Anda di halaman 1dari 42

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak
menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Penyebabnya
antara lain semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada usia muda serta
pencemaran udara di dalam maupun di luar ruangan dan tempat kerja. Angka
kejadian PPOK yang sangat tinggi seperti menurunnya produktifitas pasien yang
berdampak pada kehidupan sosial ekonomi.1 Data World Health Organization
(WHO) terjadi lebih dari 3 juta orang meninggal karena PPOK pada tahun 2012
dan menyumbang 6% kematian secara global dan 90% penyebab kematian di
negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Tahun 2002 PPOK
menempati urutan ke-4 dan diperkirakan pada tahun 2030 akan menjadi penyebab
kematian ke-3 di seluruh dunia setelah penyakit kardiovaskular dan kanker.1,2

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian


sebagai berikut:
1. Berapakah proporsi kasus penyakit gagal jantung kanan dan gagal jantung
kiri pada pasien PPOK stabil?

2. Berapakah proporsi kasus penyakit hipertensi pulmonal pada pasien PPOK?

3. Apakah ada perbedaan antara derajat keparahan PPOK berdasarkan kriteria


GOLD dengan hipertensi pulmonal?

1.3 Hipotesis Penelitian

Terdapat hubungan antara derajat keparahan penyakit paru obstruktif kronik


dengan kejadian hipertensi pulmonal di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin
Achmad Provinsi Riau.

1.4 Tujuan Penelitian


1.4.1 Tujuan Umum

1
Mengetahui hubungan derajat penyakit paru obstruktif kronik dengan kejadian

hipertensi pulmonal dan faktor yang mempengaruhinya di Rumah Sakit Umum

Daerah Arifin Achmad Provinsi Riau.

1.4.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui hubungan derajat keparahan PPOK berdasarkan kriteria GOLD
dengan dimensi, fungsi dan tekanan arteri pulmonalis.
2. Mengetahui proporsi kasus penyakit hipertensi pulmonal pada pasien PPOK
yang berkunjung ke RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.
3. Mengetahui karakteristik faktor risiko perubahan dimensi, fungsi dan tekanan
arteri pulmoinalis (usia, jenis kelamin, riwayat merokok, riwayat eksaserbasi,
jumlah eksaserbasi, diabetes mellitus, tekanan darah) dengan PPOK.
4. Mengetahui perubahan jantung sekunder akibat penyakit paru obstruktif
kronik dengan menggunakan ekokardiografi.

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Manfaat Bagi Peneliti
Diharapkan dengan melakukan penelitian ini penulis dapat menambah
pengetahuan dan meningkatkan kompetensi di bidang Pulmonologi dan
Kedokteran Respirasi khususnya dalam penanganan pasien ppok dan
meningkatkan kompetensi sebagai dokter spesialis paru dalam penegakkan
hipertensi pulmonal akibat ppok.

1.5.2 Manfaat Bagi Bidang Akademik

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk pengembangan ilmu


kesehatan khususnya di bidang Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi mengenai
informasi hipertensi pulmonal pada pasien PPOK sehingga diagnosis dan
tatalaksana dapat menjadi lebih optimal dan komprehensif.

1.5.3 Manfaat Bagi Pasien


Mengetahui kondisi sistem kardiovaskular pasien terhadap penyakit PPOK yang
dideritanya sehingga dapat memperbaiki angka harapan hidup.

2
1.5.4 Manfaat Bagi Pemegang Kebijakan
Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar dan masukan bagi
pemegang kebijakan RSUD Arifin Achmad terkait kejadian hipertensi pulmonal
pada pasien PPOK

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bronkoskopi
2.1.1 Sejarah Bronkoskopi

3
Prosedur bronkoskopi eksperimental pertama kali dilakukan oleh Gustav Killian
pada tahun 1896 dengan menggunakan esofagoskop yang dimodifikasi. Indikasi
prosedur bronkoskopi diawal perkembangannya adalah terapeutik seperti
pengeluaran benda asing dan dilatasi striktur pada pasien tuberkulosis dan difteri.
Teknik dan desain bronkoskop kaku yang lebih maju ditemukan oleh Chevalier
Jackson pada awal abad ke 20 dengan indikasi bronkoskopi masih sebagai
prosedur terapeutik. Shigeto Ikeda memperkenalkan bronkoskop serat optik
fleksibel pertama kali pada tahun 1963 sebagai instrumen diagnostik.
Bronkoskopi kemudian berubah dari prosedur terapeutik yang dilakukan oleh
dokter bedah toraks dan otolaringologi menjadi prosedur diagnostik yang
dilakukan oleh dokter paru.3,6

2.1.2 Bronkoskop Kaku (Rigid Bronchoscope)

Bronkoskop kaku merupakan sebuah alat berbentuk pipa berbahan stainless steel
dengan panjang dan diameter yang bervariasi. Bronkoskop kaku tersedia dalam
dua ukuran panjang yaitu 33 sentimeter (cm) yang dikenal dengan bronkoskop
trakea dan 43 cm yang dikenal dengan bronkoskop bronkus dengan diameter luar
bervariasi antara 6-14 milimeter (mm). Saluran napas dewasa umumnya dapat
menggunakan bronkoskop ukuran 10-12 mm. Pilihan menggunakan bronkoskop
kaku trakea atau bronkus tergantung pada lokasi obstruksi atau lesi dan juga
tujuan dari prosedur bronkoskopi. Komponen utama bronkoskop kaku adalah
pipa, kepala multifungsi, konektor, sumber cahaya dan kamera.3,11,12

Bagian proksimal bronkoskop kaku terdiri dari central opening dengan port
sebagai tempat masuk biopsi forsep/stent, balon, selang suction dan konektor
ventilator yang terdiri dari dua tipe tergantung mode ventilasi yang digunakan (jet
atau kontrol volume). Sepanjang batang distal dari bronkoskop ini terdapat celah
terbuka untuk memberikan tambahan ventilasi. Bagian distal bronkoskop bertepi
miring sehingga dapat melewati pita suara dengan aman, meningkatkan
kemampuan manuver melewati stenosis ketika digunakan dengan gerakan
memutar dan berfungsi sebagai alat pemotong untuk tumor nekrosis. Bronkoskop
kaku dapat dilihat pada gambar 2.1.3,6,11

4
Gambar 2.1 Bronkoskop kaku
Dikutip dari (3)

Central opening bronkoskop kaku memberikan akses masuk untuk lensa teleskop,
bronkoskop fleksibel dan berbagai macam alat penghantar stent. Teleskop video
memberikan gambaran lebih besar dan dari beberapa sudut pandang untuk melihat
trakea, bronkus utama dan lima bronkus lobaris. Bronkoskop fleksibel juga dapat
masuk melalui bronkoskop kaku untuk melihat bronkus distal dan bronkus lobus
atas yang berliku. Keuntungan menggunakan bronkoskop kaku dibanding
bronkoskop fleksibel adalah kemampuan menjaga kontrol jalan napas, hemostasis,
waktu tindakan intervensi yang lebih singkat dan ukuran sampel biopsi yang lebih
besar.3,6

2.1.2.1 Indikasi dan kontraindikasi bronkoskopi kaku

Indikasi bronkoskopi dengan menggunakan bronkoskop kaku secara umum


merupakan indikasi terapeutik walaupun terdapat juga beberapa indikasi
diagnostik seperti pada tabel 2.1. Penggunaan bronkoskopi kaku berkurang setelah
perkembangan bronkoskop fleksibel tetapi dapat menjadi pilihan untuk beberapa
indikasi spesifik seperti eksisi tumor, penempatan stent, perbaikan stenosis saluran
napas dan kontrol hemoptisis. Penyakit keganasan pada saluran napas semakin
banyak ditemukan sehingga intervensi diagnostik dan terapeutik sering dilakukan
bersamaan.3,6,12

Tabel 2.1 Indikasi Bronkoskopi Kaku


Diagnostik Terapeutik
Biopsi besar Pengambilan benda asing

5
 Biopsi forsep pada tumor
endobronkial
 Cryobiopsy pada parenkim paru

Pemeriksaan Saluran Napas Hemoptisis masif


 Terbatas pada bagian distal bronkus  Menentukan lokasi perdarahan
lobaris  Melindungi dan menjaga ventilasi
dari paru yang tidak mengalami
perdarahan

Obstruksi saluran napas utama


 Debulking massa tumor dengan
forsep atau microdebrider
 Eksisi/reseksi tumor
 Ablasi tumor dengan laser,
elektrokauter, koagulasi argon
plasma, cryoterapi, terapi
fotodinamik
 Dilatasi balon
 Penempatan stent
Dikutip dari (12)

Kontraindikasi tindakan bronkoskopi dengan menggunakan bronkoskop kaku


sangat sedikit. Kontraindikasi relatif antara lain koagulopati atau pasien dalam
terapi anti koagulan dan pasien dengan kebutuhan ventilasi yang tinggi.
Kontraindikasi absolut utama untuk bronkoskopi kaku adalah pasien dengan
tulang servikal tidak stabil seperti pada pasien dalam terapi radiasi, rheumatoid
arthritis pada leher yang berisiko semakin berat akibat ekstensi leher yang
diperlukan saat pasien diintubasi. Kontraindikasi lain dari bronkoskopi kaku dapat
dilihat pada tabel 2.2. Risiko dan manfaat harus dipertimbangkan dan
didiskusikan dengan pasien demikian pula dengan pilihan tatalaksana lainnya.
Bronkoskopi kaku harus dilakukan jika prosedur ini bermanfaat atau tidak tersedia
pilihan yang lain. 3,6,11,12

Tabel 2.2 Kontraindikasi Bronkoskopi Kaku


Absolut Relatif
Tulang servikal tidak stabil Fusi tulang servikal
Operator tidak kompeten Hemodinamik tidak stabil
Hipoksemia berat
Koagulopati berat
Trombositopenia berat
Dikutip dari (12)

2.1.2.2 Komplikasi bronkoskopi kaku

6
Komplikasi bronkoskopi kaku jarang terjadi jika operator terlatih dengan keluhan
paling umum adalah nyeri tenggorokan. Komplikasi serius jarang terjadi yaitu
<2% dan disebabkan oleh anestesi atau prosedur bronkoskopi itu sendiri. 12,13 Studi
retrospektif oleh Drummond dkk dari 775 bronkoskopi kaku yang dilakukan di
rumah sakit universitas didapatkan mayoritas pasien (86,7%) tidak mengalami
komplikasi, 6,6% mengalami komplikasi perdarahan dan 5,3% mengalami gagal
napas transien. Kematian terjadi pada 3 dari 775 kasus (0,4%) yang disebabkan
oleh gagal napas dan perdarahan yang tidak dapat dikontrol.14

Risiko terjadinya komplikasi meningkat pada prosedur darurat, ASA skor >3,
bronkoskopi terapeutik berulang dan penggunaan sedasi moderat. Komplikasi
bronkoskopi kaku antara lain cedera struktur orofaringeal, edema laring, spinal
cord injury, cedera pada pita suara dan arytenoid, laserasi dan perforasi saluran
napas, pneumotoraks, perdarahan, emfisema mediastinum, laringospasme,
bronkospasme serta iskemia dan aritmia jantung yang dicetuskan oleh
hipoksemia. Penilaian praoperasi yang tepat, persiapan instrumen yang tepat dan
menjaga komunikasi yang baik dengan dokter anestesi sangat penting dilakukan
sehingga bronkoskopi kaku dapat dilakukan dengan aman dan tidak terjadi
komplikasi serius. 3,6,12,13

2.1.3 Bronkoskop Fleksibel

Bronkoskop fleksibel jika dibandingkan dengan bronkoskop kaku memberikan


visualisasi yang lebih luas dari saluran udara hingga ke bagian distal dan dapat
dilakukan dengan anestesi lokal sehingga membawa perubahan pada bidang
bronkoskopi. Peran bronkoskop fleksibel pada awalnya adalah sebagai instrumen
diagnostik untuk memvisualisasikan lesi kanker paru pada pohon trakeobronkial,
melakukan biopsi, kuretase dan penyikatan untuk menetapkan diagnosis pasti.
Bronkoskopi fleksibel saat ini digunakan tidak hanya untuk diagnostik tetapi juga
untuk prosedur terapeutik. Penemuan bronkoskop fleksibel diikuti dengan
perkembangan teknik bronkoskopi diagnostik dan terapeutik yang lebih luas.2,3

Reynolds memperkenalkan bronchoalveolar lavage (BAL) pada pertengahan


1970-an sebagai teknik untuk mendapatkan materi seluler dan nonseluler dari
saluran napas bagian bawah. Andersen dkk berhasil menyelaraskan teknik

7
transbronchial lung biopsy (TBLB) dengan bronkoskopi fleksibel terutama untuk
penyakit parenkim paru difus dan infeksi. Transbronchial needle aspiration
(TBNA) kelenjar getah bening mediastinum dengan bronkoskopi fleksibel
pertama kali dilakukan oleh Wang dkk pada akhir 1970-an. Alat pertama yang
digunakan melalui bronkoskopi fleksibel dengan indikasi terapeutik selain basket
dan forsep untuk mengangkat benda asing adalah laser neodymium: yttrium-
alumunium-garnet (Nd:YAG) yang dikembangkan oleh Dumon dkk pada tahun
1980 untuk tatalaksana stenosis trakeobronkial.3,15-17

Bronkoskop fleksibel dengan ujung distal fleksibel yang disempurnakan seperti


pada gambar 2.2, memungkinkan operator untuk memvisualisasikan semua
bronkus segmental dengan mudah.18 Working channel lebih besar dan instrumen
aksesori yang lebih baik meningkatkan hasil diagnostik demikian juga
kemampuan terapeutik bronkoskop fleksibel. Bronkoskop fleksibel thin tidak
hanya memungkinkan visualisasi langsung dari bronkus generasi kedelapan
hingga kedua belas yang biasanya tidak terlihat dengan bronkoskop fleksibel
standar tetapi juga memfasilitasi intubasi endotrakeal dalam situasi sulit seperti
trauma, perdarahan atau kelainan anatomi. Bronkoskop fleksibel ultrathin
memiliki diameter luar 1,8 mm, ujung fleksibel dan saluran untuk biopsi sehingga
memungkinkan untuk menilai bronkiolus dan melakukan alveolobronchography
serta mengambil sel epitel bronkial dari saluran napas yang sebelumnya tidak
dapat diakses.2,3

2.1.3.1 Indikasi dan kontraindikasi bronkoskopi fleksibel

Indikasi untuk bronkoskopi fleksibel secara luas dibagi menjadi diagnostik dan
terapeutik seperti yang diringkas pada tabel 2.3. Daftar indikasi spesifik terus
berkembang tetapi secara umum indikasi diagnostik meliputi evaluasi tanda dan
gejala respirasi, mengevaluasi kelainan radiografi dan pemantauan aktivitas
penyakit yang telah diketahui. Bronkoskopi yang direncanakan sebagai prosedur
diagnostik dapat menjadi prosedur terapeutik dalam beberapa kasus terutama saat
didapatkan temuan bronkoskopi yang tidak diduga atau tidak jelas terlihat dalam
radiografi sebelum prosedur.15,16 Pue dkk melakukan studi retrospektif dari 4273
bronkoskopi fleksibel yang dilakukan antara 1988-1993, 86,3% dengan indikasi

8
diagnostik, 10,4% terapeutik dan 3,3% dilakukan pada orang yang sehat untuk
tujuan penelitian.19

Gambar 2.2 Bronkoskop fleksibel


Dikutip dari (18)

Kontraindikasi bronkoskopi fleksibel lebih banyak bersifat relatif dibanding


absolut. Kontraindikasi absolut termasuk diantaranya hemodinamik tidak stabil,
aritmia yang mengancam jiwa, hipoksemia refrakter berat, tidak ada persetujuan
pasien atau keluarga, fasilitas yang tidak memadai dan operator yang tidak
berpengalaman. Risiko bronkoskopi meningkat pada situasi tertentu sehingga
rasio risiko/manfaat harus dianalisis dengan teliti pada semua pasien. Bronkoskopi
pada pasien dengan penyakit arteri koroner harus dilakukan dengan manajemen
yang baik. Bronkoskopi fleksibel dengan sedasi moderat berisiko meningkatkan
denyut jantung yang dapat menyebabkan iskemia pada beberapa pasien.
Bronkoskopi dianggap aman pada pasien dengan penyakit arteri koroner tetapi
kebanyakan klinisi menunda bronkoskopi elektif selama 6 minggu pasca sindrom
koroner akut atau gagal jantung dekompensasi. 2,15,16,20

Hipoksemia berat juga merupakan kontraindikasi relatif untuk bronkoskopi


fleksibel tidak darurat. Keamanan prosedur dapat ditingkatkan dengan intubasi
endotrakeal dan anestesi umum jika bronkoskopi mutlak diperlukan pada pasien
dengan hipoksemia berat. Pasien yang tidak kooperatif juga meningkatkan risiko
komplikasi dan bronkoskopi dengan anestesi umum menjadi pilihan utama.
Penilaian saluran napas dan BAL dapat dilakukan tanpa risiko perdarahan.

9
Kondisi koagulopati pada pasien menjadi bermakna jika direncanakan tindakan
sikatan, biopsi atau aspirasi jarum. Nilai hitung trombosit kurang dari
50.000/mm3, uremia dengan disfungsi trombosit, nilai International normalized
ratio (INR) lebih dari 1,5 dan pemanjangan partial tromboplastin (PT) merupakan
kontraindikasi relatif untuk dilakukan tindakan biopsi.2,15,16

Tabel 2.3 Indikasi Bronkoskopi Fleksibel


Indikasi Diagnostik Indikasi Terapeutik
Tanda dan gejala penyakit paru Obstruksi saluran napas sentral ganas
 Hemoptisis  Obstruksi endobronkial (laser,
 Stridor koagulasi argon plasma, cryoterapi,
 Wheezing unilateral brachyterapi, terapi fotodinamik,
 Suara serak electrocautery snare)
 Batuk kronik yang tidak diketahui  Tumor ekstrinsik (self-expandable
sebabnya airway stents)
Evaluasi terduga infeksi paru Obstruksi saluran napas sentral jinak
 Pneumonia pada pasien  Radial cuts
imunokompromis  Pengembangan balon
 Nonresolving pneumonia  Penempatan stent saluran napas
 Lesi kavitas  Injeksi intrabronkial
 Infeksi terkait penggunaan ventilator
Penyakit paru difus Fistula trakeoesofageal
 Intersitial Lung Disease (ILD)  Pemasangan stent
atipikal kronik  Penutupan dengan laser
 Konsolidasi difus akut dan subakut Hemoptisis
 Kerusakan dan perdaharan alveolar  Hemostasis dari lesi perdarahan yang
difus terletak di sentral (laser, koagulasi
 Penyakit paru imbas obat argon plasma)
 Massa atau nodul parenkim
Keganasan yang diketahui atau diduga Penutupan fistula bronkopleura
 Tumor endobronkial  Airway spigots
 Adenopati atau massa mediastinum  Katup endobronkial
atau hilus  Sealants
 Kompresi saluran napas akibat invasi
 Deteksi dini kanker paru lokasi
sentral
 Staging dan restaging pada kanker
paru
Lain-lain Lain-lain
 Evaluasi stent saluran napas  Aspirasi kista
 Evaluasi penyakit saluran napas jinak  Drainase abses
dan striktur  Bronchial thermoplasty
 Diagnosis fistula trakeoesofageal  Endoscopic lung volume reduction
 Pemantauan transplantasi paru  Intubasi dipandu bronkoskopi
 Trauma saluran napas akibat bahan  Sumbatan oleh mukus
kimia dan suhu  Pengangkatan benda asing
 Konfirmasi posisi pipa endotrakeal
 Fistula bronkopleura
Dikutip dari (16)

2.1.3.2 Komplikasi bronkoskopi fleksibel

10
Bronkoskopi fleksibel secara umum aman dengan angka kejadian komplikasi
rendah. Risiko terjadi komplikasi tergantung pada faktor pasien seperti stabilitas
klinis, komorbid serta faktor terkait prosedur yaitu jenis tindakan yang dilakukan
menggunakan bronkoskop fleksibel. Komplikasi dapat terjadi pada dewasa sehat
yang menjalani bronkoskopi sederhana sehingga risiko dan manfaat harus tetap
dipertimbangkan dengan baik. Studi terkontrol mengenai faktor yang dapat
menyebabkan seseorang tidak dapat menjalani bronkoskopi belum ada sehingga
keputusan untuk melakukan tindakan bronkoskopi harus berdasarkan
pertimbangan manfaat potensial, kemungkinan komplikasi, pilihan pasien serta
ketersediaan pilihan metode diagnostik dan terapeutik lainnya.16

Komplikasi minor dari bronkoskopi fleksibel dan terkait peralatan bronkoskopi


termasuk diantaranya laringospasme, bronkospasme, epistaksis, suara serak,
demam, nausea, batuk dan perdarahan ringan saluran napas. Komplikasi mayor
antara lain perdarahan berat saluran napas, pneumotoraks, hiperkapnia, hipoksia
berat, aritmia, kejang dan henti jantung. Sebagian besar studi melaporkan kejadian
komplikasi mayor bronkoskopi fleksibel adalah berkisar 1-5% dengan
kebanyakan komplikasi mayor berkaitan dengan prosedur TBLB. Komplikasi
prosedur bronkoskopi fleksibel hingga menyebabkan kematian sangat jarang yaitu
kurang dari 0,04%.2,8,16,17

2.2 Hipoksemia

Hipoksemia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan penurunan tekanan


parsial oksigen di dalam darah, berbeda dengan hipoksia yaitu penurunan
oksigenasi jaringan akibat gangguan penghantaran atau penggunaan oksigen oleh
jaringan. Hipoksemia dan hipoksia tidak selalu terjadi bersamaan, pasien dapat
mengalami hipoksemia tanpa terjadi hipoksia bila terdapat kompensasi berupa
peningkatan hemoglobin dan cardiac output. Hipoksia juga dapat terjadi tanpa
hipoksemia seperti pada keracunan sianida, sel tidak dapat menggunakan oksigen
walaupun tingkat oksigen darah dan jaringan normal. Hipoksemia dapat dinilai
dengan melakukan pemeriksaan seperti tekanan oksigen arteri (PaO 2), arterial
oxygen content (CaO2), saturasi oksigen arteri (SaO2) dan rasio PaO2/FiO2.22,23

2.2.1 Mekanisme Hipoksemia

11
Hipoksemia dapat terjadi melalui empat mekanisme yaitu ketidaksesuaian
ventilasi perfusi (V/Q), pirau dari kanan ke kiri, gangguan difusi dan
hipoventilasi. Keempat mekanisme hipoksemia ini dapat ditandai dari perubahan
alveolar-arterial oxygen gradient (A-a gradient) dan respons terhadap pemberian
oksigen. A-a gradient merupakan perbedaan antara tekanan oksigen di alveolus
(PAO2) dan tekanan oksigen di darah arteri (PaO 2) dan diformulasikan sebagai
berikut, A-a gradient = PAO2 – PaO2. A-a gradient menggambarkan integritas
membran kapiler alveolus dan efektivitas pertukaran gas sehingga ketika terjadi
kerusakan pada membran kapiler alveolus nilai A-a gradient akan melebar. Nilai
A-a gradient pada dewasa muda adalah < 10 mmHg dan akan meningkat dengan
pertambahan usia dikarenakan penurunan PaO2 akibat peningkatan
ketidaksesuaian V/Q.22,23

2.2.1.1 Ketidaksesuaian ventilasi perfusi

Nilai normal rasio ventilasi perfusi adalah 0,8, ketidaksesuaian V/Q merupakan
penyebab hipoksemia paling umum. Ventilasi, perfusi dan rasio V/Q tidak sama
pada seluruh paru. Variabel tekanan intra pleura subatmosfer dan gravitasi
menyebabkan heterogenitas regional rasio V/Q. Ventilasi dan perfusi lebih tinggi
pada bagian basal dan lebih rendah pada apeks paru sedangkan rasio V/Q lebih
rendah di basal dan tinggi di apeks karena penurunan perfusi lebih besar
dibandingkan penurunan ventilasi di bagian apeks paru. Hipoksemia hanya terjadi
pada rasio V/Q yang rendah karena terjadi penurunan PAO 2 dan kemudian diikuti
penurunan PaO2.22

Tubuh akan membatasi perfusi pada bagian paru yang mengalami penurunan
ventilasi melalui mekanisme hypoxic pulmonary vasoconstriction (HPV) yang
unik pada pembuluh darah paru sebagai mekanisme kompensasi yang penting saat
terjadi hipoksemia terutama pada hipoksemia kronik. Hipoksia akan menyebabkan
penutupan kanal kalium (K+) pada pembuluh darah paru yang akan menyebabkan
akumulasi ion K+ intraseluler dan depolarisasi sel. Depolarisasi menyebabkan
kanal kalsium (Ca2+) terbuka dan terjadi vasokonstriksi pembuluh darah paru yang
dimediasi Ca2+. Vasokonstriksi ini akan mengurangi perfusi ke bagian paru
dengan ventilasi yang menurun dan darah dialihkan ke bagian paru dengan

12
ventilasi yang baik. Tujuan utama mekanisme kompensasi ini adalah untuk
mempertahankan kesesuaian ventilasi dan perfusi.22

Rasio V/Q yang tinggi terjadi bila ventilasi meningkat melebihi proporsi terhadap
perfusi, sebagai contoh pada pasien dengan emboli paru yang dapat menghasilkan
efek seperti ruang rugi. Rasio V/Q yang tinggi memiliki efek yang minimal pada
oksigenasi darah namun tetap dapat menyebabkan hipoksemia bila tidak terjadi
kompensasi peningkatan ventilasi total. Peningkatan kompensasi ventilasi dapat
menyebabkan normalisasi rasio V/Q pada bagian paru dengan V/Q yang rendah.
Mekanisme ketidaksesuaian V/Q dapat dilihat pada gambar 2.3. Ketidaksesuaian
V/Q memiliki karakteristik yaitu A-a gradient yang melebar dan hipoksemia yang
dapat dikoreksi dengan terapi oksigen. Penyebab umum terjadi hipoksemia
melalui mekanisme ketidaksesuaian V/Q adalah seperti pada pasien asma, PPOK,
bronkiektasis, cystic fibrosis, intersitial lung disease (ILDs) dan hipertensi
pulmoner.22

Gambar 2.3 Mekanisme ketidaksesuaian V/Q


Dikutip dari (22)

2.2.1.2 Pirau

Pirau adalah suatu kondisi darah yang berasal dari bagian kanan jantung
memasuki bagian kiri tanpa mengalami pertukaran gas seperti yang terlihat pada
gambar 2.4. Secara normal terdapat pirau dengan fraksi kecil (2-3%)
karbonmonoksida (CO) yang muncul ketika darah pada vena bronkial dialirkan ke
vena pulmoner. Pirau merupakan suatu kondisi ekstrim dari ketidaksesuaian V/Q

13
karena tidak terdapat ventilasi. Respons yang buruk terhadap pemberian oksigen
terapi merupakan ciri yang membedakan pirau dari mekanisme penyebab
hipoksemia yang lain. Kegagalan meningkatkan PaO 2 dengan terapi oksigen
disebabkan oleh ketidakmampuan oksigen meningkatkan PAO 2 pada paru yang
tidak mengalami ventilasi.22

Gambar 2.4 Pirau


Dikutip dari (22)

Hiperkapnia jarang terjadi pada pirau dan baru akan terjadi bila fraksi pirau
mencapai 50%. Hiperkapnia tidak terjadi akibat stimulasi pusat pernapasan oleh
kemoreseptor karena tekanan karbondioksida pada darah arteri (PaCO 2) yang
meninggalkan daerah pirau tinggi. PaO2/ FiO2 merupakan perhitungan kasar dari
fraksi pirau, jika PaO2/ FiO2 <200 nilai fraksi pirau lebih dari 20% dan sebaliknya
jika PaO2/FiO2 >200 mengindikasikan fraksi pirau <20%. Karakteristik
hipoksemia akibat pirau antara lain A-a gradient melebar, respons yang buruk
terhadap pemberian oksigen dan nilai PaCO 2 normal. Penyebab terjadi pirau
antara lain pneumonia, edema paru, acute respiratory distress syndrome (ARDS),
kolaps alveolus dan hubungan arteri-vena pulmoner.22

2.2.1.3 Gangguan Difusi

Gangguan difusi terjadi bila transpor oksigen melewati membran kapiler


terganggu. Gangguan difusi dapat terjadi karena penurunan luas area permukaan
paru untuk difusi, inflamasi dan fibrosis membran alveolokapiler, oksigen
alveolus rendah dan waktu transit kapiler yang sangat pendek. Gangguan difusi

14
secara teori akan menyebabkan hipoksemia dan juga hiperkapnia karena oksigen
dan karbondioksida keduanya ditranspor melalui membran alveolokapiler, namun
hiperkapnia tidak umum terjadi karena karbondioksida (CO 2) 20 kali lebih mudah
larut didalam air dibanding oksigen. Alasan lain dapat dikarenakan stimulasi
ventilasi yang dimediasi hipoksemia akan menyingkirkan CO2.22

Salah satu karakteristik penting dari gangguan difusi adalah hipoksemia yang
terjadi akan semakin memberat selama latihan. Waktu transit kapiler pada saat
latihan akan menjadi lebih pendek karena peningkatan CO dan penurunan
konsentrasi oksigen terlarut dalam vena akibat meningkatnya penarikan oksigen
oleh jaringan. Karakteristik lain hipoksemia akibat gangguan difusi adalah
memberikan respons yang baik terhadap terapi oksigen, A-a gradient melebar dan
umumnya PaCO2 normal. Penyebab penting gangguan difusi antara lain adalah
emfisema dan ILDs.22

2.2.1.4 Hipoventilasi

Karakteristik hipoventilasi adalah konsentrasi PaCO 2 yang tinggi karena ventilasi


yang adekuat dibutuhkan untuk mengeluarkan CO 2. Ventilasi juga dibutuhkan
untuk oksigenasi dan hipoventilasi akan mengakibatkan PAO 2 menurun dan
diikuti penurunan PaO2. Karakteristik lain dari hipoventilasi adalah A-a gradient
yang normal karena pada keadaan ini membran alveolokapiler intak. Hipoventilasi
yang berlangsung lama dapat menyebabkan atelektaksis dari beberapa bagian paru
dan melebarkan A-a gradient. Hipoventilasi tidak mengakibatkan hipoksemia
yang signifikan pada paru yang sehat, namun apabila terdapat penyakit paru
hipoksemia dapat menjadi berat.22

Hipoksemia akibat hipoventilasi mudah dikoreksi dengan terapi oksigen.


Hipoksemia akan dapat dikoreksi dengan terapi oksigen bahkan ketika terjadi
hipoventilasi dan hiperkapnia. Karakteristik berikutnya dari hipoventilasi adalah
PaO2 dan PaCO2 bergerak ke arah yang berlawanan dengan tingkat yang sama.
Hipoventilasi dapat disingkirkan sebagai kemungkinan penyebab hipoksemia jika
keduanya tidak bergerak ke tingkat yang sama. Hipoventilasi terjadi karena
disfungsi dari pompa pernapasan pada berbagai tingkatan yaitu pusat pernapasan

15
di batang otak, spinal cord, persarafan otot pernapasan, neuromuscular junction,
otot pernapasan dan defek dinding dada.22 Penyebab hipoventilasi dijelaskan pada
tabel 2.4. Mekanisme dan perbedaan karakteristik hipoksemia dapat dilihat pada
gambar 2.5.

Tabel 2.4 Penyebab Hipoventilasi


Gangguan saraf pusat  Overdosis obat : Opioid, benzodiazepin,
alkohol
 Perdarahan atau infark pada batang otak
 Hipoventilasi alveolar primer
Tingkat spinal cord  Amyotrophic lateral sclerosis
 Cedera pada spinal cord servikal
Persarafan otot-otot pernapasan  Sindrom Guillain-Barre
Neuromuscular junction  Myasthenia gravis
 Sindrom Lambert-Eaton
Otot-otot pernapasan  Miopati
Defek pada dinding dada  Kyphoscoliosis
 Thoracoplasty
 Fibrotoraks
Dikutip dari (22)

Gambar 2.5 Mekanisme dan perbedaan karakteristik hipoksemia


Dikutip dari (22)

2.2.2 Dampak Hipoksemia

16
Tanda seperti sianosis, takikardi dan penurunan status mental menunjukkan
terjadinya hipoksemia, namun sebagian besar pasien diidentifikasi mengalami
hipoksemia pertama kali dengan hasil pemeriksaan saturasi oksigen yang rendah
menggunakan pulse oximetry. Hipoksemia ringan menyebabkan sedikit perubahan
fisiologis. Saturasi oksigen arteri tetap berkisar 90% ketika PaO 2 bernilai 60
mmHg pada pH normal. Abnormalitas yang terjadi hanya gangguan ringan status
mental, penurunan ketajaman penglihatan dan hiperventilasi ringan. Dampak
kerusakan akan terlihat pada beberapa sistem organ ketika PaO 2 turun secara cepat
dibawah 40-50 mmHg.23

Sistem saraf pusat adalah yang paling mudah terkena dampak dari hipoksemia
dengan gejala klinis sakit kepala dan penurunan kesadaran. Hipoksemia akut yang
berat dapat menyebabkan kejang, perdarahan retina dan kerusakan otak yang
permanen. Takikardi dan hipertensi ringan dapat ditemukan karena terjadi
pelepasan katekolamin, namun pada kasus hipoksemia berat pasien dapat
mengalami bradikardi dan hipotensi bahkan henti jantung. Fungsi ginjal dapat
terganggu sehingga akan terjadi retensi natrium dan proteinuria. Hipertensi
pulmoner juga dapat terjadi karena terdapat hubungan antara hipoksia alveolar
dengan vasokonstriksi pembuluh darah pulmoner akibat hipoksia.23

Hipoksemia dapat berbahaya karena dapat menyebabkan hipoksia jaringan.


Tekanan oksigen arteri hanyalah salah satu faktor yang berperan dalam
penghantaran oksigen ke jaringan, faktor lain yaitu kapasitas oksigen darah,
afinitas oksigen terhadap hemoglobin, cardiac output dan distribusi aliran darah.
Jaringan memiliki variasi yang luas dalam hal kerentanan terhadap hipoksemia.
Jaringan yang berisiko tinggi adalah sistem saraf pusat dan miokardium.
Penghentian aliran darah menuju korteks serebri mengakibatkan kehilangan
fungsi dalam 4-6 detik, kehilangan kesadaran terjadi dalam 10-20 detik dan
perubahan yang bersifat ireversibel terjadi dalam 3-5 menit.23

Oksidasi aerobik akan terhenti jika PO2 jaringan turun hingga dibawah level kritis
kemudian akan terjadi glikolisis anaerobik dan menghasilkan sejumlah besar asam
laktat. Kadar PO2 yang menyebabkan hal ini terjadi tidak diketahui secara pasti
dan kemungkinan bervariasi pada berbagai jaringan. Kadar kritis PO 2 intrasel pada

17
mitokondria adalah berkisar 1-3 mmHg. Glikolisis anaerobik merupakan metode
yang relatif tidak efisien dalam menghasilkan energi dari glukosa namun
memegang peran penting dalam mempertahankan kelangsungan hidup jaringan
pada kondisi gagal napas. Asam laktat dalam jumlah besar akan terbentuk dan
dilepaskan kedalam darah sehingga menyebabkan asidosis metabolik. Asam laktat
dapat dikonversi kembali menjadi glukosa atau digunakan untuk menghasilkan
energi ketika oksigenasi jaringan telah mengalami perbaikan.23

2.3 Hipoksemia pada Bronkoskopi

Hipoksemia menjadi salah satu komplikasi yang sering ditemukan selama


prosedur bronkoskopi fleksibel yang dapat dicegah dengan monitor ketat dan
pemberian oksigen menggunakan nasal kanul jika dibutuhkan.24 Rata-rata PaO2
turun hingga sekitar 20 mmHg selama bronkoskopi dengan rentang penurunan
berkisar 4-38 mmHg.25,26 Hipoksemia pada bronkoskopi didefinisikan sebagai
penurunan SpO2 lebih dari 4% dari nilai basal atau penurunan SpO 2 hingga kurang
dari 90% selama lebih dari 1 menit selama bronkoskopi.7,27

Hipoksemia merupakan salah satu komplikasi bronkoskopi yang penting untuk


diperhatikan, terjadi pada 2,5-69% dari seluruh kasus dan memerlukan pemberian
suplementasi oksigen segera.10 Pasien mengalami hipoksemia selama bronkoskopi
tanpa suplementasi oksigen sebanyak 35%, sedangkan dengan suplementasi
oksigen nasal 4 liter/menit, 3% pasien yang mendapatkan midazolam dan 30%
pasien mendapatkan propofol mengalami hipoksemia.24 Penelitian lain oleh Putra
dkk di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Rujukan Respirasi Nasional
Persahabatan Jakarta dari total 195 pasien tumor paru yang menjalani bronkoskopi
kejadian hipoksemia ditemukan pada 40 pasien (20,5%).8

2.3.1 Faktor Risiko Hipoksemia pada Bronkoskopi

Hipoksemia selama bronkoskopi meskipun umum ditemukan tetap harus menjadi


perhatian mengingat komplikasi lebih berat yang dapat muncul. Pemantauan SpO 2
pasien dengan menggunakan pulse oximetry selama bronkoskopi adalah metode
noninvasif yang akurat untuk menilai hipoksemia.27 Hipoksemia selama
bronkoskopi fleksibel umumnya disebabkan oleh obstruksi saluran napas atas,
tindakan BAL, tindakan suction, hipoventilasi, sedasi yang berlebihan, sedasi

18
yang tidak adekuat, suplementasi oksigen tidak adekuat, perdarahan,
bronkospasme, laringospasme dan pneumotoraks sekunder akibat tindakan TBLB
atau tindakan intervensi lainnya.28,29 Mekanisme terjadinya hipoksemia selama
bronkoskopi adalah ketidaksesuaian ventilasi perfusi (V/Q) dan hipoventilasi
sekunder akibat sedasi.30 Rasio V/Q yang rendah menyebabkan penurunan
konsentrasi oksigen alveolar dan diikuti penurunan konsentrasi oksigen arteri
sehingga terjadi hipoksemia.22

Penurunan signifikan SpO2 umumnya terlihat saat pasien mulai disedasi dan
semakin memburuk saat bronkoskop melewati pita suara. 27 Beberapa penelitian
mengenai faktor risiko hipoksemia selama bronkoskopi memperlihatkan hasil
yang beragam. Penelitian oleh Choi dkk pada 2520 pasien yang menjalani
bronkoskopi dengan sedasi didapatkan bahwa usia lebih tua, nilai VEP 1 yang
rendah, prosedur endobronchial ultrasound (EBUS), durasi sedasi dan dosis
midazolam yang digunakan berhubungan dengan kejadian hipoksemia selama
prosedur. Analisis multivariat menemukan usia > 60 tahun (odds ratio [OR],
1,32), nilai VEP1 yang rendah (OR 0,99) dan durasi sedasi lebih dari 40 menit
(OR 1,33) merupakan faktor risiko yang signifikan.7

2.3.1.1 Usia

Fungsi pernapasan pada usia tua mengalami beberapa perubahan seperti


penurunan compliance dinding dada dan peningkatan compliance paru.
Didapatkan juga penurunan elastic recoil paru sehingga akan menurunkan luas
penampang saluran napas kecil yang mengakibatkan hambatan aliran udara
ekspirasi. Otot pernapasan pada usia tua melemah sehingga membatasi
kemampuan lansia untuk merespons terhadap kebutuhan peningkatan ventilasi.
Selain itu pada usia tua terjadi pembesaran alveolus sehingga akan meningkatkan
volume residu dan penurunan kapasitas difusi. Hal ini akan berujung pada
ketidaksesuaian V/Q yang menyebabkan penurunan PaO 2 dengan A-a gradient
yang melebar. Tekanan oksigen arteri (PaO2) akan menurun sebesar 0,43 mmHg
pertahun setelah usia 70 tahun.22,25

Silvestri dkk mengevaluasi penggunaan fospropofol disodium untuk sedasi pada


pasien yang menjalani bronkoskopi fleksibel dan melaporkan bahwa hipoksemia

19
lebih sering terjadi pada pasien usia tua dibandingkan usia muda meskipun
perbedaan ini tidak signifikan secara statistik. 31 Shinagawa dkk menyatakan
terdapat hubungan antara usia dan kejadian hipoksemia selama bronkoskopi.
Desaturasi dengan nilai SpO2 < 90% selama 10 detik terjadi pada 55% pasien usia
diatas 80 tahun dan 27% pada usia yang lebih muda. 29 Penelitian yang dilakukan
oleh Vasko dkk memberikan hasil yang berbeda yaitu desaturasi sistemik selama
bronkoskopi tidak dipengaruhi oleh usia.10 Putra dkk dalam penelitiannya juga
menemukan bahwa usia tidak berhubungan dengan kejadian hipoksemia selama
bronkoskopi.8

2.3.1.2 Jenis Kelamin

Jenis kelamin mempengaruhi fungsi pernapasan melalui perbedaan struktur


anatomi pada laki-laki dan perempuan. Perbedaan struktur anatomi dari saluran
napas, paru, dinding dada dan diafragma pada laki-laki dan perempuan
mempengaruhi nilai kapasitas dan volume paru dengan nilai absolut VEP 1 dan
kapasitas vital paksa (KVP) pada perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. 32,33
Saluran napas mulai dari faring, laring dan trakea pada laki-laki memiliki luas
penampang absolut yang lebih besar dibandingkan perempuan namun bila
disesuaikan dengan ukuran paru luas penampang trakea tidak berbeda diantara
kedua jenis kelamin.32

Ukuran paru dipengaruhi oleh jenis kelamin sebagai manifestasi dari perbedaan
dalam pertumbuhan dan perkembangan organ paru sejak masa pranatal hingga
dewasa. Laki-laki memiliki ukuran paru yang lebih besar dibanding perempuan
yang dapat dilihat dengan menggunakan metode morfometrik standar, radiografi
toraks dan metode morfometrik geometri tiga dimensi menggunakan computed
tomography scan (CT scan). Meskipun demikian jumlah alveolus per satuan luas,
jumlah alveolus per satuan volume, dimensi satuan paru dan alveolus individual
tidak berbeda antara laki-laki dan perempuan. Elastisitas intrinsik parenkim paru
tidak berbeda diantara kedua jenis kelamin, sebaliknya tekanan recoil berbeda
karena perbedaan ukuran paru dan pengembangan maksimal.32

Perbedaan penting lainnya antara laki-laki dan perempuan adalah pada bentuk dan
volume rongga dada. Perempuan memiliki rongga dada yang secara proporsi lebih

20
kecil dibanding laki-laki khususnya diameter antero-posterior dan lateral, namun
rasio antara diameter antero-posterior dan lateral hampir sama antara kedua jenis
kelamin. Secara umum seluruh dimensi dinding dada laki-laki lebih besar
dibanding perempuan namun volume rongga toraks dan abdomen laki-laki yang
lebih tinggi hanya didapatkan pada nilai absolut sedangkan untuk persentase dari
total volume dada memiliki nilai yang hampir sama dengan perempuan.32

Penelitian oleh Putra dkk terhadap 129 laki-laki dan 66 perempuan yang
menjalani prosedur bronkoskopi diagnostik pada kasus tumor paru didapatkan
kejadian hipoksemia lebih sering terjadi pada perempuan yaitu 28,8% (p=0,041). 8
Penelitian oleh Vasko dkk pada 92 pasien yang menjalani prosedur bronkoskopi
didapatkan hasil desaturasi dengan SpO2 di bawah 90% lebih banyak ditemukan
pada laki-laki (22,2%) dengan risiko terjadi hipoksemia 9,3 kali lebih besar
dibandingkan perempuan.10 Kedua hasil ini tidak sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Choi dkk terhadap 2520 pasien yang menjalani prosedur
bronkoskopi yaitu tidak terdapat hubungan yang bermakna antara faktor jenis
kelamin terhadap kejadian hipoksemia selama prosedur bronkoskopi.7

2.3.1.3 Indeks Massa Tubuh (IMT)

Obesitas mempengaruhi sistem pernapasan melalui beberapa mekanisme termasuk


diantaranya perubahan mekanis langsung akibat deposisi lemak pada dinding
dada, abdomen dan saluran napas atas serta inflamasi sistemik. Hal ini akan
meningkatkan usaha untuk bernapas dan karenanya meningkatkan rangsangan
saraf pernapasan, menyebabkan gangguan pernapasan saat tidur dan akhirnya
gagal napas hiperkapnik. Pada pernapasan yang normal terjadi kontraksi
diafragma yang menekan isi abdomen kebawah dan kearah depan, secara
bersamaan kontraksi dari otot interkostal eksterna akan menarik iga ke atas dan
kearah depan. Mekanisme ini terganggu pada individu dengan obesitas karena
peningkatan lemak di bagian dada dan perut akan membatasi kerja otot
pernapasan.34

Penilaian volume paru statis pada individu dengan obesitas menunjukkan


penurunan volume ekspirasi cadangan (VEC), kapasitas residu fungsional (KRF)
dan kapasitas paru total (KPT). Penurunan VEC dan KRF akan terlihat bahkan

21
pada peningkatan berat badan yang minimal, hal ini terjadi karena pergeseran
keseimbangan antara tekanan pada saat pengembangan dan pengempisan paru
akibat penumpukan jaringan lemak di sekitar rongga dada dan abdomen. Fungsi
saluran napas yang diukur menggunakan spirometri hanya sedikit dipengaruhi
oleh obesitas kecuali pada individu obesitas yang sakit. Fungsi paru pada individu
obesitas yang sakit memperlihatkan penurunan kapasitas vital paksa (KVP) dan
VEP1 yang menunjukkan kelainan paru restriksi.34

Kebanyakan dari individu dengan obesitas memiliki nilai PaO 2 dalam rentang
normal, namun pada individu obesitas yang sakit terjadi sedikit pelebaran A-a
gradient karena terdapat daerah atelektasis dan gangguan distribusi ventilasi yang
menyebabkan ketidaksesuaian V/Q. Bagian bawah paru pada individu ini
cenderung tidak mengalami ventilasi dan perfusi dengan baik, kemungkinan
karena penutupan saluran napas kecil, sehingga bagian atas paru mengalami
peningkatan ventilasi.34 Penelitian oleh Salahuddin dkk pada populasi obesitas
yang dilakukan prosedur bronkoskopi didapatkan komplikasi mayor sebesar 0,6%
dan minor 41,2%. Komplikasi mayor yang terjadi adalah hipoksemia berat yang
membutuhkan BiPAP dan high-flow nasal cannula. Komplikasi minor terjadi
pada 142 pasien dan 79 diantaranya merupakan komplikasi pernapasan yaitu 46
(13,3%) hipoksemia dan 38 (11%) hiperkapnia.35

2.3.1.4 Kebiasaan Merokok

Inhalasi asap rokok mengakibatkan perubahan akut pada sistem pernapasan


termasuk diantaranya perubahan resistensi aliran udara, batuk dan iritasi saluran
napas.36 Dua mekanisme utama dari perubahan saluran napas akibat asap rokok
yaitu melalui induksi inflamasi dan efek mutagenik atau karsinogenik. Reaksi
inflamasi terdiri dari ciliotoxicity, peningkatan sekresi mukus dan akumulasi sel
inflamasi yang teraktivasi pada saluran napas. Beberapa zat yang terkandung
dalam rokok bersifat iritan dan yang lainnya memiliki efek toksik pada epitel
saluran napas sehingga dapat mengakibatkan kerusakan atau kematian sel. Fungsi
normal pembersihan saluran napas oleh sel epitel juga mengalami kerusakan
akibat efek ciliotoxic dari bahan-bahan tersebut. Hiperplasia sel goblet,

22
peningkatan produksi mukus bersamaan dengan penurunan fungsi pembersihan
mengakibatkan retensi mukus di saluran napas.37

Penelitian memperlihatkan efek merokok terhadap fungsi paru diantaranya yaitu


penurunan KVP, VEP1, VEP1/KVP dan arus ekspirasi paksa pada 25-75% (AEP25-
). Merokok menyebabkan penurunan pada VEP 1/KVP dan AEP25-75% yang
75%

mengindikasikan terjadinya obstruksi saluran napas dan penyakit saluran napas


kecil pada dewasa perokok.37,38 Penurunan fungsi paru pada perokok akan
meningkatkan risiko terjadi hipoksemia pada pasien dengan riwayat merokok
yang menjalani prosedur bronkoskopi. Putra dkk pada penelitiannya menunjukkan
hasil yang bermakna secara statistik (p=0,005) untuk hubungan riwayat merokok
dengan kejadian hipoksemia pada prosedur bronkoskopi.8 Sejalan dengan hal
tersebut, penelitian Vasko dkk memberikan kesimpulan risiko hipoksemia selama
prosedur bronkoskopi enam kali lebih tinggi pada pasien perokok dibandingkan
pasien yang bukan perokok.10

2.3.1.5 Faal Paru

Nilai VEP1 menjadi salah satu faktor yang dapat memprediksi terjadinya
hipoksemia selama bronkoskopi. Selain hasil penelitian oleh Choi dkk, penelitian
oleh Vasko dkk juga menemukan bahwa nilai VEP 1 yang rendah merupakan
faktor penentu terjadinya desaturasi yang signifikan. Peningkatan nilai VEP 1
setiap 100 mililiter akan menurunkan 50% risiko desaturasi sistemik selama
bronkoskopi sedangkan KVP tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap
desaturasi sistemik.10 Shinagawa dkk dalam penelitiannya menemukan pasien
dengan VEP1 ≤ 1 liter memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami desaturasi
selama bronkoskopi dibanding pasien dengan VEP1 > 1 liter.29

Nilai VEP1 pada orang sehat yang menjalani bronkoskopi turun hingga 9-17%
sedangkan pada pasien asma nilai VEP1 turun hingga 10-26% sebagai akibat
bronkus yang hipereaktif.27 Refleks bronkokonstriksi akibat stimulasi mekanik
reseptor subepitel oleh bronkoskop, stimulasi oleh dosis besar obat anestesi lokal,
obstruksi saluran napas sebagian oleh bronkoskop, tindakan suction serta larutan
anestesi lokal dan cairan bilasan didalam alveoli merupakan faktor yang
menyebabkan ketidaksesuaian V/Q. Penurunan nilai VEP 1 menandakan hambatan

23
aliran udara sehingga tindakan bronkoskopi pada pasien dengan nilai VEP 1 yang
rendah dapat meningkatkan risiko terjadi ketidaksesuaian V/Q yang menyebabkan
hipoksemia.24,28,39

Penelitian untuk menilai hubungan nilai arus puncak ekspirasi (APE) sebelum
prosedur bronkoskopi dengan kejadian desaturasi selama prosedur dilakukan oleh
Attaran dkk pada 66 pasien. Hipoksemia terjadi pada 39 pasien (59%), 25
diantaranya bersifat sementara dan sisanya persisten atau berakhir lebih dari 20
detik. Hipoksemia persisten paling banyak terjadi pada pasien dengan nilai APE
sebelum prosedur ≤ 59% prediksi. Penelitian ini menyimpulkan semakin rendah
nilai %APE semakin tinggi risiko terjadi persisten hipoksemia selama prosedur
bronkoskopi (p=0,008), bahkan risiko hipoksemia lebih tinggi lagi bila pasien
hanya dibagi kedalam dua kelompok %APE yaitu diatas dan dibawah 45%.40

2.3.1.6 Penyakit/ Kelainan Paru

Penyakit paru dapat menjadi faktor risiko terjadi hipoksemia dalam bronkoskopi
dengan mekanisme yang mendasarinya adalah ketidaksesuaian V/Q. Prosedur
bronkoskopi saat ini sering diindikasikan pada pasien dengan kanker paru sebagai
salah satu modalitas untuk menegakkan diagnosis histopatologi. Penelitian oleh
Putra dkk pada 195 pasien tumor paru yang menjalani prosedur bronkoskopi
diagnostik didapatkan 40 pasien (20,5%) mengalami hipoksemia. 9 Efusi pleura
merupakan kondisi yang sering ditemukan pada pasien keganasan paru.
Shinagawa dkk menemukan 79 dari 328 pasien (24%) dengan efusi pleura yang
menjalani bronkoskopi mengalami desaturasi selama tindakan.29

Penelitian case-control mengenai bronkoskopi fleksibel dengan sedasi pada


pasien PPOK oleh Grendelmeier dkk menemukan bahwa angka kejadian
hipoksemia tidak berbeda antara pasien PPOK dengan bukan PPOK namun risiko
hipoksemia meningkat pada pasien PPOK derajat berat dan sangat berat (GOLD
III dan IV).41 Checani dkk melakukan penelitian pada 26 pasien PPOK dengan
hiperkarbia yang menjalani bronkoskopi dan didapatkan 62% mengalami
bronkospasme serta pada 26% pasien terjadi desaturasi oksigen.42 Penelitian oleh
Choi dkk menunjukkan 25% pasien PPOK yang menjalani bronkoskopi
mengalami desaturasi.7

24
Pasien dengan fibrosis paru seringkali dilakukan bronkoskopi karena tingginya
insidens kanker paru pada pasien dengan fibrosis paru idiopatik. Fibrosis paru
sebelumnya tidak pernah disebutkan menjadi faktor risiko tinggi untuk terjadi
desaturasi selama bronkoskopi, kemungkinan karena sulitnya mendiagnosis
kelainan ini. Penelitian oleh Shinagawa dkk pada pasien yang didiagnosis fibrosis
paru dari temuan CT-scan toraks didapatkan 3 dari 4 pasien fibrosis paru yang
menjalani bronkoskopi mengalami episode desaturasi selama tindakan dengan
nilai OR 2,76 (p=0,039).29

2.3.1.7 Posisi

Bronkoskopi dapat dilakukan dalam berbagai posisi pasien namun yang umum
dilakukan adalah dengan posisi supine, semi-recumbent (setengah telentang) dan
duduk. Secara fisiologis pada posisi supine akan terjadi penurunan PaO2 sebesar
2-15 mmHg sebagai akibat dari mekanisme ketidaksesuaian V/Q terutama di
daerah dorsal karena penurunan luas lapang ventilasi di daerah dorsal yang
mengikuti gravitasi pada posisi tidur. Volume paru juga mengecil pada posisi
tidur karena tekanan intraabdominal dan otot diafragma. Meghjee dkk melakukan
penelitian untuk membandingkan desaturasi yang terjadi pada pasien yang
dilakukan bronkoskopi dalam posisi supine dengan posisi semi-recumbent dan
didapatkan hasil saturasi oksigen pada pasien dengan posisi supine sedikit lebih
rendah dibandingkan pasien dengan posisi semi-recumbent, walaupun hasil
tersebut tidak bermakna secara statistik.39

Hasil yang berbeda didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Zwan dkk
yaitu hipoksemia lebih sering terjadi pada posisi duduk dengan nilai RR 2.46
walaupun peneliti tidak dapat menjelaskan bagaimana perbedaan ini bisa terjadi. 43
Penelitian oleh Putra dkk di RSUP persahabatan didapatkan hipoksemia juga lebih
cenderung terjadi pada pasien yang dilakukan bronkoskopi dengan posisi duduk,
namun menurut peneliti hal ini terjadi karena pasien yang dilakukan bronkoskopi
dengan posisi duduk ini adalah pasien kanker paru dengan keluhan sesak napas
dan keadaan umum yang lebih berat sehingga tidak memungkinkan pasien untuk
posisi supine.8

2.3.1.8 Jenis dan Durasi Tindakan

25
Bronkoskopi kaku maupun fleksibel memiliki risiko hipoksemia selama tindakan,
insersi bronkoskop fleksibel kedalam trakea mengakibatkan pengurangan 10-15%
luas penampang trakea sehingga meningkatkan hambatan aliran udara.
Bronkoskopi yang dilakukan melalui pipa endotrakeal mengurangi 66% luas
penampang pipa sehingga idealnya ukuran pipa endotrakeal 2 mm lebih besar dari
ukuran scope.39 Bronkoskop kaku dengan diameter yang lebih besar dan memiliki
celah terbuka di sepanjang batang distal untuk memberikan tambahan ventilasi
menjadikan bronkoskopi kaku memiliki keunggulan dalam kontrol jalan napas. 3,6
Bronkoskopi kaku dengan anestesi umum memberikan pilihan bagi dokter
anestesi dalam manajemen saluran napas seperti oksigenasi apneic, ventilasi
spontan, ventilasi mekanik terkontrol, frekuensi tinggi dan ventilasi jet manual.44

Hipoksemia dalam bronkoskopi juga dipengaruhi oleh jenis prosedur tambahan


yang dilakukan baik dengan tujuan diagnostik maupun terapeutik. Tindakan
suction selama bronkoskopi menyebabkan penurunan volume tidal dan kapasitas
residu fungsional sehingga dapat meningkatkan risiko hipoksemia. Perdarahan
yang banyak setelah tindakan TBLB juga dapat menyebabkan ketidaksesuaian
V/Q sehingga terjadi hipoksemia.24,45 Bronkoskopi yang diikuti dengan tindakan
BAL meningkatkan risiko terjadinya hipoksemia terutama jika jumlah cairan
bilasan yang digunakan cukup banyak.2,30,46 Penelitian oleh Choi dkk menunjukkan
desaturasi terjadi pada 216 dari 821 pasien (26,3%) yang menjalani prosedur
EBUS-TBNA.7

2.3.1.9 Jenis dan Durasi Sedasi

Bronkoskopi kaku maupun fleksibel dapat dilakukan dengan anestesi umum


ataupun lokal meskipun lebih sering dilakukan dengan anestesi umum untuk
alasan kenyamanan pasien dan keamanan prosedur. Penelitian oleh Putra dkk
menunjukkan hipoksemia lebih banyak terjadi pada pasien yang menjalani
bronkoskopi dengan anestesi lokal dan sedasi sadar yaitu 21,4%. Efek
bronkokonstriksi dari lidokain disertai efek depresi napas dari midazolam, fentanil
dan propofol didukung patensi jalan napas yang tidak adekuat menyebabkan
hipoksemia lebih sering terjadi pada pasien yang menjalani bronkoskopi dengan
anestesi lokal dan sedasi sadar.8

26
Penelitian yang dilakukan oleh Choi dkk pada 2520 pasien dewasa yang
menjalani prosedur bronkoskopi dengan sedasi mengalami hipoksemia sebanyak
565 pasien (22,4%) dan durasi sedasi lebih dari 40 menit menjadi faktor risiko
terjadi hipoksemia dengan OR 1,33.7 Kombinasi benzodiazepin dan narkotik
seperti midazolam dan fentanil sering digunakan dalam bronkoskopi fleksibel.
Sedasi dengan menggunakan opioid, benzodiazepin dan hipnotik dapat menekan
pusat pernapasan sehingga menyebabkan hipoventilasi sekunder yang dapat
diterapi dengan pemberian flumazenil atau naloxone.28,39

2.3.2 Penatalaksanaan Hipoksemia pada Bronkoskopi

Mayoritas desaturasi yang terjadi selama bronkoskopi bersifat sementara dan tidak
membutuhkan intervensi. Ketidaksesuaian V/Q memiliki karakteristik A-a
gradient yang melebar sedangkan pada hipoventilasi A-a gradient biasanya
normal. Hipoksemia yang terjadi melalui kedua mekanisme ini dapat merespon
baik dengan terapi oksigen. Suplementasi oksigen selama bronkoskopi fleksibel
direkomendasikan untuk mencapai saturasi oksigen arteri paling rendah 90%
untuk menurunkan risiko aritmia jantung selama bronkoskopi dan juga selama
masa pemulihan. Komplikasi aritmia jantung yang muncul pada prosedur
bronkoskopi sebagian besar terkait dengan hipoksemia dengan PaO2 < 60
mmHg.25,28,30 Proporsi pasien yang membutuhkan suplementasi oksigen selama
bronkoskopi bervariasi antara 5-32% dan bergantung pada VEP1 atau APE.27

Chhajed dkk mengembangkan langkah penatalaksanaan hipoksemia selama


bronkoskopi yang dikenal dengan The St Vincent’s stepwise approach. Parameter
vital pasien seperti SpO2, elektrokardiogram dan tekanan darah harus tetap diawasi
oleh asisten operator terlatih selama prosedur berlangsung. Seluruh pasien
diberikan suplementasi oksigen dengan nasal kanul 4 liter/menit untuk
bronkoskopi fleksibel via oral dan jika terjadi desaturasi yang pertama kali
dilakukan adalah meningkatkan suplementasi oksigen menjadi 6 liter/menit dan
mengangkat rahang.28

Saturasi oksigen yang turun hingga ≤ 90% dengan nasal kanul 6 liter/menit
ditatalaksana dengan suplementasi oksigen dengan insersi pipa nasofaringeal dan
bronkoskop ditarik hingga ke trakea. Nilai SpO2 yang masih tetap dibawah 90%

27
diberikan oksigen tambahan menggunakan kateter oksigen 7 french melalui
hidung yang ditempatkan tepat diatas laring atau pada trakea proksimal.
Bronkoskop harus ditarik keluar jika SpO2 tetap dibawah 90% dan diberikan
antidotum sedasi serta dilakukan ventilasi bag and mask hingga ventilasi spontan
yang diinginkan tercapai.28

Hipoksemia dapat berakhir dalam beberapa waktu setelah bronkoskopi fleksibel


selesai dilakukan dan pemberian suplementasi oksigen harus tetap diberikan di
ruang pemulihan, pada 30% pasien saturasi oksigen dapat tetap lebih rendah
dibandingkan nilai sebelum prosedur selama 3 jam setelah bronkoskopi.
Hipoksemia sebelum bronkoskopi fleksibel yang terjadi pada beberapa pasien
menyebabkan pasien membutuhkan suplementasi oksigen dengan arus yang lebih
tinggi setelah prosedur bahkan mungkin membutuhkan sungkup non-rebreathing.
The American Thoracic Society merekomendasikan untuk menghindari
bronkoskopi fleksibel dan BAL pada pasien dengan hipoksemia yang tidak dapat
dikoreksi hingga nilai minimal PaO2 75 mmHg atau SaO2 > 90% dengan
suplementasi oksigen. 17,28,45

2.3.3 Prognosis

Hipoksemia sering terjadi selama bronkoskopi tetapi bersifat sementara dan


menjadi signifikan bila terjadi lebih dari 1 menit. Risiko terjadi komplikasi terkait
hipoksemia berhubungan dengan nilai SaO2 basal dan fungsi paru, komorbid,
sedasi serta prosedur sampling. Hipoksemia yang terjadi selama bronkoskopi
umumnya dikaitkan dengan peningkatan beban kerja jantung yaitu peningkatan
denyut jantung sekitar 40% diatas nilai basal, peningkatan tekanan darah 30% dari
nilai basal dan cardiac index sekitar 17-32% dari nilai basal. Aritmia ventrikel
yang sering ditemukan adalah kontraksi prematur, bigemini dan trigemini yang
umumnya muncul pada saat bronkoskop melewati pita suara dan berhubungan
dengan saturasi oksigen yang rendah.27

Otak merupakan organ yang paling sensitif terhadap hipoksemia terutama selama
episode desaturasi. Vasko dkk melakukan penelitian yang menilai saturasi
sistemik dan serebral selama prosedur bronkoskopi diagnostik. Penelitian ini tidak
mendapatkan penurunan saturasi pada jaringan serebral selama bronkoskopi

28
meskipun terdapat penurunan saturasi sistemik. Hal ini diperkirakan terjadi karena
desaturasi sistemik jangka pendek dinetralkan oleh regulasi laju metabolisme
jaringan otak sehingga mempertahankan oksigenasi jaringan otak selama terjadi
penurunan saturasi sistemik jangka pendek. Hipoksemia yang terjadi pada
bronkoskopi adalah melalui mekanisme ketidaksesuaian V/Q dan hipoventilasi
sehingga dapat merespons baik dengan suplementasi oksigen dan mencegah
komplikasi yang lebih lanjut.10,22

29
2.4 Kerangka Teori

Usia Asap Rokok Jenis Kelamin

Inflamasi (TNF-α, IL-6, CRP, Fibrinogen)


Accelerating Ageing

PPOK

Hipoksia
Kerusakan vascular bed
Hiperkapnia
arteri pulmonalis
Hiperinflasi

Kekakuan pembuluh Penurunan


darah fungsi paru

Hipertensi pulmoner

Dilatasi ventrikel
kanan

Menurunkan kontraksi
ventrikel kanan

Gangguan ventrikel kanan

30
2.5 Kerangka Konsep

Derajat keparahan Usia Jenis kelamin


merokok

PPOK

GOLD I GOLD II GOLD III GOLD IV

Usia
Jenis kelamin
Riwayat merokok Inflamasi sistemik,
Riwayat eksaserbasi Stres oksidatif,
Jumlah eksaserbasi Penurunan fungsi paru,
Riwayat hipertensi Penggunaan obat bronkodilator dan
Riwayat diabetes kortikosteroid inhalasi
mellitus

Perubahan dimensi, fungsi dan


tekanan jantung

Hipertensi Pulmonal

31
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan menggunakan
desain penelitian potong lintang (cross sectional).

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad Provinsi
Riau. Penelitian dimulai pada bulan November tahun 2022 hingga target jumlah
sampel terpenuhi.

3.3 Populasi, Sampel, Kriteria Inklusi dan Besar Sampel Penelitian


3.3.1 Populasi
Populasi terjangkau adalah pasien PPOK stabil derajat ringan sampai berat sesuai
dengan kriteria PPOK stabil derajat ringan sampai berat menurut GOLD 2022
yang datang ke RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau.

3.3.2 Cara pemilihan Sampel

Pengambilan sampel diambil dengan cara consecutive sampling yaitu setiap


pasien yang memenuhi kriteria penelitian dan bersedia ikut dalam penelitian
dimasukan sebagai sampel penelitian sampai jumlah sampel terpenuhi.

3.3.3 Pengambilan Sampel

Pasien setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis dan spirometri ditetapkan


diagnosis PPOK derajat ringan sampai berat selanjutnya diseleksi untuk mencari
sampel yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan. Pasien kemudian
diminta kesediaannya untuk menjadi subjek penelitian dengan terlebih dahulu
diberikan penjelasan tentang tujuan dan manfaat penelitian serta cara pemeriksaan
yang akan dilakukan. Pasien yang bersedia menjadi subjek penelitian diminta
untuk mengisi dan menandatangani lembar persetujuan informed consent.

32
3.3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.3.4.1 Kriteria Inklusi
1. Pasien PPOK stabil derajat ringan sampai berat, baik laki-laki maupun
perempuan yang datang ke RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau.

2. Bersedia dengan sukarela mengikuti seluruh program penelitian dengan


memberi persetujuan tertulis dan menandatangani formulir informed consent.

3.3.4.2 Kriteria Eksklusi


1. Pasien dengan poor echocardigraphy window pada pemeriksaan.

2. Pasien dengan kondisi sindrom koroner akut.

3. Pasien yang pernah didiagnosis stenosis mitral sedang sampai berat.

4. Semua penyakit paru selain PPOK yang dibuktikan dengan foto toraks (tidak
ada kelainan pada parenkim paru dan pleura).

3.3.5 Besar sampel


Perhitungan besar sampel pada penelitian potong lintang dengan jumlah populasi
tidak diketahui menggunakan rumus Lemeshow (1997) sebagai berikut :

n = Zα2 x P x (1-P)
d2
n = (1,96)2 x 0,69 x 0,31
0,01
= 3,8416 x 0,2139
0,01
= 0,8217 = 82,17
0,01

Keterangan:
n = Besar sampel
Zα = Nilai standar dari distribusi sesuai nilai α= 0,05 atau 5% yaitu 1,96
P = Prevalensi variabel dari penelitian sebelumnya 69% = 0,69

33
d = Presisi absolut yaitu 10%

Besar sampel penelitian ini adalah sebanyak 82,17 dibulatkan menjadi 83 sampel.
Peneliti mengantisipasi adanya kejadian drop out dengan cara menambahkan
jumlah sampel sebanyak 10% dari jumlah sampel minimal yang dibutuhkan,
sehingga penelitian ini akan melibatkan 83 + 8,3 sampel menjadi 92 sampel.

3.4 Cara Kerja

Pasien PPOK yang memenuhi kriteria inklusi dan bersedia mengikuti penelitian
akan dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, pengukuran tekanan darah,
spirometri, foto toraks, elektokardiogafi dan ekokardiografi.

3.5 Analisis Data

Analisis data pada penelitian ini menggunakan chi square karena variabel-variabel
yang dibandingkan berupa skala kategorikal. Beberapa data yang akan
ditampilkan pada penelitian ini adalah:

1. Data numerik setiap variabel dihitung rata-rata dan standar deviasi (simpang
baku).

∑x
Nilai rerata (x) =
N

2 [ ∑ x2]
∑x −
Standar deviasi (SD) = n
n−1
2. Data kategorik atau tidak terdistribusi normal menggunakan median dan nilai
maksimum dan minimum.

3. Data bivariat diuji dengan chi square dan apabila tidak memnuhi syarat
dilakukan uji Fisher. Analisis dilanjutkan dengan uji regresi logistik biner
untuk hasil uji bivariat yang memenuhi persyaratan multivariat yaitu p<0,25.

3.4 Identifikasi Variabel


Variabel yang akan dinilai dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel bebas (independen/ faktor risiko)

34
Variabel bebas pada penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, IMT, komorbid,
kebiasaan merokok, skor ASA, faal Paru, nilai PaO2, diagnosis penyakit paru,
jenis alat suplementasi oksigen, jenis prosedur diagnostik tambahan, jenis obat
sedasi, durasi prosedur dan sedasi.
2. Variabel terikat (dependen/ efek)
Variabel terikat pada penelitian ini adalah hipoksemia yang terjadi selama
prosedur bronkoskopi berlangsung.

35
3.5 Definisi Operasional (belum ada dimasukkan)
Definisi operasional dari setiap variabel pada penelitian ini dijabarkan pada tabel berikut:
Tabel 3 .1 Definisi Operasional

36
No Variabel Definisi Operasional Cara dan Skala Ukur Hasil ukur
Alat ukur
1 Usia Jumlah tahun yang dilewati Rekam medis Numerik Tahun
subjek sejak dilahirkan hingga
saat penelitian dilaksanakan

2 Jenis Karakteristik biologis terkait Rekam medis Nominal Laki-laki


Kelamin dengan sifat gender yang subjek Perempuan
bawa sejak lahir

3 Indeks Ukuran yang digunakan untuk Menggunakan Numerik Kg/m2


Massa mengetahui status gizi rumus BB/TB2
Tubuh seseorang yang didapatkan dari
(IMT) perbandingan berat dan tinggi
badan

4 Kebiasaan Perilaku yang berkaitan dengan Indeks Numerik


merokok konsumsi rokok Brinkman

5 Komorbid Penyakit atau kelainan penyerta Rekam Medis Nominal PPOK


yang telah didiagnosis sebelum ASMA
prosedur bronkoskopi yang Efusi pleura
bukan menjadi indikasi Atelektasis
dilakukan prosedur bronkoskopi

6 PaO2 Nilai tekanan oksigen dalam Analisis Gas Numerik mmHg


darah arteri Darah yang
dilakukan

dalam rentang
24 jam
sebelum
prosedur

7 ASA skor Penilaian subjektif status Catatan Ordinal ASA I : orang sehat
kesehatan pasien sebelum preoperasi ASA II : orang dengan penyakit sistemik ringan
tindakan operasi dokter anestesi ASA III : orang dengan penyakit sistemik berat
ASA IV : orang dengan penyakit sistemik berat dan
mengancam jiwa
ASA V : orang hampir meninggal yang tidak ada harapan
hidup tanpa operasi
ASA VI : status mati batang otak yang organnya diambil
melalui operasi dengan tujuan donor organ

8 Faal Paru Fungsi paru atau kemampuan Spirometri Nominal Normal


paru dalam melakukan proses yang  KV dan KVP > 80% prediksi
respirasi yang dinilai dengan dilakukan  VEP1 > 80% prediksi 37
parameter antara lain : dalam rentang  VEP1/KVP > 75% prediksi
 Kapasitas vital (KV) : waktu 24 jam Obstruksi
jumlah udara yang dapat sebelum  VEP1 <80% prediksi
diekspirasi maksimal prosedur  VEP1/KVP < 75% prediksi
3.6 Alur Penelitian

Pasien PPOK yang berkunjung ke RSUD Arifin


Achmad Provinsi Riau

 Anamnesis Bukan pasien


Pasien PPOK
stabil  Pemeriksaan fisis PPOK stabil
 Spirometri
 Foto toraks

Kriteria eksklusi
Pemeriksaan jantung

Pengukuran tekanan darah, foto toraks,


eletrokardiografi dan ekokardiografi.

Kriteria eksklusi
Hipertensi pulmonal

3.9 Kerahasiaan Subjek Penelitian


Semua data yang diperoleh pada penelitian ini akan dijaga kerahasiaannya.

3.10 Pelaporan Data


Data disusun dalam bentuk laporan penelitian yang dipresentasikan dihadapan staf
KJF/KSM Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran
Universitas Riau.

3.11 Organisasi Penelitian

Peneliti Utama : dr. Alven Edra

Peneliti merupakan peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS)


Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Riau –
RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau.

38
Pembimbing Materi I : dr. Adrianison, Sp.P(K)

Pembimbing Materi II : dr. Dyah Siswanti Estiningsih, Sp.JP, FIHA

3.12 Etika Penelitian

Sebelum dilakukan pengumpulan data terhadap sampel penelitian, peneliti


mengajukan ethical clearance terlebih dahulu kepada Komisi Etik Penelitian
Kesehatan (KEPK) Fakultas Kedokteran Universitas Riau.

DAFTAR PUSTAKA

1. Giugliano CC, Cerpa FA, Keymar JE, Perez RA, Romero CP, Budini HR, et
al. Clinical and Breathing Behavior in Subjects Undergoing Bronchoscopy
Supported with Noninvasive Mechanical Ventilation. J Respir Med 2. 2018;
2:106.
2. Dammad T, Jalil BA. Interventions in Pulmonary Medicine: Flexible
Bronchoscopy. Second edition. Switzerland. Springer International
Publishing; 2018: p.15-29.
3. Beamis JF, Mathur PN, Mehta AC. Interventional Pulmonary Medicine. New
York. Marcel Decker Inc; 2004: p.1-47.
4. Sung H, Ferlay J, Siegel RL, Laversanne M, Soerjomataram I, Jemal A, et al.
Global Cancer Statistics 2020: GLOBOCAN Estimates of Incidence and

39
Mortality Worldwide for 36 Cancers in 185 Countries. Ca Cancer J Clin.
2021; 71: 209-249.
5. Rivera MP, Mehta AC, Wahidi MM. Establishing the Diagnosis of Lung
Cancer. Chest. 2013; 143(5): 143-65.
6. Diaz-Jimenez JP, Rodriguez AN. Interventions in Pulmonary Medicine: Rigid
Bronchoscopy. Second edition. Switzerland. Springer International
Publishing; 2018: p.47-65.
7. Choi JS, Lee EH, Lee SH, Leem AY, Chung KS, Kim SY, et al. Risk Factors
for Predicting Hypoxia in Adult Patients Undergoing Bronchoscopy under
Sedation. Tuberc Respir Dis. 2020; 83:276-82.
8. Putra AP, Rasmin M, Aniwidyaningsih W. Kejadian Hipoksemia dan Faktor
yang Berpengaruh Pada Tindakan Bronkoskopi Diagnostik Kasus Tumor
Paru. J Respir Indo. 2020; 40(2): 66-74.
9. Ninan N, Wahidi MM. Basic Bronchoscopy: Techology, Techniques and
Profesional Fees. Chest. 2019; 155(5): 1067-74.
10. Vasko A, Kovacs S, Fulesdi B, Molnar C. Assesment of Systemic and
Cerebral Oxygen Saturation during Diagnostic Bronchoscopy: A Prospective,
Randomized Study. Emerg Med Int. 2020; 2020: 1-6.
11. Tandon AK. Rigid Bronchoscopy: a General Overview. Shanghai Chest.
2020; 4:15.
12. Batra H, Yarmus L. Indications and Complications of Rigid Bronchoscopy.
Expt Rev Respi Med. 2018; 12(6): 509-20.
13. Chaddha U, Murgu S. Complication of Rigid Bronchoscopy. Respirology.
2021; 26: 14–8.
14. Drummond M, Magalhaes A, Hespanhol V, Marques A. Rigid
Bronchoscopy: Complications in a university hospital. J Bronchol. 2003; 10:
177-81.
15. Casal RF, Ost DE, Eapen GA. Flexible Bronchoscopy. Clin Chest Med. 2013;
34: 341-52.
16. Miller RJ, Casal RF, Lazarus DR, Ost DE, Eapen GA. Flexible
Bronchoscopy. Clin Chest Med. 2018; 38: 1-16.
17. Ahn JH. An Update on the Role of Bronchoscopy in the Diagnosis of
Pulmonary Disease. Yeungnam Univ J Med. 2020; 37(4): 253-61.
18. Panchabhai TS, Mehta AC. Historical Perspective of Bronchoscopy. Ann Am
Thorac Soc. 2015; 12(5): 631–41.
19. Pue CA, Pacht ER. Complications of Fiberoptic Bronchoscopy at a
University Hospital. Chest. 1995; 107(2): 430-2.
20. Marhana IA, Aniwidyaningsih W, Arief N, Syafa’ah I. Buku Ajar
Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi: Bronkoskopi. Buku I. Jakarta. UI
Publishing; 2017. p.401-22.
21. Diaz-Mendoza J, Peralta AR, Debiane L, Simoff MJ. Rigid Bronchoscopy.
Semin Respir Crit Care Med. 2018; 39: 674-84.
22. Sarkar M, Niranjan N, Banyal PK. Mechanisms of Hypoxemia. Lung India.
2017; 34: 47-60.
23. West JB, Luks AM. West’s Pulmonary Pathophysiology: Respiratory Failure.
Ninth edition. Philadelphia. Wolters Kluwer; 2017: p. 173-86.

40
24. Yserbyt J, De Maeyer N, Dooms C, Testelmans D, Muylle I, Bruyneel M, et
al. The Feasibility of Tracheal Oxygen Supplementation during Flexible
Bronchoscopy. Respiration. 2016; 92: 48-52.
25. Hadique S, Jain P. Safety of Bronchoscopy in Elderly. Curr Geri Rep. 2015;
4: 154-65.
26. Lucangelo U, Vassallo FG, Marras E, Ferluga M, Beziza E, Comuzzi L, et al.
High-Flow Nasal Interface Improves Oxygenation in Patients Undergoing
Bronchoscopy. Crit Care Res Pract. 2012; 2012: 1-6.
27. Du Rand IA, Blaikley J, Booton R, Chaudhuri N, Gupta V, Khalid S, et al.
British Thoracic Society Guideline for Diagnostic Flexible Bronchoscopy in
Adults. Thorax. 2013; 68: l-44.
28. Chhajed PN, Glanville AR. Management of Hypoxemia during Flexible
Bronchoscopy. Clin Chest Med. 2003: 24; 511-6.
29. Shinagawa N, Yamazaki K, Kinoshita I, Ogura S, Nishimura M.
Susceptibility to Oxygen Desaturation during Bronchoscopy in Elderly
Patients with Pulmonary Fibrosis. Respiration. 2006; 73: 90-4.
30. Miftahussurur M, Wibisono MY. Complication of Fiberoptic Bronchoscopy
and Its Implementation for Special Conditions. IMRM. 2017: 432-9.
31. Silvestri GA, Vincent BD, Wahidi M. Fospropofol Disodium for Sedation in
Elderly Patients Undergoing Flexible Bronchoscopy. J Bronchol Intervent
Pulmonol. 2011; 18(1): 15-22.
32. LoMauro A, Aliverti A. Sex and Gender in Respiratory Physiology. Eur
Respir Rev. 2021; 30: 1-16.
33. Ekhrom M, Schioler L, Gronseth R, Johannessen A, Svanes C, Leynaert B.
Absolute Values of Lung Function Explain the Sex Difference in
Breathlessness in The General Population. Eur Respir J. 2017; 49: 1-9.
34. Mafort TT, Rufino R, Costa CH, Lopes AJ. Obesity: Systemic and
Pulmonary Complications, Biochemical Abnormalities, and Impairment of
Lung Function. Multi Resp Med. 2016; 11(28): 1-11.
35. Salahuddin M, Salamo O, Karanth S, Faiz SA, Martin R, Cherian SV. Safety
and Incidence of Complications Associated with Bronchoscopy in an Obese
Population. Clin Respir J. 2021; 00: 1-6.
36. Tantisuwat A, Thaveeratitham P. Effects of Smoking on Chest Expansion,
Lung Function, and Respiratory Muscle Strength of Youths. J Phys Ther Sci.
2014; 26: 167-70.
37. Behr J, Nowak D. Tobacco Smoke and Respiratory Disease. Eur Respir Mon.
2002; 21: 161-79.
38. Sorli-aguilar M, Martin-Lujan F, Flores-Mateo G, Jardi-Pinana C, Aparicio-
Llopis E, Basora-Gallisa J. Adiposity Markers and Lung Function in
Smokers: a Cross-sectional study in a Mediterranean population. BMC Pulmo
Med. 2016; 16(178): 1-8.
39. Meghjee SP, Marshall M, Redfern EJ, McGivern DV. Influence of Patient
Posture on Oxygen Saturation during Fibre-optic Bronchoscopy. Resp Med:
2001; 95: 5-8.
40. Attaran D, Towhidi M, Amini M, Toosi M. The relationship between peak
expiratory flow rate (PEFR) before bronchoscopy and arterial oxygen
desaturation during bronchoscopy. IJBMS. 2007; 9(4): 303-6.

41
41. Grendelmeir P, Tamm M, Jahn K, Pflimlin E, Stolz D. Flexible
Bronchoscopy with Moderate sedation in COPD: a case-control study. Int J
COPD. 2017; 12: 177-87.
42. Chechani V. Flexibel Bronchoscopy in Patients with Hypercapnia. J
Bronchol. 2000; 7: 226-32.
43. Zwan JP, Kapteijns EFG, Lahey S, Smit HJM. Flexible Bronchoscopy in
Supine or Sitting Position a Randomized Prospective Analysis of Safety and
Patient Comfort. J Bronchol Intervent Pulmonol. 2010; 17: 29-32.
44. Stahl DL, Richard KM, Papadimos TJ. Complications of Bronchoscopy: A
Concise synopsis. Int J Crit Illn Inj Sci. 2015; 5:189-95.
45. Patolia S, Farhat R, Subramaniyam R. Bronchoscopy ini Intubated and non-
intubated Intensive Care Unit Patients with Respiratory Failure. J Thoracic
Dis. 2021; 13(8): 5125-34.
46. Kvale PA. Prevention and Management of Hypoxemia During Fiberoptic
Bronchoscopy. Chest. 2002; 121(4): 1021-2.

42

Anda mungkin juga menyukai