Anda di halaman 1dari 6

Bobby adalah siswa sebagaimana umumnya.

Pelajar SMA biasa yang sekolah hanya untuk


menunaikan tugas. Nilainya yang hanya setingkat di atas batas standar membuatnya memilih
mengikuti ekskul ternama di sekolahnya, yaitu PMR, walaupun hanya sesekali dalam sebulan.
Rutinitas PMR itu baru ia ikuti sejak duduk dibangku kelas 11. Kurang lebih, tiga bulan yang lalu.

Di suatu sore saat kegiatan PMR berakhir…

Garry : “Eh, Bob, kamu ikut PMR, ya?”

Bobby : “Emang kenapa? Kamu enggak tahu?”

Garry : “Jarang banget kali aku lihat kamu di sini! Masa sih? Kamu baru ikut?”

Bobby : “Enggak kok, kita barengan ‘kan masuknya?”

Garry : “Masa? Kamu berapa kali hadir?”

Bobby : “Hari ini yang kelima.”

Garry : “Kamu cuma lima kali doang ikut PMR?! Wah, kalo ketua PMR tahu, kamu bisa mampus
tuh.”

Bobby : “Emang siapa ketuanya, sini hadapan langsung sama aku!”

Garry : “Ya ampun, Bob, biasa saja, deh.”

Bobby : “Bercanda, Gar. Kamu kira aku berani berantem gitu sama orang. Enggak, kali.”

Garry : “Oke, oke. Tapi, kamu keren juga, ya. Bolos PMR tapi enggak berani berantem gitu. Kan
biasanya anak-anak yang suka bolos gitu jago-jago berantem.”

Bobby : “Wah, aku sih anaknya baik-baik, Gar. Bolos cuma oleh malas, lagian aku ikut PMR buat
nambah nilai.”

Tak jauh dari tempat mereka berdiri, terjadi sebuah kecelakan yang membuat keributan. Garry dan
Bobby mendekat.

Garry : “Bob! Bantuin tuh! Sekarat dia!”

Bobby : “Gimana??”

Garry : “Angkat! Telpon 911!”

(Bobby menolong orang yang kecelakaan.)

Tiba-tiba seorang gadis datang.


Siska : “Dia enggak apa-apa? Hati-hati, kakinya bisa patah!”

Bobby : “Iya. Gi-gimana nih?”

Siska : “Pasang ini! Pake pendingmu!”

(Bobby memasang penyangga pada kaki korban.)

Siska : “Sudah dihubungin 911?”

Garry : “Sudah! Ambulans datang!”

Siska : “Ayo, bantu angkat!”

(yang lain menggangkat korban.)

Bobby : “Makasih, ya. Untung ada kamu yang ngerti.”

Siska : “Anggota PMR Tunas Bangsa? Kamu hebat juga, loh, hebat!”

Bobby : “Eh, kok tau?”

Siska : “Ya iyalah. Salam kenal, Siska!”

Bobby : “Bobby.” (siska pergi.)

Bobby : “Gar, cewek itu siapa, ya? Kok, kenal sama aku?”

Garry : “Makanya, datang PMR! Itu Siska, anak kelas 12, Ketua PMR! Pulang, yuk!”

Bobby : “Wahh..”

Semenjak pertemuan itu, Bobby merasa tertarik terhadap kakak kelasnya, Siska, Si Ketua PMR.
Ketertarikannya membuat ia semangat mengikuti aktivitas ekskul itu untuk bertemu Siska.
Namun, tanpa ia ketahui, Siska memiliki sisi buruk yang selama ini ia tutupi.

Mama : “Darimana kamu? Kenapa baru pulang?!”

Siska : “Pulang PMR, Ma.”

Mama : “PMR lagi, PMR lagi! Enggak ada kerjain lain apa?! Mama ‘kan udah bilang enggak
usah ikut yang kayak begituan!”

Siska : “Ma, Siska ‘kan pengen jadi dokter! Belajar dulu dong sekarang dari PMR.”

Mama : “Cewek kaya kamu, enggak usah punya cita-cita! Cewek kerjanya di rumah bukan
diluar!”

Siska : “Tapi, Ma..”


Mama : “Enggak ada tapi-tapian! Pokoknya, Mama larang kamu ikut PMR! Masuk kamar!!”

Siska : “Mama enggak pernah ngerti keinginan aku! Mama egois!”

Mama : “SISKA!”

Siska pergi dari rumah, nemui tempat yang selama ini menjadi gudang rahasianya.

David : “Eh, Sis, lama banget sih! Kita nungguin kamu dari tadi loh!”

Dimas : “Iya, nih, kita sisain dikit buat kamu.”

Siska : “Kalian emang teman aku yang paling baik! Thanks, ya!”

Soni : “Aku bawain minum! Enak, loh!”

Siska : “Wuih! Baru nih! Enak pula!”

Soni : “Kalo enak, ntar ku bawain terus, oke?”

Siska : “Favorit, nih!”

Di sisi lain, Bobby yang sangat tertarik terhadap Kakak kelasnya itu berusaha mencari informasi
tentang Siska Si Ketua PMR yang ternyata banyak diidolakan orang.

Bobby : “Gary, entar PMR, ya?”

Garry : “Ya pasti! Tapi, ngomong-ngomong, kamu rajin banget.”

Bobby: “Iya dong! Harus!”

Garry : “Tapi, sore ini katanya Kak Siska enggak hadir, loh!”

Bobby : “Kenapa, Gar?”

Garry : “Sakit. Tapi, biarpun Kak Siska enggak hadir, kamu tetap datang, ‘kan?”

Bobby : “Ku usahain, ya?”

Garry : “Oke, aku pulang dulu.”

(Garry pergi dan Bobby mendengar sesuatu dari balik tembok.)

Dimas : “Hahhahaha, Sis, kamu enggak sekolah nih!”

Siska : “Males, Papa sama Mama juga enggak peduli.”

David : “Mending kamu kayak kita-kita! Ngapain juga sekolah!”


Dimas : “Iya tuh, nih, tambah?”

Siska : “Bagi dong!”

Bobby (dalam hati) : “Itu Kak Siska? Astaga, dia..aku enggak percaya kalau dia seperti ini.
Padahal…dia..” (Bobby melarikan diri)

Soni : “Kamu merasa tadi ada yang ngelihatin enggak?”

Siska : “Enggak bakalan juga ada yang liatin kita di sini!”

Soni : “Benar juga!”

Bobby merasa tidak percaya dengan kenyataan yang ia lihat, bahwa Kakak kelas yang ia kagumi
tidak seperti yang ia bayangkan. Walaupun, begitu Bobby tetap memperhatikan Siska dari
kejauhan. Secara tidak langsung, Bobby menyaksikan perubahan Siska yang menjadi pemarah
dan bertambah kurus serta sering sakit. Sampai pada akhirnya, kesabaran Bobby berada pada
batas maksimal.

Siang hari selepas pulang sekolah, Bobby memergoki Siska yang minum sendiri di tempat
persembunyiannya.

Bobby : “Cukup Kak Siska!”

Siska : “Siapa kamu?!”

Bobby : “Kakak emang enggak kenal aku, tapi aku kenal kakak! Kakak ingat waktu kecelakaan
dulu? Aku ikut membantu orang itu bersama kakak.”

Siska : “Lalu apa pedulimu?!”

Bobby : “Aku pengen kakak berhenti kayak gini, buat apa, Kak?!”

Siska : “Kamu enggak bisa mengerti gimana perasaan aku! Enggak ada yang mengerti perasaan
aku!”

Bobby : “Kalau kakak putus asa, kakak harus berbagi, bukan gini caranya!”

Siska : “Papa sama Mama udah enggak peduli sama aku, kamu tahu?! Buat apa aku hidup!”

Bobby : “Kak Siska.., masih banyak hal yang bisa kita lakukan. Kalau ada kerikil di jalan yang
masih panjang, apa itu menganggu?”

Siska : “Kamu enggak ngerti!”


Bobby : “Aku enggak tahu masalah kakak apa, tapi apapun yang diputuskan orangtua kakak, itu
adalah hal yang terbaik. Tapi, kalau kakak tetap meneruskan kelakuan kakak, apa yang
kakak impikan selama ini, itu cuma sampah!”

Siska : “O, makasih udah nasihatin. Tapi, percuma kamu bilang, semuanya udah terlambat!”

Bobby : “Siska! Kak Siska!”

(Siska pergi.)

Hidup Siska semakin tak karu-karuan. Ia mulai tidak hadir sekolah, tidak mengikuti kegiatan
PMR, bahkan ia pun jarang ada di rumah. Karena depresi berat, Siska memutuskan untuk
mengakhiri hidupnya.

Papa : “Siska! Kamu dengar Papa?! Siska keluar!”

Mama : “Siska! Teman kamu ada yang datang!”

Papa : “Siska!”

Mama : “Nak, kamu ketuk aja pintu kamar nya. Om sama tante ada kerjaan.”

Bobby : “Iya, Om, Tan.”

(Bobby mengetuk kamar Siska.)

Bobby : “Sis? Kak Siska?” (siska teriak.)

Bobby : “Kak Siska?! Kakak kenapa?!” (Bobby masuk dan mendapati Siska tergeletak.)

Bobby : “Astaga! Kak Siska! Om, Tante! Kak Siska pingsan!”

Mama : “Astaga, Siska! Papa gimana anak kita?!”

Papa : “Nak! Papa telpon ambulans!”

Mama : “Ini gimana, Nak?!”

Bobby : “Biar Bobby yang tolong.”

(Bobby melakukan PP pada Siska.)

Mama : “Tante enggak tahu kalau Siska bakal jadi kayak gini, Nak. Mungkin Tante terlalu keras
sama Siska.”

Bobby : “Tante tenang dulu. Kak Siska enggak kenapa-kenapa, kok!”

Mama : “Tante minta maaf banget sama, Siska. Nak, tolong bantu Siska!”
Papa : “Ma, ambulans datang!”

(Siska diangkat dan pergi.)

Bobby : “Mungkin, Tante enggak tahu selama ini Kak Siska kenapa di sekolah. Tapi, kalo Siska
selamat setelah ini, Bobby harap Tante sama Om luangkan waktu buat Siska. Kak Siska
butuh Om sama Tante.”

Tak terasa, Bobby sudah melewati setengah tahun di bangku kelas 11. Kini ia lebih fokus
terhadap pelajaran sekolah, dan tentu saja, PMR. Siang itu, matahari nampak enggan bersinar,
angin berhembus pelan, seperti hendak membawa rintikan kecil. Namun, seorang gadis
senantiasa berdiri di depan gerbang, menanti seseorang.

Bobby : “Kak Siska?”

Siska : “Hai, Bob. Lama enggak ketemu.”

Bobby : “Kakak sehat? Tangannya enggak kenapa-kenapa, ‘kan?”

Siska : “Kakak baik-baik aja kok. Minggu depan, kakak mulai rehabilitasi.”

Bobby : “Ohh, semangat, ya, Kak.”

Siska : “Pasti! Karena kelakuan kakak dulu, kakak enggak akan bisa sekolah dan cari kerja yang
baik lagi. Kamu benar, Bob. Seharusnya, Kakak enggak seperti itu.”

Bobby : “Kakak enggak sepenuhnya salah, kok. Terkadang, orang juga enggak mengerti apa
yang kakak rasain, karena mereka enggak ada di posisi kakak.”

Siska : “Seharusnya, dulu Kakak fokus sama belajar saja, supaya Mama sama Papa bisa
mengerti. Salah banget, ya?”

Bobby : “Enggak kok, Ka! Sekarang kakak mulai hidup baru lagi!”

Siska : “Kamu, jangan jadi kayak Kakak, ya! Kalo kita bisa ketemu lagi, kamu harus menjadi
orang sukses!”

Bobby : “Aku janji, akan menjadi ketua PMR yang lebih baik dari Kakak!”

Obat-obatan bukan jalan keluar yang tepat untuk anak remaja yang mencari jati diri. Yang
diperlukan adalah kasih sayang orangtua dan pergaulan yang positif. Tak ada gunanya menyesali
apa yang telah terjadi, oleh sebab itu berpikirlah sebelum bertindak, maka apa yang kita impikan
tak lenyap oleh narkoba.

Anda mungkin juga menyukai