Anda di halaman 1dari 41

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..i

Daftar Isi .. ii

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang . 1

Tujuan .. 1

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Kolitis .3

BAB III PNUTUP

3.1 Kesimpulan ...

3.2 Saran dan Kritik

Daftar Pustaka .

ii

BAB I

PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang

Kolitis adalah suatu peradangan akut atau kronik pada kolon Kolon memiliki
berbagai fungsi, yang terpenting adalah absorbsi air dan elektrolit. Ciri khas dari
gerakan usus besar adalah pengadukan haustral. Gerakan meremas dan tidak progresif
ini menyebabkan isi usus bergerak bolak balik, sehingga memberikan waktu untuk
terjadinya absorbsi. Peristaltik mendorong feses ke rectum dan menyebabkan
peregangan dinding rectum dan aktivasi refleks defekasi.Banyaknya bakteri yang
terdapat di dalam kolon berfungsi mencerna beberapa bahan dan membantu
penyerapan zat-zat gizi. Bakteri di dalam kolon juga berfungsi membuat zat-zat
penting, seperti vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus.
Beberapa penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri
di dalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya
lendir dan air sehingga terjadilah diare.

1.2 Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui jenis - jenis, cara penegakan diagnosis, komplikasi dan


penatalaksaan mengenao penyakit kolitis.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 FISIOLOGI DAN ANATOMI KOLON

Fungsi utama kolon adalah (1) absorbsi air dan elektrolit dari kimus untuk
membentuk feses yang padat dan (2) penimbunan bahan feses sampai dapat
dikeluarkan. Setengah bagian proksimal kolon berhubungan dengan absorbsi dan
setengah distal kolon berhubungan dengan penyimpanan. Karena sebagai 2 fungsi
tersebut gerakan kolon sangat lambat. Tapi gerakannya masih seperti usus halus yang
dibagi menjadi gerakan mencampur dan mendorong.

Gerakan Mencampur Haustrasi.

Gerakan segmentasi dengan konstriksi sirkular yang besar pada kolon, 2.5 cm otot
sirkular akan berkontraksi, kadang menyempitkan lumen hampir tersumbat. Saat yang
sama, otot longitudinal kolon (taenia koli) akan berkontraksi. Kontraksi gabungan tadi
menyebabkan bagian usus yang tidak terangsang menonjol keluar (haustrasi). Setiap
haustrasi mencapai intensitas puncak dalam waktu 30 detik, kemudian menghilang
60 detik berikutnya, kadang juga lambat terutama sekum dan kolon asendens sehingga
sedikit isi hasil dari dorongan ke depan. Oleh karena itu bahan feses dalam usus besar
secara lambat diaduk dan dicampur sehingga bahan feses secara bertahap bersentuhan
dengan permukaan mukosa usus besar, dan cairan serta zat terlarut secara progresif
diabsorbsi hingga terdapat 80-200 ml feses yang dikeluarkan tiap hari.

Gerakan Mendorong Pergerakan Massa.

Banyak dorongan dalam sekum dan kolon asendens dari kontraksi haustra yang
lambat tapi persisten, kimus saat itu sudah dalam keadaan lumpur setengah padat.
Dari sekum sampai sigmoid, pergerakan massa mengambil alih peran pendorongan
untuk beberapa menit menjadi satu waktu, kebanyakan 1-3 x/hari gerakan.

Selain itu, kolon mempunyai kripta lieberkuhn tapi tidak ber-vili. menghasilkan
mucus (sel epitelnya jarang mengandung enzim). Mucus mengandung ion bikarbonat
yang diatur oleh rangsangan taktil , langsung dari sel epitel dan oleh refleks saraf
setempat terhadap sel mucus Krista lieberkuhn. Rangsangan n. pelvikus dari medulla
spinalis yang membawa persarafan parasimpatis ke separuh sampai dua pertiga bagian
distal kolon. Mucus juga berperan dalam melindungi dinding kolon terhadap
ekskoriasi, tapi selain itu menyediakan media yang lengket untuk saling melekatkan
bahan feses. Lebih lanjut, mucus melindungi dinding usus dari aktivitas bakteri yang
berlangsung dalam feses, ion bikarbonat yang disekresi ditukar dengan ion klorida
sehingga menyediakan ion bikarbonat alkalis yang menetralkan asam dalam feses.
Mengenai ekskresi cairan, sedikit cairan yang dikeluarkan melalui feses (100 ml/hari).
Jumlah ini dapat meningkat sampai beberapa liter sehari pada pasien diare berat

Absorpsi dalam Usus Besar

Sekitar 1500 ml kimus secara normal melewati katup ileosekal, sebagian besar air dan
elektrolit di dalam kimus diabsorbsi di dalam kolon dan sekitar 100 ml diekskresikan
bersama feses. Sebagian besar absorpsi di pertengahan kolon proksimal (kolon
pengabsorpsi), sedang bagian distal sebagai tempat penyimpanan feses sampai
akhirnya dikeluarkan pada waktu yang tepat (kolon penyimpanan)

Absorbsi dan Sekresi Elektrolit dan Air.

Mukosa usus besar mirip seperti usus halus, mempunyai kemampuan absorpsi aktif
natrium yang tinggi dan klorida juga ikut terabsorpsi. Ditambah taut epitel di usus
besar lebih erat dibanding usus halus sehingga mencegah difusi kembali ion tersebut,
apalagi ketika aldosteron teraktivasi. Absorbsi ion natrium dan ion klorida
menciptakan gradien osmotic di sepanjang mukosa usus besar yang kemudian
menyebabkan absorbsi air

Dalam waktu bersamaan usus besar juga menyekresikan ion bikarbonat (seperti
penjelasan diatas) membantu menetralisir produk akhir asam dari kerja bakteri
didalam usus besar
Kemampuan Absorpsi Maksimal Usus Besar

Usus besar dapat mengabsorbsi maksimal 5-8 L cairan dan elektrolit tiap hari
sehingga bila jumlah cairan masuk ke katup ileosekal melebihi atau melalui sekresi
usus besar melebihi jumlah ini akan terjadi diare.

Kerja Bakteri dalam kolon.

Banyak bakteri, khususnya basil kolon, bahkan terdapat secara normal pada kolon
pengabsorpsi. Bakteri ini mampu mencerna selulosa (berguna sebagai tambahan
nutrisi), vitamin (K, B, tiamin, riboflavin, dan bermacam gas yang menyebabkan
flatus di dalam kolon, khususnya CO, H, CH)

Komposisi feses.

Normalnya terdiri dari air dan padatan (30% bakteri, 10-20% lemak, 10-20%
anorganik, 2-3% protein, 30% serat makan yang tak tercerna dan unsur kering dari
pencernaan (pigmen empedu, sel epitel terlepas). Warna coklat dari feses disebabkan
oleh sterkobilin dan urobilin yang berasal dari bilirubin yang merupakan hasil kerja
bakteri. Apabila empedu tidak dapat masuk usus, warna tinja menjadi putih (tinja
akolik). Asam organic yang terbantuk dari karbohidrat oleh bakteri merupakan
penyebab tinja menjadi asam (pH 5.0-7.0). Bau feses disebabkan produk kerja bakteri
(indol, merkaptan, skatol, hydrogen sulfide). Komposisi tinja relatif tidak terpengaruh
oleh variasi dalam makanan karena sebagian besar fraksi massa feses bukan berasal
dari makanan. Hal ini merupakan penyebab mengapa selama kelaparan jangka
panjang tetap dikeluarkan feses dalam jumlah bermakna.
Defekasi

Sebagian besar waktu, rectum tidak berisi feses, hal ini karena adanya sfingter yang
lemah 20 cm dari anus pada perbatasan antara kolon sigmoid dan rectum serta sudut
tajam yang menambah resistensi pengisian rectum. Bila terjadi pergerakan massa ke
rectum, kontraksi rectum dan relaksasi sfingter anus akan timbul keinginan defekasi.
Pendorongan massa yang terus menerus akan dicegah oleh konstriksi tonik dari
1) sfingter ani interni; 2) sfingter ani eksternus

Refleks Defekasi. Keinginan berdefekasi muncul pertama kali saat tekanan rectum
mencapai 18 mmHg dan apabila mencapai 55 mmHg, maka sfingter ani internus dan
eksternus melemas dan isi feses terdorong keluar. Satu dari refleks defekasi adalah
refleks intrinsic (diperantarai sistem saraf enteric dalam dinding rectum.

Ketika feses masuk rectum, distensi dinding rectum menimbulkan sinyal aferen
menyebar melalui pleksus mienterikus untuk menimbulkan gelombang peristaltic
dalam kolon descendens, sigmoid, rectum, mendorong feses ke arah anus. Ketika
gelombang peristaltic mendekati anus, sfingter ani interni direlaksasi oleh sinyal
penghambat dari pleksus mienterikus dan sfingter ani eksterni dalam keadaan sadar
berelaksasi secara volunter sehingga terjadi defekasi. Jadi sfingter melemas sewaktu
rectum teregang

Sebelum tekanan yang melemaskan sfingter ani eksternus tercapai, defekasi volunter
dapat dicapai dengan secara volunter melemaskan sfingter eksternus dan
mengontraksikan otot-otot abdomen (mengejan). Dengan demikian defekasi
merupakan suatu reflex spinal yang dengan sadar dapat dihambat dengan menjaga
agar sfingter eksternus tetap berkontraksi atau melemaskan sfingter dan
megontraksikan otot abdomen.

Sebenarnya stimulus dari pleksus mienterikus masih lemah sebagai relfeks defekasi,
sehingga diperlukan refleks lain, yaitu refleks defekasi parasimpatis (segmen sacral
medulla spinalis). Bila ujung saraf dalam rectum terangsang, sinyal akan dihantarkan
ke medulla spinalis, kemudian secara refleks kembali ke kolon descendens, sigmoid,
rectum, dan anus melalui serabut parasimpatis n. pelvikus. Sinyal parasimpatis ini
sangat memperkuat gelombang peristaltic dan merelaksasi sfingter ani internus.
Sehingga mengubah refleks defekasi intrinsic menjadi proses defekasi yang kuat

Sinyal defekasi masuk ke medula spinalis menimbulkan efek lain, seperti


mengambil napas dalam, penutupan glottis, kontraksi otot dinding
abdomen mendorong isi feses dari kolon turun ke bawah dan saat
bersamaan dasar pelvis mengalami relaksasi dan menarik keluar cincin
anus mengeluarkan feses.

2.2 KOLITIS

A. Definisi
Kolitis adalah suatu peradangan akut atau kronik pada kolon, yang berdasarkan
penyebab dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Kolitis infeksi, misalnya : shigelosis, kolitis tuberkulosa, kolitis amebik,


kolitis pseudomembran, kolitis karena virus/bakteri/parasit.
2. Kolitis non-infeksi, misalnya : kolitis ulseratif, penyakit Crohns kolitis
radiasi, kolitis iskemik, kolitis mikroskopik, kolitis non-spesifik (simple
colitis).

Pembahasan ini difokuskan pada kolitis infeksi yang sering ditemukan di


Indonesia sebagai daerah tropik, yaitu kolitis amebik, shigellosis, dan kolitis
tuberkulosa serta infeksi E.coli patogen yang dilaporkan sebagai salah satu penyebab
utama diare kronik di Indonesia.

B. Jenis Kolitis

a. Kolitis Infeksi

1. (AMEBIASIS KOLON)

Batasan.
Peradangan kolon yang disebabkan oleh protozoa Entamoeba histolytica.

Epidemiologi.
Prevalensi amebiasis diberbagai tempat sangat bervariasi, diperkirakan 10% populasi
terinfeksi. Prevalensi tertinggi di daerah tropis (50-80%). Manusia merupakan host
sekaligus reservoir utama. Penularannya lewat kontaminasi tinja ke makanan dan
minuman, dengan perantara lalat, kecoak, kontak interpersonal atau lewat hubungan
seksual anal-oral. Sanitasi lingkungan yang jelek. Penduduk yang padat dan
kurangnya sanitasi individual mempermudah penularannya.

Pasien yang asimtomatik tanpa adanya invasi jaringan, hanya mengeluarkan kista
pada tinjanya. Kista tersebut dapat bertahan hidup di luar tubuh manusia. Sedangkan
pada pasien dengan infeksi amuba akut/kronik yang invasif selain kista juga
mengeluarkan trofozoit, namun bentuk trofozoit tersebut tidak dapat bertahan lama
diluar tubuh manusia.
Gejala klinis.

Gejala klinis pasien amebiasis sangat bervariasi, mulai dan asimtomatik sampai berat
dengan gejala klinis menyerupai kolitis ulseratif. Beberapa jenis keadaan klinis pasien
amebiasis adalah sebagai berikut :

1. Carrier: ameba tidak mengadakan invasi ke dinding usus, tanpa gejala atau
hanya keluhan ringan seperti kembung, flatulensi, obstipasi, kadang-kadang
diare. Sembilan puluh persen pasien sembuh sendiri dalam waktu satu tahun,
sisanya (10 %) berkembang menjadi kolitis ameba.
2. Disentri ameba ringan : kembung, nyeri perut ringan, demam ringan, diare
ringan dengan tinja berbau busuk serta bercampur darah dan lendir, keadaan
umum pasien baik.

3. Disentri ameba sedang : kram perut, demam, badan lemah, hepatomegali


dengan nyeri spontan.

4. Disenti ameba berat : diare disertai banyak darah, demam tinggi, mual,
anemia.

5. Disentri ameba kronik : gejala menyerupai disentri ameba ringan diselingi


dengan periode normal tanpa gejala, berlangsung berbulan-bulan sampai
bertahun-tahun, neurasthenia, serangan diare biasanya timbul karena
kelelahan, demam atau makanan yang sukar dicerna.

Penatalaksanaan.

1. Karierasimtomatik.
Diberi obat yang bekerja di lumen usus (luminal agents) antara lain:
Iodoquinol (diiodohidroxyquin) 650 mg tiga kali per hari selama 20 hari atau
Paromomycine 500 mg 3 kali sehari selama 10 hari.
2. Kolitisamebaakut.
Metronidazol 750 mg tiga kali sehari selama 5 10 hari, ditambah dengan
obat luminal tersebut di atas.

3. Amebiasis ekstraintestinal (misalnya : abses hati ameba). Metronidazol 750


mg tiga kali sehari selama 5-10 hari ditambah dengan obat luminal tersebut
diatas. Penggunaan 2 macam atau lebih amebisidal ekstra intestinal tidak
terbukti lebih efektif dari satu macam obat.

2. DISENTRI BASILER (SHIGELLOSIS)

Batasan.
Infeksi akut ileum terminalis dan kolon yang disebabkan oleh bakteri genus Shigella

Epidemiologi.
Infeksi Shigella mudah terjadi di tempat pemukiman padat , sanitasi jelek, kurang air
dan tingkat kebersihan perorangan yang rendah. Di daerah endemik infeksi Shigella
merupakan 10 15 % penyebab diare pada anak. Sumber kuman Shigella yang
alamiah adalah manusia walaupun kera dan simpanse yang telah dipelihara dapat juga
tertular. Jumlah kuman untuk menimbulkan penyakit relative sedikit, yaitu berkisar
antara 10-100 kuman. Oleh karena itu sangat mudah terjadi penularan secara fecal
oral, baik secara kontak langsung maupun akibat makanan dan minuman yang
terkontaminasi.

Di daerah tropis termasuk Indonesia. Disentri biasanya meningkat pada musim


kemarau di mana S.flexnerii merupakan penyebab infeksi terbanyak. Sedangkan di
negera-negara Eropa dan Amerika Serikat prevalensinya meningkat di musim dingin.
Prevalensi infeksi oleh S.flexnerii di negera tersebut telah menurun sehingga saat ini
S.Sonnei adalah yang terbanyak

Gejala Klinis

Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Pada dasarnya gejala klinis
Shigeleosis bervariasi. Lama gejala rerata 7 hari pada orang dewasa, namun dapat
berlangsung sampai 4 minggu. Disentri basiler yang tidak diobati dengan baik dan
berlangsung lama gejalanya menyerupai kolitis ulserosa. Pada fase awal pasien
mengeluh nyeri perut bawah, rasa panas rektal, diare disertai demam yang bisa
mencapai 40o C. selanjutnya diare berkurang tetapi tinja masih mengandung darah
dan lendir, tenesmus, dan nafsu makan menurun. Pada anak-anak mungkin didapatkan
demam tinggi dengan atau tanpa kejang, delirium, nyeri kepala, kaku kuduk dan
letargi. Pengidap pasca infeksi pada umumnya berlangsung kurang dari 4 minggu.
Walaupun jarang terjadi telah dilaporkan adanya pengidap Shigella yang
mengeluarkan kuman bersama feses selama bertahun. Pengidap kronik tersebut
biasanya sembuh sendiri dan dapat mengalami gejala shifellosis yang intermiten.

Penatalaksanaan

1. Mengatasi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Sebagian besar


pasien disentri dapat diatasi dengan rehidrasi oral. Pada pasien dengan diare
berat, disertai dehidrasi dan pasien yang muntah berlebihan sehingga tidak
dapat dilakukan rehidrasi oral harus dilakukan rehidrasi intravena.
2. Antibiotik. Keputusan penggunaan antibiotik sepenuhnya berdasarkan
beratnya penyakit yaitu pasien dengan gejala disentri sedang sampai berat,
diare persisten serta perlu diperhatikan pola sensitivitas kuman di daerah
tersebut. Beberapa jenis antibiotik yang dianjurkan adalah:

Ampisilin 4 kali 500 mg per hari, atau

Kontrimoksazol 2 kali 2 tablet per hari, atau

Tetrasiklin 4 kali 500 mg per hari selama 5 hari

Dilaporkan bahwa pada daerah tertentu di Indonesia kuman Shigella telah banyak
yang resisten dengan antibiotik tersebut diatas sehingga diperlukan antibiotik lain
seperti golongan kuinolon dan sefalosporin generasi III terutama pada pasien dengan
gejala klinik yang berat Pengobatan simtomatik. Hindari obat yang dapat menghambat
motilitas usus seperti narkotika dan derivatnya, karena dapat mengurangi eliminasi
bakteri dan memprovokasi terjadinya megakolon toksik. Obat simtomatik yang lain
diberikan sesuai dengan keadaan pasien antara lain analgetik-antipiretik dan
antikonvulasi.
3. ESCHERICHIA COLI (PATOGEN)

Batasan.
Infeksi kolon oleh serotie Escherichia coli tertentu (O157:H7) yang menyebabkan
diare berdarah/tidak.

Epidemiologi.
Karena pemeriksaan laboratorium untuk E.Coli patogen jarang dilakukan, maka
angka kejadiannya tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan di Amerika Serikat
sekitar 21.000 orang terinfeksi setiap tahunnya. Di Canada dan Amerika Serikat,
E.Coli (O157:H7) lebih sering diisolasi pada pasien diare dibandingkan dengan
Shigella demikian juga pada pasien diare kronik di Jakarta.

E.Coli patogen tersebut didapatkan pada usus ternak sehat (sekitar 1%), penularan ke
manusia sehingga menyebabkan KLB (kejadian luar biasa/outbreak) adalah lewat
daging yang terkontaminasi pada saat penyembelihan, daging tersebut kemudian
digiling dan kurang baik dalam proses pemanasannya. Cara penularan lain adalah
lewat air minum yang tercemar, tempat berenang yang tercemar dan antar manusia.

Masa inkubasi rerata 3-4 hari, namun dapat terjadi antara 1 8 hari. E.Coli patogen
dapat ditemukan pada pasien sampai 3 minggu setelah sembuh namun tidak pernah
ditemukan pada orang sehat (bukan flora normal pada manusia).

Gejala klinis

Manifestasi klinis enfeksi E.Coli patogen sangat bervariasi, dapat berupa : infeksi
asimtomatik, diare tanpa darah, diare berdarah (hemorrhagic colitis), SHU, purpura
trombositopenik sampai kematian.
Gejala klinis adalah nyeri abdomen yang sangat (severe abdominal cramp), diare
yang kemudian diikuti diare berdarah dan sebagian dari pasien disertai nausea (mual)
dan vomiting (muntah). Pada umumnya suhu tubuh pasien sedikit meningkat atau
normal, sehingga dapat dikelirukan sebagai kolitis non infeksi.

Pemeriksaan tinja pasien biasanya penuh dengan darah, namun sebagian pasien tindak
mengandung darah sama sekali.

Gejala biasanya membaik dalam seminggu, namun dapat pula terjadi SHU (sekitar 6
% dari pasien) antara 2-12 hari dari onset diare. SHU ditandai dengan anemia
hemolitik mikroangiopatik, trombositopenia, gagal ginjal dan gejala saraf sentral.
Komplikasi neurologik berupa kejang , koma, hemiparesis terjadi pada sekitar
seperempat dari pasien SHU. Prediktor keparahan SHU antara lain meningkatnya
jumlah lekosit, gejala gastrointestinal yang berat, cepat timbul anuria, usia di bawah 2
tahun. Mortalitas antara 3-5 %

Penatalaksanaan.
Pengobatan infeksi E.Coli patogen tidak spesifik, terutama pengobatan suportif dan
simtomatik. Komplikasi SHU dilaporkan lebih banyak terjadi pada pasien yang
mendapat antibiotik dan obat yang menghambat motilitas. Di samping itu pemberian
kontrimoksazol dilaporkan tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap
perjalanan gejala gastrointestinal, ekskresi organisme dan komplikasi SHU.

4. KOLITIS TUBERKULOSA

Batasan.
Infeksi kolon oleh kuman Mycobacterium tuberculosae.

Epidemiologi.
Lebih sering ditemukan di negara berkembang dengan penyakit tuberculosis yang
masih menjadi masalah kesehatan masyarakat.

Gejala klinis.
Keluhan paling sering (pada 80-90% kasus) adalah nyeri perut kronik yang tidak
khas. Dapat terjadi diare ringan bercampur darah, kadang-kadang konstipasi,
anoreksi, demam ringan, penurunan berat badan atau teraba masa abdomen kanan
bawah. Pada sepertiga kasus ditemukan kuman pada tinja, tetapi pada pasien dengan
tuberkulosis paru aktif adanya kuman pada tinja mungkin hanya berasal dan kuman
yang tertelan bersama sputum.

Penatalaksanaan.
Diperlukan kombinasi 3 macam atau lebih obat anti tuberculosis seperti pada
pengobatan tuberculosis paru, demikian pula lama pengobatan dan dosis obatnya.
Kadang-kadang perlu tindakan bedah untuk mengatasi komplikasi. Beberapa obat anti
tuberculosis yang sering dipakai adalah :

INH 5 10 mg/kgBB atau 400 mg sekali sehari


Etambutol 15 25 mg/kgBB atau 900 1200 mg sekali sehari

Rifampisin 10 mg/kgBB atau 400 600 mg sekali sehari

Pirazinaidid 25 -3 mg/kgBB atau 1,5 2 g sekali sehari

5. KOLITIS PSEUDOMEMBRAN

Kolitis pseudomembran adalah peradangan kolon akibat toksin yang ditandai dengan
terbentuknya lapisan eksudatif (pseudomembran) yang melekat di permukaaan
mukosa kolon. Kolitis pseudomembran ditandai dengan plak pseudomembran dengan
ukuran bervariasi antara 2 sampai 5 mm dan seringkali bergabung membentuk
pseudomembran berwarna putih kekuningan. Pada beberapa kasus lokasi penyakit ini
di sekum dan kolon bagian proksimal. Kolitis pseudomembran digambarkan pertama
kali pada abad 19 kemudian dikenal sebagai penyakit gastrointestinal dengan
frekuensi meningkat dan dapat mengakibatkan kematian.

Disebut pula sebagai kolitis terkait antibiotik oleh karena sering timbul akibat
pertumbuhan Clostridium difficile (C. difficile) akibat pemakaian antibiotika. Kolitis
pseudomembran pertama kali dilaporkan pada tahun 1893 disebabkan oleh karena
Staphylococcus aureus, tetapi pada tahun 1978 banyak kasus kolitis pseudomembran
diakibatkan oleh toksin C. difficile. C. difficile ditemukan 15-25% pada penderita
dengan gejala asimptomatik, mendapat terapi antibiotika sebelumnya dan orang
dewasa yang MRS. 10% kasus antibiotika berhubungan diare adalah kolitis
pseudomembran. Usia lanjut mempunyai resiko tinggi untuk menderita kolitis
pseudomembran.

Kolitis pseudomembran berhubungan dengan pembentukan pseudomembran pada


mukosa kolon. Kolitis pseudomembran dapat terjadi pada minggu pertama pemakaian
antibiotika atau terjadi lebih 6 minggu setelah pemakaian antibiotika dihentikan.
Pemakaian oral lebih sering menimbulkan kolitis pseudomembran dibanding
perenteral. Walaupun clindamysin dan lincomycin berhubungan dengan kolitis
pseudomembran, sebenarnya semua antibiotika dapat
mengakibatkan kolitis pseudomembran antara lain cephalosporin dan ampicillin oleh
karena pemakaian yang luas. Mortality rate penderita kolitis pseudomembran 1.1-
3.5%

Etiologi
Kolitis pseudomembran sering dihubungkan dengan penggunaan antibiotika yang
mengakibatkan perubahan keseimbangan flora normal usus dan memungkinkan
pertumbuhan beberapa organisme, termasuk C. difficile yang akan melepaskan toksin.
Banyak kasus dilaporkan kolitis pseudomembran akibat penggunaan antibiotika tanpa
memperhatikan jumlah dosis maupun cara pemberian antibiotika. Pemberian
antibiotika jangka panjang dan penggunaan lebih dari 2 macam meningkatkan resiko
terkena kolitis pseudomembran. C. difficile adalah suatu bakteri gram positif, bentuk
spora, anaerob dapat diisolasi pada hampir semua kasus kolitis pseudomembran.
Sebagian besar kasus disebabkan C. difficile ditandai dengan diare dan akan membaik
jika antibiotik penyebab dihentikan dan kolitis pseudomembran merupakan
komplikasi khusus. C. difficile merupakan patogen pada hampir semua kasus kolitis
pseudomembran, meskipun sebagian besar penderita diare oleh karena antibiotika
menunjukkan hasil toksin negatif. Pada beberapa kasus ditemukan Staphylococcus
aureus, Salmonella species, Clostridium perfringens, Yersinea species, Shigella
species, Campylobacter species, cytomegalovirus, Entamoeba histolytica dan Listeria
species. Faktor resiko kolitis pseudomembran yang disebabkan C. difficile akibat
pengguanaan antibiotika adalah iskemia kolon, operasi kolon yang baru, uremia,
perubahan diet, perubahan motilitas kolon, malnutrisi, kemoterapi, syok dan
Hirschsprung disease. Kolitis pseudomembran dapat juga terjadi tanpa riwayat
pemakaian antibiotika sebelumnya.

Patofisiologi
Faktor yang ikut berperan pada patogenesis C. difficile berhubungan dengan penyakit
usus adalah :
1)Sumber organisme dapat dari flora normal atau berasal dari lingkungan
2) mengubah flora normal (peran antibiotika)
3) produksi toksin, bersamaan flora normal ditekan
4) umur yang berkaitan dengan kepekaanan
5) kepekaan imunologik

Penggunaan antibiotika spektrum luas mengakibatkan perubahan flora normal usus


dan mengganggu mekanisme kontrol dari populasi flora usus sehingga
memungkinkan C. difficile menetap dan mengadakan proliferasi terutama jika
penggunaan antibiotika secara oral.. Disamping itu juga menekan resistensi kolonisasi
terhadap C. difficile dan antibiotika sisa tidak aktif melawan C. difficile. Pemberian
C. difficile pada binatang coba tanpa antibiotika tidak mengakibatkan kolitis tetapi
pemberian antibiotika mengakibatkan kolitis. Hal ini dikarenakan hilangnya
kemampuan untuk menghalangi efek toksin C. difficile dan bakteri lain. Perubahan
bakteri anaerobik tampaknya juga memegang peranan penting. Kuman tesebut
menetap di kolon dan menghasilkan toksin yang merusak mukosa, inflamasi dan
sekresi cairan. Host ikut berperan pada manifestasi gejala klinik.

Kolitis diakibatkan oleh sejumlah toksin yang dihasilkan bakteri. Toksin A dan B yang
diproduksi akan mengakibatkan kerusakan jaringan usus dan mengganggu hubungan
antar sel. Toksin yang berperan adalah toksin A (enterotoksin) dengan aktivitas
sitotoksik lemah dan toksin B (sitotoksin) mengakibatkan perubahan kultur jaringan.
Enterotoksin terutama bertanggung jawab pada gejala klinik yang berhubungan
dengan infeksi C.difficile tetapi memiliki efek sitotoksik lebih lemah dibandingkan
sitotoksin.
Enterotoksin mengakibatkan sekresi cairan dan kerusakan mukosa dengan akibat
diare dan inflamasi. Toksin melekat dan menyerang mukosa serta mikrofilamen dari
sel mukosa dan kemudian menghasilkan kontraksi sitoplasma, perdarahan, inflamasi,
nekrosis sel dan kehilangan protein. Toksin juga mengganggu sintesa protein,
stimulasi kemotaksis granulosit dan meningkaktkan permeabilitas kapiler dan respon
mioelektrik usus serta mengganggu peristaltik. Kerusakan awal oleh toksin A
memungkinkan toksin B masuk ke dalam sel dan memungkinkan kedua toksin
menyebabkan trauma pada sel.

Toksin A mengakibatkan produksi TNF a, IL-1b dan leukotriene serta menstimulasi


neutrofil sehingga mengakibatkan inflamasi. Pada awalnya tampak eksudasi
polimorfonuklear dan fibrin ke dalam lumen dan merupakan tanda spesifik.
Akumulasi sel PMN di jaringan usus pada kolitis pseudomembran oleh karena toksin
A mengakibatkan kerusakan jaringan. Replikasi patogen, produksi toksin dan
pengerahan neutrofil mengakibatkan kerusakan dan apoptosis, nekrosis lokal dan
terbentuk pseudomembran. Toksin B sangat bermanfaat untuk deteksi penyakit
sedangkan toksin A bertanggung jawab pada ekspresi klinik dari penyakit. Ig G
terhadap toksin A berhubungan dengan perlindungan terhadap penyakit asimptomatik
dan juga mencegah relaps.

Gejala Klinis
Pada umumnya gejala tampak setelah 3 sampai 9 hari pemakaian antibiotika. Gejala
dapat asimptomatik sampai berat. Gejala yang sering adalah diare cair atau mukoid
dapat profus, berbau busuk dan dapat disertai dengan sedikit darah, dengan frekuensi
sering (10-20 kali/hari), dan dapat terjadi ileus tetapi sangat jarang. Dapat disertai
kram perut, demam dengan temperature tidak lebih dari 38C.
Walaupun jarang dapat mengakibatkan manifestasi ekstraintestinal yaitu oligoartritis
dan iridosiklitis.

Diagnosis
Jika ditemukan pasien diare selama atau setelah menggunakan antibiotik perlu
dipikirkan terjadinya kolitis pseudomembran. Pemeriksaan laboratorium non spesifik
berhubungan C. difficile sebagai penyebab kolitis adalah lekositosis 15.000/mm3,
hipoalbumin dan lekosit pada feses. Diagnosis kolitis pseudomembran dapat cepat
dibuat dengan mendeteksi toksin dalam feses, hasil kultur positif dan melakukan
pemeriksaan endoskopi. Karena pemeriksaan kultur C. difficile kurang spesifik
dikembangkan pemeriksaan enzyme immunoassay (EIA), latex agglutination dan
polymerase chain reaction. EIA dapat mendeteksi toksin A atau toksin A dan B,
banyak ahli menyukai test yang mendeteksi kedua toksin oleh karena beberapa kasus
C. difficile memproduksi hanya toksin A. Test sitotoksin feses memiliki sensitivitas
94-100% dan spesivisitas 99%. Sebagai gold standard untuk diagnosis secara
laboratorium adalah pemerikasan sitotoksin, dengan mendeteksi toksin B pada feses.
Test ini akan memberikan hasil positif jika didapatkan sel pada kultur jaringan tampak
pada feses cair, mengalami perubahan sitopatik.

Rekomendasi dari Society for Hospital Epidemiology and Infection Control (SHEA)
untuk deteksi C. difficile:
1) Test hanya feses diare kecuali jika ada ileus
2) jangan melakukan pemeriksaan atau mengobati kecuali jika ada penelitian
epidemiologi
3) pemeriksaan feses hanya pada usia diatas 1 tahun
4) pemeriksaan yang disukai adalah kultur
5) EIA cocok sebagai alternatif pemeriksaan sitotoksik tetapi kurang sensitif

Plak pada kolitis pseudomembran tampak pada pemeriksaan endoksopi dan patologi
anatomi. Pada sebagian besar penderita kolitis pseudomembran yang dilakukan
pemeriksaan sigmoidoskopi fleksibel memberikan hasil positif diatas 90%, pada
sebagian kecil penderita jika penyakit terbatas pada proksimal kolon memerlukan
pemeriksaan kolonoskopi. Inspeksi langsung dengan endoskopi sebagian besar
penderita dengan diare yang berhubungan dengan pemakaian antibiotika ditemukan
mukosa kolon dan rektum tampak normal atau menunjukan inflamasi ringan.
Penemuan ini dapat berupa perubahan nonspesifik berupa eritema, friability dan
edema sampai menunjukkan kelainan kolitis pseudomembran. Kolitis
pseudomembran merupakan suatu plak pseudomembran dengan ukuran antara 2-5
mm dan seringkali bergabung menjadi bentuk besar, berupa pseudomembran putih
kekuningan. Gambaran histologi dari lesi bervariasi tergantung beratnya penyakit juga
pada saat pengambilan biopsi dari jaringan, tapi tidak berkorelasi dengan beratnya
gejala klinik. Gambaran histologi dari biopsi kolitis pseudomembran terdiri eksudat
inflamatori berupa mukoid terdiri dari infiltrasi neutrofil polimorfonuklear, eosinofil
dan inti-inti. Pada lamina propria Menurut Price dan Davies ada 3 tipe lesi : Volcano,
Glandular dan Mucosa necrosis.

Pemeriksaan radiologi meliputi foto polos abdomen, barium enema dan CT scan
abdomen dapat dilakukan untuk mendukung diagnosis kolitis pseudomembran. CT
scan menunjukkan gambaran cap jempol dari mukosa kolon yang menunjukkan
edema mukosa tetapi perubahan ini tidak spesifik untuk kolitis pseudomembran oleh
karena C. difficile. Meskipun hasil CT scan tidak berhubungan dengan beratnya
penyakit dan hasil negatif tidak menyingkirkan diagnosis, tetapi CT scan abdomen
penting untuk penderita dengan kecurigaan kolitis pseudomembran
oleh karena peningkatan mortalitas akibat diagnosis yang ditegakkan dalam jangka
waktu lama.

Komplikasi
Meningkatnya kesadaran penggunaan antibiotika penyebab kolitis pesudomembran
dan pemberian terapi awal kasus yang dicurigai kolitis pseudomembran
mengakibatkan penurunan komplikasi dan mortalitas. Akibat diare berkepanjangan
mengakibatkan dehidrasi, gangguan keseimbangan elektrolit, hipotensi dan protein
loss dengan akibat hipoalbuminemia. Komplikasi serius tapi jarang terjadi dari kolitis
pseudomembran adalah kolitis fulminan dengan toksik megakolon. Perforasi
merupakan komplikasi yang mengakibatkan kematian tertinggi dari komplikasi
lainnya, terutama jika menyangkut beberapa lokasi, tetapi jarang terjadi.

Penatalaksanaan
Terapi pada kolitis pseudomembran meliputi: antibiotika yang diduga menjadi
penyebab dihentikan, terapi suportif non spesifik dan beberapa kasus diberikan
antibiotika terhadap C. difficile. Terapi suportif diberikan pada kasus ringan dan
sedang. Terapi awal yang penting adalah menghentikan penggunaan antibiotika yang
diduga menyebabkan kolitis pseudomembran atau minimal mengganti dengan
antibiotika yang kecil kemungkinan untuk pertumbuhan C. difficile, menghindari
penggunaan obat yang mengganggu peristaltik (seperti narkotik dan antidiare),
mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pada kasus berat penderita perlu
dirawat untuk rehidrasi secara intravena. Pada penderita tua dan kolitis
pseudomembran yang berat antibiotika empiris harus dimulai setelah dicurigai kolitis
pseudomembranous. Pada kasus gagal dengan terapi suportif dan antibiotika
penyebab tidak dapat dihentikan, bisa dipertimbangkann pemberian antibiotika
khusus 7 sampai 10 hari bersama-sama pemberian terapi suportif dan antibiotika
penyebab dapat diganti lainnya jika memungkinkan. Terapi spesifik didasarkan 3
pendekatan : penggunaan antibiotika efektif terhadap C difficile, membersihkan
toksin dari lumen kolon dengan pengikat resin atau menghidupkan kembali flora
normal.

Vancomycin dan metronidazole sering digunakan dan memberikan respon baik pada
hampir seluruh kasus. Metronidazole secara oral merupakan obat pilihan untuk terapi
awal dengan dosis 250 mg 4 kali sehari atau 500 mg 2 kali sehari. Vancomycin
direkomendasikan sebagai second line therapy dengan dosis 125 mg 4 kali sehari,
kedua antibiotika tersebut diberikan selama 10-14 hari. Pemberian vancomycin secara
oral memberikan kadar dalam kolon tinggi dan sensitif terhadap semua strain C.
difficile. Tetapi penggunaan metronidazole lebih disukai mengingat harganya 20 kali
lebih murah dibandingkan vancomycin. Pada penderita yang tidak memungkingkan
pemberian secara oral pemberian metronidazole intravena menjadi pilihan
dibandingkan vancomycin, hal ini disebabkan vancomycin tidak dapat diekskresikan
ke dalam kolon. Metronidazole intravena diberikan 500 mg tiap 6 jam.
Cholestyramine dapat diberikan untuk pengikatan toksin A dan B dari C. difficile,
dengan maksud membersihkan toksin dari lumen kolon. Cholestyramine dapat
mengikat vancomycin sehingga diberikan 2 sampai 3 jam sebelum atau sesudah
pemberian vancomycin. Lactobacilli juga telah digunakan secara luas pada penyakit
diare seperti kolitis pseudomembran. Tindakan pembedahan diindikasikan pada
penderiita yang tidak respon dengan terapi medik atau kecurigaan perforasi kolon atau
toxic megacolon. Pembedahan diperlukan kurang lebih 0.4% kasus. Dua pertiga
penderita dengan toxic megacolon memerlukan tindakan pembedahan . Diare akan
berkurang, suhu tubuh turun dan perbaikan gejala klinis dalam 24-48 jam dan diare
akan berhenti total dalam waktu 5 sampai 7 hari. Kultur C. difficile dan pemeriksaan
toksin tetap positif dalam beberapa minggu dan jangan disalahartikan sebagai
kegagalan terapi jika diare membaik. Penderita yang tidak membaik secara cepat
perlu dipertimbangkan untuk diagnosa lain

Pencegahan
Paling penting untuk mencegah penyakit usus yang berhubungan dengan penggunaan
antibiotika adalah dengan menghindari penggunaan antibiotika jika tidak diperlukan.
Jika telah terkena penyakit tersebut dengan meminimalkan penyebarannya.
Penyebaran secara nosokomial merupakan hal serius sehingga isolasi tepat dan
tindakan pencegahan harus diperhatikan terutama pada penderita dengan diare.
Disarankan pemakaian sarung tangan dan mencuci tangan pada seseorang yang
terlibat dalam perawatan penderita.

Sumber penularan C. difficile mungkin secara endogen jika penderita sebagai karier
atau paling sering didapat secara eksogen didapat secara nosokomial. Rekomendasi
SHEA untuk mengontrol C. difficile di rumah sakit dan perawatan yang lama :
1) Membatasi penggunaan antibiotika dedngan perhatian khusus untuk clindamycin
dan cephalosporin
2) cucitangan dengan sabun
3) memakai sarung tangan
4) membersihkan lingkungan terutama pada daerah dengan kasus infeksi C. difficile
5) isolasi pada penderita simptomatik khususnya yang inkontinensia feses pada
ruangan khusus
6) menghindari penggunaan termometer rektal

Prognosis
Prognosis penderita kolitis pseudomembran adalah baik. Kecurigaan secara klinik dan
pengenalan tepat dari penyakit mendorong penghentian penggunaan antibiotika dan
memulai memberikan terapi spesifik jika merupakan indikasi. Progonis pada
penderita dengan komplikasi toxic megacolon dan perforasi kurang baik.

b. Kolitis Non Infeksi

Kolitis Ulserativa
DEFINISI
Kolitis Ulserativa merupakan suatu penyakit menahun, dimana usus besar mengalami
peradangan dan luka, yang menyebabkan diare berdarah, kram perut dan demam.
Kolitis ulserativa bisa dimulai pada umur berapapun, tapi biasanya dimulai antara
umur 15-30 tahun.Tidak seperti penyakit Crohn, kolitis ulserativa tidak selalu
memperngaruhi seluruh ketebalan dari usus dan tidak pernah mengenai usus halus.
Penyakit ini biasanya dimulai di rektum atau kolon sigmoid (ujung bawah dari usus
besar) dan akhirnya menyebar ke sebagian atau seluruh usus besar. Sekitar 10%
penderita hanya mendapat satu kali serangan. Proktitis ulserativa merupakan
peradangan dan perlukaan di rektum. Pada 10-30% penderita, penyakit ini akhirnya
menyebar ke usus besar. Jarang diperlukan pembedahan dan harapan hidupnya baik.

PENYEBAB
Penyebab penyakit ini tidak diketahui, namun faktor keturunan dan respon sistem
kekebalan tubuh yang terlalu aktif di usus, diduga berperan dalam terjadinya kolitis
ulserativa.

GEJALA
Suatu serangan bisa mendadak dan berat, menyebabkan diare hebat, demam tinggi,
sakit perut dan peritonitis (radang selaput perut). Selama serangan, penderita tampak
sangat sakit. Yang lebih sering terjadi adalah serangannya dimulai bertahap, dimana
penderita memiliki keinginan untuk buang air besar yang sangat, kram ringan pada
perut bawah dan tinja yang berdarah dan berlendir. Jika penyakit ini terbatas pada
rektum dan kolon sigmoid, tinja mungkin normal atau keras dan kering. Tetapi selama
atau diantara waktu buang air besar, dari rektum keluar lendir yang mengandung
banyak sel darah merah dan sel darah putih.

Gejala umum berupa demam, bisa ringan atau malah tidak muncul. Jika penyakit
menyebar ke usus besar, tinja lebih lunak dan penderita buang air besar sebanyak 10-
20 kali/hari. Penderita sering mengalami kram perut yang berat, kejang pada rektum
yang terasa nyeri, disertai keinginan untuk buang air besar yang sangat. Pada malam
haripun gejala ini tidak berkurang. Tinja tampak encer dan mengandung nanah, darah
dan lendir. Yang paling sering ditemukan adalah tinja yang hampir seluruhnya berisi
darah dan nanah. Penderita bisa demam, nafsu makannya menurun dan berat
badannya berkurang.

Gambaran laboratorium seringkali nonspesifik dan mencerminkan derajat dan


beratnya perdarahan dan inflamasi. Bisa terdapat anemia yang mencerminkan
penyakit kronik serta defisiensi besi akibat kehilangan darah kronik. Leukositosis
dengan pergeseran kekiri dan laju endap darah seringkali terlihat pada pasien demam
yang sakit berat, kelainan elektrolit terutama hipokalemia mencerminkan derajat
diare, hipoalbumin umum terjadi pada penyakit yang ekstensif.

Diagnosis pasti dari kolitis dengan barium enema in loop yang akan didapatkan hasil
berupa hilangnya haustra seperti pada gambar di bawah ini :

Pemeriksaan barium enema yang menunjukkan gambaran pipa pada Colitis ulseratif
Gambaran colitis ulseratif stadium berat dimana haustra tidak terlihat hampir
menyeluruh di semua colon.

Gambaran penyakit Crohn dimana terlihat hilangnya arsitektur mukosa sigmoid.

Gambaran colitis ulsertatif cronic

KOMPLIKASI
1. Perdarahan, merupakan komplikasi yang sering menyebabkan anemia karena
kekurangan zat besi. Pada 10% penderita, serangan pertama sering menjadi berat,
dengan perdarahan yang hebat, perforasi atau penyebaran infeksi.
2. Kolitis Toksik, terjadi kerusakan pada seluruh ketebalan dinding usus.
Kerusakan ini menyebabkan terjadinya ileus, dimana pergerakan dinding usus
terhenti, sehingga isi usus tidak terdorong di dalam salurannnya. Perut tampak
menggelembung. Usus besar kehilangan ketegangan ototnya dan akhirnya mengalami
pelebaran.
Rontgen perut akan menunjukkan adanya gas di bagian usus yang lumpuh.
Jika usus besar sangat melebar, keadaannya disebut megakolon toksik. Penderita
tampak sakit berat dengan demam yang sangat tinggi. Perut terasa nyeri dan jumlah
sel darah putih meningkat. Dengan pengobatan efektif dan segera, kurang dari 4%
penderita yang meninggal. Jika perlukaan ini menyebabkan timbulnya lubang di usus
(perforasi), maka resiko kematian akan meningkat.

3. Kanker Kolon (Kanker Usus Besar).

Resiko kanker usus besar meningkat pada orang yang menderita kolitis ulserativa
yang lama dan berat.Resiko tertinggi adalah bila seluruh usus besar terkena dan
penderita telah mengidap penyakit ini selama lebih dari 10 tahun, tanpa menghiraukan
seberapa aktif penyakitnya. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan kolonoskopi
(pemeriksaan usus besar) secara teratur, terutama pada penderita resiko tinggi terkena
kanker, selama periode bebas gejala. Selama kolonoskopi, diambil sampel jaringan
untuk diperiksa dibawah mikroskop. Setiap tahunnya, 1% kasus akan menjadi kanker.
Bila diagnosis kanker ditemukan pada stadium awal, kebanyakan penderita akan
bertahan hidup. Seperti halnya penyakit Crohn, kolitis ulserativa juga dihubungkan
dengan kelainan yang mengenai bagian tubuh lainnya.
Bila kolitis ulserativa menyebabkan kambuhnya gejala usus, penderita juga
mengalami :

- peradangan pada sendi (artritis)

- peradangan pada bagian putih mata (episkleritis)

- nodul kulit yang meradang (eritema nodosum) dan

-luka kulit biru-merah yang bernanah (pioderma gangrenosum).

Bila kolitis ulserativa tidak menyebabkan gejala usus, penderita masih bisa
mengalami :

- peradangan tulang belakang (spondilitis ankilosa)

- peradangan pada sendi panggul (sakroiliitis) dan


-peradangan di dalam mata (uveitis). Meskipun penderita kolitis ulserativa sering
memiliki kelainan fungsi hati, hanya sekitar 1-3% yang memiliki gejala penyakit hati
ringan sampai berat.

Penyakit hati yang berat bisa berupa :

- peradangan hati (hepatitis menahun yang aktif)

- peradangan saluran empedu (kolangitis sklerosa primer), yang menjadi sempit dan
terkadang menutup, dan

-penggantian jaringan hati fungsional dengan jaringan fibrosa (sirosis).


Peradangan pada saluran empedu bisa muncul beberapa tahun sebelum gejala usus
dari kolitis ulserativa timbul dan akan meningkatkan resiko kanker saluran empedu.

DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil pemeriksaan tinja.
Pemeriksaan darah menunjukan adanya:

- anemia

- peningkatan jumlah sel darah putih

- peningkatan laju endap darah. Sigmoidoskopi (pemeriksaan sigmoid) akan


memperkuat diagnosis dan memungkinkan dokter untuk secara langsung mengamati
beratnya peradangan. Bahkan selama masa bebas gejalapun, usus jarang terlihat
normal.
Contoh jaringan yang diambil untuk pemeriksaan mikroskopik menunjukan suatu
peradangan menahun.Rontgen perut bisa menunjukan berat dan penyebaran penyakit.
Barium enema dan kolonoskopi biasanya tidak dikerjakan sebelum pengobatan
dimulai, karena adanya resiko perforasi (pembentukan lubang) jika dilakukan pada
stadium aktif penyakit. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui penyebaran
penyakit dan untuk meyakinkan tidak adanya kanker. Peradangan usus besar memiliki
banyak penyebab selain kolitis ulserativa. Karena itu, dokter menentukan apakah
peradangan disebabkan oleh infeksi bakteri atau parasit.
Contoh tinja yang diperoleh selama pemeriksaan sigmoidoskopi diperiksa dibawah
mikroskop dan dibiakkan. Contoh darah dianalisa untuk menentukan apakah terdapat
infeksi parasit. Contoh jaringan diambil dari lapisan rektum dan diperiksa dibawah
mikroskop.
Diperiksa apakah terdapat penyakit menular seksual pada rektum (seperti gonore,
virus herpes atau infeksi klamidia), terutama pada pria homoseksual.
Pada orang tua dengan aterosklerosis, peradangan bisa disebabkan oleh aliran darah
yang buruk ke usus besar. Kanker usus besar jarang menyebabkan demam atau
keluarnya nanah dari rektum, namun harus difikirkan kanker sebagai kemungkinan
penyebab diare berdarah.

PENGOBATAN

Pengobatan ditujukan untuk mengendalikan peradangan, mengurangi gejala dan


mengganti cairan dan zat gizi yang hilang. Penderita sebaiknya menghindari buah dan
sayuran mentah untuk mengurangi cedera fisik pada lapisan usus besar yang
meradang. Diet bebas susu bisa mengurangi gejala. Penambahan zat besi bisa
menyembuhkan anemia yang disebabkan oleh hilangnya darah dalam tinja. Obat-
obatan antikolinergik atau dosis kecil loperamide atau difenoksilat, diberikan pada
diare yang relatif ringan. Untuk diare yang lebih berat, mungkin dibutuhkan dosis
yang lebih besar dari difenoksilat atau opium yang dilarutkan dalam alkohol,
loperamide atau codein. Pada kasus-kasus yang berat, pemberian obat-obat anti-diare
ini harus diawasi secara ketat, untuk menghindari terjadinya megakolon toksik.
Sulfasalazine, olsalazine atau mesalamine sering digunakan untuk mengurangi
peradangan pada kolitis ulserativa dan untuk mencegah timbulnya gejala.
Obat-obatan ini biasanya diminum namun bisa juga diberikan sebagai enema (cairan
yang disuntikkan ke dalam usus) atau supositoria (obat yang dimasukkan melalui
dubur).Penderita dengan kolitis berat menengah yang tidak menjalani perawatan
rumah sakit, biasanya mendapatkan kortikosteroid per-oral (melalui mulut), seperti
prednisone.Prednisone dosis tinggi sering memicu proses penyembuhan. Setelah
prednisone mengendalikan peradangannya, sering diberikan sulfasalazine, olsalazine
ataumesalamine. Secara bertahap dosis prednisone diturunkan dan akhirnya
dihentikan. Pemberian kortikosteroid jangka panjang menimbulkan efek samping,
meskipun kebanyakan akan menghilang jika pengobatan dihentikan.
Bila kolitis ulserativa yang ringan atau sedang terbatas pada sisi kiri usus besar (kolon
desendens) dan di rektum, bisa diberikan enema dengan kortikosteroid atau
mesalamine. Bila penyakitnya menjadi berat, penderita harus dirawat di rumah sakit
dan diberikan kortikosteroid intravena (melalui pembuluh darah). Penderita dengan
perdarahan rektum yang berat mungkin memerlukan transfusi darah dan cairan
intravena. Untuk mempertahankan fase penyembuhan, diberikan azathioprine dan
merkaptopurin.
Siklosporin diberikan kepada penderita yang mendapat serangan berat dan tidak
memberikan respon terhadap kortikosteroid. Tetapi sekitar 50% dari penderita ini,
akhirnya memerlukan terapi pembedahan.

Pembedahan
Kolitistoksik merupakan suatu keadaan gawat darurat.Segera setelah terditeksi atau
bila terjadi ancaman megakolon toksik, semua obat anti-diare dihentikan, penderita
dipuasakan, selang dimasukan ke dalam lambung atau usus kecil dan semua cairan,
makanan dan obat-obatan diberikan melalui pembuluh darah. Pasien diawasi dengan
ketat untuk menghindari adanya peritonitis atau perforasi. Bila tindakan ini tidak
berhasil memperbaiki kondisi pasien dalam 24-48 jam, segera dilakukan pembedahan,
dimana semua atau hampir sebagian besar usus besar diangkat. Jika didiagnosis
kanker atau adanya perubahan pre-kanker pada usus besar, maka pembedahan
dilakukan bukan berdasarkan kedaruratan. Pembedahan non-darurat juga dilakukan
karena adanya penyempitan dari usus besar atau adanya gangguan pertumbuhan pada
anak-anak. Alasan paling umum dari pembedahan adalah penyakit menahun yang
tidak sembuh-sembuh, sehingga membuat penderita tergantung kepada kortikosteroid
dosis tinggi. Pengangkatan seluruh usus besar dan rektum, secara permanen akan
menyembuhkan kolitis ulserativa. Penderita hidup dengan ileostomi (hubungan antara
bagian terendah usus kecil dengan lubang di dinding perut) dan kantong ileostomi.
Prosedur pilihan lainnya adalah anastomosa ileo-anal, dimana usus besar dan sebagian
besar rektum diangkat, dan sebuah reservoir dibuat dari usus kecil dan ditempatkan
pada rektum yang tersisa, tepat diatas anus.

2. Kolitis iskemik
Arteri yang memasok darah ke usus besar adalah seperti arteri lain di dalam tubuh.
Mereka memiliki potensi untuk sempit akibat aterosklerosis (seperti pembuluh darah
di jantung, yang dapat menyebabkan angina , atau menyempit pembuluh di otak dapat
menyebabkan stroke ). Ketika arteri sempit, usus besar kehilangan suplai darah dan
menjadi meradang.

Kolon juga bisa kehilangan suplai darah dengan penyebab mekanik. Beberapa contoh
termasuk volvulus dan hernia di mana sebagian dari usus besar akan terjebak dalam
outpouching dinding perut. Kolitis iskemik dapat terjadi jika tekanan darah turun. Hal
ini dapat terjadi dengan dehidrasi , anemia , atau shock.

Gambaran colitis iskemik

Kolitis iskemik adalah gangguan yang berkembang ketika aliran darah ke suatu
bagian dari usus besar (kolon) berkurang. Hal ini dapat menyebabkan peradangan
pada daerah usus besar dan, dalam beberapa kasus, dapat menyebabkan kerusakan
usus permanen. Kolitis iskemik dapat mempengaruhi setiap bagian dari kolon, tapi
kebanyakan orang yang terkena rasa sakit berkembang di sisi kiri perut. Buang air
besar yang mengedan dan diare berdarah juga umum terjadi pada kolitis
iskemik.Kebanyakan kasus kolitis iskemik adalah ringan dan dapat sembuh sendiri
dalam beberapa hari.

Gejala
Tanda-tanda umum dan gejala kolitis iskemik meliputi:
Nyeri abdomen, nyeri atau kram, biasanya terlokalisasi ke sisi kiri bawah
perut, dapat tiba-tiba atau bertahap
Feses berwarna merah terang atau merah darah, suatu ketika dapat keluar
darah sendiri tanpa feses
Perasaan ingin mengedan
Diare
Mual
Muntah

Risiko komplikasi berat dari kolitis iskemik meningkat ketika tanda-tanda dan gejala
mempengaruhi sisi kanan abdomen. Hal itu dikarenakan arteri yang memberi nutrisi
sisi kanan usus juga member nutrisi pada bagian dari usus halus. Ketika aliran darah
tersumbat di sisi kanan usus besar, kemungkinan bahwa bagian dari usus halus juga
tidak menerima suplai darah yang cukup.

Nyeri cenderung lebih parah dengan jenis kolitis iskemik. Terhambatnya aliran darah
ke usus halus dengan cepat dapat mengakibatkan kematian jaringan usus (infark atau
nekrosis). Jika situasi ini terjadi dapat mengancam jiwa, akan memerlukan
pembedahan untuk membersihkan sumbatan dan untuk menghilangkan bagian dari
usus yang telah hancur.Diagnosis dini dan pengobatan dapat membantu mencegah
komplikasi serius dari kondisi ini.

Penyebab
Kolitis iskemik melibatkan suplai darah yang tidak memadai mencapai kolon. Pada
kasus akut, penyebab paling sering adalah bekuan darah dalam arteri yang memasok
darah ke usus. Sedangkan pada kasus kronis biasanya berhubungan dengan
penumpukan simpanan lemak (aterosklerosis) dalam pembuluh darah yang menuju ke
usus.

Pada beberapa orang, kolitis iskemik dapat disebabkan oleh atau berhubungan dengan
kondisi medis lainnya, termasuk:

peradangan (vaskulitis) pembuluh darah


penonjolan organ atau jaringan ke jaringan sekitarnya (hernia), berhubungan
dengan suplai darah arteri serta suplai darah vena ke usus
peningkatan gula (glukosa) dalam darah (diabetes)
mudah terjadi pembekuan darah (hiperkoagulasi)
radiasi abdomen
kanker colon
pembedahan perut, terutama ketika menyangkut perbaikan dinding arteri yang
menggembung (aneurisma) di wilayah tersebut
infeksi, seperti shigella, Escherichia coli 0157: H7 dan Clostridium difficile
dehidrasi

Peran obat

Obat-obatan tertentu juga jarang menimbulkan kolitis iskemik sebagai efek samping,
seperti:

obat anti-inflamasi steroid


obat pengganti estrogen
obat golongan ergotamint
obat penurun tekanan darah
obat-obatan antipsikotik tertentu
pseudoefedrin (dekongestan yang ditemukan di banyak obat flu dan obat
alergi)
obat iritasi bowel syndrome (Lotronex)

Faktor risiko

Faktor risiko untuk kolitis iskemik meliputi:

Umur. Kondisi ini terjadi dengan frekuensi terbesar pada orang dewasa yang
lebih tua. Jika itu terjadi pada orang dewasa muda, mungkin menjadi tanda
kelainan pembekuan darah atau suatu peradangan pembuluh darah (vaskulitis).
Faktor risiko penyakit jantung. Pengurangi aliran darah yang memberi respon
untuk kolitis iskemik, lebih cenderung terjadi pada orang yang memiliki sifat-
sifat atau kondisi yang umumnya terkait dengan penyakit jantung, seperti
penggunaan tembakau dan tingkat kolesterol tinggi.
Kondisi medis tertentu. Beberapa gangguan dianggap faktor predisposisi yang
menempatkan pada risiko yang lebih besar berkembangnya kolitis iskemik,
atau mereka dapat memperburuk kolitis iskemik saat kondisi itu terjadi. Hal
ini termasuk operasi abdomen sebelumnya, gagal jantung, tekanan darah
rendah dan syok.

Komplikasi
Dalam kebanyakan kasus, kolitis iskemik sembuh sendiri dalam waktu satu sampai
dua hari. Dalam kasus yang lebih lanjut dari kolitis iskemik, komplikasi dapat
mencakup:

Gangren. Kolitis iskemik tidak diobati bisa mengakibatkan kematian jaringan


(gangren) di kolon. Gangren dapat berkembang setelah penurunan awal aliran
darah ke kolon dan dapat mengakibatkan kematian jika tidak menerima
pengobatan tepat waktu.
Perforasi dan Perdarahan. Kolitis iskemik juga dapat menyebabkan sebuah
lubang (perforasi) pada usus atau perdarahan persisten.
Nyeri dan obstruksi. Bahkan saat penyembuhan terjadi, kolitis iskemik dapat
menyebabkan jaringan parut pada dan penyempitan pada usus. Hal ini dapat
menyebabkan nyeri perut kronis dan obstruksi.

Tes dan diagnosis

Mendiagnosis penyebab gejala colitis iskemik adalah dengan cara sebagai berikut:

Pemeriksaan fisik dan Riwayat penyakit.


Colonoscopy. Kolonoskopi dianggap uji definitif untuk mendiagnosa kolitis
iskemik. Dalam prosedur ini, tabung berlampu fleksibel dimasukkan ke dalam
rektum dan didorong ke dalam kolon. Sebuah kamera kecil di ujung lingkup
mengirimkan gambar usus ke layar video. Kita dapat melihat lapisan interior
kolon dan mendeteksi adanya jaringan inflamasi dan abses.
Biopsi. Kadang-kadang, sebagai bagian dari kolonoskopi, kita dapat
mengambil sebuah sampel jaringan kecil (biopsi) dari kolon untuk analisis
laboratorium. Pada kolitis iskemik, pembengkakan dan perdarahan dapat hadir
di bawah lapisan usus (lapisan mukosa), dan dapat dideteksi di laboratorium.
Kolonoskopi dapat mengesampingkan penyebab lain dari peradangan di usus,
termasuk infeksi tertentu, penyakit inflamasi usus, radang dinding usus
(diverticulitis) dan kanker usus besar. Jika peradangan berat, kita mungkin
tidak dapat melihat seluruh usus besar dengan baik atau mendapatkan biopsi
memadai.Jika hal ini terjadi, mungkin harus colonoscopy perlu diulangi sekali
lagi setelah peradangan telah mereda. Hal ini memungkinkan kita untuk
memastikan bahwa tidak ada peradangan persisten, jaringan parut atau kanker
kolon.

Pemeriksaan penunjang lainnya

X-ray abdomen dan pelvis. Hal ini dapat dilakukan dengan kombinasi
barium enema. Dalam proses ini, bahan kontras (barium cair) dimasukkan ke
dalam kolon melalui anus. Setelah kolon dilapisi dengan barium, radiolog
mengambil gambar X-ray dari kolon. Gambar-gambar ini, yang dapat dilihat
pada monitor video, dapat mendeteksi kelainan-kelainan dalam usus besar dan
membantu membedakan kolitis iskemik dari kondisi peradangan lainnya.
Gambar yang menunjukkan kolitis iskemik bisa menunjukkan penebalan
(thumbprinting) dari dinding kolon.

Abdomen arteriogram. Ini adalah X-ray dari arteri di abdomen. Cara ini
dapat menunjukkan penyempitan atau penyumbatan dalam pembuluh, yang
mengindikasikan adanya kolitis iskemik. Sebuah pewarna kontras disuntikkan
ke arteri sebelum X-ray diambil untuk membantu menghasilkan gambar yang
jelas.
USG. Tes pencitraan menggunakan gelombang suara untuk menyediakan
gambar kolon. Alat ini dapat membantu dalam mengesampingkan gangguan
lain, seperti penyakit inflamasi usus. Untuk prosedur, alat yang disebut
transduser yang memancarkan gelombang suara disepanjang abdomen.
Informasi yang ditangkap oleh transduser tersebut dikirim ke komputer yang
menghasilkan gambar.
Abdomen Computerized Tomography (CT) scan. Terkadang CT-Scan
digunakan untuk menyingkirkan kondisi-kondisi lain yang dapat
menyebabkan gejala yang mirip dengan kolitis iskemik. Tes ini menggunakan
teknologi canggih X-ray untuk menghasilkan gambar penampang kolon, dan
mungkin dapat mendeteksi penebalan dinding kolon.
Tes darah. Orang dengan kolitis iskemik mungkin memiliki jumlah sel darah
tinggi putih (WBC) yang terjadi bila ada peradangan atau tubuh memerangi
infeksi. Jika mencurigai adanya masalah pembekuan darah, mungkin
dilakukan pemeriksaan darah yang lebih spesifik.
Sampel Feses. Analisis contoh feses di laboratorium dapat mengungkapkan
infeksi bakteri dan mikroorganisme lain yang terkait dengan kolitis iskemik.

Gambaran X-Ray kolitis iskemik


Gambaran PA Kolitis iskemik

Perawatan dan pengobatan

Pilihan pengobatan untuk kolitis iskemik tergantung pada derajat keparahan. Bila
kolitis iskemik ringan, dapat diberikan obat untuk menjaga tekanan darah pada tingkat
normal, yang akan membantu memperlancar aliran darah ke usus. Pemberian
antibiotik untuk mencegah infeksi. Dengan langkah-langkah konservatif tersebut,
gejala sering berkurang dalam 24 hingga 48 jam dalam kasus-kasus ringan, tanpa
perlu rawat inap.

Namun, jika pasien mengalami dehidrasi, perlu diberikan cairan dan nutrisi melalui
pembuluh darah, mungkin juga perlu pembatasan asupan makanan selama beberapa
hari untuk mengistirahatkan usus. Pada kasus ringan, penyembuhan dapat terjadi
dalam dua minggu atau kurang. Dalam kasus yang lebih parah, pemulihan dapat
memakan waktu lebih lama, dan kekambuhan dapat terjadi.

Jika kolitis iskemik berkembang sebelum usia 50 atau pada pasien yang memiliki
riwayat hiperkoagulable atau gangguan yang meningkatkan kecenderungan darah
untuk membeku (faktor V Leiden) dapat diberi warfarin (Coumadin), yang dapat
membantu mencegah episode kolitis iskemik.

Operasi
Beberapa orang dengan kolitis berat atau iskemik berkepanjangan memerlukan
tindakan bedah untuk mereseksi bagian kolon yang terkena. Indikasi perlunya
pembedahan untuk kolitis iskemik jika kondisinya dikaitkan dengan:
Kram abdomen dan demam yang berat dan persisten, bahkan setelah
pengobatan awal dengan cairan dan obat-obatan.
Perforasi pada kolon
Gangren dan sepsis. Pengobatan untuk komplikasi yang berat ini juga
mencakup antibiotik spektrum luas dan penggantian darah.

Pencegahan
Karena penyebab kolitis iskemik tidak selalu jelas, tidak ada cara yang pasti untuk
mencegah gangguan tersebut. Tetapi mayoritas dari mereka yang memilikinya pulih
dengan cepat dan tidak pernah memiliki episode lain. Menghindari obat yang
mungkin telah menyebabkan kolitis iskemik di masa lalu. Dan jika memiliki faktor
risiko colitis iskemik termasuk penyakit jantung dan tekanan darah tinggi hendaknya :

Berhenti merokok
Minum obat penurun kolesterol
Kontrol penyakit kronis, seperti diabetes
Olah raga teratur

3. Kolitis Gangrenosa

Adalah merupakan komplikasi dari kolitis iskemik yang tidak diobati yang
mengakibatkan kematian jaringan (gangren) di kolon. Gangren dapat berkembang
setelah penurunan awal aliran darah ke kolon dan dapat mengakibatkan kematian jika
tidak menerima pengobatan tepat waktu.

Gangren adalah kematian jaringan di bagian tubuh. Gangren terjadi ketika sebuah
bagian tubuh kehilangan suplai darah. Hal ini bisa terjadi dari cedera, infeksi, atau
penyebab lainnya. Faktor risiko lebih tinggi untuk gangren jika:

Kolitis iskemik yang tidak diobati


Cedera serius
Penyakit pembendungan darah (seperti arteriosklerosis, juga disebut
pengerasan pembuluh darah, di lengan atau kaki)
Diabetes
Sistem kekebalan tubuh menurun (misalnya, dari HIV atau kemoterapi)
Pembedahan
Gejala
Gejala tergantung pada lokasi dan penyebab gangren tersebut. Jika kulit yang terlibat,
atau gangrene ini dekat dengan kulit, gejala dapat mencakup:

Perubahan warna
Berbau busuk discharge
Hilangnya rasa di daerah (yang mungkin terjadi setelah sakit parah di daerah
tersebut)
Jika daerah yang terkena adalah di dalam tubuh (seperti gangren dari kantong
empedu, gangrene usus), gejala dapat mencakup:

Gelisah
Demam
Gas pada jaringan di bawah kulit
Umumnya merasa sakit
Tekanan darah rendah
Persisten atau sakit parah

Diagnostik

Selain dari pemeriksaan fisik, mendiagnosa gangren dapat digunakan prosedur sebagi
berikut:

Arteriogram (khusus x-ray untuk melihat penyumbatan dalam pembuluh


darah) untuk membantu rencana pengobatan penyakit pembuluh darah
Darah rutin (sel darah putih [WBC] hitung mungkin tinggi)
CT scan untuk memeriksa organ internal
Kultur dari jaringan atau cairan dari luka untuk mengidentifikasi infeksi
bakteri
Memeriksa jaringan di bawah mikroskop untuk mencari sel mati
Operasi untuk menemukan dan mereseksi jaringan mati
X-ray

Pengobatan
Gangren memerlukan evaluasi darurat dan perawatan. Secara umum, jaringan yang
mati harus dibuang untuk memungkinkan penyembuhan jaringan hidup di sekitarnya
dan mencegah infeksi lebih lanjut. Tergantung pada daerah yang memiliki gangren,
kondisi secara keseluruhan orang itu, dan penyebab gangren, pengobatan dapat
mencakup:

Mengamputasi bagian tubuh yang telah gangrene


Suatu operasi darurat untuk menemukan dan membuang jaringan mati
Sebuah operasi untuk meningkatkan suplai darah ke daerah tersebut
Antibiotik
Operasi berulang untuk membuang jaringan mati (debridement)
Pengobatan di unit perawatan intensif (bagi pasien sakit parah)

Outlook (Prognosis)
Apa yang akan terjadi tergantung pada di mana gangren yang ada di dalam tubuh,
berapa banyak gangren ada, dan kondisi secara keseluruhan orang itu. Jika
pengobatan tertunda, gangren sangat luas, atau orang yang memiliki masalah
kesehatan lain yang signifikan, mereka mungkin dapat meninggal.

Komplikasi
Komplikasi tergantung di mana gangrene berada dalam tubuh, berapa banyak gangren
ada, penyebab gangren, dan kondisi secara keseluruhan orang itu. Komplikasi dapat
termasuk:

cacat dari amputasi atau pengangkatan jaringan mati


penyembuhan luka yang berkepanjangan atau kebutuhan untuk rekonstruksi
bedah, seperti pencangkokan kulit

Pencegahan
Gangren bisa dicegah jika dirawat sebelum kerusakan jaringan tidak dapat diubah.
Luka harus diperlakukan dengan baik dan mengawasi dengan cermat untuk tanda-
tanda infeksi (seperti penyebaran kemerahan, pembengkakan, atau drainase) atau
kegagalan untuk menyembuhkan.

Penderita dengan diabetes atau penyakit pembuluh darah secara rutin harus
memeriksa setiap tanda-tanda cedera, infeksi, atau perubahan warna kulit dan mencari
perawatan yang diperlukan.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kolitis adalah suatu peradangan akut atau kronik pada kolon, yang berdasarkan
penyebab dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kolitis infeksi, misalnya : shigelosis, kolitis tuberkulosa, kolitis amebik,


kolitis pseudomembran, kolitis karena virus/bakteri/parasit.
Kolitis non-infeksi, misalnya : kolitis ulseratif, penyakit Crohns kolitis
radiasi, kolitis iskemik, kolitis mikroskopik, kolitis non-spesifik (simple
colitis).

3.2 Saran

Semoga makalah ini dapat berguna bagi penyusun dan pembaca. Kritik dan saran
sangat diharapkan untuk pengerjaan berikutnya yang lebih baik
DAFTAR PUSTAKA

Moore, Keith L.2002.Anatomi Klinis Dasar. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta
Fleshman, James W.Schwartzs. 1999. Principles of Surgery ed.7th. New York :
Mc Graw-Hill
Ariestina, Dina Aprilia.2008. Kolitis Ulseratif ditinjau dari aspek etiologi, klinik,
dan patogenesa. Universitas Sumatra Utara : Medan
Http//: www. digilib-usu.ac.id
Colitis Ischemic ( http://www.mayoclinic.com/health/ischemic-colitis/)
Colitis (www.e-medicine.com/colitis/article_em)
Sudoyo, Aru W.dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Penerbit FKUI : Jakarta
Way, Laurance W, Gerard M. Doherty. 2003. Current Surgical Diagnosis &
Treatment, Eleventh Edition. McGraw-Hill Companies : USA
Sabbiston, David C. 1995. Essentials of Surgery. Philadelphia
Kumar, Cotran, Robin. 2004. Buku ajar patologi edisi 7. Penerbit buku kedokteran
EGC. Jakarta.
Ganong W. F. 19.. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 17. Jakarta : EGC
Guyton A. C, Hall J. E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta :
EGC.
Bartlett JG. (2002). Pseudomembranous enterocolitis and antibiotic associated
diarrhea. In : Gastrointestinal and liver disease Pathophysiology.
Diagnosis/Management. Ed. Feldman M, Friedman LS, Sleisenger MH. 7th ed.
WB Saunders, Philadelphia, p 1914.
Bartlett JG. (2002). Antibiotic-Associated Diarrhea. NEJM 346 (5),334.
Borriello SP. (1998). Pathogenesis of Clostridium difficile in infection. Journal of
Antimicrobial Chemotherapy 41 (Suppl. C), 13.
Brazier JS. (1998). The diagnosis of Clostridium difficile-associated disease. Journal
of Antimicrobial Chemotherapy 41 (Suppl.C), 29
Fasano A. (2002). Toxins and the gut : role in human disease.Gut 50 (Suppl III), iii9.
Gronczewski CA, Katz JP. (2003). Clostridium Defficile Colitis. E Medicine J
http//www.eMedicine.com/med/htm.
Kawamoto. (1999). Pseudomembranous Colitis : Spectrum of Imaging Findings with
Clinical and Pathologic Correlation. Radiographics 19, 887.
Kyne L, Kelly CP. (2001). Recurrent Clostridium difficile diarrhoea. Gut 49, 152.
LaHatte LJ, Tedesco FJ, Schuman BM. (1995). Antibiotic-Associated Injury to the
gut. In : Gastroenterology. Ed. Haubrich WS, Schaffner F, Berk JE. 5th ed. WB
Saunders, Philadelphia, p 1657.
Lee Joseph. (2002). Pseudomebranous Colitis. E Medicine
http//www.eMedicine.com/med/htm
Limaye AP, Turgeon DK, Cookson BT, Fritsche TR. (2000). Pseudomembranous
Colitis Caused by a toxin A-B+ Strain of Colstridium difficile. J. Clin. Microbiol
38 (4), 1696.
Louie TJ, Meddings J. (2004). Clostridium difficile infection in hospitals : risk factors
and responses. CMAJ 171 (1), 45.
Macfarlane GT, Cummings JH. (1999). Probiotics and prebiotics : can regulating the
activities of intestinal bacteria benefit health?. BMJ 318,999.
Oesman N. (2001). Kolitis Infeksi. Dalam : Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Editor :
Suyono S. Edisi ketiga. Jakarta, hlm. 213.
Yassin. (2002). Pseudomembranous Colitis. E Medicine J
http//www.eMedicine.com/med/htm.

Anda mungkin juga menyukai