Anda di halaman 1dari 328

Abdul 

Aziz, M.Ag. 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

ETIKA BISNIS PERSPEKTIF ISLAM


Implementasi Etika Islami untuk Dunia Usaha 
 
 
Kata Pengantar 
Prof. Dr. H. Maksum Mukhtar, M.A. 
(Rektor IAIN Syekh Nurjati Cirebon) 
 
 
 
 
 
 
 

 
 


 
 
PERHATIAN
 
KECELAKAAN BAGI ORANG-ORANG YANG CURANG
(QS Al-Muthaffifin
  Ayat 1)
 
Para pembajak, penyalur, penjual,   pengedar, dan PEMBELI BUKU
BAJAKAN adalah bersekongkol dalam   alam perbuatan CURANG.
Kelompok genk ini saling membantu memberi peluang hancurnya citra
 
bangsa, “merampas” dan “memakan” hak orang lain dengan cara yang
 
bathil dan kotor. Kelompok “makhluk” ini semua ikut berdosa, hidup
 
dan kehidupannya tidak akan diridhoi dan dipersempit rizkinya oleh
ALLAH SWT.  
 
  (Pesan dari Penerbit ALFABETA)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
Dilarang keras memperbanyak, memfotokopi sebagian
atau seluruh isi buku ini, serta memperjualbelikannya
tanpa mendapat izin tertulis dari Penerbit.

© 2013, Penerbit Alfabeta, Bandung


Eko46 (xii + 316) 16 x 24 cm
Judul Buku : ETIKA BISNIS PERSPEKTIF ISLAM
Implementasi Etika Islami untuk Dunia Usaha
Penulis : Abdul Aziz, M.Ag.
Penerbit : ALFABETA, cv
Telp. (022) 200 8822 Fax. (022) 2020 373
Website: www.cvalfabeta.com
Email: alfabetabdg@yahoo.co.id
Cetakan Kesatu : November 2013
ISBN : 978-602-7825-98-7

Anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI)

ii 
SAMBUTAN

Kehadiran buku Etika Bisnis Perspektif Islam Implementasi Etika


Islami untuk Dunia Usaha yang ditulis saudara Abdul Aziz, salah satu
Dosen Muamalah (Hukum Islam Islam) dan Perbankan Syariah Fakultas
Syariah IAIN Syekh Nurjati Cirebon yang saat ini sedang penyelesaian
Disertasinya (S3) ini sangat bermanfaat bukan saja bagi para pembaca
pada umumnya dan mahasiswa namun juga bagi para pelaku usaha
untuk diamalkan dalam kegiatan bisnisnya. Bagi para cendekiawan,
buku ini tidak kalah pentingnya sebagai bahan pemikiran dan
pemahaman tentang penelaahan penulis, dengan latar belakang
keagamaannya dan background pendidikannya sebagaimana dalam
pembahasan yang menampilkan rujukan-rujukan ayat dan hadits.
Salah satu bentuk Islamisasi di bidang ekonomi yang kini telah
disambut baik kalangan akademisi di lingkup perguruan tinggi agama
dan meluas ke perguruan tinggi umum diharap memberikan nilai positif
dalam pengembangan khazanah keilmuan keislamanan. Buku yang ada
di hadapan pembaca ini semoga menjadi bagian yang dimaksud.
Bahwasanya pemahaman bisnis dewasa ini menilai kesuksesan
seseorang diukur dari aspek materi semata. Padahal, ukuran materi
(maddah) bukanlah segala-galanya sebagaimana diuraikan dalam buku
ini. Seluruh aktivitas manusia dalam konteks bisnis juga merupakan
bentuk ‘ibadah, sehingga memberikan pemahaman bagi kita bahwa
cucuran keringat tumpahan jerih payah dalam berbisnis (berusaha)
apakah dalam bentuk berdagang (pedagang), karyawan, pegawai,
pengusaha dan seterusnya dapat dilakukan dengan kejujuran. Inilah
nilai ibadah yang ada di dalamnya.
Mengingat kenyataan bahwa persaingan bisnis semakin ketat,
sehingga kerapkali memicu penyimpangan-penyimpangan (anomali)
menjurus pada perbuatan irrasional. Perdukunan (kahinah) menjadi hal
lumrah seolah-olah menjadi obat dalam mengatasi kemacetan berbisnis,
demi meraup keuntungan dan kelancaran usahanya. Norma-norma
agama (etika) sudah tidak lagi menjadi hal menarik untuk dijadikan

iii 
tolok ukur. Karenanya, dalam setiap bab pada buku ini pembahasan
selalu menampilkan urgennya etika agama (akhlak) dalam berbisnis.
Dalam buku ini pembahasan akhir mengenai penanganan
sengketa antar pelaku bisnis melalui dewan hisbah memberikan
pemahaman bagi para pelaku usaha kiranya penyelesaian dengan jalan
kekeluargaan lebih baik dibanding dengan penyelesaian pada tingkat
peradilan (wilayatul qadhat). Mengingat kenyataan tersebut, buku ini
sangat berharga bagi pelaku bisnis yang memerlukan pedoman dan
panduan dalam pengelolaan bisnis yang dijalaninya.
Semoga tujuan penulis merekam pemahaman dan penghayatan
yang berharga tentang etika bisnis Islami bagi para pembaca yang
budiman dan pelaku usaha pada khususnya serta penyebarannya dalam
bentuk buku ini dapat tercapai. Amin

Cirebon, 16 September 2013


Rektor IAIN SNJ

Prof. Dr. H. Maksum Mukhtar, M.A.

iv 
PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum wr. wb.

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, akhirnya buku Etika Bisnis Perspektif


Islam Implementasi Etika Islami untuk Dunia Usaha dapat hadir di hadapan
pembaca, meskipun di sana sini masih terbersit kekurangan. Shalawat
dan salam semoga terlimpah pada junjungan kita Sang Pencerah
Muhammad SAW, keluarga dan para sahabat, serta para pengikut setia
dalam memegang risalah ajarannya.
Waba’du. Al-‘Ilmu Nur ilmu adalah cahaya dalam menerangi
“ketidaktahuan”. Sebuah penghargaan tertinggi dalam Islam bagi para
ilmuwan dan para penuntut ilmu dan orang-orang yang ber-inqiyad
(beriman) kepada Allah SWT Sang Kreator secara ikhlas (mukhlisin lahu
al-din). Sebagai bagian dari ikut berpartisipasi dalam mengisi dan
menyebarkan misi Islamisasi ilmu pengetahuan di bidang ekonomi, penulis
menghadirkan buku yang ada di hadapan pembaca ini untuk mengisi
bologan-bolongan kecil khazanah ilmu ekonomi Islam.
Internalisasi nilai-nilai Islam ke dalam kehidupan keseharian umat
manusia merupakan suatu keniscayaan, wujud dari manusia beriman,
ber-islam dan ber-ihsan dalam membentuk manusia unggul/muttaqin
(manusia pari purna). Tak terkecuali dari sisi aktivitas bisnis, trilogi ad-
din tersebut harus ditempatkan secara fungsional dalam
menginternalisasi pada diri setiap pelaku bisnis. Muhammad SAW
sebagai qudwah teladan telah mampu memposisikan sebagai pelaku
bisnis ideal yang jujur, adil, dan berkarakter perlu digugu dan ditiru
oleh pelaku bisnis di era sekarang.
Perilaku pedagang yang jujur telah digambarkan secara jelas oleh
Nabi SAW merupakan sebaik-baiknya aktivitas perlu direka ulang
(diinstal) dan di upgrade di kehidupan bisnis modern yang semakin
kompetitif, ketat dan tak terkendali sehingga di luar kendali mengabai-
kan norma-norma kebenaran (etika spiritual keagamaan/etika Islami).


Dalam buku ini dihantarkan prinsip dan sistem nilai dalam
ekonomi Islam untuk memberikan pemahaman awal bagi para pembaca
sebelum lanjut membaca bab-bab berikutnya. Teori-teori etika pada
umumnya dan akhlak Islami dalam bisnis yang dituangkan dalam
uraian singkat dilengkapi dengan kutipan-kutipan ayat al-Qur’an
maupun as-sunnah ditampilkan. Hal ini dilakukan agar pemahaman
tentang etika bisnis Islami lebih mendasar.
Dalam rangka penguatan kembali akan diuraikan bagaimana
semangat dan etos kerja dalam Islam sangat dianjurkan, terutama dalam
perdagangan (bisnis) sebagai pekerjaan yang paling baik. Secara umum,
ajakan terhadap pribadi yang kuat lebih baik dibanding pribadi yang lemah
(al-hadits), akan menjadi motivasi untuk giat bekerja dan dilakukan
secara profesional, baik sebagai produsen maupun distributor. Di sisi
lain, pada bab selanjutnya menekankan pada pemahaman dan
penghayatan bahwa konsumsi merupakan bagian penting yang harus
diketahui agar dalam mendapatkan makanan dan minuman (rezeki)
dengan cara yang halal dan thayyib. Tidak menghalalkan segala cara.
Mensyukuri Nikmat Allah dan Menkufurinya menjadi informasi penting
dalam teori konsumsi Islami.
Etika Islami seperti berbuat adil (‘adalah), tidak mendzalimi dan
berbuat dzalim (la tadzlimun wa la tudzlamun), suka sama suka (an-
taradzin), tidak memaksakan kehendak seperti merayu-merayu berle-
bihan dalam memasarkan barang/jasa, tidak melakukan perbuatan
ribawai, perjudian (maysir) dan penipuan (gharar dan tadlis) merupakan
istilah-istilah kunci etika bisnis Islami yang patut ditaati, baik oleh
pribadi sebagai pelaku bisnis maupun kolektif (pelaku pasar;
profesional; bankir dan sejenisnya). Karenanya, akan memberikan
pedoman dan tuntunan bagi pelaku bisnis agar meraih sukses (falah) di
kehidupan dunia dan akhirat.
Dan di akhir pembahasan bab dalam buku ini diuraikan singkat
tentang bagaimana cara menyelesaikan sengketa bisnis, baik yang
dilakukan dengan cara kekeluargaan (ash-shulh), arbitrase (dewan
hisbah) maupun sampai ke pengadilan (at-tahkim). Hal ini mengingatkan
kembali bahwa dalam Islam ajaran-ajaranya mencakup skala mikro
maupun makro, yang bersentuhan dengan hak pribadi dan umum,
kewajiban pribadi dan umum dan demikian pula pemerintah sebagai
regulator dalam memerankan fungsi dan tujuannya.

vi 
Dan akhirnya, penulis pun menyadari sepenuhnya bahwa apabila
dijadikan seluruh pohon-pohon yang ada di dunia ini sebagai penanya, dan
seluruh air yang ada di tujuh lautan kering, di tambah lagi dengan tujuh lautan
yang lain sebagai tintanya, manusia tidak akan mampu menghitung berapa
besar nikmat dari Allah SWT (Al-Qur’an). Oleh sebab itu, ketidak-
sempurnaan dalam buku ini karena keterbatasan waktu dan referensi
yang penulis miliki. Oleh karena itu, kritik dan saran konstruktif sangat
penulis harapkan. Dan atas segala saran dan kritik konstruktif yang
diberikan untuk penulis ucapkan terimakasih, semoga Allah SWT selalu
membukakan hidayah dan taufik, serta inayah kepada kita semua. Amin
Kiranya apa yang ada di hadapan pembaca ini, semoga menjadi
bagian kecil karya penulis dipersembahkan semata untuk mengabdi
kepada-Nya. “Tidaklah Aku turunkan jin dan manusia ke dunia ini, kecuali
hanya untuk menyembah-Ku”. Dan tidak lupa ucapan terimakasih kepada
Rektor IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Prof. Dr. H. Maksum Mukhtar, MA
di tengah kesibukan memberikan kata sambutan, dan penghargaan
kepada penerbit Alfabeta, khususnya Bapak Prof. Dr. H. Buchari Alma,
M.Pd., yang telah menerbitkan buku ini. Al-Marhum H. Munawwar dan
Hj. Witrul Khatimah, ayahanda dan ibunda tercinta terimakasih atas
kasih dan sayangnya, semoga Allah membalas dengan kasih dan
sayangnya serta menempatkan pada sisi-Nya, tempat yang paling layak.
Semoga karya ini menjadi bagian dari amalan jariyah wa waladun
shalih yad’u lah, wa ilmun yuntafau bihi, serta guru-guru ku. Istri dan
Anaku tercinta, Ratna Mardiani, S.Pd., dan Moh. Ismail Razi Alfaruqi,
inspirator dalam setiap langkah berkarya. Semuanya diucapkan ucapan
terima kasih.

Akhirulkalam,
Nasrun min Allah wa Fathun Qarib
Wassalau’alaikum wr wb

Cirebon, September 2013

Abdul Aziz

vii 
DAFTAR ISI

Sambutan
Prof. Dr. H. Maksum Mukhtar, MA
(Rektor IAIN Syekh Nurjati Cirebon) ................................................ iii
Pengantar ................................................................................................ v
Daftar Isi ................................................................................................. viii

Bab I
Prinsip dan Sistem Nilai Dalam Ekonomi Islam ........................... 1
A. Prinsip Dasar Ajaran Islam ............................................................ 1
B. Sistem Nilai dalam Islam ................................................................ 8
C. Sistem Ekonomi Islam .................................................................... 13

Bab II
Konsep Etika Bisnis Islami ................................................................ 20
A. Pengertian Etika Bisnis Islami ....................................................... 20
B. Prinsip-prinsip Etika Bisnis Islami ................................................ 36
C. Ruang Lingkup Etika Bisnis Islami ............................................... 47

Bab III
Konsepsi dan Teori Etika ................................................................... 48
A. Konsepsi Etika ................................................................................. 49
B. Pendekatan Etika Versus Akhlak .................................................. 51
C. Teori-teori Etika Barat ..................................................................... 55
D. Etika Islami ....................................................................................... 64

Bab IV
Konsepsi Etika Dalam Al-Qur’an ..................................................... 70
A. Landasan Filosofis ........................................................................... 70
B. Al-Qur’an Sebagai Pedoman Etika ............................................... 75
C. Konsep Kunci Etika Al-Qur’an ...................................................... 77
D. Etika Islam Sebuah Problem Solver ................................................. 90

viii 
Bab V
Etika Bisnis Perspektif Islam ............................................................ 97
A. Etika Bisnis Konvensional Versus Islam ...................................... 97
B. Konsep Al-Qur’an Tentang Bisnis ................................................ 101
C. Konsep Al-Hadits Tentang Bisnis ................................................. 111
D. Implikasi Bisnis dalam Konsep Al-Qur’an dan Al-Hadits ........ 113

Bab VI
Etos Kerja Dalam Bisnis Islami.......................................................... 119
A. Pengertian Etos Kerja ...................................................................... 119
B. Anjuran untuk Bekerja Keras ......................................................... 124
C. Etos Kerja Qur’ani ........................................................................... 128
D. Konsep Dasar Kewirausahaan ....................................................... 133
E. Keuntungan dan Etika .................................................................... 137

Bab VII
Etika Produksi Perspektif Islam ....................................................... 141
A. Pendahuluan .................................................................................... 141
B. Pengertian Produksi dalam Islam ................................................. 142
C. Konsep Produksi dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits .................... 143
D. Motif-motif Produksi Islami .......................................................... 146
E. Etika Produksi Islami ...................................................................... 148
F. Power Point Etika Produksi dalam Islam ................................... 152

Bab VIII
Etika Konsumsi Perspektif Islam ..................................................... 157
A. Pendahuluan .................................................................................... 157
B. Pengertian Konsumsi Islami .......................................................... 158
C. Prinsip Dasar Konsumsi Islami ..................................................... 161
D. Etika Konsumsi Islami .................................................................... 164
E. Ikhtisar (Penutup) .......................................................................... 172

ix 
Bab IX
Etika Distribusi Perspektif Islam ..................................................... 175
A. Pendahuluan .................................................................................... 175
B. Pengertian Distribusi dalam Islam ................................................ 176
C. Distribusi Pendapatan dalam Islam .............................................. 179
D. Etika Distribusi Islami .................................................................... 181

Bab X
Etika Kerja Dalam Islam .................................................................... 187
A. Pendahuluan .................................................................................... 187
B. Pengertian Etika Kerja Islami ........................................................ 192
C. Pedoman Etika Kerja Islami ........................................................... 195
D. Meneladani Etos Kerja Rasulullah ................................................ 198
E. Kerja dan Produktivitas .................................................................. 202

Bab XI
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Perspektif Islam ................. 207
A. Konsep Pertanggungjawaban ........................................................ 207
B. Teori Pertanggungjawaban Perusahaan ...................................... 211
C. Kritik terhadap Tanggung Jawab Sosial Perusahaan ................ 215
D. Mencari Bentuk Ideal Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Versi Islam ........................................................................................ 219

Bab XII
Etika Profesi Dalam Islam ................................................................. 228
A. Pengertian Profesi ........................................................................... 228
B. Profesi dalam Bisnis Islami ............................................................ 232
C. Sejarah Para Nabi dalam Al-Qur’an Tentang Profesi ................ 241
D. Kewajiban Karyawan dan Perusahaan Serta Sebaliknya .......... 246


Bab XIII
Konsep Keadilan Dalam Bisnis ........................................................ 250
A. Pengertian Keadilan dalam Bisnis Islami ..................................... 250
B. Teori Keadilan dalam Produksi Islami ......................................... 251
C. Teori Keadilan dalam Konsumsi Islami ....................................... 254
D. Teori-teori tentang Keadilan dalam Bisnis .................................. 257

Bab XIV
Etika Bisnis Dalam Pasar Islami ....................................................... 265
A. Pendahuluan .................................................................................... 265
B. Prinsip Dasar Pasar Islami ............................................................. 268
C. Mekanisme Keadilan Pasar Islami ................................................ 271

Bab XV
Etika Lembaga Bisnis Syariah ........................................................... 277
A. Pendahuluan ................................................................................... 277
B. Pengertian Etika Perbankan ........................................................... 279
C. Dasar-dasar Etika Perbankan Syariah .......................................... 280
D. Etika Bankir ...................................................................................... 284
E. Prinsip Dasar Etika Perbankan ...................................................... 286

Bab XVI
Lembaga Arbitrase atas Persengketaan Bisnis Syariah ................ 290
A. Pendahuluan .................................................................................... 290
B. Pengertian Ash-Shulhu .................................................................... 291
C. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah ..................................... 292
D. Lembaga Arbitrase Bisnis Syariah ................................................ 307

Daftar Pustaka ...................................................................................... 309


Tentang Penulis ................................................................................... 314

xi 
xii 
BAB I
PRINSIP DAN SISTEM NILAI
DALAM EKONOMI ISLAM

A. Prinsip Dasar Ajaran Islam

Membicarakan tentang prinsip dasar ajaran Islam, maka tema


besar yang diusung adalah iman, Islam dan ihsan yang berujung pada
taqwa. Sementara sumber utamanya adalah al-Qur’an, As-Sunnah dan
Ijtihad. Ketiga tema pokok nilai dasar ajaran Islam tersebut di atas
merupakan kebutuhan dasar manusia dalam mencapai kesempurnaan-
nya, mencapai kesempurnaan paripurna (ahsan taqwim) dalam bentuk
wujud dan hakikat (insan kamil). Dua bentuk ahsan taqwim dan insan kamil
merupakan manifestasi dari ketaqwaan (manusia paripurna) yang
diperolehnya (kualitas dan bermutu diri). Karenanya, dalam konteks ini
sering dikatakan bahwa iman adalah pondasi yang harus kokoh dan
kuat dalam sebuah bangunan (Q.S. Al-Baqarah, 2: 136; ), (Q.S. Yunus, 10:
84), dan (Q.S. Ali Imron, 3:84) yaitu:
‫ب‬
َ ‫ق َو َﻳ ْﻌﻘُﻮ‬ َ ‫ﺳﺤَﺎ‬ ْ ‫ﻞ َوِإ‬
َ ‫ﺳﻤَﺎﻋِﻴ‬ ْ ‫ل ِإﻟَﻰ ِإ ْﺑﺮَاهِﻴ َﻢ َوِإ‬ َ ‫ﻗُﻮﻟُﻮا ﺁ َﻣ َﻨّﺎ ﺑِﺎﻟَّﻠ ِﻪ َوﻣَﺎ ُأ ْﻧ ِﺰ‬
َ ‫ل ِإَﻟ ْﻴﻨَﺎ َوﻣَﺎ ُأ ْﻧ ِﺰ‬
‫ﺡ ٍﺪ‬
َ ‫ﻦ َأ‬
َ ‫ق َﺑ ْﻴ‬
ُ ّ‫ﻦ َرِّﺑ ِﻬ ْﻢ ﻻ ُﻧ َﻔ ِﺮ‬
ْ ‫ن ِﻣ‬ َ ‫ﻲ اﻟَّﻨ ِﺒ ُﻴّﻮ‬
َ ‫ﻲ ﻣُﻮﺳَﻰ َوﻋِﻴﺴَﻰ َوﻣَﺎ أُو ِﺗ‬ َ ‫ط َوﻣَﺎ أُو ِﺗ‬ ِ ‫ﺳﺒَﺎ‬ ْ ‫وَاﻷ‬
‫ن‬
َ ‫ﺴِﻠﻤُﻮ‬ ْ ‫ﻦ َﻟ ُﻪ ُﻣ‬ ُ‫ﺤ‬ْ ‫ِﻣ ْﻨ ُﻬ ْﻢ َو َﻧ‬
“Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa
yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim,
Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa
dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak
membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh
kepada-Nya".


‫ﻦ‬
َ ‫ﺴِﻠﻤِﻴ‬ ْ ‫ن ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ ﺁ َﻣ ْﻨ ُﺘ ْﻢ ﺑِﺎﻟَّﻠ ِﻪ َﻓ َﻌَﻠ ْﻴ ِﻪ َﺗ َﻮ َّآﻠُﻮا ِإ‬
ْ ‫ن ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ ُﻣ‬ ْ ‫ل ﻣُﻮﺳَﻰ ﻳَﺎ َﻗ ْﻮ ِم ِإ‬
َ ‫َوﻗَﺎ‬

“Berkata Musa: "Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka
bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah
diri."
‫ب‬
َ ‫ق َو َﻳ ْﻌﻘُﻮ‬َ ‫ﺳﺤَﺎ‬ ْ ‫ﻞ َوِإ‬ َ ‫ﺳﻤَﺎﻋِﻴ‬ ْ ‫ﻋﻠَﻰ ِإ ْﺑﺮَاهِﻴ َﻢ َوِإ‬َ ‫ل‬ َ ‫ﻋَﻠ ْﻴﻨَﺎ َوﻣَﺎ ُأ ْﻧ ِﺰ‬ َ ‫ﻞ ﺁ َﻣ َﻨّﺎ ﺑِﺎﻟَّﻠ ِﻪ َوﻣَﺎ ُأ ْﻧ ِﺰ‬
َ ‫ل‬ ْ ‫ُﻗ‬
‫ﺡ ٍﺪ ِﻣ ْﻨ ُﻬ ْﻢ‬
َ ‫ﻦ َأ‬
َ ‫ق َﺑ ْﻴ‬
ُ ّ‫ﻦ َرِّﺑ ِﻬ ْﻢ ﻻ ُﻧ َﻔ ِﺮ‬
ْ ‫ن ِﻣ‬َ ‫ﻲ ﻣُﻮﺳَﻰ َوﻋِﻴﺴَﻰ وَاﻟَّﻨ ِﺒ ُﻴّﻮ‬ َ ‫ط َوﻣَﺎ أُو ِﺗ‬ ِ ‫ﺳﺒَﺎ‬ ْ ‫وَاﻷ‬
‫ن‬
َ ‫ﺴِﻠﻤُﻮ‬
ْ ‫ﻦ َﻟ ُﻪ ُﻣ‬ ُ‫ﺤ‬ ْ ‫َو َﻧ‬
“Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturun kan
kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan
anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, 'Isa dan para nabi dari
Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan
hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri."

Islam adalah tiang-tiang penyanggah yang mampu berdiri megah (Q.S.


Ali Imron, 3: 19-20), (Q.S. Al-Maidah, 5: 3), dan (Q.S. Ali Imron, 3: 85)
yaitu:
‫ﻦ َﺑ ْﻌ ِﺪ ﻣَﺎ ﺟَﺎ َء ُه ُﻢ‬
ْ ‫ب إِﻻ ِﻣ‬
َ ‫ﻦ أُوﺗُﻮا ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ‬ َ ‫ﻒ اَّﻟﺬِﻳ‬َ ‫ﺧ َﺘَﻠ‬ ْ ‫ﻋ ْﻨ َﺪ اﻟَّﻠ ِﻪ اﻹﺳْﻼ ُم َوﻣَﺎ ا‬ ِ ‫ﻦ‬ َ ‫ن اﻟ ِﺪّﻳ‬ َّ ‫ِإ‬
‫ب‬
ِ ‫ﺤﺴَﺎ‬
ِ ‫ﺳﺮِﻳ ُﻊ ا ْﻟ‬َ ‫ن اﻟَّﻠ َﻪ‬َّ ‫ت اﻟَّﻠ ِﻪ َﻓِﺈ‬
ِ ‫ﻦ َﻳ ْﻜ ُﻔ ْﺮ ﺑِﺂﻳَﺎ‬
ْ ‫ا ْﻟ ِﻌ ْﻠ ُﻢ َﺑ ْﻐﻴًﺎ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬ ْﻢ َو َﻣ‬
“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada
berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.
Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah
sangat cepat hisab-Nya.” (Q.S. 3: 19)
‫ﻦ‬
َ ‫ب وَاﻷ ِّﻣ ِﻴّﻴ‬ َ ‫ﻦ أُوﺗُﻮا ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎ‬
َ ‫ﻞ ِﻟَّﻠﺬِﻳ‬ْ ‫ﻦ َو ُﻗ‬ِ ‫ﻦ اَّﺗ َﺒ َﻌ‬
ِ ‫ﻲ ِﻟَّﻠ ِﻪ َو َﻣ‬ ْ ‫ﺖ َو‬
َ ‫ﺟ ِﻬ‬ ُ ‫ﺳ َﻠ ْﻤ‬ ْ ‫ك َﻓ ُﻘ ْﻞ َأ‬
َ ‫ﺟّﻮ‬ ُ ‫ن ﺡَﺎ‬ ْ ‫َﻓِﺈ‬
‫غ وَاﻟَّﻠ ُﻪ َﺑﺼِﻴ ٌﺮ ﺑِﺎ ْﻟ ِﻌ َﺒﺎ ِد‬
ُ ‫ﻚ ا ْﻟﺒَﻼ‬ َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ‬َ ‫ن َﺗ َﻮَّﻟﻮْا َﻓِﺈَّﻧﻤَﺎ‬
ْ ‫ﺳَﻠﻤُﻮا َﻓ َﻘ ِﺪ ا ْه َﺘ َﺪوْا َوِإ‬ْ ‫ن َأ‬ ْ ‫ﺳَﻠ ْﻤ ُﺘ ْﻢ َﻓِﺈ‬ْ ‫َأَأ‬
“Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka
katakanlah: "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demi-kian pula)
orang-orang yang mengikutiku". Dan katakanlah kepada orang-orang yang
telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: "Apakah kamu (mau)
masuk Islam?" Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat
petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah
menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-
Nya.” (Q.S. 3: 20)


ِ ‫ﺖ َﻟ ُﻜ ُﻢ اﻹﺳْﻼ َم دِﻳﻨًﺎ َﻓ َﻤ‬
‫ﻦ‬ ُ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ِﻧ ْﻌ َﻤﺘِﻲ َو َرﺿِﻴ‬
َ ‫ﺖ‬ُ ‫ﺖ َﻟ ُﻜ ْﻢ دِﻳ َﻨ ُﻜ ْﻢ َوَأ ْﺗ َﻤ ْﻤ‬
ُ ‫ا ْﻟ َﻴ ْﻮ َم َأ ْآ َﻤ ْﻠ‬
‫ﻏﻔُﻮ ٌر َرﺡِﻴ ٌﻢ‬
َ ‫ن اﻟَّﻠ َﻪ‬
َّ ‫ﻒ ﻹ ْﺛ ٍﻢ َﻓِﺈ‬ ٍ ‫ﻏ ْﻴ َﺮ ُﻣ َﺘﺠَﺎ ِﻧ‬
َ ‫ﺼ ٍﺔ‬ َ ‫ﺨ َﻤ‬ ْ ‫ﻄ َّﺮ ﻓِﻲ َﻣ‬ ُ‫ﺿ‬ ْ ‫ا‬

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama
bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat
dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-
Maidah, 5: 3)

‫ﻦ‬
َ ‫ﺳﺮِﻳ‬
ِ ‫ﻦ ا ْﻟﺨَﺎ‬
َ ‫ﺧ َﺮ ِة ِﻣ‬
ِ ‫ﻞ ِﻣ ْﻨ ُﻪ َو ُه َﻮ ﻓِﻲ اﻵ‬ ْ ‫ﻏ ْﻴ َﺮ اﻹﺳْﻼ ِم دِﻳﻨًﺎ َﻓَﻠ‬
َ ‫ﻦ ُﻳ ْﻘ َﺒ‬ َ ‫ﻦ َﻳ ْﺒ َﺘ ِﻎ‬
ْ ‫َو َﻣ‬
“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah
akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-
orang yang rugi.” (Q.S. Ali Imron, 3: 85)

Dan ihsan adalah atap vis a vis asesoris yang enak dipandang (Q.S. Ali
Imron, 3: 133), dan (Q.S. Al-Mulk, 67: 2).

‫س وَاﻟَّﻠ ُﻪ‬
ِ ‫ﻦ اﻟ َﻨّﺎ‬
ِ‫ﻋ‬
َ ‫ﻦ‬
َ ‫ﻆ وَا ْﻟﻌَﺎﻓِﻴ‬
َ ‫ﻦ ا ْﻟ َﻐ ْﻴ‬
َ ‫ﻇﻤِﻴ‬
ِ ‫ﻀ َﺮّا ِء وَا ْﻟﻜَﺎ‬
َّ ‫ﺴ َﺮّا ِء وَاﻟ‬
َّ ‫ن ﻓِﻲ اﻟ‬َ ‫ﻦ ُﻳ ْﻨ ِﻔﻘُﻮ‬
َ ‫اَّﻟﺬِﻳ‬
‫ﺴﻨِﻴ َﻦ‬
ِ ‫ﺐ ا ْﻟ ُﻤ ْﺤ‬
ُّ ‫ﺤ‬
ِ ‫ُﻳ‬

“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang


maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan
(kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

َ ‫ﻦ‬
‫ﻋﻤَﻼ َو ُه َﻮ اْﻟ َﻌﺰِﻳ ُﺰ ا ْﻟ َﻐﻔُﻮ ُر‬ ُ‫ﺴ‬َ ‫ﺤﻴَﺎ َة ِﻟ َﻴ ْﺒُﻠ َﻮ ُآ ْﻢ َأُّﻳ ُﻜ ْﻢ َأ ْﺡ‬
َ ‫ت وَا ْﻟ‬
َ ‫ﻖ ا ْﻟ َﻤ ْﻮ‬
َ ‫ﺧَﻠ‬
َ ‫اَّﻟﺬِي‬

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara
kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.”


Secara fungsional, prinsip dasar ajaran Islam tersebut harus sejalan
dan sebangun dengan filosif rumah yang ditempati dengan suasana
sejuk, damai dan menyenangkan (mawwaddah wa rahmah). Karenanya
tiga prinsip dasar tersebut menjadi landasan operasional lembaga-
lembaga keuangan syariah di Indonesia. Hal ini dapat diilustrasikan
secara sederhana dalam wujud yang bersifat materi sebagai berikut:

Gambar 1.1 Filosofi Rumah

Atap (ihsan), sebagaimana gambar di atas dapat diqiyaskan dalam


bentuk harta, uang, kekayaan ... apa pun istilahnya – sudah men-jadi
bagian dari kehidupan manusia. Siapa pun pasti memerlukannya dan
bahkan kebanyakan manusia mungkin sangat menginginkannya
(FALAH). Namun harta ternyata bukan hanya bisa mendatangkan
manfaat, tetapi juga dapat mendatangkan mudharat atau bencana (bila
tidak disikapi secara ihsan). Menurut Eko P. Pratomo (Trainner Keuangan
Keluarga Islami, 2004: 5), berkenaan dengan harta terdapat 3 aspek
penting yaitu:
1. Harta adalah titipan, bukan milik kita.
2. Perolehan, pengelolaan dan penggunaan harta harus sesuai dengan
syariah.
3. Menata dan merencanakan keuangan tidak terbatas hanya untuk
kebutuhan duniawi.


Dinding (Islam), merupakan knowledge (pengetahuan) yang dapat
menjadi obor (penerang, jalan dan petunjuk). Dalam ajaran Islam,
pengetahuan yang merupakan domain akal menempati kedudukan
yang cukup strategis. Berbagai problem sosial, politik, budaya, ekonomi
dan aspek-aspek lain dalam kehidupan manusia dapat dicarikan solusi
(pemecahan) melalui pengetahuannya (pengerahan dan pemberdayaan
akal) secara optimal. Pengetahuan akal ini pula yang dapat membeda-
kan kedudukan istimewa manusia dibandingkan dengan makhluk-
makhluk lain.
Apalagi pada aspek hukum (bisnis) Islam pun, kata Muhammad
Tholchah Hasan (2003: 5-6), peran (pengetahuan) akal tidak bisa di-
tinggalkan. Misalnya yurisprudensi hukum (ilmu fiqh), (fiqh legal
maxim/kaidah-kaidah fiqhiyah sebagai produk murni akal), yang di-
anggap sebagai salah satu sumber hukum dalam hukum positif (hukum
yang berlaku dalam suatu negara), juga lebih ditentukan oleh peran akal
(pengetahuan) yang berhasil ditunjukkan hakim melalui analisa dan
pertimbangan-perimbangan yang diajukannya sebelum suatu perkara
diputuskan.
Dalam konteks ‘dinding’ Islam di atas yang di’simbolkan’ sebagai
pengetahuan (knowledge) merupakan pengejawantahan dari peranan
akal dalam kita ber(agama) Islam, dalam kita memahami (arti) al-Qur’an
dan Sunnah Nabi juga amat ditekankan oleh al-Qur’an sendiri.
Dalam al-Qur’an, misalnya terdapat sebanyak 43 ungkapan yang
bertalian dengan menggunakan pengetahuan (akal); 12 kali ungkapan
“tidaklah kalian menggunakan akal?; 1 kali ungkapan “apakah kalian tidak
menggunakan akal?; 8 kali ungkapan; “hendaklah kalian meng-gunakan akal”,
12 kali ungkapan; “mereka tidak menggunakan akal”, dan 5 kali ungkapan
“akum yang menggunakan akal”. Memang wajar, menurut Munawir
Sadzali, sebagaimana dikutip Tholchah Hasan, bahwa pengetahuan
(akal) yang merupakan kelengkapan pemberian Allah yang paling
berharga kepada umat manusia itu dipergunakan untuk memahami dan
menjabarkan isi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena itu, ‘dinding’ Islam
dapat difungsikan lewat pengetahuan umat manusia.
Dalam konteks pragmatis-utiliatarian-materialistik-duniawiah,
kerja sama manusia dengan sesama dalam pentasharufan harta benda
dan pengetahuannya, Islam mengajarkan nilai-nilai dasar ekonomi yang


bersumber pada ajaran tauhid (sebagai pondasi). Islam lebih dari sekadar
nilai-nilai dasar etika ekonomi, seperti keseimbangan, ke-satuan,
tanggung jawab, dan keadilan, tetapi juga memuat keseluruhan nilai
yang fundamental serta norma-norma yang substansial agar dapat
diterapkan dalam operasional lembaga ekonomi Islam di masyarakat,
(Ahmad Hasan Ridwan, 2012: 5). Secara rinci, hal ini dapat dilihat dalam
gambar 1.2 berikut ini:
Gambar 1.2 Penjelasan Rinci Filosofi Rumah

Menurut Juhaya S. Praja (2012: 6), bahwa sistem nilai dalam bisnis
(ekonomi syariah) menempatkan al-falah sebagai tujuan utama-nya. Al-
Falah adalah kesejahteraan lahiriyah yang dibarengi kesejahteraan
batiniah (al-shalah), kesenangan duniawi dan ukrawi, keseimbangan
materiil dan immateriil. Tujuan ini memperlihatkan dengan jelas bahwa


hakikat sistem nilai dalam bisnis (ekonomi syariah) merupakan rahmat
bagi sekalian alam (rahmatan lil ‘alamin).
Sistem nilai dalam bisnis (ekonomi syariah) membebaskan diri-
nya dari prakti transaksi riba, maeysir, dan gharar. Transaksi riba diganti
dengan instrumen mudharabah (profit and loss sharing), transaksi maesyir
diganti dengan instrumen antaradhin minkum (kerelaan para pihak yang
bertransaksi), transaksi gharar diganti dengan transaksi keterbukaan.
Kemudian, pada tataran operasionalnya, instrumen tersebut terintegrasi
dengan prinsip-prinsip yang berbasis pada nilai-nilai dasar Islami, yaitu:
1. Ilahiyah (ketuhanan) adalah konsep ke-Tauhid-an sebagai puncak dari
sistem nilai dan prinsip segala prinsip tata laksana kehidupan dunia
dan akhirat.
2. Nubuwwah (kenabian).
3. Khuluqiyah (moral-etik).
4. Keadilan, yaitu prinsip keseimbangan antara hak dan kewajiban yang
dilaksanakan secara proporsional.
5. Insaniyah (Kemanusiaan), yaitu prinsip menegakkan kehormatan
manusia sebagai hamba Allah.
6. Tolong-menolong, yaitu prinsip pemberdayaan ekonomi masyarakat
bawah (mustad’afin).
7. Kekeluargaan, yaitu prinsip yang menjalin silaturrahim antar manusia
dengan landasan iman dan Islam.
8. Kerjasama, yaitu prinsip melaksanakan rencana pengembangan eko-
nomi umat dengan saling menopang satu dengan yang lainnya,
membangun keswadayaan masyarakat dan kelompok-kelompok
usaha mikro yang mandiri, berkelanjutan, dan mengakar di masyara-
kat, menciptakan akses yang lebih mudah sehingga masyarakat
miskin dan usaha mikro mampu menjangkau peluang, informasi, dan
sumber daya untuk pengembangan usaha, mengembangkan pember-
dayaan sosial masyarakat yang terpadu dalam aspek usaha ekonomi
produksi dan usaha kesejahteraan sosial pada berbagai kelompok
masyarakat.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa prinsip dasar ajaran


Islam berpusat pada prinsip tauhid yang akan berbuah pada etika Islam
sehingga mampu mewujudkan tujuan syariat (maqashid asy-syariah),
yaitu memelihara iman (faith), hidup (life), nalar (intellect), keturunan


(posterity), dan kekayaan (wealth). Dengan konsep ini, menurut Umar
Chapra, berkeyakinan bahwa sistem ekonomi dapat dibangun sejak awal
dari suatu keyakinan (iman) dan berakhir dengan kekayaan (wealth or
capital). Pada gilirannya tidak akan muncul kesenjangan ekonomi atau
perilaku ekonomi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat.

B. Sistem Nilai Dalam Islam

1. Konsep Nilai

Sebagaimana nilai-nilai dasar Islami yang diutarakan Juhaya


tersebut di atas, Dr. M. Abd El-Kader Hatem dalam Values of Islam (1999:
5), secara rinci menjabarkan tentang bangunan konsep nilai-nilai Islam
didasarkan atas 11 (sebelas) sistem nilai, yaitu:
a. Iman kepada Allah (belief in God)
b. Kemanusiaan (man)
c. Persamaan (equality)
d. Persaudaraan (fraternity)
e. Bebas dan Kebebasan (liberty and liberation)
f. Sosial dan Keadilan Ekonomi (social and Economic Justice)
g. Bimbingan
h. Etika
i. Keluarga dan Spirit Kemanusiaan dalam Islam
j. Perdamaian dan Peradaban Islam
k. Pengetahuan Islam.

Kesebelas prinsip dasar dalam membentuk konsep nilai dalam


Islam yang paling utama adalah nilai ke-Tahuhid-an. Konsep nilai Islami
yang bersumber dari Tauhid ini, kata Abdul Al-Salim Makram (2004: 4),
merupakan elemen dan ruh (yang dapat memancarkan petunjuk) bagi
keimanan. Andai tanpa itu, pondasi keimanan akan hancur dan
entitasnya menjadi rusak. Ia hanya akan menjadi nama tanpa arti dan
jasad tidak akan bergerak.
Muhammad Taqi Misbah dalam buku Monotehisme: Tauhid Sebagai
Sistem Nilai dan Akidah Islam (1996: 112), menjabarkan konsep nilai baik
secara umum maupun secara khusus. Menurutnya, istilah nilai, sebenar-
nya adalah konsep ekonomi. Hubungan suatu komoditi atau jasa


dengan barang yang mau dibayarkan orang untuk mendapatkannya
memunculkan konsep nilai. Tetapi, makna “nilai” dan “sistem nilai”,
secara khusus berbeda dengan konsep ekonomi itu, walaupun bukan tak
ada hubungan sama sekali, dan sangat boleh jadi pada mulanya ia
dipinjam dari konsep ekonomi. Misalnya, pembeli siap untuk
membayarkan sejumlah uang untuk suatu barang atau jasa yang disukai
sehingga mau membeli (membayar). Seseorang yang lapar memerlukan
makanan. Ia membutuhkan makanan dan bersedia membayar uang,
sebagai imbalannya. Jadi, tolok ukur untuk nilai ekonomi pun adalah
keinginan dan permintaan.
Dari sini dapat diambil maknanya bahwa segala yang diinginkan
dan diminta oleh manusia yang dapat memenuhi kebutuhannya atau kehendak-
nya, maka barang itu mengandung nilai. Istilah nilai dalam pengertian luas
ini diterapkan pada objek-objek maupun pada manusia dan perilakunya.
Karena itu, berbicara tentang konsep nilai tidak lepas dari dimensi
manusia. Memang secara khusus dalam konteks, nilai berhubungan erat
dengan barang dan jasa yang dikonsumsi (butuhkan). Dalam hal ini,
nilai berhubungan dengan kegunaan.
Perlu diketahui bahwa pada pelajaran dasar tentang ekonomi
konsumsi, kegunaan/nilai (utility) memiliki beberapa ragam kegunaan
yang meliputi:
a. Kegunaan unsur (element utility), artinya suatu benda memiliki
kegunaan dilihat dari unsur benda tersebut. Contoh: Terigu yang
dipergunakan untuk membuat kue.
b. Kegunaan tempat (place utility), artinya benda itu memiliki kegunaan
apabila dipakai sesuai tempatnya. Contoh: Pasir yang dipindahkan
dari sungai ke toko bangunan.
c. Kegunaan waktu (time utility), artinya benda itu memiliki kegunaan
apabila dipakai sesuai waktunya. Contoh: Payung digunakan pada
saat hujan.
d. Kegunaan bentuk (form utility), artinya benda itu memiliki kegunaan
setelah dirubah bentuknya. Contoh: Kayu gelondongan dirubah
menjadi meja.
e. Kegunaan kepemilikan (ownership utility), artinya benda itu ber-guna
jika telah dimiliki. Contoh: Mesin jahit yang dibeli dari toko mesin
jahit.


f. Kegunaan pelayanan (service utility), artinya pelayanan atau service
itu berguna jika diberikan. Contoh: Dokter mengobati pasiennya.

Teori ekonomi konvensional mengenai nilai dapat pula dipapar-


kan tokoh-tokohnya:
a. Teori Nilai Biaya (Adam Smith). Teori ini menekankan “besarnya nilai
suatu benda ditentukan oleh jumlah seluruh biaya yang dikeluarkan untuk
memproduksi barang/jasa tersebut”.
b. Teori Nilai Biaya Produksi Tenaga Kerja (David Ricardo). Teori ini lebih
menekankan “besarnya nilai suatu barang sant ditentukan oleh besarnya
upah tenaga kerja untuk memproduksi barang tersebut”.
c. Teori Nilai Tenaga Kerja Masyarakat (Karl Marx). Menurut teori ini “nilai
suatu barang ditentukan oleh besarnya biaya rata-rata upah tenaga kerja
masyarakat”.
d. Teori Nilai Biaya Reproduksi (Carey). Teori ini mencoba untuk lebih riil
bahwa suatu barang ditentukan berdasarkan biaya yang dikeluarkan bila
barang tersebut diproduksi kembali.
e. Teori Nilai Pasar (Human dan Lock). Berdasarkan teori ini, “besar kecil
nya nilai suatu barang sangat dipengaruhi oleh terbentuknya harga pasar.”
(Sumber: Nurmawan, Tanpa Tahun: 5-6)

Beberapa konsep nilai tersebut di atas hanya lebih menekankan


pada kegunaan suatu barang/jasa dari aspek ekonomis. Walaupun
David Ricardo dan Carey yang menyinggung soal peran manusia di
dalamnya. Di mana pembentukan suatu harga barang/jasa berkaitan
dengan peran serta manusia. Artinya, unsur manusia sangat penting
dalam membentuk suatu image, baik nilai secara umum maupun secara
khusus.
Dalam hal ini, Misbah menyoroti soal peran manusia bahwa setiap
orang, karena ia manusia, mempunyai nilai alami dan, dalam arti kata,
kemuliaan, sekalipun misalnya ia telah melakukan banyak pembunuhan
dan kejahatan. Namun, Islam memandang dua jenis kemuliaan manusia.
Pertama, kemuliaan umum, yang berarti bahwa setiap manusia, karena
ia manusia – tanpa peduli akan perilaku dan sikapnya – memiliki
kemuliaan, itu. Ini kemuliaan ciptaan dan nilai yang dikaruniakan Allah
Yang Maha Kuasa kepada manusia, yang tidak diberikan-Nya kepada
makhluk lain. Kemuliaan manusia ini tercermin dalam bentuk akal. Dari

10 
akal itulah muncul berbagai fenomena dan gejala kemanusiaan dan
aspek-aspek kehidupan yang melingkupinya. Allah berfirman:

‫ﻀ ْﻠﻨَﺎ ُه ْﻢ‬
َّ ‫ت َو َﻓ‬
ِ ‫ﻄِّﻴﺒَﺎ‬
َّ ‫ﻦ اﻟ‬
َ ‫ﺤ ِﺮ َو َر َز ْﻗﻨَﺎ ُه ْﻢ ِﻣ‬
ْ ‫ﺡ َﻤ ْﻠﻨَﺎ ُه ْﻢ ﻓِﻲ ا ْﻟ َﺒ ِّﺮ وَا ْﻟ َﺒ‬
َ ‫َوَﻟ َﻘ ْﺪ َآ َّﺮ ْﻣﻨَﺎ َﺑﻨِﻲ ﺁ َد َم َو‬
‫ﺧَﻠ ْﻘﻨَﺎ َﺗ ْﻔﻀِﻴﻼ‬ َ ‫ﻦ‬ ْ ‫ﻋﻠَﻰ َآﺜِﻴ ٍﺮ ِﻣ َّﻤ‬ َ
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut
mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik
dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan
makhluk yang telah Kami ciptakan”. (Q.S. Al-Isrra’, 17: 70)

Kedua, ialah yang dicapai dan dijangkau manusia sendiri dengan


kehendak dan pilihan bebasnya. Dalam kemuliaan jenis ini, manusia
tidak seluruhnya sama; hal itu hanya dinikmati oleh orang-orang
berkebajikan. Apabila orang berbuat tidak bajik, maka bukan hanya ia
tidak akan mendapatkan kemuliaan ini melainkan akan mendapatkan
anti-nilai dan jatuh sedemikian rupa sehingga mereka akan menjadi
lebih rendah dari hewan. Allah berfirman dalam Al-Qur’an, surat Al-
A’raf, ayat 179 dan surat at-Thin, ayat 4-6 yang berbunyi:

‫ﻦﻻ‬ ٌ ‫ﻋ ُﻴ‬
ْ ‫ن ِﺑﻬَﺎ َوَﻟ ُﻬ ْﻢ َأ‬
َ ‫ب ﻻ َﻳ ْﻔ َﻘﻬُﻮ‬ ٌ ‫ﺲ َﻟ ُﻬ ْﻢ ُﻗﻠُﻮ‬
ِ ‫ﻦ وَاﻹ ْﻧ‬
ِّ ‫ﺠ‬ِ ‫ﻦ ا ْﻟ‬
َ ‫ﺠ َﻬَّﻨ َﻢ َآﺜِﻴﺮًا ِﻣ‬
َ ‫َوَﻟ َﻘ ْﺪ َذ َر ْأﻧَﺎ ِﻟ‬
‫ﻚ ُه ُﻢ‬َ ‫ﻞ أُوَﻟ ِﺌ‬ ُّ ‫ﺿ‬
َ ‫ﻞ ُه ْﻢ َأ‬
ْ ‫ﻚ آَﺎﻷ ْﻧﻌَﺎ ِم َﺑ‬َ ‫ن ِﺑﻬَﺎ أُوَﻟ ِﺌ‬
َ ‫ﺴ َﻤﻌُﻮ‬
ْ ‫ن ﻻ َﻳ‬ ٌ ‫ن ِﺑﻬَﺎ َوَﻟ ُﻬ ْﻢ ﺁذَا‬َ ‫ﺼﺮُو‬ ِ ‫ُﻳ ْﺒ‬
‫ن‬
َ ‫ا ْﻟﻐَﺎ ِﻓﻠُﻮ‬
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari
jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk
memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka
mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat
Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.
Mereka itulah orang-orang yang lalai”. (Q.S. Al-A’raf, 7: 179)

sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-


baiknya . (4)

11 
Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya
(neraka), (5)

kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi
mereka pahala yang tiada putus-putusnya.

Tiga ayat di atas membuktikan bahwa peran manusia dalam


menentukan nilai dirinya sebagai manusa yang mulia dan sebaliknya
tergantung pada kualitas keimanan (spiritualitas) dan perbuatan (soft
skill). Sementara utilitas sebagai bagian kegunaan barang/jasa atas hasil
produk manusia bukti bahwa manusia berbeda dengan makhluk lain
menjadi wujud konsep nilai perbuatannya.

2. Nilai Moral

Penilaian pada moral atau moralitas pada dasarnya bermula dari


aktivitas dan tingkah laku seseorang. Karena setiap tindakan adalah
suatu sarana untuk suatu tujuan, dan tak ada tindakan yang secara
alami, dilakukan demi tindakan itu sendiri. Nilai setiap tindakan dan
keinginan terhadapnya tunduk pula pada hasil yang diperoleh dari
tindakan itu. Misalnya, orang yang berniat melakukan per-jalanan,
mengambil serangkaian tindakan, membeli tiket kendaraan, memper-
siapkan perlengkapan dan bekal untuk per-jalanan dan seterusnya. Jadi,
nilai tindakan bebas manusia tunduk pada hasil yang dimaksudkannya
sejak awal dan yang telah ditentukannya sebagai tujuan.

3. Tolok Ukur Nilai Moral

Nilai moral dalam Islam mempunyai tolok ukur yang jelas. Tolok
ukur nilai dalam pandangan Islam adalah kesempurnaan yang muncul
dalam jiwa manusia dan yang mengantarkannya kepada penyembahan
kepada Allah, mendekat kepada-Nya, dan mendapat-kan keridhaan-
Nya. Tentu saja, kesempurnaan nilai ini harus dicapai sebagai hasil dari
perbuatan bebas manusia sendiri, agar kesempurnaan ini bisa
dipandang memiliki nilai moral dan orang yang mempunyai berarti
mencapai kemuliaan yang sebenarnya dan kehormatan yang nyata.

12 
Dalam bahasa Al-Qur’an, tolok ukur nilai moral bukan dipandang dari
segi fisik-jasad, harta kekayaan, nasab dan seterusnya, tetapi karena nilai
ketaqwan kepada Allah. Lebih jelas lagi digambarkan dalam Hadits
Nabi, bahwa Allah tidak melihat pada jasad atau penampilan luar tetapi
melihat dan memandang dari segi perangai yang terpancar dari hati
yang ikhlas.

4. Nilai Kebebasan

Nilai kebebasan bukanlah semata sebagai tolok ukur sistem nilai


dari moral, melainkan sebagai bentuk dan wujud ekspresi seseorang
dalam memilih kebaikan atau keburukan. Tepatnya, sebagaimana dalam
al-Qur’an, Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk apakah
mau beriman atau kafir. Beriman berarti nilai etisnya adalah
kepercayaan kepada Allah SWT, sementara kafir nilai etisnya adalah
mengingkari-Nya. Al-Qur’an surat al-Kahfi, ayat 29 yang berbunyi:
‫ﻦ ﺷَﺎ َء َﻓ ْﻠ َﻴ ْﻜ ُﻔ ْﺮ‬
ْ ‫ﻦ َو َﻣ‬
ْ ‫ﻦ ﺷَﺎ َء َﻓ ْﻠ ُﻴ ْﺆ ِﻣ‬
ْ ‫ﻦ َرِّﺑ ُﻜ ْﻢ َﻓ َﻤ‬
ْ ‫ﻖ ِﻣ‬
ُّ ‫ﺤ‬
َ ‫ﻞ ا ْﻟ‬
ِ ‫َو ُﻗ‬
Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka
barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa
yang ingin (kafir) biarlah ia kafir".

C. Sistem Ekonomi Islam

Sistem ekonomi Islam memiliki pijakan yang sangat tegas jika


dibandingkan dengan sistem ekonomi liberal dan sosialis yang saat ini
mendominasi sistem perekonomian dunia. Sistem ekonomi liberal lebih
menghendaki suatu bentuk kebebasan yang tidak terbatas bagi individu
dalam memperoleh keuntungan (keadilan distributif), dan sosialisme
menekankan aspek pemerataan ekonomi (keadilan yang merata),
menentang perbedaan kelas sosial dan menganut asas kolektivitas.
Sistem ekonomi Islam mengutamakan aspek hukum dan etika,
yakni adanya keharusan menerapkan prinsip-prinsip hukum dan etika
bisnis yang Islami, antara lain prinsip ibadah (at-tauhid), persamaan (al-
musawwat), kebebasan (al-hurriyah), keadilan (al-‘adl), tolong-menolong
(at-ta’awun), dan toleransi (at-tasamuh). Prinsip-prinsip tersebut merupa-
kan pijakan dasar dalam sistem ekonomi Islam, sedang kan etika bisnis
mengatur aspek hukum kepemilikan, pengelolaan dan pendistribusian

13 
harta, yakni menolak monopoli, eksploitasi, dan diskriminasi serta
menuntut keseimbangan antara hak dan kewajiban. (Ahmad Hasan
Ridwan, 2013: 6)
Dan untuk lebih jelasnya pada sub bagian ini akan diringkaskan
penjelasan umum tentang Sistem Ekonomi Islam yang dikutipkan dari
tulisan Mohammad Naeem Khan berjudul Islamic Economic System,
sebagai berikut:

1. Divine Economic Plan (Rencana Ekonomi Ketuhanan)


Islam merupakan ekosistem dari (a) ilmu ekonomi, (b) ilmu alam, (c)
ilmu sosial, dan (d) ilmu agama (spiritual) untuk kemajuan kesejah-
teraan manusia dan keadilan. Sistem ekonomi Islam didasarkan atas
prinsip-prinsip nonribawi sebagaimana telah diatur.
2. Mission of Islam
Dalam sistem ekonomi Islam, Allah SWT menciptakan manusia
sebagai individu untuk dikontrak (mengikat). Hal ini dijelaskan
dalam surat at-Taubah, ayat 9 Allah berfirman.

‫ن ﻓِﻲ‬ َ ‫ﺠَّﻨ َﺔ ُﻳﻘَﺎ ِﺗﻠُﻮ‬


َ ‫ن َﻟ ُﻬ ُﻢ ا ْﻟ‬
َّ ‫ﺴ ُﻬ ْﻢ َوَأ ْﻣﻮَاَﻟ ُﻬ ْﻢ ِﺑَﺄ‬
َ ‫ﻦ َأ ْﻧ ُﻔ‬
َ ‫ﻦ ا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣﻨِﻴ‬َ ‫ﺷ َﺘﺮَى ِﻣ‬ ْ ‫ن اﻟَّﻠ َﻪ ا‬ َّ ‫ِإ‬
‫ن‬
ِ ‫ﻞ وَا ْﻟ ُﻘﺮْﺁ‬ ِ ‫ﺡ ًﻘّﺎ ﻓِﻲ اﻟَّﺘ ْﻮرَا ِة وَاﻹ ْﻧﺠِﻴ‬ َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ‬َ ‫ﻋﺪًا‬ ْ ‫ن َو‬ َ ‫ن َو ُﻳ ْﻘ َﺘﻠُﻮ‬
َ ‫ﻞ اﻟَّﻠ ِﻪ َﻓ َﻴ ْﻘ ُﺘﻠُﻮ‬ ِ ‫ﺳﺒِﻴ‬َ
‫ﻚ ُه َﻮ ا ْﻟ َﻔ ْﻮ ُز‬
َ ‫ﺸﺮُوا ِﺑ َﺒ ْﻴ ِﻌ ُﻜ ُﻢ اَّﻟﺬِي ﺑَﺎ َﻳ ْﻌ ُﺘ ْﻢ ِﺑ ِﻪ َو َذِﻟ‬ ِ ‫ﺳ َﺘ ْﺒ‬ْ ‫ﻦ اﻟَّﻠ ِﻪ ﻓَﺎ‬َ ‫ﻦ َأ ْوﻓَﻰ ِﺑ َﻌ ْﻬ ِﺪ ِﻩ ِﻣ‬ ْ ‫َو َﻣ‬
‫ا ْﻟ َﻌﻈِﻴ ُﻢ‬
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan
harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang
pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi)
janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an. Dan
siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka
bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah
kemenangan yang besar”. (Q.S. At-Taubah, 9: 111)

14 
Dari ayat di atas, menjelaskan misi Islam yaitu sebagaimana di-
gambarkan 1.3 berikut ini:

3. Target of Islam
Dalam sistem ekonomi Islam, target Islam menurut Mohammad
Naeem Khan termaktub dalam al-Qur’an, surat al-Hajj, ayat 41, surat
Nuur, ayat 55 dan surat al-Baqarah, ayat 277. Hal ini dapat di-
gambarkan 1.4 sebagai berikut:

15 
Adapun ayat-ayat tersebut di atas dapat diuraikan sebagai berikut:

‫ف‬
ِ ‫ﺼّﻼ َة وَﺁ َﺗﻮُا اﻟ َّﺰآَﺎ َة َوَأ َﻣﺮُوا ﺑِﺎ ْﻟ َﻤ ْﻌﺮُو‬
َ ‫ض َأﻗَﺎﻣُﻮا اﻟ‬
ِ ‫ن َﻣ َّﻜ َﻨّﺎ ُه ْﻢ ﻓِﻲ اﻷ ْر‬ ْ ‫ﻦ ِإ‬
َ ‫اَّﻟﺬِﻳ‬
‫ﻦ ا ْﻟ ُﻤ ْﻨ َﻜ ِﺮ َوِﻟَّﻠ ِﻪ ﻋَﺎ ِﻗ َﺒ ُﺔ اﻷﻣُﻮ ِر‬
ِ‫ﻋ‬َ ‫َو َﻧ َﻬﻮْا‬
(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka
bumi, niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyu-
ruh berbuat yang makruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan
kepada Allah-lah kembali segala urusan. (Q.S. Al-Hajj, 22: 41)

‫ض َآﻤَﺎ‬ ِ ‫ﺨِﻠ َﻔَّﻨ ُﻬ ْﻢ ﻓِﻲ اﻷ ْر‬ ْ ‫ﺴ َﺘ‬


ْ ‫ت َﻟ َﻴ‬
ِ ‫ﺼّﺎِﻟﺤَﺎ‬
َ ‫ﻋ ِﻤﻠُﻮا اﻟ‬ َ ‫ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ َو‬ َ ‫ﻋ َﺪ اﻟَّﻠ ُﻪ اَّﻟﺬِﻳ‬
َ ‫َو‬
‫ﻦ‬
ْ ‫ﻦ َﻟ ُﻬ ْﻢ دِﻳ َﻨ ُﻬ ُﻢ اَّﻟﺬِي ا ْر َﺗﻀَﻰ َﻟ ُﻬ ْﻢ َوَﻟ ُﻴ َﺒ ِّﺪَﻟَّﻨ ُﻬ ْﻢ ِﻣ‬
َّ ‫ﻦ َﻗ ْﺒِﻠ ِﻬ ْﻢ َوَﻟ ُﻴ َﻤ ِّﻜ َﻨ‬
ْ ‫ﻦ ِﻣ‬
َ ‫ﻒ اَّﻟﺬِﻳ‬َ ‫ﺨَﻠ‬ ْ ‫ﺳ َﺘ‬
ْ‫ا‬
‫ﻚ ُه ُﻢ‬َ ‫ﻚ َﻓﺄُوَﻟ ِﺌ‬ َ ‫ﻦ َآ َﻔ َﺮ َﺑ ْﻌ َﺪ َذِﻟ‬ْ ‫ﺷ ْﻴﺌًﺎ َو َﻣ‬
َ ‫ن ﺑِﻲ‬ َ ‫ﺸ ِﺮآُﻮ‬ ْ ‫ﺧ ْﻮ ِﻓ ِﻬ ْﻢ َأ ْﻣﻨًﺎ َﻳ ْﻌ ُﺒﺪُو َﻧﻨِﻲ ﻻ ُﻳ‬ َ ‫َﺑ ْﻌ ِﺪ‬
‫ن‬
َ ‫ﺳﻘُﻮ‬ ِ ‫ا ْﻟﻔَﺎ‬
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu
dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan
Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada
dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku
dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang
siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang
yang fasik”. (Q.S. An-Nuur, 24: 55)

‫ﺟ ُﺮ ُه ْﻢ‬
ْ ‫ﺼّﻼ َة وَﺁ َﺗﻮُا اﻟ َّﺰآَﺎ َة َﻟ ُﻬ ْﻢ َأ‬
َ ‫ت َوَأﻗَﺎﻣُﻮا اﻟ‬ِ ‫ﺼّﺎِﻟﺤَﺎ‬
َ ‫ﻋ ِﻤﻠُﻮا اﻟ‬ َ ‫ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا َو‬
َ ‫ن اَّﻟﺬِﻳ‬َّ ‫ِإ‬
‫ن‬
َ ‫ﺤ َﺰﻧُﻮ‬
ْ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ وَﻻ ُه ْﻢ َﻳ‬
َ ‫ف‬
ٌ ‫ﺧ ْﻮ‬
َ ‫ﻋ ْﻨ َﺪ َرِّﺑ ِﻬ ْﻢ وَﻻ‬
ِ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh,
mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di
sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati”. (Q.S. Al-Baqarah, 2: 277)
4. Economic Principles of Islam
Prinsip ekonomi Islam secara garis besar dapat digambarkan 1.5
sebagai berikut:

16 
Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an, surat al-Baqarah, ayat 275
dan 279, sebagai berikut:

‫ﺡ َّﺮ َم اﻟ ِّﺮﺑَﺎ‬
َ ‫ﻞ اﻟَّﻠ ُﻪ ا ْﻟ َﺒ ْﻴ َﻊ َو‬
َّ ‫ﺡ‬
َ ‫َوَأ‬
“dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (usury).

‫س َأ ْﻣﻮَاِﻟ ُﻜ ْﻢ ﻻ‬
ُ ‫ن ُﺗ ْﺒ ُﺘ ْﻢ َﻓَﻠ ُﻜ ْﻢ ُرءُو‬
ْ ‫ﻦ اﻟَّﻠ ِﻪ َو َرﺳُﻮِﻟ ِﻪ َوِإ‬
َ ‫ب ِﻣ‬
ٍ ‫ﺤ ْﺮ‬
َ ‫ن َﻟ ْﻢ َﺗ ْﻔ َﻌﻠُﻮا َﻓ ْﺄ َذﻧُﻮا ِﺑ‬
ْ ‫َﻓِﺈ‬
‫ن‬
َ ‫ﻈَﻠﻤُﻮ‬ْ ‫ن وَﻻ ُﺗ‬ َ ‫ﻈِﻠﻤُﻮ‬ ْ ‫َﺗ‬
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”.

5. Dimension of Islamic Economic System

a. Tujuan utama dalam Islam adalah sistem spiritual (meningkat-kan


ketaqwaan/kehendak bebas);
b. Sistem hukum untuk menjaga hak asasi manusia;
c. Menjaga kekayaan dan pendapatan yang diperoleh secara legal
dan sesuai dengan syar’i;
d. Fokus sistem Islam memaksimalkan keuntungan sosial membatasi
kebebasan yang berlebihan, terutama dari mereka yang paling
kaya dan sangat kuat. Oleh karena itu, Islam membuat keadilan
merata dan saling membantu sama lain.

17 
Dari empat dimensi inilah sistem ekonomi Islam dibangun. Hal ini
dapat digambarkan 1.6 sebagai berikut:

6. Status of Sources of Income


Islam mengenal kewirausahaan (pertanian, perdagangan, perindus-
trian, dan pelayanan jasa) sebagai sumber pendapatan yang baik.
Kewirausahaan dapat diartikan sebagai sebuah kegiatan ekonomi
yang memerlukan usaha dan berisiko rugi. Buruh atau tenaga kerja
adalah pekerjaan yang baik. Adapun status sumber-sumber pendapat
dapat diidentifikasi sebagai berikut:
Gambar 1.7 Status Sumber Pendapatan

18 
7. Distribution Channels

Islam menjelaskan bagaimana cara mendistribusikan kekayaan. Hal


yang luar biasa dalam Islam adalah bagaimana cara pendistribusian
kekayaan untuk kesejahteraan atau membantu mustad’afin (orang
yang miskin-lemah), atau pembayar pajak pada pemerintah adalah
suatu bentuk ibadah. Adalah zakat dan infak sebagai bentuk
pendistribusian kekayaan.

19 
BAB II
KONSEP ETIKA BISNIS ISLAMI

A. Pengertian Etika Bisnis Islami

Jika ditelusuri secara historis, etika adalah cabang filsafat yang


mencari hakikat nilai-nilai baik dan buruk yang berkaitan dengan
perbuatan dan tindakan seseorang, yang dilakukan dengan penuh
kesadaran berdasarkan pertimbangan pemikirannya. Persoalan etika
adalah persoalan yang berhubungan dengan eksistensi manusia, dalam
segala aspeknya, baik individu maupun masyarakat, baik dalam
hubungannya dengan Tuhan (‫)ﺣﺒﻞ ﻣﻦ اﷲ‬, dengan sesama manusia dan
dirinya (‫)ﺣﺒﻞ ﻣﻦ اﻝﻨﺎس‬, maupun dengan alam (‫ )ﺣﺒﻞ ﻣﻦ اﻝﻌﻠﻢ‬di sekitarnya, baik
dalam kaitannya dengan eksistensi manusia di bidang sosial, ekonomi,
politik, budaya maupun agama. (Musa Asy’ari, 2001: 92)
Dalam bahasan ini, secara khusus kajian etika akan diintegrasikan
dengan eksistensi manusia di bidang ekonomi dalam perspektif agama,
yaitu etika bisnis Islami. Dimana secara harfiah, etika bisnis Islami
mengandung istilah dan pengertiannya masing-masing, yaitu; kata
‘etika’, ‘bisnis’, dan ‘Islam’ itu sendiri. Sebelum menjadi satu kesatuan
makna, “Etika Bisnis Islami”, tentunya perlu diketahui terlebih dahulu
masing-masing dari pengertian kata-kata tersebut.

1. Etika (Akhlak)

Seringkali muncul pertanyaan apa yang dimaksud dengan per-


buatan etis, bermoral (akhlaki)? Bagaimana perbuatan seseorang dapat
dikatakan berakhlak? Pertanyaan seperti ini tampaknya sangat
sederhana sekali. Jawabannya tampak sangat mudah. Akan tetapi,

20 
dengan memahami permasalahan ini lebih detail, akan ditemukan
jawaban yang – di samping tidak semudah sebagaimana tampaknya –
merupakan bahasan paling rumit dalam dunia filsafat, sebagaimana
tersebut di atas. Namun secara bahasa dapat kita temukan, paling tidak
kejelasan makna dari akhlak itu sendiri, khususnya ketika pembicara-
annya difokuskan pada ajaran Islam.
Kata “Akhlaq” berasal dari bahasa Arab yang sudah di Indonesia-
kan; yang juga diartikan dengan istilah perangai atau kesopanan. Kata
‫ أﺧﻼق‬adalah jama’ taksir dari kata ‫ﺧﻠﻖ‬, sebagaimana halnya kata ‫أﻋﻨﺎق‬
adalah jama’ taksir dari kata ‫ﻋﻨﻖ‬, yang artinya batang leher.
Ahli bahasa Arab sering menyamakan arti “Akhlaq” dengan
istilah: ‫اﻝﻄﺒﻊ‬, ‫اﻝﺴﺠﻴﺔ‬, ‫اﻝﻌﺎدة‬, ‫ اﻝﻤﺮوءة‬dan ‫ اﻝﺪیﻦ‬yang kesemuanya diartikan
dengan watak, kesopanan, perangai, kebiasaan dan sebagainya,
(Mahjuddin, 1996: 2). Jadi, secara etimologis (lughatan) “Akhalq” adalah
budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Berakar dari kata khalaqa
yang berarti menciptakan. Seakar dengan kata Khaliq (Pencipta), makhluq
(yang diciptakan) dan khalq (penciptaan).
Kesamaan akar kata di atas mengisyaratkan bahwa dalam akhlaq
tercakup pengertian terciptanya keterpaduan antara kehendak Khaliq
(Tuhan) dengan peri laku makhluq (manusia). Atau dengan kata lain, tata
perilaku seseorang terhadap orang lain dan lingkungan dan pekerjaan
(profesi)nya baru mengandung nilai akhlak yang hakiki manakala
tindakan atau perilaku tersebut didasarkan kepada kehendak Khaliq
(Tuhan). Dari pengertian etimologis seperti ini, akhlaq bukan saja
merupakan tata aturan atau norma perilaku yang mengatur hubungan
antara sesama manusia, tetapi juga norma yang mengatur hubungan
antara manusia dengan Tuhan dan bahkan dengan alam semesta
sekalipun termasuk pekerjannya.
Secara terminologis (isthilahan), para ulama Ilmu Akhlaq merumus-
kan pengertian akhlaq dengan berbeda-beda tinjauan yang dikemuka-
kannya. Penulis pilihkan 5 (lima) di antaranya:

21 
Tabel 2.1
Beberapa Pengertian Akhlak Para Ahli

No. Nama Pengertian Akhlak


1 Muhammad bin “Akhlaq adalah suatu pembawaan dalam diri
‘Ilaan Ash- manusia yang dapat menimbul kan perbuatan
Shadiqy baik, dengan cara yang mudah (tanpa dorongan
dari orang lain)”
2 Abu Bakar Jabir “Akhlaq adalah bentuk kejiwaan yang tertanam
al-Jazairy dalam diri manusia, yang menimbulkan
perbuatan baik dan buruk, terpuji dan tercela
dengan cara yang disengaja”
3 Imam al-Ghazali “Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam
jiwa (manusia), yang dapat melahirkan suatu
perbuatan yang gampang dilakukan tanpa
melalui maksud untuk memikirkan (lebih lama).
Maka jika sifat tersebut melahirkan suatu
tindakan yang terpuji menurut ketentuan akal
dan norma agama, di-namakan akhlak yang baik.
Tapi manakala ia melahirkan tindakan yang
jahat, maka dinamakan akhlak yang buruk”
4 Ibrahim Anis “Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa,
yang dengannya lahirlah macam-macam
perbuatan baik, atau buruk, tanpa membutuhkan
pemikiran dan per-timbangan”.
5 Abdul Karim “Akhlak adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang
Zaidan tertanam dalam jiwa, yang dengan sorotan dan
timbangannya seseorang dapat menilai
perbuatannya baik atau buru, untuk kemudian
memilih melakukan atau meninggalkan nya”.

Kelima definisi tersebut di atas sepakat menyatakan bahwa akhlak


atau khuluq itu adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga
dia akan muncul secara spontan bilamana diperlukan, tanpa memerlu-
kan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu, serta tidak memerlukan

22 
dorongan dari luar. Dalam Mu’jam al-Wasith disebutkan min ghairi hajah
ila fikr wa ru’yah (tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan).
Sifat spontanitas dari akhlak tersebut dapat diilustrasikan dalam
contoh berikut ini. Bila seseorang menyumbang dalam jumlah besar
untuk pembangunan mesjid setelah mendapat dorongan dari seorang
da’i (yang mengemukakan ayat-ayat dan hadits-hadits tentang
keutamaan membangun mesjid di dunia), maka orang tadi belum bisa
dikatakan mempunyai sifat pemurah, karena kemurahannya waktu itu
lahir setelah mendapat dorongan dari luar, dan belum tentu muncul lagi
pada kesempatan yang lain.
Boleh jadi, tanpa dorongan seperti itu, dia tidak akan menyum-
bang, atau kalau pun menyumbang hanya dalam jumlah sedikit. Tapi
manakala tidak ada dorongan pun dia tetap menyumbang, kapan dan di
mana saja, barulah bisa di katakan dia mempunyai sifat pemurah.
Contoh lain, dalam menerima tamu. Bila seseorang membeda-bedakan
tamu yang satu dengan yang lain, atau kadangkala ramah dan kadang-
kala tidak, maka orang tadi belum bisa dikatakan mempunyai sifat
memuliakan tamu. Sebab seseorang yang mempunyai akhlak memulia-
kan tamu, tentu akan selalu memuliakan tamunya.
Dari keterangan di atas jelaslah bagi kita bahwa akhlak itu harus-
lah bersifat konstan, spontan, tidak temporer dan tidak memerlukan
pemikiran dan pertimbangan serta dorongan dari luar. Sekalipun dari
beberapa definisi di atas kata akhlak bersifat netral, belum menunjuk
kepada baik dan buruk, tapi pada umumnya apabila disebut sendirian,
tidak dirangkai dengan sifat tertentu, maka yang dimaksud adalah
akhlak yang mulia. Misalnya bila seseorang berlaku tidak sopan kita
mengatakan padanya, “kamu tidak berakhlak”. Padahal tidak sopan itu
adalah akhlaknya. Tentu yang kita maksud adalah kamu tidak memiliki
akhlak mulia, dalam hal ini sopan.
Di samping istilah akhlak, juga dikenal istilah etika dan moral.
Ketiga istilah itu sama-sama menentukan nilai baik dan buruk sikap dan
perbuatan manusia. Perbedaannya terletak pada standar masing-masing.
Bagi akhlak standarnya adalah al-Qur’an dan Sunnah; bagi etika
standarnya pertimbangan akal pikiran; dan bagi moral standarnya adat
kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat. (Yunahar Ilyas, 1999: 3)

23 
Dilihat dari segi asal usulnya pun berbeda, meskipun ada ke-
samaan arti bahwa kata “Etika” (Ethos) adalah istilah Yunani; yang
berarti adat, watak atau kesusilaan, yang dalam bentuk jamaknya (ta
etha). Dalam pengertian ini, etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang
baik, baik pada diri seseorang maupun pada suatu masyarakat atau
kelompok masyarakat.
Etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan
hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari
satu orang ke orang yang lain atau dari satu generasi ke generasi yang
lain. Kebiasaan ini lalu terungkap dalam perilaku berpola yang terus
berulang sebagai sebuah kebiasaan. Jadi secara linguistik, kata etik atau
ethics berasal dari bahasa Yunani: “etos” yang berarti adat, kebiasaan,
perilaku atau karakter yang berlaku dalam hubungannya dengan suatu
kegiatan manusia pada suatu golongan tertentu, kelompok tertentu dan
budaya tertentu. (Marfuah Sri Sanityastuti, dkk. 2009: 48)
Menurut Kamus Webster, “etik” adalah suatu ilmu yang mem-
pelajari tentang apa yang baik dan buruk secara moral. Adapun “etika”
adalah ilmu tentang kesusilaan yang menentukan bagaimana sepatut-
nya manusia hidup di dalam masyarakat yang menyangkut aturan-
aturan atau prinsip-prinsip yang menentukan tingkah laku yang benar,
yaitu: (1) baik & buruk, dan (2) Kewajiban & tanggung-jawab.
Sedangkan “Moral” (Mos) yang jama’nya “Custom”, atau “Mores”
adalah kata Latin; yang berarti adat atau cara hidup. Tapi kemudian etika
atau “ethics” ber kembang artinya menjadi sebuah bidang kajian filsafat
atau ilmu pengetahuan tentang moral atau moralitas. Moralitas adalah
kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan
itu benar atau salah, baik atau buruk. (M. Dawam Rahardjo, 1990: 3)
Moralitas mencakup pengertian tentang baik-buruknya perbuatan
manusia. Lawan dari moral atau moralitas adalah amoral, nonmoral yang
berarti tidak mempunyai hubungan dengan moral atau tidak
mempunyai arti moral. Begitu pula inmoral, artinya moral buruk, (buruk
secara moral).
Di sini, moralitas menunjuk kepada perilaku manusia itu sendiri.
Dengan demikian, maka etika adalah suatu penyelidikan atau peng-
kajian secara sistematis tentang perilaku. Pertanyaan utama dalam etika

24 
adalah, tindakan dan sikap apa yang dianggap benar atau baik. Untuk
lebih jelasnya tentang masalah etika, berikut skema etika:
Gambar 1.1
Skema Etika

Dari sistematika di atas, kita bisa melihat bahwa etika bisnis secara
khusus harus berujung pada tindakan konkrit, yaitu bermoral. Artinya,
Kehidupan manusia memerlukan moral. Tanpa moral, kehidupan
manusia tidak mungkin berlangsung. Keberadaan alam benda dan alam
hayati di luar manusia, berlangsung secara mekanis dan diatur oleh
“hukum-hukum alam”. Untuk sebagian manusia keberadaan manusia
juga di atur oleh hukum-hukum itu. Tapi, berbeda dengan alam benda
dan makhluk hidup lainnya, kehidupan manusia juga diatur berdasarkan
“hukum-hukum social” atau “hukum-hukum sejarah”.
Dan manusia, berbeda dengan makhluk lainnya, tidak hanya
“diatur” melainkan juga mengatur yang lain dan kehidupannya sendiri.
Manusia adalah khalifah Allah, (Q.S. Al-Baqarah, 2: 30). Ia diberi
kelengkapan dalam menjalani hidup ini dengan akalnya. Akal inilah
yang memberinya kemampuan untuk mengatur. Khalifah tidak lain
adalah suatu makhluk yang mengatur dan mengelola makhluk yang lain
dan kehidupannya sendiri.
Manusia mengatur kehidupannya dengan berbagai norma. Berasal
dari bahasa Latin “norma”, norma yang sudah menjadi bahasa kita

25 
sehari-hari ini, artinya yang asli adalah “alat penyiku” yang digunakan
oleh tukang kayu dan se bagai bahasa ungkapan, menjadi berarti ukuran
yang dipergunakan sebagai pedoman atau aturan dan akhirnya menjadi
kebiasaan.
Norma adalah sesuatu yang sudah pasti yang dapat kita pakai
untuk membandingkan sesuatu yang lain yang kita ragukan hakikatnya,
besar-kecilnya, ukurannya, atau kualitasnya. Jadi, norma moralitas
adalah aturan, standar, atau ukuran yang dapat kita gunakan untuk
mengukur kebaikan atau keburukan suatu perbuatan. Suatu perbuatan
yang secara positif sesuai ukurannya dapat disebut moral baik. Apabila
secara positif tidak sesuai ukurannya dapat disebut moral buruk
(immoral). (W. Poespoprodjo, 1999: 134)
Salah satu norma yang terpenting dalam kehidupan manusia
adalah norma moral (akhlak or etika). Memang benar, bahwa dengan
norma moral saja belum cukup dan masyarakat kemudian menciptakan
norma hukum. Tapi norma hukum ini tidak mungkin tegak tanpa norma
moral, yang seperti yang telah dijelaskan di muka, adalah adat atau
kebiasaan yang telah terinternalisasikan, sehingga norma itu ditaati
tanpa rasa terpaksa (sebagaimana definisi akhlak di muka). Norma atau
ajaran moral, tidak lain adalah sesuatu yang ditetapkan oleh manusia
untuk mengatur hidupnya, agar hidup ini dapat berlangsung dengan
sendirinya seperti yang dikehendakinya. (M. Dawam Rahadjo, 1990: 6)
Akan tetapi norma moral atau moralitas, perlu pemeliharaan.
Etika, tidak lain adalah sebuah bidang kegiatan pemikiran manusia
untuk memelihara moral ini. Untuk memeliharanya diperlukan prinsip-
prinsip tertentu. Prinsip-prinsip itu ditemukan dalam kehidupan itu
sendiri. Dari pengalaman hidup, terutama dari tuntutan-tuntutan hidup,
seperti; tuntutan fisik, psikologis, social, politik, intelektual dan akhir-
akhir ini ditemukan orang mengenai tuntutan lingkungan hidup dan
kelangsungan hidup manusia itu sendiri (yang disadari karena timbul-
nya ancaman, baik yang bersumber dari perkembangan alami atau akibat
ulah dan upaya manusia untuk “membangun”, orang atau masyarakat
menemukan apa yang dianggap sebagai “prima facie”, atau yang paling
utama dalam hidup ini. Karena itu, moral bukan suatu ilmu, tetapi
merupakan suatu perbuatan manusia. (Mahjuddin, 1996: 7)

26 
Jadi, dalam sistem moralitas, baik dan buruk dijabarkan secara
kronologis mulai yang paling abstrak hingga lebih operasional. Nilai
merupakan perangkat moralitas yang paling abstrak. Nilai adalah suatu
perangkat keyakinan atau pun perasaan yang diyakini sebagai suatu
identitas yang memberikan corak khusus kepada pola pemikiran,
perasaan, keterikatan dan perilaku. Misalnya, nilai adalah Ketuhanan,
kemanusiaan, dan keadilan.
Sedangkan moral adalah penjabaran dari nilai, tapi tidak seopera-
sional etika. Contoh saja ke-36 butir P-4 disebut sebagai Moral Pancasila
karena merupakan penjabaran dari nilai Pancasila. Adapun etika
merupakan penjabaran dari moral dalam bentuk formula, peraturan,
atau ketentuan pelaksanaan. Misalnya saja etika belajar, etika mengajar,
etika dokter, kode etik dosen, dan sejenisnya. (Syahidin, 2009: 239)
Jadi moral, etika dan nilai jika dilihat dari sumber pada hakikatnya
bermuara pada wahyu Ilahi ataupun berasal dari budaya. Meskipun etika
lebih merupakan kesepakatan masyarakat pada suatu waktu dan di
tempat tertentu. Bila suatu masyarakat bercorak religius, maka etika
yang dikembangkan pada masyarakat demikian tentu akan bercorak
religius pula. Akan tetapi bila suatu masyarakat bercorak sekuler, maka
etika yang dikembangkannya tentu saja merupakan konkretisasi dari
jiwa sekuler, kapitalis, dan sejenisnya.
Dengan demikian, moral dan etika, menurut Syahidin, dapat saja
sama dengan akhlak manakala sumber ataupun produk budaya sesuai
dengan prinsip-prinsip akhlak. Akan tetapi moral dan etika bisa juga
bertentangan dengan akhlak manakala produk budaya itu menyimpang
dari fitrah ajaran agama Islam. Jadi, etika Barat bertitik tolak dari akal
pikiran manusia, yaitu akal pikiran para ahli filsafat. Sedang, etika Islam
bersumber dari al-Qur’an dan Hadits Rasul Allah saw yang menjadi
dasar etika Barat tentang perbuatan baik dan buruk, yang berbeda dari
seorang ke orang lain. Sedangkan yang menjadi dasar etika Islam ialah iman
dan takwa kepada Allah SWT. (Marfuah Sri Sanityastuti, dkk. 2009: 49)

27 
Gambar 2.2
Istilah Akhlak-Ihsan

2. Bisnis (Perdagangan)

Bisnis dengan segala bentuknya ternyata tanpa disadari telah


terjadi dan menyelimuti aktivitas dan kegiatan kita setiap harinya. Sejak
mulai bangun tidur sampai tidur lagi tak bisa terlepas dari cakupan
bisnis.
Kata “Bisnis” dalam Bahasa Indonesia diserap dari kata “Business”
dari Bahasa Inggris yang berarti kesibukan. Kesibukan secara khusus
berhubungan dengan orientasi profit/keuntungan. Menurut Buchari
Alma, (2007: 5), pengertian bisnis tujukan pada sebuah kegiatan
berorientasi profit yang memproduksi barang dan atau jasa untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat. Bisnis juga dapat diartikan sebagai
suatu lembaga yang menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh
masyarakat.
Secara etimologi, bisnis berarti keadaan dimana seseorang atau
sekelompok orang sibuk melakukan pekerjaan yang menghasilkan
keuntungan. Kata “bisnis” sendiri memiliki tiga penggunaan, tergantung
skupnya – penggunaan singular kata bisnis dapat merujuk pada badan
usaha, yaitu kesatuan yuridis (hukum), teknis, dan ekonomis yang
bertujuan mencari laba atau keuntungan.
Penggunaan yang lebih luas dapat merujuk pada sektor pasar
tertentu, missal nya “bisnis pertelevisian.” Penggunaan yang paling luas

28 
merujuk pada seluruh aktivitas yang dilakukan oleh komunitas penyedia
barang dan jasa. Meskipun demikian, definisi “bisnis” yang tepat masih
menjadi bahan perdebatan hingga saat ini.
Bisnis dalam arti luas adalah istilah umum yang menggambarkan
semua aktivitas dan institusi yang memproduksi barang & jasa dalam
kehidupan sehari-hari. Bisnis merupakan suatu organisasi yang
menyediakan barang dan jasa yang bertujuan untuk mendapatkan
keuntungan. (Griffin & Ebert)
Musselman dan Jackson (1992) mereka mengartikan bahwa bisnis
adalah suatu aktivitas yang memenuhi kebutuhan dan keinginan
ekonomis masyarakat, perusahaan yang diorganisasikan untuk terlibat
dalam aktivitas tersebut.
Gloss, Steade dan Lowry (1996) mereka mengartikan bahwa bisnis
adalah jumlah seluruh kegiatan yang diorganisir oleh orang-orang yang
berkecimpung dalam bidang perniagaan dan industri yang menyediakan
barang dan jasa untuk kebutuhan mempertahankan dan memperbaiki
standar serta kualitas hidup mereka.
Allan Afuah (2004) beliau mengartikan bahwa bisnis merupakan
sekumpulan aktivitas yang dilakukan untuk menciptakan dengan cara
mengembangkan dan mentransformasikan berbagai sumber daya men-
jadi barang atau jasa yang di inginkan konsumen.
Steinford mengartikan bisnis sebagai suatu lembaga yang meng-
hasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat. Menurut
Steinford, jika kebutuhan masyarakat meningkat, lembaga bisnis pun
akan meningkat perkembangannya untuk memenuhi kebutuhan tersebut
sambil memperoleh laba.
Mahmud Machfoedz juga berpendapat bahwa bisnis adalah suatu
usaha perdagangan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang ter-
organisasi agar bisa mendapatkan laba dengan cara memproduksi dan
menjual barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
T. Chwee (1990) mendefinisikan istilah bisnis sebagai sesuatu
sistem yang memproduksi barang dan jasa untuk memuaskan kebutuhan
masyarakat. Semen-tara itu, menurut Grifin dan Ebert, bisnis adalah
suatu organisasi yang menyedia-kan barang atau jasa yang bertujuan
untuk mendapatkan keuntungan.

29 
Griffin dan Ebert (1996) mengartikan bisnis sebagai aktivitas yang
menyediakan barang atau jasa yang diperlukan atau diinginkan oleh
konsumen. Dapat dilakukan oleh organisasi perusahaan yang memiliki
badan hukum, perusahaan yang memiliki badan usaha, maupun
perorangan yang tidak memiliki badan hukum maupun badan usaha
seperti pedagang kaki lima, warung yang tidak memiliki Surat Izin
Tempat Usaha (SITU) dan Surat Izin Tempat Usaha (SIUP) serta usaha
informal lainnya.
Hughes dan Kapoor, keduanya mengartikan bisnis adalah
aktivitas melalui penyediaan barang dan jasa bertujuan untuk
menghasilkan profit (laba). Suatu perusahaan dikatakan menghasilkan
laba apabila total penerimaan pada suatu periode (Total Revenues) lebih
besar dari total biaya (Total Costs) pada periode yang sama. Laba
merupakan daya tarik utama untuk melakukan kegiatan bisnis, sehingga
melalui laba pelaku bisnis dapat mengembangkan skala usahanya untuk
meningkatkan laba yang lebih besar.
Dari pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa bisnis
adalah kegiatan yang dilakukan individu atau sekelompok orang
(organisasi) yang menciptakan nilai (create value) melalui penciptaan
barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan memper-
oleh keuntungan melalui transaksi
Bisnis adalah bagian dari kegiatan ekonomi yang berarti usaha.
Bagian dari kegiatan ekonomi, bisnis merupakan aspek penting dalam
kehidupan yang pasti semua orang mengenalnya karena itu ada sebuah
adigium, bisnis adalah bisnis. Bisnis jangan dicampurkan dengan etika.
Demikianlah beberapa ungkapan yang sering kita dengar tentang
hubungan antara bisnis dengan etika sebagai dua hal yang terpisah satu
sama lain. Inilah ungkapan-ungkapan yang oleh Richard De George
disebut sebagai Mitos Bisnis Moral. Sementara, Adam Smith, orang
pertama yang dianggap sebagai bapak ekonomi menekankan pada aspek
moral dalam kaitannya dengan ekonomi diistilahkan dengan sebutan
invisible hand. Ini artinya, landasan moral dalam dunia ekonomi dan
bisnis adalah sangat urgen, apalagi dunia bisnis ini telah
mengetengahkan aspek materialisme radikal. Buah dari teori kapitalisme
sekuler dan komunisme Karl Marx.

30 
Berbeda dengan teori-teori di atas, bisnis dalam Islam merupakan
unsur penting dalam perdagangan. Sejarah telah mencatat bahwa
penyebaran agama Islam diantaranya melalui perdagangan (bisnis).
Konon, masuknya Islam ke Indonesia, dilakukan oleh para pedagang
muslim yang mengadakan hubungan yang sangat baik dengan
masyarakat dan para tokoh setempat. (Sopian, 2004: 62)
Jadi bisnis merupakan bagian dari kegiatan perdagangan dalam
rangka mencari pencaharian melalui jual beli untuk tujuan untung.
Menurut Ibnu Khaldun, berbisnis (berdagang) adalah kegiatan mencari
usaha dengan pemanfaatan modal harta melalui jual beli. (Ahmad
Jalaludin, 2008: 304)
Muhammad Iqbal dalam tulisan berjudul “Etika Berdagang:
Menyimak Praktik Nabi dalam Kehidupan Masyarakat Madani”, menjelaskan
pengertian berdagang (bisnis) dari dua sudut pandang, yaitu menurut
mufasir dan ilmu fiqh.
a. Menurut para mufassir, perdagangan (bisnis) adalah pengelolaan
modal untuk mendapatkan keuntungan.
b. Ahli fiqh, memandang bahwa perdagangan ialah saling menukarkan
harta dengan harta secara suka sama suka, atau pemindahan hak
milik dengan adanya penggantian menurut yang dibolehkan.
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
bisnis yang identik dengan berdagang merupakan:
a. Satu bagian muamalat yang berbentuk transaksi antara seseorang atau
kelompok dengan lainnya.
b. Transaksi perdagangan itu dilakukan dalam bentuk jual beli yang
diwujudkan dalam bentuk ijab dan qabul.
c. Perdagangan bertujuan atau dengan motif untuk mencari keuntungan
(laba).
Jadi, bisnis merupakan segala bentuk kegiatan yang dilakukan
dalam produksi, menyalurkan, memasarkan barang dan jasa yang
diperlukan oleh manusia baik dengan cara berdagang maupun bentuk
lain dan tidak hanya mengejar laba (profit oriented-social oriented).

31 
3. Islami

Kata Islami itu berasal dari bahasa Arab al-Islam (ُ‫ﺳﻠَﺎم‬


ْ ‫) َا ْﻝِﺎ‬. Kata “al-
Islam” ini ada di dalam Al-Qur’an dan di dalamnya terkandung pula
pengertiannya, diantaranya dalam surat Ali Imron (3) ayat 19 dan surat
Al-Maidah (5) ayat 3. Apa yang dapat kita pahami dari kedua ayat ini?
Berikut ini penjelasan nya. Al-Qur’an surat Ali Imron (3) ayat 19,
lafalnya, “innad-dina ‘indAllahil-Islam…”, artinya, “ Sesungguhnya “ad-din”
di sisi Allah (adalah) al-Islam…”
Yang dapat dipahami dari ayat ini adalah bahwa “al-Islam” adalah
nama suatu “ad-din” (jalan hidup) yang ada di sisi Allah (‘indAllah).
Ad-din makna nya adalah al-millah atau ash-shirot atau jalan hidup, ia
berupa bentuk-bentuk keyakinan (al-‘aqidah) dan perbuatan (al-‘amal).
Al-Islam sebagai ad-din yang ada di sisi Allah, tentunya berupa bentuk-
bentuk keyakinan dan perbuatan yang ditentukan dan ditetapkan oleh
Allah dan bukan hasil dari buah pikiran manusia, karenanya ia di-
namakan juga dinulloh (QS 110 ayat 2).
Al-Islam itu diperuntukkan bagi manusia sebagai petunjuk dari
Allah (huda minAllah) kepada manusia (QS 28 ayat 50) di dalam
mengarungi ke-hidupan di dunia ini. Sementara itu Allah berfirman,
lafalnya, “al-haqqu mirrobbika fala takunanna minal-mumtarin“ (QS 2 ayat
147), artinya, “Al-Haq” (kebenaran) itu dari rabb (Tuhan) engkau (wahai
Muhammad saw) (yakni dari Allah) maka janganlah engkau termasuk
orang-orang yang ragu “.
Firman Allah ini menyatakan dengan jelas bahwa al-haqqu
(kebenaran) itu dari Allah (rabb-nya Muhammad saw). Oleh karena al-
Islam itu ada di sisi Allah, sementara itu al-haqqu itu dari Allah maka
tentunya al-Islam itu tidak lain adalah al-haqqu (kebenaran) yang berasal
dari Allah itu. Sementara itu pula Allah ber-firman, lafalnya, “… wa
innaka latahdi ila shirothim mustaqim, shirothillahil-ladzi lahu ma fis-samawati
wa ma fil-ardhi…” (QS 42 ayat 52-53), artinya, “… dan sesungguhnya
engkau (wahai Muhammad saw) benar-benar memberi petunjuk kepada
“ash-shirothol-mustaqim” (jalan yang harus ditegakkan) (yakni) “ash-
shiroth” (jalan) (yang di tentukan dan ditetapkan oleh) Allah yang mana
milik-Nya (segala) apa-apa yang ada di langit-langit dan apa-apa yang
ada di bumi…”. Firman Allah ini menyatakan dengan jelas sekali bahwa

32 
“ash-shirothol-mustaqim” adalah “ash-shiroth” (jalan) yang ditentukan dan
ditetapkan oleh Allah yang tentu berasal dari Allah pula.
Oleh karena al-Islam itu di sisi Allah, sementara itu “ash-
shirothol-mustaqim” adalah jalan yang ditentukan dan ditetapkan oleh
Allah dan berasal dari Allah, maka tentunya al-Islam itu tidak lain
adalah juga “ash-shirothol-mustaqim”, yang berasal dari Allah. Yang mana
misi Iblis dan bala tentaranya berusaha menjauhkan manusia dari “ash-
shirothol-mustaqim” ini (QS 7 ayat 16) yang berarti pula menjauh-kan
manusia dari al-Islam.
Jika al-Islam itu ada di sisi Allah, lalu bagaimana ia bisa sampai
kepada manusia? Ya tentu hanya melalui wahyu Allah dan penjelasan-
nya yang Allah turunkan kepada para Nabi dan Rasul-Nya dari Adam
as hingga Muhammad saw, termasuk Isa putra Maryam as, Musa as,
Nuh as, Ibrohim as, dll. Dan al-Islam dalam bentuknya yang final (tidak
ada lagi perubahan) dan sempurna (mencakup segala segi kehidupan
dan tidak perlu penambahan atau pengurangan) yang tentu diturunkan
kepada Nabi dan Rasul-Nya yang terakhir, Muhammad saw, melalui Al-
Qur’an dan penjelasannya(QS 75 ayat 19).
Dari ayat ini pula kita pahami bahwa penamaan ad-din ini dengan
al-Islam adalah penamaan dari Allah sendiri, bukan dari manusia.
Suatu nama biasanya me miliki arti, demikian juga dengan al-Islam juga
memiliki arti, yakni “al-inqiyadu li-amaril-amiri wa nahihi bila i’tirodh“,
yang artinya, ”tunduk/patuh/berserah-diri kepada perintah dan
larangan yang memerintah tanpa penolakan“. Namun dalam hal ini al-
Islam itu adalah tunduk/patuh/ berserah-diri kepada Allah saja, bukan
tunduk/patuh/berserah-diri kepada apa saja yang dianggap sebagai
robb (Tuan, Tuhan) dan ilah (Tuan, Tuhan), karena Allah ber-firman,
lafalnya, “wa man ahsanu dinan mimman aslama wajhahu lillahi wa huwa
muhsinun…” (QS 4 ayat 125). Artinya, “Dan siapakah yang labih baik ad-
din-(nya) dari pada orang-orang yang tunduk/patuh/berserah-diri kepada Allah
dan dia berbuat baik…”. Maka tunduk/patuh/berserah-diri kepada robb-robb
dan ilah-ilah selain Allah tidak berhak dinamakan al-Islam dan lebih tepat jika
dinamakan ghoirul-Islam.
Kita yang hidup di zaman sekarang ini mengetahui al-Islam
hanya dari Al-Qur’an dan as-sunnah yang tercatat di dalam hadits-
hadits (kabar-kabar) yang shohih (yang valid). Sehingga kita bisa tahu

33 
suatu keyakinan dan perbuatan itu Islami atau bukan kalau kita tahu
banyak tentang Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shohih. Kalau suatu
keyakinan dan perbuatan itu ada dasar-nya dalam Al-Qur’an dan hadits
yang shohih itu pasti keyakinan dan perbuatan yang Islami, bila tidak
dari mana bisa disebut Islami. Dengan demikian, kata Islami merupakan
sifat bagi orang-orang yang melakukan ajaran Islam dengan baik dan
benar sesuai dengan ajaran-ajarannya. Jadi, kata “Islami” memberikan
arti sebagai perbuatan refleksi atas perwujudan dari nilai-nilai ajaran
Islam itu sendiri, karena kata tersebut bisa ditulis dengan akhiran “i”
penisbatan dari “ya” dari kata Islam menjadi Islami, kata sifat (subjek/
pelaku).
Dan kata Islam sebagai ajaran biasanya diidentikkan dengan kata
syariat, sebagaimana dalam pemaknaan kata Ekonomi Islam dan
ekonomi Syariah. Secara bahasa, Syariat (al-syari’ah), berarti sumber air
minum (mawrid al-ma’ li al istisqa) atau jalan lurus (at-thariq al-mustaqîm).
Sedang secara istilah, syariah sepadan dengan makna perundang-
undangan yang diturunkan Allah Swt melalui Rasulullah Muhammad
SAW untuk seluruh umat manusia baik menyangkut masalah ibadah,
akhlak, makanan, minuman pakaian maupun muamalah (interaksi
sesama manusia dalam berbagai aspek kehidupan) guna meraih
kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Menurut Syafi’I Antonio, syariah mempunyai keunikan tersendiri,
Syariah tidak saja komprehensif, tetapi juga universal. Universal
bermakna bahwa syariah dapat diterapkan dalam setiap waktu dan
tempat oleh setiap manusia. Keuniversalan ini terutama pada bidang
sosial (ekonomi) yang tidak membeda-bedakan antara kalangan Muslim
dan non-Muslim. (Syariah Marketing, Hal. 169)
Dengan mengacu pada pengertian tersebut, Hermawan Kartajaya
dan Syakir Sula memberi pengertian bahwa Bisnis syariah adalah bisnis
yang santun, bisnis yang penuh kebersamaan dan penghormatan atas
hak masing-masing. (Syariah Marketing, hal. 45). Pengertian yang hari
lalu cenderung normatif dan terkesan jauh dari kenyataan bisnis kini
dapat dilihat dan dipraktikkan dan akan menjadi trend bisnis masa
depan.

34 
4. Etika Bisnis Islami

Setelah mengetahui makna atau pengertian satu-persatu dari kata


“Etika”, “Bisnis”, dan “Islami” atau juga dikenal sebagai “Syariat”, maka
dapat digabungkan makna ketiganya adalah bahwa “ETIKA BISNIS
ISLAMI” merupakan Suatu proses dan upaya untuk mengetahui hal-hal
yang benar dan yang salah yang selanjutnya tentu melakukan hal yang
benar berkenaan dengan produk, pelayanan perusahaan dengan pihak
yang berkepentingan dengan tuntutan perusahaan.
Mempelajari kualitas moral kebijaksanaan organisasi, konsep
umum dan standar untuk perilaku moral dalam bisnis, berperilaku
penuh tanggung jawab dan bermoral. Artinya, etika bisnis Islami
merupakan suatu kebiasaan atau budaya moral yang berkaitan dengan
kegiatan bisnis suatu perusahaan.
Dalam membicarakan etika bisnis Islami adalah menyangkut
“Business Firm” dan atau “Business Person”, yang mempunyai arti yang
bervariasi. Berbisnis berarti suatu usaha yang menguntungkan. Jadi
etika bisnis Islami adalah studi tentang seseorang atau organisasi
melakukan usaha atau kontak bisnis yang saling menguntungkan sesuai
dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Menurut Vincent Barry dalam bukunya “Moral Issue in Business”,
menyatakan bahwa Business ethics is the study of what constitutes good and
bad human conduct, including related action and values, in a business context.
(Etika bisnis adalah ilmu tentang baik buruknya terhadap suatu
manusia, termasuk tindakan-tindakan relasi dan nilai-nilai dalam kontak
bisnis.
Karakteristik standar moral bisnis, lanjutnya, harus: 1) tingkah
laku yang diperhatikan dari konsekuensi serius untuk kesejahteraan
manusia, 2) memperhatikan validitas yang cukup tinggi dari bantuan
atau keadilan. Etika untuk berbisnis secara baik dan fair dengan
menegakkan hukum dan keadilan secara konsisten dan konsekuen setia
pada prinsip-prinsip kebenaran, keadaban dan bermartabat.
a. Karena bisnis tidak hanya bertujuan untuk profit melainkan perlu
mempertimbangkan nilai-nilai manusiawi, apabila tidak akan meng
korbankan hidup banyak orang, sehingga masyarakat pun ber-
kepentinan agar bisnis dilak-sanakan secara etis;

35 
b. Bisnis dilakukan diantara manusia yang satu dengan manusia yang
lainnya, sehingga membutuhkan etika sebagai pedoman dan
orientasi bagi pengambilan keputusan, kegiatan, dan tindak tanduk
manusia dalam berhubungan (bisnis) satu dengan lainnya;
c. Bisnis saat ini dilakukan dalam persaingan yang sangat ketat, maka
dalam persaingan bisnis tersebut, orang yang bersaing dengan tetap
memperhatikan norma-norma etis pada iklim yang semakin
profesional justru akan menang.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengertian etika bisnis


Islami tersebut selanjutnya dijadikan sebagai kerangka praktis yang
secara fungsional akan membentuk suatu kesadaran beragama dalam
melakukan setiap kegiatan ekonomi (religiousness economy practical
guidance).

B. Prinsip-prinsip Etika Bisnis Islami

Untuk membangun kultur bisnis yang sehat, idealnya dimulai dari


perumusan etika yang akan digunakan sebagai norma perilaku sebelum
aturan (hukum) perilaku dibuat dan laksanakan, atau aturan (norma)
etika tersebut di wujudkan dalam bentuk aturan hukum. Sebagai kontrol
terhadap individu pelaku dalam bisnis yaitu melalui penerapan
kebiasaan atau budaya moral atas pemahaman dan penghayatan nilai-
nilai dalam prinsip moral sebagai inti kekuatan suatu perusahaan
dengan mengutamakan kejujuran, bertanggung jawab, disiplin,
berperilaku tanpa diskriminasi.
Etika bisnis hanya bisa berperan dalam suatu komunitas moral,
tidak merupakan komitmen individual saja, tetapi tercantum dalam
suatu kerangka sosial. Etika bisnis menjamin bergulirnya kegiatan bisnis
dalam jangka panjang, tidak terfokus pada keuntungan jangka pendek
saja. Etika bisnis akan meningkatkan kepuasan pegawai yang
merupakan stakeholders yang penting untuk di perhatikan.
Etika bisnis membawa pelaku bisnis untuk masuk dalam bisnis
internasional. Karenanya, haru:

36 
1. Pengelolaan bisnis secara profesional;
2. Berdasarkan keahlian dan ketrampilan khusus;
3. Mempunyai komitmen moral yang tinggi;
4. Menjalankan usahanya berdasarkan profesi/keahlian.

Karena itu, etika bisnis secara umum menurut Suarny Amran,


harus berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Prinsip Otonomi; yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan


dan bertindak berdasarkan keselarasan tentang apa yang baik untuk
dilakukan dan bertanggung jawab secara moral atas keputusan yang
diambil.
2. Prinsip Kejujuran; dalam hal ini kejujuran adalah merupakan kunci
keberhasilan suatu bisnis, kejujuran dalam pelaksanaan kontrol
terhadap konsumen, dalam hubungan kerja, dan sebagainya.
3. Prinsip Keadilan bahwa setiap orang dalam berbisnis diperlakukan
sesuai dengan haknya masing-masing dan tidak ada yang boleh
dirugikan.
4. Prinsip Saling menguntungkan; juga dalam bisnis yang kompetitif.
5. Prinsip integritas moral; ini merupakan dasar dalam berbisnis, harus
menjaga nama baik perusahaan tetap dipercaya dan merupakan
perusahaan terbaik.

Demikian pula dalam Islam, etika bisnis Islami harus berdasarkan


pada prinsip-prinsip dasar yang berlandaskan pada al-Qur’an dan al-
Hadits, sehingga dapat diukur dengan aspek dasarnya yang meliputi:

1. Barometer Kataqwaan Seseorang. Allah SWT berfirman (QS. Al-


Baqarah, 2: 188)

‫ﻦ‬
ْ ‫ﺤ َﻜّﺎ ِم ِﻝ َﺘ ْﺄ ُآﻠُﻮا َﻓﺮِیﻘًﺎ ِﻣ‬
ُ ‫ﻃ ِﻞ َو ُﺕ ْﺪﻝُﻮا ِﺏﻬَﺎ ِإﻝَﻰ ا ْﻝ‬
ِ ‫وَﻻ َﺕ ْﺄ ُآﻠُﻮا َأ ْﻣﻮَا َﻝ ُﻜ ْﻢ َﺏ ْﻴ َﻨ ُﻜ ْﻢ ﺏِﺎ ْﻝﺒَﺎ‬
‫ن‬
َ ‫س ﺏِﺎﻹ ْﺛ ِﻢ َوَأ ْﻥ ُﺘ ْﻢ َﺕ ْﻌ َﻠﻤُﻮ‬ ِ ‫َأ ْﻣﻮَا ِل اﻝ َﻨّﺎ‬
Artinya: "Dan janganlah kalian memakan harta sebagian yang lain
dengan cara yang bathil. Dan janganlah pula kalian mem-bawa
urusan harta itu kepada hakim, agar kamu dapat memakan
sebagian dari harta manusia dengan cara yang dosa sedangkan
kalian mengetahui."

37 
Ayat ini berada persis setelah ayat-ayat yang berkaitan dengan
ibadah Ramadhan (QS. 2: 183, 184, 185, 186 & 187), di mana output
dari Ramadhan itu adalah TAQWA. Sehingga ayat ini menunjukkan
bahwa salah satu ciri mendasar orang yang taqwa adalah senantiasa
bermuamalah dengan Mua’malah Islami (ber-bisnis secara Islami).

2. Mendatangkan Keberkahan. Allah SWT berfirman (QS. Al-A’raf, 7: 96)

‫ض‬
ِ ‫ﺴﻤَﺎ ِء وَاﻷ ْر‬
َّ ‫ﻦ اﻝ‬
َ ‫ت ِﻣ‬
ٍ ‫ﻋ َﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ َﺏ َﺮآَﺎ‬
َ ‫ﺤﻨَﺎ‬
ْ ‫ن َأ ْه َﻞ ا ْﻝ ُﻘﺮَى ﺁ َﻣﻨُﻮا وَا َّﺕ َﻘﻮْا َﻝ َﻔ َﺘ‬
َّ ‫َو َﻝ ْﻮ َأ‬
‫ن‬
َ ‫ﺴﺒُﻮ‬ِ ‫ﺧ ْﺬﻥَﺎ ُه ْﻢ ِﺏﻤَﺎ آَﺎﻥُﻮا َی ْﻜ‬
َ ‫ﻦ َآ َّﺬﺏُﻮا َﻓ َﺄ‬ ْ ‫َو َﻝ ِﻜ‬
Artinya: "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan
bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka
berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-
ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya."

Harta yang diperoleh dengan cara yang halal dan baik akan men-
datangkan keberkahan pada harta tersebut, sehingga pemanfaatan
harta dapat lebih maksimal bagi dirinya maupun bagi orang lain.
Sebaliknya, harta yang diperoleh dengan cara yang tidak halal atau
tidak baik, meskipun berjumlah banyak namun tidak mendatang-kan
manfaat bahkan senantiasa menimbulkan kegelisahan dan selalu
merasa kurang.

3. Mendapatkan Derajat Seperti Para Nabi, Shiddiqin & Syuhada


Rasulullah SAW bersabda:

‫ﺼﺪُوق‬
‫ﺟ ُﺮ اﻟ ﱠ‬
ِ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎل اﻟﺘﱠﺎ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺹﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ‬
َ ‫ﻲ‬
‫ﻦ اﻟﱠﻨ ِﺒ ﱢ‬
ْ‫ﻋ‬
َ ‫ﺳﻌِﻴ ٍﺪ‬
َ ‫ﻦ َأﺑِﻲ‬
ْ‫ﻋ‬َ
(‫اﻻﻣﻴﻦ ﻣﻊ اﻟﻨﺒﻴﻴﻦ و اﻟﺼﺪﻳﻘﻴﻦ واﻟﺸﻬﺪاء)رواﻩ اﻟﺘﺮﻣﺬي‬
Artinya: "Dari Abu Sa'id Al-Khudri ra beliau berkata bahwa Rasul Allah
SAW. bersabda, "Pebisnis yang jujur lagi dipercaya (amanah)
akan bersama para nabi, shiddiqin dan syuhada". (HR.
Turmudzi)

38 
Islam memberikan penghargaan yang besar terhadap pebisnis yang
shaleh, karena baik secara makro maupun mikro pebisnis yang shaleh
akan memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian suatu
negara, yang secara langsung atau tidak akan membawa
kemaslahatan bagi umat Islam.

4. Berbisnis Merupakan Sarana Ibadah Kepada Allah SWT. Banyak ayat


yang menggambarkan bahwa aktivitas bisnis merupakan sarana
ibadah, bahkan perintah dari Allah SWT. Diantaranya adalah (QS. At-
Taubah, 9: 105):

‫ن ِإﻝَﻰ ﻋَﺎ ِﻝ ِﻢ‬


َ ‫ﺳ ُﺘ َﺮ ُدّو‬
َ ‫ن َو‬
َ ‫ﻋ َﻤ َﻠ ُﻜ ْﻢ َو َرﺳُﻮ ُﻝ ُﻪ وَا ْﻝ ُﻤ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ‬
َ ‫ﺴ َﻴﺮَى اﻝَّﻠ ُﻪ‬ َ ‫ﻋ َﻤﻠُﻮا َﻓ‬ ْ ‫َو ُﻗ ِﻞ ا‬
‫ن‬
َ ‫ﺸﻬَﺎ َد ِة َﻓ ُﻴ َﻨ ِﺒّ ُﺌ ُﻜ ْﻢ ِﺏﻤَﺎ ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ َﺕ ْﻌ َﻤﻠُﻮ‬
َّ ‫ﺐ وَاﻝ‬ِ ‫ا ْﻝ َﻐ ْﻴ‬
Artinya: "Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya
serta orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan
kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan
yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu
apa yang telah kamu kerjakan".

Dari empat prinsip etika dasar Bisnis Islami, maka pertanyaan


selanjutnya adalah bagaimana Akhlaq Bisnis Islami itu dilaksanakan?
Apa langkah-langkah konkrit Bisnis Islami itu? Ada enam langkah awal
dalam memulai etika bisnis Islami, yaitu:
1. Niat Ikhlas Mengharap Ridha Allah SWT (‫)ﻝﻨﻴﺔ اﻝﺨﺎﻝﺼﺔ ﷲ ﺕﻌﺎﻝىﺎ‬
2. Profesional (‫)اﻹﺕﻘﺎن‬
3. Jujur & Amanah (‫)اﻝﺼﺪق واﻷﻣﺎﻥﺔ‬
4. Mengedepankan Etika Sebagai Seorang Muslim (‫)اﻝﺘﺨﻠﻖ ﺏﺎﻷﺧﻼق اﻝﺴﻠﻴﻤﺔ‬
5. Tidak Melanggar Prinsip Syariah (‫)ﻣﻄﺒﻘﺎ ﺏﺎﻝﺸﺮیﻌﺔ اﻹﺳﻼﻣﻴﺔ‬
6. Ukhuwah Islamiyah (‫)اﻷﺧﻮة اﻹﺳﻼﻣﻴﺔ‬
Masing-masing dari enam langkah memulai bisnis itu dapat di-
jelaskan sebagai berikut:
1. Niat Ikhlas Mengharap Ridha Allah SWT (‫)اﻝﻨﻴﺔ اﻝﺨﺎﻝﺼﺔ ﷲ ﺕﻌﺎﻝﻰ‬. Rasulullah
SAW bersabda:

39 
‫ ﻓﻤﻦ آﺎﻥﺖ هﺠﺮﺕﻪ اﻝﻲ‬. ‫ واﻥﻤﺎ ﻝﻜﻞ اﻣﺮئ ﻣﺎ ﻥﻮى‬. ‫اﻥﻤﺎاﻻﻋﻤﺎل ﺏﺎﻝﻨﻴﺎت‬
(‫دﻥﻴﺎ یﺼﻴﺒﻬﺎ او اﻝﻲ اﻣﺮاة یﻨﻜﺤﻬﺎ ﻓﻬﺠﺮﺕﻪ اﻝﻲ ﻣﺎ هﺎﺝﺮ اﻝﻴﻪ )رواﻩ اﻝﺒﺨﺎري‬
Artinya: "Bahwasanya segala amal perbuatan manusia itu ter-gantung
dari niatnya. Dan bahwasanya bagi setiap orang (akan
mendapatkan) dari apa yang telah diniatkannya. Barang siapa
yang hijrahnya mengharapkan dunia, atau karena wanita yang
ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu hanya akan mendapatkan
apa yang telah diniat kannya." (HR Bukhari)

2. Profesional (‫)اﻹﺕﻘﺎن ﻓﻲ اﻝﻌﻤﻞ‬. Rasulullah SAW bersabda:


‫ ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺹﻠﻲ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ان‬:‫ﻋﻦ ﻋﺎﺉﺸﺔ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﺎ ﻗﺎﻝﺖ‬
(‫اﷲ یﺤﺐ اذا ﻋﻤﻞ اﺣﺪآﻢ ﻝﻴﺘﻘﻨﻪ )رواﻩ اﻝﻄﺒﺮاﻥﻲ‬
Artinya: "Dari Aisyah ra, Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya
Allah mencintai seseorang yang apabila dia beramal, dia
menyempurnakan amalnya." (HR. Thabrani)

3. Jujur & Amanah (‫)اﻝﺼﺪق واﻷﻣﺎﻥﺔ‬. Rasulullah SAW bersabda:


‫ﻋﻦ اﺏﻲ ﺳﻌﻴﺪ اﻝﺨﻀﺮي ﻋﻦ اﻝﻨﺒﻲ ﺹﻠﻲ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل اﻝﺘﺎﺝﺮ‬
(‫اﻝﺼﺪوق اﻻﻣﻴﻦ ﻣﻊ اﻝﻨﺒﻴﻴﻦ واﻝﺼﺪیﻘﻴﻦ واﻝﺸﻬﺪاء )رواﻩ اﻝﺘﺮﻣﺬي‬
Artinya: "Dari Abu Sa'id Al-Khudri ra beliau berkata bahwa Rasul Allah
SAW. Bersabda, "Pebisnis yang jujur lagi dipercaya (amanah)
akan bersama para nabi, shiddiqin dan syuhada." (HR.
Turmudzi)

4. Mengedepankan Etika Seorang Muslim (:‫)اﻝﺘﺨﻠﻖ ﺏﺎﻷﺧﻼق اﻝﺴﻠﻴﻢ اﻝﺮاﺏﻊ‬.


Rasulullah SAW bersabda:
‫ﻋﻦ اﺏﻲ هﺮیﺮة رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺹﻠﻲ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ اآﻤﻞ‬
‫اﻝﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ایﻤﺎﻥﺎ اﺣﺴﻨﻬﻢ ﺧﻠﻘﺎ وﺧﻴﺎرآﻢ ﺧﻴﺎرآﻢ ﺧﻠﻘﺎ ﻝﻨﺴﺎﺉﻬﻢ )رواﻩ‬
(‫اﻝﺘﺮﻣﺬي‬
Artinya: "Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, Orang
beriman yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling

40 
baik akhlaknya. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik
akhlaknya terhadap istri-istrinya." (HR. Turmudzi)

5. Tidak Melanggar Prinsip Syariah (:‫)ﻣﻄﺒﻘﺎ ﺏﺎﻝﺸﺮیﻌﺔ اﻹﺳﻼﻣﻴﺔ اﻝﺨﺎﻣﺲ‬. Allah


SWT berfirman (QS. 47: 33)
‫ﻋﻤَﺎ َﻝ ُﻜ ْﻢ‬
ْ ‫ﻄﻠُﻮا َأ‬
ِ ‫ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا َأﻃِﻴﻌُﻮا اﻝَّﻠ َﻪ َوَأﻃِﻴﻌُﻮا اﻝ َّﺮﺳُﻮ َل وَﻻ ُﺕ ْﺒ‬
َ ‫یَﺎ َأ ُّیﻬَﺎ اَّﻝﺬِی‬
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, ta'atlah kepada Allah dan
ta'atlah kepada rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala)
amal-amal mu."

6. Ukhuwah Islamiyah (‫)اﻷﺧﻮة اﻹﺳﻼﻣﻴﺔ‬. Rasulullah SAW bersabda:


"Sesungguhnya diantara hamba-hamba Allah ada sekelompok manusia yang
mereka itu bukan para nabi dan bukan pula orang-orang yang mati syahid,
namun posisi mereka pada hari kiamat membuat nabi dan syuhada' menjadi
iri. Sahabat bertanya, 'beritahukan kepada kami, siapa mereka itu?
Rasulullah menjawab, 'mereka adalah satu kaum yang saling mencintai
karena Allah meskipun di antara mereka tidak ada hubungan kekerabatan
dan tidak pula ada motivasi duniawi. Demi Allah wajah mereka bercahaya
dan mereka berada di atas cahaya. Mereka tidak takut tatkala manusia takut,
dan mereka tidak bersedih hati." (HR. Abu Daud)

Dalam buku “Manajemen Baitul Mal Wa Tamwil”, Ahmad Hasan


Ridwan (2013: 14-17) menjelaskan secara terperinci prinsip-prinsip etika
bisnis Islami sebagai berikut:
1. Jujur dalam takaran dan timbangan. Allah berfirman dalam Q.S. al-
Mutaffifin 1-3:
Kecelakaan besarlah bagi orang- ‫ﻦ‬
َ ‫ﻄ ِّﻔﻔِﻴ‬
َ ‫ﻞ ِﻟ ْﻠ ُﻤ‬
ٌ ‫ وَ ْﻳ‬1
orang yang curang,

(yaitu) orang-orang yang apabila ‫ن‬


َ ‫ﺴ َﺘ ْﻮﻓُﻮ‬
ْ ‫س َﻳ‬
ِ ‫ﻋﻠَﻰ اﻟ َﻨّﺎ‬
َ ‫ﻦ ِإذَا ا ْآﺘَﺎﻟُﻮا‬
َ ‫ اَّﻟﺬِﻳ‬2
menerima takaran dari orang lain
mereka minta dipenuhi,
dan apabila mereka menakar ‫ن‬
َ ‫ﺴﺮُو‬
ِ‫ﺨ‬
ْ ‫ وَِإذَا آَﺎﻟُﻮ ُه ْﻢ أَ ْو َو َزﻧُﻮ ُه ْﻢ ُﻳ‬3
atau menimbang untuk orang
lain, mereka mengurangi.

41 
2. Menjual barang yang halal. Dalam salah satu hadits Nabi SAW.,
menyatakan bahwa Allah mengharamkan suatu barang maka haram pula
harganya (diperjualbelikan).
3. Menjual barang yang bermutu baik. Dalam berbagai hadits
Rasulullah Saw melarang menjual buah-buahan hingga jelas baiknya.
4. Jangan menyembunyikan kecacatan suatu barang. Salah satu sumber
hilangnya keberkahan jual beli, yaitu jika seseorang menjual barang
cacat yang kecacatannya disembunyikan. Menurut riwayat Bukhari,
Ibnu Umar memberitakan bahwa seseorang lelaki menceritakan
kepada Rasulullah SAW bahwa ia tertipu dalam jual beli. Sabda
Rasul: “Apabila engkau berjual beli, katakanlah, ‘tidak ada tipuan’”.
5. Jangan main sumpah. Ada kebiasaan pedagang untuk meyakinkan
pembelinya dengan jalan main sumpah agar dagangannya laris.
Dalam hal ini Rasulullah SAW memperingatkan, “Sumpah itu
melariskan dagangan, tetapi menghapuskan keberkahan”. (H.R. Bukhari)
6. Longgar dan bermurah hati. Sabda Rasullah SAW., “Allah mengasihi
orang yang bermurah hati pada waktu menjual, pada waktu membeli, dan
pada waktu menagih utang”. (H.R. Bukhari). Kemudian, dalam hadis
lain Abu Hurairah memberitakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Ada seorang pedagang yang mempiutangi orang banyak. Apabila
dilihatnya orang yang ditagih itu dalam kesempitan, dia perintahkan kepada
pembantu-pembantu nya. ‘Berilah kelonggaran kepadanya, mudah-mudahan
Allah memberikan kelapangan kepada kita’. Maka Allah pun memberikan
kelapangan kepadanya”. (H.R. Bukhari)
7. Jangan menyaingi kawan. Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kamu
menjual dengan menyaingi dagangan saudaranya”.
8. Mencatat utang-piutang. Dalam dunia bisnis lazim terjadi pinjam
meminjam. Dalam hubungan ini al-Qur’an mengajarkan pencatatan
piutang. Gunanya adalah untuk mengingatkan salah satu pihak yang
mungkin pada suatu waktu lupa atau khilaf. (Q.S. Al-Baqarah, 2: 282)
9. Larangan riba sebagaimana Allah SWT berfirman:
‫ﻞ َآ َﻔّﺎ ٍر َأﺛِﻴ ٍﻢ‬
َّ ‫ﺐ ُآ‬
ُّ ‫ﺤ‬
ِ ‫ت وَاﻟَّﻠ ُﻪ ﻻ ُﻳ‬
ِ ‫ﺼ َﺪﻗَﺎ‬
َّ ‫ﻖ اﻟَّﻠ ُﻪ اﻟ ِّﺮﺑَﺎ َو ُﻳ ْﺮﺑِﻲ اﻟ‬
ُ‫ﺤ‬َ ‫َﻳ ْﻤ‬

42 
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat
dosa”. (Q.S. Al-Baqarah, 2: 276)
10. Anjuran berzakat, yakni menghitung dan mengeluarkan zakat
barang dagangan setiap tahun sebanyak 2,5% sebagai salah satu
cara untuk membersihkan harta yang diperoleh dari hasil usaha.

Berdasarkan prinsip-prinsip dasar etika bisnis Islami di atas, maka


secara teologis Islam menawarkan nilai-nilai dasar atau prinsip-prinsip
umum yang penerapannya dalam bisnis disesuaikan dengan perkem-
bangan zaman dan mempertimbangkan dimensi ruang dan waktu.
Nilai-nilai dasar etika bisnis dalam Islam adalah (a) tauhid, (b) khilafah, (c)
ibadah, (d) tazkiyah, dan (e) ihsan. Dari nilai dasar ini dapat diangkat ke
prinsip umum tentang keadilan, kejujuran, keterbukaan (transparansi),
kebersamaan, kebebasan, tanggungjawab dan akuntabilitas. Semua ini
akan lebih mudah dipahami dalam bentuk tabel berikut ini:

Tabel 2.2
Nilai Dasar dan Prinsip Umum Etika Bisnis Islami
Nilai Dasar Prinsip Umum Pemaknaan
Tauhid Kesatuan dan ƒ Integrasi antar semua bidang
Integrasi kehidupan, agama, ekonomi, dan
sosial-politik-budaya.
ƒ Kesatuan antara kegiatan bisnis
dengan moralitas dan pencarian
ridha Allah.
ƒ Kesatuan pemilikan manusia
dengan pemilikan Tuhan. Keka-
yaan (sebagai hasil bisnis)
merupakan amanah Allah, oleh
karena itu di dalam kekayaan
terkandung kewajiban sosial.
Kesamaan ƒ Tidak ada diskriminasi diantara
pelaku bisnis atas dasar pertim-
bangan ras, warna kulit, jenis
kelamin, atau agama.
Khilafah Intelektualitas ƒ Kemampuan kreatif dan
konseptual pelaku bisnis yang
berfungsi membentuk, mengubah

43 
dan mengembang-kan semua
potensi kehidupan alam semesta
menjadi sesuatu yang konkret dan
bermanfaat.
Kehendak Bebas ƒ Kemampuan bertindak pelaku
bisnis tanpa paksaan dari luar,
sesuai dengan parameter ciptaan
Allah.
Tanggungjawab ƒ Kesediaan pelaku bisnis untuk
dan bertanggungjawab atas dan
Akuntabilitas mempertanggungjawabkan
tindakannya.
Ibadah Penyerahan ƒ Kemampuan pelaku bisnis untuk
Total membebaskan diri dari segala
ikatan penghambaan manusia
kepada ciptaan nya sendiri
(seperti kekuasaan dan kekayaan).
ƒ Kemampuan pelaku bisnis untuk
men jadikan penghambaan
manusia kepada Tuhan sebagai
wawasan batin sekaligus komit-
men moral yang berfungsi
memberikan arah, tujuan dan
pemaknaan terhadap aktualisasi
kegiatan bisnisnya.
Tazkiyah Kejujuran ƒ Kejujuran pelaku bisnis untuk
tidak mengambil keuntungan
hanya untuk dirinya sendiri
dengan cara menyuap, menimbun
barang, berbuat curang dan
menipu, tidak memanipulasi
barang dari segi kualitas dan
kuantitasnya.
Keadilan ƒ Kemampuan pelaku bisnis untuk
menciptakan keseimbangan/
moderasi dalam transaksi
(mengurangi timbangan) dan
membebaskan penindasan, misal-
nya riba dan memonopoli usaha.
Keterbukaan ƒ Kesediaan pelaku bisnis untuk
menerima pendapat orang lain
yang lebih baik dan lebih benar,

44 
serta menghidupkan potensi dan
inisiatif yang konstruktif, kreatif
dan positif.
Ihsan Kebaikan bagi ƒ Kesediaan pelaku bisnis untuk
orang lain memberikan kebaikan kepada
orang lain, misalnya penjadwalan
ulang, menerima pengembalian
barang yang telah dibeli, pemba-
yaran utang sebelum jatuh tempo.
Kebersamaan ƒ Kebersamaan pelaku bisnis dalam
membagi dan memikul beban
sesuai dengan kemampuan
masing-masing, kebersamaan
dalam memikul tanggung jawab
Profesionalisme sesuai dengan beban tugas, dan
kebersamaan dalam menikmati
hasil bisnis secara proporsional.
ƒ Ihsan adalah profesionalisme yang
merupakan prinsip Islam.
Perofesionalisme merupakan
sunnah kehidupan bagi Muslimin:
“Allah mencintai hamba yang bila
melakukan aktivitas selalu memper-
hatikan profesionalitas”. (HR.
Thabrani)

Sumber: Amru Khalid (2005: 104), dan M.A. Fattah Santoso, ”Etika Bisnis:
Perspektif Islam“, dalam Maryadi dan Syamsuddin (ed.)., Agama
Spiritualisme dalam Dinamika Ekonomi Politik. Surakarta:
Muhammadiyah University Press, (2001: 213-214)

Berdasarkan tabel di atas, maka dapat disimpulkan bahwa


prinsip-prinsip dasar etika bisnis Islami harus mencakup:
1. Kesatuan (Unity). Adalah kesatuan sebagaimana terefleksikan dalam
konsep tauhid yang memadukan keseluruhan aspek-aspek kehidupan
muslim baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial menjadi keselu-
ruhan yang homogen, serta mementingkan konsep konsistensi dan
keteraturan yang menyeluruh. Dari konsep ini maka Islam
menawarkan keterpaduan agama, ekonomi, dan sosial demi

45 
membentuk kesatuan. Atas dasar pandangan ini pula maka etika dan
bisnis menjadi terpadu, vertikal maupun horisontal, membentuk
suatu persamaan yang sangat penting dalam sistem Islam.
2. Keseimbangan (Equilibrium). Dalam beraktivitas di dunia kerja dan
bisnis, Islam mengharuskan untuk berbuat adil, tak terkecuali pada
pihak yang tidak disukai. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam
Surat Al-Maidah: 8 yang artinya: “Hai orang-orang beriman, hendaklah
kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah
SWT, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-sekali kebencianmu
terhadap suatu kaum men-dorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah karena adil lebih dekat dengan takwa”.
3. Kehendak Bebas (Free Will). Kebebasan merupakan bagian penting
dalam nilai etika bisnis Islam, tetapi kebebasan itu tidak merugikan
kepentingan kolektif. Kepentingan individu dibuka lebar. Tidak
adanya batasan pendapatan bagi seseorang mendorong manusia
untuk aktif berkarya dan bekerja dengan segala potensi yang
dimilikinya. Kecenderungan manusia untuk terus-menerus meme-
nuhi kebutuhan pribadinya yang tak terbatas dikendalikan dengan
adanya kewajiban setiap individu terhadap masyarakatnya melalui
zakat, infak, dan sedekah.
4. Tanggungjawab (Responsibility). Kebebasan tanpa batas adalah
suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia karena tidak
menuntut adanya pertanggungjawaban dan akuntabilitas untuk
memenuhi tuntunan keadilan dan kesatuan, manusia perlu memper-
tanggungjawabkan tindakannya. Secara logis prinsip ini berhu-
bungan erat dengan kehendak bebas. Ia menetapkan batasan
mengenai apa yang bebas dilakukan oleh manusia dengan bertang-
gungjawab atas semua yang dilakukannya.
5. Kebenaran: kebajikan dan kejujuran. Kebenaran dalam konteks ini
selain mengandung makna kebenaran lawan dari kesalahan,
mengandung pula dua unsur yaitu kebajikan dan kejujuran. Dalam
konteks bisnis kebenaran dimaksudkan sebagai niat, sikap dan
perilaku benar yang meliputi proses akad (transaksi) proses mencari
atau memperoleh komoditas pengembangan maupun dalam proses
upaya meraih atau menetapkan keuntungan. Dengan prinsip
kebenaran ini maka etika bisnis Islami Islam sangat menjaga dan

46 
berlaku preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian salah satu
pihak yang melakukan transaksi, kerja sama atau perjanjian dalam
bisnis.

C. Ruang Lingkup Etika Bisnis Islami

Setelah melihat penting dan urgennya etika bisnis Islami apalagi


di era modern yang hampir di semua bidang, khususnya bidang bisnis,
etika apalagi akhlak Islami terabaikan, maka ada baiknya kita tinjau
lebih lanjut apa saja sasaran dan lingkup etika bisnis Islami itu.
Ruang lingkup etika bisnis Islam dalam buku ini dikelompokkan
menjadi empat bagian penting, yaitu: (1) konsepsi Islam dan nilai-nilai
yang ada di dalamnya, (2) konsep dasar etika bisnis secara umum dan
landasan teori-teori yang membentuknya, (3) akhlak Islami sebagai
fondasi dasar peletakan etika bisnis Islam dan masalah-masalah yang
terkandung di dalamnya perspektif al-Qur’an dan al-Hadits, dan (4)
internalisasi akhlak Islam dalam bisnis, yang difokuskan pada perilaku
produsen, konsumen, distributor bagi perusahaan, pelaku pasar, etika
perbankan, dan (5) lembaga yang mengatasi persengketaan (ash-shulh
dan at-tahkim).

47 
BAB III
KONSEPSI DAN TEORI ETIKA

Kajian etika berkenaan dengan bisnis dapat memberi pegangan


atau orientasi dalam menjalani kehidupan kita di dunia ini. Ini berarti
tindakan manusia dalam berbisnis selalu mempunyai tujuan tertentu
yang ingin dicapainya. Tidak menghalalkan segala cara. Ada arah dan
sasaran dari tindakan atau hidup manusia. Sehubungan dengan itu,
timbul pertanyaan: Apakah bobot moral, atau baik buruk-nya suatu
tindakan, terletak pada nilai moral tindakan itu sendiri ataukah terletak
pada baik buruk serta besar kecilnya tujuan yang ingin dicapai itu.
Maksudnya, apakah suatu tindakan dinilai baik karena memang pada
dirinya sendiri baik, atau karena tujuan yang dicapainya itu memang
baik, terlepas dari apakah tindakan itu sendiri pada dirinya sendiri baik
atau tidak.
Dalam pembahasan teori-teori tentang etika (akhlak), kiranya kita
fokuskan pada jawaban-jawaban pokok yang diajukan atas pertanyaan:
menurut norma-norma manakah kita seharusnya bertindak? Untuk
memberi jawaban atas pertanya an tersebut, maka dikemukakan
beberapa teori, yakni: 1) Teori Deontologis, 2) Teori Teleologis, dan 3) Teori
Egoisme Etis. Teori-teori ini dalam akhlak falsafi dikenal dengan teori al-
Husn wa al-Qubh, yakni teori tentang penilaian baik dan buruk (jahat).
Apakah dalam menilai baik dan buruk itu cukup berdasarkan akal saja
atau harus berdasarkan wahyu. Berikut akan disajikan konsep dan teori-
teori etika.

48 
A. Konsepsi Etika

Etika pada umumnya diidentikkan dengan moral (atau moralitas).


Tetapi, meskipun sama terkait dengan baik buruk tindakan manusia,
etika dan moral memiliki pengertian yang berbeda. Moral lebih terkait
dengan nilai baik dan buru setiap perbuatan manusia, sedang etika lebih
merupakan ilmu yang mempelajari tentang baik dan buruk tersebut.
(Hendar Riyadi, 2007: 114)
Etika mempunyai sifat yang sangat mendasar yaitu sifat kritis.
Etika mempersoalkan norma-norma yang dianggap berlaku; menyelidiki
dasar norma-norma itu; mempersoalkan hak dari setiap lembaga seperti;
orang tua, sekolah, negara dan agama untuk memberi perintah atau
larangan yang harus ditaati. Hak dan wewenang untuk menuntut
ketaatan dari lembaga tersebut harus dan perlu dibuktikan.
Dengan demikian, etika menuntut orang agar bersikap rasional
terhadap semua norma sehingga etika akhirnya membantu manusia
menjadi lebih otonom. Otonomi (kebebasan) manusia tidak terletak
dalam kebebasan dari segala norma dan tidak sama dengan kesewenang-
wenangan, melainkan tercapai dalam kebebasan untuk mengakui norma-
norma yang diyakininya sendiri sebagai kewajiban-nya.
Pada dasarnya, setiap perbuatan bebas yang dilakukan oleh pelaku
yang bebas adalah untuk mencapai hasil yang didapat dari perbuatan
itu, dan sangat jarang ada tindakan yang dilakukan tanpa ada tujuan
yang diharapkan. Oleh karena itu, setiap tindakan adalah suatu sarana
untuk suatu tujuan, dan tak ada tindakan yang secara alami, dilakukan
demi tindakan itu sendiri.
Nilai setiap tindakan dan keinginan terhadapnya tunduk pula
pada hasil yang diperoleh dari tindakan itu. Orang yang berniat
melakukan perjalanan, mengambil serangkaian tindakan, misalnya
membeli tiket kendaraan, mempersiapkan perlengkapan dan bekal untuk
perjalanan, dan bersiap untuk naik bus atau pesawat terbang. Dengan
memenuhi tindakan pendahuluan ini, tentulah ia bermaksud untuk
mencapai maksud, yakni tujuan perjalanan yang dikehendaki-nya, dan
tidak sekadar melaksanakan tindakan-tindakan itu saja.
Melihat persoalan di atas, etika merupakan pembahasan yang
bersifat fungsional mengenai kewajiban-kewajiban manusia serta tingkah

49 
laku manusia dilihat dari segi baik dan jahatnya tingkah laku tersebut.
Etika (Akhlak) bertugas memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
berikut: Atas dasar hak apa orang menuntut kita untuk tunduk terhadap
norma-norma yang berupa ketentuan, kewajiban, larangan, dan sebagai-
nya? Bagaimana kita bisa menilai norma-norma tersebut? Pertanyaan
seperti ini timbul karena hidup kita seakan-akan terentang dalam suatu
jaraingan norma-norma. Jaringan itu seolah-olah membelenggu kita;
mencegah kita dari bertindak sesuai dengan keinginan kita; memaksa
kita berbuat apa yang sebenarnya kita benci.
Etika (Ilmu Akhlak) mempunyai sifat yang sangat mendasar yaitu
sifat kritis. Ia mempersoalkan norma-norma yang dianggap berlaku;
menyelidiki dasar norma-norma itu; mempersoalkan hak dari setiap
lembaga, seperti orang tua, sekolah, negara dan agama untuk memberi
perintah atau larangan yang harus ditaati dan jauhi. Hak dan wewenang
untuk menuntut ketaatan dari lembaga tersebut harus dan perlu
dibuktikan.
Dengan demikian, etika menuntut orang agar bersikap rasional
terhadap semua norma sehingga ia akhirnya membantu manusia men-
jadi lebih otonom (merdeka, sebagaimana dalam aliran eksistensialisme).
Otonom atau kemerdekaan manusia tidak terletak dalam kebebasan dari
segala norma dan tidak sama dengan kesewenang-wenangan, melainkan
tercapai dalam kebebasan untuk mengakui norma-norma yang diyakini-
nya sendiri sebagai kewajibannya.
Etika atau norma dibutuhkan sebagai pengantar pemikiran kritis
yang dapat membedakan antara apa yang sah dan apa yang tidak sah;
membedakan apa yang baik dan yang tidak baik atau membedakan apa
yang benar dan apa yang tidak benar. Dengan demikian, ia memberi
kemungkinan kepada kita untuk mengambil sikap sendiri serta ikut
menentukan arah perkembangan masyarakat, bahkan bangsa sekali pun.
Sebagaimana dalam sebuah pepatah mengatakan “sesungguhnya suatu
kaum akan hancur bila akhlak (moral) bejat. Namun akan jaya bila moralitasnya
pun baik”.
Karena itu, akhlak, moral dan etika merupakan komponen dasar
dalam pembangunan suatu bangsa. Sebagai syarat mutlak, norma akhlak
harus dapat dijalankan oleh setiap insan dalam kehidupannya. Hal ini
yang oleh Rasulullah Muhammad SAW, menegaskan bahwa:

50 
“Sesungguhnya aku diutus (oleh Allah) adalah untuk menyempurnakan akhlak
yang terpuji”.
Akhlak atau sistem perilaku terwujudkan melalui proses aplikasi
sistem nilai atau norma yang bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah.
Berbeda dengan etika yang terbentuk dari sistem/norma yang berlaku
secara alamiah dalam masyarakat dan dapat berubah menurut
kesepakatan dan persetujuan dari masyarakat pada dimensi waktu dan
ruang tertentu. Sistem etika ini sama sekali bebas nilai dan lepas dari
hablum minallah.
Barangkali statement inilah oleh umat muslim dijadikan pegangan
dan ruju-kan kuat dalam mengarungi kehidupan kesehariannya, baik
secara pribadi maupun sosial (kolektif). Hal ini pula yang mendorong
para Ahli pikir dari Yunani Kuno mengerahkan dan mencurahkan
segenap kemampuan untuk mendiskusikan bagai-mana cara untuk
menjadikan kebahagiaan dan kesempurnaan dalam hidup secara pari-
purna sesuai dengan tujuan dan cita-citanya.

B. Pendekatan Etika Versus Akhlak

Ilmu mempunyai dua jalan untuk mendekati objeknya. Mana yang


dipakai, bergantung pada hakikat objek materialnya dan objek formal-
nya karena jalan itu dipilih dengan maksud untuk mencapai tujuannya.
Dua metode tersebut, menurut W. Poespoprodjo adalah:
1. Metode deduktif, sintetis, a priori, atau juga disebut metode rasional.
Metode ini bertolak dari prinsip-prinsip, postulat-postulat, aksioma-
aksioma, dan kemudian menguraikan pengarahan ke penerapannya.
Ilmu matematika adalah suatu contoh utama yang memakai metode
ini.
2. Metode induktif, analitis, a posteriori, atau metode empiris, adalah
metode yang bertitik tolak dari dunia pengalaman, dan bergerak maju
dengan cara pengamatan (observasi), eksperimen, dan membuat
klasifikasi dengan tujuan menyusun hukum-hukum yang umum.
Metode ini merupakan khas metode ilmu-ilmu alam (physical sciences).

51 
Kedua metode ini kerapkali menghiasi kajian-kajian keilmuan dari
berbagai bidang disiplin ilmu. Metode akhlak falsafi yang juga merupa-
kan bagian dari ilmu humaniora bukanlah bagian dari dua metode
tersebut. Namun secara umum, akhlak falsafi yang merupakan gabungan
antara aspek teologis dan filsafat lebih bersifat normatif, sehingga perlu
menggunakan metode campuran. Meskipun ada pendekatan khusus di
bidang ini.
Ada empat macam pendekatan dalam menilai suatu pendapat
moral yaitu; pendekatan empiris-deskriptif, pendekatan fenomenalogis,
pendekatan normatif, dan pendekatan metaetika. Penjelasan ringkas di bawah
ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran untuk memahami
keempat macam pendekatan tersebut. Kita ambil sebuah contoh pernya-
taan yang mengungkapkan pendapat seorang mahasiswa Indonesia yang
menyatakan bahwa ia wajib menunda pernikahannya sebelum ia berhasil
meraih gelar sarjana.
1. Pendekatan empiris-deskriptif dapat menyelidiki, seperti; apa pendapat
umum yang berlaku di Indonesia; sejak kapan pendapat itu berlaku;
apakah di Indonesia juga ada yang menentang pendapat itu;
bagaimana pendapat masyarakat lain tentang pendapat itu. Fakta
moral dipastikan adanya; digambarkan bagaimana bentuk-nya;
dibandingkan bentuknya dalam masyarakat yang berlainan; diselidiki
sejarahnya; jangkauannya, dan seterusnya. Begitu pula kita dapat
menyelidiki ciri-ciri dalam jiwa orang-orang yang sependapat dengan
mahasiswa itu. Penyelidikan semacam itu diandaikan dalam etika
khusus, yaitu yang mempersoalkan norma-norma moral ter- tentu,
tetapi belum termasuk akhlak falsafi sendiri, melainkan merupakan
tugas ilmu empiris yang bersangkutan, seperti; psikologi, sosiologi,
antropologi dan lain-lain.
2. Pendekatan fenomenologi memperlihatkan bagaimana kiranya kesa-
daran seseorang yang sependapat bahwa ia berkewajiban untuk
pernikahannya. Unsur-unsur apa saja yang terkandung dalam
kesadaran moral, diperhatikan dengan seksama. Fenomenologis
kesadaran moral ini adalah dasar dari salah satu isi pokok akhlak
falsafi (Etika). Bahkan dengan cara ini kita mengenal kekhususan
bidang moral, misalnya perbedaan norma-norma moral dan norma-
norma kesopanan, baru dapat digali. Pendekatan fenomenologis itu

52 
berdekatan dengan pendekatan psikologis, tetapi juga berbeda dari
padanya, oleh karena lain dari pada psikologi kesadaran moral, tidak
berusaha untuk memutuskan hukum-hukum yang berlaku umum.
3. Pendekatan normatif. Melalui pendekatan ini dipersoalkan apakah
suatu norma moral yang diterima umum atau dalam masyarakat
tertentu memang tepat ataukah sebetulnya tidak berlaku atau malah
harus ditolak. Melalui pendekatan ini kita dapat bertanya apakah
pendapat mahasiswa Indonesia itu betul.
4. Akhirnya dapat juga dipersoalkan apakah arti “Wajib” yang terdapat
dalam kalimat tentang pendapat mahasiswa Indonesia itu.
Pendekatan ini berupa analisis bahasa moral, dan merupakan tugas
dari apa yang disebut metaetika. Meta etika berusaha untuk men-cegah
kekeliruan dan kekaburan dalam penyelidikan fenomenologis dan
normatif dengan cara mempersoalkan arti tepat dari istilah-istilah
moral dan mengatur pernyataan-pernyataan moral menurut
macamnya secara mempersoalkan bagaimana suatu pernyataan moral
dapat dibenarkan.
Menurut Hendar Riyadi (2007: 113), dalam penelitiannya tentang
“Etika Al-Qur’an tentang Keragaman Agama” yang difokuskan pada
paradigma etika, bahwa pendekatan etika religius yang bersumber pada
konsep-konsep al-Qur’an memberikan pemahaman komprehensif dalam
mempelajari etika dari teks-teks al-Qur’an. Menurutnya, etika religius
pendekatan Qur’ani mengandung beberapa kunci etika religius, yaitu:

53 
Tabel 3.1
Prinsip Etika Qur’ani
Prinsip Etika Qur’ani
1 Tauhid Konsep tauhid sebagai the principle of metaphysics dan
(Unity) the principle of social ethic values
2 Iman 1. Apabila disebut nama Allah, hatinya bergetar
2. Apabila di”baca”kan ayat-ayat Allah, kualitas iman
naik
3. Bertawakal terhadap keimanan pada (Allah,
Malaikat, Kitab-kitab, Rasul dan Para Nabi, Hari
Akhir serta Taqdir)
3 Islam Menyerah, tunduk dan selamat, kebebasan, kesucian,
kebahagiaan kesejahteraan sebagai efek dari
penyerahan diri kepada Allah.
4 Ihsan Profesionalisme dalam mengabdi kepada Allah seolah-olah
kamu melihat-Nya, dan apabila kamu tidak dapat melihat-
Nya, maka Allah melihatmu.
5 Taqwa Kesatuan dari iman, Islam dan ihsan (insan
kamil/ahsan taqwim)

Tiga prinsip tersebut di atas merupakan materi pokok Rasulullah


dalam membina perilaku kaum muslimin membentuk susunan sosial
yang khas di bawah wahyu suci. Keseluruhan aspek manusia menjadi
titik berat pembinaan itu, lahir batin, perbuatan kecil dan besar, pribadi
dan komunal.
Lembaga kepribadian yang terbentuk dari usaha itu sangat hebat
dan mencolok, dibandingkan dengan susunan yang telah diletakkan
pada masa jahiliah oleh orang-orang kafir Quraisy. Munculnya jiwa-jiwa
yang agung dan terpuji, yang dihargai oleh pihak Quraisy dan dihormati
oleh kaum Muslimin, mencemaskan para juru dakwah kaum kafir yang
senantiasa menyeru kepada kesesatan dan kebobrokan sikap. Keteguhan
Bilal menjadi buah bibir, kepasrahan Abu Bakar membuat kecut, semen-
tara ketegaran Hamzah dan Umar bin Khattab memorak-porandakan
harapan kaum kafir untuk tetap mempertahankan lembaga-lembaga
kemasyarakatan yang bercirikan kebobrokan dan kemunduran akhlak
manusia.

54 
Metode Ilahi telah menunjuk ke arah suasana itu. Pembinaan yang
bersumber langsung dari Maha Pencipta dengan cepat menembus hati
manusia yang paling dalam, tempat bersemayam segala watak baik
yang fitrah. Muhammad SAW tidak menuntun umatnya melalui
rangsangan-rangsangan material yang semu dan sekali waktu dapat
membosankan, tetapi beliau bergaul langsung dengan jiwa manusia
lewat bujukan dan peringatan, sambil menanamkan ketegasan sikap
secara bertahap dalam menaati hukum-hukum Allah. (A.M. Saefuddin,
dkk., 1998: 126)

C. Teori-teori Etika Barat

Secara garis besar, dalam filsafat etika Islam (akhlak), ada nilai baik
buruk yang harus begitu saja diterima sesuai dengan petunjuk wahyu.
Ada juga nilai baik buruk itu ditentukan oleh akal manusia dan
merupakan kewenangan akal manusia menilainya sepanjang tidak ada
ketentuannya secara tekstual berdasarkan wahyu. Karena itu, sebelum
memulai pembahasan etika Islami (akhlak) ada baiknya kita mulai lebih
dahulu dengan paparan singkat mengenai berbagai aliran pemikiran
yang telah banyak mengisi tentang akhlak dan moralitas:

1. Teori Deontologis

Kata deontologis berasal dari bahasa Yunani, deon = yang diharus-


kan, yang wajib. Teori ini mengatakan bahwa betul salahnya sesuatu
tindakan tidak dapat ditentukan dari akibat-akibat tindakan itu melain-
kan ada cara bertindak yang begitu saja terlarang, atau begitu saja wajib.
Jadi untuk mengetahui apakah kita boleh mengambil mangga dari pohon
tetangga tanpa bertanya lebih dahulu kepadanya, kita tidak perlu
bertanya bagaimana akibat dari perbuatan itu, melainkan mengambil
barang orang lain tanpa izinnya begitu saja tidak boleh.
Atas dasar itu, etika deontologi sangat menekankan motivasi,
kemauan baik dan watak yang kuat dari pelaku. Atau sebagai-mana
dikatakan Immanuel Kant (1734-1804), kemauan baik harus dinilai baik
pada dirinya sendiri terlepas dari apa pun juga. Maka, dalam menilai
seluruh tindakan kita, kemauan baik harus selalu dinilai paling pertama
dan menjadi kondisi dari segalanya.

55 
Teori deontologi sebenarnya sudah ada sejak periode filsafat
Yunani Kuno, tetapi baru mulai diberi perhatian setelah diberi penjelasan
dan pendasaran logis oleh filsuf Jerman yaitu Immanuel Kant.
Kata deon berasal dari Yunani yang artinya kewajiban. Sudah jelas
kelihatan bahwa teori deontologi menekankan pada pelaksanaan
kewajiban. Suatu per-buatan akan baik jika didasari atas pelaksanaan
kewajiban, jadi selama melakukan kewajiban berarti sudah melakukan
kebaikan. Deontologi tidak ter pusat pada konsekuensi perbuatan,
dengan kata lain deontologi melaksanakan terlebih dahulu tanpa
memikirkan akibatnya. Berbeda dengan utilitarisme yang mempertim-
bangkan hasilnya lalu dilakukan perbuatannya.
Lalu apa itu kewajiban menurut deontologi? Sulit untuk mendefi-
nisikannya namun pemberian contoh mempermudah dalam memahami-
nya. Misalnya, tidak boleh menghina, membantu orang tua, membayar
utang, dan tidak berbohong adalah perbuatan yang bisa diterima secara
universal. Jika ditanya secara langsung apakah boleh menghina orang?
Tidak boleh, apakah boleh membantu orang tua? Tentu itu harus. Semua
orang bisa terima bahwa berbohong adalah buruk dan membantu orang
tua adalah baik. Nah, kira-kira seperti itulah kewajiban yang di-maksud.
Jika dibandingkan dengan utilitarisme coba perhatikan lagi contoh
anjing yang akan dieksekusi karena voting terbanyak mengatakan
demikian. Dalam deontologi tidak demikian, jumlah terbanyak bukan-
lah ukuran yang menentukan kebaikan tetapi prinsiplah yang
menentukan yaitu prinsip bahwa pembunuhan adalah perbuatan buruk
dan bagaimana pun juga anjing itu tidak boleh dibunuh.

2. Teori Teleologis

Kata telos dalam bahasa Yunani berarti tujuan. Karena itu, teori ini
mengatakan bahwa betul tidaknya tindakan seseorang justru ter-gantung
dari akibat-akibatnya; kalau akibat-akibat dari tindakan itu baik, maka
boleh dilakukan, bah-kan wajib untuk dilakukan. Kalau akibat perbuatan
atau tindakan itu buruk, maka perbuatan itu tidak boleh dikerjakan.
Berbeda dengan etika deontologis, etika teleologis justru mengukur
baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai
dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh

56 
tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik, kalau bertujuan mencapai
sesuatu yang baik, atau kalau akibat yang ditimbulkannya baik dan
berguna. Misalnya, mencuri bagi etika teleologi tidak dinilai baik atau
buruk berdasarkan baik buruknya tindakan itu sendiri, melainkan oleh
tujuan dan akibat dari tindakan itu. Kalau tujuannya baik, maka tindakan
itu dinilai baik. Sebaliknya, kalau tindakan itu bertujuan jahat, maka
tindakan itu pun dinilai jahat.
Teori teleologi mengatakan bahwa nilai “betul” atau “salah”
bergantung kepada kesan sesuatu perbuatan yang dikenali sebagai
konsekuensialisme (consequentalism). Jadi, kriteria dan piawai asas
tentang sesuatu (tindakan atau peraturan) yang baik benar, salah, jahat
dan sebagainya ialah penghasilan nilai bukan moral yang dianggap baik.
Bagi teori ini, kebaikan atau kejahatan sesuatu ditentukan oleh nilai
instrumennya.
Seterusnya, sesuatu tindakan atau peraturan dianggap bermoral
jika jumlah kebaikan yang dihasilkan melebihi kejahatan. Namun,
pandangan ahli teleologi yang berbeda tentang apa yang dikatakan baik
& jahat telah menyebabkan wujud-nya dua jenis teori teleologi yang
berbeda, yaitu: utilitarianisme dan egoisme.

3. Teori Egoisme Etis

Egoisme etis merupakan kelanjutan dari teori teleologis. Teori ini


banyak menyoroti tentang akibat baik dari perbuatan bagi kepentingan
pribadi, bukan kepentingan orang banyak. Teori ini berpendapat bahwa
orang yang betul-betul hidup sesuai dengan kepentingannya sendiri
yang nyata itu seseorang yang matang dan tahu tanggung jawab. Orang
itu tidak menurut begitu saja segala macam keinginan, dorongan nafsu,
seperti mau balas dendam, iri hati dan sebagainya. Melainkan ia
mengadakan penilaian dulu tentang apa yang paling cocok untuknya,
kemudian bertindak sesuai dengan penilaian itu. Egois semacam itu
perlu dinilai cukup tinggi secara moral.
Bukankah justru kekuatan-kekuatan irasionallah yang paling
mengacaukan hidup kita dan hidup orang lain, dan bukan usaha untuk
bertindak sesuai dengan kepentingan yang nyata? Untuk lebih
memahami teori egoisme etis, mari kita bahas lebih lanjut bidang-bidang
khusus bahasan teori tersebut. Di antaranya adalah:

57 
Hedonisme Egois
Hedonisme merupakan salah satu teori etika yang paling tua,
paling sederhana, paling kebenda-bendaan, dan dari abad ke abad selalu
kita temukan kembali. Kaum hedonis modern memilih kata kebahagiaan
untuk kesenangan. Hedonisme pertama-tama dirumuskan oleh Aristipus.
Salah menafsirkan ajaran gurunya, yakni Socrates yang berkata bahwa
tujuan hidup adalah kebahagiaan. Aristippus menyama kan kebahagiaan
dengan kesenangan.
Menurut dia kesenangan itu berkat gerakan yang lemah gemulai,
sedangkan rasa sakit berkat gerakan kasar. Kesenangan intelektual
mungkin lebih tinggi, tetapi kesenangan pancaindera lebih dalam (lebih
intensif). Dan kesenangan sesaat yang dinikmati itulah yang dihargai.
Suatu perbuatan disebut baik sejauh dapat menyebabkan kesenangan
dan memberikan kenikmatan. Kebajikan berguna untuk menahan agar
kita tidak jatuh ke dalam nafsu yang berlebihan, yakni gerakan kasar jadi
tidak menyenangkan. (Poespoprodjo, 1998: 60)
Aliran ini berpendapat bahwa yang dinilai baik itu ialah sesuatu
yang dapat memberikan rasa nikmat bagi manusia. Alasannya karena
rasa nikmat itu merupakan suatu hal yang pada dirinya sendiri baik bagi
manusia. Kaidah dasar hedonisme egois ialah: “Bertindaklah sedemikian rupa
sehingga engkau mencapai jumlah akibat yang paling besar. Dan hindarilah
segala macam yang bisa menimbulkan rasa sakit darimu”.
Aliran hedonisme egois merupakan bagian penting dari hedonisme
itu sendiri. Aliran ini adalah salah satu teori etika yang paling tua, paling
sederhana, paling kebenda-bendaan, dan dari abad ke abad selalu kita
temukan kembali. Dan banyak orang yang belum pernah dengan sadar
merumuskan filsafat hidup untuk diri mereka sendiri, hidup mengikuti
prinsip aliran ini. Untuk aliran ini kesenangan (kenikmatan) adalah
tujuan akhir hidup dan yang baik yang ter-tinggi.
Dalam pergaulan sehari-hari sering kita merasa ingin dihargai oleh
orang lain dalam segala aspek kehidupan. Begitupun halnya dengan
orang lain. Ia pun sama mempunyai perasaan ingin dihargai oleh kita.
Karena itu, jika kita berusaha untuk berbuat baik kepada orang lain, pada
hakikatnya kita mengharap agar orang lain menghargai kita dan mau
berbuat baik kepada kita. Kita berkorban demi orang lain sebenarnya

58 
bahwa bukan untuk menyakiti perasaan kita, justru untuk mendapatkan
kenikmatan dalam diri kita.

Eudemonisme

Eudemonisme mengajarkan bahwa segala tindakan manusia ada


tujuannya. Ada tujuan yang dicari demi suatu tujuan selanjutnya dan
ada tujuan yang dicari demi dirinya sendiri. Misalnya seorang yang
belajar ilmu ekonomi mempunyai tujuan agar ia dapat memberikan
tuntunan kepada masyarakatnya tentang masalah ekonomi. Tetapi
tujuan ini bukan merupakan tujuan akhir bagi dirinya, ia masih
mempunyai sejumlah tujuan lainnya.
Bahkan akhirnya ia akan menyertakan suatu tujuan demi dirinya
sendiri, yaitu, mencapai kebahagiaan hidup (eudemonia). Eudemonisme
mengemukakan suatu kaidah dasar etikannya yang berbunyi: “Ber-
tindaklah engkau sedemikian rupa sehingga engkau mencapai kebahagiaan”.
Menurut kaidah ini tindakan manusia ditunjukkan untuk mencapai
kebahagiaan.

4. Teori Utilitarian

Teori ini menjadi terkenal sejak disistematisasikan oleh filsuf


Inggris bernama John Stuart Mill dalam bukunya yang berjudul On
Liberty. Menurut Hidayat Natatmadja (1984); 86), liberty atau liberalisme
berasal dari kata “liberte” yang berarti merdeka. Pada zaman Revolusi
Perancis liberalisme itu merupakan motto yang dikumandangkan di
mana-mana, merupakan lambang sakral perjuangan jihad bangsa-
bangsa di Eropa saat itu.
Sesuai dengan namanya utilitarisme berasal dari kata utility
dengan bahasa latinnya utilis yang artinya “bermanfaat”. Teori ini
menekankan pada perbuatan yang menghasilkan manfaat, tentu bukan
sembarang manfaat tetapi manfaat yang paling banyak membawa
kebahagiaan bagi banyak orang. Secara historis utilitarianisme terbit dari
hedonisme. Jeremy Bentham dianggap sebagai bapak aliran ini.
Demikian pula dengan implementasi utilitarisme. Meski pun
sudah dialami manfaat dari utilitarisme bukan berarti utilitarisme secara
teoritis tidak memiliki masalah. Jika semua yang dikategorikan sebagai
baik hanya diperoleh dari manfaat terbanyak bagi orang ter-banyak,

59 
maka apakah akan ada orang yang dikorbankan? Anggap saja ada
anjing gila, anjing tersebut suka menggigit orang yang lewat. 7 dari 10
orang menyarankan anjing tersebut dibunuh sedangkan 3 lainnya
menyarankan dibunuh. Penganut utilitarisme akan menjawab tentu
yang baik jika anjing itu dibunuh. Lalu saran 3 orang tadi dikemanakan?
Apakah mereka harus menerima itu begitu saja? Kalau menurut teori ini
YA.
Kasus di atas hanyalah sebatas anjing bagaimana jika manusia?
Bukan tidak mungkin hal ini terjadi bahkan sudah terjadi, tentu dalam
perkembangan peradaban ada sejarah diskriminasi ras maupun etnis.
Kasus diskriminasi ras kulit hitam dan diskriminasi etnis Tionghoa
sebelum tahun 1997 tampaknya tidak terdengar asing lagi di telinga.
Salah satu sebab mereka didiskriminasikan karena mereka minoritas,
dan mayoritas berhak atas mereka. Oleh utilitarisme hal ini dibenarkan
selama diskriminasi membawa manfaat. Karena tujuan dari hidup
adalah kebahagiaan yang paling besar bagi jumlah orang yang terbesar
(the greatest happiness of the greatest number). (W. Poespoprodjo, 1996: 62)
Dibalik kengerian dari aplikasi teori utilitarisme ini, ada pula hal
yang melegakan. Salah satunya adalah ketika berkenaan dengan bisnis
dan keuangan. Perhitungan ala utilitaris ini dapat berlaku sebagai
tinjauan atas keputusan yang akan diambil. Mengingat dalam keuangan
yang ada kebanyakan adalah angka-angka, jadi keputusan dapat di-
ambil secara mudah berdasarkan jumlah terbanyak bagi manfaat ter-
banyak. Jadi, hakikatnya secara historis utilitarianisme lahir dari
hedonisme. Jeremy Bentham dianggap sebagai bapak aliran ini. Bertolak
dari gagasan bahwasanya kesenangan dan kesedihan itu adalah satu-
satunya motif yang memerintah manusia.
Kesenangan dan kesedihan perseorangan adalah bergantung
kepada kebahagiaan dan kemakmuran pada umum nya dari seluruh
masyarakat. Kebaikan moral suatu perbuatan ditentukan oleh
kegunaannya/kemanfaatannya dalam memajukan kesejahteraan
bersama dari semua saja, dan juga keuntungan orang perorang sendiri.
Tujuan dari hidup adalah kebahagiaan yang paling besar bagi jumlah
orang yang terbesar (the greatest happiness of the greatest number).
Utilitarisme adalah sebuah teori teleologis universal. Dikatakan
teleologis karena utilitarisme menilai betul salahnya tindakan manusia

60 
ditinjau dari segi manfaat akibatnya. Larangan untuk berbuat korupsi
itu lebih buruk daripada kita tidak berbuat korupsi. Andaikata akibat-
akibat dari korupsi itu lebih baik daripada tidak korupsi. Kita mesti
berupaya untuk menghasilkan kelebihan-kelebihan yang sebesar-
besarnya dari akibat-akibat baik terhadap akibat-akibat buruk. Dengan
demikian, tindakan yang baik adalah tindakan yang dapat men-
datangkan akibat-akibat baik bagi kepentingan semua orang yang dapat
kita pengaruhi.
Sifat utilitarisme adalah universal karena yang jadi penilaian
norma moral bukanlah akibat-akibat baik bagi dirinya sendiri melain-
kan juga baik bagi seluruh manusia. Kita harus mempertimbangkan
kepentingan dari semua orang, yang mungkin akan berpengaruh oleh
tindakan kita, termasuk diri kita sendiri. Maka utilitarisme mengatasi
egoisme dan membenarkan bahwa pengorbanan pribadi untuk
kepentingan orang lain merupakan tindakan yang paling tinggi nilai
moralnya.
Secara konkret, dalam kerangka etika utilitarianisme kita dapat
merumuskan tiga kriteria objektif yang dapat dijadikan dasar objek
sekaligus norma untuk menilai suatu kebijaksanaan atau tindakan.
Kriteria pertama adalah manfaat. Kriteria kedua adalah manfaat ter-besar.
Kriteria ketiga menyangkut pertanyaan mengenai manfaat terbesar
untuk siapa. Dengan demikian, kriteria yang sekaligus menjadi
pegangan objektif etika utilitarianisme adalah: manfaat terbesar bagi
sebanyak mungkin orang.
Jadi, secara historis utilitarianisme lahir dari hedonisme. Jeremy
Bentham dianggap sebagai bapak aliran ini. Bertolak dari gagasan
bahwasannya kesenangan dan kesedihan itu adalah satu-satunya motif
yang memerintah manusia. Aliran utilitarianisme mencapai perkem-
bangan sepenuhnya dalam diri John Stuart Mill.
“The creed which accepts as the foundation of moarls. Utility, or the
greatest happiness principle holds that actions are right in proportion as
they tend to promote happiness, wrong as they tend to produce the
reverse of happiness. By happiness is intended pleasure, and the absence
of pain; by unhappiness pain, and the privation of pleasure”.

61 
5. Stoisisme

Dalam dunia filsafat moral, aliran stoisisme langsung berlawanan


dengan hedonismenya Epicurus. Anthisthenes, sebagaimana juga
Arristipus, adalah murid Socrates. Anthisthenes melebih-lebihkan
doktrin gurunya ke arah yang berlawanan. Mengagumi sikap pantang
dan tidak mau terikat pada konvensi dari gurunya, Anthisthenes
mengajarkan bahwa kebajikan tidak hanya jalan ke arah kebahagiaan,
tetapi kebajikan adalah kebaikan, dan tabiat buruk adalah satu-satunya
kejahatan, dan hal-hal lainnya indiferen. Kesesatan paling besar adalah
berpendapat bahwa kesenangan itu sesuatu yang baik. Anthisthenes
konon pernah berkata: “Aku lebih baik gila dari pada senang”. Hakikat
kebajikan adalah self-sufficiency merdeka, tidak bergantung kepada apa
saja dan siapa saja.
Stoisisme merupakan suatu bentuk materialisme, panteisme, dan
fatalisme. Bagi kaum stoisis, dunia itu terdiri dari badan dunia yang
terdiri dari materi kasar yang nampak pada pancaindera kita dan jiwa
dunia, dan materi halus yang berhembus sebagai angin melintas dunia,
menggerakkan dunia dan membuatnya laksana binatang yang sangat
besar. Aliran ini berpandangan bahwa kebajikan adalah yang baik satu-
satunya. Ini bukan jalan ke arah suatu tujuan, melainkan tujuan itu
sendiri. “Virtue is its own reward”.
Kebajikan tidak mengenal taraf-taraf, dan siapa saja yang mempu-
nyai satu kebajikan berarti mempunyai seluruh kebajikan. Hanya saja
apakah hidup sesuai dengan alam atau tidak sesuai dengan alam. Yang
hidup sesuai dengan alam adalah seorang bijaksana atau seorang filsuf,
sedang yang tidak sesuai dengan alam adalah orang sinting, a fool. Dalam
filsafat Kant, umpamanya tentang gagasan kebajikan; kewajiban demi
kewajiban adalah ciri stoisis, dan gagasan tentang mengejar tujuan yang
tidak pernah tercapai akan membawa kita ke arah teori-teori berikut:

6. Evolusionisme

Teori evolusi sebenarnya hanya menyatakan bahwa manusia selalu


bisa lebih sempurna dan kemajuan itu tidak mengenal batas, hanya
dalam istilah-istilah biologis, yaitu suatu gagasan yang sangat
berpengaruh dalam abad XX. Kemajuan, perkembangan, dipandang

62 
sebagai tujuan hidup. Maju, berevolusi, berkembang adalah hal yang
penting. Tidak peduli ke mana kita menuju selama kita di jalan kita saja.
Prosesnya sendiri itu yang penting, meskipun tujuan tidak jelas.
Herbert Spencer adalah “nabi” dalam bidang evolusi. Ia berkata
“Life is adjustment of internal relations to external relations”. Sifat
penyesuaian ini adalah individual, rasial, atau berasaskan kerja sama,
yaitu kerjasama segala sesuatu dalam semesta ini tanpa saling men-
campuri. Penyesuaian (adjustment) menyebabkan kesenangan sebalik-
nya, berarti kesedihan. Jadi inti dari teori evolusi adalah kelanjutan
perubahan, penyesuaian kembali, dan pengarahan kembali. Tidak
terdapat tujuan yang pasti. Sebab lebih baik dalam perjalanan daripada
sampai di tempat tujuan, it is better to travel than to arrive.

7. Teori Teonom

Sekarang kita akan membicarakan pendapat yang mendasarkan


norma-norma moral kepada kehendak Allah. Sehingga teori ini dinamai
teonom yang ter-diri dari dua kata; theos yang berarti Allah dan nomos,
yang berarti hukum. Teori ini di bagi menjadi dua, yaitu:
Pertama, Etika Teonom Murni. Etika ini mengajarkan bahwa suatu
tindakan dikatakan benar bila sesuai dengan kehendak Allah, dan
dikatakan salah apa bila tidak sesuai. Suatu tindakan wajib dikerjakan
jika diperintahkan Allah. Teori ini banyak dipegang oleh orang-orang
beragama. Tapi kita di sini tidak akan membicarakannya sebagai
pendapat agama. Apalagi karena pendapat ini dalam rangka agama
memang betul dan tidak mempunyai implikasi etis. Menurut pendapat
ini, Allah itu sama sekali bebas dalam menentukan apa yang harus kita
anggap baik dan apa yang harus kita anggap buruk. Berzina dinilai
buruk bukan karena jeleknya perbuatan itu, tetapi semata karena zina
memang dilarang Allah. Tugas manusia adalah menerima apa yang
dijelaskan Allah terhadapnya jangan sampai berpikir sendiri karena
pikirannya tidak berdaya, atau sangat terbatas dayanya untuk memikir-
kan Allah.
Kedua, teori hukum kodrat. Hukum abadi berada dalam Tuhan.
Selama diterapkan pada makhluk, disebut hukum kodrat. Teori ini
mengatakan bahwa baik dan buruk ditentukan oleh Allah seakan-akan

63 
secara sewenang-wenang. Sesuatu dikatakan benar jika sesuai dengan
tujuan manusia atau sesuai dengan kodrat manusia (fitrah manusia).
Hukum kodrat dalam arti hukum moral kodrat adalah partisipasi
makhluk rasional pada hukum abadi. Hukum kodrat ditujukan kepada
manusia melalui akal budinya secara virtual. Dengan menyelidiki kodrat
nya dengan terang akal budinya, manusia mengembangkan hukum
kodrat menjadi suatu moral code dari prinsip-prinsip moral. Jadi, hukum
kodrat tidaklah menuntut ide bawaan (innate ides). (W. Poespoprodjo, 60-3)
Dalam nomenklatur Islam, hukum kodrat atau biasa disebut
dengan istilah qadha dan qadar merupakan peristilahan populer di-
kalangan mutakallimin, ter-utama sekali diperdebatkan oleh dua aliran
dalam Islam, yaitu; Mu’tazilah dan Qodariyah, serta Asy’ariyah. Menurut
nya, hukum kodrat sepenuhnya adalah kehendak dari perbuatan
manusia, Tuhan sudah tidak lagi ikut campur tangan. Sementara,
Asy’ariyah menjadikan kodrat atau kehendak manusia merupakan
bagian yang terpisahkan dari apa yang telah ditentukan oleh Tuhan.
Karena itu, hukum kodrat telah menghiasi pemikiran teologi Islam.

D. Etika Islami

Suud Fuadi dalam tulisannya berjudul “Ekonomi dan Bisnis


Syariah”, memberikan uraian tentang perbedaan etika Islam dan
konvensional. Menurutnya, etika yang dipahami sebagai seperangkat
prinsip yang mengatur hidup manusia (a code or set of principles which
people live). Berbeda dengan moral, etika merupakan refleksi kritis dan
penjelasan rasional mengapa sesuatu itu baik dan buruk. Menipu orang
lain adalah buruk. Ini berada pada tataran moral, sedangkan kajian kritis
dan rasional mengapa menipu itu buruk dan apa alasan pikirnya,
merupakan lapangan etika.
Perbedaan antara moral dan etika sering kabur dan cenderung
disamakan. Intinya, moral dan etika diperlukan manusia supaya hidup-
nya teratur dan bermartabat. Orang yang menyalahi etika akan
berhadapan dengan sanksi masyarakat berupa pengucilan dan bahkan
pidana. Bisnis merupakan bagian yang tak bisa dilepaskan dari kegiatan
manusia. Sebagai bagian dari kegiatan ekonomi manusia, bisnis juga

64 
dihadapkan pada pilihan-pilihan penggunaan factor produksi. Efisiensi
dan efektifitas menjadi dasar prilaku kalangan pebisnis.
Sejak zaman klasik sampai era modern, masalah etika bisnis dalam
dunia ekonomi tidak begitu mendapat tempat. Ekonom klasik banyak
berkeyakinan bahwa sebuah bisnis tidak terkait dengan etika. Dalam
ungkapan Theodore Levitt, tanggung jawab perusahaan hanya-lah
mencari keuntungan ekonomis belaka. Atas nama efisiensi dan
efektifitas, tak jarang, masyarakat dikorbankan, lingkungan rusak dan
karakter budaya dan agama tercampakkan.
Perbedaan etika bisnis Islami dengan etika bisnis konvensional
yang selama ini dipahami dalam kajian ekonomi terletak pada landasan
tauhid dan orientasi jangka panjang (akhirat). Prinsip ini dipastikan lebih
mengikat dan tegas sanksinya. Etika bisnis Islami memiliki dua cakupan.
Pertama, cakupan internal, yang berarti perusahaan memiliki
manajemen internal yang memperhatikan aspek kesejahteraan karya-
wan, perlakuan yang manusiawi dan tidak diskriminatif plus
pendidikan.
Kedua, cakupan eksternal meliputi aspek transparansi, akun-
tabilitas, kejujuran dan tanggung jawab. Demikian pula kesediaan
perusahaan untuk memperhatikan aspek lingkungan dan masyarakat
sebagai stake holder perusahaan.
Abdallah Hanafi dan Hamid Salam, Guru Besar Business
Administration di Mankata State University menambahkan cakupan etika
Islami berupa nilai ketulusan, keikhlasan berusaha, persaudaraan dan
keadilan. Sifatnya juga universal dan bisa dipraktikkan siapa saja. Etika
bisnis syariah bisa diwujudkan dalam bentuk ketulusan perusahaan
dengan orientasi yang tidak hanya pada keuntungan perusahaan namun
juga bermanfaat bagi masyarakat dalam arti sebenarnya.
Pendekatan win-win solution menjadi prioritas. Semua pihak
diuntungkan sehingga tidak ada praktik “culas” seperti menipu
masyarakat atau petugas pajak dengan laporan keuangan yang rangkap
dan lain-lain. Bisnis juga merupakan wujud memperkuat persaudaraan
manusia dan bukan mencari musuh. Jika dikaitkan dengan pertanyaan
di awal tulisan ini, apakah etika bisnis syariah juga bisa meminimalisir
keuntungan atau malah merugikan? Jawabnya tergantung bagai-mana

65 
kita melihatnya. Bisnis yang dijalankan dengan melanggar prinsip-
prinsip etika dan syariah seperti pemborosan, manipulasi, ketidak-
jujuran, monopoli, kolusi dan nepotisme cenderung tidak produktif dan
menimbulkan inefisiensi.
Etika yang diabaikan bisa membuat perusahaan kehilangan keper-
cayaan dari masyarakat bahkan mungkin dituntut di muka hukum.
Manajemen yang tidak menerapkan nilai-nilai etika dan hanya ber-
orientasi pada laba (tujuan) jangka pendek, tidak akan mampu bertahan
(survive) dalam jangka panjang. Jika demikian, pilihan berada di tangan
kita. Apakah memilih keuntungan jangka pendek dengan mengabaikan
etika atau memilih keuntungan jangka panjang dengan komit terhadap
prinsip-prinsip etika Islami.
Buku Max Weber The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism
(1904-5) menggambarkan hubungan erat antara (ajaran-ajaran) agama
dan etika kerja, atau antara penerapan ajaran agama dengan pemba-
ngunan ekonomi. Weber mulai dengan analisis ajaran agama Kristen
Protestan, dan menjelang akhir hayatnya dibahas pula (sosio-logi)
agama Cina (1915, Taoisme dan Confucianisme), India (1916, Hindu dan
Budha), dan Yudaisme (1917).
Yang menarik, meskipun Weber merumuskan kesimpulannya
setelah mempelajari secara mendalam ajaran-ajaran agama besar di
dunia ini, namun berulang kali dijumpai kontradiksi-kontradiksi. The
church did influence people’s attitudes toward the economy but mostly in a
negative manner because the economic mentality it furthered was essentially
traditionalistic. The church like hierocracy more generally has casually
encouraged a ”non-capitalistic and partly anti-capitalistic”.
Dalam ekonomi Islam etika agama kuat sekali melandasi hukum-
hukum-nya. Namun juga disini banyak keberhasilan ekonomi malahan
didasarkan pada penyimpangan ajaran-ajarannya. Maka terkuaklah
”rahasia” kontradiksi. Kapitalisme berhasil di kalangan umat Kristen
karena perintah-perintah agama dikesampingkan, dan sebaliknya umat
Islam miskin karena banyak firman Allah ditinggal-kan.
Etika dan Perilaku Ekonomi. Etika sebagai ajaran baik-buruk,
benar-salah, atau ajaran tentang moral khususnya dalam perilaku dan
tindakan-tindakan ekonomi, bersumber terutama dari ajaran agama.
Itulah sebabnya banyak ajaran dan paham dalam ekonomi Barat

66 
menunjuk pada kitab Injil (Bible), dan etika ekonomi Yahudi banyak
menunjuk pada Taurat. Demikian pula etika ekonomi Islam termuat
dalam lebih dari seperlima ayat-ayat yang dimuat dalam Al-Quran.
Namun jika etika agama Kristen-Protestan telah melahirkan semangat
(spirit) kapitalisme, maka etika agama Islam tidak mengarah pada
Kapitalisme maupun Sosialisme. Jika Kapitalisme menonjolkan sifat
individualisme dari manusia, dan Sosialisme pada kolektivisme, maka
Islam menekankan empat sifat sekaligus yaitu:
1. Kesatuan (unity).
2. Keseimbangan (equilibrium).
3. Kebebasan (free will).
4. Tanggungjawab (responsibility).

Manusia sebagai wakil (kalifah) Tuhan di dunia tidak mungkin


bersifat individualistik karena semua (kekayaan) yang ada di bumi
adalah milik Allah semata, dan manusia adalah kepercayaannya di
bumi. Sistem ekonomi Islam berbeda dari Kapitalisme, Sosialisme, mau
pun Negara Kesejahteraan (Welfare State). Berbeda dari Kapitalisme
karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh
yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. ”Kecelakaan lah bagi
setiap … yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung” (104-2). Orang
miskin dalam Islam tidak dihujat sebagai kelompok yang malas dan
yang tidak suka menabung atau berinvestasi. Ajaran Islam yang paling
nyata menjunjung tinggi upaya pemerataan untuk mewujudkan
keadilan sosial, ”jangan sampai kekayaan hanya beredar di kalangan orang-
orang kaya saja diantara kamu” (59:7).
Disejajarkan dengan Sosialisme, Islam berbeda dalam hal
kekuasaan negara, yang dalam Sosialisme sangat kuat dan menentukan.
Kebebasan perorangan yang dinilai tinggi dalam Islam jelas berten-
tangan dengan ajaran Sosialisme. Akhirnya ajaran Ekonomi Kesejah-
teraan (Welfare State), yang berada di tengah-tengah antara Kapitalisme
dan Sosialisme, memang lebih dekat ke ajaran Islam. Bedanya hanyalah
bahwa dalam Islam etika benar-benar dijadikan pedoman perilaku
ekonomi sedangkan dalam Welfare State tidak demikian, karena etika
Welfare State adalah sekuler yang tidak mengarahkan pada ”integrasi

67 
vertikal” antara aspirasi materi dan spiritual. (Dapat dilihat Mohammad
Naeem Khan, 2006: 3)
Demikian dapat disimpulkan bahwa dalam Islam pemenuhan
kebutuhan materiil dan spiritual benar-benar dijaga keseimbangannya,
dan pengaturan oleh negara, meskipun ada, tidak akan bersifat otoriter.
State intervention, directed primarily at reconciling the possible social conflict
between man’s ethical and economic behavior cannot lead the society onto “road
to serfdom” but will guide it gently along the road to human freedom and
dignity.
Karena etika dijadikan pedoman dalam kegiatan ekonomi dan
bisnis, maka etika bisnis menurut ajaran Islam juga dapat digali lang-
sung dari Al Qur’an dan Hadits Nabi. Misalnya karena adanya larangan
riba, maka pemilik modal selalu terlibat langsung dan bertanggung
jawab terhadap jalannya perusahaan miliknya, bahkan terhadap buruh
yang dipekerjakannya. Perusahaan dalam sistem ekonomi Islam adalah
perusahaan keluarga bukan Perseroan Terbatas yang pemegang
sahamnya dapat menyerahkan pengelolaan perusahaan begitu saja pada
Direktur atau manager yang digaji. Memang dalam sistem yang
demikian tidak ada perusahaan yang menjadi sangat besar, seperti di
dunia kapitalis Barat, tetapi juga tidak ada perusahaan yang tiba-tiba
bangkrut atau dibangkrutkan.
Etika Bisnis Islam menjunjung tinggi semangat saling percaya,
kejujuran, dan keadilan, sedangkan antara pemilik perusahaan dan
karyawan berkembang semangat kekeluargaan (brotherhood). Misalnya
dalam perusahaan yang Islami gaji karyawan dapat diturunkan jika
perusahaan benar-benar merugi dan karyawan juga mendapat bonus
jika keuntungan perusahaan meningkat. Buruh muda yang masih
tinggal bersama orang tua dapat dibayar lebih rendah, sedangkan yang
sudah berkeluarga dan punya anak dapat dibayar lebih tinggi dibanding
rekan-rekannya yang muda. Karenanya, etika bisnis Islami dapat
memberikan pedoman bagi manusia pebisnis yang abid sekaligus khalifah
yang ulul albab. Sebagaimana digambarkan berikut ini:

68 
Gambar 3.1
Fungsi Manusia

Al-Qur’an surat Ali Imran, ayat 190-191 dikatakan:

‫ت ﻷوﻟِﻲ‬
ٍ ‫ﻞ وَاﻟَّﻨﻬَﺎ ِر ﻵﻳَﺎ‬
ِ ‫ف اﻟَّﻠ ْﻴ‬
ِ ‫ﺧﺘِﻼ‬
ْ ‫ض وَا‬
ِ ‫ت وَاﻷ ْر‬
ِ ‫ﺴﻤَﺎوَا‬
َّ ‫ﻖ اﻟ‬
ِ ‫ﺧ ْﻠ‬
َ ‫ن ﻓِﻲ‬ َّ ‫ِإ‬ 190
‫ب‬
ِ ‫اﻷ ْﻟﺒَﺎ‬
‫ﻖ‬
ِ ‫ﺧ ْﻠ‬
َ ‫ن ﻓِﻲ‬
َ ‫ﺟﻨُﻮ ِﺑ ِﻬ ْﻢ َو َﻳ َﺘ َﻔ َّﻜﺮُو‬
ُ ‫ﻋﻠَﻰ‬
َ ‫ن اﻟَّﻠ َﻪ ِﻗﻴَﺎﻣًﺎ َو ُﻗﻌُﻮدًا َو‬
َ ‫ﻦ َﻳ ْﺬ ُآﺮُو‬
َ ‫اَّﻟﺬِﻳ‬ 191
‫ب اﻟ َﻨّﺎ ِر‬
َ ‫ﻋﺬَا‬
َ ‫ﻚ َﻓ ِﻘﻨَﺎ‬
َ ‫ﺳ ْﺒﺤَﺎ َﻧ‬ ُ ‫ﺖ َهﺬَا ﺑَﺎﻃِﻼ‬ َ ‫ﺧَﻠ ْﻘ‬
َ ‫ض َرَّﺑﻨَﺎ ﻣَﺎ‬
ِ ‫ت وَاﻷ ْر‬ ِ ‫ﺴﻤَﺎوَا‬ َّ ‫اﻟ‬

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian siang dan
malam, terdapat ayat-ayat (simbol-simbol) bagi ulil albab, (yaitu) orang yang
berdzikir kepada Allah tengah ia berdiri, duduk dan berbaring, dan bertafakur
tentang penciptaan langit dan bumi. (Kemudian ia berkata) ‘Tuhan kami,
tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka
jauhkanlah kami dari azab neraka.”
Erat keterikatan berada pada puncaknya, tatkala zikir dan pikir
menyatu pada keseluruhan. Tingkah laku yang dicerminkan oleh
manusia (ulul albab) yang disebut akhlak karimah, menjadi manusia-
manusia sempurna (muttaqin).

69 
BAB IV
KONSEPSI ETIKA
DALAM AL-QUR’AN

A. Landasan Filosofis

Berkenaan dengan pembahasan tentang “etika bisnis” di sebagian


besar paradigma pemikiran pebisnis terasa kontradiksi interminis (ber-
tentangan dalam dirinya sendiri) atau Oxymoron; mana mungkin ada
bisnis yang bersih, bukankah setiap orang yang berani memasuki
wilayah bisnis berarti ia harus berani (paling tidak) “bertangan kotor”.
Begitu kuatnya Oxymoron itu, muncul istilah business ethics atau
ethics in business. Sekitar dasawarsa 1960-an, istilah itu di Amerika
Serikat menjadi bahan controversial. Orang boleh saja berbeda pendapat
mengenai kondisi moral lingkungan bisnis tertentu dari waktu ke
waktu. Tetapi agaknya kontroversi ini buka nya berkembang ke arah
yang produktif, tapi malah semakin menjurus ke suasana debat kusir.
Dalam teori etika bisnis Kapitalis, awalnya etika bisnis lahir di
Amerika pada tahun 1970-an kemudian meluas ke Eropa tahun 1980an
dan menjadi fenomena global di tahun 1990-an jika sebelumnya hanya
para teolog dan agamawan yang membicarakan masalah-masalah moral
dari bisnis, sejumlah filsuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah-
masalah etis di sekitar bisnis, dan etika bisnis dianggap sebagai suatu
tanggapan tepat atas krisis moral yang meliputi dunia bisnis di Amerika
Serikat, akan tetapi ironisnya justru negara Amerika yang paling gigih
menolak kesepakatan Bali pada pertemuan negara-negara dunia tahun
2007 di Bali. Ketika sebagian besar negara-negara peserta memperma-
salahkan etika industri, kata Muhsinhar, negara-negara maju yang

70 
menjadi sumber penyebab global warming agar dibatasi, Amerika
menolaknya.
Wacana tentang nilai-nilai moral (keagamaan) tertentu ikut
berperan dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat tertentu, telah
banyak digulirkan dalam masyarakat ekonomi sejak memasuki abad
modern, sebut saja Misalnya, Max Weber dalam karyanya yang terkenal,
The Religion Ethic and the Spirit Capitalism, meneliti tentang
bagaimana nilai-nilai protestan telah menjadi kekuatan pendorong bagi
tumbuhnya kapitalisme di dunia Eropa barat dan kemudian Amerika.
Walaupun di kawasan Asia (terutama Cina) justru terjadi sebalik-
nya sebagai mana yang ditulis Weber. Dalam karyanya The Religion Of
China: Confu-cianism and Taoism, Weber mengatakan bahwa etika
konfusius adalah salah satu faktor yang menghambat tumbuhnya
kapitalisme nasional yang tumbuh di China. Atau yang lebih menarik
barangkali adalah Studi Wang Gung Wu, dalam bukunya China and The
Chinese Overseas, yang merupakan revisi terbaik bagi tesisnya Weber
yang terakhir.
Apalagi ada satu pandangan bahwa masalah etika bisnis seringkali
muncul berkaitan dengan hidup matinya bisnis tertentu, yang apabila
“beretika” maka bisnisnya terancam pailit. Di sebagian masyarakat yang
nir normative dan hedonistik materialistk, pandangan ini tampkanya
bukan merupakan rahasia lagi karena dalam banyak hal ada konotasi
yang melekat bahwa dunia bisnis dengan berbagai lingkupnya dipenuhi
dengan praktik-praktik yang tidak sejalan dengan etika itu sendiri.
Di sisi lain dalam tingkatan praktis tertentu, studi empiris tentang
etika usaha (bisnis) itu akan banyak membawa manfaat: yang bisa
dijadikan faktor pendorong bagi tumbuhnya ekonomi, taruhlah dalam
hal ini di masyarakat Islam. Tetapi studi empiris ini bukannya sama
sekali tak bermasalah, terkadang, karena etika dalam ilmu ini meng-
ambil posisi netral (bertolak dalam pijakan metodologi positivistis),
maka temuan hasil studi netral itu sepertinya kebal terhadap penilaian-
penilaian etis.
Menarik untuk di soroti adalah bagaimana dan adakah konsep
Islam menawarkan etika bisnis bagi pendorong bangkitnya roda
ekonomi. Filosofi dasar yang menjadi catatan penting bagi bisnis Islami

71 
adalah bahwa, dalam setiap gerak langkah kehidupan manusia adalah
konsep hubungan manusia dengan manusia, lingkungannya serta
manusia dengan Tuhan (Hablum minallah dan hablum minannas). Dengan
kata lain bisnis dalam Islam tidak semata mata merupakan manifestasi
hubungan sesama manusia yang bersifat pragmatis, akan tetapi lebih
jauh adalah manifestasi dari ibadah secara total kepada sang Pencipta.
Jika kita menelusuri sejarah, dalam agama Islam tampak
pandangan positif terhadap perdagangan dan kegiatan ekonomis. Nabi
Muhammad SAW adalah seorang pedagang, dan agama Islam disebar
luaskan terutama melalui para pedagang muslim. Dalam Al-Qur’an
terdapat peringatan terhadap penyalahgunaan kekayaan, tetapi tidak
dilarang mencari kekayaan dengan cara halal (QS: 2: 275), ”Allah telah
menghalalkan perdagangan dan melarang riba”.
Islam menempatkan aktivitas perdagangan dalam posisi yang
amat strategis di tengah kegiatan manusia mencari rezeki dan peng-
hidupan. Hal ini dapat dilihat pada sabda Rasulullah SAW: ”Perhatikan
olehmu sekalian perdagangan, sesungguhnya di dunia per-dagangan itu
ada sembilan dari sepuluh pintu rezeki”. Dawam Rahardjo justru
mencurigai tesis Weber tentang etika Protestantisme, yang menyitir
kegiatan bisnis sebagai tanggungjawab manusia terhadap Tuhan
mengutipnya dari ajaran Islam.
Kunci etis dan moral bisnis sesungguhnya terletak pada pelaku
nya, itu sebabnya misi diutusnya Rasulullah ke dunia adalah untuk
memperbaiki akhlak manusia yang telah rusak. Seorang pengusaha
muslim berkewajiban untuk memegang teguh etika dan moral bisnis
Islami yang mencakup Husnul Khuluq. Pada derajat ini Allah akan
melapangkan hatinya, dan akan membukakan pintu rezeki, dimana
pintu rezeki akan terbuka dengan akhlak mulia tersebut, akhlak yang
baik adalah modal dasar yang akan melahirkan praktik bisnis yang etis
dan moralis. Salah satu dari akhlak yang baik dalam bisnis Islam adalah
kejujuran (QS: Al Ahzab;70-71).
Sebagian dari makna kejujuran adalah seorang pengusaha
senantiasa terbuka dan transparan dalam jual belinya, ”Tetapkanlah
kejujuran karena sesungguhnya kejujuran mengantarkan kepada kebaikan dan
sesungguhnya kebaikan mengantarkan kepada surga”, (Hadits). Akhlak yang
lain adalah amanah, Islam menginginkan seorang pebisnis muslim

72 
mempunyai hati yang tanggap, dengan menjaganya dengan memenuhi
hak-hak Allah dan manusia, serta menjaga mua’ malahnya dari unsur
yang melampaui batas atau sia-sia. Seorang pebisnis muslim adalah
sosok yang dapat dipercaya, sehingga ia tidak menzholimi kepercayaan
yang diberikan kepadanya ”Tidak ada iman bagi orang yang tidak
punya amanat (tidak dapat dipercaya), dan tidak ada agama bagi orang
yang tidak menepati janji”, ”pedagang yang jujur dan amanah (tempat-nya
di surga) bersama para nabi, Shiddiqin (orang yang jujur) dan para syuhada”.
(Hadits).
Sifat toleran juga merupakan kunci sukses pebisnis muslim,
toleran membuka kunci rezeki dan sarana hidup tenang. Manfaat toleran
adalah memper mudah pergaulan, mempermudah urusan jual beli, dan
mempercepat kembalinya modal ”Allah mengasihi orang yang lapang
dada dalam menjual, dalam membeli serta melunasi utang” (Hadits).
Konsekuen terhadap akad dan perjanjian merupakan kunci sukses
yang lain dalam hal apapun sesungguhnya Allah memerintah kita untuk
hal itu ”Hai orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu”, (QS: Al-
Maidah;1). ”Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggungjawabannya” (QS: Al Isra;34). Menepati janji mengeluarkan
orang dari kemunafikan sebagai mana sabda Rasulullah, ”Tanda-tanda
munafik itu tiga perkara, ketika berbicara ia dusta, ketika sumpah ia
mengingkari, ketika dipercaya ia khianat”. (Hadits).
Menurut A.M. Saefuddin, et. Al. (1998: 136), bahwa nilai-nilai etika
al-Qur’an akan dengan sendirinya membentuk sistem nilai. Bagi umat
Islam, sumber nilai dan norma Ilahiah, yaitu Qur’an dan Sunnah, serta
nilai duniawiyah, yaitu pikiran dan kenyataan alam. Sumber nilai
duniawiyah atau mondial digunakan sepanjang tidak menyimpang dari
sistem nilai Ilahiyah. Dengan sistem nilai dan norma Islam, manusia
dapat mendekati dan membaca berbagai aspek kehidupan, lingkungan
hidup serta dimensi alam semesta.
Dan dengan keterikatan sepenuhnya secara kuat terhadap sistem
nilai Ilahiyah (etika Islam), manusia tidak akan cenderung antroposentris,
yaitu melakukan sesuatu untuk mempertahankan, memelihara,
mengembangkan dan meningkatkan kualitas hidup, tidak hanya terarah
kepada diri manusia sendiri. Manusia yang demikian akan selalu
mengingat (dzikir) Allah sambil berdiri, duduk atau berbaring, dan

73 
memikirkan penciptaan langit dan bumi. Dan akhirnya ia menghayati
rasa tanggung jawab terhadap mutu kehidupan dan menyerah kan
penilaiannya kepada Allah.

‫ت‬
ِ ‫ﺴﻤَﺎوَا‬
َّ ‫ﻖ اﻝ‬
ِ ‫ﺧ ْﻠ‬
َ ‫ن ﻓِﻲ‬َ ‫ﺝﻨُﻮ ِﺏ ِﻬ ْﻢ َو َی َﺘ َﻔ َّﻜﺮُو‬
ُ ‫ﻋﻠَﻰ‬ َ ‫ن اﻝَّﻠ َﻪ ِﻗﻴَﺎﻣًﺎ َو ُﻗﻌُﻮدًا َو‬
َ ‫ﻦ َی ْﺬ ُآﺮُو‬
َ ‫اَّﻝﺬِی‬
‫ب اﻝ َﻨّﺎ ِر‬
َ ‫ﻋﺬَا‬ َ ‫ﻚ َﻓ ِﻘﻨَﺎ‬ َ ‫ﺳ ْﺒﺤَﺎ َﻥ‬
ُ ‫ﺖ َهﺬَا ﺏَﺎﻃِﻼ‬ َ ‫ﺧ َﻠ ْﻘ‬
َ ‫ض َر َّﺏﻨَﺎ ﻣَﺎ‬
ِ ‫وَاﻷ ْر‬
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau
duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
pen-ciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami,
tiadalah Eng kau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau,
maka pelihara lah kami dari siksa neraka”. (Q.S. Surat, Ali Imron, 3:
191)
Ia akan selalu berusaha berpikir, menggunakan akalnya secara
sistematik, sehingga menemukan ilmu pengetahuan dan teknologi
untuk mengelola sumber-sumber alami yang disediakan Allah bagi
kehidupan, tanpa lepas dari zikir. Dengan demikian kegiatan ilmiah dan
alamiah tetap berjalin dengan nilai (etika) Ilahiyah. Dengan sistem nilai
Ilahiyah, sebagai paradigma Islami dapat dibaca dengan jelas proses
intern ekosistem sumber-sumber alami dan insani, untuk men-capai
tujuan kehidupan yang baik di dunia yang diridhai Allah. Berikut
gambar 4.1 proses iterasi ekosistem kehidupan dalam berbisnis.

Sumber: A.M. Saefuddin, dkk. (1998: 138)

74 
Pada gambar 4.1 di atas nampak bahwa dari manapun kita
membaca dan menalar ekosistem, semuanya tidak terlepas dari
pengadilan nilai dan norma Islam. Sumber daya alami dan hayati adalah
anugerah Allah yang diamanatkan kepada manusia sebagai khalifah-Nya.
Penggalian, penemuan, pemanfaatan dan pengembangan ilmu dan
teknologi, dalam mengelola sumber daya untuk diperdagangkan (bisnis
kan), merupakan ibadah. Sesuai dengan hadits Nabi s.a.w.: “Kamu lebih
mengetahui urusan duniawimu”.

B. Al-Qur’an Sebagai Pedoman Etika

Dalam hidup, kita menemukan begitu banyak nilai (baca: norma)


yang memberi pedoman tentang bagaimana kita harus hidup dan
bertindak secara baik dan tepat, sekaligus menjadi dasar bagi penilaian
mengenai baik buruknya perilaku dan tindakan kita. Namun secara
umum kita dapat membedakan dua macam nilai, yaitu nilai khusus dan
nilai umum, (Frans Magnis-Suseno, 1987: 19). Nilai-nilai khusus adalah
aturan yang berlaku dalam bidang kegiatan atau kehidupan khusus,
misalnya aturan olahraga, aturan pendidikan, lebih khusus lagi aturan di
sebuah sekolah dan sebagainya.
Nilai-nilai ini khusus hanya berlaku untuk bidang itu saja, sejauh
orang masuk ke dalam bidang itu dan tidak berlaku lagi ketika orang
keluar dari bidang itu. Nilai-nilai umum sebaliknya lebih bersifat
umum dan sampai tingkat tertentu boleh dikatakan bersifat universal,
yaitu: nilai sopan santun, nilai hukum dan nilai moral. (A. Sonny Kera,
1998: 18)
Bagi kehidupan ekonomi, teori nilai yang berkaitan dengan (1)
konsumsi, (2) produksi dan (3) pertukaran komoditi di pasar barang-
kali berkaitan dengan tiga hal tersebut di atas. Akan tetapi kenyata-
annya, ketiga nilai universal itu tidak banyak dibahas kecuali teori nilai
dalam bentuk hedonisme dan utilitarianisme, yakni teori nilai yang
dipandang mempunyai hubungan dengan empirisme, karena kepuasan
utilitarian konsumtif bisa diterangkan dengan kejadian atau proses psiko
somatik yang terjadi di badan manusia.
Sebagai makhluk yang badannya terdiri dari materi sebagaimana
binatang, kita tidak bisa melepaskan diri dari nilai dalam arti utilitarian

75 
sebagaimana diungkapkan dalam teori ekonomi Barat. Hedonisme,
menurut Hidayat Nataatmadja (1984: 30), merupakan keadaan ekstrim
kalau utilitarianisme terjangkit penyakit psikologik (gangguan jiwa),
sehingga di dunia Barat pun tidak banyak dibicarakan orang, kecuali
barangkali sebagai penyimpangan yang mendekati masalah klinik pato-
logik.
Adalah tidak berlebihan dan reduktif apabila al-Qur’an disebut
sebagai pedoman etika atau tuntunan etika (ethic guidance) kehidupan,
termasuk di dalamnya bagaimana perilaku manusia dalam berdagang.
Sebab, al-Qur’an sendiri menyebut dirinya sebagai kitab petunjuk bagi
manusia dan “kritetirum pembeda” antara kebenaran dengan kebathilan
dan antara kebaikan dengan keburukan (hudan li al-nas wa bayyinat min
al-huda wa al-furqan), sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-Baqarah,
ayat 185.
Al-Qur’an juga sebagai pembenar (confirmer) dan penguji
(corrector) kitab suci-kitab suci (agama) yang lain (mushadiqan lima bayna
yadayhi min al-kitabi wa muhayminan ‘alayhi), (Q.S. al-Maidah, 5: 48).
Menurut penelitian Hendar Riyadi (2007: 118), al-Qur’an memuat
konsep-konsep dan prinsip-prinsip etik yang berkepentingan untuk
menghasilkan sikap-sikap yang benar bagi tindakan manusia, baik
dalam tindakan politik, sosial, ekonomi dan terutama dalam per-
dagangan.
Fazlur Rahman, sebagaimana dikutip Hendar, secara faktual
bahwa al-Qur’an merupakan sebuah buku ajaran etika, prinsip-prinsip
serta seruan-seruan moral, dan bukannya sebuah dokumen hukum.
Semangat al-Qur’an adalah semangat moral dengan penekanan pada ide
monotheisme, dan keadilan sosial ekonominya. Jadi, al-Qur’an muncul
sebagai suatu dokumen yang dari awal hingga akhirnya selalu mem-
berikan tekanan-tekanan moral. Dari sini dapat di-pahami bahwa tujuan
al-Qur’an sendiri adalah menegakkan tata sosial yang etis (berlandaskan
moral), transparansi dan berkeadilan.
Menurut George F. Hourani, yang dikutip Hendar (2007: 119)
sebagai se-orang pengamat etika Islam, mengklasifikasikan etika Islam
pada kategori “theistic subjectivism” – dan bukannya “rationalistic
objectivism” – yaitu dalam pengertian bahwa konsep baik dan buruk,
termasuk di dalamnya bagaimana membina hubungan yang harmonis

76 
antara saudara-saudara sesama dengan lainnya, khususnya di bidang
perdagangan oleh Tuhan lewat pemahaman ayat-ayat al-Qur’an secara
komprehensif.
Hanya saja dalam perkembangan tradisi Islam kemudian, para
ahli hukum (fuqaha) seringkali melangkah terlalu jauh dalam menjabar-
kan pernyataan-pernyataan retorik atau etik al-Qur’an menjadi
pernyataan-pernyataan hukum. Di sisi lain, mereka kurang terlibat
penuh dalam perumusan norma-norma hukum dari ayat-ayat yang
memiliki kepentingan hukum yang jelas. Kecenderungan demi-kian,
bukan saja berkonsekuensi pada tidak adanya rumusan sistematis etika
al-Qur’an dalam menjawab problem kemanusiaan universal –
khususnya dalam masalah muamalah - bisnis (perdagangan) –
melainkan juga penetapan fatwa-fatwa keagamaan yang selalu
menekankan wilayah haram dan halal, sehingga kurang melibatkan diri
pada fakta dan kenyataan tradisi bisnis yang seperti apa dan bagaimana.
Dalam kerangka inilah, kata Hendar, diperlukan suatu
penanganan khusus untuk merumuskan secara sistematis nilai-nilai
etika al-Qur’an sebagai pedoman kehidupan, khususnya dalam
hubungannya dengan bisnis perdagangan. Etika ini di-perlukan agar
manusia dapat hidup bekerjasama dalam melindungi kepentingan
kemanusiaan yang berkeadilan dan lingkungannya.

C. Konsep Kunci Etika Al-Qur’an

Sebagaimana telah dijelaskan di muka bahwa prinsip dasar umum


etika bisnis Islami adalah ketauhidan kuncinya. Maka pada sub bahasan
ini akan diuraikan secara singkat beberapa konsep kunci etika al-Qur’an.

1. Tauhid: Dasar Moralitas Qur’ani bagi Kaum Beriman

Etika fundamental al-Qur’an yang menjadi dasar teologi Islam


sekaligus mengajarkan wawasan keagamaan dan hubungan sosial antar
umat manusia dalam berbagai aspek adalah tauhid. Dalam Islam (Al-
Qur’an), tauhid merupakan konsep sentral yang berisi ajaran bahwa
Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu, dan bahwa manusia harus
mengabdikan diri sepenuhnya kepada-Nya. Konsep tauhid ini

77 
mengandung implikasi doktrinal lebih jauh bahwa tujuan kehidupan
manusia tak lain kecuali menyembah kepada Tuhan.
Tauhid sebagai pijakan etika Islam merupakan inti dari nilai-nilai
Islam. Rasul mengatakan bahwa dia diutus tidak lain untuk
memperbaiki etika masyarakat. Fazlur Rahman Anshari, sebagai-mana
dikutip Kuntowijoyo (1999: 30), mengatakan perlunya “Peniruan Etika
Tuhan” sebagai dasar bagi perbaikan moral manusia. Ia menyebutkan
lima etika ketuhanan sebagai landasan pembentukan moral manusia,
yaitu:
a. Rahman (pengasih)
b. Barr (pemulia)
c. Ghafur (pemaaf)
d. Rahim (penyayang), dan
e. Ihsan (berbuat baik, profesional)

Karenanya, menjadikan Tuhan selain Allah (syirik) merupakan


dosa besar yang tidak terampuni, karena bukan saja secara teologis tidak
diterima sebagai akidah yang benar, melainkan juga secara sosiologis
mengakibatkan perendahaan terhadap harkat martabat manusia yang
dimuliakan Tuhan. Oleh karena itu, seperti di-gambarkan dalam surat-
surat awal al-Qur’an – tauhid sejak awal telah menjadi dasar
fundamental dalam menciptakan tata sosial yang etis (berlandaskan
moral), kejujuran, dan berkeadilan, permainan kotor dalam perda-
gangan, ketiadaan tanggung-jawab sosial, dan eksploitasi kaum miskin.
Semangat profetik dari ide tauhid ini secara tegas digambarkan oleh al-
Qur’an dalam surat al-An’an, (6): 151-152, sebagai berikut:

‫ﻦ‬
ِ ‫ﺷ ْﻴﺌًﺎ َوﺑِﺎ ْﻟﻮَاِﻟ َﺪ ْﻳ‬
َ ‫ﺸ ِﺮآُﻮا ِﺑ ِﻪ‬ ْ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ أَﻻ ُﺗ‬ َ ‫ﺡ َّﺮ َم َرُّﺑ ُﻜ ْﻢ‬
َ ‫ﻞ ﻣَﺎ‬ ُ ‫ﻞ َﺗﻌَﺎَﻟﻮْا َأ ْﺗ‬
ْ ‫ُﻗ‬ 151

‫ﻦ َﻧ ْﺮ ُز ُﻗ ُﻜ ْﻢ َوِإ َﻳّﺎ ُه ْﻢ وَﻻ‬


ُ‫ﺤ‬ْ ‫ق َﻧ‬ ٍ ‫ﻦ ِإﻣْﻼ‬ ْ ‫ﺡﺴَﺎﻧًﺎ وَﻻ َﺗ ْﻘ ُﺘﻠُﻮا َأوْﻻ َد ُآ ْﻢ ِﻣ‬ ْ ‫ِإ‬
‫ﺡ َّﺮ َم‬
َ ‫ﺲ اَّﻟﺘِﻲ‬ َ ‫ﻦ وَﻻ َﺗ ْﻘ ُﺘﻠُﻮا اﻟَّﻨ ْﻔ‬ َ‫ﻄ‬ َ ‫ﻇ َﻬ َﺮ ِﻣ ْﻨﻬَﺎ َوﻣَﺎ َﺑ‬ َ ‫ﺶ ﻣَﺎ‬ َ ‫ﺡ‬ ِ ‫َﺗ ْﻘ َﺮﺑُﻮا ا ْﻟ َﻔﻮَا‬
‫ن‬
َ ‫ﺹّﺎ ُآ ْﻢ ِﺑ ِﻪ َﻟ َﻌَّﻠ ُﻜ ْﻢ َﺗ ْﻌ ِﻘﻠُﻮ‬
َ ‫ﻖ َذِﻟ ُﻜ ْﻢ َو‬
ِّ ‫ﺤ‬ َ ‫اﻟَّﻠ ُﻪ إِﻻ ﺑِﺎ ْﻟ‬
‫ﺷ َﺪّ ُﻩ َوَأ ْوﻓُﻮا‬ُ ‫ﺡ َﺘّﻰ َﻳ ْﺒُﻠ َﻎ َأ‬ َ ‫ﻦ‬ُ‫ﺴ‬
َ‫ﺡ‬ ْ ‫ﻲ َأ‬َ ‫ل ا ْﻟ َﻴﺘِﻴ ِﻢ إِﻻ ﺑِﺎَّﻟﺘِﻲ ِه‬ َ ‫وَﻻ َﺗ ْﻘ َﺮﺑُﻮا ﻣَﺎ‬ 152

‫ﻋ ِﺪﻟُﻮا‬
ْ ‫ﺳ َﻌﻬَﺎ َوِإذَا ُﻗ ْﻠ ُﺘ ْﻢ ﻓَﺎ‬ ْ ‫ﻒ َﻧ ْﻔﺴًﺎ إِﻻ ُو‬ُ ّ‫ﻂ ﻻ ُﻧ َﻜِﻠ‬ ِ‫ﺴ‬ ْ ‫ن ﺑِﺎ ْﻟ ِﻘ‬
َ ‫ﻞ وَا ْﻟﻤِﻴﺰَا‬
َ ‫ا ْﻟ َﻜ ْﻴ‬
‫ن‬
َ ‫ﺹّﺎ ُآ ْﻢ ِﺑ ِﻪ َﻟ َﻌَّﻠ ُﻜ ْﻢ َﺗ َﺬ َّآﺮُو‬
َ ‫ن ذَا ُﻗ ْﺮﺑَﻰ َو ِﺑ َﻌ ْﻬ ِﺪ اﻟَّﻠ ِﻪ َأ ْوﻓُﻮا َذِﻟ ُﻜ ْﻢ َو‬ َ ‫َوَﻟ ْﻮ آَﺎ‬

78 
Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh
Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia,
berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu
membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi
rezeki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun
yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (mem-bunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar".
Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu
memahami (nya).
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang
lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakan lah takaran
dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata,
maka hendaklah kamu berlaku adil kendati pun dia adalah kerabat (mu),
dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu ingat.

Dua ayat al-Qur’an di atas, menempatkan tauhid (jangan


mempersekutukan-Nya) pada urutan pertama, kemudian disusul
dengan berbagai ketentuan kehidupan moral lainnya. Hal ini
menunjukkan bahwa tauhid dalam visi al-Qur’an merupakan dasar
fundamental seluruh kesalehan, religiusitas dan seluruh kebaikan moral,
seperti berbuat baik kepada ibu-bapak, tidak membunuh anak karena
takut miskin (menjaga generasi), tidak berbuat keji, tidak membunuh
jiwa yang diharamkan, menjaga harta anak yatim, bersikap jujur dan
adil, tidak mengurangi timbangan dalam berdagang, serta objektif
dalam menilai atau menetapkan suatu hukum, meskipun berkaitan
dengan diri dan keluarga.
Dengan demikian, konsep tauhid bukan sekedar prinsip dasar
atau paradigma metafisik (the principle of metaphysics), melainkan lebih
dari itu adalah sebagai dasar etika sosio-ekonomi (the principle of
socionomic ethic values). Sebagaimana Komarudin Hidayat (Dalam
Hendar, 2007: 124), faham tauhid selalu terkait dengan prinsip
kemanusiaan, rasa keadilan sosial dan ekonomi yang harus diwujudkan
dalam kehidupan kongkrit bermasyarakat.

79 
Jadi, pesan moralitas keagamaan (etiko-religius) tauhid inilah
yang menjadi landasan etis-teologis dalam mempersatukan berbagai
komunitas masyarakat secara sosionomic-politis, kebinekaan dalam
masyarakat Madinah yang dipersatukan oleh Rasulullah SAW. Implikasi
sosiologis dari seruan moral kepada tauhid sebagai titik temu (kalimatun
sawa) ini adalah penghargaan terhadap etika pergaulan dalam
bertransaksi antar umat manusia yang beriman sebagai pemilik kitab
suci. Menurut Hendar (2007: 128), secara garis besar konsep tauhid
sebagai the principle of metaphysics, sekaligus the principle of socio-nomic
ethic values di atas, dapat digambarkan dalam bentuk skematis 4.2
berikut ini:

Pada gambar 4.2 sebelah kanan posisi Tuhan di atas manusia,


artinya bahwa manusia sebagai makhluk Allah tunduk dan patuh
kepada-Nya, secara lahir & batin memasrahkan diri karena keesaan
Allah (Tauhid) menjadi pusat segalanya (Allah al-Shamad). Sementara
gambar di sebelah kiri, posisi manusia sejajar dengan Tuhan sehingga
mengakibatkan perbuatan syirik, karena mempersekutukan Tuhan.

80 
Perbuatan ini merupakan kekufuran yang sangat besar dan merupakan
perbuatan kedzaliman yang tidak diampuni oleh Tuhan. Secara historis,
masyarakat jahiliyah Arab melakukan persekutuan dengan penyem-
bahan pada berhala (paganisme). Berikut ilustrasi 4.3 perbandingannya
sebagaimana dalam surat al-Fatihah dan surat An-Nas.

Pembuktian Keesaan Allah


Konsep Tauhid
Dalam Munasabah Surat Al-Fatihah dan An-Nas
Surat Surat Munasabah
Al-Fatihah An-Nas surat dan ayat
Rabb al- Rabb an- Melahirkan Tauhid Rubbubiyah
‘alamin: nas Hanya Allah-lah satu-satunya
‫رب اﻟﻌﺎﻟﻣﻳن‬ ‫رب اﻟﻧﺎس‬ Rabb bagi alam termasuk
manusia
Maliki yaum Malik an- Melahirkan Tauhid Mulkiyah
ad-din nas Hanya Allah-lah satu-satunya
‫ﻣﺎﻟك ﻳوم اﻟدﻳن‬ ‫ﻣﺎﻟك اﻟﻧﺎس‬ Raja alam ini termasuk raja
manusia
Iyyaka Ilah an- Melahirkan Tauhid Uluhiyah
na’budu nas Hanya Allah-lah yang wajib
‫اﻳﺎك ﻧﻌﺑد‬ ‫اﻟﻪ اﻟﻧﺎس‬ disembah karena Allah adalah
satu-satunya Tuhan manusia

Berbuat menyekutukan Allah pada hakikatnya merupakan


perendahan diri atas harkat martabat manusia, karenanya akan mudah
untuk melakukan perbuatan maksiat, mengeksploitasi sesama terutama
pada kaum lemah (miskin), berbuat curang dan tidak mempunyai
kepekaan sosial (tidak bertanggung jawab), serta serakah dalam
melakukan perbutan ribawi. Berbeda dengan persekutuan atas Allah,
manusia bertauhid adalah hanya mengesakan dalam beribadah kepada-
Nya, sehingga akan tercermin dalam tindak laku perbuatan di dunia
dengan memasrahkan sepenuhnya kepada Allah (mukhlisin), jujur,
berbuat baik, adil dan etis dalam melakukan seluruh aktivitas bisnisnya.
Mereka itulah yang dalam kata kunci al-Qur’an memegang teguh
prinsip keimanan, keislaman dan keihsanan sebagaimana akan
dijelaskan pada sub bab berikut ini.

81 
2. Iman, Islam, Ihsan Kunci Meraih Ketaqwaan

Empat konsep dasar (tetralogi) etika religius al-Qur’an yang juga


mengandung gagasan penting mengenai moralitas kemanusiaan (ides of
humanity), khususnya dalam masalah hubungan sosial antara umat
manusia adalah iman, Islam, dan ihsan. Sementara taqwa merupakan
puncak tertinggi implementatif dari ketiga kata kunci tersebut. Al-
Qur’an, kata Hendar (2007: 129), tidak hanya sebagai milik Islam saja,
melainkan juga menjadi pesar dasar (risalah asasiyah) atau spiritualitas
agama-agama.
a. Iman
Istilah iman yang arti umumnya, adalah “percaya”, berakar dari
kata a-m-n, yang artinya “(dalam keadaan) damai dengan diri
sendiri” (to be at peace with onself). Atau “merasakan tidak adanya
kegoncangan dalam diri seseorang”.
Lafadz iman dalam bahasa Arab dapat dipakai dalam dua arti
yang meng-andung penderita dengan sendirinya, muta’addi binafsihi;
yang berarti memberikan keamaan, seperti firman Allah dalam surat
al-Quraisy, ayat 4;
‫ف‬
ٍ ‫ﺧ ْﻮ‬
َ ‫ﻦ‬
ْ ‫ع وَﺁ َﻣ َﻨ ُﻬ ْﻢ ِﻣ‬
ٍ ‫ﻦ ﺝُﻮ‬
ْ ‫ﻃ َﻌ َﻤ ُﻬ ْﻢ ِﻣ‬
ْ ‫اَّﻝﺬِي َأ‬
“Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilang kan
lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan”.

Ayat ini menjelaskan bahwa “iman”, yang terbaca “amana”


merupakan wujud dari rasa aman dari ketakutan. Artinya, orang
yang beriman akan terhindar dari rasa takut. Bahkan secara sosial
sangat peduli kepada sesamanya, ini inti dari iman sebagai bagian
dari filantropi, tanggung jawab sosial muncul karena kesadaran
imannya. Sedang yang kedua, yaitu mengandung penderita dengan
huruf tambahan ba atau lam, seperti firman Allah dalam surat al-
Baqarah, ayat 136:
‫ﺳﻤَﺎﻋِﻴ َﻞ‬ ْ ‫ﻗُﻮﻝُﻮا ﺁ َﻣ َﻨّﺎ ﺏِﺎﻝَّﻠ ِﻪ َوﻣَﺎ ُأ ْﻥ ِﺰ َل ِإ َﻝ ْﻴﻨَﺎ َوﻣَﺎ ُأ ْﻥ ِﺰ َل ِإﻝَﻰ ِإ ْﺏﺮَاهِﻴ َﻢ َوِإ‬
‫ﻲ‬
َ ‫ﻲ ﻣُﻮﺳَﻰ َوﻋِﻴﺴَﻰ َوﻣَﺎ أُو ِﺕ‬ َ ‫ط َوﻣَﺎ أُو ِﺕ‬ ِ ‫ﺳﺒَﺎ‬ْ ‫ب وَاﻷ‬ َ ‫ق َو َی ْﻌﻘُﻮ‬ َ ‫ﺳﺤَﺎ‬ ْ ‫َوِإ‬
‫ن‬
َ ‫ﺴ ِﻠﻤُﻮ‬ ْ ‫ﻦ َﻝ ُﻪ ُﻣ‬
ُ‫ﺤ‬ ْ ‫ﺣ ٍﺪ ِﻣ ْﻨ ُﻬ ْﻢ َو َﻥ‬
َ ‫ﻦ َأ‬
َ ‫ق َﺏ ْﻴ‬
ُ ّ‫ﻦ َر ِّﺏ ِﻬ ْﻢ ﻻ ُﻥ َﻔ ِﺮ‬ ْ ‫ن ِﻣ‬ َ ‫اﻝ َّﻨ ِﺒ ُﻴّﻮ‬

82 
“Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah
dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan
kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, dan apa yang
diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-
nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di
antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya".

Pemakaian lafadz iman yang kedua ini, sebenarnya kembali


kepada pemakaian maksud kata yang pertama. Sebab yang telah
mempercayai itu niscaya telah memberikan keamanan kepada kita
baik aman dalam arti tidak mendustakan kita ataupun aman dalam
arti menantang kita. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa iman
yang berasal dari bahasa Arab berarti “kepercayaan” (faith). Artinya,
iman adalah “engkau percaya kepada Allah, malaikat-Nya, kitab
sucinya-Nya, para utusan-Nya, hari kemudian, dan engkau percaya
kepada takdir baik dan buruk-nya”. (Masjuk Zuhdi, 1993: 4)
Dengan demikian, iman sebagai respon pribadi kepada Tuhan,
tidak dapat dibatasi pada komunitas sosio-relitigus tertentu. Tetapi,
iman sebagai keyakinan batin terdalam bersifat universal dan berlaku
bagi setiap manusia, termasuk di luar komunitas sosio-religius
mukminun.

b. Islam
Secara literik, kata Islam adalah kata bahasa Arab yang terambil
dari kata salima yang berarti selamat, damai, tunduk, pasrah dan
berserah diri. Objek penyerahan diri ini adalah Pencipta seluruh alam
semesta, yakni Allah SWT. Dengan demikian, Islam berarti
penyerahan diri kepada Allah SWT., sebagaimana tercantum dalam
Al-Qur’an surat Ali Imron, yang arti nya kurang lebih sebagai
berikut: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah adalah
Islam…”. Berikut digambarkan dalam power pointnya.

83 
Islam Sebagai Tatanan Hidup Holistik
Din al-Islam
- ”Din” berasal dari kata ”dana-yadinu-dinan” :
tatanan, sistem, tatacara hidup.
- ”Islam” berasal dari kata ”aslama” : tunduk, patuh
dan berserah diri.
Secara terminologi Islam adalah agama yang ajaran-
ajarannya diturunkan Allah Swt. kepada manusia
melalui Rasul-rasul-Nya. Sejak Nabi Adam sampai
Nabi Muhammad Saw. (QS. Al-Baqarah, 2; 136).
- Din al-Islam sebagai tatanan hidup meliputi seluruh
aspek hidup dan kehidupan, dari masalah ritual
sampai kepada masalah mu’amalah.
- Secara umum din terbagi dua:
1. Din al-Islam (din al-haq) » kelompok muslim / huda
2. Din ghair al-Islam (din al-bathil) » kelompok kafir /
dhallin. (QS. al-A’raf, 7; 30 dan Muhammad, 47; 1-3)

Islam adalah suatu ajaran yang bersifat penyerahan; tunduk dan


patuh, terhadap perintah-perintah (hukum-hukum Tuhan) untuk
dilaksanakan oleh setiap manusia. Jadi, Islam adalah tunduk dan
menyerah diri sepenuhnya kepada Allah – lahir maupun batin –
dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi
larangan-larangan-Nya. Islam adalah suatu agama yang berisi ajaran
tentang tata cara hidup yang diturunkan Allah kepada umat manusia
melalui para rasul-Nya. Keterangan-keterangan dari uraian di atas
sesuai sekali dengan firman-firman Allah, antara lain dalam surat al-
Imran ayat 85:

Barang siapa mencari agama selain ‫ﻦ‬


ْ ‫ﻏ ْﻴ َﺮ اﻹﺳْﻼ ِم دِﻳﻨًﺎ َﻓَﻠ‬
َ ‫ﻦ َﻳ ْﺒ َﺘ ِﻎ‬
ْ ‫وَ َﻣ‬
agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) ‫ﻦ‬
َ ‫ﺧ َﺮ ِة ِﻣ‬
ِ ‫ﻞ ِﻣ ْﻨ ُﻪ َو ُه َﻮ ﻓِﻲ اﻵ‬َ ‫ُﻳ ْﻘ َﺒ‬
daripadanya, dan dia di akhirat ‫ﻦ‬
َ ‫ﺳﺮِﻳ‬ ِ ‫ا ْﻟﺨَﺎ‬
termasuk orang-orang yang rugi.

Masih banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan dan dapat ditarik


kesimpulannya, bahwa paduan antara iman dan Islam, yang meliputi
lahir dan batin. Itulah yang dimaksud oleh lafadz Ad-Din atau dinul
Islam, yaitu agama yang hanya mempertuhankan Allah Yang Maha

84 
Esa, dan mengajarkan satu-satunya jalan penyerahan total kepada-
Nya, yaitu melalui hukum-hukum-Nya sendiri. Karena itu, agama
yang diakui oleh Allah hanyalah agama Islam. Jadi, Islam pertama-
tama adalah suatu keyakinan, suatu iman, seperti dicontohkan pada
pengalaman Ibrahim, seorang yang disebut, bukan seorang penganut
agama Yahudi atau penganut agama Nasrani, melainkan seorang
yang tulus dan cenderung pada kebenaran (hanif), dan seorang yang
menunduk kan diri pada Allah (Muslim).
Islam mengajarkan kepada umatnya untuk berusaha mendapat-
kan kehidupan yang lebih baik di dunia dan sekaligus memperoleh
kehidupan yang baik di akhirat. Memperoleh kehidupan yang baik di
dunia dan di akhirat inilah yang dapat menjamin dicapainya
kesejahteraan lahir dan batih (falah). Hal ini berarti bahwa dalam
mengejar kehidupan di dunia tidak dapat dilakukan kecuali dengan
cara yang halal melalui gerakan amal sholeh. Perbuatan amal sholeh
adalah perbuatan baik yang mendatangkan pahala bagi yang
melakukan dan mendatangkan faedah bagi orang lain, yang dapat
berupa tingkah laku dan perbuatan yang termasuk ke dalam kategori
ibadah (iyyaka na’budu) maupun muamalah (iyyaka nasta’iin).
Kesejahteraan lahir dan batin yang ingin diperoleh melalui
gerakan amal sholeh seharusnya dilakukan melalui kegiatan ibadah
dan muamalah yang bersumber dari ketentuan syari’ah yang dijiwai
oleh iman, Islam (akidah Islamiyah) dan ihsan (akhlak yang luhur).
Ketiganya merupakan hakikat ajaran wahyu yang menjadi tuntutan
dan panutan manusia dan sendi kehidupannya. Dengan berpegang
teguh pada iman, Islam, dan ihsan inilah dilakukan berbagai kegiatan
muamalah yang dalam penerapannya disesuaikan dengan situasi dan
kondisi setempat. Kegiatan ekonomi adalah salah satu kegiatan
muamalah yang telah diatur secara lengkap dalam syari’ah Islam.
Ketentuan-ketentuan yang mengatur pola konsumsi memungkinkan
umat Islam untuk mempunyai sisa dana yang dapat dipergunakan
untuk kegiatan perekonomian. Ketentuan yang mengatur pola
simpanan mengharuskan umat Islam untuk melakukan investasi.
Larangan terhadap riba pada hakikatnya adalah suatu kewajiban bagi
mereka yang mempunyai dana lebih untuk melakukan investasi yang
menghasilkan produk-produk baru dan kesempatan kerja.

85 
Demikian pula larangan terhadap perjudian (maysir), penipuan
(gharar), tadlis, dan sejenisnya merupakan perbuatan yang harus jauh
dari kegiatan investasi dan ruang lingkupnya. Satu ajaran do’a yang
patut menjadi pelajaran berharga adalah ketika seorang muslim
memanjatkan do’a, rab bana atina fi al-dunia hasanah wa fil
akhirati hasanah. Maka investasi men-jadi penting bila keuntungan
yang didapat bukan pada dimensi dunia-wiyah saja, melainkan pula
harus sampai pada kehidupan ukhrawiyah. Kesatuan antara dunia dan
akhirat mengkaitkan pula kegiatan investasi di dunia sebagai suatu
sarana yang menyamankan jalan ke akhirat. Investasi dunia yang
menentramkan kehidupan di akhirat ini diyakini ada tiga yaitu anak
shaleh, ilmu yang bermanfaat, dan amal yang dinikmati orang banyak,
dimana untuk memperoleh ketiganya dibutuhkan dana.
Dengan demikian, konsep etiko-religius iman maupun Islam
memiliki makna dasar yang sama, yakni “selamat” atau “memberi-
kan keselamatan” dan “aman” atau “memberikan rasa aman” bagi
dirinya, keluarga, dan lainnya. Karenanya, orang yang beriman dan
berislam akan memberikan kontribusi besar dalam memberikan
kemaslahatan kepada sesama dan lingkungan, tidak berlaku curang
dalam berdagang, akan sangat mengasihi sesamanya.

c. Ihsan
Ihsan merupakan modal yang kini menjadi suatu yang langka.
Hanya sedikit mereka yang komitmen dengan moralitas ini. Bahkan,
sungguh disayangkan, mayoritas mereka bukan dari umat yang taat.
Profesionalisme merupakan moral yang begitu mendapat apresiasi di
Barat dan diacuhkan oleh kita.
Menurut Amru Khalid (2005: 103), berkenaan dengan perubahan
tidak dikhususkan hanya kepada kaum umat Islam, tetapi pada
seluruh penduduk bumi. Allah tidak mengatakan, “Allah tidak
mengubah keadaan umat Islam“. Tetapi Allah mengatakan, ”Sesungguh-
nya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka
mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. (Q.S. Al-Ra’ad, 13:
11).
Moral-moral mana yang harus ada dan harus tidak ada dalam
usaha menciptakan perubahan? Intinya, Ihsan adalah profesio-

86 
nalisme yang merupakan prinsip ajaran Islam. Akan tetapi, moral
inilah yang telah hilang dari kita. Dalam melakukan aktivitas kita
kerap tidak memiliki kemampuan yang memadai. Jadi, Ihsan
merupakan muatan komponen meliputi pengetahuan, manajemen,
orientasi dan sistem. Banyak kondisi yang harus dipenuhi untuk
menjadi yang terbaik. Menjadi yang terbaik juga merupakan bentuk
ibadah kepada Allah. Sebab, Allah berfirman, Kamu adalah umat yang
terbaik yang dilahirkan untuk manusia”. (Q.S. Ali Imran, 3: 110)
Menurut Abdul Mun’im al-Misri dalam jurnal Millah Vol. VIII. 1
Agustus 2008 halaman 86 berkaitan adanya dengan ihsan sangat
terkait dengan siklus fiqih. Artinya, ihsan merupakan komponen
penting dalam memperjelas pemahaman aktual tentang berbagai
fenomena perbuatan manusia terhadap lingkungan dan alam sekitar,
termasuk dalam aktivitas kegiatan manusia di dunia ini. Berikut 4.3
ilustrasinya:

d. Taqwa
Dari gambar 4.3 di atas dapat dipahami bahwa semua
pengetahuan, khususnya pengetahuan dalam pergaulan yang
berpotensi pada unit usaha sangat dipengaruhi oleh peran ihsan.
Dalam arti kata, bahwa ihsan menjadi hal penting dalam memberikan

87 
peran positif bersama iman dan Islam mewujud menjadi pribadi
muslim yang bertaqwa. Dimana TAQWA merupakan puncak
kepribadian muslim sejati.
Kata “Wiqayah”, yang darinya kata TAQWA berasal, berarti
“MENGAWAL”, dan diterapkan dalam arti pengawalan atau
penjagaan terhadap sesuatu yang terekspos pada bahanya dan
kerusakan. Ini makna harfiah dari WIQAYAH. TAQWA yang berarti
bentuk masdar dari ittiqa, mengandung arti yang sama. Tetapi,
TAQWA (takwa) sebagai konsep moral mengandung suatu butir
khusus, yakni bahwa manusia sebagai hasil beberapa prilaku, merasa
bahwa kesempurnaan dan kesucian jiwanya dan nilai dari wujudnya
terancam bahaya.
Menurut Muhammad Taqi Misbah (1996: 121), kata TAQWA
tersebut di atas mengandung dua butir mendasar yang memisah kan
TAQWA MORAL dari pengertian-pengertian lainnya. Pertama,
bahwa yang dalam bahaya adalah jiwa manusia, bukan jasmaninya,
dan kedua bahwa yang bahaya itu mengancam perilakunya, bukan
perilaku orang lain dan bukan pula even alami. Jadi, seharusnyalah
manusia berperilaku sedemikian rupa sehingga jiwanya tetap terjaga
dan tidak terpolusi, tidak jatuh dalam segi nilai, tidak merosot, dan
tidak tertimpa azab yang kekal.
Namun demikian, taqwa tetap tidak terlepas dari tiga kunci di
atas, yaitu paduan iman, Islam, dan ihsan yang meliputi lahir dan
batin. Itulah yang dimaksud oleh lafadz Ad-Din atau dinul Islam,
yaitu agama yang hanya mempertuhankan Allah Yang Maha Esa,
dan mengajarkan satu-satunya jalan penyerahan total kepada-Nya,
yaitu melalui hukum-hukum-Nya sendiri. Karena itu, agama yang
diakui oleh Allah hanyalah agama Islam.
Jadi, Islam pertama-tama adalah suatu keyakinan, suatu iman,
seperti dicontohkan pada pengalaman Ibrahim, seorang yang disebut,
bukan seorang penganut agama Yahudi atau penganut agama
Nasrani, melainkan seorang yang tulus dan cenderung pada
kebenaran (hanif), dan seorang yang menundukkan diri pada Allah
(Muslim) untuk melaksanakan segala perintah dan larangan-
larangan-Nya untuk dilaksanakan dalam segala aspek kehidupan
(Islam).

88 
Hal yang sama pula, dicontohkan Rasulullah Muhammad SAW
dalam mengamalkan ”Islam” pada kehidupan diri, keluarga dan
masyarakatnya. Dimana dalam diri Muhammad SAW terdapat suri-
tauladan yang baik menjadi Muhsin, ketika membangun bisnis
melalui perdagangan patut di-contoh dan saat memimpin patut
digugu dan ditiru. Berikut ilustrasi Islam dalam trilogi ad-dien pada
gambar 4.4.

Makhluk (Abdullah), dan Khalifah fil Ardli


Manusia sempurna Muttaqin (Bertaqwa)

Sumber: Abdul Aziz (2010: 14)

Jadi Islam yang digambarkan di atas, mengandung makna


bahwa Allah SWT., ketika memperkenalkan diri melalui wahyu-Nya
yang diemban oleh Muhammad utusan-Nya, dengan membawa
ajaran al-Dien yang memuat tiga ajaran utama, yaitu: Iman, Islam,
dan Ihsan sekaligus tanpa mana yang lebih dahulu dan apa yang
perlu diakhirkan. Intinya adalah tiga ajaran ini harus dipraktikkan

89 
secara sempurna sekaligus, tanpa dipisah-pisahkan satu dengan
lainnya.
Muhammad SAW, sebagai utusan (Rasul dan Nabi-Nya) juga
mengajar kan seluruh apa yang diterima tanpa disembunyikan
sedikitpun kepada umat manusia. Sedang, alam dunia sebagai tempat
berpijak dan dihuni oleh makhluk Allah SWT telah difasilitasi
berbagai asesoris dan aneka ragam sarana dan pra sarana penunjang
untuk bekal agar ajaran-Nya tetap terjaga dan dipelihara oleh
manusia. Maka, manusia yang mampu menjaga dan memelihara
ajaran agama, Iman, Islam dan Ihsan diberi predikat muttaqin,
manusia bertaqwa. Suatu posisi puncak yang imbalannya adalah
Syurga.

D. Etika Islam Sebuah Problem Solver

Dalam buku berjudul “Identitas Politik Umat Islam”, Kuntowijoyo


(1999: 136), menjelaskan tentang etika Islam sebagai landasan sistem
ekonomi. Menurutnya, sistem ekonomi Islam berangkat dari kesadaran
etika, sebuah ethical economy, sedangkan sistem ekonomi lain, baik
kapitalisme maupun sosialisme, berangkat dari kepentingan (interest).
Ideologi kapitalisme didasarkan pada pandangan Adam Smith
(1729 M. – 1790 M.) yang menekankan pada sistem ekonomi pasar, yang
kadang-kadang juga disebut sistem ekonomi liberal, (Deliarnov, 1999:
18). Prinsip-prinsip dasar suatu masyarakat kapitalis, menurut teori
klasik Adam Smith, terdiri dari milik pribadi (private property), motif
mencari laba (the profit motive), dan persaingan bebas (free competition).
Konsep ini menunjukkan bahwa “kapitalisme” adalah suatu
sistem yang secara jelas ditandai oleh berkuasanya “kapital”.
Selanjutnya, sistem capitalisme modern, sebagaimana dikatakan oleh para
pakar sosiologi; Light, Keller dan Colhum menganut asumsi-asumsi lain,
yaitu: pemupukan modal (capital accumulation), penciptaan kekayaan (the
creation of wealth), dan ekspansionisme. Hal ini adalah pengembangan dari
kapitalisme klasik yang bersifat hedonistic-personality atau indivi-
dualisme. (M.A. Mannan, 1992: 311)

90 
Dalam kapitalisme laissez faire (laisez faire capitalisme) yang tekenal
dengan slogannya “Jangan ikut campur, dunia akan memelihara- nya sendiri”
itu pun tidak terdapat gagasan yang orisinal tentang keadilan social
yang dapat dicapai melalui usaha yang sadar, sementara dalam
kapitalisme campuran cikal bakal dari keadilan sosial itu terletak pada
tekanan-tekanan kelas-kelas dalam masyarakat dan tidak terletak pada
keyakinan yang orisinal mengenai adanya persaudaraan di antara
sesama manusia. (John L. Esposito, Modern Islamic World, (New York:
Oxford University Press, 1995: 421)
Kapitalisme, dalam bentuk klasiknya laissez faire, telah menghilang
dari per edaran. Ia telah dimodifikasi selama berabad-abad yang telah
lewat. Pemerintah telah ikut campur tangan secara ekstensif untuk
memperbaiki dan menutup beberapa kekurangannya, setidaknya
sebagian dari, beberapa dampak kerugian atas modal (equity).
Pandangan dunia kapitalisme ini sangat dipengaruhi oleh gerakan
Enlightenment (Pencerahan) yang merentang selama lebih kurang dua
abad, dari awal abad ke-17, sampai permulaan abad ke-19. Enlighten-
ment, sebuah istilah yang seringkali digunakan secara bergantian dengan
the Age of Reason (Era Akal), adalah sebuah bentuk ekstrim “suatu
penolakan, dan dalam beberapa hal suatu antitesis, terhadap banyak keyakinan
Kristen”.
Semangat kapitalisme ketika itu langsung mendapat sambutan
dari sekte-sekte lain, terutama sekte puritanisme-Calvinisme yang melihat
kerja sebagai Beruf atau panggilan. Dengan kecenderungan yang bersifat
anti-otoriter, sekte-sekte tersebut memberi tekanan yang lebih besar
pada individualisme, pada kemampuan pribadi untuk memilih. Sebab
kerja, menurutnya, tidaklah sekedar pemenuhan keperluan, tetapi suatu
tugas yang suci, (Taufik Abdullah, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan
Ekonomi. Jakarta: LP3ES, 1979: 9). Demikian lah yang melahirkan
semangat kapitalisme terhadap sikap gereja yang lebih mementingkan
kaum feodal.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semangat kapitalisme
yang telah dijadikan motto perjuangan melahirkan beberapa ciri utama
kapitalisme, yaitu sebagai berikut:
1. ia menganggap ekspansi kekayaan yang dipercepat, produksi
maksimum dan pemuasan “keinginan” sesuai dengan preferensi

91 
individu sebagai sesuatu yang sangat penting untuk kesejahteraan
manusia;
2. ia menganggap kebebasan individu tanpa batas untuk mencari
kekayaan pribadi dan untuk memiliki dan mengatur kepemilikan
pribadi (private property) sebagai sebuah keharusan bagi inisiatif
individu;
3. ia mengasumsikan inisiatif individu bersama dengan pengambilan
keputusan yang terdesentralisasi dalam operasi pasar bebas sebagai
syarat yang mencukupi untuk mewujudkan efisiensi optimum
pengalokasian sumber daya;
4. ia tidak mengakui perlunya peranan penting pemerintah atau per-
timbangan-pertimbangan nilai kolektif baik dalam efisiensi alokasi
maupun keadilan distribusi; dan
5. ia mengklaim bahwa pemenuhan kepentingan pribadi oleh semua
individu juga akan secara otomatis memenuhi kepentingan social
bersama.

Sementara menurut Abdul Mannan, (1992: 317), berbagai tindakan


yang dianjurkan sosialisme terhadap masyarakat adalah:
1. Penghapusan milik pribadi atas alat produksi.
2. Sifat dan luasnya industri dan produksi mengabdi kepada kebutuhan
sosial dan bukan kepada motif laba.
3. Dalam kapitalisme daya penggerak adalah laba pribadi. Hal ini akan
digantikan oleh motif pelayanan sosial.

Aliran sosialis muncul sejak permulaan abad sembilan belas,


setelah kebobrokan sistem kapitalisme tersingkap secara sempurna.
Tersingkapnya kebobrokan kapitalisme ini setelah masyarakat di Eropa
dan Rusia menderita akibat kezaliman sistem ini dan karena banyak-nya
kesalahan di dalamnya. Maka muncul lah ideologi-ideologi sosialisme.
(Abdurrahman al-Maliki, As-Siyasatu al-Iqtishad yatul al-Mutsla, terj. Ibnu
Soleh dengan Judul Politik Ekonomi Islam. Bangil: Al-Izzah, 2001: 8)
Sistem dan ideologi sosialis, termasuk di dalamnya komunisme,
adalah bertolak belakang dengan sistem ekonomi kapitalis. Pemikiran
(ide) Sosialis nampak dominan pada abad ke-19. Dimana orang-orang
Sosialis telah memerangi mati-matian pandangan-pandangan aliran
Liberalisme, atau yang disebut dengan sistem ekonomi Kapitalis.

92 
Munculnya Sosialisme dengan bentuk yang kuat adalah akibat
kezaliman yang diderita oleh masyarakat karena sistem ekonomi
Kapitalis serta berbagai kekeliruan yang terjadi di dalamnya.
Menurut Abdurrahman al-Maliki, pada paruh pertama abad 19,
pemikiran-pemikiran sosialis ini hanya merupakan pemikiran-
pemikiran yang berbentuk ide-ide konseptual (abhats fikriyah), dan
tampak di dalam publikasi-publikasi terbatas seperti risalah-risalah
(makalah) dan beberapa tulisan di media masa. Meskipun telah ada
partai-partai yang memperbincangkannya (partai-partai sosialis), namun
ia tidak memiliki peranan efektif dalam mempengaruhi masa dan dalam
mengancam sistem pemerintahan dan sistem kehidupan.
Tetapi pada paruh kedua abad sembilan belas, ide sosialisme
berubah menjadi gerakan politik dengan mulai melakukan upaya-upaya
membangun kekuatan melalui beberapa partai yang berjuang
mengambil alih kekuasaan melalui beberapa partai yang berjuang
mengambil alih kekuasaan untuk menerapkan sosialisme. Partai-partai
ini telah berdiri secara riil di Rusia dan beberapa negara Eropa. Mereka
menerbitkan surat-surat kabar, mengadakan konferensi-konferensi,
melakukan gerakan-gerakan perjuangan, dan melakukan kampanye-
kampanye sosialisme, sehingga ide-ide sosialisme hampir-hampir di
terima di seluruh wilayah Eropa.
Taqyuddin an-Nabhani mencatat ada tiga prinsip pada aliran
Sosialis yang berbeda dengan aliran-aliran ekonomi sebelumnya:
1. Mewujudkan kesamaan (equality) secara riil.
2. Menghapus pemilikan individu (private property) secara keseluruhan
atau sebagaimana.
3. Mengatur produksi dan distribusi secara kolektif.

Dari ketiga prinsip tersebut, aliran Sosialis, kata Taqyuddin


selanjutnya, dibagi menjadi beberapa aliran, diantaranya adalah:
Pertama, bahwa aliran Sosialis, dari segi bentuk kesamaan secara
riil yang ingin mereka realisasikan itu tidak sama. Ada satu kelompok
yang menyebut dengan “Kesamaan Hisabiyah”. Yang dimaksud dengan
“Kesamaan Hisabiyah” adalah kesamaan dalam segala hal yang bisa di-
manfaatkan. Dimana, setiap orang akan diberi sesuatu yang sama seperti
yang diberikan kepada orang lain. Sedangkan kelompok lain menyebut

93 
dengan “Kesamaan Syuyu’iyah”. Yang dimaksud dengan “Kesamaan
Syuyu’iyah” adalah, bahwa pembagian kerja harus dilakukan menurut
kemampuan tiap orang sementara pembagian hasilnya harus dilakukan
menurut kebutuhan masing-masing.
Sebagian yang lain menyatakan kesamaan dalam masalah factor-
faktor produksi, dilihat dari segi bahwa benda-benda tersebut kenyata-
annya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tiap orang.
Sehingga dapat dikatakan bahwa “masing-masing sesuai dengan
kemampuannya atau kesanggupannya, dan masing-masing sesuai
dengan aktivitasnya.” Kesamaan tersebut benar-benar akan mewujud-
kan kalau tiap orang dibekali dengan factor-faktor produksi yang sama
dengan orang lain.
Kedua, aliran-aliran sosialis, dilihat dari segi standar penghapusan
pemilikan individu (private property), juga berbeda. Ada yang menyata-
kan bahwa pemilikan individu harus dihapus sama sekali. Aliran ini
disebut dengan aliran Komunis. Sedangkan kelompok lain berpendapat
bahwa pemilikan individu yang berhubungan dengan barang-barang
produktif, atau yang disebut dengan sebutan capital, itulah yang harus
dihapus, seperti tanah, industri, rel, jalan, pertambangan dan
sebagainya.
Artinya dilarang memiliki setiap barang yang bisa menghasilkan
sesuatu yang lain (faktor-faktor produksi). Sehingga, tidak boleh mem-
punyai rumah untuk disewakan, termasuk tidak boleh mempunyai
pabrik, tanah dan sebagainya. Meski pun mereka menolerir pemilikan
individu terhadap barang-barang konsumtif, mereka boleh memiliki apa
saja yang bisa dikonsumsi. Jadi, mereka boleh me-miliki rumah untuk
tempat tinggal dan memiliki apa saja yang bisa dihasilkan oleh tanah
dan industri. Inilah aliran Sosialis Kapitalis.
Sementara aliran lain tidak mengatakan tentang penghapusan
pemilikan khusus, kecuali yang berhubungan dengan tanah pertanian,
bukan yang lain. Aliran tersebut dinamakan Sosialis Pertanian. Ada juga
yang mengatakan: “Harus dikaji setiap kondisi yang di dalamnya terdapat
kemaslahatan umum yang menganjurkan perubahan status milik khusus
menjadi milik umum, ter-masuk membatasi aktivitas para pemilik dalam banyak
hal, agar penguasa membuat batasan yang tertinggi untuk sewa dan batas
terendah untuk upah. Semen-tara para pekerja dibiarkan memperoleh modal dan

94 
sebagainya.“ Inilah yang kemudian disebut dengan aliran Sosialis Negara
(State Socialism).
Ketiga, aliran-aliran Sosialis berbeda-beda dalam menentukan
sarana yang dikatakan sebagai alat untuk mewujudkan tujuan-tujuan
mereka. Aliran Naqabiyah Tsauriyah bertolak pada kebebasan para
pekerja, dan usaha yang bersifat dengan kerja langsung, yaitu tenaga
para pekerja itu sendiri, seperti memper-banyak kerja, merusak alat-alat,
menyebarkan etos kerja secara umum di kalangan pekerja, serta
persiapan untuk merealisasikannya sampai pada suatu saat yang me-
mungkinkan mereka untuk mewujudkan tuntutan-tuntutan mereka.
Pada akhirnya gerakan ekonomi berhenti, sehingga sistem ekonomi
(kapitalisme) runtuh seperti sekarang ini.
Keempat, aliran-aliran Sosialis juga berbeda-beda dalam meman-
dang lembaga yang akan mengendalikan proyek-proyek dalam system
Sosialis. Sebagai contoh, para penganut Sosialisme Kapitalis menghen-
daki agar pengaturan produksi dan distribusi diserahkan kepada negara.
Sementara pada saat yang sama, penganut Naqabiyah menghendaki
agar pengaturan tersebut diserahkan kepada sekelompok pekerja yang
terorganisir, di bawah komando pimpinan-pimpinan mereka.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sistem kapitalisme
berangkat dari kepentingan perorangan (selfishness) dan sosialisme
berangkat dari kepentingan kolektif (collectivism). Dengan ekonomi
berdasarkan etika itu agama tidak menjadi alat bagi suatu kepentingan.
Tugas umat ialah memikirkan bahwa agamanya menghendaki sebuah
ethical economy tetapi tetap tanggap kepada kepentingan-kepentingan
yang nyata.
Mengenai etika Islam dalam ekonomi Syed Nawab Haider Naqwi
dalam Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sintesis Islam yang dikutip Kunto,
bahwa empat aksioma etika, yaitu tauhid, keseimbangan, kehendak bebas,
dan pertanggungjawaban. Keempat aksioma itu selaras dengan tetralogi
yang dikembangkan di atas merupakan kunci utama dalam al-Qur’an,
yaitu iman, Islam, ihsan dan taqwa.
Pertama, etika tauhid mempunyai dua tujuan (1) mengukuhkan
bahwa manusia adalah makhluk teomorfik, dan (2) mengukuhkan
fungsi integrative dari tauhid. Manusia adalah makhluk teomorfik berarti

95 
bahwa manusia adalah makhluk Ilahiah, sehingga manusia harus bisa
meniru akhlak Tuhan sebagaimana tersebut dimuka. Tauhid juga berarti
integrasi manusia, manusia itu merupakan sebuah kesatuan, satu
dengan lainnya tak terpisahkan. Ini berarti bahwa kolektivitas itu diakui
adanya Islam.
Kedua, etika keseimbangan adalah dimensi horisontal antar
manusia, sebagai tambahan al-‘adl (berbuat adil) yang merupakan
dimensi vertikal (karena adil hanya mungkin dikerjakan oleh yang kuat
terhadap yang lemah). Keseimbangan berarti tidak berlebih-lebihan
dalam mengejar kepentingan ekonomi. Dalam surah al-A’raf (7): 31
disebutkan: Makan dan minimulah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Selfishness yang tak terbatas dilarang oleh Islam, untuk itu masyarakat
lah yang menentukan kriteria “berlebih-lebihan” itu.
Ketiga, etika kehendak bebas. Manusia sebagai individu dan
kolektivitas mempunyai kebebasan penuh untuk menentukan nasibnya
sendiri. Dalam ekonomi berarti ada kebebasan penuh untuk meng-
aplikasikan kaidah-kaidah Islam. Karena kegiatan ekonomi bukanlah
ibadah, tetapi muamalah, maka kaidahnya adalah semua boleh, kecuali yang
dilarang. Yang dilarang dalam Islam adalah ketakadilan dan riba.
Keempat, pertanggungjawaban. Terdiri dari dua, yaitu amanah
(melaksanakan tanggungjawab) dan accountability (diperhitungkan).
Dalam surah al-Qur’an, al-Ma’arij (70): 32 disebutkan, “dan orang-orang
yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janji-janjinya.
Selanjutnya dikatakan (ayat 35) bahwa mereka itu kekal di surga lagi
dimuliakan. Kekayaan adalah amanah Tuhan, yang harus dipertang-
gungjawabkan penggunaannya. Mengenai accountability, dalam Surah
an-Nisa (4): 86 disebutkan, Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala
sesuatu.
Oleh karena itu etika Islam yang mewarnai sistem ekonomi Islam
bermaksud menjelaskan bahwa Islam sebagai way of life merupakan
bentuk ibadah. Se-hingga tak seorangpun boleh menganggap bahwa
Islam hanya terfokus pada aspek ritualitas keagamaan, tanpa aspek
social-ekonomi yang melingkupinya. Ekonomi Islam dengan etikanya
bermaksud untuk mengejawantah dari aspek materi dan immateri, yaitu
kehidupan duniawi dan uhrawi.

96 
BAB V
ETIKA BISNIS PERSPEKTIF ISLAM

A. Etika Bisnis Konvensional Versus Islam

Dalam kaitannya dengan paradigma Islam tentang etika bisnis,


maka landasan filosofis yang harus dibangun dalam pribadi Muslim
adalah adanya konsepsi hubungan manusia dengan manusia dan
lingkungannya, serta hubungan manusia dengan Tuhannya, yang dalam
bahasa agama dikenal dengan istilah (hablum minallah wa hablum
minannas).
Dengan berpegang pada landasan ini maka setiap muslim yang
berbisnis atau beraktivitas apapun akan merasa ada kehadiran “pihak
ketiga” (Tuhan) di setiap aspek hidupnya. Keyakinan ini harus menjadi
bagian integral dari setiap muslim dalam berbisnis. Hal ini karena Bisnis
dalam Islam tidak semata mata orientasi dunia tetapi harus punya visi
akhirat yang jelas. Dengan kerangka pemikiran seperti itulah maka
persoalan etika dalam bisnis menjadi sorotan penting dalam ekonomi
Islam.
Dalam ekonomi Islam, bisnis dan etika tidak harus dipandang
sebagai dua hal yang bertentangan, sebab, bisnis yang merupakan
simbol dari urusan duniawi juga dianggap sebagai bagian integral dari
hal-hal yang bersifat investasi akhirat. Artinya, jika orientasi bisnis dan
upaya investasi akhirat (diniatkan sebagai ibadah dan merupakan
totalitas kepatuhan kepada Tuhan), maka bisnis dengan sendirinya
harus sejalan dengan kaidah-kaidah moral yang berlandaskan keimanan
kepada akhirat. Bahkan dalam Islam, pengertian bisnis itu sendiri tidak
dibatasi urusan dunia, tetapi mencakup pula seluruh kegiatan kita di

97 
dunia yang “dibisniskan” (diniatkan sebagai ibadah) untuk meraih
keuntungan atau pahala akhirat. Statemen ini secara tegas di sebut
dalam salah satu ayat Al-Qur’an.
“Wahai Orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan pada
suatu perniagaan (bisnis) yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab
pedih? yaitu beriman kepada Allah & Rasul-Nya dan berjihad di jalan
Allah dengan jiwa dan hartamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui”.
Di sebagian masyarakat kita, seringkali terjadi interpretasi yang
keliru terhadap teks al-Qur’an tersebut, sekilas nilai Islam ini seolah
menundukkan urusan duniawi kepada akhirat sehingga mendorong
komunitas muslim untuk berorientasi akhirat dan mengabaikan jatah
dunianya, pandangan ini tentu saja keliru.
Dalam konsep Islam, sebenarnya Allah telah menjamin bahwa
orang yang bekerja keras mencari jatah dunianya dengan tetap
mengindahkan kaidah-kaidah akhirat untuk memperoleh kemenangan
duniawi, maka ia tercatat sebagai hamba Tuhan dengan memiliki
keseimbangan tinggi. Sinyalemen ini pernah menjadi kajian serius dari
salah seorang tokoh Islam seperti Ibnu Arabi, dalam sebuah per-
nyataannya.
“Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat,
Injil dan Al-Qur’an yang diterapkan kepada mereka dari Tuhannya,
niscaya mereka akan mendapat makna dari atas mereka (akhirat) dan dari
bawah kaki mereka (dunia).”
Logika Ibn Arabi itu, setidaknya mendapatkan penguatan baik
dari hadits maupun dunia ekonomi, sebagaimana Nabi SAW bersabda:
“Barangsiapa yang menginginkan dunia, maka hendaknya dia berilmu, dan
barangsiapa yang menginginkan akhirat maka hendaknya dia berilmu, dan
barangsiapa yang menghendaki keduanya maka hendak-nya dia berilmu.”
Pernyataan Nabi tersebut mengisyaratkan dan mengafirmasikan
bahwa disamping persoalan etika yang menjadi tumpuan kesuksesan
dalam bisnis juga ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu skill
dan pengetahuan tentang etika itu sendiri. Gagal mengetahui penge-
tahuan tentang etika maupun prosedur bisnis yang benar secara Islam
maka akan gagal memperoleh tujuan. Jika ilmu yang dibangun untuk
mendapat kebahagiaan akhirat juga harus berbasis etika, maka dengan

98 
sendirinya ilmu yang dibangun untuk duniapun harus berbasis etika.
Ilmu dan etika yang dimiliki oleh sipapun dalam melakukan aktivitas
apapun (termasuk bisnis) maka ia akan mendapatkan kebahagiaan
dunia dan akhirat sekaligus.
Dari sudut pandang dunia bisnis kasus Jepang setidaknya telah
membuktikan keyakinan ini, bahwa motivasi prilaku ekonomi yang
memiliki tujuan lebih besar dan tinggi (kesetiaan pada norma dan nilai
etika yang baik) ketimbang bisnis semata, ternyata telah mampu meng-
ungguli pencapaian ekonomi Barat (seperti Amerika) yang hampir
semata-mata didasarkan pada kepentingan diri dan materialisme serta
menafikan aspek spiritualisme.
Jika fakta empiris ini masih bisa diperdebatkan dalam penafsiran
nya, kita bisa mendapatkan bukti lain dari logika ekonomi lain di negara
China, dalam sebuah penelitian yang dilakukan pengamat Islam, bahwa
tidak semua pengusaha China perantauan mempunyai hubungan
pribadi dengan pejabat pemerintah yang berpeluang KKN, pada
kenyataannya ini malah mendorong mereka untuk bekerja lebih keras
lagi untuk menjalankan bisnisnya secara professional dan etis, sebab tak
ada yang bisa diharapkan kecuali dengan itu, itulah sebabnya barangkali
kenapa perusahaan-perusahaan besar yang dahulunya tidak punya skill
(kemampuan) khusus, kini memiliki kekuatan manajemen dan prospek
yang lebih tangguh dengan dasar komitmen pada akar etika yang
dibangunnya.
Demikianlah, satu ilustrasi komperatif tentang prinsip moral Islam
yang didasarkan pada keimanan kepada akhirat, yang diharap-kan
dapat mendorong perilaku positif di dunia, anggaplah ini sebagai
prinsip atau filsafat moral Islam yang bersifat eskatologis, lalu per-
tanyaan lebih lanjut apakah ada falsafah moral Islam yang diharapkan
dapat mencegah prilaku curang muslim, jelas ada, Al-Qur’an sebagai-
mana Adam Smith mengkaitkan sistem ekonomi pasar bebas dengan
“hukum Kodrat tentang tatanan kosmis yang harmonis”.
Mengaitkan kecurangan mengurangi timbangan dengan kerusa-
kan tatanan kosmis, Firman-Nya: “Kami telah menciptakan langit dan bumi
dengan keseimbangan, maka janganlah mengurangi timbangan tadi.” Jadi bagi
Al-Qur’an curang dalam hal timbangan saja sudah dianggap sama
dengan merusak keseimbangan tatanan kosmis, Apalagi dengan

99 
mendzhalimi atau membunuh orang lain merampas hak kemanusiaan
orang lain dalam sektor ekonomi). Firman Allah: “jangan lah kamu
membunuh jiwa, barangsiapa membunuh satu jiwa maka seolah dia membunuh
semua manusia (kemanusiaan)”. Sekali lagi anggaplah ini sebagai falsafah
moral Islam jenis kedua yang didasarkan pada tatanan kosmis alam.
Mungkin kata hukum kodrat atau tatanan kosmis itu terkesan
bersifat metafisik, suatu yang sifatnya debatable, tapi bukankah logika
ilmu ekonomi tentang teori keseimbanganpun sebenarnya mengimpli-
kasikan akan niscayanya sebuah “keseimbangan” (apapun bentuknya bagi
kehidupan ini), Seringkali ada anggapan bahwa jika sekedar berlaku
curang di pasar tidak turut merusak keseimbangan alam, karena hal itu
dianggap sepele, tetapi jika itu telah berlaku umum dan lumrah dimana-
mana dan lama kelamaan berubah menjadi semacam norma juga, maka
jelas kelumrahan perilaku orang itu akan merusak alam, apa lagi jika
yang terlibat adalah orang-orang yang punya peran tanggung jawab
yang amat luas menyangkut nasib hidup banyak orang dan juga alam
keseluruhan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam kehidupan ini setiap
manusia memang seringkali mengalami ketegangan atau dilema etis
antara harus memilih keputusan etis dan keputusan bisnis sempit
semata sesuai dengan lingkup dan peran tanggung-jawabnya, tetapi jika
kita percaya Sabda Nabi SAW, atau logika ekonomi di atas, maka per-
cayalah, jika kita memilih keputusan etis maka pada hakikatnya kita
juga sedang meraih bisnis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
prinsip utama yang ditentukan Islam dalam etika bisnis adalah bahwa
transaksi dalam bisnis harus dilakukan secara sah dan tidak berten-
tangan dengan hukum. Memang berbisnis merupakan pekerjaan yang
sangat menggiurkan dan pebisnis selalu dibuai oleh usaha men-cari
keuntungan. Namun Rasulullah telah mewanti-wanti kepada para
pedagang (pebisnis) bahwa mereka jangan sampai berbuat dusta. (H.R.
Tabrani)
Bahkan beliau mengatakan bahwa pada hari kiamat para pebisnis
(pedagang) dibangkitkan oleh Allah sebagai orang yang durhaka,
kecuali pedagang yang jujur, baik, dan takut kepada Allah. (H.R.
Turmudzi, Ibnu Majah, dan al-Hakim). Di samping itu, Nabi juga

100 
melarang para pedagang selalu bersumpah. Karena perilaku demikian
akan mengakibatkan pada siksaan baginya di akhirat kelak.

B. Konsep Al-Qur’an tentang Bisnis

Sebagaimana kita ketahui bahwa al-Qur’an adalah sumber nilai


sumber dari segala sumber untuk pegangan hidup umat Islam. Maka
terkait itu, al-Qur’an telah membicarakan bisnis, sekaligus merupakan
bukti bahwa Islam memberikan perhatian terhadap bisnis sebagai
pranata sosial. Bahkan, menurut Afzalurrahman, al-Qur’an juga
memotivasi usaha komersial dan perdagangan dengan cara memberi-
kan keberanian atau semangat untuk berwiraswasta.
Informasi tentang perdagangan dalam al-Qur’an tidak terhimpun
dalam satu kesatuan surat, akan tetapi terungkap dalam beberapa ayat
dan tersebar pada berbagai surat. Perdagangan dengan memakai kata al-
tijarah terdapat pada delapan ayat dan tersebar pada tujuh surat, yaitu
pada:

1. Al-Qur’an, surat al-Baqarah (2): 16 dan 282. Allah berfirman:

‫ﺖ ِﺕﺠَﺎ َر ُﺕ ُﻬ ْﻢ َوﻣَﺎ آَﺎﻥُﻮا‬


ْ ‫ﺤ‬
َ ‫ﻀّﻼ َﻝ َﺔ ﺏِﺎ ْﻝ ُﻬﺪَى َﻓﻤَﺎ َر ِﺏ‬
َ ‫ﺵ َﺘ َﺮوُا اﻝ‬
ْ ‫ﻦا‬
َ ‫ﻚ اَّﻝﺬِی‬
َ ‫أُو َﻝ ِﺌ‬
‫ﻦ‬
َ ‫ُﻣ ْﻬ َﺘﺪِی‬
Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidak
lah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.
(Q.S. 2: 16)

‫ﺐ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻜ ْﻢ‬
ْ ‫ﺴ ًﻤّﻰ ﻓَﺎ ْآ ُﺘﺒُﻮ ُﻩ َو ْﻟ َﻴ ْﻜ ُﺘ‬ َ ‫ﻞ ُﻣ‬ ٍ‫ﺟ‬ َ ‫ﻦ ِإﻟَﻰ َأ‬ ٍ ‫ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا ِإذَا َﺗﺪَا َﻳ ْﻨ ُﺘ ْﻢ ِﺑ َﺪ ْﻳ‬ َ ‫ﻳَﺎ َأُّﻳﻬَﺎ اَّﻟﺬِﻳ‬
‫ﻞ اَّﻟﺬِي‬ ِ ‫ﺐ َو ْﻟ ُﻴ ْﻤِﻠ‬ ْ ‫ﻋَﻠّ َﻤ ُﻪ اﻟَّﻠ ُﻪ َﻓ ْﻠ َﻴ ْﻜُﺘ‬َ ‫ﺐ َآﻤَﺎ‬ َ ‫ن َﻳ ْﻜ ُﺘ‬ ْ ‫ﺐ َأ‬ ٌ ‫ب آَﺎ ِﺗ‬ َ ‫ل وَﻻ َﻳ ْﺄ‬ ِ ‫ﺐ ﺑِﺎ ْﻟ َﻌ ْﺪ‬
ٌ ‫آَﺎ ِﺗ‬
‫ﻖ‬
ُّ ‫ﺤ‬ َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ا ْﻟ‬َ ‫ن اَّﻟﺬِي‬ َ ‫ن آَﺎ‬ ْ ‫ﺷ ْﻴﺌًﺎ َﻓِﺈ‬ َ ‫ﺲ ِﻣ ْﻨ ُﻪ‬ ْ ‫ﺨ‬ َ ‫ﻖ اﻟَّﻠ َﻪ َر َﺑّ ُﻪ وَﻻ َﻳ ْﺒ‬ ِ ‫ﻖ َو ْﻟ َﻴ َّﺘ‬ ُّ ‫ﺤ‬َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ا ْﻟ‬َ
‫ﺸ ِﻬﺪُوا‬ ْ ‫ﺳ َﺘ‬
ْ ‫ل وَا‬ ِ ‫ﻞ َوِﻟُّﻴ ُﻪ ﺑِﺎ ْﻟ َﻌ ْﺪ‬ْ ‫ﻞ ُه َﻮ َﻓ ْﻠ ُﻴ ْﻤِﻠ‬ َّ ‫ن ُﻳ ِﻤ‬ْ ‫ﺴ َﺘﻄِﻴ ُﻊ َأ‬ ْ ‫ﺿﻌِﻴﻔًﺎ َأ ْو ﻻ َﻳ‬ َ ‫ﺳﻔِﻴﻬًﺎ َأ ْو‬ َ
‫ﻦ‬
َ ‫ن ِﻣ‬ َ ‫ﺿ ْﻮ‬ َ ‫ﻦ َﺗ ْﺮ‬ ْ ‫ن ِﻣ َّﻤ‬ ِ ‫ﻞ وَا ْﻣ َﺮَأﺗَﺎ‬ ٌ‫ﺟ‬ ُ ‫ﻦ َﻓ َﺮ‬ ِ ‫ﺟَﻠ ْﻴ‬
ُ ‫ن َﻟ ْﻢ َﻳﻜُﻮﻧَﺎ َر‬ ْ ‫ﻦ ِرﺟَﺎِﻟ ُﻜ ْﻢ َﻓِﺈ‬ ْ ‫ﻦ ِﻣ‬ ِ ‫ﺷﻬِﻴ َﺪ ْﻳ‬ َ
‫ﺸ َﻬﺪَا ُء ِإذَا ﻣَﺎ‬ ُّ ‫ب اﻟ‬ َ ‫ﺧﺮَى وَﻻ َﻳ ْﺄ‬ ْ ‫ﺡﺪَا ُهﻤَﺎ اﻷ‬ ْ ‫ﺡﺪَا ُهﻤَﺎ َﻓ ُﺘ َﺬ ِّآ َﺮ ِإ‬ ْ ‫ﻞ ِإ‬ َّ ‫ﻀ‬
ِ ‫ن َﺗ‬ ْ ‫ﺸ َﻬﺪَا ِء َأ‬ ُّ ‫اﻟ‬
‫ﻋ ْﻨ َﺪ اﻟَّﻠ ِﻪ‬ ِ ‫ﻂ‬ُ‫ﺴ‬ َ ‫ﺟِﻠ ِﻪ َذِﻟ ُﻜ ْﻢ َأ ْﻗ‬ َ ‫ﺹﻐِﻴﺮًا َأ ْو َآﺒِﻴﺮًا ِإﻟَﻰ َأ‬ َ ‫ن َﺗ ْﻜ ُﺘﺒُﻮ ُﻩ‬ ْ ‫ﺴَﺄﻣُﻮا َأ‬ ْ ‫ُدﻋُﻮا وَﻻ َﺗ‬
‫ﺿ َﺮ ًة ُﺗﺪِﻳﺮُو َﻧﻬَﺎ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻜ ْﻢ‬ ِ ‫ن ِﺗﺠَﺎ َر ًة ﺡَﺎ‬ َ ‫ن َﺗﻜُﻮ‬ ْ ‫ﺸﻬَﺎ َد ِة َوَأ ْدﻧَﻰ أَﻻ َﺗ ْﺮﺗَﺎﺑُﻮا إِﻻ َأ‬ َّ ‫َوَأ ْﻗ َﻮ ُم ﻟِﻠ‬
‫ﺐ وَﻻ‬ ٌ ‫ﺷ ِﻬﺪُوا ِإذَا َﺗﺒَﺎ َﻳ ْﻌ ُﺘ ْﻢ وَﻻ ُﻳﻀَﺎ َرّ آَﺎ ِﺗ‬ ْ ‫ح أَﻻ َﺗ ْﻜ ُﺘﺒُﻮهَﺎ َوَأ‬ ٌ ‫ﺟﻨَﺎ‬ ُ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ‬ َ ‫ﺲ‬ َ ‫َﻓَﻠ ْﻴ‬

101 
‫ﻲ ٍء‬
ْ ‫ﺷ‬
َ ‫ﻞ‬
ِّ ‫ق ِﺑ ُﻜ ْﻢ وَا َّﺗﻘُﻮا اﻟَّﻠ َﻪ َو ُﻳ َﻌِﻠّ ُﻤ ُﻜ ُﻢ اﻟَّﻠ ُﻪ وَاﻟَّﻠ ُﻪ ِﺑ ُﻜ‬
ٌ ‫ن َﺗ ْﻔ َﻌﻠُﻮا َﻓِﺈ َﻧّ ُﻪ ُﻓﺴُﻮ‬
ْ ‫ﺷﻬِﻴ ٌﺪ َوِإ‬ َ
‫ﻋﻠِﻴ ٌﻢ‬
َ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara


tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.
Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah
mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berutang itu mengimlakan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhan nya, dan janganlah ia mengurangi sedikit
pun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakan,
maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. Dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu). Jika tak ada
dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan
dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang
lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis
utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya.
Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan
persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguan-mu,
(Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai
yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika)
kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan
janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan
(yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada
dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. 2: 282)

2. Al-Qur’an, surat al-Nisa (4), ayat 29. Allah berfirman:

‫ﻦ‬
ْ‫ﻋ‬َ ‫ن ِﺗﺠَﺎ َر ًة‬
َ ‫ن َﺗﻜُﻮ‬
ْ ‫ﻞ إِﻻ َأ‬ِ‫ﻃ‬ِ ‫ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا ﻻ َﺗ ْﺄ ُآﻠُﻮا َأ ْﻣﻮَاَﻟ ُﻜ ْﻢ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻜ ْﻢ ﺑِﺎ ْﻟﺒَﺎ‬ َ ‫ﻳَﺎ َأُّﻳﻬَﺎ اَّﻟﺬِﻳ‬
‫ن ِﺑ ُﻜ ْﻢ َرﺡِﻴﻤًﺎ‬
َ ‫ن اﻟَّﻠ َﻪ آَﺎ‬ َّ ‫ﺴ ُﻜ ْﻢ ِإ‬
َ ‫ض ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ وَﻻ َﺗ ْﻘ ُﺘﻠُﻮا َأ ْﻧ ُﻔ‬
ٍ ‫َﺗﺮَا‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu

102 
membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu. (Q.S. 4: 29)

3. Al-Qur’an, surat Al-Taubah (9), ayat 24. Allah berfirman:

‫ل‬
ٌ ‫ﻋﺸِﻴ َﺮ ُﺗ ُﻜ ْﻢ َوَأ ْﻣﻮَا‬ َ ‫ﺟ ُﻜ ْﻢ َو‬
ُ ‫ﺧﻮَا ُﻧ ُﻜ ْﻢ َوَأ ْزوَا‬
ْ ‫ن ﺁﺑَﺎ ُؤ ُآ ْﻢ َوَأ ْﺑﻨَﺎ ُؤ ُآ ْﻢ َوِإ‬
َ ‫ن آَﺎ‬ ْ ‫ﻞ ِإ‬ ْ ‫ُﻗ‬
‫ﻦ اﻟَّﻠ ِﻪ‬
َ ‫ﺐ ِإَﻟ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ِﻣ‬
َّ ‫ﺡ‬
َ ‫ﺿ ْﻮ َﻧﻬَﺎ َأ‬
َ ‫ﻦ َﺗ ْﺮ‬ ُ ‫ن َآﺴَﺎ َدهَﺎ َو َﻣﺴَﺎ ِآ‬ َ ‫ﺸ ْﻮ‬ َ‫ﺨ‬ ْ ‫ا ْﻗ َﺘ َﺮ ْﻓ ُﺘﻤُﻮهَﺎ َو ِﺗﺠَﺎ َر ٌة َﺗ‬
‫ﻲ اﻟَّﻠ ُﻪ ِﺑَﺄ ْﻣ ِﺮ ِﻩ وَاﻟَّﻠ ُﻪ ﻻ َﻳ ْﻬﺪِي‬
َ ‫ﺡ َﺘّﻰ َﻳ ْﺄ ِﺗ‬
َ ‫ﺳﺒِﻴِﻠ ِﻪ َﻓ َﺘ َﺮَّﺑﺼُﻮا‬ َ ‫ﺟﻬَﺎ ٍد ﻓِﻲ‬ ِ ‫َو َرﺳُﻮِﻟ ِﻪ َو‬
‫ﻦ‬
َ ‫ﺳﻘِﻴ‬ِ ‫ا ْﻟ َﻘ ْﻮ َم ا ْﻟﻔَﺎ‬
Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri,
kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang
kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang
kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan
(dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggu lah sampai Allah mendatangkan
ke-putusan-Nya." Dan Allah tidak memberi pe-tunjuk kepada orang-orang
fasik.”

4. Al-Qur’an, surat al-Nur (24), ayat 37. Allah berfirman:

‫ﺼّﻼ ِة َوإِﻳﺘَﺎ ِء اﻟ َّﺰآَﺎ ِة‬


َ ‫ﻦ ِذ ْآ ِﺮ اﻟَّﻠ ِﻪ َوِإﻗَﺎ ِم اﻟ‬
ْ‫ﻋ‬َ ‫ل ﻻ ُﺗ ْﻠﻬِﻴ ِﻬ ْﻢ ِﺗﺠَﺎ َر ٌة وَﻻ َﺑ ْﻴ ٌﻊ‬ ٌ ‫ِرﺟَﺎ‬
‫ب وَاﻷ ْﺑﺼَﺎ ُر‬ُ ‫ﺐ ﻓِﻴ ِﻪ ا ْﻟ ُﻘﻠُﻮ‬
ُ ّ‫ن َﻳ ْﻮﻣًﺎ َﺗ َﺘ َﻘَﻠ‬
َ ‫َﻳﺨَﺎﻓُﻮ‬
Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual
beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari)
membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati
dan penglihatan menjadi guncang.

5. Al-Qur’an, surat Fathir [35], ayat 29. Allah berfirman:

‫ﺳ ًّﺮا َوﻋَﻼ ِﻧ َﻴ ًﺔ‬


ِ ‫ﺼّﻼ َة َوَأ ْﻧ َﻔﻘُﻮا ِﻣ َﻤّﺎ َر َز ْﻗﻨَﺎ ُه ْﻢ‬
َ ‫ب اﻟَّﻠ ِﻪ َوَأﻗَﺎﻣُﻮا اﻟ‬
َ ‫ن ِآﺘَﺎ‬ َ ‫ﻦ َﻳ ْﺘﻠُﻮ‬َ ‫ن اَّﻟﺬِﻳ‬
َّ ‫ِإ‬
‫ﻦ َﺗﺒُﻮ َر‬
ْ ‫ن ِﺗﺠَﺎ َر ًة َﻟ‬
َ ‫َﻳ ْﺮﺟُﻮ‬
Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendiri-
kan salat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan
kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu meng-
harapkan perniagaan yang tidak akan merugi,”

103 
6. Al-Qur’an, surat al-Shaf [61], ayat 10 dan 11. Allah berfirman:

‫ب َأﻟِﻴ ٍﻢ‬
ٍ ‫ﻋﺬَا‬
َ ‫ﻦ‬
ْ ‫ﻋﻠَﻰ ِﺗﺠَﺎ َر ٍة ُﺗ ْﻨﺠِﻴ ُﻜ ْﻢ ِﻣ‬
َ ‫ﻞ َأ ُدُّﻟ ُﻜ ْﻢ‬
ْ ‫ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا َه‬
َ ‫ﻳَﺎ َأُّﻳﻬَﺎ اَّﻟﺬِﻳ‬
Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu
perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?” (Q.S.
61: 10)

‫ﺧ ْﻴ ٌﺮ‬
َ ‫ﺴ ُﻜ ْﻢ َذِﻟ ُﻜ ْﻢ‬
ِ ‫ﻞ اﻟَّﻠ ِﻪ ِﺑَﺄ ْﻣﻮَاِﻟ ُﻜ ْﻢ َوَأ ْﻧ ُﻔ‬
ِ ‫ﺳﺒِﻴ‬
َ ‫ن ﻓِﻲ‬
َ ‫ن ﺑِﺎﻟَّﻠ ِﻪ َو َرﺳُﻮِﻟ ِﻪ َو ُﺗﺠَﺎ ِهﺪُو‬ َ ‫ُﺗ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ‬
‫ن‬
َ ‫ن ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ َﺗ ْﻌَﻠﻤُﻮ‬
ْ ‫َﻟ ُﻜ ْﻢ ِإ‬
“(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan
Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika
kamu mengetahuinya,” (Q.S. 61: 11)

7. Al-Qur’an, surat al-Jumu’ah [62], ayat 11. Allah berfirman:

‫ﺧ ْﻴ ٌﺮ‬
َ ‫ﻋ ْﻨ َﺪ اﻟَّﻠ ِﻪ‬
ِ ‫ﻞ ﻣَﺎ‬
ْ ‫ك ﻗَﺎ ِﺉﻤًﺎ ُﻗ‬
َ ‫ﻀّﻮا ِإَﻟ ْﻴﻬَﺎ َو َﺗ َﺮآُﻮ‬
ُ ‫َوِإذَا َرَأوْا ِﺗﺠَﺎ َر ًة َأ ْو َﻟ ْﻬﻮًا ا ْﻧ َﻔ‬
‫ﻦ‬
َ ‫ﺧ ْﻴ ُﺮ اﻟ َﺮّا ِزﻗِﻴ‬
َ ‫ﻦ اﻟِّﺘﺠَﺎ َر ِة وَاﻟَّﻠ ُﻪ‬ َ ‫ﻦ اﻟَّﻠ ْﻬ ِﻮ َو ِﻣ‬
َ ‫ِﻣ‬
Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar
untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri
(berkhutbah). Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dari
pada permainan dan perniagaan", dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezeki.”

Sementara itu, dengan memakai kata bay’ (jual beli), terdapat pada
lima ayat, yakni:
1. Al-Qur’an, surat al-Baqarah (2), ayat 245 dan 275. Allah berfirman:

‫ﺾ‬
ُ ‫ﺿﻌَﺎﻓًﺎ َآﺜِﻴ َﺮ ًة وَاﻟَّﻠ ُﻪ َﻳ ْﻘ ِﺒ‬
ْ ‫ﻋ َﻔ ُﻪ َﻟ ُﻪ َأ‬
ِ ‫ﺴﻨًﺎ َﻓ ُﻴﻀَﺎ‬
َ‫ﺡ‬َ ‫ض اﻟَّﻠ َﻪ َﻗ ْﺮﺿًﺎ‬
ُ ‫ﻦ ذَا اَّﻟﺬِي ُﻳ ْﻘ ِﺮ‬ ْ ‫َﻣ‬
‫ن‬
َ ‫ﺟﻌُﻮ‬ َ ‫ﻂ َوِإَﻟ ْﻴ ِﻪ ُﺗ ْﺮ‬
ُ‫ﺴ‬ُ ‫َو َﻳ ْﺒ‬
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah
menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan.

104 
Dalam surat al-Baqarah, ayat 275 disebutkan:

‫ﺲ‬
ِّ ‫ﻦ ا ْﻟ َﻤ‬َ ‫ن ِﻣ‬ ُ ‫ﺸ ْﻴﻄَﺎ‬َّ ‫ﻄ ُﻪ اﻟ‬ُ ّ‫ﺨ َﺒ‬
َ ‫ن إِﻻ َآﻤَﺎ َﻳﻘُﻮ ُم اَّﻟﺬِي َﻳ َﺘ‬ َ ‫ن اﻟ ِّﺮﺑَﺎ ﻻ َﻳﻘُﻮﻣُﻮ‬ َ ‫ﻦ َﻳ ْﺄ ُآﻠُﻮ‬ َ ‫اَّﻟﺬِﻳ‬
‫ﻦ ﺟَﺎ َء ُﻩ‬
ْ ‫ﺡ َّﺮ َم اﻟ ِّﺮﺑَﺎ َﻓ َﻤ‬
َ ‫ﻞ اﻟَّﻠ ُﻪ ا ْﻟ َﺒ ْﻴ َﻊ َو‬
َّ ‫ﺡ‬
َ ‫ﻞ اﻟ ِّﺮﺑَﺎ َوَأ‬
ُ ‫ﻚ ِﺑَﺄَّﻧ ُﻬ ْﻢ ﻗَﺎﻟُﻮا ِإَّﻧﻤَﺎ ا ْﻟ َﺒ ْﻴ ُﻊ ِﻣ ْﺜ‬َ ‫َذِﻟ‬
‫ﻚ‬
َ ‫ﻦ ﻋَﺎ َد َﻓﺄُوَﻟ ِﺌ‬ْ ‫ﻒ َوَأ ْﻣ ُﺮ ُﻩ ِإﻟَﻰ اﻟَّﻠ ِﻪ َو َﻣ‬ َ ‫ﺳَﻠ‬ َ ‫ﻦ َرِّﺑ ِﻪ ﻓَﺎ ْﻧ َﺘﻬَﻰ َﻓَﻠ ُﻪ ﻣَﺎ‬ ْ ‫ﻈ ٌﺔ ِﻣ‬ َ‫ﻋ‬ ِ ‫َﻣ ْﻮ‬
‫ن‬
َ ‫ب اﻟ َﻨّﺎ ِر ُه ْﻢ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺧَﺎِﻟﺪُو‬ ُ ‫ﺹﺤَﺎ‬ ْ ‫َأ‬
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu
terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang meng ulangi (mengambil riba), maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”

2. Al-Qur’an, surat al-Taubah [9], ayat 111. Allah berfirman:

‫ن ﻓِﻲ‬ َ ‫ﺠَّﻨ َﺔ ُﻳﻘَﺎ ِﺗﻠُﻮ‬


َ ‫ن َﻟ ُﻬ ُﻢ ا ْﻟ‬
َّ ‫ﺴ ُﻬ ْﻢ َوَأ ْﻣﻮَاَﻟ ُﻬ ْﻢ ِﺑَﺄ‬
َ ‫ﻦ َأ ْﻧ ُﻔ‬
َ ‫ﻦ ا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣﻨِﻴ‬َ ‫ﺷ َﺘﺮَى ِﻣ‬ ْ ‫ن اﻟَّﻠ َﻪ ا‬ َّ ‫ِإ‬
‫ن‬
ِ ‫ﻞ وَا ْﻟ ُﻘﺮْﺁ‬ ِ ‫ﺡ ًﻘّﺎ ﻓِﻲ اﻟَّﺘ ْﻮرَا ِة وَاﻹ ْﻧﺠِﻴ‬ َ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ‬َ ‫ﻋﺪًا‬ ْ ‫ن َو‬ َ ‫ن َو ُﻳ ْﻘ َﺘﻠُﻮ‬
َ ‫ﻞ اﻟَّﻠ ِﻪ َﻓ َﻴ ْﻘ ُﺘﻠُﻮ‬ ِ ‫ﺳﺒِﻴ‬َ
‫ﻚ ُه َﻮ ا ْﻟ َﻔ ْﻮ ُز‬
َ ‫ﺸﺮُوا ِﺑ َﺒ ْﻴ ِﻌ ُﻜ ُﻢ اَّﻟﺬِي ﺑَﺎ َﻳ ْﻌ ُﺘ ْﻢ ِﺑ ِﻪ َو َذِﻟ‬ ِ ‫ﺳ َﺘ ْﺒ‬ْ ‫ﻦ اﻟَّﻠ ِﻪ ﻓَﺎ‬َ ‫ﻦ َأ ْوﻓَﻰ ِﺑ َﻌ ْﻬ ِﺪ ِﻩ ِﻣ‬ ْ ‫َو َﻣ‬
‫ا ْﻟ َﻌﻈِﻴ ُﻢ‬
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan
harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang
pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah
menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an.
Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka
bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah
kemenangan yang besar.”

3. Al-Qur’an, surat Ibrahim [14], ayat 31. Allah berfirman:

‫ﻦ‬
ْ ‫ﺳ ًﺮّا َوﻋَﻼ ِﻧ َﻴ ًﺔ ِﻣ‬
ِ ‫ﺼّﻼ َة َو ُﻳ ْﻨ ِﻔﻘُﻮا ِﻣ َﻤّﺎ َر َز ْﻗﻨَﺎ ُه ْﻢ‬
َ ‫ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا ُﻳﻘِﻴﻤُﻮا اﻟ‬
َ ‫ي اَّﻟﺬِﻳ‬َ ‫ﻞ ِﻟ ِﻌﺒَﺎ ِد‬ْ ‫ُﻗ‬
‫ل‬
ٌ ‫ﻲ َﻳ ْﻮ ٌم ﻻ َﺑ ْﻴ ٌﻊ ﻓِﻴ ِﻪ وَﻻ ﺧِﻼ‬
َ ‫ن َﻳ ْﺄ ِﺗ‬
ْ ‫ﻞ َأ‬
ِ ‫َﻗ ْﺒ‬

105 
Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: "Hendak-lah
mereka mendirikan salat, menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami
berikan kepada mereka secara sembunyi atau pun terang-terangan sebelum
datang hari (kiamat) yang pada hari itu tidak ada jual beli dan
persahabatan.”

4. Al-Qur’an, surat Al-Jumu’ah [62], ayat 9

‫ﺳ َﻌﻮْا ِإﻟَﻰ ِذ ْآ ِﺮ اﻟَّﻠ ِﻪ‬


ْ ‫ﺠ ُﻤ َﻌ ِﺔ ﻓَﺎ‬
ُ ‫ﻦ َﻳ ْﻮ ِم ا ْﻟ‬
ْ ‫ﺼّﻼ ِة ِﻣ‬ َ ‫ي ﻟِﻠ‬ َ ‫ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا ِإذَا ﻧُﻮ ِد‬ َ ‫ﻳَﺎ َأُّﻳﻬَﺎ اَّﻟﺬِﻳ‬
‫ن‬
َ ‫ن ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ َﺗ ْﻌَﻠﻤُﻮ‬
ْ ‫ﺧ ْﻴ ٌﺮ َﻟ ُﻜ ْﻢ ِإ‬
َ ‫َو َذرُوا ا ْﻟ َﺒ ْﻴ َﻊ َذِﻟ ُﻜ ْﻢ‬
Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembah
yang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah
dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.”
Berdasarkan ayat-ayat tersebut di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa bisnis dalam al-Qur’an harus mengandung beberapa sikap etis,
sebagai berikut:
a. Bermuka manis dan berlunak kata. Hal ini diterangkan dalam surat
al-Hijr, ayat 88:
‫ﻦ‬
َ ‫ﻚ ِﻟ ْﻠ ُﻤ ْﺆ ِﻣﻨِﻴ‬
َ ‫ﺡ‬
َ ‫ﺟﻨَﺎ‬
َ ‫ﺾ‬
ْ ‫ﺧ ِﻔ‬
ْ ‫وَا‬
“ ... dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman.”

Surat Ali Imran, ayat 159 menyebutkan:

‫ﻦ‬
ْ ‫ﻀّﻮا ِﻣ‬ ُ ‫ﺐ ﻻ ْﻧ َﻔ‬ِ ‫ﻆ ا ْﻟ َﻘ ْﻠ‬
َ ‫ﻏﻠِﻴ‬
َ ‫ﻈّﺎ‬
ً ‫ﺖ َﻓ‬
َ ‫ﺖ َﻟ ُﻬ ْﻢ َوَﻟ ْﻮ ُآ ْﻨ‬ َ ‫ﻦ اﻟَّﻠ ِﻪ ِﻟ ْﻨ‬
َ ‫ﺡ َﻤ ٍﺔ ِﻣ‬ْ ‫َﻓ ِﺒﻤَﺎ َر‬
‫ﻞ‬
ْ ‫ﺖ َﻓ َﺘ َﻮ َّآ‬
َ ‫ﻋ َﺰ ْﻣ‬
َ ‫ﺳ َﺘ ْﻐ ِﻔ ْﺮ َﻟ ُﻬ ْﻢ َوﺷَﺎ ِو ْر ُه ْﻢ ﻓِﻲ اﻷ ْﻣ ِﺮ َﻓِﺈذَا‬ ْ ‫ﻋ ْﻨ ُﻬ ْﻢ وَا‬َ ‫ﻒ‬ ُ ‫ﻋ‬ ْ ‫ﻚ ﻓَﺎ‬ َ ‫ﺡ ْﻮِﻟ‬
َ
‫ﻦ‬
َ ‫ﺐ ا ْﻟ ُﻤ َﺘ َﻮ ِّآﻠِﻴ‬
ُّ ‫ﺤ‬ ِ ‫ن اﻟَّﻠ َﻪ ُﻳ‬
َّ ‫ﻋﻠَﻰ اﻟَّﻠ ِﻪ ِإ‬ َ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusya-
warahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu
telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesung-
guhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya”

106 
b. Pemberi maaf, lapang dada tidak mudah marah. Hal ini diterangkan
dalam surat al-Hijr, ayat 85:

‫ﻋ َﺔ ﻵ ِﺗ َﻴ ٌﺔ‬
َ ‫ﺴّﺎ‬
َ ‫ن اﻟ‬
َّ ‫ﻖ َوِإ‬
ِّ ‫ﺤ‬
َ ‫ض َوﻣَﺎ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬﻤَﺎ إِﻻ ﺑِﺎ ْﻟ‬
َ ‫ت وَاﻷ ْر‬
ِ ‫ﺴﻤَﺎوَا‬ َّ ‫ﺧَﻠ ْﻘﻨَﺎ اﻟ‬
َ ‫َوﻣَﺎ‬
‫ﻞ‬
َ ‫ﺠﻤِﻴ‬
َ ‫ﺢ ا ْﻟ‬
َ ‫ﺼ ْﻔ‬
َّ ‫ﺢ اﻟ‬ ِ ‫ﺹ َﻔ‬
ْ ‫ﻓَﺎ‬
“Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di
antara keduanya, melainkan dengan benar. Dan sesungguhnya saat
(kiamat) itu pasti akan datang, maka maafkanlah (mereka) dengan cara
yang baik”

Surat An-Nur, ayat 22 Allah berfirman:

‫ﻏﻔُﻮ ٌر َرﺡِﻴ ٌﻢ‬


َ ‫ن َﻳ ْﻐ ِﻔ َﺮ اﻟَّﻠ ُﻪ َﻟ ُﻜ ْﻢ وَاﻟَّﻠ ُﻪ‬
ْ ‫ن َأ‬
َ ‫ﺤ ُﺒّﻮ‬
ِ ‫ﺼ َﻔﺤُﻮا أَﻻ ُﺗ‬
ْ ‫َو ْﻟ َﻴ ْﻌﻔُﻮا َو ْﻟ َﻴ‬
“ ... dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah
kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Dalam surat al-A’raf, ayat 199 diterangkan:

‫ﻦ‬
َ ‫ﻦ ا ْﻟﺠَﺎ ِهﻠِﻴ‬
ِ‫ﻋ‬َ ‫ض‬
ْ ‫ﻋ ِﺮ‬
ْ ‫ف َوَأ‬
ِ ‫ﺧ ِﺬ ا ْﻟ َﻌ ْﻔ َﻮ َو ْأ ُﻣ ْﺮ ﺑِﺎ ْﻟ ُﻌ ْﺮ‬
ُ
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf,
serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.”

Surat Ali Imran, ayat 134 menjelaskan:

‫س‬
ِ ‫ﻦ اﻟ َﻨّﺎ‬
ِ‫ﻋ‬
َ ‫ﻦ‬
َ ‫ﻆ وَا ْﻟﻌَﺎﻓِﻴ‬
َ ‫ﻦ ا ْﻟ َﻐ ْﻴ‬
َ ‫ﻇﻤِﻴ‬
ِ ‫ﻀ َﺮّا ِء وَا ْﻟﻜَﺎ‬
َّ ‫ﺴ َﺮّا ِء وَاﻟ‬
َّ ‫ن ﻓِﻲ اﻟ‬ َ ‫ﻦ ُﻳ ْﻨ ِﻔﻘُﻮ‬
َ ‫اَّﻟﺬِﻳ‬
‫ﻦ‬
َ ‫ﺴﻨِﻴ‬
ِ‫ﺤ‬ْ ‫ﺐ ا ْﻟ ُﻤ‬
ُّ ‫ﺤ‬
ِ ‫وَاﻟَّﻠ ُﻪ ُﻳ‬
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu
lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya
dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan.”

107 
c. Bersikaplah rendah hati dan tutur kata manis. Sebagaimana dalam
surat Luqman, ayat 18-19:

‫ﻞ‬
َّ ‫ﺐ ُآ‬
ُّ ‫ﺤ‬
ِ ‫ن اﻟَّﻠ َﻪ ﻻ ُﻳ‬
َّ ‫ض َﻣ َﺮﺡًﺎ ِإ‬
ِ ‫ﺶ ﻓِﻲ اﻷ ْر‬
ِ ‫س وَﻻ َﺗ ْﻤ‬
ِ ‫ك ﻟِﻠ َﻨّﺎ‬
َ ‫ﺧ َّﺪ‬
َ ‫ﺼ ِّﻌ ْﺮ‬
َ ‫وَﻻ ُﺗ‬ 18
‫ل َﻓﺨُﻮ ٍر‬
ٍ ‫ﺨﺘَﺎ‬
ْ ‫ُﻣ‬
‫ت‬
ُ ‫ﺼ ْﻮ‬
َ ‫ت َﻟ‬
ِ ‫ﺹﻮَا‬
ْ ‫ن َأ ْﻧ َﻜ َﺮ اﻷ‬
َّ ‫ﻚ ِإ‬
َ ‫ﺹ ْﻮ ِﺗ‬
َ ‫ﻦ‬
ْ ‫ﺾ ِﻣ‬
ْ ‫ﻀ‬
ُ ‫ﻏ‬
ْ ‫ﻚ وَا‬
َ ‫ﺸ ِﻴ‬
ْ ‫ﺼ ْﺪ ﻓِﻲ َﻣ‬
ِ ‫وَا ْﻗ‬ 19
‫ﺤﻤِﻴ ِﺮ‬
َ ‫ا ْﻟ‬

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena 18


sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membanggakan diri.
Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. 19
Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.

d. Tidak membanggakan diri. Firman Allah dalam surat al-Qasas, ayat


76:
‫ﻦ‬
َ ‫ﺐ ا ْﻟ َﻔ ِﺮﺡِﻴ‬
ُّ ‫ﺤ‬
ِ ‫ن اﻟَّﻠ َﻪ ﻻ ُﻳ‬
َّ ‫ح ِإ‬
ْ ‫ﻻ َﺗ ْﻔ َﺮ‬
" ... Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri".

e. Mengajak dan memberikan perintah yang bijaksana. Diterangkan


dalam surat an-Nahl, ayat 125:
‫ﻲ‬
َ ‫ﺴ َﻨ ِﺔ َوﺟَﺎ ِد ْﻟ ُﻬ ْﻢ ﺑِﺎَّﻟﺘِﻲ ِه‬
َ‫ﺤ‬َ ‫ﻈ ِﺔ ا ْﻟ‬
َ‫ﻋ‬ِ ‫ﺤ ْﻜ َﻤ ِﺔ وَا ْﻟ َﻤ ْﻮ‬
ِ ‫ﻚ ﺑِﺎ ْﻟ‬
َ ‫ﻞ َرِّﺑ‬
ِ ‫ﺳﺒِﻴ‬
َ ‫ع ِإﻟَﻰ‬
ُ ‫ا ْد‬
‫ﻦ‬
ُ‫ﺴ‬ َ‫ﺡ‬ْ ‫َأ‬
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”

f. Saling menghormati dan tidak berprasangka buru. Dijelaskan dalam


surat al-Hujurat, ayat 12:

108 
‫ﻦ ِإ ْﺛ ٌﻢ وَﻻ‬
ِّ ‫ﻈ‬
َّ ‫ﺾ اﻟ‬ َ ‫ن َﺑ ْﻌ‬ َّ ‫ﻦ ِإ‬
ِّ ‫ﻈ‬َّ ‫ﻦ اﻟ‬َ ‫ﺟ َﺘ ِﻨﺒُﻮا َآﺜِﻴﺮًا ِﻣ‬ ْ ‫ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا ا‬ َ ‫ﻳَﺎ َأُّﻳﻬَﺎ اَّﻟﺬِﻳ‬
‫ﺤ َﻢ َأﺧِﻴ ِﻪ َﻣ ْﻴﺘًﺎ‬
ْ ‫ﻞ َﻟ‬َ ‫ن َﻳ ْﺄ ُآ‬
ْ ‫ﺡ ُﺪ ُآ ْﻢ َأ‬
َ ‫ﺐ َأ‬ ُّ ‫ﺤ‬
ِ ‫ﻀ ُﻜ ْﻢ َﺑ ْﻌﻀًﺎ َأ ُﻳ‬ ُ ‫ﺐ َﺑ ْﻌ‬ ْ ‫ﺴﺴُﻮا وَﻻ َﻳ ْﻐ َﺘ‬ َّ ‫ﺠ‬ َ ‫َﺗ‬
‫ب َرﺡِﻴ ٌﻢ‬ ٌ ‫ن اﻟَّﻠ َﻪ َﺗ َﻮّا‬
َّ ‫َﻓ َﻜ ِﺮ ْه ُﺘﻤُﻮ ُﻩ وَا َّﺗﻘُﻮا اﻟَّﻠ َﻪ ِإ‬
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu
mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu
menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara
kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah
kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang”.

Surat an-Nisa, ayat 86 menerangkan:

‫ﻞ‬
ِّ ‫ﻋﻠَﻰ ُآ‬
َ ‫ن‬
َ ‫ن اﻟَّﻠ َﻪ آَﺎ‬
َّ ‫ﻦ ِﻣ ْﻨﻬَﺎ َأ ْو ُر ُدّوهَﺎ ِإ‬
َ‫ﺴ‬َ‫ﺡ‬
ْ ‫ﺤ ُﻴّﻮا ِﺑَﺄ‬
َ ‫ﺤَّﻴ ٍﺔ َﻓ‬
ِ ‫ﺡ ِﻴّﻴ ُﺘ ْﻢ ِﺑ َﺘ‬
ُ ‫َوِإذَا‬
‫ﺡﺴِﻴﺒًﺎ‬ َ ‫ﻲ ٍء‬ْ ‫ﺷ‬ َ
“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah
penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang
serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.”

g. Tidak memberikan sebutan atau istilah yang buruk. Diterangkan


dalam surat al-Hujurat, ayat 11:

‫ﻚ ُه ُﻢ‬
َ ‫ﺐ َﻓﺄُوَﻟ ِﺌ‬
ْ ‫ﻦ َﻟ ْﻢ َﻳ ُﺘ‬
ْ ‫ن َو َﻣ‬
ِ ‫ق َﺑ ْﻌ َﺪ اﻹﻳﻤَﺎ‬
ُ ‫ﺳ ُﻢ اْﻟ ُﻔﺴُﻮ‬
ْ ‫ﺲ اﻻ‬
َ ‫ب ِﺑ ْﺌ‬
ِ ‫ﺴ ُﻜ ْﻢ وَﻻ َﺗﻨَﺎَﺑﺰُوا ﺑِﺎﻷْﻟﻘَﺎ‬
َ ‫وَﻻ َﺗ ْﻠ ِﻤﺰُوا َأ ْﻧ ُﻔ‬
‫ن‬
َ ‫ﻈّﺎِﻟﻤُﻮ‬ َ ‫اﻟ‬

“ ... dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu
panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk
panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa
yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang lalim.”

h. Penerapan administrasi yang baik dan teratur serta manajemen yang


tepat. Sikap bini berlandaskan pada firman Allah, surat al-Baqarah
[2], ayat 282 sebagaimana telah tersebut di poin 1 sub 2 menyatakan
bahwa kata faktubuh pada ayat di atas mengisyaratkan bahwa dalam

109 
aktivitas perdagangan harus diterapkan administrasi yang baik dan
teratur.
i. Adanya kerelaan (al-ridha), yaitu kondisi suka sama suka antara
pihak-pihak yang terlibat dalam bisnis. Hal ini telah tersebut dalam
surat al-Nisa [4], ayat 29 tersebut di atas. Dalam ayat tersebut
terdapat kalimat ‘an taradhin minkum yang artinya suka sama suka di
antara kamu, yaitu pembeli dan penjual. Untuk menciptakan suka
sama suka itu, menurut fuqaha diwujudkan dalam bentuk ijab dan
qabu. Munculnya sikap suka-suka di kalangan masyarakat harus
dilandasi kepada nilai-nilai moral agama, yaitu:
1) Akhlak dan sikap mental yang baik. Aktivitas perdagangan atau
bisnis yang qurani harus dilandasi dengan akhlak (etika). Oleh
sebab itu, perlu dibentuk para pebisnis yang mempunyai etika dan
sikap mental yang baik, seperti jujur dan lain sebagainya. Prinsip
ini perlu dirujuk dalam al-Qur’an surat al-Maidah [5], ayat 3
sebagai berikut:
‫ن وَا َّﺗﻘُﻮا‬
ِ ‫ﻋﻠَﻰ اﻹ ْﺛ ِﻢ وَا ْﻟ ُﻌ ْﺪوَا‬
َ ‫ﻋﻠَﻰ ا ْﻟ ِﺒ ِّﺮ وَاﻟَّﺘ ْﻘﻮَى وَﻻ َﺗﻌَﺎ َوﻧُﻮا‬
َ ‫َو َﺗﻌَﺎ َوﻧُﻮا‬
‫ب‬
ِ ‫ﺷﺪِﻳ ُﺪ ا ْﻟ ِﻌﻘَﺎ‬ َ ‫ن اﻟَّﻠ َﻪ‬
َّ ‫اﻟَّﻠ َﻪ ِإ‬
Artinya: “... Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerja-kan)
ke-bajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong
dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya.”
2) Tidak curang. Sejalan dengan dorongan untuk bersikap jujur dan
benar, Islam sangat mencela timbulnya kecurangan dalam praktik
bisnis, sehingga menimbulkan bahaya dan kerugian kepada orang
lain, seperti mengurangi timbangan dan takaran. Allah berfirman
dalam surat al-Rahman [55] ayat 9 disebutkan:

‫ن‬
َ ‫ﺴﺮُوا ا ْﻝﻤِﻴﺰَا‬
ِ ‫ﺨ‬
ْ ‫ﻂ وَﻻ ُﺕ‬
ِ‫ﺴ‬
ْ ‫ن ﺏِﺎ ْﻝ ِﻘ‬
َ ‫َوَأﻗِﻴﻤُﻮا ا ْﻝ َﻮ ْز‬
Artinya: “Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan jangan-
lah kamu mengurangi neraca itu.”
Sejalan dengan perintah untuk menyempurnakan takaran dan
timbangan, Allah sangat mengecam orang yang berlaku curang.

110 
Sebagai mana dalam surat al-Qur’an (83) ayat 1-3 disebutkan
peringatan-Nya adalah:
Kecelakaan besarlah bagi ‫ﻦ‬
َ ‫ﻄ ِّﻔﻔِﻴ‬
َ ‫وَ ْی ٌﻞ ِﻝ ْﻠ ُﻤ‬ 1
orang-orang yang curang,
(yaitu) orang-orang yang ‫س‬
ِ ‫ﻋﻠَﻰ اﻝ َﻨّﺎ‬
َ ‫ﻦ ِإذَا ا ْآﺘَﺎﻝُﻮا‬
َ ‫اَّﻝﺬِی‬ 2
apabila menerima takaran dari
‫ن‬
َ ‫ﺴ َﺘ ْﻮﻓُﻮ‬
ْ ‫َی‬
orang lain mereka minta
dipenuhi,
dan apabila mereka menakar ‫َوِإذَا آَﺎﻝُﻮ ُه ْﻢ َأ ْو َو َزﻥُﻮ ُه ْﻢ‬ 3
atau menimbang untuk orang
‫ن‬
َ ‫ﺴﺮُو‬ِ ‫ﺨ‬ ْ ‫ُی‬
lain, mereka mengurangi.

3) Tidak menjadi penghalang untuk melaksanakan kewajiban kepada


Allah dan agama. Allah berfirman dalam al-Qur’an surat al-
Taubah [9] ayat 24 sebagaimana tersebut di atas.
4) Bersih dari unsur riba. Kegiatan bisnis, bahkan semua bentuk akti-
vitas ekonomi umat Islam dalam masyarakat itu harus terhindar
dari unsur riba. Al-Qur’an dengan tegas mengharamkan riba,
karena akibatnya sangat merugikan masyarakat. Allah berfirman
dalam surat al-Baqarah [2] ayat 275 sebagaimana tersebut di atas
diingatkan bahwa Allah mengancam pelakunya dengan azhab
yang pedih di dunia dan akhirat. Secara pribadi, pembeli yang
dirugikan, dan dia pasti tidak merasa rela, sedangkan secara
bermasyarakat, golongan ekonomi lemah juga dirugikan, sebab
tidak ada zakat harta yang diperoleh dari riba, semen-tara zakat
antara lain merupakan hak fakir miskin.

C. Konsep Al-Hadits Tentang Bisnis

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Turmudzi,


Nasa’i, Abu Daud, Ahmad dan Darimi disebutkan bahwa Nabi
mengatakan “Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah, mulai lah yang
wajib kamu nafkahi, sebaik-baik sedekah dari orang yang tidak mampu (di luar
kecukupan), barang siapa yang memelihara diri (tidak meminta-minta) maka
Allah akan memelihara, barang siapa yang mencari kecukupan maka akan
dicukupi oleh Allah”.

111 
Maksud hadits tersebut tidak berarti memperbolehkan me-minta-
minta, tetapi memotivasi agar seorang muslim mau berusaha dengan
keras agar dapat menjadi tangan di atas, yaitu orang yang mampu
membantu dan memberi sesuatu pada orang lain dari hasil jerih
payahnya. Seseorang akan dapat membantu sesama apabila dirinya
telah berkecukupan. Seseorang dikatakan berkecukupan jika ia
mempunyai penghasilan yang lebih baik. Seseorang akan mendapatkan
penghasilan lebih jika berusaha keras dan baik. Karenanya dalam
bekerja harus disertai etos kerja tinggi.
Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa usaha yang paling
baik adalah berbuat sesuatu dengan tangannya sendiri dengan syarat
jika dilakukan dengan baik dan jujur. Kalimat amalu ar-rijalu biyadihi
dalam hadits tersebut di atas yang berarti usaha seseorang dengan
tangannya dapat dimaknai dengan bisnis (wirausaha), karena dengan
melakukan sesuatu dengan tangannya berarti seseorang dituntut dapat
menciptakan sesuatu dan dapat memanfaatkan peluang dan kemam-
puan yang dimiliki. Maksudnya seorang muslim hendaknya me-lakukan
wirausaha dengan menciptakan sesuatu berdasarkan kemampuan yang
dimiliki, berkarya tanpa henti untuk berinovasi, memanfaatkan peluang
yang ada, agar dapat mencapai keuntungan yang optimal.
‫ﺣﺪﺛﻨﺎ اﺑﻮ ﻋﺎﻣﺮ اﻟﻤﻘﺪي ﻋﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﻤﺎر آﺸﺎآﺶ ﻗﺎل ﺳﻤﻌﺖ ﺳﻌﻴﺪا‬
‫اﻟﻤﻘﺒﺮي یﺤﺪث ﻋﻦ اﺑﻲ هﺮیﺮة ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻲ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل ﺧﻴﺮ‬
(‫اﻟﻜﺴﺐ آﺴﺐ یﺪ اﻟﻌﺎﻣﻞ اذا ﻥﺼﺢ )رواﻩ اﺣﻤﺪ‬
Artinya: “Usaha yang paling baik adalah hasil karya seseorang dengan
tangan nya jika ia jujur (bermaksud baik)”
Allah menyukai orang-orang yang kuat dan mau berusaha, serta
mampu menciptakan kreasi baru yang lebih baik untuk kebahagiaan
dunia akhirat. Hal ini diperjelas oleh hadits nabi bahwa: 
‫ﺣﺪﺛﻨﺎ یﺰیﺪ ﺣﺪﺛﻨﺎ اﻟﻤﺴﻌﻮدي ﻋﻦ واﺋﻞ اﺑﻲ ﺑﻜﺮ ﻋﻦ ﻋﺒﺎیﺔ ﺑﻦ راﻓﺎﻋﺔ ﺑﻦ‬
‫راﻓﻊ ﺑﻦ ﺧﺪیﺞ ﻋﻦ ﺟﺪﻩ راﻓﻊ ﺑﻦ ﺧﺪیﺞ ﻗﺎل ﻗﻴﻞ یﺎرﺳﻮل اﷲ اي اﻟﻜﺴﺐ‬
(‫اﻃﻴﺐ ﻗﺎل ﻋﻤﻞ اﻟﺮﺟﻞ ﺑﻴﺪﻩ وآﻞ ﺑﻴﻊ ﻣﺒﺮور )رواﻩ اﺣﻤﺪ‬
Rasulullah SAW ditanya: “Usaha apa yang paling baik? Beliau
menjawab: “usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan bisnis yang
baik”. (H.R. Ahmad)

112 
Ini berarti urutan pertama adalah usaha seseorang dengan tangan-
nya, sedang urutan kedua adalah bisnis, sebaliknya, tetapi menunjukkan
keduanya saling berkaitan agar mencapai hasil yang terbaik dalam
melakukan bisnis dibutuhkan sebuah keterampilan dan pikiran-pikiran
yang kreatif dan inovatif.

D. Implementasi Bisnis dalam Konsep Al-Qur’an dan Al-Hadits

Konsep yang general dan umum yang ada pada kita tentang istilah
nilai, sebenarnya adalah konsep ekonomi. Hubungan suatu komoditi
atau jasa dengan barang yang mau dibayarkan orang untuk mendapat-
kannya memunculkan konsep nilai. Tetapi, makna “nilai” dan “sistem
nilai”. Istilah nilai dalam pengertian luas ini diterapkan pada obyek-
obyek maupun pada manusia dan perilakunya.
Nilai-nilai tentang yang benar dan salah serta yang baik dan yang
buruk di bidang kehidupan ekonomi didasarkan kepada konsep
pemuliaan terhadap anak Adam. Manusia diciptakan dalam bentuk yang
paling indah, (Q.S. At-Tin, 3). Tapi kesempurnaan manusia sebagai
makhluk bukanlah hanya dari segi fisik saja. Kehidupan manusia
mengandung dua dimensi, jasmani dan rohani. Karena aspek rohani ini
bersifat unik pada manusia, yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya
maka inti eksistensi manusia ini terletak pada aspek rohaninya itu.
Dengan rohani itu manusia memperoleh makna dalam hidupnya.
Kenyataan sosial dan sejarah menunjukkan, bahwa manusia justru
telah gagal menghargai makna hidup yang dimilikinya itu. Terdapat
bukti, bahwa manusia justru meletakkan dirinya di bawah subordinasi
makhluk rendah yang dibuatnya sendiri. Ini diperlihatkan pada sistem
perekonomian Raja Namrud dan Fir’aun, yang umumnya disusun atas
dasar komando. Ini sebenarnya hanya terjadi di sekitar pusat kekuasaan.
Di daerah-daerah yang jauh dari konsentrasi kekuasaan, kehidupan
ekonomi diatur atas dasar dan semangat kolektif. Semua bekerja untuk
semua dalam suatu sistem yang tertutup.
Di kota-kota, sudah ada pembagian kerja yang lebih luas, karena
orang menyadari bahwa setiap orang tidak memiliki semua keterampilan
maupun waktu untuk membuat semua barang kebutuhan nya. Tapi
perkembangan kebutuhan yang meningkat, terutama sebagai hasil

113 
angan-angan, baik yang berwujud barang kebutuhan praktis maupun
barang-barang budaya dan kesenian, terutama dalam wujud bangunan
yang megah yang juga merupakan simbol-simbol dan alat-alat peng-
himpunan pengaruh dan kekuasaan, menimbulkan gagasan untuk
menghimpun manusia dalam jumlah banyak untuk mewujudkan
barang-barang itu. Maka timbullah cara perbudakan yang didukung oleh
sistem kekerasan. Agama, dan sistem ini adalah alat pendukung
kekuasaan, guna menciptakan sistem ketaatan dan legitimasi yang
membenarkan kekuasaan tirani.
Sistem perbudakan, walaupun dalam skala lebih kecil, terdapat
juga di Mekah pada saat ayat-ayat al-Qur’an diturunkan. Seperti telah
terjadi di berbagai tempat yang merupakan pusat-pusat peradaban dunia
pada waktu itu, sistem perbudakan itu bisa makin meluas. Karena itu,
pagi-pagi, al-Qur’an telah melakukan kritik terhadap sistem itu. Salah
satu tugas utama agama, adalah memberantas perbudakan (fakku raqabah
atau tahriru raqabah) yang dilukiskan oleh Surat Al-Balad sebagai sebuah
pendakian bukit yang terjal (al-aqabah). Ayat-ayat al-Qur’an menjalankan
misi ini, tidak dengan menghasut suatu pemberontakan, melainkan
mula-mula dengan menyadarkan masyarakat tentang status manusia
yang merdeka.
Dalam berbagai ayat al-Qur’an, kemerdekaan diekspresikan dalam
berbagai kata, baik kata benda (seperti hurr, bara’ atau bari’) maupun kata
kerja (seperti fakka, harrara, khala, maraja, sarraha atau talaqai). Tapi ada
tiga jenis kemerdekaan yang secara konsisten diulang-ulang dalam al-
Qur’an, yaitu kemerdekaan dari rasa takut (yang berarti hak atas
keamanan, keselamatan dan ketentraman), kemerdekaan dari kelaparan
(yang berarti hak atas penghidupan dan kemakmuran) dan kemerdekaan
dari perbudakan (yang berarti hak untuk berbuat dan menentukan
pekerjaannya atau nasibnya sendiri). Etika Islam didasarkan antara lain
atas prinsip kemerdekaan ini, yaitu merupakan dasar dari hak asasi
manusia.
Hak kemerdekaan seseorang itu ditumbuhkan dari dalam melalui
rasa merdekanya, dengan mempergunakan akal dan menyadari rezeki
Allah yang tidak terbatas. Sistem perbudakan manusia feodal, sebenar-
nya mengantongi pesimisme diri dan kekurangberdayaan menghadapi
lingkungan alam yang memang tidak begitu ramah terhadap manusia.

114 
Ini berakibat timbulnya gagasan orang untuk menghimpun dengan
paksa energi sosial, untuk kepentingan diri dan kelompok atau kelasnya.
Berhadapan dengan kenyataan ini, al-Qur’an menghidupkan
optimisme dengan menyatakan bahwa rezeki Allah itu tidak terbatas dan
manusia memiliki segala kemampuan untuk mengelolanya. ”Dan Dialah
yang menjadikan bumi bagaikan hamparan dan langit bagaikan atap. Dia yang
menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menumbuhkan dengan hujan itu
segala macam buah-buahan sebagai rezeki”, (Q.S. Al-Baqarah, 2: 22).
Dalam Surat an-Nahl: 13, al-Qur’an menyatakan kembali fungsi
kekhalifahan manusia untuk meyakinkan kemampuan manusia: ”Dia pula
yang menundukan (kepada manusia) apa yang Ia ciptakan di bumi, dengan cara
yang berlain-lainan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-
tanda bagi kaum yang mengambil pelajaran”.
Optimisme, menurut al-Qur’an baru akan timbul apabila manusia
mampu mengambil pelajaran secara sistematis. Manusia akan mengerti
berbagai fungsi yang terdapat di alam, karena mereka memiliki penge-
tahuan bahwa segala alam ciptaan ini mengandung tujuan penciptaan
yang benar atau pasti, dengan ukuran-ukuran waktu yang ditentukan.
Dengan kesadaran bahwa segala ciptaan Allah yang dijumpai
manusia itu adalah barang-barang yang berguna bagi manusia, akan
timbul pengertian akan adanya potensi. Dalam surat Nahl: 18, ditegaskan:
“Jika dihitung-hitung ni’mat Allah, niscaya kamu tidak akan bisa menentukan
jumlahnya (karena tidak terbatasnya)”. Itulah yang memberikan
optimisme, dan karena itu manusia tidak perlu khawatir sehingga
terpaksa mengambil apa adanya tanpa memilih atau melakukan cara
yang tidak terpuji untuk mendapatkan rezeki Allah.
Dengan pengertian yang dapat ditarik dari ayat-ayat tersebut di
atas barangkali pemikiran yang kritis akan mendapatkan kesan bahwa
moral yang diberikan oleh Al-Qur’an bertentangan dengan dasar-dasar
atau asumsi ilmu ekonomi, setidak-tidaknya asumsi aliran Neo-Klasik
yang dipelopori oleh Lord Robbin.
Ilmu ekonomi, menurut asumsi ini, timbul karena kesadaran dan
pengertian tentang terdapatnya kelangkaan sumber-sumber dan alat-alat
pemuas kebutuhan, berhadapan kebutuhan manusia yang tidak terbatas
dalam jumlah, variasi maupun mutu. Dari asumsi inilah timbul ilmu

115 
ekonomi yang memikirkan bagaimana masyarakat harus membangun
suatu sistem produksi dan distribusi barang-barang kebutuhan hidup
mereka yang terus meningkat, baik karena perkembangan penduduk,
tuntutan kepada taraf hidup yang lebih tinggi dan kompleksitas masalah
yang dihadapi dalam mempertahankan dan melangsungkan kehidupan.
Berhadapan dengan pengertian tentang asumsi ekonomi itu yang
secara umum diterima sebagai paradigma itu, moral yang ditimbulkan
oleh Al-Qur’an justru sebaliknya, yaitu menciptakan pengertian tidak
adanya kelangkaan sumber pemuas hidup, karena rezeki Allah
senantiasa melimpah, tidak saja cukup bagi manusia, tapi juga bagi
makhluk hidup lainnya. Bahkan dalam surat Hud: 6 di-katakan pula:
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi, melainkan Allah lah yang
memberi rezekinya”.
Tapi dalam kenyataannya, banyak manusia di bumi ini yang masih
dilanda kelaparan. Di satu pihak dinyatakan bahwa situasi kelangkaan
telah berakhir, kata John Kenneth Galbraith, namun kekurangan alat
pemuas kebutuhan terjadi dimana-mana. Sebab itu memang dibutuhkan
kalkulus, baik terhadap kebutuhan manusia maupun hasil produksi alat-
alat pemuas kebutuhan manusia. Al-Qur’an menghendaki agar manusia
“bersyukur”. Tapi, seperti ndinyatakan oleh ayat 8 surat al-A’raf, sedikit
manusia yang bersyukur.
“Syukur” dalam pengertian ekonomi mengandung makna, per-
tama, menyadari bahwa sumber rezeki itu adalah dari Allah dan dengan
begitu menyadari hak dan akses setiap manusia terhadap sumber rezeki
itu yang dapat dicapai melalui kerja. Kedua, menyadari bahwa rezeki
Allah itu tidak terbatas dalam variasi, jumlah maupun mutunya. Dari
kesadaran ini timbul optimisme positif bahwa manusia itu harus bisa
memilih di antara rezeki Allah yang paling baik dan halal untuk
mencapainya manusia tidak perlu melakukan berbagai hal yang tidak
wajar, misalnya dengan cara yang merusak atau merugikan orang lain.
Ketiga, menyadari nikmat yang diberikan oleh Allah dan sekaligus
menyadari bahwa rezeki itu sebenarnya tidak hanya untuk sekelompok
kecil orang sehingga orang mampu tertindak untuk membelanjakan
hartanya secara bermanfaat bagi orang lain juga. Termasuk ke dalam
pengertian ini adalah menghargai sumber-sumber ekonomi, yang di-
wujudkan dalam tindakan rasional, dengan menerapkan prinsip

116 
kalkulus ekonomi, mengingat bahwa semua sumber rezeki itu diberikan
oleh Allah dalam takaran-takaran tertentu.
Karenanya, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk berusaha
mendapatkan kehidupan yang lebih baik di dunia dan sekaligus
memperoleh kehidupan yang baik di akhirat. Memperoleh kehidupan
yang baik di dunia dan di akhirat inilah yang dapat menjamin dicapai-
nya kesejahteraan lahir dan batih (falah). Hal ini berarti bahwa dalam
mengejar kehidupan di dunia tidak dapat dilakukan kecuali dengan cara
yang halal melalui gerakan amal sholeh. Perbuatan amal sholeh adalah
perbuatan baik yang mendatangkan pahala bagi yang melakukan dan
mendatangkan faedah bagi orang lain, yang dapat berupa tingkah laku
dan per buatan yang termasuk ke dalam kategori ibadah (iyyaka
na’budu) maupun muamalah (iyyaka nasta’iin).
Kesejahteraan lahir dan batin yang ingin diperoleh melalui
gerakan amal sholeh seharusnya dilakukan melalui kegiatan ibadah dan
muamalah yang bersumber dari ketentuan syari’ah yang dijiwai oleh
iman, Islam (akidah Islamiyah) dan ihsan (akhlak yang luhur). Ketiganya
merupakan hakikat ajaran wahyu yang menjadi tuntutan dan panutan
manusia dan sendi kehidupannya.
Dengan berpegang teguh pada iman, Islam, dan ihsan inilah di-
lakukan berbagai kegiatan muamalah yang dalam penerapannya di-
sesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Kegiatan ekonomi
adalah salah satu kegiatan muamalah yang telah diatur secara lengkap
dalam syari’ah Islam. Ketentuan-ketentuan yang mengatur pola
konsumsi memungkinkan umat Islam untuk mempunyai sisa dana yang
dapat dipergunakan untuk kegiatan perekonomian. Ketentuan yang
mengatur pola simpanan mengharuskan umat Islam untuk melakukan
investasi. Larangan terhadap riba pada hakikatnya adalah suatu
kewajiban bagi mereka yang mempunyai dana lebih untuk melakukan
investasi yang menghasilkan produk-produk baru dan kesempatan
kerja.
Demikian pula larangan terhadap perjudian (maysir), penipuan
(gharar), tadlis, dan sejenisnya merupakan perbuatan yang harus jauh
dari kegiatan investasi dan ruang lingkupnya. Satu ajaran do’a yang
patut menjadi pelajaran berharga adalah ketika seorang muslim

117 
memanjatkan do’a, rabbana atina fi al-dunia hasanah wa fil akhirati
hasanah.
Maka investasi menjadi penting bila keuntungan yang didapat
bukan pada dimensi duniawiyah saja, melainkan pula harus sampai pada
kehidupan ukhra-wiyah. Kesatuan antara dunia dan akhirat mengkaitkan
pula kegiatan bisnis di dunia sebagai suatu sarana yang menyamankan
jalan ke akhirat. Bisnis di dunia yang menentramkan kehidupan di
akhirat ini diyakini ada tiga yaitu anak shaleh, ilmu yang bermanfaat, dan
amal yang dinikmati orang banyak, dimana untuk memperoleh ketiganya
dibutuhkan dana.
Berdasarkan keterangan di atas, maka kegiatan bisnis harus
mengacu pada hukum syariat yang berlaku. Perputaran modal pada
kegiatan bisnis tidak boleh di salurkan kepada jenis industri yang
melaksanakan kegiatan-kegiatan yang diharamkan. Roda perdagangan
(bisnis) tidak boleh misalnya berdagang minuman keras, pembangunan
penginapan untuk prostitusi dan lainnya yang bertentangan dengan
syariah berarti diharamkan.
Semua transaksi dalam bisnis harus atas dasar suka sama suka (an-
taradin), tidak ada unsur pemaksaan, tidak ada pihak yang didzalimi
(terdzalimi) atau mendzalimi. Seperti goreng-menggoreng saham. Tidak
ada unsur riba, tidak bersifat spekulatif atau judi (maysir) dan semua
transaksi harus transparan, diharamkan adanya insider trading. Dengan
demikian, etika bisnis Islami merupakan sosok tubuh “etika” yang
diterapkan di dunia bisnis, yang dapat diartikan sebagai “aqidah
berpikir dan berperilaku” sebagai manusia yang adil dan beradab,
sebagai hamba dan khalifah Allah di bumi. Menurut Hidayat
Nataatmadja (2001: 59), etika bisnis Islami, merupakan pengejawantahan
dari amal shaleh sesuai dengan bidang tugas masing-masing. Dalam arti
itu nilai tambah yang merupakan kontribusi, khususnya di bidang
bisnis, bagi seseorang dalam kegiatan ekonomi mempunyai arti aditif
terhadap nilai tambah.

118 
BAB VI
ETOS KERJA DALAM BISNIS ISLAMI

Islam menganjurkan umatnya agar selalu memiliki etos kerja yang


tinggi, bekerja keras untuk mencapai prestasi puncak merupakan
kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bagi setiap manusia dalam
kesuksesannya. Kesuksesan lahiriah akan ditentukan oleh ada tidak-nya
etos kerja, sedang kesuksesan jiwa sangat ditentukan oleh sikap dan nilai
spiritual, (M. Iqbal, 102). Karenanya, etos kerja akan mampu merubah
menuju kesuksesan.
Menurut Hasan Al-Banna, bahwa Islam memberikan perhatian
terhadap etos kerja (usaha) serta mendorong umatnya agar bekerja dan
selalu berusaha. Islam tidak berharap seseorang itu menganggur. Islam
mengajarkan umatnya untuk bekerja guna memperbaiki kondisi
keluarga maupun sosial lainnya. Bekerja dan berusaha dinilai ibadat.
Karena, perubahan adalah hasil dari usaha yang sungguh-sung-
guh. Usaha yang membutuhkan kerja keras guna mencermati bagian
mana yang harus diubah. Meski tidak mudah, perubahan bukanlah
sesuatu yang mustahil. Terbukti dengan umat yang sebelumnya adalah
pengembala kemudian setelah hanya dalam dua puluh tahun mampu
memimpin dunia, (Amru Khalid). “Bekerjalah hai keluarga Daud untuk
bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang
berterima kasih.” (QS. Saba, 34: 13)

A. Pengertian Etos Kerja

Istilah “etos” ini berasal dari bahasa Yunani, yang dapat mem-
punyai arti sebagai sesuatu yang diyakini atau keyakinan, cara berbuat,

119 
sikap serta persepsi terhadap nilai kerja, (Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi
Muslim. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995: 25). Jadi, “etos” atau
“ethos” berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah, ukuran-ukuran
bagi tingkah laku yang baik, (O.P. Simorangkir, Etik dan Moral Perbankan
(Jakarta: IND-HILL Co., 1983: 57).
Dengan demikian etos kerja adalah refleksi sikap hidup seseorang
yang mendasar dalam menghadapi kerja. Etos yang berarti sikap adalah
aspek perilaku yang biasanya dinyatakan dalam bentuk respon positif
atau negatif. Louise Thurstone dan Charles Osgood, sebagaimana
dikutip Saifudin Azwar, mengatakan bahwa sikap adalah suatu bentuk
evaluasi (penilaian) atau reaksi perasaan, (Saifuddin Azwar, Sikap
Manusia, Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Liberty, 1988: 3).
Pendapat tersebut didukung oleh Krech dan Chrutchfield yang
menyatakan bahwa sikap adalah suatu sistem yang menetap, berupa
evaluasi yang positif atau negatif, perasaan emosional dan kecende-
rungan menyetujui atau tidak menyetujui akan suatu obyek atau efek
sosial. (Mar’at Muhammad, Sikap Manusia, Per-ubahan serta Pengukuran-
nya. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982: 9) Jadi menurut mereka sikap
seseorang terhadap obyek adalah bagaimana orang tersebut menilai atau
bereaksi dengan perasaannya terhadap suatu stimulus yang diberikan
mengenai obyek tertentu. Menurut Morgan, “Sikap adalah suatu hal
yang dapat dipelajari dari kecenderungan bertingkah laku dengan cara
mengadakan evaluasi terhadap informasi”.
Dalam pandangan ini berarti sikap erat kaitannya dengan
penilaian tertentu dari seseorang terhadap suatu obyek sehingga dari
pikiran tersebut seseorang akan memiliki perasaan tertentu terhadap
suatu obyek yaitu perasaan mendukung atau tidak mendukung. Etos
yang juga mempunyai makna nilai moral adalah suatu pandangan batin
yang bersifat mendarah daging. Sikap itu sendiri tidak muncul dengan
seketika, tetapi dapat dibentuk dan dipelajari sepanjang perkembangan
manusia. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Gerungan
tentang ciri-ciri sikap, yaitu:
1. Sikap tidak dibawa manusia sejak lahir, melainkan dibentuk dan
dipelajari sepanjang perkembangan manusia dalam berhubungan
dengan obyeknya;

120 
2. Sikap berubah-ubah dan dipelajari bila terdapat keadaan-keadaan &
syarat-syarat tertentu yang mempermudah berubahnya sikap pada
manusia itu;
3. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mengandung reaksi
tertentu terhadap suatu obyek;
4. Obyek sikap dapat merupakan satu hal tertentu, tetapi dapat juga
merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut;
5. Sikap mempunyai segi-segi motivasi dan perasaan.

Sedangkan yang kedua, istilah kerja, yang kata dasarnya dari


bekerja, bermakna melakukan sesuatu, bekerja dapat dilihat dari tiga
segi pandang.
1. Dari segi perorangan, bekerja adalah gerak dari pada badan dan
pikiran orang untuk melangsungkan hidup badaniah maupun
rohaniah.
2. Dari segi kemasyarakatan, bekerja merupakan melakukan sesuatu
untuk memuaskan kebutuhan masyarakat.
3. Dari segi spiritual bekerja merupakan hak dan kewajiban manusia
dalam memuliakan dan mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Menurut Toto Tasmara, bekerja adalah suatu upaya sungguh-


sungguh dengan mengerahkan seluruh asset, fikir, dan dzikirnya untuk
mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba
Allah yang harus menundukkan dunia dan menempatkan dirinya
sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik. Jadi, amal adalah suatu
pekerjaan atau jabatan pada suatu masyarakat.

Bekerja adalah segala aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan


untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani) dan di dalam
mencapai tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan
untuk mewujudkan prestasi yang optimal. Dalam literature budaya
organisasi dapat juga disebut basic assumption tentang sesuatu, dalam hal
ini kerja. Kata kerja dapat diidentifikasi berbagai pernyataan sebagai
berikut:
1. Kerja adalah hukuman dan beban.
2. Kerja adalah kewajiban.
3. Kerja adalah sumber penghasilan.

121 
4. Kerja adalah kesenangan.
5. Kerja adalah gengsi atau prestise.
6. Kerja adalah aktualisasi diri dan panggilan jiwa.
7. Kerja adalah hidup dan pengabdian.
8. Kerja adalah ibadah dan suci.

Dari beberapa pengertian singkat di atas, maka etos kerja adalah


suatu falsafah yang didasari oleh pandangan hidup atau sikap hidup
sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekuatan pendo-
rong, membudaya dalam kehidupan pribadi atau suatu kelompok
masyarakat dan organisasi, kemudian ter-cermin dari sikap menjadi
perilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapat dan tindakan yang terwujud
sebagai “kerja” atau “bekerja”. (Gering Supryadi dan Tri Guno, Budaya
Kerja Organisasi Pemerintah: Bahan Ajar Diklat Prajabatan Golongan III
(Jakarta: LAN-RI, 2003), Edisi Revisi, h. 6-12)
Sebagai sikap hidup yang mendasar dalam menghadapi kerja,
maka etos kerja pada dasarnya juga merupakan cerminan dari pan-
dangan hidup yang berorientasi pada nilai-nilai ketuhanan. Nilai-nilai
ketuhanan itu akan menjadi dasar bagi pengembangan spiritualitas yang
sangat diperlukan sebagai kekuatan yang membentuk kepribadian yang
menentukan kualitas eksistensi dalam hidupnya. Jadi, etos kerja
merupakan totalitas kepribadian diri, serta cara seseorang berekspresi,
memandang, meyakini, dan memberikan sebuah makna, yang
mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih hasil secara optimal.
(Dalam Mahadibya Nurcahyo Chakrasana, Mind Spirit Refresh and
Motivation, Creative Partner For Problem Solving, h. 10)
Dengan demikian, maka etos kerja dalam arti luas menyangkut
akan akhlak dalam pekerjaan. Untuk bisa menimbang bagaimana akhlak
seseorang dalam bekerja sangat tergantung dari cara melihat arti kerja
dalam kehidupan, cara bekerja dan hakikat bekerja. Dalam Islam, iman
banyak dikaitkan dengan amal. Dengan kata lain, kerja yang merupakan
bagian dari amal tak lepas dari kaitan iman seseorang.
Idealnya, semakin tinggi iman itu maka semangat kerjanya juga
tidak rendah. Ungkapan iman sendiri berkaitan tidak hanya dengan hal-
hal spiritual tetapi juga program aksi secara tepat guna (Islam, secara

122 
luas dan Ihsan) karena ketiganya saling berkait dan tidak bisa ter-
pisahkan, bersatu padu dalam kekuatan spiritual dan amaliyah etis.
Adapun pengertian bisnis (perdagangan), akan dikemukakan dua
definisi dari dua sudut padang yang berbeda, yaitu menurut mufassir
dan ilmu fikih adalah (a) Menurut para mufassir bisnis ialah pengelolaan
modal untuk mendapatkan keuntungan, dan (b) Menurut tinjauan ahli
fiqih, bisnis adalah saling menukarkan harta dengan harta secara suka
sama suka, atau memindah kan hak miliki dengan adanya penggantian
menurut cara yang diperbolehkan.
Berangkat dari pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa
bisnis (perdagangan) adalah:
1. Bisnis adalah satu bagian muamalah yang berbentuk transaksi antara
seseorang dengan orang lain.
2. Transaksi bisnis itu dilakukan dalam bentuk jual beli yang di-
wujudkan dalam bentuk ijab dan qabul.
3. Bisnis bertujuan atau dengan motif untuk mencari keuntungan (laba).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa etos kerja untuk


pengembangan bisnis Islami harus didasarkan pada niat beribadah
karena Allah dalam rangka mencari ma’isyah atau fadzilah Allah dengan
sungguh-sungguh mencarinya. Kesungguhan dan semangat kerja yang
tinggi melalui profesionalisme dalam bisnis sangat diapresiasi oleh Allah
melalui wujud mu’min yang kuat lebih dicintai dibanding dengan
mukmin yang dhaif (lemah). Karenanya, apresiasi ini oleh Rasul Allah
bahkan menjadi argumentasi bahwa sebaik-baiknya bisnis adalah
dengan tanganya sendiri, jerih payah sendiri bukan dari usaha orang
lain serta dengan bisnis yang jujur, adil dan tidak curang.
Dalam konteks Islam, etos kerja dalam bisnis akan meningkatkan
produktivitas seseorang. Karena jika produktivitas dipercaya mem-
punyai kaitan erat dengan etos kerja, maka etos kerja dipandang terkait
dengan nilai-nilai yang di anut oleh seorang yang beragamanya kuat.
Hal ini, menurut hasil penelitian, bahwa diantara nilai yang dianut
seseorang yang dianggap sangat dominan mempengaruhi kejiwaan dan
sikap seseorang adalah karena nilai-nilai yang berasal dari agama yang
dianutnya. Dan, nilai-nilai ini pulalah yang mengkarakteristikan etos
kerja seseorang.

123 
B. Anjuran untuk Bekerja Keras

Kerja adalah gerak universal alam semesta. Al-Qur’an memuat


sangat banyak kejadian alam semesta, yang menurut Dr. Mahdi
Ghulsyani (cendekiawan muslim Iran) jumlahnya mencapai 10% dari
ayat-ayat al-Qur’an. Semua berpusat pada ketundukan, tasbih, dan
sujud jagad raya pada Tuhannya. Salah satu di antaranya, “Bertasbihlah
kepada Allah semua yang ada di langit dan di bumi, dan Dia Maha Per-kasa
lagi Mahabijaksana”, (Q.S. Ash-Shaff, 61: 1). Maka, bekerja pada dasarnya
adalah seirama dengan gerak universal alam semesta, seirama dengan
sujud alam semesta. (M.K. Sutrisna Suryadilaga, 2007: 40)
Oleh karena itu, manusia sangatlah dianjurkan untuk mencari
rezeki karena setiap manusia memerlukan harta untuk memenuhi
kebutuhannya. Salah satunya dengan cara bekerja. Dan yang perlu
diperhatikan bahwa pengertian bekerja bukan hanya melakukan
aktivitas di dalam suatu industri pemerintahan maupun perusahaan
tetapi melakukan aktivitas bisnis pun juga termasuk bekerja.
Bisnis jika dilihat dari sudut agama manapun tentu sangat
mewajibkan aspek kehalalan baik dalam modal, cara melakukan bisnis
tersebut maupun pengelolaannya. Bisnis yang dilakukan dengan cara-
cara licik dalam memperoleh nya keuntungan tidak akan membawa
berkah dari Allah justru banyak mendatang kan aspek negatifnya dari
pada aspek positifnya. Begitu juga ketika menafkahkan hartanya di jalan
kemaksiatan.
Dalam bekerja seorang muslim hendaknya mempunyai kekuatan
3-Q, yaitu kualitas iman dan kerja, (2) ketepatan atau kepercayaan waktu
(quick) serta kuantitas yang dihasilkan dari sebuah pekerjaan (quantity)
dengan menganjurkan memperbanyak amal baik dan usaha keras.
Untuk itu, orang-orang yang menjadikan kerja sebagai pengabdian
kepada Sang Maha Pencipta akan memiliki beberapa ciri, yaitu:
1. Motivasi kerjanya hanya semata-mata untuk mencari ridha Allah Swt.
2. Cara kerjanya senantiasa disesuaikan dengan aturan keyakinan yang
dimilikinya.
3. Bidang kerja yang dilakukan senantiasa baik dan benar.
4. Manfaat kerjanya senantiasa memberikan kebaikan, kesejahteraan,
dan keselamatan bagi semua (rahmatan lil ‘alamin).

124 
Bekerja sebagai motivasi ibadah semestinya selalu memberikan
yang terbaik. Selalu bekerja semaksimal mungkin (maximize action).
Bukan seadanya. Itulah yang disebut “IHSAN” (berbuat baik) atau
“ITQAN” (hasil terbaik). Allah bahkan memerintahkan kita untuk
meniru karya Allah dalam bekerja, “... maka berbuat
baiklah (fa ahsin) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu,” (Q.S. Al-
Qashash, 28: 77)
Artinya, etos kerja tinggi akan terwujud jika seseorang bekerja
dengan penuh semangat/dorongan-dorongan di samping ability.
Dorongan itu dapat berupa dorongan ibadah, ekonomi, dan bermanfaat
untuk orang lain. Hal ini dapat digambarkan 5.1 sebagai berikut:

Sumber: Ilfi Nur Diana, (2008: 203)

Menurut Amru Khalid (2005: 104), sungguh disayangkan seluruh


aktivitas yang kita lakukan kini masih dalam tataran teori yang
diperbincangkan, pelaksanaan yang tapa didukung profesionalisme dan
acuh terhadap kualitas. Sering kita mendapati buku pegangan murid,
petunjuk industri, dan penataran guru. Anehnya, sebagian kalangan
menganggapnya sebagai kemampuan yang alami. Sementara Islam jelas-
jelas menyebutkan bahwa profesionalisme merupakan sunnah
kehidupan bagi Muslimin. “Allah mencintai hamba yang bila melakukan
aktivitas selalu memperhatikan profesionalitas”, sabda Nabi (H.R. Thabrani).
Tidakkah Anda ingin mendapat cinta dari Allah? Berkaryalah sebagus
mungkin, Allah pasti mencintai Anda.

125 
Barat menjadikan profesionalitas sebagai konsep hidup mereka.
Tidak mengherankan bila kemudian mereka tampil memimpin dunia
dan menjadi negara yang maju. Sebab, kepemimpinan erat kaitannya
dengan sistem dan aturan yang baku. Semakin hari umat semakin
membengkak. Angka pengangguran berada jauh di atas mereka yang
telah mendapat pekerjaan tetap. Pertanyaannya, mengapa ini dapat
terjadi? Semuanya disebabkan oleh keacuhan dan ketidakprofesionalan.
Profesionalisme kerja merupakan kewajiban Anda. Bila Anda mencita-
citakan kebangkitan bangsa, Anda harus memulainya dengan
profesionalitas.
Hasil penelitian yang dilakukan di negara-negara Arab tentang
jam kerja pegawainya sungguh mengejutkan. Sangat mungkin Anda
tidak mempercainya. Sebab, hal tersebut memang sulit untuk dibenar-
kan. Jam kerja rata-rata seorang pegawai berkisar antara 12 hingga 13
menit per hari. Bahkan didapati mereka yang hanya mencapai angka 5
menit per harinya. Sementara di Barat kisaran jam kerja mereka antara 8
sampai 10 jam. Sungguh merupakan perbedaan yang sangat amat jauh.
Padahal bila berbicara tentang anjuran untuk bekerja keras
sebagaimana dalam hadits nabi jam kerja di negara-negara Arab sangat
jauh dengan apa yang di-inginkan oleh nilai-nilai ajaran Islam. Berikut
ini hadits-hadits berkenaan dengan anjuran untuk bekerja keras:

“Dari Miqda r.a. dari Nabi Muhammad Saw, bersabda: Tidaklah makan
seseorang lebih baik dari hasil usahanya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud a.s.,
makan dari hasil usahanya sendiri.” (H.R. Bukhari).
“Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad Saw: Sesungguhnya Nabi
Daud a.s., tidak makan kecuali dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Bukhari)
“Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: Sungguh,
seandai nya salah seorang di antara kalian mencari kayu bakar dan memikul
ikatan kayu itu, maka itu lebih baik, daripada ia meminta-minta kepada
seseorang, baik orang itu memberinya ataupun tidak.” (HR. Bukhari dan
Muslim).
“Dari Abu Abdullah Az-Zubair bin Al-‘Awwam r.a., ia berkata: Rasulullah
Saw bersabda: Sungguh seandainya salah seorang di antara kalian mengambil
beberapa utas tali, kemudian pergi ke gunung dan kembali dengan memikul

126 
seikat kayu bakar dan menjualnya, kemudian dengan hasil itu Allah mencukup-
kan kebutuhan hidupmu, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada sesama
manusia, baik mereka memberi ataupun tidak.” (HR. Bukhari)
“Dalam sebuah hadits Rasul saw bersabda: Barang siapa pada malam hari
merasakan kelelahan karena bekerja pada siang hari, maka pada malam itu ia
diampuni Allah” (Hadits Riwayat Ahmad & Ibnu Asakir)

“Rasulullah saw pernah ditanya, Pekerjaan apakah yang paling baik? Beliau
menjawab, Pekerjaan terbaik adalah usaha seseorang dengan tangannya sendiri
dan semua perjualbelian yang dianggap baik,” (HR Ahmad dan Baihaqi).

Dalam hadits-hadits yang disebutkan di atas, menunjukkan bahwa


bekerja merupakan perbuatan yang sangat mulia dalam ajaran Islam.
Rasulullah saw memberikan pelajaran menarik tentang pentingnya
bekerja. Dalam Islam bekerja bukan sekadar memenuhi kebutuhan
perut, tapi juga untuk memelihara harga diri dan martabat kemanusiaan
yang seharusnya dijunjung tinggi. Karenanya, bekerja dalam Islam
menempati posisi yang teramat mulia. Islam sangat menghargai orang
yang bekerja dengan tangannya sendiri.
Ketika seseorang merasa kelelahan atau capai setelah pulang
bekerja, maka Allah Swt mengampuni dosa-dosanya saat itu juga. Selain
itu, orang yang bekerja, berusaha untuk mendapatkan penghasilan
dengan tangannya sendiri baik untuk membiayai kebutuhannya sendiri
ataupun kebutuhan anak dan isteri (jika sudah berkeluarga), dalam
Islam orang seperti ini dikategorikan jihad fi sabilillah. Dengan demikian
Islam memberikan apresiasi yang sangat tinggi bagi mereka yang mau
berusaha dengan sekuat tenaga dalam mencari nafkah (penghasilan).
Kerja juga berkait dengan martabat manusia. Seorang yang telah
bekerja dan bersungguh-sungguh dalam pekerjaannya akan bertambah
martabat dan kemuliannya. Sebaliknya, orang yang tidak bekerja alias
menganggur, selain kehilangan martabat dan harga diri di hadapan
dirinya sendiri, juga di hadapan orang lain. Jatuhnya harkat dan harga
diri akan menjerumuskan manusia pada perbuatan hina. Tindakan
mengemis, merupakan kehinaan, baik di sisi manusia maupun di sisi
Allah SWT.
Seperti hadits di atas Rasulullah mengutarakan bahwa orang yang
pergi ke gunung dengan membawa seutas tali untuk mencari kayu

127 
bakar yang kemudian ia jual, maka apa yang dihasilkan dari menjual
kayu bakar itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada sesama
manusia. Nabi Muhammad Saw serta para sahabat pekerja keras.
Bahkan beberapa sahabat merupakan saudagar kaya yang kerap kali
memberikan hartanya untuk membiayai pasukan Islam tatkala harus
bertempur dengan musuh-musuh Islam.
Bekerja dalam Islam akan mendapatkan pahala, kenapa? Jawaban-
nya sederhana, karena bekerja dalam konsep Islam merupakan
kewajiban atau fardhu. Dalam kaidah fiqh, orang yang menjalankan
kewajiban akan mendapatkan pahala, sedangkan mereka yang mening-
galkannya akan terkena sanksi dosa. Tentang kewajiban bekerja,
Rasulullah bersabda, Mencari rezeki yang halal itu wajib sesudah
menunaikan yang fardhu (seperti shalat, puasa dan sebagainya), (HR ath-
Thabrani dan al-Baihaqi).
Karena bekerja merupakan kewajiban, maka tak heran jika Umar
bin Khaththab pernah menghalau orang yang berada di masjid agar
keluar untuk mencari nafkah. Umar tak suka melihat orang yang pada
siang hari tetap asyik duduk di masjid, sementara sang mentari sudah
terpancar bersinar. Akan tetapi perlu diingat bahwa yang dimaksud
dalam hadits-hadits di atas adalah orang yang bekerja sesuai dengan
ajaran Islam. Bekerja pada jalur halal dan bukan bekerja dengan
pekerjaan yang diharamkan oleh Allah SWT. Jadi, ‘tidak ada keberhasilan
tanpa kerja keras”.

C. Etos Kerja Qur’ani

Etos kerja adalah motor penggerak produktivitas. Islam mengajar-


kan pada umatnya mau bekerja keras untuk mengubah nasibnya sendiri,
berlaku jujur dalam berbisnis, mencari usaha dari tangannya sendiri,
berlomba-lomba dalam kebaikan. Bahkan ada ayat al-Qur’an yang secara
khusus menggunakan bahasa “untung-rugi”, misalnya surat al-Asyr.
(Muhammad Yunus, 2008: 10)
Sebagai motor penggerak produktivitas, etos kerja mengandung
sejumlah indikator yang menjadi ciri-ciri utamanya. Ada 25 indikator
etos kerja muslim menurut Toto Tasmara (2002: 73-134), yaitu:

128 
Tabel 5.1
Indikator Etos Kerja Islami

No. Indikator Etos Kerja Islami Keterangan


1 Menghargai waktu Q.S. Al-Ashr, 103: 1-2
2 Memiliki moralitas yang -
bersih
3 Jujur “Pedagang yang jujur sederajat
dengan nabi, syuhada, dan orang
saleh di akhirat kelak”. Artinya,
dapat dipercaya dan tidak
sombong
4 Memiliki komitmen Commitment, komitmen, kesung-
guhan menyelesaikan pekerjaan,
keinginan untuk maju
5 Kuat pendirian (Istiqamah) -
6 Disiplin tinggi -
7 Berani menghadapi -
tantangan
8 Percaya diri -
9 Kreatif dan inovatif Kreatif dalam bekerja sehingga
lebih efektif dan efisien
10 Bertanggungjawab -
11 Suka melayani -
12 Memiliki harga diri -
13 Memiliki jiwa -
kepemimpinan
14 Berorientasi ke depan -
15 Hidup berhemat dan efisien -
16 Memiliki jiwa entrepreneur -
17 Memiliki insting bertanding -
(fastabiqul khairat)
18 Keinginan untuk mandiri -
19 Haus terhadap ilmu -
20 Memiliki semangat -
merantau
21 Memperhatikan kesehatan -
dan gizi

129 
22 Tangguh dan pantang -
menyerah
23 Berorientasi pada -
produktivitas
24 Memperkaya jaringan -
silaturrahim
25 Memiliki spirit of change -
Sumber: Muhammad Yunus, (2008: 10-12)

Dari beberapa indikator di atas, maka dapat disebutkan beberapa


ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang berhubungan dengan etos kerja
berikut ini:
Tabel 5.2
Ayat-ayat dan Hadits tentang Etos Kerja

No. Sumber Isi Pesan/Perintah

‫ض وَا ْﺑ َﺘﻐُﻮا‬
ِ ‫ﺸﺮُوا ﻓِﻲ اﻷ ْر‬ ِ ‫ﺼّﻼ ُة ﻓَﺎ ْﻧ َﺘ‬
َ ‫ﺖ اﻟ‬ ِ ‫ﻀ َﻴ‬
ِ ‫َﻓِﺈذَا ُﻗ‬
‫ن‬
َ ‫ﻞ اﻟَّﻠ ِﻪ وَا ْذ ُآﺮُوا اﻟَّﻠ َﻪ َآﺜِﻴﺮًا َﻟ َﻌَّﻠ ُﻜ ْﻢ ُﺗ ْﻔِﻠﺤُﻮ‬
ِ‫ﻀ‬ ْ ‫ﻦ َﻓ‬
ْ ‫ِﻣ‬
QS. Al-Jumuah, “Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka
1
62:10 bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak
supaya kamu beruntung.”
‫ﺲ‬
َ ‫ﺧ َﺮ َة وَﻻ َﺗ ْﻨ‬ ِ ‫ك اﻟَّﻠ ُﻪ اﻟ َﺪّا َر اﻵ‬َ ‫وَا ْﺑ َﺘ ِﻎ ﻓِﻴﻤَﺎ ﺁﺗَﺎ‬
‫ﻚ وَﻻ‬َ ‫ﻦ اﻟَّﻠ ُﻪ ِإَﻟ ْﻴ‬َ‫ﺴ‬َ‫ﺡ‬ ْ ‫ﻦ َآﻤَﺎ َأ‬ْ‫ﺴ‬ ِ‫ﺡ‬ْ ‫ﻦ اﻟ ُّﺪ ْﻧﻴَﺎ َوَأ‬
َ ‫ﻚ ِﻣ‬
َ ‫َﻧﺼِﻴ َﺒ‬
‫ﻦ‬
َ ‫ﺴﺪِﻳ‬
ِ ‫ﺐ ا ْﻟ ُﻤ ْﻔ‬ ُّ ‫ﺤ‬
ِ ‫ن اﻟَّﻠ َﻪ ﻻ ُﻳ‬
َّ ‫ض ِإ‬
ِ ‫َﺗ ْﺒ ِﻎ ا ْﻟ َﻔﺴَﺎ َد ﻓِﻲ اﻷ ْر‬
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat,
QS. Al-Qashash,
2 dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
28:77 dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah
berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesung-
guhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan.”
‫ب‬
ِ ‫ﺤﺴَﺎ‬
ِ ‫ﺳﺮِﻳ ُﻊ ا ْﻟ‬
َ ‫ﺴﺒُﻮا وَاﻟَّﻠ ُﻪ‬
َ ‫ﺐ ِﻣ َﻤّﺎ َآ‬
ٌ ‫ﻚ َﻟ ُﻬ ْﻢ َﻧﺼِﻴ‬
َ ‫أُوَﻟ ِﺌ‬
QS. Al-Baqarah, “Mereka itulah orang-orang yang mendapat
3 bahagian dari apa yang mereka usahakan; dan
2:202
Allah sangat cepat perhitungan-Nya.”

130 
‫ﻦ ِذ ْآ ِﺮ اﻟَّﻠ ِﻪ َوِإﻗَﺎ ِم‬ ْ‫ﻋ‬َ ‫ل ﻻ ُﺗ ْﻠﻬِﻴ ِﻬ ْﻢ ِﺗﺠَﺎ َر ٌة وَﻻ َﺑ ْﻴ ٌﻊ‬ ٌ ‫ِرﺟَﺎ‬
‫ﺐ ﻓِﻴ ِﻪ‬ُ ّ‫ن َﻳ ْﻮﻣًﺎ َﺗ َﺘ َﻘَﻠ‬
َ ‫ﺼّﻼ ِة َوإِﻳﺘَﺎ ِء اﻟ َّﺰآَﺎ ِة َﻳﺨَﺎﻓُﻮ‬
َ ‫اﻟ‬
‫ب وَاﻷ ْﺑﺼَﺎ ُر‬ ُ ‫ا ْﻟ ُﻘﻠُﻮ‬
QS. Al-Nur, “laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan
4 dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat
24:37
Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan
(dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada
suatu hari yang (di hari itu) hati dan
penglihatan menjadi guncang.”
‫ﻦ َرِّﺑ ُﻜ ْﻢ َﻓِﺈذَا‬ ْ ‫ن َﺗ ْﺒ َﺘﻐُﻮا َﻓﻀْﻼ ِﻣ‬ ْ ‫ح َأ‬
ٌ ‫ﺟﻨَﺎ‬
ُ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ‬
َ ‫ﺲ‬ َ ‫َﻟ ْﻴ‬
‫ﺸ َﻌ ِﺮ‬ْ ‫ﻋ ْﻨ َﺪ ا ْﻟ َﻤ‬
ِ ‫ت ﻓَﺎ ْذ ُآﺮُوا اﻟَّﻠ َﻪ‬
ٍ ‫ﻋ َﺮﻓَﺎ‬َ ‫ﻦ‬ ْ ‫ﻀ ُﺘ ْﻢ ِﻣ‬
ْ ‫َأ َﻓ‬
‫ﻦ‬
َ ‫ﻦ َﻗ ْﺒِﻠ ِﻪ َﻟ ِﻤ‬ْ ‫ن ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ ِﻣ‬
ْ ‫ﺤﺮَا ِم وَا ْذ ُآﺮُو ُﻩ َآﻤَﺎ َهﺪَا ُآ ْﻢ َوِإ‬َ ‫ا ْﻟ‬
‫ﻦ‬
َ ‫ﻀّﺎِﻟّﻴ‬
َ ‫اﻟ‬
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia
QS. Al-Baqarah,
5 (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka
2:198
apabila kamu telah bertolak dari Arafah,
berzikirlah kepada Allah di Masy`arilharam. Dan
berzikirlah (dengan menyebut) Allah
sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu;
dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-
benar termasuk orang-orang yang sesat.”
‫ﻞ‬
ِ‫ﻃ‬
ِ ‫ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا ﻻ َﺗ ْﺄ ُآﻠُﻮا َأ ْﻣﻮَاَﻟ ُﻜ ْﻢ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻜ ْﻢ ﺑِﺎ ْﻟﺒَﺎ‬ َ ‫ﻳَﺎ َأُّﻳﻬَﺎ اَّﻟﺬِﻳ‬
‫ض ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ وَﻻ َﺗ ْﻘ ُﺘﻠُﻮا‬ ٍ ‫ﻦ َﺗﺮَا‬ ْ‫ﻋ‬ َ ‫ن ِﺗﺠَﺎ َر ًة‬
َ ‫ن َﺗﻜُﻮ‬ ْ ‫إِﻻ َأ‬
‫ن ِﺑ ُﻜ ْﻢ َرﺡِﻴﻤًﺎ‬ َ ‫ن اﻟَّﻠ َﻪ آَﺎ‬
َّ ‫ﺴ ُﻜ ْﻢ ِإ‬
َ ‫َأ ْﻧ ُﻔ‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
6 QS. Al-Nisa, 4:29 kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu;
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.”
‫ﻋﻠَﻰ اﻟَّﻠ ِﻪ ِر ْز ُﻗﻬَﺎ‬
َ ‫ض إِﻻ‬ ِ ‫ﻦ دَاَّﺑ ٍﺔ ﻓِﻲ اﻷ ْر‬ ْ ‫َوﻣَﺎ ِﻣ‬
‫ﻦ‬
ٍ ‫ب ُﻣﺒِﻴ‬ ٍ ‫ﻞ ﻓِﻲ ِآﺘَﺎ‬ ٌّ ‫ﻋﻬَﺎ ُآ‬
َ ‫ﺴ َﺘ ْﻮ َد‬
ْ ‫ﺴ َﺘ َﻘ َّﺮهَﺎ َو ُﻣ‬
ْ ‫َو َﻳ ْﻌَﻠ ُﻢ ُﻣ‬
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di
7 QS. Hud, 11: 6 bumi melainkan Allah-lah yang memberi
rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam
binatang itu dan tempat penyimpanannya.
Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata
(Lohmahfuz).”

131 
‫ﻞ وَﻻ‬
ِ ‫ﺴﺒِﻴ‬
َّ ‫ﻦ اﻟ‬
َ ‫ﻦ وَا ْﺑ‬
َ ‫ﺴﻜِﻴ‬ْ ‫ﺡ َﻘّ ُﻪ وَا ْﻟ ِﻤ‬
َ ‫ت ذَا ا ْﻟ ُﻘ ْﺮﺑَﻰ‬ ِ ‫وَﺁ‬
‫ُﺗ َﺒ ِّﺬ ْر َﺗ ْﺒﺬِﻳﺮًا‬
‫ن‬
َ ‫ﻦ َوآَﺎ‬ِ ‫ﺸﻴَﺎﻃِﻴ‬ َّ ‫ن اﻟ‬
َ ‫ﺧﻮَا‬ ْ ‫ﻦ آَﺎﻧُﻮا ِإ‬ َ ‫ن ا ْﻟ ُﻤ َﺒ ِّﺬرِﻳ‬َّ ‫ِإ‬
‫ن ِﻟ َﺮِّﺑ ِﻪ َآﻔُﻮرًا‬ُ ‫ﺸ ْﻴﻄَﺎ‬ َّ ‫اﻟ‬
(26)”Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga
QS. Al-Israa,
8 yang dekat akan haknya, kepada orang miskin
17:26-27
dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah
kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara
boros.”
(27)”Sesungguhnya pemboros-pemboros itu
adalah saudara-saudara setan dan setan itu
adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”
‫ﺠ ٍﺪ َو ُآﻠُﻮا‬
ِ‫ﺴ‬ْ ‫ﻞ َﻣ‬ ِّ ‫ﻋ ْﻨ َﺪ ُآ‬
ِ ‫ﺧﺬُوا زِﻳ َﻨ َﺘ ُﻜ ْﻢ‬ُ ‫ﻳَﺎ َﺑﻨِﻲ ﺁ َد َم‬
‫ﻦ‬
َ ‫ﺴ ِﺮﻓِﻴ‬ْ ‫ﺐ ا ْﻟ ُﻤ‬
ُّ ‫ﺤ‬ِ ‫ﺴ ِﺮﻓُﻮا ِإ َﻧّ ُﻪ ﻻ ُﻳ‬ ْ ‫ﺷ َﺮﺑُﻮا وَﻻ ُﺗ‬ْ ‫وَا‬
QS. Al-A’raf, 7: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang
9 indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan
31
minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang berlebih-lebihan.”
‫ﻞ‬
َّ ‫ﻄﻬَﺎ ُآ‬
ْ ‫ﺴ‬
ُ ‫ﻚ وَﻻ َﺗ ْﺒ‬
َ ‫ﻋ ُﻨ ِﻘ‬
ُ ‫ك َﻣ ْﻐﻠُﻮَﻟ ًﺔ ِإﻟَﻰ‬
َ ‫ﻞ َﻳ َﺪ‬
ْ ‫ﺠ َﻌ‬ْ ‫وَﻻ َﺗ‬
‫ﺤﺴُﻮرًا‬ْ ‫ﻂ َﻓ َﺘ ْﻘ ُﻌ َﺪ َﻣﻠُﻮﻣًﺎ َﻣ‬
ِ‫ﺴ‬ ْ ‫ا ْﻟ َﺒ‬
QS. Al-Israa, 17: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu
10
29 terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu
terlalu mengulurkannya karena itu kamu
menjadi tercela dan menyesal”
‫ﺳﻌَﻰ‬
َ ‫ن إِﻻ ﻣَﺎ‬
ِ ‫ﺲ ﻟِﻺ ْﻧﺴَﺎ‬
َ ‫ن َﻟ ْﻴ‬
ْ ‫َوَأ‬
QS. Al-Najm, 53: “dan bahwasanya seorang manusia tiada
11
39 memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya.”
“Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di
12 HR. Ibnu Umar
bawah”
“Tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya,
13 HR. Khatib dan meninggalkan akhirat untuk dunianya, serta
tidak menajdi beban orang lain”
“bekerja seolah-olah akan hidup selamanya, dan
14 HR. Ibnu Asakri
beribadah seolah-olah akan mati besok”.
“Perintah berusaha dengan tanganya sendiri
(bekerja); Sesungguhnya Nabi Daud memakan
15 HR. Bukhari
hasil dari usaha tangannya sendiri.”

132 
“Mencari rezeki yang halal adalah wajib setelah
16 HR. Thabrani
kewajiban yang lain.”
“Jika telah melakukan shalat subuh, janganlah
17 HR. Thabrani kalian tidur. Maka kalian tidak akan sempat
mencari rezeki.”
“Sesungguhnya Allah mencintai hambanya yang
bekerja. Barangsiapa yang bekerja keras mencari
18 HR. Ahmad
nafkah yang halal untuk keluarganya, maka
sama seperti mujahid di jalan Allah.”
Sumber: Dimodifikasi dari Muh. Yunus, (2008: 31)

D. Konsep Dasar Kewirausahaan

Untuk mengetahui pengertian kewirausahaan, Suryadi dkk (2007:


7), menjelaskan beberapa definisi dari para pakar, tentang penjelasan
kewirausahaan.
Kewirausahaan adalah:
1 Seseorang yang menemukan gagasan baru dan selalu berusaha
menggunakan sumber daya yang dimiliki secara optimal untuk
mencapai tingkat keuntungan tertinggi.
2 Orang yang memiliki pandangan yang tidak lazim, yaitu orang
yang dapat mengenali potensi atas barang dan jasa.
Wirausahawan akan bereaksi terhadap perubahan ekonomi dan
kemudian menjadi pelaku dalam mengubah permintaan menjadi
produksi.
3 Orang yang memiliki seni dan keterampilan tertentu dalam men-
ciptakan usaha yang barus. Wirausahawan memiliki kemampuan
sendiri akan kebutuhan masyarakat dan dapat memenuhi
kebutuhan tersebut. Wirausahawan akan mempengaruhi masya-
rakat dengan membuka usaha baru, tetapi pada saat yang sama ia
dipengaruhi oleh masyarakat untuk mengenali kebutuhan dan
memenuhinya melalui ketajaman manajemen sumber daya.
4 Orang yang dapat melihat cara-cara yang ekstrem dan mau
mengubah sesuatu yang tak bernilai atau bernilai rendah menjadi
sesuatu yang bernilai tinggi (misalnya, dari terigu menjadi roti
bakar yang lezat), dengan cara memberikan nilai baru ke barang
tersebut untuk memenuhi kebutuhan manusia. Apabila suatu nilai
ditambahkan ke dalam suatu produk/barang, maka akan
didapatkan keuntungan.

133 
Entrepreneur berasal dari bahasa Prancis yaitu entreprendre/
wirausaha yang artinya memulai atau melaksanakan. Wiraswasta/
wirausaha berasal dari kata: Wira: utama, gagah berani, luhur; swa:
sendiri; sta: berdiri; usaha: kegiatan produktif. Dari kata tersebut,
wiraswasta pada mulanya ditujukan pada orang-orang yang dapat
berdiri sendiri. Di Indonesia kata wiraswasta sering diartikan sebagai
orang-orang yang tidak bekerja pada sektor pemerintahan, yaitu: para
pedagang, pengusaha, dan orang-orang yang bekerja di perusahaan
swasta, sedangkan wirausahawan adalah orang-orang yang mempunyai
usaha sendiri. Wirausahawan adalah orang yang berani membuka
kegiatan produktif yang mandiri.
Istilah kewirausahaan, kata dasarnya berasal dari terjemahan
entrepreneur, yang dalam bahasa Inggris di kenal dengan between taker
atau go between. Pada abad pertengahan istilah entrepreneur digunakan
untuk menggambarkan seseorang aktor yang memimpin proyek
produksi. Konsep wirausaha secara lengkap dikemukakan oleh Josep
Schumpeter, yaitu sebagai orang yang mendobrak sistem ekonomi yang
ada dengan memperkenalkan barang dan jasa yang baru, dengan
menciptakan bentuk organisasi baru atau mengolah bahan baku baru.
Orang ter-sebut melakukan kegiatannya melalui organisasi bisnis yang
baru atau pun yang telah ada.
Dalam definisi tersebut ditekankan bahwa wirausaha adalah
orang yang melihat adanya peluang kemudian menciptakan sebuah
organisasi untuk memanfaatkan peluang tersebut. Menurut Steinhoff
dan John F. Burgess (1993:35), wira-usaha adalah orang yang meng-
organisir, mengelola dan berani menanggung risiko untuk menciptakan
usaha baru dan peluang berusaha. Ada 6 hakekat penting kewira-
usahaan sebagai berikut (Suryana, 2003: 13), yaitu:
1. Kewirausahaan adalah suatu nilai yang diwujudkan dalam perilaku
yang dijadikan dasar sumber daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat,
kiat, proses, dan hasil bisnis (Acmad Sanusi, 1994).
2. Kewirausahaan adalah suatu kemampuan untuk menciptakan
sesuatu yang baru dan berbeda (ability to create the new and different)
(Drucker, 1959).

134 
3. Kewirausahaan adalah suatu proses penerapan kreativitas dan
inovasi dalam memecahkan persoalan dan menemukan peluang
untuk memperbaiki kehidupan (Zimmerer. 1996).
4. Kewirausahaan adalah suatu nilai yang diperlukan untuk memulai
suatu usaha (start-up phase) dan perkembangan usaha (venture growth)
(Soeharto Prawiro, 1997).
5. Kewirausahaan adalah suatu proses dalam mengerjakan sesuatu
yang baru (creative), dan sesuatu yang berbeda (innovative) yang
bermanfaat memberi nilai lebih.
6. Kewirausahaan adalah usaha menciptakan nilai tambah dengan jalan
mengkombinasikan sumber-sumber melalui cara-cara baru dan
berbeda untuk memenangkan persaingan. Nilai tambah tersebut
dapat diciptakan dengan cara mengembangkan teknologi baru,
menemukan pengetahuan baru, menemukan cara baru untuk meng-
hasilkan barang dan jasa yang baru yang lebih efisien, memperbaiki
produk dan jasa yang sudah ada, dan menemukan cara baru untuk
memberikan kepuasan kepada konsumen.

Dahulu orang beranggapan bahwa kewirausahaan adalah bakat


bawaan sejak lahir (entrepreneurship are born not made) dan hanya
diperoleh dari hasil praktik di tingkat lapangan dan tidak dapat
dipelajari dan diajari, tetapi sekarang kewirausahaan merupakan suatu
disiplin ilmu yang dapat dipelajari dan diajarkan. Ilmu kewirausahaan
adalah disiplin ilmu yang mempelajari tentang nilai, kemampuan
(ability) dan perilaku seseorang dalam menghadapi tantangan hidup
untuk memperoleh peluang dengan berbagai risiko yang mungkin
dihadapinya. (Suryana, 2001).
Dalam konteks bisnis, menurut Zimmerer (1996) dalam Suryana
(2001), kewirausahaan adalah hasil dari suatu disiplin, proses sistematis
penerapan kreativitas dan keinovasian dalam memenuhi kebutuhan dan
peluang di pasar. Wirausaha sejak diperkenalkan oleh Richard Castillon
pada tahun 1755. Di luar negeri, istilah kewirausahaan telah dikenal
sejak abad 16, sedangkan di Indonesia baru dikenal pada akhir abad 20.
Beberapa istilah wirausaha seperti di Belanda dikenal dengan
ondernemer, di Jerman dikenal dengan unternehmer.

135 
Ada tiga jenis wirausaha (Ir. Ciputra), yaitu:
1. Necessity Entrepreneur yaitu menjadi wirausaha karena terpaksa dan
desakan kebutuhan hidup.
2. Replicative Entrepreneur, yaitu wirausaha yang cenderung meniru-
niru bisnis yang sedang ngetren sehingga rawan terhadap per-
saingan dan kejatuhan.
3. Innovate Entrepreneur, yaitu wirausaha inovatif yang terus berpikir
kreatif dalam melihat peluang dan meningkatkannya.

Hisrich, Peters, dan Sheperd (2008: 10), mendefinisikan kewira-


usahaan sebagai suatu proses penciptaan sesuatu yang baru pada nilai
menggunakan waktu dan upaya yang diperlukan, menanggung risiko
keuangan, fisik, serta risiko sosial yang mengiringi, menerima imbalan
moneter yang dihasilkan, serta kepuasan dan kebebasan pribadi”. Dalam
bidang pemerintahan seperti dikemukakan, maka birokrasi dan institusi
akan memiliki motivasi, optimisme, dan berlomba untuk men-ciptakan
cara-cara baru yang lebih efisien, efektif, fleksibel, dan adaptif.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kewirausahaan dapat
diartikan sebagai suatu pengambilan risiko untuk menjalankan usaha
sendiri dengan me-manfaatkan peluang-peluang untuk menciptakan
usaha baru atau dengan pendekatan yang inovatif sehingga usaha yang
dikelola berkembang menjadi lebih besar dan mandiri dalam meng-
hadapi tantangan-tantangan persaingan (Dalam Nasrullah Yusuf, 2006).
Wirausaha berbeda dengan penemu (inventor), yaitu orang yang
menemukan sesuatu yang berguna bagi kehidupan manusia, misalnya
Thomas Alpha Edison menemukan listrik. Einstein menemukan atom,
dan lainnya. Mereka tidak dapat disebut wirausahawan jika penemuan
nya tersebut tidak ditransformasikan oleh mereka sendiri ke dalam
dunia usaha. Wirausahawan adalah orang yang memanfaatkan
penemuan tersebut ke alam dunia usaha. Dengan demikian dapat di-
simpulkan bahwa kewirausahaan merupakan ilmu yang mempelajari
tentang nilai, kemampuan dan perilaku seseorang dalam menghadapi
tantangan hidupnya. Unsur-unsur kewirausahaan meliputi motivasi,
visi, komunikasi, optimisme, dorongan semangat dan kemampuan
memanfaatkan peluang.

136 
Adapun enterpreneur adalah seseorang yang memiliki kombinasi
unsur-unsur kewirausahaan (secara) internal, mengelola dan berani
menanggung risiko untuk memanfaatkan peluang usaha dan mencipta-
kan sesuatu yang baru dengan keterampilan yang dimiliki. Dalam
riwayat Imam Ahmad, Nabi bersabda: “Usaha yang paling baik adalah hasil
karya seseorang dengan tangannya sendiri jika ia jujur (bermaksud baik)”.
Wirausahawan yang sukses haruslah orang yang mampu melihat
ke depan, berpikir dengan penuh perhitungan, serta mencari pilihan
dari berbagai alternatif dan solusinya. Geoffrey G. Meredith (dalam
Suharyadi, 2011: 9) mengemukakan ciri-ciri wirausahawan sebagai
berikut:
a. Percaya diri
b. Berorientasi pada Tugas dan Hasil
c. Berani mengambil risiko
d. Kepemimpinan
e. Keorisinalan
f. Berorientasi pada Masa Depan.

Berdasarkan ciri-ciri wirausahawan di atas, dapat kita identifikasi


sikap seseorang wirausahawan yang dapat dilihat dari kegiatannya
sehari-hari sebagai berikut:
1. Disiplin
2. Komitmen tinggi
3. Jujur
4. Kreatif dan inovatif
5. Mandiri
6. Realistis

E. Keuntungan dan Etika

Prinsip bisnis yang utama dalam ekonomi kapitalis adalah meraih


laba/profit yang sebesar-besarnya dengan modal yang sekecil-kecilnya.
Meraih laba (keuntungan) merupakan tujuan dari bisnis itu sendiri,
sekaligus merupakan cerminan pertumbuhan harta. Keuntungan akan
muncul manakala proses pemutaran modal dan pengoperasionnnya
dalam aksi-aksi bisnis dijalankan. Proses pemutaran modal yang dijalan-

137 
kan dengan tepat dan benar akan dapat merealisasikan peranannya
dalam aktivitas ekonomi.
Sebagaimana ekonomi kapitalis, Islam sebagai agama universal
sangat men-dorong dan motivasi pendayagunaan harta/modal secara
optimal untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal, Islam mene-
kankan prinsip keadilan dan kebebasan dengan berbagai per-timbangan
dan perhitungan yang jelas sehingga tidak merugikan penjual dan tidak
pula mendzalimi konsumen/pembeli. Berbagai bentuk aksi bisnis yang
dapat mempengaruhi harga dilarang dalam Islam.
Penimbunan harta yang dilakukan oleh produsen/penjual, di
antaranya akan menimbulkan harga yang tidak adil/seimbang sehingga
sangat menguntungkan produsen/penjual dan merugikan konsumen/
pembeli. Keuntungan dari harta tersebut hanya akan berputar di
kalangan orang/kelompok tertentu saja. Kondisi seperti ini akan
menciptakan ketimpangan pendapatan dan kekayaan serta memuncul-
kan kecemburuan sosial yang pada akhirnya akan mempengaruhi
aktivitas ekonomi secara keseluruhan. Kondisi tersebut kotra produktif
tujuan dari aktivitas ekonomi itu sendiri. Oleh karena itu, Islam
melarang keras aksi-aksi bisnis yang akan merusak stabilitas ekonomi
secara menyeluruh baik jangka pendek maupun jangka panjang.
(MAHKAMAH Vol. VIII No. 8 Desember 2008, hal. 90)
Terkait dengan keuntungan dalam bisnis, al-Qur’an dapat meng-
informasikan bahwa keuntungan lawan kata dari rugi (‫ )ﺧﺴﺮت‬sebagai
gambaran kebiasaan bangsa Arab, dalam mengucapkan kata ‫رﺏﺢ ﺏﻴﻌﻚ‬
(daganganmu untung). Ungkan ini kata penafsiran al-Qurtubi (2002:
1470), mengandung arti: “engkau beruntung dan merugi dalam
daganganmu”.
Akan tetapi dalam al-Qur’an surat al-Baqarah [2] ayat 16 yang di-
katakan untung dalam berbisnis adalah keuntungan dengan mendapat-
kan petunjuk (al-huda) atau dapat juga diartikan sebagai keuntungan
karena dipertukarkan ad-dhalal dengan keimanan. Al-Huda/Keimanan
merupakan modal pokok yang tidak terhingga nilainya, sementara al-
dhalal/kekufuran sama sekali tidak bernilai.
Secara ekonomi, menurut Eef Saefullah dalam Jurnal Mahkamah
Vol. VIII No. 8 Tahun 2008, ekonomi bisnis tersebut tidak adil atau tidak

138 
seimbang karena akan mengakibatkan pada kerugian yang besar.
Namun karena dorongan rasa suka/cinta sehingga akibat dari bisnis
tersebut menjadi terlupakan. Tidak bisa dipungkiri bahwa tujuan para
pedagang ialah menyelamatkan modal pokok dan meraih keuntungan.
Sementara itu orang-orang yang dicontohkan dalam ayat di atas menyia-
nyiakan modal utama mereka, yaitu berupa petunjuk dan menukarkan-
nya dengan kesesatan, bahkan petunjuk itu tidak tersisa pada mereka
karena rasa suka/cintanya pada kesesatan itu.
Menurut Rasyid Rida dalam Tafsir Al-Manar (1972: 14), bahwa
sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu lebih memilih
kesesatan (ad-dalalah) dari pada petunjuk (al-Huda). Mereka mengorban-
kannya demi suatu keuntungan sementara yang mereka yakini bisa
mendapatkannnya dari orang lain. Bentuknya adalah barter antara kedua
belah pihak dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan semata.
Mengingat keuntungan pada bisnis sudah sangat jelas. Karena
keuntungan itu pertambahan pada bisnis. Dijelaskan pula dalam Tafsir
Ruh Al-Ma’ani, Alusi berpendapat bahwa bisnis itu adalah pengelolaan
terhadap modal pokok untuk mencari keuntungan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keuntungan merupakan
kelebihan atas modal pokok atau pertambahan pada modal pokok yang
diperoleh melalui proses bisnis. Jadi tujuan utama para pebisnis adalah
melindungi dan menyelamatkan modal pokok dan mendapatkan
keuntungan. Hal ini diperjelas oleh hadits Nabi yang berkaitan dengan
keuntungan diantaranya adalah:

‫ ﻻیﺴﻠﻢ ﻝﻪ رﺏﺤﻪ ﺣﺘﻲ یﺴﻠﻢ ﻝﻪ راس ﻣﺎﻝﻪ آﺬاﻝﻚ‬, ‫ﻣﺜﻞ اﻝﻤﺆﻣﻦ ﻣﺜﻞ اﻝﺘﺎﺝﺮ‬
(‫اﻝﻤﺆﻣﻦ ﻻ ﺕﺴﻠﻢ ﻝﻪ ﻥﻮاﻓﻠﻪ ﺣﺘﻲ ﺕﺴﻠﻢ ﻓﺮاﺉﻀﻪ )ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ‬
Artinya: “Seorang mukmin itu bagaikan seorang pedagang: ia tidak akan
menerima keuntungan sebelum ia mendapatkan modal pokok-nya.
Demikian juga seorang mukmin tidak akan mendapatkan amalan-
amalan sunahnya sebelum ia menerima amalan-amalan wajibnya”.
(H.R. Buhari dan Muslim)

Dalam hadits tersebut Rasulullah saw mengumpamakan seorang


mukmin dengan seorang pedagang. Pedagang tidak akan mendapatkan
keuntungan apa bila ia belum mendapatkan modal pokoknya. Begitu

139 
juga seorang mukmin tidak akan mendapatkan pahala amalan sunah-
nya apabila amalan wajibnya belum disempurnakan. Jadi, keuntungan
adalah bagian yang berlebih setelah menyempurnakan modal pokok.
Pengertian tersebut sesuai dengan pengertian secara bahasa maupun al-
Qur’an, yaitu pertambahan atau kelebihan dari modal pokok. Menurut
Hidayat Nataatmadja (2001: 59), al-Qur’an mengajarkan bahwa amal
shaleh merupakan bentuk kongkrit dari etika bisnis Islami. Rasulullah
pernah menjadi pedagang, memimpin kabilah dagang, dan tentunya
dalam posisi seperti itu beliau menerapkan etika bisnis, di-mana
“keuntungan” menjadi salah satu unsur etika yang dominan. Calon
istrinya, Khadijah sebagai pemilik perusahaan, sangat senang dengan
kinerja Muhammad sebagai manajer bisnis. Namun beliau mengedepan-
kan dalam bisnisnya berpijak pada niat dan motivasi “beramal shaleh”.

140 
BAB VII
ETIKA PRODUKSI
PERSPEKTIF ISLAM

A. Pendahuluan

Dalam pembahasan etika seorang Muslim disebutkan bahwa bila


akan memulai sesuatu yang berguna maka dianjurkan dengan sangat
untuk membaca Bismillahirrahmanirrahim. Nabi Muhammad SAW dalam
haditsnya mengatakan bahwa setiap akan memulai sesuatu yang baik
tanpa membaca bismillah ... maka “kemanfaatannya” akan terputus.
Dari penjelasan di atas sepintas maka dapat disimpulkan bahwa
setiap orang yang akan melakukan atau berbuat sesuatu maka etikanya
harus memulai dengan mengucap nama Allah SWT. Kenapa ini di-
lakukan? Dengan menyebut dan mengucap nama Allah SWT, dalam
ajaran Islam memberikan upaya penting dalam memberikan pembe-
lajaran etika bagi manusia bahwa hanya dengan menyebut nama Allah
SWT Yang Maha Kasih Tak Pilih Kasih dan Maha Sayang Tak Pandang
Bulu merupakan manifestasi dari ajaran Islam untuk berbuat sesuatu
dengan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat pula, baik untuk diri
sendiri mau pun orang lain.
Makna etis inilah yang dibangun oleh Rasulullah SAW dalam
menyampaikan kata Bismillahirrahmanirrahim sekaligus menjadi nilai-
nilai Islami dalam menyebarkan etika Qur’ani bagi siapa saja yang ingin
menyebarkan perdamaian dan keselamatan atas perbuatan manusia.
Pada bahasan ini setidaknya mengingatkan bagi kita bahwa berproduksi
merupakan sesuatu kegiatan dan aktivitas manusia dalam menggali,
membuat suatu produk yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan

141 
semua. Mari simak penjelasan berikut ini, tentu diawali dengan
pemahaman akan arti produksi terlebih dahulu.

B. Pengertian Produksi dalam Islam

Pembicaraan tentang produksi menempati bagian besar dari ruang


jiwa manusia menurut tingkat dan taraf masing-masing. Hal itu karena
eratnya hubungan antara produksi dengan perkembangan pendapatan
dan peningkatan taraf hidup, yang mempengaruhi kemuliaan hidup dan
kehidupan yang sejahtera bagi individu dan masyarakat. Sehingga dapat
dikatakan bahwa produksi adalah suatu proses atau siklus kegiatan-
kegiatan ekonomi untuk menghasilkan barang atau jasa tertentu dengan
memanfaatkan faktor-faktor produksi dalam waktu tertentu.
Berproduksi (istishna’) adalah apabila ada seseorang mempro-
duksi bejana, mobil atau apa saja yang termasuk dalam kategori
produksi. Berproduksi itu hukumnya mubah dan jelas berdasarkan As-
Sunnah. Sebab, Rasulullah Saw. Pernah membuat cincin. Diriwayatkan
dari Anas yang mengatakan: “Nabi Saw. telah membuat sebuah cincin”
(HR. Imam Bukhari). Dari Ibnu Mas’ud: “Bahwa Nabi Saw. telah membuat
sebuah cincin yang terbuat dari emas” (HR. Imam Bukhari). Beliau juga
pernah membuat mimbar. Dari Sahal berkata: “Rasulullah Saw. telah
mengutus kepada seorang wanita, (kata beliau): ‘Perintahkan anakmu si tukang
kayu itu untuk membuatkan sandaran tempat dudukku, sehingga aku bisa
duduk di atasnya” (HR. Imam Bukhari).
Pada masa Rasullulah, orang-orang biasa memproduksi barang
dan beliau pun mendiamkan aktivitas mereka. Sehingga diamnya beliau
menunjukkan adanya pengakuan (taqrir) beliau terhadap aktivitas
berproduksi mereka. Status taqrir dan perbuatan Rasul itu sama dengan
sabda beliau, artinya sama-sama merupakan dalil syara’. (Abdul Aziz,
2008: 53)
Pada sisi yang sama dinyatakan kegiatan produksi dalam ilmu
ekonomi diartikan sebagai kegiatan yang menciptakan manfaat (utility)
baik di masa kini mau pun masa yang akan datang. Perusahaan selalu
diasumsikan untuk memaksimumkan keuntungan dalam berproduksi.
Dalam Islam, produksi dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk
memperbaiki kondisi fisik material dan moralitas sebagai sarana untuk

142 
mencapai tujuan hidup sesuai syariat Islam, kebahagiaan dunia dan
akhirat (Monzer Khaf).
Mannan, Siddiqi dan ahli ekonomi Islam lainnya menekankan
pentingnya motif altruisme, dan penekanan akan maslahah dalam
kegiatan produksi. Perusahaan tidak hanya mementingkan keuntungan
pribadi dan perusahaan namun juga memberikan kemaslahatan bagi
masyarakat dengan tidak mengabaikan lingkungan sosialnya. Hal ini
bertentangan dengan produksi dalam Konvensional yang mengutama-
kan self interest. Kegiatan produksi pada hakikatnya adalah ibadah.
Sehingga tujuan dan prinsipnya harus dalam kerangka ibadah.
Perusahaan tidak hanya mementingkan keuntungan pribadi dan
perusahaan namun juga memberikan kemaslahatan bagi masyarakat
dengan tidak mengabaikan lingkungan sosialnya. Hal ini bertentangan
dengan produksi konvensional.

C. Konsep Produksi dalam Al-Quran dan Al-Hadits

1. Al-Quran surat Ibrahim ayat 32-34.

‫ت ِر ْزﻗًﺎ َﻝ ُﻜ ْﻢ‬
ِ ‫ﻦ اﻝ َّﺜ َﻤﺮَا‬
َ ‫ج ِﺏ ِﻪ ِﻣ‬
َ ‫ﺧ َﺮ‬
ْ ‫ﺴﻤَﺎ ِء ﻣَﺎ ًء ﻓََﺄ‬ َّ ‫ﻦ اﻝ‬ َ ‫ض َوَأ ْﻥ َﺰ َل ِﻣ‬َ ‫ت وَاﻷ ْر‬ ِ ‫ﺴﻤَﺎوَا‬ َّ ‫ﻖ اﻝ‬ َ ‫ﺧَﻠ‬ َ ‫اﻝَّﻠ ُﻪ اَّﻝﺬِي‬ 32
‫ﺨ َﺮ َﻝ ُﻜ ُﻢ اﻷ ْﻥﻬَﺎ َر‬ َّ ‫ﺳ‬
َ ‫ﺤ ِﺮ ِﺏَﺄ ْﻣ ِﺮ ِﻩ َو‬
ْ ‫ي ﻓِﻲ ا ْﻝ َﺒ‬ َ ‫ﺠ ِﺮ‬ ْ ‫ﻚ ِﻝ َﺘ‬
َ ‫ﺨ َﺮ َﻝ ُﻜ ُﻢ ا ْﻝ ُﻔ ْﻠ‬
َّ ‫ﺳ‬
َ ‫َو‬
‫ﺨ َﺮ َﻝﻜُﻢُ اﻝَّﻠ ْﻴ َﻞ وَاﻝ َّﻨﻬَﺎ َر‬
َّ ‫ﺳ‬
َ ‫ﻦ َو‬ ِ ‫ﺲ وَا ْﻝ َﻘ َﻤ َﺮ دَا ِﺉ َﺒ ْﻴ‬َ ‫ﺸ ْﻤ‬ َّ ‫ﺨ َﺮ َﻝﻜُﻢُ اﻝ‬ َّ ‫ﺳ‬
َ ‫َو‬ 33
‫ﻈﻠُﻮ ٌم َآ َﻔّﺎ ٌر‬
َ ‫ن َﻝ‬
َ ‫ن اﻹ ْﻥﺴَﺎ‬
َّ ‫ﺤﺼُﻮهَﺎ ِإ‬
ْ ُ‫ن َﺕﻌُﺪُّوا ِﻥ ْﻌ َﻤ َﺔ اﻝَّﻠ ِﻪ ﻻ ﺕ‬
ْ ‫ﺳَﺄ ْﻝﺘُﻤُﻮﻩُ َوِإ‬
َ ‫ﻦ آُ ِّﻞ ﻣَﺎ‬
ْ ‫وَﺁﺕَﺎآُ ْﻢ ِﻣ‬ 34

Artinya:
(32) Allahlah yang Telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air
hujan dari langit, Kemudian dia mengeluarkan dengan air hujan itu
berbagai buah-buahan menjadi rezeki untukmu; dan dia Telah
menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan
dengan kehendak-Nya, dan dia Telah menundukkan (pula) bagimu
sungai-sungai.
(33) Dan dia Telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang
terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan Telah menunduk-kan
bagimu malam dan siang.
(34) Dan dia Telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa
yang kamu mohonkan kepadanya. dan jika kamu menghitung nikmat

143 
Allah, tidak lah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya
manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).

2. Produksi dalam al-Qur’an surat al-Nahl, ayat 97. Allah berfirman


yang artinya:

‫ﻃ ِّﻴ َﺒ ًﺔ‬
َ ‫ﺣﻴَﺎ ًة‬
َ ‫ﺤ ِﻴ َﻴ َّﻨ ُﻪ‬
ْ ‫ﻦ َﻓ َﻠ ُﻨ‬
ٌ ‫ﻦ َذ َآ ٍﺮ َأ ْو ُأ ْﻥﺜَﻰ َو ُه َﻮ ُﻣ ْﺆ ِﻣ‬ْ ‫ﻋ ِﻤ َﻞ ﺹَﺎ ِﻝﺤًﺎ ِﻣ‬ َ ‫ﻦ‬ ْ ‫َﻣ‬
‫ن‬
َ ‫ﻦ ﻣَﺎ آَﺎﻥُﻮا َی ْﻌ َﻤﻠُﻮ‬ ِ‫ﺴ‬ َ ‫ﺣ‬ ْ ‫ﺝ َﺮ ُه ْﻢ ِﺏ َﺄ‬
ْ ‫ﺠ ِﺰ َی َّﻨ ُﻬ ْﻢ َأ‬
ْ ‫َو َﻝ َﻨ‬
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri
balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik daripada yang telah
mereka kerjakan”.
Pemahaman produksi dalam al-Qur’an memiliki arti sebagai bentuk
usaha keras dalam pengembangan faktor-faktor sumber produksi
yang diperbolehkan. Allah Swt berfirman dalam al-Qur’an:

‫ن اﻟَّﻠ َﻪ ﻻ‬
َّ ‫ﻞ اﻟَّﻠ ُﻪ َﻟ ُﻜ ْﻢ وَﻻ َﺗ ْﻌ َﺘﺪُوا ِإ‬
َّ ‫ﺡ‬
َ ‫ت ﻣَﺎ َأ‬
ِ ‫ﻃِّﻴﺒَﺎ‬
َ ‫ﺤ ِّﺮﻣُﻮا‬
َ ‫ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا ﻻ ُﺗ‬
َ ‫ﻳَﺎ َأُّﻳﻬَﺎ اَّﻟﺬِﻳ‬
‫ﻦ‬
َ ‫ﺐ ا ْﻟ ُﻤ ْﻌ َﺘﺪِﻳ‬
ُّ ‫ﺤ‬
ِ ‫ُﻳ‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang
baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui
batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas”. (QS. Al-Maidah, 5: 87)

‫ج‬
َ ‫ﺧ َﺮ‬
ْ ‫ﺴﻤَﺎ ِء ﻣَﺎ ًء َﻓَﺄ‬
َّ ‫ﻦ اﻟ‬َ ‫ل ِﻣ‬ َ ‫ﺴﻤَﺎ َء ِﺑﻨَﺎ ًء َوَأ ْﻧ َﺰ‬ َّ ‫ض ِﻓﺮَاﺷًﺎ وَاﻟ‬ َ ‫ﻞ َﻟ ُﻜ ُﻢ اﻷ ْر‬ َ ‫ﺟ َﻌ‬َ ‫اَّﻟﺬِي‬
‫ن‬
َ ‫ﺠ َﻌﻠُﻮا ِﻟَّﻠ ِﻪ َأ ْﻧﺪَادًا َوَأ ْﻧ ُﺘ ْﻢ َﺗ ْﻌَﻠﻤُﻮ‬
ْ ‫ت ِر ْزﻗًﺎ َﻟ ُﻜ ْﻢ ﻓَﻼ َﺗ‬
ِ ‫ﻦ اﻟَّﺜ َﻤﺮَا‬
َ ‫ِﺑ ِﻪ ِﻣ‬
“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit
sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia
menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki
untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi
Allah, padahal kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah, 2: 22)

3. Berproduksi itu hukumnya mubah dan jelas berdasarkan As-Sunnah.


Sebab, Rasulullah Saw pernah membuat cincin. Diriwayatkan dari
Anas yang mengatakan: ”Nabi saw telah membuat sebuah cincin”. (HR.
Imam Bukhari).

144 
Beliau juga pernah membuat mimbar. Dari Sahal berkata: “Rasul
Allah saw telah mengutus kepada seorang wanita, (kata beliau):
‘Perintahkan anakmu si tukang kayu itu untuk membuatkan sandaran
tempat duduku, sehingga aku bisa duduk di atasnya’.” (HR. Imam
Bukhari)
Pada masa Rasulullah, orang-orang biasa memproduksi barang, dan
beliau pun mendiamkan aktivitas mereka. Sehingga diamnya beliau
menunjukkan adanya pengakuan (taqrir) beliau terhadap aktivitas
berproduksi mereka. Status taqrir dan perbuatan Rasul itu sama
dengan sabda beliau, artinya sama-sama merupakan dalil syara’.

4. Berproduksi juga sebagai penambah sumber penghasilan bagi diri


nya. Nabi Saw bersabda: “Seseorang yang membawa seutas tali kemudian
memanggul kayu bakar dan membawa ke pasar lalu menjual dan ia hidup
berkecukupan lalu untuk menafkahi dirinya, itu lebih baik dari meminta-
minta pada manusia, diberi atau ditolak”. (HR. Bukhari 1378, Ibnu Majah
1826)

Hadits ini mengindikasikan adanya anjuran produksi untuk


menambah penghasilan dari pada meminta-minta. Pekerjaan sese-
orang yang sesuai keterampilan yang dimiliki, dikategorikan sebagai
produksi, begitupun kesibukan untuk mengolah sumber penghasilan
juga dikatakan produksi. Rasul berkata: “Tidak ada makanan yang lebih
baik kecuali dari hasil tangannya sendiri, nabi Daud makan dari tanganya
sendiri”. (HR. Ibnu Majah 2129, Ahmad 16552, 16560)
Dalam berproduksi tidak boleh mengeksploitasi kekayaan alam
secara berlebihan, tetapi harus dikelola dengan cara yang baik, seba-
gaimana firman Allah Swt bahwa manusia tidak boleh melampaui
batas, (Q.S. Al-Maidah, 5: 87). Nabi juga mengancam penghasilan
yang didapat dengan cara yang tidak sesuai prinsip syariah, seperti
jual beli seks, barang najis seperti anjing dan canthuk sebagaimana
dalam hadits yang diriwayatkan Turmudzi (1196), Nasa’i (4220), Abi
Daud (2976, 2973), Ahmad (15251) dan Darimi (2507), sebagaimana
dikutip Ilfi Nur Diana (2008: 35). Nabi bersabda: “Sejelek-jelek usaha
adalah penghasilan dari pekerja seks, hasil penjualan anjing, dan usaha
canthuk”.

145 
Pekerjaan yang termaktub dalam hadits tersebut (jual beli anjing, jual
beli seks, dan cantuk) bukan termasuk produksi, karena tidak
menghasilkan sesuatu yang manfaat. Produksi dalam bahasa Arab
adalah al-intaaj dari akar kata nataja, tetapi dalam istilah fiqh lebih
dikenal kata tahsil, yaitu menghasilkan sesuatu atau penghasilan.
Begitupun dengan Ibnu Khaldun, menggunakan kata tahsil untuk
produksi ketika ia membahas pembagian spesialisasi tenaga kerja.

D. Motif-motif Produksi Islami

Monzer Kahf (1995: 33), dalam buku Ekonomi Islam menjelaskan


panjang lebar tentang motif-motif produksi. Menurutnya, produksi
merupakan pengambilan manfaat dari setiap partikel pada alam semesta
adalah merupakan tujuan ideologik umat muslim. Hal ini jelas karena
merupakan kewajiban keagamaan bagi manusia terhadap dunia dan ia
secara langsung bersumber pada pandangan Islam mengenai manusia
dan alam semesta. Karena, Islam mengancang tujuan ini dengan dua
sasaran, yaitu ajaran etik (akhlak) dan hukum.
Dalam pandangan Islam, produksi merupakan upaya manusia
untuk meningkatkan tidak hanya kondisi materialnya tetapi juga
moralnya dan sebagai sarana untuk mencapai tujuannya di hari akhirat
kelak. Hal ini, kata Monzer, karena mempunyai tiga implikasi penting,
yaitu:
1. Produk-produk yang menjauhkan manusia dari nilai-nilai moralnya
sebagai di tetapkan dalam al-Qur’an dilarang. Semua jenis kegiatan
produksi yang menurunkan martabat manusia atau menyebabkan ia
terperosok ke dalam kejahatan dalam rangka meraih tujuan ekonomi
semata-mata dilarang juga. Dengan demikian Nabi Muhammad SAW
melarang beberapa bentuk kegiatan ekonomi tertentu seperti
pelacuran dan penghasilan yang diperoleh dari kegiatan ekonomi
tersebut.
2. Aspek sosial produksi ditekankan dan secara ketat dikaitkan dengan
proses produksi. Sebenarnya distribusi keuntungan dari produksi di
antara sebagian besar orang dan dengan cara yang seadil-adilnya
adalah tujuan utama ekonomi masyarakat.

146 
3. Masalah ekonomi bukanlah masalah yang jarang terdapat dalam
kaitannya dengan berbagai kebutuhan hidup tetapi ia timbul karena
kemalasan dan kealpaan manusia dalam usahanya untuk mengambil
manfaat sebesar-besarnya dari anugerah-anugerah Allah SWT baik
dalam bentuk sumber-sumber manusiawi maupun sumber-sumber
alami. Kemalasan dan kealpaan disebut “ke-zaliman” atau
“kekejaman” dalam al-Qur’an. Sebuah Hadits Nabi menceritakan
bahwa beliau menyerukan: “Mintalah pertolongan kepada Allah dan
jangan merasa tidak mampu, karena tidak ada sesuatu pun yang tidak
mungkin dikerjakan”.

Ajaran-ajaran etik yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits


banyak memberikan tuntunan dan bimbingan ke arah produksi yang
lebih baik, sebagai-mana tersebut dalam Q.S. Al-Nahl dan Hadits-hadits
tersebut di atas. Intinya, ajaran Islam memberikan respon positif dalam
hal produksi dan produktivitas umat manusia, bahkan itu akan diberi
pahala oleh Tuhan bila perbuatannya (baca: produksi) mendatangkan
kebaikan. Namun diberikan dosa dan nista bila perbuatan yang
dihasilkan mendatangkan kemudaratan dan kezaliman.
Adapun aspek hukum juga dapat berperan dalam produksi
dengan memberikan justifikasi apakah barang itu halal diproduksi tidak,
atau sebaliknya. Meskipun dalam urusan ekonomi (baca: muamalah),
semuanya diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarang-nya.

‫اﻻﺹﻞ ﻓﻲ اﻝﻤﻌﺎﻣﻠﺔ اﻻﺏﺎﺣﺔ اﻻ ﻣﺎ دل اﻝﺪﻝﻴﻞ ﻋﻠﻲ ﺧﻼﻓﻪ‬


Artinya: “Asal mula bermuamalah itu mubah kecuali ada ketetapan dalil
yang tidak memperbolehkannya”.

Dari prinsip inilah motif berproduksi dalam Islam memberikan


motivasi bagi siapa saja agar berbuat sesuatu yang bermanfaat.
Kemanfaatan itu diharuskan bukan saja untuk dirinya, tetapi bagi orang
lain.
Disamping itu, motif produksi adalah menciptakan kemaslahatan
atau kesejahteraan individu (self interest) dan kesejahteraan kolektif
(social interest). Setiap muslim harus bekerja secara maksimal dan
optimal, sehingga tidak hanya dapat mencukupi dirinya sendiri tetapi
harus dapat mencukupi kebutuhan anak dan keluarganya. Hasil yang

147 
dimakan oleh dirinya sendiri dan keluarganya oleh Allah swt dihitung
sebagai sedekah, sekalipun itu sebagai kewajiban. Ini menunjukkan
betapa mulyanya harga sebuah produksi apalagi jika sampai memper-
kerjakan orang lain (karyawan) yang banyak sehingga mereka dapat
menghidupi keluarganya. (Nur Diana, 2008: 41)
Menurut Umar Chapra (2000: 12), motif produksi adalah
memenuhi kebutuhan pokok setiap individu dan menjamin setiap orang
mempunyai standar hidup manusiawi, terhormat dan sesuai dengan
martabat manusia sebagai khalifah. Tidak terpenuhinya kebutuhan
tersebut dapat menimbulkan masalah mendasar bagi manusia. Oleh
sebab itu, setiap muslim juga harus berusaha meningkatkan pendapatan
agar menjadi mustahiq yang dapat membantu kaum lemah
(mustad’afin) melalui pembayaran zakat, infak, sedekah dan wakaf.

E. Etika Produksi Islami

Prinsip-prinsip etika produksi yang implementatif terkandung


dalam prinsip tauhid, prinsip keadilan, prinsip kebajikan, prinsip
kemanusiaan, serta prinsip kebebasan dan tanggung jawab.
Implementasi prinsip etika produksi ini akan mempengaruhi tingkat
pertumbuhan ekonomi, pemerataan dan keadilan distributif, kelestarian
lingkungan hidup, serta tanggung jawab sosial produsen. Untuk
mengupayakan prinsip etika yang implementatif diperlukan pengujian
epistemologi dari aksioma-aksioma moral dalam al-Qur’an.
Dalam kegiatan etika Islami, perlunya landasan moral dalam
kegiatan produksi dengan alasan kegiatan produksi tidak hanya
bergerak pada ranah ekonomi an sich tapi juga sosial. Selain itu, kegiatan
produksi merupakan tanggung jawab sosial untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat serta manifestasi keterhubungan manusia
dengan Tuhan. Prinsip-prinsip etika produksi melainkan hanya meng-
injeksi aksioma-aksioma moral dalam al-Qur’an sebagai landasan etis
kegiatan produksi.
Berbeda dengan pemikiran tersebut, penelitian ini berusaha
merumuskan prinsip-prinsip etika produksi melalui kajian epistemologi
sehingga menghasilkan prinsip etika produksi yang tidak hanya
normatif tapi juga implementatif bagi peri laku produsen. Untuk

148 
merumuskan prinsip-prinsip etika produksi, penelitian ini pada
mulanya melakukan komparasi terhadap paradigma etika produksi
konvensional dan Islam.
Adapun pembahasan prinsip etika produksi Islam dilakukan
dengan menjadikan al-Qur’an sebagai landasan ontologis kegiatan
produksi. Kaidah-kaidah moral imperatif dalam al-Qur’an dipetakan
secara rasional untuk menentukan pemberlakuannya, mengidentifikasi
unsur hak dan kewajiban yang terkandung di dalamnya, dan relevansi
nya dengan konsep lain. Morality concept tersebut dirumuskan menjadi
aksioma etika serta diujicoba untuk mencari konvergensinya dengan
aksioma yang lain. Setelah itu baru meletakkan aksioma tersebut dalam
ranah pemikiran ekonomi Islam dan mengaitkannya dengan pemba-
hasan etika dalam Islam.
Umumnya, industri didirikan dengan modal beberapa orang yang
saling melakukan perseroan untuk mendirikan industri tersebut.
Sehingga pada saat ini, berlakulah hukum-hukum perseroan secara
Islami dalam pendirian industri tersebut. Sedangkan dari segi kegiatan
nya, seperti kegiatan administrasi, kerja, berproduksi ataupun yang lain,
bisa diberlakukan hukum-hukum ijarah atas seorang ajiir. Adapun dari
segi pemasaran hasil produksinya, bisa diberlakukan hukum-hukum
jual beli dan perdagangan luar negeri, sekaligus tidak boleh melakukan
penipuan, baik yang berbentuk tadlis maupun ghaban, dan penimbunan
(ihtikar), sebagaimana tidak diperbolehkan untuk mempermainkan
harga dan hukum-hukum jual beli yang lain.
Sedangkan pengarahan terhadap hasil produksi, baik berupa
produksi kecil maupun besar, sebelum memproduksi suatu produk, bisa
diberlakukan hukum-hukum berproduksi. Oleh karena itu syara’ harus
dijadikan tolok ukur dalam mengikat atau tidak, pelanggan (pemesan)
dengan apa yang diproduksi sesuai dengan pesanannya. (Taqiyudin an-
Nabhani, 1996: 152)
Dan sebagai akhir kata dalam bahasan etika produksi tentu harus
diakhiri dengan ucapan ALHAMDULILLAHIRABBIL ‘ALAMIN
sebagaimana ketika akan memulai berproduksi mengucap
BISMILLAHIR RAHMANIRRAHIM, bentuk ucapan itu merupakan
bentuk syukur ni’mat atas upaya manusia dapat hidup mampu
memenuhi kebutuhan dan keinginan di dunia ini. Kata-kata ini

149 
merupakan bentuk syukur bi lisan yang artinya ucapan syukur kepada
Allah atas segala nikmat dan karunia-Nya. Nikmat berupa anugerah-
anugerah atau rezeki-rezeki Allah yang dapat dimanfaatkan yang tak
terkira banyaknya, sehingga bila dihitung secara kuantitatif pun tidak
bisa.
Karunia merupakan padanan dari aspek nikmat dimana karunia
ini terdampar di bumi dan lautan serta langit. Manusia dapat dengan
ilmunya dapat menundukkan lautan sehingga dapat dijadikan sarana
men-cara karunia dan nikmat yang ada di dalamnya. Demikian halnya
di daratan beserta isinya, pun demikian langit dapat ditundukkan untuk
manusia melalui pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi.
Karenanya segala puji hanya tercurah kepada-Nya, kata-kata ini
merupakan puncak dari segala kesyukuran kepada Allah oleh manusia-
manusia beriman, ber-Islam dan berihsan yang mana akan membentuk
karakter manusia taqwa yang ter-cermin dalam pola dan perilaku dalam
mengais rezeki, mengerahkan segenap potensi untuk menggali-nya dan
seterusnya.
Oleh sebab itu dalam hal produksi, para fuqaha menetapkan
hukum fardu ain bagi setiap muslim untuk berusaha memanfaatkan
sumber-sumber alam. Manusia harus mengoptimalkan pikiran dan
keahliannya untuk mengembangkan sumber-sumber investasi dan jenis-
jenis usaha dalam menjalankan apa yang telah disyari’atkan. Hal ini
sesuai dengan tuntutan al-Qur’an agar manusia memakmurkan bumi,
(Q.S. Hud: 61). Sebagaimana Allah SWT berfirman:

‫ﺸَﺄ ُآ ْﻢ‬
َ ‫ﻏ ْﻴ ُﺮ ُﻩ ُه َﻮ َأ ْﻧ‬
َ ‫ﻦ ِإَﻟ ٍﻪ‬
ْ ‫ﻋ ُﺒﺪُوا اﻟَّﻠ َﻪ ﻣَﺎ َﻟ ُﻜ ْﻢ ِﻣ‬ ْ ‫ل ﻳَﺎ َﻗ ْﻮ ِم ا‬َ ‫َوِإﻟَﻰ َﺛﻤُﻮ َد َأﺧَﺎ ُه ْﻢ ﺹَﺎِﻟﺤًﺎ ﻗَﺎ‬
‫ﺐ‬
ٌ ‫ﺐ ُﻣﺠِﻴ‬ ٌ ‫ن َر ِﺑّﻲ َﻗﺮِﻳ‬ َّ ‫ﺳ َﺘ ْﻐ ِﻔﺮُو ُﻩ ُﺛ َّﻢ ﺗُﻮﺑُﻮا ِإَﻟ ْﻴ ِﻪ ِإ‬
ْ ‫ﺳ َﺘ ْﻌ َﻤ َﺮ ُآ ْﻢ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻓَﺎ‬
ْ ‫ض وَا‬
ِ ‫ﻦ اﻷ ْر‬
َ ‫ِﻣ‬

Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Saleh. Saleh berkata: "Hai
kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia
telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu
pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah
kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi
memperkenankan (doa hamba-Nya)."

150 
Bahkan Nabi Saw pun menganjurkan agar manusia dalam ber-
produksi selalu mengembangkan sumber daya alam secara efisien (tidak
boros dan eksploitatif), seandainya tidak mampu mengembangkannya
maka dianjurkan bekerja sama dengan yang lain. Nabi Saw bersaba:
“Barangsiapa yang mempunyai tanah, maka tanamilah, jika tidak mampu maka
supaya ditanami oleh saudaranya”. (HR. Bukhari, 2172, Nasa’i 2814, Ahmad
13751)
Hadits ini juga menganjurkan agar seorang muslim menanami
lahan yang tersedia dengan tanaman apa saja yang bermanfaat, sangat
tidak dianjurkan membiarkan lahan kosong apalagi menebangi pohon.
Karena fungsi pohon sangat besar, yaitu di samping dapat memberi
keteduhan ternyata pohon dapat menghasilkan oksigen yang
dibutuhkan manusia. Karena itu, menebang satu pohon sama dengan
menghilangkan nyawa manusia.
Nabi saw juga memberi perhatian yang besar terhadap proses
produksi dengan mengaitkannya terhadap ibadah, sebagaimana dalam
Hadits: ”Tidak ada seseorang yang menanam tanaman kecuali ditulis oleh
Allah pahala sebanyak buah yang keluar dari tanamannya.” (HR. Ahmad)
Dengan demikian, kerja produktif bukan saja dianjurkan tetapi
juga sebagai kewajiban religius. Kerja adalah milik setiap orang dan
hasilnya menjadi hak miliki pribadi yang harus dilindungi dan
mendapat imbalan pahala dari Allah. Bahkan andaikan hasil tanaman-
nya dimakan oleh burung, dihitung sedekah, yakni sebagai amal baik
yang bermanfaat untuk makhluk Allah SWT. Nabi saw bersabda: “Tidak
ada seorang muslim yang menanam tanaman, kemudian dimakan oleh burung
atau manusia atau binatang ternak, kecuali termasuk sedekah”. (HR. Muslim
(2904), Turmudzi (1303), Ahmad (12038, 12529, 12930, 13064)

151 
F. Power Point Ikhtisar Etika Produksi dalam Islam

- Kewajiban produsen
1. Beritikad baik dalam kegiatan usahanya
2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta
memberikan penjelasan, penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar
dan jujur serta tidak diskriminatif
4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi
dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar
mutu dan/atau jasa yang berlaku
5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji
dan/atau mencoba barang dan/atau jasa yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan
6. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian
atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
7. Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian bila
barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan
tidak sesuai dengan perjanjian

Produksi Konsumsi

Distribusi

152 
DEFINISI
Umum (Ekonom) Islam (Scholars Muslim)

| Kahf (1992): usaha


| Proses untuk
menghasilkan manusia untuk
memperbaiki tidak hanya
barang/jasa dengan
kondisi fisik material, tapi
memanfaatkan faktor-
faktor produksi. jg moralitas untuk
mencapai tujuan Islam:
kebahagiaan dunia akhirat.
| Frank(2003):Kegiatan
yang menciptakan
utility masa sekarang | Siddiqi (1992): penyediaan
barang dan jasa dengan
atau masa mendatang.
memperhatikan nilai
keadilan dan mashlahah.

FIQH UMAR BIN KHATTAB TTG


TERMINOLOGI PRODUKSI
i1
i2

Islahul maal (memperbaiki harta)


Ihtiraf (bekerja)

Kasb (berusaha)

Imarah (memakmurkan)

Istilah Produksi merupakan istilah ekonomi modern. Dalam karya


klasik umat Islam tidak ada istilah produksi, tetapi substansi produksi
banyak macamnya. Beberapa istilah tsb terangkum dalam beberapa
Fiqh Ekonomi masa Umar bi Khattab, sehingga, produksi tidak hanya
sebatas aktivitas produksi, lebih luas dari definisi ekonom modern
(konvensional).

153 
FIQH UMAR BIN KHATTAB TTG
TERMINOLOGI PRODUKSI
i1
i2

Islahul maal (memperbaiki harta)


Ihtiraf (bekerja)

Kasb (berusaha)

Imarah (memakmurkan)

Istilah Produksi merupakan istilah ekonomi modern. Dalam karya


klasik umat Islam tidak ada istilah produksi, tetapi substansi produksi
banyak macamnya. Beberapa istilah tsb terangkum dalam beberapa
Fiqh Ekonomi masa Umar bi Khattab, sehingga, produksi tidak hanya
sebatas aktivitas produksi, lebih luas dari definisi ekonom modern
(konvensional).

MOTIF&TUJUAN PRODUKSI

Umum Islam

| Kebenaran logika | Kebenaran syariah (dari


(materialisme). Allah): maqasyid as-syariah.
| Maksimalisasi laba | Mencapai FALAH (dunia
(materi) sebagai tujuan akhirat). QS. Qashash; 77
utama. | Meningkatkan kemaslahatan:
y Pemenuhan kebutuhan
| Pertanyaan aktivitas manusia pada tingkat moderat
Produksi: y Menemukan kebutuhan
y Apa yang di produksi? masyarakat
y Bagaimana berproduksi? y Persediaan barang/jasa dimasa
depan
y Untuk siapa barang/jasa di
produksi? y Sarana bagi kegiatan sosial
dan ibadah kepada Allah

154 
FAKTOR PRODUKSI
| Para muslim scholars
berbeda pendapat tentang
faktor-faktor produksi.
| Bekerja merupakan sendi
Sumber
utama produksi.
daya
alam
3,4 | Perbedaan bukan terkait
Tenaga
1,2 Kerja. dengan proses produksi
Sosialis tetapi pada unsur yang
utama:
Modal y Qardhawi: alam dan bekerja.
Keahlian
Kapitalis y Alharitsi: sumber daya bumi:
tanah, sungai, bekerja,
modal:besi, benih, pohon,
hewan.
Teori Umum:
Faktor Produksi dalam Islam
Faktor Produksi

IMPLIKASINYA? PADA PERILAKU PRODUSEN


Umum Islam

| Memproduksi barang | Hanya menghasilkan


dan jasa apapun dengan pemenuhan kebutuhan
catatan mendatangkan manusia dalam lingkaran
halal dan tayyibsaja.
keuntungan dengan
| Ada perbedaan antara need
tingkat efisiensi dan want dalam berproduksi.
tertentu. | Hanya memproduksi barang
dan jasa yang membawa
| Tidak ada perbedaan maslahat.
antara need dan want. | Kegiatan produksi harus
sepenuhnya sejalan dengan
| Tidak ada demarkasi kegiatan konsumsi: tidak
produksi yang makan yang diharamkan, isrof
menjadikan produsen muslim
bermanfaat atau tidak tidak akan menyediakan
bagi masyarakat luas. barang dan jasa tersebut

155 
CONTCOH’
ISLAM UMUM (KAPITALIS)

| Motivasi produsen | Motivasi Produsen adalah


sejalan dengan tujuan menyediakan kebutuhan
produksi dan tujuan untuk menciptakan sebesar-
kehidupan produsen itu besar laba: profit maximizer.
Tidak jarang mengabaikan
sendiri.
etika dan tanggungjawab
sosial.
| Menyediakan
kebutuhan material dan | Adam Smith: bukan karena
spiritual untuk kebaikan hati si tukang
menciptakan maslahah: daging menyediakan bagi
maslahah maximizer. konsumen (menjualnya),
akan tetapi motif penjual
untuk memperoleh laba.

PRODUKSI DALAM ISLAM


MA. MANNAN,
Misanam et al(2008)
METWALLY( 1992)
| Perilaku produksi tidak hanya | Formulasi maslahah
menyandarkan pada kondisi (fisik&non)bagi produsen
permintaan pasar, melainkan muslim:
kemaslahatan.
M=∏ +B
dimana m=maslahah, ∏=keuntungan&
| Fungsi ulititas produsen muslim: B=berkah (pahala)
U(max)= U (F,G)
| Berkah akan diperoleh apabila
dimana F= tingkat keuntungan&G= tingkat produsen menerapkan prinsip
pengeluran untuk good deeds (GD); Charity.
dan nilai Islam dalam kegiatan
produsinya. Walaupun
| Pengeluaran produsen untuk GD seringkali membutuhkan biaya
akan meningkatkan permintaan ekstra dibanding
dan G akan menghasilkan efek mengabaikannya. Misalnya:
penggandaan terhadap kenaikan bahan baku dari hasil
kemampuan beli masyarakat. pencurian lebih murah drpada
legal, dsb.

Sumber: indah.piliyanti@gmail.com

156 
BAB VIII
ETIKA KONSUMSI
PERSPEKTIF ISLAMI

Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di
antara keduanya terdapat hal-hal musyabbihat
(syubhat/samar, tidak jelas halal-haramnya), yang tidak
diketahui oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa yang
menjaga hal-hal musyabbihat, maka ia telah
membersihkan kehormatan dan agamanya. Dan
barangsiapa yang terjerumus dalam syubhat, maka ia
seperti penggembala di sekitar tanah larangan, hampir-
hampir ia terjerumus ke dalamnya. Ketahuilah bahwa
setiap raja mempunyai tanah larangan, dan ketahuilah
sesungguhnya tanah larangan Allah adalah hal-hal yang
diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada
sekerat daging. Apabila daging itu baik, maka seluruh
tubuh itu baik; dan apabila sekerat daging itu rusak,
maka seluruh tubuh itu pun rusak. Ketahuilah, dia itu
adalah hati."
(HR. Bukhari)

A. Pendahuluan

Bila dalam melakukan kegiatan berproduksi secara etis Islami


dianjurkan oleh Rasulullah membaca BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM,
maka demikian pula dalam mengkonsumsi. Mengkonsumsi artinya
mempergunakan harta benda atau pun sejenisnya yang dibutuhkan dan
inginkan. Secara teknis mengkonsumsi sederhananya adalah makan.

157 
Walaupun tidak semua konsumsi berhubungan dengan makan, namun
pada dasarnya kegiatan mengurangi atau menghabiskan nilai guna/
manfaat suatu barang dan atau jasa adalah konsumsi.
Etika Islami memberikan ajaran untuk memulai mengkonsumsi
(makan) dengan membaca do’a sebagai berikut, yaitu:
“‫”اﻟﻠﻬﻢ ﺑﺎرك ﻟﻨﺎ ﻓﻴﻤﺎرزﻗﺘﻨﺎ وﻗﻨﺎ ﻋﺬاب اﻟﻨﺎر‬. Adalah bacaan do’a untuk
supaya dalam mengkonsumsi barang atau jasa dapat berdaya guna.
Bukan berdaya guna saja, akan tetapi memberikan multiplier effect pada
tatanan kehidupan selanjutnya. Nilai ajaran ini memberikan kontribusi
penting dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Rezeki yang halal dalam
mengkonsumsi merupakan prasyarat utama, demikian juga cara mem-
perolehnya. Bagaimana mendapatkannya, apakah dengan cara yang
halal atau haram, ataukah walau pun barang/jasanya halal tetapi dalam
mekanisme memperolehnya melanggar prinsip non antaraddin atau pun
melalui la tadzlimun wala yudzlamun. Hal ini penting karena keberkahan
dalam mengkonsumi sebagai bagian dalam hidup tergantung dari
prinsip-prinsip itu semua, sehingga berdampak pula dalam penye-
lamatan dirinya dari adzab (punishment) dunia akhirat.
Konsumsi merupakan bagian aktivitas ekonomi yang sangat vital
bagi kehidupan manusia. Konsumsi adalah fitrah manusia untuk
mempertahankan hidup nya. Jika manusia masih berada dalam fitrah
yang suci, maka manusia sadar bahwa konsumsi memiliki keterbatasan
baik dari segi kemampuan harta maupun apa yang akan dikonsumsi
sesuai dengan kebutuhannya. Teori etika konsumsi Islami membatasi
konsumsi berdasarkan konsep harta dan berbagai jenis konsumsi sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah Islam demi keberlangsungan dan kese-
jahteraan itu sendiri. Dalam Islam aktivitas konsumsi telah diatur dalam
bingkai syariah, sehingga dapat menuntun seorang muslim agar tidak
terjerumus dalam keharaman dan apa yang dikonsumsinya menjadi
berkah.

B. Pengertian Konsumsi Islami

Dalam al-Qur’an ajaran tentang konsumsi dapat diambil dari kata


kulu dan isyrabu terdapat sebanyak 21 kali. Sedangkan makan dan
minumlah (kullu wasyrabu) sebanyak enam kali. Jumlah ayat mengenai

158 
ajaran konsumsi, belum termasuk derivasi dari akar kata akala dan
syaraba selain fi’il amar di atas sejumlah 27 kali.
Secara bahasa, konsumsi berasal dari bahasa Belanda consumptie
yang berarti suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau meng-
habiskan daya guna suatu benda, barang maupun jasa dalam rangka
memenuhi kebutuhan. Konsumen adalah individu atau kelompok
pengguna barang atau jasa. Jika pembelian ditujukan untuk dijual, maka
ia disebut distributor.
Kaitannya dengan konsumsi atau makan terhadap barang atau
jasa yang dibutuhkan atau inginkan manusia tentu tidak lepas
sebagaimana kata tha’am dalam al-Qur’an. Kata ini dalam berbagai
bentuknya terulang dalam al-Qur’an sebanyak 48 kali yang antara lain
berbicara tentang berbagai aspek berkaitan dengan makanan (konsumsi).
Belum lagi ayat-ayat lain yang menggunakan kosa kata selainnya.
Perhatian al-Qur’an tentang konsumsi (makanan) sedemikian besar,
sampai-sampai terulang terus menerus dengan memerintah kan untuk
makan (atau menyebut mengkonsumsi). (Quraish Shihab, 1997: 137)
Dalam tulisan Arif Pujoyono dalam Jurnal Dinamika Pembangunan
Vol. 3 No. 2/Desember 2006 dijelaskan juga tentang pengertian umum
penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Dalam tulisan itu dijelaskan bahwa konsumsi merupakan bagian
aktivitas ekonomi selain produksi dan distribusi. Konsumsi akan terjadi
jika manusia memiliki uang (harta). Manusia diperintahkan untuk
mengkonsumsi pada tingkat yang layak bagi dirinya, keluarganya dan
orang paling dekat di sekitarnya. Walaupun demikian, konsumsi Islami
tidak mengharuskan seseorang melampaui batas untuk kepentingan
konsumsi dasarnya, seperti mencuri atau merampok. Konsumsi seorang
muslim hanya sebagai sarana menolong untuk beribadah kepada Allah.
Dalam konsumsi, seorang muslim harus memperhatikan kebaikan
(kehalalan) sesuatu yang akan dikonsumsinya. Para fuqaha menjadikan
konsumsi hal-hal yang baik ke dalam empat tingkatan.
1. Wajib mengkonsumsi sesuatu yang dapat menghindarkan diri dari
kebinasaan dan tidak mengkonsumsi kada ini – padahal mampu –
yang berdampak pada dosa.

159 
2. Sunnah, yaitu mengkonsumsi yang lebih dari kadar yang meng-
hindarkan diri dari kebinasaan dan menjadikan seseorang muslim
mampu shalat dengan berdiri dan mudah berpuasa.
3. Mubah yaitu mengkonsumsi sesuatu yang lebih dari yang sunnah
sampai batas kenyang.
4. Konsumsi yang melebihi batas kenyang, yang dalam hal ini terdapat
dua, pendapat ada yang mengatakan makruh yang satunya
mengatakan haram.

Konsumsi bagi seorang muslim hanya sekedar perantara untuk


menambah kekuatan dalam mentaati Allah, yang ini memiliki indikasi
positif dalam kehidupannya. Seorang muslim tidak akan merugikan
dirinya di dunia dan akhirat, karena memberikan kesempatan pada
dirinya untuk mendapat kan dan memenuhi konsumsinya pada tingkat
melampaui batas, membuatnya sibuk mengejar dan menikmati kese-
nangan dunia sehingga melalaikan tugas utamanya dalam kehidupan
ini. “Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawi
(saja) dan kamu telah bersenang-senang dengan-nya”. (Al-Qur’an, Surat al-
Ahqaf, 20).
Jadi, konsumsi Islam akan menjauhkan seseorang dari sifat egois
(ananiyah), sehingga seorang muslim akan menafkahkan hartanya untuk
kerabat terdekat (sebaik-baiknya infak), fakir miskin dan orang-orang
yang membutuhkan dalam rangka mendekatkan diri kepada pencipta-
nya. Pesan-pesan moral al-Qur’an ini memberikan pelajaran bahwa
pentingnya mengkonsumsi dengan cara yang baik (halal thayyiban) ini
sekaligus memberikan pemahaman sebaliknya, yaitu tidak diperboleh-
kan mengkonsumsi dengan cara yang batil. Cara batil ini jelas-jelas
melanggar pesan moral qur’ani. Bahkan dengan cara ini, al-Qur’an pun
menyindirnya melalui ketidaknormalan dalam mengais rezeki. Berikut
ayat-ayat suci al-Qur’annya:

160 
Text Qur'an Ayat
Bermegah-megahan telah ‫َأ ْﻝﻬَﺎ ُآ ُﻢ اﻝ َّﺘﻜَﺎ ُﺛ ُﺮ‬ 1
melalaikan kamu,
sampai kamu masuk ke dalam ‫ﺣ َﺘّﻰ ُز ْر ُﺕ ُﻢ ا ْﻝ َﻤﻘَﺎ ِﺏ َﺮ‬
َ 2
kubur.
Janganlah begitu, kelak kamu ‫ن‬
َ ‫ف َﺕ ْﻌ َﻠﻤُﻮ‬
َ ‫ﺳ ْﻮ‬
َ ‫آَﻼ‬ 3
akan mengetahui (akibat
perbuatanmu itu),
dan janganlah begitu, kelak kamu ‫ن‬
َ ‫ف َﺕ ْﻌ َﻠﻤُﻮ‬
َ ‫ﺳ ْﻮ‬
َ ‫ُﺛ َّﻢ آَﻼ‬ 4
akan mengetahui.
Janganlah begitu, jika kamu ‫ﻦ‬
ِ ‫ﻋ ْﻠ َﻢ ا ْﻝ َﻴﻘِﻴ‬
ِ ‫ن‬
َ ‫آَﻼ َﻝ ْﻮ َﺕ ْﻌ َﻠﻤُﻮ‬ 5
mengetahui dengan pengetahuan
yang yakin,
niscaya kamu benar-benar akan ‫ﺠﺤِﻴ َﻢ‬
َ ‫ن ا ْﻝ‬
َّ ‫َﻝ َﺘ َﺮ ُو‬ 6
melihat neraka Jahiim,
dan sesungguhnya kamu benar- ‫ﻦ‬
ِ ‫ﻦ ا ْﻝ َﻴﻘِﻴ‬
َ ‫ﻋ ْﻴ‬
َ ‫ُﺛ َّﻢ َﻝ َﺘ َﺮ ُو َّﻥﻬَﺎ‬ 7
benar akan melihatnya dengan
'ainulyaqin,
kemudian kamu pasti akan ‫ﻦ اﻝ َّﻨﻌِﻴ ِﻢ‬
ِ‫ﻋ‬
َ ‫ﻦ َی ْﻮ َﻣ ِﺌ ٍﺬ‬
َّ ‫ﺴ َﺄ ُﻝ‬
ْ ‫ُﺛ َّﻢ َﻝ ُﺘ‬ 8
ditanyai pada hari itu tentang
kenikmatan (yang kamu megah-
megahkan di dunia itu).

C. Prinsip Dasar Konsumsi Islami

Konsumsi Islami senantiasa memperhatikan kaidah halal-haram,


komitmen dan konsekuen dengan kaidah-kaidah dan hukum-hukum
syariat yang mengatur konsumsi agar mencapai kemanfaatan konsumen
seoptimal mungkin dan mencegah penyelewengan dari jalan kebenaran
dan dampak mudharat baik bagi dirinya maupun orang lain sangat
penting untuk diketahui. Menurut Arif Pujiyono dalam tulisan berjudul
“Teori Konsumsi Islam”, prinsip dasar konsumsi Islami harus berdasar-
kan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:

161 
1. Prinsip syariah, yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi
dalam melakukan konsumsi dimana terdiri dari:
a. Prinsip akidah, yaitu hakikat konsumsi adalah sebagai sarana
untuk ketaatan/beriabdah sebagai perwujudan keyakinan
manusia sebagai makhluk yang mendapatkan beban khalifah dan
amanah di bumi yang nantinya diminta pertanggungjawaban oleh
penciptanya.
b. Prinsip ilmu, yaitu seorang ketika akan mengkonsumsi harus tahu
ilmu tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukum-hukum
yang berkaitan dengannya apakah merupakan sesuatu yang halal
atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya.
c. Prinsip amaliah, sebagai konsekuensi akidah dan ilmu yang telah
diketahui tentang konsumsi Islami tersebut. Seseorang ketika
sudah berakidah yang lurus dan berilmu, maka dia akan
mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang haram atau
syubhat.
2. Prinsip kuantitas, yaitu sesuatu dengan batas-batas kuantitas yang
telah di-jelaskan dalam syariat Islam, diantaranya:
a. Sederhana, yaitu mengkonsumsi yang sifatnya tengah-tengah
antara menghamburkan harta dengan baik, tidak bermewah-
mewah, tidak mubazir, dan hemat.
b. Sesuai antara pemasukan dan pengeluaran, artinya dalam meng-
konsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang
dimilikinya, bukan besar pasak dari pada tiang.
c. Menabung dan investasi, artinya tidak semua kekayaan diguna-
kan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan
pengembangan kekayaan itu sendiri.
3. Prinsip prioritas, dimana memperhatikan urutan kepentingan yang
harus di-prioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu:
a. Primer, yaitu mengkonsumsi dasar yang harus terpenuhi agar
manusia dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya di
dunia dan agamanya serta orang terdekatnya, seperti makanan
pokok.

162 
b. Sekunder, yaitu mengkonsumsi untuk menambah/meningkatkan
tingkat kualitas hidup yang lebih baik, misalnya mengkonsumsi
madu, susu dan sebagainya.
c. Tertier, yaitu untuk memenuhi konsumsi manusia yang jauh lebih
membutuhkan.
4. Prinsip sosial, yaitu memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya
sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di-
antaranya adalah:
a. Kepentingan umat, yaitu saling menanggung dan tolong meno-
long sebagai mana bersatunya suatu badan yang apabila sakit
pada salah satu anggotanya, maka anggota yang lain juga
merasakannnya.
b. Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam
berkonsumsi apa lagi jika dia adalah seorang tokoh atau pejabat
yang banyak mendapat sorotan di masyarakat.
c. Tidak membahayakan orang lain, yaitu dalam mengkonsumsi
justru tidak merugikan dan memberikan mudarat ke orang lain
seperti merokok dan sejenisnya.
5. Prinsip lingkungan, yaitu dalam mengkonsumsi harus sesuai dengan
kondisi potensi daya dukung sumber daya alam dan keberlanjutan-
nya atau tidak merusak lingkungan (eksploitasi).
6. Tidak meniru atau mengikuti perbuatan konsumsi yang tidak men-
cerminkan etika konsumsi Islami seperti suka menjamu dengan
tujuan bersenang-senang atau memamerkan kemewahan dan
menghambur-hamburkan harta.

Menurut Arif Pujiyono bahwa prinsip-prinsip dasar konsumsi


Islami ini akan memiliki konsekuensi bagi pelakunya. Pertama, seseorang
yang melakukan konsumsi harus beriman kepada Allah dan akhirat di
mana setiap konsumsi akan berakibat pada kehidupan di akhirat. Kedua,
pada hakikatnya semua anugerah dan kenikmatan dari segala
sumberdaya yang diterima manusia merupakan ciptaan dan milik Allah
secara mutlak dan akan kembali kepada-Nya, (Q.S. Al-Baqarah, 2: 29).
Manusia hanya sebagai pengemban amanah atas bumi untuk memak-
murkannya. Konsekuensinya adalah manusia harus menggunakan

163 
amanah harta yang telah dianugerahkan kepadanya pada jalan yang
disyariakan.
Ketiga, tingkat pengetahuan dan ketakwaan akan mempengaruhi
perilaku konsumsi seseorang. Seseorang itu dinilai berdasarkan
ketakwaannya. “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi
Allah adalah yang paling bertakwa”. Seseorang yang bertakwa tahu
bagaimana menyikapi harta. Pada saat memiliki keluasan rezeki, dia
tahu bahwa pada dasarnya hartanya terdapat bagian untuk orang lain,
melalui zakat, infak dan shadaqah. Sebaliknya, ketika Allah menetapkan
sedikit atau kurang harta, dia tetap sabar, qona’ah (merasa cukup) dan
tetap bersyukur dengan sedikit atau kurangnya harta. Dia tetap istiqomah
di atas keIslamannya, meskipun kekurangan. Dia sadar bahwa harta
adalah ujian. Ujian kedermawanan bagi yang diberi keluasan harta dan
ujian kesabaran bagi yang kekurangan harta.

D. Etika Konsumsi Islami

Di bidang konsumsi, etika Islam berarti seseorang ketika


mengkonsumsi barang-barang atau rezeki harus dengan cara yang halal
dan baik. Artinya, per-buatan yang baik dalam mencari barang-barang
atau rezeki baik untuk dikonsumsi mau pun diproduksi adalah bentuk
ketaatan terhadap Allah SWT., sebagaimana disebutkan dalam Al-
Qur’an: “Wahai umat manusia, makanlah apa yang ada di bumi, dengan cara
yang sah dan baik”, (QS. Al-Baqarah, 2: 268). Karena itu, orang mu’min
berusaha mencari kenikmatan dengan menaati perintah-perintah-Nya
dan memuaskan dirinya sendiri dengan barang-barang dan anugerah-
anugerah yang dicipta Allah untuk umat manusia. Konsumsi dan
pemuasan kebutuhan tidak dikutuk dalam Islam selama keduanya tidak
melibatkan hal-hal yang tidak baik atau merusak. Allah SWT. berfirman
dalam Al-Qur’an:
‫ﺲ َأ ْو َﻓﺴَﺎ ٍد ﻓِﻲ‬ ٍ ‫ﻞ َﻧ ْﻔﺴًﺎ ِﺑ َﻐ ْﻴ ِﺮ َﻧ ْﻔ‬َ ‫ﻦ َﻗ َﺘ‬
ْ ‫ﻞ َأ َﻧّ ُﻪ َﻣ‬ َ ‫ﺳﺮَاﺉِﻴ‬
ْ ‫ﻋﻠَﻰ َﺑﻨِﻲ ِإ‬ َ ‫ﻚ َآ َﺘ ْﺒﻨَﺎ‬ َ ‫ﻞ َذِﻟ‬ِ‫ﺟ‬ ْ ‫ﻦ َأ‬ ْ ‫ِﻣ‬
‫ﺟﻤِﻴﻌًﺎ َوَﻟ َﻘ ْﺪ‬ َ ‫س‬ َ ‫ﺡﻴَﺎ اﻟ َﻨّﺎ‬ ْ ‫ﺡﻴَﺎهَﺎ َﻓ َﻜَﺄَّﻧﻤَﺎ َأ‬ْ ‫ﻦ َأ‬ ْ ‫ﺟﻤِﻴﻌًﺎ َو َﻣ‬ َ ‫س‬ َ ‫ﻞ اﻟ َﻨّﺎ‬ َ ‫ض َﻓ َﻜَﺄَّﻧﻤَﺎ َﻗ َﺘ‬ ِ ‫اﻷ ْر‬
‫ن‬
َ ‫ﺴ ِﺮﻓُﻮ‬
ْ ‫ض َﻟ ُﻤ‬
ِ ‫ﻚ ﻓِﻲ اﻷ ْر‬ َ ‫ن َآﺜِﻴﺮًا ِﻣ ْﻨ ُﻬ ْﻢ َﺑ ْﻌ َﺪ َذِﻟ‬َّ ‫ت ُﺛ َّﻢ ِإ‬
ِ ‫ﺳُﻠ َﻨﺎ ﺑِﺎ ْﻟ َﺒِّﻴﻨَﺎ‬
ُ ‫ﺟَﺎ َء ْﺗ ُﻬ ْﻢ ُر‬

164 
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa:
barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka
bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan
barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-
olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguh
nya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka
sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan
di muka bumi”. ( Q.S. Al-Maidah, 7: 32)

Konsumsi berlebih-lebihan, yang merupakan ciri khas masyarakat


yang tidak mengenal Tuhan, dikutuk dalam Islam dan disebut dengan
istilah ishraf (pemborosan) atau tabzir (menghambur-hamburkan harta
tanpa guna). Tabzir berarti mempergunakan harta dengan cara yang
salah, yakni untuk menuju tujuan-tujuan yang terlarang seperti
penyuapan (riswah), hal-hal yang melanggar hukum atau dengan cara
yang tanpa aturan.
Setiap kategori ini mencakup beberapa jenis penggunaan harta
yang hampir-hampir sudah menggejala pada masyarakat yang ber-
orientasi konsumer. Pemborosan berarti penggunaan harta secara
berlebih-lebihan untuk hal-hal yang melanggar hukum dalam suatu hal
seperti makanan, pakaian, tempat tinggal atau bah kan sedekah. Ajaran-
ajaran Islam menganjurkan pola konsumsi dan penggunaan harta secara
wajar dan berimbang, yakni pola yang terletak di antara kekikiran dan
pemborosan. Konsumsi yang melampaui tingkat moderat (wajar)
dianggap ishraf dan tidak disenangi Islam. (Q.S. Al-An’am, 6: 141)
Salah satu ciri dalam etika Islam adalah bahwa ia tidak hanya
mengubah nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat tetapi juga
menyajikan kerangka legislatif yang perlu untuk mendukung dan
memperkuat tujuan-tujuan ini dan menghindari penyalahgunaannya.
Ciri khas Islam ini juga memiliki daya aplikatif-nya terhadap kasus
orang yang terlibat dalam pemborosan atau tabzir.
Dalam hukum (fiqih) Islam, orang semacam itu seharusnya
dikenai pembatasan-pembatasan dan bila dianggap perlu, dilepaskan
dan dibebaskan dari tugas mengurus harta miliknya sendiri. Dalam

165 
pandangan syari’ah, dia seharusnya diperlakukan sebagai orang yang
tidak mampu dan orang lain seharusnya ditugaskan untuk mengurus
hartanya selaku wakilnya.
Oleh karena itu, etika Islami akan mampu membentuk pribadi-
pribadi muslim-mu’min, yang tidak hanya menghasilkan kepuasan
konsumtif melainkan mampu menciptakan kepuasan kreatif untuk
menghasilkan kepuasan produktif. Pribadi-pribadi muslim demikian,
tentu tidak akan menjadi mushrif atau mubzir, tetapi mampu men-
ciptakan produktivitas yang optimal yang membawa maslahat dan
rahmat lil ‘alamin, bukan mafsadat. Hal ini dengan tegas al-Qur’an telah
menginformasikan, bahwa dhaharol fasad fil barri wal bahr bima kasabat aid
an-nas, (telah tampak kerusakan di lautan maupun di daratan hanya
karena ulah dan akibat tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung-
jawab. Karena manusia-manusia tidak beriman dan berihsan, maka tidak
punya kepasrahan dan ketundukan atas perilakunya kepada Sang
Pencipta. Akibatnya hanya membuat ulah dan pertumpahan darah saja
yang dihasilkan, sebagaimana prediksi Malaikat ketika diminta
pendapat terhadap keberadaan Adam, manusia pertama.
Karenanya, etika konsumsi Islami (Arif Pujiyono, 2006: 201), dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa aspek berikut ini:
1. Jenis barang yang dikonsumsi adalah barang yang baik dan halal
(halalan thayyiban), yaitu:
a. Zat, artinya secara materi barang tersebut telah disebutkan dalam
hukum syariah:
1) Halal, dimana asal hukum makanan adalah boleh kecuali yang
di-larang. (Al-Baqarah, 168-169 dan An-Nahl, 66-69)

‫ﻃ ِّﻴﺒًﺎ وَﻻ َﺕ َّﺘ ِﺒﻌُﻮا‬


َ ‫ض ﺣَﻼﻻ‬ِ ‫س ُآﻠُﻮا ِﻣ َﻤّﺎ ﻓِﻲ اﻷ ْر‬ ُ ‫یَﺎ َأ ُّیﻬَﺎ اﻝ َﻨّﺎ‬ 168
‫ﻦ‬
ٌ ‫ﻋ ُﺪ ٌّو ُﻣﺒِﻴ‬
َ ‫ن ِإ َﻥّ ُﻪ َﻝ ُﻜ ْﻢ‬
ِ ‫ﺸ ْﻴﻄَﺎ‬
َّ ‫ت اﻝ‬
ِ ‫ﻄﻮَا‬ ُ‫ﺧ‬ ُ
‫ﻋﻠَﻰ اﻝَّﻠ ِﻪ ﻣَﺎ ﻻ‬
َ ‫ن َﺕﻘُﻮﻝُﻮا‬
ْ ‫ﺤﺸَﺎ ِء َوَأ‬
ْ ‫ﺴّﻮ ِء وَا ْﻝ َﻔ‬
ُ ‫ِإ َّﻥﻤَﺎ َی ْﺄ ُﻣ ُﺮ ُآ ْﻢ ﺏِﺎﻝ‬ 169
‫ن‬
َ ‫َﺕ ْﻌ َﻠﻤُﻮ‬
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
syetan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata
bagi mu. (Q.S. Al-Baqarah, 2: 168)

166 
Sesungguhnya syetan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat
dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu
ketahui. (Q.S. Al-Baqarah, 2: 169)

‫ث‬
ٍ ‫ﻦ َﻓ ْﺮ‬
ِ ‫ﻦ َﺑ ْﻴ‬
ْ ‫ﺴﻘِﻴ ُﻜ ْﻢ ِﻣ َﻤّﺎ ﻓِﻲ ُﺑﻄُﻮ ِﻧ ِﻪ ِﻣ‬
ْ ‫ن َﻟ ُﻜ ْﻢ ﻓِﻲ اﻷ ْﻧﻌَﺎ ِم َﻟ ِﻌ ْﺒ َﺮ ًة ُﻧ‬
َّ ‫وَِإ‬ 66
‫ﻦ‬
َ ‫ﺸّﺎ ِرﺑِﻴ‬
َ ‫َو َد ٍم َﻟ َﺒﻨًﺎ ﺧَﺎِﻟﺼًﺎ ﺳَﺎ ِﺉﻐًﺎ ﻟِﻠ‬
‫ﺳ َﻜﺮًا َو ِر ْزﻗًﺎ‬
َ ‫ن ِﻣ ْﻨ ُﻪ‬
َ ‫ﺨﺬُو‬
ِ ‫ب َﺗَّﺘ‬
ِ ‫ﻋﻨَﺎ‬ ْ ‫ﻞ وَاﻷ‬ ِ ‫ت اﻟَّﻨﺨِﻴ‬
ِ ‫ﻦ َﺛ َﻤﺮَا‬
ْ ‫َو ِﻣ‬ 67
‫ن‬
َ ‫ﻚ ﻵ َﻳ ًﺔ ِﻟ َﻘ ْﻮ ٍم َﻳ ْﻌ ِﻘﻠُﻮ‬ َ ‫ن ﻓِﻲ َذِﻟ‬
َّ ‫ﺴﻨًﺎ ِإ‬
َ‫ﺡ‬َ
‫ﻦ‬
َ ‫ل ُﺑﻴُﻮﺗًﺎ َو ِﻣ‬
ِ ‫ﺠﺒَﺎ‬
ِ ‫ﻦ ا ْﻟ‬
َ ‫ﺨﺬِي ِﻣ‬
ِ ‫ن اَّﺗ‬
ِ ‫ﻞ َأ‬
ِ‫ﺤ‬
ْ ‫ﻚ ِإﻟَﻰ اﻟَّﻨ‬
َ ‫َوَأ ْوﺡَﻰ َرُّﺑ‬ 68
‫ن‬
َ ‫ﺠ ِﺮ َو ِﻣ َﻤّﺎ َﻳ ْﻌ ِﺮﺷُﻮ‬
َ‫ﺸ‬َّ ‫اﻟ‬
‫ﻦ‬
ْ ‫ج ِﻣ‬ ُ ‫ﺨ ُﺮ‬
ْ ‫ﻚ ُذﻟُﻼ َﻳ‬ِ ‫ﻞ َرِّﺑ‬ َ ‫ﺳ ُﺒ‬
ُ ‫ﺳُﻠﻜِﻲ‬ ْ ‫ت ﻓَﺎ‬ ِ ‫ﻞ اﻟَّﺜ َﻤﺮَا‬
ِّ ‫ﻦ ُآ‬
ْ ‫ُﺛ َّﻢ ُآﻠِﻲ ِﻣ‬ 69
‫ﻚ ﻵ َﻳ ًﺔ‬َ ‫ن ﻓِﻲ َذِﻟ‬ َّ ‫س ِإ‬
ِ ‫ﺷﻔَﺎ ٌء ﻟِﻠ َﻨّﺎ‬
ِ ‫ﻒ َأ ْﻟﻮَا ُﻧ ُﻪ ﻓِﻴ ِﻪ‬
ٌ ‫ﺨ َﺘِﻠ‬
ْ ‫ب ُﻣ‬ ٌ ‫ﺷﺮَا‬َ ‫ﺑُﻄُﻮ ِﻧﻬَﺎ‬
‫ن‬
َ ‫ِﻟ َﻘ ْﻮ ٍم َﻳ َﺘ َﻔ َّﻜﺮُو‬

Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat


pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum daripada apa yang
berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan
darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.
(Q.S. An-Nahl, 16: 66)

Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang me-
mabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada yang demi-
kian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang
yang memikirkan. (Q.S. An-Nahl, 16: 67)

Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-


sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat
yang di bikin manusia". (Q.S. An-Nahl, 16: 68)

kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan


tempuh lah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu).
Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-

167 
macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan
bagi manusia. Sesung guhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda (ke-besaran Tuhan) bagi orang-orang yang
memikirkan. (Q.S. An-Nahl, 16: 69)

2) Haram, dimana hanya beberapa jenis makanan yang dilarang


seperti babi, darah. (Al-Baqarah, 173 dan al-Maidah, ayat 3 dan 90)

‫ﺨ ْﻨﺰِی ِﺮ َوﻣَﺎ ُأ ِه َّﻞ ِﺏ ِﻪ ِﻝ َﻐ ْﻴ ِﺮ اﻝَّﻠ ِﻪ‬ ِ ‫ﺤ َﻢ ا ْﻝ‬


ْ ‫ﻋ َﻠ ْﻴ ُﻜ ُﻢ ا ْﻝ َﻤ ْﻴ َﺘ َﺔ وَاﻝ َّﺪ َم َو َﻝ‬
َ ‫ﺣ َّﺮ َم‬
َ ‫ِإ َّﻥﻤَﺎ‬
‫ﻏﻔُﻮ ٌر َرﺣِﻴ ٌﻢ‬ َ ‫ن اﻝَّﻠ َﻪ‬ َّ ‫ﻋ َﻠ ْﻴ ِﻪ ِإ‬
َ ‫غ وَﻻ ﻋَﺎ ٍد ﻓَﻼ ِإ ْﺛ َﻢ‬ ٍ ‫ﻏ ْﻴ َﺮ ﺏَﺎ‬ َ ‫ﻄ َّﺮ‬ ُ‫ﺿ‬ ْ ‫ﻦا‬ ِ ‫َﻓ َﻤ‬
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai,
darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut
(nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa
(memakan nya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

‫ﺨ ْﻨﺰِی ِﺮ َوﻣَﺎ ُأ ِه َّﻞ ِﻝ َﻐ ْﻴ ِﺮ اﻝَّﻠ ِﻪ ِﺏ ِﻪ‬ ِ ‫ﺤ ُﻢ ا ْﻝ‬


ْ ‫ﻋ َﻠ ْﻴ ُﻜ ُﻢ ا ْﻝ َﻤ ْﻴ َﺘ ُﺔ وَاﻝ َﺪّ ُم َو َﻝ‬
َ ‫ﺖ‬ْ ‫ﺣ ِّﺮ َﻣ‬ ُ
‫ﺴّ ُﺒ ُﻊ إِﻻ ﻣَﺎ‬ َ ‫ﺤ ُﺔ َوﻣَﺎ َأ َآ َﻞ اﻝ‬ َ ‫ﺨ ِﻨ َﻘ ُﺔ وَا ْﻝ َﻤ ْﻮﻗُﻮ َذ ُة وَا ْﻝ ُﻤ َﺘ َﺮ ِّد َی ُﺔ وَاﻝ َّﻨﻄِﻴ‬َ ‫وَا ْﻝ ُﻤ ْﻨ‬
‫ﻖ‬
ٌ‫ﺴ‬ ْ ‫ﺴﻤُﻮا ﺏِﺎﻷزْﻻ ِم َذ ِﻝ ُﻜ ْﻢ ِﻓ‬ ِ ‫ﺴ َﺘ ْﻘ‬
ْ ‫ن َﺕ‬ْ ‫ﺐ َوَأ‬ ِ ‫ﺼ‬ ُ ‫ﻋﻠَﻰ اﻝ ُّﻨ‬ َ ‫ﺢ‬ َ ‫َذ َّآ ْﻴ ُﺘ ْﻢ َوﻣَﺎ ُذ ِﺏ‬
‫ن ا ْﻝ َﻴ ْﻮ َم‬
ِ ‫ﺸ ْﻮ‬ َ ‫ﺧ‬ ْ ‫ﺸ ْﻮ ُه ْﻢ وَا‬ َ ‫ﺨ‬ ْ ‫ﻦ دِی ِﻨ ُﻜ ْﻢ ﻓَﻼ َﺕ‬ ْ ‫ﻦ َآ َﻔﺮُوا ِﻣ‬ َ ‫ﺲ اَّﻝﺬِی‬ َ ‫ا ْﻝ َﻴ ْﻮ َم َی ِﺌ‬
‫ﺖ َﻝ ُﻜ ُﻢ اﻹﺳْﻼ َم دِیﻨًﺎ‬ ُ ‫ﻋ َﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ِﻥ ْﻌ َﻤﺘِﻲ َو َرﺿِﻴ‬ َ ‫ﺖ‬ ُ ‫ﺖ َﻝ ُﻜ ْﻢ دِی َﻨ ُﻜ ْﻢ َوَأ ْﺕ َﻤ ْﻤ‬ُ ‫َأ ْآ َﻤ ْﻠ‬
‫ﻏﻔُﻮ ٌر َرﺣِﻴ ٌﻢ‬ َ ‫ن اﻝَّﻠ َﻪ‬ َّ ‫ﻒ ﻹ ْﺛ ٍﻢ َﻓ ِﺈ‬ ٍ ‫ﻏ ْﻴ َﺮ ُﻣ َﺘﺠَﺎ ِﻥ‬ َ ‫ﺼ ٍﺔ‬ َ ‫ﺨ َﻤ‬ ْ ‫ﻄ َّﺮ ﻓِﻲ َﻣ‬ ُ‫ﺿ‬ ْ ‫ﻦا‬ ِ ‫َﻓ َﻤ‬
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,
(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang
tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang
diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelih
nya, dan (diharamkan bagi mu) yang disembelih untuk berhala.
Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah,
(mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada
hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan)
agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan
takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agama mu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku,

168 
dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa
terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

‫ﺲ‬
ٌ ‫ﺝ‬
ْ ‫ب وَاﻷزْﻻ ُم ِر‬
ُ ‫ﺴ ُﺮ وَاﻷ ْﻥﺼَﺎ‬
ِ ‫ﺨ ْﻤ ُﺮ وَا ْﻝ َﻤ ْﻴ‬ َ ‫ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا ِإ َّﻥﻤَﺎ ا ْﻝ‬ َ ‫یَﺎ َأ ُّیﻬَﺎ اَّﻝﺬِی‬
‫ن‬
َ ‫ﺝ َﺘ ِﻨﺒُﻮ ُﻩ َﻝ َﻌَّﻠ ُﻜ ْﻢ ُﺕ ْﻔ ِﻠﺤُﻮ‬
ْ ‫ن ﻓَﺎ‬ ِ ‫ﺸ ْﻴﻄَﺎ‬
َّ ‫ﻋ َﻤ ِﻞ اﻝ‬َ ‫ﻦ‬ ْ ‫ِﻣ‬
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib
dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.

b. Proses, artinya dalam prosesnya telah memenuhi kaidah syariah,


misalnya:
1) Sebelum makan membaca basmalah, selesai membaca hamdalah,
menggunakan tangan kanan, bersih.
2) Cara mendapatkannya tidak dilarang, misal;
a) riba (Ali Imran, 130),
‫ﻋ َﻔ ًﺔ وَا َّﺕﻘُﻮا اﻝَّﻠ َﻪ‬
َ ‫ﺿﻌَﺎﻓًﺎ ُﻣﻀَﺎ‬
ْ ‫ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا ﻻ َﺕ ْﺄ ُآﻠُﻮا اﻝ ِّﺮﺏَﺎ َأ‬
َ ‫یَﺎ َأ ُّیﻬَﺎ اَّﻝﺬِی‬
‫ن‬
َ ‫َﻝ َﻌَّﻠ ُﻜ ْﻢ ُﺕ ْﻔ ِﻠﺤُﻮ‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah
supaya kamu mendapat keberuntungan.

b) merampas (An-Nisaa’ 6),

‫ﺵﺪًا‬
ْ ‫ﺴ ُﺘ ْﻢ ِﻣ ْﻨ ُﻬ ْﻢ ُر‬
ْ ‫ن ﺁ َﻥ‬ ْ ‫ح َﻓ ِﺈ‬
َ ‫ﺣ َﺘّﻰ ِإذَا َﺏ َﻠﻐُﻮا اﻝ ِّﻨﻜَﺎ‬ َ ‫وَا ْﺏ َﺘﻠُﻮا ا ْﻝ َﻴﺘَﺎﻣَﻰ‬
‫ن َی ْﻜ َﺒﺮُوا‬
ْ ‫ﺳﺮَاﻓًﺎ َو ِﺏﺪَارًا َأ‬ ْ ‫ﻓَﺎ ْد َﻓﻌُﻮا ِإ َﻝ ْﻴ ِﻬ ْﻢ َأ ْﻣﻮَا َﻝ ُﻬ ْﻢ وَﻻ َﺕ ْﺄ ُآﻠُﻮهَﺎ ِإ‬
‫ف‬
ِ ‫ن َﻓﻘِﻴﺮًا َﻓ ْﻠ َﻴ ْﺄ ُآ ْﻞ ﺏِﺎ ْﻝ َﻤ ْﻌﺮُو‬َ ‫ﻦ آَﺎ‬ ْ ‫ﻒ َو َﻣ‬ ْ ‫ﺴ َﺘ ْﻌ ِﻔ‬ْ ‫ﻏ ِﻨ ًﻴّﺎ َﻓ ْﻠ َﻴ‬
َ ‫ن‬ َ ‫ﻦ آَﺎ‬ ْ ‫َو َﻣ‬
‫ﺣﺴِﻴﺒًﺎ‬َ ‫ﻋ َﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ َو َآﻔَﻰ ﺏِﺎﻝَّﻠ ِﻪ‬ َ ‫ﺵ ِﻬﺪُوا‬ ْ ‫َﻓ ِﺈذَا َد َﻓ ْﻌ ُﺘ ْﻢ ِإ َﻝ ْﻴ ِﻬ ْﻢ َأ ْﻣﻮَا َﻝ ُﻬ ْﻢ َﻓ َﺄ‬
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk
kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah
cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkan-lah kepada
mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta
anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah

169 
kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka
dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu,
maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak
yatim itu) dan barang siapa miskin, maka bolehlah ia makan
harta itu menurut yang patut. Kemudian apa-bila kamu
menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu
adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan
cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).

c) judi (al-Maidah, 91)

‫ﺨ ْﻤ ِﺮ‬
َ ‫ن یُﻮ ِﻗ َﻊ َﺏ ْﻴ َﻨ ُﻜ ُﻢ ا ْﻝ َﻌﺪَا َو َة وَا ْﻝ َﺒ ْﻐﻀَﺎ َء ﻓِﻲ ا ْﻝ‬
ْ ‫ن َأ‬
ُ ‫ﺸ ْﻴﻄَﺎ‬ َّ ‫ِإ َّﻥﻤَﺎ ُیﺮِی ُﺪ اﻝ‬
‫ن‬
َ ‫ﺼّﻼ ِة َﻓ َﻬ ْﻞ َأ ْﻥ ُﺘ ْﻢ ُﻣ ْﻨ َﺘﻬُﻮ‬
َ ‫ﻦ اﻝ‬ ِ‫ﻋ‬ َ ‫ﻦ ِذ ْآ ِﺮ اﻝَّﻠ ِﻪ َو‬ ْ‫ﻋ‬ َ ‫ﺼ َّﺪ ُآ ْﻢ‬
ُ ‫ﺴ ِﺮ َو َی‬
ِ ‫وَا ْﻝ َﻤ ْﻴ‬
Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan
permusu-han dan kebencian di antara kamu lantaran
(meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu
dari mengingat Allah dan sembahyang; maka ber-hentilah
kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).

d) menipu, mengurangi timbangan (Q.S. Al-Rahman, 55: 9)

‫ن‬
َ ‫ﺴﺮُوا ا ْﻝﻤِﻴﺰَا‬
ِ ‫ﺨ‬
ْ ‫ﻂ وَﻻ ُﺕ‬
ِ‫ﺴ‬
ْ ‫ن ﺏِﺎ ْﻝ ِﻘ‬
َ ‫َوَأﻗِﻴﻤُﻮا ا ْﻝ َﻮ ْز‬
Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan jangan-lah
kamu mengurangi neraca itu.

e) tidak menyebut Allah ketika menyembelih, proses ter-cekik,


dipukul, jatuh, ditanduk kecuali yang sempat disembelih
sebelum matinya (Al-Maidah, 3)
‫ﺨ ْﻨﺰِی ِﺮ َوﻣَﺎ ُأ ِه َّﻞ ِﻝ َﻐ ْﻴ ِﺮ اﻝَّﻠ ِﻪ ِﺏ ِﻪ‬ ِ ‫ﺤ ُﻢ ا ْﻝ‬
ْ ‫ﻋ َﻠ ْﻴ ُﻜ ُﻢ ا ْﻝ َﻤ ْﻴ َﺘ ُﺔ وَاﻝ َﺪّ ُم َو َﻝ‬
َ ‫ﺖ‬ْ ‫ﺣ ِّﺮ َﻣ‬ ُ
‫ﺴّ ُﺒ ُﻊ إِﻻ ﻣَﺎ‬ َ ‫ﺤ ُﺔ َوﻣَﺎ َأ َآ َﻞ اﻝ‬ َ ‫ﺨ ِﻨ َﻘ ُﺔ وَا ْﻝ َﻤ ْﻮﻗُﻮ َذ ُة وَا ْﻝ ُﻤ َﺘ َﺮ ِّد َی ُﺔ وَاﻝ َّﻨﻄِﻴ‬َ ‫وَا ْﻝ ُﻤ ْﻨ‬
‫ﻖ‬
ٌ‫ﺴ‬ ْ ‫ﺴﻤُﻮا ﺏِﺎﻷزْﻻ ِم َذ ِﻝ ُﻜ ْﻢ ِﻓ‬ ِ ‫ﺴ َﺘ ْﻘ‬
ْ ‫ن َﺕ‬ْ ‫ﺐ َوَأ‬ ِ ‫ﺼ‬ ُ ‫ﻋﻠَﻰ اﻝ ُّﻨ‬ َ ‫ﺢ‬ َ ‫َذ َّآ ْﻴ ُﺘ ْﻢ َوﻣَﺎ ُذ ِﺏ‬
‫ن ا ْﻝ َﻴ ْﻮ َم‬
ِ ‫ﺸ ْﻮ‬ َ ‫ﺧ‬ ْ ‫ﺸ ْﻮ ُه ْﻢ وَا‬ َ ‫ﺨ‬ ْ ‫ﻦ دِی ِﻨ ُﻜ ْﻢ ﻓَﻼ َﺕ‬ ْ ‫ﻦ َآ َﻔﺮُوا ِﻣ‬ َ ‫ﺲ اَّﻝﺬِی‬ َ ‫ا ْﻝ َﻴ ْﻮ َم َی ِﺌ‬
‫ﺖ َﻝ ُﻜ ُﻢ اﻹﺳْﻼ َم دِیﻨًﺎ‬ ُ ‫ﻋ َﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ ِﻥ ْﻌ َﻤﺘِﻲ َو َرﺿِﻴ‬ َ ‫ﺖ‬ ُ ‫ﺖ َﻝ ُﻜ ْﻢ دِی َﻨ ُﻜ ْﻢ َوَأ ْﺕ َﻤ ْﻤ‬ُ ‫َأ ْآ َﻤ ْﻠ‬
‫ﻏﻔُﻮ ٌر َرﺣِﻴ ٌﻢ‬ َ ‫ن اﻝَّﻠ َﻪ‬ َّ ‫ﻒ ﻹ ْﺛ ٍﻢ َﻓ ِﺈ‬ ٍ ‫ﻏ ْﻴ َﺮ ُﻣ َﺘﺠَﺎ ِﻥ‬ َ ‫ﺼ ٍﺔ‬ َ ‫ﺨ َﻤ‬ ْ ‫ﻄ َّﺮ ﻓِﻲ َﻣ‬ ُ‫ﺿ‬ ْ ‫ﻦا‬ ِ ‫َﻓ َﻤ‬

170 
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,
(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang
tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang
diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyem-
belihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk
berhala. Dan (di haramkan juga) mengundi nasib dengan
anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah
kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa
untuk (mengalahkan) agama mu, sebab itu janganlah kamu
takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini
telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu
jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena
kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
2. Kemanfaatan/kegunaan barang yang dikonsumsi, artinya lebih
memberikan manfaat dan jauh dari merugikan baik dirinya mau pun
orang lain.
3. Kuantitas barang yang dikonsumsi tidak berlebihan dan tidak terlalu
sedikit atau kikir/bakhil, tapi pertengahan (Al-Furqan 67), serta
ketika memiliki kekayaan berlebih harus mau berbagi melalui zakat,
infak dan sedekah mau pun hibah dan wakaf, ketika kekurangan
harus sabar dan merasa cukup dengan apa yang dimilikinya.

Etika Islam tentang konsumsi ini lebih diarahkan kepada pihak


konsumen dan bukan pada pihak produsen. Konsumen hendaknya
membelanjakan harta sesuai kebutuhannya tanpa berlebih-lebihan dan
menghindari pembelanjaan yang dapat mengakibatkan tabdzir
(Pemborosan). Selain itu, Islam juga menganjurkan hidup sederhana dan
menjauhi gaya hidup yang mewah, sebagaimana dalam prinsip dasar
etika konsumsi Islami di atas.

171 
Prilaku Konsumsi (Dr. Yusuf Qardhawi)

^ Konsumsi pada barang yang halal & baik;


berhemat (saving), berinfak (mashlahat) serta
menjauhi judi, khamar, gharar & spekulasi
^ Konsumsi yang menjauhi kemegahan,
kemewahan, kemubadziran dan menghindari
hutang

Parameter kepuasan seorang muslim tentu saja parameter dari


definisi manusia terbaik, yaitu memberikan kemanfaatan bagi
lingkungan (amal shaleh). Sementara konsumsi barang-jasa
merupakan asumsi yang given karena sekedar ditujukan untuk
dapat hidup dan beraktifitas (AS).

E. Ikhtisar (Penutup)

Berdasarkan uraian di atas tentang etika konsumsi Islami, maka


pada dasarnya terkait dengan konsumsi tidak lepas dari adanya
anugerah-anugerah Allah itu milik semua manusia dan suasana yang
menyebabkan sebagian diantara anugerah-anugerah itu berada di
tangan orang-orang tertentu tidak berarti bahwa mereka dapat
memanfaatkan anugerah-anugerah itu untuk mereka sendiri; sedang-
kan orang lain tidak memiliki bagiannya sehingga banyak diantara
anugerah-anugerah yang diberikan Allah kepada umat manusia itu
masih berhak mereka miliki walaupun mereka tidak memperolehnya.
Dalam Al-Qur'an Allah SWT mengutuk dan membatalkan argumen
yang dikemukakan oleh orang kaya yang kikir karena ketidaksediaan
mereka memberikan bagian atau miliknya ini. “Bila dikatakan kepada
mereka, "Belanjakanlah sebagian rizqi Allah yang diberikan-Nya kepada mu,"
orang-orang kafir itu berkata, "Apakah kami harus memberi makan orang-orang
yang jika Allah menghendaki akan diberi-Nya makan? Sebenarnya kamu benar-
benar tersesat."
Selain itu, perbuatan untuk memanfaatkan atau mengkonsumsi
barang-barang yang baik itu sendiri dianggap sebagai kebaikan dalam
Islam, karena kenikmatan yang dicipta Allah untuk manusia adalah
ketaatan kepada-Nya Yang berfirman kepada nenek moyang manusia,

172 
yaitu Adam dan Hawa, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an: "... dan
makanlah barang-barang yang penuh nikmat di dalamnya (surga) sesuai
dengan kehendakmu ...," dan yang menyuruh semua umat manusia:
"Wahai umat manusia, makanlah apa yang ada di bumi, dengan cara yang sah
dan baik." Karena itu, orang Mu'min berusaha mencari kenikmatan dengan
mentaati perintah-perintah-Nya dan memuaskan dirinya sendiri dengan
barang-barang dan anugerah-anugerah yang dicipta (Allah) untuk umat
manusia. Konsumsi dan pemuasan (kebutuhan) tidak dikutuk dalam Islam
selama keduanya tidak melibatkan hal-hal yang tidak baik atau merusak. Allah
SWT berfirman dalam Al-Qur'an: "Katakanlah, siapakah yang melarang
(anugerah-anugerah Allah) yang indah, yang Dia cipta untuk hamba-hamba-
Nya dan barang-barang yang bersih dan suci (yang Dia sediakan?)".
Konsumsi berlebih-lebihan, yang merupakan ciri khas masyarakat
yang tidak mengenal Tuhan, dikutuk dalam Islam dan disebut dengan
istilah isrâf (pemborosan) atau tabzîr (menghambur-hamburkan harta
tanpa guna). Tabzir berarti mempergunakan harta dengan cara yang
salah, yakni, untuk menuju tujuan-tujuan yang terlarang seperti
penyuapan, hal-hal yang melanggar hukum atau dengan cara yang
tanpa aturan. Setiap kategori ini mencakup beberapa jenis penggunaan
harta yang hampir-hampir sudah menggejala pada masyarakat yang
berorientasi konsumer.
Pemborosan berarti penggunaan harta secara berlebih-lebihan
untuk hal-hal yang melanggar hukum dalam hal seperti makanan,
pakaian, tempat ting-gal atau bahkan sedekah. Ajaran-ajaran Islam
menganjurkan pola konsumsi dan penggunaan harta secara wajar dan
berimbang, yakni pola yang terletak diantara kekikiran dan pemborosan.
Konsumsi di atas dan melampaui tingkat moderat (wajar) dianggap isrâf
dan tidak disenangi Islam.
Salah satu ciri penting dalam Islam adalah bahwa ia tidak hanya
mengubah nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat tetapi juga
menyajikan kerangka legislatif yang perlu untuk mendukung dan
memperkuat tujuan-tujuan ini dan menghindari penyalahgunaannya.
Ciri khas Islam ini juga memiliki daya aplikatif nya terhadap kasus
orang yang terlibat dalam pemborosan atau tabzîr. Dalam hukum (Fiqh)
Islam, orang semacam itu seharusnya dikenai pembatasan-pembatasan
dan, bila dianggap perlu, dilepaskan dan dibebaskan dari tugas

173 
mengurus harta miliknya sendiri. Dalam pandangan Syarî'ah dia
seharusnya diperlakukan sebagai orang tidak mampu dan orang lain
seharusnya ditugaskan untuk mengurus hartanya selaku wakilnya.

174 
BAB IX
ETIKA DISTRIBUSI PERSPEKTIF
ISLAM

A. Pendahuluan

Sebenarnya distribusi merupakan kegiatan ekonomi lebih lanjut


dari kegiatan produksi. Hasil produksi yang diperoleh kemudian
disebarkan dan dipindahtangankan dari satu pihak ke pihak lain.
Mekanisme yang digunakan dalam distribusi ini tiada lain adalah
dengan cara pertukaran (mubadalah) antara hasil produksi dengan hasil
produksi lainnya atau antara hasil produksi dengan alat tukar (uang). Di
dalam syari’at Islam bentuk distribusi ini dikemukakan dalam pemba-
hasan tentang al-‘aqd (transaksi).
Walaupun telah dikenal transaksi berbentuk mubadalah atau dalam
bahasa lainnya adalah barter adalah merupakan wujud dari distribusi
pendapatan dari satu dengan lainnya. Barang/jasa merupakan
commodity yang tidak hanya sekedar menjadi barang yang diinginkan
dan dibutuhkan, tetapi juga merupakan alat tukar atau semacam nilai
mata uang pada saat itu. Karenanya, model seperti ini merupakan
bentuk distribusi sederhana dalam pendapatan antar satu dengan lain
nya bila ingin mendapatkan apa yang dibutuhkan maupun yang
diinginkan.
Berkenaan dengan distribusi dalam arti penyebaran dan
penukaran hasil produksi ini, Islam telah memberikan tuntunan yang
wajib diikuti oleh para pelaku ekonomi muslim. Tuntunan tersebut
secara hukum normative tertuang dalam fiqh al-muamalah.

175 
Selain, bentuk distribusi dengan cara pertukaran (exchange) ada
juga model distribusi yang bukan berkaitan dengan masalah hasil
produksi, melainkan distribusi pendapatan (distribution of income) yang
lebih berorientasi pada distribusi kekayaan karena anjuran dan
kewajiban agama, seperti; zakat, infak dan shodaqah, serta bentuk-bentuk
distribusi sosial lainnya; wakaf, hibah dan hadiah.
Model-model distribusi ini mengacu pada prinsip Qur’ani yang
meng-anjurkan agar harta kekayaan tidak berputar pada orang-orang
kaya saja. Maka-nya, Al-Qur’an memerintahkan agar supaya harta
kekayaan itu berputar sehingga terjadi pemerataan dan keadilan bagi
masyarakat lainnya. Karena itu, pada bahasan teori nilai di bidang
distribusi tidak hanya difokuskan pada distribusi yang berkaitan dengan
profit oriented, melainkan berkaitan dengan nilai-nilai keadilan dan
pemerataan pendapatan (sosial oriented). (Abdul Aziz, 2008: 65)

B. Pengertian Distribusi dalam Islam

Distribusi merupakan kegiatan ekonomi lebih lanjut setelah


produksi dan konsumsi. Hasil produksi yang diperoleh kemudian
disebarkan dan dipindahtangankan dari satu pihak ke pihak lain.
Mekanisme yang digunakan dalam distribusi ini tiada lain adalah
dengan cara pertukaran (mubadalah) antara hasil produksi dengan hasil
produksi lainnya atau antara hasil produksi dengan alat tukar (uang). Di
dalam syariat Islam bentuk distribusi ini dikemukakan dalam
pembahasan tentang ‘aqad (transaksi).
Secara umum distribusi artinya proses yang menunjukkan penya-
luran barang dari produsen sampai ke tangan masyarakat konsumen.
Produsen artinya orang yang melakukan kegiatan produksi,
sebagaimana telah dijelaskan di muka. Sedang, konsumen artinya orang
yang menggunakan atau memakai barang/jasa dan orang yang
melakukan kegiatan distribusi disebut distributor.
Usaha untuk memperlancar arus barang/jasa dari produsen ke
konsumen, maka salah satu faktor penting yang tidak boleh diabaikan
adalah pendistribusian. Menurut David A. Revsan dalam Marius P.
Ariponga, distribusi merupakan suatu jalur yang dilalui oleh arus
barang-barang dari produsen ke perantara dan akhirnya sampai pada

176 
pemakai. Jadi, distribusi adalah kegiatan ekonomi yang menjembatani
kegiatan produksi dan konsumsi. Berkat distribusi barang dan jasa dapat
sampai ke tangan konsumen. Dengan demikian kegunaan dari barang
dan jasa akan lebih meningkat setelah dapat dikonsumsi.
Adapun maksud distribusi ditinjau dari segi bahasa adalah proses
penyimpanan dan penyaluran produk kepada pelanggan, di antaranya
sering kali melalui perantara (Collins, 1994: 162). Definisi yang
dikemukakan Collins di atas memiliki kajian yang sempit. Hal ini
disebabkan definisi tersebut cenderung mengarah pada perilaku
ekonomi yang bersifat individual. Namun dari definisi di atas dapat
ditarik perpaduan, di mana dalam distribusi terdapat sebuah proses
pen-dapatan dan pengeluaran dari sumber daya yang dimiliki oleh
negara (men-cakup "prinsip take and give”).
Adapun prinsip utama dalam konsep distribusi menurut
pandangan Islam ialah peningkatan dan pembagian bagi hasil kekayaan
agar sirkulasi kekayaan dapat ditingkatkan. Dengan demikian, kekayaan
yang ada dapat melimpah secara merata dan tidak hanya beredar di
antara golongan tertentu saja (Rahman, 1995: 93). Sementara Anas Zarqa
mengemukakan bahwa definisi distribusi ialah transfer (mentasharufkan)
pendapatan kekayaan antarindividu dengan cara pertukaran (melalui
pasar) atau dengan cara yang lain, seperti warisan, shadaqah, wakaf dan
zakat, (Zarqa, 1995: 181).
Demikian konsep ekonomi di bidang distribusi yang ditawarkan
oleh Islam. Islam mengenalkan konsep pemerataan pembagian hasil
kekayaan negara melalui distribusi tersebut, seperti zakat, wakaf,
warisan dan lain sebagai nya. Distribusi seperti di atas dapat dikatakan
sebagai makna dari distribusi secara luas. Semen-tara distribusi dalam
arti penyebaran dan penukaran hasil produksi lain, Islam telah
memberikan tuntunan yang wajib diikuti oleh pelaku ekonomi muslim.
Tuntunan tersebut secara hukum normatif tertuang dalam fiqh muamalah.
Sedang kan distribusi secara umum, dapat kita lihat secara eksplisit telah
dijelaskan Allah swt. dalam Al-Qur'an sebagai berikut:

177 
‫ن‬
َ ‫ﺼّﻼ َة َو ِﻣ َﻤّﺎ َر َز ْﻗﻨَﺎ ُه ْﻢ ُی ْﻨ ِﻔﻘُﻮ‬
َ ‫ن اﻝ‬
َ ‫ﺐ َو ُیﻘِﻴﻤُﻮ‬
ِ ‫ن ﺏِﺎ ْﻝ َﻐ ْﻴ‬
َ ‫ﻦ ُی ْﺆ ِﻣﻨُﻮ‬
َ ‫اَّﻝﺬِی‬
“(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan
menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al-
Baqarah: 3).

Berkenaan dengan ayat di atas, pendistribusian merupakan bentuk


pembagian harta atas harta rampasan perang (fai) dan sejenisnya.
Dimana harta tersebut dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berhak,
tanpa harus membayar penggantinya. Beda dengan distribusi atas
pentasharufan barang-jasa yang dibutuhkan dengan cara transaksi
merupakan bagian penting dari model marketing (pemasaran).
Berkaitan dengan pendistribusian yang merupakan hak atas rampasan
perang, Allah berfirman.

‫ﻦ َأ ْه ِﻞ ا ْﻝ ُﻘﺮَى َﻓ ِﻠَّﻠ ِﻪ َوﻝِﻠ َّﺮﺳُﻮ ِل َو ِﻝﺬِي ا ْﻝ ُﻘ ْﺮﺏَﻰ وَا ْﻝ َﻴﺘَﺎﻣَﻰ‬


ْ ‫ﻋﻠَﻰ َرﺳُﻮ ِﻝ ِﻪ ِﻣ‬ َ ‫ﻣَﺎ َأﻓَﺎ َء اﻝ َﻠّ ُﻪ‬
‫ﻏ ِﻨﻴَﺎ ِء ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ َوﻣَﺎ ﺁﺕَﺎ ُآ ُﻢ اﻝ َّﺮﺳُﻮ ُل‬
ْ ‫ﻦ اﻷ‬ َ ‫ن دُو َﻝ ًﺔ َﺏ ْﻴ‬
َ ‫ﻲ ﻻ َیﻜُﻮ‬ ْ ‫ﺴﺒِﻴ ِﻞ َآ‬ َّ ‫ﻦ اﻝ‬ِ ‫ﻦ وَا ْﺏ‬ِ ‫وَا ْﻝ َﻤﺴَﺎآِﻴ‬
‫ب‬
ِ ‫ﺵﺪِی ُﺪ ا ْﻝ ِﻌﻘَﺎ‬
َ ‫ن اﻝَّﻠ َﻪ‬
َّ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ ﻓَﺎ ْﻥ َﺘﻬُﻮا وَا َّﺕﻘُﻮا اﻝَّﻠ َﻪ ِإ‬
َ ‫ﺨﺬُو ُﻩ َوﻣَﺎ َﻥﻬَﺎ ُآ ْﻢ‬ ُ ‫َﻓ‬
“Apa saja harta rampasan (fai’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang
berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya
saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia.
Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr: 7).

Selain itu dikemukakan pula bahwa segala apa yang ada di langit
ataupun di bumi adalah milik Allah swt. Akan tetapi semuanya kembali
pada bagaimana manusia mengelola sumber daya alam tersebut. Lebih
jauh lagi bagaimana sebuah negara mampu mengelolanya, untuk
selanjutnya mendistribusikan kembali pada masyarakat. Hal di atas
sesuai dengan firman Allah dalam surat Hud ayat 61, yang artinya:

‫ﺸ َﺄ ُآ ْﻢ‬
َ ‫ﻏ ْﻴ ُﺮ ُﻩ ُه َﻮ َأ ْﻥ‬
َ ‫ﻦ ِإ َﻝ ٍﻪ‬
ْ ‫ﻋ ُﺒﺪُوا اﻝَّﻠ َﻪ ﻣَﺎ َﻝ ُﻜ ْﻢ ِﻣ‬ ْ ‫َوِإﻝَﻰ َﺛﻤُﻮ َد َأﺧَﺎ ُه ْﻢ ﺹَﺎ ِﻝﺤًﺎ ﻗَﺎ َل یَﺎ َﻗ ْﻮ ِم ا‬
‫ﺐ‬
ٌ ‫ﺐ ُﻣﺠِﻴ‬ ٌ ‫ن َر ِﺏّﻲ َﻗﺮِی‬ َّ ‫ﺳ َﺘ ْﻐ ِﻔﺮُو ُﻩ ُﺛ َّﻢ ﺕُﻮﺏُﻮا ِإ َﻝ ْﻴ ِﻪ ِإ‬
ْ ‫ﺳ َﺘ ْﻌ َﻤ َﺮ ُآ ْﻢ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻓَﺎ‬
ْ ‫ض وَا‬
ِ ‫ﻦ اﻷ ْر‬
َ ‫ِﻣ‬
"... Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu
pemak-murnya..." (QS. Huud: 61)

178 
Kiranya jelas bahwa di samping adanya partisipasi dari masya-
rakat untuk mengelola sumber daya yang ada, negara pun memiliki
peranan yang penting dalam mengalokasikan dan mendistribusikan
pendapatan yang ada pada masyarakatnya (Karim, 1992: 85, 93).
Senada dengan pendapat di atas, Afzalur Rahman mengemukakan
bahwa untuk mencapai keadilan ekonomi yang ideal dalam masyarakat,
Islam menawar kan suatu gagasan yang sarat nilai dan menumbuhkan
semangat di antara penganutnya. Gagasan tersebut adalah bahwa
bantuan ekonomi kepada sesama, dengan niat mencari keridaan Allah
semata, merupakan tabungan yang nyata dan kekal, yang akan dipetik
hasilnya di akhirat kelak (Rahman, 1995: 96).

C. Distribusi Pendapatan dalam Islam

Berbeda dengan distribusi yang berarti penyaluran hasil produksi


dari produsen ke konsumen sebagai bagian dari penyerapan barang atau
jasa. Distribusi pendapatan dalam Islam merupakan penyaluran harta
yang ada, baik dimiliki oleh pribadi atau umum (publik) kepada pihak
yang berhak menerima, dan umum meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, sesuai dengan peraturan yang ada dalam Islam (syari’at).
Fokus dari distribusi pendapatan dalam Islam adalah proses pen-
distribusiannya dan bukan output dari distribusi tersebut.
Dengan demikian jika pasar mengalami kegagalan (failure) atau
pun not fair untuk berlaku sebagai instrument distribusi pendapatan,
maka frame fastabiqul khairat akan mengarahkan semua pelaku pasar
berikut perangkat kebijakan pemerintahnya kepada proses redistribusi
pendapatan. Secara sederhana bisa digambarkan, kewajiban menyisih-
kan sebagian harta bagi pihak surplus (yang berkecukupan) diyakini
sebagai kompensasi atas kekayaannya dan di sisi lain merupakan
insentif (perangsang) untuk kekayaan pihak deficit agar dapat di-
kembangkan kepada yang lebih baik (surplus).
Proses redistribusi pendapatan dalam Islam mengamini banyak
hal yang berkaitan dengan moral endogeneity (faktor dari dalam),
signifikansi dan batasan-batasan tertentu, di antaranya:

179 
1. Sebagaimana utilitanrianisme, mempromosikan “greatest good for
greatest number of people”, dengan good dan utility diharmonisasikan
dengan pengertian halal-haram, peruntungan manusia dan
peningkatan utility manusia adalah tujuan utama dari tujuan
pembangunan ekonomi.
2. Dan liberitarian dan Marxism, pertobatan dan penebusan dosa adalah
salah satu hal yang mendasari diterapkanya proses redistribusi
pendapatan. Dalam aturan main syariah akan ditemukan sejumlah
instrument yang mewajibkan seseorang muslim untuk mendistri-
busikan kekayaannya sebagai akibat melakukan kesalahan (dosa).
3. Sistem redistribusi diarahkan untuk berlaku sebagai faktor
pengurang dari adanya pihak yang merasa dalam keadaan merugi
atau gagal. Kondisi seperti ini hamper bisa dipastikan berlaku setiap
komunitas.
4. Mekanisme redistribusi berlaku secara istimewa, walaupun pada
realitasnya distribusi adalah proses transfer kekayaan searah, namun
pada hakikatnya tidak demikian. Di sini pun terjadi mekanisme
pertukaran, hanya saja objek yang menjadi alat tukar dari kekayaan
yang ditransfer berlaku di akhirat nanti (pahala). Dengan demikian,
logikanya memberikan pengertian bahwa dengan berbuat baik
sekarang dan bertobat karena melakukan dosa, kemudian men-
transfer sebagian harta, maka sebagai alat penukar pengganti adalah
pahala di akhirat. Ini tentunya bukanlah mekanisme dari market
exchanges akan tetapi pertukaran yang terjadi antara orang yang
beriman dengan Tuhannya.

Distribusi pendapatan dalam Islam yang dijadikan batasan


kebutuhan adalah maqasid asy-syar’i (menjaga agama, diri/personal, akal,
keturunan dan harta). Sistematika yang dikembangkan oleh para fuqoha
dalam memenuhi maqasid asy-syar’i tersebut mengacu pada skala
prioritas dengan urutan sebagai berikut: 1) Ad-Daruriyyah (kebutuhan
primer): suatu skala kebutuhan yang berkaitan erat dengan kebaikan
dan kepentingan umum dalam menjalani hidup di dunia dan di akhirat.
2) Al-Hajiyah (kebutuhan sekunder): suatu skala kebutuhan yang
berkaitan erat dengan kemudahan dan penghindaran dari kesulitan
dalam menjalani hidup di dunia dan di akhirat. 3) At-Tashniyyah
(kebutuhan tersier): suatu skala kebutuhan yang berkaitan erat dengan

180 
kelengkapan dan kecakapan melaksanakan hidup di dunia dan di
akhirat.

D. Etika Distribusi Islami

Distribusi atau juga bisa disebut Marketing dan Islam ibarat dua
sisi mata uang logam. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Mengapa demi-
kian? Sebelum orang mengenal disiplin ilmu marketing, al-Quran sudah
lebih dahulu menjelaskan tentang marketing. Hal tersebut kemudian
diaplikasikan oleh Rasulullah dalam bermuamalah.
Sebagaimana kita pahami, seseorang yang ingin menekuni dunia
distributor (marketing) harus memenuhi beberapa persyaratan. Per-
syaratan itu di antaranya adalah:
Pertama, memiliki daya analisis yang bagus terhadap calon
konsumennya. Konsep ini sejalan dengan,

‫ﻀ ِﻞ اﻝَّﻠ ِﻪ وَا ْذ ُآﺮُوا اﻝَّﻠ َﻪ‬


ْ ‫ﻦ َﻓ‬
ْ ‫ض وَا ْﺏ َﺘﻐُﻮا ِﻣ‬
ِ ‫ﺸﺮُوا ﻓِﻲ اﻷ ْر‬
ِ ‫ﺼّﻼ ُة ﻓَﺎ ْﻥ َﺘ‬
َ ‫ﺖ اﻝ‬ ِ ‫ﻀ َﻴ‬ ِ ‫َﻓ ِﺈذَا ُﻗ‬
‫ن‬
َ ‫َآﺜِﻴﺮًا َﻝ َﻌَّﻠ ُﻜ ْﻢ ُﺕ ْﻔ ِﻠﺤُﻮ‬
"Apabila telah ditunaikan salat maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan
cari lah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung." (QS. al-Jumu'ah [62]: 10).

Berikutnya, senang bergaul atau bertemu dengan orang lain. Islam


mengajarkan, silaturahmi dapat melahirkan kebaikan, baik usia mau
pun rezeki. Syarat selanjutnya, tidak lekas putus asa dan selalu memiliki
strategi. Terakhir, dapat menentukan produk yang akan dijual.
Prof. DR. Syahrin Harahap menjelaskan salah satu ayat Quran
yang berkaitan dengan etika marketing, yaitu:

‫ﻦ‬
ِ ‫ﺣ َّﺮ َم َأ ِم اﻷ ْﻥ َﺜ َﻴ ْﻴ‬
َ ‫ﻦ‬ِ ‫ﻦ ُﻗ ْﻞ ﺁﻝ َّﺬ َآ َﺮ ْی‬
ِ ‫ﻦ ا ْﻝ َﻤ ْﻌ ِﺰ ا ْﺛ َﻨ ْﻴ‬
َ ‫ﻦ َو ِﻣ‬ِ ‫ن ا ْﺛ َﻨ ْﻴ‬ِ ‫ﻀ ْﺄ‬
َّ ‫ﻦ اﻝ‬ َ ‫ج ِﻣ‬ ٍ ‫َﺛﻤَﺎ ِﻥ َﻴ َﺔ َأ ْزوَا‬
‫ﻦ‬
َ ‫ن ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ ﺹَﺎ ِدﻗِﻴ‬ ْ ‫ﻦ َﻥ ِّﺒﺌُﻮﻥِﻲ ِﺏ ِﻌ ْﻠ ٍﻢ ِإ‬ ِ ‫ﻋ َﻠ ْﻴ ِﻪ َأ ْرﺣَﺎ ُم اﻷ ْﻥ َﺜ َﻴ ْﻴ‬
َ ‫ﺖ‬ْ ‫ﺵ َﺘ َﻤ َﻠ‬
ْ ‫َأ َﻣّﺎ ا‬
"... Beritahukanlah kepadaku (berdasarkan pengetahuan) jika kamu memang
orang-orang yang benar."(QS. al-An'am [6]: 143).

181 
Ayat tersebut mengajarkan kepada kita bahwa untuk meyakinkan
seseorang terhadap kebaikan yang kita jelaskan haruslah berdasar kan
ilmu pengetahuan, data dan fakta. Jadi, dalam menjelaskan manfaat
produk, peranan data dan fakta sangat penting, bahkan seringkali data
dan fakta jauh lebih berpengaruh dari pada penjelasan.
Kedua, kesungguhan dalam menjual. Allah berfirman:

‫ﻦ َآﻤَﺎ‬
ْ‫ﺴ‬ِ ‫ﺣ‬ْ ‫ﻦ اﻝ ُّﺪ ْﻥﻴَﺎ َوَأ‬َ ‫ﻚ ِﻣ‬
َ ‫ﺲ َﻥﺼِﻴ َﺒ‬ َ ‫ﺧ َﺮ َة وَﻻ َﺕ ْﻨ‬
ِ ‫ك اﻝَّﻠ ُﻪ اﻝ َﺪّا َر اﻵ‬
َ ‫وَا ْﺏ َﺘ ِﻎ ﻓِﻴﻤَﺎ ﺁﺕَﺎ‬
‫ﻦ‬
َ ‫ﺴﺪِی‬
ِ ‫ﺐ ا ْﻝ ُﻤ ْﻔ‬
ُّ ‫ﺤ‬ِ ‫ن اﻝَّﻠ َﻪ ﻻ ُی‬
َّ ‫ض ِإ‬
ِ ‫ﻚ وَﻻ َﺕ ْﺒ ِﻎ ا ْﻝ َﻔﺴَﺎ َد ﻓِﻲ اﻷ ْر‬ َ ‫ﻦ اﻝَّﻠ ُﻪ ِإ َﻝ ْﻴ‬
َ‫ﺴ‬
َ ‫ﺣ‬
ْ ‫َأ‬
"Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan mu dari (kenik-
matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah
telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi.
Sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang merusak" (QS. al-
Qashshash [28]: 77).

Ketiga, selalu berbuat jujur. Seorang marketer dituntut jujur.


Rasulullah bersabda, "Allah akan memberikan rahmat kepada orang yang
berusaha dengan yang halal, membelanjakan harta dengan hemat, dan dapat
menyisih kan uang pada saat ia fakir dan membutuhkannya."
Pada hadis lain dijelaskan, "Dari Abu Dzar bahwa rasulullah ber-
sabda," Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari
kiamat, dan Allah tidak mau melihat mereka dan tidak mau mengampuni
mereka, bahkan mereka mendapat azab yang pedih." Kemudian Abu Dzar
berkata, "Nabi mengatakan ini sempat tiga kali." Katanya lagi, "Mereka itu
menyesal dan rugi." Lalu sahabat bertanya," Wahai rasulullah saw siapakah
mereka itu?" Jawab Rasul Allah, "Orang yang melabuhkan kainnya, orang
yang mengungkit pemberiannya dan orang yang melariskan dagangannya
dengan sumpah palsu." (HR Muslim).
Sumpah palsu artinya memberikan keterangan dusta dengan
tujuan agar dagangannya laku. Sikap demikian sangat dibenci Allah.
Sehingga Rasulullah mengingatkan, "Dari Abi Qatadah ra sesungguhnya
dia telah mendengar Rasul Allah bersabda, "Janganlah kamu jual beli dengan
banyak sumpah, karena per buatan semacam itu berarti berbuat nifaq, kemudian
akan dihapuskan berkahnya." (HR. Muslim).

182 
Sederet etika distribusi (marketing) yang disodorkan Islam di atas,
merupakan landasan yang kokoh dan kuat sebab Allah berfirman dalam
al-Qur’an surat an-Najm ([53]: 39-41):
dan bahwasanya seorang ‫ﺳﻌَﻰ‬
َ ‫ن إِﻻ ﻣَﺎ‬
ِ ‫ﺲ ﻝِﻺ ْﻥﺴَﺎ‬
َ ‫ن َﻝ ْﻴ‬
ْ ‫وََأ‬ 39
manusia tiada memperoleh
selain apa yang telah
diusahakannya.
Dan bahwasanya usahanya itu ‫ف ُیﺮَى‬
َ ‫ﺳ ْﻮ‬
َ ‫ﺳ ْﻌ َﻴ ُﻪ‬
َ ‫ن‬
َّ ‫وََأ‬ 40
kelak akan diperlihatkan
(kepadanya).
Kemudian akan diberi balasan ‫ﺠﺰَا َء اﻷ ْوﻓَﻰ‬
َ ‫ﺠﺰَا ُﻩ ا ْﻝ‬
ْ ‫ُﺛ َّﻢ ُی‬ 41
kepadanya dengan balasan yang
paling sempurna,

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam distribusi


barang dan jasa secara umum, para pelaku harus memperhatikan etika
ekonomi, yakni:
1. Pemerataan
a. Pemerataan ke berbagai daerah, distribusi harus merata ke
berbagai daerah yang membutuhkan.
b. Pemerataan kesempatan usaha, produsen besar harus memberi
kan kesempatan kepada pedagang eceran dan agen untuk
berusaha.
2. Keadilan
a. Keadilan terhadap produsen sejenis. Dalam memasarkan produk,
tidak boleh saling menjatuhkan satu sama lain. Boleh memamer-
kan keunggulan, tetapi tidak boleh menjelekkan produk lain.
b. Keadilan terhadap konsumen. Produsen sebaiknya memberikan
informasi yang jelas, sehingga konsumen tidak dirugikan. Contoh:
setiap kemasan dituliskan masa kadaluarsa dan label halal.
3. Ketetapan waktu dan kualitas
Dalam pendistribusian barang sangat diperlukan ketepatan waktu
terutama yang masa kadaluarsanya singkat. Demikian juga dengan
kwalitas yang harus terjaga dalam pendistribusian sat barang
disalurkan, diupayakan tidak ada kerusakan, kerusakan barang
berpengaruh pada harga yang sampai pada konsumen.

183 
Imam al-Ghazali dalam kitab monumentalnya berjudul Ihya
Ulumuddin menjelaskan beberapa etika yang perlu disikapi oleh para
distributor ataupun marketing diantaranya adalah:
1. Sebagai seorang distributor (marketing) harus bersifat amanah.
Amanah berarti setia dan jujur dalam melaksanakan kegiatan dengan
penuh tanggung-jawab, baik berupa tugas, harta maupun benda. Sifat
amanah ini merupakan perintah Allah kepada setiap Muslim.
2. Sebagai seorang distributor (marketing) harus bisa menempati janji
yang di buat bersama, baik kepada sesama muslim maupun non
muslim.
3. Sebagai seorang distributor (marketing) hendaknya berlaku benar
dalam perkataan dan juga perbuatan. Benar dalam perkataan ialah
menyatakan perkara yang benar dan tidak menyembunyikan rahasia
kecuali untuk menjaga nama baik seseorang. Benar dalam perbuatan
ialah mengerjakan sesuatu selaras dengan tuntunan agamanya.
4. Sebagai seorang distributor (marketing) hendaknya bersikap ikhlas.
Ikhlas berarti suatu pekerjaan karena Allah semata-mata dan bukan
karena mengharapkan balasan, pujian atau kemasyhuran. Ini artinya,
ketika memasarkan suatu produk, maka tidak boleh menghalalkan
segala cara.
5. Sebagai seorang distributor (marketing) harus berlaku adil yakni
memberikan hak kepada orang yang memiliki hak tanpa
menguranginya. Berlaku adil kepada sesama manusia, baik muslim
maupun non muslim adalah perintah Allah. (Q.S. 16: 90)
‫ﺤﺸَﺎ ِء‬
ْ ‫ﻦ ا ْﻝ َﻔ‬
ِ‫ﻋ‬
َ ‫ن َوإِیﺘَﺎ ِء ذِي ا ْﻝ ُﻘ ْﺮﺏَﻰ َو َی ْﻨﻬَﻰ‬ ِ ‫ﺣﺴَﺎ‬ ْ ‫ن اﻝَّﻠ َﻪ َی ْﺄ ُﻣ ُﺮ ﺏِﺎ ْﻝ َﻌ ْﺪ ِل وَاﻹ‬ َّ ‫ِإ‬
‫ن‬
َ ‫ﻈ ُﻜ ْﻢ َﻝ َﻌَّﻠ ُﻜ ْﻢ َﺕ َﺬ َّآﺮُو‬
ُ ‫ﻲ َی ِﻌ‬
ِ ‫وَا ْﻝ ُﻤ ْﻨ َﻜ ِﺮ وَا ْﻝ َﺒ ْﻐ‬
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
6. Sebagai seorang distributor (marketing) harus bisa menjaga
kesabaran dalam menghadapi ujian, cobaan, dan kesulitan di
lapangan maupun di tempat kerja.

184 
7. Sebagai seorang distributor (marketing) harus mempunyai sifat
kasih dan sayang kepada sesama, baik sebagai pelanggan tetap
maupun tidak.
8. Sebagai seorang distributor (marketing) juga harus bisa atau mudah
memaafkan. Sifat sedia memaafkan kesalahan dan kekhilafan orang
sangatlah dianjurkan oleh Islam.
9. Sebagai seorang distributor (marketing) harus berani mengambil
risiko tetapi perhitungan. Artinya, berani dalam arti mampu
menguasai hawa nafsu dan jiwa pada waktu marah dan dalam
keadaan dicoba. Berani yang dimaksudkan adalah berani sesuai
dengan sikap kepatutan dan bukan berani yang bersifat membabi
buta.
10. Sebagai seorang distributor (marketing) harus kuat dan tabah serta
mempunyai sifat malu. Kuat dalam arti mau bekerja keras untuk
melawan ke-malasan dalam bekerja. Seorang muslim juga
disamping kuat jasmani harus kuat rohani.
11. Memelihara kesucian diri merupakan bagian penting bagi seorang
distributor atau marketing. Sifat iffah menjaga diri dari segala
keburukan supaya terpelihara kehormatan diri.

Demikianlah sifat-sifat dasar yang hendaknya menjadi pegangan


bagi para distributor ataupun marketing karena akan terhindar dari
kemaksiatan dan kebodohan, serta mendapatkan ridha Allah dalam
melaksanakan amanat bagi dirinya terhadap Allah maupun kepada
sesama, terutama perusahaan. Namun perlu diingat bahwa distribusi di
sini bukanlah sekedar mentasharufkan harta atau jasa untuk di-
konsumsi, melainkan pula distribusi kekayaan atau pendapatan seorang
muslim kepada sesama yang membutuhkan.
Menurut Hermawan K dalam Buchari Alma, bahwa pendistri-
busian barang/jasa atau pemasaran harus muncul “bisikan nurani” dan
panggilan hati. Disini muncul aspek kejujuran, empati, cinta, dan
kepedulian terhadap sesama. Jika di level intelektual bahasa yang
digunakan adalah “bahasa logika” dan di level emosional adalah bahasa
rasa” maka di level spiritual digunakan “bahasa hati”. Bahasa hati dalam
konsep pendistribusian Islami merupakan “inti” dari konsep etika
distribusi Islam. Sebagaimana dapat dilihat dalam power point berikut
ini:

185 
DISTRIBUSI KEKAYAAN

Setiap Individu harus memperoleh jaminan


pemenuhan kebutuhan primer

Upaya mencapai keseimbangan ekonomi


(equilibrium)

Tercapai jika :
1. Terdapat kekayaan dalam masyarakat
2. Seluruh masyarakat menerapkan sistem Islam

DISTRIBUSI KEKAYAAN

Perbedaan kemampuan pikiran dan fisik

Kesenjangan Ekonomi

Distribusi kekayaan
1. Mekanisme ekonomi : baitul mal, larangan
menimbun emas dan perak
2. Mekanisme non ekonomi : zakat, waris

186 
BAB X
ETIKA KERJA DALAM ISLAM

Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya


serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan
kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang mengetahui akan
yang gaib dan yang nyata, lalu di-beritakan-Nya kepada kamu apa
yang telah kamu kerjakan".
(QS At-Taubah, 9: 105)

Katakanlah:
“Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu, sesungguhnya
akupun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui, siapakah
(diantara kita) yang akan memperoleh hasil yang baik dari dunia
ini. Sesungguhnya orang yang dzalim itu tidak akan mendapat
keberuntungan”.
QS Al An’am (6): 135

A. Pendahuluan

Dalam rangka memperoleh barang dan jasa atau sederhananya


adalah kekayaan, baik secara alami, semisal jamur, ataupun ada karena
diusahakan manusia, seperti roti dan mobil, maka nampak jelaslah
bahwa untuk memperolehnya membutuhkan kerja (usaha) tertentu.
Kata kerja wujudnya sangat luas, jenisnya bermacam-macam, bentuknya
pun beragam, serta hasilnya pun berbeda-beda, maka Allah SWT tidak
membiarkan kerja tersebut secara mutlak. Allah SWT juga tidak
menetapkan kerja tersebut dengan bentuk yang sangat umum. Akan
tetapi, Allah telah menetapkannya dalam bentuk kerja-kerja tertentu.
Kemudian dalam menetapkannya, Allah menjelaskan kerja-kerja
tersebut, berikut jenis-jenisnya yang layak untuk dijadikan sebagai sebab
kepemilikan sesuai dengan cara dan syariat ajaran-Nya melalui hukum-
hukumnya.

187 
Secara implisit banyak ayat al Qur’an yang menganjurkan
umatnya untuk bekerja keras, diantaranya dalam Quran surat al-Insirah:
7-8, yaitu:
Maka apabila kamu telah selesai ‫ﺐ‬
ْ ‫ﺼ‬
َ ‫ﺖ ﻓَﺎ ْﻧ‬
َ ‫ﻏ‬
ْ ‫َﻓِﺈذَا َﻓ َﺮ‬ 7
(dari sesuatu urusan), kerjakanlah
dengan sungguh-sungguh
(urusan) yang lain,
dan hanya kepada Tuhanmulah ‫ﺐ‬
ْ ‫ﻏ‬
َ ‫ﻚ ﻓَﺎ ْر‬
َ ‫وَِإﻟَﻰ َرِّﺑ‬ 8
hendaknya kamu berharap.

Dalam hadits banyak tersebut berkaitan dengan mata pen-


cahariaan, sebagai mana akan disebutkan satu-persatunya, yaitu:
1. Mencari rezeki yang halal adalah wajib sesudah menunaikan yang fardhu
(seperti shalat, puasa, dll.). (HR. Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi)
2. Sesungguhnya Ruhul Qudus (malaikat Jibril) membisikkan dalam benakku
bahwa jiwa tidak akan wafat sebelum lengkap dan sempurna rezekinya.
Karena itu hendaklah kamu bertakwa kepada Allah dan memperbaiki mata
pencaharianmu. Apabila datangnya rezeki itu terlambat, janganlah kamu
memburunya dengan jalan bermaksiat kepada Allah karena apa yang ada di
sisi Allah hanya bisa diraih dengan ketaatan kepada-Nya. (HR. Abu Zar
dan Al Hakim)
3. Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil
(professional atau ahli). Barangsiapa bersusah-payah mencari nafkah untuk
keluarga nya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza
wajalla. (HR. Ahmad)
4. Barangsiapa pada malam hari merasakan kelelahan dari upaya ketrampilan
kedua tangannya pada siang hari maka pada malam itu ia diampuni oleh
Allah. (HR. Ahmad)
5. Sesungguhnya di antara dosa-dosa ada yang tidak bisa dihapus (ditebus)
dengan pahala shalat, sedekah atau haji namun hanya dapat ditebus
dengan kesusahpayahan dalam mencari nafkah. (HR. Ath-Thabrani)
6. Sesungguhnya Allah Ta'ala senang melihat hambaNya bersusah payah
(lelah) dalam mencari rezeki yang halal. (HR. Ad-Dailami)
7. Seorang yang membawa tambang lalu pergi mencari dan mengumpulkan
kayu bakar lantas dibawanya ke pasar untuk dijual dan uangnya
digunakan untuk mencukupi kebutuhan dan nafkah dirinya maka itu lebih

188 
baik dari seorang yang meminta-minta kepada orang-orang yang terkadang
diberi dan kadang ditolak. (Mutafaq'alaih)
8. Tiada makanan yang lebih baik daripada hasil usaha tangan sendiri. (HR.
Bukhari)
9. Apabila dibukakan bagi seseorang pintu rezeki maka hendaklah dia
melestarikannya. (HR. Al-Baihaqi)
Keterangan:
Yakni senantiasa bersungguh-sungguh dan konsentrasi di bidang
usaha ter-sebut, serta jangan suka berpindah-pindah ke pintu-pintu
rezeki lain atau berpindah-pindah usaha karena di khawatirkan
pintu rezeki yang sudah jelas dibukakan tersebut menjadi hilang
dari genggaman karena kesibukannya mengurus usaha yang lain.
Seandainya memang mampu maka hal tersebut tidak mengapa.
10. Seusai shalat fajar (subuh) janganlah kamu tidur sehingga melalaikan
kamu untuk mencari rezeki. (HR. Ath-Thabrani)
11. Bangunlah pagi hari untuk mencari rezeki dan kebutuhan-kebutuhanmu.
Sesungguhnya pada pagi hari terdapat barokah dan keberuntungan. (HR.
Ath-Thabrani dan Al-Bazzar)
12. Ya Allah, berkahilah umatku pada waktu pagi hari mereka (bangun fajar).
(HR. Ahmad)
13. Barangsiapa menghidupkan lahan mati maka lahan itu untuk dia. (HR.
Abu Dawud dan Aththusi)
Keterangan:
Hal tersebut khusus untuk lahan atau tanah kosong yang tidak ada
pemilik nya. Jika lahan atau tanah kosong tersebut ada pemiliknya
maka tidak boleh diambil dengan jalan yang bathil.
14. Carilah rezeki di perut bumi. (HR. Abu Ya'la)
15. Pengangguran menyebabkan hati keras (keji dan membeku). (HR. Asy-
syihaab)
16. Allah memberi rezeki kepada hamba-Nya sesuai dengan kegiatan dan
kemauan kerasnya serta ambisinya. (HR. Aththusi)
17. Mata pencaharian paling afdhol adalah berjualan dengan penuh kebajikan
dan dari hasil keterampilan tangan. (HR. Al-Bazzar dan Ahmad)
18. Sebaik-baik mata pencaharian ialah hasil keterampilan tangan seorang
buruh apabila dia jujur (ikhlas). (HR. Ahmad). Sumber: 1100 Hadits
Terpilih (Sinar Ajaran Muhammad) - Dr. Muhammad Faiz Almath -
Gema Insani Press)

189 
Al-Qur’an dan Hadis tersebut menganjurkan kepada manusia,
khususnya umat Islam agar memacu diri untuk bekerja keras dan
berusaha semaksimal mungkin, dalam arti seorang muslim harus
memiliki etos kerja tinggi sehingga dapat meraih sukses dan berhasil
dalam menempuh kehidupan dunianya di samping kehidupan
akhiratnya. Istilah ‘kerja’ dalam Islam bukanlah semata-mata merujuk
kepada mencari rezeki untuk menghidupi diri dan keluarga dengan
menghabiskan waktu siang maupun malam, dari pagi hingga sore, terus
menerus tak kenal lelah, tetapi kerja mencakup segala bentuk amalan
atau pekerjaan yang mempunyai unsur kebaikan dan keberkahan bagi
diri, keluarga dan masyarakat sekelilingnya serta negara.
Dengan kata lain, orang yang bekerja adalah mereka yang
menyumbangkan jiwa dan tenaganya untuk kebaikan diri, keluarga,
masyarakat dan negara tanpa menyusahkan orang lain. Oleh karena itu,
kategori ahli Syurga seperti yang di-gambarkan dalam Al-Qur’an
bukanlah orang yang mempunyai pekerjaan/jabatan yang tinggi dalam
suatu perusahaan/instansi sebagai manajer, direktur, teknisi dalam
suatu bengkel dan sebagainya.
Tetapi sebaliknya Al-Quran menggariskan golongan yang baik
lagi beruntung (al-falah) itu adalah orang yang banyak taqwa kepada
Allah, khusyu sholatnya, baik tutur katanya, memelihara pandangan
dan kemaluannya serta menunaikan tanggung jawab sosialnya seperti
mengeluarkan zakat dan lainnya. (QS Al Mu’minun: 1 – 11)

Sesungguhnya beruntunglah ‫ن‬


َ ‫ﺢ ا ْﻝ ُﻤ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ‬
َ ‫َﻗ ْﺪ َأ ْﻓ َﻠ‬ 1
orang-orang yang beriman,
(yaitu) orang-orang yang khusyuk ‫ن‬
َ ‫ﺵﻌُﻮ‬
ِ ‫ﻦ ُه ْﻢ ﻓِﻲ ﺹَﻼ ِﺕ ِﻬ ْﻢ ﺧَﺎ‬
َ ‫اَّﻝﺬِی‬ 2
dalam salatnya,
dan orang-orang yang ‫ن‬
َ ‫ﻦ اﻝَّﻠ ْﻐ ِﻮ ﻣُ ْﻌ ِﺮﺿُﻮ‬
ِ‫ﻋ‬
َ ‫ﻦ ُه ْﻢ‬
َ ‫وَاَّﻝﺬِی‬ 3
menjauhkan diri dari (perbuatan
dan perkataan) yang tiada
berguna,
dan orang-orang yang ‫ن‬
َ ‫ﻋﻠُﻮ‬
ِ ‫ﻦ ُه ْﻢ ﻝِﻠ َّﺰآَﺎ ِة ﻓَﺎ‬
َ ‫وَاَّﻝﺬِی‬ 4
menunaikan zakat,
dan orang-orang yang menjaga ‫ن‬
َ ‫ﺝ ِﻬ ْﻢ ﺣَﺎ ِﻓﻈُﻮ‬
ِ ‫ﻦ ُه ْﻢ ِﻝ ُﻔﺮُو‬
َ ‫وَاَّﻝﺬِی‬ 5
kemaluannya,

190 
kecuali terhadap istri-istri mereka ‫ﺖ َأ ْیﻤَﺎ ُﻥ ُﻬ ْﻢ‬
ْ ‫ﺝ ِﻬ ْﻢ أ ْو ﻣَﺎ َﻣ َﻠ َﻜ‬
ِ ‫ﻋﻠَﻰ َأ ْزوَا‬َ ‫إِﻻ‬ 6
atau budak yang mereka miliki;
‫ﻦ‬
َ ‫ﻏ ْﻴ ُﺮ َﻣﻠُﻮﻣِﻴ‬ َ ‫َﻓ ِﺈ َّﻥ ُﻬ ْﻢ‬
maka sesungguhnya mereka
dalam hal ini tiada tercela.
Barang siapa mencari yang di ‫ﻚ ُه ُﻢ‬
َ ‫ﻚ َﻓﺄُو َﻝ ِﺌ‬
َ ‫ﻦ ا ْﺏ َﺘﻐَﻰ َورَا َء َذ ِﻝ‬
ِ ‫َﻓ َﻤ‬ 7
balik itu maka mereka itulah
‫ن‬
َ ‫ا ْﻝﻌَﺎدُو‬
orang-orang yang melampaui
batas.
Dan orang-orang yang ‫ن‬
َ ‫ﻋ ْﻬ ِﺪ ِه ْﻢ رَاﻋُﻮ‬
َ ‫ﻦ ُه ْﻢ ﻷﻣَﺎﻥَﺎ ِﺕ ِﻬ ْﻢ َو‬
َ ‫وَاَّﻝﺬِی‬ 8
memelihara amanat-amanat (yang
dipikulnya) dan janjinya,
dan orang-orang yang ‫ن‬
َ ‫ﺹ َﻠﻮَا ِﺕ ِﻬ ْﻢ ُیﺤَﺎ ِﻓﻈُﻮ‬
َ ‫ﻋﻠَﻰ‬
َ ‫ﻦ ُه ْﻢ‬
َ ‫وَاَّﻝﺬِی‬ 9
memelihara sembahyangnya.
Mereka itulah orang-orang yang ‫ن‬ َ ‫ أُو َﻝ ِﺌ‬10
َ ‫ﻚ ُه ُﻢ ا ْﻝﻮَا ِرﺛُﻮ‬
akan mewarisi,
(yakni) yang akan mewarisi surga ‫س ُه ْﻢ ﻓِﻴﻬَﺎ‬
َ ‫ن ا ْﻝ ِﻔ ْﺮ َد ْو‬ َ ‫ اَّﻝﺬِی‬11
َ ‫ﻦ َی ِﺮﺛُﻮ‬
Firdaus. Mereka kekal di
‫ن‬
َ ‫ﺧَﺎ ِﻝﺪُو‬
dalamnya.

Golongan ini mungkin terdiri dari pegawai, supir, tukang sapu


ataupun seorang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Sifat-sifat di
ataslah sebenarnya yang menjamin kebaikan dan kedudukan seseorang
di dunia dan di akhirat kelak. Jika membaca hadits-hadits Rasulullah
SAW tentang ciri-ciri manusia yang baik di sisi Allah, maka tidak heran
bahwa diantara mereka itu ada golongan yang memberi minum anjing
kelaparan, mereka yang memelihara mata, telinga dan lidah dari perkara
yang tidak berguna, tanpa melakukan amalan sunnah yang banyak dan
seumpamanya.
Dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Umar r.a., berbunyi:
’Bahwa setiap amal itu bergantung pada niat, dan setiap individu itu dihitung
berdasar kan apa yang diniatkannya …’ Dalam riwayat lain, Rasulullah
SAW bersabda: ‘Binasalah orang-orang Islam kecuali mereka yang berilmu.
Maka binasalah golongan berilmu, kecuali mereka yang beramal dengan ilmu
mereka. Dan binasa lah golongan yang beramal dengan ilmu mereka kecuali
mereka yang ikhlas. Sesungguhnya golongan yang ikhlas ini juga masih dalam
keadaan bahaya yang amat besar …’

191 
Kedua hadits di atas sudah cukup menjelaskan betapa niat yang
disertai dengan keikhlasan itulah inti sebenarnya dalam kehidupan dan
pekerjaan manusia. Alangkah baiknya kalau umat Islam hari ini, dapat
bergerak dan bekerja dengan tekun dan mempunyai tujuan yang satu,
yaitu ‘mardatillah’ (keridhaan Allah) itulah yang dicari dalam semua
urusan. Dari situlah akan lahir nilai keberkahan yang sebenar nya dalam
kehidupan yang penuh dengan curahan rahmat dan nikmat yang
banyak dari Allah. Inilah golongan yang diistilahkan sebagai golongan
yang tenang dalam ibadah, ridha dengan kehidupan yang ditempuh,
serta optimis dengan janji-janji Allah.

B. Pengertian Etika Kerja Islami

Biasanya istilah etika kerja dapat digabungkan menjadi etos kerja.


Menurut Kamus Wikipedia menyebutkan bahwa etos berasal dari
bahasa Yunani; akar katanya adalah ethikos, yang berarti moral atau
menunjukkan karakter moral. Dalam bahasa Yunani kuno dan modern,
etos punya arti sebagai keberadaan diri, jiwa, dan pikiran yang
membentuk seseorang.
Pada Webster's New Word Dictionary, 3rd College Edition, etos
didefinisikan sebagai kecenderungan atau karakter; sikap, kebiasaan,
keyakinan yang berbeda dari individu atau kelompok. Bahkan dapat
dikatakan bahwa etos pada dasarnya adalah tentang etika.
Etika tentu bukan hanya dimiliki bangsa tertentu. Masyarakat dan
bangsa apapun mempunyai etika; ini merupakan nilai-nilai universal.
Nilai-nilai etika yang dikaitkan dengan etos kerja seperti rajin, bekerja,
keras, berdisplin tinggi, menahan diri, ulet, tekun dan nilai-nilai etika
lainnya bisa juga ditemukan pada masyarakat dan bangsa lain.
Kerajinan, gotong royong, saling membantu, bersikap sopan
misalnya masih ditemukan dalam masyarakat kita. Perbedaannya
adalah bahwa pada bangsa tertentu nilai-nilai etis tertentu menonjol
sedangkan pada bangsa lain tidak. Dalam perjalanan waktu, nilai-nilai
etis tertentu, yang tadinya tidak menonjol atau biasa-biasa saja bisa
menjadi karakter yang menonjol pada masyarakat atau bangsa tertentu.
Muncullah etos kerja Miyamoto Musashi, etos kerja Jerman, etos kerja

192 
Barat, etos kerja Korea Selatan dan etos kerja bangsa-bangsa maju
lainnya.
Bahkan prinsip yang sama bisa ditemukan pada etos kerja yang
berbeda sekalipun pengertian etos kerja relatif sama. Sebut saja misalnya
berdisplin, bekerja keras, berhemat, dan menabung; nilai-nilai ini
ditemukan dalam etos kerja Korea Selatan dan etos kerja Jerman atau
etos kerja Barat. Bila di-telusuri lebih dalam, etos kerja adalah respon
yang dilakukan oleh seseorang, kelompok, atau masyarakat terhadap
kehidupan sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Setiap keya-
kinan mempunyai sistem nilai dan setiap orang yang menerima
keyakinan tertentu berusaha untuk bertindak sesuai dengan keyakinan
nya.
Bila pengertian etos kerja diredefinisikan, etos kerja adalah respon
yang unik dari seseorang atau kelompok atau masyarakat terhadap
kehidupan; respon atau tindakan yang muncul dari keyakinan yang
diterima dan respon itu menjadi kebiasaan atau karakter pada diri
seseorang atau kelompok atau masyarakat. Dengan kata lain, etika kerja
merupakan produk dari sistem kepercayaan yang diterima seseorang
atau kelompok atau masyarakat. Menurut Jansen Sinamo menyajikan 8
Etos Kerja Profesional dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Kerja adalah Rahmat
2. Kerja adalah Amanah
3. Kerja adalah Panggilan
4. Kerja adalah Aktualisasi
5. Kerja adalah Ibadah
6. Kerja adalah Seni
7. Kerja adalah Kehormatan
8. Kerja adalah Pelayanan

Dalam Islam, Rohadi Abdul Fatah, mengungkapkan pengertian


kerja dapat dibagi dalam dua bagian. Pertama, kerja dalam arti umum
yaitu semua bentuk usaha yang dilakukan manusia baik dalam hal
materi atau non materi, intelektual atau fisik maupun hal-hal yang
berkaitan dengan masalah keduniaan dan keakhiratan. Kedua, kerja
dalam arti sempit ialah kerja untuk memenuhi tuntutan hidup manusia

193 
berupa sandang, pangan dan papan yang merupakan kebutuhan bagi
setiap manusia dan muaranya adalah ibadah.
Banyak tuntunan dalam Al-Quran dan Hadits tentang bekerja.
Dalam al-Qur’an, Surat At-Taubah ayat 105 disebutkan bahwa:
‫ﺐ‬
ِ ‫ن ِإﻟَﻰ ﻋَﺎِﻟ ِﻢ ا ْﻟ َﻐ ْﻴ‬
َ ‫ﺳ ُﺘ َﺮ ُدّو‬
َ ‫ن َو‬
َ ‫ﻋ َﻤَﻠ ُﻜ ْﻢ َو َرﺳُﻮُﻟ ُﻪ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ‬
َ ‫ﺴ َﻴﺮَى اﻟَّﻠ ُﻪ‬ َ ‫ﻋ َﻤﻠُﻮا َﻓ‬ ْ ‫ﻞا‬ ِ ‫َو ُﻗ‬
‫ن‬
َ ‫ﺸﻬَﺎ َد ِة َﻓ ُﻴ َﻨِّﺒ ُﺌ ُﻜ ْﻢ ِﺑﻤَﺎ ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ َﺗ ْﻌ َﻤﻠُﻮ‬
َّ ‫وَاﻟ‬
“Dan katakanlah: bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan
dikembalikan kepada (Allah) yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata,
lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”.

Dengan kata lain Islam sangat membenci pada orang yang malas
dan bergantung pada orang lain. Sikap ini diperlihatkan Umar bin
Khattab ketika mendapati seorang sahabat yang selalu berdoa dan tidak
mau bekerja. Janganlah seorang dari kamu duduk dan malas mencari
rezeki kemudian ia mengetahui langit tidak akan menghujankan mas
dan perak.
Rasulullah SAW pun senantiasa berdoa kepada Allah agar dijauhi
sifat malas, sifat lemah dan berlindung dari Allah, penakut dan sangat
tua dan saya berlindung kepada-Mu dari siksa kubur dan dari ujian
hidup dan mati (HR. Abu Daud).
Secara normatif, seharusnya kaum muslim khususnya di
Indonesia memiliki etos kerja tinggi. Mengapa? Karena Islam mengajar
kan agar umatnya memiliki etos kerja yang sangat kuat dengan
senantiasa menciptakan produktivitas dan progresifitas di berbagai
bidang dalam kehidupan ini. Institute for Management of Development,
Swiss, World Competitiveness Book (2007), memberitakan bahwa pada
tahun 2005, peringkat produktivitas kerja Indonesia yang sebagian besar
umat Islam berada pada posisi 59 dari 60 negara yang disurvei. Atau
semakin turun ketimbang tahun 2001 yang mencapai urutan 46.
Sementara itu negara-negara Asia lainnya berada di atas Indonesia
seperti Singapura (peringkat 1), Thailand (27), Malaysia (28), Korea (29),
Cina (31), dan Filipina (49).
Urutan peringkat tersebut berkaitan juga dengan kinerja pada
dimensi lainnya yakni pada Economic Performance pada tahun 2005

194 
berada pada urutan buncit yakni ke 60, Business Efficiency (59), dan
Government Efficiency (55). Hal ini diduga kuat bahwa semuanya itu
karena mutu sumberdaya manusia Indonesia yang tidak mampu
bersaing. Juga mungkin karena faktor budaya kerja yang juga masih
lemah dan tidak merata.
Ada sebuah hadits Nabi yang sangat mendorong umat Islam
untuk menjadi produsen dari kemajuan. Hadis tersebut memiliki makna
barangsiapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin maka sesungguh-
nya dia telah beruntung, barangsiapa yang hari ini sama dengan hari
kemarin, maka sesungguhnya ia telah merugi. Dan barangsiapa yang
hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka sesungguhnya ia terlaknat.
(al-Hadits)
Istilah yang dipakai dalam Al-Quran dan hadits untuk bekerja
adalah amal. Menurut KH Ali Yafie, kata amal mengandung pengertian
segala apa yang diperbuat atau dikerjakan seseorang, apakah itu khairon
atau shalihan (baik) maupun syarron atau suan (buruk, jahat). Dari sini
juga dapat difahami bahwa kata shalih adalah predikat dari amal atau
kualitas kerja (kerja, usaha yang berkualitas). Oleh sebab itu setiap kerja
adalah amal, dan Islam mengarahkan setiap orang untuk berbuat atau
melakukan amal (kerja) yang berkualitas (shalih)

C. Pedoman Etika Kerja Islami

Etika al-Qur’an menekankan hubungan antara cara kerja dan hasil


(result), apakah hasil kerja itu menghasilkan yang baik dan tidak
merusak atau sebaliknya. Menurut M. Dawam Rahardjo (1990: 40),
pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi dewasa ini
adalah akibat dari cara kerja yang diukur lewat kemajuan pendekatan
kuantitatif (hasil berdasarkan capaian angka-angka), dengan semata-
mata menekankan segi efisiensi, sehingga kerap kali melupakan ongkos-
ongkos (cost) atau pengorbanan yang harus dibayar, sebagai-mana
pernah dibahas dalam buku J. Mishan.
Padahal fungsi dan peranan manusia di bumi, seperti digariskan
oleh al-Qur’an adalah sebagai khalifah, atau pengelola sumber-sumber
alam, guna men ciptakan kemakmuran dan memelihara lingkungan
hidup. Namun, seperti telah dikhawatirkan oleh malaikat dalam kisah

195 
Adam, manusia cenderung untuk merusak dan menumpahkan darah.
Setelah manusia melanggar perintah Tuhan, manusia akan hidup dalam
konflik. Manusia bisa mengatasi masalah di atas, walaupun tidak untuk
seluruhnya, dengan menjalankan hidup secara bertaqwa atau bertang-
gungjawab.
Dalam hal ini al-Qur’an diturunkan untuk menggariskan petunjuk
(hudan) atau pedoman hidup (syariat) agar manusia bisa terhindar dari
sikap-sikap dan perbuatan-perbuatan yang dapat menyusahkan diri
mereka sendiri: “Kemudian jika datang petunjuk-Ku, niscaya tidak akan ada
situasi ketakutan (khauf) dan tidak pula mereka mengalami kesedihan (hazina)”,
(Al-Baqarah, 38). Dalam ayat 62, surat yang sama dikatakan bahwa
hidup yang terhindar dari rasa takut dan sedih adalah hidup yang
didasarkan atas tiga prinsip, yaitu; (a) percaya kepada Tuhan, (b)
percaya kepada hari akhir, dan (c) melakukan kerja (per-buatan) yang
baik di dunia ini.
Tiga prinsip di atas, memerlukan keterangan yang panjang. Tapi
secara singkat, kata Dawam, dapat dijelaskan bahwa konsekuensi
beriman kepada Allah adalah menyerahkan diri dan mengabdi hanya
kepada Allay yang arti praktisnya adalah berorientasi kepada al-Haq,
atau kebenaran, dalam segala perincian bentuk nya. Arti praktis percaya
kepada hari kemudian adalah hidup secara bertanggung jawab di dunia.
Salah satu yang disebut sebagai perbuatan baik (amal shaleh) adalah,
menafkahkan hartanya di jalan Allah (ayat 262) atau menunaikan zakat
(ayat 274). Ayat 48 surat al-An’am lebih tegas lagi memberi kan arahan
yang lebih dekat kepada pengertian etika kerja. Dikatakan: “Dan tidaklah
Kami mengutus para Rasul itu melainkan untuk memberi kabar gembira
(basyiran) dan memberi peringatan (nadhiran). Barangsiapa yang beriman dan
mengadakan perbaikan (kerja), maka kekhawatiran maupun kesedihan tidak
akan meliputi mereka”.
Agama, menurut ayat ini, pertama-tama berfungsi untuk
menimbulkan optimisme, sekaligus peringatan, yang umumnya
mengandung kritik-kritik sosial agar orang mengambil sikap beriman
lalu diikuti dengan tindakan (kerja) kongkrit dalam mengadakan
perbaikan atau menciptakan sesuatu kondisi yang lebih baik (ihslah)
guna melenyapkan berbagai faktor yang merupakan sumber

196 
kekhawatiran atau ketakutan, yang umumnya bersumber dari tekanan
atasan, dan kesedihan yang umumnya bersifat sosial ekonomi.
Menurut M. Dawam Rahadjo (1990: 41), bentuk-bentuk khauf (ke
takutan) dan khazina (sedih) yang lebih kongkrit dalam kehidupan
modern perlu ditemukan. Max Weber umpamanya, mengemukakan
konsep “sangkar besi” (iron cage) yang terjadi dalam masyarakat
kapitalis, dimana individu yang mulai kehilangan makan keagamaan
dan nilai-nilai moralnya, makin lama makin terkurung ke dalam
pengawasan-pengawasan pemerintah dan peraturan-peraturan biro-
krasi. Dalam situasi seperti ini, individu semakin dipisahkan dari
komunitas, keluarga dan gereja (atau lembaga keagamaan) dan makin
jauh masuk ke dalam subordinasi peraturan-peraturan hukum, politik
dan ekonomi yang diwujudkan dalam lembaga-lembaga baru seperti
pabrik, sekolah dan negara.
Konsep sangkar besi ini dalam teori sosiologis, mirip dengan
konsep alienasi yang dikemukakan oleh Marx, ketika ia masih muda da
masih menjadi “filsuf”, sebelum “Marx menjadi Marx” yang kita
mengerti sekarang. Konsep yang berasal dari pengertian religius dan
filosofis ini oleh Marx ditransformasi kan menjadi konsep sosiologis.
Dalam pengertian baru ini alienasi adalah suatu situasi manusia, dalam
masyarakat kapitalis, yang hakikatnya sebagai manusia dilingkari oleh
dan dalam suatu struktur yang memisahkan manusia dari tindakan
berproduksinya.
Sebenarnya, barang atau komoditas, menurut Marx, adalah
perwujudan dari kreativitas manusia, tapi dalam masyarakat Kapitalis,
manusia tidak lagi mengenal dirinya dalam produk yang diciptakan
dengan tenaganya sendiri, karena hasilnya diambil atau dimiliki oleh
orang lain yang telah membeli tenaga kerja nya. Dalam situasi seperti
ini, kerja menjadi suatu kegiatan yang asing karena tidak memberi
kepuasan dan kerja telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Di
sini, manusia, kata Dawam, telah diasingkan dari hakikatnya sendiri.
Dalam keadaan dimana kerja diperjualbelikan dalam pasar, manusia
juga diasingkan dari sesama manusia.
Menurut Marx, Kapital, dalam masyarakat kapitalis adalah
sumber yang lebih jauh memasukkan manusia ke dalam pengasingan-
nya. Dalam proses ini, akumulasi kapital merupakan kebutuhan

197 
tersendiri yang mereduksi manusia menjadi komoditas. Buruh, menjadi
faktor beroperasinya akumulasi kapital yang bekerja melalui mekanisme
penciptaan laba. Dalam proses ini, buruh melakukan suatu pekerjaan
bukan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, melainkan menjadi
faktor yang memungkinkan diperolehnya laba, sebagai syarat terjadi-
nya akumulasi kapital yang berlangsung dalam sistem pasar.
Padahal dalam Islam, konsep rezeki dalam al-Qur’an menunjuk
kepada hasil karya manusia. Dengan rezeki itu, Allah memuliakan anak
Adam. Pemuliaan terjadi karena manusia bekerja dan menghasilkan
sesuatu dari hasil usahanya sendiri. Apabila manusia bekerja dan tidak
bisa memperoleh hasilnya maka ia pada hakikatnya berada dalam
perbudakan (fir riqob). Al-Qur’an menyadarkan manusia agar mem-
bebaskan dirinya sendiri dan orang lain dari rasa takut dan tertekan,
karena hal itu bertentangan dengan prinsip pemuliaan anak Adam dan
hakikat manusia sebagai khalifah yang tugasnya adalah memakmurkan
dunia, menciptakan kebaikan dan perbaikan terus-menerus.

D. Meneladani Etos Kerja Rasulullah

Berkaitan dengan perintah bekerja, Rasulullah SAW menjadikan


kerja sebagai aktualisasi keimanan dan ketakwaan. Rasul bekerja bukan
untuk menumpuk kekayaan duniawi. Beliau bekerja untuk meraih
keridaan Allah SWT. Suatu hari Rasulullah SAW berjumpa dengan Sa'ad
bin Mu'adz Al-Anshari. Ketika itu Rasul melihat tangan Sa'ad melepuh,
kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari. "Kenapa
tanganmu?," tanya Rasul kepada Sa'ad. "Wahai Rasulullah," jawab Sa'ad,
"Tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah dengan cangkul itu
untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku". Seketika
itu beliau mengambil tangan Sa'ad dan menciumnya seraya berkata,
"Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka".
Dalam kisah lain disebutkan bahwa ada seseorang yang berjalan
melalui tempat Rasulullah SAW. Orang tersebut sedang bekerja dengan
sangat giat dan tangkas. Para sahabat kemudian bertanya, "Wahai
Rasulullah, andaikata bekerja semacam orang itu dapat digolongkan
jihad fi sabilillah, maka alangkah baik nya." Mendengar itu Rasul pun
menjawab, "Kalau ia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang

198 
masih kecil, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk menghidupi
kedua orangtuanya yang sudah lanjut usia, itu adalah fi sabilillah; kalau
ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta,
itu juga fi sabilillah." (HR Ath-Thabrani).
Bekerja adalah manifestasi amal saleh. Bila kerja itu amal saleh,
maka kerja adalah ibadah. Dan bila kerja itu ibadah, maka kehidupan
manusia tidak bisa dilepaskan dari kerja. Bukankah Allah SWT
menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya? Tidak berlebihan
bila keberadaan seorang manusia ditentukan oleh aktivitas kerjanya.
Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib
manusia sebelum mereka mengubah apa yang ada pada dirinya”. (QS Ar-Ra'd
[13]: 11). Dalam ayat lain diungkapkan pula: “dan bahwasannya seorang
manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. (QS Al-
Najm [53]: 39).
Kisah di awal menggambarkan betapa besarnya penghargaan
Rasulullah SAW terhadap kerja. Kerja apapun itu selama tidak menyim-
pang dari aturan yang ditetapkan agama. Demikian besarnya
penghargaan beliau, sampai-sampai dalam kisah pertama, manusia
teragung ini "rela" mencium tangan Sa'ad bin Mu'adz Al-Anshari yang
melepuh lagi gosong. Rasulullah SAW, dalam dua kisah tersebut,
memberikan motivasi pada umatnya bahwa bekerja adalah perbuatan
mulia dan termasuk bagian dari jihad.
Rasulullah SAW adalah sosok yang selalu berbuat sebelum beliau
memerintahkan para sahabat untuk melakukannya. Hal ini sesuai
dengan tugas beliau sebagai ushwatun hasanah; teladan yang baik bagi
seluruh manusia. Maka saat kita berbicara tentang etos kerja Islami,
maka beliaulah orang yang paling pantas menjadi rujukan. Dan
berbicara tentang etos kerja Rasulullah SAW sama artinya dengan
berbicara bagaimana beliau menjalankan peran-peran dalam hidupnya.
Ada lima peran penting yang diemban Rasulullah SAW, yaitu:
Pertama Sebagai Peran ini beliau jalani selama 23 tahun. Dalam
Rasul kurun waktu tersebut beliau harus berdakwah
menyebarkan Islam; menerima, menghapal,
menyampaikan, dan menjelaskan tak kurang dari
6666 ayat Al-Quran; menjadi guru (pembimbing)
bagi para sahabat; dan menjadi hakim yang

199 
memutuskan berbagai pelik permasalahan umat
dari mulai pembunuhan sampai perceraian.
Kedua Sebagai Sebagai kepala negara dan pemimpin sebuah
Kepala masyarakat heterogen. Tatkala memegang posisi
Negara ini Rasulullah SAW harus menerima kunjungan
diplomatik "negara-negara sahabat". Rasul pun
harus menata dan menciptakan sistem hukum
yang mampu menyatukan kaum Muslimin,
Nasrani, dan Yahudi, mengatur perekonomian,
dan setumpuk masalah lainnya
Ketiga Sebagai Selama hidup tak kurang dari 28 kali Rasul
Panglima memimpin pertempuran melawan kafir Quraisy.
Perang Sebagai panglima perang beliau harus meng-
organisasi lebih dari 53 pasukan kaveleri ber-
senjata. Harus memikirkan strategi perang,
persediaan logistik, keamanan, transportasi,
kesehatan, dan lainnya.
Keempat Sebagai Dalam posisi ini Rasul harus mendidik, mem-
Kepala bahagiakan, dan memenuhi tanggung jawab-lahir
Rumah batin-terhadap para istri beliau, tujuh anak, dan
Tangga beberapa orang cucu. Beliau dikenal sebagai sosok
yang sangat perhatian terhadap keluarga nya. Di
tengah kesibukannya Rasul pun masih sempat
bercanda dan menjahit sendiri bajunya.
Kelima Sebagai Sejak usia 12 tahun pamannya Abu Thalib sudah
Seorang mengajaknya melakukan perjalanan bisnis ke
Pebisnis Syam, negeri yang saat ini meliputi Syria, Jordan,
dan Lebanon. Dari usia 17 hingga sekitar 20
tahun adalah masa tersulit dalam perjalanan
bisnis Rasul karena beliau harus mandiri dan
bersaing dengan pemain-pemain senior dalam
perdagangan regional. Usia 20 hingga 25 tahun
merupakan titik keemasan entrepreneurship
Rasulullah SAW terbukti dengan "terpikatnya"
konglomerat Mekah, Khadijah binti Khuwailid,
yang kemudian melamarnya menjadi suami.

Afzalurrahman dalam bukunya, Muhammad Sebagai Seorang


Pedagang (2000: 5-12), mencatat bahwa Rasul pun sering terlibat dalam
perjalanan bisnis ke berbagai negeri seperti Yaman, Oman, dan Bahrain.

200 
Dan beliau mulai mengurangi kegiatan bisnisnya ketika mencapai usia
37 tahun.
Adalah kenyataan bila Rasulullah SAW mampu menjalankan
kelima perannya tersebut dengan sempurna, bahkan menjadi yang
terbaik. Tak heran bila para ilmuwan, baik itu yang Muslim maupun
non-Muslim, menempatkan beliau sebagai orang yang paling
berpengaruh, paling pemberani, paling bijak-sana, paling bermoral, dan
sejumlah paling lainnya.
Apa rahasia kesuksesan karier dan pekerjaan Rasulullah SAW?
Pertama Rasul selalu bekerja dengan cara terbaik, profesional, dan
tidak asal-asalan. Beliau bersabda, "Sesungguhnya Allah
menginginkan jika salah seorang darimu bekerja, maka
hendaklah meningkatkan kualitasnya".
Kedua dalam bekerja Rasul melakukannya dengan manajemen
yang baik, perencanaan yang jelas, penahapan aksi, dan
adanya penetapan skala prioritas
Ketiga Rasul tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan sekecil
apapun. "Barangsiapa yang dibukakan pintu kebaikan,
hendaknya dia mampu memanfaatkannya, karena ia tidak
tahu kapan ditutup kan kepadanya," demikian beliau
bersabda.
Keempat dalam bekerja Rasul selalu memperhitungkan masa
depan. Beliau adalah sosok yang visioner, sehingga segala
aktivitasnya benar-benar terarah dan terfokus.
Kelima Rasul tidak pernah menangguhkan pekerjaan. Beliau
bekerja secara tuntas dan berkualitas.
Keenam Rasul bekerja secara berjamaah dengan mempersiapkan
(membentuk) tim yang solid yang percaya pada cita-cita
bersama.
Ketujuh Rasul adalah pribadi yang sangat menghargai waktu.
Tidak berlalu sedetik pun waktu, kecuali menjadi nilai
tambah bagi diri dan umatnya. Dan yang terakhir,
Rasulullah SAW menjadikan kerja sebagai aktualisasi
keimanan dan ketakwaan. Rasul bekerja bukan untuk
menumpuk kekayaan duniawi. Beliau bekerja untuk
meraih keridhaan Allah SWT.

Sumber: Artikel Khayatun pada pengajian rutin DKSI-IPB, Jum’at 22 Jumadil Akhir
1428/27 Juni 2008.

201 
E. Kerja dan Produktivitas

Produktivitas kerja berasal dari kata produktif yang artinya segala


kegiatan yang menimbulkan kegunaan (utility). Jika seseorang bekerja,
ada hasilnya, maka dikatakan ia produktif. Tapi kalau ia menganggur, ia
disebut tidak produktif, tidak menambah nilai guna bagi masyarakat.
Para penganggur merupakan beban bagi masyarakat. Biasanya orang-
orang kreatif, ada-ada saja yang dikerjakannya, makin lama ia makin
produktif.
Orang-orang produktif ini dikatakan memiliki produktivitas kerja
tinggi. Produktivitas tidak saja diukur dari kuantitas (jumlah) hasil yang
dicapai seseorang tapi juga oleh mutu (kualitas) pekerjaan yang semakin
baik. Makin baik mutu pekerjaannya, maka makin tinggi produktivitas
kerjanya. Oleh sebab itu dalam Islam, amal seseorang tidak dilihat dari
segi jumlahnya, tapi lebih penting mutu dan amal tersebut. Misalnya,
bersedekah, apakah sedekah itu bermutu baik? Artinya tidak diiringi
oleh rasa riya atau disertai ucapan-ucapan yang menyakitkan si
penerima sedekah. Melakukan shalat, puasa tidak asal saja, tapi harus
betul-betul bermutu. Bagaimana supaya bermutu? Ikutilah cara shalat,
puasa yang benar dan sebagainya.
Menurut Buchari Alma (2009: 172), Islam mengajarkan umatnya
untuk mengisi hidupnya dengan bekerja dan tidak membiarkan waktu-
nya terbuang per cuma. Allah hanya akan melihat dan mempertimbang-
kan hasil kerja manusia, karena itu bekerja secara produktif merupakan
amanat ajaran Islam, Allah berfirman dalam Q.S. At-Taubah, ayat 105
yang berbunyi:
‫ن ِإﻝَﻰ ﻋَﺎ ِﻝ ِﻢ‬
َ ‫ﺳ ُﺘ َﺮ ُدّو‬
َ ‫ن َو‬
َ ‫ﻋ َﻤ َﻠ ُﻜ ْﻢ َو َرﺳُﻮ ُﻝ ُﻪ وَا ْﻝ ُﻤ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ‬
َ ‫ﺴ َﻴﺮَى اﻝَّﻠ ُﻪ‬ َ ‫ﻋ َﻤﻠُﻮا َﻓ‬ ْ ‫َو ُﻗ ِﻞ ا‬
‫ن‬
َ ‫ﺸﻬَﺎ َد ِة َﻓ ُﻴ َﻨ ِﺒّ ُﺌ ُﻜ ْﻢ ِﺏﻤَﺎ ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ َﺕ ْﻌ َﻤﻠُﻮ‬
َّ ‫ﺐ وَاﻝ‬ِ ‫ا ْﻝ َﻐ ْﻴ‬
Artinya: “Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan
dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan
yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu
kerjakan".

202 
Isyarat tentang amal saleh banyak dijumpai dalam al-Qur’an,
karena itu, Islam merupakan agama amal yang mendorong umatnya
untuk kreatif dan produktif. Apabila kita memperhatikan ketentuan-
ketentuan dalam agama Islam di dalamnya terkandung dorongan untuk
hidup secara produktif. Misalnya kewajiban shalat melahirkan
kreatifitas untuk menghasilkan sarana-sarana untuk menjalankan shalat,
seperti produksi kain, sajadah, peci, dan sebagainya. Ini merupakan
isyarat yang harus ditangkap sebagai peluang untuk kreatif dan
produktif dalam kehidupan umat Islam. Lebih-lebih lagi bahwa Islam
mengajar kan bahwa hidup seorang muslim merupakan amal saleh yang
mengandung makna ibadah. Karena itu, seyogyanya umat Islam dapat
berkembang dan meningkatkan kemajuan dengan mengembang-kan
produktivitas yang didorong oleh nilai-nilai agama. (Buchari Alma,
2009: 172)
Dalam Islam, menurut Agustianto, bekerja dinilai sebagai suatu
kebaikan, dan sebaliknya kemalasan dinilai sebagai keburukan. Dalam
kepustakaan Islam, cukup banyak buku-buku yang menjelaskan secara
rinci tentang etos kerja dalam Islam. Dalam pandangan Islam bekerja
dipandang sebagai ibadah. Sebuah hadits menyebutkan bahwa bekerja
adalah jihad fi sabilillah.

‫ﻣﻦ آﺪ ﻋﻠﻰ ﻋﻴﺎﻝﻪ آﺎن اﻝﻤﺠﺎهﺪ ﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ اﷲ ﻋﺰ و ﺝﻞ‬


Sabda Nabi Saw, “Siapa yang bekerja keras untuk mencari nafkah
keluarganya, maka ia adalah mujahid fi Sabillah”. (Ahmad)

Dalam hadits Riwayat Thabrani Rasulullah Saw bersabda: Sesung-


guhnya, di antara perbuatan dosa, ada yang tidak bisa terhapus oleh (pahala)
shalat, Sedekah ataupun haji, namun hanya dapat ditebus dengan kesungguhan
dalam mencari Nafkah penghidupan(H.R.Thabrani)
Dalam hadits ini Nabi Saw ingin menunjukkan betapa tingginya
kedudukan bekerja dalam Islam, sehingga hanya dengan bekerja keras
(sungguh-sungguh) suatu dosa bisa dihapuskan oleh Allah. Selanjutnya
dalam hadits yang lain, Nabi bersabda: Sesungguhnya Allah mewajib-
kan kamu berusaha/bekerja, Maka berusahalah kamu!

203 
‫إن اﷲ ﺕﻌﺎﻝﻰ یﺤﺐ ان یﺮى ﻋﺒﺪﻩ یﺴﻌﻰ ﻓﻰ ﻃﻠﺐ اﻝﺤﻼل‬
Sesungguhnya Allah Swt senang melihat hambanya yang berusaha )bekerja)
mencari rezeki yang halal.

Berniat untuk bekerja dengan cara-cara yang sah dan halal menuju
ridha Allah adalah visi dan misi setiap muslim. Berpangku tangan
merupakan per-buatan tercela dalam agama Islam. Umar bin Khatttab
pernah menegur seseorang yang sering duduk berdo’a di mesjid tanpa
mau bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan dirinya. Umar berkata,
Janganlah salah seorang kamu duduk di mesjid dan bedoa, Ya Allah
berilah aku rezeki”. Sedangkan ia tahu bahwa langit tidak akan
menurunkan hujan emas dan hujan perak. Maksud perkataan Umar ini
adalah bahwa seseorang itu harus bekerja dan berusaha, bukan hanya
bedoa saja dengan mengharapkan bantuan orang lain.
Buruh yang bekerja secara manual sangat dipuji dan dihargai Nabi
Muhammad Saw meskipun telapak tangannya kasar. Dalam sebuah
riwayat, Nabi Saw pernah mencium tangan orang yang bekerja mencari
kayu, yaitu tangan Sa’ad bin Mu’az tatkala melihat tangannya kasar
akibat bekerja keras. Nabi seraya berkata: “Inilah dua telapak tangan yang
dicintai Allah”
Dalam sebuah hadits Rasul saw bersabda:
‫ﻣﻦ ﺏﺎت آﺎﻻ ﻣﻦ ﻃﻠﺐ اﻝﺤﻼل ﺏﺎت ﻣﻐﻔﻮرا ﻝﻪ‬
(‫)رواﻩ اﺣﻤﺪ و إﺏﻦ ﻋﺴﺎآﺮ‬
“Barang siapa pada malam hari merasakan kelelahan karena bekerja pada siang
hari, maka pada malam itu ia diampuni Allah”. (Hadits Riwayat Ahmad &
Ibnu Asakir )
‫اذا ﺹﻠﻴﺘﻢ اﻝﻔﺠﺮ ﻓﻼ ﺕﻨﺎﻣﻮا ﻋﻦ ﻃﻠﺐ اﻝﺮزق‬
Apabila kamu telah selesai shalat subuh, maka janganlah kamu tidur

Hadits ini memerintahkan agar manusia menyegerakan bekerja


sejak pagi-pagi sekali, agar ia menjadi produktif. Bahkan Nabi SAW
secara khusus mendoakan orang yang bekerja sejak pagi sekali.

204 
‫اﻝﻠﻬﻢ ﺏﺎرك ﻝﻸﻣﺘﻲ ﻓﻲ ﺏﻜﻮرهﺎ‬
“Ya Allah, berkatilah ummatku yang bekerja pada pagi-pagi sekali”.

Malas adalah watak yang sangat bertentangan dengan ajaran


Islam. Karena itu Nabi pernah berdo’a kepada Allah agar dilindungi
dari sifat lemah dan malas.
‫اﻝﻠﻬﻢ اﻥﻲ أﻋﻮذ ﺏﻚ ﻣﻦ اﻝﻌﺠﺰ واﻝﻜﺴﻞ‬
“Ya Allah, Sesungguhnya Aku berlindung dengan-Mu dari sifat lemah dan
malas”.

Al-Quran mengemukakan kepada Nabi Saw dengan mengatakan,


“Katakanlah (Hai Muhammad, kepada ummatmu): “Bekerjalah!”. Nabi
juga diriwayatkan telah melarang pengemisan kecuali dalam keadaan
kelaparan. Monastisisme dan asketisisme dilarang dalam Islam.
Monastisisme adalah pandangan atau sikap hidup menyendiri di suatu
tempat dengan menjauhkan diri dari kehidupan masyarakat. Tujuannya
hanya untuk bertapa tanpa niat untuk melakukan per-ubahan dan
perbaikan masyarakat. Sedangkan asketisme adalah pandangan atau
sikap hidup keagamaan yang menganggap pantang segala kenikmatan
dunia atau dengan penyiksaan diri dalam rangka beribadat dan
mendekatkan diri kepada Tuhan.
Nabi Muhammad saw pernah bersabda, bahwa orang-orang yang
menyediakan makanan dan kebutuhan lain untuk dirinya dan keluarga-
nya lebih baik dari pada orang yang menghabiskan waktunya untuk
beribadat, tanpa mencoba berusaha mendapat penghasilan untuk
dirinya sendiri. Bekerja adalah hak setiap seorang dan sekaligus sebagai
kewajiban.
Dalam ekonomi Islam, perspektif kerja dan produktifitas adalah
untuk mencapai tiga sasaran, yaitu: Mencukupi kebutuhan hidup
(‫)اﻻﺵﺒﺎع‬, meraih laba yang wajar (‫ )اﻻرﺏﺎح‬dan menciptakan kemakmuran
lingkungan sosial maupun alamiyah (‫)اﻻﻋﻤﺎر‬.
Ketiga sasaran tersebut harus terwujud secara harmonis. Apabila
terjadi sengketa antara pekerja dan pemodal (majikan). Islam menyele-
saikannya dengan cara yang baik, yakni ada posisi tawar-menawar

205 
antara pekerja yang meminta upah yang cukup untuk hidup
keluarganya dan tingkat laba bagi pemodal (majikan) untuk melanjut-
kan produksinya. (Agustianto, 2011)

206 
BAB XI
TANGGUNGJAWAB SOSIAL
PERUSAHAAN PERSPEKTIF ISLAM
(Corporate Social Responsibility)

A. Konsep Pertanggungjawaban

Konsep pertanggungjawaban bermula dari pemahaman bahwa


setiap orang akan dipertanggungjawabkan amalnya, kemudian keluarga
dan perusahaan miliknya. Walaupun tanggungjawab keluarga dan
perusahaan bermula pula dari bagaimana setiap individu dapat
pemahaman bahwa aksinya merupakan tanggung jawab atas perbuatan
nya itu. Karenanya, dalam Islam setiap orang bertanggung-jawab atas

207 
dirinya, keluarganya dan apa yang dimilikinya juga merupakan
tanggungjawabnya, termasuk kepemilikan perusahaan. Dalam
kepemilikan perusahaan dikenal dengan istilah tanggung jawab sosial.
Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social
Responsibility (selanjutnya dalam artikel akan disingkat CSR) adalah
suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (namun bukan hanya)
perusahaan adalah memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen,
karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala
aspek operasional perusahaan.
Dalam Wikipedia dijelaskan bahwa tanggung jawab sosial
perusahaan atau corporate social responsibility atau disingkat CSR adalah
suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (namun bukan hanya)
perusahaan adalah memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen,
karyawan, pemegang saham, komunitas, dan lingkungan dalam segala
aspek operasional perusahaan. Hal ini dapat diidentifikasi siklus CSR
dalam gambar sebagai berikut:

Sumber: Grifin & Ebert, (2003: 119 dalam Buchari Alma, 2009: 182) di Modifikasi

Ada beberapa definisi tentang CSR (Corporate Social Responsibility)


di antaranya dinyatakan dalam buku CSR oleh Yusuf Wibisono: ”The
World Business Council for Sustainable Development (WBCSD)
mendefinisikan CSR sebagai continuing commitment by business to behave
ethically and contribute to economic development while improving the quality of

208 
life of the workforce and their families as will as of the local community and
society at large”. (komitmen dunia usaha untuk terus menerus bertindak
secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan
ekonomi, bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan
dan keluarganya sekaligus juga peningkatan kualitas komunitas lokal
dan masyarakat secara lebih luas).
Beberapa nama lain yang sejenis dengan CSR ialah corporate social
investment, Kedermawanan Perusahaan (Corporate Philanthropy), Relasi
Kemasyarakatan Perusahaan (Corporate Community Relations), dan
Pengembangan Masyarakat (Community Development). (Syahidin, dkk.
2009: 222)
Secara umum, CSR merupakan kepedulian perusahaan yang
didasari pada tiga prinsip dasar yang dikenal dengan istilah triple bottom
lines, yaitu 3 P (profit, people dan planet). Istilah ini, kata Syahidin,
dipopulerkan oleh John Elkington tahun 1997 melalui bukunya berjudul
“Cannibals with forks, the Triple Line of Twentieth Century Business.
Elkington mengembangkan konsep triple ini dalam istilah economic
prosperity environmental quality dan social justice.
CSR berhubungan erat dengan "pembangunan berkelanjutan", di
mana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan
aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasar-
kan faktor keuangan, misalnya keuntungan atau deviden melainkan
juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan untuk saat
ini maupun untuk jangka panjang.
Konsep tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social
responsibility (CSR), muncul sebagai akibat adanya kenyataan bahwa
pada dasarnya karakter alami dari setiap perusahaan adalah mencari
keuntungan semaksimal mungkin tanpa memperdulikan kesejahteraan
karyawan, masyarakat dan lingkungan alam. Seiring dengan
meningkatnya kesadaran dan kepekaan dari stakeholder perusahaan
maka konsep tanggung jawab sosial muncul dan menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dengan kelangsungan hidup perusahaan di masa yang
akan datang.
Tanggung jawab sosial perusahaan dapat didefinisikan secara
sederhana sebagai suatu konsep yang mewajibkan perusahaan untuk
memenuhi dan memperhatikan kepentingan para stakeholder dalam

209 
kegiatan operasinya mencari keuntungan. Stakeholder yang dimaksud
diantaranya adalah para share holder, karyawan (buruh), kustomer,
komunitas lokal, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan
lain sebagainya.
Dalam pengamatan saya, tanggung jawab sosial perusahaan sering
didefinisikan secara sempit sebagai akibat belum tersosialisasinya
standar baku bagi perusahaan. Tanggung jawab sosial perusahaan masih
anggap sebagai suatu kosmetik belaka untuk menaikkan pamor
perusahaan atau menjaga reputasi perusahaan di masyarakat. Oleh
karenanya ada asumsi jika perusahaan sudah memberikan sumbangan
atau donasi kepada suatu institusi sosial berarti sudah melakukan
tanggung jawab sosial sebagai sebuah perusahaan.
Penerapan dan isu tanggung jawab sosial perusahaan yang saat ini
baru dilakukan diantaranya adalah:
1 Pengaruh dari globalisasi dan internasionalisasi yang memaksa
perusahaan untuk dapat menerapkan fungsi tanggung jawab sosial
perusahaan. Bentuk globalisasi dan internasionalisasi ini dapat berupa
tekanan dari pihak ketiga (distributor, buyer, client, dan shareholder)
yang menjadi bagian atau mitra kerja dari perusahaan lokal. Mereka
dapat menetapkan suatu kondisi yang harus diikuti oleh perusahaan
lokal dalam memenuhi tanggung jawab sosialnya.
Kondisinya ini biasanya dialami oleh perusahaan yang berada di negara
miskin dan berkembang dimana memiliki tingkat ketergantungan yang
tinggi kepada investor dari negara maju. Pernah seorang teman bercerita
bahwa Buyer mereka yang dari Jepang mau memberikan order jika
perusahaan mendirikan toilet yang memadai bagi karyawan perusahaan
yang berjumlah ribuan. Karena menurut buyer tersebut toilet pabrik
sangat tidak memadai baik dari jumlah dan kualitasnya.
2 Ditinjau dari jenis perusahaan, umumnya yang menjalankan fungsi
tanggung jawab sosial adalah perusahaan yang bergerak dalam usaha
eksplorasi alam (tambang, minyak, hutan). Perusahaan tambang lebih
mendapatkan perhatian dari masyarakat dibanding-kan dengan
perusahaan non tambang (terutama LSM). Perusahaan tersebut
diwajibkan untuk melakukan penyeimbangan sebagai dampak dari
eksplorasi yang dilakukan seperti melakukan reklamasi alam, reboisasi,
mendukung pencinta alam, berpartisipasi dalam pengolahan limpah dan

210 
sebagainya. Kenyataannya apakah perusahaan tersebut benar-benar
menaruh perhatian terhadap alam dan lingkungan sekitarnya, bukankah
mungkin tanggung jawab sosial yang dilakukan oleh perusahaan hanya
sebagai kedok untuk melegalkan dan mengamankan kegiatan perusahaan
sehingga tidak dikritik oleh masyarakat.
3 Bentuk tanggung jawab sosial perusahaan yang biasanya dilakukan
adalah pemberian fasilitas kepada para pekerja atau buruh. Kenyata-
annya bahwa pemberian fasilitas baru akan terealisasi jika adanya
ancaman mogok atau unjuk rasa dari para buruh. Ini berarti tanggung
jawab sosial perusahaan terhadap para buruh didasarkan sebagai suatu
negosiasi antara manajemen dengan para buruh. Manajemen tentunya
akan memperhitungkan dampak yang ditimbulkan dengan adanya
ancaman tersebut jika dinilai akan merugikan perusahaan maka
(biasanya) tuntutan akan direalisasikan.
4 Bentuk lainnya dari tanggung jawab sosial perusahaan sebatas
pemberian sumbangan, hibah, bantuan untuk bencana alam yang
sifatnya momentum. Musibah, bencana, atau malapetaka yang terjadi
dapat dijadikan sebagai momentum bagi perusahaan yang membentuk
citra dan reputasi baik di mata masyarakat.

Masih banyak contoh penerapan tanggung jawab sosial


perusahaan pada saat ini yang bertujuan untuk memenuhi persyaratan
atau mengikuti aturan main supaya perusahaan dapat tetap menjaga
citra dan eksistensinya di hadapan para stakeholder-nya.

B. Teori Pertanggungjawaban Perusahaan

Setelah tenggelam sekian lama, kini ide untuk memasukkan etika


ke dalam dunia ekonomi (bisnis) mencuat kembali. CSR tidak lagi di-
tempatkan dalam ranah sosial dan ekonomi sebagai imbauan, tetapi
masuk ranah hukum yang ‘memaksa’ perusahaan ikut aktif memper-
baiki kondisi dan taraf hidup masyarakat (Kompas, 4/8).
Disahkannya Rancangan Undang-Undang Perseroan Terbatas
(RUU PT) telah menuai pro-kontra, terutama terhadap Pasal 74 tentang
Aturan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, yang rumusannya,
“perseroan di bidang/berkaitan dengan SDA wajib melaksanakan CSR …

211 
Perseroan yang tidak me-laksanakan wajib CSR dikenai sanksi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan”. Yang dimaksud SDA adalah sumber
daya alam, sedangkan CSR adalah corporate social responsibility atau
tanggung jawab sosial korporat/perusahaan.
Tanggung jawab sangat terkait dengan hak dan kewajiban, yang
pada akhirnya dapat menimbulkan kesadaran tanggung-jawab. Ada dua
bentuk kesadaran: Pertama, kesadaran yang muncul dari hati nurani
seseorang yang sering disebut dengan etika dan moral. Kedua,
kesadaran hukum yang bersifat paksaan berupa tuntutan-tuntutan yang
diiringi sanksi-sanksi hukum. Etika membantu manusia bertindak secara
bebas tetapi dapat dipertanggungjawabkan.
Sedangkan bisnis mengutip Straub, Alimin (2004: 56), sebagai
suatu organisasi yang menjalankan aktivitas produksi dan penjualan
barang dan jasa yang diinginkan oleh konsumen untuk memperoleh
profit. Penggabungan etika dan bisnis dapat berarti memaksakan norma-
norma agama bagi dunia bisnis, memasang kode etik profesi bisnis,
merevisi sistem dan hukum ekonomi, meningkatkan keterampilan
memenuhi tuntutan-tuntutan etika pihak-pihak luar untuk mencari
aman dan sebaginya.
Bisnis yang beretika adalah bisnis yang memiliki komitmen
ketulusan dalam menjaga kontrak sosial yang sudah berjalan. Kontrak
sosial merupakan janji yang harus ditepati. Bisnis Islami ialah serang-
kaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi
jumlah kepemilikan (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi
dalam cara memperolehnya dan pendayagunaan harta-nya karena
aturan halal dan haram (lihat. QS. 2:188, 4:29).
Etika bisnis Islam sebenarnya telah diajarkan Nabi Saw. saat
menjalankan perdagangan. Karakteristik Nabi Saw., sebagai pedagang
adalah, selain dedikasi dan keuletannya juga memiliki sifat; shidiq,
fathanah, amanah dan tabligh. Ciri-ciri itu masih ditambah Istiqamah.
Shidiq berarti mempunyai kejujuran dan selalu melandasi ucapan,
keyakinan dan amal perbuatan atas dasar nilai-nilai yang di-ajarkan
Islam. Istiqamah atau konsisten dalam iman dan nilai-nilai kebaikan,
meski menghadapi godaan dan tantangan. Istiqamah dalam kebaikan di
tampilkan dalam keteguhan, kesabaran serta keuletan sehingga meng-
hasilkan sesuatu yang optimal.

212 
Fathanah berarti mengerti, memahami, dan menghayati secara
mendalam segala yang menjadi tugas dan kewajibannya. Sifat ini akan
menimbulkan kreatifitas dan kemampuan melakukan berbagai macam
inovasi yang bermanfaat. Amanah, tanggung jawab dalam melaksana-
kan setiap tugas dan kewajiban. Amanah ditampilkan dalam keter-
bukaan, kejujuran, pelayanan yang optimal, dan ihsan (kebajikan) dalam
segala hal. Tablig, mengajak sekaligus memberikan contoh kepada pihak
lain untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan ajaran Islam dalam
kehidupan sehari-hari (berbagai sumber).
Berdasarkan sifat-sifat tersebut, dalam konteks corporate social
responsibility (CSR), para pelaku usaha atau pihak perusahaan dituntut
bersikap tidak kontradiksi secara disengaja antara ucapan dan per-
buatan dalam bisnisnya. Mereka dituntut tepat janji, tepat waktu,
mengakui kelemahan dan kekurangan (tidak ditutup-tutupi), selalu
memperbaiki kualitas barang atau jasa secara berkesinambungan serta
tidak boleh menipu dan berbohong. Pelaku usaha/pihak perusahaan
harus memiliki amanah dengan menampilkan sikap keterbukaan, ke
jujuran, pelayanan yang optimal, dan ihsan (berbuat yang terbaik) dalam
segala hal, apalagi berhubungan dengan pelayanan masyarakat.
Dengan sifat amanah, pelaku usaha memiliki tanggung jawab
untuk mengamalkan kewajiban-kewajibannya. Sifat tablig dapat di-
sampaikan pelaku usaha dengan bijak (hikmah), sabar, argumentatif,
dan persuasif akan menumbuhkan hubungan kemanusiaan yang solid
dan kuat. Para pelaku usaha dituntut mempunyai kesadaran mengenai
etika dan moral, karena keduanya merupakan kebutuhan yang harus
dimiliki. Pelaku usaha atau perusahaan yang ceroboh dan tidak menjaga
etika, tidak akan berbisnis secara baik sehingga dapat mengancam
hubungan sosial dan merugikan konsumen, bahkan dirinya sendiri.
Berkaitan dengan corporate sosial responsibility (CSR), kelima komponen
itu perlu men-dapat fokus perhatian.
Dalam skala primer, perusahaan atau badan-badan komersial
perlu menghargai agama yang dianut masyarakat. Jangan sampai
kepentingan masyarakat terhadap agamanya diabaikan, seperti
perusahaan yang mengabaikan atau mengganggu peribadatan warga
setempat. Bahkan, semestinya pihak perusahaan atau badan-badan

213 
komersial harus mampu mengembangkan jiwa usahanya dengan
spiritualitas Islam.
Dalam pemeliharaan jiwa seperti makan dan minum ditujukan
agar hidup dapat lebih bertahan dan mencegah ekses kepunahan jiwa
manusia. Ironisnya, kini, banyak perusahaan air mineral telah
menyebabkan kekeringan air di daerah atau kondisi udara di Jakarta
telah mengandung zat pencemar udara yang sebagian besar sulfur
dioksida, karbon monoksida, nitrogen dioksida dan partikel debu.
Sekitar 70 persen polusi udara di Jakarta akibat asap transportasi.
Menurut staff pengajar Fakultas Teknologi Kelautan Universitas
Darma Persada Jakarta Agung Sudrajad (Inovasi, Vol. 5, 2005), di Jakarta
pertambahan kendaraan tercatat 8.74 persen pertahun sementara
prasarana jalan meningkat 6.28 persen per tahun. Ini tentu menambah
semakin terpuruknya kondisi lingkungan udara kita.
Begitu juga, pihak korporasi harus mampu menjaga keutuhan dan
kehormatan (rumah tangga) warga masyarakat terkait atau internal
perusahaan. Perusahaan dilarang memberikan ekses negatif dalam
kegiatannya yang akan mengganggu rusaknya akal pikiran manusia.
Islam melarang umatnya mengkonsumsi atau memproduksi makanan
dan minuman yang dapat merusak akal karena akan mengancam
eksistensi akalnya.
Dalam pemeliharaan harta, transaksi jual beli harus dilakukan
secara halal. Jika tidak, maka eksistensi harta akan terancam, baik penge-
lolaan atau pemanfaatannya. Karena itu, pihak perusahaan dilarang
melakukan kegiatan yang secara jelas melanggar aturan syara’.
Dalam konteks tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social
responsibility/CSR), maqashid as-yari’ah ditujukan agar pelaku usaha atau
pihak perusahaan mampu menentukan skala prioritas kebutuhannya
yang terpenting. Kebutuhan-kebutuhan itu tidak hanya diorientasikan
untuk jangka pendek, tetapi juga jangka panjang dalam mencapai ridha
Allah. Kegiatan ekonomi tidak saja melibatkan aspek materi, tapi juga
kualitas keimanan seorang hamba kepada Allah Swt.
Oleh karena itu, konsep pembangunan yang melibatkan maqashid
as-yari’ah dimaksudkan agar terbentuk pribadi-pribadi muslim yang
memiliki keimanan dan ketakwaan. Tentu saja sikap ini tidak saja

214 
didapatkan dari lubuk hati yang dalam. Tetapi, dilandasi juga dari
kesadaran manusia untuk melaksanakan kewajiban sebagai seorang
hamba-Nya. Kewajiban mengaplikasikan tanggung jawab seorang
hamba untuk melakukan kejujuran, kebenaran, kebajikan dan kasih
sayang terhadap seluruh data kehidupan aktual. Islam mengajarkan
tanggung jawab agar mampu mengendalikan diri dari tindakan
melampaui batas kewajaran dan kemanusiaan. Tanggung jawab ini
mencakup tanggung jawab kepada Allah, kepada sesama dan
lingkungannya.

C. Kritik terhadap Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

Dari beberapa fakta di atas, kritik penerapan tanggung jawab


sosial perusahaan muncul disebabkan karena:
1. Perspektif tanggung jawab sosial perusahaan sering dijadikan atribut
bagi perusahaan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya
dengan caranya mengikuti peraturan yang ditetapkan oleh
masyarakat, asosiasi, dan pemerintah. Seperti perusahaan tambang,
perusahaan kayu, perusahaan pengelola hasil bumi, dan sejenisnya.
Dampak yang ditimbulkan perusahaan tidak seimbang dengan usaha
untuk merehabilitasi alam.
2. Untuk bisnis tertentu, tanggung jawab sosial perusahaan dapat
dijadikan perisai sebagai penetralisir dampak dari bisnis yang
dijalankan sekalipun bertentangan, misalkan perusahaan rokok
sebagai sponsor event olah raga. Sekalipun masyarakat mengetahui
bahayanya rokok di lain pihak masyarakat membutuhkan olahraga.
3. Ada kalanya tanggung jawab sosial perusahaan dapat menjadi
bumerang bagi perusahaan itu sendiri walaupun sudah melakukan
sosialisasi kepada masyarakat. Misalkan yang terjadi pada
perusahaan fast food Mc Donald, pada awalnya tanggung jawab sosial
perusahaan disosialisasikan secara menyeluruh kepada dunia
mengenai keterlibatan Mc Donald dalam memperhatikan anak-anak,
pendidikan dan kehidupan sosial di masyarakat. Tetapi Mc Donald
justru menuai demo dari para pencinta binatang karena di anggap
pembunuh ayam yang kejam, iklan yang menyesatkan, dan praktik
bisnis yang tidak sehat.

215 
4. Bagi perusahaan investor dari negara maju, adanya regulasi
mengenai tanggungjawab sosial perusahaan yang ketat dapat
menjadi alternative untuk berpindah ke negara yang memiliki
regulasi tanggung jawab sosialnya lebih longgar. Dilema ini yang
dihadapi oleh negara miskin dan berkembang, jika terlalu ketat maka
otomatis investor akan mengurungkan niatnya berinvestasi tetapi
sebaliknya jika terlalu longgar akan merugikan rakyat dan
lingkungan alam.

Perusahaan yang berhasil dalam penerapan tanggung jawab sosial


jumlahnya relatif sedikit karena mendapatkan kepercayaan dari para
stakeholder harus diuji melalui waktu. Komitmen dan konsistensi yang
dilakukan oleh perusahaan dalam menjalankan tanggung jawab sosial
akan terlihat hasilnya secara bertahap bukan secara instan. Best practice
perusahaan yang berhasil adalah The Body Shop, justru karena berfokus
kepada kepentingan public, kekerasan dalam keluarga, kesehatan ibu
dan anak, bencana alam, dan kegiatan sosial lainnya, perusahaan ini
sukses merebut perhatian dari para pelangganannya.
Tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social
Responsibility (CSR) di banyak negara Asia, umumnya dipahami sekadar
proyek pembangunan komunitas yang dijalankan suatu perusahaan
untuk mengganti kerugian sosial dan ekonomi masyarakat setempat.
Kebanyakan dari proyek tersebut, seperti pembangunan gedung sekolah
atau klinik kesehatan, sangatlah populer dan hegemonik.
Melalui kegiatan CSR ini, perusahaan lalu memperoleh legitimasi
atas aktivitasnya yang menghisap rakyat dan sumber daya alam di
banyak negara. Dampak lebih jauh dari kegiatan CSR ini, masyarakat
lalu berpikir bahwa kebutuhan mereka atas pendidikan, air bersih,
kesehatan, dsb, merupakan tanggung jawab perusahaan, bukan
tanggung jawab negara. Tentu saja kesadaran palsu ini memberi ruang
bagi negara untuk menghindar dari kewajibannya dalam memenuhi
hak-hak mendasar rakyat.
Di samping untuk kepentingan legitimasi, CSR juga merupakan
strategi jitu guna meningkatkan status dan mendapatkan citra yang baik
di mata publik. Tujuan akhirnya adalah akumulasi keuntungan setinggi-
tingginya. Itu sebabnya, bagi banyak perusahaan, pelaksanaan CSR

216 
dapat meningkatkan jumlah penjualan produk dan pangsa pasar
mereka. CSR juga dapat membantu suatu merek dagang (brand) mem-
peroleh reputasi yang dikenal luas. Ia dapat membantu perusahaan
memangkas ongkos produksi, mendorong produktivitas buruh, menarik
banyak investasi, dan memperoleh kredit serta pengenaan pajak yang
amat menguntungkan.
Karena CSR ini adalah proyek “amal” perusahaan, maka terdapat
banyak aktor yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Lembaga-lembaga
non-perusahaan yang terlibat antara lain Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), pemerintah, dan lembaga-lembaga internasional. Sedemikian
banyak aktor yang terlibat, pada akhirnya CSR telah menjadi sebuah
industri tersendiri, dimana pada tahun 2007 jumlah uang yang beredar
dalam industri ini bernilai 31,7 milyar dollar Amerika.
Inisiatif-inisiatif yang didorong oleh CSR, seperti inisiatif berbagai
pemangku kepentingan (Multi-Stakeholders Initiatives –MSI), mengklaim
bahwa CSR telah berdampak positif dalam memecahkan banyak
persoalan utama perburuhan, seperti kebebasan berserikat dan per-
janjian kerja bersama. Namun demikian, kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa CSR sebenarnya lebih berbahaya ketimbang
berguna. Dalam kasus perburuhan, misalnya, CSR bertransformasi diri
menjadi suatu mekanisme yang disebut sebagai Kode Etik, atau Code of
Conduct. Melalui Kode Etik atau Code of Conduct, perusahaan menjadi-
kan CSR sebagai bagian dari fungsi kehumasan (public relation) mereka,
sebagai respon atas kritik dan dakwaan dari para aktivis HAM.
Dengan mempromosikan Code of Conduct, pengusaha mengubah
hubung an industrial di perusahaan menjadi harmonis, sehingga dapat
terus melanggar hak-hak dasar buruh tanpa mendapat tentangan berarti.
Dengan kata lain, tujuan dari Code of Conduct adalah menghibur dan
menjinakkan gerakan buruh, konsumen dan masyarakat sipil. Ia juga
memiliki misi menjaga kepentingan-kepentingan perusahaan multi-
nasional dalam sistem subkontrak internasional. Melalui Code of
Conduct perusahaan menjinakkan gerakan buruh dengan menyediakan
suatu dasar bagi LSM dan bahkan juga serikat buruh untuk terlibat
dalam kerja pengawasan atas proses manufaktur perusahaan
multinasional. Akibatnya, banyak LSM dan serikat buruh berpartisipasi
dan masuk ke dalam gerbong Code of Conduct, melibatkan diri dalam

217 
kerja pengawasan serta aktif dalam dialog antar pemangku kepentingan,
dengan mengorbankan kerja inti mereka di akar rumput.
Selain itu, Code of Conduct menciptakan privatisasi hukum
perburuhan dan mendorong pembuatan peraturan tersendiri di masing-
masing perusahaan. Dengan mempromosikan Code of Conduct,
pengusaha mengalihkan fokus gerakan buruh dan konsumen ke arah
pembuatan peraturan lokal, tetapi pada saat yang sama mengabaikan
konstitusi nasional dan undang-undang perburuhan yang sudah ada.
Pengusaha terus mencoba meyakinkan buruh bahwa peraturan yang
sukarela di masing-masing perusahaan adalah jalan terbaik tinimbang
bersandar pada hukum perburuhan yang ada, yang tidak dapat ditegak-
kan.
Ini sebenarnya logika yang aneh, karena Code of Conduct secara
logis mengandung kontradiksi internal pada dirinya sendiri: Code of
Conduct menghadapi persoalan mendasar yang sama sebagaimana
hukum perburuhan yang ditolaknya, yakni kegagalan untuk dapat
ditegakkan. Untuk itulah, buruh layak ragu bahwa hukum perburuhan
akan lebih baik dan efektif di bawah pengaruh Code of Conduct.
Lebih dari itu, Code of Conduct dan jenis CSR lainnya memiliki
akibat “mengadu domba.” Di tingkat tempat kerja, CSR menghambat
perkembangan serikat buruh yang mandiri dan independen, yang secara
terus-menerus mendapatkan stigma sebagai pembuat keonaran dalam
masyarakat. Di tingkat komunitas, CSR berpengaruh pada hilang nya
harmoni dalam masyarakat karena sebagian mereka mendapatkan
keuntungan memperoleh pekerjaan, hadiah, atau kesempatan-
kesempatan lainnya, tetapi sebagian besar lainnya sama sekali tidak;
sebagian masyarakat bahkan hak-haknya dirampas, misalnya ketika
mereka harus menyerahkan tanahnya dengan dalih pembangunan.
Di tingkat nasional, pengaruh negatif CSR dengan jelas tampak
pada semakin lebarnya perpecahan antara pendukung dan penentang
CSR. Sementara di tingkat global, buruh di negara maju dan ber-
kembang semakin jarang bertemu untuk menggalang solidaritas karena
mereka terkooptasi oleh inisiatif berbagai pemangku kepentingan dari
kegiatan CSR, dan menjadi kian terserap pada kegiatan tersebut
ketimbang menggalang solidaritas sesama. Singkatnya, CSR dengan
perlahan-lahan tengah menghancurkan solidaritas antarburuh.

218 
Sesuai dengan ajaran Islam, sebenarnya ada konsep yang lebih
agung dan mulia terkait dengan tanggungjawab sosial, yaitu salah satu
dalam rukun Islam melalui ZAKAT, dan instrumen sunnah lainnya,
seperti INFAK dan SHADAQAH. Melalui pengumpulan instrumen-
instrumen ini dapat dibangun masyarakat sejahtera.
Sebagaimana dalam penjelasan Mohammed Obaidulllah, Zakah
and sadaqah as instruments of charity occupy a central position in the Islamic
scheme of poverty alleviation. Zakah is the third among five pillars of Islam and
payment of zakah is an obligation on the wealth of every Muslim based on clear-
cut criteria. Rules of Shariah are fairly clear and elaborate in defining the nature
of who are liable to pay zakah and who can benefit from zakah. The first and
foremost category of potential beneficiaries is the poor and the destitute. A
greater degree of flexibility exists with respect to beneficiaries of sadaqah.
The primary issue with zakah and sadaqah-dependent institutions is the
issue of sustainability as they are essentially rooted in voluntarism. Funds
mobilized through charity could fluctuate from time to time and may not lend
themselves to careful planning and implementation.

D. Mencari Bentuk Ideal Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Versi


Islam

Bagaimana mencari format ideal tanggung jawab sosial


perusahaan sehingga dapat diperoleh mutual benefit antara perusahaan
dengan stakeholder-nya? Untuk mendapatkan format ideal tanggung
jawab sosial perusahaan, beberapa hal yang harus dilakukan adalah
sebagai berikut:
1. Perusahaan harus melakukan gap analisis antara apa yang ideal
harus dilakukan dengan apa yang telah dilakukan (existing) saat ini.
Hasil dari gap analisis ini dapat menjadi acuan bagi perusahaan
untuk mendapatkan solusi yang benar-benar dibutuhkan sehingga
kehadiran perusahaan tersebut memberikan dampak positif bagi
stakeholder.
2. Konsistensi dalam menjalankan komitmen harus menjadi bagian dan
gaya hidup dari semua level manajemen perusahaan. Oleh karenanya
tanggung jawab sosial perusahaan harus menjadi bagian dalam
strategic plan perusahaan mulai di mulai dari penentuan visi, misi,

219 
strategi, core belief, core value, program, penyusunan anggaran sampai
kepada evaluasi. Tujuan dengan adanya strategic plan ini adalah
untuk menjaga kesinambungan perusahaan di masa yang akan
datang. Di dalam strategic plan faktor tanggungjawab sosial harus
menjadi bagian dari road map perusahaan dalam rangka mencapai
good corporate governance (GCG). Untuk mengevalusi penerapan
strategic plan ini diperlukan tool yang dapat menjadi dashboard
perusahaan di dalam menilai kinerja yang dihasilkan. Tool yang
digunakan dapat berupa metode balanced scorecard atau hanya
penerapan key performance indicator di setiap objektif yang ingin
dicapai.
3. Sudah saatnya tanggung jawab sosial perusahaan dikelola oleh suatu
divisi tersendiri secara professional sehingga pertanggungjawaban
terhadap manajemen dan stakeholder dapat transparan dan terukur
kinerjanya. Divisi ini diberikan otoritas untuk dapat memutuskan
secara cepat dan tuntas semua perkara (isu) yang berhubungan
dengan para stakeholder. Divisi ini harus dapat menjalin hubungan
yang harmonis dengan pemerintah sebagai regulator, lembaga
swadaya masyarakat, asosiasi yang berhubungan, dan masyarakat
sehingga keputusan yang diambil dapat mengakomodir semua
kepentingan. Dalam praktiknya staff dari divisi ini dapat diisi oleh
personal dari berbagai perwakilan yang ada di stakeholder.
4. Idealnya, pemerintah juga harus memiliki department yang berfokus
untuk menangani regulasi tanggung jawab sosial perusahaan
sehingga dapat menjadi mediator dan fasilitator bagi semua pihak
yang berkepentingan. Fungsi lainnya dari department ini adalah
sebagai auditor yang memberikan rangking dalam periode tertentu
bagi semua perusahaan sesuai dengan bidang dan kelasnya, dengan
adanya ranking ini memicu perusahaan untuk serius menangani
masalah tanggung jawab sosial perusahaan. Departemen ini harus
juga melibatkan institusi pendidikan dan akademisi untuk menjaga
transparansi dalam proses audit.
5. Pada era teknologi saat ini, peranan teknologi informasi dan
komunikasi (TIK) sudah menjadi keharusan bukan lagi sebagai
pendukung perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan dapat
memanfaatkan TIK semaksimal mungkin untuk menciptakan proses

220 
yang efisien, efektif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Misalkan dengan menggunakan software, internet, portal, dan
teleconference sebagai alat komunikasi dengan stake-holder yang
terintegrasi dengan proses bisnis yang ada dalam perusahaan.

Karenanya, sudah saatnya setiap perusahaan memberikan per-


hatian yang serius kepada masalah tanggung jawab sosial, karena
terbukti tanggung jawab sosial perusahaan memiliki peranan yang
signifikan dalam keberhasilan perusahaan di masa yang akan datang.
Disamping itu, tanggung jawab sosial perusahaan dapat menye-
imbangkan perusahaan dalam mencapai tujuan komersil dan tujuan
non-komersial. Sesuai dengan ajaran Islam, sebenarnya ada konsep yang
lebih agung terkait dengan CSR, yaitu salah satu dari rukun Islam
tentang pengeluaran ZAKAT. Melalui pengumpulan zakat akan dapat
dibangun masyarakat sejahtera. Bahkan dalam instrumen ilmu ekonomi
Islam sebagaimana para ahli berpendapat bahwa instrumen ekonomi
Islam sebagai bentuk dari tanggungjawab pribadi maupun sosial adalah
perangkat ZIS, yaitu Zakat, Infak dan Shadaqah.
Zakat adalah salah satu rukun Islam yang merupakan kewajiban
agama yang dibebankan atas harta kekayaan seseorang menurut aturan
tertentu. Dalam ekonomi Islam, zakat merupakan instrumen penting
dalam membuat distribusi kekayaan yang adil. Zakat sebagai institusi
atau instrumen ekonomi berperan sebagai distribusi pendapatan
sebagaimana tersebut di atas. Lewat institusi zakat, Ausaf Ahmad
umpamanya, dengan memasukkan variabel zakat ke dalam model
distribusi pendapatan Kaldor-Pasinetti (dalam Dawam Rahardjo), mem-
buktikan bahwa sistem ekonomi Islam yang mengandung instrumen
distribusi pendapatan, mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi
yang mantap.
Jadi, zakat dilihat dari sudut pandang ekonomi banyak membawa
efek dan dampak serta pengaruh positif. Ahmad Muhammad Al-‘Assal
dan Fathi Ahmad Abdul Karim mencatat, tiga hal penting dari zakat
terhadap pengaruh ekonomi, yaitu:
1. Pengaruh zakat pada usaha produktif. Dalam hal ini, terdapat dua
aspek dari zakat, yaitu aspek pengumpulan dan aspek pengeluaran.
Pengumpulan zakat biasanya mendorong orang untuk mengembang

221 
kan hartanya. Kalau tidak, ia terkena wajib zakat. Pengeluaran zakat
kepada lembaga-lembaga yang berhak menerimanya, memiliki
pengaruh di bidang ekonomi. Mereka yang menerima zakat akan
mengeluarkannya kembali dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan
konsumsinya, baik yang berupa barang-barang mau pun jasa-jasa. Ini
biasanya mempercepat arus konsumsi. Dalam masalah perekonomian
meningkatnya konsumsi menimbulkan usaha berproduksi.
2. Pengaruh zakat dalam mengembalikan pembagian pendapatan. Zakat
memegang peranan penting dalam mengembalikan pembagian
kekayaaan dalam masyarakat. Berhasilnya zakat sebagai salah satu
cara mengembalikan distribusi kekayaan adalah karena zakat itu
diwajibkan atas segala macam harta yang tumbuh sehingga zakat itu
bersifat menyeluruh dan luas kaidah penerapan nya. Di samping itu,
karena zakat dilakukan setiap tahun maka zakat itu merupakan alat
permanen (instrumen) bagi pengembalian distribusi kekayaan.
3. Pengaruh zakat atas kerja. Zakat dapat menggerakkan roda perekono-
mian dengan cara memberikan kesempatan bekerja. Pasalnya, zakat
hanya diberikan kepada mereka yang tidak mampu berusaha.
Artinya, zakat diarahkan kepada kelompok dalam masyarakat yang
konsumtif akan menyebabkan meningkatnya permintaan barang,
sehingga bertambahlah pula kesempatan-kesempatan kerja yang
baru.

Menurut Didin S. Damanhuri dalam bukunya Pilar-Pilar Reformasi


Ekonomi Politik, Zakat merupakan nilai ajaran Islam yang diturunkan
agar membawa rahmat bagi seluruh alam yang sebenarnya sangat
empiris. Dalam penanganan kemiskinan, misalnya, Didin memberikan
gambaran bahwa beberapa instrumen penangkalnya telah dikenalkan
bahkan telah terbukti dalam sejarah. Kejayaan Umar bin Khattab dalam
mobilisasi zakat, infak dan shodaqoh serta mendirikan bait al-maal,
merupakan bukti konkrit. Pendirian bait al-maal, sebagai perbendaharaan
negara tersebut diletakkan dalam kerangka makro struktural karena
kemudian membawa implikasi positif pembangunan ekonomi negara
masa itu. Bahkan secara ekstrim khalifah sebelumnya, Abu Bakar
Shiddiq memerangi orang-orang yang tidak membayar zakat.

222 
Zakat, dari segi pemerolehannya tidak akan dikumpulkan selain
dari harta orang-orang Islam, bukan dari orang non-muslim. Zakat tidak
sama dengan pajak umum, melainkan hanya semata merupakan salah
satu bentuk ibadah dan diang gap sebagai salah satu rukun Islam.
Pengumpulan zakat tidak bisa dilaksanakan karena adanya kebutuhan
negara serta maslahat jama’ah (community), seperti harta-harta lain yang
dikumpulkan dari umat. Zakat merupakan jenis harta lain, yang wajib
diberikan kepada baitul maal, baik ada kebutuhan atau pun tidak.
Al-Qur’an menegaskan bahwa salah satu golongan yang berhak
menerima bagian zakat adalah ‘amil, suatu badan pemungut dan
pembagi zakat. Sejak masa Nabi hingga pertengahan pertama masa
pemerintahan Khalifah Utsman, zakat dipungut oleh negara. Zakat
dibagikan kepada yang berhak, tidak dengan sistem memberikan
sejumlah uang tertentu yang segera habis dimakan, tetapi dengan jalan
menjadikan sebagian uang zakat sebagai modal usaha yang dapat
menyerap tenaga kerja dari mereka yang berhak atas bagian zakat.
Dalam hal ini, kata Ahmad Azhar Basyir, mantan ketua Muhammadiyah
mengatakan bahwa, jika para pekerjanya memang terdiri dari mereka
yang berhak menerima zakat, maka mereka merupakan pemilik-pemilik
modal perusahaan tempat mereka bekerja.
Zakat yang dikumpulkan berbentuk uang tunai (Dirham dan
Dinar), hasil pertanian. Mata uang ini merupakan unit moneter
perekonomian di masa awal Islam. Penarikan zakat dalam bentuk mata
uang menyebabkan munculnya penarikan terhadap zakat pendapatan
yang berasal dari kegiatan komersial seperti kerajinan tangan,
sedangkan pendapatan dari kegiatan pertanian lebih berbentuk barang,
tidak dalam bentuk uang tunai, yang berupa hasil pertanian itu sendiri.
Zakat, sungguh pun itu mengambil bentuk mengeluarkan sebagian
dari harta untuk menolong fakir-miskin dan sebagainya, juga
merupakan pensucian roh. Di sini roh dilatih menjauhi kerakusan pada
harta dan memupuk rasa bersaudara, rasa kasihan dan suka menolong
anggota masyarakat yang berada dalam kekurangan. Oleh karena itu,
zakat berfungsi sebagai funding to distribute atau pooling fund (aspek
sosial) dan effort to flowing (aspek pengendalian).
Dan yang terpenting, membayar zakat adalah untuk memberi
makan anak yatim dan berusaha memberi makan fakir miskin. Berusaha

223 
di sini mempunyai arti berusaha melalui sebuah institusi atau lembaga.
Bahwa kemiskinan memang selalu ada, tapi melalui proses institutional
building yang sistematis dan men-jawab tantangan jaman, maka orang
yang miskin itu akan terus diusahakan untuk dientaskan, sehingga
terjamin kesejahteraannya melalui kelembagaan seperti ini agar
terhindar dari kategori pembohong agama.
Dengan demikian, bila pendistribusian zakat efektif, apalagi
ditambah dengan infak dan shodaqah, maka akan hebatlah sistem
ekonomi Islam khusus nya model pengalihan (distribusi) kekayaan.
Berikut gambar berkenaan dengan model pendistribusian zakat, infak dan
shodaqah.

Bila dana zakat, infak dan shodaqoh mampu dikelola dengan baik
maka ia harus didistribusikan sesuai dengan surat At-Taubah ayat 60
dengan melihat aspek sosial dan ekonominya dari:
1. Dana sosial untuk kebutuhan pokok minimal masyarakat fakir.
2. Dana ekonomi untuk pengembangan ekonomi masyarakat miskin,
memperluas lapangan kerja dan pendapatan masyarakat.
3. Dana prestasi kerja berupa gaji bagi ’amil.
4. Dana pembinaan dan pengembangan dakwah untuk muallaf.
5. Dana pembebasan utang masyarakat fakir-miskin atau pun lainnya.
6. Dana perjuangan membebaskan perbudakan.
7. Dana perjuangan menegakkan jalan Allah SWT., jalan kebenaran.
8. Dana mengatasi permasalahan masyarakat lainnya (ibnu sabil).

224 
‫ﻋ َﻠ ْﻴﻬَﺎ وَا ْﻝ ُﻤ َﺆَّﻝ َﻔ ِﺔ ُﻗﻠُﻮ ُﺏ ُﻬ ْﻢ َوﻓِﻲ‬
َ ‫ﻦ‬
َ ‫ﻦ وَا ْﻝﻌَﺎ ِﻣﻠِﻴ‬ِ ‫ت ِﻝ ْﻠ ُﻔ َﻘﺮَا ِء وَا ْﻝ َﻤﺴَﺎآِﻴ‬
ُ ‫ﺼ َﺪﻗَﺎ‬
َّ ‫ِإ َّﻥﻤَﺎ اﻝ‬
‫ﻋﻠِﻴ ٌﻢ‬
َ ‫ﻦ اﻝَّﻠ ِﻪ وَاﻝ َﻠّ ُﻪ‬
َ ‫ﻀ ًﺔ ِﻣ‬ َ ‫ﺴﺒِﻴ ِﻞ َﻓﺮِی‬ َّ ‫ﻦ اﻝ‬ِ ‫ﺳﺒِﻴ ِﻞ اﻝَّﻠ ِﻪ َوِا ْﺏ‬
َ ‫ﻦ َوﻓِﻲ‬ َ ‫ب وَا ْﻝﻐَﺎ ِرﻣِﻴ‬ ِ ‫اﻝ ِّﺮﻗَﺎ‬
‫ﺣﻜِﻴ ٌﻢ‬َ
Oleh karena itu penggunaan zakat harus dapat dioptimalkan
kepada yang lebih membutuhkan, maka tahapan yang dilakukan dalam
peningkatan kesejahteraan dan semangat berusaha, menurut Sofyan Eko
Putra, setidaknya harus meliputi aspek:
1. Insentif ekonomi dalam rangka pemenuhan basic needs. Dalam
tahapan awal zakat didistribusikan oleh BAZ/LAZ kepada
masyarakat fakir dan miskin guna pemenuhan basic needs, seperti
kebutuhan pangan, dan kebutuhan akan kesehatan. Pada tahap ini
dana murni berasal dari zakat.
2. Pelatihan Kewirausahaan
Setelah pemenuhan akan basic needs terpenuhi, setidaknya si fakir dan
si miskin tidak khawatir akan kebutuhan setiap harinya. Tentu bagi
mustahiq yang mampu (secara fisik baik) diperlukan adanya pelatihan
akan kewirausahaan. Pada tahap ini dana berasal dari infaq dan
shadaqah. BAZ/LAZ memfasilitasi kegiatan pendidikan dan
pelatihan melalui kerjasama dengan instansi pendidikan atau LSM.
3. Pola Pembiayaan: BAZ/LAZ dan Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah
terhadap Pemberdayaan Masyarakat Fakir dan Miskin adalah
memfasilitasi pembiayaan al-Qardh, al-Mudharabah.
4. Pola Kemitraan
Pola kemitraan bertujuan untuk menunjang pemberdayaan
masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan semangat
berusaha setelah proses edukasi (pelatihan kewirausahaan) dan
pembiayaan dalam rangka menjalankan usaha.

225 
5. Tahap Kemandirian Usaha Fakir dan Miskin (Pelaku Usaha) dapat
dilihat dalam gambar 8.4 berikut:

226 
Tiga instrumen investasi publik dalam Islam itulah yang secara
makro bila diberdayakan secara optimal dengan pengelolaan secara
profesional dapat membawa implikasi positif dalam menggeliatkan
perekonomian umat, sekaligus mampu memperkecil tingkat pengang-
guran dan kemiskinan. Karena zakat, infak dan shadaqah merupakan
instrumen kebijakan fiskal dalam Islam, maka pemerintah baik pusat
hingga daerah apalagi telah di undang-undangkannya zakat menjadikan
instrumen ini dapat dioptimalkan, mengingat mayoritas penduduk
Indonesia muslim dan terbesar di dunia.
Bagi masyarakat swasta non pemerintah juga mempunyai
keterikatan batin yang perlu direspon, daripada itu, Lembaga Amil
Zakat (LAZ) yang telah mendapat izin operasional dari pemerintah,
tentu melaksanakan secara profesional pengelolaan dana zakat, infak
dan shadaqah merupakan amanat yang harus dijalankan secara optimal.
Karena itu, pemberdayaan alokasi ZIS harus secara profesional
ditangani.

227 
BAB XII
ETIKA PROFESI DALAM ISLAM

A. Pengertian Profesi

Profesi adalah pekerjaan yang memiliki karakteristik tertentu,


lazimnya pengetahuan khusus dan memiliki status dan prestise dari
masyarakat. Anggota dari profesi menentukan standard sendiri,
mengatur keanggotaannya, mendisplinkan anggotanya dan berfungsi
sebagai batasan yang sedikit dari lainnya termasuk pemerintah. Istilah
lain dari profesi sering kita artikan dengan “pekerjaan”/“job” kita
sehari-hari. Tetapi dalam kata profession yang berasal dari
perbendaharaan Anglo Saxon tidak hanya terkandung pengertian
“pekerjaan” saja. Profesi mengharuskan tidak hanya pengetahuan &
keahlian khusus melalui persiapan & latihan, tetapi dalam arti profession
yaitu suatu “panggilan”.
Dengan begitu, maka arti “profession” mengandung dua unsur.
Pertama unsur keahlian, dan kedua unsur panggilan. Sehingga seorang
“profesional” harus memadukan dalam diri pribadinya kecakapan
teknik yang diperlukan untuk menjalankan pekerjaannya, dan juga
kematangan etik. Penguasaan teknik saja tidak membuat seseorang
menjadi “profesional”. Kedua-duanya harus menyatu.
Dipihak lain, profesional adalah orang yang memperoleh peng-
hasilan dengan melakukan suatu kegiatan atau mengerjakan sesuatu
yang memerlukan keterampilan. Profesional di lain pihak menggunakan
seluruh waktu kerjanya untuk melakukan kegiatan tersebut dan dibayar
untuk melakukan kegiatan tersebut. (Ahmad Sofwani dan Darsono
Wisadirana, 2008: 39)

228 
Profesionalisme merupakan suatu tingkah laku, suatu tujuan atau
suatu rangkaian kwalitas yang menandai atau melukiskan coraknya
suatu “profesi”. Profesionalisme mengandung pula pengertian menjalan
kan suatu profesi untuk keuntungan atau sebagai sumber penghidupan.
Jadi, Profesionalisme merupakan sifat kemahiran, kemampuan, cara
pelaksanaan dari sesuatu yang dilakukan oleh seseorang. Profesio-
nalisme berasal dari profesion yang bermakna berhubungan dengan
profesi dan memerlukan kepandaian khusus untuk men-jalankannya.
Jadi Profesionalisme adalah tingkah laku, kepakaran atau kualitas dari
seseorang yang profesional (Longman, 1987).
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat simpul-
kan bahwa dikatakan profesional dalam berprofesi bila memiliki
karakteristik sebagai berikut:
1. Profesionalisme menghendaki sifat mengejar kesempurnaan hasil
(perfect result), sehingga kita di tuntut untuk selalu mencari
peningkatan mutu.
2. Profesionalisme memerlukan kesungguhan dan ketelitian kerja yang
hanya dapat diperoleh melalui pengalaman dan kebiasaan.
3. Profesionalisme menuntut ketekunan dan ketabahan, yaitu sifat tidak
mudah puas atau putus asa sampai hasil tercapai.
4. Profesionalisme memerlukan integritas tinggi yang tidak tergoyah-
kan oleh “keadaan terpaksa” atau godaan iman seperti harta dan
kenikmatan hidup.
5. Profesionalisme memerlukan adanya kebulatan fikiran dan
perbuatan, sehingga terjaga efektivitas kerja yang tinggi.
Ciri di atas menunjukkan bahwa tidaklah mudah menjadi seorang
pelak-sana profesi yang profesional, harus ada kriteria-kriteria tertentu
yang mendasarinya. Lebih jelas lagi bahwa seorang yang dikatakan
profesional adalah mereka yang sangat kompeten atau memiliki
kompetensi-kompetensi tertentu yang mendasari kinerjanya. Dan
berikut ini akan ditampilkan power point tentang etika profesi dan atau
profesional.

229 
Profesional (KBBI)
• Bersangkutan dengan profesi
• Pekerjaan yang memerlukan
kepandaian khusus untuk
menjalankannya
• Mengharuskan adanya
pembayaran untuk
melakukannya (lawan dari
amatir)

7 Syarat Pekerjaan Profesional

1. Pekerjaan tersebut adalah untuk


melayani orang banyak (umum)
2. Bagi yang ingin terlibat dalam profesi
dimaksud, harus melalui pelatihan
yang cukup lama dan berkelanjutan
3. Adanya kode etik dan standar yang
ditaati berlakunya di dalam organisasi
tersebut
4. Menjadi anggota dalam organisasi
profesi dan selalu mengikuti
pertemuan ilmiah yang
diselenggarakan oleh organisasi
profesi tersebut

7 Syarat Pekerjaan Profesional (2)


5. Mempunyai media/publikasi yang
bertujuan untuk meningkatkan
keahlian dan ketrampilan
anggotanya
6. Kewajiban menempuh ujian untuk
menguji pengetahuan bagi yang
ingin menjadi anggota
7. Adanya suatu badan tersendiri
yang diberi wewenang oleh
pemerintah untuk mengeluarkan
sertifikat

230 
Profesionalisme
• Profesionalisme adalah suatu paham yang
mencitakan dilakukannya kegiatan-kegiatan
kerja tertentu dalam masyarakat, berbekalkan
keahlian yang tinggi dan berdasarkan rasa
keterpanggilan -- serta ikrar (fateri/profiteri)
untuk menerima panggilan tersebut -- untuk
dengan semangat pengabdian selalu siap
memberikan pertolongan kepada sesama yang
tengah dirundung kesulitan di tengah gelapnya
kehidupan (Wignjosoebroto, 1999).

Bedakan dengan Kerja Biasa!

• Kerja biasa (occupation) yang


semata bertujuan untuk mencari
nafkah dan/ atau kekayaan
materiil-duniawi

3 Watak Profesionalisme
• Tiga watak kerja yang merupakan persyaratan
dari setiap kegiatan pemberian "jasa profesi" (dan
bukan okupasi) ialah
– bahwa kerja seorang profesional itu beritikad untuk
merealisasikan kebajikan demi tegaknya kehormatan
profesi yang digeluti, dan oleh karenanya tidak terlalu
mementingkan atau mengharapkan imbalan upah
materiil;
– bahwa kerja seorang profesional itu harus dilandasi oleh
kemahiran teknis yang berkualitas tinggi yang dicapai
melalui proses pendidikan dan/atau pelatihan yang
panjang, ekslusif dan berat;
– bahwa kerja seorang profesional -- diukur dengan
kualitas teknis dan kualitas moral -- harus menundukkan
diri pada sebuah mekanisme kontrol berupa kode etik
yang dikembangkan dan disepakati bersama didalam
sebuah organisasi profesi.

Sumber: Mei Alif dalam Etika Profesi

231 
B. Profesi dalam Bisnis Islami

Berusaha dalam bidang bisnis dan perdagangan adalah usaha


kerja keras. Dalam kerja keras itu, tersembunyi kepuasan batin, yang
tidak dinikmati oleh profesi lain. Dunia bisnis mengutamakan prestasi
lebih dulu, baru kemudian prestise, bukan sebaliknya prestise dulu, baru
prestasi. Generasi muda yang mengutamakan prestise dulu, mereka
tidak akan mencapai kemajuan, karena setiap kemajuan pasti menuntut
adanya prestasi. Prestasi dimulai dengan usaha kerja keras, dalam
bidang apa pun termasuk bisnis. (Buchari Alma, 2009: 157)
Kemauan keras (azam) ini dapat menggerakkan motivasi untuk
bekerja dengan sungguh-sungguh. Orang-orang yang berhasil, atau
bangsa yang berhasil ialah bangsa yang mau kerja keras, tahan
menderita, tapi berjuang terus memperbaiki nasibnya. Pekerjaan
dakwah yang dilakukan oleh Rasul pun mencerminkan kerja keras,
sehingga dapat berhasil mencapai kejayaannya. Dalam al-Qur’an Surat
Ali Imran ayat 159 dinyatakan bahwa:
‫ﻚ‬
َ ‫ﺣ ْﻮ ِﻝ‬
َ ‫ﻦ‬ْ ‫ﻀّﻮا ِﻣ‬ ُ ‫ﺐ ﻻ ْﻥ َﻔ‬ ِ ‫ﻆ ا ْﻝ َﻘ ْﻠ‬
َ ‫ﻏﻠِﻴ‬
َ ‫ﻈّﺎ‬
ً ‫ﺖ َﻓ‬
َ ‫ﺖ َﻝ ُﻬ ْﻢ َو َﻝ ْﻮ ُآ ْﻨ‬
َ ‫ﻦ اﻝَّﻠ ِﻪ ِﻝ ْﻨ‬َ ‫ﺣ َﻤ ٍﺔ ِﻣ‬ ْ ‫َﻓ ِﺒﻤَﺎ َر‬
‫ن‬
َّ ‫ﻋﻠَﻰ اﻝَّﻠ ِﻪ ِإ‬َ ‫ﺖ َﻓ َﺘ َﻮ َّآ ْﻞ‬
َ ‫ﻋ َﺰ ْﻣ‬
َ ‫ﺳ َﺘ ْﻐ ِﻔ ْﺮ َﻝ ُﻬ ْﻢ َوﺵَﺎ ِو ْر ُه ْﻢ ﻓِﻲ اﻷ ْﻣ ِﺮ َﻓ ِﺈذَا‬ ْ ‫ﻋ ْﻨ ُﻬ ْﻢ وَا‬ َ ‫ﻒ‬ ُ ‫ﻋ‬ ْ ‫ﻓَﺎ‬
‫ﻦ‬
َ ‫ﺐ ا ْﻝ ُﻤ َﺘ َﻮ ِّآﻠِﻴ‬
ُّ ‫ﺤ‬ِ ‫اﻝَّﻠ َﻪ ُی‬
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekeliling-mu. Karena itu
maafkan lah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada
Allah. Sesung guhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal
kepada-Nya.”

Perbaikan pekerjaan terus menerus, dilakukan oleh orang Jepang


dalam keseharian pekerjaan mereka, yang mereka namakan KAIZEN
yang berarti un-ending improvement (perbaikan terus menerus, tak pernah
berhenti). Dengan konsep KAIZEN ini, maka produk yang dihasilkan
oleh industri Jepang selalu ada perbaikan, selalu ada model baru.
Konsep KAIZEN dilakukan merata di seluruh bidang kehidupan, rumah
tangga, situasi belajar, mengajar, di pabrik, pemerintahan, dan
sebaliknya.

232 
Konsep KAIZEN ini digabung dengan konsep gugus kendali mutu
yang membangkitkan kreativitas dari karyawan. Setiap karyawan
melalui kelompok- nya mengevaluasi sendiri hasil kerjanya, kemudian
melakukan perbaikan, membuat usul ke atasan tentang perbaikan lebih
lanjut. Konsep KAIZEN ini sudah menjadi bibir orang Jepang sehari-hari
yang bukan lip service saja, tetapi betul-betul dilaksanakan.
Bisnis atau usaha perniagaan/perdagangan atau usaha komersial
merupakan salah satu yang penting bagi kehidupan manusia, oleh
karena bisnis beroperasi dalam rangka suatu sistem ekonomi, maka
sebagian dari tugas etika bisnis sesungguhnya ialah mengemukakan
pertanyaan-pertanyaan tentang sistem ekonomi yang umum dan
khusus, yang pada gilirannya akan berbicara tentang tepat atau tidaknya
pemakaian bahasa moral untuk menilai sistem tersebut. Al-Qur’an
memberikan informasi yang cukup banyak berkaitan dengan hal
tersebut. Diantaranya QS. An Nisa: 29 yang berbunyi:

‫ﻦ‬
ْ‫ﻋ‬
َ ‫ن ِﺕﺠَﺎ َر ًة‬
َ ‫ن َﺕﻜُﻮ‬
ْ ‫ﻃ ِﻞ إِﻻ َأ‬
ِ ‫ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا ﻻ َﺕ ْﺄ ُآﻠُﻮا َأ ْﻣﻮَا َﻝ ُﻜ ْﻢ َﺏ ْﻴ َﻨ ُﻜ ْﻢ ﺏِﺎ ْﻝﺒَﺎ‬ َ ‫یَﺎ َأ ُّیﻬَﺎ اَّﻝﺬِی‬
‫ن ِﺏ ُﻜ ْﻢ َرﺣِﻴﻤًﺎ‬َ ‫ن اﻝَّﻠ َﻪ آَﺎ‬ َّ ‫ﺴ ُﻜ ْﻢ ِإ‬
َ ‫ض ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ وَﻻ َﺕ ْﻘ ُﺘﻠُﻮا َأ ْﻥ ُﻔ‬
ٍ ‫َﺕﺮَا‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”

Dan di sisi lain Rasulullah mempunyai misi penting dalam


penyempurnaan Akhlaq, sehingga dalam berniaga/berbisnis pun ada
aturan perilaku dalam melaksanakannya., salah satunya sabda
Rasulullah saw: “Diriwayatkan dari pada Ibnu Umar r.a katanya:
Sesungguhnya Rasulullah s.a.w melarang menahan barang dagangan sebelum
tiba di pasaran. Ini adalah lafaz dari Ibnu Numair. Sedangkan menurut perawi
yang lain, sesungguhnya Nabi s.a.w melarang pembelian barang dagangan
sebelum dipasarkan”
Dalam pandangan moral manusia manapun pastilah tidak mem-
benarkan seorang mengambil milik orang lain dengan cara merampas,
dalam sebuah perusahaan seorang pejabat ataupun pekerja tidak
dibenarkan memiliki barang/uang milik perusahaan menjadi milik
pribadi. Seorang pekerja yang sadar akan etika bisnis, yang terlanjur

233 
mengambil milik perusahaan, maka ia wajib mengembalikan, kesadaran
inilah yang disebut sebagai kesadaran moral, karena ia harus memper-
tanggungjawabkan hal tersebut bukan hanya ia seorang karyawan tetapi
ia sadar bahwa ia juga seorang hamba Tuhan.
Seorang yang menimbun barang dagangan akan dianggap sebagai
seorang yang dzalim dengan melakukan monopoli padahal rakyat
sangat sulit mencari barang tersebut. Dari ayat dan hadits tersebut sudah
cukup jelaslah bahwa dalam Islam berbisnis adalah sesuatu yang
dibenarkan dan dalam mejalankannya pun terdapat aturan berperilaku
yang harus diperhatikan oleh pelaku bisnis tersebut. Dalam menjalankan
usaha tersebut pastilah dibutuhkan bekerja untuk mencapai tujuan dari
usaha/niaga/bisnis, apakah itu dengan cara pribadi, kelompok kecil
atau kelompok besar.
Dalam melakukan bisnis atau usaha tentulah seseorang perlu
bekerja. Bekerja adalah sebuah aktivitas yang menggunakan daya yang
dimiliki oleh manusia yang merupakan pemberian Allah. Secara garis
besar ada empat daya pokok yang dimiliki manusia, pertama daya fisik
yang menghasilkan kegiatan gerak tubuh dan keterampilan, kedua daya
fikir yang mendorong manusia untuk melakukan telaah atas apa yang
ada di alam semesta dan menghasilkan ilmu pengetahuan, ketiga daya
Qalbu yang menjadikan manusia mampu berimajinasi, beriman, merasa
serta berhubungan dengan manusia lain dan sang Khaliq, dan keempat
daya hidup yang menghasilkan daya juang, kemampuan menghadapi
tantangan dan kesulitan.
1. Bekerja Sebagai Ibadah
Bekerja dalam pandangan Islam memiliki nilai ibadah, firman
Allah dalam surat Adzariyat: 56:

‫ن‬
ِ ‫ﺲ إِﻻ ِﻟ َﻴ ْﻌ ُﺒﺪُو‬
َ ‫ﻦ وَاﻹ ْﻧ‬
َّ ‫ﺠ‬
ِ ‫ﺖ ا ْﻟ‬
ُ ‫ﺧَﻠ ْﻘ‬
َ ‫َوﻣَﺎ‬
“Sesungguhnya tidak aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali agar beribadah
kepada-Ku”.

Kata Li Ya’budun dalam surat tersebut mengandung arti dampak


atau akibat atau kesudahan, bahkan dalam melaksanakan shalat kita
selalu bersumpah dan berpasrah bahwa hidupku, matiku lillahi rabbil

234 
‘alamiin. Namun kerja yang di luar ibadah ritual bagai-mana yang akan
berdampak ibadah?
Kerja bernilai ibadah apabila ia didasari keikhlasan dan
menjadikan si pekerja tidak semata-mata mengharapkan imbalan
duniawi saja tetapi ia juga berharap akan balasan yang kekal di yaumil
akhirah. Dengan niatan bahwa ia bekerja untuk mendapatkan harta yang
akan ia jadikan sebagai sarana bagi dirinya untuk menyelamatkan
dirinya dan keluarganya sehingga dapat melakukan perintah Allah yang
lain.

2. Bekerja sebagai sebuah Amanah

Kata amanah, aman, dan iman berasal dari akar kata yang sama.
Seorang disebut beriman bila ia telah menunaikan amanat. Tidak disebut
beriman orang yang tidak menunaikan amanat. Seorang yang
menunaikan amanat akan melahirkan rasa aman bagi dirinya dan orang
lain. Di dalam al Qur’an banyak ayat yang memerintah kan agar
manusia menunaikan amanat yang telah dipercayakan kepadanya.
Diantaranya:
‫ﺤ ِﻤ ْﻠ َﻨﻬَﺎ‬
ْ ‫ن َی‬
ْ ‫ﻦ َأ‬
َ ‫ﺠﺒَﺎ ِل َﻓ َﺄ َﺏ ْﻴ‬
ِ ‫ض وَا ْﻝ‬
ِ ‫ت وَاﻷ ْر‬ ِ ‫ﺴﻤَﺎوَا‬ َّ ‫ﻋﻠَﻰ اﻝ‬
َ ‫ﺿﻨَﺎ اﻷﻣَﺎ َﻥ َﺔ‬ ْ ‫ﻋ َﺮ‬ َ ‫ِإ َﻥّﺎ‬
‫ﺝﻬُﻮﻻ‬ َ ‫ﻇﻠُﻮﻣًﺎ‬ َ ‫ن‬َ ‫ن ِإ َّﻥ ُﻪ آَﺎ‬
ُ ‫ﺣ َﻤ َﻠﻬَﺎ اﻹ ْﻥﺴَﺎ‬
َ ‫ﻦ ِﻣ ْﻨﻬَﺎ َو‬
َ ‫ﺵ َﻔ ْﻘ‬
ْ ‫َوَأ‬
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan
mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikul lah amanat itu oleh
manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”. (QS. al
Ahzab/33:72)

Menurut Murtadha Muthahhari amanat dalam ayat ini artinya


taklif, tanggung jawab dan hukum. Artinya amanat manusia harus
dibangun berdasarkan tugas dan tanggung jawab. Pendapat senada
dikemukakan juga oleh Muhammad Ali al-Shobumi, amanah dalam ayat
ini adalah taklif syari’at, keharusan mentaatinya dan meninggalkan
kemaksiatan. Itulah sebabnya, langit dan bumi tidak sanggup
menerimanya. Makhluk-makhluk lain selain manusia, diberi oleh Allah
instink termasuk bumi dan langit. Dengan instink ini langit dan bumi
tidak dapat menerima amanat seperti tersebut di atas. Apabila amanat
itu berupa materi mungkin ia dapat menerima, tanpa ada tanggung

235 
jawab ia hanya menerima saja. Seperti amanat Allah kepada Matahari
agar ia beredar pada poros-nya, demikian pula bumi dan bulan.

‫ﻚ َﺕ ْﻘﺪِی ُﺮ ا ْﻝ َﻌﺰِی ِﺰ ا ْﻝ َﻌﻠِﻴ ِﻢ‬


َ ‫ﺴ َﺘ َﻘ ٍّﺮ َّﻝﻬَﺎ َذ ِﻝ‬
ْ ‫ﺠﺮِي ِﻝ ُﻤ‬
ْ ‫ﺲ َﺕ‬
ُ ‫ﺸّ ْﻤ‬
َ ‫وَاﻝ‬ 38

‫ن ا ْﻝ َﻘﺪِی ِﻢ‬
ِ ‫ﺣ َﺘّﻰ ﻋَﺎ َد آَﺎ ْﻝ ُﻌ ْﺮﺝُﻮ‬
َ ‫وَا ْﻝ َﻘ َﻤ َﺮ َﻗ َّﺪ ْرﻥَﺎ ُﻩ َﻣﻨَﺎ ِز َل‬ 39

‫ﻖ اﻝ َّﻨﻬَﺎ ِر َو ُآ ٌّﻞ ﻓِﻲ‬


ُ ‫ك ا ْﻝ َﻘ َﻤ َﺮ وَﻻ اﻝ َﻠّ ْﻴ ُﻞ ﺳَﺎ ِﺏ‬
َ ‫ن ُﺕ ْﺪ ِر‬
ْ ‫ﺲ َی ْﻨ َﺒﻐِﻲ َﻝﻬَﺎ َأ‬
ُ ‫ﺸّ ْﻤ‬
َ ‫ﻻ اﻝ‬ 40

‫ن‬
َ ‫ﺴ َﺒﺤُﻮ‬ْ ‫ﻚ َی‬ ٍ ‫َﻓ َﻠ‬

“Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan


Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.
Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah
dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk
tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan
malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar
pada garis edarnya”. (QS Yasiin, 36: 38-40)

Dalam konteks ini, matahari, bumi dan bulan dalam menerima


amanah, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka. Ia tidak mempunyai
pilihan, yang ada hanya instink untuk mengikuti aturan yang telah
ditetapkan.
‫ﻃ ْﻮﻋًﺎ َو َآ ْﺮهًﺎ‬
َ ‫ض‬
ِ ‫ت وَاﻷ ْر‬
ِ ‫ﺴﻤَﺎوَا‬
َّ ‫ﻦ ﻓِﻲ اﻟ‬
ْ ‫ﺳَﻠ َﻢ َﻣ‬
ْ ‫ن َوَﻟ ُﻪ َأ‬
َ ‫ﻦ اﻟَّﻠ ِﻪ َﻳ ْﺒﻐُﻮ‬
ِ ‫َأ َﻓ َﻐ ْﻴ َﺮ دِﻳ‬
‫ن‬
َ ‫ﺟﻌُﻮ‬ َ ‫َوِإَﻟ ْﻴ ِﻪ ُﻳ ْﺮ‬
“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, Dan
kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik
dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka
dikembalikan”. (QS ali Imron/3:83)

Berbeda dengan makhluk Allah SWT yang lain, manusia diberi


potensi berupa akal. Dengan akal itu manusia sanggup dan mampu
menerima amanat yang ditawarkan kepadanya. Sebagaimana dikemuka-
kan oleh Abdul Wahab Kholaf bahwa seluruh aktivitas manusia, baik
yang berkaitan dengan ibadah, muamalah, jinayat atau berbagai
transaksi lainnya mempunyai konsekwensi hukum.

236 
Dan manusia mempunyai hak untuk memilih dan mengikuti atau
tidak melaksanakan apa yang ditawarkan kepadanya. Tetapi mengapa
manusia saat menerima tawaran Allah berupa amanat disebut sebagai
dzaluman Jahula (amat zalim dan bodoh)? Setelah manusia menerima
amanah itu, manusia mempunyai tanggung jawab dan konsekwensi
hukum dari semua yang diperbuatnya. Apabila ia menunaikan amanat
dengan menggunakan akalnya, ia termasuk manusia yang cerdas, tetapi
sebaliknya bila ia tidak sanggup menggunakan akal pikirannya untuk
menunaikan amanat itu, maka manusia disebut sebagai menzalimi
dirinya sendiri dan bersikap bodoh.
‫ن‬
َ ‫ﻦ ﻻ َﻳ ْﻌ ِﻘﻠُﻮ‬
َ ‫ﺼ ُّﻢ ا ْﻟ ُﺒ ْﻜ ُﻢ اَّﻟﺬِﻳ‬
ُّ ‫ﻋ ْﻨ َﺪ اﻟَّﻠ ِﻪ اﻟ‬
ِ ‫ب‬
ِّ ‫ﺷ َّﺮ اﻟ َّﺪوَا‬
َ ‫ن‬
َّ ‫ِإ‬
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah adalah
orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mau menggunakan akalnya”.
(QS. al Anfal/8:22)
Binatang yang paling buruk adalah manusia yang diberi akal dan
hati, tetapi ia tidak memahami, diberi telinga, tetapi tidak mendengar
dan dibekali mata, namun ia tidak sanggup melihat. Bahkan untuk
mereka di-sediakan neraka Jahanam. Manusia yang tidak pandai
memilih kebenaran yang ada dihadapannya, dan tidak sanggup
memperjuangkan keadilan yang didengarnya dan matanya tidak dapat
melihat kebenaran yang ada di sekelilingnya itulah yang disebut
dzaluman Jahula.
Dalam ayat lain Allah menegaskan bahwa siapa yang diberi
kebebasan dan amanat yang jelas kebaikannya dan ia telah merasakan
nikmat dari amanat itu, lalu ia memilih yang tidak sesuai dengan hati
nurani, tempat yang layak baginya adalah neraka Jahannam.
‫ن ِﺑﻬَﺎ َوَﻟ ُﻬ ْﻢ‬َ ‫ب ﻻ َﻳ ْﻔ َﻘﻬُﻮ‬ ٌ ‫ﺲ َﻟ ُﻬ ْﻢ ُﻗﻠُﻮ‬
ِ ‫ﻦ وَاﻹ ْﻧ‬
ِّ ‫ﺠ‬
ِ ‫ﻦ ا ْﻟ‬
َ ‫ﺠ َﻬَّﻨ َﻢ َآﺜِﻴﺮًا ِﻣ‬
َ ‫َوَﻟ َﻘ ْﺪ َذ َر ْأﻧَﺎ ِﻟ‬
‫ﻞ‬
ُّ ‫ﺿ‬
َ ‫ﻞ ُه ْﻢ َأ‬ ْ ‫ﻚ آَﺎﻷ ْﻧﻌَﺎ ِم َﺑ‬ َ ‫ن ِﺑﻬَﺎ أُوَﻟ ِﺌ‬
َ ‫ﺴ َﻤﻌُﻮ‬ْ ‫ن ﻻ َﻳ‬ ٌ ‫ن ِﺑﻬَﺎ َوَﻟ ُﻬ ْﻢ ﺁذَا‬َ ‫ﺼﺮُو‬ ِ ‫ﻦ ﻻ ُﻳ ْﺒ‬ ٌ ‫ﻋ ُﻴ‬
ْ ‫َأ‬
‫ن‬
َ ‫ﻚ ُه ُﻢ ا ْﻟﻐَﺎ ِﻓﻠُﻮ‬ َ ‫أُوَﻟ ِﺌ‬
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan
dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka
mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-
tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai

237 
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang
yang lalai. (QS. al A’raf, 7:179)

Para mufassirin sepakat bahwa makna amanat dalam ayat ini (al-
Ahzab, 33:72) amanat dalam bentuk spiritual atau immateri. Yakni
sebuah taklif atau tanggungjawab yang harus dipikul oleh orang yang
diberi amanat dan juga bermakna hukum, yaitu ketentuan yang telah
ditetapkan untuk dilaksanakan. Dalam konteks ini, amanat dapat
disamakan dengan imarat al maknawiyah yakni mengisi dan
meningkatkan kualitas dan intensitas bekerja sebagai “sebuah gerakan”
yang terus menerus, dinamis dan inovatif.

3. Bekerja Dengan Bersungguh-sungguh

Katakanlah: "Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu,


sesungguhnya akupun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui, siapakah
(di antara kita) yang akan memperoleh hasil yang baik dari dunia ini. Sesung-
guhnya, orang-orang yang zalim itu tidak akan mendapat keberuntungan.
Ayat di atas menunjukkan kepada kita bahwa dalam melakukan
sesuatu haruslah dengan kesungguhan dan kemampuan, hal ini berlaku
bukan hanya bagi pribadi namun juga akan berlaku juga dalam
kelompok atau dengan kata lain sebuah organisasi atau perusahaan.
Sebuah kata bijak (atsar) mengatakan bahwa: “kebaikan yang tidak
terencana/terorganisasi/ didasari oleh kemampuan akan dapat dikalahkan oleh
kejahatan yang terencana/terorganisasi dengan baik”. Rasulullah saw pernah
bersabda: sesungguhnya Allah senang apabila salah seorang diantara kamu
mengerjakan suatu pekerjaan, bila dikerjakan dengan baik (jitu)”

4. Menghargai Waktu

Islam sangat istimewa dalam membicarakan tentang waktu,


bahkan salah satu surat dalam Al-Qur’an khusus menuliskan bagaimana
apabila kita tidak menghargai waktu, yaitu dalam surat Al-Ashr. Dalam
surat ini Allah dengan jelas memperingatkan kepada manusia
(pribadi/kelompok) apabila ia tidak betul-betul memperhatikan waktu,
dengan ancaman kerugian (dalam hal ini kerugian mencakup secara
materi maupun immaterial) dan hal tersebut dapat terhindari apabila ia
mampu menjaga komitmen (amanu) dengan konsekuen menjalankan

238 
aturan dan kewajiban (amilu Ash-sholihat). Imam Ali mengatakan “Waktu
adalah Pedang, apabila ia tidak tepat dimanfaatkan maka ia dapat
melukai/membunuh diri sendiri”

5. Kerjasama

Dalam ibadah shalat kita selalu membaca “iyyaka na’budu .” Ayat


tersebut di kemukakan secara jamak yang berati “hanya kepada-Mu kami
menyembah…”, Islam begitu mengutamakan sesuatu yang dilakukan
secara berjamaah. Dalam kesehariannya rasululahpun selalu
mengingatkan untuk saling bekerjasama.
Pernah pada suatu hari Rasulullah dan para sahabat ingin melaku-
kan makan bersama, salah seorang sahabat mengatakan “aku akan
mencari kambingnya”, lalu sahabat kedua mengatakan “saya akan
menyembelihnya”, dan sahabat ketiga mengatakan “saya akan
mengkulitinya”, dan yang keempat mengatakan “saya akan memasaknya”.
Maka Rasulullah saw bersabda: saya akan mengumpulkan kayu
bakarnya.
Dalam kisah lain, pada saat membangun masjid nabawi para
sahabat menganjurkan Rasulullah untuk beristirahat/tidak perlu ikut
turun tangan, namun Rasulullah tetap ikut dalam pembangunan masjid
tersebut. Dari sini jelaslah bahwa Islam sangat menganjurkan Budaya
Bekerjasama dalam hal kebaikkan.

‫ن‬
ِ ‫ﻋﻠَﻰ اﻹ ْﺛ ِﻢ وَا ْﻟ ُﻌ ْﺪوَا‬
َ ‫ﻋﻠَﻰ ا ْﻟ ِﺒ ِّﺮ وَاﻟَّﺘ ْﻘﻮَى وَﻻ َﺗﻌَﺎ َوﻧُﻮا‬
َ ‫َو َﺗﻌَﺎ َوﻧُﻮا‬
“… Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya”. (QS:Al-Maidah:2)

6. Bekerja dengan pengetahuan (Ilmu)

Dalam melakukan sebuah pekerjaan seharusnyalah seseorang


memiliki pengetahuan atas apa yang akan ia kerjakan, hal ini akan
berdampak pada apa yang akan dihasilkan dari pekerjaan itu.
‫ﻋ ْﻨ ُﻪ‬
َ ‫ن‬
َ ‫ﻚ آَﺎ‬
َ ‫ﻞ أُوَﻟ ِﺌ‬
ُّ ‫ﺼ َﺮ وَا ْﻟ ُﻔﺆَا َد ُآ‬
َ ‫ﺴ ْﻤ َﻊ وَا ْﻟ َﺒ‬
َّ ‫ن اﻟ‬
َّ ‫ﻋ ْﻠ ٌﻢ ِإ‬
ِ ‫ﻚ ِﺑ ِﻪ‬
َ ‫ﺲ َﻟ‬
َ ‫ﻒ ﻣَﺎ َﻟ ْﻴ‬
ُ ‫وَﻻ َﺗ ْﻘ‬
‫ﺴﺌُﻮﻻ‬ ْ ‫َﻣ‬

239 
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan
hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS:Al-Isra:
36)
Dalam surah yang lain yang Allah menjanjikan bahwa orang yang
memiliki pengetahuan lebih mulia beberapa derajat.
‫ﺢ اﻟَّﻠ ُﻪ َﻟ ُﻜ ْﻢ‬ ِ‫ﺴ‬َ ‫ﺴﺤُﻮا َﻳ ْﻔ‬ َ ‫ﺲ ﻓَﺎ ْﻓ‬ ِ ‫ﺴﺤُﻮا ﻓِﻲ ا ْﻟ َﻤﺠَﺎِﻟ‬ َّ ‫ﻞ َﻟ ُﻜ ْﻢ َﺗ َﻔ‬
َ ‫ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا ِإذَا ﻗِﻴ‬ َ ‫ﻳَﺎ َأُّﻳﻬَﺎ اَّﻟﺬِﻳ‬
‫ﻦ أُوﺗُﻮا ا ْﻟ ِﻌ ْﻠ َﻢ‬ َ ‫ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ وَاَّﻟﺬِﻳ‬
َ ‫ﺸﺰُوا َﻳ ْﺮ َﻓ ِﻊ اﻟَّﻠ ُﻪ اَّﻟﺬِﻳ‬ ُ ‫ﺸﺰُوا ﻓَﺎ ْﻧ‬ ُ ‫ﻞ ا ْﻧ‬ َ ‫َوِإذَا ﻗِﻴ‬
‫ﺧﺒِﻴ ٌﺮ‬ َ ‫ن‬ َ ‫ت وَاﻟَّﻠ ُﻪ ِﺑﻤَﺎ َﺗ ْﻌ َﻤﻠُﻮ‬ ٍ ‫َد َرﺟَﺎ‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-
lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.
Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(QS:Al-
Mujaadilah:11)

7. Bekerja dengan memiliki keahlian

Selain Ilmu yang dimiliki kita juga harus memiliki keahlian


(spesialisasi) dalam bekerja yang juga akan berdampak pada hasil yang
kita dapatkan. Rasulullah Saw bersabda: “Apabila suatu urusan diserahkan
kepada bukan ahlinya maka tunggulah saat kehancurannya”. (HR. Bukhori)

8. Pengendalian Mutu

Setelah pekerjaan dilakukan dengan amanah, berdasarkan ilmu


dan keahlian maka tugas terakhir dalam pekerjaan tersebut adalah
melakukan pengendalian mutu dari apa yang kita kerjakan. Karena hal
tersebut harus dipertanggungjawabkan apakah itu kepada manusia lain
atau sang khaliq.
‫ن ِإﻟَﻰ ﻋَﺎِﻟ ِﻢ‬
َ ‫ﺳ ُﺘ َﺮ ُدّو‬
َ ‫ن َو‬
َ ‫ﻋ َﻤَﻠ ُﻜ ْﻢ َو َرﺳُﻮُﻟ ُﻪ وَا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣﻨُﻮ‬ َ ‫ﺴ َﻴﺮَى اﻟَّﻠ ُﻪ‬ َ ‫ﻋ َﻤﻠُﻮا َﻓ‬ ْ ‫ﻞا‬ِ ‫َو ُﻗ‬
‫ن‬
َ ‫ﺸﻬَﺎ َد ِة َﻓ ُﻴ َﻨ ِﺒّ ُﺌ ُﻜ ْﻢ ِﺑﻤَﺎ ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ َﺗ ْﻌ َﻤﻠُﻮ‬
َّ ‫ﺐ وَاﻟ‬ِ ‫ا ْﻟ َﻐ ْﻴ‬

240 
“Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan
dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang
nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan".
(QS: At-Taubah:105)

C. Sejarah Para Nabi dalam Al-Qur’an tentang Profesi

Tahukah anda, bahwa para Nabi juga punya keahlian bahkan


banyak dari mereka dikenal mempunyai etos kerja yang luar biasa.
Walau tugas utama para Nabi adalah berdakwah tapi oleh Allah mereka
diberikan keahlian untuk bisa menghidupi dirinya dan keluarganya,
kadang profesi itu berkaitan dengan kondisi sosial kultural masyarakat
atau kaum para Nabi tersebut. Sebagai Khalifah di muka bumi para Nabi
tidak diajarkan mengharapkan bantuan langit atau menjadi peminta
minta atas nama Tuhan.
Lalu apa profesi Para nabi itu? Nabi Adam sebagai Nabi Pertama
dikenal sebagai Peternak dan petani yang andal, konon di zaman nabi
Adam sudah mengenal cara bercocok tanam dan pengairan yang baik
termasuk beternak mereka sudah hidup menetap bukan sebagai
masyarakat nomaden. kisah Qurban anak nabi Adam bisa jadi salah satu
contoh (QS 4:27-29). Selanjutnya Nabi Idris, tidak ada sumber yang jelas
kecuali ada salah satu hadits yang mengabarkan kalau Nabi Idris
seorang penjahit. Kemungkinan juga Nabi Idris seorang yang ahli
astronomi, zaman Nabi Idris ilmu perbintangan/astronomi sangat
digemari ada sejarawan yang mengaitkan dengan pembangunan
Piramida di Mesir (Nabi Idris hidup sebelum piramid dibangun).
Lalu bagaimana dengan Nabi Nuh, Nabi Nuh seorang ahli
Perkapalan atau tukang pembuat kapal. Dalam Teks Quran di jelaskan
Nabi Nuh membuat kapal di atas gunung untuk mengantisipasi
datangnya banjir besar, saya yakin Allah menyuruh membuat Kapal
tersebut karena kaum Nabi Nuh memang jago membuat kapal apalagi
mereka hidup di dekat Sungai Eufrat di lembah Tigris yang subur.
Nabi Shaleh merupakan satu dari 4 Nabi yang hidup di jazirah
Arabia, kaum nabi Shaleh sangat mahir dalam ilmu pahat, mereka
memahat dinding untuk dijadikan rumah dengan berbagai gambar (QS

241 
7:74), sisa-sisa kemampuan kaum Nabi Shaleh masih terekam dilanjut-
kan anak cucu mereka yang berhasil membangun kota tua Petra di
Yordania.
Lanjut ke Nabi Yusuf, Nabi Yusuf yang keturunan Yakub (Israil)
hidup di Mesir (sebagai imigran). Sejak jaman dahulu bangsa Mesir
dikenal mempunyai sistem administrasi pemerintahan yang sangat rapi.
Bangsa Mesir dianggap sebagai bangsa tertua yang mengenal sistem
pencatatan keuangan negara yang rapi walau cukup sederhana karena
masih memakai sistem single entry (sekarang memakai double entry
lazim dikenal dengan istilah Debet & Kredit). Dan nabi Yusuf di beri
tugas sebagai bendaharawan negara Mesir lihat teks Quran (QS 12:55-
56). jaman modern sekarang tugas pencatat keuangan dikenal dengan
nama Accountant.
Nabi terbesar Bani Israil yaitu Nabi Musa dikenal sebagai
penggembala ternak di negeri Madyan, (QS 22:22-28). sebagian besar
nabi di Timur tengah adalah penggembala ternak. Sedangkan Nabi
Harun merupakan ahli dalam komunikasi, Nabi Harun diangkat Nabi
untuk membantu tugas Nabi Musa.
Nabi Daud yang diberi kitab Zabur merupakan Pandai Besi yang
hebat. pada Zaman nabi Daud sering terjadi peperangan tapi ilmu
penggunaan besi baru diajarkan Allah ke Nabi Daud, jadi jangan heran
kalau raja jalut yang hebat bisa dengan mudah dikalahkan Nabi Daud
(QS: 2:251). Sampai sekarang kisahnya dikenal dengan cerita David
(Daud) Vs Goliath (Jalut).
Anak Nabi Daud adalah Nabi Sulaiman dikenal sebagai nabi yang
ahli di bidang Konstruksi bangunan dan juga seorang ahli Etologi suatu
cabang ilmu Zoologi yaitu mempelajari tentang prilaku hewan. Namun
sayang sekali sisa-sisa kehebatan bangunan Nabi Sulaiman tinggal
reruntuhannya saja, dihancurkan oleh raja Nabukadnezar dari
Babylonia. Baitul Maqdis yang sekarang adalah salah satu kompleks
bangunan yang dibangun Nabi Sulaiman.
Nabi Bani Israil yang lain adalah Nabi Zakaria, dalam salah satu
hadits dikatakan Nabi Zakaria adalah tukang kayu. Nabi Zakaria
merupakan bapak Nabi Yahya.

242 
Nabi Berikutnya adalah Nabi Isa, nabi paling fenomenal dalam
sejarah kenabian kisah hidupnya diperdebatkan Islam & Kristen. lalu
apa keahlian nabi Isa? jaman Nabi Isa ilmu pengobatan medis berkem-
bang sangat pesat pengaruh dari kebudayaan Yunani walau kadang
masih bercampur dengan mistis. oleh Allah, Nabi Isa diberikan
kelebihan bisa menyembuhkan orang buta dari lahir bahkan bisa
menghidupkan orang yang sudah mati (QS:3:49).
Dan Nabi penutup & Nabi akhir zaman. Nabi Muhammad dikenal
sebagai seorang saudagar/pedagang yang hebat (beliau lebih lama jadi
saudagar kurang lebih 25 tahun dibanding jadi nabi selama 23 tahun)
disamping itu nabi Muhammad juga seorang pemimpin militer yang
hebat, ahli pengobatan yang andal dan Negarawan yang bijaksana. Jejak
hidup Nabi Muhammad terekam dengan jelas dalam sejarah tulis, ini
karena beliau hadir ketika jaman tulis sudah bagus. (Sumber Indra
Sastrawat). hal ini dapat dilihat dalam surat-surat al-Qur’an mengenai
kisah-kisah Nabi sebagai berikut:

SEJARAH PARA NABI DALAM AL’QURAN


(TENTANG PROFESI)
| Nabi Daud as.
y QS. Saba’; 10-11 (pengolahan besi)&QS. Kahfi: 96
y Hadits: “Nabi Daud adalah tukang besi pembuat
senjata, nabi Adam adalah seorang petani, Nabi Nuh
adalah seorang tukang kayu, Nabi Idris adalah
tukang jahit, Nabi Musa adalah Penggembala” HR.
Al-Hakim .

| Nabi Sulaiman as.


y QS. Saba’ ; 12
| Nabi Nuh as.
y QS. Hud; 37-38, 42

243 
‫ﺤﺪِﻳ َﺪ‬
‫ﻄ ْﻴ َﺮ َوَأَﻟ َﻨّﺎ َﻟ ُﻪ ا ْﻟ َ‬
‫ل َأ ِّوﺑِﻲ َﻣ َﻌ ُﻪ وَاﻟ َّ‬
‫ﺟﺒَﺎ ُ‬
‫وََﻟ َﻘ ْﺪ ﺁ َﺗ ْﻴﻨَﺎ دَا ُو َد ِﻣ َﻨّﺎ َﻓﻀْﻼ ﻳَﺎ ِ‬ ‫‪10‬‬

‫ن َﺑﺼِﻴ ٌﺮ‬
‫ﻋ َﻤﻠُﻮا ﺹَﺎِﻟﺤًﺎ ِإ ِﻧّﻲ ِﺑﻤَﺎ َﺗ ْﻌ َﻤﻠُﻮ َ‬
‫ﺴ ْﺮ ِد وَا ْ‬
‫ت َو َﻗ ِّﺪ ْر ﻓِﻲ اﻟ َّ‬
‫ﻞ ﺳَﺎ ِﺑﻐَﺎ ٍ‬
‫ﻋ َﻤ ْ‬
‫نا ْ‬
‫َأ ِ‬ ‫‪11‬‬

‫ﻦ‬
‫ﻄ ِﺮ َو ِﻣ َ‬
‫ﻦ ا ْﻟ ِﻘ ْ‬ ‫ﻋ ْﻴ َ‬‫ﺳ ْﻠﻨَﺎ َﻟ ُﻪ َ‬
‫ﺷ ْﻬ ٌﺮ َوَأ َ‬
‫ﺡﻬَﺎ َ‬‫ﺷ ْﻬ ٌﺮ َو َروَا ُ‬ ‫ﻏ ُﺪ ُّوهَﺎ َ‬ ‫ﺢ ُ‬ ‫ن اﻟ ِﺮّﻳ َ‬ ‫ﺴَﻠ ْﻴﻤَﺎ َ‬
‫َوِﻟ ُ‬ ‫‪12‬‬

‫ب‬
‫ﻋﺬَا ِ‬
‫ﻦ َ‬ ‫ﻦ َأ ْﻣ ِﺮﻧَﺎ ُﻧ ِﺬ ْﻗ ُﻪ ِﻣ ْ‬
‫ﻋْ‬ ‫غ ِﻣ ْﻨ ُﻬ ْﻢ َ‬
‫ﻦ َﻳ ِﺰ ْ‬
‫ن َرِّﺑ ِﻪ َو َﻣ ْ‬
‫ﻦ ﻳَ َﺪ ْﻳ ِﻪ ِﺑِﺈ ْذ ِ‬
‫ﻞ َﺑ ْﻴ َ‬
‫ﻦ َﻳ ْﻌ َﻤ ُ‬‫ﻦ َﻣ ْ‬‫ﺠ ِّ‬ ‫ا ْﻟ ِ‬
‫ﺴﻌِﻴ ِﺮ‬‫اﻟ َّ‬
‫ت‬
‫ﺳﻴَﺎ ٍ‬
‫ب َو ُﻗﺪُو ٍر رَا ِ‬
‫ﺠﻮَا ِ‬
‫ن آَﺎ ْﻟ َ‬
‫ﺟﻔَﺎ ٍ‬
‫ﻞ َو ِ‬‫ﺐ َو َﺗﻤَﺎﺛِﻴ َ‬
‫ﻦ َﻣﺤَﺎرِﻳ َ‬ ‫ن َﻟ ُﻪ ﻣَﺎ َﻳﺸَﺎ ُء ِﻣ ْ‬
‫َﻳ ْﻌ َﻤﻠُﻮ َ‬ ‫‪13‬‬
‫ﺸﻜُﻮ ُر‬
‫ي اﻟ َّ‬
‫ﻋﺒَﺎ ِد َ‬ ‫ﻦ ِ‬‫ﻞ ِﻣ ْ‬
‫ﺷ ْﻜﺮًا َو َﻗﻠِﻴ ٌ‬
‫ل دَا ُو َد ُ‬
‫ﻋ َﻤﻠُﻮا ﺁ َ‬‫اْ‬
‫ﺴَﺄ َﺗ ُﻪ‬
‫ﻞ ِﻣ ْﻨ َ‬
‫ض َﺗ ْﺄ ُآ ُ‬
‫ﻋﻠَﻰ َﻣ ْﻮ ِﺗ ِﻪ إِﻻ دَا َﺑّ ُﺔ اﻷ ْر ِ‬ ‫ت ﻣَﺎ َدَّﻟ ُﻬ ْﻢ َ‬
‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ ا ْﻟ َﻤ ْﻮ َ‬
‫ﻀ ْﻴﻨَﺎ َ‬ ‫َﻓَﻠ َﻤّﺎ َﻗ َ‬ ‫‪14‬‬
‫ﻦ‬
‫ب ا ْﻟ ُﻤﻬِﻴ ِ‬ ‫ﺐ ﻣَﺎ َﻟ ِﺒﺜُﻮا ﻓِﻲ ا ْﻟ َﻌﺬَا ِ‬‫ن ا ْﻟ َﻐ ْﻴ َ‬
‫ن َﻟ ْﻮ آَﺎﻧُﻮا َﻳ ْﻌَﻠﻤُﻮ َ‬‫ﻦ َأ ْ‬
‫ﺠ ُّ‬
‫ﺖ ا ْﻟ ِ‬ ‫ﺧ َّﺮ َﺗ َﺒَّﻴ َﻨ ِ‬
‫َﻓَﻠ َﻤّﺎ َ‬
‫ق َرِّﺑ ُﻜ ْﻢ‬
‫ﻦ ِر ْز ِ‬
‫ل ُآﻠُﻮا ِﻣ ْ‬
‫ﺷﻤَﺎ ٍ‬
‫ﻦ َو ِ‬
‫ﻦ َﻳﻤِﻴ ٍ‬
‫ﻋْ‬
‫ن َ‬
‫ﺟَّﻨﺘَﺎ ِ‬
‫ﺴ َﻜ ِﻨ ِﻬ ْﻢ ﺁ َﻳ ٌﺔ َ‬
‫ﺴ َﺒٍﺈ ﻓِﻲ َﻣ ْ‬ ‫ن ِﻟ َ‬
‫َﻟ َﻘ ْﺪ آَﺎ َ‬ ‫‪15‬‬
‫ﻏﻔُﻮ ٌر‬ ‫ب َ‬‫ﻃِّﻴ َﺒ ٌﺔ َو َر ٌّ‬ ‫ﺷ ُﻜﺮُوا َﻟ ُﻪ َﺑ ْﻠ َﺪ ٌة َ‬
‫وَا ْ‬
‫ﻞ‬
‫ﻲ ُأ ُآ ٍ‬
‫ﻦ َذوَا َﺗ ْ‬
‫ﺟَّﻨ َﺘ ْﻴ ِ‬
‫ﺠَّﻨ َﺘ ْﻴ ِﻬ ْﻢ َ‬
‫ﻞ ا ْﻟ َﻌ ِﺮ ِم َو َﺑ َّﺪ ْﻟﻨَﺎ ُه ْﻢ ِﺑ َ‬
‫ﺳ ْﻴ َ‬
‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬ ْﻢ َ‬
‫ﺳ ْﻠﻨَﺎ َ‬
‫ﻋ َﺮﺿُﻮا َﻓَﺄ ْر َ‬ ‫َﻓَﺄ ْ‬ ‫‪16‬‬
‫ﻞ‬
‫ﺳ ْﺪ ٍر َﻗﻠِﻴ ٍ‬
‫ﻦ ِ‬ ‫ﻲ ٍء ِﻣ ْ‬‫ﺷ ْ‬ ‫ﻞ َو َ‬ ‫ﻂ َوَأ ْﺛ ٍ‬
‫ﺧ ْﻤ ٍ‬
‫َ‬
‫ﻞ ُﻧﺠَﺎزِي إِﻻ ا ْﻟ َﻜﻔُﻮ َر‬
‫ﺟ َﺰ ْﻳﻨَﺎ ُه ْﻢ ِﺑﻤَﺎ َآ َﻔﺮُوا َو َه ْ‬
‫ﻚ َ‬
‫َذِﻟ َ‬ ‫‪17‬‬

‫ﺴ ْﻴ َﺮ‬
‫ﻦ ا ْﻟ ُﻘﺮَى اَّﻟﺘِﻲ ﺑَﺎ َر ْآﻨَﺎ ﻓِﻴﻬَﺎ ُﻗﺮًى ﻇَﺎ ِه َﺮ ًة َو َﻗ َّﺪ ْرﻧَﺎ ﻓِﻴﻬَﺎ اﻟ َّ‬ ‫ﺟ َﻌ ْﻠﻨَﺎ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬ ْﻢ َو َﺑ ْﻴ َ‬
‫َو َ‬ ‫‪18‬‬
‫ﻦ‬
‫ﻲ َوَأ َﻳّﺎﻣًﺎ ﺁ ِﻣﻨِﻴ َ‬‫ﺳِﻴﺮُوا ﻓِﻴﻬَﺎ َﻟﻴَﺎِﻟ َ‬
‫‪Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud karunia dari‬‬ ‫‪10‬‬
‫‪Kami. (Kami berfirman): "Hai gunung-gunung dan burung-burung,‬‬
‫‪bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud", dan Kami telah‬‬
‫‪melunakkan besi untuknya,‬‬

‫‪(yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; 11‬‬
‫‪dan kerjakanlah amalan yang saleh. Sesungguhnya Aku melihat apa‬‬
‫‪yang kamu kerjakan.‬‬

‫‪Dan Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang perjalanannya di 12‬‬


‫‪waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya di‬‬
‫‪waktu sore sama dengan perjalanan sebulan (pula) dan Kami alirkan‬‬
‫‪cairan tembaga baginya. Dan sebahagian dari jin ada yang bekerja di‬‬
‫‪hadapannya (di bawah kekuasaannya) dengan izin Tuhannya. Dan‬‬

‫‪244 ‬‬
siapa yang menyimpang di antara mereka dari perintah Kami, Kami
rasakan kepadanya azab neraka yang apinya menyala-nyala.
Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari 13
gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring
yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas
tungku). Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada
Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba Ku yang berterima
kasih.

Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada 14


yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap
yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur,
tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang gaib
tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan.
Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di 15
tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan
dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu
dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu
kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu)
adalah Tuhan Yang Maha Pengampun".

Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka 16


banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua
kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon
Atsl dan sedikit dari pohon Sidr.
Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena 17
kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang
demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat
kafir.

Dan Kami jadikan antara mereka dan antara negeri-negeri yang Kami 18
limpahkan berkat kepadanya, beberapa negeri yang berdekatan dan
Kami tetapkan antara negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan.
Berjalanlah kamu di kota-kota itu pada malam dan siang hari dengan
aman.

245 
D. Kewajiban Karyawan dan Perusahaan serta Sebaliknya

Hak dan Kewajiban Konsumen dan Produsen

‹ Hak dan Kewajiban Konsumen


- Hak Konsumen
1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa..
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta
mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan
nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan.

5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan


konsumen, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan
konsumen.
7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara
benar dan jujur serta tidak diskriminatif
8. hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi,
dan/atau penggantian jika barang dan/atau jasa
yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian dan
tidak sebagaimana mestinya

Hubungan antara tenaga kerja dan perusahaan merupakan


hubungan timbal-balik maka ketika salah satu pihak mengerjakan
kewajiban mereka maka hak pihak lainnya akan terpenuhi, begitu juga
sebaliknya. Kewajiban kedua belah pihak, yang mana jika kewajiban-
kewajiban itu dilaksanakan maka hak masing-masingpun akan
terpenuhi.
Menurut Yana Rizky, ada tiga kewajiban karyawan yang penting.
Yaitu kewajiban ketaatan, kewajiban konfidensialitas, dan kewajiban
loyalitas.

246 
1. Kewajiban Ketaatan

Seorang karyawan yang memasuki sebuah perusahaan tertentu


memiliki konsekuensi untuk taat dan patuh terhadap perintah dan
petunjuk yang diberikan perusahaan karena mereka sudah terikat
dengan perusahaan. Namun demikian, karyawan tidak harus mematuhi
semua perintah yang diberikan oleh atasannya apabila perintah tersebut
dinilai tidak bermoral dan tidak wajar. Seorang karyawan di dalam
perusahaan juga tidak harus menaati perintah perusahaan tersebut
apabila penugasan yang diberikan kepada-nya tidak sesuai dengan
kontrak yang telah disepakati sebelumnya.

2. Kewajiban Konfidensialitas

Kewajiban konfidensialitas adalah kewajiban untuk menyimpan


informasi yang sifatnya sangat rahasia. Setiap karyawan di dalam
perusahaan, ter-utama yang memiliki akses ke rahasia perusahaan
seperti akuntan, bagian operasi, manajer, dan lain-lain memiliki
konsekuensi untuk tidak membuka rahasia perusahaan kepada khalayak
umum. Kewajiban ini tidak hanya dipegang oleh karyawan tersebut
selama ia masih bekerja disana, tetapi juga setelah karyawan tersebut
tidak bekerja di tempat itu lagi. Sangat lah tidak etis apabila seorang
karyawan pindah ke perusahaan baru dengan membawa rahasia
perusahaannya yang lama agar ia mendapat gaji yang lebih besar.

3. Kewajiban Loyalitas

Konsekuensi lain yang dimiliki seorang karyawan apabila dia


bekerja di dalam sebuah perusahaan adalah dia harus memiliki loyalitas
terhadap perusahaan. Dia harus mendukung tujuan-tujuan dan visi-misi
dari perusahaan tersebut. Karyawan yang sering berpindah-pindah
pekerjaan dengan harapan memperoleh gaji yang lebih tinggi dipandang
kurang etis karena dia hanya berorientasi pada materi belaka. Ia tidak
memiliki dedikasi yang sungguh-sungguh kepada perusahaan di tempat
dia bekerja. Maka sebagian perusahaan menganggap tindakan ini
sebagai tindakan yang kurang etis bahkan lebih ekstrim lagi mereka
menganggap tindakan ini sebagai tindakan yang tidak bermoral.

247 
Selain membebani karyawan dengan berbagai kewajiban terhadap
perusahaan, suatu perusahaan juga berkewajiban untuk memberikan
hak-hak yang sepadan dengan karyawan. Perusahaan hendaknya tidak
melakukan praktik-praktik diskriminasi dan eksploitasi terhadap para
karyawannya. Perusahaan juga harus memperhatikan kesehatan para
karyawannya, serta perusahaan hendaknya tidak berlaku semena-mena
terhadap para karyawannya.
Ada beberapa alasan mengapa diskriminasi dianggap tidak pantas
di dalam perusahaan. Alasan-alasan tersebut antara lain adalah:
a. Diskriminasi bisa merugikan perusahaan itu tersendiri, karena
perusahaan tidak berfokus pada kapasitas dan kapabilitas calon
pelamar, melainkan pada faktor-faktor lain di luar itu. Perusahaan
telah kehilangan kemampuan bersaingnya karena perusahaan
tersebut tidak diisi oleh orang-orang yang kompeten di bidangnya.
b. Diskriminasi juga melecehkan harkat dan martabat dari orang yang
didiskriminasi.
c. Diskriminasi juga tidak sesuai dengan teori keadilan. Terutama
keadilan distributif.

Lawan kata dari diskriminasi adalah favoritisme. Favoritisme


berarti mengistimewakan seseorang dalam menyeleksi karyawan,
menyediakan bonus, dan sebagainya. Meskipun berbeda jauh dengan
diskriminasi, favoritisme tetap dipandang tidak adil karena memper-
lakukan orang lain secara tidak merata. Namun di dalam hal-hal
tertentu, favoritisme masih dapat ditolerir seperti dalam pengelolaan
took kecil dan tempat-tempat peribadatan. Favoritisme tidak dapat
ditolerir lagi di dalam pemerintahan dan perusahaan-perusahaan besar
yang membutuhkan ketrampilan dan kemampuan yang lebih terhadap
para pegawainya. Prinsip ini juga bertentangan dengan prinsip birokrasi
yang dikemukakan oleh Max Weber.
Perusahaan hendaknya juga mendistribusikan gaji secara adil
terhadap seluruh karyawannya. Hendaknya perusahaan tidak hanya
menggunakan evaluasi kinerja saja untuk menentukan gaji para
karyawannya, tapi akan lebih etis lagi apabila perusahaan juga ikut
memperhitungkan berapa kepala yang bergantung pada sang karyawan
tersebut. Terakhir, perusahaan hendaknya juga tidak bertindak semena-

248 
mena dalam mengeluarkan karyawan. Menurut Garrett dan Klonoski
ada tiga alasan yang lebih konkret untuk memberhentikan karyawan.
Yaitu:
1. Perusahaan hanya boleh memberhentikan karyawan karena alasan
yang tepat.
2. Perusahaan harus berpegang teguh pada prosedur yang telah
ditetapkan sebelumnya.
3. Perusahaan harus membatasi akibat negative bagi karyawan sampai
seminimal mungkin.

249 
BAB XIII
KONSEP KEADILAN DALAM BISNIS

A. Pengertian Keadilan dalam Bisnis Islami

Kata ‘adl (‫ﻋﺪْل‬


َ ) dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 28 kali
di dalam al-Quran. Kata ‘adl sendiri disebutkan 13 kali, Kata ‘adl di
dalam al-Quran memiliki aspek dan objek yang beragam, begitu pula
pelakunya. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna ‘adl
(keadilan). Kata adil dalam Alquran mempunyai arti yang beragam dan
mencakup pengertian dan bidang yang berbeda.
Al-Qur'an menggunakan pengertian yang berbeda-beda bagi kata
atau istilah yang bersangkut-paut dengan keadilan. Bahkan kata yang
digunakan untuk menampilkan sisi atau wawasan keadilan juga tidak
selalu berasal dari akar kata 'adl. Kata-kata sinonim seperti qisth, hukm
dan sebagainya digunakan oleh al-Qur'an dalam pengertian keadilan.
Sedangkan kata 'adl dalam ber-bagai bentuk konjugatifnya bisa saja
kehilangan kaitannya yang langsung dengan sisi keadilan itu (ta'dilu,
dalam arti mempersekutukan Tuhan dan 'adl dalam arti tebusan).
Kalau dikategorikan, ada beberapa pengertian yang berkaitan
dengan keadilan dalam al-Qur'an dari akar kata 'adl itu, yaitu sesuatu
yang benar, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang
dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan ("Hendaknya kalian
menghukumi atau mengambil ke-putusan atas dasar keadilan"). Secara
keseluruhan, pengertian-pengertian di atas terkait langsung dengan sisi
keadilan, yaitu sebagai penjabaran bentuk-bentuk keadilan dalam
kehidupan. Dari terkaitnya beberapa pengertian kata 'adl dengan
wawasan atau sisi keadilan secara langsung itu saja, sudah tampak

250 
dengan jelas betapa porsi "warna keadilan" mendapat tempat dalam al-
Qur'an, sehingga dapat dimengerti sikap sekelompok Mu'tazilah dan
Syi'ah untuk menempatkan keadilan ('adalah) sebagai salah satu dari
lima prinsip utama al-Mabdi al-Khamsah.) dalam keyakinan atau akidah
mereka.
Beberapa makna keadilan dalam Alquran adalah persamaan
dalam hak, mencakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses
pengambilan keputusan, berada di pertengahan dan mempersamakan,
seimbang, perhatian terhadap hak individu dan memberikan hak itu
kepada setiap pemiliknya. Namun adil dalam pasar adalah keadilan
yang diperoleh oleh pembeli atas penjual dan penjual atas pembeli.
Artinya, bagaimana proses perdagangan di pasar terjadi keadilan harga,
dengan tidak mengurangi timbangan.

B. Teori Keadilan dalam Produksi Islami

Islam hanya membolehkan usaha yang dilakukan dengan adil,


jujur dan cara yang bijaksana. Sedangkan usaha yang tidak adil dan
salah, sangat dicela. Sebab usaha semacam ini dapat menimbulkan
ketidakpuasan pada masyarakat dan akhirnya menyebabkan kehan-
curan. Karena itu, sistem ekonomi Islam bebas dari kesewenang-
wenangan, eksploitasi model kapitalisme dan kediktatoran model
komunisme.
Untuk mencapai sasaran ini, Islam tidak memberikan kebebasan
tanpa batas di dalam usaha ekonomi seperti yang terdapat pada sistem
kapitalis, dimana orang-orang diijinkan mencari harta sebanyak
mungkin yang mereka suka dan dengan cara yang mereka sukai pula
dan memberi kebebasan tanpa batas kepada setiap orang dalam
memperjuangkan ekonominya, sehingga orang dapat memperoleh harta
sebanyak-banyaknya. Islam tidak pula terlalu mengikat manusia dengan
pengawasan ekonomi seperti yang dilakukan komunisme, sehingga
orang-orang kehilangan kebebasan secara total dan juga tidak menekan
sehingga setiap manusia kehilangan seluruh kebebasan individunya.
Islam telah memberikan prinsip-prinsip produksi yang adil dan
wajar dalam sebuah bisnis di mana mereka dapat memperoleh kekayaan
tanpa mengeksploitasi individu-individu lainnya atau merusak

251 
kemaslahatan masyarakat. Dengan demikian, ekonomi Islam akan
terbebas dari kezaliman dan penindasan. Sistem ekonomi Islam telah
memberikan keadilan dan persamaan prinsip produksi sesuai
kemampuan masing-masing tanpa menindas orang lain atau meng-
hancurkan masyarakat.
Al-Quran tidak menyetujui cara-cara perolehan kekayaan yang
men-datangkan keuntungan di satu pihak dan menyebabkan kerugian
di pihak lain, atau di mana penghasilan seseorang mengorbankan
kemaslahatan masyarakat (umum). Suatu yang diridhai dalam Islam
adalah perdagangan suka sama suka, yaitu perdagangan yang saling
menguntungkan baik bagi penjual atau pembeli.
Jika seseorang mencari dan mendapatkan kekayaan dengan cara
yang tidak benar ia tidak hanya merusak usaha dirinya, tetapi akan
menciptakan kondisi yang tidak harmonis di pasar yang pada akhirnya
akan menghancurkan usaha orang lain. Menyebabkan kebencian,
permusuhan, penipuan, ketidakjujuran, kekerasan, saling menindas
antar masyarakat dan merusak solidaritas. Merusak sistem ekonomi dan
akhirnya akan menghancurkan keseluruhan sistem sosial termasuk
orang yang melakukan tindak kekerasan.
Al-Quran juga menjelaskan bagaimana bangsa pada jaman-jaman
yang telah lalu mengalami kehancuran karena menggunakan cara yang
tidak adil dan salah dalam melakukan usaha bersama. Dalam surat An-
Nisaa’ Al-Quran memperhitungkan kejahatan dan penganiayaan yang
dilakukan orang Yahudi, dengan firman-Nya dalam An-Nisaa’: 161.

‫ﻦ ِﻣ ْﻨ ُﻬ ْﻢ‬
َ ‫ﻋ َﺘ ْﺪﻧَﺎ ِﻟ ْﻠﻜَﺎ ِﻓﺮِﻳ‬
ْ ‫ﻞ َوَأ‬
ِ‫ﻃ‬
ِ ‫س ﺑِﺎ ْﻟﺒَﺎ‬
ِ ‫ل اﻟ َﻨّﺎ‬
َ ‫ﻋ ْﻨ ُﻪ َوَأ ْآِﻠ ِﻬ ْﻢ َأ ْﻣﻮَا‬
َ ‫ﺧ ِﺬ ِه ُﻢ اﻟ ِّﺮﺑَﺎ َو َﻗ ْﺪ ُﻧﻬُﻮا‬
ْ ‫َوَأ‬
‫ﻋﺬَاﺑًﺎ َأﻟِﻴﻤًﺎ‬َ
“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah
dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan
jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di
antara mereka itu siksa yang pedih. (An-Nisaa’, 4: 161)

Salah satu sebab kehancuran bangsa Yahudi, seperti dijelaskan


pada ayat tersebut, mereka mendapatkan kekayaan orang lain dengan
cara yang tidak adil. Ini menunjukkan bahwa mendapatkan harta
dengan jalan yang salah adalah dosa besar karena perbuatan ini akan

252 
mengakibatkan kejahatan dalam masyarakat, mengganggu
keseimbangan perekonomian dan secara bertahap menghancurkannya.
(Afzalurrahman, Jilid 1, 217)
Sebuah perbandingan dalam memperoleh harta dengan cara yang
benar dan dengan cara yang salah dicantumkan Allah dalam firmannya:

‫ﺚ ﻓَﺎ َّﺗﻘُﻮا اﻟَّﻠ َﻪ ﻳَﺎ أُوﻟِﻲ‬


ِ ‫ﺨﺒِﻴ‬
َ ‫ﻚ َآ ْﺜ َﺮ ُة ا ْﻟ‬
َ ‫ﺠ َﺒ‬
َ‫ﻋ‬ْ ‫ﺐ َوَﻟ ْﻮ َأ‬
ُ ‫ﻄ ِّﻴ‬
َّ ‫ﺚ وَاﻟ‬ُ ‫ﺨﺒِﻴ‬
َ ‫ﺴ َﺘﻮِي ا ْﻟ‬ ْ ‫ﻞ ﻻ َﻳ‬ ْ ‫ُﻗ‬
‫ن‬
َ ‫ب َﻟ َﻌَّﻠ ُﻜ ْﻢ ُﺗ ْﻔِﻠﺤُﻮ‬
ِ ‫اﻷ ْﻟﺒَﺎ‬
Katakanlah, “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya
yang buruk itu menarik hatimu, Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-
orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.” (Al-Maidah, 5: 100)

Setelah membuat satu perbandingan, Al-Quran menyimpulkan


bahwa harta yang diperoleh dengan cara yang halal adalah lebih baik
dari pada yang di peroleh dengan cara yang haram, meskipun jumlah
harta yang haram itu mungkin berlipat ganda. Pada ayat di atas terdapat
kiasan bagi orang yang bijaksana agar berpuas hati dengan pendapatan
yang bersih dan halal yang berhak ia peroleh meskipun jumlahnya
sedikit, daripada mendapat yang banyak tapi tidak halal.
Keberhasilan dan kemakmuran yang berlangsung langgeng ter-
letak pada keadilan dan persamaan bagi semua warga sehingga tidak
seorangpun dapat melakukan kesalahan dalam produksi. Al-Quran
menjamin kemakmuran masyarakat yang semacam ini yaitu yang
melaksanakan kejujuran dengan cara-cara yang halal dalam mem-
peroleh harta dan tidak tertipu oleh kekayaan yang melimpah. Prinsip
ini dinyatakan dalam firman Allah dalam surat Fushshilat: 31,
‫ﺴ ُﻜ ْﻢ َوَﻟ ُﻜ ْﻢ ﻓِﻴﻬَﺎ‬
ُ ‫ﺸ َﺘﻬِﻲ َأ ْﻧ ُﻔ‬
ْ ‫ﺧ َﺮ ِة َوَﻟ ُﻜ ْﻢ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻣَﺎ َﺗ‬
ِ ‫ﺤﻴَﺎ ِة اﻟ ُّﺪ ْﻧﻴَﺎ َوﻓِﻲ اﻵ‬
َ ‫ﻦ َأ ْوِﻟﻴَﺎ ُؤ ُآ ْﻢ ﻓِﻲ ا ْﻟ‬
ُ‫ﺤ‬ْ ‫َﻧ‬
‫ن‬
َ ‫ﻣَﺎ َﺗ َّﺪﻋُﻮ‬
“Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di
dalam nya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula)
di dalamnya apa yang kamu minta.” (Fushshilat, 41: 31)
Orang yang mencapai kehidupan bahagia dan makmur yang ber-
langsung lama di dunia dan akhirat, adalah mereka yang menjalani
kehidupan dengan semestinya dan tabah, berpegang pada prinsip
kebenaran dan keadilan seperti di terangkan di atas. Sesungguhnya

253 
segala bentuk produksi, yang diperoleh dengan tidak adil dan batil
diharamkan Islam. Hanya cara yang adil dan seimbang dalam produksi
yang diperbolehkan.
Tidak diragukan lagi bahwa produksi dalam sebuah bisnis dalam
ekonomi harus dilakukan dengan adil, jujur dan cara yang bijaksana,
tidak diperkenankan usaha yang tidak adil dan salah. Usaha yang salah,
tidak adil dan jujur akan mengakibatkan kehancuran dalam masyarakat.
Prinsip yang adil dan seimbang adalah suatu sistem ekonomi yang tidak
terlalu bebas seperti sistem kapitalis dan menekan seperti sistem
komunis, tidak ada kesewenang-wenangan dan eksploitasi yang
merusak individu dan masyarakat banyak, terbebas dari kezaliman dan
penindasan yang dilakukan para produsen yang tidak bertang-
gungjawab kepada konsumen. Usaha yang dianjurkan dalam Islam
adalah usaha yang dilakukan suka sama suka, tidak menguntungkan
disebagain pihak dan merugikan pihak lain. (Dikutip dari Johar Arifin,
2013)

C. Teori Keadilan dalam Konsumsi Islami

Setiap manusia yang hidup di dunia selalu melakukan aktivitas


perekonomian terutama aktivitas konsumsi. Aktivitas konsumsi tidak
akan pernah lepas dari kehidupan kita sehari hari. Konsumsi ini pun di-
lakukan atas dasar kebutuhan dan keinginan yang melihat pada
pendapatan setiap masing-masing individunya. Semakin tinggi
pendapatan maka semakin tinggi pula tingkat konsumsinya walau
mungkin banyak hal belum terlalu perlu dikonsumsi.
James Desenbery mengemukakan pendapatnya bahwa penge-
luaran konsumsi suatu masyarakat di tentukan terutama oleh tingginya
pendapatan tertinggi yang pernah dicapainya. Ia berpendapat bahwa
apabila pendapatan berkurang, konsumen tidak akan banyak
mengurangi pengeluarannya untuk konsumsi. Untuk mempertahankan
tingkat konsumsi yang tinggi ini, mereka terpaksa mengurangi saving.
Terlihat dari pendapat yang diungkapkan oleh James Desenbery
bahwa memang tingkat konsumsi masyarakat tergantung dari pen-
dapatannya bahkan konsumen tidak akan mengurangi konsumsinya
untuk mempertahankan tingkat konsumsi yang tinggi, inilah yang

254 
diajarkan dalam teori konvensional bahwa ketika kita mengkonsumsi
sesuatu bagaimana kita dapat memperoleh keinginan dan kepuasan
yang kita harapkan walau itu bisa saja mendzalimi orang lain karena
sikap berlebih-lebihan.
Tingkat teori nilai guna atau kepuasan menjelaskan bahwa teori
ekonomi yang mempelajari kepuasan atau kenikmatan yang diperoleh
seorang konsumen dari mengkonsumsikan barang-barang. Kalau
kepuasan itu semakin tinggi maka semakin tinggi nilai guna atau utility-
nya. Sebaliknya semakin rendah kepuasan dari suatu barang maka
utility-nya semakin rendah pula. Itulah kepuasan tertinggi yang menjadi
tujuan dalam berkonsumsi menurut teori-teori konvensional.
Dalam Islam hal transaksi ekonomipun diatur terutama dalam hal
konsumsi karena apa-apa yang dianugerahkan kepada Allah di muka
bumi ini adalah anugerah terindah yang harus dimanfaatkan oleh setiap
umat guna menuju kesejahteraan atau falah. Bukan berlebih-lebihan
dalam berkonsumsi walaupun kita mempunyai pendapatan yang
banyak sebagaimana diatur dalam Al-Quran:
‫ﺐ‬
ُّ ‫ﺤ‬
ِ ‫ﺴ ِﺮﻓُﻮا ِإ َﻧّ ُﻪ ﻻ ُﻳ‬
ْ ‫ﺷ َﺮﺑُﻮا وَﻻ ُﺗ‬
ْ ‫ﺠ ٍﺪ َو ُآﻠُﻮا وَا‬
ِ‫ﺴ‬
ْ ‫ﻞ َﻣ‬
ِّ ‫ﻋ ْﻨ َﺪ ُآ‬
ِ ‫ﺧﺬُوا زِﻳ َﻨ َﺘ ُﻜ ْﻢ‬
ُ ‫ﻳَﺎ َﺑﻨِﻲ ﺁ َد َم‬
‫ﻦ‬
َ ‫ﺴ ِﺮﻓِﻴ‬
ْ ‫ا ْﻟ ُﻤ‬
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid.
Makan dan minumlah, namun janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah
itu tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. (Q.S. Al-A’raf, 7: 31).

Jelaslah bahwa ketika kita berkonsumsi pun tidak layak untuk


berlebih-lebihan. Bukan hanya keinginan hawa nafsu yang diperturuti-
kan ketika kita mengkonsumsi barang karena dalam pendapatan kita
pun ada hak-hak orang lain.
Bagaimana dengan modal harta yang kita miliki ini dapat
mendekatkan diri kepada Allah apa tidak? Bagaimana setiap transaksi
kita ini bisa berlaku adil dan menjadi kebaikan di akhirat kelak?
Bagaimana konsumsi yang diridhoi Allah, halal serta thayyib?
Ada beberapa hal prinsip keadilan dalam teori konsumsi menurut
Islam yaitu:

255 
1. Prinsip Keadilan
Syarat ini mengandung arti ganda yang penting mengenai mencari
rezeki secara halal dan tidak dilarang hukum. Transaksi konsumsi sama-
sama atas dasar keadilan tidak ada yang saling mendzalimi.

2. Prinsip Kebersihan
Syariat yang kedua ini tercantum dalam kitab suci Al-Qur’an
maupun Sunnah tentang makanan. Harus baik atau cocok untuk
dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera.

3. Prinsip Kesederhanaan
Prinsip ini mengatur prilaku manusia mengenai makanan dan
minuman adalah sikap tidak berlebih-lebihan, yang berarti jangan lah
makan secara berlebih.
‫ﻦ‬
َ ‫ح ُﻣ َﻜِّﻠﺒِﻴ‬
ِ ‫ﺠﻮَا ِر‬ َ ‫ﻦ ا ْﻟ‬
َ ‫ﻋَّﻠ ْﻤ ُﺘ ْﻢ ِﻣ‬
َ ‫ت َوﻣَﺎ‬
ُ ‫ﻄِّّﻴﺒَﺎ‬
َ ‫ﻞ َﻟ ُﻜ ُﻢ اﻟ‬
َّ ‫ﺡ‬
ِ ‫ﻞ ُأ‬ْ ‫ﻞ َﻟ ُﻬ ْﻢ ُﻗ‬ َّ ‫ﺡ‬ِ ‫ﻚ ﻣَﺎذَا ُأ‬ َ ‫ﺴَﺄﻟُﻮ َﻧ‬
ْ ‫َﻳ‬
‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ‬
َ ‫ﺳ َﻢ اﻟَّﻠ ِﻪ‬
ْ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ُﻜ ْﻢ وَا ْذ ُآﺮُوا ا‬
َ ‫ﻦ‬َ ‫ﺴ ْﻜ‬
َ ‫ﻋَﻠّ َﻤ ُﻜ ُﻢ اﻟَّﻠ ُﻪ َﻓ ُﻜﻠُﻮا ِﻣ َﻤّﺎ َأ ْﻣ‬
َ ‫ﻦ ِﻣ َﻤّﺎ‬ َّ ‫ُﺗ َﻌِّﻠﻤُﻮ َﻧ ُﻬ‬
‫ب‬
ِ ‫ﺤﺴَﺎ‬ ِ ‫ﺳﺮِﻳ ُﻊ ا ْﻟ‬ َ ‫ن اﻟَّﻠ َﻪ‬ َّ ‫وَا َّﺗﻘُﻮا اﻟَّﻠ َﻪ ِإ‬
”Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?"
Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang
ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya
untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah
kepadamu, Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan
sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguh nya Allah amat cepat hisab-Nya”.
(Q.S Al Maidah, 5: 4)

4. Prinsip Kemurahan Hati


Prinsip ini mengajarkan kepada kita bahwa dengan transaksi
konsumsi yang kita lakukan adalah berdasar pada kemurahan hati, tidak
serakah dalam mengkonsumsi sesuatu.

5. Prinsip Moralitas
Jelaslah ketika kita mengkonsumsi sesuatu dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan yang bermuara pada Allah dan tidak menge-
sampingkan apa-apa yang diharamkan kepada Allah maka disinilah

256 
fungsi moralitas layak diterapkan. Karena memang ketika mengklon-
sumsi hanya berharap keridhoan Allah semata dan mempertimbangkan
halal-haram menjadi referensi berkonsumsi seperti dalam Al-Quran
dijelaskan:
‫ﻦ‬
ْ ‫س َوِإ ْﺛ ُﻤ ُﻬﻤَﺎ َأ ْآ َﺒ ُﺮ ِﻣ‬ ِ ‫ﻞ ﻓِﻴ ِﻬﻤَﺎ ِإ ْﺛ ٌﻢ َآﺒِﻴ ٌﺮ َو َﻣﻨَﺎ ِﻓ ُﻊ ﻟِﻠ َﻨّﺎ‬ ْ ‫ﺴ ِﺮ ُﻗ‬
ِ ‫ﺨ ْﻤ ِﺮ وَا ْﻟ َﻤ ْﻴ‬
َ ‫ﻦ ا ْﻟ‬
ِ‫ﻋ‬ َ ‫ﻚ‬ َ ‫ﺴَﺄﻟُﻮ َﻧ‬
ْ ‫َﻳ‬
‫ت َﻟ َﻌَّﻠ ُﻜ ْﻢ‬
ِ ‫ﻦ اﻟَّﻠ ُﻪ َﻟ ُﻜ ُﻢ اﻵﻳَﺎ‬ ُ ‫ﻚ ُﻳ َﺒِّﻴ‬
َ ‫ﻞ ا ْﻟ َﻌ ْﻔ َﻮ َآ َﺬِﻟ‬
ِ ‫ن ُﻗ‬َ ‫ﻚ ﻣَﺎذَا ُﻳ ْﻨ ِﻔﻘُﻮ‬ َ ‫ﺴَﺄﻟُﻮ َﻧ‬
ْ ‫َﻧ ْﻔ ِﻌ ِﻬﻤَﺎ َو َﻳ‬
‫ن‬
َ ‫َﺗ َﺘ َﻔ َّﻜﺮُو‬
”Mereka bertanya kepadamu (Nabi) tentang khamar dan judi. Katakanlah,”
pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia,
tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya ...”. (Q.s. Al Baqarah, 2:
219)

6. Maka antara transaksi ekonomi dan keimanan pun tak dapat


dipisahkan

Sungguh indah Islam mengajarkan kepada kita bahkan tentang


bagaimana kita melakukan transaksi ekonomi pun telah diatur, karena
ini merupakan fasilitas bekal kita menuju perjumpaan dengan Allah.
Maka sebaik-baik harta adalah harta yang berada di tangan orang-orang
mukmin. bagaimana kita bisa memperjuangkan ekonomi Islam jikalau
dalam diri-diri ini masih sering tak menghiraukan prinsip-prinsip ini.
bagaimana bisa? Maka kewajiban bagi orang-orang beriman adalah
memanfaatkan harta-harta yang dimiliki hanya untuk mendekatkan diri
kepada Allah, karena itulah tujuan pemberian fasilitas ini dari Allah ya
untuk beribadah kepada-Nya. Sehingga harta di tangan mereka para
mukminin tujuan dari ekonomi Islam yaitu menuju kesejahteraan atau
falah dan modal yang diberikan oleh Allah kepada manusia untuk taat
kepada Allah akan tercapai Insya Allah.

D. Teori-teori tentang Keadilan dalam Bisnis

1. Paham Tradisional Mengenai Keadilan


a. Keadilan Legal
Menyangkut hubungan antara individu atau kelompok masyarakat
dengan negara. Intinya adalah semua orang atau kelompok

257 
masyarakat diperlakukan secara sama oleh negara di hadapan
hukum.

b. Keadilan Komutatif
1. Mengatur hubungan yang adil atau fair antara warga negara satu
dengan warga negara lainnya.
2. Menuntut agar dalam interaksi sosial antara warga satu dengan
yang lainnya tidak boleh ada pihak yang dirugikan hak dan
kepentingannya.
3. Jika diterapkan dalam bisnis, berarti relasi bisnis dagang harus
terjalin dalam hubungan yang setara dan seimbang antara pihak
yang satu dengan lainnya.
4. Dalam bisnis, keadilan komutatif disebut sebagai keadilan tukar.
Dengan kata lain keadilan komutatif menyangkut pertukaran yang
fair antara pihak-pihak yang terlibat.
5. Keadilan ini menuntut agar baik biaya maupun pendapatan sama-
sama dipikul secara seimbang. (Sumber dari Reni Wulandari).
c. Keadilan Distributif
Keadilan distributif (keadilan ekonomi) adalah distribusi ekonomi
yang merata atau yang dianggap merata bagi semua warga negara.
Dalam sistem aristokrasi, pembagian itu adil kalau kaum ningrat
mendapat lebih banyak, sementara para budaknya sedikit. Menurut
Aristoteles, distribusi ekonomi didasarkan pada prestasi dan peran
masing-masing orang dalam mengejar tujuan bersama seluruh warga
negara. Dalam dunia bisnis, setiap karyawan harus digaji sesuai
dengan prestasi, tugas, dan tanggungjawab yang diberikan
kepadanya. Keadilan distributif juga berkaitan dengan prinsip
perlakuan yang sama sesuai dengan aturan dan ketentuan dalam
perusahaan yang juga adil dan baik.

2. Keadilan Individual dan Struktural

Keadilan dan upaya menegakkan keadilan menyangkut aspek


lebih luas berupa penciptaan sistem yang mendukung terwujudnya
keadilan tersebut. Prinsip keadilan legal berupa perlakuan yang sama
terhadap setiap orang bukan lagi soal orang perorang, melainkan
menyangkut sistem dan struktur sosial politik secara keseluruhan.

258 
Untuk bisa menegakkan keadilan legal, dibutuhkan sistem sosial politik
yang memang mewadahi dan memberi tempat bagi tegak-nya keadilan
legal tersebut, termasuk dalam bidang bisnis.
Dalam bisnis, pimpinan perusahaan manapun yang melakukan
diskriminasi tanpa dasar yang bisa dipertanggungjawabkan secara legal
dan moral harus ditindak demi menegakkan sebuah sistem organisasi
perusahaan yang memang menganggap serius prinsip perlakuan yang
sama, fair atau adil ini. Dalam bidang bisnis dan ekonomi, mensyaratkan
suatu pemerintahan yang juga adil: pemerintah yang tunduk dan taat
pada aturan keadilan dan bertindak berdasarkan aturan keadilan itu.
Yang dibutuhkan adalah apakah sistem sosial politik berfungsi
sedemikian rupa hingga memungkinkan distribusi ekonomi bisa
berjalan baik untuk mencapai suatu situasi sosial dan ekonomi yang bisa
dianggap cukup adil.
Pemerintah mempunyai peran penting dalam hal menciptakan
sistem sosial politik yang kondusif, dan juga tekadnya untuk menegak
kan keadilan. Termasuk di dalamnya keterbukaan dan kesediaan untuk
dikritik, diprotes, dan digugat bila melakukan pelanggaran keadilan.
Tanpa itu ketidakadilan akan merajalela dalam masyarakat.

3. Teori Keadilan Adam Smith

Keadilan sesungguhnya hanya punya satu arti, yaitu keadilan


komutatif yang menyangkut kesetaraan, keseimbangan, keharmonisan
hubungan antara satu orang atau pihak dengan orang atau pihak yang
lain. Menurut Adam Smith, keadilan distributif justru tidak berkaitan
dengan hak. Ada 3 prinsip pokok keadilan komutatif menurut Adam
Smith:

a. Prinsip No Harm
Prinsip tidak merugikan orang lain, khususnya tidak merugikan hak
dan kepentingan orang lain.

b. Prinsip Non-Intervention
Prinsip tidak ikut campur tangan. Prinsip ini menuntut agar demi
jaminan dan penghargaan atas hak dan kepentingan setiap orang,

259 
tidak seorang pun diperkenankan untuk ikut campur tangan dalam
kehidupan dan kegiatan orang lain.

c. Prinsip Keadilan Tukar


Prinsip keadilan tukar atau prinsip pertukaran dagang yang fair,
terutama terwujud dan terungkap dalam mekanisme harga dalam
pasar. Ini sesungguhnya merupakan penerapan lebih lanjut prinsip
no harm secara khusus dalam pertukaran dagang antara satu pihak
dengan pihak lain dalam pasar.

4. Teori Keadilan John Rowls

Pasar memberi kebebasan dan peluang yang sama bagi semua


pelaku ekonomi. Kebebasan adalah nilai dan salah satu hak asasi paling
penting yang dimiliki oleh manusia, dan ini dijamin oleh sistem
ekonomi pasar. Pasar memberi peluang bagi penentuan diri manusia
sebagai makhluk yang bebas.
Ekonomi pasar menjamin kebebasan yang sama dan kesempatan
yang fair. Prinsip-prinsip keadilan John Rowls yaitu prinsip kebebasan
yang sama dan prinsip perbedaan. John Rawls dikenal sebagai salah
seorang filosof yang secara keras mengkritik sistem ekonomi pasar
bebas, khususnya teori keadilan pasar sebagaimana dianut Adam Smith.
Ia sendiri pada tempat pertama menerima dan mengakui keunggulan
sistem ekonomi pasar. Pertama-tama, karena pasar memberi kebebasan
dan peluang yang sama bagi semua pelaku ekonomi. Kebebasan adalah
nilai dan salah satu hak asasi paling penting yang dimiliki oleh manusia
dan dijamin oleh sistem ekonomi pasar. Pasar memberi peluang bagi
penentuan diri manusia sebagai makhluk yang bebas. Ekonomi pasar
menjamin kebebasan yang sama dan kesempatan yang fair.
Akan tetapi Rawls mengkritik teori ini setelah diketahui bahwa
kebebasan pasar tidaklah adil. Meski pun awalanya ia menerima sistem
ini, sebagaimana katanya bahwa setiap orang harus mempunyai hak
yang sama atas sistem kebebasan dasar yang sama yang paling luas
sesuai dengan sistem kebebasan serupa bagi semua. Namun ia
mengkritik atas kebebasan pasar ini, menurutnya:
“Karena tidak ada usaha untuk mempertahankan suatu kesamaan, atau
kemiripan, kondisi sosial. Maka distribusi awal dari aset-aset untuk

260 
suatu periode sangat dipengaruhi oleh keadaan alamiah dan sosial yang
kebetulan. Distribusi pendapatan dan kemakmuran yang ada, demikian
dapat dikatakan, merupakan akibat kumulatif dari distribusi alamiah,
yaitu bakat dan kemam puan alamiah, sebelum distribusi pasar bebas”.
Karena itu, menurut Rawls, pasar bebas justru menimbulkan
ketidakadilan. Bagi Rawls, “Ketidakadilan yang paling jelas dari sistem
kebebasan kodrati adalah bahwa sistem ini mengizinkan pembagian kekayaan
dipengaruhi secara tidak tepat oleh kondisi-kondisi (alamiah dan sosial yang
kebetulan) ini, yang dari sudut pandang moral sedemikian sewenang-wenang”.
Dengan demikian, menurut Rawls, jalan keluar utama untuk
memecahkan ketidakadilan distribusi ekonomi oleh pasar adalah
dengan mengatur sistem dan struktur sosial agar terutama menguntung-
kan kelompok yang tidak beruntung. Tentu saja dengan catatan sistem
ini tetap memberi prioritas pada kebebasan yang sama bagi semua
orang. Tetapi, kebebasan yang sama itu harus tetap disertai dengan
penataan struktur sosial, politik, dan ekonomi agar tidak melanggeng-
kan ketidakadilan distributive. Demikian keadilan distribusi menurut
Rawls.

5. Keadilan Distribusi dalam Islam

Islam mengharuskan keadilan secara mutlak. Dalam surat An-


Nisa (4): 58 tentang keadilan Allah SWT. menyatakan:

‫ﺤ ُﻜﻤُﻮا‬
ْ ‫ن َﺗ‬
ْ ‫س َأ‬
ِ ‫ﻦ اﻟ َﻨّﺎ‬
َ ‫ﺡ َﻜ ْﻤ ُﺘ ْﻢ َﺑ ْﻴ‬
َ ‫ت ِإﻟَﻰ َأ ْهِﻠﻬَﺎ َوِإذَا‬
ِ ‫ن ُﺗ َﺆ ُدّوا اﻷﻣَﺎﻧَﺎ‬ ْ ‫ن اﻟَّﻠ َﻪ َﻳ ْﺄ ُﻣ ُﺮ ُآ ْﻢ َأ‬
َّ ‫ِإ‬
‫ﺳﻤِﻴﻌًﺎ َﺑﺼِﻴﺮًا‬ َ ‫ن‬َ ‫ن اﻟَّﻠ َﻪ آَﺎ‬
َّ ‫ﻈ ُﻜ ْﻢ ِﺑ ِﻪ ِإ‬
ُ ‫ن اﻟَّﻠ َﻪ ِﻧ ِﻌ َﻤّﺎ َﻳ ِﻌ‬
َّ ‫ل ِإ‬ ِ ‫ﺑِﺎ ْﻟ َﻌ ْﺪ‬
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada mu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Selanjutnya, dalam surah Al-An’am(6): 152 dikatakan:
‫ن‬
َ ‫ﻞ وَا ْﻟﻤِﻴﺰَا‬ َ ‫ﺷ َﺪّ ُﻩ َوَأ ْوﻓُﻮا ا ْﻟ َﻜ ْﻴ‬
ُ ‫ﺡ َﺘّﻰ َﻳ ْﺒُﻠ َﻎ َأ‬
َ ‫ﻦ‬
ُ‫ﺴ‬ َ‫ﺡ‬ ْ ‫ﻲ َأ‬َ ‫ل ا ْﻟ َﻴ ِﺘﻴ ِﻢ إِﻻ ﺑِﺎَّﻟﺘِﻲ ِه‬ َ ‫وَﻻ َﺗ ْﻘ َﺮﺑُﻮا ﻣَﺎ‬
‫ن ذَا ُﻗ ْﺮﺑَﻰ َو ِﺑ َﻌ ْﻬ ِﺪ اﻟَّﻠ ِﻪ‬ َ ‫ﻋ ِﺪﻟُﻮا َوَﻟ ْﻮ آَﺎ‬ ْ ‫ﺳ َﻌﻬَﺎ َوِإذَا ُﻗ ْﻠ ُﺘ ْﻢ ﻓَﺎ‬ْ ‫ﻒ َﻧ ْﻔﺴًﺎ إِﻻ ُو‬ ُ ّ‫ﻂ ﻻ ُﻧ َﻜِﻠ‬ ِ‫ﺴ‬ ْ ‫ﺑِﺎ ْﻟ ِﻘ‬
‫ن‬
َ ‫ﺹّﺎ ُآ ْﻢ ِﺑ ِﻪ َﻟ َﻌَّﻠ ُﻜ ْﻢ َﺗ َﺬ َّآﺮُو‬
َ ‫َأ ْوﻓُﻮا َذِﻟ ُﻜ ْﻢ َو‬

261 
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan
timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah
kamu berlaku adil kendati pun dia adalah kerabat (mu), dan penuhilah janji
Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat”.

Nabi mengatakan: “Seandainya Fatimah mencuri, pasti kupotong


tangannya”. Tuntutan untuk berlaku adil dalam Islam, tidak bisa
ditawar-tawar lagi. M. Quriash Shihab dalam ”Wawasan Al-Qur’an”
mengatakan bahwa, setidaknya ada empat makna keadilan; sama,
seimbang, perhatian kepada hak-hak individu dan memberikan hak-hak
itu kepada setiap pemiliknya dan adil yang dinisbatkan kepada Allah.
Adil yang bermula dari sikap personal, harus terlebih dahulu dijadikan
produk legal.
Dalam kegiatan ekonomi, keadilan pada umumnya dibagi menjadi
dua macam, yaitu: distributive justice dan productive justice. Keadilan
distribusi, di mana semua yang terlibat dalam proses produksi berhak
atas hasil kerjanya. Negara, sebagai pemilik kerja masyarakat, wajib
memberi santunan pada seluruh warga yang terlibat dalam proses
produksi. Beda dengan keadilan distribusi, keadilan produksi pelaku-
nya adalah perusahaan, bentuknya berupa pembagian pemilikan
kekayaan perusahaan dan penerimanya karyawan di perusahaan yang
bersangkutan. Rasulullah bersabda, “Karyawanmu adalah saudaramu
sendiri yang Allah jadikan sebagai pegawaimu. Karena itu, barangsiapa
memiliki saudara sebagai pegawainya, biarkan ia menikmati hasil jerih
payahnya dan berpakaian dengan apa yang dapat dikenakannya dan janganlah
memberi beban di luar kekuatannya. Jika kalian mampu, bantulah dia”.
Jadi, keadilan distribusi dan produksi sangatlah penting dan
keduanya harus beriringan. Negara, sebagai pelaku tunggal dalam
menetralisir keadilan distribusi harus berfungsi efektif, adil dan
transparan, seperti negara harus mengusahakan standar hidup yang
layak bagi tiap warganya, yang tidak mampu membiayai hidupnya
sendiri hingga memerlukan bantuan. Rasulullah Saw. secara tegas
bersabda, “Bagi yang diberi amanat Allah menjadi penguasa atas urusan kaum

262 
muslimin tapi acuh tak acuh terhadap kebutuhan dan kemiskinan mereka, Allah
pun akan acuh tak acuh terhadap kebutuhan dan kemiskinan (penguasa) itu”.
Umar bin Khattab ra., khalifah kedua, dalam salah satu pidatonya
menyatakan bahwa tiap warga negara berhak mendapatkan kekayaan
masyarakat secara adil, hingga tidak seorang pun sekali pun dirinya
sendiri dapat berbuat sewenang-wenang. Bahkan seekor domba di
Gurun Sinai pun harus menerima bagian dari kekayaan ini. Khalifah Ali
konon juga menegaskan,
“Allah telah mewajibkan si kaya untuk membantu si miskin dengan apa
yang cocok bagi mereka. Jika si miskin kelaparan, telanjang, atau
kesusahan, hal ini disebabkan hak si miskin telah dirampas oleh si kaya.
Dan Allah berhak untuk merampas harta si kaya sekaligus meng-
hukumnya”.

Konsep keadilan Islam dalam pembagian pendapatan dan


kekayaan bukanlah berarti bahwa setiap orang harus menerima imbalan
sama persis tanpa mempertimbangkan kontribusinya kepada masya-
rakat. Islam membolehkan ada nya perbedaan pendapatan, karena
memang manusia diciptakan tidak sama dalam watak, kemampuan dan
pengabdiannya kepada masyarakat. Oleh sebab itu, keadilan distribusi
dalam Islam merupakan (i) jaminan standar hidup yang layak bagi
setiap warga negara melalui pelatihan yang tepat, pekerjaan yang cocok
dan upah yang layak, keamanan masyarakat dan bantuan keuangan bagi
yang membutuhkan melalui pelembagaan zakat dan (ii) penggalakan
pembagian kekayaan melalui sistem penyebaran pada tingkat orang-
orang yang lemah, membolehkan perbedaan pendapatan sesuai dengan
perbedaan kontribusinya terhadap masyarakat.
Ada pun keadilan produksi berkaitan dengan hak dan kewajiban
seseorang, seperti hubungan antara pekerja dan majikan (pengusaha).
Islam meletakkannya dalam proporsi yang tepat sehingga menciptakan
keadilan di antara mereka. Seorang pegawai berhak mendapatkan upah
yang pantas atas jerih payahnya dan tidak dibenarkan jika majikan
mengeksploitasi pekerjaannya. “Tiga orang”, sabda Rasulullah Saw.,
“Yang akan menghadapi murka Allah SWT. di hari kiamat kelak, yaitu:
orang yang tidak mematuhi janjinya kepada Allah, orang yang menjual
sesamanya (budak) secara bebas dan orang yang mempekerjakan buruh

263 
sementara upahnya tidak diberikan”. Dengan menyamakan eksploitasi
buruh dengan penjualan budak secara bebas dan pengkhianatan akan
janji Allah, menunjukkan betapa hinanya perbuatan mengeksploitasi
buruh.
Bagi pegawai (pekerja). Berdasarkan keadilan produksi dalam
Islam, seorang karyawan juga dituntut jujur, terampil, efisien sesuai
dengan fungsinya masing-masing. Seorang karyawan yang melampui
pengabdiannya kepada Allah SWT. dan menunaikan tugas-tugas dari
majikannya, baginya ada dua pahala (dari Allah). Jadi, keadilan dalam
Islam sangat menghargai hak dan bakat alamiah seseorang dalam
meningkatkan potensinya. Apakah untuk meningkatkan karir, kekayaan
dan lainnya. Yang jelas, Islam menghargai itu semua tapi harus selalu
didasarkan atas kemaslahatan umat, disertai dengan kepedulian sosial
guna menegakkan kesejahteraan (falah) dunia akhirat secara berkesenim-
bangunan, sistematis dan etis, sesuai dengan nilai-nilai dan norma-
norma agama, baik dalam aktivitas ekonominya maupun keadilan
distributive pendapatan atau kekayaan.

264 
BAB XIV
ETIKA BISNIS
DALAM PASAR ISLAMI

A. Pendahuluan

Islam adalah agama yang selain bersifat syumuliyah (sempurna)


juga harakiyah (dinamis). Disebut sempurna karena Islam merupakan
agama penyempurna dari agama-agama sebelumnya dan syari’atnya
mengatur seluruh aspek kehidupan, baik yang bersifat aqidah maupun
muamalah. Dalam kaidah tentang muamalah, Islam mengatur segala
bentuk perilaku manusia dalam berhubungan dengan sesamanya untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya di dunia. Termasuk di dalamnya adalah
kaidah Islam yang mengatur tentang ekonomi dan mekanismenya.
Kesempurnaan sistem ekonomi yang pernah dijalankan Nabi
Muhammad SAW terus menghadirkan inspirasi untuk diteladani. Meski
atmosfer ekonomi kini berubah sangat modern, sistem tersebut masih
tetap relevan dan tidak tertandingi. Salah satu sistem ekonomi di zaman
Nabi Muhammad SAW yang patut dijadikan panutan untuk diaplikasi-
kan dalam kehidupan modern saat ini adalah pasar (al-suq). Pasar adalah
tempat dimana antara penjual dan pembeli bertemu dan melakukan
transaksi jual beli barang dan atau jasa. Pasar mempunyai peran yang
besar dalam ekonomi. Karena kemaslahatan manusia dalam mata
pencaharian tidak mungkin terwujud tanpa adanya saling tukar
menukar (barter).
Pasar adalah tempat yang mempunyai aturan yang disiapkan
untuk tukar-menukar hak milik dan menukar barang antara produsen

265 
dan konsumen. Di pasar orang bisa mendapatkan kebutuhannya dan
tidak ada orang yang tidak memerlukan pasar. Attensi Islam terhadap
jual beli sebagai salah satu sendi perekonomian dapat di lihat dalam
surat Al-Baqarah 275 bahwa “Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba”. Allah SWT menjelaskan tentang rasul-rasul-Nya
dalam Q.S. Al-Furqan: 20:
‫ق‬
ِ ‫ﺳﻮَا‬
ْ ‫ن ﻓِﻲ اﻷ‬
َ ‫ﻄﻌَﺎ َم َو َی ْﻤﺸُﻮ‬
َّ ‫ن اﻝ‬
َ ‫ﻦ إِﻻ ِإ َّﻥ ُﻬ ْﻢ َﻝ َﻴ ْﺄ ُآﻠُﻮ‬
َ ‫ﺳﻠِﻴ‬َ ‫ﻦ ا ْﻝ ُﻤ ْﺮ‬َ ‫ﻚ ِﻣ‬ َ ‫ﺳ ْﻠﻨَﺎ َﻗ ْﺒ َﻠ‬
َ ‫َوﻣَﺎ َأ ْر‬
‫ﻚ َﺏﺼِﻴﺮًا‬ َ ‫ن َر ُّﺏ‬
َ ‫ن َوآَﺎ‬ َ ‫ﺼ ِﺒﺮُو‬ ْ ‫ﺾ ِﻓ ْﺘ َﻨ ًﺔ َأ َﺕ‬
ٍ ‫ﻀ ُﻜ ْﻢ ِﻝ َﺒ ْﻌ‬ َ ‫ﺝ َﻌ ْﻠﻨَﺎ َﺏ ْﻌ‬
َ ‫َو‬
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelumnya, melainkan
mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar”.
Al-Qurthubi mengatakan maksud berjalan di pasar-pasar adalah
untuk mencari rezeki, berdagang dan mencari mata pencaharian.
Ayatini adalah dasar dari mencari rezeki, berdagang dan mencari mata
pencaharian dengan berdagang, produksi dan lain sebagainya. Islam
dan Pasar Masyarakat saat ini seakan merindukan sebuah sistem pasar
yang tepat sebagai bagian dari penolakan pada sistem Kapitalis dan
Sosialis yang mengalami kegagalan dalam menciptakan kesejahteraan.
Secara umum, kedua sistem ekonomi tersebut di atas tidak
sepenuhnya bertentangan dengan nilai-nilai Islam, namun Islam hendak
menempatkan segala sesuatu sesuai pada porsinya, tidak ada yang
dirugikan, dan dapat mencerminkan sebagai bagian dari kehidupan
holistik dunia dan akhirat manusia. Berdagang adalah aktivitas yang
paling umum dilakukan di pasar. Untuk itu teks-teks Al-Qur’an selain
memberi-kan stimulan agar umat Islam menjadi seorang pedagang, di
lain pihak juga menjalan-kan aktivitas tersebut dengan sejumlah rambu
atau aturan main yang bisa diterapkan di pasar dalam upaya
menegakkan kepentingan semua pihak, baik individu maupun
kelompok.
Konsep Islam menegaskan bahwa pasar harus berdiri di atas
prinsip persaingan sempurna (perfect competition). Namun demikian
bukan berarti kebebasan tersebut berlaku mutlak, akan tetapi kebebasan
yang dibungkus oleh frame (kerangka) syari’ah. Dalam Islam, Transaksi
terjadi secara sukarela (antaradim minkum) sebagai-mana disebut kan
dalam Qur’an surat An-Nisa’ ayat 29.

266 
‫ﻦ‬
ْ‫ﻋ‬
َ ‫ن ِﺕﺠَﺎ َر ًة‬
َ ‫ن َﺕﻜُﻮ‬
ْ ‫ﻃ ِﻞ إِﻻ َأ‬
ِ ‫ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا ﻻ َﺕ ْﺄ ُآﻠُﻮا َأ ْﻣﻮَا َﻝ ُﻜ ْﻢ َﺏ ْﻴ َﻨ ُﻜ ْﻢ ﺏِﺎ ْﻝﺒَﺎ‬ َ ‫یَﺎ َأ ُّیﻬَﺎ اَّﻝﺬِی‬
‫ن ِﺏ ُﻜ ْﻢ َرﺣِﻴﻤًﺎ‬َ ‫ن اﻝَّﻠ َﻪ آَﺎ‬ َّ ‫ﺴ ُﻜ ْﻢ ِإ‬
َ ‫ض ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ وَﻻ َﺕ ْﻘ ُﺘﻠُﻮا َأ ْﻥ ُﻔ‬
ٍ ‫َﺕﺮَا‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jangan lah kamu saling memakan
harta sesukamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku suka sama suka di-antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu”.

Didukung pula oleh hadits riwayat Abu dawud, Turmudzi, dan


Ibnu Majjah dan as Syaukani sebagai berikut: ”Orang-orang berkata:
“Wahai Rasul Allah, harga mulai mahal. Patoklah harga untuk kami!”.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah-lah yang mematok harga,
yang menyempitkan dan yang melapangkan rezeki, dan aku sungguh berharap
untuk bertemu Allah dalam kondisi tidak seorangpun dari kalian yang
menuntut kepadaku dengan suatu kezhalimanpun dalam darah dan harta”. (HR
Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan asy-Syaukani).
Sistem pasar yang adil akan melahirkan harga yang wajar dan
juga tingkat laba yang tidak berlebihan, sehingga tidak termasuk riba
yang diharamkan oleh Allah SWT. Sebagaimana QS Al Baqarah 275
berikut:
‫ﺲ‬
ِّ ‫ﻦ ا ْﻝ َﻤ‬َ ‫ن ِﻣ‬ ُ ‫ﺸ ْﻴﻄَﺎ‬ َّ ‫ﻄ ُﻪ اﻝ‬
ُ ّ‫ﺨ َﺒ‬
َ ‫ن إِﻻ َآﻤَﺎ َیﻘُﻮ ُم اَّﻝﺬِي َی َﺘ‬ َ ‫ن اﻝ ِّﺮﺏَﺎ ﻻ َیﻘُﻮﻣُﻮ‬ َ ‫ﻦ َی ْﺄ ُآﻠُﻮ‬ َ ‫اَّﻝﺬِی‬
‫ﻦ ﺝَﺎ َء ُﻩ‬
ْ ‫ﺣ َّﺮ َم اﻝ ِّﺮﺏَﺎ َﻓ َﻤ‬
َ ‫ﺣ َّﻞ اﻝ َﻠّ ُﻪ ا ْﻝ َﺒ ْﻴ َﻊ َو‬
َ ‫ﻚ ِﺏ َﺄ َّﻥ ُﻬ ْﻢ ﻗَﺎﻝُﻮا ِإ َّﻥﻤَﺎ ا ْﻝ َﺒ ْﻴ ُﻊ ِﻣ ْﺜ ُﻞ اﻝ ِّﺮﺏَﺎ َوَأ‬
َ ‫َذ ِﻝ‬
‫ب‬
ُ ‫ﺹﺤَﺎ‬ ْ ‫ﻚ َأ‬ َ ‫ﻦ ﻋَﺎ َد َﻓﺄُو َﻝ ِﺌ‬ْ ‫ﻒ َوَأ ْﻣ ُﺮ ُﻩ ِإﻝَﻰ اﻝَّﻠ ِﻪ َو َﻣ‬ َ ‫ﺳ َﻠ‬َ ‫ﻦ َر ِّﺏ ِﻪ ﻓَﺎ ْﻥ َﺘﻬَﻰ َﻓ َﻠ ُﻪ ﻣَﺎ‬ ْ ‫ﻈ ٌﺔ ِﻣ‬ َ‫ﻋ‬ ِ ‫َﻣ ْﻮ‬
‫ن‬
َ ‫اﻝ َﻨّﺎ ِر ُه ْﻢ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺧَﺎ ِﻝﺪُو‬
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah
Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah
sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil
riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-peng huni neraka, mereka
kekal di dalamnya”.

267 
B. Prinsip Dasar Pasar Islami

Pentingnya pasar sebagai wadah aktivitas tempat jual beli tidak


hanya dilihat dari fungsinya secara fisik, namun aturan, norma dan yang
terkait dengan masalah pasar. Dengan fungsi di atas, pasar jadi rentan
dengan sejumlah kecurangan dan juga perbuatan ketidakadilan yang
menzalimi pihak lain. Karena peran penting pasar dan juga rentan
dengan hal-hal yang dzalim, maka pasar tidak terlepas dengan sejumlah
aturan syariat, yang antara lain terkait dengan pembentukan harga dan
terjadinya transaksi di pasar. Dalam istilah lain dapat disebut sebagai
mekanisme pasar menurut Islam dan intervensi pemerintah dalam
pengendalian harga. Konsep mekanisme pasar dalam Islam dibangun
atas prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Ar-Ridha, yakni segala transaksi yang dilakukan haruslah atas dasar
kerelaan antara masing-masing pihak (freedom contract). Hal ini sesuai
dengan Q.S. An-Nisa’ ayat 29:

‫ﻦ‬
ْ‫ﻋ‬
َ ‫ن ِﺕﺠَﺎ َر ًة‬
َ ‫ن َﺕﻜُﻮ‬
ْ ‫ﻃ ِﻞ إِﻻ َأ‬
ِ ‫ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا ﻻ َﺕ ْﺄ ُآﻠُﻮا َأ ْﻣﻮَا َﻝ ُﻜ ْﻢ َﺏ ْﻴ َﻨ ُﻜ ْﻢ ﺏِﺎ ْﻝﺒَﺎ‬ َ ‫یَﺎ َأ ُّیﻬَﺎ اَّﻝﺬِی‬
‫ن ِﺏ ُﻜ ْﻢ َرﺣِﻴﻤًﺎ‬َ ‫ن اﻝَّﻠ َﻪ آَﺎ‬ َّ ‫ﺴ ُﻜ ْﻢ ِإ‬
َ ‫ض ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ وَﻻ َﺕ ْﻘ ُﺘﻠُﻮا َأ ْﻥ ُﻔ‬
ٍ ‫َﺕﺮَا‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesama mu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. dan jangan lah kamu
membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.”. (QS. An Nisa’ 29).
b. Persaingan sehat (fair competition). Mekanisme pasar akan ter-hambat
bekerja jika terjadi penimbunan (ihtikar) atau monopoli. Monopoli
dapat diartikan, setiap barang yang penahanannya akan membahaya-
kan konsumen atau orang banyak.
c. Kejujuran (honesty), kejujuran merupakan pilar yang sangat penting
dalam Islam, sebab kejujuran adalah nama lain dari kebenaran itu
sendiri. Islam melarang tegas melakukan kebohongan dan penipuan
dalam bentuk apapun. Sebab, nilai kebenaran ini akan berdampak
langsung kepada para pihak yang melakukan transaksi dalam per-
dagangan dan masyarakat secara luas.

268 
d. Keterbukaan (transparency) serta keadilan (justice). Pelaksanaan prinsip
ini adalah transaksi yang dilakukan dituntut untuk berlaku benar
dalam pengungkapan kehendak dan keadaan yang sesungguhnya.

Nabi Muhammad SAW tidak menganjurkan campur tangan apa


pun dalam proses penentuan harga oleh negara atau individual. Di
samping menolak untuk mengambil aksi langsung apa pun, beliau
melarang praktik-praktik bisnis yang dapat membawa kepada
kekurangan pasar. Dengan demikian, Nabi Muhammad SAW meng-
hapuskan pengaruh kekuatan ekonomi atas mekanisme harga.
Pada masa pemerintahan Nabi Muhammad SAW, dalam hal
penentuan harga ditentukan melalui mekanisme pasar. Diriwayatkan
dari Anas bahwa ia mengatakan harga pernah mendadak naik pada
masa Rasulullah SAW. Para sahabat mengatakan: “Wahai Rasulullah,
tentukanlah harga (ta’sir) untuk kita. Beliau menjawab: Allah SWT itu
sesungguhnya adalah penentu harga, penahan dan pencurah serta pemberi
rezeki. Aku mengharap dapat menemui Tuhanku dimana salah satu diantara
kalian tidak menuntutku karena kezaliman dalam hal darah dan harta.”

Hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah SAW melarang


adanya intervensi harga dari siapapun juga. Praktik-praktik dalam
mengintervensi harga adalah perbuatan yang terlarang. Selain melarang
adanya intervensi harga, ada beberapa larangan yang diberlakukan
Rasulullah SAW untuk menjaga agar seseorang tidak dapat
melambungkan harga seenaknya seperti larangan menukar kualitas
mutu barang dengan kualitas rendah dengan harga yang sama serta
mengurangi timbangan barang dagangan. Beberapa larangan lainnya
adalah:
1. Larangan Najsy Najsy adalah sebuah praktik dagang dimana seorang
penjual menyuruh orang lain untuk memuji barang dagangannya
atau menawar dengan harga yang tinggi calon pembeli yang lain
tertarik untuk membeli barang dagangannya. Najsy dilarang karena
dapat menaikkan harga barang-barang yang dibutuhkan oleh para
pembeli. Rasulullah SAW bersabda: “Jangan lah kamu sekalian
melakukan penawaran terhadap barang tanpa bermaksud untuk membeli”
(HR. Tirmidzi).

269 
2. Larangan Bay‘ Ba’dh ‘Ala Ba’dh. Praktik bisnis ini adalah dengan
melakukan lompatan atau penurunan harga oleh seorang dimana
kedua belah pihak yang terlibat tawar menawar masih dalam tahap
negosiasi atau baru akan menyelesaikan penetapan harga. Rasul
Allah melarang praktik semacam ini karena hanya akan menimbul-
kan kenaikan harga yang tidak diinginkan.
3. Tallaqi Al-Rukban. Praktik ini adalah dengan cara mencegat orang-
orang yang membawa barang dari desa dan membeli barang tersebut
sebelum tiba di pasar. Rasulullah melarang praktik semacam ini
dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kenaikan harga. Beliau
memerintahkan agar barang-barang langsung dibawa ke pasar,
sehingga penyuplai barang dan para konsumen bisa mengambil
manfaat dari harga yang sesuai dan alami.
4. Larangan Ihtinaz dan Ihtikar Ihtinaz adalah praktik penimbunan harta
seperti emas, perak dan lain sebagainya. Sedangkan ihtikar adalah
penimbunan barang-barang seperti makanan dan kebutuhan sehari-
hari. Penimbunan barang dan pencegahan peredarannya sangat
dilarang dan dicela dalam Islam seperti yang difirmankan Allah SWT
dalam surat At-Taubah ayat 34-35 yang artinya:
‫ل‬
َ ‫ن َأ ْﻣﻮَا‬
َ ‫ن َﻟ َﻴ ْﺄ ُآﻠُﻮ‬
ِ ‫ﺡﺒَﺎ ِر وَاﻟ ُّﺮ ْهﺒَﺎ‬ ْ ‫ﻦ اﻷ‬ َ ‫ن َآﺜِﻴﺮًا ِﻣ‬ َّ ‫ﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮا ِإ‬َ ‫ﻳَﺎ َأُّﻳﻬَﺎ اَّﻟﺬِﻳ‬ 34

‫ﻀ َﺔ‬
َّ ‫ﺐ وَا ْﻟ ِﻔ‬َ ‫ن اﻟ َّﺬ َه‬
َ ‫ﻦ َﻳ ْﻜ ِﻨﺰُو‬ َ ‫ﻞ اﻟَّﻠ ِﻪ وَاَّﻟﺬِﻳ‬
ِ ‫ﺳﺒِﻴ‬ َ ‫ﻦ‬ ْ‫ﻋ‬ َ ‫ن‬ َ ‫ﺼ ُﺪّو‬
ُ ‫ﻞ َو َﻳ‬ ِ‫ﻃ‬ ِ ‫س ﺑِﺎ ْﻟﺒَﺎ‬
ِ ‫اﻟ َﻨّﺎ‬
‫ب َأﻟِﻴ ٍﻢ‬
ٍ ‫ﺸ ْﺮ ُه ْﻢ ِﺑ َﻌﺬَا‬
ِّ ‫ﻞ اﻟَّﻠ ِﻪ َﻓ َﺒ‬
ِ ‫ﺳﺒِﻴ‬ َ ‫وَﻻ ُﻳ ْﻨ ِﻔﻘُﻮ َﻧﻬَﺎ ﻓِﻲ‬
‫ﻇﻬُﻮ ُر ُه ْﻢ‬
ُ ‫ﺟﻨُﻮ ُﺑ ُﻬ ْﻢ َو‬
ُ ‫ﺟﺒَﺎ ُه ُﻬ ْﻢ َو‬
ِ ‫ﺟ َﻬَّﻨ َﻢ َﻓ ُﺘ ْﻜﻮَى ِﺑﻬَﺎ‬
َ ‫ﻋَﻠ ْﻴﻬَﺎ ﻓِﻲ ﻧَﺎ ِر‬ َ ‫ﺤﻤَﻰ‬ ْ ‫َﻳ ْﻮ َم ُﻳ‬ 35
‫ن‬
َ ‫ﺴ ُﻜ ْﻢ َﻓﺬُوﻗُﻮا ﻣَﺎ ُآ ْﻨ ُﺘ ْﻢ َﺗ ْﻜ ِﻨﺰُو‬
ِ ‫َهﺬَا ﻣَﺎ َآ َﻨ ْﺰ ُﺗ ْﻢ ﻷ ْﻧ ُﻔ‬

“(34) Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya kebanyakan dari


pendeta-pendeta memakan harta manusia dengan cara yang bathil dan
mereka menghalangi dari jalan Allah. Danrang-orang yang menyimpan
emas dan perak dan tidak menafkahkannya padaalan Allah maka
beritahukan kepada mereka akan azab yang pedih.
(35) Pada hari itu dipanaskan dalam neraka jahanam, lalu dibakar
dengannya dahi, rusuk dan punggung mereka dan dikatakan (kepada
mereka). Inilah harta benda yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka
rasakanlah (balasan) dari apa yang kamu simpan dahulu itu.”

270 
Dari ayat di atas dapat dilihat bahwa praktik penimbunan baik yang
berbentuk uang tunai maupun barang sangatlah bertentangan
dengan ajaran Islam. Bahaya dari praktik ihtikar dapat menyebabkan
kelangkaan barang di pasar sehingga harga barang menjadi naik.

C. Mekanisme Keadilan Pasar Islami

Aktivitas di pasar identik dengan berdagang. Berdagang adalah


aktivitas yang paling umum dilakukan di pasar. Konsep Islam mema-
hami bahwa pasar dapat berperan efektif dalam kehidupan ekonomi bila
prinsip persaingan bebas dapat berlaku secara efektif. Pasar tidak
mengharapkan adanya intervensi dari pihak manapun. Menurut Ibnu
Taimiyah membatasi keabsahan pemerintah dalam menetapkan
kebijakan intervensi pada empat situasi dan kondisi berikut:
1. Kebutuhan masyarakat atau hajat orang banyak akan sebuah
komoditas.
2. Terjadi kasus monopoli (penimbunan).
3. Terjadi pendistribusian pada satu penjual saja.
4. Para pedagang melakukan transaksi di antara mereka sendiri dengan
harga di bawah harga pasar.

Kegiatan berdagang di pasar telah lama dikenal oleh manusia.


Kegiatan ini di lakukan oleh setiap orang untuk keluar masuk pasar.
Sehingga aktivitas perdagangan di pasar merupakan kebebasan ber-
ekonomi. Kebebasan ekonomi yang berdasarkan pada ajaran Islam yang
meliputi pertanggungjawaban dan kebebasan. Atau kebebasan yang
berkaitan erat dengan pertanggungjawaban. Prinsip Pertangggung
jawaban
ƒ Setiap orang dihisab secara individu.
ƒ Tidak ada konsep dosa turunan dan mempertanggungjawabkan
kesalahan orang lain.
ƒ Tidak ada perantaraan dalam hubungan langsung dengan Allah.
ƒ Setiap Individu berhak untuk berpedoman langsung dengan sumber-
sumber hukum Islam (Al-Qur’an dan Hadits).
ƒ Islam Sudah sempurna dalam berbagai aspek kehidupan.

271 
Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa mekanisme pasar
merupakan sistem yang cukup efisien dalam memberlakukan harga
yang adil dan bahkan untuk mengalokasikan faktor-faktor produksi dan
mendorong kegiatan ekonomi. Hal itu disebabkan karena mekanisme
pasar memiliki beberapa kelebihan, seperti pasar dapat memberikan
informasi yang tepat, pasar dapat merangsang pelaku usaha untuk
melakukan kegiatan ekonomi, pasar mendorong penggunaan faktor-
faktor produksi serta pasar memberikan kebebasan yang tinggi kepada
masyarakat untuk melakukan kegiatan ekonomi.
Di samping kelebihan-kelebihan itu, mekanisme pasar juga
memiliki beberapa kelemahan, seperti adanya kebebasan yang tidak
terbatas akan menindas golongan-golongan tertentu, kegiatan ekonomi
tidak stabil, munculnya kekuatan monopoli, tidak mampu menyediakan
beberapa jenis barang secara efisien serta dampak eksternalitas yang
merugikan.
Salah satu dari kelemahan mekanisme pasar, yaitu monopoli.
Islam dengan tegas melarang praktik monopoli dan semua cara
kepalsuan untuk mendongkrak harga demi memperbesar keuntungan.
Pelarangan ini karena pada umumnya, monopoli menetapkan harga
yang lebih tinggi dari hasil produksinya, maka soal eksploitasi banyak
sekali dihubungkan dengan gagasan monopoli.
Dalam ekonomi Islam, praktik ekonomi apa pun yang menjadi
sebab terjadinya konsentrasi kekayaan pada segelintir orang dilarang.
Konsentrasi kekayaan pada sebagian orang akan menyebabkan
distribusi kekayaan terhambat, sehingga terjadi ketimpangan dan
ketidakmerataan. Begitu halnya dengan praktik monopoli, praktik ini
dilarang karena jelas merusak mekanisme pasar.
Mekanisme pasar memiliki arti khusus dalam sistem ekonomi
Islam. Teori harga dalam Islam melarang setiap bentuk pemerasan, baik
dari pihak produsen mau pun konsumen. Oleh karena itu, bentuk
pemerasan dalam mekanisme pasar dalam Islam merupakan bentuk
perbuatan tercela, bukan saja pada dimensi duniawi tapi juga bentuk
ukhrawi.
Dalam ekonomi konvensional, persaingan sehat yang berbentuk
struktur pasar atau mekanisme pasar dimanifestasikan dengan pasar

272 
persaingan sempurna. Ciri-ciri pasar persaingan sempurna meliputi; 1)
jumlah penjual dan pembeli banyak, 2) produk yang dijual homogen, 3)
adanya kebebasan perusahaan untuk keluar-masuk pasar, 4) informasi
tentang biaya, harga dan kualitas sempurna, 5) harga ditentukan oleh
pasar. Jadi persyaratan pasar persaingan sempurna dalam sistem
ekonomi konvensional terletak pada kebebasan pasar (free market).
Menurut Sonny Keraf bahwa hanya dengan kebebasan pasar yang
jelas, pasar benar-benar berfungsi mengharmoniskan kepentingan-
kepentingan pihak dan sekaligus mempertahankan mekanisme pasar itu
sendiri. Bersama dengan itu, bisa diciptakan iklim yang sehat tidak
hanya bagi pertumbuhan ekonomi nasional, melainkan juga bagi
kegiatan bisnis yang fair, adil, baik dan berarti etis. Sebab dengan sistem
tersebut akan terbentuk efisiensi ekonomi, yaitu pedagang tidak bisa
menawar kan harga seenaknya karena ada persaingan di pasar.
Konsumen mempunyai peluang untuk membeli dari pedagang lain
kalau dirasakan seorang pedagang menawarkan harga yang terlalu
tinggi. Demikian pula pedagang tidak menjual kepada seorang
konsumen dengan harga rendah, karena dia masih mempunyai
kesempatan untuk menjual kepada konsumen yang lain.
Namun demikian, model pasar persaingan sempurna yang
kemudian diperbandingkan dengan model pasar monopoli terdapat
kelemahan yang mendasar. Menurut Hidayat Nataatmadja, kelemahan-
kelemahan model persaingan ini terletak pada:
1. Asumsi bahwa kurva biaya perusahaan monopolis sama dengan
kurva biaya seorang pengusaha gurem yang menghasilkan komoditi
yang sama, adalah seperti menganggap semut dan gajah itu sama
karena sama-sama binatang, sehingga keduanya bisa diper-
bandingkan.
2. Dalam praktik tidak ada monopoli maupun ahli ekonomi yang
mengetahui persis bagaimana bentuk kurva biaya marginal, apalagi
dengan terus-menerus muncul inovasi baru.
3. Kedudukan final pasar bersaing sempurna sama sekali bukan
keadaan ideal, melainkan keadaan involusi yang dewasa.

273 
Dari banyak kelemahan-kelemahan model pasar persaingan
sempurna di atas, dalam konteks ini, yang menjadi persoalan sekarang
adalah bagaimana sistem pasar yang dikehendaki oleh semangat Islam?
Menurut Muhammad Nejatullah Siddiqi, yang dikutip Suhrawardi K.
Lubis, menyatakan bahwa sistem yang ada di bawah pengaruh
semangat Islam, berdasarkan pada rasionalitas di samping persaingan
sempurna. Artinya, mekanisme pasar harus mengarah pada keselarasan
antara kepentingan para konsumen.
Untuk itu maka, Islam memandang bahwa mekanisme pasar
setidaknya harus dapat; pertama, menyelesaikan masalah ekonomi;
produksi dan distribusi secara merata sebagai tujuan mekanisme pasar.
Kedua, para konsumen berperilaku sesuai dengan ajaran Islam. Dan
ketiga, campur tangan negara diperlukan sejauh bermanfaat bagi
kepentingan banyak dan melindungi kepentingan umum.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mekanisme pasar
dalam Islam setidaknya mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
• Membantu memecahkan persoalan penting ekonomi dalam bidang
produksi, distribusi dan konsumsi.
• Konsumen perlu bersikap Islami agar tercapai tujuan di atas.
• Campur tangan negara dimaksudkan untuk melengkapi atau meng-
gantikan mekanisme pasar, agar keterlibatan para pengusaha/
produsen tidak semena-mena dalam menentukan harga.

Melihat unsur-unsur tersebut di atas, secara eksplisit dapat


dikatakan pula bahwa mekanisme (baca: struktur) pasar yang Islami
merupakan mekanisme di mana pengusaha memperoleh keuntungan
normal. Artinya, pengusaha berhak memperoleh keuntungan sedikit di
atas biaya rata-rata. Keuntungan normal ini memang mempunyai
pengertian yang relatif, karena pengusaha bisa mengartikan berbeda-
beda. Yang pasti jangan mencekik konsumen dan juga tidak merugikan
perusahaan. Oleh karena itu, tujuan berbisnis dan bekerja harus diniati
sebagai ibadah. Inilah tanggung jawab moral pengusaha muslim dalam
menciptakan mekanisme pasar Islami. Sebab, seorang muslim ketika
bekerja/berbisnis tiada lain merupakan cerminan diri sebagai khalifah di
bumi.

274 
Islam melakukan hal ini dengan memperkenalkan filter moral.
Alokasi sumber-sumber daya diwujudkan dengan suatu filter yang
berlapis ganda. Filter pertama, dapat menyerang problem keinginan
yang tak terbatas langsung pada sumber-sumbernya, kesadaran batin
seseorang, dengan mengubah skala preferensi individu sesuai dengan
tuntutan khilafah dan ‘adalah.
Filter kedua, dapat menghindari perdagangan yang bersifat
memonopoli dan mencegah orang-orang desa (baca: pengusaha kecil)
agar tidak sampai ke pasar dan membeli barang dagangan mereka
sebelum mereka sampai ke pasar. Tindakan ini dimaksudkan supaya
pengusaha kecil yang membawa dagangan mereka tidak mengetahui
harga standar di pasar (ar-rukban).
Filter ketiga, manusia tidak memiliki pengetahuan untuk menilai
efek per buatan mereka kepada orang lain, terutama mereka yang
terkena dampak lebih ringan. Karena itu, mereka memerlukan pihak
luar yang mengerti dan mengetahui dengan baik yang dapat meng-
gambarkan efek-efek itu untuk memberi mereka norma-norma (etika)
perilaku yang dapat menyelamatkan orang lain dari efek merugikan
yang ditimbulkan oleh perbuatannya.
Menurut Al-Ghazali dalam Buchari Alma, dkk (2009: 193), etika
bisnis pasar Islami dapat dicirikan sebagai berikut:
1. Tidak mengambil laba lebih banyak, seperti yang lazim dalam dunia
bisnis.
2. Membayar harga agak lebih mahal kepada penjual yang miskin, ini
adalah amal yang lebih baik daripada sedekah. Jika membeli barang
dari seorang penjual, dan penjualnya itu seorang miskin, atau
seseorang yang perlu dibantu, maka lebihkanlah membayarnya dari
harga semestinya.
3. Memurahkan harga atau memberi discount/korting kepada pembeli
yang miskin, ini memiliki pahala berlipat ganda.
4. Bila membayar utang, pembayarannya dipercepat dari waktu yang
telah ditentukan. Jika yang diutang berupa barang, maka usahakan
dibayar dengan barang yang lebih baik. Dan yang berutang datang
sendiri waktu membayarnya kepada yang berpiutang.
5. Membatalkan jual beli, jika pembeli menginginkannya. Ini mungkin
sejalan dengan prinsip “customer is king” dalam ilmu marketing.

275 
Dengan ethic behavior, maka perdagangan yang dilakukan oleh
seorang muslim atau pengusaha muslim akan terhindar dari
penyimpangan-penyimpangan, khususnya dalam memainkan harga
dalam ekonomi pasar. Di sinilah letak perbedaan yang mendasar antara
mekanisme pasar Islam yang berkeadilan dengan Kapitalis dan Sosialis.

276 
BAB XV
ETIKA LEMBAGA BISNIS SYARIAH

A. Pendahuluan

Pembicaraan mengenai etika perbankan menjadi muncul kembali


dapat disebabkan oleh pertama, adanya pihak-pihak yang dirugikan
oleh karena perilaku pihak lain. Kedua, para pengamat melihat bahwa,
perkembangan perbankan yang ada sekarang ini cenderung akan
berakibat yang tidak diinginkan.
Menurut Murti Sumarti dalam buku yang berjudul “Marketing
Perbankan”, bahwa etika perbankan merupakan suatu tindakan baik
dan perbuatan buruk dalam kegiatan perbankan. Dalam hubungan ini
etika menyentuh aspek individu dan peraturan sosial. Karena perilaku
setiap individu dalam dunia bisnis ternyata merupakan salah satu
indikator penentu maju dan mundurnya suatu perjalanan bisnis.
Semakin beretika seseorang dalam berbisnis, maka dengan sendirinya
dia akan menemui kesuksesan.
Johan Arifin dalam tulisan berjudul “Dialektika Etika Islam dan
Etika Barat dalam Dunia Bisnis”, menyatakan bahwa bila pelaku bisnis
sudah jauh dari nilai-nilai etika dalam menjalankan roda bisnisnya
sudah pasti dalam waktu dekat kemunduran akan ia peroleh. Oleh
karenanya, perilaku manusia dalam sebuah perusahaan yang bergerak
dalam dunia bisnis menjadi sangat urgen, tak terkecuali etika dalam
dunia perbankan.
Masih segar dalam ingatan kita, pertengahan tahun 1997, negara
Indonesia dilanda krisis moneter. Penyebab utama pada mulanya adalah
adanya liberalisasi ekonomi Indonesia. Bank boleh berdiri bebas, dengan

277 
modal sepuluh milyar saja orang bisa mendirikan usaha bank. Ekonomi
Indonesia tumbuh pesat dengan modal pinjaman atau utang luar negeri.
Kapitalis-kapitalis baru bermunculan. Sehingga terkenallah:
1. Ersatz capitalist atau kapitalis yang dikarbit, pengusaha yang menjadi
besar seketika, karena banyaknya fasilitas dari lingkungannya.
2. Bureaucratic capitalist, yaitu pengusaha yang menjadi besar karena
adanya jalur-jalur birokrat yang memberi berbagai kemudian bagi
seseorang untuk mendapat proyek dan sumber dana murah.
3. Crony capitalist, yaitu pengusaha yang cepat besar karena bantuan
dari kroni-kroni atau familinya. Ini bisa bersifat hubungan teman,
ipar-besan, bapak-anak-keponakan, adik-kakak dan sebagainya.

Karena terlalu bebasnya pertumbuhan ekonomi Indonesia, maka


pihak swasta mengambil utang luar negeri luar biasa besarnya, tanpa
pengawasan oleh pemerintah disamping utang pemerintah sendiri. Para
pengusaha kita menggunakan pinjaman luar negeri ini, tanpa
perhitungan. Pinjaman jangka pendek digunakan untuk penanaman
modal jangka panjang. Akibatnya pada saat utang jatuh tempo
pengusaha ini tidak mampu membayar.
Menurut Buchari Alma dan Donni Juni Priansa, (2009: 195),
fenomena aktivitas pengusaha karbitan Indonesia ialah besar pasak
daripada tiang, artinya banyak belanja dari penghasilan perusahaannya,
banyak show kekayaan tidak produktif. Demikian pula perusahaan bank
meminjam modal luar negeri dengan bunga rendah 3 – 4 % setahun.
Uang ini mereka pinjamkan lagi dengan tingkat bunga 18 – 20 %
setahun. Nampaknya ini memang sangat menguntungkan bagi bank.
Tapi dengan sedikit goyangan harga dollar, harga rupiah jatuh merosot,
maka pengusaha yang mendapat pinjaman luar negeri sangat
kewalahan.
Utang mereka dalam uang rupiah menjadi berlipat ganda jumlah-
nya, mereka tidak mampu membayar. Kekeliruan lain yang dibuat oleh
bank, ialah mereka meminjamkan sebagian besar modal mereka kepada
industri milik orang bank sendiri. Mereka melampaui Batas Maksimum
Pemberian Kredit (BMPK) yang diberikan oleh Bank kepada grup
bisnisnya. Akhirnya lengkaplah sudah musibah menimpa mereka.

278 
Perilaku tersebut jelas mengabaikan tata aturan (moralitas) karena
melanggar aturan yang ditetapkan.
Karena itu, munculnya etika bisnis terutama etika bisnis pada
lembaga keuangan (bank) sangat urgen dan mendesak untuk
ditegakkan. Adalah etika bisnis Qur’ani dimana nilai-nilai al-Qur’an
dapat menjadi pedoman dalam mengendalikan prilaku dan aktivitas
kegiatan manusia secara utuh, bukan hanya sekedar mendapatkan
keuntungan duniawi saja tetapi menguntungkan yang bersifat material
maupun spiritual.

B. Pengertian Etika Perbankan

Mengenai pengertian etika telah banyak dibahas pada bab 2 di


atas, namun sekedar mengingatkan akan dikutip satu pengertian etika
yang diajukan oleh D.S. Adam (dalam Jawahir Tanthowi, 1983: 121),
sebagai berikut:
“The science of morals, the principle of morality, rules, of conduct and
behavior. Ethics is a normative science which viewing man a moral agent,
considers his actions with a view to their rightness or wrongness, their
tendency to good or evil.” (Etika ialah pengetahuan tentang
kesopanan, prinsip-prinsip kesopanan, undang-undang tentang
lahir dan batin. Etika ialah pengetahuan yang normatif, yang
memandang laku kebijaksanaan dan karakternya, dengan melihat
dari segi benar atau salah kecenderungannya ke arah kebaikan
atau kejahatan)

Sementara bank syariah adalah badan usaha yang menjalankan


kegiatan usahanya – menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit
dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf
hidup orang banyak – berdasarkan prinsip syariah, (Booklet Perbankan
Indonesia, 2009: 5). Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa etika
perbankan syariah adalah internalisasi tata cara dan prinsip-prinsip
Islami dalam menjalankan kegiatan usahanya.
Karnaen A. Perwataatmadja dan Syafii Antonio, menegaskan
tentang definisi perbankan syariah yang menitikberatkan pada etika

279 
Islam, yaitu bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariat
Islam dalam operasionalnya mengacu pada ketentuan-ketentuan al-
Qur’an dan al-Hadits.

C. Dasar-dasar Etika Perbankan Syariah

Bank syariah sebagaimana industri perbankan pada umumnya


merupakan industri jasa keuangan yang sangat menggantungkan
kepada aspek kepercayaan. Kepercayaan akan tumbuh apabila pihak
bank mempercayai nasabah bahwa dana yang disalurkannya akan
dikelola dengan penuh kejujuran dan menghasilkan keuntungan yang
baik. Demikian pula dengan nasabah pemilik dana akan menyimpan
atau menginvestasikan dana apabila nasabah mempercayai bahwa bank
akan menyimpan dana dengan aman dan mengelola dana tersebut
dengan amanah dan sesuai prinsip syariah. Dalam hubungan bank
syariah dengan nasabah dan sebaliknya maka aspek kepercayaan
merupakan faktor yang sangat menentukan. (Syahril Sabirin, 2003: 449)
Inilah kunci utama dasar etika perbankan pada umumnya, dan
perbankan syariah pada khususnya. Menurut O.P. Simorangkir (1983:
71-89), bahwa etika perbankan secara umum dapat diklasifikasikan
menjadi lima dasar etika, yaitu:

1. Etika Perbankan di Bidang Kepercayaan Masyarakat

Kepercayaan masyarakat merupakan faktor utama dalam mem-


bangun dunia perbankan yang baik. Faktor kepercayaan ini pulalah
yang merupakan etika perbankan dalam hubungannya dengan pihak
lain. Dalam mengelola kepercayaan tersebut, bankir harus memiliki
etika, moral, akhlak dan keahlian di bidang perbankan/keuangan.

2. Etika Pemegang Saham

Para pemegang saham harus mengetahui bahwa suatu bank dalam


keputusan rapat pemegang saham harus sesuai dengan anggaran
dasar dan anggaran rumah tangga. Apabila ada kebijakan yang
menyimpang dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, maka
harus disetujui bersama. Para pemegang saham harus menyadari
bahwa, usaha bisnis perbankan bukan hanya bertujuan untuk

280 
memperoleh keuntungan maksimum, tetapi yang lebih diutamakan
adalah kepentingan sosial masyarakat dan nasabah.

3. Etika Perbankan dalam Hubungannya antara Pimpinan dan


Karyawan

Bankir harus mempunyai sikap dan mampu menjaga agar


mekanisme arus surat-surat berharga (flow of documents) dapat
berjalan lancar dan menindak jika, terjadi permainan yang curang
dalam pengelolaan arus dokumen berharga tersebut di dalam bank.
Dalam hal ini, pimpinan bank berkewajiban dan bertanggungjawab:
a. Mengembalikan seluruh atau sebagian simpanan pada waktu
diminta oleh nasabah secara pribadi maupun dengan surat kuasa.
b. Menjaga kerahasiaan keuangan bank menurut kelaziman dalam
dunia perbankan.
c. Memberi informasi yang akurat dan obyek jika diminta oleh
nasabah.
d. Turut menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
e. Menjaga dan memelihara organisasi, tata kerja dan administrasi
dengan baik.
f. Menyalurkan kredit secara lebih selektif kepada calon debitur. Di
sini pimpinan bank harus lebih mengutamakan kepentingan
masyarakat luas daripada kepentingan bank atau pribadi.

4. Etika Perbankan dalam Hubungan Bankir dan Nasabah

a. Prinsip Saling Menguntungkan


b. Persetujuan yang harus dilaksanakan
c. Jangan menerima Gift, Upeti atau Uang Pelicin
d. Memberi Nasehat
e. Mendidik Nasabah
f. Kewajiban Internasional

5. Etika Perbankan Lainnya

a. Laporan ke Bank Indonesia


b. Mengumumkan Neraca Tahunan
c. Rahasia Bank

281 
Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.
Keterangan mengenai nasabah selain nasabah penyimpan dan
simpanannya, bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan
oleh bank. Ketentuan tersebut berlaku pula bagi pihak terafiliasi.
Ketentuan rahasia bank tidak berlaku untuk:
1) Kepentingan perpajakan;
2) Penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Bank
Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN)/Panitia Urusan
Piutang Negara (PUPN).
3) Kepentingan peradilan dalam perkara pidana;
4) Kepentingan peradilan dalam perkara perdata antara bank dengan
nasabahnya;
5) Tukar menukar informasi antar bank;
6) Permintaan, persetujuan atau kuasa nasabah penyimpan yang
dibuat secara tertulis;
7) Permintaan ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan yang
dibuat telah meninggal dunia;
8) Dalam rangka pemeriksaan yang berkaitan dengan tindak pidana
pencucian uang.

Pelaksanaan ketentuan dalam huruf 1), 2) dan 3) wajib terlebih


dahulu memperoleh perintah atau izin tertulis untuk membuka
rahasia bank dari pimpinan BI, sedangkan untuk pelaksanaan
ketentuan huruf 4), 5), 6), 7) dan 8), perintah atau izin tersebut tidak
diperlukan. (Booklet Perbankan Indonesia, 2009: 149)

Atas dasar etika perbankan tersebut di atas, maka perlu dibangun


secara bersama-sama fungsi kode etika perbankan. Menurut Murti
Sumarni (1997: 337), kode etik perbankan seyogyanya harus berdasar
kan atas:
a. Menjaga keselarasan dan konsistensi antara gaya manajemen,
strategi, dan kebijakan dalam mengembangkan usaha perbankan.
b. Menciptakan iklim usaha yang sehat.
c. Mewujudkan integritas bank terhadap lingkungan dan masyarakat
luas serta pemerintah.

282 
d. Menciptakan ketenangan, keamanan dan kenyamanan para pemilik
dana, pemegang saham dan karyawan dalam mendapatkan hak-
haknya.
e. Mengangkat harkat perbankan nasional di mata internasional.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa institusi yang dibangun


atas dasar syariat Islam, maka etika bank syariah harus didasarkan atas:

a. Berdimensi keadilan dan pemerataan,


b. Adanya pemberlakuan jaminan,
c. Menciptakan rasa kebersamaan,
d. Bersifat mandiri,
e. Persaingan secara sehat,
f. Adanya Dewan Pengawas Syariah.

Dasar-dasar etika perbankan Islam itulah yang mendasari sifat


perbankan Islam yang merupakan perbankan yang bersifat universal
dan multi purpose serta tidak semata-mata merupakan bank komersil.
Perbankan Islam merupakan perpaduan antara commercial banks, dan
investment banks, investment trust dan investment-management institutions,
dan akan menawarkan pelayanan yang luas kepada nasabahnya.
Investasi dengan pola equity-oriented menjauhkan perbankan Islam dari
kegiatan borrowing short dan lending long, yang menjadikan perbankan
Islam relatif kurang rawan terhadap ancaman krisis dibandingkan
perbankan konvensional.
Dalam pengembangan perbankan syariah, keikutsertaan secara
aktif para ulama dalam keanggotaan Dewan Pengawas Syariah dari
suatu bank syariah, Menurut Syahril Sabirin (2003: 405) dapat turut
mengawasi secara langsung dan menjaga agar transaksi-transaksi yang
dilakukan oleh bank syariah benar-benar sejalan dan tidak menyimpang
dari prinsip-prinsip syariah sehingga dapat memelihara kepercayaan
masyarakat terhadap kemurnian operasional dari bank syariah yang
bersangkutan.

283 
D. Etika Bankir

Berbicara masalah etika bankir maka tidak bisa melepaskan begitu


saja dari masalah sumberdaya insaninya. Kualitas sumber daya insani
bank syariah harus merupakan perpaduan antara keahlian mengelola
bank dan akhlak yang mulia.
Bankir yang profesional adalah bankir yang memiliki integritas
pribadi, keahlian dan tanggung jawab sosial yang tinggi serta wawasan
yang luas agar mampu melaksanakan pola manajemen bank yang
profesional pula. Menurut Murti Sumarni (1997: 340-1), bankir
profesional memang dituntut melaksanakan dua hal penting, yaitu
dapat menciptakan laba dan menciptakan iklim bisnis perbankan yang
sehat. Namun dalam penciptaan laba tersebut, bankir harus tetap
terkendali (prudent).
Menjadi bankir yang profesional memerlukan beberapa
persyaratan, diantaranya adalah:
1. Memiliki rasa percaya diri dan selalu optimis dalam setiap tindakan
yang dilakukannya karena setiap keputusan yang diambil telah
didasari oleh perhitungan dan analisis yang akurat.
2. Memiliki skill (keterampilan) dan knowledge (pengetahuan) yang
dipadukan dan terus dikembangkan dan ditingkatkan dan peka
terhadap situasi politik, ekonomi dan sosial/budaya.
3. Mampu menerima tekanan dari pihak manapun tanpa mengurangi
kinerjanya dan berani mengambil risiko.
4. Memiliki inisiatif dan aktif dalam pencapaian tujuan serta tidak
bersikap “menunggu”.
5. Memiliki job motivation yang tinggi, sehingga dalam bekerja ia selalu
memperoleh kepuasan.
6. Memiliki jiwa kepemimpinan (leadership) yang berorientasi pada
pelayanan dan kepuasan nasabah.
7. Mempunyai sales ability, kemampuan teknis, kemampuan
konsepsional yang tinggi.
8. Memiliki kemampuan untuk: menyusun rencana, mengorganisasi-
kan, menetapkan prosedur kerja dan mengendalikan tugas
pekerjaan serta mengembangkan jaringan kerja secara luas dengan
cabang atau bank lain agar menuju ke arah pencapaian tujuan bank.

284 
9. Mampu mendelegasikan tugas dan tanggung jawab serta mampu
mengembangkan dan memotivasi bawahan.
10. Memiliki sifat penuh kehati-hatian dan menerapkan asas prudential,
serta memiliki integritas yang tinggi dalam pengelolaan bank,
mengingat bahwa ia menjalankan bisnis atas dasar kepercayaan
masyarakat.
11. Mampu mengendalikan diri, penuh toleransi serta memiliki rasa
tanggungjawab sosial yang tinggi dalam mengelola bisnis
perbankan.

Berdasarkan prinsip-prinsip etika bankir di atas, maka norma-


norma perbankan yang diakui, diterima dan ditaati dapat dilihat pada
Kode Etik Bankir di Indonesia yang isinya sebagai berikut:

1. Seorang bankir patuh dan taat pada ketentuan perundang-undangan


dan peraturan yang berlaku.
2. Seorang bankir melakukan pencatatan yang benar mengenai segala
transaksi yang bertalian dengan kegiatan banknya.
3. Seorang bankir tidak menyalahgunakan wewenangnya untuk
kepentingan pribadi.
4. Seorang bankir tidak menghindarkan diri dari persaingan yang tidak
sehat.
5. Seorang bankir menghindarkan diri dari keterlibatan pengambilan
keputusan dalam hal terdapat pertentangan kepentingan.
6. Seorang bankir menjaga kerahasiaan nasabah dan banknya.
7. Seorang bankir memperhitungkan dampak yang merugikan dari
setiap kebijakan yang ditetapkan banknya terhadap keadaan
ekonomi, sosial dan lingkungan.
8. Seorang bankir tidak menerima hadiah atau imbalan yang
memperkaya diri pribadi maupun keluarganya.
9. Seorang bankir tidak melakukan perbuatan tercela yang dapat
merugikan citra profesinya.

285 
E. Prinsip Dasar Etika Perbankan

Sebagaimana kita ketahui bahwa kegiatan usaha penghimpunan


dana, penyaluran dana dan pelayanan jasa berdasarkan prinsip syariah
yang dilakukan oleh bank merupakan jasa perbankan. Dalam
melaksanakan jasa perbankan dimaksud bank wajib memenuhi prinsip
syariah. Pemenuhan prinsip syariah dimaksud dilaksanakan dengan
memenuhi ketentuan pokok hukum Islam, antara lain prinsip (1)
keadilan dan keseimbangan (‘adl wa tawazun), (2) kemaslahatan
(maslahah), (3) universalisme (alamiyah), serta (4) tidak mengandung
gharar, maysir, riba, zalim, dan objek haram.
Karenanya, bank syariah merupakan bagian dari kehidupan sosial
masyarakat. Hal yang sama juga bahwa bank syariah merupakan bagian
dari entitas bisnis, sehingga perlu sekali bank syariah tidak hanya
berorientasi perusahaan (corporate oriented), tetapi juga harus mem-
punyai keselarasan sosiokultur dan tanggungjawab sosial (cooperative
social responsibility).
Sikap jujur dan patuh terhadap standar etika bisnis akan dapat
menumbuhkan rasa saling percaya, saling menghormati di antara para
pelaku bisnis, yang pada gilirannya nanti akan berdampak pada adanya
efisiensi dalam berusaha serta menciptakan iklim persaingan yang sehat
di dunia bisnis sehingga kepentingan semua pihak yang terkait,
termasuk para pelanggan akan dapat dilayani dengan memuaskan tanpa
ada benturan-benturan.
Misalnya, keuntungan merupakan ha, tetapi kita juga harus
mengingat kepentingan pelanggan atau masyarakat. Bagaimana kita
harus mencapai keuntungan secara wajar sehingga sikap solidaritas
sosial dari bisnis terhadap masyarakat tetap terjaga. Dunia bisnis harus
berupaya untuk bersaing secara sehat, yang kuat membantu yang lemah,
sehingga akan terbentuk struktur dunia usaha yang kokoh, sehingga
dalam jangka panjang di samping bisnis kita menjadi global, ikatan
kebangsaan kita serta jati diri kita sebagai manusia tetap ada. (Murti
Sumarni, 1997: 334)
Menurut Juhaya S. Praja (2012: 184), dalam membangun etika
perbankan tidak bisa dilepaskan dengan kearifan etika lokal seperti
nilai-nilai solidaritas sosial, bagi hasil, kerja sama kemitraan, etos kerja

286 
merupakan contoh kearifan lokal yang telah lama mengakar dalam
tradisi masyarakat. Dengan demikian, usaha akselerasi pengembangan
perbankan syariah sejatinya tidak hanya difokuskan pada peng-
eskploitasian simbol-simbol religi yang bersifat properti. Proses
internalisasi kearifan kultur lokal dalam sistem perbankan syariah
menjadi paradigma baru dalam pengembangan etika perbankan syariah
karena di dalamnya terdapat keseluruhan nilai-nilai yang memiliki
persenyawaan dan keselarasan dengan prinsip-prinsip syariah (etika
Islami).
Berbeda dengan sistem perbankan konvensional yang merupakan
perwujudan hubungan kreditur dan debitur tanpa dilengkapi dengan
aspek syariah, maka dalam hubungan bank syariah dengan nasabah
adalah perwujudan suatu prinsip kemitraan yang akan menciptakan
kerja sama usaha yang harmonis, menumbuhkan rasa memiliki dan
tanggungjawab yang tinggi terhadap kelangsungan usaha yang di-
lakukan. Hubungan kemitraan dan tanggung jawab yang tinggi
terhadap proyek atau usaha yang dibiayai bank syariah akan terbentuk
karena dilandasi oleh aspek keimanan kepada Allah SWT (Tauhid),
integritas yang tinggi (shiddiq), menyampaikan kebenaran dan kebaikan
(tabligh), menjaga kepercayaan (amanah) dan memperdalam ilmu dan
ketrampilan agar pandai (fathanah).
Adanya standar-standar nilai yang bersumber dari norma-norma
ajaran Islam dalam pengoperasian perbankan tersebut. Standar moral
dalam sistem syariah yang prinsipnya didasarkan atas asas keadilan dan
kemanfaatan bagi seluruh umat, akan mendorong terbinanya hubungan
antara bank dan nasabahnya yang didasari atas nilai-nilai moral dan
kode etik yang tinggi.
Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa dasar-dasar etika
perbankan konvensional maupun syariah yang dilandasi oleh filosofi
perbankan, pada umumnya harus mampu menjaga keserasian antara
prinsip-prinsip pengelolaan bank, prinsip kewajiban bank terhadap
berbagai pihak (stake holders) dan dilandasi dengan prinsip etika
perbankan.

287 
1. Prinsip Pengelolaan Bank Syariah

Dalam kaitannya dengan prinsip pengelolaan bank, pihak bankir


harus mengupayakan terselenggaranya iklim usaha perbankan yang
sehat, yaitu dengan menjaga:
a. Likuiditas Bank atau kelancaran operasional bank,
b. Solvabilitas Bank atau terpeliharanya kekayaan bank agar kokoh dan
mampu memenuhi seluruh kewajiban finansialnya.
c. Rentabilitas atau tingkat keuntungan yang dapat dicapai bank, dan
(d) tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bank (bonafiditas).

2. Prinsip Kewajiban Bank Syariah terhadap Pihak Lain, yaitu:

a. Masyarakat, yang pada umumnya menghendaki adanya pelayanan


yang baik, aman, harga/tarip terjangkau serta perlakuan yang sama
atau non-diskriminatif.
b. Nasabah yaitu kepentingan atas keamanan uang yang mereka simpan
di bank, layanan yang baik serta tarip dan bagi hasil yang kompetitif.
c. Pemerintah, yang menghendaki agar perbankan dapat mewujud kan
peningkatan taraf hidup masyarakat dan lapangan kerja, pemerataan
penghasilan, pendayagunaan dana masyarakat, menjaga stabilitas
moneter, menjaga stabilitas ekonomi dan politik.
d. Pemilik atau investor, yang tentunya menghendaki adanya kepastian
hukum dalam perbankan dan otonomi dalam melaksanakan
operasional bank serta memperoleh keuntungan yang wajar.
e. Karyawan, yaitu sebagai pelaku dan penggerak organisasi bank yang
berpengharapan di samping memperoleh jaminan materi juga yang
bersifat non materi seperti jaminan atas kesinambungan bekerja,
adanya keadilan, jaminan pensiun dan sebagainya.

3. Prinsip Etika Perbankan Syariah

Prinsip etika perbankan secara umum adalah norma, kaidah, dan


kebiasaan yang berlaku dan harus dipatuhi, dihormati, dan dijunjung
tinggi oleh para petugas bank/bankir. Prinsip etika perbankan tersebut
menurut Murti Sumarni (1997 342-3), dapat dicirikan sebagai berikut:

a. Prinsip Kepatuhan;
b. Prinsip Kerahasiaan;

288 
c. Prinsip Kebenaran dan Pencatatan;
d. Prinsip Kesehatan Bersaing;
e. Prinsip Kejujuran Wewenang;
f. Prinsip Keselarasan Kepentingan;
g. Prinsip Keterbatasan Keterangan;
h. Prinsip Kehormatan Profesi;
i. Prinsip Pertanggungjawaban Sosial;
j. Prinsip Persamaan Perlakuan;
k. Prinsip Kebersihan Pribadi.

289 
BAB XVI
LEMBAGA ARBITRASE
ATAS PERSENGKETAAN BISNIS
SYARIAH (ASH-SHULH WA TAHKIM)

A. Pendahuluan

Al-Qur’an memandang tingkah laku manusia, secara individual


maupun kolektif (masyarakat), dalam kehidupan pribadi maupun
bermasyarakat, sebagai berada di bawah perintah Ilahi. “Barangsiapa tidak
menghakimi (atau memutuskan hukum) menurut apa yang telah diturunkan
Allah, merekalah orang-orang yang ingkar”, (Q.S. 5: 44, lihat juga 5: 45; 5: 47,
dan sebagainya).
Sesungguhnya, dalam surat al-Baqarah, ayat 213, maksud dan
tujuan utama Allah menurunkan kitab-kitab wahyu adalah untuk
memutuskan berbagai perkara dan soal yang diperselisihkan di
kalangan manusia. Karena itu, al-Qur’an menisbatkan perintah-perintah
shalat atau puasa pada Allah, dan begitu pula halnya dengan hukum-
hukum menyangkut berbagai transaksi (akad) finansial, Fazlur Rahman
(dalam Jurnal Al-Hikmah, 1993: 39). Jadi, hukum-hukum fiqih Islam
merupakan tata aturan yang mengatur problematika yang diperselisih-
kan antar pribadi, individu, atau kolektif, baik dalam masalah ibadah,
politik, sosial, dan ekonomi.
Namun demikian, karena kecenderungan naluri manusia yang
berlebihan dalam mencintai harta, di bidang ekonomi terkadang
membuat manusia lupa cara mendapatkannya, bisa jadi didapatkan
dengan cara yang haram dan mengesampingkan aspek kehalalannya.
Perbuatan ini termasuk melanggar kaidah-kaidah syariah. Oleh karena

290 
itu, jika kegiatan ekonomi dengan maksud untuk mendapatkan harta
dan tidak dipandu dengan kaidah-kaidah syariah, potensi terjadi
persengketaan menjadi sangat besar. Islam membenci orang-orang yang
mencari harta dengan menghalalkan segala cara sehingga menimbulkan
persengketaan. (Juhaya S. Praja, 2012: 221)

B. Pengertian Ash-Shulhu

Secara kosakata bahasa Arab, sulh secara literal berarti


memutuskan pertengkaran atau meredam pertikaian. Menurut istilah,
sulh berarti jenis akad atau perjanjian untuk mengakhiri perselisihan
(pertengakaran) antara dua pihak yang bersengketa secara damai.
Dengan demikian, ash-Shulh berarti kesepakatan yang diperoleh
dengannya menghilangkan persengketaan di antara dua orang yang
bermusuhan.
Allah SWT mensyari’atkan berdamai untuk menyatukan di antara
dua orang yang bermusuhan dan menghilangkan perpecahan di antara
keduanya. Dengan demikian, bersihlah jiwa dan hilanglah rasa dendam.
Mendamaikan di antara manusia termasuk ibadah yang terbesar dan
taat yang paling agung, apabila ia melaksanakannya karena mengharap
ridha Allah. Sebagaimana dalam Al-Qur’an, Surat An-Nisaa, ayat 114,
Allah berfirman:
‫ﻦ‬
َ ‫ح َﺑ ْﻴ‬
ٍ ‫ف َأ ْو ِإﺹْﻼ‬
ٍ ‫ﺼ َﺪ َﻗ ٍﺔ َأ ْو َﻣ ْﻌﺮُو‬
َ ‫ﻦ َأ َﻣ َﺮ ِﺑ‬ ْ ‫ﺠﻮَا ُه ْﻢ إِﻻ َﻣ‬ْ ‫ﻦ َﻧ‬
ْ ‫ﺧ ْﻴ َﺮ ﻓِﻲ َآﺜِﻴ ٍﺮ ِﻣ‬ َ ‫ﻻ‬
‫ﻋﻈِﻴﻤًﺎ‬
َ ‫ﺟﺮًا‬ْ ‫ف ُﻧ ْﺆﺗِﻴ ِﻪ َأ‬
َ ‫ﺴ ْﻮ‬ َ ‫ﻚ ا ْﺑ ِﺘﻐَﺎ َء َﻣ ْﺮﺿَﺎ ِة اﻟَّﻠ ِﻪ َﻓ‬
َ ‫ﻞ َذِﻟ‬
ْ ‫ﻦ َﻳ ْﻔ َﻌ‬
ْ ‫س َو َﻣ‬
ِ ‫اﻟ َﻨّﺎ‬
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-
bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat
makruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barang siapa
yang berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami
memberi kepadanya pahala yang besar”.
Demikian pula dalam sabda Rasulullah saw:
‫ آﻞ ﻳﻮم ﺗﻄﻠﻊ ﻓﻴﻪ اﻟﺸﻤﺲ ﻳﻌﺪل ﺑﻴﻦ‬, ‫آﻞ ﺳﻼﻣﻰ ﻣﻦ اﻟﻨﺎس ﻋﻠﻴﻪ ﺹﺪﻗﺔ‬
(‫اﻟﻨﺎس ﺹﺪﻗﺔ )رواﻩ ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ‬
“Setiap sendi dari manusia atasnya sedekah, setiap hari yang terbit mata-hari
padanya melakukan keadilan di antara manusia adalah sedekah.” (Muttafaqun
‘Alaih)

291 
Berdamai disyari’atkan di antara kaum muslimin dan orang-orang
kafir, di antara orang-orang adil dan zalim, diantara suami istri saat
berselisih pendapat, di antara tetangga, karib kerabat, dan teman-teman,
di antara dua orang yang bermusuhan dalam persoalan selain harta, dan
di antara dua orang yang bermusuhan dalam masalah harta.

C. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah

Penyelesaingkan sengket atau berdamai dalam fiqh muamalah


disebut ash-Shulh. Menurut Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-
Tuwaijri dalam buku “Mukhtashar al-Fiqh al-Islamiy: Kitab al-Mua’amalah”,
membedakan dua penyelesaian sengketa mengenai harta. Pertama,
penyelesaian sengketa (berdamai) mengenai harta berdasar-kan iqrar
(pengakuan). Kedua, penyelesaian perdamaian (sengketa) mengenai
masalah pengingkaran.

1. Penyelesaian (Berdamai) atas Iqrar (Pengakuan)

Seperti seseorang mempunyai tagihan benda atau utang atas


orang lain, keduanya tidak mengetahui jumlahnya dan ia mengakuinya,
lalu ia berdamai kepadanya atas sesuatu, hukumnya sah. Dan jika ia
mempunyai tagihan utang atasnya yang jatuh tempo dan ia mengakui
atasnya, lalu ia merelakan sebagiannya dan menundanya sisanya,
niscaya sah merelakan dan menunda. Dan jika ia berdamai dari yang
ditunda dengan sebagiannya pada saat itu, hukumnya sah. Perdamaian
ini hanya sah apabila tidak disyaratkan dalam iqrar (pengakuan), seperti
ia berkata, ‘Aku mengakui untuknya dengan syarat engkau memberikan
saya ini’, dan tidak menghalangi haknya tanpa hal itu.

2. Penyelesaian (Berdamai) atas Pengingkaran

Penyelesaian (berdamai) atas pengingkaran sebagaimana mudda’i


(yang mengaku) mempunyai hak yang tidak diketahui oleh mudda’a
‘alaih (yang dituduh), lalu ia mengingkarinya. Apabila keduanya
berdamai atas sesuai, perdamaian itu sah. Akan tetapi jika salah satu
dari keduanya berdusta, tidak sah perdamaian itu pada haknya secara
batin, dan apa yang diambilnya adalah haram.

292 
Umat Islam berada di atas syarat mereka, dan berdamai hukum-
nya boleh di antara mereka kecuali perdamaian yang menghalalkan
yang haram atau mengharamkan yang halal. Dan berdamai yang boleh
adalah yang adil yang diperintahkan Allah SWT dan rasul-Nya. Yaitu
yang niatkan karena ridha Allah darinya, kemudian ridha dua orang
yang bermusuhan. Dan Allah SWT memujinya dengan firman-Nya.
‫ﺼِﻠﺤَﺎ‬
ْ ‫ن ُﻳ‬ ْ ‫ﻋَﻠ ْﻴ ِﻬﻤَﺎ َأ‬
َ ‫ح‬
َ ‫ﺟﻨَﺎ‬ُ ‫ﻋﺮَاﺿًﺎ ﻓَﻼ‬ ْ ‫ﻦ َﺑ ْﻌِﻠﻬَﺎ ُﻧﺸُﻮزًا َأ ْو ِإ‬
ْ ‫ﺖ ِﻣ‬ ْ ‫ن ا ْﻣ َﺮَأ ٌة ﺧَﺎ َﻓ‬
ِ ‫َوِإ‬
‫ن‬
َّ ‫ﺴﻨُﻮا َو َﺗ َّﺘﻘُﻮا َﻓِﺈ‬ ِ‫ﺤ‬ ْ ‫ن ُﺗ‬ ْ ‫ﺢّ َوِإ‬
َ‫ﺸ‬ُّ ‫ﺲ اﻟ‬
ُ ‫ت اﻷ ْﻧ ُﻔ‬
ِ ‫ﻀ َﺮ‬ ِ ‫ﺡ‬ ْ ‫ﺧ ْﻴ ٌﺮ َوُأ‬
َ ‫ﺢ‬ُ ‫ﺼ ْﻠ‬
ُّ ‫ﺹ ْﻠﺤًﺎ وَاﻟ‬ُ ‫َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬﻤَﺎ‬
‫ﺧﺒِﻴﺮًا‬َ ‫ن‬َ ‫ن ِﺑﻤَﺎ َﺗ ْﻌ َﻤﻠُﻮ‬ َ ‫اﻟَّﻠ َﻪ آَﺎ‬
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari
suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian
yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)
walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir, Dan jika kamu bergaul
dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap
tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (Q.S. An-Nisa, 128)

Perdamaian yang adil mempunyai beberapa syarat, yang ter-


penting: Kelayakan dua orang yang berdamai, yaitu sah dari kedua-nya
transaksi secara syara’, dan perdamaian itu tidak mengandung
pengharaman yang halal, atau menghalalkan yang haram, dan salah
seorang dari yang berdamai tidak berbohong dalam dakwaannya, dan
yang mendamaikan seorang yang bertaqwa lagi alim terhadap realita,
mengetahui yang wajib, bertujuan mencari keadilan.
Haram atas pemilik menimbulkan sesuatu yang membahayakan
tetangganya dengan apa yang dimilikinya, berupa mesin yang kuat atau
oven (tungku) dan semisal keduanya. Jika tidak membahayakan, maka
tidak mengapa. Dan bagi tetangga atas tetangganya ada hak-hak yang
banyak, yang terpenting menghubunginya, berbuat baik kepadanya,
tidak mengganggunya, saba atas gangguannya, dan semisal yang
demikian itu yang wajib kepada seorang muslim. Dari Ibu Umar r.a ia
berkata: “Rasulullah SAW bersabda:
‫ ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ‬. ‫ﻣﺎزال ﺟﺒﺮﻳﻞ ﻳﻮﺹﻴﻨﻲ ﺑﺎﻟﺠﺎر ﺡﺘﻲ ﻇﻨﻨﺖ اﻧﻪ ﺳﻴﻮرﺛﻪ‬
“Jibril as senantiasa berpesan kepadaku dengan (selalu berbuat baik)
kepada tetangga, sehingga aku mengira bahwa ia akan mewaris-nya”.
(Muttafaqun ‘Alaih)

293 
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa
perdamaian atas sengketa dapat diterapkan pada permasalahan-
permasalahan apa saja, tak terkecuali pada kegiatan ekonomi. Menurut
Juhaya S. Praja (2012: 222), persengketaan dalam konteks ekonomi,
biasanya disebabkan oleh tidak terpenuhinya hak dan kewajiban. Dari
sinilah muncul ketidakpuasan di antara para pihak, yang berujung pada
persengketaan. Dalam fiqh muamalah, sebagaimana dicontohkan di
atas, dapat diselesaikan dengan tiga proses penyelesaian sengketa
(perdamaian), yaitu sebagai berikut:

1. Ash-Shulh (Perdamaian)

Dalam fiqh Islam, proses perdamaian bisa dilakukan apabila para


pihak yang bersengketa (mushalih) sepakat ingin melakukan per-
damaian. Kesepakatan ini dilakukan dengan adanya shigat, ijab, dan
qabul sebagai tanda bahwa perdamaian itu berlangsung atas dasar
keikhlasan, bukan atas dasar keterpaksaan (underpressure).
Para pihak yang berakad (al-‘aqidaen/mushalih), shigat, ijab, dan
qabul, serta ikrar kesepakatan untuk melakukan perdamaian (mushalih
‘alaih) termasuk dalam rukun ash-shulh. Kedudukan rukun dalam
perikatan menurut fiqh Islam menjadi suatu keharusan, karena rukun
merupakan salah satu penentu terealisasinya proses perdamaian.
(Juhaya S. Praja, 2012: 222)
Dalam proses perdamaian, terdapat perjanjian yang diikrarkan
(shigat) oleh kedua belah pihak yang bersengketa untuk berkomitmen
menjaga keberlangsungan perdamaian, sebagaimana tersebut di atas.
Dari perjanjian damai itulah, lahir ikatan hukum (al-aqdu) yang mengikat
kedua belah pihak, dan setiap pihak harus menghormati dan menjaga
apa yang telah diikrarkannya. Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang
beriman! Penuhilah janji-janji”. (Q.S. Al-Maidah, 1). Ayat tersebut
memiliki spirit etik, bahwa setiap muslim mempunyai kewajiban untuk
merealisasikan janji dan tidak boleh mengingkarinya. Spirit etik ini
memiliki konsekuensi bahwa perjanjian dalam Islam, tidak boleh
dibatalkan secara sepihak. Pembatalan hanya bisa dilakukan jika apa
yang diperjanjikan melanggar prinsip-prinsip syariah.
Pada tataran praktiknya, proses sulh bisa dilakukan melalui media
perantara atau dengan menunjuk wali yang disepakati oleh kedua belah

294 
pihak. Selanjutnya, dilakukan musyawarah untuk membahas masalah
dan solusinya. Dengan demikian, proses perdamaian dengan cara shulh,
sebenarnya lebih menekankan musyawarah untuk mencari kebenaran
dan kesepakatan bersama (win-win solution). Akan tetapi, jika proses
shulh melalui cara musyawarah ini tidak menemukan titik temu atau
tidak dapat menyelesaikan masalah, para pihak yang bersengketa dapat
melakukan tahap berikutnya, yaitu jalur pengadilan. Penyelesaian
sengketa melalui pengadilan merupakan upaya untuk mendapatkan
kepastian hukum bagi para pihak yang bersengketa. Keputusan yang
dikeluarkan oleh pengadilan merupakan keputusan yang harus
dihormati sebagai keputusan hukum. (Juhaya S. Praja, 2012: 223-4)

2. Wilayah al-Qadha (Kekuasaan Kehakiman)

Dalam pemerintahan dan politik Islam sistem peradilan (al-qadha


– lembaga peradilan yang memiliki otoritas dalam menyelesaikan
masalah-masalah madaniyat/keperdataan, masalah al-ahwal asy-
syakhsiyah/hukum keluarga, dan jinayat/pidana) orisinil yang memberi
kan keputusan di antara para pihak (manusia) sesuai dengan nilai-nilai
syariah, maka sistem peradilan yang dijalankan bisa dibagi menjadi dua,
yaitu: wilayah al-madzalim dan al-hisbah. Berikut penjelasan masing-
masing dari dua model peradilan tersebut:
a. Wilayatul Madzalim

Menurut Abu Sinn (2008: 196), sistem peradilan (al-qadha)


dengan model wilayah al-madzalim merupakan model peradilan dalam
menangani tindakan kesewenangan dari para pemimpin, pejabat
untuk para pegawai atau masyarakat yang teraniaya. Tugas wilayah
al-madzalim lebih dekat dengan sistem peradilan manajemen
(Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi) yang konsen terhadap
kedzaliman yang diterima pegawai dan masyarakat dari tokoh atau
pejabat pemerintahan.
Wilayah al-Madzalim ini merupakan lembaga yang
diperuntukkan untuk membela hak-hak rakyatnya yang teraniaya
akibat dari kebijakan negara yang dipandang tidak memihaknya atau
penyalahgunaan terhadap kekuasaan negara, seperti korupsi atau
penyuapan, (Juhaya S. Praja, 2012: 227). Abu Zahrah memberikan

295 
definisi ‘al-madzalim’ dengan “Wilayah al-Madzalim”, seperrti halnya
wilayah al-qadah dan atau wilayah al-harb (perang), sebagai bagian dari
tugas seorang pemimpin, dan ia harus mewakilkan penggantinya
kepada orang yang memiliki kompetensi dan integritas untuk
menjalankannya kepada orang yang bertugas menjalankan ‘wilayah
al-madzalim’, dinamakan dengan ‘nadzir’ dan tidak disebut dengan
‘qadhi’ (hakim), walau pun ia memiliki kekuasaan peradilan, atau
sebagaimana tugas-tugas sistem peradilan, tapi tugasnya tidak
peradilan murni.
Wilayah al-Madzalim ini menjalankan putusan peradilan dan
eksekusi sekaligus (tanfidz), ia merambah pada persoalan yang jelas
untuk dilaksanakan, kemaslahatan, amal kebajikan agar dikembali-
kan kepada orang yang berhak, ia terkadang menjalankan fungsi
peradilan dan pelaksanaan manajemen (eksekusi, tanfidz).
Rasulullah telah menjalankan fungsi al-madzalim dengan
pemahaman ini. Diriwayatkan dalam hadits shahih, Khalid bin Walid
membunuh seseorang dari kabilah Jadzimah, setelah memberikan
peringatan untuk tunduk. Rasulullah mengingkari tindakan tersebut,
dan mengutus Ali bin Abi Thalib datang ke kabilah tersebut guna
menghilangkan kezaliman yang terjadi. Pembunuhan merupakan
sebuah kesalahan, dan pembunuhnya wajib membayar diyat (denda).
Kemudian Rasulullah mengangkat wajah ke arah langit dan
bersabda: “Ya Allah, sesungguhnya aku bebas dari apa yang dilakukan
Khalid”.
Khulafaur Rasyidin juga menjalankan fungsi madzalim sebagai-
mana yang dilakukan oleh Rasulullah. Khalifah Umar ra. Sangat
keras terhadap para pejabat dan pegawainya, dan berkata: “Saya
tidak mengutus kalian untuk memukul kulit manusia, demi Allah,
saya tidak mendatangkan seorang pegawai untuk memukul kulit
manusia tanpa adanya had, maka aku akan meng-qishas-nya. Hal ini
juga dilakukan Umar r.a kepada Amr bin Ash ketika memukul
penduduk Mesir, dan beliau memberikan qishash, seraya berkata,
“Jika kalian meminta manusia untuk menyembah, maka sesungguhnya ibu
mereka telah melahirkan dalam keadaan merdeka”.
Namun demikian, di antara sabahat Khulafaur Rasyidin belum
ada yang duduk pada ‘al-madzalim’. Di awal perkembangan Islam,

296 
masyarakat menentukan orang yang bertugas menegakkan keadilan,
menunjukkan kebenaran atau memberikan nasihat dari tindak
kezaliman. Sahabat Ali ra juga menjalankan fungsi ini, tapi beliau
tidak menentukan hari tertentu untuk mendengar tindak kezaliman,
akan tetapi ketika ada orang yang terzalimi mendatanginya, maka ia
memberikan keadilan. (Abu Sinn, 2008: 197)
Pada masa Bani Umayah, para khalifah menentukan hari,
waktu khusus untuk melihat atau mendengar tindak kezaliman,
kemudian memberi keadilan. Hal ini pertama kali dilakukan oleh
Abdul Malik bin Marwan yang dibantu oleh Qadhi ibn Idris al-Azdi
untuk memberikan putusan hukum. Umar bin Abdul Aziz adalah
orang yang pertama kali menjalankan fungsi al-madzalim kemudian
diteruskan oleh khalifah Bani Abbasiyah yang diawali oleh ‘Al-
Mahdi’ kemudian al-Hadi disusul al-Rasyid dan Al-Ma’mun hingga
Al-Muhtadi.
Majelis Wilayah al-Madzalim, kata Abu Sinn bisa sempurna
dengan dihadiri oleh kelompok berikut, yaitu:
# Pengacara dan pembantu, memberikan bantuan jika terjadi tindak
kesewenang-wenangan dalam memberikan putusan peradilan.
# Qadhi (hakim) dan pemimpin, memberikan isyarat kepada pelaku
kezaliman pada jalan yang lurus, dan mengembalikan hak kepada
pemiliknya, dan memberikan keterangan permusuhan yang
terjadi.
# Ahli fiqh, pertimbangan pendapat yang terkait dengan persoalan
syar’i.
# Penulis, mencatat jalannya sidan dan keputusan yang dihasilkan
terkait dengan hak dan kewajiban.
# Saksi, memberikan persaksian bahwa apa yang diputuskan hakim
tidak bertentangan dengan kebenaran dan keadilan.

Menurut Abu Sinn, seorang petugas wilayah al-madzalim adalah


orang yang dikenal sebagai orang yang wira’i (menjaga diri dari dosa)
dan bertaqwa. Wilayah al-Madzalim memiliki tugas yang urgen dan
kekuatan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kehidupan masya-
rakat. Ini merupakan konsep menarik untuk dikembangkan dalam
tatalaksana manajemen modern, khususnya untuk menghilangkan

297 
kezaliman bagi rakyat, pejabat dan pegawai serta tindak kezaliman
yang dilakukan oleh tokoh negara, pejabat atau pun pemimpin.
b. Al-Hisbah

Arti kata hisbah sama dengan amar makruf nahi mungkar. Biasa
nya, pengertian amar makruf nahi mungkar dianggap bersinonim
dengan dakwah secara umum. Namun sebenarnya, kewajiban
dakwah lebih bercorak umum dan dipikulkan ke pundak setiap
individu Muslim. Sedangkan kewajiban hisbah dimaknai sebagai
aktivitas memerintah dan melarang. Maka dari itu, aktualisasi praktik
hisbah biasanya melalui institusi (Wilayat).
Adapun secara umum, institusi atau dikenal sebagai wilayat al-
Hisbah atau disebut juga sebagai suatu dinas ketertiban umum
merupakan salah satu wilayah qadha dalam sistem pemerintahan
Islam, memiliki perbedaan dalam mendefinisikan dan menggam-
barkannya antara konsep-konsep dengan realitas dalam konteks
sejarah. Abu Ya’la Muhammad Ibn al-Husein al-Farakhi dalam al-
Ahkam al-Sulthaniyah menyatakan bahwa Wilayat al-Hisbah adalah
menyuruh berbuat baik, dengan melarang berbuat munkar.
Definisi ini terlalu umum untuk menggambarkan Wilayat al-
Hisbah itu sendiri dengan alasan bahwa pemerintahan Islam pun
selalu berupaya untuk menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat
munkar. Sementara dalam konteks sejarah, Wilayat al-Hisbah merupa-
kan salah satu lembaga dari lembaga peradilan yang kewenangannya
terpusat pada tempat-tempat transaksi sebagai mana terlihat dalam
sejarah Daulah Umayyah dan Abbasiyah, bahkan pada masa Nabi
SAW. Akan tetapi, yang jelas bahwa Wilayat al-Hisbah bukan
merupakan bentukan pengaruh budaya imperium Romawi seperti
yang diungkap oleh Schacht. Menurut Al-Mawardi, hisbah adalah
“memerintah berbuat kebajikan jika kebaikan itu ternyata tidak
dikerjakan, dan melarang kemungkaran jika ada tanda-tanda bahwa
kemungkaran itu dikerjakan.
Dalam hal ini Al-Mawardi mengartikan hisbah sebagai salah
satu bentuk pengawasan bila terjadi pelanggaran terhadap suatu
peraturan. Orang yang menjalan kan tugas disebut muhtasib atau wali
al-hisbah atau nazir fil hisbah. Biasanya seorang muhtasib diambilkan

298 
dari kalangan hakim (yuris). Seorang hakim ini mempunyai kebe-
basan untuk memutuskan suatu perkara atas dasar ‘urf (kebiasaan).
‘Urf ini berbeda dari syariah. (Nur Mufid dan A. Nur Fuad, 2000: 131).
Namun, lembaga ini lahir secara alami yang kemungkinan dilatar-
belakangi oleh: a) adanya aturan-aturan dalam nash yang mengatur
sistem jual beli secara ketat, b) adanya isyarat syara’ membentuk
pasar yang sesuai dengan syariat Islam.
Munculnya lembaga hisbah atau dalam bahasa sekarang dapat
disederhanakan menjadi dinas ketertiban umum adalah merupakan
sebuah lembaga yang telah ada semenjak Islam klasik. Tepatnya pada
masa pemerintahan Islam tersebar di penjuru negeri. Dalam rangka
mengatur ketatanegaraan atau pemerintahan saat itu, keadminis-
trasiaan mulai tersusun rapi. Khalifah atau pemimpin tertinggi
pemerintahan saat itu dibantu oleh para wazir-wazir. Menurut Harun
Nasution (1985: 110), sesuai dengan kedudukannya sebagai peng-
ganti Nabi dalam mengurus soal duniawi umat, Khalifah bukan hanya
merupakan kepala Negara, tetapi juga Panglima Ter-tinggi Angkatan
Bersenjata. Dalam fungsinya, khalifah ini disebut Amir Al-Mu’minin.
Namun disamping khalifah berfungsi sebagai pengganti Nabi,
khalifah juga bertugas selain dari menjalankan pemerintahan, juga
melaksanakan hukum. Pada mulanya khalifah sendiri yang
memutuskan perkara-perkara yang timbul dalam masyarakat. Orang-
orang yang mempunyai perkara langsung pergi kepada khalifah
untuk mendapat penyelesaian. Tetapi kemudian soal pelaksanaan
hukum ini diserahkan kepada wakil-wakil khalifah. Pelaksanaan
hukum syariah diserahkan kepada qadi (hakim) dan pelaksanaan
non-syariah, seperti qanun (undang-undang) kepada sahid al-syurtah
atau hajib.
Adapun muhtasib merupakan salah satu dari bagian sahib al-
syurtah (pen jaga keamanan) atau lembaga kepolisian. Sahib asyurtah
merupakan kepala lembaga ini. Tugasnya adalah mencegah timbul-
nya kejahatan-kejahatan kriminal, memeriksa pelanggaran-pelang-
garan hukum dan menghukum orang yang bersalah. Hukum yang
dipakainya dalam hal ini ialah hukum ada setempat.
Disamping sahib al-syurtah terdapat seorang muhtasib yang
bertugas mengurus soal-soal pelanggaran hukum yang bersifat

299 
ringan dan pelanggaran ajaran-ajaran moral. Yang termasuk dalam
bidang tugasnya adalah pelanggaran-pelanggaran mengenai pengu-
rangan timbangan, dan ukuran, penipuan dalam penjualan,
penolakan pembayaran utang, soal riba, pelanggaran tentang
minuman keras, permainan judi dan sebagianya.
Dalam tugasnya termasuk soal pelaksanaan ibadaht, seperti
pengadaan shalat jum’at, orang yang tidak berpuasa di bulan
ramadhan, janda yang tidak memperdulikan waktu iddahnya dan
sebagainya. Juga termasuk dalam kekuasannya soal kekejaman
terhadap pembantu rumah, dan binatang piaraan seperti kuda yang
kurang diberi makan tetapi diberi beban yang terlalu berat. (Harun
Nasution, 1985: 117)
Hal ini diperkuat oleh Taufiq Abd. al-Gani al-Rasyasyi bahwa
Wilayat al-Hisbah atau lembaga hisbah ini terlepas dari kekuasaan
khalifah (pemerin tah). Rasulullah dan para khalifah al-rasyidin pada
awal pemerintahan Islam langsung terjun dalam melaksanakan
fungsi hisbah, sebagaimana telah dijelaskan di atas ter kait putusan
perkara langsung ditangani oleh khalifah. Namun, ketika urusan
pemerintahan semakin banyak, kewenangan ini dikhususkan pada
lembaga tertentu yang pada masa berikutnya disebut Wilayat al-
Hisbah.
Pernyataan di atas dapat diterima karena secara faktual terlihat
embrio lembaga ini sudah ada pada masa Nabi SAW yang ketika itu
kewenangannya masih dilaksanakan oleh Nabi SAW dan setelah
Futuhat al-Makkah tugas pengawasan pasar didelegasikan kepada
Umar Ibn al-Khaththab di Madinah, dan Sha’id Ibn Sha’id Ibn al-Ash
untuk Makkah. Pada masa Khulafa al-Rasyidin, hisbah masih
dipegang oleh khalifah di samping mengangkat petugas hisbah
(muhtasib) untuk melaksanakan kewenangan hisbah tersebut,
sebagaimana dilakukan oleh Umar Ibn al-Khaththab yang
mengangkat Sa’id Ibn Yazid, Abdullah Ibn Uthbah, dan Ummu al-
Syifa sebagai muhtasib. Begitu juga pada masa Utsman Ibn Affan dan
Ali Ibn Thalib. Dengan demikian pada masa Nabi SAW dan Khulafa
al-Rasyidin belum secara jelas adanya pemisahan antara Wilayat al-
Hisbah dengan kekuasaan khalifah.

300 
Periode selanjutnya pada masa Daulah Umayyah, Wilayat al-
Hisbah sudah terpisah kekuasaannya dengan kekuasaan khalifah. Ini
terlihat pada eksistensi Wilayat al-Hisbah sebagai salah satu lembaga
peradilan (qadha), walaupun pengangkatan muhtasib masih berada
dalam kekuasaan khalifah, sebagaimana yang dilakukan Muawiyah
Ibn Abi Sufyan yang mengangkat Qais Ibn Hamzah al-Mahdaq
sebagai muhtasib. Hal ini menunjukkan bahwa Wilayat al-Hisbah
sudah terpisah dari kekuasaan khalifah, hanya saja penetapan
peraturan pelaksanaan hisbah masih menjadi tugas khalifah. Oleh
karena itu, pertanyaannya kapankah Wilayat al-Hisbah ini resmi
dinyatakan sebagai suatu lembaga? Menurut Hassan Ibrahim Hassan,
yang dikuatkan oleh Muhammad Salam Madzkur dalam bukunya al-
Qadha fi al-Islam bahwa Wilayat al-Hisbah sebagai suatu lembaga
dengan muhtasib petugasnya, yaitu pada masa khalifah al-Mahdi al-
Abbasiyah (158 – 169 H / 775 – 785 M).
Pada masa pemerintahan Abbasiyah, kelembagaan hisbah
masih sama dengan kelembagaan hisbah pada periode Umayyah,
Namun kewenangan mengangkat muhtasib sudah tidak lagi dalam
kekuasaan khalifah, tetapi diserahkan kepada qadhi al-qudhah, baik
mengangkat maupun memberhentikannya. Sistem penerapan
Wilayat al-Hisbah, muhtasib tidak berhak untuk memutuskan hukum
sebagaimana halnya pada wilayah qadha, muhtasib hanya dapat ber-
tindak dalam hal-hal skala kecil dan pelanggaran moral yang jika
dianggap perlu muhtasib dapat memberikan hukuman ta’zir
terhadap pelanggaran moral.
Berdasarkan hal ini kewenangan muhtasib lebih mendekati
kewenangan polisi, tetapi bedanya, ruang gerak muhtasib hanyalah
soal kesusilaan dan keselamatan masyarakat umum, sedangkan
untuk melaksanakan penangkapan, penahanan, dan penyitaan tidak
termasuk dalam kewenangannya. Di samping itu, muhtasib juga ber
wenang melakukan pencegahan terhadap kejahatan perdagangan
dalam kedudukan-nya sebagai pengawas pasar, termasuk mencegah
gangguan dan hambatan, pelanggaran di jalan, memakmurkan
masjid, dan mencegah kemungkaran seperti minum-minuman keras,
perjudian, dan lain-lain.

301 
Wilayat al-Hisbah merupakan salah satu lembaga peradilan
(qadha) dalam sistem pemerintahan Islam, yang memiliki kewe-
nangan untuk amar ma’ruf nahi munkar. Embrio lembaga ini telah
ditemui sejak masa Nabi SAW sebagai salah satu kewajiban agama,
dan pada masa pemerintahan Bani Umayyah dan Abbasiyah lembaga
ini menjelma menjadi sebuah lembaga terpisah dari kekuasaan
khalifah.
Wilayat al-Hisbah ini berwenang untuk memberikan hukuman
terhadap pelanggar hukum. Walaupun demikian, muhtasib tidak
memberikan hukuman ter-sebut secara langsung, tetapi melalui
tahapan-tahapan seperti menasehati, mengingat kan, yang
kesemuanya itu termasuk dalam kategori ta’zir. Namun demikian
Wilayat al-Hisbah hanya bertugas mengawasi hal-hal yang tampak
(zahir) dan sudah ma’ruf di kalangan masyarakat. Yaitu perkara-
perkara umum yang tidak ada perselisihan ulama tentang kewajiban
melaksanakannya ataupun meninggalkannya, atau sering juga
disebut perkara-perkara yang sudah menjadi ‘uruf (adat) dalam
keseharian masyarakat. Adapun perkara-perkara detail yang masih
berupa was-was, dugaan, syak wasangka, dan memerlukan investi-
gasi secara mendalam, pembuktian, kesaksian dan sumpah adalah
bukan wewenang Wilayaht Hisbah, tetapi menjadi wewenang lembaga
lainnya yaitu; wilayatul qadha’ atau wilayatul mazalim. (Pembahasan
mengenai wilayah ini akan dikemukakan teori al-Mawardi pada sub
bagian ini)
Lembaga hisbah dijalankan untuk memastikan bahwa
transaksi-transaksi yang ada di pasar tidak menyimpang dari nilai-
nilai ajaran Islam dalam kegiatan-kegiatan ekonomi. Lembaga hisbah
memiliki wewenang untuk memperingatkan, dan memberikan sanksi
administratif terhadap pelaku ekonomi yang melakukan praktik-
praktik yang di dapat. Pada masa khalifah Umar Ibn Khattab, peran
pengawasan terhadap pasar dilakukan dengan melakukan inspeksi-
inspeksi ke dalam pasar. Mengawasi praktik-praktik yang dapat
menyebabkan distorsi pasar, dan juga memberikan sanksi terhadap
pelaku pasar yang menyimpang dan membuat kekacauan kondisi
pasar. Pengawasan-pengawasan yang dilakukan untuk memastikan
berjalannya ketentuan-ketentuan antara lain: 1) Kebebasan masuk

302 
dan keluar pasar, 2) Mengatur promosi dan propaganda, 3) Larangan
penimbunan barang, 4) Mengatur perantara perdagangan, 5)
Pengawasan terhadap harga. (Ahmad Fitri)
Dalam sejarah khilafah Islam, selalu ada lembaga hisbah yang
dibentuk oleh pemerintah. Tugas lembaga ini memang khusus, yaitu
melakukan kontrol sosial terhadap kebajikan secara umum dan
mencegah praktik maksiat di depan umum, seperti makan siang di
bulan Ramadhan dan praktik judi secara terbuka. Selain itu, juga
memerintahkan tegaknya syariat, dari keharusan menutup aurat
hingga shalat berjamaah di masjid.
Kini, hisbah telah pudar dan tidak terlihat lagi wujudnya di
negara-negara Islam, kecuali Kerajaan Saudi Arabia, khususnya di
masa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab pada pertengahan abad
ke-12 H. Ruang gerak hisbah pernah benar-benar meluas pada masa
Raja Abdul Aziz berkuasa. Ketika itu, jabatan hisbah diserahkan
kepada Syaikh Abdul Aziz Abdul Lathif Alu Syaikh, seorang saleh
yang sangat berwibawa dan didengar suaranya. Pada masanya,
Hasan Al-Banna memberlakukan hisbah kembali. Sepak terjangnya
telah menciptakan sebuah prestasi yang patut dijadikan sebagai
referensi untuk mengembalikan hisbah ke tengah-tengah masyarakat
global saat ini.
Dalam buku yang terkenal berjudul “Ahkamu al-Sultaniyah”,
Al-Mawardi memperjelas pandangannya tentang lembaga hisbah ini.
Menurutnya, ada beberapa perbedaan antara seorang muhtasib
(petugas profesional yang digaji) dan mutatawwi’ (petugas relawan).
Di antara perbedaan itu adalah:
1) Keberadaan lembaga hisbah bersifat fardu ain, sedangkan petugas
relawan fardu kifayah.
2) Bagi muhtasib, hisbah adalah kewajiban dan wewenang yang harus
dilaksanakan dan tidak bisa ditangguhkan pelaksanannya,
sedangkan bagi relawan, hisbah adalah tugas sunnah yang bisa
ditangguhkan.
3) Muhtasib adalah orang yang diangkat untuk menerima laporan
perkara-perkara yang harus ditegur, sedangkan sukarelawan
(volunter) bukan.

303 
4) Mutashib harus melayani setiap orang yang melapor, sementara
sukarelawan tidak.
5) Muhtasib harus menyelidiki tindak kejahatan yang nyata,
sedangkan relawan tidak.
6) Muhtasih boleh mengangkat pembantu agar lebih kuat
melaksanakan tugasnya, sedangkan relawan tidak berhak.
7) Muhtasib boleh memberikan hukuman ringan (ta’zir), bukan
hukuman berat (hadd), sedangkan sukarelawan tidak berhak.
8) Muhtasib boleh meminta gaji dari bait al-mal, sedangkan
sukarelawan tidak boleh.
9) Muhtasib boleh melakukan ijtihad syar’i. Ijtihad urfi itu berkaitan
dengan penetapan peraturan di pasar-pasar dan peraturan
membangun bangunan.

Karenanya, seorang wali hisbah (muhtasib) harus memenuhi


persyaratan-persyaratan. Maka seorang muhtasib harus mempunyai ciri-
ciri; (a) Sikap adil, (b) Merdeka, (c) Memiliki pandangan (ilmu), (d)
Berwawasan dan tajam pemikirannya, serta (e) Teguh dalam pendirian
agama dan memilik pengetahuan tentang tindakan-tindakan kriminal
yang terjadi di masyarakat.
Adapun perbedaan dan persamaan antara hisbah dan mazalim
menurut Al-Mawardi sebagai berikut:
Madzalim Muhtasib
Persamaan 1. Kedua-duanya sama-sama mengandalkan kewibawaan yang
diwujudkan melalui kekuatan posisi dan kekerasan cara
bertindaknya.
2. Kedua-duanya boleh mengambil tindakan untuk alasan
mencapai kemaslahatan masyarakat.
Perbedaan 1. Mazalim dibentuk untuk 1. Hisbah dibentuk untuk
menangani hal-hal yang meringankan tanggung jawab
tidak dapat diselesaikan petugas mazalim.
oleh qadi. 2. Berkewajiban mencegah
2. kedudukan mazalim lebih timbulnya pelanggaran moral
tinggi dari pada hisbah. dan mencegah tindakan-
3. Petugas mazalim boleh tindakan yang mengakibat-
melimpahkan tugas- kan terganggunya ketertiban
tugasnya kepada hakim umum
(qadi) dan muhtasib. 3. Bertanggung jawab melaku-
kan pengawasan terhadap
kegiatan produksi di pasar

304 
4. Harus mencegah adanya
praktik yang merugikan
pasar
5. Mencegah munculnya pen
curian
6. Mengecek kejujuran peda
gang
7. Mematai-matai kegiatan
sosial ekonomi di pasar.

Menurut Harun Nasution, mazalim adalah lembaga yang bertugas


untuk menyelesaikan soal-soal perlakuan tidak adil atau penganiayaan
yang dijalankan oleh pejabat pemerintah terhadap rakyat. Misalnya,
pajak terlalu tinggi, penyitaan harta dengan tidak sah dan sebagainya.
Nazir al-Mazalim mempunyai kekuasaan yang lebih luas dari qadi, dan
yang bertindak sebagai nazir al-mazalim terkadang wazir (menteri)
sendiri.
Al-Mawardi juga menyebutkan bahwa tugas muhtasib untuk
mencegah terjadinya kecelakaan pelayaran dengan mengingatkan para
pemilik atau pengendara kapal (perahu) agar tidak ceroboh. Termasuk
dalam tanggungjawab muhtasib adalah pengawasan terhadap bangunan
pemukiman yang tidak boleh terlalu mewah. Bahkan muhtasib harus
memperhatikan orang non muslim (ahl dhimmah) untuk tidak
membangun rumahnya lebih tinggi dari rumah orang Islam. Jadi,
dibentuknya hisbah ialah untuk memperkecil terjadinya pelanggaran hak
asasi manusia.

3. Tahkim (Arbitrase)

Arbitrase atau dalam bahasa Arabnya adalah terjemahan dari


TAHKIM, yang berasal dari kata hakkama, yuhakkimu, tahkiman,
mempunyai arti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa.
Secara istilah, TAHKIM adalah pengangkatan juru tengah atau wasit
oleh kedua belah pihak yang bersengketa, dengan tujuan mendamaikan
persengketaan yang dialami oleh kedua pihak yang mengangkatnya.
Dari pengertian ini, kata tahkim sering dipadankan dengan kata
ARBITRASE, karena pengertian tahkim memiliki kemiripan dengan
pengertian arbitrase.

305 
Menurut Said Agil Husein al-Munawar, sebagaimana dikutip
Juhaya S. Praja (2012: 225), pengertian tahkim menurut kelompok ahli
hukum Islam mazhab Hanafiyah adalah memisahkan persengketaan
atau menetapkan hukum di antara manusia dengan ucapan yang
mengikat kedua belah pihak yang bersumber dari pihak yang mem-
punyai kekuasaan secara umum. Adapun pengertian tahkim menurut
kelompok Syafi’iyah, adalah memisahkan pertikaian antara pihak yang
bertikai atau lebih dengan hukum Allah atau menyatakan dan
menetapkan hukum syara’ terhadap peristiwa yang wajib dilaksana-
kannya.
Dasar hukum penyelesaian sengketa melalui tahkim ini terdapat
dalam al-Qur’an, surat an-Nisa, ayat 35 yang berbunyi:
‫ن ُﻳﺮِﻳﺪَا ِإﺹْﻼﺡًﺎ‬
ْ ‫ﻦ َأ ْهِﻠﻬَﺎ ِإ‬
ْ ‫ﺡ َﻜﻤًﺎ ِﻣ‬
َ ‫ﻦ َأ ْهِﻠ ِﻪ َو‬ْ ‫ﺡ َﻜﻤًﺎ ِﻣ‬
َ ‫ق َﺑ ْﻴ ِﻨ ِﻬﻤَﺎ ﻓَﺎ ْﺑ َﻌﺜُﻮا‬
َ ‫ﺷﻘَﺎ‬
ِ ‫ﺧ ْﻔ ُﺘ ْﻢ‬ ِ ‫ن‬ْ ‫َوِإ‬
‫ﺧﺒِﻴﺮًا‬
َ ‫ﻋﻠِﻴﻤًﺎ‬َ ‫ن‬
َ ‫ن اﻟَّﻠ َﻪ آَﺎ‬ َّ ‫ﻖ اﻟَّﻠ ُﻪ َﺑ ْﻴ َﻨ ُﻬﻤَﺎ ِإ‬
ِ ‫ُﻳ َﻮ ِّﻓ‬
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Berdasarkan ayat di atas, maka jelaslah bahwa al-Qur’an mengajak


untuk berdamai jika terjadi sesuatu persengketaan di antara dua pihak
atau lebih, hendaklah ada orang yang dapat menengahi dan mendamai-
kannya. Orang yang mendamaikan sengketa disebut hakam. Kapasitas
hakam di sini adalah orang yang memiliki kemampuan untuk mendamai-
kan dan dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa. Misalnya, ada
persengketaan di dunia perbankan antara debitur (nasabah) dan
kreditur (bank) terkait dengan kredit macet. Dengan demikian maka
juru damai (arbitrase) sangat urgen keberadaannya.
Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Aribtrase membawa angin segar bagi dunia perbankan karena lembaga
ini merupakan media antara bank dan debitur. Dalam undang-undang
ini mengatakan bahwa arbitrase adalah cara menyelesaikan sengketa
perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis yang dibuat oleh pihak yang
bersengketa.

306 
Namun Arbitrase syariah khususnya merupakan suatu Badan
penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase yang dilaksanakan sesuai
dengan tuntunan syariah. Perjanjian arbitrase merupakan kesepakatan
tertulis yang dibuat oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa baik
yang belum terjadi maupun yang sudah terjadi melalui arbitrase.
Dengan adanya perjanjian arbitrase, maka secara absolut pengadilan,
baik Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama menjadi tidak
berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut.

D. Lembaga Arbitrase Bisnis Syariah

Dengan mencermati pertumbuhan sistem ekonomi syariah di awal


tahun 1990-an, dan setelah mendirikan Bank Muamalah (sebagai bank
pertama atas dasar bank syariah) maka Majelis Ulama Indonesia dengan
beberapa tokoh telah memikirkan pula bagaimana cara penyelesaian
sengeketanya (apabila terjadi sengketa) secara tepat, adil, dan praktis,
putusanya final dan mengikat serta mempunyai kekuatan eksekutorial.
Untuk mengantisipasi dan memberikan kenyamanan dalam
bertransaksi jika terjadi persengketaan, pemerintah telah mengeluarkan
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang merupakan respons dari
keinginan masyarakat yang membutuhkan payung hukum yang jelas
jika tejadinya sengketa dalam bidang ekonomi syariah. Dalam udang-
undang tersebut, sebagaimana dimuat dalam pasal 49 disebutkan
bahwa: Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-
orang yang beragama Islam di bidang (a) perkawinan, (b) waris, (c)
wasit, (d) hibah, (e) wakaf (f) zakat (g) infak, (h) shadaqah, dan (i)
ekonomi Islam.
Dari Undang-Undang No. 3 tahun 2006 Pasal 29 ini, baik yang
menjadi salah satu kajian akademik maupun praktisi keuangan syariah
adalah dengan diakomodasinya proses penyelesaian sengketa dalam
bidang ekonomi syariah menjadi otoritas Peradilan Agama. Ketika
pengadilan Agama sebagai institusi yang diamanati oleh Undang-
Undang untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, seluruh jajaran
di pengadilan agama harus berbenah untuk mempersiapkan secara

307 
kelembagaan, terutama para hakimnya yang mempunyai kemampuan
dalam bidang sengketa ekonomi syariah.
Menurut Juhaya S. Praja (2012: 227-9), sengketa dalam bidang
ekonomi syariah ini, meliputi: (a) sengketa bank syariah, (b) sengketa
Lembaga Keuangan Mikro Syariah; (c) sengketa asuransi syariah, (d)
sengketa reasuransi syariah, (e) sengketa reksadana syariah, (f) sengketa
obligasi syariah, (g) sengketa sekuritas syariah, (h) sengketa pembiayaan
syariah, (i) sengketa pegadaian syariah, (j) sengketa dana pensiunan
lembaga keuangan syariah, dan (k) sengketa bisnis syariah.
Adapun proses penyelesaian sengketa ekonomi syariah dapat
dilakukan melalui dua cara, yaitu melalui pengadilan atau di luar
pengadilan. Melalui pengadilan sebagaimana tersebut di atas, merupa-
kan wilayatul qadha, tetapi penyelesaian di luar pengadilan melalui
BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional), sesuai dengan SK
MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003, tanggal 30 Syawal 1424 H/24
Desember 2003 M.
Tugas BASYARNAS adalah menyelesaikan secara adil dan cepat
sengketa muamalah (perdata) yang timbul dalam bidang perdagangan,
keuangan, industri, jasa dan lain-lain, serta memberikan pendapat yang
mengikat atas permintaan para pihak tanpa adanya suatu sengketa
mengenai persoalan tertentu dalam suatu perjanjian.

308 
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahnya. 2007.


Abduh, Isa, Tanpa Tahun. Al-‘Uqud Al-Syar’iyah al-Muhakamah lil Maliyah
al-Mu’asyrah. Mesir.
__________, 1973. Wad’u al-Riba fi al-Bina al-Iqthisad. Darul Buhust al-
Ilmiyah, Kuwait.
Al-Asy’ari, Ahmad Daud al-Muzjazi, 2000. Muqaddimah fi al-Idarah Al-
Islamiyah. Al-Mamlakah al-Arabiyah al-Sya’udiyah, Jeddah.
Abdul Aziz, 2011. Ekonomi Sufistik Model Al-Ghazali. Bandung, Alfabeta.
_________, 2008. Ekonomi Islam Analisis Mikro dan Makro. Yogyakarta,
Graha Ilmu.
_________, 2010. Manajemen Investasi Syariah. Bandung, Alfabeta.
Abdullah, Taufik (Ed.). Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi.
LP3ES.
Abu Sinn, Ahmad Ibrahim, 2008. Manajemen Syariah Sebuah Kajian
Historis dan Kontemporer. Jakarta, Rajawali Press.
Afiff, Faisal, dkk., 1996. Strategi dan Operasional Bank. Bandung, Eresco.
Al-Assal, Ahmad Muhammad dan Abdul Karim, Fathi Ahmad, 1999.
Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam. Terjemahan. Bandung,
Pustaka Setia.
Ahmad Azhar Bayir, 1996. Refleksi atas Persoalan Keislaman, Bandung:
Mizan.
Ali Suroso, Eko Maulana, 2004. Kepemimpinan Integratif Berbasis ESQ.
Jakarta, Bars Media Komunikasi.
Alma, Buchari, 2001. Kewirausahaan. Bandung, Alfabeta.
Alma, Buchari, 1999. Pengantar Bisnis. Bandung, Alfabeta.
Alma, Buchari, dkk. 2009. Moral dan Kognisi Islam. Bandung, Alfabeta.

309 
Alma, Buchari, dan Priansa, Donni Juni, 2009. Manajemen Bisnis Syariah.
Bandung, Alfabeta.
Asy’ari, Musa, 2001. Filsafat Islam Sunah Nabi dalam Berpikir. Yogyakarta.
LESFI.
Antonio, Muhammad Syafii, 2007. Muhammad SAW The Super Leader
Super Manager. Jakarta, Tazkia Multimedia.
Ausaf Ahmad, A Macro of Distribution in Islamic Economy, dimuat dalam
Journal of Research ini Islamic Economic, Vol.2, No. 1, 1984.
Bahesty dan Bahonar, 1992. Prinsip-Prinsip Islam, Risalah Masa, Jakarta.
Booklet Perbankan Indonesia, 2009. Bank Indonesia, Jakarta.
Chapra, M. Umar, 2000. Islam dan Tantangan Ekonomi. Geman Insani
Press, Tazkiah Institut, Jakarta.
Dahlan, Ahmad dan Aziz, Abdul, 2012. Bunga Rampai Pemikiran Ekonomi
Islam Tinjauan Seputar Tafsir, Hadits, Sejarah, Gerakan, Tasawuf,
Ekonomi dan Ibadah. Yogyakarta, Deepublish.
Djazuli, A., Janwari, Yadi, 2002. Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat.
Jakarta, Rajawali Press.
Diana, Ilfi Nur, 2008. Hadits-Hadits Ekonomi. Malang, UIN Malang Press.
Didin S. Damanhuri, 1999. Pilar-Pilar Reformasi Ekonomi Politik, Jakarta:
Cides.
Djohar Arifin dan Abdul Aziz. 2013. Etika Bisnis Islami. Deepublish,
Yogyakarta.
Effendi, Fridaus dan Zada, Khamami (Ed.), 1999. Membangun Masyarakat
Madani. Jakarta, Nuansa Madani.
Fauzi, Ahmad, T.Th. Ilmu Kalam Sebuah Pengantar. Cirebon, STAIN Press.
Hasan Ridwan, Ahmad, 2013. Manajemen Baitul Mal wa Tamwil. Pustaka
Setia, Bandung.
Internet Download Google.
Islamic Development Bank and Islamic Research and Training Institute,
Tanpa Tahun. A Survey of the Institution of Zakah: Issues, Theories
and Administration. Jeddah.
Ilyas, Yunahar, 1999. Kuliah Akhlak, LPPI UMY, Yogyakarta.
Jawahir Tanthowi, 1983. Unsur-Unsur Manajemen Menurut Ajaran al-
Qur’an. Pustaka Al-Husna, Jakarta.
Juhaya S. Praja, 2012. Ekonomi Syariah. Pustaka Setia, Bandung.
Jurnal Mahkamah, 2008. Laba dalam Perspektif Islam. STAIN Press.
______________, 2009. Bekerja Menurut Perspektif hadits. STAIN Press.

310 
Jurnal Studi Islam, Millah, 2008. Fiqh Bu’di al-Iqthisadh. Vol. VIII, No. 1
Agustus.
Jurnal Manajemen, 2012. Pemenuhan Kebutuhan Konsumtif Siap Kreasi
Perspektif Islam dalam Konteks Menuju Masyarakat Berperadaban.
Cirebon, STIE.
Kahf, Monzer, 1995. Ekonomi Islam (Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem
Ekonomi Islam). Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
__________, T.Th. Al-Nusush al-Iqhtisad Fi al-Qur’an wa Sunnah. Jeddah,
Nasr al-Ilmi.
Kerap, A. Sonny, 1998. Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya.
Yogyakarta, Kanisius.
Khalid, Amru, 2005. Jika Anda Mau Berubah. Jakarta, RajaGrafiondo
Persada.
Karim, Adiwarman, 2002. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: Rajawali Press.
_______________, 2006. Sejarah Pemikiran ekonomi Islam. Edisi kedua.
Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.
Kuntowijoyo, 1999. Identitas Politik Umat Islam. Bandung, Mizan.
___________, 2004. Islam Sebagai Ilmu Epistemologi, Metodologi dan Etika.
Teraju, Jakarta.
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa, T.Th. Tafsir al-Maraghi. Libanon, Dar Ihya
Turats al-Arabi.
Mahjuddin, 1996. Kuliah Akhlaq Tasawuf. Kalam Mulia, Jakarta.
Makram, Abdul Al-Salim, 2004. Pengaruh Akidah dalam Membentuk
Individu dan Masyarakat. Jakarta, Pustaka Azzam.
Misbah, Muh. Taqi, 1996. Monoteisme. Tauhid Sebagai Sistem Nilai dan
Akidah Islam. Jakarta, Lentara.
Mujahidin, Akhmad. 2007. Ekonomi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Muhammad, 1994. Lembaga-Lembaga Keuangan Umat Kontemporer.
Yogyakarta, UII Press.
Murti Sumarni, 1996. Marketing Perbankan. Liberty, Yogyakarta.
Muthahhari, Murtadha, 2004. Terjemahan dari Falsafatul Akhlaq dengan,
Filsafat Moral Islam: Kritik Atas Berbagai Pandangan Moral, Al-
Huda, Jakarta.
An-Nabhani, Taqiyudin, 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif
Perspektif Islam. Surabaya, Risalah Gusti.

311 
Nashori, Fuad (Ed.), 1994. Membangun Paradigma Psikologi Islami. Yogya-
karta. SIPRESS.
Nasution, Mustofa Edwin, dkk. 2007. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam.
Kencana Prenada Media Group: Jakarta.
Nasution, Harun, 1985. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek. Depok, UI
Press.
Nataatmadja, Hiadayat, 1984. Pemikiran ke Arah Ekonomi Humanistik.
Yogyakarta, LFPI.
___________, 2001. Inteligensi Spiritual. Bandung, Perenial Press.
Nur Mufi dan Fuad, A. Nur, 2000. Bedah Al-Ahkamus Sulthaniyah Al-
Mawardi. Surabaya, Pustaka Progresif.
Poesproprodjo, W., 1999. Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan Praktik.
Bandung, Pustaka Grafika.
Pratomo, Eko P., T.Th., Cara Mudah Mengelola Keuangan Keluarga Secara
Islami. Bandung, Hijrah Institute.
Praja, Juhaya S., 1993. Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Yayasan Piara,
Bandunga.
Pujiyono, Arif, 2006. Teori Konsumsi Islami dalam Junral Dinamika Pem-
bangunan, Vol. 3 No. 2 Desember.
Rahardjo, M. Dawam, 1990. Etika Ekonomi dan Manajemen. Yogyakarta.
Tiara Wacana.
_________________, 1996. Ensiklopedi Al-Qur’an. Jakarta, Paramadina.
Riyadi, Hendar, 2007. Melampaui Pluralisme Etika Al-Qur’an Tentang
Keragaman Agama. Jakarta, Graha Pena.
Ash-Shiddiqi, Muh. Nejatullah, 2001. The Future of Economics. Bogor,
SEBI.
Sabirin, Syahril. 2003. Perjuangan Keluar Dari Krisis. BPFE, Yogyakarta.
Saidi, Wahyu, 2007. Mari Berkenalan dengan Bisnis. Jakarta, Ikhtiar Press.
Saefuddin, A.M., et all., 1998. Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi,
Mizan, Bandung.
Syahidin, dkk. 2009. Moral dan Kognisi Islam. Alfabeta, Bandung.
Setiawan, Azis. 2007. Riba dalam Transaksi Bisnis. Majalah Hidayatullah,
Edisi Oktober.
Shihab, M. Quraish, 1997. Wawasan Al-Qur’an. Bandung, Mizan.
________________, 1994. Membumikan Al-Qur’an. Mizan, Bandung.

312 
Sophiana, Ainur R. (Ed.) 1997. Etika Ekonomi Politik. Surabaya, Risalah
Gusti.
Sopian, 2004. Kontroversi Bisnis Aa Gym. Jakarta, Pustaka Media.
Suryadi, dkk. 2011. Kewirausahaan Membangun Usaha Sukses Sejak Usia
Muda. Salemba Empat, Jakarta.
Sri Sarnityaastuti, Marfuah, dkk., 2009. Dasar-Dasar Public Relations.
Yogya-karta, Teras.
Suryadilaga, M.K. Sutrisna, 2007. The Balance Ways. Bandung, Hikmah.
Tanthowi, Jawari, 1983. Unsur-Unsur Manajemen Menurut Ajaran Al-
Qur’an. Jakarta, Pustaka Al-Husan.
Taqi Misbah, Muhammad, 1996. Monoteisme: Tauhid Sebagai Sistem Nilai
dan Akidah Islam. Lentera, Jakarta.
Triswanto, Sugeng Dwi, 2004. Merencanakan & Mengelola Usaha. Yogya-
karta. Media Abadi.
Wisadirana, Darsono dan Sofwani, Ahmad, 2008. Manajemen
Kewirausahaan Kapita Selekta Kewirausahaan Jilid II. Malang,
Agritek.
Yunus, Muh. 2008. Islam dan Kewirausahaan Inovatif. Malang, UIN Press,
Malang.

313 
TENTANG PENULIS

Dr. (Cand.) Abdul Aziz, M.Ag., kelahiran


Grinting Bulakamba Brebes, 26 Mei 1973 adalah
Dosen Tetap (PNS) IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Fakultas Syariah Program Studi Muamalah
Ekonomi Perbankan Islam (MEPI). Ia
menyelesaikan S1-nya di Fakultas Adab IAIN
SGD Bandung tahun 1998. Dan kemudian
melanjutkan S2 pada Program Magister Studi
Islam Program Pasca Sarjana Universitas
Muhammadiyah Jakarta Konsentrasi Ekonomi Islam selesai tahun 2001.
Karir Akademiknya di mulai sejak September 2001 s.d. sekarang
mengajar di perguruan tinggi, seperti; 1) Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Syekh Nurjati Cirebon, (2) Pernah di Sekolah Tinggi Agama Islam
Cirebon (STAIC), 3) Pernah di Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Al-
Ishlah Bobos Cirebon, 4) Pernah di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi
Cirebon.
Sebelum memasuki jenjang pendidikan magisternya, Bapak
Ismail Razi al-Faruqi ini menempuh sekolah dasarnya pada Madrasah
Ibtidaiyah Islamiyah (MII) tempat kelahirannya pada tahun 1987,
dilanjutkan pada Madrasah Tsanawiyah Salafiyah Syafi’iyah (MSS)
Babakan Ciwaringin Cirebon, 1990 sambil mukim di Pondok Pesantren
al-Faqih selama tiga tahun. Selesai jenjang pendidikan menengah, Bapak
dari Muhammad Ismail Razi al-Faruqi, melanjutkan ke Madrasah Aliyah
Negeri (MAN) Tambakberas Jombang Jawa Timur pada Tahun 1990-
1993, sambil semedi selama tiga tahun di Kamar Sunan Giri Pondok
Pesantren Tambakberas Jombang. Memasuki tahun 2004, pernah
mengenyam “Takhasus Kitab Kuning” selama 5 bulan di Pondok
Pesantren Kencong Pare Kediri, hingga September 2004 memasuki
perkuliahan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Gunung Djati

314 
Bandung mengambil Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab,
tamat 1998. Selanjutnya, tahun 1999 suami dari Ratna Mardiani, S.Pd.I,
melanjutkan pengembaraan akademiknya pada Universitas
Muhammadiyah Jakarta (UMJ) dengan Konsentrasi Ekonomi Islam,
sehingga kini menjadi keahliannya. Dan kini sedang menyelesaikan
tingkat Doktor (S3) di Universitas Borobudur (UNBOR) pada Bidang
Ilmu Ekonomi, Konsentrasi/Disertasi Ekonomi Islam.
Pengabdian masyarakat pada Persyarikatan Muhammadiyah
sebagai Sekretaris Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan
Daerah Muhammadiyah Kabupaten Cirebon Periode 2010 – 2015, yang
sebelumnya Anggota Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Cirebon
dan mengetuai Majelis Tarjih dan Pemikiran Islam PDM Kota Cirebon
2005 – 2010 disamping pernah menjadi Mudir Pondok Pesantren Santun
Muhammadiyah Kota Cirebon Tahun 2006 – 2011. Menjadi Bendahara
Pengurus Baitut Tamwil Muhammadiyah Amanah Tahun 2010 – 2015
dan Anggota Dewasan Syariah Lembaga Amil Zakat Muhammadiyah
Tahun 2011 – 2016.
Adapun karya ilmiah dalam bentuk buku yang pernah
dihasilkannya adalah: (1) Bunga Rampai Pemikiran Ke-Islamanan.
Diterbitkan deepublish, Yogyakarta tahun 2012, (2) Model Pembelajaran
Efektif Baca Tulis Al-Qur’an. Penerbit Deepublish, Yogyakarta, Tahun
2012, (3) Ekonomi Sufistik Model Al-Ghazali: Pemikiran al-Ghazali
tentang Moneter dan Bisnis. Diterbitkan Alfabeta Bandung tahun 2011,
(4) Manajemen Investasi Syariah. Diterbitkan Alfabeta Bandung Tahun
2010, (5) Kapita Selekta Ekonomi Islam Kontemporer. Diterbitkan
Alfabeta, Bandung Tahun 2010, (6) Ekonomi Islam Analisis Mikro dan
Makro. Diterbitkan Graha Ilmu, Yogyakarta Tahun 2008, dan (7) Model
Pembelajaran Efektif PAI di SD/MI, diterbitkan oleh Pustaka Bani
Quraisy Bandung, Tahun 2007.

315 
316 

Anda mungkin juga menyukai