Anda di halaman 1dari 36

LITERATURE REVIEW

VIRAL EXANTHEMA

Disusun oleh:
Kelompok 2

Clarissa Agatha Debora 1706029180


Davin Nathan Wijaya 1706030125
Isma Zahira Suhaima 1706029722
Leo Alfath Araysi 1706029565
Moira Setiawan 1706029855

Narasumber: Prof. Hindra Irawan Satari, MTropPaed, Sp.A(K)

MODUL KESEHATAN ANAK DAN REMAJA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA

JUNI 2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 2
1. VIRAL EXANTHEMA 3
2. CAMPAK 6

3. RUBELLA 10

4. MONONUKLEOSIS INFEKSIOSA 14

5. VARICELLA - ZOSTER 16

6. ERITEMA INFEKSIOSUM (5TH DISEASE) 19

7. DEMAM SCARLET 22

8. ROSEOLA INFANTUM 25

9. HERPES SIMPLEKS 30

REFERENSI 39
1. VIRAL EXANTHEMA

1.1. Definisi

Penyakit eksantema merupakan penyakit yang bermanifestasi sebagai erupsi difus di kulit yang
umumnya disebabkan oleh infeksi. Lesi kulit dapat muncul akibat kerusakan sel karena invasi
patogen, produksi toksin dari patogen, dan respons imun pejamu.1

1.2. Etiologi

Virus merupakan etiologi tersering dari eksantema akut. Bentuk morfologik yang serupa satu
dengan yang lain membuat diagnosis etiologi sulit didapat secara klinis. Akan tetapi, karena
penyakit virus bersifat self-limiting dengan gejala-gejala yang ringan, etiologi spesifik tidak
terlalu dibutuhkan. Walaupun begitu, diagnosis etiologi spesifik dibutuhkan dalam keadaan-
keadaan tertentu, seperti: eksantema selama kehamilan, epidemi, keadaan immunocompromised,
serta penyebab bakteri dan riketsia. Pada abad ke 20 (era pra vaksinasi), klasifikasi eksantema
akut dibuat berdasarkan urutan kejadian dalam masa perkembangan anak, dimana campak
disebut first disease, scarlet fever disebut sebagai second disease, rubella sebagai third disease,
eritema infeksiosa sebagai fifth disease, dan roseola infantum sebagai sixth disease. Fourth
disease memiliki gejala klinis seperti scarlet fever dan rubella sehingga tidak dianggap sebagai
golongan tersendiri. Akan tetapi, klasifikasi ini sudah tidak digunakan lagi sejak ditemukannya
lebih dari 50 organisme lainnya yang dapat menyebabkan eksantema akut pada anak. Berikut
merupakan klasifikasi yang dapat digunakan untuk penyakit eksantema akut pada anak-anak
(Tabel 1).1,2

Tabel 1. Klasifikasi penyakit eksantema akut pada anak2

Eritema Makulopapular Erupsi Papulovesikular

Campak Infeksi varisela zoster

Rubella Variola

Scarlet fever Eczema herpeticum

Staphylococcal scalded skin syndrome Infeksi virus coxsackie

Staphylococcal toxic shock syndrome Impetigo

Meningococcemia Gigitan serangga

Toxoplasmosis Urtikaria papularis

Infeksi sitomegalovirus Erupsi obat

Roseola infantum Molluscum contagiosum


Infeksi enterovirus Dermatitis herpetiformis

Mononukleosis infeksiosa

Eritema toksis

Erupsi obat

Miliaria

Penyakit Kawasaki

1.3. Pendekatan Diagnosis

Informasi mengenai ruam yang perlu digali mencakup kapan ruam muncul (berapa hari sebelum
atau setelah demam), evolusi atau progresi dari ruam, distribusi anatomis ruam, serta apakah
disertai gatal ataupun nyeri. Derajat penyakit juga perlu dievaluasi, dengan mengevaluasi intake
oral, aktivitas, serta urine output. Pola demam dan status imunisasi juga dapat mengeksklusikan
diagnosis banding. Selain itu, riwayat sosial pasien juga perlu digali, seperti tempat tinggal
pasien, riwayat perjalanan, eksposur terhadap binatang, kontak dengan orang dengan gejala yang
serupa, dsb. Riwayat penyakit dahulu dan riwayat keluarga juga perlu ditanyakan untuk
mengevaluasi kondisi pasien secara keseluruhan untuk menentukan kemungkinan adanya
imunodefisiensi primer maupun sekunder, serta adanya penyakit yang terkait dengan
autoimunitas serta inflamasi kronik. Riwayat infeksi berulang dapat mengindikasikan adanya
penyakit imunodefisiensi. Riwayat anemia hemolitik, leukopenia, trombositopenia, atau artritis
dapat mengarah ke gangguan autoimun maupun keganasan.3

Pemeriksaan fisik diperlukan untuk mengidentifikasi ruam yang tipikal untuk suatu diagnosis
yang spesifik serta mencari manifestasi-manifestasi non-kutan. Langkah pertama adalah menilai
keadaan umum, tanda tanda vital, serta derajat toksisitas pasien. Letargi, iritabilitas, gangguan
status mental, pengurangan aktivitas, perfusi yang berkurang, pucat, atau sianosis
mengindikasikan penyakit yang serius sehingga membutuhkan resusitasi dan tatalaksana yang
cepat. Tanda-tanda tersebut lebih penting dalam menilai risiko daripada menentukan tingginya
suhu pasien. Adanya takikardia dan takipnea pada pasien dengan demam dan ruam dapat
mengarah ke sepsis. Takikardia juga dapat ditemukan pada kondisi kondisi seperti endokarditis
atau miokarditis akibat virus virus seperti penyakit Kawasakit atau demam rematik akut. Adanya
hipotensi dapat mengindikasi syok sepsis, namun gangguan seperti staphylococcal toxic shock
syndrome dan dengue hemorrhagic shock syndrome perlu dipertimbangkan juga dalam konteks
ini. Karakteristik klinis ruam dapat membantu mendiagnosis etiologi penyakit. Exanthema
merupakan erupsi kulit yang terjadi sebagai tanda adanya penyakit sistemik. Enanthema
merupakan erupsi pada membran mukosa yang juga tanda adanya penyakit sistemik. Exanthema
dan enanthema dapat berupa makular, makulopapular, vesikular, urtikarial, petekial, atau eritema
difus. Erupsi makulopapular merupakan gabungan dari makula, yaitu lesi berbatas tegas yang
datar, dan papula, yaitu lesi berbatas tegas yang dapat dipalpasi serta berukuran kurang dari 1
cm. Ruam makulopapular dapat ditemukan pada infeksi virus seperti campak, rubella, eritema
infeksiosum, dan roseola infantum. Erupsi papulovesikular merupakan gabungan dari papula dan
vesikel, yaitu gelembung yang berisi cairan serum yang beratap, berdasar, serta berukuran
kurang dari 0,5 cm. Erupsi papulovesikular dapat ditemukan pada infeksi varisela zoster, virus
coxsackie, eczema herpeticum, dsb.3

2. CAMPAK

2.1. Etiologi

Campak atau yang dapat disebut dengan rubeola merupakan penyakit infeksius akibat virus yang
bersifat akut. Penyakit ini disebabkan oleh virus Measles (MV) yang merupakan bagian dari
famili Paramyxoviridae dan genus Morbillivirus. Virus ini merupakan virus negative-sense
RNA, single-stranded, dan memiliki envelope. Genom virus ini mengkode enam protein
struktural (nukleoprotein, fosfoprotein, matrix, protein fusion, haemagglutinin, polimerase) dan
dua protein non-struktural (protein V dan protein C). Haemagglutinin (HA) merupakan protein
yang berperan pada perlekatan virus dengan sel host.4

2.2 Epidemiologi

Pada tahun 2010-2015, diperkirakan terdapat 23.164 kasus campak di Indonesia. Namun, jumlah
kasus yang sebenarnya terjadi di lapangan mungkin lebih tinggi karena masih banyak kasus yang
belum terlaporkan. Incidence rate campak di Indonesia pada tahun 2017 yaitu 5,6 per 100.000
penduduk. Angka ini menunjukkan penurunan dari tahun 2011 dengan angka 9,2 per 100.000
penduduk, namun memperlihatkan peningkatan dari tahun 2015 yang menunjukkan angka 3,2
per 100.000 penduduk. Pada 2015-2017, terlihat adanya peningkatan kasus campak pada 18
provinsi di Indonesia (52,9%).5

2.3 Patogenesis

Virus Measles (MV) merupakan virus yang sangat infeksius. Tidak dilakukannya imunisasi
menyebabkan tubuh tidak memiliki imunitas terhadap virus campak, sekitar 90% pasien yang
tidak diimunisasi dan tinggal bersama orang terinfeksi campak dapat tertular. Virus ini
bertransmisi melalui sistem respiratori, baik melalui droplet maupun aerosol.6 Virus ini
menginfeksi sel limfosit, sel dendritik, dan makrofag, kemudian menyebar ke jaringan limfoid
dan bersirkulasi menciptakan viremia dan persebaran ke berbagai organ. Virus yang tinggal di
sel dendritik dan limfosit dapat berpindah ke sel epitel saluran respiratori, keluar melalui droplet,
dan menginfeksi orang lain.4 Virus ini memiliki masa inkubasi selama 9-12 hari sebelum
munculnya gejala.6
Pada fase prodromal, virus campak menurunkan imunitas tubuh dengan supresi produksi IFN
melalui protein V dan protein C. Kemudian, peningkatan replikasi virus menstimulasi respons
imun tubuh, baik humoral maupun seluler. Respons imun humoral menunjukkan adanya
produksi IgM yang dapat terdeteksi 3-4 hari setelah gejala muncul dan bertahan selama 6-8
minggu. Kemudian, IgG juga diproduksi untuk melawan nukleoprotein dari virus campak.
Respons imun seluler terlihat dengan adanya peningkatan Th1-dependent IFN-gamma pada fase
akut dan dilanjutkan dengan peningkatan Th2-dependent IL-4, IL-10, dan IL-13. Infeksi campak
dapat menyebabkan imunosupresi jangka panjang hingga beberapa tahun karena dapat
menginduksi proliferasi limfosit spesifik campak yang dapat menggantikan memori sel dan
menyebabkan “immune amnesia”.4

Gambar 1. Kondisi imunitas tubuh terhadap virus campak7

2.4 Manifestasi klinis

Manifestasi klinis campak dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase prodromal, fase eruptif, dan
fase konvalesens. Campak perlu dicurigai pada pasien dengan gejala 3C yaitu coryza,
conjunctivitis, dan cough (batuk). Fase prodromal biasanya terjadi dalam waktu 4-6 hari dan
manifestasi klinis yang timbul berupa demam tinggi, malaise, coryza, konjungtivitis, batuk
kering, dan edema palpebra. Sebagian besar kasus menunjukkan adanya Koplik spots yang
merupakan papul kecil berwarna putih pada mukosa bukal. Koplik spots ini merupakan tanda
patognomonik campak dan muncul 1-3 hari sebelum ruam kulit terlihat. Pada fase kedua, fase
eruptif, terlihat munculnya ruam makulopapular yang awalnya terlihat pada post aurikuler dan
sepanjang garis rambut, kemudian menyebar ke wajah, batang tubuh, dan ekstremitas. Demam
dan malaise mulai menghilang pada 2-3 hari setelah ruam muncul. Fase selanjutnya yaitu fase
konvalesens yang terjadi pada 3-4 hari setelah ruam mulai hilang dan meninggalkan bekas
kecoklatan serta pengelupasan kulit.8

Kasus campak atipikal dapat menciptakan manifestasi klinis yang akut berupa demam tinggi,
sakit kepala, nyeri abdomen, dan myalgia. Ruam yang muncul juga dapat terlihat samar dan
minimal pada anak yang telah diimunisasi. Selain itu, kasus campak atipikal juga kemungkinan
tidak menunjukkan keseluruhan gejala 3C. Manifestasi klinis yang tidak umum pada campak
berupa pneumonia, otitis media, myokarditis, perikarditis, dan ensefalitis.8

Kasus campak tanpa komplikasi biasanya dapat sembuh dalam waktu satu minggu setelah
munculnya ruam kulit. Namun, infeksi MV juga dapat menyebabkan imunosupresi jangka
panjang sehingga dapat terjadi infeksi sekunder oleh bakteri atau infeksi lainnya yang
menyebabkan morbiditas dan mortalitas terkait campak.7

2.5 Diagnosis

Penegakkan diagnosis campak dapat dilakukan melalui manifestasi klinis, epidemiologi, dan
pemeriksaan laboratorium. Manifestasi klinis dapat didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan
fisik menyeluruh untuk mengetahui perjalanan penyakit beserta gejala-gejala apa saja yang
timbul. Pada anamnesis juga perlu ditanyakan apakah anak telah mendapatkan imunisasi
campak.8

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan berupa pemeriksaan serologis untuk melihat
kadar IgM dan IgG spesifik campak, pemeriksaan molekuler dengan RT-PCR, dan isolasi virus
sebagai diagnosis konfirmatif. Antibodi IgM spesifik campak terlihat pada infeksi primer dan
dapat dideteksi mulai dari hari ke-3 setelah ruam muncul dan bertahan hingga 30-60 hari. Hasil
pemeriksaan IgG dapat menunjukkan peningkatan empat kali lipat antara fase akut dan fase
konvalesens. Materi genetik MV yang berupa RNA dapat dideteksi melalui pemeriksaan PCR
dari sampel swab nasofaring atau urin.8

2.6 Tata Laksana dan Pencegahan

Manajemen campak utamanya dilakukan melalui program imunisasi sebagai pencegahan.


Berdasarkan rekomendasi IDAI tahun 2020, imunisasi campak dapat mulai diberikan pada usia 9
bulan dengan pemberian vaksin MR, namun apabila hingga usia 12 bulan belum mendapatkan
vaksin MR, dapat diberikan vaksin MR/MMR. Selanjutnya pada usia 18 bulan perlu diberikan
vaksin MR/MMR sebagai booster dan dilanjutkan pada usia 4-7 tahun sebagai booster. 9 Vaksin
yang diberikan merupakan vaksin dari virus campak hidup yang dilemahkan dengan dosis 1.000
TCID-50 atau sebanyak 0,5 ml dengan administrasi subkutan atau intramuskular. Kegagalan
vaksinasi dapat berupa kegagalan primer dan sekunder. Kegagalan primer terjadi apabila tidak
terjadi serokonversi setelah dilakukannya imunisasi, sedangkan kegagalan sekunder merupakan
kondisi dimana terjadi serokonversi namun tidak menimbulkan efek proteksi. Tidak terjadinya
serokonversi dapat disebabkan oleh adanya antibodi bawaan sejak lahir yang menetralisir virus
campak yang masuk, kerusakan vaksin, atau akibat pemberian imunoglobulin yang diberikan
bersama-sama. Kegagalan sekunder dapat terjadi akibat potensi vaksin kurang kuat, sehingga
respons imun tubuh tidak adekuat untuk menciptakan efek proteksi.2

Anak yang tidak diberikan imunisasi atau terjadi kegagalan imunisasi dapat menyebabkan anak
terinfeksi campak. Sejauh ini, belum terdapat terapi yang terstandarisasi untuk menangani
campak, namun biasanya akan diberikan antivirus baik secara monoterapi maupun kombinasi,
disertai terapi simtomatik berupa antipiretik apabila demam, hidrasi, dan nutrisi termasuk
pemberian ASI. Antivirus yang biasa digunakan untuk kasus campak adalah ribavirin, namun
tidak rutin digunakan kecuali pada pasien dengan risiko tinggi. WHO merekomendasikan
pemberian vitamin A pada pasien campak untuk mempertahankan epitel dan meningkatkan
respons imun tubuh. Pemberian vitamin A lebih dibutuhkan pada pasien dengan usia di bawah 2
tahun karena sering terjadi deplesi cadangan vitamin A. Dosis vitamin A yang berikan
bergantung dengan usia, pada anak di bawah 6 bulan dapat diberikan 50.000 IU, pada anak usia
6-12 bulan diberikan 100.000 IU, dan untuk anak di atas 12 bulan diberikan 200.000 IU.7,8

2.7 Komplikasi dan Prognosis

Sebagian besar pasien dapat sembuh dari campak tanpa komorbiditas signifikan. Pada negara
berkembang, tingkat kematian akibat campak mencapai 12% yang umumnya terjadi pada pasien
anak dengan malnutrisi, imunokompromais, dan ibu hamil. Kematian akibat campak biasanya
terjadi akibat kegagalan sistem respiratori dan ensefalitis. Ibu hamil dengan infeksi campak dapat
menyebabkan kelahiran prematur, aborsi spontan, dan kematian janin intrauterin.8

Komplikasi dari infeksi campak dapat terjadi pada ibu hamil, bayi, dan pasien
imunokompromais. Komplikasi yang dapat muncul berupa diare, laringotrakeobronkitis,
pneumonia, otitis media, ensefalitis, dan subacute sclerosing panencephalitis (SSP). Komplikasi
ini umumnya terjadi akibat infeksi sekunder oleh bakteri. Kondisi SSP terjadi akibat adanya
infeksi persisten pada sistem saraf pusat selama bertahun-tahun setelah infeksi primer. Pada
kondisi ini dapat terjadi demielinasi pada substansia alba yang menciptakan perilaku abnormal,
pergerakan myoklonik, kejang, dementia, koma, dan kematian. Kematian akibat SSP dapat
terjadi dalam 1-3 tahun.8

3. RUBELLA

3.1 Etiologi
Rubella atau campak Jerman merupakan infeksi virus yang biasanya terjadi pada anak atau orang
dewasa muda yang tidak memiliki imunitas. Virus Rubella merupakan bagian dari genus
Rubivirus dan famili Matonaviridae. Viru ini merupakan virus positive-sense RNA, single-
stranded, dan memiliki envelope. Virus Rubella mengkode tiga protein struktural (glikoprotein
E1, glikoprotein E2, capsid protein) dan dua protein non-struktural (p90 dan p150). Protein E1
berperan dalam endositosis dan induksi respons imun melalui hemagglutination-neutralizing
epitopes. Virus ini sensitif dengan suhu panas di atas 56 oC, sinar ultraviolet, dan pH ekstrem (pH
< 6,8 atau > 8,1).10

3.2 Epidemiologi

Anak-anak memiliki faktor risiko terinfeksi Rubella yang sama, baik laki-laki maupun
perempuan, namun pada orang dewasa, wanita lebih berisiko terinfeksi virus Rubella. Anak-anak
yang sering terinfeksi Rubella yaitu anak-anak berusia 5-9 tahun.10 Pada tahun 2010-2015,
diperkirakan terdapat 30.463 kasus Rubella yang terlaporkan. Namun, angka pasti kasus Rubella
yang terjadi mungkin lebih tinggi akibat kelengkapan laporan surveilans yang masih rendah.
Pada tahun 2017, terjadi KLB Rubella di 19 provinsi di Indonesia sebanyak 79 kali.12

3.3 Patogenesis

Manusia merupakan satu-satunya pejamu virus Rubella, sehingga virus ini hanya dapat
menginfeksi secara antroponosis (dari manusia ke manusia). Virus ini bertransmisi melalui
partikel aerosol yang berasal dari sekret saluran respiratori orang yang terinfeksi. Virus
menginfeksi sel pejamu melalui endositosis yang termediasi reseptor dan kemudian bereplikasi
di sel-sel nasofaring dan menyebar ke jaringan limfoid regional pada nasofaring dan saluran
respiratori atas. Kemudian virus akan menyebar secara hematogen ke berbagai organ sehingga
terjadi viremia pada 5-7 hari setelah inokulasi. Pasien rubella bersifat infeksius pada 8 hari
sebelum ruam terlihat hingga 8 hari setelah ruam muncul.10

Apabila virus Rubella menginfeksi ibu hamil, virus ini dapat bertransmisi melalui plasenta saat
ibu dalam fase viremia dan menciptakan bayi dengan congenital rubella syndrome (CRS). Risiko
terinfeksinya janin tergantung awitan infeksi pada ibu. Apabila ibu terinfeksi sebelum usia
kehamilan 10 minggu, janin memiliki risiko terinfeksi dan memiliki defek kongenital sebesar
90%. Risiko munculnya defek kongenital akan menurun seiring bertambahnya usia gestasi
hingga dapat mencapai 25% apabila terinfeksi pada trimester ketiga. Penyebab CRS bersifat
multifaktorial, antara lain adanya nekrosis pada vili korion, inhibisi aktin intraseluler sehingga
menyebabkan inhibisi mitosis dan inhibisi perkembangan sel prekursor, serta kerusakan sel
endotel pembuluh darah yang menyebabkan iskemia dari organ yang sedang berkembang.10,11

3.4 Manifestasi Klinis


Infeksi rubella postnatal dapat bersifat asimtomatik, mencapai 25-50% dari keseluruhan kasus.
Masa inkubasi virus Rubella adalah selama 14-21 hari dan kemudian diikuti fase prodromal
dengan manifestasi klinis demam subfebris, malaise, anoreksia, sakit kepala, sakit tenggorokan,
dan adenopati. Limfadenopati yang terjadi biasanya muncul pada nodus limfa post-aurikuler,
suboksipital, dan servikal anterior. Eksantema atau ruam kulit makulopapular dapat menjadi
manifestasi klinis pertama yang muncul. Ruam biasanya muncul pada wajah terlebih dahulu
kemudian menyebar ke batang tubuh dan ekstremitas. Ruam yang terlihat juga dapat berupa
skarlatiniformis atau purpura. Selain itu, Forchheimer spots yang berupa petekie pada palatum
molle terlihat pada 20% pasien.10

Infeksi rubella prenatal dapat menyebabkan congenital rubella syndrome (CRS) dengan
manifestasi klinis triad CRS yaitu katarak, penyakit jantung kongenital, dan tuli sensorineural.
Pada neonatus, CRS menyebabkan berat badan lahir rendah, pneumonitis interstisial, tulang
radiolusen, dan hepatosplenomegali. Selain itu manifestasi klinis yang juga dapat muncul pada
CRS berupa oftalmopati (retinopati, glaukoma, korioretinitis, hipoplasia iris, mikroftalmia),
abnormalitas jantung (PDA, stenosis arteri pulmoner, VSD, ASD), neurologis (mikrosefali,
kalsifikasi serebral, meningoensefalitis, retardasi psikomotor, retardasi mental), hematologis
(trombositopenia, anemia hemolitik, petekie, purpura), dan metabolik (diabetes mellitus tipe 1
dan penyakit tiroid). Manifestasi klinis yang paling sering muncul adalah tuli sensorineural.
Pasien CRS yang sudah melewati masa neonatus dapat menghadapi berbagai kelainan seiring
pertumbuhan dan perkembangannya, salah satu contohnya adalah autisme.10,11

3.5 Diagnosis

Penegakkan diagnosis rubella cukup sulit dilakukan karena manifestasi klinis yang timbul ringan
dan tidak spesifik, namun dapat dilakukan pemeriksaan serologis untuk konfirmasi diagnosis
rubella. Pemeriksaan yang umum dilakukan yaitu dengan deteksi IgM spesifik Rubella dengan
menggunakan immunoassay enzimatik. IgM spesifik Rubella dapat mulai terdeteksi sejak 4 hari
setelah munculnya ruam pada kulit. Selain itu, pemeriksaan titer IgG spesifik Rubella dapat
memperlihatkan peningkatan empat kali lipat antara fase akut dan fase konvalesens. Infeksi
primer Rubella yang akut dapat terlihat dari hasil pemeriksaan IgG spesifik Rubella yang
menunjukkan tingkat aviditas rendah.10

Pada ibu hamil yang dicurigai terinfeksi rubella, khususnya pada masa awal kehamilan, perlu
langsung dilakukan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan yang dilakukan berupa observasi
serokonversi titer IgM dan IgG. Selain itu, perlu dilakukan konseling maternal dan terminasi
kehamilan dapat menjadi pilihan apabila terkonfirmasi rubella. Diagnosis prenatal pada janin
dapat dilakukan dengan deteksi genom virus dengan sampel cairan amnion, darah janin, atau
biopsi vili korion. Saat postnatal, diagnosis infeksi rubella kongenital dapat dilakukan dengan
deteksi RV-IgG pada serum neonatus dengan menggunakan metode ELISA. Pemeriksaan
konfirmatif dapat dilakukan dengan pemeriksaan PCR dengan sampel swab nasofaring, urin,
atau cairan oral. Pemeriksaan postnatal penting untuk dilakukan meskipun bayi tidak
menunjukkan manifestasi klinis CRS agar dapat mendeteksi dini kelainan neurologis dan okuler
jangka panjang.11

3.6 Tata laksana dan Pencegahan

Terapi pada infeksi rubella postnatal berupa terapi suportif dan termasuk pemberian NSAID
sebagai penanganan demam, artralgia, dan artritis. Pada ibu hamil yang terinfeksi rubella, tata
laksana yang dapat dilakukan bergantung pada awitan infeksi. Apabila infeksi terjadi pada usia
gestasi kurang dari 18 minggu, janin memiliki risiko tinggi terinfeksi dan menimbulkan gejala
yang berat, oleh karena itu terminasi kehamilan dapat menjadi opsi, namun opsi ini sangat
bergantung pada hukum setempat yang berlaku. Apabila infeksi terjadi pada usia gestasi lebih
dari 18 minggu, kehamilan dapat dilanjutkan dengan dilakukannya pemeriksaan USG secara
rutin dan manajemen spesifik pada neonatus dengan melakukan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan RV-IgG. Manajemen pasien anak dengan CRS dilakukan secara simtomatik dan
spesifik setiap organ, oleh karena itu perlu dilakukan pendekatan multidisiplin antara dokter
anak, mata, jantung, THT, dan saraf. Selain itu, perlu dilakukan kontrol jangka panjang untuk
melihat manifestasi klinis lanjutan yang belum muncul saat bayi. Meskipun gejala CRS dapat
ditangani, tidak terdapat obat untuk menyembuhkan kondisi ini, sehingga dilakukannya langkah
prevensi akan lebih baik.10,11

Langkah prevensi yang dapat dilakukan berupa imunisasi pada anak. Imunisasi yang diberikan
untuk mencegah infeksi rubella sama seperti imunisasi pada pencegahan campak, yaitu melalui
vaksin MR atau MMR. Vaksin ini dapat diberikan pada bayi dengan usia 9 bulan dan dilanjutkan
dengan booster pada usia 18 bulan dan 4-7 tahun.9 Vaksin MMR ini merupakan vaksin kering
yang mengandung virus hidup dan harus disimpan pada suhu 2-80 oC atau lebih dingin dan
terlindungi dari cahaya. Vaksin MMR tidak dapat diberikan pada ibu hamil karena bersifat virus
hidup. Wanita dewasa yang dilakukan vaksinasi MMR dianjurkan untuk tidak hamil selama 3
bulan setelah mendapatkan vaksin.12

3.7 Komplikasi dan Prognosis

Infeksi rubella postnatal sebagian besar bersifat ringan dan merupakan self-limiting disease,
sehingga prognosisnya sangat baik. Infeksi rubella dapat menimbulkan komplikasi poliartritis
dan poliartralgia simetris pada pergelangan tangan, jari, lutut, dan pergelangan kaki. Komplikasi
ini terjadi pada 70% pasien remaja dan wanita dewasa. Komplikasi lain yang dapat muncul
berupa trombositopenia, anemia hemolitik, miokarditis, perikarditis, hepatitis, orkitis, retinopati,
uveitis, Guillain-Barre syndrome, dan ensefalitis. Namun, komplikasi tersebut sangat jarang
terjadi. Ibu hamil dengan infeksi rubella dapat mengalami keguguran, kematian janin intrauterin,
kelahiran prematur, retardasi pertumbuhan intrauterin, dan neonatus dengan CRS.10
Pasien dengan CRS memiliki prognosis yang buruk, tergantung dari keparahan dan jumlah organ
yang terdampak. Tingkat mortalitas pasien CRS cukup tinggi pada bayi dengan trombositopenia,
pneumonia interstisial, hepatosplenomegali, dan hipertensi pulmoner. Komplikasi jangka
panjang yang dapat terjadi pada CRS antara lain berupa kebutaan, gagal jantung, keterlambatan
perkembangan, dan penurunan angka harapan hidup.10

4. MONONUKLEOSIS INFEKSIOSA

4.1 Etiologi

EBV menyebabkan sekitar 90% dari total infeksi mononukleosis infeksiosa (MI) akut. Etiologi
sebagian besar MI EBV-negatif tidak diketahui. Beberapa virus herpes lain adalah
sitomegalovirus (CMV), herpes simpleks 1 dan simpleks 2, adapun virus lain yang dapat
menyebabkan MI adalah adenovirus, hepatitis A, hepatitis B, atau hepatitis C. Pada sebagian
kecil kasus, MI juga dapat disebabkan oleh toxoplasmosis.13,14

4.2 Epidemiologi

Sebagai salah satu virus yang paling banyak menginfeksi manusia, diperkirakan 90% dari
populasi global seropositif EBV, Negara-negara maju menanggung beban seroprevalensi EBV
yang relatif lebih rendah serta insidensi EBV primer pada usia yang lebih lanjut. Di Amerika
Serikat, EBV Seropositif pada anak-anak dan remaja usia 6-19 sekitar 66,5%, dimana populasi
wanita, Afrika-Amerika, dan Hispanik memiliki seropositif yang jauh lebih tinggi. Aspek sosio-
ekonomi juga berpengaruh, anak-anak di kuartil pendapatan terendah memiliki seroprevalensi
81,0% sedangkan kuartil pendapatan tertinggi sebesar 53,9%. Di banyak institusi di AS yang
dengan populasi dewasa muda yang banyak, seperti di universitas dan angkatan militer, insiden
tahunan untuk mononukleosis infeksiosa antara 11 hingga 48 kasus per 1000 orang.14

4.3 Patogenesis

Virus disekresikan pada saliva selama kurang lebih enam bulan, dan dapat secara intermiten
berada di orofaring selama beberapa dekade. Transmisi virus biasanya terjadi melalui saliva,
virus berkontak dengan epitel orofaring replikasi virus dengan masa inkubasi selama 4-8 minggu
kemudian disekresikan ke orofaring sehingga menyebabkan faringitis (biasanya eksudatif)
petekie di palatum, edema di palatum dan tonsil sehingga dapat menyebabkan obstruksi jalan
nafas. Infeksi sel B sehingga terjadi produksi antibodi, aktivasi sel T menyebabkan pelepasan
sitokin yang dapat menyebabkan demam. Desiminasi infeksi pada sistem limforetikuler sehingga
dapat terjadi limfadenopati, splenomegali, dan limfositosis.15

4.4 Manifestasi Klinis

Pada anak-anak, MI biasanya hanya memiliki gejala seperti flu. Atau mirip dengan infeksi
tenggorokan biasa (faringitis ringan, dengan atau tanpa tonsilitis). Selain itu dapat terjadi
limfadenopati, demam, nyeri tenggorokan, general weakness, tonsilofaringitis, eksudatif,batuk
atau rinitis, splenomegali, dan hepatomegali.16

4.5 Diagnosis

Temuan klasik mononukleosis infeksiosa antara lain adalah demam, limfadenopati, faringitis,
dan splenomegali. Adanya limfositosis dan peningkatan limfosit atipikal mendukung diagnosis
infeksi EBV. Diagnosis harus dikonfirmasi dengan tes antibodi heterofil atau melalui antibodi
spesifik EBV. Tes konfirmasi sangat membantu untuk menginformasikan pasien dengan
mononukleosis infeksiosa karena berkaitan dengan kemungkinan ruptur limpa dan obstruksi
jalan napas. Jika antibodi heterofil reaktif didapat, pemeriksaan antibodi spesifik EBV tidak
diperlukan. Uji antibodi spesifik mungkin diperlukan jika diduga MI karena penyebab selain
EBV.17,18

4.6 Tata Laksana dan Pencegahan

Tata laksana MI bersifat suportif. Istirahat yang cukup, memenuhi kecukupan cairan dan diet
lunak dengan asetaminofen atau ibuprofen dapat membantu meringankan gejala faringitis dan
demam. Pada pasien dengan ko-infeksi faringitis streptokokus, penisilin atau eritromisin selama
10 hari dapat diberikan. Pasien dengan splenomegali disarankan untuk menghindari aktivitas
fisik kontak tinggi untuk mencegah ruptur limpa (jarang, 0,1%-0,2% dari keseluruhan kasus).

Pemulihan biasanya bertahap, pada beberapa individu, malaise berlangsung selama 3 sampai 4
bulan. Glukokortikoid diindikasikan hanya untuk mereka yang menunjukkan gejala obstruksi
jalan saluran napas. Kortikosteroid dapat mempercepat resolusi demam dan gejala tonsil
faringeal, namun tidak memberikan manfaat signifikan untuk limfadenopati atau keterlibatan
hepatosplenic. Penggunaan kortikosteroid dapat berhubungan dengan ensefalitis atau miokarditis
pada pengobatan pasien MI. Selain itu steroid juga mungkin menurunkan kekebalan jangka
panjang terhadap EBV sehingga penggunaannya tidak rutin diberikan.19

4.7 Komplikasi dan Prognosis

Meskipun sebagian besar kasus MI dapat sembuh dengan sendirinya beberapa komplikasi perlu
diperhatikan antara lain seperti obstruksi jalan, komplikasi ginjal seperti meningitis, miokarditis,
nefritis, pneumonia, hemophagocytosis, trombositopenia, MI akibat EBV berkaitan dengan
multiple sclerosis (MS). Secara keseluruhan prognosis untuk MI baik, dengan insiden komplikasi
yang rendah. Gejala akut biasanya sembuh dalam dua hingga tiga minggu, tetapi kelelahan
ringan dapat bertahan lebih lama.17,19
5. VARICELLA - ZOSTER

5.1. Etiologi

Infeksi virus varicella zoster (VZV) menyebabkan varicella (cacar air), yang bisa parah pada
individu dengan gangguan kekebalan, bayi dan orang dewasa. Infeksi primer diikuti oleh latensi
di neuron ganglion. Reaktivasi virus menyebabkan replikasi virus, yang menyebabkan herpes
zoster (cacar ular/api) di jaringan yang dipersarafi oleh neuron yang terlibat.20

5.2. Epidemiologi

Insiden varisela (cacar air) adalah 13-16 kasus per 1.000 orang per
tahun 3. Di daerah beriklim sedang, insiden tertinggi pada anak usia
prasekolah (usia 1-4 tahun) dan anak usia awal SD (5-9 tahun) insiden
tahunan lebih dari 100 per 1.000 anak. >90% orang terinfeksi sebelum
masa remaja. Di iklim tropis, varicella terjadi pada usia rata-rata
keseluruhan yang lebih tinggi (14,5 tahun), dan proporsi kasus yang
lebih tinggi pada orang dewasa. Wabah biasanya terjadi di tempat
berkumpulnya anak-anak, seperti pusat penitipan anak dan sekolah,
serta tempat lain seperti rumah sakit, fasilitas untuk orang-orang
yang dilembagakan, kamp pengungsi dan fasilitas militer dan
pemasyarakatan.Varisela dapat sembuh dengan sendirinya, namun pada
sebagian kasus dapat menyebabkan komplikasi serius bahkan
kematian. Di negara maju, 5 dari 1.000 orang dengan varicella dirawat
di rumah sakit dan 2-3 per 100.000 pasien meninggal. Komplikasi
serius termasuk sepsis bakteri, pneumonia, ensefalitis dan
perdarahan. Orang dengan imunokompromais memiliki resiko lebih
tinggi mengalami komplikasi parah dan kematian. Varicella pada dua
trimester pertama kehamilan dapat menyebabkan cacat bawaan pada
1% dari kehamilan.Vaksinasi rutin telah mengubah epidemiologi
infeksi varisela . Di Amerika Serikat, di mana program vaksinasi dosis
tunggal dilaksanakan pada tahun 1995 dan program dosis ganda pada
tahun 2007, kejadian varicella, rawat inap dan kematian pada anak-
anak telah menurun >95%. Sedangkan zoster (cacar ular/api), memiliki
insidensi 3−4 per 1.000 pada populasi umum, 1 per 1.000 pada anak-
anak berusia <10, dan >10 per 1.000 pada usia > 60 tahun 20–22.
Sedangkan pada usia 85 tahun, >50% populasi melaporkan setidaknya
satu episode zoster.20

5.3 Patogenesis
Infeksi VZV dimulai melalui inhalasi dan paparan virus pada epitel saluran pernapasan.
Replikasi mula-mula terjadi di kelenjar getah bening regional diikuti oleh viremia primer di
mana virus menginfeksi sel monosit darah perifer. Virus kemudian menyebar ke jaringan
retikuloendotelial di hati, limpa, dan organ lainnya. Virus bereplikasi dan menghasilkan viremia
sekunder yang menyebarkan VZV ke kulit sehingga muncul ruam dan gejala sistemik lainnya
(Cacar air). Selama resolusi varicella, VZV latency di ganglia nervus. Kemudian dapat
mengalami reaktivasi dan menyebabkan herpes zoster (Cacar ular/api) yang tampak dengan
adanya ruam pada area kulit yang diinervasi nervus terkait.20

5.4 Manifestasi Klinis

Cacar air biasanya berlangsung sekitar 4 sampai 7 hari. Gejala klasik cacar air adalah ruam yang
berubah menjadi gatal, lepuh berisi cairan yang pecah lalu berkerak. Ruam pertama mungkin
muncul di dada, punggung, dan wajah, lalu menyebar ke seluruh tubuh, termasuk mukosa mulut,
kelopak mata, dan area genital. Biasanya dibutuhkan sekitar satu minggu untuk semua ruam
melepuh dan menjadi kerak. Gejala lain yang mungkin muncul sebelum ruam antara lain demam,
kelelahan, penurunan nafsu makan, dan sakit kepala.20

5.5 Diagnosis

Diagnosis infeksi varicella umumnya cukup didasarkan pada tanda dan gejala dan dapat
dikonfirmasi dengan pemeriksaan cairan vesikel.Tanda dan gejala berupa ruam yang berubah
menjadi gatal, lepuh berisi cairan yang akhirnya berubah menjadi berkerak. Ruam biasanya
muncul pertama kali di dada, punggung, dan wajah, lalu menyebar ke seluruh tubuh, termasuk di
dalam mulut, kelopak mata, atau area genital. PCR dapat dilakukan dengan sampel non-kulit
seperti sampel lavage bronchoalveolar atau cairan serebrospinal. Tes antibodi fluoresen langsung
atau tzanck test. Tes darah digunakan untuk mengidentifikasi respons terhadap infeksi akut
(IgM), maupun kronik (IgG). Diagnosis prenatal varicella intrauterine dapat menggunakan USG,
meskipun penundaan 5 minggu setelah infeksi ibu primer disarankan. Tes PCR (DNA) cairan
amnion.21

5.6 Tata Laksana dan Pencegahan

Tatalaksana umumnya bersifat simptomatik. Karena sangat infeksius mereka yang terinfeksi
biasanya diminta untuk tinggal di rumah. Menjaga kuku tetap pendek, mengenakan sarung
tangan, mencegah goresan dilakukan untuk mengurangi risiko infeksi sekunder. Lotion genital
dapat meredakan pruritus. Pembersihan rutin menggunakan air hangat membantu menghindari
infeksi bakteri sekunder. Acetaminophen dapat diberikan untuk mengurangi demam. Hindari
aspirin karena dapat menyebabkan sindrom Reye. Orang dengan risiko komplikasi atau dengan
gejala yang signifikan dapat diberikan immunoglobulin varicella-zoster intramuscular. Pada
anak-anak, asiklovir mengurangi gejala satu hari jika diminum dalam waktu 24 jam sejak awal
ruam, tetapi tidak berpengaruh pada tingkat komplikasi, dan tidak dianjurkan untuk individu
dengan fungsi imun yang normal. Pada orang dewasa, termasuk Wanita hamil, infeksi cenderung
lebih parah. Pengobatan dengan antivirus (asiklovir atau valasiklovir) disarankan, dengan
pemberian dalam 24 hingga 48 jam setelah timbulnya ruam. 22 Pencegahan dapat dilakukan
dengan pemberian vaksin dosis ganda dalam interval 3 sampai 6 bulan pada anak usia 1 sampai
18 tahun. Hal lain yang dapat dilakukan adalah mengkarantina pasien cacar selama masa
infeksius. Di negara-negara tanpa vaksinasi varicella, pencegahan dengan imunisasi pasif jika
tersedia, yang memberikan perlindungan sementara selama beberapa minggu.9

5.7 Komplikasi dan Prognosis

Meskipun sangat jarang terjadi pada individu imunokompeten beberapa komplikasi yang
mungkin antara lain varisela hemoragik. pneumonia varisela, sindrom guillain barre, stroke,
ensefalitis, kejang demam, ataxia. Anak-anak tanpa komorbid memiliki prognosis yang sangat
baik karena umumnya infeksi VZV bersifat self-limiting. Namun, pada individu
immunocompromised, infeksi VZV dapat memiliki morbiditas yang tinggi.22

6. ERITEMA INFEKSIOSUM (5TH DISEASE)

6.1. Etiologi

Eritema infeksiosum atau 5th disease merupakan penyakit exanthema pada anak-anak yang
bersifat jinak dan self limited disebabkan oleh parvovirus B19. B19V merupakan bagian dari
genus Erythroparvovirus. Virus ini terdiri dari kapsul protein ikosahedral tanpa amplop dan
mengandung DNA untai tunggal yang bersifat resisten terhadap panas.3

6.2. Epidemiologi

Infeksi dari parvovirus B19V sering dan terjadi di seluruh dunia. Infeksi sering terjadi pada anak
sekolah yaitu 70 persen dari kasus terjadi antara anak berumur 5-15 tahun. Transmisi dari B19V
melewati jalur respirasi yaitu melalui droplet. Prevalensi dari parvovirus B19 pada negara maju
pada anak-anak dibawah 5 tahun adalah 2-10%. Transmisi berkisar antara 15-30% dari kontak
serumah, ayah dan ibu. Walaupun utamanya menyebar melalui droplet, B19V juga dapat
menyebar melalui darah ataupun transfusi darah.3

6.3. Patogenesis

Parvovirus B19 merupakan virus yang tidak beramplop dan menempel pada reseptor sel host di
saluran pernapasan. Selanjutnya virus akan translokasi genom ke dalam nukleus host, dan terjadi
replikasi DNA, transkripsi RNA dan pembentukan virus baru. Target utama dari infeksi B19V
adalah sel eritroid secara khusus prekursor eritroid pada stadium pronormoblast. Infeksi virus
menyebabkan sel lisis dan terjadinya deplesi dari prekursor eritroid dan berhentinya eritropoiesis.
Virus ini tidak memiliki efek pada sel myeloid. 3 Setelah 7 sampai 11 hari dari inokulasi, pasien
akan mengalami nasopharyngeal viral shedding dengan demam,malaise dan rhinorrhea. Atau
pasien mengalami gejala prodromal.Retikulosit akan turun hingga mencapai tidak terdeteksi
tetapi kadar hemoglobin hanya akan turun sedikit. Setelah antibodi spesifik terbentuk 8 hingga
10 hari setelah inokulasi, gejala akan hilang dan hemoglobin akan kembali ke normal. Seminggu
setelah antibodi IgM muncul antibodi IgG akan terbentuk, dapat juga terjadi ruam dengan
arthralgia 17-18 hari setelah inokulasi.23 Antigen P merupakan reseptor seluler untuk parvovirus
B19 yang menyebabkan eritema infeksiosum pada anak3

Individu dengan anemia hemolitik kronik dapat terjadi pertubasi minimal dalam proses
eritropoesis. Infeksi dengan B19V akan meningkatkan penghentian dari produksi sel darah
merah sehingga kadar hemoglobin serum turun dan membutuhkan adanya transfusi. Kadar
retikulosit akan turun ke level yang tidak terdeteksi ditunjukkan melalui adanya lisis dari
prekursor eritroid. IgM akan muncul 1-2 hari setelah infeksi dan dilanjutkan dengan IgG anti B-
19 yang akan mengontrol infeksi, restorasi dari retikulosit dan peningkatan hemoglobin.3

6.4. Manifestasi Klinis

Fase inkubasi dari eritema infeksiosum adalah 4-28 hari dengan rata-rata 16-17 hari. Fase
prodromal bersifat ringan dan munculnya gejala demam derajat rendah pada 15-30% kasus, sakit
kepala, infeksi saluran pernapasan atas, myalgia. Gejala yang paling sering adalah ruam
seminggu setelah fase prodromal yaitu muncul ruam yang dinamakan slapped cheek
appearance, lalu ruam akan menyebar ke badan dan ekstremitas atas sebagai eritema makula
difus pada fase kedua. Central clearing dari lesi makula membuat ruam memiliki lacy
reticulated appearance. Ruam akan lebih prominen pada permukaan ekstensor seperti telapak
tangan dan kaki. Biasanya anak-anak yang terinfeksi tidak demam dan tidak tampak sakit,
beberapa anak memiliki petekie. Ruam akan hilang secara spontan tanpa deskuamasi selama 1-3
minggu.3 Arthritis pada sendi kecil dapat terjadi seperti di tangan,kaki, dan lutut tetapi lebih
sering di dewasa.23

Pasien dengan kondisi imunokompromais seperti penurunan sel darah merah (ADB dan
thalasemia) atau peningkatan produksi sel darah merah (sickle cell anemia), HIV dapat
mengalami krisis aplastik.23

6.5. Diagnosis

Diagnosis dari eritema infeksiosum biasanya didapatkan dari presentasi klinis dari ruam dan
jarang dibutuhkan konfirmasi virologis. Tes serologi untuk diagnosis B19V juga tersedia. IgM
B19 spesifik akan muncul setelah terjadinya infeksi dan akan menetap selama 6-8 minggu. IgG
Anti B19 akan muncul sebagai marker dari infeksi sebelumnya. Adanya anti-B19 IgM
merupakan penanda terbaik adanya infeksi akut, serokonversi dari anti B19 IgG juga dapat
mengkonfirmasi adanya infeksi. Tes serologi tidak dapat digunakan pada individu
imunokompromais sehingga dibutuhkan diagnosis dengan mendeteksi DNA virus melalui PCR
atau hibridisasi asam nukleat.3,23
6.6. Tatalaksana dan Pencegahan

Tidak ada tatalaksana spesifik dari B19V, biasanya Intravenous Immunoglobulin digunakan
untuk B19V dengan anemia dan kerusakan sumsum tulang pada anak-anak imunokompromais.
Hal ini juga dapat diberikan pada anak-anak dengan AIDS tetapi hanya berupa remisi sementara
sehingga harus diberikan infus ulang secara periodik.3

Anak-anak dengan eritema infeksiosum tidak bersifat infeksius karena ruam dan artropati
menunjukkan adanya phenomena post infeksi sehingga anak tidak perlu diisolasi atau diliburkan
di sekolah. Anak-anak dengan aplasia sel darah merah akibat B19V bersifat infeksius sehingga
membutuhkan transfusi dan terapi suportif hingga keadaan stabil. Mereka harus diisolasi sekitar
1 minggu sampai demam hilang di rumah sakit karena dapat menyebarkan virus ke orang lain.3

6.7. Komplikasi dan Prognosis

Eritema infeksiosum bersifat ringan pada pasien yang sehat tetapi dapat menimbulkan
komplikasi serius pada pasien imunokompromais. B19V dapat menimbulkan trombositopenia
purpura walaupun jarang. Komplikasi neurologis seperti meningitis aseptik, encephalitis,
neuropati perifer juga dapat terjadi pada individu yang sehat ataupun imunokompromais insiden
ari stroke juga dapat terjadi pada anak yang mengalami sickle cell disease setelah infeksi krisis
aplastik akibat infeksi B19V. B19V juga dapat menyebabkan infeksi hemofagotik syndrome
pada pasien imunokompromais.3

7. DEMAM SCARLET

7.1 Etiologi

Etiologi dari demam scarlet adalah Streptococcus pyogenes yang termasuk Group A
streptococcus. Streptococcus pyogenes merupakan bakteri gram positif dan berbentuk kokus
berantai. Streptococcus grup A dapat dibagi menjadi berdasarkan hemolisis, dimana S.pyogenes
termasuk dalam Beta hemolytic atau hemolisis komplit atau dapat menghancurkan sel darah
merah secara komplit.3 Selain itu, bakteri ini juga menyebabkan strep throat, impetigo,
erysipelas,selulitis, necrotizing fasciitis.24

7.2 Epidemiologi

Demam scarlet dapat disebabkan oleh transmisi di kelas atau karena adanya luka yang terinfeksi
dengan GAS. Strep throat sendiri menyebabkan 15-30% faringitis pada anak-anak berusia 5-15
tahun.Anak-anak yang belum masuk sekolah tetapi memiliki kontak dengan anak-anak yang
sudah masuk sekolah juga merupakan faktor risiko. Periode inkubasi dari faringitis 2-5 hari.
GAS dapat menjadi patogen dan menyebabkan outbreak pada daycare. Anak-anak biasanya tidak
infeksius lagi 24 jam setelah diberikan terapi antibiotik. Prevalensi cukup tinggi pada negara
berkembang karena tempat tinggal yang lebih padat.24

7.3 Patogenesis

Virulensi dari GAS tergantung pada M protein dimana strain yang memiliki M protein resisten
terhadap fagositosis pada darah manusia. M protein dapat meningkatan produksi antibodi
opsonofagotik protektif yang bersifat spesifik untuk melindungi infeksi dari tipe M yang
homolog. GAS memproduksi enzim ekstraseluler dan toksin termasuk erythrogenic toxin yaitu
streptococcal pyrogenic exotoxins. S.pyogenes memproduksi eksotoksin A,C,SSA menyebabkan
ruam pada demam scarlet. Eksotoksin ini akan stimulasi dari formasi antibodi antitoksin spesifik
yang menyebabkan imunitas melawan ruam scarlatiniform. GAS dapat memproduksi sampai 12
eksotoksin pirogenik yang berbeda sehingga demam scarlet berulang dapat terjadi.24

7.4 Manifestasi Klinis

Demam scarlet merupakan GAS faringitis yang ditandai dengan ruam akibat eksotoksin
pirogenik pada individu yang tidak mempunyai antibodi antitoksin. Virus ini sudah lebih jarang
ditemui tetapi insidensi bersifat siklik bergantung pada prevalensi strain yang memproduksi
toksin dan status imunitas dari populasi. Secara umum, gejala demam, sakit tenggorokan, sulit
menelan, adenopati servikal akan muncul.Ruam akan muncul 24-48 jam setelah gejala walaupun
dapat muncul bersamaan dengan tanda tanda awal penyakit. Pada awalnya ruam akan muncul di
leher lalu menyebar ke badan dan ekstremitas. Ruam bersifat difus, papular, erupsi eritematosa
yang menyebabkan diskolorasi merah terang pada kulit dengan blanches saat ditekan.Ruam
biasanya ditemukan di lipatan siku, aksila dan groin. ²Pastia lines dapat ditemukan pada lipatan
leher, fossa antecubital dan groin yang merupakan akumulasi linear dari papule di sekeliling
pressure points. Kulit akan memiliki goose pimple appearance dan bersifat kasar. Pada pipi
akan ditemukan eritematosa dengan bibir pucat.3

Setelah 3-4 hari, ruam akan hilang dan muncul deskuamasi di wajah dan menyebar ke bawah
mirip seperti sunburn ringan. Deskuamasi dapat terjadi di free margin kuku jari, telapak tangan
dan telapak kaki. Pemeriksaan faring pasien dengan demam scarlet akan sama dengan faringitis
gas. Lidah bersifat kotor dan papilae bengkak, setelah deskuamasi papila akan lebih prominen
sehingga timbul strawberry appearance.3

7.5 Diagnosis

Untuk menentukan adanya asosiasi dengan faringitis, seperti batuk, eksudat, cervical nodes, suhu
dan usia dibawah 15 tahun dapat menggunakan CENTOR criteria. Selain itu riwayat kontak,
prevalensi tinggi infeksi GAS di komunitas juga perlu diperhatikan, gejala-gejala umum seperti
batuk, rhinorrhea, ulser mulut, dan suara serak juga dapat terjadi. Pada pasien dengan CENTOR
score yang tinggi maka dibutuhkan rapid strep untuk konfirmasi dari infeksi sehingga
pengobatan dapat dimulai.Tes yang dapat dilakukan adalah kultur tenggorok dan rapid strep test.
Kultur tenggorok membutuhkan waktu lebih lama berhari-hari dan bersifat spesifik sementara
rapid test bersifat cepat kurang dari 10-15 menit. dalam hitungan menit dan kurang spesifik.
Streptococcal rapid antigen test mempunyai spesifisitas di atas 95 persen dan sensitivitas dari tes
rapid 80-90%.3

Beberapa laboratorium mikrobiologi sudah mengganti metode kultur dengan GAS molecular
assay. Molecular assay ini termasuk metode PCR dan amplifikasi dari asam nukleat
menggunakan amplifikasi isotermal loop. Pemeriksaan ini berlangsung cepat di bawah 10 menit
dengan sensitivitas sampai 100% dan spesifisitas lebih dari 96%. Selain itu infeksi GAS juga
dapat dinilai dengan peningkatan titer antibodi streptococcus atau Anti-Streptolysin O assay.
Streptolysin O juga dihasilkan oleh grup C G streptococcus sehingga tidak spesifik untuk infeksi
streptococcus A.3

7.6 Tata Laksana dan Pencegahan

Terapi antibiotik diberikan secepatnya setelah diagnosis demam scarlet. GAS bersifat sensitif
terhadap penicillin dan sefalopsorin . Penisiln atau amoksisilin menjadi obat pilihan kecuali pada
pasien alergi dengan penisiliin untuk infeksi faringela. Oral peniccilin V dengan dosis 250 mg 2-
3 hari sekali untuk anak-anak dengan berat kurang dari 60 lb dan 500 mg untuk anak-anka lebih
dari 60 lb. Antibiotik penisilin disarankan diminum selama 10 hari walaupun ada perbaikan
gejala dalam 3-4 hari Penisilin V lebih dipilih dibandingkan penisilin G karena dapat diberikan
tanpa memperhatikan waktu makan. Jika ada kesulitan untuk pemberian secara oral maka dapat
diberikan injeksi intramuskular dari benzathine penicillin G sebanyak 600.000 IU pada anak
kurang dari 60 lb dan 1.200.000 IU pada anak lebih dari 60 lb. Selain penisilin, amoksisilin 50
mg/kg juga dapat diberikan selama 10 hari dengan dosis maksimum 100 mg.3

Pada pasien yang alergi penicilin, dapat diberikan sefalosporin, clindamycin, erythromycin,
clarithromycin, azithromycin. Azithromycin diberikan 12 mg/kg sekali sehari selama 5
hari.Erythromycin memiliki efek gastrointestinal yang tinggi dibandingkan obat lainnya. Hampir
semua antibiotik diberikan 10 hari supaya eradikasi bersifat maksimal. Jika pasien memiliki
riwayat dari demam reumatik akut atau penyakit jantung rematik harus diberikan antibiotik
jangka panjang sebagai pencegahan.3

Pencegahan secara umum dapat meningkatkan food hygienes, menutup mulut ketika batuk dan
bersin, desinfeksi reguler, dan menghindari orang yang terinfeksi. Publik juga harus mengetahui
resiko apabila antibiotik diberikan secara berlebihan karena menyebabkan resistensi terhadap
strain GAS.3

7.7 Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi supuratif mungkin terjadi seperti limfadenitis servikal, abses peritonsiler, abses
retropharyngeal, otitis media, mastoiditis, sinusitis pada anak yang pengobatan tidak maksimal.
Selain itu, demam rematik akut dan glomerulonefritis post streptokokus akut dapat terjadi setelah
periode laten asimtomatik. Poststreptococcal Reactive Arthritis merupakan sindrom yang terjadi
dengan adanya arthritis akut setelah faringitis akut. PSRA terjadi pada sendi besar mirip dengan
artritis akibat demam reumatik akut. PSRA terjadi kurang dari 10 hari setelah periode laten, tidak
respon dengan NSAID. Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah Pediatric Autoimmune
Neuropsychiatric Disorders Associated with Streptococcus Pyogenes (PANDAS) yaitu grup dari
kelainan neuropsikiatri seperti OCD, tic disorder, tourette syndrome. Pasien OCDs dapat
menghasilkan antibodi autoimun terhadap infeksi GAS yang akan bereaksi dengan jaringan otak
mirip dengan respon autoimun yang menyebabkan Sydenham chorea.3

Prognosis dari faringitis GAS yang diterapi sangat bagus. Jika terapi diberikan secepatnya, maka
pasien dapat kembali ke aktivitas semua dalam 24 jam setelah demam turun. Ketika terapi sudah
diberikan 10 hari maka demam reumatik akut dapat dicegah.24

8. ROSEOLA INFANTUM

8.1 Etiologi

Roseola merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi human herpesvirus 6 (HHV-6A dan
HHV-6B) dan human herpesvirus 7 (HHV-7). Penyakit ini umumnya terjadi pada infant atau
anak-anak sehingga sering disebut juga roseola infantum. Selain itu, penyakit ini juga disebut
dengan exanthema subitum karena manifestasinya yang utama adalah munculnya ruam yang
tiba-tiba; atau sixth disease karena sebagian besar kasus disebabkan oleh HHV-6.2,3

HHV-6A, HHV-6B, dan HHV-7 merupakan anggota dari genus Roseolovirus, subfamili B-
herpesvirinae, famili herpesviridae. Terdapat sembilan spesies dari famili herpesviridae yang
utamanya menginfeksi manusia: herpes simplex virus 1 dan 2 (HSV-1 dan HSV-2) yang dikenal
juga sebagai HHV-1 dan HHV-2 dan menyebabkan herpes orolabial dan herpes genital, varicella
zoster virus (HHV-3) yang menyebabkan cacar air (chickenpox dan shingles), Epstein-Barr virus
(EBV atau HHV-4) yang menyebabkan berbagai penyakit termasuk mononukleosis dan kanker,
human cytomegalovirus (HCMV atau HHV-5), HHV-6A, HHV-6B, dan HHV-7 yang
menyebabkan roseola, dan Kaposi's sarcoma-associated herpesvirus (KSHV atau HHV-8).
Famili herpesviridae diklasifikasikan ke dalam tiga subfamili, di mana HHV-1, HHV-2, HHV-3
berada dalam subfamili A-herpesvirinae; HHV-5, HHV-6, HHV-7 berada dalam subfamili B-
herpesvirinae; dan HHV-4, HHV-8 berada dalam subfamili G-herpesvirinae.3
Struktur HHV-6 dan HHV-7 tersusun atas double-stranded DNA, yang mengkode lebih dari 80
protein unik, dibungkus oleh icosahedral nucleocapsid, yang dilapisi oleh protein-dense
tegument, dan dibungkus paling luar oleh lipid envelope (Gambar 1).3

Gambar 1. Gambaran struktur HHV-6 dan HHV-725

HHV-6A dan HHV-6B, walaupun memiliki sekuens genome yang identik sekitar 90%, kedua
varian ini memiliki perbedaan polimorfisme panjang fragmen restriksi (RFLP), reaktivitas
terhadap antibodi monoklonal, tropisme, dan epidemiologi. Adapun mayoritas penyakit roseola
disebabkan oleh infeksi HHV-6B.2,3

8.2 Epidemiologi

Infeksi primer virus HHV-6 terjadi pada seluruh anak-anak setelah hilangnya antibodi maternal
terhadap HHV-6 ini yang terjadi pada usia satu bulan. Sebanyak 95% dari anak-anak yang
berusia dua tahun sudah pernah terinfeksi HHV-6. Puncak terjadinya infeksi primer HHV-6B
adalah saat anak berusia 6-8 bulan.2,3

Infeksi primer HHV-6 dapat terjadi melalui dua cara: Melalui saliva atau droplet respiratori atau
melalui infeksi kongenital. Mayoritas infeksi primer HHV-6 terjadi melalui jalur saliva atau
droplet respiratori dari orang dewasa atau anak-anak yang lebih tua yang asimtomatik.
Sementara infeksi kongenital hanya terjadi pada 1% bayi. Lebih jauh lagi, infeksi HHV-6
kongenital dapat terjadi melalui dua mekanisme: infeksi transplasental dan integrasi kromosom.
Sebagian besar infeksi kongenital terjadi melalui mekanisme integrasi kromosom karena HHV-6
memiliki kemampuan untuk berintegrasi dengan ujung telomer dari kromosom manusia dan
diturunkan via germline. Namun, perbedaan mekanisme tersebut tidak memberikan perbedaan
manifestasi klinis yang bermakna. Tidak terdapat manifestasi klinis yang terjadi pada neonatus
akibat infeksi HHV-6 kongenital.2,3

Sementara itu, infeksi primer virus HHV-7 juga banyak terjadi pada anak, namun dengan laju
yang lebih lambat. Hanya sebanyak 50% anak-anak usia tiga tahun yang ditemukan sudah pernah
terinfeksi HHV-7; dengan seroprevalensi sebesar 75% pada populasi anak 3-6 tahun. Rata-rata
infeksi primer HHV-7 terjadi pada usia 26 bulan. Berbeda dengan HHV-6, infeksi primer HHV-
7 hanya terjadi via saliva dari individu asimtomatik dan belum ada bukti terjadinya infeksi
kongenital.3

DNA HHV-6 dan HHV-7 ditemukan pada sekresi serviks pada ibu hamil sehingga menunjukkan
adanya kemungkinan terjadinya transmisi perinatal. Namun, ASI terbukti tidak mentransmisikan
HHV-6 maupun HHV-7.3

8.3 Patogenesis

HHV-6 memiliki efek sitopatik yang menyebabkan adanya tampilan sel mononucleated atau
multinucleated dengan inklusi intrasitoplasmik dan/atau intranuklear. HHV-6 menginfeksi
berbagai tipe sel, termasuk sel T primer, monosit, sel NK, sel dendritik, astrosit, sel B, garis sel
megakariositik, endotelial, dan epitelial. Tropisme yang luas dari HHV-6 konsisten dengan
penelitian yang menunjukkan CD-46, yang merupakan protein regulatori yang terdapat pada
permukaan seluruh sel bernukleus, merupakan reseptor selular dari HHV-6. HHV-6B memiliki
reseptor selektif CD-134 yang membedakannya dengan HHV-6A secara tropisme. Sementara itu,
HHV-7 memiliki reseptor yaitu molekul CD-4. Infeksi HHV-7 ditemukan mereaktivasi HHV-6
dari fase laten.3

Setelah terjadi infeksi primer HHV-6 dan HHV-7, akan terjadi latensi atau persistensi virus di
lokasi-lokasi tertentu. HHV-6 mengalami fase latensi di monosit dan makrofag. Penelitian
menunjukkan bahwa HHV-6 dapat bereplikasi di media kultur CD34+ sel punca hematopoietik,
sehingga mengindikasikan bahwa proses diferensiasi selular dapat memicu reaktivasi HHV-6.
HHV-6 juga dapat menjalani fase laten di sistem saraf pusat. Selain itu, infeksi HHV-6 dan
HHV-7 juga ditemukan persisten di kelenjar saliva.3

8.4 Manifestasi Klinis

Roseola infantum adalah penyakit akut yang bersifat self-limited yang terjadi pada infant dan
awal anak-anak. Gejala berupa onset mendadak demam tinggi mencapai 39,4oC – 41,2oC yang
yang berkaitan dengan kondisi viremia. Demam biasanya selesai secara langsung setelah 72 jam
atau dalam 3-6 hari.2,3 Namun demam juga dapat turun secara bertahap yang bersamaan dengan
munculnya ruam morbilliform berukuran 2-3 mm, tidak disertai gatal (non-pruritik), berwarna
merah muda pucat atau merah mawar. Ruam biasanya bertahan selama 1-3 hari, namun
seringkali ruam cepat hilang dan hanya terlihat dalam hitungan jam. Pola penyebaran dimulai
dari batang tubuh, lalu ke wajah dan ekstremitas. Tanda lain yang dapat muncul adalah
hiperemia pada faring, konjungtiva palpebra, atau membran timpani; dan perbesaran KGB
suboksipital. Perbesaran KGB juga dapat ditemukan di KGB servikal. 2,3 Di negara-negara Asia,
ulkus pada batas uvulopalatoglossus (Nagayama spots) umum ditemukan pada infant dengan
roseola (Gambar 2).
Gambar 2. Nagayama spots26

Demam tinggi (rata-rata: 39,7oC) merupakan temuan paling konsisten pada infeksi HHV-6B.
Ruam ditemukan bersamaan atau setelah demam. Gejala dan tanda lain, seperti iritabilitas,
membran timpani yang mengalami inflamasi, rhinorrhea dan kongesti, keluhan gastrointestinal,
dan ensefalopati, juga dapat ditemukan. Gejala saluran napas, seperti batuk jarang ditemukan.
Durasi rata-rata sakit akibat infeksi primer HHV-6B 6 hari.3

8.5 Diagnosis

Walaupun roseola merupakan penyakit self-limited, diagnosis roseola penting dilakukan untuk
mengeksklusi penyebab demam dan ruam yang lebih serius. Diagnosis spesifik HHV-6 tidak
diperlukan kecuali jika manifestasi penyakit parah dan membutuhkan terapi antivirus.1 Diagnosis
roseola infantum didasarkan pada manifestasi klinik dan pemeriksaan penunjang. Demam akut
yang menurun pada hari ke-3-4 yang dilanjutkan dengan adanya ruam makulopapular dam
makula diawali di batang tubuh kemudian ke ekstremitas dan ke wajah, yang menetap kurang
dari 24 jam, mengarahkan diagnosis kepada roseola infantum.2

Pemeriksaan penunjang yang merupakan baku emas untuk infeksi adalah kultur virus. Namun,
metode tersebut jarang digunakan karena mahal, lama, dan tidak tersedia dengan mudah.
Pemeriksaan penunjang yang umum dilakukan terdiri atas pemeriksaan laboratorium, serologis,
PCR. Pemeriksaan laboratorium pada 24-36 jam pertama demam menunjukkan hasil leukositosis
dengan neutrofilia. Selanjutnya, pada hari ke-3-4 demam dapat terjadi leukopenia dengan
neutropenia dan limfositosis, dan kadang disertai monositosis.2,3 Analisis CSF pada pasien yang
diduga ensefalitis akibat HHV-6 menunjukkan hasil normal atau pleositosis minimal dengan
elevasi protein derajat ringan, yang terjadi pada awal perjalanan penyakit.3

Pemeriksaan serologis untuk memeriksa IgM terhadap HHV-6 dan HHV-7 dapat dilakukan
dengan metode indirect immunofluorescence assay, enzyme-linked immunosorbent assays,
neutralization assay, dan immunoblot; dan dapat terdeteksi pada 5-7 hari pertama infeksi
primer.2,3 Namun, akurasi dari pemeriksaan serologis tergolong rendah. Pada pasien di atas usia
enam bulan dengan antibodi IgG negatif disertai adanya virus yang aktif replikasi menunjukkan
adanya infeksi primer HHV-6 atau HHV-7. Terlihatnya serokonversi antara sampel akut dan
sampel konvalesen juga mengkonfirmasi infeksi primer, namun cara ini jarang digunakan. 3
Pemeriksaan DNA HHV-6 menggunakan PCR dapat dilakukan untuk melihat aktivitas replikasi
virus. Sampel yang digunakan dapat berupa saliva, kelenjar liur, atau plasma.2,3

8.6 Diagnosis Banding

Pada fase awal, infeksi HHV menunjukkan gejala demam yang sulit dibedakan dari infeksi virus
yang umum terjadi pada anak-anak. Ketika ruam nampak, roseola menunjukkan gambaran yang
mirip dengan campak dan rubella. Pada campak terdapat ciri khas cough, coryza, dan
conjunctivitis dengan waktu munculnya ruam yang bersamaan dengan demam tinggi. Pada
rubella, terdapat gejala prodromal seperti demam derajat rendah, nyeri tenggorokan, arthralgia,
dan gejala gastrointestinal yang jarang ditemukan pada roseola. Pola ruam pada campak dan
rubella dimulai dari wajah yang menyebar ke batang tubuh.2,3

8.7 Tata Laksana dan Pencegahan

Tidak diperlukan tata laksana spesifik untuk pasien roseola infantum. Pasien diberikan terapi
suportif, meliputi hidrasi dan antipiretik. Tidak terdapat cara pencegahan transmisi yang dapat
dilakukan.2,3

8.7 Komplikasi dan Prognosis

Kejang merupakan komplikasi yang paling umum ditemukan pada roseola dan ditemukan paling
sering pada pasien usia 12-15 bulan. Frekuensi terjadinya kejang parsial, kejang berkepanjangan,
paralisis postiktal, dan kejang berulang juga lebih tinggi ditemukan pada pasien infeksi HHV-6B
dibandingkan dengan pasien kejang demam yang tidak terkait HHV-6. Sebanyak 1/3 dari anak-
anak yang mengalami demam disertai status epileptikus adalah pasien infeksi primer atau
reaktivasi HHV. Komplikasi lain yang dapat ditemukan pada sebagian kecil pasien dengan
infeksi HHV-6B primer adalah ensefalitis, demielinasi diseminata akut, ensefalitis autoimun,
serebelitis akut, hepatitis, dan miokarditis. Sekuele jangka panjang, seperti disabilitas
perkembangan dan fitur menyerupai autistik, juga dilaporkan pada pasien dengan gejala SSP
selama infeksi HHV-6B, walaupun jarang.2,3

Reaktivasi dapat terjadi pada pasien dengan imunokompromais, khususnya pada pasien yang
sedang menjalani hematopoietic stem cell transplantation (HSCT). Komplikasi reaktivasi HHV-
6B pasca HSCT meliput demam, ruam, keterlambatan engraftment platelet dan monosit, dan
penyakit graft-versus-host.3

Pasien roseola umumnya sembuh sempurna tanpa adanya sekuel. Kejang merupakan komplikasi
yang umum terjadi pada infeksi primer HHV-6B dan HHV-7, namun resiko kejang berulang
tidak lebih tinggi daripada kejang demam simpel.3
9. HERPES SIMPLEKS

9.1 Etiologi

Herpes simplex virus 1 (HSV-1) dan 2 (HSV-2) mengandung genome double-stranded DNA
yang dibungkus oleh kapsid ikosadeltahedral dan amplop luar yang tersusun atas lipid bilayer
yang mengandung setidaknya 12 glikoprotein virus. Glikoprotein ini yang menjadi target dari
imunitas humoral, sementara protein non-struktural yang lain menjadi target dari imunitas
selular. Dua protein yang dihasilkan, yaitu Viral DNA polymerase dan thymidine kinase,
merupakan target dari obat antivirus yang saat ini ada. HSV-1 dan HSV-2 memiliki komposisi
genetik yang serupa, sehingga antibodi terhadap protein HSV salah satu tipe dapat bereaksi
dengan protein HSV tipe yang lain.3

Perbedaan penting antara kedua virus terdapat pada gen glikoprotein G. Perbedaan ini digunakan
lebih jauh untuk mengembangkan pemeriksaan yang dapat membedakan etiologi infeksi seorang
pasien, apakah HSV-1, HSV-2, atau keduanya. HSV-1 dan HSV-2 merupakan spesies virus yang
berada dalam subfamili A-herpesvirinae, famili herpesviridae, dan merupakan dua dari sembilan
spesies dari famili herpesviridae yang umumnya menginfeksi manusia.3

Infeksi primer terjadi pada individu yang belum pernah terinfeksi HSV-1 maupun HSV-2
sebelumnya. Umumnya infeksi primer akan menghasilkan gejala yang parah karena individu
tersebut seronegatif dan belum terdapat imunitas terhadap HSV. Infeksi pertama non-primer
terjadi pada individu yang sebelumnya sudah pernah terinfeksi salah satu tipe HSV, yang saat ini
terinfeksi HSV tipe yang lain. Karena terdapat keserupaan antara kedua tipe virus, infeksi jenis
ini lebih ringan dibandingkan infeksi primer. Setelah infeksi primer atau infeksi pertama non-
primer, HSV akan menjalani fase laten di neuron ganglion sensori. Di fase hidup yang lebih
dewasa, virus dapat reaktivasi dan menyebabkan infeksi rekuren yang biasanya bersifat ringan
dengan durasi singkat, atau bahkan asimtomatik.3

9.2 Epidemiologi

Infeksi HSV tersebar dan tidak terdapat variasi waktu yang berisiko terjadinya infeksi. Inang
natural HSV adalah manusia dengan rute transmisinya adalah kontak langsung antar permukaan
mukokutaneus. Semua pasien yang terinfeksi akan berujung pada fase laten dan akan mengalami
infeksi rekuren, yang bisa bersifat simptomatik maupun asimptomatik dan tidak disadari, namun
demikian berpotensi menularkan.3

HSV-1 dan HSV-2 dapat menyebabkan infeksi inisial di lokasi anatomis manapun, namun
kemampuan dalam menyebabkan infeksi rekuren berbeda. HSV-1 memiliki kecenderungan
menyebabkan infeksi rekuren di daerah oral, sementara HSV-2 di genital. Sehingga, infeksi
HSV-1 umumnya merupakan hasil kontak dari sekresi oral, sementara HSV-2 dari kontak
anogenital.3

Infeksi HSV-1 lebih sering terjadi pada masa anak-anak dan remaja dan tidak dipengaruhi oleh
jenis kelamin. Sementara prevalensi HSV-2 ditemukan lebih tinggi pada usia yang lebih tua
dibandingkan dengan remaja; dan lebih tinggi pada perempuan daripada laki-laki. Beberapa
faktor, seperti tingkat edukasi rendah, kemiskinan, pengguna kokain, dan jumlah pasangan
seksual, meningkatkan risiko terjadinya infeksi HSV-2. Perempuan muda yang aktif secara
seksual memiliki laju infeksi HSV-1 yang tinggi sehingga infeksi HSV-1 harus dipertimbagkan
sebagai diagnosis banding pada perempuan muda dengan keluhan genitourinaria rekuren.
Adanya antibodi HSV-1 menurunkan laju infeksi HSV-2.3

Herpes neonatus jarang terjadi namun berpotensi menyebabkan penyakit yang fatal pada fetus
atau neonatus. Sebanyak satu per 3000 neonatus mengalami herpes neonatus. Lebih dari 90%
kasus disebabkan oleh transmisi maternal-fetus.3

9.3 Patogenesis

Pada pasien imunokompeten, infeksi HSV meliputi replikasi virus di kulit dan membran mukosa
yang dilanjutkan dengan replikasi dan penyebaran virus ke jaringan neural. Infeksi virus
umumnya dimulai dari portal of entry kutaneus, seperti rongga mulut, mukosa genital,
konjungtiva okular, dan epitel terkeratinisasi yang rusak. Virus kemudian bereplikasi dan
menyebabkan kematian sel sehingga memicu respons inflamasi yang menimbulkan lesi
karakteristik herpes, yaitu vesikel dan ulkus.3

Virus juga masuk ke ujung saraf dan menyebar ke ganglia sensori melalui transpor interneuronal.
Virus juga bereplikasi di sini dan akan kembali ke ujung saraf di perifer melalui mekanisme
transpor yang sama dan akan bereplikasi lebih jauh di kulit atau membran mukosa. Pergerakan
virus melalui neural arc merupakan faktor utama terbentuknya lesi khas herpes.3

Namun, tidak semua neuron yang terinfeksi akan mendukung terjadinya replikasi virus sehingga
menyebabkan terjadinya infeksi laten, kondisi di mana genome viral tetap ada di dalam nukleus
neuron tetapi dalam fase inaktif. Nantinya, perubahan-perubahan tertentu pada inangnya dapat
memicu virus untuk kembali bereplikasi, yang disebut juga fase reaktivasi.3

Pada fase reaktivasi ini, virus kembali bereplikasi dan ditranspor kembali ke lokasi kulit yang
merupakan tempat terjadinya infeksi awal. Virus kemudian akan bereplikasi di kulit dan
menyebabkan infeksi rekuren yang dapat bersifat simptomatik maupun asimptomatik. Pada fase
ini, pasien dapat mentransmisikan virus kepada individu rentan yang berkontak dengan lokasi
tersebut atau dengan sekresi yang terkontaminasi.3
Viremia jarang terjadi pada infeksi HSV di individu yang imunokompeten, namun dapat terjadi
di neonatus, individu dengan eksim, anak-anak yang malnutrisi berat, pasien HIV, atau pasien
yang menjalani terapi imunosupresi. Penyebaran secara hematogen dapat terjadi ke organ-organ
visceral, seperti hati, adrenal, dan SSP. Pada neonatus yang terinfeksi, transmisi umumnya
berasal dari ibu yang terjadi pada saat proses persalinan dan umumnya masuk melalui
konjungtiva, epitel mukosa hidung dan mulut, atau luka pada kulit. Virus juga dapat masuk ke
saluran pernapasan yang menyebabkan pneumonia, atau ke SSP menyebabkan ensefalitis, atau
menyebar secara hematogen.3

9.4 Manifestasi Klinis

Ciri patognomonik yang umum ditemukan pada infeksi HSV adalah vesikel kulit dan ulkus yang
dangkal. Vesikel berukuran 2-4 mm yang dikelilingi dasar eritematosa. Vesikel akan bertahan
sampai beberapa hari dan kemudian akan berubah menjadi ulkus. Pada epitel yang
terkeratinisasi, fase vesikular bertahan lebih lama. Sementara pada membran mukosa, fase
vesikular umumnya singkat. Sebagian besar infeksi HSV bersifat asimtomatik atau infeksi yang
tidak menunjukkan tampilan yang klasik juga sering ditemukan, seperti fisura kecil pada kulit
dan lesi eritematosa non vesikular.3

Infeksi rekuren dapat terjadi setelah fase laten infeksi HSV. Beberapa faktor yang memicu
terjadinya rekurensi ini termasuk kondisi imunosupresi, endokrin atau eksogen yang
mempengaruhi imunitas dimediasi sel, atau faktor lain tidak dapat dijelaskan. Rekurensi dapat
terjadi di kulit, membran mukosa, atau mucocutaneous junction. Herpes labialis merupakan
bentuk infeksi HSV yang paling sering mengalami rekurensi.2

Infeksi orofaring akut

Herpes gingivostomatitis umumnya terjadi pada anak-anak usia 6 bulan – 5 tahun dan
merupakan penyebab tersering stomatitis pada anak usia 1-3 tahun. Penyakit ini menyebabkan
rasa nyeri yang sangat berat yang tiba-tiba, nyeri di mulut, sekresi liur berlebih, menolak untuk
makan atau minum, dan demam tinggi mencapai 40oC – 40,6oC. Gusi membengkak dan vesikel
berkembang sepanjang rongga mulut, termasuk gusi, bibir, lidah, lelangit, tonsil, faring, dan kulit
perioral (Gambar 3). Namun, penyakit ini bisa terjadi secara tersembunyi dengan gejala demam
dan iritabel dilanjutkan dengan lesi mulut selama 1-2 hari.2,3
Gambar 3. Herpes gingivostomatitis3

Pada fase awal, terdapat eksudat tonsil yang mirip dengan faringitis bakterial. Vesikel kemudian
muncul selama beberapa hari sebelum nantinya berprogresi menjadi ulkus yang dangkal yang
dilapisi membran kuning kelabu. Limfadenopati submandibular, submaksila, dan servikal umum
ditemukan. Terdapat nafas yang bau akibat pertumbuhan bakteri anaerob oral. Herpes
gingivostomatitis dapat sembuh sendiri dalam waktu 7-14 hari.2,3

Pada anak-anak yang lebih dewasa, remaja, dan mahasiswa, infeksi oral HSV awal cenderung
menyebabkan faringitis dan tonsilitis daripada gingivostomatitis. Fase vesikular juga umumnya
sudah selesai ketika pasien datang ke dokter. Tanda dan gejala sulit dibedakan dari faringitis
streptokokus, meliputi demam, malaise, nyeri kepala, nyeri tenggorokan, plak putih pada
tonsil.2,3

Herpes labialis

Fever blisters (cold sores) merupakan manifestasi paling sering pada infeksi rekuren HSV-1.
Lokasi yang paling umum terinfeksi adalah batas vermilion bibir; walau bisa juga terjadi di
hidung, dagu, pipi, dan mukosa mulut. Pada pasien yang lebih tua, didapatkan rasa nyeri,
terbakar, dan gatal selama 3-6 jam sebelum terbentuknya lesi herpes. Lesi umumnya diawali
dengan papul eritematosa yang membentuk kelompok kecil yang berprogresi menjadi vesikel
kecil dengan dinding tipis dengan dasar eritem dalam waktu beberapa jam. Vesikel yang
berlangsung selama 2-3 minggu, kemudian membentuk ulkus dangkal atau menjadi pustul.
Ulkus akan mengering dan membentuk crusted scab. Penyembuhan sempurna dapat terjadi
setelah 6-10 hari kecuali jika terjadi rekurensi dan infeksi sekunder.2,3

Infeksi kutaneus

Pada anak atau remaja yang sehat, infeksi HSV pada kulit disebabkan oleh trauma kulit dengan
abrasi mikro maupun makro dan keterpaparan dengan sekresi terkontaminasi. Lesi pada kulit
berbentuk papula eritematosa akan muncul dalam waktu 2-3 hari pada tempat trauma tersebut,
dan kemudian berprogresi menjadi vesikel, pustul, ulkus dan krusta, lalu kemudian sembuh
setelah 6-10 hari. Herpes kutaneus umumnya menyebabkan lesi multipel dan melibatkan area
permukaan yang lebih besar, penyebarannya bersifat sentripetal sepanjang saluran limfe.
Limfadenopati regional dapat terjadi. Lesi sembuh secara lambat dan dapat mencapai waktu tiga
minggu, rekurensi sering ditemukan di lokasi yang sama dalam bentuk lesi bulosa.2,3

Infeksi HSV kutaneus dapat menjadi parah dan bahkan mengancam nyawa pada pasien dengan
penyakit kulit, seperti eksim (eksema herpetikum), pemphigus, luka bakar, dan Darier disease.
Adapun eksema herpetikum merupakan manifestasi paling berat dari infeksi kutaneus HSV. Pada
kasus tersebut, lesi berupa vesikel akan berkembang secara mendadak dan banyak di atas kulit
yang mengalami eksim, berkelompok hingga 7-9 hari. Lesi dapat berlanjut menjadi krusta dan
epitelisasi. Kadang terjadi demam hingga 39,4oC-40,6oC selam 7-10 hari. Jika tidak ditangani,
lesi dapat berkembang dan infeksi tersebar hingga dapat menyebabkan kematian, melalui
gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, dan protein, atau melalui invasi ke jaringan otak atau
jaringan lain, atau melalui invasi bakteri sekunder.2,3

Herpes genitalia

Herpes genitalia merupakan jenis herpes yang paling sering ditemukan pada remaja dan dewasa
muda. Umumnya ditemukan pada mereka yang telah berhubungan seksual, namun 90% individu
terinfeksi tidak menyadarinya. Transmisinya dapat terjadi melalui rute genital-genital (biasanya
HSV-2) atau oral-genital (biasanya HSV-1). Virus secara periodik berkumpul di area anogenital
sehingga dapat terjadi transmisi infeksi ke pasangan seksual atau ke bayi baru lahir pada ibu
hamil. Gejala yang ditimbulkan adalah nyeri dan rasa terbakar lokal sebelum timbulnya vesikel
pada permukaan mukosa genital atau pada kulit terkeratinisasi dan kadang di sekitar anus,
bokong, dan paha. Vesikel pada permukaan mukosa hanya terlihat singkat dan akan ruptur
membentuk ulkus yang dangkal dan nyeri dilapisi eksudat kuning kelabu dan berbatas
eritematosa. Sementara vesikel pada permukaan epitel terkeratinisasi dapat bertahan selama
beberapa hari sebelum berkembang menjadi pustul kemudian krusta.2,3

Pasien dapat mengalami uretritis dan disuria hingga retensi urin dan limfadenopati pelvis dan
inguinal bilateral. Pada perempuan infeksi dapat melibatkan vulva dan vagina dan dapat
menimbulkan discharge berair dari vagina. Infeksi HSV-2 merupakan faktor risiko terjadinya
karsinoma serviks. Pada pria, vesikel dan ulkus dapat timbul di glans penis, preputium, atau
batang penis; serta dapat ditemukan discharge mukoid jernih dari uretra. Nyeri lokal dan gejala
sistemik, seperti demam, nyeri kepala, mialgia cukup sering ditemui.2,3

Rekurensi herpes genital umumnya lebih ringan dan lebih singkat dibandingkan dengan infeksi
primer. Pasien dapat mengalami nyeri, rasa terbakar, dan kesemutan di tempat di mana vesikel
akan timbul. Infeksi rekuren asimtomatik umum ditemukan. Infeksi genital yang disebabkan oleh
HSV-1 jarang menimbulkan rekurensi. Herpes genitalia pada anak-anak dan pra-remaja jarang
terjadi. Jika terjadi, perlu dicurigai adanya kekerasan seksual atau dapat juga terjadi melalui
auto-inokulasi, di mana anak tersebut secara tidak sengaja mentransmisikan virus dari sekresi
oral terkontaminasi ke genitalnya sendiri.2,3

Infeksi okular

Infeksi okular HSV dapat meliputi konjungtiva, kornea, dan retina, dan dapat terjadi secara
primer maupun rekuren. Konjungtivitis atau keratokonjungtivitis biasanya terjadi secara
unilateral dan seringkali bersamaan dengan blefaritis dan limfadenopati preaurikular. Lesi
vesikular dapat terjadi di batas kelopak mata dan kulit periorbital. Pada neonatus, dapat
ditemukan katarak, uveitis, dan korioretinitis. Pasien umumnya mengalami demam. Infeksi yang
tidak ditangani umumnya sembuh dalam waktu 2-3 minggu.2,3

Infeksi SSP

Infeksi HSV merupakan salah satu penyebab utama ensefalitis. Infeksi HSV pada SSP umumnya
melibatkan korteks frontal atau temporal dan sistem limbik. Infeksi ini hampir selalu disebabkan
oleh HSV-1 dengan manifestasi yang tidak spesifik, seperti demam, nyeri kepala, kaku kuduk,
nausea, muntah, kejang umum, penurunan kesadaran. Gejala anosmia, kehilangan ingatan,
perilaku yang aneh, afasia ekspresif dan gangguan bicara lain, halusinasi, dan kejang fokal
merupakan gejala yang mengarahkan pada gangguan pada korteks frontal atau temporal atau
sistem limbik yang mengindikasikan adanya ensefalitis HSV. Infeksi akibat HSV-1 terjadi
melalui jalur neurogenik, sementara infeksi HSV-2 terjadi secara melalui hematogen.Buku ajar
Jika tidak ditangani, infeksi HSV pada SSP memiliki case fatality rate yang tinggi dan akan
berprogresi hingga koma sampai menyebabkan kematian. Penyintas juga dapat mengalami
sekuele neurologis yang permanen.2,3

Infeksi pada pasien imunokompromais

Infeksi HSV yang parah dan mengancam nyawa dapat terjadi di pasien dengan fungsi imun yang
kompromais, termasuk neonatus, malnutrisi berat, imunodefisiensi seperti AIDS, dan pada
pasien yang menerima terapi imunosupresi. Infeksi mukokutan, seperti mukositis dan esofagitis,
merupakan jenis infeksi yang paling sering terjadi. Lesi dapat membesar perlahan, ulkus, dan
menjadi nekrotik, hingga mencapai jaringan yang lebih dalam. Infeksi HSV lain seperti
trakeobronkitis, pneumonitis, dan infeksi anogenital juga dapat terjadi. Infeksi diseminata dapat
menghasilkan tampilan seperti sepsis.3

Infeksi perinatal

Infeksi HSV dapat terjadi intrauterin, perinatal, maupun pada periode post-natal. Transmisi post-
natal dapat terjadi dari ibu atau orang dewasa lain, seperti penolong persalinan atau nosokomial,
melalui rute non-genital (HSV-1), seperti herpes labialis. Herpes neonatus paling sering terjadi
pada periode perinatal, dan berasal dari infeksi dan transmisi maternal, umumnya terjadi melalui
kanal lahir yang terinfeksi dari ibu yang asimtomatik.2,3

Infeksi HSV neonatus tidak pernah asimtomatik. Infeksi intrauterin jarang terjadi dan biasanya
menyebabkan vesikel dan scarring pada kulit, gejala pada mata seperti korioretinitis dan
keratokonjungtivitis, dan mikrosefali atau hidranensefali yang muncul saat persalinan. Hanya
sedikit bayi yang tetap tetap hidup tanpa terapi dan biasanya mengalami sekuele yang berat.
Sementara itu, infeksi perinatal dan post-natal menyebabkan gejala satu dari tiga pola berikut: (1)
penyakit yang terlokalisasi di kulit, mata, dan mulut; (2) ensefalitis dengan/tanpa pelibatan kulit,
mata, dan mulut; dan (3) infeksi diseminata yang melibatkan organ multipel, seperti otak, paru,
hati, jantung, adrenal, dan kulit.2,3

Bayi dengan penyakit kulit, mata, dan mulut (skin, eye, and mouth disease) umumnya muncul
pada hari ke-5-11 kehidupan dan umumnya menunjukkan gejala vesikel kecil dan sedikit,
utamanya pada lokasi terjadinya trauma, seperti tempat penempatan elektroda scalp. Jika tidak
ditangani, penyakit ini dapat tersebar dan menyebabkan ensefalitis. Sementara itu, bayi dengan
ensefalitis umumnya muncul pada hari ke-8-17 kehidupan dengan gejala mirip dengan
meningitis bakterial, seperti iritabilitas, letargi, poor feeding, tonus buruk, dan kejang. Demam
jarang dan vesikel kulit hanya terjadi pada 60% kasus. Jika tidak ditangani, 50% bayi dengan
ensefalitis HSV akan meninggal dan penyintas akan mengalami sekuele neurologis yang berat.
Bayi dengan infeksi HSV diseminata dapat muncul pada hari ke-5-11 kehidupan dan
menunjukkan gejala seperti sepsis bakterial, meliputi hipertermia atau hipotermia, iritabilitas,
poor feeding, dan muntah. Pasien juga dapat menunjukkan gejala distres respiratori, sianosis,
apneic spells, ikterus, ruam purpura, dan gejala infeksi SSP serta kejang. Vesikel kulit ditemukan
pada 75% kasus. Jika tidak ditangani, infeksi akan menyebabkan syok dan DIC; dan 90% bayi
akan mengalami kematian, sementara penyintas akan mengalami sekuele neurologis yang
berat.2,3

9.5 Diagnosis

Prinsip diagnosis infeksi HSV adalah berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium.
Kultur virus merupakan baku emas untuk mendiagnosis infeksi HSV. Spesimen terbaik diambil
dengan memecahkan vesikel herpetik kemudian menggosok dasar lesi secara kuat untuk
mengambil cairan dan sel-sel. Kultur virus dengan spesimen lesi krusta yang kering memberikan
hasil yang kurang. Selain kultur virus, deteksi langsung antigen HSV juga dapat digunakan dan
memberikan hasil yang cepat dan spesifik. PCR untuk mendeteksi DNA HSV juga sangat
sensitif dan spesifik, utamanya digunakan untuk memeriksa CSF pada kasus curiga ensefalitis
HSV.2,3

Pemeriksaan pada neonatus curiga infeksi HSV meliputi kultur lesi dan PCR CSF dan darah.
Jika terdapat peningkatan enzim hati dapat dicurigai terjadinya diseminasi HSV ke organ
visceral. Pada kecurigaan herpes genital, kultur dan deteksi antigen dapat dilakukan. Uji antibodi
spesifik HSV-2 berguna untuk memeriksa remaja atau dewasa muda yang aktif seksual dengan
riwayat gejala urogenital rekuren, namun tidak umum digunakan untuk screening pada populasi
dengan prevalensi infeksi HSV-2 rendah. Walaupun sebagian besar uji diagnostik HSV
membutuhkan waktu setidaknya beberapa hari, terapi tetap harus diberikan segera.2,3

Sebagian besar infeksi HSV yang self-limited memberikan gambaran pemeriksaan laboratorium
rutin yang berubah sedikit. Infeksi mukokutan dapat menyebabkan leukositosis polimorfonuklear
yang sedang. Pada meningoensefalitis dapat terjadi peningkatan sel mononuklear dan protein
pada CSF, glukosa dapat normal atau menurun, eritrosit bisa positif. Elektroensefalogram dan
MRI otak menunjukkan abnormalitas lobus temporal pada ensefalitis HSV yang terjadi setelah
periode neonatus. Ensefalitis neonatus cenderung melibatkan keseluruhan bagian otak, tidak
hanya lobus temporal. Infeksi diseminata dapat menyebabkan peningkatan enzim liver,
trombositopenia, dan koagulasi abnormal.2,3

9.6 Tata Laksana dan Pencegahan

Infeksi mukokutan akut

Untuk gingivostomatitis diberikan asiklovir oral (15 mg/kgBB/dosis, 5x/hari PO selama 7 hari,
maksimum 1 g/hari) dimulai dalam 72 jam onset.3

Untuk herpes labialis, terapi oral memberikan hasil yang lebih baik daripada topikal. Terapi
untuk rekurensi pada remaja digunakan valasiklovir oral (2000 mg, 2x/hari PO selama 1 hari),
asiklovir (1500 mg, 1x/hari PO, selama 1 hari), atau famsiklovir (1500 mg, 1x/hari PO, selama 1
hari). Penggunaan jangka panjang asiklovir oral (400 mg, 2x/hari PO) atau valasiklovir (500 mg,
2x/hari) digunakan untuk mencegah rekurensi pada individu dengan riwayat rekurensi yang
parah atau berulang.3

Untuk eksema herpetikum, terapi yang digunakan adalah asiklovir oral (200 mg, 5x/hari PO,
selama 5 hari). Namun, infeksi serius harus diberikan asiklovir IV.3

Herpes genital

Pasien anak yang mengalami herpes genital episode pertama harus diterapi dengan antivirus.
Untuk remaja, tata laksana yang diberikan dapat berupa asiklovir (400 mg, 3x/hari PO, selama 7-
10 hari), famsiklovir (250 mg, 3x/hari PO selama 7-10 hari), atau valasiklovir (1000 mg, 2x/hari
PO, selama 7-10 hari). Untuk anak yang lebih muda, suspensi asiklovir dapat digunakan dalam
dosis 10-20 mg/kgBB/dosis, 4x/hari. Penggunaan analgesik juga diperlukan.3

Terdapat tiga pilihan strategi tata laksana infeksi rekuren. Strategi pertama tanpa terapi, kedua
terapi episodik, dan terapi tiga terapi supresif jangka panjang. Terapi episodik untuk remaja
dapat berupa famsiklovir (1000 mg, 2x/hari PO, untuk 1 hari), asiklovir (800 mg, 3x/hari PO,
untuk 2 hari), atau valasiklovir (500 mg, 2x/hari PO, selama 3 hari; atau 1000 mg, 1x/hari PO,
selama 5 hari). Terapi supresif jangka panjang dapat berupa asiklovir (400 mg, 2x/hari PO),
famsiklovir (250 mg, 2x/hari PO), atau valsiklovir (500/1000 mg, 1x/hari PO).3

Infeksi SSP

Pasien selain neonatus dengan ensefalitis herpes diterapi dengan asiklovir IV (10 mg/kgBB,
setiap 8 jam, diberikan dalam bentuk infus 1 jam, selama 14-21 hari).3

Infeksi pada pasien imunokompromais

Infeksi HSV diseminata dan mukokutan berat pada pasien imunokompromais harus diterapi
dengan asiklovir IV (5-10 mg/kg atau 250 mg/m2 selama 8 jam) sampai adanya tanda perbaikan
infeksi. Terapi oral asiklovir, famciclovir, atau valasiklovir digunakan pada infeksi HSV yang
ringan dan untuk supresi rekurensi pada saat imunosupresi berat.3

Infeksi perinatal

Neonatus yang dicurigai atau terbukti terinfeksi HSV harus segera diterapi dengan asiklovir IV
(60 mg/kgBB/hari, dibagi setiap 8 jam IV). Terapi dapat dihentikan jika pada pemeriksaan
laboratorium ditemukan bahwa bayi tidak terinfeksi. Bayi dengan HSV yang terbatas pada kulit,
mata, dan mulut diterapi selama 14 hari. Sementara pada bayi dengan infeksi diseminata atau
SSP diterapi selama 21 hari. Setelah selesai terapi IV, terapi asiklovir supresif oral diberikan
(300 mg/m2/dosis, 3x/hari, selama 6 bulan). Pada wanita hamil dengan herpes genital dianjurkan
melakukan persalinan secara caesar untuk mencegah penularan melalui jalan lahir.3

Pencegahan

Mencuci tangan dengan baik dan penggunaan sarung tangan untuk petugas kesehatan dapat
mencegah infeksi HSV di lingkungan kerja. Petugas kesehatan dengan herpes oral-facial aktif
harus berhati-hati terutama dalam menangani pasien yang risiko tinggi, seperti neonatus,
imunokompromais, dan pasien dengan penyakit kulit kronik. Edukasi pasien dan orang tua
terkait praktik higienis, seperti mencuci tangan dan menghindari kontak terhadap lesi dan
sekresi, juga dapat dilakukan. Sekolah dan tempat penitipan anak juga harus membersihkan
mainan atau peralatan yang digunakan setidaknya setiap hari. Atlet dengan infeksi herpes aktif
yang berolahraga di cabang yang menggunakan kontak, seperti tinju dan rugby, harus dieksklusi
dari pertandingan sampai lesi sembuh. Herpes genital dicegah dengan menghindari kontak
genital-genital atau oral-genital. Pada wanita hamil dengan herpes genital aktif, transmisi ke bayi
dapat dikurangi dengan persalinan metode caesar, dalam waktu <4-6 jam pasca ruptur
membran.2,3

9.7 Komplikasi dan Prognosis


Sebagian besar infeksi HSV bersifat self limiting, sembuh sendiri dalam beberapa hari (pada
infeksi rekuren) hingga 2-3 minggu (infeksi primer), dan sembuh sempurna tanpa scarring.
Herpes genital dapat memiliki efek psikologis karena stigma yang timbul, bahkan bisa
melampaui efek fisiologis. Beberapa infeksi HSV dapat menjadi berat dan mengancam nyawa
jika tidak diberikan terapi segera, seperti pada herpes neonatus, herpes encephalitis, dan infeksi
HSV pada pasien imunokompromais, pasien luka bakar, dan anak-anak dengan malnutrisi berat.
Herpes okular rekuren bisa menyebabkan scarring pada kornea dan kebutaan.3

REFERENSI

Referensi:
1. Rahayu T, Tumbelaka AR. Gambaran klinis penyakit eksantema akut pada anak. Sari
Pediatri. 2002 Dec;4(3):104-13.
2. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku ajar infeksi & pediatri tropis.
2nd ed. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008.
3. Kliegman RM, Stanton BF, St Geme III JW, Schor NF, et al. Nelson textbook of
pediatrics. Edisi ke-20. Philadelphia: Elsevier; 2016.
4. Kondamudi NP, Waymack JR. Measles [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2021 Jan [cited 2021 Jun 27]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448068/
5. Situasi campak dan rubella di Indonesia. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI; 2018 Apr 24.
6. Naim HY. Measles virus: a pathogen, vaccine, and a vector. Human Vaccines &
Immunotherapeutics. 2015;11(1):21-6.
7. Misin A, Antonello RM, Bella SD, Campisciano G, Zanotta N, Giacobbe DR, et al.
Measles: an overview of a re-emerging disease in children and immunocompromised
patients. Microorganisms. 2020;8(2):276.
8. Krawiec C, Hinson JW. Rubeola (measles) [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2021 Jan [cited 2021 Jun 27]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557716/
9. Jadwal imunisasi anak umur 0-18 tahun: rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI) tahun 2020. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2020.
10. Leonor MC, Mendez MD. Rubella [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2021 Jan [cited 2021 Jun 28]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559040/
11. Shukla S, Maraqa NF. Congenital rubella [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2021 Jan [cited 2021 Jun 28]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507879/
12. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 12 tahun 2017 tentang
Penyelenggaraan Imunisasi.
13. Correia S, Bridges R, Wegner F, Venturini C, Palser A, Middeldorp J et al. Sequence
Variation of Epstein-Barr Virus: Viral Types, Geography, Codon Usage, and Diseases.
Journal of Virology. 2018;92(22).
14. Smatti M, Al-Sadeq D, Ali N, Pintus G, Abou-Saleh H, Nasrallah G. Epstein–Barr Virus
Epidemiology, Serology, and Genetic Variability of LMP-1 Oncogene Among Healthy
Population: An Update. Frontiers in Oncology. 2018;8
15. J W, M J. Common questions about infectious mononucleosis [Internet]. PubMed. 2021
[cited 28 June 2021]. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/25822555/
16. Drăghici S, Csep A. Clinical and paraclinical aspects of infectious mononucleosis. BMC
Infectious Diseases. 2013;13.
17. Nandi M, Hazra A, Das M, Bhattacharya S, Sarkar U. Infectious mononucleosis due to
epstein-barr virus infection in children: A profile from eastern India. Medical Journal of
Dr DY Patil University. 2017;10(5):438.
18. Middeldorp J. Epstein-Barr Virus-Specific Humoral Immune Responses in Health and
Disease. Epstein Barr Virus Volume 2. 2015;:289-323
19. Mohseni M, Boniface M, Graham C. Mononucleosis [Internet]. Ncbi.nlm.nih.gov. 2021
[cited 28 June 2021]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470387/
20. Ayoade F, Kumar S. Varicella Zoster [Internet]. Ncbi.nlm.nih.gov. 2021 [cited 28 June
2021]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448191/
21. Gershon A, Breuer J, Cohen J, Cohrs R, Gershon M, Gilden D et al. Varicella zoster virus
infection. Nature Reviews Disease Primers. 2015;1(1).
22. Poole C, James S. Antiviral Therapies for Herpesviruses: Current Agents and New
Directions. Clinical Therapeutics. 2018;40(8):1282-1298.
23. Macri A, Crane JS. Parvoviruses. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; 2021 [cited 2021 Jun 28]. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482245/
24. Pardo S, Perera TB. Scarlet fever. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; 2021 [cited 2021 Jun 28]. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507889/
25. Herpesviridae [Internet]. Lausanne: SIB Swiss Institute of Bioinformatics; 2017 [Cited
2021 Jun 30]. Available from: https://viralzone.expasy.org/176
26. Bruce JA, Hairston BR, Rogers RS. Diagnosis and management of oral viral infections.
Dermatol Ther. 2002; 15: 270-86.

Anda mungkin juga menyukai