Anda di halaman 1dari 234

i

Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian


Desa di Tengah Pandemi
Tim Penulis:
 M Firmansyah  Sri Langgeng Ratnasari
 Ni Made Sukartini  Rudi Purwono
 Fariastuti Djafar  Hady Sutjipto
 Agus Sunaya Sulaeman  Khoirunurrofik
 Sriyani  Moh. Ahlis Djirimu
 Rudy Suryanto  Mukhtar A. Adam
 Dahlan Tampubolon  Rully Novie Wurarah
 Evi Maria  Agus Supratikno
 Abdul Halim  Suharyadi
 Fitria Husnatarina  Rini Hudiono
Editor:
 Evi Maria
 Mukhtar A. Adam
 Abdul Halim

ii EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


KATA SAMBUTAN

Assalamu’alaikum Wr. Wb., salam sejahtera bagi kita semua.

Segala puji dan syukur, kami panjatkan kepada Allah SWT atas
rahmat dan hidayah kepada kita semua, seluruh akademisi, praktisi,
pendamping desa, dan pengelola BUMDes.

Saya selaku Sekretaris Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan


Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi mengucapkan “Selamat dan
Sukses” kepada Forum Akademisi Nusantara (FOKATAR) dan Scientific
Institute For Development and Government (SiDego) atas diterbitkannya
buku “Ekonomi, Keuangan dan Kemandirian Desa di Tengah Pandemi”.
Buku ini berisi kumpulan tulisan dari para akademisi nusantara terkait
kenormalan baru di desa, yaitu isu ekonomi desa dan pandemi Covid-19,
isu pengelolaan/tata kelola keuangan desa, isu masa depan kemandirian
desa. Pembahasan kenormalan baru dimulai dari ketahanan ekonomi
desa di masa pandemi Covid-19, pengelolaan keuangan desa sampai
dengan strategi desa menuju desa yang mandiri dan berkualitas.

Semoga buku ini dapat memberi manfaat bagi setiap orang untuk
berbagi ilmu dan wawasan dalam penguatan ekonomi desa ditengah
pandemi, sehingga desa bisa menjadi desa kreatif dan mandiri. Akhir kata,
kami ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, Desember 2020


Sekretaris Jenderal Kemendes PDTT

Taufik Madjid

iii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb., salam sejahtera bagi kita semua.

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmatnya kepada kita semua, sehingga buku Ekonomi, Keuangan,
dan Kemandirian Desa di Tengah Pandemi dapat terselesaikan dengan
baik. Kami penyunting mewakili tim penulis mempersembahkan buku ini
dengan tujuan untuk menyebarkan ilmu, informasi, gagasan, hasil riset
terkait desa dan pengelolaan keuangan ke seluruh penjuru tanah air.

Diskusi virtual, hasil kerjasama Forum Akademisi Nusantara


(FOKATAR) dan Scientific Institute For Development and Government
(SiDego), tanggal 3 Juni 2020 lalu, telah mengumpulkan akademisi, praktisi,
pendamping desa, pengelola BUMDes, Kemendes, dan masyarakat
umum untuk membahas strategi membangun kenormalan baru desa.
Banyak poin-poin rekomendasi penting dihasilkan, dan poin rekemondasi
dikumpulkan dalam bentuk tulisan yang tersaji dalam buku ini. Ada tiga
isu yang dibahas, yaitu ekonomi desa dan pandemi Covid-19, tata kelola
keuangan desa, dan kemandirian desa. Dari ketiga isu tersebut, ada 16
sub judul yang menarik untuk dibaca. Hadirnya buku ini diharapkan dapat
memberikan pemahaman dan pembelajaran berarti untuk dijadikan acuan
penguatan ekonomi desa di tengah pandemi dan pengelolaan keuangan
desa sehingga desa bisa menjadi desa kreatif dan mandiri.

Penyunting mengucapkan banyak terimakasih kepada tim penulis


yang telah berkontribusi dalam buku ini. Semoga buku ini dapat memberi
manfaat untuk memperluas pengetahuan dan wawasan bagi para
akademisi, peneliti, dan praktisi terkait pengelolaan ekonomi dan keuangan
desa di tengah pandemi, agar desa bangkit menjadi desa yang kreatif
dan mandiri. Segala kekurangan atas buku ini menjadi tanggung jawab
penyunting. Oleh karena itu, kami menerima saran dan kritik dengan hati
yang gembira.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Salatiga, Desember 2020

Evi Maria, Mukhtar A. Adam, Abdul Halim.

iv EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


DAFTAR ISI

KATA SAMBUTAN.................................................................................... II
KATA PENGANTAR................................................................................ III
DAFTAR ISI.............................................................................................. V

EKONOMI DESA DAN PADEMI COVID-19


BAB I
KETAHANAN EKONOMI DESA DI MASA PANDEMI COVID-19:
PEMBELAJARAN YANG BISA DIAMBIL..............................................1
1. PENDAHULUAN.................................................................................1
2. DAMPAK COVID-19 DI DESA............................................................2
3. KETAHANAN PANGAN DESA...........................................................3
4. ASPEK PARIWISATA DESA..............................................................4
5. DISTRIBUSI BARANG DAN JASA DESA.........................................4
6. REKAYASA PASAR DESA.................................................................5
7. PENUTUP...........................................................................................6
8. DAFTAR PUSTAKA............................................................................6

BAB II
INFRASTRUKTUR DAN PEMBANGUNAN DESA,ANTISIPASI
TERHADAP GUNCANGAN PANDEMI COVID-19................................9
1. PENDAHULUAN.................................................................................9
2. PEMBANGUNAN DESA DAN TANTANGAN MENUJU
INDONESIA MAJU...........................................................................11
2.1 Kondisi Topologi dan Geografi Desa............................................13
2.2 Ragam Aktivitas Ekonomi Masyarakat Perdesaan......................15
2.3 Infrastruktur Informasi dan Komunikasi di Wilayah Perdesaan....17
3. ANTISIPASI KEBIJAKAN PUBLIK BAGI PEMERINTAH DAERAH
PASCA PANDEMI COVID-19, DAN MENYAMBUT KONDISI
KENORMALAN BARU.....................................................................24
3.1 Prasarana Kesehatan...................................................................24
3.2 Infrastruktur Dasar........................................................................25
3.3 Kebiasaan dan Perilaku Adaptasi.................................................26
3.4 Anggaran......................................................................................27
4. PENUTUP.........................................................................................27
5. DAFTAR PUSTAKA..........................................................................28

v
BAB III
PROGRAM BANTUAN PEMERINTAH SAAT PANDEMI UNTUK
KELUARGA MISKIN DI DESA..............................................................33
1. PENDAHULUAN ..............................................................................31
2. PROGRAM BANTUAN PEMERINTAH UNTUK KELUARGA
MISKIN..............................................................................................31
3. INTEGRASI DATA ANTAR BERBAGAI PROGRAM
KEMENTERIAN ...............................................................................32
4. PERAN PERANGKAT DESA DALAM PENDATAAN......................33
5. TRANSPARANSI, SOSIALISASI DAN PERAN LEMBAGA
PENGAWASAN ................................................................................35
6. PENUTUP.........................................................................................35
7. DAFTAR PUSTAKA..........................................................................36

BAB IV
BELANJA DESA DI MASA PANDEMI,BAHAGIA SEJENAK
MENGHIASI NEGERI............................................................................37
1. PENDAHULUAN...............................................................................37
2. BELANJA DESA DI MASA PANDEMI.............................................38
3. PENGELOLAAN BELANJA DESA, ANTARA PANDEMI DAN
PENINGKATAN KESEJAHTERAAN...............................................39
3.1 Pengadaan Barang dan Jasa.......................................................39
3.2 Pemungutan Pajak.......................................................................40
3.3 Penatausahaan Belanja ..............................................................41
3.4 Pertanggungjawaban dan Pelaporan...........................................42
3.5 Kelengkapan Pertanggungjawaban & Laporan............................42
3.6 Kualitas Laporan..........................................................................43
4. PANDEMI MEMBERI BAHAGIA?....................................................43
4.1 Belanja Bantuan Langsung Tunai (BLT).......................................43
4.2 Belanja Non BLT..........................................................................44
5. PENUTUP.........................................................................................45
6. DAFTAR PUSTAKA..........................................................................45

BAB V
REVITALISASI BUMDES UNTUK MENINGKATKAN KETAHANAN
PANGAN DI MASA PANDEMI..............................................................49
1. PENDAHULUAN...............................................................................49
2. ANCAMAN KETAHANAN PANGAN................................................51
3. PERAN BUMDES DALAM KETAHANAN PANGAN.......................53
4. REVITALISASI BUMDES DI MASA PANDEMI..............................55
5. PENUTUP.........................................................................................57
6. DAFTAR PUSTAKA..........................................................................59

vi EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


PENGELOLAAN/TATA KELOLA KEUANGAN DESA

BAB VI
TINJAUAN LITERATUR PARTISIPASI PETANI KE LEMBAGA
KEUANGAN PEDESAAN......................................................................61
1. PENDAHULUAN...............................................................................61
2. GAMBARAN UMUM PARTISIPASI PETANI KE LEMBAGA
KEUANGAN PEDESAAN.................................................................62
2.1 Partisipasi ke Lembaga Keuangan Pedesaan ............................62
2.2 Penentu Partisipasi Kredit Pedesaan...........................................63
2.3 Dampak Sosial dan Ekonomi dari Partisipasi Petani ke Lembaga
Keuangan Pedesaan....................................................................66
3. KEBIJAKAN KREDIT PETANI.........................................................67
3.1 Program pemerintah.....................................................................67
3.2 Suplai Jasa Keuangan Formal di Sektor Pedesaan dan Pertanian.
.....................................................................................................68
3.1 Penggunaan Skema Keuangan Mikro Informal di Dektor Pertanian....
............................................................................................................ 70
4. PENUTUP.........................................................................................70
5. DAFTAR PUSTAKA..........................................................................72

BAB VII
DANA DESA, KORUPSI DAN GOOD PUBLIC GOVERNANCE.......77
1. PENDAHULUAN...............................................................................77
2. DANA DESA DAN KORUPSI KEPALA DESA DI INDONESIA......78
3. GOOD PUBLIC GOVERNANCE SEBAGAI STRATEGI
PEMBERANTASAN KORUPSI DANA DESA.................................84
4. PENUTUP.........................................................................................87
5. DAFTAR PUSTAKA..........................................................................88

BAB VIII
QUO VADIS AKUNTABILITASPENGELOLAAN DANA DESA.........91
1. PENDAHULUAN...............................................................................91
2. AKUNTABILITAS PENGELOLAAN DANA DESA...........................92
2.1 Keterbatasan Regulasi.................................................................93
2.2 Keterbatasan Anggaran untuk Insentif ........................................93
2.3 Keterbatasan Kapasitas Sumber Daya Aparatur Desa................94
2.4 Keterbatasan Pendampingan.......................................................94
2.5 Keterbatasan Pengawasan..........................................................94
2.6 Keterbatasan Penggunaan Teknologi Informasi...........................94
2.7 Keterbatasan Penguatan Nilai-nilai Kepemimpinan Desa............95
3. AKUNTABILITAS PENGELOLAAN KEUANGAN DESA................95
4. PENUTUP.......................................................................................102
5. DAFTAR PUSTAKA........................................................................103

vii
BAB IX
PENGELOLAAN DESA DI GUGUS PULAU DAN PERBATASAN DI
PROVINSI KEPULAUAN RIAU..........................................................107
1. PENDAHULUAN.............................................................................107
2. PENGELOLAAN DESA DI GUGUS PULAU DAN PERBATASAN....
108
3. PENUTUP.......................................................................................113
4. DAFTAR PUSTAKA........................................................................115

MENATAP MASA DEPAN KEMANDIRIAN DESA

BAB X
MENATAP MASA DEPAN MENJADI DESA MANDIRI DAN
BERKUALITAS DI JAWA TIMUR.......................................................117
1. PENDAHULUAN.............................................................................117
2. DESA MANDIRI DAN BERKUALITAS..........................................118
3. MANAJEMEN ORGANISASI DALAM PENYELENGGARAAN
PEMERINTAH DESA......................................................................122
4. INTEGRASI ANTAR PROGRAM DALAM PENYELENGGARAAN
PEMERINTAHAN DESA................................................................123
5. PENUTUP.......................................................................................124
6. DAFTAR PUSTAKA........................................................................125

BAB XI
DESA GARDA TERDEPAN PEMULIHAN EKONOMI DI MASA
TATANAN KEHIDUPAN BARU...........................................................127
1. PENDAHULUAN.............................................................................127
2. STRATEGI DESA MENJADI GARDA DEPAN PEMULIHAN
EKONOMI.......................................................................................129
3. PENUTUP.......................................................................................135
4. DAFTAR PUSTAKA........................................................................135

BAB XII
KERJASAMA ANTAR DESA BAGI PENGUATAN INOVASI DAN
KEWIRAUSAHAAN MENUJUKEMANDIRIAN EKONOMI DESA...137
1. PENDAHULUAN.............................................................................137
2. INOVASI DAERAH UNTUK MENCIPTAKAN PASAR..................140
3. WIRAUSAHA LOKAL SEBAGAI MOTOR PENGGERAK
EKONOMI DESA............................................................................146
4. KERJASAMA ANTAR DESA UNTUK MENINGKATKAN SKALA
EKONOMI.......................................................................................148
5. PENUTUP.......................................................................................151
6. DAFTAR PUSTAKA........................................................................152

viii EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


BAB XIII
KRISIS EKONOMI DAN MASA DEPAN TRANSAKSI DIGITAL DI
DESA.....................................................................................................155
1. PENDAHULUAN.............................................................................155
2. MEMAHAMI PERJALANAN KRISIS EKONOMI..........................156
3. MAKNA TATANAN KEHIDUPAN BARU........................................160
4. PENUTUP.......................................................................................165
5. DAFTAR PUSTAKA........................................................................165

BAB XIV
MEMBANGUN KENORMALAN BARU DESA DAN DESA
TERTINGGAL DI MALUKU UTARA...................................................193
1. PENDAHULUAN.............................................................................169
2. SELAYANG PANDANG DESA DAN DESA TERTINGGAL..........170
3. KENORMALAN BARU DESA DAN DESA TERINGGAL..............171
4. PENUTUP.......................................................................................176
5. DAFTAR PUSTAKA........................................................................177

BAB XV
MAMPUKAH HUMAN CAPITAL DI PERDESAAN BERKONTRIBUSI.
TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH?.......................................179
1. PENDAHULUAN.............................................................................179
2. HUMAN CAPITAL PERDESAAN DAN PEREKONOMIAN
DAERAH..........................................................................................182
3. PENUTUP.......................................................................................192
4. DAFTAR PUSTAKA........................................................................193

BAB XVI
DESA KREATIF PERDAMAIAN: SOLUSI KONFLIK BERBASIS
KEARIFAN LOKAL (STUDI DI DUSUN SRUMBUNG GUNUNG)...221
1. PENDAHULUAN.............................................................................195
2. DESA KREATIF PERDAMAIAN....................................................197
3. PENUTUP.......................................................................................206
4. DAFTAR PUSTAKA........................................................................207

ix
x EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI
KETAHANAN EKONOMI DESA DI MASA
PANDEMI COVID-19: PEMBELAJARAN
YANG BISA DIAMBIL
BAB
M Firmansyah
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Mataram
firmansyah.feb@unram.ac.id
I
1. PENDAHULUAN
Pandemi Covid-19 tidak saja melahirkan kematian dan krisis kesehatan
namun memicu krisis ekonomi, resesi atau depresi besar secara global
(Laing 2020; Nicola et al. 2020). Mengatasi penyebaran paparan virus
mematikan ini, pemerintah di berbagai belahan dunia menerapkan
lockdown, jaga jarak, pembatasan penerbangan, penyebrangan dan
berbagai pembatasan lain sehingga memicu penurunan besar transaksi
ekonomi (Atalan 2020; Nicola et al. 2020). Dunia saat ini sedang bekerja
keras melawan Covid-19, baik dari aspek kesehatan sekaligus menjaga
stabilitas ekonomi.
Penanganan Covid-19 di desa menjadi persoalan sendiri yang perlu
mendapat perhatian pemangku kebijakan nasional maupun daerah. Desa
dengan segala keterbatasan, seperti keterbatasan infrastruktur, sumber
daya manusia (SDM) bidang kesehatan, komunikasi yang terbatas menjadi
pemicu kekhawatiran penyebaran massif virus mematikan ini di desa.
Dalam menghambat penyebarannya, pemerintah berupaya meningkatkan
kedisiplinan masyarakat untuk mengikuti protokol kesehatan dengan
payung regulasi, antara lain menyiapkan kebutuhan dasar masyarakat
miskin dengan bantuan jaring pengaman sosial (JPS) dan bantuan lain.
Logikanya, ketika aspek kesehatan dan ekonomi desa telah terpenuhi,
orang tidak lagi berpikir untuk bekerja di luar rumah sementara waktu.
Ketahanan masyarakat desa di masa pandemi merupakan kombinasi
dua aspek, kesehatan masyarakat dan ketahanan ekonomi. Kesehatan
masyarakat berkaitan dengan infrastruktur kesehatan, seperti kelayakan
puskesmas, alat-alat kesehatan dan juga sumber daya tenaga kesehatan
(nakes) yang memadai. Dengan kualitas kesehatan yang baik di desa,
masyarakat desa akan dengan cepat mendapat pertolongan pertama
ketika terpapar virus atau penyakit lain tanpa harus berjalan jauh ke
kota. Sementara itu, ketahanan ekonomi desa merupakan pemenuhan
kebutuhan dasar masyarakat desa secara mandiri, baik kebutuhan
pangan maupun non pangan sebagai kompensasi berkurangnya waktu
kerja akibat pandemi.

M. Firmansyah 1
Seperti halnya masyarakat perkotaan, masyarakat desa dituntut
tetap dirumah karena dipercaya efektif menurunkan penularan (Castillo,
Staguhn, and Weston-Farber 2020), menjaga jarak sosial yang juga
efektif menunda atau mengurangi waktu wabah (Aldilaa et al. 2020),
menggunakan masker (Cheng et al. 2020; Eikenberry et al. 2020; Fadare
and Okoffo 2020), mencuci tangan dan menerapkan protokol kesehatan
lainnya. Namun, tuntutan itu terhambat karateristik pekerjaan masyarakat
desa yang umumnya mengelola alam, sehingga harus keluar rumah dalam
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Work from home (WFH) masyarakat kota tidak bisa disamakan
dengan masyarakat desa yang harus bekerja di lapangan memenuhi
kebutuhan hidup. Sungguh-pun begitu, karena pandemi orang dipaksa
bekerja di rumah (Kramer and Kramer 2020). Sehingga, dibutuhkan
strategi win win dalam memastikan masyarakat desa tetap menjalankan
protokol kesehatan, namun ekonomi tetap jalan. Sehingga ungkapan
sebagian orang bahwa “di luar rumah khawatir mati karena Corona, di
dalam rumah khawatir mati kelaparan” tidak terjadi.
Strategi win win juga diperlukan untuk menjalankan apa yang disebut
sebagai kenormalan baru (new normal) di desa. Masyarakat desa tidak
bisa setiap waktu dipaksa membatasi aktifitasnya, new normal merupakan
jalan tengahnya. Mereka akan tetap bekerja karena harus memenuhi
kebutuhan hidup namun tetap menjaga protocol kesehatan. Artikel ini
menjelaskan bagaimana upaya mempertahankan ekonomi desa di masa
pandemi Covid-19 yang merupakan pembelajaran berarti untuk dijadikan
acuan penguatan ekonomi desa di masa-masa krisis ke depan.
Pembahasan pada bab ini akan dibagi menjadi lima bagian. Pertama,
pembahasan tentang dampak Covid-19 di desa. Kedua, pembahasan
tentang ketahanan pangan desa. Ketiga, pembahasan tentang aspek
pariwisata desa. Keempat, pembahasan tentang distribusi barang dan
jasa desa. Kelima, pembahasan tentang rekayasa pasar desa.

2. DAMPAK COVID-19 DI DESA


Saat artikel ini ditulis, belum ada kejelasan dari ahli kesehatan kapan
pandemi Covid-19 ini berakhir. Justru grafik orang terpapar semakin
bertambah banyak. Sementara pemerintah telah menyuarakan untuk
dijalankan apa yang disebut sebagai kenormalan baru (new normal).
Kenormalan baru makna sederhananya hidup berdampingan dengan
Covid-19. Aktifitas tetap jalan namun tetap menerapkan protokol kesehatan.
Kenormalan baru menimbulkan pro dan kontra. Sebagian tenaga
medis menganggap belum saatnya kenormalan baru diterapkan karena
kasus yang terpapar belum terkendali. Pengalaman Korea Selatan yang
menerapkan new normal memicu lahirnya gelombang ke dua, walaupun

2 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


ada juga negara yang sukses menerapkannya (Modjo 2020). Sementara
pelaku bisnis berharap segera ditentukan langkah menghindari resesi
ekonomi yang semakin dalam.
Kondisi di desa-pun demikian, ekonomi masyarakat beberapa bulan
ditopang oleh JPS (Jaring pengaman sosial) dan BLT (Bantuan Langsung
Tunai). Saat sedang memuncaknya penyebaran virus, masyarakat
dituntut dirumah dan menghindari kerumunan termasuk sholat di masjid.
Bagi pemerintah daerah, Provinsi Nusa Tenggara Barat misalnya, JPS
dianggap sebagai instrumen menstabilkan bisnis IKM. Caranya, produk
IKM dibeli pemerintah dan dijadikan sebagai produk JPS. Upaya ini
memberi kelegaan bagi sebagian IKM setidaknya untuk sementara waktu,
karena di masa sulit ini aktivitas produksi terhenti, permintaan produk IKM
merosot drastis. Dengan JPS mereka tetap berproduksi.
Sungguh-pun demikian, BLT dan JPS tentu tidak dapat diandalkan
terus menerus. Anggaran pemerintah terbatas, sehingga perlu alternatif
lain untuk menopang jalan roda produksi IKM. Diprediksi anggaran untuk
JPS di daerah hanya mampu digelontorkan untuk kebutuhan 3-4 bulan ke
depan.
Persoalan lain yang dihadapi masyarakat desa adalah migrasi tenaga
kerja desa yang kembali ke desa karena PHK di masa pandemi. Beban
desa semakin berat, tidak saja karena khawatir penularan Covid-19 yang
dibawa tenaga kerja migran meluas sehingga biaya penanangan kesehatan
membekak, namun juga beban ekonomi desa yang harus menghidupkan
tenaga kerja migran menjadi pertimbangan utama. Sementara itu, protocol
kesehatan yang menghendaki pembatasan aktifitas ekonomi menjadi
penyebab transaksi bisnis terbatas. Ekonomi desa yang ditopang oleh
Bumdes dan wisata desa juga terhambat, bila-pun tidak dianggap mati.
Ekonomi desa yang belum sepenuhnya normal ditambah beban desa
untuk menghidupkan buruh migran melahirkan kekhawatiran lain, yaitu
rendahnya perputaran uang di desa, sementara itu transaksi ekonomi di
level dasar butuh alat transaksi berupa uang. Ketika masyarakat desa
tidak memiliki alat transaksi berupa uang, apakah transaksi bisnis harus
terhenti? Dilema ini perlu mendapat perhatian, walaupun implikasi covid-19
terhadap ekonomi desa tidaklah separah itu.

3. KETAHANAN PANGAN DESA


Salah satu penyebab jatuhnya ekonomi desa masa pendemi adalah
sebagian, bahkan mayoritas Industri Kecil Menengah (IKM) desa
berproduksi bukan sektor primer. IKM menjual bukan kebutuhan pokok,
sementara di masa pandemi, masyarakat cendrung mengutamakan
pemenuhan kebutuhan pokok. Beberapa kebutuhan sekunder yang
dihasilkan IKM, antara lain kerajinan tangan dan jajanan tradisional.

M. Firmansyah 3
IKM di desa perlu diarahkan melakukan reorientasi produksi dengan
melakukan produksi olahan sektor primer. Artinya produk yang dhasilkan
IKM itu dapat menjadi kebutuhan pokok masyarakat desa dan perkotaan.
Misalnya, IKM memproduksi dan menjual olahan ikan seperti naget ikan,
krupuk ikan bagi desa pesisir. Produk ikan akan selalu dibutuhkan karena
menjadi pelengkap nasi bagi konsumen. Di samping itu, produk-produk
pertanian seperti beras, sayuran dan buah, palawija untuk keperluan obat-
obatan herbal perlu dikembangkan di desa.
Dari aspek rumah tangga, upaya yang perlu dilakukan pemerintah
desa adalah memastikan masyarakat desa terpenuhi kebutuhan primernya
secara mandiri. Antara lain dengan program diversifikasi pangan di setiap
lahan rumah tangga. New normal dalam aspek pangan dapat dikatakan
mengembalikan norma lama kebiasaan masyarakat desa jaman dahulu,
seperti memanfaatkan pekarangan rumah untuk menanam sayur, buah
dan juga memelihara ternak sebagai penopang kebutuhan sehari-
hari. Sementara pendapatan yang dihasilkan adalah untuk memenuhi
kebutuhan lain selain pangan.

4. ASPEK PARIWISATA DESA


Pariwisata merupakan salah satu sektor yang terpukul karena pandemi
Covid-19. Wajar saja, dalam kondisi sekarang alih-alih mengeluarkan
uang untuk bersenang-senang (berwisata), bekerja harian dalam mencari
uang saja orang dilanda ketakutan akibat wabah Covid-19. Walaupun
pemerintah mengkampanyekan new normal, kehidupan pariwisata saat
wabah tentu tidak bisa disamakan dengan sebelum terjadinya wabah.
Ketakutan dan kekhawatiran tertular Covid-19 itu tetap saja ada.
Di desa, ada pengembangan desa wisata. Sama dengan eksistensi
kawasan wisata lain, Desa wisata yang terbangun dari anggaran dana
desa atau swakelola masyarakat juga terkena imbas Covid-19. Maka
perlu dipertimbangkan konsep e-wisata, artinya masyarakat desa dapat
menyajikan wisata berbasis elektronik dengan mengembangkan ekonomi
kreatif. Misalnya melatih pemuda desa untuk membuat konten menarik
terkait alam desa di youtube atau media lainnya. Penikmat wisata walaupun
tidak berkunjung ke lokasi wisata setidaknya dapat menikmati jarak jauh.
Lokasi-lokasi indah yang dikemas dengan video menarik di youtube dan
ditonton jutaan orang, tentu memberi penghasilan bagi pelaku usaha
ekonomi kreatif tersebut.
Anak-anak muda di desa pesisir misalnya dilatih untuk diving atau
penyelaman dengan mengambil gambar dasar laut. Di darat dapat
menyajikan keindahan alam desa berupa air terjun, hewan unik yang
terpelihara, alam pegunungan dan segela aktifitas di desa. Dengan
demikian, tidak saja nilai tambah dalam ekonomi kreatif yang dihasilkan
dari aktifitas tersebut, namun dapat menjadi ruang mempromosikan desa.

4 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


5. DISTRIBUSI BARANG DAN JASA DESA
Jalan bagi produk IKM desa ketika pasar lokal tidak cukup memadai
mengangkat penjualan IKM adalah melalui ekspor ke daerah lain.
Walaupun belum secara massif karena kalah bersaing dengan produk lain.
Faktanya, dari sisi perdagangan, desa menjadi tujuan pengiriman barang
perdagangan dari kota, khususnya dari pusat industri seperti Jakarta dan
Surabaya. Di masa pandemi covid-19, jalur distribusi ini terhambat dalam
dua aspek sekaligus, yaitu terbatasnya produk desa yang keluar (untuk
pasar luar, ekspor) dan terbatasnya barang kebutuhan pokok dari kota
(impor) ke desa.
Terkait produk desa, distribusi logistik cepat dan murah dari desa ke
kota tentu sangat dibutuhkan di masa pandemi. Tujuannya, untuk tidak
membebankan biaya distribusi ke masyarakat desa. Biaya distribusi
meningkat menjadikan produk desa tidak mampu bersaing, karena
harganya yang mahal. Peluang bagi desa di masa pandemi ini adalah di
mana desa menjadi pemasok produk pertanian untuk kebutuhan daerah
atau kota lain, sumber kebutuhan pertanian umumnya ada di desa.
Awal-awal masa locdown, berdasar protokol kesehatan di setiap
pelabuhan atau lokasi perbatasan antar daerah mensyaratkan rapid test
dan sebagian lagi di swab, termasuk terhadap petani yang akan menjual
produknya ke perkotaan atau daerah seberang. Biaya untuk rapid dan
swab cukup mahal dan berjangka waktu beberapa hari saja saat itu.
Syukurnya, rapid test dan swab tidak semahal dahulu bahkan untuk
perjalanan darat tidak lagi mensyaratkan rapid test. Menjadi pembelajaran
ke depan, menjaga protokol kesehatan adalah perlu, namun diupayakan
tidak menghambat arus bisnis masyarakat, antara lain dengan diupayakan
subsidi bagi petani dalam mendistribusikan produk barangnya dari desa.
Subsidi dapat berupa menggratiskan rapid test atau Swab petani yang
mendistribusikan barangnya di masa pandemi atau subsidi biaya transport
di saat kondisi normal.

6. REKAYASA PASAR DESA


Salah satu aspek bisnis yang macet akibat pandemi ini adalah kelesuan
pasar. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, lesunya pasar diakibatkan,
adanya pembatasan aktifitas terkait protokol kesehatan satu sisi dan
selektifnya konsumen dalam membelanjakan uangnya di masa pandemi
sisi lain. Konsumen tentu saja berharap untuk berbelanja produk
kebutuhan pokok di masa pandemi secara prioritas. Sementara itu, IKM
banyak berproduksi di sektor sekunder seperti makanan ringan, kerajinan
tangan yang tidak terlalu dibutuhkan konsumen. Ketika terjadi pandemi,
konsumen menunda berbelanja sekaligus tidak mendapat akses untuk
berbelanja karena pembatasan aktifitas tersebut.

M. Firmansyah 5
Persoalan lain adalah jauhnya pasar dari konsumen. Masyarakat
desa harus ke kota untuk membeli kebutuhan tertentu, di Kota-pun menjadi
masalah karena penumpukan konsumen akibat pasar yang tersentral pada
satu lokasi saja. Dengan demikian, upaya yang perlu dilakukan adalah
mendekatkan atau mempermudah masyarakat desa mengakses pasar.
Bumdesa dapat menjadi pusat grosir, dan kios tetangga dapat mengambil
produk di Bumdesa sebagai barang dagangan. Sehingga program belanja
di kios tetangga, untuk menghidupkan ekonomi masyarakat desa dapat
terwujud.
Saat ini banyak market place bahan pokok yang dikreasikan. Anak-
anak muda desa, yang lulusan sarjana dapat diajarkan untuk membangun
ekonomi kreatif berbasis digital seperti pasar berbasis platform. Di samping
itu, perlu juga diperkenalkan lebih jauh terkait model pembayaran digital
seperti e-money atau fintech dalam mempermudah proses transaksi di
desa. Walaupun transaksi manual lebih utama dijalankan, karena ketika
e-money menggantikan sepenuhnya transaksi tradisional di desa, maka
ketika krisis ekonomi yang menyebabkan kemacetan transaksi bisnis akan
serta merta terular di desa.
Di samping itu, masyarakat desa perlu secara massif diperkenalkan
pasar modern, karena memang eranya. Dalam kondisi tertentu di desa
perlu disiapkan skenario terburuk macetnya ekonomi, perputaran uang
macet karena tidak ada pekerjaan yang menghasilkan pendapatan, tidak
ada proyek pemerintah di desa akibat krisis, kesehatan maupun ekonomi.
Skenario itu, adalah membangun modal sosial untuk lahirnya pasar barter
(barang dengan barang), misalnya dengan sistem atau mekanisme yang
lebih modern. Artinya, masyarakat desa tidak perlu memegang uang
sebagai alat pembayaran dalam melakukan transaksi jual beli produk-
produk hasil pekarangannya.
Untuk membeli ayam cukup ditukarkan dengan sejumlah beras
atau sebaliknya. Ketika setiap transaksi dibutuhkan uang sebagai alat
pembayaran sementara orang tidak memegang uang sama sekali
dikhawatirkan menimbulkan gejolak sosial. Namun, sekali lagi kondisi ini
adalah skenario terburuk dari ekonomi yang terpuruk, walau kondisi ini
mungkin jauh dari realita, namun diskursus ini dapat menjadi pembelajaran
yang dapat sewaktu-waktu dibutuhkan.

7. PENUTUP
Pandemi Covid-19 yang melanda dunia memberi pembelajaran berharga
dalam tata kelola desa yang lebih baik. Terutama terkait ketahanan pangan,
produksi dan perdagangan di pedesaan. Setidaknya ada lima pembelajaran
yang dapat diambil, yaitu: Pertama, norma lama perlu dikembalikan, di
mana desa didaulat sebagai lumbung pangan untuk masyarakat desa itu

6 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


sendiri dan perkotaan. Kedua, pemerintah daerah dan desa perlu fokus
mengembangkan produk pangan dan pengolahan hasil produk pangan
(sektor primer), kebutuhan primer menjamin keberlanjutan bisnis di desa
karena merupakan kebutuhan pokok konsumen. Ketiga, masyarakat desa
perlu diamankan kebutuhan pokoknya dengan slogan tiada lahan kosong
di desa selain ditanami atau dibudidayakan berbagai produk pangan.
Keempat, masyarakat desa perlu menjangkau pasar yang dekat dan
murah dengan distribusi barang yang lancar dan tetap bertransaksi walau
tidak memiliki uang. Konsep pasar barter bila mungkin dapat dikreasikan
dalam kondisi stagnasi ekonomi akut di desa. Kelima, Bumdesa dapat
berperan menjadi pusat grosir dan dipasok ke kios-kios kecil.

8. DAFTAR PUSTAKA
Aldilaa, Dipo et al. 2020. “A Mathematical Study on the Spread of COVID-19
Considering Social Distancing and Rapid Assessment : The
Case of Jakarta, Indonesia.” Chaos, Solitons and Fractals: the
interdisciplinary journal of Nonlinear Science, and Nonequilibrium
and Complex Phenomena: 110042.

Atalan, Abdulkadir. 2020. “Is the Lockdown Important to Prevent the


COVID-9 Pandemic ? Effects on Psychology , Environment
and Economy-Perspective.” Annals of Medicine and Surgery
56(June): 38–42.

Castillo, Renan C., Elena D. Staguhn, and Elias Weston-Farber. 2020.


“The Effect of State-Level Stay-at-Home Orders on COVID-19
Infection Rates.” American Journal of Infection Control: 1–3.

Cheng, Vincent Chi Chung et al. 2020. “The Role of Community-Wide


Wearing of Face Mask for Control of Coronavirus Disease 2019
(COVID-19) Epidemic Due to SARS-CoV-2.” Journal of Infection
81: 107–14.

Eikenberry, Steffen E. et al. 2020. “To Mask or Not to Mask: Modeling the
Potential for Face Mask Use by the General Public to Curtail the
COVID-19 Pandemic.” Infectious Disease Modelling 5: 293–308.

Fadare, Oluniyi O., and Elvis D. Okoffo. 2020. “Covid-19 Face Masks:
A Potential Source of Microplastic Fibers in the Environment.”
Science of the Total Environment 737: 140279.

M. Firmansyah 7
Kramer, Amit, and Karen Z. Kramer. 2020. “The Potential Impact of the
Covid-19 Pandemic on Occupational Status, Work from Home,
and Occupational Mobility.” Journal of Vocational Behavior
119(May): 1–4.

Laing, Timothy. 2020. “The Economic Impact of the Coronavirus 2019


(Covid-2019): Implications for the Mining Industry.” Extractive
Industries and Society 7(2): 580–82.

Modjo, Mohamad Ikhsan. 2020. “Memetakan Jalan Penguatan Ekonomi


Pasca Pandemi Memetakan Jalan Penguatan Ekonomi Pasca
Pandemi.” The Indonesian Journal of Development Planning
IV(2): 103–16.

Nicola, Maria et al. 2020. “The Socio-Economic Implications of the


Coronavirus Pandemic (COVID-19): A Review.” International
Journal of Surgery 78(March): 185–93.

8 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


INFRASTRUKTUR DAN PEMBANGUNAN
DESA, ANTISIPASI TERHADAP
GUNCANGAN PANDEMI COVID-19 BAB
Ni Made Sukartini
Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Universitas Airlangga
ni-made-s@feb.unair.ac.id
II
1. PENDAHULUAN
Program Nawacita atau 9 (sembilan) agenda pembangunan nasional mulai
dicanangkan dalam pembangunan di Indonesia sejak tahun 2014 (Safitri,
2015). Program ini dikenalkan oleh Presiden Joko Widodo. Program yang
ketiga dari Nawacita adalah: “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan
memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.”
Agenda ini memberi indikasi bahwa pola perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan di Indonesia tidak lagi sepenuhnya bersifat top down,
tetapi sudah mulai diimplementasikan sebaliknya, yaitu botton up. Agenda
Nawacita yang ketiga ini sekaligus merupakan pengakuan negara pada
keberadaan desa. Desa merupakan unit terkecil dalam penyelenggaraan
pemerintahan di Indonesia. Hal ini bermakna bahwa pemerintah desa
yang disebut kepala desa, memiliki kewenangan yang berskala lokal, yaitu
seluas wilayah administrasi desa.
Desa adalah unit pemerintahan yang berbasis masyarakat. Pemerintah
desa merupakan kombinasi dari komunitas warga yang mengatur dirinya
sendiri (self-governing community) dan pemerintah lokal (Raharjo, 2020).
Bila dibandingkan dengan unit atau level pemerintahan yang lebih tinggi
(Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi dan Nasional), infrastruktur untuk
mendukung pelaksanaan pembangunan di desa tentu lebih terbatas.
Namun demikian, menurut Raharjo (2020), wilayah pemerintahan desa
minimal mempunyai 3 (tiga) modal sosial yang justru dapat menjadi modal
yang lebih efektif dalam melaksanakan program-program pembangunan.
Ketiga modal sosial yang dimaksud adalah: modal sosial, modal sumber
daya alam dan lingkungan, dan modal eksistensi desa.
Modal sosial dalam masyarakat desa adalah ikatan sosial antara
individu dan masyarakat yang didasarkan pada nilai-nilai lokal atau
local wisdom. Modal sosial juga mencakup jaringan kerjasama dalam
bentuk kebiasaan bergotong-royong, yaitu kegiatan membangun dengan
menyumbangkan tenaga dan waktu, yang dilaksanakan secara sukarela
dan tanpa mengharapkan balas jasa. Kebiasaan bergotong-royong dalam
masyarakat Indonesia diantaranya bekerja bakti membersihkan lingkungan
tempat tinggal, saling membantu dalam kegiatan atau acara yang bersifat

Ni Made Sukartini 9
suka (pesta) dan duka (kematian) di desa. Kegiatan gotong-royong ini
didasarkan atas dasar inter-trust dan kohesi sosial, yang tumbuh kuat atas
dasar nilai-nilai budaya lokal dan agama yang dianut masyarakat.
Modal sumber daya alam dan lingkungan yang ada di desa adalah
kemampuan masyarakat desa dalam memproduksi barang-barang
kebutuhan pokok, khususnya bahan makanan. Surplus dari produksi
pertanian (pangan), perkebunan, peternakan, perikanan dan hasil pertanian
lainnya dapat dinikmati oleh masyarakat di wilayah perkotaan. Aktivitas
pertanian, khususnya pertanian dan perkebunan, asalkan dilakukan dalam
koridor yang aman, sekaligus akan membantu desa dalam menciptakan
proses pembangunan yang berwawasan lingkungan atau green
development process. Modal yang ketiga adalah modal eksistensi desa.
Modal ini memberikan kewenangan kepada desa sebagai struktur politik
paling dekat dengan masyarakat dan kewenangan mengelola masyarakat
dalam konteks pembangunan berdasarkan partisipasi dan kebutuhan lokal
masyarakat.
Sesi ini akan membahas gambaran desa-desa di Indonesia yang
dikaitkan dengan sumber daya alam dan lingkungan yang ada di desa.
Kajian ini didukung oleh data potensi desa (Podes), yaitu data sekunder
yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Untuk kajian ini
akan menggunakan data Podes dua tahun sensus terakhir, yaitu Podes
tahun 2014 dan tahun 2018. Informasi yang dapat disajikan dari data
podes ini adalah gambaran secara umum tentang kondisi lokasi geografis
desa-desa di Indonesia, akses transportasi menuju desa, serta potensi
komoditas unggulan yang ada di desa. Sesi ini akan menyajikan data
tentang kesiapan dan kemungkinan desa untuk beradaptasi dengan upaya
digitalisasi aktivitas masyarakat sehari-hari. Ketersediaan infrastruktur
Base Transceiver Station (BTS) di setiap desa diharapkan dapat
menunjang pertukaran informasi dan komunikasi (Cooper, 2005; Hashim
et al., 2011). Ketersediaan infrastruktur informasi dan komunikasi menjadi
semakin penting khususnya dalam era digital. Awal tahun 2020, dunia dan
Indonesia mengalami wabah Covid-19. Wabah ini menular dengan cepat,
berpengaruh tidak hanya pada sisi kesehatan, namun juga berdampak
pada aktivitas ekonomi. Pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada awal bulan Maret
2020, dikarenakan wabah Covid-19 semakin berbahaya dengan tingkat
penyebaran yang sangat cepat. Sebagian besar pabrik dibatasi jam kerja,
dihimbau menggunakan protocol kesehatan, kantor-kantor mulai ditutup
sementara dan kegiatan pendidikan dilakukan dari rumah. Bekerja dan
belajar dari rumah atau work from home (WFH) menjadi alternatif terbaik
untuk mencegah penularan Covid-19.
Terkait dengan pandemi Covid-19 yang mewabah pada awal tahun
2020, dan proses berlakunya tatanan baru (new normal) yang diperkirakan
berlaku awal Juli 2020; bagaimanakah infrastruktur dan kondisi aparat

10 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


desa beradaptasi untuk memberikan layanan publik di level desa? Survei
potensi desa (podes) umumnya dilakukan setiap 3-4 tahun sekali. Dua
periode survei terakhir dilakukan tahun 2014 dan 2018. Oleh karena itu,
kajian dalam sesi ini hanya menggunakan data terbaru dari tahun 2014
dan 2018.
Pembahasan bab ini akan dibagi menjadi dua bagian. Pertama,
pembahasan tentang pembangunan desa dan tantangan menuju
Indonesia maju. Kedua, pembahasan tentang antisipasi kebijakan publik
bagi pemerintah daerah pasca pandemi Covid-19 dan menyambut kondisi
kenormalan baru.

2. PEMBANGUNAN DESA DAN TANTANGAN MENUJU


INDONESIA MAJU
Sebelum menyajikan gambaran infrastruktur yang ada di desa, terlebih
dahulu akan disajikan informasi tentang desa secara umum. Data Podes
tahun 2014 dan 2018 menunjukkan bahwa dari 3 (tiga) kelompok unit
pemerintahan terkecil di Indonesia, yaitu: Desa, Kelurahan, dan Unit
Pemukiman Transmigrasi (UPT)/Satuan Pemukiman Transmigrasi (SPT).
Dari ketiga jenis unit pemerintahan terkecil ini, sekitar 89 persen berbentuk
pemerintahan desa, 10 persen kelurahan dan hanya 1 persen berbentuk
UPT/SPT (simak Tabel 2.1). Satuan pemerintahan UPT dan SPT ada di
Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.

Tabel 2.1 Informasi Desa di Indonesia, tahun 2014 dan tahun 2018

No Karakteristik PODES 2014 PODES 2018


N=82.190 N=83.931
1 Status Wilayah Pemerintahan
a. Desa 72.949 74.517
(88,76) (88,79)
b. Kelurahan 8.412 8.444
(10,28) (10.06)
c. UPT/SPT 829 970
(0,92) (1,09)
2 Kantor Kepala Desa
a. Ada 68.618 76.442
(83.49) (91,08)
b. Tidak ada 13.572 7.489
(16,51) (8,92)
3 Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
a. Ada 78.619 81.809
(95.66) (97.47)
b. Tidak ada 3.571 2.122
(4.34) (2.52)

Ni Made Sukartini 11
No Karakteristik PODES 2014 PODES 2018
N=82.190 N=83.931
4 Karakteristik Kepala Desa
a Umur (tahun) 17-90 17-95
b Jenis kelamin (laki-laki=1) 74.251 75.643
(94,30) (93,97)
c Pendidikan
1. Tidak pernah sekolah 829 1.018
(1,05) (1,26)
2. Tidak tamat SD/Sederajat 979 907
(1,24) (1.13)
3. Tamat SD/Sederajat 2.093 1.656
(2,66) (2,06)
4. SMP/Sederajat 11,240 7.545
(14,28) (9,37)
5. SMU/Sederajat 45.137 46.566
(57,33) (57,85)
6. Akademi/DIII 2.320 2.235
(2,95) (2,78)
7. Diploma IV/S1 14.488 18.260
(18,40) (22,68)
8. S2 1.634 2.289
(2,08) (2,84)
9. S3 16 22
(0,02) (0,03)
Sumber: Data Podes tahun 2014 dan 2018, ditabulasikan penulis

Unit pemerintahan desa belum semuanya memiliki kepala desa.


Data Podes menunjukkan, dari 82.190 desa (Podes 2014) dan 83.931
desa (Podes 2018); berturut-turut baru sekitar 84 persen dan 91 persen
desa yang memiliki kepala desa secara resmi. Hal yang sama juga berlaku
untuk keberadaan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Sekitar 3 persen
desa pada tahun 2018 belum memiliki BPD. Dalam struktur pemerintahan
desa, menurut Permendagri Nomor 110 Tahun 2016, tugas  BPD
adalah membantu kepala desa untuk membahas dan menyepakati
Rancangan Peraturan Desa, serta menampung dan menyalurkan aspirasi
masyarakat desa. Tugas BPD yang utama adalah melakukan pengawasan
kinerja Kepala Desa (https://updesa.com/tugas-bpd/).
Merujuk pada Nawacita poin yang ketiga, hal ini memberi indikasi
bahwa untuk mencapai target pembangunan secara nasional, hendaknya
dimulai dengan menata pembangunan di desa. Keberhasilan program
pembangunan di desa, disamping membutuhkan dukungan dana dan
partisipasi dari masyarakat, juga ditentukan oleh inovasi yang dilakukan
oleh kepala dan perangkat desa. Menurut Besley et al. (2011), tingkat
pendidikan pemimpin atau kepala pemerintahan suatu wilayah secara

12 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


umum ikut menentukan keberhasilan pembangunan di wilayah yang
dipimpinnya. Besley juga mengakui, pendidikan formal dan pengalaman
akan meningkatkan wawasan kepala pemerintahan. Komponen lain
yang juga tidak kalah menentukan keberhasilan kepala daerah adalah
ketrampilan dan kemampuan untuk mendorong warga dalam membangun
skill kewirausahaan.
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 65
Tahun 2017 Tentang Perubahan atas Permendagri Nomor 112 Tahun
2014 Tentang Pemilihan Kepala Desa (Pilkades), disebutkan beberapa
ketentuan individu sebelum dipilih menjadi kepala desa. Diantara
ketentuan yang diatur adalah persyaratan usia dan pendidikan formal.
Usia minimum untuk mendaftar menjadi kepala desa adalah 25 tahun dan
pendidikan minimum untuk menjadi kepala desa adalah setara dengan
Sekolah Menengah Lanjutan Pertama (SMP). Data yang disajikan dalam
Tabel 2.1 menunjukkan bahwa hasil pendataan Podes menemukan
beberapa kepala desa ada yang berusia lebih muda dibanding ketentuan
Permendagri Nomor 65 Tahun 2017. Meskipun aturan tersebut tidak
secara eksplisit menyebutkan batas usia maksimum, data menunjukkan
beberapa kepala desa ada yang berusia di atas 90 tahun. Ditinjau dari
jenjang pendidikan yang dimiliki kepala desa, secara umum ketentuan
Permendagri di atas, sebagian kepala desa telah memiliki latar belakang
pendidikan setara Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 57 persen;
berpendidikan setara sarjana sebanyak 14 persen; berpendidikan master
dan doktoral sebanyak 2,10 persen
Perkembangan aktivitas pembangunan yang terjadi saat ini
berlangsung sedemikian cepat. Globalisasi ekonomi, revolusi industri
4.0, era digitalisasi terjadi begitu cepat dan berdampak pada aktivitas
pembangunan di Indonesia. Globalisasi ekonomi mensyaratkan efisiensi
dan daya saing, agar proses produksi efisien, ada surplus produksi untuk
diperdagangkan dengan pihak lain diluar cakupan geografis suatu wilayah.
Revolusi industri 4.0 dan era digital atau era pemanfaatan information
communication technology (ICT) menuntut sebagian besar aktivitas
memanfaatkan teknologi informasi agar mampu bersaing dalam dunia
pertukaran dan perdagangan dengan dunia luar (Mansell, 1999).

2.1 Kondisi Topologi dan Geografi Desa


Indonesia adalah negara kepulauan. Sebagian wilayah daratan Indonesia
memiliki kondisi geografis yang memiliki banyak gunung dan bukit. Di sisi
yang lain, seluruh pulau dikelilingi oleh laut dan pantai. Kondisi geografis
yang demikian ini, tentu memberi tantangan dalam pemanfaatan peluang
dari globalisasi ekonomi maupun pemanfaatan ICT di wilayah-wilayah
pelosok perdesaan. Pembangunan infrastruktur ICT sangat dibutuhkan
pada jaman sekarang, namun pembangunan infrastruktur ini harus

Ni Made Sukartini 13
menghadapi kendala geografis, khususnya dalam hal biaya instalasi
jaringan (Tobgay and Wangmo, 2008).
Tabel 2.2 menunjukkan sekitar 20 persen desa-desa di Indonesia
terletak bukan di daerah dataran; namun di wilayah lereng perbukitan atau
lembah-lembah. Desa dengan kondisi geografis seperti ini tentu lebih sulit
dalam mendistribusikan instalasi jaringan listrik, internet dan air bersih.
Lebih lanjut, sekitar 22-25 persen desa-desa di Indonesia terletak dalam
dan tepi kawasan hutan, baik itu hutan lindung maupun hutan produksi.

Tabel 2.2 Karakteristik Lokasi Desa di Indonesia, tahun 2014 dan 2018

No Karakteristik Lokasi Desa PODES 2014 PODES 2018


N=82.190 N=83.931
1 Topografi Desa
a. Lereng/puncak 16.043 14.696
(19,52) (17,51)
b. Lembah 3.630 3.187
(4,42) (3,80)
c. Dataran 62.517 66.048
(76,06) (78,69)
2 Lokasi Desa terhadap Hutan
a. Di dalam hutan 2.037 2.768
(2,48) (3,30)
b. Di tepi/sekitar hutan 19.247 18.617
(23,42) (22,18)
c. Di luar hutan 60.906 62.546
(74,10) (74,52)
3 Desa berbatasan langsung dengan laut
a. Ada 12.827 12.857
(15,61) (15,32)
b. Tidak ada 69.363 71.074
(84,39) (84,68)
4 Sarana Tranportasi antar Desa
a. Darat 73.185 75.942
(89,04) (90.48)
b. Air 1,853 1,846
(2.25) (2,20)
c. Darat dan Air 7.152 6.042
(8,70) (7,20)
d. Udara - 101
(0,12)
5 Jenis permukaan jalan (untuk katagori 4a-c)
a. Aspal/beton 53.883 60.994
(67,07) (74,40)
b. Diperkeras (kerikil, batu, dll) 16.019 12.389
(19,94) (15,11)
c. Tanah dan lainnya 10.434 8.601
(12,99) (10,49)

14 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


No Karakteristik Lokasi Desa PODES 2014 PODES 2018
N=82.190 N=83.931
6 Jalan darat dapat dilalui kendaraan
a. Sepanjang tahun 67.701 70.483
(84,27) (85,97)
b. Sepanjang tahun kecuali musim hujan 4.763 5.208
(5,98) (6,35)
c. Selama musim kemarau 2.321 1.372
(2,89) (1,67)
d. Tidak dapat dilalui sepanjang tahun 5.552 4.921
(6,91) (6,00)
Sumber: BPS, Podes 2014 dan 2018, ditabulasikan penulis

Desa-desa yang terletak di kawasan hutan mempunyai kendala


tersendiri dalam proses pembangunan. Banyak anggaran pembangunan
desa untuk perbaikan jalan, dan pembangunan lain yang belum bisa
diserap yang disebabkan oleh kendala kewenangan (Ambarwati et al.,
2016; Susilowati, 2015). Wilayah hutan menjadi kewenangan kementrian
kehutanan, sementara pembangunan desa melalui dana desa ada
dibawah kewenangan kementrian lain (Wollenberg et al., 2004). Proses
pembangunan desa-desa di kawasan hutan tidak hanya membutuhkan ijin
dari kementrian terkait, seringkali kawasan yang dihuni adalah kawasan
taman nasional.
Untuk desa yang terletak di daerah hamparan, sebanyak 12 ribu-
an desa (15 persen) berbatasan dengan pantai dan laut. Dengan kondisi
topografi dan geografis desa yang cukup sulit seperti di atas, kondisi akses
transportasi menuju desa juga relatif banyak kendala. Sebanyak 73-75
ribu atau sekitar 89-90 persen desa-desa dapat dilalui melalui jalan darat,
sebanyak 2-2,20 persen desa-desa yang hanya bisa dilalui melalui jalur air,
dan pada tahun 2018 ditemukan bahwa sebanyak 101 desa (0,12 persen)
desa-desa hanya bisa dikunjungi dengan menggunakan jalur udara. Desa-
desa ini lebih banyak ditemukan di Provinsi Papua. Untuk desa-desa yang
dapat diakses melalui jalan darat, kualitas permukaan jalan menuju desa
juga masih cukup variatif. Sekitar 7-8 ribu desa yang bisa dilalui dengan
jalan darat kualitas permukaan jalan penghubung antar desa hanya berupa
jalan tanah. Selanjutnya, sekitar 12-16 ribu desa terhubung dengan jalan
yang mempunyai permukaan diperkeras dengan batu atau kerikil. Lebih
lanjut, hanya sekitar 67-70 ribu desa (85 persen) bisa dilalui kendaraan
roda empat sepanjang tahun.

2.2 Ragam Aktivitas Ekonomi Masyarakat Perdesaan


Indonesia dikenal sebagai negara agraris. Kontribusi sektor pertanian
pada Produk Domestik Bruto (PDB) dan Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) relatif mulai menurun dibanding sektor-sektor yang lain. Namun,

Ni Made Sukartini 15
serapan sektor pertanian pada tenaga kerja masih relatif tinggi, khususnya
pada kelompok penduduk usia dewasa di wilayah perdesaan. Tabel 2.3
menyajikan informasi tentang aktivitas ekonomi di desa. Pada tahun 2019,
sekitar 30 persen penduduk Indonesia masih bekerja pada sektor pertanian.
Bila dikaji lebih lanjut, data podes tahun 2014 dan tahun 2018 menyajikan
sekitar 86 persen dari 83.931 desa, penduduk mayoritas bekerja di sektor
pertanian. Sekitar 3-4 ribu desa atau sebanyak 5 persen dari total sampel
desa tahun 2018, mempunyai penduduk mayoritas bekerja pada sektor
perdagangan besar, eceran dan rumah makan.

Tabel 2.3 Ragam Aktivitas Ekonomi Masyarakat Perdesaan

No Karakteristik Lokasi Desa PODES 2014 PODES 2018


N=82.190 N=83.931
1 Sumber penghasilan utama penduduk
a. Pertanian 72.360 73.007
(88,04) (86,98)
b. Pertambangan dan penggalian 439 479
(0,53) (0,57)
c. Industri pengolahan 2.368 2.730
(2,88) (3,25)
d. Perdagangan besar/eceran dan rumah makan 3.127 4.020
(3,80) (4,79)
e. Angkutan, pergudangan, komunikasi 98 92
(0,12) (0,11)
f. Jasa 3.177 2.877
(3,87) (3,43)
g. Lainnya 621 726
(0,76) (0,86)
2a Produk Unggulan Desa
a. Ada 27.692
(32,99)
b. Tidak ada 56.239
(67,01)
2b Jenis produk unggulan
a. Pangan 27.692
b. Non-pangan 27.692
2c Pemanfaatan Laut di desa pesisir pantai
a. Perikanan tangkap
a1. Ada 11.984
(93,21)
a2. Tidak ada 873
(6,79)

16 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


No Karakteristik Lokasi Desa PODES 2014 PODES 2018
N=82.190 N=83.931
b. Perikanan budidaya
b1. Ada 3.662 3.763
(28,55) (29,06)
b2. Tidak ada 9.165 9.121
(71,45) (70,94)
c. Tambak garam
c1. Ada 493
(3,83)
c2. Tidak ada 12.364
(96,17)
d. Wisata bahari
d1. Ada 1.700
(13,22)
d2. Tidak ada 11.157
(87,78)
e. Trayek transportasi umum menuju-dari desa 3.838
e1. Ada (29,85)
9.019
e2. Tidak ada (70,15)
Sumber: BPS, Podes 2014 dan 2018, ditabulasikan penulis.

Dari 83.931 desa yang disurvei tahun 2018; sebanyak 27.692 desa
telah mempunyai produk unggulan desa, baik berupa komoditas pangan
maupun komoditas non pangan. Untuk produk unggulan berupa komoditas
pangan, sebagian besar berupa komoditas buah-buahan, sayuran dan
bunga. Produk unggulan dengan jenis komoditas non pangan lebih
banyak berupa produk kerajinan atau industri berbasis rumah tangga.
Hal ini mencakup kerajinan anyaman, tenun, gerabah, dan berbagai jenis
kerajinan rumah tangga lainnya.
Untuk desa-desa yang berbatasan dengan laut, beberapa sudah mulai
mempunyai produk andalan terkait dengan hasil perairan laut. Pada survei
tahun 2014 desa-desa pantai dilaporkan hanya dalam kegiatan budidaya
perikanan. Namun dalam survei Podes 2018, pemanfaatan kawasan
pantai telah dikembangkan menjadi perikanan tangkap, usaha tambak
garam, dan wisata bahari; selain adanya perikanan budidaya. Adanya
variasi kegiatan penduduk di wilayah perairan pantai ini sayangnya belum
didukung dengan kemudahan akses transportasi dari dan menuju ke desa.
Tidak lebih dari 30 persen (3.838 desa) yang dilaporkan mempunyai trayek
transportasi umum dari dan menuju ke desa.

2.3 Infrastruktur Informasi dan Komunikasi di Wilayah Perdesaan


Pada periode atau era informasi dan aktivitas digital sekarang ini sangat
tidak mungkin aktivitas ekonomi di masyarakat menjadi lebih lancar tanpa

Ni Made Sukartini 17
didukung oleh ketersediaan infrastruktur informasi dan telekomunikasi
(information and communication technology/ICT). Pemanfaatan ICT juga
membutuhkan dukungan ketersediaan energi listrik. Tanpa ada energi
listrik, media informasi seperti televisi (TV) dan radio; alat komunikasi
seperti handphone dapat berfungsi dengan baik.
Beberapa studi menemukan bahwa akses pada listrik mempunyai
hubungan searah dengan upaya pengentasan kemiskinan (Chaurey et al.,
2004; Davidson and Mwakasonda, 2002). Dalam konteks negara Indonesia,
selain studi dari Bank Dunia tahun 1982, kesimpulan studi dari Darsono
and Kuncoro (2013) juga menunjukkan adanya hubungan kausalitas
antara akses energi listrik di suatu wilayah provinsi dengan pertumbuhan
ekonomi di wilayah yang bersangkutan. Lebih lanjut, hasil kajian dari
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) tahun
2016 [1] melaporkan bahwa peningkatan akses pada energi listrik dapat
mengurangi peluang rumah tangga masuk dalam kategori miskin. Dalam
level regional, semakin tinggi akses pada energi listrik, semakin rendah
ketimpangan pendapatan penduduk di wilayah yang bersangkutan. Tabel
2.3 menyajikan rasio elektrifikasi per provinsi di Indonesia selama tahun
2012-2017. Informasi dalam tabel tersebut juga menyajikan perbedaan
rasio elektrifikasi antara wilayah perkotaan dan wilayah perdesaan.
Data yang tersaji di Tabel 2.4 menunjukkan bahwa bahwa tidak saja
ada ketimpangan akses listrik antar wilayah provinsi, namun juga terjadi
ketimpangan akses listrik antara wilayah perdesaan dan perkotaan dalam
satu wilayah provinsi. Sampai dengan tahun 2015, rasio elektrifikasi per
provinsi yang sudah mencapai lebih dari 70 persen (rata-rata nasional) jauh
lebih sedikit dibanding kondisi sebaliknya. Provinsi yang sudah mencapai
rasio elektrifikasi di atas 70 persen adalah: (i) Sumatera Utara, (ii) Riau, (iii)
Kep. Riau, (iv) DKI Jakarta, (v) Jawa Tengah, (vi) DI Jogyakarta, (vii) Jawa
Timur, (vii) Bali, (viii) Kalimantan Timur, (ix) Kalimantan Utara, (x) Sulawesi
Utara, (xi) Sulawesi Selatan dan (xii) Sulawesi Tenggara. Di sisi yang lain,
provinsi Bengkulu, Sulawesi Barat dan Provinsi Papua mempunyai rasio
elektrifikasi baru mendekati 50 persen.

18 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


Tabel 2.4 Rasio Elektrifikasi Antar Provinsi di Indonesia, Tahun 2012-2015
2012 2013 2014 2015
Provinsi Perko-
Perkotaan Perdesaan Total Perkotaan Perdesaan Total Perkotaan Perdesaan Total taan Perdesaan Total
Aceh 87.41 52.73 62.41 84.75 51.42 60.76 81.05 49.91 58.74 81.71 53.27 61.23
Sumatera Utara 82.25 54.38 67.81 82.86 53.96 68.00 83.23 51.66 66.86 85.81 57.66 71.41
Sumatera Barat 80.94 58.03 66.69 78.00 55.72 64.34 80.03 51.52 62.60 83.32 55.66 66.58
Riau 91.10 63.68 74.36 85.51 65.45 73.17 86.03 63.88 72.55 85.83 66.86 74.24
Jambi 79.48 52.06 60.57 82.09 53.26 61.73 86.68 51.80 62.01 83.87 54.16 62.75
Sumatera Selatan 73.22 48.57 56.90 78.09 52.42 61.18 79.81 50.85 60.75 81.28 56.80 65.16
Bengkulu 59.66 27.04 36.82 62.21 29.45 39.30 60.42 27.14 37.47 66.83 30.06 41.08
Lampung 71.81 48.42 54.16 68.94 48.35 53.37 67.63 44.19 49.92 72.13 49.55 55.06
Kep. Ba-Belitung 74.76 55.96 64.98 76.34 55.72 65.72 75.40 51.66 63.20 77.50 59.15 68.03
Kepulauan Riau 82.11 26.01 73.57 85.80 36.49 77.90 88.05 41.79 81.04 89.54 55.88 84.12
DKI Jakarta 92.49 - 92.49 92.64 - 92.64 92.10 - 92.10 93.40 - 93.40
Jawa Barat 71.71 50.94 64.39 71.56 48.72 63.50 73.68 49.22 65.01 74.52 53.20 67.20
Jawa Tengah 77.25 66.46 71.30 75.81 64.47 69.58 77.33 65.97 71.11 79.29 68.94 73.63
DI Yogyakarta 83.96 68.99 79.25 82.76 70.23 78.81 79.91 71.62 77.28 79.27 84.70 80.99
Jawa Timur 81.53 67.37 74.04 81.74 69.44 75.19 82.33 69.69 75.64 82.32 71.55 76.64
Banten 76.65 38.69 64.51 77.27 40.36 65.57 77.80 41.95 66.60 78.72 43.75 67.68
Bali 92.45 85.36 89.79 93.99 79.91 88.59 93.42 81.92 89.09 94.51 86.01 91.27
NTB 72.72 42.79 55.03 71.82 50.73 59.45 74.37 57.03 64.33 78.22 67.07 71.70

Ni Made Sukartini
NTT 82.77 44.28 51.75 82.93 48.11 54.85 83.13 47.99 54.88 83.10 57.46 62.72
Kalimantan Barat 82.79 54.94 63.18 85.57 56.19 64.70 84.01 54.49 63.04 89.50 59.56 68.39

19
2012 2013 2014 2015

20
Provinsi Perko-
Perkotaan Perdesaan Total Perkotaan Perdesaan Total Perkotaan Perdesaan Total taan Perdesaan Total
Kalimantan Tengah 67.21 37.99 48.04 75.10 43.59 54.10 79.09 44.37 56.05 80.44 45.10 57.01
Kalimantan Selatan 80.19 48.60 62.07 80.96 47.44 61.59 82.03 46.76 61.72 83.07 46.77 62.23
Kalimantan Timur 93.09 58.52 79.99 93.08 55.57 78.93 92.19 56.49 78.48 90.63 57.11 78.13
Kalimantan Utara - - - - - - - - - 95.00 71.92 84.59
Sulawesi Utara 82.21 54.73 67.21 84.41 58.19 70.06 85.82 55.32 69.32 79.43 64.79 71.53
Sulawesi Tengah 80.19 48.01 55.83 82.28 53.16 60.21 81.85 51.89 58.99 82.37 54.89 61.49
Sulawesi Selatan 81.03 59.25 66.99 86.65 55.91 66.95 88.74 57.43 68.89 90.65 61.48 72.07
Sulawesi Tenggara 93.77 63.49 71.98 86.74 62.76 69.43 83.48 63.03 68.74 88.13 72.76 77.19
Gorontalo 68.81 48.21 54.96 68.91 50.68 56.80 77.36 55.87 63.30 79.32 59.68 66.47
Sulawesi Barat 74.04 33.84 42.14 76.28 39.24 47.27 77.80 38.46 47.07 83.62 46.95 53.89
Maluku 77.77 44.43 57.56 72.53 49.68 58.49 77.75 49.65 60.77 78.93 55.70 64.96
Maluku Utara 81.85 51.12 59.65 86.44 45.64 57.19 88.97 44.20 57.03 87.50 49.69 60.07
Papua Barat 89.99 57.92 67.17 87.40 58.26 67.03 88.29 57.29 66.87 87.24 58.17 68.85
Papua 91.05 28.85 44.12 83.67 36.43 47.70 86.37 36.99 48.99 86.78 39.67 51.27
Indonesia (rata-rata) 79.34 56.17 67.73 79.30 56.68 67.93 80.27 56.57 68.38 81.30 60.58 70.97
Sumber: BPS (2016)

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


Informasi lain yang dapat disimak dari Tabel 2.4 adalah bahwa
meskipun rasio elektrifikasi level provinsi sudah melampaui rata-rata
capaian nasional, namun ada gap capaian antara wilayah perdesaan
dan wilayah perkotaan. Hal ini terjadi di Provinsi Kepulauan Riau dan
Kalimantan Timur. Provinsi Kalimantan Timur adalah provinsi penghasil
tambang batubara; salah satu sumber energi utama. Namun, apa yang
terjadi dengan tingkat ketersediaan listrik PLN? Rasio elektrifikasi di wilayah
perdesaan di provinsi ini baru mencapai 50 persen. Hal ini mungkin yang
menjelaskan mengapa angka kemiskinan beberapa kabupaten di provinsi
ini relatif masih tinggi sampai sekarang. Dilihat dari jumlah absolut, data
BPS menunjukkan bahwa kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Timur dan
Paser mempunyai angka kemiskinan di atas 250.000 orang tahun 2018
dan 2019. Namun bila dilihat dari persentase terhadap penduduk total,
maka Kabupaten Mahakam Hulu, Kutai Timur, Kutai Barat dan Paser yang
mempunyai angka kemiskinan sekitar 10 persen. Rasio elektrifikasi di
kabupaten ini juga masih rendah. Dengan demikian dapat dikatakan ada
korelasi positif antara akses listrik dan kemiskinan. Beberapa kecamatan di
Kabupaten Kutai Timur, sampai dengan tahun 2018 tidak mendapat aliran
listrik PLN sama sekali. Hal ini di duga terkait dengan kesulitan geografis
di wilayah ini yang cukup tinggi (BPS, 2018).
Tabel 2.5 dibawah ini menyajikan infrastruktur informasi dan
komunikasi di wilayah perdesaan di Indonesia. Hal ini mencakup:
ketersediaan ruang terbuka hijau di desa, ketersediaan pasar desa,
ketersediaan Base Transceiver Station (BTS), kualitas sinyal telepon,
sinyal internet dan jangkauan siaran TV. Data yang tersaji dalam tabel ini
menunjukkan adanya peningkatan jangkauan infrastruktur informasi dan
komunikasi di wilayah perdesaan. Ketersediaan ruang terbuka sebagai
tempat fasilitas umum tersedia sekitar 18-20 ribuan desa; namun dari
jumlah desa ini ada yang sudah memanfaatkan ruang terbuka sebagai
fasilitas umum dengan baik dan ada yang belum memanfaatkannya.
Pasar dalam arti secara infrastruktur fisik merupakan tempat bertemu dan
berinteraksi penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi pertukaran
atau jual beli barang. Seiring dengan perkembangan tehnologi informasi,
sebagian aktivitas jual beli sudah memanfaatkan tehnologi internet.
Aktivitas perdagangan mulai dilakukan secara online atau digital.
Dalam situasi normal, di wilayah perdesaan kegiatan pasar secara
fisik masih umum berlangsung. Transaksi jual beli lebih banyak berupa
produk hasil pertanian (buah-buahan, sayur mayur, daging, telur dan
lain-lain), yang secara umum merupakan barang konsumsi yang tidak
tahan lama. Ketersediaan pasar memberi peluang surplus hasil produksi
pertanian dapat dijual penduduk di pasar, demikian pula penduduk yang
membutuhkan barang-barang kebutuhan pangan sehari-hari dapat
membeli dengan mudah di pasar. Pada wilayah perdesaan, ketersediaan
pasar desa dibedakan menjadi: (i) pasar dengan bangunan permanen;

Ni Made Sukartini 21
(ii) pasar dengan bangunan semi permanen; (iii) pasar tanpa bangunan
permanen. Kondisi di wilayah perdesaan Indonesia, ketersediaan pasar
di desa lebih banyak dalam bentuk pasar dengan bangunan semi
permanen, di susul oleh pasar tanpa bangunan permanen dan pasar
dengan bangunan permanen. Jika disimak lebih seksama, informasi yang
tersaji dalam Tabel 2.5 baris (2) mengindikasikan bahwa tahun 2014 dan
2018 jumlah desa yang mempunyai pasar baru sekitar 30 persen dari total
sampel, atau kurang lebih sebanyak 25 ribu desa. Ini menunjukkan akses
pasar di wilayah perdesaan masih cukup kurang sampai akhir tahun 2018.
Jarak tempuh dari desa menuju pasar yang terdekat sangat bervariasi,
antar 0,01-100 km.

Tabel 2.5 Infrastruktur Informasi dan Komunikasi di Desa

No Infrastruktur Komunikasi dan Informasi di Desa PODES 2014 PODES 2018


1 Ketersediaan ruang terbuka (fasilitas umum)
1a. Ada ruang terbuka 18.525 20.138
(22,54) (23,97)
Ada, dimanfaatkan dengan baik 11.306
(13,47)
Ada, tidak dimanfaatkan 8.832
(10,52)
1b. Tidak ada ruang terbuka 63.665 63.793
(77,46) (76,01)
2 Ketersediaan pasar desa
2a. Dengan bangunan permanen 705 7.794
(8,52) (8,29)
2b. Dengan bangunan semi permanen 10.240 11.956
(12,46) (14,25)
2c. Tanpa bangunan permanen 8.816 7.873
(10,73) (9,38)
3 Keberadaan Base Transceiver Station (BTS)
a. Ada 27.084 32.150
b. Tidak ada (32.95) (38,15)
55.106 51.908
(67,05) (61,85)
4 Sinyal telepon/HP
a. Tidak ada sinyal 7.717 6.759
(9,39) (8,05)
b. Ada, sinyal lemah 18.603 21.597
(22.63) (25,73)
c. Ada, sinyal kuat 55.870 55.575
(67,98) (63,78)

22 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


No Infrastruktur Komunikasi dan Informasi di Desa PODES 2014 PODES 2018
5 Sinyal internet, telepon GSM atau CDMA:
a. 4G/LTE 26.700
(34,60)
b. 3G/H/H+/EVDO 33.800
(43,80)
c. 2.5G/E/GPRS 9.711
(12,58)
d. Tidak ada sinyal internet 6.961
(9,02)
6 Program TV yang bisa dinikmati di desa
a. TVRI 78.284 78.627
(95,25) (93.68)
b. TVRI daerah 65.366 67.123
(79,53) (79,97)
c. TV Swasta 78.385 78.714
(95,37) (93.78)
d. TV LN 71.564 71.486
(87,07) (85.17)
Sumber: BPS, Podes 2014 dan 2018, ditabulasikan penulis

Infrastruktur lain yang perlu mendapat perhatian di wilayah perdesaan


adalah tersedianya Base Transceiver Station (BTS). Dalam era aktivitas
digital, apalagi ditambah dengan kajadian pandemi Covid-19 sekarang,
kelancaran komunikasi sangat ditentukan oleh ketersediaan infrastruktur
pendukung seperti jaringan BTS dan jaringan listrik; agar akses informasi
dapat diterima seluruh lapisan masyarakat secara simetris. Jaringan BTS
baru tersedia sekitar 32-38 persen di wilayah perdesaan. Ini berarti sebagian
besar desa-desa belum mempunyai BTS sendiri, tetapi mungkin masih
berbagi penggunaan dengan desa-desa yang lain dalam satu kawasan
kecamatan.
Belum meratanya akses BTS mungkin berpengaruh pada penerimaan
sinyal handphone di desa. Data menunjukkan bahwa desa yang tidak
dapat menerima sinyal handphone mulai berkurang pada tahun 2018
dibanding kondisi tahun 2014. Namun, jumlah desa yang mempunyai
sinyal kuat tidak bertambah banyak, dan desa yang mempunyai sinyal
tapi lemah semakin bertambah. Hal ini mungkin disebabkan oleh kondisi
geografis yang luas, tetapi jaringan BTS yang tersedia relatif masih sedikit.
Sinyal internet merupakan akses barang/jasa semi publik. Akses pada
fasilitas ini seharusnya dinikmati secara luas oleh masyarakat. Teknologi
internet berkembang sedemikian cepat. Belum lama menikmati 2,5G, lalu
3G dan dalam sekejap sudah muncul 4G. Desa-desa belum semuanya
dapat menikmati sinyal 2,5G; di belahan wilayah yang lain sudah terbiasa
memanfaatkan 4G. Namun demikian, di Indonesia sekitar 6.000an desa
belum menikmati internet.

Ni Made Sukartini 23
Media informasi televisi (TV) di sisi yang lain, relatif sudah dapat
dinikmati hampir di seluruh desa, meski sebagian mungkin harus
menggunakan tambahan antena parabola. Siaran TVRI, TVRI daerah, TV
Swasta Nasional dan TV siaran luar negeri dapat dikatakan telah dinikmati
sampai pelosok desa, mengingat cakupan desa telah mencapai 80 persen
lebih.

3. ANTISIPASI KEBIJAKAN PUBLIK BAGI PEMERINTAH


DAERAH PASCA PANDEMI COVID-19, DAN MENYAMBUT
KONDISI KENORMALAN BARU
Awal bulan Februari tahun 2020, wabah Corona virus diseases atau
Covid-19 mulai masuk dan menyebar di Indonesia. Dalam waktu sebulan,
awal Maret jumlah korban positif Covid telah mencapai 1000an orang.
Bulan April jumlah korban semakin meningkat. Kementrian kesehatan
mengeluarkan himbauan darurat kesehatan, mengingat jumlah korban dan
ancaman kematian yang semakin banyak. Perkembangan jumlah korban
yang sangat cepat, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018
tentang Karantina Kesehatan, Presiden Jokowi menetapkan peraturan
atau kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Ketentuan
PSBB ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun
2020.
Ketentuan PSBB diambil baik dalam level negara, wilayah pulau,
provinsi bahkan sampai pada skala desa. Dibeberapa tempat pembatasan
mungkin sampai ke tingkat RT-RW. Dalam waktu tidak sampai sebulan,
sebagian besar usaha yang melibatkan banyak karyawan seperti pabrik-
pabrik ditutup, aktivitas belajar mengajar dilakukan dari rumah, akses
transportasi publik dan masal diberhentikan. Hal ini dilakukan untuk
menekan laju penyebaran Covid-19. Setelah mempertimbangakan banyak
hal, salah satu diantaranya tekanan ekonomi yang ditimbulkan, maka
pertengahan bulan Juni 2020 ketentuan normal baru (new normal) mulai
diberlakukan. Hal apa yang dapat diambil sebagai pelajaran terkait dengan
pandemi Covid-19? Banyak hal yang bisa diambil hikmahnya, tentu dibalik
masalah yang telah ditimbulkannya. Berikut adalah beberapa hal yang
bisa diambil sebagai bahan pertimbangan kebijakan.

3.1 Prasarana Kesehatan


Bencana apapun (alam dan non-alam), termasuk wabah penyakit seperti
Covid-19 terjadi secara tiba-tiba. Kondisi bencana yang terjadi secara
tiba-tiba biasanya harus diikuti oleh proses pengobatan bagi korban yang
ditimbulkan (luka, sakit, rawat inap dan lain-lain). Terkait dengan wabah
atau pandemi yang berbahaya seperti Covid-19, pemerintah daerah (mulai

24 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


desa hingga provinsi); tidak hanya dituntut siap dengan infrastruktur fisik
(jumlah rumah sakit, jumlah kamar inap, jumlah ambulance dan lain-lain)
juga dituntut siap dengan infrastruktur pendukung, seperti alat pelindung
diri (APD) bagi tenaga kesehatan. Selain infrastruktur fisik, jumlah tenaga
medis (dokter, juru rawat dan tenaga apoteker) juga perlu dipertimbangkan,
apakah kuantitas yang telah ada sudah imbang dengan rasio sebaran
penduduk. Belajar dari Covid-19; rasio jumlah tempat tidur untuk rawat
inap pasien dalam kondisi tidak normal (wabah) masih perlu ditambah,
khususnya bagi pemerintah daerah kabupaten dan provinsi. Untuk
menangani Covid-19, pemerintah pusat sampai menyiapkan ratusan
kamar Wisma Atlet Kebayoran sebagai rumah sakit darurat penanganan
isolasi pasien terindikasi Covid. Hal ini memberi indikasi bahwa pemerintah
pusat bersama-sama dengan pemerintah daerah hendaknya mulai
merencanakan pembangunan atau penambahan ruang perawatan pasien
dalam kondisi darurat.
Untuk level pemerintah desa, pemanfaatan posyandu anak, posyandu
lansia dan klinik desa hendaknya semakin ditingkatkan, agar derajat
kesehatan penduduk desa dapat lebih terpantau. Selain pemanfaatan
fasilitas posyandu, kerjasama yang baik antara aparat desa dan warga
dapat semakin dipupuk dengan belajar dari kondisi Covid-19, agar jumlah
korban yang ditimbulkan dari sebuah wabah dapat ditekan.

3.2 Infrastruktur Dasar


Pola penyebaran virus yang sangat cepat melalui cairan tubuh penderita,
membawa konsekuensi pada penyesuaian kebutuhan beberapa
infrastruktur bangunan maupun sarana transportasi publik. Ruangan kerja,
ruangan rapat dan ruang kantor secara umum yang memiliki daya tampung
lebih dari 50 orang hendaknya menyesuaikan dengan kondisi higienis.
Pelonggaran tempat duduk-kapasitas ruangan, penyediaan air tempat
cuci tangan dan hand sanitizer serta penggunaan masker selama pandemi
Covid hendaknya dapat menjadi pertimbangan perencanaan anggaran
pemerintah, khususnya pemerintah desa di masa yang akan datang.
Setelah masa pandemi mulai mereda, pelaksanaan tatanan normal
baru atau new normal juga membutuhkan banyak penyesuaian baru.
Untuk mengurangi pola kerumunan, pelonggaran kapasitas orang per
unit tempat (tempat duduk di transportasi umum, ruang kantor, ruang
kerja, ruang kelas, dan lain-lain) juga membutuhkan proses penyesuaian,
minimal berupa penataan tempat duduk. Terkait penambahan tempat/
ruang bagi tempat kerja dapat disesuaikan dalam jangka pendek berupa
pengaturan shift kerja atau penggunaan ruangan baru. Hal yang berbeda
mungkin dibutuhkan bagi pelaksanaan pendidikan, khususnya di tingkat
dasar. Dengan kapasitas ruang belajar tertentu, proses pelonggaran
tempat duduk tidak hanya menimbulkan penambahan ruang kelas tetapi

Ni Made Sukartini 25
juga tenaga guru. Apabila tenaga guru diantisipasi dengan teknologi, maka
proses adaptasi dan penguasaan teknologi bagi tenaga guru hendaknya
segera dipersiapkan. Sekolah-sekolah (dasar dan menengah), yang belum
mempunyai sumber daya air tempat cuci tangan, maka ketersediaan
air cuci tangan per jumlah kelas dan per jumlah guru, murid dan staff
sekolah hendaknya dijamin cukup memadai. Hal yang sama berlaku bagi
perkantoran dan tempat kerja lain seperti pabrik atau usaha lainnya.
Untuk pemerintah desa, pemanfaatan balai desa dan ruang
terbuka untuk kegiatan yang melibatkan banyak warga hendaknya mulai
dipertimbangkan, selama pandemi seperti Covid-19 belum dinyatakan
berakhir dan situasi telah aman.

3.3 Kebiasaan dan Perilaku Adaptasi


Menggunakan masker saat bepergian atau saat bekerja, belajar dan berada
di tempat kerumuman, segera mencuci tangan menggunakan sabun dan
air mengalir merupakan hal yang belum umum dilakukan masyarakat
selama ini. Hal ini akan mulai menjadi hal prosedural yang harus dilakukan
selama masa pandemi masih menjadi ancaman menimbulkan korban.
Sesuatu yang belum biasa dilakukan akan menyebabkan orang mudah
lupa. Oleh karena itu, pola mengingatkan, baik dalam bentuk himbauan
maupun berupa poster di tempat-tempat umum hendaknya diupayakan.
Penegakan hukum informal bagi individu agar taat pada ketentuan maupun
yang sadar dan tidak sadar melanggar ketentuan dapat dipertimbangkan
sesuai keadaan di daerah masing-masing.
Antisipasi pola aktivitas produksi, konsumsi dan distribusi baru dalam
bidang ekonomi harus mulai dilakukan. Penyesuaian kegiatan dengan
memperhatikan protokol kesehatan akan diikuti oleh banyak peluang
bisnis baru. Kebiasaan berbelanja di pasar mungkin akan berubah menjadi
belanja secara online. Pemasaran barang-barang hasil produksi pertanian
juga mulai dilakukan secara online dengan media digital. Proses belajar
mengajar di level dasar menengah lebih banyak secara online dibanding
offline. Kondisi penyesuaian new normal ini bagi dunia pendidikan sekolah
dasar (SD) akan membutuhkan proses adaptasi teknologi. Pemanfaatan
BTS sebagai transmitter sinyal HP dan internet akan semakin tinggi,
khususnya di wilayah perdesaan. Oleh karena itu, proses adaptasi
menuju new normal dari pemerintah daerah dan masyarakat perlu segera
dilakukan.
Dalam konteks masyarakat desa, untuk sementara selama pandemi
masih ada; kegiatan rapat-rapat yang melibatkan kerumunan warga,
pesta-pesta dan kegiatan yang dilakukan bersama-sama, untuk sementara
sebaiknya dihindari. Kegiatan rapat dapat dilakukan secara online, misal
pemanfaatan radio brik, WA grup, atau media zoom bagi wilayah dan
warga yang sudah memungkinkan. Layanan publik masyarakat desa

26 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


seperti kebutuhan surat-surat resmi dari pemerintah desa, dapat dilakukan
secara online atau layanan SMS pengajuan dan aduan.

3.4 Anggaran
Selain pandemi Covid-19, banyak hal seperti bencana banjir, longsor,
gempa, gunung meletus yang membutuhkan anggaran tambahan bagi
pemerintah daerah, selain pembiayaan rutin yang dianggarkan dalam
APBD. Bencana Covid-19 menimbulkan pola realokasi anggaran yang
sangat besar, tidak saja karena belum ada anggaran khusus (anggaran
kontinyensi), namun juga kebutuhan penanganan yang sangat banyak,
seperti kebutuhan APD. Di level pemerintah daerah, informasi dari media
Kompas online tanggal 17 April 2020 menyebutkan pemerintah DKI sampai
mere-alokasi APBD sebesar Rp 56,57 Triliun untuk penanganan Covid-19.
Hampir 93 persen dari pemerintah daerah di Indonesia dikatakan telah
melakukan realokasi anggaran untuk menangani Covid-19 [2,3]. Di level
pusat, proses penyesuaian anggaran dan asumsi APBN juga terus
dilakukan [3, 4].
Pada level pemerintah desa, bagi warga yang terdampak pandemi
Covid-19; misal kehilangan pekerjaan, karantina sakit atau kondisi
lain, pemanfaatan dana desa untuk program bantuan sosial masih
dimungkinkan. Apabila Covid-19 sudah berlalu, proses penggunaan
anggaran akan kembali normal sebagaimana sebelum Covid-19 terjadi.
Pada saat ini, pemerintah daerah harus mulai berupaya untuk meningkatkan
pendapatan asli daerah (PAD) dan pendapatan asli desa dan mengurangi
peran ketergantungan pada dana transfer dari pusat. Peningkatan PAD
dapat dicadangkan secara langsung sebagai dana kontinyensi, yang
dapat digunakan bila terjadi guncangan atau bencana.

4. PENUTUP
Pembangunan ditandai oleh meningkatnya aktivitas ekonomi, baik dari
sisi produksi maupun konsumsi. Aktivitas ekonomi di wilayah perdesaan
Indonesia menjadi salah satu prioritas dalam pemerintahan Presiden Joko
Widodo. Hal ini dituangkan dalam Program Nawacita, khususnya pada
poin ketiga. Untuk meningkatkan aktivitas ekonomi di perdesaan, maka
ketersediaan infrastruktur penunjang perlu diperhatikan.
Data menunjukkan sebagian desa-desa di Indonesia terletak di
wilayah yang mengalami kesulitan geografis, seperti desa terletak di lereng,
puncak bukit atau lembah. Distribusi infrastruktur dasar untuk menunjang
kelancaran informasi dan teknologi relatif lebih terkendala di wilayah ini,
yang disebabkan oleh perbedaan dalam biaya distribusi jaringan. Sinyal
TV, radio, HP dan internet menjadi lebih rendah pada wilayah yang berbukit

Ni Made Sukartini 27
dan hamparan lembah. Kebutuhan akan dukungan teknologi informasi dan
komunikasi tidak saja terjadi karena sekarang adalah era digital, namun
disisi lain adanya pandemi Covid-19. Penetapan kondisi PSBB berdampak
pada keterbatasan ruang gerak. Dalam kondisi seperti ini, dukungan
media internet sangat penting. Aktivitas pembelajaran, perkuliahan, rapat
dan seminar dapat dilakukan secara daring. Hal yang sama berlaku untuk
layanan publik yang dasar seperti pembuatan dokumen kependudukan.
Masyarakat dapat menggunakan layanan online sepanjang infrastruktur
dan sistem layanan telah disediakan oleh pemerintah daerah.
Kapan guncangan bencana akan terjadi, kapan bencana akan
berakhir, seperti berlakunya Covid-19, tidak ada yang bisa memastikan.
Hal yang bisa dilakukan adalah siap dengan kondisi buruk yang terjadi.
Penyesuaian infrastruktur, penyiapan anggaran kontinyensi dan lain-lain
hendaknya direncanakan dengan segera. Rasio kewajaran APBD, antara
ketergantungan yang tinggi pada dana transfer dari pemerintah pusat
hendaknya mulai dikurangi. Sumber-sumber penerimaan PAD harus
dioptimalkan. Dengan cara ini, percepatan penyesuaian infrastruktur
untuk proses recovery pasca Covid dapat dicapai lebih cepat. Pada level
pemerintah desa, peningkatan pendapatan asli desa menjadi sangat
penting untuk diimplementasikan.

5. DAFTAR PUSTAKA
Ambarwati M.E., Sasongko G., Therik W.M.A. (2016) Dinamika Konflik
Tenurial Pada Kawasan Hutan Negara (Kasus di BKPH
Tanggung KPH Semarang). Working Paper Universitas Kristen
Satya Wacana Salatiga.

Besley T., Montalvo J.G., Reynal-Querol M. (2011) Do Educated Leaders


Matter? The Economic Journal 121:F205-F227.

Chaurey A., Ranganathan M., Mohanty P. (2004) Electricity access for


geographically disadvantaged rural communities technology
and policy insights. Energy Policy 32:1693-1705.

Cooper M. (2005) Information Infrastructure is a Public Good (and much more in


the digital age). Online paper presentation on InfoDev Forum, World
Summit on the Information Society. Tunis, November 18, 2005.

Darsono T.D., Kuncoro M. (2013) Electricity Consumption and Economic


Growth: Causality Evidence from Six Economic Corridors
of Indonesia, 1984-2010. International Journal of Business,
Economics, and Law 2.

28 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


Davidson, Mwakasonda S.A. (2002) Electricity Access to the Poor: A study
of South Africa and Zimbabwe. Working Paper in Departmen of
Economics, University of University of Sierra Leone.

Hashim M.J., Maximiano S., Kannan K.N. (2011) Information Targeting


and Coordination: An Experimental Study. Working Paper in
Economics Purdue University.

Mansell R. (1999) Information and Communication Technologies


for Development: Assessing the Potential and the Risks.
Telecommunications Policy 23:35-50.

Raharjo R. (2020) Menakar New Normal Desa, Tribunjogya, Tribun Media,


Jogyakarta.

Safitri D. (2015) Representasi Nawacita dalam 100 Hari Kabinet Kerja


Jokowi-JK. Jurnal Dialog Publik Kemkominfo.

Susilowati. (2015) Konflik Tenurial dan Sengketa Tanah Kawasan Hutan


yang dikelola oleh Perum Perhutani. Jurnal Repertorium 3.

Tobgay S., Wangmo K. (2008) Can ICT (Internet) Overcome the Natural
Geographical Barriers of Bhutan in Developing the Nation?
International Journal of Education and Development using
Information and Communication Technology (IJEDICT) 4:148-158.

Wollenberg E., Belcher B., Sheil D., Dewi D., Moeliono M. (2004) Mengapa
kawasan hutan penting bagi penanggulangan kemiskinan di
Indonesia? CIFOR Government Brief 4.

Catatan kaki:
[1] https://www.tnp2k.go.id/articles/meningkatkan-akses-listrik-
penting-untuk-kurangi-kemiskinan-dan-ketimpangan

[2] https://nasional.kompas.com/read/2020/04/17/19040041/
realokasi-apbd-untuk-penanganan-covid-19-mencapai-rp-5657-
triliun-dki?page=all

[3] https://nasional.kompas.com/read/2020/04/13/13490351/
kemendagri-93-persen-daerah-telah-realokasi-apbd-untuk-
tangani-covid-19

[4] https://ekonomi.bisnis.com/read/20200508/9/1238073/tangani-
covid-19-kementerian-dan-lembaga-ini-realokasi-anggaran

Ni Made Sukartini 29
30 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI
PROGRAM BANTUAN PEMERINTAH
SAAT PANDEMI UNTUK KELUARGA
MISKIN DI DESA BAB
Fariastuti Djafar
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Tanjungpura
fariastuti@ekonomi.untan.ac.id
III
1. PENDAHULUAN
Kisruh penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa (DD),
bagi warga terdampak pandemi COVID-19 di banyak tempat akhir-akhir
ini, merupakan puncak gunung es dari lemahnya sistem pendataan, dan
kompleksitas profil keluarga miskin, yang selama ini kurang tersentuh akar
permasalahannya. Tak kurang pula berita di media massa dan media sosial
tentang anak-anak, orang tua dan keluarga terlantar yang tidak pernah
mendapat bantuan pemerintah. Berita tentang ketidaklayakan penerima
manfaat bantuan pemerintah, juga semakin mencuat ke permukaan pada
masa pandemi ini. Semua itu adalah ironi pada saat macam dan anggaran
program bantuan untuk keluarga miskin semakin banyak. Tulisan ini
bertujuan untuk menginvestigasi akar masalah dari basis data yang
digunakan untuk penyaluran berbagai program bantuan pemerintah untuk
keluarga miskin, khususnya di desa. Penulisan lebih didasarkan pada
laporan di media massa dan hasil observasi penulis di berbagai lokasi.
Pembahasan akan dibagi menjadi empat bagian. Pertama,
pembahasan tentang program bantuan pemerintah untuk keluarga miskin.
Kedua, pembahasan tentang integrasi data antar berbagai program
Kementerian. Ketiga, pembahasan tentang peran perangkat desa dalam
pendataan. Keempat, pembahasan tentang transparansi, sosialisasi dan
peran Lembaga pengawasan program bantuan pemerintah untuk keluarga
miskin.

2. PROGRAM BANTUAN PEMERINTAH UNTUK KELUARGA


MISKIN
Selama ini, desa lebih sebagai tempat penyaluran berbagai program
bantuan dari pemerintah pusat, sesuai target masing-masing kementerian.
Program bantuan bertambah semasa pandemi yang ditujukan kepada
keluarga terdampak COVID-19. Program tersebut berupa penambahan

Fariastuti Djafar 31
kuota untuk Program Keluarga Harapan (PKH). Selain itu, ada program
Kartu Sembako, Kartu Prakerja, Kartu Pembebasan Tarif Listrik 450 VA dan
diskon listrik untuk 900 VA. Bantuan juga diberikan kepada keluarga yang
tidak menerima Bantuan Sosial (Bansos) PKH maupun Bansos Sembako
di DKI Jakarta, di wilayah yang mencakup Bogor, Depok, Tangerang dan
Bekasi, serta di wilayah lainnya. Program lainnya yaitu dana sosial yang
bersumber dari Dana Desa, Program Padat Karya Tunai di kementerian-
kementerian, dan Program Keselamatan oleh Polri untuk pengemudi taksi,
sopir bus atau truk dan kenet (Sekretariat Negara, 2020).
Beberapa program bantuan pada masa pandemi berasal dari
kementerian yang belum memiliki program serupa, sehingga menambah
jumlah kementerian yang terlibat dalam program sejenis. Sebelum krisis
COVID-19, sembilan kementerian telah terlibat dalam 25 program bantuan.
Kementerian tersebut adalah sebagai berikut (TNP2K, 2018):
− Kementerian Sosial (9 program)
− Kemendikbud (2 program)
− Kementerian Agama (2 program)
− Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (1 program)
− Kementerian Kesehatan (1 program)
− Kementerian ESDM (3 program)
− Kementerian PU dan Perumahan Rakyat (2 program)
− Kementerian Pertanian (3 program)
− Kementerian Kelautan dan Perikanan (2 program)

3. INTEGRASI DATA ANTAR BERBAGAI PROGRAM


KEMENTERIAN
Keberadaan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan/
TNP2K tampaknya belum mampu mengintegrasikan pengumpulan data
antar kementerian. Pendataan keluarga yang tidak terintegrasi dan
kurang koordinasi antar kementerian merupakan masalah utama dari
kisruh penyaluran bantuan pemerintah. Menurut Menteri Sosial (Mensos),
Juliari P. Batubara, banyak Pemerintah Daerah (Pemda) yang belum
memperbarui Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), sementara
Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bahwa hanya 286
Pemda yang memperbarui DTKS (Media Indonesia, 2020).
Pernyataan Mensos mencerminkan koordinasi yang lemah antara
Kementerian Sosial (Kemensos) dan Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri) yang membawahi Pemda. Padahal, Permensos Nomor 5,
2019 menyebutkan bahwa Dinas Sosial Kabupaten/Kota adalah pihak
yang bertugas melakukan pendataan, yang hasilnya diserahkan kepada
gubernur. Dinas Sosial Provinsi juga berkewajiban melakukan verifikasi
dan validasi terhadap hasil pendataan, sebelum diserahkan ke Mensos.

32 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


Jika ditemukan ketidaksesuaian, Pemda provinsi dan kabupaten/kota
wajib memperbaikinya terlebih dahulu (Kementerian Sosial, 2019).
Koordinasi yang lemah juga terjadi antara Kemensos dan Kementerian
Kesehatan yang membawahi Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN). Padahal, pengumpulan data keluarga oleh BKKBN
telah berlangsung jauh lebih lama dari Kemensos.
Perbedaan tujuan antar program sering dijadikan alasan bagi
pemisahan pengumpulan data antar kementerian. Hal tersebut seharusnya
tidak menjadi masalah besar sepanjang mengacu pada kuesioner yang
sama dan terintegrasi antar berbagai kementerian. Pengumpulan data
yang tidak terintegrasi menyebabkan pemborosan dana dan waktu
serta terkesan dadakan karena tergantung pada program yang akan
dilaksanakan. Responden calon penerima manfaat juga terpaksa
mengulang-ulang jawaban dari pertanyaan yang sama. Situasi tersebut
dapat menimbulkan kebosanan bagi responden yang dapat berakibat
pada jawaban yang tidak akurat.
Jika ditelusuri lebih lanjut, basis DTKS juga memiliki keterbatasan.
Basis DTKS berdasarkan hasil survei oleh Badan Pusat Statistik (BPS)
yang bekerjasama dengan Pemda pada 2015. Survei ini mencakup 40
persen rumah tangga termiskin di Indonesia. Dalam kegiatan tersebut,
petugas survei menelusuri dan mewawancarai Rumah Tangga Miskin
(RTM) yang telah terdaftar sebagai sampel. Setiap tiga RTM ditanya
tentang RTM di sekitarnya yang belum terdaftar sebagai sampel, untuk
diwawancarai. Dengan metode tersebut, BPS berhasil menambah sekitar
800 ribu RTM (TNP2K, 2017). Metode tersebut belum menjamin semua
RTM masuk dalam DTKS. DTKS juga belum mencakup nonRTM yang
berpotensi menjadi RTM secara tiba-tiba antara lain karena kehilangan
pekerjaan, yang cukup banyak terjadi pada saat pandemi.
Data RTM juga cenderung dianggap statis. Pemutakhiran data lebih
diartikan sebagai penambahan daripada pengurangan RTM. Tidak jarang
ditemukan, mantan RTM yang masih menerima bantuan karena status
ekonomi terbaru rumah tangga tersebut tidak terdata dalam DTKS. Jika
hal tersebut terus berlanjut, maka jumlah penerima bantuan bisa terus
meningkat sementara jumlah penduduk miskin cenderung menurun.

4. PERAN PERANGKAT DESA DALAM PENDATAAN


Ketua Rukun Tetangga (RT) merupakan ujung tombak dari pemutakhiran
data. Salah satu tugas Ketua RT yaitu membantu Kepala Desa dalam
menyediakan data kependudukan dan perizinan (Kementerian Dalam
Negeri, 2018). Ketua RT seharusnya mengetahui satu per satu rumah
tangga di wilayahnya. Data dari Ketua RT diserahkan kepada Kepala Desa
yang meneruskannya kepada pemerintah di atasnya. Proses tersebut terus

Fariastuti Djafar 33
berlanjut sampai pada tingkat kementerian yang terkait dengan program
bantuan. Ini berarti, kesalahan pada tingkat RT dapat terakumulasi sampai
pada tingkat nasional.
Permasalahan tak jarang ditemukan pada Ketua RT. Ketua RT, yang
merupakan salah satu jenis dalam Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD),
ditentukan berdasarkan prakarsa Pemerintah Desa dan masyarakat.
Setiap periode jabatan LKD berlaku selama lima tahun dan jabatan untuk
orang yang sama berlaku paling lama dua periode (Kementerian Dalam
Negeri, 2018). Namun, masih ada Ketua RT yang menjabat sampai
puluhan tahun, sementara warga tidak puas terhadap apa yang dilakukan
oleh Ketua RT tersebut. Situasi seperti ini memerlukan fasilitasi yang tepat
dari pejabat di atasnya, seperti Kepala Desa dan Camat. Pembiaran yang
telah lama berlangsung akan membuat warga desa menjadi apatis.
Jabatan sebagai Ketua RT pada dasarnya bersifat sukarela walau
ada Pemda yang memberi tunjangan sekedarnya. Ketua RT yang memiliki
komitmen tinggi terhadap tugas, bukan hanya perlu meluangkan waktu
untuk membantu berbagai urusan warga, tetapi juga perlu memiliki
ketegasan dalam menghadapi warga yang tuntutannya beragam. Ketua
RT juga perlu memiliki kepekaan yang tinggi terhadap warga yang paling
tidak mampu, yang biasanya paling tidak berdaya dan paling pasrah walau
haknya tidak dipenuhi. Jabatan sebagai Ketua RT cukup merepotkan
sehingga banyak warga yang tidak berminat dengan jabatan tersebut.
Ketua RT sebenarnya bisa bekerja sama dengan tenaga pendamping (jika
ada) yang ditugaskan oleh kementerian untuk melakukan pemutakhiran
data rumah tangga. Kerja sama tersebut mutlak diperlukan sebagai salah
satu upaya untuk menciptakan data yang terintegrasi.
Kriteria penerima manfaat merupakan salah satu masalah dalam
penyaluran bantuan. Jumlah alokasi bantuan yang lebih sedikit dibanding
dengan jumlah RTM, mengharuskan desa memilih RTM yang paling
layak sebagai penerima manfaat. Hal tersebut tidak mudah dilakukan,
terutama jika perbedaan tingkat kemiskinan antar RTM yang relatif kecil.
Kriteria penerima manfaat yang ditentukan oleh pemerintah pusat maupun
desa, sama-sama tidak mudah dioperasionalisasikan di lapangan karena
rumitnya profil keluarga miskin. Beberapa aspek penilaian dalam kriteria,
tak jarang saling bertolak belakang sehingga membingungkan dalam
penentuan penerima manfaat. Sebagai contoh, ada RTM yang tidak
mendapat bantuan karena tinggal menumpang di rumah warga yang
bangunannya relatif permanen. Sebaliknya, ada penerima bantuan yang
berstatus janda dan tinggal bersama anaknya yang telah berkeluarga dan
relatif mampu karena janda menjadi salah satu kriteria penerima manfaat.

34 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


5. TRANSPARANSI, SOSIALISASI DAN PERAN LEMBAGA
PENGAWASAN
Transparansi yang terbatas juga dapat menimbulkan kesulitan bagi warga
untuk mengawasi penyaluran bantuan pemerintah. Tidak semua warga
hadir dalam rembuk desa, walau semua keluarga atau hanya sebagian
keluarga yang diundang dalam kegiatan tersebut. Oleh sebab itu, tidak
semua hasil rembuk mewakili berbagai kondisi warga desa. Daftar nama
penerima manfaat, jenis bantuan dan nilai yang diterima juga tidak selalu
diumumkan ke warga sehingga mereka tidak mengetahui secara pasti
dan rinci tentang penyaluran bantuan tersebut. Salah satu topik obrolan
warga desa yang tidak menerima bantuan pemerintah adalah terjadinya
nepotisme dalam penyaluran bantuan oleh aparat desa atau Ketua RT,
yang belum tentu sesuai dengan fakta sebenarnya.
Sosialisasi yang kurang optimal menyebabkan tidak semua warga
mengetahui macam program bantuan di desanya. Beberapa keluarga
miskin yang tidak menerima bantuan pemerintah, mencari donatur untuk
membiayai sekolah anaknya, dari biaya pendaftaran sampai dengan biaya
bulanannya. Padahal, pemerintah telah menyediakan Program Indonesia
Pintar (PIP) bagi keluarga yang kurang mampu dan memiliki anak yang
masih di SD, SMP dan SMA/SMK. PIP mencakup uang saku, uang untuk
membeli buku dan alat tulis, transportasi ke sekolah, dan pakaian seragam
serta perlengkapan sekolah lainnya (TNP2K, 2018).
Kepekaan terhadap keluarga miskin di Indonesia masih terbatas,
termasuk dari lembaga yang seharusnya dapat berbuat lebih banyak.
Sebagai contoh, Lembaga Ombudsman tidak selalu dapat membantu
mengurangi berbagai pungutan oleh sekolah yang memberatkan keluarga
miskin. Lembaga tersebut menindaklanjuti kasus berdasarkan laporan
dengan menginvestigasi sekolah yang dimaksud. Namun, sepanjang
pungutan didukung dengan bukti pertemuan antara Komite Sekolah dan
orangtua siswa berupa daftar hadir yang ditandatangani dan notulen rapat,
pungutan tersebut dianggap bukan sebagai pelanggaran. Keluarga miskin
yang tidak berdaya dan cenderung diam dalam pertemuan dengan Komite
Sekolah, atau tidak hadir dalam pertemuan karena harus bekerja atau
rasa rendah diri, tidak dijadikan sebagai bahan pertimbangan.

6. PENUTUP
Banyak hal yang perlu diperbaiki agar DTKS semakin lengkap, akurat dan
mutakhir, sehingga dapat digunakan setiap saat, termasuk pada saat krisis
yang tiba-tiba terjadi. DTKS seharusnya mencakup seluruh rumah tangga
karena kondisi ekonomi rumah tangga yang dinamis. Pengumpulan data
keluarga untuk berbagai tujuan di berbagai kementerian sudah seharusnya
dilaksanakan oleh satu institusi sehingga tercipta data yang terintegrasi.

Fariastuti Djafar 35
Kriteria penerima manfaat yang tidak mudah dioperasionalisasikan mutlak
diimbangi dengan transparansi penyaluran program bantuan. Mekanisme
pelaporan temuan dan tindak lanjut yang cepat perlu dirancang, agar
seluruh warga, pejabat terkait di desa, kecamatan dan kabupaten dapat
memonitor dan menindaklanjuti proses tersebut. Pertanggungjawaban juga
seharusnya tidak hanya menekankan pada bukti fisik, tetapi juga makna di
balik bukti fisik tersebut. Pembiaran masalah di desa pada akhirnya hanya
akan semakin melemahkan warga miskin sekaligus semakin menyulitkan
pengentasan kemiskinan di desa.

7. DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Dalam Negeri (2018). Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 18 Tahun 2018. Jakarta: Kementerian Dalam Negeri

Kementerian Sosial (2019). Buku Saku Data Terpadu Kesejahteraan


Sosial. Jakarta: Kementerian Sosial

Media Indonesia (2020). Mensos: Banyak Pemda Bandel tak Update DTKS
(16 Mei). https://mediaindonesia.com/read/detail/313602-
mensos-banyak-pemda-bandel-tak-update dtkshttps://
mediaindonesia.com/read/detail/313602-mensos-banyak-
pemda-bandel-tak-update-dtks

Sekretariat Negara (2020). Pemerintah Berikan 6 Program Bantuan


Tambahan Hadapi Pandemi Covid-19 (9 April). https://setkab.
go.id/pemerintah-berikan-6-program-bantuan-tambahan-
hadapi-pandemi-covid-19/

TNP2K (2018). Program Bantuan Pemerintah Untuk Individu, Keluarga, dan


Kelompok Tidak Mampu Menuju Bantuan Sosial Terintegrasi.
Jakarta: TNP2K

TNP2K (2017). Basis Data Terpadu 2015 Untuk Memilah Penerima


Manfaat Program Penanganan Fakir Miskin berdasarkan Kriteria
Program. Jakarta: TNP2K

36 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


BELANJA DESA DI MASA PANDEMI,
BAHAGIA SEJENAK MENGHIASI
NEGERI BAB
Agus Sunarya Sulaeman, Sriyani
Politeknik Keuangan Negara STAN
asunarya@pknstan.ac.id, sriyani@pknstan.ac.id
IV
1. PENDAHULUAN
Seiring dengan transfer dana desa digulirkan, terjadi perubahan yang
cukup signifikan di dalam pengelolaan keuangan desa. Sejumlah peraturan
tentang tatakelola desa pun diluncurkan juga, berubahlah sebagian desa-
desa yang tadinya mengelola desa seperti antara ada tiada, menjadi desa
yang disibukan dalam berbagai aktivitas khususnya di dalam mengelola
keuangan.
Daya tarik luncuran dana desa bagai magnet menarik siapa saja.
Pemilihan kepala desa menjadi lebih semarak, termasuk untuk desa adat
yang tidak ada pemilihan langsung. Tidak sedikit mereka yang sudah
sarjana pun, yang tadinya lebih tertarik ke kota menjadi balik kampung
dan berkarya di desanya. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, KPK,
BPKP, APIP, Kepolisian, LSM dan masyarakat sendiri memberikan
perhatian khusus dengan bergulirnya dana desa. Mereka berharap dana
desa yang digulirkan itu memberikan kemanfaatan dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Dana desa diharapkan bisa membangkitkan
ekonomi dari pinggiran. Betapa tidak, sejak diluncurkan di tahun 2015
sampai tahun 2020 sudah teranggarkan lebih dari Rp 250 triliun, dengan
rata-rata desa mendapatkan satu miliar rupiah per desa.
Angka satu miliar rupiah bagi desa itu sangat bermakna terutama
desa-desa yang remote. Untuk bisa mendapatkan luncuran dana desa
tersebut, perangkat desa dengan segala keterbatasannya harus belajar
membuat RPJM, penganggaran, pengadaan barang dan jasa desa,
penatausahaan belanja termasuk perpajakannya, pertanggungjawaban
dan pelaporan.
Apakah sulit membuat RPJM desa, anggaran desa, melaksanakan
anggaran yang telah ditetapkan, membuat pertanggungjawaban dan
pelaporan? Sebenarnya tidak sulit bagi desa-desa yang memiliki perangkat
desa yang secara edukasi memadai sesuai bidangnya. Sejumlah
peraturan dan bagaimana teknis berhadapan dengan masyarakat, kultur
masyarakat dan persepsi masyarakat itu sendiri menjadi tantangan buat

Agus Sunarya Sulaeman, Sriyani 37


para perangkat desa agar sukses menjalankan pengelolaan keuangannya
sehingga dana satu miliar rupiah bisa diterima dengan baik.
Salah satu hal yang menarik dalam pengelolaan keuangan dana desa
ini, tentunya saat melakukan pelaksanaan belanja. Mengapa menarik? Dari
hasil penelitian terhadap efektivitas pengeloaan dana desa di sebagian
desa-desa yang ada di Kabupaten Tangerang Banten, desa-desa yang
ada di Kabupaten Garut, desa-desa yang ada di Kabupaten Sintang, desa-
desa di Kabupaten Luwuk, desa-desa di Kabupaten Maluku Tengah dan
desa-desa di Kabupaten Seram Barat ternyata masalah pelaksanaan
belanja ini termasuk yang relatif sulit dipahami oleh mereka.
Masalah-masalah yang muncul terkait kelengkapan dokumen
pertanggungjawaban, kualitas pertanggungjawaban, kelengkapan
dokumen pelaporan dan kualitas pelaporan. Namun demikian, dengan
adanya dana desa tersebut banyak desa merasa bahagia, karena pemerintah
peduli dengan desa dan berharap banyak aktivitas yang dilakukan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Pembahasan akan dibagi
menjadi tiga bagian. Pertama, pembahasan tentang belanja desa di masa
pandemi. Kedua, pembahasan tentang pengelolaan belanja desa, antara
pandemi dan peningkatan kesejahteraan. Ketiga, pembahasan tentang
apakah pandemi membuat bahagia masyarakat desa?

2. BELANJA DESA DI MASA PANDEMI


Pandemi Covid 19 yang marak di Indonesia di bulan Maret 2020. Sejak
ditetapkan Covid 19 ini sebagai pandemi, APBN pun dilakukan perubahan
termasuk perubahan pada transfer keuangan daerah dan dana desa.
Salah satu perubahan yang berkaitan dengan dana desa adalah Dana
Desa ini bisa digunakan sebagai bagian mengatasi masyarakat terdampak
Covid 19, berupa BLT (Bantuan Langsung Tunai). BLT Desa bukan satu-
satunya BLT, ada BLT lain yang berasal dari dana Bansos, ada BLT dana
APBD.
Perubahan peruntukkan sebagian belanja desa ini sebagaimana
diatur dalam permendesa no 6 tahun 2020, memberikan angin segar
dalam pengelolaan dana desa, mengapa tidak? Karena dengan BLT
ini setidaknya masyarakat desa yang memenuhi kriteria bisa menerima
bantuan dapat mempunyai daya beli.
Untuk memudahkan pencarian BLT sampai PMK nomor 40/
PMK.07/2020 pun direvisi dengan PMK nomor 50/PMK.07/2020 tentang
perubahan kedua atas PMK 205/PMK.07/2019 tentang Pengelolaan Dana
Desa. PMK tersebut menyatakan pemerintah akan menaikkan dana BLT
Desa dari Rp 1.800.000/Keluarga Penerima Manfaat (KPM) menjadi Rp
2.700.000/KPM. Sehingga total anggaran untuk BLT Desa meningkat
dari Rp 21,19 triliun menjadi Rp 31,79 triliun sebagaimana disampaikan

38 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Astera Primanto (detikcom,
Sabtu, 23/5/2020).
Di samping itu, jangka waktu pemberian BLT ditambah dari 3 bulan
menjadi 6 bulan. Namun, penyalurannya akan dilakukan per bulan.
Tiga bulan pertama sebesar Rp 600.000/KPM/bulan, lalu 3 bulan
berikutnya sebesar Rp 300.000/KPM/bulan. Keleluasan bagi pemerintah
desa dalam menganggarkan BLT Desa dalam APBDes dan memperluas
cakupan keluarga penerima manfaat, yakni dengan menghapus batasan
maksimal pagu dana desa yang digunakan untuk BLT Desa tersebut yang
sebelumnya dibatasi maksimal 35% atau jika lebih harus seizin kepala
daerah.
Saat ini BLT Dana Desa tahap I sudah dicairkan sejak April 2020
untuk tiga bulan pertama, jika dibagikan April berarti untuk April, Mei, Juni.
Jika baru bisa dicairkan Mei berarti untuk bulan Mei, Juni, Juli dan kalau
sedikit terlambat baru dicairkan Juni berarti untuk Juni, Juli, Agustus tiap
bulannya masing-masing mendapat Rp 600.000 per KPM.
Hingga 8 Juni, Penyaluran BLT Dana Desa Baru 83 Persen. Sejauh
ini, BLT Dana Desa tahap pertama telah tersalurkan ke 61.837 wilayah
atau sekitar 83 persen dari total 74.953 wilayah desa. Adapun realisasi
penyaluran BLT Dana Desa yang tersalurkan sebesar Rp 3,95 triliun.
Penyaluran tersebut diperuntukkan bagi 6.591.206 keluarga miskin,
yang terdiri atas 1.346.401 keluarga yang kehilangan mata pencaharian,
dan 264.157 keluarga yang anggotanya menderita penyakit kronis dan
menahun. (https://nasional.kompas.com /read/2020/06/10 /08273181/
menteri-desa-regulasi-blt-dana-desa-tahap-ii-dalam-tahap-sinkronisasi).
Pencairan dana desa tahap II akan segera diluncurkan secepatnya pada
bulan Juni 2020 bagi daerah yang sudah menerima pencairan pada bulan
April 2020 untuk BLT Juli, Agustus, September masing-masing Rp 300.000
per bulan per PKM, dan Juli bagi penerima tahap I di bulan Mei untuk BLT
Agustus, September, Oktober dan Agustus bagi yang menerima tahap I di
bulan Juni untuk BLT September, Oktober, November 2020.

3. PENGELOLAAN BELANJA DESA, ANTARA PANDEMI DAN


PENINGKATAN KESEJAHTERAAN
Dalam pelaksanaan belanja desa, rata-rata desa melaksanakan belanja
setelah dana cair. Dampaknya pelaksanaan belanja desa menjadi
tergantung pada penyelesaian pelaporan dan pertanggungjawaban desa
tahun sebelumnya.

3.1 Pengadaan Barang dan Jasa


Pengadaan barang dan jasa di desa mengikuti kententuan LKPP tentang
pengadaan barang dan jasa Desa (per LKPP 12 tahun 2019). Pelaksana

Agus Sunarya Sulaeman, Sriyani 39


pengadaan dilakukan oleh Tim Pelaksana Kegiatan (TPK). Pengadaan
memprioritaskan dengan cara swakelola, namun jika swakelola tidak
mungkin dilaksanakan maka dimungkinkan sebagian atau seluruhnya
dengan penyedia barang/jasa.
Dari desa-desa di Kabupaten Tangerang nampak bahwa pemahaman
tentang swakelola tidak semuanya memahami dengan baik, begitu pun
dengan desa-desa di kabupaten lainnya (Garut, Sintang, Banggai, Maluku
Tengah, dan Seram Bagian Barat). Ketidaktertiban pada dokumen-
dokumen yang dibutuhkan untuk pertanggungjawaban masih terjadi.
Kesulitan terjadi pada pengumpulan bukti-bukti dengan catatan beberapa
desa tersebut banyak menggunakan barang atau jasa dari perorangan
yang notabene kesulitan memberikan bukti formal yang dibutuhkan.
Paket-paket pengadaan pada saat pandemi sekarang jauh lebih
sedikit karena dialihkan prioritasnya untuk penanggulangan dampak Covid
19. Praktis pengadaan-pengadaan di desa-desa yang semula berprioritas
infrastruktur menjadi tergantikan. Padahal dengan BLT yang menjadi
prioritas pencairan di tahap I dari tiga tahap pencairan Dana Desa, dan
dilanjut dengan BLT tahap II dari pencairan dana desa tahap II.
Praktis TPK desa mengalami kendala karena APBdes yang berasal
dari transfer APBN terikat untuk BLT. Dari sudut pandang sederhana,
pengalihan anggaran ini membuat TPK dan pengelola keuangan menjadi
tidak dikejar-kejar lagi pembangunan infrastruktur, kecuali untuk desa-
desa yang minim penduduknya mendapat BLT.
Namun bukan tanpa kendala pengalihan anggaran dana desa
ini untuk penanganan dampak Covid 19. Bagi desa-desa yang secara
kualitas penatausahaan bagus dan kualitasnya juga termasuk bagus, bisa
saja meninggalkan tunggakan, karena bulan Januari/Februari sebelum
Covid sudah melakukan transaksi. Dampaknya jika kontrak belum
ditandatangani bisa dibatalkan atau ditunda, sementara itu jika kontrak
baik swakelola maupun melalui penyedia sudah terlanjur diadakan, maka
tinggal dilanjutkan saja sepanjang desa memiliki pendapatan selain dari
dana desa. Ada bahagia sejenak bagi pelaku pengadaan karena sejenak
transaksi terhenti, karena Bantuan Langsung Tunai Dana Desa lebih
prioritas.

3.2 Pemungutan Pajak


Masalah pemotongan/pemungutan pajak atas belanja desa banyak
ditemukan ketidaktertibannya. Dari desa-desa terpilih masalah
pemotongan/pemungutan pajak masih mengalami kesulitan antara
dipotong atau tidak. Dampaknya dilakukan pungutan/potongan hampir
semua transaksi yang dikeluarkan dari dana desa.
Jawaban klasik mereka adalah dari salah karena nggak motong/
mungut maka lebih mungut/motong walaupun ternyata seharusnya tidak

40 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


dipungut/dipotong. Perangkat desa bukanlah PNS, maka pemotongan
PPh 21 kerapkali dilakukan terhadap pembayaran honoraium baik untuk
kegiatan bidang penyelengaraan pemerintah, bidang pemberdayaan
masyarakat, bidang pengembangan infrastruktur baik swakelola ataupun
melalui penyedia sepanjang ada pembayaran honorarium. Begitupun
dengan PPh pasal 22, walaupun ada pembatasan yang dipotong itu
transaksi pengadaan barang yang diatas Rp 2.000.000, tidak sedikit
yang dibawah Rp 2.000.000 pun dipungut. PPh 23 dipotong untuk semua
transaksi berapa pun nilainya dan PPN yang seharusnya dipungut hanya
untuk PKP, dalam praktiknya jika lebih dari Rp 1.000.000 dipungut PPN
terlepas dari PKP atau bukan.
Disinilah salah satu kelemahan sumber daya desa di dalam pengelolaan
belanja. Konsultasi dengan KPP maupun dengan Dinas Pemberdayaan
Masyarakat dipahami tidak seragam dalam implementasinya. Kasus-
kasus terjadi di tahun-tahun sebelumnya banyak disebabkan pada
ketidakmengertian secara menyeluruh terhadap masalah pungut/potong
dengan penyetoran ke kas negara. Ada kejadian potongan/pungutan
dilakukan terhadap semua transaksi, namun tidak disetor ke kas negara
karena dikira sebagai pendapatan desa.
Adanya pandemi ini membuat pola transaksi berbeda, dengan
prioritas pada BLT yang tidak dikenakan pajak, maka terdapat penurunan
tingkat kesalahan karena transaksi yang dilakukan minim sampai kuartal
kedua ini. Ada bahagia sejenak untuk tidak melakukan kesalahan karena
memang transaksi tertunda/hilang akibat pengalihan peruntukkan dana
desa. Namun di sisi lain, penerimaan negara bersumber dari pajak hilang
juga. Mengingat dana desa ini secara total cukup signifikan.

3.3 Penatausahaan Belanja


Dalam penatausahaan belanja yang dilihat adalah kelengkapan
dokumen dan kualitas penatausahaan. Bagi kasie Keuangan melakukan
penatausahaan atas transaksi belanja menyita waktu tersendiri. Bisa
dibayangkan harus mencatat setidaknya dalam empat buku ditambah
lagi membuat pelaporan dan pertanggungjawaban. Jika tidak melakukan
pembukuan maka pengelolaan keuangan akuntabilitasnya diragukan.
Kelengkapan dokumen di dalam penatausahaan belanja desa
meliputi buku rekening kas desa, rencana anggaran biaya, dokumen SPP,
buku kas umum dan buku pembantu pajak, bank, panjar. Mengisi buku-
buku ini cukup menyita waktu untuk dikerjakan, seringkali bersaldo tidak
sama saat dibukukan dan membuat pelaporan. Juga bisa disebabkan
transaksi yang belum dituntaskan pertanggungjawaban karena kesulitan
dan ketidakpahaman dalam mengelola belanja. Mengidentifikasi rekening
kas desa, bisa jadi juga penyebab ketidaklengkapan dokumen, biasa
terjadi jika terjadi pergantian perangkat desa.

Agus Sunarya Sulaeman, Sriyani 41


Kualitas penatausahaan meliputi Identifikasi terhadap rekening
pendapatan, Identifikasi terhadap rekening belanja, Ketepatan dalam
pengisian Buku Kas Umum, Ketepatan dalam pengisian Buku Pembantu,
Kecermatan dalam pengisian Buku Pembantu, Ketepatan dalam
penghitungan pajak. Seperti disebutkan sebelumnya tentang masalah
pajak yang sering tidak tepat dipungut/dipotong.
Dari desa-desa yang pernah diamati kualitas penatausahaan inilah
yang masih ditemukan lemah. Akurasi dan kecermatan dalam menuliskan
dan menghitung, bagi orang-orang desa cukup membebani apalagi
ditambah harus membuat laporan keuangan desanya. Di saat pandemi
ini, tentunya variasi transaksi menjadi tidak banyak. Dana desa teralokasi
banyak untuk BLT, dengan transaksi yang relatif homogen. Selain itu,
adanya pandemi ini menyebabkan disederhanakannya persyaratan
pencairan dibanding sebelumnya. Maka layak bahagia sejenak pengelola
keuangan ini di dalam menatausahakan belanja desa, di saat pandemi ini.

3.4 Pertanggungjawaban dan Pelaporan


Pertanggungjawab transaksi belanja dari kegiatan-kegiatan yang dibiayai
dari dana desa dan dana-dana lainnya. Dalam pengelolaan keuangan
desa ini ada tiga hal yang mesti diperhatikan;
1. Kemampuan adaptasi
2. Ketaatan pada ketentuan
3. Efisiensi dalam bertransaksi

Dalam melaksanakan kegiatan desa, kadang banyak hal berubah da-


lam pelaksanaannya. Kemampuan adaptasi terhadap perubahan merupa-
kan langkah fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan, namun tetap tidak
bisa mengabaikan masalah ketaatan pada ketentuan dan menilai efisiensi
dalam bertransaksi.

3.5 Kelengkapan Pertanggungjawaban & Laporan


Kelengkapan bukti-bukti transaksi menjadi kunci kesuksesan bertransaksi
belanja desa. Seminim apapun bukti transaksi tetap bagian dari kelengkapan.
Jika transaksi tidak lengkap, maka akan memunculkan manipulasi bukti
dan jika bukti dimanipulasi maka memunculkan ketidakefisienan. Jika
tidak efisien maka ada kemungkinan ketidakpatuhan terhadap ketentuan.
Walaupun saat ini masa pandemi dan ada penyederhanaan prosedur, jika
dikemudian hari ingin tetap bahagia, maka kelengkapan bukti transaksi
harus menjadi perhatian utama.
Laporan Pelaksanaan APBDesa menggambarkan rangkuman
kegiatan yang dilakukan oleh desa. Jika tidak dibuat laporannya berarti
pertanggungjawabannya diragukan. Karena bukti-bukti transaksi belanja
akan diproses menjadi sebuah laporan, sehingga jika laporan tidak ada

42 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


bisa diartikan bukti-bukti transaksi tidak akurat/lengkap. Jika lengkap maka
tidaklah sulit jika ingin membuat laporan pelaksanaan APBDesa walaupun
tidak ada aplikasi pelaporan.
Laporan Kekayaan Milik Desa (LKMD) merupakan laporan terkait
aset desa yang pada tanggal neraca berwujud. Sesuatu yang berwujud
ada selalu ada sumber keberwujudannya apakah berasal dari hutang atau
kekayaan sendiri. Jika bukti dibuat, maka laporan pelaksanaan APBDesa
bisa dibuat, begitupun dengan laporan kekayaan milik desa.
Desa-desa yang menjadi objek pengamatan, pada masalah
kelengkapan dokumen pertanggungjawaban dan pelaporan sepintas sudah
lengkap, namun masalah kualitasnya yang perlu didalami lebih lanjut.

3.6 Kualitas Laporan


Ketepatan menyusun bukti-bukti pertanggungjawaban bisa mendorong
validitas laporan yang disusun termasuk mempercepat atau memperlambat
pelaporan. Oleh karena itu, di dalam menyusun/membuat bukti-bukti
transaksi akurasi penghitungan/pemotongan/pungutan/ besaran anggaran
dan ketersediaan dana mutlak diperlukan.
Laporan semester disampaikan akhir bulan Juli merupakan bagian
bagaimana kualitas laporan disajikan, begitupun dengan Laporan tahunan
yang disampaikan setidaknya akhir Januari tahun berikutnya. Pelaporan
dana desa ini berkaitan erat dengan pencairan dana desa, sehingga jika
pelaporan lambat, maka pencairan dana pun akan terjadi pelambatan juga.
Kualitas laporan dari desa-desa yang menjadi objek pengamatan,
setengahnya terlambat dalam penyampaian laporan baik semesteran
maupun tahunan, dampaknya jelas pencairan dana desa pun menjadi
terlambat. BLT pun menjadi terlambat disalurkan juga.
Dengan minim dan homogennya transaksi di masa pandemi ini
seharusnya kelengkapan dan kualitas pertanggungjawaban dan pelaporan
meningkat. Dukungan kuat diberikan pemerintah agar dana desa ini segera
cair untuk dibelanjakan. Namun akuntabilitas tetap harus dijaga.

4. PANDEMI MEMBERI BAHAGIA?


4.1 Belanja Bantuan Langsung Tunai (BLT)
Sisi positif BLT, masyarakat tertentu mendapatkan BLT untuk 6 bulan
dengan total dana diterima Rp 2.700.000 per PKM. Perlu diingat tidak
semua desa masyarakatnya rentan terhadap pandemi covid, seperti desa-
desa di Garut Selatan yang merupakan desa pertanian, perkebunan,
peladangan di mana akses ke desanya cukup terisolasi, jauh dari isu
pandemi. Namun masyarakat mereka bahagia karena mendapatkan
BLT. Begitu pun sebagian desa yang ada di Kabupaten Seram bagian

Agus Sunarya Sulaeman, Sriyani 43


barat maupun kabupaten Maluku Tengah banyak desa yang secara
geografis terisolasi, sehingga penularan Covid relatif tidak terjadi. Yang
sedikit berbeda mungkin desa-desa yang ada di kabupaten Tangerang,
karena walaupun statusnya desa namun banyak dari desa-desa tersebut
lingkungannya merupakan lingkungan industri/pabrik dan perumahan
besar yang lengkap dengan pertokoan bahkan mall, sehingga potensi
penularan Covid 19 cukup tinggi.
Sisi negatif BLT, masyarakat dihadapakan pada pilihan menerima
umpan ikannya bukan alatnya. Bisa saja umpan ini malah dipakai yang
lain bukan dipakai untuk memancing. Hal ini pun bisa terjadi dengan BLT.
Bagi sebagian masyarakat BLT membuat tuntutan terhadap pemerintah
memberikan bantuan menjadi tinggi. Dampak lainnya sebagian masyarakat
menggantungkan hidupnya pada pihak lain, bukan memanfaatkan dana
bantuan tadi untuk meningkatkan produktifitas.
Produk-produk pertanian, peladangan dan perkebunan dari
desa-desa yang menjadi objek pengamatan, bisa dikelola dengan BLT
meningkatkan produktifitas. Namun demikian masalah keterisolasian
untuk mendistribusikan hasil produksinya menjadi kendala.

4.2 Belanja Non BLT


Dampak pandemi ini terhadap belanja desa non BLT adalah menurunkan
pagunya. Prioritas belanja desa saat ini diutamakan untuk BLT. Sisi
positifnya dengan menurunnya anggaran non BLT setidaknya sejenak
bahagia, karena yang menyebabkan keruwetan di dalam penatausahaan,
pertanggungjawaban dan pelaporan belanja menjadi jauh berkurang.
Sisi negatifnya adalah program-program desa berubah disaat layar
itu dikembangkan, mengingat pandemi ini muncul diakhir kuartal pertama.
Bagi sebagian desa-desa yang kualitas pelaporan bagus sehingga
pencairan dana desa bisa lebih cepat, menjadi kebingungan karena
anggaran harus segera disesuaikan, sementara program-program sudah
mulai berjalan terpaksa harus ditunda atau dibatalkan.
Apakah pandemi ini tetap memberikan kebahagiaan? Saya katakan
ya. Sampai 8 juni 2020 telah tersalurkan BLT sebanyak 83% dari total
74.953 wilayah desa. Realisasi penyaluran BLT Dana Desa yang
tersalurkan sebesar Rp 3,95 triliun untuk sekitar 6.5 juta keluarga miskin.
Seandainya tidak ada pandemi apakah desa-desa yang ada saat ini akan
disederhanakan ketentuan pencairannya? Belum tentu. Namun pandemi
ini memberi jalan kemudahan sehingga masyarakat desa terdampak
langsung maupun tidak terdampak langsung sama-sama bahagia
menerima BLT. Namun perangkat desa tetap harus bekerja keras agar
BLT ini tepat sasaran dan bisa memberikan manfaat, walaupun di sisi lain
tetap waspada terhadap penyebaran Covid 19 di desanya masing-masing.

44 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


5. PENUTUP
Ada empat hal yang bisa disimpulkan dari pembahasan dalam bab ini.
Pertama, pengelolaan belanja desa di sebagain wilayah Indonesia masih
mempunyai hambatan pemahaman terhadap ketentuan pengadaan
barang dan jasa, juga masalah perpajakan. Kedua, penatausahaan
belanja desa masih terkendala di kualitas penatausahaannya, banyak
faktor yang menyebabkan terjadinya masalah ini. Kerjasama semua
pihak yang terlibat perlu diintensifkan kembali lebih baik. Ketiga,
pertanggungjawaban dan pelaporan pun masih ada kendala di mengatur
ketepat waktuan penyampaian laporan baik terkait bukti-bukti transaksi,
laporan pelaksanaan APBDesa, maupun laporan kekayaan desa.
Keempat, masa pandemi ini memberikan paradigma baru buat desa-desa
tentang kemudahan dan kebahagiaan penggunaan dana desa.

6. DAFTAR PUSTAKA
Raharjo, T., Sulaeman, AS, Sriyani 2018. Efektivitas Penggunaan Dana
Desa di kabupaten Tangerang

Sulaeman, AS,Sriyani, Wibowo RW, 2019. Efesiensi Pengelolaan


Keuangan Desa di Kabupaten Garut Jawa Barat

Sriyani, dkk. 2019. Laporan Asistensi Desa di Kabupaten Sintang

Sulaeman, AS, dkk. 2019. Laporan Asistensi Desa di Kabupaten Maluku


Tengah dan Seram Bagian Barat

Laporan Pengmas. Pelatihan Pengelolaan Keuangan Desa di Luwuk. 2018

Laporan Pengmas. Pelatihan dan Pendampingan Pengadaan Barang/


Jasa Desa. Di Kecamatan Cibogo Tangerang

Laporan Pengmas. Pelatihan dan Pendampingan Penatausahaan


Bendahara Desa kecamatan Cikupa

Laporan Pengmas. Pelatihan dan Pendampingan Penatausahaan


Bendahara Desa kecamatan Kronjo

https://nasional.kompas.com /read/2020/06/10 /08273181/ menteri-desa-


regulasi-blt-dana-desa-tahap-ii-dalam-tahap-sinkronisasi).

Undang-Undang Dasar 1945 pasal 17 ayat 3

Agus Sunarya Sulaeman, Sriyani 45


Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020
Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem
Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease
2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi
Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/
Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan


Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5539) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5717);

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang


Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 168,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5558),
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2016 tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014
tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5864);

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020


tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem
Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease
2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi
Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/
atau Stabilitas Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2020 Nomor 87);

Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2015 tentang Kementerian Desa,


Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 13);

46 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan
Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 94);

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan


Transmigrasi Nomor 6 Tahun 2015 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, dan Transmigrasi (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 463) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi Nomor 22 Tahun 2018 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi Nomor 6 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018
Nomor 1915);

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan


Transmigrasi Nomor 11 Tahun 2019 tentang Prioritas
Penggunaan Dana Desa Tahun 2020 (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2019 Nomor 1012);

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan


Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2020 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Nomor 11 Tahun 2019
Tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020

Peraturan Menteri Keuangan no 50/KMK.07/2020 tentang perubahan


Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 205/
PMK.07/2019 tentang Pengelolaan Dana Desa.

Agus Sunarya Sulaeman, Sriyani 47


48 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI
REVITALISASI BUMDES UNTUK
MENINGKATKAN KETAHANAN
PANGAN DI MASA PANDEMI BAB
Rudy Suryanto
Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
rdsuryanto@gmail.com
V
1. PENDAHULUAN
Pada akhir Desember 2019, seorang pria berusia 55 tahun penduduk Kota
Wuhan, menderita demam tinggi berkepanjangan disertai ganggguan
pernafasan. Setelah melewati berbagai pengujian, dipastikan pria tersebut
menderita penyakit yang diakibatkan oleh virus corona yang saat ini
dikenal dengan penyakit Covid-19 (Jayani, 2020). Penyakit itu selanjutnya
menyebar dengan sangat cepat ke berbagai negara. Saat ini ada 216
negara yang telah melaporkan Pandemi Covid-19 dengan total pasien
positif per 12 Juli 2020 sebanyak 12.931.839 (Worldometers, 2020).
Kasus pertama di Indonesia dilaporkan pada 2 Maret 2020. Meskipun
demikian, menurut pakar epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Pandu
Riono, virus tersebut dimungkinkan sudah masuk ke Indonesia sejak bulan
Januari 2020 (Pranita, 2020). Sejak itu penyebaran Covid-19 ini menjadi
begitu cepat. Per 12 Juli 2020, terkonfirmasi 75,699 kasus (Covid19.go.id,
2020). Penyakit ini tidak hanya berdampak pada masalah kesehatan,
tetapi juga masalah sosial dan ekonomi.
IMF memprediksi pada tahun 2020 ekonomi global akan tumbuh minus
4,9 persen, OECD memperkirakan akan terjadi kontraksi ekonomi sampai
-7,6 persen sampai dengan -6 persen dan World Bank memperkirakan
ekonomi global akan menyusut sampai -5,2 persen (Kancaribu, 2020).
Kondisi tersebut berdampak sangat signifikan terhadap ekonomi di
Indonesia. Pada kwartal 1 2020 ekonomi Indonesia sudah mulai tertekan
dengan hanya tumbuh 2,97 persen. Paska diberlakukan Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB) sejak awal Maret 2020, telah terjadi perlambatan
pertumbuhan ekonomi hampir di semua sektor. Pertumbuhan konsumsi
rumah tangga menurun dari 5,02 persen (Q1 2019) menjadi hanya 2,84
persen (Q1 2020). Kondisi tersebut akan menekan laju pertumbuhan
ekonomi di Indonesia. Pada awal sebelum Covid-19 proyeksi pertumbuhan
ekonomi Indonesia di tahun 2020 diperkirakan sebesar 5,3 persen dan
dengan adalanya pandemi Covid-19 diperkirakan akan tumbuh 1 persen
atau -0,4 persen.

Rudy Suryanto 49
Sektor-sektor yang biasa menjadi penopang ekonomi nasional
juga mengalami perlambatan. Sektor primer, seperti pertanian dan
pertambangan hanya tumbuh 0,18 persen, sedangkan sektor sekunder,
seperti manufaktur dan konstruksi mengalami perlambatan signifikan
karena perlemahan permintaan (Kancaribu, 2020). Sektor tersier, seperti
perdagangan juga terdampak cukup parah. Menurut Aviliani, 2020 sektor
yang paling terdampak adalah sektor pariwisata, automotif, transportasi,
konstruksi, real estate, sebagian manufaktur, oil & gas dan sektor
keuangan. Sektor keuangan ini akan terus tertekan karena ada transmisi
dari sektor riil ke sektor perbankan (Aviliani, 2020). Hal yang masih cukup
melegakan adalah membaiknya stabilitas sektor keuangan dilihat dari
menguatnya nilai rupiah di kisaran Rp 13.000 per US dollar dan kembali
meningkatnya Indeks Harga Saham Gabungan dikisaran 5.500. Inflasi
juga ada di level rendah, tetapi lebih karena deflasi karena menurunnya
permintaan akibat pandemi Covid-19 (Kancaribu, 2020).
Penurunan pertumbuhan ekonomi tersebut akan berdampak pada
gelombang pemutusan hubungan kerja, meningkatnya penggangguran
yang pada gilirannya akan mengakibatkan peningkatan kemiskinan.
Berdasarkan analisa Kementerian Keuangan diperkirakan ada peningkatan
pengangguran sebesar 4.03 juta (skenario berat) sampai dengan 5.23 juta
(skenario sangat berat). Sedangkan untuk peningkatan angka kemiskinan
diperkirakan sampai dengan 3,02 juta orang (skenario berat) sampai 5.71
juta orang (skenario sangat berat).
Pemerintah pusat telah menetapkan kebijakan-kebijakan untuk
antisipasi dampak buruk dari Covid-19. Kebijakan tersebut diatur dalam
Perpu No 1 tahun 2020 yang selanjutnya telah diubah menjadi UU No
2 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem
keuangan untuk penanganan pademi Covid-19. Peraturan tersebut
selanjutnya dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No 23 tahun 2020
tentang Pelaksanaan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN)
(Aviliani, 2020).
Program PEN diarahkan pada penguatan baik sisi penawaran
maupun perbaikan sisi permintaan. Total anggaran yang disiapkan untuk
penanganan Covid-19 oleh Pemerintah Republik Indonesia mencapai
Rp686,20 triliun (Hartarto, 2020). Sebagian besar dari dana tersebut
digunakan untuk biaya Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), yaitu sebesar
Rp598,65 triliun.
Dana PEN tersebut dipergunakan untuk penguatan sisi permintaan
sebesar Rp 205, 20 triliun dan penguatan sisi penawaran Rp 393,45 triliun.
Penguatan sisi permintaan antara lain untuk perlindungan sosial seperti
Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan sembako, bansos, kartu pra
kerja, diskon listrik dan BLT Dana desa total sebesar Rp 203,9 triliun.
Untuk penguatan sisi permintaan juga ada insentif untuk perumahan bagi
masyarakat berpenghasilan rendah sebesar Rp 1.3 triliun. Sedangkan

50 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


penguatan dari sisi penawaran sebesar Rp 393 triliun. Program itu
meliputi insentif perpajakan sebesar Rp 123,01Triliun, penempatan dana
untuk restrukturisasi hutang sebesar Rp 82,2 triliun, penyertaan modal ke
BUMN sebesar Rp 15,5 triliun, program padat karya kementerian lembaga
sebesar Rp 18,44 triliun dan program lainnya (Hartarto, 2020).
Meskipun sudah dianggarkan cukup besar, tetapi penyerapan
anggaran tersebut masih belum bagus. Dalam paparan tantangan program
Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), Aviliani, mengutip dari harian Investor
Daily, menyampaikan baru ada penyerapan 1,54 persen dari Kementerian
Kesehatan, penyerapan 28,63 persen dari program perlindungan sosial,
6,8 persen dari Insentif Usaha, 0,06 persen dari insentif UMKM, 0 persen
untuk stimulus pembiayaan korporasi dan 3,65 persen untuk stimulus
sektoral dan pemda (Aviliani, 2020).
Berkaca pada kondisi tersebut, Menurut Rachman, 2020, desa
keunggulan dalam ketahanan dan keberlanjutan di bidang sosial dan
ekonomi karena memiliki tiga pilar. Ketiga pilar tersebut, yaitu modal
sosial, sumberdaya lingkungan dan pengorganisasian pemerintahan,
yang saat ini sangat diperlukan bagi ketahanan dan keberlanjutan bidang
sosial ekonomi. Modal sosial di desa sangat besar ditopang oleh tiga
hal. Pertama, adanya ikatan sosial yang kuat berdasarkan kearifan lokal.
Kedua, jaringan kerjasama berdasarkan rasa saling percaya dan gotong
royong, serta ketiga, daya tahan mental yang tangguh dan tahan banting
(Rachman, 2020). Selain itu desa memiliki sumberdaya kebutuhan
pokok yang melimpah dan wilayah yang masih hijau jauh dari polusi.
Desa menjadi semakin kuat saat ini karena dan memiliki akses paling
dekat dengan rakyat dan ditopang kewenangan yang lebih luas, paska
ditetapkan UU Desa.
Menilik dari kondisi-kondisi tersebut selain program-program yang
tengah dijalankan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, masih
diperlukan upaya-upaya penguatan lain. Kami berargumen bahwa peran
desa akan menjadi semakin penting di masa pandemi ini dan peran itu akan
bisa dijalankan dengan baik lewat revitalisasi Badan Usaha Milik Desa
(BUMDES). Kami akan lebih spesifik untuk bagaimana peran Bumdes
dalam turut serta menjaga ketahanan pangan, dan harapannya dari peran
itu juga dapat membuka lapangan kerja dan menekan laju kemiskinan.

2. ANCAMAN KETAHANAN PANGAN


Sebanyak 82,77 persen penduduk desa bekerja dalam sektor pertanian
atau sebagai petani. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) telah
mengeluarkan peringatan adanya potensi kelangkaan pangan dunia
sebagai dampak panjang dari pandemi Covid-19. Desa memiliki potensi,
ada 20.034 desa yang memiliki potensi perkebunan, ada 12.827 desa

Rudy Suryanto 51
memiliki potensi perikanan, ada 64.587 desa memiliki potensi energi
terbarukan, ada 1.8 juta komoditas UMKM berada di desa, 61.821 desa
memiliki potensi pertanian dan 1.902 desa memiliki potensi desa Wisata
(Madjid, 2020).
Masih banyak masalah klasik mendera sektor pertanian. Petani masih
di lilit kesulitan pupuk, harga jual anjlok saat panen raya, lahan pertanian
yang semakin menyempit dan kesejahteraan petani yang tidak kunjung
meningkat. Pada masa-masa ini peran mereka benar-benar diharapkan,
sehingga pemerintah memberikan berbagai stimulus. Stimulus jangka
pendek untuk petani di masa pandemi ini antara lain relaksasi KUR Sektor
Pertanian dan mempercepat bantuan sarana prasarana pertanian (Madjid,
2020).
Masalah ketahanan pangan juga menyangkut masalah distribusi.
Hasil-hasil pertanian yang melimpah di satu daerah, seringkali tidak bisa
tersalurkan ke daerah-daerah yang membutuhkan. Hal ini mendorong
pemerintah untuk memberikan bantuan subsidi pengangkutan pangan dari
daerah surplus ke daerah minus. Hal ini bertujuan agar hasil panen pertain
dapat terserap pasar dengan harga wajar.
Konektivitas antar daerah dan antar desa menjadi semakin penting
di masa pandemi ini. Seiring terjadinya fenomena de-globalisasi maka
masing-masing negara di tuntut untuk bisa memenuhi kebutuhan sendiri,
terutama kebutuhan terkait dengan pangan. Kita pahami bahwa masih
terjadi disparitas antar daerah dalam penyediaan pangan untuk warganya.
Inilah perlunya menggerakkan pasar mitra tani yang ada di seluruh provinsi
untuk bisa saling support dan memperpendek rantai distribusi (Madjid,
2020). Untuk itu petani perlu bekerjasama dengan penyedia jasa distribusi
agar memudahkan masyarakat mendapatkan bahan pangan.
Kementerian Desa PDTT, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian
Pertanian, Bulog dan beberapa lembaga lain diberikan penugasan khusus
dari Presiden Joko Widodo untuk menjalankan program ketahanan
pangan di masa pandemi ini. Berdasarkan rancangan program dari
Kemendes PDTT, tahapan untuk pengembangan ketahanan pangan desa
adalah dengan pengumpulan data pangan desa yang terdiri dari langkah
identifikasi ketersediaan pangan desa, pemetaan potensi sumber daya
produksi dan identifikasi aksesibilitas desa terhadap pangan. Tahap kedua
adalah peningkatan produksi pangan dengan perlindungan dan bantuan
petani, pemanfaatan teknologi pertanian. Tahap ketiga adalah penguatan
cadangan pangan desa yaitu dengan pembangunan gudang untuk
penyimpanan hasil panen, pembangunan sarana prasarana pendukung
distribusi dan logistik dan inovasi teknologi pengolahan pangan agar lebih
awet. Tahap keempat adalah penguatan peran BUMDesa dan Koperasi
untuk menjamin stabilisasi pasokan dan harga (Madjid, 2020).
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana Bumdes bisa berperan
dalam mengatasi berbagai masalah terkait ketahanan pangan. Lewat

52 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


tulisan ini kami akan menawarkan model untuk menjadikan Bumdes sebagai
penghubung para pihak yang ingin membangun ketahahan pangan. Pada
akhir tulisan kami akan mengulas perlunya program revitalisasi Bumdes
agar program tersebut bisa berjalan dengan baik.

3. PERAN BUMDES DALAM KETAHANAN PANGAN


Menurut Pasal 1 UU No 6/2014 atau UU Desa, Badan Usaha Milik Desa atau
Bumdes adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari
kekayaan desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan dan
usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa.
Bumdes
Merujuk pada memiliki peran tersebut
pengertian bisnis danmakasosial. Sebagaimemiliki
Bumdes badan usaha,
peranBumdes
bisnis dan
harus
sosial. untung,badan
Sebagai dan secara
usaha,sosial,
Bumdes bumdes
harusharus memberikan
untung, dan secaramanfaat
sosial,
kepada
bumdes harusmasyarakat
memberikan desa,
manfaatutamanya
kepada dalam
masyarakathal desa,
meingkatkan
utamanya
kesejahteraan
dalam masyarakat
hal meingkatkan desa dalam arti
kesejahteraan luas (Suryanto,
masyarakat desa2018)
dalam arti luas
(Suryanto,Filosofi
2018) Bumdes merujuk pada semangat pasal 33 UUD 1945, yaitu
Filosofiwadah
menjadi Bumdes merujuk
ekonomi padasemangat
dengan semangatkekeluargaan
pasal 33 UUD dan1945,
gotongyaitu
menjadi
royong, wadah ekonomi dengan
“dari masyarakat desa, olehsemangat
masyarakatkekeluargaan dan gotong
desa, untuk masyarakat
royong,
desa”.“dari masyarakat
Bumdes desa,
bukanlah oleh masyarakat
pelaku, pelaku usahadesa, untuk
adalah masyarakat
masyarakat.
desa”. Bumdes
Bumdes tidak bukanlah pelaku, pelaku
boleh menggeser, menggusurusahaatauadalah masyarakat.
mengambil alih
Bumdes tidak boleh ekonomi
aktivitas-aktivitas menggeser,yangmenggusur atau mengambil
telah dijalankan alih aktivitas-
masyarakat (Suryanto,
aktivitas
2018).ekonomi yangprinsip
Berdasarkan telahdandijalankan masyarakat
filosofi tersebut (Suryanto,
tepat kiranya 2018).
Bumdes
Berdasarkan prinsip dan filosofi tersebut tepat kiranya
menjadi solusi atas beberapa permasalahan mendasar yang muncul di Bumdes menjadi
solusi
masaatas beberapa
pandemi permasalahan
ini. Model mendasar
kerjasama disajikan yang muncul
pada Gambar 3.1. di masa
pandemi ini. Model kerjasama disajikan pada Gambar 3.1.

Petani Lokal

Kelompok
Perbankan Bumdes Tani

BUMN/
Kemendes Kementan
Off Taker

Gambar 3.13.1
Gambar Model
ModelKerjasama
Kerjasama Multi Pihakuntuk
Multi Pihak untukKetahahan
Ketahahan Pangan
Pangan

Model kerjasama untuk ketahanan pangan multi pihak, terdiri dari


beberapa mekanisme. Tujuannya adalah rantai nilai dari produk
Rudy Suryanto 53
pertanian yaitu siapa yang menanam, siapa yang mengemas dan siapa
yang memasarkan akan terbentuk dan berjalan baik. Pertama petani
lokal mengumpulkan hasil panen lewat Bumdes dengan mekanisme
timbang bayar. Apabila modal Bumdes terbatas maka pihak perbankan
Model kerjasama untuk ketahanan pangan multi pihak, terdiri dari
beberapa mekanisme. Tujuannya adalah rantai nilai dari produk pertanian
yaitu siapa yang menanam, siapa yang mengemas dan siapa yang
memasarkan akan terbentuk dan berjalan baik. Pertama petani lokal
mengumpulkan hasil panen lewat Bumdes dengan mekanisme timbang
bayar. Apabila modal Bumdes terbatas maka pihak perbankan akan
menalangi pembayaran. Apabila kelompok tani disitu aktif dan efektif maka
Bumdes bisa bekerjasama dengan kelompok tani. Kelompok tani akan
konsolidasi petani lokal dan kemudian bekerjasama dengan Bumdes.
Bumdes akan menjalankan fungsi agregator (pengumpul), kurator
(penjamin mutu) dan konektor (penghubung dengan multi pihak). Peran
Bumdes diharapkan dapat diterima dengan baik karena dibelakangnya
ada pemerintah desa.
Apabila proses agregasi, kurasi dan koneksi ini berhasil dijalankan
oleh Bumdes, maka BUMN tinggal menjadi off-taker dan penyalur antar
daerah. Masih dimungkinkan adanya in-efisiensi yang terjadi disini, dan
menjadi peran Kemendes dan Kementan untuk mengidentifikasi dimana
rantai nilai yang lemah untuk dikuatkan dan mengarahkan subsidi untuk
menambal in-efisiensi. Semakin lama akan terbangun basis-basis produksi
dan jalur-jalur distribusi yang semakin efisien.
Strategi mendorong Bumdes/Bumdesma untuk ketersediaan pangan
di perdesaan ada lima. Pertama, bagaimana Kemendesa mendorong
untuk fungsi koordinasi dan penyusunan kebijakan. Kedua, bagaimana
BUMN dapat memfasilitasi supply kebutuhan pokok dan kebutuhan lain
ke Bumdes. Ketiga, bagaimana swasta nasional memberikan dukungan
melalui kegiatan CSR. Keempat, bagaimana Pertides memberikan
fungsi pendampingan dan pembinaan. Kelima, bagaimana Kementerian/
Lembaga Negara lain melakukan sinkronisasi kebijakan (Madjid, 2020).
Mekanisme di atas tentu akan dapat berjalan jika Bumdes sehat.
Saat ini terdapat 49.329 Bumdes yang sudah berdiri di Indonesia. Bumdes
yang sudah melengkapi data dan sudah direview sejumlah 21.646 Bumdes
dengan klasifikasi 5.488 Bumdes Maju, 11.569 Bumdes Berkembang dan
4.589 Bumdes Pemula (Sanusi,2020). Artinya masih sedikit yang bisa
dikategorikan Bumdes yang maju, masih berkisar 10 persen. Hal yang
menggembirakan adalah semakin meningkatkan Bumdes berkembang.
Jika di tahun-tahun sebelumnya Bumdes sebagian besar masih di tahapan
rintisan, saat ini sudah banyak yang pindah ke kelas berkembang.
Kondisi diatas menunjukkan dua hal. Pentingnya basis data untuk
mengukur kemajuan dan kesehatan usaha Bumdes dan program
pendampingan yang berbasis data dan masalah. Data yang perlu selalu
diupdate adalah data produk, modal, transaksi pembelian dan penjualan
harian, serta jumlah pekerja. Data-data tersebut sangat bermanfaat untuk
penilaian kesehatan keuangan, penilaian manfaat sosial, pengembangan
transaksi non tunai, basis inkubasi bumdes dan kerjasama dengan BUMN

54 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


dan Swasta (Sanusi, 2020). Berdasarkan basis data yang akurat dan
mutakhir tersebut, maka program pendampingan Bumdes berkelanjutan,
atau saat ini dikenal dengan istilah revitalisasi Bumdes bisa dijalankan
dengan baik.

4. REVITALISASI BUMDES DI MASA PANDEMI


Program revitalisasi Bumdes ini mulai digaungkan sejak adanya arahan
Presiden Jokowi dalam rapat terbatas pada tanggal 11 Desember 2019.
Arahan itu disampaikan dengan adanya laporan 1,670 Bumdes yang
beroperasi tetapi tidak memberikan kontribusi kepada pendapatan
desa. Pendamping Desa juga mengumpulkan data terkait Bumdes dan
didapatkan total 40.997 Bumdes yang sudah berdiri, 37.056 dilengkapi
dengan Perdes Penderian Bumdes (90,39 persen) artinya ada beberapa
Bumdes yang masih didirikan dengan tata aturan yang lama. Tercatat
ada Rp 745 Milyar Omzet Bumdes dengan total Modal dari Dana Desa
sebesar Rp1.1 Triliun dan profit Rp 169 Milyar. Apabila dilihat dari sisi
bisnis komposisinya 30 persen perdagangan, 20 persen jasa keuangan, 9
persen produksi, dan sisanya di wisata desa dan jasa lainnya. Karakteristik
ada 5.000 Bumdes yang sudah melakukan transaksi non tunai, 21.745
Bumdes mengelola Produk Unggulan Desa dan 4.800 Bumdes sudah
melakukan e-marketing (Wibowo, 2020).
Mengacu pada kondisi tersebut kami telah menyusun kurikulum
untuk revitalisasi Bumdes yang terdiri dari tiga fase, seperti ditunjukkan
pada Gambar 4.1. Fase ini didasarkan pada tahapan tumbuh kembang
bumdes dari rintisan, berkembang dan menjadi maju.
Berdasarkan data-data yang kami temukan di lapangan masalah di
Bumdes mengerucut pada tiga masalah pokok yaitu pelembagaan, bisnis
dan tata kelola. Masalah pelembagaan adalah bagaimana Bumdes dapat
didukung dan diterima oleh segenap kelompok masyarakat dan lembaga
desa yang lain. Tanpa adanya dukungan dan partisipasi dari masyarakat
yang kuat, maka Bumdes tidak memiliki pondasi kuat untuk menjalankan
bisnis dan perannya. Setelah memiliki pondasi yang kuat, maka Bumdes
perlu memilih Bisnis yang memiliki potensi, peluang dan mampu dijalankan.
Perlu dicermati pemilihan bisnis ini juga memperhatikan aspek sosial dan
lingkungan, supaya kehadiran Bumdes tidak memberikan ekses negatif.
Selanjutnya, untuk tetap menjaga kepercayaan dan dukungan masyarakat,
maka Bumdes perlu menerapkan tata kelola yang transparan, akuntabel,
partisipatif dan pemberdayaan.

Rudy Suryanto 55
Gambar 4.1 Model Tiga Fase Revitalisasi Bumdes

Pandangan kami tersebut, senada dengan data dan analisa yang


dikumpulkan oleh Pendamping Desa. Menurut data yang dikumpulkan
Bidang 7 Tenaga Pendamping Profesional (TPP) Pusat, permasalah
Bumdes mengelompok di 4 bidang masalah, yaitu SDM, kelembagaan,
manajemen dan usaha. Masalah paling tinggi dialami di masalah
manajemen yaitu tata kelola keuangan, operasional, perencanaan dan
pelaporan. Masalah berikutnya adalah masalah kelembagaan yang
terdiri dari masalah regulasi dan organisai. Masalah SDM meliputi latar
pendidikan dan kompetensi yang belum sesuai. Masalah pengembangan
usaha yaitu standar kualitas produk dan teknologi tepat guna (Wibowo,
2020).
Berdasarkan pengelompokan masalah tersebut maka ada 4 (empat)
hal yang diidentifikasi menjadi kendala. Hal pertama adalah bagaimana
membangun kepercayaan dengan warga. Hal ini terkait dengan apa benefit
yang bisa dirasakan oleh warga, bagaimana pengelolaan pelanggan,
penyelesaian masalah (Wibowo, 2020). Membangun kepercayaan warga
ini perlu kepemimpinan yang amanah dan berjiwa melayani. Upaya ini
adalah sebuah proses yang panjang yang kami sebut dengan proses
pelembagaan (institusionalisasi) Bumdes. Kepercayaan warga pada
gilirannya akan melahirkan partisipasi, inisiatif dan kontribusi.
Hal kedua adalah masalah kapasitas pengelola SDM yang terdiri dari
kemampuan untuk menyusun kebijakan, mengembangkan usaha baru,
membangun kultur organisasi, menyusun struktur organisasi, evaluasi
kinerja dan menarik minat warga untuk bekerja di Bumdes (Wibowo, 2020).
Sejak tahun 2017, kami telah mengidentifikasi bahwa masalah kunci di

56 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


Bumdes adalah masalah manusia. Untuk itu kami kemudian berinisiatif
mendirikan dan menjalankan program Sekolah Bumdes.
Hal ketiga adalah bagaimana mendorong kinerja Bumdes. Untuk
peningkatan kinerja Bumdes maka perlu pendampingan dalam hal tata
kelola manajemen dan keuangan, penetapan target dan evaluasi hasil,
perluasan cakupan layanan, digitalisasi Bumdes dan efisiensi. (Wibowo,
2020)
Hal keempat adalah bagaimana meningkatkan akses kerjasama
Bumdes. Pada masa saat ini kita pahami bahwa tanpa adanya kolaborasi
maka usaha Bumdes tidak akan bisa besar dan berkembang. Untuk itu
perlu pendampingan dalam hal rencana kerjasama, hasil kerjasama,
perluasan pasar dan pangsa pasar (Wibowo, 2020).
Temuan dan konsep untuk pengembangan Bumdes yang digagas
TPP Pusat P3MD Kemendes PDTT, sejalan dengan Peta Jalan Bumdes
(Suryanto, 2018) yang terdiri dari lima tahapan yaitu, penguatan
kelembagaan, peningkatan kapasitas SDM, peningkatan akses, perluasan
jejaring kerjasama dan menjadikan Bumdes pilar ekonomi baru Indonesia.
Merujuk pada poin-poin diatas maka diperlukan peningkatan terus
menerus baik dari sisi metodologi maupun kapasitas pendamping agar
bisa mendampingi Bumdes sesuai dengan jaman dan kebutuhan. Kita
patut ingat, bahwa kontribusi Bumdes secara agregat tidak kecil, terbukti
berkontribusi untuk masyakat apbila dilihat dari alokasi 169 Milyar tersebut
60 persen dijadikan pemupukan modal, 12 persen untuk tunjangan
pengurus, 19 persen untuk PADes dan 8 persen untuk Dana Sosial
(Wibowo, 2020).

5. PENUTUP
Sebagai kesimpulan, kita patut percaya bahwa peran Desa dan Bumdes
menjadi semakin penting di masa pandemi. Apabila pandemi ini
berkepanjangan, maka salah satu ancaman mendesak adalah masalah
ketersediaan pangan. Kita bisa menunda membeli baju dan sepatu, tetapi
tidak bisa menunda kebutuhan pangan. Selama ini masalah tersebut
selesai dengan melakukan impor. Namun pada masa pandemi ini setiap
negara akan memprioritaskan kebutuhan dalam negeri masing-masing,
sehingga kita perlu segera membangun kembali basis-basis pangan kita.
Menarik kita mengutip hasil analisa Prof So Jin Kwang, dari Gachon
University Korea. Prof So menyampaikan bahwa di masa pandemi ini
terjadi pergeseran paradigma dimana orang semakin sadar bahwa hal
penting yang perlu dilakukan pemerintah adalah memastikan keselamatan
warganya. Pandemi ini bisa jadi baru menjadi awal dunia yang sangat
berbeda, dunia yang akan selalu dihantui hadirnya virus-virus baru maupun
kondisi ekstrim perubahan lingkungan (So, 2020). Kondisi tersebut

Rudy Suryanto 57
akan mendorong tiga perubahan mendasar yaitu pertama akan terjadi
pergeseran dari relasi pusat-daerah menjadi tata kelola kerjasama antar
daerah. Saat ini semua warga bisa melihat bagaimana peran Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah dalam upaya menyelamatkan nyawa
warganya. Apabila kita melihat di Indonesia ada keberagaman dalam
pola-pola kebijakan yang diambil masing-masing pemerintah daerah
dalam upaya mencegah penyebaran Covid-19. Sepertinya, kita jadi perlu
belajar ke desa-desa. Mengingat desa-desa ternyata lebih tanggap dalam
upaya pencegahanan Covid-19. Per data BNPB 29 Juni 2020, didapatkan
total pasien positif Covid-19 di desa adalah 909 orang dibanding yang
tinggal di kota total 56,385. Padahal apabila kita merujuk Orang Dalam
Pengawasan (ODP) di kota adalah 43,797 sedang di Desa ada 188, 787
(Setiadi, 2020). Tata Kelola yang mendasarkan pada ‘keselamatan dan
kesehatan manusia’ akan menjadi trend di masa mendatang (So, 2020).
Revitalisasi Bumdes harus memperhatikan hal ini, jangan sampai tata
kelola menggunakan nilai-nilai korporasi saja, tetapi harus mengacu pada
nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. Lokalitas ini sesuai dengan filosofi
Bumdes, yaitu badan usaha yang bercirikan desa.
Perubahan kedua menurut Prof So, adalahnya masyarakat dan
pemerintah yang kembali fokus pada kebutuhan dasar. Hal ini akan
mengarahkan pada adanya gerakan “back to basic”. Desa menjadi
berpeluang untuk lebih cepat beradaptasi dengan arah kehidupan
kedepan yang fokus pada “back to basic”, salah satunya lewat gerakan
‘makan apa yang kita tanam, dan tanam apa yang kita makan’. Indonesia
sangat kaya dengan keanekaragaman pangan, tetapi kemudian menjadi
tercerabut karena adanya gerakan ‘berasnisasi” yang dilakukan oleh orde
baru. Pemahaman ini penting untuk revitalisasi Bumdes. Revitalisasi
Bumdes harus mengembalikan pada upaya-upaya untuk memastikan
warga terpenuhi kebutuhan dasar.
Perubahan ketiga adalah desa akan mengarah menjadi desa cerdas
atau smart-village (So, 2020). Namun berbeda dari pandangan sebagian
besar orang, bahwa desa cerdas bukan masalah pasang wifi atau online
saja, tetapi masalah bagaimana desa cerdas dalam menyesuaikan diri
dalam lingkungan yang terus berubah. Bisa jadi ‘desa yang cerdas’ ini
adalah desa yang justru kembali menggali nilai-nilai budaya dan kearifan
lokal, yang terbukti menjaga desa tetap lestari dan berkelanjutan di tengah
berbagai bencana dan perubahan jaman. Digital hanya menjadi alat. Kunci
utama tetap pada manusia (human centered approach).
Pandemi ini mengajarkan kita bagaimana teknologi, globalisasi, dan
konsep-konsep yang canggih tiba-tiba macet, dan desa tetap melenggang
dengan aktivitas-aktivitasnya yang lekat dengan kearifan lokal. Momentum
ini menyadarkan kita untuk kembali ke jatidiri, bahwa bukan Indonesia
yang membentuk desa, tetapi desa yang membentuk Indonesia.

58 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


6. DAFTAR PUSTAKA
Aviliani, “Tantangan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN)”, 20
Juni 2020

Covid.go.id, https://covid19.go.id/peta-sebaran, 14 Juli 2020

Hartarto, Airlangga, Menteri Koordianator Perekonomian, “Menavigasi


New Normal: Pandemi, Mitigasi dan Pemulihan Ekonomi”, 9
Juni 2020

Kancaribu, Febrio, “Dampak COVID-19 & Program Pemulihan Ekonomi


Nasional”, Paparan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian
Keuangan, Diskusi Publik Prodeep Institute, 27 Juni 2020

Jayani, Dwi Hadya, Katadata.co.id, “Asal Usul Virus Corona Masuk ke


Indonesia,” https://katadata.co.id/analisisdata/2020/05/22/asal-
usul-virus-corona-masuk-ke-indonesia, 22 Mei 2020

Madjid, Taufik, Dirjend PPMD Kemendes PDTT, “Membangun Tatanan


Normal Baru: Kebijakan Pembangunan Desa di Tengah Pandemi”

Pranita, Ellyvon, “Diumumkan awal maret, ahli: Virus Corona Masuk


Indonesia dari Januari”, 11 Mei 2020, Kompas.com, https://www.
kompas.com/sains/read/2020/05/11/130600623/diumumkan-
awal-maret-ahli--virus-corona-masuk-indonesia-dari-januari

Rachman, M. Fadjroel, Juru Bicara Presiden RI, Desa Tulang Punggung


Ketahanan dan Keberlanjutan Hidup Bangsa, 2020

Sanusi, Anwar, Phd, Sekjend Kementerian Desa PDTT “Menguatkan


Sinergitas Pentahelix: Desa dan Pemulihan Ekonomi Paska
Pandemi”, 2020

Setiadi, Budi Arie, Wakil Menteri Desa “Budaya Baru Normal Baru Desa”,
disampaikan dalam Kongres Kebudayaan Desa, 7 Juli 2020.

So, Jin Kwang, “Rural Development Strategies Post COVID-19”, Gachon


University, 2020

Suryanto, Rudy, “Peta Jalan Bumdes Sukses”, Syncore Indonesia, 2018

Surveyor Indonesia, “Kolaborasi BUMN & BUMDES untuk Kemandirian


Ekonomi Nasional”, 2020

Rudy Suryanto 59
Wibowo, Lendy, Koordinator Bidang 7 PEL TPP Pusat P3MD Kemendes
PDTT, “Mempercepat Pemulihan Ekonomi Desa dan Bumdes:
Pendampingan Desa dan Bumdes di Masa Pandemi” 2020

WorldoMeters, https://www.worldometers.info/coronavirus/, 14 Juli 2020

60 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


TINJAUAN LITERATUR PARTISIPASI
PETANI KE LEMBAGA KEUANGAN
PEDESAAN BAB
Dahlan Tampubolon
Pusat Studi Sosial Ekonomi, LPPM Universitas Riau
dahlantbolon@unri.ac.id
VI
1. PENDAHULUAN
Sektor pertanian merupakan komponen penting di sebagian besar
negara berkembang. Sektor ini mempekerjakan lebih dari 60% populasi
dan berpotensi mengurangi kemiskinan pedesaan. Namun produktivitas
pertanian yang rendah tetap menjadi masalah utama di banyak negara
berkembang. Pertanian telah dianggap sebagai salah satu sektor
paling ekonomis dari semua ekonomi, terutama di negara berkembang.
Sektor pertanian sangat penting untuk ketahanan pangan internal juga
pertumbuhan lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan (Soubbotina
& Sheram, 2000). Deelstra dan Girardet (2000) juga Saqib, Kuwornu,
Panezia, dan Ali (2018) melihat saat ini pertanian tidak dianggap sebagai
sektor ekonomi pedesaan saja, namun juga sebagai bagian ekonomi
perkotaan. Selain itu, produksi pertanian di wilayah pedesaan Indonesia
menyumbang sebagian besar output dan peluang pekerjaan.
Petani di daerah pedesaan di negara-negara berkembang masih
kesulitan berpartisipasi ke lembaga keuangan untuk meningkatkan produksi
mereka (Yadav & Sharma, 2015). Kesulitan dalam mengumpulkan modal
di wilayah pedesaan menyebabkan penurunan output, dampak terhadap
PDB, dan ketahanan pangan nasional. Dengan demikian, partisipasi ke
lembaga keuangan pedesaan dianggap sebagai faktor penting dalam
pembangunan ekonomi, terutama bagi masyarakat berpenghasilan
rendah.
Reyes dan Lensink (2011) mendapati pentingnya modernisasi
sektor pertanian untuk meningkatkan penggunaan input, seperti pupuk,
layanan mekanisasi, dan benih. Akses ke input yang ditingkatkan sangat
tergantung pada ketersediaan kredit yang tepat waktu dan memadai. Studi
Simtowe, Zeller, dan Diagne (2009) menemukan tantangan utama dalam
proses produksi berupa terbatasnya partisipasi ke lembaga keuangan
yang memadai bagi petani untuk membeli input. Banyaknya permohonan
pinjaman petani kecil ditolak atau jumlahnya dikurangi merupakan hal
biasa di negera berkembang (Reyes & Lensink, 2011).

Dahlan Tampubolon 61
Tadesee (2014) juga Weber dan Musshoff (2013) menemukan
petani dan pelaku agroindustri kecil sering terabaikan. Mereka dijatahi
kredit, atau gagal berpartisipasi di dalam program kredit. Ini sebagian
dapat dikaitkan dengan gagasan bahwa agroindustri skala kecil berisiko.
Awunyo-Vitor, Al-Hassan, Sarpong dan Egyir (2014). mendapati bahwa
keterlibatan dalam kegiatan di luar pertanian, orientasi komersial petani,
keseimbangan akun positif, dan peningkatan ukuran pertanian berpotensi
mengurangi penyediaan oleh pemberi pinjaman.
Banyak petani memanfaatkan modal pribadi untuk menjalankan
usahanya. Ada berupa tabungan yang ada maupun menjual aset yang
dimiliki. Semangat berusaha masyarakat pedesaan dalam usaha
agroindustri kecil dan menengah meningkat dengan adanya peran
kelembagaan tempatan (Tampubolon, 2013).
Untuk mengisi kesenjangan dalam penyediaan kredit di pedesaan,
beragam pendekatan pinjaman inovatif telah dipromosikan oleh
lembaga keuangan mikro (LKM). Beberapa LKM memberikan kredit,
yang lain menawarkan deposito dan fasilitas kredit, dan yang lain hanya
mengumpulkan deposito. Fungsi dan peranan utama LKM sebagai
pemberi pinjaman, terutama Usaha Simpan Pinjam (USP), BUMDes dan
bank perkreditan rakyat (Tampubolon, 2009).
Berdasarkan pertimbangan di atas, tujuan dari makalah ini adalah
memberikan tinjauan keseluruhan fitur penting dari kredit pedesaan serta
penentu partisipasi petani ke lembaga keuangan pedesaan di Indonesia.
Membahas dampak sosial-ekonomi dari kredit juga beberapa implikasi
kebijakan yang difokuskan pada Indonesia.
Tujuan utama tulisan ini menganalisis literatur sebelumnya dari sudut
pandang deskriptif untuk meringkas dan membandingkan faktor-faktor
penentu partisipasi ke lembaga keuangan pedesaan di Indonesia dengan
negara-negara berkembang lainnya. Pembahasan bab ini akan dibagi
menjadi dua bagian. Pertama, pembahasan tentang gambaran umum
partisipasi petani ke lembaga keuangan pedesaan. Kedua, pembahasan
tentang kebijakan kredit petani.

2. GAMBARAN UMUM PARTISIPASI PETANI KE LEMBAGA


KEUANGAN PEDESAAN

2.1 Partisipasi ke Lembaga Keuangan Pedesaan
Le Thi Minh (2014) mengurai tumpang tindih dalam tiga istilah di atas
"kredit pedesaan", "kredit pertanian", dan "kredit mikro" di sektor keuangan.
Kredit pedesaan mengacu pada layanan kredit di daerah pedesaan yang
bertujuan untuk orang-orang di semua tingkat pendapatan, sementara
kredit pertanian cenderung untuk membiayai kegiatan terkait pertanian.

62 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


keuangan. Kredit pedesaan mengacu pada layanan kredit di daerah
pedesaan yang bertujuan untuk orang-orang di semua tingkat
pendapatan, sementara kredit pertanian cenderung untuk membiayai
kegiatan terkait pertanian.
Lembaga keuangan mikro adalah penyediaan layanan keuangan
Lembaga keuangan
untuk orang miskin mikro adalah penyediaan
dan berpenghasilan layanan
rendah, di mana keuangan
mereka memiliki un-
tuk orang miskin dan berpenghasilan rendah, di mana mereka memiliki
akses ke dana yang terjangkau untuk membiayai kegiatan mereka untuk
akses ke dana yang terjangkau untuk membiayai kegiatan mereka untuk
menghasilkan pendapatan, membangun aset, memperlancar konsumsi,
menghasilkan pendapatan, membangun aset, memperlancar konsumsi,
dan mengelola risiko. Layanan keuangan meliputi produk kredit (kredit
dan mengelola risiko. Layanan keuangan meliputi produk kredit (kredit
mikro), juga tabungan, transfer uang, dan asuransi (CGAP, 2012).
mikro), juga tabungan, transfer uang, dan asuransi (CGAP, 2012).

Pasar Kredit

Pasar Pedesaan

Pasar Pertanian Kredit Mikro

Gambar
Gambar 2.1 KeterkaitanAntara
2.1 Keterkaitan AntaraSektor
Sektor Keuangan
Keuangan
Partisipasi ke lembaga keuangan pedesaan dalam beberapa
Partisipasi ke lembaga keuangan pedesaan dalam beberapa makalah
makalah didefinisikan sebagai kesulitan mengakses modal oleh petani
didefinisikan sebagai kesulitan mengakses modal oleh petani miskin
miskin (Hinson, 2011). Perbedaan antara dua konsep "partisipasi ke
(Hinson, 2011). Perbedaan antara dua konsep "partisipasi ke lembaga
lembaga keuangan formal" dan "partisipasi dalam program kredit formal"
keuangan formal" dan "partisipasi dalam program kredit formal" telah
telah ditunjukkan dalam beberapa penelitian. Dalam beberapa kasus,
ditunjukkan dalam beberapa penelitian. Dalam beberapa kasus, kedua
kedua ini
konsep konsep ini digunakan
digunakan secara secara bergantian.
bergantian. Namun, Namun, perbedaan
perbedaan antara
antara keduanya
keduanya adalah: partisipasi
adalah: partisipasi dalamkredit
dalam program program kredit
adalah adalah
masalah yang
69
dapat dipilih petani untuk berpartisipasi, sementara partisipasi ke lembaga
keuangan sering kali menyiratkan hambatan ketika memasuki pasar.

2.2 Penentu Partisipasi Kredit Pedesaan


Diagne dan Zeller (2001) mengelompokkan sumber kredit ke dalam tiga
kategori: kredit formal, semi formal, dan informal. Yang formal adalah
sumber kredit dari bank komersial atau sejumlah dana kredit. Kredit
informal berasal dari kerabat, pemberi pinjaman perorangan, dan asosiasi.
Sektor semi formal termasuk LKM, program pinjaman yang didukung
pemerintah yang ditujukan untuk bagian-bagian tertentu dari populasi, dan
proyek-proyek non-pemerintah lainnya.
Wulandari, Meuwissen, Karmana, Oude Lansink (2017) menemukan
persyaratan penting untuk memperoleh keuangan di antara jenis penyedia
keuangan. Bank dan LKM sama-sama memberikan kredit, mereka

Dahlan Tampubolon 63
fokus pada persyaratan yang berbeda. LKM fokus pada karakter dan
pengetahuan pasangan tentang aplikasi keuangan. Untuk berpartisipasi
ke lembaga keuangan non-tunai, asosiasi petani mengharuskan petani
untuk memiliki keanggotaan asosiasi petani terdaftar.
Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi ke lembaga keuangan
formal rumah tangga pertanian dalam studi Diagne dan Zeller (2001)
dianggap di bawah dua aktor utama seperti dalam kerangka Gambar 2.2
peminjam–rumah tangga petani/permintaan kredit dan pemberi pinjaman–
penyalur kredit yang disajikan pada bagian di atas sebagai permintaan
terpisah dan faktor persediaan. Faktor permintaan cenderung memberikan
informasi apakah suatu rumah tangga terkendala atau tidak, sementara
faktor penawaran menyajikan jumlah yang dapat diperoleh peminjam dari
sumber kredit yang diberikan.

Gambar 2.2 Penentu Partisipasi Kredit

Penentu partisipasi kredit juga dapat dibagi menjadi faktor-faktor


yang dapat diobservasi dan tidak dapat diobservasi. Pada Gambar 2.2,
yang dapat diobservasi dapat berupa karakteristik sosial-ekonomi rumah
tangga serta faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pemberi
pinjaman, sementara faktor yang tidak dapat diobservasi adalah modal/
jaringan sosial yang berinteraksi kedua aktor dalam kerangka tersebut.
Di sisi lain, pasar kredit semi formal yang ditunjukkan pada Gambar 2.2
yang didominasi oleh LSM dan program kredit yang didukung pemerintah
sering menargetkan bagian-bagian tertentu dari nasabah (terutama
berpenghasilan rendah atau populasi miskin). Dengan demikian,

64 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


pemrosesan pinjaman dan jumlah pinjaman pasar semi formal akan jauh
berbeda dari lembaga keuangan normal. Prosedur pinjaman semi formal
seringkali merupakan kriteria tetap. Oleh karena itu, penelitian tentang
perilaku pemberi pinjaman semi formal sangat sulit dilakukan.
Kajian Hananu, Abdul-Hanan, dan Zakaria (2015) mendapati umur,
jumlah anggota keluarga, dan pendapatan mempengaruhi partisipasi ke
lembaga keuangan pedesaan. Demikian pula dengan Kosgey (2013)
menyebutkan faktor utama yang mempengaruhi partisipasi kredit
adalah pendapatan rumah tangga, ukuran keluarga, jarak bank, durasi
pinjaman, pemrosesan pinjaman dan besaran pinjaman. Kosgey (2013)
serta Chandio dan Jiang (2017) menemukan suku bunga sebagai faktor
positif yang signifikan. Fokus kajian Hananu, Abdul-Hanan, dan Zakaria
(2015), Kosgey (2013) juga Okurut, Schoombee, dan Van der Berg (2005)
mengungkapkan pendidikan petani di beberapa negara berkembang
menjadi salah satu faktor utama penentu partispasi ke lembaga keuangan.
Kepala keluarga yang berpendidikan menyiratkan memiliki
pengetahuan yang lebih baik, keterampilan bertani, serta informasi
tentang lembaga keuangan pedesaan. Faktor lain yang terkait erat dengan
ukuran keluarga dan pendapatan keluarga adalah rasio ketergantungan.
Semakin banyak anggota keluarga yang memiliki ketergantungan,
semakin tinggi kemungkinan untuk menjadi miskin atau semakin sedikit
anggota yang memiliki pendapatan teratur, oleh karena itu rumah tangga
sangat mungkin untuk mengalami hambatan ke lembaga keuangan formal
(Okurut, Schoombee, & Van der Berg, 2005) dan (Li, Gan, & Hu, 2011).
Keanggotaan kelompok, seperti temuan Evans, Adams, Mohammed
dan Norris (1999), tampaknya meningkatkan kemungkinan rumah tangga
berpartisipasi ke kredit pertanian, terutama dalam akses ke program kredit
mikro. Keanggotaan asosiasi, seperti dijelaskan oleh Hananu, Abdul-Hanan
dan Zakaria (2015), menjadi jaminan pinjaman rumah tangga. Selain itu,
ada hal yang mengejutkan di mana sumber pinjaman juga menjadi faktor
yang mempengaruhi signifikan terhadap partisipasi petani ke lembaga
keuangan pedesaan. Hasil temuan Li, Gan, dan Hu (2011) menyatakan
bahwa rumah tangga lebih suka berpartisipasi dalam lembaga keuangan
informal daripada yang formal. Berikutnya Boucher, Guirkinger dan Trivelli
(2007) mendapati pasar pinjaman informal cenderung lebih disukai karena
risiko. Namun dalam penelitian Pham dan Lensink (2007), aksesibilitas
pinjaman formal dan informal tersirat sepenuhnya independen dan tidak
terkait.
Gender memiliki dampak signifikan pada partisipasi rumah tangga
seperti dalam kajian Hananu, Abdul-Hanan, dan Zakaria (2015), Kosgey
(2013) juga Sebatta, Wamulume, dan Mwansakilwa (2014). Perempuan
cenderung memiliki partisipasi yang lebih tinggi ke lembaga keuangan
pedesaan dibanding laki-laki, terutama kredit mikro yang disediakan oleh
LSM atau disubsidi oleh pemerintah yang ditargetkan untuk perempuan.

Dahlan Tampubolon 65
Namun temuan Kosgey (2013) justru petani laki-laki memiliki peluang
lebih tinggi untuk berpartisipasi ke lembaga keuangan pedesaan daripada
perempuan. Nguyen dan Le (2015) juga Yehuala (2008) menyoroti
pengalaman sebagai faktor yang berpengaruh.
Dalam studi Saleem, Jan, Khattak dan Quraishi (2011), jangkauan
wilayah merupakan penentu terpenting dari partisipasi ke lembaga
keuangan pertanian. Mohamed (2003) dalam studinya di Zanzibar, seperti
halnya Okurut, Schoombee, dan Van der Berg (2005), menjelaskan
bahwa akses rumah tangga ke informasi/pengetahuan sumber pinjaman
memainkan peran penting dalam mencapai lembaga keuangan formal.
Status kekayaan rumah tangga (pengeluaran per kapita) juga terbukti
memiliki hubungan positif yang signifikan dengan partisipasi rumah
tangga. Penelitian Chandio dan Jiang (2017) menemukan tempat tinggal
atau jarak antara pemberi pinjaman / jarak ke lembaga keuangan secara
signifikan mempengaruhi partisipasi kredit.
Chandio dan Jiang (2017) menunjukkan bahwa holding operasi
berperan penting dalam partisipasi petani dari lembaga keuangan formal.
Ini mencerminkan menurunnya hambatan partisipasi pasar. Banyak bank
komersial hanya bersedia untuk memberi pinjaman berdasarkan agunan,
karena ukuran kepemilikan tanah lebih dapat diterima sebagai manajemen
risiko dan pengamanan pinjaman untuk pemberi pinjaman kelembagaan.
Husssain dan Thapa (2012) juga Saqib, Kuwornu, Panezia dan Ali (2018)
melihat jaminan meningkatkan keyakinan kemungkinan rumah tangga
membayar kredit. Ini menjadi alasan sebagian besar rumah tangga
miskin/kecil tidak mampu meminjam (Khoi, Gan, Nartea, & Cohen, 2013).
Temuan Ahmad (2011) juga Rahman, Hussain dan Taqi (2014) di Pakistan,
kurangnya jaminan menjadi alasan utama ketidakmampuan petani untuk
mencapai lembaga keuangan pedesaan. Menurut Xinkai dan Gang (2009)
di negara-negara berkembang, kurangnya keamanan agunan dan pasar
kredit yang tidak sempurna menjadi kendala partisipasi ke lembaga
keuangan yang ada. Penyaluran pinjaman yang tidak tepat sasaran
kadang menyebabkan tidak lancarnya pengembalian kredit (Tampubolon
& Basri, 2008).

2.3 Dampak Sosial dan Ekonomi dari Partisipasi Petani ke Lembaga


Keuangan Pedesaan
Ahmad (2011) menyatakan bahwa kredit hanya memiliki peran tidak
langsung dalam meningkatkan hasil pertanian melalui pembelian
berbagai input. Di Nigeria, hasil kajian Ugwumba dan Omojola (2013)
mendapati akses ke lembaga kredit dan pertumbuhan produktivitas
memiliki hubungan positif di antara petani tanaman pangan subsisten
Kelembagaan, penyuluhan dan kredit memberi dampak signifikan pada
efisiensi (Djoumessi, Afari-Sefa, Kamdem, & Bidogeza, 2018). Das (2018)

66 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


telah mempelajari dampak kredit terhadap pengurangan kemiskinan dalam
hal akses kredit formal, semi formal, dan informal
LKM melalui pasar semi formal memiliki dampak signifikan pada
pengurangan kemiskinan ketika menerapkan garis kemiskinan India.
Rahman, Hussain dan Taqi (2014) menggunakan model regresi logistik
untuk menganalisis dampak lembaga keuangan pertanian terhadap
produktivitas pertanian. Dalam hal garis kemiskinan multidimensi,
hubungan antara akses sumber formal dan pengentasan kemiskinan
adalah negatif dan hubungan antara yang semi formal dan informal adalah
positif.

3. KEBIJAKAN KREDIT PETANI


3.1 Program pemerintah
Program kredit pemerintah kepada petani memiliki sejarah panjang
di Indonesia. Kredit ini mulai dengan Program Bimas (Bimbingan
Massal) pada 1970-an dan berlanjut pada 1980-an dengan KUT (Kredit
Usaha Petani). Saat ini, ada beberapa program kredit pemerintah yang
menargetkan pertanian dan usaha kecil; yang paling penting dari program
ini adalah KKPE, KUPS, KPNRP, dan KUR.
Biasanya ada dua jenis skema yang digunakan pemerintah untuk
mendorong bank memberi kredit lebih banyak untuk pertanian dan usaha
kecil, yaitu dengan mensubsidi suku bunga atau dengan memberikan
jaminan kredit. KUR adalah program utama yang menyediakan jaminan
kredit. Program-program lain (KKPE, KUPS, dan KPENRP) utamanya
adalah skema yang memberikan tingkat bunga bersubsidi. Kebijakan
pemerintah saat ini adalah agar skema ini beroperasi secara independen
satu sama lain. Dengan demikian, karena skema KKPE menerapkan
subsidi (dari pemerintah) untuk mengurangi tingkat bunga, kredit KKPE
tidak dijamin oleh pemerintah. Di sisi lain, kredit KUR didukung oleh
jaminan, tetapi tidak menerima subsidi, yang sebagian menjelaskan
mengapa tingkat bunga KUR lebih tinggi dibandingkan dengan program
kredit pemerintah lainnya.
Evaluasi atas KUR menyimpulkan: (i) secara umum, KUR telah
diakses oleh UKM yang memiliki pendapatan bulanan di atas garis
kemiskinan. Ini berarti bahwa orang miskin hanya dapat dijangkau oleh
KUR sampai batas tertentu; (ii) untuk kelompok tertentu, KUR membawa
beberapa dampak terutama untuk pendapatan, pengeluaran, tabungan
dan aset; (iii) kepercayaan dan interaksi telah berkembang dengan baik;
dan (iv) kendala-kendala berikut muncul selama implementasi program:
Paradigma KUR, jaminan, masalah teknis, pertukaran antara aspek
kehati-hatian, pencapaian target dan penjangkauan program (Rifai, 2013).

Dahlan Tampubolon 67
Selain program-program kredit pemerintah utama ini, perlu juga
dicatat bahwa Kementerian Koperasi dan UKM mengelola dana kredit
bergulir yang disebut LPDB (Lembaga Pengelola Dana Kredit Berputar),
yang dimaksudkan agar koperasi dapat memberikan kredit kepada mereka.
Per Juni 2014, total Rp4,4 triliun telah disalurkan ke 3.119 koperasi dan
non-koperasi (BPR dan UKM). Program kredit lainnya adalah PUAP, yang
dikoordinasikan oleh program PNPM. PUAP memberikan kredit kepada
petani melalui kelompok tani (gapoktan). Program ini menggunakan
petugas lapangan pertanian, yang ditugaskan untuk mendukung kelompok
tani ini.
Di Indonesia, Undang-Undang (UU) No. 20/2008 tanggal 4 Juli 2008
mengatur layanan keuangan mikro khususnya UMKM. Tujuan undang-
undang ini adalah bahwa 20% dari portofolio kredit bank harus diarahkan
untuk memberikan kredit kepada UMKM. Namun, mencapai target ini
terhuyung-huyung sesuai dengan jadwal berikut:
• Pada 2014: Menurut kapasitas bank sebagaimana dinyatakan dalam
rencana bisnis
• Pada 2015: Minimal 5% dari total kredit harus untuk UMKM
• Pada 2016: Minimal 10% dari total kredit harus untuk UMKM
• Pada 2017: Minimal 15% dari total kredit harus untuk UMKM
• Pada 2018: Minimum 20% dari total kredit harus untuk UMKM.
Tekanan peraturan ini diberikan pada bank tidak menentukan apakah
proporsi kredit ini harus dialokasikan untuk sektor pertanian, juga tidak
menetapkan proporsi berapa dari 20% harus untuk kredit usaha mikro.
Penting untuk mempertimbangkan bahwa jenis-jenis kebijakan
peminjaman memiliki tinjauan beragam. Di India, misalnya, RBI
menetapkan arahan pada 1990 yang menyatakan bahwa 18% kredit bank
harus diarahkan ke pertanian (Holton, McCann, Prendergast, & Purdue,
2013). Walaupun hal ini mungkin mengarah pada pemberian kredit yang
lebih besar kepada sektor ini, ada juga bukti bahwa kebijakan-kebijakan
ini dipolitisasi dan mengarah pada non performing asset yang lebih
tinggi. Selain itu, hanya 30% bank sektor publik dan 50% bank swasta
di India mencapai target ini ketika tahun 2011. Sehubungan dengan
kebijakan kredit seperti itu, bank mungkin lebih suka membayar denda
daripada berinvestasi di sektor-sektor ini. Yang lain telah menyarankan
bahwa kebijakan fiskal, dana jaminan, dan investasi dalam mendukung
pengembangan biro kredit dan registrasi agunan yang dapat dipindahkan
lebih cara yang efisien bagi pemerintah untuk meningkatkan kredit ke satu
sektor atau lainnya

3.2 Suplai Jasa Keuangan Formal di Sektor Pedesaan dan Pertanian


Penyedia layanan keuangan saat ini melayani kelompok sasaran (yaitu
petani kecil) mencakup kombinasi (i) lembaga formal seperti bank komersial

68 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


dan pedesaan; (ii) lembaga semi formal seperti Dana Kredit Bergulir UPK
dan asosiasi petani; dan (iii) penyedia informal seperti pemberi kredit
swasta, pemasok input, pengumpul, pembeli, teman dan kerabat.
Di antara lembaga keuangan formal, BPR (Bank Perkreditan
Rakyat) adalah sumber pembiayaan yang penting di daerah pedesaan
di Indonesia. Mereka adalah unit bank skala kecil, juga biasanya disebut
sebagai bank pedesaan. Istilah ini mencakup berbagai bank komersial
dan sekunder, seperti BKD, BPR dan/atau LDKP. Mereka berbasis lokal
dan sebagian besar adalah lembaga swasta, tetapi ada juga beberapa
BPR milik pemerintah. BPR cenderung lebih dekat dengan masyarakat
daripada bank komersial tradisional. Pada tahun 2014, ada kurang dari
1.643 BPR, dan beberapa ribu LDKP dan BKD tambahan. Pada Januari
2019 hanya tinggal 1.598 unit.
BPR dapat memiliki satu unit bisnis atau beberapa ratus unit bisnis,
dan mereka yang memiliki jaringan cabang yang lebih luas cenderung
menjadi BPR milik pemerintah. BPR menyediakan layanan keuangan
mikro, serta layanan ke segmen pasar lainnya. Sementara banyak dari
BPR ini berlokasi di daerah pedesaan, sejumlah besar beroperasi di daerah
perkotaan. Distribusi cabang dan outlet bank-bank ini juga cenderung lebih
menonjol di wilayah barat Indonesia.

Sumber: Otoritas Jasa Keuangan, 2020

Gambar 3.1 Perkembangan Bank Perkreditan Rakyat.

Sejumlah BPR (ditambah LDKP dan BKD) berpartisipasi dalam


program keterkaitan untuk mendapatkan dana untuk kredit, karena mereka
merasa kesulitan untuk menarik simpanan (mis. Dalam persaingan dengan
bank umum lainnya). Keterkaitan ini mungkin dengan bank komersial atau
terkadang dengan kredit bersubsidi dari perusahaan milik negara dan/atau
lembaga keuangan.

Dahlan Tampubolon 69
Ada beberapa kasus bank yang memberikan kredit langsung kepada
petani (untuk komoditas tertentu), meskipun bank-bank ini membutuhkan
jaminan yang diberikan oleh perusahaan penjaminan regional atau oleh
donor. Dalam beberapa kasus (mis. Di NTB), jaminan digunakan untuk
melengkapi jaminan yang dapat diberikan petani, yang nilainya hanya
70% dari kredit. Dalam kasus lain (mis. Di Jawa Timur), jaminan hanya
digunakan sebagai jaminan tambahan. Bank Danamon, bank komersial,
menggunakan DCA (Development Credit Authority) yang dikeluarkan oleh
Kedutaan Besar AS (tersedia untuk lembaga keuangan teregulasi), yang
memberikan jaminan 50% untuk peminjaman ke komoditas tertentu. Dalam
hal ini bank tidak memerlukan jaminan tambahan dari pihak peminjam.
Bank Mandiri juga telah menyusun kredit kepada koperasi yang kemudian
memberikan kredit kepada petani di sektor kelapa sawit, berdasarkan
jaminan 100% yang diberikan oleh pabrik pengolahan yang membeli
tanaman utama langsung dari petani.

3.1 Penggunaan Skema Keuangan Mikro Informal di Dektor Pertanian


Mirip dengan apa yang dapat diamati di negara lain, lembaga keuangan
formal di Indonesia cenderung memberikan layanan yang tidak menjangkau
atau tidak dapat diakses oleh petani kecil. Sebuah survei internasional
terhadap bank yang dilakukan pada tahun 2012 menunjukkan bahwa
hanya 290 bank dari potensi 1.770 bank melayani petani kecil di Amerika
Latin, Sub-Sahara, Asia Selatan dan Asia Tenggara. Asia Selatan dan
Asia Tenggara cenderung lebih baik daripada petani-petani di wilayah lain
(Carroll, et al., 2012).
Petani kecil di berbagai negara sebagian besar berpartisipasi ke
keuangan pedesaan terutama melalui sumber-sumber informal. Seperti
pinjaman dari keluarga, teman, rentenir lokal dan lainnya. Rentenir ini
masuk ke dalam dalam rantai nilai pertanian, seperti pemasok input,
pembeli, dan pedagang. Partisipasi bisa tidak merata, terutama bagi petani
yang tidak terintegrasi dengan rantai nilai terstruktur.
Diperkirakan sekitar 37% pekerja sektor pertanian meminjam secara
informal, seperti melalui skema lingkungan, dari teman dan keluarga, dari
pengusaha dan melalui kredit jangka pendek dari sebuah toko. Sumber
keuangan ini bisa mahal, dan hampir selalu, modal tidak mencukupi dan
terutama bertindak untuk memoderasi arus kas di musim paceklik untuk
membiayai faktor produksi.

4. PENUTUP
Tujuan studi literatur ini untuk meninjau dan mengelompokkan beberapa
studi, beberapa masalah yang berkaitan dengan partisipasi petani
ke lembaga keuangan pedesaan telah dibahas. Lembaga keuangan

70 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


pedesaan di beberapa negara sedang membangun mencakup pasar
formal dan informal. Kedua pasar dapat saling melengkapi.
Banyak faktor sosial ekonomi, seperti: usia, ukuran keluarga, pendapatan
rumah tangga, pendidikan, jenis kelamin, dan ukuran kepemilikan tanah,
berdampak pada partisipasi petani ke lembaga keuangan pedesaan. Selain
faktor-faktor yang dapat diamati, modal sosial juga dipandang sebagai
faktor yang tidak terlihat yang memengaruhi partisipasi rumah tangga petani
ke lembaga keuangan di pedesaan. Dalam makalah ini, tinjauan lembaga
keuangan pedesaan penyalur pinjaman di Indonesia dan karakteristik
partisipasi pasar yang terbatas, intervensi pemerintah, dan segmentasi telah
ditunjukkan dengan jelas. Beberapa faktor penentu berbeda dari partisipasi
terhadap lembaga keuangan pedesaan Indonesia dari beberapa studi juga
disajikan.
Para petani miskin dengan pendapatan utama mereka dari kegiatan
pertanian kemungkinan besar tidak memenuhi kriteria dari lembaga
keuangan formal. Ini disebabkan oleh kegiatan pertanian yang rentan dan
tidak efisien dalam kebijakan pertanian. Karenanya, beberapa penelitian
menunjukkan bahwa partisipasi petani atas kredit, khususnya akses formal
mendapat perhatian khusus dan subsidi dari pemerintah, dengan tujuan
untuk mengurangi kemiskinan di pedesaan.
Hasil penelusuran literatur memiliki sejumlah implikasi, yang dapat
membantu para pembuat keputusan, terutama di Indoensia. Kebijakan
pinjaman harus dapat disesuaikan dengan berbagai kelompok petani. Untuk
petani-solusi utama dari beberapa studi merujuk pada perluasan jaringan
pinjaman lembaga keuangan melalui asosiasi sosial-politik lokal sebagai
penjamin dan peminjam yang berkumpul dalam kelompok. Partisipasi dalam
kelompok-kelompok ini secara signifikan meningkatkan kemungkinan akses
ke program kredit formal, mengurangi biaya transaksi, karena informasi
asimetris turun secara efektif.
Lembaga keuangan perlu mengubah pola pikir mereka tentang klien
sasaran. Bank komersial sekarang hanya fokus pada "nasabah besar"
dibandingkan nasabah petani kecil. Keputusan pemberian pinjaman bank
kemungkinan besar akan difokuskan pada kelompok tertentu, bukan umum.
Bank harus mengalokasikan modal ke sektor pertanian, mempermudah
prosedur pinjaman, dan mengurangi biaya pinjaman.
Intervensi pemerintah dalam pasar kredit pedesaan harus ditentukan
untuk memastikan daya saing pasar. Kredit bersubsidi cenderung semakin
tidak efektif di ekonomi yang tumbuh cepat. Pinjaman tepat waktu dengan
prosedur yang mudah dan biaya transaksi yang rendah harus memenuhi
permintaan petani. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah tentang kredit perlu
memastikan keberlanjutan dan pembangunan dalam jangka panjang, tidak
hanya berfokus pada pinjaman bersubsidi dalam jangka pendek. Selain itu,
pemerintah harus memiliki kebijakan untuk memperluas kegiatan lembaga
keuangan pedesaan, menjangkau kelas miskin terutama di daerah pedesaan.

Dahlan Tampubolon 71
5. DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, N. (2011). Impact of Institutional Credit on Agricultural Output.
Pakistan Development Review, 42(4), 469–485. doi:10.30541/
v42i4IIpp.469-485

Awunyo-Vitor, D., Al-Hassan, R. M., Sarpong, D. B., & Egyir, I. (2014).


Agricultural credit rationing in Ghana: what do lenders look for?
Agricultural Finance Review, 74(3), 364-378. doi:10.1108/AFR-
01-2013-0004

Boucher, S., Guirkinger, C., & Trivelli, C. (2007). Direct elicitation of credit
constraints: Conceptual and practical issues with an empirical
application to Peruvian agriculture. Economic Development and
Cultural Change, 57(4), 609–640. doi:10.1086/598763

Carroll, T., Stern, A., Zook, D., Funes, R., Rastegar, A., & Lien, Y. (2012).
Catalyzing Smallholder Agriculture Finance. Dalberg Global
Development Advisors.

CGAP. (2012). A Guide to Regulation and Supervision of Microfinance.


Washington: CGAP.

Chandio, A. A., & Jiang, Y. (2017). Determinants of Credit Constraints:


Evidence from Sindh, Pakistan. Emerging Markets and
Finance Conference, 54(15), 3401-3410. doi:10.1080/154049
6X.2018.1481743

Das, T. (2018). Does credit access lead to expansion of income and


multidimensional poverty? A study of rural Assam. International
Journal of Social Economics, 46(2), 252-270. doi:10.1108/IJSE-
12-2017-0592

Deelstra, T., & Girardet, H. (2000). Urban agriculture and sustainable


cities. In N. Bakker, N. Dubbeling, S. Gündel, U. Sabel-Koshella,
& H. de Zeeuw, Growing Cities, Growing Food, Urban (pp.
43–66). Feldafing, Germany,: Zentralstelle für Ernährung und
Landwirtschaft (ZEL).

Diagne, A., & Zeller, M. (2001). Access to credit and its impact on welfare in
Malawi. Washington: International Food Policy Research Institute.

Djoumessi, Y., Afari-Sefa, V., Kamdem, C., & Bidogeza, J. (2018). Socio-
economic and institutional factors underlying efficiency of

72 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


smallholder vegetable farms in Southwest region of Cameroon.
International Journal of Social Economics, 45(1), 93–106.
doi:10.1108/IJSE-09-2016-0256

Evans, T. G., Adams, A. M., Mohammed, R., & Norris, A. H. (1999).


Demystifying nonparticipation in microcredit: A population-based
analysis. World Development, 27(2), 419–430. doi:10.1016/
S0305-750X(98)00134-X

Hananu, B., Abdul-Hanan, A., & Zakaria, H. (2015). Factors influencing


agricultural credit demand in Northern Ghana. African Journal of
Agricultural Rresearch, 10(7), 645–652. doi:10.5897/AJAR2014

Hinson, R. E. (2011). Banking the poor: the role of mobiles. Journal of


Financial Services Marketing, 15, 320–33. Retrieved from
http://197.255.68.203/handle/123456789/4396

Holton, S., McCann, F., Prendergast, K., & Purdue, D. (2013, October).
Policy measures to improve access to credit for SMEs: a survey.
Quarterly Bulletin, 04, pp. 91-110.

Hussain, A., & Thapa, G. B. (2012). Smallholders’ access to agricultural


credit in Pakistan. Food Security, 4, 73–85.

Khoi, P. D., Gan, C., Nartea, G. V., & Cohen, D. A. (2013). Formal and
informal rural credit in the Mekong River Delta of Vietnam:
Interaction and accessibility. Journal Asian Econonomy, 26,
1–13.

Kosgey, Y. K. (2013). Agricultural credit access by grain growers in Uasin-


Gishu County, Kenya. IOSR Journal of Economics and Finance,
2(3), 36-52.

Le Thi Minh, C. (2014, March 21). An analysis of access to credit by animal


producing households in Hai Duong Province, Vietnam. Doctoral
thesis. Gembloux, B ​ elgique: Université de Liège Gembloux
Agro-Bio Tech. Retrieved February 26, 2020, from https://orbi.
uliege.be/handle/2268/164351

Li, X., Gan, C., & Hu, B. (2011). Accessibility to microcredit by Chinese
rural households. Journal of Asian Economics, 22(3), 235-246.
doi:10.1016/j.asieco.2011.01.004

Dahlan Tampubolon 73
Mohamed, K. (2003). Access to Formal and Quasi-Formal Credit by
Smallholder Farmers and Artisanal Fishermen: A Case Study of
Zanzibar. Dar es Salaam, Tanzania: Mkuki na Nyota Publishers.

Nguyen, T. D., & Le, H. T. (2015). Enhancing formal credit accessibility of pig
production households in Thai Binh province, Vietnam. International
Journal of Economics, Commerce and Management, 3, 1–15.

Okurut, F. N., Schoombee, A., & Van der Berg, S. (2005). Credit demand
and credit rationing in the informal financial sector in Uganda.
South African Journal of Economics, 73(3), 482-497. doi:10.1111/
j.1813-6982.2005.00033.x

Pham, T. T., & Lensink, R. (2007). Lending policies of informal, formal


and semiformal lenders: Evidence from Vietnam. Economics of
Transition, 15(2), 181-209. doi:j.1468-0351.2007.00283.x

Rahman, S., Hussain, A., & Taqi, M. (2014). Impact of agricultural credit
on agricultural productivity in Pakistan: An empirical analysis.
International Journal of Advanced Research in Management
and Social Sciences, 3(4), 125-139.

Reyes, A., & Lensink, R. (2011). The Credit Constraints of Market-Oriented


Farmers in Chile. Journal of Development Studies, 47(12),
1851–1868. doi:10.1080/00220388.2011.579111

Rifai, B. (2013). Pengembangan model penguatan peran pemerintah


daerah dalam mendukung program kredit usaha rakyat (KUR)
guna pengurangan kemiskinan. Kajian Ekonomi dan Keuangan,
17(3), 185 - 200.

Saleem, A., Jan, F. A., Khattak, R. M., & Quraishi, M. I. (2011). Impact
of farm and farmers characteristics on repayment of agriculture
credit. Abasyn University Journal of Social Science, 4(1), 23–35.

Saqib, S., Kuwornu, J. K., Panezia, S., & Ali, U. (2018). Factors determining
subsistence farmers’ access to agricultural credit in flood-prone
areas of Pakistan. Kasetsart Journal Social Science, 39(2),
262–268. doi:10.1016/j.kjss.2017.06.001

Sebatta, C., Wamulume, M., & Mwansakilwa, C. (2014). Determinants of


smallholder farmers’ access to agricultural finance in Zambia.
Journal of Agricultural Science, 6(11), 63-73. doi:10.5539/jas.
v6n11p63

74 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


Simtowe, F., Zeller, M., & Diagne, A. (2009). The impact of credit constraints
on the adoption of hybrid maize in Malawi. Review of Agricultural
and Environmental Studies, 90(1), 5–22. doi:10.22004/
ag.econ.51627

Soubbotina, T. P., & Sheram, K. (2000). Beyond Economic Growth: Meeting


the Challenges of Global Development. Washington, DC: World.

Tadesse, M. (2014). Fertilizer adoption, credit access, and safety nets in


rural Ethiopia. Agricultural Finance Review, 74(3), 290–310.
doi:10.1108/AFR-09-2012-0049

Tampubolon, D. (2009). Lembaga Keuangan Mikro Pedesaan Di Kabupaten


Bengkalis. Jurnal Ekonomi, 17(1), 46-61.

Tampubolon, D. (2013). Strategi pemberdayaan masyarakat pesisir


di Kabupaten Kepulauan Meranti. Sorot, 8(2), 153-161.
doi:10.31258/sorot.8.2.2358

Tampubolon, D., & Basri, S. (2008). Kebijakan pembangunan ekonomi


kerakyatan: Program budget sharing di Kabupaten Kampar.
Jurnal Ekonomi, 16(2), 46-57.

Ugwumba, C. O., & Omojola, J. T. (2013). Credit access and productivity


growth among subsistence food crop farmers in Ikole local
government area of Ekiti State, Nigeria. Journal of Agricultural
and Biological Science, 8(4), 351-356.

Weber, R., & Musshoff, O. (2013). Can flexible microfinance loans improve
credit access for farmers? Agricultural Finance Review, 73(2),
255–271. doi:10.1108/AFR-09-2012-0050

Wulandari, E., Meuwissen, M. P., Karmana, M. H., & Oude Lansink, A. J.


(2017). Access to finance from different finance provider types:
Farmer knowledge of the requirements. PLoS ONE, 12(9),
e0179285. doi:10.1371/journal.pone.0179285
Xinkai, Z., & Gang, L. (2009). Dual Financial Institution and Farmers’
Choice on Consumer Credit Behavior: The Explanation and
Analysis of ROSCA. Economic Research Journal, 2, 005.

Yadav, P., & Sharma, A. K. (2015). Agriculture credit in developing


economies: A review of relevant literature. International Journal
of Economics and Finance, 7(12), 219-244. doi:10.5539/ijef.
v7n12p219

Dahlan Tampubolon 75
Yehuala, S. (2008). Determinants of Smallholder Farmers Access to Formal
Credit: The Case of Metema Woreda, North Gondar, Ethiopia.
Dire Dawa, Ethiopia: Haramaya University.

76 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


DANA DESA, KORUPSI DAN GOOD
PUBLIC GOVERNANCE
BAB
Evi Maria, Abdul Halim
Universitas Kristen Satya Wacana, Universitas Gadjah
Mada
evi.maria@uksw.edu, abhalim@ugm.ac.id
VII
1. PENDAHULUAN
Undang-Undang No. 6/2014 tentang Desa menjadikan desa sebagai
ujung tombak pembangunan. Pembangunan desa menjadi perhatian
utama pemerintah Indonesia. Desa tidak lagi diharapkan menjadi kawasan
terbelakang dan kurang produktif, tetapi menjadi daerah yang makmur dan
sejahtera. Otonomi desa memberi kebebasan.bagi desa untuk mengatur.
dan.mengurus.pemerintahannya, mengurus kepentingan masyarakat
berdasarkan prakarsa warga, hak asal.usul, adat istiadat, dan nilai.sosial
budaya masyarakat.
UU Desa memberi mandat kepada pemerintah untuk mengalokasikan
Dana Desa untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa.
Dana tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara
(APBN) yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
(APBD) kabupaten/kota. Dana Desa mulai dialokasikan pertama kali pada
tahun 2015. Data Kemendes (2020) menunjukkan anggaran Dana Desa
meningkat dari tahun ke tahun, seperti disajikan dalam Gambar 1.1 Total
alokasi Dana Desa sampai tahun 2019, sebesar Rp 257,65 triliun. Jumlah
yang tidak sedikit, menuntut dana tersebut perlu untuk dikelola dengan
baik agar penggunaannya tepat sasaran.
Dibalik besarnya Dana Desa dan harapan terwujudnya pemerataan
pembangunan desa, terselip rasa khawatir yang tidak kalah besarnya.
Sumber daya manusia yang tidak siap di sana dikhawatirkan memunculkan
potensi penyimpangan, jika Dana Desa dikelola tidak secara transparan
dan akuntabel. Indonesian Corruption Watch (ICW, 2020) mengidentifikasi
kasus korupsi di sektor anggaran.desa.menjadi kasus yang paling banyak
ditindak oleh aparat penegak hukum selama tahun 2019. ICW (2020) juga
mencatat 46.kasus korupsi terjadi pada anggaran desa dari total 271 kasus
korupsi pada tahun 2019. Korupsi pada anggaran desa merugikan.negara
hingga mencapai Rp 32,3 miliar. Ini artinya pemerintah belum memiliki
sistem komprehensif untuk mengawasi Dana Desa.

Evi Maria, Abdul Halim 77


tahun 2019. ICW (2020) juga mencatat 46.kasus korupsi terjadi pada
anggaran desa dari total 271 kasus korupsi pada tahun 2019. Korupsi
pada anggaran desa merugikan.negara hingga mencapai Rp 32,3 miliar.
Ini artinya pemerintah belum memiliki sistem komprehensif untuk
mengawasi Dana Desa.

Gambar
Gambar 1.1 Penyaluran
1.1 Penyaluran DanaTahun
Dana Desa Desa 2015-2019
Tahun 2015-2019 (Kemendes,
(Kemendes, 2020) 2020)
Fenomena korupsi anggaran desa ini adalah masalah yang harus
segera Fenomena
diatasi oleh korupsi anggaran
pemerintah. Penataandesa iniperlu
desa adalah masalah
dilakukan yang harus
untuk
segera diatasi oleh pemerintah. Penataan desa perlu
mewujudkan penyelenggaraan pemerintah desa yang bersih dan efektif, dilakukan untuk
mewujudkan penyelenggaraan pemerintah desa
serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan daya saingyang bersih dan efektif,
serta
desa. dapat
Tata meningkatkan
kelola pemerintahan kesejahteraan masyarakat
yang baik dibutuhkan untukdan daya saing desa.
mengatasi
Tata kelola
korupsi pemerintahan
pada anggaran desa. yang
Komitebaik dibutuhkan
Nasional untuk
Kebijakan mengatasi korupsi
Governance
(KNKG,
pada 2008)
anggaranmenyebut
desa.tata kelola Nasional
Komite pemerintahan di Indonesia
Kebijakan dengan (KNKG,
Governance
istilah
2008)public
menyebutgovernance, yaitu
tata kelola aturan perilaku
pemerintahan terkait.pengelolaan
di Indonesia dengan istilah public
kewenangan.para penyelenggara.negara dalam menjalankan tugasnya
governance, yaitu aturan perilaku terkait.pengelolaan kewenangan.para
secara akuntabel dan bertanggungjawab. Good public governance telah
penyelenggara.negara dalam menjalankan tugasnya secara akuntabel
terbukti membawa efek positif bagi pemerintahan, yaitu menurunkan
dan bertanggungjawab. Good public governance telah terbukti membawa
tingkat korupsi (Khan, 2006; Hofheimer, 2006; Nguyen et al., 2017).
efek positif
Pemerintah bagi pemerintahan,
dituntut untuk mendorong yaitu menurunkan
keterbukaan dantingkat korupsi (Khan,
akuntabilitas
2006; Hofheimer, 2006; Nguyen et al., 2017). Pemerintah
pengelolaan keuangan desa. Pemerintah perlu mendidik dan melatih dituntut untuk
mendorong keterbukaan dan akuntabilitas pengelolaan
pengelolaan anggaran desa pada kepala desa dan aparaturnya. Selain keuangan desa.
itu,Pemerintah
pemerintah perlu
perlu mendidik
juga untukdan melatih pengelolaan
mengaktifkan anggaran
peran warga.desa untukdesa pada
kepala desa dan
mengawasi.Dana Desa.aparaturnya. Selain itu, pemerintah perlu juga untuk
mengaktifkan peran warga.desa untuk mengawasi.Dana Desa.
Berdasarkan fenomena ini, maka tulisan pada.bab ini akan
86 fokus.
membahas dua hal. Pertama, tentang Dana Desa.dan korupsi kepala desa.
Kedua, tentang good public governance sebagai strategi pemberantasan
korupsi Dana Desa. Tulisan ini akan mengidentifikasi faktor-faktor yang
membuka kesempatan bagi kepala desa melakukan korupsi pada Dana
Desa. Selain itu, tulisan ini akan mendiskusikan peran good public
governance sebagai strategi pemerintah untuk memberantas korupsi Dana
Desa. Konsep good public governance menarik untuk dibahas, mengingat
masih sedikit tulisan yang membahas tentang good public governance
pada level pemerintah desa. Ini hal yang wajar mengingat otonomi desa
baru saja dimulai sejak diberlakukannya UU No. 6/2014 tentang Desa.

2. DANA DESA DAN KORUPSI KEPALA DESA DI INDONESIA


Pemberlakuan UU No. 6/2014 tentang Desa memberikan kewenangan
secara otonom.kepada pemerintah desa untuk mengelola dan.
mengembangkan desa. Harapannya, masyarakat desa dapat lebih.

78 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


sejahtera dengan dijalankannya berbagai program pemberdayaan
masyarakat dan pembangunan.desa. Pemerintah desa dapat mengatur
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), meningkatkan
ekonomi desa, melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), serta
melakukan pembangunan infrastruktur di desa yang dapat menunjang
peningkatan ekonomi desa.
UU Desa memberikan banyak keistimewaan bagi desa. Bagaimana
tidak, UU tersebut mengatur pemberian gaji, jaminan kesehatan dan
penerimaan lain untuk kepala desa dan seluruh jajarannya (UU No.6/2014
Pasal 66). Selain itu, pemerintah juga menyiapkan dana kurang lebih Rp 1
milyar untuk mendanai kegiatan pembangunan dan pemberdayaan desa.
Dana tersebut merupakan bentuk konkret perhatian negara.terhadap.
keberadaan warganya yang tinggal di desa. Dana Desa membuat asal.
usul dan kewenangan lokal.berskala.desa dapat.dilihat.dan dirasakan.
oleh seluruh masyarakat desa. Besaran dana yang dialokasikan
pemerintah ke masing-masing desa akan berbeda-beda.tergantung pada
jumlah.penduduk, tingkat.kemiskinan, luas.wilayah.dan.tingkat kesulitan
geografis. Alokasi anggaran langsung untuk desa telah ditentukan, yaitu
10 persen dari dan di luar Dana Transfer.Daerah, dengan.pencapaian
yang dilakukan.secara bertahap.
Penetapan prioritas.penggunaan Dana.Desa diatur dalam Peraturan
Menteri Desa, Pembangunan.Desa Tertinggal, dan.Transmigrasi setiap
tahunnya. Penggunaan Dana Desa diprioritaskan untuk membiayai
kegiatan pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa.
Oleh sebab itu, penggunaannya pun perlu disepakati dalam musyawarah
desa. Tak hanya itu, penggunaan Dana Desa juga harus sesuai.dengan.
Rencana.Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), sehingga
penetapan penggunaan Dana Desa memerlukan Peraturan Bupati/
Walikota. Tanpa peraturan tersebut, maka Dana Desa tidak dapat
digunakan. Kondisi ini membuat APBDes yang dibuat tidak boleh berbeda
dengan APBD, meskipun desa diberikan otonomi khusus.
Kewenangan pembangunan desa telah direposisi oleh UU Desa.
Awalnya pembangunan desa menjadi kewenangan pemerintah daerah,
sekarang menjadi kewenangan pemerintah desa. UU Desa Pasal 18
memberikan kewenangan pada pemerintah desa untuk menentukan
arah pembangunannya. Kepala desa menjadi tokoh sentral desa. Kepala
desa dituntut untuk menjalankan peran sebagai pemimpin dan pelaksana
pembangunan desa. Tak hanya itu, kepala desa juga diminta untuk peka
terhadap kebutuhan warganya, serta mengakomodasi tuntutan warga yang
dipimpinnya. Kepala desa memiliki peran dominan dalam pembangunan
desa. Dominasi tersebut, sudah terlihat mulai dari tahap perencanaan
pembangunan desa, baik saat menyusun Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Desa (RPJM Desa) maupun saat menyusun Rencana.Kerja
Pemerintah.Desa (RKP Desa). Kepala Desa memiliki hak untuk menentukan.

Evi Maria, Abdul Halim 79


Tim Penyusun.RPJM Desa dan secara otomatis akan menduduki jabatan.
sebagai pembina. Kepala desa juga memiliki peran penting dalam tahap
Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Desa, yaitu
sebagai penyelenggara forum untuk mempertemukan kepentingan
berbagai pihak, termasuk masyarakat. Kepala desa juga berperan dalam
proses penyusunan RKP Desa. Kepala desa memiliki peran yang sangat
besar, bahkan sampai pada tahap pembuatan.rancangan peraturan.desa
tentang.RKP Desa. Hal ini berlanjut, hingga tahap pelaksanaan dan tahap
pertanggungjawaban pengelolaan Dana Desa.
Praktiknya, korupsi menjadi masalah sistemik dan terstruktur di desa
karena korupsi terjadi hampir di seluruh tahap pengelolaan keuangan
desa. Rose-Ackerman (1978) menggambarkan korupsi sebagai perilaku
yang melibatkan penyalahgunaan atau penyalahgunaan jabatan publik,
kekuasaan, atau sumber daya untuk kepentingan pribadi. Di Indonesia,
UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi,
mendefinisikan korupsi sebagai perbuatan melawan hukum untuk
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
Sudibyo dan Linda (2014) mengidentifikasi potensi korupsi dalam
penyaluran Dana Desa. Ada lima titik celah korupsi Dana Desa. Pertama,
celah rawan korupsi ada pada proses perencanaan. Pada proses ini, adanya
elite capture, yaitu tindakan oknum-oknum tertentu untuk mempengaruhi
pembuat kebijakan agar program pembangunan dan pemberdayaan desa
dibuat untuk mengakomodir kepentingan dan/atau keuntungan pribadi
dan/atau kelompok tertentu. Kedua, celah rawan korupsi ada pada proses
pelaksanaan. Pada proses ini, ada potensi munculnya praktik nepotisme
dan tidak transparannya pengelolaan Dana Desa. Ketiga, celah rawan
korupsi ada pada proses pertanggungjawaban. Pada proses ini, ada
potensi untuk membuat laporan fiktif karena aparat desa menganggap
pertanggungjawaban pengelolaan keuangan hanyalah sebuah beban
administratif agar bisa mendapatkan dana.dari pemerintah untuk.periode
berikutnya. Keempat, celah rawan korupsi ada pada proses pemantauan
dan evaluasi. Pada proses ini, ada potensi pemantauan dan evaluasi
hanya bersifat formalitas, sehingga terlambat untuk mendeteksi terjadinya
korupsi. Kelima, celah rawan korupsi ada pada proses pengadaan
barang dan.jasa. Pada proses ini, muncul potensi terjadinya mark-up
harga, rekayasa proyek dan tidak transparannya kegiatan pengadaan
menggunakan Dana Desa.
Penggelapan, suap, penyalahgunaan.anggaran, mark up.anggaran,
dan laporan fiktif adalah jenis perkara korupsi yang dilakukan oleh kepala
desa sepanjang tahun 2015-2019. Penyalahgunaan anggaran menjadi
jenis perkara korupsi terbanyak yang terjadi pada Dana Desa. Secara
khusus, ICW (2019) meng-identifikasi 12 modus operandi yang terjadi
dalam kasus-kasus korupsi Dana Desa yang hampir terjadi di.seluruh

80 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


Indonesia. Modus operandi korupsi Dana Desa, antara lain sebagai berikut:
1. Membuat Rancangan.Anggaran Biaya (RAB) di atas.harga pasar,
kemudian melakukan pembayaran kegiatan pengadaan.berdasarkan
kesepakatan.yang lain yang tentunya menguntungkan pelaku dan/
atau kelompoknya.
2. Mempertanggungjawabkan pembiayaaan pengadaan infrastruktur
fisik desa menggunakan Dana Desa, padahal faktanya pendanaan
proyek tersebut berasal dari sumber lainnya.
3. Meminjam Dana Desa untuk kepentingan pribadi. Tak sedikit juga,
pinjaman tersebut tidak dikembalikan.
4. Oknum pejabat kecamatan dan/atau kabupaten melakukan pemung-
utan atau pemotongan Dana Desa.
5. Mengadakan transaksi perjalanan.dinas fiktif bagi kepala.desa dan
aparat.desa dengan cara memalsukan tiket penginapan/perjalanan
dan/atau mengadakan perjalanan dengan tujuan untuk berwisata
saja.
6. Melakukan mark-up transaksi pembayaran honorarium perangkat
desa dan memalsukan bukti transaksi.
7. Melakukan mark-up harga untuk transaksi pembayaran alat tulis kan-
tor dan memalsukan bukti pembayaran.
8. Memungut pajak dan/atau retribusi.desa, hasilnya tidak.disetorkan
ke kas.desa atau.kantor pajak.
9. Membeli inventaris.kantor untuk kepentingan pribadi menggunakan
Dana Desa.
10. Memangkas anggaran untuk kegiatan pelayanan publik dan menga-
lokasikan anggaran tersebut untuk kepentingan pribadi perangkat
desa.
11. Melakukan permainan proyek yang didanai dari Dana Desa untuk
kepentingan pribadi dan/atau kelompok.
12. Mengadakan proyek-proyek fiktif dan dibebankan pada Dana Desa.

Data ICW (2020) mencatat ada 298 kasus korupsi Dana Desa yang terjadi
sepanjang tahun 2015-2019. Jumlah kasus korupsi Dana Desa meningkat
dari tahun ke tahun. Tahun 2015 tercatat ada 22 kasus, dan meningkat
menjadi 48 kasus di tahun 2016. Kasus tersebut terus meningkat menjadi
98 kasus di tahun 2017, dan sedikit menurun yakni 96 kasus pada 2018.
Tahun 2019 mengalami penurunan menjadi 46 kasus. Penurunan jumlah
kasus korupsi Dana Desa ini bisa jadi disebabkan karena terjadi penurunan
tren penindakan.kasus korupsi yang.dilakukan oleh aparat penegak
hukum, yaitu.sebesar 40 persen jika dibandingkan dengan tahun 2018.
Sama hal dengan korupsi yang terjadi di pemerintah pusat maupun
daerah, korupsi di desa menimbulkan kerugian negara yang tidak sedikit
jumlahnya. Tahun 2015, kerugian negara akibat korupsi Dana Desa
mencapai Rp 9,12 milyar. Tren kerugian negara akibat korupsi Dana Desa

Evi Maria, Abdul Halim 81


yang terjadi sepanjang tahun 2015-2019 disajikan pada Gambar 2.1.
Kerugian negara mencapai Rp 8,33 milyar di tahun.2016. Sedangkan,
tahun.2017 dan tahun.2018, kerugian negara akibat korupsi Dana Desa
meningkat tajam menjadi Rp 30,11 milyar dan Rp 40,6 milyar. Tahun
2019, kerugian negara mencapai Rp 32,2 milyar. Sepanjang tahun 2015-
2019, total kerugian negara yang ditimbulkan oleh korupsi di desa telah
mencapai Rp 120,36 milyar.

Kerugian Negara dari Korupsi Dana Desa


2015-2019
(dalam milyar rupiah)
50
40,6
30,11 32,2

9,12 8,33
0
2015 2016 2017 2018 2019

Jumlah Kerugian Negara

Gambar 2.1 Kerugian Negara dari Korupsi Dana Desa Tahun 2015-2019 (ICW
Gambar 2.1 Kerugian Negara dari Korupsi
2020) Dana Desa Tahun 2015-2019 (ICW
Kepala desa menjadi aktor2020) dominan korupsi Dana Desa. ICW
(2019) mencatat ada 214 kepala desa yang terjerat kasus korupsi
Kepala desa menjadi aktor dominan korupsi Dana Desa. ICW (2019)
sepanjang tahun 2015-2018. Gambar 2.2 menyajikan tren peningkatan
mencatat ada 214 kepala desa yang terjerat kasus korupsi sepanjang
jumlah kepala desa.yang terjerat kasus.korupsi di desa. Tahun 2015 dari
tahun 2015-2018. Gambar 2.2 menyajikan tren peningkatan jumlah kepala
hanya 15 kepala.desa yang.terjerat kasus korupsi Dana Desa, kemudian
desa.yang terjerat kasus.korupsi di desa. Tahun 2015 dari hanya 15
meningkat menjadi
kepala.desa 32 kepala.desa
yang.terjerat di tahun
kasus korupsi Dana2016.
Desa,Tidak berhenti
kemudian disitu,
meningkat
tahun 2017 meningkat menjadi 65 kepala desa dan 2018
menjadi 32 kepala.desa di tahun 2016. Tidak berhenti disitu, tahun menjadi 89
kepala desa yang terjerat kasus korupsi. Peningkatan
2017 meningkat menjadi 65 kepala desa dan 2018 menjadi 89 kepala jumlah.kepala
desayang
desa yangterjerat
.terjeratkasus
kasuskorupsi.
korupsi.menunjukkan bahwa korupsidesa
Peningkatan jumlah.kepala di desa
yang
.terjerat kasus korupsi.menunjukkan
sudah menjadi bahwa korupsi
masalah serius.yang harus.segera di desa sudah menjadi
ditangani.
masalah serius.yang harus.segera ditangani.
Kasus Agus Mulyadi, yaitu Kepala Desa Dasok, Kabupaten.
Pamekasan adalah salah satu contoh kasus korupsi Dana Desa yang
fenomenal terjadi pada tahun 2016. Kasus suap ini dilatar belakangi karena
pengusutan dugaan korupsi pada proyek pembuatan paving block di Desa
Dasok yang menggunakan Dana Desa dengan nilai proyek sebesar Rp
100 juta. Dugaan korupsi tersebut dilaporkan oleh sebuah.Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) ke Kejaksaan Negari (Kejari) Pamekasan.
Menariknya, kasus ini membuat Komisi.Pemberantasan Korupsi.(KPK)
juga turun tangan melakukan.Operasi Tangkap.Tangan (OTT) karena
melibatkan Bupati Pamekasan, yaitu Ahmad Syafii dan Kajari Pamekasan,

82 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


92
yaitu Rudi Indra Prasetya. Bupati Pamekasan berperan sebagai aktor
yang menyarankan Agus untuk melakukan suap kepada Kajari sebesar
Rp 250 juta agar perkara tersebut tidak diusut. Dana suap diambilkan
kepala desa dari Dana Desa. Tahun 2016, Desa Dasok hanya menerima
Dana Desa sebesar Rp 650 juta saja. Ini menegaskan bahwa meski desa
memiliki anggaran yang lebih sedikit dibandingkan dengan kabupaten/
kota, tetapi tetap juga dapat menarik oknum-oknum tertentu untuk
melakukan perbuatan curang, sehingga negara mengalami kerugian. Jika
ini dibiarkan maka cita-cita desa yang makmur dan sejahtera tentunya
hanyalah sebuah mimpi saja.

Kepala Desa Terjerat Kasus Korupsi


2015-2018
100
89
65
50
32
15
0
2015 2016 2017 2018

Kepala Desa Korupsi

Gambar 2.2 Kepala desa yang korupsi sepanjang tahun 2015-2018 (ICW 2019)
Gambar 2.2 Kepala desa yang korupsi sepanjang tahun 2015-2018 (ICW 2019)
Kasus Agus Mulyadi, yaitu Kepala Desa Dasok,
Kabupaten.Pamekasan
Penyebab korupsi adalah Dana salah
Desasatu contoh kasuskarena
diidentifikasi korupsi besarnya
Dana
kewenangan
Desa yang yang fenomenal dimiliki oleh
terjadi kepala
pada desa Kasus
tahun 2016. diidentifikasi
suap ini membuka
dilatar
kesempatan bagi kepala
belakangi karena desa dugaan
pengusutan untuk korupsi
memperoleh keuntungan
pada proyek pembuatan pribadi
dan/atau
paving kelompoknya
block di Desa Dasok dengan melakukan praktik
yang menggunakan Dana Desa korupsi.
denganCressey
nilai
(1950)
proyekmengidentifikasi
sebesar Rp 100kesempatan
juta. Dugaan adalah situasi dilaporkan
korupsi tersebut yang mendorongoleh
parasebuah.Lembaga
pemegang kepercayaan mengkhianati kepercayaan
Swadaya Masyarakat (LSM) ke Kejaksaan Negari yang diberikan
dengan melakukan
(Kejari) perbuatanMenariknya,
Pamekasan. melawan hukum, kasusseperti ini korupsi.
membuatKondisi
kewenangan yang
Komisi.Pemberantasan besar di desa mendorong
Korupsi.(KPK) korupsi,
juga juga
turundapat dijelaskan
tangan
dengan adagium1 dariTangkap.Tangan
melakukan.Operasi Lord Acton, yaitu (OTT)“power.tends
karena melibatkan to corrupt,
Bupati but.
Pamekasan, yaitu Ahmad Syafii dan Kajari Pamekasan, yaitu Rudi Indraakan
absolute power corrupt absolutely.” Artinya, kekuasaan.absolut
menimbulkan korupsi
Prasetya. Bupati yang absolut
Pamekasan juga.
berperan Penyerahan
sebagai aktor yang wewenang
menyarankanyang
besarAgus untuk melakukan suap kepada Kajari sebesar Rp 250 pengawasan
kepada kepala desa akibat otonomi desa, tanpa sistem juta agar
yangperkara
baik tersebut
cenderung tidak mendorong
diusut. Dana terjadinya
suap diambilkanpraktik penyalahgunaan
kepala desa dari
wewenang
Dana Desa. (abuse 2016, yang
of power)
Tahun Desa berujung
Dasok hanya padamenerima
tindakan korupsi.
Dana Desa
Kewenangan kepala desa yang besar,
sebesar Rp 650 juta saja. Ini menegaskan bahwa meskitidak disertai dengan penguatan
desa memiliki
hak anggaran
masyarakat sebagai subyek dari pembangunan desa.
yang lebih sedikit dibandingkan dengan kabupaten/kota, tetapi Organisasi
kepemudaan
tetap juga didapatdesamenarik
tidak berjalan karenatertentu
oknum-oknum sebagian untukbesar anak-anak
melakukan
perbuatan
1 Istilah curang,
KBBI: pepatah; sehingga negara mengalami kerugian. Jika ini
peribahasa
dibiarkan maka cita-cita desa yang makmur dan sejahtera tentunya
hanyalah sebuah mimpi saja. Evi Maria, Abdul Halim 83
93
muda bermigrasi ke kota besar. Selain itu, Badan Permusyawaratan
Desa (BPD) yang seharusnya mengawasi kinerja kepala desa pun,
kurang optimal menjalankan perannya tersebut. Kebanyakan BPD tidak
membahas secara serius laporan pertanggungjawaban pemerintah desa.
Pemerintah desa cenderung menganggap laporan pertanggungjawaban
ke Bupati/Walikota lebih penting daripada ke BPD karena akan berimplikasi
pada persetujuan pencairan Dana Desa tahap berikutnya. Tak heran, jika
pemerintah desa lebih banyak meminta rekomendasi dari pemerintah
kabupaten/kota daripada kepada BPD.
Tidak optimalnya peran BPD disebabkan karena tiga alasan. Pertama,
anggota BPD kurang memahami tugas dan kewajibannya. Misalnya
saja, dalam fungsinya sebagai pengawas kepala desa, banyak anggota
BPD yang tidak memahami konsep pengawasan yang sesungguhnya,
sehingga pengawasan hanya sebatas pada pembangunan fisik saja.
Dari sisi komunikasi juga, anggota BPD belum memiliki kemampuan
komunikasi yang mumpuni, sehingga perannya sebagai penyalur aspirasi
masyarakat tidak berjalan secara optimal. Kedua, BPD memiliki anggaran
yang terbatas, sehingga tidak dapat menjalankan peran seperti yang
diamanatkan dalam UU Desa Pasal 55. Ketiga, BPD tidak dilibatkan oleh
pemerintah desa dalam keseluruhan proses pembangunan desa. Kondisi
ini menegaskan bahwa desa belum memiliki pengawasan yang baik,
sehingga tidak mengherankan jika kesempatan untuk melakukan korupsi
menjadi terbuka lebar di sana.
Selain alasan kewenangan kepala desa yang besar dan pengawasan
yang tidak baik, kesempatan untuk melakukan korupsi juga diidentifikasi
muncul karena budaya patrimonial masyarakat desa. Dalam budaya
tersebut, masyarakat cenderung memperlakukan pejabat berdasarkan
hubungan keluarga, hubungan pribadi dan hubungan bapak dan anak
buah. Ikatan pribadi dan loyalitas dengan pimpinan menjadi ciri khas
budaya masyakat desa. Kepala desa dianggap sebagai tokoh panutan
dalam masyarakat, sehingga ada rasa segan dari aparatur desa dan/
atau masyarakat untuk menegur dan/atau melaporkan praktik korupsi
yang dilakukan oleh kepala desa kepada pihak berwajib. Masyarakat lebih
memilih untuk diam dan menganggap praktik korupsi sebagai sesuatu
yang wajar dan masyarakat tidak marah terhadap perilaku menyimpang
yang dilakukan oleh kepala desa. Kondisi ini diidentifikasi membuka
kesempatan korupsi di desa.

3. GOOD PUBLIC GOVERNANCE SEBAGAI STRATEGI


PEMBERANTASAN KORUPSI DANA DESA
Pemberantasan korupsi membutuhkan strategi yang tepat agar dapat
berjalan dengan efektif. Dalam rangka menyusun strategi maka perlu

84 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


diidentifikasi terlebih dahulu penyebab dari korupsi kepala desa. Dari
pembahasan sebelumnya dapat diidentifikasi penyebab maraknya kasus
korupsi kepala desa, yaitu:
1. Implementasi otonomi desa memberikan kewenangan yang besar
bagi kepala daerah untuk menentukan arah pembangunan dan
pemberdayaan desa, namun tidak dilengkapi dengan sistem
pengawasan yang baik, sehingga membuka kesempatan terjadinya
korupsi.
2. Budaya patrimonial masyarakat desa membuka kesempatan terjadi
korupsi. Ikatan pribadi dan loyalitas pada kepala desa membuat
masyarakat enggan untuk menegur dan melaporkan praktik korupsi
yang terjadi di sana.

Atas dasar penyebab korupsi kepala desa tersebut, maka good


public governance diyakini oleh Hofheimer (2006), Lio et al. (2011), dan
Elbahnasawy (2014) sebagai strategi pemberantasan korupsi. Good
public governance adalah aturan perilaku terkait pengelolaan kewenangan
oleh para penyelenggara negara dalam menjalankan tugasnya secara
bertanggungjawab dan akuntabel (KNKG, 2008). Penataan desa perlu
dilakukan agar terwujud penyelenggaraan pemerintah desa yang bersih
dan bebas korupsi.
Strategi perbaikan sistem pengelolaan keuangan perlu dilakukan
dalam rangka menutup celah atau kesempatan melakukan korupsi (Pusat
Edukasi Anti Korupsi, 2019; Maria et al., 2019). Model public governance
untuk pemerintah desa dapat disusun dengan melakukan penguatan
kapasitas BPD. Anggota BPD berhak untuk mendapatkan penguatan
kapasitas untuk menunjang fungsi dan perannya sebagai lembaga
legislatif desa. Pengembangan kapasitas BPD menjadi tanggungjawab
dari pemerintah kabupaten/kota. Regulasi yang mengatur lebih rinci
tentang bentuk penguatan kapasitas juga diperlukan, agar pengembangan
kapasitas BPD dapat berjalan terarah.
Penguatan kapasitas BPD dilakukan dengan cara: pertama,
peningkatan kompetensi anggota BPD dengan menjalankan kegiatan
pendidikan.dan.pelatihan, sosialisasi, pembimbingan teknis, studi.
banding, serta pemberian.penghargaan dari pemerintah daerah kepada.
pimpinan dan anggota BPD yang berprestasi. Kedua, peningkatan
kesadaran.masyarakat desa untuk mendaftar menjadi anggota BPD
sebagai.bentuk partisipasi.masyarakat.terhadap pembangunan di desa
tercinta. Animo.masyarakat menjadi.anggota BPD rendah karena syarat
pendaftaran yang memberatkan dan tunjangan bagi anggota BPD yang
rendah. Meskipun hak dari anggota BPD untuk mendapatkan tunjangan
pelaksanaan tugas dan fungsinya, serta tunjangan lainnya sudah diatur
dalam Peraturan Pemerintah Desa, namun praktiknya hak tersebut belum
atau terkesan sulit direalisasikan. Oleh sebab itu, butuh pengaturan yang

Evi Maria, Abdul Halim 85


lebih tegas terkait prosedur dan mekanisme pemenuhannya, sehingga ada
standar bagi pemerintah kabupaten/kota untuk memenuhi hak anggota
BPD. Ketiga, perbaikan dalam perekrutan angota BPD. Anggota BPD
merupakan perwakilan dari penduduk.desa berdasarkan.wilayah yang
pengisiannya.harus dilakukan secara demokratis.
Tidak hanya penguatan kapasitas, BPD juga perlu penguatan
kelembagaan. Pengorganisasian yang baik diperlukan oleh BPD, sehingga
seluruh anggota BPD dapat bersinergi menjalankan tugas dan perannya
sebagai lembaga legislatif desa. BPD perlu struktur organisasi yang
mengatur tugas dan kewenangan anggota BPD dan juga perlu pengelolaan
memadai layaknya sebuah lembaga. Praktiknya, kebanyakan BPD tidak
didukung oleh staf yang mengelola sekretariat, sehingga BPD seringkali
dipandang sebagai kumpulan individu dan bukan sebuah lembaga. Oleh
sebab itu, kesekertariatan BPD dipandang dapat membantu kinerja BPD
dalam menjalankan segala urusan yang bersifat teknis dan operasional.
Penguatan kapasitas dan kelembagaan BPD diperlukan agar ada
check dan balance pada pengelolaan keuangan desa. Harapannya
tercipta pemerintahan desa yang transparan, .akuntabel, partisipatif, tertib
dan disiplin anggaran, sehingga desa terbebas dari praktik korupsi, kolusi,
dan nepotisme. Pemerintah yang transparan terjadi jika pemerintah desa
memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengakses informasi.
seluas-luasnya.terkait keuangan desa. Sedangkan, pemerintah yang
akuntabel terjadi jika pemerintah desa dapat mempertanggungjawabkan
pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan
yang dipercayakan dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
Pemerintah yang partisipatif, terjadi jika pemerintah menyelenggarakan
pemerintahannya dengan mengikutsertakan kelembagaan desa dan
unsur masyarakat desa. Sedangkan, pemerintah yang tertib dan disiplin
anggaran terjadi jika pemerintah mengelola keuangan desa berdasarkan
aturan atau pedoman yang melandasinya.
Desa Wiladeg, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta adalah contoh
pemerintah desa yang menganggap transparansi dan akuntabilitas
bukanlah barang mewah di desa yang dipimpinnya. Warga desa terbiasa
mendapatkan informasi terkini tentang pembangunan dan kinerja
pemerintah daerah melalui Radio Komunitas Wiladeg. Musyawarah desa
dan laporan pertanggungjawaban kepala desa disiarkan secara langsung
oleh radio ini, sehingga seluruh pendengar radio tahu berapa uang yang
digunakan dan untuk apa saja uang tersebut.
Perbaikan sistem pengelolaan juga dapat dilakukan dengan
menerapkan e-government, yaitu menggunakan teknologi.informasi dan.
komunikasi (TIK) oleh pemerintah agar bisa bekerja lebih efektif, berbagi
informasi, dan memberikan pelayanan publik yang lebih baik (UNDP,
2006). Tujuannya agar publik dapat memberi masukan tentang kebutuhan
desa dan juga ikut serta mengawasi pengelolaan keuangan desa

86 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


sehingga praktik korupsi dapat dihilangkan. E-Government juga berfungsi
untuk meningkatkan akuntabilitas karena aplikasi tersebut berguna bagi
masyarakat untuk melacak keputusan dan tindakan dari pemerintah serta
memberi kebebasan bagi masyarakat untuk mempertanyakan prosedur
yang tidak masuk akal yang diterapkan oleh pemerintah (Lio et al., 2011).
Pemerintah Kabupaten Pemalang memiliki aplikasi e-voting yang
sukses digunakan ketika Kabupaten Pemalang melakukan pemilihan
kepala desa tahun 2018. Tidak hanya itu, Pemerintah Kabupaten.
Pemalang juga terus melakukan inovasi.dalam kegiatan pengelolaan desa
dengan membuat e-village, yaitu website desa. Informasi terkini tentang
pembangunan dan kinerja desa dapat di akses masyarakat melalui
e-village. Harapannya penerapan e-village dapat membuat pengelolaan
keuangan desa menjadi lebih.transparan, akuntabel, .partisipatif, tertib.
dan disiplin, sehingga dapat mengurangi praktik korupsi di desa.

4. PENUTUP
Pemberlakuan UU No. 6/2014 tentang Desa memberikan kewenangan
secara otonom kepada pemerintah desa untuk mengelola dan
mengembangkan desanya. Harapannya, masyarakat desa dapat lebih
sejahtera dengan berbagai program.pemberdayaan masyarakat.dan.
pembangunan desa. Terbitnya UU Desa telah mereposisi kewenangan.
pembangunan desa.dari.pemerintah.daerah ke pemerintah desa.
Konsekuensinya, pemerintah pusat memberikan Dana Desa untuk
membiayai kegiatan pembangunan di desa. Namun praktiknya, korupsi
menjadi masalah sistemik dan terstruktur di desa karena korupsi terjadi
hampir di seluruh tahap pengelolaan keuangan desa.
Aktor dominan korupsi Dana Desa adalah kepala desa. Penyebabnya
ada dua. Pertama, implementasi otonomi desa memberikan kewenangan
yang besar bagi kepala daerah untuk menentukan arah pembangunan dan
pemberdayaan desa, namun tidak dilengkapi dengan sistem pengawasan
yang baik, sehingga membuka kesempatan terjadinya korupsi. Kedua,
budaya patrimonial masyarakat desa membuka kesempatan terjadi
korupsi. Pemberantasan korupsi bukanlah pekerjaan mudah, sehinga
butuh strategi yang tepat untuk memberantasnya. Strategi perbaikan
sistem pengelolaan keuangan perlu dilakukan dalam rangka menutup
celah atau kesempatan melakukan korupsi. Model good public governance
untuk pemerintah desa dapat disusun dengan melakukan penguatan
kapasitas dan kelembagaan BPD. Good public governance juga dapat
dilakukan dengan menerapkan e-government di desa. Harapannya, agar
tercipta pemerintahan desa yang.transparan, akuntabel, .partisipatif, tertib
dan.disiplin anggaran.

Evi Maria, Abdul Halim 87


5. DAFTAR PUSTAKA
Cressey, D. R. (1950). Criminal Violation of Financial Trust. Indiana
University.

Elbahnasawy, N. G. (2014). E-Government, Internet Adoption, and


Corruption: An Empirical Investigation. World Development, 57,
114–126. https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2013.12.005.

Hofheimer, K. L. (2006). The Good Governance Agenda of International


Development Institutions (Old Dominion University). https://doi.
org/10.25777/67he-3892.

Indonesian Corruption Watch. (2019). Dua belas modus korupsi dana


desa versi ICW. Tersedia di https://www.dejurnal.com/2019/11/
dua-belas-modus-korupsi-dana-desa-versi-icw/

Indonesian Corruption Watch. (2020). Dana Desa Dominasi Kasus Korupsi


Sepanjang 2019. Tersedia di https://www.medcom.id/nasional/
hukum/3NOGr7zN-dana-desa-dominasi-kasus-korupsi-
sepanjang-2019#:~:text=%22Dari%20kasus%20korupsi%20
itu%20nilai,Selatan%2C%20Selasa%2018%20Februari%20
2020

Kementerian Desa (2020). Capaian Dana Desa 2019. Tersedia di https://


sipede.ppmd.kemendesa.go.id/

Khan, M. H. (2006). Determinants of Corruption in Developing Countries:


The Limits of Conventional Economic Analysis. In International
Handbook on the Economics of Corruption (pp. 219–244).
https://doi.org/10.4337/9781847203106.00015.

Komite Nasional Kebijakan Governance. (2008). Pedoman Umum Good


Public Governance Indonesia. In Komite Nasional Kebijakan
Governance. https://doi.org/10.1021/ic035198d.

Lio, M. C., Liu, M. C., & Ou, Y. P. (2011). Can the Internet Reduce
Corruption? A Cross-Country Study Based on Dynamic Panel
Data Models. Government Information Quarterly, 28(1), 47–53.
https://doi.org/10.1016/j.giq.2010.01.005.

Maria, Evi, Halim, A., Suwardi, E., & Miharjo, S. (2019). Desentralisasi
Fiskal dan Probabilitas terjadinya Korupsi: Sebuah Bukti Empiris
dari Indonesia. Jurnal Ekonomi Dan Bisnis, 22(1), 1–22. https://

88 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


doi.org/10.24914/jeb.v22i1.2036.
Nguyen, T. V, Bach, T. N., Le, T., & Le, C. Q. (2017). Local Governance,
Corruption, and Public Service Quality: Evidence from a
National Survey in Vietnam. International Journal of Public
Sector Management, 30(2), 137-153. https://doi.org/10.1108/
IJPSM-08-2016-0128.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 110. Badan Permusyawaratan


Daerah (2016). Indonesia.
Pusat Edukasi Anti Korupsi. (2019). 3 Strategi Pemberantasan Korupsi.
Tersedia di Komisi Pemberantasan Korupsi w e b s i t e :
https://aclc.kpk.go.id/materi/berpikir-kritis-terhadap-korupsi/
infografis/3- strategi-pemberantasan-korupsi. Akses tanggal 2
January 2020.

Rose-Ackerman, S. (1978). Corruption: A Study in Political Economy. New


York: Academic Press.
Sudibyo, A., dan Linda. (2014). Identifikasi Potensi Korupsi pada Keuangan
Desa. Jakarta: Humas KPK Press.

Undang-Undang Nomor 31. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi


(1999). Indonesia.

Undang-Undang Nomor 20. Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun


1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (2001).
Indonesia

Undang-Undang Nomor 6. Desa (2014). Indonesia.

United Nations Development Program. (2006). Fighting corruption with e-


government applications. APDIP e-note 8.

Evi Maria, Abdul Halim 89


90 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI
QUO VADIS AKUNTABILITAS
PENGELOLAAN DANA DESA BAB

VIII
Fitria Husnatarina
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Palangka Raya
fitria.husnatarina@feb.upr.ac.id

1. PENDAHULUAN
Amanat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sebagai
landasan aktivitas dekonsentrasi dan tugas pembantuan kepada
kewenangan daerah. Tujuannya adalah untuk memberikan sepenuhnya
tanggung jawab kepada daerah terkait pengelolaan keuangan daerah.
Dengan pijakan legal tersebut, diharapkan bahwa pengelolaan keuangan
pemerintah daerah maupun pusat lebih efisien, efektif dan ekonomis.  
Persoalan yang menjadi prioritas pemerintah pada saat ini terletak
pada strategi pemerataan pembangunan di daerah yang diterjemahkan
melalui program pembenahan pembangunan desa. Pertanyaannya adalah,
kenapa harus desa? Permasalahan ini dapat dikaitkan dengan pemikiran
tentang bagaimana desa menjadi analogi sebuah ketertinggalan dalam
berbagai aspek kehidupan dibandingkan dengan kondisi kota. Terkait
fenomena ini, selanjutnya kita dapat mengasumsikan mengapa ledakan
urbanisasi menjadi permasalahan besar bagi perkotaan, sehingga menjadi
hal penting melakukan percepatan pembangunan desa sebagai salah
satu cara untuk memberikan keseimbangan antara pembangunan daerah
pedesaan dan perkotaan di seluruh wilayah Indonesia.
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 mengungkapkan bahwa
dana desa adalah dana yang ditransfer kepada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa (APB Desa) melalui Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Kabupaten/Kota yang sumbernya berasal dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara yang diperuntukkan bagi pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan
kemasyarakatan, serta pemberdayaan masyarakat desa.
Fenomena pengucuran dana desa dalam jumlah yang tidak sedikit
bagi ukuran desa, menjadi perhatian besar, hal ini disebabkan karena
dalam aktivitas pengelolaannya, maraknya kasus hukum menjadi fakta
yang tidak bisa dilepaskan dari rangkaian eksekusi dana desa di berbagai
daerah. Lebih lanjut, kondisi ini tidak menunjukkan bahwa adanya proses
perbaikan dalam tahapan demi tahapan program nasional ini, walaupun
sudah dilaksanakan dalam beberapa tahun. Pertanyaannya adalah, apa
yang salah dalam program ini, dan bagaimana meraih pembangunan

Fitria Husnatarina 91
desa sebagaimana yang diharapkan dengan menjaga agar kasus hukum
terkait pengelolaannya juga semakin minim. Jawaban dari kondisi ini
ada pada titik dimana dan ke arah mana akuntabilitas pengelolaan dana
desa itu dibawa. Mengapa parameternya ada pada akuntabilitas?, karena
akuntabilitas pengelolaan dana desa adalah bentuk pertanggungjawaban
aktivitas maupun keuangan dalam proses pengelolaan dana desa.

2. AKUNTABILITAS PENGELOLAAN DANA DESA


Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, seluruh perhatian
tertuju kepada desa. Organisasi-organisasi sosial, akademisi, politikus,
pengamat sosial maupun kemasyarakatan serta tokoh-tokoh masyarakat
menempatkan perhatiannya kepada aktivitas pembangunan desa.
Perhatian tersebut tidak bisa dilepaskan dari tercetusnya Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, menjelaskan tentang stimulus
pembangunan desa dengan pengucuran dana desa. Perhatian semua
unsur kemasyarakatan maupun lembaga terhadap desa, disebabkan
jumlah pengucuran dana desa yang terbilang cukup besar.
Adanya pengucuran dana desa yang cukup besar jumlahnya
untuk ukuran aktivitas desa, tidak serta merta menunjukkan bahwa
pemerintah berdiri sendiri dalam upaya memajukan desa. Pemerintah
juga membutuhkan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan, agar
terwujudnya perbaikan serta kemajuan desa melalui penyaluran dana
desa tersebut. Sinergisitas seluruh unsur kemasyarakatan serta regulasi
yang jelas dan juga pengelolaan yang mengedepankan akuntabilitas
dan transparansi masih menjadi tantangan implementasi pengelolaan
dana desa. Kapasitas kepala desa beserta perangkat desa lainnya
yang memahami dan mengerti tentang pengelolaan keuangan desa
serta regulasi tentang desa, menjadi faktor penting dalam mendukung
pengelolaan keuangan desa yang baik.
Aparatur desa dalam aktivitasnya tidak hanya melakukan pengelolaan
terhadap dana desa saja, Alokasi Dana Desa (ADD), bagi hasil pajak dan
retribusi daerah serta bantuan keuangan provinsi, dan pendapatan asli
desa (PADes) menjadi bagian dari pengelolaan keuangan pemerintah
desa. APBDes secara regulatif menjadi dokumentasi dari semua item
keuangan desa yang dalam aktivitas pengelolaannya selaras dengan
berbagai petunjuk perundang-undangan yang berlaku, dalam artian
bahwa pemerintah desa tidak bisa dengan sembarangan melakukan
aktivitas pengelolaan keuangan desa. Menurut Permendagri Nomor 113
Tahun 2014, pasal 1 ayat 6, perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan,
pelaporan, dan pertanggungjawaban keuangan desa merupakan
keseluruhan aktivitas pengelolaan keuangan desa. Perencanaan menjadi
langkah penentu awal yang menjadi syarat dasar dalam pengelolaan

92 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


keuangan desa, sehingga dalam hal ini aparatur desa wajib menyediakan
dokumen perencanaan secara detail.
Pengelolaan Keuangan Desa sebagaimana tertuang dalam
Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 tentang serta Pedoman
Pembangunan Desa yang tertuang dalam Permendagri Nomor 114 Tahun
2014 mensyaratkan 3 (tiga) jenis dokumen perencanaan yang harus
disediakan oleh pemerintah desa. Dokumen tersebut adalah APBDes,
RKPDes dan RPJMDes. Pengelolaan keuangan desa tidak dibenarkan
untuk dilakukan tanpa adanya ketiga dokumen ini.
Fenomena yang terjadi dalam akuntabilitas pengelolaan keuangan
desa secara khusus terkait pengelolaan dana desa banyak ditemukan
kendala yang menjadi hambatan proses pembagunan desa bahkan
sampai berujung kepada munculnya banyak tuntutan pidana terhadap
aparatur desa. Beberapa masalah pengelolaan keuangan desa secara
umum adalah:

2.1 Keterbatasan Regulasi


Aturan yang berfokus penguatan regulasi pengelolaan keuangan desa
sangat terbatas sehingga keadaan ini tidak cukup membantu aparatur desa
dalam melaksanakan tugas terkait mempertanggungjawabkan keuangan
desa yang dikelola. Kondisi ini ditunjukkan dengan munculnya kesulitan
dan keterlambatan penyusunan perencanaan kegiatan dan keuangan
desa oleh aparatur desa. Peraturan daerah maupun peraturan bupati yang
harusnya merupakan turunan dari peraturan diatasnya sama sekali belum
menjadi hal yang dengan segera ditindaklanjuti. Fenomena ini ditunjukkan
dengan tidak adanya peraturan bupati terkait berbagai hal teknis dalam
pengelolaan dana desa dan atribut lainnya yang memandu detailnya
penggunaan dana desa dalam segala aspek aktivitas desa. Ketiadaan
turunan regulasi-regulasi ini menjadikan kepala desa serta perangkatnya
menjadi kesulitan untuk menterjemahkan pengelolaan keuangan desa
secara optimal. Regulasi yang ada saat ini semuanya masih bersifat
abstrak, sulit untuk diterjemahkan kedalam aktivitas-aktivitas praktis
karena tidak ada regulasi yang mengatur hal-hal detail dalam pengelolaan
keuangan desa ini.

2.2 Keterbatasan Anggaran untuk Insentif


Keterbatasan anggaran yang mendukung kinerja pelaksana teknis
pengelolaan keuangan desa (PTPKD), tidak adanya untuk penyusunan
desain dan rancangan anggaran biaya (RAB) serta insentif lainnya,
termasuk TPK Desa, menjadi kendala dalam pengelolaan dana desa yang
akuntabel. Kontribusi PTPKD dan TPK Desa menjadi sangat penting dalam
suksesnya pengelolaan keuangan desa. Permasalahan akan muncul bagi
pemerintah desa itu sendiri jika pemerintah desa kurang menghargai

Fitria Husnatarina 93
kontribusi mereka, karena motivasi untuk melaksanakan aktivitas yang
seharusnya penting bagi pengelolaan keuangan desa menjadi terkendala
atau diabaikan.

2.3 Keterbatasan Kapasitas Sumber Daya Aparatur Desa


Kepala desa beserta aparatur desa lainnya tidak hanya mengandalkan
kepada kekuasaan mereka saja dalam pengelolaan keuangan desa,
melainkan perlu melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam desa.
Sebuah kebutuhan penting bagi desa atas ketersediaan orang-orang yang
memiliki kemampuan dalam menyusun APBDes, RKPDes dan RPJMDes.
Sulit untuk dipungkiri bahwa fenomena yang terjadi selama ini, dokumen
yang disusun oleh aparatur desa disusun dengan seadanya. Pengabaian
terhadap kaidah akademis dan tata cara yang sesuai regulasi menjadi
hal yang biasa dilakukan dengan alasan bahwa terlalu repot dan tidak
sederhananya kaidah-kaidah tersebut. Hal ini memicu ditemukannya
administrasi pelaporan dan pertangungjawaban belum dikerjakan seperti
LPPD dan LKPJ, yang berujung pada tertundanya pencairan dana desa.

2.4 Keterbatasan Pendampingan


Temuan lapangan dalam pengelolaan dana desa, bahwa munculnya kasus
terkait hukum juga disebabkan karena unsur ketidaktahuan aparatur desa
terkait petunjuk teknis yang krusial dalam proses pengelolaan, dalam hal
ini aparatur desa banyak didapati tidak cukup mampu memahami hal-hal
teknis yang nyatanya cukup banyak dan juga berubah dalam waktu yang
sangat cepat, sehingga minimnya pendampingan dari lembaga-lembaga
terkait, unsur perguruan tinggi dan lembaga sosial kemasyarakatan
lainnya disinyalir menjadi penyebab kurangnya kapasitas aparatur desa.

2.5 Keterbatasan Pengawasan


Kurangnya pengawasan dalam pengelolaan keuangan desa menjadi
permasalahan tersendiri, hal ini ditunjukkan dengan rendahnya partisipasi
masyarakat desa terhadap pengelolaan keuangan desa. Pengawasan
hanya berfokus pada peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

2.6 Keterbatasan Penggunaan Teknologi Informasi


Proses pencatatan kegiatan maupun laporan keuangan desa yang masih
bersifat manual, memungkinkan munculnya peluang penyelewengan oleh
aparatur desa. Proses pencatatan manual membuka peluang subjektifitas
aparatur desa dalam proses pelaporan keuangan desa.

94 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


2.7 Keterbatasan Penguatan Nilai-nilai Kepemimpinan Desa
Banyaknya kasus penyelewengan dalam pengelolaan dana desa
seringkali dikaitkan dengan unsur personil aparatur desa yang sangat
minim dibekali dengan nilai-nilai kepemimpinan dan tanggung jawab.
Proses penerimaan dana desa yang tentunya dalam jumlah yang besar
untuk ukuran masyarakat desa menjadi celah besar terbukanya keinginan
pengguna dana tersebut untuk memenuhi kebutuhan pribadi yang
sebelumnya mungkin saja tidak pernah terpenuhi. Dalam hal ini sangat
diperlukan penguatan nilai-nilai kepemimpinan dan tanggung jawab bagi
aparatur desa, bahwa sasaran dari kesemuanya itu adalah kesejahteraan
bersama masyarakat desa.

3. AKUNTABILITAS PENGELOLAAN KEUANGAN DESA


Akuntabilitas pengelolaan keuangan desa tidak akan menjadi sebuah
pertanyaan besar ketika semua regulasi yang mengatur aktivitas
pengelolaan keuangan desa, secara khusus pengelolaan dana desa,
diturunkan secara sedetail dan spesifik melalui peraturan turunan, seperti
peraturan gubernur, peraturan bupati, peraturan desa serta petunjuk
teknis lainnya. Sepanjang pemerintah mampu mengakomodasi perangkat
peraturan ini dengan semaksimal mungkin, maka keseluruhan aktivitas
pengelolaan keuangan desa akan akurat serta tepat sasaran.
Disamping adanya regulasi terkait akuntabilitas pengelolaan
keuangan desa, dokumen penting yang harus dihasilkan oleh aparatur
desa diantaranya dokumen RPJMDes, RKPDes dan APBDes.
Kesemua dokumen ini memerlukan legalisasi melalui peraturan desa,
agar keabsahan dokumen tersebut dapat dijamin dan digunakan bagi
kepentingan masyarakat. Dalam hal ini pemerintahan desa dan Badan
Pengawas Desa (BPD) serta tim penyusun dokumen perlu membangun
sinergisitas yang baik, dengan harapan tidak munculnya konflik antar
kelembagaan dalam lingkungan pemerintahan desa. Di sisi lainnya
bimbingan teknis dan bentuk penguatan lainnya bagi tim PTPKD dan TPK
harus sering dilakukan. Hal penting lainnya adalah bentuk intervensi positif
dalam bentuk pendampingan profesional, yang membantu aparatur desa
untuk proses desain anggaran serta memberikan telaah dan masukan
yang membangun dalam mencapai akuntabilitas pengelolaan keuangan
desa yang baik.
Keterlibatan lembaga-lembaga pemerintah daerah seperti
inspektorat daerah, badan keuangan daerah serta badan pemberdayaan
masyarakat desa dalam program pengawasan pembangunan desa yang
dikaitkan dengan penggunaan dana desa menjadi sebuah strategi yang
dilakukan pemerintah dalam kaitannya untuk menjaga agar akuntabilitas
pengelolaan dana desa tercapai. Optimalisasi pengawasan pengelolaan

Fitria Husnatarina 95
keuangan desa dilakukan dengan membentuk wadah koordinasi desa
yang diwujudkan melalui rapat intensif untuk menyepakati perlunya
pengawasan agar penyalahgunaan dana desa tidak terjadi. Dana desa
diupayakan pemanfaatannya untuk membangun sarana dan prasarana
fisik secara optimal untuk peningkatan perekonomian masyarakat desa,
sehingga pengawasan terhadap penyaluran dan pengelolaannya menjadi
hal yang sangat penting untuk menghindari adanya penyalahgunaan dana
tersebut.
Sementara itu, persiapan penyaluran dana desa masih terkendala,
disebabkan ketidaksiapan aparatur desa yang berpotensi terhambatnya
penyaluran dana desa yang berujung pada terkendalanya penyerapan
dana desa tersebut. Masih sangat banyak desa yang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) nya belum diserahkan kepada
Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, yang mengakibatkan penyaluran
dana desa menjadi terhambat, sehingga program pembangunan desa
tidak dapat dilaksanakan secara optimal.
Keterlambatan penyerahan APBDes, ketidaklancaran aplikasi sistem
keuangan desa, menyebabkan penyusunan laporan keuangan desa
terkendala proses penginputan data. Selanjutnya kurang maksimalnya
penyusunan RAPBDes dan laporan penggunaan dana desa karena proses
sosialisasi mengenai hal tersebut, sehingga pemahaman aparatur desa
yang kurang akan menjadi penyebab kesalahan dalam proses penyusunan
anggaran pembangunan desa serta pembuatan laporan penggunaan
dana desa. Permasalahan lainnya adalah cukup banyaknya desa yang
tidak bisa menyelesaikan APBDes dan menyerahkannya tepat waktu,
disebabkan belum diterimanya petunjuk teknis terbaru mengenai dana
desa. Permasalahan minimnya pemahaman aparatur desa, keterlambatan
dan proses penyerahan APBDes yang selalu berulang juga menjadi celah
dipertanyakannya akuntabilitas pengelolaan dana desa, karena target
yang diharapkan tentunya tidak akan tercapai.
Kekhawatiran masyarakat desa terkait akan munculnya kasus
penyelewengan dana desa masih terus meningkat, walaupun di sisi
lainnya pemerintah meyakinkan bahwa segenap organ pendukung yang
mengawal akuntabilitas pengelolaan dana desa sudah dioptimalkan oleh
pemerintah. Namun fakta di lapangan yang menjadi tolak ukur masyarakat
adalah banyaknya kepala daerah yang terlibat kasus korupsi, dan juga
kemungkinan besar pola korupsi seperti ini juga akan dialami oleh desa
melalui penggunaan dana desa, untuk memperkaya diri sendiri atau
sekelompok orang tertentu di desa. Dalam hal ini masyarakat desa memiliki
harapan besar bahwa Badan Pengawas Desa (BPD) dapat menjalankan
fungsinya dengan baik untuk mengawasi aktivitas pengelolaan dana desa.
Surat Keputusan Bersama (SKB) Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi memberikan kelonggaran terkait
persyaratan pencairan dana desa berupa pemangkasan syarat administrasi

96 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


dan birokrasi pencairan dana desa. Pemangkasan persyaratan administarsi
dan jalur birokrasi menjadi sebuah strategi yang tepat dalam peningkatan
penyerapan dana desa. Tetapi akan menjadi sebuah integrasi strategi yang
lebih baik lagi jika dalam proses pengelolaan dan pelaporan penggunaan
dana desa, keterlibatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dioptimalkan untuk meminimalisir
penyalahgunaan penggunaan dana desa. Regulasi soal dana desa masih
sering menjadi problem pemerintahan desa (pemdes). Pemerintah pusat
dinilai tidak melihat kondisi desa, dan desa kurang diberi kewenangan.
Berbagai permasalahan dana desa agar regulasi yang problematis dari
peraturan pemerintah (PP), peraturan menteri, hingga peraturan bupati
harus dikonsolidasi dengan cepat. Jangan sampai regulasi bawah
mendistorsi regulasi di atasnya.
Terdapat peluang sekaligus tantangan dalam pemanfaatan dana
desa, yaitu strategi pendirian BUM Desa dan penguatan lembaga desa
serta keseimbangan antara pembangunan infrastruktur dan manusia.
Selain itu, kesulitan dalam membuat laporan pengelolaan dana desa
menjadi tantangan berikutnya. Kompleknya peraturan penggunaan
keuangan desa secara khusus terkait dana desa dianggap sebagai
penyebab munculnya banyak sekali persoalan terkait hukum. Minimnya
pemahaman aparatur desa yang disebabkan minimnya literasi hukum
terkait praktik akuntabilitas pengelolaan keuangan desa, serta pengabaian
aspek legalitas yang dilakukan aparatur desa secara sengaja juga
menjadi pencetus timbulnya permasalahan terkait hukum. Permasalahan
ini menjadi semacam benang kusut yang sulit untuk diuraikan jika tidak
adanya intervensi dengan berbagai macam cara termasuk didalamnya
adalah optimalisasi kemampuan aparatur desa, pembentukan wahana
komunikasi desa, penguatan pengawasan dan pendampingan desa serta
peningkatan kesejahteraan aparatur desa. Tantangan pengelolaan dana
desa harus segera dimediasi dengan menjalankan evaluasi menyeluruh
melalui pendekatan yang holistik sebagai keharusan dalam pengelolaan
dana desa untuk pencegahan tindak pidana korupsi yang mungkin saja
menjalar ke pelosok-pelosok desa.
Pendampingan dan pembinaan sangat diperlukan dalam mengawal
pengelolaan dana desa agar capaian yang ditargetkan lebih optimal. Fokus
perhatian utama saat ini dalam optimalisasi dana desa adalah peningkatan
kapasitas aparatur desa dalam mengelola dana desa berbasis IT. Harapan
dari aktivitas pengelolaan dana desa berbasis teknologi informasi ini
adalah besarnya potensi untuk menekan munculnya korupsi, tanpa
mengesampingkan proses pengawasan yang juga harus optimal karena
dana desa diserap sampai pada level masyarakat yang paling bawah.
Penggunaan dana desa umumnya untuk implementasi pemerintahan
desa, pembangunan desa, pengembangan masyarakat dan pemberdayaan
masyarakat desa. Prioritas utama dari keseluruhan aktivitas ini

Fitria Husnatarina 97
adalah kegiatan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Jika
pemberdayaan dipahami sebagai upaya peningkatan pembangunan,
maka aktivitas pemberdayaan masyarakat akan lebih bervariasi dan
dapat melingkupi berbagai kegiatan yang telah dimasukkan dalam bidang
pembangunan. Dana desa tidak hanya akan dipahami sebagai bantuan/
hibah dari pemerintah pusat tetapi juga sebagai stimulan pembangunan
yang menuntut partisipasi dan swadaya masyarakat.
Sebagai stimulan pembangunan yang didasarkan peraturan
perundang-undangan terkait sumber dan pengelolaan dana tersebut, desa
memiliki kewajiban melaksanakan proses akuntabilitas dan transparansi
publik, dalam hal ini adalah masyarakat desa dengan penyelenggaran
akuntansi desa. Dikaitkan dengan aktivitas ini, aparatur desa wajib
menggunakan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). SAP yang digunakan
yang selaras dengan kebijakan akuntansi desa yang tertuang dalam
Permendagri nomor 64 tahun 2013, sebagai perwujudan akuntabilitas dan
transparasi pengelolaan keuangan kepada pihak internal pemerintah, dan
juga kepada masyarakat secara luas.
Asas akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan desa yang
didalamnya juga tertuang tentang akuntabilitas pengelolaan keuangan desa
berangkat dari landasan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang
Desa, yang mengungkapkan bahwa pelaksanaan hak dan kewajiban desa
baik itu berupa pengelolaan keuangan dan aset desa wajib dikelola dengan
transparan dan bertangungjawab. Berlakunya UU No. 6 Tahun 2014
sebagai upaya pemerintah untuk memberikan pengakuan mengenai status
dan kedudukan desa dalam sistem ketatanegaraan nasional. Regulasi ini
memberikan wewenang pada desa untuk memprakarsai pembangunan
dan mengeksplorasi potensi desa dengan mendorong pemerintahan
desa yang professional, efektif, efisien, transparan, dan akuntabel dalam
melaksanakan kegiatan desa. Di samping itu, peraturan ini juga bertujuan
untuk meningkatkan pelayanan Pemerintah Desa terhadap masyarakat
dan menjadikan desa sebagai pusat pembangunan. Undang-Undang No.
6 Tahun 2014 membawa konsekuensi mengenai perimbangan dana yang
diberikan kepada desa sebagai modal untuk menyelenggarakan kegiatan
pemerintahan termasuk tentang pengelolaan keuangan desa.
Revisi Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 20 Tahun
2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa yang sebelumnya diatur dalam
Permendagri No. 113 Tahun 2014, mengacu kepada perubahan asas
pengelolaan keuangan desa, struktur pemegang kekuasaan pengelola
keuangan desa, tugas perbendaharaan desa, dan klasifikasi belanja desa.
Permasalahan Dana Desa masih banyak terjadi di lapangan misalnya
ketidakjelasan aturan yang menjadi acuan dalam menyusun laporan
keuangan sehingga menyebabkan tugas dari pengelola keuangan desa
menjadi lebih kompleks.

98 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


Penerapan gagasan tentang penyusunan Standar Akuntansi Dana
Desa memerlukan sinergitas dari berbagai pemangku kepentingan antara
lain Komite Standar Akuntansi Pemerintahan (KSAP), Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perguruan
Tinggi, dan peran serta masyarakat secara aktif. KSAP merupakan
komite yang bertugas untuk menyusun draft Peraturan Pemerintah
tentang Standar Akuntansi Pemerintah sangat melakukan identifikasi
permasalahan yang dihadapi desa. Proses identifikasi ini diharapkan
menjadi landasan agar akuntabilitas pengelolaan keuangan desa semakin
berdampak kepada pembangunan desa secara umum dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat desa secara khusus.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga negara
yang melakukan investigasi pada pemanfaatan dan pengelolaan dana
pemerintah. Proses audit yang dilakukan BPK terhadap Laporan Keuangan
Desa bertujuan untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, transparansi, dan
akuntabilitas pemanfaatan Dana Desa sehingga alokasi Dana Desa dapat
dipertanggungjawabkan dengan baik. Pemerintah sekaligus didalamnya
pemerintah desa merupakan sasaran dari penyusunan Standar Akuntansi
Dana Desa. Pemerintah merupakan regulator  yang mengeluarkan
kebijakan mengenai dana desa dapat mengindentifikasi mengenai tujuan
pembuatan kebijakan dana desa. Sementara itu, pemerintah desa dapat
mengungkapkan apa yang menjadi permasalahan utama dalam proses
akuntansi dana desa sehingga masalah-masalah tersebut menjadi
pertimbangan utama dalam proses penyusunan standar. Di sisi lain, KSAP
juga membutuhkan pertimbangan dari akademisi mengenai penyusunan
Standar Akuntansi Dana Desa. Hasil riset yang dilakukan oleh para
akademisi akan semakin memperkuat kerangka penyusunan standar
akuntansi yang lebih baik dan mudah untuk diterapkan di desa mengingat
keterbatasan sumber daya manusia yang dimiliki oleh desa.
Proses penyusunan Standar Akuntansi Dana Desa oleh KSAP sama
halnya dengan penyusunan standar akuntansi yang lain, dimulai dari
proses identifikasi permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya,
melakukan riset terbatas, proses penulisan standar, pembahasan standar,
penyampaian draft awal sampai pada proses finalisasi menjadi Standar
Akuntansi Dana Desa. Setelah Standar Akuntansi Dana Desa disahkan,
langkah selanjutnya adalah melakukan edukasi standar ini pada desa-desa
yang ada di Indonesia. Untuk mengefektifkan proses sosialisasi, sebaiknya
proses sosialisasi ini dilaksanakan secara kolektif di tingkat kecamatan
serta adanya pendampingan dan pemantauan pada implementasi Standar
Akuntansi Dana Desa setidaknya pada tahun pertama implementasi. Dalam
proses implementasi ini akan diadakan evaluasi sebagai timbal balik atas
penyusunan standar. Evaluasi dilakukan oleh KSAP untuk mencatat hal-
hal yang belum sempurna dalam standar sehingga standar dapat menjadi
pedoman berbasis prinsip yang sempurna bagi pemerintah desa.

Fitria Husnatarina 99
Implementasi Standar Akuntansi Dana Desa akan menghasilkan
Laporan Keuangan Desa yang terstruktur dan jelas, sehingga pemangku
kepentingan dapat mengambil keputusan menggunakan informasi
keuangan yang tersaji dalam laporan keuangan. Implementasi standar
juga dapat meningkatkan kinerja keuangan desa. Hal ini dilakukan untuk
menarik minat investor agar bersedia menanamkan dananya pada Badan
Usaha Milik Desa (BUMDes). Dengan demikian, kesejahteraan masyarakat
semakin meningkat dan pembangunan dapat berjalan sebagaimana
diharapkan.
Masyarakat juga sangat berperan dalam implementasi Standar
Akuntansi Dana Desa. Agar pengelolaan dana desa semakin akuntabel,
pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat desa, camat, Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) dan pemangku kepentingan desa lainnya
sangat diperlukan. Sanksi kepada pihak-pihak yang tidak mematuhi
ketentuan sebagaimana yang telah diterapkan oleh Standar Akuntansi
Dana Desa dapat diberikan dengan harapan meminimalisasi terjadinya
pelanggaran dalam pengelolaan Dana Desa.  
Sebagaimana instansi pemerintah yang lain, keuangan desa juga
menjadi sasaran investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pada
proses audit ini, BPK akan menyelidiki bagaimana pemanfaatan dan
pengelolaan dana desa yang dilakukan oleh desa yang bersangkutan
melalui catatan akuntansi dan laporan keuangan yang dipublikasikan
oleh desa. Pada akhirnya, BPK akan mengeluarkan opini audit yang
dapat berupa Wajar Tanpa Pengecualian, Wajar Dengan Pengecualian,
Wajar Tanpa Pengecualian Dengan Paragraf Penjelasan, Tidak Wajar,
dan Tidak Menyatakan Pendapat.  Opini ini akan mencerminkan apakah
setiap proses dalam tata kelola keuangan desa dilaporkan dengan baik
dalam pelaporan kegiatan pemerintah desa. Dalam tahap ini, aspek
transparansi dan akuntabilitas  pemerintahan desa menjadi hal yang
sangat dipertimbangkan.
Mengingat pentingnya Standar Akuntansi Dana Desa dalam rangka
menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, penyusunan Standar
Akuntansi Dana Desa sebaiknya dijadikan prioritas utama sebagai
tindak lanjut atas kebijakan dana desa yang diputuskan oleh pemerintah.
Keterlibatan praktisi, akademisi, dan lembaga terkait lainnya juga sangat
diperlukan dalam penyusunan hingga tahapan implementasi standar.
Dengan adanya Standar Akuntansi Dana Desa, pengelolaan dana desa
akan semakin akuntabel dan transparan sehingga dana desa dapat
dipergunakan sebagaimana mestinya untuk menciptakan lapangan kerja,
mengatasi kesenjangan, dan mengentaskan kemiskinan yang pada
akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.  Standar
akuntansi  memang tidak dapat memberikan jaminan penggunaan dana
desa tidak dikorupsi. Namun setidaknya, dengan sistem komputerisasi
standar yang ada, akan membuat masyarakat desa dapat ikut mengawasi

100 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


penggunaan dana desa. Kebiasaan dilakukannya penggelembungan
anggaran dan proyek-proyek fiktif desa akan semakin sulit dilakukan unsur
aparatur desa apabila masyarakat berperan serta aktif dengan didukung
oleh standarisasi yang berbasis pada penggunaan teknologi informasi.
Perbaikan standarisasi laporan keuangan penggunaan dana desa
dianggap penting untuk menutup celah korupsi. Setelah standar akuntansi
dana desa rampung, selanjutnya dapat disusun sistem akuntansinya
sesuai dengan standar yang telah ada. Untuk sistem akuntansi ini, payung
hukumnya adalah peraturan Menteri Dalam Negeri. Sistem akuntansi
ini juga akan disesuaikan dengan Sistem Keuangan Desa yang telah
ada milik Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Penyesuaian juga harus mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 50 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa. Melalui
perbaikan sistem akuntansi ini diharapkan akan ada sistem akuntansi milik
negara yang tunggal, bukan milik instansi per instansi. Sistem ini akan
diwajibkan penggunaannya di desa-desa dalam hal pelaporan realisasi
penggunaan dana desa. Dengan standar dan sistem akuntansi dana desa
itu, diharapkan dapat meminimalisasi potensi korupsi dalam penggunaan
dana desa. Masyarakat juga bisa turut mengawasi penggunaannya
karena laporan keuangan juga harus disampaikan ke masyarakat sekitar.
Membuat sistem akuntansi yang sederhana agar tidak menyulitkan bagi
aparatur desa. Setidaknya, sistem ini dapat memotret jumlah dana yang
diperoleh dan realisasi penggunaannya. Penerimaan dana desa kan
bukan hanya dari pemerintah pusat, ada tujuh sumber penerimaan dana,
ini kan harus dicatat semuanya, nah pencatatan itu akan dilakukan dalam
sistem akuntansi ini.
Langkah meningkatkan akuntabilitas dalam pengelolaan dana desa
secara spesifik diantaranya dilakukan dengan:
• Penguatan peraturan daerah serta peraturan desa tentang prosedur
dan sistem pengelolaan keuangan. Sistem dan prosedur yang baik
menjadi kunci utama pengelolaan keuangan daerah yang baik.
Regulasi yang lengkap serta kejelasan peraturan menjadi pembentuk
sistem dan prosedur pengelolaan keuangan yang baik.
• Peningkatan kapasitas perangkat desa. Perangkat desa secara umum,
maupun pengelola keuangan desa secara khusus, harus memahami
konsep pencatatan akuntansi yang berterima umum. Penetapan
Prioritas Penggunaan Dana Desa yang tertuang dalam Permendesa
Nomor 5 Tahun 2015, merujuk kepada program prioritas desa yang
salah satunya adalah membangun kapasitas sumber daya manusia.
Membangun kapasitas sumber daya aparatur desa khusus ditujukan
agar kualitas tata kelola keuangan desa dapat ditingkatkan, sehingga
pengelolaan keuangan desa tepat sasaran dan permasalahan hukum
dalam pertanggungjawabannya dapat diminimalisir. Pemahaman
perangkat desa terhadap prosedur bagaimana ADD dan DD dicatat

Fitria Husnatarina 101


dan dilaporkan serta akun apa saja yang terindikasi menjadi kunci
pengelolaan keuangan desa yang baik.
• Menjaga komitmen birokrasi dan politik. Minimalisir konflik pemangku
kepentingan dalam tata kelola keuangan desa dilakukan dengan
memperkuat kesepahaman antar lini tugas dan fungsi dalam
lingkup desa. Sejak proses pencatatan hingga pertanggungjawaban
keuangan desa harus dilaksanakan secara optimal dengan
memperkuat komitmen pengelola keuangan desa dan aparatur desa
lainnya.

Langkah strategis untuk memperkuat akuntabilitas pengelolaan keuangan


desa secara umum, maupun pengelolaan dana desa secara khusus
tidak juga serta merta menjadi jaminan tanpa adanya sinergi pemangku
kepentingan dalam lingkup desa baik itu dari pusat maupun pada tataran
masyarakat desa itu sendiri. Tidak ada jaminan bahwa upaya peningkatan
kualitas akuntabilitas pelaporan dana desa serta atribut lainnya menjadi
satu-satunya indikator kemajuan suatu desa dalam hal alokasi keuangan
dan anggaran, tidak mungkin juga sepenuhnya bisa menutup mata
terhadap potensi kecurangan seperti korupsi dan penyelewengan oleh
aparatur desa. Oleh karena itu, sesuai dengan regulasi desentralisasi
keuangan daerah yang berlaku, perlu dirancang secara menyeluruh pola
pengendalian terhadap praktik pengelolaan keuangan yang transparan
dan akuntabel dengan sistem pencatatan berbasis akrual.

4. PENUTUP
Implementasi sistem akuntansi tidak hanya mewujudkan transparansi
dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, lebih daripada itu, desa
merupakan bagian dalam proses menjalankan peraturan perundang-
undangan terkait pengelolaan keuangan desa hendaknya menjaga
konsistensi karena ketepatan dan kecermatan fungsi pengelolaan dan
pelaporan keuangan desa menjadi dasar pengawasan dan pemeriksaan
secara khusus pada sisi akuntabilitas pengelolaan dan pelaporan
keuangan desa, sehingga bermuara kepada pengelolaan dana desa
yang tepat sasaran. Pada akhirnya pencapaian akuntabilitas pengelolaan
keuangan desa kembali kepada sistem yang baik, aparatur desa yang
memiliki nilai-nilai yang baik serta keterlibatan semua pihak berdasarkan
porsi yang tepat, sehingga arah dan kebijakan pemberdayaan desa
melalui pengucuran dana desa tidak kembali menjadi pertanyaan besar
terkait apa yang ingin dicapai melalui kebijakan tersebut. Karena luaran
dari setiap kebijakan menjadi parameter akuntabilitas dalam proses tata
kelolanya.

102 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


5. DAFTAR PUSTAKA
Andi, dkk.2016. “Akuntansi Dalam Perspektif Pengelolaan Keuangan
Desa”

Andi Munawir. 2002. Analisis Laporan Keuangan. Liberty: Yogyakarta.

Astuti, T. P., & Yulianto. (2016). Good Governance Pengelolaan Keuangan


Desa Menyongsong Berlakunya Undang-Undang No . 6 Tahun
2014, 1(6), 1–14.

Bastian, Indra. 2015. Akuntansi Untuk Kecamatan dan Desa. Erlangga:


Jakarta.

Buku Pintar Dana Desa. (2017).

Halim, Abdul. 2013.Teori, Konsep, dan Aplikasi Akuntansi Sektor Publik.


Jakarta: Salemba Empat

Husna, S., & Abdullah, S. (2017). Kesiapan Aparatur Desa Dalam


Pelaksanaan Pengelolaan

Kasmir. 2014. Analisis Laporan Keuangan (edisi 1). PT Raja Grafarindo


Persada: Jakarta. 61

Mahsun, M., Sulistyowati, F., & Purwanugraha, H. A. (2006). Akuntansi


Sektor Publik (1 ed.). Yogyakarta: BPFE.

Mardiasmo. (2009). Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Andi Offset.

Mardiasmo. (2016). Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (3


ed.). Yogyakarta: Sekolah TInggi Ilmu Manajemen YKPN.

Nurcholis, Hanif. 2011. Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan


Desa. Jakarta : Erlangga

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 64 tahun 2013


tentang Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis
Akrual Pada Pemerintah Daerah.(2013).

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 113 tahun


2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa.(2014).

Fitria Husnatarina 103


Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 114 tahun
2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa.(2014).

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 20 Tahun


2018 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa. (2018).

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan


Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2015 Tentang
Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa. (2015)

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan


Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015
Tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul
dan Kewenangan Lokal Berskala Desa. (2015)

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan


Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2015
Tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun Anggaran
2016. (2015).

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 217/PMK.05/2015


Tentang Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis
Akrual. (2015).

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 50/PMK.07/2017


Tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa.
(2017).

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2010 tentang


Standar Akuntansi Pemerintahan. (2010).

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2014 tentang


Dana Desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara. (2014).

Rahardjo Adisasmita, 2011. Pengelolaan Pendapatan dan Anggaran


Daerah. Yogyakarta: Graha Ilmu

Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kualitatif (3 ed.). Bandung: Alfabeta.

Sumarna, Ayi. 2015. Pelaksanaan Pengelolaan Keuangan Desa. https://


www.keuangandesa.info/2015/11/PelaksanaanPengelolaan
KeuanganDesa.html diakses 15 Juni 2020.

104 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang


Pemerintah Daerah

Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan


antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Widjaja, HAW. 2003. Pemerintahan Desa dan Administrasi. Jakarta:


Rajawali Press.

Yuliansyah, Rusmianto. 2016. Akuntansi Desa. Jakarta: Salemba Empat

Fitria Husnatarina 105


106 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI
PENGELOLAAN DESA DI GUGUS
PULAU DAN PERBATASAN DI
PROVINSI KEPULAUAN RIAU BAB
Sri Langgeng Ratnasari
Program Pascasarjana, Universitas Riau Kepulauan
sarisucahyo@yahoo.com
IX
1. PENDAHULUAN
Kebijakan pembangunan desa pada Undang-Undang No. 6 Tahun 2014
tentang Desa (Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, 2014), dan lebih
teknis pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.114 Tahun
2014 (Menteri dalam Negeri, 2014). Secara umum, tujuan pembangunan
desa diarahkan untuk menciptakan suatu kondisi desa yang mandiri,
makmur dan sejahtera. Salah satu wilayah di Indonesia yang berada di
gugus pulau dan wilayah perbatasan adalah Provinsi Kepulauan Riau
yang 97 persen berupa laut dan hanya 3 persen yang daratan, memiliki
275 desa, seperti data yang tercantum pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1 Data Desa Di Provinsi Kepulauan Riau

No Kabupaten/Kota Luas (KM2) Kecamatan Kelurahan Desa


1 Kab. Bintan 1.318.21 10 15 36
2 Kab. Karimun 912.75 12 29 42
3 Kab. Kepulauan Anambas 590.14 7 2 52
4 Kab. Lingga 2.266.77 10 7 75
5 Kab. Natuna 2.009.04 15 6 70
6 Kota Batam 960.25 12 64 -
7 Kota Tanjungpinang 144.56 4 18 -
Total 8.201.72 70 141 275
Sumber: BPS Provinsi Kepri, 2020

Beberapa permasalahan pengelolaan desa di gugus pulau dan perbatasan


adalah:
1. Lokasi tersebar di ribuan pulau, 1 desa terdiri dari beberapa pulau
2. Keterbatasan sarana dan prasarana
3. Transportasi dan konektivitas berbiaya tinggi dibandingkan dengan
wilayah darat

Sri Langgeng Ratnasari 107


4. Sumber daya manusia, khususnya Kades mayoritas berpendidikan
SMA
5. Terkendala pengelolaan administrasi kependudukan karena geografis
6. Penyediaan listrik, air, dan kebutuhan pokok berbiaya tinggi
7. Penyediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan masih sangat terbatas
8. Layanan administrasi pertanahan, retribusi, perbankan, dan
telekomunikasi
9. Terjadinya kasus stunting di Kabupaten Lingga

2. PENGELOLAAN DESA DI GUGUS PULAU DAN PERBATASAN


Beberapa kendala tersebut, berdasarkan hasil EPD Tahun 2019
dikarenakan masih banyak penduduk yang tinggal di pesisir Kepulauan
Riau yang sulit dijangkau akses transportasi untuk memiliki dokumen
kependudukan.

Sumber: Olahan Data Primer, 2019

Gambar 2.1 Suasana Laut Salah Satu Wilayah Kabupaten Kep. Anambas

Dengan tidak memiliki dokumen kependudukan, maka pelayanan


akses memperoleh pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, serta
kesejahteraan menjadi terabaikan. Meskipun sebagian yang tidak memiliki
dokumen dan tidak tercatat dalam data kependudukan di Provinsi Kepri,
mereka ini adalah masuk kategori komunitas masyarakat adat terpencil
atau yang biasa disebut oleh masyarakat Kepulauan Riau sebagai orang
laut atau suku laut atau suku mantang. Mereka hidup diatas perahu dan
selalu berpindah-pindah tempat tinggal, bahkan jika menetap mereka
tinggal disebuah pulau kecil yang berisi komunitas mereka saja. Selain
tidak mendapatkan akses pendidikan karena tempat tinggal mereka yang
terasing, juga akses kesehatan yang terbatas karena masih percaya

108 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


dengan dukun kampung, juga secara religus bimbingan keagamaan
mereka meskipun sudah memiliki agama tapi tidak memahami bagaimana
beribadah yang sebenarnya. Komunitas penduduk seperti ini tersebar
di wilayah Kabupaten Lingga dan Kabupaten Bintan serta di Kabupaten
Karimun.
Di Kabupaten/Kota yang wilayahnya terdiri dari pulau-pulau harus
disediakan tenaga fungsional pelayanan administrasi kependudukan
yang bekerja secara mobile, dengan dilengkapi fasilitas pendukung baik
operasional serta keselamatan. Hal tersebut diperlukan mengingat wilayah
kerja yang sangat bergantung dengan kondisi alam juga harus menjadi
perhatian akan aspek keselamatan daripada petugas. Seperti pulau-pulau
kecil yang berada di wilayah terluar, terdepan, dan terisolir karena akses
transportasi umum yang tidak tersedia. Seperti wilayah Kecamatan yang
terdapat di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Kepulauan Anambas. Pulau-
pulau kecil tersebut juga sebagian didiami oleh penduduk yang terpisah
dengan penduduk lainnya yang juga memiliki hak yang sama sebagai
Warga Negara Indonesia untuk mendapatkan pelayanan oleh pemerintah.
Atau kebijakan untuk merelokasikan penduduk-penduduk yang ada
dipulau-pulau terluar ke pulau besar dengan menyediakan fasilitas tempat
tinggal yang layak sehingga juga mempermudah pemerintah didalam
memberikan pelayanan kepada mereka.
Peningkatan jumlah penduduk lansia memerlukan perhatian dan
perlakuan khusus dalam pelaksanaan pembangunan. Terdapat dua kategori
penduduk lansia, yaitu lansia potensial maupun lansia tidak potensial.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 tahun 2004 dijelaskan bahwa
lansia potensial adalah lansia yang masih mempunyai kemampuan untuk
memenuhi kebutuhannya sendiri dan biasanya tidak bergantung kepada
orang lain. Sementara itu, lansia tidak potensial adalah lansia yang
sudah tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya
sendiri dan biasanya bergantung kepada orang lain. Penduduk lansia
tidak potensial inilah yang dapat menjadi beban pembangunan. Oleh
karena itu, berbagai kondisi lansia tersebut perlu dikaji sehingga program
pembangunan yang dijalankan mampu melindungi dan memberdayakan
penduduk lansia. (BPS Kepri : 2019). Penduduk lansia di Kepulauan Riau
berdasarkan persentase menurut data BPS tahun 2018 adalah 4,57% dari
total jumlah penduduk Provinsi Kepri berdasarkan proyeksi BPS Tahun
2018 yang berjumlah 2.136.521 jiwa. Dari jumlah lansia tersebut 7,46%
penduduk yang tinggal di pedesaan adalah lansia, sedangkan diperkotaan
4,09% lansia.

Sri Langgeng Ratnasari 109


Sumber: Olahan Data Primer, 2019

Gambar 2.2 Lansia di Pulau Jemaja Kabupaten Kepulauan Anambas

Dengan demikian maka diperlukan data yang fix tentang keberadaan


lansia di pedesaan, yang saat ini banyak program-program pemerintah
terutama melalui Dana Desa yang dilaksanakan di desa dan mensyaratkan
partisipasi masyarakat desa. Jika masyarakat desa yang tinggal di desa
sebagian besar adalah lansia, sementara mereka yang usia produktif
meskipun terdata tinggal di desa tapi meninggalkan desa dan mencari kerja
ataupun bekerja di perkataan seperti di Tanjungpinang dan Batam, maka
dapat dipastikan bahwa program pemberdayaan tidak akan berlangsung,
karena desa kekurangan sumber daya manusia yang produktif. Hal
ini dapat diamati oleh tim EPD terutama terjadi di Kabupaten Lingga,
Kabupaten Natuna, dan Kabupaten Anambas. Penduduk usia produktif,
meninggalkan desa selain untuk melanjutkan pendidikan di kota, juga
bermaksud mencari pekerjaan di kota. Mereka yang tidak meninggalkan
desa bekerja baik sebagai Pegawai Negeri Sipil ataupun sebagai Pegawai
honorer di Pemerintah Kabupaten ataupun di Pemerintah Desa sampai
dengan Pemerintah Kecamatan. Sedangkan mereka yang masuk usia
lanjut memilih tinggal didesa menjalani pekerjaan baik sebagai petani
ataupun sebagai nelayan.
Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) Provinsi Kepulauan Riau
pada bulan Agustus 2019 berjumlah 1.005.161 orang, dengan komposisi
yang bekerja sebanyak 935.682 yang sebagian besar bekerja pada
sektor industri pengolahan (23,80%) dan yang pengangguran 69.479.
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) paling besar adalah mereka yang
memiliki pendidikan tingkat Sekolah Menengah Atas, dengan komposisi
yang lulus dari SMA 9,07% dan yang lulus dari SMK 9,65%. Tingkat
Pengangguran Terbuka (TPT) di Provinsi Kepulauan Riau adalah 6,91%

110 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


lebih tinggi dibandingkan dengan TPT secara nasional yaitu 5,28% dan
yang tertinggi menyumbangkan TPT ada di Kabupaten Bintan 8,01% serta
di Kota Batam 7,72%. Tingginya TPT di Bintan dan Batam, dikarenakan
merupakan daerah yang memiliki kawasan industri. Dimana di kawasan
industri yang merupakan pusat industri pengolahan termasuk didalamnya
adalah industri galangan kapal serta pendukungnya berada di Bintan dan
Batam, dan sama-sama mengalami penurunan permintaan dan terpaksa
harus melakukan pengurangan jumlah pekerja (PHK).
Pekerja di Kepulauan Riau sebagian besar bekerja di sektor formal,
yaitu yang bekerja sebagai buruh/karyawan atau berusaha dibantu buruh
tetap dengan jumlah sebanyak 647.670 (69,22%) berbanding dengan
yang bekerja pada sektor informal yaitu berjumlah 288.012 (30,78%).
Dengan demikian maka mereka yang bekerja di sektor formal rentan
menjadi pengangguran dalam kondisi ekonomi global yang masih belum
stabil seperti saat ini. Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan di Batam yang terutama yang bergerak dalam
industri pengolahan, dikarenakan tingkat permintaan yang menurun mulai
dari tahun 2016 sampai dengan saat ini belum menunjukkan peningkatan
penerimaan kembali pekerja di sektor-sektor tersebut. Hanya saja mereka
yang mengalami PHK di perkataan seperti di Batam tidak sepenuhnya
menjadi pengangguran, sebab mereka tetap berusaha untuk memperoleh
pendapatan dengan melakukan pekerjaan lainnya untuk tetap menutupi
kebutuhan hidupnya. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar pekerja
yang bekerja disektor formal tersebut memiliki tingkat pendidikan yang
lebih baik, yaitu rata-rata berpendidikan SLTA baik itu lulusan SMA
ataupun lulusan SMK. Dengan demikian mereka memiliki suatu motivasi
yang kuat untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan hidupnya beserta
keluarga dengan menjalani pekerjaan di sektor informal, seperti menjadi
pengemudi angkutan online dengan memanfaatkan aset yang dimilikinya
dalam bentuk kendaraan baik roda dua maupun roda empat.

Sri Langgeng Ratnasari 111


hidupnya beserta keluarga dengan menjalani pekerjaan di sektor
informal, seperti menjadi pengemudi angkutan online dengan
memanfaatkan aset yang dimilikinya dalam bentuk kendaraan baik roda
dua maupun roda empat.

Data Terpadu Kesejahteraan Sosial 2019


Provinsi Kepulauan Riau
4.932 9.724
8.575
13.905
10.321
2.531
54.562

Kota Batam Kabupaten Karimun


Kota Tanjungpinang Kabupaten Bintan
Kabupaten Natuna Kabupaten Lingga
Kabupaten Kepulauan Anambas

Sumber: Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial – Next Generation Kementerian Sosial RI, 2019
Gambar 2.3 Data Terpadu Kesejahteraan Sosial 2019 Provinsi Kepulauan Riau
Sumber: Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial – Next Generation
Gambar 2.3 Data Terpadu Kesejahteraan Sosial 2019 Provinsi Kepulauan Riau
Kementerian Sosial RI, 2019

Kasus stunting yang terjadi di Kabupaten Lingga sebagaimana data


yang Kasus stunting
ditampilkan yang tabel
dalam terjadidibawah
di Kabupaten Lingga sebagaimana
ini menunjukkan data
bahwa kasus
yang ditampilkan
stunting bukan sajadalam tabel dibawah
disebabkan ini menunjukkan
karena persoalan kemampuanbahwa kasus
ekonomi,
ataupun
stuntingpersoalan
bukan saja kemiskinan
disebabkan saja. Dari hasil
karena kajiankemampuan
persoalan di lapangan, ekonomi,
diperoleh
informasi
ataupun bahwa beberapa
persoalan kasus saja.
kemiskinan stunting yang
Dari dialami
hasil kajianoleh
di balita yang
lapangan,
berasal dari keluarga yang masuk dalam kategori punya
diperoleh informasi bahwa beberapa kasus stunting yang dialami oleh kemampuan
ekonomi.
balita yang berasal dari keluarga yang masuk dalam kategori punya
Persoalan yang ditemukan sebagaimana informasi dari bidan yang
kemampuan ekonomi.
bertugas di desa menyebutkan bahwa masyarakat masih percaya terhadap
mitos Persoalan yang ditemukan
ataupun kepercayaan yangsebagaimana
diperoleh dariinformasi
orang tuadari bidan dukun
ataupun yang
bertugas yang
kampung di desa
masihmenyebutkan bahwa masyarakat
dipercayai pendapatnya. Sehingga masih
pada saat percaya
masa
kehamilan, ibu hamil
terhadap mitos dan kepercayaan
ataupun bayinya tidakyangmemperoleh
diperolehasupan gizi yang
dari orang tua
seharusnya, dikarenakan kepercayaan dan pemahaman yang rendah atas
manfaat vitamin yang diberikan pada masa kehamilan. Bahkan mereka 126
mengkonsumsi sesuatu makanan yang tidak punya nilai gizi sebagai
asupan yang semestinya diterima oleh bayi di dalam kandungan. Hasilnya
setelah melahirkan dan mencapai usia tertentu terlihat anak mereka
mengalami stunting.

112 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


Tabel 2.2 Jumlah Balita Stunting Berdasarkan Puskesmas di Kabupaten Lingga

NO PUSKESMAS DESA BALITA STUNTING

1 PENUBA PENUBA 10
2 PANCUR BUKIT HARAPAN 3
TELUK 1
DUARA 1
3 TAJUR BIRU TAJUR BIRU 4
PL. BATANG 4
TEMIANG 2
PASIR PANJANG 1
4 SENAYANG REJAI 5
5 RAYA BAKONG 4
JUMLAH 35
Sumber: BKKBN Provinsi Kepri, 2019

Untuk kasus stunting yang terjadi di wilayah kerja Puskesmas Penuba


dengan jumlah kasus yang cukup banyak yaitu 10 kasus, dimana kasus
stunting terjadi pada anak di komunitas masyarakat orang laut/suku asli
yang mendiami Pulau Lipan. Komunitas ini juga masih mempercayai peran
dukun kampung yang merupakan bagian dari komunitas mereka sendiri.
Pandangan dari dukun kampung ataupun orang-orang tua yang masih
memegang mitos perlu juga mendapatkan perhatian dan pendekatan
yang lebih halus lagi agar terjadi perubahan perilaku didalam menjaga
kandungan saat hamil. Cara mereka menjaga kehamilan dan juga saat
sudah lahir dengan asupan gizi yang tidak sesuai untuk usia balita menjadi
salah satu penyebab terjadinya stunting. Upaya dari pemerintah desa
untuk mengatasi masalah stunting adalah dengan mengalokasikan dana
desa untuk memberikan makanan tambahan dan program-program bagi
memenuhi kecukupan gizi bagi anak usia balita. Hanya saja dalam kasus
yang terjadi di Kabupaten Lingga, tidak semua anak yang mengalami
stunting dikarenakan kemampuan ekonomi orang tua yang lemah,
melainkan diakibatkan karena salah dalam memberikan asupan gizi yang
sesuai.

3. PENUTUP
Berdasarkan hasil evaluasi tematik yang membahas mengenai
“Pengelolaan Data Kependudukan Dalam Rangka Untuk Pengentasan
Kemiskinan” menunjukkan bahwa diperlukan sebuah integrasi data yang
mencakup informasi yang saling berkaitan dan berimplikasi dari satu

Sri Langgeng Ratnasari 113


data kepada data lainnya yang setelah diolah akan menghasilkan suatu
informasi mengenai keadaan pengentasan kemiskinan. Kebijakan satu
data sebagaimana Peraturan Presiden No. 39 Tahun 2019 hendaknya
menjadi momentum untuk masing-masing institusi pemerintahan mulai
mengintegrasikan data dalam sebuah sistem yang akan memberikan
sebuah informasi yang diperlukan di dalam pengentasan kemiskinan.
Pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan mengintervensi
melalui program-program yang terpadu dan terukur yang akan tergambar
dari informasi dalam sistem pendataan kependudukan yang terpadu pula.
Perbedaan mekanisme dalam penentuan jumlah penduduk tidak lagi
menjadi persoalan yang berarti di dalam pelaksanaan program-program
pengentasan kemiskinan. Masyarakat yang belum terjangkau dalam
pendataan sistem administrasi kependudukan menjadi fokus kedepan
untuk masuk dalam sistem pendataan administrasi Kependudukan
Terpadu dengan basis single identity number (NIK). Dengan demikian
sistem pengolahan data kependudukan akan dapat memberikan informasi
mengenai status kependudukan yang tersebar di Provinsi Kepulauan
Riau yang dilengkapi dengan Geographic Information System yang dapat
membaca keberadaan penduduk yang masuk dalam kategori komunitas
masyarakat adat terpencil ataupun masyarakat yang belum tersentuh
administrasi data kependudukan karena status asalnya yang tidak jelas
harus dapat diakomodir oleh daerah penerima. Tingginya mobilitas
masuk dan keluar penduduk di Batam juga harus terakomodir dalam
sistem pendataan kependudukan yang terintegrasi ini, sehingga angka
jumlah penduduk dan keberadaan penduduk akan dapat menjadi bahan
pengambilan kebijakan dan keputusan untuk akomodasi dalam alokasi
anggaran daerah (APBD).
Masalah kemiskinan tidak saja disebabkan oleh keterbatasan atau
ketidakberdayaan penduduk untuk dapat mengakses sumber-sumber
ekonomi, tapi juga dapat disebabkan karena tidak terakomodir dalam
sistem pendataan kependudukan terpadu. Keterlambatan warga negara
terakomodir dalam pendataan kependudukan, akan menyebabkan
keterlambatan dalam akomodasi penerimaan program-program
pemerintah. Hal tersebut dapat terjadi karena kondisi geografis Kepulauan
Riau yang terdiri dari pulau-pulau dan penyebaran penduduk yang tidak
merata. Keterlambatan dalam mengakses informasi kependudukan akan
juga menyebabkan keterlambatan dalam penanganan masalah-masalah
kemiskinan yang terjadi di wilayah Provinsi Kepulauan Riau.

114 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


4. DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau, 2019. Data dan informasi
kemiskinan provinsi Kepulauan Riau

BPK Perwakilan Provinsi Kepri https://tanjungpinang.bpk.go.id/?p=7159

BPS Provinsi Kepri, 2019. Indikator Ketenagakerjaan Provinsi Kepulauan


Riau 2018.

BPS Provinsi Kepri, Kepualuan Riau Dalam Angka 2019.

Kementerian Keuangan 2019. http://www.djpk.kemenkeu.go.id/wp-con-


tent/uploads/2018/10/Rincian-Alokasi-DAK-Fisik-TA-2019-Up-
load-Final-Fix-31-Okt.pdfhttps://data.go.id/dataset/tingkat-parti-
sipasi-angkatan-kerja-tpak-menurut-provinsi

Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kepulauan Riau, LAPORAN


PEREKONOMIAN Provinsi Kepulauan Riau Agustus 2019

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2017 tentang


Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2018

Pembangunan manusia berbasis gender, 2018. Kerjasama KEMENTERI-


AN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN
ANAK dan BADAN PUSAT STATISTIK.

Sri Langgeng Ratnasari 115


116 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI
MENATAP MASA DEPAN MENJADI
DESA MANDIRI DAN BERKUALITAS
DI JAWA TIMUR BAB
Rudi Purwono
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga
rudipurwono@feb.unair.ac.id
X
1. PENDAHULUAN
Dana transfer ke daerah merupakan salah satu bentuk pembagian
kewenangan pada daerah yang tujuannya adalah untuk dapat melakukan
pembangunan ekonomi menurut kearifan lokal di daerah sesuai dengan
karakteristik daerahnya masing-masing. Desentralisasi fiskal, salah
satunya bertujuan untuk dapat menyebarkan titik-titik pertumbuhan agar
tidak terkonsentrasi di pusat saja melainkan tersebar di seluruh daerah
di penjuru Indonesia. Dengan adanya transfer dana ke desa sejak tahun
2015, pemerintah bermaksud untuk menyebar titik pertumbuhan melalui
pembangunan di desa, bukan hanya di daerah perkotaan.
Instrumen utama dari penyebaran titik pertumbuhan tersebut adalah
desentralisasi fiskal. Sumber daya pemerintah dalam bentuk APBN dan
kewenangan didistribusikan ke daerah dan desa melalui kebijakan dana
transfer ke daerah yakni dana perimbangan, dana otonomi khusus dan
dana insentif daerah. Kemudian untuk desa, terdapat Dana Desa. Masing-
masing dirancang untuk tujuan tertentu, yang intinya adalah menciptakan
titik pertumbuhan ekonomi baru melalui pembangunan, memberikan
stimulus yang bersifat lokal kedaerahan untuk mampu mendorong
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keseluruhan dana-dana tersebut
dikelola oleh pemerintah daerah dan desa, yang diawasi oleh pemerintah
pusat, aparat penegak hukum, serta juga masyarakat.
Sebagai salah satu inovasi pemerintah, dana desa bertujuan untuk
mengatasi permasalahan pembangunan langsung ke tempat dimana
permasalahan tersebut terjadi. Menurut Van de Walle & Nead (1995),
salah satu tujuan utama dari kebijakan pemerintah di negara yang sedang
berkembang industrialisasinya yakni adanya redistribusi pendapatan, dari
daerah yang memiliki pendapatan tinggi ke daerah berpendapatan yang
lebih rendah, juga redistribusi peluang yang sama (antara masyarakat di
daerah industri ke masyarakat di daerah yang bukan kawasan industri)
dalam mengakses aspek kesehatan, pendidikan, dan juga pasar. Program
pemerintah dalam hal pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, penciptaan
lapangan kerja, hingga program pengembangan kemampuan anak-anak

Rudi Purwono 117


(childcare) dan orang tua, harus terdistribusi dari pusat ke daerah, dari
kawasan yang memiliki sumber daya yang melimpah karena dekat dengan
titik pertumbuhan ke kawasan yang lebih terbelakang yang jauh dari titik
pertumbuhan.
Adanya Dana Desa memberi dampak pada kualitas kesejahteraan
manusia dan penurunan persentase kemiskinan di Indonesia. Hal itu
dapat dilihat pada perbandingan perubahan IPM (Indeks Pembangunan
Manusia) serta penurunan persentase kemiskinan dalam tiga tahun
terakhir. Dana Desa memberikan dampak bagi pembangunan desa.
Rasio Gini di pedesaan secara nasional menurun dari 0,34 di tahun 2014
ke 0,32 di tahun 2017. Artinya ada kemajuan pencapaian pengurangan
ketimpangan di desa. Kemudian persentase penduduk miskin nasional
di desa menurun, dengan baseline tahun 2014 sebesar 14,17% di tahun
2017 dapat mencapai 15,58% sedangkan kemudian di tahun 2018 (per
Maret) kembali menurun menjadi 13,20%. Capaian-capaian tersebut
menunjukkan bahwa Dana Desa memberikan dampak bagi pembangunan
di desa, yang kemudian memiliki keterkaitan dengan peningkatan
kesejahteraan di desa.
Pembahasan pada bab ini ada tiga bagian. Pertama, pembahasan
tentang desa mandiri dan berkualitas. Kedua, pembahsan tentang
pentingnya manajemen organisasi dalam penyelenggaraan pemerintah
desa. Ketiga, integrasi antar program dalam penyelenggaraan pemerintah
desa.

2. DESA MANDIRI DAN BERKUALITAS


Penggunaan Dana Desa diutamakan untuk pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat desa, utamanya untuk peningkatan kualitas
hidup, penanggulangan kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat.
Tujuan yang cukup besar tersebut diakomodir oleh Pemerintah Indonesia
dengan meningkatkan nominal Dana Desa yang diberikan setiap tahunnya
yang dapat dilihat pada Gambar 2.1. Rata-rata peningkatan jumlah Dana
Desa sejak tahun 2015 hingga 2020 adalah sebesar 34,4%.

118 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


80 70 72
70 60
58,2
60
46,9
Triliun Rupiah

50
40
30 20,8
20
10
0
2015 2016 2017 2018 2019 2020
Tahun
(Sumber: Kementerian
(Sumber: Keuangan,
Kementerian 2020) 2020)
Keuangan,

Gambar
Gambar2.1
2.1Jumlah
JumlahDana
DanaDesa
Desadi di
Indonesia 2015-2020
Indonesia 2015-2020

Arah
Arah pembangunan
pembangunan desa desa terkait
terkait dengan
denganpemanfaatan
pemanfaatanDana DanaDesaDesa
ditetapkan melalui Keputusan Menteri Desa dan Pembangunan
ditetapkan melalui Keputusan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah
Daerah
Tertinggal
Tertinggal dan
dan Transmigrasi
Transmigrasi (Kemendes
(KemendesPDTT) PDTT)yang
yangdiperbarui
diperbaruisetiap
setiap
tahunnya. Secara umum, Dana Desa diarahkan terkait
tahunnya. Secara umum, Dana Desa diarahkan terkait dengan : dengan :
1. Sarana
1. Sarana dan
dan prasarana.
prasarana.
2. Pemberdayaan
2. Pemberdayaan masyarakat.
masyarakat.
3. Pengembangan
3. Pengembangan kapasitas
kapasitasdan
danketahanan
ketahananmasyarakat
masyarakat desa.
desa.
4.
4. Kegiatan
Kegiatan pendidikan, kesehatan, pemberdayaan
pendidikan, kesehatan, pemberdayaanperempuan
perempuan dandan
anak,
anak,serta
serta pemberdayaan masyarakatmarginal
pemberdayaan masyarakat marginal dan
dan disabilitas.
disabilitas.
5.
5. Pengelolaan
Pengelolaan BUMDesa, koperasidan
BUMDesa, koperasi danlembaga
lembagaekonomi
ekonomi masyarakat
masyarakat
desa
desalainnya.
lainnya.
6. Kesiapsiagaan
6. Kesiapsiagaan menghadapi
menghadapi dan dan penanganan
penangananbencana
bencanaalamalamdandan
kejadian
kejadian luar
luar biasa lainnya
lainnya
7.
7. Kebutuhan
Kebutuhan lainnya yang ditetapkan
lainnya yang ditetapkandalam
dalammusyawarah
musyawarah desa.
desa.

Efektivitas
Efektivitas pada
pada pencapaian
pencapaianindikator
indikatortujuan
tujuanperlu dianalisis
perlu lebih
dianalisis lebih
dalam jika dilihat dari penyerapan Dana Desa. Rata-rata
dalam jika dilihat dari penyerapan Dana Desa. Rata-rata penerimaan penerimaan
Dana
Dana Desa
Desa didi Jawa
Jawa Timur
Timurpada
padatahun
tahun2019
2019mencapai
mencapaiRpRp 248248
miliar,
miliar,
jumlah tersebut meningkat pada tahun 2020 yaitu sebesar Rp 252
jumlah tersebut meningkat pada tahun 2020 yaitu sebesar Rp 252 miliar. miliar.
Perkembangan
Perkembangan saranasaranadandanprasarana
prasaranadesa
desadi diJawa
JawaTimur
Timurmengalami
mengalami
tren peningkatan yang cukup baik dari tahun 2005 hingga
tren peningkatan yang cukup baik dari tahun 2005 hingga 2018. 2018. Kalkulasi
Kalkulasi
menggunakan
menggunakan Data DataPotensi
PotensiDesa
Desa(PODES)
(PODES)menunjukkan
menunjukkan bahwa
bahwasarana
sarana
pendidikan Sekolah Dasar (SD) mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar
133
2,39% dengan peningkatan tertinggi terjadi pada periode 2005 ke 2008
yaitu sebesar 11,82%. Sarana lainnya seperti kesehatan yang ditunjukkan
oleh keberadaan Poskesdes (Pondok Kesehatan Desa) yang mengalami

Dr. Rudi Purwono 119


tren serupa, dalam periode 2008-2018 Poskesdes di Jawa Timur rata-rata
tumbuh sebesar 22%. Sarana kegiatan ekonomi desa tercermin dengan
keberadaan pasar sebagai tempat transaksi sehari-hari warga desa.
Peningkatan yang terjadi pada sarana pendidikan dan kesehatan juga
diikuti dengan tumbuhnya pasar sebagai representasi sarana ekonomi.
Rata-rata pertumbuhan pasar permanen atau semi permanen desa di
Jawa Timur sebesar 5,2%. Pertumbuhan berbagai sarana kehidupan
masyarakat desa menunjukkan konsistensi pembangunan desa di
Indonesia khususnya Jawa Timur. Perlu diketahui bahwa pertumbuhan
tersebut tidak mencerminkan pemerataan, sebagaimana terlihat pada
Tabel 2.1, masih banyak desa yang belum memiliki sarana dan prasarana
pendukung.

Tabel 2.1 Persentase Keberadaan Sarana di Desa Provinsi Jawa Timur

Fasilitas 2005 2008 2011 2014 2018


Sekolah Dasar 89.26 99.81 99.42 99.48 97.59
Poskesdes - 33.02 47.78 56.99 58.15
Pasar - 21.77 22.16 23.16 24.6
Sumber: PODES, 2005-2018

Arah pengaruh Dana Desa terhadap pembangunan sarana


pendidikan, kesehatan, dan ekonomi sudah semestinya menunjukan
hasil yang positif karena sarana tersebut termasuk ke dalam mandat
pemanfaatan Dana Desa. Mengacu pada Tabel 2.1 dan besaran Dana
Desa yang diterima oleh seluruh desa di Jawa Timur, dicari arah pengaruh
yang ditimbulkan oleh Dana Desa terhadap sarana pendidikan, kesehatan,
dan ekonomi. Hasil uji korelasi yang dilakukan terhadap desa-desa di
seluruh kabupaten di Jawa Timur menunjukan bahwa terdapat hubungan
negatif antara besaran Dana Desa dengan keberadaan SD di desa.
Alasan dibalik hubungan yang negatif itu adalah bahwa keberadaan SD di
desa sudah sangat merata dengan tingkat keberadaan mencapai 99,48%
pada tahun 2014 atau sebelum pemberian Dana Desa. Pembangunan SD
tidak lagi menjadi fokus pemanfaatan Dana Desa di Jawa Timur. Sarana
kesehatan yaitu Poskesdes memiliki korelasi positif dengan Dana Desa
meskipun tidak terlalu besar yaitu 0,35 poin. Jumlah Poskesdes di Jawa
Timur mengalami peningkatan dibandingkan pada periode sebelum Dana
Desa. Terdapat penambahan 142 Poskesdes menjadi 4.601 Poskesdes
pada 2017 dibandingkan dengan 2013 (4.459 Poskesdes). Dana Desa
juga berkorelasi positif dengan jumlah pasar di desa dengan koefisien
sebesar 0,34 poin. Secara umum Dana Desa telah dimanfaatkan dengan
cukup merata dengan melibatkan aspek kesehatan dan ekonomi sebagai
sasaran pembangunan.

120 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


2017 dibandingkan dengan 2013 (4.459 Poskesdes). Dana Desa juga
berkorelasi positif dengan jumlah pasar di desa dengan koefisien sebesar
0,34 poin. Secara umum Dana Desa telah dimanfaatkan dengan cukup
merata dengan melibatkan aspek kesehatan dan ekonomi sebagai
sasaran pembangunan.

Dana Desa (Miliar Rupiah) 250 246,7 71,00

240 70,59 70,50

230 70,00
69,86

IPM
220 211,3 69,50

210 212,3 69,00


68,95
200 68,50

190 68,00
2017 2018 2019
Tahun

Dana desa IPM


Sumber: BPS dan Kementerian Keuangan, diolah, 2019
Sumber: BPS dan Kementerian Keuangan, diolah, 2019

Gambar
Gambar2.2
2.2IPM
IPMdan
danRata-rata
Rata-rata Dana
Dana Desa
Desa Provinsi
Provinsi Jawa
Jawa Timur
Timur 2017-2019
2017-2019

Kualitas
Kualitas Sumber Sumber Daya Manusia
Daya Manusia (SDM) (SDM) yang tercermin
yang tercermin melalui melalui
Indeks
Indeks Pembangunan
Pembangunan Manusia
Manusia (IPM) (IPM) merupakan
merupakan fokus pemanfaatan
fokus pemanfaatan Dana Desa
Dana Desasetelah
selanjutnya selanjutnya setelah pembenahan
pembenahan infrastruktur
infrastruktur dilakukan. dilakukan.
Gambar 2.2
Gambar 2.2 menunjukkan
menunjukkan rata-rata skor
rata-rata peningkatan peningkatan
IPM dari skor IPMkabupaten
seluruh dari seluruh
di
kabupaten
Jawa Timur di Jawa
tahun Timur tahun
2017-2019. Dapat2017-2019. Dapat
dilihat dari gambardilihat dari gambar
tersebut bahwa
tersebut peningkatan
terdapat bahwa terdapat peningkatan
kualitas pembangunan kualitas pembangunan
manusia yakni IPMmanusia
selama
yakni 2017
tahun IPM selama
hingga tahun 2017 terjadi
2019 yang hinggadi2019 yang
seluruh terjadiyang
daerah di seluruh daerah
memperoleh
yang Desa.
Dana memperoleh
Artinya Dana
memang Desa.
DanaArtinya
Desa memang
membawaDana Desa membawa
memberikan manfaat
memberikan
langsung manfaat
di desa. langsung
Manfaat tersebutdiadalah
desa.meningkatnya
Manfaat tersebut
kualitasadalah
hidup
masyarakat
meningkatnya desa yang ada
kualitas hidupdi masyarakat
Jawa Timur.desa yang ada di Jawa Timur.
Efektifitas penyaluran Dana Desa tentu harus didorong agar
dampaknya cukup besar, mampu memperbaiki kualitas hidup 135
masyarakatnya dan menjadi sumber pertumbuhan baru di daerah. Seperti
yang terlihat dalam Gambar 2.2 bahwa peningkatan IPM dalam tiga
tahun tersebut dibandingkan dengan besaran Dana Desa cukup robust
hasilnya. Selain itu, terdapat indikator lain yang menentukan seberapa
besar peningkatan dampak adanya Dana Desa pada perubahan kondisi
masyarakat (yang ditunjukan dari indikator-indikator tersebut).
Kebijakan Dana Desa adalah kebijakan yang bersifat belum final.
Artinya, dalam tahap awal, di beberapa tahun pelaksanaanya harus terus
dievaluasi dan evaluasi tersebut terus menjadi masukan bagi perencanaan
kebijakan ini yang ideal. Beragamnya kemampuan desa dan banyaknya
jumlah desa di Indonesia saja dapat menggambarkan bahwa kebijakan ini

Dr. Rudi Purwono 121


adalah kebijakan yang sangat kompleks. Dana yang diberikan pun cukup
besar, menambah kompleksitas dari kebijakan Dana Desa ini. Pada tahap
pertama, strategi dalam pelaksanaan kebijakan Dana Desa seharusnya
menjadi program pengembangan kesejahteraan masyarakat desa harus
mampu mengakomodasi apa saja yang sebenarnya diperlukan oleh desa.
Desa sebagai komunitas terkecil dalam sebuah struktur pemerintahan,
goal pertama yang harus diperhatikan adalah pembangunannya baik dari
sisi masyarakat maupun lingkungan. Pemerintah Desa harus dipastikan
mengetahui karakteristik desa baik secara geografis, kultur, hingga kondisi
masyarakatnya. Dan hal tersebut harus terdokumentasi dalam dokumen
penyelenggaraan Pemerintah Desa. Fokus utama adalah bagaimana
Pemerintahan Desa dapat berjalan dengan baik, patuh pada peraturan yang
telah ditetapkan sebagai bagian pertanggungjawaban atas penggunaan
dana negara, dan Pemerintah Desa harus memiliki kapabilitas untuk
melakukan perencanaan desa. Kembali pada tujuan utama tadi yakni
terlaksananya pembangunan yang diperlukan oleh masyarakat desa.

3. MANAJEMEN ORGANISASI DALAM PENYELENGGARAAN


PEMERINTAH DESA
Kebijakan Dana Desa merupakan suatu inovasi kebijakan pemerintah,
yang kemudian mengharuskan adanya transformasi organisasi di
pemerintah. Yang awalnya kewenangan ada di kabupaten, saat ini
kewenangan tersebut diberikan langsung ke desa. Maka kemudian
manajemen organisasi merupakan hal penting untuk terwujudnya
efektivitas penyaluran Dana Desa, tujuan atau outcome dari penyalurannya
tercapai. Dalam teori perubahan organisasi (organizational change)
terdapat beberapa isu yang harus diidentifikasi dengan baik agar proses
transformasi dalam organisasi dapat berjalan. Isu tersebut adalah adanya
self-organization, interaksi antar bagian dalam organisasi, relasi kekuatan
dengan bagian supervisi atau pengawasan, komunikasi, dan adanya
feedback. Self-Organization merupakan prinsip dari adanya manajemen
perubahan organisasi ini. Bagian yang baru terbentuk dari desain
perubahan harus memiliki kemampuan untuk mengelola dirinya sendiri,
sekaligus bagaimana mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Prinsip ini
bertumpu pada kemampuan organisasi tersebut. Prinsip kedua adalah
interaksi antar bagian dalam organisasi yang memungkinkan organisasi
untuk saling mempelajari keberhasilan dan kegagalan di bagian lain untuk
menjadi pegangan dalam mengelola organisasinya. Yang ketiga adalah
adanya supervisi yang mengawasi juga membantu bagian baru dalam
organisasi ini untuk belajar dan meningkatkan kapabilitasnya (Green,
2009).

122 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


Dalam manajemen organisasi tersebut, pemimpin memiliki peran
penting. Empowerment dari pemimpin Pemerintahan Desa dalam
beberapa kasus sangat menentukan. Contoh: Pengalaman Kepala Desa
Pujon Kidul Kabupaten Malang dalam membangun desanya menjadi
kawasan wisata yang dapat berkontribusi pada PADesa yang cukup
tinggi dan menciptakan lapangan kerja di desanya, menggunakan konsep
BUMDes (Sharing Session Pemanfaatan Dana Desa di Jawa Timur
yang diselenggarakan oleh Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Jawa
Timur, 12 Desember 2019). Dapat disimpulkan bahwa empowerment
dari sosok Kepala Desa menjadi faktor utama majunya penyelenggaraan
pemerintahan di desa. Relasi publik yang dilakukan oleh Kepala Desa
tersebut cukup baik sehingga permasalahan yang ada didesanya segera
diketahui dan dapat dicari solusinya. Serta komunikasi yang dibangun
dengan rival politiknya cukup baik sehingga proses evaluasi pun berjalan
dinamis dalam pemerintahannya. Dalam manajemen strategis untuk
organisasi publik, komunikasi sangat penting antara stakeholder, antar
bagian dalam pemerintahan dan juga masyarakat, sehingga apa yang telah
direncanakan dapat dilaksanakan dengan baik, dan juga dievaluasi untuk
masukan penyelenggaran program-program berikutnya (Grunig & Dozier,
2003). Kapasitas aparatur desa dipandang menjadi variabel penting dalam
pengukuran efektivitas penggunaan dana desa. Penyebaran inovasi yang
telah ada di desa dapat menjadi masukan bagi desa lain atau bagi desa
tersebut kedepannya.

4. INTEGRASI ANTAR PROGRAM DALAM


PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA
Pembangunan desa dalam konteks pembangunan nasional harus
terintegrasi (Todaro & Smith, 2014). Beragamnya spektrum yang ada di
desa membuat permasalahan pembangunan di desa, yang berbasis pada
pertanian yang masih tradisional, sangat luas dan kompleks. Hal itu terkait
dengan kemampuan petani yang ada di desa dalam melakukan produksi
yang menjadi pendapatannya. Kemudian nilai tukar petani kepada industri
di atasnya, dalam lingkup regional yang lebih besar. Dan juga kemudian
kehidupan petani yang memungkinkan adanya peningkatan kualitas
hidupnya menjadi lebih baik, infrastruktur sosial, dan juga infrastruktur
fisik yang memungkinkan adanya pertumbuhan produksi seiring waktu.
Kompleksnya rural development tersebut memerlukan strategi yang
bersifat breakthrough, maka kemudian pembangunan ini dapat dikaitkan
dengan adanya kebijakan Dana Desa. Di desa, aktivitas ekonomi
masyarakat yang terbesar adalah di sektor pertanian. Maka kemudian
kebijakan pembangunan di sektor pertanian dapat dikembangkan dalam
lingkup desa, yang kemudian dikaitkan pada kebijakan cash for work.

Dr. Rudi Purwono 123


Cash for work merupakan salah satu bentuk aktivitas padat karya
yang bertujuan menyerap tenaga kerja yang besar, dengan memberikan
honorarium secara langsung atau tunai untuk harian maupun mingguan,
sebagai upaya memperkuat daya beli masyarakat, mendorong
pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu kunci keberhasilan pembangunan sektor pertanian
yang dikembangkan dalam lingkup desa bagaimana pemerintah yang
men-supervisi desa dapat mendorong aparat pemerintahan desa untuk
berinovasi terkait usaha pertanian yang dimilikinya, yang dapat dikaitkan
juga dengan pengembangan BUMDesa.
BUMDesa merupakan alat dalam pembangunan desa yang
menggunakan kekuatan lokal (keuangan dan aset desa) berwujud
pembentukan dan pengembangan produk unggulan desa dan/atau
produk unggulan di kawasan perdesaan. Adanya BUMDesa bertujuan
untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengendalikan
perekonomian di desa untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat
dan kemandirian ekonomi di tingkat desa. BUMDesa diatur dalam Undang-
Undang No 6 Tahun 2014 Pasal 87, dimana desa dapat mendirikan Badan
Usaha Milik Desa yang selanjutnya disebut BUMDesa. BUMDesa sendiri
dikelola dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan, BUMDesa
dapat menjalankan usaha di bidang ekonomi dan atau pelayanan umum
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

5. PENUTUP
Bahkan kebijakan yang paling baik dan matang mungkin tidak berdampak
jika tidak diimplementasikan dengan benar. Sayangnya, kesenjangan
antara kebijakan dan implementasinya bisa sangat besar (Benerjee,
Banerjee, & Duflo, 2011). Oleh sebab itu, analisis dalam implementasi
suatu kebijakan perlu untuk diperkaya, sebagai bahan masukan untuk
perbaikan kebijakan tersebut dalam mencapai tujuannya. Sepanjang 2016
hingga 2019, penyaluran Dana Desa di Jawa Timur cukup optimal dalam
meningkatkan aksesibilitas masyarakat pada kesehatan, pendidikan,
dan juga akses pasar atau penciptaan pendapatan di desa. Sebagian
besar Dana Desa digunakan untuk pembangunan infrastruktur desa.
Penyesuaian Indikator Pembangunan Manusia (IPM) di pusat, provinsi,
kabupaten/kota, dan desa harus seiring. Sehingga target pembangunan di
desa dapat digambarkan pada target yang digunakan juga oleh Pemerintah
Kabupaten dan Pemerintah Pusat. Sehingga pembangunan infrastruktur
di desa dapat tercermin pada peningkatan indikator tersebut.

Penggunaan Dana Desa tentu harus dioptimalkan agar dapat membuat


desa menjadi semakin berkembang dan mandiri. Penyelenggaraan

124 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


pemerintahan di desa sangat bergantung pada kapabilitas Kepala Desa
sebagai pemimpin pemerintahan desa. Untuk itu peran Kepala Desa disini
sangat diperlukan. Terdapat beberapa karakteristik kemampuan yang
harus dimiliki oleh seorang Kepala Desa, yakni:
1. Leadership yang kuat sehingga dapat melakukan pemberdayaan
baik bagi jajaran Pemerintahan Desa hingga masyarakat desa.
Mengapa penting? Karena dari Kepala Desa-lah relasi publik dapat
dibangun sehingga masyarakat dan juga jajaran pemerintahan desa,
juga evaluatornya, dapat mengkomunikasikan apa yang menjadi
kesulitan di desa tersebut. Sehingga penggunaan Dana Desa dapat
efektif.
2. Harus mampu menyatukan kekuatan serta mempersatukan
perbedaan politik.
3. Harus mampu menggerakkan masyarakatnya agar bisa produktif
dan memanfaatkan Dana Desa dengan maksimal.
4. Harus bisa menggali potensi yang dimiliki desa serta motivasi
sehingga anak-anak muda yang ada di luar desa bisa kembali ke
desa dan produktif dalam rangka mengembangkan desa. Pemerintah
Desa memiliki instrumen untuk dapat merubah kehidupan di desa
yakni dengan Dana Desa dan juga dengan kewenangan pada
BUMDes untuk menciptakan peluang ekonomi. Kepala Desa sangat
berperan untuk dapat mengintegrasikan hal tersebut.

6. DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Jawa Timur. (2019). IPM 2017 – 2019. [Dataset].
https://jatim.bps.go.id/indicator/26/36/1/ipm.html

Banerjee, A. V., Banerjee, A., & Duflo, E. (2011). Poor Economics: A Radi-


cal Rethinking of The Way to Fight Global Poverty. Public Affairs.

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. (2018). Kebijakan Penyalu-


ran Dana Desa Dalam Mendukung Pelaksanaan Padat Karya
Tunai di Desa. [Paper Presentation].

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. (2018). Kebijakan Pengalo-


kasian Dana Desa Setiap Kabupaten/ Kota dan Penghitungan
Rincian Dana Desa. http://www.djpk.kemenkeu.go.id/?p=5791

Green, M. (2009). Making Sense of Change Management: A Complete


Guide to the Models, Tools & Techniques of Organizational
Change. Kogan Page.

Dr. Rudi Purwono 125


Grunig, J. E., & Dozier, D. M. (2003). Excellent Public Relations and Effec-
tive Organizations: A Study of Communication Management in
Three Countries. Routledge.

Kementerian Keuangan. (2017). Buku Saku Dana Desa. Retrieved from


https://www.kemenkeu.go.id/media/6750/buku-saku-dana-de-
sa.pdf

Kementerian Keuangan. (2018). Rincian Alokasi Transfer ke Daerah dan


Dana Desa. [Dataset]. http://www.djpk.kemenkeu.go.id/wp-con-
tent/uploads/2017/11/Rincian-Alokasi-TKDD-TA-2018-1.pdf

Kementerian Keuangan. (2019). Rincian Alokasi Transfer ke Daerah dan


Dana Desa. [Dataset]. http://www.djpk.kemenkeu.go.id/wp-con-
tent/uploads/2018/10/DANA-DESA-1.pdf

Kementerian Keuangan. (2020). Rincian Alokasi Transfer ke Daer-


ah dan Dana Desa. [Dataset]. http://www.djpk.kemenkeu.
go.id/?p=15023

Van de Walle, D., & Nead, K. (Eds.). (1995). Public Spending and The
Poor: Theory and Evidence. World Bank Publications.

Todaro, M. P., & Smith, S. C. (2014). Economic Development 11th Edi-


tion. Pearson.

126 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


DESA GARDA TERDEPAN
PEMULIHAN EKONOMI DI MASA
TATANAN KEHIDUPAN BARU BAB
Hady Sutjipto
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa
XI
hadysutjipto@untirta.ac.id

1. PENDAHULUAN
Pandemi Covid-19 sudah merubah tatanan dunia ini secara dramatis.
Dari permasalahan kesehatan menjadi resesi ekonomi global. Lembaga
Keuangan Internasional (IMF) memprediksi terjadi resesi ekonomi tahun
ini, dan lebih parah dari krisis ekonomi 2009. Peristiwa krisis ekonomi 2009,
perkembangan ekonomi global turun berkisar -0,1 persen. Satu dekade
kemudian, perekonomian global tumbuh 2,9 persen. Pandemi Covid-19
memukul perekonomian global, dan diprediksi merosot sampai – 3 persen.
Bank Dunia memprediksi ekonomi global terkontraksi sampai 5,2
persen di tahun ini. Perekonomian negara maju diprediksi terkontrasi
7 persen. Faktor penyebabnya ialah tekanan pada permintaan serta
penawaran, disamping perdagangan dan keuangan di negara tersebut.
Adapun perekonomian di negara emerging markets dan sedang
berkembang (EMDEs) diperkirakan terjadi penurunan pertumbuhan
ekonomi 2,5 persen selama 2020. Kondisi ini dikhawatirkan terjadinya
peningkatan angka pengangguran dan kemiskinan dunia (World
Bank, 8/6/2020).
Ekonomi Nasional pada Triwulan II 2020 mengalami kontraksi sebesar
-5,32 persen (yoy). Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam
mencegah penyebaran Pandemi Covid-19 menyebabkan terbatasnya
mobilisasi manusia maupun barang menyebabkan terjadi penurunan
permintaan domestik. Kebijakan lockdown di beberapa negara tujuan
ekspor pun menyebabkan neraca perdagangan Indonesia mengalami
stagnasi.
Belum ada kepastian kapan berakhirnya pandemi Covid-19
di Indonesia, dan tren kasus positif Indonesia saat ini yang masih
terus meningkat. Pemerintah masih mempertahan kebijakan social
distancing atau pembatasan sosial. Sektor usaha tetap boleh beroperasi
dengan tetap menerapkan protokol kesehatan secara ketat dan membatasi
kapasitas 50 persen. Selama PSBB kembali diperketat, institusi pendidikan,
kawasan pariwisata, sarana publik tetap harus ditutup secara penuh.

Hady Sutjipto 127


Pandemi Covid-19 yang terjadi di Indonesia tidak cuma berdampak
pada kesehatan warga, tetapi pula berakibat pada menurunnya
perkembangan ekonomi nasional. Beberapa sektor ekonomi mengalami
penurunan produksinya akibat penurunan pada permintaan masyarakat.
Bahkan ada yang beberapa sektor usaha yang mulai mengurangi tenaga
kerja dengan merumahkan karyawan bahkan melakukan pemutusan
hubungan kerja. Kondisi ini dikhawatirkan akan menambah jumlah angka
pengangguran dan kemiskinan di daerah. Fenomena ini tidak hanya terjadi
di perkotaan saja, namun terjadi pula di pedesaan.

Sumber : Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI

Gambar 1.1 Sektor Ekonomi terdampak Negatif dan Berpotensi Positif pada
masa Pandemi Covid-19

Dengan kebijakan PSBB tersebut membuat aktifitas dunia usaha


semakin melesu. Alasannya, seluruh aktifitas para pengusaha dibatasi
dan tempat usaha mereka ditutup untuk sementara waktu. Contoh
sangat nyata saat ini pusat perbelanjaan, tempat pariwisata, perhotelan
serta transportasi langsung terpuruk. Kondisi ini diperparah dengan daya
beli masyarakat juga menurun akibat mereka dirumahkan atau putus
hubungan kerja karena tempat kerja mereka tutup atau mengurangi
produksinya. Namun, hal yang kontradiktif justru terjadi pada sektor
yang bertahan bahkan meningkat di masa Covid-19 ini. Sektor ekonomi
tersebut diantaranya: sektor pertanian, telekomunikasi, kimia, farmasi, dan
alat kesehatan.
Meningkatnya jumlah yang terkonfirmasi Covid-19 membutuhkan
penanganan kesehatan. Kebutuhan akan alat kesehatan dan serta obat-

128 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


obatan di masa pandemi Covid-19 meningkat, seperti Alat Pelindung Diri
(APD), masker, hand sanitizer, serta obat-obat alamiah seperti herbal
semakin diminati masyarakat. Demikian pula dengan sistem pembelajaran
sekolah, perkuliahan, pelatihan, seminar dan bekerja di rumah (Work
from Home) di masa pandemi yang menggunakan sistem dalam jaringan
(Daring) dan Webinar membutuhkan kuota dan penyedia fasilitas internet
yang memadai. Permintaan kuota internet akan tetap tinggi selama
pandemi Covid-19 ini belum berakhir.
Sementara itu sektor pertanian yang meliputi sub-sektor: pertanian,
perikanan, peternakan, dan perkebunan sebagai penyedia kebutuhan
pokok masyarakat akan terus dibutuhkan. Bahkan dimasa pandemi
Covid-19 ini, dimana beberapa kebutuhan pokok tersebut didapatkan
dari impor dan terhambat distribusinya karena negaranya melakukan
lockdown. Komoditas impor produk pertanian, seperti: beras, daging sapi,
bawang, buah-buahan, dan sayur-sayuran.
Desa identik dengan pertanian karena sebagian besar mata pencarian
masyarakatnya di sektor pertanian. Desa menjadi sangat stategis sebagai
pusat rantai pasok kebutuhan pangan nasional. Desa bisa menjadi garda
terdepan dalam menggantikan ketergantungan impor pangan dan mampu
memenuhi ketersediaan kebutuhan pangan saat ini. Desa memiliki potensi
yang sangat strategis untuk melaksanakan adaptasi normal baru dalam
upaya memutus rantai penularan Covid-19. Selain penerapan protokol
kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat, budaya dan
adat istiadat sebagai kearifan lokal menjadi hal yang perlu diperhatikan.
Prinsipnya masyarakat desa tetap sehat, perekonomian tetap berjalan
serta budaya dan adat istiadat tidak tergerus oleh zaman.
Tatkala pemerintah mengajak masyarakat untuk hidup damai dan
berdampingan dengan Covid-19. Dengan begitu, diharapkan aktivitas dan
produktivitas masyarakat kembali bergulir dengan tetap mengedepankan
protokol kesehatan. Pemerintah dihadapkan pada pilihan sulit
menyelamatkan perekonomian tanpa harus mengorbankan kesehatan
masyarakat. Oleh karena itu, perlu upaya dan strategi menjadikan desa
sebagai garda terdepan dalam pemulihan ekonomi di masa tatanan
kehidupan baru. Pembahasan bab ini akan fokus pada strategi desa untuk
menjadi garda depan pemulihan ekonomi di masa tatanan ekonomi baru.

2. STRATEGI DESA MENJADI GARDA DEPAN PEMULIHAN


EKONOMI
Pembangunan desa tidak terpisah dan merupakan bagian dari
pembangunan nasional. Dari 34 Provinsi di Indonesia, berdasarkan data
Kementerian Dalam Negeri RI terdapat 83.184 Desa yang terdiri dari 74.754
Desa serta 8.430 Kelurahan dari 415 Kabupaten, 94 Kota serta 5 Kota

Hady Sutjipto 129


Administrasi. Desa memiliki potensi kekuatan ekonomi, sosial dan politik
yang menjadi basis kekuatan dalam pembangunan. Perhatian pemerintah
pusat maupun daerah diperlukan untuk menjadikan masyarakat desa
tidak hanya sebagai objek pembangunan, namun harus menjadi subjek
pembangunan. Sebagai objek, masyarakat desa sering dijadikan bagian
dari program-program sektoral pemerintah atau dinas terkait yang tidak
sesuai dengan kebutuhan desa. Maka sebagai subjek pembangunan,
keterlibatan dan partisipasi masyarakat desa dalam merencanakan,
melaksanakan, sekaligus sebagai penerima manfaat dari pembangunan
desa harus terus ditingkatkan.
Desa miliki adat istiadat sebagai ciri khas kearifan lokal, dimana
akar budaya desa sebagai tumpu dalam pembangunan. Desa memiliki
pula keragaman potensi sumber daya ekonomi yang bisa dikembangkan
untuk menciptakan kemandirian ekonomi. Maka, kesejahteraan bagi
masyarakat desa pada akhirnya bisa terwujud. Beberapa strategi dan
upaya menjadikan desa sebagai ujung tombak dan garda terdepan dalam
pemulihan ekonomi nasional diantaranya sebagai berikut:
Strategi pertama: pengawasan dan optimalisasi terhadap Dana
Desa dalam pencegahan serta penanganan Covid-19. Instruksi Presiden
Nomor 4 tahun 2020 berkaitan dengan Refocusing kegiatan dan anggaran
dalam penanganan Covid-19. Pemerintah pusat melakukan relokasi
anggaran 2020 sekitar Rp 695,20 triliun. Dana tersebut untuk menangani
kesehatan, perlindungan sosial, dan dukungan UMKM, dunia usaha, dan
pemda.
Prioritas Realokasi dan Refocusing di daerah berdasarkan Instruksi
Mendagri No 1 Tahun 2020. Prioritas tersebut dalam hal penanganan
kesehatan, penanganan dampak ekonomi dan penyediaan Jaring
Pengaman Sosial. Penyiapan tambahan dukungan berupa Dana Insentif
Daerah (DID) untuk mendukung percepatan pemulihan perekonomian
di daerah. Anggaran besar tersebut saat turun ke daerah diperlukan
pengawasan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan anggaran.
Bahkan Mendes PDTT mengeluarkan Surat Edaran (SE) terkait Desa
Tanggap Covid-19 dan Pelaksanaan Padat Karya Tunai Desa (PKTD)
dengan alokasi dana desa.
Surat Edaran Mendes PDTT mengatur tiga hal. Pertama, Pembentukan
Desa untuk Tanggap Covid-19 dan Relawan Desa untuk Lawan Covid-19.
Kedua, Alokasi dana desa untuk program Pola Padat Karya Tunai Desa
(PKTD) dilakukan secara swakelola dengan menggunakan sumber daya
manusia desa. Program ini diprioritaskan untuk para penganggur dan
keluarga miskin yang terdapat di desa. Ketiga, Bagi desa yang masuk
KLB Covid-19, maka perubahan APBDesa, menggeser anggaran belanja
menjadi dana untuk penanganan Covid-19.
Payung hukum melalui Surat Edaran tersebut menjadi dasar hukum
bagi alokasi dana desa dalam penanganan Covid-19. Program Bantuan

130 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


Tunai Langsung Dana Desa (BLT-DD) menjadi program prioritas bagi
masyarakat desa yang terdampak Covid-19. BLT-DD diharapkan bisa
mempertahankan daya beli masyarakat desa dalam memenuhi kebutuhan
pokok hariannya. Program ini dalam proses pendataan dan penyalurannya
harus tepat sasaran.
Strategi kedua, revitalisasi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di
tengah pandemi. Kita menghadapi kondisi yang “tidak normal” dan kondisi
ini entah kapan akan berakhir. Oleh karena itu, harus menyesuaikan dan
merubah kebiasan dalam kehidupan baru yang “tidak normal”. Kesiapan
mental dan perubahan perilaku dibutuhkan dalam melewati masa Covid-19
dan terbiasa dengan kehidupan baru.
Dampak pandemi Covid-19 berpotensi peningkatan penganguran
dan penduduk miskin. Mayoritas penduduk miskin tinggal di desa dan
berpotensi akan semakin meningkat akibat pelambatan ekonomi dan
involuntary migration (terpaksa pulang kampung). Kondisi ini berpotensi
adanya kelangkaan bahan makanan pokok ke depan dan kerawanan sosial
di desa akibat ekonomi yang mencekik. Oleh sebab itu, perlu revitalisasi
peran BUMDes untuk menciptakan lapangan kerja, pengamanan sembako,
dan layanan publik.
Namun, BUMDes saat ini masih mengalami beberapa kendala,
diantaranya masih ada BUMDes terkendala status hukum belum clear, Tata
Kelola Akuntansi BUMDes belum baik sehingga kepercayaan masyarakat
dan pemerintah masih rendah, dan BUMDes perlu ada pendampingan dan
inkubasi. Kondisi ini menuntut intervensi kebijakan terkait penyetaraan
Badan Hukum BUMDes agar dapat menerima dana dari pihak luar desa
(CSR, Hibah, Perbankan, Donasi, dll). Segera dikeluarkan Pedoman
Akuntansi BUMDes/Pedoman Keuangan BUMDes sehingga BUMDes
dapat mengelola dana dari berbagai pihak dengan mudah dan terstandar.
Pemerintah perlu juga melihat BUMDes mana yang perlu pendampingan,
BUMDes mana yang punya produk tapi tidak bisa menjual. Maka peran
Pemerintah, Perguruan Tinggi, Pihak Swasta dan Media perlu melakukan
pendampingan BUMDes tersebut.

Hady Sutjipto 131


Sumber : bumdes.id

Gambar 2.1 Peta Ekosistem BUMDes

Keberlanjutan BUMdes akan terjamin kalau desa bisa menemukan


potensi, produk dan pasarnya. Terkadang BUMDes tidak bisa mengelola
potensi desa menjadi produk/layanan serta pasar yang tepat dan kontinyu.
Maka model keberlanjutan BUMDes dibangun dari Kepemimpinan
Transformatif, Modal Sosial, Kewirausahaan Sosial, dan Konektivitas
Pasar. Keterlibatan dan sinergitas para stakeholder dalam keberlanjutan
BUMDes sangat diperlukan. Keberadaan Pemerintah Pusat dan Daerah,
Akademisi dan Lembaga Pendidikan, Lembaga Keuangan, Pemasok dan
Penyalur, Organisasi Non Pemerintah, dan Masyarakat Desa memiliki
peran dan sumbangsih masing-masing.
Pemerintah pusat dan daerah bisa saling berkoordinasi dan bersinergi
dalam memberikan dukungan kepada BUMDes melalui regulasi dan
bantuan teknis. Peran akademisi dan lembaga pendidikan bisa memberikan
bantuan dan bimbingan teknis terhadap persoalan BUMDes. Bantuan dan
fasilitas produk keuangan dari lembaga keuangan juga sangat dibutuhkan
dalam pembiayaan BUMDes. Dan tidak kalah pentingnya keberadaan
pemasok dan penyalur yang membantu menyuplai barang kebutuhan
bagi BUMDes sekaligus penyalur produk BUMDes yang berhubungan
langsung dengan masyarakat dan konsumen. Keberadaan BUMDes di
wilayah lain perlu melakukan kolabarasi sesama BUMDes. Hal ini untuk
memperkuat daya tawar dalam persaingan usaha, disamping kemampuan
penyediaan produk BUMDes saat ada permintaan produk yang besar
yang tidak bisa dipenuhi jika diproduksi sendiri oleh satu BUMDes saja.
  Strategi ketiga, membangun digitalisasi ekonomi desa. Hampir
separuh masyarakat Indonesia sudah menggunakan fasilitas internet,
tidak hanya di perkotaan, namun sampai ke pedesaan. Manfaat
penggunaan internet bagi masyarakat desa selain membuka informasi

132 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


tentang ilmu pengetahuan dan teknologi, ternyata mampu pula mendorong
perekonomian dan kesejahteraan masyarakat desa.
Pandemi Covid-19 berpengaruh besar dalam menurunkan usaha
bisnis pada sisi rantai produksi dan distribusi. Masalah klasik yang
dihadapi pelaku usaha di pedesaan yaitu masih menggunakan pola
ekonomi konvensional. Artinya, dalam masalah pemasaran dan perluasan
pasar masih tergantung pada pedagang pengumpul yang menjadi rantai
pemasarannya panjang. Hal ini menjadi produk unggulan desa tidak
secara optimal bisa dipasarkan.
Digitalisasi ekonomi desa menjadi salah satu solusi dalam
meningkatkan akselerasi perekonomian desa. Para pelaku UMKM
pedesaan lebih akrab dengan pemasaran atau promosi melalui jaringan
internet dengan memanfaatkan media sosial. Perlu usaha dan upaya
yang keras dalam mengintegrasikan dan mensinergikan para pelaku
UMKM pedesaan ke dalam sistem ekonomi digital. Sistem ini merupakan
program pemberdayaan masyarakat desa melalui pemanfaatan teknologi
digital dan internet untuk pengembangan potensi desa, pemasaran serta
percepatan akses serta pelayanan informasi.
Ada tiga langkah-langkah strategis yang harus dilakukan terkait
digitalisasi desa. Pertama, yaitu memperkuat gerakan digitalisasi
ekonomi di pedesaan. Gerakan ini harus difasilitasi dan didukung
oleh pemerintah pusat dan daerah secara berkesinambungan dengan
melibatkan pemerintah desa dan pelaku UMKM pedesaan. Gerakan ini
pula bagaimana membangun kesadaran pelaku UMKM pedesaan untuk
memanfaatkan fasilitas internet dalam usaha bisnisnya, serta membangun
dan mengembangkan jejaring usahanya berdasarkan keunggulan produk
yang dimiliki desa tersebut.
Kedua, transformasi penggunaan media social dari jejaring social
ke jejaring pasar. Awal perkembangan sosial media hanya untuk jejaring
pertemanan dan relasi seperti: WhatsApp, Facebook, Instagram, Twitter
dll. Poin dukungan utama dalam pengembangan market melalui social
media adalah pengenalan ekosistem dan sarana penetrasi digital, serta
peningkatan keterampilan pemanfaat sosial media. Ketiga, pemanfaatan
media sosial untuk promosi produk BUMDes. Setiap desa memiliki
komoditas produk unggulan usaha yang disiapkan pemasarannya
melalui 'media sosial' dalam digitalisasi ekonomi desa. Dengan produk
yang kompetitif tersebut bisa mengembangkan kapasitas ekonominya.
Pada akhirnya kemajuan serta peningkatan perekonomian desa akan
memberikan kesejahteraan bagi masyarakat desa. Nantinya, seluruh
masyarakat desa dapat memanfaat media sosial dalam mempromosikan
sekaligus mengenalkan komoditas produk unggulan di wilayahnya.

Hady Sutjipto 133


Sumber : DJPDT, Kemendes PDTT RI 2020

Gambar 2.2 Bisnis Model Pengelolaan, Distribusi, dan Pemasaran Produk Ung-
gulan Desa melalui Ekosistem Digital.

Masalah ekonomi oleh desa diantaranya rendahnya skala ekonomi,


jalur distribusi produk yang panjang, lemahnya akses pasar, dan kesulitan
permodalan. Untuk memecahkan berbagai permasalahan tersebut
diperlukan bisnis model pengelolaan, distribusi, dan pemasaran produk
unggulan pedesaan melalui ekosistem digital.
Ekosistem digital yang dimaksud adalah penyatuan beberapa
BUMDes yang berbeda dengan menggunakan teknologi informasi,
menawarkan sesuatu yang berbeda dari sebelumnya,yang tidak bisa
dilakukan oleh BUMDes sendirian agar bisa tetap bertahan dalam
memenangkan pertarungan usaha. Terdapat tiga unsur untuk menjadikan
BUMDes masuk ekosistem ekonomi digital yaitu infrastruktur digital,
layanan trasportasi logistik ke desa, dan platform digital untuk BUMDes.
Pemerintah sudah memberikan kanal digital untuk penjualan
hasil BUMDes seperti Dapurkita.bumdesmart.com, juga menggandeng
marketplace seperti Bukalapak, Tokopedia dan lain-lain. Adapun layanan
logistik ke desa-desa bisa melibatkan jasa PT Pos, J&T,JNE dan sejenisnya.
Bahkan produk kolaborasi para BUMDes bisa menjadi pemasok bagi
industri makanan dan minuman berskala nasional maupun internasional.
Peran perguruan tinggi, organisasi nirlaba yang mewadahi para
pelaku UMKM bisa melakukan edukasi dan pendampingan sebagai klinik
Bisnis bagi BUMDes dalam mengembangkan usahanya. Semuanya ini
harapannya segala penghambat berkembangnya BUMDes mulai dari
perijinan, keberlangsungan produksi serta masalah pemasaran bisa
diselesaikan.

134 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


Tidak dilupakan pula jiwa kewirausahaan para pelaku usaha tetap
menjadi pondasi dalam menghadapi persaingan dan iklim kompetisi yang
semakin modern. Perubahan status menjadi desa mandiri, maka desa
tersebut memiliki kekuatan pembangunan ekonomi lokal yang berdaya
saing global. Ekosistem digital diharapkan dari aspek ekonomi membawa
kemajuan dan kesejahteraan bagi masyarakat desa, sehingga pilihan
urbanisasi ke kota bukan lagi satu-satunya pilihan untuk meningkatkan
taraf kehidupan.

3. PENUTUP
Dampak pandemi Covid-19 di tahun 2020 ini sudah mengubah tatanan
global tidak terkecuali Indonesia. Kondisi sampai kapan pandemi ini
akan berakhir, memaksa kita hidup dalam kondisi yang tidak normal
saat sebelum pandemi ini datang. Pemulihan ekonomi nasional dengan
penerapan protokol Covid-19 yang ketat membawa kita pada tatanan
kehidupan baru.
Guna mendongkrak ekonomi yang cenderung lesu karena dampak
pandemi Covid-19, desa-desa harus memacu potensi dan inovasi dalam
menggerakkan roda ekonomi. Penggunaan dana desa secara optimal
dalam penanggulangan dampak pandemi Covid-19 dengan pengawasan
yang baik. Keberadaan BUMDes sebagai bentuk kemandirian ekonomi
masyarakat dengan penguatan basis digital. Kondisi ini akan menjadikan
kekuatan imunitas perekonomian desa sebagai upaya meningkatkan
kesejahteraan masyarakat setempat.
Desa harus menjadi kekuatan utama dan menjadi simpul-simpul
kekuatan ekonomi baru bagi Indonesia. Desa harus menjadi garda
terdepan dalam pemulihan ekonomi di masa tatanan kehidupan baru.
Semoga…

4. DAFTAR PUSTAKA
Coristya Berlian Ramadana, Heru Ribawanto, Suwondo.(2013).
Keberadaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) Sebagai
Penguatan Ekonomi Desa.Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol.
1, No. 6, Hal. 1068-1076.

Irfan Nursetiawan.(2018). Startegi Pengembangan Desa Mandiri Melalui


BUMDES. Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan. Vol 4, No 2.

Nila Warda , Asep Kurniawan, Ridho Al Izzati , M. Sulton Mawardi. (2019).


Analisis Dampak Prukades Untuk Percepatan Peningkatan

Hady Sutjipto 135


Pertumbuhan Ekonomi Desa yang Inklusif. Semeru Research
Institute.

Nining Asniar Ridzal. (2020). Eksistensi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)
Sebagai Penggerak Ekonomi Desa. Jurnal Pengabdian Kepada
Masyarakat Membangun Negeri. Vol 4 No 1

World Bank. 2020. Global Economic Prospects, June 2020.


Washington,DC:World Bank.©WorldBank.https://
openknowledge.worldbank.org/handle/10986/33748 License:
CC BY 3.0 IGO

Link Internet :

1. https://www.galamedianews.com/citizen-journalism/256180/
penanganan-ekonomi-di-masa-pandemi-covid-19-melalui-
pemanfaatan-dana-desa.html

2. https://bumdes.id/id/

3. https://www.kemendesa.go.id/

136 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


KERJASAMA ANTAR DESA BAGI
PENGUATAN INOVASI DAN
KEWIRAUSAHAAN MENUJU BAB
KEMANDIRIAN EKONOMI DESA

Khoirunurrofik
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia
XII
khoirunurrofik@ui.ac.id

1. PENDAHULUAN
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, maka
tujuan pembangunan desa dan kawasan perdesaan adalah tidak hanya
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup,
tetapi juga untuk menanggulangi kemiskinan. Upaya-upaya yang dapat
dilakukan antara lain memenuhi kebutuhan dasar, membangun sarana
dan prasarana desa, mengembangkan potensi ekonomi lokal, serta
memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan yang berkelanjutan.
Bahkan pada RPJMN 2020-2024, pembangunan desa dan kawasan
perdesaan ini telah menjadi salah satu target kegiatan prioritas arahan
pengembangan wilayah dan pemerataan karena desa merupakan lokus
kebijakan yang paling dekat dengan masyarakat.
Hal ini sejalan dengan konsep desentralisasi fiskal menurut Bahl
dan Linn (1994) yang meliputi desentralisasi pemerintahan, distribusi
pengeluaran, dan mobilisasi pendapatan sebagai bagian dari strategi
pembangunan ekonomi untuk mencapai tujuan pemerintah. Oleh karena
itu, implementasi desentralisasi sampai level desa ini diharapkan dapat
berperan dalam mendukung pertumbuhan dan pembangunan yang lebih
besar di tingkat desa sesuai dengan strategi dan inisiatif pemerintahnya,
baik dalam pemanfaatan modal publik untuk mendukung pengembangan
sektor swasta maupun menciptakan peluang kegiatan ekonomi.
Sebelum UU tentang Desa ditetapkan, desa dianggap hanya sebagai
obyek pembangunan sehingga sering kali kebijakan pemerintah di desa
justru menghambat terciptanya kreativitas dan inovasi masyarakat desa
untuk melakukan kegiatan perekonomian. Oleh karenanya, UU tersebut
merupakan solusi dalam pembangunan desa di Indonesia agar supaya
desa dapat bertindak sebagai aktor atau subyek utama dalam proses
pembangunan desa, yang dapat mengubah dari desa tertinggal menjadi
desa berkembang dan mandiri.
Melalui UU Desa, Antlöv (2003) menegaskan bahwa pemerintah
desa sejak saat itu telah diberikan kewenangan lebih luas untuk

Khoirunurrofik 137
mengambil keputusan dan mengimplementasikannya menjadi kebijakan
di tingkat desa. Melalui kebijakan desentralisasi fiskal, pemerintah
mendukung pembangunan desa-desa di Indonesia melalui Dana Desa
yang bersumber dari APBN. Dana tersebut diharapkan dapat menjadi
stimulus atau pendorong dalam pelaksanaan pemberdayaan, pembinaan
kemasyarakatan, pembangunan, dan pemerintahan yang ada di desa.
Bukti empiris keberhasilan Dana Desa di Thailand yang sudah ada sejak
tahun 2001 telah disampaikan oleh Boonperm, Haughton dan Khandker
(2013) dan menyatakan bahwa kebijakan tersebut telah mampu mengatasi
permasalahan masyarakat wilayah pedesaan di Thailand.
Alokasi anggaran pemerintah untuk Dana Desa terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 2015, Dana Desa dianggarkan
sebesar Rp 20,7 triliun, dengan rata-rata setiap desa mendapatkan alokasi
sebesar Rp 276 juta. Pada 2020, angka tersebut mencapai Rp71,19
triliun dengan rata-rata perolehan tiap desa sebesar Rp 952 juta. Dalam
hal keuangan desa, selain mendapatkan Dana Desa melalui APBN,
pemerintahan desa juga memperoleh Anggaran Dana Desa (ADD) dari
pemerintah Kabupaten/Kota, bantuan keuangan APBD Provinsi maupun
Kabupaten/Kota, dan hibah yang digunakan untuk pembangunan desa
(Kemendesa PDTT, 2019).

70,0 71,2

59,8 59,9

46,7

20,8

2015 2016 2017 2018 2019 2020


Sumber: Kementerian Keuangan (2020)
Sumber: Kementerian Keuangan (2020)
Gambar 1.1 Perkembangan Pagu Anggaran Dana Desa (Rp Triliun)
Dengan
Gambarjumlah nilai uang yang
1.1 Perkembangan signifikan Dana
Pagu Anggaran besar, adanya
Desa dana
(Rp Triliun)
tersebut akan terciptanya permintaan masyarakat atas barang-barang
publikDalam
sesuai pemanfaatannya,
dengan kebutuhan masyarakat
Dana Desadan orientasikategori
termasuk pembangunan
conditional
grants, yaitu transfer
desa tersebut. yang diberikan
Dalam perspektif kepada Dana
teori ekonomi, pemerintah desa, di mana
Desa diharapkan
dalam hal pemanfaatannya
akan menjadi pendorong utama sudah
(big ditentukan terlebih dahulu
push) perekonomian melalui oleh
pemerintah pusat melalui
penyediaan berbagai Kemendesastrategis,
jenis infrastruktur PDTT. Oleh karenanya,
fisik dan non fisik,Dana
serta Desa
pembentukan lembaga ekonomi yang dibutuhkan masyarakat desa
dalam EKONOMI,
138 waktu relatif singkat sebagaimana yang disampaikan oleh
KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI
Rosenstein-Rodan (1961). Salah satu bentuk kelembagaan ekonomi
lokal adalah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Lembaga ini
diharapkan dapat merepresentasikan kepentingan ekonomi kolektif
telah secara spesifik ditujukan untuk mendukung pengembangan dan
pembangunan desa, berkontribusi dalam pengurangan tingkat kemiskinan,
dan tentunya dana tersebut tidak diperuntukkan di luar pencapaian tujuan
tersebut.
Dengan jumlah nilai uang yang signifikan besar, adanya dana tersebut
akan terciptanya permintaan masyarakat atas barang-barang publik
sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan orientasi pembangunan desa
tersebut. Dalam perspektif teori ekonomi, Dana Desa diharapkan akan
menjadi pendorong utama (big push) perekonomian melalui penyediaan
berbagai jenis infrastruktur strategis, fisik dan non fisik, serta pembentukan
lembaga ekonomi yang dibutuhkan masyarakat desa dalam waktu relatif
singkat sebagaimana yang disampaikan oleh Rosenstein-Rodan (1961).
Salah satu bentuk kelembagaan ekonomi lokal adalah Badan Usaha
Milik Desa (BUMDes). Lembaga ini diharapkan dapat merepresentasikan
kepentingan ekonomi kolektif masyarakat berdasarkan keinginan dan
kebutuhan masyarakat desa dengan mempertimbangkan potensi yang
dimiliki.
Oleh karenanya pemerintah Indonesia melalui Kemendesa PDTT
terus mendorong terbentuknya unit usaha di setiap desa dalam bentuk
Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), sebagai salah satu agen ekonomi
yang mampu menjadi motor utama perekonomian masyarakat desa yang
berkelanjutan (Srirejeki, 2018). Namun demikian, studi yang dilakukan oleh
Arifin, Bondi dkk (2020) tidak berhasil membuktikan bahwa pembentukan
BUMDes setelah tahun 2015 telah mampu meningkatkan kesempatan
kerja bagi masyarakat pedesaan. Hal ini menunjukkan bahwa perlu
perbaikan dalam pengelolaan BUMDes termasuk penguatan manajemen,
dan peningkatan partisipasi masyarakat.
Tantangan utama dalam pemanfaatan Dana Desa sebagai stimulus
ekonomi yang seharusnya berdampak langsung dan cepat dinikmati
oleh masyarakat desa adalah bagaimana Dana Desa tersebut dapat
dimanfaatkan secara efektif dan memberikan dampak bagi ekonomi
lokal, serta menciptakan kemandirian lokal di tingkat desa yang
berkesinambungan. Dampak dari aktivitas ekonomi lokal tersebut adalah
kemampuan masyarakat meningkat sehingga mempunyai daya beli dan
melakukan konsumsi, yang pada akhirnya dapat mendorong peningkatan
pendapatan asli desa. Namun, jika aktivitas ekonomi di desa tersebut
masih terbatas dan masih terlalu banyak capital outflow ke luar daerah
karena barang dan jasa yang ada disediakan oleh pelaku usaha di luar
desa tersebut, maka kehadiran Dana Desa tersebut tidak berhasil untuk
menjadikan masyarakat desa sebagai subjek perekonomian walaupun
mungkin sudah tersedia infrastruktur yang memadai.
Salah satu cara untuk mendorong pemanfaatan dana APBDesa adalah
melalui keterlibatan pelaku usaha lokal dalam pengerjaan permintaan
barang dan jasa yang digunakan oleh pemerintah daerah ataupun

Khoirunurrofik 139
terutama masyarakat desa tersebut dan sekitarnya. Keterlibatan penyedia
barang dan jasa oleh pelaku usaha lokal tentunya akan memanfaatkan
tenaga kerja lokal, membeli barang input di lokal, serta memutar uangnya
di daerah yang bersangkutan sehingga akan memberikan dampak dan
daya ungkit bagi aktivitas ekonomi secara keseluruhan.
Makalah ini bertujuan untuk menawarkan rumusan bagaimana
menciptakan kemandirian ekonomi lokal di tingkat desa melalui kebijakan
inovasi daerah dan desa serta membangun kewirausahaan desa melalui
kelembagaan BUMDes, serta bagaimana kedua strategi tersebut harus
diperkuat melalui kerja sama antar desa dalam rangka meningkatkan skala
ekonomi dan menjaga kesinambungan pembangunan desa. Gambar
berikut ini menjelaskan interaksi dari rumusan-rumusan di atas untuk
menuju perekonomian desa yang mandiri.

Sumber:
Sumber: Penulis
Penulis
Gambar 1.2 Rumus Membangun Kemandirian Ekonomi Desa
2. Gambar 1.2
INOVASI RumusUNTUK
DAERAH Membangun Kemandirian
MENCIPTAKAN Ekonomi
PASAR Desa

Prinsip desentralisasi, partisipatif, dan pembangunan berbasis


2. INOVASI DAERAH UNTUK MENCIPTAKAN PASAR
masyarakat sebagaimana yang dikemukakan oleh Speer (2012) adalah
Prinsip
prinsipdesentralisasi,
pembangunanpartisipatif,
pedesaandan pembangunan
di Indonesia. Namunberbasis masyarakat
demikian, Bergh
sebagaimana yang dikemukakan
(2010) menegaskan bahwa untuk oleh Speer (2012)
menjalankan prinsip adalah prinsip
desentralisasi
pembangunan pedesaan
tersebut dibutuhkan di Indonesia.
keaktifan Namun demikian,
dan partisipasi Bergh (2010)
dari masyarakat dalam
menegaskan bahwa untukdan
melakukan perencanaan menjalankan
pengambilan prinsip desentralisasi
keputusan. Pelibatan tersebut
peran
masyarakat secara langsung tersebut merupakan kunci
dibutuhkan keaktifan dan partisipasi dari masyarakat dalam melakukan pembangunan
berbasis masyarakat misalnya melalui organisasi atau kelompok
perencanaan dan pengambilan keputusan. Pelibatan peran masyarakat
perwakilan masyarakat itu sendiri sebagaimana dikemukakan oleh
secara langsung tersebut merupakan kunci pembangunan berbasis
Kvartiuk dan Curtiss (2019). Hal ini sesuai dengan spirit di UU Desa yang
masyarakat misalnya
menjadikan masyarakat melalui organisasi
desa sebagai ataupembangunan
subyek kelompok perwakilan
dan tidak
masyarakat
lagi hanya itu sendiri
obyek sebagaimana
pembangunan dikemukakan
pemerintah oleh
melalui Kvartiukyang
kebijakan dan
Curtiss (2019).
bersifat Hal(Kvartiuk
top down ini sesuai dengan
dan spirit
Curtiss, di UU Desa yang menjadikan
2019).
masyarakat
Lebih desa
lanjut,sebagai
Meadorsubyek
(2019)pembangunan
menyatakan bahwadan tidak lagi hanya
terdapat tiga
obyek pembangunan
pendekatan pemerintah
teori dalam melalui kebijakan
pembangunan desa, yaituyang bersifat endogen,
eksogen, top down
dan neo-endogen.
(Kvartiuk dan Curtiss,Jika teori eksogen menekankan bahwa keberhasilan
2019).
pembangunan desa karena dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti
intervensi pemerintah pusat yang bersifat top-down, maka teori endogen
Lebih lanjut, Meador (2019) menyatakan bahwa terdapat tiga
lebih bersifat buttom-up, yang lebih mengutamakan pemanfaatan sumber
pendekatan
daya lokal. teori dalam keduanya
Kombinasi pembangunan desa,disebut
kemudian yaitu eksogen, endogen,
teori neo-endogen,
dan
yangneo-endogen.
menekankanJika padateori eksogen
interaksi menekankan
antara bahwa
sumber daya keberhasilan
lokal desa dan
pengaruh eksternal terutama kebijakan pemerintah pusat dan daerah
dalam proses pembangunan di desa. Berdasarkan teori terakhir tersebut,
140
makaEKONOMI,
rumusan KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN
dalam makalah ini akan DESA DI TENGAH PANDEMI
memfokuskan kepada interaksi

159
pembangunan desa karena dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti
intervensi pemerintah pusat yang bersifat top-down, maka teori endogen
lebih bersifat buttom-up, yang lebih mengutamakan pemanfaatan sumber
daya lokal. Kombinasi keduanya kemudian disebut teori neo-endogen, yang
menekankan pada interaksi antara sumber daya lokal desa dan pengaruh
eksternal terutama kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam proses
pembangunan di desa. Berdasarkan teori terakhir tersebut, maka rumusan
dalam makalah ini akan memfokuskan kepada interaksi antara sumber
daya lokal desa dan pengaruh eksternal dalam menciptakan inovasi dan
kewirausahaan melalui dukungan dan kerja sama dengan desa sekitarnya.
Bagian pertama dalam rumusan di atas adalah bagaimana inovasi
daerah dan inovasi desa diciptakan untuk meningkatkan produk-
produk unggulan desa yang sekaligus juga merupakan kebijakan untuk
meningkatkan permintaan terhadap bahan baku lokal dan produk-produk
yang dihasilkan oleh desa itu sendiri. Inovasi desa dapat diciptakan oleh
pimpinan desa dengan bersinergi dengan inovasi pimpinan kepala daerah
sebagaimana Peraturan Pemerintah RI No. 38 Tahun 2017 tentang
Inovasi Daerah. Selain untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan
pemerintahan daerah dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat
melalui peningkatan pelayanan publik, inovasi daerah diharapkan dapat
juga bermanfaat untuk memberdayakan dan meningkatkan peran serta
masyarakat yang pada akhirnya akan meningkatkan daya saing daerah.
Keberadaan regulasi ini seharusnya memungkinkan setiap daerah
di Indonesia termasuk di tingkat desa untuk menetapkan peraturan
daerah atau peraturan desa terkait pengadaan barang dan jasa yang
memprioritaskan pelaku usaha lokal, dengan memenuhi kriteria yang
berlaku. Kriteria sebuah kebijakan dianggap sebagai inovasi daerah
adalah jika kebijakan yang dibuat mengandung pembaharuan seluruh
dan sebagian unsur, dapat memberikan manfaat bagi daerah dan/atau
masyarakat, tidak menambah beban dan/atau membatasi masyarakat
yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, kebijakan tersebut harus dalam koridor urusan pemerintahan
yang menjadi wewenang daerah, serta diharapkan dapat direplikasi di
tempat lain. Dengan demikian inovasi suatu daerah yang bermanfaat
bagi perekonomian desa adalah inovasi dengan menciptakan pasar bagi
produk-produk yang dihasilkan oleh masyarakat desa, melalui pelibatan
masyarakat lokal dalam pengadaan barang dan jasa yang dibelanjakan
oleh APBD dan APBDesa sehingga uang semakin lama berputar dan
dibelanjakan di desa.
Terkait dengan kebijakan pengadaan barang dan jasa di Indonesia,
Peraturan Presiden RI No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan
Jasa telah menekankan pentingnya prinsip nilai manfaat yang sebesar-
besarnya (value for money), sehingga dapat meningkatkan penggunaan
produk dalam negeri, peran Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha

Khoirunurrofik 141
Menengah, peran pelaku usaha nasional, serta mendorong pemerataan
ekonomi dan pengadaan yang berkelanjutan. Oleh karenanya berdasarkan
prinsip di atas, maka seyogyanya dalam pemilihan penyedia pengadaan
barang dan jasa perlu dibangun keberpihakan Pemerintah Daerah dan
Desa. Keberpihakan tersebut dilakukan dengan meningkatkan kapasitas
pelaku usaha di desa melalui penguatan kapasitas kelembagaan dan
sumber daya manusia, serta memberikan kesempatan kepada Usaha
Mikro dan Usaha Kecil di desa tersebut sebagai pelaksana dalam rangka
melaksanakan pengadaan berkelanjutan yang tetap menjaga iklim
persaingan usaha yang sehat.
Untuk melihat bagaimana kebijakan pengutamaan local supplier
dalam pengadaan barang dan jasa lokal telah dijalankan dalam praktek
internasional, tulisan ini akan memaparkan best practice di beberapa
negara yang telah berhasil mengimplementasikan regulasi dan kebijakan
pengadaan barang dan jasa lokal, seperti Australia dan Kanada. Di
Australia di tingkat provinsi, pengadaan barang dan jasa lokal di wilayah
Queensland telah diatur secara khusus dalam Queensland Procurement
Policy. Kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah Queensland
memiliki dampak signifikan terhadap masyarakat Queensland karena
Queensland Procurement Policy yang memiliki prinsip utama value for
money yang mengutamakan warga Queensland, dimana pemerintah
Queensland memastikan bahwa pengadaan barang dan jasa harus
memberikan value for money lebih dari sekadar harga terendah.
Berdasarkan Queensland Procurement Policy, jika dilihat dari nilai kontrak
pengadaannya, proyek infrastruktur pemerintah Queensland senilai $100
juta dan ke atas mengharuskan penggunaan kontraktor dan manufaktur
lokal, jika memungkinkan.
Jika dilihat dari zona pengadaannya, pemerintah Queensland
memprioritaskan local supplier yang tenaga kerjanya bertempat tinggal
dalam radius 125km di mana barang atau jasa akan ditawarkan. Jika
local supplier tidak ada dalam radius 125km, pertimbangan tender akan
diberikan kepada supplier dalam wilayah lokal (local region). Jika local
supplier juga tidak ada dalam wilayah lokal (local region), pertimbangan
tender selanjutnya akan diberikan kepada supplier dalam wilayah
Queensland. Jika local supplier juga tidak ada dalam wilayah Queensland,
pertimbangan tender selanjutnya akan diberikan kepada supplier dalam
Australia.

142 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


Sumber: (Queensland Government, 2017)

Gambar 2.1 Zona Pengadaan Lokal di Queensland

Pada tingkat kota, Kota Gold Coast di Queensland secara khusus juga
memiliki kebijakan buy local procurement yang mencakup seluruh sektor
bisnis di kota Gold Coast. Berdasarkan kebijakan tersebut, pemerintah
kota Gold Coast hanya akan mencari quotes dari bisnis lokal jika nilai
kontrak kurang dari $250,000 dan akan mengundang public tenders jika
nilai kontrak lebih dari $250,000. Kebijakan ini secara proaktif mendukung
pertumbuhan bisnis dan industri lokal untuk menciptakan lapangan
kerja di kota Gold Coast, serta menjaga ekonomi lokal tetap makmur.
Namun, sayangnya, kebijakan ini juga dapat mengurangi kompetisi.
Non-local supplier akan keluar dari pasar pengadaan lokal jika mereka
hanya memiliki peluang kecil untuk memenangkan kontrak akibat adanya
kebijakan pengadaan lokal. Hal ini akan mengurangi kompetisi dalam
proses pengadaan, di mana inovasi dan nilai untuk pembayar pajak dari
pengeluaran untuk pengadaan berpotensi turun akibat semakin rendahnya
kompetisi dalam proses pengadaan.
Sementara itu di Kanada, pengadaan publik diatur dalam Financial
Administration Act dan Broader Public Sector Accountability Act yang
mengacu pada Government Contracts Regulations. Pengadaan sektor
pangan lokal di Kanada secara khusus telah diatur dalam Lokal Food Act
2013. Pada tingkat provinsi, Ontario telah menetapkan beberapa kebijakan
pengadaan lokal dengan fokus pada keterlibatan local suppliers. Ontario
adalah agri-food powerhouse bagi Kanada. Berdasarkan laporan Ontario
Local Sustainable Food Procurement, pengeluaran Ontario Broader Public
Sector Institutions pada sektor makanan dan minuman mencapai $1,8
miliar setiap tahun. Besarnya kekuatan belanja pada sektor ini mendorong

Khoirunurrofik 143
produksi pangan secara berkelanjutan dalam sistem pangan Ontario.
Laporan ini juga memberikan bukti bahwa pengadaan pangan lokal yang
berkelanjutan menunjukkan manfaat positif pada ekonomi, lingkungan,
dan masyarakat Ontario, seperti menciptakan lapangan kerja baru,
membangun ekonomi lokal, dan mengurangi jarak tempuh penyaluran
pangan sekaligus mendukung petani dan produsen pangan lokal.
Secara khusus di Kota Toronto, terdapat kebijakan pengadaan
makanan lokal yang mengatur bahwa pembelian makanan (lebih dari
$3.000) oleh The Purchasing and Materials harus mengajukan Request for
Quotations (RFQs) yang meningkatkan persentase penggunaan makanan
yang ditanam secara lokal. Berdasarkan kebijakan tersebut, makanan
lokal yang dimaksud meliputi (1) fresh food, yang berarti makanan lokal
harus ditanam di Ontario; dan (2) value added atau processed food, yang
berarti bahwa semua bahan pertanian utama dan sebagian besar (51%
atau lebih) bahan pendukung harus berasal dari Ontario dan/atau 80%
dari semua keuntungan harus tetap dimiliki Ontario.
Sehubungan dengan praktik internasional tersebut terkait
kebijakan pengadaan lokal, beberapa kota/kabupaten di Indonesia telah
mengimplementasikan Peraturan Pemerintah RI No. 38 Tahun 2017
dengan menciptakan inovasi daerah yang bertujuan untuk meningkatkan
perekonomian serta mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran
di daerah tersebut. Salah satu contohnya adalah Kabupaten Kulonprogo
yang mengeluarkan kebijakan ‘Bela dan Beli Kulonprogo’ pada tahun
2012 dengan tujuan untuk mengajak masyarakat Kabupaten Kulonprogo
membangun perekonomian daerahnya dengan cara memproduksi dan
mengkonsumsi produk Kabupaten Kulonprogo. Gagasan kebijakan ini
muncul akibat rasa prihatin Hasto Wardoyo, Bupati Kulonprogo, mengingat
kabupaten termiskin di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, di mana
persentase kemiskinan pada tahun 2012 mencapai 24,6 persen1.
Dalam implementasi kebijakan ‘Bela dan Beli Kulonprogo’, beberapa
inovasi pemerintah Kabupaten Kulonprogo meliputi: (1) mendorong
PDAM untuk memproduksi air minum kemasan dengan merek Airku (Air
Kulonprogo) yang wajib digunakan di semua kegiatan Lingkup Pemkab
dan sekolah; (2) memfasilitasi pembentukan Gabungan Kelompok Tani
(Gapoktan) untuk memproduksi beras hingga tahap pengemasan; (3)
mewajibkan setiap PNS Lingkup Pemkab untuk membeli beras dari
Gapoktan sehingga pendapatan petani lokal meningkat; (4) mewajibkan
setiap pelajar untuk menggunakan seragam berbahan baku kain batik
‘geblek renteng’ buatan Kulonprogo di hari tertentu sehingga industri
batik Kulonprogo dapat bangkit dan terus berkembang; (6) mewajibkan
penggunaan bahan baku lokal dalam semua proyek infrastruktur di
Kabupaten Kulonprogo; serta (7) mewajibkan semua perusahaan di
1 https://regional.kompas.com/read/2015/12/16/15060851/Hasto.Bupati.Bergelar.Dokter.yang.Bikin.
Gerakan.Bela.dan.Beli.Kulon.Progo.

144 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


Kabupaten Kulonprogo untuk menyisihkan lima persen keuntungan bagi
desa-desa di Kabupaten Kulonprogo (program one village one sister
company) melalui Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2012 tentang Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan.
Kesesuaian implementasi kebijakan dengan tahap-tahap kebijakan
publik serta adanya komunikasi dan disposisi yang baik dalam
implementasinya membuat kebijakan ‘Bela dan Beli Kulonprogo’ berhasil
memberikan dampak positif, seperti meningkatnya penjualan atas
produk Kabupaten Kulonprogo, menurunnya tingkat pengangguran dan
kemiskinan, dan meningkatnya kesejahteraan dan ekonomi masyarakat.
Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2019), dalam kurun waktu enam
tahun, terbukti bahwa persentase kemiskinan Kabupaten Kulonprogo
mengalami penurunan menjadi 18,3 persen di tahun 2018, turun dari 24,6
persen di tahun 2012
Dengan fokus inovasi yang sama, Kabupaten Pati juga mengeluarkan
kebijakan penggunaan produk lokal melalui Peraturan Bupati No. 1 Tahun
2015 tentang Penggunaan Produk Lokal Unggulan Daerah2. Adapun tujuan
dari kebijakan tersebut adalah untuk menggalakkan penggunaan potensi
sumber daya lokal dalam kegiatan usaha-usaha ekonomi kerakyatan,
menciptakan lapangan kerja dan wirausaha baru, mendorong peningkatan
kapasitas produksi dan diversifikasi produk yang berkualitas dan berdaya
saing oleh para pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), serta
meningkatkan pendapatan para pelaku UMKM pada khususnya dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.
Berdasarkan peraturan tersebut, pemerintah daerah telah
memfasilitasi inovasi pemasaran berbagai jenis produk lokal unggulan
daerah dari perorangan maupun kelompok UMKM dengan cara mewajibkan
setiap ASN daerah dan setiap pelajar untuk menggunakan pakaian batik
motif khas Pati di setiap hari kamis, mengkonsumsi produk makanan dan
minuman lokal di setiap acara pemerintah daerah maupun perusahaan
swasta; menggunakan produk meubelier dan perlengkapan kantor lainnya
dari produk lokal unggulan daerah oleh pengrajin lokal, serta memanfaatkan
hasil produksi pelaku UMKM sebagai cinderamata dan/atau souvenir
dengan ciri khas daerah untuk tamu yang berkunjung ke Kabupaten Pati.
Kebijakan penggunaan produk lokal unggulan daerah tersebut ternyata
terbukti telah meningkatkan kualitas perekonomian daerah, menurunkan
tingkat pengangguran dan kemiskinan, serta meningkatkan pendapatan
masyarakat di Kabupaten Pati. Hal ini dibuktikan dengan penurunan
persentase kemiskinan kabupaten dari 11,95 persen di tahun 2015
menjadi 9,9 persen di tahun 2018 (Badan Pusat Statistik, 2019). Beberapa
kabupaten/kota seperti Kabupaten Sumenep, Blitar, dan Majalengka juga
telah berinovasi mengeluarkan kebijakan terkait penggunaan produk lokal
2 https://jdih.patikab.go.id/download/file/PERBUP-NO-1-TAHUN-2015-TTG-PENGGUNAAN-PRODUK-
LOKAL-UNGGULAN-DAERAH.pdf

Khoirunurrofik 145
seperti Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Pati demi meningkatkan
kesejahteraan masyarakatnya.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa inovasi daerah
dan jika dapat diterapkan di tingkat desa akan berkontribusi besar
dalam upaya pembangunan ekonomi berkelanjutan di desa. Inovasi
dari kedua kabupaten di atas adalah contoh nyata bagi daerah lainnya
dalam menentukan inovasi daerah terutama dalam pengutamaan produk
unggulan lokal. Ide kreatif, seperti yang dimiliki oleh kedua kabupaten di
atas, dibutuhkan oleh masing-masing daerah dalam upaya meningkatkan
perekonomian dan kesejahteraan masyarakat lokal, dan hal itu dapat
diterjemahkan di tingkat desa.

3. WIRAUSAHA LOKAL SEBAGAI MOTOR PENGGERAK


EKONOMI DESA
Pembangunan ekonomi desa secara berkelanjutan dapat dilakukan
melalui usaha desa untuk mengelola potensi-potensi yang dimiliki oleh
desa. Pembangunan pedesaan merupakan strategi yang dirancang untuk
meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan sosial masyarakat desa
terutama kelompok miskin. Organisation for Economic Co-operation and
Development (OECD) di tahun 2006 memperkenalkan konsep “Paradigma
Pedesaan Baru” melalui promosi wirausaha pedesaan sebagai salah
satu dari empat prioritas untuk pembangunan pedesaan (OECD, 2006).
Korsgaard dkk., (2015) mendefinisikan konsep kewirausahaan pedesaan
sebagai aktivitas bisnis yang dapat memberikan tambahan ekstra nilai
tambah pada aspek sosio-spasial daerah pedesaan di samping manfaat
ekonomi. Hal ini diperkuat oleh argumen Mueller (2013) yang menyatakan
bahwa geografi pedesaan mempunyai keunggulan spesifik lokasi
baik bentuk fasilitas fisik, sosial, dan budaya. Bahkan, Acs dkk (2008)
menekankan bahwa kewirausahaan adalah pendorong penting untuk
melakukan perubahan lanskap ekonomi baik dalam perekonomian formal
atau sektor informal seperti di banyak desa-desa di Indonesia.
Pada dasarnya kewirausahaan desa terkait dengan bagaimana
cara menemukan manfaat dan peluang di desa, mengembangkan
daerah pedesaan, serta menciptakan lapangan kerja bagi penduduk dan
meningkatkan kualitas hidup sebagaimana dikemukakan oleh Shane dan
Venkataraman (2000), Fuller-Love dkk, (2006), dan Irvine dan Anderson
(2004). Oleh karenanya, kewirausahaan telah dianggap sebagai faktor
penting dari perubahan sosial dan ekonomi sejak 1960 (Sharma, dkk
2013) sebagaimana konsep yang ditawarkan oleh Joseph Schumpeter
dalam The Theory of Economic Development (1911) yang mengatakan
bahwa kewirausahaan adalah mesin utama pembangunan ekonomi
dengan inovasi sebagai elemen utama.

146 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


Oleh karenanya, kewirausahaan pedesaan akan memainkan
peranan penting dalam menciptakan inovasi, mengembangkan kapasitas
masyarakat, menciptakan peluang kerja, serta mengoptimalkan interaksi
antara sektor pertanian, pemanfaatan dan alokasi lahan, keterlibatan
masyarakat, dan pembangunan ekonomi (Newbery et al., 2017). Namun
demikian, walaupun Nwankwo dan Okeke (2017) telah menyatakan bahwa
peran strategis kewirausahaan pedesaan dalam pembangunan pedesaan
telah menarik perhatian para pembuat kebijakan dan pakar pembangunan,
ternyata masih banyak kendala yang dihadapi oleh para wirausahawan
desa, seperti keterbatasan akses ke pasar-pasar besar, minimnya peluang
koneksi atau jaringan pasar, lemahnya pengetahuan terhadap teknologi
baru, serta hambatan dalam mendapatkan modal tambahan (Wilson,
Anderson, 2004; Fuller-Love dkk, 2006). Akibat dari hambatan-hambatan
tersebut, kewirausahaan desa akhirnya cenderung mengarah kepada
pemenuhan kebutuhan pedesaan serta belum memperhatikan interaksi
yang lebih luas dengan daerah lain apalagi dunia internasional.
Kebijakan desentralisasi fiskal berupa dana desa di UU Nomor 6
Tahun 2014 telah menjadi harapan baik bagi pembangunan desa dan
pemberdayaan masyarakat desa. Dana desa yang telah ditransfer oleh
pemerintah pusat ke desa sejauh ini sudah dipergunakan dengan maksimal,
terutama untuk pembiayaan infrastruktur di desa. Infrastruktur tersebut
tentunya sudah bermanfaat bagi masyarakat pedesaan dalam melakukan
berbagai aktivitas termasuk aktivitas dalam perekonomian. Dengan
demikian, pada masa mendatang dana desa seharusnya akan digunakan
untuk pemberdayaan masyarakat, sebagai salah satu cara menarik minat
masyarakat desa berwirausaha. Hal itu dapat dilakukan melalui pemberian
pelatihan tentang kewirausahaan dan mendorong peserta pelatihan untuk
menciptakan sebuah produk atau memulai wirausaha baru yang juga akan
didanai oleh dana desa. Dengan cara tersebut, APBDesa diharapkan juga
akan meningkat seiring dengan tumbuhnya wirausaha baru di pedesaan
yang akan menjadi motor penggerak perekonomian desa.
Hubungan pembangunan desa dan kewirausahaan telah dievaluasi
oleh Menkhoff dan Rungruxsirivorn (2011) di Thailand dan Nwankwo
dan Okeke (2017) di Nigeria. Penelitian di Thailand menemukan bahwa
dana desa sebagai salah satu program keuangan mikro terbesar dalam
peningkatan akses keuangan telah terbukti meningkatkan penghasilan
kelompok rumah tangga berpenghasilan rendah, bahkan lebih tinggi
dari kelompok rumah tangga yang meminjam di lembaga keuangan
formal. Hal ini menunjukkan bahwasanya keberadaan dana desa telah
mengurangi kendala terhadap akses pembiayaan kredit terutama bagi
pelaku usaha di desa. Selanjutnya, penelitian di Negeria menunjukkan
bahwa kewirausahaan pedesaan memegang peranan penting bagi
pengembangan daerah pedesaan, seperti untuk mengurangi migrasi desa-
kota dan pemborosan sumber daya lokal. Namun demikian, penelitian

Khoirunurrofik 147
itu menekankan pentingnya ekosistem pendukung yang baik seperti
dukungan dan penyediaan infrastruktur dari pemerintah bagi wirausaha
pedesaan.
Salah satu bentuk kewirausahaan desa adalah melalui BUMDes
yang ditetapkan melalui Permen Desa PDTT No. 4 tahun 2015 sebagai
pelaksanaan dari UU No. 6 tahun 2014. Aturan tersebut menjadi payung
hukum untuk BUMDes sebagai lembaga ekonomi desa untuk mengelola
potensi desa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
BUMDes yang didirikan di setiap desa seharusnya lahir dari inisiatif
masyarakat desa melalui musyawarah perencanaan dan pembangunan
desa, serta mempunyai tujuan dan aktivitas yang berbeda-beda sesuai
kebutuhan, potensi, dan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing
desa. Lembaga ini diharapkan menjadi pilar ekonomi desa dalam perannya
sebagai lembaga ekonomi multiguna, yaitu sebagai badan usaha untuk
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat desa dan juga sekaligus untuk
membantu penyelenggaraan pemerintah desa. Dalam perannya sebagai
lembaga ekonomi desa, BUMDes akan menghasilkan keuntungan dari
kegiatan produktif melalui pengelolaan sumber daya desa baik barang
maupun jasa yang akan ditawarkan kepada pasar (Srirejeki, 2018).
Berdasarkan uraian di atas, maka wirausaha lokal di tingkat desa akan
memegang peranan penting dalam menciptakan inovasi di desa termasuk
melakukan pengelolaan lembaga ekonomi lokal BUMdes yang berhasil.
Beberapa indikator keberhasilan desentralisasi yang menghasilkan
pembangunan pedesaan adalah jika dana desa yang dikelola oleh
BUMDes dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
pedesaan, mendorong partisipasi aktif masyarakatnya, serta mampu
meningkatkan kapasitas institusi lokal sebagaimana dikemukakan oleh
Sutiyo (2014). Namun sebaliknya, kegagalan desentralisasi telah terjadi
jika pengelolaan dana desa tidak transparan dan proses musyawarah desa
hanyalah sebuah formalitas, tidak terdapat modal sosial di tingkat lokal,
tidak terdapat partisipasi masyarakat miskin pedesaan, serta rendahnya
kapasitas institusi lokal. Oleh karenanya, implementasi desentralisasi di
tingkat desa harus didukung oleh komitmen politik pemerintah daerah
setempat, penguatan kapasitas kelembagaan yang mendorong partisipasi
masyarakat, melakukan pemberdayaan masyarakat pedesaan dan serta
melakukan pengembangan kapasitas institusi lokal (Sutiyo, 2014).

4. KERJASAMA ANTAR DESA UNTUK MENINGKATKAN


SKALA EKONOMI
Pembangunan regional di Indonesia mendefinisikan wilayah administratif
dan yuridiksi politik dimulai dari Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan,
dan Kelurahan/Desa. Namun demikian, suatu daerah juga membutuhkan

148 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


daerah lainnya karena tidak semua sumber daya yang dibutuhkan dimiliki
oleh daerah yang bersangkutan. Akibatnya, suatu daerah pasti juga
membutuhkan daerah lain baik untuk membeli maupun untuk memasarkan
produk-produknya. Secara teoritis, kebijakan desentralisasi dalam
penyediaan pelayanan publik memerlukan ukuran yang optimal (optimal
size) dari pemerintah daerah dan pemerintah desa. Hal ini untuk mencapai
tingkat efisiensi dari skala ekonomi, efisiensi belanja, serta optimalnya
pencapaian kinerja pembangunan.
Otonomi daerah adalah momentum untuk memenuhi berbagai
kepentingan suatu daerah dengan tetap melihat kepentingan nasional
yang lebih luas serta memperhatikan kepentingan daerah yang saling
bertetangga. Hal ini penting karena kegiatan ekonomi di suatu daerah
sering kali berdampak negatif pada daerah lain sebagai bentuk eksternalitas
negatif yang tidak dapat dihindari (Keban, 2005). Berdasarkan hal tersebut,
maka hubungan antar daerah menjadi penting untuk diperhatikan dalam
pemerintahan baik dalam hubungan saling melengkapi (complementary)
ataupun saling bersaing (competition) dalam kondisi persaingan yang
sehat.
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberikan
dasar hukum yang jelas bagi daerah untuk melakukan kerja sama
pembangunan, baik dengan pihak ketiga (publik atau swasta) maupun
kerja sama antar daerah yang bertetangga. Dengan argumen untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat, maka daerah diperbolehkan
(bahkan ”diwajibkan”) untuk mengadakan kerja sama dengan daerah lain
berdasarkan pertimbangan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas
pelayanan publik dan membangun sinergi yang saling menguntungkan.
Hal ini selaras dengan konsep Pembangunan Kawasan Perdesaan di
UU Desa yang menyatakan bahwa Pembangunan Kawasan Perdesaan
bertujuan untuk mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan,
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa dengan pendekatan
pembangunan partisipatif melalui perpaduan pembangunan antar desa
dalam satu kabupaten/kota. Selanjutnya, aturan tersebut juga mengatur
bahwa kerja sama antar desa dan kerja sama dengan pihak ketiga dapat
juga dilakukan dalam rangka untuk mempercepat dan meningkatkan
penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa,
pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa.
Kerja sama antar daerah secara umum terjadi karena beberapa
hal, diantaranya adalah adanya saling ketergantungan dalam aktivitas
ekonomi, perbedaan dalam kepemilikan sumber daya, spesialisasi
dengan maksud meningkatkan nilai tambah suatu daerah, geografis dan
karakteristik sumber daya yang berbeda. Proses dari kerja sama antar
daerah dapat mendorong terjadinya kompromi, proses evaluasi dan
konsultasi, perumusan rencana strategis serta penentuan tujuan bersama.

Khoirunurrofik 149
Terdapat beberapa faktor untuk menjamin keberhasilan kerja sama
antar daerah atau antar desa, antara lain adanya kesadaran bersama untuk
menangani isu terkait, memiliki koordinasi dan komunikasi yang kuat antar
daerah dan antar lembaga terkait, memiliki prasarana dan sarana yang
memadai untuk mengelola isu tersebut, ada lembaga yang menangani isu
tersebut, dapat bersifat formal maupun informal, dan terdapat benefit yang
akan diterima oleh masing-masing daerah.
Secara umum, hasil yang diperoleh dari adanya kerja sama antar
daerah dapat berupa hasil dalam bentuk manfaat ekonomi atau anggaran,
perbaikan dan keberlanjutan pemberian pelayanan atau program, dan
peningkatan kemampuan pembagian pembiayaan dan tanggung jawab.
Adanya kerja sama antar daerah juga dapat menghilangkan duplikasi
anggaran dari kegiatan atau program yang dijalankan sehingga dapat
mengoptimalkan efisiensi belanja. Dalam konteks kerja sama antar desa,
setiap desa pasti memiliki sistem masing-masing dalam pengolahan
sumber daya alam, tenaga kerja dan faktor-faktor produksi lain. Namun,
setiap desa tentunya tidak dapat mencukupi kebutuhannya sendiri.
Oleh karenanya, perbedaan potensi dan kemampuan antar desa akan
mengakibatkan adanya perdagangan antar desa melalui arus perpindahan
barang dan jasa.
Prasyarat bagi suatu desa untuk maju adalah apabila desa tersebut
sanggup memproduksi barang dan jasa yang lebih besar dari kebutuhannya
sendiri. Kelebihan produksi ini nantinya diperdagangkan ke desa lain
untuk dipertukarkan dengan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh desa
tersebut. Arus perdagangan tersebut akan menghubungkan semua
wilayah produksi di desa tersebut dengan pusat perdagangan utama
seperti pasar. Namun demikian, untuk penentu utama volume barang
dan jasa yang dikonsumsi setiap desa adalah jumlah dan kemampuan
konsumen di desa tersebut. Oleh karenanya, pendapatan per kapita,
daya beli, karakter penduduk dari desa tersebut menjadi faktor penting
tumbuhnya ekonomi dan perdagangan di kawasan pedesaan yang
dimaksud. Selain itu, ketersediaan infrastruktur yang berbeda-beda di
setiap desa akan menyebabkan laju interaksi suatu desa berbeda dengan
desa di sekitarnya. Suatu daerah dengan sarana jalan, transportasi yang
lebih baik akan memudahkan mereka untuk berinteraksi dengan daerah
lain dibanding dengan daerah yang memiliki keterbatasan infrastruktur.
Sementara itu, desa-desa yang terpencil memiliki akses terbatas sehingga
terisolasi terhadap perkembangan di daerah sekitarnya. Keterbatasan
geografis ini juga yang dapat mempersulit hubungan antar daerah dalam
bentuk perdagangan atau aliran sumber daya dan barang/jasa.

150 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


5. PENUTUP
Perekonomian daerah di Indonesia sebagian besar masih didominasi oleh
konsumsi masyarakat sehingga hal ini memberikan peluang yang besar
bagi desa untuk menjadi pemasok utama untuk konsumsi domestik dan
mengurangi ketergantungan dari impor. Kebijakan inovasi daerah dan
desa yang mengutamakan produk lokal akan menjamin keberlangsungan
permintaan atas produk-produk dari masyarakat desa sehingga perputaran
uang dari dana desa dapat dipertahankan dan mengurangi capital outflow
ke luar daerah.
Agar pembangunan ekonomi di desa dapat berkualitas dan
berkelanjutan maka harus diupayakan peningkatan masuknya investasi
ke desa dengan fokus pada sektor-sektor yang menghasilkan efek
pengganda besar. Oleh karenanya, peran wirausaha desa yang difasilitasi
oleh BUMDes akan memegang peranan penting untuk menciptakan
iklim investasi yang menarik dan menunjang, yang tidak diganggu oleh
upaya peningkatan PADesa dan APBDesa secara berlebihan. Selain
itu, inovasi desa dan wirausaha desa ini diharapkan akan berdampak
pada penciptaan lapangan kerja baru dan sekaligus menjadi solusi bagi
masalah pengangguran jika tenaga kerja lokal mempunyai kapasitas yang
memadai untuk menjadi salah satu pelaku utama dalam perekonomian
desa.
Sebagaimana tujuan besar dari pelaksanaan otonomi daerah dan
desentralisasi, maka setelah desentralisasi politik, administrasi, dan fiskal,
tahapan berikutnya adalah desentralisasi ekonomi. Oleh karenanya,
pemerintah desa harus bertransformasi menjadi unit perekonomian daerah
yang aktif selain sebagai unit administrasi pemerintahan. Selanjutnya,
APBDesa bukan lagi menjadi tujuan akhir pembangunan ekonomi
desa melainkan terciptanya aktivitas ekonomi yang berkelanjutan untuk
mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan. Dengan demikian,
desentralisasi haruslah dilihat sebagai kepentingan semua pihak di desa
dan bukan kepentingan sejumlah kelompok elit tertentu, dan dalam hal ini
akan menuntut kepala desa untuk mempunyai karakter kepemimpinan dan
semangat wirausaha untuk membangun sistem yang berkesinambungan
dalam menjalankan roda perekonomian desa melalui berbagai terobosan
inovasi kelembagaan.
Selain itu, dalam rangka menciptakan kemandirian ekonomi lokal
maka desa harus mampu mengidentifikasi sektor/komoditi prioritas sesuai
dengan kondisi lokal dan tren persaingan regional dan global. Selanjutnya,
aparat desa dan masyarakat desa haruslah mampu menjadikan
perekonomian desanya “layak” menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
di tingkat lokal dan regional melalui kebijakan ekonomi lokal yang unik.
Hal ini diharapkan dapat menjadi terobosan kebuntuan pertumbuhan
ekonomi nasional dan daerah dan sekaligus mengurangi masalah

Khoirunurrofik 151
ketimpangan antar daerah. Dan pada akhirnya, kerja sama ekonomi antar
desa seyogyanya harus dikembangkan di mana pemerintah kabupaten
seharusnya dapat berperan penting dalam menciptakan “Economics of
Scale” bagi perekonomian desa.

6. DAFTAR PUSTAKA
Acs, Z. J., Desai, S., & Klapper, L. F. (2008). What does" entrepreneurship"
data really show? A comparison of the Global Entrepreneurship
Monitor and World Bank Group datasets. The World Bank.

Antlöv, H. (2003). Village government and rural development in Indonesia:


The new democratic framework. Bulletin of Indonesian Economic
Studies, 39(2), 193-214.

Arifin, Bondi & et al. 2020. Village fund, village-owned-enterprises, and


employment: Evidence from Indonesia. Journal of Rural
Studies.79.382-394.

Bahl, Roy & Linn, Johannes. (1994). Fiscal Decentralization and


Intergovernmental Transfers in Less Developed Countries.
Oxford University Press, Vol. 24, No. 1, pp. 1-19.

Bergh, S. I. (2010). Assessing the scope for partnerships between


lokal governments and community-based organizations:
findings from rural Morocco. International Journal of Public
Administration, 33(12-13), 740-751.

Boonperm, Jirawan, Haughton, Jonathan, Khandker, Shahidur R. (2013).


Does The Village Fund Matter in Thailand? Evaluating The
Impact On Incomes and Spending. Journal of Asian Economics,
Vol. 25, pp. 3-16.

Fuller‐Love, Nerys, Peter Midmore, Dennis Thomas, and Andrew Henley.


"Entrepreneurship and rural economic development: a scenario
analysis approach." International Journal of Entrepreneurial
Behavior & Research (2006).

Irvine, W., & Anderson, A. R. (2004). Small tourist firms in rural areas:
Agility, vulnerability and survival in the face of crisis. International
Journal of Entrepreneurial Behaviour & Research, 10(4), 229-
246.

152 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


Keban, Yeremias T. (2005), Kerjasama Antar Daerah dalam Era Otonomi:
Isu Strategis, Bentuk, dan Prinsip, Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta

Kemendesa PDTT. (2019). Rural Ekonomics III: Menguatkan Pilar Ekonomi


Desa. Jakarta: Biro Humas dan Kerjasama Kemendesa PDTT.

Korsgaard, S., Müller, S., & Tanvig, H. W. (2015). Rural entrepreneurship


or entrepreneurship in the rural–between place and
space.  International Journal of Entrepreneurial Behavior &
Research.

Kvartiuk, V., & Curtiss, J. (2019). Participatory rural development without


participation: Insights from Ukraine. Journal of Rural Studies,
69, 76-86.

Meador, J. E. (2019). Reaching rural: Identifying implicit social networks in


community development programmes. Journal of Rural Studies,
68, 285-295

Menkhoff, Lukas & Rungruxsirivon, Ornisiri. (2011). Do Village Funds


Improve Access to Finance? Evidence from Thailand. World
Development, Vol. 39, No. 1, pp. 110-122.

Newbery, R., Siwale, J., & Henley, A. (2017). Rural entrepreneurship theory
in the developing and developed world. International Journal of
Entrepreneurship and Innovation, 18(1), 3-4.

Nwankwo, Francis O & Okeke, Chinwe S. (2017). Rural Entrepreneurship


and Rural Development in Nigeria. Africa’s Public Service
Delivery and Performance Review.
OECD. Publishing. (2006). The new rural paradigm: Policies and
governance. Organisation for Economic Co-operation and
Development.

Ontario Minister of Agriculture, Food and Rural Affairs. (2019). Ontario's


Lokal Food Report 2018/19 Edition. Ontario: Ontario Minister of
Agriculture, Food and Rural Affairs.

Peraturan Pemerintah RI No. 38 Tahun 2017 tentang Inovasi Daerah

Peraturan Presiden RI No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang


dan Jasa

Khoirunurrofik 153
Queensland Government. (2017). Backing Queensland Jobs: Queensland
Government Procurement Strategy 2017. Queensland:
Queensland Department of Housing and Public Works.

Rosenstein-Rodan, P. N. (1961). Notes on the theory of the ‘big push’.


In  Economic Development for Latin America (pp. 57-81).
Palgrave Macmillan, London

Schumpeter, J. (1911). The theory of economic development. Harvard


Economic Studies. Vol. XLVI.

Shane, S. & Venkataraman, S. (2000). The promise of entrepreneurship


as a field of research. Academy of Management Review, 25(1),
217–226.

Sharma, M., Chaudhary, V., Bala, R., & Chauhan, R. (2013). Rural
entrepreneurship in developing countries: Challenges, problems
and performance appraisal. Global Journal of Management and
Business Studies, 3(9), 1035-1040.

Speer, J. (2012). Participatory governance reform: a good strategy for


increasing government responsiveness and improving public
services?. World Development, 40(12), 2379-2398.
Srirejeki, K. (2018). Empowering the Role of Village Owned Enterprises
(BUMDes) for Rural Development: Case of Indonesia. Journal
of Accounting, Management, and Economics, 20 (1), 5-10.

Sutiyo, S. (2014). Decentralization: Potentiality and Challenge for Rural


Development.  Journal of International Development and
Cooperation, 20(3), 5-12.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

154 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


KRISIS EKONOMI DAN MASA DEPAN
TRANSAKSI DIGITAL DI DESA DALAM
ERA TATANAN KEHIDUPAN BARU BAB
Moh. Ahlis Djirimu
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tadulako
ahlis.djirimu66@gmail.com
XIII
1. PENDAHULUAN
Presiden Jokowi pada 15 Mei 2020 menyatakan “Kehidupan kita sudah pasti
berubah untuk mengatasi risiko wabah ini. Itu keniscayaan. Itulah yang oleh
banyak orang disebut sebagai new normal atau tatanan kehidupan baru”.
Empat bulan terakhir perubahan hidup ini begitu terasa. Kontak fisik sebagai
ajang silaturahmi di kantor, lapangan olah raga, cafe, kampus, perpustakaan,
hotel, rumah orang tua semakin minim. Di kota, minim kontak apalagi sekedar
obrolan sesama teman sejawat. Di desa juga demikian, tetapi sikap ‘awas’
dan ‘waspada’ tetap ada. Mungkin saja ini bukan akhir segalanya, tetapi
intensitasnya pasti semakin menurun. Silaturahmi bertransformasi dari kontak
fisik menjadi kontak daring. Tadinya, penulis berpikir booming tayangan
COVID-19 hanya merupakan permainan media massa mainstream dunia
bersaing membuat laku kegiatan bisnisnya seperti terjadi sebelumnya pada
tayangan SARS, MERS, Flu Burung. Lalu, empat bulan kemudian, ajang ini
berganti silaturahmi virtual, webinar, halal bihalal online sekedar menunjukkan
wajah dan berbicara masing-masing mengobati kerinduan bertemu bersapa,
bertukar cerita.
Tentu saja desa terkena dampaknya. Desa menjadi penting karena belajar
dari pengalaman krisis ekonomi lalu, UMKM dan sektor informal menjadi jaring
pengaman sosial. Saat ini, semua ahli ekonomi di Indonesia sepakat bahwa
desa menjadi jaring pengaman sosial dari terpaan krisis Covid-19. Sektor
pertanian memegang peran penting. Transformasi pertanian khususnya sub
sektor tanaman pangan dan hortikultura, sub sektor peternakan, perkebunan,
kehutanan, perikanan dari sistem tunai menjadi digital farming merupakan hal
yang mendesak dilakukan. Selain itu, pembangunan desa harus dilakukan
dari paradigma village uncorporated menjadi village incorporated, village-
urban incorporated. Semua harus menyadari peran desa tersebut. Iwan Fals
sudah pernah mengingatkan kita lewat lirik lagunya: “walau lahan di desa
telah menjadi milik kota…desa adalah kekuatan ekonomi…di lumbung kita
menabung…datang paceklik kita tak bingung”. Desa sangat berperan besar di
masa pandemi seperti sekarang. Intensitas kedatangan pandemi yang hanya
berjarak setiap empat tahun antar setiap pandemi Severe Acute Respiratory

Moh. Ahlis Djirimu 155


Syndrome (SARS, Flu Burung, Middle East Respiratory Syndrome (MERS),
dan Covid-19 mengharuskan kita memperkuat desa sebagai kekuatan
ekonomi agar kita mengantisipasi datangnya krisis kesehatan menimbulkan
krisis ekonomi berlanjut pada krisis pangan dan berujung pada krisis sosial
seperti kelaparan, kematian, disharmoni sosial. Pembahasan pada bab ini
akan dibagi menjadi dua bagian. Pertama, pembahasan untuk memahami
perjalanan krisis ekonomi. Kedua, pembahasan makna tatanan kehidupan
baru.

2. MEMAHAMI PERJALANAN KRISIS EKONOMI


Pada April 2009, Direktur Pusat Kajian Ekonomi Makro dan Keuangan
Internasional (CEMAFI) Universitas Nice Sophia Antipolis meminta
penulis mengamati pergerakan kurs berbagai negara baik secara individu
maupun berbagai regional selama periode 1948-2009. Penulis sampai
pada beberapa catatan kecil saat itu yakni pertama, pasca runtuhnya
sistem Bretton Woods yang berpatokan pada kurs tetap, semua negara
mengalami kerentanan ekonomi yang yang dipercepat oleh gelombang
berbagai negara dalam integrasi perdagangan dan integrasi keuangan
internasional. Kedua, tidak ada satu rezim mata uang tunggal yang berlaku
tepat bagi suatu negara dan atau pada waktu yang sama. Ketiga, krisis
ekonomi terjadi secara regional lalu merambat menjadi krisis global.
Penulis fokus pada poin ketiga yakni krisis ekonomi. Perjalanan krisis
ekonomi dimulai awal abad ke-19 saat sejumlah negara bagian Amerika
mengalami default atau gagal bayar hutang luar negerinya pada pinjaman
dari Eropa untuk membiayai pembangunan berbagai kanal sebagai jalur
transportasi perairan pada era itu. Kegagalan memenuhi pembayaran
tersebut sesuai waktu yang tertera pada kontrak dapat menjadi sentimen
negatif bagi negara bagian peminjam. Di belahan dunia lainnya yakni di
Amerika Latin, pada abad tersebut, terjadi krisis Baring atau Panic of 1890
sebagai lanjutan dari krisis parah di Argentina yang berpangkal pada krisis
hutang berdaulat (sovereign debt). Lalu pada Tahun 1917, Pemerintahan
Komunis Rusia mengesampingkan hutang Pemerintah Sovyet membuat
Inggris dan Prancis kehilangan jutaan pound investasi asing di Rusia. Krisis
terbesar dalam sejarah adalah the Great Depression pada dekade 1930an
ketika hampir semua negara-negara berkembang mengalami gagal bayar
pada hutang luar negerinya. Sejarah krisis berlanjut dengan krisis hutang
luar negeri negara-negara “MBA+” terminologi Meksiko, Brazil, Argentina
plus Chile pada dekade 1980an. Lalu pada Meksiko mengalami krisis lagi
kesekian kalinya pada Tahun 1987 dan 1994 sebelum pindah ke belahan
krisis Asia pada 1997 dan krisis Rusia pada tahun yang sama, lalu krisis
hutang publik Brazil, krisis Argentina pada 2001-2002, krisis Amerika pada
2008 dan krisis Zona Euro pada 2010.

156 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


Pendekatan analisis teoritis mengetengahkan bahwa krisis ekonomi
yang terjadi dapat dimaknai atas dua hal. Pertama, krisis ekonomi
merupakan konsekuensi terjadi ketidakseimbangan di pasar keuangan
internasional berbarengan dengan optimisme harga saham, pada satu
sisi, dan pada sisi lain adalah asal muasal debitur dan rezim nilai tukar.
Oleh Ekonom kenamaan Amerika (Kaminsky et al., 1998) membagi krisis
ini atas tiga model generasi krisis. Krisis generasi pertama diperkenalkan
oleh Salant-Henderson-Krugman-Flood-Garber. Krisis generasi kedua
diperkenalkan oleh Maurice Obstfeld, serta krisis generasi ketiga
diperkenalkan oleh Paul R. Krugman. Kedua, krisis ekonomi sebagai
konsekuensi dari keterbukaan ekonomi diperkenalkan oleh Bernake-
Gertler, serta ketiga adalah krisis Asia menurut IMF-Radelet-Sachs.
Krisis generasi pertama terjadi pada saat kondisi ketidakseimbangan
fiskal yang ditandai oleh defisit anggaran yang cenderung
berkesinambungan. Defisit ini terjadi karena berbagai hal seperti
ketidaktepatan dalam penetapan target penerimaan negara, semakin
besarnya belanja sosial seperti health care karena struktur penduduk
dominan berusia senja, tunjangan pengangguran meningkat, belanja
militer yang tidak terkontrol. Hal ini menjadi pemicu serangan spekulatif
terhadap mata uang nasional, baik karena asimetri informasi maupun moral
hazard. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa Bank Sentral cenderung
membiayai defisit fiskal melalui pencetakan uang dan/atau dalam konteks
luar melalui monetisasi berupa pemberian kredit dalam negeri, sementara
pada saat yang sama berupaya mempertahankan nilai tukar tetap yang
pasti akan menggerus cadangan devisa bagi intervensi Bank Sentral bila
terjadi gejolak moneter. Dengan kondisi cadangan devisa resmi yang
terbatas, ekspektasi mengenai terjadi devaluasi telah mendorong tindakan
para spekulan untuk menyerang mata uang, termasuk obligasi yang
belum dilindung nilai (hedging) yang selanjutnya menguras cadangan
devisa dalam satuan bulan impor dan rasio kecukupan benchmarking
internasional Bank Sentral. Fenomena ini pernah melanda Meksiko
sehingga menjatuhkan obligasi pemerintah dalam mata uang nasional
“cetes” dan obligasi dalam dolar “tesobonos” menjadi “obligasi sampah”
karena diperparah pembunuhan calon presiden Meksiko.
Krisis generasi kedua dikaji oleh Obstfeld (1994) yakni kondisi
trade-off yang dihadapi pemerintah, antara pilihan mempertahankan kurs
tetap dan menerapkan kebijakan moneter ekspansif untuk mengurangi
pengangguran. Skenario krisis tidak lagi bersifat deterministik antara
negara dan pasar. Model ini menunjukkan bahwa krisis terjadi tanpa
memburuknya fundamental ekonomi secara signifikan. Namun model
ini belum dapat menjelaskan mengapa terjadi krisis Asia di Tahun 1997.
Kompleksitas krisis Asia menyebabkan runtuhnya sistem keuangan dan
kebangkrutan korporasi besar seperti Finance-One di Thailand, Hanboo,
Halla, Sammi, Jinro, serta likuidasi enam belas bank di Indonesia.

Moh. Ahlis Djirimu 157


Analisis krisis ekonomi generasi ketiga dikembangkan Krugman
(1998) dan Corsetti, Pesenti, Roubini (1999) (Studi, 2002). Krisis ini Asia
merupakan elemen penting karena berbeda dengan krisis generasi pertama
dan krisis generasi kedua. Dalam krisis generasi ketiga, tidak ada faktor
fundamental ekonomi yang bermasalah seperti dijelaskan dalam krisis
generasi pertama. Sebelum krisis, APBN masing-masing negara Asia
berada dalam kondisi seimbang. Kebijakan moneter tidak berada dalam
implementasi ekspansif dan tingkat inflasi rendah. Walaupun pertumbuhan
ekonomi menurun, kawasan ini tidak mengalami pengangguran. Sebelum
terjadinya krisis, negara-negara Asia mengalami ”boom-bust cycle”, baik di
pasar ekuitas, di pasar modal dan real estate. Krisis ini dipicu oleh excess
likuiditas yang selanjutnya sistem keuangan ambruk. Krisis ini bermula dari
perantara sistem keuangan, yaitu lembaga yang memiliki kapasitas untuk
mendapatkan jaminan implisit dari belum diatur oleh negara. Hal ini memicu
fenomena moral hazard. Akibatnya, jumlah hutang yang diberikan oleh
lembaga perantara ini menyebabkan peningkatan inflasi. Inflasi ini bukan
dipicu oleh peningkatan harga komoditas, tetapi oleh penilaian harga saham
yang berlebihan. Dalam situasi ini, risiko penyebaran hutang meningkat,
risiko aset di pasar ekuitas akan meningkat dalam jangka panjang.
Keterbukaan ekonomi mendorong arus masuk modal asing jangka
pendek ke domestik. Hal ini didorong oleh gencarnya korporasi domestik
meminjam di pasar keuangan internasional yang suku bunganya
terkadang 2,5 persen lebih tinggi dari suku bunga acuan pinjaman pada
London Interbank Offered Rates (LIBOR) untuk meningkatkan aset
likuidnya. Kondisi ini menimbulkan hilangnya kepercayaan investor asing
karena adanya capital flight. Di dalam negeri, pencetakan uang kurang
ampuh karena depresiasi mata uang nasional dan memburuknya neraca
pembayaran. Model ini merujuk pada model keseimbangan umum
Mundell-Fleming.
Baik IMF (2006) maupun Radelet-Sachs (Affairs et al., 2005)
mengetengahkan bahwa krisis ekonomi yang terjadi di Asia merupakan
krisis tata kelola ekonomi. Di saat itu, fenomena the Asian Miracle yakni
selama periode 1970-1996, pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia
mencapai 8 persen per tahun, dan baik kebijakan moneter maupun fiskal
tidak bersifat ekspansif. Namun, siapa menyangka, perekonomian asia
menyimpan “bubble economy” yang sewaktu-waktu dapat meledak. Pada
semester kedua Tahun 1997, fenomena gejolak moneter ditandai dengan
merosotnya nilai tukar mata uang di negara-negara Asia. Jatuhnya kurs
Baht Thailand pada tanggal 2 Juli 1997 sebagai konsekuensi dari gagal
bayar Bangkok International Bank Facilities (BIBF) karena ditanamkan di
sektor property oleh korporasi menimbulkan maturity and time missmatch.
Korporasi tersebut, sahamnya didominasi oleh para anggota parlemen,
partai kedua terbesar di Thailand saat itu mendorong jatuhnya Pemerintahan
Chavalit Yongchaiyudh pada November 1997. Jatuhnya Baht ini diikuti

158 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


oleh jatuhnya nilai Peso, Ringgit, Rupiah bahkan Dolar Singapura yang
dianggap berbagai kalangan sebagai salah satu mata uang yang terkuat
di kawasan ini, ikut-ikutan merosot nilainya terhadap Dolar Amerika.
Beruntung, Perdana Menteri Chuan Leekpai dapat memulihkan ekonomi
Thailand hingga Tahun 2001.
Krisis ekonomi terjadi dipicu oleh faktor internal dan eksternal.
Faktor internal berkaitan erat dengan fundamental ekonomi suatu negara.
Sedangkan faktor eksternal berkaitan erat dengan muncul moral hazard
sebagai konsekuensi dari sentimen pasar. Penulis hanya fokus pada faktor
internal. Indikator utama fundamental ekonomi adalah laju pertumbuhan
ekonomi, tingkat inflasi, cadangan devisa resmi, kurs, hutang luar
negeri, kinerja neraca perdagangan, serta tingkat pengangguran. Laju
pertumbuhan ekonomi Indonesia akan meleset dari target pemerintah
yang diperkirakan mencapai 5,3 persen, bahkan perkiraaan sementara
akan mengalami kontraksi sebesar 4,5-4,8 persen di Tahun 2020. Angka
inflasi di Indonesia secara umum mencapai 3-4 persen lebih rendah dari
laju pertumbuhan ekonomi rata-rata 5 persen. Selama triwulan I atau
Januari-Maret 2020, inflasi di Indonesia berturut-turut mencapai 0,39
persen, 0,28 persen dan 0,1 persen. Sedangkan pada April dan Mei 2020,
inflasi mencapai 0,08 persen dan 0,07 persen. Cadangan devisa resmi
Indonesia pada Februari 2020 mencapai US$ 131,7 miliar setara dengan
7,7 bulan impor atau 7,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri
pemerintah serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar
3 bulan. Rupiah ditutup menguat 0,39 persen pada level Rp 16.430,-
pada sesi 3 April 2020 menguat sehari sebelumnya pada rentang kisaran
Rp 16.430-16.505,-. Hari ini, 11 Juni 2020, rupiah ditutup melemah 0,29
persen pada level Rp 14.020,- per dolar dari penutupan sehari sebelumnya
Rp 13.903,- pada rentang transaksi di kisaran Rp 13.903,- - Rp 14.038,-
mengikuti depresiasi mayoritas mata uang regional Asia. Pada Februari
2020, neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus sebesar US$
2.335,9 juta. Hal ini disebabkan oleh adanya surplus sektor nonmigas
mencapai US$ 3.267,5 juta, sebaliknya, neraca migas mengalami defisit
sebesar US$ 931,6 juta. Selama periode Januari-Maret 2020, neraca
perdagangan Indonesia mengalami surplus sebesar US$ 1.699,2 juta
yang disebabkan oleh tingginya surplus sektor nonmigas mencapai US$
3.801,8 juta. Sedangkan nilai ekspor Indonesia di bulan April mencapai
US$ 12,19 miliar atau menurun sebesar 13,33 persen dibandingkan Maret
2020, sebaliknya, nilai impor mencapai US$12,54 miliar atau mengalami
penurunan 6,10 persen dibandingkan Maret 2020. Neraca perdagangan
Indonesia di bulan April mengalami defisit sebesar US$ 0,35 miliar. Posisi
Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia, pada akhir Januari 2020 tercatat
sebesar US$ 410,8 miliar. ULN tersebut, terdiri dari ULN sektor publik
(pemerintah dan Bank Sentral) sebesar US$ 207,8 miliar dan ULN sektor
swasta (termasuk BUMN) sebesar US$ 203,0 miliar. ULN Indonesia

Moh. Ahlis Djirimu 159


tersebut mengalami pertumbuhan sebesar 7,5 persen (year on year),
atau mengalami perlambatan dibandingkan dengan pertumbuhan pada
bulan sebelumnya sebesar 7,7 persen (yoy). Perkembangan tersebut
terutama disebabkan oleh perlambatan ULN swasta. ULN swasta tumbuh
lebih rendah dari bulan sebelumnya. Sementara pada Maret 2020, ULN
menurun tinggal US$ 389,3 miliar terdiri dari Hutang Sektor Publik baik
Pemerintah dan Bank Indonesia US$ 183,8 miliar dan Hutang Sektor
Swasta termasuk BUMN mencapai US$ 205,5 miliar.
Terakhir, data BPS menunjukkan bahwa tingkat pengangguran
terbuka menurun dari 5,34 persen pada Februari 2019 menjadi 5,28 persen
pada Agustus 2019. Pada Februari 2020, jumlah penganggur meningkat
60 ribu orang, namun Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Februari
2020 menurun dari tahun sebelumnya menjadi sebesar 4,99 persen.
Angka pengangguran penduduk lulusan SMK menempati peringkat
tertinggi barisan penganggur mencapai 8,49 persen. Kemungkinan
angka pengangguran akan meningkat pada edisi Agustus 2020 yang
terbit pada November 2020 sebagai konsekuensi dari penutupan industri
dan lapangan kerja pada berbagai daerah sebagai akibat dari Covid-19.
Akhirnya, data tersebut di atas menunjukkan bahwa fundamental ekonomi
Indonesia masih kokoh dan berbeda dengan pengalaman Tahun 1997,
namun Indonesia tetap waspada dan antisipatif konsekuensi ekonomi
dari Covid-19. Namun, realisasi angka pengangguran terbuka ini belum
memperhitungkan dampak Covid-19 yang mulai terasa pada April 2020.

3. MAKNA TATANAN KEHIDUPAN BARU


Kenormalan Baru merupakan satu dari empat tahap dalam masa pandemi.
Empat tahap tersebut adalah Death Zone, New Normal, Donkeyman,
Long Life Hope. Death Zone atau zona kematian, atau zona merah
adalah masa yang ditandai oleh merebaknya wabah (tha’un) yang dapat
menimbulkan kematian. Fenomena ini mengingatkan kita pada sejarah
masa lalu saat pandemi “Maut Hitam” atau black death melanda Eropa
dimulai dari Oktober 1347 setelah 12 kapal dagang Genoa berlabuh di
Pelabuhan Messina, Kepulauan Sisilia, di pesisir barat laut Mediterania.
Kapal tersebut menjadi perantara menyebarkan penyakit pes yang
berakibatnya hilangnya nyawa sepertiga penduduk Sisilia, kepulauan
yang terkenal dengan Cosanostra atau mafia Sisilia, dalam film The God
Father, The Last Don. Death Zone merupakan masa yang tidak boleh
diabaikan ataupun dipandang enteng. Kejadian membludaknya jenazah,
utamanya penduduk lanjut usia di Itali dua bulan lalu muncul akibat sikap
pandang enteng atas penyebaran pamdemi ini. Karakteristik Death Zone
ditandai oleh belum adanya penemuan obat maupun vaksin dan perilaku
masyarakat mengacuhkan wabah.

160 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


Kenormalan Baru atau Tatanan Kehidupan Baru merupakan tahap
kedua dari lockdown yang dilonggarkan. Tujuannya untuk membantu
pemerintah dalam mengambil kebijakan terukur mengenai level
pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tersebut sehingga
kebijakan yang dapat diambil dapat dipertanggungjawabkan. Persiapan
menuju Tatanan Kehidupan Baru akan dilakukan pada empat provinsi
yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatra Barat dan Gorontalo melibatkan
340 ribu TNI/Polri. Kondisi Tatanan Kehidupan Baru ditandai oleh belum
adanya penemuan dan/atau vaksin, intervensi pemerintah telah dilakukan
intervensi serta sebagian anggota masyarakat sudah peduli dan berusaha
mengikuti aturan pemerintah. Pada tahap ini seharusnya membutuhkan
persiapan matang. Transformasi perilaku dari pola pikir normal ke pola pikir
new normal menjadi tantangan berat karena membutuhkan pembiasaan.
Sebagai contohnya, bila kita bepergian keluar rumah, maka terasa kurang
lengkap apabila tidak membawa telepon seluler. Apabila telepon seluler
kita ketinggalan di rumah, maka pasti kita akan kembali mengambilnya.
Pada masa Tatanan Kehidupan Baru, selain HP, ketersediaan masker,
handsanitizer, tissue basah, tissue kering harus ada dalam tas kita. Bagi
perempuan, mungkin hal ini sudah menjadi kebiasaan walaupun masker
belum tentu ada dalam tas. Tetapi, bagi kaum lelaki, terasa berat karena
menambah beban tas. Mulai masa sekarang, hal ini tidak dapat dihindari
lagi, masker, handsanitizer beserta kelengkapan lainnya harus ada
menyertai kita. Sayang, Penerapan Jarak Sosial minimal 1,8 meter belum
dipatuhi. Hal ini diperparah lagi oleh perilaku masyarakat lebih memilih
memenuhi “Zakat Mall” ketimbang “Zakat Mal”.
Donkeyman merupakan tahap ketiga. Tahap ini ditandai oleh adanya
fenomena yakni obat dan/atau vaksin telah ditemukan, pemerintah aktif
melakukan intervensi, tetapi perilaku masyarakat kembali lengah terhadap
pandemi. Pengalaman Kota Wuhan di Tiongkok yang melonggarkan
lockdown dan Korea Selatan yang justru menimbulkan gelombang baru
kenaikan COVID-19 pada anak usia sekolah patut menjadi pelajaran bagi
kita.
Tahap keempat adalah Long Life Hope. Tahap ini ditandai oleh
karakteristik ditemukannya obat dan/atau vaksin anti pandemi Covid-19
dan perilaku masyarakat sangat sadar dan taat dengan protokol
kesehatan yang diberlakukan pemerintah. Pada tahap ini, pembiasaan diri
masyarakat dan pola pikir masyarakat berubah dan menjadi lebih peduli
pada Perilaku Bersih Hidup Sehat (PHBS) menjadi modal utama bagi
Tatanan Kehidupan berikut.
Pada Kondisi Kenormalan Baru atau Tatanan Kehidupan Baru,
merupakan masa sangat penting dan menentukan. Penting karena
pemerintah telah meluncurkan berbagai macam stimulus anti pandemi baik
fiskal maupun moneter, termasuk bantalan sosial untuk menyelamatkan
penduduk dari ancaman kelaparan, kematian maupun kehilangan

Moh. Ahlis Djirimu 161


lapangan kerja, yang berimbas pada peningkatan kemiskinan dan
ketimpangan yang menurunnya daya beli masyarakat yang dapat berujung
pada ancaman gejolak sosial. Stimulus fiskal dan moneter ini berfungsi
ganda yakni mengatasi gejolak penawaran (supply shock) dan gejolak
permintaan (demand shock) yang dapat menimbulkan stagflasi. Kondisi
saat ini merupakan ujian ketegasan aturan pemerintah apakah masyarakat
benar-benar patuh saat terjadi pelonggaran lockdown pada tahap kedua
ini. Sosialisasi tiada henti, advokasi berkelanjutan merupakan bentuk
mentradisikan kebijakan. Kebijakan tegas yang patut diimplementasikan
dan diawasi serta dievaluasi pelaksanaannya.
Satu dari beberapa perubahan sebagai persiapan memasuki Tatanan
Kehidupan Baru adalah penggunaan uang digital sebagai pendamping
uang klasik berfungsi alat tukar-menukar dan transaksi non tunai
masyarakat yang tidak berbunga. Satu dari berbagai wujud komitmen BI
tersebut adalah membumikan pembayaran non tunai untuk menghindari
masyarakat dari gangguan keamanan, inefisiensi, risiko gangguan
kesehatan. Wujud transaksi non tunai itu adalah Uang Elektronik (UE) dan
QRIS, singkatan dari (QR Code Indonesia Standard).
Pengaturan Uang Elektronik oleh Bank Indonesia secara khusus
diatur pertama kali pada Tahun 2009 melalui Peraturan Bank Indonesia
(PBI) Nomor 11/12/PBI/2009 tentang UE. Pada Mei 2018, Bank Indonesia
menerbitkan kembali PBI UE sekaligus mencabut PBI UE sebelumnya,
guna mengakomodir perkembangan teknologi sekaligus memperkuat
aspek pengaturan UE di Indonesia. Model bisnis UE semakin bervariasi
seiring dengan perkembangan inovasi teknologi dan peningkatan
kebutuhan masyarakat. Penyelenggaraan UE perlu didasarkan pada
kondisi keuangan yang baik agar mampu memberikan manfaat yang
optimal bagi perekonomian Indonesia. Pengaturan yang harus memahami
adanya kenyataan adanya disparitas kinerja penyelenggara berizin dan
makin beragamnya pihak yang mengajukan permohonan izin UE. UE
diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu. Nilai uang
disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip. Nilai UE
yang dikelola bukan merupakan simpanan, maka secara prinsip penerbit
tidak diperkenankan untuk menyalurkan uang yang disetorkan menjadi
kredit atau pembiayaan, dan tidak diperkenankan untuk memberikan
manfaat seperti bunga kepada pengguna UE.
Terkait dengan sifat UE yang tidak diperlakukan sebagai simpanan,
di Uni Eropa telah diatur secara tegas bahwa nilai uang yang diterima
dari setoran nilai UE tidak diperbolehkan untuk disalurkan sebagai kredit,
dan penerbit dilarang memberikan bunga atau bentuk manfaat lainnya
kepada pengguna sehubungan dengan durasi waktu penatausahaan nilai
UE. Inovasi teknologi, termasuk perkembangan e-commerce dewasa
ini mendorong semakin meluasnya penggunaan UE yang digunakan
secara terbatas atau yang umum dikenal sebagai closed loop. Dengan

162 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


mempertimbangkan jumlah pengguna dan nilai Dana Float yang meningkat,
serta untuk memastikan perlindungan konsumen, UE closed loop perlu
diatur oleh Bank Indonesia. Peningkatan batas nilai UE belum teregistrasi
dari semula maksimal Rp 1 juta menjadi Rp 2 juta dilakukan dalam
rangka mengakomodir perkembangan kebutuhan penggunaan UE belum
teregistrasi untuk transaksi pembayaran dengan nilai yang lebih tinggi dari
Rp 1 juta dalam 1 (satu) kali transaksi dengan tetap memperhatikan aspek
keamanan transaksi.
QR adalah serangkaian kode yang memuat data maupun informasi
seperti identitas pedagang maupun pengguna, nominal pembayaran, dan/
atau mata uang yang dapat dibaca dengan alat tertentu dalam rangka
transaksi pembayaran. QRIS adalah sistem pembayaran Indonesia yang
dikembangkan oleh Bank Indonesia dan Asosiasi Sistem Pembayaran
Indonesia (ASPI). Selama ini, terjadi fragmentasi sistem pembayaran
yang bermakna bahwa konsumen sebagai user hanya dapat melakukan
QR pada 1 Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP). Akibatnya,
merchant harus memiliki banyak QR yang berkonsekuensi pula harus
memiliki banyak rekening pada berbagai PJSP.
Fenomena ini dirasakan kurang efisien karena harus memajang
berbagai QR sehingga memenuhi ruang meja kasir. Setelah QRIS
diberlakukan oleh BI, pengguna dapat melakukan scan QR dari semua
PJSP. Demikian pula merchant, cukup memiliki 1 rekening pada 1 PJSP.
QRIS menerapkan prinsip UNGGUL yang bermakna Universal yakni
inklusi bagi seluruh lapisan masyarakat dan dapat digunakan baik di dalam
negeri maupun di luar negeri sehingga tidak perlu membawa uang tunai
atau melakukan konversi kurs di money changer yang menyita waktu dan
tenaga saat antri, penggunaan kertas, serta jauh dari ancaman transmisi
kuman karena perpindahan tangan. GAMPANG bermakna transaksi
dengan mudah dilakukan dan aman. Pengguna cukup membuka aplikasi
pembayaran dari HP, lalu scan QRIS dan memeriksa kebenaran nama
merchant, lalu isi nominal pembayaran sambil memperlihatkan kebenaran
nominalnya pada merchant, selanjutnya eksekusi. UNTUNG, bermakna
satu untung bagi konsumen karena hanya 1 QR Code bagi semua aplikasi,
konsumen tinggal memperhatikan kecukupan cadangan depositnya
dalam rekening saat ini maksimum Rp 10 juta. LANGSUNG, bermakna
transaksi berlangsung cepat dan seketika mendukung kelancaran sistem
pembayaran, tanpa para merchant harus memeriksa lagi keabsahan uang
tunai, tanpa uang kembali baik kertas maupun logam yang menimbulkan
penularan virus COVID-19.
Dalam prakteknya, QRIS terbagi sesuai cara membuatnya yakni
QRIS Statis dan QRIS Dinamis. QRIS Statis maksudnya merchantnya
yang statis menunggu, yakni QR Code berisi identitas merchant dan
bersifat tetap, ditampilkan dalam sticker/print-out di atas meja kasir.
Nominal transaksi diinput oleh pelanggan pada mobile device customer

Moh. Ahlis Djirimu 163


(HP). Jadi yang aktif adalah pelanggan dalam pembayaran. Sedangkan
pada QRIS dinamis, besaran nominal transaksinya diinput oleh merchant.
QR Code dinamis dibuat secara real time pada saat transaksi sehingga
QR Code berbeda untuk setiap transaksi. Pada kategori ini, merchant
yang aktif menfasilitasi pembayaran konsumen berdasarkan bukti saling
percaya. QRIS juga membuat nyaman pengguna ATM tanpa takut tertular
droplet COVID-19 yang melekat pada gagang pintu ATM, tombol mesin
ATM, tanpa takut kehilangan uang akibat kerusakan ATM dan/atau perilaku
orang tak bertanggung jawab via ATM.
Selain itu, dalam hubungan spiritualitas dengan Sang Maha
Pencipta, apa yang dilakukan tangan kanan, tidak perlu diketahui tangan
kiri. Wujudnya, Zakat Mal, Infaq, Sadakah, sumbangan bagi rumah
ibadah, sumbangan pribadi bagi panti asuhan tanpa dilakukan secara
fisik. Celengan masjid cukup ditempelkan QR Scan sehingga jamaah
cukup mengeluarkan HP saja melakukan scan QR. Inisiasi kerjasama
antara Lembaga BAZIS, Pengurus Lembaga Keagamaan, Pengurus Panti
Asuhan, BI, ASPI patut dilakukan pasca lebaran ini.
Penggunaan transaksi digital menjadi kebutuhan mendesak dalam
masa Tatanan Kehidupan Baru baik di perkotaan maupun di perdesaan di
Indonesia. Penggunaan transaksi digital, terutama di perdesaan berguna
pula untuk mencegah transmisi lokal penyakit-penyakit berbasis lingkungan
yang saat ini selama 16 tahun telah terjadi pandemi seperti SARS, Flu
Burung, MERS, Covid-19. Untuk mendukung penggunaan transaksi
pembayaran digital ini, Pemerintah membangun infrastruktur Palapa Ring
Paket A Sumatra, separuh Jawa, dan Kalimantan Barat, Paket Tengah
Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, Bali, sebagian NTB, Kalteng, Kalsel,
Kaltim, Kaltara, sebagian Maluku dan Maluku Utara, Paket C sebagian
Maluku, NTT, Papua dan Papua Barat. Pembangunan infrastruktur
jaringan mencakup 2G, 3G, 4G. 2G mencakup 75.943 kelurahan/
desa atau proporsinya 90,72 persen dari 83.218 desa/kelurahan, 6.479
kecamatan atau proporsinya 90,30 persen dari 7.175 kecamatan dan 490
kabupaten/kota atau proporsinya mencapai 95,33 persen dari 514 kota/
kabupaten meliputi 133.865 BTS. Pada akses jaringan 3G, mencakup
wilayah administrasi 64.214 kelurahan/desa dari 83.218 kelurahan/desa
atau proporsinya mencapai 77,16 persen, meliputi 5.691 kecamatan dari
7.175 kecamatan atau proporsinya mencapai 79,32 persen, serta 457
kabupaten/kota dari 514 kabupaten/kota atau proporsinya mencapai
88,91 persen meliputi 175.796 Node B. Pembangunan infrastruktur
akses jaringan 4G mencakup 61.051 kelurahan/desa atau proporsinya
mencapai 73,36 persen dari 83.218 kelurahan/desa, 5.236 kecamatan
atau proporsinya sebesar 72,98 persen dari 7.175 kecamatan, serta
412 kabupaten/kota atau proporsinya mencapai 80,16 persen dari 514
kabupaten/kota di Indonesia, meliputi 62.691 eNode B. Tantangan terbesar
terletak pada penyediaan jaringan di desa-desa pedalaman Kalimantan,

164 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


Sulawesi dan Papua, pulau-pulau terluar di Maluku dan Maluku Utara
dalam implementasi transaksi pembayaran digital.

4. PENUTUP
Tantangan di masa datang terletak pada pola mentradisikan mekanisme
pembayaran digital non tunai ini di masyarakat baik UE maupun QRIS
hingga ke pelosok perdesaan lebih spesifik pada Usaha Menengah Kecil
yakni usaha yang beromzet Rp 300 juta sampai dengan Rp 2,5 miliar per
tahun dan memiliki aset Rp 50 sampai dengan Rp 500 juta. Demikian
pula implementasi pada Usaha Mikro yakni usaha yang beromzet sampai
dengan Rp 300 juta per tahun serta memiliki aset Rp 50 juta. Pada dua
kelompok inilah tantangan pemasyarakatan Uang Elektronik dan QRIS
dapat memiliki kesulitan karena kita ingin melakukan transformasi pola pikir
mereka dari sistem tunai berbasis kalkulator yang telah mendarahdaging
dalam peri kehidupan sehari-hari mereka dengan sistem digital non tunai
yang membuat para pelaku usaha dan konsumen masih gagap teknologi.
Strategi pelembagaan UE dan QRIS melalui anak-anak mereka generasi
milenial dapat saja mempermudah pemasyarakatan UE dan QRIS melalui
kerjasama pembinaan antara BI dan Dinas Koperasi dan UMKM 34
Provinsi dan 514 Dinas Koperasi dan UMKM kabupaten/kota di seluruh
Indonesia.
Dalam konteks desa, ada baiknya kita mengenang ucapan satu dari
beberapa Founding Fathers Republik Indonesia Prof. Dr. Moh. Hatta:
“Indonesia tidak akan bercahaya dengan obor besar di Jakarta, tetapi
Indonesia akan bercahaya karena lilin-lilin di desa”. Lilin-lilin di desa inilah
Insya Allah menjadi cerminan bergeraknya perekonomian desa yang
terang benderang oleh jaringan listrik, akses internet yang menjadi media
transaksi berbagai lapisan masyarakat menjadikan cita-cita Indonesia
yakni adanya village incorporated, urban-village incorporated, local-island
incorporated yang berujung pada Indonesian Incorporated yang ditunjang
oleh Collaboration, Openness, Value Based Education, Inclusiveness,
Diverty of Unity (COVID).

5. DAFTAR PUSTAKA
Affairs, F., Steven, R., Sachs, J., Radelet, B. S., & Sachs, J. (2005). Asia ’
s Reemergence. 1–8.

Corsetti, Giancarlo, Pesenti, Paolo, Roubini, Nouriel (1999), “What Caused


the Asian Currency and Financial Crisis?”, Japan and the
World Economy, pp. 305-373, www.newyorkfed.org/research/
economists/pesenti/whatjawor.pdf;

Moh. Ahlis Djirimu 165


Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Kementrian Keuangan
Republik Indonesia (2018), Kisah Sukses Dana Desa: Lilin
Cahaya di Ufuk Fajar Nusantara, Jakarta;

International Monetary Fund. (2006), “Globalisation Production and Financial


Integration in Asia”, Background Paper on the Second High-Level
Seminar on Asian Integration. Singapore: IMF and Monetary
Authority of Singapore. www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2006/
wp06196.pdf

Kaminsky, G., Lizondo, S., & Reinhart, C. M. (1998). Leading Indicators


of Currency Crises. In IMF Staff Papers (Vol. 45, Issue 1, pp.
1–48). https://doi.org/10.2307/3867328

Krugman, Paul R.(1980), “Scale Economies, Product Differentiation, and


the Pattern of Trade”, The American Economic Review, Vol. 70,
Nº 5. www.princeton.edu/pr/picture/gk/krugman/krugmanscale_
economies_1980.pdf;

Krugman, R. Paul (1992), “Lessons of Massachusetts for EMU”, Preliminary


paper presented for the Banco de Portugal conference on the
Transition to European Monetary Union;

Krugman, Paul R. (1998) “What Happened to Asia ?”, Manuscript, MIT,


www.mit.edu;

Krugman, Paul R. (1999),”Target Zones and Exchange Rate Dynamics”,


Quarterly Journal of Economics;

Krugman, Paul, (2009), Pourquoi Les Crises Reviennent Toujours:


Nouvelle Edition Mise A Jour, Edition Seuil, Paris, 201 pages;

Miller, Merton (1998), “Asian Financial Crisis”, September, Japan and the
World Economy, Vol. 10. www.sciencedirect.com/science?_ob;

Obstfeld, Maurice (1994), « The Logical of Currency Crises », Banque de


France, Cahiers Economiques et Monétaire, Nº 43, pp. 189-213.
www.econ.berkeley.edu/~obsfeld/ft/currency-crises/cc.pdf;

Obstfeld, M (1995), “International Currency Experience: New Lessons


and Lessons Exchange Rate Volatility and International Trading
Strategy”, Journal of International Money and Finance 10 (June),
pp. 292-307;

Radelet, Steven & Sachs, Jeffrey (1999), “What Have We Learned,

166 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


So far, from the Asian Financial Crisis”, January, 4th. www.
ems.bbk.ac.uk/for_students/msc_econ/int_macroEMC029p/
radeletsachs.pdf;

Radelet, Steven & Sachs, Jeffrey (1998), “the Onset of the East Asian
financial crisis”, NBER Working Paper Nº 6680. www.nber.org/
papers/w6680.pdf;

Radelet, Steven & Sachs, Jeffrey (1997), “Asia’s Reemergence, Council of


Foreign Affaire. www.columbia.edu/sitefiles/file/about/director/
documents/ar97.pdf;

Reinhart, Carment & Kaminsky, Graciela (1999), “the Twin Crises: the
Causes of Banking and Balance of Payments Problems”,
American Economic Review, Vol. 89, Nº 3 June, pp. 473-500. Il
est disponible sur http://mpra.ub.uni-muenchen.de/14081;

Reinhart, C. & Rogoff, K. (2002), “The Modern History of Exchange Rate


Arrangement: A Reinterpretation”, NBER Working Paper Series,
Nº 8963, June. http://mpra.ub.uni-muenchen.de/14070/; www.
nber.org/papers/w8963;

Salant, Stephen W. & Henderson, Dale (1978), “Market Anticipation of


Government Policy and the Price of Gold”, Journal of Political
Economy, Vol. 86, Nº 4, University of Chicago.

Studi, S. (2002). Temi di discussione. October, 35(442), 1–28. https://doi.


org/10.1162/JEEA.2008.6.6.1109

Moh. Ahlis Djirimu 167


168 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI
MEMBANGUN KENORMALAN BARU
DESA DAN DESA TERTINGGAL DI
MALUKU UTARA BAB
Mukhtar Adam, Evi Maria*
Universitas Khairun, Universitas Kristen Satya Wacana
*Correspondence author: evi.maria@uksw.edu
XIV
1. PENDAHULUAN
Sejak kasus pertama diumumkan pada akhir Maret silam, angka kasus
terkonfirmasi positif COVID-19 di Ternate terus merangkak naik dan
cenderung membangun rasa takut kepada masyarakat akibat ancaman
pandemi. Namun disaat yang sama Pemerintah Kota Ternate melakukan
upaya penerapan kenormalan baru, yang dilakukan sejak tanggal 4 Juni
2020 lalu diduga juga turut berkontribusi menyumbang kenaikan angka
kasus positif COVID-19. Kenormalan baru memperbolehkan warga
untuk kembali melakukan aktivitasnya seperti semula, dengan tetap
memberlakukan protokoler kesehatan. Sayangnya, kenormalan baru
tersebut justru membuat banyak pasar menjadi pusat baru penyebaran
COVID-19. Pembukaan kembali pasar, restoran, café dan lain-lain
menambah 11 kasus terkonformasi positif COVID-19 pada Rabu, 10 Juni
2020 yang lalu. Kondisi ini menjadikan Ternate menjadi wilayah dengan
jumlah kasus terkonfirmasi positif COVID-19 terbanyak, yaitu 164 orang
dari total kasus 285 di Maluku Utara, per 11 Juni 2020.
Pandemik COVID-19 pun memberi dampak kepada warga di desa-
desa yang ada di Provinsi Maluku Utara. Bagaimana tidak, aktivitas
warga disana pun mengalami pembatasan dan masyarakat diminta untuk
menjalankan protokol kesehatan yang ketat. Desa semakin terbebani
dengan kecemasan terjadinya transmisi lokal penyebaran virus COVID-19
karena proses perdagangan tradisional yang terjadi antara penduduk
desa dan penduduk antar pulau di wilayah Provinsi Maluku Utara serta
banyaknya pekerja urban yang kehilangan pekerjaan dan kembali ke
kampung halaman.
Pemberitaan terkait pola penyebaran COVID-19, dari manusia
sebagai kurir, maka pola-pola perpindahan dan mobilitas penduduk,
berpotensi melakukan penyebaran COVID-19, termasuk pola migran
penduduk kota ke desa, yang berpotensi menggeser ancaman Covid-19,
dari kota ke desa. Jika penyebaran COVID-19 makin masif, maka bisa
dipastikan pasokan pangan masyarakat di wilayah Maluku Utara akan
terganggu, karena desa menjadi sumber pasokan pangan bagi masyarakat

Mukhtar Adam, Evi Maria 169


kota, maupun antar pulau-pulau berpenghuni. Pembahasan ini akan fokus
pada kenormalan baru pasca COVID-19 di desa dan desa tertinggal.

2. SELAYANG PANDANG DESA DAN DESA TERTINGGAL


Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas
wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus pemerintahan,
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak
asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU 6/2014). Namun,
dalam perkembanganya Desa telah mengalami transformasi, pada desa-
desa berdasarkan batas-batas wilayah, sesuai Peraturan Daerah (PERDA)
pembentukan desa, dan makin menghilangkan pemaknaan terhadap nilai-
nilai prakarsa masyarakat, hak asal usul dan/atau hak tradisional, oleh
karena kepentingan untuk memperoleh efek fiskal dari pemerintah pusat.
Provinsi Maluku Utara, dibentuk pada awal reformasi dan mencatatkan
Provinsi ke 27 setelah keluarnya Timor-Timur dari Indonesia pada tahun
1999 (UU 46/1999), dengan jumlah penduduk sebanyak 1.234.567 jiwa,
yang tersebar pada 64 pulau, telah membentuk 1.063 desa, pada 10
kabupaten/kota.
Maluku Utara sebagai miniatur Negara Kepulauan (UNCLOS-82),
dikenal dengan negeri 1.000 pulau, dengan pola kecenderungan bermukim
di pulau-pulau kecil, sehingga konsolidasi pembangunan disetiap pulau-
pulau kecil menjadi beban tersendiri bagi pemerintah daerah ditengah
keterbatasan fiskal, sebagai instrumen kebijakan pembangunan
infrastruktur, maka pilihan-pilihan atas kebijakan pembangunan gugus
pulau menjadi penting dalam mengatasi ketertinggalan pembangunan
daerah, pada wilayah gugus pulau.
Penetapan Daerah Tertinggal mengindetifikasi daerah tertinggal
adalah daerah kabupaten yang wilayah serta masyarakatnya kurang
berkembang dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional.
Ada enam kriteria penetapan daerah tertinggal, yaitu perekonomian
masyarakat, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, kemampuan
keuangan daerah, aksesibilitas dan karakteristik daerah (Peraturan
Presiden No. 63/2020). Wilayah Provinsi Maluku Utara, yang ditetapkan
sebagai daerah tertinggal, pada periode 2015-2019, ada 6 daerah
tertinggal yaitu Halmahera Selatan, Halmahera Timur, Halmahera Barat,
Kepulauan Sula, Pulau Taliabu dan Pulau Morotai, sedangkan pada
penetapan daerah tertinggal 2020-2024, tersisa 2 daerah tertinggal, yaitu
Pulau Taliabu, memiliki 71 desa dan Kepulauan Sula 78 desa. (Perpres
63/2020)

170 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


3. KENORMALAN BARU DESA DAN DESA TERINGGAL
Rehat sejenak dari aktivitas, akibat kelelahan bumi melayani gerak
ekonomi umat dimuka bumi, untuk kembali mencari posisi baru, dalam
menata kehidupan sosial ekonomi, begitulah cara pandemi COVID-19,
menghentikan sejenak pertandingan sosial dan ekonomi penghuni planet
bumi, untuk mencari titik keseimbangan baru dari aktivitas sosial dan
ekonomi. Pandemi COVID-19, membatasi gerak sosial umat manusia,
dipastikan menahan keran aliran pergerakan uang antar penduduk,
sebagai respon dari jalannya aktivitas ekonomi yang makin semrawut pada
batas-batas nilai sosial ekonomi, yang seolah tak berkesudahan, maka
pilihan membangun kembali nilai baru sosial ekonomi, yang selanjutnya di
kenal sebagai Kenormalan Baru.
Sesuatu yang baru, selalu saja membutuhkan waktu untuk adaptasi.
Ini karena proses adaptasi, adalah cara baik mengikuti irama jalannya sosial
ekonomi yang terhenti akibat pandemi. Pandemi ini tidak hanya menekan
kaum borjuis tetapi juga masyarakat desa. Namun kedua kelompok ini
memiliki garis pembatas sendiri untuk memaknai kenormalan baru pasca
COVID-19. Ada perbedaan cara pandang dan harapan tentang nilai waktu
antara kelompok tersebut. Kaum borjuis memandang nilai waktu pada
proses ekonomi, sedangkan masyarakat desa memandang nilai waktu
pada proses sosial. Nilai tambah kaum borjuis ada pada akumulasi aset
sedangkan nilai tambah masyarakat desa ada pada silaturrahmi. Ini karena
masyarakat desa dikenal sebagai masyarakat yang mengedepankan
interaksi sosial sebagai modal kehidupan.
Kenormalan baru dari ancaman COVID-19, bagi masyarakat desa
dan desa tertinggal lebih dipengaruhi pada kebutuhan konsumsi barang
industri, yang bergantung pada pusat-pusat aktivitas ekonomi pada kota-
kota di Maluku Utara, maupun Sulawesi dan Jawa, sebagai wilayah pasok
bagi Maluku Utara, menjadi tantangan baru bagi aktivitas ekonomi baik oleh
UMKM, BUMDes, maupun aktivitas ultra mikro di pedesaan, mendapatkan
hantaman badai pademi Covid-19.
Pembatasan sosial, sebagai isu utama dari penyebaran COVID-19,
dibutuhkan solusi yang dapat menjembatani hubungan sosial masyarakat,
yang tidak perlu menghambat gerak aktivitas ekonomi, dengan
memanfaatkan teknologi digital sebagai jembatan interaksi sosial dan
ekonomi, yang efisien, efektif dan ekonomis. Upaya untuk memutus rantai
penyebaran COVID-19, dilakukan dengan cara membatasi interaksi
manusia pada aktivitas perdagangan dengan cara mengurangi jumlah
kedatangan, penjual dan pembeli pada waktu-waktu tertentu di pasar.
Hasil wawancara dan observasi ditemukan, saat pembatasan interaksi
sosial pedagang pasar dan UMKM di kota dan desa memilih menggunakan
metode penjualan via personal chat menggunakan nomor telephone atau
whatsapp kepada pelanggannya agar tetap bisa melakukan pemesanan

Mukhtar Adam, Evi Maria 171


yang nantinya akan dikirim ke rumah pembeli. Namun, metode ini dinilai
kurang efisien dan efektif, karena pemasukan para penjual hanya datang
dari pelanggan yang dikenal saja (Maria, 2020). Penjual yang tidak memiliki
banyak pelanggan setia tentunya mengalami kerugian yang lebih besar,
sehingga tidak sedikit dari mereka yang tetap nekat berjualan secara
diam-diam meskipun ada larangan terkait pembatasan interaksi sosial dari
pemerintah.
Interaksi yang terjadi di pasar tradisional telah membuat pasar
tradisional menjadi pusat penyebaran COVID-19 baru. Ini ditunjukkan
dengan peningkatan jumlah kasus terkonfirmasi positif COVID-19 dari
hari ke hari. Virus COVID-19 tidak hanya menyebar karena interaksi
secara kontak fisik yang dilakukan di pasar, tetapi uang yang berasal dari
transaksi pembelian dan penjualan dipasar juga memiliki potensi untuk
menyebarkan virus tersebut.
COVID-19 tidak hanya mengganggu perdagangan di kota, tetapi
juga memberi dampak negatif bagi perekonomian desa dan daerah
tertinggal. Sebagian besar penduduk desa dan daerah tertinggal bermata
pencaharian sebagai petani. Bagaimana tidak, saat masa panen, para
petani tetap harus melaksanakan panen raya ditengah pandemik, namun
mereka dihadapkan pada persoalan kesulitan distribusi hasil panen serta
putusnya kontrak para petani dengan pengusaha rumah makan dan hotel
yang juga terhenti usahanya akibat pandemi COVID-19. Masyarakat desa
dan pulau di Provinsi Maluku Utara, memiliki kendala akses komunikasi
dan jaringan internet. Jaringan tersebut belum terdistribusi merata bahkan
ada pulau dan desa yang belum memiliki akses jaringan internet. Tidak
hanya itu, desa dan pulau yang sudah memiliki akses jaringan internet
pun masih memiliki kendala, pada harga paket data yang mahal. Kondisi
ini pembatasan sosial yang terjadi tentunya membuat mereka semakin
terisolasi dan sulit melakukan transaksi perdagangan. Petani dan
pedagang disana yang tergabung dalam BumDes kesulitan memasarkan
produknya sehingga selama COVID-19 mereka hanya bisa menjual
produk ke tetangga terdekat saja sehingga berdampak pada penurunan
penghasilan dan kesejahteraan masyarakat desa.
Tanpa COVID-19, Provinsi Maluku Utara masih mengalami tidak
meratanya akses jalan dan transportasi untuk menghubungkan antar kota
dan desa serta antar pulau sehingga berdampak pada sulitnya distribusi
barang. COVID-19 memperburuk kondisi ini karena membatasi akses
jalan dan transportasi desa dan kota antar pulau sehingga membuat harga
barang di desa dan daerah tertinggal menjadi meningkat. Saat pandemi
ini, harga komoditas perdagangan melambung tinggi. Ini terjadi karena
ongkos pengiriman barang ke desa dan daerah tertinggal meningkat
hingga lebih dari 100 persen.
Berdasarkan identifikasi masalah yang sudah diuraikan diatas,
maka dapat disimpulkan ada empat masalah utama yang dialami desa

172 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


dan daerah tertinggal di Provinsi Maluku Utara. Pertama, masalah
pemasaran secara tradisional memunculkan potensi penyebaran virus
COVID-19 tidak hanya di kota tetapi berpotensi menyebar hingga ke desa
dan daerah tertinggal. Jika kondisi ini dibiarkan maka dapat mengganggu
pasokan pangan, karena selama ini kota selalu menggantungkan
kebutuhan pasokan pangannya dari desa. Kedua, masalah pembayaran
dari transaksi jual beli secara tradisional dari menggunakan bentuk uang
tunai memunculkan potensi penyebaran virus COVID-19. Ketiga, masalah
tidak meratanya akses jaringan internet di pulau dan desa dan mahalnya
harga paket data internet di pulau dan desa yang sudah memiliki jaringan
internet yang membuat kondisi pembatasan sosial yang diterapkan oleh
pemerintah makin mengisolasikan masyarakat desa dan pulau-pulau
kecil berpenghuni. Penduduk desa tidak dapat menjual produk dengan
jangkauan yang lebih luas. Keempat, masalah terhambatnya distribusi
barang dari kota ke desa dan daerah tertinggal karena pandemi COVID-19
dan juga karena terbatasnya jalur transportasi yang mengubungkan antara
kota dengan desa, antar pulau dan daerah tertinggal yang menyebabkan
harga barang menjadi mahal.
Solusi permasalahan pertama, dalam upaya memutus rantai
penyebaran COVID-19 dan upaya tetap menggerakan perekonomian
rakyat, maka pemerintah dapat mentransformasi model pasar dari
tradisional ke model pasar digital. Pemerintah dapat bekerjasama dengan
pihak swasta dan pengelola pasar (middle man) untuk membuat suatu
website atau aplikasi sebagai wadah tempat transaksi jual beli dilaksanakan.
Masyarakat tidak lagi harus ke pasar untuk membeli keperluan dapur
dan/atau membeli makanan siap saji di rumah makan. Website tersebut
membantu pedagang untuk mempromosikan dagangannya untuk menarik
pembeli baru.
Pasar digital berbasis website digunakan untuk menjalankan transaksi
jual beli secara online. Webiste toko menyediakan dan mengintegrasikan
channel penjualan baik secara offline dan online, sehingga dapat membantu
pemilik bisnis untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam berjualan.
Pasar digital membuat interaksi masyarakat dalam beraktivitas akan lebih
diminimalisir, sehingga risiko kontak terhadap penyebaran COVID-19 juga
dapat diminimalisir, tanpa mengurangi pemenuhan kebutuhan sandang
dan pangan rumah tangga.
Mengingat, keterbatasan pemahaman dan penggunaan teknologi
informasi para pedagang pasar, UMKM dan BumDes di Provinsi Maluku
Utara maka middle man diperlukan agar proses transaksi jual beli
secara online dalam dilakukan lebih terstruktur dan teratur. Middle man
yang dimaksud adalah Koperasi yang akan berperan sebagai pihak
yang bertanggungjawab atas keberlangsungan aktivitas di pasar digital.
Koperasi akan membantu para pedagang pasar, UMKM dan BumDes yang
tidak bisa menggunakan teknologi informasi berbasis website dengan cara

Mukhtar Adam, Evi Maria 173


membuatkan pasar digital khusus untuk memasarkan dan memproses
transaksi penjualan produk mereka. Sedangkan, untuk pedagang pasar,
UMKM dan BumDes yang bisa dilatih untuk menggunakan teknologi
informasi, koperasi akan melatih dan mendampingi mereka untuk membuat
dan mengelola pasar digital mereka sendiri, sehingga diharapkan mereka
bisa menjadi middle man bagi orang disekitarnya yang butuh bantuan untuk
memasarkan produknya. Para pedagang pasar, UMKM dan BumDes yang
menggunakan jasa koperasi terkait transaksi penjualan dan pemasaran
produknya, secara otomatis menjadi anggota koperasi. Ini sejalan dengan
tujuan pendirian koperasi, yaitu untuk mensejahterakan anggotanya.
Pertukaran uang tunai dalam transaksi jual beli juga menimbulkan rasa
was-was karena uang tunai tersebut dapat menjadi perantara penyebaran
virus corona. Oleh karena itu solusi permasalahan kedua, mengubah
penggunaan uang tunai menjadi uang uang non tunai atau uang elektronik.
Penggunaan uang elektronik dapat memberi jarak transaksi ekonomi yang
dilakukan oleh masyarakat. Uang elektronik memberikan kemudahan dalam
menggunakan dan memiliki tingkat keamanan yang lebih baik dibandingkan
penggunaan uang tunai. Penggunaan uang elektronik pada saat pandemi
ini memberikan rasa aman dan menghilangkan keresahan masyarakat
akan tertular virus dari transaksi ekonomi yang dilakukannya. Potongan
berupa diskon dari penyedia layanan uang elektronik juga membuat uang
elektronik menarik untuk digunakan. Oleh sebab itu, saat pandemi ini
tidak hanya model pemasaran yang berubah dari tradisional ke online,
tetapi juga model transaksi pembayaran juga perlu diubah menggunakan
sistem digital dengan menggunakan uang elektronik. Penggunaan uang
elektronik juga membawa dampak baik pada perekonomian nasional.
Ini karena proses transaksi menjadi semakin cepat dan mudah, tingkat
konsumsi masyarakat akan naik. Perputaran uang semakin cepat dan
memicu perkembangan sektor riil. Semakin banyak usaha di sektor riil
yang menarik investor.
Terkait hal perubahan sistem pembayaran dari uang tunai ke uang
elektronik, tentunya peran serta pemerintah daerah sangat diperlukan,
mulai dari provinsi hingga kabupaten/kota. Dukungan pemerintah bisa
dalam bentuk penerbitan regulasi terkait ini serta dalam bentuk kerjasama
dengan Bank Indonesia dan perusahaan swasta. Regulasi digunakan untuk
mengatur penerapan sistem pembayaran di masyarakat. Sedangkan,
kerjasama pemerintah dengan pihak-pihak terkait dimaksudkan untuk
menyiapkan infrastruktur dan sumber daya manusia yang dapat membantu
pemerintah untuk menerapkan sistem pembayaran ini di masyarakat
Provinsi Maluku Utara.
Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) adalah standar
pembayaran di Indonesia yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI) sejak
1 Januari 2020. Oleh sebab itu, QRIS dipilih untuk diterapkan untuk
pembayaran elektronik di Provinsi Maluku Utara. BI sudah mewajibkan

174 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


semua merchant (toko) dan pembeli untuk menggunakan QRIS. Argumen
BI yang dikemukakan saat sosialisasi QRIS pada UMKM adalah karena
kemudahan bagi pengguna maupun merchant. Dari sisi konsumen,
penggunaan QRIS membuat mereka tidak harus membawa uang
banyak, bisa menggunakan smartphone-nya sebagai dompet elektronik
untuk melakukan transaksi dari penyelenggara jasa sistem pembayaran.
Sedangkan, merchant yang menggunakan QRIS memperoleh kemudahan
pembayaran tagihan, retribusi, dan pembelian barang secara nontunai.
Merchant yang sudah menggunakan QRIS sudah tidak perlu menggunakan
mesin Electronic Data Capture (EDC) dalam jumlah banyak. QRIS sudah
banyak digunakan dalam transaksi pembayaran elektronik, sehingga risiko
kegagalan saat implementasi QRIS dapat diminimalisir.
Sistem pembayaran elektronik ini juga akan terintegrasi dengan
sistem pasar digital. Koperasi juga dibutuhkan perannya dalam proses
ini untuk menjamin keamanan dan keyamanan bagi penjual dan pembeli
ketika melakukan transaksi jual beli secara online. Risiko pembeli dan
penjual dirugikan dalam transaksi jual beli dapat diminimalkan dengan
adanya middle man, yaitu Koperasi. Koperasi akan membuat aturan main
tentang transaksi pembelian dan penjualan, serta pembayaran secara
online. Ini dilakukan untuk meminimalkan risiko pembeli dan penjual yang
merasa dirugikan dikemudian hari. Keamanan bertransaksi dijamin oleh
koperasi dengan cara membuka rekening penampungan transaksi jual
beli. Uang dari pembeli akan ditransferkan ke penjual jika pembeli sudah
menerima barang dan tidak ada keluhan terkait transaksi tersebut. Oleh
sebab itu, peran middle man, yaitu koperasi sangat penting untuk menjamin
keberlangsungan penggunaan aplikasi baik itu aplikasi pemasaran online
maupun aplikasi uang elektronik.
Aplikasi pemasaran berbasis website ini dapat berjalan jika daerah
sudah memiliki akses internet dan komputer dengan spek yang memadai.
Dukungan pemerintah diperlukan, mengingat beberapa pulau-pulau yang
dihuni di Provinsi Maluku Utara belum dapat mengakses internet. Solusi
permasalahan ketiga, pemerintah dapat menggandeng perusahaan
telekomunikasi untuk menjalin kerjasama dalam rangka menyediakan
akses jaringan internet. Selain itu, pemerintah juga dapat memberikan
subsidi kuota internet selama masa pandemi COVID-19 untuk
menghidupkan kembali perekonomian di Provinsi Maluku Utara mulai dari
perdagangan di kota sampai dengan perdagangan antar pulau melalui
program pemasaran digital.
Solusi permasalahan keempat, masalah keterbatasan akses jalan
dan transportasi untuk distribusi barang, pemerintah dapat menggandeng
pihak swasta yang menjalankan bisnis transportasi online. Pemerintah
juga dapat melibatkan para ojek pangkalan dan sopir angkutan kota, kapal
antar pulau, speedboat dan kapal kayu yang juga mengalami kerugian
karena terimbas pandemi ini. Mereka akan berperan sebagai media

Mukhtar Adam, Evi Maria 175


pendistribusian barang dari penjual kepada pembeli secara langsung dari
transaksi jual beli secara online. Peran dan dukungan pemerintah terkait
pengiriman barang dari transaksi pemasaran digital sangat diperlukan
mengingat ongkos pengiriman barang yang relatif mahal di beberapa pulau
di Provinsi Maluku Utara dan belum tersedianya jasa pengiriman barang
antar pulau di semua pulau-pulau yang dihuni di Provinsi Maluku Utara.
Jika ini dibiarkan tanpa campur tangan dari pemerintah, tentunya tujuan
untuk mendapatkan barang dengan harga yang wajar mustahil terealisasi.
Tidak sedikit, praktik dilapangan ditemukan ongkos kirim lebih mahal
dari harga barang, sehingga berdampak pada tidak lakunya barang para
pedagang, UMKM dan BumDes. Kondisi ini, banyak kali dikeluhkan oleh
para UMKM yang sudah mencoba untuk go online menggunakan aplikasi
market place, seperti Tokopedia, Shopee, Lazada, dll. Produk UMKM dari
Provinsi Maluku Utara kalah bersaing bukan karena kualitas dan rasa
tetapi karena ongkos kirim yang melambung tinggi mencapai lebih dari tiga
kali dari harga barang. Pembeli cenderung mencari barang substitusi dari
pedagang-pedagang yang memiliki ongkos kirim yang lebih rendah, sebab
klausa dalam transaksi online, ongkos kirim menjadi tanggungan pembeli.

4. PENUTUP
Pandemi Covid-19, selain sebagai ancaman Kesehatan yang berdampak
pada perekonomian, telah melakukan percepatan penggunaan digital
sebagai solusi masa depan, melalui transformasi pembelajaran cepat dari
Pademi Covid-19, sebagai upaya untuk mendorong pola-pola hubungan
sosial dan ekonomi, dalam konteks digital, menjadikan masyarakat desa
sebagai komunitas global, akan jauh lebih cepat, oleh karena masyarakat
desa dan desa tertinggal “dipaksakan” untuk melakukan adaptasi baru
pada era digital, yang menjadi tuntutan masa depan, bagi pola interaksi
global, yang memperpendek jarak desa dan kota.
Digitalisasi ekonomi dan sosial, dibutuhkan gerak bersama, dalam
nilai “Babari” gotong royong, yang menghidupkan pola interkasi sosial
dan pola ekonomi baru, yang menumbuhkan peran masyarakat pulau dan
masyarakat desa, dalam aktivitas ekonomi yang tidak dibatasi pada batas-
batas wilayah, dan batas-batas pemerintahan, maka nilai dasar dalam
pasal 33 UUD 1945, perlu menjadi bagian terpenting, untuk mengerakan
ekonomi gotong royong “Babari” sebagai solusi, yang dimediasi pemerintah,
swasta, BUMN dan multistekholdes dalam pencapaian kenormalan baru
ekonomi dan sosial di desa, desa tertinggal dan pulau-pulau berpenghuni
di Maluku Utara.

176 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


5. DAFTAR PUSTAKA
Maria, Evi., (2020). Digitalisasi Ekonomi Desa Memasuki Kenormalan
Baru. Book Chapter: Geliat Perekonomian Indonesia di Masa
Pandemi Covid-19. FDI – Indramayu: Penerbit Adab.

Peraturan Presiden (Perpres) No. 63/2020 tetang Penetapan Daerah


Tertinggal tahun 2020-2024.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi


Maluku Utara, Kabupaten Buru, dan Kabupaten Maluku
Tenggara Barat.

Mukhtar Adam, Evi Maria 177


178 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI
MAMPUKAH HUMAN CAPITAL DI
PERDESAAN BERKONTRIBUSI
TERHADAP PEREKONOMIAN BAB
DAERAH?

Rully N. Wurarah
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Papua
r.wurarah@unipa.ac.id
XV
1. PENDAHULUAN
Kapasitas human capital menunjukkan tingkat produktivitas masyarakat
dalam kegiatan proses produksi untuk menghasilkan output pada suatu
wilayah dimana masyarakat itu berada, terlebih dan pada suatu wilayah
yang sedang berkembang human capital tersebut dapat mendorong
terwujudnya kemajuan perekonomian dari berbagai sektor ekonomi.
Mincer (1981) menekankan bahwa aktivitas human capital bukan saja
untuk kemampuan pengetahuan tetapi juga harus dengan inovasi baru
dalam proses produksi sehingga menghasilkan perubahan output yang
berarti, yang pada akhirnya melalui human capital sebagai salah satu
faktor produksi dapat mendorong perekonomian di suatu wilayah. Dapat
dikatakan juga bahwa human capital merupakan dimensi kualitatif dari
sumber daya manusia seperti pengetahuan, keahlian dan keterampilan
yang dimiliki oleh seseorang yang akan mempengaruhi kemampuan
produktifnya (Schultz, 1961). Komponen tersebut dapat diapresiasi melalui
proses pengembangan kapasitas sumberdaya manusia yang lebih dikenal
dengan kegiatan pendidikan.
Pendidikan dipandang sebagai suatu investasi terlebih pada negara-
negara berkembang termasuk Indonesia yang pernah melewatinya, untuk
menuju pada negara yang middle income level dan bahkan high income
level. Secara empirik dapat dijelaskan bahwa jumlah tenaga terdidik dan
terampil pada negara berkembang relatif lebih terbatas ketersediaanya
dibandingkan dengan kebutuhan, sehingga investasi terhadap human
capital sangat diperlukan. Menurut Serageldin, (1996) investasi pada
human capital dipandang sebagai investasi dengan tingkat pengembalian
yang sangat tinggi, terutama di negara-negara berkembang sehingga
investasi dibidang kesehatan, pendidikan dan nutrisi harus menjadi bagian
dari strategi investasi nasional.
Investasi human capital di Indonesia dapat dilihat dari pencapaian
Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang secara empirik pada setiap
provinsi di Indonesia memiliki pencapaian IPM yang beragam dari tahun

Rully N. Wurarah 179


ke tahun. Pencapaian tersebut menghasilkan suatu gap yang cukup besar
antar provinsi walaupun dengan berbagai strategi yang sudah dilakukan
baik oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten yang tersebar di seluruh
Indonesia.
Melakukan investasi terhadap human capital artinya dapat
memperbesar nilai atau kapasitas dari SDM terkait dengan kemampuan,
pengetahuan, keterampilan, inovasi dan kemampuan dari seseorang
atau individu masyarakat dalam menjalankan fungsinya melalui proses
produksi sehingga menghasilkan suatu nilai untuk memperoleh tujuan
yang diinginkan. Pembentukan nilai tambah melalui human capital
akan memberikan manfaat di masa mendatang. Untuk mengapresiasi
peran dari human capital dalam pelaksanaan pembangunan secara
berkelanjutan, bersamaan dengan social capital, sesuai dengan konsep
yang telah dikembangkan oleh Bank Dunia. Human capital ini memiliki
dimensi kualitatif dari sumber daya manusia seperti keahlian, ketrampilan
dan pengetahuan serta kesehatan yang dimiliki oleh seseorang dalam
mempengaruhi kemampuan produktifnya. Modal yang dimiliki tersebut
telah mempengaruhi kebijakan masa lalu di Indonesia sehingga berhasil
meningkatkan produktivitas nasional baik dari sisi faktor produksi maupun
output nasional (Wurarah, 2019).
Papua Barat merupakan salah satu provinsi yang memiliki IPM yang
rendah dengan capaian selama 5 tahun terakhir mengalami peningkatan
namun masih berada di bawah rata-rata nasional.

Tabel 1.1 Capaian Indeks Pembangunan Manusia Papua Barat dan Nasional
Tahun 2015 s.d 2018
Indikator Target 2018 Pencapaian
RKP RKPD 2015 2016 2017 2018
Wilayah
IPM Papua Barat 63.4 63.21 61.73 62.21 62.99 63.74
(Indeks)

IPM Nasional (Indeks) 69.55 70.18 70.81 71.39


Sumber: BPS dalam Database PEPPD Bappenas, 2019.

Capaian nilai IPM Papua Barat pada Tahun 2018 telah memenuhi
target daerah dalam Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD)
Papua Barat Tahun 2018 (63,21) dan target nasional dalam Rencana
Kerja Pembangunan (RKP) Kewilayahan (63.40). Selama kurun waktu
tahun 2015 s.d tahun 2018 pembangunan sumber daya manusia
terapresiasi dengan pertumbuhan yang melambat namun terus mengalami
perkembangan seiring dengan perkembangan IPM Nasional.

180 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


Tabel 1.2 Perkembangan IPM Kabupaten/Kota di Papua Barat Tahun 2015 s.d
2018

Tahun (Indeks) Rerata


Wilayah
2015 2016 2017 2018 (Indeks)
Provinsi Papua Barat 61.73 62.21 62.99 63.74 62.67
Kab. Fakfak 64.92 65.55 66.09 66.99 65.89
Kab. Kaimana 61.33 62.15 62.74 63.67 62.47
Kab. Teluk Wondama 56.64 57.16 58.1 58.86 57.69
Kab. Teluk Bintuni 61.09 61.81 62.39 63.13 62.11
Kab. Manokwari 69.91 70.34 70.67 71.17 71.52
Kab. Sorong Selatan 58.6 59.2 60.19 61.06 59.76
Kab. Sorong 61.86 62.42 63.42 64.32 63.01
Kab. Raja Ampat 61.23 61.95 62.35 62.84 62.09
Kab. Tambrauw 49.77 50.35 51.01 51.95 50.77
Kab. Maybrat 55.78 56.35 57.23 58.16 56.88
Kab. Manokwari Selatan 56.59 57.12 58.08 58.84 57.66
Kab. Pegunungan Arfak 53.73 53.89 54.39 55.31 54.33
Kota Sorong 75.91 76.33 76.73 77.35 76.58
Sumber: BPS Papua Barat, 2019

Mengacu pada data BPS Tahun 2015 s.d Tahun 2018, terdapat empat
kabupaten/kota di wilayah Papua Barat yang memiliki rerata IPM tertinggi
dan diatas IPM Provinsi Papua Barat (rerata IPM sebesar 62,67). Keempat
daerah dimaksud yaitu Kabupaten Fakfak (rerata perkembangan IPM per
tahun yaitu sebesar 65,89), Kabupaten Manokwari (rerata IPM per tahun
70,52), Kabupaten Sorong (rerata IPM sebesar 63,01), dan Kota Sorong
(rerata perkembangan IPM per tahun sebesar 76,50). Tingginya IPM di
keempat wilayah ini dikarenakan keempat wilayah tersebut merupakan
sentral pusat pendidikan, dan pintu masuk mobilisasi barang dan jasa di
Papua Barat.

Kabupaten/kota dengan rerata IPM terendah sebagian besar


dijumpai pada kabupaten-kabupaten pemekaran, seperti Kabupaten Teluk
Wondama, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Tambrauw, Kabupaten
Maybrat, Kabupaten Manokwari Selatan, dan Kabupaten Pegunungan
Arfak. Rendahnya IPM utamanya di beberapa kabupaten pemekaran
dikarenakan persentase penduduk miskin di wilayah-wilayah tersebut
cukup tinggi di Papua Barat.
Kemiskinan merupakan masalah serius bagi pembangunan manusia,
karena masalah kemiskinan merupakan sebuah masalah yang kompleks,
bermula dari kemampuan daya beli masyarakat yang tidak mampu

Rully N. Wurarah 181


mencukupi kebutuhan pokok, sehingga kebutuhan yang lain seperti
pendidikan dan kesehatan pun terabaikan. Hal tersebut menjadikan
gap antara kemiskinan dan pembangunan manusia pun menjadi besar
dan pada akhirnya target capaian IPM yang ditentukan oleh Pemerintah
Daerah menjadi tidak terealisasi dengan baik.
Sampai dengan akhir tahun 2018, Indeks Pendidikan dalam IPM
mengalami peningkatan dari 0.57 (Tahun 2015) menjadi 0.59 pada
Tahun 2018. Indikator Indeks Pendidikan digunakan dengan harapan
dapat mencerminkan tingkat pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki
penduduk. Pencapaian nilai Indeks Pendidikan di Papua Barat diikuti oleh
pencapaian rata-rata Angka Melek Aksara Penduduk Usia 15 tahun keatas
(96.50% Tahun 2015 menjadi 97.37% di Tahun 2018). Selanjutnya, pola
peningkatan yang sama juga terdapat pada indikator Angka Partisipasi
Murni (APM) tingkat Sekolah Dasar (SD) dan/atau sederajat, Sekolah
Menengah Pertama (SMP) dan/atau sederajat, dan juga tingkat Sekolah
Menengah Atas (SMA) dan/atau yang sederajat. Walaupun demikian
terdapat 2 kabupaten/kota yang memiliki IPM melebihi rata-rata nasional,
dan kabupaten yang memiliki IPM rendah dicirikan dengan akses ke setiap
kampung yang kurang di dukung oleh infrastruktur yang tersedia. Kondisi
inilah yang mengakibatkan akses produk yang dihasilkan dari berbagai
sektor ekonomi terhadap mekanisme pasar kurang memadai, untuk itu
perlu dipertanyakan apakah human capital yang ada di perdesaan atau
kampung, mampu berkontribusi terhadap perekonomian daerah?

2. HUMAN CAPITAL PERDESAAN DAN PEREKONOMIAN


DAERAH
Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses peningkatan output
daerah dan produk domestik bruto per kapita tergantung pada pertumbuhan
penduduk suatu daerah dan dalam jangka panjang dapat menunjukkan
peningkatan standar hidup. Dengan mengikuti model pertumbuhan Solow
yang menyatakan bahwa investasi human capital merupakan salah satu
komponen dalam pembangunan ekonomi. Mengacu pada teori ekonomi
tradisional yaitu teori modal manusia dan teori neoklasik yang menyatakan
bahwa modal dan tenaga kerja homogen sebagai faktor produksi. Solow
(1956) berfokus pada eksternalitas dan pendidikan yang termasuk dalam
teori pertumbuhan neoklasik berdasarkan asumsi pasar kompetitif dengan
asumsi bahwa semua faktor produksi tergantung pada produksi marginal
sosial, artinya teori ekonomi tradisional tidak memasukkan pendidikan
sebagai human capital.
Model pertumbuhan Solow dimulai dengan fungsi produksi di sisi
penawaran ekonomi dengan output agregat dan dua faktor input dalam
persamaan yang dinyatakan oleh Romer (2006), yakni Y = F (K, AL). Di

182 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


mana, Y adalah output riil agregat, K adalah modal fisik, L adalah tenaga
kerja dan A adalah pengetahuan atau teknologi. Fungsi produksi agregat
dengan memasukkan modal manusia ditunjukkan dalam persamaan Y
= F (K,H, AL). H adalah human capital, AL adalah tenaga kerja di mana
pekerja terampil memiliki satu unit tenaga kerja dan beberapa human
capital. Pembangunan ekonomi dengan menggunakan produk domestik
bruto (PDB) per kapita dipengaruhi oleh investasi sumber daya manusia
berupa tingkat melek huruf, usia harapan hidup, pendidikan, kesehatan,
dan investasi lainnnya.
Human capital yang terdistribusi pada setiap kabupaten kota dalam
suatu proses produksi menghasilkan output daerah sebagai Produk
Domestik Regional Bruto. Dalam struktur perekonomian Provinsi Papua
Barat selama periode tahun 2010 hingga 2018 yang dinyatakan oleh
Wurarah & Bauw (2018) menunjukkan pergeseran kontribusi perekonomian.
Pada tahun
persen); 2010 perekonomian
Pertambangan Papua Barat
dan Penggalian didominasi
(19,13 persen); oleh kategori
Konstruksi
Industri Pengolahan (32,70 persen); Pertambangan dan Penggalian
(14,87 persen); Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (10,94 persen);
(27,13 persen); dan
dan Administrasi Pertanian, Kehutanan,
Pemerintahan, Pertahanan dan Perikanan
dan Jaminan(11,82
Sosialpersen);
Wajib
Konstruksi (7,76
(10,51 persen). persen); dan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan
dan Jaminan Sosial
Kontribusi Wajib ekonomi
sektor (6,62 persen). Pada tahun
tersebut lebih 2016 lima ketegori
nampak pada
perekonomian yang mempunyai kontribusi terbesar di Papua
kabupaten/kota yang memiliki aktivitas ekonomi yang lebih baik Baratseperti
adalah
Industri Pengolahan
Kota Sorong (26,40 persen);
dan Kabupaten Pertambangan
Manokwari sedangkandan Penggalian
pada kabupaten(19,13
persen); Konstruksi (14,87 persen); Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
yang kurang aktivitas ekonominya kurang memberikan kontribusi
(10,94 persen); dan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan
terhadap PDRB Provinsi.
Sosial Wajib (10,51 persen).

Kab. Teluk Bintuni 36,58


Kota Sorong 19,15
Kab. Sorong 13,29
Kab. Manokwari 11,7
Kab. Fakfak 6,21
Kab. Raja Ampat 3,39
Kab. Kaimana 3,28
Kab. Sorong Selatan 2,23
Kab. Teluk Wondama 1,84
Kab. Manokwari Selatan 0,96
Kab. Maybrat 0,86
Kab. Tambrauw 0,27
Ka. Pegunungan Arfak 0,24
0 10 20 30 40

Sumber: diolah dari BPS Perwakilan Papua Barat Tahun 2018


Sumber: diolah dari BPS Perwakilan Papua Barat Tahun 2018
Gambar 2.1 Kontribusi Kab/Kota terhadap PDRB Papua Barat Tahun
Gambar 2.1 Kontribusi Kab/Kota terhadap PDRB Papua Barat Tahun 2018
2018 (Persen)
(Persen)
Kabupaten Pegunungan Arfak yang memiliki kontribusi terkecil
terhadap PDRB Provinsi Papua Barat, merupakan gambaran wilayah
Rully N. Wurarah 183
yang distriknya terdiri dari kampung-kampung dengan ciri aktivitas
ekonomi masyarakat yang serba terbatas pada sektor pertanian.
Karakteristik kabupaten yang secara geografis memiliki tingkat kesulitan
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dari luas wilayah Kabupaten
Pegunungan
KontribusiArfak
sektorkarena
ekonomi sebagian
tersebutbesar pemukiman
lebih nampak padamasyarakat
kabupaten/
berada
kota yangpada wilayah
memiliki konservasi.
aktivitas ekonomi Penyebaran
yang lebihpenduduk
baik seperti dan kampung
Kota Sorong
lebih terfokus pada
dan Kabupaten pusat kota
Manokwari dan sekitarnya
sedangkan yang sudah
pada kabupaten yangterakses
kurang
aktivitas ekonominya kurang memberikan kontribusi
dengan transportasi jalan. Sumber pendapatan masyarakat sebagian terhadap PDRB
Provinsi.
besar dari pertanian lahan kering yang penyebarannya pada sekitar
Kabupaten
pemukiman Pegunungan
penduduk. Arfak yang
Sedangkan memilikiperkapita
pengeluaran kontribusimasyarakat
terkecil ter-
hadap PDRB Provinsi Papua Barat, merupakan gambaran wilayah yang
berada di bawah rata-rata provinsi sebesar Rp 4.979.000 per tahun.
distriknya terdiri dari kampung-kampung dengan ciri aktivitas ekonomi
Rendahnya pengeluaran perkapita penduduk disebabkan sumber
masyarakat yang serba terbatas pada sektor pertanian. Karakteristik
pendapatan
kabupaten yangyangsecara
sebagian besar memiliki
geografis dari sektor pertanian
tingkat sebesar
kesulitan untuk39.53
dapat
persen dari totaldan
mengaksesnya PDRB
bahkan tahun 2018pada
berada bahkan ketergantungan
kawasan terhadap
lindung dengan IPM
pada
jauh disektor
bawah Administrasi pemerintah
rata-rata provinsi cukup
dengan nilai tinggi
55.31 padamencapai
tahun 2018,46.57
wa-
laupun
persen. komponen UHH berada di atas rata-rata provinsi.

Gambar 2.22.2
Gambar Peta Kawasan
Peta KawasanLindung
Lindung Kabupaten Pegunungan
Kabupaten Pegunungan Arfak
Arfak

Dapat
Kondisidilihat peta
eksisting sebaran Pegunungan
Kabupaten lahan pertanian
Arfakhanya beradadi akses
yang dapat pada
sekitar pemukiman
oleh penduduk penduduk
hanya 7 persendan
APLitupun dalam 15.597,46
atau sekitar skala usaha
ha kecil,
yang yang
dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat dari luas wilayah Kabupaten Pegunungan
orientasinya hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga tanpa ada
Arfak karena
upaya kearah sebagian besarPei
komersialisasi. pemukiman masyarakat
et al., (2020) beradabahwa
menjelaskan pada
wilayah konservasi. Penyebaran penduduk dan kampung lebih terfokus 209
pada pusat kota dan sekitarnya yang sudah terakses dengan transportasi

184 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


jalan. Sumber pendapatan masyarakat sebagian besar dari pertanian
lahan kering yang penyebarannya pada sekitar pemukiman penduduk.
Sedangkan pengeluaran perkapita masyarakat berada di bawah rata-
rata provinsi sebesar Rp 4.979.000 per tahun. Rendahnya pengeluaran
perkapita penduduk disebabkan sumber pendapatan yang sebagian besar
dari sektor pertanian sebesar 39.53 persen dari total PDRB tahun 2018
bahkan ketergantungan terhadap pada sektor Administrasi pemerintah
cukup tinggi mencapai 46.57 persen.
Dapat dilihat peta sebaran lahan pertanian hanya berada pada
sekitar pemukiman penduduk dan itupun dalam skala usaha kecil, yang
orientasinya hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga tanpa
ada upaya kearah komersialisasi. Pei et al., (2020) menjelaskan bahwa
ruang desa dapat diklasifikasikan sebagai ruang internal digunakan untuk
kehidupan rumah tangga sehari-hari, dan ruang eksternal terdiri dari
tanah di sekitarnya yang digunakan untuk usaha tani. Ruang antar desa
dapat dianggap sebagai subbagian ruang eksternal desa, dan pembagian
pemeliharaan dan penggunaannya membentuk hubungan antara desa
dalam suatu kelompok. Pemanfaatan ini dapat meningkatkan kapasitas
dari sumberdaya yang tersedia di desa.

Gambar 2.3 Peta Sebaran Lahan Pertanian Kabupaten Pegunungan Arfak, 2019

Komoditi kopi yang sangat menjanjikan yang tumbuh pada lereng


lereng belum sepenuhnya di kelola dengan baik padahal termasuk Kopi
Arabika yang tumbuh di seputar Danau Anggi pada ketinggian 1800 m

Rully N. Wurarah 185


dpl dan Kopi Minyambouw pada ketinggian 1200 m dpl. Tanaman kopi ini
ditanam oleh para misionaris di daerah tersebut pada puluhan tahun silam
mampu menghasilkan biji kopi dengan cita rasa lain. Pengembangan
kopi tersebut diintegrasikan dengan pengembangan pariwisata sejak
tahun 2016 lalu. Jumlah penduduknya mencapai 28.286 jiwa menempati
luasan 4.205 km2 sehingga kepadatan penduduknya sebanyak 7 jiwa per
km2, yang tersebar pada 10 distrik, dengan tingkat kepadatan penduduk
berada pada pusat pertanian (Distrik Minyambouw dan Hingk) dan pusat
kota (Distrik Anggi), juga distrik tersebut merupakan jalur transportasi
menuju ke Ibu Kota Kabupaten dari Ibu Kota Provinsi.
Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya yang tersedia tersebut oleh
masyarakat desa dapat terjadi dengan melakukan pengembangan human
capital yang dapat nampak pada ketersediaan satuan pendidikan, pendidik
dan peserta didik sebagai bagian yang menentukan proses penyelenggaraan
pendidikan. Sebagai gambaran penyelenggara pendidikan dasar di
Kabupaten Pegunungan Arfak hanya melayani sebesar 5.3 persen tingkat
SD dan 4.7 persen tingkat SMP di wilayah Papua Barat, dengan jumlah
pendidik masing-masing 3.5 persen dan 3.4 persen sedangkan peserta
didiknya hanya 5.1 persen dan 3.2 persen, sehingga proses penyelenggaraan
pendidikan dapat mempengaruhi capaian output yang diharapkan.

Gambar 2.4 Peta Kepadatan Penduduk Kabupaten Pegunungan Arfak, 2019

186 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


Guna memenuhi tema utama yaitu peningkatan pendidikan dasar
yang berkualitas dan berdaya saing maka melalui kebijakan pemerintah
yang memfokuskan belanja pendidikan yang lebih besar maupun
kebijakan Otsus Papua dengan belanja pendidikan sebesar 30 persen
dari dana Otsus Papua Barat namun sesungguhnya belum mampu
menyentuh program pembelajaran yang ada di Kabupaten Pegunungan
Arfak dalam upaya peningkatan pendidikan dasar dan menengah. Kondisi
ini disebabkan kelengkapan pendukung proses belajar mengajar seperti
buku dalam perpustakaan dan laboratorium untuk sekolah menengah
sangat terbatas bahkan terdapat sekolah yang tidak layak. Ketersediaan
guru yang kurang memadai mengakibatkan kewajiban untuk mendidik
anak sekolah terabaikan bahkan pada beberapa kasus terdapat sekolah
yang hanya dilayani oleh 1 orang guru, kasus tersebut terdapat di ibu
kota kabupaten dan berdasarkan informasi dari pengawas sekolah bahwa
pada distrik yang jauh dari pusat kota sering ditemukan kondisi demikian,
terlebih anak-anak usia sekolah tersebut sering terlibat dalam aktivitas
dalam menunjang perolehan pendapatan keluarga.

Gambar 2.5 Fasilitas Pendidikan Sekolah Dasar di Kabupaten Pegunungan


Arfak, 2019

Sumber pendapatan keluarga yang hanya dari sektor pertanian men-


gakibatkan daya belinya sangat rendah walaupun tersedianya komoditi
kopi yang cukup menjanjikan namun belum sepenuhnya ditangani dengan
baik. Kondisi inilah yang mempengaruhi rendahnya harapan lama seko-
lah, rata-rata lama sekolah dan pengeluaran per kapita. Rendahnya an-
gka IPM Kabupaten Pegunungan Arfak yang disebabkan oleh komponen
harapan lama sekolah, rata-rata lama sekolah dan pengeluaran perkapita
berada di bawah rata-rata provinsi walaupun angka harapan hidup berada
di atas rata-rata provinsi.

Rully N. Wurarah 187


Pada tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan merupakan
indikator output lain dalam penyelenggaraan pendidikan. Pencapaian
pendidikan penduduk usia 15 tahun ke atas di Provinsi Papua Barat
Pada tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan merupakan
menurut
indikatorkabupaten/kota
output lain dalam dan penyelenggaraan
ijazah/STTB yangpendidikan.
dimiliki pada tahun 2018,
Pencapaian
mengindikasikan
pendidikan penduduk sebesar
usia14,40 persen
15 tahun ke penduduk berumur
atas di Provinsi 15 tahun
Papua Barat ke
menurut kabupaten/kota dan ijazah/STTB yang dimiliki pada
atas tidak memiliki ijazah SD tahun 2018, dengan kontribusi terbesar tahun 2018,
mengindikasikan
bersumber sebesar 14,40
dari Pegunungan persen
Arfak. Hal penduduk berumur 15
ini mencerminkan, tahun SDM
kualitas ke
atas tidak memiliki ijazah SD tahun 2018, dengan kontribusi terbesar
dari aspek pendidikan
bersumber di Papua
dari Pegunungan Arfak.Barat masih
Hal ini tergolong kualitas
mencerminkan, rendah. SDM
Hanya
14,94 persen
dari aspek penduduk
pendidikan di 15
Papuatahun ke masih
Barat atas yang lulusrendah.
tergolong dari perguruan
Hanya
tinggi.
14,94 Kabupaten dengan15
persen penduduk proporsi
tahun penduduk usia lulus
ke atas yang 15 tahun
dari ke atas yang
perguruan
tinggi.memiliki
tidak Kabupaten
ijazahdengan proporsi
adalah penduduk
Kabupaten usia 15 tahun
Pegunungan keyang
Arfak atas yang
hampir
tidak memiliki ijazah adalah Kabupaten Pegunungan Arfak
mencapai 40 persen. Hal ini memberikan informasi bahwa banyaknya yang hampir
mencapai 40 persen. Hal ini memberikan informasi bahwa banyaknya
penduduk yang tidak bersekolah di wilayah tersebut.
penduduk yang tidak bersekolah di wilayah tersebut.

Sumber: Statistik
Sumber: Statistik Kesejahteraan
Kesejahteraan Rakyat ProvinsiRakyat Provinsi
Papua Barat 2018, BPSPapua Barat
Provinsi Papua 2018, BPS
Barat

Provinsi Papua Barat


Gambar
Gambar 2.6 2.6Persentase
Persentase Penduduk
Penduduk Berumur 15 Tahun
Berumur 15ke Atas yang
Tahun memiliki
ke Atas yang
memilikiIjazah/STTB
Ijazah/STTB Tertinggi, 2018 2018
Tertinggi,

Komponen
Komponen pendidik belum sepenuhnya
pendidik belum sepenuhnyamendapat
mendapatapresiasi
apresiasi dalam
dalam
mengembangkan kemampuan
mengembangkan kemampuan merencanakan,
merencanakan, melaksanakan
melaksanakan dandan
mengevaluasi pembelajaran hal ini disebabkan status tenaga pendidik
yang belum sesunggunya memperoleh kompensasi yang memadai. 213

188 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


Komponen peserta didik baik minat, motivasi dan gaya belajar belum
sepenuhnya didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang
memadai, bahkan perekonomian keluarga yang masih kurang. Komponen
sarana, prasarana dan pengelolaan sebagai penunjang dalam proses
penyelenggaraan pembelajaran siswa, berada dalam kondisi yang kurang
memadai sehingga evaluasi keberhasilan siswa kurang berkualitas dan
tidak memiliki daya saing yang memadai. Kondisi inilah yang menyebabkan
komponen IPM angka Harapan Lama Sekolah (HLS) dan Rata-rata Lama
Sekolah (RLS) berada di bawah angka rata-rata provinsi.
Studi yang dilakukan oleh Lee (2018) untuk mengetahui bagaimana
human capital diukur melalui pencapaian pendidikan dan distribusi
pendapatan. Dalam studinya telah memberikan bukti bahwa human
capital, yang diukur dengan pencapaian pendidikan, berperan terhadap
distribusi pendapatan. Regresi menggunakan data panel untuk berbagai
negara untuk periode antara 1980 dan 2015 menunjukkan bahwa distribusi
pendidikan yang lebih merata telah memberikan kontribusi signifikan
untuk mengurangi ketidakmerataan pendapatan. Peningkatan pencapaian
pendidikan mengurangi ketimpangan pendidikan dan dengan demikian
dapat mengurangi ketimpangan pendapatan. Pengurangan ketimpangan
pendidikan adalah faktor penting yang mengimbangi distribusi pendapatan
pada periode tersebut.
Lebih lanjut dikatakan bahwa peningkatan pengeluaran publik
untuk pendidikan sangat berperan penting dalam peningkatkan distribusi
pendidikan dan distribusi pendapatan. Dampak pendidikan, globalisasi,
dan perubahan teknologi pada distribusi pendapatan adalah penting untuk
merancang dan mengimplementasikan kebijakan pembangunan ekonomi
yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Langkah-langkah kebijakan untuk
mengurangi ketimpangan pendapatan mencakup kebijakan sumber daya
manusia yang efektif, seperti pendidikan dan pelatihan inklusif bagi pekerja
tidak terampil.
Distribusi pendapatan yang tidak merata di antara keluarga
menyebabkan terjadi perbedaan alokasi manfaat yang diterima oleh
generasi berikutnya. Oleh sebab itu perolehan pendapatan maupun
pendidikan bagi masyarakat dapat ditransmisikan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Omojimite (2011) meneliti tentang efektivitas sistem
pendidikan di Nigeria untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang
diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Nigeria, dengan
indikator tingkat belanja publik dari sektor pendidikan dan manfaat sosial
yang diterima oleh masyarakat. Hasilnya menunjukkan bahwa terjadi
alokasi pendanaan yang tidak memadai sehingga manfaat sosial yang
diterima tergantung pada tingkat pendidikan bahkan manfaat sosial yang
tertinggi terjadi pada tingkat sekolah dasar. Manfaat pendidikan lebih tinggi
untuk negara-negara berpenghasilan rendah daripada negara-negara
berpenghasilan tinggi, sehingga negara-negara berpenghasilan rendah

Rully N. Wurarah 189


harus berinvestasi lebih banyak dalam pendidikan daripada negara-
negara berpenghasilan tinggi.
Walaupun alokasi belanja otonomi khusus untuk Papua Barat
mencapai 30 persen dari jumlah dana otsus yang diterima namun efektivitas
pencapaian output selama hampir 20 tahun belum mampu meningkatkan
IPM melebihi rata-rata standar nasional sehingga memberikan dampak
terhadap alokasi faktor produksi human capital (tenaga kerja). Mosiño
(2002) menjelaskan bahwa tenaga kerja dengan pendidikan dasar
dan tingkat sekolah menengah memiliki dampak yang sama terhadap
perekonomian sedangkan pekerja dengan tingkat sekolah yang lebih tinggi
terjadi sebaliknya, namun pada negara yang maju akan lebih efisien untuk
semua level pendidikan. Dapat dikatakan bahwa sektor pertanian yang
menjadi andalan Kabupaten Pegunungan Arfak bagi perekonomiannya,
dengan struktur tenaga kerjanya yang didominasi oleh pendidikan sekolah
dasar yang telah memberikan kontribusi terhadap perekonomian walaupun
paling sedikit diantara kabupaten lainnnya di Provinsi Papua Barat.
Wilayah yang berkembang sebenarnya lebih diuntungkan dalam
menyerap dan mengadaptasi teknologi dan inovasi, sehingga investasi
pada human capital dapat memberikan kontribusi bagi pertumbuhan
pendapatan, selanjutnya sistem pendidikan yang efisien dapat terpenuhi
jika alokasi belanja pendidikan berpengaruh terhadap pertumbuhan
pendapatan masyarakat (Mosiño, 2002). Tingginya rasio guru dan siswa,
juga rasio kelas dan siswa menunjukkan bahwa pelayanan terhadap siswa
di Kabupaten Pegaf kurang memadai.

Gambar 2.7 Kunjungan Lapangan di Sekolah Dasar Kabupaten Pegunungan


Arfak, 2019

Misalkan berdasarkan kunjungan lapangan ke SD dan SMP di Ibu


Kota Kabupaten Pegunungan Arfak dijumpai sekolah yang memiliki 6
guru secara administrasi namun yang aktif sekitar 1 s.d 3 guru kondisi

190 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


ini terjadi merata pada setiap distrik. Gambaran ini mengindikasikan
bahwa peran dari human capital kurang optimal sehingga output yang
terjadi pada proses pengapresiasian terhadap sumber daya yang tersedia
di Kabupaten Pegunungan Arfak kurang mendapatkan dukungan yang
berarti dari tenaga pendidik ditambah lagi penyebaran infrastruktur yang
tidak merata.
Inefisiensi sistem pendidikan mengakibatkan proses inovasi belum
mampu terjalin dengan baik, kondisi ini ditunjukkan dengan ketersediaan
faktor produksi human capital yang kurang merata pada beberapa
kabupaten kota di Provinsi Papua Barat. Pada Gambar 2.1 nampak bahwa
wilayah dengan kontribusi terhadap PDRB yang tinggi memiliki faktor
produksi human capital yang memadai sedangkan yang kontribusinya yang
kurang memiliki faktor produksi human capital yang terbatas. Kapasitas
dari tenaga pendidik yang terbatas dalam mendorong transformasi inovasi
kepada peserta didik kurang memadai.
Kebijakan pemerintah dalam meningkatkan IPM pada wilayah yang
rendah IPM melalui kebijakan pendidikan dengan bentuk mekanisme
seperti yang terjadi di Kabupaten Pegunungan Arfak dan dukungan
alokasi belanja pendidikan yang memadai akan sulit mengapresiasi human
capital, walaupun terdapat manfaat sosial yang diterima oleh masyarakat.
Mengacu pada fungsi produksi agregat dengan memasukkan human
capital yang ditunjukkan dalam persamaan Y = F (K,H, AL), nampak hanya
terdapat 7 persen APL atau sekitar 15.597,46 ha yang dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat dari luas wilayah Kabupaten Pegunungan Arfak karena
sebagian besar pemukiman masyarakat berada pada wilayah konservasi.
Pada luasan tersebut komoditi kopi sangat menjanjikan yang tumbuh
pada lereng-lereng di seputar Danau Anggi, juga komoditi lainnya yang
tersebar pada 10 distrik dengan jumlah penduduknya mencapai 28.286
jiwa. Dengan kondisi demikian perekonomian Kabupaten Pegunungan
Arfak hanya memberikan kontribusi yang terkecil terhadap PDRB Provinsi
Papua Barat sebesar 0,24 persen.
Keterbatasan sumber daya alam sebagai modal fisik untuk dikelola
tentunya membutuhkan inovasi yang dapat meningkatkan nilai tambah
dari sumber daya tersebut. Pengelolaan sumber daya di setiap kabupaten
dan kota hingga saat ini belum memperhatikan pencapaian indikator
pembangunan bahkan terkesan program kegiatan yang dilakukan
hanya berulang dari waktu kewaktu. Bagi kabupaten kota yang memiliki
infrastruktur yang memadai akan dapat menunjang akselerasi pencapaian
nilai tambah namun sebaliknya akan menghasilkan nilai tambah yang
stagnasi. Ketersediaan infrastruktur yang tidak merata pada setiap
kabupaten kota saat ini mengakibatkan Kabupaten Pegunungan Arfak
kurang terpacu dalam perolehan nilai tambah bahkan kalau hal ini tidak
diperhatikan maka akan menghasilkan gap yang begitu besar antar
kabupaten kota di wilayah Papua Barat.

Rully N. Wurarah 191


Inovasi daerah harus dibangun sehingga akselerasi perekonomian
bisa terpenuhi, inovasi tersebut berasal dari human capital yang
terapresiasi sehingga terjalin kerjasama antar para pihak baik swasta,
pemerintah, masyarakat dan bahkan perguruan tinggi. Pihak perguruan
tinggi melalui penelitian, pihak swasta melalui komitmen dalam mendukung
inovasi daerah, pihak masyarakat dalam memanfaatkan inovasi daerah
seperti mengembangkan UMKM dan pemerintah dalam mendukung dan
menyediakan regulasi, anggaran, infrastruktur, dan bahkan kerjasama.
Dengan memanfaatkan faktor produksi secara optimal yang diawali
dengan peningkatan kapasitas human capital guna mengembangkan
suatu inovasi baru maka akan memberikan nilai tambah pada masing-
masing sektor ekonomi terutama sektor ekonomi pertanian yang memiliki
multiplier efek terhadap perolehan nilai tambah. Mengembangkan inovasi
terhadap sektor ekonomi tersebut akan mempercepat share nilai tambah
terhadap total output yang dihasilkan oleh Kabupaten Pegunungan Arfak
yang pada akhirnya akan memperbesar kontribusi PDRB terhadap Provinsi
Papua Barat.

3. PENUTUP
Ketersediaan faktor produksi human capital yang kurang menjamin
terselengaranya proses transformasi inovasi mengakibatkan aktivitas
ekonomi tidak berjalan dengan baik. Hal ini nampak pada kemampuan
merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi proses transformasi
yang masih terbatas sehingga perlu peningkatan kualitas dan kuantitas
human capital. Melalui peningkatan dan pemerataan human capital pada
setiap kabupaten dan kota maka pelayanan terhadap peserta didik akan
merata sehingga dapat mempersiapkan kapasitas SDM di setiap kabupaten
kota sebagai faktor produksi dalam mendorong aktivitas ekonomi daerah.
Produk inovasi yang dihasilkan baik oleh perguruan tinggi maupun
lembaga penelitian paling tidak dapat diimplementasikan oleh masyarakat
lokal yang telah mengalami apresiai kapasitas SDM sehingga mampu
mengembangkan usaha-usaha produktif yang dapat berkolaborasi dengan
pihak swasta guna mengakses sistem pasar melalui penyediaan regulasi
maupun kelengkapan infrastruktur baik sosial, ekonomi maupun fisik yang
merata pada setiap distrik bahkan kampung yang sulit diakses.

192 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


4. DAFTAR PUSTAKA
BPS, 2019. BPS dalam Database PEPPD Bappenas RI Tahun 2019.
Bappenas, Jakarta.

Lee, J.-W. L. and H. (2018). Human capital and Income Inequality


(No. 810; ADBI Working Paper 810, Issue 810). https://doi.
org/10.1007/978-1-349-67278-3_116

Mincer, J. (1981). “Human capital and Economic Growth” Working Paper


80. In Economics of Education Review (Vol. 3, Issue 3). https://
doi.org/10.1016/0272-7757(84)90032-3

Mosiño, A. (2002). Education, Human capital Accumulatio and Economic


Growth. In University Of Lausanne (Vol. 2, Issue 10). https://doi.
org/10.1002/j.2326-1951.1962.tb00530.x

Omojimite, B. U. (2011). Building Human capital for Sustainable Economic


Development in Nigeria. Journal of Sustainable Development,
4(4), 183–189. https://doi.org/10.5539/jsd.v4n4p183

Pei, Y., Gong, K., & Leng, J. (2020). Study on the inter-village space of a
traditional village group in Huizhou Region: Hongguan Village
group as an example. Frontiers of Architectural Research, xxxx.
https://doi.org/10.1016/j.foar.2020.03.006

Serageldin, I. (1996). Sustainability and the Wealth of Nations: First


Steps in an Ongoing Journey. In The International Bank for
Reconstruction and Development (First prin, Issue 5). The
International Bank for Reconstruction and Development. http://
www.nber.org/chapters/c11231

Wurarah, R. (2019). Apakah Investasi Human capital Mampu Mendorong


Produktivitas Nasional? In Riznaldi Akbar (Ed.), Bunga Rampai
Rekomendasi Kebijakan (1st ed., pp. 25–40). Badan Kebijakan
Fiskal Kementerian Keuangan Hak. https://www.researchgate.
net/publication/341231351_Apakah_Investasi_Human_
Capital_Mampu_Mendorong_Produktivitas_Nasional

Wurarah, R., & Bauw, S. A. (2018). Analisis Kinerja Ekonomi Dan


Pengelolaan Keuangan Daerah Provinsi Papua Barat. Journal
of Fiscal and Regional Economy Studies, 1(1), 95–108. https://
doi.org/http://dx.doi.org/10.32830/jfres.v1i1

Rully N. Wurarah 193


194 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI
DESA KREATIF PERDAMAIAN: SOLUSI
KONFLIK BERBASIS KEARIFAN LOKAL
(STUDI DI DUSUN SRUMBUNG GUNUNG) BAB
Agus Supratikno, Suharyadi, Rini Hudiono, Evi Maria*

*
Universitas Kristen Satya Wacana
Correspondence author: evi.maria@uksw.edu
XVI
1. PENDAHULUAN
Indonesia memiliki masyarakat yang majemuk. Ini dengan mudah
diketahui dari semboyan.negara Republik Indonesia, yaitu “Bhinneka
Tunggal Ika”. Semboyan ini berarti “meskipun berbeda-beda tetapi tetap
satu”. Kemajemukan masyarakat dapat ditinjau dari banyak sisi. Pertama,
dari sisi etnis, di Indonesia ada Suku Melayu.dan Suku.Melanesia yang
selanjutnya membentuk seratus suku.besar dan 1.072.suku-suku turunan
yang besar.dan kecil. Kedua, dari sisi.bahasa, Indonesia memiliki 652
bahasa yang.digunakan. Ketiga, dari sisi agama, Indonesia memiliki enam
agama besar dan 187 penghayat kepercayaan.
Mengacu pada semboyan negara, keragaman dalam masyarakat
harusnya tidak menjadi ancaman.bagi persatuan bangsa, apabila
keragaman dikelola.dengan baik. Namun, faktanya tidaklah demikian.
Ini karena keragaman masyarakat seringkali berpengaruh.pada
perbedaan sistem.kepercayaan, pandangan.hidup, dan perilaku.sosial
yang cenderung mendorong terjadinya konflik atau perpecahan sosial.
Beberapa tahun belakangan ini.di Indonesia, isu radikalisme dan konflik
bernuansa.agama menguat.kembali, seperti Konflik Poso, Konflik Maluku
dan Maluku Utara. Ironis, satu sisi kehidupan agama di Indonesia
moderat, toleran dan damai, namun sisi lain justru terjadi sebaliknya,
muncul eksklusivitas keberagaman dalam kehidupan masyarakat yang
majemuk. Perbedaan yang ada di masyarakat bukanlah satu-satunya
penyebab konflik di Indonesia. Sekarang ini, permusuhan dan perpecahan
di masyarakat terjadi karena menguat kembali isu politik identitas. Oknum-
oknum tidak bertanggungjawab menjalankan politik identitas dengan motif
mendapatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan/atau kelompoknya
(Sitompul, 2018).
Teknologi dan media sosial juga turut memperkeruh konflik di
Indonesia. Masyarakat tidak bijak menggunakan teknologi dan media
sosial, sehingga kasus-kasus intoleransi, politik identitas, hingga
radikalisme berbasis kekerasan akhirnya mulai menjalar hingga ke desa-
desa. Kondisi ini harus segera ditangani, sebelum akhirnya menimbulkan

Agus Supratikno, Suharyadi, Rini Hudiono, Evi Maria 195


perpecahan dan menghambat pencapaian tujuan negara, seperti yang.
diamanatkan oleh.Undang-Undang Dasar 1945, yaitu mencerdaskan
kehidupan.bangsa dan mewujudkan.masyarakat adil, makmur, dan
sejahtera. Desa menjadi sasaran awal program pemerintah dan para
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk penanganan kasus-kasus
intoleransi, politik identitas dan radikalisme. Argumennya, desa memiliki
penawar untuk permasalahan tersebut, yaitu kearifan lokal yang ditunjang
dengan nilai-nilai gotong royong dan persaudaraan di tengah keragaman.
Desa-desa dituntut untuk berevolusi menjadi desa damai. Desa
diharapkan dapat menjaga dan merawat persatuan meski ditengah
perbedaan. Tidak hanya itu, desa juga dituntut menjadi kreatif dan
mengembangkan potensi berdasarkan kearifan lokal yang dimilikinya.
Kunci untuk menangkal intoleransi, politik identitas dan radikalisme
ada pada penguatan toleransi dan perdamaian, serta pemberdayaan
masyarakat. Oleh sebab itu, dua aspek tersebut menjadi fokus utama
dalam pembentukan desa kreatif perdamaian di Indonesia. Namun,
proses revolusi desa menjadi desa kreatif perdamaian tentunya bukan
hal yang mudah untuk dilakukan. Komitmen yang tinggi dari seluruh
lapisan masyarakat serta investasi waktu dan modal diperlukan untuk
mensukseskan program ini.
Seperti mata uang yang memiliki.dua sisi, satu sisi ada pihak yang
optimis akan terciptanya desa-desa kreatif perdamaian di Indonesia,
sebagai solusi konflik berbasis kearifan lokal. Tetapi tidak sedikit juga
pihak yang pesimis, cita-cita ini akan tercapai. Bagaimana bisa desa
berubah fungsi menjadi tempat untuk menciptakan kedamaian, toleransi,
kecintaan pada alam, tetapi kesejahteraan masyarakat juga tetap terjaga.
Bagaimana bisa desa mewujudkan kondisi damai, apalagi ditengah
pandemi COVID-19, seperti sekarang ini yang belum tahu kapan akan
berakhir. Ekonomi semua lapisan masyarakat terdampak karena tidak bisa
bekerja secara optimal karena pemerintah memberlakukan pembatasan
sosial untuk memutus mata rantai pandemi COVID-19. Kondisi ini tentunya
sulit untuk dilalui, tak terkecuali masyarakat desa. Sebagian.besar mata.
pencaharian masyarakat.desa adalah.sebagai petani dan pedagang,
sedangkan desa belum.memiliki infrastruktur dan.sumber.daya.manusia
yang siap untuk menerapkan pembatasan sosial. Oleh sebab itu, tulisan
ini akan fokus membahas tentang kunci sukses membentuk desa kreatif
perdamaian sebagai solusi konflik berbasis kearifan lokal. Pembahasan
akan menggunakan contoh desa kreatif perdamaian yang merupakan
desa mitra binaan tim penulis, yaitu Dusun Srumbung Gunung, Desa
Poncoruso, Bawen, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

196 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


2. DESA KREATIF PERDAMAIAN
Konsep desa damai telah digagas sejak awal tahun 2018 oleh Wahid
Foundation. Desa damai diyakini sebagai solusi permasalahan intoleransi
dan radikalisme yang terjadi di Indonesia. Prinsipnya, masyarakat desa
diberdayakan melalui pembinaan kerukunan, ketahanan masyarakat,
kesetaraan dan menghormati perbedaan yang ada di sekeliling mereka.
penguatan
Wahid ekonomi
Foundation desa, misalnyaempat
mengembangkan saja dengan
pilar desamemberikan akses
damai, seperti
permodalan. Pilar kedua, penguatan peran perempuan
disajikan pada Gambar 2.1. Pilar pertama, penguatan ekonomi desa, di desa, misalnya
misalnya
dengan saja denganpembinaan
melakukan memberikan danakses permodalan.
pelatihan Pilar kedua,
kewirausahaan. Pilar
penguatan peran perempuan
ketiga, penguatan peran aparaturdi desa, misalnya
daerah dan desa.dengan melakukan
Pilar keempat,
pembinaan
penguatan dan pelatihan
nilai-nilai kewirausahaan.
toleransi Pilar masyarakat
ditengah-tengah ketiga, penguatan
desa. peran
aparatur daerah dan desa. Pilar keempat, penguatan nilai-nilai toleransi
Wahid Foundation bekerjasama dengan United Nations Women
ditengah-tengah masyarakat desa.
telahWahid
melakukan pilot project
Foundation kampung
bekerjasama damaiUnited
dengan dan sampai
Nations tahun
Women2019
telah berhasil mendampingi lebih dari 30 kampung
telah melakukan pilot project kampung damai dan sampai tahun 2019 damai yang.tersebar
di Provinsi
telah berhasilJawa Barat, Jawa
mendampingi lebih Tengah,.dan
dari 30 kampung Jawa.Timur. Tidak hanya
damai yang.tersebar
diWahid
Provinsi Jawa Barat,
Foundation, dalamJawa
rangka Tengah,.dan
pengembangan Jawa.Timur. Tidak hanya
desa, pemerintah juga
Wahid Foundation,
menggandeng paradalam rangkadalam
akademisi pengembangan desa, pemerintah
program pengabdian kepada
juga menggandeng
masyarakat. para akademisi
Tim akademisi dalam salah
melakukan program satupengabdian
tugas.Tri kepada
Dharma
masyarakat. Tim akademisi melakukan salah satu tugas.Tri Dharma
Perguruan.Tinggi, yaitu kegiatan pengabdian kepada.masyarakat untuk
Perguruan.Tinggi, yaitu kegiatan pengabdian kepada.masyarakat untuk
mengembangkandesa
mengembangkan desayangyangmenjadi
menjadimitra
mitradari
daritim.
tim.Tujuannya
Tujuannyaadalahadalah
untuk pembangunan desa dan untuk membuat
untuk pembangunan desa dan untuk membuat benchmarking model benchmarking model
desa/dusun/kampungkreatif
desa/dusun/kampung kreatif perdamaian
perdamaian yang
yang menjunjung
menjunjung tinggitinggi nilai-
nilai-nilai
kearifan lokal. lokal.
nilai kearifan

Penguatan
Ekonomi

Penguatan Penguatan
Nilai Peran
Toleransi Perempuan

Penguatan
Peran
Aparatur
Daerah

Gambar 2.1 Pilar Desa Damai (Wahid Foundation, 2018)


Gambar 2.1 Pilar Desa Damai (Wahid Foundation, 2018)
224
Agus Supratikno, Suharyadi, Rini Hudiono, Evi Maria 197
Dusun Srumbung Gunung, Desa Poncoruso, Bawen, Kabupaten
Semarang, Jawa Tengah adalah salah satu contoh dusun kreatif
perdamaian yang menjadi binaan tim penulis. Dusun Srumbung Gunung
mempunyai luas ± 127.010 Ha dengan jumlah penduduk total ± 2.340 jiwa.
Secara khusus dusun ini mempunyai luas ± separuh dari luas desanya.
Karakter masyarakatnya adalah multikultur dilihat dari segi agama. Tabel
2.1 menunjukkan bukti betapa multikulturnya penduduk Dusun Srumbung
Gunung. Agama masyarakat Dusun Srumbung Gunung, yaitu Islam,
Katholik, Kristen dan Aliran Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Menurut Agama

No Agama Laki-laki Perempuan Jumlah


1. Islam 1.096 1.108 2.204
2. Katholik 30 33 63
3. Kristen 33 33 66
4. Hindu - - -
5. Budha - - -
6. Aliran Kepercayaan 4 3 7

Hubungan antar.sesama masyarakat yang.berbeda agama.terjalin


dengan kondusif. Hal ini dapat dilihat dari sikap keterbukaan dan saling
menghormati di antara warga yang menjalankan ritual agamanya.
Meskipun mayoritas penduduknya.beragama Islam, namun sampai saat
ini.belum ditemui konflik.sosial yang.terjadi karena perbedaan.keyakinan.
Kehidupan masyarakat di Srumbung Gunung, terbukti senantiasa
menjaga persatuan. Ini menjadi modal yang kuat untuk menjadikan Dusun
Srumbung Gunung sebagai desa kreatif perdamaian. Dari pendampingan
tim penulis di Dusun Srumbung Gunung dapat diidentifikasi enam kunci
sukses menciptakan desa kreatif perdamaian.
Kunci sukses pertama, yaitu partisipasi aktif dan komitmen tinggi
dari masyarakat di sana untuk mewujudkan perdamaian. Komitmen akan
perdamaian dapat terlihat dari Visi dan Misi Dusun Srumbung Gunung.
Visinya adalah menjadikan Dusun Srumbung Gunung menjadi bagian dari
desa kreatif sumber inspirasi perdamaian dunia. Sedangkan, misi dusun
ini, antara lain, sebagai berikut.
1. Memperkenalkan dan memberikan pengalaman kehidupan yang
penuh kerukunan.di antara pemeluk.agama dan budaya yang
beraneka ragam.
2. Mengembangkan ekonomi kreatif dengan memperhatikan potensi
pertanian dan potensi-potensi lainnya dalam mayarakat untuk
mensejahterakan warga.

198 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


3. Memamerkan dan mempertunjukan seni-seni tradisional nusantara,
baik berupa seni, pertunjukan (tari/musik/teater/ketoprak/wayang)
maupun seni rupa kepada masyarakat.
4. Melestarikan dan mengembangkan potensi pusaka saujana dan
benda bersejarah untuk kepentingan pendidikan dan penelitian.

Komitmen akan perdamian di Srumbung Gunung ditunjukkan dengan


pendirian lembaga berbadan hukum yang berbentuk perkumpulan dengan
nama Creative and Peace Srumbung Society (CPSS). Pengesahan
pendirian perkumpulan CPPS tertuang dalam Surat Keputusan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. AHU-0003358.
AH.01.07 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Creative and
Peace Srumbung Society. CPSS berfungsi sebagai pengelola desa kreatif
perdamaian. Anggota CPSS ini juga beragam, baik itu lintas agama dan
lintas generasi. Produk desa kreatif perdamaian Dusun Srumbung Gunung,
antara lain paket live-in bagi pengunjung yang ingin menikmati kehidupan
desa, pelatihan pengembangan diri dan peace building, paket kegiatan
outbound, pusat kuliner dan kerajinan tradisional, serta pagelaran seni
dan budaya. Produk yang dijual memiliki filosofi dan narasi tentang nilai
kemanusiaan, toleransi, kerjasama, persatuan dan perdamaian, sehingga
pengunjung tidak hanya menikmati keindahan alam Dusun Srumbung
Gunung, tetapi juga dapat dibangkitkan semangat tetap menjaga kesatuan
dan persatuan.
Kunci sukses kedua, yaitu kemauan masyarakat untuk berubah
menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi sesama. Dusun Srumbung
Gunung menggunakan model pendekatan pemberdayaan dari bottom up.
Artinya, masyarakat dituntut berperan.aktif dalam proses.pemberdayaan
untuk.kemajuan dan.kemandirian.desa dalam mencapai.kesejahteraan.
bersama. Pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui kegiatan.kolektif
dari kelompok kerja yang terorganisasi. Kelompok kerja tersebut, terdiri
dari seluruh elemen lapisan masyarakat yang memiliki sikap dan perilaku
yang sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan toleransi di masyarakat.
Suasana ketika kelompok kerja Dusun Srumbung Gunung melakukan
rapat koordinasi dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Agus Supratikno, Suharyadi, Rini Hudiono, Evi Maria 199


Gambar 2.2 Suasana Koordinasi Kelompok Kerja Dusun Srumbung Gunung

Pembentukan kelompok kerja di desa, bukan hal yang mudah dan


instan. Butuh usaha lebih dan waktu yang panjang untuk mendapatkan
kelompok kerja yang solid dan kompak. Alasannya, kesenjangan sosial
dan tingkat pendidikan antar warga, seringkali membuat kelompok yang
solid dan kompak sulit untuk didapatkan. Beruntungnya, Dusun Srumbung
Gunung memiliki anak muda yang kreatif dengan berbagai macam latar
belakang agama yang memiliki kemauan besar untuk mengembangkan
desanya. Kelompok muda ini tidak hanya tergabung dalam Karang Taruna,
tetapi juga tergabung menjadi anggota CPSS.
Anak-anak muda juga diberdayakan melalui proses pendampingan
yang dilakukan oleh tim penulis. Programnya, antara lain pelatihan sablon,
pelatihan digital printing. Mereka juga diajari cara memasarkan produk
menggunakan market place. Tujuannya, agar mereka bisa membantu
memasarkan dan mempromosikan produk dan jasa yang yang dihasilkan
oleh warga Dusun Srumbung Gunung. Kondisi ini menegaskan bahwa
desa kreatif perdamaian dapat sukses terbentuk jika ada orang-orang
yang memiliki kemauan untuk melakukan yang terbaik dan berusaha
semaksimal mungkin untuk ikut berkontribusi dalam usaha pengembangan
desa tercintanya.
Kunci sukses ketiga, yaitu edukasi tentang nilai-nilai kemanusiaan,
toleransi, keadilan dan perdamaian. Kelompok kerja di Srumbung Gunung,
tidak serta merta langsung dapat berjalan sendiri, tetapi memiliki beberapa
mitra baik itu pemerintah, swasta maupun akademisi untuk membantu
mengedukasi dan menggali potensi yang ada di sana. Pembinaan dan

200 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


penguatan nilai-nilai tolerasi antar agama, kerjasama lintas agama dan
perdamaian terhadap warga di Srumbung Gunung dilakukan bersama dengan
tokoh-tokoh agama, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seperti ELSA,
yaitu Lembaga Studi Sosial dan Agama dan PELITA, yaitu Persaudaraan
Lintas Agama dan akademisi yang tergabung dalam tim pengabdian kepada
masyarakat Universitas Kristen Satya Wacana dan Pusat Studi Perdamaian
Universitas Kristen Duta Wacana (Widiyanto 2018).
Edukasi terkait pengembangan nilai-nilai kemanusiaan, toleransi,
keadilan dan perdamaian dilakukan mulai dari lingkup terkecil, yaitu
keluarga. Prinsipnya, rantai kekerasan dapat diputuskan jika orang
dewasa tidak melakukan tindak kekerasan. Ini karena orang dewasa
biasanya akan menjadi role model bagi anak-anak. Anak-anak cenderung
akan mengidentifikasikan diri dengan lingkungan dan orang dewasa di
sekitarnya. Anak-anak akan belajar menghargai, jika anak-anak tumbuh
dalam.asuhan kasih sayang. Anak-anak akan belajar.melawan, jika anak-
anak tumbuh dalam.penindasan. Anak-anak akan menjadikan kekerasan.
sebagai jalan keluar persoalan, jika anak-anak tumbuh.dengan.cara
kekerasan. Anak tumbuh.dalam asuhan.manusia dewasa, dengan tujuan
untuk ditumbuhkan kodrat manusiawinya. Oleh sebab itu, penanaman nilai
kemanusiaan, toleransi dan perdamaian bukan dimulai pada anak-anak,
tetapi orang dewasa. Orang dewasa harus belajar untuk tidak melakukan
kekerasan dan tidak menjadikan anak-anak sebagai sasaran dari tindakan
kekerasan. Orang tua diedukasi untuk memberikan kasih sayang, perhatian
dan.perlindungan kepada anak-anak, sehingga anak-anak bertumbuh
dalam.atmosfer cinta.kasih dan.perdamaian. Harapannya, di masa depan
anak-anak tersebut akan mewariskan nilai toleransi dan perdamaian pada
generasi-generasi berikutnya.
Nilai tolerasi dan perdamaian di Dusun Srumbung Gunung selalu
dijaga dan dikuatkan dengan menggelar acara festival budaya dan seni,
yaitu festival jajan tradisional dan festival Jaran Kepang sejak tahun 2009.
Festival ini dimaksudkan untuk menguatkan masyarakat akar rumput agar
terus melestarikan.adat istiadat dan budaya.dalam menjaga pembangunan
perdamaian.dan kebhinekaan.di Indonesia. Acara ini diselenggarakan
dalam rangka merayakan Merti Dusun atau hari untuk mengucap syukur
kepada Tuhan atas karunia yang diberikan kepada warga desa. Acara
ini disiapkan oleh seluruh warga desa dengan cara bergotong royong.
Acara ini tidak hanya diisi dengan berbagai kegiatan pertunjukan kesenian
nusantara, tetapi juga dilengkapi dengan kegiatan pameran produk usaha
kecil dan menengah, seperti jajanan tradisional dan kerajinan tradisional.
Cara ini sukses mengukuhkan Dusun Srumbung Gunung menjadi desa
kreatif perdamaian. Bagaimana tidak, penyelenggaraan festival budaya
dan seni, telah berhasil menghidupkan kembali kesenian Jaran Kepang
Dusun Srumbung Gunung yang sebelumnya vakum. Suasana saat
berlangsungnya festival budaya dan seni dapat.dilihat.pada Gambar 2.3.

Agus Supratikno, Suharyadi, Rini Hudiono, Evi Maria 201


Gambar 2.3 Suasana Festival Budaya dan Seni di Srumbung Gunung

Kunci sukses keempat, yaitu praktik nilai-nilai kemanusiaan toleransi,


keadilan dan perdamaian dalam kehidupan sehari-hari. Kerukunan
dalam keberagaman agama di Dusun Srumbung Gunung terlihat dari
segala praktik tradisi adat di sana yang dijalankan warga dengan penuh
semangat. Srumbung Gunung memiliki satu gereja, yaitu Gereja Kristen
Muria Indonesia (GKMI), dua masjid, yaitu Masjid Nahdatul Ulama (NU)
dan Masjid Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), dan satu mushola.
Pada masa awal berdirinya tempat-tempat ibadah itu, semua warga
ikut bergotong royong mendukung pembangunan. Tidak berhenti disitu,
toleransi keagamaan terlihat pada setiap perayaan hari besar keagamaan,
maka warga dusun akan saling mengunjungi untuk mengucapkan selamat.
Banyak narasi-narasi hidup rukun yang dimiliki warga Srumbung Gunung.
Misalnya saja, ketika gereja menyelenggarakan kegiatan pasar murah dan
pemeriksaan kesehatan gratis untuk warga Srumbung Gunung, kegiatan-
kegiatan tersebut diumumkan menggunakan speaker masjid, sedangkan
pelaksanaannya di gereja.
Warga Dusun Srumbung Gunung memupuk dan mengembangkan
keperdulian terhadap sesama warga dan lingkungan sekitar meski berada
ditengah keberagaman. Kepedulian terhadap sesama warga ditunjukkan
dengan melestarikan tradisi Sambatan dan tradisi Sinoman. Sambatan
adalah tradisi gotong royong di Dusun Srumbung Gunung untuk membantu
warganya yang sedang memiliki kerja, seperti hendak mendirikan atau
membongkar rumah. Tuan rumah akan menyediakan konsumsi untuk
warga yang membantu berupa sego gablok, yaitu nasi yang ditumbuk
kemudian dicampur dengan parutan kelapa dan dibungkus dengan daun
jati. Sedangkan, tradisi Sinoman, yaitu tradisi gotong royong warga Dusun
Srumbung Gunung untuk membantu warga yang mengadakan acara
pernikahan. Ini dilakukan untuk meringankan beban pekerjaan warga
yang sedang memiliki acara. Kepedulian pada lingkungan warga Dusun
Srumbung Gunung terlihat ketika menyelenggarakan Dawuhan Dusun,
yaitu tradisi gotong royong yang dilakukan untuk membersihkan saluran
air agar pengairan sawah menjadi lancar. Sikap kepedulian terhadap

202 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


warga dan lingkungan tidak boleh luntur karena dengan memiliki sikap
peduli maka kerukunan dan kedamaian tetap terjaga.
Kunci sukses kelima, yaitu terus gali potensi dan lestarikan nilai
kearifan lokal yang dimiliki oleh desa. Nilai kearifan lokal akan menjadi
ciri pembeda satu daerah dengan daerah lainnya. Kearifan lokal adalah
keanekaragaman pola adaptasi di masyarakat yang diwariskan secara
turun temurun dan menjadi pedoman masyarakat untuk bisa bertahan
hidup dalam kondisi apapun. Nilai utama desa yang dapat dikembangkan
menjadi desa kreatif perdamaian ada pada.kualitas, keorisinilan, keunikan,
kekhasan.daerah, dan.kebanggaan.daerah. Nilai ini dapat dicermati
melalui.gaya dan.kualitas.hidup masyarakat, khususnya berkaitan dengan
perilaku.integritas, keramahan.dan kesungguhan penduduk, di samping
warisan budaya, pertanian, dan bentangan.alam yang indah.
Dusun Srumbung Gunung memiliki banyak potensi yang dapat
dikembangkan dan dipromosikan karena keunikan dan kekhasannya.
Srumbung Gunung memelihara nilai tradisi budaya lokal yang mengajarkan
toleransi, tenggang rasa, gotong royong dan perdamaian. Ini tercermin pada
acara Nyadran yang dilakukan hingga tujuh kali dalam setahun. Tradisi
Nyadran di Srumbung Gunung pun tidak hanya dilakukan dalam bentuk
ziarah atau mengirim doa kepada orang yang sudah meninggal. Nyadran
di Srumbung Gunung juga memiliki makna lain, yaitu memanjatkan doa-
doa kepada.Tuhan Yang.Maha Kuasa agar proses penyebaran benih,
penanaman padi, dan panen bisa berjalan dengan lancar dan mendapatkan
hasil terbaik. Suasana Warga Dusun Srumbung Gunung saat menjalankan
tradisi budaya lokal dapat.dilihat.pada Gambar 2.4.
Nilai toleransi dan perdamaian dirawat dan dipupuk dalam kesenian
daerah. Kesenian Jaran Kepang hingga sekarang masih hidup di
masyarakat Srumbung Gunung dan mengalami perkembangan. Kesenian
ini dapat bertahan hingga sekarang karena mampu mengadakan
regenerasi pemainnya dengan baik. Dusun Srumbung Gunung terus
mengembangkan kesenian tersebut dengan membuat paguyuban, yaitu
Paguyuban Seni Jaran Kepang Langen Mudho Budhoyo dan Paguyuban
Seni Karawitan Madyo Laras untuk musik pengiring kesenian Jaran Kepang.
Ini membuktikan bahwa kesenian dan budaya mampu menambahkan nilai
tersendiri dalam pembangunan masyarakat.

Agus Supratikno, Suharyadi, Rini Hudiono, Evi Maria 203


Gambar 2.4 Tradisi Budaya Lokal Dusun Srumbung Gunung

Kunci sukses keenam, yaitu pemberdayaan perempuan.


Perempuan memegang peranan penting sebagai pencipta desa kreatif
perdamaian. Ini didukung dengan hasil survei nasional yang dilakukan
Wahid Foundation (2018b). Hasil survei menemukan bahwa.perempuan
lebih.banyak mendukung.hak.kebebasan menjalankan.ajaran.agama atau
kepercayaan dibanding.laki-laki, perempuan lebih tidak bersedia.radikal
dibanding.laki-laki, perempuan.yang intoleran lebih sedikit dibanding.laki-
laki. Perempuan juga.seringkali dianggap.sebagai orang yang paling dekat.
dengan.anak dan.lingkungan. Ini membuat perlu perempuan diedukasi
dan dikembangkan wawasannya agar misi perdamaian dapat terwujud.
Pemberdayaan perempuan dilakukan dengan melakukan
pendampingan kewirausahaan. Salah satu potensi Dusun Srumbung
Gunung memiliki keindahan pemandangan alam. Ada area persawahan
berundak, pemandangan Gunung Ungaran, serta memiliki sungai
dengan banyak batuan gunung dan sumber air panas. Tidak hanya
memiliki keindahan alam, Srumbung Gunung juga memiliki warisan situs
bersejarah. Ada beberapa situs bersejarah di area persawahan Dusun
Srumbung Gunung yang berbentuk Patung Nandi tanpa kepala, Patung
Lingga Yoni, Batu Lumping dan struktur batu bata. Keindahan alam,
warisan situs bersejarah, kesenian dan budaya menjadi daya tarik untuk
berwisata disana. Bagi banyak orang, berwisata dapat membuat jiwa
tenang dan damai.
Undang-Undang No. 10/2009 tentang Kepariwisataan mendefinisikan
kepariwisataan sebagai berbagai kegiatan wisata dan didukung oleh
berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan masyarakat. Cooper dkk
(2008) mengidentifikasi komponen pariwisata, yaitu attraction, amenities,
ancillary dan accessibility. Pemberdayaan perempuan di Dusun Srumbung
Gunung fokus pada komponen amenitas, yaitu akomodasi dan pelayanan
makanan dan minuman. Sifat pekerjaan ini dipilih karena berkaitan erat
dengan pekerjaan sehari-hari di rumah tangga mereka, seperti memasak
dan mengolah makanan serta membersihkan rumah. Selain itu, tidak
sedikit juga perempuan yang sukses menjadi pioneer pengusaha yang
sukses dan melegendaris di Indonesia.

204 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


Program pemberdayaan perempuan di Dusun Srumbung Gunung
dilakukan dengan pendampingan untuk meningkatkan kemampuan
dalam pengolahan kuliner, baik makanan maupun minuman. Proses
pendampingan pengolahan kuliner dimulai dari mengidentifikasi makanan
tradisional yang sudah ada, karena di sana juga terkenal memiliki
jajanan-jajanan tradisional yang banyak jenisnya. Proses identifikasi
juga dilakukan terhadap bahan baku termasuk pemasoknya. Tujuannya
untuk memastikan agar warga Srumbung Gunung menggunakan bahan
baku yang memang tersedia atau dihasilkan dari dusun tersebut dalam
upaya mempertahankan kekhasan produk makanan dan minuman yang
akan dijual oleh warga. Pelatihan pengolahan kuliner dilakukan dengan
memperhatikan protokoler kesehatan agar produk yang dihasilkan oleh
warga Srumbung Gunung tidak hanya dikenal karena rasanya yang enak,
unik, tetapi juga higienis, sehingga aman untuk dikonsumsi. Tidak hanya
pendampingan dalam mengolah makanan, pemberdayaan perempuan di
dusun tersebut juga dilakukan dengan melakukan pelatihan pengemasan
dan penyajian makan yang menarik dengan tetap memperhatikan unsur
tradisional serta higienis. Selain rasa, kemasan dan penyajian yang unik
dari produk yang dijual di Dusun Srumbung Gunung bisa menjadi daya
tarik tersendiri bagi pembeli untuk datang dan mengunjungi tempat ini
sembari menikmati keindahan alamnya.
Perempuan juga diberdayakan pada program pelatihan homestay
dan hospitality yang memperhatikan faktor keamanan, kenyamanan,
serta kebersihan dengan mengikuti protokoler kesehatan. Warga juga
diajari caranya untuk mengelola keuangan baik itu pengelolaan keuangan
keluarga maupun pengelolaan keuangan bagi usaha. Melalui program
pendampingan ini diharapkan perempuan-perempuan di Dusun Srumbung
Gunung dapat terlibat dalam kegiatan ekonomi secara langsung, dapat
berpartisipasi dan mendapatkan akses untuk pengembangan pengetahuan
dan keterampilan. Perempuan yang diberdayakan diharapkan dapat
menjadi pembawa damai bagi dirinya sendiri, keluarga, kelompok dan
desanya.
Pandemik COVID-19 pun memberi dampak kepada warga Dusun
Srumbung Gunung. Bagaimana tidak, aktivitas warga disana pun
mengalami pembatasan dan masyarakat diminta untuk menjalankan
protokol kesehatan, seperti memakai masker, menjaga jarak, menghidari
kerumunan, dan selalu mencuci tangan serta menjaga kebersihan.
Desa semakin terbebani dengan kecemasan terjadinya transmisi lokal
penyebaran virus corona karena banyaknya pekerja urban yang pulang
ke kampung halamannya. Ini membuat aktivitas para warga di Srumbung
Gunung menjadi sangat terbatas.
Pandemi COVID-19 mengubah beberapa program pendampingan
terhadap Dusun Srumbung Gunung. Pemerintah desa mengalihkan
peran Karang Taruna untuk menjalankan kegiatan sosial dengan

Agus Supratikno, Suharyadi, Rini Hudiono, Evi Maria 205


menjadi anggota organisasi ini menjadi bagian dari relawan desa untuk
membantu memutus rantai penyebaran COVID-19. Karang Taruna diminta
mengedukasi masyarakat tentang COVID-19, menyemprot disinfektan
dan menyediakan tempat cuci tangan dengan sabun dan air mengalir
atau cairan pembersih tangan di tempat umum, memastikan tidak ada
kerumunan warga dan membantu mendistribusikan bantuan kebutuhan
pokok warga yang terimbas COVID-19.
Program pemberdayaan warga tetap berjalan, namun dengan
membagi warga dalam grup yang lebih kecil lagi sehingga bisa tetap
mematuhi anjuran dari pemerintah terkait pembatasan sosial. Program
pengabdian mempersiapkan warga Dusun Srumbung Gunung memasuki
fase New Normal. Oleh sebab itu, tim penulis mulai mengedukasi
warga tentang New Normal Desa dan menyiapkan warganya. Program
pendampingan kuliner misalnya, sekarang warga yang memiliki usaha
pengolahan kuliner diwajibkan untuk menggunakan face shield dan sarung
tangan plastik ketika mengolah makanannya.

3. PENUTUP
Keragaman di Indonesia dalam masyarakat harusnya tidak menjadi
ancaman bagi persatuan bangsa. Namun, faktanya tidaklah demikian.
Beberapa tahun belakangan ini, isu radikalisme, konflik bernuansa agama
menguat kembali, dan politik identitas menguat kembali di Indonesia.
Ironis, satu sisi kehidupan agama di Indonesia moderat, toleran dan
damai, namun sisi lain justru terjadi sebaliknya, muncul eksklusivitas
keberagamaan dalam kehidupan masyarakat yang majemuk. Kondisi
ini harus segera ditangani, sebelum akhirnya menimbulkan perpecahan.
Desa menjadi sasaran awal penanganan kasus-kasus intoleransi, politik
identitas dan radikalisme. Argumennya, desa memiliki penawar dari
masalah tersebut, yaitu nilai-nilai kearifan lokal.
Desa dituntut untuk berevolusi menjadi desa kreatif perdamaian.
Namun, proses revolusi desa menjadi desa kreatif perdamaian tentunya
bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Dari Dusun Srumbung Gunung,
Desa Poncoruso, Bawen, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, kita
dapat belajar kunci sukses desa kreatif perdamaian. Ada enam kunci
sukses membentuk desa kreatif. Pertama, partisipasi aktif dan komitmen
tinggi dari masyarakat di sana untuk mewujudkan perdamaian. Kedua,
kemauan masyarakat untuk berubah menjadi lebih baik dan bermanfaat
bagi sesama. Ketiga, edukasi tentang nilai-nilai kemanusiaan, toleransi,
keadilan dan perdamaian. Keempat, praktik nilai-nilai kemanusian
toleransi, keadilan dan perdamaian dalam kehidupan sehari-hari. Kelima,
gali potensi dan lestarikan nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh desa.
Keenam, pemberdayaan perempuan.

206 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


4. DAFTAR PUSTAKA
Cooper, Chris., Fletcher, John., Gilbert, David., Fyall, Alan., dan Wanhill,
Stehphen. (2008). Tourism: Principles and Practice. Fourth
Edition. United Kingdom: Pearson Education Limited.

Sitompul, E.M. (2018). Misi Baru dalam Kemajemukan, Teologi Lintas


Iman dan Lintas Budaya. Buku Penghormatan 80 Tahun Prof.
Olaf Schumann. Tomohon: Ukit Press.

Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik


Indonesia No. AHU-0003358.AH.01.07 tentang Pengesahan
Pendirian Badan Hukum Creative and Peace Srumbung Society.

Undang-Undang Nomor 10. Tentang Kepariwisataan. (2009). Indonesia.

Wahid Foundation. (2018a). Famflet Desa Damai: 9 Indikator Desa Damai.


Wahid Foundation.

________. (2018b). Laporan Survei Nasional Tren Toleransi Sosial-


Keagamaan di Kalangan Perempuan Muslim Indonesia. Jakarta.

Widiyanto, Iwan Firman. (2018). Membangun Ruang Kreatif Desa


Perdamaian di Dusun Srumbung Gunung, Desa Poncoruso
“Mewujudkan Persatuan dalam Perbedaan. Jurnal Tata Kelola
Seni, 4(2): 72-83.

Agus Supratikno, Suharyadi, Rini Hudiono, Evi Maria 207


208 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI
RIWAYAT HIDUP

Dr. M FIRMANSYAH, SE, M.Si


Penulis adalah dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB)
Universitas Mataram (UNRAM). Menyelesaikan studi
S-1 Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan di FEB
UNRAM Mataram, S-2 di FEB Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta (UGM) dan S-3 di FEB Universitas Brawijaya
Malang. Di samping mengajar penulis membantu
pemerintah daerah sebagai Tim EKPD Bappenas, Tim
Penasehat Investasi Provinsi NTB, Tim Penanggulangan
Kemiskinan Daerah Provinsi NTB, Tim Percepatan
Kawasan SAMOTA Provinsi NTB, Tim Pengendali Inflasi
Kota Mataram, Tim Penjamin Mutu Balitbang Kota Mataram. Penulis beberapa
kali menyampaikan ceramah tentang investasi, pengembangan ekonomi lokal
(PEL), kewirausahaan baik yang diselenggarakan pemerintah maupun NGO
disamping itu penulis sering menulis di Kolom Opini di beberapa media masa.

Dr. Ni Made Sukartini., S.E., M.Si., MIDEC


Penulis adalah salah satu staff pengajar di Departmen
Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB),
Universitas Airlangga (Unair). Ni Made mengajar di FEB
Unair sejak Januari 1998. Bidang Ilmu yang ditekuni
Ni Made adalah Ekonomi Publik dan Keuangan Daerah.
Pendidikan formal yang ditempuh Ni Made sebagai
berikut. Tahun 1997 mendapat gelar Sarjana Ekonomi
dari Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, dengan
gelas SE. Tahun 2003 mendapat gelar Magister
Sains Bidang Statistika dari FMIPA Institut Tehnologi
Sepuluh Nopember (ITS), dengan gelar M.Si. Tahun 2006 lulus Program
Master dari Crawford School of Economics and Governance, The Australian
National University (ANU) Canberra, Australia; dalam bidang Ilmu Ekonomi
Pembangunan, dan gelar MIDEC. Tahun 2017 Ni Made lulus dari Program
Doktor Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah
Mada (UGM), dengan gelar Dr.

Bio Data Tim Penulis 209


Fariastuti Djafar., SE., M.A., Ph.D
Penulis lahir di Singkawang, Kalimantan Barat dan bekerja
sebagai dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas
Tanjungpura. Penulis menyelesaikan Sarjana Ekonomi pada
universitas yang sama. Gelar M.A. dan Ph.D. diperoleh
penulis dari Australian National University, Canberra.
Penulis pernah menjadi dosen di Fakulti Ekonomi dan
Perniagaan, Universiti Malaysia Sarawak, Malaysia. Penulis
tertarik pada masalah ketenagakerjaan terutama pekerja
migran, pembangunan desa dan perbatasan. Artikel
pada jurnal ilmiah internasional dan buku yang pernah
diterbitkan penulis dapat dilihat pada Google Scholar,
sedangkan artikel populer dapat dibaca pada blog www.kompasiana.com.

Dr. Agus Sunaya Sulaeman, Ak.,M.Si, AAP, CA


Lahir di Garut, 12 Februari. Menyelesaikan pendidikan
S3 Ekonomi di Universitas Padjadjaran Bandung dengan
kekhususan Konsentrasi Manajemen Keuangan. Pendidikan
S2 Magister Akuntansi dari UMJ konsentrasi Akuntansi
dan Sistem Pengendalian, dan pendidikan Diploma IV
dan Diploma III Akuntansi dari Sekolah Tinggi Akuntansi
Negara dengan memperoleh gelar Akuntan.
Sebelum menjadi Dosen di Politeknik Keuangan
Negara STAN, pekerjaan yang digeluti sejak mahasiswa
selalu di bidang keuangan atau aset di beberapa kegiatan
kemahasiswaan. Setelah menjadi pegawai pekerjaannya
tetap di bidang keuangan dan aset, dengan menjadi staf penyusunan anggaran,
penyusun laporan keuangan, verifikasi tagihan, juga sebagai Kasubag Penyusunan
Anggaran, Kasubag Keuangan, dan Kepala Sekretariat STAN. Jabatan
Perbendaharaan yang pernah diemban: bendahara pengeluaran pembantu,
bendahara pengeluaran prasik, pejabat/panitia pengadaan, atasan bendahara,
pejabat Penandatangan dan Penguji Surat Perintah Membayar, Pejabat Pembuat
Komitmen, dan Pejabat Keuangan BLU STAN. Sebelumnya menjadi tim penyusun
STAN menjadi satker BLU, tim penyusun tarif layanan, RBA.
Saat ini menjadi fungsional Dosen di PKN STAN dengan bidang kompetensi
Akuntansi dan Manajemen Keuangan Pemerintah, pernah menjabat Ketua Jurusan
Manajamen Keuangan (membawahi Prodi Kebendaharaan Negara dan Manajemen
Aset), menjadi trainer/narasumber di beberapa training /workshop/ bintek/seminar
keuangan pusat maupun daerah, dan tim konsultan.
Beberapa Mata kuliah yang diampu di PKN STAN: Pengelolaan Keuangan
BLU, Pelaksanaan Belanja, Pelaksanaan APBN, Perpajakan Bendahara, Akuntansi
Pemerintah dan Manajemen Keuangan Pemerintah. Peminatan Penelitian dan
pengabdian masyarakat di bidang Penganggaran, perbendaharaan, Pengadaan
pemerintah dan BLU baik pusat maupun daerah termasuk pengelolaan keuangan
desa.

210 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


Sriyani, S.E.,M.Akt
Lahir di Yogyakarta, 8 Maret 1977, menyelesaikan
pendidikan Diploma 3 Akuntansi di Sekolah Tinggi
Akuntansi Negara (STAN) pada tahun 1998,
menyelesaikan Strata 1 pada Jurusan Akuntansi lulus
pada tahun 2003, dan menyelesaikan pendidikan Strata
2 pada Jurusan Akuntansi pada tahun 2010. Mengajar
di STAN sejak tahun 2000 mengampu mata kuliah
Pengantar Akuntansi, Akuntansi Biaya dan Akuntansi
Pemerintah.
Mengambil Jabatan Fungsional Dosen dan
bergabung pada Politeknik Keuangan Negara STAN pada bulan November
2016 dan mengampu mata kuliah Akuntansi Pemerintah Pusat/Daerah,
Penatausahaan Bendahara, Akuntansi Biaya dan Pengantar Akuntansi.
Pada tahun 2017 sampai dengan sekarang menjabat sebagai Ketua
Program Studi Diploma 1 Kebenddaharaan Negara Politeknik Keuanan Negara
STAN. Pada tahun 2018-2019 menjadi pembina Himpunan Mahasiswa
Jurusan Manajemen Keuangan Pada Politeknik Keuangan Negara STAN.
Bahan Ajar yang pernah ditulis adalah Penatausahaan Bendahara
diterbitkan oleh unit Penerbitan Politeknik Keuangan Negara STAN pada
tahun 2020. Dua buku Antologi juga diselesaikan pada tahun 2020 dengan
Judul Bulan dalam Genggaman dan Kulepas Kepergianmu diterbitkan oleh
Binsar Hiras Publisher pada tahun 2020.

Rudy Suryanto, SE., M.Acc., Ak., CA


Penulis menempuh karir profesional sebagai Senior
Auditor di Ernst & Young dan PricewaterhouseCooper,
melanjutkan S2 di Melbourne University dengan
beasiswa dari AusAID, menjadi dosen Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta dan mendirikan Syncore
Consulting. Syncore Consulting adalah lembaga yang
memiliki misi untuk memberikan layanan berkualitas
dengan harga terjangkau untuk BLUD, Bumdes, UMKM
dan Social Enterprise. Saat ini tengah menyelesaikan
Phd di Accounting Research Institute (ARI) di UiTM
Malaysia, dengan disertasi tentang Social Enterprise
Governance. Rudy Suryanto juga penulis buku Peta Jalan Bumdes, pendiri
Bumdes.id, penemu metode Cek Kesehatan Usaha dan kurikulum Kejar
UMKM serta pencetus Sekolah Bumdes.

Bio Data Tim Penulis 211


Dahlan Tampubolon, SE., M. Si., Ph.D
Sarjana Ekonomi, bidang Ekonomi Pembangunan dan
Magister Sains bidang Perencanaan Pembangunan
Wilayah dari Universitas Sumatera Utara. Doktor bidang
Ekonomi Pembangunan Wilayah dari Urban Studies dan
Planning Programme, University of Malaya. Saat ini
menjadi dosen pada Ekonomi Pembangunan Universitas
Riau. Selain itu juga peneliti dan koordinator pada Pusat
Studi Sosial Ekonomi, LPPM Universitas Riau. Pernah
aktif menjadi regional economist di Kemenkeu dan juga
RE di BRI. Juga aktif membantu pemerintah daerah
dalam menyusun perencanaan dan evaluasi pembangunan, juga membantu
kementerian melakukan kegiatan evaluasi di daerah.

Dr. Evi Maria., M. Acc., Ak., CA


Lahir di Cirebon, tahun 1980. Penulis merupakan staf
pengajar pada Fakultas Teknologi Informasi, Universitas
Kristen Satya Wacana, Salatiga dengan jabatan akademik
Lektor Kepala. Minat utama yang ditekuni adalah
Auditing, Akuntansi Publik, dan Sistem Informasi.
Meraih gelar Sarjana Ekonomi, jurusan Akuntansi
dari Universitas Kristen Satya Wacana, gelar Master
Accounting dari Program Magister Akuntansi, Unversitas
Gadjah Mada, dan meraih gelar Doktor Ilmu Akuntansi
dari Program Doktor, Universitas Gadjah Mada. Karya
tulis berupa buku yang telah dipublikasikan, antara lain Akuntansi untuk
Perusahaan Jasa, Akuntansi Lanjutan. Penulis juga memiliki pengalaman
sebagai penyunting buku Problematika Hukum Keuangan Negara dan Daerah.
Selain buku, penulis juga telah menghasilkan karya publikasi pada jurnal
internasional bereputasi dan nasional terakreditasi.

Prof. Dr. Abdul Halim, M.B.A., Akt., CA


Lahir di Banjarmasin tahun 1958. Penulis adalah Guru
Besar Ilmu Akuntansi pada Fakultas Ekonomika dan
Bisnis Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Minat
utama yang ditekuni adalah Akuntansi Keuangan,
Auditing, serta Akuntansi dan Manajemen Keuangan
Daerah (Sektor Publik). Disamping mengajar dan meneliti
di FEB UGM, juga membantu di perguruan tinggi swasta
di Yogyakarta, antara lain di STIE YKPN dan STIM YKPN.
Pernah menjadi Anggota Tim Asistensi Menteri Keuangan
Bidang Desentralisasi Fiskal. 

212 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


Riwayat pendidikan: Tahun 1983 S1 Fakultas Ekonomi UGM Yogyakarta
(Drs. Akt) Tahun 1991, S2 Murray State University, Kentucky, USA (M.B.A),
Tahun 1994 mengikuti Local Governance Finance Course di University of
Birmingham UK, Tahun 2000 Program Sandwich untuk S3 University of
Kentucky USA, Tahun 2002 S3 Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (Dr.),
Tahun 2008 Study Tour for Local Government Financial Management in
Germany and Hungary.

Dr. Fitria Husnatarina, S.E., M.Si., Ak., CA., CSRS., CSRA., ACPA
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Jurusan Akuntansi
Universitas Palangka Raya yang saat ini juga bertugas
sebagai Sekretaris Satuan Pengawas Internal Universitas
Palangka Raya dan Tim Pengembangan Universitas
Palangka Raya.
Sejak 2016 saat ini, dipercayakan sebagai Ketua
Ikatan Akuntan Indonesia Wilayah Kalimantan Tengah
dan aktif sebagai fasilitator dan narasumber terkait
pengelolaan Dana Desa di lingkup Pemerintah Provinsi
Kalimantan Tengah. Menjabat juga sebagai Anggota
Komisi I Dewan Riset Daerah Provinsi Kalimantan Tengah yang membidangi
Ekonomi secara khusus pengembangan perekonomian Desa. Saat ini juga
bertindak sebagai koordinator daerah kompartemen akademisi Forum Bumdes
Indonesia Wilayah Kalimantan Tengah.
Secara kontinu melakukan pengabdian masyarakat terkait pengelolaan
keuangan Desa, secara spesifik kepada pemahaman Akuntansi dan pelaporan
keuangan desa dan aktif juga menulis dalam kolom koran lokal berkaitan
dengan pengelolaan dana desa dan pengelolaan Badan Usaha Milik Desa
(BUM Desa).

Dr. Hj. Sri Langgeng Ratnasari, SE., MM


Penulis adalah Dosen Program Studi Magister
Manajemen, Program Pascasarjana, Universitas Riau
Kepulauan dengan tugas tambahan Wakil Rektor IV
(Pengembangan, Peningkatan Mutu, dan kerjasama)
2018-2022 dengan Jabatan Akademik Lektor Kepala,
Pembina/IVa. Pendidikan S1 sampai S3 di bidang
Manajemen Sumber Daya Manusia lulusan dari
Universitas Airlangga S1 dan S3, untuk S2 lulusan
dari Program Studi Magister Manajemen Universitas dr.
Soetomo.

Bio Data Tim Penulis 213


Tahun 2010 mengikuti program Sandwich pendanaan dari Dikti di
Simon Fraser University Canada selama 3,5 bulan. Tahun 2016 mengikuti
Program Pendidikan Reguler Angkatan LIV Lemhannas RI dengan peringkat
kelulusan Sangat Baik. Dosen Berprestasi Peringkat II Kopertis Wilayah X
Tahun 2008 dan Tahun 2012. Dosen Berprestasi Peringkat III Bidang Sosial
Humaniora LLDIKTI Wilayah X Tahun 2018.
Pengalaman tugas tambahan sebagai Kaprodi S1 Manajemen (2010-
2012), Dekan Fakultas Ekonomi (2012-2015), Sekretaris LPPM (2015-
2017), Kaprodi Magister Manajemen (2017-2018).

Dr. Rudi Purwono SE., M.SE


adalah Dosen yang juga menjadi Wakil Dekan Bidang
Akademik dan Kemahasiswaan di Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Airlangga. Beliau menyelesaikan studi
Sarjana Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
di Universitas Airlangga, kemudian Program Master dan
Doktor Ilmu Ekonomi di Universitas Indonesia. Saat ini
Beliau juga menjadi Komisaris Independen di Bank Jatim
serta menjadi Wakil Ketua ISEI Cabang Surabaya. Beliau
juga merupakan salah satu pendiri Indonesia Bureau of
Economic Research (IBER). Pengalaman Beliau adalah
menjadi anggota Forum Ekonom Kementerian Keuangan (Ekonom Regional)
pada Tahun 2012 - 2018. Beliau juga menjadi Wakil Ketua II pada Dewan
Pengupahan Provinsi Jawa Timur Periode Tahun 2012 - 2016. Pada Tahun
2011 - 2015 menjadi Regional Chief Economist (RCE) pada Bank Negara
Indonesia (BNI) WSY (Jawa Timur). Pada Tahun 2014 - 2016 menjadi
anggota Dewan Riset Daerah (DRD) Provinsi Jawa Timur.

Dr. Hady Sutjipto SE., M.Si


Penulis adalah Lektor Kepala pada Jurusan Ilmu Ekonomi
Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA) Serang-Banten.
Penulis menyelesaikan Strata 1 Sarjana Ekonomi
pada Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
(IESP) Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran
(UNPAD) Bandung tahun 1996. Pendidikan Strata 2
diselesaikan pada Program Studi Ilmu Ekonomi Program
Pascasarjana Unpad tahun 2013 dengan topik Tesis
“ Analisis Kapasitas Pajak dan Upaya Pajak Daerah
Tingkat II di Provinsi Jawa Barat Periode 1991-2001. Selanjutnya, Penulis
menyelesaikan Pendidikan Doktoral pada Program Doktor Ilmu Ekonomi FEB
Unpad tahun 2017 dengan topik Disertasi “Dinamika Cicilan Pokok dan

214 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


Bunga Utang Pemerintah serta Implikasinya Terhadap Keberlanjutan Fiskal di
Indonesia.
Penulis saat ini menjabat sebagai Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi
Pembangunan FEB Untirta periode 2020-2024 dan sebagai Pengurus Ikatan
Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Banten periode 2020-2023.

Khoirunurrofik., IMRI., M.A, MPM., Ph.D


Penulis menerima gelar Doktor di bidang Ekonomi Publik
dari Graduate Institute for Policy Studies– GRIPS (Tokyo,
Japan) pada tahun 2014. Ia juga meraih gelar Magister
dalam bidang Analisis Kebijakan (M.A) dari GRIPS pada
tahun 2011, Magister Kebijakan Publik dan Manajemen
(MPM) dari Carnegie Mellon University–Kampus
Australia, pada tahun 2007, dan Magister Internasional
Integrasi Kawasan (IMRI) dari Asia Europe Institute,
Universitas Malaya, Malaysia – Universitas Autonoma
Madrid, Spanyol pada tahun 2004. Ia bergabung
dengan LPEM pada tahun 1999 setelah meraih gelar Sarjana Sains di bidang
Statistika dari FMIPA, Institut Pertanian Bogor. Beliau adalah staf pengajar
di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia sejak tahun 2000.
Topik penelitiannya adalah Keuangan Publik dan Desentralisasi Fiskal,
Ekonomi Perkotaan dan Regional dengan fokus pada aglomerasi industri dan
produktivitas, serta Ekonometrika Terapan dan Analisis Spasial.
Selama berkarir di LPEM, ia telah memimpin beberapa proyek antara
lain Reformulasi Dana Desa (Kemendesa PDDT), Pengkajian Kapasitas
Kelembagaan Gizi di Indonesia (UNICEF), Studi Kelayakan Dana Abadi
Sumber Daya Alam (SWF) di Indonesia (UNDP), Studi tentang Pajak Asuransi
Jiwa (AAJI), Pembangunan Ekonomi Hijau Aceh Timur (IDH), dan Studi
Konektivitas Maritim di Asia Tenggara: Peran dan Tantangan Menuju Integrasi
(ERIA) dan Skema Pendanaan yang Ideal bagi Badan Usaha Milik daerah
(BUMD dalam Pengelolaan Participating Interest di Indonesia (SKK Migas).
Beberapa artikel ilmiahnya sudah diterbitkan di beberapa jurnal akademik baik
nasional maupun internasional antara lain Economies, Asia Pacific Journal of
Regional Science, International Journal of Small and Medium Enterprises and
Business Sustainability.

Bio Data Tim Penulis 215


Dr. Mukhtar A. Adam., SE., M.M
Penulis lahir di Ngofakiaha Maluku Utara pada tanggal
08 Agustus 1972. Jenjang Pendidikan tinggi yang dilalui
yaitu S1 pada Prodi Akuntansi Universitas Muslim
Indonesia Makassar, S2 pada Prodi Ilmu Manajemen
Keuangan, Pascasarjana UMI-Makassar, dan Program
Doktor Ekonomi-Akuntansi Universitas Padjadjaran
Bandung.
Sejak tahun 2000 hingga saat ini sebagai Dosen
pada Universitas Khairun Ternate. Karir di luar kampus
pada 5 tahun terakhir yaitu sebagai Ekonom Kementerian
Keuangan Republik Indonesia, Evaluator Bappenas
pada program Evaluasi Pembangunan Daerah, Bappenas, Ketua Harian ISEI-
Ternate, Staf Ahli DPRD dan Pemerintah Daerah di beberapa Kabupaten/
Kota di Maluku Utara, Ketua FKPT-Maluku Utara. Beberapa tulisan yang
telah dipublikasikan antara lain Efektifitas Kebijakan Fiskal di Maluku Utara,
Evaluasi Pembangunan Daerah Maluku Utara, Kopra Sumber Kesejahteraan
Masyarakat, Dana Cadangan Kebencanaan, Akuntabilitas Pengelolaan APBD
Halmahera Barat, Refocusing, APBD dan APBD-P, Pandangan Pemda dan
DPRD di Morotai, Evaluasi dan Perbaikan Program Dana Desa

Moh. Ahlis Djirimu, SE., DEA., Ph.D


Penulis adalah Lektor Kepala Ekonomi Internasional
pada Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tadulako (IESP-
FEB-Untad). Pendidikan Strata 1, Sarjana Ekonomi
ditamatkan pada FEB-Untad Tahun 1989, pendidikan
strata II (Diplome d’Etude Approfondie) diselesaikan
Tahun 1994 pada Institut Riset Teori Ekonomi, Produksi
dan Pembangunan (IREP.D), Departemen Ekonomi
Pembangunan kekhususan Perdagangan Internasional,
Universitas Pierre-Mendes France-Universite de Grenoble
II, Grenoble, Prancis dengan topik thesis “Industrialisation et Commerce
International en Indonesie: Effet Sur l’emploi et Implications Regionales”.
Selanjutnya, penulis menyelesaikan pendidikan Doktoral bidang Keuangan
Internasional pada Pusat Kajian Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional
(CEMAFI) Universitas de Nice Sophia Antipolis, Nice, Prancis, 30 Maret 2012
dengan topik Disertasi “Processus d’Integration Economique Regionale et
Vulnerabilite Macroeconomique Dans Les Pays Du Sud-Est Asiatique: Le Cas
l’Indonesie, De La Malaisie, De La Thailande et Des Philippines”, dengan
Predikat Tres Honorabes Avec Felicitation du Jury (Summa Cumlaude).

216 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI


Dr. Rully Novie Wurarah
Penulis lahir di Manado pada tanggal 04 April 1964.
Jenjang Pendidikan tinggi yang dilalui yaitu S1 pada
Prodi Sosial Ekonomi Universitas Sam Ratulangi, S2
pada Prodi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah
dan Perdesan Institut Pertanian Bogor dan S3 pada
Prodi Ilmu Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya.
Sejak tahun 1990 hingga saat ini sebagai Dosen
pada Universitas Papua dan sejak tahun 2019 menjabat
sebagai Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Papua. Karir di luar kampus pada 5 tahun terakhir
yaitu sebagai Staf Ahli Ketua DPR Provinsi Papua Barat, Regional Economic
pada Kementrian Keuangan Wilayah Papua Barat, Koordinator Pelaksanaan
Diklat RPJMD kerjasama Bappenas dengan Program Pasca Sarjana UNIPA,
Koordinator Tim EKPD Bappenas untuk Provinsi Papua Barat, Ketua ISEI
Provinsi Papua Barat. Beberapa tulisan yang telah dipublikasikan antara
lain Efektifitas dan Percepatan Pembangunan Infrastruktur di Wilayah Papua
Barat, Mendorong Pertumbuhan UMKM Melalui Kebijakan Fiskal Berdasatkan
Sektor Usaha, Analisis Kebijakan Ekonomi Provinsi Papua Barat, Analisis
Investasi Provinsi Papua Barat, Penyusunan Rencana Umum Penanaman
Modal Provinsi Papua Barat, Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Provinsi
Papua Barat.

Agus Supratikno, M.Th


Penulis menyelesaikan studi S1 teologi di Sekolah
Tinggi Teologi Injili Indonesia, Yogyakarta, pada tahun
1991, dan menyelesaikan program Magister Theologi
di Fakultas Theology Universitas Kristen Duta Wacana
Yogyakarta, tahun 2007.
Menekuni bidang teologi publik, studi perdamaian
dan rekonsiliasi. Tahun 2007-2014, menjadi dosen di
Sekolah Tinggi Agama Kristen Wiyata Wacana Pati, serta
menjabat sebagai pembantu Ketua 1, Bidang akademik.
Sejak tahun 2015 menjadi dosen di Fakultas Teologi,
Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.

Bio Data Tim Penulis 217


Suharyadi S.Kom, M.Cs
Penulis menyelesaikan studi di S1 Sistem Informasi Fakultas
Teknologi Informasi Universitas Kristen Satya Wacana pada
tahun 2009, dan menyelesaikan program Magister Sistem
Informasi di Fakultas yang sama pada tahun 2012. Sejak
tahun 2015 menjadi dosen tetap di Program Studi D3
Sistem Informasi Akuntansi Fakultas Teknologi Informasi
Universitas Kristen Satya Wacana.
Menekuni bidang Sistem Informasi dan mengampu
mata kuliah Sistem Informasi Akuntansi, Analisis dan Design
Sistem Informasi serta Perancangan Sistem Informasi
Akuntansi. Pengalaman Program Pengabdian Masyarakat
yang dibiayai Dirjen Dikti untuk Sekma Program Pengembangan Produk Eksport
tahun 2018 dan Program Pengembangan Desa Mitra tahun 2020. Saat ini
masih menjadi salah satu tenaga pendamping UMKM di wilayah Kota Salatiga,
khususnya untuk penerapan teknologi e-commerce.

Rini Hudiono, S. Pd., MA.


Penulis menyelesaikan Sarjana Pendidikan Bahasa
Inggrisnya tahun 1996 di Universitas Kristen Satya Wacana.
Gelar Master of Arts diperoleh di Christelijke Hogeschool
Noord Nederland dan Metropolitan University, London untuk
Program Master in Leisure and Tourism Studies. Sempat
mengenyam program PhD di Griffith University, Australia
untuk International Busines for Asian Studies. Tahun 2019
lalu, Rini menyelesaikan Postgraduate Diploma in Digital
Business di Emeritus University.
Rini menjadi dosen di Program Studi Destinasi
Pariwisata sejak tahun 1996 dan memiliki pengalaman dalam bidang Pariwisata
dengan menjadi asesor BAN PT untuk bidang pariwisata sejak 2007, menjadi
anggota Komunitas Intepretasi Indonesia, anggota HILDIKTIPARI, ketua Forum
Program Studi Destinasi Pariwisata Indonesia serta ketua Komunitas Perencanaan
Destinasi Pariwisata. Perencanaan destinasi pariwisata, perencanaan pengelolaan
pengunjung, intepretasi, promosi dan pemasaran destinasi pariwisata serta
organasisi pengelola destinasi pariwisata menjadi bidang yang digeluti selama
ini. Saat ini Rini menjadi Direktur Biro Promosi, Humas dan Alumni, UKSW,
team leader dan staf ahli untuk pembuatan Rencana Induk Pengembangan Obyek
Wisata Air Terjun Ngabatata di Kabupaten Nagekeo, NTT, menjadi master trainer
tersertifikasi untuk Organisasi Pengelola Destinasi Pariwisata dari Kemenpar dan
Swiss Contact dan staf ahli dalam pembuatan master plan di Desa Pogalan,
Kabupaten Semarang. Selain bidang pariwisata, Rini juga aktif di Komunitas
Cipta Damai yang menjadi bagian dari Peace Generation sejak 2018.
4000000

218 EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI

Anda mungkin juga menyukai