Anda di halaman 1dari 11

Studi Komparatif

Konsep Anak dalam Islam dan Modern


(Analisa hukum terhadap efektivitas UU anak di Indonesia)

Silmi Affan Harahap


Pascasarjana Hukum Keluarga UIN Bandung,
Jln Soekarno Hatta – Polda Jawabarat
silmiharahap29@gmail.com
I. Pendahuluan
Jepang sebagai negara modern dan maju pernah mengalami sebuah
Fenomena Shousika, fenomena itu adalah menurunnya jumlah anak yang
dilahirkan, sehingga antara generasi ke generasi kehilangan populasi pengganti.
Sejak tahun 1975 pasca perang dunia II angka kelahiran di Jepang mengalami
pasang surut, namun istilah ini baru dikenal tahun 1992, setelah pemerintah
Jepang dikejutkan rendahnya kelahiran di tahun 1989.
Dari penelitian sebuah jurnal1 masyarakat Jepang ternyata mengalami
perubahan konsep anak. Teori Leibenstein menyebutkan bahwa perubahan konsep
anak itu berbasis pada dua alasan, pertama, anak sebagai sarana produksi untuk
menunjang pendapatan keluarga, hal ini terjadi pada keluarga agraris yang
mengandalkan manusia sebagai tenaga kerja, seiring berjalannya waktu pola dan
tingkah laku hidup di Jepang berubah dari negeri yang agraris ke Industri, yang
secara otomatis hanya diisi oleh manusia yang “berkualitas”. Kedua, anak sebagai
konsumsi, yakni segala bentuk pengeluaran untuk membesarkan anak (cost) untuk
menjadi manusia pilihan butuh dana yang besar, sehingga orang tua lebih
mengedepankan kualitas daripada kuantitas. Kedua alasan ini menjadi bukti
perubahan konsep anak pada masyarakat Jepang yang menimbulkan
meningkatnya fenomena shoushika.
Masyarakat Jepang memandang anak tidak lagi memiliki nilai produksi
ataupun sumber kenyamanan, melainkan memiliki nilai konsumsi. Seorang anak
harus diberikan fasilitas dan didukung dengan baik untuk menjadi SDM yang
berkualitas, lewat penyediaan pendidikan berkualitas sejak usia dini. Berbeda
Arsi Widiandari, Fenomena Shousika di Jepang :Perubahan Konsep Anak, Jurnal
1

UNDIP: Izumi, Vol.5 No.1 tahun 2016


dengan Jepang, di Indonesia masih meyakini anak adalah sumber kebahagiaan,
maka penulis akan mencoba untuk mengungkapkan konsep anak dalam dunia
Islam dan Modern untuk kemudian melihat sejauh mana efektivitas konsep anak
dalam UU di Indonesia.
II. Pembahasan
A. Konsep anak dalam Islam
Konsep anak dalam Al-Qur'an dan Hadits (sebagai sebuah hipotesis)
adalah harapan, sebab Al-Qur’an membahasakan anak sebagai sebuah perhiasan,
penyejuk mata dan ujian/cobaan. dengan menggunakan pemahaman para ulama
agar dapat memahami nya secara komprehensif penulis akan coba untuk
menguraikannya.
1. Definisi Anak dalam Al-Qur’an
a. sebagai Qurrata a'yun

Kata qurrata a'yun secara leksikal terungkap dalam Al- Qur'an Surat al-
Furqan ayat 74 , bermakna "penyenang hati".

ۡ ‫َوٱلَّ ِذينَ يَقُولُونَ َربَّنَا ه َۡب لَنَا ِم ۡن أَ ۡز ٰ َو ِجنَا َو ُذرِّ ٰيَّتِنَا قُ َّرةَ أَ ۡعي ُٖن َو‬
٧٤ ‫ٱج َع ۡلنَا لِ ۡل ُمتَّقِينَ إِ َما ًما‬
74. “Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami
isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami
imam bagi orang-orang yang bertakwa.”2

Dalam Kamus al-Munawwir, kata ini bermakna biji mata, kesayangan,


atau kekasih, dijelaskan lebih lengkap dalam Kamus al-Munjid, bahwa
maksud dari qurrata a'yun adalah gembira melihat sesuatu yang
menyenangkan. Untuk lebih detailnya, apa saja yang menyenangkan itu
berikut penjelasannya3 :

1) Al-sayyid yang berarti pemimpin atau kepala. Anak yang


menyenangkan adalah anak yang dapat menjadi pemimpin
bagi anak-anak seusianya dan dapat menjadi kepala
organisasi yang diikutinya.
2) Syarif Qaumih yang berarti orang terkenal atau orang

Al-Qur’an Depag R.I h.216


2

Imron Rossidy Analisis Komparatif tentang Konsep Pendidikan Anak Menurut Ibnu
3

Qayyim dan Al-Gahazali: “Implikasinya terhadap Pendidikan agama Islam Kontemporer”,


(Jurnal UIN Malang : 2009) h
penting. Anak yang menyenangkan adalah anak yang
memiliki prestasi sehingga menjadi terkenal dan dapat
menemukan ide-ide baru sehingga menjadi orang penting.
3) Al-Syams yang berarti matahari. Anak yang menyenangkan
adalah anak yang kehadirannya sangat dibutuhkan
masyarakat dan memiliki cahaya nur Ilahi yang dapat
menerangi masyarakat di mana saja ia berada.
4) Ahl al-balad yang berarti penduduk negeri. Anak yang
menyenangkan adalah anak yang taat terhadap semua
peraturan yang berlaku,
Berdasarkan informasi diatas terdapat relevansi dengan apa yang disampaikan
Ikrimah dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir yang menyebutkan bahwa maksud dari
ayat ini adalah keinginan dan harapan orang tua agar mereka dikaruniai anak yang
bukan saja memiliki ketampanan atau kecantikan, melainkan juga ketaatan kepada
Allah.4 Sehingga dengan begitu ke empat tipe Qurrota ‘ayun dapat disimpulkan
sebagaimana yang disampaikan Ikrimah diatas.
b. Anak sebagai Zuyyinah
Maksudnya, kedudukan anak adalah seperti hiasan hidup bagi orangtuanya
sebab kata zuyyinah secara bahasa berarti menghiasai atau mempercantik. Dalam
konteks ini Al-Qur'an menyejajarkan posisi anak dengan harta sebagai sesuatu
yang disenangi manusia pada umumnya. Dalam Surat Ali Imran ayat 14
dijelaskan:

َّ ِ‫ب َو ۡٱلف‬ َّ p‫ر ِة ِمنَ ٱل‬pَ pَ‫ير ۡٱل ُمقَنط‬ ٰ ۡ ۡ


‫ ِة‬p ‫ض‬ ِ َ‫ذه‬p ِ p‫ٓا ِء َوٱلبَنِينَ َوٱلقَنَ ِط‬p ‫ت ِمنَ ٱلنِّ َس‬ ِ ‫هَ ٰ َو‬p ‫ٱلش‬ َّ ُّ‫اس حُب‬ ِ َّ‫ُزيِّنَ لِلن‬
١٤ ‫ب‬ ِ ‫ٔ‍مَٔا‬pَ ‫ث ٰ َذلِكَ َم ٰتَ ُع ۡٱل َحيَ ٰو ِة ٱل ُّد ۡنيَ ۖا َوٱهَّلل ُ ِعن َدهۥُ ح ُۡس ُن ۡٱل‬
ِ ۗ ‫َو ۡٱلخَ ۡي ِل ۡٱل ُم َس َّو َم ِة َوٱأۡل َ ۡن ٰ َع ِم َو ۡٱل َح ۡر‬
14. “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini,
yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-
lah tempat kembali yang baik (surga).”

Dari ayat tersebut, dapat dipahami bahwa diibaratkan sebagai perhiasan,


berarti anak merupakan sumber kecintaan. Lazimnya sesuatu yang dicintai, maka
ia mesti dijaga sepenuh hati, dan juga dibanggakan. Begitu pula dengan

Abu Fida Ismail bin Katsir Tafsir Al-Qur’an al-‘Adzhim, alih bahasa oleh: Bahrun Abu
4

Bakar (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2000) Juz XIX h.100


keberadaan anak di mata orangtua.
Namun demikian, Al-Qur'an juga memberi batasan tertentu bahwa
keberadaan anak bisa menjadi cobaan bagi kedua orangtuanya. Dalam Surat al-
Anfal ayat 28 diterangkan:
“ Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan
sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.”
Dengan demikian dapat dipahami bahwa anak selain menjadi perhiasan juga
sekaligus sebagai ujian untuk mengantarkan kita kepada Allah.
Setelah kita mengenal posisi anak dalam Islam yakni sebagai Qurrota
A’yun (penyejuk hati) dan Zuyyinah (perhiasan) sekaligus juga Fitnah (ujian)
maka dapat disimpulkan bahwa anak itu adalah harapan bagi para orang tua, serta
sekaligus ancaman. Stigma bahwa anak itu ancaman ini adalah sebagai bentuk
waspada terhadap konsep dasar manusia yakni berdasarkan sabda nabi:5
“Telah menceritakan kepada kami [‘Abdan] telah mengabarkan kepada kami
[Abdullah] telah mengabarkan kepada kami [Yunus] dari [al-Zuhri] dia berkata; telah
mengabarkan kepadaku [Abu Salamah bin Abduraahman] bahwa [Abu Huraira r.a]
berkata; Rasulullah saw bersabda; “Seorang bayi tidak dilahirkan (ke dunia ini)
melainkan ia dalam keadaan kesucian (fitrah). Kemudian kedua orang tuanyalah
yang akan membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi – sebagaimana
hewan yang dilahirkan dalam ke adaan selamat tanpa cacat. Maka apakah kalian
merasakan adanya cacat? “kemudian beliau membaca firman Allah yang berbunyi :
“....tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu.
Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (itulah) agama yang lurus....”

Hadits diatas merupakan peringatan dan hakikat mengapa anak tersebut


tercipta dan lahir kemuka bumi, berikut pembahasannya secara lengkap dengan
menukil pendapat Ibnu Qayyim dan Al-Ghazali selaku pakar Psikologi Muslim.
c. Hakikat anak
Ibnu Qayyim dan Al-Ghazali memiliki pandangan yang serupa tentang
fitrah anak, keduanya menganggap bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan
fitrah yang suci, sedangkan faktor lingkungan memiliki peranan yang dominan
dalam pembentukan karakter anak, apakah ia akan berperilaku baik atau buruk.
Ibnu Qayyim dan Al-Ghazali sependapat bahwa, setiap bayi dilahirkan
dalam keadaan mencintai Penciptanya, dan mengakui kerububiahan-Nya. Ia juga
dilahirkan dengan membawa fitrah ketundukan, kesiapan untuk beribadah kepada-
5
HR. Imam Al-Bukhari No.4402, Lihat Aplikasi Lidwa Hadist. http//lidwa.com/. diakses
pada tanggal 2/11/ 2018
Nya semata. Maka jika fitrah itu benar-benar terbebas dari pengaruh-pengaruh
sesat, maka ia tetap pada kesuciannya, al-Dinul Islam.
Al-Ghazali memaknai fitrah anak sebagai makhluk yang telah dibekali
potensi untuk beriman kepada Allah sesuai dengan kejadian manusia, cocok
dengan tabi’at dasarnya yang memang cenderung pada agama tauhid (Islam).
Segala keburukan yang menimpa anak adalah bentukan dari pola pendidikan yang
salah ataupun pengaruh lingkungan sekitarnya.6
Hal ini semakna dengan pemahaman diawal bahwa anak sebagai Qurrota
‘Ayun dan Zuyyinah, maka secara otomatis menjadi tanggung jawab orang tuanya
lah anak yang lahir tersebut agar dibina dan di didik sesuai dengan tuntunan Allah
agar menjadi Qurrota ‘Ayun. Maka prioritas selanjutnya bagi orang tua yang telah
memiliki anak, adalah memberikan pendidikan.
Meski demikian, menurut Ibnu Khaldun jika seorang anak terlahir tanpa
mendapatkan pendidikan, pola tata krama, sopan santun, dan pergaulan sehari-hari
maka zaman dan waktu akan mengajarkannya, bantuan alam sekitar serta
berbagai peristiwa akan membentuk karakteristik anak tersebut. Sebab Allah akan
membimbing setiap hamba-hambanya sesuai dengan kehendaknya.7 Dari
pemaparan Ibn Khaldun ini maka kita dapat mengetahui bahwa Allah yang akan
menjamin rezeki seorang anak.
2. Hak dan Kewajiban Anak dalam Islam
a. Hak untuk hidup
١٥١ ... ۖۡ‫ َواَل ت َۡقتُلُ ٓو ْا أَ ۡو ٰلَ َد ُكم ِّم ۡن إِمۡ ٰلَ ٖق نَّ ۡحنُ ن َۡر ُزقُ ُكمۡ َوإِيَّاهُم‬..۞
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut
kemiskman.Kami akan memberi rizki kepadamu dan kepada mereka.”
Dari ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa setiap anak itu punya
hak untuk hidup dan tumbuh berkembang sesuai dengan fitrahnya. Hak hidup
yang dijamin oleh Allah ini bukan hanya dimulai sejak anak telah dilahirkan,
tetapi sejak dalam kandungan dan bahkan sejak janin belum memiliki ruh
sekalipun.Artinya, Islam tidak membenarkan seseorang dengan sengaja tanpa
alasan-alasan yang dibenarkan agama, untuk melakukan aborsi.
6
Imron Rossidy Analisis Komparatif tentang Konsep Pendidikan Anak Menurut Ibnu
Qayyim dan Al-Gahazali: “Implikasinya terhadap Pendidikan agama Islam Kontemporer”,
(Jurnal UIN Malang : 2009) h.5
7
Ali al-Jumbulati dan Abdul Futuh at-Tuwānisi, Perbandingan Pendidikan Islam,
(Jakarta: Rineka Cipta 2002) 199.
b. Hak Mendapat Perlindungan Dunia dan Akhirat
Qs. Al-Tahrim ayat 6
ٌ‫ ة‬p‫ا َم ٰلَٓئِ َك‬ppَ‫ارةُ َعلَ ۡيه‬ ْ ُ‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
َ ‫ ٱلنَّاسُ َو ۡٱل ِح َج‬p‫وا قُ ٓو ْا أَنفُ َس ُكمۡ َوأَ ۡهلِي ُكمۡ ن َٗارا َوقُو ُدهَا‬
٦ َ‫َاد اَّل يَ ۡعصُونَ ٱهَّلل َ َمٓا أَ َم َرهُمۡ َويَ ۡف َعلُونَ َما ي ُۡؤ َمرُون‬ٞ ‫ظ ِشد‬ٞ ‫ِغاَل‬
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-
malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Menurut Quraish Shihab8 Ayat diatas memberi tuntunan kepada
kaum beriman bahwa yakni istri, anak-anak dan seluruh yang berada di
bawah tanggung jawab kamu dengan membimbing dan mendidik
mereka agar kamu semua terhindar dari api neraka dan yang bahan
bakarnya adalah manusia-manusia yang kafir dan juga batu-batu antara
lain yang dijadikan berhala-berhala. 
c. Hak untuk dinafkahi
Qs. Al-Baqarah ayat 33

ِ ۚ ‫ َو َعلَى ۡٱل َم ۡولُو ِد لَ ۥهُ ِر ۡزقُه َُّن َو ِك ۡس َوتُه َُّن بِ ۡٱل َم ۡع ُر‬...۞
٢٣٣ ... ‫وف‬
“..Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara
ma'ruf..”
Hadits dari Muslim yang berbunyi:
“Satu dinar yang engk au infaqkan untuk sabilillah, satu dinar yang engkau
infaqkan untuk memerdekakan budak, satu dinar yang engkau infaqkan
(sodaqohkan) pada orang miskin, dan satu dinar yang engkau infaqkan
(memberi nafkah) kepada keluargamu, yang paling besar pahalanya adalah
yang engkau gunakan memberi nafkah keluargamu”. (HR. Muslim dalam
Nashih Ulwan, 1985: 213

Ulama sepakat bahwa menafkahi anak adalah kewajiban orang tua


berdasarkan hadits dan ayat diatas sampai mereka (anak-anak) mampu.
d. Kewajiban untuk Patuh dan Taat pada Orang Tua
‫م فَاَل‬ٞ ‫كَ بِ ِهۦ ِع ۡل‬ppَ‫س ل‬ َ ‫دَا‬pَ‫ ٗن ۖا َوإِن ٰ َجه‬p‫ ِه ح ُۡس‬p‫َو َوص َّۡينَا ٱإۡل ِ ن ٰ َسنَ بِ ٰ َولِد َۡي‬
َ ‫ا لَ ۡي‬pp‫ ِركَ بِي َم‬p‫ك لِتُ ۡش‬
٨ َ‫م فَأُنَبِّئُ ُكم بِ َما ُكنتُمۡ ت َۡع َملُون‬pۡ‫ي َم ۡر ِج ُع ُك‬ َّ َ‫تُ ِط ۡعهُ َم ۚٓا إِل‬
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya.
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang
tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.

8
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: 2003, Lentera hati), cet-1, hlm:326-327
Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah
kamu kerjakan.”
Dalam kalimat diatas terdapat kalimat ba taukid yang artinya
penegasan bahwa kita diperintahkan untuk mematuhi dan berbuat baik
kepada orang tua.
e. Kewajiban untuk mendoakan
Qs. Al-Isra ayat 24
َ ‫ض لَهُ َما َجنَا َح ٱل ُّذ ِّل ِمنَ ٱلر َّۡح َم ِة َوقُل رَّبِّ ۡٱر َحمۡ هُ َما َك َما َربَّيَانِي‬
ٗ ‫ص ِغ‬
٢٤ p‫يرا‬ ۡ ‫َو‬
ۡ ِ‫ٱخف‬
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku waktu kecil.”
Ayat ini ditopang dengan kebenaran shahihnya hadits “Jika anak
Adam meninggal, maka amalnya terputus kecuali dari tiga perkara,
sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang
berdoa kepadanya.” (HR Muslim).
f. Kewajiban untuk menafkahi
Qs. Al-Baqarah : 2159
‫ ِكي ِن‬pp‫ين َو ۡٱليَ ٰتَ َم ٰى َو ۡٱل َم ٰ َس‬
pَ ِ‫خَي ٖر فَلِ ۡل ٰ َولِد َۡي ِن َوٱأۡل َ ۡق َرب‬
ۡ ‫ونَ قُ ۡل َمٓا أَنفَ ۡقتُم ِّم ۡن‬
ۖ ُ‫سلُونَكَ َما َذا يُنفِق‬
‍َٔpَٔۡ َ‫ي‬
٢١٥ ... ‫َو ۡٱب ِن ٱل َّسبِي ۗ ِل‬
“Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta
yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-
anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan...”
Juga disebutkan dalam Hadits
Rasulullah saw. bersabda: “kamu dan hartamu adalah milik orang tuamu.
Sesungguhnya anak-anak kalian adalah dari hasil kerja kalian. Maka
makanlah dari harta-harta mereka” (H.R. Ibnu Majah. No. 2292)10

3. Batasan Baligh dalam Islam


ۡ‫ ٰ َذلِكَ يُبَيِّنُ ٱهَّلل ُ لَ ُكم‬p‫ٱس ۡ‍ٔتَ َذنَ ٱلَّ ِذينَ ِمن قَ ۡبلِ ِهمۡۚ َك‬ ْ ُ‫َوإِ َذا بَلَ َغ ٱأۡل َ ۡط ٰفَ ُل ِمن ُك ُم ۡٱل ُحلُ َم فَ ۡليَ ۡس ۡ‍ٔتَ ِذن‬
ۡ ‫وا َك َما‬
٥٩ ‫يم‬ٞ ‫َءا ٰيَتِ ِۗۦه َوٱهَّلل ُ َعلِي ٌم َح ِك‬
59. Dan apabila anak-anakmu telah sampai hulm (umur balig), maka hendaklah mereka

9
Kementrian Depag R.I. tahun 2012 h.229
10
Abi ‘Abdillah Muhammad ibn Yazid al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah (Riyadh:
AlMa’arif, t.t.), hlm. 39
meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah
Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana

‫ ويمس من الطيب ما قدر عليه‬,‫ والسواك‬, ‫غسل يوم الجمعة على كل محتلم‬
“Mandi pada hari Jum’at (sebelum menunaikan shalat Jum’at) adalah
kewajiban bagi setiap orang yang telah ihtilam; demikian pula bersiwak dan
memakai wewangian semampunya.”
Kedua dalil diatas jelas menunjukan bahwa seorang anak dikatakan
dewasa saat ia telah mencapai umur baligh, kriteria umur baligh ulama
berbeda pendapat, namun yang paling jumhur dikalangan ulama adalah
keluarnya sperma dengan mimpi basah dan menstruasi pada wanita yang
di istilahkan dengan ihtilam.
B. Konsep Anak Modern
Menurut Leibenstein, anak dilihat dari dua aspek yaitu aspek kegunaannya
(utility) dan aspek biaya (cost). Kegunaannya adalah memberikan kepuasaan,
dapat memberikan balas jasa ekonomi atau membantu dalam kegiatan berproduksi
serta merupakan sumber yang dapat menghidupi orang tua di masa depan.
Sedangkan pengeluaran untuk membesarkan anak adalah biaya dari mempunyai
anak tersebut. Biaya memiliki seoarang anak dapat dibedakan atas biaya
langsung dan biaya tidak langsung. Yang dimaksud biaya langsung adalah biaya
yang dikeluarkan dalam memelihara anak seperti memenuhi kebutuhan sandang
dan pangan anak sampai ia dapat berdiri sendiri. Yang dimaksud biaya tidak
langsung adalah kesempatan yang hilang karena adanya tambahan seoarang anak.
Misalnya, seoarang ibu tidak dapat bekerja lagi karena harus merawat anak,
kehilangan penghasilan selama masa hamil, atau berkurangnya mobilitas orang
tua yang mempunyai tanggungan keluarga besar. Menurut Leibenstein, apabila
ada kenaikan pendapatan maka aspirasi orang tua akan berubah. Orang tua
menginginkan anak dengan kualitas yang baik. Ini berarti biayanya pun akan
naik..11
Menurut Mundiharno, pengembangan lebih lanjut tentang ekonomi
fertilitas dilakukan oleh Gary S. Becker yang menyatakan bahwa anak dari sisi
ekonomi pada dasarnya dapat dianggap sebagai barang konsumsi (consumption
good, consumer’s durable) yang memberikan suatu kepuasan (utility) tertentu bagi
11
Mundiharno, Beberapa Teori Fertilitas, Jurnal UNDIP 2009.
orang tua. Bagi banyak orang tua, anak merupakan sumber pendapatan dan
kepuasan (satisfaction). Secara ekonomi, fertilitas dipengaruhi oleh pendapatan
keluarga, biaya memiliki anak dan selera. Meningkatnya pendapatan (income)
dapat meningkatkan permintaan terhadap anak.
Dalam analisis ekonomi, fertilitas permintaan akan anak berkurang bila
pendapatan meningkat, karena;
1) orang tua mulai lebih menyukai anak-anak yang berkualitas lebih
tinggi dalam jumlah yang hanya sedikit sehingga “harga beli”
meningkat;
2) Bila pendapatan dan pendidikan meningkat maka semakin banyak
waktu (khususnya waktu ibu) yang digunakan untuk merawat anak.
Jadi anak menjadi lebih mahal.
C. Konsep Anak di indonesia
Konsep anak di Indonesia mengacu pada aturan yang berlaku, sesuai
dengan judul negara bahwa Indonesia adalah Negara Hukum maka konsep anak
akan dilihat dari berbagai perspektif hukum.
UU perlindungan anak dan konvensi hak anak, anak didefinisikan sebagai
setiap individu yang berada di bawah usia 18 tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan (UUPA pasal 1 ayat 1). Berdasarkan definisi ini yang menjadi
batasan adalah umur bukan menikah seperti dalam KUHP (kitab Undang-Undang
Hukum Pidana) dan Undang-Undang no 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak.
Menurut UUPA, seseorang yang berumur dibawah 18 tahun yang telah
menikah, tetap dikelompokkan sebagai anak. Sedangkan dalam KUHP, anak
didefinisikan sebagai setiap individu yang belum berusia 16 tahun (pasal 45).
Sedangkan Undang-Undang no 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak membatasi
anak dengan umur 8 sampai 18 tahun dan belum menikah. Jadi anak dibawah
umur 18 tahun yang telah menikah bukan anak lagi dan dikelompokkan menjadi
orang dewasa menurut UU tentang pengadilan anak (pasal 1).
Tabel 1.1 Usia Anak di Indonesia menurut Hukum yang berlaku
Dasar Hukum Pasal
Pasal 45
 
Kitab Undang-Undang
Dalam hal penuntutan pidana terhadap
Hukum Pidana orang yang belum dewasa karena
melakukan suatu perbuatan sebelum
umur 16 tahun, hakim dapat
menentukan:.... dstnya
 
Namun R. Soesilo dalam bukunya Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Serta Komentar-Komentarnya Lengkap
Pasal Demi Pasal (hal. 61) menjelaskan
bahwa yang dimaksudkan “belum
dewasa” ialah mereka yang belum
berumur 21 tahun dan belum kawin. Jika
orang kawin dan bercerai sebelum umur
21 tahun, ia tetap dipandang dengan
dewasa.

Pasal 47
 
UU No. 1 Tahun 1974
Anak yang dimaksud dalam UU
Perkawinan adalah yang belum
mencapai 18 tahun.

Pasal 1 angka 26
 
UU No.13 Tahun 2003 Tentang
Anak adalah setiap orang yang
Ketenagakerjaan berumur di bawah 18 (delapan belas)
tahun

Pasal 1 angka 3, angka 4, dan angka 5


 
 Anak yang Berkonflik dengan
Hukum adalah anak yang telah
berumur 12 (dua belas) tahun,
tetapi belum berumur 18 (delapan
belas) tahun yang diduga melakukan
tindak pidana.
UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem
 
Peradilan Anak  Anak yang Menjadi Korban
Tindak Pidana adalah anak yang
belum berumur 18 (delapan belas)
tahunyang mengalami penderitaan
fisik, mental, dan/atau kerugian
ekonomi yang disebabkan oleh tindak
pidana.
 
 Anak yang Menjadi Saksi Tindak
Pidana adalah anak yang belum
berumur 18 (delapan belas)
tahunyang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan
tentang suatu perkara pidana yang
didengar, dilihat, dan/atau dialaminya
sendiri.

Pasal 1 angka 5
 
Undang- Undang No.39 Tahun 1999 Anak adalah setiap manusia yang
Tentang HAM berumur di bawah 18 (delapan
belas) tahun dan belum menikah,
termasuk anak yang masih dalam
kandungan apabila hal tersebut
adalah demi kepentingannya.

Undang-Undang No.44 Tahun 2008 Pasal 1 angka 4


 
tentang Pornografi Anak adalah seseorang yang belum
berumur 18 (delapan belas)
tahun.

UU No 23 Tahun 2002 tentang Pasal 1 angka 1


 
perlindungan anak Jo. UU No.35 tahun Anak adalah seseorang yang belum
2014 berumur 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan.

UU No 21 Tahun 2007 tentang Pasal 1 angka 5


 
Pembeerantasan Tindak Pidana Anak adalah seseorang yang belum
Perdagangan Orang berumur 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan.

Pasal 330
 
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Yang belum dewasa adalah mereka
(Burgerlijk Wetboek) yang belum mencapai umur
genap 21 (dua puluh satu tahun)
dan tidak kawin sebelumnya.

Pasal 98 ayat (1)


 
Kompilasi Hukum Islam Batas umur anak yang mampu
berdiri sendiri atau dewasa
adalah 21 tahun, sepanjang anak
tersebut tidak bercacat fisik maupun
mental atau belum pernah
melangsungkan perkawinan.

Tabel 1.1

Anda mungkin juga menyukai