Anda di halaman 1dari 11

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/346678225

Penyakit Mitokondria: Review

Article · December 2020

CITATIONS READS
0 2,370

1 author:

Mamlikatu Ilmi
Universitas Padjadjaran
1 PUBLICATION   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Mitochondrial DNA Mutation View project

All content following this page was uploaded by Mamlikatu Ilmi on 07 December 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Penyakit Mitokondria: Review
1
Mamlikatu Ilmi Azizah

Penyakit Mitokondria: Review


Mamlikatu Ilmi Azizah
Desember, 2020

Abstrak:
Mitokondria adalah organel kompleks yang bertanggung jawab atas sebagian besar
produksi energi sel melalui sintesis ATP. Disfungsi mitokondria dapat terjadi jika
terdapat gen nDNA dan mtDNA yang membawa mutasi. Penurunan fungsi mitokondria
akibat penumpukan radikal bebas di organel mitokondria dapat menyebabkan penyakit
mitokondria. Beberapa sindrom umum yang terjadi akibat mutasi mtDNA adalah penyakit
multisistem diantaranya MELAS, LHON, MIDD, Diabetes Mellitus tipe 2, dan Katarak.

Kata kunci: Penyakit Mitokondria, mtDNA, mutasi mtDNA, ATP, ROS.

1. Pendahuluan
Mitokondria adalah suatu organel yang terdapat pada sitoplasma, tempat terjadinya proses
resiprasi sel pada sel eukariot. Mitokondria bertanggung jawab atas sebagian besar sintesis
adenosin trifosfat (ATP) dalam sel melalui fosforilasi oksidatif (OXPHOS) (Maksum et al., 2015).
Mitokondria tersusun atas empat bagian, yakni membran luar, membran dalam, ruang antar
membran, dan matriks. Membran luar berperan membatasi mitokondria dengan sitoplasma,
sedangkan membran dalam membentuk lipatan-lipatan (krista) yang merupakan tempat terjadinya
proses fosforilasi oksidatif. Bagian dalam dari mitokondria terdiri atas matriks yang mengandung
sebagian besar air, DNA, RNA, mesin sintesis protein, dan enzim-enzim yang berperan dalam
oksidasi asam lemak, piruvat, dan siklus asam sitrat (Maksum, 2020). Genom mitokondria manusia
terdiri dari dua bagian; satu bagian terdiri dari daerah pengkode yang terdiri dari 13 mRNA, 2
rRNA dan 22 tRNA, dan bagian lainnya terdiri dari daerah regulator yang bertanggung jawab atas
ekspresi genom mitokondria (Maksum et al., 2015).

Gambar 1. Peran mitokondria sebagai penghasil energi untuk aktivitas sel


(Taylor & Turnbull, 2005)
Gangguan mitokondria dikenal sebagai penyumbang paling signifikan dari penyakit
metabolisme dan degeneratif, penuaan, dan kanker. Molekul DNA mitokondria yang bermutasi
akan ditranskripsikan kemudian ditranslasikan dan menghasikan protein subunit yang rusak,
sehingga terjadi gangguan pada rantai transfer elektron (ETC). Gangguan ini tidak hanya
menyebabkan penyimpangan sintesis ATP, tetapi juga menghasilkan lebih banyak ROS (Maksum
et al., 2015). Penurunan fungsi mitokondria dapat terjadi di berbagai jaringan seperti pada sistem

Desember, 2020
Penyakit Mitokondria: Review
2
Mamlikatu Ilmi Azizah

neuromuskular, contoh: deafness, miopati, demensia, ataksia, seizure, dan lain-lain, pada sel-β
pankreas menyebabkan diabetes melitus, pada jantung menyebabkan hypertrophic
cardiomyopathy, pada gastrointestinal menyebabkan dysphagia, pada lensa mata menyebabkan
pembentukan katarak (opacity of the lens) serta pada jaringan lainnya (Maksum, 2017). Mutasi
DNA mitokondria hanya diwariskan secara maternal (dari ibu) karena mitokondria hanya diwarisi
dari sel telur dan bukan dari sperma (Ankel-Simons & Cummins, 1996).
2. Pembahasan
2.1 Genelitika Mitokondria
Sama halnya dengan genom inti, genom mitokondria dibangun dari DNA untai ganda,
dan itu mengkodekan gen-gen tertentu. Namun, genom mitokondria berbeda dari genom inti
dalam beberapa fitur. Genom mitokondria berbentuk sirkular dibangun dari 16.569 pb yang
mengandung 37 gen yang menyandikan 13 protein, 22 tRNA, dan 2 rRNA. Ke-13 protein yang
dikodekan gen mitokondria semuanya menginstruksikan sel untuk menghasilkan subunit
protein dari kompleks enzim sistem fosforilasi oksidatif yang memungkinkan mitokondria
untuk bertindak sebagai penghasil energi untuk sel. Genom mitokondria tidak mampu secara
independen menghasilkan semua protein yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsinya.
Dengan demikian, mitokondria sangat bergantung pada produk gen inti. Setiap sel mengandung
banyak mitokondria. Oleh karena itu, sel tertentu dapat berisi beberapa ribu salinan genom
mitokondria. Beberapa urutan pengkodean mitokondria (kodon triplet) tidak mengikuti aturan
penggunaan kodon universal ketika diterjemahkan menjadi protein. Gen mitokondria pada
kedua untai DNA ditranskripsikan secara polikistronik: mRNA mitokondria berisi instruksi
untuk membangun banyak protein berbeda, yang dikodekan satu demi satu sepanjang mRNA
(Taylor & Turnbull, 2005).

Gambar 2. Genom mitokondria manusia


(Taylor & Turnbull, 2005)
Genom mitokondria tidak dikemas ke dalam kromatin dan hanya mengandung sedikit
atau tidak sama sama sekali sekuens DNA noncoding (~3%) (Taylor & Turnbull, 2005). Satu-
satunya daerah noncoding di mtDNA adalah displacement loop (D-loop). Daerah ini berisi
1000 pb yang berfungsi untuk replikasi heavy strand dan daerah promotor dan untuk transkripsi
heavy dan light strand. D-Loop merupakan daerah non penyandi yang memiliki polimorfisme
tertinggi dalam mtDNA. Analisis variasi urutan nukleotida daerah D-Loop dapat digunakan
untuk menentukan identitas manusia serta hubungan kekerabatan antar individu secara
maternal (Ratnayani et al., 2009). Seperti penelitian (Maksum, 2008) yang melakukan

Desember, 2020
Penyakit Mitokondria: Review
3
Mamlikatu Ilmi Azizah

penentuan dan analisis pola variasi urutan nukleotida 0,4 kb daerah D-loop mtDNA manusia
suku Sunda di Kampung Baduy. Analisis homologi dilakukan dengan membandingkan urutan
nukleotida seluruh sampel dengan Cambridge manusia Indonesia di Gene Bank. Hasil
Homologi urutan nukleotida dua puluh manusia suku Sunda ditemukan 42 varian dan enam
diantaranya merupakan varian baru. Dari analisis pohon filogenetik didapatkan dua haplotip,
yaitu haplotip tac (asli) dan taT (mutasi baru pada posisi 16261).
2.2 Sejarah Penyakit Mitokondria
Penyakit mitokondria diperkenalkan pada tahun 1962, ketika sekelompok peneliti di
Universitas Karolinska di Stockholm menganalisis seorang pasien wanita dengan
hipermetabolisme parah yang bukan disebabkan oleh disfungsi tiroid. Investigasi ini
didasarkan pada tiga set data: bukti morfologi dari mitokondria abnormal yang pada otot; loose
coupling pada oksidasi dan fosforilasi di mitokondria otot; dan korelasi antara loose coupling
dan gambaran klinis (metabolisme otot yang tidak terkontrol. Sepuluh tahun setelah laporan
tersebut, istilah pleoconial myopathy diperkenal oleh Shy dan Gonates (Dimauro, 2011).
Pada tahun 1988, mutasi patogenik pertama pada mtDNA dilaporkan oleh Anita Harding
yang mengidentifikasi penghapusan tunggal skala besar mtDNA pada pasien dengan
mitokondria miopati. Segera setelah itu, Doug Wallace mendeskripsikan mutasi titik pada gen
pengkode subunit 4 kompleks I (ND4) pada seorang pasie dengan LHON. Dalam satu tahun
penemuan tersebut, Massimo Zeviani, dan Carlos Moraes dari Columbia University Medical
Center (CUMC) menemukan adanya penataan ulang mtDNA yang berkaitan dengan
progressive external ophthalmoplegia (PEO) dan sindrom Kearns-Sayre (KSS). Pada tahun
1990, John Shoffner mengidentifikasi mutasi titik pada tRNA (tRNALys) pada pasien dengan
sindrom MERRF; Yu-ichi Goto mengidentifikasi mutasi titik pada tRNALeu (UUR) pada
pasien dengan MELAS. Pada dekade berikutnya, perkembangan laporan mutasi patogen baru
mtDNA berlangsung cepat hingga tercatat mencapai sepuluh laporan per tahun (Dimauro,
2011).
2.3 Penyebab Penyakit Mitokondria
Mitokondria adalah organel antar sel yang bertanggung jawab atas oksidasi biologis
beberapa makromolekul penting pada tahap terakhir metabolisme aerobik pada sel hewan dan
manusia. Jika proses yang memegang peranan kunci di mitokondria hilang atau rusak, akan
ada efek berkelanjutan yang tidak normal (Maksum et al., 2015). Ini terkait dengan kerusakan
genetik atau zat berbahaya dari lingkungan. Keduanya dapat meningkatkan jumlah radikal
bebas (Bhatti et al., 2017)

Gambar 3. Pembentukan Reaktif Oksigen Spesies di mitokondria


(Bhatti et al., 2017)

Desember, 2020
Penyakit Mitokondria: Review
4
Mamlikatu Ilmi Azizah

Mitokondria adalah penghasil hampir keseluruhan ROS pada reduksi O2 yang tidak
sempurna. Hal ini terjadi karena kurangnya elektron pada rantai transfer elektron. NaDH:
ubiquinone oksidoreduktase (kompleks I) dan ubikuinol: sitokrom c oksidoreduktase
(kompleks III) dari ETC adalah pembentuk ROS yang krusial dalam mitokondria (Maksum et
al., 2015). Kompleks I adalah komponen rantai pernapasan terbesar yang terdiri dari 45 subunit
berbeda yang berkumpul menjadi struktur ~1 MDa. DNA mitokondria (mtDNA) mengkode 7
subunit kompleks I. Sisa 38 subunit dikodekan oleh gen inti (Mutia et al., 2010). Kompleks III
dikodekan oleh mitokondria (sitokrom b) dan genom inti (subunit lainnya). Kompleks III terdiri
dari 11 subunit dengan 3 subunit respirasi (sitokrom B, sitokrom C1, protein Rieske), 2 protein
inti dan 6 protein dengan berat molekul rendah (Gao et al., 2003).
Ubisemiquinone, radikal flavosemiquinone, dan ROS tersusun secara berkelanjutan dan
berada dalam kondisi stabil relatif tinggi di mitokondria. Inhibitor pernapasan mencegah
transfer elektron dalam kompleks I dan kompleks III dan menyebabkan agresi super oksida dan
hidrogen peroksida dalam sel. Biasanya, rantai pernafasan di mitokondria menghasilkan
radikal bebas dalam jumlah rendah selama sintesis ATP. Jika terjadi kegagalan fungsi pada
rantai pernafasan maka produksi radikal bebas akan meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada mtDNA, dan menyebabkan “lingkaran setan” yaitu
kerusakan dan dihasilkannya radikal bebas yang berlebihan (Maksum et al., 2015).
2.4 Penyakit Mitokondria
DNA mitokondria bersifat sangat polimorfik, sehingga laju mutasinya dapat mencapai
10 hingga 17 kali lebih tinggi dibandingkan dengan laju mutasi pada DNA kromosom.
Beberapa varian atau mutasi tersebut dapat bertindak secara sinergis dengan varian patologis
lainnya, dan menyebabkan penyakit mitokondria (Maksum, 2020a). Penyakit mitokondria
mencakup dua kelompok besar, yaitu kelainan akibat mutasi pada mtDNA (biasanya
diturunkan secara maternal tetapi bisa juga sporadis) dan kelainan pada mutasi pada DNA
nukleus (diturunkan sebagai ciri Mendel) (Dimauro, 2011). Mutasi patogen pada DNA
mitokondria dapat dibedakan menjadi tiga kategori: (1) Mutasi titik pada tRNA, rRNA atau
gen pengkode protein; (2) Perpanjangan, penghapusan atau duplikasi dalam DNA mitokondria;
dan (3) Kerusakan gen inti. Mutasi titik biasanya diwariskan, sedangkan mutasi delesi
kebanyakan bersifat sporadis (Maksum et al., 2015).
Penyakit mitokondria merupakan penyakit multisistem, yaitu satu mutasi tertentu dapat
menyebabkan beberapa gambaran klinis atau satu gambaran klinis dapat disebabkan oleh
beberapa mutasi. Contoh, mutasi A3243G ditemukan pada pasien yang mengalami penyakit
mitokondria seperti MIDD (maternally inherited diabetes and deafness), MELAS
(mitochondrial encephalopathy, lactacidosis, and stroke-like episode), MERRF (myoclonic
epilepsy and raggedred fibers), DM tipe 2, katarak, ketulian dan ataksia, serta pada DM tipe 2
dan katarak, polidipsia dan parestesia kaki (Maksum et al., 2011).
- MELAS
Mitochondrial Encephalopathy, Lactacidosis, and Stroke-like episode (MELAS)
adalah salah satu keluarga mitochondrial cytopathies yang juga termasuk MERRF, dan
LHON. Penyakit ini pertama kali dikarakterisasi pada tahun 1984 (Pavlakis et al., 1984).
Ciri dari penyakit ini adalah disebabkan oleh cacat pada genom mitokondria yang diwarisi
secara maternal (Hirano & Pavlakis, 1994). MELAS adalah kelainan bawaan langka dari
produksi energi intraseluler yang biasanya muncul sebelum usia 40 tahun. Delapan puluh
persen kasus terkait dengan mutasi titik A3243G. Seperti halnya gangguan mitokondria
lainnya, sindrom diturunkan berdasarkan garis keturunan ibu. Ekspresi fenotip dan tingkat
keparahan penyakit ini terkait dengan proporsi DNA mutan dan aktivitas kompleks rantai
pernapasan di mitokondria di dalam setiap sel (Henry et al., 2017).
Sindrom MELAS menargetkan sistem organ dengan aktivitas metabolik tinggi,
termasuk sistem saraf dan kardiovaskular, dan onset klinis biasanya terjadi pada masa
dewasa awal setelah masa kanak-kanak yang tampaknya normal dengan perkembangan

Desember, 2020
Penyakit Mitokondria: Review
5
Mamlikatu Ilmi Azizah

yang disebabkan oleh efek kumulatif laktat asidosis kronis. Akibatnya, defisit neurologis
dan manifestasi kejiwaan ditunjukkan pada sindrom ini, dan pasien umumnya hadir
sebelum usia 40 tahun dengan kombinasi migrain, kejang, perubahan status mental, ataksia,
gangguan pendengaran sensorineural, dan defisit fokal lainnya. Efek klinisnya tersebar luas
dan gejala jangka panjang mungkin termasuk gangguan pendengaran progresif, ataksia,
ketidakstabilan psikiatrik, intoleransi glukosa, dan kardiomiopati hipertrofik (Henry et al.,
2017).
- LHON
Penyakit yang paling banyak muncul berhubungan dengan coding region MT-NDI
adalah LHON. Persentasenya 19,4% dari jumlah total (Chandra et al., 2015). LHON
biasanya muncul dengan gejala gangguan penglihatan sentral tanpa rasa sakit, subakut,
pada satu mata. Beberapa minggu hingga berbulan-bulan kemudian, mata kedua juga ikut
menunjukkan tanda-tanda yang sama (Meyerson et al., 2015). Ini menggambarkan etiologi
yang kompleks dari penyakit ini. Gangguan utama mutasi ini muncul karena kegagalan
aktivitas dehidrogenase NADH. Hal ini mengarah pada defisiensi fungsi OXPHOS dan
sintesis ATP (Chandra et al., 2015).
Sembilan puluh persen dari semua kasus LHON disebabkan oleh salah satu dari
tiga mutasi titik pada mtDNA, yang terletak pada posisi nukleotida 3460, 11778, dan
14484.5 Mutasi titik yang paling umum adalah 11778, yang merupakan 70% dari semua
kasus. Mutasi titik 14484 dan 3460 menyumbang ~14% dan ~13%, dari keseluruh kasus
LHON. Semua mutasi terjadi pada gen yang mengkode subunit untuk kompleks I dalam
rantai pernapasan, terutama pada gen yang mengkode subunit ND1 dan ND6. Seperti
beberapa kelainan mitokondria lainnya, heteroplasmi diperkirakan mempengaruhi LHON.
Sebagai contoh, telah diamati bahwa keturunan yang lahir dari ibu dengan mtDNA yang
bermutasi kurang dari 80% dalam darah cenderung tidak bergejala dibandingkan keturunan
yang lahir dari ibu homoplasma. Bahkan lebih banyak variabilitas hadir karena segregasi
spesifik jaringan dari mtDNA mutan bersifat stokastik selama embriogenesis (Meyerson et
al., 2015).
- MIDD
Mutasi pada DNA mitokondria (mtDNA) manusia menjadi salah satu penyebab
terjadinya Diabetes Mellitus karena fosforilasi oksidatif di mitokondria berperan penting
dalam sekresi insulin oleh sel β pankreas sebagai respon terhadap glukosa dan nutrisi lain
di dalam tubuh. Mutasi DNA mitokondria pada gen ini menyebabkan suatu bentuk diabetes
yang dikenal dengan Maternal Inherited Diabetes and Deafness (MIDD). Bentuk diabetes
ini dapat didiagnosis di atas 25 tahun dalam bentuk terganggunya sekresi insulin dan sering
kali diikuti dengan melemahnya indera penglihatan dan atau pendengaran. MIDD memiliki
pola pewarisan yang sangat spesifik, melalui garis keturunan ibu tanpa adanya rekombinasi
garis paternal. Ini karena hanya sel telur yang membawa mtDNA saat menyatu dengan sel
sperma (Chandra et al., 2015).
Studi klinis mutasi titik mtDNA A3243G pada pasien DM telah dilakukan di
berbagai negara dengan berbagai metode. (Maksum et al., pada (2013) melakukan
pencarian potensi mutasi titik DNA mitokondria A3243 pada penderita Diabetes Mellitus
menggunakan PCR-RFLP (Polymerase Chain Reaction-Restriction Length Fragmnets
Polymorphysm). Hasil pemotongan enzim restriksi Apa1 pada 100 sampel menunjukkan
sampel mengalami mutasi A3243G. Fragmentasi mtDNA 294 bp gen tRNAleu oleh enzim
restriksi Apa1 menjadi dua fragmen 182 bp dan 112 bp menunjukkan adanya mutasi
A3243G pada 2 sampel. Sebuah penelitian juga dilakukan oleh Hartati et al., pada (2013)
yang membuat template mutan A3243G dengan metode site directed mutagenesis (SDM)
untuk digunakan sebagai kontrol positif PASA-mismatch tiga basa, yang dapat digunakan
sebagai kontrol positif mutan untuk mengindari terjadinya false positive.

Desember, 2020
Penyakit Mitokondria: Review
6
Mamlikatu Ilmi Azizah

Pengembangan biosensor DNA elektrokimia untuk mendeteksi transversi DNA


mitokondria A3243G yang terjadi kurang dari 50% mutasi titik pada heteroplasmi telah
dilakukan oleh Sriwidodo et al., pada (2008). Pada penelitian tersebut, probe penangkap
diadsorpsi ke Pencil Graphite Electrode (PGE) dan berinteraksi dengan urutan
komplementer atau non-komplementer yang dilakukan dengan adsorpsi pasif pada
permukaan elektroda grafit. Kemudian dilakukan pengukuran perubahan arus puncak
Meldola's Blue (MDB) sebagai indikator hibridisasi dengan menggunakan 20
oligonukleotida sintetik pasangan basa dan amplikon PCR. Sinyal reduksi MDB diukur
dengan Differential Pulse Voltammetry (DPV). Sensor tersebut dapat dengan jelas
membedakan kecocokan total dari DNA dalam waktu 30 menit waktu deteksi. Batas
deteksi (S/N=3) dihitung sebesar 2,35% dalam heteroplasmi yang memiliki urutan tipe
mutan dan wildtype.
- Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan kelompok penyakit metabolik yang ditandai
dengan peningkatan kadar gula secara kronis di dalam darah akibat ketidakmampuan
kelenjar pankreas mensekresi insulin atau tidak bekerjanya reseptor insulin (Chandra et al.,
2015). Jika dibiarkan terus menerus Diabetes Mellitus dapat menimbulkan berbagai efek
yang fatal termasuk penyakit yang berhubungan dengan jantung dan ginjal. Kerusakan
parah pada bagian tubuh tertentu bahkan memerlukan operasi pengangkatan (amputasi).
DM diklasifikasikan menjadi dua kelompok utama, tipe I dan tipe II (Ripsin et al., 2009).
Diabetes Melitus Tipe I bergantung pada insulin sedangkan Diabetes Melitus Tipe II tidak
bergantung pada insulin. Insulin merupakan hormon yang meregulasi kadar gula dalam
darah. Mayoritas penderita Diabetes Melitus mengidap DM tipe 2 dengan gejala yang
sering kali kurang terlihat sehingga menyebabkan penderita baru terdiagnosis mengidap
penyakit ini setelah beberapa tahun disaat telah terjadi komplikasi (Chandra et al., 2015).
Diabetes Melitus Tipe 1
Diabetes tipe 1 umumnya dipicu oleh penghancuran sel β pankreas yang
memproduksi insulin atau dimediasi secara langsung oleh kekebalan. Secara historis,
diabetes tipe 1 sebagian besar dianggap sebagai kelainan pada anak-anak dan remaja, tetapi
anggapan ini telah berubah karena usia tidak lagi menjadi faktor pembatas. Polydipsia,
polifagia, dan poliuria (trio klasik gejala yang terkait dengan DM tipe 1) bersama dengan
hiperglikemia tetap menjadi ciri diagnostik pada anak-anak dan remaja, dan pada tingkat
yang lebih rendah pada orang dewasa. Kebutuhan pemberian insulin eksogen juga
merupakan ciri khas diabetes tipe 1 yang memerlukan pengobatan seumur hidup (Atkinson
et al., 2014). Meskipun diabetes tipe 1 terutama disebabkan oleh kerusakan sel β autoimun,
mitokondria juga penting dalam diabetes tipe 1. Walaupun tidak berhubungan dengan
patogenisitas tetapi berperan dalam pengobatan gangguan dan pencegahan konsekuensi
jangka panjang (Sivitz & Yorek, 2010).
Diabetes Melitus Tipe 2
Diabetes Mellitus Tipe II merupakan penyakit yang tidak bergantung pada
insulin/Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) dan tampilan klinisnya
dipengaruhi baik oleh faktor genetik maupun faktor lingkungan. Faktor genetik berperan
penting dalam penyakit Diabetes Mellitus tipe II (Maksum et al., 2010). Kecenderungan
untuk DM tipe 2 ini berkisar antara 90% atau lebih (Maksum et al., 2013). DM tipe-2
ditandai dengan pewarisan secara maternal (MID) dan defisiensi fungsi sekresi insulin
dalam sel β pankreas. DM tipe-2 disertai dengan katarak adalah salah satu gambaran klinis
yang ditemukan pada pasien Diabetes Melitus tipe 2. Katarak dapat disebabkan oleh stres
oksidatif pada sel epitel lensa dan berhubungan dengan penurunan fungsi protein yang
mengalami renaturasi. Berbagai penelitian melaporkan bahwa MID dan katarak terkait
dengan mutasi mtDNA, mutasi yang paling umum adalah A3243G pada gen tRNALeu
(UUR) dan C12258A pada gen tRNASer (Maksum et al., 2010).

Desember, 2020
Penyakit Mitokondria: Review
7
Mamlikatu Ilmi Azizah

Mutasi A3243G pada MID dan katarak ditemukan bersamaan dengan gambaran
klinis lainnya, seperti tuli, miopati, dan ataksia (Maksum et al., 2013). Maksum et al., pada
(2017) mempelajari hubungan mutasi A3243G pada mtDNA dengan gambaran klinis: MID
dan katarak tanpa penambahan fenotipe lain dengan pengujian mutasi A3243G
menggunakan amplifikasi PCR alel spesifik (PASA) pada penderita MID dan katarak.
Subjek penelitian terdiri dari 57 pasien yang terdiri dari 19 pasien katarak dan diabetes
mellitus tipe-2 (kelompok 1), 16 penderita DM tipe-2 (kelompok 2), dan 22 penderita
katarak (kelompok 3). DNA mitokondria diperoleh dari sel epitel urin pasien karena sel
epitel memiliki tingkat mutasi (mutation load) yang cukup tinggi. Sel epitel merupakan
jaringan epitel yang selalu beregenerasi secara terus menerus. Regenerasi sel epitel
berlangsung melalui proses suksesi, yaitu lapisan sel yang terletak di bagian luar akan
hancur, digantikan oleh lapisan sel yang berada di bagian dalam. Untuk melangsungkan
proses mitosis yang berkelanjutan, sel epitel membutuhkan energi dalam jumlah besar.
Kebutuhan sel untuk energi dipenuhi melalui proses oksidasi makanan yang terjadi di
mitokondria. Untuk alasan inilah maka sel epitel merupakan sumber mitokondria yang
relatif melimpah. Hasil PASA secara keseluruhan menunjukkan adanya mutasi
heteroplasmi A3243G pada 20 dari 57 pasien diabetes tipe-2 dan katarak, terdiri dari
kelompok I (n = 19,58%), kelompok II (n = 16,31%), dan kelompok III (n = 22,18%). Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara mutasi dengan gambaran klinis
diabetes tipe 2 dan katarak.
Pada tahun 2010, Maksum melaporkan 6 mutasi pada mtDNA yang khusus terjadi
pada pasien DM tipe 2 dan katarak termasuk T15458C dan T15663C. (Maksum et al.,
2017) melakukan studi analisis DNA mitokondria, yaitu T15458C dan T15663C yang
ditemukan pada gen CytB yang menyebabkan perubahan asam amino dengan polaritas
yang berbeda, yaitu S238P dan I306T. Mutasi S238P terjadi pada struktur a-heliks
sitokrom b dan diperkirakan dapat menurunkan kestabilan, meskipun posisi mutasinya
relatif jauh dari heme sebagai kofaktor. Berdasarkan hasil pemodelan, penurunan stabilitas
dapat terjadi karena konversi residu hidrofilik (serin) menjadi residu hidrofobik (prolin)
pada daerah yang lestari. Selain itu, berdasarkan hasil tersebut ikatan hidrogen yang
terbentuk antara atom O pada gugus S238 dan gugus OH pada T241 menjadi hilang. Mutasi
I306T terjadi di bagian luar struktur a-heliks sitokrom b. Mutasi ini juga memungkinkan
terjadinya penurunan stabilitas struktur sitokrom b meskipun posisinya yang relatif jauh
dari heme sebagai kofaktor. Namun posisi mutasi ini lebih dekat ke sisi bawah heme
dengan residu histidin pada posisi 194 (Maksum et al., 2017).

Gambar 4. Kurva energi potensial berbanding konformasi per waktu - hasil dari dinamika
molekul struktur cyb normal dan mutan

Desember, 2020
Penyakit Mitokondria: Review
8
Mamlikatu Ilmi Azizah

Gambar 4 menunjukkan energi potensial berbanding konformasi per waktu struktur cyb
normal dan mutan (hasil dinamika molekul). Tampak bahwa masing-masing energi
potensial sitokrom b normal memiliki nilai yang lebih rendah daripada sitokrom yang
mengalami, baik untuk mutasi S238P maupun I306T. Hal ini menunjukkan bahwa struktur
sitokrom b normal lebih stabil daripada yang bermutasi. Stabilitas menurun dengan
meningkatnya energi potensial dari struktur yang bermutasi. Dengan demikian, hasil
menunjukkan pengaruh mutasi yang signifikan terhadap model struktur sitokrom b
(Maksum et al., 2017).

Gambar 1. Struktur ATP synthase complex


(diadaptasi dari Protein Data Bank ID 5FIL). Mutasi S167N terletak di subunit a (ATPase6), di
saluran translokasi proton. Angka ini dibuat menggunakan Discovery Studio Visualizer

Maksum et al., pada (2017) melakukan penelitian yang bertujuan untuk


mengetahui perubahan sifat struktur ATPase6 akibat mutasi G9053A (S167N) dengan
menggunakan metode bioinformatika. Struktur ATPase6 dibangun dengan menggunakan
teknik pemodelan homologi. Berdasarkan hasil pemodelan secara umum struktur
keseluruhan ATPase6 wild type dan mutan hampir sama. Analisis pada titik mutasi
menunjukkan bahwa asparagine memiliki rantai samping yang lebih besar dibandingkan
dengan serine pada wildtype. Oleh karena itu, diprediksi adanya halangan sterik. Hubungan
ATP dan DM tipe 2 dikaitkan dengan fungsinya untuk merangsang sekresi insulin secara
eksositosis, melalui depolarisasi membran yang melibatkan saluran ion (K+ dan Ca2+) pada
sel β pancreas. Mutasi DNA mitokondria yang menyebabkan gangguan sintesis ATP dapat
memengaruhi proses yang bergantung pada ATP di lensa mata. Kegagalan renaturasi
protein di lensa mata akan mengakibatkan agregasi protein yang tidak larut dan hamburan
cahaya dan menyebabkan terjadinya katarak.

Desember, 2020
Penyakit Mitokondria: Review
9
Mamlikatu Ilmi Azizah

3. Kesimpulan
Mutasi titik atau mutasi delesi skala besar pada gen mtDNA dapat menyebabkan disfungsi
mitokondria yang pada akhirnya menyebabkan penyakit mitokondria. Penyakit mitokondria
merupakan penyakit multisistem, yaitu satu mutasi tertentu dapat menyebabkan beberapa
gambaran klinis atau satu gambaran klinis dapat disebabkan oleh beberapa mutasi. Pewarisan
penyakit mitokondria dapat bersifat maternal atau sporadis. Contoh penyakit mitokondria diantara
MIDD, LHON, MELAS, DM tipe 2, katarak, ketulian dan ataksia, serta pada DM tipe 2 dan
katarak.

DAFTAR PUSTAKA
Ankel-Simons, F. & Cummins, J.M. (1996) Misconceptions about mitochondria and mammalian
fertilization: implications for theories on human evolution. Proceedings of the National Academy of
Sciences of the United States of America. 93(24), 13859–13863.
Atkinson, M.A., Eisenbarth, G.S., & Michels, A.W. (2014) Type 1 diabetes. Lancet (London, England).
383(9911), 69–82.
Bhatti, J.S., Bhatti, G.K., & Reddy, P.H. (2017) Mitochondrial dysfunction and oxidative stress in metabolic
disorders — A step towards mitochondria based therapeutic strategies. Biochimica et Biophysica Acta
(BBA) - Molecular Basis of Disease. 1863(5), 1066–1077.
Chandra, R.A.I., Sriwidodo, Diantini, A., & Maksum, I.P. (2015) Restriction Enzymes ApaI Analysis to
Find A3243G Mutation in Indonesia Diabetes Mellitus Type II Patients. Journal of Medical and
Bioengineering. 4(6), 492–496.
Dimauro, S. (2011) A history of mitochondrial diseases. Journal of inherited metabolic disease. 34(2), 261–
276.
Gao, X., Wen, X., Esser, L., Quinn, B., Yu, L., Yu, C.-A., & Xia, D. (2003) Structural basis for the quinone
reduction in the bc1 complex: a comparative analysis of crystal structures of mitochondrial
cytochrome bc1 with bound substrate and inhibitors at the Qi site. Biochemistry. 42(30), 9067–9080.
Hartati, Y.W., Nur Topkaya, S., Maksum, I.P., & Ozsoz, M. (2013) Sensitive Detection of Mitochondrial
DNA A3243G tRNALeu Mutation via an Electrochemical Biosensor Using Meldola’s Blue as a
Hybridization Indicator. Advances in Analytical Chemistry. 2013(3A), 20–27.
Henry, C., Patel, N., Shaffer, W., Murphy, L., Park, J., & Spieler, B. (2017) Mitochondrial
Encephalomyopathy With Lactic Acidosis and Stroke-Like Episodes-MELAS Syndrome. The
Ochsner journal. 17(3), 296–301.
Hirano, M. & Pavlakis, S.G. (1994) Mitochondrial myopathy, encephalopathy, lactic acidosis, and
strokelike episodes (MELAS): current concepts. Journal of child neurology. 9(1), 4–13.
Kamara, D. & Maksum, I.P. (2011) Design and use of allele specific PCR for detection of a novel mutation
in human mitochondrial ATP6 gene.
Maksum, I. (2020) Varian genom mitokondria pada apasien diabetes melitus tipe 2 dan katarak serta kajian
pengaruh mutasi pada varian genom secara in silico. Sumedang: UNPAD Press.
Maksum, I., Natradisastra, G., Nuswantara, S., & Ngili, Y. (2013) The effect of A3243G mutation of
mitochondrial DNA to the clinical features of type-2 diabetes mellitus and cataract. European Journal
of Scientific Research. 96(4), 591–599.
Maksum, I., Rachman, S.D., Farhani, A., & Ngili, Y. (2013) Making of the A3243g Mutant Templete
Through Site Directed Mutagenesis as Positive Control in PASA-Mismatch Three Bases.

Desember, 2020
Penyakit Mitokondria: Review
10
Mamlikatu Ilmi Azizah

Maksum, I., Saputra, S.R., Indrayati, N., Yusuf, M., & Subroto, T. (2017) Bioinformatics Study of
m.9053G>A Mutation at the ATP6 Gene in Relation to Type 2 Diabetes Mellitus and Cataract
Diseases. Bioinformatics and Biology Insights. 11.
Maksum, I.P. (2017) PCR dalam Investigasi Penyakit Mitokondria.
Maksum, I.P., Alchumaira, S.F., Kamara, D.S., Rachman, S.D., & Komalaningsih, S. (2015) The Relation
of Mitochondrial DNA Mutation with Mitochondrial Diseaseas in Coding Region. Procedia
Chemistry. 17(December), 84–92.
Maksum, I.P., Safitri, S., Yusuf, M., Natradisastra, Nuswantara, S., & Suprijana, O. (2010) Structure and
function of CYB in type-2 diabetes mellitus and cataract patients which associated with mitochondrial
DNA mutation.
Maksum, I.P., Silaen, M., Suprijana, O., Natadisastra, G., & Nuswantara, S. (2011) Mutasi baru G9053A
DNA mitokondria pada pasien diabetes tipe 2 maternal
Meyerson, C., van Stavern, G., & McClelland, C. (2015) Leber hereditary optic neuropathy: current
perspectives. Clinical ophthalmology (Auckland, N.Z.). 9, 1165–1176.
Mutia, R.D., Maksum, I.P., & Yusuf, M. (2010) Initio Modeling of Complex I Human Mitochondrial DNA
Using I-Tasser Methods 313.
Pavlakis, S.G., Phillips, P.C., DiMauro, S., de Vivo, D.C., & Rowland, L.P. (1984) Mitochondrial
myopathy, encephalopathy, lactic acidosis, and strokelike episodes: a distinctive clinical syndrome.
Annals of neurology. 16(4), 481–488.
Ripsin, C.M., Kang, H., & Urban, R.J. (2009) Management of blood glucose in type 2 diabetes mellitus.
American family physician. 79(1), 29–36.
Sivitz, W.I. & Yorek, M.A. (2010) Mitochondrial dysfunction in diabetes: from molecular mechanisms to
functional significance and therapeutic opportunities. Antioxidants & redox signaling. 12(4), 537–
577.
Sriwidodo, Suprijana, O., Subroto, T., & Maksum, I.P. (2008) Studi Mutasi Titik a3243G Dna Mitokondria
Penyebab Maternally. Pharmaceutical Sciences and Research. V(3), 121–129.
Taylor, R.W. & Turnbull, D.M. (2005) Mitochondrial DNA mutations in human disease. Nature reviews.
Genetics. 6(5), 389–402.

Desember, 2020

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai