Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Eleminasi merupakan proses pembuangan atau pengeluaran sisa
metabolism berupa feses yang berasal dari saluran pencernaan melalui usus
(Tarwoto dan Wartonah (2004), 48). defekasi adalah suatu tindakan atau proses
makhluk hidup untuk membuang kotoran atau tinja yang padat atau setengah-padat
yang berasal dari sistem pencernaan mahkluk hidup. Buang air besar dapat terjadi
secara sadar dan tak sadar. Manusia dapat melakukan buang air besar beberapa kali
dalam satu hari atau satu kali dalam beberapa hari. Tetapi bahkan dapat mengalami
gangguan yaitu hingga hanya beberapa kali saja dalam satu minggu atau dapat
berkali-kali dalam satu hari, biasanya gangguan-gangguan tersebut diakibatkan
oleh gaya hidup yang tidak benar dan jika dibiarkan dapat menjadi masalah yang
lebih besar. Kehilangan kontrol dapat terjadi karena cedera fisik (seperti cedera
pada otot sphinkter anus), radang, penyerapan air pada usus besar yang kurang
(menyebabkan diare, kematian, dan faktor faal dan saraf).

1.2 Batasan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas defekasi mempunyai ruang lingkup yang
sangat luas oleh karena itu penulis hanya membatasi bahasan pada konsep defekasi,
serta mengangkat salah satu gangguan defekasi yaitu konstipasi.

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan batasan masalah maka adapun tujuan penulisan makalah ini
adalah :
1. Agar kita dapat mengetahui fisiologi dan proses defekasi
2. Agar dapat mengetahui apa yg disebut dengan konstipasi dan cara pengobtannya

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Defekasi
1. Buang Air Besar
Buang air besar atau defekasi adalah suatu tindakan atau proses makhluk
hidup untuk membuang kotoran atau tinja yang padat atau setengah-padat yang
berasal dari sistem pencernaan.
2. Fisiologi Buang Air Besar
Rektum biasanya kosong sampai menjelang defekasi. Seorang yang
mempunyai kebiasaan teratur akan merasa kebutuhan membung air besar kira-kira
pada waktu yang sama setiap hari. Hal ini disebabkan oleh refleks gastro-kolika
yang biasanya bekerja sesudah makan pagi. Setelah makanan ini mencapai lambung
dan setelah pencernaan dimulai maka peristaltik di dalam usus terangsang,
merambat ke kolon, dan sisa makanan dari hari kemarinnya, yang waktu malam
mencapai sekum mulai bergerak. Isi kolon pelvis masuk ke dalam rektum, serentak
peristaltik keras terjadi di dalam kolon dan terjadi perasaan di daerah perineum.
Tekanan intra-abdominal bertambah dengan penutupan glottis dan kontraksi
diafragma dan otot abdominal, sfinkter anus mengendor dan kerjanya berakhir
(Pearce, 2002).
3. Proses Buang Air Besar
Jenis gelombang peristaltik yang terlihat dalam usus halus jarang timbul
pada sebagian kolon, sebaliknya hampir semua dorongan ditimbulkan oleh
pergerakan lambat kearah anus oleh kontraksi haustrae dan gerakan massa.
Dorongan di dalam sekum dan kolon asenden dihasilkan oleh kontraksi haustrae
yang lambat tetapi berlangsung persisten yang membutuhkan waktu 8 sampai 15
jam untuk menggerakkan kimus hanya dari katup ileosekal ke kolon transversum,
sementara kimusnya sendiri menjadi berkualitas feses dan menjadi lumpur setengah
padat bukan setengah cair.
Pergerakan massa adalah jenis pristaltik yang termodifikasi yang ditandai
timbulnya sebuah cincin konstriksi pada titik yang teregang di kolon transversum,
kemudian dengan cepat kolon distal sepanjang 20 cm atau lebih hingga ke tempat

2
konstriksi tadi akan kehilangan haustrasinya dan berkontraksi sebagai satu unit,
mendorong materi feses dalam segmen itu untuk menuruni kolon.
Kontraksi secara progresif menimbulkan tekanan yang lebih besar selama
kira-kira 30 detik, kemudian terjadi relaksasi selama 2 sampai 3 menit berikutnya
sebelum terjadi pergerakan massa yang lain dan berjalan lebih jauh sepanjang
kolon. Seluruh rangkaian pergerakan massa biasanya menetap hanya selama 10
sampai 30 menit, dan mungkin timbul kembali setengah hari lagi atau bahkan satu
hari berikutnya. Bila pergerakan sudah mendorong massa feses ke dalam rektum,
akan timbul keinginan untuk defekasi (Guyton, 1997).

Gambar 2.1 proses BAB

2.2 Mekanisme Defekasi


Usus besar terdiri dari kolon, sekum, apendiks, dan rektum. Dalam keadaan
normal, setiap harinya, kolon menerima sekitar 500 mL kimus dari usus halus
melalui katup ileosekal dengan waktu yang dibutuhkan 8-15 jam. Oleh karena
sebagian besar pencernaan dan penyerapan berlangsung di usus halus, maka kolon
hanya menerima residu makanan yang tidak dapat dicerna seperti
selulosa. Selulosa dan bahan lain yang tak dapat dicerna akan keluar sebagai feses.
Gerakan kontraksi pada kolon disebut kontraksi haustra yang lama interval
antara dua kontraksi adalah 30 menit, sedangkan usus halus berkontraksi 9-12 kali

3
dalam semenit. Kontraksi haustra berupa gerakan maju-mundur yang menyebabkan
isi kolon terpajan ke mukosa absorptif yang melibatkan pleksus
intrinsik. Kontraksi lambat ini pula yang menyebabkan bakteri dapat tumbuh subur
di usus besar.
Peningkatan nyata motilitas berupa kontraksi simultan usus besar terjadi
tiga sampai empat kali sehari. Kontraksi ini disebut gerakan massa yang mampu
mendorong feses sejauh sepetiga sampai tiga perempat dari panjang kolon hingga
mencapai bagian distal usus besar, tempat penyimpanan feses. Refleks gastrokolon,
yang diperantarai oleh gastrin dari lambung ke kolon dan oleh saraf otonom
ekstrinsik, terjadi ketika makanan masuk ke lambung dan akan memicu refleks
defekasi. Oleh karena itu, sebagian besar orang akan merasakan keinginan untuk
buang air besar setelah makan pagi. Hal ini karena refleks tersebut mendorong isi
kolon untuk masuk ke rectum sehingga tersedia tempat di dalam usus untuk
makanan yang baru dikonsumsi. Selanjutnya, isi usus halus akan didorong ke usus
besar melalui refleks gastroileum.
Gerakan massa mendorong isi kolon ke dalam rektum sehingga rektum
meregang. Peregangan ini menimbulkan refleks defekasi yang disebabkan oleh
aktivasi refleks intrinsik. Refleks intrinsik, lebih tepatnya pleksus mienterikus,
menimbulkan gerakan peristaltik sepanjang kolon desendens, sigmoid, dan rectum
yang memaksa feses memasuki anus dan membuat sfingter anus berelaksasi.
Namun, defekasi dapat dicegah jika sfingter anus eksternus yang berupa otot rangka
tetap berkontraksi yang dikontrol secara sadar. Dinding rektum yang semula
meregang akan perlahan-lahan melemas dan keinginan untuk buang air besar
mereda hingga akhirnya datang gerakan massa berikutnya.
Gerakan peristaltis yang dipicu oleh refleks intrinsik bersifat lemah. Oleh
karena itu, terdapat refleks parasimpatik untuk memperkuatnya. Sinyal dari rektum
dilanjutkan terlebih dahulu ke korda spinalis lalu dikirim balik ke kolon, sigmoid,
dan rektum melalui nervus pelvis sehingga gerakan peristaltis bersifat lebih
kuat. Sinyal defekasi yang memasuki korda spinalis menimbulkan efek lain seperti
tarikan nafas yang dalam, penutupan glotis, dan kontraksi abdomen yang
mendorong feses keluar.

4
Pengubahan sisa makanan menjadi feses di dalam usus besar, tidak terjadi
proses pencernaan karena ketiadaan enzim pencernaan dan penyerapan yang terjadi
lebih rendah daripada usus halus akibat luas permukaan yang lebih sempit. Dalam
keadaan normal, kolon menyerap sebagian garam (NaCl) dan H2O. Natrium adalah
zat yang paling aktif diserap, Cl- secara pasif menuruni gradient listrik, dan H2O
berpindah melalui osmosis. Melalui penyerapan keduanya maka terbentuk feses
yang padat. Sekitar 500 ml bahan masuk ke kolon, 350 ml diserap dan 150 g feses
dikeluarkan. Feses ini terdiri dari 100 g H2O dan 50 g bahan padat seperti selulosa,
bilirubin, bakteri, dan sejumlah kecil garam. Dengan demikian, produk sisa utama
yang dieksresikan melalui feses adalah bilirubin, serta makanan yang pada dasarnya
tidak dapat diserap oleh tubuh.

Normalnya terdiri dari ³⁄₄ air dan ¹⁄₄ padatan (30% bakteri, 10-20% lemak,
10-20% anorganik, 2-3% protein, 30% serat makan yang tak tercerna dan unsur
kering dari pencernaan (pigmen empedu, sel epitel terlepas). Warna coklat dari
feses disebabkan oleh sterkobilin dan urobilin yang berasal dari bilirubin yang
merupakan hasil kerja bakteri. Apabila empedu tidak dapat masuk usus, warna tinja
menjadi putih (tinja akolik). Asam organic yang terbantuk dari karbohidrat oleh
bakteri merupakan penyebab tinja menjadi asam (pH 5.0-7.0). Bau feses
disebabkan produk kerja bakteri (indol, merkaptan, skatol, hydrogen sulfide).
Komposisi tinja relatif tidak terpengaruh oleh variasi dalam makanan karena
sebagian besar fraksi massa feses bukan berasal dari makanan. Hal ini merupakan
penyebab mengapa selama kelaparan jangka panjang tetap dikeluarkan feses dalam
jumlah bermakna.

Berikut beberapa warna feses dan artinya

1. Jika feses mengandung darah maka ia akan berwarna merah atau hitam.

2. Sedangkan jika kantong empedu bermasalah atau ada infeksi pada hati maka
feses yang keluar akan berwarna pucat atau putih.

3. Jika feses yang keluar berwarna hijau maka kemungkinan besar itu
diakibatkan oleh sayuran hijau gelap seperti bayam yang dikonsumsi.Selain
itu pewarna makanan biru atau hijau yang biasa terkandung dalam minuman

5
atau es bisa menyebabkan feses berwarna hijau.Kondisi ini biasanya
disebabkan oleh makanan yang terlalu cepat melewati usus besar sehingga
tidak melalui proses pencernaan dengan sempurna.

4. Warna feses yang merah biasanya mengindikasikan perdarahan


di rektum.Tapi jika warna merahnya menyeluruh dan bukan berbentuk
seperti garis-garis kemungkinan besar diakibatkan makanan.Feses merah
akibat makanan umumnya disebabkan oleh buah bit, makanan dengan
pewarna merah termasuk minuman bubuk dan juga makanan yang
mengandung gelatin

5. Sedangkan feses berwarna hitam selain menunjukkan adanya darah bisa


juga terjadi akibat pengaruh makanan atau obat.

Mengonsumsi licorice (sejenis tumbuhan yang dikenal dengan akar manis),


mengonsumsi suplemen penambah zat besi atau obat yang mengandung bismuth
bisa membuat feses berwarna hitam. Jika perubahan warna feses ini terjadi dalam
jangka waktu lama dan tetap muncul meskipun sudah tidak mengonsumsi suatu
makanan, sebaiknya segera periksakan ke dokter untuk melihat apakah ada
gangguan di usus atau infeksi yang membuat warna feses berubah.

2.3 Fisiologi dan Anatomi Kolon


Fungsi utama kolon adalah absorbsi air dan elektrolit dari kimus untuk
membentuk feses yang padat dan penimbunan bahan feses sampai dapat
dikeluarkan. Setengah bagian proksimal kolon berhubungan dengan absorbsi dan
setengah distal kolon berhubungan dengan penyimpanan. Karena sebagai 2 fungsi
tersebut gerakan kolon sangat lambat. Tapi gerakannya masih seperti usus halus
yang dibagi menjadi gerakan mencampur dan mendorong.
 Gerakan Mencampur “Haustrasi”.
Gerakan segmentasi dengan konstriksi sirkular yang besar pada
kolon, ± 2.5 cm otot sirkular akan berkontraksi, kadang menyempitkan
lumen hampir tersumbat. Saat yang sama, otot longitudinal kolon (taenia
koli) akan berkontraksi. Kontraksi gabungan tadi menyebabkan bagian usus

6
yang tidak terangsang menonjol keluar (haustrasi). Setiap haustrasi
mencapai intensitas puncak dalam waktu ±30 detik, kemudian menghilang
60 detik berikutnya, kadang juga lambat terutama sekum dan kolon
asendens sehingga sedikit isi hasil dari dorongan ke depan. Oleh karena itu
bahan feses dalam usus besar secara lambat diaduk dan dicampur sehingga
bahan feses secara bertahap bersentuhan dengan permukaan mukosa usus
besar, dan cairan serta zat terlarut secara progresif diabsorbsi hingga
terdapat 80-200 ml feses yang dikeluarkan tiap hari.
 Gerakan Mendorong “Pergerakan Massa”.
Banyak dorongan dalam sekum dan kolon asendens dari kontraksi
haustra yang lambat tapi persisten, kimus saat itu sudah dalam keadaan
lumpur setengah padat. Dari sekum sampai sigmoid, pergerakan massa
mengambil alih peran pendorongan untuk beberapa menit menjadi satu
waktu, kebanyakan 1-3 x/hari gerakan.
Selain itu, kolon mempunyai kripta lieberkuhn tapi tidak ber-vili.
Menghasilkan mucus (sel epitelnya jarang mengandung enzim). Mucus
mengandung ion bikarbonat yang diatur oleh rangsangan taktil, langsung dari sel
epitel dan oleh refleks saraf setempat terhadap sel mucus Krista lieberkuhn.
Rangsangan. Pelvikus dari medulla spinalis yang membawa persarafan
parasimpatis ke separuh sampai dua pertiga bagian distal kolon. Mucus juga
berperan dalam melindungi dinding kolon terhadap ekskoriasi, tapi selain itu
menyediakan media yang lengket untuk saling melekatkan bahan feses. Lebih
lanjut, mucus melindungi dinding usus dari aktivitas bakteri yang berlangsung
dalam feses, ion bikarbonat yang disekresi ditukar dengan ion klorida sehingga
menyediakan ion bikarbonat alkalis yang menetralkan asam dalam feses. Mengenai
ekskresi cairan, sedikit cairan yang dikeluarkan melalui feses (100 ml/hari). Jumlah
ini dapat meningkat sampai beberapa liter sehari pada pasien diare berat

2.4 Absorpsi dalam Usus Besar


Sekitar 1500 ml kimus secara normal melewati katup ileosekal, sebagian
besar air dan elektrolit di dalam kimus diabsorbsi di dalam kolon dan sekitar 100
ml diekskresikan bersama feses. Sebagian besar absorpsi di pertengahan kolon

7
proksimal (kolon pengabsorpsi), sedang bagian distal sebagai tempat penyimpanan
feses sampai akhirnya dikeluarkan pada waktu yang tepat (kolon penyimpanan)
Absorbsi dan Sekresi Elektrolit dan Air. Mukosa usus besar mirip seperti
usus halus, mempunyai kemampuan absorpsi aktif natrium yang tinggi dan klorida
juga ikut terabsorpsi. Ditambah taut epitel di usus besar lebih erat dibanding usus
halus sehingga mencegah difusi kembali ion tersebut, apalagi ketika aldosteron
teraktivasi. Absorbsi ion natrium dan ion klorida menciptakan gradien osmotic di
sepanjang mukosa usus besar yang kemudian menyebabkan absorbsi air
Dalam waktu bersamaan usus besar juga menyekresikan ion bikarbonat
(seperti penjelasan diatas) membantu menetralisir produk akhir asam dari kerja
bakteri didalam usus besar.

2.5 Kemampuan Absorpsi Maksimal Usus Besar


Usus besar dapat mengabsorbsi maksimal 5-8 L cairan dan elektrolit tiap
hari sehingga bila jumlah cairan masuk ke katup ileosekal melebihi atau melalui
sekresi usus besar melebihi jumlah ini akan terjadi diare.
1. Kerja Bakteri dalam kolon.
Banyak bakteri, khususnya basil kolon, bahkan terdapat secara normal pada
kolon pengabsorpsi. Bakteri ini mampu mencerna selulosa (berguna sebagai
tambahan nutrisi), vitamin (K, B₁₂, tiamin, riboflavin, dan bermacam gas yang
menyebabkan flatus di dalam kolon, khususnya CO₂, H₂, CH₄)
2. Komposisi feses.
Normalnya terdiri dari ³⁄₄ air dan ¹⁄₄ padatan (30% bakteri, 10-20% lemak,
10-20% anorganik, 2-3% protein, 30% serat makan yang tak tercerna dan unsur
kering dari pencernaan (pigmen empedu, sel epitel terlepas). Warna coklat dari
feses disebabkan oleh sterkobilin dan urobilin yang berasal dari bilirubin yang
merupakan hasil kerja bakteri. Apabila empedu tidak dapat masuk usus, warna tinja
menjadi putih (tinja akolik). Asam organic yang terbantuk dari karbohidrat oleh
bakteri merupakan penyebab tinja menjadi asam (pH 5.0-7.0). Bau feses
disebabkan produk kerja bakteri (indol, merkaptan, skatol, hydrogen sulfide).
Komposisi tinja relatif tidak terpengaruh oleh variasi dalam makanan karena

8
sebagian besar fraksi massa feses bukan berasal dari makanan. Hal ini merupakan
penyebab mengapa selama kelaparan jangka panjang tetap dikeluarkan feses dalam
jumlah bermakna.

2.6 Masalah- masalah yang terjadi pada proses defeksi


1. Konstipasi
Konstipasi adalah suatu penurunan defekasi yang normal pada
seseorang, disertai dengan kesulitan keluarnya feses yang tidak lengkap atau
keluarnya feses yang sangat keras dan kering (Wilkinson, 2006). Konstipasi
adalah defekasi dengan frekuensi yang sedikit, tinja tidak cukup jumlahnya,
berbentuk keras dan kering (Oenzil, 1995). Konstipasi adalah kesulitan atau
kelambatan pasase feses yang menyangkut konsistensi tinja dan frekuensi
berhajat. Konstipasi dikatakan akut jika lamanya 1 sampai 4 minggu,
sedangkan dikatakan kronik jika lamanya lebih dari 1 bulan (Mansjoer,
2000).
Penyebab terjadinya konstipasi yaitu:
 Kurang gerak.
 Kurang minum.
 Kurang serat.
 Sering menunda buang air besar.
 Kebiasaan menggunakan obat pencahar.
 Efek samping obat-obatan tertentu (antasid dan opiat) sampai adanya
gangguan seperti usus terbelit.
Patofisiologi konstipasi diantaranya:
 Defekasi menjadi sulit manakala frekuensi pergerakan usus berkurang, yang
akhirnya akan memperpanjang masa transit tinja. Semakin lama tinja
tertahan dalam usus, maka konsistensinya akan semakin keras, dan akhirnya
membatu sehingga susah dikeluarkan (Arisman, 2004).
 Rasa takut akan nyeri sewaktu berdefekasi juga dapat menjadi stimulus
psikologis bagi seseorang untuk menahan buang air besar dan dapat
menyebabkan konstipasi. Rangsangan simpatis atau saluran gastrointestinal
menurunkan motilitas dan dapat memperlambat defekasi. Aktivitas simpatis

9
meningkat pada individu yang mengalami stress lama. Obat-obatan tertentu
misalnya antasid dan opiat juga dapat menyebabkan konstipasi (Corwin,
2000).
Ciri- ciri penderita konstipasi antara lain:
 Merasa defekasinya menjadi sulit dan nyeri
 Tinja keras
 Mengejan pada saat defekasi
 Lelah dan tidak nyaman saat defekasi
 Defekasi hanya tiga kali atau kirang dari seminggu
 Perut kembung. (Sherry, j. 2000)
 Nyeri pinggang bagian bawah
 Warna tinja kehitam hitaman
 Perut terasa mual
 Mulut terasa pahit
 Lidah kering
 Nafsu makan menurun
Adapun cara mengurangi resiko konstipasi yaitu:
 Menyarankan untuk mengkonsumsi makanan berserat tinggi setiap hari,
seperti sayuran dan buah-buahan.
 Menganjurkan untuk minum paling sedikit delapan gelas cairan (air, jus,
teh, kopi) setiap hari untuk melembutkan feses.
 Menganjurkan untuk tidak menggunakan laksatif secara rutin, karena bisa
menyebabkan ketergantungan (Moore, 1997).
Pemeriksaan adanya konstipasi dengan cara:
 Pemeriksaan dimulai pada rongga mulut meliputi gigi geligi, adanya luka
pada selaput lendir mulut dan tumor yang dapat mengganggu rasa pengecap
dan proses menelan.
 Daerah perut diperiksa apakah ada pembesaran perut, peregangan atau
tonjolan. Perabaan permukaan perut untuk menilai kekuatan otot perut.
Perabaan lebih dalam dapat mengetahui massa tinja di usus besar, adanya
tumor atau pelebaran nadi.

10
 Pada pemeriksaan ketuk dicari pengumpulan gas berlebih, pembesaran
organ, cairan dalam rongga perut atau adanya massa tinja. Pemeriksaan
dengan stetoskop digunakan untuk mendengarkan suara gerakan usus besar
serta mengetahui adanya sumbatan usus.
 Pemeriksaan dubur untuk mengetahui adanya wasir, hernia, fissure
(retakan) atau fistula (hubungan abnormal pada saluran cerna), juga
kemungkinan tumor di dubur yang bisa mengganggu proses buang air besar.
Colok dubur memberi informasi tentang tegangan otot, dubur, adanya
timbunan tinja, atau adanya darah.
 Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi faktor resiko
konstipasi seperti gula darah, kadar hormon tiroid, elektrolit, anemia akibat
keluarnya darah dari dubur. Anoskopi dianjurkan untuk menemukan
hubungan abnormal pada saluran cerna, tukak, wasir, dan tumor.
 Foto polos perut harus dikerjakan pada penderita konstipasi untuk
mendeteksi adanya pemadatan tinja atau tinja keras yang menyumbat
bahkan melubangi usus. Jika ada penurunan berat badan, anemia, keluarnya
darah dari dubur atau riwayat keluarga dengan kanker usus besar perlu
dilakukan koloskopi (Nri, 2004).
Salah satu cara mengobati konstipasi dengan cara terapi:
 Terapi diberikan sesuai penyebabnya dan pada lansia pengobatannya harus
hati-hati. Untuk pengobatan biasanya dimulai fase 1 yaitu perubahan
kebiasaan hidup meliputi latihan buang air besar secara teratur, dikombinasi
olahraga, dan diet banyak cairan minimum 1500 cc/hari air/jus buah,
makanan berserat sehari 20-30 gram.
 Jika belum membaik, maka terapi memasuki fase 2, yaitu penggunaan obat-
obatan laksatif atau supositoria dan enema serta terapi lainnya.
 Jika fase 2 tidak efektif, maka perlu pemeriksaan radiologis, bahkan pada
konstipasi tertentu perlu dilakukan tindakan operasi (Arief, 2008).

11
2. Diare
Diare merupakan keadaan individu yang mengalami atau beresiko
sering mengalami pengeluaran feses dalam bentuk cair. Diare sering disertai
kejang usus, mungkin ada rasa mual dan muntah.
3. Inkontinensia Usus
Inkontinensia usus merupakan keadaan individu yang mengalami
perubahan kebiasaan dari proses defekasi normal mengalami proses
pengeluaran feses tak disadari.

4. Kembung
Kembung merupakan keadaan penuh udara dalam perut karena
pengumpulan gas secara berlebihan dalam lambung atau usus.

5. Hemoroid
Hemoroid merupakan keadaan terjadinya pelebaran vena didaerah
anus sebagai akibat peningkatan tekanan didaerah anus yang dapat
disebabkan karena konstipasi, perenggangan saat defekasi dan lain-lain.

6. Fecal Impaction
Fecal impaction merupakan masa feses keras dilipatan rectum yang
diakibatkan oleh retensi dan akumulasi materi feses yang berkepanjangan.
Salah satu penyebab konstipasi asupan kurang, aktivitas kurang, diet rendah
serat, dan kelemahan tonus otot.

12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Buang air besar atau defekasi adalah suatu tindakan atau proses makhluk
hidup untuk membuang kotoran atau tinja yang padat atau setengah padat yang
berasal dari sistem pencernaan. Usus besar terdiri dari kolon, sekum, apendiks, dan
rektum. Dalam keadaan normal, setiap harinya, kolon menerima sekitar 500 mL
kimus dari usus halus melalui katup ileosekal dengan waktu yang dibutuhkan 8-15
jam. Sebagian besar pencernaan dan penyerapan berlangsung di usus halus, maka
kolon hanya menerima residu makanan yang tidak dapat dicerna seperti selulosa.
Selulosa dan bahan lain yang tak dapat dicerna akan keluar sebagai feses.

3.2 Saran
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
kami miliki sangat kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kami khususnya
dan bagi pembaca umumnya.

13
DAFTAR PUSTAKA

https://duniabenni.wordpress.com/2014/05/28/proses-defekasi-dan-pewarnaan-
pada-fases-manusia/ diakses pada 18 November 2019 pada jam 18.00 WIB
https://nursepreneursindonesia.wordpress.com/2014/08/28/kebutuhan-eliminasi-
alvi/ diakses pada 20 November 2019 pada jam 14.00 WIB
http://www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-konstipasi-definisi-makalah.html
diakses pada 20 November 2019 pada jam 07.00 WIB

14

Anda mungkin juga menyukai