Anda di halaman 1dari 7

Mediastinitis

Suatu komplikasi serius dari Ultrasound Endobronkial – yang dipandu


dengan Aspirasi Jarum Transbronkial.

Nina Voldby,MD, Birgitte H. Folkersen,MD, dan Torben R.


Rasmussen,MD, PhD

Ringkasan: Mediastinitis jarang terjadi tetapi merupakan komplikasi serius


dari ultrasound endobronkial yang dipandu dengan aprirasi jarum
transbronkial (EBUS-TBNA) dan ultrasound endoskopi yang dipandu dengan
aspirasi jarum halus (EUS-FNA). Kami presentasikan 3 kasus dari
mediastinitis berikut prosedur diagnostiknya. Pada 2 pasien ditemukan
bakteri orofaring dalam kultur dari abses mediastinum. Semua 3 kasus
berhasil ditangani dengan torakotomi dan drainase abses bersamaan dengan
antibiotik secara intravena. Atas dasar kasus ini, dan review terbaru dari
literatur kami akan mendiskusikan etiologi yang paling mungkin untuk
mediastinitis yang dihubungkan dengan prosedur EBUS-TBNA dan EUS-
FNA dan mengusulkan cara mengurangi risiko terjadinya komplikasi yang
serius. Kemungkinan mediastinitis harus diingat ketika pasien mengeluh
demam dalam jangka waktu yang lama dan nyeri dada dan malaise setelah
tindakan EBUS-TBNA dan EUS-FNA.

Ultrasound endobrakial - dipandu dengan aspirasi jarum transbronkial


(EBUS-TBNA) dan ultrasound endoskopi – yang dipandu dengan aspirasi
jarum telah menjadi standar perawatan yang berkaitan dengan pengambilan
sampel mediastinum nodus limfe pada pasien dengan suspek Ca paru,
limfoma, atau sarkoidosis.

EBUS TDNA merupakan prosedur invasif yang minimal dengan sensitivitas


yang tinggi dan risiko komplikasi yang rendah. Prosedur ini dapat dilakukan
pada pasien dengan sedasi sedang atau general anestesi, sering
dikombinasikan dengan EUS-FNA.

Kasus 1.
Seorang laki-laki berusia 64 tahun dengan 2 tumor kolon
(adenokarsinoma) dirujuk untuk melakukan pemeriksaan di kelenjar limfe
mediastinum yang mengalami pembesaran (Fig. 1A). EBUS-TBNA
dilakukan dari stase 4R dan 7. Evaluasi cepat dari sitologi dan
imunohistokimia mengkonfirmasi adanya metasatasis dari adenokarsinoma
kolon. Dua minggu setelah tindakan tersebut, pasien harus diberikan
antibiotik karena prolong fever dan gejala sugestif penumonia. 2 hari
kemudian, pasien membutuhkan perawatan di rumah sakit karena demam
tinggi yang persisten dan nyeri dada.

CT Scan pada thoraks menunjukan adanya abses mediastinum. Pasien


tersebut telah diberikan injeksi piperacillin/tazobactam IV, metronidazole,
dan ciprofloxacin oral. Tiga hari kemudian, CT scan menunjukan adanya
perburukan dari ukuran abses (Fig. 1B) dan dibutuhkan thorakotomi dan
tabung drainase untuk absesnya. Tidak ada pertumbuhan terdeteksi pada hasil
kultur bakteri pada abses tersebut. Tiga puluh satu hari setelah EBUS-TBNA,
tabung drainase dilepas; 9 hari kemudian pasien berhasil dimulai kemoterapi.

Kasus 2.

Seorang laki-laki berusia 49 tahun dengan komorbid berupa DM,


sarkoidosis, dan stroke (baru-baru ini) dirujuk untuk EBUS-TBNA karena
pembesaran mediastinum dan nodus limfe pada hilus.

EBUS-TBNA dilakukan dari stase 4R dan 7 dengan cara seperti


biasanya. Pemeriksaan sitologi menunjukan adanya inflamasi granulomatosa
non-nekrosis yang konsisten dengan sarkoidosis. Tidak ada bukti keganasan.
2 minggu setelah prosedur EBUS-TBNA, pasien diberikan antibiotik
empiris karena gejala sugestif pneumonia. Karena gejala-gejalanya yang
progresif, pasien tersebut dirawat di RS dan dilakukan CT scan dengan hasil
adanya abses yang melibatkan nodus limfe subkarinal serta efusi pelura (Fig.
2B). Mediastinotomi dengan tabung drainase dilakukan. Kultur bakteri dari
kelenjar limfe menunjukan adanya pertumbuhan Gemella morbillorum.
Kultur dari efusi pleura menunjukan adanya streprococcus non hemolyticus.
Ekokardiografi tidak menunjukan tanda-tanda endokarditis.

Tabung drainase dilepaskan pada hari ke-7. Pasien pulang pada hari
ke-22 setelah EBUS-TBNA. Pada reevaluasi 11 hari kemudian tidak ada
tanda-tanda infeksi.

Kasus 3.

Seorang laki-laki usia 36 tahun, sebelumnya sehat, tetapi terjadi


penurunan berat badan yang tidak diinginkan 10 kg dalam setahun. Hasil
spirometri dan laboratorium normal. CT Scan menunjukan infiltrat paru dan
pembesaran kelenjar limfe mediastinum dan hilus sugestif sarkoidosis ( 3A).

EBUS-TBNA dilakukan dari stase 4R dan 7 tanpa komplikasi segera.


Pemeriksaan sitologi TBNA dan pemeriksaan histologi dari biopsi
transbronkial menunjukan inflamasi granulomatosa non-nekrosis konsisten
dengan sarkoidosis.

Pada hari ke-21, pasien mengalami demam terus-menerus selama 5


hari meskipun telah diobati dengan amoxcillin selama 2 hari. Pasien
mengeluh batuk, demam, dan nyeri dada. Amoxcillin digantikan dengan
roxithromycin dan 2 hari kemudian oleh moxifloxacin. Tiga hari yaitu hari
ke-26 setelah EBUS-TBNA demam tidak ada perubahan dan gejala
memburuk.

CT scan thoraks menunjukan abses besar terletak di kelenjar limfe


subkinal (Gambar 3B). Torakotomi anterior dengan insersi tabung drainase
dilakukan. Kultur menunjukan adanya pertumbuhan dari Prevotella buccae,
Streptococcus anginosus, dan Actinomyces.

Pada hari ke-36 setelah EBUS-TBNA, pasien pulang setelah


pengobatan pengobatan piperacillin/tazobactam dan metronidazol dan
drainase tabung selama 10 hari. Antibiotik oral (amoksisilin dengan asam
klavulanat) dilanjutkan selama 10 hari lagi. Satu minggu setelah pulang
pasien sehat dan tanpa tanda-tanda infeksi.

DISKUSI

Pada tahun 2008 Varela-Lema dan koleganya mempublikasikan


sebuah systematic review untuk menilai efektivitas dan keamanan dari
tindakan EBUS-TBNA. Total 20 publikasi dimasukkan, dan tidak ada yang
melaporkan komplikasi yang signifikan. Pada tahun 2009, sebuah studi di
Australia oleh Steinfort et al. Menentukan kejadian bakteremia dan
komplikasi infeksi terkkadi dengan EBUS-TBNA. Mereka menyimpulkan
bahwa kejadian bakteremia setelah EBUS-TBNA sebanding rutinnya
tindakan bronkoskopi.
Namun menurut sebuah publikasi pada tahun 2013 dari AQuIRE
Registry, komplikasi terjadi pada 1,44% pasien hingga 24 jam setelah
melakukan EBUS-TBNA. Sebuah survei nasional di Jepang pada tahun 2013,
ditemukan bahwa tingkat komplikasi yang terkait dengan EBUS-TBNA
adalah 1,23%, dimana komplikasi terserimg yaitu perdarahan (0,68%).
Mediastinitis berkembang pada 0,10% kasus, dan semua komplikasi infeksi
total sebesar 0,19% (mediastinitis, pneumonia, perikarditis, infeksi kista, dan
sepsis).

Pada tahun 2013, von Bartheld et al., mempublikasikan systematic


review dari komplikasi endo-sonografi, komplikasi EBUS-TBNA dan EUS-
FNA. Mereka menemukan nilai komplikasi EBUS-TBNA sebanyak 0,05%
untuk efek samping serius seperti abses mediastinum, sepsis, dan
pneumothoraks. Mereka juga menemukan efek samping serius yang lebih
tinggi pada pasien yang menjalani EUS-FNA (0,30%) dibanding pasien yang
menjalani EBUS-TBNA (0,05%)

Untuk memeriksa dan memperbarui jumlah kasus yang dilaporkan


dengan deskripsi mediastinitis atau abses mediastinum setelah tindakan
EBUS-TBNA dengan melihat etiologi dan pengobatan, kami melakukan
penelusuran PubMed dengan kata kunci EBUS dan infeksi/komplikasi atau
mediastinitis atau abses mediastinum. Dengan cara tersebut, terdapat 7
laporan mediastinitis atau abses mediastinum yang dipublikasikan dari tahun
2009 sampai sekarang. Pada kasus-kasus ini, gejala mediastinitis/abses
mediastinum terjadi dari 1 sampai 5 minggu setelah tindakan EBUS, yang
paling umum dan pengobatan yang efektif adalah torakotomi dengan drainase
tabung pada thoraks dan antibiotik IV. Pada 3 kasus, antibiotik IV hanya
diberikan selama 7 hingga 14 hari, dan pembedahan untuk debridement
dihindari.

Faktor risiko yang mungkin untuk terjadinya mediastinitis atau abses


mediastinum setelah tindakan EBUS-TBNA dalam kasus-kasus di atas yaitu:
1) banyaknya jarum TBNA dimasukkan ke kelenjar limfe; 2) Jumlah sample
kelenjar limfe; 3) keahlian operator; 4) Nodus limfe kistik/nekrotik atau lesi
pulmonal; 5) Pencemaran dengan suction pada lingkungan EBUS diatas pita
suara.

Penyebab sebenarnya dari mediastinitis dan abses mediastinum masih


diperdebatkan. Namun beberapa dari mediastinum mengandung organisme
oropharyngeal, seperti halnya pada pasien kasus diatas.

Strategi yang mungkin untuk mencegah infeksi yang berhubungan


dengan tindakan EBUS-TBNA dapat dengan menghindari kontak dengan
rongga orofaring dengan hanya melakukan pemeriksaan EBUS pada pasien
yang diintubasi. Hal itu bisa menghilangkan prosedur tersebut dibawah sedasi
moderat.

Sebaliknya, beberapa centers telah mengambil tindakan pencegahan


seperti menerapkan antibiotik profilaksis secara IV dan oral dan selalu
melakukan kultur dari material EBUS-TBNA.

Di pusat kami, kami telah melakukan pemeriksaan EUS dan EBUS


secara rutin sejak 2011. Sekarang kami melakukan >800 tindakan EBUS-
TBNA per tahun, terutama pada pasien yang dicurigai kanker paru, metastasis
mediastinum, atau sarkoidosis. Semua tindakan EUS dan EBUS dilakukan
oleh 4 bronchoscopis berpengalaman. Kami telah melakukan 700 tindakan
sebelum menghadapi kasus pertama mediastinitis. Dengan 3 kasus ini,
komplikasi mediastinitis di pusat kami kira-kira 0,1%. Hal ini mungkin bisa
dianggap sepele sebagai kasus ineksi ringan yang mungkin pasien yang
berespon dengan antibiotik oral tidak diperhitungkan. Seperti mungkin juga
awal terjadinya efek samping serius pada pasien yang menjalani EBUS-
TBNA. Namun demikian, tidak mungkin pasien dengan mediastinitis yang
terkonfirmasi dengan CT scan akan hilang untuk difollow up bahkan jika
akan dirujuk untuk pemeriksaan dari departemen lain atau rumah sakit lain
karena semua pasien yang diperiksa dengan EBUS-TBNA dan EUS-FNA di
pusat kami akan didiskusikan di konferensi tim multidisiplin pusat, dan
kasus-kasus yang membutuhkan torakotomi dan drainase tabung dari abses
akan dilakukan perawatan di departemen bedah toraks di rumah sakit kami.
Dari 3 kasus mediastinitis, 2 menderita sarkoidosis, yang mungkin bisa
meningkatkan risiko infeksi seperti yang ditunjukan oleh review dari von
Bartheld. Seseorang dapat berspekulasi bahwa pasien yang dicurigai
memiliki sarkoidosis harus ditawarkan antibiotik profilaksis, dan jika
demikian, apakah pemberian antibiotik oral cukup atau perlu ditambahkan
antibiotik intavena? Kami belum menemukan publikasi tentang keefektifan
antibiotik profilaksis. Namun dengan tingkat insidensi hanya 0,1% atau
kurang dari itu membutuhkan kohort yang lebih besar untuk menghasilkan
beberapa jenis bukti dari efektivitas. Sampai saat ini, penggunaan EBUS-
TBNA harus digunakan secara bijaksana pada pasien yang diduga menderita
sarkoidosis.

Sebagai konsekuensi dari insiden mediastinitis ini, telah kami


terapkan tindakan pencegahan selama prosedur EBUS-TBNA: 1)
menghindari kontaminasi lingkungan kerja dari bakteri orofaring dengan
tidak melakukan suction sampai dengan pita suara; 2) simpan scopes dari alat
konvensional dan EBUS secara terpisah untuk mencegah kontaminasi silang;
and (3) menghindari kontaminasi dari jarum EBUS sambil mengumpulkan
dan menyiapkan spesimen sitologi.

Selanjutnya, kami juga telah meningkatkan kesadaran pasien dan


merujuk dokter terkait kemungkinan komplikasi dari EBUS-TBNA dan EUS-
FNA ini. Kami juga memiliki ambang batas untuk melakukan CT scan
thoraks, jika pasien mengalami demam atau gejala infeksi dada lainnya.
Mediastinitis adalah komplikasi dari tindakan EBUS-TBNA yang jarang,
namun kami telah memutuskan bahwa setiap pasien dengan gejala infeksi
setelah kegagalan perawatan pertama dengan antiobiotik oral seharusnya
dievaluasi oleh dokter senior dan ahli bedah.

Anda mungkin juga menyukai