Etika Bisnis Perspektif Islam
Etika Bisnis Perspektif Islam
Aziz, M.Ag.
i
PERHATIAN
KECELAKAAN BAGI ORANG-ORANG YANG CURANG
(QS Al-Muthaffifin
Ayat 1)
Para pembajak, penyalur, penjual, pengedar, dan PEMBELI BUKU
BAJAKAN adalah bersekongkol dalam alam perbuatan CURANG.
Kelompok genk ini saling membantu memberi peluang hancurnya citra
bangsa, “merampas” dan “memakan” hak orang lain dengan cara yang
bathil dan kotor. Kelompok “makhluk” ini semua ikut berdosa, hidup
dan kehidupannya tidak akan diridhoi dan dipersempit rizkinya oleh
ALLAH SWT.
(Pesan dari Penerbit ALFABETA)
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
Dilarang keras memperbanyak, memfotokopi sebagian
atau seluruh isi buku ini, serta memperjualbelikannya
tanpa mendapat izin tertulis dari Penerbit.
ii
SAMBUTAN
iii
tolok ukur. Karenanya, dalam setiap bab pada buku ini pembahasan
selalu menampilkan urgennya etika agama (akhlak) dalam berbisnis.
Dalam buku ini pembahasan akhir mengenai penanganan
sengketa antar pelaku bisnis melalui dewan hisbah memberikan
pemahaman bagi para pelaku usaha kiranya penyelesaian dengan jalan
kekeluargaan lebih baik dibanding dengan penyelesaian pada tingkat
peradilan (wilayatul qadhat). Mengingat kenyataan tersebut, buku ini
sangat berharga bagi pelaku bisnis yang memerlukan pedoman dan
panduan dalam pengelolaan bisnis yang dijalaninya.
Semoga tujuan penulis merekam pemahaman dan penghayatan
yang berharga tentang etika bisnis Islami bagi para pembaca yang
budiman dan pelaku usaha pada khususnya serta penyebarannya dalam
bentuk buku ini dapat tercapai. Amin
iv
PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum wr. wb.
v
Dalam buku ini dihantarkan prinsip dan sistem nilai dalam
ekonomi Islam untuk memberikan pemahaman awal bagi para pembaca
sebelum lanjut membaca bab-bab berikutnya. Teori-teori etika pada
umumnya dan akhlak Islami dalam bisnis yang dituangkan dalam
uraian singkat dilengkapi dengan kutipan-kutipan ayat al-Qur’an
maupun as-sunnah ditampilkan. Hal ini dilakukan agar pemahaman
tentang etika bisnis Islami lebih mendasar.
Dalam rangka penguatan kembali akan diuraikan bagaimana
semangat dan etos kerja dalam Islam sangat dianjurkan, terutama dalam
perdagangan (bisnis) sebagai pekerjaan yang paling baik. Secara umum,
ajakan terhadap pribadi yang kuat lebih baik dibanding pribadi yang lemah
(al-hadits), akan menjadi motivasi untuk giat bekerja dan dilakukan
secara profesional, baik sebagai produsen maupun distributor. Di sisi
lain, pada bab selanjutnya menekankan pada pemahaman dan
penghayatan bahwa konsumsi merupakan bagian penting yang harus
diketahui agar dalam mendapatkan makanan dan minuman (rezeki)
dengan cara yang halal dan thayyib. Tidak menghalalkan segala cara.
Mensyukuri Nikmat Allah dan Menkufurinya menjadi informasi penting
dalam teori konsumsi Islami.
Etika Islami seperti berbuat adil (‘adalah), tidak mendzalimi dan
berbuat dzalim (la tadzlimun wa la tudzlamun), suka sama suka (an-
taradzin), tidak memaksakan kehendak seperti merayu-merayu berle-
bihan dalam memasarkan barang/jasa, tidak melakukan perbuatan
ribawai, perjudian (maysir) dan penipuan (gharar dan tadlis) merupakan
istilah-istilah kunci etika bisnis Islami yang patut ditaati, baik oleh
pribadi sebagai pelaku bisnis maupun kolektif (pelaku pasar;
profesional; bankir dan sejenisnya). Karenanya, akan memberikan
pedoman dan tuntunan bagi pelaku bisnis agar meraih sukses (falah) di
kehidupan dunia dan akhirat.
Dan di akhir pembahasan bab dalam buku ini diuraikan singkat
tentang bagaimana cara menyelesaikan sengketa bisnis, baik yang
dilakukan dengan cara kekeluargaan (ash-shulh), arbitrase (dewan
hisbah) maupun sampai ke pengadilan (at-tahkim). Hal ini mengingatkan
kembali bahwa dalam Islam ajaran-ajaranya mencakup skala mikro
maupun makro, yang bersentuhan dengan hak pribadi dan umum,
kewajiban pribadi dan umum dan demikian pula pemerintah sebagai
regulator dalam memerankan fungsi dan tujuannya.
vi
Dan akhirnya, penulis pun menyadari sepenuhnya bahwa apabila
dijadikan seluruh pohon-pohon yang ada di dunia ini sebagai penanya, dan
seluruh air yang ada di tujuh lautan kering, di tambah lagi dengan tujuh lautan
yang lain sebagai tintanya, manusia tidak akan mampu menghitung berapa
besar nikmat dari Allah SWT (Al-Qur’an). Oleh sebab itu, ketidak-
sempurnaan dalam buku ini karena keterbatasan waktu dan referensi
yang penulis miliki. Oleh karena itu, kritik dan saran konstruktif sangat
penulis harapkan. Dan atas segala saran dan kritik konstruktif yang
diberikan untuk penulis ucapkan terimakasih, semoga Allah SWT selalu
membukakan hidayah dan taufik, serta inayah kepada kita semua. Amin
Kiranya apa yang ada di hadapan pembaca ini, semoga menjadi
bagian kecil karya penulis dipersembahkan semata untuk mengabdi
kepada-Nya. “Tidaklah Aku turunkan jin dan manusia ke dunia ini, kecuali
hanya untuk menyembah-Ku”. Dan tidak lupa ucapan terimakasih kepada
Rektor IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Prof. Dr. H. Maksum Mukhtar, MA
di tengah kesibukan memberikan kata sambutan, dan penghargaan
kepada penerbit Alfabeta, khususnya Bapak Prof. Dr. H. Buchari Alma,
M.Pd., yang telah menerbitkan buku ini. Al-Marhum H. Munawwar dan
Hj. Witrul Khatimah, ayahanda dan ibunda tercinta terimakasih atas
kasih dan sayangnya, semoga Allah membalas dengan kasih dan
sayangnya serta menempatkan pada sisi-Nya, tempat yang paling layak.
Semoga karya ini menjadi bagian dari amalan jariyah wa waladun
shalih yad’u lah, wa ilmun yuntafau bihi, serta guru-guru ku. Istri dan
Anaku tercinta, Ratna Mardiani, S.Pd., dan Moh. Ismail Razi Alfaruqi,
inspirator dalam setiap langkah berkarya. Semuanya diucapkan ucapan
terima kasih.
Akhirulkalam,
Nasrun min Allah wa Fathun Qarib
Wassalau’alaikum wr wb
Abdul Aziz
vii
DAFTAR ISI
Sambutan
Prof. Dr. H. Maksum Mukhtar, MA
(Rektor IAIN Syekh Nurjati Cirebon) ................................................ iii
Pengantar ................................................................................................ v
Daftar Isi ................................................................................................. viii
Bab I
Prinsip dan Sistem Nilai Dalam Ekonomi Islam ........................... 1
A. Prinsip Dasar Ajaran Islam ............................................................ 1
B. Sistem Nilai dalam Islam ................................................................ 8
C. Sistem Ekonomi Islam .................................................................... 13
Bab II
Konsep Etika Bisnis Islami ................................................................ 20
A. Pengertian Etika Bisnis Islami ....................................................... 20
B. Prinsip-prinsip Etika Bisnis Islami ................................................ 36
C. Ruang Lingkup Etika Bisnis Islami ............................................... 47
Bab III
Konsepsi dan Teori Etika ................................................................... 48
A. Konsepsi Etika ................................................................................. 49
B. Pendekatan Etika Versus Akhlak .................................................. 51
C. Teori-teori Etika Barat ..................................................................... 55
D. Etika Islami ....................................................................................... 64
Bab IV
Konsepsi Etika Dalam Al-Qur’an ..................................................... 70
A. Landasan Filosofis ........................................................................... 70
B. Al-Qur’an Sebagai Pedoman Etika ............................................... 75
C. Konsep Kunci Etika Al-Qur’an ...................................................... 77
D. Etika Islam Sebuah Problem Solver ................................................. 90
viii
Bab V
Etika Bisnis Perspektif Islam ............................................................ 97
A. Etika Bisnis Konvensional Versus Islam ...................................... 97
B. Konsep Al-Qur’an Tentang Bisnis ................................................ 101
C. Konsep Al-Hadits Tentang Bisnis ................................................. 111
D. Implikasi Bisnis dalam Konsep Al-Qur’an dan Al-Hadits ........ 113
Bab VI
Etos Kerja Dalam Bisnis Islami.......................................................... 119
A. Pengertian Etos Kerja ...................................................................... 119
B. Anjuran untuk Bekerja Keras ......................................................... 124
C. Etos Kerja Qur’ani ........................................................................... 128
D. Konsep Dasar Kewirausahaan ....................................................... 133
E. Keuntungan dan Etika .................................................................... 137
Bab VII
Etika Produksi Perspektif Islam ....................................................... 141
A. Pendahuluan .................................................................................... 141
B. Pengertian Produksi dalam Islam ................................................. 142
C. Konsep Produksi dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits .................... 143
D. Motif-motif Produksi Islami .......................................................... 146
E. Etika Produksi Islami ...................................................................... 148
F. Power Point Etika Produksi dalam Islam ................................... 152
Bab VIII
Etika Konsumsi Perspektif Islam ..................................................... 157
A. Pendahuluan .................................................................................... 157
B. Pengertian Konsumsi Islami .......................................................... 158
C. Prinsip Dasar Konsumsi Islami ..................................................... 161
D. Etika Konsumsi Islami .................................................................... 164
E. Ikhtisar (Penutup) .......................................................................... 172
ix
Bab IX
Etika Distribusi Perspektif Islam ..................................................... 175
A. Pendahuluan .................................................................................... 175
B. Pengertian Distribusi dalam Islam ................................................ 176
C. Distribusi Pendapatan dalam Islam .............................................. 179
D. Etika Distribusi Islami .................................................................... 181
Bab X
Etika Kerja Dalam Islam .................................................................... 187
A. Pendahuluan .................................................................................... 187
B. Pengertian Etika Kerja Islami ........................................................ 192
C. Pedoman Etika Kerja Islami ........................................................... 195
D. Meneladani Etos Kerja Rasulullah ................................................ 198
E. Kerja dan Produktivitas .................................................................. 202
Bab XI
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Perspektif Islam ................. 207
A. Konsep Pertanggungjawaban ........................................................ 207
B. Teori Pertanggungjawaban Perusahaan ...................................... 211
C. Kritik terhadap Tanggung Jawab Sosial Perusahaan ................ 215
D. Mencari Bentuk Ideal Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Versi Islam ........................................................................................ 219
Bab XII
Etika Profesi Dalam Islam ................................................................. 228
A. Pengertian Profesi ........................................................................... 228
B. Profesi dalam Bisnis Islami ............................................................ 232
C. Sejarah Para Nabi dalam Al-Qur’an Tentang Profesi ................ 241
D. Kewajiban Karyawan dan Perusahaan Serta Sebaliknya .......... 246
x
Bab XIII
Konsep Keadilan Dalam Bisnis ........................................................ 250
A. Pengertian Keadilan dalam Bisnis Islami ..................................... 250
B. Teori Keadilan dalam Produksi Islami ......................................... 251
C. Teori Keadilan dalam Konsumsi Islami ....................................... 254
D. Teori-teori tentang Keadilan dalam Bisnis .................................. 257
Bab XIV
Etika Bisnis Dalam Pasar Islami ....................................................... 265
A. Pendahuluan .................................................................................... 265
B. Prinsip Dasar Pasar Islami ............................................................. 268
C. Mekanisme Keadilan Pasar Islami ................................................ 271
Bab XV
Etika Lembaga Bisnis Syariah ........................................................... 277
A. Pendahuluan ................................................................................... 277
B. Pengertian Etika Perbankan ........................................................... 279
C. Dasar-dasar Etika Perbankan Syariah .......................................... 280
D. Etika Bankir ...................................................................................... 284
E. Prinsip Dasar Etika Perbankan ...................................................... 286
Bab XVI
Lembaga Arbitrase atas Persengketaan Bisnis Syariah ................ 290
A. Pendahuluan .................................................................................... 290
B. Pengertian Ash-Shulhu .................................................................... 291
C. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah ..................................... 292
D. Lembaga Arbitrase Bisnis Syariah ................................................ 307
xi
xii
BAB I
PRINSIP DAN SISTEM NILAI
DALAM EKONOMI ISLAM
1
ﻦ
َ ﺴِﻠﻤِﻴ ْ ن ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ ﺁ َﻣ ْﻨ ُﺘ ْﻢ ﺑِﺎﻟَّﻠ ِﻪ َﻓ َﻌَﻠ ْﻴ ِﻪ َﺗ َﻮ َّآﻠُﻮا ِإ
ْ ن ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ ُﻣ ْ ل ﻣُﻮﺳَﻰ ﻳَﺎ َﻗ ْﻮ ِم ِإ
َ َوﻗَﺎ
“Berkata Musa: "Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka
bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah
diri."
ب
َ ق َو َﻳ ْﻌﻘُﻮَ ﺳﺤَﺎ ْ ﻞ َوِإ َ ﺳﻤَﺎﻋِﻴ ْ ﻋﻠَﻰ ِإ ْﺑﺮَاهِﻴ َﻢ َوِإَ ل َ ﻋَﻠ ْﻴﻨَﺎ َوﻣَﺎ ُأ ْﻧ ِﺰ َ ﻞ ﺁ َﻣ َﻨّﺎ ﺑِﺎﻟَّﻠ ِﻪ َوﻣَﺎ ُأ ْﻧ ِﺰ
َ ل ْ ُﻗ
ﺡ ٍﺪ ِﻣ ْﻨ ُﻬ ْﻢ
َ ﻦ َأ
َ ق َﺑ ْﻴ
ُ ّﻦ َرِّﺑ ِﻬ ْﻢ ﻻ ُﻧ َﻔ ِﺮ
ْ ن ِﻣَ ﻲ ﻣُﻮﺳَﻰ َوﻋِﻴﺴَﻰ وَاﻟَّﻨ ِﺒ ُﻴّﻮ َ ط َوﻣَﺎ أُو ِﺗ ِ ﺳﺒَﺎ ْ وَاﻷ
ن
َ ﺴِﻠﻤُﻮ
ْ ﻦ َﻟ ُﻪ ُﻣ ُﺤ ْ َو َﻧ
“Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturun kan
kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan
anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, 'Isa dan para nabi dari
Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan
hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri."
2
ِ ﺖ َﻟ ُﻜ ُﻢ اﻹﺳْﻼ َم دِﻳﻨًﺎ َﻓ َﻤ
ﻦ ُ ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ِﻧ ْﻌ َﻤﺘِﻲ َو َرﺿِﻴ
َ ﺖُ ﺖ َﻟ ُﻜ ْﻢ دِﻳ َﻨ ُﻜ ْﻢ َوَأ ْﺗ َﻤ ْﻤ
ُ ا ْﻟ َﻴ ْﻮ َم َأ ْآ َﻤ ْﻠ
ﻏﻔُﻮ ٌر َرﺡِﻴ ٌﻢ
َ ن اﻟَّﻠ َﻪ
َّ ﻒ ﻹ ْﺛ ٍﻢ َﻓِﺈ ٍ ﻏ ْﻴ َﺮ ُﻣ َﺘﺠَﺎ ِﻧ
َ ﺼ ٍﺔ َ ﺨ َﻤ ْ ﻄ َّﺮ ﻓِﻲ َﻣ ُﺿ ْ ا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama
bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat
dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-
Maidah, 5: 3)
ﻦ
َ ﺳﺮِﻳ
ِ ﻦ ا ْﻟﺨَﺎ
َ ﺧ َﺮ ِة ِﻣ
ِ ﻞ ِﻣ ْﻨ ُﻪ َو ُه َﻮ ﻓِﻲ اﻵ ْ ﻏ ْﻴ َﺮ اﻹﺳْﻼ ِم دِﻳﻨًﺎ َﻓَﻠ
َ ﻦ ُﻳ ْﻘ َﺒ َ ﻦ َﻳ ْﺒ َﺘ ِﻎ
ْ َو َﻣ
“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah
akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-
orang yang rugi.” (Q.S. Ali Imron, 3: 85)
Dan ihsan adalah atap vis a vis asesoris yang enak dipandang (Q.S. Ali
Imron, 3: 133), dan (Q.S. Al-Mulk, 67: 2).
س وَاﻟَّﻠ ُﻪ
ِ ﻦ اﻟ َﻨّﺎ
ِﻋ
َ ﻦ
َ ﻆ وَا ْﻟﻌَﺎﻓِﻴ
َ ﻦ ا ْﻟ َﻐ ْﻴ
َ ﻇﻤِﻴ
ِ ﻀ َﺮّا ِء وَا ْﻟﻜَﺎ
َّ ﺴ َﺮّا ِء وَاﻟ
َّ ن ﻓِﻲ اﻟَ ﻦ ُﻳ ْﻨ ِﻔﻘُﻮ
َ اَّﻟﺬِﻳ
ﺴﻨِﻴ َﻦ
ِ ﺐ ا ْﻟ ُﻤ ْﺤ
ُّ ﺤ
ِ ُﻳ
َ ﻦ
ﻋﻤَﻼ َو ُه َﻮ اْﻟ َﻌﺰِﻳ ُﺰ ا ْﻟ َﻐﻔُﻮ ُر ُﺴَ ﺤﻴَﺎ َة ِﻟ َﻴ ْﺒُﻠ َﻮ ُآ ْﻢ َأُّﻳ ُﻜ ْﻢ َأ ْﺡ
َ ت وَا ْﻟ
َ ﻖ ا ْﻟ َﻤ ْﻮ
َ ﺧَﻠ
َ اَّﻟﺬِي
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara
kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.”
3
Secara fungsional, prinsip dasar ajaran Islam tersebut harus sejalan
dan sebangun dengan filosif rumah yang ditempati dengan suasana
sejuk, damai dan menyenangkan (mawwaddah wa rahmah). Karenanya
tiga prinsip dasar tersebut menjadi landasan operasional lembaga-
lembaga keuangan syariah di Indonesia. Hal ini dapat diilustrasikan
secara sederhana dalam wujud yang bersifat materi sebagai berikut:
4
Dinding (Islam), merupakan knowledge (pengetahuan) yang dapat
menjadi obor (penerang, jalan dan petunjuk). Dalam ajaran Islam,
pengetahuan yang merupakan domain akal menempati kedudukan
yang cukup strategis. Berbagai problem sosial, politik, budaya, ekonomi
dan aspek-aspek lain dalam kehidupan manusia dapat dicarikan solusi
(pemecahan) melalui pengetahuannya (pengerahan dan pemberdayaan
akal) secara optimal. Pengetahuan akal ini pula yang dapat membeda-
kan kedudukan istimewa manusia dibandingkan dengan makhluk-
makhluk lain.
Apalagi pada aspek hukum (bisnis) Islam pun, kata Muhammad
Tholchah Hasan (2003: 5-6), peran (pengetahuan) akal tidak bisa di-
tinggalkan. Misalnya yurisprudensi hukum (ilmu fiqh), (fiqh legal
maxim/kaidah-kaidah fiqhiyah sebagai produk murni akal), yang di-
anggap sebagai salah satu sumber hukum dalam hukum positif (hukum
yang berlaku dalam suatu negara), juga lebih ditentukan oleh peran akal
(pengetahuan) yang berhasil ditunjukkan hakim melalui analisa dan
pertimbangan-perimbangan yang diajukannya sebelum suatu perkara
diputuskan.
Dalam konteks ‘dinding’ Islam di atas yang di’simbolkan’ sebagai
pengetahuan (knowledge) merupakan pengejawantahan dari peranan
akal dalam kita ber(agama) Islam, dalam kita memahami (arti) al-Qur’an
dan Sunnah Nabi juga amat ditekankan oleh al-Qur’an sendiri.
Dalam al-Qur’an, misalnya terdapat sebanyak 43 ungkapan yang
bertalian dengan menggunakan pengetahuan (akal); 12 kali ungkapan
“tidaklah kalian menggunakan akal?; 1 kali ungkapan “apakah kalian tidak
menggunakan akal?; 8 kali ungkapan; “hendaklah kalian meng-gunakan akal”,
12 kali ungkapan; “mereka tidak menggunakan akal”, dan 5 kali ungkapan
“akum yang menggunakan akal”. Memang wajar, menurut Munawir
Sadzali, sebagaimana dikutip Tholchah Hasan, bahwa pengetahuan
(akal) yang merupakan kelengkapan pemberian Allah yang paling
berharga kepada umat manusia itu dipergunakan untuk memahami dan
menjabarkan isi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena itu, ‘dinding’ Islam
dapat difungsikan lewat pengetahuan umat manusia.
Dalam konteks pragmatis-utiliatarian-materialistik-duniawiah,
kerja sama manusia dengan sesama dalam pentasharufan harta benda
dan pengetahuannya, Islam mengajarkan nilai-nilai dasar ekonomi yang
5
bersumber pada ajaran tauhid (sebagai pondasi). Islam lebih dari sekadar
nilai-nilai dasar etika ekonomi, seperti keseimbangan, ke-satuan,
tanggung jawab, dan keadilan, tetapi juga memuat keseluruhan nilai
yang fundamental serta norma-norma yang substansial agar dapat
diterapkan dalam operasional lembaga ekonomi Islam di masyarakat,
(Ahmad Hasan Ridwan, 2012: 5). Secara rinci, hal ini dapat dilihat dalam
gambar 1.2 berikut ini:
Gambar 1.2 Penjelasan Rinci Filosofi Rumah
Menurut Juhaya S. Praja (2012: 6), bahwa sistem nilai dalam bisnis
(ekonomi syariah) menempatkan al-falah sebagai tujuan utama-nya. Al-
Falah adalah kesejahteraan lahiriyah yang dibarengi kesejahteraan
batiniah (al-shalah), kesenangan duniawi dan ukrawi, keseimbangan
materiil dan immateriil. Tujuan ini memperlihatkan dengan jelas bahwa
6
hakikat sistem nilai dalam bisnis (ekonomi syariah) merupakan rahmat
bagi sekalian alam (rahmatan lil ‘alamin).
Sistem nilai dalam bisnis (ekonomi syariah) membebaskan diri-
nya dari prakti transaksi riba, maeysir, dan gharar. Transaksi riba diganti
dengan instrumen mudharabah (profit and loss sharing), transaksi maesyir
diganti dengan instrumen antaradhin minkum (kerelaan para pihak yang
bertransaksi), transaksi gharar diganti dengan transaksi keterbukaan.
Kemudian, pada tataran operasionalnya, instrumen tersebut terintegrasi
dengan prinsip-prinsip yang berbasis pada nilai-nilai dasar Islami, yaitu:
1. Ilahiyah (ketuhanan) adalah konsep ke-Tauhid-an sebagai puncak dari
sistem nilai dan prinsip segala prinsip tata laksana kehidupan dunia
dan akhirat.
2. Nubuwwah (kenabian).
3. Khuluqiyah (moral-etik).
4. Keadilan, yaitu prinsip keseimbangan antara hak dan kewajiban yang
dilaksanakan secara proporsional.
5. Insaniyah (Kemanusiaan), yaitu prinsip menegakkan kehormatan
manusia sebagai hamba Allah.
6. Tolong-menolong, yaitu prinsip pemberdayaan ekonomi masyarakat
bawah (mustad’afin).
7. Kekeluargaan, yaitu prinsip yang menjalin silaturrahim antar manusia
dengan landasan iman dan Islam.
8. Kerjasama, yaitu prinsip melaksanakan rencana pengembangan eko-
nomi umat dengan saling menopang satu dengan yang lainnya,
membangun keswadayaan masyarakat dan kelompok-kelompok
usaha mikro yang mandiri, berkelanjutan, dan mengakar di masyara-
kat, menciptakan akses yang lebih mudah sehingga masyarakat
miskin dan usaha mikro mampu menjangkau peluang, informasi, dan
sumber daya untuk pengembangan usaha, mengembangkan pember-
dayaan sosial masyarakat yang terpadu dalam aspek usaha ekonomi
produksi dan usaha kesejahteraan sosial pada berbagai kelompok
masyarakat.
7
(posterity), dan kekayaan (wealth). Dengan konsep ini, menurut Umar
Chapra, berkeyakinan bahwa sistem ekonomi dapat dibangun sejak awal
dari suatu keyakinan (iman) dan berakhir dengan kekayaan (wealth or
capital). Pada gilirannya tidak akan muncul kesenjangan ekonomi atau
perilaku ekonomi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat.
1. Konsep Nilai
8
dengan barang yang mau dibayarkan orang untuk mendapatkannya
memunculkan konsep nilai. Tetapi, makna “nilai” dan “sistem nilai”,
secara khusus berbeda dengan konsep ekonomi itu, walaupun bukan tak
ada hubungan sama sekali, dan sangat boleh jadi pada mulanya ia
dipinjam dari konsep ekonomi. Misalnya, pembeli siap untuk
membayarkan sejumlah uang untuk suatu barang atau jasa yang disukai
sehingga mau membeli (membayar). Seseorang yang lapar memerlukan
makanan. Ia membutuhkan makanan dan bersedia membayar uang,
sebagai imbalannya. Jadi, tolok ukur untuk nilai ekonomi pun adalah
keinginan dan permintaan.
Dari sini dapat diambil maknanya bahwa segala yang diinginkan
dan diminta oleh manusia yang dapat memenuhi kebutuhannya atau kehendak-
nya, maka barang itu mengandung nilai. Istilah nilai dalam pengertian luas
ini diterapkan pada objek-objek maupun pada manusia dan perilakunya.
Karena itu, berbicara tentang konsep nilai tidak lepas dari dimensi
manusia. Memang secara khusus dalam konteks, nilai berhubungan erat
dengan barang dan jasa yang dikonsumsi (butuhkan). Dalam hal ini,
nilai berhubungan dengan kegunaan.
Perlu diketahui bahwa pada pelajaran dasar tentang ekonomi
konsumsi, kegunaan/nilai (utility) memiliki beberapa ragam kegunaan
yang meliputi:
a. Kegunaan unsur (element utility), artinya suatu benda memiliki
kegunaan dilihat dari unsur benda tersebut. Contoh: Terigu yang
dipergunakan untuk membuat kue.
b. Kegunaan tempat (place utility), artinya benda itu memiliki kegunaan
apabila dipakai sesuai tempatnya. Contoh: Pasir yang dipindahkan
dari sungai ke toko bangunan.
c. Kegunaan waktu (time utility), artinya benda itu memiliki kegunaan
apabila dipakai sesuai waktunya. Contoh: Payung digunakan pada
saat hujan.
d. Kegunaan bentuk (form utility), artinya benda itu memiliki kegunaan
setelah dirubah bentuknya. Contoh: Kayu gelondongan dirubah
menjadi meja.
e. Kegunaan kepemilikan (ownership utility), artinya benda itu ber-guna
jika telah dimiliki. Contoh: Mesin jahit yang dibeli dari toko mesin
jahit.
9
f. Kegunaan pelayanan (service utility), artinya pelayanan atau service
itu berguna jika diberikan. Contoh: Dokter mengobati pasiennya.
10
akal itulah muncul berbagai fenomena dan gejala kemanusiaan dan
aspek-aspek kehidupan yang melingkupinya. Allah berfirman:
ﻀ ْﻠﻨَﺎ ُه ْﻢ
َّ ت َو َﻓ
ِ ﻄِّﻴﺒَﺎ
َّ ﻦ اﻟ
َ ﺤ ِﺮ َو َر َز ْﻗﻨَﺎ ُه ْﻢ ِﻣ
ْ ﺡ َﻤ ْﻠﻨَﺎ ُه ْﻢ ﻓِﻲ ا ْﻟ َﺒ ِّﺮ وَا ْﻟ َﺒ
َ َوَﻟ َﻘ ْﺪ َآ َّﺮ ْﻣﻨَﺎ َﺑﻨِﻲ ﺁ َد َم َو
ﺧَﻠ ْﻘﻨَﺎ َﺗ ْﻔﻀِﻴﻼ َ ﻦ ْ ﻋﻠَﻰ َآﺜِﻴ ٍﺮ ِﻣ َّﻤ َ
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut
mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik
dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan
makhluk yang telah Kami ciptakan”. (Q.S. Al-Isrra’, 17: 70)
ﻦﻻ ٌ ﻋ ُﻴ
ْ ن ِﺑﻬَﺎ َوَﻟ ُﻬ ْﻢ َأ
َ ب ﻻ َﻳ ْﻔ َﻘﻬُﻮ ٌ ﺲ َﻟ ُﻬ ْﻢ ُﻗﻠُﻮ
ِ ﻦ وَاﻹ ْﻧ
ِّ ﺠِ ﻦ ا ْﻟ
َ ﺠ َﻬَّﻨ َﻢ َآﺜِﻴﺮًا ِﻣ
َ َوَﻟ َﻘ ْﺪ َذ َر ْأﻧَﺎ ِﻟ
ﻚ ُه ُﻢَ ﻞ أُوَﻟ ِﺌ ُّ ﺿ
َ ﻞ ُه ْﻢ َأ
ْ ﻚ آَﺎﻷ ْﻧﻌَﺎ ِم َﺑَ ن ِﺑﻬَﺎ أُوَﻟ ِﺌ
َ ﺴ َﻤﻌُﻮ
ْ ن ﻻ َﻳ ٌ ن ِﺑﻬَﺎ َوَﻟ ُﻬ ْﻢ ﺁذَاَ ﺼﺮُو ِ ُﻳ ْﺒ
ن
َ ا ْﻟﻐَﺎ ِﻓﻠُﻮ
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari
jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk
memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka
mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat
Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.
Mereka itulah orang-orang yang lalai”. (Q.S. Al-A’raf, 7: 179)
11
Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya
(neraka), (5)
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi
mereka pahala yang tiada putus-putusnya.
2. Nilai Moral
Nilai moral dalam Islam mempunyai tolok ukur yang jelas. Tolok
ukur nilai dalam pandangan Islam adalah kesempurnaan yang muncul
dalam jiwa manusia dan yang mengantarkannya kepada penyembahan
kepada Allah, mendekat kepada-Nya, dan mendapat-kan keridhaan-
Nya. Tentu saja, kesempurnaan nilai ini harus dicapai sebagai hasil dari
perbuatan bebas manusia sendiri, agar kesempurnaan ini bisa
dipandang memiliki nilai moral dan orang yang mempunyai berarti
mencapai kemuliaan yang sebenarnya dan kehormatan yang nyata.
12
Dalam bahasa Al-Qur’an, tolok ukur nilai moral bukan dipandang dari
segi fisik-jasad, harta kekayaan, nasab dan seterusnya, tetapi karena nilai
ketaqwan kepada Allah. Lebih jelas lagi digambarkan dalam Hadits
Nabi, bahwa Allah tidak melihat pada jasad atau penampilan luar tetapi
melihat dan memandang dari segi perangai yang terpancar dari hati
yang ikhlas.
4. Nilai Kebebasan
13
harta, yakni menolak monopoli, eksploitasi, dan diskriminasi serta
menuntut keseimbangan antara hak dan kewajiban. (Ahmad Hasan
Ridwan, 2013: 6)
Dan untuk lebih jelasnya pada sub bagian ini akan diringkaskan
penjelasan umum tentang Sistem Ekonomi Islam yang dikutipkan dari
tulisan Mohammad Naeem Khan berjudul Islamic Economic System,
sebagai berikut:
14
Dari ayat di atas, menjelaskan misi Islam yaitu sebagaimana di-
gambarkan 1.3 berikut ini:
3. Target of Islam
Dalam sistem ekonomi Islam, target Islam menurut Mohammad
Naeem Khan termaktub dalam al-Qur’an, surat al-Hajj, ayat 41, surat
Nuur, ayat 55 dan surat al-Baqarah, ayat 277. Hal ini dapat di-
gambarkan 1.4 sebagai berikut:
15
Adapun ayat-ayat tersebut di atas dapat diuraikan sebagai berikut:
ف
ِ ﺼّﻼ َة وَﺁ َﺗﻮُا اﻟ َّﺰآَﺎ َة َوَأ َﻣﺮُوا ﺑِﺎ ْﻟ َﻤ ْﻌﺮُو
َ ض َأﻗَﺎﻣُﻮا اﻟ
ِ ن َﻣ َّﻜ َﻨّﺎ ُه ْﻢ ﻓِﻲ اﻷ ْر ْ ﻦ ِإ
َ اَّﻟﺬِﻳ
ﻦ ا ْﻟ ُﻤ ْﻨ َﻜ ِﺮ َوِﻟَّﻠ ِﻪ ﻋَﺎ ِﻗ َﺒ ُﺔ اﻷﻣُﻮ ِر
ِﻋَ َو َﻧ َﻬﻮْا
(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka
bumi, niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyu-
ruh berbuat yang makruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan
kepada Allah-lah kembali segala urusan. (Q.S. Al-Hajj, 22: 41)
ﺟ ُﺮ ُه ْﻢ
ْ ﺼّﻼ َة وَﺁ َﺗﻮُا اﻟ َّﺰآَﺎ َة َﻟ ُﻬ ْﻢ َأ
َ ت َوَأﻗَﺎﻣُﻮا اﻟِ ﺼّﺎِﻟﺤَﺎ
َ ﻋ ِﻤﻠُﻮا اﻟ َ ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا َو
َ ن اَّﻟﺬِﻳَّ ِإ
ن
َ ﺤ َﺰﻧُﻮ
ْ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ وَﻻ ُه ْﻢ َﻳ
َ ف
ٌ ﺧ ْﻮ
َ ﻋ ْﻨ َﺪ َرِّﺑ ِﻬ ْﻢ وَﻻ
ِ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh,
mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di
sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati”. (Q.S. Al-Baqarah, 2: 277)
4. Economic Principles of Islam
Prinsip ekonomi Islam secara garis besar dapat digambarkan 1.5
sebagai berikut:
16
Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an, surat al-Baqarah, ayat 275
dan 279, sebagai berikut:
ﺡ َّﺮ َم اﻟ ِّﺮﺑَﺎ
َ ﻞ اﻟَّﻠ ُﻪ ا ْﻟ َﺒ ْﻴ َﻊ َو
َّ ﺡ
َ َوَأ
“dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (usury).
س َأ ْﻣﻮَاِﻟ ُﻜ ْﻢ ﻻ
ُ ن ُﺗ ْﺒ ُﺘ ْﻢ َﻓَﻠ ُﻜ ْﻢ ُرءُو
ْ ﻦ اﻟَّﻠ ِﻪ َو َرﺳُﻮِﻟ ِﻪ َوِإ
َ ب ِﻣ
ٍ ﺤ ْﺮ
َ ن َﻟ ْﻢ َﺗ ْﻔ َﻌﻠُﻮا َﻓ ْﺄ َذﻧُﻮا ِﺑ
ْ َﻓِﺈ
ن
َ ﻈَﻠﻤُﻮْ ن وَﻻ ُﺗ َ ﻈِﻠﻤُﻮ ْ َﺗ
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”.
17
Dari empat dimensi inilah sistem ekonomi Islam dibangun. Hal ini
dapat digambarkan 1.6 sebagai berikut:
18
7. Distribution Channels
19
BAB II
KONSEP ETIKA BISNIS ISLAMI
1. Etika (Akhlak)
20
dengan memahami permasalahan ini lebih detail, akan ditemukan
jawaban yang – di samping tidak semudah sebagaimana tampaknya –
merupakan bahasan paling rumit dalam dunia filsafat, sebagaimana
tersebut di atas. Namun secara bahasa dapat kita temukan, paling tidak
kejelasan makna dari akhlak itu sendiri, khususnya ketika pembicara-
annya difokuskan pada ajaran Islam.
Kata “Akhlaq” berasal dari bahasa Arab yang sudah di Indonesia-
kan; yang juga diartikan dengan istilah perangai atau kesopanan. Kata
أﺧﻼقadalah jama’ taksir dari kata ﺧﻠﻖ, sebagaimana halnya kata أﻋﻨﺎق
adalah jama’ taksir dari kata ﻋﻨﻖ, yang artinya batang leher.
Ahli bahasa Arab sering menyamakan arti “Akhlaq” dengan
istilah: اﻝﻄﺒﻊ, اﻝﺴﺠﻴﺔ, اﻝﻌﺎدة, اﻝﻤﺮوءةdan اﻝﺪیﻦyang kesemuanya diartikan
dengan watak, kesopanan, perangai, kebiasaan dan sebagainya,
(Mahjuddin, 1996: 2). Jadi, secara etimologis (lughatan) “Akhalq” adalah
budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Berakar dari kata khalaqa
yang berarti menciptakan. Seakar dengan kata Khaliq (Pencipta), makhluq
(yang diciptakan) dan khalq (penciptaan).
Kesamaan akar kata di atas mengisyaratkan bahwa dalam akhlaq
tercakup pengertian terciptanya keterpaduan antara kehendak Khaliq
(Tuhan) dengan peri laku makhluq (manusia). Atau dengan kata lain, tata
perilaku seseorang terhadap orang lain dan lingkungan dan pekerjaan
(profesi)nya baru mengandung nilai akhlak yang hakiki manakala
tindakan atau perilaku tersebut didasarkan kepada kehendak Khaliq
(Tuhan). Dari pengertian etimologis seperti ini, akhlaq bukan saja
merupakan tata aturan atau norma perilaku yang mengatur hubungan
antara sesama manusia, tetapi juga norma yang mengatur hubungan
antara manusia dengan Tuhan dan bahkan dengan alam semesta
sekalipun termasuk pekerjannya.
Secara terminologis (isthilahan), para ulama Ilmu Akhlaq merumus-
kan pengertian akhlaq dengan berbeda-beda tinjauan yang dikemuka-
kannya. Penulis pilihkan 5 (lima) di antaranya:
21
Tabel 2.1
Beberapa Pengertian Akhlak Para Ahli
22
dorongan dari luar. Dalam Mu’jam al-Wasith disebutkan min ghairi hajah
ila fikr wa ru’yah (tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan).
Sifat spontanitas dari akhlak tersebut dapat diilustrasikan dalam
contoh berikut ini. Bila seseorang menyumbang dalam jumlah besar
untuk pembangunan mesjid setelah mendapat dorongan dari seorang
da’i (yang mengemukakan ayat-ayat dan hadits-hadits tentang
keutamaan membangun mesjid di dunia), maka orang tadi belum bisa
dikatakan mempunyai sifat pemurah, karena kemurahannya waktu itu
lahir setelah mendapat dorongan dari luar, dan belum tentu muncul lagi
pada kesempatan yang lain.
Boleh jadi, tanpa dorongan seperti itu, dia tidak akan menyum-
bang, atau kalau pun menyumbang hanya dalam jumlah sedikit. Tapi
manakala tidak ada dorongan pun dia tetap menyumbang, kapan dan di
mana saja, barulah bisa di katakan dia mempunyai sifat pemurah.
Contoh lain, dalam menerima tamu. Bila seseorang membeda-bedakan
tamu yang satu dengan yang lain, atau kadangkala ramah dan kadang-
kala tidak, maka orang tadi belum bisa dikatakan mempunyai sifat
memuliakan tamu. Sebab seseorang yang mempunyai akhlak memulia-
kan tamu, tentu akan selalu memuliakan tamunya.
Dari keterangan di atas jelaslah bagi kita bahwa akhlak itu harus-
lah bersifat konstan, spontan, tidak temporer dan tidak memerlukan
pemikiran dan pertimbangan serta dorongan dari luar. Sekalipun dari
beberapa definisi di atas kata akhlak bersifat netral, belum menunjuk
kepada baik dan buruk, tapi pada umumnya apabila disebut sendirian,
tidak dirangkai dengan sifat tertentu, maka yang dimaksud adalah
akhlak yang mulia. Misalnya bila seseorang berlaku tidak sopan kita
mengatakan padanya, “kamu tidak berakhlak”. Padahal tidak sopan itu
adalah akhlaknya. Tentu yang kita maksud adalah kamu tidak memiliki
akhlak mulia, dalam hal ini sopan.
Di samping istilah akhlak, juga dikenal istilah etika dan moral.
Ketiga istilah itu sama-sama menentukan nilai baik dan buruk sikap dan
perbuatan manusia. Perbedaannya terletak pada standar masing-masing.
Bagi akhlak standarnya adalah al-Qur’an dan Sunnah; bagi etika
standarnya pertimbangan akal pikiran; dan bagi moral standarnya adat
kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat. (Yunahar Ilyas, 1999: 3)
23
Dilihat dari segi asal usulnya pun berbeda, meskipun ada ke-
samaan arti bahwa kata “Etika” (Ethos) adalah istilah Yunani; yang
berarti adat, watak atau kesusilaan, yang dalam bentuk jamaknya (ta
etha). Dalam pengertian ini, etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang
baik, baik pada diri seseorang maupun pada suatu masyarakat atau
kelompok masyarakat.
Etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan
hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari
satu orang ke orang yang lain atau dari satu generasi ke generasi yang
lain. Kebiasaan ini lalu terungkap dalam perilaku berpola yang terus
berulang sebagai sebuah kebiasaan. Jadi secara linguistik, kata etik atau
ethics berasal dari bahasa Yunani: “etos” yang berarti adat, kebiasaan,
perilaku atau karakter yang berlaku dalam hubungannya dengan suatu
kegiatan manusia pada suatu golongan tertentu, kelompok tertentu dan
budaya tertentu. (Marfuah Sri Sanityastuti, dkk. 2009: 48)
Menurut Kamus Webster, “etik” adalah suatu ilmu yang mem-
pelajari tentang apa yang baik dan buruk secara moral. Adapun “etika”
adalah ilmu tentang kesusilaan yang menentukan bagaimana sepatut-
nya manusia hidup di dalam masyarakat yang menyangkut aturan-
aturan atau prinsip-prinsip yang menentukan tingkah laku yang benar,
yaitu: (1) baik & buruk, dan (2) Kewajiban & tanggung-jawab.
Sedangkan “Moral” (Mos) yang jama’nya “Custom”, atau “Mores”
adalah kata Latin; yang berarti adat atau cara hidup. Tapi kemudian etika
atau “ethics” ber kembang artinya menjadi sebuah bidang kajian filsafat
atau ilmu pengetahuan tentang moral atau moralitas. Moralitas adalah
kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan
itu benar atau salah, baik atau buruk. (M. Dawam Rahardjo, 1990: 3)
Moralitas mencakup pengertian tentang baik-buruknya perbuatan
manusia. Lawan dari moral atau moralitas adalah amoral, nonmoral yang
berarti tidak mempunyai hubungan dengan moral atau tidak
mempunyai arti moral. Begitu pula inmoral, artinya moral buruk, (buruk
secara moral).
Di sini, moralitas menunjuk kepada perilaku manusia itu sendiri.
Dengan demikian, maka etika adalah suatu penyelidikan atau peng-
kajian secara sistematis tentang perilaku. Pertanyaan utama dalam etika
24
adalah, tindakan dan sikap apa yang dianggap benar atau baik. Untuk
lebih jelasnya tentang masalah etika, berikut skema etika:
Gambar 1.1
Skema Etika
Dari sistematika di atas, kita bisa melihat bahwa etika bisnis secara
khusus harus berujung pada tindakan konkrit, yaitu bermoral. Artinya,
Kehidupan manusia memerlukan moral. Tanpa moral, kehidupan
manusia tidak mungkin berlangsung. Keberadaan alam benda dan alam
hayati di luar manusia, berlangsung secara mekanis dan diatur oleh
“hukum-hukum alam”. Untuk sebagian manusia keberadaan manusia
juga di atur oleh hukum-hukum itu. Tapi, berbeda dengan alam benda
dan makhluk hidup lainnya, kehidupan manusia juga diatur berdasarkan
“hukum-hukum social” atau “hukum-hukum sejarah”.
Dan manusia, berbeda dengan makhluk lainnya, tidak hanya
“diatur” melainkan juga mengatur yang lain dan kehidupannya sendiri.
Manusia adalah khalifah Allah, (Q.S. Al-Baqarah, 2: 30). Ia diberi
kelengkapan dalam menjalani hidup ini dengan akalnya. Akal inilah
yang memberinya kemampuan untuk mengatur. Khalifah tidak lain
adalah suatu makhluk yang mengatur dan mengelola makhluk yang lain
dan kehidupannya sendiri.
Manusia mengatur kehidupannya dengan berbagai norma. Berasal
dari bahasa Latin “norma”, norma yang sudah menjadi bahasa kita
25
sehari-hari ini, artinya yang asli adalah “alat penyiku” yang digunakan
oleh tukang kayu dan se bagai bahasa ungkapan, menjadi berarti ukuran
yang dipergunakan sebagai pedoman atau aturan dan akhirnya menjadi
kebiasaan.
Norma adalah sesuatu yang sudah pasti yang dapat kita pakai
untuk membandingkan sesuatu yang lain yang kita ragukan hakikatnya,
besar-kecilnya, ukurannya, atau kualitasnya. Jadi, norma moralitas
adalah aturan, standar, atau ukuran yang dapat kita gunakan untuk
mengukur kebaikan atau keburukan suatu perbuatan. Suatu perbuatan
yang secara positif sesuai ukurannya dapat disebut moral baik. Apabila
secara positif tidak sesuai ukurannya dapat disebut moral buruk
(immoral). (W. Poespoprodjo, 1999: 134)
Salah satu norma yang terpenting dalam kehidupan manusia
adalah norma moral (akhlak or etika). Memang benar, bahwa dengan
norma moral saja belum cukup dan masyarakat kemudian menciptakan
norma hukum. Tapi norma hukum ini tidak mungkin tegak tanpa norma
moral, yang seperti yang telah dijelaskan di muka, adalah adat atau
kebiasaan yang telah terinternalisasikan, sehingga norma itu ditaati
tanpa rasa terpaksa (sebagaimana definisi akhlak di muka). Norma atau
ajaran moral, tidak lain adalah sesuatu yang ditetapkan oleh manusia
untuk mengatur hidupnya, agar hidup ini dapat berlangsung dengan
sendirinya seperti yang dikehendakinya. (M. Dawam Rahadjo, 1990: 6)
Akan tetapi norma moral atau moralitas, perlu pemeliharaan.
Etika, tidak lain adalah sebuah bidang kegiatan pemikiran manusia
untuk memelihara moral ini. Untuk memeliharanya diperlukan prinsip-
prinsip tertentu. Prinsip-prinsip itu ditemukan dalam kehidupan itu
sendiri. Dari pengalaman hidup, terutama dari tuntutan-tuntutan hidup,
seperti; tuntutan fisik, psikologis, social, politik, intelektual dan akhir-
akhir ini ditemukan orang mengenai tuntutan lingkungan hidup dan
kelangsungan hidup manusia itu sendiri (yang disadari karena timbul-
nya ancaman, baik yang bersumber dari perkembangan alami atau akibat
ulah dan upaya manusia untuk “membangun”, orang atau masyarakat
menemukan apa yang dianggap sebagai “prima facie”, atau yang paling
utama dalam hidup ini. Karena itu, moral bukan suatu ilmu, tetapi
merupakan suatu perbuatan manusia. (Mahjuddin, 1996: 7)
26
Jadi, dalam sistem moralitas, baik dan buruk dijabarkan secara
kronologis mulai yang paling abstrak hingga lebih operasional. Nilai
merupakan perangkat moralitas yang paling abstrak. Nilai adalah suatu
perangkat keyakinan atau pun perasaan yang diyakini sebagai suatu
identitas yang memberikan corak khusus kepada pola pemikiran,
perasaan, keterikatan dan perilaku. Misalnya, nilai adalah Ketuhanan,
kemanusiaan, dan keadilan.
Sedangkan moral adalah penjabaran dari nilai, tapi tidak seopera-
sional etika. Contoh saja ke-36 butir P-4 disebut sebagai Moral Pancasila
karena merupakan penjabaran dari nilai Pancasila. Adapun etika
merupakan penjabaran dari moral dalam bentuk formula, peraturan,
atau ketentuan pelaksanaan. Misalnya saja etika belajar, etika mengajar,
etika dokter, kode etik dosen, dan sejenisnya. (Syahidin, 2009: 239)
Jadi moral, etika dan nilai jika dilihat dari sumber pada hakikatnya
bermuara pada wahyu Ilahi ataupun berasal dari budaya. Meskipun etika
lebih merupakan kesepakatan masyarakat pada suatu waktu dan di
tempat tertentu. Bila suatu masyarakat bercorak religius, maka etika
yang dikembangkan pada masyarakat demikian tentu akan bercorak
religius pula. Akan tetapi bila suatu masyarakat bercorak sekuler, maka
etika yang dikembangkannya tentu saja merupakan konkretisasi dari
jiwa sekuler, kapitalis, dan sejenisnya.
Dengan demikian, moral dan etika, menurut Syahidin, dapat saja
sama dengan akhlak manakala sumber ataupun produk budaya sesuai
dengan prinsip-prinsip akhlak. Akan tetapi moral dan etika bisa juga
bertentangan dengan akhlak manakala produk budaya itu menyimpang
dari fitrah ajaran agama Islam. Jadi, etika Barat bertitik tolak dari akal
pikiran manusia, yaitu akal pikiran para ahli filsafat. Sedang, etika Islam
bersumber dari al-Qur’an dan Hadits Rasul Allah saw yang menjadi
dasar etika Barat tentang perbuatan baik dan buruk, yang berbeda dari
seorang ke orang lain. Sedangkan yang menjadi dasar etika Islam ialah iman
dan takwa kepada Allah SWT. (Marfuah Sri Sanityastuti, dkk. 2009: 49)
27
Gambar 2.2
Istilah Akhlak-Ihsan
2. Bisnis (Perdagangan)
28
merujuk pada seluruh aktivitas yang dilakukan oleh komunitas penyedia
barang dan jasa. Meskipun demikian, definisi “bisnis” yang tepat masih
menjadi bahan perdebatan hingga saat ini.
Bisnis dalam arti luas adalah istilah umum yang menggambarkan
semua aktivitas dan institusi yang memproduksi barang & jasa dalam
kehidupan sehari-hari. Bisnis merupakan suatu organisasi yang
menyediakan barang dan jasa yang bertujuan untuk mendapatkan
keuntungan. (Griffin & Ebert)
Musselman dan Jackson (1992) mereka mengartikan bahwa bisnis
adalah suatu aktivitas yang memenuhi kebutuhan dan keinginan
ekonomis masyarakat, perusahaan yang diorganisasikan untuk terlibat
dalam aktivitas tersebut.
Gloss, Steade dan Lowry (1996) mereka mengartikan bahwa bisnis
adalah jumlah seluruh kegiatan yang diorganisir oleh orang-orang yang
berkecimpung dalam bidang perniagaan dan industri yang menyediakan
barang dan jasa untuk kebutuhan mempertahankan dan memperbaiki
standar serta kualitas hidup mereka.
Allan Afuah (2004) beliau mengartikan bahwa bisnis merupakan
sekumpulan aktivitas yang dilakukan untuk menciptakan dengan cara
mengembangkan dan mentransformasikan berbagai sumber daya men-
jadi barang atau jasa yang di inginkan konsumen.
Steinford mengartikan bisnis sebagai suatu lembaga yang meng-
hasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat. Menurut
Steinford, jika kebutuhan masyarakat meningkat, lembaga bisnis pun
akan meningkat perkembangannya untuk memenuhi kebutuhan tersebut
sambil memperoleh laba.
Mahmud Machfoedz juga berpendapat bahwa bisnis adalah suatu
usaha perdagangan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang ter-
organisasi agar bisa mendapatkan laba dengan cara memproduksi dan
menjual barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
T. Chwee (1990) mendefinisikan istilah bisnis sebagai sesuatu
sistem yang memproduksi barang dan jasa untuk memuaskan kebutuhan
masyarakat. Semen-tara itu, menurut Grifin dan Ebert, bisnis adalah
suatu organisasi yang menyedia-kan barang atau jasa yang bertujuan
untuk mendapatkan keuntungan.
29
Griffin dan Ebert (1996) mengartikan bisnis sebagai aktivitas yang
menyediakan barang atau jasa yang diperlukan atau diinginkan oleh
konsumen. Dapat dilakukan oleh organisasi perusahaan yang memiliki
badan hukum, perusahaan yang memiliki badan usaha, maupun
perorangan yang tidak memiliki badan hukum maupun badan usaha
seperti pedagang kaki lima, warung yang tidak memiliki Surat Izin
Tempat Usaha (SITU) dan Surat Izin Tempat Usaha (SIUP) serta usaha
informal lainnya.
Hughes dan Kapoor, keduanya mengartikan bisnis adalah
aktivitas melalui penyediaan barang dan jasa bertujuan untuk
menghasilkan profit (laba). Suatu perusahaan dikatakan menghasilkan
laba apabila total penerimaan pada suatu periode (Total Revenues) lebih
besar dari total biaya (Total Costs) pada periode yang sama. Laba
merupakan daya tarik utama untuk melakukan kegiatan bisnis, sehingga
melalui laba pelaku bisnis dapat mengembangkan skala usahanya untuk
meningkatkan laba yang lebih besar.
Dari pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa bisnis
adalah kegiatan yang dilakukan individu atau sekelompok orang
(organisasi) yang menciptakan nilai (create value) melalui penciptaan
barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan memper-
oleh keuntungan melalui transaksi
Bisnis adalah bagian dari kegiatan ekonomi yang berarti usaha.
Bagian dari kegiatan ekonomi, bisnis merupakan aspek penting dalam
kehidupan yang pasti semua orang mengenalnya karena itu ada sebuah
adigium, bisnis adalah bisnis. Bisnis jangan dicampurkan dengan etika.
Demikianlah beberapa ungkapan yang sering kita dengar tentang
hubungan antara bisnis dengan etika sebagai dua hal yang terpisah satu
sama lain. Inilah ungkapan-ungkapan yang oleh Richard De George
disebut sebagai Mitos Bisnis Moral. Sementara, Adam Smith, orang
pertama yang dianggap sebagai bapak ekonomi menekankan pada aspek
moral dalam kaitannya dengan ekonomi diistilahkan dengan sebutan
invisible hand. Ini artinya, landasan moral dalam dunia ekonomi dan
bisnis adalah sangat urgen, apalagi dunia bisnis ini telah
mengetengahkan aspek materialisme radikal. Buah dari teori kapitalisme
sekuler dan komunisme Karl Marx.
30
Berbeda dengan teori-teori di atas, bisnis dalam Islam merupakan
unsur penting dalam perdagangan. Sejarah telah mencatat bahwa
penyebaran agama Islam diantaranya melalui perdagangan (bisnis).
Konon, masuknya Islam ke Indonesia, dilakukan oleh para pedagang
muslim yang mengadakan hubungan yang sangat baik dengan
masyarakat dan para tokoh setempat. (Sopian, 2004: 62)
Jadi bisnis merupakan bagian dari kegiatan perdagangan dalam
rangka mencari pencaharian melalui jual beli untuk tujuan untung.
Menurut Ibnu Khaldun, berbisnis (berdagang) adalah kegiatan mencari
usaha dengan pemanfaatan modal harta melalui jual beli. (Ahmad
Jalaludin, 2008: 304)
Muhammad Iqbal dalam tulisan berjudul “Etika Berdagang:
Menyimak Praktik Nabi dalam Kehidupan Masyarakat Madani”, menjelaskan
pengertian berdagang (bisnis) dari dua sudut pandang, yaitu menurut
mufasir dan ilmu fiqh.
a. Menurut para mufassir, perdagangan (bisnis) adalah pengelolaan
modal untuk mendapatkan keuntungan.
b. Ahli fiqh, memandang bahwa perdagangan ialah saling menukarkan
harta dengan harta secara suka sama suka, atau pemindahan hak
milik dengan adanya penggantian menurut yang dibolehkan.
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
bisnis yang identik dengan berdagang merupakan:
a. Satu bagian muamalat yang berbentuk transaksi antara seseorang atau
kelompok dengan lainnya.
b. Transaksi perdagangan itu dilakukan dalam bentuk jual beli yang
diwujudkan dalam bentuk ijab dan qabul.
c. Perdagangan bertujuan atau dengan motif untuk mencari keuntungan
(laba).
Jadi, bisnis merupakan segala bentuk kegiatan yang dilakukan
dalam produksi, menyalurkan, memasarkan barang dan jasa yang
diperlukan oleh manusia baik dengan cara berdagang maupun bentuk
lain dan tidak hanya mengejar laba (profit oriented-social oriented).
31
3. Islami
32
“ash-shirothol-mustaqim” adalah “ash-shiroth” (jalan) yang ditentukan dan
ditetapkan oleh Allah yang tentu berasal dari Allah pula.
Oleh karena al-Islam itu di sisi Allah, sementara itu “ash-
shirothol-mustaqim” adalah jalan yang ditentukan dan ditetapkan oleh
Allah dan berasal dari Allah, maka tentunya al-Islam itu tidak lain
adalah juga “ash-shirothol-mustaqim”, yang berasal dari Allah. Yang mana
misi Iblis dan bala tentaranya berusaha menjauhkan manusia dari “ash-
shirothol-mustaqim” ini (QS 7 ayat 16) yang berarti pula menjauh-kan
manusia dari al-Islam.
Jika al-Islam itu ada di sisi Allah, lalu bagaimana ia bisa sampai
kepada manusia? Ya tentu hanya melalui wahyu Allah dan penjelasan-
nya yang Allah turunkan kepada para Nabi dan Rasul-Nya dari Adam
as hingga Muhammad saw, termasuk Isa putra Maryam as, Musa as,
Nuh as, Ibrohim as, dll. Dan al-Islam dalam bentuknya yang final (tidak
ada lagi perubahan) dan sempurna (mencakup segala segi kehidupan
dan tidak perlu penambahan atau pengurangan) yang tentu diturunkan
kepada Nabi dan Rasul-Nya yang terakhir, Muhammad saw, melalui Al-
Qur’an dan penjelasannya(QS 75 ayat 19).
Dari ayat ini pula kita pahami bahwa penamaan ad-din ini dengan
al-Islam adalah penamaan dari Allah sendiri, bukan dari manusia.
Suatu nama biasanya me miliki arti, demikian juga dengan al-Islam juga
memiliki arti, yakni “al-inqiyadu li-amaril-amiri wa nahihi bila i’tirodh“,
yang artinya, ”tunduk/patuh/berserah-diri kepada perintah dan
larangan yang memerintah tanpa penolakan“. Namun dalam hal ini al-
Islam itu adalah tunduk/patuh/ berserah-diri kepada Allah saja, bukan
tunduk/patuh/berserah-diri kepada apa saja yang dianggap sebagai
robb (Tuan, Tuhan) dan ilah (Tuan, Tuhan), karena Allah ber-firman,
lafalnya, “wa man ahsanu dinan mimman aslama wajhahu lillahi wa huwa
muhsinun…” (QS 4 ayat 125). Artinya, “Dan siapakah yang labih baik ad-
din-(nya) dari pada orang-orang yang tunduk/patuh/berserah-diri kepada Allah
dan dia berbuat baik…”. Maka tunduk/patuh/berserah-diri kepada robb-robb
dan ilah-ilah selain Allah tidak berhak dinamakan al-Islam dan lebih tepat jika
dinamakan ghoirul-Islam.
Kita yang hidup di zaman sekarang ini mengetahui al-Islam
hanya dari Al-Qur’an dan as-sunnah yang tercatat di dalam hadits-
hadits (kabar-kabar) yang shohih (yang valid). Sehingga kita bisa tahu
33
suatu keyakinan dan perbuatan itu Islami atau bukan kalau kita tahu
banyak tentang Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shohih. Kalau suatu
keyakinan dan perbuatan itu ada dasar-nya dalam Al-Qur’an dan hadits
yang shohih itu pasti keyakinan dan perbuatan yang Islami, bila tidak
dari mana bisa disebut Islami. Dengan demikian, kata Islami merupakan
sifat bagi orang-orang yang melakukan ajaran Islam dengan baik dan
benar sesuai dengan ajaran-ajarannya. Jadi, kata “Islami” memberikan
arti sebagai perbuatan refleksi atas perwujudan dari nilai-nilai ajaran
Islam itu sendiri, karena kata tersebut bisa ditulis dengan akhiran “i”
penisbatan dari “ya” dari kata Islam menjadi Islami, kata sifat (subjek/
pelaku).
Dan kata Islam sebagai ajaran biasanya diidentikkan dengan kata
syariat, sebagaimana dalam pemaknaan kata Ekonomi Islam dan
ekonomi Syariah. Secara bahasa, Syariat (al-syari’ah), berarti sumber air
minum (mawrid al-ma’ li al istisqa) atau jalan lurus (at-thariq al-mustaqîm).
Sedang secara istilah, syariah sepadan dengan makna perundang-
undangan yang diturunkan Allah Swt melalui Rasulullah Muhammad
SAW untuk seluruh umat manusia baik menyangkut masalah ibadah,
akhlak, makanan, minuman pakaian maupun muamalah (interaksi
sesama manusia dalam berbagai aspek kehidupan) guna meraih
kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Menurut Syafi’I Antonio, syariah mempunyai keunikan tersendiri,
Syariah tidak saja komprehensif, tetapi juga universal. Universal
bermakna bahwa syariah dapat diterapkan dalam setiap waktu dan
tempat oleh setiap manusia. Keuniversalan ini terutama pada bidang
sosial (ekonomi) yang tidak membeda-bedakan antara kalangan Muslim
dan non-Muslim. (Syariah Marketing, Hal. 169)
Dengan mengacu pada pengertian tersebut, Hermawan Kartajaya
dan Syakir Sula memberi pengertian bahwa Bisnis syariah adalah bisnis
yang santun, bisnis yang penuh kebersamaan dan penghormatan atas
hak masing-masing. (Syariah Marketing, hal. 45). Pengertian yang hari
lalu cenderung normatif dan terkesan jauh dari kenyataan bisnis kini
dapat dilihat dan dipraktikkan dan akan menjadi trend bisnis masa
depan.
34
4. Etika Bisnis Islami
35
b. Bisnis dilakukan diantara manusia yang satu dengan manusia yang
lainnya, sehingga membutuhkan etika sebagai pedoman dan
orientasi bagi pengambilan keputusan, kegiatan, dan tindak tanduk
manusia dalam berhubungan (bisnis) satu dengan lainnya;
c. Bisnis saat ini dilakukan dalam persaingan yang sangat ketat, maka
dalam persaingan bisnis tersebut, orang yang bersaing dengan tetap
memperhatikan norma-norma etis pada iklim yang semakin
profesional justru akan menang.
36
1. Pengelolaan bisnis secara profesional;
2. Berdasarkan keahlian dan ketrampilan khusus;
3. Mempunyai komitmen moral yang tinggi;
4. Menjalankan usahanya berdasarkan profesi/keahlian.
ﻦ
ْ ﺤ َﻜّﺎ ِم ِﻝ َﺘ ْﺄ ُآﻠُﻮا َﻓﺮِیﻘًﺎ ِﻣ
ُ ﻃ ِﻞ َو ُﺕ ْﺪﻝُﻮا ِﺏﻬَﺎ ِإﻝَﻰ ا ْﻝ
ِ وَﻻ َﺕ ْﺄ ُآﻠُﻮا َأ ْﻣﻮَا َﻝ ُﻜ ْﻢ َﺏ ْﻴ َﻨ ُﻜ ْﻢ ﺏِﺎ ْﻝﺒَﺎ
ن
َ س ﺏِﺎﻹ ْﺛ ِﻢ َوَأ ْﻥ ُﺘ ْﻢ َﺕ ْﻌ َﻠﻤُﻮ ِ َأ ْﻣﻮَا ِل اﻝ َﻨّﺎ
Artinya: "Dan janganlah kalian memakan harta sebagian yang lain
dengan cara yang bathil. Dan janganlah pula kalian mem-bawa
urusan harta itu kepada hakim, agar kamu dapat memakan
sebagian dari harta manusia dengan cara yang dosa sedangkan
kalian mengetahui."
37
Ayat ini berada persis setelah ayat-ayat yang berkaitan dengan
ibadah Ramadhan (QS. 2: 183, 184, 185, 186 & 187), di mana output
dari Ramadhan itu adalah TAQWA. Sehingga ayat ini menunjukkan
bahwa salah satu ciri mendasar orang yang taqwa adalah senantiasa
bermuamalah dengan Mua’malah Islami (ber-bisnis secara Islami).
ض
ِ ﺴﻤَﺎ ِء وَاﻷ ْر
َّ ﻦ اﻝ
َ ت ِﻣ
ٍ ﻋ َﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ َﺏ َﺮآَﺎ
َ ﺤﻨَﺎ
ْ ن َأ ْه َﻞ ا ْﻝ ُﻘﺮَى ﺁ َﻣﻨُﻮا وَا َّﺕ َﻘﻮْا َﻝ َﻔ َﺘ
َّ َو َﻝ ْﻮ َأ
ن
َ ﺴﺒُﻮِ ﺧ ْﺬﻥَﺎ ُه ْﻢ ِﺏﻤَﺎ آَﺎﻥُﻮا َی ْﻜ
َ ﻦ َآ َّﺬﺏُﻮا َﻓ َﺄ ْ َو َﻝ ِﻜ
Artinya: "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan
bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka
berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-
ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya."
Harta yang diperoleh dengan cara yang halal dan baik akan men-
datangkan keberkahan pada harta tersebut, sehingga pemanfaatan
harta dapat lebih maksimal bagi dirinya maupun bagi orang lain.
Sebaliknya, harta yang diperoleh dengan cara yang tidak halal atau
tidak baik, meskipun berjumlah banyak namun tidak mendatang-kan
manfaat bahkan senantiasa menimbulkan kegelisahan dan selalu
merasa kurang.
ﺼﺪُوق
ﺟ ُﺮ اﻟ ﱠ
ِ ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎل اﻟﺘﱠﺎ
َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو
َ ﺹﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ
َ ﻲ
ﻦ اﻟﱠﻨ ِﺒ ﱢ
ْﻋ
َ ﺳﻌِﻴ ٍﺪ
َ ﻦ َأﺑِﻲ
ْﻋَ
(اﻻﻣﻴﻦ ﻣﻊ اﻟﻨﺒﻴﻴﻦ و اﻟﺼﺪﻳﻘﻴﻦ واﻟﺸﻬﺪاء)رواﻩ اﻟﺘﺮﻣﺬي
Artinya: "Dari Abu Sa'id Al-Khudri ra beliau berkata bahwa Rasul Allah
SAW. bersabda, "Pebisnis yang jujur lagi dipercaya (amanah)
akan bersama para nabi, shiddiqin dan syuhada". (HR.
Turmudzi)
38
Islam memberikan penghargaan yang besar terhadap pebisnis yang
shaleh, karena baik secara makro maupun mikro pebisnis yang shaleh
akan memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian suatu
negara, yang secara langsung atau tidak akan membawa
kemaslahatan bagi umat Islam.
39
ﻓﻤﻦ آﺎﻥﺖ هﺠﺮﺕﻪ اﻝﻲ. واﻥﻤﺎ ﻝﻜﻞ اﻣﺮئ ﻣﺎ ﻥﻮى. اﻥﻤﺎاﻻﻋﻤﺎل ﺏﺎﻝﻨﻴﺎت
(دﻥﻴﺎ یﺼﻴﺒﻬﺎ او اﻝﻲ اﻣﺮاة یﻨﻜﺤﻬﺎ ﻓﻬﺠﺮﺕﻪ اﻝﻲ ﻣﺎ هﺎﺝﺮ اﻝﻴﻪ )رواﻩ اﻝﺒﺨﺎري
Artinya: "Bahwasanya segala amal perbuatan manusia itu ter-gantung
dari niatnya. Dan bahwasanya bagi setiap orang (akan
mendapatkan) dari apa yang telah diniatkannya. Barang siapa
yang hijrahnya mengharapkan dunia, atau karena wanita yang
ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu hanya akan mendapatkan
apa yang telah diniat kannya." (HR Bukhari)
40
baik akhlaknya. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik
akhlaknya terhadap istri-istrinya." (HR. Turmudzi)
41
2. Menjual barang yang halal. Dalam salah satu hadits Nabi SAW.,
menyatakan bahwa Allah mengharamkan suatu barang maka haram pula
harganya (diperjualbelikan).
3. Menjual barang yang bermutu baik. Dalam berbagai hadits
Rasulullah Saw melarang menjual buah-buahan hingga jelas baiknya.
4. Jangan menyembunyikan kecacatan suatu barang. Salah satu sumber
hilangnya keberkahan jual beli, yaitu jika seseorang menjual barang
cacat yang kecacatannya disembunyikan. Menurut riwayat Bukhari,
Ibnu Umar memberitakan bahwa seseorang lelaki menceritakan
kepada Rasulullah SAW bahwa ia tertipu dalam jual beli. Sabda
Rasul: “Apabila engkau berjual beli, katakanlah, ‘tidak ada tipuan’”.
5. Jangan main sumpah. Ada kebiasaan pedagang untuk meyakinkan
pembelinya dengan jalan main sumpah agar dagangannya laris.
Dalam hal ini Rasulullah SAW memperingatkan, “Sumpah itu
melariskan dagangan, tetapi menghapuskan keberkahan”. (H.R. Bukhari)
6. Longgar dan bermurah hati. Sabda Rasullah SAW., “Allah mengasihi
orang yang bermurah hati pada waktu menjual, pada waktu membeli, dan
pada waktu menagih utang”. (H.R. Bukhari). Kemudian, dalam hadis
lain Abu Hurairah memberitakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Ada seorang pedagang yang mempiutangi orang banyak. Apabila
dilihatnya orang yang ditagih itu dalam kesempitan, dia perintahkan kepada
pembantu-pembantu nya. ‘Berilah kelonggaran kepadanya, mudah-mudahan
Allah memberikan kelapangan kepada kita’. Maka Allah pun memberikan
kelapangan kepadanya”. (H.R. Bukhari)
7. Jangan menyaingi kawan. Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kamu
menjual dengan menyaingi dagangan saudaranya”.
8. Mencatat utang-piutang. Dalam dunia bisnis lazim terjadi pinjam
meminjam. Dalam hubungan ini al-Qur’an mengajarkan pencatatan
piutang. Gunanya adalah untuk mengingatkan salah satu pihak yang
mungkin pada suatu waktu lupa atau khilaf. (Q.S. Al-Baqarah, 2: 282)
9. Larangan riba sebagaimana Allah SWT berfirman:
ﻞ َآ َﻔّﺎ ٍر َأﺛِﻴ ٍﻢ
َّ ﺐ ُآ
ُّ ﺤ
ِ ت وَاﻟَّﻠ ُﻪ ﻻ ُﻳ
ِ ﺼ َﺪﻗَﺎ
َّ ﻖ اﻟَّﻠ ُﻪ اﻟ ِّﺮﺑَﺎ َو ُﻳ ْﺮﺑِﻲ اﻟ
ُﺤَ َﻳ ْﻤ
42
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat
dosa”. (Q.S. Al-Baqarah, 2: 276)
10. Anjuran berzakat, yakni menghitung dan mengeluarkan zakat
barang dagangan setiap tahun sebanyak 2,5% sebagai salah satu
cara untuk membersihkan harta yang diperoleh dari hasil usaha.
Tabel 2.2
Nilai Dasar dan Prinsip Umum Etika Bisnis Islami
Nilai Dasar Prinsip Umum Pemaknaan
Tauhid Kesatuan dan Integrasi antar semua bidang
Integrasi kehidupan, agama, ekonomi, dan
sosial-politik-budaya.
Kesatuan antara kegiatan bisnis
dengan moralitas dan pencarian
ridha Allah.
Kesatuan pemilikan manusia
dengan pemilikan Tuhan. Keka-
yaan (sebagai hasil bisnis)
merupakan amanah Allah, oleh
karena itu di dalam kekayaan
terkandung kewajiban sosial.
Kesamaan Tidak ada diskriminasi diantara
pelaku bisnis atas dasar pertim-
bangan ras, warna kulit, jenis
kelamin, atau agama.
Khilafah Intelektualitas Kemampuan kreatif dan
konseptual pelaku bisnis yang
berfungsi membentuk, mengubah
43
dan mengembang-kan semua
potensi kehidupan alam semesta
menjadi sesuatu yang konkret dan
bermanfaat.
Kehendak Bebas Kemampuan bertindak pelaku
bisnis tanpa paksaan dari luar,
sesuai dengan parameter ciptaan
Allah.
Tanggungjawab Kesediaan pelaku bisnis untuk
dan bertanggungjawab atas dan
Akuntabilitas mempertanggungjawabkan
tindakannya.
Ibadah Penyerahan Kemampuan pelaku bisnis untuk
Total membebaskan diri dari segala
ikatan penghambaan manusia
kepada ciptaan nya sendiri
(seperti kekuasaan dan kekayaan).
Kemampuan pelaku bisnis untuk
men jadikan penghambaan
manusia kepada Tuhan sebagai
wawasan batin sekaligus komit-
men moral yang berfungsi
memberikan arah, tujuan dan
pemaknaan terhadap aktualisasi
kegiatan bisnisnya.
Tazkiyah Kejujuran Kejujuran pelaku bisnis untuk
tidak mengambil keuntungan
hanya untuk dirinya sendiri
dengan cara menyuap, menimbun
barang, berbuat curang dan
menipu, tidak memanipulasi
barang dari segi kualitas dan
kuantitasnya.
Keadilan Kemampuan pelaku bisnis untuk
menciptakan keseimbangan/
moderasi dalam transaksi
(mengurangi timbangan) dan
membebaskan penindasan, misal-
nya riba dan memonopoli usaha.
Keterbukaan Kesediaan pelaku bisnis untuk
menerima pendapat orang lain
yang lebih baik dan lebih benar,
44
serta menghidupkan potensi dan
inisiatif yang konstruktif, kreatif
dan positif.
Ihsan Kebaikan bagi Kesediaan pelaku bisnis untuk
orang lain memberikan kebaikan kepada
orang lain, misalnya penjadwalan
ulang, menerima pengembalian
barang yang telah dibeli, pemba-
yaran utang sebelum jatuh tempo.
Kebersamaan Kebersamaan pelaku bisnis dalam
membagi dan memikul beban
sesuai dengan kemampuan
masing-masing, kebersamaan
dalam memikul tanggung jawab
Profesionalisme sesuai dengan beban tugas, dan
kebersamaan dalam menikmati
hasil bisnis secara proporsional.
Ihsan adalah profesionalisme yang
merupakan prinsip Islam.
Perofesionalisme merupakan
sunnah kehidupan bagi Muslimin:
“Allah mencintai hamba yang bila
melakukan aktivitas selalu memper-
hatikan profesionalitas”. (HR.
Thabrani)
Sumber: Amru Khalid (2005: 104), dan M.A. Fattah Santoso, ”Etika Bisnis:
Perspektif Islam“, dalam Maryadi dan Syamsuddin (ed.)., Agama
Spiritualisme dalam Dinamika Ekonomi Politik. Surakarta:
Muhammadiyah University Press, (2001: 213-214)
45
membentuk kesatuan. Atas dasar pandangan ini pula maka etika dan
bisnis menjadi terpadu, vertikal maupun horisontal, membentuk
suatu persamaan yang sangat penting dalam sistem Islam.
2. Keseimbangan (Equilibrium). Dalam beraktivitas di dunia kerja dan
bisnis, Islam mengharuskan untuk berbuat adil, tak terkecuali pada
pihak yang tidak disukai. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam
Surat Al-Maidah: 8 yang artinya: “Hai orang-orang beriman, hendaklah
kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah
SWT, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-sekali kebencianmu
terhadap suatu kaum men-dorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah karena adil lebih dekat dengan takwa”.
3. Kehendak Bebas (Free Will). Kebebasan merupakan bagian penting
dalam nilai etika bisnis Islam, tetapi kebebasan itu tidak merugikan
kepentingan kolektif. Kepentingan individu dibuka lebar. Tidak
adanya batasan pendapatan bagi seseorang mendorong manusia
untuk aktif berkarya dan bekerja dengan segala potensi yang
dimilikinya. Kecenderungan manusia untuk terus-menerus meme-
nuhi kebutuhan pribadinya yang tak terbatas dikendalikan dengan
adanya kewajiban setiap individu terhadap masyarakatnya melalui
zakat, infak, dan sedekah.
4. Tanggungjawab (Responsibility). Kebebasan tanpa batas adalah
suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia karena tidak
menuntut adanya pertanggungjawaban dan akuntabilitas untuk
memenuhi tuntunan keadilan dan kesatuan, manusia perlu memper-
tanggungjawabkan tindakannya. Secara logis prinsip ini berhu-
bungan erat dengan kehendak bebas. Ia menetapkan batasan
mengenai apa yang bebas dilakukan oleh manusia dengan bertang-
gungjawab atas semua yang dilakukannya.
5. Kebenaran: kebajikan dan kejujuran. Kebenaran dalam konteks ini
selain mengandung makna kebenaran lawan dari kesalahan,
mengandung pula dua unsur yaitu kebajikan dan kejujuran. Dalam
konteks bisnis kebenaran dimaksudkan sebagai niat, sikap dan
perilaku benar yang meliputi proses akad (transaksi) proses mencari
atau memperoleh komoditas pengembangan maupun dalam proses
upaya meraih atau menetapkan keuntungan. Dengan prinsip
kebenaran ini maka etika bisnis Islami Islam sangat menjaga dan
46
berlaku preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian salah satu
pihak yang melakukan transaksi, kerja sama atau perjanjian dalam
bisnis.
47
BAB III
KONSEPSI DAN TEORI ETIKA
48
A. Konsepsi Etika
49
laku manusia dilihat dari segi baik dan jahatnya tingkah laku tersebut.
Etika (Akhlak) bertugas memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
berikut: Atas dasar hak apa orang menuntut kita untuk tunduk terhadap
norma-norma yang berupa ketentuan, kewajiban, larangan, dan sebagai-
nya? Bagaimana kita bisa menilai norma-norma tersebut? Pertanyaan
seperti ini timbul karena hidup kita seakan-akan terentang dalam suatu
jaraingan norma-norma. Jaringan itu seolah-olah membelenggu kita;
mencegah kita dari bertindak sesuai dengan keinginan kita; memaksa
kita berbuat apa yang sebenarnya kita benci.
Etika (Ilmu Akhlak) mempunyai sifat yang sangat mendasar yaitu
sifat kritis. Ia mempersoalkan norma-norma yang dianggap berlaku;
menyelidiki dasar norma-norma itu; mempersoalkan hak dari setiap
lembaga, seperti orang tua, sekolah, negara dan agama untuk memberi
perintah atau larangan yang harus ditaati dan jauhi. Hak dan wewenang
untuk menuntut ketaatan dari lembaga tersebut harus dan perlu
dibuktikan.
Dengan demikian, etika menuntut orang agar bersikap rasional
terhadap semua norma sehingga ia akhirnya membantu manusia men-
jadi lebih otonom (merdeka, sebagaimana dalam aliran eksistensialisme).
Otonom atau kemerdekaan manusia tidak terletak dalam kebebasan dari
segala norma dan tidak sama dengan kesewenang-wenangan, melainkan
tercapai dalam kebebasan untuk mengakui norma-norma yang diyakini-
nya sendiri sebagai kewajibannya.
Etika atau norma dibutuhkan sebagai pengantar pemikiran kritis
yang dapat membedakan antara apa yang sah dan apa yang tidak sah;
membedakan apa yang baik dan yang tidak baik atau membedakan apa
yang benar dan apa yang tidak benar. Dengan demikian, ia memberi
kemungkinan kepada kita untuk mengambil sikap sendiri serta ikut
menentukan arah perkembangan masyarakat, bahkan bangsa sekali pun.
Sebagaimana dalam sebuah pepatah mengatakan “sesungguhnya suatu
kaum akan hancur bila akhlak (moral) bejat. Namun akan jaya bila moralitasnya
pun baik”.
Karena itu, akhlak, moral dan etika merupakan komponen dasar
dalam pembangunan suatu bangsa. Sebagai syarat mutlak, norma akhlak
harus dapat dijalankan oleh setiap insan dalam kehidupannya. Hal ini
yang oleh Rasulullah Muhammad SAW, menegaskan bahwa:
50
“Sesungguhnya aku diutus (oleh Allah) adalah untuk menyempurnakan akhlak
yang terpuji”.
Akhlak atau sistem perilaku terwujudkan melalui proses aplikasi
sistem nilai atau norma yang bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah.
Berbeda dengan etika yang terbentuk dari sistem/norma yang berlaku
secara alamiah dalam masyarakat dan dapat berubah menurut
kesepakatan dan persetujuan dari masyarakat pada dimensi waktu dan
ruang tertentu. Sistem etika ini sama sekali bebas nilai dan lepas dari
hablum minallah.
Barangkali statement inilah oleh umat muslim dijadikan pegangan
dan ruju-kan kuat dalam mengarungi kehidupan kesehariannya, baik
secara pribadi maupun sosial (kolektif). Hal ini pula yang mendorong
para Ahli pikir dari Yunani Kuno mengerahkan dan mencurahkan
segenap kemampuan untuk mendiskusikan bagai-mana cara untuk
menjadikan kebahagiaan dan kesempurnaan dalam hidup secara pari-
purna sesuai dengan tujuan dan cita-citanya.
51
Kedua metode ini kerapkali menghiasi kajian-kajian keilmuan dari
berbagai bidang disiplin ilmu. Metode akhlak falsafi yang juga merupa-
kan bagian dari ilmu humaniora bukanlah bagian dari dua metode
tersebut. Namun secara umum, akhlak falsafi yang merupakan gabungan
antara aspek teologis dan filsafat lebih bersifat normatif, sehingga perlu
menggunakan metode campuran. Meskipun ada pendekatan khusus di
bidang ini.
Ada empat macam pendekatan dalam menilai suatu pendapat
moral yaitu; pendekatan empiris-deskriptif, pendekatan fenomenalogis,
pendekatan normatif, dan pendekatan metaetika. Penjelasan ringkas di bawah
ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran untuk memahami
keempat macam pendekatan tersebut. Kita ambil sebuah contoh pernya-
taan yang mengungkapkan pendapat seorang mahasiswa Indonesia yang
menyatakan bahwa ia wajib menunda pernikahannya sebelum ia berhasil
meraih gelar sarjana.
1. Pendekatan empiris-deskriptif dapat menyelidiki, seperti; apa pendapat
umum yang berlaku di Indonesia; sejak kapan pendapat itu berlaku;
apakah di Indonesia juga ada yang menentang pendapat itu;
bagaimana pendapat masyarakat lain tentang pendapat itu. Fakta
moral dipastikan adanya; digambarkan bagaimana bentuk-nya;
dibandingkan bentuknya dalam masyarakat yang berlainan; diselidiki
sejarahnya; jangkauannya, dan seterusnya. Begitu pula kita dapat
menyelidiki ciri-ciri dalam jiwa orang-orang yang sependapat dengan
mahasiswa itu. Penyelidikan semacam itu diandaikan dalam etika
khusus, yaitu yang mempersoalkan norma-norma moral ter- tentu,
tetapi belum termasuk akhlak falsafi sendiri, melainkan merupakan
tugas ilmu empiris yang bersangkutan, seperti; psikologi, sosiologi,
antropologi dan lain-lain.
2. Pendekatan fenomenologi memperlihatkan bagaimana kiranya kesa-
daran seseorang yang sependapat bahwa ia berkewajiban untuk
pernikahannya. Unsur-unsur apa saja yang terkandung dalam
kesadaran moral, diperhatikan dengan seksama. Fenomenologis
kesadaran moral ini adalah dasar dari salah satu isi pokok akhlak
falsafi (Etika). Bahkan dengan cara ini kita mengenal kekhususan
bidang moral, misalnya perbedaan norma-norma moral dan norma-
norma kesopanan, baru dapat digali. Pendekatan fenomenologis itu
52
berdekatan dengan pendekatan psikologis, tetapi juga berbeda dari
padanya, oleh karena lain dari pada psikologi kesadaran moral, tidak
berusaha untuk memutuskan hukum-hukum yang berlaku umum.
3. Pendekatan normatif. Melalui pendekatan ini dipersoalkan apakah
suatu norma moral yang diterima umum atau dalam masyarakat
tertentu memang tepat ataukah sebetulnya tidak berlaku atau malah
harus ditolak. Melalui pendekatan ini kita dapat bertanya apakah
pendapat mahasiswa Indonesia itu betul.
4. Akhirnya dapat juga dipersoalkan apakah arti “Wajib” yang terdapat
dalam kalimat tentang pendapat mahasiswa Indonesia itu.
Pendekatan ini berupa analisis bahasa moral, dan merupakan tugas
dari apa yang disebut metaetika. Meta etika berusaha untuk men-cegah
kekeliruan dan kekaburan dalam penyelidikan fenomenologis dan
normatif dengan cara mempersoalkan arti tepat dari istilah-istilah
moral dan mengatur pernyataan-pernyataan moral menurut
macamnya secara mempersoalkan bagaimana suatu pernyataan moral
dapat dibenarkan.
Menurut Hendar Riyadi (2007: 113), dalam penelitiannya tentang
“Etika Al-Qur’an tentang Keragaman Agama” yang difokuskan pada
paradigma etika, bahwa pendekatan etika religius yang bersumber pada
konsep-konsep al-Qur’an memberikan pemahaman komprehensif dalam
mempelajari etika dari teks-teks al-Qur’an. Menurutnya, etika religius
pendekatan Qur’ani mengandung beberapa kunci etika religius, yaitu:
53
Tabel 3.1
Prinsip Etika Qur’ani
Prinsip Etika Qur’ani
1 Tauhid Konsep tauhid sebagai the principle of metaphysics dan
(Unity) the principle of social ethic values
2 Iman 1. Apabila disebut nama Allah, hatinya bergetar
2. Apabila di”baca”kan ayat-ayat Allah, kualitas iman
naik
3. Bertawakal terhadap keimanan pada (Allah,
Malaikat, Kitab-kitab, Rasul dan Para Nabi, Hari
Akhir serta Taqdir)
3 Islam Menyerah, tunduk dan selamat, kebebasan, kesucian,
kebahagiaan kesejahteraan sebagai efek dari
penyerahan diri kepada Allah.
4 Ihsan Profesionalisme dalam mengabdi kepada Allah seolah-olah
kamu melihat-Nya, dan apabila kamu tidak dapat melihat-
Nya, maka Allah melihatmu.
5 Taqwa Kesatuan dari iman, Islam dan ihsan (insan
kamil/ahsan taqwim)
54
Metode Ilahi telah menunjuk ke arah suasana itu. Pembinaan yang
bersumber langsung dari Maha Pencipta dengan cepat menembus hati
manusia yang paling dalam, tempat bersemayam segala watak baik
yang fitrah. Muhammad SAW tidak menuntun umatnya melalui
rangsangan-rangsangan material yang semu dan sekali waktu dapat
membosankan, tetapi beliau bergaul langsung dengan jiwa manusia
lewat bujukan dan peringatan, sambil menanamkan ketegasan sikap
secara bertahap dalam menaati hukum-hukum Allah. (A.M. Saefuddin,
dkk., 1998: 126)
Secara garis besar, dalam filsafat etika Islam (akhlak), ada nilai baik
buruk yang harus begitu saja diterima sesuai dengan petunjuk wahyu.
Ada juga nilai baik buruk itu ditentukan oleh akal manusia dan
merupakan kewenangan akal manusia menilainya sepanjang tidak ada
ketentuannya secara tekstual berdasarkan wahyu. Karena itu, sebelum
memulai pembahasan etika Islami (akhlak) ada baiknya kita mulai lebih
dahulu dengan paparan singkat mengenai berbagai aliran pemikiran
yang telah banyak mengisi tentang akhlak dan moralitas:
1. Teori Deontologis
55
Teori deontologi sebenarnya sudah ada sejak periode filsafat
Yunani Kuno, tetapi baru mulai diberi perhatian setelah diberi penjelasan
dan pendasaran logis oleh filsuf Jerman yaitu Immanuel Kant.
Kata deon berasal dari Yunani yang artinya kewajiban. Sudah jelas
kelihatan bahwa teori deontologi menekankan pada pelaksanaan
kewajiban. Suatu per-buatan akan baik jika didasari atas pelaksanaan
kewajiban, jadi selama melakukan kewajiban berarti sudah melakukan
kebaikan. Deontologi tidak ter pusat pada konsekuensi perbuatan,
dengan kata lain deontologi melaksanakan terlebih dahulu tanpa
memikirkan akibatnya. Berbeda dengan utilitarisme yang mempertim-
bangkan hasilnya lalu dilakukan perbuatannya.
Lalu apa itu kewajiban menurut deontologi? Sulit untuk mendefi-
nisikannya namun pemberian contoh mempermudah dalam memahami-
nya. Misalnya, tidak boleh menghina, membantu orang tua, membayar
utang, dan tidak berbohong adalah perbuatan yang bisa diterima secara
universal. Jika ditanya secara langsung apakah boleh menghina orang?
Tidak boleh, apakah boleh membantu orang tua? Tentu itu harus. Semua
orang bisa terima bahwa berbohong adalah buruk dan membantu orang
tua adalah baik. Nah, kira-kira seperti itulah kewajiban yang di-maksud.
Jika dibandingkan dengan utilitarisme coba perhatikan lagi contoh
anjing yang akan dieksekusi karena voting terbanyak mengatakan
demikian. Dalam deontologi tidak demikian, jumlah terbanyak bukan-
lah ukuran yang menentukan kebaikan tetapi prinsiplah yang
menentukan yaitu prinsip bahwa pembunuhan adalah perbuatan buruk
dan bagaimana pun juga anjing itu tidak boleh dibunuh.
2. Teori Teleologis
Kata telos dalam bahasa Yunani berarti tujuan. Karena itu, teori ini
mengatakan bahwa betul tidaknya tindakan seseorang justru ter-gantung
dari akibat-akibatnya; kalau akibat-akibat dari tindakan itu baik, maka
boleh dilakukan, bah-kan wajib untuk dilakukan. Kalau akibat perbuatan
atau tindakan itu buruk, maka perbuatan itu tidak boleh dikerjakan.
Berbeda dengan etika deontologis, etika teleologis justru mengukur
baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai
dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh
56
tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik, kalau bertujuan mencapai
sesuatu yang baik, atau kalau akibat yang ditimbulkannya baik dan
berguna. Misalnya, mencuri bagi etika teleologi tidak dinilai baik atau
buruk berdasarkan baik buruknya tindakan itu sendiri, melainkan oleh
tujuan dan akibat dari tindakan itu. Kalau tujuannya baik, maka tindakan
itu dinilai baik. Sebaliknya, kalau tindakan itu bertujuan jahat, maka
tindakan itu pun dinilai jahat.
Teori teleologi mengatakan bahwa nilai “betul” atau “salah”
bergantung kepada kesan sesuatu perbuatan yang dikenali sebagai
konsekuensialisme (consequentalism). Jadi, kriteria dan piawai asas
tentang sesuatu (tindakan atau peraturan) yang baik benar, salah, jahat
dan sebagainya ialah penghasilan nilai bukan moral yang dianggap baik.
Bagi teori ini, kebaikan atau kejahatan sesuatu ditentukan oleh nilai
instrumennya.
Seterusnya, sesuatu tindakan atau peraturan dianggap bermoral
jika jumlah kebaikan yang dihasilkan melebihi kejahatan. Namun,
pandangan ahli teleologi yang berbeda tentang apa yang dikatakan baik
& jahat telah menyebabkan wujud-nya dua jenis teori teleologi yang
berbeda, yaitu: utilitarianisme dan egoisme.
57
Hedonisme Egois
Hedonisme merupakan salah satu teori etika yang paling tua,
paling sederhana, paling kebenda-bendaan, dan dari abad ke abad selalu
kita temukan kembali. Kaum hedonis modern memilih kata kebahagiaan
untuk kesenangan. Hedonisme pertama-tama dirumuskan oleh Aristipus.
Salah menafsirkan ajaran gurunya, yakni Socrates yang berkata bahwa
tujuan hidup adalah kebahagiaan. Aristippus menyama kan kebahagiaan
dengan kesenangan.
Menurut dia kesenangan itu berkat gerakan yang lemah gemulai,
sedangkan rasa sakit berkat gerakan kasar. Kesenangan intelektual
mungkin lebih tinggi, tetapi kesenangan pancaindera lebih dalam (lebih
intensif). Dan kesenangan sesaat yang dinikmati itulah yang dihargai.
Suatu perbuatan disebut baik sejauh dapat menyebabkan kesenangan
dan memberikan kenikmatan. Kebajikan berguna untuk menahan agar
kita tidak jatuh ke dalam nafsu yang berlebihan, yakni gerakan kasar jadi
tidak menyenangkan. (Poespoprodjo, 1998: 60)
Aliran ini berpendapat bahwa yang dinilai baik itu ialah sesuatu
yang dapat memberikan rasa nikmat bagi manusia. Alasannya karena
rasa nikmat itu merupakan suatu hal yang pada dirinya sendiri baik bagi
manusia. Kaidah dasar hedonisme egois ialah: “Bertindaklah sedemikian rupa
sehingga engkau mencapai jumlah akibat yang paling besar. Dan hindarilah
segala macam yang bisa menimbulkan rasa sakit darimu”.
Aliran hedonisme egois merupakan bagian penting dari hedonisme
itu sendiri. Aliran ini adalah salah satu teori etika yang paling tua, paling
sederhana, paling kebenda-bendaan, dan dari abad ke abad selalu kita
temukan kembali. Dan banyak orang yang belum pernah dengan sadar
merumuskan filsafat hidup untuk diri mereka sendiri, hidup mengikuti
prinsip aliran ini. Untuk aliran ini kesenangan (kenikmatan) adalah
tujuan akhir hidup dan yang baik yang ter-tinggi.
Dalam pergaulan sehari-hari sering kita merasa ingin dihargai oleh
orang lain dalam segala aspek kehidupan. Begitupun halnya dengan
orang lain. Ia pun sama mempunyai perasaan ingin dihargai oleh kita.
Karena itu, jika kita berusaha untuk berbuat baik kepada orang lain, pada
hakikatnya kita mengharap agar orang lain menghargai kita dan mau
berbuat baik kepada kita. Kita berkorban demi orang lain sebenarnya
58
bahwa bukan untuk menyakiti perasaan kita, justru untuk mendapatkan
kenikmatan dalam diri kita.
Eudemonisme
4. Teori Utilitarian
59
maka apakah akan ada orang yang dikorbankan? Anggap saja ada
anjing gila, anjing tersebut suka menggigit orang yang lewat. 7 dari 10
orang menyarankan anjing tersebut dibunuh sedangkan 3 lainnya
menyarankan dibunuh. Penganut utilitarisme akan menjawab tentu
yang baik jika anjing itu dibunuh. Lalu saran 3 orang tadi dikemanakan?
Apakah mereka harus menerima itu begitu saja? Kalau menurut teori ini
YA.
Kasus di atas hanyalah sebatas anjing bagaimana jika manusia?
Bukan tidak mungkin hal ini terjadi bahkan sudah terjadi, tentu dalam
perkembangan peradaban ada sejarah diskriminasi ras maupun etnis.
Kasus diskriminasi ras kulit hitam dan diskriminasi etnis Tionghoa
sebelum tahun 1997 tampaknya tidak terdengar asing lagi di telinga.
Salah satu sebab mereka didiskriminasikan karena mereka minoritas,
dan mayoritas berhak atas mereka. Oleh utilitarisme hal ini dibenarkan
selama diskriminasi membawa manfaat. Karena tujuan dari hidup
adalah kebahagiaan yang paling besar bagi jumlah orang yang terbesar
(the greatest happiness of the greatest number). (W. Poespoprodjo, 1996: 62)
Dibalik kengerian dari aplikasi teori utilitarisme ini, ada pula hal
yang melegakan. Salah satunya adalah ketika berkenaan dengan bisnis
dan keuangan. Perhitungan ala utilitaris ini dapat berlaku sebagai
tinjauan atas keputusan yang akan diambil. Mengingat dalam keuangan
yang ada kebanyakan adalah angka-angka, jadi keputusan dapat di-
ambil secara mudah berdasarkan jumlah terbanyak bagi manfaat ter-
banyak. Jadi, hakikatnya secara historis utilitarianisme lahir dari
hedonisme. Jeremy Bentham dianggap sebagai bapak aliran ini. Bertolak
dari gagasan bahwasanya kesenangan dan kesedihan itu adalah satu-
satunya motif yang memerintah manusia.
Kesenangan dan kesedihan perseorangan adalah bergantung
kepada kebahagiaan dan kemakmuran pada umum nya dari seluruh
masyarakat. Kebaikan moral suatu perbuatan ditentukan oleh
kegunaannya/kemanfaatannya dalam memajukan kesejahteraan
bersama dari semua saja, dan juga keuntungan orang perorang sendiri.
Tujuan dari hidup adalah kebahagiaan yang paling besar bagi jumlah
orang yang terbesar (the greatest happiness of the greatest number).
Utilitarisme adalah sebuah teori teleologis universal. Dikatakan
teleologis karena utilitarisme menilai betul salahnya tindakan manusia
60
ditinjau dari segi manfaat akibatnya. Larangan untuk berbuat korupsi
itu lebih buruk daripada kita tidak berbuat korupsi. Andaikata akibat-
akibat dari korupsi itu lebih baik daripada tidak korupsi. Kita mesti
berupaya untuk menghasilkan kelebihan-kelebihan yang sebesar-
besarnya dari akibat-akibat baik terhadap akibat-akibat buruk. Dengan
demikian, tindakan yang baik adalah tindakan yang dapat men-
datangkan akibat-akibat baik bagi kepentingan semua orang yang dapat
kita pengaruhi.
Sifat utilitarisme adalah universal karena yang jadi penilaian
norma moral bukanlah akibat-akibat baik bagi dirinya sendiri melain-
kan juga baik bagi seluruh manusia. Kita harus mempertimbangkan
kepentingan dari semua orang, yang mungkin akan berpengaruh oleh
tindakan kita, termasuk diri kita sendiri. Maka utilitarisme mengatasi
egoisme dan membenarkan bahwa pengorbanan pribadi untuk
kepentingan orang lain merupakan tindakan yang paling tinggi nilai
moralnya.
Secara konkret, dalam kerangka etika utilitarianisme kita dapat
merumuskan tiga kriteria objektif yang dapat dijadikan dasar objek
sekaligus norma untuk menilai suatu kebijaksanaan atau tindakan.
Kriteria pertama adalah manfaat. Kriteria kedua adalah manfaat ter-besar.
Kriteria ketiga menyangkut pertanyaan mengenai manfaat terbesar
untuk siapa. Dengan demikian, kriteria yang sekaligus menjadi
pegangan objektif etika utilitarianisme adalah: manfaat terbesar bagi
sebanyak mungkin orang.
Jadi, secara historis utilitarianisme lahir dari hedonisme. Jeremy
Bentham dianggap sebagai bapak aliran ini. Bertolak dari gagasan
bahwasannya kesenangan dan kesedihan itu adalah satu-satunya motif
yang memerintah manusia. Aliran utilitarianisme mencapai perkem-
bangan sepenuhnya dalam diri John Stuart Mill.
“The creed which accepts as the foundation of moarls. Utility, or the
greatest happiness principle holds that actions are right in proportion as
they tend to promote happiness, wrong as they tend to produce the
reverse of happiness. By happiness is intended pleasure, and the absence
of pain; by unhappiness pain, and the privation of pleasure”.
61
5. Stoisisme
6. Evolusionisme
62
sebagai tujuan hidup. Maju, berevolusi, berkembang adalah hal yang
penting. Tidak peduli ke mana kita menuju selama kita di jalan kita saja.
Prosesnya sendiri itu yang penting, meskipun tujuan tidak jelas.
Herbert Spencer adalah “nabi” dalam bidang evolusi. Ia berkata
“Life is adjustment of internal relations to external relations”. Sifat
penyesuaian ini adalah individual, rasial, atau berasaskan kerja sama,
yaitu kerjasama segala sesuatu dalam semesta ini tanpa saling men-
campuri. Penyesuaian (adjustment) menyebabkan kesenangan sebalik-
nya, berarti kesedihan. Jadi inti dari teori evolusi adalah kelanjutan
perubahan, penyesuaian kembali, dan pengarahan kembali. Tidak
terdapat tujuan yang pasti. Sebab lebih baik dalam perjalanan daripada
sampai di tempat tujuan, it is better to travel than to arrive.
7. Teori Teonom
63
secara sewenang-wenang. Sesuatu dikatakan benar jika sesuai dengan
tujuan manusia atau sesuai dengan kodrat manusia (fitrah manusia).
Hukum kodrat dalam arti hukum moral kodrat adalah partisipasi
makhluk rasional pada hukum abadi. Hukum kodrat ditujukan kepada
manusia melalui akal budinya secara virtual. Dengan menyelidiki kodrat
nya dengan terang akal budinya, manusia mengembangkan hukum
kodrat menjadi suatu moral code dari prinsip-prinsip moral. Jadi, hukum
kodrat tidaklah menuntut ide bawaan (innate ides). (W. Poespoprodjo, 60-3)
Dalam nomenklatur Islam, hukum kodrat atau biasa disebut
dengan istilah qadha dan qadar merupakan peristilahan populer di-
kalangan mutakallimin, ter-utama sekali diperdebatkan oleh dua aliran
dalam Islam, yaitu; Mu’tazilah dan Qodariyah, serta Asy’ariyah. Menurut
nya, hukum kodrat sepenuhnya adalah kehendak dari perbuatan
manusia, Tuhan sudah tidak lagi ikut campur tangan. Sementara,
Asy’ariyah menjadikan kodrat atau kehendak manusia merupakan
bagian yang terpisahkan dari apa yang telah ditentukan oleh Tuhan.
Karena itu, hukum kodrat telah menghiasi pemikiran teologi Islam.
D. Etika Islami
64
dihadapkan pada pilihan-pilihan penggunaan factor produksi. Efisiensi
dan efektifitas menjadi dasar prilaku kalangan pebisnis.
Sejak zaman klasik sampai era modern, masalah etika bisnis dalam
dunia ekonomi tidak begitu mendapat tempat. Ekonom klasik banyak
berkeyakinan bahwa sebuah bisnis tidak terkait dengan etika. Dalam
ungkapan Theodore Levitt, tanggung jawab perusahaan hanya-lah
mencari keuntungan ekonomis belaka. Atas nama efisiensi dan
efektifitas, tak jarang, masyarakat dikorbankan, lingkungan rusak dan
karakter budaya dan agama tercampakkan.
Perbedaan etika bisnis Islami dengan etika bisnis konvensional
yang selama ini dipahami dalam kajian ekonomi terletak pada landasan
tauhid dan orientasi jangka panjang (akhirat). Prinsip ini dipastikan lebih
mengikat dan tegas sanksinya. Etika bisnis Islami memiliki dua cakupan.
Pertama, cakupan internal, yang berarti perusahaan memiliki
manajemen internal yang memperhatikan aspek kesejahteraan karya-
wan, perlakuan yang manusiawi dan tidak diskriminatif plus
pendidikan.
Kedua, cakupan eksternal meliputi aspek transparansi, akun-
tabilitas, kejujuran dan tanggung jawab. Demikian pula kesediaan
perusahaan untuk memperhatikan aspek lingkungan dan masyarakat
sebagai stake holder perusahaan.
Abdallah Hanafi dan Hamid Salam, Guru Besar Business
Administration di Mankata State University menambahkan cakupan etika
Islami berupa nilai ketulusan, keikhlasan berusaha, persaudaraan dan
keadilan. Sifatnya juga universal dan bisa dipraktikkan siapa saja. Etika
bisnis syariah bisa diwujudkan dalam bentuk ketulusan perusahaan
dengan orientasi yang tidak hanya pada keuntungan perusahaan namun
juga bermanfaat bagi masyarakat dalam arti sebenarnya.
Pendekatan win-win solution menjadi prioritas. Semua pihak
diuntungkan sehingga tidak ada praktik “culas” seperti menipu
masyarakat atau petugas pajak dengan laporan keuangan yang rangkap
dan lain-lain. Bisnis juga merupakan wujud memperkuat persaudaraan
manusia dan bukan mencari musuh. Jika dikaitkan dengan pertanyaan
di awal tulisan ini, apakah etika bisnis syariah juga bisa meminimalisir
keuntungan atau malah merugikan? Jawabnya tergantung bagai-mana
65
kita melihatnya. Bisnis yang dijalankan dengan melanggar prinsip-
prinsip etika dan syariah seperti pemborosan, manipulasi, ketidak-
jujuran, monopoli, kolusi dan nepotisme cenderung tidak produktif dan
menimbulkan inefisiensi.
Etika yang diabaikan bisa membuat perusahaan kehilangan keper-
cayaan dari masyarakat bahkan mungkin dituntut di muka hukum.
Manajemen yang tidak menerapkan nilai-nilai etika dan hanya ber-
orientasi pada laba (tujuan) jangka pendek, tidak akan mampu bertahan
(survive) dalam jangka panjang. Jika demikian, pilihan berada di tangan
kita. Apakah memilih keuntungan jangka pendek dengan mengabaikan
etika atau memilih keuntungan jangka panjang dengan komit terhadap
prinsip-prinsip etika Islami.
Buku Max Weber The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism
(1904-5) menggambarkan hubungan erat antara (ajaran-ajaran) agama
dan etika kerja, atau antara penerapan ajaran agama dengan pemba-
ngunan ekonomi. Weber mulai dengan analisis ajaran agama Kristen
Protestan, dan menjelang akhir hayatnya dibahas pula (sosio-logi)
agama Cina (1915, Taoisme dan Confucianisme), India (1916, Hindu dan
Budha), dan Yudaisme (1917).
Yang menarik, meskipun Weber merumuskan kesimpulannya
setelah mempelajari secara mendalam ajaran-ajaran agama besar di
dunia ini, namun berulang kali dijumpai kontradiksi-kontradiksi. The
church did influence people’s attitudes toward the economy but mostly in a
negative manner because the economic mentality it furthered was essentially
traditionalistic. The church like hierocracy more generally has casually
encouraged a ”non-capitalistic and partly anti-capitalistic”.
Dalam ekonomi Islam etika agama kuat sekali melandasi hukum-
hukum-nya. Namun juga disini banyak keberhasilan ekonomi malahan
didasarkan pada penyimpangan ajaran-ajarannya. Maka terkuaklah
”rahasia” kontradiksi. Kapitalisme berhasil di kalangan umat Kristen
karena perintah-perintah agama dikesampingkan, dan sebaliknya umat
Islam miskin karena banyak firman Allah ditinggal-kan.
Etika dan Perilaku Ekonomi. Etika sebagai ajaran baik-buruk,
benar-salah, atau ajaran tentang moral khususnya dalam perilaku dan
tindakan-tindakan ekonomi, bersumber terutama dari ajaran agama.
Itulah sebabnya banyak ajaran dan paham dalam ekonomi Barat
66
menunjuk pada kitab Injil (Bible), dan etika ekonomi Yahudi banyak
menunjuk pada Taurat. Demikian pula etika ekonomi Islam termuat
dalam lebih dari seperlima ayat-ayat yang dimuat dalam Al-Quran.
Namun jika etika agama Kristen-Protestan telah melahirkan semangat
(spirit) kapitalisme, maka etika agama Islam tidak mengarah pada
Kapitalisme maupun Sosialisme. Jika Kapitalisme menonjolkan sifat
individualisme dari manusia, dan Sosialisme pada kolektivisme, maka
Islam menekankan empat sifat sekaligus yaitu:
1. Kesatuan (unity).
2. Keseimbangan (equilibrium).
3. Kebebasan (free will).
4. Tanggungjawab (responsibility).
67
vertikal” antara aspirasi materi dan spiritual. (Dapat dilihat Mohammad
Naeem Khan, 2006: 3)
Demikian dapat disimpulkan bahwa dalam Islam pemenuhan
kebutuhan materiil dan spiritual benar-benar dijaga keseimbangannya,
dan pengaturan oleh negara, meskipun ada, tidak akan bersifat otoriter.
State intervention, directed primarily at reconciling the possible social conflict
between man’s ethical and economic behavior cannot lead the society onto “road
to serfdom” but will guide it gently along the road to human freedom and
dignity.
Karena etika dijadikan pedoman dalam kegiatan ekonomi dan
bisnis, maka etika bisnis menurut ajaran Islam juga dapat digali lang-
sung dari Al Qur’an dan Hadits Nabi. Misalnya karena adanya larangan
riba, maka pemilik modal selalu terlibat langsung dan bertanggung
jawab terhadap jalannya perusahaan miliknya, bahkan terhadap buruh
yang dipekerjakannya. Perusahaan dalam sistem ekonomi Islam adalah
perusahaan keluarga bukan Perseroan Terbatas yang pemegang
sahamnya dapat menyerahkan pengelolaan perusahaan begitu saja pada
Direktur atau manager yang digaji. Memang dalam sistem yang
demikian tidak ada perusahaan yang menjadi sangat besar, seperti di
dunia kapitalis Barat, tetapi juga tidak ada perusahaan yang tiba-tiba
bangkrut atau dibangkrutkan.
Etika Bisnis Islam menjunjung tinggi semangat saling percaya,
kejujuran, dan keadilan, sedangkan antara pemilik perusahaan dan
karyawan berkembang semangat kekeluargaan (brotherhood). Misalnya
dalam perusahaan yang Islami gaji karyawan dapat diturunkan jika
perusahaan benar-benar merugi dan karyawan juga mendapat bonus
jika keuntungan perusahaan meningkat. Buruh muda yang masih
tinggal bersama orang tua dapat dibayar lebih rendah, sedangkan yang
sudah berkeluarga dan punya anak dapat dibayar lebih tinggi dibanding
rekan-rekannya yang muda. Karenanya, etika bisnis Islami dapat
memberikan pedoman bagi manusia pebisnis yang abid sekaligus khalifah
yang ulul albab. Sebagaimana digambarkan berikut ini:
68
Gambar 3.1
Fungsi Manusia
ت ﻷوﻟِﻲ
ٍ ﻞ وَاﻟَّﻨﻬَﺎ ِر ﻵﻳَﺎ
ِ ف اﻟَّﻠ ْﻴ
ِ ﺧﺘِﻼ
ْ ض وَا
ِ ت وَاﻷ ْر
ِ ﺴﻤَﺎوَا
َّ ﻖ اﻟ
ِ ﺧ ْﻠ
َ ن ﻓِﻲ َّ ِإ 190
ب
ِ اﻷ ْﻟﺒَﺎ
ﻖ
ِ ﺧ ْﻠ
َ ن ﻓِﻲ
َ ﺟﻨُﻮ ِﺑ ِﻬ ْﻢ َو َﻳ َﺘ َﻔ َّﻜﺮُو
ُ ﻋﻠَﻰ
َ ن اﻟَّﻠ َﻪ ِﻗﻴَﺎﻣًﺎ َو ُﻗﻌُﻮدًا َو
َ ﻦ َﻳ ْﺬ ُآﺮُو
َ اَّﻟﺬِﻳ 191
ب اﻟ َﻨّﺎ ِر
َ ﻋﺬَا
َ ﻚ َﻓ ِﻘﻨَﺎ
َ ﺳ ْﺒﺤَﺎ َﻧ ُ ﺖ َهﺬَا ﺑَﺎﻃِﻼ َ ﺧَﻠ ْﻘ
َ ض َرَّﺑﻨَﺎ ﻣَﺎ
ِ ت وَاﻷ ْر ِ ﺴﻤَﺎوَا َّ اﻟ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian siang dan
malam, terdapat ayat-ayat (simbol-simbol) bagi ulil albab, (yaitu) orang yang
berdzikir kepada Allah tengah ia berdiri, duduk dan berbaring, dan bertafakur
tentang penciptaan langit dan bumi. (Kemudian ia berkata) ‘Tuhan kami,
tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka
jauhkanlah kami dari azab neraka.”
Erat keterikatan berada pada puncaknya, tatkala zikir dan pikir
menyatu pada keseluruhan. Tingkah laku yang dicerminkan oleh
manusia (ulul albab) yang disebut akhlak karimah, menjadi manusia-
manusia sempurna (muttaqin).
69
BAB IV
KONSEPSI ETIKA
DALAM AL-QUR’AN
A. Landasan Filosofis
70
menjadi sumber penyebab global warming agar dibatasi, Amerika
menolaknya.
Wacana tentang nilai-nilai moral (keagamaan) tertentu ikut
berperan dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat tertentu, telah
banyak digulirkan dalam masyarakat ekonomi sejak memasuki abad
modern, sebut saja Misalnya, Max Weber dalam karyanya yang terkenal,
The Religion Ethic and the Spirit Capitalism, meneliti tentang
bagaimana nilai-nilai protestan telah menjadi kekuatan pendorong bagi
tumbuhnya kapitalisme di dunia Eropa barat dan kemudian Amerika.
Walaupun di kawasan Asia (terutama Cina) justru terjadi sebalik-
nya sebagai mana yang ditulis Weber. Dalam karyanya The Religion Of
China: Confu-cianism and Taoism, Weber mengatakan bahwa etika
konfusius adalah salah satu faktor yang menghambat tumbuhnya
kapitalisme nasional yang tumbuh di China. Atau yang lebih menarik
barangkali adalah Studi Wang Gung Wu, dalam bukunya China and The
Chinese Overseas, yang merupakan revisi terbaik bagi tesisnya Weber
yang terakhir.
Apalagi ada satu pandangan bahwa masalah etika bisnis seringkali
muncul berkaitan dengan hidup matinya bisnis tertentu, yang apabila
“beretika” maka bisnisnya terancam pailit. Di sebagian masyarakat yang
nir normative dan hedonistik materialistk, pandangan ini tampkanya
bukan merupakan rahasia lagi karena dalam banyak hal ada konotasi
yang melekat bahwa dunia bisnis dengan berbagai lingkupnya dipenuhi
dengan praktik-praktik yang tidak sejalan dengan etika itu sendiri.
Di sisi lain dalam tingkatan praktis tertentu, studi empiris tentang
etika usaha (bisnis) itu akan banyak membawa manfaat: yang bisa
dijadikan faktor pendorong bagi tumbuhnya ekonomi, taruhlah dalam
hal ini di masyarakat Islam. Tetapi studi empiris ini bukannya sama
sekali tak bermasalah, terkadang, karena etika dalam ilmu ini meng-
ambil posisi netral (bertolak dalam pijakan metodologi positivistis),
maka temuan hasil studi netral itu sepertinya kebal terhadap penilaian-
penilaian etis.
Menarik untuk di soroti adalah bagaimana dan adakah konsep
Islam menawarkan etika bisnis bagi pendorong bangkitnya roda
ekonomi. Filosofi dasar yang menjadi catatan penting bagi bisnis Islami
71
adalah bahwa, dalam setiap gerak langkah kehidupan manusia adalah
konsep hubungan manusia dengan manusia, lingkungannya serta
manusia dengan Tuhan (Hablum minallah dan hablum minannas). Dengan
kata lain bisnis dalam Islam tidak semata mata merupakan manifestasi
hubungan sesama manusia yang bersifat pragmatis, akan tetapi lebih
jauh adalah manifestasi dari ibadah secara total kepada sang Pencipta.
Jika kita menelusuri sejarah, dalam agama Islam tampak
pandangan positif terhadap perdagangan dan kegiatan ekonomis. Nabi
Muhammad SAW adalah seorang pedagang, dan agama Islam disebar
luaskan terutama melalui para pedagang muslim. Dalam Al-Qur’an
terdapat peringatan terhadap penyalahgunaan kekayaan, tetapi tidak
dilarang mencari kekayaan dengan cara halal (QS: 2: 275), ”Allah telah
menghalalkan perdagangan dan melarang riba”.
Islam menempatkan aktivitas perdagangan dalam posisi yang
amat strategis di tengah kegiatan manusia mencari rezeki dan peng-
hidupan. Hal ini dapat dilihat pada sabda Rasulullah SAW: ”Perhatikan
olehmu sekalian perdagangan, sesungguhnya di dunia per-dagangan itu
ada sembilan dari sepuluh pintu rezeki”. Dawam Rahardjo justru
mencurigai tesis Weber tentang etika Protestantisme, yang menyitir
kegiatan bisnis sebagai tanggungjawab manusia terhadap Tuhan
mengutipnya dari ajaran Islam.
Kunci etis dan moral bisnis sesungguhnya terletak pada pelaku
nya, itu sebabnya misi diutusnya Rasulullah ke dunia adalah untuk
memperbaiki akhlak manusia yang telah rusak. Seorang pengusaha
muslim berkewajiban untuk memegang teguh etika dan moral bisnis
Islami yang mencakup Husnul Khuluq. Pada derajat ini Allah akan
melapangkan hatinya, dan akan membukakan pintu rezeki, dimana
pintu rezeki akan terbuka dengan akhlak mulia tersebut, akhlak yang
baik adalah modal dasar yang akan melahirkan praktik bisnis yang etis
dan moralis. Salah satu dari akhlak yang baik dalam bisnis Islam adalah
kejujuran (QS: Al Ahzab;70-71).
Sebagian dari makna kejujuran adalah seorang pengusaha
senantiasa terbuka dan transparan dalam jual belinya, ”Tetapkanlah
kejujuran karena sesungguhnya kejujuran mengantarkan kepada kebaikan dan
sesungguhnya kebaikan mengantarkan kepada surga”, (Hadits). Akhlak yang
lain adalah amanah, Islam menginginkan seorang pebisnis muslim
72
mempunyai hati yang tanggap, dengan menjaganya dengan memenuhi
hak-hak Allah dan manusia, serta menjaga mua’ malahnya dari unsur
yang melampaui batas atau sia-sia. Seorang pebisnis muslim adalah
sosok yang dapat dipercaya, sehingga ia tidak menzholimi kepercayaan
yang diberikan kepadanya ”Tidak ada iman bagi orang yang tidak
punya amanat (tidak dapat dipercaya), dan tidak ada agama bagi orang
yang tidak menepati janji”, ”pedagang yang jujur dan amanah (tempat-nya
di surga) bersama para nabi, Shiddiqin (orang yang jujur) dan para syuhada”.
(Hadits).
Sifat toleran juga merupakan kunci sukses pebisnis muslim,
toleran membuka kunci rezeki dan sarana hidup tenang. Manfaat toleran
adalah memper mudah pergaulan, mempermudah urusan jual beli, dan
mempercepat kembalinya modal ”Allah mengasihi orang yang lapang
dada dalam menjual, dalam membeli serta melunasi utang” (Hadits).
Konsekuen terhadap akad dan perjanjian merupakan kunci sukses
yang lain dalam hal apapun sesungguhnya Allah memerintah kita untuk
hal itu ”Hai orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu”, (QS: Al-
Maidah;1). ”Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggungjawabannya” (QS: Al Isra;34). Menepati janji mengeluarkan
orang dari kemunafikan sebagai mana sabda Rasulullah, ”Tanda-tanda
munafik itu tiga perkara, ketika berbicara ia dusta, ketika sumpah ia
mengingkari, ketika dipercaya ia khianat”. (Hadits).
Menurut A.M. Saefuddin, et. Al. (1998: 136), bahwa nilai-nilai etika
al-Qur’an akan dengan sendirinya membentuk sistem nilai. Bagi umat
Islam, sumber nilai dan norma Ilahiah, yaitu Qur’an dan Sunnah, serta
nilai duniawiyah, yaitu pikiran dan kenyataan alam. Sumber nilai
duniawiyah atau mondial digunakan sepanjang tidak menyimpang dari
sistem nilai Ilahiyah. Dengan sistem nilai dan norma Islam, manusia
dapat mendekati dan membaca berbagai aspek kehidupan, lingkungan
hidup serta dimensi alam semesta.
Dan dengan keterikatan sepenuhnya secara kuat terhadap sistem
nilai Ilahiyah (etika Islam), manusia tidak akan cenderung antroposentris,
yaitu melakukan sesuatu untuk mempertahankan, memelihara,
mengembangkan dan meningkatkan kualitas hidup, tidak hanya terarah
kepada diri manusia sendiri. Manusia yang demikian akan selalu
mengingat (dzikir) Allah sambil berdiri, duduk atau berbaring, dan
73
memikirkan penciptaan langit dan bumi. Dan akhirnya ia menghayati
rasa tanggung jawab terhadap mutu kehidupan dan menyerah kan
penilaiannya kepada Allah.
ت
ِ ﺴﻤَﺎوَا
َّ ﻖ اﻝ
ِ ﺧ ْﻠ
َ ن ﻓِﻲَ ﺝﻨُﻮ ِﺏ ِﻬ ْﻢ َو َی َﺘ َﻔ َّﻜﺮُو
ُ ﻋﻠَﻰ َ ن اﻝَّﻠ َﻪ ِﻗﻴَﺎﻣًﺎ َو ُﻗﻌُﻮدًا َو
َ ﻦ َی ْﺬ ُآﺮُو
َ اَّﻝﺬِی
ب اﻝ َﻨّﺎ ِر
َ ﻋﺬَا َ ﻚ َﻓ ِﻘﻨَﺎ َ ﺳ ْﺒﺤَﺎ َﻥ
ُ ﺖ َهﺬَا ﺏَﺎﻃِﻼ َ ﺧ َﻠ ْﻘ
َ ض َر َّﺏﻨَﺎ ﻣَﺎ
ِ وَاﻷ ْر
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau
duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
pen-ciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami,
tiadalah Eng kau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau,
maka pelihara lah kami dari siksa neraka”. (Q.S. Surat, Ali Imron, 3:
191)
Ia akan selalu berusaha berpikir, menggunakan akalnya secara
sistematik, sehingga menemukan ilmu pengetahuan dan teknologi
untuk mengelola sumber-sumber alami yang disediakan Allah bagi
kehidupan, tanpa lepas dari zikir. Dengan demikian kegiatan ilmiah dan
alamiah tetap berjalin dengan nilai (etika) Ilahiyah. Dengan sistem nilai
Ilahiyah, sebagai paradigma Islami dapat dibaca dengan jelas proses
intern ekosistem sumber-sumber alami dan insani, untuk men-capai
tujuan kehidupan yang baik di dunia yang diridhai Allah. Berikut
gambar 4.1 proses iterasi ekosistem kehidupan dalam berbisnis.
74
Pada gambar 4.1 di atas nampak bahwa dari manapun kita
membaca dan menalar ekosistem, semuanya tidak terlepas dari
pengadilan nilai dan norma Islam. Sumber daya alami dan hayati adalah
anugerah Allah yang diamanatkan kepada manusia sebagai khalifah-Nya.
Penggalian, penemuan, pemanfaatan dan pengembangan ilmu dan
teknologi, dalam mengelola sumber daya untuk diperdagangkan (bisnis
kan), merupakan ibadah. Sesuai dengan hadits Nabi s.a.w.: “Kamu lebih
mengetahui urusan duniawimu”.
75
sebagaimana diungkapkan dalam teori ekonomi Barat. Hedonisme,
menurut Hidayat Nataatmadja (1984: 30), merupakan keadaan ekstrim
kalau utilitarianisme terjangkit penyakit psikologik (gangguan jiwa),
sehingga di dunia Barat pun tidak banyak dibicarakan orang, kecuali
barangkali sebagai penyimpangan yang mendekati masalah klinik pato-
logik.
Adalah tidak berlebihan dan reduktif apabila al-Qur’an disebut
sebagai pedoman etika atau tuntunan etika (ethic guidance) kehidupan,
termasuk di dalamnya bagaimana perilaku manusia dalam berdagang.
Sebab, al-Qur’an sendiri menyebut dirinya sebagai kitab petunjuk bagi
manusia dan “kritetirum pembeda” antara kebenaran dengan kebathilan
dan antara kebaikan dengan keburukan (hudan li al-nas wa bayyinat min
al-huda wa al-furqan), sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-Baqarah,
ayat 185.
Al-Qur’an juga sebagai pembenar (confirmer) dan penguji
(corrector) kitab suci-kitab suci (agama) yang lain (mushadiqan lima bayna
yadayhi min al-kitabi wa muhayminan ‘alayhi), (Q.S. al-Maidah, 5: 48).
Menurut penelitian Hendar Riyadi (2007: 118), al-Qur’an memuat
konsep-konsep dan prinsip-prinsip etik yang berkepentingan untuk
menghasilkan sikap-sikap yang benar bagi tindakan manusia, baik
dalam tindakan politik, sosial, ekonomi dan terutama dalam per-
dagangan.
Fazlur Rahman, sebagaimana dikutip Hendar, secara faktual
bahwa al-Qur’an merupakan sebuah buku ajaran etika, prinsip-prinsip
serta seruan-seruan moral, dan bukannya sebuah dokumen hukum.
Semangat al-Qur’an adalah semangat moral dengan penekanan pada ide
monotheisme, dan keadilan sosial ekonominya. Jadi, al-Qur’an muncul
sebagai suatu dokumen yang dari awal hingga akhirnya selalu mem-
berikan tekanan-tekanan moral. Dari sini dapat di-pahami bahwa tujuan
al-Qur’an sendiri adalah menegakkan tata sosial yang etis (berlandaskan
moral), transparansi dan berkeadilan.
Menurut George F. Hourani, yang dikutip Hendar (2007: 119)
sebagai se-orang pengamat etika Islam, mengklasifikasikan etika Islam
pada kategori “theistic subjectivism” – dan bukannya “rationalistic
objectivism” – yaitu dalam pengertian bahwa konsep baik dan buruk,
termasuk di dalamnya bagaimana membina hubungan yang harmonis
76
antara saudara-saudara sesama dengan lainnya, khususnya di bidang
perdagangan oleh Tuhan lewat pemahaman ayat-ayat al-Qur’an secara
komprehensif.
Hanya saja dalam perkembangan tradisi Islam kemudian, para
ahli hukum (fuqaha) seringkali melangkah terlalu jauh dalam menjabar-
kan pernyataan-pernyataan retorik atau etik al-Qur’an menjadi
pernyataan-pernyataan hukum. Di sisi lain, mereka kurang terlibat
penuh dalam perumusan norma-norma hukum dari ayat-ayat yang
memiliki kepentingan hukum yang jelas. Kecenderungan demi-kian,
bukan saja berkonsekuensi pada tidak adanya rumusan sistematis etika
al-Qur’an dalam menjawab problem kemanusiaan universal –
khususnya dalam masalah muamalah - bisnis (perdagangan) –
melainkan juga penetapan fatwa-fatwa keagamaan yang selalu
menekankan wilayah haram dan halal, sehingga kurang melibatkan diri
pada fakta dan kenyataan tradisi bisnis yang seperti apa dan bagaimana.
Dalam kerangka inilah, kata Hendar, diperlukan suatu
penanganan khusus untuk merumuskan secara sistematis nilai-nilai
etika al-Qur’an sebagai pedoman kehidupan, khususnya dalam
hubungannya dengan bisnis perdagangan. Etika ini di-perlukan agar
manusia dapat hidup bekerjasama dalam melindungi kepentingan
kemanusiaan yang berkeadilan dan lingkungannya.
77
mengandung implikasi doktrinal lebih jauh bahwa tujuan kehidupan
manusia tak lain kecuali menyembah kepada Tuhan.
Tauhid sebagai pijakan etika Islam merupakan inti dari nilai-nilai
Islam. Rasul mengatakan bahwa dia diutus tidak lain untuk
memperbaiki etika masyarakat. Fazlur Rahman Anshari, sebagai-mana
dikutip Kuntowijoyo (1999: 30), mengatakan perlunya “Peniruan Etika
Tuhan” sebagai dasar bagi perbaikan moral manusia. Ia menyebutkan
lima etika ketuhanan sebagai landasan pembentukan moral manusia,
yaitu:
a. Rahman (pengasih)
b. Barr (pemulia)
c. Ghafur (pemaaf)
d. Rahim (penyayang), dan
e. Ihsan (berbuat baik, profesional)
ﻦ
ِ ﺷ ْﻴﺌًﺎ َوﺑِﺎ ْﻟﻮَاِﻟ َﺪ ْﻳ
َ ﺸ ِﺮآُﻮا ِﺑ ِﻪ ْ ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ أَﻻ ُﺗ َ ﺡ َّﺮ َم َرُّﺑ ُﻜ ْﻢ
َ ﻞ ﻣَﺎ ُ ﻞ َﺗﻌَﺎَﻟﻮْا َأ ْﺗ
ْ ُﻗ 151
ﻋ ِﺪﻟُﻮا
ْ ﺳ َﻌﻬَﺎ َوِإذَا ُﻗ ْﻠ ُﺘ ْﻢ ﻓَﺎ ْ ﻒ َﻧ ْﻔﺴًﺎ إِﻻ ُوُ ّﻂ ﻻ ُﻧ َﻜِﻠ ِﺴ ْ ن ﺑِﺎ ْﻟ ِﻘ
َ ﻞ وَا ْﻟﻤِﻴﺰَا
َ ا ْﻟ َﻜ ْﻴ
ن
َ ﺹّﺎ ُآ ْﻢ ِﺑ ِﻪ َﻟ َﻌَّﻠ ُﻜ ْﻢ َﺗ َﺬ َّآﺮُو
َ ن ذَا ُﻗ ْﺮﺑَﻰ َو ِﺑ َﻌ ْﻬ ِﺪ اﻟَّﻠ ِﻪ َأ ْوﻓُﻮا َذِﻟ ُﻜ ْﻢ َو َ َوَﻟ ْﻮ آَﺎ
78
Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh
Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia,
berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu
membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi
rezeki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun
yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (mem-bunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar".
Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu
memahami (nya).
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang
lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakan lah takaran
dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata,
maka hendaklah kamu berlaku adil kendati pun dia adalah kerabat (mu),
dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu ingat.
79
Jadi, pesan moralitas keagamaan (etiko-religius) tauhid inilah
yang menjadi landasan etis-teologis dalam mempersatukan berbagai
komunitas masyarakat secara sosionomic-politis, kebinekaan dalam
masyarakat Madinah yang dipersatukan oleh Rasulullah SAW. Implikasi
sosiologis dari seruan moral kepada tauhid sebagai titik temu (kalimatun
sawa) ini adalah penghargaan terhadap etika pergaulan dalam
bertransaksi antar umat manusia yang beriman sebagai pemilik kitab
suci. Menurut Hendar (2007: 128), secara garis besar konsep tauhid
sebagai the principle of metaphysics, sekaligus the principle of socio-nomic
ethic values di atas, dapat digambarkan dalam bentuk skematis 4.2
berikut ini:
80
Perbuatan ini merupakan kekufuran yang sangat besar dan merupakan
perbuatan kedzaliman yang tidak diampuni oleh Tuhan. Secara historis,
masyarakat jahiliyah Arab melakukan persekutuan dengan penyem-
bahan pada berhala (paganisme). Berikut ilustrasi 4.3 perbandingannya
sebagaimana dalam surat al-Fatihah dan surat An-Nas.
81
2. Iman, Islam, Ihsan Kunci Meraih Ketaqwaan
82
“Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah
dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan
kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, dan apa yang
diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-
nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di
antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya".
b. Islam
Secara literik, kata Islam adalah kata bahasa Arab yang terambil
dari kata salima yang berarti selamat, damai, tunduk, pasrah dan
berserah diri. Objek penyerahan diri ini adalah Pencipta seluruh alam
semesta, yakni Allah SWT. Dengan demikian, Islam berarti
penyerahan diri kepada Allah SWT., sebagaimana tercantum dalam
Al-Qur’an surat Ali Imron, yang arti nya kurang lebih sebagai
berikut: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah adalah
Islam…”. Berikut digambarkan dalam power pointnya.
83
Islam Sebagai Tatanan Hidup Holistik
Din al-Islam
- ”Din” berasal dari kata ”dana-yadinu-dinan” :
tatanan, sistem, tatacara hidup.
- ”Islam” berasal dari kata ”aslama” : tunduk, patuh
dan berserah diri.
Secara terminologi Islam adalah agama yang ajaran-
ajarannya diturunkan Allah Swt. kepada manusia
melalui Rasul-rasul-Nya. Sejak Nabi Adam sampai
Nabi Muhammad Saw. (QS. Al-Baqarah, 2; 136).
- Din al-Islam sebagai tatanan hidup meliputi seluruh
aspek hidup dan kehidupan, dari masalah ritual
sampai kepada masalah mu’amalah.
- Secara umum din terbagi dua:
1. Din al-Islam (din al-haq) » kelompok muslim / huda
2. Din ghair al-Islam (din al-bathil) » kelompok kafir /
dhallin. (QS. al-A’raf, 7; 30 dan Muhammad, 47; 1-3)
84
Esa, dan mengajarkan satu-satunya jalan penyerahan total kepada-
Nya, yaitu melalui hukum-hukum-Nya sendiri. Karena itu, agama
yang diakui oleh Allah hanyalah agama Islam. Jadi, Islam pertama-
tama adalah suatu keyakinan, suatu iman, seperti dicontohkan pada
pengalaman Ibrahim, seorang yang disebut, bukan seorang penganut
agama Yahudi atau penganut agama Nasrani, melainkan seorang
yang tulus dan cenderung pada kebenaran (hanif), dan seorang yang
menunduk kan diri pada Allah (Muslim).
Islam mengajarkan kepada umatnya untuk berusaha mendapat-
kan kehidupan yang lebih baik di dunia dan sekaligus memperoleh
kehidupan yang baik di akhirat. Memperoleh kehidupan yang baik di
dunia dan di akhirat inilah yang dapat menjamin dicapainya
kesejahteraan lahir dan batih (falah). Hal ini berarti bahwa dalam
mengejar kehidupan di dunia tidak dapat dilakukan kecuali dengan
cara yang halal melalui gerakan amal sholeh. Perbuatan amal sholeh
adalah perbuatan baik yang mendatangkan pahala bagi yang
melakukan dan mendatangkan faedah bagi orang lain, yang dapat
berupa tingkah laku dan perbuatan yang termasuk ke dalam kategori
ibadah (iyyaka na’budu) maupun muamalah (iyyaka nasta’iin).
Kesejahteraan lahir dan batin yang ingin diperoleh melalui
gerakan amal sholeh seharusnya dilakukan melalui kegiatan ibadah
dan muamalah yang bersumber dari ketentuan syari’ah yang dijiwai
oleh iman, Islam (akidah Islamiyah) dan ihsan (akhlak yang luhur).
Ketiganya merupakan hakikat ajaran wahyu yang menjadi tuntutan
dan panutan manusia dan sendi kehidupannya. Dengan berpegang
teguh pada iman, Islam, dan ihsan inilah dilakukan berbagai kegiatan
muamalah yang dalam penerapannya disesuaikan dengan situasi dan
kondisi setempat. Kegiatan ekonomi adalah salah satu kegiatan
muamalah yang telah diatur secara lengkap dalam syari’ah Islam.
Ketentuan-ketentuan yang mengatur pola konsumsi memungkinkan
umat Islam untuk mempunyai sisa dana yang dapat dipergunakan
untuk kegiatan perekonomian. Ketentuan yang mengatur pola
simpanan mengharuskan umat Islam untuk melakukan investasi.
Larangan terhadap riba pada hakikatnya adalah suatu kewajiban bagi
mereka yang mempunyai dana lebih untuk melakukan investasi yang
menghasilkan produk-produk baru dan kesempatan kerja.
85
Demikian pula larangan terhadap perjudian (maysir), penipuan
(gharar), tadlis, dan sejenisnya merupakan perbuatan yang harus jauh
dari kegiatan investasi dan ruang lingkupnya. Satu ajaran do’a yang
patut menjadi pelajaran berharga adalah ketika seorang muslim
memanjatkan do’a, rab bana atina fi al-dunia hasanah wa fil
akhirati hasanah. Maka investasi men-jadi penting bila keuntungan
yang didapat bukan pada dimensi dunia-wiyah saja, melainkan pula
harus sampai pada kehidupan ukhrawiyah. Kesatuan antara dunia dan
akhirat mengkaitkan pula kegiatan investasi di dunia sebagai suatu
sarana yang menyamankan jalan ke akhirat. Investasi dunia yang
menentramkan kehidupan di akhirat ini diyakini ada tiga yaitu anak
shaleh, ilmu yang bermanfaat, dan amal yang dinikmati orang banyak,
dimana untuk memperoleh ketiganya dibutuhkan dana.
Dengan demikian, konsep etiko-religius iman maupun Islam
memiliki makna dasar yang sama, yakni “selamat” atau “memberi-
kan keselamatan” dan “aman” atau “memberikan rasa aman” bagi
dirinya, keluarga, dan lainnya. Karenanya, orang yang beriman dan
berislam akan memberikan kontribusi besar dalam memberikan
kemaslahatan kepada sesama dan lingkungan, tidak berlaku curang
dalam berdagang, akan sangat mengasihi sesamanya.
c. Ihsan
Ihsan merupakan modal yang kini menjadi suatu yang langka.
Hanya sedikit mereka yang komitmen dengan moralitas ini. Bahkan,
sungguh disayangkan, mayoritas mereka bukan dari umat yang taat.
Profesionalisme merupakan moral yang begitu mendapat apresiasi di
Barat dan diacuhkan oleh kita.
Menurut Amru Khalid (2005: 103), berkenaan dengan perubahan
tidak dikhususkan hanya kepada kaum umat Islam, tetapi pada
seluruh penduduk bumi. Allah tidak mengatakan, “Allah tidak
mengubah keadaan umat Islam“. Tetapi Allah mengatakan, ”Sesungguh-
nya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka
mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. (Q.S. Al-Ra’ad, 13:
11).
Moral-moral mana yang harus ada dan harus tidak ada dalam
usaha menciptakan perubahan? Intinya, Ihsan adalah profesio-
86
nalisme yang merupakan prinsip ajaran Islam. Akan tetapi, moral
inilah yang telah hilang dari kita. Dalam melakukan aktivitas kita
kerap tidak memiliki kemampuan yang memadai. Jadi, Ihsan
merupakan muatan komponen meliputi pengetahuan, manajemen,
orientasi dan sistem. Banyak kondisi yang harus dipenuhi untuk
menjadi yang terbaik. Menjadi yang terbaik juga merupakan bentuk
ibadah kepada Allah. Sebab, Allah berfirman, Kamu adalah umat yang
terbaik yang dilahirkan untuk manusia”. (Q.S. Ali Imran, 3: 110)
Menurut Abdul Mun’im al-Misri dalam jurnal Millah Vol. VIII. 1
Agustus 2008 halaman 86 berkaitan adanya dengan ihsan sangat
terkait dengan siklus fiqih. Artinya, ihsan merupakan komponen
penting dalam memperjelas pemahaman aktual tentang berbagai
fenomena perbuatan manusia terhadap lingkungan dan alam sekitar,
termasuk dalam aktivitas kegiatan manusia di dunia ini. Berikut 4.3
ilustrasinya:
d. Taqwa
Dari gambar 4.3 di atas dapat dipahami bahwa semua
pengetahuan, khususnya pengetahuan dalam pergaulan yang
berpotensi pada unit usaha sangat dipengaruhi oleh peran ihsan.
Dalam arti kata, bahwa ihsan menjadi hal penting dalam memberikan
87
peran positif bersama iman dan Islam mewujud menjadi pribadi
muslim yang bertaqwa. Dimana TAQWA merupakan puncak
kepribadian muslim sejati.
Kata “Wiqayah”, yang darinya kata TAQWA berasal, berarti
“MENGAWAL”, dan diterapkan dalam arti pengawalan atau
penjagaan terhadap sesuatu yang terekspos pada bahanya dan
kerusakan. Ini makna harfiah dari WIQAYAH. TAQWA yang berarti
bentuk masdar dari ittiqa, mengandung arti yang sama. Tetapi,
TAQWA (takwa) sebagai konsep moral mengandung suatu butir
khusus, yakni bahwa manusia sebagai hasil beberapa prilaku, merasa
bahwa kesempurnaan dan kesucian jiwanya dan nilai dari wujudnya
terancam bahaya.
Menurut Muhammad Taqi Misbah (1996: 121), kata TAQWA
tersebut di atas mengandung dua butir mendasar yang memisah kan
TAQWA MORAL dari pengertian-pengertian lainnya. Pertama,
bahwa yang dalam bahaya adalah jiwa manusia, bukan jasmaninya,
dan kedua bahwa yang bahaya itu mengancam perilakunya, bukan
perilaku orang lain dan bukan pula even alami. Jadi, seharusnyalah
manusia berperilaku sedemikian rupa sehingga jiwanya tetap terjaga
dan tidak terpolusi, tidak jatuh dalam segi nilai, tidak merosot, dan
tidak tertimpa azab yang kekal.
Namun demikian, taqwa tetap tidak terlepas dari tiga kunci di
atas, yaitu paduan iman, Islam, dan ihsan yang meliputi lahir dan
batin. Itulah yang dimaksud oleh lafadz Ad-Din atau dinul Islam,
yaitu agama yang hanya mempertuhankan Allah Yang Maha Esa,
dan mengajarkan satu-satunya jalan penyerahan total kepada-Nya,
yaitu melalui hukum-hukum-Nya sendiri. Karena itu, agama yang
diakui oleh Allah hanyalah agama Islam.
Jadi, Islam pertama-tama adalah suatu keyakinan, suatu iman,
seperti dicontohkan pada pengalaman Ibrahim, seorang yang disebut,
bukan seorang penganut agama Yahudi atau penganut agama
Nasrani, melainkan seorang yang tulus dan cenderung pada
kebenaran (hanif), dan seorang yang menundukkan diri pada Allah
(Muslim) untuk melaksanakan segala perintah dan larangan-
larangan-Nya untuk dilaksanakan dalam segala aspek kehidupan
(Islam).
88
Hal yang sama pula, dicontohkan Rasulullah Muhammad SAW
dalam mengamalkan ”Islam” pada kehidupan diri, keluarga dan
masyarakatnya. Dimana dalam diri Muhammad SAW terdapat suri-
tauladan yang baik menjadi Muhsin, ketika membangun bisnis
melalui perdagangan patut di-contoh dan saat memimpin patut
digugu dan ditiru. Berikut ilustrasi Islam dalam trilogi ad-dien pada
gambar 4.4.
89
secara sempurna sekaligus, tanpa dipisah-pisahkan satu dengan
lainnya.
Muhammad SAW, sebagai utusan (Rasul dan Nabi-Nya) juga
mengajar kan seluruh apa yang diterima tanpa disembunyikan
sedikitpun kepada umat manusia. Sedang, alam dunia sebagai tempat
berpijak dan dihuni oleh makhluk Allah SWT telah difasilitasi
berbagai asesoris dan aneka ragam sarana dan pra sarana penunjang
untuk bekal agar ajaran-Nya tetap terjaga dan dipelihara oleh
manusia. Maka, manusia yang mampu menjaga dan memelihara
ajaran agama, Iman, Islam dan Ihsan diberi predikat muttaqin,
manusia bertaqwa. Suatu posisi puncak yang imbalannya adalah
Syurga.
90
Dalam kapitalisme laissez faire (laisez faire capitalisme) yang tekenal
dengan slogannya “Jangan ikut campur, dunia akan memelihara- nya sendiri”
itu pun tidak terdapat gagasan yang orisinal tentang keadilan social
yang dapat dicapai melalui usaha yang sadar, sementara dalam
kapitalisme campuran cikal bakal dari keadilan sosial itu terletak pada
tekanan-tekanan kelas-kelas dalam masyarakat dan tidak terletak pada
keyakinan yang orisinal mengenai adanya persaudaraan di antara
sesama manusia. (John L. Esposito, Modern Islamic World, (New York:
Oxford University Press, 1995: 421)
Kapitalisme, dalam bentuk klasiknya laissez faire, telah menghilang
dari per edaran. Ia telah dimodifikasi selama berabad-abad yang telah
lewat. Pemerintah telah ikut campur tangan secara ekstensif untuk
memperbaiki dan menutup beberapa kekurangannya, setidaknya
sebagian dari, beberapa dampak kerugian atas modal (equity).
Pandangan dunia kapitalisme ini sangat dipengaruhi oleh gerakan
Enlightenment (Pencerahan) yang merentang selama lebih kurang dua
abad, dari awal abad ke-17, sampai permulaan abad ke-19. Enlighten-
ment, sebuah istilah yang seringkali digunakan secara bergantian dengan
the Age of Reason (Era Akal), adalah sebuah bentuk ekstrim “suatu
penolakan, dan dalam beberapa hal suatu antitesis, terhadap banyak keyakinan
Kristen”.
Semangat kapitalisme ketika itu langsung mendapat sambutan
dari sekte-sekte lain, terutama sekte puritanisme-Calvinisme yang melihat
kerja sebagai Beruf atau panggilan. Dengan kecenderungan yang bersifat
anti-otoriter, sekte-sekte tersebut memberi tekanan yang lebih besar
pada individualisme, pada kemampuan pribadi untuk memilih. Sebab
kerja, menurutnya, tidaklah sekedar pemenuhan keperluan, tetapi suatu
tugas yang suci, (Taufik Abdullah, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan
Ekonomi. Jakarta: LP3ES, 1979: 9). Demikian lah yang melahirkan
semangat kapitalisme terhadap sikap gereja yang lebih mementingkan
kaum feodal.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semangat kapitalisme
yang telah dijadikan motto perjuangan melahirkan beberapa ciri utama
kapitalisme, yaitu sebagai berikut:
1. ia menganggap ekspansi kekayaan yang dipercepat, produksi
maksimum dan pemuasan “keinginan” sesuai dengan preferensi
91
individu sebagai sesuatu yang sangat penting untuk kesejahteraan
manusia;
2. ia menganggap kebebasan individu tanpa batas untuk mencari
kekayaan pribadi dan untuk memiliki dan mengatur kepemilikan
pribadi (private property) sebagai sebuah keharusan bagi inisiatif
individu;
3. ia mengasumsikan inisiatif individu bersama dengan pengambilan
keputusan yang terdesentralisasi dalam operasi pasar bebas sebagai
syarat yang mencukupi untuk mewujudkan efisiensi optimum
pengalokasian sumber daya;
4. ia tidak mengakui perlunya peranan penting pemerintah atau per-
timbangan-pertimbangan nilai kolektif baik dalam efisiensi alokasi
maupun keadilan distribusi; dan
5. ia mengklaim bahwa pemenuhan kepentingan pribadi oleh semua
individu juga akan secara otomatis memenuhi kepentingan social
bersama.
92
Munculnya Sosialisme dengan bentuk yang kuat adalah akibat
kezaliman yang diderita oleh masyarakat karena sistem ekonomi
Kapitalis serta berbagai kekeliruan yang terjadi di dalamnya.
Menurut Abdurrahman al-Maliki, pada paruh pertama abad 19,
pemikiran-pemikiran sosialis ini hanya merupakan pemikiran-
pemikiran yang berbentuk ide-ide konseptual (abhats fikriyah), dan
tampak di dalam publikasi-publikasi terbatas seperti risalah-risalah
(makalah) dan beberapa tulisan di media masa. Meskipun telah ada
partai-partai yang memperbincangkannya (partai-partai sosialis), namun
ia tidak memiliki peranan efektif dalam mempengaruhi masa dan dalam
mengancam sistem pemerintahan dan sistem kehidupan.
Tetapi pada paruh kedua abad sembilan belas, ide sosialisme
berubah menjadi gerakan politik dengan mulai melakukan upaya-upaya
membangun kekuatan melalui beberapa partai yang berjuang
mengambil alih kekuasaan melalui beberapa partai yang berjuang
mengambil alih kekuasaan untuk menerapkan sosialisme. Partai-partai
ini telah berdiri secara riil di Rusia dan beberapa negara Eropa. Mereka
menerbitkan surat-surat kabar, mengadakan konferensi-konferensi,
melakukan gerakan-gerakan perjuangan, dan melakukan kampanye-
kampanye sosialisme, sehingga ide-ide sosialisme hampir-hampir di
terima di seluruh wilayah Eropa.
Taqyuddin an-Nabhani mencatat ada tiga prinsip pada aliran
Sosialis yang berbeda dengan aliran-aliran ekonomi sebelumnya:
1. Mewujudkan kesamaan (equality) secara riil.
2. Menghapus pemilikan individu (private property) secara keseluruhan
atau sebagaimana.
3. Mengatur produksi dan distribusi secara kolektif.
93
dengan “Kesamaan Syuyu’iyah”. Yang dimaksud dengan “Kesamaan
Syuyu’iyah” adalah, bahwa pembagian kerja harus dilakukan menurut
kemampuan tiap orang sementara pembagian hasilnya harus dilakukan
menurut kebutuhan masing-masing.
Sebagian yang lain menyatakan kesamaan dalam masalah factor-
faktor produksi, dilihat dari segi bahwa benda-benda tersebut kenyata-
annya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tiap orang.
Sehingga dapat dikatakan bahwa “masing-masing sesuai dengan
kemampuannya atau kesanggupannya, dan masing-masing sesuai
dengan aktivitasnya.” Kesamaan tersebut benar-benar akan mewujud-
kan kalau tiap orang dibekali dengan factor-faktor produksi yang sama
dengan orang lain.
Kedua, aliran-aliran sosialis, dilihat dari segi standar penghapusan
pemilikan individu (private property), juga berbeda. Ada yang menyata-
kan bahwa pemilikan individu harus dihapus sama sekali. Aliran ini
disebut dengan aliran Komunis. Sedangkan kelompok lain berpendapat
bahwa pemilikan individu yang berhubungan dengan barang-barang
produktif, atau yang disebut dengan sebutan capital, itulah yang harus
dihapus, seperti tanah, industri, rel, jalan, pertambangan dan
sebagainya.
Artinya dilarang memiliki setiap barang yang bisa menghasilkan
sesuatu yang lain (faktor-faktor produksi). Sehingga, tidak boleh mem-
punyai rumah untuk disewakan, termasuk tidak boleh mempunyai
pabrik, tanah dan sebagainya. Meski pun mereka menolerir pemilikan
individu terhadap barang-barang konsumtif, mereka boleh memiliki apa
saja yang bisa dikonsumsi. Jadi, mereka boleh me-miliki rumah untuk
tempat tinggal dan memiliki apa saja yang bisa dihasilkan oleh tanah
dan industri. Inilah aliran Sosialis Kapitalis.
Sementara aliran lain tidak mengatakan tentang penghapusan
pemilikan khusus, kecuali yang berhubungan dengan tanah pertanian,
bukan yang lain. Aliran tersebut dinamakan Sosialis Pertanian. Ada juga
yang mengatakan: “Harus dikaji setiap kondisi yang di dalamnya terdapat
kemaslahatan umum yang menganjurkan perubahan status milik khusus
menjadi milik umum, ter-masuk membatasi aktivitas para pemilik dalam banyak
hal, agar penguasa membuat batasan yang tertinggi untuk sewa dan batas
terendah untuk upah. Semen-tara para pekerja dibiarkan memperoleh modal dan
94
sebagainya.“ Inilah yang kemudian disebut dengan aliran Sosialis Negara
(State Socialism).
Ketiga, aliran-aliran Sosialis berbeda-beda dalam menentukan
sarana yang dikatakan sebagai alat untuk mewujudkan tujuan-tujuan
mereka. Aliran Naqabiyah Tsauriyah bertolak pada kebebasan para
pekerja, dan usaha yang bersifat dengan kerja langsung, yaitu tenaga
para pekerja itu sendiri, seperti memper-banyak kerja, merusak alat-alat,
menyebarkan etos kerja secara umum di kalangan pekerja, serta
persiapan untuk merealisasikannya sampai pada suatu saat yang me-
mungkinkan mereka untuk mewujudkan tuntutan-tuntutan mereka.
Pada akhirnya gerakan ekonomi berhenti, sehingga sistem ekonomi
(kapitalisme) runtuh seperti sekarang ini.
Keempat, aliran-aliran Sosialis juga berbeda-beda dalam meman-
dang lembaga yang akan mengendalikan proyek-proyek dalam system
Sosialis. Sebagai contoh, para penganut Sosialisme Kapitalis menghen-
daki agar pengaturan produksi dan distribusi diserahkan kepada negara.
Sementara pada saat yang sama, penganut Naqabiyah menghendaki
agar pengaturan tersebut diserahkan kepada sekelompok pekerja yang
terorganisir, di bawah komando pimpinan-pimpinan mereka.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sistem kapitalisme
berangkat dari kepentingan perorangan (selfishness) dan sosialisme
berangkat dari kepentingan kolektif (collectivism). Dengan ekonomi
berdasarkan etika itu agama tidak menjadi alat bagi suatu kepentingan.
Tugas umat ialah memikirkan bahwa agamanya menghendaki sebuah
ethical economy tetapi tetap tanggap kepada kepentingan-kepentingan
yang nyata.
Mengenai etika Islam dalam ekonomi Syed Nawab Haider Naqwi
dalam Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sintesis Islam yang dikutip Kunto,
bahwa empat aksioma etika, yaitu tauhid, keseimbangan, kehendak bebas,
dan pertanggungjawaban. Keempat aksioma itu selaras dengan tetralogi
yang dikembangkan di atas merupakan kunci utama dalam al-Qur’an,
yaitu iman, Islam, ihsan dan taqwa.
Pertama, etika tauhid mempunyai dua tujuan (1) mengukuhkan
bahwa manusia adalah makhluk teomorfik, dan (2) mengukuhkan
fungsi integrative dari tauhid. Manusia adalah makhluk teomorfik berarti
95
bahwa manusia adalah makhluk Ilahiah, sehingga manusia harus bisa
meniru akhlak Tuhan sebagaimana tersebut dimuka. Tauhid juga berarti
integrasi manusia, manusia itu merupakan sebuah kesatuan, satu
dengan lainnya tak terpisahkan. Ini berarti bahwa kolektivitas itu diakui
adanya Islam.
Kedua, etika keseimbangan adalah dimensi horisontal antar
manusia, sebagai tambahan al-‘adl (berbuat adil) yang merupakan
dimensi vertikal (karena adil hanya mungkin dikerjakan oleh yang kuat
terhadap yang lemah). Keseimbangan berarti tidak berlebih-lebihan
dalam mengejar kepentingan ekonomi. Dalam surah al-A’raf (7): 31
disebutkan: Makan dan minimulah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Selfishness yang tak terbatas dilarang oleh Islam, untuk itu masyarakat
lah yang menentukan kriteria “berlebih-lebihan” itu.
Ketiga, etika kehendak bebas. Manusia sebagai individu dan
kolektivitas mempunyai kebebasan penuh untuk menentukan nasibnya
sendiri. Dalam ekonomi berarti ada kebebasan penuh untuk meng-
aplikasikan kaidah-kaidah Islam. Karena kegiatan ekonomi bukanlah
ibadah, tetapi muamalah, maka kaidahnya adalah semua boleh, kecuali yang
dilarang. Yang dilarang dalam Islam adalah ketakadilan dan riba.
Keempat, pertanggungjawaban. Terdiri dari dua, yaitu amanah
(melaksanakan tanggungjawab) dan accountability (diperhitungkan).
Dalam surah al-Qur’an, al-Ma’arij (70): 32 disebutkan, “dan orang-orang
yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janji-janjinya.
Selanjutnya dikatakan (ayat 35) bahwa mereka itu kekal di surga lagi
dimuliakan. Kekayaan adalah amanah Tuhan, yang harus dipertang-
gungjawabkan penggunaannya. Mengenai accountability, dalam Surah
an-Nisa (4): 86 disebutkan, Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala
sesuatu.
Oleh karena itu etika Islam yang mewarnai sistem ekonomi Islam
bermaksud menjelaskan bahwa Islam sebagai way of life merupakan
bentuk ibadah. Se-hingga tak seorangpun boleh menganggap bahwa
Islam hanya terfokus pada aspek ritualitas keagamaan, tanpa aspek
social-ekonomi yang melingkupinya. Ekonomi Islam dengan etikanya
bermaksud untuk mengejawantah dari aspek materi dan immateri, yaitu
kehidupan duniawi dan uhrawi.
96
BAB V
ETIKA BISNIS PERSPEKTIF ISLAM
97
dunia yang “dibisniskan” (diniatkan sebagai ibadah) untuk meraih
keuntungan atau pahala akhirat. Statemen ini secara tegas di sebut
dalam salah satu ayat Al-Qur’an.
“Wahai Orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan pada
suatu perniagaan (bisnis) yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab
pedih? yaitu beriman kepada Allah & Rasul-Nya dan berjihad di jalan
Allah dengan jiwa dan hartamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui”.
Di sebagian masyarakat kita, seringkali terjadi interpretasi yang
keliru terhadap teks al-Qur’an tersebut, sekilas nilai Islam ini seolah
menundukkan urusan duniawi kepada akhirat sehingga mendorong
komunitas muslim untuk berorientasi akhirat dan mengabaikan jatah
dunianya, pandangan ini tentu saja keliru.
Dalam konsep Islam, sebenarnya Allah telah menjamin bahwa
orang yang bekerja keras mencari jatah dunianya dengan tetap
mengindahkan kaidah-kaidah akhirat untuk memperoleh kemenangan
duniawi, maka ia tercatat sebagai hamba Tuhan dengan memiliki
keseimbangan tinggi. Sinyalemen ini pernah menjadi kajian serius dari
salah seorang tokoh Islam seperti Ibnu Arabi, dalam sebuah per-
nyataannya.
“Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat,
Injil dan Al-Qur’an yang diterapkan kepada mereka dari Tuhannya,
niscaya mereka akan mendapat makna dari atas mereka (akhirat) dan dari
bawah kaki mereka (dunia).”
Logika Ibn Arabi itu, setidaknya mendapatkan penguatan baik
dari hadits maupun dunia ekonomi, sebagaimana Nabi SAW bersabda:
“Barangsiapa yang menginginkan dunia, maka hendaknya dia berilmu, dan
barangsiapa yang menginginkan akhirat maka hendaknya dia berilmu, dan
barangsiapa yang menghendaki keduanya maka hendak-nya dia berilmu.”
Pernyataan Nabi tersebut mengisyaratkan dan mengafirmasikan
bahwa disamping persoalan etika yang menjadi tumpuan kesuksesan
dalam bisnis juga ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu skill
dan pengetahuan tentang etika itu sendiri. Gagal mengetahui penge-
tahuan tentang etika maupun prosedur bisnis yang benar secara Islam
maka akan gagal memperoleh tujuan. Jika ilmu yang dibangun untuk
mendapat kebahagiaan akhirat juga harus berbasis etika, maka dengan
98
sendirinya ilmu yang dibangun untuk duniapun harus berbasis etika.
Ilmu dan etika yang dimiliki oleh sipapun dalam melakukan aktivitas
apapun (termasuk bisnis) maka ia akan mendapatkan kebahagiaan
dunia dan akhirat sekaligus.
Dari sudut pandang dunia bisnis kasus Jepang setidaknya telah
membuktikan keyakinan ini, bahwa motivasi prilaku ekonomi yang
memiliki tujuan lebih besar dan tinggi (kesetiaan pada norma dan nilai
etika yang baik) ketimbang bisnis semata, ternyata telah mampu meng-
ungguli pencapaian ekonomi Barat (seperti Amerika) yang hampir
semata-mata didasarkan pada kepentingan diri dan materialisme serta
menafikan aspek spiritualisme.
Jika fakta empiris ini masih bisa diperdebatkan dalam penafsiran
nya, kita bisa mendapatkan bukti lain dari logika ekonomi lain di negara
China, dalam sebuah penelitian yang dilakukan pengamat Islam, bahwa
tidak semua pengusaha China perantauan mempunyai hubungan
pribadi dengan pejabat pemerintah yang berpeluang KKN, pada
kenyataannya ini malah mendorong mereka untuk bekerja lebih keras
lagi untuk menjalankan bisnisnya secara professional dan etis, sebab tak
ada yang bisa diharapkan kecuali dengan itu, itulah sebabnya barangkali
kenapa perusahaan-perusahaan besar yang dahulunya tidak punya skill
(kemampuan) khusus, kini memiliki kekuatan manajemen dan prospek
yang lebih tangguh dengan dasar komitmen pada akar etika yang
dibangunnya.
Demikianlah, satu ilustrasi komperatif tentang prinsip moral Islam
yang didasarkan pada keimanan kepada akhirat, yang diharap-kan
dapat mendorong perilaku positif di dunia, anggaplah ini sebagai
prinsip atau filsafat moral Islam yang bersifat eskatologis, lalu per-
tanyaan lebih lanjut apakah ada falsafah moral Islam yang diharapkan
dapat mencegah prilaku curang muslim, jelas ada, Al-Qur’an sebagai-
mana Adam Smith mengkaitkan sistem ekonomi pasar bebas dengan
“hukum Kodrat tentang tatanan kosmis yang harmonis”.
Mengaitkan kecurangan mengurangi timbangan dengan kerusa-
kan tatanan kosmis, Firman-Nya: “Kami telah menciptakan langit dan bumi
dengan keseimbangan, maka janganlah mengurangi timbangan tadi.” Jadi bagi
Al-Qur’an curang dalam hal timbangan saja sudah dianggap sama
dengan merusak keseimbangan tatanan kosmis, Apalagi dengan
99
mendzhalimi atau membunuh orang lain merampas hak kemanusiaan
orang lain dalam sektor ekonomi). Firman Allah: “jangan lah kamu
membunuh jiwa, barangsiapa membunuh satu jiwa maka seolah dia membunuh
semua manusia (kemanusiaan)”. Sekali lagi anggaplah ini sebagai falsafah
moral Islam jenis kedua yang didasarkan pada tatanan kosmis alam.
Mungkin kata hukum kodrat atau tatanan kosmis itu terkesan
bersifat metafisik, suatu yang sifatnya debatable, tapi bukankah logika
ilmu ekonomi tentang teori keseimbanganpun sebenarnya mengimpli-
kasikan akan niscayanya sebuah “keseimbangan” (apapun bentuknya bagi
kehidupan ini), Seringkali ada anggapan bahwa jika sekedar berlaku
curang di pasar tidak turut merusak keseimbangan alam, karena hal itu
dianggap sepele, tetapi jika itu telah berlaku umum dan lumrah dimana-
mana dan lama kelamaan berubah menjadi semacam norma juga, maka
jelas kelumrahan perilaku orang itu akan merusak alam, apa lagi jika
yang terlibat adalah orang-orang yang punya peran tanggung jawab
yang amat luas menyangkut nasib hidup banyak orang dan juga alam
keseluruhan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam kehidupan ini setiap
manusia memang seringkali mengalami ketegangan atau dilema etis
antara harus memilih keputusan etis dan keputusan bisnis sempit
semata sesuai dengan lingkup dan peran tanggung-jawabnya, tetapi jika
kita percaya Sabda Nabi SAW, atau logika ekonomi di atas, maka per-
cayalah, jika kita memilih keputusan etis maka pada hakikatnya kita
juga sedang meraih bisnis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
prinsip utama yang ditentukan Islam dalam etika bisnis adalah bahwa
transaksi dalam bisnis harus dilakukan secara sah dan tidak berten-
tangan dengan hukum. Memang berbisnis merupakan pekerjaan yang
sangat menggiurkan dan pebisnis selalu dibuai oleh usaha men-cari
keuntungan. Namun Rasulullah telah mewanti-wanti kepada para
pedagang (pebisnis) bahwa mereka jangan sampai berbuat dusta. (H.R.
Tabrani)
Bahkan beliau mengatakan bahwa pada hari kiamat para pebisnis
(pedagang) dibangkitkan oleh Allah sebagai orang yang durhaka,
kecuali pedagang yang jujur, baik, dan takut kepada Allah. (H.R.
Turmudzi, Ibnu Majah, dan al-Hakim). Di samping itu, Nabi juga
100
melarang para pedagang selalu bersumpah. Karena perilaku demikian
akan mengakibatkan pada siksaan baginya di akhirat kelak.
ﺐ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻜ ْﻢ
ْ ﺴ ًﻤّﻰ ﻓَﺎ ْآ ُﺘﺒُﻮ ُﻩ َو ْﻟ َﻴ ْﻜ ُﺘ َ ﻞ ُﻣ ٍﺟ َ ﻦ ِإﻟَﻰ َأ ٍ ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا ِإذَا َﺗﺪَا َﻳ ْﻨ ُﺘ ْﻢ ِﺑ َﺪ ْﻳ َ ﻳَﺎ َأُّﻳﻬَﺎ اَّﻟﺬِﻳ
ﻞ اَّﻟﺬِي ِ ﺐ َو ْﻟ ُﻴ ْﻤِﻠ ْ ﻋَﻠّ َﻤ ُﻪ اﻟَّﻠ ُﻪ َﻓ ْﻠ َﻴ ْﻜُﺘَ ﺐ َآﻤَﺎ َ ن َﻳ ْﻜ ُﺘ ْ ﺐ َأ ٌ ب آَﺎ ِﺗ َ ل وَﻻ َﻳ ْﺄ ِ ﺐ ﺑِﺎ ْﻟ َﻌ ْﺪ
ٌ آَﺎ ِﺗ
ﻖ
ُّ ﺤ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ا ْﻟَ ن اَّﻟﺬِي َ ن آَﺎ ْ ﺷ ْﻴﺌًﺎ َﻓِﺈ َ ﺲ ِﻣ ْﻨ ُﻪ ْ ﺨ َ ﻖ اﻟَّﻠ َﻪ َر َﺑّ ُﻪ وَﻻ َﻳ ْﺒ ِ ﻖ َو ْﻟ َﻴ َّﺘ ُّ ﺤَ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ا ْﻟَ
ﺸ ِﻬﺪُوا ْ ﺳ َﺘ
ْ ل وَا ِ ﻞ َوِﻟُّﻴ ُﻪ ﺑِﺎ ْﻟ َﻌ ْﺪْ ﻞ ُه َﻮ َﻓ ْﻠ ُﻴ ْﻤِﻠ َّ ن ُﻳ ِﻤْ ﺴ َﺘﻄِﻴ ُﻊ َأ ْ ﺿﻌِﻴﻔًﺎ َأ ْو ﻻ َﻳ َ ﺳﻔِﻴﻬًﺎ َأ ْو َ
ﻦ
َ ن ِﻣ َ ﺿ ْﻮ َ ﻦ َﺗ ْﺮ ْ ن ِﻣ َّﻤ ِ ﻞ وَا ْﻣ َﺮَأﺗَﺎ ٌﺟ ُ ﻦ َﻓ َﺮ ِ ﺟَﻠ ْﻴ
ُ ن َﻟ ْﻢ َﻳﻜُﻮﻧَﺎ َر ْ ﻦ ِرﺟَﺎِﻟ ُﻜ ْﻢ َﻓِﺈ ْ ﻦ ِﻣ ِ ﺷﻬِﻴ َﺪ ْﻳ َ
ﺸ َﻬﺪَا ُء ِإذَا ﻣَﺎ ُّ ب اﻟ َ ﺧﺮَى وَﻻ َﻳ ْﺄ ْ ﺡﺪَا ُهﻤَﺎ اﻷ ْ ﺡﺪَا ُهﻤَﺎ َﻓ ُﺘ َﺬ ِّآ َﺮ ِإ ْ ﻞ ِإ َّ ﻀ
ِ ن َﺗ ْ ﺸ َﻬﺪَا ِء َأ ُّ اﻟ
ﻋ ْﻨ َﺪ اﻟَّﻠ ِﻪ ِ ﻂُﺴ َ ﺟِﻠ ِﻪ َذِﻟ ُﻜ ْﻢ َأ ْﻗ َ ﺹﻐِﻴﺮًا َأ ْو َآﺒِﻴﺮًا ِإﻟَﻰ َأ َ ن َﺗ ْﻜ ُﺘﺒُﻮ ُﻩ ْ ﺴَﺄﻣُﻮا َأ ْ ُدﻋُﻮا وَﻻ َﺗ
ﺿ َﺮ ًة ُﺗﺪِﻳﺮُو َﻧﻬَﺎ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻜ ْﻢ ِ ن ِﺗﺠَﺎ َر ًة ﺡَﺎ َ ن َﺗﻜُﻮ ْ ﺸﻬَﺎ َد ِة َوَأ ْدﻧَﻰ أَﻻ َﺗ ْﺮﺗَﺎﺑُﻮا إِﻻ َأ َّ َوَأ ْﻗ َﻮ ُم ﻟِﻠ
ﺐ وَﻻ ٌ ﺷ ِﻬﺪُوا ِإذَا َﺗﺒَﺎ َﻳ ْﻌ ُﺘ ْﻢ وَﻻ ُﻳﻀَﺎ َرّ آَﺎ ِﺗ ْ ح أَﻻ َﺗ ْﻜ ُﺘﺒُﻮهَﺎ َوَأ ٌ ﺟﻨَﺎ ُ ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ َ ﺲ َ َﻓَﻠ ْﻴ
101
ﻲ ٍء
ْ ﺷ
َ ﻞ
ِّ ق ِﺑ ُﻜ ْﻢ وَا َّﺗﻘُﻮا اﻟَّﻠ َﻪ َو ُﻳ َﻌِﻠّ ُﻤ ُﻜ ُﻢ اﻟَّﻠ ُﻪ وَاﻟَّﻠ ُﻪ ِﺑ ُﻜ
ٌ ن َﺗ ْﻔ َﻌﻠُﻮا َﻓِﺈ َﻧّ ُﻪ ُﻓﺴُﻮ
ْ ﺷﻬِﻴ ٌﺪ َوِإ َ
ﻋﻠِﻴ ٌﻢ
َ
ﻦ
ْﻋَ ن ِﺗﺠَﺎ َر ًة
َ ن َﺗﻜُﻮ
ْ ﻞ إِﻻ َأِﻃِ ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا ﻻ َﺗ ْﺄ ُآﻠُﻮا َأ ْﻣﻮَاَﻟ ُﻜ ْﻢ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻜ ْﻢ ﺑِﺎ ْﻟﺒَﺎ َ ﻳَﺎ َأُّﻳﻬَﺎ اَّﻟﺬِﻳ
ن ِﺑ ُﻜ ْﻢ َرﺡِﻴﻤًﺎ
َ ن اﻟَّﻠ َﻪ آَﺎ َّ ﺴ ُﻜ ْﻢ ِإ
َ ض ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ وَﻻ َﺗ ْﻘ ُﺘﻠُﻮا َأ ْﻧ ُﻔ
ٍ َﺗﺮَا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
102
membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu. (Q.S. 4: 29)
ل
ٌ ﻋﺸِﻴ َﺮ ُﺗ ُﻜ ْﻢ َوَأ ْﻣﻮَا َ ﺟ ُﻜ ْﻢ َو
ُ ﺧﻮَا ُﻧ ُﻜ ْﻢ َوَأ ْزوَا
ْ ن ﺁﺑَﺎ ُؤ ُآ ْﻢ َوَأ ْﺑﻨَﺎ ُؤ ُآ ْﻢ َوِإ
َ ن آَﺎ ْ ﻞ ِإ ْ ُﻗ
ﻦ اﻟَّﻠ ِﻪ
َ ﺐ ِإَﻟ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ِﻣ
َّ ﺡ
َ ﺿ ْﻮ َﻧﻬَﺎ َأ
َ ﻦ َﺗ ْﺮ ُ ن َآﺴَﺎ َدهَﺎ َو َﻣﺴَﺎ ِآ َ ﺸ ْﻮ َﺨ ْ ا ْﻗ َﺘ َﺮ ْﻓ ُﺘﻤُﻮهَﺎ َو ِﺗﺠَﺎ َر ٌة َﺗ
ﻲ اﻟَّﻠ ُﻪ ِﺑَﺄ ْﻣ ِﺮ ِﻩ وَاﻟَّﻠ ُﻪ ﻻ َﻳ ْﻬﺪِي
َ ﺡ َﺘّﻰ َﻳ ْﺄ ِﺗ
َ ﺳﺒِﻴِﻠ ِﻪ َﻓ َﺘ َﺮَّﺑﺼُﻮا َ ﺟﻬَﺎ ٍد ﻓِﻲ ِ َو َرﺳُﻮِﻟ ِﻪ َو
ﻦ
َ ﺳﻘِﻴِ ا ْﻟ َﻘ ْﻮ َم ا ْﻟﻔَﺎ
Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri,
kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang
kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang
kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan
(dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggu lah sampai Allah mendatangkan
ke-putusan-Nya." Dan Allah tidak memberi pe-tunjuk kepada orang-orang
fasik.”
103
6. Al-Qur’an, surat al-Shaf [61], ayat 10 dan 11. Allah berfirman:
ب َأﻟِﻴ ٍﻢ
ٍ ﻋﺬَا
َ ﻦ
ْ ﻋﻠَﻰ ِﺗﺠَﺎ َر ٍة ُﺗ ْﻨﺠِﻴ ُﻜ ْﻢ ِﻣ
َ ﻞ َأ ُدُّﻟ ُﻜ ْﻢ
ْ ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا َه
َ ﻳَﺎ َأُّﻳﻬَﺎ اَّﻟﺬِﻳ
Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu
perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?” (Q.S.
61: 10)
ﺧ ْﻴ ٌﺮ
َ ﺴ ُﻜ ْﻢ َذِﻟ ُﻜ ْﻢ
ِ ﻞ اﻟَّﻠ ِﻪ ِﺑَﺄ ْﻣﻮَاِﻟ ُﻜ ْﻢ َوَأ ْﻧ ُﻔ
ِ ﺳﺒِﻴ
َ ن ﻓِﻲ
َ ن ﺑِﺎﻟَّﻠ ِﻪ َو َرﺳُﻮِﻟ ِﻪ َو ُﺗﺠَﺎ ِهﺪُو َ ُﺗ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ
ن
َ ن ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ َﺗ ْﻌَﻠﻤُﻮ
ْ َﻟ ُﻜ ْﻢ ِإ
“(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan
Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika
kamu mengetahuinya,” (Q.S. 61: 11)
ﺧ ْﻴ ٌﺮ
َ ﻋ ْﻨ َﺪ اﻟَّﻠ ِﻪ
ِ ﻞ ﻣَﺎ
ْ ك ﻗَﺎ ِﺉﻤًﺎ ُﻗ
َ ﻀّﻮا ِإَﻟ ْﻴﻬَﺎ َو َﺗ َﺮآُﻮ
ُ َوِإذَا َرَأوْا ِﺗﺠَﺎ َر ًة َأ ْو َﻟ ْﻬﻮًا ا ْﻧ َﻔ
ﻦ
َ ﺧ ْﻴ ُﺮ اﻟ َﺮّا ِزﻗِﻴ
َ ﻦ اﻟِّﺘﺠَﺎ َر ِة وَاﻟَّﻠ ُﻪ َ ﻦ اﻟَّﻠ ْﻬ ِﻮ َو ِﻣ
َ ِﻣ
Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar
untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri
(berkhutbah). Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dari
pada permainan dan perniagaan", dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezeki.”
Sementara itu, dengan memakai kata bay’ (jual beli), terdapat pada
lima ayat, yakni:
1. Al-Qur’an, surat al-Baqarah (2), ayat 245 dan 275. Allah berfirman:
ﺾ
ُ ﺿﻌَﺎﻓًﺎ َآﺜِﻴ َﺮ ًة وَاﻟَّﻠ ُﻪ َﻳ ْﻘ ِﺒ
ْ ﻋ َﻔ ُﻪ َﻟ ُﻪ َأ
ِ ﺴﻨًﺎ َﻓ ُﻴﻀَﺎ
َﺡَ ض اﻟَّﻠ َﻪ َﻗ ْﺮﺿًﺎ
ُ ﻦ ذَا اَّﻟﺬِي ُﻳ ْﻘ ِﺮ ْ َﻣ
ن
َ ﺟﻌُﻮ َ ﻂ َوِإَﻟ ْﻴ ِﻪ ُﺗ ْﺮ
ُﺴُ َو َﻳ ْﺒ
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah
menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan.
104
Dalam surat al-Baqarah, ayat 275 disebutkan:
ﺲ
ِّ ﻦ ا ْﻟ َﻤَ ن ِﻣ ُ ﺸ ْﻴﻄَﺎَّ ﻄ ُﻪ اﻟُ ّﺨ َﺒ
َ ن إِﻻ َآﻤَﺎ َﻳﻘُﻮ ُم اَّﻟﺬِي َﻳ َﺘ َ ن اﻟ ِّﺮﺑَﺎ ﻻ َﻳﻘُﻮﻣُﻮ َ ﻦ َﻳ ْﺄ ُآﻠُﻮ َ اَّﻟﺬِﻳ
ﻦ ﺟَﺎ َء ُﻩ
ْ ﺡ َّﺮ َم اﻟ ِّﺮﺑَﺎ َﻓ َﻤ
َ ﻞ اﻟَّﻠ ُﻪ ا ْﻟ َﺒ ْﻴ َﻊ َو
َّ ﺡ
َ ﻞ اﻟ ِّﺮﺑَﺎ َوَأ
ُ ﻚ ِﺑَﺄَّﻧ ُﻬ ْﻢ ﻗَﺎﻟُﻮا ِإَّﻧﻤَﺎ ا ْﻟ َﺒ ْﻴ ُﻊ ِﻣ ْﺜَ َذِﻟ
ﻚ
َ ﻦ ﻋَﺎ َد َﻓﺄُوَﻟ ِﺌْ ﻒ َوَأ ْﻣ ُﺮ ُﻩ ِإﻟَﻰ اﻟَّﻠ ِﻪ َو َﻣ َ ﺳَﻠ َ ﻦ َرِّﺑ ِﻪ ﻓَﺎ ْﻧ َﺘﻬَﻰ َﻓَﻠ ُﻪ ﻣَﺎ ْ ﻈ ٌﺔ ِﻣ َﻋ ِ َﻣ ْﻮ
ن
َ ب اﻟ َﻨّﺎ ِر ُه ْﻢ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺧَﺎِﻟﺪُو ُ ﺹﺤَﺎ ْ َأ
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu
terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang meng ulangi (mengambil riba), maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
ﻦ
ْ ﺳ ًﺮّا َوﻋَﻼ ِﻧ َﻴ ًﺔ ِﻣ
ِ ﺼّﻼ َة َو ُﻳ ْﻨ ِﻔﻘُﻮا ِﻣ َﻤّﺎ َر َز ْﻗﻨَﺎ ُه ْﻢ
َ ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا ُﻳﻘِﻴﻤُﻮا اﻟ
َ ي اَّﻟﺬِﻳَ ﻞ ِﻟ ِﻌﺒَﺎ ِدْ ُﻗ
ل
ٌ ﻲ َﻳ ْﻮ ٌم ﻻ َﺑ ْﻴ ٌﻊ ﻓِﻴ ِﻪ وَﻻ ﺧِﻼ
َ ن َﻳ ْﺄ ِﺗ
ْ ﻞ َأ
ِ َﻗ ْﺒ
105
Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: "Hendak-lah
mereka mendirikan salat, menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami
berikan kepada mereka secara sembunyi atau pun terang-terangan sebelum
datang hari (kiamat) yang pada hari itu tidak ada jual beli dan
persahabatan.”
ﻦ
ْ ﻀّﻮا ِﻣ ُ ﺐ ﻻ ْﻧ َﻔِ ﻆ ا ْﻟ َﻘ ْﻠ
َ ﻏﻠِﻴ
َ ﻈّﺎ
ً ﺖ َﻓ
َ ﺖ َﻟ ُﻬ ْﻢ َوَﻟ ْﻮ ُآ ْﻨ َ ﻦ اﻟَّﻠ ِﻪ ِﻟ ْﻨ
َ ﺡ َﻤ ٍﺔ ِﻣْ َﻓ ِﺒﻤَﺎ َر
ﻞ
ْ ﺖ َﻓ َﺘ َﻮ َّآ
َ ﻋ َﺰ ْﻣ
َ ﺳ َﺘ ْﻐ ِﻔ ْﺮ َﻟ ُﻬ ْﻢ َوﺷَﺎ ِو ْر ُه ْﻢ ﻓِﻲ اﻷ ْﻣ ِﺮ َﻓِﺈذَا ْ ﻋ ْﻨ ُﻬ ْﻢ وَاَ ﻒ ُ ﻋ ْ ﻚ ﻓَﺎ َ ﺡ ْﻮِﻟ
َ
ﻦ
َ ﺐ ا ْﻟ ُﻤ َﺘ َﻮ ِّآﻠِﻴ
ُّ ﺤ ِ ن اﻟَّﻠ َﻪ ُﻳ
َّ ﻋﻠَﻰ اﻟَّﻠ ِﻪ ِإ َ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusya-
warahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu
telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesung-
guhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya”
106
b. Pemberi maaf, lapang dada tidak mudah marah. Hal ini diterangkan
dalam surat al-Hijr, ayat 85:
ﻋ َﺔ ﻵ ِﺗ َﻴ ٌﺔ
َ ﺴّﺎ
َ ن اﻟ
َّ ﻖ َوِإ
ِّ ﺤ
َ ض َوﻣَﺎ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬﻤَﺎ إِﻻ ﺑِﺎ ْﻟ
َ ت وَاﻷ ْر
ِ ﺴﻤَﺎوَا َّ ﺧَﻠ ْﻘﻨَﺎ اﻟ
َ َوﻣَﺎ
ﻞ
َ ﺠﻤِﻴ
َ ﺢ ا ْﻟ
َ ﺼ ْﻔ
َّ ﺢ اﻟ ِ ﺹ َﻔ
ْ ﻓَﺎ
“Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di
antara keduanya, melainkan dengan benar. Dan sesungguhnya saat
(kiamat) itu pasti akan datang, maka maafkanlah (mereka) dengan cara
yang baik”
ﻦ
َ ﻦ ا ْﻟﺠَﺎ ِهﻠِﻴ
ِﻋَ ض
ْ ﻋ ِﺮ
ْ ف َوَأ
ِ ﺧ ِﺬ ا ْﻟ َﻌ ْﻔ َﻮ َو ْأ ُﻣ ْﺮ ﺑِﺎ ْﻟ ُﻌ ْﺮ
ُ
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf,
serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.”
س
ِ ﻦ اﻟ َﻨّﺎ
ِﻋ
َ ﻦ
َ ﻆ وَا ْﻟﻌَﺎﻓِﻴ
َ ﻦ ا ْﻟ َﻐ ْﻴ
َ ﻇﻤِﻴ
ِ ﻀ َﺮّا ِء وَا ْﻟﻜَﺎ
َّ ﺴ َﺮّا ِء وَاﻟ
َّ ن ﻓِﻲ اﻟ َ ﻦ ُﻳ ْﻨ ِﻔﻘُﻮ
َ اَّﻟﺬِﻳ
ﻦ
َ ﺴﻨِﻴ
ِﺤْ ﺐ ا ْﻟ ُﻤ
ُّ ﺤ
ِ وَاﻟَّﻠ ُﻪ ُﻳ
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu
lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya
dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan.”
107
c. Bersikaplah rendah hati dan tutur kata manis. Sebagaimana dalam
surat Luqman, ayat 18-19:
ﻞ
َّ ﺐ ُآ
ُّ ﺤ
ِ ن اﻟَّﻠ َﻪ ﻻ ُﻳ
َّ ض َﻣ َﺮﺡًﺎ ِإ
ِ ﺶ ﻓِﻲ اﻷ ْر
ِ س وَﻻ َﺗ ْﻤ
ِ ك ﻟِﻠ َﻨّﺎ
َ ﺧ َّﺪ
َ ﺼ ِّﻌ ْﺮ
َ وَﻻ ُﺗ 18
ل َﻓﺨُﻮ ٍر
ٍ ﺨﺘَﺎ
ْ ُﻣ
ت
ُ ﺼ ْﻮ
َ ت َﻟ
ِ ﺹﻮَا
ْ ن َأ ْﻧ َﻜ َﺮ اﻷ
َّ ﻚ ِإ
َ ﺹ ْﻮ ِﺗ
َ ﻦ
ْ ﺾ ِﻣ
ْ ﻀ
ُ ﻏ
ْ ﻚ وَا
َ ﺸ ِﻴ
ْ ﺼ ْﺪ ﻓِﻲ َﻣ
ِ وَا ْﻗ 19
ﺤﻤِﻴ ِﺮ
َ ا ْﻟ
108
ﻦ ِإ ْﺛ ٌﻢ وَﻻ
ِّ ﻈ
َّ ﺾ اﻟ َ ن َﺑ ْﻌ َّ ﻦ ِإ
ِّ ﻈَّ ﻦ اﻟَ ﺟ َﺘ ِﻨﺒُﻮا َآﺜِﻴﺮًا ِﻣ ْ ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا ا َ ﻳَﺎ َأُّﻳﻬَﺎ اَّﻟﺬِﻳ
ﺤ َﻢ َأﺧِﻴ ِﻪ َﻣ ْﻴﺘًﺎ
ْ ﻞ َﻟَ ن َﻳ ْﺄ ُآ
ْ ﺡ ُﺪ ُآ ْﻢ َأ
َ ﺐ َأ ُّ ﺤ
ِ ﻀ ُﻜ ْﻢ َﺑ ْﻌﻀًﺎ َأ ُﻳ ُ ﺐ َﺑ ْﻌ ْ ﺴﺴُﻮا وَﻻ َﻳ ْﻐ َﺘ َّ ﺠ َ َﺗ
ب َرﺡِﻴ ٌﻢ ٌ ن اﻟَّﻠ َﻪ َﺗ َﻮّا
َّ َﻓ َﻜ ِﺮ ْه ُﺘﻤُﻮ ُﻩ وَا َّﺗﻘُﻮا اﻟَّﻠ َﻪ ِإ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu
mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu
menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara
kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah
kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang”.
ﻞ
ِّ ﻋﻠَﻰ ُآ
َ ن
َ ن اﻟَّﻠ َﻪ آَﺎ
َّ ﻦ ِﻣ ْﻨﻬَﺎ َأ ْو ُر ُدّوهَﺎ ِإ
َﺴَﺡ
ْ ﺤ ُﻴّﻮا ِﺑَﺄ
َ ﺤَّﻴ ٍﺔ َﻓ
ِ ﺡ ِﻴّﻴ ُﺘ ْﻢ ِﺑ َﺘ
ُ َوِإذَا
ﺡﺴِﻴﺒًﺎ َ ﻲ ٍءْ ﺷ َ
“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah
penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang
serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.”
ﻚ ُه ُﻢ
َ ﺐ َﻓﺄُوَﻟ ِﺌ
ْ ﻦ َﻟ ْﻢ َﻳ ُﺘ
ْ ن َو َﻣ
ِ ق َﺑ ْﻌ َﺪ اﻹﻳﻤَﺎ
ُ ﺳ ُﻢ اْﻟ ُﻔﺴُﻮ
ْ ﺲ اﻻ
َ ب ِﺑ ْﺌ
ِ ﺴ ُﻜ ْﻢ وَﻻ َﺗﻨَﺎَﺑﺰُوا ﺑِﺎﻷْﻟﻘَﺎ
َ وَﻻ َﺗ ْﻠ ِﻤﺰُوا َأ ْﻧ ُﻔ
ن
َ ﻈّﺎِﻟﻤُﻮ َ اﻟ
“ ... dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu
panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk
panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa
yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang lalim.”
109
aktivitas perdagangan harus diterapkan administrasi yang baik dan
teratur.
i. Adanya kerelaan (al-ridha), yaitu kondisi suka sama suka antara
pihak-pihak yang terlibat dalam bisnis. Hal ini telah tersebut dalam
surat al-Nisa [4], ayat 29 tersebut di atas. Dalam ayat tersebut
terdapat kalimat ‘an taradhin minkum yang artinya suka sama suka di
antara kamu, yaitu pembeli dan penjual. Untuk menciptakan suka
sama suka itu, menurut fuqaha diwujudkan dalam bentuk ijab dan
qabu. Munculnya sikap suka-suka di kalangan masyarakat harus
dilandasi kepada nilai-nilai moral agama, yaitu:
1) Akhlak dan sikap mental yang baik. Aktivitas perdagangan atau
bisnis yang qurani harus dilandasi dengan akhlak (etika). Oleh
sebab itu, perlu dibentuk para pebisnis yang mempunyai etika dan
sikap mental yang baik, seperti jujur dan lain sebagainya. Prinsip
ini perlu dirujuk dalam al-Qur’an surat al-Maidah [5], ayat 3
sebagai berikut:
ن وَا َّﺗﻘُﻮا
ِ ﻋﻠَﻰ اﻹ ْﺛ ِﻢ وَا ْﻟ ُﻌ ْﺪوَا
َ ﻋﻠَﻰ ا ْﻟ ِﺒ ِّﺮ وَاﻟَّﺘ ْﻘﻮَى وَﻻ َﺗﻌَﺎ َوﻧُﻮا
َ َو َﺗﻌَﺎ َوﻧُﻮا
ب
ِ ﺷﺪِﻳ ُﺪ ا ْﻟ ِﻌﻘَﺎ َ ن اﻟَّﻠ َﻪ
َّ اﻟَّﻠ َﻪ ِإ
Artinya: “... Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerja-kan)
ke-bajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong
dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya.”
2) Tidak curang. Sejalan dengan dorongan untuk bersikap jujur dan
benar, Islam sangat mencela timbulnya kecurangan dalam praktik
bisnis, sehingga menimbulkan bahaya dan kerugian kepada orang
lain, seperti mengurangi timbangan dan takaran. Allah berfirman
dalam surat al-Rahman [55] ayat 9 disebutkan:
ن
َ ﺴﺮُوا ا ْﻝﻤِﻴﺰَا
ِ ﺨ
ْ ﻂ وَﻻ ُﺕ
ِﺴ
ْ ن ﺏِﺎ ْﻝ ِﻘ
َ َوَأﻗِﻴﻤُﻮا ا ْﻝ َﻮ ْز
Artinya: “Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan jangan-
lah kamu mengurangi neraca itu.”
Sejalan dengan perintah untuk menyempurnakan takaran dan
timbangan, Allah sangat mengecam orang yang berlaku curang.
110
Sebagai mana dalam surat al-Qur’an (83) ayat 1-3 disebutkan
peringatan-Nya adalah:
Kecelakaan besarlah bagi ﻦ
َ ﻄ ِّﻔﻔِﻴ
َ وَ ْی ٌﻞ ِﻝ ْﻠ ُﻤ 1
orang-orang yang curang,
(yaitu) orang-orang yang س
ِ ﻋﻠَﻰ اﻝ َﻨّﺎ
َ ﻦ ِإذَا ا ْآﺘَﺎﻝُﻮا
َ اَّﻝﺬِی 2
apabila menerima takaran dari
ن
َ ﺴ َﺘ ْﻮﻓُﻮ
ْ َی
orang lain mereka minta
dipenuhi,
dan apabila mereka menakar َوِإذَا آَﺎﻝُﻮ ُه ْﻢ َأ ْو َو َزﻥُﻮ ُه ْﻢ 3
atau menimbang untuk orang
ن
َ ﺴﺮُوِ ﺨ ْ ُی
lain, mereka mengurangi.
111
Maksud hadits tersebut tidak berarti memperbolehkan me-minta-
minta, tetapi memotivasi agar seorang muslim mau berusaha dengan
keras agar dapat menjadi tangan di atas, yaitu orang yang mampu
membantu dan memberi sesuatu pada orang lain dari hasil jerih
payahnya. Seseorang akan dapat membantu sesama apabila dirinya
telah berkecukupan. Seseorang dikatakan berkecukupan jika ia
mempunyai penghasilan yang lebih baik. Seseorang akan mendapatkan
penghasilan lebih jika berusaha keras dan baik. Karenanya dalam
bekerja harus disertai etos kerja tinggi.
Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa usaha yang paling
baik adalah berbuat sesuatu dengan tangannya sendiri dengan syarat
jika dilakukan dengan baik dan jujur. Kalimat amalu ar-rijalu biyadihi
dalam hadits tersebut di atas yang berarti usaha seseorang dengan
tangannya dapat dimaknai dengan bisnis (wirausaha), karena dengan
melakukan sesuatu dengan tangannya berarti seseorang dituntut dapat
menciptakan sesuatu dan dapat memanfaatkan peluang dan kemam-
puan yang dimiliki. Maksudnya seorang muslim hendaknya me-lakukan
wirausaha dengan menciptakan sesuatu berdasarkan kemampuan yang
dimiliki, berkarya tanpa henti untuk berinovasi, memanfaatkan peluang
yang ada, agar dapat mencapai keuntungan yang optimal.
ﺣﺪﺛﻨﺎ اﺑﻮ ﻋﺎﻣﺮ اﻟﻤﻘﺪي ﻋﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﻤﺎر آﺸﺎآﺶ ﻗﺎل ﺳﻤﻌﺖ ﺳﻌﻴﺪا
اﻟﻤﻘﺒﺮي یﺤﺪث ﻋﻦ اﺑﻲ هﺮیﺮة ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻲ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل ﺧﻴﺮ
(اﻟﻜﺴﺐ آﺴﺐ یﺪ اﻟﻌﺎﻣﻞ اذا ﻥﺼﺢ )رواﻩ اﺣﻤﺪ
Artinya: “Usaha yang paling baik adalah hasil karya seseorang dengan
tangan nya jika ia jujur (bermaksud baik)”
Allah menyukai orang-orang yang kuat dan mau berusaha, serta
mampu menciptakan kreasi baru yang lebih baik untuk kebahagiaan
dunia akhirat. Hal ini diperjelas oleh hadits nabi bahwa:
ﺣﺪﺛﻨﺎ یﺰیﺪ ﺣﺪﺛﻨﺎ اﻟﻤﺴﻌﻮدي ﻋﻦ واﺋﻞ اﺑﻲ ﺑﻜﺮ ﻋﻦ ﻋﺒﺎیﺔ ﺑﻦ راﻓﺎﻋﺔ ﺑﻦ
راﻓﻊ ﺑﻦ ﺧﺪیﺞ ﻋﻦ ﺟﺪﻩ راﻓﻊ ﺑﻦ ﺧﺪیﺞ ﻗﺎل ﻗﻴﻞ یﺎرﺳﻮل اﷲ اي اﻟﻜﺴﺐ
(اﻃﻴﺐ ﻗﺎل ﻋﻤﻞ اﻟﺮﺟﻞ ﺑﻴﺪﻩ وآﻞ ﺑﻴﻊ ﻣﺒﺮور )رواﻩ اﺣﻤﺪ
Rasulullah SAW ditanya: “Usaha apa yang paling baik? Beliau
menjawab: “usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan bisnis yang
baik”. (H.R. Ahmad)
112
Ini berarti urutan pertama adalah usaha seseorang dengan tangan-
nya, sedang urutan kedua adalah bisnis, sebaliknya, tetapi menunjukkan
keduanya saling berkaitan agar mencapai hasil yang terbaik dalam
melakukan bisnis dibutuhkan sebuah keterampilan dan pikiran-pikiran
yang kreatif dan inovatif.
Konsep yang general dan umum yang ada pada kita tentang istilah
nilai, sebenarnya adalah konsep ekonomi. Hubungan suatu komoditi
atau jasa dengan barang yang mau dibayarkan orang untuk mendapat-
kannya memunculkan konsep nilai. Tetapi, makna “nilai” dan “sistem
nilai”. Istilah nilai dalam pengertian luas ini diterapkan pada obyek-
obyek maupun pada manusia dan perilakunya.
Nilai-nilai tentang yang benar dan salah serta yang baik dan yang
buruk di bidang kehidupan ekonomi didasarkan kepada konsep
pemuliaan terhadap anak Adam. Manusia diciptakan dalam bentuk yang
paling indah, (Q.S. At-Tin, 3). Tapi kesempurnaan manusia sebagai
makhluk bukanlah hanya dari segi fisik saja. Kehidupan manusia
mengandung dua dimensi, jasmani dan rohani. Karena aspek rohani ini
bersifat unik pada manusia, yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya
maka inti eksistensi manusia ini terletak pada aspek rohaninya itu.
Dengan rohani itu manusia memperoleh makna dalam hidupnya.
Kenyataan sosial dan sejarah menunjukkan, bahwa manusia justru
telah gagal menghargai makna hidup yang dimilikinya itu. Terdapat
bukti, bahwa manusia justru meletakkan dirinya di bawah subordinasi
makhluk rendah yang dibuatnya sendiri. Ini diperlihatkan pada sistem
perekonomian Raja Namrud dan Fir’aun, yang umumnya disusun atas
dasar komando. Ini sebenarnya hanya terjadi di sekitar pusat kekuasaan.
Di daerah-daerah yang jauh dari konsentrasi kekuasaan, kehidupan
ekonomi diatur atas dasar dan semangat kolektif. Semua bekerja untuk
semua dalam suatu sistem yang tertutup.
Di kota-kota, sudah ada pembagian kerja yang lebih luas, karena
orang menyadari bahwa setiap orang tidak memiliki semua keterampilan
maupun waktu untuk membuat semua barang kebutuhan nya. Tapi
perkembangan kebutuhan yang meningkat, terutama sebagai hasil
113
angan-angan, baik yang berwujud barang kebutuhan praktis maupun
barang-barang budaya dan kesenian, terutama dalam wujud bangunan
yang megah yang juga merupakan simbol-simbol dan alat-alat peng-
himpunan pengaruh dan kekuasaan, menimbulkan gagasan untuk
menghimpun manusia dalam jumlah banyak untuk mewujudkan
barang-barang itu. Maka timbullah cara perbudakan yang didukung oleh
sistem kekerasan. Agama, dan sistem ini adalah alat pendukung
kekuasaan, guna menciptakan sistem ketaatan dan legitimasi yang
membenarkan kekuasaan tirani.
Sistem perbudakan, walaupun dalam skala lebih kecil, terdapat
juga di Mekah pada saat ayat-ayat al-Qur’an diturunkan. Seperti telah
terjadi di berbagai tempat yang merupakan pusat-pusat peradaban dunia
pada waktu itu, sistem perbudakan itu bisa makin meluas. Karena itu,
pagi-pagi, al-Qur’an telah melakukan kritik terhadap sistem itu. Salah
satu tugas utama agama, adalah memberantas perbudakan (fakku raqabah
atau tahriru raqabah) yang dilukiskan oleh Surat Al-Balad sebagai sebuah
pendakian bukit yang terjal (al-aqabah). Ayat-ayat al-Qur’an menjalankan
misi ini, tidak dengan menghasut suatu pemberontakan, melainkan
mula-mula dengan menyadarkan masyarakat tentang status manusia
yang merdeka.
Dalam berbagai ayat al-Qur’an, kemerdekaan diekspresikan dalam
berbagai kata, baik kata benda (seperti hurr, bara’ atau bari’) maupun kata
kerja (seperti fakka, harrara, khala, maraja, sarraha atau talaqai). Tapi ada
tiga jenis kemerdekaan yang secara konsisten diulang-ulang dalam al-
Qur’an, yaitu kemerdekaan dari rasa takut (yang berarti hak atas
keamanan, keselamatan dan ketentraman), kemerdekaan dari kelaparan
(yang berarti hak atas penghidupan dan kemakmuran) dan kemerdekaan
dari perbudakan (yang berarti hak untuk berbuat dan menentukan
pekerjaannya atau nasibnya sendiri). Etika Islam didasarkan antara lain
atas prinsip kemerdekaan ini, yaitu merupakan dasar dari hak asasi
manusia.
Hak kemerdekaan seseorang itu ditumbuhkan dari dalam melalui
rasa merdekanya, dengan mempergunakan akal dan menyadari rezeki
Allah yang tidak terbatas. Sistem perbudakan manusia feodal, sebenar-
nya mengantongi pesimisme diri dan kekurangberdayaan menghadapi
lingkungan alam yang memang tidak begitu ramah terhadap manusia.
114
Ini berakibat timbulnya gagasan orang untuk menghimpun dengan
paksa energi sosial, untuk kepentingan diri dan kelompok atau kelasnya.
Berhadapan dengan kenyataan ini, al-Qur’an menghidupkan
optimisme dengan menyatakan bahwa rezeki Allah itu tidak terbatas dan
manusia memiliki segala kemampuan untuk mengelolanya. ”Dan Dialah
yang menjadikan bumi bagaikan hamparan dan langit bagaikan atap. Dia yang
menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menumbuhkan dengan hujan itu
segala macam buah-buahan sebagai rezeki”, (Q.S. Al-Baqarah, 2: 22).
Dalam Surat an-Nahl: 13, al-Qur’an menyatakan kembali fungsi
kekhalifahan manusia untuk meyakinkan kemampuan manusia: ”Dia pula
yang menundukan (kepada manusia) apa yang Ia ciptakan di bumi, dengan cara
yang berlain-lainan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-
tanda bagi kaum yang mengambil pelajaran”.
Optimisme, menurut al-Qur’an baru akan timbul apabila manusia
mampu mengambil pelajaran secara sistematis. Manusia akan mengerti
berbagai fungsi yang terdapat di alam, karena mereka memiliki penge-
tahuan bahwa segala alam ciptaan ini mengandung tujuan penciptaan
yang benar atau pasti, dengan ukuran-ukuran waktu yang ditentukan.
Dengan kesadaran bahwa segala ciptaan Allah yang dijumpai
manusia itu adalah barang-barang yang berguna bagi manusia, akan
timbul pengertian akan adanya potensi. Dalam surat Nahl: 18, ditegaskan:
“Jika dihitung-hitung ni’mat Allah, niscaya kamu tidak akan bisa menentukan
jumlahnya (karena tidak terbatasnya)”. Itulah yang memberikan
optimisme, dan karena itu manusia tidak perlu khawatir sehingga
terpaksa mengambil apa adanya tanpa memilih atau melakukan cara
yang tidak terpuji untuk mendapatkan rezeki Allah.
Dengan pengertian yang dapat ditarik dari ayat-ayat tersebut di
atas barangkali pemikiran yang kritis akan mendapatkan kesan bahwa
moral yang diberikan oleh Al-Qur’an bertentangan dengan dasar-dasar
atau asumsi ilmu ekonomi, setidak-tidaknya asumsi aliran Neo-Klasik
yang dipelopori oleh Lord Robbin.
Ilmu ekonomi, menurut asumsi ini, timbul karena kesadaran dan
pengertian tentang terdapatnya kelangkaan sumber-sumber dan alat-alat
pemuas kebutuhan, berhadapan kebutuhan manusia yang tidak terbatas
dalam jumlah, variasi maupun mutu. Dari asumsi inilah timbul ilmu
115
ekonomi yang memikirkan bagaimana masyarakat harus membangun
suatu sistem produksi dan distribusi barang-barang kebutuhan hidup
mereka yang terus meningkat, baik karena perkembangan penduduk,
tuntutan kepada taraf hidup yang lebih tinggi dan kompleksitas masalah
yang dihadapi dalam mempertahankan dan melangsungkan kehidupan.
Berhadapan dengan pengertian tentang asumsi ekonomi itu yang
secara umum diterima sebagai paradigma itu, moral yang ditimbulkan
oleh Al-Qur’an justru sebaliknya, yaitu menciptakan pengertian tidak
adanya kelangkaan sumber pemuas hidup, karena rezeki Allah
senantiasa melimpah, tidak saja cukup bagi manusia, tapi juga bagi
makhluk hidup lainnya. Bahkan dalam surat Hud: 6 di-katakan pula:
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi, melainkan Allah lah yang
memberi rezekinya”.
Tapi dalam kenyataannya, banyak manusia di bumi ini yang masih
dilanda kelaparan. Di satu pihak dinyatakan bahwa situasi kelangkaan
telah berakhir, kata John Kenneth Galbraith, namun kekurangan alat
pemuas kebutuhan terjadi dimana-mana. Sebab itu memang dibutuhkan
kalkulus, baik terhadap kebutuhan manusia maupun hasil produksi alat-
alat pemuas kebutuhan manusia. Al-Qur’an menghendaki agar manusia
“bersyukur”. Tapi, seperti ndinyatakan oleh ayat 8 surat al-A’raf, sedikit
manusia yang bersyukur.
“Syukur” dalam pengertian ekonomi mengandung makna, per-
tama, menyadari bahwa sumber rezeki itu adalah dari Allah dan dengan
begitu menyadari hak dan akses setiap manusia terhadap sumber rezeki
itu yang dapat dicapai melalui kerja. Kedua, menyadari bahwa rezeki
Allah itu tidak terbatas dalam variasi, jumlah maupun mutunya. Dari
kesadaran ini timbul optimisme positif bahwa manusia itu harus bisa
memilih di antara rezeki Allah yang paling baik dan halal untuk
mencapainya manusia tidak perlu melakukan berbagai hal yang tidak
wajar, misalnya dengan cara yang merusak atau merugikan orang lain.
Ketiga, menyadari nikmat yang diberikan oleh Allah dan sekaligus
menyadari bahwa rezeki itu sebenarnya tidak hanya untuk sekelompok
kecil orang sehingga orang mampu tertindak untuk membelanjakan
hartanya secara bermanfaat bagi orang lain juga. Termasuk ke dalam
pengertian ini adalah menghargai sumber-sumber ekonomi, yang di-
wujudkan dalam tindakan rasional, dengan menerapkan prinsip
116
kalkulus ekonomi, mengingat bahwa semua sumber rezeki itu diberikan
oleh Allah dalam takaran-takaran tertentu.
Karenanya, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk berusaha
mendapatkan kehidupan yang lebih baik di dunia dan sekaligus
memperoleh kehidupan yang baik di akhirat. Memperoleh kehidupan
yang baik di dunia dan di akhirat inilah yang dapat menjamin dicapai-
nya kesejahteraan lahir dan batih (falah). Hal ini berarti bahwa dalam
mengejar kehidupan di dunia tidak dapat dilakukan kecuali dengan cara
yang halal melalui gerakan amal sholeh. Perbuatan amal sholeh adalah
perbuatan baik yang mendatangkan pahala bagi yang melakukan dan
mendatangkan faedah bagi orang lain, yang dapat berupa tingkah laku
dan per buatan yang termasuk ke dalam kategori ibadah (iyyaka
na’budu) maupun muamalah (iyyaka nasta’iin).
Kesejahteraan lahir dan batin yang ingin diperoleh melalui
gerakan amal sholeh seharusnya dilakukan melalui kegiatan ibadah dan
muamalah yang bersumber dari ketentuan syari’ah yang dijiwai oleh
iman, Islam (akidah Islamiyah) dan ihsan (akhlak yang luhur). Ketiganya
merupakan hakikat ajaran wahyu yang menjadi tuntutan dan panutan
manusia dan sendi kehidupannya.
Dengan berpegang teguh pada iman, Islam, dan ihsan inilah di-
lakukan berbagai kegiatan muamalah yang dalam penerapannya di-
sesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Kegiatan ekonomi
adalah salah satu kegiatan muamalah yang telah diatur secara lengkap
dalam syari’ah Islam. Ketentuan-ketentuan yang mengatur pola
konsumsi memungkinkan umat Islam untuk mempunyai sisa dana yang
dapat dipergunakan untuk kegiatan perekonomian. Ketentuan yang
mengatur pola simpanan mengharuskan umat Islam untuk melakukan
investasi. Larangan terhadap riba pada hakikatnya adalah suatu
kewajiban bagi mereka yang mempunyai dana lebih untuk melakukan
investasi yang menghasilkan produk-produk baru dan kesempatan
kerja.
Demikian pula larangan terhadap perjudian (maysir), penipuan
(gharar), tadlis, dan sejenisnya merupakan perbuatan yang harus jauh
dari kegiatan investasi dan ruang lingkupnya. Satu ajaran do’a yang
patut menjadi pelajaran berharga adalah ketika seorang muslim
117
memanjatkan do’a, rabbana atina fi al-dunia hasanah wa fil akhirati
hasanah.
Maka investasi menjadi penting bila keuntungan yang didapat
bukan pada dimensi duniawiyah saja, melainkan pula harus sampai pada
kehidupan ukhra-wiyah. Kesatuan antara dunia dan akhirat mengkaitkan
pula kegiatan bisnis di dunia sebagai suatu sarana yang menyamankan
jalan ke akhirat. Bisnis di dunia yang menentramkan kehidupan di
akhirat ini diyakini ada tiga yaitu anak shaleh, ilmu yang bermanfaat, dan
amal yang dinikmati orang banyak, dimana untuk memperoleh ketiganya
dibutuhkan dana.
Berdasarkan keterangan di atas, maka kegiatan bisnis harus
mengacu pada hukum syariat yang berlaku. Perputaran modal pada
kegiatan bisnis tidak boleh di salurkan kepada jenis industri yang
melaksanakan kegiatan-kegiatan yang diharamkan. Roda perdagangan
(bisnis) tidak boleh misalnya berdagang minuman keras, pembangunan
penginapan untuk prostitusi dan lainnya yang bertentangan dengan
syariah berarti diharamkan.
Semua transaksi dalam bisnis harus atas dasar suka sama suka (an-
taradin), tidak ada unsur pemaksaan, tidak ada pihak yang didzalimi
(terdzalimi) atau mendzalimi. Seperti goreng-menggoreng saham. Tidak
ada unsur riba, tidak bersifat spekulatif atau judi (maysir) dan semua
transaksi harus transparan, diharamkan adanya insider trading. Dengan
demikian, etika bisnis Islami merupakan sosok tubuh “etika” yang
diterapkan di dunia bisnis, yang dapat diartikan sebagai “aqidah
berpikir dan berperilaku” sebagai manusia yang adil dan beradab,
sebagai hamba dan khalifah Allah di bumi. Menurut Hidayat
Nataatmadja (2001: 59), etika bisnis Islami, merupakan pengejawantahan
dari amal shaleh sesuai dengan bidang tugas masing-masing. Dalam arti
itu nilai tambah yang merupakan kontribusi, khususnya di bidang
bisnis, bagi seseorang dalam kegiatan ekonomi mempunyai arti aditif
terhadap nilai tambah.
118
BAB VI
ETOS KERJA DALAM BISNIS ISLAMI
Istilah “etos” ini berasal dari bahasa Yunani, yang dapat mem-
punyai arti sebagai sesuatu yang diyakini atau keyakinan, cara berbuat,
119
sikap serta persepsi terhadap nilai kerja, (Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi
Muslim. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995: 25). Jadi, “etos” atau
“ethos” berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah, ukuran-ukuran
bagi tingkah laku yang baik, (O.P. Simorangkir, Etik dan Moral Perbankan
(Jakarta: IND-HILL Co., 1983: 57).
Dengan demikian etos kerja adalah refleksi sikap hidup seseorang
yang mendasar dalam menghadapi kerja. Etos yang berarti sikap adalah
aspek perilaku yang biasanya dinyatakan dalam bentuk respon positif
atau negatif. Louise Thurstone dan Charles Osgood, sebagaimana
dikutip Saifudin Azwar, mengatakan bahwa sikap adalah suatu bentuk
evaluasi (penilaian) atau reaksi perasaan, (Saifuddin Azwar, Sikap
Manusia, Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Liberty, 1988: 3).
Pendapat tersebut didukung oleh Krech dan Chrutchfield yang
menyatakan bahwa sikap adalah suatu sistem yang menetap, berupa
evaluasi yang positif atau negatif, perasaan emosional dan kecende-
rungan menyetujui atau tidak menyetujui akan suatu obyek atau efek
sosial. (Mar’at Muhammad, Sikap Manusia, Per-ubahan serta Pengukuran-
nya. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982: 9) Jadi menurut mereka sikap
seseorang terhadap obyek adalah bagaimana orang tersebut menilai atau
bereaksi dengan perasaannya terhadap suatu stimulus yang diberikan
mengenai obyek tertentu. Menurut Morgan, “Sikap adalah suatu hal
yang dapat dipelajari dari kecenderungan bertingkah laku dengan cara
mengadakan evaluasi terhadap informasi”.
Dalam pandangan ini berarti sikap erat kaitannya dengan
penilaian tertentu dari seseorang terhadap suatu obyek sehingga dari
pikiran tersebut seseorang akan memiliki perasaan tertentu terhadap
suatu obyek yaitu perasaan mendukung atau tidak mendukung. Etos
yang juga mempunyai makna nilai moral adalah suatu pandangan batin
yang bersifat mendarah daging. Sikap itu sendiri tidak muncul dengan
seketika, tetapi dapat dibentuk dan dipelajari sepanjang perkembangan
manusia. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Gerungan
tentang ciri-ciri sikap, yaitu:
1. Sikap tidak dibawa manusia sejak lahir, melainkan dibentuk dan
dipelajari sepanjang perkembangan manusia dalam berhubungan
dengan obyeknya;
120
2. Sikap berubah-ubah dan dipelajari bila terdapat keadaan-keadaan &
syarat-syarat tertentu yang mempermudah berubahnya sikap pada
manusia itu;
3. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mengandung reaksi
tertentu terhadap suatu obyek;
4. Obyek sikap dapat merupakan satu hal tertentu, tetapi dapat juga
merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut;
5. Sikap mempunyai segi-segi motivasi dan perasaan.
121
4. Kerja adalah kesenangan.
5. Kerja adalah gengsi atau prestise.
6. Kerja adalah aktualisasi diri dan panggilan jiwa.
7. Kerja adalah hidup dan pengabdian.
8. Kerja adalah ibadah dan suci.
122
luas dan Ihsan) karena ketiganya saling berkait dan tidak bisa ter-
pisahkan, bersatu padu dalam kekuatan spiritual dan amaliyah etis.
Adapun pengertian bisnis (perdagangan), akan dikemukakan dua
definisi dari dua sudut padang yang berbeda, yaitu menurut mufassir
dan ilmu fikih adalah (a) Menurut para mufassir bisnis ialah pengelolaan
modal untuk mendapatkan keuntungan, dan (b) Menurut tinjauan ahli
fiqih, bisnis adalah saling menukarkan harta dengan harta secara suka
sama suka, atau memindah kan hak miliki dengan adanya penggantian
menurut cara yang diperbolehkan.
Berangkat dari pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa
bisnis (perdagangan) adalah:
1. Bisnis adalah satu bagian muamalah yang berbentuk transaksi antara
seseorang dengan orang lain.
2. Transaksi bisnis itu dilakukan dalam bentuk jual beli yang di-
wujudkan dalam bentuk ijab dan qabul.
3. Bisnis bertujuan atau dengan motif untuk mencari keuntungan (laba).
123
B. Anjuran untuk Bekerja Keras
124
Bekerja sebagai motivasi ibadah semestinya selalu memberikan
yang terbaik. Selalu bekerja semaksimal mungkin (maximize action).
Bukan seadanya. Itulah yang disebut “IHSAN” (berbuat baik) atau
“ITQAN” (hasil terbaik). Allah bahkan memerintahkan kita untuk
meniru karya Allah dalam bekerja, “... maka berbuat
baiklah (fa ahsin) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu,” (Q.S. Al-
Qashash, 28: 77)
Artinya, etos kerja tinggi akan terwujud jika seseorang bekerja
dengan penuh semangat/dorongan-dorongan di samping ability.
Dorongan itu dapat berupa dorongan ibadah, ekonomi, dan bermanfaat
untuk orang lain. Hal ini dapat digambarkan 5.1 sebagai berikut:
125
Barat menjadikan profesionalitas sebagai konsep hidup mereka.
Tidak mengherankan bila kemudian mereka tampil memimpin dunia
dan menjadi negara yang maju. Sebab, kepemimpinan erat kaitannya
dengan sistem dan aturan yang baku. Semakin hari umat semakin
membengkak. Angka pengangguran berada jauh di atas mereka yang
telah mendapat pekerjaan tetap. Pertanyaannya, mengapa ini dapat
terjadi? Semuanya disebabkan oleh keacuhan dan ketidakprofesionalan.
Profesionalisme kerja merupakan kewajiban Anda. Bila Anda mencita-
citakan kebangkitan bangsa, Anda harus memulainya dengan
profesionalitas.
Hasil penelitian yang dilakukan di negara-negara Arab tentang
jam kerja pegawainya sungguh mengejutkan. Sangat mungkin Anda
tidak mempercainya. Sebab, hal tersebut memang sulit untuk dibenar-
kan. Jam kerja rata-rata seorang pegawai berkisar antara 12 hingga 13
menit per hari. Bahkan didapati mereka yang hanya mencapai angka 5
menit per harinya. Sementara di Barat kisaran jam kerja mereka antara 8
sampai 10 jam. Sungguh merupakan perbedaan yang sangat amat jauh.
Padahal bila berbicara tentang anjuran untuk bekerja keras
sebagaimana dalam hadits nabi jam kerja di negara-negara Arab sangat
jauh dengan apa yang di-inginkan oleh nilai-nilai ajaran Islam. Berikut
ini hadits-hadits berkenaan dengan anjuran untuk bekerja keras:
“Dari Miqda r.a. dari Nabi Muhammad Saw, bersabda: Tidaklah makan
seseorang lebih baik dari hasil usahanya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud a.s.,
makan dari hasil usahanya sendiri.” (H.R. Bukhari).
“Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad Saw: Sesungguhnya Nabi
Daud a.s., tidak makan kecuali dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Bukhari)
“Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: Sungguh,
seandai nya salah seorang di antara kalian mencari kayu bakar dan memikul
ikatan kayu itu, maka itu lebih baik, daripada ia meminta-minta kepada
seseorang, baik orang itu memberinya ataupun tidak.” (HR. Bukhari dan
Muslim).
“Dari Abu Abdullah Az-Zubair bin Al-‘Awwam r.a., ia berkata: Rasulullah
Saw bersabda: Sungguh seandainya salah seorang di antara kalian mengambil
beberapa utas tali, kemudian pergi ke gunung dan kembali dengan memikul
126
seikat kayu bakar dan menjualnya, kemudian dengan hasil itu Allah mencukup-
kan kebutuhan hidupmu, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada sesama
manusia, baik mereka memberi ataupun tidak.” (HR. Bukhari)
“Dalam sebuah hadits Rasul saw bersabda: Barang siapa pada malam hari
merasakan kelelahan karena bekerja pada siang hari, maka pada malam itu ia
diampuni Allah” (Hadits Riwayat Ahmad & Ibnu Asakir)
“Rasulullah saw pernah ditanya, Pekerjaan apakah yang paling baik? Beliau
menjawab, Pekerjaan terbaik adalah usaha seseorang dengan tangannya sendiri
dan semua perjualbelian yang dianggap baik,” (HR Ahmad dan Baihaqi).
127
bakar yang kemudian ia jual, maka apa yang dihasilkan dari menjual
kayu bakar itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada sesama
manusia. Nabi Muhammad Saw serta para sahabat pekerja keras.
Bahkan beberapa sahabat merupakan saudagar kaya yang kerap kali
memberikan hartanya untuk membiayai pasukan Islam tatkala harus
bertempur dengan musuh-musuh Islam.
Bekerja dalam Islam akan mendapatkan pahala, kenapa? Jawaban-
nya sederhana, karena bekerja dalam konsep Islam merupakan
kewajiban atau fardhu. Dalam kaidah fiqh, orang yang menjalankan
kewajiban akan mendapatkan pahala, sedangkan mereka yang mening-
galkannya akan terkena sanksi dosa. Tentang kewajiban bekerja,
Rasulullah bersabda, Mencari rezeki yang halal itu wajib sesudah
menunaikan yang fardhu (seperti shalat, puasa dan sebagainya), (HR ath-
Thabrani dan al-Baihaqi).
Karena bekerja merupakan kewajiban, maka tak heran jika Umar
bin Khaththab pernah menghalau orang yang berada di masjid agar
keluar untuk mencari nafkah. Umar tak suka melihat orang yang pada
siang hari tetap asyik duduk di masjid, sementara sang mentari sudah
terpancar bersinar. Akan tetapi perlu diingat bahwa yang dimaksud
dalam hadits-hadits di atas adalah orang yang bekerja sesuai dengan
ajaran Islam. Bekerja pada jalur halal dan bukan bekerja dengan
pekerjaan yang diharamkan oleh Allah SWT. Jadi, ‘tidak ada keberhasilan
tanpa kerja keras”.
128
Tabel 5.1
Indikator Etos Kerja Islami
129
22 Tangguh dan pantang -
menyerah
23 Berorientasi pada -
produktivitas
24 Memperkaya jaringan -
silaturrahim
25 Memiliki spirit of change -
Sumber: Muhammad Yunus, (2008: 10-12)
ض وَا ْﺑ َﺘﻐُﻮا
ِ ﺸﺮُوا ﻓِﻲ اﻷ ْر ِ ﺼّﻼ ُة ﻓَﺎ ْﻧ َﺘ
َ ﺖ اﻟ ِ ﻀ َﻴ
ِ َﻓِﺈذَا ُﻗ
ن
َ ﻞ اﻟَّﻠ ِﻪ وَا ْذ ُآﺮُوا اﻟَّﻠ َﻪ َآﺜِﻴﺮًا َﻟ َﻌَّﻠ ُﻜ ْﻢ ُﺗ ْﻔِﻠﺤُﻮ
ِﻀ ْ ﻦ َﻓ
ْ ِﻣ
QS. Al-Jumuah, “Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka
1
62:10 bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak
supaya kamu beruntung.”
ﺲ
َ ﺧ َﺮ َة وَﻻ َﺗ ْﻨ ِ ك اﻟَّﻠ ُﻪ اﻟ َﺪّا َر اﻵَ وَا ْﺑ َﺘ ِﻎ ﻓِﻴﻤَﺎ ﺁﺗَﺎ
ﻚ وَﻻَ ﻦ اﻟَّﻠ ُﻪ ِإَﻟ ْﻴَﺴَﺡ ْ ﻦ َآﻤَﺎ َأْﺴ ِﺡْ ﻦ اﻟ ُّﺪ ْﻧﻴَﺎ َوَأ
َ ﻚ ِﻣ
َ َﻧﺼِﻴ َﺒ
ﻦ
َ ﺴﺪِﻳ
ِ ﺐ ا ْﻟ ُﻤ ْﻔ ُّ ﺤ
ِ ن اﻟَّﻠ َﻪ ﻻ ُﻳ
َّ ض ِإ
ِ َﺗ ْﺒ ِﻎ ا ْﻟ َﻔﺴَﺎ َد ﻓِﻲ اﻷ ْر
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat,
QS. Al-Qashash,
2 dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
28:77 dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah
berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesung-
guhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan.”
ب
ِ ﺤﺴَﺎ
ِ ﺳﺮِﻳ ُﻊ ا ْﻟ
َ ﺴﺒُﻮا وَاﻟَّﻠ ُﻪ
َ ﺐ ِﻣ َﻤّﺎ َآ
ٌ ﻚ َﻟ ُﻬ ْﻢ َﻧﺼِﻴ
َ أُوَﻟ ِﺌ
QS. Al-Baqarah, “Mereka itulah orang-orang yang mendapat
3 bahagian dari apa yang mereka usahakan; dan
2:202
Allah sangat cepat perhitungan-Nya.”
130
ﻦ ِذ ْآ ِﺮ اﻟَّﻠ ِﻪ َوِإﻗَﺎ ِم ْﻋَ ل ﻻ ُﺗ ْﻠﻬِﻴ ِﻬ ْﻢ ِﺗﺠَﺎ َر ٌة وَﻻ َﺑ ْﻴ ٌﻊ ٌ ِرﺟَﺎ
ﺐ ﻓِﻴ ِﻪُ ّن َﻳ ْﻮﻣًﺎ َﺗ َﺘ َﻘَﻠ
َ ﺼّﻼ ِة َوإِﻳﺘَﺎ ِء اﻟ َّﺰآَﺎ ِة َﻳﺨَﺎﻓُﻮ
َ اﻟ
ب وَاﻷ ْﺑﺼَﺎ ُر ُ ا ْﻟ ُﻘﻠُﻮ
QS. Al-Nur, “laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan
4 dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat
24:37
Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan
(dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada
suatu hari yang (di hari itu) hati dan
penglihatan menjadi guncang.”
ﻦ َرِّﺑ ُﻜ ْﻢ َﻓِﺈذَا ْ ن َﺗ ْﺒ َﺘﻐُﻮا َﻓﻀْﻼ ِﻣ ْ ح َأ
ٌ ﺟﻨَﺎ
ُ ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ
َ ﺲ َ َﻟ ْﻴ
ﺸ َﻌ ِﺮْ ﻋ ْﻨ َﺪ ا ْﻟ َﻤ
ِ ت ﻓَﺎ ْذ ُآﺮُوا اﻟَّﻠ َﻪ
ٍ ﻋ َﺮﻓَﺎَ ﻦ ْ ﻀ ُﺘ ْﻢ ِﻣ
ْ َأ َﻓ
ﻦ
َ ﻦ َﻗ ْﺒِﻠ ِﻪ َﻟ ِﻤْ ن ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ ِﻣ
ْ ﺤﺮَا ِم وَا ْذ ُآﺮُو ُﻩ َآﻤَﺎ َهﺪَا ُآ ْﻢ َوِإَ ا ْﻟ
ﻦ
َ ﻀّﺎِﻟّﻴ
َ اﻟ
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia
QS. Al-Baqarah,
5 (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka
2:198
apabila kamu telah bertolak dari Arafah,
berzikirlah kepada Allah di Masy`arilharam. Dan
berzikirlah (dengan menyebut) Allah
sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu;
dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-
benar termasuk orang-orang yang sesat.”
ﻞ
ِﻃ
ِ ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا ﻻ َﺗ ْﺄ ُآﻠُﻮا َأ ْﻣﻮَاَﻟ ُﻜ ْﻢ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻜ ْﻢ ﺑِﺎ ْﻟﺒَﺎ َ ﻳَﺎ َأُّﻳﻬَﺎ اَّﻟﺬِﻳ
ض ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ وَﻻ َﺗ ْﻘ ُﺘﻠُﻮا ٍ ﻦ َﺗﺮَا ْﻋ َ ن ِﺗﺠَﺎ َر ًة
َ ن َﺗﻜُﻮ ْ إِﻻ َأ
ن ِﺑ ُﻜ ْﻢ َرﺡِﻴﻤًﺎ َ ن اﻟَّﻠ َﻪ آَﺎ
َّ ﺴ ُﻜ ْﻢ ِإ
َ َأ ْﻧ ُﻔ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
6 QS. Al-Nisa, 4:29 kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu;
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.”
ﻋﻠَﻰ اﻟَّﻠ ِﻪ ِر ْز ُﻗﻬَﺎ
َ ض إِﻻ ِ ﻦ دَاَّﺑ ٍﺔ ﻓِﻲ اﻷ ْر ْ َوﻣَﺎ ِﻣ
ﻦ
ٍ ب ُﻣﺒِﻴ ٍ ﻞ ﻓِﻲ ِآﺘَﺎ ٌّ ﻋﻬَﺎ ُآ
َ ﺴ َﺘ ْﻮ َد
ْ ﺴ َﺘ َﻘ َّﺮهَﺎ َو ُﻣ
ْ َو َﻳ ْﻌَﻠ ُﻢ ُﻣ
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di
7 QS. Hud, 11: 6 bumi melainkan Allah-lah yang memberi
rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam
binatang itu dan tempat penyimpanannya.
Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata
(Lohmahfuz).”
131
ﻞ وَﻻ
ِ ﺴﺒِﻴ
َّ ﻦ اﻟ
َ ﻦ وَا ْﺑ
َ ﺴﻜِﻴْ ﺡ َﻘّ ُﻪ وَا ْﻟ ِﻤ
َ ت ذَا ا ْﻟ ُﻘ ْﺮﺑَﻰ ِ وَﺁ
ُﺗ َﺒ ِّﺬ ْر َﺗ ْﺒﺬِﻳﺮًا
ن
َ ﻦ َوآَﺎِ ﺸﻴَﺎﻃِﻴ َّ ن اﻟ
َ ﺧﻮَا ْ ﻦ آَﺎﻧُﻮا ِإ َ ن ا ْﻟ ُﻤ َﺒ ِّﺬرِﻳَّ ِإ
ن ِﻟ َﺮِّﺑ ِﻪ َآﻔُﻮرًاُ ﺸ ْﻴﻄَﺎ َّ اﻟ
(26)”Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga
QS. Al-Israa,
8 yang dekat akan haknya, kepada orang miskin
17:26-27
dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah
kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara
boros.”
(27)”Sesungguhnya pemboros-pemboros itu
adalah saudara-saudara setan dan setan itu
adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”
ﺠ ٍﺪ َو ُآﻠُﻮا
ِﺴْ ﻞ َﻣ ِّ ﻋ ْﻨ َﺪ ُآ
ِ ﺧﺬُوا زِﻳ َﻨ َﺘ ُﻜ ْﻢُ ﻳَﺎ َﺑﻨِﻲ ﺁ َد َم
ﻦ
َ ﺴ ِﺮﻓِﻴْ ﺐ ا ْﻟ ُﻤ
ُّ ﺤِ ﺴ ِﺮﻓُﻮا ِإ َﻧّ ُﻪ ﻻ ُﻳ ْ ﺷ َﺮﺑُﻮا وَﻻ ُﺗْ وَا
QS. Al-A’raf, 7: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang
9 indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan
31
minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang berlebih-lebihan.”
ﻞ
َّ ﻄﻬَﺎ ُآ
ْ ﺴ
ُ ﻚ وَﻻ َﺗ ْﺒ
َ ﻋ ُﻨ ِﻘ
ُ ك َﻣ ْﻐﻠُﻮَﻟ ًﺔ ِإﻟَﻰ
َ ﻞ َﻳ َﺪ
ْ ﺠ َﻌْ وَﻻ َﺗ
ﺤﺴُﻮرًاْ ﻂ َﻓ َﺘ ْﻘ ُﻌ َﺪ َﻣﻠُﻮﻣًﺎ َﻣ
ِﺴ ْ ا ْﻟ َﺒ
QS. Al-Israa, 17: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu
10
29 terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu
terlalu mengulurkannya karena itu kamu
menjadi tercela dan menyesal”
ﺳﻌَﻰ
َ ن إِﻻ ﻣَﺎ
ِ ﺲ ﻟِﻺ ْﻧﺴَﺎ
َ ن َﻟ ْﻴ
ْ َوَأ
QS. Al-Najm, 53: “dan bahwasanya seorang manusia tiada
11
39 memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya.”
“Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di
12 HR. Ibnu Umar
bawah”
“Tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya,
13 HR. Khatib dan meninggalkan akhirat untuk dunianya, serta
tidak menajdi beban orang lain”
“bekerja seolah-olah akan hidup selamanya, dan
14 HR. Ibnu Asakri
beribadah seolah-olah akan mati besok”.
“Perintah berusaha dengan tanganya sendiri
(bekerja); Sesungguhnya Nabi Daud memakan
15 HR. Bukhari
hasil dari usaha tangannya sendiri.”
132
“Mencari rezeki yang halal adalah wajib setelah
16 HR. Thabrani
kewajiban yang lain.”
“Jika telah melakukan shalat subuh, janganlah
17 HR. Thabrani kalian tidur. Maka kalian tidak akan sempat
mencari rezeki.”
“Sesungguhnya Allah mencintai hambanya yang
bekerja. Barangsiapa yang bekerja keras mencari
18 HR. Ahmad
nafkah yang halal untuk keluarganya, maka
sama seperti mujahid di jalan Allah.”
Sumber: Dimodifikasi dari Muh. Yunus, (2008: 31)
133
Entrepreneur berasal dari bahasa Prancis yaitu entreprendre/
wirausaha yang artinya memulai atau melaksanakan. Wiraswasta/
wirausaha berasal dari kata: Wira: utama, gagah berani, luhur; swa:
sendiri; sta: berdiri; usaha: kegiatan produktif. Dari kata tersebut,
wiraswasta pada mulanya ditujukan pada orang-orang yang dapat
berdiri sendiri. Di Indonesia kata wiraswasta sering diartikan sebagai
orang-orang yang tidak bekerja pada sektor pemerintahan, yaitu: para
pedagang, pengusaha, dan orang-orang yang bekerja di perusahaan
swasta, sedangkan wirausahawan adalah orang-orang yang mempunyai
usaha sendiri. Wirausahawan adalah orang yang berani membuka
kegiatan produktif yang mandiri.
Istilah kewirausahaan, kata dasarnya berasal dari terjemahan
entrepreneur, yang dalam bahasa Inggris di kenal dengan between taker
atau go between. Pada abad pertengahan istilah entrepreneur digunakan
untuk menggambarkan seseorang aktor yang memimpin proyek
produksi. Konsep wirausaha secara lengkap dikemukakan oleh Josep
Schumpeter, yaitu sebagai orang yang mendobrak sistem ekonomi yang
ada dengan memperkenalkan barang dan jasa yang baru, dengan
menciptakan bentuk organisasi baru atau mengolah bahan baku baru.
Orang ter-sebut melakukan kegiatannya melalui organisasi bisnis yang
baru atau pun yang telah ada.
Dalam definisi tersebut ditekankan bahwa wirausaha adalah
orang yang melihat adanya peluang kemudian menciptakan sebuah
organisasi untuk memanfaatkan peluang tersebut. Menurut Steinhoff
dan John F. Burgess (1993:35), wira-usaha adalah orang yang meng-
organisir, mengelola dan berani menanggung risiko untuk menciptakan
usaha baru dan peluang berusaha. Ada 6 hakekat penting kewira-
usahaan sebagai berikut (Suryana, 2003: 13), yaitu:
1. Kewirausahaan adalah suatu nilai yang diwujudkan dalam perilaku
yang dijadikan dasar sumber daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat,
kiat, proses, dan hasil bisnis (Acmad Sanusi, 1994).
2. Kewirausahaan adalah suatu kemampuan untuk menciptakan
sesuatu yang baru dan berbeda (ability to create the new and different)
(Drucker, 1959).
134
3. Kewirausahaan adalah suatu proses penerapan kreativitas dan
inovasi dalam memecahkan persoalan dan menemukan peluang
untuk memperbaiki kehidupan (Zimmerer. 1996).
4. Kewirausahaan adalah suatu nilai yang diperlukan untuk memulai
suatu usaha (start-up phase) dan perkembangan usaha (venture growth)
(Soeharto Prawiro, 1997).
5. Kewirausahaan adalah suatu proses dalam mengerjakan sesuatu
yang baru (creative), dan sesuatu yang berbeda (innovative) yang
bermanfaat memberi nilai lebih.
6. Kewirausahaan adalah usaha menciptakan nilai tambah dengan jalan
mengkombinasikan sumber-sumber melalui cara-cara baru dan
berbeda untuk memenangkan persaingan. Nilai tambah tersebut
dapat diciptakan dengan cara mengembangkan teknologi baru,
menemukan pengetahuan baru, menemukan cara baru untuk meng-
hasilkan barang dan jasa yang baru yang lebih efisien, memperbaiki
produk dan jasa yang sudah ada, dan menemukan cara baru untuk
memberikan kepuasan kepada konsumen.
135
Ada tiga jenis wirausaha (Ir. Ciputra), yaitu:
1. Necessity Entrepreneur yaitu menjadi wirausaha karena terpaksa dan
desakan kebutuhan hidup.
2. Replicative Entrepreneur, yaitu wirausaha yang cenderung meniru-
niru bisnis yang sedang ngetren sehingga rawan terhadap per-
saingan dan kejatuhan.
3. Innovate Entrepreneur, yaitu wirausaha inovatif yang terus berpikir
kreatif dalam melihat peluang dan meningkatkannya.
136
Adapun enterpreneur adalah seseorang yang memiliki kombinasi
unsur-unsur kewirausahaan (secara) internal, mengelola dan berani
menanggung risiko untuk memanfaatkan peluang usaha dan mencipta-
kan sesuatu yang baru dengan keterampilan yang dimiliki. Dalam
riwayat Imam Ahmad, Nabi bersabda: “Usaha yang paling baik adalah hasil
karya seseorang dengan tangannya sendiri jika ia jujur (bermaksud baik)”.
Wirausahawan yang sukses haruslah orang yang mampu melihat
ke depan, berpikir dengan penuh perhitungan, serta mencari pilihan
dari berbagai alternatif dan solusinya. Geoffrey G. Meredith (dalam
Suharyadi, 2011: 9) mengemukakan ciri-ciri wirausahawan sebagai
berikut:
a. Percaya diri
b. Berorientasi pada Tugas dan Hasil
c. Berani mengambil risiko
d. Kepemimpinan
e. Keorisinalan
f. Berorientasi pada Masa Depan.
137
kan dengan tepat dan benar akan dapat merealisasikan peranannya
dalam aktivitas ekonomi.
Sebagaimana ekonomi kapitalis, Islam sebagai agama universal
sangat men-dorong dan motivasi pendayagunaan harta/modal secara
optimal untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal, Islam mene-
kankan prinsip keadilan dan kebebasan dengan berbagai per-timbangan
dan perhitungan yang jelas sehingga tidak merugikan penjual dan tidak
pula mendzalimi konsumen/pembeli. Berbagai bentuk aksi bisnis yang
dapat mempengaruhi harga dilarang dalam Islam.
Penimbunan harta yang dilakukan oleh produsen/penjual, di
antaranya akan menimbulkan harga yang tidak adil/seimbang sehingga
sangat menguntungkan produsen/penjual dan merugikan konsumen/
pembeli. Keuntungan dari harta tersebut hanya akan berputar di
kalangan orang/kelompok tertentu saja. Kondisi seperti ini akan
menciptakan ketimpangan pendapatan dan kekayaan serta memuncul-
kan kecemburuan sosial yang pada akhirnya akan mempengaruhi
aktivitas ekonomi secara keseluruhan. Kondisi tersebut kotra produktif
tujuan dari aktivitas ekonomi itu sendiri. Oleh karena itu, Islam
melarang keras aksi-aksi bisnis yang akan merusak stabilitas ekonomi
secara menyeluruh baik jangka pendek maupun jangka panjang.
(MAHKAMAH Vol. VIII No. 8 Desember 2008, hal. 90)
Terkait dengan keuntungan dalam bisnis, al-Qur’an dapat meng-
informasikan bahwa keuntungan lawan kata dari rugi ( )ﺧﺴﺮتsebagai
gambaran kebiasaan bangsa Arab, dalam mengucapkan kata رﺏﺢ ﺏﻴﻌﻚ
(daganganmu untung). Ungkan ini kata penafsiran al-Qurtubi (2002:
1470), mengandung arti: “engkau beruntung dan merugi dalam
daganganmu”.
Akan tetapi dalam al-Qur’an surat al-Baqarah [2] ayat 16 yang di-
katakan untung dalam berbisnis adalah keuntungan dengan mendapat-
kan petunjuk (al-huda) atau dapat juga diartikan sebagai keuntungan
karena dipertukarkan ad-dhalal dengan keimanan. Al-Huda/Keimanan
merupakan modal pokok yang tidak terhingga nilainya, sementara al-
dhalal/kekufuran sama sekali tidak bernilai.
Secara ekonomi, menurut Eef Saefullah dalam Jurnal Mahkamah
Vol. VIII No. 8 Tahun 2008, ekonomi bisnis tersebut tidak adil atau tidak
138
seimbang karena akan mengakibatkan pada kerugian yang besar.
Namun karena dorongan rasa suka/cinta sehingga akibat dari bisnis
tersebut menjadi terlupakan. Tidak bisa dipungkiri bahwa tujuan para
pedagang ialah menyelamatkan modal pokok dan meraih keuntungan.
Sementara itu orang-orang yang dicontohkan dalam ayat di atas menyia-
nyiakan modal utama mereka, yaitu berupa petunjuk dan menukarkan-
nya dengan kesesatan, bahkan petunjuk itu tidak tersisa pada mereka
karena rasa suka/cintanya pada kesesatan itu.
Menurut Rasyid Rida dalam Tafsir Al-Manar (1972: 14), bahwa
sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu lebih memilih
kesesatan (ad-dalalah) dari pada petunjuk (al-Huda). Mereka mengorban-
kannya demi suatu keuntungan sementara yang mereka yakini bisa
mendapatkannnya dari orang lain. Bentuknya adalah barter antara kedua
belah pihak dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan semata.
Mengingat keuntungan pada bisnis sudah sangat jelas. Karena
keuntungan itu pertambahan pada bisnis. Dijelaskan pula dalam Tafsir
Ruh Al-Ma’ani, Alusi berpendapat bahwa bisnis itu adalah pengelolaan
terhadap modal pokok untuk mencari keuntungan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keuntungan merupakan
kelebihan atas modal pokok atau pertambahan pada modal pokok yang
diperoleh melalui proses bisnis. Jadi tujuan utama para pebisnis adalah
melindungi dan menyelamatkan modal pokok dan mendapatkan
keuntungan. Hal ini diperjelas oleh hadits Nabi yang berkaitan dengan
keuntungan diantaranya adalah:
ﻻیﺴﻠﻢ ﻝﻪ رﺏﺤﻪ ﺣﺘﻲ یﺴﻠﻢ ﻝﻪ راس ﻣﺎﻝﻪ آﺬاﻝﻚ, ﻣﺜﻞ اﻝﻤﺆﻣﻦ ﻣﺜﻞ اﻝﺘﺎﺝﺮ
(اﻝﻤﺆﻣﻦ ﻻ ﺕﺴﻠﻢ ﻝﻪ ﻥﻮاﻓﻠﻪ ﺣﺘﻲ ﺕﺴﻠﻢ ﻓﺮاﺉﻀﻪ )ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ
Artinya: “Seorang mukmin itu bagaikan seorang pedagang: ia tidak akan
menerima keuntungan sebelum ia mendapatkan modal pokok-nya.
Demikian juga seorang mukmin tidak akan mendapatkan amalan-
amalan sunahnya sebelum ia menerima amalan-amalan wajibnya”.
(H.R. Buhari dan Muslim)
139
juga seorang mukmin tidak akan mendapatkan pahala amalan sunah-
nya apabila amalan wajibnya belum disempurnakan. Jadi, keuntungan
adalah bagian yang berlebih setelah menyempurnakan modal pokok.
Pengertian tersebut sesuai dengan pengertian secara bahasa maupun al-
Qur’an, yaitu pertambahan atau kelebihan dari modal pokok. Menurut
Hidayat Nataatmadja (2001: 59), al-Qur’an mengajarkan bahwa amal
shaleh merupakan bentuk kongkrit dari etika bisnis Islami. Rasulullah
pernah menjadi pedagang, memimpin kabilah dagang, dan tentunya
dalam posisi seperti itu beliau menerapkan etika bisnis, di-mana
“keuntungan” menjadi salah satu unsur etika yang dominan. Calon
istrinya, Khadijah sebagai pemilik perusahaan, sangat senang dengan
kinerja Muhammad sebagai manajer bisnis. Namun beliau mengedepan-
kan dalam bisnisnya berpijak pada niat dan motivasi “beramal shaleh”.
140
BAB VII
ETIKA PRODUKSI
PERSPEKTIF ISLAM
A. Pendahuluan
141
semua. Mari simak penjelasan berikut ini, tentu diawali dengan
pemahaman akan arti produksi terlebih dahulu.
142
mencapai tujuan hidup sesuai syariat Islam, kebahagiaan dunia dan
akhirat (Monzer Khaf).
Mannan, Siddiqi dan ahli ekonomi Islam lainnya menekankan
pentingnya motif altruisme, dan penekanan akan maslahah dalam
kegiatan produksi. Perusahaan tidak hanya mementingkan keuntungan
pribadi dan perusahaan namun juga memberikan kemaslahatan bagi
masyarakat dengan tidak mengabaikan lingkungan sosialnya. Hal ini
bertentangan dengan produksi dalam Konvensional yang mengutama-
kan self interest. Kegiatan produksi pada hakikatnya adalah ibadah.
Sehingga tujuan dan prinsipnya harus dalam kerangka ibadah.
Perusahaan tidak hanya mementingkan keuntungan pribadi dan
perusahaan namun juga memberikan kemaslahatan bagi masyarakat
dengan tidak mengabaikan lingkungan sosialnya. Hal ini bertentangan
dengan produksi konvensional.
ت ِر ْزﻗًﺎ َﻝ ُﻜ ْﻢ
ِ ﻦ اﻝ َّﺜ َﻤﺮَا
َ ج ِﺏ ِﻪ ِﻣ
َ ﺧ َﺮ
ْ ﺴﻤَﺎ ِء ﻣَﺎ ًء ﻓََﺄ َّ ﻦ اﻝ َ ض َوَأ ْﻥ َﺰ َل ِﻣَ ت وَاﻷ ْر ِ ﺴﻤَﺎوَا َّ ﻖ اﻝ َ ﺧَﻠ َ اﻝَّﻠ ُﻪ اَّﻝﺬِي 32
ﺨ َﺮ َﻝ ُﻜ ُﻢ اﻷ ْﻥﻬَﺎ َر َّ ﺳ
َ ﺤ ِﺮ ِﺏَﺄ ْﻣ ِﺮ ِﻩ َو
ْ ي ﻓِﻲ ا ْﻝ َﺒ َ ﺠ ِﺮ ْ ﻚ ِﻝ َﺘ
َ ﺨ َﺮ َﻝ ُﻜ ُﻢ ا ْﻝ ُﻔ ْﻠ
َّ ﺳ
َ َو
ﺨ َﺮ َﻝﻜُﻢُ اﻝَّﻠ ْﻴ َﻞ وَاﻝ َّﻨﻬَﺎ َر
َّ ﺳ
َ ﻦ َو ِ ﺲ وَا ْﻝ َﻘ َﻤ َﺮ دَا ِﺉ َﺒ ْﻴَ ﺸ ْﻤ َّ ﺨ َﺮ َﻝﻜُﻢُ اﻝ َّ ﺳ
َ َو 33
ﻈﻠُﻮ ٌم َآ َﻔّﺎ ٌر
َ ن َﻝ
َ ن اﻹ ْﻥﺴَﺎ
َّ ﺤﺼُﻮهَﺎ ِإ
ْ ُن َﺕﻌُﺪُّوا ِﻥ ْﻌ َﻤ َﺔ اﻝَّﻠ ِﻪ ﻻ ﺕ
ْ ﺳَﺄ ْﻝﺘُﻤُﻮﻩُ َوِإ
َ ﻦ آُ ِّﻞ ﻣَﺎ
ْ وَﺁﺕَﺎآُ ْﻢ ِﻣ 34
Artinya:
(32) Allahlah yang Telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air
hujan dari langit, Kemudian dia mengeluarkan dengan air hujan itu
berbagai buah-buahan menjadi rezeki untukmu; dan dia Telah
menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan
dengan kehendak-Nya, dan dia Telah menundukkan (pula) bagimu
sungai-sungai.
(33) Dan dia Telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang
terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan Telah menunduk-kan
bagimu malam dan siang.
(34) Dan dia Telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa
yang kamu mohonkan kepadanya. dan jika kamu menghitung nikmat
143
Allah, tidak lah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya
manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).
ﻃ ِّﻴ َﺒ ًﺔ
َ ﺣﻴَﺎ ًة
َ ﺤ ِﻴ َﻴ َّﻨ ُﻪ
ْ ﻦ َﻓ َﻠ ُﻨ
ٌ ﻦ َذ َآ ٍﺮ َأ ْو ُأ ْﻥﺜَﻰ َو ُه َﻮ ُﻣ ْﺆ ِﻣْ ﻋ ِﻤ َﻞ ﺹَﺎ ِﻝﺤًﺎ ِﻣ َ ﻦ ْ َﻣ
ن
َ ﻦ ﻣَﺎ آَﺎﻥُﻮا َی ْﻌ َﻤﻠُﻮ ِﺴ َ ﺣ ْ ﺝ َﺮ ُه ْﻢ ِﺏ َﺄ
ْ ﺠ ِﺰ َی َّﻨ ُﻬ ْﻢ َأ
ْ َو َﻝ َﻨ
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri
balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik daripada yang telah
mereka kerjakan”.
Pemahaman produksi dalam al-Qur’an memiliki arti sebagai bentuk
usaha keras dalam pengembangan faktor-faktor sumber produksi
yang diperbolehkan. Allah Swt berfirman dalam al-Qur’an:
ن اﻟَّﻠ َﻪ ﻻ
َّ ﻞ اﻟَّﻠ ُﻪ َﻟ ُﻜ ْﻢ وَﻻ َﺗ ْﻌ َﺘﺪُوا ِإ
َّ ﺡ
َ ت ﻣَﺎ َأ
ِ ﻃِّﻴﺒَﺎ
َ ﺤ ِّﺮﻣُﻮا
َ ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا ﻻ ُﺗ
َ ﻳَﺎ َأُّﻳﻬَﺎ اَّﻟﺬِﻳ
ﻦ
َ ﺐ ا ْﻟ ُﻤ ْﻌ َﺘﺪِﻳ
ُّ ﺤ
ِ ُﻳ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang
baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui
batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas”. (QS. Al-Maidah, 5: 87)
ج
َ ﺧ َﺮ
ْ ﺴﻤَﺎ ِء ﻣَﺎ ًء َﻓَﺄ
َّ ﻦ اﻟَ ل ِﻣ َ ﺴﻤَﺎ َء ِﺑﻨَﺎ ًء َوَأ ْﻧ َﺰ َّ ض ِﻓﺮَاﺷًﺎ وَاﻟ َ ﻞ َﻟ ُﻜ ُﻢ اﻷ ْر َ ﺟ َﻌَ اَّﻟﺬِي
ن
َ ﺠ َﻌﻠُﻮا ِﻟَّﻠ ِﻪ َأ ْﻧﺪَادًا َوَأ ْﻧ ُﺘ ْﻢ َﺗ ْﻌَﻠﻤُﻮ
ْ ت ِر ْزﻗًﺎ َﻟ ُﻜ ْﻢ ﻓَﻼ َﺗ
ِ ﻦ اﻟَّﺜ َﻤﺮَا
َ ِﺑ ِﻪ ِﻣ
“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit
sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia
menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki
untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi
Allah, padahal kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah, 2: 22)
144
Beliau juga pernah membuat mimbar. Dari Sahal berkata: “Rasul
Allah saw telah mengutus kepada seorang wanita, (kata beliau):
‘Perintahkan anakmu si tukang kayu itu untuk membuatkan sandaran
tempat duduku, sehingga aku bisa duduk di atasnya’.” (HR. Imam
Bukhari)
Pada masa Rasulullah, orang-orang biasa memproduksi barang, dan
beliau pun mendiamkan aktivitas mereka. Sehingga diamnya beliau
menunjukkan adanya pengakuan (taqrir) beliau terhadap aktivitas
berproduksi mereka. Status taqrir dan perbuatan Rasul itu sama
dengan sabda beliau, artinya sama-sama merupakan dalil syara’.
145
Pekerjaan yang termaktub dalam hadits tersebut (jual beli anjing, jual
beli seks, dan cantuk) bukan termasuk produksi, karena tidak
menghasilkan sesuatu yang manfaat. Produksi dalam bahasa Arab
adalah al-intaaj dari akar kata nataja, tetapi dalam istilah fiqh lebih
dikenal kata tahsil, yaitu menghasilkan sesuatu atau penghasilan.
Begitupun dengan Ibnu Khaldun, menggunakan kata tahsil untuk
produksi ketika ia membahas pembagian spesialisasi tenaga kerja.
146
3. Masalah ekonomi bukanlah masalah yang jarang terdapat dalam
kaitannya dengan berbagai kebutuhan hidup tetapi ia timbul karena
kemalasan dan kealpaan manusia dalam usahanya untuk mengambil
manfaat sebesar-besarnya dari anugerah-anugerah Allah SWT baik
dalam bentuk sumber-sumber manusiawi maupun sumber-sumber
alami. Kemalasan dan kealpaan disebut “ke-zaliman” atau
“kekejaman” dalam al-Qur’an. Sebuah Hadits Nabi menceritakan
bahwa beliau menyerukan: “Mintalah pertolongan kepada Allah dan
jangan merasa tidak mampu, karena tidak ada sesuatu pun yang tidak
mungkin dikerjakan”.
147
dimakan oleh dirinya sendiri dan keluarganya oleh Allah swt dihitung
sebagai sedekah, sekalipun itu sebagai kewajiban. Ini menunjukkan
betapa mulyanya harga sebuah produksi apalagi jika sampai memper-
kerjakan orang lain (karyawan) yang banyak sehingga mereka dapat
menghidupi keluarganya. (Nur Diana, 2008: 41)
Menurut Umar Chapra (2000: 12), motif produksi adalah
memenuhi kebutuhan pokok setiap individu dan menjamin setiap orang
mempunyai standar hidup manusiawi, terhormat dan sesuai dengan
martabat manusia sebagai khalifah. Tidak terpenuhinya kebutuhan
tersebut dapat menimbulkan masalah mendasar bagi manusia. Oleh
sebab itu, setiap muslim juga harus berusaha meningkatkan pendapatan
agar menjadi mustahiq yang dapat membantu kaum lemah
(mustad’afin) melalui pembayaran zakat, infak, sedekah dan wakaf.
148
merumuskan prinsip-prinsip etika produksi, penelitian ini pada
mulanya melakukan komparasi terhadap paradigma etika produksi
konvensional dan Islam.
Adapun pembahasan prinsip etika produksi Islam dilakukan
dengan menjadikan al-Qur’an sebagai landasan ontologis kegiatan
produksi. Kaidah-kaidah moral imperatif dalam al-Qur’an dipetakan
secara rasional untuk menentukan pemberlakuannya, mengidentifikasi
unsur hak dan kewajiban yang terkandung di dalamnya, dan relevansi
nya dengan konsep lain. Morality concept tersebut dirumuskan menjadi
aksioma etika serta diujicoba untuk mencari konvergensinya dengan
aksioma yang lain. Setelah itu baru meletakkan aksioma tersebut dalam
ranah pemikiran ekonomi Islam dan mengaitkannya dengan pemba-
hasan etika dalam Islam.
Umumnya, industri didirikan dengan modal beberapa orang yang
saling melakukan perseroan untuk mendirikan industri tersebut.
Sehingga pada saat ini, berlakulah hukum-hukum perseroan secara
Islami dalam pendirian industri tersebut. Sedangkan dari segi kegiatan
nya, seperti kegiatan administrasi, kerja, berproduksi ataupun yang lain,
bisa diberlakukan hukum-hukum ijarah atas seorang ajiir. Adapun dari
segi pemasaran hasil produksinya, bisa diberlakukan hukum-hukum
jual beli dan perdagangan luar negeri, sekaligus tidak boleh melakukan
penipuan, baik yang berbentuk tadlis maupun ghaban, dan penimbunan
(ihtikar), sebagaimana tidak diperbolehkan untuk mempermainkan
harga dan hukum-hukum jual beli yang lain.
Sedangkan pengarahan terhadap hasil produksi, baik berupa
produksi kecil maupun besar, sebelum memproduksi suatu produk, bisa
diberlakukan hukum-hukum berproduksi. Oleh karena itu syara’ harus
dijadikan tolok ukur dalam mengikat atau tidak, pelanggan (pemesan)
dengan apa yang diproduksi sesuai dengan pesanannya. (Taqiyudin an-
Nabhani, 1996: 152)
Dan sebagai akhir kata dalam bahasan etika produksi tentu harus
diakhiri dengan ucapan ALHAMDULILLAHIRABBIL ‘ALAMIN
sebagaimana ketika akan memulai berproduksi mengucap
BISMILLAHIR RAHMANIRRAHIM, bentuk ucapan itu merupakan
bentuk syukur ni’mat atas upaya manusia dapat hidup mampu
memenuhi kebutuhan dan keinginan di dunia ini. Kata-kata ini
149
merupakan bentuk syukur bi lisan yang artinya ucapan syukur kepada
Allah atas segala nikmat dan karunia-Nya. Nikmat berupa anugerah-
anugerah atau rezeki-rezeki Allah yang dapat dimanfaatkan yang tak
terkira banyaknya, sehingga bila dihitung secara kuantitatif pun tidak
bisa.
Karunia merupakan padanan dari aspek nikmat dimana karunia
ini terdampar di bumi dan lautan serta langit. Manusia dapat dengan
ilmunya dapat menundukkan lautan sehingga dapat dijadikan sarana
men-cara karunia dan nikmat yang ada di dalamnya. Demikian halnya
di daratan beserta isinya, pun demikian langit dapat ditundukkan untuk
manusia melalui pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi.
Karenanya segala puji hanya tercurah kepada-Nya, kata-kata ini
merupakan puncak dari segala kesyukuran kepada Allah oleh manusia-
manusia beriman, ber-Islam dan berihsan yang mana akan membentuk
karakter manusia taqwa yang ter-cermin dalam pola dan perilaku dalam
mengais rezeki, mengerahkan segenap potensi untuk menggali-nya dan
seterusnya.
Oleh sebab itu dalam hal produksi, para fuqaha menetapkan
hukum fardu ain bagi setiap muslim untuk berusaha memanfaatkan
sumber-sumber alam. Manusia harus mengoptimalkan pikiran dan
keahliannya untuk mengembangkan sumber-sumber investasi dan jenis-
jenis usaha dalam menjalankan apa yang telah disyari’atkan. Hal ini
sesuai dengan tuntutan al-Qur’an agar manusia memakmurkan bumi,
(Q.S. Hud: 61). Sebagaimana Allah SWT berfirman:
ﺸَﺄ ُآ ْﻢ
َ ﻏ ْﻴ ُﺮ ُﻩ ُه َﻮ َأ ْﻧ
َ ﻦ ِإَﻟ ٍﻪ
ْ ﻋ ُﺒﺪُوا اﻟَّﻠ َﻪ ﻣَﺎ َﻟ ُﻜ ْﻢ ِﻣ ْ ل ﻳَﺎ َﻗ ْﻮ ِم اَ َوِإﻟَﻰ َﺛﻤُﻮ َد َأﺧَﺎ ُه ْﻢ ﺹَﺎِﻟﺤًﺎ ﻗَﺎ
ﺐ
ٌ ﺐ ُﻣﺠِﻴ ٌ ن َر ِﺑّﻲ َﻗﺮِﻳ َّ ﺳ َﺘ ْﻐ ِﻔﺮُو ُﻩ ُﺛ َّﻢ ﺗُﻮﺑُﻮا ِإَﻟ ْﻴ ِﻪ ِإ
ْ ﺳ َﺘ ْﻌ َﻤ َﺮ ُآ ْﻢ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻓَﺎ
ْ ض وَا
ِ ﻦ اﻷ ْر
َ ِﻣ
Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Saleh. Saleh berkata: "Hai
kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia
telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu
pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah
kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi
memperkenankan (doa hamba-Nya)."
150
Bahkan Nabi Saw pun menganjurkan agar manusia dalam ber-
produksi selalu mengembangkan sumber daya alam secara efisien (tidak
boros dan eksploitatif), seandainya tidak mampu mengembangkannya
maka dianjurkan bekerja sama dengan yang lain. Nabi Saw bersaba:
“Barangsiapa yang mempunyai tanah, maka tanamilah, jika tidak mampu maka
supaya ditanami oleh saudaranya”. (HR. Bukhari, 2172, Nasa’i 2814, Ahmad
13751)
Hadits ini juga menganjurkan agar seorang muslim menanami
lahan yang tersedia dengan tanaman apa saja yang bermanfaat, sangat
tidak dianjurkan membiarkan lahan kosong apalagi menebangi pohon.
Karena fungsi pohon sangat besar, yaitu di samping dapat memberi
keteduhan ternyata pohon dapat menghasilkan oksigen yang
dibutuhkan manusia. Karena itu, menebang satu pohon sama dengan
menghilangkan nyawa manusia.
Nabi saw juga memberi perhatian yang besar terhadap proses
produksi dengan mengaitkannya terhadap ibadah, sebagaimana dalam
Hadits: ”Tidak ada seseorang yang menanam tanaman kecuali ditulis oleh
Allah pahala sebanyak buah yang keluar dari tanamannya.” (HR. Ahmad)
Dengan demikian, kerja produktif bukan saja dianjurkan tetapi
juga sebagai kewajiban religius. Kerja adalah milik setiap orang dan
hasilnya menjadi hak miliki pribadi yang harus dilindungi dan
mendapat imbalan pahala dari Allah. Bahkan andaikan hasil tanaman-
nya dimakan oleh burung, dihitung sedekah, yakni sebagai amal baik
yang bermanfaat untuk makhluk Allah SWT. Nabi saw bersabda: “Tidak
ada seorang muslim yang menanam tanaman, kemudian dimakan oleh burung
atau manusia atau binatang ternak, kecuali termasuk sedekah”. (HR. Muslim
(2904), Turmudzi (1303), Ahmad (12038, 12529, 12930, 13064)
151
F. Power Point Ikhtisar Etika Produksi dalam Islam
- Kewajiban produsen
1. Beritikad baik dalam kegiatan usahanya
2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta
memberikan penjelasan, penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar
dan jujur serta tidak diskriminatif
4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi
dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar
mutu dan/atau jasa yang berlaku
5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji
dan/atau mencoba barang dan/atau jasa yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan
6. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian
atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
7. Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian bila
barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan
tidak sesuai dengan perjanjian
Produksi Konsumsi
Distribusi
152
DEFINISI
Umum (Ekonom) Islam (Scholars Muslim)
Kasb (berusaha)
Imarah (memakmurkan)
153
FIQH UMAR BIN KHATTAB TTG
TERMINOLOGI PRODUKSI
i1
i2
Kasb (berusaha)
Imarah (memakmurkan)
MOTIF&TUJUAN PRODUKSI
Umum Islam
154
FAKTOR PRODUKSI
| Para muslim scholars
berbeda pendapat tentang
faktor-faktor produksi.
| Bekerja merupakan sendi
Sumber
utama produksi.
daya
alam
3,4 | Perbedaan bukan terkait
Tenaga
1,2 Kerja. dengan proses produksi
Sosialis tetapi pada unsur yang
utama:
Modal y Qardhawi: alam dan bekerja.
Keahlian
Kapitalis y Alharitsi: sumber daya bumi:
tanah, sungai, bekerja,
modal:besi, benih, pohon,
hewan.
Teori Umum:
Faktor Produksi dalam Islam
Faktor Produksi
155
CONTCOH’
ISLAM UMUM (KAPITALIS)
Sumber: indah.piliyanti@gmail.com
156
BAB VIII
ETIKA KONSUMSI
PERSPEKTIF ISLAMI
Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di
antara keduanya terdapat hal-hal musyabbihat
(syubhat/samar, tidak jelas halal-haramnya), yang tidak
diketahui oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa yang
menjaga hal-hal musyabbihat, maka ia telah
membersihkan kehormatan dan agamanya. Dan
barangsiapa yang terjerumus dalam syubhat, maka ia
seperti penggembala di sekitar tanah larangan, hampir-
hampir ia terjerumus ke dalamnya. Ketahuilah bahwa
setiap raja mempunyai tanah larangan, dan ketahuilah
sesungguhnya tanah larangan Allah adalah hal-hal yang
diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada
sekerat daging. Apabila daging itu baik, maka seluruh
tubuh itu baik; dan apabila sekerat daging itu rusak,
maka seluruh tubuh itu pun rusak. Ketahuilah, dia itu
adalah hati."
(HR. Bukhari)
A. Pendahuluan
157
Walaupun tidak semua konsumsi berhubungan dengan makan, namun
pada dasarnya kegiatan mengurangi atau menghabiskan nilai guna/
manfaat suatu barang dan atau jasa adalah konsumsi.
Etika Islami memberikan ajaran untuk memulai mengkonsumsi
(makan) dengan membaca do’a sebagai berikut, yaitu:
“”اﻟﻠﻬﻢ ﺑﺎرك ﻟﻨﺎ ﻓﻴﻤﺎرزﻗﺘﻨﺎ وﻗﻨﺎ ﻋﺬاب اﻟﻨﺎر. Adalah bacaan do’a untuk
supaya dalam mengkonsumsi barang atau jasa dapat berdaya guna.
Bukan berdaya guna saja, akan tetapi memberikan multiplier effect pada
tatanan kehidupan selanjutnya. Nilai ajaran ini memberikan kontribusi
penting dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Rezeki yang halal dalam
mengkonsumsi merupakan prasyarat utama, demikian juga cara mem-
perolehnya. Bagaimana mendapatkannya, apakah dengan cara yang
halal atau haram, ataukah walau pun barang/jasanya halal tetapi dalam
mekanisme memperolehnya melanggar prinsip non antaraddin atau pun
melalui la tadzlimun wala yudzlamun. Hal ini penting karena keberkahan
dalam mengkonsumi sebagai bagian dalam hidup tergantung dari
prinsip-prinsip itu semua, sehingga berdampak pula dalam penye-
lamatan dirinya dari adzab (punishment) dunia akhirat.
Konsumsi merupakan bagian aktivitas ekonomi yang sangat vital
bagi kehidupan manusia. Konsumsi adalah fitrah manusia untuk
mempertahankan hidup nya. Jika manusia masih berada dalam fitrah
yang suci, maka manusia sadar bahwa konsumsi memiliki keterbatasan
baik dari segi kemampuan harta maupun apa yang akan dikonsumsi
sesuai dengan kebutuhannya. Teori etika konsumsi Islami membatasi
konsumsi berdasarkan konsep harta dan berbagai jenis konsumsi sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah Islam demi keberlangsungan dan kese-
jahteraan itu sendiri. Dalam Islam aktivitas konsumsi telah diatur dalam
bingkai syariah, sehingga dapat menuntun seorang muslim agar tidak
terjerumus dalam keharaman dan apa yang dikonsumsinya menjadi
berkah.
158
ajaran konsumsi, belum termasuk derivasi dari akar kata akala dan
syaraba selain fi’il amar di atas sejumlah 27 kali.
Secara bahasa, konsumsi berasal dari bahasa Belanda consumptie
yang berarti suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau meng-
habiskan daya guna suatu benda, barang maupun jasa dalam rangka
memenuhi kebutuhan. Konsumen adalah individu atau kelompok
pengguna barang atau jasa. Jika pembelian ditujukan untuk dijual, maka
ia disebut distributor.
Kaitannya dengan konsumsi atau makan terhadap barang atau
jasa yang dibutuhkan atau inginkan manusia tentu tidak lepas
sebagaimana kata tha’am dalam al-Qur’an. Kata ini dalam berbagai
bentuknya terulang dalam al-Qur’an sebanyak 48 kali yang antara lain
berbicara tentang berbagai aspek berkaitan dengan makanan (konsumsi).
Belum lagi ayat-ayat lain yang menggunakan kosa kata selainnya.
Perhatian al-Qur’an tentang konsumsi (makanan) sedemikian besar,
sampai-sampai terulang terus menerus dengan memerintah kan untuk
makan (atau menyebut mengkonsumsi). (Quraish Shihab, 1997: 137)
Dalam tulisan Arif Pujoyono dalam Jurnal Dinamika Pembangunan
Vol. 3 No. 2/Desember 2006 dijelaskan juga tentang pengertian umum
penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Dalam tulisan itu dijelaskan bahwa konsumsi merupakan bagian
aktivitas ekonomi selain produksi dan distribusi. Konsumsi akan terjadi
jika manusia memiliki uang (harta). Manusia diperintahkan untuk
mengkonsumsi pada tingkat yang layak bagi dirinya, keluarganya dan
orang paling dekat di sekitarnya. Walaupun demikian, konsumsi Islami
tidak mengharuskan seseorang melampaui batas untuk kepentingan
konsumsi dasarnya, seperti mencuri atau merampok. Konsumsi seorang
muslim hanya sebagai sarana menolong untuk beribadah kepada Allah.
Dalam konsumsi, seorang muslim harus memperhatikan kebaikan
(kehalalan) sesuatu yang akan dikonsumsinya. Para fuqaha menjadikan
konsumsi hal-hal yang baik ke dalam empat tingkatan.
1. Wajib mengkonsumsi sesuatu yang dapat menghindarkan diri dari
kebinasaan dan tidak mengkonsumsi kada ini – padahal mampu –
yang berdampak pada dosa.
159
2. Sunnah, yaitu mengkonsumsi yang lebih dari kadar yang meng-
hindarkan diri dari kebinasaan dan menjadikan seseorang muslim
mampu shalat dengan berdiri dan mudah berpuasa.
3. Mubah yaitu mengkonsumsi sesuatu yang lebih dari yang sunnah
sampai batas kenyang.
4. Konsumsi yang melebihi batas kenyang, yang dalam hal ini terdapat
dua, pendapat ada yang mengatakan makruh yang satunya
mengatakan haram.
160
Text Qur'an Ayat
Bermegah-megahan telah َأ ْﻝﻬَﺎ ُآ ُﻢ اﻝ َّﺘﻜَﺎ ُﺛ ُﺮ 1
melalaikan kamu,
sampai kamu masuk ke dalam ﺣ َﺘّﻰ ُز ْر ُﺕ ُﻢ ا ْﻝ َﻤﻘَﺎ ِﺏ َﺮ
َ 2
kubur.
Janganlah begitu, kelak kamu ن
َ ف َﺕ ْﻌ َﻠﻤُﻮ
َ ﺳ ْﻮ
َ آَﻼ 3
akan mengetahui (akibat
perbuatanmu itu),
dan janganlah begitu, kelak kamu ن
َ ف َﺕ ْﻌ َﻠﻤُﻮ
َ ﺳ ْﻮ
َ ُﺛ َّﻢ آَﻼ 4
akan mengetahui.
Janganlah begitu, jika kamu ﻦ
ِ ﻋ ْﻠ َﻢ ا ْﻝ َﻴﻘِﻴ
ِ ن
َ آَﻼ َﻝ ْﻮ َﺕ ْﻌ َﻠﻤُﻮ 5
mengetahui dengan pengetahuan
yang yakin,
niscaya kamu benar-benar akan ﺠﺤِﻴ َﻢ
َ ن ا ْﻝ
َّ َﻝ َﺘ َﺮ ُو 6
melihat neraka Jahiim,
dan sesungguhnya kamu benar- ﻦ
ِ ﻦ ا ْﻝ َﻴﻘِﻴ
َ ﻋ ْﻴ
َ ُﺛ َّﻢ َﻝ َﺘ َﺮ ُو َّﻥﻬَﺎ 7
benar akan melihatnya dengan
'ainulyaqin,
kemudian kamu pasti akan ﻦ اﻝ َّﻨﻌِﻴ ِﻢ
ِﻋ
َ ﻦ َی ْﻮ َﻣ ِﺌ ٍﺬ
َّ ﺴ َﺄ ُﻝ
ْ ُﺛ َّﻢ َﻝ ُﺘ 8
ditanyai pada hari itu tentang
kenikmatan (yang kamu megah-
megahkan di dunia itu).
161
1. Prinsip syariah, yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi
dalam melakukan konsumsi dimana terdiri dari:
a. Prinsip akidah, yaitu hakikat konsumsi adalah sebagai sarana
untuk ketaatan/beriabdah sebagai perwujudan keyakinan
manusia sebagai makhluk yang mendapatkan beban khalifah dan
amanah di bumi yang nantinya diminta pertanggungjawaban oleh
penciptanya.
b. Prinsip ilmu, yaitu seorang ketika akan mengkonsumsi harus tahu
ilmu tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukum-hukum
yang berkaitan dengannya apakah merupakan sesuatu yang halal
atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya.
c. Prinsip amaliah, sebagai konsekuensi akidah dan ilmu yang telah
diketahui tentang konsumsi Islami tersebut. Seseorang ketika
sudah berakidah yang lurus dan berilmu, maka dia akan
mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang haram atau
syubhat.
2. Prinsip kuantitas, yaitu sesuatu dengan batas-batas kuantitas yang
telah di-jelaskan dalam syariat Islam, diantaranya:
a. Sederhana, yaitu mengkonsumsi yang sifatnya tengah-tengah
antara menghamburkan harta dengan baik, tidak bermewah-
mewah, tidak mubazir, dan hemat.
b. Sesuai antara pemasukan dan pengeluaran, artinya dalam meng-
konsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang
dimilikinya, bukan besar pasak dari pada tiang.
c. Menabung dan investasi, artinya tidak semua kekayaan diguna-
kan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan
pengembangan kekayaan itu sendiri.
3. Prinsip prioritas, dimana memperhatikan urutan kepentingan yang
harus di-prioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu:
a. Primer, yaitu mengkonsumsi dasar yang harus terpenuhi agar
manusia dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya di
dunia dan agamanya serta orang terdekatnya, seperti makanan
pokok.
162
b. Sekunder, yaitu mengkonsumsi untuk menambah/meningkatkan
tingkat kualitas hidup yang lebih baik, misalnya mengkonsumsi
madu, susu dan sebagainya.
c. Tertier, yaitu untuk memenuhi konsumsi manusia yang jauh lebih
membutuhkan.
4. Prinsip sosial, yaitu memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya
sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di-
antaranya adalah:
a. Kepentingan umat, yaitu saling menanggung dan tolong meno-
long sebagai mana bersatunya suatu badan yang apabila sakit
pada salah satu anggotanya, maka anggota yang lain juga
merasakannnya.
b. Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam
berkonsumsi apa lagi jika dia adalah seorang tokoh atau pejabat
yang banyak mendapat sorotan di masyarakat.
c. Tidak membahayakan orang lain, yaitu dalam mengkonsumsi
justru tidak merugikan dan memberikan mudarat ke orang lain
seperti merokok dan sejenisnya.
5. Prinsip lingkungan, yaitu dalam mengkonsumsi harus sesuai dengan
kondisi potensi daya dukung sumber daya alam dan keberlanjutan-
nya atau tidak merusak lingkungan (eksploitasi).
6. Tidak meniru atau mengikuti perbuatan konsumsi yang tidak men-
cerminkan etika konsumsi Islami seperti suka menjamu dengan
tujuan bersenang-senang atau memamerkan kemewahan dan
menghambur-hamburkan harta.
163
amanah harta yang telah dianugerahkan kepadanya pada jalan yang
disyariakan.
Ketiga, tingkat pengetahuan dan ketakwaan akan mempengaruhi
perilaku konsumsi seseorang. Seseorang itu dinilai berdasarkan
ketakwaannya. “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi
Allah adalah yang paling bertakwa”. Seseorang yang bertakwa tahu
bagaimana menyikapi harta. Pada saat memiliki keluasan rezeki, dia
tahu bahwa pada dasarnya hartanya terdapat bagian untuk orang lain,
melalui zakat, infak dan shadaqah. Sebaliknya, ketika Allah menetapkan
sedikit atau kurang harta, dia tetap sabar, qona’ah (merasa cukup) dan
tetap bersyukur dengan sedikit atau kurangnya harta. Dia tetap istiqomah
di atas keIslamannya, meskipun kekurangan. Dia sadar bahwa harta
adalah ujian. Ujian kedermawanan bagi yang diberi keluasan harta dan
ujian kesabaran bagi yang kekurangan harta.
164
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa:
barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka
bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan
barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-
olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguh
nya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka
sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan
di muka bumi”. ( Q.S. Al-Maidah, 7: 32)
165
pandangan syari’ah, dia seharusnya diperlakukan sebagai orang yang
tidak mampu dan orang lain seharusnya ditugaskan untuk mengurus
hartanya selaku wakilnya.
Oleh karena itu, etika Islami akan mampu membentuk pribadi-
pribadi muslim-mu’min, yang tidak hanya menghasilkan kepuasan
konsumtif melainkan mampu menciptakan kepuasan kreatif untuk
menghasilkan kepuasan produktif. Pribadi-pribadi muslim demikian,
tentu tidak akan menjadi mushrif atau mubzir, tetapi mampu men-
ciptakan produktivitas yang optimal yang membawa maslahat dan
rahmat lil ‘alamin, bukan mafsadat. Hal ini dengan tegas al-Qur’an telah
menginformasikan, bahwa dhaharol fasad fil barri wal bahr bima kasabat aid
an-nas, (telah tampak kerusakan di lautan maupun di daratan hanya
karena ulah dan akibat tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung-
jawab. Karena manusia-manusia tidak beriman dan berihsan, maka tidak
punya kepasrahan dan ketundukan atas perilakunya kepada Sang
Pencipta. Akibatnya hanya membuat ulah dan pertumpahan darah saja
yang dihasilkan, sebagaimana prediksi Malaikat ketika diminta
pendapat terhadap keberadaan Adam, manusia pertama.
Karenanya, etika konsumsi Islami (Arif Pujiyono, 2006: 201), dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa aspek berikut ini:
1. Jenis barang yang dikonsumsi adalah barang yang baik dan halal
(halalan thayyiban), yaitu:
a. Zat, artinya secara materi barang tersebut telah disebutkan dalam
hukum syariah:
1) Halal, dimana asal hukum makanan adalah boleh kecuali yang
di-larang. (Al-Baqarah, 168-169 dan An-Nahl, 66-69)
166
Sesungguhnya syetan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat
dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu
ketahui. (Q.S. Al-Baqarah, 2: 169)
ث
ٍ ﻦ َﻓ ْﺮ
ِ ﻦ َﺑ ْﻴ
ْ ﺴﻘِﻴ ُﻜ ْﻢ ِﻣ َﻤّﺎ ﻓِﻲ ُﺑﻄُﻮ ِﻧ ِﻪ ِﻣ
ْ ن َﻟ ُﻜ ْﻢ ﻓِﻲ اﻷ ْﻧﻌَﺎ ِم َﻟ ِﻌ ْﺒ َﺮ ًة ُﻧ
َّ وَِإ 66
ﻦ
َ ﺸّﺎ ِرﺑِﻴ
َ َو َد ٍم َﻟ َﺒﻨًﺎ ﺧَﺎِﻟﺼًﺎ ﺳَﺎ ِﺉﻐًﺎ ﻟِﻠ
ﺳ َﻜﺮًا َو ِر ْزﻗًﺎ
َ ن ِﻣ ْﻨ ُﻪ
َ ﺨﺬُو
ِ ب َﺗَّﺘ
ِ ﻋﻨَﺎ ْ ﻞ وَاﻷ ِ ت اﻟَّﻨﺨِﻴ
ِ ﻦ َﺛ َﻤﺮَا
ْ َو ِﻣ 67
ن
َ ﻚ ﻵ َﻳ ًﺔ ِﻟ َﻘ ْﻮ ٍم َﻳ ْﻌ ِﻘﻠُﻮ َ ن ﻓِﻲ َذِﻟ
َّ ﺴﻨًﺎ ِإ
َﺡَ
ﻦ
َ ل ُﺑﻴُﻮﺗًﺎ َو ِﻣ
ِ ﺠﺒَﺎ
ِ ﻦ ا ْﻟ
َ ﺨﺬِي ِﻣ
ِ ن اَّﺗ
ِ ﻞ َأ
ِﺤ
ْ ﻚ ِإﻟَﻰ اﻟَّﻨ
َ َوَأ ْوﺡَﻰ َرُّﺑ 68
ن
َ ﺠ ِﺮ َو ِﻣ َﻤّﺎ َﻳ ْﻌ ِﺮﺷُﻮ
َﺸَّ اﻟ
ﻦ
ْ ج ِﻣ ُ ﺨ ُﺮ
ْ ﻚ ُذﻟُﻼ َﻳِ ﻞ َرِّﺑ َ ﺳ ُﺒ
ُ ﺳُﻠﻜِﻲ ْ ت ﻓَﺎ ِ ﻞ اﻟَّﺜ َﻤﺮَا
ِّ ﻦ ُآ
ْ ُﺛ َّﻢ ُآﻠِﻲ ِﻣ 69
ﻚ ﻵ َﻳ ًﺔَ ن ﻓِﻲ َذِﻟ َّ س ِإ
ِ ﺷﻔَﺎ ٌء ﻟِﻠ َﻨّﺎ
ِ ﻒ َأ ْﻟﻮَا ُﻧ ُﻪ ﻓِﻴ ِﻪ
ٌ ﺨ َﺘِﻠ
ْ ب ُﻣ ٌ ﺷﺮَاَ ﺑُﻄُﻮ ِﻧﻬَﺎ
ن
َ ِﻟ َﻘ ْﻮ ٍم َﻳ َﺘ َﻔ َّﻜﺮُو
Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang me-
mabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada yang demi-
kian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang
yang memikirkan. (Q.S. An-Nahl, 16: 67)
167
macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan
bagi manusia. Sesung guhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda (ke-besaran Tuhan) bagi orang-orang yang
memikirkan. (Q.S. An-Nahl, 16: 69)
168
dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa
terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
ﺲ
ٌ ﺝ
ْ ب وَاﻷزْﻻ ُم ِر
ُ ﺴ ُﺮ وَاﻷ ْﻥﺼَﺎ
ِ ﺨ ْﻤ ُﺮ وَا ْﻝ َﻤ ْﻴ َ ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا ِإ َّﻥﻤَﺎ ا ْﻝ َ یَﺎ َأ ُّیﻬَﺎ اَّﻝﺬِی
ن
َ ﺝ َﺘ ِﻨﺒُﻮ ُﻩ َﻝ َﻌَّﻠ ُﻜ ْﻢ ُﺕ ْﻔ ِﻠﺤُﻮ
ْ ن ﻓَﺎ ِ ﺸ ْﻴﻄَﺎ
َّ ﻋ َﻤ ِﻞ اﻝَ ﻦ ْ ِﻣ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib
dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.
ﺵﺪًا
ْ ﺴ ُﺘ ْﻢ ِﻣ ْﻨ ُﻬ ْﻢ ُر
ْ ن ﺁ َﻥ ْ ح َﻓ ِﺈ
َ ﺣ َﺘّﻰ ِإذَا َﺏ َﻠﻐُﻮا اﻝ ِّﻨﻜَﺎ َ وَا ْﺏ َﺘﻠُﻮا ا ْﻝ َﻴﺘَﺎﻣَﻰ
ن َی ْﻜ َﺒﺮُوا
ْ ﺳﺮَاﻓًﺎ َو ِﺏﺪَارًا َأ ْ ﻓَﺎ ْد َﻓﻌُﻮا ِإ َﻝ ْﻴ ِﻬ ْﻢ َأ ْﻣﻮَا َﻝ ُﻬ ْﻢ وَﻻ َﺕ ْﺄ ُآﻠُﻮهَﺎ ِإ
ف
ِ ن َﻓﻘِﻴﺮًا َﻓ ْﻠ َﻴ ْﺄ ُآ ْﻞ ﺏِﺎ ْﻝ َﻤ ْﻌﺮُوَ ﻦ آَﺎ ْ ﻒ َو َﻣ ْ ﺴ َﺘ ْﻌ ِﻔْ ﻏ ِﻨ ًﻴّﺎ َﻓ ْﻠ َﻴ
َ ن َ ﻦ آَﺎ ْ َو َﻣ
ﺣﺴِﻴﺒًﺎَ ﻋ َﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ َو َآﻔَﻰ ﺏِﺎﻝَّﻠ ِﻪ َ ﺵ ِﻬﺪُوا ْ َﻓ ِﺈذَا َد َﻓ ْﻌ ُﺘ ْﻢ ِإ َﻝ ْﻴ ِﻬ ْﻢ َأ ْﻣﻮَا َﻝ ُﻬ ْﻢ َﻓ َﺄ
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk
kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah
cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkan-lah kepada
mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta
anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah
169
kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka
dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu,
maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak
yatim itu) dan barang siapa miskin, maka bolehlah ia makan
harta itu menurut yang patut. Kemudian apa-bila kamu
menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu
adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan
cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).
ﺨ ْﻤ ِﺮ
َ ن یُﻮ ِﻗ َﻊ َﺏ ْﻴ َﻨ ُﻜ ُﻢ ا ْﻝ َﻌﺪَا َو َة وَا ْﻝ َﺒ ْﻐﻀَﺎ َء ﻓِﻲ ا ْﻝ
ْ ن َأ
ُ ﺸ ْﻴﻄَﺎ َّ ِإ َّﻥﻤَﺎ ُیﺮِی ُﺪ اﻝ
ن
َ ﺼّﻼ ِة َﻓ َﻬ ْﻞ َأ ْﻥ ُﺘ ْﻢ ُﻣ ْﻨ َﺘﻬُﻮ
َ ﻦ اﻝ ِﻋ َ ﻦ ِذ ْآ ِﺮ اﻝَّﻠ ِﻪ َو ْﻋ َ ﺼ َّﺪ ُآ ْﻢ
ُ ﺴ ِﺮ َو َی
ِ وَا ْﻝ َﻤ ْﻴ
Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan
permusu-han dan kebencian di antara kamu lantaran
(meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu
dari mengingat Allah dan sembahyang; maka ber-hentilah
kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).
ن
َ ﺴﺮُوا ا ْﻝﻤِﻴﺰَا
ِ ﺨ
ْ ﻂ وَﻻ ُﺕ
ِﺴ
ْ ن ﺏِﺎ ْﻝ ِﻘ
َ َوَأﻗِﻴﻤُﻮا ا ْﻝ َﻮ ْز
Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan jangan-lah
kamu mengurangi neraca itu.
170
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,
(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang
tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang
diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyem-
belihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk
berhala. Dan (di haramkan juga) mengundi nasib dengan
anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah
kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa
untuk (mengalahkan) agama mu, sebab itu janganlah kamu
takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini
telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu
jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena
kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
2. Kemanfaatan/kegunaan barang yang dikonsumsi, artinya lebih
memberikan manfaat dan jauh dari merugikan baik dirinya mau pun
orang lain.
3. Kuantitas barang yang dikonsumsi tidak berlebihan dan tidak terlalu
sedikit atau kikir/bakhil, tapi pertengahan (Al-Furqan 67), serta
ketika memiliki kekayaan berlebih harus mau berbagi melalui zakat,
infak dan sedekah mau pun hibah dan wakaf, ketika kekurangan
harus sabar dan merasa cukup dengan apa yang dimilikinya.
171
Prilaku Konsumsi (Dr. Yusuf Qardhawi)
E. Ikhtisar (Penutup)
172
yaitu Adam dan Hawa, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an: "... dan
makanlah barang-barang yang penuh nikmat di dalamnya (surga) sesuai
dengan kehendakmu ...," dan yang menyuruh semua umat manusia:
"Wahai umat manusia, makanlah apa yang ada di bumi, dengan cara yang sah
dan baik." Karena itu, orang Mu'min berusaha mencari kenikmatan dengan
mentaati perintah-perintah-Nya dan memuaskan dirinya sendiri dengan
barang-barang dan anugerah-anugerah yang dicipta (Allah) untuk umat
manusia. Konsumsi dan pemuasan (kebutuhan) tidak dikutuk dalam Islam
selama keduanya tidak melibatkan hal-hal yang tidak baik atau merusak. Allah
SWT berfirman dalam Al-Qur'an: "Katakanlah, siapakah yang melarang
(anugerah-anugerah Allah) yang indah, yang Dia cipta untuk hamba-hamba-
Nya dan barang-barang yang bersih dan suci (yang Dia sediakan?)".
Konsumsi berlebih-lebihan, yang merupakan ciri khas masyarakat
yang tidak mengenal Tuhan, dikutuk dalam Islam dan disebut dengan
istilah isrâf (pemborosan) atau tabzîr (menghambur-hamburkan harta
tanpa guna). Tabzir berarti mempergunakan harta dengan cara yang
salah, yakni, untuk menuju tujuan-tujuan yang terlarang seperti
penyuapan, hal-hal yang melanggar hukum atau dengan cara yang
tanpa aturan. Setiap kategori ini mencakup beberapa jenis penggunaan
harta yang hampir-hampir sudah menggejala pada masyarakat yang
berorientasi konsumer.
Pemborosan berarti penggunaan harta secara berlebih-lebihan
untuk hal-hal yang melanggar hukum dalam hal seperti makanan,
pakaian, tempat ting-gal atau bahkan sedekah. Ajaran-ajaran Islam
menganjurkan pola konsumsi dan penggunaan harta secara wajar dan
berimbang, yakni pola yang terletak diantara kekikiran dan pemborosan.
Konsumsi di atas dan melampaui tingkat moderat (wajar) dianggap isrâf
dan tidak disenangi Islam.
Salah satu ciri penting dalam Islam adalah bahwa ia tidak hanya
mengubah nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat tetapi juga
menyajikan kerangka legislatif yang perlu untuk mendukung dan
memperkuat tujuan-tujuan ini dan menghindari penyalahgunaannya.
Ciri khas Islam ini juga memiliki daya aplikatif nya terhadap kasus
orang yang terlibat dalam pemborosan atau tabzîr. Dalam hukum (Fiqh)
Islam, orang semacam itu seharusnya dikenai pembatasan-pembatasan
dan, bila dianggap perlu, dilepaskan dan dibebaskan dari tugas
173
mengurus harta miliknya sendiri. Dalam pandangan Syarî'ah dia
seharusnya diperlakukan sebagai orang tidak mampu dan orang lain
seharusnya ditugaskan untuk mengurus hartanya selaku wakilnya.
174
BAB IX
ETIKA DISTRIBUSI PERSPEKTIF
ISLAM
A. Pendahuluan
175
Selain, bentuk distribusi dengan cara pertukaran (exchange) ada
juga model distribusi yang bukan berkaitan dengan masalah hasil
produksi, melainkan distribusi pendapatan (distribution of income) yang
lebih berorientasi pada distribusi kekayaan karena anjuran dan
kewajiban agama, seperti; zakat, infak dan shodaqah, serta bentuk-bentuk
distribusi sosial lainnya; wakaf, hibah dan hadiah.
Model-model distribusi ini mengacu pada prinsip Qur’ani yang
meng-anjurkan agar harta kekayaan tidak berputar pada orang-orang
kaya saja. Maka-nya, Al-Qur’an memerintahkan agar supaya harta
kekayaan itu berputar sehingga terjadi pemerataan dan keadilan bagi
masyarakat lainnya. Karena itu, pada bahasan teori nilai di bidang
distribusi tidak hanya difokuskan pada distribusi yang berkaitan dengan
profit oriented, melainkan berkaitan dengan nilai-nilai keadilan dan
pemerataan pendapatan (sosial oriented). (Abdul Aziz, 2008: 65)
176
pemakai. Jadi, distribusi adalah kegiatan ekonomi yang menjembatani
kegiatan produksi dan konsumsi. Berkat distribusi barang dan jasa dapat
sampai ke tangan konsumen. Dengan demikian kegunaan dari barang
dan jasa akan lebih meningkat setelah dapat dikonsumsi.
Adapun maksud distribusi ditinjau dari segi bahasa adalah proses
penyimpanan dan penyaluran produk kepada pelanggan, di antaranya
sering kali melalui perantara (Collins, 1994: 162). Definisi yang
dikemukakan Collins di atas memiliki kajian yang sempit. Hal ini
disebabkan definisi tersebut cenderung mengarah pada perilaku
ekonomi yang bersifat individual. Namun dari definisi di atas dapat
ditarik perpaduan, di mana dalam distribusi terdapat sebuah proses
pen-dapatan dan pengeluaran dari sumber daya yang dimiliki oleh
negara (men-cakup "prinsip take and give”).
Adapun prinsip utama dalam konsep distribusi menurut
pandangan Islam ialah peningkatan dan pembagian bagi hasil kekayaan
agar sirkulasi kekayaan dapat ditingkatkan. Dengan demikian, kekayaan
yang ada dapat melimpah secara merata dan tidak hanya beredar di
antara golongan tertentu saja (Rahman, 1995: 93). Sementara Anas Zarqa
mengemukakan bahwa definisi distribusi ialah transfer (mentasharufkan)
pendapatan kekayaan antarindividu dengan cara pertukaran (melalui
pasar) atau dengan cara yang lain, seperti warisan, shadaqah, wakaf dan
zakat, (Zarqa, 1995: 181).
Demikian konsep ekonomi di bidang distribusi yang ditawarkan
oleh Islam. Islam mengenalkan konsep pemerataan pembagian hasil
kekayaan negara melalui distribusi tersebut, seperti zakat, wakaf,
warisan dan lain sebagai nya. Distribusi seperti di atas dapat dikatakan
sebagai makna dari distribusi secara luas. Semen-tara distribusi dalam
arti penyebaran dan penukaran hasil produksi lain, Islam telah
memberikan tuntunan yang wajib diikuti oleh pelaku ekonomi muslim.
Tuntunan tersebut secara hukum normatif tertuang dalam fiqh muamalah.
Sedang kan distribusi secara umum, dapat kita lihat secara eksplisit telah
dijelaskan Allah swt. dalam Al-Qur'an sebagai berikut:
177
ن
َ ﺼّﻼ َة َو ِﻣ َﻤّﺎ َر َز ْﻗﻨَﺎ ُه ْﻢ ُی ْﻨ ِﻔﻘُﻮ
َ ن اﻝ
َ ﺐ َو ُیﻘِﻴﻤُﻮ
ِ ن ﺏِﺎ ْﻝ َﻐ ْﻴ
َ ﻦ ُی ْﺆ ِﻣﻨُﻮ
َ اَّﻝﺬِی
“(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan
menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al-
Baqarah: 3).
Selain itu dikemukakan pula bahwa segala apa yang ada di langit
ataupun di bumi adalah milik Allah swt. Akan tetapi semuanya kembali
pada bagaimana manusia mengelola sumber daya alam tersebut. Lebih
jauh lagi bagaimana sebuah negara mampu mengelolanya, untuk
selanjutnya mendistribusikan kembali pada masyarakat. Hal di atas
sesuai dengan firman Allah dalam surat Hud ayat 61, yang artinya:
ﺸ َﺄ ُآ ْﻢ
َ ﻏ ْﻴ ُﺮ ُﻩ ُه َﻮ َأ ْﻥ
َ ﻦ ِإ َﻝ ٍﻪ
ْ ﻋ ُﺒﺪُوا اﻝَّﻠ َﻪ ﻣَﺎ َﻝ ُﻜ ْﻢ ِﻣ ْ َوِإﻝَﻰ َﺛﻤُﻮ َد َأﺧَﺎ ُه ْﻢ ﺹَﺎ ِﻝﺤًﺎ ﻗَﺎ َل یَﺎ َﻗ ْﻮ ِم ا
ﺐ
ٌ ﺐ ُﻣﺠِﻴ ٌ ن َر ِﺏّﻲ َﻗﺮِی َّ ﺳ َﺘ ْﻐ ِﻔﺮُو ُﻩ ُﺛ َّﻢ ﺕُﻮﺏُﻮا ِإ َﻝ ْﻴ ِﻪ ِإ
ْ ﺳ َﺘ ْﻌ َﻤ َﺮ ُآ ْﻢ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻓَﺎ
ْ ض وَا
ِ ﻦ اﻷ ْر
َ ِﻣ
"... Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu
pemak-murnya..." (QS. Huud: 61)
178
Kiranya jelas bahwa di samping adanya partisipasi dari masya-
rakat untuk mengelola sumber daya yang ada, negara pun memiliki
peranan yang penting dalam mengalokasikan dan mendistribusikan
pendapatan yang ada pada masyarakatnya (Karim, 1992: 85, 93).
Senada dengan pendapat di atas, Afzalur Rahman mengemukakan
bahwa untuk mencapai keadilan ekonomi yang ideal dalam masyarakat,
Islam menawar kan suatu gagasan yang sarat nilai dan menumbuhkan
semangat di antara penganutnya. Gagasan tersebut adalah bahwa
bantuan ekonomi kepada sesama, dengan niat mencari keridaan Allah
semata, merupakan tabungan yang nyata dan kekal, yang akan dipetik
hasilnya di akhirat kelak (Rahman, 1995: 96).
179
1. Sebagaimana utilitanrianisme, mempromosikan “greatest good for
greatest number of people”, dengan good dan utility diharmonisasikan
dengan pengertian halal-haram, peruntungan manusia dan
peningkatan utility manusia adalah tujuan utama dari tujuan
pembangunan ekonomi.
2. Dan liberitarian dan Marxism, pertobatan dan penebusan dosa adalah
salah satu hal yang mendasari diterapkanya proses redistribusi
pendapatan. Dalam aturan main syariah akan ditemukan sejumlah
instrument yang mewajibkan seseorang muslim untuk mendistri-
busikan kekayaannya sebagai akibat melakukan kesalahan (dosa).
3. Sistem redistribusi diarahkan untuk berlaku sebagai faktor
pengurang dari adanya pihak yang merasa dalam keadaan merugi
atau gagal. Kondisi seperti ini hamper bisa dipastikan berlaku setiap
komunitas.
4. Mekanisme redistribusi berlaku secara istimewa, walaupun pada
realitasnya distribusi adalah proses transfer kekayaan searah, namun
pada hakikatnya tidak demikian. Di sini pun terjadi mekanisme
pertukaran, hanya saja objek yang menjadi alat tukar dari kekayaan
yang ditransfer berlaku di akhirat nanti (pahala). Dengan demikian,
logikanya memberikan pengertian bahwa dengan berbuat baik
sekarang dan bertobat karena melakukan dosa, kemudian men-
transfer sebagian harta, maka sebagai alat penukar pengganti adalah
pahala di akhirat. Ini tentunya bukanlah mekanisme dari market
exchanges akan tetapi pertukaran yang terjadi antara orang yang
beriman dengan Tuhannya.
180
kelengkapan dan kecakapan melaksanakan hidup di dunia dan di
akhirat.
Distribusi atau juga bisa disebut Marketing dan Islam ibarat dua
sisi mata uang logam. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Mengapa demi-
kian? Sebelum orang mengenal disiplin ilmu marketing, al-Quran sudah
lebih dahulu menjelaskan tentang marketing. Hal tersebut kemudian
diaplikasikan oleh Rasulullah dalam bermuamalah.
Sebagaimana kita pahami, seseorang yang ingin menekuni dunia
distributor (marketing) harus memenuhi beberapa persyaratan. Per-
syaratan itu di antaranya adalah:
Pertama, memiliki daya analisis yang bagus terhadap calon
konsumennya. Konsep ini sejalan dengan,
ﻦ
ِ ﺣ َّﺮ َم َأ ِم اﻷ ْﻥ َﺜ َﻴ ْﻴ
َ ﻦِ ﻦ ُﻗ ْﻞ ﺁﻝ َّﺬ َآ َﺮ ْی
ِ ﻦ ا ْﻝ َﻤ ْﻌ ِﺰ ا ْﺛ َﻨ ْﻴ
َ ﻦ َو ِﻣِ ن ا ْﺛ َﻨ ْﻴِ ﻀ ْﺄ
َّ ﻦ اﻝ َ ج ِﻣ ٍ َﺛﻤَﺎ ِﻥ َﻴ َﺔ َأ ْزوَا
ﻦ
َ ن ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ ﺹَﺎ ِدﻗِﻴ ْ ﻦ َﻥ ِّﺒﺌُﻮﻥِﻲ ِﺏ ِﻌ ْﻠ ٍﻢ ِإ ِ ﻋ َﻠ ْﻴ ِﻪ َأ ْرﺣَﺎ ُم اﻷ ْﻥ َﺜ َﻴ ْﻴ
َ ﺖْ ﺵ َﺘ َﻤ َﻠ
ْ َأ َﻣّﺎ ا
"... Beritahukanlah kepadaku (berdasarkan pengetahuan) jika kamu memang
orang-orang yang benar."(QS. al-An'am [6]: 143).
181
Ayat tersebut mengajarkan kepada kita bahwa untuk meyakinkan
seseorang terhadap kebaikan yang kita jelaskan haruslah berdasar kan
ilmu pengetahuan, data dan fakta. Jadi, dalam menjelaskan manfaat
produk, peranan data dan fakta sangat penting, bahkan seringkali data
dan fakta jauh lebih berpengaruh dari pada penjelasan.
Kedua, kesungguhan dalam menjual. Allah berfirman:
ﻦ َآﻤَﺎ
ْﺴِ ﺣْ ﻦ اﻝ ُّﺪ ْﻥﻴَﺎ َوَأَ ﻚ ِﻣ
َ ﺲ َﻥﺼِﻴ َﺒ َ ﺧ َﺮ َة وَﻻ َﺕ ْﻨ
ِ ك اﻝَّﻠ ُﻪ اﻝ َﺪّا َر اﻵ
َ وَا ْﺏ َﺘ ِﻎ ﻓِﻴﻤَﺎ ﺁﺕَﺎ
ﻦ
َ ﺴﺪِی
ِ ﺐ ا ْﻝ ُﻤ ْﻔ
ُّ ﺤِ ن اﻝَّﻠ َﻪ ﻻ ُی
َّ ض ِإ
ِ ﻚ وَﻻ َﺕ ْﺒ ِﻎ ا ْﻝ َﻔﺴَﺎ َد ﻓِﻲ اﻷ ْر َ ﻦ اﻝَّﻠ ُﻪ ِإ َﻝ ْﻴ
َﺴ
َ ﺣ
ْ َأ
"Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan mu dari (kenik-
matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah
telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi.
Sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang merusak" (QS. al-
Qashshash [28]: 77).
182
Sederet etika distribusi (marketing) yang disodorkan Islam di atas,
merupakan landasan yang kokoh dan kuat sebab Allah berfirman dalam
al-Qur’an surat an-Najm ([53]: 39-41):
dan bahwasanya seorang ﺳﻌَﻰ
َ ن إِﻻ ﻣَﺎ
ِ ﺲ ﻝِﻺ ْﻥﺴَﺎ
َ ن َﻝ ْﻴ
ْ وََأ 39
manusia tiada memperoleh
selain apa yang telah
diusahakannya.
Dan bahwasanya usahanya itu ف ُیﺮَى
َ ﺳ ْﻮ
َ ﺳ ْﻌ َﻴ ُﻪ
َ ن
َّ وََأ 40
kelak akan diperlihatkan
(kepadanya).
Kemudian akan diberi balasan ﺠﺰَا َء اﻷ ْوﻓَﻰ
َ ﺠﺰَا ُﻩ ا ْﻝ
ْ ُﺛ َّﻢ ُی 41
kepadanya dengan balasan yang
paling sempurna,
183
Imam al-Ghazali dalam kitab monumentalnya berjudul Ihya
Ulumuddin menjelaskan beberapa etika yang perlu disikapi oleh para
distributor ataupun marketing diantaranya adalah:
1. Sebagai seorang distributor (marketing) harus bersifat amanah.
Amanah berarti setia dan jujur dalam melaksanakan kegiatan dengan
penuh tanggung-jawab, baik berupa tugas, harta maupun benda. Sifat
amanah ini merupakan perintah Allah kepada setiap Muslim.
2. Sebagai seorang distributor (marketing) harus bisa menempati janji
yang di buat bersama, baik kepada sesama muslim maupun non
muslim.
3. Sebagai seorang distributor (marketing) hendaknya berlaku benar
dalam perkataan dan juga perbuatan. Benar dalam perkataan ialah
menyatakan perkara yang benar dan tidak menyembunyikan rahasia
kecuali untuk menjaga nama baik seseorang. Benar dalam perbuatan
ialah mengerjakan sesuatu selaras dengan tuntunan agamanya.
4. Sebagai seorang distributor (marketing) hendaknya bersikap ikhlas.
Ikhlas berarti suatu pekerjaan karena Allah semata-mata dan bukan
karena mengharapkan balasan, pujian atau kemasyhuran. Ini artinya,
ketika memasarkan suatu produk, maka tidak boleh menghalalkan
segala cara.
5. Sebagai seorang distributor (marketing) harus berlaku adil yakni
memberikan hak kepada orang yang memiliki hak tanpa
menguranginya. Berlaku adil kepada sesama manusia, baik muslim
maupun non muslim adalah perintah Allah. (Q.S. 16: 90)
ﺤﺸَﺎ ِء
ْ ﻦ ا ْﻝ َﻔ
ِﻋ
َ ن َوإِیﺘَﺎ ِء ذِي ا ْﻝ ُﻘ ْﺮﺏَﻰ َو َی ْﻨﻬَﻰ ِ ﺣﺴَﺎ ْ ن اﻝَّﻠ َﻪ َی ْﺄ ُﻣ ُﺮ ﺏِﺎ ْﻝ َﻌ ْﺪ ِل وَاﻹ َّ ِإ
ن
َ ﻈ ُﻜ ْﻢ َﻝ َﻌَّﻠ ُﻜ ْﻢ َﺕ َﺬ َّآﺮُو
ُ ﻲ َی ِﻌ
ِ وَا ْﻝ ُﻤ ْﻨ َﻜ ِﺮ وَا ْﻝ َﺒ ْﻐ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
6. Sebagai seorang distributor (marketing) harus bisa menjaga
kesabaran dalam menghadapi ujian, cobaan, dan kesulitan di
lapangan maupun di tempat kerja.
184
7. Sebagai seorang distributor (marketing) harus mempunyai sifat
kasih dan sayang kepada sesama, baik sebagai pelanggan tetap
maupun tidak.
8. Sebagai seorang distributor (marketing) juga harus bisa atau mudah
memaafkan. Sifat sedia memaafkan kesalahan dan kekhilafan orang
sangatlah dianjurkan oleh Islam.
9. Sebagai seorang distributor (marketing) harus berani mengambil
risiko tetapi perhitungan. Artinya, berani dalam arti mampu
menguasai hawa nafsu dan jiwa pada waktu marah dan dalam
keadaan dicoba. Berani yang dimaksudkan adalah berani sesuai
dengan sikap kepatutan dan bukan berani yang bersifat membabi
buta.
10. Sebagai seorang distributor (marketing) harus kuat dan tabah serta
mempunyai sifat malu. Kuat dalam arti mau bekerja keras untuk
melawan ke-malasan dalam bekerja. Seorang muslim juga
disamping kuat jasmani harus kuat rohani.
11. Memelihara kesucian diri merupakan bagian penting bagi seorang
distributor atau marketing. Sifat iffah menjaga diri dari segala
keburukan supaya terpelihara kehormatan diri.
185
DISTRIBUSI KEKAYAAN
Tercapai jika :
1. Terdapat kekayaan dalam masyarakat
2. Seluruh masyarakat menerapkan sistem Islam
DISTRIBUSI KEKAYAAN
Kesenjangan Ekonomi
Distribusi kekayaan
1. Mekanisme ekonomi : baitul mal, larangan
menimbun emas dan perak
2. Mekanisme non ekonomi : zakat, waris
186
BAB X
ETIKA KERJA DALAM ISLAM
Katakanlah:
“Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu, sesungguhnya
akupun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui, siapakah
(diantara kita) yang akan memperoleh hasil yang baik dari dunia
ini. Sesungguhnya orang yang dzalim itu tidak akan mendapat
keberuntungan”.
QS Al An’am (6): 135
A. Pendahuluan
187
Secara implisit banyak ayat al Qur’an yang menganjurkan
umatnya untuk bekerja keras, diantaranya dalam Quran surat al-Insirah:
7-8, yaitu:
Maka apabila kamu telah selesai ﺐ
ْ ﺼ
َ ﺖ ﻓَﺎ ْﻧ
َ ﻏ
ْ َﻓِﺈذَا َﻓ َﺮ 7
(dari sesuatu urusan), kerjakanlah
dengan sungguh-sungguh
(urusan) yang lain,
dan hanya kepada Tuhanmulah ﺐ
ْ ﻏ
َ ﻚ ﻓَﺎ ْر
َ وَِإﻟَﻰ َرِّﺑ 8
hendaknya kamu berharap.
188
baik dari seorang yang meminta-minta kepada orang-orang yang terkadang
diberi dan kadang ditolak. (Mutafaq'alaih)
8. Tiada makanan yang lebih baik daripada hasil usaha tangan sendiri. (HR.
Bukhari)
9. Apabila dibukakan bagi seseorang pintu rezeki maka hendaklah dia
melestarikannya. (HR. Al-Baihaqi)
Keterangan:
Yakni senantiasa bersungguh-sungguh dan konsentrasi di bidang
usaha ter-sebut, serta jangan suka berpindah-pindah ke pintu-pintu
rezeki lain atau berpindah-pindah usaha karena di khawatirkan
pintu rezeki yang sudah jelas dibukakan tersebut menjadi hilang
dari genggaman karena kesibukannya mengurus usaha yang lain.
Seandainya memang mampu maka hal tersebut tidak mengapa.
10. Seusai shalat fajar (subuh) janganlah kamu tidur sehingga melalaikan
kamu untuk mencari rezeki. (HR. Ath-Thabrani)
11. Bangunlah pagi hari untuk mencari rezeki dan kebutuhan-kebutuhanmu.
Sesungguhnya pada pagi hari terdapat barokah dan keberuntungan. (HR.
Ath-Thabrani dan Al-Bazzar)
12. Ya Allah, berkahilah umatku pada waktu pagi hari mereka (bangun fajar).
(HR. Ahmad)
13. Barangsiapa menghidupkan lahan mati maka lahan itu untuk dia. (HR.
Abu Dawud dan Aththusi)
Keterangan:
Hal tersebut khusus untuk lahan atau tanah kosong yang tidak ada
pemilik nya. Jika lahan atau tanah kosong tersebut ada pemiliknya
maka tidak boleh diambil dengan jalan yang bathil.
14. Carilah rezeki di perut bumi. (HR. Abu Ya'la)
15. Pengangguran menyebabkan hati keras (keji dan membeku). (HR. Asy-
syihaab)
16. Allah memberi rezeki kepada hamba-Nya sesuai dengan kegiatan dan
kemauan kerasnya serta ambisinya. (HR. Aththusi)
17. Mata pencaharian paling afdhol adalah berjualan dengan penuh kebajikan
dan dari hasil keterampilan tangan. (HR. Al-Bazzar dan Ahmad)
18. Sebaik-baik mata pencaharian ialah hasil keterampilan tangan seorang
buruh apabila dia jujur (ikhlas). (HR. Ahmad). Sumber: 1100 Hadits
Terpilih (Sinar Ajaran Muhammad) - Dr. Muhammad Faiz Almath -
Gema Insani Press)
189
Al-Qur’an dan Hadis tersebut menganjurkan kepada manusia,
khususnya umat Islam agar memacu diri untuk bekerja keras dan
berusaha semaksimal mungkin, dalam arti seorang muslim harus
memiliki etos kerja tinggi sehingga dapat meraih sukses dan berhasil
dalam menempuh kehidupan dunianya di samping kehidupan
akhiratnya. Istilah ‘kerja’ dalam Islam bukanlah semata-mata merujuk
kepada mencari rezeki untuk menghidupi diri dan keluarga dengan
menghabiskan waktu siang maupun malam, dari pagi hingga sore, terus
menerus tak kenal lelah, tetapi kerja mencakup segala bentuk amalan
atau pekerjaan yang mempunyai unsur kebaikan dan keberkahan bagi
diri, keluarga dan masyarakat sekelilingnya serta negara.
Dengan kata lain, orang yang bekerja adalah mereka yang
menyumbangkan jiwa dan tenaganya untuk kebaikan diri, keluarga,
masyarakat dan negara tanpa menyusahkan orang lain. Oleh karena itu,
kategori ahli Syurga seperti yang di-gambarkan dalam Al-Qur’an
bukanlah orang yang mempunyai pekerjaan/jabatan yang tinggi dalam
suatu perusahaan/instansi sebagai manajer, direktur, teknisi dalam
suatu bengkel dan sebagainya.
Tetapi sebaliknya Al-Quran menggariskan golongan yang baik
lagi beruntung (al-falah) itu adalah orang yang banyak taqwa kepada
Allah, khusyu sholatnya, baik tutur katanya, memelihara pandangan
dan kemaluannya serta menunaikan tanggung jawab sosialnya seperti
mengeluarkan zakat dan lainnya. (QS Al Mu’minun: 1 – 11)
190
kecuali terhadap istri-istri mereka ﺖ َأ ْیﻤَﺎ ُﻥ ُﻬ ْﻢ
ْ ﺝ ِﻬ ْﻢ أ ْو ﻣَﺎ َﻣ َﻠ َﻜ
ِ ﻋﻠَﻰ َأ ْزوَاَ إِﻻ 6
atau budak yang mereka miliki;
ﻦ
َ ﻏ ْﻴ ُﺮ َﻣﻠُﻮﻣِﻴ َ َﻓ ِﺈ َّﻥ ُﻬ ْﻢ
maka sesungguhnya mereka
dalam hal ini tiada tercela.
Barang siapa mencari yang di ﻚ ُه ُﻢ
َ ﻚ َﻓﺄُو َﻝ ِﺌ
َ ﻦ ا ْﺏ َﺘﻐَﻰ َورَا َء َذ ِﻝ
ِ َﻓ َﻤ 7
balik itu maka mereka itulah
ن
َ ا ْﻝﻌَﺎدُو
orang-orang yang melampaui
batas.
Dan orang-orang yang ن
َ ﻋ ْﻬ ِﺪ ِه ْﻢ رَاﻋُﻮ
َ ﻦ ُه ْﻢ ﻷﻣَﺎﻥَﺎ ِﺕ ِﻬ ْﻢ َو
َ وَاَّﻝﺬِی 8
memelihara amanat-amanat (yang
dipikulnya) dan janjinya,
dan orang-orang yang ن
َ ﺹ َﻠﻮَا ِﺕ ِﻬ ْﻢ ُیﺤَﺎ ِﻓﻈُﻮ
َ ﻋﻠَﻰ
َ ﻦ ُه ْﻢ
َ وَاَّﻝﺬِی 9
memelihara sembahyangnya.
Mereka itulah orang-orang yang ن َ أُو َﻝ ِﺌ10
َ ﻚ ُه ُﻢ ا ْﻝﻮَا ِرﺛُﻮ
akan mewarisi,
(yakni) yang akan mewarisi surga س ُه ْﻢ ﻓِﻴﻬَﺎ
َ ن ا ْﻝ ِﻔ ْﺮ َد ْو َ اَّﻝﺬِی11
َ ﻦ َی ِﺮﺛُﻮ
Firdaus. Mereka kekal di
ن
َ ﺧَﺎ ِﻝﺪُو
dalamnya.
191
Kedua hadits di atas sudah cukup menjelaskan betapa niat yang
disertai dengan keikhlasan itulah inti sebenarnya dalam kehidupan dan
pekerjaan manusia. Alangkah baiknya kalau umat Islam hari ini, dapat
bergerak dan bekerja dengan tekun dan mempunyai tujuan yang satu,
yaitu ‘mardatillah’ (keridhaan Allah) itulah yang dicari dalam semua
urusan. Dari situlah akan lahir nilai keberkahan yang sebenar nya dalam
kehidupan yang penuh dengan curahan rahmat dan nikmat yang
banyak dari Allah. Inilah golongan yang diistilahkan sebagai golongan
yang tenang dalam ibadah, ridha dengan kehidupan yang ditempuh,
serta optimis dengan janji-janji Allah.
192
Barat, etos kerja Korea Selatan dan etos kerja bangsa-bangsa maju
lainnya.
Bahkan prinsip yang sama bisa ditemukan pada etos kerja yang
berbeda sekalipun pengertian etos kerja relatif sama. Sebut saja misalnya
berdisplin, bekerja keras, berhemat, dan menabung; nilai-nilai ini
ditemukan dalam etos kerja Korea Selatan dan etos kerja Jerman atau
etos kerja Barat. Bila di-telusuri lebih dalam, etos kerja adalah respon
yang dilakukan oleh seseorang, kelompok, atau masyarakat terhadap
kehidupan sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Setiap keya-
kinan mempunyai sistem nilai dan setiap orang yang menerima
keyakinan tertentu berusaha untuk bertindak sesuai dengan keyakinan
nya.
Bila pengertian etos kerja diredefinisikan, etos kerja adalah respon
yang unik dari seseorang atau kelompok atau masyarakat terhadap
kehidupan; respon atau tindakan yang muncul dari keyakinan yang
diterima dan respon itu menjadi kebiasaan atau karakter pada diri
seseorang atau kelompok atau masyarakat. Dengan kata lain, etika kerja
merupakan produk dari sistem kepercayaan yang diterima seseorang
atau kelompok atau masyarakat. Menurut Jansen Sinamo menyajikan 8
Etos Kerja Profesional dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Kerja adalah Rahmat
2. Kerja adalah Amanah
3. Kerja adalah Panggilan
4. Kerja adalah Aktualisasi
5. Kerja adalah Ibadah
6. Kerja adalah Seni
7. Kerja adalah Kehormatan
8. Kerja adalah Pelayanan
193
berupa sandang, pangan dan papan yang merupakan kebutuhan bagi
setiap manusia dan muaranya adalah ibadah.
Banyak tuntunan dalam Al-Quran dan Hadits tentang bekerja.
Dalam al-Qur’an, Surat At-Taubah ayat 105 disebutkan bahwa:
ﺐ
ِ ن ِإﻟَﻰ ﻋَﺎِﻟ ِﻢ ا ْﻟ َﻐ ْﻴ
َ ﺳ ُﺘ َﺮ ُدّو
َ ن َو
َ ﻋ َﻤَﻠ ُﻜ ْﻢ َو َرﺳُﻮُﻟ ُﻪ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ
َ ﺴ َﻴﺮَى اﻟَّﻠ ُﻪ َ ﻋ َﻤﻠُﻮا َﻓ ْ ﻞا ِ َو ُﻗ
ن
َ ﺸﻬَﺎ َد ِة َﻓ ُﻴ َﻨِّﺒ ُﺌ ُﻜ ْﻢ ِﺑﻤَﺎ ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ َﺗ ْﻌ َﻤﻠُﻮ
َّ وَاﻟ
“Dan katakanlah: bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan
dikembalikan kepada (Allah) yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata,
lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”.
Dengan kata lain Islam sangat membenci pada orang yang malas
dan bergantung pada orang lain. Sikap ini diperlihatkan Umar bin
Khattab ketika mendapati seorang sahabat yang selalu berdoa dan tidak
mau bekerja. Janganlah seorang dari kamu duduk dan malas mencari
rezeki kemudian ia mengetahui langit tidak akan menghujankan mas
dan perak.
Rasulullah SAW pun senantiasa berdoa kepada Allah agar dijauhi
sifat malas, sifat lemah dan berlindung dari Allah, penakut dan sangat
tua dan saya berlindung kepada-Mu dari siksa kubur dan dari ujian
hidup dan mati (HR. Abu Daud).
Secara normatif, seharusnya kaum muslim khususnya di
Indonesia memiliki etos kerja tinggi. Mengapa? Karena Islam mengajar
kan agar umatnya memiliki etos kerja yang sangat kuat dengan
senantiasa menciptakan produktivitas dan progresifitas di berbagai
bidang dalam kehidupan ini. Institute for Management of Development,
Swiss, World Competitiveness Book (2007), memberitakan bahwa pada
tahun 2005, peringkat produktivitas kerja Indonesia yang sebagian besar
umat Islam berada pada posisi 59 dari 60 negara yang disurvei. Atau
semakin turun ketimbang tahun 2001 yang mencapai urutan 46.
Sementara itu negara-negara Asia lainnya berada di atas Indonesia
seperti Singapura (peringkat 1), Thailand (27), Malaysia (28), Korea (29),
Cina (31), dan Filipina (49).
Urutan peringkat tersebut berkaitan juga dengan kinerja pada
dimensi lainnya yakni pada Economic Performance pada tahun 2005
194
berada pada urutan buncit yakni ke 60, Business Efficiency (59), dan
Government Efficiency (55). Hal ini diduga kuat bahwa semuanya itu
karena mutu sumberdaya manusia Indonesia yang tidak mampu
bersaing. Juga mungkin karena faktor budaya kerja yang juga masih
lemah dan tidak merata.
Ada sebuah hadits Nabi yang sangat mendorong umat Islam
untuk menjadi produsen dari kemajuan. Hadis tersebut memiliki makna
barangsiapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin maka sesungguh-
nya dia telah beruntung, barangsiapa yang hari ini sama dengan hari
kemarin, maka sesungguhnya ia telah merugi. Dan barangsiapa yang
hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka sesungguhnya ia terlaknat.
(al-Hadits)
Istilah yang dipakai dalam Al-Quran dan hadits untuk bekerja
adalah amal. Menurut KH Ali Yafie, kata amal mengandung pengertian
segala apa yang diperbuat atau dikerjakan seseorang, apakah itu khairon
atau shalihan (baik) maupun syarron atau suan (buruk, jahat). Dari sini
juga dapat difahami bahwa kata shalih adalah predikat dari amal atau
kualitas kerja (kerja, usaha yang berkualitas). Oleh sebab itu setiap kerja
adalah amal, dan Islam mengarahkan setiap orang untuk berbuat atau
melakukan amal (kerja) yang berkualitas (shalih)
195
Adam, manusia cenderung untuk merusak dan menumpahkan darah.
Setelah manusia melanggar perintah Tuhan, manusia akan hidup dalam
konflik. Manusia bisa mengatasi masalah di atas, walaupun tidak untuk
seluruhnya, dengan menjalankan hidup secara bertaqwa atau bertang-
gungjawab.
Dalam hal ini al-Qur’an diturunkan untuk menggariskan petunjuk
(hudan) atau pedoman hidup (syariat) agar manusia bisa terhindar dari
sikap-sikap dan perbuatan-perbuatan yang dapat menyusahkan diri
mereka sendiri: “Kemudian jika datang petunjuk-Ku, niscaya tidak akan ada
situasi ketakutan (khauf) dan tidak pula mereka mengalami kesedihan (hazina)”,
(Al-Baqarah, 38). Dalam ayat 62, surat yang sama dikatakan bahwa
hidup yang terhindar dari rasa takut dan sedih adalah hidup yang
didasarkan atas tiga prinsip, yaitu; (a) percaya kepada Tuhan, (b)
percaya kepada hari akhir, dan (c) melakukan kerja (per-buatan) yang
baik di dunia ini.
Tiga prinsip di atas, memerlukan keterangan yang panjang. Tapi
secara singkat, kata Dawam, dapat dijelaskan bahwa konsekuensi
beriman kepada Allah adalah menyerahkan diri dan mengabdi hanya
kepada Allay yang arti praktisnya adalah berorientasi kepada al-Haq,
atau kebenaran, dalam segala perincian bentuk nya. Arti praktis percaya
kepada hari kemudian adalah hidup secara bertanggung jawab di dunia.
Salah satu yang disebut sebagai perbuatan baik (amal shaleh) adalah,
menafkahkan hartanya di jalan Allah (ayat 262) atau menunaikan zakat
(ayat 274). Ayat 48 surat al-An’am lebih tegas lagi memberi kan arahan
yang lebih dekat kepada pengertian etika kerja. Dikatakan: “Dan tidaklah
Kami mengutus para Rasul itu melainkan untuk memberi kabar gembira
(basyiran) dan memberi peringatan (nadhiran). Barangsiapa yang beriman dan
mengadakan perbaikan (kerja), maka kekhawatiran maupun kesedihan tidak
akan meliputi mereka”.
Agama, menurut ayat ini, pertama-tama berfungsi untuk
menimbulkan optimisme, sekaligus peringatan, yang umumnya
mengandung kritik-kritik sosial agar orang mengambil sikap beriman
lalu diikuti dengan tindakan (kerja) kongkrit dalam mengadakan
perbaikan atau menciptakan sesuatu kondisi yang lebih baik (ihslah)
guna melenyapkan berbagai faktor yang merupakan sumber
196
kekhawatiran atau ketakutan, yang umumnya bersumber dari tekanan
atasan, dan kesedihan yang umumnya bersifat sosial ekonomi.
Menurut M. Dawam Rahadjo (1990: 41), bentuk-bentuk khauf (ke
takutan) dan khazina (sedih) yang lebih kongkrit dalam kehidupan
modern perlu ditemukan. Max Weber umpamanya, mengemukakan
konsep “sangkar besi” (iron cage) yang terjadi dalam masyarakat
kapitalis, dimana individu yang mulai kehilangan makan keagamaan
dan nilai-nilai moralnya, makin lama makin terkurung ke dalam
pengawasan-pengawasan pemerintah dan peraturan-peraturan biro-
krasi. Dalam situasi seperti ini, individu semakin dipisahkan dari
komunitas, keluarga dan gereja (atau lembaga keagamaan) dan makin
jauh masuk ke dalam subordinasi peraturan-peraturan hukum, politik
dan ekonomi yang diwujudkan dalam lembaga-lembaga baru seperti
pabrik, sekolah dan negara.
Konsep sangkar besi ini dalam teori sosiologis, mirip dengan
konsep alienasi yang dikemukakan oleh Marx, ketika ia masih muda da
masih menjadi “filsuf”, sebelum “Marx menjadi Marx” yang kita
mengerti sekarang. Konsep yang berasal dari pengertian religius dan
filosofis ini oleh Marx ditransformasi kan menjadi konsep sosiologis.
Dalam pengertian baru ini alienasi adalah suatu situasi manusia, dalam
masyarakat kapitalis, yang hakikatnya sebagai manusia dilingkari oleh
dan dalam suatu struktur yang memisahkan manusia dari tindakan
berproduksinya.
Sebenarnya, barang atau komoditas, menurut Marx, adalah
perwujudan dari kreativitas manusia, tapi dalam masyarakat Kapitalis,
manusia tidak lagi mengenal dirinya dalam produk yang diciptakan
dengan tenaganya sendiri, karena hasilnya diambil atau dimiliki oleh
orang lain yang telah membeli tenaga kerja nya. Dalam situasi seperti
ini, kerja menjadi suatu kegiatan yang asing karena tidak memberi
kepuasan dan kerja telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Di
sini, manusia, kata Dawam, telah diasingkan dari hakikatnya sendiri.
Dalam keadaan dimana kerja diperjualbelikan dalam pasar, manusia
juga diasingkan dari sesama manusia.
Menurut Marx, Kapital, dalam masyarakat kapitalis adalah
sumber yang lebih jauh memasukkan manusia ke dalam pengasingan-
nya. Dalam proses ini, akumulasi kapital merupakan kebutuhan
197
tersendiri yang mereduksi manusia menjadi komoditas. Buruh, menjadi
faktor beroperasinya akumulasi kapital yang bekerja melalui mekanisme
penciptaan laba. Dalam proses ini, buruh melakukan suatu pekerjaan
bukan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, melainkan menjadi
faktor yang memungkinkan diperolehnya laba, sebagai syarat terjadi-
nya akumulasi kapital yang berlangsung dalam sistem pasar.
Padahal dalam Islam, konsep rezeki dalam al-Qur’an menunjuk
kepada hasil karya manusia. Dengan rezeki itu, Allah memuliakan anak
Adam. Pemuliaan terjadi karena manusia bekerja dan menghasilkan
sesuatu dari hasil usahanya sendiri. Apabila manusia bekerja dan tidak
bisa memperoleh hasilnya maka ia pada hakikatnya berada dalam
perbudakan (fir riqob). Al-Qur’an menyadarkan manusia agar mem-
bebaskan dirinya sendiri dan orang lain dari rasa takut dan tertekan,
karena hal itu bertentangan dengan prinsip pemuliaan anak Adam dan
hakikat manusia sebagai khalifah yang tugasnya adalah memakmurkan
dunia, menciptakan kebaikan dan perbaikan terus-menerus.
198
masih kecil, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk menghidupi
kedua orangtuanya yang sudah lanjut usia, itu adalah fi sabilillah; kalau
ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta,
itu juga fi sabilillah." (HR Ath-Thabrani).
Bekerja adalah manifestasi amal saleh. Bila kerja itu amal saleh,
maka kerja adalah ibadah. Dan bila kerja itu ibadah, maka kehidupan
manusia tidak bisa dilepaskan dari kerja. Bukankah Allah SWT
menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya? Tidak berlebihan
bila keberadaan seorang manusia ditentukan oleh aktivitas kerjanya.
Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib
manusia sebelum mereka mengubah apa yang ada pada dirinya”. (QS Ar-Ra'd
[13]: 11). Dalam ayat lain diungkapkan pula: “dan bahwasannya seorang
manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. (QS Al-
Najm [53]: 39).
Kisah di awal menggambarkan betapa besarnya penghargaan
Rasulullah SAW terhadap kerja. Kerja apapun itu selama tidak menyim-
pang dari aturan yang ditetapkan agama. Demikian besarnya
penghargaan beliau, sampai-sampai dalam kisah pertama, manusia
teragung ini "rela" mencium tangan Sa'ad bin Mu'adz Al-Anshari yang
melepuh lagi gosong. Rasulullah SAW, dalam dua kisah tersebut,
memberikan motivasi pada umatnya bahwa bekerja adalah perbuatan
mulia dan termasuk bagian dari jihad.
Rasulullah SAW adalah sosok yang selalu berbuat sebelum beliau
memerintahkan para sahabat untuk melakukannya. Hal ini sesuai
dengan tugas beliau sebagai ushwatun hasanah; teladan yang baik bagi
seluruh manusia. Maka saat kita berbicara tentang etos kerja Islami,
maka beliaulah orang yang paling pantas menjadi rujukan. Dan
berbicara tentang etos kerja Rasulullah SAW sama artinya dengan
berbicara bagaimana beliau menjalankan peran-peran dalam hidupnya.
Ada lima peran penting yang diemban Rasulullah SAW, yaitu:
Pertama Sebagai Peran ini beliau jalani selama 23 tahun. Dalam
Rasul kurun waktu tersebut beliau harus berdakwah
menyebarkan Islam; menerima, menghapal,
menyampaikan, dan menjelaskan tak kurang dari
6666 ayat Al-Quran; menjadi guru (pembimbing)
bagi para sahabat; dan menjadi hakim yang
199
memutuskan berbagai pelik permasalahan umat
dari mulai pembunuhan sampai perceraian.
Kedua Sebagai Sebagai kepala negara dan pemimpin sebuah
Kepala masyarakat heterogen. Tatkala memegang posisi
Negara ini Rasulullah SAW harus menerima kunjungan
diplomatik "negara-negara sahabat". Rasul pun
harus menata dan menciptakan sistem hukum
yang mampu menyatukan kaum Muslimin,
Nasrani, dan Yahudi, mengatur perekonomian,
dan setumpuk masalah lainnya
Ketiga Sebagai Selama hidup tak kurang dari 28 kali Rasul
Panglima memimpin pertempuran melawan kafir Quraisy.
Perang Sebagai panglima perang beliau harus meng-
organisasi lebih dari 53 pasukan kaveleri ber-
senjata. Harus memikirkan strategi perang,
persediaan logistik, keamanan, transportasi,
kesehatan, dan lainnya.
Keempat Sebagai Dalam posisi ini Rasul harus mendidik, mem-
Kepala bahagiakan, dan memenuhi tanggung jawab-lahir
Rumah batin-terhadap para istri beliau, tujuh anak, dan
Tangga beberapa orang cucu. Beliau dikenal sebagai sosok
yang sangat perhatian terhadap keluarga nya. Di
tengah kesibukannya Rasul pun masih sempat
bercanda dan menjahit sendiri bajunya.
Kelima Sebagai Sejak usia 12 tahun pamannya Abu Thalib sudah
Seorang mengajaknya melakukan perjalanan bisnis ke
Pebisnis Syam, negeri yang saat ini meliputi Syria, Jordan,
dan Lebanon. Dari usia 17 hingga sekitar 20
tahun adalah masa tersulit dalam perjalanan
bisnis Rasul karena beliau harus mandiri dan
bersaing dengan pemain-pemain senior dalam
perdagangan regional. Usia 20 hingga 25 tahun
merupakan titik keemasan entrepreneurship
Rasulullah SAW terbukti dengan "terpikatnya"
konglomerat Mekah, Khadijah binti Khuwailid,
yang kemudian melamarnya menjadi suami.
200
Dan beliau mulai mengurangi kegiatan bisnisnya ketika mencapai usia
37 tahun.
Adalah kenyataan bila Rasulullah SAW mampu menjalankan
kelima perannya tersebut dengan sempurna, bahkan menjadi yang
terbaik. Tak heran bila para ilmuwan, baik itu yang Muslim maupun
non-Muslim, menempatkan beliau sebagai orang yang paling
berpengaruh, paling pemberani, paling bijak-sana, paling bermoral, dan
sejumlah paling lainnya.
Apa rahasia kesuksesan karier dan pekerjaan Rasulullah SAW?
Pertama Rasul selalu bekerja dengan cara terbaik, profesional, dan
tidak asal-asalan. Beliau bersabda, "Sesungguhnya Allah
menginginkan jika salah seorang darimu bekerja, maka
hendaklah meningkatkan kualitasnya".
Kedua dalam bekerja Rasul melakukannya dengan manajemen
yang baik, perencanaan yang jelas, penahapan aksi, dan
adanya penetapan skala prioritas
Ketiga Rasul tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan sekecil
apapun. "Barangsiapa yang dibukakan pintu kebaikan,
hendaknya dia mampu memanfaatkannya, karena ia tidak
tahu kapan ditutup kan kepadanya," demikian beliau
bersabda.
Keempat dalam bekerja Rasul selalu memperhitungkan masa
depan. Beliau adalah sosok yang visioner, sehingga segala
aktivitasnya benar-benar terarah dan terfokus.
Kelima Rasul tidak pernah menangguhkan pekerjaan. Beliau
bekerja secara tuntas dan berkualitas.
Keenam Rasul bekerja secara berjamaah dengan mempersiapkan
(membentuk) tim yang solid yang percaya pada cita-cita
bersama.
Ketujuh Rasul adalah pribadi yang sangat menghargai waktu.
Tidak berlalu sedetik pun waktu, kecuali menjadi nilai
tambah bagi diri dan umatnya. Dan yang terakhir,
Rasulullah SAW menjadikan kerja sebagai aktualisasi
keimanan dan ketakwaan. Rasul bekerja bukan untuk
menumpuk kekayaan duniawi. Beliau bekerja untuk
meraih keridhaan Allah SWT.
Sumber: Artikel Khayatun pada pengajian rutin DKSI-IPB, Jum’at 22 Jumadil Akhir
1428/27 Juni 2008.
201
E. Kerja dan Produktivitas
202
Isyarat tentang amal saleh banyak dijumpai dalam al-Qur’an,
karena itu, Islam merupakan agama amal yang mendorong umatnya
untuk kreatif dan produktif. Apabila kita memperhatikan ketentuan-
ketentuan dalam agama Islam di dalamnya terkandung dorongan untuk
hidup secara produktif. Misalnya kewajiban shalat melahirkan
kreatifitas untuk menghasilkan sarana-sarana untuk menjalankan shalat,
seperti produksi kain, sajadah, peci, dan sebagainya. Ini merupakan
isyarat yang harus ditangkap sebagai peluang untuk kreatif dan
produktif dalam kehidupan umat Islam. Lebih-lebih lagi bahwa Islam
mengajar kan bahwa hidup seorang muslim merupakan amal saleh yang
mengandung makna ibadah. Karena itu, seyogyanya umat Islam dapat
berkembang dan meningkatkan kemajuan dengan mengembang-kan
produktivitas yang didorong oleh nilai-nilai agama. (Buchari Alma,
2009: 172)
Dalam Islam, menurut Agustianto, bekerja dinilai sebagai suatu
kebaikan, dan sebaliknya kemalasan dinilai sebagai keburukan. Dalam
kepustakaan Islam, cukup banyak buku-buku yang menjelaskan secara
rinci tentang etos kerja dalam Islam. Dalam pandangan Islam bekerja
dipandang sebagai ibadah. Sebuah hadits menyebutkan bahwa bekerja
adalah jihad fi sabilillah.
203
إن اﷲ ﺕﻌﺎﻝﻰ یﺤﺐ ان یﺮى ﻋﺒﺪﻩ یﺴﻌﻰ ﻓﻰ ﻃﻠﺐ اﻝﺤﻼل
Sesungguhnya Allah Swt senang melihat hambanya yang berusaha )bekerja)
mencari rezeki yang halal.
Berniat untuk bekerja dengan cara-cara yang sah dan halal menuju
ridha Allah adalah visi dan misi setiap muslim. Berpangku tangan
merupakan per-buatan tercela dalam agama Islam. Umar bin Khatttab
pernah menegur seseorang yang sering duduk berdo’a di mesjid tanpa
mau bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan dirinya. Umar berkata,
Janganlah salah seorang kamu duduk di mesjid dan bedoa, Ya Allah
berilah aku rezeki”. Sedangkan ia tahu bahwa langit tidak akan
menurunkan hujan emas dan hujan perak. Maksud perkataan Umar ini
adalah bahwa seseorang itu harus bekerja dan berusaha, bukan hanya
bedoa saja dengan mengharapkan bantuan orang lain.
Buruh yang bekerja secara manual sangat dipuji dan dihargai Nabi
Muhammad Saw meskipun telapak tangannya kasar. Dalam sebuah
riwayat, Nabi Saw pernah mencium tangan orang yang bekerja mencari
kayu, yaitu tangan Sa’ad bin Mu’az tatkala melihat tangannya kasar
akibat bekerja keras. Nabi seraya berkata: “Inilah dua telapak tangan yang
dicintai Allah”
Dalam sebuah hadits Rasul saw bersabda:
ﻣﻦ ﺏﺎت آﺎﻻ ﻣﻦ ﻃﻠﺐ اﻝﺤﻼل ﺏﺎت ﻣﻐﻔﻮرا ﻝﻪ
()رواﻩ اﺣﻤﺪ و إﺏﻦ ﻋﺴﺎآﺮ
“Barang siapa pada malam hari merasakan kelelahan karena bekerja pada siang
hari, maka pada malam itu ia diampuni Allah”. (Hadits Riwayat Ahmad &
Ibnu Asakir )
اذا ﺹﻠﻴﺘﻢ اﻝﻔﺠﺮ ﻓﻼ ﺕﻨﺎﻣﻮا ﻋﻦ ﻃﻠﺐ اﻝﺮزق
Apabila kamu telah selesai shalat subuh, maka janganlah kamu tidur
204
اﻝﻠﻬﻢ ﺏﺎرك ﻝﻸﻣﺘﻲ ﻓﻲ ﺏﻜﻮرهﺎ
“Ya Allah, berkatilah ummatku yang bekerja pada pagi-pagi sekali”.
205
antara pekerja yang meminta upah yang cukup untuk hidup
keluarganya dan tingkat laba bagi pemodal (majikan) untuk melanjut-
kan produksinya. (Agustianto, 2011)
206
BAB XI
TANGGUNGJAWAB SOSIAL
PERUSAHAAN PERSPEKTIF ISLAM
(Corporate Social Responsibility)
A. Konsep Pertanggungjawaban
207
dirinya, keluarganya dan apa yang dimilikinya juga merupakan
tanggungjawabnya, termasuk kepemilikan perusahaan. Dalam
kepemilikan perusahaan dikenal dengan istilah tanggung jawab sosial.
Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social
Responsibility (selanjutnya dalam artikel akan disingkat CSR) adalah
suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (namun bukan hanya)
perusahaan adalah memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen,
karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala
aspek operasional perusahaan.
Dalam Wikipedia dijelaskan bahwa tanggung jawab sosial
perusahaan atau corporate social responsibility atau disingkat CSR adalah
suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (namun bukan hanya)
perusahaan adalah memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen,
karyawan, pemegang saham, komunitas, dan lingkungan dalam segala
aspek operasional perusahaan. Hal ini dapat diidentifikasi siklus CSR
dalam gambar sebagai berikut:
Sumber: Grifin & Ebert, (2003: 119 dalam Buchari Alma, 2009: 182) di Modifikasi
208
life of the workforce and their families as will as of the local community and
society at large”. (komitmen dunia usaha untuk terus menerus bertindak
secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan
ekonomi, bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan
dan keluarganya sekaligus juga peningkatan kualitas komunitas lokal
dan masyarakat secara lebih luas).
Beberapa nama lain yang sejenis dengan CSR ialah corporate social
investment, Kedermawanan Perusahaan (Corporate Philanthropy), Relasi
Kemasyarakatan Perusahaan (Corporate Community Relations), dan
Pengembangan Masyarakat (Community Development). (Syahidin, dkk.
2009: 222)
Secara umum, CSR merupakan kepedulian perusahaan yang
didasari pada tiga prinsip dasar yang dikenal dengan istilah triple bottom
lines, yaitu 3 P (profit, people dan planet). Istilah ini, kata Syahidin,
dipopulerkan oleh John Elkington tahun 1997 melalui bukunya berjudul
“Cannibals with forks, the Triple Line of Twentieth Century Business.
Elkington mengembangkan konsep triple ini dalam istilah economic
prosperity environmental quality dan social justice.
CSR berhubungan erat dengan "pembangunan berkelanjutan", di
mana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan
aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasar-
kan faktor keuangan, misalnya keuntungan atau deviden melainkan
juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan untuk saat
ini maupun untuk jangka panjang.
Konsep tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social
responsibility (CSR), muncul sebagai akibat adanya kenyataan bahwa
pada dasarnya karakter alami dari setiap perusahaan adalah mencari
keuntungan semaksimal mungkin tanpa memperdulikan kesejahteraan
karyawan, masyarakat dan lingkungan alam. Seiring dengan
meningkatnya kesadaran dan kepekaan dari stakeholder perusahaan
maka konsep tanggung jawab sosial muncul dan menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dengan kelangsungan hidup perusahaan di masa yang
akan datang.
Tanggung jawab sosial perusahaan dapat didefinisikan secara
sederhana sebagai suatu konsep yang mewajibkan perusahaan untuk
memenuhi dan memperhatikan kepentingan para stakeholder dalam
209
kegiatan operasinya mencari keuntungan. Stakeholder yang dimaksud
diantaranya adalah para share holder, karyawan (buruh), kustomer,
komunitas lokal, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan
lain sebagainya.
Dalam pengamatan saya, tanggung jawab sosial perusahaan sering
didefinisikan secara sempit sebagai akibat belum tersosialisasinya
standar baku bagi perusahaan. Tanggung jawab sosial perusahaan masih
anggap sebagai suatu kosmetik belaka untuk menaikkan pamor
perusahaan atau menjaga reputasi perusahaan di masyarakat. Oleh
karenanya ada asumsi jika perusahaan sudah memberikan sumbangan
atau donasi kepada suatu institusi sosial berarti sudah melakukan
tanggung jawab sosial sebagai sebuah perusahaan.
Penerapan dan isu tanggung jawab sosial perusahaan yang saat ini
baru dilakukan diantaranya adalah:
1 Pengaruh dari globalisasi dan internasionalisasi yang memaksa
perusahaan untuk dapat menerapkan fungsi tanggung jawab sosial
perusahaan. Bentuk globalisasi dan internasionalisasi ini dapat berupa
tekanan dari pihak ketiga (distributor, buyer, client, dan shareholder)
yang menjadi bagian atau mitra kerja dari perusahaan lokal. Mereka
dapat menetapkan suatu kondisi yang harus diikuti oleh perusahaan
lokal dalam memenuhi tanggung jawab sosialnya.
Kondisinya ini biasanya dialami oleh perusahaan yang berada di negara
miskin dan berkembang dimana memiliki tingkat ketergantungan yang
tinggi kepada investor dari negara maju. Pernah seorang teman bercerita
bahwa Buyer mereka yang dari Jepang mau memberikan order jika
perusahaan mendirikan toilet yang memadai bagi karyawan perusahaan
yang berjumlah ribuan. Karena menurut buyer tersebut toilet pabrik
sangat tidak memadai baik dari jumlah dan kualitasnya.
2 Ditinjau dari jenis perusahaan, umumnya yang menjalankan fungsi
tanggung jawab sosial adalah perusahaan yang bergerak dalam usaha
eksplorasi alam (tambang, minyak, hutan). Perusahaan tambang lebih
mendapatkan perhatian dari masyarakat dibanding-kan dengan
perusahaan non tambang (terutama LSM). Perusahaan tersebut
diwajibkan untuk melakukan penyeimbangan sebagai dampak dari
eksplorasi yang dilakukan seperti melakukan reklamasi alam, reboisasi,
mendukung pencinta alam, berpartisipasi dalam pengolahan limpah dan
210
sebagainya. Kenyataannya apakah perusahaan tersebut benar-benar
menaruh perhatian terhadap alam dan lingkungan sekitarnya, bukankah
mungkin tanggung jawab sosial yang dilakukan oleh perusahaan hanya
sebagai kedok untuk melegalkan dan mengamankan kegiatan perusahaan
sehingga tidak dikritik oleh masyarakat.
3 Bentuk tanggung jawab sosial perusahaan yang biasanya dilakukan
adalah pemberian fasilitas kepada para pekerja atau buruh. Kenyata-
annya bahwa pemberian fasilitas baru akan terealisasi jika adanya
ancaman mogok atau unjuk rasa dari para buruh. Ini berarti tanggung
jawab sosial perusahaan terhadap para buruh didasarkan sebagai suatu
negosiasi antara manajemen dengan para buruh. Manajemen tentunya
akan memperhitungkan dampak yang ditimbulkan dengan adanya
ancaman tersebut jika dinilai akan merugikan perusahaan maka
(biasanya) tuntutan akan direalisasikan.
4 Bentuk lainnya dari tanggung jawab sosial perusahaan sebatas
pemberian sumbangan, hibah, bantuan untuk bencana alam yang
sifatnya momentum. Musibah, bencana, atau malapetaka yang terjadi
dapat dijadikan sebagai momentum bagi perusahaan yang membentuk
citra dan reputasi baik di mata masyarakat.
211
Perseroan yang tidak me-laksanakan wajib CSR dikenai sanksi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan”. Yang dimaksud SDA adalah sumber
daya alam, sedangkan CSR adalah corporate social responsibility atau
tanggung jawab sosial korporat/perusahaan.
Tanggung jawab sangat terkait dengan hak dan kewajiban, yang
pada akhirnya dapat menimbulkan kesadaran tanggung-jawab. Ada dua
bentuk kesadaran: Pertama, kesadaran yang muncul dari hati nurani
seseorang yang sering disebut dengan etika dan moral. Kedua,
kesadaran hukum yang bersifat paksaan berupa tuntutan-tuntutan yang
diiringi sanksi-sanksi hukum. Etika membantu manusia bertindak secara
bebas tetapi dapat dipertanggungjawabkan.
Sedangkan bisnis mengutip Straub, Alimin (2004: 56), sebagai
suatu organisasi yang menjalankan aktivitas produksi dan penjualan
barang dan jasa yang diinginkan oleh konsumen untuk memperoleh
profit. Penggabungan etika dan bisnis dapat berarti memaksakan norma-
norma agama bagi dunia bisnis, memasang kode etik profesi bisnis,
merevisi sistem dan hukum ekonomi, meningkatkan keterampilan
memenuhi tuntutan-tuntutan etika pihak-pihak luar untuk mencari
aman dan sebaginya.
Bisnis yang beretika adalah bisnis yang memiliki komitmen
ketulusan dalam menjaga kontrak sosial yang sudah berjalan. Kontrak
sosial merupakan janji yang harus ditepati. Bisnis Islami ialah serang-
kaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi
jumlah kepemilikan (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi
dalam cara memperolehnya dan pendayagunaan harta-nya karena
aturan halal dan haram (lihat. QS. 2:188, 4:29).
Etika bisnis Islam sebenarnya telah diajarkan Nabi Saw. saat
menjalankan perdagangan. Karakteristik Nabi Saw., sebagai pedagang
adalah, selain dedikasi dan keuletannya juga memiliki sifat; shidiq,
fathanah, amanah dan tabligh. Ciri-ciri itu masih ditambah Istiqamah.
Shidiq berarti mempunyai kejujuran dan selalu melandasi ucapan,
keyakinan dan amal perbuatan atas dasar nilai-nilai yang di-ajarkan
Islam. Istiqamah atau konsisten dalam iman dan nilai-nilai kebaikan,
meski menghadapi godaan dan tantangan. Istiqamah dalam kebaikan di
tampilkan dalam keteguhan, kesabaran serta keuletan sehingga meng-
hasilkan sesuatu yang optimal.
212
Fathanah berarti mengerti, memahami, dan menghayati secara
mendalam segala yang menjadi tugas dan kewajibannya. Sifat ini akan
menimbulkan kreatifitas dan kemampuan melakukan berbagai macam
inovasi yang bermanfaat. Amanah, tanggung jawab dalam melaksana-
kan setiap tugas dan kewajiban. Amanah ditampilkan dalam keter-
bukaan, kejujuran, pelayanan yang optimal, dan ihsan (kebajikan) dalam
segala hal. Tablig, mengajak sekaligus memberikan contoh kepada pihak
lain untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan ajaran Islam dalam
kehidupan sehari-hari (berbagai sumber).
Berdasarkan sifat-sifat tersebut, dalam konteks corporate social
responsibility (CSR), para pelaku usaha atau pihak perusahaan dituntut
bersikap tidak kontradiksi secara disengaja antara ucapan dan per-
buatan dalam bisnisnya. Mereka dituntut tepat janji, tepat waktu,
mengakui kelemahan dan kekurangan (tidak ditutup-tutupi), selalu
memperbaiki kualitas barang atau jasa secara berkesinambungan serta
tidak boleh menipu dan berbohong. Pelaku usaha/pihak perusahaan
harus memiliki amanah dengan menampilkan sikap keterbukaan, ke
jujuran, pelayanan yang optimal, dan ihsan (berbuat yang terbaik) dalam
segala hal, apalagi berhubungan dengan pelayanan masyarakat.
Dengan sifat amanah, pelaku usaha memiliki tanggung jawab
untuk mengamalkan kewajiban-kewajibannya. Sifat tablig dapat di-
sampaikan pelaku usaha dengan bijak (hikmah), sabar, argumentatif,
dan persuasif akan menumbuhkan hubungan kemanusiaan yang solid
dan kuat. Para pelaku usaha dituntut mempunyai kesadaran mengenai
etika dan moral, karena keduanya merupakan kebutuhan yang harus
dimiliki. Pelaku usaha atau perusahaan yang ceroboh dan tidak menjaga
etika, tidak akan berbisnis secara baik sehingga dapat mengancam
hubungan sosial dan merugikan konsumen, bahkan dirinya sendiri.
Berkaitan dengan corporate sosial responsibility (CSR), kelima komponen
itu perlu men-dapat fokus perhatian.
Dalam skala primer, perusahaan atau badan-badan komersial
perlu menghargai agama yang dianut masyarakat. Jangan sampai
kepentingan masyarakat terhadap agamanya diabaikan, seperti
perusahaan yang mengabaikan atau mengganggu peribadatan warga
setempat. Bahkan, semestinya pihak perusahaan atau badan-badan
213
komersial harus mampu mengembangkan jiwa usahanya dengan
spiritualitas Islam.
Dalam pemeliharaan jiwa seperti makan dan minum ditujukan
agar hidup dapat lebih bertahan dan mencegah ekses kepunahan jiwa
manusia. Ironisnya, kini, banyak perusahaan air mineral telah
menyebabkan kekeringan air di daerah atau kondisi udara di Jakarta
telah mengandung zat pencemar udara yang sebagian besar sulfur
dioksida, karbon monoksida, nitrogen dioksida dan partikel debu.
Sekitar 70 persen polusi udara di Jakarta akibat asap transportasi.
Menurut staff pengajar Fakultas Teknologi Kelautan Universitas
Darma Persada Jakarta Agung Sudrajad (Inovasi, Vol. 5, 2005), di Jakarta
pertambahan kendaraan tercatat 8.74 persen pertahun sementara
prasarana jalan meningkat 6.28 persen per tahun. Ini tentu menambah
semakin terpuruknya kondisi lingkungan udara kita.
Begitu juga, pihak korporasi harus mampu menjaga keutuhan dan
kehormatan (rumah tangga) warga masyarakat terkait atau internal
perusahaan. Perusahaan dilarang memberikan ekses negatif dalam
kegiatannya yang akan mengganggu rusaknya akal pikiran manusia.
Islam melarang umatnya mengkonsumsi atau memproduksi makanan
dan minuman yang dapat merusak akal karena akan mengancam
eksistensi akalnya.
Dalam pemeliharaan harta, transaksi jual beli harus dilakukan
secara halal. Jika tidak, maka eksistensi harta akan terancam, baik penge-
lolaan atau pemanfaatannya. Karena itu, pihak perusahaan dilarang
melakukan kegiatan yang secara jelas melanggar aturan syara’.
Dalam konteks tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social
responsibility/CSR), maqashid as-yari’ah ditujukan agar pelaku usaha atau
pihak perusahaan mampu menentukan skala prioritas kebutuhannya
yang terpenting. Kebutuhan-kebutuhan itu tidak hanya diorientasikan
untuk jangka pendek, tetapi juga jangka panjang dalam mencapai ridha
Allah. Kegiatan ekonomi tidak saja melibatkan aspek materi, tapi juga
kualitas keimanan seorang hamba kepada Allah Swt.
Oleh karena itu, konsep pembangunan yang melibatkan maqashid
as-yari’ah dimaksudkan agar terbentuk pribadi-pribadi muslim yang
memiliki keimanan dan ketakwaan. Tentu saja sikap ini tidak saja
214
didapatkan dari lubuk hati yang dalam. Tetapi, dilandasi juga dari
kesadaran manusia untuk melaksanakan kewajiban sebagai seorang
hamba-Nya. Kewajiban mengaplikasikan tanggung jawab seorang
hamba untuk melakukan kejujuran, kebenaran, kebajikan dan kasih
sayang terhadap seluruh data kehidupan aktual. Islam mengajarkan
tanggung jawab agar mampu mengendalikan diri dari tindakan
melampaui batas kewajaran dan kemanusiaan. Tanggung jawab ini
mencakup tanggung jawab kepada Allah, kepada sesama dan
lingkungannya.
215
4. Bagi perusahaan investor dari negara maju, adanya regulasi
mengenai tanggungjawab sosial perusahaan yang ketat dapat
menjadi alternative untuk berpindah ke negara yang memiliki
regulasi tanggung jawab sosialnya lebih longgar. Dilema ini yang
dihadapi oleh negara miskin dan berkembang, jika terlalu ketat maka
otomatis investor akan mengurungkan niatnya berinvestasi tetapi
sebaliknya jika terlalu longgar akan merugikan rakyat dan
lingkungan alam.
216
dapat meningkatkan jumlah penjualan produk dan pangsa pasar
mereka. CSR juga dapat membantu suatu merek dagang (brand) mem-
peroleh reputasi yang dikenal luas. Ia dapat membantu perusahaan
memangkas ongkos produksi, mendorong produktivitas buruh, menarik
banyak investasi, dan memperoleh kredit serta pengenaan pajak yang
amat menguntungkan.
Karena CSR ini adalah proyek “amal” perusahaan, maka terdapat
banyak aktor yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Lembaga-lembaga
non-perusahaan yang terlibat antara lain Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), pemerintah, dan lembaga-lembaga internasional. Sedemikian
banyak aktor yang terlibat, pada akhirnya CSR telah menjadi sebuah
industri tersendiri, dimana pada tahun 2007 jumlah uang yang beredar
dalam industri ini bernilai 31,7 milyar dollar Amerika.
Inisiatif-inisiatif yang didorong oleh CSR, seperti inisiatif berbagai
pemangku kepentingan (Multi-Stakeholders Initiatives –MSI), mengklaim
bahwa CSR telah berdampak positif dalam memecahkan banyak
persoalan utama perburuhan, seperti kebebasan berserikat dan per-
janjian kerja bersama. Namun demikian, kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa CSR sebenarnya lebih berbahaya ketimbang
berguna. Dalam kasus perburuhan, misalnya, CSR bertransformasi diri
menjadi suatu mekanisme yang disebut sebagai Kode Etik, atau Code of
Conduct. Melalui Kode Etik atau Code of Conduct, perusahaan menjadi-
kan CSR sebagai bagian dari fungsi kehumasan (public relation) mereka,
sebagai respon atas kritik dan dakwaan dari para aktivis HAM.
Dengan mempromosikan Code of Conduct, pengusaha mengubah
hubung an industrial di perusahaan menjadi harmonis, sehingga dapat
terus melanggar hak-hak dasar buruh tanpa mendapat tentangan berarti.
Dengan kata lain, tujuan dari Code of Conduct adalah menghibur dan
menjinakkan gerakan buruh, konsumen dan masyarakat sipil. Ia juga
memiliki misi menjaga kepentingan-kepentingan perusahaan multi-
nasional dalam sistem subkontrak internasional. Melalui Code of
Conduct perusahaan menjinakkan gerakan buruh dengan menyediakan
suatu dasar bagi LSM dan bahkan juga serikat buruh untuk terlibat
dalam kerja pengawasan atas proses manufaktur perusahaan
multinasional. Akibatnya, banyak LSM dan serikat buruh berpartisipasi
dan masuk ke dalam gerbong Code of Conduct, melibatkan diri dalam
217
kerja pengawasan serta aktif dalam dialog antar pemangku kepentingan,
dengan mengorbankan kerja inti mereka di akar rumput.
Selain itu, Code of Conduct menciptakan privatisasi hukum
perburuhan dan mendorong pembuatan peraturan tersendiri di masing-
masing perusahaan. Dengan mempromosikan Code of Conduct,
pengusaha mengalihkan fokus gerakan buruh dan konsumen ke arah
pembuatan peraturan lokal, tetapi pada saat yang sama mengabaikan
konstitusi nasional dan undang-undang perburuhan yang sudah ada.
Pengusaha terus mencoba meyakinkan buruh bahwa peraturan yang
sukarela di masing-masing perusahaan adalah jalan terbaik tinimbang
bersandar pada hukum perburuhan yang ada, yang tidak dapat ditegak-
kan.
Ini sebenarnya logika yang aneh, karena Code of Conduct secara
logis mengandung kontradiksi internal pada dirinya sendiri: Code of
Conduct menghadapi persoalan mendasar yang sama sebagaimana
hukum perburuhan yang ditolaknya, yakni kegagalan untuk dapat
ditegakkan. Untuk itulah, buruh layak ragu bahwa hukum perburuhan
akan lebih baik dan efektif di bawah pengaruh Code of Conduct.
Lebih dari itu, Code of Conduct dan jenis CSR lainnya memiliki
akibat “mengadu domba.” Di tingkat tempat kerja, CSR menghambat
perkembangan serikat buruh yang mandiri dan independen, yang secara
terus-menerus mendapatkan stigma sebagai pembuat keonaran dalam
masyarakat. Di tingkat komunitas, CSR berpengaruh pada hilang nya
harmoni dalam masyarakat karena sebagian mereka mendapatkan
keuntungan memperoleh pekerjaan, hadiah, atau kesempatan-
kesempatan lainnya, tetapi sebagian besar lainnya sama sekali tidak;
sebagian masyarakat bahkan hak-haknya dirampas, misalnya ketika
mereka harus menyerahkan tanahnya dengan dalih pembangunan.
Di tingkat nasional, pengaruh negatif CSR dengan jelas tampak
pada semakin lebarnya perpecahan antara pendukung dan penentang
CSR. Sementara di tingkat global, buruh di negara maju dan ber-
kembang semakin jarang bertemu untuk menggalang solidaritas karena
mereka terkooptasi oleh inisiatif berbagai pemangku kepentingan dari
kegiatan CSR, dan menjadi kian terserap pada kegiatan tersebut
ketimbang menggalang solidaritas sesama. Singkatnya, CSR dengan
perlahan-lahan tengah menghancurkan solidaritas antarburuh.
218
Sesuai dengan ajaran Islam, sebenarnya ada konsep yang lebih
agung dan mulia terkait dengan tanggungjawab sosial, yaitu salah satu
dalam rukun Islam melalui ZAKAT, dan instrumen sunnah lainnya,
seperti INFAK dan SHADAQAH. Melalui pengumpulan instrumen-
instrumen ini dapat dibangun masyarakat sejahtera.
Sebagaimana dalam penjelasan Mohammed Obaidulllah, Zakah
and sadaqah as instruments of charity occupy a central position in the Islamic
scheme of poverty alleviation. Zakah is the third among five pillars of Islam and
payment of zakah is an obligation on the wealth of every Muslim based on clear-
cut criteria. Rules of Shariah are fairly clear and elaborate in defining the nature
of who are liable to pay zakah and who can benefit from zakah. The first and
foremost category of potential beneficiaries is the poor and the destitute. A
greater degree of flexibility exists with respect to beneficiaries of sadaqah.
The primary issue with zakah and sadaqah-dependent institutions is the
issue of sustainability as they are essentially rooted in voluntarism. Funds
mobilized through charity could fluctuate from time to time and may not lend
themselves to careful planning and implementation.
219
strategi, core belief, core value, program, penyusunan anggaran sampai
kepada evaluasi. Tujuan dengan adanya strategic plan ini adalah
untuk menjaga kesinambungan perusahaan di masa yang akan
datang. Di dalam strategic plan faktor tanggungjawab sosial harus
menjadi bagian dari road map perusahaan dalam rangka mencapai
good corporate governance (GCG). Untuk mengevalusi penerapan
strategic plan ini diperlukan tool yang dapat menjadi dashboard
perusahaan di dalam menilai kinerja yang dihasilkan. Tool yang
digunakan dapat berupa metode balanced scorecard atau hanya
penerapan key performance indicator di setiap objektif yang ingin
dicapai.
3. Sudah saatnya tanggung jawab sosial perusahaan dikelola oleh suatu
divisi tersendiri secara professional sehingga pertanggungjawaban
terhadap manajemen dan stakeholder dapat transparan dan terukur
kinerjanya. Divisi ini diberikan otoritas untuk dapat memutuskan
secara cepat dan tuntas semua perkara (isu) yang berhubungan
dengan para stakeholder. Divisi ini harus dapat menjalin hubungan
yang harmonis dengan pemerintah sebagai regulator, lembaga
swadaya masyarakat, asosiasi yang berhubungan, dan masyarakat
sehingga keputusan yang diambil dapat mengakomodir semua
kepentingan. Dalam praktiknya staff dari divisi ini dapat diisi oleh
personal dari berbagai perwakilan yang ada di stakeholder.
4. Idealnya, pemerintah juga harus memiliki department yang berfokus
untuk menangani regulasi tanggung jawab sosial perusahaan
sehingga dapat menjadi mediator dan fasilitator bagi semua pihak
yang berkepentingan. Fungsi lainnya dari department ini adalah
sebagai auditor yang memberikan rangking dalam periode tertentu
bagi semua perusahaan sesuai dengan bidang dan kelasnya, dengan
adanya ranking ini memicu perusahaan untuk serius menangani
masalah tanggung jawab sosial perusahaan. Departemen ini harus
juga melibatkan institusi pendidikan dan akademisi untuk menjaga
transparansi dalam proses audit.
5. Pada era teknologi saat ini, peranan teknologi informasi dan
komunikasi (TIK) sudah menjadi keharusan bukan lagi sebagai
pendukung perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan dapat
memanfaatkan TIK semaksimal mungkin untuk menciptakan proses
220
yang efisien, efektif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Misalkan dengan menggunakan software, internet, portal, dan
teleconference sebagai alat komunikasi dengan stake-holder yang
terintegrasi dengan proses bisnis yang ada dalam perusahaan.
221
kan hartanya. Kalau tidak, ia terkena wajib zakat. Pengeluaran zakat
kepada lembaga-lembaga yang berhak menerimanya, memiliki
pengaruh di bidang ekonomi. Mereka yang menerima zakat akan
mengeluarkannya kembali dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan
konsumsinya, baik yang berupa barang-barang mau pun jasa-jasa. Ini
biasanya mempercepat arus konsumsi. Dalam masalah perekonomian
meningkatnya konsumsi menimbulkan usaha berproduksi.
2. Pengaruh zakat dalam mengembalikan pembagian pendapatan. Zakat
memegang peranan penting dalam mengembalikan pembagian
kekayaaan dalam masyarakat. Berhasilnya zakat sebagai salah satu
cara mengembalikan distribusi kekayaan adalah karena zakat itu
diwajibkan atas segala macam harta yang tumbuh sehingga zakat itu
bersifat menyeluruh dan luas kaidah penerapan nya. Di samping itu,
karena zakat dilakukan setiap tahun maka zakat itu merupakan alat
permanen (instrumen) bagi pengembalian distribusi kekayaan.
3. Pengaruh zakat atas kerja. Zakat dapat menggerakkan roda perekono-
mian dengan cara memberikan kesempatan bekerja. Pasalnya, zakat
hanya diberikan kepada mereka yang tidak mampu berusaha.
Artinya, zakat diarahkan kepada kelompok dalam masyarakat yang
konsumtif akan menyebabkan meningkatnya permintaan barang,
sehingga bertambahlah pula kesempatan-kesempatan kerja yang
baru.
222
Zakat, dari segi pemerolehannya tidak akan dikumpulkan selain
dari harta orang-orang Islam, bukan dari orang non-muslim. Zakat tidak
sama dengan pajak umum, melainkan hanya semata merupakan salah
satu bentuk ibadah dan diang gap sebagai salah satu rukun Islam.
Pengumpulan zakat tidak bisa dilaksanakan karena adanya kebutuhan
negara serta maslahat jama’ah (community), seperti harta-harta lain yang
dikumpulkan dari umat. Zakat merupakan jenis harta lain, yang wajib
diberikan kepada baitul maal, baik ada kebutuhan atau pun tidak.
Al-Qur’an menegaskan bahwa salah satu golongan yang berhak
menerima bagian zakat adalah ‘amil, suatu badan pemungut dan
pembagi zakat. Sejak masa Nabi hingga pertengahan pertama masa
pemerintahan Khalifah Utsman, zakat dipungut oleh negara. Zakat
dibagikan kepada yang berhak, tidak dengan sistem memberikan
sejumlah uang tertentu yang segera habis dimakan, tetapi dengan jalan
menjadikan sebagian uang zakat sebagai modal usaha yang dapat
menyerap tenaga kerja dari mereka yang berhak atas bagian zakat.
Dalam hal ini, kata Ahmad Azhar Basyir, mantan ketua Muhammadiyah
mengatakan bahwa, jika para pekerjanya memang terdiri dari mereka
yang berhak menerima zakat, maka mereka merupakan pemilik-pemilik
modal perusahaan tempat mereka bekerja.
Zakat yang dikumpulkan berbentuk uang tunai (Dirham dan
Dinar), hasil pertanian. Mata uang ini merupakan unit moneter
perekonomian di masa awal Islam. Penarikan zakat dalam bentuk mata
uang menyebabkan munculnya penarikan terhadap zakat pendapatan
yang berasal dari kegiatan komersial seperti kerajinan tangan,
sedangkan pendapatan dari kegiatan pertanian lebih berbentuk barang,
tidak dalam bentuk uang tunai, yang berupa hasil pertanian itu sendiri.
Zakat, sungguh pun itu mengambil bentuk mengeluarkan sebagian
dari harta untuk menolong fakir-miskin dan sebagainya, juga
merupakan pensucian roh. Di sini roh dilatih menjauhi kerakusan pada
harta dan memupuk rasa bersaudara, rasa kasihan dan suka menolong
anggota masyarakat yang berada dalam kekurangan. Oleh karena itu,
zakat berfungsi sebagai funding to distribute atau pooling fund (aspek
sosial) dan effort to flowing (aspek pengendalian).
Dan yang terpenting, membayar zakat adalah untuk memberi
makan anak yatim dan berusaha memberi makan fakir miskin. Berusaha
223
di sini mempunyai arti berusaha melalui sebuah institusi atau lembaga.
Bahwa kemiskinan memang selalu ada, tapi melalui proses institutional
building yang sistematis dan men-jawab tantangan jaman, maka orang
yang miskin itu akan terus diusahakan untuk dientaskan, sehingga
terjamin kesejahteraannya melalui kelembagaan seperti ini agar
terhindar dari kategori pembohong agama.
Dengan demikian, bila pendistribusian zakat efektif, apalagi
ditambah dengan infak dan shodaqah, maka akan hebatlah sistem
ekonomi Islam khusus nya model pengalihan (distribusi) kekayaan.
Berikut gambar berkenaan dengan model pendistribusian zakat, infak dan
shodaqah.
Bila dana zakat, infak dan shodaqoh mampu dikelola dengan baik
maka ia harus didistribusikan sesuai dengan surat At-Taubah ayat 60
dengan melihat aspek sosial dan ekonominya dari:
1. Dana sosial untuk kebutuhan pokok minimal masyarakat fakir.
2. Dana ekonomi untuk pengembangan ekonomi masyarakat miskin,
memperluas lapangan kerja dan pendapatan masyarakat.
3. Dana prestasi kerja berupa gaji bagi ’amil.
4. Dana pembinaan dan pengembangan dakwah untuk muallaf.
5. Dana pembebasan utang masyarakat fakir-miskin atau pun lainnya.
6. Dana perjuangan membebaskan perbudakan.
7. Dana perjuangan menegakkan jalan Allah SWT., jalan kebenaran.
8. Dana mengatasi permasalahan masyarakat lainnya (ibnu sabil).
224
ﻋ َﻠ ْﻴﻬَﺎ وَا ْﻝ ُﻤ َﺆَّﻝ َﻔ ِﺔ ُﻗﻠُﻮ ُﺏ ُﻬ ْﻢ َوﻓِﻲ
َ ﻦ
َ ﻦ وَا ْﻝﻌَﺎ ِﻣﻠِﻴِ ت ِﻝ ْﻠ ُﻔ َﻘﺮَا ِء وَا ْﻝ َﻤﺴَﺎآِﻴ
ُ ﺼ َﺪﻗَﺎ
َّ ِإ َّﻥﻤَﺎ اﻝ
ﻋﻠِﻴ ٌﻢ
َ ﻦ اﻝَّﻠ ِﻪ وَاﻝ َﻠّ ُﻪ
َ ﻀ ًﺔ ِﻣ َ ﺴﺒِﻴ ِﻞ َﻓﺮِی َّ ﻦ اﻝِ ﺳﺒِﻴ ِﻞ اﻝَّﻠ ِﻪ َوِا ْﺏ
َ ﻦ َوﻓِﻲ َ ب وَا ْﻝﻐَﺎ ِرﻣِﻴ ِ اﻝ ِّﺮﻗَﺎ
ﺣﻜِﻴ ٌﻢَ
Oleh karena itu penggunaan zakat harus dapat dioptimalkan
kepada yang lebih membutuhkan, maka tahapan yang dilakukan dalam
peningkatan kesejahteraan dan semangat berusaha, menurut Sofyan Eko
Putra, setidaknya harus meliputi aspek:
1. Insentif ekonomi dalam rangka pemenuhan basic needs. Dalam
tahapan awal zakat didistribusikan oleh BAZ/LAZ kepada
masyarakat fakir dan miskin guna pemenuhan basic needs, seperti
kebutuhan pangan, dan kebutuhan akan kesehatan. Pada tahap ini
dana murni berasal dari zakat.
2. Pelatihan Kewirausahaan
Setelah pemenuhan akan basic needs terpenuhi, setidaknya si fakir dan
si miskin tidak khawatir akan kebutuhan setiap harinya. Tentu bagi
mustahiq yang mampu (secara fisik baik) diperlukan adanya pelatihan
akan kewirausahaan. Pada tahap ini dana berasal dari infaq dan
shadaqah. BAZ/LAZ memfasilitasi kegiatan pendidikan dan
pelatihan melalui kerjasama dengan instansi pendidikan atau LSM.
3. Pola Pembiayaan: BAZ/LAZ dan Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah
terhadap Pemberdayaan Masyarakat Fakir dan Miskin adalah
memfasilitasi pembiayaan al-Qardh, al-Mudharabah.
4. Pola Kemitraan
Pola kemitraan bertujuan untuk menunjang pemberdayaan
masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan semangat
berusaha setelah proses edukasi (pelatihan kewirausahaan) dan
pembiayaan dalam rangka menjalankan usaha.
225
5. Tahap Kemandirian Usaha Fakir dan Miskin (Pelaku Usaha) dapat
dilihat dalam gambar 8.4 berikut:
226
Tiga instrumen investasi publik dalam Islam itulah yang secara
makro bila diberdayakan secara optimal dengan pengelolaan secara
profesional dapat membawa implikasi positif dalam menggeliatkan
perekonomian umat, sekaligus mampu memperkecil tingkat pengang-
guran dan kemiskinan. Karena zakat, infak dan shadaqah merupakan
instrumen kebijakan fiskal dalam Islam, maka pemerintah baik pusat
hingga daerah apalagi telah di undang-undangkannya zakat menjadikan
instrumen ini dapat dioptimalkan, mengingat mayoritas penduduk
Indonesia muslim dan terbesar di dunia.
Bagi masyarakat swasta non pemerintah juga mempunyai
keterikatan batin yang perlu direspon, daripada itu, Lembaga Amil
Zakat (LAZ) yang telah mendapat izin operasional dari pemerintah,
tentu melaksanakan secara profesional pengelolaan dana zakat, infak
dan shadaqah merupakan amanat yang harus dijalankan secara optimal.
Karena itu, pemberdayaan alokasi ZIS harus secara profesional
ditangani.
227
BAB XII
ETIKA PROFESI DALAM ISLAM
A. Pengertian Profesi
228
Profesionalisme merupakan suatu tingkah laku, suatu tujuan atau
suatu rangkaian kwalitas yang menandai atau melukiskan coraknya
suatu “profesi”. Profesionalisme mengandung pula pengertian menjalan
kan suatu profesi untuk keuntungan atau sebagai sumber penghidupan.
Jadi, Profesionalisme merupakan sifat kemahiran, kemampuan, cara
pelaksanaan dari sesuatu yang dilakukan oleh seseorang. Profesio-
nalisme berasal dari profesion yang bermakna berhubungan dengan
profesi dan memerlukan kepandaian khusus untuk men-jalankannya.
Jadi Profesionalisme adalah tingkah laku, kepakaran atau kualitas dari
seseorang yang profesional (Longman, 1987).
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat simpul-
kan bahwa dikatakan profesional dalam berprofesi bila memiliki
karakteristik sebagai berikut:
1. Profesionalisme menghendaki sifat mengejar kesempurnaan hasil
(perfect result), sehingga kita di tuntut untuk selalu mencari
peningkatan mutu.
2. Profesionalisme memerlukan kesungguhan dan ketelitian kerja yang
hanya dapat diperoleh melalui pengalaman dan kebiasaan.
3. Profesionalisme menuntut ketekunan dan ketabahan, yaitu sifat tidak
mudah puas atau putus asa sampai hasil tercapai.
4. Profesionalisme memerlukan integritas tinggi yang tidak tergoyah-
kan oleh “keadaan terpaksa” atau godaan iman seperti harta dan
kenikmatan hidup.
5. Profesionalisme memerlukan adanya kebulatan fikiran dan
perbuatan, sehingga terjaga efektivitas kerja yang tinggi.
Ciri di atas menunjukkan bahwa tidaklah mudah menjadi seorang
pelak-sana profesi yang profesional, harus ada kriteria-kriteria tertentu
yang mendasarinya. Lebih jelas lagi bahwa seorang yang dikatakan
profesional adalah mereka yang sangat kompeten atau memiliki
kompetensi-kompetensi tertentu yang mendasari kinerjanya. Dan
berikut ini akan ditampilkan power point tentang etika profesi dan atau
profesional.
229
Profesional (KBBI)
• Bersangkutan dengan profesi
• Pekerjaan yang memerlukan
kepandaian khusus untuk
menjalankannya
• Mengharuskan adanya
pembayaran untuk
melakukannya (lawan dari
amatir)
230
Profesionalisme
• Profesionalisme adalah suatu paham yang
mencitakan dilakukannya kegiatan-kegiatan
kerja tertentu dalam masyarakat, berbekalkan
keahlian yang tinggi dan berdasarkan rasa
keterpanggilan -- serta ikrar (fateri/profiteri)
untuk menerima panggilan tersebut -- untuk
dengan semangat pengabdian selalu siap
memberikan pertolongan kepada sesama yang
tengah dirundung kesulitan di tengah gelapnya
kehidupan (Wignjosoebroto, 1999).
3 Watak Profesionalisme
• Tiga watak kerja yang merupakan persyaratan
dari setiap kegiatan pemberian "jasa profesi" (dan
bukan okupasi) ialah
– bahwa kerja seorang profesional itu beritikad untuk
merealisasikan kebajikan demi tegaknya kehormatan
profesi yang digeluti, dan oleh karenanya tidak terlalu
mementingkan atau mengharapkan imbalan upah
materiil;
– bahwa kerja seorang profesional itu harus dilandasi oleh
kemahiran teknis yang berkualitas tinggi yang dicapai
melalui proses pendidikan dan/atau pelatihan yang
panjang, ekslusif dan berat;
– bahwa kerja seorang profesional -- diukur dengan
kualitas teknis dan kualitas moral -- harus menundukkan
diri pada sebuah mekanisme kontrol berupa kode etik
yang dikembangkan dan disepakati bersama didalam
sebuah organisasi profesi.
231
B. Profesi dalam Bisnis Islami
232
Konsep KAIZEN ini digabung dengan konsep gugus kendali mutu
yang membangkitkan kreativitas dari karyawan. Setiap karyawan
melalui kelompok- nya mengevaluasi sendiri hasil kerjanya, kemudian
melakukan perbaikan, membuat usul ke atasan tentang perbaikan lebih
lanjut. Konsep KAIZEN ini sudah menjadi bibir orang Jepang sehari-hari
yang bukan lip service saja, tetapi betul-betul dilaksanakan.
Bisnis atau usaha perniagaan/perdagangan atau usaha komersial
merupakan salah satu yang penting bagi kehidupan manusia, oleh
karena bisnis beroperasi dalam rangka suatu sistem ekonomi, maka
sebagian dari tugas etika bisnis sesungguhnya ialah mengemukakan
pertanyaan-pertanyaan tentang sistem ekonomi yang umum dan
khusus, yang pada gilirannya akan berbicara tentang tepat atau tidaknya
pemakaian bahasa moral untuk menilai sistem tersebut. Al-Qur’an
memberikan informasi yang cukup banyak berkaitan dengan hal
tersebut. Diantaranya QS. An Nisa: 29 yang berbunyi:
ﻦ
ْﻋ
َ ن ِﺕﺠَﺎ َر ًة
َ ن َﺕﻜُﻮ
ْ ﻃ ِﻞ إِﻻ َأ
ِ ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا ﻻ َﺕ ْﺄ ُآﻠُﻮا َأ ْﻣﻮَا َﻝ ُﻜ ْﻢ َﺏ ْﻴ َﻨ ُﻜ ْﻢ ﺏِﺎ ْﻝﺒَﺎ َ یَﺎ َأ ُّیﻬَﺎ اَّﻝﺬِی
ن ِﺏ ُﻜ ْﻢ َرﺣِﻴﻤًﺎَ ن اﻝَّﻠ َﻪ آَﺎ َّ ﺴ ُﻜ ْﻢ ِإ
َ ض ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ وَﻻ َﺕ ْﻘ ُﺘﻠُﻮا َأ ْﻥ ُﻔ
ٍ َﺕﺮَا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
233
mengambil milik perusahaan, maka ia wajib mengembalikan, kesadaran
inilah yang disebut sebagai kesadaran moral, karena ia harus memper-
tanggungjawabkan hal tersebut bukan hanya ia seorang karyawan tetapi
ia sadar bahwa ia juga seorang hamba Tuhan.
Seorang yang menimbun barang dagangan akan dianggap sebagai
seorang yang dzalim dengan melakukan monopoli padahal rakyat
sangat sulit mencari barang tersebut. Dari ayat dan hadits tersebut sudah
cukup jelaslah bahwa dalam Islam berbisnis adalah sesuatu yang
dibenarkan dan dalam mejalankannya pun terdapat aturan berperilaku
yang harus diperhatikan oleh pelaku bisnis tersebut. Dalam menjalankan
usaha tersebut pastilah dibutuhkan bekerja untuk mencapai tujuan dari
usaha/niaga/bisnis, apakah itu dengan cara pribadi, kelompok kecil
atau kelompok besar.
Dalam melakukan bisnis atau usaha tentulah seseorang perlu
bekerja. Bekerja adalah sebuah aktivitas yang menggunakan daya yang
dimiliki oleh manusia yang merupakan pemberian Allah. Secara garis
besar ada empat daya pokok yang dimiliki manusia, pertama daya fisik
yang menghasilkan kegiatan gerak tubuh dan keterampilan, kedua daya
fikir yang mendorong manusia untuk melakukan telaah atas apa yang
ada di alam semesta dan menghasilkan ilmu pengetahuan, ketiga daya
Qalbu yang menjadikan manusia mampu berimajinasi, beriman, merasa
serta berhubungan dengan manusia lain dan sang Khaliq, dan keempat
daya hidup yang menghasilkan daya juang, kemampuan menghadapi
tantangan dan kesulitan.
1. Bekerja Sebagai Ibadah
Bekerja dalam pandangan Islam memiliki nilai ibadah, firman
Allah dalam surat Adzariyat: 56:
ن
ِ ﺲ إِﻻ ِﻟ َﻴ ْﻌ ُﺒﺪُو
َ ﻦ وَاﻹ ْﻧ
َّ ﺠ
ِ ﺖ ا ْﻟ
ُ ﺧَﻠ ْﻘ
َ َوﻣَﺎ
“Sesungguhnya tidak aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali agar beribadah
kepada-Ku”.
234
‘alamiin. Namun kerja yang di luar ibadah ritual bagai-mana yang akan
berdampak ibadah?
Kerja bernilai ibadah apabila ia didasari keikhlasan dan
menjadikan si pekerja tidak semata-mata mengharapkan imbalan
duniawi saja tetapi ia juga berharap akan balasan yang kekal di yaumil
akhirah. Dengan niatan bahwa ia bekerja untuk mendapatkan harta yang
akan ia jadikan sebagai sarana bagi dirinya untuk menyelamatkan
dirinya dan keluarganya sehingga dapat melakukan perintah Allah yang
lain.
Kata amanah, aman, dan iman berasal dari akar kata yang sama.
Seorang disebut beriman bila ia telah menunaikan amanat. Tidak disebut
beriman orang yang tidak menunaikan amanat. Seorang yang
menunaikan amanat akan melahirkan rasa aman bagi dirinya dan orang
lain. Di dalam al Qur’an banyak ayat yang memerintah kan agar
manusia menunaikan amanat yang telah dipercayakan kepadanya.
Diantaranya:
ﺤ ِﻤ ْﻠ َﻨﻬَﺎ
ْ ن َی
ْ ﻦ َأ
َ ﺠﺒَﺎ ِل َﻓ َﺄ َﺏ ْﻴ
ِ ض وَا ْﻝ
ِ ت وَاﻷ ْر ِ ﺴﻤَﺎوَا َّ ﻋﻠَﻰ اﻝ
َ ﺿﻨَﺎ اﻷﻣَﺎ َﻥ َﺔ ْ ﻋ َﺮ َ ِإ َﻥّﺎ
ﺝﻬُﻮﻻ َ ﻇﻠُﻮﻣًﺎ َ نَ ن ِإ َّﻥ ُﻪ آَﺎ
ُ ﺣ َﻤ َﻠﻬَﺎ اﻹ ْﻥﺴَﺎ
َ ﻦ ِﻣ ْﻨﻬَﺎ َو
َ ﺵ َﻔ ْﻘ
ْ َوَأ
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan
mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikul lah amanat itu oleh
manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”. (QS. al
Ahzab/33:72)
235
jawab ia hanya menerima saja. Seperti amanat Allah kepada Matahari
agar ia beredar pada poros-nya, demikian pula bumi dan bulan.
ن ا ْﻝ َﻘﺪِی ِﻢ
ِ ﺣ َﺘّﻰ ﻋَﺎ َد آَﺎ ْﻝ ُﻌ ْﺮﺝُﻮ
َ وَا ْﻝ َﻘ َﻤ َﺮ َﻗ َّﺪ ْرﻥَﺎ ُﻩ َﻣﻨَﺎ ِز َل 39
ن
َ ﺴ َﺒﺤُﻮْ ﻚ َی ٍ َﻓ َﻠ
236
Dan manusia mempunyai hak untuk memilih dan mengikuti atau
tidak melaksanakan apa yang ditawarkan kepadanya. Tetapi mengapa
manusia saat menerima tawaran Allah berupa amanat disebut sebagai
dzaluman Jahula (amat zalim dan bodoh)? Setelah manusia menerima
amanah itu, manusia mempunyai tanggung jawab dan konsekwensi
hukum dari semua yang diperbuatnya. Apabila ia menunaikan amanat
dengan menggunakan akalnya, ia termasuk manusia yang cerdas, tetapi
sebaliknya bila ia tidak sanggup menggunakan akal pikirannya untuk
menunaikan amanat itu, maka manusia disebut sebagai menzalimi
dirinya sendiri dan bersikap bodoh.
ن
َ ﻦ ﻻ َﻳ ْﻌ ِﻘﻠُﻮ
َ ﺼ ُّﻢ ا ْﻟ ُﺒ ْﻜ ُﻢ اَّﻟﺬِﻳ
ُّ ﻋ ْﻨ َﺪ اﻟَّﻠ ِﻪ اﻟ
ِ ب
ِّ ﺷ َّﺮ اﻟ َّﺪوَا
َ ن
َّ ِإ
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah adalah
orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mau menggunakan akalnya”.
(QS. al Anfal/8:22)
Binatang yang paling buruk adalah manusia yang diberi akal dan
hati, tetapi ia tidak memahami, diberi telinga, tetapi tidak mendengar
dan dibekali mata, namun ia tidak sanggup melihat. Bahkan untuk
mereka di-sediakan neraka Jahanam. Manusia yang tidak pandai
memilih kebenaran yang ada dihadapannya, dan tidak sanggup
memperjuangkan keadilan yang didengarnya dan matanya tidak dapat
melihat kebenaran yang ada di sekelilingnya itulah yang disebut
dzaluman Jahula.
Dalam ayat lain Allah menegaskan bahwa siapa yang diberi
kebebasan dan amanat yang jelas kebaikannya dan ia telah merasakan
nikmat dari amanat itu, lalu ia memilih yang tidak sesuai dengan hati
nurani, tempat yang layak baginya adalah neraka Jahannam.
ن ِﺑﻬَﺎ َوَﻟ ُﻬ ْﻢَ ب ﻻ َﻳ ْﻔ َﻘﻬُﻮ ٌ ﺲ َﻟ ُﻬ ْﻢ ُﻗﻠُﻮ
ِ ﻦ وَاﻹ ْﻧ
ِّ ﺠ
ِ ﻦ ا ْﻟ
َ ﺠ َﻬَّﻨ َﻢ َآﺜِﻴﺮًا ِﻣ
َ َوَﻟ َﻘ ْﺪ َذ َر ْأﻧَﺎ ِﻟ
ﻞ
ُّ ﺿ
َ ﻞ ُه ْﻢ َأ ْ ﻚ آَﺎﻷ ْﻧﻌَﺎ ِم َﺑ َ ن ِﺑﻬَﺎ أُوَﻟ ِﺌ
َ ﺴ َﻤﻌُﻮْ ن ﻻ َﻳ ٌ ن ِﺑﻬَﺎ َوَﻟ ُﻬ ْﻢ ﺁذَاَ ﺼﺮُو ِ ﻦ ﻻ ُﻳ ْﺒ ٌ ﻋ ُﻴ
ْ َأ
ن
َ ﻚ ُه ُﻢ ا ْﻟﻐَﺎ ِﻓﻠُﻮ َ أُوَﻟ ِﺌ
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan
dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka
mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-
tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai
237
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang
yang lalai. (QS. al A’raf, 7:179)
Para mufassirin sepakat bahwa makna amanat dalam ayat ini (al-
Ahzab, 33:72) amanat dalam bentuk spiritual atau immateri. Yakni
sebuah taklif atau tanggungjawab yang harus dipikul oleh orang yang
diberi amanat dan juga bermakna hukum, yaitu ketentuan yang telah
ditetapkan untuk dilaksanakan. Dalam konteks ini, amanat dapat
disamakan dengan imarat al maknawiyah yakni mengisi dan
meningkatkan kualitas dan intensitas bekerja sebagai “sebuah gerakan”
yang terus menerus, dinamis dan inovatif.
4. Menghargai Waktu
238
aturan dan kewajiban (amilu Ash-sholihat). Imam Ali mengatakan “Waktu
adalah Pedang, apabila ia tidak tepat dimanfaatkan maka ia dapat
melukai/membunuh diri sendiri”
5. Kerjasama
ن
ِ ﻋﻠَﻰ اﻹ ْﺛ ِﻢ وَا ْﻟ ُﻌ ْﺪوَا
َ ﻋﻠَﻰ ا ْﻟ ِﺒ ِّﺮ وَاﻟَّﺘ ْﻘﻮَى وَﻻ َﺗﻌَﺎ َوﻧُﻮا
َ َو َﺗﻌَﺎ َوﻧُﻮا
“… Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya”. (QS:Al-Maidah:2)
239
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan
hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS:Al-Isra:
36)
Dalam surah yang lain yang Allah menjanjikan bahwa orang yang
memiliki pengetahuan lebih mulia beberapa derajat.
ﺢ اﻟَّﻠ ُﻪ َﻟ ُﻜ ْﻢ ِﺴَ ﺴﺤُﻮا َﻳ ْﻔ َ ﺲ ﻓَﺎ ْﻓ ِ ﺴﺤُﻮا ﻓِﻲ ا ْﻟ َﻤﺠَﺎِﻟ َّ ﻞ َﻟ ُﻜ ْﻢ َﺗ َﻔ
َ ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا ِإذَا ﻗِﻴ َ ﻳَﺎ َأُّﻳﻬَﺎ اَّﻟﺬِﻳ
ﻦ أُوﺗُﻮا ا ْﻟ ِﻌ ْﻠ َﻢ َ ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ وَاَّﻟﺬِﻳ
َ ﺸﺰُوا َﻳ ْﺮ َﻓ ِﻊ اﻟَّﻠ ُﻪ اَّﻟﺬِﻳ ُ ﺸﺰُوا ﻓَﺎ ْﻧ ُ ﻞ ا ْﻧ َ َوِإذَا ﻗِﻴ
ﺧﺒِﻴ ٌﺮ َ ن َ ت وَاﻟَّﻠ ُﻪ ِﺑﻤَﺎ َﺗ ْﻌ َﻤﻠُﻮ ٍ َد َرﺟَﺎ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-
lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(QS:Al-
Mujaadilah:11)
8. Pengendalian Mutu
240
“Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan
dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang
nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan".
(QS: At-Taubah:105)
241
7:74), sisa-sisa kemampuan kaum Nabi Shaleh masih terekam dilanjut-
kan anak cucu mereka yang berhasil membangun kota tua Petra di
Yordania.
Lanjut ke Nabi Yusuf, Nabi Yusuf yang keturunan Yakub (Israil)
hidup di Mesir (sebagai imigran). Sejak jaman dahulu bangsa Mesir
dikenal mempunyai sistem administrasi pemerintahan yang sangat rapi.
Bangsa Mesir dianggap sebagai bangsa tertua yang mengenal sistem
pencatatan keuangan negara yang rapi walau cukup sederhana karena
masih memakai sistem single entry (sekarang memakai double entry
lazim dikenal dengan istilah Debet & Kredit). Dan nabi Yusuf di beri
tugas sebagai bendaharawan negara Mesir lihat teks Quran (QS 12:55-
56). jaman modern sekarang tugas pencatat keuangan dikenal dengan
nama Accountant.
Nabi terbesar Bani Israil yaitu Nabi Musa dikenal sebagai
penggembala ternak di negeri Madyan, (QS 22:22-28). sebagian besar
nabi di Timur tengah adalah penggembala ternak. Sedangkan Nabi
Harun merupakan ahli dalam komunikasi, Nabi Harun diangkat Nabi
untuk membantu tugas Nabi Musa.
Nabi Daud yang diberi kitab Zabur merupakan Pandai Besi yang
hebat. pada Zaman nabi Daud sering terjadi peperangan tapi ilmu
penggunaan besi baru diajarkan Allah ke Nabi Daud, jadi jangan heran
kalau raja jalut yang hebat bisa dengan mudah dikalahkan Nabi Daud
(QS: 2:251). Sampai sekarang kisahnya dikenal dengan cerita David
(Daud) Vs Goliath (Jalut).
Anak Nabi Daud adalah Nabi Sulaiman dikenal sebagai nabi yang
ahli di bidang Konstruksi bangunan dan juga seorang ahli Etologi suatu
cabang ilmu Zoologi yaitu mempelajari tentang prilaku hewan. Namun
sayang sekali sisa-sisa kehebatan bangunan Nabi Sulaiman tinggal
reruntuhannya saja, dihancurkan oleh raja Nabukadnezar dari
Babylonia. Baitul Maqdis yang sekarang adalah salah satu kompleks
bangunan yang dibangun Nabi Sulaiman.
Nabi Bani Israil yang lain adalah Nabi Zakaria, dalam salah satu
hadits dikatakan Nabi Zakaria adalah tukang kayu. Nabi Zakaria
merupakan bapak Nabi Yahya.
242
Nabi Berikutnya adalah Nabi Isa, nabi paling fenomenal dalam
sejarah kenabian kisah hidupnya diperdebatkan Islam & Kristen. lalu
apa keahlian nabi Isa? jaman Nabi Isa ilmu pengobatan medis berkem-
bang sangat pesat pengaruh dari kebudayaan Yunani walau kadang
masih bercampur dengan mistis. oleh Allah, Nabi Isa diberikan
kelebihan bisa menyembuhkan orang buta dari lahir bahkan bisa
menghidupkan orang yang sudah mati (QS:3:49).
Dan Nabi penutup & Nabi akhir zaman. Nabi Muhammad dikenal
sebagai seorang saudagar/pedagang yang hebat (beliau lebih lama jadi
saudagar kurang lebih 25 tahun dibanding jadi nabi selama 23 tahun)
disamping itu nabi Muhammad juga seorang pemimpin militer yang
hebat, ahli pengobatan yang andal dan Negarawan yang bijaksana. Jejak
hidup Nabi Muhammad terekam dengan jelas dalam sejarah tulis, ini
karena beliau hadir ketika jaman tulis sudah bagus. (Sumber Indra
Sastrawat). hal ini dapat dilihat dalam surat-surat al-Qur’an mengenai
kisah-kisah Nabi sebagai berikut:
243
ﺤﺪِﻳ َﺪ
ﻄ ْﻴ َﺮ َوَأَﻟ َﻨّﺎ َﻟ ُﻪ ا ْﻟ َ
ل َأ ِّوﺑِﻲ َﻣ َﻌ ُﻪ وَاﻟ َّ
ﺟﺒَﺎ ُ
وََﻟ َﻘ ْﺪ ﺁ َﺗ ْﻴﻨَﺎ دَا ُو َد ِﻣ َﻨّﺎ َﻓﻀْﻼ ﻳَﺎ ِ 10
ن َﺑﺼِﻴ ٌﺮ
ﻋ َﻤﻠُﻮا ﺹَﺎِﻟﺤًﺎ ِإ ِﻧّﻲ ِﺑﻤَﺎ َﺗ ْﻌ َﻤﻠُﻮ َ
ﺴ ْﺮ ِد وَا ْ
ت َو َﻗ ِّﺪ ْر ﻓِﻲ اﻟ َّ
ﻞ ﺳَﺎ ِﺑﻐَﺎ ٍ
ﻋ َﻤ ْ
نا ْ
َأ ِ 11
ﻦ
ﻄ ِﺮ َو ِﻣ َ
ﻦ ا ْﻟ ِﻘ ْ ﻋ ْﻴ َﺳ ْﻠﻨَﺎ َﻟ ُﻪ َ
ﺷ ْﻬ ٌﺮ َوَأ َ
ﺡﻬَﺎ َﺷ ْﻬ ٌﺮ َو َروَا ُ ﻏ ُﺪ ُّوهَﺎ َ ﺢ ُ ن اﻟ ِﺮّﻳ َ ﺴَﻠ ْﻴﻤَﺎ َ
َوِﻟ ُ 12
ب
ﻋﺬَا ِ
ﻦ َ ﻦ َأ ْﻣ ِﺮﻧَﺎ ُﻧ ِﺬ ْﻗ ُﻪ ِﻣ ْ
ﻋْ غ ِﻣ ْﻨ ُﻬ ْﻢ َ
ﻦ َﻳ ِﺰ ْ
ن َرِّﺑ ِﻪ َو َﻣ ْ
ﻦ ﻳَ َﺪ ْﻳ ِﻪ ِﺑِﺈ ْذ ِ
ﻞ َﺑ ْﻴ َ
ﻦ َﻳ ْﻌ َﻤ ُﻦ َﻣ ْﺠ ِّ ا ْﻟ ِ
ﺴﻌِﻴ ِﺮاﻟ َّ
ت
ﺳﻴَﺎ ٍ
ب َو ُﻗﺪُو ٍر رَا ِ
ﺠﻮَا ِ
ن آَﺎ ْﻟ َ
ﺟﻔَﺎ ٍ
ﻞ َو ِﺐ َو َﺗﻤَﺎﺛِﻴ َ
ﻦ َﻣﺤَﺎرِﻳ َ ن َﻟ ُﻪ ﻣَﺎ َﻳﺸَﺎ ُء ِﻣ ْ
َﻳ ْﻌ َﻤﻠُﻮ َ 13
ﺸﻜُﻮ ُر
ي اﻟ َّ
ﻋﺒَﺎ ِد َ ﻦ ِﻞ ِﻣ ْ
ﺷ ْﻜﺮًا َو َﻗﻠِﻴ ٌ
ل دَا ُو َد ُ
ﻋ َﻤﻠُﻮا ﺁ َاْ
ﺴَﺄ َﺗ ُﻪ
ﻞ ِﻣ ْﻨ َ
ض َﺗ ْﺄ ُآ ُ
ﻋﻠَﻰ َﻣ ْﻮ ِﺗ ِﻪ إِﻻ دَا َﺑّ ُﺔ اﻷ ْر ِ ت ﻣَﺎ َدَّﻟ ُﻬ ْﻢ َ
ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ا ْﻟ َﻤ ْﻮ َ
ﻀ ْﻴﻨَﺎ َ َﻓَﻠ َﻤّﺎ َﻗ َ 14
ﻦ
ب ا ْﻟ ُﻤﻬِﻴ ِ ﺐ ﻣَﺎ َﻟ ِﺒﺜُﻮا ﻓِﻲ ا ْﻟ َﻌﺬَا ِن ا ْﻟ َﻐ ْﻴ َ
ن َﻟ ْﻮ آَﺎﻧُﻮا َﻳ ْﻌَﻠﻤُﻮ َﻦ َأ ْ
ﺠ ُّ
ﺖ ا ْﻟ ِ ﺧ َّﺮ َﺗ َﺒَّﻴ َﻨ ِ
َﻓَﻠ َﻤّﺎ َ
ق َرِّﺑ ُﻜ ْﻢ
ﻦ ِر ْز ِ
ل ُآﻠُﻮا ِﻣ ْ
ﺷﻤَﺎ ٍ
ﻦ َو ِ
ﻦ َﻳﻤِﻴ ٍ
ﻋْ
ن َ
ﺟَّﻨﺘَﺎ ِ
ﺴ َﻜ ِﻨ ِﻬ ْﻢ ﺁ َﻳ ٌﺔ َ
ﺴ َﺒٍﺈ ﻓِﻲ َﻣ ْ ن ِﻟ َ
َﻟ َﻘ ْﺪ آَﺎ َ 15
ﻏﻔُﻮ ٌر ب َﻃِّﻴ َﺒ ٌﺔ َو َر ٌّ ﺷ ُﻜﺮُوا َﻟ ُﻪ َﺑ ْﻠ َﺪ ٌة َ
وَا ْ
ﻞ
ﻲ ُأ ُآ ٍ
ﻦ َذوَا َﺗ ْ
ﺟَّﻨ َﺘ ْﻴ ِ
ﺠَّﻨ َﺘ ْﻴ ِﻬ ْﻢ َ
ﻞ ا ْﻟ َﻌ ِﺮ ِم َو َﺑ َّﺪ ْﻟﻨَﺎ ُه ْﻢ ِﺑ َ
ﺳ ْﻴ َ
ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ َ
ﺳ ْﻠﻨَﺎ َ
ﻋ َﺮﺿُﻮا َﻓَﺄ ْر َ َﻓَﺄ ْ 16
ﻞ
ﺳ ْﺪ ٍر َﻗﻠِﻴ ٍ
ﻦ ِ ﻲ ٍء ِﻣ ْﺷ ْ ﻞ َو َ ﻂ َوَأ ْﺛ ٍ
ﺧ ْﻤ ٍ
َ
ﻞ ُﻧﺠَﺎزِي إِﻻ ا ْﻟ َﻜﻔُﻮ َر
ﺟ َﺰ ْﻳﻨَﺎ ُه ْﻢ ِﺑﻤَﺎ َآ َﻔﺮُوا َو َه ْ
ﻚ َ
َذِﻟ َ 17
ﺴ ْﻴ َﺮ
ﻦ ا ْﻟ ُﻘﺮَى اَّﻟﺘِﻲ ﺑَﺎ َر ْآﻨَﺎ ﻓِﻴﻬَﺎ ُﻗﺮًى ﻇَﺎ ِه َﺮ ًة َو َﻗ َّﺪ ْرﻧَﺎ ﻓِﻴﻬَﺎ اﻟ َّ ﺟ َﻌ ْﻠﻨَﺎ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬ ْﻢ َو َﺑ ْﻴ َ
َو َ 18
ﻦ
ﻲ َوَأ َﻳّﺎﻣًﺎ ﺁ ِﻣﻨِﻴ َﺳِﻴﺮُوا ﻓِﻴﻬَﺎ َﻟﻴَﺎِﻟ َ
Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud karunia dari 10
Kami. (Kami berfirman): "Hai gunung-gunung dan burung-burung,
bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud", dan Kami telah
melunakkan besi untuknya,
(yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; 11
dan kerjakanlah amalan yang saleh. Sesungguhnya Aku melihat apa
yang kamu kerjakan.
244
siapa yang menyimpang di antara mereka dari perintah Kami, Kami
rasakan kepadanya azab neraka yang apinya menyala-nyala.
Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari 13
gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring
yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas
tungku). Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada
Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba Ku yang berterima
kasih.
Dan Kami jadikan antara mereka dan antara negeri-negeri yang Kami 18
limpahkan berkat kepadanya, beberapa negeri yang berdekatan dan
Kami tetapkan antara negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan.
Berjalanlah kamu di kota-kota itu pada malam dan siang hari dengan
aman.
245
D. Kewajiban Karyawan dan Perusahaan serta Sebaliknya
246
1. Kewajiban Ketaatan
2. Kewajiban Konfidensialitas
3. Kewajiban Loyalitas
247
Selain membebani karyawan dengan berbagai kewajiban terhadap
perusahaan, suatu perusahaan juga berkewajiban untuk memberikan
hak-hak yang sepadan dengan karyawan. Perusahaan hendaknya tidak
melakukan praktik-praktik diskriminasi dan eksploitasi terhadap para
karyawannya. Perusahaan juga harus memperhatikan kesehatan para
karyawannya, serta perusahaan hendaknya tidak berlaku semena-mena
terhadap para karyawannya.
Ada beberapa alasan mengapa diskriminasi dianggap tidak pantas
di dalam perusahaan. Alasan-alasan tersebut antara lain adalah:
a. Diskriminasi bisa merugikan perusahaan itu tersendiri, karena
perusahaan tidak berfokus pada kapasitas dan kapabilitas calon
pelamar, melainkan pada faktor-faktor lain di luar itu. Perusahaan
telah kehilangan kemampuan bersaingnya karena perusahaan
tersebut tidak diisi oleh orang-orang yang kompeten di bidangnya.
b. Diskriminasi juga melecehkan harkat dan martabat dari orang yang
didiskriminasi.
c. Diskriminasi juga tidak sesuai dengan teori keadilan. Terutama
keadilan distributif.
248
mena dalam mengeluarkan karyawan. Menurut Garrett dan Klonoski
ada tiga alasan yang lebih konkret untuk memberhentikan karyawan.
Yaitu:
1. Perusahaan hanya boleh memberhentikan karyawan karena alasan
yang tepat.
2. Perusahaan harus berpegang teguh pada prosedur yang telah
ditetapkan sebelumnya.
3. Perusahaan harus membatasi akibat negative bagi karyawan sampai
seminimal mungkin.
249
BAB XIII
KONSEP KEADILAN DALAM BISNIS
250
dengan jelas betapa porsi "warna keadilan" mendapat tempat dalam al-
Qur'an, sehingga dapat dimengerti sikap sekelompok Mu'tazilah dan
Syi'ah untuk menempatkan keadilan ('adalah) sebagai salah satu dari
lima prinsip utama al-Mabdi al-Khamsah.) dalam keyakinan atau akidah
mereka.
Beberapa makna keadilan dalam Alquran adalah persamaan
dalam hak, mencakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses
pengambilan keputusan, berada di pertengahan dan mempersamakan,
seimbang, perhatian terhadap hak individu dan memberikan hak itu
kepada setiap pemiliknya. Namun adil dalam pasar adalah keadilan
yang diperoleh oleh pembeli atas penjual dan penjual atas pembeli.
Artinya, bagaimana proses perdagangan di pasar terjadi keadilan harga,
dengan tidak mengurangi timbangan.
251
kemaslahatan masyarakat. Dengan demikian, ekonomi Islam akan
terbebas dari kezaliman dan penindasan. Sistem ekonomi Islam telah
memberikan keadilan dan persamaan prinsip produksi sesuai
kemampuan masing-masing tanpa menindas orang lain atau meng-
hancurkan masyarakat.
Al-Quran tidak menyetujui cara-cara perolehan kekayaan yang
men-datangkan keuntungan di satu pihak dan menyebabkan kerugian
di pihak lain, atau di mana penghasilan seseorang mengorbankan
kemaslahatan masyarakat (umum). Suatu yang diridhai dalam Islam
adalah perdagangan suka sama suka, yaitu perdagangan yang saling
menguntungkan baik bagi penjual atau pembeli.
Jika seseorang mencari dan mendapatkan kekayaan dengan cara
yang tidak benar ia tidak hanya merusak usaha dirinya, tetapi akan
menciptakan kondisi yang tidak harmonis di pasar yang pada akhirnya
akan menghancurkan usaha orang lain. Menyebabkan kebencian,
permusuhan, penipuan, ketidakjujuran, kekerasan, saling menindas
antar masyarakat dan merusak solidaritas. Merusak sistem ekonomi dan
akhirnya akan menghancurkan keseluruhan sistem sosial termasuk
orang yang melakukan tindak kekerasan.
Al-Quran juga menjelaskan bagaimana bangsa pada jaman-jaman
yang telah lalu mengalami kehancuran karena menggunakan cara yang
tidak adil dan salah dalam melakukan usaha bersama. Dalam surat An-
Nisaa’ Al-Quran memperhitungkan kejahatan dan penganiayaan yang
dilakukan orang Yahudi, dengan firman-Nya dalam An-Nisaa’: 161.
ﻦ ِﻣ ْﻨ ُﻬ ْﻢ
َ ﻋ َﺘ ْﺪﻧَﺎ ِﻟ ْﻠﻜَﺎ ِﻓﺮِﻳ
ْ ﻞ َوَأ
ِﻃ
ِ س ﺑِﺎ ْﻟﺒَﺎ
ِ ل اﻟ َﻨّﺎ
َ ﻋ ْﻨ ُﻪ َوَأ ْآِﻠ ِﻬ ْﻢ َأ ْﻣﻮَا
َ ﺧ ِﺬ ِه ُﻢ اﻟ ِّﺮﺑَﺎ َو َﻗ ْﺪ ُﻧﻬُﻮا
ْ َوَأ
ﻋﺬَاﺑًﺎ َأﻟِﻴﻤًﺎَ
“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah
dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan
jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di
antara mereka itu siksa yang pedih. (An-Nisaa’, 4: 161)
252
mengakibatkan kejahatan dalam masyarakat, mengganggu
keseimbangan perekonomian dan secara bertahap menghancurkannya.
(Afzalurrahman, Jilid 1, 217)
Sebuah perbandingan dalam memperoleh harta dengan cara yang
benar dan dengan cara yang salah dicantumkan Allah dalam firmannya:
253
segala bentuk produksi, yang diperoleh dengan tidak adil dan batil
diharamkan Islam. Hanya cara yang adil dan seimbang dalam produksi
yang diperbolehkan.
Tidak diragukan lagi bahwa produksi dalam sebuah bisnis dalam
ekonomi harus dilakukan dengan adil, jujur dan cara yang bijaksana,
tidak diperkenankan usaha yang tidak adil dan salah. Usaha yang salah,
tidak adil dan jujur akan mengakibatkan kehancuran dalam masyarakat.
Prinsip yang adil dan seimbang adalah suatu sistem ekonomi yang tidak
terlalu bebas seperti sistem kapitalis dan menekan seperti sistem
komunis, tidak ada kesewenang-wenangan dan eksploitasi yang
merusak individu dan masyarakat banyak, terbebas dari kezaliman dan
penindasan yang dilakukan para produsen yang tidak bertang-
gungjawab kepada konsumen. Usaha yang dianjurkan dalam Islam
adalah usaha yang dilakukan suka sama suka, tidak menguntungkan
disebagain pihak dan merugikan pihak lain. (Dikutip dari Johar Arifin,
2013)
254
diajarkan dalam teori konvensional bahwa ketika kita mengkonsumsi
sesuatu bagaimana kita dapat memperoleh keinginan dan kepuasan
yang kita harapkan walau itu bisa saja mendzalimi orang lain karena
sikap berlebih-lebihan.
Tingkat teori nilai guna atau kepuasan menjelaskan bahwa teori
ekonomi yang mempelajari kepuasan atau kenikmatan yang diperoleh
seorang konsumen dari mengkonsumsikan barang-barang. Kalau
kepuasan itu semakin tinggi maka semakin tinggi nilai guna atau utility-
nya. Sebaliknya semakin rendah kepuasan dari suatu barang maka
utility-nya semakin rendah pula. Itulah kepuasan tertinggi yang menjadi
tujuan dalam berkonsumsi menurut teori-teori konvensional.
Dalam Islam hal transaksi ekonomipun diatur terutama dalam hal
konsumsi karena apa-apa yang dianugerahkan kepada Allah di muka
bumi ini adalah anugerah terindah yang harus dimanfaatkan oleh setiap
umat guna menuju kesejahteraan atau falah. Bukan berlebih-lebihan
dalam berkonsumsi walaupun kita mempunyai pendapatan yang
banyak sebagaimana diatur dalam Al-Quran:
ﺐ
ُّ ﺤ
ِ ﺴ ِﺮﻓُﻮا ِإ َﻧّ ُﻪ ﻻ ُﻳ
ْ ﺷ َﺮﺑُﻮا وَﻻ ُﺗ
ْ ﺠ ٍﺪ َو ُآﻠُﻮا وَا
ِﺴ
ْ ﻞ َﻣ
ِّ ﻋ ْﻨ َﺪ ُآ
ِ ﺧﺬُوا زِﻳ َﻨ َﺘ ُﻜ ْﻢ
ُ ﻳَﺎ َﺑﻨِﻲ ﺁ َد َم
ﻦ
َ ﺴ ِﺮﻓِﻴ
ْ ا ْﻟ ُﻤ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid.
Makan dan minumlah, namun janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah
itu tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. (Q.S. Al-A’raf, 7: 31).
255
1. Prinsip Keadilan
Syarat ini mengandung arti ganda yang penting mengenai mencari
rezeki secara halal dan tidak dilarang hukum. Transaksi konsumsi sama-
sama atas dasar keadilan tidak ada yang saling mendzalimi.
2. Prinsip Kebersihan
Syariat yang kedua ini tercantum dalam kitab suci Al-Qur’an
maupun Sunnah tentang makanan. Harus baik atau cocok untuk
dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera.
3. Prinsip Kesederhanaan
Prinsip ini mengatur prilaku manusia mengenai makanan dan
minuman adalah sikap tidak berlebih-lebihan, yang berarti jangan lah
makan secara berlebih.
ﻦ
َ ح ُﻣ َﻜِّﻠﺒِﻴ
ِ ﺠﻮَا ِر َ ﻦ ا ْﻟ
َ ﻋَّﻠ ْﻤ ُﺘ ْﻢ ِﻣ
َ ت َوﻣَﺎ
ُ ﻄِّّﻴﺒَﺎ
َ ﻞ َﻟ ُﻜ ُﻢ اﻟ
َّ ﺡ
ِ ﻞ ُأْ ﻞ َﻟ ُﻬ ْﻢ ُﻗ َّ ﺡِ ﻚ ﻣَﺎذَا ُأ َ ﺴَﺄﻟُﻮ َﻧ
ْ َﻳ
ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ
َ ﺳ َﻢ اﻟَّﻠ ِﻪ
ْ ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ وَا ْذ ُآﺮُوا ا
َ ﻦَ ﺴ ْﻜ
َ ﻋَﻠّ َﻤ ُﻜ ُﻢ اﻟَّﻠ ُﻪ َﻓ ُﻜﻠُﻮا ِﻣ َﻤّﺎ َأ ْﻣ
َ ﻦ ِﻣ َﻤّﺎ َّ ُﺗ َﻌِّﻠﻤُﻮ َﻧ ُﻬ
ب
ِ ﺤﺴَﺎ ِ ﺳﺮِﻳ ُﻊ ا ْﻟ َ ن اﻟَّﻠ َﻪ َّ وَا َّﺗﻘُﻮا اﻟَّﻠ َﻪ ِإ
”Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?"
Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang
ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya
untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah
kepadamu, Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan
sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguh nya Allah amat cepat hisab-Nya”.
(Q.S Al Maidah, 5: 4)
5. Prinsip Moralitas
Jelaslah ketika kita mengkonsumsi sesuatu dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan yang bermuara pada Allah dan tidak menge-
sampingkan apa-apa yang diharamkan kepada Allah maka disinilah
256
fungsi moralitas layak diterapkan. Karena memang ketika mengklon-
sumsi hanya berharap keridhoan Allah semata dan mempertimbangkan
halal-haram menjadi referensi berkonsumsi seperti dalam Al-Quran
dijelaskan:
ﻦ
ْ س َوِإ ْﺛ ُﻤ ُﻬﻤَﺎ َأ ْآ َﺒ ُﺮ ِﻣ ِ ﻞ ﻓِﻴ ِﻬﻤَﺎ ِإ ْﺛ ٌﻢ َآﺒِﻴ ٌﺮ َو َﻣﻨَﺎ ِﻓ ُﻊ ﻟِﻠ َﻨّﺎ ْ ﺴ ِﺮ ُﻗ
ِ ﺨ ْﻤ ِﺮ وَا ْﻟ َﻤ ْﻴ
َ ﻦ ا ْﻟ
ِﻋ َ ﻚ َ ﺴَﺄﻟُﻮ َﻧ
ْ َﻳ
ت َﻟ َﻌَّﻠ ُﻜ ْﻢ
ِ ﻦ اﻟَّﻠ ُﻪ َﻟ ُﻜ ُﻢ اﻵﻳَﺎ ُ ﻚ ُﻳ َﺒِّﻴ
َ ﻞ ا ْﻟ َﻌ ْﻔ َﻮ َآ َﺬِﻟ
ِ ن ُﻗَ ﻚ ﻣَﺎذَا ُﻳ ْﻨ ِﻔﻘُﻮ َ ﺴَﺄﻟُﻮ َﻧ
ْ َﻧ ْﻔ ِﻌ ِﻬﻤَﺎ َو َﻳ
ن
َ َﺗ َﺘ َﻔ َّﻜﺮُو
”Mereka bertanya kepadamu (Nabi) tentang khamar dan judi. Katakanlah,”
pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia,
tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya ...”. (Q.s. Al Baqarah, 2:
219)
257
masyarakat diperlakukan secara sama oleh negara di hadapan
hukum.
b. Keadilan Komutatif
1. Mengatur hubungan yang adil atau fair antara warga negara satu
dengan warga negara lainnya.
2. Menuntut agar dalam interaksi sosial antara warga satu dengan
yang lainnya tidak boleh ada pihak yang dirugikan hak dan
kepentingannya.
3. Jika diterapkan dalam bisnis, berarti relasi bisnis dagang harus
terjalin dalam hubungan yang setara dan seimbang antara pihak
yang satu dengan lainnya.
4. Dalam bisnis, keadilan komutatif disebut sebagai keadilan tukar.
Dengan kata lain keadilan komutatif menyangkut pertukaran yang
fair antara pihak-pihak yang terlibat.
5. Keadilan ini menuntut agar baik biaya maupun pendapatan sama-
sama dipikul secara seimbang. (Sumber dari Reni Wulandari).
c. Keadilan Distributif
Keadilan distributif (keadilan ekonomi) adalah distribusi ekonomi
yang merata atau yang dianggap merata bagi semua warga negara.
Dalam sistem aristokrasi, pembagian itu adil kalau kaum ningrat
mendapat lebih banyak, sementara para budaknya sedikit. Menurut
Aristoteles, distribusi ekonomi didasarkan pada prestasi dan peran
masing-masing orang dalam mengejar tujuan bersama seluruh warga
negara. Dalam dunia bisnis, setiap karyawan harus digaji sesuai
dengan prestasi, tugas, dan tanggungjawab yang diberikan
kepadanya. Keadilan distributif juga berkaitan dengan prinsip
perlakuan yang sama sesuai dengan aturan dan ketentuan dalam
perusahaan yang juga adil dan baik.
258
Untuk bisa menegakkan keadilan legal, dibutuhkan sistem sosial politik
yang memang mewadahi dan memberi tempat bagi tegak-nya keadilan
legal tersebut, termasuk dalam bidang bisnis.
Dalam bisnis, pimpinan perusahaan manapun yang melakukan
diskriminasi tanpa dasar yang bisa dipertanggungjawabkan secara legal
dan moral harus ditindak demi menegakkan sebuah sistem organisasi
perusahaan yang memang menganggap serius prinsip perlakuan yang
sama, fair atau adil ini. Dalam bidang bisnis dan ekonomi, mensyaratkan
suatu pemerintahan yang juga adil: pemerintah yang tunduk dan taat
pada aturan keadilan dan bertindak berdasarkan aturan keadilan itu.
Yang dibutuhkan adalah apakah sistem sosial politik berfungsi
sedemikian rupa hingga memungkinkan distribusi ekonomi bisa
berjalan baik untuk mencapai suatu situasi sosial dan ekonomi yang bisa
dianggap cukup adil.
Pemerintah mempunyai peran penting dalam hal menciptakan
sistem sosial politik yang kondusif, dan juga tekadnya untuk menegak
kan keadilan. Termasuk di dalamnya keterbukaan dan kesediaan untuk
dikritik, diprotes, dan digugat bila melakukan pelanggaran keadilan.
Tanpa itu ketidakadilan akan merajalela dalam masyarakat.
a. Prinsip No Harm
Prinsip tidak merugikan orang lain, khususnya tidak merugikan hak
dan kepentingan orang lain.
b. Prinsip Non-Intervention
Prinsip tidak ikut campur tangan. Prinsip ini menuntut agar demi
jaminan dan penghargaan atas hak dan kepentingan setiap orang,
259
tidak seorang pun diperkenankan untuk ikut campur tangan dalam
kehidupan dan kegiatan orang lain.
260
suatu periode sangat dipengaruhi oleh keadaan alamiah dan sosial yang
kebetulan. Distribusi pendapatan dan kemakmuran yang ada, demikian
dapat dikatakan, merupakan akibat kumulatif dari distribusi alamiah,
yaitu bakat dan kemam puan alamiah, sebelum distribusi pasar bebas”.
Karena itu, menurut Rawls, pasar bebas justru menimbulkan
ketidakadilan. Bagi Rawls, “Ketidakadilan yang paling jelas dari sistem
kebebasan kodrati adalah bahwa sistem ini mengizinkan pembagian kekayaan
dipengaruhi secara tidak tepat oleh kondisi-kondisi (alamiah dan sosial yang
kebetulan) ini, yang dari sudut pandang moral sedemikian sewenang-wenang”.
Dengan demikian, menurut Rawls, jalan keluar utama untuk
memecahkan ketidakadilan distribusi ekonomi oleh pasar adalah
dengan mengatur sistem dan struktur sosial agar terutama menguntung-
kan kelompok yang tidak beruntung. Tentu saja dengan catatan sistem
ini tetap memberi prioritas pada kebebasan yang sama bagi semua
orang. Tetapi, kebebasan yang sama itu harus tetap disertai dengan
penataan struktur sosial, politik, dan ekonomi agar tidak melanggeng-
kan ketidakadilan distributive. Demikian keadilan distribusi menurut
Rawls.
ﺤ ُﻜﻤُﻮا
ْ ن َﺗ
ْ س َأ
ِ ﻦ اﻟ َﻨّﺎ
َ ﺡ َﻜ ْﻤ ُﺘ ْﻢ َﺑ ْﻴ
َ ت ِإﻟَﻰ َأ ْهِﻠﻬَﺎ َوِإذَا
ِ ن ُﺗ َﺆ ُدّوا اﻷﻣَﺎﻧَﺎ ْ ن اﻟَّﻠ َﻪ َﻳ ْﺄ ُﻣ ُﺮ ُآ ْﻢ َأ
َّ ِإ
ﺳﻤِﻴﻌًﺎ َﺑﺼِﻴﺮًا َ نَ ن اﻟَّﻠ َﻪ آَﺎ
َّ ﻈ ُﻜ ْﻢ ِﺑ ِﻪ ِإ
ُ ن اﻟَّﻠ َﻪ ِﻧ ِﻌ َﻤّﺎ َﻳ ِﻌ
َّ ل ِإ ِ ﺑِﺎ ْﻟ َﻌ ْﺪ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada mu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Selanjutnya, dalam surah Al-An’am(6): 152 dikatakan:
ن
َ ﻞ وَا ْﻟﻤِﻴﺰَا َ ﺷ َﺪّ ُﻩ َوَأ ْوﻓُﻮا ا ْﻟ َﻜ ْﻴ
ُ ﺡ َﺘّﻰ َﻳ ْﺒُﻠ َﻎ َأ
َ ﻦ
ُﺴ َﺡ ْ ﻲ َأَ ل ا ْﻟ َﻴ ِﺘﻴ ِﻢ إِﻻ ﺑِﺎَّﻟﺘِﻲ ِه َ وَﻻ َﺗ ْﻘ َﺮﺑُﻮا ﻣَﺎ
ن ذَا ُﻗ ْﺮﺑَﻰ َو ِﺑ َﻌ ْﻬ ِﺪ اﻟَّﻠ ِﻪ َ ﻋ ِﺪﻟُﻮا َوَﻟ ْﻮ آَﺎ ْ ﺳ َﻌﻬَﺎ َوِإذَا ُﻗ ْﻠ ُﺘ ْﻢ ﻓَﺎْ ﻒ َﻧ ْﻔﺴًﺎ إِﻻ ُو ُ ّﻂ ﻻ ُﻧ َﻜِﻠ ِﺴ ْ ﺑِﺎ ْﻟ ِﻘ
ن
َ ﺹّﺎ ُآ ْﻢ ِﺑ ِﻪ َﻟ َﻌَّﻠ ُﻜ ْﻢ َﺗ َﺬ َّآﺮُو
َ َأ ْوﻓُﻮا َذِﻟ ُﻜ ْﻢ َو
261
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan
timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah
kamu berlaku adil kendati pun dia adalah kerabat (mu), dan penuhilah janji
Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat”.
262
muslimin tapi acuh tak acuh terhadap kebutuhan dan kemiskinan mereka, Allah
pun akan acuh tak acuh terhadap kebutuhan dan kemiskinan (penguasa) itu”.
Umar bin Khattab ra., khalifah kedua, dalam salah satu pidatonya
menyatakan bahwa tiap warga negara berhak mendapatkan kekayaan
masyarakat secara adil, hingga tidak seorang pun sekali pun dirinya
sendiri dapat berbuat sewenang-wenang. Bahkan seekor domba di
Gurun Sinai pun harus menerima bagian dari kekayaan ini. Khalifah Ali
konon juga menegaskan,
“Allah telah mewajibkan si kaya untuk membantu si miskin dengan apa
yang cocok bagi mereka. Jika si miskin kelaparan, telanjang, atau
kesusahan, hal ini disebabkan hak si miskin telah dirampas oleh si kaya.
Dan Allah berhak untuk merampas harta si kaya sekaligus meng-
hukumnya”.
263
sementara upahnya tidak diberikan”. Dengan menyamakan eksploitasi
buruh dengan penjualan budak secara bebas dan pengkhianatan akan
janji Allah, menunjukkan betapa hinanya perbuatan mengeksploitasi
buruh.
Bagi pegawai (pekerja). Berdasarkan keadilan produksi dalam
Islam, seorang karyawan juga dituntut jujur, terampil, efisien sesuai
dengan fungsinya masing-masing. Seorang karyawan yang melampui
pengabdiannya kepada Allah SWT. dan menunaikan tugas-tugas dari
majikannya, baginya ada dua pahala (dari Allah). Jadi, keadilan dalam
Islam sangat menghargai hak dan bakat alamiah seseorang dalam
meningkatkan potensinya. Apakah untuk meningkatkan karir, kekayaan
dan lainnya. Yang jelas, Islam menghargai itu semua tapi harus selalu
didasarkan atas kemaslahatan umat, disertai dengan kepedulian sosial
guna menegakkan kesejahteraan (falah) dunia akhirat secara berkesenim-
bangunan, sistematis dan etis, sesuai dengan nilai-nilai dan norma-
norma agama, baik dalam aktivitas ekonominya maupun keadilan
distributive pendapatan atau kekayaan.
264
BAB XIV
ETIKA BISNIS
DALAM PASAR ISLAMI
A. Pendahuluan
265
dan konsumen. Di pasar orang bisa mendapatkan kebutuhannya dan
tidak ada orang yang tidak memerlukan pasar. Attensi Islam terhadap
jual beli sebagai salah satu sendi perekonomian dapat di lihat dalam
surat Al-Baqarah 275 bahwa “Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba”. Allah SWT menjelaskan tentang rasul-rasul-Nya
dalam Q.S. Al-Furqan: 20:
ق
ِ ﺳﻮَا
ْ ن ﻓِﻲ اﻷ
َ ﻄﻌَﺎ َم َو َی ْﻤﺸُﻮ
َّ ن اﻝ
َ ﻦ إِﻻ ِإ َّﻥ ُﻬ ْﻢ َﻝ َﻴ ْﺄ ُآﻠُﻮ
َ ﺳﻠِﻴَ ﻦ ا ْﻝ ُﻤ ْﺮَ ﻚ ِﻣ َ ﺳ ْﻠﻨَﺎ َﻗ ْﺒ َﻠ
َ َوﻣَﺎ َأ ْر
ﻚ َﺏﺼِﻴﺮًا َ ن َر ُّﺏ
َ ن َوآَﺎ َ ﺼ ِﺒﺮُو ْ ﺾ ِﻓ ْﺘ َﻨ ًﺔ َأ َﺕ
ٍ ﻀ ُﻜ ْﻢ ِﻝ َﺒ ْﻌ َ ﺝ َﻌ ْﻠﻨَﺎ َﺏ ْﻌ
َ َو
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelumnya, melainkan
mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar”.
Al-Qurthubi mengatakan maksud berjalan di pasar-pasar adalah
untuk mencari rezeki, berdagang dan mencari mata pencaharian.
Ayatini adalah dasar dari mencari rezeki, berdagang dan mencari mata
pencaharian dengan berdagang, produksi dan lain sebagainya. Islam
dan Pasar Masyarakat saat ini seakan merindukan sebuah sistem pasar
yang tepat sebagai bagian dari penolakan pada sistem Kapitalis dan
Sosialis yang mengalami kegagalan dalam menciptakan kesejahteraan.
Secara umum, kedua sistem ekonomi tersebut di atas tidak
sepenuhnya bertentangan dengan nilai-nilai Islam, namun Islam hendak
menempatkan segala sesuatu sesuai pada porsinya, tidak ada yang
dirugikan, dan dapat mencerminkan sebagai bagian dari kehidupan
holistik dunia dan akhirat manusia. Berdagang adalah aktivitas yang
paling umum dilakukan di pasar. Untuk itu teks-teks Al-Qur’an selain
memberi-kan stimulan agar umat Islam menjadi seorang pedagang, di
lain pihak juga menjalan-kan aktivitas tersebut dengan sejumlah rambu
atau aturan main yang bisa diterapkan di pasar dalam upaya
menegakkan kepentingan semua pihak, baik individu maupun
kelompok.
Konsep Islam menegaskan bahwa pasar harus berdiri di atas
prinsip persaingan sempurna (perfect competition). Namun demikian
bukan berarti kebebasan tersebut berlaku mutlak, akan tetapi kebebasan
yang dibungkus oleh frame (kerangka) syari’ah. Dalam Islam, Transaksi
terjadi secara sukarela (antaradim minkum) sebagai-mana disebut kan
dalam Qur’an surat An-Nisa’ ayat 29.
266
ﻦ
ْﻋ
َ ن ِﺕﺠَﺎ َر ًة
َ ن َﺕﻜُﻮ
ْ ﻃ ِﻞ إِﻻ َأ
ِ ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا ﻻ َﺕ ْﺄ ُآﻠُﻮا َأ ْﻣﻮَا َﻝ ُﻜ ْﻢ َﺏ ْﻴ َﻨ ُﻜ ْﻢ ﺏِﺎ ْﻝﺒَﺎ َ یَﺎ َأ ُّیﻬَﺎ اَّﻝﺬِی
ن ِﺏ ُﻜ ْﻢ َرﺣِﻴﻤًﺎَ ن اﻝَّﻠ َﻪ آَﺎ َّ ﺴ ُﻜ ْﻢ ِإ
َ ض ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ وَﻻ َﺕ ْﻘ ُﺘﻠُﻮا َأ ْﻥ ُﻔ
ٍ َﺕﺮَا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jangan lah kamu saling memakan
harta sesukamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku suka sama suka di-antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu”.
267
B. Prinsip Dasar Pasar Islami
ﻦ
ْﻋ
َ ن ِﺕﺠَﺎ َر ًة
َ ن َﺕﻜُﻮ
ْ ﻃ ِﻞ إِﻻ َأ
ِ ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا ﻻ َﺕ ْﺄ ُآﻠُﻮا َأ ْﻣﻮَا َﻝ ُﻜ ْﻢ َﺏ ْﻴ َﻨ ُﻜ ْﻢ ﺏِﺎ ْﻝﺒَﺎ َ یَﺎ َأ ُّیﻬَﺎ اَّﻝﺬِی
ن ِﺏ ُﻜ ْﻢ َرﺣِﻴﻤًﺎَ ن اﻝَّﻠ َﻪ آَﺎ َّ ﺴ ُﻜ ْﻢ ِإ
َ ض ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ وَﻻ َﺕ ْﻘ ُﺘﻠُﻮا َأ ْﻥ ُﻔ
ٍ َﺕﺮَا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesama mu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. dan jangan lah kamu
membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.”. (QS. An Nisa’ 29).
b. Persaingan sehat (fair competition). Mekanisme pasar akan ter-hambat
bekerja jika terjadi penimbunan (ihtikar) atau monopoli. Monopoli
dapat diartikan, setiap barang yang penahanannya akan membahaya-
kan konsumen atau orang banyak.
c. Kejujuran (honesty), kejujuran merupakan pilar yang sangat penting
dalam Islam, sebab kejujuran adalah nama lain dari kebenaran itu
sendiri. Islam melarang tegas melakukan kebohongan dan penipuan
dalam bentuk apapun. Sebab, nilai kebenaran ini akan berdampak
langsung kepada para pihak yang melakukan transaksi dalam per-
dagangan dan masyarakat secara luas.
268
d. Keterbukaan (transparency) serta keadilan (justice). Pelaksanaan prinsip
ini adalah transaksi yang dilakukan dituntut untuk berlaku benar
dalam pengungkapan kehendak dan keadaan yang sesungguhnya.
269
2. Larangan Bay‘ Ba’dh ‘Ala Ba’dh. Praktik bisnis ini adalah dengan
melakukan lompatan atau penurunan harga oleh seorang dimana
kedua belah pihak yang terlibat tawar menawar masih dalam tahap
negosiasi atau baru akan menyelesaikan penetapan harga. Rasul
Allah melarang praktik semacam ini karena hanya akan menimbul-
kan kenaikan harga yang tidak diinginkan.
3. Tallaqi Al-Rukban. Praktik ini adalah dengan cara mencegat orang-
orang yang membawa barang dari desa dan membeli barang tersebut
sebelum tiba di pasar. Rasulullah melarang praktik semacam ini
dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kenaikan harga. Beliau
memerintahkan agar barang-barang langsung dibawa ke pasar,
sehingga penyuplai barang dan para konsumen bisa mengambil
manfaat dari harga yang sesuai dan alami.
4. Larangan Ihtinaz dan Ihtikar Ihtinaz adalah praktik penimbunan harta
seperti emas, perak dan lain sebagainya. Sedangkan ihtikar adalah
penimbunan barang-barang seperti makanan dan kebutuhan sehari-
hari. Penimbunan barang dan pencegahan peredarannya sangat
dilarang dan dicela dalam Islam seperti yang difirmankan Allah SWT
dalam surat At-Taubah ayat 34-35 yang artinya:
ل
َ ن َأ ْﻣﻮَا
َ ن َﻟ َﻴ ْﺄ ُآﻠُﻮ
ِ ﺡﺒَﺎ ِر وَاﻟ ُّﺮ ْهﺒَﺎ ْ ﻦ اﻷ َ ن َآﺜِﻴﺮًا ِﻣ َّ ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا ِإَ ﻳَﺎ َأُّﻳﻬَﺎ اَّﻟﺬِﻳ 34
ﻀ َﺔ
َّ ﺐ وَا ْﻟ ِﻔَ ن اﻟ َّﺬ َه
َ ﻦ َﻳ ْﻜ ِﻨﺰُو َ ﻞ اﻟَّﻠ ِﻪ وَاَّﻟﺬِﻳ
ِ ﺳﺒِﻴ َ ﻦ ْﻋ َ ن َ ﺼ ُﺪّو
ُ ﻞ َو َﻳ ِﻃ ِ س ﺑِﺎ ْﻟﺒَﺎ
ِ اﻟ َﻨّﺎ
ب َأﻟِﻴ ٍﻢ
ٍ ﺸ ْﺮ ُه ْﻢ ِﺑ َﻌﺬَا
ِّ ﻞ اﻟَّﻠ ِﻪ َﻓ َﺒ
ِ ﺳﺒِﻴ َ وَﻻ ُﻳ ْﻨ ِﻔﻘُﻮ َﻧﻬَﺎ ﻓِﻲ
ﻇﻬُﻮ ُر ُه ْﻢ
ُ ﺟﻨُﻮ ُﺑ ُﻬ ْﻢ َو
ُ ﺟﺒَﺎ ُه ُﻬ ْﻢ َو
ِ ﺟ َﻬَّﻨ َﻢ َﻓ ُﺘ ْﻜﻮَى ِﺑﻬَﺎ
َ ﻋَﻠ ْﻴﻬَﺎ ﻓِﻲ ﻧَﺎ ِر َ ﺤﻤَﻰ ْ َﻳ ْﻮ َم ُﻳ 35
ن
َ ﺴ ُﻜ ْﻢ َﻓﺬُوﻗُﻮا ﻣَﺎ ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ َﺗ ْﻜ ِﻨﺰُو
ِ َهﺬَا ﻣَﺎ َآ َﻨ ْﺰ ُﺗ ْﻢ ﻷ ْﻧ ُﻔ
270
Dari ayat di atas dapat dilihat bahwa praktik penimbunan baik yang
berbentuk uang tunai maupun barang sangatlah bertentangan
dengan ajaran Islam. Bahaya dari praktik ihtikar dapat menyebabkan
kelangkaan barang di pasar sehingga harga barang menjadi naik.
271
Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa mekanisme pasar
merupakan sistem yang cukup efisien dalam memberlakukan harga
yang adil dan bahkan untuk mengalokasikan faktor-faktor produksi dan
mendorong kegiatan ekonomi. Hal itu disebabkan karena mekanisme
pasar memiliki beberapa kelebihan, seperti pasar dapat memberikan
informasi yang tepat, pasar dapat merangsang pelaku usaha untuk
melakukan kegiatan ekonomi, pasar mendorong penggunaan faktor-
faktor produksi serta pasar memberikan kebebasan yang tinggi kepada
masyarakat untuk melakukan kegiatan ekonomi.
Di samping kelebihan-kelebihan itu, mekanisme pasar juga
memiliki beberapa kelemahan, seperti adanya kebebasan yang tidak
terbatas akan menindas golongan-golongan tertentu, kegiatan ekonomi
tidak stabil, munculnya kekuatan monopoli, tidak mampu menyediakan
beberapa jenis barang secara efisien serta dampak eksternalitas yang
merugikan.
Salah satu dari kelemahan mekanisme pasar, yaitu monopoli.
Islam dengan tegas melarang praktik monopoli dan semua cara
kepalsuan untuk mendongkrak harga demi memperbesar keuntungan.
Pelarangan ini karena pada umumnya, monopoli menetapkan harga
yang lebih tinggi dari hasil produksinya, maka soal eksploitasi banyak
sekali dihubungkan dengan gagasan monopoli.
Dalam ekonomi Islam, praktik ekonomi apa pun yang menjadi
sebab terjadinya konsentrasi kekayaan pada segelintir orang dilarang.
Konsentrasi kekayaan pada sebagian orang akan menyebabkan
distribusi kekayaan terhambat, sehingga terjadi ketimpangan dan
ketidakmerataan. Begitu halnya dengan praktik monopoli, praktik ini
dilarang karena jelas merusak mekanisme pasar.
Mekanisme pasar memiliki arti khusus dalam sistem ekonomi
Islam. Teori harga dalam Islam melarang setiap bentuk pemerasan, baik
dari pihak produsen mau pun konsumen. Oleh karena itu, bentuk
pemerasan dalam mekanisme pasar dalam Islam merupakan bentuk
perbuatan tercela, bukan saja pada dimensi duniawi tapi juga bentuk
ukhrawi.
Dalam ekonomi konvensional, persaingan sehat yang berbentuk
struktur pasar atau mekanisme pasar dimanifestasikan dengan pasar
272
persaingan sempurna. Ciri-ciri pasar persaingan sempurna meliputi; 1)
jumlah penjual dan pembeli banyak, 2) produk yang dijual homogen, 3)
adanya kebebasan perusahaan untuk keluar-masuk pasar, 4) informasi
tentang biaya, harga dan kualitas sempurna, 5) harga ditentukan oleh
pasar. Jadi persyaratan pasar persaingan sempurna dalam sistem
ekonomi konvensional terletak pada kebebasan pasar (free market).
Menurut Sonny Keraf bahwa hanya dengan kebebasan pasar yang
jelas, pasar benar-benar berfungsi mengharmoniskan kepentingan-
kepentingan pihak dan sekaligus mempertahankan mekanisme pasar itu
sendiri. Bersama dengan itu, bisa diciptakan iklim yang sehat tidak
hanya bagi pertumbuhan ekonomi nasional, melainkan juga bagi
kegiatan bisnis yang fair, adil, baik dan berarti etis. Sebab dengan sistem
tersebut akan terbentuk efisiensi ekonomi, yaitu pedagang tidak bisa
menawar kan harga seenaknya karena ada persaingan di pasar.
Konsumen mempunyai peluang untuk membeli dari pedagang lain
kalau dirasakan seorang pedagang menawarkan harga yang terlalu
tinggi. Demikian pula pedagang tidak menjual kepada seorang
konsumen dengan harga rendah, karena dia masih mempunyai
kesempatan untuk menjual kepada konsumen yang lain.
Namun demikian, model pasar persaingan sempurna yang
kemudian diperbandingkan dengan model pasar monopoli terdapat
kelemahan yang mendasar. Menurut Hidayat Nataatmadja, kelemahan-
kelemahan model persaingan ini terletak pada:
1. Asumsi bahwa kurva biaya perusahaan monopolis sama dengan
kurva biaya seorang pengusaha gurem yang menghasilkan komoditi
yang sama, adalah seperti menganggap semut dan gajah itu sama
karena sama-sama binatang, sehingga keduanya bisa diper-
bandingkan.
2. Dalam praktik tidak ada monopoli maupun ahli ekonomi yang
mengetahui persis bagaimana bentuk kurva biaya marginal, apalagi
dengan terus-menerus muncul inovasi baru.
3. Kedudukan final pasar bersaing sempurna sama sekali bukan
keadaan ideal, melainkan keadaan involusi yang dewasa.
273
Dari banyak kelemahan-kelemahan model pasar persaingan
sempurna di atas, dalam konteks ini, yang menjadi persoalan sekarang
adalah bagaimana sistem pasar yang dikehendaki oleh semangat Islam?
Menurut Muhammad Nejatullah Siddiqi, yang dikutip Suhrawardi K.
Lubis, menyatakan bahwa sistem yang ada di bawah pengaruh
semangat Islam, berdasarkan pada rasionalitas di samping persaingan
sempurna. Artinya, mekanisme pasar harus mengarah pada keselarasan
antara kepentingan para konsumen.
Untuk itu maka, Islam memandang bahwa mekanisme pasar
setidaknya harus dapat; pertama, menyelesaikan masalah ekonomi;
produksi dan distribusi secara merata sebagai tujuan mekanisme pasar.
Kedua, para konsumen berperilaku sesuai dengan ajaran Islam. Dan
ketiga, campur tangan negara diperlukan sejauh bermanfaat bagi
kepentingan banyak dan melindungi kepentingan umum.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mekanisme pasar
dalam Islam setidaknya mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
• Membantu memecahkan persoalan penting ekonomi dalam bidang
produksi, distribusi dan konsumsi.
• Konsumen perlu bersikap Islami agar tercapai tujuan di atas.
• Campur tangan negara dimaksudkan untuk melengkapi atau meng-
gantikan mekanisme pasar, agar keterlibatan para pengusaha/
produsen tidak semena-mena dalam menentukan harga.
274
Islam melakukan hal ini dengan memperkenalkan filter moral.
Alokasi sumber-sumber daya diwujudkan dengan suatu filter yang
berlapis ganda. Filter pertama, dapat menyerang problem keinginan
yang tak terbatas langsung pada sumber-sumbernya, kesadaran batin
seseorang, dengan mengubah skala preferensi individu sesuai dengan
tuntutan khilafah dan ‘adalah.
Filter kedua, dapat menghindari perdagangan yang bersifat
memonopoli dan mencegah orang-orang desa (baca: pengusaha kecil)
agar tidak sampai ke pasar dan membeli barang dagangan mereka
sebelum mereka sampai ke pasar. Tindakan ini dimaksudkan supaya
pengusaha kecil yang membawa dagangan mereka tidak mengetahui
harga standar di pasar (ar-rukban).
Filter ketiga, manusia tidak memiliki pengetahuan untuk menilai
efek per buatan mereka kepada orang lain, terutama mereka yang
terkena dampak lebih ringan. Karena itu, mereka memerlukan pihak
luar yang mengerti dan mengetahui dengan baik yang dapat meng-
gambarkan efek-efek itu untuk memberi mereka norma-norma (etika)
perilaku yang dapat menyelamatkan orang lain dari efek merugikan
yang ditimbulkan oleh perbuatannya.
Menurut Al-Ghazali dalam Buchari Alma, dkk (2009: 193), etika
bisnis pasar Islami dapat dicirikan sebagai berikut:
1. Tidak mengambil laba lebih banyak, seperti yang lazim dalam dunia
bisnis.
2. Membayar harga agak lebih mahal kepada penjual yang miskin, ini
adalah amal yang lebih baik daripada sedekah. Jika membeli barang
dari seorang penjual, dan penjualnya itu seorang miskin, atau
seseorang yang perlu dibantu, maka lebihkanlah membayarnya dari
harga semestinya.
3. Memurahkan harga atau memberi discount/korting kepada pembeli
yang miskin, ini memiliki pahala berlipat ganda.
4. Bila membayar utang, pembayarannya dipercepat dari waktu yang
telah ditentukan. Jika yang diutang berupa barang, maka usahakan
dibayar dengan barang yang lebih baik. Dan yang berutang datang
sendiri waktu membayarnya kepada yang berpiutang.
5. Membatalkan jual beli, jika pembeli menginginkannya. Ini mungkin
sejalan dengan prinsip “customer is king” dalam ilmu marketing.
275
Dengan ethic behavior, maka perdagangan yang dilakukan oleh
seorang muslim atau pengusaha muslim akan terhindar dari
penyimpangan-penyimpangan, khususnya dalam memainkan harga
dalam ekonomi pasar. Di sinilah letak perbedaan yang mendasar antara
mekanisme pasar Islam yang berkeadilan dengan Kapitalis dan Sosialis.
276
BAB XV
ETIKA LEMBAGA BISNIS SYARIAH
A. Pendahuluan
277
modal sepuluh milyar saja orang bisa mendirikan usaha bank. Ekonomi
Indonesia tumbuh pesat dengan modal pinjaman atau utang luar negeri.
Kapitalis-kapitalis baru bermunculan. Sehingga terkenallah:
1. Ersatz capitalist atau kapitalis yang dikarbit, pengusaha yang menjadi
besar seketika, karena banyaknya fasilitas dari lingkungannya.
2. Bureaucratic capitalist, yaitu pengusaha yang menjadi besar karena
adanya jalur-jalur birokrat yang memberi berbagai kemudian bagi
seseorang untuk mendapat proyek dan sumber dana murah.
3. Crony capitalist, yaitu pengusaha yang cepat besar karena bantuan
dari kroni-kroni atau familinya. Ini bisa bersifat hubungan teman,
ipar-besan, bapak-anak-keponakan, adik-kakak dan sebagainya.
278
Perilaku tersebut jelas mengabaikan tata aturan (moralitas) karena
melanggar aturan yang ditetapkan.
Karena itu, munculnya etika bisnis terutama etika bisnis pada
lembaga keuangan (bank) sangat urgen dan mendesak untuk
ditegakkan. Adalah etika bisnis Qur’ani dimana nilai-nilai al-Qur’an
dapat menjadi pedoman dalam mengendalikan prilaku dan aktivitas
kegiatan manusia secara utuh, bukan hanya sekedar mendapatkan
keuntungan duniawi saja tetapi menguntungkan yang bersifat material
maupun spiritual.
279
Islam, yaitu bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariat
Islam dalam operasionalnya mengacu pada ketentuan-ketentuan al-
Qur’an dan al-Hadits.
280
memperoleh keuntungan maksimum, tetapi yang lebih diutamakan
adalah kepentingan sosial masyarakat dan nasabah.
281
Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.
Keterangan mengenai nasabah selain nasabah penyimpan dan
simpanannya, bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan
oleh bank. Ketentuan tersebut berlaku pula bagi pihak terafiliasi.
Ketentuan rahasia bank tidak berlaku untuk:
1) Kepentingan perpajakan;
2) Penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Bank
Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN)/Panitia Urusan
Piutang Negara (PUPN).
3) Kepentingan peradilan dalam perkara pidana;
4) Kepentingan peradilan dalam perkara perdata antara bank dengan
nasabahnya;
5) Tukar menukar informasi antar bank;
6) Permintaan, persetujuan atau kuasa nasabah penyimpan yang
dibuat secara tertulis;
7) Permintaan ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan yang
dibuat telah meninggal dunia;
8) Dalam rangka pemeriksaan yang berkaitan dengan tindak pidana
pencucian uang.
282
d. Menciptakan ketenangan, keamanan dan kenyamanan para pemilik
dana, pemegang saham dan karyawan dalam mendapatkan hak-
haknya.
e. Mengangkat harkat perbankan nasional di mata internasional.
283
D. Etika Bankir
284
9. Mampu mendelegasikan tugas dan tanggung jawab serta mampu
mengembangkan dan memotivasi bawahan.
10. Memiliki sifat penuh kehati-hatian dan menerapkan asas prudential,
serta memiliki integritas yang tinggi dalam pengelolaan bank,
mengingat bahwa ia menjalankan bisnis atas dasar kepercayaan
masyarakat.
11. Mampu mengendalikan diri, penuh toleransi serta memiliki rasa
tanggungjawab sosial yang tinggi dalam mengelola bisnis
perbankan.
285
E. Prinsip Dasar Etika Perbankan
286
merupakan contoh kearifan lokal yang telah lama mengakar dalam
tradisi masyarakat. Dengan demikian, usaha akselerasi pengembangan
perbankan syariah sejatinya tidak hanya difokuskan pada peng-
eskploitasian simbol-simbol religi yang bersifat properti. Proses
internalisasi kearifan kultur lokal dalam sistem perbankan syariah
menjadi paradigma baru dalam pengembangan etika perbankan syariah
karena di dalamnya terdapat keseluruhan nilai-nilai yang memiliki
persenyawaan dan keselarasan dengan prinsip-prinsip syariah (etika
Islami).
Berbeda dengan sistem perbankan konvensional yang merupakan
perwujudan hubungan kreditur dan debitur tanpa dilengkapi dengan
aspek syariah, maka dalam hubungan bank syariah dengan nasabah
adalah perwujudan suatu prinsip kemitraan yang akan menciptakan
kerja sama usaha yang harmonis, menumbuhkan rasa memiliki dan
tanggungjawab yang tinggi terhadap kelangsungan usaha yang di-
lakukan. Hubungan kemitraan dan tanggung jawab yang tinggi
terhadap proyek atau usaha yang dibiayai bank syariah akan terbentuk
karena dilandasi oleh aspek keimanan kepada Allah SWT (Tauhid),
integritas yang tinggi (shiddiq), menyampaikan kebenaran dan kebaikan
(tabligh), menjaga kepercayaan (amanah) dan memperdalam ilmu dan
ketrampilan agar pandai (fathanah).
Adanya standar-standar nilai yang bersumber dari norma-norma
ajaran Islam dalam pengoperasian perbankan tersebut. Standar moral
dalam sistem syariah yang prinsipnya didasarkan atas asas keadilan dan
kemanfaatan bagi seluruh umat, akan mendorong terbinanya hubungan
antara bank dan nasabahnya yang didasari atas nilai-nilai moral dan
kode etik yang tinggi.
Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa dasar-dasar etika
perbankan konvensional maupun syariah yang dilandasi oleh filosofi
perbankan, pada umumnya harus mampu menjaga keserasian antara
prinsip-prinsip pengelolaan bank, prinsip kewajiban bank terhadap
berbagai pihak (stake holders) dan dilandasi dengan prinsip etika
perbankan.
287
1. Prinsip Pengelolaan Bank Syariah
a. Prinsip Kepatuhan;
b. Prinsip Kerahasiaan;
288
c. Prinsip Kebenaran dan Pencatatan;
d. Prinsip Kesehatan Bersaing;
e. Prinsip Kejujuran Wewenang;
f. Prinsip Keselarasan Kepentingan;
g. Prinsip Keterbatasan Keterangan;
h. Prinsip Kehormatan Profesi;
i. Prinsip Pertanggungjawaban Sosial;
j. Prinsip Persamaan Perlakuan;
k. Prinsip Kebersihan Pribadi.
289
BAB XVI
LEMBAGA ARBITRASE
ATAS PERSENGKETAAN BISNIS
SYARIAH (ASH-SHULH WA TAHKIM)
A. Pendahuluan
290
itu, jika kegiatan ekonomi dengan maksud untuk mendapatkan harta
dan tidak dipandu dengan kaidah-kaidah syariah, potensi terjadi
persengketaan menjadi sangat besar. Islam membenci orang-orang yang
mencari harta dengan menghalalkan segala cara sehingga menimbulkan
persengketaan. (Juhaya S. Praja, 2012: 221)
B. Pengertian Ash-Shulhu
291
Berdamai disyari’atkan di antara kaum muslimin dan orang-orang
kafir, di antara orang-orang adil dan zalim, diantara suami istri saat
berselisih pendapat, di antara tetangga, karib kerabat, dan teman-teman,
di antara dua orang yang bermusuhan dalam persoalan selain harta, dan
di antara dua orang yang bermusuhan dalam masalah harta.
292
Umat Islam berada di atas syarat mereka, dan berdamai hukum-
nya boleh di antara mereka kecuali perdamaian yang menghalalkan
yang haram atau mengharamkan yang halal. Dan berdamai yang boleh
adalah yang adil yang diperintahkan Allah SWT dan rasul-Nya. Yaitu
yang niatkan karena ridha Allah darinya, kemudian ridha dua orang
yang bermusuhan. Dan Allah SWT memujinya dengan firman-Nya.
ﺼِﻠﺤَﺎ
ْ ن ُﻳ ْ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬﻤَﺎ َأ
َ ح
َ ﺟﻨَﺎُ ﻋﺮَاﺿًﺎ ﻓَﻼ ْ ﻦ َﺑ ْﻌِﻠﻬَﺎ ُﻧﺸُﻮزًا َأ ْو ِإ
ْ ﺖ ِﻣ ْ ن ا ْﻣ َﺮَأ ٌة ﺧَﺎ َﻓ
ِ َوِإ
ن
َّ ﺴﻨُﻮا َو َﺗ َّﺘﻘُﻮا َﻓِﺈ ِﺤ ْ ن ُﺗ ْ ﺢّ َوِإ
َﺸُّ ﺲ اﻟ
ُ ت اﻷ ْﻧ ُﻔ
ِ ﻀ َﺮ ِ ﺡ ْ ﺧ ْﻴ ٌﺮ َوُأ
َ ﺢُ ﺼ ْﻠ
ُّ ﺹ ْﻠﺤًﺎ وَاﻟُ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬﻤَﺎ
ﺧﺒِﻴﺮًاَ نَ ن ِﺑﻤَﺎ َﺗ ْﻌ َﻤﻠُﻮ َ اﻟَّﻠ َﻪ آَﺎ
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari
suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian
yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)
walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir, Dan jika kamu bergaul
dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap
tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (Q.S. An-Nisa, 128)
293
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa
perdamaian atas sengketa dapat diterapkan pada permasalahan-
permasalahan apa saja, tak terkecuali pada kegiatan ekonomi. Menurut
Juhaya S. Praja (2012: 222), persengketaan dalam konteks ekonomi,
biasanya disebabkan oleh tidak terpenuhinya hak dan kewajiban. Dari
sinilah muncul ketidakpuasan di antara para pihak, yang berujung pada
persengketaan. Dalam fiqh muamalah, sebagaimana dicontohkan di
atas, dapat diselesaikan dengan tiga proses penyelesaian sengketa
(perdamaian), yaitu sebagai berikut:
1. Ash-Shulh (Perdamaian)
294
pihak. Selanjutnya, dilakukan musyawarah untuk membahas masalah
dan solusinya. Dengan demikian, proses perdamaian dengan cara shulh,
sebenarnya lebih menekankan musyawarah untuk mencari kebenaran
dan kesepakatan bersama (win-win solution). Akan tetapi, jika proses
shulh melalui cara musyawarah ini tidak menemukan titik temu atau
tidak dapat menyelesaikan masalah, para pihak yang bersengketa dapat
melakukan tahap berikutnya, yaitu jalur pengadilan. Penyelesaian
sengketa melalui pengadilan merupakan upaya untuk mendapatkan
kepastian hukum bagi para pihak yang bersengketa. Keputusan yang
dikeluarkan oleh pengadilan merupakan keputusan yang harus
dihormati sebagai keputusan hukum. (Juhaya S. Praja, 2012: 223-4)
295
definisi ‘al-madzalim’ dengan “Wilayah al-Madzalim”, seperrti halnya
wilayah al-qadah dan atau wilayah al-harb (perang), sebagai bagian dari
tugas seorang pemimpin, dan ia harus mewakilkan penggantinya
kepada orang yang memiliki kompetensi dan integritas untuk
menjalankannya kepada orang yang bertugas menjalankan ‘wilayah
al-madzalim’, dinamakan dengan ‘nadzir’ dan tidak disebut dengan
‘qadhi’ (hakim), walau pun ia memiliki kekuasaan peradilan, atau
sebagaimana tugas-tugas sistem peradilan, tapi tugasnya tidak
peradilan murni.
Wilayah al-Madzalim ini menjalankan putusan peradilan dan
eksekusi sekaligus (tanfidz), ia merambah pada persoalan yang jelas
untuk dilaksanakan, kemaslahatan, amal kebajikan agar dikembali-
kan kepada orang yang berhak, ia terkadang menjalankan fungsi
peradilan dan pelaksanaan manajemen (eksekusi, tanfidz).
Rasulullah telah menjalankan fungsi al-madzalim dengan
pemahaman ini. Diriwayatkan dalam hadits shahih, Khalid bin Walid
membunuh seseorang dari kabilah Jadzimah, setelah memberikan
peringatan untuk tunduk. Rasulullah mengingkari tindakan tersebut,
dan mengutus Ali bin Abi Thalib datang ke kabilah tersebut guna
menghilangkan kezaliman yang terjadi. Pembunuhan merupakan
sebuah kesalahan, dan pembunuhnya wajib membayar diyat (denda).
Kemudian Rasulullah mengangkat wajah ke arah langit dan
bersabda: “Ya Allah, sesungguhnya aku bebas dari apa yang dilakukan
Khalid”.
Khulafaur Rasyidin juga menjalankan fungsi madzalim sebagai-
mana yang dilakukan oleh Rasulullah. Khalifah Umar ra. Sangat
keras terhadap para pejabat dan pegawainya, dan berkata: “Saya
tidak mengutus kalian untuk memukul kulit manusia, demi Allah,
saya tidak mendatangkan seorang pegawai untuk memukul kulit
manusia tanpa adanya had, maka aku akan meng-qishas-nya. Hal ini
juga dilakukan Umar r.a kepada Amr bin Ash ketika memukul
penduduk Mesir, dan beliau memberikan qishash, seraya berkata,
“Jika kalian meminta manusia untuk menyembah, maka sesungguhnya ibu
mereka telah melahirkan dalam keadaan merdeka”.
Namun demikian, di antara sabahat Khulafaur Rasyidin belum
ada yang duduk pada ‘al-madzalim’. Di awal perkembangan Islam,
296
masyarakat menentukan orang yang bertugas menegakkan keadilan,
menunjukkan kebenaran atau memberikan nasihat dari tindak
kezaliman. Sahabat Ali ra juga menjalankan fungsi ini, tapi beliau
tidak menentukan hari tertentu untuk mendengar tindak kezaliman,
akan tetapi ketika ada orang yang terzalimi mendatanginya, maka ia
memberikan keadilan. (Abu Sinn, 2008: 197)
Pada masa Bani Umayah, para khalifah menentukan hari,
waktu khusus untuk melihat atau mendengar tindak kezaliman,
kemudian memberi keadilan. Hal ini pertama kali dilakukan oleh
Abdul Malik bin Marwan yang dibantu oleh Qadhi ibn Idris al-Azdi
untuk memberikan putusan hukum. Umar bin Abdul Aziz adalah
orang yang pertama kali menjalankan fungsi al-madzalim kemudian
diteruskan oleh khalifah Bani Abbasiyah yang diawali oleh ‘Al-
Mahdi’ kemudian al-Hadi disusul al-Rasyid dan Al-Ma’mun hingga
Al-Muhtadi.
Majelis Wilayah al-Madzalim, kata Abu Sinn bisa sempurna
dengan dihadiri oleh kelompok berikut, yaitu:
# Pengacara dan pembantu, memberikan bantuan jika terjadi tindak
kesewenang-wenangan dalam memberikan putusan peradilan.
# Qadhi (hakim) dan pemimpin, memberikan isyarat kepada pelaku
kezaliman pada jalan yang lurus, dan mengembalikan hak kepada
pemiliknya, dan memberikan keterangan permusuhan yang
terjadi.
# Ahli fiqh, pertimbangan pendapat yang terkait dengan persoalan
syar’i.
# Penulis, mencatat jalannya sidan dan keputusan yang dihasilkan
terkait dengan hak dan kewajiban.
# Saksi, memberikan persaksian bahwa apa yang diputuskan hakim
tidak bertentangan dengan kebenaran dan keadilan.
297
kezaliman bagi rakyat, pejabat dan pegawai serta tindak kezaliman
yang dilakukan oleh tokoh negara, pejabat atau pun pemimpin.
b. Al-Hisbah
Arti kata hisbah sama dengan amar makruf nahi mungkar. Biasa
nya, pengertian amar makruf nahi mungkar dianggap bersinonim
dengan dakwah secara umum. Namun sebenarnya, kewajiban
dakwah lebih bercorak umum dan dipikulkan ke pundak setiap
individu Muslim. Sedangkan kewajiban hisbah dimaknai sebagai
aktivitas memerintah dan melarang. Maka dari itu, aktualisasi praktik
hisbah biasanya melalui institusi (Wilayat).
Adapun secara umum, institusi atau dikenal sebagai wilayat al-
Hisbah atau disebut juga sebagai suatu dinas ketertiban umum
merupakan salah satu wilayah qadha dalam sistem pemerintahan
Islam, memiliki perbedaan dalam mendefinisikan dan menggam-
barkannya antara konsep-konsep dengan realitas dalam konteks
sejarah. Abu Ya’la Muhammad Ibn al-Husein al-Farakhi dalam al-
Ahkam al-Sulthaniyah menyatakan bahwa Wilayat al-Hisbah adalah
menyuruh berbuat baik, dengan melarang berbuat munkar.
Definisi ini terlalu umum untuk menggambarkan Wilayat al-
Hisbah itu sendiri dengan alasan bahwa pemerintahan Islam pun
selalu berupaya untuk menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat
munkar. Sementara dalam konteks sejarah, Wilayat al-Hisbah merupa-
kan salah satu lembaga dari lembaga peradilan yang kewenangannya
terpusat pada tempat-tempat transaksi sebagai mana terlihat dalam
sejarah Daulah Umayyah dan Abbasiyah, bahkan pada masa Nabi
SAW. Akan tetapi, yang jelas bahwa Wilayat al-Hisbah bukan
merupakan bentukan pengaruh budaya imperium Romawi seperti
yang diungkap oleh Schacht. Menurut Al-Mawardi, hisbah adalah
“memerintah berbuat kebajikan jika kebaikan itu ternyata tidak
dikerjakan, dan melarang kemungkaran jika ada tanda-tanda bahwa
kemungkaran itu dikerjakan.
Dalam hal ini Al-Mawardi mengartikan hisbah sebagai salah
satu bentuk pengawasan bila terjadi pelanggaran terhadap suatu
peraturan. Orang yang menjalan kan tugas disebut muhtasib atau wali
al-hisbah atau nazir fil hisbah. Biasanya seorang muhtasib diambilkan
298
dari kalangan hakim (yuris). Seorang hakim ini mempunyai kebe-
basan untuk memutuskan suatu perkara atas dasar ‘urf (kebiasaan).
‘Urf ini berbeda dari syariah. (Nur Mufid dan A. Nur Fuad, 2000: 131).
Namun, lembaga ini lahir secara alami yang kemungkinan dilatar-
belakangi oleh: a) adanya aturan-aturan dalam nash yang mengatur
sistem jual beli secara ketat, b) adanya isyarat syara’ membentuk
pasar yang sesuai dengan syariat Islam.
Munculnya lembaga hisbah atau dalam bahasa sekarang dapat
disederhanakan menjadi dinas ketertiban umum adalah merupakan
sebuah lembaga yang telah ada semenjak Islam klasik. Tepatnya pada
masa pemerintahan Islam tersebar di penjuru negeri. Dalam rangka
mengatur ketatanegaraan atau pemerintahan saat itu, keadminis-
trasiaan mulai tersusun rapi. Khalifah atau pemimpin tertinggi
pemerintahan saat itu dibantu oleh para wazir-wazir. Menurut Harun
Nasution (1985: 110), sesuai dengan kedudukannya sebagai peng-
ganti Nabi dalam mengurus soal duniawi umat, Khalifah bukan hanya
merupakan kepala Negara, tetapi juga Panglima Ter-tinggi Angkatan
Bersenjata. Dalam fungsinya, khalifah ini disebut Amir Al-Mu’minin.
Namun disamping khalifah berfungsi sebagai pengganti Nabi,
khalifah juga bertugas selain dari menjalankan pemerintahan, juga
melaksanakan hukum. Pada mulanya khalifah sendiri yang
memutuskan perkara-perkara yang timbul dalam masyarakat. Orang-
orang yang mempunyai perkara langsung pergi kepada khalifah
untuk mendapat penyelesaian. Tetapi kemudian soal pelaksanaan
hukum ini diserahkan kepada wakil-wakil khalifah. Pelaksanaan
hukum syariah diserahkan kepada qadi (hakim) dan pelaksanaan
non-syariah, seperti qanun (undang-undang) kepada sahid al-syurtah
atau hajib.
Adapun muhtasib merupakan salah satu dari bagian sahib al-
syurtah (pen jaga keamanan) atau lembaga kepolisian. Sahib asyurtah
merupakan kepala lembaga ini. Tugasnya adalah mencegah timbul-
nya kejahatan-kejahatan kriminal, memeriksa pelanggaran-pelang-
garan hukum dan menghukum orang yang bersalah. Hukum yang
dipakainya dalam hal ini ialah hukum ada setempat.
Disamping sahib al-syurtah terdapat seorang muhtasib yang
bertugas mengurus soal-soal pelanggaran hukum yang bersifat
299
ringan dan pelanggaran ajaran-ajaran moral. Yang termasuk dalam
bidang tugasnya adalah pelanggaran-pelanggaran mengenai pengu-
rangan timbangan, dan ukuran, penipuan dalam penjualan,
penolakan pembayaran utang, soal riba, pelanggaran tentang
minuman keras, permainan judi dan sebagianya.
Dalam tugasnya termasuk soal pelaksanaan ibadaht, seperti
pengadaan shalat jum’at, orang yang tidak berpuasa di bulan
ramadhan, janda yang tidak memperdulikan waktu iddahnya dan
sebagainya. Juga termasuk dalam kekuasannya soal kekejaman
terhadap pembantu rumah, dan binatang piaraan seperti kuda yang
kurang diberi makan tetapi diberi beban yang terlalu berat. (Harun
Nasution, 1985: 117)
Hal ini diperkuat oleh Taufiq Abd. al-Gani al-Rasyasyi bahwa
Wilayat al-Hisbah atau lembaga hisbah ini terlepas dari kekuasaan
khalifah (pemerin tah). Rasulullah dan para khalifah al-rasyidin pada
awal pemerintahan Islam langsung terjun dalam melaksanakan
fungsi hisbah, sebagaimana telah dijelaskan di atas ter kait putusan
perkara langsung ditangani oleh khalifah. Namun, ketika urusan
pemerintahan semakin banyak, kewenangan ini dikhususkan pada
lembaga tertentu yang pada masa berikutnya disebut Wilayat al-
Hisbah.
Pernyataan di atas dapat diterima karena secara faktual terlihat
embrio lembaga ini sudah ada pada masa Nabi SAW yang ketika itu
kewenangannya masih dilaksanakan oleh Nabi SAW dan setelah
Futuhat al-Makkah tugas pengawasan pasar didelegasikan kepada
Umar Ibn al-Khaththab di Madinah, dan Sha’id Ibn Sha’id Ibn al-Ash
untuk Makkah. Pada masa Khulafa al-Rasyidin, hisbah masih
dipegang oleh khalifah di samping mengangkat petugas hisbah
(muhtasib) untuk melaksanakan kewenangan hisbah tersebut,
sebagaimana dilakukan oleh Umar Ibn al-Khaththab yang
mengangkat Sa’id Ibn Yazid, Abdullah Ibn Uthbah, dan Ummu al-
Syifa sebagai muhtasib. Begitu juga pada masa Utsman Ibn Affan dan
Ali Ibn Thalib. Dengan demikian pada masa Nabi SAW dan Khulafa
al-Rasyidin belum secara jelas adanya pemisahan antara Wilayat al-
Hisbah dengan kekuasaan khalifah.
300
Periode selanjutnya pada masa Daulah Umayyah, Wilayat al-
Hisbah sudah terpisah kekuasaannya dengan kekuasaan khalifah. Ini
terlihat pada eksistensi Wilayat al-Hisbah sebagai salah satu lembaga
peradilan (qadha), walaupun pengangkatan muhtasib masih berada
dalam kekuasaan khalifah, sebagaimana yang dilakukan Muawiyah
Ibn Abi Sufyan yang mengangkat Qais Ibn Hamzah al-Mahdaq
sebagai muhtasib. Hal ini menunjukkan bahwa Wilayat al-Hisbah
sudah terpisah dari kekuasaan khalifah, hanya saja penetapan
peraturan pelaksanaan hisbah masih menjadi tugas khalifah. Oleh
karena itu, pertanyaannya kapankah Wilayat al-Hisbah ini resmi
dinyatakan sebagai suatu lembaga? Menurut Hassan Ibrahim Hassan,
yang dikuatkan oleh Muhammad Salam Madzkur dalam bukunya al-
Qadha fi al-Islam bahwa Wilayat al-Hisbah sebagai suatu lembaga
dengan muhtasib petugasnya, yaitu pada masa khalifah al-Mahdi al-
Abbasiyah (158 – 169 H / 775 – 785 M).
Pada masa pemerintahan Abbasiyah, kelembagaan hisbah
masih sama dengan kelembagaan hisbah pada periode Umayyah,
Namun kewenangan mengangkat muhtasib sudah tidak lagi dalam
kekuasaan khalifah, tetapi diserahkan kepada qadhi al-qudhah, baik
mengangkat maupun memberhentikannya. Sistem penerapan
Wilayat al-Hisbah, muhtasib tidak berhak untuk memutuskan hukum
sebagaimana halnya pada wilayah qadha, muhtasib hanya dapat ber-
tindak dalam hal-hal skala kecil dan pelanggaran moral yang jika
dianggap perlu muhtasib dapat memberikan hukuman ta’zir
terhadap pelanggaran moral.
Berdasarkan hal ini kewenangan muhtasib lebih mendekati
kewenangan polisi, tetapi bedanya, ruang gerak muhtasib hanyalah
soal kesusilaan dan keselamatan masyarakat umum, sedangkan
untuk melaksanakan penangkapan, penahanan, dan penyitaan tidak
termasuk dalam kewenangannya. Di samping itu, muhtasib juga ber
wenang melakukan pencegahan terhadap kejahatan perdagangan
dalam kedudukan-nya sebagai pengawas pasar, termasuk mencegah
gangguan dan hambatan, pelanggaran di jalan, memakmurkan
masjid, dan mencegah kemungkaran seperti minum-minuman keras,
perjudian, dan lain-lain.
301
Wilayat al-Hisbah merupakan salah satu lembaga peradilan
(qadha) dalam sistem pemerintahan Islam, yang memiliki kewe-
nangan untuk amar ma’ruf nahi munkar. Embrio lembaga ini telah
ditemui sejak masa Nabi SAW sebagai salah satu kewajiban agama,
dan pada masa pemerintahan Bani Umayyah dan Abbasiyah lembaga
ini menjelma menjadi sebuah lembaga terpisah dari kekuasaan
khalifah.
Wilayat al-Hisbah ini berwenang untuk memberikan hukuman
terhadap pelanggar hukum. Walaupun demikian, muhtasib tidak
memberikan hukuman ter-sebut secara langsung, tetapi melalui
tahapan-tahapan seperti menasehati, mengingat kan, yang
kesemuanya itu termasuk dalam kategori ta’zir. Namun demikian
Wilayat al-Hisbah hanya bertugas mengawasi hal-hal yang tampak
(zahir) dan sudah ma’ruf di kalangan masyarakat. Yaitu perkara-
perkara umum yang tidak ada perselisihan ulama tentang kewajiban
melaksanakannya ataupun meninggalkannya, atau sering juga
disebut perkara-perkara yang sudah menjadi ‘uruf (adat) dalam
keseharian masyarakat. Adapun perkara-perkara detail yang masih
berupa was-was, dugaan, syak wasangka, dan memerlukan investi-
gasi secara mendalam, pembuktian, kesaksian dan sumpah adalah
bukan wewenang Wilayaht Hisbah, tetapi menjadi wewenang lembaga
lainnya yaitu; wilayatul qadha’ atau wilayatul mazalim. (Pembahasan
mengenai wilayah ini akan dikemukakan teori al-Mawardi pada sub
bagian ini)
Lembaga hisbah dijalankan untuk memastikan bahwa
transaksi-transaksi yang ada di pasar tidak menyimpang dari nilai-
nilai ajaran Islam dalam kegiatan-kegiatan ekonomi. Lembaga hisbah
memiliki wewenang untuk memperingatkan, dan memberikan sanksi
administratif terhadap pelaku ekonomi yang melakukan praktik-
praktik yang di dapat. Pada masa khalifah Umar Ibn Khattab, peran
pengawasan terhadap pasar dilakukan dengan melakukan inspeksi-
inspeksi ke dalam pasar. Mengawasi praktik-praktik yang dapat
menyebabkan distorsi pasar, dan juga memberikan sanksi terhadap
pelaku pasar yang menyimpang dan membuat kekacauan kondisi
pasar. Pengawasan-pengawasan yang dilakukan untuk memastikan
berjalannya ketentuan-ketentuan antara lain: 1) Kebebasan masuk
302
dan keluar pasar, 2) Mengatur promosi dan propaganda, 3) Larangan
penimbunan barang, 4) Mengatur perantara perdagangan, 5)
Pengawasan terhadap harga. (Ahmad Fitri)
Dalam sejarah khilafah Islam, selalu ada lembaga hisbah yang
dibentuk oleh pemerintah. Tugas lembaga ini memang khusus, yaitu
melakukan kontrol sosial terhadap kebajikan secara umum dan
mencegah praktik maksiat di depan umum, seperti makan siang di
bulan Ramadhan dan praktik judi secara terbuka. Selain itu, juga
memerintahkan tegaknya syariat, dari keharusan menutup aurat
hingga shalat berjamaah di masjid.
Kini, hisbah telah pudar dan tidak terlihat lagi wujudnya di
negara-negara Islam, kecuali Kerajaan Saudi Arabia, khususnya di
masa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab pada pertengahan abad
ke-12 H. Ruang gerak hisbah pernah benar-benar meluas pada masa
Raja Abdul Aziz berkuasa. Ketika itu, jabatan hisbah diserahkan
kepada Syaikh Abdul Aziz Abdul Lathif Alu Syaikh, seorang saleh
yang sangat berwibawa dan didengar suaranya. Pada masanya,
Hasan Al-Banna memberlakukan hisbah kembali. Sepak terjangnya
telah menciptakan sebuah prestasi yang patut dijadikan sebagai
referensi untuk mengembalikan hisbah ke tengah-tengah masyarakat
global saat ini.
Dalam buku yang terkenal berjudul “Ahkamu al-Sultaniyah”,
Al-Mawardi memperjelas pandangannya tentang lembaga hisbah ini.
Menurutnya, ada beberapa perbedaan antara seorang muhtasib
(petugas profesional yang digaji) dan mutatawwi’ (petugas relawan).
Di antara perbedaan itu adalah:
1) Keberadaan lembaga hisbah bersifat fardu ain, sedangkan petugas
relawan fardu kifayah.
2) Bagi muhtasib, hisbah adalah kewajiban dan wewenang yang harus
dilaksanakan dan tidak bisa ditangguhkan pelaksanannya,
sedangkan bagi relawan, hisbah adalah tugas sunnah yang bisa
ditangguhkan.
3) Muhtasib adalah orang yang diangkat untuk menerima laporan
perkara-perkara yang harus ditegur, sedangkan sukarelawan
(volunter) bukan.
303
4) Mutashib harus melayani setiap orang yang melapor, sementara
sukarelawan tidak.
5) Muhtasib harus menyelidiki tindak kejahatan yang nyata,
sedangkan relawan tidak.
6) Muhtasih boleh mengangkat pembantu agar lebih kuat
melaksanakan tugasnya, sedangkan relawan tidak berhak.
7) Muhtasib boleh memberikan hukuman ringan (ta’zir), bukan
hukuman berat (hadd), sedangkan sukarelawan tidak berhak.
8) Muhtasib boleh meminta gaji dari bait al-mal, sedangkan
sukarelawan tidak boleh.
9) Muhtasib boleh melakukan ijtihad syar’i. Ijtihad urfi itu berkaitan
dengan penetapan peraturan di pasar-pasar dan peraturan
membangun bangunan.
304
4. Harus mencegah adanya
praktik yang merugikan
pasar
5. Mencegah munculnya pen
curian
6. Mengecek kejujuran peda
gang
7. Mematai-matai kegiatan
sosial ekonomi di pasar.
3. Tahkim (Arbitrase)
305
Menurut Said Agil Husein al-Munawar, sebagaimana dikutip
Juhaya S. Praja (2012: 225), pengertian tahkim menurut kelompok ahli
hukum Islam mazhab Hanafiyah adalah memisahkan persengketaan
atau menetapkan hukum di antara manusia dengan ucapan yang
mengikat kedua belah pihak yang bersumber dari pihak yang mem-
punyai kekuasaan secara umum. Adapun pengertian tahkim menurut
kelompok Syafi’iyah, adalah memisahkan pertikaian antara pihak yang
bertikai atau lebih dengan hukum Allah atau menyatakan dan
menetapkan hukum syara’ terhadap peristiwa yang wajib dilaksana-
kannya.
Dasar hukum penyelesaian sengketa melalui tahkim ini terdapat
dalam al-Qur’an, surat an-Nisa, ayat 35 yang berbunyi:
ن ُﻳﺮِﻳﺪَا ِإﺹْﻼﺡًﺎ
ْ ﻦ َأ ْهِﻠﻬَﺎ ِإ
ْ ﺡ َﻜﻤًﺎ ِﻣ
َ ﻦ َأ ْهِﻠ ِﻪ َوْ ﺡ َﻜﻤًﺎ ِﻣ
َ ق َﺑ ْﻴ ِﻨ ِﻬﻤَﺎ ﻓَﺎ ْﺑ َﻌﺜُﻮا
َ ﺷﻘَﺎ
ِ ﺧ ْﻔ ُﺘ ْﻢ ِ نْ َوِإ
ﺧﺒِﻴﺮًا
َ ﻋﻠِﻴﻤًﺎَ ن
َ ن اﻟَّﻠ َﻪ آَﺎ َّ ﻖ اﻟَّﻠ ُﻪ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬﻤَﺎ ِإ
ِ ُﻳ َﻮ ِّﻓ
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
306
Namun Arbitrase syariah khususnya merupakan suatu Badan
penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase yang dilaksanakan sesuai
dengan tuntunan syariah. Perjanjian arbitrase merupakan kesepakatan
tertulis yang dibuat oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa baik
yang belum terjadi maupun yang sudah terjadi melalui arbitrase.
Dengan adanya perjanjian arbitrase, maka secara absolut pengadilan,
baik Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama menjadi tidak
berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut.
307
kelembagaan, terutama para hakimnya yang mempunyai kemampuan
dalam bidang sengketa ekonomi syariah.
Menurut Juhaya S. Praja (2012: 227-9), sengketa dalam bidang
ekonomi syariah ini, meliputi: (a) sengketa bank syariah, (b) sengketa
Lembaga Keuangan Mikro Syariah; (c) sengketa asuransi syariah, (d)
sengketa reasuransi syariah, (e) sengketa reksadana syariah, (f) sengketa
obligasi syariah, (g) sengketa sekuritas syariah, (h) sengketa pembiayaan
syariah, (i) sengketa pegadaian syariah, (j) sengketa dana pensiunan
lembaga keuangan syariah, dan (k) sengketa bisnis syariah.
Adapun proses penyelesaian sengketa ekonomi syariah dapat
dilakukan melalui dua cara, yaitu melalui pengadilan atau di luar
pengadilan. Melalui pengadilan sebagaimana tersebut di atas, merupa-
kan wilayatul qadha, tetapi penyelesaian di luar pengadilan melalui
BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional), sesuai dengan SK
MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003, tanggal 30 Syawal 1424 H/24
Desember 2003 M.
Tugas BASYARNAS adalah menyelesaikan secara adil dan cepat
sengketa muamalah (perdata) yang timbul dalam bidang perdagangan,
keuangan, industri, jasa dan lain-lain, serta memberikan pendapat yang
mengikat atas permintaan para pihak tanpa adanya suatu sengketa
mengenai persoalan tertentu dalam suatu perjanjian.
308
DAFTAR PUSTAKA
309
Alma, Buchari, dan Priansa, Donni Juni, 2009. Manajemen Bisnis Syariah.
Bandung, Alfabeta.
Asy’ari, Musa, 2001. Filsafat Islam Sunah Nabi dalam Berpikir. Yogyakarta.
LESFI.
Antonio, Muhammad Syafii, 2007. Muhammad SAW The Super Leader
Super Manager. Jakarta, Tazkia Multimedia.
Ausaf Ahmad, A Macro of Distribution in Islamic Economy, dimuat dalam
Journal of Research ini Islamic Economic, Vol.2, No. 1, 1984.
Bahesty dan Bahonar, 1992. Prinsip-Prinsip Islam, Risalah Masa, Jakarta.
Booklet Perbankan Indonesia, 2009. Bank Indonesia, Jakarta.
Chapra, M. Umar, 2000. Islam dan Tantangan Ekonomi. Geman Insani
Press, Tazkiah Institut, Jakarta.
Dahlan, Ahmad dan Aziz, Abdul, 2012. Bunga Rampai Pemikiran Ekonomi
Islam Tinjauan Seputar Tafsir, Hadits, Sejarah, Gerakan, Tasawuf,
Ekonomi dan Ibadah. Yogyakarta, Deepublish.
Djazuli, A., Janwari, Yadi, 2002. Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat.
Jakarta, Rajawali Press.
Diana, Ilfi Nur, 2008. Hadits-Hadits Ekonomi. Malang, UIN Malang Press.
Didin S. Damanhuri, 1999. Pilar-Pilar Reformasi Ekonomi Politik, Jakarta:
Cides.
Djohar Arifin dan Abdul Aziz. 2013. Etika Bisnis Islami. Deepublish,
Yogyakarta.
Effendi, Fridaus dan Zada, Khamami (Ed.), 1999. Membangun Masyarakat
Madani. Jakarta, Nuansa Madani.
Fauzi, Ahmad, T.Th. Ilmu Kalam Sebuah Pengantar. Cirebon, STAIN Press.
Hasan Ridwan, Ahmad, 2013. Manajemen Baitul Mal wa Tamwil. Pustaka
Setia, Bandung.
Internet Download Google.
Islamic Development Bank and Islamic Research and Training Institute,
Tanpa Tahun. A Survey of the Institution of Zakah: Issues, Theories
and Administration. Jeddah.
Ilyas, Yunahar, 1999. Kuliah Akhlak, LPPI UMY, Yogyakarta.
Jawahir Tanthowi, 1983. Unsur-Unsur Manajemen Menurut Ajaran al-
Qur’an. Pustaka Al-Husna, Jakarta.
Juhaya S. Praja, 2012. Ekonomi Syariah. Pustaka Setia, Bandung.
Jurnal Mahkamah, 2008. Laba dalam Perspektif Islam. STAIN Press.
______________, 2009. Bekerja Menurut Perspektif hadits. STAIN Press.
310
Jurnal Studi Islam, Millah, 2008. Fiqh Bu’di al-Iqthisadh. Vol. VIII, No. 1
Agustus.
Jurnal Manajemen, 2012. Pemenuhan Kebutuhan Konsumtif Siap Kreasi
Perspektif Islam dalam Konteks Menuju Masyarakat Berperadaban.
Cirebon, STIE.
Kahf, Monzer, 1995. Ekonomi Islam (Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem
Ekonomi Islam). Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
__________, T.Th. Al-Nusush al-Iqhtisad Fi al-Qur’an wa Sunnah. Jeddah,
Nasr al-Ilmi.
Kerap, A. Sonny, 1998. Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya.
Yogyakarta, Kanisius.
Khalid, Amru, 2005. Jika Anda Mau Berubah. Jakarta, RajaGrafiondo
Persada.
Karim, Adiwarman, 2002. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: Rajawali Press.
_______________, 2006. Sejarah Pemikiran ekonomi Islam. Edisi kedua.
Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.
Kuntowijoyo, 1999. Identitas Politik Umat Islam. Bandung, Mizan.
___________, 2004. Islam Sebagai Ilmu Epistemologi, Metodologi dan Etika.
Teraju, Jakarta.
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa, T.Th. Tafsir al-Maraghi. Libanon, Dar Ihya
Turats al-Arabi.
Mahjuddin, 1996. Kuliah Akhlaq Tasawuf. Kalam Mulia, Jakarta.
Makram, Abdul Al-Salim, 2004. Pengaruh Akidah dalam Membentuk
Individu dan Masyarakat. Jakarta, Pustaka Azzam.
Misbah, Muh. Taqi, 1996. Monoteisme. Tauhid Sebagai Sistem Nilai dan
Akidah Islam. Jakarta, Lentara.
Mujahidin, Akhmad. 2007. Ekonomi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Muhammad, 1994. Lembaga-Lembaga Keuangan Umat Kontemporer.
Yogyakarta, UII Press.
Murti Sumarni, 1996. Marketing Perbankan. Liberty, Yogyakarta.
Muthahhari, Murtadha, 2004. Terjemahan dari Falsafatul Akhlaq dengan,
Filsafat Moral Islam: Kritik Atas Berbagai Pandangan Moral, Al-
Huda, Jakarta.
An-Nabhani, Taqiyudin, 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif
Perspektif Islam. Surabaya, Risalah Gusti.
311
Nashori, Fuad (Ed.), 1994. Membangun Paradigma Psikologi Islami. Yogya-
karta. SIPRESS.
Nasution, Mustofa Edwin, dkk. 2007. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam.
Kencana Prenada Media Group: Jakarta.
Nasution, Harun, 1985. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek. Depok, UI
Press.
Nataatmadja, Hiadayat, 1984. Pemikiran ke Arah Ekonomi Humanistik.
Yogyakarta, LFPI.
___________, 2001. Inteligensi Spiritual. Bandung, Perenial Press.
Nur Mufi dan Fuad, A. Nur, 2000. Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Al-
Mawardi. Surabaya, Pustaka Progresif.
Poesproprodjo, W., 1999. Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan Praktik.
Bandung, Pustaka Grafika.
Pratomo, Eko P., T.Th., Cara Mudah Mengelola Keuangan Keluarga Secara
Islami. Bandung, Hijrah Institute.
Praja, Juhaya S., 1993. Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Yayasan Piara,
Bandunga.
Pujiyono, Arif, 2006. Teori Konsumsi Islami dalam Junral Dinamika Pem-
bangunan, Vol. 3 No. 2 Desember.
Rahardjo, M. Dawam, 1990. Etika Ekonomi dan Manajemen. Yogyakarta.
Tiara Wacana.
_________________, 1996. Ensiklopedi Al-Qur’an. Jakarta, Paramadina.
Riyadi, Hendar, 2007. Melampaui Pluralisme Etika Al-Qur’an Tentang
Keragaman Agama. Jakarta, Graha Pena.
Ash-Shiddiqi, Muh. Nejatullah, 2001. The Future of Economics. Bogor,
SEBI.
Sabirin, Syahril. 2003. Perjuangan Keluar Dari Krisis. BPFE, Yogyakarta.
Saidi, Wahyu, 2007. Mari Berkenalan dengan Bisnis. Jakarta, Ikhtiar Press.
Saefuddin, A.M., et all., 1998. Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi,
Mizan, Bandung.
Syahidin, dkk. 2009. Moral dan Kognisi Islam. Alfabeta, Bandung.
Setiawan, Azis. 2007. Riba dalam Transaksi Bisnis. Majalah Hidayatullah,
Edisi Oktober.
Shihab, M. Quraish, 1997. Wawasan Al-Qur’an. Bandung, Mizan.
________________, 1994. Membumikan Al-Qur’an. Mizan, Bandung.
312
Sophiana, Ainur R. (Ed.) 1997. Etika Ekonomi Politik. Surabaya, Risalah
Gusti.
Sopian, 2004. Kontroversi Bisnis Aa Gym. Jakarta, Pustaka Media.
Suryadi, dkk. 2011. Kewirausahaan Membangun Usaha Sukses Sejak Usia
Muda. Salemba Empat, Jakarta.
Sri Sarnityaastuti, Marfuah, dkk., 2009. Dasar-Dasar Public Relations.
Yogya-karta, Teras.
Suryadilaga, M.K. Sutrisna, 2007. The Balance Ways. Bandung, Hikmah.
Tanthowi, Jawari, 1983. Unsur-Unsur Manajemen Menurut Ajaran Al-
Qur’an. Jakarta, Pustaka Al-Husan.
Taqi Misbah, Muhammad, 1996. Monoteisme: Tauhid Sebagai Sistem Nilai
dan Akidah Islam. Lentera, Jakarta.
Triswanto, Sugeng Dwi, 2004. Merencanakan & Mengelola Usaha. Yogya-
karta. Media Abadi.
Wisadirana, Darsono dan Sofwani, Ahmad, 2008. Manajemen
Kewirausahaan Kapita Selekta Kewirausahaan Jilid II. Malang,
Agritek.
Yunus, Muh. 2008. Islam dan Kewirausahaan Inovatif. Malang, UIN Press,
Malang.
313
TENTANG PENULIS
314
Bandung mengambil Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab,
tamat 1998. Selanjutnya, tahun 1999 suami dari Ratna Mardiani, S.Pd.I,
melanjutkan pengembaraan akademiknya pada Universitas
Muhammadiyah Jakarta (UMJ) dengan Konsentrasi Ekonomi Islam,
sehingga kini menjadi keahliannya. Dan kini sedang menyelesaikan
tingkat Doktor (S3) di Universitas Borobudur (UNBOR) pada Bidang
Ilmu Ekonomi, Konsentrasi/Disertasi Ekonomi Islam.
Pengabdian masyarakat pada Persyarikatan Muhammadiyah
sebagai Sekretaris Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan
Daerah Muhammadiyah Kabupaten Cirebon Periode 2010 – 2015, yang
sebelumnya Anggota Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Cirebon
dan mengetuai Majelis Tarjih dan Pemikiran Islam PDM Kota Cirebon
2005 – 2010 disamping pernah menjadi Mudir Pondok Pesantren Santun
Muhammadiyah Kota Cirebon Tahun 2006 – 2011. Menjadi Bendahara
Pengurus Baitut Tamwil Muhammadiyah Amanah Tahun 2010 – 2015
dan Anggota Dewasan Syariah Lembaga Amil Zakat Muhammadiyah
Tahun 2011 – 2016.
Adapun karya ilmiah dalam bentuk buku yang pernah
dihasilkannya adalah: (1) Bunga Rampai Pemikiran Ke-Islamanan.
Diterbitkan deepublish, Yogyakarta tahun 2012, (2) Model Pembelajaran
Efektif Baca Tulis Al-Qur’an. Penerbit Deepublish, Yogyakarta, Tahun
2012, (3) Ekonomi Sufistik Model Al-Ghazali: Pemikiran al-Ghazali
tentang Moneter dan Bisnis. Diterbitkan Alfabeta Bandung tahun 2011,
(4) Manajemen Investasi Syariah. Diterbitkan Alfabeta Bandung Tahun
2010, (5) Kapita Selekta Ekonomi Islam Kontemporer. Diterbitkan
Alfabeta, Bandung Tahun 2010, (6) Ekonomi Islam Analisis Mikro dan
Makro. Diterbitkan Graha Ilmu, Yogyakarta Tahun 2008, dan (7) Model
Pembelajaran Efektif PAI di SD/MI, diterbitkan oleh Pustaka Bani
Quraisy Bandung, Tahun 2007.
315
316