Anda di halaman 1dari 36

Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia - www.onlinedoctranslator.

com

Pola Penggunaan Kontrasepsi pada

Wanita Menikah di Indonesia

Ria Rahayu 1

Iwu Utomo 2

Peter McDonald 3

1. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Indonesia (BKKBN)

2, 3. Lembaga Penelitian Demografi dan Sosial Australia, Universitas


Nasional Australia

Makalah dipresentasikan pada Konferensi Internasional tentang Keluarga Berencana: Penelitian dan

Praktik Terbaik, 15-18 November 2009, Kampala, Uganda.


Abstrak

Latar belakang

Selama hampir 40 tahun fertilitas di Indonesia terus menurun. Tingkat kesuburan total (TFR)

menurun dari 5,6 anak per wanita pada tahun 1967-1970 menjadi 2,6 anak per wanita di

2007. Sebagian besar penurunan tersebut disebabkan oleh peningkatan angka prevalensi kontrasepsi (CPR) dari 18% pada tahun 1976 menjadi 61% pada tahun

2007. Hal ini mencerminkan keberhasilan program keluarga berencana nasional di Indonesia yang dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana

Nasional. (BKKBN). Namun kebijakan desentralisasi telah membawa perubahan mendasar dalam pengelolaan program KB sejak resmi dilaksanakan pada tahun

2004. Dengan desentralisasi, BKKBN tidak lagi memiliki kewenangan atas pemerintah daerah karena memiliki kewenangan dan hak sendiri untuk membuat

kebijakan secara otonom dan menyelenggarakan anggaran mereka secara mandiri. BKKBN tidak bisa begitu saja memerintahkan pemerintah daerah untuk

meningkatkan anggaran KB. Lebih-lebih lagi, Struktur pemerintahan yang terdesentralisasi memberikan tantangan bagi BKKBN dalam memajukan program KB

yang selama ini mengalami stagnasi. Komitmen dan dukungan pemerintah daerah terhadap program KB berbeda-beda tergantung persepsi mereka tentang

pentingnya program bagi daerahnya. Pada tahun 1997 (sebelum desentralisasi), angka prevalensi kontrasepsi (CPR) adalah 57,4 persen dan pada tahun 2007

(setelah desentralisasi) adalah 61,4 persen. Selama periode sepuluh tahun, CPR telah meningkat hanya 4 persen. Hal ini menunjukkan kinerja program KB di

Indonesia yang relatif lemah setelah desentralisasi, meskipun pengetahuan tentang kontrasepsi di kalangan wanita menikah cukup tinggi. Komitmen dan

dukungan pemerintah daerah terhadap program KB berbeda-beda tergantung persepsi mereka tentang pentingnya program bagi daerahnya. Pada tahun 1997

(sebelum desentralisasi), angka prevalensi kontrasepsi (CPR) adalah 57,4 persen dan pada tahun 2007 (setelah desentralisasi) adalah 61,4 persen. Selama periode

sepuluh tahun, CPR telah meningkat hanya 4 persen. Hal ini menunjukkan kinerja program KB di Indonesia yang relatif lemah setelah desentralisasi, meskipun

pengetahuan tentang kontrasepsi di kalangan wanita menikah cukup tinggi. Komitmen dan dukungan pemerintah daerah terhadap program KB berbeda-beda

tergantung persepsi mereka tentang pentingnya program bagi daerahnya. Pada tahun 1997 (sebelum desentralisasi), angka prevalensi kontrasepsi (CPR) adalah

57,4 persen dan pada tahun 2007 (setelah desentralisasi) adalah 61,4 persen. Selama periode sepuluh tahun, CPR telah meningkat hanya 4 persen. Hal ini

menunjukkan kinerja program KB di Indonesia yang relatif lemah setelah desentralisasi, meskipun pengetahuan tentang kontrasepsi di kalangan wanita menikah

cukup tinggi.

Pertanyaan Utama

Studi ini mengkaji apakah pola penggunaan kontrasepsi di Indonesia telah berubah antara

tahun 1997 (sebelum desentralisasi) dan 2007 (setelah tiga tahun desentralisasi) dengan

menganalisis faktor demografi dan sosial ekonomi yang mempengaruhi penggunaan

kontrasepsi sebelum dan sesudah desentralisasi.


Metodologi

Analisis bivariat dan multivariat digunakan untuk menguji pola penggunaan kontrasepsi,

dimana analisis regresi logistik diterapkan untuk mengidentifikasi hubungan antara

penggunaan kontrasepsi dan karakteristik demografi dan sosial ekonomi yang dipilih.

Data

Data tersebut diperoleh dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 1997 dan 2007

dengan responden 26.886 wanita menikah pada tahun 1997 dan 30.931 wanita menikah pada

tahun 2007.

Temuan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir semua karakteristik yang dipilih memiliki hubungan yang

signifikan dengan penggunaan kontrasepsi pada kedua tahun tersebut. Usia wanita, tempat tinggal,

jumlah anak yang masih hidup, pendidikan wanita, agama, keinginan untuk menambah anak, dikunjungi

oleh petugas KB, dan pandangan suami tentang KB memiliki hubungan yang signifikan dengan

penggunaan metode modern. Menariknya, jumlah anak yang masih hidup, agama, dan pandangan

suami tentang KB tidak lagi memiliki hubungan yang signifikan jika hanya dipertimbangkan penggunaan

metode jangka panjang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan wanita merupakan salah satu

faktor terpenting yang berhubungan dengan penggunaan kontrasepsi pada kedua tahun tersebut.

Sedangkan kunjungan petugas KB berdampak signifikan terhadap penggunaan kontrasepsi sebelum

desentralisasi tetapi tidak signifikan lagi setelah desentralisasi.

Kontribusi Pengetahuan

Rendahnya peningkatan penggunaan alat kontrasepsi dalam kurun waktu sepuluh


tahun menunjukkan adanya stagnasi dalam program KB. Hasil penelitian ini
menyoroti dampak relaksasi program KB di Indonesia yang terjadi setelah
desentralisasi. Stagnasi ini menunjukkan bahwa tantangan bagi pemerintah Indonesia adalah untuk

mempromosikan keluarga berencana dengan memberikan informasi yang lebih baik, pasokan, akses

dan layanan tentang keluarga berencana serta kesehatan reproduksi, terutama di daerah pedesaan.

Penting bagi pemerintah pusat dan daerah untuk memandang program pengendalian fertilitas melalui

keluarga berencana sebagai bagian integral dari program pengentasan kemiskinan yang efektif dengan

meningkatkan kesejahteraan melalui pengembangan norma keluarga kecil. Strategi yang membuat

layanan keluarga berencana tersedia, terjangkau dan dapat diakses oleh semua orang, dan yang

menawarkan lebih banyak metode kontrasepsi akan memiliki dampak terbesar pada peningkatan

penggunaan kontrasepsi. Selain itu, penting untuk mempromosikan metode kontrasepsi jangka

panjang. Menaikkan tingkat pendidikan, meningkatkan kesempatan kerja bagi perempuan, dan

mendorong laki-laki untuk berpartisipasi dalam keluarga berencana merupakan cara yang efektif untuk

meningkatkan penerimaan keluarga berencana dan meningkatkan prevalensi penggunaan kontrasepsi.

Selain itu, penting untuk meningkatkan jumlah tenaga KB karena mereka berkontribusi terhadap

keberhasilan KB di Indonesia.
PENGANTAR

Selama hampir empat puluh tahun fertilitas di Indonesia menurun drastis. Kesuburan total

rate (TFR) menurun dari 5,6 anak per wanita antara tahun 1967 dan 1970 menjadi 2,6 anak

per perempuan tahun 2007 (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, 2007). Banyak dari

Penurunan ini disebabkan oleh peningkatan tingkat prevalensi kontrasepsi (CPR) dari 18 persen

pada tahun 1976 menjadi 61 persen pada tahun 2007 (Hull and Mosley, 2008; SDKI, 2007). Hal ini mencerminkan

keberhasilan program keluarga berencana nasional di Indonesia yang dilaksanakan oleh

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), lembaga negara yang telah

tanggung jawab utama keluarga berencana. BKKBN dibentuk pada tahun 1970, dan

menjadi organisasi pemerintahan yang besar dan dominan dengan kantor cabang di masing-masing

tiga puluh tiga provinsi di negara itu. BKKBN mengatur seluruh rangkaian keluarga

perencanaan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dan organisasi non pemerintah (Pasay

dan Wongkaren, 2001). Kantor pusat di Jakarta telah memberikan prinsip-prinsip panduan untuk

program setiap tahun dan telah menyetujui rencana pelaksanaan lokal sementara

kantor provinsi telah menyelenggarakan kegiatan organisasi publik dan swasta di

melaksanakan program (Cammack dan Heaton, 2002).

Kegiatan BKKBN mempertimbangkan peningkatan komunitas lokal dan politik

dukungan: profesional perawatan kesehatan dalam penyediaan layanan kontrasepsi dilatih,

jaringan distribusi ditingkatkan, dan kontrasepsi melalui pendidikan, kontrasepsi

subsidi, dan dorongan permintaan dipromosikan (Gertler dan Molyneaux, 1994). Keduanya

pendidikan dan dorongan permintaan terjadi melalui berbagai keluarga

merencanakan kegiatan informasi, pendidikan dan komunikasi yang dilakukan secara berkesinambungan oleh
organisasi masyarakat, relawan lokal, dan profesional medis, dan melalui

klinik keliling (Hull dan Hull, 1997).

Program KB di Indonesia telah berhasil membawa pelayanan ke pedesaan

masyarakat melalui jaringan pekerja lapangan keluarga berencana yang mengesankan dan

titik distribusi alat kontrasepsi. BKKBN bekerja sama dengan berbagai masyarakat

dan organisasi swasta (Cammack dan Heaton, 2002). Kesehatan anak dan ibu

klinik di desa dan kelurahan (Puskesmas), bersama dengan puskesmas setempat,

telah dijalankan oleh pekerja lapangan BKKBN, yang bertujuan untuk merekrut baru

akseptor kontrasepsi dengan memotivasi ibu untuk menggunakan KB (Nangoy 1998, in .)

Cammack dan Heaton, 2001, Utomo dkk., 2006). BKKBN juga bekerjasama dengan

organisasi perempuan terkuat, Gerakan Keluarga Sejahtera (PKK), yang

menyediakan relawan keluarga berencana yang mengumpulkan dan memelihara catatan tentang individu

praktik KB dan perekrutan alat kontrasepsi baru secara tatap muka

akseptor (Cammack dan Heaton, 2001; Utomo et al., 2006; Shiffman, 2002).

Apalagi salah satu kunci keberhasilan program KB di Indonesia adalah di

meredakan oposisi agama. Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia dengan

populasi minoritas Kristen, Budha, dan Hindu. Pengendalian kelahiran adalah hal yang sensitif

masalah dalam Islam. Kedua organisasi besar kesejahteraan sosial Islam di Indonesia, Nahdlatul

Ulama (NU) dan Muhammadiyah dikonsultasikan di tingkat nasional dan lokal; mereka tidak

hanya menarik kembali penentangan mereka terhadap program KB, tetapi mereka telah menambahkan

menyuarakan seruan pemerintah untuk keluarga berencana (Cammack dan Heaton, 2001;

Shiffman, 2002).
Program Keluarga Berencana telah menjadi inti dari upaya pemerintah untuk mengurangi

kesuburan. Program-program ini, yang menyediakan akses ke informasi dan layanan kontrasepsi,

memudahkan pasangan untuk merencanakan jumlah anak yang ingin mereka miliki. Di dalam

upaya untuk menurunkan ukuran keluarga yang diinginkan, mereka juga membantu menyebarkan gagasan bahwa kelahiran

kontrol berada dalam ranah pilihan manusia dan mereka memberikan informasi tentang

manfaat keluarga kecil (Jensen, 1996). Program Keluarga Berencana Indonesia

mempromosikan keluarga kecil (dua sudah cukup) untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dengan mendorong

wanita untuk menunda pernikahan dan membatasi kelahiran melalui penggunaan kontrasepsi (Mize and

Roby, 2006).

Selanjutnya, penurunan fertilitas di Indonesia pada akhirnya terkait dengan peningkatan penggunaan

kontrasepsi (Hull dan Hull, 1997). Persentase wanita menikah dari

usia reproduksi yang menggunakan kontrasepsi modern mengalami peningkatan yang signifikan. Berdasarkan

Sensus Indonesia 1971, kurang dari 10 persen wanita menikah berusia antara lima belas dan

empat puluh sembilan tahun menggunakan kontrasepsi modern, sedangkan pada tahun 1997 54,7 persen dan 57,4 persen

melakukannya pada tahun 2007 (SDKI, 1997; SDKI, 2007).

Sejak 2004, BKKBN resmi didesentralisasi membawa perubahan mendasar

terhadap manajemen program keluarga berencana (Hull dan Mosley, 2008). Dengan desentralisasi,

BKKBN tidak lagi memiliki kewenangan atas pemerintah daerah karena memiliki

wewenang dan hak sendiri untuk membuat kebijakan secara mandiri dan mengatur anggarannya

secara mandiri. Oleh karena itu BKKBN tidak bisa begitu saja memerintahkan pemerintah daerah untuk meningkatkan

anggaran keluarga berencana mereka. Namun, proses desentralisasi tidak menghasilkan


penurunan proporsi wanita yang menggunakan kontrasepsi (Hull dan Hull, 2005). Sama

Hal serupa juga terjadi pada tahun 1998, ketika krisis ekonomi melanda Indonesia. Itu diharapkan

bahwa ini akan sangat mengganggu orang dari mengakses keluarga berencana, tetapi pada kenyataannya

penggunaan kontrasepsi tetap konstan (Frankenberg et al., 2003; Mize dan Robey, 2006).

Selain itu, studi kasus yang dilakukan di Indonesia pada tahun 2006, dari sepuluh kabupaten di lima

provinsi, mengungkapkan bahwa komitmen dan dukungan pemerintah daerah terhadap keluarga

program perencanaan bervariasi tergantung pada persepsi mereka tentang pentingnya program

untuk kabupaten mereka (Herartri, 2008). Selanjutnya, struktur pemerintahan yang terdesentralisasi

memberikan tantangan bagi BKKBN dalam menggalakkan program KB yang

telah mengalami stagnasi. Pada tahun 1997 (sebelum desentralisasi), tingkat prevalensi kontrasepsi (CPR)

adalah 57,4 persen dan pada tahun 2007 (setelah desentralisasi) CPR adalah 61,4 persen (SDKI,

1997; SDKI, 2007). Dalam kurun waktu sepuluh tahun, CPR hanya meningkat sebesar 4 persen.

Menurut David Ojakaa (2008), prevalensi kontrasepsi mungkin berhubungan dengan

kinerja program keluarga berencana. Fakta-fakta ini menunjukkan lemahnya kinerja

program KB di Indonesia pasca desentralisasi, meskipun pengetahuan

kontrasepsi tinggi pada wanita menikah. Pengetahuan tentang metode modern adalah

juga hampir universal, (98 persen (SDKI, 2007)). Namun, pengetahuan luas tentang

metode modern tidak menjamin keberhasilan program keluarga berencana kecuali jika

disertai dengan penerimaan dan penggunaan metode yang efektif (Pasay and .)

Wongkaren, 2001).

Penelitian di seluruh dunia telah menemukan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi penggunaan kontrasepsi. Di sebuah

survei nasional wanita Kuwait, Nasra M. Shah et al. (2001) menemukan bahwa usia wanita,
paritas, tingkat pendidikan, dan tempat tinggal di perkotaan secara signifikan dan positif

terkait dengan penggunaan saat ini. Ojakaa di Uganda (2008) menemukan bahwa jumlah wanita tidak

menggunakan kontrasepsi lebih tinggi di antara wanita dengan pendidikan dasar daripada di antara

wanita tanpa pendidikan, tetapi jumlahnya kemudian menurun di antara wanita dengan pendidikan menengah

atau pendidikan tinggi. Selain itu, jumlah non pengguna juga meningkat dengan jumlah yang hidup

anak-anak (Ojakaa, 2008). Ia juga menemukan bahwa semakin rendah status ekonomi

rumah tangga, semakin tinggi non pengguna.

Sebuah studi tentang penggunaan kontrasepsi di Bangladesh mencatat bahwa pendidikan perempuan positif

berhubungan dengan penggunaan alat kontrasepsi saat ini, serta pekerjaan suami, perkotaan

tempat tinggal, kunjungan petugas KB dan keinginan memiliki anak lagi. usia wanita

adalah variabel signifikan terakhir yang berkontribusi positif terhadap penggunaan kontrasepsi (Ullah and .)

Chakraborty, 1993). Selain itu, di Pakistan, pendidikan perempuan juga memegang peranan penting

peran dalam kaitannya dengan penggunaan kontrasepsi, karena wanita yang melek huruf lebih mungkin untuk menggunakan

kontrasepsi dibandingkan wanita buta huruf (Khan dan Khan, 2007).

Pandangan suami tentang keluarga berencana juga secara konsisten ditemukan sebagai

faktor signifikan yang mempengaruhi penggunaan kontrasepsi di beberapa negara termasuk Indonesia,

Afrika Sub-Sahara, Filipina, India, Nepal, Pakistan, Kuwait, dan Mali (Joesoef

dkk., 1988; Bongaarts dan Bruce, 1995; Casterline dan Sinding, 2000; Syah dkk., 2004,

Kaggwa et al., 2008). Sedangkan di Ghana, pendidikan suami tidak signifikan

berpengaruh terhadap penggunaan kontrasepsi istrinya saat ini (Tawiah, 1997). Di Vanuatu, TK

Jayaraman (1995) menemukan bahwa jumlah anak yang masih hidup dan status pekerjaan perempuan

merupakan faktor penting yang mempengaruhi penggunaan kontrasepsi saat ini. Sementara di Uganda,
Ntozi, JP dan JB Kabera (1991) menemukan bahwa rendahnya penggunaan metode modern

kontrasepsi disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang sumber suplai, pendidikan rendah,

tingkat pekerjaan di luar rumah, tidak tersedianya persediaan, dan pronatalist

budaya.

Sebuah studi yang menggunakan data dari Survei Demografi dan Kesehatan Vietnam 1988 menemukan bahwa

wanita dengan tiga atau lebih anak lebih cenderung menggunakan metode modern daripada sebelumnya

mereka yang memiliki anak lebih sedikit. Ditemukan juga bahwa wanita perkotaan lebih cenderung menggunakan

kontrasepsi dibandingkan wanita pedesaan (Dang, 1995). Sementara di India, agama ditemukan sebagai

penentu penting penggunaan kontrasepsi. Kasta Muslim dan Hindu menunjukkan a

penggunaan kontrasepsi yang lebih rendah secara signifikan (Bhende et al., 1991) dan pendidikan adalah salah satu

faktor yang secara positif mempengaruhi penggunaan kontrasepsi, sedangkan usia wanita tidak ditemukan

secara signifikan berdampak pada penggunaan kontrasepsi (Iyer, 2002). Sementara itu, di Tanzania,

wanita yang terpapar pesan KB lebih mungkin untuk menggunakan

kontrasepsi (Jato et al., 1999).

Di Indonesia, penelitian yang dilakukan oleh Mohamad R. Joesoef dkk (1988) menemukan

bahwa persetujuan suami merupakan faktor yang paling signifikan dalam mempengaruhi penggunaan kontrasepsi,

diikuti oleh jumlah anak yang masih hidup dan pendidikan wanita. Selain itu, di

1991, A. Greenspan berpendapat bahwa Indonesia perlu memperluas campuran kontrasepsi untuk

mendorong wanita untuk menggunakan kontrasepsi. Selanjutnya, pada tahun 2005, Juan Schoemaker menemukan

bahwa wanita yang lebih kaya lebih cenderung menyetujui keluarga berencana dan menggunakan modern

kontrasepsi dibandingkan wanita miskin. Dia juga menemukan bahwa jumlah anak yang masih hidup memiliki

hubungan yang kuat dengan penggunaan kontrasepsi di Indonesia.


Sementara banyak penelitian tentang keluarga berencana telah dilakukan di Indonesia, belum ada

penelitian yang dilakukan terhadap pola penggunaan kontrasepsi pada wanita menikah di Indonesia, baik

sebelum atau sesudah desentralisasi. Penelitian ini mengkaji apakah pola penggunaan kontrasepsi

di Indonesia berubah antara tahun 1997 (sebelum desentralisasi) dan 2007 (setelah tiga tahun

dari desentralisasi). Fokus dari penelitian ini adalah untuk menganalisis demografi dan sosial-

faktor ekonomi yang mempengaruhi penggunaan kontrasepsi sebelum dan sesudah desentralisasi.

Karena kontrasepsi adalah salah satu penentu terdekat kesuburan (Bongaarts, 1978),

pemahaman tentang pola penggunaan kontrasepsi pada wanita menikah di Indonesia adalah

sangat penting dalam kaitannya dengan merancang program dan kebijakan untuk mengendalikan kesuburan secara teratur

mempertahankan tingkat kesuburan yang rendah.

Diduga telah terjadi beberapa perubahan pola penggunaan kontrasepsi sebelumnya

dan setelah desentralisasi. Juga dihipotesiskan bahwa wanita yang menggunakan kontrasepsi

meningkat dengan bertambahnya usia, status ekonomi, pendidikan dan daerah tempat tinggal. Wanita yang

tinggal di daerah perkotaan jauh lebih mungkin untuk menggunakan kontrasepsi dibandingkan dengan perempuan

tinggal di daerah pedesaan. Status pekerjaan suami dan istri, serta

Persetujuan suami terhadap penggunaan kontrasepsi merupakan prediktor kuat penggunaan kontrasepsi.

Wanita yang dikunjungi oleh petugas KB dan yang memiliki paparan penuh terhadap

pesan KB juga lebih cenderung mempraktekkan kontrasepsi.


DATA DAN METODE

Data penelitian ini diperoleh dari Demografi Indonesia 1997 dan 2007

dan Survei Kesehatan (SDKI). Kedua survei tersebut dilakukan di Indonesia dengan dukungan

dari program Survei Demografi dan Kesehatan (DHS) internasional. Sebagian besar data

dikumpulkan dalam SDKI memberikan perkiraan terbaru tentang demografi dan kesehatan dasar

indikator yang tercakup dalam survei SDKI sebelumnya. Sebuah survei rumah tangga cross-sectional adalah

dilakukan di Indonesia di mana pada tahun 1997, 35.362 rumah tangga dijadikan sampel, di antaranya:

34.255 berhasil diwawancarai. Pada tahun 2007, 42.341 rumah tangga dijadikan sampel, dari

yang 40.701 berhasil diwawancarai. SDKI 1997 mengidentifikasi 28.810 yang memenuhi syarat

wanita pernah kawin umur 15-49 tahun sedangkan SDKI 2007 mengidentifikasi 32.895

wanita pernah kawin yang memenuhi syarat berusia antara 15 dan 49 tahun.

Variabel dependen

Pada analisis bagian pertama, variabel terikatnya adalah penggunaan kontrasepsi pada saat itu

dari survei. Penggunaan kontrasepsi diukur sebagai variabel dikotomis. pertama

model, wanita yang mempraktikkan kontrasepsi pada saat survei diberi kode 1.

dan mereka yang tidak menggunakan metode apa pun diberi kode 0. Di bagian kedua dari

analisis, variabel terikatnya adalah penggunaan kontrasepsi modern pada saat survei,

yang meneliti kemungkinan memilih metode modern daripada metode tradisional.

Responden dibatasi pada 15.438 wanita yang merupakan pengguna saat ini pada tahun 1997 dan 18.981

wanita pada tahun 2007. Metode kontrasepsi dikelompokkan menjadi dua kategori besar, modern

dan tradisional (Shah et al., 2001). Metode kontrasepsi yang didefinisikan sebagai modern meliputi:
pil, IUD (alat kontrasepsi dalam rahim), suntik, implan, sterilisasi wanita, pria

sterilisasi, kondom, dan LAM (Metode Amenore Laktasi), sedangkan tradisional

metode termasuk pantang berkala, penarikan, dan metode rakyat. Penggunaan modern

metode diukur sebagai variabel dikotomis. Pada model kedua, wanita yang

mempraktekkan kontrasepsi modern pada saat survei diberi kode 1 dan mereka yang

tidak menggunakan metode modern diberi kode 0. Pada bagian ketiga analisis, dependen

variabel adalah istilah metode kontrasepsi modern, yang meneliti kemungkinan

memilih kontrasepsi jangka panjang daripada kontrasepsi jangka pendek. Modern

metode kontrasepsi yang didefinisikan sebagai jangka pendek termasuk pil, suntik, kondom, dan

LAM, sedangkan metode jangka panjang meliputi IUD, implan, sterilisasi wanita, dan pria

sterilisasi. Pada model ketiga, wanita yang mempraktikkan kontrasepsi jangka panjang

metode pada saat survei diberi kode 1 dan mereka yang menggunakan jangka pendek

kontrasepsi diberi kode 0.

Variabel independen

Setiap bagian dari analisis menggunakan set variabel independen yang sama. Usia wanita,

tempat tinggal, jumlah anak yang masih hidup, indeks kekayaan rumah tangga, baik istri maupun

kualifikasi pendidikan suami, agama, keinginan memiliki anak lagi, pekerjaan pasangan

status, apakah dikunjungi oleh petugas KB, paparan KB,

dan pandangan suami tentang KB digunakan sebagai variabel kontrol untuk memprediksi

penggunaan kontrasepsi. Variabel kontinu untuk usia wanita digantikan oleh tiga

kelompok usia: 15-29, 30-39, dan 40-49, diwakili oleh serangkaian variabel dummy. NS

kategori tempat tinggal yang digunakan dari SDKI: perkotaan dan pedesaan. terus menerus
variabel untuk jumlah anak yang hidup dibangun dengan tiga kelompok: kurang dari

tiga anak, tiga dan empat anak, dan lebih dari empat anak. Kekayaan rumah tangga

indeks adalah variabel diskrit termasuk lima kategori: terendah, kedua, tengah, keempat,

dan tertinggi. Tingkat pendidikan wanita dan suami dikelompokkan menjadi empat

kategori: tidak mengenyam pendidikan, dasar, menengah, dan tinggi. Agama memiliki enam kategori:

Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan lainnya. Keinginan untuk memiliki lebih banyak anak adalah

berdasarkan pertanyaan yang berkaitan dengan apakah mereka menginginkan anak lagi atau tidak. Orang-orang yang

menginginkan anak lagi diberi kode 1 dan yang tidak menginginkan anak lagi diberi kode

berkode 0. Status pekerjaan pasangan didasarkan pada pertanyaan apakah istri dan

suami sedang bekerja. Jika keduanya bekerja diberi kode 0, andai saja suami

bekerja mereka diberi kode 1, jika hanya istri yang bekerja diberi kode 2 dan jika

juga tidak bekerja diberi kode 3. Apakah dikunjungi oleh keluarga berencana

pekerja adalah variabel dikotomis (ya atau tidak). Mereka yang dikunjungi oleh keluarga

petugas perencanaan dalam enam bulan terakhir diberi kode 1 dan yang tidak dikunjungi

diberi kode 0. Paparan keluarga berencana didefinisikan sebagai mampu mengingat keluarga

pesan perencanaan yang didengar atau dilihat di radio, televisi, atau surat kabar selama

bulan. Untuk mengevaluasi seberapa banyak paparan yang dialami, pertanyaan dibagi menjadi:

tiga kategori: tidak ada paparan, paparan parsial, dan paparan penuh. Pandangan suami tentang

KB didasarkan pada persepsi istri terhadap pendapat suaminya tentang

penggunaan kontrasepsi: apakah dia setuju atau tidak.


Analisis

Karena penelitian ini berfokus pada pola penggunaan kontrasepsi pada wanita menikah, hanya

mereka yang saat ini menikah pada saat survei dipilih (26.886 wanita

pada tahun 1997 dan 30.931 wanita pada tahun 2007). Mereka yang terlibat dalam penelitian ini, melakukan bivariat

dan analisis multivariat untuk mengetahui pola penggunaan kontrasepsi. Rasio peluang dari

analisis regresi logistik diterapkan untuk mengidentifikasi hubungan antara kontrasepsi

penggunaan dan karakteristik demografi dan sosial-ekonomi responden yang dipilih. Semua

analisis dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 16.

HASIL

Grafik 1 menunjukkan tren penggunaan kontrasepsi menurut metode secara keseluruhan di kalangan menikah

wanita di Indonesia pada tahun 1997 dan 2007. Secara keseluruhan, penggunaan kontrasepsi pada wanita menikah

meningkat sebesar 4 persen selama periode tersebut, dari 57,4 persen pada tahun 1997 menjadi 61,4 persen pada tahun

2007. Selain itu, penggunaan metode modern adalah 54,7 persen pada tahun 1997 dan 57,4 persen

pada tahun 2007, sedangkan penggunaan metode tradisional tidak umum di Indonesia. Menggunakan

suntikan telah menunjukkan peningkatan yang paling luar biasa selama periode tersebut. Persentase

perempuan yang menggunakan suntikan telah meningkat dari 21 persen pada tahun 1997 menjadi 32 persen pada tahun 2007,

sedangkan alat kontrasepsi lainnya mengalami penurunan selama haid kecuali untuk wanita

sterilisasi, yang tidak berubah selama periode tersebut. Ini mungkin karena

keterlibatan bidan desa yang menjadi pelayanan KB swasta

penyedia yang menawarkan suntikan untuk meningkatkan aliran pendapatan mereka (Hull dan Mosley, 2008).

Selanjutnya, proporsi wanita yang memilih metode jangka pendek meningkat 9 persen

selama periode tersebut, dari 37,2 persen pada tahun 1997 menjadi 46,4 persen pada tahun 2007. Sebaliknya,
proporsi pengguna metode jangka panjang menurun dari 17,5 persen pada tahun 1997 menjadi 10,9

persen pada tahun 2007, seperti diilustrasikan pada Grafik 2.

Grafik 1 Tren pilihan metode kontrasepsi (penggunaan saat Grafik 2 Tren pemilihan metode kontrasepsi modern
ini) di kalangan wanita menikah usia 15-49, Indonesia, 1997 (penggunaan saat ini) pada wanita menikah usia 15-49,
dan 2007. menurut istilah metode, Indonesia, 1997 dan 2007.
35 50 46.4
Persentase wanita menikah

30 45

Persentase wanita menikah


25 40 37.2

20 1997 35
15 2007 30
1997
10 25
17.5 2007
20
5
15 10.9
0
10
R
D
l

AK
Pi

ita
k

l
m

ko

na
ia
si

5
ng
do
k

Pr
an

io
ca
je

en
n

is
in

Ko

si

ad

0
sa
s

Tr
si
le

ili
sa

er
ili

Jangka pendek Jangka panjang


St
er
St

Analisis Bivariat metode


metode

Metode jangka pendek meliputi pil, suntik, kondom, dan LAM.

Metode jangka panjang termasuk IUD, implan, sterilisasi wanita, dan sterilisasi pria.

Tabel 1 menyajikan distribusi persentase wanita kawin umur antara

15 dan 49 yang sedang menggunakan kontrasepsi, kontrasepsi modern, atau jangka panjang

kontrasepsi dengan karakteristik demografi dan sosial ekonomi yang dipilih. Ada

variasi yang signifikan dalam penggunaan kontrasepsi di antara wanita dengan demografi dan

karakteristik sosial ekonomi. Penggunaan alat kontrasepsi pada pasangan yang sudah menikah

wanita meningkat dengan usia seperti yang mungkin diharapkan di kedua tahun. Pada tahun 1997 dan 2007,

proporsi pengguna tertinggi berada pada kelompok usia 30-39 tahun, sedangkan proporsi terendah adalah

pada kelompok umur 40-49 tahun. Kelompok usia yang lebih tua mungkin berasumsi bahwa mereka kurang subur atau

mereka percaya diri mereka tidak subur. Untuk kelompok usia reproduksi muda (15-29),

rendahnya proporsi penggunaan kontrasepsi dapat diartikan karena wanita berada pada

awal melahirkan anak dan karenanya mereka membatasi penggunaan metode keluarga berencana.

Meski begitu, mereka yang menggunakan kontrasepsi lebih cenderung menggunakan metode modern

tetapi hanya untuk jangka pendek. Di sisi lain, proporsi tertinggi dari metode jangka panjang
pengguna di kedua tahun adalah kelompok usia yang lebih tua (40-49). Selain itu, sebuah studi tentang

penggunaan kontrasepsi di Indonesia menunjukkan bahwa wanita yang lebih tua cenderung memiliki durasi yang lebih lama

penggunaan kontrasepsi (penghentian lebih rendah) dibandingkan wanita yang lebih muda (Fathonah, 2000).

Wanita di daerah perkotaan lebih mungkin dibandingkan wanita pedesaan untuk mempraktikkan kontrasepsi, tetapi

mereka cenderung tidak menggunakan metode modern dibandingkan dengan wanita di daerah pedesaan di keduanya

bertahun-tahun. Namun, ada penurunan yang signifikan dalam pengguna metode jangka panjang di daerah pedesaan

antara periode. Ini mungkin karena preferensi wanita pedesaan untuk menggunakan

kontrasepsi jangka pendek seperti pil dan suntik karena harganya lebih murah

dibandingkan kontrasepsi jangka panjang.

Persentase pengguna metode modern sedikit menurun dengan jumlah yang hidup

anak-anak, sedangkan persentase pengguna metode jangka panjang meningkat dengan jumlah

anak-anak yang masih hidup selama periode tersebut. Namun, terjadi penurunan yang signifikan dalam

persentase pengguna metode jangka panjang antara tahun 1997 dan 2007. Wanita yang lebih kaya

sedikit lebih mungkin untuk menggunakan kontrasepsi dan menggunakan metode modern daripada mereka yang

berada di kelas menengah dan bawah. Pada tahun 1997, wanita kaya lebih mungkin untuk

menggunakan metode jangka panjang, tetapi pola ini terbalik pada tahun 2007. Hal ini dapat dijelaskan

karena wanita yang lebih kaya di tahun terakhir (2007) memiliki kemampuan untuk membayar praktisi swasta

untuk kontrasepsi jangka panjang. Ini juga bisa karena transformasi keluarga

perencanaan pemberian layanan dari sektor publik atau pemerintah ke praktisi swasta

yang terjadi antara tahun 1987 dan 2007 (Hull dan Mosley, 2008).
Wanita dengan pendidikan dasar, menengah dan tinggi lebih mungkin untuk menggunakan

kontrasepsi dibandingkan mereka yang tidak memiliki pendidikan di kedua tahun yang dipertimbangkan. NS

proporsi wanita yang menggunakan metode modern sedikit meningkat dari wanita tidak berpendidikan

untuk wanita dengan pendidikan dasar dan kemudian menurun secara signifikan dengan peningkatan

pencapaian pendidikan selama ini. Sementara itu, kohort wanita dengan lebih tinggi

pendidikan merupakan persentase tertinggi pengguna metode jangka panjang dibandingkan dengan

mereka yang berpendidikan lebih rendah di kedua tahun, meskipun wanita tidak berpendidikan lebih banyak

cenderung menggunakan metode jangka panjang dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan dasar dan menengah.

Proporsi istri yang menggunakan kontrasepsi meningkat seiring dengan pendidikan suami

tingkat selama periode tersebut. Istri yang suaminya berpendidikan SD terdiri dari:

persentase tertinggi pengguna metode modern di kedua tahun, sedangkan istri yang suaminya

memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki persentase terendah. Menariknya, pada tahun 1997,

proporsi tertinggi pengguna metode jangka panjang adalah istri yang suaminya tidak

pendidikan. Di sisi lain, pada tahun 2007, istri yang suaminya memiliki tingkat

pendidikan adalah proporsi tertinggi pengguna metode jangka panjang.

Proporsi tertinggi wanita yang menggunakan kontrasepsi adalah di antara wanita Hindu selama

periode. Pada tahun 1997, wanita Hindu merupakan proporsi tertinggi dari metode modern

pengguna, sedangkan pada tahun 2007 wanita muslim lebih cenderung menggunakan metode modern.

Namun, persentase wanita yang menggunakan metode jangka panjang adalah yang tertinggi di antara

Wanita Buddhis pada tahun 1997, tetapi tertinggi di antara wanita Hindu pada tahun 2007.
Wanita yang tidak menginginkan anak tambahan lebih mungkin menggunakan kontrasepsi daripada

mereka yang menginginkan anak tambahan selama periode tersebut. Menariknya, mereka yang ingin

lebih banyak anak lebih cenderung menggunakan metode modern tetapi lebih kecil kemungkinannya untuk menggunakan a

metode jangka panjang daripada mereka yang tidak menginginkan lebih banyak anak di kedua tahun. Penghasilan ganda

pasangan lebih cenderung menggunakan kontrasepsi daripada mereka yang hanya memiliki satu pendapatan

sumber—baik dari istri atau suami—atau yang tidak bekerja sama sekali pada kedua tahun tersebut.

Menariknya, wanita sebagai pencari nafkah tunggal lebih cenderung menggunakan metode jangka panjang daripada

mereka yang keduanya bekerja dan tidak bekerja atau di mana hanya suaminya

bekerja. Hal ini mungkin disebabkan oleh fakta bahwa wanita yang bekerja lebih mandiri,

mandiri, dan tahu konsekuensi karir mereka memiliki lebih banyak anak.

Dikunjungi oleh petugas KB tampaknya sangat berpengaruh terhadap penggunaan

kontrasepsi pada tahun 1997, karena proporsi penggunaan kontrasepsi tertinggi di antara

mereka yang telah dikunjungi oleh pekerja tersebut. Proporsi wanita yang menggunakan

kontrasepsi adalah 80 persen di antara wanita yang pernah dikunjungi oleh keluarga berencana

pekerja dan 50 persen di antara mereka yang belum pernah dikunjungi. Sebaliknya, pada tahun 2007

meskipun proporsi pengguna kontrasepsi di antara mereka yang pernah dikunjungi

petugas KB masih lebih tinggi dibandingkan yang tidak berobat, ada

hanya sedikit perbedaan proporsinya: 64,5 persen berbanding 61,2 persen. Sementara itu,

mereka yang pernah dikunjungi oleh petugas KB lebih cenderung menggunakan a

metode modern daripada mereka yang belum pernah dikunjungi antara tahun 1997 dan 2007.

Namun pada tahun 1997, mereka yang pernah didatangi petugas KB adalah

secara signifikan lebih kecil kemungkinannya untuk menggunakan metode jangka panjang dibandingkan mereka yang tidak pernah dikunjungi.

Sedangkan pada tahun 2007 yang pernah dikunjungi petugas KB sedikit


lebih cenderung menggunakan metode jangka panjang daripada mereka yang belum pernah dikunjungi, namun ini

tidak signifikan.

Wanita yang lebih banyak terpapar pesan KB secara signifikan

lebih mungkin menggunakan kontrasepsi daripada mereka yang tidak terpapar selama dekade ini.

Dalam hal metode modern, wanita dengan paparan penuh pesan KB

lebih kecil kemungkinannya untuk menggunakan metode modern dibandingkan mereka yang telah terpapar sebagian atau tidak sama sekali.

Namun, persentase wanita yang menggunakan metode jangka panjang meningkat dengan tingkat

paparan di setiap tahun.

Pandangan suami tentang KB berpengaruh besar terhadap penggunaan kontrasepsi dan

penggunaan metode modern. Di setiap tahun, istri dengan persepsi bahwa suaminya

disetujui penggunaan kontrasepsi, lebih mungkin untuk menggunakan kontrasepsi, dan modern

metode, daripada istri dengan persepsi bahwa suaminya tidak setuju. Tentang 66

persen (1997 dan 2007) dari istri yang suaminya menyetujui KB adalah

menggunakan kontrasepsi dibandingkan dengan hanya 9 persen pada tahun 1997 dan 25 persen pada tahun 2007

istri yang tidak direstui suaminya. Selain itu, pada tahun 1997, istri yang suaminya

keluarga berencana yang disetujui lebih cenderung menggunakan metode jangka panjang daripada wanita

yang suaminya tidak setuju, tetapi pola ini terbalik pada tahun 2007.
Tabel 1 Persentase wanita kawin yang menggunakan kontrasepsi, persentase pengguna kontrasepsi yang menggunakan metode
modern, dan persentase pengguna metode modern yang menggunakan metode jangka panjang, berdasarkan pilihan
karakteristik demografi dan sosial ekonomi, Indonesia, 1997 dan 2007
Karakteristik Pengguna metode Pengguna metode modern Pengguna metode jangka panjang

1997 2007 1997 2007 1997 2007


n % n % n % n % n % n %
Total 15.438 57.4 18.981 61.4 14.714 95.3 17,746 93.5 4.691 31.9 3.384 19.1
Usia ** ** ** ** ** **
15-29 6.197 59.6 6.391 61.7 6.030 99,5 6.136 96.0 1,179 19.6 439 7.2
30-39 6,255 62.4 7.897 68.8 5.909 97.8 7.328 92.8 2.022 34.2 1,325 18.1
40-49 2.986 46.2 4.692 51.5 2,775 96,5 4.282 91.2 1,490 53.7 1,620 37.8
Tempat tinggal ** ** ** ** **
Pedesaan 10.997 56,5 10.959 60.6 10.612 96,5 10.409 95.0 3.400 32.0 1.753 16.8
perkotaan 4,441 59.8 8.022 62.5 4.101 92.3 7.337 91.5 1,291 31.5 1,631 22.2
Jumlah hidup
anak-anak ** ** ** ** ** **
2 anak 8.625 55.8 12.083 60.6 8.287 96.1 11.420 94.5 2.112 25.5 1,68914.8
3-4 anak 4.991 64.7 5,683 67.7 4.715 94.5 5,248 92.3 1,814 38.5 1,35525.8
5 anak 1,823 49.1 1,214 46.7 1,712 94.0 1.078 88.8 765 44.7 340 31.5
Kekayaan rumah tangga

indeks ** ** ** ** ** **
Terendah 2,377 53.5 3.060 53.0 2.250 94.7 2,879 94.1 688 30.6 389 13.5
Kedua 2,790 57.6 3.948 63.3 2,627 94.2 3.759 95.2 916 34.9 632 16.8
Tengah 3.154 59.5 3,960 62.4 2.988 94.8 3.740 94.4 984 32.9 631 16.9
Keempat 3.163 57.5 4.058 63.8 3.029 95.7 3.760 92,7 994 32.8 692 18.4
Paling tinggi 3,955 58.2 3.954 63.5 3.820 96.6 3,607 91.2 1.108 29.0 1.040 28.9
wanita
pendidikan ** ** ** ** ** **
Tidak ada pendidikan 1,510 44.2 847 42.3 1,458 96.6 803 94.7 607 41.6 221 27,5
Utama 9.138 57.9 8.854 60.5 8.847 96.8 8.441 95.3 2,746 31.0 1.451 17.2
Sekunder 4.300 62,7 7.928 65.1 3.992 92.8 7.334 92,5 1.144 28.7 1,269 17.3
Lebih tinggi 490 59.7 1.350 63.2 416 84.9 1.167 86.4 194 46.6 444 38.1
milik suami
pendidikan ** ** ** ** ** **
Tidak ada pendidikan 877 44.1 571 45.0 843 96.1 539 94.4 378 44.9 123 22.8
Utama 8.578 57.4 8.520 60.6 8.332 97.1 8.152 95.7 2,658 31.9 1,409 17.3
Sekunder 5,191 59.7 8.237 63.3 4.843 93.3 7.604 92.3 1,375 28.4 1,311 17.2
Lebih tinggi 792 62.8 1,632 64.2 696 87.9 1,432 87.7 279 40.1 537 37.5
agama wanita ** ** ** ** ** **
Islam 13.968 58.1 16.999 62.1 13.386 95.8 16.072 94.5 4.049 30.2 2,827 17.6
Protestan 676 48.1 964 51.7 615 91.0 806 83.5 278 45.2 259 32.2
Katolik 361 49.0 493 54.8 312 86.4 388 78.9 122 39.1 100 25.7
Hindu 325 67.3 403 70.5 313 96.3 377 93.5 191 61.0 166 44.0
Budha 98 56.3 79 60.3 79 80.6 69 87.3 48 61.5 25 36.2
Lainnya 10 29.4 27 39.7 9 90.0 21 77.8 3 33.3 4 18.2
Keinginan untuk lebih

anak-anak ** ** ** * ** **
Tidak 9.346 62.5 11,893 65.5 8.869 94.9 11,082 93.2 3,505 39.5 2,831 25.5
Ya 6.092 51.1 7.076 55.7 5.845 95.9 6.653 94.0 1,186 20.3 552 8.3
Pekerjaan pasangan
status ** ** ** ** ** **
Keduanya bekerja 7.475 59.0 11.021 61.4 7.077 94.7 10.216 92,7 2.598 36.7 2.215 21.7
Hanya suami 7,766 56,7 7.612 62.3 7.447 95.9 7.212 94.7 2.006 26.9 1.088 15.1
bekerja
Hanya istri yang bekerja 99 38.5 238 48.7 94 94.9 218 92.0 56 59.6 58 26,5
Keduanya tidak berfungsi 98 35.5 110 38.6 96 97.0 100 90.9 31 32.3 23 23.0
Dikunjungi oleh keluarga

pekerja perencanaan ** * ** **
Tidak 10,051 49.8 17.977 61.2 9.403 93.6 16.793 93.4 3.728 39.6 3.18819.0
Ya 5.387 80.1 1.001 64.5 5,310 98.6 950 94.9 964 18.2 195 20.5
Rencana keluarga
paparan ** ** ** * ** **
Tidak ada paparan 8.099 53.7 12.978 60.1 7.740 95.6 12.173 93.8 2.563 33.1 2.18618.0
Paparan sebagian 6.282 62.0 5,156 64.0 5.989 95.4 4.798 93.1 1,789 29.9 1,00621.0
Eksposur penuh 1.058 62.6 827 65.5 984 93.0 759 91,8 339 34.5 191 25.2
Pandangan suami
pada keluarga

perencanaan ** ** ** ** * *
Tidak setuju 235 8.9 425 24.9 163 69.1 319 75.1 40 24.5 75 23.6
Menyetujui 15.138 65.8 18.248 65.9 14.503 95.8 17.187 94.2 4.624 31.9 3.258 19.0
Sumber: Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, 1997 dan 2007. Keterangan: * menunjukkan signifikan pada p < 0,05 ** menunjukkan signifikan pada p < 0,01

Analisis Multivariat

Tabel 2 menggambarkan hasil analisis regresi logistik prediktor alat kontrasepsi

penggunaan metode modern, dan penggunaan metode jangka panjang. Analisis regresi logistik

menunjukkan bahwa usia wanita di Indonesia merupakan prediktor signifikan penggunaan kontrasepsi di

setiap tahun yang ditinjau. Dibandingkan dengan wanita berusia 15 hingga 29 tahun,

wanita berusia antara 30 dan 39, dan 40 dan 49 cenderung menggunakan kontrasepsi di

1997, sementara pada 2007, wanita berusia 30 hingga 39 tahun sedikit lebih mungkin untuk berlatih

kontrasepsi, bagaimanapun, ini tidak signifikan. Wanita berusia 40 hingga 49 tahun adalah

secara signifikan lebih kecil kemungkinannya untuk menggunakan kontrasepsi dibandingkan mereka yang berusia antara 15 dan 29 tahun

periode. Wanita berusia 30-39 dan 40-49 juga secara signifikan lebih kecil kemungkinannya untuk

menggunakan metode modern dibandingkan mereka yang berusia antara 15 dan 29 tahun. Temuan ini mungkin

mencerminkan penurunan kebutuhan akan kontrasepsi modern di antara kelompok wanita tertua.

Ini bisa dijelaskan, mungkin karena mereka kurang subur, mereka percaya diri
menjadi tidak subur, atau mereka mulai memasuki masa menopause. Namun, wanita yang lebih tua adalah

secara signifikan lebih mungkin untuk menggunakan metode jangka panjang daripada wanita yang lebih muda.

Wanita perkotaan sedikit lebih mungkin menggunakan kontrasepsi daripada rekan-rekan mereka di pedesaan

pada tahun 1997. Namun hal ini tidak signifikan. Pada tahun 2007, perempuan perkotaan 7 persen lebih rendah

cenderung menggunakan kontrasepsi dibandingkan wanita pedesaan. Selain itu, wanita perkotaan lebih kecil kemungkinannya

menggunakan metode modern daripada mereka yang tinggal di daerah pedesaan selama periode tersebut. Di dalam

1997, kemungkinan penggunaan metode jangka panjang adalah 14 persen lebih rendah di antara wanita di perkotaan

daerah daripada wanita di daerah pedesaan, tetapi pada tahun 2007, kemungkinan penggunaan metode jangka panjang adalah 10

persen lebih tinggi pada wanita di daerah perkotaan daripada di daerah pedesaan.

Wanita dengan tiga atau empat anak secara signifikan lebih mungkin menggunakan kontrasepsi

daripada mereka yang memiliki dua anak atau kurang pada setiap tahun yang dipertimbangkan.

Menariknya, pada tahun 1997, wanita dengan lima anak atau lebih memiliki kemungkinan 2 persen lebih kecil untuk

praktik kontrasepsi dibandingkan wanita dengan dua anak atau kurang, sedangkan pada tahun 2007, wanita

dengan lima anak atau lebih, 24 persen lebih kecil kemungkinannya untuk mempraktikkan kontrasepsi daripada

wanita dengan dua anak atau kurang. Hasil ini mengejutkan karena penggunaan

kontrasepsi biasanya meningkat dengan paritas. Temuan ini mungkin mencerminkan relaksasi

program keluarga berencana pasca desentralisasi. Selain itu, kemungkinan metode modern

penggunaan lebih rendah di antara wanita dengan tiga anak atau lebih daripada di antara mereka yang memiliki dua anak

anak-anak atau kurang, meskipun kemungkinan penggunaan metode jangka panjang sedikit lebih tinggi

antara wanita dengan tiga anak atau lebih daripada mereka yang memiliki dua anak atau kurang.
Indeks kekayaan rumah tangga memiliki hubungan positif dengan penggunaan metode kontrasepsi.

Dibandingkan dengan wanita miskin, wanita kaya lebih mungkin untuk mengadopsi metode,

metode modern, dan metode kontrasepsi jangka panjang. Selanjutnya, wanita

pendidikan memiliki efek yang signifikan dalam mempromosikan hubungan positif dengan kontrasepsi

menggunakan. Wanita yang lebih berpendidikan lebih mungkin menggunakan kontrasepsi daripada mereka

tanpa pendidikan. Namun demikian, wanita yang lebih berpendidikan cenderung tidak menggunakan modern

metode dibandingkan mereka yang tidak berpendidikan. Namun, wanita dengan pendidikan tinggi adalah

lebih cenderung menggunakan metode jangka panjang daripada mereka yang tidak berpendidikan. Sementara itu, ada

tidak ada perbedaan yang signifikan dalam penggunaan kontrasepsi yang dibawa oleh suami

pendidikan selama periode yang dianalisa. Namun, istri yang suaminya memiliki

sekolah atau pendidikan menengah atau tinggi hanya sedikit lebih mungkin untuk menggunakan

kontrasepsi dibandingkan mereka yang suaminya tidak berpendidikan. Selain itu, peluang

penggunaan metode modern di kalangan istri yang suaminya berpendidikan dasar atau lebih tinggi;

lebih rendah daripada mereka di antara istri dengan suami tidak berpendidikan di setiap tahun.

Meskipun pada tahun 1997 kemungkinan penggunaan metode jangka panjang secara signifikan lebih rendah di antara

istri dengan suami yang berpendidikan dibandingkan dengan istri dengan suami yang tidak berpendidikan, dalam

2007, istri dengan suami berpendidikan lebih cenderung menggunakan metode jangka panjang daripada

mereka yang memiliki suami tidak berpendidikan.

Wanita muslimah lebih jarang menggunakan kontrasepsi dibandingkan wanita beragama lain

persuasi antara tahun 1997 dan 2007. Ini mungkin menunjukkan bahwa pengendalian kelahiran atau keluarga

Perencanaan masih menjadi isu sensitif dalam Islam saat ini. Namun ini tidak signifikan.

Sementara itu, pada periode yang sama, keinginan untuk memiliki anak lagi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

penggunaan kontrasepsi saat ini. Wanita yang menginginkan anak tambahan lebih kecil kemungkinannya
menggunakan metode kontrasepsi dibandingkan mereka yang tidak menginginkan anak lagi. pasangan

status kerja juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penggunaan kontrasepsi saat ini di keduanya

tahun dalam peninjauan. Baik pasangan yang bekerja maupun pasangan yang tidak memiliki pekerjaan lebih mungkin untuk

melakukan kontrasepsi dibandingkan mereka yang memiliki salah satu sumber pendapatan baik dari istri atau

Suami. Menariknya, pada tahun 1997, pasangan yang tidak bekerja 97 persen lebih mungkin untuk menggunakan

metode modern daripada mereka yang sama-sama bekerja. Di sisi lain, tidak bekerja

pasangan 27 persen lebih kecil kemungkinannya untuk menggunakan metode modern daripada pasangan yang bekerja.

Selanjutnya, wanita berpenghasilan tunggal 88 persen lebih mungkin untuk menggunakan jangka panjang

kontrasepsi dibandingkan dengan masing-masing anggota pasangan tersebut bekerja pada tahun 1997

pada tahun 2007, mereka yang bekerja sebagai satu-satunya pencari nafkah 29 persen lebih mungkin untuk menggunakan

metode istilah daripada mereka yang sama-sama bekerja.

Dikunjungi oleh petugas KB juga berpengaruh signifikan terhadap penggunaan kontrasepsi

pada tahun 1997. Pada tahun 2007 ini tidak lagi signifikan. Wanita yang dikunjungi oleh keluarga

pekerja perencanaan lebih cenderung menggunakan metode daripada mereka yang tidak dikunjungi

salah satu tahun (3.2 dan 1.1, masing-masing). Apalagi mereka yang dikunjungi oleh

pekerja keluarga berencana secara signifikan lebih mungkin untuk menggunakan metode modern daripada mereka

yang tidak dikunjungi selama periode tersebut. Sementara itu, dibandingkan dengan mereka yang tidak

dikunjungi oleh petugas KB, mereka yang dikunjungi cenderung tidak menggunakan a

metode jangka panjang pada tahun 1997, tetapi mereka lebih cenderung menggunakan metode jangka panjang pada tahun 2007.

Wanita yang sepenuhnya terpapar dengan pesan keluarga berencana cenderung tidak menggunakan

kontrasepsi dibandingkan mereka yang tidak terpajan pada tahun 1997 dan 2007. Namun hal ini

tidak signifikan. Sebaliknya, mereka yang hanya terpapar KB sebagian saja


pesan lebih cenderung menggunakan kontrasepsi pada tahun 1997, tetapi ini tidak terjadi di

2007. Mereka yang sebagian atau seluruhnya terpapar pesan KB lebih banyak

cenderung menggunakan metode modern atau metode kontrasepsi jangka panjang daripada yang

yang tidak terpapar antara tahun 1997 dan 2007.

Seperti yang diharapkan, ada hubungan positif yang signifikan antara pandangan suami tentang

keluarga berencana dan penggunaan kontrasepsi istrinya saat ini pada tahun 1997 dan 2007. Istri dengan

persepsi bahwa suami mereka menyetujui penggunaan kontrasepsi lebih mungkin untuk menggunakan

kontrasepsi dan kontrasepsi modern dibandingkan mereka yang memiliki persepsi bahwa

suami tidak setuju. Istri yang merasa bahwa suami mereka menyetujui keluarga

perencanaan adalah 46 persen lebih mungkin untuk menggunakan metode kontrasepsi jangka panjang daripada

mereka yang percaya bahwa mereka tidak. Tapi ini tidak terjadi pada tahun 2007, ketika mereka yang

percaya bahwa suami mereka menyetujui keluarga berencana 13 persen lebih kecil kemungkinannya untuk

menggunakan metode jangka panjang daripada mereka yang memiliki persepsi bahwa suaminya

tidak disetujui. Namun, hubungan antara kedua variabel ini tidak signifikan

untuk model ini.

Meja 2. Rasio odds dari analisis regresi logistik menilai hubungan antara penggunaan metode kontrasepsi, metode
modern, dan metode jangka panjang, dengan karakteristik demografi dan sosial ekonomi yang dipilih,
Indonesia, 1997 dan 2007
Karakteristik Pengguna metode Pengguna metode modern Pengguna metode jangka panjang

1997 2007 1997 2007 1997 2007


Rasio peluang Rasio peluang Rasio peluang Rasio peluang Rasio peluang Rasio peluang

Total (N=15.438) (N=18.981) (N=14.714) (N=17.746) (N=4.691) (N=3.384)


Usia
15-29 (ref) 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
30-39 0,78 * * 1.01 0,43 * * 0,53 * * 1.62 * * 2.00 **
40-49 0,41 * * 0,42 * * 0.35 * * 0,42 * * 3.02 * * 4,59 **
Tempat tinggal

Pedesaan (ref) 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00


perkotaan 1.03 0.93 0.72 * * 0.63 * * 0,86 * * 1.10 **
Jumlah hidup
anak-anak
2 anak (ref) 3-4 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
anak 1.47 * * 1.34 * * 0,88 0,81 * * 1.03 1.07
5 anak 0,98 0,76 * * 0,81 0,56 * * 0,99 1.14
Kekayaan rumah tangga

indeks

Terendah (ref) 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00


Kedua 1.17 ** 1.34 ** 0,99 1.07 1.20 * * 1.23
Tengah 1.18 ** 1.22 ** 0,97 1.08 1.06 1.14
Keempat 1.12 * 1.26 ** 1.16 0,95 1.11 1.15
Paling tinggi 1.10 * 1.23 ** 1.33 * 1.19 1.04 1.51
wanita
pendidikan

Tidak ada pendidikan (ref) 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
Utama 1.26 * * 1.44 * * 0,90 0,69 1.02 0,86
Sekunder 1.53 * * 1.66 * * 0,57 * * 0,50 * * 1.11 0,96
Lebih tinggi 1.43 * * 1.59 * * 0.34 * * 0.34 * * 2.14 * * 1.49 * *
milik suami
pendidikan

Tidak ada pendidikan (ref) 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
Utama 1.11 1.09 1.29 0.93 0,71 * * 0,96
Sekunder 1.01 1.01 0,66 0,66 0.63 * * 0,96
Lebih tinggi 1.11 1.06 0,62 0,60 * 0,66 * * 1.57 * *
agama wanita
Islam (ref) 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
Protestan 2.06 1.41 2.73 4.60 * * 1.06 0.63
Katolik 1.68 1.07 2.32 1.85 1,54 1.16
Hindu 1.55 1.28 1.17 1.26 1.27 0,96
Budha 2.52 * 1.69 * 3.09 3.66 * * 3.18 1.98
Lainnya 2.77 * 1.32 * * 1.18 2.41 2.64 1.11
Keinginan untuk lebih

anak-anak

Tidak (ref) 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00


Ya 0,46 * * 0,45 * * 0.68 * * 0,69 * * 0,65 * * 0,55 * *
Pekerjaan pasangan
status
Keduanya bekerja (ref) 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
Hanya suami
bekerja 0,84 * * 0.93 * * 1.14 1.25 * * 0,81 * * 0,85 * *
Hanya istri yang bekerja 0,58 * * 0,62 * * 1.06 0,96 1.88 * * 1.25
Keduanya tidak berfungsi 0,43 * * 0,48 * * 1.97 0.73 0,91 1.08
Dikunjungi oleh keluarga

pekerja perencanaan

Tidak (ref) 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00


Ya 3.18 * * 1.10 4.50 * * 1.43 * 0.36 * * 1.04
Rencana keluarga
paparan
Tidak ada paparan (ref) 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
Paparan sebagian 1.12 * * 0,99 1.01 1.13 0,99 1.09 * *
Eksposur penuh 0,97 0,96 0,92 1.14 1.27 * * 0,96
Tampilan suami di
rencana keluarga
Tidak setuju (ref) 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
Menyetujui 16.2 * * 5.18 * * 11.30 ** 5.03 * * 1.46 0,86
Keterangan: * menunjukkan signifikan pada p < 0,05 ** menunjukkan signifikan pada p < 0,01; ref= kategori referensi
DISKUSI

Penelitian ini mengkaji pola penggunaan kontrasepsi dan pilihan metode di antara

wanita kawin usia subur di Indonesia antara tahun 1997 (sebelum desentralisasi)

dan 2007 (setelah desentralisasi), dengan fokus khusus pada sejauh mana

Karakteristik demografi dan sosial ekonomi mempengaruhi praktik kontrasepsi

menggunakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir semua karakteristik seperti usia wanita, jumlah

anak yang masih hidup, indeks kekayaan rumah tangga, pendidikan wanita, agama, keinginan untuk lebih

anak, status pekerjaan pasangan, dikunjungi oleh petugas KB, dan

Pandangan suami tentang KB semuanya memiliki hubungan yang signifikan dengan kontrasepsi

menggunakan. Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya di negara lain (Joesoef et al., 1988; Ntozi

dan Kabera, 1991; Dang, 1995; Jayaraman, 1995; Mahmood dan Ringheim, 1996;

Douthwaite dan Ward, 2005; Schoemaker, 2005). Hasil juga menunjukkan bahwa suami

paparan pendidikan dan keluarga berencana tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan

penggunaan kontrasepsi. Ada delapan karakteristik yang memiliki hubungan signifikan

berdasarkan penggunaan metode modern: usia, tempat tinggal, jumlah anak yang masih hidup, pendidikan wanita,

agama, keinginan punya anak lagi, kunjungan petugas KB, dan pandangan suami

pada keluarga berencana. Karakteristik lain tidak lagi memiliki hubungan yang signifikan dengan

penggunaan metode modern. Selain itu, hanya ada tiga karakteristik yang tidak lagi memiliki

hubungan yang signifikan dengan penggunaan metode jangka panjang. Ada jumlah yang hidup

anak, agama, dan pandangan suami terhadap KB.

Pada kedua tahun, 1997 dan 2007, hasilnya menunjukkan bahwa pendidikan perempuan adalah salah satu

faktor terpenting yang berhubungan dengan penggunaan kontrasepsi. Ini mirip dengan temuan
studi yang dilakukan di negara lain yang juga menunjukkan bahwa pendidikan perempuan memiliki

efek positif yang kuat pada penggunaan kontrasepsi mereka saat ini (Martin, 1995; Arokiasamy,

2002; Iyer, 2002; Khan dan Khan, 2007). Hal ini juga dicatat oleh Shireen J. Jejeebhoy

(1995) yang berpendapat bahwa wanita berpendidikan lebih mungkin untuk menggunakan kontrasepsi daripada

wanita yang tidak berpendidikan karena pendidikan diharapkan dapat meningkatkan motivasi untuk berlatih

kontrol kelahiran. Meningkatkan tingkat pendidikan perempuan mungkin merupakan salah satu cara yang efektif untuk

memajukan praktik keluarga berencana di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah

harus mendorong lebih banyak perempuan muda untuk mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebelum desentralisasi, kunjungan petugas KB

sangat mempengaruhi penggunaan alat kontrasepsi. Namun, setelah desentralisasi, kunjungan oleh a

petugas KB tidak lagi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penggunaan KB saat ini

kontrasepsi, meskipun masih ada efek positifnya. Setelah desentralisasi,

Jumlah petugas KB menurun karena mereka memutuskan untuk pindah ke tempat lain

pekerjaan pemerintah yang memberi mereka pendapatan dan status yang lebih baik (Utomo et al., 2006).

Hasil ini menunjukkan bahwa pemerintah harus memberikan remunerasi yang lebih baik kepada keluarga

pekerja perencanaan sehingga lebih banyak orang yang memenuhi syarat akan tersedia untuk dikunjungi

pasangan suami istri untuk mendorong orang-orang tersebut untuk berpartisipasi dalam keluarga berencana.

Status pekerjaan pasangan juga berpengaruh signifikan terhadap penggunaan kontrasepsi. Bekerja

wanita cenderung memilih metode modern jangka panjang yang lebih efektif karena mereka lebih

cenderung memiliki kemampuan untuk membuat pilihan kesuburan. Seperti yang dikatakan Jayaraman, meningkatkan

kesempatan kerja bagi perempuan akan meningkatkan prevalensi kontrasepsi sehingga,

diharapkan dapat menurunkan angka kelahiran (Jayaraman, 1995).


Hasilnya juga menunjukkan bahwa perempuan perkotaan lebih kecil kemungkinannya untuk menggunakan metode modern daripada

rekan-rekan pedesaan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan dan akses keluarga berencana

layanan di daerah pedesaan lebih luas pada tahun 2007 dan bahwa perempuan di daerah pedesaan lebih banyak

menerima program keluarga berencana dan lebih cenderung menggunakan metode yang efektif. Ini

hasil juga menunjukkan bahwa program keluarga berencana nasional berhasil dicapai

perempuan di pedesaan meskipun penggunaan metode jangka panjang perlu digalakkan. Pada

Di sisi lain, perempuan di perkotaan lebih bergantung pada metode tradisional, meskipun

mereka yang menggunakan metode modern lebih cenderung menggunakan metode jangka panjang yang efektif.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pandangan suami tentang KB merupakan salah satu faktor yang signifikan

faktor yang mempengaruhi penggunaan kontrasepsi pada tahun 2007. Sejak persepsi wanita tentang dirinya

Pendapat suami tentang penggunaan kontrasepsi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap dirinya

praktik kontrasepsi, tampaknya sikap suami menjadi kendala serius untuk

penggunaan kontrasepsi wanita (Joesoef et al., 1988; Bongaarts dan Bruce, 1995; Casterline

dan Sinding, 2000; Syah dkk., 2004). Oleh karena itu, pembuat kebijakan yang bertanggung jawab atas

Program KB perlu menyasar suami dengan mengkonstruksi pesan bahwa

mendorong partisipasi laki-laki dalam keluarga berencana.

Mengenai metode kontrasepsi, suntik telah menunjukkan yang paling luar biasa

meningkat selama periode yang dipertimbangkan, sementara kontrasepsi lain

menurun selama periode tersebut kecuali sterilisasi wanita, yang tidak berubah selama

Titik. Pola-pola seperti itu menunjukkan bahwa beberapa pemikiran perlu diberikan untuk jalan

pelayanan kontrasepsi diberikan. Ada ruang lingkup yang jelas untuk upaya memperluas

berbagai pilihan yang tersedia untuk memasukkan metode seperti pil, kondom, LAM, dan long
metode yang efektif; IUD, implan, dan sterilisasi serta untuk memperdalam upaya promosi

keluarga berencana yang bertanggung jawab, khususnya di kalangan laki-laki (Hull, 2000).

Namun, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Karena penelitian ini meneliti penggunaan kontrasepsi

pola hanya di kalangan wanita menikah, sampel dibatasi hanya saat ini menikah

perempuan pada saat survei SDKI di kedua tahun. Oleh karena itu tidak termasuk non-

wanita yang sudah menikah atau wanita yang pernah menikah. Oleh karena itu hasil ini mungkin tidak dapat

digeneralisasikan untuk semua wanita di Indonesia.

Terlepas dari keterbatasan, penelitian ini memiliki beberapa kekuatan yang berkontribusi pada yang ada

literatur penelitian tentang penggunaan kontrasepsi. Studi ini telah membandingkan statistik yang dikumpulkan di

1997 dan 2007 untuk mengamati apakah ada perubahan pola penggunaan kontrasepsi sebelumnya

dan setelah desentralisasi. Karena belum ada penelitian sebelumnya tentang pola penggunaan kontrasepsi di

Indonesia telah dilakukan untuk mengkaji perubahan selama periode di bawah

pertimbangan, penelitian ini membantu untuk mengisi kesenjangan dalam literatur. Namun, studi lebih lanjut adalah

perlu digali faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan alat kontrasepsi di Indonesia menggunakan

data longitudinal untuk menguji tren dan kausalitas.


Implikasi kebijakan dan program

Peningkatan yang rendah dalam tingkat penggunaan kontrasepsi selama periode sepuluh tahun menunjukkan

stagnasi dalam program keluarga berencana. Hasil penelitian ini menyoroti dampaknya

relaksasi program KB di Indonesia yang terjadi setelah

desentralisasi. Stagnasi ini menunjukkan bahwa tantangan bagi pemerintah

Indonesia adalah untuk mempromosikan keluarga berencana dengan memberikan informasi yang lebih baik, pasokan, akses

dan pelayanan KB serta kesehatan reproduksi khususnya di pedesaan

daerah. Penting bagi pemerintah pusat dan daerah untuk melihat kontrol kesuburan

program melalui keluarga berencana sebagai bagian integral dari pengentasan kemiskinan yang efektif

program peningkatan kesejahteraan melalui pengembangan norma keluarga kecil.

Strategi yang membuat layanan keluarga berencana tersedia, terjangkau, dan dapat diakses oleh semua

orang, dan yang menawarkan metode kontrasepsi yang lebih luas akan memiliki

berdampak pada peningkatan penggunaan kontrasepsi. Selain itu, penting untuk mempromosikan jangka panjang

metode kontrasepsi. Meningkatkan tingkat pendidikan, meningkatkan lapangan kerja

kesempatan bagi perempuan, dan mendorong laki-laki untuk berpartisipasi dalam keluarga berencana semuanya

sarana yang efektif untuk memajukan penerimaan keluarga berencana dan meningkatkan prevalensi

dari penggunaan kontrasepsi. Selain itu, penting untuk meningkatkan jumlah keluarga berencana

pekerja karena mereka berkontribusi terhadap keberhasilan keluarga berencana di Indonesia.


REFERENSI

Arokiasamy, Perianayagam. 2002. Preferensi gender, penggunaan kontrasepsi dan fertilitas di

India: Pengaruh regional dan pembangunan. Jurnal Internasional Geografi

Kependudukan 8: 49-67.
Bhende, Asha A., Minja Kim Choe, JR Rele, dan James A. Palmore. 1991.
Penentu pilihan metode kontrasepsi di kota industri India. Jurnal Populasi
Asia Pasifik 6 (3): 41-66.
Bongaarts, John. 1978. Kerangka Kerja untuk Menganalisis Determinan Proksimat dari

Kesuburan. Tinjauan Kependudukan dan Pembangunan 4 (1): 105-132.

Bongaarts, John dan Judith Bruce. 1995. Penyebab unmet need alat kontrasepsi dan

konten sosial dari layanan. Studi di Keluarga Berencana 26 (2): 57-75.

BKKBN dan BAPPENAS. Laporan negara Republik Indonesia 2009. Laporan negara
untuk komisi kependudukan dan pembangunan, Pelaksanaan Konferensi

Internasional tentang Program Aksi Kependudukan dan Pembangunan dalam

Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium.

Cammack, Mark dan Tim B. Heaton. 2002. Variasi regional dalam penerimaan
program keluarga berencana Indonesia. Kajian Kependudukan dan Kebijakan

(20): 565-85.

Casterline, John B. dan Steven W. Sinding. 2000. Kebutuhan Keluarga Berencana yang belum terpenuhi di

negara berkembang dan implikasinya terhadap kebijakan kependudukan. Tinjauan

Kependudukan dan Pembangunan 26, (4): 691-723.

Badan Pusat Statistik dan ORC Macro. 1997.Demografi Indonesia


dan Survei Kesehatan 1997. Calverton, Maryland, AS.

Badan Pusat Statistik dan ORC Macro. 2007.Demografi Indonesia


dan Survei Kesehatan 2007. Calverton, Maryland, AS.

Dan, Anh. 1995. Perbedaan dalam penggunaan kontrasepsi dan pilihan metode di Vietnam.

Perspektif Keluarga Berencana Internasional (21): 2-5.

Douthwaite, Megan dan Patrick Ward. 2005. Peningkatan penggunaan kontrasepsi di pedesaan

Pakistan: evaluasi Program Pekerja Kesehatan Wanita. Kebijakan dan

Perencanaan Kesehatan 20, (2): 117-23.


Fathonah, Siti. 2000.Pola penggunaan kontrasepsi di Indonesia. Calverton, Maryland:

Kementerian Negara Kependudukan/Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional

dan Macro International Inc.

Gertler, Paul J. dan John W. Molyneaux. 1994. Bagaimana perkembangan ekonomi dan keluarga

perencanaan dikombinasikan untuk mengurangi kesuburan Indonesia. Demografi 31, (1): 33-63.

Greenspan A. 1991. Menambahkan pilihan pada campuran kontrasepsi: pelajaran dari Indonesia.

Jurnal Kebijakan Kependudukan Asia-Pasifik (19): 1-4.

Herarti, Rina. 2008. Kebijakan desentralisasi dan keberlanjutan keluarga berencana

program di 10 kabupaten di Indonesia. Makalah dipresentasikan pada 2dan Konferensi

Internasional Manajemen Kesehatan Reproduksi (ICRHM), penekanan khusus pada

keluarga berencana, Kartika Plaza Hotel, Kuta, Bali, Indonesia, 6-8 Mei 2008. Hull,

Terence H. dan Henry Mosley. 2008.Revitalisasi Keluarga Berencana di Indonesia. Bappenas,

BKKBN dan UNFPA.

Hull, Terence H. 2000. Dari provinsi ke negara: Revolusi demografi suatu bangsa.
Keluar dari Abu: Penghancuran dan Rekonstruksi Timor Timur. Diedit oleh James

J. Fox dan Dionisio Babo Soares. Penerbitan Crawford House, Adelaide: 30-43.

Iyer, Sriya. 2002. Agama dan keputusan penggunaan kontrasepsi di India.Jurnal untuk

Kajian Ilmiah Agama 41 (4): 711–22.


Jato, Miriam N., Calista Simbakalia, Joan M. Tarasevich, David N. Awasum, Clement
NB Kihinga, dan Edith Ngirwamungu. 1999. Dampak promosi keluarga
berencana multimedia pada perilaku kontrasepsi wanita di Tanzania.
Perspektif Keluarga Berencana Internasional 25 (2): 60-67.

Jayaraman, TK 1995. Faktor demografi dan sosial ekonomi alat kontrasepsi


penggunaan di kalangan wanita perkotaan di negara-negara Melanesia di Pasifik Selatan:

Sebuah studi kasus Port Vila Town di Vanuatu. Makalah Sesekali Bank Pembangunan Asia:

1-29.

Jejeebhoy, Shireen J. 1995. Pendidikan, Otonomi, dan Reproduksi Perempuan


Perilaku; Pengalaman dari Negara Berkembang. Oxford Clarendon Press.
Jensen, Eric R. 1996. Dampak Kesuburan dari Distribusi Keluarga Berencana Alternatif

saluran di Indonesia. Demografi 33:153-65.


Joesoef, Mohamad R., Andrew L. Baughman, dan Budi Utomo. 1988. Suami
persetujuan penggunaan kontrasepsi di metropolitan Indonesia: Implikasi program.

Studi di Keluarga Berencana 19 (3): 162-68.

Kaggwa, Esther B., Nafissatou Diop, dan J. Douglas Storey. 2008. Peran individu
dan faktor normatif masyarakat: Sebuah analisis multilevel penggunaan kontrasepsi di kalangan

perempuan dalam serikat pekerja di Mali. Perspektif Keluarga Berencana Internasional 34

(2): 79-88.
Khan, Rana Ejaz dan Tasnim Khan. 2007. Bagaimana karakteristik wanita yang sudah menikah mempengaruhi

perilaku kontrasepsinya? Jurnal Ilmu Terapan 7 (19): 2782-87. Mahmood, Naushin dan

Karin Ringheim. 1996. Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan kontrasepsi di

Pakistan. Tinjauan Pembangunan Pakistan 35 (1): 1-22.

Martin, Teresa Castro. 1995. Pendidikan dan kesuburan wanita: Hasil dari 26
Survei Demografi dan Kesehatan. Studi di Keluarga Berencana 26 (4): 187-202.

Mize, Lucy S. dan Bryant Robey. 2006.Komitmen 35 Tahun untuk Keluarga Berencana di

Indonesia: Kemitraan Bersejarah BKKBN dan USAID. Baltimore: Sekolah Kesehatan

Masyarakat Johns Hopkins Bloomberg/ Pusat Program Komunikasi: 1-48. Ntozi, JP dan JB

Kabera. 1991. Keluarga berencana di pedesaan Uganda: pengetahuan dan penggunaan

metode modern dan tradisional di Ankole. Studi di Keluarga Berencana 22 (2):

116-23.

Ojaka, David. 2008. Tren dan determinan unmet need KB di


Kenya. Kertas Kerja DHS, Penelitian Demografi dan Kesehatan, Macro
International Inc.
Passay, N. Haidy A. dan Turro S. Wongkaren. 2001.Kebijakan dan program kependudukan di

Indonesia. Surat kabar berkala East West Center, seri kependudukan dan kesehatan no.

123.
Schoemaker, Juan. 2005. Penggunaan kontrasepsi di kalangan masyarakat miskin di Indonesia.Internasional

Perspektif Keluarga Berencana 31 (3): 106-14.

Shah, Nasra M., Makhdoom A. Shah, Eqbal Al-Rahmani, Jaafar Behbehani, Zoran
Radovanovic dan Indu Menon. 2001. Tren, pola dan korelasi penggunaan
kontrasepsi di antara warga Kuwait, 1984-1999.Prinsip dan Praktik Medis
10: 34-40.
Shah, Makhdoom A., Nasra M. Shah, Rafiqul Islam Chowdhury, Indu Menon. 2004.
Kebutuhan kontrasepsi yang tidak terpenuhi di Kuwait: masalah bagi penyedia layanan kesehatan.

Ilmu Sosial dan Kedokteran 59: 1573-80.

Tawiah, EO 1997. Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan kontrasepsi di Ghana. Jurnal Biososial

Sains 29: 141-49.


Ullah, Md. Shahid dan Nitai Chakraborty. 1993. Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan

kontrasepsi di Bangladesh: Sebuah analisis multivariat. Jurnal Populasi Asia-


Pasifik 8 (3):19-30.
Misi Dukungan PBB di Timor Timur. 2005. daring:
http://www.un.org/Depts/dpko/missions/unmiset/index.html.

Diakses: 26 Oktober 2008.

Utomo, Iwu D., Syahmida S. Arsyad, dan Eddy Nurul Hasmi. 2006. Keluarga desa
relawan perencanaan di Indonesia: Peran mereka dalam program keluarga berencana.

Masalah Kesehatan Reproduksi 14 (27): 73-82.

Warwick, Donald P. 1986. Program Keluarga Berencana Indonesia: Pemerintah


pengaruh dan pilihan klien. Tinjauan Kependudukan dan Pembangunan 12 (3): 453-90.

Anda mungkin juga menyukai