PENDAHULUAN
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak
menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Penyebabnya
antara lain semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada usia muda serta
pencemaran udara di dalam maupun di luar ruangan dan tempat kerja. Angka
kejadian PPOK yang sangat tinggi seperti menurunnya produktifitas pasien yang
berdampak pada kehidupan sosial ekonomi.1 Data World Health Organization
(WHO) terjadi lebih dari 3 juta orang meninggal karena PPOK pada tahun 2012
dan menyumbang 6% kematian secara global dan 90% penyebab kematian di
negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Tahun 2002 PPOK
menempati urutan ke-4 dan diperkirakan pada tahun 2030 akan menjadi penyebab
kematian ke-3 di seluruh dunia setelah penyakit kardiovaskular dan kanker.1,2
1
Mengetahui hubungan derajat penyakit paru obstruktif kronik dengan kejadian
2
1.5.4 Manfaat Bagi Pemegang Kebijakan
Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar dan masukan bagi
pemegang kebijakan RSUD Arifin Achmad terkait kejadian hipertensi pulmonal
pada pasien PPOK
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bronkoskopi
2.1.1 Sejarah Bronkoskopi
3
Prosedur bronkoskopi eksperimental pertama kali dilakukan oleh Gustav Killian
pada tahun 1896 dengan menggunakan esofagoskop yang dimodifikasi. Indikasi
prosedur bronkoskopi diawal perkembangannya adalah terapeutik seperti
pengeluaran benda asing dan dilatasi striktur pada pasien tuberkulosis dan difteri.
Teknik dan desain bronkoskop kaku yang lebih maju ditemukan oleh Chevalier
Jackson pada awal abad ke 20 dengan indikasi bronkoskopi masih sebagai
prosedur terapeutik. Shigeto Ikeda memperkenalkan bronkoskop serat optik
fleksibel pertama kali pada tahun 1963 sebagai instrumen diagnostik.
Bronkoskopi kemudian berubah dari prosedur terapeutik yang dilakukan oleh
dokter bedah toraks dan otolaringologi menjadi prosedur diagnostik yang
dilakukan oleh dokter paru.3,6
Bronkoskop kaku merupakan sebuah alat berbentuk pipa berbahan stainless steel
dengan panjang dan diameter yang bervariasi. Bronkoskop kaku tersedia dalam
dua ukuran panjang yaitu 33 sentimeter (cm) yang dikenal dengan bronkoskop
trakea dan 43 cm yang dikenal dengan bronkoskop bronkus dengan diameter luar
bervariasi antara 6-14 milimeter (mm). Saluran napas dewasa umumnya dapat
menggunakan bronkoskop ukuran 10-12 mm. Pilihan menggunakan bronkoskop
kaku trakea atau bronkus tergantung pada lokasi obstruksi atau lesi dan juga
tujuan dari prosedur bronkoskopi. Komponen utama bronkoskop kaku adalah
pipa, kepala multifungsi, konektor, sumber cahaya dan kamera.3,11,12
Bagian proksimal bronkoskop kaku terdiri dari central opening dengan port
sebagai tempat masuk biopsi forsep/stent, balon, selang suction dan konektor
ventilator yang terdiri dari dua tipe tergantung mode ventilasi yang digunakan (jet
atau kontrol volume). Sepanjang batang distal dari bronkoskop ini terdapat celah
terbuka untuk memberikan tambahan ventilasi. Bagian distal bronkoskop bertepi
miring sehingga dapat melewati pita suara dengan aman, meningkatkan
kemampuan manuver melewati stenosis ketika digunakan dengan gerakan
memutar dan berfungsi sebagai alat pemotong untuk tumor nekrosis. Bronkoskop
kaku dapat dilihat pada gambar 2.1.3,6,11
4
Gambar 2.1 Bronkoskop kaku
Dikutip dari (3)
Central opening bronkoskop kaku memberikan akses masuk untuk lensa teleskop,
bronkoskop fleksibel dan berbagai macam alat penghantar stent. Teleskop video
memberikan gambaran lebih besar dan dari beberapa sudut pandang untuk melihat
trakea, bronkus utama dan lima bronkus lobaris. Bronkoskop fleksibel juga dapat
masuk melalui bronkoskop kaku untuk melihat bronkus distal dan bronkus lobus
atas yang berliku. Keuntungan menggunakan bronkoskop kaku dibanding
bronkoskop fleksibel adalah kemampuan menjaga kontrol jalan napas, hemostasis,
waktu tindakan intervensi yang lebih singkat dan ukuran sampel biopsi yang lebih
besar.3,6
5
Biopsi forsep pada tumor
endobronkial
Cryobiopsy pada parenkim paru
6
Komplikasi bronkoskopi kaku jarang terjadi jika operator terlatih dengan keluhan
paling umum adalah nyeri tenggorokan. Komplikasi serius jarang terjadi yaitu
<2% dan disebabkan oleh anestesi atau prosedur bronkoskopi itu sendiri. 12,13 Studi
retrospektif oleh Drummond dkk dari 775 bronkoskopi kaku yang dilakukan di
rumah sakit universitas didapatkan mayoritas pasien (86,7%) tidak mengalami
komplikasi, 6,6% mengalami komplikasi perdarahan dan 5,3% mengalami gagal
napas transien. Kematian terjadi pada 3 dari 775 kasus (0,4%) yang disebabkan
oleh gagal napas dan perdarahan yang tidak dapat dikontrol.14
Risiko terjadinya komplikasi meningkat pada prosedur darurat, ASA skor >3,
bronkoskopi terapeutik berulang dan penggunaan sedasi moderat. Komplikasi
bronkoskopi kaku antara lain cedera struktur orofaringeal, edema laring, spinal
cord injury, cedera pada pita suara dan arytenoid, laserasi dan perforasi saluran
napas, pneumotoraks, perdarahan, emfisema mediastinum, laringospasme,
bronkospasme serta iskemia dan aritmia jantung yang dicetuskan oleh
hipoksemia. Penilaian praoperasi yang tepat, persiapan instrumen yang tepat dan
menjaga komunikasi yang baik dengan dokter anestesi sangat penting dilakukan
sehingga bronkoskopi kaku dapat dilakukan dengan aman dan tidak terjadi
komplikasi serius. 3,6,12,13
7
transbronchial lung biopsy (TBLB) dengan bronkoskopi fleksibel terutama untuk
penyakit parenkim paru difus dan infeksi. Transbronchial needle aspiration
(TBNA) kelenjar getah bening mediastinum dengan bronkoskopi fleksibel
pertama kali dilakukan oleh Wang dkk pada akhir 1970-an. Alat pertama yang
digunakan melalui bronkoskopi fleksibel dengan indikasi terapeutik selain basket
dan forsep untuk mengangkat benda asing adalah laser neodymium: yttrium-
alumunium-garnet (Nd:YAG) yang dikembangkan oleh Dumon dkk pada tahun
1980 untuk tatalaksana stenosis trakeobronkial.3,15-17
Indikasi untuk bronkoskopi fleksibel secara luas dibagi menjadi diagnostik dan
terapeutik seperti yang diringkas pada tabel 2.3. Daftar indikasi spesifik terus
berkembang tetapi secara umum indikasi diagnostik meliputi evaluasi tanda dan
gejala respirasi, mengevaluasi kelainan radiografi dan pemantauan aktivitas
penyakit yang telah diketahui. Bronkoskopi yang direncanakan sebagai prosedur
diagnostik dapat menjadi prosedur terapeutik dalam beberapa kasus terutama saat
didapatkan temuan bronkoskopi yang tidak diduga atau tidak jelas terlihat dalam
radiografi sebelum prosedur.15,16 Pue dkk melakukan studi retrospektif dari 4273
bronkoskopi fleksibel yang dilakukan antara 1988-1993, 86,3% dengan indikasi
8
diagnostik, 10,4% terapeutik dan 3,3% dilakukan pada orang yang sehat untuk
tujuan penelitian.19
9
Kondisi koagulopati pada pasien menjadi bermakna jika direncanakan tindakan
sikatan, biopsi atau aspirasi jarum. Nilai hitung trombosit kurang dari
50.000/mm3, uremia dengan disfungsi trombosit, nilai International normalized
ratio (INR) lebih dari 1,5 dan pemanjangan partial tromboplastin (PT) merupakan
kontraindikasi relatif untuk dilakukan tindakan biopsi.2,15,16
10
Bronkoskopi fleksibel secara umum aman dengan angka kejadian komplikasi
rendah. Risiko terjadi komplikasi tergantung pada faktor pasien seperti stabilitas
klinis, komorbid serta faktor terkait prosedur yaitu jenis tindakan yang dilakukan
menggunakan bronkoskop fleksibel. Komplikasi dapat terjadi pada dewasa sehat
yang menjalani bronkoskopi sederhana sehingga risiko dan manfaat harus tetap
dipertimbangkan dengan baik. Studi terkontrol mengenai faktor yang dapat
menyebabkan seseorang tidak dapat menjalani bronkoskopi belum ada sehingga
keputusan untuk melakukan tindakan bronkoskopi harus berdasarkan
pertimbangan manfaat potensial, kemungkinan komplikasi, pilihan pasien serta
ketersediaan pilihan metode diagnostik dan terapeutik lainnya.16
2.2 Hipoksemia
11
Hipoksemia dapat terjadi melalui empat mekanisme yaitu ketidaksesuaian
ventilasi perfusi (V/Q), pirau dari kanan ke kiri, gangguan difusi dan
hipoventilasi. Keempat mekanisme hipoksemia ini dapat ditandai dari perubahan
alveolar-arterial oxygen gradient (A-a gradient) dan respons terhadap pemberian
oksigen. A-a gradient merupakan perbedaan antara tekanan oksigen di alveolus
(PAO2) dan tekanan oksigen di darah arteri (PaO 2) dan diformulasikan sebagai
berikut, A-a gradient = PAO2 – PaO2. A-a gradient menggambarkan integritas
membran kapiler alveolus dan efektivitas pertukaran gas sehingga ketika terjadi
kerusakan pada membran kapiler alveolus nilai A-a gradient akan melebar. Nilai
A-a gradient pada dewasa muda adalah < 10 mmHg dan akan meningkat dengan
pertambahan usia dikarenakan penurunan PaO2 akibat peningkatan
ketidaksesuaian V/Q.22,23
Nilai normal rasio ventilasi perfusi adalah 0,8, ketidaksesuaian V/Q merupakan
penyebab hipoksemia paling umum. Ventilasi, perfusi dan rasio V/Q tidak sama
pada seluruh paru. Variabel tekanan intra pleura subatmosfer dan gravitasi
menyebabkan heterogenitas regional rasio V/Q. Ventilasi dan perfusi lebih tinggi
pada bagian basal dan lebih rendah pada apeks paru sedangkan rasio V/Q lebih
rendah di basal dan tinggi di apeks karena penurunan perfusi lebih besar
dibandingkan penurunan ventilasi di bagian apeks paru. Hipoksemia hanya terjadi
pada rasio V/Q yang rendah karena terjadi penurunan PAO 2 dan kemudian diikuti
penurunan PaO2.22
Tubuh akan membatasi perfusi pada bagian paru yang mengalami penurunan
ventilasi melalui mekanisme hypoxic pulmonary vasoconstriction (HPV) yang
unik pada pembuluh darah paru sebagai mekanisme kompensasi yang penting saat
terjadi hipoksemia terutama pada hipoksemia kronik. Hipoksia akan menyebabkan
penutupan kanal kalium (K+) pada pembuluh darah paru yang akan menyebabkan
akumulasi ion K+ intraseluler dan depolarisasi sel. Depolarisasi menyebabkan
kanal kalsium (Ca2+) terbuka dan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah paru yang
dimediasi Ca2+. Vasokonstriksi ini akan mengurangi perfusi ke bagian paru
dengan ventilasi yang menurun dan darah dialihkan ke bagian paru dengan
12
ventilasi yang baik. Tujuan utama mekanisme kompensasi ini adalah untuk
mempertahankan kesesuaian ventilasi dan perfusi.22
Rasio V/Q yang tinggi terjadi bila ventilasi meningkat melebihi proporsi terhadap
perfusi, sebagai contoh pada pasien dengan emboli paru yang dapat menghasilkan
efek seperti ruang rugi. Rasio V/Q yang tinggi memiliki efek yang minimal pada
oksigenasi darah namun tetap dapat menyebabkan hipoksemia bila tidak terjadi
kompensasi peningkatan ventilasi total. Peningkatan kompensasi ventilasi dapat
menyebabkan normalisasi rasio V/Q pada bagian paru dengan V/Q yang rendah.
Mekanisme ketidaksesuaian V/Q dapat dilihat pada gambar 2.3. Ketidaksesuaian
V/Q memiliki karakteristik yaitu A-a gradient yang melebar dan hipoksemia yang
dapat dikoreksi dengan terapi oksigen. Penyebab umum terjadi hipoksemia
melalui mekanisme ketidaksesuaian V/Q adalah seperti pada pasien asma, PPOK,
bronkiektasis, cystic fibrosis, intersitial lung disease (ILDs) dan hipertensi
pulmoner.22
2.2.1.2 Pirau
Pirau adalah suatu kondisi darah yang berasal dari bagian kanan jantung
memasuki bagian kiri tanpa mengalami pertukaran gas seperti yang terlihat pada
gambar 2.4. Secara normal terdapat pirau dengan fraksi kecil (2-3%)
karbonmonoksida (CO) yang muncul ketika darah pada vena bronkial dialirkan ke
vena pulmoner. Pirau merupakan suatu kondisi ekstrim dari ketidaksesuaian V/Q
13
karena tidak terdapat ventilasi. Respons yang buruk terhadap pemberian oksigen
terapi merupakan ciri yang membedakan pirau dari mekanisme penyebab
hipoksemia yang lain. Kegagalan meningkatkan PaO 2 dengan terapi oksigen
disebabkan oleh ketidakmampuan oksigen meningkatkan PAO 2 pada paru yang
tidak mengalami ventilasi.22
Hiperkapnia jarang terjadi pada pirau dan baru akan terjadi bila fraksi pirau
mencapai 50%. Hiperkapnia tidak terjadi akibat stimulasi pusat pernapasan oleh
kemoreseptor karena tekanan karbondioksida pada darah arteri (PaCO 2) yang
meninggalkan daerah pirau tinggi. PaO2/ FiO2 merupakan perhitungan kasar dari
fraksi pirau, jika PaO2/ FiO2 <200 nilai fraksi pirau lebih dari 20% dan sebaliknya
jika PaO2/FiO2 >200 mengindikasikan fraksi pirau <20%. Karakteristik
hipoksemia akibat pirau antara lain A-a gradient melebar, respons yang buruk
terhadap pemberian oksigen dan nilai PaCO 2 normal. Penyebab terjadi pirau
antara lain pneumonia, edema paru, acute respiratory distress syndrome (ARDS),
kolaps alveolus dan hubungan arteri-vena pulmoner.22
14
secara teori akan menyebabkan hipoksemia dan juga hiperkapnia karena oksigen
dan karbondioksida keduanya ditranspor melalui membran alveolokapiler, namun
hiperkapnia tidak umum terjadi karena karbondioksida (CO 2) 20 kali lebih mudah
larut didalam air dibanding oksigen. Alasan lain dapat dikarenakan stimulasi
ventilasi yang dimediasi hipoksemia akan menyingkirkan CO2.22
Salah satu karakteristik penting dari gangguan difusi adalah hipoksemia yang
terjadi akan semakin memberat selama latihan. Waktu transit kapiler pada saat
latihan akan menjadi lebih pendek karena peningkatan CO dan penurunan
konsentrasi oksigen terlarut dalam vena akibat meningkatnya penarikan oksigen
oleh jaringan. Karakteristik lain hipoksemia akibat gangguan difusi adalah
memberikan respons yang baik terhadap terapi oksigen, A-a gradient melebar dan
umumnya PaCO2 normal. Penyebab penting gangguan difusi antara lain adalah
emfisema dan ILDs.22
2.2.1.4 Hipoventilasi
15
di batang otak, spinal cord, persarafan otot pernapasan, neuromuscular junction,
otot pernapasan dan defek dinding dada.22 Penyebab hipoventilasi dijelaskan pada
tabel 2.4. Mekanisme dan perbedaan karakteristik hipoksemia dapat dilihat pada
gambar 2.5.
16
Tanda seperti sianosis, takikardi dan penurunan status mental menunjukkan
terjadinya hipoksemia, namun sebagian besar pasien diidentifikasi mengalami
hipoksemia pertama kali dengan hasil pemeriksaan saturasi oksigen yang rendah
menggunakan pulse oximetry. Hipoksemia ringan menyebabkan sedikit perubahan
fisiologis. Saturasi oksigen arteri tetap berkisar 90% ketika PaO 2 bernilai 60
mmHg pada pH normal. Abnormalitas yang terjadi hanya gangguan ringan status
mental, penurunan ketajaman penglihatan dan hiperventilasi ringan. Dampak
kerusakan akan terlihat pada beberapa sistem organ ketika PaO 2 turun secara cepat
dibawah 40-50 mmHg.23
Sistem saraf pusat adalah yang paling mudah terkena dampak dari hipoksemia
dengan gejala klinis sakit kepala dan penurunan kesadaran. Hipoksemia akut yang
berat dapat menyebabkan kejang, perdarahan retina dan kerusakan otak yang
permanen. Takikardi dan hipertensi ringan dapat ditemukan karena terjadi
pelepasan katekolamin, namun pada kasus hipoksemia berat pasien dapat
mengalami bradikardi dan hipotensi bahkan henti jantung. Fungsi ginjal dapat
terganggu sehingga akan terjadi retensi natrium dan proteinuria. Hipertensi
pulmoner juga dapat terjadi karena terdapat hubungan antara hipoksia alveolar
dengan vasokonstriksi pembuluh darah pulmoner akibat hipoksia.23
Oksidasi aerobik akan terhenti jika PO2 jaringan turun hingga dibawah level kritis
kemudian akan terjadi glikolisis anaerobik dan menghasilkan sejumlah besar asam
laktat. Kadar PO2 yang menyebabkan hal ini terjadi tidak diketahui secara pasti
dan kemungkinan bervariasi pada berbagai jaringan. Kadar kritis PO 2 intrasel pada
17
mitokondria adalah berkisar 1-3 mmHg. Glikolisis anaerobik merupakan metode
yang relatif tidak efisien dalam menghasilkan energi dari glukosa namun
memegang peran penting dalam mempertahankan kelangsungan hidup jaringan
pada kondisi gagal napas. Asam laktat dalam jumlah besar akan terbentuk dan
dilepaskan kedalam darah sehingga menyebabkan asidosis metabolik. Asam laktat
dapat dikonversi kembali menjadi glukosa atau digunakan untuk menghasilkan
energi ketika oksigenasi jaringan telah mengalami perbaikan.23
18
yang tidak adekuat, suplementasi oksigen tidak adekuat, perdarahan,
bronkospasme, laringospasme dan pneumotoraks sekunder akibat tindakan TBLB
atau tindakan intervensi lainnya.28,29 Mekanisme terjadinya hipoksemia selama
bronkoskopi adalah ketidaksesuaian ventilasi perfusi (V/Q) dan hipoventilasi
sekunder akibat sedasi.30 Rasio V/Q yang rendah menyebabkan penurunan
konsentrasi oksigen alveolar dan diikuti penurunan konsentrasi oksigen arteri
sehingga terjadi hipoksemia.22
Penurunan signifikan SpO2 umumnya terlihat saat pasien mulai disedasi dan
semakin memburuk saat bronkoskop melewati pita suara. 27 Beberapa penelitian
mengenai faktor risiko hipoksemia selama bronkoskopi memperlihatkan hasil
yang beragam. Penelitian oleh Choi dkk pada 2520 pasien yang menjalani
bronkoskopi dengan sedasi didapatkan bahwa usia lebih tua, nilai VEP 1 yang
rendah, prosedur endobronchial ultrasound (EBUS), durasi sedasi dan dosis
midazolam yang digunakan berhubungan dengan kejadian hipoksemia selama
prosedur. Analisis multivariat menemukan usia > 60 tahun (odds ratio [OR],
1,32), nilai VEP1 yang rendah (OR 0,99) dan durasi sedasi lebih dari 40 menit
(OR 1,33) merupakan faktor risiko yang signifikan.7
2.3.1.1 Usia
19
lebih sering terjadi pada pasien usia tua dibandingkan usia muda meskipun
perbedaan ini tidak signifikan secara statistik. 31 Shinagawa dkk menyatakan
terdapat hubungan antara usia dan kejadian hipoksemia selama bronkoskopi.
Desaturasi dengan nilai SpO2 < 90% selama 10 detik terjadi pada 55% pasien usia
diatas 80 tahun dan 27% pada usia yang lebih muda. 29 Penelitian yang dilakukan
oleh Vasko dkk memberikan hasil yang berbeda yaitu desaturasi sistemik selama
bronkoskopi tidak dipengaruhi oleh usia.10 Putra dkk dalam penelitiannya juga
menemukan bahwa usia tidak berhubungan dengan kejadian hipoksemia selama
bronkoskopi.8
Ukuran paru dipengaruhi oleh jenis kelamin sebagai manifestasi dari perbedaan
dalam pertumbuhan dan perkembangan organ paru sejak masa pranatal hingga
dewasa. Laki-laki memiliki ukuran paru yang lebih besar dibanding perempuan
yang dapat dilihat dengan menggunakan metode morfometrik standar, radiografi
toraks dan metode morfometrik geometri tiga dimensi menggunakan computed
tomography scan (CT scan). Meskipun demikian jumlah alveolus per satuan luas,
jumlah alveolus per satuan volume, dimensi satuan paru dan alveolus individual
tidak berbeda antara laki-laki dan perempuan. Elastisitas intrinsik parenkim paru
tidak berbeda diantara kedua jenis kelamin, sebaliknya tekanan recoil berbeda
karena perbedaan ukuran paru dan pengembangan maksimal.32
Perbedaan penting lainnya antara laki-laki dan perempuan adalah pada bentuk dan
volume rongga dada. Perempuan memiliki rongga dada yang secara proporsi lebih
20
kecil dibanding laki-laki khususnya diameter antero-posterior dan lateral, namun
rasio antara diameter antero-posterior dan lateral hampir sama antara kedua jenis
kelamin. Secara umum seluruh dimensi dinding dada laki-laki lebih besar
dibanding perempuan namun volume rongga toraks dan abdomen laki-laki yang
lebih tinggi hanya didapatkan pada nilai absolut sedangkan untuk persentase dari
total volume dada memiliki nilai yang hampir sama dengan perempuan.32
Penelitian oleh Putra dkk terhadap 129 laki-laki dan 66 perempuan yang
menjalani prosedur bronkoskopi diagnostik pada kasus tumor paru didapatkan
kejadian hipoksemia lebih sering terjadi pada perempuan yaitu 28,8% (p=0,041). 8
Penelitian oleh Vasko dkk pada 92 pasien yang menjalani prosedur bronkoskopi
didapatkan hasil desaturasi dengan SpO2 di bawah 90% lebih banyak ditemukan
pada laki-laki (22,2%) dengan risiko terjadi hipoksemia 9,3 kali lebih besar
dibandingkan perempuan.10 Kedua hasil ini tidak sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Choi dkk terhadap 2520 pasien yang menjalani prosedur
bronkoskopi yaitu tidak terdapat hubungan yang bermakna antara faktor jenis
kelamin terhadap kejadian hipoksemia selama prosedur bronkoskopi.7
21
pada peningkatan berat badan yang minimal, hal ini terjadi karena pergeseran
keseimbangan antara tekanan pada saat pengembangan dan pengempisan paru
akibat penumpukan jaringan lemak di sekitar rongga dada dan abdomen. Fungsi
saluran napas yang diukur menggunakan spirometri hanya sedikit dipengaruhi
oleh obesitas kecuali pada individu obesitas yang sakit. Fungsi paru pada individu
obesitas yang sakit memperlihatkan penurunan kapasitas vital paksa (KVP) dan
VEP1 yang menunjukkan kelainan paru restriksi.34
Kebanyakan dari individu dengan obesitas memiliki nilai PaO 2 dalam rentang
normal, namun pada individu obesitas yang sakit terjadi sedikit pelebaran A-a
gradient karena terdapat daerah atelektasis dan gangguan distribusi ventilasi yang
menyebabkan ketidaksesuaian V/Q. Bagian bawah paru pada individu ini
cenderung tidak mengalami ventilasi dan perfusi dengan baik, kemungkinan
karena penutupan saluran napas kecil, sehingga bagian atas paru mengalami
peningkatan ventilasi.34 Penelitian oleh Salahuddin dkk pada populasi obesitas
yang dilakukan prosedur bronkoskopi didapatkan komplikasi mayor sebesar 0,6%
dan minor 41,2%. Komplikasi mayor yang terjadi adalah hipoksemia berat yang
membutuhkan BiPAP dan high-flow nasal cannula. Komplikasi minor terjadi
pada 142 pasien dan 79 diantaranya merupakan komplikasi pernapasan yaitu 46
(13,3%) hipoksemia dan 38 (11%) hiperkapnia.35
22
peningkatan produksi mukus bersamaan dengan penurunan fungsi pembersihan
mengakibatkan retensi mukus di saluran napas.37
Nilai VEP1 menjadi salah satu faktor yang dapat memprediksi terjadinya
hipoksemia selama bronkoskopi. Selain hasil penelitian oleh Choi dkk, penelitian
oleh Vasko dkk juga menemukan bahwa nilai VEP 1 yang rendah merupakan
faktor penentu terjadinya desaturasi yang signifikan. Peningkatan nilai VEP 1
setiap 100 mililiter akan menurunkan 50% risiko desaturasi sistemik selama
bronkoskopi sedangkan KVP tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap
desaturasi sistemik.10 Shinagawa dkk dalam penelitiannya menemukan pasien
dengan VEP1 ≤ 1 liter memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami desaturasi
selama bronkoskopi dibanding pasien dengan VEP1 > 1 liter.29
Nilai VEP1 pada orang sehat yang menjalani bronkoskopi turun hingga 9-17%
sedangkan pada pasien asma nilai VEP1 turun hingga 10-26% sebagai akibat
bronkus yang hipereaktif.27 Refleks bronkokonstriksi akibat stimulasi mekanik
reseptor subepitel oleh bronkoskop, stimulasi oleh dosis besar obat anestesi lokal,
obstruksi saluran napas sebagian oleh bronkoskop, tindakan suction serta larutan
anestesi lokal dan cairan bilasan didalam alveoli merupakan faktor yang
menyebabkan ketidaksesuaian V/Q. Penurunan nilai VEP 1 menandakan hambatan
23
aliran udara sehingga tindakan bronkoskopi pada pasien dengan nilai VEP 1 yang
rendah dapat meningkatkan risiko terjadi ketidaksesuaian V/Q yang menyebabkan
hipoksemia.24,28,39
Penelitian untuk menilai hubungan nilai arus puncak ekspirasi (APE) sebelum
prosedur bronkoskopi dengan kejadian desaturasi selama prosedur dilakukan oleh
Attaran dkk pada 66 pasien. Hipoksemia terjadi pada 39 pasien (59%), 25
diantaranya bersifat sementara dan sisanya persisten atau berakhir lebih dari 20
detik. Hipoksemia persisten paling banyak terjadi pada pasien dengan nilai APE
sebelum prosedur ≤ 59% prediksi. Penelitian ini menyimpulkan semakin rendah
nilai %APE semakin tinggi risiko terjadi persisten hipoksemia selama prosedur
bronkoskopi (p=0,008), bahkan risiko hipoksemia lebih tinggi lagi bila pasien
hanya dibagi kedalam dua kelompok %APE yaitu diatas dan dibawah 45%.40
Penyakit paru dapat menjadi faktor risiko terjadi hipoksemia dalam bronkoskopi
dengan mekanisme yang mendasarinya adalah ketidaksesuaian V/Q. Prosedur
bronkoskopi saat ini sering diindikasikan pada pasien dengan kanker paru sebagai
salah satu modalitas untuk menegakkan diagnosis histopatologi. Penelitian oleh
Putra dkk pada 195 pasien tumor paru yang menjalani prosedur bronkoskopi
diagnostik didapatkan 40 pasien (20,5%) mengalami hipoksemia. 9 Efusi pleura
merupakan kondisi yang sering ditemukan pada pasien keganasan paru.
Shinagawa dkk menemukan 79 dari 328 pasien (24%) dengan efusi pleura yang
menjalani bronkoskopi mengalami desaturasi selama tindakan.29
24
Pasien dengan fibrosis paru seringkali dilakukan bronkoskopi karena tingginya
insidens kanker paru pada pasien dengan fibrosis paru idiopatik. Fibrosis paru
sebelumnya tidak pernah disebutkan menjadi faktor risiko tinggi untuk terjadi
desaturasi selama bronkoskopi, kemungkinan karena sulitnya mendiagnosis
kelainan ini. Penelitian oleh Shinagawa dkk pada pasien yang didiagnosis fibrosis
paru dari temuan CT-scan toraks didapatkan 3 dari 4 pasien fibrosis paru yang
menjalani bronkoskopi mengalami episode desaturasi selama tindakan dengan
nilai OR 2,76 (p=0,039).29
2.3.1.7 Posisi
Bronkoskopi dapat dilakukan dalam berbagai posisi pasien namun yang umum
dilakukan adalah dengan posisi supine, semi-recumbent (setengah telentang) dan
duduk. Secara fisiologis pada posisi supine akan terjadi penurunan PaO2 sebesar
2-15 mmHg sebagai akibat dari mekanisme ketidaksesuaian V/Q terutama di
daerah dorsal karena penurunan luas lapang ventilasi di daerah dorsal yang
mengikuti gravitasi pada posisi tidur. Volume paru juga mengecil pada posisi
tidur karena tekanan intraabdominal dan otot diafragma. Meghjee dkk melakukan
penelitian untuk membandingkan desaturasi yang terjadi pada pasien yang
dilakukan bronkoskopi dalam posisi supine dengan posisi semi-recumbent dan
didapatkan hasil saturasi oksigen pada pasien dengan posisi supine sedikit lebih
rendah dibandingkan pasien dengan posisi semi-recumbent, walaupun hasil
tersebut tidak bermakna secara statistik.39
Hasil yang berbeda didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Zwan dkk
yaitu hipoksemia lebih sering terjadi pada posisi duduk dengan nilai RR 2.46
walaupun peneliti tidak dapat menjelaskan bagaimana perbedaan ini bisa terjadi. 43
Penelitian oleh Putra dkk di RSUP persahabatan didapatkan hipoksemia juga lebih
cenderung terjadi pada pasien yang dilakukan bronkoskopi dengan posisi duduk,
namun menurut peneliti hal ini terjadi karena pasien yang dilakukan bronkoskopi
dengan posisi duduk ini adalah pasien kanker paru dengan keluhan sesak napas
dan keadaan umum yang lebih berat sehingga tidak memungkinkan pasien untuk
posisi supine.8
25
Bronkoskopi kaku maupun fleksibel memiliki risiko hipoksemia selama tindakan,
insersi bronkoskop fleksibel kedalam trakea mengakibatkan pengurangan 10-15%
luas penampang trakea sehingga meningkatkan hambatan aliran udara.
Bronkoskopi yang dilakukan melalui pipa endotrakeal mengurangi 66% luas
penampang pipa sehingga idealnya ukuran pipa endotrakeal 2 mm lebih besar dari
ukuran scope.39 Bronkoskop kaku dengan diameter yang lebih besar dan memiliki
celah terbuka di sepanjang batang distal untuk memberikan tambahan ventilasi
menjadikan bronkoskopi kaku memiliki keunggulan dalam kontrol jalan napas. 3,6
Bronkoskopi kaku dengan anestesi umum memberikan pilihan bagi dokter
anestesi dalam manajemen saluran napas seperti oksigenasi apneic, ventilasi
spontan, ventilasi mekanik terkontrol, frekuensi tinggi dan ventilasi jet manual.44
26
Penelitian yang dilakukan oleh Choi dkk pada 2520 pasien dewasa yang
menjalani prosedur bronkoskopi dengan sedasi mengalami hipoksemia sebanyak
565 pasien (22,4%) dan durasi sedasi lebih dari 40 menit menjadi faktor risiko
terjadi hipoksemia dengan OR 1,33.7 Kombinasi benzodiazepin dan narkotik
seperti midazolam dan fentanil sering digunakan dalam bronkoskopi fleksibel.
Sedasi dengan menggunakan opioid, benzodiazepin dan hipnotik dapat menekan
pusat pernapasan sehingga menyebabkan hipoventilasi sekunder yang dapat
diterapi dengan pemberian flumazenil atau naloxone.28,39
Mayoritas desaturasi yang terjadi selama bronkoskopi bersifat sementara dan tidak
membutuhkan intervensi. Ketidaksesuaian V/Q memiliki karakteristik A-a
gradient yang melebar sedangkan pada hipoventilasi A-a gradient biasanya
normal. Hipoksemia yang terjadi melalui kedua mekanisme ini dapat merespon
baik dengan terapi oksigen. Suplementasi oksigen selama bronkoskopi fleksibel
direkomendasikan untuk mencapai saturasi oksigen arteri paling rendah 90%
untuk menurunkan risiko aritmia jantung selama bronkoskopi dan juga selama
masa pemulihan. Komplikasi aritmia jantung yang muncul pada prosedur
bronkoskopi sebagian besar terkait dengan hipoksemia dengan PaO2 < 60
mmHg.25,28,30 Proporsi pasien yang membutuhkan suplementasi oksigen selama
bronkoskopi bervariasi antara 5-32% dan bergantung pada VEP1 atau APE.27
Saturasi oksigen yang turun hingga ≤ 90% dengan nasal kanul 6 liter/menit
ditatalaksana dengan suplementasi oksigen dengan insersi pipa nasofaringeal dan
bronkoskop ditarik hingga ke trakea. Nilai SpO2 yang masih tetap dibawah 90%
27
diberikan oksigen tambahan menggunakan kateter oksigen 7 french melalui
hidung yang ditempatkan tepat diatas laring atau pada trakea proksimal.
Bronkoskop harus ditarik keluar jika SpO2 tetap dibawah 90% dan diberikan
antidotum sedasi serta dilakukan ventilasi bag and mask hingga ventilasi spontan
yang diinginkan tercapai.28
2.3.3 Prognosis
Otak merupakan organ yang paling sensitif terhadap hipoksemia terutama selama
episode desaturasi. Vasko dkk melakukan penelitian yang menilai saturasi
sistemik dan serebral selama prosedur bronkoskopi diagnostik. Penelitian ini tidak
mendapatkan penurunan saturasi pada jaringan serebral selama bronkoskopi
28
meskipun terdapat penurunan saturasi sistemik. Hal ini diperkirakan terjadi karena
desaturasi sistemik jangka pendek dinetralkan oleh regulasi laju metabolisme
jaringan otak sehingga mempertahankan oksigenasi jaringan otak selama terjadi
penurunan saturasi sistemik jangka pendek. Hipoksemia yang terjadi pada
bronkoskopi adalah melalui mekanisme ketidaksesuaian V/Q dan hipoventilasi
sehingga dapat merespons baik dengan suplementasi oksigen dan mencegah
komplikasi yang lebih lanjut.10,22
29
2.4 Kerangka Teori
PPOK
Hipoksia
Kerusakan vascular bed
Hiperkapnia
arteri pulmonalis
Hiperinflasi
Hipertensi pulmoner
Dilatasi ventrikel
kanan
Menurunkan kontraksi
ventrikel kanan
30
2.5 Kerangka Konsep
PPOK
Usia
Jenis kelamin
Riwayat merokok Inflamasi sistemik,
Riwayat eksaserbasi Stres oksidatif,
Jumlah eksaserbasi Penurunan fungsi paru,
Riwayat hipertensi Penggunaan obat bronkodilator dan
Riwayat diabetes kortikosteroid inhalasi
mellitus
Hipertensi Pulmonal
31
BAB 3
METODE PENELITIAN
32
3.3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.3.4.1 Kriteria Inklusi
1. Pasien PPOK stabil derajat ringan sampai berat, baik laki-laki maupun
perempuan yang datang ke RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau.
4. Semua penyakit paru selain PPOK yang dibuktikan dengan foto toraks (tidak
ada kelainan pada parenkim paru dan pleura).
n = Zα2 x P x (1-P)
d2
n = (1,96)2 x 0,69 x 0,31
0,01
= 3,8416 x 0,2139
0,01
= 0,8217 = 82,17
0,01
Keterangan:
n = Besar sampel
Zα = Nilai standar dari distribusi sesuai nilai α= 0,05 atau 5% yaitu 1,96
P = Prevalensi variabel dari penelitian sebelumnya 69% = 0,69
33
d = Presisi absolut yaitu 10%
Besar sampel penelitian ini adalah sebanyak 82,17 dibulatkan menjadi 83 sampel.
Peneliti mengantisipasi adanya kejadian drop out dengan cara menambahkan
jumlah sampel sebanyak 10% dari jumlah sampel minimal yang dibutuhkan,
sehingga penelitian ini akan melibatkan 83 + 8,3 sampel menjadi 92 sampel.
Pasien PPOK yang memenuhi kriteria inklusi dan bersedia mengikuti penelitian
akan dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, pengukuran tekanan darah,
spirometri, foto toraks, elektokardiogafi dan ekokardiografi.
Analisis data pada penelitian ini menggunakan chi square karena variabel-variabel
yang dibandingkan berupa skala kategorikal. Beberapa data yang akan
ditampilkan pada penelitian ini adalah:
1. Data numerik setiap variabel dihitung rata-rata dan standar deviasi (simpang
baku).
∑x
Nilai rerata (x) =
N
2 [ ∑ x2]
∑x −
Standar deviasi (SD) = n
n−1
2. Data kategorik atau tidak terdistribusi normal menggunakan median dan nilai
maksimum dan minimum.
3. Data bivariat diuji dengan chi square dan apabila tidak memnuhi syarat
dilakukan uji Fisher. Analisis dilanjutkan dengan uji regresi logistik biner
untuk hasil uji bivariat yang memenuhi persyaratan multivariat yaitu p<0,25.
34
Variabel bebas pada penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, IMT, komorbid,
kebiasaan merokok, skor ASA, faal Paru, nilai PaO2, diagnosis penyakit paru,
jenis alat suplementasi oksigen, jenis prosedur diagnostik tambahan, jenis obat
sedasi, durasi prosedur dan sedasi.
2. Variabel terikat (dependen/ efek)
Variabel terikat pada penelitian ini adalah hipoksemia yang terjadi selama
prosedur bronkoskopi berlangsung.
35
3.5 Definisi Operasional (belum ada dimasukkan)
Definisi operasional dari setiap variabel pada penelitian ini dijabarkan pada tabel berikut:
Tabel 3 .1 Definisi Operasional
36
No Variabel Definisi Operasional Cara dan Skala Ukur Hasil ukur
Alat ukur
1 Usia Jumlah tahun yang dilewati Rekam medis Numerik Tahun
subjek sejak dilahirkan hingga
saat penelitian dilaksanakan
dalam rentang
24 jam
sebelum
prosedur
7 ASA skor Penilaian subjektif status Catatan Ordinal ASA I : orang sehat
kesehatan pasien sebelum preoperasi ASA II : orang dengan penyakit sistemik ringan
tindakan operasi dokter anestesi ASA III : orang dengan penyakit sistemik berat
ASA IV : orang dengan penyakit sistemik berat dan
mengancam jiwa
ASA V : orang hampir meninggal yang tidak ada harapan
hidup tanpa operasi
ASA VI : status mati batang otak yang organnya diambil
melalui operasi dengan tujuan donor organ
Kriteria eksklusi
Pemeriksaan jantung
Kriteria eksklusi
Hipertensi pulmonal
38
Pembimbing Materi I : dr. Adrianison, Sp.P(K)
DAFTAR PUSTAKA
1. Giugliano CC, Cerpa FA, Keymar JE, Perez RA, Romero CP, Budini HR, et
al. Clinical and Breathing Behavior in Subjects Undergoing Bronchoscopy
Supported with Noninvasive Mechanical Ventilation. J Respir Med 2. 2018;
2:106.
2. Dammad T, Jalil BA. Interventions in Pulmonary Medicine: Flexible
Bronchoscopy. Second edition. Switzerland. Springer International
Publishing; 2018: p.15-29.
3. Beamis JF, Mathur PN, Mehta AC. Interventional Pulmonary Medicine. New
York. Marcel Decker Inc; 2004: p.1-47.
4. Sung H, Ferlay J, Siegel RL, Laversanne M, Soerjomataram I, Jemal A, et al.
Global Cancer Statistics 2020: GLOBOCAN Estimates of Incidence and
39
Mortality Worldwide for 36 Cancers in 185 Countries. Ca Cancer J Clin.
2021; 71: 209-249.
5. Rivera MP, Mehta AC, Wahidi MM. Establishing the Diagnosis of Lung
Cancer. Chest. 2013; 143(5): 143-65.
6. Diaz-Jimenez JP, Rodriguez AN. Interventions in Pulmonary Medicine: Rigid
Bronchoscopy. Second edition. Switzerland. Springer International
Publishing; 2018: p.47-65.
7. Choi JS, Lee EH, Lee SH, Leem AY, Chung KS, Kim SY, et al. Risk Factors
for Predicting Hypoxia in Adult Patients Undergoing Bronchoscopy under
Sedation. Tuberc Respir Dis. 2020; 83:276-82.
8. Putra AP, Rasmin M, Aniwidyaningsih W. Kejadian Hipoksemia dan Faktor
yang Berpengaruh Pada Tindakan Bronkoskopi Diagnostik Kasus Tumor
Paru. J Respir Indo. 2020; 40(2): 66-74.
9. Ninan N, Wahidi MM. Basic Bronchoscopy: Techology, Techniques and
Profesional Fees. Chest. 2019; 155(5): 1067-74.
10. Vasko A, Kovacs S, Fulesdi B, Molnar C. Assesment of Systemic and
Cerebral Oxygen Saturation during Diagnostic Bronchoscopy: A Prospective,
Randomized Study. Emerg Med Int. 2020; 2020: 1-6.
11. Tandon AK. Rigid Bronchoscopy: a General Overview. Shanghai Chest.
2020; 4:15.
12. Batra H, Yarmus L. Indications and Complications of Rigid Bronchoscopy.
Expt Rev Respi Med. 2018; 12(6): 509-20.
13. Chaddha U, Murgu S. Complication of Rigid Bronchoscopy. Respirology.
2021; 26: 14–8.
14. Drummond M, Magalhaes A, Hespanhol V, Marques A. Rigid
Bronchoscopy: Complications in a university hospital. J Bronchol. 2003; 10:
177-81.
15. Casal RF, Ost DE, Eapen GA. Flexible Bronchoscopy. Clin Chest Med. 2013;
34: 341-52.
16. Miller RJ, Casal RF, Lazarus DR, Ost DE, Eapen GA. Flexible
Bronchoscopy. Clin Chest Med. 2018; 38: 1-16.
17. Ahn JH. An Update on the Role of Bronchoscopy in the Diagnosis of
Pulmonary Disease. Yeungnam Univ J Med. 2020; 37(4): 253-61.
18. Panchabhai TS, Mehta AC. Historical Perspective of Bronchoscopy. Ann Am
Thorac Soc. 2015; 12(5): 631–41.
19. Pue CA, Pacht ER. Complications of Fiberoptic Bronchoscopy at a
University Hospital. Chest. 1995; 107(2): 430-2.
20. Marhana IA, Aniwidyaningsih W, Arief N, Syafa’ah I. Buku Ajar
Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi: Bronkoskopi. Buku I. Jakarta. UI
Publishing; 2017. p.401-22.
21. Diaz-Mendoza J, Peralta AR, Debiane L, Simoff MJ. Rigid Bronchoscopy.
Semin Respir Crit Care Med. 2018; 39: 674-84.
22. Sarkar M, Niranjan N, Banyal PK. Mechanisms of Hypoxemia. Lung India.
2017; 34: 47-60.
23. West JB, Luks AM. West’s Pulmonary Pathophysiology: Respiratory Failure.
Ninth edition. Philadelphia. Wolters Kluwer; 2017: p. 173-86.
40
24. Yserbyt J, De Maeyer N, Dooms C, Testelmans D, Muylle I, Bruyneel M, et
al. The Feasibility of Tracheal Oxygen Supplementation during Flexible
Bronchoscopy. Respiration. 2016; 92: 48-52.
25. Hadique S, Jain P. Safety of Bronchoscopy in Elderly. Curr Geri Rep. 2015;
4: 154-65.
26. Lucangelo U, Vassallo FG, Marras E, Ferluga M, Beziza E, Comuzzi L, et al.
High-Flow Nasal Interface Improves Oxygenation in Patients Undergoing
Bronchoscopy. Crit Care Res Pract. 2012; 2012: 1-6.
27. Du Rand IA, Blaikley J, Booton R, Chaudhuri N, Gupta V, Khalid S, et al.
British Thoracic Society Guideline for Diagnostic Flexible Bronchoscopy in
Adults. Thorax. 2013; 68: l-44.
28. Chhajed PN, Glanville AR. Management of Hypoxemia during Flexible
Bronchoscopy. Clin Chest Med. 2003: 24; 511-6.
29. Shinagawa N, Yamazaki K, Kinoshita I, Ogura S, Nishimura M.
Susceptibility to Oxygen Desaturation during Bronchoscopy in Elderly
Patients with Pulmonary Fibrosis. Respiration. 2006; 73: 90-4.
30. Miftahussurur M, Wibisono MY. Complication of Fiberoptic Bronchoscopy
and Its Implementation for Special Conditions. IMRM. 2017: 432-9.
31. Silvestri GA, Vincent BD, Wahidi M. Fospropofol Disodium for Sedation in
Elderly Patients Undergoing Flexible Bronchoscopy. J Bronchol Intervent
Pulmonol. 2011; 18(1): 15-22.
32. LoMauro A, Aliverti A. Sex and Gender in Respiratory Physiology. Eur
Respir Rev. 2021; 30: 1-16.
33. Ekhrom M, Schioler L, Gronseth R, Johannessen A, Svanes C, Leynaert B.
Absolute Values of Lung Function Explain the Sex Difference in
Breathlessness in The General Population. Eur Respir J. 2017; 49: 1-9.
34. Mafort TT, Rufino R, Costa CH, Lopes AJ. Obesity: Systemic and
Pulmonary Complications, Biochemical Abnormalities, and Impairment of
Lung Function. Multi Resp Med. 2016; 11(28): 1-11.
35. Salahuddin M, Salamo O, Karanth S, Faiz SA, Martin R, Cherian SV. Safety
and Incidence of Complications Associated with Bronchoscopy in an Obese
Population. Clin Respir J. 2021; 00: 1-6.
36. Tantisuwat A, Thaveeratitham P. Effects of Smoking on Chest Expansion,
Lung Function, and Respiratory Muscle Strength of Youths. J Phys Ther Sci.
2014; 26: 167-70.
37. Behr J, Nowak D. Tobacco Smoke and Respiratory Disease. Eur Respir Mon.
2002; 21: 161-79.
38. Sorli-aguilar M, Martin-Lujan F, Flores-Mateo G, Jardi-Pinana C, Aparicio-
Llopis E, Basora-Gallisa J. Adiposity Markers and Lung Function in
Smokers: a Cross-sectional study in a Mediterranean population. BMC Pulmo
Med. 2016; 16(178): 1-8.
39. Meghjee SP, Marshall M, Redfern EJ, McGivern DV. Influence of Patient
Posture on Oxygen Saturation during Fibre-optic Bronchoscopy. Resp Med:
2001; 95: 5-8.
40. Attaran D, Towhidi M, Amini M, Toosi M. The relationship between peak
expiratory flow rate (PEFR) before bronchoscopy and arterial oxygen
desaturation during bronchoscopy. IJBMS. 2007; 9(4): 303-6.
41
41. Grendelmeir P, Tamm M, Jahn K, Pflimlin E, Stolz D. Flexible
Bronchoscopy with Moderate sedation in COPD: a case-control study. Int J
COPD. 2017; 12: 177-87.
42. Chechani V. Flexibel Bronchoscopy in Patients with Hypercapnia. J
Bronchol. 2000; 7: 226-32.
43. Zwan JP, Kapteijns EFG, Lahey S, Smit HJM. Flexible Bronchoscopy in
Supine or Sitting Position a Randomized Prospective Analysis of Safety and
Patient Comfort. J Bronchol Intervent Pulmonol. 2010; 17: 29-32.
44. Stahl DL, Richard KM, Papadimos TJ. Complications of Bronchoscopy: A
Concise synopsis. Int J Crit Illn Inj Sci. 2015; 5:189-95.
45. Patolia S, Farhat R, Subramaniyam R. Bronchoscopy ini Intubated and non-
intubated Intensive Care Unit Patients with Respiratory Failure. J Thoracic
Dis. 2021; 13(8): 5125-34.
46. Kvale PA. Prevention and Management of Hypoxemia During Fiberoptic
Bronchoscopy. Chest. 2002; 121(4): 1021-2.
42