Anda di halaman 1dari 14

Pentingnya biopsi yang memuaskan untuk diagnosis kanker paru di era

pengobatan personal

ABSTRAK
Kemajuan dalam biologi molekuler meningkatkan pemahaman tentang kanker
paru dan mengubah pendekatan terapi. Biopsi yang memuaskan yang
memungkinkan untuk mengetahui karakterisasi histologis dan analisis mutasi
menjadi semakin penting. Sebagian besar pasien dengan kanker paru
didiagnosis pada stadium lanjut, dan diagnosis sering didasarkan pada biopsi
minor atau spesimen sitologi. Di sini, kami meninjau teknik yang tersedia untuk
mendiagnosis kanker paru, termasuk bronkoskopi, bronkoskopi dengan
panduan ultrasonografi, mediastinoskopi, aspirasi jarum perkutan,
thoracentesis, dan thoracoscopy medis. Kami juga membahas indikasi,
komplikasi, dan hasil jaringan dari teknik tersebut, terutama yang berkaitan
dengan pemeriksaan penanda molekuler.
KATA KUNCI
Kanker paru, diagnosis, bronkoskopi, ultrasonografi endobronkial,
torakoskopi, aspirasi jarum perkutan, penanda molekuler, EGFR

1. PENDAHULUAN
Penemuan dalam biologi molekuler mengubah pendekatan terhadap pengobatan
pasien dengan non-small cell lung cancer (NSCLC). Dalam beberapa tahun
terakhir, karakterisasi histologis kanker paru telah berkembang pesat, melebihi
perbedaan sederhana dari penyakit small-cell atau non-small cell.
Pengamatan bahwa subtipe histologis tertentu merespon secara berbeda
terhadap agen kemoterapi tertentu dan meningkatnya penggunaan terapi yang
ditargetkan telah menciptakan kebutuhan untuk karakterisasi histologis yang
tepat dari spesimen biopsi. Misalnya, beberapa studi telah menunjukkan bahwa
tingkat respon dan kelangsungan hidup dengan pemetrexed secara signifikan
lebih baik pada pasien dengan gambaran histologi non-skuamosa. Studi
menggunakan inhibitor tirosin kinase telah mengamati bahwa manfaat yang lebih
besar dari pengobatan dengan agen tersebut terlihat pada pasien dengan tumor
NSCLC dengan mutasi EGFR dibandingkan pada pasien dengan tumor ganas.
Uji klinis yang sedang berlangsung meneliti penggunaan inhibitor Alk pada
pasien dengan karakteristik NSCLC oleh translokasi gen EML4 – ALK. Mutasi
tersebut ditemukan hampir secara eksklusif pada adenokarsinoma.
Kanker paru-paru masih menjadi penyebab utama kematian akibat kanker
di Amerika Utara. Di Kanada pada tahun 2010, diperkirakan 25.300 orang
didiagnosis kanker paru, dan 20.600 meninggal karena penyakit tersebut. Saat
diagnosis, 75% pasien telah memiliki penyakit stadium lanjut atau metastasis
lokal. Tujuan dari kelompok pasien yang terakhir ini adalah untuk menegakkan
diagnosis dan, idealnya, untuk memastikan stadium penyakit dengan teknik yang
paling tidak invasif. Akibatnya, spesimen biopsi menjadi semakin kecil. Dari
pasien NSCLC yang menerima kemoterapi untuk penyakit lanjut, 80% hanya
akan dilakukan pengambilan spesimen biopsi kecil atau sampel sitologi yang
tersedia untuk diagnosis.
Dalam ulasan ini, kami membahas teknik invasif dan minimal invasif yang
tersedia untuk diagnosis dan penentuan stadium kanker paru dengan tingkat
keberhasilan dan komplikasinya. Kami juga membahas ukuran sampel jaringan
yang diperoleh dengan berbagai teknik, karena ukuran tersebut berkaitan
dengan memaksimalkan karakterisasi histologis kanker paru di era pengobatan
personal. Terakhir, kami memaparkan pengalaman kami sendiri dalam
mendapatkan sampel jaringan yang memadai di Klinik Investigasi Cepat kami di
Universitas McGill.

2. TEKNIK DIAGNOSTIK
2.1 Bronkoskopi Fiberoptik
Alat diagnostik utama pada kanker paru adalah bronkoskopi. Bronkoskopi
fleksibel, biasanya dilakukan dengan anestesi lokal dan dengan sedasi minimal,
sehingga pemeriksaan dapat menyeluruh pada semua bronkus segmental dalam
beberapa menit. Komplikasi jarang terjadi. Survei lebih dari 75.000 prosedur
mengungkapkan tingkat kematian antara 0,01% dan 0,5%, dan tingkat
komplikasi utama antara 0,08% dan 5%. Komplikasi termasuk pneumotoraks,
hipoksemia, dan perdarahan.
Tumor endobronkial dapat bermanifestasi sebagai infiltrasi submukosa
atau massa eksofitik (Gambar 1). Biopsi forsep tumor endobronkial dan kelainan
mukosa dilakukan di bawah pengawasan langsung. Hasil diagnostik meningkat
saat tersedia gambaran computed tomography (CT) untuk ditinjau sebelum
bronkoskopi, karena bronkoskopi lebih mampu melokalisasi segmen bronkial
yang mengandung tumor.
Jika lesi pada bronkus terlihat, hasil diagnosis untuk biopsi endobronkial
adalah 70% -90%. Biasanya, dalam 4 spesimen telah terbukti memadai untuk
hasil diagnostik yang optimal pada lesi sentral. Ketika tumor terletak di dinding
lateral jalan napas, spesimen biopsi sulit diperoleh dengan menggunakan forsep
standar. Untuk mengoptimalkan spesimen, disarankan untuk menggunakan
spear forcep yang memiliki ukuran jarum kecil di antara biopsy jaw untuk
menjangkar ke dinding saluran napas. Urutan teknik yang optimal untuk
pengambilan sampel penyakit endobronkial telah diteliti oleh Chaudhary dkk.
Studi mereka menunjukkan bahwa lebih banyak sel ganas diperoleh saat
dilakukan bronchial wash setelah bronchial brushing dan biopsi bronkial.
Sebagian besar ahli bronkoskopi melakukan urutan sebagai berikut : bronchial
brushing, biopsi, dan bronchial washing.
Secara umum, spesimen biopsi berukuran kecil — rata-rata sekitar 300
sel ganas dalam agregat biopsi. Jumlah tumor yang terkandung dalam spesimen
relatif rendah. Coghlin dkk menemukan bahwa rata-rata persentase area tumor
dalam sampel biopsi endobronkial adalah 33%. Selain itu, tidak setiap biopsi
mengandung tumor. Faktanya, kurang dari setengah kasus (48%) dalam
penelitian ini mengandung tumor di semua spesimen biopsi. Meskipun 4
spesimen mungkin cukup untuk mendiagnosis kanker paru, namun specimen itu
mungkin tidak menyediakan jaringan yang cukup untuk melakukan analisis
molekuler yang lebih rinci. Harus dipertimbangkan untuk mendapatkan hingga 6
spesimen.
Aspirasi jarum transbronkial (transbronchial needle aspiration/TBNA)
dengan panduan gambaran CT memiliki peran yang baik dalam pengambilan
sampel adenopati sentral dan massa. Namun, teknik ini kurang digunakan
karena jumlah dokter terlatihyang terbatas, takut terjadi komplikasi, dan perlu
evaluasi di tempat oleh ahli sitopatologi untuk mengoptimalkan hasil. Jika
teknologi tersedia, "buta". TBNA semakin cenderung digantikan oleh TBNA yang
dilakukan dengan panduan ultrasonografi endobronkial waktu nyata
(endobronchial ultrasonography/EBUS).
Dalam kasus nodul perifer, di mana pemeriksaan endobronkial normal,
hasil diagnostik turun menjadi 40%. Bila positif, diagnosis dalam kasus ini
biasanya dari hasil sitologis, bergantung pada lavage bronchoalveolar atau
bronchial brushing untuk menegakkandiagnosis. Teknik ultrasonografi
menggunakan probe radial EBUS memungkinkan diperoleh spesimen biopsi
transbronkial dari nodul perifer; teknik ini dibahas lebih lanjut pada sub-bagian
berikutnya

Gambar 1. Tumor endobronkial. (A) Infiltrasi submukosa. (B) Massa eksofitik.

2.2 Penggunaan EBUS dalam Selubung Pemandu (Guide sheath)


Ultrasonografi endobronkial menggunakan selubung pemandu dan navigasi
elektromagnetik dapat meningkatkan hasil diagnostik bronkoskopi fleksibel,
terutama dalam kondisi nodul paru perifer. Peningkatan menjadi 58% -80% dari
36% pada lesi berukuran kurang dari 2 cm dimungkinkan 20. Teknik ini
memungkinkan visualisasi lesi secara langsung sebelum biopsi (Gambar 2).
Keuntungan dari EBUS dengan selubung pemandu adalah kemampuan untuk
menganalisis struktur internal lesi, untuk mengulang akses ke lesi bronkial untuk
pengambilan sampel, dan untuk melindungi perdarahan dari tempat biopsi ke
bronkus proksimal.
Biopsi dapat dilakukan dengan menggunakan fluoroskopi. Dalam kasus
navigasi elektromagnetik, biopsi diarahkan secara real time ke lokasi lesi
menggunakan rekonstruksi tiga dimensi pada jalan napas dari CT Scan, probe
yang dapat dikemudikan dengan sensor posisi, dan papan elektromagnetik.

Gambar 2. Arah jarum jam dari kiri atas : forsep bipsi; stopper yang menandai
forsep biopsy pada panjang yang tepat; probe ultrasonografi; probe
ultrasonografi dan selubung pengaman dengan stopper.

2.3 Aspirasi Jarum Transbronchial EBUS


Staging yang akurat merupakan langkah penting dalam pengelolaan pasien
kanker paru. Keterlibatan kelenjar getah bening mediastinum merupakan salah
satu faktor prognostik yang paling merugikan pada NSCLC karena metastasis
kelenjar getah bening mediastinal menunjukkan inoperabilitas pada kebanyakan
kasus. Staging mediastinal memerlukan prosedur invasif untuk mencapai
konfirmasi jaringan yang diperlukan, dan mediastinoskopi tetap menjadi standar
praktik. Aspirasi jarum transbronkial di bawah panduan EBUS adalah teknik baru
yang dapat mencapai stadium invasif minimal pada mediastinum. Teknik ini
dilakukan dengan menggunakan bronkoskop fleksibel khusus dengan
transduser ultrasonik terintegrasi (Gambar 3). Hal ini memungkinkan
pengambilan sampel dari kelenjar getah bening mediastinum dan hilus dengan
penglihatan langsung dan dilakukan sebagai prosedur rawat jalan di ruang
endoskopi, menggunakan anestesi lokal dan sedasi sedang. Limfonodi
paratrakeal atas dan bawah, prevaskuler, dan retotrakeal, serta limfonodi
subcarinal dan hilus dapat diambil sampelnya menggunakan teknik ini (Gambar
4 dan 5).
Studi yang dilakukan sampai saat ini menunjukkan bahwa EBUS-TBNA
merupakan metode yang aman dan akurat untuk staging mediastinal pada
kanker paru. Studi acak yang membandingkan metode konvensional dengan
TBNA yang dipandu EBUS menunjukkan hasil yang jauh lebih baik untuk EBUS-
TBNA di seluruh lokasi, kecuali subcarinal. Pada 105 pasien dengan suspek
kanker paru dan pembesaran kelenjar getah bening mediastinal, EBUS-TBNA
memiliki sensitivitas 95% dan spesifisitas 100%. Temuan dari EBUS-TBNA
memiliki dampak yang cukup besar pada manajemen pasien, menghindari 29
mediastinoskopi, 4 operasi torakoskopi dengan bantuan video, 8 torakotomi, dan
9 biopsi paru yang dipandu CT. Dalam studi terbesar hingga saat ini, Herth dkk.
melakukan EBUS-TBNA pada 502 pasien dengan dugaan kanker paru dan
pembesaran nodus mediastinum, membandingkan hasil biopsi dengan temuan
operasi. Sensitivitas yang dilaporkan adalah 94% dan spesifisitasnya, 100%.
Tidak ada komplikasi yang terjadi. Analisis Ameta dari EBUS-TBNA untuk
stadium mediastinum pada pasien dengan kanker paru dilaporkan memiliki
spesifisitas 1,00 (interval kepercayaan 95%: 0,96 hingga 1,00) dan sensitivitas
gabungan 0,88 (interval kepercayaan 95%: 0,79 hingga 0,94).
USG endobronkial diharapkan memiliki peran yang semakin penting
dalam diagnosis dan penentuan stadium kanker paru. Pedoman terkini tentang
stadium kanker paru merekomendasikan bahwa hasil EBUS-TBNA negatif harus
dikonfirmasi dengan mediastinoskopi. Studi terbaru secara langsung
membandingkan keakuratan diagnostik EBUS-TBNA dengan mediastinoskopi,
melaporkan hasil yang sebanding untuk staging mediastinum.
Penting untuk diketahui bahwa ada kurva pembelajaran untuk EBUS-
TBNA, dengan pedoman yang merekomendasikan pelatihan awal yang terdiri
dari 40-50 prosedur yang diawasi. Namun, setelah hasil diagnostik yang optimal
dicapai pada EBUS-TBNA, konfirmasi hasil mungkin tidak diperlukan . Selain itu,
EBUS-TBNA telah berhasil digunakan untuk pemulihan mediastinum, di mana
mediastinoskopi berulang biasanya sulit dilakukan karena perubahan fibrotik dari
prosedur sebelumnya. Satu yang harus diperhatikan adalah bahwa makalah
yang diterbitkan hingga saat ini berasal dari sekelompok kecil penulis dengan
keahlian yang luas, dan studi lebih lanjut oleh operator yang berbeda diperlukan.
Sampel jaringan dari EBUS-TBNA diperoleh dengan menggunakan jarum
22-gauge khusus, atau jarum 21-gauge yang baru-baru ini diperkenalkan
(Gambar 6). Jika tersedia, evaluasi cepat di tempat oleh ahli sitopatologi
terhadap sampel yang diaspirasi sangat berharga. Dengan tidak adanya
evaluasi di tempat yang cepat, Lee dkk menunjukkan bahwa nilai diagnostik
maksimum dicapai dengan 3 aspirasi per kelenjar getah bening. Aspirasi jarum
biasanya diproses menggunakan kombinasi slide dan preparat blok sel.
Metodologi penanganan spesimen yang optimal merupakan bagian
penting untuk meningkatkan hasil EBUS-TBNA, terutama karena analisis
molekuler menjadi semakin penting. Nakajima dan Yasufuku baru-baru ini
melaporkan tentang teknik mereka untuk meningkatkan keberhasilan dalam
mendapatkan inti histologis. Teknik penggumpalan jaringan yang disebut untuk
preparat blok sel telah dibandingkan dengan metode blok sel saline-bilas
konvensional, dan teknik sebelumnya ditemukan secara signifikan meningkatkan
hasil seluler dari preparat blok sel. Beberapa penulis telah melaporkan tentang
keberhasilan penggunaan spesimen EBUS-TBNA untuk analisis molekuler
mutasi EGFR, ALK, dan KRAS. Nakajima dkk melaporkan keberhasilan deteksi
mutasi EGFR menggunakan DNA yang diekstrak dari sampel EBUS-TBNA yang
tertanam parafin. Kelompok lain telah melaporkan bahwa analisis molekuler
untuk EGFR dengan atau tanpa KRAS dapat dilakukan pada 72% -77% pasien
dengan adenokarsinoma paru yang telah menjalani EBUS-TBNA. Hasil analisis
mutasi pada sitologi aspirasi dan sampel histologis yang diperoleh dengan
staging bedah telah dibandingkan dan terbukti dapat dipercaya.
Sebagai ringkasan : Untuk kanker paru, EBUS-TBNA adalah prosedur
inovatif yang memiliki peran utama dalam mendiagnosis dan menentukan
stadium pasien. Spesimen dari teknik ini memungkinkan dilakukannya analisis
sitologi dan mutasi molekuler konvensional. Metodologi penanganan spesimen
yang optimal adalah kunci untuk memaksimalkan hasil sitologi kelenjar getah
bening.
Gambar 3. Jarum ultrasonografi endobronchial

Gambar 4. Peta limfonodi mediastinum (1,2,4,7). Diakses dengan ultrasonografi


endobronchial-transbronchial needle aspiration (EBUS-TBNA) dan
mediastinoskopi.
Gambar 5. Aspirasi limfonodi waktu nyata (real-time)

Gambar 6. Sampel aspirasi jarum ultrasonografi endobronchial

2.4 Mediastinoskopi
Mediastinoskopi serviks sering digunakan dalam staging kanker paru dan
dipertimbangkan dalam standar praktik untuk staging mediastinum. Namun,
meski EBUS masih belum sempurna, namun seringkali dipakai dalam staging
mediastinum. Dengan kata lain, EBUS bermanfaat dalam metastase nodul, tapi
tidak untuk menyingkirkan diagnosa ini.
Mediastinoskopi serviks dilakukan di ruang operasi dengan anestesi
umum. Sayatan kecil dibuat di dasar leher dan mediastinoskop dimasukkan.
Sensitivitas mediastinoskopi untuk mendeteksi kanker pada kelenjar getah
bening mediastinum bervariasi antara 80% dan 95%. Tingkat negatif palsu dari
mediastinoskopi bervariasi antara 5% dan 9% dan disebabkan oleh
ketidakmampuan untuk mengakses limfonodi paraesophageal, ligamentum paru
inferior, dan node aortapulmonal. Sampel jaringan yang diperoleh berukuran
milimeter hingga sentimeter tergantung pada ukuran node. Mediastinoskopi
berulang tidak dapat dengan mudah dilakukan pada orang yang sama karena
perlengketan dan perubahan fibrotik dari prosedur sebelumnya. Komplikasi
berkisar antara 2% -5% dan termasuk suara serak, infeksi, dan perdarahan.

2.5 Aspirasi Jarum Perkutan/Transthoracic Needle Aspiration (TTNA)


Dalam 10% –20% kasus, NSCLC akan muncul sebagai nodul paru soliter. Pada
pasien yang bukan kandidat untuk pembedahan atau yang memiliki penyakit
lanjut di mana tempat yang paling mudah diakses untuk biopsi adalah benjolan
atau massa paru perifer, aspirasi jarum perkutan (TTNA) dan biopsi adalah
prosedur diagnostik yang bermanfaat.
TTNA dapat dilakukan dengan fluoroskopi atau panduan CT. Studi yang
membandingkan kedua pendekatan tersebut menunjukkan sensitivitas yang
lebih tinggi terhadap panduan CT. Pada sebagian besar pusat, sistem koaksial,
di mana jarum ukuran besar dimasukkan ke tepi lesi dan jarum yang lebih kecil
dimasukkan melalui jarum yang lebih besar untuk mendapatkan spesimen,
digunakan. Pendekatan ini memungkinkan untuk satu tusukan pleura, karena
jarum yang lebih besar dibiarkan di tempatnya sampai semua specimen
dikumpulkan. Komplikasi utama dari TTNA adalah pneumotoraks dan
perdarahan. Kontraindikasi untuk TTNA adalah pneumonektomi sebelumnya;
penyakit paru obstruktif kronik berat, terutama jika terdapat bula besar; ventilasi
mekanis; dan risiko tinggi perdarahan.
Spesimen yang diperoleh adalah biopsi inti cutting-needle dan aspirasi
jarum. Spesimen biopsi jarum inti biasanya mengandung bahan seluler yang
cukup untuk analisis molekuler: kira-kira 500 sel per biopsi inti. Aspirasi jarum
yang diperoleh dengan menggunakan jarum 21-gauge menghasilkan sekitar 100
sel. Sensitivitas dari TTNA untuk diagnosis kanker bronkogenik perifer adalah
90% (interval kepercayaan 95%: 0,88 hingga 0,91). Ketidaksesuaian antara
TTNA pada jenis sel kanker paru dan patologi bedah antara 6% dan 39%. Rasio
negatif palsu pada TTNA relatif tinggi (kisaran: 20% –30%), sehingga tidak
dianggap sebagai tes diagnostik yang bermanfaat untuk menyingkirkan
kemungkinan kanker paru. Jika hasil TTNA negatif, pemeriksaan diagnostik lebih
lanjut disarankan.
2.6 Analisis Cairan Pleura dan Torakoskopi Medis
Pilihan teknik dalam diagnosis kanker paru tergantung pada stadium penyakit
yang diduga. Pada pasien dengan dugaan kanker paru dengan efusi pleura,
thoracentesis dianjurkan untuk membedakan antara efusi ganas dan
paramaligna. Hasil sitologi pleura adalah 60% -80% dalam kondisi optimal dan
pengambilan sampel berulang. Penggunaan spesimen sitologi untuk pengujian
molekuler sedang dalam evaluasi. Konsensus Eropa 2010 untuk pemeriksaan
EGFR pada NSCLC menyatakan bahwa penelitian lebih lanjut diperlukan
sebelum pengujian spesimen sitologi dapat direkomendasikan. Blok sel cairan
pleura telah digunakan dan memiliki tingkat insufisiensi yang rendah sebesar
3,7% (1 dari 27 spesimen) untuk pemeriksaan mutasi EGFR dan KRAS.
Bila 2 spesimen sitologi tidak terdiagnosis, atau bila bahan tidak
mencukupi untuk klasifikasi histologis, dianjurkan torakoskopi. Biopsi pleura
tertutup memiliki hasil yang rendah (17% dalam satu seri pada pasien dengan
sitologi nondiagnostik). Biopsi dilakukan dengan penglihatan langsung lebih
disukai, karena nodul pleura sering tersebar di permukaan pleura parietal
(Gambar 7).
Pemeriksaan torakoskopi pada rongga pleura dapat dilakukan dengan
menggunakan medical thoracoscopy. Tidak seperti torakoskopi bedah,
torakoskopi medis dapat dilakukan di ruang endoskopi steril khusus dengan
anestesi lokal dan sedasi sadar. Pneumotoraks diinduksi secara artifisial dan
torakoskop kaku dimasukkan ke dalam rongga pleura. Prosedur ini memiliki dua
kegunaan klinis: diagnosis efusi pleura, dan penerapan pleurode jika efusi
diidentifikasi sebagai ganas. Dalam penglihatan langsung, hasil diagnostik
torakoskopi medis untuk keganasan adalah 93%–97%. Spesimen biopsi
berukuran sekitar 5 mm, dan beberapa spesimen dapat diperoleh.
Torakoskopi medis adalah prosedur yang relatif aman dengan tingkat
komplikasi utama 1,9%. Komplikasi termasuk kebocoran udara yang berlangsung
selama lebih dari 7 hari, emfisema subkutan, dan demam pasca operasi.
Kematian dilaporkan sangat jarang, dengan 1 kematian dilaporkan di lebih dari
8000 kasus.

3. SAMPEL JARINGAN DI KLINIK INVESTIGASI CEPAT


Di Pusat Kesehatan Universitas McGill, klinik evaluasi diagnostik “jalur cepat”
didirikan dengan tujuan untuk mempercepat penilaian diagnostik pasien rawat
jalan dengan dugaan kanker paru. Setelah pencitraan cepat, preferensi diberikan
pada teknik diagnostik invasif—bronkoskopi, EBUS, TTNA, mediastinoskopi, atau
biopsi paruterbuka—yang dianggap memiliki rasio risiko hasil terbaik
berdasarkan temuan CT. Prosedur yang memungkinkan diagnosis dan staging
secara simultan lebih disukai.
Di antara pasien yang dievaluasi di klinik dari Februari 2010 hingga Juni
2011, diagnosis NSCLC dikonfirmasi dalam 124 pasien : 38 dengan NSCLC
stadium I-II, dan 86 dengan NSCLC stadium III-IV. Prosedur pertama yang
dilakukan untuk menegakkan diagnosis kanker paru adalah bronkoskopi fleksibel
pada 36 pasien (29%), reseksi bedah pada 10 pasien (8%), TTNA pada 35
pasien (28%), EBUS-TBNA linier pada 27 pasien (22%), EBUS radial pada 7
pasien (6%), thoracentesis pada 1 pasien (0,8%), kraniotomi pada 1 pasien
(0,8%), biopsi tulang pada 1 pasien (0,8%), dan mediastinoskopi pada 2 pasien
(1,6%). Mengingat komorbiditas medis mereka, 4 pasien (3%) tersisa tanpa
konfirmasi patologi.
Dari 36 pasien yang awalnya memiliki bronkoskopi yang mengkonfirmasi
diagnosis NSCLC, 18 diperlukan pengambilan sampel jaringan lebih lanjut untuk
penentuan stadium. Kami meninjau 18 pasien yang tidak dilakukan pengambilan
sampel jaringan invasif lainnya setelah bronkoskopi. Pada 17 dari 18 pasien,
spesimen patologi terdiri dari spesimen endobronkial dengan ukuran bervariasi
dari 1 cm hingga 0,1 cm. Dalam 1 dari 18 pasien, hanya bronchial wash yang
positif oleh sitologi.
Secara keseluruhan, pengambilan sampel jaringan untuk pemeriksaan
molekuler memadai pada 116 dari 124 pasien. Konfirmasi patologi keganasan
tidak tercapai pada 4 pasien. Spesimen yang tidak dapat dianalisis karena
seluleritas yang tidak memadai termasuk 1 bronchial wash, 1 radial EBUS wash,
1 biopsi tulang, dan 1 sampel cairan pleura.
Gambar 7. (A) Biopsi nodul pleura (B) Thoraskop

4. MENGOPTIMALKAN SPESIMEN UNTUK ANALISIS MOLEKULER


Sebagian besar spesimen patologi yang tersedia secara rutin dapat digunakan
untuk analisis biomarker, termasuk preparat jaringan yang difiksasi dengan
formalin, jaringan parafin dan blok sel. Jumlah minimum sel tumor ganas yang
diperlukan untuk pemeriksaan biomarker tidak ditentukan dengan baik. Secara
umum, sampel yang lebih besar dengan setidaknya 200-400 sel ganas yang
tersedia lebih dipilih.
Untuk menghindari pemeriksaan tumor yang berlebihan untuk
imunohistokimia tambahan atau analisis biomarker jika konteks klinis dan
radiografi tidak sesuai, penting bahwa ahli patologi menjadi bagian dari tim
multidisiplin.
Isolasi sel tumor seringkali membutuhkan makro dan mikrodiseksi.
Mengoptimalkan pemeriksaan pada ekstrak DNA berarti meminimalkan DNA dari
sel non-neoplastik dalam sampel.

5. RINGKASAN DAN REKOMENDASI


Kemajuan dalam biologi molekuler meningkatkan pemahaman tentang kanker
paru dan mengubah pendekatan pada pengobatan. Pentingnya biopsi yang
memuaskan yang memungkinkan untuk karakterisasi histologis dan analisis
mutasi tidak bisa terlalu ditekankan. Dalam artikel ini, kami meninjau teknik yang
tersedia untuk mendiagnosis kanker paru dan hasil jaringan yang terkait dengan
masing-masing teknik.
Secara umum, tempat yang paling mudah diakses harus dipilih untuk
biopsi, dan sampel yang cukup harus diperoleh. Spesimen biopsi lebih disukai
daripada spesimen sitologi, tetapi ada semakin banyak bukti yang menunjukkan
bahwa, jika ditangani dengan baik, spesimen sitologi dapat digunakan untuk
analisis molekuler. Untuk mengoptimalkan analisis jaringan terbatas yang
tersedia untuk pengujian biomarker, penting bahwa ahli patologi dilibatkan
dalam tim multidisiplin. Sama pentingnya bahwa ahli respirologi, ahli radiologi
intervensi, dan ahli bedah toraks memahami pentingnya mendapatkan jumlah
bahan yang memuaskan, karena spesimen yang diperoleh pada akhirnya
mempengaruhi manajemen dan prognosis pasien.

Anda mungkin juga menyukai