 23 dan ditentukan
dengan harga kritis 0,325 (Kadir, 2016, hal. 532) dapat dilihat pada
lampiran 13 dan tabel 3.6 berikut:

Tabel 3. 6 Hasil Uji Validitas Instrumen Tes Esai

Statistik Butir Soal


Jumlah soal 19
Jumlah siwa 38
48

1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11,
Nomor soal valid
12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19
Jumlah soal valid 19
persentase 100%

2. Reliabilitas Instrumen
Instrumen dikatakan reliabel apabila mengahasilkan data yang
sama saat diujikan beberapa kali pengukuran pada objek yang sama
(sugiyono, 2012, hal. 173). Reliabilitas dapat diukur menggunakan alat
bantu SPSS 23. Pengujian reliabitas tes esai dapat menggunakan rumus
Cronbach’s Alpha (α):
n ∑ si2
r11 = ( ) (1 − 2 )
n−1 si
Keterangan:
r11 = reliabilitas instrumen
n = banyaknya butir pertanyaan
∑ si2 = jumlah varians item
si = varians total
(Sundayana, 2014, hal. 69).
Kriteria reliabilitas dapat dilihat pada tabel berikut (Sundayana,
2014, hal. 70):

Tabel 3. 7 Kriteria Reliabilitas

Kriteria Indeks Klasifikasi Penafsiran


r11 ≤ 0,20 Sangat Rendah Buruk Sekali
0,20 < r11 ≤ 0,40 Rendah Buruk
Realibilitas 0,40 < r11 ≤ 0,60 Sedang Cukup
0,60 < r11 ≤ 0,80 Tinggi Baik
r11 > 0,80 Sangat Tinggi Sangat Baik

Berdasarkan hasil uji reliabilitas tes esai dengan menggunakan alat


bantu SPSS 23 yang terdapat pada lampiran 14 ialah sebesar 0,97, nilai ini
49

berkategori sangat tinggi. Dengan demikian isntrumen tes esai ini layak
digunakan dalam penelitian.

3. Taraf Kesukaran
Menurut Arikunto (2006, hal. 207) taraf/indeks kesukaran ialah
sukar atau mudahnya suatu tes yang ditunjukan dengan bilangan. Rumus
menentukan taraf kesukaran adalah sebagai berikut:
̅
X
IK =
SMI
Keterangan :
IK = indeks kesukaran
̅
X = rata-rata skor jawaban siswa pada suatu butir
SMI = skor maksimum ideal, yaitu skor maksimum yang akan
diperoleh siswa jika menjawab soal tersebut dengan
benar

(Lestari dan Yudhanegara, 2017, hal. 224)


Kategori taraf kesukaran butir soal adalah sebagai berikut:
Tabel 3. 8 Kategori Butir Soal
Kriteria Indeks Klasifikasi
TK < 0,3 Sukar
Tingkat Kesukaran 0,3 ≤ TK ≤ 0,7 Sedang
TK > 0,7 Mudah

(Arikunto, 2006, hal. 210)


Berdasarkan hasil uji taraf kesukaran tes esai terdapat pada
lampiran 15 dan tabel 3.9 berikut:
Tabel 3. 9 Hasil Uji Taraf Kesukaran

Butir Soal
Kriteria
Jumlah Soal Persentase
Sukar 2 10,53
Sedang 17 89,47
Jumlah 19 100
50

4. Daya Pembeda
Indeks daya pembeda butir soal dapat membedakan siswa
kemampuan tinggi dengan kurang pandai yang bernilai dari -1 sampai +1,
(Arikunto, 2006, hal. 211). Daya pembeda akan positif jika soal dapat
dijawab oleh siswa berkemampuan tinggi saja. Rumus untuk menentukan
daya pembeda adalah:
̅
XA − ̅
XB
DP =
SMI
Keterangan :
DP = daya pembeda
̅A
X = rata-rata skor jawaban siswa kelompok atas
̅
XB = rata-rata skor jawaban siswa kelompok bawah
SMI = skor maksimum ideal, yaitu skor maksimum yang akan
diperoleh siswa jika menjawab soal tersebut dengan benar
(Lestari dan Yudhanegara, 2017, hal. 217)
Klasifikasi interpretasi untuk daya pembeda adalah :
Tabel 3. 10 Klasifikasi Interprestasi Daya Pembeda
Daya Pembeda Interpretasi
0,70 < D ≤ 1,00 Sangat baik
0,40 < D ≤ 0,70 Baik
0,20 < D ≤ 0,40 Cukup
0,00 < D ≤ 0,20 Jelek
D ≤ 0,00 Sangat jelek
(Arikunto, 2006, hal. 218).
Berdasarkan hasil uji daya pembeda tes esai terdapat pada lampiran
16 dan tabel 3.11 berikut:
Tabel 3. 11 Hasil Uji Daya Pembeda Tes
Butir Soal
Kriteria
Jumlah Soal Persentase
Jelek 3 15,8
Cukup 16 84,2
Jumlah 19 100
51

G. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah:


1. Analisis Hasil Instrumen Tes
a. Memberikan kode pada jawaban siswa.
b. Memberi skor mentah pada masing-masing soal tes tulis peserta didik
berdasarkan rubrik penilaian.
c. Menghitung skor total tes untuk setiap aspek kemampuan pemecahan
masalah.
d. Menentukan nilai presentase kemampuan pemecahan masalah untuk
setiap aspek. Untuk menghitung persentase dari masing-masing
pernyataan digunakan rumus:
𝑅
𝑁𝑃 = 𝑥100
𝑆𝑀
Keterangan:
NP : nilai persen yang dicari atau diharapkan
R : skor mentah yang diperoleh siswa
SM : skor maksimum ideal dari tes yang bersangkutan
100 : bilangan tetap
(Purwanto, 2004, hal. 102).
e. Menunjukkan skor yang diperoleh dan dibuat persentase. Kemudian
persentase yang diperoleh dicocokkan pada masing-masing kriteria,
yaitu sangat baik, baik, kurang baik, dan sangat kurang baik. Kriteria
menurut Riduwan (2007, hal. 15).
Tabel 3. 12 Interpretasi Tingkat kemampuan Pemecahan Masalah
Persentase Pencapaian Aspek
Kategori Tingkat Kemampuan
Tingkat kemampuan
Pemecahan Masalah
Pemecahan Masalah
81 - 100 Sangat Baik
61 - 80 Baik
41 - 60 Cukup
21 - 40 Kurang
0 - 20 Sangat Kurang
52

f. Menginterpretasi secara deskriptif data persentase tiap-tiap aspek


tingkat kemampuan pemecahan masalah yang muncul selama proses
pembelajaran.
2. Analisis Hasil Lembar Angket
a. Peneliti menuliskan sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju,
sangat tidak setuju pada kolom yang tersedia dari masing-masing
pernyataan. Jika siswa memberi tanda ceklis pada jenis pernyataan
positif maka diberi urutan nilai 5, 4, 3, 2, 1. Jika siswa memberi tanda
ceklis pada jenis pernyataan negatif maka diberi urutan nilai 1, 2, 3, 4,
5.
Tabel 3. 13 Kriteria Penilaian

Jenis Jumlah Butir


Ketentuan
Pernyataan Pernyataan Pernyataan
Pernyataan 3, 5, 7, 11, 12, Urutan nilai 5, 4, 3,
9
positif 14, 17, 18, 20 2, 1
1, 2, 4, 6, 8, 9, Urutan nilai 1, 2, 3,
Pernyataan
11 10, 13, 15, 16, 4, 5
negatif
19

b. Menjumlahkan skor yang diperoleh dari lembar angket tiap butir


pernyataan.
c. Menjumlahkan skor pada setiap aspek.
d. Pada analisis deskriptif dikatakan bahwa kondisi variabel sudah 100%
sesuai dengan kondisi yang diinginkan. Dalam hal ini peneliti
mengukur kondisi variabel yang diukur, dibandingkan dengan kondisi
yang diharapkan, dan ukurannya adalah persentase (Arikunto, 2007,
hal. 268). Untuk menghitung persentase dari masing-masing
pernyataan digunakan rumus:
𝑅
𝑁𝑃 = 𝑥100
𝑆𝑀
Keterangan:
NP : nilai persen yang dicari atau diharapkan
53

R : skor mentah yang diperoleh siswa


SM : skor maksimum ideal dari tes yang bersangkutan
100 : bilangan tetap
(Purwanto, 2004, hal. 102)
e. Menunjukkan skor yang diperoleh dan dibuat persentase. Kemudian
persentase yang diperoleh dicocokkan pada masing-masing kriteria,
yaitu sangat baik, baik, kurang baik, dan sangat kurang baik. Kriteria
menurut Riduwan (2007, hal. 15).
Tabel 3. 14 Interpretasi Tingkat Sikap Siswa

Persentase Pencapaian Aspek


Kategori Tingkat Sikap Siswa
Tingkat Sikap Siswa
81 - 100 Sangat Baik
61 - 80 Baik
41 - 60 Cukup
21 - 40 Kurang
0 - 20 Sangat Kurang

f. Menginterpretasi secara deskriptif data persentase tiap-tiap aspek


tingkat sikap siswa yang muncul selama proses pembelajaran.
3. Analisis Hasil Lembar Wawancara
Hasil wawancara yang dilakukan terhadap 10 orang responden,
diubah ke dalam bentuk tulisan. Data yang diperoleh dibuat dalam bentuk
transkrip kemudian diterjemahkan secara deskriptif dan persentase
menurut Riduwan (2007, hal. 15) yang tertera dalam tabel 3.15.

Tabel 3. 15 Interpretasi Respon Siswa

Persentase Respon Siswa Kategori Respon Siswa


81 - 100 Sangat Baik
61 - 80 Baik
41 - 60 Cukup
21 - 40 Kurang
0 - 20 Sangat Kurang
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil temuan penelitian dan pembahasan pada BAB IV
mengenai kemampuan pemecahan masalah dan sikap siswa melalui model
pembelajaran flipped classroom dengan metode problem solving pada
materi laju reaksi, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Tingkat kemampuan pemecahan masalah pada penelitian ini memiliki
kriteria sangat baik dengan persentase nilai sebesar 81,3.
2. Tingkat sikap siswa memiliki kriteria baik dengan persentase nilai
sebesar 76,4.
3. Respon siswa mengenai penggunaan model pembelajaran flipped
classroom pada materi laju reaksi, responnya positif dan baik.
B. Saran
Berdasarkan hasil temuan penulis selama penelitian berlangsung,
ada beberapa saran dari penulis terkait dengan penelitian ini untuk peneliti
selanjutnya diharapkan:
1. Mampu melakukan penelitian tentang kemampuan pemecahan masalah
dan sikap dengan variasi materi dan model pembelajaran flipped
classroom-problem solving.
2. Mampu menerapkan model pembelajaran flipped classroom untuk
meningkatkan kemampuan berpikir yang lain.
3. Mampu menggunakan model pembelajaran flipped classroom dengan
variasi video lainnya.

75
DAFTAR PUSTAKA

Agustin, RN., K. Wijayanti, & ER. Winarti. (2014). Pengaruh Motivasi dan
Aktivitas Belajar terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah. Unnes
Journal of Mathematics Education, 3(2).

Aji, Ratri Esti Wisnu, & Ali Majmudi. (2018). Efektifitas Pembelajaran
Matematika dengan Strategi Problem Solving untuk Meningkatkan
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Kelas VIII SMP. Jurnal
Pendidikan Matematika-S1, 7(3), 46-54.

Arikunto, Suharsimi. (2006). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan Edisi Revisi.


Jakarta: Bumi Aksara.

________________. (2007). Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Atkins, P.W. (1996). Kimia Fisika. Jakarta: Erlangga.

Azwar. Saifuddin. (2013). Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya Edisi ke 2.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bergman, Jonathan & Aaron Sams. (2012). Flipp Your Classroom: Reach Every
Students in Every Class Every Day. United States: The International Society
for Technology in Education.

Bishop, Jacob Lowell & Mathew A Verleger. (2013). The Flipped Classroom: A
Survey of The Research. ASEE National Conference Proceedings, Atlanta,
GA 30(9), 1-18.

Brown, C. A., Kreag, D., & David T. D. (2016). Student Perceptions on Using
Guided Reading Questions do Motivate Student Reading in The Flipped
Classroom. Accounting Education, 25(3), 256-271.

Caligaris, M., Georgina, R., & Lorena, L. (2016). A First Experience of Flipped
Classroom in Numerical Analysis. Procedia-Social and Behavioral Science,
217, 838-845.

Carolin, Y., Sulistyo, S., & Agung, N. (2015). Penerapan Metode Pembelajaran
Problem Solving Dilengkapi LKS untuk Meningkatkan Aktivitas dan
Prestasi Belajar pada Materi Hukum Dasar Kimia Siswa Kelas X MIA 1
SMA Bhinneka Karya 2 Boyolali Tahun Pelajaran 2014/2015. Jurnal
Pendidikan Kimia, 4(4), 46-53.

76
77

Chang, Raymond. (2005). Kimia Dasar: Konsep-konsep Inti Jilid 2. Jakarta:


Erlangga.

Child & Sheehan. (2009). What’s Difficult about Chemistry? An Irish Perspective.
Chemistry Education Research and Practice, 10(3), 204-218.

Dedi, Endang, dkk. (2004). Penyuluhan tentang Pembelajaran Matematika dengan


Pemecahan Masalah (Problem Solving) kepada Guru-guru Sekolah Dasar.
Bandung: Laporan Pengabdian Masyarakat, Fakultas Matematika dan IPA,
Universitas Pendidikan Indonesia.

Dewi, Citra Ayu & Abdul Hamid. (2015). Pengaruh Model Case Based Learning
(CBL) terhadap Keterampilan Generik Sains dan Pemahaman Konsep
Siswa Kelas X pada Materi Minyak Bumi. Jurnal Ilmiah Pendidikan kimia
“Hydrogen”, 3(2), 294-301.

Djajalaksana, Yenni Merlin. (2014). Penerapan Konsep ‘Flipped Classroom’ untuk


Mata Kuliah Statistika dan Probabilitas di Program Studi Sistem Informasi.
Laporan Penelitian Universitas Kristen Maranatha.

Djamarah, Syaiful Bahri & Aswan Zain. (2013). Strategi Belajar Mengajar Edisi
Revisi. Jakrta: Rineka Cipta.

Fahmi, S., Syahrir, & Ade, K. (2017). Penerapan Metode Pembelajaran Problem
Solving untuk Meningkatkan Motivasi dan Kemampuan Pemecahan
Masalah Matematika Siswa Kelas VIII B SMP Negeri 3 Batukliang Tahun
Pelajaran 2016/2017. JMPM, 5(1), 85-89.

Fatimah, Is. (2013). Kinetika Kimia. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Fautch, Jessica M. (2015). The Flipped Classroom for Teaching Organic Chemistry
in Small Classes: Is It Effective?. Chemistry Education research and
Practice, 16(1), 179-186.

Flipped Learning Network (FLN). (2014). The Four Pillar of F-L-IpPTM. Diakses
dari http://flippedlearning.org/definition. Diunduh pada tanggal 25 Oktober
2018 pukul 23: 42 WIB.

Gerungan W.A. (2004). Psikologi Sosial. Jakarta: Refika Aditama.

Hsieh, J. S. C., Wen-Chi, V., & Michael, W. M. (2017). Using The Flipped
Classroomto Enhance EFL Learning. Computer Assisted Language
Learning, 30(1-2), 1-21.
78

Kadir. (2016). Statistika Terapan: Konsep, Contoh dan Analisis Data dengan
Program SPSS/Liseral dalam Penelitian Edisi Kedua. Jakarta: Rajawali
Pers.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2018). Diakses dari


http://kbbi.kemendikbud.go.id/entri/kemampuan. Diunduh pada tanggal 24
Agustus 2017 pukul 22:59 WIB.

Lestari, K. E & Mokhammad Ridwan Y. (2017). Penelitian Pendidikan Matematika


(Panduan Praktis Menyusun Skripsi, Tesis, dan Laporan Penelitian dengan
Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi Disertai dengan Model
pembelajaran dan Kemampuan Matematis). Bandung: Refika aditama.

Lee & Lai. (2017). Facilitating Higher-order Thinking Alt The Flipped Classroom
Model: a Sudent Teacher’s Experience in a Hongkong Secondary School.
Research and Practice in Technology Enhanced Learning, 12(1), 8.

Loo, Jeffery L, dkk. (2016). Flipped Instruction for Information Literacy: Five
Instruction Cases of Academic Librarian. The Journal of Academic
Librarianship, 42(3), 273-280.

Long, T., Joanne, L., & Michael, W. (2016). Students’ Perceptions of The Value of
Using Videos as a Pre-class Learning Experience in The Flippes
Classroom. Tech Trends, 60(3), 245-252.

Mahendra, A. S., Sulistyo S., & Agung, N. C. S. (2018). Penerapan Model


Pembelajaran Problem Solving dengan Bantuan Hierarki Konsep untuk
Meningkatkan Kerjasama Siswa dan Prestasi belajar dalam Materi
Stoikiometri Kelas X MIA 3 SMAN 1 Banyudono Tahun Ajaran 2016/2017.
Jurnal Pendidikan Kimia, 7(2), 161-168.

Margono, S. (2007). Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.


Masri, M. F., Suyono, & Pinta D. Pengaruh Metode Pembelajaran Berbasis
Masalah terhadap Self-Efficacy dan Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematis Ditinjau dari Kemampuan Awal Matematika Siswa SMA. JPPM,
11(1). 2018.

Musyakkirah, Husain. (2016). Pengaruh Model Pembelajaran dan Kemampuan


Awal terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah dan Kesadaran
Metakognisi Peserta Didik Kelas X SMK Teknologi Penerbangan
Hasanuddin Makasar (Sudi pada Materi Pokok Konsep Mol). Thesis pada
Universitas Negeri Makasar.

Nelyza, Fita, Hasan, & Musman. (2015). Implementasi Model Discovery Learning
pada Materi Laju Reaksi untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Sains
79

dan Sikap Sosial Peserta Didik MAS Ulumul Qur’an Banda Aceh. Jurnal
Pendidikan Sains Indonesia, 03(02), 14-21.

Noor, J. (2011). Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya Ilmiah
Edisi Pertama. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Nouri, Jalal. (2016). The Flipped Classroom: for Active, Effective and Increased
Learning-Especially for low Achievers. International Journal of Educational
Technology in Higher Education, 13(1), 33.

Olakanmi, Eunice Eyitayo. (2017). The Effect of a Flippes Classroom Model of


Instruction on Students’ Performance and Attitudes Towards Chemistry. J
Sci Educ Technol, 26(1), 127-137.

Ormrod, Jeanne Ellis. (2008). Psikologi Pendidikan: Membantu Siswa Tumbuh dan
Berkembang. Jakarta: Erlangga.

Peraturan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan. Standar Isi Pendidikan Dasar dan
menengah: Nomor 21 tahun 2016.

Petrucci, Harwood, & Herring. (2011). Kimia Dasar: Prinsip-prinsip & Aplikasi
Modern Edisi Kesembilan-Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Polya, George. (1957). How to Solve It: A New Aspect of Mathematical Method.
New york: Doubleday Anchor Book, doubleday & Company, Inc.

Putri, N. K. N., M. Danial, & N. Arsyad. (2018). Pengaruh Sikap, Konsep Diri, dan
Kesadaran Metakognitif terhadap Hasil Belajar Kimia Peserta Didik Kelas
XI MIA SMAN di Kecamatan Ujung Bulu Kabupaten Bulukumba. Chemistry
Education Review (CER), Pend. Kimia PPs UNM, 1(2), 73-89.

Purba, Michael & Eti Sarwiyati. (2018). Kimia 2 untuk SMA/MA Kelas XI:
Berdasarkan Kurikulum 2013 Revisi. Jakarta: Erlangga.

Purwanto, N. (2004). Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung:


Remaja Rosdakarya.

Rahayu, Eka Sri. (2018). Penerapan Pendekatan Scientific dengan Model Problem
Based Learning untuk Meningkatkan Sikap dan Prestasi Belajar
Matematika Siswa SMPN 9 Merauke. Magistra: Jurnal Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, 5(1), 15-25.

Rejeki, D. P., M. Hasan, & A. G. Haji. (2015). Penerapan Model Pembelajaran


Learning Cycle 5E pada Materi Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan untuk
Meningkatkan Hasil Belajar dan Sikap Peserta Didik SMAN 1 Krueng
Barona jaya. Jurnal Pendidikan Sains Indonesia, 3(1), 19-26.
80

Riduwan. (2007). Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian. Bandung:


Alfabeta.

Rijal, S & Suhaedir Bachtiar. (2015). Hubungan antara Sikap, Kemandirian


Belajar, dan Gaya Belajar dengan Hasil Belajar Kognitif Siswa. Jurnal
Bioedukatika, 3(2): 15-20.

Rodiyah, H., W. Lasmawan, & N. Dantes. (2018). Pengaruh Model Pembelajaran


Resolusi Konflik terhadap Sikap Sosial dan Hasil Belajar IPS Kelas VSD
Gugus 2 Selong Lombok Timur. Jurnal DIDIKA: Wahana Ilmiah Pendidikan
Dasar, 4(1), 24-37.

Rotherham, By Andrew J & Daniel T. Willingham. (2010). “21st-Century” Skills:


Not New, but a Worthy Challenge. American Educator, 34(1), 17-20.

Rusman. (2012). Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme


Guru. Jakarta: Rajawali Pers.

Santrock, J. W. (2015). Psikologi Pendidikan Edisi Kedua. Jakarta: Kencana.

Sastrohamidjojo, Hardjono. (2010).Kimia Dasar. Yogyakarta: Universitas Gadjah


Mada.

Sawitri, D.U., Suma, K., & Gunadi, I. G. A. (2018). Strategi Pembelajaran Guru
Fisika: dampaknya dalam Pengembangan Sikap Sosial Siswa Kelas XI MIA
1 dan XI MIA 2 di SMAN 1 Kintamani. Wahana Matematika dan Sains:
Jurnal Matematika, Sains, dan Pembelajarannya, 12(2).

Schultz, D., S. Duffield, S. C. Rasmussen, & J. Wageman. (2014). Effect of The


Flipped Classroom Model on Student Performance for Advances Placement
High School Chemistry Students. Journal of Chemical Education, 91(9),
1334-1339.

Seery, M. K. (2015). Flipped Learning in Higher Education Chemistry: Emerging


Trends and Potential Direction. Chemistry Education Research and
Practice, 16(4), 758-768.

Setyaningrum, V. F., Putriaji, H., & Sugeng, N. (2018). Penigkatan Pemahaman


Konsep dan Kerja Sama Siswa Kelas X melalui Model Discovery Learning.
Prisma, Prosiding Seminar Nasional Matematika, 1.

Siswanto, I. Kamba, & S. Aminah. (2016). Perbedaan Pengetahuan dan Sikap


Pasien Diabetes Melitius Rawat Inap Rumah Sakit Islam Samarinda
Sebelum dan Sesudah Konseling Gizi dengan Menggunakan Media
Audiovisual. Jurnal Ilmiah Manuntung, 2(1), 8-14.
81

Slameto. (1991). Proses Belajar Mangajar dalam Sistem Kredit Semester (SKS).
Jakarta: Bumi Aksara.

Solso, Robert L, Otto H. Maclin, & M. Kimberly Maclin. (2008). Psikologi


Kognitif. Jakarta: Erlangga.

Su, Chien-Yuan, & Cheng-Huan Chen. (2018). Investigating the Effects of Flippes
Learning, Student Question Generation, and Instant Response Technologies
on Student’s Learning Motivation, Attitudes, and Engagement: A Structural
Equation Modeling. Eurasia Journal of Mathematics, Science and
Technology Education, 14(6), 2453-2466.

Sudijono, Anas. (2005). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada.

Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,


Kualitatif, dan R&D). Bandung. Alfabeta.

Sulistyowati, N., A. T. Widodo, & W. Sumarni. (2012). Efektifitas Model


Pembelajaran Guided Discovery Learning terhadap Kemampuan
Pemecahan Masalah Kimia. Chemistry in Education, 2(1).

Sundayana, Rostina. (2014). Statistika Penelitian Pendidikan. Bandung. Alfabeta.

. (2016). Kaitan antara Gaya Belajar, Kemandirian Belajar, dan


Kemampuan Pemecahan Masalah Siswi SMP dalam Pelajaran Matematika.
Jurnal Musharafa, 5(2), 75-84.

Utami, Sri. (2017). Pengaruh model pembelajaran Flipped Classroom Tipe Peer
Instruction Flipped Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik
Siswa: (Penelitian Quasi Eksperimen di Kelas XI SMA Negeri 1 Parung).
Skripsi pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta.

Usman, Husaini & Purnomo, Setiadi A. (2009). Metodologi Penelitian Sosial Edisi
Kedua. Jakarta: Bumi Aksara.

Walgito, Bima. (2003). Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Andi.

Wena, Made. (2009). Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer: Suatu Tinjauan


Konseptual Operasional. Jakarta: Bumi Aksara.

Yanti, N. R., B. Suharto, & Syahmani. (2016). Implementasi Model Problem Based
Berbantuan Tes Superitem terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah
Materi Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan. Quantum: Jurnal Inovasi
Pendidikan Sains, 7(20), 147-155.
82

Yuliasari, Eva. (2017). Eksperimental Model PBL dan Model GDL terhadap
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Ditinjau dari Kemandirian
Belajar. Jurnal Ilmiah Pendidikan Matematika, 6(1), 1-10.

Zaif, A., Sunardi, & N. Diah. (2013). Penerapan Pembelajaran Pemecahan


Masalah Model Plya untuk Menyelesaikan Soal-soal Pemecahan Masalah
pada Siswa Kelas IX I SMP Negeri I Jember Semester Ganjil Tahun Ajaran
2012/2013. Pancaran Pendidikan, 2(1), 119-133.

Anda mungkin juga menyukai