Garry : “Jarang banget kali aku lihat kamu di sini! Masa sih? Kamu baru ikut?”
Garry : “Kamu cuma lima kali doang ikut PMR?! Wah, kalo ketua PMR tahu, kamu bisa mampus
tuh.”
Bobby : “Bercanda, Gar. Kamu kira aku berani berantem gitu sama orang. Enggak, kali.”
Garry : “Oke, oke. Tapi, kamu keren juga, ya. Bolos PMR tapi enggak berani berantem gitu. Kan
biasanya anak-anak yang suka bolos gitu jago-jago berantem.”
Bobby : “Wah, aku sih anaknya baik-baik, Gar. Bolos cuma oleh malas, lagian aku ikut PMR buat
nambah nilai.”
Tak jauh dari tempat mereka berdiri, terjadi sebuah kecelakan yang membuat keributan. Garry dan
Bobby mendekat.
Bobby : “Gimana??”
Siska : “Anggota PMR Tunas Bangsa? Kamu hebat juga, loh, hebat!”
Bobby : “Gar, cewek itu siapa, ya? Kok, kenal sama aku?”
Garry : “Makanya, datang PMR! Itu Siska, anak kelas 12, Ketua PMR! Pulang, yuk!”
Bobby : “Wahh..”
Semenjak pertemuan itu, Bobby merasa tertarik terhadap kakak kelasnya, Siska, Si Ketua PMR.
Ketertarikannya membuat ia semangat mengikuti aktivitas ekskul itu untuk bertemu Siska.
Namun, tanpa ia ketahui, Siska memiliki sisi buruk yang selama ini ia tutupi.
Mama : “PMR lagi, PMR lagi! Enggak ada kerjain lain apa?! Mama ‘kan udah bilang enggak
usah ikut yang kayak begituan!”
Siska : “Ma, Siska ‘kan pengen jadi dokter! Belajar dulu dong sekarang dari PMR.”
Mama : “Cewek kaya kamu, enggak usah punya cita-cita! Cewek kerjanya di rumah bukan
diluar!”
Mama : “SISKA!”
Siska pergi dari rumah, nemui tempat yang selama ini menjadi gudang rahasianya.
David : “Eh, Sis, lama banget sih! Kita nungguin kamu dari tadi loh!”
Siska : “Kalian emang teman aku yang paling baik! Thanks, ya!”
Di sisi lain, Bobby yang sangat tertarik terhadap Kakak kelasnya itu berusaha mencari informasi
tentang Siska Si Ketua PMR yang ternyata banyak diidolakan orang.
Garry : “Tapi, sore ini katanya Kak Siska enggak hadir, loh!”
Garry : “Sakit. Tapi, biarpun Kak Siska enggak hadir, kamu tetap datang, ‘kan?”
Bobby (dalam hati) : “Itu Kak Siska? Astaga, dia..aku enggak percaya kalau dia seperti ini.
Padahal…dia..” (Bobby melarikan diri)
Bobby merasa tidak percaya dengan kenyataan yang ia lihat, bahwa Kakak kelas yang ia kagumi
tidak seperti yang ia bayangkan. Walaupun, begitu Bobby tetap memperhatikan Siska dari
kejauhan. Secara tidak langsung, Bobby menyaksikan perubahan Siska yang menjadi pemarah
dan bertambah kurus serta sering sakit. Sampai pada akhirnya, kesabaran Bobby berada pada
batas maksimal.
Siang hari selepas pulang sekolah, Bobby memergoki Siska yang minum sendiri di tempat
persembunyiannya.
Bobby : “Kakak emang enggak kenal aku, tapi aku kenal kakak! Kakak ingat waktu kecelakaan
dulu? Aku ikut membantu orang itu bersama kakak.”
Bobby : “Aku pengen kakak berhenti kayak gini, buat apa, Kak?!”
Siska : “Kamu enggak bisa mengerti gimana perasaan aku! Enggak ada yang mengerti perasaan
aku!”
Bobby : “Kalau kakak putus asa, kakak harus berbagi, bukan gini caranya!”
Siska : “Papa sama Mama udah enggak peduli sama aku, kamu tahu?! Buat apa aku hidup!”
Bobby : “Kak Siska.., masih banyak hal yang bisa kita lakukan. Kalau ada kerikil di jalan yang
masih panjang, apa itu menganggu?”
Siska : “O, makasih udah nasihatin. Tapi, percuma kamu bilang, semuanya udah terlambat!”
(Siska pergi.)
Hidup Siska semakin tak karu-karuan. Ia mulai tidak hadir sekolah, tidak mengikuti kegiatan
PMR, bahkan ia pun jarang ada di rumah. Karena depresi berat, Siska memutuskan untuk
mengakhiri hidupnya.
Papa : “Siska!”
Mama : “Nak, kamu ketuk aja pintu kamar nya. Om sama tante ada kerjaan.”
Bobby : “Kak Siska?! Kakak kenapa?!” (Bobby masuk dan mendapati Siska tergeletak.)
Mama : “Tante enggak tahu kalau Siska bakal jadi kayak gini, Nak. Mungkin Tante terlalu keras
sama Siska.”
Mama : “Tante minta maaf banget sama, Siska. Nak, tolong bantu Siska!”
Papa : “Ma, ambulans datang!”
Bobby : “Mungkin, Tante enggak tahu selama ini Kak Siska kenapa di sekolah. Tapi, kalo Siska
selamat setelah ini, Bobby harap Tante sama Om luangkan waktu buat Siska. Kak Siska
butuh Om sama Tante.”
Tak terasa, Bobby sudah melewati setengah tahun di bangku kelas 11. Kini ia lebih fokus
terhadap pelajaran sekolah, dan tentu saja, PMR. Siang itu, matahari nampak enggan bersinar,
angin berhembus pelan, seperti hendak membawa rintikan kecil. Namun, seorang gadis
senantiasa berdiri di depan gerbang, menanti seseorang.
Siska : “Kakak baik-baik aja kok. Minggu depan, kakak mulai rehabilitasi.”
Siska : “Pasti! Karena kelakuan kakak dulu, kakak enggak akan bisa sekolah dan cari kerja yang
baik lagi. Kamu benar, Bob. Seharusnya, Kakak enggak seperti itu.”
Bobby : “Kakak enggak sepenuhnya salah, kok. Terkadang, orang juga enggak mengerti apa
yang kakak rasain, karena mereka enggak ada di posisi kakak.”
Siska : “Seharusnya, dulu Kakak fokus sama belajar saja, supaya Mama sama Papa bisa
mengerti. Salah banget, ya?”
Bobby : “Enggak kok, Ka! Sekarang kakak mulai hidup baru lagi!”
Siska : “Kamu, jangan jadi kayak Kakak, ya! Kalo kita bisa ketemu lagi, kamu harus menjadi
orang sukses!”
Bobby : “Aku janji, akan menjadi ketua PMR yang lebih baik dari Kakak!”
Obat-obatan bukan jalan keluar yang tepat untuk anak remaja yang mencari jati diri. Yang
diperlukan adalah kasih sayang orangtua dan pergaulan yang positif. Tak ada gunanya menyesali
apa yang telah terjadi, oleh sebab itu berpikirlah sebelum bertindak, maka apa yang kita impikan
tak lenyap oleh narkoba.