Anda di halaman 1dari 16

Peran Pulmonologi Intervensi Dalam Diagnostik Dan Tatalaksana Kanker

Paru

C. Martin Rumende

1. Pendahuluan
Pulmonologi intervensi telah mengalami kemajuan yang pesat khususnya dalam
melakukan diagnostik dan tatalaksana kanker paru. Pulmonologi intervensi sendiri dapat
didefinisikan sebagai ilmu dan seni berkaitan dengan kemampuan dalam melakukan prosedur
invasif di bidang pulmonologi baik untuk keperluan diagnostik maupun tatalaksana dan untuk itu
diperlukan pelatihan tambahan di luar program pelatihan standar yang sudah ada di bidang
penyakit paru.1,2 Prosedur diagnostik dan terapi yang tercakup dalam pulmonologi intervensi
adalah transthoracal needle aspiration (TTNA), transbronchial needle aspiration (TBNA), rigid
bronchoscopy, endobronchial ultrasound (EBUS), laser bronchoscopy, endobronchial
electrosurgery, argon-plasma coagulation (APC), cryotherapy, airway stenting insertion,
balloon bronchoplasty, radiasi endobronkial (brachytherapy), pleuroskopi (medical
thoracoscopy), photodynamic therapy, percutaneus dilatational tracheostomy, transtracheal
oxygen catheter insertion dan imaging-guided thoracic intervention.2-4
Kanker paru merupakan salah satu jenis kanker yang banyak ditemukan di dunia sejak
tahun 1985 dengan angka insidens dan mortalitas yang tinggi. Dengan semakin berlanjutnya
penyakit kanker paru, banyak pasien datang dengan gejala bulky endobronchial tumor dan
obstruksi saluran napas maligna. Keadaan ini yang melatarbelakangi berkembangnya bidang
pulmonologi intervensi. Saat ini pulmonologi intervensi tidak hanya mencakup berbagai
intervensi untuk keperluan terapi tapi juga berkaitan dengan tehnik diagnostik tingkat lanjut
untuk menganalisis kelainan intratorakal khususnya kanker paru. Diagnostik dini kanker paru
sangat dianjurkan karena sebagian besar pasien datang dengan penyakit yang sudah lanjut
dengan angka kesintasan 5 tahun yang rendah yaitu 15,6%. Dengan melakukan diagnosis dini
diharapkan angka kesintasannya akan lebih baik. Modalitas diagnostik konvensional yang saat
ini digunakan dalam mendiagnosis nodul paru yaitu dengan melakukan bilasan bronkus, sikatan
bronkus, biopsi forcep, TBNA dan transbronchial lung biopsy (TBLB) menunjukan angka
sensitifitas yang rendah yaitu 14% - 50%, khusus pada nodul yang kecil. Untuk nodul yang lebih
besar (> 4 cm) dan letaknya perifer pendekatan perkutan dengan transthoracal needle aspiration
(TTNA) yang dituntun CT scan menunjukkan sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu
masing-masing 90 % dan 97 %. Namun demikian prosedur tersebut berisiko menyebabkan
terjadinya pneumotoraks dengan insidens yang bervariasi antara 17% - 33%. Selanjutnya bila
ukuran nodul < 1,5 cm angka keberhasilannya menjadi lebih kecil yaitu 74,4%. Demikian juga
dengan tindakan mediastinoskopi yang selama ini merupakan prosedur standar untuk
menentukan staging mediastinum pada kanker paru, walaupun menunjukkan sensitifitas yang
tinggi hingga > 90%, namun berisiko menyebabkan terjadinya komplikasi yang fatal yaitu injuri
pada pembuluh darah besar, saraf, trakhea dan bronkus serta esofagus (< 0,5 %) dan komplikasi
pneumotoraks (2,5 %). Dengan adanya EBUS memungkinkan untuk melakukan staging
mediastinum dan menganalisis nodul paru perifer secara lebih akurat dan aman. Dengan
tuntunan electromagnetic navigational bronchoscopy (ENB) dan virtual bronchoscopy
navigation (VBN) memungkinkan operator untuk menentukan lokasi nodul paru secara lebih
tepat. Dengan advanced airway assessment technique yaitu autofluorescence brochoscopy,
narrow-band imaging (NBI) dan optical coherence tomography, telah membuka wawasan untuk
mendeteksi secara dini adanya keganasan endobronkial. Demikian juga dengan tindakan
pleuroskopi yang merupakan tindakan yang aman dan semakin sering dilakukan dalam
tatalaksana efusi pleura maligna.5-7

2. Endobronchial ultrasound (EBUS)


Dengan penggunaan EBUS pada bronkoskopi fleksibel memungkinkan dokter ahli paru untuk
menilai struktur jaringan peribronkial, melakukan biopsi pada nodul paru perifer dan
mengevaluasi penyebab limfadenopati mediastinal serta membantu dalam menentukan stadium
kanker paru. Ada dua jenis EBUS yaitu radial probe EBUS (RP-EBUS) dan covex probe EBUS
(CP-EBUS). Radial probe EBUS merupakan flexible rotating probe yang dapat diinsersi melalui
channel yang terdapat pada bronkoskop fleksibel sehingga memungkinkan untuk memvisualisasi
dinding bronkus dan struktur jaringan di sekitarnya. Dengan radial probe EBUS dapat dinilai
kedalaman invasi tumor sehingga akan membantu dalam menentukan pilihan intervensi lebih
lanjut serta dapat meningkatkan keberhasilan TBNA yang diperlukan untuk menentukan adanya
keterlibatan kelenjar getah bening. Conves probe EBUS merupakan bronkoskop fleksibel yang
dilengkapi dengan transduser yang berbentuk konveks pada ujungnya sehingga secara real-time
dapat digunakan sebagai penuntun saat melakukan biopsi kelenjar hilus dan mediastinum
(EBUS-TBNA).5-7

a. Radial probe EBUS (RP-EBUS)


Penggunaan EBUS pertama kali dimulai pada tahun1992 dengan menggunakan probe kecil yang
berdiameter 1,4 mm yang diinsersi ke dalam working channel pada bronkoskop fleksibel. Saat
ini tersedia probe dengan frekwensi 20-MHz dan 30-MHz. Radial-probe EBUS merupakan
rotating mechanical probe dengan frekwensi 20-MHz (paling banyak digunakan) yang dapat
memproduksi gambar (image) dengan resolusi tinggi dengan jangkauan hingga 360. Radial
probe EBUS yang mempunyai kemampuan penetrasi hingga 5 cm dapat diinsersi melalui
working channel yang berdiameter 2,8 mm pada bronkoskop fleksibel. Hambatan utama dalam
penggunaan RP-EBUS adalah adanya udara antara probe dengan dinding bronkus sehingga
dapat mempengaruhi kwalitas gambar yang dihasilkan. Untuk mengatasi hal tersebut saat ini
telah tersedia probe yang ujungnya dilengkapi dengan balon yang dapat diisi dengan cairan
(water-filled balloon sheath) seperti tampak pada gambar 1. Bagian sentral probe radial tersebut
dapat dilapisi balon dengan diameter 2,6 mm yang dapat diisi dengan air. Dengan menggunakan
probe tersebut dapat divisualisasikan secara lebih rinci gambaran dinding bronkus utama dan
struktur peribronkial disekitarnya seperti kelenjar dan pembuluh darah pulmonal. Indikasi
penggunaan RP-EBUS yaitu untuk menilai keterlibatan dinding bronkus akibat invasi tumor,
sebagai penuntun saat dilakukan biopsi pada kelenjar hilus dan mediastinum serta biopsi pada
nodul soliter paru.4-7
Gambar 1. Probe dengan balon yang dapat diisi cairan.

Kurimoto dkk. pertama kali menggunakan RP-EBUS untuk mengevaluasi lapisan saluran napas
sentral. Ia melakukan pemeriksaan pada 45 spesimen jaringan normal yang berasal dari dinding
bronkus dan 24 spesimen kanker paru yang berasal dari saluran napas dan menghubungkannya
dengan hasil yang didapatkan dari pemeriksaan EBUS. Didapatkan korelasi yang baik antara
gambaran histologi dengan gambaran ultrasonografi EBUS pada struktur jaringan bronkus yang
normal dan didapatkan juga ketepatan diagnosis pada 95 % dari 24 spesimen jaringan kanker
paru. Hasil yang sama juga didapatkan oleh Tanaka dkk. yang memperoleh akurasi diagnostik
93% pada 15 pasien. Herth dkk. membandingkan hasil evaluasi invasi tumor pada dinding
bronkus dengan menggunakan CT-scan dibandingkan dengan RP-EBUS pada 131 pasien. Dari
penelitian tersebut didapatkan bahwa RP-EBUS menunjukkan spesifisitas, sensitifitas dan
akurasi yang lebih baik dibandingkan dengan CT-scan yaitu masing-masing 100% vs 28%, 89%
vs 75% dan 94% vs 51%. Penentuan invasi tumor pada dinding trakea dan bronkus penting
untuk menentukan stadium keganasan dan untuk menentukan tatalaksana lebih lanjut. Tumor
yang belum menembus melalui lapisan kartilago dapat diterapi misalnya dengan photodynamic
therapy, sedangkan yang telah melewati lapisan kartilago memerlukan terapi radiasi atau
tindakan bedah. Herth dkk. melakukan studi untuk mengevaluasi prosedur RP-EBUS pada 242
pasien limfadenopati hilus dan mediastinum dengan angka keberhasilan sebesar 86% tanpa
memandang lokasi dan ukuran tumor, dan dengan akurasi 72%. Dibandingkan dengan teknik
bronkoskopi konvensional (blind), RP-EBUS menunjukkan angka keberhasilan yang lebih tinggi
pada semua station kelenjar (kecuali pada subkarina) yaitu masing-masing 87% vs 74% pada
station subkarina, dan 84% vs 58 % pada station kelenjar lainnya. Belakangan ini RP-EBUS
dengan bantuan fluoroskopi digunakan juga untuk pengambilan spesimen dari nodul perifer paru
yang tidak dapat dicapai dengan bronkoskopi konvensional. Dengan menggunakan bronkoskop
yang lebih kecil dengan ukuran working channel 2.0 mm, dilakukan insersi probe EBUS untuk
mencapai percabangan bronkus yang kecil dimana didapatkan nodul paru. Jaringan paru normal
yang berisi udara di sekitar bronkus akan tampak berupa bayangan garis-garis homogen yang
melingkar di sekitar probe yang dikenal dengan snow storm appearance. Sebaliknya bayangan
nodul akan mengubah arsitektur tersebut sehingga sebagian besar akan tampak berupa bayangan
hipoekhoik disertai dengan bayangan garis hiperekhoik yang membatasi nodul dengan jaringan
paru yang normal (Gambar 2).2-7
Gambar 2. a. Snow storm appearance, b. Nodul hipoekoik dengan batas yang hiperekoik

b. Curvilinier Probe EBUS (CP-EBUS)


Curvilinier Probe EBUS curved probe dapat difleksikan sampai derajat tertentu. Probe yang
ditempatkan pada ujung distal bronkoskop ini dapat diinsersi melalui working channel yang
berdiameter 2.0 mm yang terdapat pada bronkoskop yang berdiameter luar 6,8 mm. Pada ujung
bronkoskop probe tersebut membentuk sudut 30- 40 sehingga memungkinkan untuk
melakukan visualisasi dengan sudut 90 (Gambar 3).

Gambar 3. Curvilinier Probe EBUS

Untuk menstabilkan kedudukan scope pada dinding bronkus dan juga untuk mendapatkan
kwalitas gambar yang lebih baik maka probe tersebut dilengkapi dengan balon yang dapat diisi
dengan air. Probe ultrasound mempunyai kemampuan untuk mengeluarkan doppler mode
sehingga memungkinkan untuk melakukan visualisasi secara lebih baik. Setelah melakukan
identifikasi lesi tumor atau nodul maka selanjutnya jarum didorong keluar hingga masuk ke
dalam lesi. Curvilinier Probe EBUS memungkinkan operator untuk bekerja secara real-time
sehingga dapat melihat langsung saat jarum masuk dan keluar dari lesi. Kemampuan untuk
memvisualisasikan lesi secara real-time merupakan kelebihan CP-EBUS dibandingkan dengan
RP-EBUS (Gambar 4)5-7

Gambar 4. Biopsi kelenjar dengan menggunakan Curvilinier Probe EBUS


Indikasi utama penggunaan CP-EBUS adalah untuk pengambilan spesimen pada massa
mediastinum atau kelenjar mediastinum serta massa peribronkial yang letaknya sentral. Jadi CP-
EBUS bermanfaat selain untuk menegakkan diagnosis juga untuk menentukan stadium kanker
paru. Curvilinier Probe EBUS dapat menjangkau nodus kelenjar getah bening pada mediastinum
superior, upper paratracheal dan lower paratracheal, subkarina, hilar, interlobar dan lobar.
Curvilinier Probe EBUS tidak dapat menjangkau nodus kelenjar di station prevascular,
retrotracheal dan pulmonary ligament.
Sejak digunakan pertama kali oleh Yasufuko pada tahun 2004 CP-EBUS semakin dikenal
oleh para dokter ahli paru, karena dapat membedakan pembesaran kelenjar hilus/mediastinum
akibat proses benigna atau maligna dengan sensitivitas dan spesifisitas yang baik yaitu masing-
masing 95% dan 97%. Banyak penelitian lebih lanjut yang memberikan hasil serupa diantaranya
yang dilaporkan oleh Gu dkk. dimana dalam meta-analisis dari 11 penelitian yang melibatkan
1299 pasien didapatkan angka sensitifitas dan spesifisitas masing-masing 93% dan 100% dalam
menentukan stadium kanker paru. Penelitian yang membandingkan EBUS TBNA dengan
mediastinoskopi pada 153 pasien didapatkan kesesuaian yang sangat baik diantara keduanya
pada 91% pasien dengan sensitifitas dan spesifisitas yang sama namun dengan komplikasi yang
lebih banyak pada mediastinoskopi.2-5

3. Peran Pleuroskopi dalam Tatalaksana Efusi Pleura Maligna

Pleuroskopi atau torakoskopi medis adalah prosedur invasif minimal untuk melihat
rongga pleura. Pleuroskopi bermanfaat untuk diagnostik dan terapeutik (pleurodesis).
Pleuroskopi (medical thoracoscopy) berbeda dengan VATS (Video-Assisted Thoracoscopic
Surgery) yang merupakan prosedur invasif yang membutuhkan intubasi dan ventilasi satu paru
pada saat prosedur tindakan dilakukan. Akurasi diagnostik pleuroskopi mencapai 100% pada
efusi pleura maligna dan efusi pleura karena tuberkulosis. Intervensi terapeutik seperti
pleurodesis dapat dilakukan bersamaan dengan prosedur pleuroskopi pada pasien dengan efusi
pleura maligna berulang. Tingkat keberhasilan pleurodesis dapat mencapai 90%. Pleuroskopi
bila dilakukan oleh operator yang terlatih merupakan prosedur yang aman dengan tingkat
diagnostik yang akurat dan keberhasilan terapi yang baik.1-4

Indikasi pleuroskopi adalah untuk mendiagnosis etiologi efusi pleura yang belum
diketahui penyebabnya, menentukan stadium kanker paru dan untuk melakukan prosedur
pleurodesis. Kontraindikasi dilakukannya pleuroskopi adalah adanya koagulopati, kondisi
hemodinamik yang tidak stabil dan rongga pleura yang sempit.

Instrument steril untuk visualisasi, manipulasi, dan biopsi diperlukan pada prosedur
pleuroskopi. Penggunaan video dengan resolusi tinggi yang dihasilkan dari pleuroskop
memungkinkan seluruh tim dapat melihat jalannya tindakan sehingga dapat membantu operator.
Prosedur pleuroskopi dapat dilakukan di ruang operasi maupun di ruang prosedur biasa.
Pleuroskopi dapat dilakukan baik dengan anestesi lokal maupun dengan narkose.
Gambar 5. Pleuroskop (Medical thoracoscopy)

Pasien dalam posisi lateral dekubitus dengan satu hemitoraks menghadap ke atas. Lokasi
masuknya pleuroskop ke rongga pleura tergantung dari landmark anatomi, hasil pencitraan pre-
operatif, dan pemeriksaan fisis pasien sehingga visualisasi kelainan dapat dilakukan dengan baik.
Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik pada kulit sebelum infiltrasi obat anestesi lokal.
Setelah prosedur anestesi selanjutnya dilakukan insersi trokar pada hemitoraks yang dilanjutkan
dengan insersi pleuroskop. Pleuroskop dimasukkan ke dalam rongga pleura sehingga seluruh
rongga pleura dapat tampak dengan jelas, kemudian dilakukan tindakan evakuasi cairan pleura,
biopsi dan pleurodesis (Gambar 6). Cairan pleura dievakuasi dengan kateter suction dan biopsi
pleura parietalis dilakukan dengan forcep biopsi. Setelah prosedur tersebut selesai dilakukan,
pleuroskop dikeluarkan dan dipasang WSD untuk mengembangkan paru kembali. Komplikasi
pleuroskopi jarang terjadi. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah perdarahan, infeksi, luka
pada organ intratorakal, atelektasis, dan gagal nafas.2-4

Gambar 6. Prosedur tindakan pleuroskopi

Pleurodesis

Pleurodesis merupakan suatu proses, baik secara mekanik maupun kimiawi, untuk
menginduksi inflamasi pada pleura. Inflamasi tersebut menyebabkan perlekatan antara pleura
parietalis dan pleura viseralis sehingga rongga pleura berkurang dan akumulasi cairan maupun
udara di rongga pleura dapat dicegah. Pleurodesis mekanik dilakukan dengan cara melakukan
abrasi pada pleura parietalis. Prosedur tersebut bersifat invasif dan jarang dilakukan
dibandingkan dengan pleurodesis secara kimiawi.2-6

Pleurodesis kimiawi dilakukan dengan pemberian agen sklerosan pada rongga pleura. Sel
mesotel pleura merupakan target primer sklerosan dan berperan penting pada proses pleurodesis.
Agen sklerosan memiliki mekanisme yang sama dengan respons biologis sel mesotel.
Mekanisme respons inflamasi yang bersifat difus ini menyebabkan terjadinya ketidak
seimbangan antara koagulasi dan fibrinolisis, disertai proliferasi fibroblast yang akan
memproduksi kolagen, serta menyebabkan terjadinya pelepasan berbagai mediator inflamasi (IL-
8, TGF-β, FGF). Respons inflamasi tersebut akan merangsang pembentukan jaringan fibrin pada
pleura parietal dan pleura viseral yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya adhesi kedua
lapisan pleura tersebut.2-4

Ada beberapa jenis agen sklerosan yang dapat digunakan dalam pleurodesis misalnya
talk, tetrasiklin / doksisiklin / minosiklin, ekstrak Corynebacterium parvum, agen kemoterapi (
bleomisin, cisplastin, doksorubisin, etoposide, mitomisin) dan agen biologi (interleukin-2 dan
interferon). Dari penelitian didapatkan bahwa silver nitrate dan iodopovidone dapat juga
digunakan untuk pleurodesis. Sklerosan yang ideal memiliki sifat-sifat sebagai berikut : berat
molekul dan polaritas kimiawi yang tinggi, bersihan lokal lambat, bersihan sistemik cepat, dapat
ditoleransi dengan baik dan dengan efek samping minimal. Jenis agen sklerosan yang digunakan
dapat menentukan tingkat keberhasilan terapi, keamanan, kenyamanan pasien dan respons
pengobatan. Saat ini belum ada agen sklerosan yang ideal dan pemilihan jenis sklerosan yang
terbaik masih kontroversial.2-5

4. Electromagnetic Navigational Bronchoscopy (ENB).


Electromagnetic Navigational Bronchoscopy menggunakan area elektromagnetik untuk
menelusuri lokasi lesi secara real-time, berkaitan dengan posisinya pada tracheobronchial tree
pada pemeriksaan CT-scan. Dengan bantuan navigasi tersebut direncanakan jalur yang akan
dilalui untuk mencapai lesi. Untuk mencapai lesi dilakukan penuntunan dengan menggunakan
probe yang diinsersi melalui working channel pada bronkoskop fleksibel. Setelah mencapai lesi
guide dikeluarkan sedangkan guide sheath tetap ditinggalkan. Jarum biopsi kemudian
dimasukkan melalui guide sheath.8-10
Indikasi utama penggunaan ENB adalah untuk menuntun dalam pengambilan sampel
pada lesi-lesi perifer yang tidak bisa dicapai dengan bronkoskopi biasa. Ebehardt dkk.
melakukan penelitian dengan membandingkan efektifitas EBUS, ENB dan EBUS + ENB pada
118 pasien dengan lesi paru perifer dimana diagnosis definitifnya dilakukan dengan pemeriksaan
histopatologi yang didapat dari biopsi reseksi. Hasil positif yang diperoleh dengan EBUS, ENB
dan EBUS + ENB masing-masing adalah 59%, 69% dan 88%. Dalam studi meta-analisis dari 15
penelitian yang melibatkan 1033 pasien dengan nodul paru perifer didapatkan akurasi 73,9%
dengan sensitifitas 71% namun dengan kejadian komplikasi utama yaitu pneumotoraks sebesar
3,1%.8-10

5. Virtual Bronchoscopic Navigation (VBN)


Virtual bronchoscopic navigation menggunakan CT-scan untuk membentuk gambar
tracheobronchial tree secara tiga dimensi. Saluran bronkus yang tampak pada CT scan akan
divisualisasikan dalam bentuk bronchial tree. Konsep yang digunakan pada VBN serupa dengan
yang digunakan pada ENB hanya pada VBN tidak menggunakan GPS (Global Positioning
System). Pada VBN gambar yang diperoleh akan dapat dilihat, sementara pada saat yang sama
dilakukan juga bronkoskopi secara real-time dimana operator berupaya untuk mengkorelasikan
lesi yang akan dicapai dengan sejauh mana jarum biopsi dapat mencapainya. Modalitas radiologi
diperlukan untuk memastikan penempatan instrument biopsi. Oleh karena itu dalam prosedur
pemeriksaan VBN diperlukan pemeriksaan CT-guided ultrathin bronchoscopy dengan
fluorocospic bronchoscopy atau dengan EBUS. Dengan bantuan VBN dapat diperlihatkan area
post stenosis dan juga dapat divisualisasikan struktur yang berada diluar lumen bronkus
(ekstramural). Virtual bronchoscopic navigation dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya
stenosis bronkus, keganasan endobronkial, korpus alienum pada saluran napas dan menilai
komplikasi post-operasi pada bronkus. Efektifitas VBN untuk mendiagnosis lesi-lesi paru perifer
memperlihatkan hasil yang bervariasi. Banyak studi-studi kecil yang mengevaluasi manfaat
VBN mendapatkan hasil yang bervariasi yaitu 44% - 80%, tergantung dari modalitas imaging
dan virtual bronchoscopy yang digunakan.8-10

6. Autofluorescence Bronchoscopy
Autofluorescence bronchoscopy pertama kali diperkenalkan pada awal tahun 1990, dan sejak saat
itu tehnik pemeriksaan ini mengalami banyak inovasi. Dengan menggunakan teknik
autofluorescence dan regular white bronchoscopy secara bersamaan pada satu scope
memungkinkan kedua tehnik pemeriksaan tersebut diaplikasikan secara bergantian. Tehnik
pemeriksaan autofluoresensi menggunakan zat khusus yaitu fluorophores, yang dapat
terkonsentrasi pada mukosa endobronkial yang patologis sehingga tampak berbeda dengan
mukosa yang normal. Berbeda dengan white light bronchoscopy, pada teknik autofluorescence
mukosa endobronkial yang normal akan berwarna hijau sedangkan yang abnormal tampak
berwarna coklat kemerahan.
Autofluorescence bronchoscopy bermanfaat untuk mendeteksi lesi displasia
(precancerous) pada mukosa endobronkial. Dalam suatu studi meta-analisis didapatkan
sensitifitas dan spesifisitas autofluorescence bronchoscopy masing-masing 90% dan 56%. Dari
berbagai studi didapatkan spesifisitas yang bervariasi karena pengaruh perbedaan prevalensi
kanker paru. Spesifisitas yang didapat akan lebih baik bila pemeriksaan ini dilakukan untuk
menilai surgical margin sebagai tindak lanjut tindakan reseksi. Permasalahan utama pada
pemeriksaan autofluoresensi adalah karena ternyata hanya sebagian kecil saja lesi displasia yang
akan berkembang menjadi carcinoma in situ (CIS) atau menjadi lesi kanker yang invasif.
Ketidaktahuan dalam perjalanan alamiah lesi displasia pada mukosa endobronkial menyebabkan
teknik pemeriksaan ini tidak dapat digunakan sebagai pemeriksaan rutin. Pemeriksaan
autofluorescence bronchoscopy direkomendasikan bila pada pemeriksaan sputum sitologi
didapatkan hasil positif adanya keganasan, pada pasien yang dipertimbangkan untuk dilakukan
terapi endobronkial dalam rangka tatalaksana CIS, atau bila didapatkan adanya riwayat displasia
saluran napas yang berat.8-10

7. Narrow Band Imaging (NBI)


Pemeriksaan NBI bertujuan untuk menilai microcapillary bed yang terletak di submukosa secara
rinci. Dengan konsep bahwa gelombang cahaya akan lebih mudah diserap oleh hemoglobin
maka struktur mikrovaskuler akan menjadi lebih mudah untuk diidentifikasi. Pada lesi displastik
akan didapatkan peningkatan angiogenesis sehingga dengan pemeriksaan NBI dapat dideteksi
adanya displasia secara lebih dini. Shibuya dkk. pada tahun 2003 melakukan penelitian untuk
menilai manfaat NBI dalam mendeteksi adanya angiogenic squamous dysplasia yang merupakan
suatu lesi precancerous. Penelitian tersebut melibatkan pasien perokok berat yang pada
pemeriksaan sputum sitologi sebagian besar menunjukkan hasil yang positif adanya sel kanker.
Pada penelitian tersebut didapatkan adanya korelasi yang baik antara gambaran yang abnormal
pada NBI dengan adanya true angiogenic squamous dysplasia yang dikonfirmasi dengan
pemeriksaan patologi. Herth dkk. melakukan penelitian untuk mengevaluasi manfaat NBI secara
tersendiri dibandingkan dengan kombinasi NBI dengan white light broncoschopy dan
autofluorescence bronchoscopy. Sensitifitas NBI adalah sama dengan autofluorescence
bronchoscopy dan lebih tinggi dibandingkan dengan white light broncoschopy. Namun demikian
spesifisitas NBI lebih tinggi dibandingkan dengan autofluorescence bronchoscopy. Teknik
pemeriksaan NBI secara umum bermanfaat untuk mendeteksi lesi displastik secara dini, namun
demikian seperti juga pada autofluorescence bronchoscopy, masih belum jelas seberapa besar
dapat diterapkan karena kurangnya pemahaman mengenai perjalanan alamiah lesi displastik
tersebut.5-7

8. Peran Intervensional Pulmonologi Dalam Tatalaksana Kanker Paru


Diperkirakan sekitar 30% pasien keganasan paru primer menunjukkan adanya gejala sumbatan
pada saluran napas sentral yang dapat meningkatkan angka kematian. Penyempitan pada trakea
dan karina dapat menyebabkan sesak napas berat hingga kematian, sedangkan sumbatan pada
bronkus dan cabang-cabangnya dapat menyebabkan batuk dan sesak napas akibat retensi sputum
serta menyebabkan terjadinya infeksi paru berulang. Sebagian besar pasien-pasien tersebut
datang dalam stadium lanjut sehingga inoperable, dan walaupun dapat dilakukan radioterapi
paliatif untuk mengecilkan massa tumornya namun efeknya lambat dan dosis total radiasi yang
dapat diberikan juga terbatas dengan angka keberhasilan hanya 21%. Berbagai modalitas terapi
yang dilakukan melalui bronkoskopi telah dikembangkan untuk mengatasi obstruksi lokal akibat
massa tumor, yaitu dengan tindakan reseksi atau dengan mengecilkan tumor (shrinking) yang
terdapat pada lumen bronkus, dan juga untuk untuk mengatasi kompresi akibat penekanan oleh
massa tumor ekstraluminal. Modalitas terapi tersebut menunjukkan kelebihan karena dapat
memperbaiki patensi saluran napas secara lebih cepat dibandingkan dengan radiasi eksternal dan
dengan angka keberhasilan yang lebih tinggi, sepanjang belum terjadi obstruksi total. Karena
pada sebagian besar pasien terapi yang diberikan bersifat paliatif maka seleksi pasien harus
dilakukan dengan baik yaitu ditujukan untuk pasien-pasien yang kualitas hidupnya memang
menjadi terbatas akibat adanya obstruksi tersebut. Pada sebagian kecil pasien modalitas terapi
tersebut bersifat kuratif dan merupakan bridging procedure sebelum pemberian kemoterapi
elektif selanjutnya atau bahkan menjadi terapi definitif bila terapi konvensional tidak dapat
diberikan.8-10

9. Tumour Debulking
Prinsip dasar terapi tumour debulking adalah untuk melakukan reseksi tumor yang tumbuh ke
dalam lumen saluran napas. Tumour debulking dapat dilakukan melalui bronkoskopi dengan cara
pemanasan, vaporisation (penguapan), pembekuan dan dengan reseksi tumor dengan bantuan
biopsi forceps. Berbagai teknik yang telah dikembangkan dan terbukti efektif diantaranya adalah
endoscopic laser resection, electrocautery/diathermy/ electrocoagulation.
a. Endoscopic laser resection.
Tehnik reseksi tumor dengan menggunakan laser telah digunakan secara luas di dunia dan telah
terbukti efektif. Terapi laser melalui bronkoskopi menggunakan energi laser yang dihantarkan
melalui bronkoskop fleksibel maupun rigid dan dilakukan dalam anastesi umum. Ada beberapa
jenis laser yang belakangan ini digunakan untuk saluran napas yaitu neodymium:yttrium-
aluminium-garnet (Nd-YAG), potassium-titanyl-phosphate (KTP), argon ion, excimer,
alexandrite dan carbon dioxide. Neodymium:yttrium-aluminium-garnet merupakan jenis laser
yang sering digunakan dengan energi yang digunakan mempunyai panjang gelombang 1.064 nm,
dengan menggunakan daya 10-40 W, dan dapat ditingkatkan sampai 100 W. Kedalaman jaringan
yang dapat dipengaruhi oleh laser bervariasi mulai dari beberapa mm hingga beberapa cm,
tergantung dari power output yang dikeluarkan. Energi laser dapat dihantarkan melalui quartz
monofilament optical fibre sehingga dapat dengan mudah digunakan baik dengan bronkoskop
fleksibel maupun rigid.
Efek laser pada jaringan terutama melalui penguapan (vaporisation) dan koagulasi yang
dapat menambal pembuluh darah saat tumornya menyusut. Dengan cara demikian dapat
dilakukan mechanical debulking dengan menggunakan biosi forcep dengan perdarahan yang
minimal. Saat melakukan terapi laser pada lumen endobronkial harus dihindari terjadinya
airway fire. Operator harus memastikan tidak adanya obyek yang dapat terbakar dalam lumen
saluran napas misalnya stent metalik. Dokter anastesi juga harus mengatur pemberian oksigen
selama tindakan, dan untuk keamanan sebaiknya fraksi inspirasi oksigen yang diberikan < 65%
bila menggunakan diode dan Nd-YAG. Optical fibre yang menghantar sinar laser diarahkan ke
tumor dengan menggunakan bronkoskop fleksibel dan laser dikeluarkan pada saat optical fibre
dimunculkan keluar dari ujung bronkoskop untuk mencegah thermal damage.8,9

Gambar 7. Ujung laser fibre pada bronkoskop rigid

Terapi laser dapat dilakukan baik dengan bronkosop fleksibel maupun yang rigid atau dengan
kombinasi keduanya. Bila hanya menggunakan bronkoskop fleksibel maka prosedur terapi laser
dapat dilaksanakan dengan sedasi tanpa bantuan anastesi, namun demikian penggunaan
bronkoskop fleksibel maupun rigid secara bersamaan dengan anastesi umum akan memberikan
efisiensi dan keamanan yang lebih besar.
Banyak studi yang melaporkan adanya perbaikan kualitas hidup dan perbaikan gejala
berkaitan dengan post-treatment life expectancy pada sebagian besar yaitu 84%-92% pasien.
Secara umum tingkat perbaikan yang didapat berkaitan dengan lokasi sumbatan; pasien dengan
sumbatan saluran napas sentral akan menunjukkan perbaikan yang lebih nyata dari pada pasien
dengan sumbatan yang letaknya lebih perifer. Pasien dengan tumor trakea yang menyebabkan
respiratory distress berat yang secara urgent diterapi dengan laser dapat menunjukkan perbaikan
gejala dan perbaikan fungsi paru yang dramatis. Perbaikan tersebut meliputi fungsi ventilasi dan
perfusi. Perbaikan perfusi tersebut didapat karena adanya perbaikan hipoksia alveoli setelah
dilakukan rekanalisasi. Pasien dengan sumbatan saluran napas sentral seringkali didiagnosis
sebagai asma bronkial, dan adanya keganasan pada trakea atau karina seringkali diketahui
setelah mencapai stadium lanjut dimana didapatkan gejala asfiksia. Pada keadaan ini maka terapi
laser akan memperbaiki gejala dengan segera, sehingga dapat memberikan waktu untuk
melakukan diagnosis dan penentuan stadium. Keadaan serupa dapat dialami oleh pasien yang
awalnya didiagnosis sebagai PPOK, namun selanjutnya didapatkan adanya adenoid cystic
carcinoma yang menyumbat trakea bagian bawah sehingga menyebabkan gejala asfiksia. Setelah
dilakukan terapi laser didapatkan perbaikan gejala dan perbaikan fungsi paru yang signifikan
sehingga selanjutnya dapat dilakukan reseksi trakea secara elektif (Gambar 8). Untuk sumbatan
saluran napas yang letaknya lebih ke perifer, terapi laser memberikan perbaikan yang kurang
dramatis sehingga manfaatnya dari segi fisiologi dipertanyakan.8,9

Gambar 8. Gambar grafik Flow-volume loops sebelum dan sesudah terapi laser pada pasien dengan
adenoid cystic carcinoma pada trakea.

b. Elektro-kauter/ Diatermi/ elektro-koagulasi


Elektro-kauter, diatermi dan elektro-koagulasi dapat dilakukan dengan bronkoskop fleksibel
dan/atau rigid dalam anastesi umum atau dengan bronkoskop fleksibel saja dengan sedasi. Terapi
ini menggunakan alternating electrical current melalui probe, snare atau neeedle knife sehingga
dapat dilakukan koagulasi, pemotongan atau penguapan jaringan. Hasil akhir yang didapatkan
tergantung dari power setting, area permukaan, sifat listrik jaringan dan lamanya kontak antara
device dengan jaringan. Power setting yang digunakan untuk probe biasanya 30-50 W sedangkan
untuk snare 10-30 W. Untuk memotong (cutting) menggunakan voltase yang rendah dengan arus
yang tinggi, sementara untuk koagulasi menggunakan voltase yang tinggi dengan arus yang
rendah. Koagulasi dengan elektro-kauter sangat efisien namun lebih superfisial dibandingkan
laser. Seperti juga pada terapi laser maka untuk melakukan elektro-kauter, diatermi dan elektro-
koagulasi fraksi inspirasi oksigen yang digunakan harus < 40%. Dilakukan kontak ringan antara
probe dengan permukaan lesi, sementara arus listrik digunakan setiap 1-2 detik. Selama prosedur
terapi diberikan probe digerakan secara periodik untuk mencapai seluruh permukaan lesi. Untuk
lesi yang besar dilakukan mechanical debulking dengan menggunakan forsep biopsi yang
dilakukan untuk memperbaiki patensi saluran napas. Perlu kehati-hatian selama melakukan
prosedur terapi untuk mencegah kerusakan rawan bronkus yang dapat menyebabkan terjadinya
stenosis bronkus dan bronchomalacia.
Efektifitas prosedur terapi elektro-kauter, diatermi dan elektro-koagulasi untuk mengatasi
gejala obstruksi saluran mencapai 70%-97%. Komplikasi yang dapat terjadi adalah perdarahan,
airway fire, perforasi, pneumotoraks, stenosis bronkus, tracheo-bronchomalacia dan pneumonia
akibat aspirasi. Perangkat peralatan yang diperlukan untuk melakukan prosedur elektro-kauter,
diatermi dan elektro-koagulasi lebih sederhana dibandingkan dengan terapi laser dan tidak
memerlukan tindakan proteksi khusus seperti pada terapi laser.9,10

c. Cryotherapy
Endobronchial cryotherapy dilakukan dengan menggunakan bronkoskop rigid dan/atau fleksibel
dengan bantuan anastesi untuk melakukan pembekuan secara berulang-ulang (biasanya dengan
menggunakan suhu 15C hingga 40C, dan bahkan hingga 100C) yang dapat
menghancurkan sel-sel melalui pembentukan kristal es di sitosol, sehingga mengakibatkan
terjadinya nekrosis sel. Zat pendingin yang biasanya digunakan adalah nitrogen cair dan nitrous
oxide. Probe pendingin (cryoprobe) dihubungkan dengan cooling agent storage (gas cylinder)
dan console. Cryoprobe diinsersi melalui working channel bronkoskop dan ditempel pada massa
tumor pada lumen bronkus sehingga memungkinkan terjadinya pembekuan massa tumor setelah
berkontak dengan cryoprobe (contact freezing). Efektifitas cryotherapy untuk menimbulkan
nekrosis jaringan tergantung dari cooling rate, temperatur minimal yang dapat dicapai dan
jumlah freeze-thaw cycles serta cryosensitivity jaringan. Cryotherapy biasanya dilakukan untuk
tujuan paliatif pada pasien-pasien dengan gejala obstruksi saluran napas akibat keganasan.
Dengan cryotherapy dimungkinkan untuk mengangkat jaringan tumor dengan potongan yang
relatif besar sehingga dapat memperbaiki patensi saluran napas secara lebih cepat.
Keunggulan tehnik cryotherapy dibandingkan dengan tehnik lainnya yaitu bahwa dengan
cryotherapy tidak merusak arsitektur jaringan, sehingga akan memudahkan dalam melakukan
analisis jaringan lebih lanjut. Keuntungan lain adalah tidak adanya risiko yang berkaitan dengan
pembakaran sehingga prosedur cryotherapy dapat dilaksanakan dengan menggunakan fraksi
inspirasi oksigen yang relatif tinggi. Cryotherapy mempunyai kemampuan penetrasi dengan
kedalaman < 10 mm sehingga tidak dianjurkan diterapkan pada lesi submukosa yang panjang
atau yang letaknya ekstraluminal. Efektifitas cryotherapy dalam melakukan tumour debulking
adalah serupa dengan tehnik debulking lainnya dan bila perlu prosedur cryotherapy tersebut
dapat diulang untuk memastikan patensi saluran napas.8-10

d. Endobronchial brachytherapy
Endobronchial brachytherapy dilakukan untuk menghantarkan radioterapi dosis tinggi melalui
penempatan langsung sumber radioaktif melalui kateter yang dimasukkan ke dalam saluran
napas. Dengan prosedur brachytherapy tersebut memungkin pasien untuk mendapatkan
tambahan terapi walaupun telah mendapatkan radioterapi eksternal dengan dosis penuh. Kateter
dimasukkan ke dalam saluran napas berdekatan dengan lesi endobronkial/parabronkial dengan
bantuan bronkoskop fleksibel. Ujung kateter tersebut dihubungkan dengan sumber radiasi yang
umumnya menggunakan isotop Iridium-192. Prosedur bachytherapy memerlukan kerjasama
yang baik antara clinical oncologist dan bronchoscopist, dapat dilakukan dengan lokal anastesi
dan sedasi. Endobronchial brachytherapy dapat dilakukan secara tersendiri atau bersamaan
dengan radiasi eksterna maupun kemoterapi untuk meningkatkan keberhasilan terapi lokal.
Endobronchial brachytherapy dapat juga dilakukan bersamaan dengan prosedur intervensi lain
misalnya terapi dengan Nd-YAG laser dan photodynamic therapy. Endobronchial brachytherapy
perlu dipertimbangkan pemberiannya pada pasien dengan early invasive mucosal/submucosal
non-small cell lung cancer, tumor infiltratif endobronkial yang tidak menyebabkan kegawatan
obstruksi saluran napas dan sebagai booster pada pasien-pasien yang telah mendapatkan radiasi
eksternal dosis penuh dengan incomplete respons. Endobronchial brachytherapy dapat juga
digunakan sebagai alternatif terapi radikal kanker paru stadium dini pada pasien dengan risiko
tinggi terhadap terapi radikal konvensional dan pasien dengan performance status yang buruk.
Endobronchial brachytherapy mempunyai kelebihan yaitu dapat menghantarkan radiasi
dengan dosis tinggi langsung ke jaringan tumor dan peritumoural tissue dengan dosis dan lokasi
yang akurat tanpa mempengaruhi jaringan yang sehat di sekitarnya. Bila diberikan bersamaan
dengan radiasi eksternal akan memberikan hasil yang lebih baik. Sinar radiasi tidak mematikan
sel secara langsung namun akan merangsang apoptosis dan mengurangi proliferasi sel dengan
cara memecah rantai tunggal DNA. Efek brachytherapy tidak akan terlihat dengan segera karena
itu terapi ini bukan merupakan pilihan pada pasien dengan obstruksi saluran napas yang berat.
Walaupun demikian brachytherapy mempunyai kelebihan yaitu dapat mempertahankan patensi
saluran napas hingga 4-6 minggu setelah pemberian terapi, yang dapat dinilai secara klinis,
radiologis dan dengan pemeriksaan bronkoskopi. Komplikasi yang dapat terjadi pada
brachytherapy adalah timbulnya batuk-batuk yang berat, peningkatan sekresi bronkus
(khususnya dalam 4 minggu pertama setelah pemberian radiasi), bronkitis akibat radiasi,
hemoptisis dan pembentukan fistel.8,9

e. Stents
Endobronchial stenting dapat dilakukan dengan menggunakan bronkoskop flexibel atau
bersamaan dengan bronkoskop rigid, tergantung dari kompleksitas penyakit. Tindakan stenting
umumnya memerlukan bantuan anestesi dan bila memungkinkan diperlukan juga tuntunan
dengan fluoroskopi untuk menempatkan stent secara tepat. Tracheobronchial stenting
bermanfaat untuk mengatasi obstruksi saluran napas akibat penekanan dari luar lumen. Tindakan
stenting umumnya dilakukan juga sebagai tindakan paliatif pada pasien dengan unresectable
tumor, namun demikian dapat juga dilakukan sebagai terapi antara untuk memastikan patensi
saluran napas pada pasien-pasien yang akan mendapatkan kemoradiasi atau bahkan curative
surgery. Pada pasien dengan tumor endobronkial yang disertai dengan kompresi eksternal,
stenting dapat dilakukan bersamaan dengan terapi endobronkial lain misalnya terapi laser dan
cryotherapy; dimana pertama-tama dilakukan rekanalisasi saluran napas, kemudian untuk
mempertahankan patensi saluran napas dilakukan pemasangan stent. Pemasangan stent
bersamaan dengan teknik tumour debalking lainnya dapat juga dilakukan bila didapatkan adanya
obstruksi pada stent akibat pertumbuhan tumor ke dalam saluran napas atau akibat adanya
pembentukan jaringan granulasi.
Untuk memilih ukuran dan tipe stent yang sesuai dilakukan penilaian saluran napas dan
menentukan area yang akan dilakukan terapi. Saat ini ada banyak tersedia stens baik dari silikon
maupun metal, berikut dengan deploying system yang sesuai. Efektifitas stenting saluran napas
sangat tergantung dari cara seleksi pasien dan lokasi anatomi stenosis saluran napas. Walaupun
tingkat keberhasilan stenting dapat mencapai 90%, namun dalam jangka panjang sering terjadi
komplikasi yang tidak dapat dihindarkan yaitu infeksi, obstruksi akibat pembentukan granuloma
dan migrasi stent. Oleh karena itu penggunaan removeable stent lebih sering digunakan pada
pasien dengan angka harapan hidup yang cukup baik.8-10

f. Photodynamic therapy
Photodynamic therapy (PDT) merupakan terapi endobronkial yang bersifat minimal invasif dan
dianjurkan pada kanker paru endobronkial yang terlokalisir namun inopereable, dan juga pada
karsinoma bronkus yang lanjut. Berbagai literatur telah melaporkan manfaat photodynamic
therapy pada tatalaksana kanker paru. Pada kanker stadium dini PDT dilakukan untuk mengatasi
rekurensi tumor lokal setelah tindakan operasi atau radiasi. Sebagai terapi neoadjuvant PDT
dapat mengurangi ukuran tumor sebelum dilakukan operasi. Photodynamic therapy juga
diindikasi untuk mengatasi keluhan akibat obstruksi saluran napas sehingga pasien-pasien yang
awalnya inoperable dengan perbaikan keadaan umum dimungkinkan untuk dapat dioperasi.
Lebih lanjut PDT dapat merupakan bagian dari terapi multi-modalitas pada locally advanced
cancer.
Prosedur PDT dilakukan dalam beberapa tahap dan biasanya dilakukan dengan
bronkoskop fleksibel dengan bantuan anestesi. Tahap pertama diberikan photosensitising drug
secara intravena dimana obat tersebut akan terakumulasi secara selektif pada sel kanker. Waktu
yang diperlukan untuk akumulasi obat dapat bervariasi tergantung dari jenis photosensitiser yang
digunakan, biasanya berkisar antara beberapa jam hingga 2 hari. Setelah waktu akumulasi obat
tercapai kemudian dilakukan bronkoskopi. Optical fiber yang diinsersi melalui working channel
pada bronkoskop akan mengiluminasi tumor dengan sinar laser yang mempunyai panjang
gelombang spesifik (620-640 nm). Photosensitising drug yang telah terakumulasi pada sel tumor
akan diaktifasi sehingga dapat menghancurkan sel kanker dengan pembentukan singlet of oxygen
yang dapat menyebabkan degenerasi sel kanker secara selektif. Kedalaman penetrasi DPT
tergantung dari jenis photosensitising drug yang diberikan dan panjang gelombang sinar laser
yang digunakan. Photosensitising dapat bekerja secara langsung dengan mematikan sel kanker
melalui proses apoptosis/nekrosis dan secara tidak langsung dengan merusak pembuluh darah
pada sel kanker, serta dapat juga melalui induksi reaksi inflamasi yang dapat menimbulkan anti-
tumour immune response.8,9
Bronkial toilet dilakukan 24 jam setelah PDT, untuk membersihkan debris serta
memastikan patensi saluran napas. Selanjutnya pasien perlu dilindungi terhadap paparan sinar
matahari, mulai dari saat pemberian photosensitising drug hingga 1 sampai 6 minggu kemudian,
tergantung jenis photosensitiser yang digunakan. Pada pasien dengan inoperable non-small cell
carcinoma yang menyebabkan stenosis endobronkial, PDT dapat mengatasi keluhan sesak napas,
hemoptisis, postobstructive pneumoniae serta mengatasi stenosis akibat tumor yang pada
akhirnya akan memperbaiki performance status dan memperbaiki fungsi paru. Namun demikian
perlu diperhatikan bahwa efek PDT tidak akan terlihat dengan segera, demikian juga
pembentukan debris dalam jangka pendek dapat mempengaruhi patensi saluran napas.
Komplikasi yang sering didapat pada PDT adalah terjadinya reaksi foto sensitifitas akibat tidak
sengaja terpapar dengan sinar matahari.8-10

10. Kesimpulan
Penggunaan berbagai modalitas diagnostik di bidang interventional pulmonology secara
bersamaan akan meningkatkan kemampuan dalam mendiagnosis nodul paru yang letaknya
perifer. Interventional bronchoscopy berperan penting dalam tatalaksana pasien kanker paru dan
untuk itu perlu dilakukan seleksi pasien dengan baik. Pada pasien-pasien tertentu stenting saluran
napas dan terapi tumour debalking dengan menggunakan modalitas yang sesuai dapat
memperbaiki keadaan umum pasien, sehingga kemoterapi maupun radiasi lebih lanjut dapat
diberikan secara terencana dengan tingkat keamanan yang lebih tinggi. Pada pasien dengan
kanker paru stadium lanjut terapi yang diberikan bersifat paliatif, sebaliknya pada kanker
stadium dini bersifat kuratif. Seleksi pasien dan pemilihan jenis terapi yang akan diberikan
bersifat individual dengan melakukan pengkajian yang menyeluruh mengenai kelainan saluran
napas yang didapat dan dengan mempertimbangkan penyakit dasar serta kemungkinan komorbid
yang ada.

11. Daftar Pustaka


1. Bolliger CT, Mathur PN. ERS /ATS statement on interventional pulmonology. Eur Respir J. 2002
; 19: 356-73.
2. Czarnecka K, Yasufuku K. Interventional pulmonology : Focus on pulmonary diagnostic.
Respirology. 2013; 18 : 47-60.
3. Shulimzon TR. Interventional pulmonology : A new medical specialty. IMAJ. 2014; 16: 379-84.
4. Al Zubaidi N, Soubani AO. Advances in diagnostic Interventional pulmonology. Avicenna J
Med. 2015; 5: 57-66.
5. Daniels JMA, Sutedja TG. Detection and minimally invasive treatment of early squamous lung
cancer. Ther Adv. Med.Oncol; 2013: 235- 48.
6. Colella S, Vilmann P, Konge L, Clementeen PF. Endoscopic ultrasound in the diagnosis and
staging of lung cancer.Endosc Ultrasound. 2014; 3: 205-12.
7. Herth FJF. Bronchoscopic techniques in diagnosis and staging of lung cancer. Breathe. 2011; 7:
325-34.
8. Simoff MJ. Endobronchial management of advanced Lung cancer. Cancer control. 2001; 8: 337-
43.
9. Hardavella G, George J. Interventional bronchoscopy in the management of thoracic malignancy.
Breathe. 2015;11: 203-11.
10. Bolliger CT, Sutedja TG, Strausz J, Freitag L. Therapeutic bronchoscopy with immediate effect :
laser, electrocautery, argon plasma coagulation and stents. Eur Respir J. 2006; 27:1258-71.

Anda mungkin juga menyukai