Defekasi adalah suatu tindakan atau proses makhluk hidup untuk membuang kotoran
atau tinja yang padat atau setengah-padat yang berasal dari sistem pencernaan mahkluk
hidup. Manusia dapat melakukan buang air besar beberapa kali dalam satu hari atau satu
kali dalam beberapa hari. Tetapi bahkan dapat mengalami gangguan yaitu hingga hanya
beberapa kali saja dalam satu minggu atau dapat berkali-kali dalam satu hari, biasanya
gangguan-gangguan tersebut diakibatkan oleh gaya hidup yang tidak benar dan jika
dibiarkan dapat menjadi masalah yang lebih besar.
Gerakan peristaltis dari otot-otot dinding usus besar menggerakkan tinja dari saluran
pencernaan menuju ke rektum. Pada rektum terdapat bagian yang membesar (disebut
ampulla) yang menjadi tempat penampungan tinja sementara. Otot-otot pada dinding
rektum yang dipengaruhi oleh sistem saraf sekitarnya dapat membuat suatu rangsangan
untuk mengeluarkan tinja keluar tubuh. Jika tindakan pembuangan terus ditahan atau
dihambat maka tinja dapat kembali ke usus besar yang menyebabkan air pada tinja kembali
diserap, dan tinja menjadi sangat padat. Jika buang air besar tidak dapat dilakukan untuk
masa yang agak lama dan tinja terus mengeras, konstipasi dapat terjadi. Sementara, bila
ada infeksi bakteri atau virus di usus maka secara refleks usus akan mempercepat laju tinja
sehingga penyerapan air sedikit. Akibatnya, tinja menjadi lebih encer sehingga perut terasa
mulas dan dapat terjadi pembuangan secara tanpa diduga. Keadaan demikian disebut
dengan diare.
Ketika rektum telah penuh, tekanan di dalam rektum akan terus meningkat dan
menyebabkan rangsangan untuk buang air besar. Tinja akan didorong menuju ke saluran
anus. Otot sphinkter pada anus akan membuka lubang anus untuk mengeluarkan tinja.
Rektume manusia
Selama buang air besar, otot dada, diafragma, otot dinding abdomen, dan diafragma
pelvis menekan saluran cerna. Pernapasan juga akan terhenti sementara ketika paru-paru
menekan diafragma dada ke bawah untuk memberi tekanan. Tekanan darah meningkat dan
darah yang dipompa menuju jantung meninggi.
Sebagian besar waktu, rectum tidak berisi feses, hal ini karena adanya sfingter yang
lemah ±20 cm dari anus pada perbatasan antara kolon sigmoid dan rectum serta sudut
tajam yang menambah resistensi pengisian rectum. Bila terjadi pergerakan massa ke
rectum, kontraksi rectum dan relaksasi sfingter anus akan timbul keinginan defekasi.
Pendorongan massa yang terus menerus akan dicegah oleh konstriksi tonik dari 1) sfingter
ani interni; 2) sfingter ani eksternus
Refleks Defekasi Keinginan berdefekasi muncul pertama kali saat tekanan rectum
mencapai 18 mmHg dan apabila mencapai 55 mmHg, maka sfingter ani internus dan
eksternus melemas dan isi feses terdorong keluar. Satu dari refleks defekasi adalah refleks
intrinsic (diperantarai sistem saraf enteric dalam dinding rectum.
Ketika feses masuk rectum, distensi dinding rectum menimbulkan sinyal aferen
menyebar melalui pleksus mienterikus untuk menimbulkan gelombang peristaltic dalam
kolon descendens, sigmoid, rectum, mendorong feses ke arah anus. Ketika gelombang
peristaltic mendekati anus, sfingter ani interni direlaksasi oleh sinyal penghambat dari
pleksus mienterikus dan sfingter ani eksterni dalam keadaan sadar berelaksasi secara
volunter sehingga terjadi defekasi. Jadi sfingter melemas sewaktu rectum teregang
Sebelum tekanan yang melemaskan sfingter ani eksternus tercapai, defekasi volunter
dapat dicapai dengan secara volunter melemaskan sfingter eksternus dan mengontraksikan
otot-otot abdomen (mengejan). Dengan demikian defekasi merupakan suatu reflex spinal
yang dengan sadar dapat dihambat dengan menjaga agar sfingter eksternus tetap
berkontraksi atau melemaskan sfingter dan megontraksikan otot abdomen.
Sebenarnya stimulus dari pleksus mienterikus masih lemah sebagai relfeks defekasi,
sehingga diperlukan refleks lain, yaitu refleks defekasi parasimpatis (segmen sacral
medulla spinalis). Bila ujung saraf dalam rectum terangsang, sinyal akan dihantarkan ke
medulla spinalis, kemudian secara refleks kembali ke kolon descendens, sigmoid, rectum,
dan anus melalui serabut parasimpatis n. pelvikus. Sinyal parasimpatis ini sangat
memperkuat gelombang peristaltic dan merelaksasi sfingter ani internus. Sehingga
mengubah refleks defekasi intrinsic menjadi proses defekasi yang kuat
Sinyal defekasi masuk ke medula spinalis menimbulkan efek lain, seperti mengambil
napas dalam, penutupan glottis, kontraksi otot dinding abdomen mendorong isi feses dari
kolon turun ke bawah dan feses.saat bersamaan dasar pelvis mengalami relaksasi dan
menarik keluar cincin anus mengeluarkan
Gerakan segmentasi dengan konstriksi sirkular yang besar pada kolon, ± 2.5 cm otot
sirkular akan berkontraksi, kadang menyempitkan lumen hampir tersumbat. Saat yang
sama, otot longitudinal kolon (taenia koli) akan berkontraksi. Kontraksi gabungan tadi
menyebabkan bagian usus yang tidak terangsang menonjol keluar (haustrasi). Setiap
haustrasi mencapai intensitas puncak dalam waktu ±30 detik, kemudian menghilang 60
detik berikutnya, kadang juga lambat terutama sekum dan kolon asendens sehingga sedikit
isi hasil dari dorongan ke depan. Oleh karena itu bahan feses dalam usus besar secara
lambat diaduk dan dicampur sehingga bahan feses secara bertahap bersentuhan dengan
permukaan mukosa usus besar, dan cairan serta zat terlarut secara progresif diabsorbsi
hingga terdapat 80-200 ml feses yang dikeluarkan tiap hari.
Banyak dorongan dalam sekum dan kolon asendens dari kontraksi haustra yang
lambat tapi persisten, kimus saat itu sudah dalam keadaan lumpur setengah padat. Dari
sekum sampai sigmoid, pergerakan massa mengambil alih peran pendorongan untuk
beberapa menit menjadi satu waktu, kebanyakan 1-3 x/hari gerakan.
Selain itu, kolon mempunyai kripta lieberkuhn tapi tidak ber-vili. menghasilkan
mucus (sel epitelnya jarang mengandung enzim). Mucus mengandung ion bikarbonat yang
diatur oleh rangsangan taktil , langsung dari sel epitel dan oleh refleks saraf setempat
terhadap sel mucus Krista lieberkuhn. Rangsangan n. pelvikus dari medulla spinalis yang
membawa persarafan parasimpatis ke separuh sampai dua pertiga bagian distal kolon.
Mucus juga berperan dalam melindungi dinding kolon terhadap ekskoriasi, tapi selain itu
menyediakan media yang lengket untuk saling melekatkan bahan feses. Lebih lanjut,
mucus melindungi dinding usus dari aktivitas bakteri yang berlangsung dalam feses, ion
bikarbonat yang disekresi ditukar dengan ion klorida sehingga menyediakan ion bikarbonat
alkalis yang menetralkan asam dalam feses. Mengenai ekskresi cairan, sedikit cairan yang
dikeluarkan melalui feses (100 ml/hari). Jumlah ini dapat meningkat sampai beberapa liter
sehari pada pasien diare berat
Sekitar 1500 ml kimus secara normal melewati katup ileosekal, sebagian besar air
dan elektrolit di dalam kimus diabsorbsi di dalam kolon dan sekitar 100 ml diekskresikan
bersama feses. Sebagian besar absorpsi di pertengahan kolon proksimal (kolon
pengabsorpsi), sedang bagian distal sebagai tempat penyimpanan feses sampai akhirnya
dikeluarkan pada waktu yang tepat (kolon penyimpanan)
Mukosa usus besar mirip seperti usus halus, mempunyai kemampuan absorpsi aktif
natrium yang tinggi dan klorida juga ikut terabsorpsi. Ditambah taut epitel di usus besar
lebih erat dibanding usus halus sehingga mencegah difusi kembali ion tersebut, apalagi
ketika aldosteron teraktivasi. Absorbsi ion natrium dan ion klorida menciptakan gradien
osmotic di sepanjang mukosa usus besar yang kemudian menyebabkan absorbsi air. Dalam
waktu bersamaan usus besar juga menyekresikan ion bikarbonat (seperti penjelasan diatas)
membantu menetralisir produk akhir asam dari kerja bakteri didalam usus besar
Usus besar dapat mengabsorbsi maksimal 5-8 L cairan dan elektrolit tiap hari
sehingga bila jumlah cairan masuk ke katup ileosekal melebihi atau melalui sekresi usus
besar melebihi jumlah ini akan terjadi diare. Banyak bakteri, khususnya basil kolon,
bahkan terdapat secara normal pada kolon pengabsorpsi. Bakteri ini mampu mencerna
selulosa (berguna sebagai tambahan nutrisi), vitamin (K, B₁₂, tiamin, riboflavin, dan
bermacam gas yang menyebabkan flatus di dalam kolon, khususnya CO₂, H₂, CH₄)
Mekanisme Defekasi
Jenis gelombang peristaltik yang terlihat dalam usus halus jarang timbul pada sebagian
kolon, sebaliknya hampir semua dorongan ditimbulkan oleh pergerakan lambat kearah
anus oleh kontraksi haustrae dan gerakan massa. Dorongan di dalam sekum dan kolon
asenden dihasilkan oleh kontraksi haustrae yang lambat tetapi berlangsung persisten yang
membutuhkan waktu 8 sampai 15 jam untuk menggerakkan kimus hanya dari katup
ileosekal ke kolon transversum, sementara kimusnya sendiri menjadi berkualitas feses
dan menjadi lumpur setengah padat bukan setengah cair.
Pergerakan massa adalah jenis pristaltik yang termodifikasi yang ditandai timbulnya
sebuah cincin konstriksi pada titik yang teregang di kolon transversum, kemudian dengan
cepat kolon distal sepanjang 20 cm atau lebih hingga ke tempat konstriksi tadi akan
kehilangan haustrasinya dan berkontraksi sebagai satu unit, mendorong materi feses
dalam segmen itu untuk menuruni kolon.
Kontraksi secara progresif menimbulkan tekanan yang lebih besar selama kira-kira 30
detik, kemudian terjadi relaksasi selama 2 sampai 3 menit berikutnya sebelum terjadi
pergerakan massa yang lain dan berjalan lebih jauh sepanjang kolon. Seluruh rangkaian
pergerakan massa biasanya menetap hanya selama 10 sampai 30 menit, dan mungkin
timbul kembali setengah hari lagi atau bahkan satu hari berikutnya. Bila pergerakan
sudah mendorong massa feses ke dalam rektum, akan timbul keinginan untuk defekasi
(Guyton, 1997).
Normalnya terdiri dari ³⁄₄ air dan ¹⁄₄ padatan (30% bakteri, 10-20% lemak, 10-20%
anorganik, 2-3% protein, 30% serat makan yang tak tercerna dan unsur kering dari
pencernaan (pigmen empedu, sel epitel terlepas). Warna coklat dari feses disebabkan oleh
sterkobilin dan urobilin yang berasal dari bilirubin yang merupakan hasil kerja bakteri.
Apabila empedu tidak dapat masuk usus, warna tinja menjadi putih (tinja akolik). Asam
organic yang terbantuk dari karbohidrat oleh bakteri merupakan penyebab tinja menjadi
asam (pH 5.0-7.0). Bau feses disebabkan produk kerja bakteri (indol, merkaptan, skatol,
hydrogen sulfide). Komposisi tinja relatif tidak terpengaruh oleh variasi dalam makanan
karena sebagian besar fraksi massa feses bukan berasal dari makanan. Hal ini merupakan
penyebab mengapa selama kelaparan jangka panjang tetap dikeluarkan feses dalam jumlah
bermakna.
1. Jika feses mengandung darah maka ia akan berwarna merah atau hitam.
2. Sedangkan jika kantong empedu bermasalah atau ada infeksi pada hati maka feses
yang keluar akan berwarna pucat atau putih.
3. Jika feses yang keluar berwarna hijau maka kemungkinan besar itu diakibatkan oleh
sayuran hijau gelap seperti bayam yang dikonsumsi.Selain itu pewarna makanan biru
atau hijau yang biasa terkandung dalam minuman atau es bisa menyebabkan feses
berwarna hijau.Kondisi ini biasanya disebabkan oleh makanan yang terlalu cepat
melewati usus besar sehingga tidak melalui proses pencernaan dengan sempurna.
Flatus
Flatulence adalah ’keluarnya gas dari bagian bawah saluran pencernaan baik dengan
berbunyi maupun tanpa bunyi, baik berbau maupun tanpa bau’ dan dalam bahasa
eufemisme disebut dengan ’buang angin’. Produk yang dihasilkan dinamakan flatus.
Flatulence adalah kondisi yang normal pada setiap manusia. Rata-rata setiap hari kita
’buang angin’ sebanyak 14 kali dengan kisaran 3 sampai 40 kali tergantung dari jenis
makanan yang dikonsumsi. Karbohidrat lebih sering menyebabkan flatus dibandingkan
dengan lemak dan protein, namun makanan yang menyebabkan flatus pada seseorang bisa
saja tidak menghasilkan flatus pada orang lain. Sebagian besar flatus tidak berbau dan
apabila ’menghasilkan’ bau, ini diakibatkan dari gas hydrogen sulfide yang dihasilkan oleh
ratusan bakteri yang normal terdapat di usus besar ( colon ).
Gas yang terjadi pada saluran cerna kita bersumber dari dua unsur. Unsur yang
pertama adalah gas yang tertelan pada waktu kita makan dan minum. Jumlah gas yang
tertelan bisa meningkat jumlahnya bila kita makan dan minum terburu-buru, mengulum
permen karet ( chewing gum ), merokok dan menggunakan gigi palsu ( denture ) yang
longgar. Bersendawa ( belching dan burping ) adalah mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan gas. Gas yang masih terperangkap akan melanjutkan perjalanan ke usus
kecil selanjutnya terkumpul di usus besar.
Unsur kedua timbulnya gas adalah dari makanan yang tidak dapat dicernakan oleh
enzym yang ada dalam saluran pencernaan kita. Makanan yang tidak berhasil dicernakan
ini sesampainya di usus besar akan mengalami proses penguraian oleh bakteri yang secara
normal ada di usus besar dan menghasilkan gas hidrogen sulfida, karbon dioksida dan
methane (CH4). Menurut penelitian hanya sepertiga dari manusia menghasilkan gas
methane ini dan ’ciri’ khas dari tinja ( stool ) nya akan mengambang di air karena gas
methane yang terjebak dalam tinja membuatnya lebih ringan dari air.
Flatulence tidak dapat dihilangkan sama sekali namun dapat kita kurangi dengan
menghindari jenis-jenis makanan yang menyebabkan terbentuknya gas di dalam saluran
cerna kita. Jenis-jenis makanan itu antara lain :
gula rafinasi, karena manusia tidak memiliki enzym alpha galactosidase untuk mengurai
gula ini sehingga dia terkumpul di usus besar dan menghasilkan gas.
Gula fruktosa, yang banyak terdapat pada bawang bombai (onion ), artichoke , buah pir
(pear) dan gandum ( wheat ).
Gula laktosa yang banyak terdapat pada susu, keju, ice cream , roti, cereal dan salad dan
hampir semuanya termasuk ‘kelas berat’ ( very gassy ).
Gula sorbitol (yang juga tidak mampu dicerna), terdapat secara alami pada buah-buahan
seperti apel, pir ( pear ), peach, prune dan lainnya serta dipakai juga sebagai pemanis
buatan pada makanan nirgula ( sugar-free ) dan kembang gula.
Semua jenis ‘terigu’ termasuk kentang, gandum, mie ( noodle ) dan segala kue berbahan
terigu seperti pastry, bagel, pretzel.