Anda di halaman 1dari 212

AKAR RADIKALISME

DI INDONESIA
Sebuah Tinjauan Sosial, Budaya, dan Politik

Gratia Wing Artha, Valensius Ngardi, Khoriskiya Novita,


Rivani, Rizal Ramadhan Ivandi, Kevin Nobel Kurniawan,
Muhammad Makro Maarif Sulaiman, Aris Wahyudin,
Winda Sari, Rr. Siti Kurnia Widiastuti, Munir, Iman Pasu
Marganda Hadiarto Purba

i
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
Undang-Undang No.28 Th. 2014, Tentang Hak Cipta

1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana penjara paling lama 1
(satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) hufuf c, huruf d,
huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam
bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp. 4.000.000,00 (empat miliar rupiah).

ii
iii
AKAR RADIKALISME DI INDONESIA
Sebuah Tinjauan Sosial, Budaya, dan Politik

©Copyright Lawwana
Cetakan Pertama, Oktober 2020
hlm: xxxiv+178 14 cm x 20,5 cm
ISBN : 978-623-94829-2-3

Penulis : Gratia Wing Artha, Valensius Ngardi, Khoriskiya Novita, Rivani,


Rizal Ramadhan Ivandi, Kevin Nobel Kurniawan, Muhammad
Makro Maarif Sulaiman, Aris Wahyudin, Winda Sari, Rr. Siti
Kurnia Widiastuti, Munir, Iman Pasu Marganda Hadiarto Purba
Editor : Nazar Nurdin
Ilustrasi Cover : Munir
Desain & Tata Letak : M. Danil Aufa

Diterbitkan oleh:
CV Lawwana
Jl. Totem VI B9 NO 22
Kel. Sadeng, Kec. Gunungpati, Semarang Jawa Tengah.
lawwana.com | penerbitlawwana@gmail.com | CP: 08122-688866-2

©Hak pengarang dan penerbit dilindungi undang-undang No. 28 Tahun 2014


Dilarang memproduksi sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa
izin tertulis dari penerbit.

iv
TESTIMONI
“Islam, semua agama dan seluruh pandangan kemanusiaan
universal, hadir untuk membebaskan manusia dari penderitaan,
penindasan, kekerasan dan kebodohan, di satu sisi, dan menegakkan
keadilan, kesetaraan, kesalingan membagi kasih, menyebarkan
ilmu pengetahuan di sisi yang lain. Atas dasar ini, maka Islam dan
seluruh agama serta etika spiritualisme menentang keras cara-
cara yang dilakukan oleh gerakan radikalisme dan ekstremisme di
manapun dan kapanpun. Radikalisme dan ekstremisme kekerasan
harus dilawan dengan mengembangkan dan menyebarkan nalar
Islam wasathi atau moderat. Buku ini menjadi penting untuk dibaca
sampai titik terakhir. Selamat.”
KH. Husein Muhammad (Cendekiawan Muslim)

“Agama apapun namanya di dunia ini senantiasa in-context dengan


zamannya. Agama yang tidak dapat memberikan jawaban atas
berbagai problem di dunia, lambat atau cepat akan ditinggalkan
oleh penganutnya. Karya antologis dari para penulis muda ini layak
untuk dijadikan sumber bacaan di saat dunia sedang menghadapi
problem pemahaman keagamaan yang tidak komprehensif.”
Prof. Dr. H. Syamsun Ni‘am, M.Ag (Guru Besar Metodologi Studi Islam
IAIN Tulungagung & Asesor BAN-PT)

“Ada banyak konsep dan istilah yang dilekatkan terhadap


serangkaian praktik keagamaan—atau para pelaku yang memiliki
keyakinan tengah menjalankan praktik keagamaan mereka—di
dalam masyarakat Indonesia kontemporer. Sebut saja kata seperti
radikalisme, fundamentalisme, liberal, lokal, pribumi dan lainnya
yang menjadi perhatian banyak pihak. Semuanya menjadi bukti

v
yang menunjukkan keragaman praktik keagamaan sama dinamisnya
dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat Indonesia.
Kumpulan tulisan yang tersusun dalam buku ini merupakan sebuah
kisah perjalanan dari para intelektual dengan semangat muda untuk
merekam dinamika itu, sekaligus memberi tawaran yang mungkin
memberi rasa baru kehidupan bersama di Indonesia sekarang. Saya
memberikan salut kepada mereka, dan mengucapkan selamat atas
terbitnya buku ini.
Andi Achdian (Sejarawan dan Pengajar di Prodi Sosiologi, FISIP UNAS)

Agama adalah keyakinan dari setiap individu. Memeluk agama


apapun menjadi hak yg paling fundamental setiap manusia.
Tidak boleh memaksakan suatu agama kepada orang yg tidak
menyakininya. Pertanyaaanya adalah apakah hak beragama juga
mengandung hak utk tidak beragama ? setiap orang butuh agama
utk bisa menjadi manusia yg utuh, karena dengan agama kita jadi
tahu apa tujuan kita hidup. Buku yg ditulis para anak muda ini,
membangkitkan kepercayaan saya bahwa agama akan terus ada
sepanjang generasi.
Dr. Bahrul Amiq S.H, M.H (Rektor Universitas Dokter Soetomo Surabaya)

“Tak dipungkiri radikalisme ada di setiap agama. Akarnya selalu


sama, yaitu kegagalan menafsirkan teks atau pesan agama dalam
konteks kekinian, dampaknya adalah pemahaman yang rigit dan
tekstualis. Buku bunga rampai dari para penulis muda ini mencoba
menghadirkan pemahaman agama yang fleksibel dan dialektik
dalam setiap zaman dan tantangannya.”
Aguk Irawan MN (Esais dan Budayawan)

vi
“Agama lahir untuk membebaskan manusia dari segala bentuk
kekerasan. Saat agama berubah menjadi institusi yang radikal, saat
itu agama tidak lagi sebagai agama, melainkan sebagai alat untuk
menjustifikasi kekerasan atas nama agama. Mengapa hal ini dapat
terjadi? Jawabannya dapat pembaca telusuri dari kumpulan tulisan
yang mencoba menguak akar radikalisme itu dari aspek sosial,
budaya, dan politik dalam buku ini.
Dr. Abdul Aziz, M.Ag (Dosen Hukum Islam di Fakultas Syariah IAIN
Surakarta)

“Saya kagum dan turut berbangga dengan terbitnya karya antologis


dari para penulis muda ini. Karya tulis ini patut dijadikan sebagai
sumber wacana di tengah kondisi masyarakat Indonesia yang
sedang tidak baik-baik saja, kehidupan beragama dan berkeyakinan
kita saat ini terganggu oleh realitas kekerasan bernuansa agama dan
kepercayaan. Bagi kami sebagai peminat sejarah dan pemerhati hak
asasi manusia sehubungan kebebasan beragama dan berkeyakinan,
tema-tema yang dikemukakan para penulis dapat menjadi
pedoman bagi kita dalam memandang kenyataan sosial sekaligus
menjadi pijakan cara pandang ketika melakukan advokasi. Saya
mengucapkan selamat kepada para penulis.”
Yunantyo Adi Setyawan (Presidium GUSDURian Jawa Tengah)

“Ide yang bagus memunculkan karya di tengah pandemi, tentunya


ini merupakan suatu prestasi.”
Faktur Rohman Nur Awalin, M.Pd (Dosen Bahasa Jawa IAIN
Tulungagung, Anggota ISNU PC Tulungagung)

vii
“Bagi orang-orang yang mendedikasikan kelompoknya menjadi
tangan Tuhan, kemudian dengan atas nama-Nya mereka melakukan
tindakan yang destruktif, membunuh, mengebom, menyerang
kelompok yang berbeda adalah salah satu bentuk pemahaman
keberagamaan yang keliru. Korbannya bisa siapa saja, kelompok
minoritas, LGBT, bahkan masyarakat mayoritas yang dianggap
melakukan penindasan. Jadi alangkah bahayanya ketika agama
menjadi alat legitimasi untuk membunuh, merusak, mempersekusi.
Lantas di mana fungsi agama yang sebenarnya?”
Shinta Ratri (Pengasuh Pondok Pesantren Waria Al-Fattah)

“Ekstremisme berbasis kekerasan berakar dari pikiran, perasaan,


dan prasangka yang salah kaprah terhadap keberagaman, baik
keberagaman agama, suku, ras hingga seksualitas, yang semuanya
dipandang bidah, toghut, kafir dan lainnya. Oleh karena itu, buku
kumpulan tulisan ini berupaya menjelaskan itu semua; dari mana
akar radikal ekstremisme dari aspek sosial, pendidikan, dan
kebudayaan.”
Al Muiz Liddinillah (Founder Komunitas Gubuk Tulis)

viii
Pengantar Ahli
Agama: Fungsional Dan Disfungsional*
Oleh: Warsono
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum
Universitas Negeri Surabaya (Unesa)

Agama baik dalam artian natural (agama samawi) maupun


kultural (kepercayaan) merupakan hal yang tidak bisa
dipisahkan dari sejarah kehidupan manusia. Dalam sejarah
peradaban manusia, di dalamnya memuat unsur relegi mulai
dari politeisme sampai monotheisme. Agama bukan hanya
dibutuhkan manusia untuk memenuhi kebutuhan kodratnya,
tetapi juga mempunyai berbagai fungsi dan disfungsi sosal.
Fungsi agama pada masyarakat primitif berbeda dengan fungsi
agama pada masyarakat yang modern. Pada masyarakat primitif
umumnya menganut politiheisme yang lebih didominasi oleh
belief system dalam kehidupannya. Hal ini berbeda dengan
masyarakat modern yang lebih didominasi oleh sistem rasional.
Meskipun demikian, kehadiran agama masih tetap dibutuhkan
dalam berbagai aspek kehidupannya.

Agama sebagai Legitimasi Keterbatasan Manusia

Agama dalam artian sebagai sistem kepercayaan terhadap


adanya wujud spiritual sebagaimana dikemukakan oleh Tylor,
merupakan bagian dari kehidupan umat manusia. Sebagai
makhluk yang dalam kodratnya merupakan makhluk relegius
(Notonagoro) manusia mempunyai kepercayaan bahwa ada

* Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Paradigma Volume 2 Nomor 1 Januari 2004.
Prodi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya.

ix
AKAR RADIKALISME DI INDONESIA
Sebuah Tinjauan Sosial, Budaya, dan Politik

suatu kekuatan yang Transenden, yaitu suatu kekuatan yang


berada di luar dan di atas kekuatan dan kekuasaan manusia.
Yang Transenden ini dalam bahasa agama disebut dengan
Tuhan, Allah, Sang Yang Widi atau sebutan lainnya. Kepercayaan
terhadap yang Transenden tersebut merupakan wujud dari
kelemahan dan sekaligus ketergantungan manusia terhadap
suatu kekuatan dan kekuasaan yang berada di luar dirinya.
Sebagaimana dikemukakan oleh Cliffe Brown bahwa agama pada
hakikatnya merupakan ekspresi suatu bentuk ketergantungan
manusia pada kekuatan di luar dirinya (Scharf R. Betty, 1995:30)
Kepercayaan manusia atas sesuatu yang Transenden ini
disebabkan oleh keterbatasan kemampuannya untuk memhami
dan menjelaskan berbagai fenomena alam yang mereka hadapi.
Banyak fenomena alam yang tidak mampu dijelaskan dan
dipahami manusia dengan kemampuan akalnya. Keterbatasan
kemampuan (akal) manusia tersebut telah melahirkan suatu
kepercayaan akan adanya kekuatan yang Transenden, yang
menciptakan dan mengatur segala yang ada, termasuk adanya
manusia. Kepercayaan manusia didasarkan atas keterbatasan
kemampuan akal (pengetahuan) ini bersifat relatif. Artinya apa
yang dipercaya sebagai suatu kekuatan Transenden itu bagi
masing-masing masyarakat, bahkan masing-masing individu
akan berbeda. Bahkan kepercayaan tersebut bisa berubah
sejalan dengan perkembangan ilmu dan pengetahuan yang
dimiliki.
Hal ini bisa kita lihat dalam budaya masyarakat yang
pada awalnya bersifat politheisme, kemudian berkembang
ke arah monotheisme. Pada masyarakat yang primitif, sistem
kepercayaan mereka lebih didominasi oleh politheisme. Bagi
masyarakat yang pengetahuannya masih rendah (primitif)

x
PENGANTAR AHLI:
Agama: Fungsional Dan Disfungsional

banyak fenomena alam yang belum diketahui penjelasannya


termasuk bagaimana hubungan antara fenomena yang satu
dengan fenomena lainnya, sehingga masing-masing dianggap
mempunyai kekuatan sendiri-sendiri. Akibatnya, mereka
mempercayai banyak Tuhan sebagai simbol dari kekuatan gaib
yang lebih tinggi dari kekuasaan dan kekuatan manusia.
Dalam masyarakat primitif (baca tingkat pengetahuannya
rendah) kehidupan mereka lebih banyak ditentukan oleh sistem
kepercayaan (belief system) daripada sistem yang rasional
(rational system). Perilaku mereka lebih banyak diatur oleh
sistem kepercayaan yang didasarkan pada pengetahuan yang
diperoleh melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan
lingkungan alam sekitarnya.
Berbagai fenomena alam yang mereka lihat sehari-hari tidak
semuanya bisa dijelaskan atau mereka pahami. Ketidakmampuan
(keterbatasan pengetahuan) mereka menjelaskan berbagai
fenomena alam menyebabkan mereka mengambil sikap bahwa
semua itu termasuk manusia telah ditentukan oleh suatu
kekuatan yang berada di luar dirinya. Masing-masing individu
dan masyarakat mempunyai pengetahuan dan daya nalar yang
berbeda-beda. Pada titik akhir pengetahuan dan nalarnya
(ultimate goal) tersebut merupakan titik awal dari kepercayaan
mereka. Oleh karena itu, kepercayaan (animisme meminjam
istilah Tylor) yang menjadi esensi dari setiap agama, sebenarnya
juga merupakan hasil dari akal (nalar).
Meskipun kadang kepercayaan yang dianut oleh suatu
masyarakat dinilai oleh masyarakat lain bersifat irasional,
semata-mata karena perbedaan tingkat pengetahuan dan
penalaran (Pals L. Daniel, 2001: 39). Jika seseorang melakukan
penalaran dengan mengabungkan ide-ide pada akhirnya dia

xi
AKAR RADIKALISME DI INDONESIA
Sebuah Tinjauan Sosial, Budaya, dan Politik

sampai pada suatu kesimpulan yang diyakini sebagai kebenaran,


meskipun kesimpulan tersebut belum tentu logis.
Oleh karena itu, dalam setiap masyarakat tentu mempunyai
agama sebagai kebutuhan kodrat dan sekaligus sebagai
konstruksi pemikirannya. Sebagai kebutuhan kodrat, karena
manusia menyadari adanya keterbatasan pada dirinya ketika
dihadapkan pada fenomena-fenomena alam di sekitarnya.
Ketidakmapuan menjelaskan berbagai fenomena tersebut
menimbulkan kesadaran atas kelemahan mereka. Kesadaran
atas kelemahan itu pada gilirannya menimbulkan kebutuhan
akan sesuatu yang transenden sebagai tempat berlindung.
Kepercayaan terhadap yang transenden tersebut kemudian
dijadikan pedoman dalam memandang kehidupan ini. Oleh
karena itu, Dukheim menempatkan agama sebagai fakta sosial,
yaitu suatu kekuatan yang bersifat memaksa yang berada di luar
diri manusia (actor).
Bagaimana wujud yang transenden tersebut kemudian
dikonstrusi oleh pemikirana mereka sendiri melalui
personifikasi dan analogi atas realita yang dihadapi sehari-
hari. Dalam masyarakat yang masih primitif, yang transenden
tersebut dipersonifikasikan dengan patung, dan berbagai pusaka
dan binatang. Ketidakmampuan mereka menghubungkan
antara berbagai fenomena menyebabkan mereka tidak mampu
menyimpulkan bahwa banyak kekuatan. Akibatnya, kepercayaan
mereka bersifat politheisme.
Hal ini berbeda dengan masyarakat yang lebih modern
(rasional), yang perilakunya lebih banyak dimbimbing oleh
sistem yang mereka buat sendiri (rational system) daripada
belief system. Masyarakat modern melihat fenomena alam
sebagai gejala yang –dalam batas-batas tertentu- bisa dijelaskan

xii
PENGANTAR AHLI:
Agama: Fungsional Dan Disfungsional

secara rasional. Meskipun ada gejala yang belum dapat


dijealskan, mereka meyakini bahwa hal itu disebabkan pikiran
(baca ilmu dan teknologi) yang dihasilkan manusia belum
bisa menjangkaunya. Dengan kemajuan ilmu dan teknologi,
sebagian besar fenomena alam sudah dapat dijelaskan secara
rasional. Ambil contoh, jika dahulu pada masyarakat pedesaan
memandang peristiwa alam seperti terjadinya gerhana bulan
dan matahari disebabkan ada raksasa yang marah kemudian
memakan bulan dan matahari tersebut. Sekarang peristiwa
tersebut sudah bisa dijelaskan secara rasional.
Gerhana bulan terjadi karena antara matahari, bulan
dan bumi berada pada satu garis. Bentuk bumi yang bulat
menyebabkan sebagian orang yang tinggal di belahan belakang
tidak bisa melihat bulan yang berada di tengah antara bumi
dan matahari. Berbagai peristiwa alam, seperti gerhana bulan,
gerhana matahari, petir, hujan, banjir, dan gunung meletus sudah
bisa dipahami dan dijelaskan secara rasional berkat kemajuan
ilmu dan teknologi yang dibuat oleh manusia.
Dengan berasumsi bahwa alam semesta sebagai satu sistem,
maka unsur-unsur yang ada di alama semesta mempunyai
hubungan kausalitas, sehingga perubahan pada satu unsur
menyebabkan perubahan pada unsur lainnya. Seperti rantai
makanan dalam dunia hewan, antara singa, kijang, dan rumput.
Hujan yang turun menyebabkan tanah yang subur ditumbuhi
banyak rerumputan. Banyaknya rerumputan menyebabkan
kijang dapat hidup dan berkembang biak. Bertambahnya
jumlah kijang menyebabkan singa bisa hidup dan berkembang
biak. Namun sebaliknya, jika musim kemarau, rumput-rumput
menjadi kering, kijang tidak bisa berkembang biak dengan baik,
karena kekurangan makan. Akibatnya Singa pun juga kesulitan

xiii
AKAR RADIKALISME DI INDONESIA
Sebuah Tinjauan Sosial, Budaya, dan Politik

mencari mangsa. Berbagai fenomena alam terebut sekarang


sudah bisa dijelaskan dan diketahui oleh manusia berkat
kemajuan ilmu dan teknologi. Sebagai contoh gerhana bulan dan
matahari sudah bisa dijelaskan penyebabnya. Bahkan sekarang
sudah bisa diprediksi kapan akan terjadi.
Meskipun demikian, pada masyarakat yang rasional
sekalipun kehadiran agama masih tetap dibutuhkan.
Bagaimanapun rasionalnya seseorang atau masyarakat, juga
mempunyai keterbatasan. Bahkan rasionalitas juga bisa
membimbing manusia kepada keyakinan akan keberadaan
yang Transenden (Tuhan) sebagai kausa prima (penyebab
atau pencipta dari segala yang ada). Keberadaan agama
bisa dipandang sebagai legitimasi atas kelemahan manusia.
Ketidakmapuan dan kelemahan manusia telah menghadirkan
suatu kebutuhan akan kepercayaan terhadap sesuatu yang
diyakini sebagai suatu kekuatan dan kekuasaan yang lebih tinggi
dari dirinya. Oleh karena itu, agama akan selalu hadir dalam
kehidupan masyarakat, sekalipun masyarakat yang modern
(rasional).

Agama sebagai Identitas Kelompok

Agama sering didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan


peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia
gaib, khususnya dengan Tuhan, dengan manusia lainnya, serta
mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Dalam
perspektif sosial, agama merupakan sistem keyakinan dan
sistem makna yang muncul dan terwujud dalam kehidupan
sosial melalui interaksi yang responsif terhadap berbagai
situasi yang dihadapi oleh para penganutnya. Oleh karena itu,
Durkheim mengatakan bahwa agama merupakan kesadaran

xiv
PENGANTAR AHLI:
Agama: Fungsional Dan Disfungsional

kolektif dari suatu masyarakat yang sekaligus menjadi pengikat


dan pengatur perilaku mereka (Haralambos, 2001: 433).
Bagi Durkheim, hal yang sangat pokok dalam agama
adalah yang disebut kepercayaan dan upacara-upacara (Turner,
1994: 46). Kepercayaan dan upacara merupakan dua hal yang
tidak bisa dipisahkan. Kepercayaan berada dalam bentuk
pikiran, sedangkan upacara dalam bentuk tindakan. Apa
yang dipercayai (dipikirkan) sebagai suatu kebenaran akan
diwujudkan dalam bentuk tindakan berupa upacara. Durkheim
melihat agama sebagai belief system yang mengkonstruksi cara
berpikir, bertindak, dan merasa dari setiap individu. Dengan
menggunakan pendekatan fungsional, ia melihat bahwa fungsi
agama adalah menciptakan, memperkuat, dan mempertahankan
kesadaran kolektif. Ini berarti, Durkheim melihat agama sebagai
kesadaran kolektif, bukan sebagai ideologi.
Sebagai kesadaran kolektif, agama dapat mempersatukan
berbagai individu dan kelompok ke dalam satu ikatan sosial
dan kultural. Hal ini disebabkan dalam hal-hal tertentu mereka
mempunyai cara padang dan melakukan tindakan yang
sama. Kesamaan cara pandang dan tindakan mereka dalam
menjalankan ajaran agama mengakibatkan mereka merasa
saling terikat satu dengan lainnya. Keterikatan mereka pada
satu ajaran agama yang sama menyebabkan setiap individu
merasa sebagai bagian dari komunitas yang sama. Kesadaran
kolektif untuk menjalankan ajaran agama telah menjadi
identitas mereka. Oleh karena itu, agama juga merupakan
identitas dari anggota suatu kelompok yang dengan mudah bisa
dikenali dari pola pikir dan kegiatan-kegiatan fisik yang mereka
lakukan. Sebagai contoh warga NU merasa mempunyai ikatan
persaudaraan (kesadaran kolektif) satu dengan lainnya. Mereka

xv
AKAR RADIKALISME DI INDONESIA
Sebuah Tinjauan Sosial, Budaya, dan Politik

mempunyai kebiasaan yang sama, misalnya tahlilan. Tahlilan


telah menjadi ciri khas warga NU, sebagai bentuk kesadaran
kolektif yang sekaligus sebagai pengikat dan identitas mereka.
Identitas mereka bisa dikenali diri perilaku dan kebiasaan yang
mereka lakukan, sebagai wujud dari ketaatan kepada ajaran
yang mereka yakini.

Agama sebagai Ilusi

Pandangan Durkheim ini berbeda dengan pandangan Mark,


yang menganggap bahwa agama merupakan ilusi sebagai
akibat ketidakberdayaan manusia (Pals, 2001:232). Pandangan
Mark didasarkan pada realitas kaum buruh yang tertindas
oleh kaum kapitalis. Ketidakmampuan mereka menghadapi
eksploitasi kaum kapitalis menyebabkan mereka lari pada
suatu ilusi dengan membayangkan adanya kebahagiaan di dunia
lain. Dengan beragama, kaum buruh untuk sementara bisa
melupakan penderitaan akibat eksploitasi yang dilakukan oleh
kaum kapitalis.
Menurut Mark, kaum buruh bukan hanya tereksploitasi
oleh kaum kapitalis, tetapi juga teralienasi (terasing) dari
aktivitas produksi, produk yang dihasilkan, sesama kaum
buruh, dan potensi dirinya sebagai manusia (Ritzer, 1996:57).
Kaum buruh melakukan suatu pekerjaan yang sebenarnya
tidak mereka inginkan. Mereka terpaksa melakukan pekerjaan
(aktivitas produksi) karena hanya untuk mencari upah sebagai
penyambung hidupnya. Bagi Mark, pekerjaan seharusnya
merupakan manifestasi diri. Mereka melakukan pekerjaan
sesuai dengan pilihan dan sebagai wujud dari dirinya. Hal ini
tidak mungkin dilakukan oleh kaum buruh, karena mereka
diperintah oleh orang lain (kaum kapitalis). Kaum buruh juga
teralienasi dari produk yang mereka buat sendiri. Mereka

xvi
PENGANTAR AHLI:
Agama: Fungsional Dan Disfungsional

membuat sesuatu yang sebenarnya tidak mereka butuhkan.


Ambil contoh, seorang buruh di pabrik ban mobil, padahal
mereka tidak membutuhkan ban, sebab mereka sendiri tidak
mempunyai mobil. Akibatnya, mereka teralienasi dari produk
yang mereka hasilkan.
Kaum buruh juga teralienasi dari sesama buruh. Mereka
setiap hari harus bekerja dan berhadapan dengan mesin-
mesin. Keinginan mereka untuk berinteraksi dengan sesama
buruh terpaksa tidak bisa dipenuhi, karena mereka harus
bekerja mengikuti kerja mesin. Mereka harus konsentrasi untuk
“melayani” kerja mesin, jika mereka tidak ingin celaka atau
dipecat oleh majikan karena telendor dalam bekerja. Akibatnya
kaum buruh juga teralienasi dari potensi dirinya sebagai
manusia. Kaum buruh bagaikan mesin yang bekerja menurut
aturan waktu yang telah ditetukan oleh majikan. Mereka tidak
bisa menentukan sendiri kapan waktu untuk masuk, istirahat,
dan pulang. Semuanya ditentukan oleh majikan.
Ketidakberdayaan menghadapi eksploitasi kaum kapitalis
dan keterasingan diri meyebabkan kaum buruh mengkonstruksi
agama sebagai bentuk “pelarian” dari kenyataan. Inilah yang
dimaksud Mark bahwa agama sebagai candu masyarakat,
sebagai sarana untuk menghilangkan penderitaan dan rasa
keterasingan. Bahkan agama juga telah menghilangkan
semangat revolusioner dari kaum buruh untuk melakukan
pemberontakan terhadap kaum kapitalis. Agama bukan hanya
mengajarkan tentang keindahan kehidupan di dunia lain bagi
orang-orang yang taat kepada Tuhan, tetapi juga mengajarkan
orang untuk bersabar dan ikhlas menerima segala sesuatu yang
terjadi. Dengan beragama, kaum buruh bisa tenang menghadapi
ketertindasan dan keterasingan yang mereka alami.

xvii
AKAR RADIKALISME DI INDONESIA
Sebuah Tinjauan Sosial, Budaya, dan Politik

Bagi Mark, kondisi material kehidupan yang mempengaruhi


kesadaran agama. Kesadaran manusia bisa berubah-ubah
tergantung dari kondisi kehidupannya. Meskipun banyak orang
yang menentang pandangan Mark, tetapi sebenarnya banyak
juga orang yang menjalankan apa yang dikatakan Mark. Ambil
contoh, mereka yang melakukan korupsi sebagian diantaranya
adalah orang-orang yang beragama, bahkan yang dari kalangan
Islam sudah banyak yang berhaji, sehingga muncul pameo:
STMJ. STMJ bukan Susu Telur Madu Jahe, tetapi Sholat Terus
Maksiat Jalan. Bagi mereka yang korup, pada saat menjalankan
sholat, Tuhan hadir dalam kesadarannya, tetapi ketika mereka
sedang menjalankan korupsi, Tuhan hilang dari kesadarannya.
Ini sesuai dengan apa yang ditegaskan oleh Mark, bahwa bukan
kesadaran yang menentukan kondisi kehidupan, tetapi kondisi
kehidupanlah yang menentukan kesadaran. Jika kesadaran
yang menentukan kondisi kehidupan, maka orang-orang
yang beragama (misal mereka yang sudah berhaji) tidak akan
melakukan korupsi atau perbuatan-perbuatan tercela lainnya,
sebab Tuhan (kesadarannya akan adanya Tuhan dan dosa) akan
selalu hadir setiap saat dan menuntun perilaku mereka sehari-
hari. Oleh karena itu, bagi Mark, agama hanyalah ilusi bagi kaum
tertindas (kaum buruh) yang harus dijauhkan dari kehidupan
mereka.

Agama sebagai Kritik Sosial

Dalam setiap agama, di dalamnya juga mempunyai dua dimensi,


yaitu dimensi subyektif dan dimensi obyektif. Dimensi subyektif
berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan Tuhan yang
tidak mudah diukur, dan hanya Allah lah yang tahu. Ketaqwaan
seseorang tidak bisa dilihat dari perilaku yang nampak (misal:
sholat, zakat, puasa), karena semua itu ditentukan oleh niatnya.

xviii
PENGANTAR AHLI:
Agama: Fungsional Dan Disfungsional

Yang mengetahui niat seseorang hanya dirinya sendiri dan Allah,


kecuali niat tersebut diungkapkan kepada orang lain dengan
jujur. Dimensi obyektif agama berkaitan dengan ajaran tentang
bagaimana hubugan antara manusia dengan manusia, misalnya
menegakan keadilan yang bukan hanya berlaku secara sama
bagi setiap orang, tetapi juga bisa diterima oleh semua manusia.
Hal ini berkaitan dengan sifat universalitas agama. Setiap agama
berasumsi bahwa ajaran-ajarannya diperuntukan bagi semua
manusia, bukan untuk sekelompok orang, suku atau bangsa
tertentu. Oleh karena itu, ada kesamaan nilai yang diajarkan
antara agama-agama yang berbeda.
Bertolak dari konsepsi di atas, agama mempunyai tiga
fungsi yaitu: sebaga pengatur perilaku sosial; sebagai kritik
sosial; dan sebagai ideologi. Sebagai pengatur perilaku agama
merupakan dogma (fakta sosial menurut Durkheim) yang
bersifat memaksa. Setiap agama menuntut kepatuhan dari para
penganutnya untuk berperilaku sesuai dengan ajaran-ajarannya.
Ajaran agama secara normatif (berupa larangan dan kewajiban)
harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh penganutnya. Siapa yang
melanggar norma-norma atau larangan dan kewajibannya akan
mendapat sanksi dari Tuhan. Begitu juga bagi mereka yang
taat menjalankan ajarannya akan memperoleh pahala. Pahala
dan hukuman inilah yang kemudian menjadi pendorong setiap
orang untuk berperilaku sesuai dengan ajaran agama. Sebagai
contoh, sholat, dan berpuasa bagi umat Islam merupakan
perilaku yang dilandasi oleh keyakinan terhadap ajaran agama.
Meskipun demikian, tingkat kepatuhan masing-masing individu
terhadap ajaran agama yang dianut tidak sama. Ada yang sangat
taat, tetapi ada juga yang ketaatannya berubah-ubah tergantung
pada situasi dan kondisi.

xix
AKAR RADIKALISME DI INDONESIA
Sebuah Tinjauan Sosial, Budaya, dan Politik

Fungsi agama sebagai kritik sosial, berkaitan dengan


dimensi obyektif dari agama, yang berupa ajaran tentang
bagaimana seharusnya manusia berhubungan dengan sesama
manusia dan makhluk hidup lainnya. Dengan nilai-nilai yang
universal dan normatif, agama dapat berfungsi sebagai kritik
sosial atas perilaku atau realitas sosial yang ada. Ajaran agama
yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Sempurna merupakan
suatu yang sangat ideal (baca sempurna), sehingga menjadi
acuan dan rujukan dari suatu realaitas yang dibentuk manusia.
Fungsi agama sebagai kritik sosial ini juga sebagai konsekuensi
dari fungsi agama sebagai pengatur perilaku. Ajaran agama
yang sangat ideal menyebabkan ajaran tersebut sangat sulit
dijalankan oleh kebanyakan masyarakat. Meskipun perilaku
yang diajarkan oleh agama, misal Islam telah dicontohkan oleh
Nabi Muhammad SAW, hanya orang-orang tertentu (hanya
sedikit orang) yang bisa menjalankan secara baik. Untuk itu,
agama menjadi kritik sosial, terhadap setiap sistem yang
dibangun oleh manusia, karena setiap sistem yang dibangun
manusia pasti tidak sempurna (mengandung kelemahan dan
kekurangan).
Sedangkan fungsi agama sebagai ideologi karena agama pada
hakikatnya merupakan sumber gambaran tentang dunia ini yang
seharusnya. Gambaran tersebut tetap kokoh dan menyediakan
kriteria yang ditetapkan oleh yang Maha Sempurna (Tuhan).
Namun gambaran tersebut kadang tidak bisa dipahami manusia
secara jelas dengan akalnya (mungkin karena kesalahan berpikir
atau karena ada kepentingan tertentu). Bagaimanapun juga
agama bersifat multi interpretable (Bachtiar Effendy (1999:11).
Kondisi yang demikian inilah (fungsi agama sebagai ideologi)
yang sering digunakan oleh seseorang untuk membenarkan

xx
PENGANTAR AHLI:
Agama: Fungsional Dan Disfungsional

tindakannya. Jadi, agama dijadikan pembenar atau suatu


tindakan yang berdasarkan pemahaman subyektifnya. Dalam
fungsi inilah yang menyebabkan terjadinya konflik diantara
penganut agama yang sama. Kita lihat banyaknya partai politik
yang berbeda-beda dari umat Islam. Banyak partai yang
berasaskan Islam, namun mereka berbeda secara ideologi.
Bahkan tidak jarang orang melakukan suatu tindakan perusakan
dengan alasan atau dalih dibenarkan oleh agama.

Agama sebagai Teologi Pembebasan

Pemahaman agama sebagai kritik sosial dan sekaligus sebagai


ideologi bisa menimbulkan suatu gerakan yang sangat radikal,
seperti apa yang dilakukan oleh Amrozi (kasus bom bunuh diri
di Bali) atau kasus bom bunuh diri yang terjadi di Surabaya
tahun 2018. Hal ini dimungkinkan, karena agama bukan hanya
memberikan aturan yang harus dijalankan oleh manusia, tetapi
juga memberikan reward (pahala) berupa kehidupan yang
indah (surga) setelah kematian kepada orang yang menjalankan
ajarannya. Bahkan (dalam hal ini Islam) memberikan pahala
masuk surga bagi orang-orang yang rela mati untuk membela
dan menegakan ajaran agama. Keyakinan yang demikian dapat
menjadi semacam semangat revolusioner bagi kelompok-
kelompok marginal untuk mengartikulasikan ketidakpuasan
mereka dengan melawan tatanan sosial yang dianggap tidak
sesuai dengan ajaran agama. Apa yang dilakukan oleh Amrozi
dan kawan-kawannya bisa dibaca dengan karangka teori yang
demikian. Mereka menganggap bahwa tatanan kehidupan
masyarakat yang ditopang oleh negara telah menyimpang dari
ajaran agama. Oleh karena itu, tatanan yang demikian menurut
mereka harus dihancurkan dan diganti dengan tatanan yang

xxi
AKAR RADIKALISME DI INDONESIA
Sebuah Tinjauan Sosial, Budaya, dan Politik

sesuai dengan ajaran Islam menurut pemahaman mereka.


Memang agama juga bisa berfungsi sebagai teologi
pembebasan, khususnya bagi kelompok-kelompok yang
tertindas. Sebagai kritik sosial, dalam praksisnya, agama bisa
menjadi semangat revolusioner untuk melawan ketidakadilan
dan penindasan. Hal ini tentu berbeda dengan apa yang
dipikirkan oleh Mark, bahwa agama sebgai candu masyarakat
yang menghilangkan semangat revolusioner dari kaum buruh.
Apa yang terjadi di Amerika latin menunjukan bahwa agama
(agama Katholik) telah menjadi semangat pembebasan bagi
kelompok yang tertindas untuk membebaskan diri dari
kekejaman dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh
rezim yang otoriter (baca tulian Wahono Nitiprawiro, 2000). Para
pastor telah ikut berjuang dengan para pemberontak melawan
rezim yang otoriter. Hal ini juga terjadi di Philipina, Kardinal Seen
juga ikut dalam gerakan peopler power untuk menumbangkan
rezim Marcos. Meskipun para Pastor ikut berjuang dengan para
pemberontak, mereka tidak setuju dengan ideologi komunis
yang diperjuangkan oleh para pemberontak. Perjuangan mereka
semata-mata didasari oleh motivasi pembebasan manusia dari
penindasan, dan ketidakadilan, sebagaimana yang diajarkan
oleh agama mereka.
Fungsi agama sebagai teologi pembebasan ini berkaitan
dengan ajaran agama untuk menegakan keadilan (dimensi
obyektif). Hal ini bisa dilihat pada masa penjajahan, ketika
para elit agama menggerakan masyarakat (santrinya) untuk
melawan penjajah, karena dianggap bersikap tidak adil dan
sewenang-wenang terhadap mayarakat. Di Amerika Serikat,
pendeta Martin Luther King yang diikuti oleh para pengikutnya
(jamaahnya) juga melakukan gerakan protes terhadap kebijakan

xxii
PENGANTAR AHLI:
Agama: Fungsional Dan Disfungsional

pemerintah yang dianggap tidak adil dengan mendiskreditkan


orang kulit hitam. Dengan disemangati oleh ajaran agama
bahwa manusia itu mempunyai harkat dan martabat yang
sama, mereka berjuang melawan ketidakadilan yang berupa
diskriminasi terhadap orang kulit hitam.

Agama sebagai Legitimasi Politik

Dalam konteks politik, agama dapat berfungsi sebagai identitas


politik, legitimasi kekuasaan, kebijakan publik, sebagai
pemersatu nasional, sebagai alat protes (teologi pembebasan),
dan sebagai alat mobilisasi massa (Smith, 1971, Smith, 1970).
Agama sebagai identitas politik bisa dilihat dalam partai politik
yang menjadikan agama sebagai asasnya atau simbol partainya.
Dalam pemilu tahun 1999, banyak partai politik yang menjadikan
agama sebagai identitas partai atau sebagai asas partai dengan
maksud untuk memperoleh dukungan massa melalui ikatan
emosional keagamaan. Misal Partai Umat Islam (PUI), Partai
Kristen Nasional Indonesia (KRISNA), Partai Katholik Demokrat
(PKD). Dalam pemilu tahun 2004, juga masih banyak partai
politik yang menggunakan agama sebagai simbol maupun asas.
Penggunaan agama sebagai simbol partai atau asas
disebabkan agama merupakan kesadaran kolektif (Durkheim)
yang diharapkan dapat menjadi pengikat para pengikutnya.
Meskipun dalam prakteknya kesadaran kolektif keagamaan
dalam politik telah mengalami degradasi fungsi. Partai-partai
politik yang menggunakan simbol-simbol keagamaan dan
hegemoni para elit agama sudah tidak lagi mampu menjadi
kekuatan yang dominan dalam proses politik, terutama di
masyarakat yang rasional.

xxiii
AKAR RADIKALISME DI INDONESIA
Sebuah Tinjauan Sosial, Budaya, dan Politik

Keterlibatan Islam dalam politik di Indonesia sudah terjadi


sejak jaman penjajah. Para elit agama menggunakan simbol-
simbol keagamaan untuk melawan penjajah. Bahkan penggunaan
simbol-simbol agama untuk melawan penjajah ini tidak hanya
terjadi di Indonesia, Tilak seorang politisi India menggunakan
festival keagamaan sebagai propaganda anti Inggris. Gandi
mengelaborasi konsep anti kekerasan yang bersuber dari ajaran
Hindu untuk membangun nasionalisme India dan sekaligus
melawan penjajah. M. Ali Jinah politisi Pakistan menggunakan
simbol-simbol Islam untuk membangun nasionalisme guna
memisahkan diri dari India (Smith, 1970:128). Bahkan Basofi
Sudirman (mantan Gubernur Jawa Timur) juga menggunakan
simbol keagamaan (Islam) untuk mencapai kedudukan sebagai
gubernur (baca disertasi Maliki di Universitas Airlangga 2003,
sekarang sudah diterbitkan).
Gerakan politik yang menggunakan agama bukan hanya
terjadi di wilayah lokal, tetapi juga sampai pada wilayah
global. Berbagai etnis yang mempunyai agama yang sama
dapat menjadikan agama sebagai pengikat kesadaran mereka
dan sebagai pemersatu nasional, terutama ketika mereka
menghadapi ancaman dari pihak luar, seperti yang terjadi di
Pakistan ketika memisahkan diri dari India. Kasus konflik di
Ambon yang menimbulkan pengelompokan masyarakat atas
dasar agama (Islam-Kristen). Dalam wilayah global, agama juga
bisa dijadikan sebagai sumber pemersatu antar bangsa. Hal ini
tampak pada kasus penyerangan Amerika terhadap Afganistan
dan Irak. Serangan Amerika ke wilayah kedua negara tersebut
menyebabkan munculnya demontrasi di berbagai negara yang
mempunyai penduduk muslim. Bahkan sebagian umat Islam
yang berasal dari berbagai negara merasa ikut terpanggil untuk

xxiv
PENGANTAR AHLI:
Agama: Fungsional Dan Disfungsional

membela kedua negara tersebut (Irak dan Afganistan) melawan


Amerika.
Eratnya hubungan antara negara dan agama menyebabkan
agama berfungsi sebagai legitimasi kebijakan-kebijakan publik.
Dalam negara yang mayoritas warga negaranya beragama
Islam seperti Indonesia, kebijakan publik yang berkaitan atau
bersentuhan dengan wilayah keagamaan sangat dibutuhkan
legitimasi dari ajaran agama. Contoh kasus Ajinomoto tahun
2001. Hal ini disebabkan Islam merupakan agama yang organik
yang tidak memisahkan antara agama dengan politik (Smith,
1970:60-67). Sampai saat ini, keterikatan antara agama
(khususnya Islam) dengan politik di Indonesia masih sangat
erat, meskipun pengaruh para elit agama dalam proses politik
mengalami penurunan. Kasus Ahok menjelang Pilkada DKI
tahun 2017 merupakan contoh keterkaitan antara agama dan
politik.
Dalam proses politik, agama juga dapat dijadikan alat
memobilisasi massa, terutama melaui elit-elit agama. Mobilisasi
massa dengan menggunakan agama marak setelah reformasi
dan pada era pemerintahan Gus Dur. Berbagai gerakan
yang dilakukan mayarakat setelah reformasi banyak yang
menggunakan agama. Misal, kasus gerakan Front pembela Islam
(FPI) yang menuntut dimasukannya Piagam Jakarta dalam
amandemen UUD 1945. Munculnya Pasukan Berani Mati (PBM)
untuk membela dan mempertahankan pemerintahan Gus Dur.
Akhir-akhir ini, gerakan 212 yang menggalang masa jutaan pada
tahun 2017 dan 2018 di Monas juga merupakan bentuk gerakan
untuk mempengaruhi kebijakan politik.
Di dalam ruang publik, kita juga melihat berbagai konflik
sosial maupun politik yang melibatkan agama atau ajaran

xxv
AKAR RADIKALISME DI INDONESIA
Sebuah Tinjauan Sosial, Budaya, dan Politik

agama. Keterlibatan elit agama dalam berbagai konflik dengan


menggunakan ajaran agama bisa menimbulkan distorsi
kesakralan agama sebagai kebenaran yang universal. Agama
mengalami disfungsi dalam masyarakat. Agama tidak lagi
sebagai medium netral dalam penyelesaian konflik-konflik
kebangsaan, tetapi justru menjadi sumber konflik. Berbagai
konflik sosial yang didalamnya melibatkan agama antara lain
kasus Ambon, Poso. Bahkan muncul konflik di kecamatan Arale
Kabupaten Polewali Mamasa (Polmas) Sulawesi Barat yang
dipicu oleh pemekaran wilayah Kabupaten Polewali Mamasa
menjadi dua kabupaten yaitu kabupaten Polmas dan kabupaten
Mamasa. Pemekaran wilayah tersebut menimbulkan konflik
antara penduduk yang pro pemekaran dengan yang tidak setuju
dengan pemekaran. Konflik tersebut ternyata juga berakar
dari peristiwa masa lalu yang menyangkut agama (Kompas 19
Oktober 2004).
Dari berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia maupun
di negara-negara lain, menunjukan bahwa agama tidak lagi
menjadi peredam maupun instrumen solusi yang efektif,
tetapi justru menjadi justifikasi pelanggengan konflik. Agama
sering dijadikan sebagai pengikat kohesi sosial dan pembakar
emosi massa untuk melawan mereka yang dianggap di luar
kelompoknya (musuh). Bahasa-bahasa agama seperti bhuqot,
pada era pemerintahan Gus Dur, pemerintah yang dholim, kafir,
pada pasca reformasi justru menjadi “pembakar” potensi konflik
sosial maupun politik. Dalam praksisnya, agama ternyata tidak
hanya bersifat fungsional, tetapi juga bersifat disfungsional yang
bisa menjadi sumber konflik sosial maupun politik.

xxvi
PENGANTAR AHLI:
Agama: Fungsional Dan Disfungsional

Daftar Pustaka:

Bahtiar Effendy. 1998. Islam dan Negara. Transformasi Pemikiran


dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina
Haralambos and Holborn. 2000. Relegion in Sociology Themes
and Perspectives. London: Collins Educational.
Zainuddin Maliki. 2004. Agama Priyayi: Makna Agama di Tangan
Elit Penguasa. Yogyakarta: PustakaMarwa. Disertasi Doktor
di Uneversitas Airlangga Surabaya.
Notonagoro. 1976. Pancasila sebagai Dasar Falsafah Negara.
Jakarta. Puncuran Tujuh.
Pals. L. Daniel. 2001. Seven Theories of Relegion. Yogyakarta:
Adipura.
George Ritzer. 1996. Clasic Sociologyal Theory. New York:
McGraw-Hill.
R. Betty Scharf. 1995. Kajian Sosiologi Agama. Yogyakarta: Tiara
Wacana
E. Donald Smith. 1971. Relegion, Politics, and Social Change in
the Third World. New York: The Free Press.
E. Donald Smith. 1970. Relegion and Political Development.
Boston: Little Brownand Copany.
Brian S. Turner. 1994. Religion and Social Theory. London: Sage
Publication.
Wahono Nitiprawiro. 2000. Teologi Pembebasan, Sejarah,
Metode, Praksis, dan Isinya. Yogyakarta: LkiS.

xxvii
Di dalam ruang publik, kita melihat
berbagai konflik sosial maupun politik
yang melibatkan agama atau ajaran
agama. Keterlibatan elit agama dalam
berbagai konflik dengan menggunakan
ajaran agama bisa menimbulkan
distorsi kesakralan agama sebagai
kebenaran yang universal. Agama
mengalami disfungsi dalam
masyarakat. Agama tidak lagi sebagai
medium netral dalam penyelesaian
konflik-konflik kebangsaan, tetapi
justru menjadi sumber konflik.

xxviii
KATA PENGANTAR:

Akar Radikalisme Di Indonesia


(Sebuah Tinjauan Kritis Akan Radikalisme Agama)

Radikalisme di Indonesia dapat dikatakan cukup mempri-


hatinkan. Hal ini dikarenakan masyarakat kita yang heterogen
sangat mudah untuk menghasilkan konflik sosial. Konflik sosial
yang sering terjadi adalah dikarenakan “agama” yang dipahami
secara radikal. Dalam hal ini, agama dapat menjadi sebuah
“bencana“ bagi kemanusiaan bila ditafsirkan penuh dengan
amarah dan kebencian. Bila dilihat secara sosiologis, kondisi
ini lebih mengarah pada stimulus negatif dalam memandang
agama. Sebagian besar penganut agama baik mayoritas maupun
minoritas di Indonesia sama–sama memiliki rasa kecurigaan
satu sama lain. Karl Marx mengatakan “agama seperti opium yang
dapat membuat kecanduan dan overdosis.” Bila dilihat secara
kritis pernyataan Marx, sangat tepat dikarenakan penafsiran
agama secara ekslusif dapat mengakibatkan munculnya
kesombongan dalam beragama dan inilah benih–benih awal
radikalisme. Dari sini, dapat dipahami bahwa untuk memahami
agama perlu penalaran rasional dan penyesuaian dengan
realitas sosial empiris. Dengan cara ini, akan memunculkan
toleransi dalam beragama dan beragama yang memasyarakat.

xxix
Selayaknya para pemuka agama dapat menjembatani
segala pemikiran yang humanis, di mana saling menghargai
satu sama lain. Agama merupakan ajaran yang mengandung
kemanusiaan dan pesan moral yang tinggi dan tidak baik bila
kita menafsirkannya dengan penuh kemarahan. Marilah kita
berkaca pada almarhum Gus Dur yang mengajarkan secara
arif beragama yang memanusiakan manusia. Di mana agama
mayoritas tidak menyalahkan dan menindas agama lain.
Namun, agama mayoritas berusaha untuk bersahabat dengan
agama yang lebih “minoritas”. Sebenarnya, agak kurang sopan
bila saya membuat tipologi agama mayoritas dan minoritas,
namun inilah konstruksi sosial yang ada pada masyarakat kita.
Jadi, langkah bijaksana untuk memahami keberagaman agama
adalah memaknai agama secara lebih manusiawi. Maksud
memaknai agama secara manusiawi adalah mengkonstruksikan
agama dengan kemanusiaan dan rasa toleransi yang penuh
penghayatan.
Dalam hal ini, diakui memang cukup sulit dalam
menciptakan harmonisasi agama. Akan tetapi, dapat dilakukan
bila kita dapat memahami agama dengan menyelaraskannya
dengan nilai–nilai kemanusiaan. Nilai–nilai kemanusiaan
tersebut adalah meyakini bahwa semua agama pada dasarnya
membawa pesan–pesan kebaikan. Adapun kebaikan dalam
agama merupakan nilai yang bersifat universal. Manusia pada
dasarnya baik dan semua agama pun mengajarkan kebajikan.
Yang diperlukan dalam hal ini adalah menjadikan agama
memiliki kharisma akan kemanusiaan dan kebajikan. Memang,
diakui tidaklah mudah dan banyak tantangan untuk mewujudkan
agama yang manusiawi. Akan tetapi, tantangan tersebut dapat
dilalui bila para pemuka agama dapat merefleksikan agama

xxx
dengan penghayatan kemanusiaan yang mendalam. Bila para
tokoh agama dan masyarakat memahami dengan baik pesan
kemanusiaan yang terkandung dalam ajaran agama, maka
keharmonisan akan tercapai. Memang, untuk mewujudkan hal
ini akan menghadapi tantangan terutama dari kaum radikal
dan ekstrimis. Dalam hal ini, yang diperlukan adalah strategi
yang bijaksana dan hati – hati dalam memperkuat humanisme
agama. Agama dapat menjadi kehancuran peradaban manusia
bila agama ditafsirkan secara keras, kaku, dan penuh dengan
kebencian. Bila kita lihat sebenarnya agama bermakna
menyelaraskan dan membudayakan segala yang baik yang ada
pada manusia.
Lantas, masih banyak yang menafsirkan agama dengan
penuh kebencian, saya berfikir ini merupakan bagian dari
konstruksi sosial yang sudah mengakar kuat dalam masyarakat.
Patut untuk disadari bahwa agama seringkali ditafsirkan
dengan arogansi kebencian. Arogansi kebencian inilah yang
memperkuat konflik dan pertumpahan darang yang ada.
Sepatutnya para pemuka–pemuka agama sadar akan posisinya
untuk menjadikan agama lebih bernuansa manusiawi dan penuh
dengan kedamaian. Bila dilihat secara kritis, sangat perlu upaya
yang bersifat Dekonstruktif, diperlukan pemahaman agama
yang lebih manusiawi. Sudah selayaknya ini perlu dilakukan
untuk mengembalikan agama pada jalur kemanusiaan.
Kemanusiaan yang saya maksud di sini adalah bagaimana
agama dapat menyatukan berbagai macam perbedaan yang
dapat memicu konflik sosial. Pada dasarnya, semua agama itu
baik, kata Dalai Lama, dalam hal ini perlu memperkuat makna
dan upaya humanisme dalam agama. Dengan jalan ini, akan
membuat wajah agama lebih berciri khas bersahabat akan

xxxi
perbedaan–perbedaan sosial yang ada. Dengan cara ini, akan
didapatkan sebuah makna dan rasa agama yang benar–benar
manusiawi, di mana agama terlihat sangat bersahabat, ramah
dan merangkul masyarakat dalam heterogenitas religi.

Salam Hangat,
Surabaya, 30 Juli 2020

Gratia Wing Artha

xxxii
Daftar Isi

Daftar Isi

TESTIMONI.............................................................................................................................. v
Pengantar Ahli
Agama: Fungsional Dan Disfungsional*..........................................ix
Oleh: Warsono — Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial & Hukum Universitas Negeri Surabaya

KATA PENGANTAR:
Akar Radikalisme Di Indonesia
(Sebuah Tinjauan Kritis Akan Radikalisme Agama)................................................... xxix

Daftar Isi...........................................................................................................................xxxiii

Menenun Kembali Hati Yang Tercabik Lewat Dialog Kehidupan


(Studi Kasus Konflk Agama di Kota Yogyakarta)................................................................ 1
Oleh: Valensius Ngardi

Upaya Preventif Menangkal Radikalisme Agama di Sekolah ............ 27


Oleh: Khoriskiya Novita

Hilangnya Agama Lokal atas Nama Negara


(Studi Kasus: Arat Sabulungan).......................................................................................... 38
Oleh: Rivani

Eksistensialisme dan Ruang Terbuka Agama


(Suatu Tinjuan Eksistensi dan Ruang Terbuka Beragama di Indonesia)................... 55
Oleh: Gratia Wing Artha

Kerukunan Agama dalam Bingkai Ke-Indonesiaan


(Upaya Mewujudkan Keharmonisan Beragama di Indonesia).................................... 61
Oleh: Gratia Wing Artha

Perspektif Pekerja Seks Komersial (PSK)


Terhadap Kehidupan Keagamaan....................................................................... 64
Oleh: Rizal Ramadhan Ivandi

Mencari Relasi Melalui Agama (Sebuah Analisis Sosiologi terhadap


Fenomena Radikalisme Keagamaan di Indonesia)......................................................... 82
Oleh: Kevin Nobel Kurniawan

xxxiii
Dinamika Keberagaman di Tengah Jargon Kota Toleransi
(Akar Intoleransi dan Celah Radikalisme Agama yang
Destruktif di Yogyakarta)..................................................................................................... 94
Oleh: Muhammad Makro Maarif Sulaiman, S.Sos., M.A.

Aspek Sosiologi Sastra Dalam Serat Darmogandhul.............................115


Oleh: Aris Wahyudin

Mencari Pemaknaan Agama


(Sebuah Refleksi Agama dalam Perspektif Ilmu Psikologi dan Sosiologi)..............128
Oleh: Gratia Wing Artha & Winda Sari

Tafsir Agama Islam dan Kristen Atas Keberagaman Gender


dan Seksualitas..............................................................................................................135
Oleh: Gratia Wing Artha

Hakikat Konflik..............................................................................................................139
Oleh: Gratia Wing Artha

Islam, Gender dan Radikalisme..........................................................................144


Oleh: Rr. Siti Kurnia Widiastuti

Islam dan Ajaran Kebaikan (Tinjauan Sosiologis Mengenai


Nilai-Nilai Islam Sebagai Pelengkap Keselarasan dengan Nilai
Sosial Budaya Indonesia)...................................................................................................156
Oleh: Gratia Wing Artha

Urgensi Interfaith Mentoring Mahasiswa Sebagai Upaya


Memperkokoh Integrasi Bangsa Melindungi
Jaminan Kebebasan Beragama............................................................................158
Oleh: Iman Pasu Purba,S.H., M.H

Biografi Penulis.................................................................................................................171

xxxiv
1

Menenun Kembali Hati Yang Tercabik


Lewat Dialog Kehidupan
(Studi Kasus Konflk Agama di Kota Yogyakarta)

Oleh: Valensius Ngardi

Pendahuluan

Sejak kita lahir di muka bumi ini, keberagaman manusia


merupakan kekayaan dalam hidup bersama sekaligus menjadi
tempat berlabuh untuk bertemu dan berjumpa dengan cipta
lainnya yang tercipta oleh Allah yang sama. Keyakinan ini tidak
bisa diingkari oleh manusia, karena Dia yang menciptakan
mempunyai hak tunggal dengan segala daya kreasi dan penuh
misteri sehingga manusia tidak ada hak untuk menciptakan
sesuai hasrat kepentingan identitas dalam dirinya. Kita
bersyukur, karena ruang daya citra tentang gambaran diri Allah
yang ingin dihadirkan diberi kebebasan kepada manusia untuk
menafsirkannya dalam wilayah yang tidak boleh dipaksa oleh
orang lain yakni bingkai batin iman. Kita ditakdirkan oleh Allah
dalam konsep pengalaman perjumpaan yang serba misteri,
meraba-raba bahkan menerka-nerka Allah yang manakah yang
merasa paling tepat untuk melegitimasi kebenaran tunggal
dalam setiap agama di dunia ini. Lagi-lagi serba misteri hanya
iman seseorang yang bisa menggelorakan jiwanya dalam
mengerekspresikan pengalaman dialog tentang Allah sesuai
dengan agama atau keyakinan yang dianutnya.

1
Valensius Ngardi

Seiring dengan perubahan cara pandang masyarakat


postmoderen, jika direduksi kembali kalimat di atas, rasa-rasanya
menjadi bahasa kosong bagi penulis, karena pada akhirnya
hasrat manusia tergoda untuk menguasai dan mengepung
segala keinginannya dalam menguasai sesama sampai pada
ranah yang sebenarnya tidak boleh diganggu gugat yakni ranah
iman seseorang. Nilai humanis dalam nadi manusia, berubah
sekejap menjadi sebuah senjata yang tidak pernah berakhir
dalam menelisik riak-riak di tengah keberagaman kehidupan
ini. Bersandar atas skeptis dalam semiotika bahasa di atas yang
kedengarannya mendayu, bahkan bernilai pesan moralis, justru
bahasa dengan gaya klasik tersebut bisa bersifat didamis dalam
ruang dan waktu yang beda untuk melisiknya rantai-rantai
yang terputus oleh pemahaman manusia yang terjebak dalam
mengarungi arus zaman ini tentang keyakinannya sendiri.
Aliran yang fanatik dengan pluralisme menjadi tantangan yang
besar dalam menjawab persoalan dalam fenomena kekerasan
agama di zaman milenial ini. Di era yang penuh dengan gaya dan
budaya instan dalam bertindak inilah wacana tentang dialog
agama masih eksis dan seksi untuk diperbincangkan bersama
meskipun tidak bisa dikupas sampai tuntas.
Lima tahun terakhir (2016-2020), suasana kehidupan umat
beragama di Kota Yogyakarta menjadi panas karena terguncang
oleh berbagai peristiwa yang mengganggu kehamonisan dalam
relasi satu dengan yang lainnya. Sikap saling menghargai dan
menghormati keyakinan antar umat agama sebagai jargon
utama dalam bingkai pluralisme dan multikulural di masyarakat,
pada akhirnya tumbang juga dari wacana dan visi misi yang
sempat dikagum oleh masyarakat lain di Indonesia, bahwa
kota Yogyakarta sebagai Kota humanis di Indonesia. Kira-kira

2
Menenun Kembali Hati Yang Tercabik
Lewat Dialog Kehidupan

demikianlah gambaran dan fantasi sepontan penulis yang sudah


lima tahun tinggal di Kota Yogyakarta.
Salah satu kasus yang menohok perasaan sesama warga
yang berdomisili di Kota Yogyakarta adalah pemotongan nisan
‘Salib’ di makam seorang warga bernama Albertus Slamet
Sugihardi. Tindakan atas nama pembenaran idelogi tunggal
dengan cara dipotong bagian atas salib tersebut oleh warga
RT 53 RW 13, Purbayan, Kotagede Yogyakarta pada tanggal
17 Desember 2018, menjadi berita hangat dan viral di media
massa saat itu. Kejadian tersebut, menghentakkan suasana
persaudaraan dalam hubungan antara komunitas Islam dan
Katolik di Kota Yogyakarta. Berbagai tanggapan media menjadi
petanda bagi warga Yogyakarta yakni bagaimana mungkin
Kota Yogyakarta yang dikenal dengan Kota ramah, berbudaya,
harmonis, pelajar, wisata tiba-tiba tercabik oleh sikap kekerasan
agama yang dapat melahirkan terminologi rantai intoleransi;
dan harus diakui secara jujur sangat konflik ini mengganggu
nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan sebagai landasan
utama dalam payung kententraman bersama dalam masyarakat
saat ini.
Untuk menepis dan membongkar kejadian di atas, masing-
masing dua komunitas, baik Islam maupun Katolik menahan diri
dalam memberi respon untuk tidak melihat dan menanggapi
kejadian tersebut dari salah satu aspek saja tetapi ada ruang lain
untuk dapat menemukan muara panggung kekerasan agama
yang sering kali menjadi ketakutan untuk diperbincangkan
dalam tingkat masyakat menengah ke bawah karena sensitif
dan rentan konflik. Fenomena ini menjadi kontras di mana kita
mengetahui bersama bahwa pada kenyataanya jauh sebelum
reformasi suasana Kota Yogyakarta begitu adem, tentram dan

3
Valensius Ngardi

damai tiba-tiba berkecamuk oleh fenomena-fenomena yang


tidak bersahabat atau manusiwi.
Perselingkuhan gagasan antara tokoh dari berbagai agama
yang seiman pun, bisa mengikis nilai-nilai persaudaraan dan
tidak menjamin kehangatan relasi antar satu dengan lainya,
karena belum bisa menemukan akariah persoalanya. Dengan
tuduhan palsu dan gamang ke mana arah pemikiran dari tokoh
agama dalam mengekang perilaku pengikutnya yang jauh dari
nilai-nilai ajaran agama yang damai untuk semua orang, menjadi
pekerjaan berat baginya. Gambaran ini menjadi penyokong dan
mendukung desas desus dari beberapa sumber yang dipercaya
bahwa Kota Yogyakarta sudah masuk urutan ke tiga sebagai
kota Intolereransi di Indonesia. Berita yang memanaskan
telinga masyarakat Yogyakarta menimbulkan riak-riak yang
muncul yakni berupa perayaan letupan-letupan sikap kelompok
tertentu dalam masyarakat yang begitu mudah terpancing
untuk merusak tata ruang terdalam dari keyakinan orang lain
(https://tirto.id/intoleransi-di-yogyakarta-meningkat-5-tahun-
terakhir-kata-setara-emig diakses, 17 Juli 2020).
Kita mengetahui dengan jelas dan sadar bahwa agama
yang merupakan oase batin terdalam bagi manusia dan juga
merupakan wilayah religiusitas seseorang, ternyata begitu
rawan yang dapat mengganggu nilai relasi sosial persaudaraan di
masyarakat. Phobia terhadap agama tertentu menjadi penyakit
yang sering mengganggu kenyamanan tirai-tirai hati seseorang
dalam relasi antara sesama manusia justru dalam lingkaran
sosial ini menjadi terputus oleh berbagai hasrat kepentingan
dan keegoisan dengan menglegitimasi pembenaran tunggal
atas nama agamanya. Kita tidak boleh abaikan sejarah dan
harus jujur menerima potret dua komunitas ini yang sering kali

4
Menenun Kembali Hati Yang Tercabik
Lewat Dialog Kehidupan

terhimpit dalam relasi baik soal perbedaan ritual, simbol-simbol


yang mengganggu kohesi sosial maupun mengklaim kebenaran
histori agama yang pernah bergumul dalam merebut wilayah-
wilayah kekuasaan dalam bermisi. Maka tidak heran kita digiring
oleh opini media bahwa situasi di tingkat lokal dalam relasi
agama Islam dan Katolik di Kota Yogyakarta selalu dikepung
oleh berbagai pristiwa intoleransi baik bersifat ‘laten’ maupun
‘manifes’. Merekam gagasan tersebut tidak bisa dipungkiri
muncul kasus tambahan sekaligus untuk menambah kasus yang
sama yakni 2018, dimulai sejak Januari saat pembubaran bakti
sosial komunitas Katolik di Pringgolayan, Banguntapan, Bantul.
Kemudian penyerangan Gereja St. Lidwina di Sleman dan di
bulan Maret 2019 seorang seniman bernama Slamet Jumiarto
beserta istri dan kedua anaknya ditolak untuk bermukim di RT
08, Pedukuhan Karet, Pleret, Bantul. Alasan penolakan Slamet
tinggal di wilayah itu lantaran Slamet beragama Kristen. Dari
hasil mediasi yang dilakukan, sebagian warga tak keberatan
Slamet tinggal di wilayahnya. Namun Kepala Pedukuhan
Karet bersikeras menolaknya dan hanya mengizinkan Slamet
tinggal selama 6 bulan saja. Akhirnya, Slamet pun mengalah
dan memilih pergi berpindah tempat tinggal. Lalu muncul
pertanyaan faktor apa saja yang berkecamuk dalam diri seorang
beriman sehingga selalu muncul perlawanan-perlawanan yang
melanggar kesepakatan bersama dalam bersanding dengan
agama lain di masyarakat justru jauh dari akal sehat manusia?
Tulisan ini secara khusus menguraikan wacana diskursus
tentang masalah toleransi umat beragama di Kota Yogyakarta
dari perspektif yang berbeda. Sajian dalam tulisan ini secara
khusus memotret relasi kehidupan umat beriman di Kota
Yogyakarta yang direpresentasi oleh Komunitas Islam dan

5
Valensius Ngardi

Katolik. Kedua komunitas ini sebagai pijak tulisan ini untuk


mengurai kekerasan agama yang melahirkan sikap intoleransi.
Kota Yogyakarta yang dikenal dengan kota berbudaya, humanis
dan pusat perjumpaan kaum intelektual dan seniman tercabik
perasaanya. Keyakinan penulis bahwa sudah banyak yang
menulis tentang topik yang sama wacana dialog antar umat
beragama di Indonesia. Namun, di sini penulis bergumul
dan bergelisah untuk tetap fokus pada dua komunitas yakni
Katolik dan Islam sebagai komunitas sensasi dan eksis saat ini
bahkan tidak pernah tuntas untuk membahasakanya tentang
kekerasan kelompok atas nama bendera agama tertentu. Selain
itu, disadari bahwa dalam tulisan ini identitas dua komunitas
ini tidak bermaksud mewakili seluruh umat atau jamaah dalam
dua agama tersebut, tetapi lagi-lagi digarisbawahi sebagai
representasi keyakinan bagaimana sama-sama untuk mencari
titik temu perdamaian melalui sebuah ‘jembatan’ yakni dialong
kehidupan.
Budaya ikatan emosi dalam satu keyakinan tidak bisa
diingkari bahwa reaksi dan reaktif berlebihan menjadi solidaritas
semu ketika membaca fenomena tersebut dengan penuh
emosional. Maka sering kali tidak disadari atas nama mayoritas
dan kekudusan dalam penghayatan iman bisa menghambat
dialog kehidupan dan tergoda untuk merusak tatanan nilai-nilai
sosial yang sudah bangun bersama dengan berbagai pendekatan
yang dapat menghasilkan wilayah humanis yang bersahaja dan
ramah dengan alam sekitarnya.
Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka muncul
sebuah pertanyaan bagaimana upaya kita bersama untuk
mengatasi kekerasan agama di Kota Yogyakarta? Menjawab
pertanyaan yang sederhana ini maka tujuan dari tulisan ini

6
Menenun Kembali Hati Yang Tercabik
Lewat Dialog Kehidupan

sebagai tawaran dan negosiasi agar masyarakat umat beriman


sama-sama mencari akar permasalahan secara arif mengapa
kekerasan agama selalu muncul di postmoderen ini? Selain itu
demi kepentingan akademik masing-masing kaum intelektual
tanpa dikapling oleh agama, melihat bagaimana dua komunitas
ini berupaya untuk menggiring opini masyarakat untuk
tetap bersikap humanis dan menciptakan budaya kasih serta
meluruskan secara transparan mengapa simbol agama Katolik
(salib) dan kekerasan atas nama agama secara pribadi/kelompok
dari agama islam bersama-sama untuk mengembalikan fitrah
kedua komunitas ini melalui pendidikan yang terarah, sehingga
menyingkirkan budaya ketakutan atau phobia tentang kedua
komunitas ini.
Perbincangan diskursus tentang dialog antar umat
beragama di Indonesia sudah banyak ditulis oleh para
kaum intelektual dalam bentuk penelitian-penelitian yang
mendukung topik yang sama sesuai multidisiplin ilmunya.
Pertama, Mary Evelyn Tucker & John A. Grim (2003) berbicara
tentang agama, filsafat dan lingkungan hidup. Buku ini
membahas bagaimana masyarakat dewasa ini pada kenyataan
terjadi krisis ekologi yang menyerang manusia dari banyak arah
atau aspek kehidupan. Skala dan kompleksitas permasalahan-
permasalahan dan kerumitan-kerumitan pemecahan jangka
panjang semakin sulit diabaikan. Menurut mereka, tak mungkin
kita tidak terus berusaha mencari cara-cara untuk menemukan
jalan keluar dari labirin kemerosotan lingkungan yang terus
berjalan. Banyak perspektif, termasuk yang muncul dari agama
dan filsafat, diperlukan dalam tugas penting memikirkan antara
manusia dan bumi.
Kedua, Dhavamony (1995) berbicara tentang fenomenologi

7
Valensius Ngardi

agama. Dikatakan bahwa dewasa ini kenyataan bahwa wadah


pluralisme agama semakin disadari, meskipun yang berbeda.
Pada awalnya studi tentang agama lebih bersifat apriori
dan metafisik, dengan mengolah konsep ketuhanan dan
rumusan ajaran agama. Tidak jarang pula agama dilecehkan
sebagai warisan budaya yang belum kritis, khayalan manusia
yang terasing, sublimasi dari keinginan manusia yang tidak
sampai, dan sebagainya. Adanya perbedaan pemahaman dan
fenomenologi agama yang semakin marak, kebangkitan kembali
agama, menunjukan bahwa agama ternyata merupakan objek
kajian yang hidup dan berkembang secara khas dalam hidup
bersama.
Ketiga, Nicola Colbran (2010: 681-735) tentang kebebasan
beragama atau berkeyakinan di Indonesia, tulisannya ingin
menyoroti bagaimana kita menyadari kemajemukan paham
keagamaan di kalangan umat adalah hal yang wajar karena ha
tersebut merupakan sunnatullah yang tidak dapat dihindari dan
diingkari karena kepastiannya. Oleh sebab itu, yang diharapkan
dari warga setiap masyarakat ialah menerima kemajemukan itu
sebagaimna adanya, kemudian menumbuhkan sikap bersama
yang sehat dalam rangka kemajemukan itu sendiri.
Konsep yang dipakai dalam tulisan ini, penulis meminjam
konsep Barker (2000:173) tentang identitas diri, sangat
relevan untuk memadukan dengan persoalan relasi antar
umat beragama di Kota Yogyakarta. Bagaimana mereka ingin
lepas bebas dari kontruksi sosial dari orang lain tentang adi
luhung dan magisnya Kota Yogyakarta. Menurut Barker di era
postmoderen, salah satu ruang identitas tersebut sebenarnya
tidak lain hanyalah ciptaan kultural yang sementara dan bersifat
cair. Selain itu, dengan merujuk konsep James S. Scott (1990)

8
Menenun Kembali Hati Yang Tercabik
Lewat Dialog Kehidupan

tentang ‘perlawanan’ masyarakat terhadap yang mendominasi,


maka sangat membantu bagaimana cara mengamati fenomena
sosial budaya dan agama dalam masyarakat tertentu yang
mengalami terasing dan ‘liyan’ satu sama lain.
Sedangkan konsep dialog agama, penulis meminjam
dokumen tentang persaudaraan manusia untuk perdamian
dunia dah hidup beragama (2019). Dokumen ini perjalanan
apostolik Bapak suci Paus Fransiskus telah mengadakan
kunjungan bersejarah ke Uni Emirat Arab (UEA) pada 3 Februari
2019. Hal ini menjadi tonggak sejarah dalam dialog antaragama
dan membuka pintu-pintu untuk pembicaraan tentang toleransi
yang perlu didengar oleh seluruh dunia. Sedangkan konsep
dialog kehidupan dalam ranah budaya Bhiku Parekh (2008:174-
177) menegaskan bahwa dialog itu memiliki keuntungan lebih
jauh yang menghargai kebudayaan-kebudayan lain, menawarkan
satu alasan kepada mereka yang terlibat dalam menaati hasilnya
dan memberi nilai-nilai tersebut sesutu kekuasaan tambahan
yang diperoleh dari kebenaran demokrasi dan sebuah konsesus
global lintas budaya.
Tulisan ini bersifat kualitatif deskriptif dengan menggunakan
metode komparasi melalui pendekatan ‘perlawanan’. Yang
dimaksud dengan metode komparasi adalah menempatkan
fenomena religius yang analog dengan mencari pola-pola
dasar atau struktur-struktur fundamental yang dilihat dalam
suatu perbandingan fenomena religius dan memandangnya
sebagai sosok sentral dengan mana ekspresi religius dipahami
(Dhavanmony 1995: 40-41). Sedangkan pendekatan perlawanan
ini lebih pada seni untuk menanggapi fenomena yang terjadi di
masyarakat baik bersifar verbal maupun non verbal. Sumber
data untuk mendukung dalam sajian tulisan ini adalah melalui

9
Valensius Ngardi

studi kepusktakaan, wawancara dan literatur lainnya. Informan


dalam penelitian terdiri dari dua personal yang mewakili dari
komunitas Islam dan Katolik yang tinggal di Kota Yogyakarta
dengan model wawancara via WhatsApp eletronic.

Hasil dan Pembahasan

Dialog Kehidupan
Dalam Gereja Katolik, dialog kehidupan antar umat
beragama menjadi penekanan utama untuk melahirkan wacana
persaudaraan antar umat beragama. Dialog kehidupan ini
bukan dalam tataran konsep, melainkan berdialog dalam hidup
nyata, interaksi nyata dan pekerjaan nyata. Hal ini senada
dengan apa yang termaktub dalam dokumen Konsili Vatikan
II mengenai persaudaraan semesta tanpa diskriminasi. Dalam
Dokumen Konsili Vatikan II (1993: 314), menegaskan bahwa:
‘kita tidak dapat menyerukan nama Allah Bapa semua orang,
bila terhadap orang-orang tertentu, yang diciptakan menurut
citra-kesamaan Allah, kita tidak mau bersikap sebagai saudara.
Hubungan manusia dengan Allah Bapa dan hubungan dengan
sesama manusia menjadi korelasi yang harus dilaksanakan
dan dihayati oleh umat Katolik tanpa mendiskriminasi karena
perbedaan suku, agama, ras dan budaya. Semuanya dirangkul
sebagai saudara yang sama sama sedang berziarah dimuka bumi
ini dari ciptaan Allah yang Satu atau Esa.”
Menurut Khotimah (2011: 7), dialog antar agama adalah
suatu kenyataaan yang tidak bisa dibantah bahwa bumi manusia
ini hanyalah satu, sementara penghuninya terkotak-kotak ke
dalam berbagai suku, agama, ras, bangsa, profesi, budaya dan
golongan. Mengingkari kenyataan adanya pluralisme ini sama
halnya dengan mengingkari kesadaran kognitif kita sebagai

10
Menenun Kembali Hati Yang Tercabik
Lewat Dialog Kehidupan

manusia. Begitu juga kita bicara agama, kata agama selalu


tampil dalam bentuk plural (religions). Di balik pluralitas itu,
terdapat ciri umum yang sama, yang menjadi karakter agama.
Membayangkan bahwa dalam kehidupan ini hanya terdapat
satu agama, tampaknya hanya merupakan ilusi dan impian
sementara. Dan memang yang diperlukan manusia bukanlah
menjadi satu dan sama dalam hal agama, tetapi bagaimana
mensikapi pluralitas agama itu secara dewasa dan cerdas (Abi
Manyu 2007: 37-45).
Oleh karenanya, manusia membutuhkan kemampuan
untuk memandang agama-agama lain bukan sebagai musuh,
tapi sebagai teman dan tetangga, bahkan sebagai saudara.
Sebagaimana yang akan kita ungkapkan, dialog yang dialektis
merupakan media yang tak dapat ditinggalkan dalam komunikasi
antar manusia. Setiap interaksi yang benar-benar manusiawi
pasti akan memerlukan kerjasama dan dialog yang dialektis.
Dialog bukan untuk merebut nomor satu dalam kehidupan
pluralisme agama. Karena agama merupakan masalah yang
paling sangat sensitif bagi masyarakat bangsa, sebab agama
merupakan identitas suci dibandingkan identitas sosial lainnya.
Menanggapi gagasaan di atas, Dokumen Gereja Katolik
seperti Ad Gentes dan Redemptori Missio (dekrit paus
tentang kegiatan missioner Gereja) tidak memandang dialog
sebagaimana sarana misi, melainkan menggarisbawahi bahwa
hidup bersama dalam bekerjasama dan dialog menjadi wujud
kesaksian sebagai orang Kristen. Dikatakan bahwa Gereja
Katolik hadir di tengah golongan-golongan manusia itu melalui
putra putrinya diam di antara mereka dan diutus kepada mereka
dan akan lebih penuh menangkap makna sejati hidup manusia
serta ikatan persekutuan semesta manusia (Hardawiryana

11
Valensius Ngardi

1993: 415). Mereduski maklumat ini secara dinamis oleh


Freire (1985:73) menerjemahkanya lebih mendalam lagi atas
kepekaan hati dalam melihat dan memotret realitas sosial di
masyarakat. Freire mendefinisikan dialog sebagai suatu bentuk
perjumpaan sesama manusia dengan perantaraan dunia dalam
rangka menamai dunia. Jika dalam mengucapkan kata-katanya
sendiri manusia dapat mengubah dunia dengan menamainya,
maka dialog menegaskan dirinya sebagai sarana seseorang
memperoleh maknanya sebagai manusia.
Beragam macam paham dialog dari berbagai sudut pandang
di atas tetap saja narasi tentang hantu komparasi dalam perang
salib masa lalu menjadi stereotip berlebihan sehingga tetap
menjadi kendala dalam dialog, meskipun model ini untuk tingkat
intelektual dalam dialog histori teologis solidaritas dan misioner
iman menjadi bagian yang penting antara pengetahuan tentang
Allah dan juga timbal balik tentang relasi dengan manusia
secara humanis (Collins 2013:31). Hal ini mulai muncul lagi
dibahas di abad postmodern menjadi perdebatan yang tidak
bisa melupakan sejarah sehingga memicu konflik dan politik
lokal memengaruhi kepada kelompok minoritas. Inilah salah
satu alasan mengapa simbol salib tidak bisa bersanding dengan
nisan agama lain di perkuburan umum di Yogyakarta karena
fantasi dan narasi itu tidak pernah hilang dari mind manusia
sebagai ingatan koletif sejarah yang statis pun tidak bisa cair
oleh konsep budaya yang dinamis dalam memandang simbol
salib.
Meskipun diakui bahwa adanya pengakuan negara terhadap
agama namun tetap mengalami kekerasan dan diskiriminasi
dan mengalami penindasan secara kultural (Kompas 2020: 5).
Imbas dari kultur sejarah yang terpelihara dan tidak pernah

12
Menenun Kembali Hati Yang Tercabik
Lewat Dialog Kehidupan

tuntas dibahas, maka dengan sendirinya terpolarisasi dalam


pemikirannya dengan melahirkan tirai yang sudah merajut dan
akhirnya mencabik rasa persaudaraan, persatuan dan toleransi
bahkan menginjak-injak nilai kemanusiaan (Bolotio dalam
Sumartana 2005: 105).

Belajar dari Tokoh


Menengok sejarah perjuangan tokoh-tokoh agama
dalam komunitas Katolik dan Islam dalam membentuk
rumah perdamaian, tidak terlepas dari usaha kesadaran
betapa nilai martabat manusia itu sangat tinggi di hadapan
Allah dan sesama. Ada dua sejarah yang menjadi inspirasi
dalam memotret ruang dialog kehidupan yang membawa
perdamaian kedua komunitas ini yakni: Pertama, perjuangan
Santo Fransikus Assisi mengunjungi Sultan di daerah Sarasen
Kota Babylon. Babilon atau Babel adalah sebuah kota penting
di Mesopotamia kuno yang merupakan ibu kota dari kerajaan
dan kekaisaran Babilonia, dan peninggalannya kini ditemukan
di Al Hillah, Kegubernuran Babil, Irak, sekitar 85 kilometer
selatan Baghdad. Sampai hari ini, sebagai tanda bukti sejarah
bahwa hanya ada tumpukan dan timbunan tanah serta
efek reruntuhan bangunan dan batu-bata di tanah subur
Mesopotamia di antara Sungai Tigris dan Sungai Efrat di Irak.
Sumber sejarah memberitahu kita Babion awalnya sebuah kota
kecil yang mulai bertapak pada awal milenium ketiga SM (bibit
awalnya dinasti-dinasti). Kota ini mulai menyinar dan menjadi
penting dengan kebangkitan Dinasti Babilonia Pertama. Ia
adalah sebuah kota suci rakyat Babilonia dan lebih kurang tahun
2300 SM menjadi pusat bagi Kekaisaran Baru Babilonia dari
tahun 612 SM. Taman Gantung Babilonia pernah masuk dalam

13
Valensius Ngardi

jajaran Tujuh Keajaiban Dunia (https://id.wikipedia.org/wiki/


Babilon, diakses, 23 Juli 2020).
Kedatangan Fransiskus awal mulanya menjadi sebuah
ketakutan dan kecurigaan dari Sultan Babylon karena dia begitu
berani menghadapi Sultan saat narasi perang salib masih menjadi
sebuah dendam kedua komunitas ini. Mengingat sejarah bahwa
perang salib berlangsung selama kurang lebih dua abad, dimulai
dari perang salib I sampai perang salib IX yaitu dari tahun 1095-
1291. Perang Salib adalah penyerangan dari kefanatikan Kristen
yang dikoordinir oleh Paus yang mempunyai tujuan untuk
merebut kota suci Palestina dari tangan kaum Muslimin (https://
www.google.com/search?q=perang+salib+tahun+berapa&oq
=perang+salib+tahun, diakses, 23 Juli 2020).
Dalam legenda Floretti (1997:99) berjumpaan kedua tokoh
ini menjadi sebuah tanda persaudaraan untuk menyingkir
segala kejahatan perang yang membuat martabat manusia
tidak saling menghargai sebagai citra dari ciptaan Allah satu.
Fransikus mulai terbuka pandangan bahwa semua manusia
sama di hadapan Allah dan teman-teman muslim merupakan
saudara yang harus dipeluk dan memaafkan akibat perang salib
yang memakan korban yang tak bersalah dimasa itu (Doornik
1977:121). Narasi perang salib inilah menjadi sebuah kisah
yang mungkin sampai saat ini menjadi phobia bagi agama ketika
simbol itu muncul di abad postmodern ini. Maka ketika masalah
di Kota Gede dengan pemotongan salib sebenarnya kesempatan
untuk bisa berdiskusi tentang sejarah yang terlanjur menjadi
stereotip dan stigma yang menakutkan bagi komunitas agama
tertentu di masyarakan kita saat ini. Dengan kata lain, bahasa
sosial ikut bisa setuju kalau diberi ruang pendapat salib adalah
semacam kekerasan simbolik (bdk.Edukasi volume IV, no.1

14
Menenun Kembali Hati Yang Tercabik
Lewat Dialog Kehidupan

Maret 2007 hal.27). Meskipun semiotika salib oleh komunitas


Katolik sebagai simbol pengorbanan dan keselamatan dari
sang nabi yang disebutnya Yesus Kristus. Dari sini saja kita bisa
menyadari ada perbedaan pandangan dalam dialog teologis yang
bisa menjadi perdebatan dan akhirnya bersifat paradox dalam
memahami agama orang lain. Maka sangat mengganggu dari segi
material dan formal ketika salib itu sebagai simbol dan menjadi
traumatis bagi yang tidak seiman. Menurut Magnis Suseno
(2006:90), penghayatan keagamaan seperti itu memperlihatkan
bahwa kehidupan beragama memang berada dalam budaya
digerogoti oleh paham-paham dan perkembangan neurotis.
Itu terjadi apabila penghayatan individual atau tekanan dalam
agama itu sendiri terlalu ditentukan oleh perasaan takut dan
stereotip yang berlebihan.
Kedua. Bapak suci Paus Fransiskus ke Uni Emirat arab
tanggal 2-3 Februari 2019. Kunjungan ini semacam silahturami
untuk merawat tradisi Santo Fransiskus Assisi. Paus pemimpin
agama Katolik Roma yang mengambil nama Pausnya Fransiskus
Asisisi ini menenun kembali persaudaraan itu dalam suasana
yang berbeda. Inilah sebuah sejarah di psotmoedern ini untuk
membudayakan kembali makna persaudaraan sejati dalam
ziarah hidup ini. Hal ini menjadi tonggak sejarah dalam dialog
antar agama dan membuka pintu-pintu untuk pembicaraan
tentang toleransi yang perlu didengar oleh seluruh dunia. Paus
menegaskan bahwa “iman kepada Allah mempersatukan dan
tidak memecah belah. Iman itu mendekatkan kita, kendatipun
ada berbagai macam perbedaan, dan menjauhkan kita dari
permusuhan dan kebencian.”
Selanjutnya, pada 4 Februari 2019 di Abu Dhabi, Paus
Fransiskus bersama Imam Besar Al-Azhar, Sheikh Ahmed

15
Valensius Ngardi

el-Tayeb telah menandatangani “The Document on Human


Fraternity for World Peace and Living Together” ( Dokpen
KWI 2020:4). Dokumen Abu Dhabi ini menjadi peta jalan
yang sungguh berharga untuk membangun perdamaian dan
menciptakan hidup harmonis di antara umat beragama, dan
berisi beberapa pedoman yang harus disebarluaskan ke
seluruh dunia. Paus Fransiskus mendesak agar dokumen ini
disebarluaskan sampai ke akar rumput, kepada semua umat
yang beriman kepada Allah. Iman menuntun orang beriman
untuk memandang dalam diri sesamanya seorang saudara
lelaki atau perempuan untuk didukung dan dikasihi. Melalui
iman pada Allah, yang telah menciptakan alam semesta, ciptaan,
dan seluruh umat manusia (setara karena rahmat-Nya), umat
beriman dipanggil untuk menyatakan persaudaraan manusia
ini dengan melindungi ciptaan dan seluruh alam semesta
serta mendukung semua orang, terutama mereka yang paling
miskin dan yang paling membutuhkan. Nilai transendental ini
berfungsi sebagai titik awal untuk sejumlah pertemuan yang
ditandai dengan suasana persahabatan dan persaudaraan di
mana kedua tokoh ini berbagi sukacita, dukacita, dan berbagai
masalah dunia kita saat sekarang.
Selain itu, dua pemimpin agama ini melakukan ini dengan
mempertimbangkan kemajuan ilmiah dan teknik, keberhasilan
terapeutik, era digital, media massa dan komunikasi. Dan
hal yang sangat mendasar adalah bagaimana kedua agama
ini juga mempertimbangkan tingkat kemiskinan, konflik dan
penderitaan begitu banyak saudara dan saudari di berbagai
belahan dunia sebagai akibat dari perlombaan senjata,
ketidakadilan sosial, korupsi, ketimpangan, kemerosotan moral,
terorisme, diskriminasi, ekstremisme, dan banyak sebab lainnya.

16
Menenun Kembali Hati Yang Tercabik
Lewat Dialog Kehidupan

Hal-hal inilah menjadi dialog kehidupan sejati untuk sama-sama


berjuang dan mengatasinya dalam suasana persaudaraan sejati.
Dari diskusi-diskusi kedua tokoh agama yang penuh
persaudaraan dan terbuka, dan dari pertemuan yang
mengungkapkan harapan besar di masa depan yang cerah
bagi semua umat manusia, lahirlah gagasan dokumen tentang
persaudaraan manusia ini. Menurut sebagian umat Katolik,
peristiwa ini adalah sebuah teks yang telah dipikirkan secara
jujur dan serius sehingga menjadi pernyataan bersama tentang
cita-cita yang baik dan tulus. Selain itu, teks tersebut sebagai
dokumen yang mengundang semua orang yang memiliki iman
kepada Allah dan iman dalam persaudaraan manusia untuk
bersatu dan bekerja bersama sehingga dapat berfungsi sebagai
panduan bagi generasi mendatang untuk memajukan budaya
saling menghormati dalam kesadaran akan rahmat ilahi yang
agung, yang menjadikan semua manusia sebagai saudara dan
saudari (Dokpen Kwi 2019:6-7). Bagaimana kita bisa meniru
kedua sejarah di atas? Salah satu upaya yang kita lakukan
adalah hal-hal yang paling mendasar yaitu dialog kehidupan.
Sedangkan dialog karya dan teologi adalah wilayah bagi para
tokoh pemangku kuasa dalam wilayah masing-masing umat
beriman di muka bumi ini.

Wilayah-Wilayah Dialog Kehidupan


Masalah yang sering muncul dalam kancah kebersaman
kita adalah persoalan ekonomi bahkan politik. Maka tidak
ada cara lain untuk menyelesaikannya selain dengan dialog
kehidupan secara nyata. Pertama, kehidupan sosial ekonomi.
Dalam beberapa fenomena yang bisa dianalisis adalah mengenai
akar dan persoalan intolenransi yang terjadi adalah adalah

17
Valensius Ngardi

faktor kemiskinanan. Untuk itu, umat Katolik menanggapinya


dengan ‘ekonomi perlibatan’. Artinya, umat Katolik terlibat
dan memberikan perhatian dalam program pembangunan
kehidupan sosial ekonomi bersama tanpa membedakan latar
belakang agama. Maka yang paling mendasar adalah sikap untuk
tidak ekslusif, tetapi inklusif, menciptakan budaya kasih bukan
karena rasa belas kasihan tetapi sebagai kepedulian sosial
dalam satu citra Allah yang sama. Juga dalam kehidupan sosial
ekonomi martabat pribadi manusia serta panggilan seutuhnya,
begitu pula kesejahteraan seluruh masyarakat harus dihormati
dan dikembangkan, sebab manusialah yang menjadi pencipta,
pusat dan tujuan seluruh kehidupan sosial ekonomi (Konsili
Vatikan II 1993: 539).
Mendukung gagasan di atas, dalam wawancara dengan Ibu
Novi dari perwakilan komunitas Katolik menerangkan bahwa
peristiwa kekerasan agama selain persoalan kebutuhan ‘asap
dapur’ menyadarkan dia bagaimana kehidupan beragama kita
tidak baik baik saja. “Ada porsi yang kurang dan porsi yang
lebih. Novi sebagai orang asli Yogyakarta menambah bahwa
ibarat makanan ada 4 sehat 5 sempurna. Ada yang 1 atau
2 yang tidak terpenuhi. Entah protein/lauk. Atau yang ke 5
yang menyempurnakan (wawancara, 23 Juli 2020). Bagi Novi,
toleransi menjadi sekedar kata-kata yang dibingkai tapi nihil
pemupukannya. Alumni UGM ini menambah ada juga porsi
yang berlebihan. “Ya kalau kelebihan lemak kan jadi obesitas.
Berpotensi jadi penyakit. Porsi berlebihannya ada pada perasaan
paling benar dan paling berhak atas satu wilayah (isu yang
diangkatkan juga yang meninggal adalah pendatang), maka isu
penduduk asli dan pendatang ini terus dimainkan untuk dijadikan
satu alasan bahwa yang berhak dimakamkan di wilayah itu

18
Menenun Kembali Hati Yang Tercabik
Lewat Dialog Kehidupan

adalah orang asli wilayah tersebut.” Kata Novi dengan nada


kecewa.
Selain Novi, Pak Hary juga angkat bicara mewakili dari
komunitas Islam. Dia sangat setuju dengan ungkapan Novi. Akan
tetapi, dia menelisik dengan nalar kritisnya. “Ratusan dikusi
yang bertema keberagaman, toleransi antar umat beragama dan
lain sebagainya toh hanya sekedar diskusi. Mandeg di tingkat
intelektual. Hanya menyumbang ide dan gagasan tetapi minim
pelaksaananya di lapangan. Pada hal masyarakat ditingkat RT
dan RW lah yang paling rentan konflik” ujar Hari dengan tajam.
Menurut alumni ISI Yogyakarta ini, “kita jujur mengakui bahwa
para petinggi dalam pemangku daerah jarang melibatkan atau
mengajak untuk berdiskusi tingkat bawah sebagai pemupuk
dasar kekerasan dalam hidup bersama” (wawancara, 23 Juli
2020).
Selain pernyataan di atas, dalam Kompas 16 Juli 2020
menggambarkan ketimpangan dan jurang ketimpangan kita di
masyarakat Indonesia makin lebar, apalagi di pandemi Covid
19 ini. Masyarakat kelas menengah atas masih bisa bekerja
dan beraktivitas dengan dukungan teknologi informasi dan
komunikasi. Sebaliknya, kendala dihadapi masyarakat kelas
menengah bawah yang tidak memiliki akses. Ketimpangan
ekonomi bila menelisik kota Yogyakarta menjadi urutan ke 3
dalam posisi kemajuan ekonomi di antara daerah kabupaten di
Propinsi Istimewa Yogyakarta. Misalnya di daerah Kota Gede,
kasus kekerasan agama terjadi, menjadi kota pinggiran. Daerah
ini memang terkenal dengan pasar perak dan relasi dengan lain
terasa hanya sebuah kepentingan ekonomi ketimbang di tengah
pusat kota Malioboro sebagai ruang perjumpanan seni. Banyak
pendatang atau para wisatawan menjadi branding dan masukan

19
Valensius Ngardi

sumber ekonomi yang cukup kuat bagi area tersebut. Oleh


karena itu, dalam dialog kehidupan ini dengan sasaran pada
ekonomi zaman sekrang, seperti juga bidang-bidang kehidupan
sosial lainnya, ditandai oleh berkembangnya kedaulatan
manusia atas alam tercipta, oleh berlipat ganda dan makin
intensifnya hubungan-hubungan serta ketergantungan timbal-
balik, antar warga masyarakat, kelompok-kelompok dan bangsa-
bangsa pun diwarnai juga oleh makin kerapnya campur tangan
kekuasaan politik. Sementara kemajuan-kemajuan dalam cara-
cara berproduksi dan pertukaran harta-benda maupun jasa-
jasa, telah menjadikan ekonomi suatu upaya yang cocok, untuk
dapat lebih efektif memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga
manusia.
Kedua, nilai-nilai sosial budaya. Pembagian kelas sosial di
negara Indonesia pada umumnya dan di Kota Yogyakarta pada
khususnya dengan istilah mayoritas dan minoritas menjadi
sebuah istilah hegemoni dalam struktur komposisi masyarakat
kita. Pendekatan sosial budaya menjadi fondasi untuk
membentengi segala stereotip yang ada dalam masyarakat
mempengaruhi politik identias agama. Jauh sebelum misi agama
dari barat, baik yang diwartakan oleh misionaris (Katolik),
Zending (Protestan), maupun pedagang Gujarat warga budaya
Indonesia ikatan budaya sebagai satu bangsa dan berbahasa,
menjadi kekuatan untuk mengakui adi kodrati dalam hidup
manusia khas Indonesia. Hal ini dengan mengkounternya
budaya, meminimali sserta sedapat mungkin menyingkir
budaya curiga terhadap sesame. Kita harus menyadari bahwa
sebelum agama dating, kita lahir dan berawal dari peradaban di
ranah budaya kita.
Harris & Nawas, (2015: 12) mendeskripsikan bahwa bila

20
Menenun Kembali Hati Yang Tercabik
Lewat Dialog Kehidupan

ditinjau lagi soal istilah mayoritas bisa menggoda untuk sikap


superioritas terhadap kelompok lain dan warga minoritas
menjadi korban inferior dari istilah tersebut. Narasi ini menjadi
alasan untuk melakukan jalan kekerasan terhadap agama
minoritas. Kita tidak menyadari bahwa apa yang kita lakukan
terhadap sesama sebagai warga Indonesia justru terciptalah
kolonialisasi baru soal komposisi penduduk dan agama. Maka
tak jarang, kekerasan agama terjadi di tengah-tengah masyarakat
Indonesia yang berpendudukan mayoritas muslim, bila hal ini
menjadi kelekatan dalam hasrat untuk menguasai orang lain di
Indonesia ini (PPIM UIN Jakarta 2006: 1). Meskipun motivasi
dan tujuan dari para pelaku kekerasan keagamaan biasanya
untuk memerangi maksiat, menghancurkan kemusyrikan, dan
membela Tuhan atau keyakinan dalam komunitas religiusnya.
Maka, di sini peran pendidikan inklusivisme sangat penting
untuk menyelami keberagaman agama kita saat ini.
Menjembatani semua gagasan di atas, James Midgley
(dalam Edydyono & Pinem 2020:71-21), menegaskan bahwa
komitmen pembangunan sosial terhadap universalisme juga
diperdebatkan. Dari pada mefokuskan secara sempit kepada
kelompok masyarakat tertentu yang miskin, rentan, dan
membutuhkan. Sebagian ahli pembangunan sosial percaya
bahwa proses pembangunan sosial harus bersifat inklusif dan
mempromosikan partisipasi komunitas secara keseluruhan
dalam berbagai proyek dan program. Budaya transparan akan
kebersamaan sebagai warga budaya menjadi landasan untuk
menciptakan masyarakat yang damai dan tentram. Oleh karena
itu, budaya berpalingnya nilai solidaritas sebagai jalan utama
bagi Gereja Katolik untuk menjali hubungan satu dengan yang
lainya dalam masyarakat baik secara universal maupun lokal

21
Valensius Ngardi

sebagai misi identitas yang kuat, bagaimana kehadirannya


membangun nilai-nilai yang baru dan positif, serta menepis
stereotip sikap Gereja yang eklusif dalam masyarakat
multikultural sebagaimana yang diajarkan Yesus bagaimana
Ia memberi keselamatan bagi banyak orang menjadi kekuatan
untuk membangun budaya solidaritas yang kuat dengan yang
lainnya (Sobrino & Pico 1989: 26). Namun demikian, Robert
(2009: 3), mengasumsi bahwa kekristenan adalah agama multi-
budaya memandu teks dari awal hingga akhir. Dalam istilah
global, misi bukan terutama alasan untuk ekspansi barat, tetapi
pergerakan multi-arah orang Kristen yang telah melintasi batas
untuk berbagi iman mereka.

Penutup

Berdasarkan gagasan dan permasalahan di awal tulisan ini,


ditemukan beberapa hal menjadi pekerjaan bersama dan
sekaligus refleksi dalam membangun jembatan dialog kehidupan
bagi komunitas Islam dan Katolik.
Pertama, hubungan antara komunitas Islam dan Katolik
yang terwakili oleh keluarga almarhum Albertus dan warga RT
setempat sebelum kejadian pemotongan salib sangat harmonis.
Dalam kehidupan sehari-hari, keluarga almarhum ini menjadi
salah satu pengurus di RT tersebut. Namun, kerenggangan relasi
ini tidak bertahan lama karena dipicu oleh oknum yang baru
bermukim di wilayah tersebut. Menurut Novi, menjadi informasi
yang kuat soal stereotip antara pendatang dan penduduk asli
menjadi standar untuk bisa menyatukan diri saat kematian lewat
kuburan bagi jenazah warga di tempat perkuburan milik RT
setempat. Peristiwa membuat hubungan antar kelompok Islam
dan Katolik menjadi tidak harmonis atau tegang. Budaya curiga

22
Menenun Kembali Hati Yang Tercabik
Lewat Dialog Kehidupan

semakin kuat untuk menggiring opini tentang pembenaran


kekerasan simbol atas nama agama tertentu.
Kedua, ditemukan pula bahwa sebenarnya kehidupan
masyarakat di Yogyakarta humanis. Dalam lanskap kasus
ini, secara fakta di lapangan akhirnya dari keluarga Albertus
mempunyai ruang dialog dan terbuka dengan tidak meneruskan
persoalan ini ke tingkat pengadilan karena bisa diselesaikan
secara kekeluargaan. Pengalaman ini mendukung konsep Barker
(2000) menjadi kuat bahwa identitas begitu cair dalam hidup
manusia ketika tidak disekat lagi oleh ras, agama dan budaya
karena adanya relasi yang harmonis satu dengan yang lain.
Ketiga, dialog kehidupan menjadi patron dalam menyingkir
kepentingan yang mengganggu nilai persaudaraan di Kota
Yogyakarta. Model ini sebagai bentuk perlawanan halus atas
setiap masalah yang dihadapi oleh masyarakat yang mayoritas
merepresi terhadap kelompok minoritas. Dalam konsep
James. S.Scoot (1999 : 1-7) dalam melawan masyarakat yang
mendominasi terhadap kelas bawah strategi halus lewat seni
atau dialog dapat membangun keharmonisan hidup dan bisa juga
mengkritik secara sosial bagi yang berkuasa dalam masyarakat
tersebut. Selain itu, perlawanan korban tidak dibalas dengan
kekerasan verbal justru pihak keluarga dengan kebebasan hati
untuk tidak diperdebatkan di ruang diskriminasi tetapi sebagai
sebuah peristiwa bahwa betapa penting dialog dan negosiasi
dalam hidup keberagaman. Oleh karena itu, konsep Scoot
cocok dipakai untuk melawan masyarakat yang mendominasi
(mayoritas) dengan menindas masyarakat korban dominasi
(minoritas) tidak harus melawan dengan kekerasan tetapi seni
berbicara dengan gaya satir yakni dengan mendialogkanya
dalam kehidupan yang berwajah humanis dan berbudaya kasih.

23
Valensius Ngardi

Selain itu, dalam dialog kehidupan menjadi benang merah


dalam sajian tulisan ini adalah tidak melupakan masalah
kebutuhan hasrat kehidupan manusia yang nyata di masyarakat
yakni masalah ketidakadilan, kemiskinan secara struktural,
kelas sosial, menginjak masyarakat kecil dan kaum tertindas
untuk bersama-sama kita berjuang dalam mengatasinya.
Terlebih situasi yang mengglobal adalah ketimpangan ekonomi
yang tidak pernah habis membentuk manusia menjadi budaya
tamak dan rakus di negeri kita. Akhirnya, dialog kehidupan tidak
membawa lagi bungkus agama bahkan menampilkan ayat-ayat
kitab suci kita yang kudus, tetapi di atas semunya itu dibuktikan
dengan karya sosial yang nyata dan humanis.
Rekomendasai dan refleksi bagi para tokoh agama.
Pertama, saatnya menciptakan toleransi yang baik, sehat dan
jujur dengan mengintrospeksi diri apakah cara hidup mereka
sebagai umat sesuai dengan ajaran agama yang mereka anut
atau tidak? Kedua, memurnikan dan menguatkan agama secara
internal dan menggunakan agama untuk menyatukan seluruh
umat manusia bukan untuk mengorbankan manusia atau umat
beragama lainnya. Ketiga utuk komunitas yang bertikai dengan
munculnya simbol-simbol agama di masyarakat pluralisme dan
multikulturalisme agar tidak ditasfir sebagai simbol kekerasan.
Dengan adanya wacana dialog dan ruang negosiasi bahwa demi
keselamatan bersama jangan sampai simbol-simbol itu tampil
di ruang publik bukan hanya mengganggu relasi antar agama
tetapi menciptakan ketegangan baru. Budaya laten dan manifes
konflik antar agama sampai kapan pun tidak pernah diretas
bersama.

24
Menenun Kembali Hati Yang Tercabik
Lewat Dialog Kehidupan

Daftar Pustaka

Aby, Banyu. A. F., 2007. Islam Humanis: Citra Islam Rahmatan


Lil ‘Alamiin’ Jurnal. Semarang: Fakultas Tarbyah IAIN
Walisongo.
Barker, Chris. 2000. Cultural Studies, Teori & Praktek. Yoyakarta:
Kreasi Wacana.
Bhiku, Parekh. 2008. Rethingking Multicuturallism: Keberagaman
Budaya dan Teori Praktek. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Colbran, Nicola, dkk, 2010. Kebebasan Beragama Atau
Berkeyakinan seberapa Jauh? Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Collins, Christopher S., SJ. 2013. The Word Made Love: The
Dialogical Theologi of Joseph Ratzinger. Liturgical Press:
Collegeville, Minnesota.
Dokumen Penerangan KWI. 2019. Perjalanan Apostolic Bapak
suci Paus Fransiskus ke Uni Emirat Arab 2-3 februari 2019
Jakarta: Penerbit Obor.
Doornik. Van. N.G.M., 1997. Fransiskus Dari Assisi, Nabi Bagi
Masa Kini. Jakarta: Vicari Missionaria OFM.
Eddyono, S, & Pinem.L.M,. (ed.). 2020. Pembanguan Sosial, Teori
dan Praktik. Yogyakarta: Gajah Madah University Press.
Freire Paulo.dkk., 2016. Menggugat Pendidikan, Fundamentalis
Konservatif Liberal Anarkis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hardayawiryana, R., (terj.). 1993. Dokumen Konsili Vatikan II,
Dokumentasi dan Penerangan KWI. Jakarta: Penerbit Obor.
Harris, S. & Nawas, N., 2015. Islam and The Future Of Tolerance
A Dialogue. Harvard University Press: Cambridge,
Massachusetts, London England.
Https://id.wikipedia.org/wiki/Babilon, diakses, 23 Juli 2020.
Https://tirto.id/intoleransi-di-yogyakarta-meningkat-5-tahun-
terakhir-kata-setara-emig, diakses, 17 Juli 2020.

25
Valensius Ngardi

Https://www.google.com/search?q=perang+salib+tahun+bera
pa&oq=perang+salib+tahun, diakses, 23 Juli 2020.
Khotimah, K., 2011. Dialog dan Kerukunan Antar Agama Umat
Beragama. Jurnal. Yogyakarta: Universitas Islam Negri.
Kompas Kamis, 16 Juli 2020. Kemiskinan dan Jurang Ketimpangan
kian Dalam.
Kompas Rabu , 22 Juli 2020. Diakui negara tetapi masih
didiskriminasi
Majalah Pusat Pengkajian Islam dan Mayarakat (PPIM) UIN:
Jakarta.
Magnis Suseno. F., 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Mary, E, Tucker & John A. Grim., (ed.). 2003 Agama, Filsafaat Dan
Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Mariasusai Dhavamony. 1993. Fenomenologi Agama. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Robert. L. Dana. 2009. Christian Mission How Christianity Became
A World Religion Wiley-Blacwell: A Jhon Wiley & Sons, Ltd.
Publication.
Sobrino.J, & Pico. J. Hernandes., 1989. Teologi Solidaritas.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Sumartana, Th. dkk, 2005. Pluralisme, Konflik & Pendidikan
Agama di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Scott, James. C. 1990. Domination and the Arts of Resistance
Hidden Transcripts Copyright © 1990 by Yale University.
Wawancara, Hari. Yogyakarta. 23 Juli 2020
Wawancara, Novi. Yogyakarta, 23 Juli 2020

26
2

Upaya Preventif Menangkal


Radikalisme Agama di Sekolah

Oleh: Khoriskiya Novita

Di Indonesia dalam dasawarsa terarkhir ini kekerasan atas nama


agama semakin banyak dijumpai. Fenomena kekerasan agama
dapat dilihat media elektronik maupun media cetak. Beberapa
fenomena tersebut dipicu oleh permasalahan politik, ekonomi,
hubungan lintas agama, permasalahan gender, dan budaya.
Masalah-masalah ini cenderung direspon dengan tindakan
kekerasan, yang dalam banyak hal justru kontra-produktif. Salah
satunya adalah kekerasan agama yang dikonstruksi sebagai
radikalisme yang menjadi variabel dominan dalam berbagai
tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama. Agama
yang semula bermisi kedamaian tereduksi dengan tindakan-
tindakan yang bertentangan dengannya.
Agama merupakan suatu kebaikan buat umat manusia, dan
karena manusia adalah organisme yang terus berkembang, baik
secara kuantitatif dan kualitatif, maka agama juga harus bisa
mengembangkan diri sesuai kebutuhan manusia itu sendiri.
Jika agama Islam hendak diseret kepada suatu penafsiran yang
justru berlawanan dengan maslahat manusia itu sendiri, atau
malah menindas kemanusiaan itu, maka Islam semacam ini

27
Khoriskiya Novita

adalah agama fosil yang tak lagi berguna buat umat manusia.
Paham keagamaan setiap orang harus dihormati. Namun,
penyebarluasan paham yang jelas mengganggu bahkan
merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara,
maka paham seperti itu harus dicegah dan dilarang. Jadi, apabila
ada paham yang mengatakan bahwa demokrasi adalah sesuatu
yang harus ditolak, apalagi mengatasnamakan agama, itu
lebih salah lagi. Karena agama, khususnya agama Islam, sama
sekali tidak mengajarkan paham- paham seperti itu. Selain itu,
paham yang tidak sekedar membolehkan, bahkan menyuruh
atau mendorong seseorang untuk membunuh pihak lain yang
berbeda paham dengannya, paham seperti ini dalam konteks
Indonesia juga tidak diperbolehkan karena paham mayoritas
umat Islam Indonesia bukan seperti itu.
Hasil penelitian PPIM UIN Jakarta (2017), yang dilakukan
terhadap Siswa/Mahasiswa dan Guru/Dosen dari 34 Provinsi
di Indonesia. Di antara hasilnya yaitu sebanyak 34,3 persen
responden memiliki opini intoleransi kepada kelompok agama
lain selain Islam. Kemudian, sebanyak 48,95 persen responden
Siswa/Mahasiswa merasa pendidikan agama mempengaruhi
mereka untuk tidak bergaul dengan pemeluk agama lain. Lebih
mengejutkan lagi 58,5 persen responden Mahasiswa/Siswa
memiliki pandangan keagamaan dengan opini yang radikal.1
Persoalan yang muncul, mengapa bibit-bibit radikalisme bisa
masuk ke sekolah? Dan bagaimana strategi sekolah agar mampu
mencegah pemahaman radikalisme memengaruhi cara berpikir
guru dan siswa?

1
https://www.republika.co.id/berita/kolom/wacana/18/06/01/p9nc8j396-
strategi-mencegah-radikalisme-di-sekolah

28
Upaya Preventif Menangkal
Radikalisme Agama di Sekolah

Menjawab pertanyaan tersebut, sudah banyak kajian


dilakukan oleh banyak lembaga terkait intoleransi, anti
kebhinekaan dan bibit-bibit radikalisme yang mulai masuk
ke ranah persekolahan. Semua lembaga relatif sepakat jika
radikalisme yang masuk ke sekolah melalui; (1) aktivitas
pembelajaran di kelas oleh guru, (2) melalui buku pelajaran
yang diduga memuat konten intoleransi, (3) melalui pengaruh
dan intervensi alumni dalam kegiatan kesiswaan di sekolah
dan (4) lemahnya kebijakan kepala sekolah/yayasan dalam
mencegah masuknya pengaruh radikalisme. Untuk hasil ini, kita
bisa lihat laporan riset dari Ma’arif Intitute (2017).
Guru sebagai ujung tombak pendidikan nasional memiliki
peran strategis dalam rangka “mencerdaskan kehidupan bangsa”,
sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Artinya,
siapapun gurunya, apapun mata pelajaran dan jenjang sekolah
tempat mengajar, semestinya paham, bahwa mereka adalah
insan pedagogis yang sedang melakukan aktivitas kebangsaan,
berlomba-lomba mencapai tujuan bernegara. Tapi kenyataannya
terbalik, ada oknum guru yang justru mengajarkan kepada
siswa untuk memusuhi negara ini dengan segala konsensus dan
simbol-simbol kebangsaannya. Mengatakan bahwa Pancasila
adalah thogut, UUD 1945 (dan segala perangkat hukum di
bawahnya) adalah buatan manusia sehingga tak wajib dipatuhi,
hormat kepada bendera merah putih adalah haram atau bid’ah
bahkan ada oknum guru yang terlibat aktif menjadi anggota
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Kemudian nilai intoleransi juga muncul di pembelajaran,
ketika guru tidak mampu mendesain pembelajaran yang
menggugah nalar siswa; pembelajaran kritis (critical thinking
& critical pedagogy) dan problem based learning. Pembelajaran

29
Khoriskiya Novita

kita belum terbiasa dengan pergulatan ide, perdebatan dan


argumentasi yang baik. Semua itu cerminan keterampilan
berpikir kritis, yang lazim dikenal HOTS (Higher Order Thinking
Skill). Pembelajaran kita baru terbiasa dengan ceramah, satu
arah dari guru. Pembelajaran yang memberikan ruang dan
kesempatan yang luas bagi guru untuk bermonolog. Sehingga
pembelajaran dengan “student centered learning” tak terpakai
dengan baik. Para siswa kita hanya dibiasakan menjawab
soal-soal kelas rendah, berupa pilihan ganda (PG) belaka.
Keterampilan berpikir masih tingkat rendah (lower order
thinking skill); mengingat, menghafal dan memahami. Berhenti
pada jenjang memahami sebuah teks atau peristiwa. Belum
bergerak naik mengaktifkan keterampilan berpikir tingkat
tinggi; menganalisis, membandingkan, mengkomunikasikan,
mengkritisi, problem solving dan berkreasi (HOTS).
Belum terkonstruksinya desain pembelajaran berbasis
critical thinking di atas, diawali oleh belum terbiasanya guru
mendengarkan argumentasi siswa, guru tahu segalanya
sedangkan siswa tidak tahu, guru selalu benar, guru adalah
sumber belajar satu-satunya. Akibatnya adalah siswa menjadi
inferior di hadapan guru. Siswa takut bicara dan menyampaikan
pendapatanya secara terbuka di depan kelas. Bahkan jika
pun ada siswa yang kritis, maka akan dianggap kurang sopan.
Sekolah kurang memberikan ruang aktualisasi diri kepada
siswa. Pola-pola seperti itulah yang masih lazim terjadi di dunia
persekolahan kita. Seperti yang pernah dikeluhkan dan dikritik
oleh Soe Hok Gie (1942-1969) bahwa, “guru bukanlah dewa,
dan murid bukanlah kerbau yang dicocok hidungnya.” 
Beberapa hal yang dapat dilakulan guru sebagai upaya
preventif terjadinya radikalisme di sekolah yaitu:

30
Upaya Preventif Menangkal
Radikalisme Agama di Sekolah

1. Guru harus mentransformasikan dirinya menjadi


pendidik yang benar-benar mendidik.
Pendidik yang tak lepas dari misi kebangsaan yaitu dengan
mencerdaskan kehidupan bangsa. Semua guru mata pelajaran
harus diberikan wawasan kebangsaan yang baik dan mendalam.
Guru adalah role model bagi siswa dan akan menjadi teladan
pertama bagi siswa-siswanya di sekolah. Bagaimana nilai-nilai
kebangsaan bisa diwujudkan oleh siswa, jika role modelnya
saja justru memperlihatkan sebaliknya. Oleh karenanya, upaya
yang dilakukan dalam mencegah radikalisme di sekolah adalah
dimulai dari pendidiknya terlebih dahulu.
Pendidikan harus mampu mengembangkan semua potensi
yang ada dalam diri setiap manusia. Potensi manusia secara
umum terbagi ke dalam tiga hal, yaitu potensi intelektual,
potensi moral atau kepribadian, dan potensi motorik. Artinya,
pendidikan tidak dibenarkan hanya mengembangkan intelektual
yang menafikan moral dan motorik semata atau sebaliknya.
Target pendidikan adalah tercapainya kekuatan spiritual
keagamaan, mampu mengendalikan diri, memiliki kepribadian,
serta memiliki kecerdasan, akhlak, dan keterampilan yang
diperlukan bagi dirinya sendiri, masyarakat, bangsa, dan negara.
Hal ini sejalan dengan fungsi pendidikan nasional yang
dirumuskan dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Guru merupakan salah
satu komponen yang berada di sekolah menempati kedudukan
dan profesi yang penting dalam proses belajar mengajar seperti
yang tertuang dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 14 Tahun
2005 Tentang Guru dan Dosen. Maka kunci keberhasilan
sekolah dalam mencapai tujuan pendidikan ada di tangan
guru. Ia mempunyai peranan dalam proses pertumbuhan dan

31
Khoriskiya Novita

perkembangan siswanya self concept, pengetahuan, ketrampilan,


kecerdasan dan sikap serta pandangan hidup siswa seperti yang
telah diamankan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang
Guru dan Dosen. Bahwa pendidikan berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. Dinyatakan bahwa: “Guru ialah
pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi
peserta didik pada jalur pendidikan formal, pada jenjang
pendidikan dasar dan pendidikan menengah.”

2. Guru harus menyegarkan keterampilan mengajarnya


Kewajiban pemerintah sebenarnya untuk memenuhi
tuntutan ini. Praktik pembelajaran yang menarik, kreatif,
berpikir kritis dan berpusat pada siswa. Inilah tantangan yang
harus dilakukan guru sekarang. Terlebih yang diajar adalah
Generasi Z, yang bahasa zamannya berbeda dengan gurunya
yang berasal dari Generasi X bahkan sebelumnya. Tinggalkan
pembelajaran yang memberi ruang superioritas bagi guru. Guru
tidak boleh lagi mendoktrin di depan kelas. Mendidik itu bukan
proses doktrinasi. Tapi proses pembangunan karakter melalui
argumen dan dialog.
Generasi Z saat ini merupakan generasi penerus perjuangan
bangsa kita ke depan. Apabila generasi mudanya memiliki

32
Upaya Preventif Menangkal
Radikalisme Agama di Sekolah

kulitas yang baik, maka baik pula masa depan bangsa, namun
apabila generasi mudanya rusak maka rusak pula masa depan
bangsa. Masa belajar di sekolah merupakan masa kehidupan
bagi para remaja dimana mereka selalu ingin menemukan
jati diri yang mudah terpengaruh oleh hal-hal baru baik hal
yang positif maupun hal yang negatif. Karenanya, siswa-siswi
yang merupakan pemuda dan pemudi penerus bangsa harus
mendapatkan pemahaman yang cukup, lebih waspada dan
berhati-hati dalam mengakses informasi dari sumber manapun.

3. Pembinaan kepada guru tentang radikalisme dan


nasionalisme.
Kepala sekolah harus memetakan pemahaman “ideologis”
para guru. Apalagi bagi calon guru, misalnya di swasta.
Rekrutmen guru baru tidak hanya mensyaratkan empat (4)
kompetensi guru, tetapi menambahnyaa dengan kemampuan
(keterampilan) wawasan kebangsaan guru. Termasuk
pemantauan konten pembelajaran guru di kelas. Bisa dikroscek
pada siswa. Siswa pun harus berani melaporkan kepada wali
kelas/kepala sekolah jika ada guru mengajarkan intoleransi
di kelas. Siswa jangan sungkan apalagi takut menyampaikan/
memprotes (tentu dengan adab yang baik). Triangulasi
informasi antara kepala sekolah, wali kelas dan siswa (orang
tua) harus dilakukan kontinu. Kepala sekolah juga harus ketat
dan tegas dalam membuat kegiatan kesiswaan. Keterlibatan
alumni dan orang luar tak masalah, asalkan kepala sekolah/
wakil sudah mengetahui profil alumni/pembicara luar tersebut.
Ruang aktivitas dan kreativitas siswa mutlak harus ada, tetapi
dengan kontrol yang baik dari sekolah, agar doktrin radikalisme
tidak terinfiltrasi masuk melalui pihak luar tersebut.

33
Khoriskiya Novita

4. Pusat kurikulum dan perbukuan membuat model


pembelajaran bermuatan pencegahan radikalisme,
intoleransi dan terorisme
Model pembelajaran bermuatan pencegahan radikalisme,
intoleransi dan terorisme bagi semua guru mata pelajaran dan
jenjang. Termasuk pelatihan yang berjenjang, berkelanjutan
dan berkualitas. Karena tugas untuk mencegah radikalisme di
sekolah itu bukan hanya tugas guru PPKn/PKn dan Pendidikan
Agama saja, tapi tugas pokok semua guru mata pelajaran.
Contoh strategi yang digunakan guru rumpun PAI dalam
proses pembelajaran dan di luar proses pembelajaran (kegiatan
keagamaan di sekolah) rumpun PAI yang seyogyanya bisa
membendung dan mencegah penyebaran paham radikalisme
di sekolah ini diantaranya strategi yang dilakukan dalam proses
pembelajaran yaitu dengan:
a. Dalam proses pembelajaran guru rumpun PAI memadukan
dua macam metode yaitu metode pembelajaran aktif,
yaitu metode pembelajaran yang memperbanyak aktivitas
siswa dalam mengakses berbagai informasi dari berbagai
sumber, untuk dibahas dalam proses pembelajaran dalam
kelas, sehingga memperoleh berbagai pengalaman yang
tidak saja menambah pengetahuan, tapi juga kemampuan
analisis dan sintesis. Siswa dan guru dalam belajar aktif
sama berperan untuk menciptakan suatu pengalaman
belajar yang bermakna. Dan metode pembelajaran Qur’ani
yaitu suatu cara atau tindakan-tindakan dalam lingkup
peristiwa pendidikan yang terkandung dalam Alquran dan
sunnah. Dalam konsep ini, segala bentuk upaya pendidikan
di-dasarkan kepada nilai-nilai yang terdapat dalam Alquran.
b. Memberikan pemahaman secara luas kepada siswa tentang

34
Upaya Preventif Menangkal
Radikalisme Agama di Sekolah

bahaya aksi-aksi radikal yang merusak dan mengganggu


kemaslahatan umat.
c. Memberikan dan menjelaskan materi-materi yang teradapat
dari beberapa madzhab sehingga asiswa di harapkan tidak
fanatik terhadap golongan atau madzhab-madzhab yang ada
dan tidak merasa bahwa madzhab yang dianutnya adalah
yang paling benar (saling menghormati dalam madzhab
yang ada).
d. Memberikan contoh dan amtsal serta dalil-dalil yang
terkandung dari al-Qur’an dan Hadits tentang larangan
untuk menggunakan aksi- aksi yang berbasis kekerasan
dalam menyeru kepada kebaikan karena pada dasarnya
Islam merupakan agama rahmatan lil a’lamin yang selalu
menyeru umatnya kedalam kebaikan dan kedamaian.
e. Memberikan pelajaran dan pemahaman tentang
pembelajaran agama yang kemudian dikaitkan dengan
paham radikalisme, bahaya radikalisme dan sebagainya.
Kemudian juga menjelaskan tentang golongan-golongan
serta contoh-contoh yang mengacu kepada teroris.
f. Memberikan pemahaman tentang ayat-ayat al-Qur’an serta
hadist yang banyak disalahartikan dan dipahami dengan
keliru maka harus dilurukan pemahamannya, seperti hadits
tentang Qishas, Jihad, Jinayat dan sebagainya.
g. Memiliki jiwa nasionalisme juga merupakan salah satu cara
untuk membentengi diri dari pengaruh radikalisme.
Sedangkan strategi yang dilakukan guru rumpun PAI di luar
proses pembelajaran yaitu dengan:
a. Mengadakan kegiatan keagamaan di sekolah, serta
mengkoordinir dengan baik kegiatan keagamaan yang
berlangsung di sekolah.

35
Khoriskiya Novita

b. Mengadakan tadarus, qiraat, dan pemahaman tentang tafsir


ayat-ayat al-Qur’an dan hadits.
c. Sekolah dan guru-guru rumpun PAI bekerjasama dengan
pihak kepolisian dan Kemenag Provinsi untuk memberikan
sosialisasi dan pembinaan serta arahan kepada siswa
tentang bahaya radikalisme.
d. Mengundang pembicara dari kemenag dan pihak kepolisian.
e. Dari pihak kepolisian, baik dari polda maupun polres
menyampaikan tentang pentingnya bernegara.
f. Bekerjasama dengan Bintal dari kepolisian, yang merupakan
orang yang bertugas di kepolisian tetapi mereka merupakan
orang yang ahli agama dan sudah diberikan pengetahuan
tentang hukum.
g. Mengadakan workshop keagamaan bekerjasama dengan
Kemenag ataupun pihak-pihak dari luar.
h. Membentuk tim ibadah yang mana bertugas mengontrol
kegiatan keagamaan siswa, baik dari segi shalat di masjid
(dhuha, dan Dzuhur), tim ini bekerjasama dengan pihak
sekolah dan pihak lain untuk memberikan pengetahuan
tentang agama, memberikan muhasabah, dan memberikan
pemahaman tentang segala aktivitas yang bertentangan
dengan ajaran agama Islam.
Pendidikan merupakan suatu proses yang sangat penting
bagi kelangsungan hidup dan kehidupan manusia, karena
pendidikan dapat dikatakan suatu indikator kemajuan
peradaban dari suatu bangsa. Fenomena radikalisme yang
mengatas namankan agama menyasar para kaum muda
terutama kaum muda Islam yang notabenya masih berstatus
pelajar. Kekhawatiran pun muncul dari semua pihak, karena
praktik keberagamaan tersebut merapuhkan kebhinekaan

36
Upaya Preventif Menangkal
Radikalisme Agama di Sekolah

dan kedamaian. Radikalisme agama muncul salah satunya


dari lembaga pendidikan, bahkan radikalisme tumbuh subur
di dalamnya karena berbagai faktor yang secara tidak sadar
telah menjadi budaya di sekolah. Hal ini terjadi karena kepala
sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat lupa atau lalai dalam
menjalankan tugas pokok sebagai pihak yang ikut bertanggung
jawab dalam menangkal radikalisme agama. Maka perlu upaya
pencegahan dan kerjasama yang dibangun dari berbagai pihak
tersebut agar faham-faham radikalisme agama tidak tumbuh
subur di lembaga pendidikan sekolah.

Daftar Pustaka

Al Jabiri, Muhammad Abid. 2006. Agama, Negara, dan Penerapan


Syari’ah. Yogyakarta: Fajar Pustaka
Arifin, Zaenal dan Syaiful Rizal “Menangkal Radikalisme di
Sekolah” dalam http://ejournal.kopertais4.or.id/tapalkuda
/index.php/qodiri/article/view/2891/2137
Munip, Abdul, ”Menangkal Radikalisme di Sekolah”, Jurnal
Prodi Pendidikan Islam, Program Pascasarjana, UIN Sunan
Kalijaga, Vol.1, No.2, Desember 2012.
Ramayulis. 2015. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam
Mulia.
Silberman, Melvin L.. 2016 Active Learning. Bandung: Nuansa
Cendikia.
Wahid, Abdurrahman. 2007. Islam Liberal dan Fundamental
(Sebuah Pertarungan Wacana). Yogyakarta: Elsaq Press.
Yulianto, Agus “Strategi Mencegah Radikalisme di Sekolah”
dalam https://www.republika.co.id/berita/kolom/wacana
/18/06/01/p9nc8j396-strategi-mencegah-radikalisme-di-
sekolah

37
3

Hilangnya Agama Lokal atas


Nama Negara
(Studi Kasus: Arat Sabulungan)

Oleh: Rivani

Pendahuluan

Di negara Indonesia, berbicara tentang keagamaan menjadi


urgensitas dan memprihatinkan ketika agama dikaitkan dengan
fenomena diskriminasi serta dijadikan alasan untuk melakukan
tindak kekerasan. Padahal kita tahu Indonesia bukan negara
yang berdasarkan pada agama tertentu, melainkan berdasarkan
pada kepercayaan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal itu
berarti bahwa semua agama dan kepercayaan yang ada dihormati
kedudukannya serta seluruh warga negara bebas memeluk
agama dan kepercayaannya, serta bebas untuk melaksanakan
ibadahnya masing-masing. Akan tetapi, bagaimana rumusan
semacam itu bisa diwujudkan dalam praktik sehari-hari, karena
bagaimana pun bagi para penganutnya agama yang dianutnya
itu merupakan suatu kebenaran mutlak. Ajaran-ajaran yang
berdasarkan pada agamanya merupakan pegangan hidup
yang diyakini penuh akan kebenarannya. Karenanya agak sulit
untuk bisa memahami ajaran-ajaran atau pandangan agama
lain. Apalagi bila berhadapan dengan suatu agama yang masih
dianggap “terbelakang” atau “kafir”. Dalam upaya mengenal dan
memahami salah satu kehidupan beragama di Indonesia, perlu
diketahui keberadaan salah satu “agama asli” yang masih hidup

38
Hilangnya Agama Lokal atas Nama Negara

dan dianut oleh orang Mentawai, yakni Arat Sabulungan.


Tidak ada batasan obyektif untuk menentukan siapa
orang Mentawai. Kepustakaan klasik yang berkaitan dengan
kehidupan orang Mentawai tidak bisa dilepaskan dari telaah
mengenai sabulungan. Kepercayaan lokal Mentawai yang
mengakui keberadaan dan pengaruh roh-roh alam tersebut
seringkali dilukiskan sebagai landasan keselarasan manusia
dan lingkungannya. Pada tahun 1950, pemerintah melarang
Arat sabulungan dan masyarakat harus memilih agama yang
ada yang disahkan pemerintah (Islam, Protestan, Katholik,
Hindu dan Budha). Pada tahun itu, kepercayaan asli tersebut
dianggap sebagai suatu simbol keterbelakangan dan sebagai
langkah pemerintah pada waktu itu, segala perangkat dan alat-
alat upacara yang juga sebenarnya alat-alat kesehari-harian
orang mentawai dimusnahkan. Banyak anggota masyarakat
yang memilih Protestan dan Katholik sebagai agama mereka,
agama ini menyebar dalam waktu yang berbeda satu sama lain.
Pertama, agama Proestan menyebar melalui organisasi Zending
pada tahun 1901 tetapi baru mulai benar-benar melakukan
penyebaran dalam bentuknya yang nyata dan mendapat umat
pada than 1920an. Ditahun 1950, berdiri gereja pertama
agama Protestan di pulau Siberut, dan bersama dengan gereja
dibangun gedung sekolah. Agama yang banyak dianut oleh
anggota masyarakat akan tetapi diikuti oleh kepercayaan asli.
Kedua, pada tahun 1935, Katholik Roma mulai menyebarkan
pengaruhnya melalui oganisasi Missi dan sejak tahun itu
juga mulai ada umat yang mengikutinya. Pada tahun 1954,
peristiwa Rapat Tiga Agama menjadi sarana legitimasi tindakan
pelarangan sabulungan. Hal tersebut dilatarbelakangi upaya
negara ‘mendisiplinkan’ agama di Indonesia sebagai bentuk

39
Rivani

pengakuan atas Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dominasi yang


diwarnai tindak diskriminasi dan kekerasan itu memunculkan
konflik ideologi antara negara dan orang Mentawai di Siberut.
Tulisan ini berisikan penjelasan mengenai bagaimana
dominasi negara atas sebuah kepercayaan lokal di Siberut
memicu timbulnya perlawanan terselubung dari orang
Mentawai yang berusaha menjaga identitas budaya mereka.
Model perlawanan tersebut menurut kajian James C. Scott
merupakan ‘senjata orang-orang yang kalah’ menghadapi kelas
yang mendominasi kehidupan mereka. Ritual-ritual tradisi
sabulungan ditampilkan kembali sebagai ekspresi budaya
sambil menghidupi keberagamaan sesuai anjuran dan tuntutan
pemerintah. Makin lunturnya penghayatan akan sabulungan dan
nilai budaya di dalamnya serta perubahan gaya hidup modern
menunjukkan gegar budaya dan ambivalensi yang dialami orang
Mentawai di Siberut dewasa ini.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode


historis. Metode ini lazim digunakan dalam penelitian sejarah.
Melalui metode ini dilakukan suatu proses menguji dan
menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa
lampau (Gottschalk, 1986: 32). Adapun langkah-langkah
penelitian ini mengacu pada proses metodologi penelitian
dalam penelitian sejarah yang mengandung empat langkah
penting yakni:
a. Heuristik merupakan upaya mencari dan mengumpulkan
sumber-sumber yang berkaitan dengan permasalahan
yang dikaji. Dalam proses mencari sumber-sumber ini,
penulis mendatangi berbagai perpustakaan secara online,

40
Hilangnya Agama Lokal atas Nama Negara

seperti perpustakaan daerah dan perpustakaan Universitas


Indonesia. Selain itu penulis pun mencari buku-buku yang
berkaitan dengan permasalahan yang dikaji, penulis juga
mencari sumber-sumber melalui internet.
Tahap heuristik ini dimulai dengan menentukan sumber
mana yang akan dan pantas digunakan untuk topik yang
dibahas, di mana sumber ini didapatkan dan bagaimana cara
untuk menemukan sumber itu. Sumber sejarah biasanya
dibagi menjadi sumber sejarah primer dan sumber sejarah
sekunder. Sumber sejarah primer yang dapat digunakan
untuk mengkaji permasalahan adalah beberapa buku yang
bertemakan mengenai suku Mentawai. Seperti Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia karya Prof. Dr. Koentjaraningrat
mengenai tujuh unsur kebudayaan suku bangsa
Mentawai. Kepercayaan Tradisional “Arat Sabulungan”
dan Penghapusannya di Mentawai dalam jurnal Mulhadi
mengenai dasar penghapusan kepercayaan masyarakat
tradisional Mentawai.
b. Kritik, yaitu dengan melakukan penelitian terhadap sumber-
sumber sejarah, baik isi maupun bentuknya (internal dan
eksternal).
c. Interpretasi, dalam hal ini penulis memberikan penafsiran
terhadap sumber-sumber yang telah dikumpulkan selama
penelitian berlangsung. Kegiatan penafisiran ini dilakukan
dengan jalan menafsirkan fakta dan data dengan konsep-
konsep dan teori-teori yang telah diteliti oleh penulis
sebelumnya. Penulis juga melakukan pemberian makna
terhadap fakta dan data yang kemudian disusun, ditafsirkan,
dan dihubungkan satu sama lain. Fakta dan data yang telah
diseleksi dan ditafsirkan selanjutnya dijadikan pokok pikiran

41
Rivani

sebagai kerangka dasar penyusunan proposal ini. Misalnya,


dalam kegiatan ini, penulis memberi penekanan penafsiran
terhadap data dan fakta yang diperoleh dari sumber-sumber
primer dan sekunder yang berkaitan dengan Peristiwa
penghapusan Arat Sabulungan dalam kepercayaan Suku
Mentawai.
d. Historiografi, merupakan langkah terakhir dalam penulisan
ini. Dalam hal ini penulis menyajikan hasil temuannya
pada tiga tahap yang dilakukan sebelumnya dengan cara
menyusunnya dalam suatu tulisan yang jelas dalam bahasa
yang sederhana dan menggunakan tata bahasa penulisan
yang baik dan benar.

Pembahasan

Definisi Agama dan Agama Lokal


Secara etimologi, kata “agama” bukan berasal dari bahasa
Arab, melainkan diambil dari istilah bahasa Sansekerta yang
menunjuk pada sistem kepercayaan dalam Hinduisme dan
Budhisme di India. Agama terdiri dari kata “a” yang berarti
“tidak”, dan “gama” berarti kacau. Dengan demikian, agama
adalah sejenis peraturan yang menghindarkan manusia
dari kekacauan, serta mengantarkan menusia menuju
keteraturan dan ketertiban. Ada pula yang menyatakan bahwa
agama terangkai dari dua kata, yaitu a yang berarti “tidak”,
dan gam yang berarti “pergi”, tetap di tempat, kekal-eternal,
terwariskan secara turun temurun. Pemaknaan seperti itu
memang tidak salah karena dalam agama terkandung nilai-
nilai universal yang abadi, tetap, dan berlaku sepanjang masa.
Sementara akhiran a hanya memberi sifat tentang kekekalan

42
Hilangnya Agama Lokal atas Nama Negara

dan karena itu merupakan bentuk keadaan yang kekal.


Sedangkaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), agama mempunyai definisi yaitu prinsip kepercayaan
kepada Tuhan dengan aturan-aturan syariat tertentu. Dalam
penjabarannya, agama adalah sistem yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan
pergaulan manusia dan manusia serta manusia dengan
lingkungannya. Banyaknya ragam definisi tentang Agama
dalam perkembangan zaman ini berimplikasi pada makna yang
beragam pula. Lebih dari itu, definisi-definisi tersebut juga
seringkali mengaburkan makna dari agama itu sendiri. Terlepas
dari itu, definisi agama mempunyai substansi yang selaras pada
titik temunya yaitu “menghamba, menyerah dan patuh.
Selain itu, dikenal kata religion bahasa Inggris, religio atau
religi dalam bahasa Latin,  al-din 
dalam bahasa Arab, dan
dien dalam bahasa Semit. Kata-kata itu ditengarai memiliki
kemiripan makna dengan kata “agama” yang berasal dari bahasa
Sansekerta itu. Religious (Inggris) berarti kesalehan, ketakwaan,
atau sesuatu yang sangat mendalam dan berlebih-lebihan. Yang
lain menyatakan bahwa religion adalah: (1) keyakinan pada
Tuhan atau kekuatan supramanusia untuk disembah sebagai
pencipta dean penguasa alam semesta; (2) sistem kepercayaan
dan peribadatan tertentu.1
Istilah agama lokal, dalam hal ini bisa disamakan dengan
penggunaan istilah agama asli atau agama pribumi. Yang
dimaksud dengan agama asli adalah sebuah agama yang bukan
datang dari luar suku penganutnya. Karenanya, agama asli kerap
1
Abd. Moqsith Ghazali. Argumen Pluralisme Agama. Kata Kita,
Jakarta, 2009.

43
Rivani

juga disebut agama suku atau kelompok masyarakat. Agama ini


lahir dan hidup bersama sukunya dan mewarnai setiap aspek
kehidupan suku penganutnya. Agama ini telah dianut oleh suku
penganutnya jauh sebelum agama dunia diperkenalkan kepada
suku itu. Menurut David Barret dan Todd Johnson dalam statistik
agama-agama yang setiap tahun diterbitkan oleh International
Bulletin of Missionary Research, penganut agama lokal di dunia
ini pada laporan tahun 2003 saja adalah sebesar 237.386.000
orang. Jumlah itu pada tahun 2003 diperkirakan hanya 3,78
persen dari total penduduk dunia yang kini berjumlah hampir
6,3 miliar manusia. Dibandingkan dengan kondisi di Indonesia,
maka para penganut agama lokal, hanya sekitar 1 persen saja
dari total penduduk Indonesia. Kebanyakan dari mereka tinggal
di Papua, Sumba, Pedalaman Sumatra, pedalaman Kalimantan
dan Pedalaman Sulawesi, dan beberapa daerah pulau Jawa.2
Koentjaraningrat (1974), misalnya dalam menyusun
konsep keagamaan di Indonesia, membuat tiga kategori
mengenai keagamaan, yaitu agama, religi, dan kepercayaan. Bagi
Koentjaraningrat, istilah agama dipakai untuk sistem keyakinan
atau semua agama yang “diakui secara resmi” oleh negara; religi
ialah sistem keyakinan yang tidak atau belum diakui secara
resmi. Sistem religi ini dibayangkan sebagai sistem keyakinan
yang merupakan percampuran antara tradisi agama dan kreasi
kebudayaan setempat. Sedangkan kepercayaan ialah komponen
kedua dalam tiap agama maupun religi.3
Menurut Coronese (1986), Arat berarti adat, dan Sabulungan
2
David Barret dan Todd Johnson, “Annual Statistical Table on Global
Mission: 2003” dalam International Bulletin of Missionary Research, vol. 27
No. 1, Th. 2003, h. 25.
3
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. PT.
Gramedia Jakarta: 2009.

44
Hilangnya Agama Lokal atas Nama Negara

berasal dari kata bulug yang berarti daun. Arat Sabulungan


menjadi pedoman hidup masyarakat Mentawai, dalam Arat
Sabulungan terkandung filsafat hidup, aturan dan norma-
norma yang mengatur kehidupan, baik secara pribadi, maupun
keluarga dan suku. Namun dalam prakteknya, masyarakat
Mentawai tidak bisa menjalankan Arat Sabulungan sepenuhnya,
dikarenakan Arat Sabulungan bertentangan dengan ajaran
agama-agama resmi yang diakui oleh pemerintah.
Menurut Stefano Coronese (1985:36), seorang misionaris
dari Italia menjelaskan bahwa Arat Sabulungan berasal dari
kata arat yang artinya agama, adat, kepercayaan, keyakinan. Sa
artinya se atau sekumpulan. Sedangkan bulungan artinya daun.
Jadi Arat Sabulungan adalah sistem keyakinan yang menjadi
kepercayaan dan norma adat yang bersumber dari daun-daunan.
Penjelasan ini dikutip oleh banyak penulis tentang Mentawai
karena menjadi sumber literatur yang mudah diperoleh.
Dasar gagasan ini sudah dibahas sebelumnya oleh Herman
Sihombing (1979) dan juga dikutip oleh Bambang Rudito
(2013). Namun penjelasan ini sedikit berbeda dipaparkan oleh
Juniator Tulius (2012) dalam disertasi doktoralnya. Tulius,
seorang antropolog Mentawai menjelaskan tentang Sabulungan
bukanlah kepercayaan berdasarkan kepada daun daunan, akan
tetapi keyakinan yang menggunakan persembahan (buluat)
kepada roh leluhur yang disebut sabulungan. Kata Sabulungan
memiliki kata dasar bulu berarti mempersembahkan, jadi bukan
bulug yang berarti daun. Kepercayaan Sabulungan memang
menggunakan dedaunan tertentu sebagai perantaran namun
bukan sebagai dasar keyakinan. Yang menjadi sistem keyakinan
orang Mentawai adalah seperti dijelaskan oleh Reimar Schefold
(1991:125-138) secara sederhananya dimana manusia yang

45
Rivani

memiliki roh (simagere) menjalin interaksi dengan roh leluhur


(sabulungan) dalam sebuah ritual yang dijembatani oleh sebuah
persembahan yang terdiri dari makanan dan dedaunan tertentu
yang didekorasi dalam sebuah piring kayu (lulak). Semua
peneliti berkesimpulan bahwa Arat Sabulungan adalah sistem
kepercayaan suku Mentawai yang meyakini dan mempercayai
bahwa semua mahluk ciptaan memiliki roh-roh.

Perlindungan secara konstitusi mengenai kebebasan


beragama

Dalam konstitusi Indonesia, jaminan kebebasan beragama


dan berkeyakinan terdapat dalam beberapa pasal. Pasal 28 (e)
ayat 1 dan 2 UUD 1945 hasil amandemen disebutkan: 1) “Setiap
orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara
dan meninggalkannya, serta berhak kembali”; 2) “Setiap orang
berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.
Pasal 28I (1) juga menyatakan: “1) Hak untuk hidup, hak
untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” Pasal-pasal konstitusi
tersebut secara tegas memberi jaminan kebebasan beragama
dan berkeyakinan sebagai bagian dari hak dasar warga negara.
Bahkan pasal 28I (4) lebih ditegaskan: “Perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung
jawab negara, terutama pemerintah.” Namun demikian, pasal

46
Hilangnya Agama Lokal atas Nama Negara

tersebut diikat dengan pasal 28J (2) yang berbunyi: “Dalam


menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis.” Pasal ini seringkali digunakan sebagai
pembenar adanya pembatasan beragama dan berkyakinan,
bukan saja pada tingkat ekspresi, tapi dalam substansi ajaran
agama dan keyakinan itu sendiri. Singkatnya, dengan pasal ini,
keyakinan keagamaan bisa dipersalahkan jika ada kelompok
lain yang merasa terganggu hak asasinya dalam beragama dan
berkeyakinan dengan adanya agama dan keyakinan itu.
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia UU No.
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dapat dikategorikan
sebagai UU yang memberi jaminan penuh kebebasan beragama/
berkeyakinan. UU tersebut memberi landasan normatif bahwa
agama dan keyakinan merupakan hak dasar yang tidak bisa
diganggu gugat. Dalam pasal 22 ditegaskan: 1) Setiap orang
bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu; 2) Negara menjamin
kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu”. Dalam pasal 8 juga ditegaskan bahwa “Perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Pasal
ini sebenarnya tidak lebih dari penguatan (kalau tidak disebut
pengulangan) dari konstitusi UUD 1945 yang menegaskan adanya
jaminan kebebasan dalam memeluk agama dan keyakinan, serta

47
Rivani

beribadat menurut agama dan keyakinan yang dipeluk itu”.


UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional
tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) Kebebasan beragama
dan berkeyakinan juga menjadi tuntutan international
sebagaimana tertuang dalam International Covenant on Civil
and Political Rights (ICPPR). Indonesia sudah meratifikasi
tentang ICCPR melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005
tentang Pengesahan International Covenant on Civil and
Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil
dan Politik). Dengan ratifikasi itu, maka Indonesia menjadi
Negara Pihak (State Parties) yang terikat dengan isi ICCPR.
Dalam pasal 18 ICCPR disebutkan: “Setiap orang berhak atas
kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup
kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas
pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau
tertutup untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam
kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran. Tidak
seorangpun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya
untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya
sesuai dengan pilihannya.”

Sejarah Terkikisnya Arat Sabulungan

Pada tahun 1950, pemerintah melarang Arat sabulungan


dan masyarakat harus memilih agama yang ada yang disahkan
pemerintah (Islam, Protestan, Katholik, Hindu dan Budha). Pada
tahun itu, kepercayaan asli tersebut dianggap sebagai suatu
simbol keterbelakangan dan sebagai langkah pemerinatah
pada waktu itu, segala perangkat dan alat-alat upacara yang

48
Hilangnya Agama Lokal atas Nama Negara

juga sebenarnya alat-alat kesehari-harian orang mentawai


dimusnahkan. Banyak anggota masyarakat yang memilih
Protestan dan Katholik sebagai agama mereka, agama ini
menyebar dalam waktu yang berbeda satu sama lain. Pertama,
agama Protestan menyebar melalui organisasi Zending
pada tahun 1901, tetapi baru mulai benar-benar melakukan
penyebaran dalam bentuknya yang nyata dan mendapat umat
pada tahun 1920an. Di tahun 1950, berdiri gereja pertama
agama Protestan di pulau Siberut dan bersama dengan gereja
dibangun gedung sekolah. Agama yang banyak dianut oleh
anggota masyarakat akan tetapi diikuti oleh kepercayaan asli.
Kedua, pada tahun 1935 (Reeves, Glen. 2000) Katholik Roma
mulai menyebarkan pengaruhnya melalui oganisasi Missi dan
sejak tahun itu juga mulai ada umat yang mengikutinya. Seperti
halnya Protestan, Katholik Roma juga mendirikan gereja dan
sekolah serta sering menolong masyarakat dengan menberikan
pakaian dan makanan. Agama ini dapat masuk dan beradaptasi
dengan kebudayaan Mentawai. Seluruh ritual-ritual asli yang
diselenggarakan oleh masyarakat selalu diikuti dalam agama
Katholik ini, sepertu misalnya adanya punen Natal dan Tahun
Baru.
Lain halnya dengan agama Bahai dan Islam. Tidak banyak
anggota masyarakat yang menganut agama-agama ini, tetapi
khususnya Bahai yang tersebar pada tahun 1950 masih dianut
sampai sekarang walaupun upacara untuk agama ini tidak
tampak diselenggarakan. Kenyataannya, walaupun pemerintah
melarang agama ini untuk beredar, banyak penduduk yang masih
menganutnya sampai sekarang. Dalam perkembangannya,
agama Bahai telah membangun gedung sekolah di pulau Siberut.
Agama Bahai secara umum diperkenalkan oleh orang yang

49
Rivani

datang dari Parsi (daerah Iran dan Irak) di Timur Tengah. Sampai
sekarang, agama Bahai masih dianut oleh sebagian masyarakat
dan bahkan suku lain di samping masyarakat Mentawai yang
tinggal di kepulauan Mentawai menganut agama ini. Berdasar
pada sejarah agama Bahai ini, dapat dikatakan bahwa agama
ini diperkenalkan oleh seorang dokter yang datang ke pulau
Siberut pada tahun 1955, Muhadji Rachatullah, nama dokter
tersebut, menyebarkan agama Bahai ini di pedalaman Mentawai
pada masyarakat di kampung-kampung yang belum tersentuh
oleh agama lain. Pada perkembangan selanjutnya, penyebaran
agama ini dilakukan oleh orang-orang dari suku bangsa Jawa
dan Batak. Islam juga menyebarkan pengaruhnya di Mentawai,
dan penyebaran ini terjadi mulai tahun 1959. Pada sekarang
sudah banyak organisasi-organisasi Islam yang berusaha
menyebarkan pengaruhnya di pulau Siberut.
Tepat tahun 1954, Rapat Tiga Agama yang secara eksplisit
meminta orang Mentawai meninggalkan sabulungan merupakan
wujud dominasi negara untuk menerapkan gagasan-gagasan
mengenai identitas tunggal bangsa. Dalam upaya tersebut
pengakuan terhadap dasar ideologi negara Pancasila menjadi
penting. Melalui Departemen Agama, negara menyatakan bahwa
kebebasan beragama rakyatnya dijamin dan dilindungi secara
hukum. Hal tersebut diharapkan menjamin ditegakkannya
penghayatan atas Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Akan tetapi,
sejarah pembentukan konsep agama di Indonesia menyebabkan
beragam tafsiran terhadap sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kategorisasi yang menentukan apa yang diterima dan diakui
sebagai ‘agama’ menjadikan banyak aliran-aliran kepercayaan
lokal mengalami diskriminasi. Sebenarnya peraturan
pemerintah sebagaimana tertulis dalam SK NO.167/PM/1954 –

50
Hilangnya Agama Lokal atas Nama Negara

yang dipandang sebagai latar belakang diadakannya Rapat Tiga


Agama – hanya berisikan perintah penyelidikan, pengawasan,
dan penertiban aliran-aliran kepercayaan demi kesejahteraan
masyarakat sesuai dengan Pasal 33 UUD sementara. Sehingga
dengan demikian, apa yang kemudian diputuskan dalam
pertemuan Tiga Agama jelas sekali tampak sebagai upaya
pemaksaan. Apalagi tindakan aparat pemerintah –yakni
polisi– di lapangan diwarnai dengan perilaku diskriminatif dan
kekerasan.
Di penghujung pemerintahan Orde Lama, dikeluarkan
Tappres No.1/PNPS/1965 yang secara eksplisit memperlihatkan
6 agama yang diakui pemerintah, yakni: Islam, Protestan, Katolik,
Hindu, Budha, dan Konghucu. Hal itu memunculkan pandangan
bahwa mereka yang belum menganut salah satu agama resmi
negara dipandang ‘belum beragama’. Secara dangkal, mereka
yang ‘belum beragama’ dianggap belum bisa menerima atau
menerapkan apa yang tertera pada Sila Ketuhanan Yang Maha
Esa. Pasca peristiwa 1965 dan di awal Orde Baru, rezim Soeharto
mempolitisasi sentimen atas ideologi komunis sehingga
kepemilikan agama, dan tentu saja agama resmi menjadi
kriteria apakah seseorang telah sepenuhya menerima ideologi
Pancasila. Dengan mengeluarkan, aturan pemusnahan aliran
keperacayaan terus berkembang sampai muncul UU No.1/
PNPS/1965. Akibatnya orang-orang yang ‘belum beragama’
semakin berada dalam posisi yang dilematis. Jika menolak
untuk menganut salah satu agama resmi dengan mudah, mereka
akan dicurigai sebagai kelompok yang mendukung komunisme.
Peristiwa traumatis pada pelarangan sabulungan yang dimulai
tahun 1954 semakin diperburuk dalam pemerintahan Orde
Baru. Tindakan ini juga disertai dengan keterlibatan para polisi

51
Rivani

dalam upaya pelarangan sabulungan dikisahkan sejumlah


narasumber berlangsung hingga tahun 1980-an. (Persoon, dan
Schefold 1985).
Pada Maret 1981, saat pemerintah sibuk merelokasi
masyarakat adat, dan tentara membakari budaya sikerei,
Gubernur Sumatera Barat, Azwar Anas dalam sebuah pidato
berkata, jika sejak awal tahun pembangunan lima tahun (Pelita)
pertama, hutan di Kepulauan Mentawai sebagai hutan produksi.
Ia akan menghasilkan devisa dan sumber pendapatan negara.
Meskipun begitu, eksploitasi hutan Mentawai telah mulai satu
dekade sebelumnya. Pada 1971, pemerintah mengeluarkan izin
HPH pada enam perusahaan besar: PT.Cirebon Agung, PT Jaya
Sumber Indah, PT CPPS, PT Bhara Union, CV Minas Lumber
Corporation, dan PT Kayu Siberut. Masuknya perusahaan
ke Mentawai mengundang masalah, konflik muncul antara
perusahaan dan masyarakat adat. Pada 2 Maret 1997, lebih
200 warga Desa Betumonga, marah dan mengeroyok camat,
kapolsek dan anggota Koramil Pagai Utara Selatan, serta
manajer lapangan PT Fajar Mentawai Sakato—anak perusahaan
Mudan Sakti Grup. Mereka dipukuli, ditendang ke sana-kemari.
Keributan terjadi saat perusahaan yang menebang kayu tanpa
izin itu diminta berhenti, tetapi tak menggubris. Dalam laporan
Yayasan Citra Mandiri, yang dibukukan dengan judul “Yang terus
di garis lurus” bercerita bagaimana orang Mentawai berulang kali
menolak perusahaan yang ingin mengeksploitasi hutan mereka.
Kurun 1996-2012, (mongabay.co.id) belasan kali masyarakat
adat Mentawai melawan untuk tujuh rencana penguasaan hutan
oleh perusahaan. Pada pertengahan November 1996, Selester
Saguruwjuw, Kepala Desa Madobag menunjukkan sebuah
dokumen yang lama membuat warga Rogdok resah. Dokumen

52
Hilangnya Agama Lokal atas Nama Negara

berisi penyerahan lahan dari empat suku: Samalelet, Sukulok,


Sarogdok dan Saluluni, seluas 360 hektar pada Kantor Wilayah
Departemen Sosial Sumbar untuk proyek PKMT Rogdok,
Siberut Selatan. Dokumen itu ditandatangani 14 Januari 1992
oleh Rokdak, wakil Suku Samalelet, Benediktus Suku Sakulok,
Malaikat dari Suku Sarogdok dan Albertus wakil Suku Saluluni.
Pada 2 Mei 2017 kembali memanas Badan Koordinasi
Penanaman Modal mengeluarkan izin prinsip untuk PT Biomass
Andalan Energi (BAE). Pemerintah Sumbar merestui biomasa
menebang 20.030 hektar hutan di Siberut Tengah dan Utara,
dan mengubah jadi perkebunan kaliandra. Gubernur Sumbar,
Irwan Prayitno ikut mendukung dengan mengeluarkan izin
lingkungan seluas 19.876,59 hektar. Kemudian keberlanjutan
diskriminasi dan dominasi agama resmi terlegitimasi dengan
konstitusi yang terus mengekang dan mengerus agama lokal ini.

Kesimpulan

Dalam kasus hilangnya agama lokal di Indonesia sangat dapat


disimpulkan bahwa terjadi adanya kontribusi dari peraturan
atau kebijakan bahkan undang-undang yang sebenarnya adalah
sebagai perlindungan hak warga negara. Namun hal ini menjadi
intervensi dalam bentuk langsung ataupun langsung. Penekanan
ini berproses menjadi kontruksi negatif bagi Arat Sabulungan.
Tak hanya itu, secara langsung masuknya koorporasi disana
telaah menggeser ranah keagamaaan mereka. Tentu saja ini
dilegitimasi oleh negara.

53
Rivani

Daftar Pustaka

Coronese, Stefano. 1986. Kebudayaan Suku Mentawai. Jakarta:


PT. Grafidian Jaya.
Ghazali, Abd. Moqsith.  2009. Argumen Pluralisme Agama.
Jakarta: Kata Kita.
Https://www.mongabay.co.id/2018/01/28/cerita-kala-kepe
rcayaan-adat-orang-mentawai-dilarang-dan-pindah-
paksa-dari-hutan-bagian-1/
Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitet, dan
Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia.
Persoon, G. 2004. The Position of Indigenous Peoples in
Management of Tropical Forest. Tropenbos International
Wageningen.
Persoon, G. A. 2003. Conflicts over trees and waves on Siberut
Island. Geografiska Annaler: Series B, Human Geography,
85(4), 253-264
Schefold, R. 1998. “The domestication of culture: Nation-
building and ethnic diversity in Indonesia.” Bijdragen tot de
taal-, land-en volkenkunde, 154(2), 259-280
Scott, J.C. 1990. Hidden Transcripts: Domination and The Arts of
Resistance. Yale University Press.

54
4

Eksistensialisme dan Ruang Terbuka Agama


(Suatu Tinjuan Eksistensi dan Ruang Terbuka
Beragama di Indonesia)

Oleh: Gratia Wing Artha

Beragama bagi masyarakat di Indonesia merupakan suatu


keharusan dan dapat dikatakan sebagai kesakralan. Dalam
hal ini, agama dapat dikatakan sebagai sebuah ritus yang
memperlihatkan kemuliaan manusia. Dari sini yang menjadi
pertanyaan adalah dinamika beragama di Indonesia, di
mana sebagai masyarakat yang majemuk pasti mengalami
permasalahan sosial yang cukup kompleks. Dikarenakan
kompleksitas risiko dari kemajemukan agama di negeri ini
cukup untuk menciptakan konflik laten dalam masyarakat. Oleh
karenanya, ilmuwan sosial perlu memahami keragaman dan
dinamika sosial yang terjadi pada dalam konstruksi sosial atau
konstruksi kebudayaan masyarakat dalam memahami agama.
Secara jujur, budaya dan sistem sosial masyarakat Indonesia
yang sangat kompleks menjadikan masyarakat kita dapat
dikatakan sebagai masyarakat “berdarah” hal ini bermuara pada
keberagaman sosio-religius. Maka, diperlukan transformasi
sosial dalam tata kelola konflik beragama. Mungkin, akan lebih
bijaksana jika terdapat saling memahami antar agama.
Dari sini kehadiran para agamawan yang humanis
sangatlah penting, dikarenakan dengan adanya para agamawan

55
Gratia Wing Artha

yang humanis dapat membingkai kemajemukan agama dalam


toleransi beragama. Berkaca pada kondisi sosial sekarang ini yang
penuh dengan berbagai macam konflik sosial yang bermuara
pada egoisme dalam beragama. Egoisme dalam beragama
semakin menguat tatkala masyarakat memperlihatkan wajah
egoisme agama secara kuat. Mungkin, akan sangat penting
bila menyelaraskan praktik beragama dengan kedewasaan
sosial. Kedewasaan sosial dalam hal ini adalah refleksi akan
jati diri manusia sebagai makhluk beragama yang memuliakan
keberagaman. Dalam hal ini, keberagaman adalah menyatukan
perbedaan–perbedaan agama dalam subuah keniscayaan
kebajikan.
Bila kita cermati keberagaman agama di Indonesia dengan
kacamata sosiologis dapat dikatakan sebagai kekuatan yang
fundamental dalam menguatkan persatuan dan kesatuan.
Dalam beberapa perspektif negosiasi sangat penting dalam
menerapkan keadilan dan eksistensi beragama. Hal ini
dikarenakan negosiasi akan menciptakan negosiasi atau
keterbukaan dalam praktik beragama. Praktik beragama dalam
hal ini adalah bagaimana masyarakat dapat mempraktikan
kehidupan beragama secara mendalam dalam kehidupan sosial.
Dari sini akan lahir keberagaman dan saling mengerti antar umat
beragama di Indonesia. Dan yang terpenting adalah pemahaman
akan kemajemukan sebagai kelebihan yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia. Pelajaran yang dapat kita petik dari kemajemukan
bangsa kita adalah menghargai agama dan kepercayaan di
Indonesia yang sangat beragam sebagai keniscayaan yang
harus diterima dalam kehidupan sosial kemasyarakatan,
dari perspektif ini yang diperlukan adalah penerimaan akan
keberagaman agama.

56
Eksistensialisme dan Ruang Terbuka Agama

Eksistensi keberagamaan akan terwujud bila negosiasi dan


ruang publik dalam keterbukaan dialog publik dapat tercapai.
Dalam hal ini, keterbukaan sangatlah penting dalam mewujudkan
pemahaman akan keberagaman agama bagi masyarakat di
Indonesia. Memang diakui sedikit sulit untuk dilakukan terlebih
di negara kita. Terlebih egosime dalam masyarakat masih sangat
kuat, dalam menegosiasikan kepentingan–kepentingan yang
ada sangat diperlukan pemahaman akan keberagaman agama
sebagai sebuah bukti eksistensi manusia sebagai makhluk yang
beragam termasuk dalam hal memahami dan menghormati
keberagaman agama.
Mungkin, kita perlu merefleksikan kembali bahwa
hakikat manusia adalah beragam dan dengan keberagaman
agama manusia akan menemukan manifestasi dari hakikat
kemanusiaannya dalam memahami makna toleransi secara
mendalam. Perlu diketahui masyarakat akan semakin terbuka
dengan keberagaman agama bila terdapat pemahaman akan
ajaran agama yang berlandaskan kemanusiaan. Bukankah agama
pada hakikatnya mengajarkan kemanusiaan, lantas sebagian
orang menafsirkan agama dengan kemarahan dan egoisme yang
merusak citra kemanusiaan agama. Pada hakikatnya, agama
baik bila ditafsirkan dengan naluri kebajikan dan kebijaksanaan.
Oleh karenanya filsafat sangat diperlukan dalam hal ini guna
memahami ajaran agama yang humanis. Tentunya penafsiran
agama yang humanis memerlukan kebijaksanaan dan penafsiran
secara filosofis. Dengan refleksi filosofis yang baik akan terbuka
dialog akan keberagaman agama dan penghormatan akan
keberagaman agama sebagai refleksi manusia sebagai makhluk
beragama. Tentunya, ini dapat terjadi bila terjadi pemahaman
dan saling meyakini akan ajaran agama yang penuh kedamaian

57
Gratia Wing Artha

dan kebajikan. Maka, sangat dibutuhkan para agamawan yang


dapat memahami agama dari kacamata kemanusiaan dan naluri
kebijaksanaan.
Lalu, langkah yang terpenting adalah membuka wacana
berfikir seluas–luasnya akan pemaknaan agama yang terhubung
dengan dialog–dialog interaktif yang terbuka. Dengan adanya
dialog interaktif yang terbuka agama akan melahirkan bukan
dogma rigid, namun sebuah refleksi kemanusiaan yang terdalam.
Sebuah refleksi kebajikan yang ada dalam diri manusia. Dan ini
perlu ditekankan demi kebajikan umat manusia. Umat manusia
yang membangun masyarakat akan menjadi harmonis dengan
adanya ruang publik untuk dialog agama dan dari sini akan
tercipta eksistensi beragama dalam kehidupan bermasyarakat.
Kiranya sangat penting bila kita memahami ajaran agama
dengan baik agar tidak terjebak dalam tafsiran agama yang
mengarah pada dehumanisasi. Dengan cara ini saya yakin dapat
mewujudkan ruang publik dalam beragama dan menjadikan
eksistensi beragama akan tetap hidup di negeri ini. Saya
meyakini bahwa pada dasarnya agama mengajarkan kebajikan,
tinggal bagaimana kita memahami ajaran agama dengan
metode humanisme (kemanusiaan). Dalam hal ini, marilah kita
membumikan ajaran agama dan menjadikan ajaran agama lebih
bermasyarakat.
Bila kita membahas humanisme agama kita akan
menghasilkan keselarasan akan ajaran agama yang benar–
benar membawa keharmonisan bagi kehidupan masyarakat.
Keharmonisan itu akan menjadi kekuatan dalam persatuan
dan kesatuan hidup sebagai makhluk sosial. Selayaknya
penafsiran akan keberagaman agama perlu dikaji secara lebih
jauh lagi agar dapat memberikan sumbangan bagi refleksi

58
Eksistensialisme dan Ruang Terbuka Agama

religius yang humanis dan memasyarakat. Perlu keyakinan yang


kuat dan kukuh untuk mewujudkan ini, terutama bagaimana
mempertahankan humanisme beragama dan mengesampingkan
egoisme beragama.
Dalam hal ini, penafsiran agama secara sosiologis akan
sangat membantu dalam merefleksikan agama yang penuh
dengan pemaknaan manusiawi. Dari sini akan dihasilkan
pemaknaan eksistensialisme beragama dan dialog keagamaan.
Sehingga tidak ada tuduh menuduh dan salah menyalahkan
antar satu agama dengan agama lain. Sekiranya narasi ini akan
membawa masyarakat ke arah pemaknaan agama yang humanis
serta menghasilkan eksistensialisme dalam beragama tanpa
adanya kekangan dalam beragama dimana yang terpenting
menghasilkan dialog dan saling menyapa antar agama. Hal
tersebut saya kira perlu karena semua agama pada hakikatnya
mengajarkan kebajikan, sebab dengan adanya pemaknaan secara
humanis dan eksistensialis akan membuka ruang–ruang dialog
dalam beragama yang nantinya diharapkan akan memberikan
kebaikan dalam kehidupan sosial. Bukankah agama ada untuk
menghasilkan harmonisasi sosial dalam kehidupan masyarakat?
Maka, dari sini diperlukan adanya ruang–ruang dialog terbuka
agar menjadikan semua agama dapat saling menyapa dan saling
akur dalam bingkai keberagaman.
Selayaknya narasi ini berguna sebagai pengingat atau
imbauan untuk menjadikan agama sebagai kekuatan untuk
menciptakan harmonisasi dan toleransi dalam masyarakat.
Dengan cara ini, agama benar–benar akan memperlihatkan
eksistensi beragama antar pemeluk–pemeluknya serta akan
membawa agama pada sebuah refleksi pada muara kemanusiaan.
Inilah yang perlu dikaji lebih dalam lagi untuk menghasilkan

59
Gratia Wing Artha

pemaknaan agama yang benar–benar memanusiakan manusia.


Tentunya hal tersebut akan tercapai bila ada negosiasi dan
saling keterbukaan antar umat beragama yang beragam.
Semoga masyarakat dapat bersatu dalam bingkai keberagaman,
merdeka.

60
5

Kerukunan Agama dalam Bingkai


Ke-Indonesiaan
(Upaya Mewujudkan Keharmonisan Beragama di Indonesia)

Oleh: Gratia Wing Artha

Agama di Indonesia dapat dikatakan sangat beragam, dari


keberagaman ini seringkali mengakibatkan perselisihan
atau konflik sosial tersendiri bagi masyarakat. Dalam hal
tersebut, dapat dikatakan bahwa masyarakat kita merupakan
masyarakat yang berdarah. Masyarakat yang berdarah
merupakan konsekuensi dari keberagaman agama yang ada di
Indonesia. Mungkin, bagi sebagian orang sedikit sulit menerima
keberagaman agama dan perbedaan agama. Namun, ini tidak
menjadi persoalan yang rumit bila masyarakat memahami
makna beragama secara bijaksana. Oleh karena itu sangat
diperlukan upaya ‘pendewasaan dalam beragama’ yang mana
ini akan berpengaruh besar pada kerukunan masyarakat dalam
beragama nantinya.
Mungkin, yang perlu ditekankan di sini adalah memahami
dengan benar ajaran agama yang dapat mengokohkan
persatuan dan kesatuan nasional, sehingga hal tersebut dapat
mengikis rasa curiga dan permusuhan terselebung antar
umat beragama. Saya rasa yang diperlukan adalah upaya
memahami agama dengan benar dan baik, dengan begitu akan
memperlihatkan keramahan dalam beragama. Bagi sebagian

61
Gratia Wing Artha

kelompok kerukunan agama hanya dianggap sebagai sebuah


utopia. Namun, akan dapat terwujud dengan adanya kompromi
dan saling memahami bahwa perbedaan beragama merupakan
sebuah mandat keberagaman manusia. Dan hal ini tidak dapat
dipungkiri.
Perlu ditekankan disini bahwa pemahaman agama yang
baik dan kerukunan agama akan membawa pada integrasi
nasional. Bahkan, hal ini sangat diperlukan untuk memperkuat
ketahanan masyarakat. Hal yang perlu ditekankan disini
adalah menghormati bahwa keberagaman agama merupakan
daulat yang sudah ada pada manusia. Tentunya, hal ini tidak
dapat dipungkiri karena manusia pada dasarnya dalam segala
hal beragam termasuk dalam hal ini keberagaman agama
dan kepercayaan. Dari sini, yang perlu diperhatikan adalah
pemahaman akan refleksi agama yang mengarah pada kebajikan
sosial.
Saya mengatakan perlu adanya pemahaman agama dengan
tafsir sosial dengan tujuan untuk menjadikan agama agar
dapat saling memahami makna keberagaman agama. Secara
filosofis, keberagaman agama sebenarnya merupakan cerminan
dari karakteristik manusia. Dalam hal ini, dengan adanya
keberagaman agama sebagai refleksi bahwa manusia memiliki
beragam pola pikir. Perlu adanya penafsiran keberagaman agama
dalam konteks ke-indonesiaan dalam rangka menyelaraskan
pemahaman agama dalam nuansa kearifan budaya masyarakat
Indonesia.
Perlu kiranya untuk memahami keberagaman agama
dalam perspektif keindonesiaan, dengan cara menyelaraskan
agama dan kebudayaan yang ada di Indonesia, sehingga akan
terlahir refleksi akan pemahaman kemajemukan agama dan

62
Kerukunan Agama dalam Bingkai Ke-Indonesiaan

ini akan membawa masyarakat menuju toleransi beragama


dan kesadaran keberagaman agama dalam pemahaman
keindonesiaan. Pemahaman ke indonesiaan mengenai agama
dapat tercapai bila ada saling negosiasi dan pemaknaan akan
kebaikan dari adanya keberagaman agama. Perlu ditekankan
dalam hal ini adalah membawa ajaran agama ke lentera integrasi
dan pemahaman akan toleransi.
Selebihnya yang diperlukan adalah pemaknaan akan
integrasi agama, di mana yang dimaksud integrasi agama adalah
semua agama saling menghormati di tengah perbedaan, karena
dengan adanya saling menghormati akan keberagaman agama
akan membawa kebaikan yakni bersatu dalam keberagaman.
Sekiranya, masyarakat memahami bahwa ajaran agama yang
dibawa oleh para wali, orang suci, dan misionaris di Indonesia
pada dasarnya mengajarkan kebaikan dan toleransi yang
diselaraskan dengan nilai–nilai keindonesiaan. Itulah mengapa
perlu adanya pemahaman akan pemahaman agama dalam
konteks keindonesiaan seperti yang dikatakan oleh Soekarno.

63
6

Perspektif Pekerja Seks Komersial (PSK)


Terhadap Kehidupan Keagamaan

Oleh: Rizal Ramadhan Ivandi

Pendahuluan

Fenomena pelacuran atau sering disebut sebagai Pekerja Seks


Komersial (PSK), keberadaannya seringkali menimbulkan
situasi dilematis. Di satu sisi, menjadi PSK merupakan pilihan
hidup yang tak dapat dihindari untuk mengatasi kesulitan
hidup karena kemiskinan. Di sisi lain, profesi PSK merupakan
bentuk patologi sosial yang bertentangan dengan nilai-nilai
agama dan aturan sosial. Para pekerja seks komersial berani
mengorbankan diri, masa depan, dan kehidupannya tidak lain
hanyalah untuk mendapatkan uang. Padahal uang dari kerja
keras itu tidak menjadi miliknya sendiri secara utuh, tetapi uang
tersebut harus dibagi-bagi kepada semua pihak yang terlibat
di dalam pekerjaannya, seperti uang untuk mucikari, uang
keamanan, uang kamar, uang pelayanan dan sebagainya. Oleh
karena itu, sangat wajar jika dikatakan bahwa mereka adalah
juga kelompok yang paling tidak beruntung dari pertukaran
seksual-kontraktual di antara pekerja seks dan pelanggannya
(Syam, 2010).
Secara garis besar, ada enam alasan mengenai latar
belakang timbulnya pekerjaan ini, antara lain karena kemiskinan

64
Perspektif Pekerja Seks Komersial (PSK)
Terhadap Kehidupan Keagamaan

dan pemenuhan kebutuhan hidup, ketidakpuasan terhadap


pekerjaan yang tengah dilakukan dan penghasilan yang
dianggap masih belum mencukupi, karena tidak mempunyai
kecerdasan yang cukup untuk memasuki sektor formal ataupun
untuk menapaki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Latar
belakang kerusakan atau ketidakutuhan dalam kehidupan
berkeluarga, seperti anak yang tidak diperhatikan dan kurang
kasih sayang orang tua, sakit hati ditinggal suami yang selingkuh
atau menikah lagi, karena tidak puas dengan kehidupan seksual
yang dimiliki sebelumnya, memiliki cacat secara badaniah.

Landasan Teori

Setiap tindakan individu memiliki motif dan tujuan berdasarkan


pengalaman atau persepsi didalam dirinya. Weber melihat
individu sebagai subjek semua yang dilakukan tidak dipengaruhi
oleh norma dari luar, tetapi dari dalam dirinya. Namun,
tindakan subjek tanpa sesuatu yang didorong dari dalam
dirinya, maka hal itu tidak bisa dikatakan sebagai tindakan
sosial sebab pada esensinya tindakan sosial erat kaitan dengan
rasionalitas mereka masing-masing. Posisi subjek dalam hal ini
tidak mengindahkan adanya norma hukum seperti paradigma
fakta sosial dimana setiap induvidu dipandang sebagai objek
dan mereka dikendalikan dari luar dirinya. Tindakan secara
subjektif bisa mengarah penyimpangan pada norma hukum dan
nilai-nilai yang ada dalam interaksi secara personalitas maupun
impersonal yang melibatkan masyarakat.
Pemikiran mengenai paradigma definisi sosial di mana
setiap subjek menjadi agen dalam melakukan tindakan sosial.
Berdasarkan tindakan induvidu dalam tindakan sosial, Marx
Weber membagi menjadi empat tipe manusia. Pertama,

65
Rizal Ramadhan Ivandi

rasionalitas instrumental, yaitu tindakan yang didorong


oleh spektulasi-spekulasi dan tentu memiliki tujuan dapat
mencapainya apa yang sedang diusahakan oleh subjek itu
snediri. Kedua, rasionalitas nilai, tindakan ini berpaut pada
kesadaran keyakinan seperti etika, estetika, agama dapat
dipengaruhi tindakan subjek. Perlu diketahui bahwa tindakan
kesadaran keyakinan ini masih menolak rasinalitas instumental,
karena tindakan ini masih irasional namun peran daripada
subjek ingin melakukan tindakan yang berbau kemustahilan.
Ketiga, rasionalitas afektif, tindakan ini lebih dipengaruhi pada
situasi dan adaptasi subjek terhadap kondisi kompromitas di
lingkungannya. Akan tetapi, tindakan ini hanya berdasarkan
spontanitas saja tanpa rasionalitas, seringkali tindakan seperti
ini berlaku sering menipu atau manipulasi dan peran subjek
dipengaruhi dari keadaan di luar diri maupun kata hati yang
menipu dari ketidakjelasan situasi yang dipengaruhinya.
Keempat, rasionalitas tradisional, tindakan ini berhubungan
dengan tradisi yang terpengaruhi sekian lama hingga semua
tindakan subjek bisa ditentukan selama mereka menyakini
tradisi yang mereka yang yakini dapat mengutungkan bagi
mereka. Kelemahannya ketika tindakan belum ada hasil maka
mereka sering mencari cara yang lain.
Pemikiran Marx Weber dan Calvinisme memiliki arah pikiran
pada rasionalitas. Weber analisis agama dengan analogi ekonomi
dan rasionalitas erat kaitan dengan berbagai pertimbangan
(consideration) yang cermat dan teliti dengan bijaksana untuk
melakukan sesuatu oleh seseorang. Pertimbangan ini sendiri
tentu saja tidak sekedar memutuskan begitu saja dengan
serampangan, tetapi lebih kepada konsekuensi untung dan
rugi pada tindakan tersebut. Weber membagi tindakan rasional

66
Perspektif Pekerja Seks Komersial (PSK)
Terhadap Kehidupan Keagamaan

menjadi empat, yakni rasionalitas instrumental, rasionalitas


nilai, rasionalitas agama, dan rasionalitas tradisional. Bagi
Weber, rasionalitas yang paling tinggi adalah rasionalitas
instrumental, yakni rasionalitas yang berbentuk pertimbangan
untung dan rugi.
Analisis sekularisme, tindakan manusia dengan orientasi
religius akan berada di ranah sakral dan terpisah dari kegiatan
sehari-hari yang bersifat profan. Semakin banyak waktu yang
digunakan untuk aktivitas yang sifatnya sakral, semakin sedikit
waktu yang digunakan untuk aktivitas profan. Ada dual hal istilah
‘sakral’ dan ‘profan’ itu melekat pada setiap umat beragama dan
itu tolak ukur pada kehidupana seseorang. Apakah seseorang
beragama atau tidak melihat dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam kehidupan sehari-hari, mengeskpresikan nilai-nilai yang
mereka anut, salah satunya mereka merefleksikan nilai-nilai
yang terkandung pada sakral, atau justru profan. Maka setiap
kehidupan berhadapkan dengan dua pilihan tersebut, entah itu
memilih pada hal-hal suci (sakral) dan anti-suci (profan). Dalam
hal ini, berhubungan dengan kepercayaan, untuk itu setiap orang
berhak memilih baik dan buruk, tentunya ada pertimbangan
konkusensi dari apa yang perbuat.
Dari pemikiran Marx Weber dan Calvinisme, terlihat
dengan jelas bahwa pemikiran mereka bersangkut paut
dengan para pemodal atau kapitalis. Calvinisme sendiri
ajaran agama sebagai sarana meraih kesuksesan sekularitas
seseorang, namun dari Weber sendiri lebih kepada rasionalitas
instrumental berhubungan untuk dan rugi. Karateristik untuk
dan rugi menjadi fondasi utama bagi sistem kapitalis termasuk
pratik kapitalis dalam kenyataan pada kehidupan sehari-hari.
Melihat pada kehidupan realitas, khususnya masyarakat

67
Rizal Ramadhan Ivandi

kontemporer saat ini memilki kemampuan untuk melakukan


berbagai pertimbangan, memang terbukti bahwa setiap tindakan
masyarakat semua diarahkan pada keuntunagan sekularitas.
Hal tersebut didkung dari pengalaman subjek maupun
pengaruh eksternal. Pengalaman subjek, ialah ketika mereka
pertimbangkan suatu masalah berdasarkan pengalaman dan
pengalaman merugikan mereka menghindari lalu pengalaman
yang menguntungkan mereka tingkantkan tentu pertimbangan
yang kuat. Pengaruh eksternal kaitan dengan subjek meminta
pertimbangan dengan orang agar tindakan tidak merugikam diri.

Penelitian Terdahulu

Penelitian pertama, yaitu Hartopo Septiono dengan penelitian


“Pemahaman Agama Di kalangan Pekerja Seks Komersial (PSK)
di Kota Yogyakarta.” Hasil penelitian menunjukan bahwa
pemahaman agama di kalangan Pekerja Seks Komersial (PSK)
di Kota Yogyakarta tergolong rendah, adapun beberapa faktor
salah satunya adalah masalah ekonomi. Jika dilihat pemahaman
mereka dari tiap dimensi akan berbeda seperti hasil sebagai
berikut: dimensi keyakinan memperoleh pemahaman yang tinggi,
dimensi praktik agama memperoleh pemahaman yang rendah,
dimensi pengalaman memperoleh pemahaman yang sedang,
dimensi pengetahuan memeperoleh pemahaman yang sangat
rendah, dan dimensi konsekuensi memeperoleh pemahaman
yang rendah. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan
pemahaman mereka dapat meningkat jika srtategi penyampaian
informasi yang efesien dan kemauan atau tekad dari mereka
yang tinggi itu akan bisa terjadi.
Penelitian kedua, Anni Syafa’atin dengan judul skripsi “Studi
Keagamaan Bagi Psk Perempuan di Desa Pancur Bojonegoro.”

68
Perspektif Pekerja Seks Komersial (PSK)
Terhadap Kehidupan Keagamaan

Peneliti ini mengukapkan bahwa hasil penelitian ini menunjukan


bahwa: pertama, Pekerja seks komersial cenderung lebih
memprioritaskan dunia dibandingkan akhirat. Kedua, Pekerja
seks komersial selalu sadar bahwa apa yang mereka lakukan itu
adalah suatu hal yang salah. Oleh karenanya, mereka selalu rutin
memberikan sumbangan atau sedekah kepada majlis-majlis
keagamaan atau yayasan-yayasan pendidikan. Ketiga, karena
keterbatasan biaya keluarga membebaskan mereka melakukan
pekerjaan tersebut. Secara umum bahwa pemahaman dan
pengamalan keagamaan bagi pekerja seks komersial ialah
hanya dapat dipahami secara normatif, tetapi tidak mampu
melaksanakan pengamalan tersebut sebagaimana ajaran agama
(Syafa’atin, 2018).
Penelitian ke tiga, Titik Rahayu dengan judul penelitian
“Pertobatan Wanita Pekerja Seks Komersial (PSK) di Majelis
Asy-Syifa: Studi Deskriptif Bimbingan Sosio-Spiritual.” Peneliti
mengungkapkan bahwa model bimbingan yang dilaksanakan
di Majelis Asy-Syifa memadukan antara sosial dan spiritual
yang terwujud dalam bentuk pengajian keagamaan dan
pendampingan. Adapun pelaksanaan bimbingan sosio-spiritual
diwujudkan melalui pemberian pengetahuan, sikap dan
interaksi sosial, serta dukungan berupa nasehat dan motivasi.
Penelitian keempat, Syariful Hidayatulloh dengan judul
skripsi ”Pemahaman Agama Islam Pada Pekerja Seks Komersial
(Studi Kasus PSK Lokalisasi Komplek Kedung Banteng Desa
Kedung Banteng Kecamatan Sukorejo Kabupaten Ponorogo).”
Dalam penelitian ini, akan diintensifkan pada bagaimana
prostitusi memahami dan dipahami sebagai bagian dari umat
beragama yang paling sedikitnya mengalami perjumpaan
terhadap pengalaman-pengalaman spiritual. Pemahaman

69
Rizal Ramadhan Ivandi

yang berusaha digali untuk mendapatkan perspektif yang


sesungguhnya para pekerja seks komersial sendiri terhadap
agamanya dan bagian dari norma lembaga agama masyarakat
(Hidayatulloh, 2008).
Novelty dari penelitian terdahulu dengan penelitian
yang diteliti oleh penulis adalah akan memfokuskan dalam
mengetahui mengenai pandangan agama di kalangan pekerja
seks komersial (PSK), karena agama merupakan suatu kerangka
acuan dalam seseorang bersikap dan bertingkah laku agar
sejalan dengan keyakinan yang dianutnya.

Metode Penelitian

Metode Penelitian yang dilakukan di dalam penelitian ini adalah


metode penelitian kualitatif. bertujuan untuk memahami yang
terjadi dan dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan-tindakan yang lainnya. Penelitian
kualitatif dipilih karena metode kualitatif dapat memberikan
rincian yang lebih kompleks tentang fenomena yang sulit
diungkapkan oleh metode kuantitatif, sehingga metode
kualitatif lebih kepada kedalaman data yang berkualitas dari
subjek penelitian.
Subjek dari penelitian ini adalah orang yang berprofesi
sebagai PSK. Subjek penelitian berfokus pada satu informan
untuk mendalami pada pengalian data dalam penelitian ini
sehingga informan memberikan data-data mengenai dirinya
lebih detail. Saat penelitian berlangsung di lapangan, peneliti
dapat memahami bahwa tindakan seorang PSK didasarkan pada
pertimbangan dari dirinya sekalipun, subjek dengan jelas telah
melakukan penyimpangan terhadadap norma dan nilai.
Lokasi penelitian ini adalah di sekitar wilayah Kabupaten

70
Perspektif Pekerja Seks Komersial (PSK)
Terhadap Kehidupan Keagamaan

Nganjuk. Penelitian ini dilakukan kurang lebih selama 1–2


bulan (Februari–Maret 2020). Adapun lokasi yang telah dipilih
bersifat strategis agar subjek penelitian dapat di temui dengan
mudah. Sehingga, pemerolehan data juga dapat mendalam
terkait profesi subjek sebagai PSK.
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan
dua sumber data, yaitu sumber data primer dan sekunder. Data
Primer adalah sumber data yang berasal dari lapangan yakni
berupa dokumentasi, wawancara, dan observasi. Data sekunder
adalah data pelengkap atau pendukung data primer dalam
penelitian yakni berupa data yang berasal dari jurnal/artikel
(penelitian terdahulu).
Analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan
bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-
milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskan,
mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting
dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat
diceritakan pada orang lain. Model analisis penelitian kualitatif
ini mengunakan model Spradley.
Teknik analisis data dilakukan dengan pengumpulan data
terlebih dahulu. Hal ini dilakukan dengan cara melakukan
wawancara kepada PSK untuk menggali informasi sebnayak-
banyaknya. Kemudian reduksi data yaitu mengolah data yang
masih kasar sehingga perlu untuk melakukan pemilihan data
yang relevan agar memperoleh data pokok yang mengarah
pada permasalahan penelitian. Reduksi data akan dilakukan
dengan cara membuat rangkuman, memilih data-data yang
pokok dan penting dan memisahkan data yang tidak diperlukan.
Selanjutnya, penyajian data, data yang telah direduksi
dipaparkan.

71
Rizal Ramadhan Ivandi

Analisis Data

Melihat dari perspektif PSK sebagai subjek yang berinisial


LD. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi LD untuk
bergabung dan menekuni profesi sebagai PSK. Di mana awalnya
seorang PSK bekerja sebagai penjaga toko, namun kurang
tertarik dengan kemampuan di toko yang berhubungan dengan
konsumen. Dari segi pendidikan lulusan SMK hingga sekarang
sudah berumur 28 tahun dan tidak memiliki seorang suami
yang dapat menafkahi sebagai kepala keluarga dalam rumah
tangga. Satu hal dasar yang mendorong LD untuk menjadi PSK
adalah karena tuntutan ekonomi dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidupnya. Ketika LD terjun pun tidak serta-merta
menerima begitu saja, namun ada pertimbangan keuntungan
yang didapatkan hasil dari Pekerja Seks Komersial (PSK).
Hubungan dengan keluarga, sejauh ini tidak bermasalah
dengan mereka, karena LD sendiri belum memberi tahu kepada
keluarga sebab ketika keluarga mengetahui jika LD bekerja
sebagai PSK, maka dia akan mendapatkan sanksi sosial dari
keluarga. Subjek sendiri tetap siap untuk menerima konsekuensi
bila pekerjaan diketahui oleh keluarganya, maupun masyarakat
sekitar di mana daerah yang dia tempati saat ini. Hal ini sudah
jelas bahwa tindakan dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan
pada hal sekularitas dan termasuk tindakan profan. Di mana
pelaku mengatahui hal-hal terlarang dari ajaran agama namun
tetap berlaku perlawanan dengan norma yang ada.
Kehidupan keagamaan LD sendiri memang tidak terlalu
mendalam dengan kegiatan yang bersifat spiritualitas. Pada
dasarnya semua tindakan yang dilakukan, subjek benar-
benar sadar diri jika hal-hal tersebut memang buruk, tetapi

72
Perspektif Pekerja Seks Komersial (PSK)
Terhadap Kehidupan Keagamaan

karena faktor ekonomi, subjek terpaksa melakukan pekerjaan


sebagai PSK. Keluarga mereka termasuk LD memang memiliki
kepercayaan dan mereka harus menjalankan ibadah atau ritual
keagamaan mereka sebagai kewajiban pada Tuhan. Namun,
hal-hal profan atau sekularitas yang mendorong LD harus
terpaksa terjun bebas sebagai PSK. Ia juga berjualan jus untuk
mengurangi tindakannya.
Berdasarkan perspektifnya, LD melihat kehidupan
keagamaan orang lain termasuk dirinya hanyalah beragama di
KTP saja. Artinya, bahwa tidak semua orang dapat menjalankan
ibadahnya dengan benar sesuai kitab Suci. Lalu, LD melihat
lingkungan di daerahnya yang mayoritas beragama, memang
pada dasarnya mereka memiliki agama. Akan tetapi, semua
tindakan luarnya tersebut tidak menunjukkan bahwa mereka
memiliki agama dan menerapkan nilai-nilai keagamaan itu
sendiri. Jadi, di lingkungan LD sebagian orang memiliki dua
muka, yang berarti bahwa saat mereka berhadapan dengan
ritual keagamaan mereka terlihat sebagai orang yang agamis,
tetapi terlepas dari semua itu mereka benar-benar orang yang
tidak taat beragama sama sekali. Maka, LD menyebut mereka
sebagai orang-orang munafik yang beragama.

Temuan dan Pembahasan

Merefleksikan teori rasionalitas Marx Weber, rasionalitas erat


kaitan dengan berbagai pertimbangan (consideration) yang
cermat dan teliti, dengan bijaksana untuk melakukan sesuatu
oleh seseorang. Pertimbangan ini sendiri tentu saja tidak
sekadar memutuskan begitu saja dengan serampangan, tetapi
lebih kepada konsekuensi untung dan rugi pada tindakan
tersebut. Hal tersebut didukung dari pengalaman subjek

73
Rizal Ramadhan Ivandi

maupun dari pengaruh eksternal. Pengalaman subjek ialah


ketika mereka mempertimbangkan suatu masalah berdasarkan
pengalaman-pengalaman merugikan, mereka cenderung
menghindar. Kemudian, pada pengalaman yang menguntungkan
mereka akan tingkatkan yang tentu dengan pertimbangan-
pertimbangan yang kuat. Pengaruh eksternal berkaitan dengan
subjek yang meminta pertimbangan dengan orang lain agar
tindakannya tidak merugikan diri. Terbukti bahwa PSK LD
dipengaruhi oleh seorang teman sebagai pertimbangannya.
Sementara pertimbangan sebagai rasionalitas, instrumennya
merupakan PSK ini sendiri yang memutuskan untuk terjun ke
dalam masyarakat yang dikatakan sebagai PSK dimana mereka
mendapatkan uang dengan konfromi hal-hal yang terlarang.
Hubungan dengan keluarga sebenarnya memiliki
penyimpangan terhadap norma dan nilai yang berlaku baik
dalam keluarga maupun masyarakat di sekitanya. Analisis
sekularisme, tindakan manusia dengan orientasi religius akan
berada di ranah sakral dan terpisah dari kegiatan sehari-hari
yang bersifat profan. Semakin banyak waktu yang digunakan
untuk aktivitas yang sifatnya sakral, semakin sedikit waktu yang
digunakan untuk aktivitas profan. Ada dual hal istilah ‘sakral’
dan ‘profan’ itu melekat pada setiap umat beragama dan itu tolak
ukur pada kehidupana seseorang. Jadi, LD sudah memilih tujuan
dan arah karena posisi ia sudah masuk pada pilihan yang tidak
suci lagi. Karena tindakan tersebut benar-benar membuktikan
bahwa dia lebih memilih untuk hal sekularitas ketimbang sakral
yang berhubungan dengan kesucian.
Ada pengakuan kalau kegiatan keagamaan hanyalah
rutinitas semata. Hal ini LD melihat masyarakat di lingkungan
sekitarnya, orang-orang beragama namun semua tindakan

74
Perspektif Pekerja Seks Komersial (PSK)
Terhadap Kehidupan Keagamaan

benar-benar menghina keagamaan mereka. LD sebut mereka


sebagai orang-orang yang memiliki wajah dua, di saat mereka
beribadah mereka sepertinya orang-orang beragama, namun
terlepas semua ritual atau aktivitas itu mereka adalah orang
tidak beragama dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dalam
kehidupan sehari-hari, mengekspresikan nilai-nilai yang
mereka anut, salah satunya mereka mereflesikan nilai-nilai
profan. Maka setiap kehidupan berhadapkan dengan dua pilihan
tersebut. Entah itu memilih pada hal-hal suci (sakral) dan anti-
suci (profan).
Uang ialah sarana untuk bertransaksi dalam urusan bisnis
atau pekerjaan. Setiap orang berhak mendapatkan uang demi
mempertahankan kehidupanya (Dariyo, 2012b). Awalnya,
LD berprofesi sebagai penjaga toko dan ia sendiri lulus SMK.
Ketika dikeluarkan dari pekerjaannya dia berangapan dirinya
tidak memiliki kemampuan untuk tetap bekerja dengan toko
tersebut. Saat dirinya dikeluarkan dari toko itu, otomatis
pendapatannya berhenti seketika itu juga. Kemudian LD sendiri
mempunyai teman namun berprofesi sebagai PSK, ketika LD
sedang menganggur dan tidak bekerja di tempat lain. Di saat
itulah temannya mengajak untuk bergambung status sebagai
PSK pada umur 28 tahun selama PSK empat tahun, keputusan
yang ia putuskan tanpa sepengetahuan anggota keluarga yang
tentu saja anggota keluarganya tidak mengizinkannya. LD
merupakan orang dari latar belakang keluarga yang butuh
bantuan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, ia
bekerja sebagai PSK karena memang sebelumnya bekerja di
toko dengan digaji lumayan, sehingga saat menganggur perlu
uang untuk menyambung kebutuhan hidupnya.

75
Rizal Ramadhan Ivandi

Agama dan Kehidupan PSK

Pekerjaan seks komersial juga manusia. Mereka bagian dari


masyarakat, ketika manusia lain membutuhkan kehidupan
dunia profan-materil dan juga dunia sakral kerohanian,
sesungguhnya juga sama (Nawir 2018:28). “Agama menurut
mbak LD ya formalitas hanya punya-punyaan seperti di KTP.”
LD sebagai berprofesi PSK memandang agama merupakan
formalitas bagi semua orang beragama, perilaku dirinya
mengukur pada orang-orang beragama jikalau mereka adalah
orang-orang munafik, pada kenyataannya mereka berdoa dan
melakukan banyak hal demi keyakinan mereka tetapi pada
dasarnya semua ritual keagamaan itu hanya kewajiban. Bagi LD,
seharusnya orang beragama harus hidup sesuai perintah yang
terkandung dialam kitab sucinya. Ia sendiri beragama islam
sehingga dia hanya menilai orang-orang beragama Muslim
termasuk kegiatan keagamaannya. Pertama kali, melakukan hal
ini takut melakukan hal itu karena melepas kaperawanannya,
dan juga merasa berdosa dalam melakukan pekerjaan ini bukan
hanya pertama kali hingga sekarang pun tetap merasa berdosa,
tapi karena memang tuntutan ekonomi yang harus tetap
berjalan membuatnya harus tetap melakukan pekerjaan ini.
Sekalipun sudut pandang agama menertibkan perilaku setiap
orang yang beragama, namun dalam hal ini, LD terus melakukan
pekerjaan terlarang menurut moral agama.
Kegiatan terus berlangsung sementara ada kesadaraan
tetap mengingat Tuhan walaupun sebenarnya dia malu dengan
pekerjaan ini karena sudah melanggar laranganNya yang
menurutnya sudah fatal sehingga jarang juga meminta ke
Tuhan. Sesungguhnya, perilaku ia sendiri tidak sesuai dengan

76
Perspektif Pekerja Seks Komersial (PSK)
Terhadap Kehidupan Keagamaan

paham kehidupan agama, ketika terjun di ranah PSK ia sadar


bahwa mempercayai pada Tuhan tidak memberikan semua
kebutuhan baik bagi dirinya maupun keluarga, khususnya dalam
memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. Kesadaran akan nilai-
nilai agama hanyalah sebuah alarm di mana setiap tindakan
dirinya maupun orang lain nantinya akan diingatkan bila ada
penyimpangan jalan-jalan tidak sesuai ajaran prinsip agama.
Prinsip agama yang telah tertanam di dalam kesadaran pikiran
dapat mengingakatkannya menganai hal-hal “baik dan buruk”.
Selain daripada itu, ia sendiri menjadi seorang pemberontak
perintah Tuhan, sebab orang-orang tetap loyalitas pada
keyakinan tetapi kesetiaan kita pada hal itu tidak memberikan
keuntungan. Ada dua kebutuhan manusia yaitu kebutuhan
rohani dan jasmani, bila kekurangan kebutuhan jasmani saja
maka tidak ada keseimbangan antara jasmani dan rohani
kedunya-duanya elemen penting dalam kehidupan beragama
terutama bagi PSK maupun semau orang, jikalau tidak maka
banyak tindakan-tindakan yang konfrontasi pada kehendak
Tuhan dan manusia lebih mengutamakan kehendak diri, yang
tentu bertolak belakang dengan kehendak Tuhan.
Keluarga LD tidak memiliki kedekatan dalam kegiatan
keagamaan mereka. Hal itu ia sendiri yang mengaku bahwa
dia dengan keluarganya jauh dari kehidupan keagamaan
mereka, tetapi mereka tetap tidak melakukan hal-hal buruk
sejauh mereka mengetahui perintah-perintah Tuhan. Mereka
tetap merasa baik-baik saja akan tindakan mereka karena
ketidaktahuan akan kehendak Tuhan, tetapi persoalannya
mereka akan ketakutan dan merasa sangat kotor ketika tindakan
mereka tidak sesuai kehendak Tuhan. Bahkan melakukan
pada hari-hari besar seperti Idul Fitri tidak dikurangi karena

77
Rizal Ramadhan Ivandi

biasanya pada bulan puasa banyak razia-razia yang dilakukan


pihak berwajib, namun mereka tetap menerima panggilan
secara terselubung sehingga akan terhindari dari razia sebab
ini berhubungan dengan kebutuhan sehari-hari, maka hari-hari
besar seperti Idul Fitri tidak berhenti berkerja sebagai PSK.
Menambahkan pula bahwa pekerjaan sebagai PSK tidak
diketahaui keluarga sendiri selain teman dekat yang awalnya
membimbing dia terjun ke ranah PSK. Konsekuensinya, LD
siap menerima resiko bila pekerjaannya itu diketahui oleh
keluarga sendiri maupun masyarakat khususnya di lingkungan
kehidupannya. Memang masyarakat sekitar berangapan bahwa
LD menjalini kehidupan seperti pada umumnya, yaitu tidak
melakukan pelanggaran-pelanggaran moral agama atau nilai-
nilai bahkan norma hukum dalam masyarakat. “Karena ini
memang prostitusi berbungkus karaoke sehingga orang tuanya
tidak tahu” secara privatisasi memang sulit untuk dideteksi oleh
keluarga maupun masyarakat sekitarnya karena pekerjaannya
itu sangat rahasia yang tahu antara mereka yang berprofesi
sebagai PSK, selain itu tidak ada yang tahu kecuali ketahuan
membuka praktik-pratik prostitusi tersebut.
Pada aktivitas yang lain, LD pun terbebani dengan semua
tindakan sebagai seorang PSK. Awalnya memang takut sebab
untuk menyerahkan keperawannya kepada seorang lelaki
rasanya terlalu berat bagi LD, namun lambat laun sudah menjadi
biasa untuk melakukan hal-hal tersebut. Di samping itu, juga dia
menjual jus untuk mengurangi aktivitasnya, tetapi tetap sama
saja tidak memberikan keuntungan besar untuk kebutuhan
dirinya dengan kebutuhan primer keluarganya di rumah maka
dia tetap menjalani profesi sebagai orang PSK.

78
Perspektif Pekerja Seks Komersial (PSK)
Terhadap Kehidupan Keagamaan

Kesimpulan

Pemaparan di atas ini dengan jelas menunjukkan bagaimana


aktivitas keseharian sebagai seorang PSK. Yang melatarbelakangi
seseorang menjadi PSK, salah satunya ekonomi. Pada masyarakat
yang hidup di daerah kota, mereka harus bekerja untuk
tetap hidup dalam rangka mendapat uang untuk memenuhi
kebutuhan primer baik untuk PSK itu sendiri maupun keluarga.
Hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan orang tua. Satu hal
yang berpengaruh bagi dia merupakan lingkungan yang buruk,
terbukti untuk menjadi orang PSK diajak oleh teman sendiri
dan dia melihat hal itu sebagai solusi untuk mengatasi masalah
perkonomian dia setelah dikeluarkan sebagai penjaga toko.
Bagi PSK, agama hanya nomor dua, salah satunya dia
melihat orang beragama memiliki dua wajah. Kondisi keluarga
PSK dalam kehidupan keagamaan tidak terlalu serius untuk
menjalankan ibadah atau ritual keagamaan bahkan mereka
melakukannya sekali-kali bila ada waktu untuk itu. Maka dari
perspektif agama, mereka orang-orang tidak serius dengan
ajaran agama dan mereka menjadikan agama hanya sebagai
hal-hal kewajiban untuk dilakukan tetapi bukan untuk menaati.
PSK sendiri menjual Jus untuk pekerjaan sampingan dan untuk
pekerjaan utama tetap sebagai seorang PSK. Ia sendiri sadar
kalau tindakan itu melanggar norma tetapi karena kebutuhan
dia terus melanjutkan hal tersebut selama ada keuntungan yang
bisa dapatkan.
Ada dua elemen penting dan itu harus ada keseimbangan
antara jasmani dengan rohani. Kedunya-duanya saling
mendukung dalam kehidupan beragama, ketika seseorang
dikatakan keagamaan berjalan baik kalau kedunya seimbang,
tetapi ketika terjadi ketidakseimbangan maka jelas ada banyak

79
Rizal Ramadhan Ivandi

pemyimpangan norma dan nilai-nilai dalam kehidupan sosial.


Seseorang bisa saja kehidupan keagamaan itu baik kalau dipenuhi
hal-hal kebutuhan jasmani, belum tentu mereka yang makmur
secara ekonomi memiliki kehidupan keagamaan yang baik juga.
Persoalan yang dialami oleh LD dimana kehidupan keagamaan
itu sudah baik sejak lahir hingga tamat sekolah SMK. Kehidupan
berikutnya mulai terjadi ketidakseimbangan yang menyebabkan
dia harus terjun menjalani profesi yang terlarang. Dan tindakan
seperti ini digolongkan sebagai rasionalitas instrumen dimana
setiap orang melakukan semua tindakan interaksi sosial dengan
memiliki rasionalitas yang menguntungkan bagi diri mereka.
Oleh karena itu, tindakan LD didasarkan atas pertimbangan
pada faktor ekonomi yang dihadapinya.

Daftar Pustaka

D. P. B. Susetyo And Y. Sudiantara, “Konsep Diri Pada Pekerja


Seks Komersial,” Psikodimensia, Vol. 14, No. 2, Pp. 27–40,
2015, Doi: 10.24167/Psiko.V14i2.898.
F. Destrianti And Y. Harnani, “Studi Kualitatif Pekerja Seks
Komersial (Psk) Di Daerah Jondul Kota Pekanbaru Tahun
2016,” J. Endur., Vol. 3, No. 2, P. 302, 2018, Doi: 10.22216/
Jen.V3i2.1021.
A. Muhlis And N. Norkholis, “Analisis Tindakan Sosial Max Weber
Dalam Tradisi Pembacaan Kitab Mukhtashar Al-Bukhari
(Studi Living Hadis),” J. Living Hadis, Vol. 1, No. 2, P. 242,
2016, Doi:10.14421/Livinghadis.2016.1121.
Ms. Ac. Agus Mfud Fauzi, “Buku Ajar Sosiologi Agama,” No. May,
P. 42, 2011.
H. Septiono, F. A. Islam, And U. Muhammadiyah, “Komersial ( Psk
) Di Kota Yogyakarta ( Studi Kasus Lokalisasi Sosrowijayan

80
Perspektif Pekerja Seks Komersial (PSK)
Terhadap Kehidupan Keagamaan

Kulon Rw 03 , Sosromendurunan , Gedong Tengen , Kota


Yogyakarta ) The Religious Understanding Of Prostitutes
In Yogyakarta ( A Case Study Of The Prostitution Spot In
Sosrowijayan K,” No. 1.
A. Syafa’atin, “Studi Keagamaan Bagi Psk Perempuan Di Desa
Pancur Bojonegoro,” Skripsi, Vol. 10, No. 2, Pp. 1–15, 2018.
Herdiana, “Al - Balgh,” Dakwa Dan Komun., Vol. 53, No. 9, Pp.
1689–1699, 2013, Doi: 10.1017/Cbo9781107415324.004.
S. Hidayatulloh, “Pemahaman Agama Islam Pada Pekerja,”
Skripsi, 2008.
S. Mukramin & M.Nawir, “kehidupan prostitusi dan agama”,
(Studi Fenomenologi ekerja Seks Komersial di Tanjung Bira
Kab. Bulukumba).,Vol.6.No.1, Pp. 28, 2018.
A.Wahyudi “Ketika Membunuh Menjadi Sebuah Penyelesaian.
Sebuah tinjauan fenomenologi mengenai tindakan
seseorang melakukan pembunuhan”, Vol. 2. No.1, Pp.13-30,
2018.

81
7

Mencari Relasi Melalui Agama


(Sebuah Analisis Sosiologi terhadap Fenomena
Radikalisme Keagamaan di Indonesia)

Oleh: Kevin Nobel Kurniawan

Radikalisme keagamaan sudah bukan lagi sebuah rahasia


atau teori konspirasi yang tidak dapat dibuktikan atau
menjadi sebuah gosip yang tersembunyi di tengah masyarakat
Indonesia. Secara konkrit, kenyataan sosial pada hari ini sudah
mulai menunjukkan bahwa terjadinya gerakan politik-religius
dalam melawan, atau lebih tepatnya, menguasai ikatan integrasi
masyarakat kita. Setiap hari, ketika kita membuka berita
atau trend yang muncul dalam media sosial seperti twitter,
instagram, maupun dalam grup whatsapp kerja dan keluarga,
atmosfer peperangan sesama saudara Indonesia atas nama
agama maupun nasionalisme menjadi semakin kental. Setiap
saat, kita menaiki kendaraan menuju kerja, bayangan bahwa
akan ada “si fanatik” yang duduk bersama kita menjadi hal
yang sulit dihindari. Sekarang, itu semua sudah menjadi sebuah
kebiasaan baru, untuk bertemu dengan individu-individu yang
berpandangan radikal maupun untuk membaca teks tentang
radikalisme dalam ponsel yang menjadi “jendela kecil dunia kita
bersama.”
Jadi, apa yang sebetulnya sedang terjadi di dunia Indonesia?
Mengapa tren radikalisme keagamaan menjadi semakin nyata

82
Mencari Relasi Melalui Agama

pada saat ini? Dan apa yang dapat dilakukan sebagai manusia
dalam menanggapi kehidupan yang sudah semakin dinamis
seperti ini, khususnya dalam rangka membangun integrasi
sosial? Itulah beberapa pertanyaan yang akan saya coba untuk
membahas di dalam tulisan ini. Mengingat bahwa latar belakang
saya adalah sosiologi, serta didukung dengan beberapa
pendekatan multidisipliner lainnya seperti filsafat, psikologi,
dan lain sebagainya, saya akan mencoba untuk menjawab
fenomena radikalisme keagamaan secara lebih komprehensif.
Pertama-tama, kita perlu membedakan terlebih dahulu apa
yang dimaksud dengan “konservatisme agama” dan “radikalisme
agama”. Konservatisme agama adalah sikap yang cenderung
kurang liberal, dan relatif lebih dekat dengan tradisi keagamaan
yang dimiliki oleh seorang individu. Radikalisme agama adalah
sikap yang tidak hanya konservatif, namun memiliki sebuah
pandangan “us and them”, sebuah asumsi bahwa “kelompok saya
adalah kelompok yang lebih superior”, khususnya di dalam aspek
identitas keagamaan, sehingga dapat memunculkan potensi
segregasi sosial, aksi verbal, maupun tindakan fisik yang agresif
dan mengancam kehadiran kelompok yang lain. Dalam tulisan
ini, yang ingin saya angkat adalah radikalisme agama. Saya kira
di tengah masyarakat Indonesia yang multikultural, bukanlah
sesuatu hal yang sensitif untuk melihat konservatisme di dalam
pandangan masing-masing individu maupun kelompok sosial.
Setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih dan memeluk
sebuah kepercayaan tertentu. Akan tetapi, permasalahan terletak
ketika suatu kelompok menganggap bahwa kelompoknya yang
paling superior sehingga memiliki “hak” untuk merendahkan
dan mendiskriminasi yang lain.

83
Kevin Nobel Kurniawan

Radikalisme agama di Indonesia belakangan ini baru


muncul ketika terjadinya Aksi Damai yang dipimpin oleh
kelompok keagamaan untuk melakukan protes terhadap
Gubernur Jakarta yang menyandang status “minoritas dobel”.
Mungkin saja, ketika kita membicarakan hal tersebut dalam
aspek hukum, bukanlah hal yang lumrah bagi seorang gubernur
untuk membicarakan sebuah topik keagamaan di depan
publik. Akan tetapi, ketika protes terhadap gubernur berlanjut
terus sampai kepada gerakan anti-presiden, anti-pemerintah,
dan upaya untuk membangun sebuah negara yang memiliki
kerangka keagamaan tertentu, itu bukan lagi sebuah balasan
yang logis, melainkan sebuah gerakan yang bersifat ideologis.
Bagi banyak orang, gerakan sosial seperti itu adalah hal yang
diskriminatif, primodialis, dan radikal. Namun, kita seringkali
lupa untuk menggali kembali sejarah Indonesia akan akar dan
bibit dari radikalisme agama.
Saya kira ini berasal dari narasi ideologi yang muncul sejak
kemerdekaan Indonesia. Saya tidak memungkiri bahwa Sukarno
adalah seorang bapak ideologi Pancasila bagi negeri tercinta,
memang beliau adalah sosok yang karismatik serta memiliki
cara pandang yang tajam dalam melihat tiga narasi Indonesia:
Nasionalis, Agama, Petani-Buruh (dulunya disebut “komunis”).
Kelompok Nasionalis diwakili oleh keinginan untuk menjaga
persatuan nasional secara legal dan politik. Kelompok Agama
diwakili oleh keinginan untuk membangun semangat spiritual
dalam melawan kolonialisme dari kelompok kafir. Dan Petani-
Buruh yang dulunya dianggap sebagai kelompok Komunis adalah
gerakan anti-kapitalisme yang melawan imperialisme Barat.
Sampai hari ini, dengan ragam bentuk dan warna, tiga narasi
tersebut terus berlanjut dalam mewarnai kehidupan sosial,

84
Mencari Relasi Melalui Agama

agama, dan cara berpolitik. Ketiga kelompok ini hanya mungkin


bersatu jika terdapat “musuh bersama” dari luar, dan ketika
Belanda sudah tidak lagi menjajah, ketiga kelompok tersebut
saling bertarung untuk merebut kekuasaan di Indonesia.
Orde Lama diwarnai oleh suara anti-asing, anti-kapitalisme,
dan anti-nonagama. Lalu dengan adanya ombak perang dingin,
Orde Baru diawali dengan suara anti-komunis, dan dilanjutkan
dengan suara anti- gama, dan anti-keragaman (diskriminasi
terhadap ras Tionghoa, dan ras kelompok Indonesia non-Jawa).
Sekarang, di masa Orde Reformasi, kita menjumpai tegangan
“tali tambang” antara kelompok nasionalis dan agama. Bagi
kelompok nasionalis, gerakan agama hanyalah sebuah protes,
sebuah sikap separatif, primodialis, dan sebuah kelompok yang
akan merusak persatuan masyarakat Indonesia. Sebaliknya,
bagi kelompok agama, Orde Reformasi hanyalah bentuk
ultranasionalisme, sebuah “Perpanjangan Orde Baru”, yang
mencegah mereka untuk mencapai keinginannya yang sejati:
menegakkan Indonesia sebagai negara agama. Nasionalisme
yang kurang menguntungkan kelompok tersebut hanyalah
“Komunis yang Baru”, yaitu gerakan yang anti-agama, atau
bahkan, anti-nasionalisme religius.
Saya tidak membenarkan nasionalisme yang menggunakan
militer, atau kekuasaan “Ultranasionalisme” yang dirancang demi
membangun “persatuan Indonesia”. Ketika Pancasila menjadi
sebuah instrumen politik, maka dignitas dari sila-silanya akan
terlecehkan. Sebuah persatuan yang sejatinya dibangun dengan
makna ketuhanan (kebaikan) dan kemanusiaan (hormat dan
relasi) direduksi menjadi sebuah pemaksaan, penyeragaman,
dan ketakutan. Sebaliknya, saya juga tidak mendukung sebuah
nasionalisme yang membangun sebuah paham supra-religio-

85
Kevin Nobel Kurniawan

nasionalisme, yang secara konseptual, dapat diartikan sebuah


radikalisme yang menjelma menjadi gerakan politik. Itu
juga tidak mencerminkan persatuan yang sejati. Persatuan
yang semu seperti itu hanya dibangun dengan rasa dendam,
ketakutan, victim blaming, self-pity, sekaligus dengan sikap
superior. Ultra-nasionalisme yang sekuler akan berujung pada
pemahaman rasis yang dimiliki oleh Nazi Jerman sebagai negara
modern, primodialisme atau radikalisme agama akan berujung
pada “penjajahan Jepang” dengan mengganti paham ras dengan
kepercayaan.
Dalam hal radikalisme agama, adanya sebuah
kecenderungan di mana “Tuhan” atau ketuhanan menjadi pion
ideologi politik, kemanusiaan hanya tertuju pada kelompok
ingroup, dan persatuan bukanlah sesuatu yang dibangun secara
relasional, tetapi sentimental. Dalam hal ini, kita perlu belajar
“seimbang” dan melihat jalan tengah dengan sudut pandang
yang tajam, nasionalisme maupun religiusisme saja tidak akan
menyelesaikan masalah. Radikalisme sebagai bentuk yang
ekstrim adalah gerakan sosial yang reaktif tanpa tujuan bersama,
balasan terhadap radikalisme dengan cara yang ekstrim juga
tidak menghasilkan buah yang lebih baik.
Dengan meminjam dua pemikir sosiologi, Zygmunt
Bauman dan Erich Fromm, yang sering membicarakan tentang
kejahatan manusia yang muncul di Nazi Jerman, kita dapat
menarik beberapa poin penting dalam menganalisis kehidupan
masyarakat Indonesia pada saat ini. Pertama-tama, kita dapat
melihat bahwa konsep moralitas, kebaikan, atau yang dikenal
juga sebagai Ketuhanan, sudah bukan lagi menjadi kepercayaan
bagi sekelompok masyarakat Indonesia. Banyak yang mengaku
bertuhan, percaya Tuhan, memegang agama secara radikal,

86
Mencari Relasi Melalui Agama

tetapi sejatinya tidak mengakui akan makna ketuhanan yang


sejati, sebab ketuhanan yang sejati (tauhid) akan menghasilkan
sikap yang mengasihi sesama umat manusia (Rahmatul Lil
Alimin). Agama sering menjadi sebuah topeng yang menutupi
makna ketuhanan yang relasional, di mana individu digerakan
sebagai sebuah pion politik untuk memajukan kepentingan-
kepentingan pragmatis.
Tanpa adanya ketuhanan, maka secara tidak langsung,
kita akan kehilangan nafas kemanusiaan. Manusia bukanlah
objek yang boleh dimanipulasi, baik secara ideologis maupun
religius, melainkan adalah makhluk yang bermartabat yang
layak mendapatkan hormat, pengenalan, dan bantuan. Dengan
kata lain, radikalisme agama sebetulnya sangatlah miskin
akan makna ketuhanan dan kemanusiaan. Kelompok yang
mementingkan kepentingan politik pragmatis, kekuasaan global
yang dioles dengan retorika agama, dan yang tidak mampu
untuk memperhatikan kelompok yang berbeda dengannya, itu
hanya menunjukkan bagaimana sebetulnya kelompok ini telah
kehilangan makna agama dan kemanusiaan yang sejati. Masalah
kemiskinan, suara-suara yang bergemuruh di tengah arena
politik, dan cara berpikir self-pity (mengasihani diri) sekaligus
victim-blaming (menyalahkan orang lain, khususnya the other)
menjadi asupan “nutrisi” yang menguatkan gerakan yang
diwarnai dengan keinginan untuk menjadi kelompok superior,
simbol mesianis, dan “juru selamat masyarakat”.
Agama memang menjadi sebuah “payung pelindung” bagi
individu yang mengalami keterpurukan, khususnya diskriminasi
agama yang terjadi pada masa Orde Baru. Seperti yang dijelaskan
oleh Fromm, sebagainya manusia membutuhkan kasih sayang
dari sosok ibu, agama dan ras sering menjadi “sosok ibu” yang

87
Kevin Nobel Kurniawan

melindungi. Kita memuja sang ibu, sosok karismatik yang


muncul dalam kelompok agama, mencintai keagungan dan
kekuatan magisnya, tetapi itu hanya menunjukkan betapa
dependen seseorang terhadap sebuah identitas yang melekat
padanya sebagai sebuah atribut. Padahal, agama seharusnya
mendorong manusia untuk mengenal diri sebagai makhluk
yang independen dan interdependen, sebagai individu yang
dapat saling mengenal dan bergotong-royong. Itulah sebabnya
bila kita mempelajari cara berpikir “infantri” yang selalu
berjuang untuk survival pada kelompok radikal keagamaan,
kita akan menemukan betapa besarnya insecurity, ketakutan,
rasa sendirian, dan ketidakmampuan untuk melihat sesuatu di
luar diri sendiri. Kecenderungan narsistik yang memunculkan
sikap superior ini adalah hal yang inheren dengan lemahnya
peran komunitas yang membangun relasi secara keagamaan,
sebab agama seperti itu bukan lagi menjadi inspirasi dan sarana
komunal bagi sesama, melainkan hanya menjadi instrumen
politis yang menguntungkan sekelompok individu tertentu.
Rasa sendirian yang muncul di tengah kelompok radikal
adalah hal yang sangat nyata. Adalah sebuah kesalahpahaman
bahwa hanya orang-orang yang taat beribadah atau mereka
yang sangat rajin beribadah yang akan menjadi kelompok
radikal. Bukan! Selama kita adalah manusia yang mempunyai
kecenderungan untuk merasa takut dan sendirian, kita semua
mempunyai potensi oleh melakukan hal yang serupa. Bauman
menjelaskan bahwa perancang sistem pembunuhan massal
Holocaust adalah manusia biasa. Eichmann adalah ayah dari
beberapa anak dan suami yang setia kepada istrinya. Setelah
diuji oleh enam psikolog internasional, tidak ditemukan sebuah
tanda yang mencurigakan bahwa dia akan melakukan hal yang

88
Mencari Relasi Melalui Agama

jahat. Dia bukan psikopat, sosiopat, atau individu yang mesum.


Bauman menjelaskan “Seandainya kejahatan yang terjadi di
tengah dunia disebabkan oleh monster, maka dunia akan lebih
aman, sebab para monster seperti itu dapat dideteksi dengan
alat-alat psikologi dan sosial. Akan tetapi, kejahatan yang besar
justru disebabkan oleh manusia biasa seperti engkau dan saya.”
Orang yang berpandangan radikal adalah manusia
biasa yang kebetulan, di dalam kondisi sosial tertentu, telah
menemukan “payung pelindung”, “sosok ibu”, atau “kelompok
juru selamat” yang mendukung insting untuk bertahan hidup.
Tentunya, adalah sesuatu hal yang sulit untuk disadari “apakah
kita sudah menjadi orang radikal?” sebab pandangan seorang
narsistik memang tidak dapat dikritisi maupun disadari dari
luar. Akan tetapi, jika manusia yang berpandangan radikal
masih adalah seorang manusia, maka pendekatan yang lebih
tepat bukanlah untuk mengusir, mendiskriminasi mereka dari
kehidupan bermasyarakat. Seorang teroris sudah merencanakan
kejahatan untuk merusak maupun menghancurkan secara fisik
untuk meruntuhkan kesatuan nasional. Akan tetapi, seseorang
yang berpandangan cenderung radikal masih memiliki
kesempatan untuk meninggalkan kecintaannya akan sentralitas
kompleks superioritas, kecintaan akan kehancuran (nekrofilia)
dan merendahkan kelompok lain (sub-humanisasi).
Mereka adalah kelompok yang membutuhkan pemahaman
dan empati dari masyarakat lain. Mereka akan merasa terancam
jika dibuang, itulah sebabnya dengan begitu kuat dan lekat mereka
akan secara radikal berpegang pada organisasi masyarakat yang
menjanjikan “kesejahteraan”. Kerentanan merekalah yang perlu
menjadi fokus pembicaraan. Sekalipun demikian, hal itu tidak
meniadakan fakta bahwa kita harus berlaku adil dalam menjaga

89
Kevin Nobel Kurniawan

hukum dan keamanan. Sebab baik tindakan yang bersifat empati


kepada mereka ataupun yang bersifat retributif secara hukum
sama-sama bertujuan untuk menjaga makna kemanusiaan kita
semua. Bukanlah hal yang benar untuk menganggap mereka
sebagai subhuman sebagaimana kelompok minoritas agama
juga tidak ingin dipandang seperti itu. Yang perlu dibangun
adalah sikap masyarakat yang tidak mentolerir sikap subhuman
dari kelompok radikal yang merendahkan kelompok outgroup,
sekaligus mengundang mereka untuk berpartisipasi dalam
komunitas masyarakat yang lebih luas, dan tidak terjebak dalam
hiperrelita organisasi atau gerakan yang membangun narasi
“kitalah kelompok superior”. Kita semua adalah sama-sama
manusia, yang seharusnya hidup dalam keadilan yang beradab,
hanya demikian akan tercapai sebuah persatuan Indonesia yang
otentik.
Saya percaya bahwa setiap masyarakat pasti mempunyai
kelompok radikal, konservatif, liberal, dan lainnya. Spektrum
politik yang diwarnai dengan polesan agama maupun ideologi
lainnya juga pasti ada. Yang menjadi persoalan adalah
bagaimana kita menanggapi hal tersebut dan mencapai sebuah
keseimpangan, jalan tengah, dan persatuan yang manusiawi.
Selama kita mengajarkan makna ketuhanan (kebaikan) dan
kemanusiaan yang sejati, maka secara tidak langsung, masyarakat
akan meninggalkan yang bersifat ekstrim, entah itu yang terletak
di sebelah kiri (liberalisme-individualistis) maupun yang ada
di sebelah kanan (tradisionalisme-komunalistik). Setiap orang
menginginkan kebaikan, dan orang yang tidak mampu mengejar
standar kebaikan yang tertinggi, itu hanya disebabkan karena
dia belum melihat nilai-nilai yang indah tersebut. Individu yang
sudah mengenal pantai yang berpasir putih tidak akan terus

90
Mencari Relasi Melalui Agama

bersifat radikal untuk mempertahankan rumahnya di pinggir


lumpur.
Pancasila adalah sebuah ideologi negara dan juga nilai-
nilai masyarakat Indonesia. Sebelum terbentuknya Hak Asasi
Manusia (HAM) pada tahun 1948, Pancasila sudah mengakui
akan makna kemanusiaan. Ketuhanan atau konsep kebaikan
jika sungguh-sungguh menjadi acuan transenden dan moral
bangsa Indonesia, maka itu akan menjadi kekuatan luar biasa
untuk menggiring negeri ini dalam menciptakan kemanusiaan
dan persatuan yang sejati. Individu yang radikal, sebetulnya
dia sedang memperjuangkan hal yang terlalu kecil dalam
kehidupannya: sebuah mimpi yang menjadikan dirinya superior
secara narsistik dan cenderung melakukan objektivasi terhadap
diri dan yang lain. Akan tetapi, nilai Pancasila yang menjadi
perjuangan setiap agama dan kelompok sosial adalah nilai
kemanusiaan yang jauh lebih agung. Kita tidak menginginkan
superioritas, kita menginginkan persatuan yang relasional,
yang bergotong-royong, dan yang menghidupkan. Seandainya
masyarakat Indonesia sungguh-sungguh mengenal jati dirinya,
tentunya kita akan menyadari betapa indah, agung, manis, dan
mulia cita-cita yang sudah diberikan Tuhan dan bapak bangsa
kita.

Daftar Pustaka

Arendt, Hannah. 1963. Eichmann in Jerusalem: A Report on the


Banality of Evil. The Viking Press.
Bauman, Zygmunt. 1989. Modernity and the Holocaust. Polity
Press.
Bauman, Zygmunt. 1991. Modernity and Ambivalence. Polity
Press.

91
Kevin Nobel Kurniawan

Bauman, Zygmunt. 1993. Postmodern Ethics. Blackwell


Publishing.
Brown, Callum. 2009. The Death of Christian Britain:
Understanding Secularisation 1800-2000. Routledge.
Buber, Martin. 2004. Between Man and Man. Routledge. Buber,
Martin. 2010. I and Thou. Martino Publishing.
Fromm, Erich. 2010. The Heart of Man: Its Genius for Good and
Evil.
American Mental Health Foundation Inc.
Furnivall, John S. 1939. Netherlands India: A Study of Plural
Economy. Cambridge University Press.
Geertz, Clifford. 2013. Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi
dalam Kebudayaan Jawa. Komunitas Bambu.
Geertz, Clifford. 1968. Islam Observed: Religious Development in
Morocco and Indonesia. The University of Chicago Press.
Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures: Selected
Essays.
Basic Books, Inc., Publishers.
Hasan, Fuad. 2005. Kita dan Kami: The Basic Modes of
Togetherness.
Penerbit Winoka.
Hefner, Robert. 2018. Routledge Handbook of Contemporary
Indonesia.
Routledge.
Intan, Benyamin Fleming. 2006. “Public Religion” and the
Pancasila- Based State of Indonesia. Peter Lang Inc.,
International Academic Publishers.
Latif, Yudi. 2011. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas,

92
Mencari Relasi Melalui Agama

dan Aktualitas Pancasila. Penerbit PT Gramedia Pustaka


Utama, Jakarta.
Levinas, Emmanuel. 1998. Otherwise Than Being or Beyond
Essence.
Duquesne University Press.
Lubis, Mochtar. 1978. Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggung
Jawaban.
Yayasan Idayu.
Rickleffs, M.C. 208. Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008.
Serambi. Sartre, Jean Paul. 1944. No Exit and Three Other
Plays.
Suseno, Franz Magnis. 2007. Menalar Tuhan. Kanisius.
Wahid, Abdurrahman. 2006. Islamku, Islam Anda, Islam Kita:
Agama Masyarakat Negara Demokrasi. The Wahid Institute.
Wilson, James Q. 1993. The Moral Sense. Free Press Paperback.

93
8

Dinamika Keberagaman di Tengah


Jargon Kota Toleransi
(Akar Intoleransi dan Celah Radikalisme Agama yang
Destruktif di Yogyakarta)

Oleh: Muhammad Makro Maarif Sulaiman, S.Sos., M.A.

Pengantar

Indonesia merupakan negara multikultural yang terdiri dari


keragaman agama, budaya, etnis, ras maupun bahasa. Indonesia
memiliki 34 provinsi di mana setiap provinsi memiliki sisi
keragaman sosial yang patut untuk diulas dan seperti apa
implikasi dari keragaman sosial tersebut, salah satunya
adalah Yogyakarta yang memiliki sisi keistimewaan secara
tematik. Yogyakarta merupakan provinsi di Indonesia yang
memiliki sisi keistimewaan di mana Gubernur sebagai Kepala
Daerah dijabat sekaligus oleh seorang Sultan yang memiliki
kedudukan di lingkup Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau
Keraton Yogyakarta yang masih kuat dengan tradisi kerajaan.
Sisi keistimewaan tersebut didukung dengan bukti bahwa
Yogyakarta merupakan provinsi terkecil nomor dua di Indonesia
setelah Jakarta dengan luas wilayah 3.133,15 km2 (www.top10.
id). Sebagai provinsi terkecil nomor dua di Indonesia, ditambah
dengan adanya sultan dan budaya keraton sebagai ciri khas
yang kemudian dalam sistem pemerintahan daerah Yogyakarta
memiliki nama resmi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri
dari empat kabupaten dan satu kota madya, yakni Kabupaten
Bantul, Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Kulonprogo,

94
Dinamika Keberagaman di Tengah
Jargon Kota Toleransi

Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta.


Sisi lain dari keistimewaan Yogyakarta yang kemudian
menjadikannya sebagai daerah yang memiliki dinamika
keragaman sosial ialah julukan-julukan yang dilekatkan
pada Yogyakarta sebagai kota budaya, kota pelajar, dan kota
pariwisata. Julukan-julukan tersebut yang memberi warna
tersendiri pada identitas Yogyakarta. Identitas Yogyakarta
sebagai kota budaya, kota pelajar, dan kota pariwisata yang
memiliki keaslian budaya yang eksotik yang menarik minat
masyarakat dari berbagai daerah dan dari warga negara asing
untuk berkunjung dan belajar kebudayaan lokal, terdapat
kampus-kampus dan sekolah-sekolah yang menjadi rujukan
dan tempat studi para pelajar dan mahasiswa dari berbagai
wilayah di Indonesia bahkan dari luar negeri serta memiliki
tempat-tempat pariwisata yang menjadi tempat berkunjung
turis domestik maupun asing menjadikan Yogyakarta sebagai
daerah lintas pertemuan antar suku, ras, agama, bahasa dan
budaya dari berbagai daerah yang ada di hampir seluruh
provinsi yang ada di Indonesia. Dari lintas pertemuan tersebut
yang berpotensi dan menyebabkan terjadinya gesekan dan
konflik yang berujung pada sikap intoleransi terutama dalam
konteks keberagaman agama dan kepercayaan.
Pluralitas agama dan kepercayaan merupakan keniscayaan
bagi bangsa Indonesia yang multikultural, termasuk masyarakat
yang menempati dan berdomisili di Yogyakarta. Konsep
yang menjadi karakteristik idealis dari pluralitas agama
dan kepercayaan ialah saling menghormati dan menjaga
kerukunan hidup antarumat beragama yang kemudian dikenal
dengan sebutan toleransi. Yogyakarta yang memiliki identitas
multikultural yang di dalamya terdapat individu dan kelompok

95
Muhammad Makro Maarif Sulaiman, S.Sos., M.A.

dari beragam agama, suku, ras, bahasa dan budaya mendorong


aktor-aktor terutama pemerintah daerah menyiasati dengan
memproduksi jargon berupa kota toleransi khususnya untuk
menjaga dan mendukung usaha dalam memperkuat stabilitas
ekonomi, sosial, politik dan budaya. Namun, jargon kota toleransi
yang diharapkan menjaga kerukunan dan keharmonisan antar
pemeluk agama di Yogyakarta nyatanya tidak selalu seindah apa
yang diimajinasikan secara sosial.
Dari hasil survei yang dirilis oleh Setara Institute pada
bulan Desember 2018 mengenai skor Indeks Kota Toleran (IKT)
menyatakan bahwa Yogyakarta berada peringkat ke-41 atau
masuk zona oranye dalam tingkatan toleransi beragama, atau
bisa dikatakan mendekati zona merah, di mana zona merah
berarti tingkat toleransi yang relatif paling rendah dan memiliki
potensi yang paling tinggi untuk terjadinya tindakan intoleransi
dalam kehidupan beragama. Dapat dikatakan, berdasarkan
survei IKT yang dilaksanakan oleh Setara Institute di 94 kota
yang ada di seluruh Indonesia dari bulan November 2017
hingga bulan Oktober 2018, Yogyakarta pada lingkup perkotaan
memiliki keadaan yang mengkhawatirkan mengenai masalah
intoleransi bila tidak mendapatkan penanganan dan pembinaan
dari institusi yang terkait. Namun, meskipun survei yang
dilakukan berada dalam lingkup perkotaan karena kota dinilai
lebih heterogen, sekiranya bisa merepresentasikan mengenai
kehidupan toleransi umat beragama di lingkup kabupaten atau
wilayah yang lebih kecil karena tidak selalu permasalahan
intoleransi berada pada domain wilayah kota.
Masih berkaitan dengan permasalahan toleransi dan
intoleransi, pada bulan Desember 2019 Pusat Penelitian dan
Pengembangan Bimbingan Masyarakat Agama dan Layanan

96
Dinamika Keberagaman di Tengah
Jargon Kota Toleransi

Keagamaan pada Badan Penelitian dan Pengembangan dan


Pendidikan dan Pelatihan (Puslitbang Bimas Agama dan
Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat) Kementerian
Agama merilis hasil survei mengenai indeks Kerukunan Umat
Beragama (KUB). Mengutip dari tirto.id yang mengulas lebih
lengkap mengenai data atau hasil survei Puslitbang Kementerian
Agama tersebut, berdasarkan survei yang dilakukan pada bulan
Mei dan Juni 2019 di 136 kabupaten/kota yang tersebar di 34
provinsi dengan jumlah responden 13.600 orang menyatakan
bahwa Yogyakarta berada pada peringkat ke-14 sebagai
provinsi yang memiliki indeks Kerukunan Umat Beragama di
atas rata-rata nasional. Hasil survei tersebut bagi Yogyakarta
sedikit menggembirakan dan memberikan secercah harapan
untuk lebih baik lagi dalam membina keharmonisan kehidupan
antarumat beragama meskipun bayang-bayang intoleransi akan
selalu ada. Kembali pada data yang disajikan oleh Setara Institute
mengenai tingkatan toleransi dan intoleransi pada beberapa
wilayah di Indonesia, jika sebelumnya dibahas mengenai indeks
toleransi berdasarkan wilayah perkotaan, maka kali ini penulis
memaparkan mengenai data tingkatan intoleransi dari Setara
Institute.
Mengutip dari jpnn.com yang menyampaikan data tingkat
intoleransi daerah dari Setara Institute pada rentang 2014–
2019, disebutkan bahwa Yogyakarta menduduki peringkat
ke-6 sebagai wilayah dengan tingkat intoleransi beragama atau
pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan menganut
kepercayaan. Konteks agama di sini juga mencakup aliran
kepercayaan lokal di luar enam agama yang diakui secara resmi
oleh negara, karena tafsir tentang definisi agama yang tentatif,
maka tidak ada salahnya menyatakan bahwa aliran kepercayaan

97
Muhammad Makro Maarif Sulaiman, S.Sos., M.A.

lokal sebagai bagian dari entitas agama. Hal yang perlu digaris
bawahi dalam konteks ini ialah baik data yang disajikan oleh
Puslitbang Kementerian Agama maupun Setara Institute masih
menjadi bahan perdebatan dan tidak lepas dari kritik terutama
mengenai keabsahan data dan metodologi yang digunakan.
Namun, meskipun masih mengandung nilai perdebatan, data
tersebut dapat menjadi rujukan atau referensi secara kuantitatif
dalam melakukan elaborasi data selanjutnya maupun dalam
pengembangan kajian akademik dan kebijakan publik.
Kasus intoleransi yang mencederai jargon kota toleransi
di Yogyakarta tidak sekadar direpresentasikan melalui
data kuantitatif, akan tetapi sebaiknya juga melihat dalam
hubungannya dengan peristiwa-peristiwa aktual yang
memperlihatkan kepada kita bentuk-bentuk dari tindakan
intoleran dalam kehidupan beragama di Yogyakarta. Mengutip
dari kkpkc-kas.org, di sepanjang tahun 2018 dan 2019 ada
beberapa kasus intoleransi yang ada di Yogyakarta dan contoh
faktual kasus-kasus berikut dapat memberikan semacam
teguran kepada kita untuk lebih bersikap skeptis dan kritis
terhadap keadaan yang kelihatannya “adem ayem” akan
tetapi menyimpan persoalan intoleransi sosial yang tidak bisa
dipandang remeh. Kasus-kasus tersebut seperti perusakan
makam yang menggunakan nisan salib, pelarangan bagi warga
baru yang non-muslim untuk bertempat tinggal di wilayah
warga muslim, intoleransi yang terjadi di lingkup sekolah
negeri terhadap siswa-siswa non-muslim, upaya mempersulit
pembangunan gereja melalui birokrasi yang sengaja didesain
untuk menghambat keluarnya surat Izin Mendirikan Bangunan
(IMB) dan penolakan acara ritual agama Hindu oleh sejumlah
massa dengan alasan kegiatan keagamaan tidak berizin dan

98
Dinamika Keberagaman di Tengah
Jargon Kota Toleransi

dapat menimbulkan paham baru yang menyesatkan warga


muslim. Rangkaian kasus intoleransi dalam data angka dan
peristiwa aktual di Yogyakarta menimbulkan tanda tanya
mengenai sebab atau akar intoleransi kehidupan beragama yang
ironi dengan jargon city of tolerance di mana kemudian sikap
intoleran tersebut dapat berpotensi menjadi tindakan radikal
atas nama agama baik agama dominan maupun agama minoritas.

Akar Intoleransi Kehidupan Beragama

Intoleransi dalam dinamikanya sebagai masalah dalam kehidupan


beragama yang plural di Yogyakarta menjadi tantangan bagi para
akademisi maupun pengambil kebijakan dalam menggunakan
beragam perspektif untuk mengetahui akar penyebab timbulnya
tindakan intoleransi yang paradoks dengan jargon kota toleransi
yang digaungkan oleh pemerintah daerah setempat. Dalam hal
ini, mencari sumber permasalahan diibaratkan melihat pohon
yang tidak berbuah dan daun-daun yang kering kerontang, untuk
mengetahui mengapa pohon tersebut tidak tumbuh dengan baik
tentu tidak melihat dari daun, ranting, buah ataupun batangnya,
akan tetapi melihat dari perkembangan akarnya di dalam tanah
yang kehilangan kapasitas dalam menyerap air maupun zat hara
yang berfungsi dalam mengoptimalkan pertumbuhan pohon.
Dengan manganalogikan dengan pertumbuhan pohon yang tidak
optimal, mencari akar penyebab terjadinya intoleransi kehidupan
beragama tentu tidak hanya berpangkal dari konteks masyarakat
lokal, akan tetapi juga berkelindan dengan konteks masyarakat
global.
Memahami akar penyebab intoleransi dalam sebuah sistem
sosial berarti harus mengetahui struktur yang membentuk
terjadinya intoleransi tersebut baik dalam ranah global maupun

99
Muhammad Makro Maarif Sulaiman, S.Sos., M.A.

ranah lokal. Pengetahuan mengenai struktur dalam sebuah


sistem sosial dikenal sebagai strukturalisme. Strukturalisme
menaruh perhatian pada pembentangan struktur, sistem dan
relasi yang membangun sebuah entitas, di mana entitas ini
dapat berupa sosial, tingkah laku, psikis, objek dan bahasa
(Piliang dan Jaelani, 2018: 16). Dari hal itu, yang konsep penting
yang perlu diketahui ialah struktur dan sistem. Struktur dan
sistem merupakan dua hal yang saling mendukung di mana
struktur sebagai susunan unsur-unsur kehidupan sosial yang
mendukung sistem yang merupakan perangkat yang dijalankan
dan berjalan dalam mendukung proses kehidupan sosial.
Relasi ibarat jantung yang mendukung dinamika dari struktur
dan sistem tersebut. Sebuah entitas tidak lagi dipandang
sebagai sesuatu yang memiliki signifikasi pada dirinya sendiri,
tetapi sebagai sesuatu yang dibangun di dalam sebuah “relasi
kompleks”, dengan entitas-entitas lain yang berkaitan (Piliang
dan Jaelani, 2018 : 16). Maka, untuk lebih memahami mengenai
akar penyebab terjadinya intoleransi perlu menguraikan relasi
antara ranah lokal dengan ranah global dimana baik ranah
lokal maupun ranah global memiliki struktur dan sistemnya
tersendiri.
Dalam mencoba menguraikan akar penyebab intoleransi,
penulis mencoba mengawali dengan melihat dari ranah
lokal. Ranah lokal dalam hal ini Indonesia merupakan negara
dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Berdasarkan
data Globalreligiusfuture yang dikutip dari databoks.katadata.
co.id, Indonesia merupakan negara muslim terbesar di dunia
di mana pada tahun 2010 penduduk yang beragama Islam
mencapai 209,132 juta jiwa atau sekitar 87% dari total populasi
dan diperkirakan akan mencapai 229,62 juta jiwa pada tahun

100
Dinamika Keberagaman di Tengah
Jargon Kota Toleransi

2020. Di Indonesia, pulau dengan penduduk terpadat berada


di pulau Jawa dan Jawa merupakan pulau dengan mayoritas
penduduk beragama Islam, maka kemudian muncul asumsi
bahwa Jawa identik dengan Islam diperkuat fakta historis
bahwa Jawa merupakan salah satu pusat penyebaran agama
Islam oleh Walisongo dan menjadi bagian dari kekuatan relasi
dengan penyebaran agama Islam di luar Jawa. Yogyakarta
merupakan bagian dari pulau Jawa yang terdapat keraton
Yogyakarta sebagai episentrum budaya dan peradaban lokal
yang kental dengan nuansa Islam ditambah dengan dukungan
faktual bahwa penduduk Yogyakarta yang mayoritas beragama
Islam maka tak mengherankan bahwa Yogyakarta tak lepas dari
identitas ke-islam-an dengan budaya lokal yang dijunjung tinggi
sebagai produk dari akulturasi, asimilasi dan sinkretisme dalam
konteks historis penyebaran agama dan budaya Islam. Identitas
ke-islam-an di Yogyakarta dalam perkembangannya terhubung
dengan narasi- narasi global mengenai Islam. Peristiwa 11
September tahun 2001 telah memproduksi permasalahan yang
kian kompleks terhadap identitas Islam secara global di mana
Islam dijustifikasi dan disubordinasi sebagai basis terhadap
serangkaian aksi teror, padahal hal tersebut bertentangan
dengan prinsip Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin dan hanya
oleh oknum-oknum tertentu saja Islam didiskreditkan dari
misinya yang substantif.
Upaya mendiskreditkan identitas Islam dalam narasi global
memang sudah lama terjadi sebagai dalih untuk melawan
ajaran Islam yang menentang berbagai paham kebebasan
dan penindasan yang muncul sebagai bagian dari produk
modernisasi yang diklaim berasal dari sejarah peradaban Eropa
Barat. Peristiwa 11 September merupakan sebuah upaya afirmasi

101
Muhammad Makro Maarif Sulaiman, S.Sos., M.A.

stigma terhadap identitas Islam di mata masyarakat dunia yang


menimbulkan gerakan-gerakan sosial-politik untuk kembali
kepada penegakan kemurnian ajaran Islam. John L. Esposito,
guru besar di Georgetown University yang banyak menulis
tentang Islam menyatakan bahwa hiruk pikuk modernisasi dan
globalisasi mangafirmasi semangat masyarakat muslim untuk
kembali kepada agama melalui pencarian identitas, otentisitas
dan komunitas di tengah himpitan ketidakadilan dunia yang
membelenggu dunia Muslim (Sirry, 2003: 36).
Upaya pencarian identitas, otentisitas dan komunitas
tersebut dilakukan melalui dua strategi. Pertama, melalui
pengenalan dan sosialisasi yang lebih intensif mengenai Islam
dan syiar-syiarnya yang damai dan tanpa kekerasan melalui
sistem pendidikan maupun melalui kekuatan solidaritas sosial
masyarakat Muslim dunia dalam mengakutalisasikan nilai-nilai
keislaman yang cinta damai, akan tetapi mampu mengikuti
arus perkembangan zaman dengan tidak meninggalkan ajaran
syariat. Kedua, melalui cara-cara yang ekstrim dikarenakan Islam
sudah sebegitu rupa didiskreditkan dan menyasar masyarakat
Muslim dunia dan bila tidak menggunakan cara-cara demikian
akan semakin menimbulkan kekerasan bahkan penganiayaan
terhadap masyarakat Muslim global terutama yang berasal dari
kalangan ekonomi menengah ke bawah. Hal ini diafirmasi oleh
pernyataan Esposito bahwa sumber ekstrimisme kekerasan
menjadi pilihan apabila ia diposisikan atau memposisikan diri
– vis-a-vis hegemoni global yang tidak memberikan ruang gerak,
kecuali ketidakberdayaan (Sirry, 2003: 36).
Ekstrimisme kekerasan tersebut yang lebih sering
diidentifikasi sebagai radikalisme agama. Radikalisme agama
sebetulnya upaya untuk kembali pada semangat kemurnian

102
Dinamika Keberagaman di Tengah
Jargon Kota Toleransi

ajaran agama. Radikalisme yang identik dengan ekstrimisme


kekerasan inipun masih dikategorikan menjadi dua. Pertama,
ekstrimisme kekerasan sebagai pilihan terakhir manakala
posisi umat Muslim terjepit dan dalam keadaan bahaya dan
yang seperti itu dibenarkan oleh syariat dengan sebutan jihad.
Kedua, ekstrimisme kekerasan yang mencatut identitas Islam
demi kepentingan kelompok politik tertentu seperti pada
kelompok Islamic State in Iraq and Syiria (ISIS) atau Negara
Islam Irak dan Suriah dan juga pada kelompok yang betul-betul
anti terhadap Islam kemudian menggunakan identitas Islam
untuk melakukan serangkaian aksi teror yang bertujuan ingin
membuat Islam menjadi destruktif.
Gejolak-gejolak di tingkat global yang dipicu oleh
kelompok-kelompok anti-Islam baik melalui propaganda di
media massa maupun serangkaian aksi teror dan kekerasan
yang ditujukan kepada umat Muslim di dunia, terutama di
negara-negara Islam di mana sengketa dan konflik di negara-
negara tersebut hingga kini belum menemukan resolusi akhir
menimbulkan keterhubungan dengan dinamika atau gejolak
mengenai identitas Islam sebagai agama mayoritas bahkan bisa
dikatakan sebagai agama dominan di pulau Jawa tak terkecuali
di Yogyakarta.
Peristiwa-peristiwa global di negara-negara Islam seperti
kedurjanaan Israel di Palestina, sengketa Kashmir, konflik di
Afghanistan, eksploitasi Amerika Serikat terhadap Irak atau
penganiayaan terhadap umat Muslim sebagai minoritas di
negara-negara yang mayoritasnya non-Muslim seperti genosida
dan pembersihan massal terhadap etnis Rohingya oleh rezim
pemerintah Myanmar, pelarangan kebebasan beribadah dan
intimidasi terhadap masyarakat Muslim Uighur di Xinjiang oleh

103
Muhammad Makro Maarif Sulaiman, S.Sos., M.A.

pemerintah China maupun serangan terhadap umat Muslim di


New Delhi, India setelah pemerintah India mengesahkan undang-
undang kewarganegaraan India yang ternyata lebih banyak
merugikan umat Muslim India telah membangkitkan solidaritas
sosial masyarakat Muslim di Indonesia untuk meringankan
penderitaan sesama Muslim baik melalui seruan aksi jihad,
penggalangan dana, dakwah-dakwah yang menyerukan boikot
terhadap produk- produk dari negara yang menindas umat
Muslim maupun melalui diplomasi politik setelah mendapatkan
respon dari pemerintah Indonesia di mana dalam hal ini sisi
kedirian sebagai negara yang identik dengan Muslim yang
menguatkan peran pemerintah Indonesia dalam mengupayakan
keadilan dan kedamaian di tingkat internasional terhadap
penduduk Muslim dunia yang diperlakukan tidak manusiawi.
Dalam kaitannya dengan kehidupan umat Muslim di
Yogyakarta sebagai kekuatan dominan, ada sisi lain semacam
kekhawatiran, ketakutan bahkan fobia dari kekuatan dominan
terhadap perkembangan dari pengaruh modernisasi dan
globalisasi yang lebih banyak dikendalikan oleh negara-negara
Barat di mana negara-negara Barat identik dengan non-Islam
dan juga anti-Islam pada konteks tertentu. Perkembangan
modernisasi dan globalisasi yang cenderung masif dikhawatirkan
oleh kekuatan dominan dapat melunturkan nilai-nilai dan budaya
Islam yang sudah terbentuk di Yogyakarta, di mana nilai-nilai
dan budaya Islam yang luntur dapat mengakibatkan kuatnya
minoritas dalam mendominasi dan bukan tidak mungkin dapat
menjadi kekuatan dominan baru seperti identitas Kristen yang
identik dengan Barat berubah menjadi kekuatan dominan, yang
justru hal itu dikhawatirkan dapat mengguncang tatanan sosial
dan menimbulkan diskriminasi terhadap umat Muslim.

104
Dinamika Keberagaman di Tengah
Jargon Kota Toleransi

Hal itu diperkuat dengan sebuah doktrin dari kekuatan


dominan Islam yang menyatakan bahwa jika umat Muslim
mayoritas, maka minoritas dapat hidup tenteram dan damai,
sebaliknya jika Muslim menjadi minoritas, ada kemungkinan dan
potensi bahwa umat Muslim dapat menjadi sasaran kekerasan
dan yang seperti itu diperkuat lagi oleh narasi-narasi historis
mengenai kehidupan umat Muslim yang menjadi sengsara
setelah menjadi minoritas. Ketakutan dan kecemasan sosial
tersebut memunculkan kelompok- kelompok kekuatan dominan
umat Muslim dalam menyikapi keragaman sosial sebagai bagian
dari modernisasi dan globalisasi yang menimbulkan sisi lain
yakni intoleransi kehidupan beragama.
Kelompok pertama adalah kelompok yang betul-betul
menjaga kemurnian Islam sesuai Al-Qur’an dan Hadis dan
sangat menjaga jarak terhadap pluralitas agama dengan
berprinsip pengarusutamaan akidah harus diselamatkan, tidak
sekedar “bagiku agamaku dan bagimu agamamu” dalam relasi
sosial dan cenderung bertindak reaktif terhadap segala kegiatan
yang merusak kemurnian akidah sekalipun dilakukan oleh
warga Muslim. Tindakan reaktif tersebut dapat berupa tindakan
destruktif atas nama jihad bila kegiatan yang melanggar
akidah tersebut terlihat nyata. Tindakan reaktif yang dilakukan
cenderung digerakkan oleh solidaritas kelompok jika kelompok
memiliki pemikiran bahwa kegiatan-kegiatan yang merusak
akidah umat Muslim tersebut menimbulkan ketergantungan
sosial terhadap kelompok minoritas agama maupun kelompok
minoritas agama yang dapat mengubah persepsi terhadap agama
dominan. Hal itu dapat berkembang menjadi konflik yang lebih
luas apabila tidak ada aktor-aktor kompeten yang memediasi.
Kelompok pertama cenderung menjadi kelompok ekstrimis

105
Muhammad Makro Maarif Sulaiman, S.Sos., M.A.

yang lebih radikal apabila dimanfaatkan oleh pihak-pihak


tertentu untuk merusak citra Yogyakarta sebagai daerah
yang dijargonkan toleran dengan memanfaatkan sentimen
kekuatan dominan. Dalam kelompok pertama direpresentasi
oleh Front Pembela Islam (FPI), pengajian komunitas Salafi
maupun komunitas-komunitas Muslim yang bermanhaj salaf.
Kelompok kedua adalah kelompok yang lebih terbuka dan
fleksibel dalam penerimaan terhadap pluralitas agama dan
lebih mengedepankan dialog antarumat beragama. Kelompok
kedua direpresentasi seperti oleh komunitas Jaringan
Gusdurian dan Forum Kerukunan Antarumat Beragama (FKUB)
yang juga bagian dari organisasi pemerintah. Kedua organisasi
tersebut meskipun terdiri dari organisasi kelompok agama
yang berbeda, akan tetapi basis pembentukannya diinisiasi
oleh forum umat Islam sebagai kekuatan dominan yang sedikit
memiliki pandangan berbeda dengan kelompok pertama.
Kelompok kedua juga mewakili mayoritas masyarakat Muslim
di Yogyakarta yaitu organisasi Muhammadiyah dan Nahdlatul
Ulama (NU). Baik warga Muhammadiyah maupun NU pada
dasarnya terbuka terhadap pluralitas agama. Namun, sebagai
kekuatan identitas dominan, warga Muhammadiyah maupun
NU juga rentan mudah diprovokasi oleh pihak-pihak atau aktor-
aktor tertentu dalam menimbulkan prasangka negatif terhadap
kelompok agama minoritas maupun sesama komunitas Muslim
yang berbeda sekte seperti kelompok Ahmadiyah dan Syiah.
Kelompok kedua dapat berkonversi sementara mengikuti
kelompok pertama apabila simbol-simbol ataupun tokoh
sentral dalam Islam sebagai pandangan umum didiskreditkan
seperti penghinaan terhadap kitab suci Al-Qur’an dan Nabi
Muhammad. Maka timbul perasaan solidaritas yang kuat dalam

106
Dinamika Keberagaman di Tengah
Jargon Kota Toleransi

membela agama dominan di Yogyakarta.

Afirmasi Identitas Islam di Yogyakarta

Yogyakarta sebagai daerah dengan mayoritas dan dominan


masyarakat Muslim memiliki posisi identitas dalam pusaran
globalisasi di mana Islam dalam konteks global rentan
mengalami risiko-risiko lanjutan berupa pendiskreditan dan
stigma negatif, karena aksi-aksi ekstrimis-fundamentalis dan
tindakan teror serta kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-
kelompok dengan identitas Islam tertentu walaupun realitasnya
ada kelompok-kelompok dari agama lain yang juga terlibat
dalam gerakan ekstrimis-fundamentalis, teror dan kekerasan.
Namun, dalam hal ini mengingat kajian mengenai identitas
keislaman di Yogyakarta, maka relevan mengaitkannya dengan
identitas Islam dalam konteks global. Posisi Islam secara global
yang mendapat pendiskreditan dan stigma negatif merupakan
bagian dari berbagai cara untuk meruntuhkan citra dan
kejayaan Islam di mana ada upaya-upaya lain seperti pelemahan
posisi umat Muslim di beberapa negara dominan bukan Islam
melalui serangkaian aksi kekerasan, genosida maupun teror
yang mendapat kecaman dari dunia internasional. Kecaman
dan juga upaya negosiasi dari dunia internasional khususnya
melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) belum mampu
menyelesaikan permasalahan konflik dan kekerasan yang terjadi
secara total karena memang sangat sulit menghentikan dan
memutus reproduksi budaya kekerasan terhadap kelompok-
kelompok yang dianggap minoritas.
Posisi Islam secara global itulah yang kemudian
mengafirmasi atau meneguhkan identitas Islam di Yogyakarta
sebagai bagian dari identitas budaya, identitas politik, identitas

107
Muhammad Makro Maarif Sulaiman, S.Sos., M.A.

sosial kemasyarakatan dan juga sebagai basis dalam menjalankan


roda perekonomian yang tidak melanggar syariat Islam secara
umum. Tujuan utamanya ialah mempertahankan Yogyakarta
sebagai daerah yang identik Islam meskipun berbagai unsur-
unsur budaya baru masuk karena adanya berbagai pendatang
dari domestik maupun asing. Menurut Clifford Geertz dalam
Haryanto (2015) agama adalah produk masyarakat dan bukan
produk individual serta lebih beroperasi secara sosial ketimbang
individual. Gagasan Geertz tersebut sesuai dengan karakteristik
Indonesia yang meskipun tidak menggunakan dasar atau syariat
agama dalam politik pemerintahannya, akan tetapi juga bukan
negara sekuler, karena Indonesia berdasarkan Pancasila yang
berke-Tuhan-an pada sila pertama, maka segala lini kehidupan
berdasarkan prinsip-prinsip umum dalam agama-agama dan
kepercayaan terutama yang diakui resmi oleh negara. Dalam
konteks Yogyakarta, Islam sebagai produk dan kesepakatan
masyarakat merupakan basis atau prinsip dalam menjalankan
nilai-nilai dan norma yang berasal dari perkembangan
historis, di mana Islam sebagai entitas yang mengintegrasikan
masyarakat secara sosial maupun budaya dan dalam melawan
negara penjajah di masa lampau. Islam sebagai produk dan
kesepakatan sosial membuat kelompok agama minoritas harus
beradaptasi dan menyesuaikan diri agar tidak menimbulkan
kesalahpahaman yang dapat berujung pada tindakan intoleran
dominan terhadap minoritas maupun minoritas terhadap
kekuatan dominan. Dalam proses bertoleransi dalam lingkup
adaptasi pun potensi intoleransi bisa saja terjadi jika kekuatan
dari identitas kelompok dominan tidak melakukan kontrol emosi
dan sosial yang dapat mengakibatkan tindakan pemaksaan dan
kekerasan.

108
Dinamika Keberagaman di Tengah
Jargon Kota Toleransi

Dalam lingkup ke-Indonesia-an secara global, dalam


mempertahankan identitas dominan yang ada karena hal
tersebut relatif sulit diubah sekaligus juga menepis berbagai
prasangka negatif terhadap kelompok minoritas, selain
dengan mengintensifkan ruang-ruang dialog, perlu adanya
integrasi kekuatan makro dan mikro dalam meminimalisasi
terjadinya tindakan intoleran dalam kehidupan antarumat
beragama. Dalam hal ini, negara memainkan peran penting
dalam mengakomodasi hak-hak minoritas termasuk kelompok
minoritas agama agar memiliki ruang kebebasan dalam
menjalankan praktik-praktik ritual dan sosial menurut agama
dan kepercayaannya sebagaimana yang diamanatkan oleh
konstitusi pada pasal 29 ayat 2. Dalam kaitannya dengan peran
negara sebagai kekuatan makro, pada kadar tertentu, diperlukan
suatu sistem “perlindungan internal” bagi kelompok-kelompok
minoritas, yakni hanya sejauh mendukung kesetaraan di antara
kelompok-kelompok tersebut dengan mengurangi hal-hal yang
merugikan yang diderita oleh minoritas itu, misalnya dalam
kurikulum pendidikan, hari-hari raya, bahasa, pendirian tempat
ibadah, aturan-aturan birokratis dst (Hardiman, 2016 : 83 – 84).
Apabila negara memberikan perlindungan yang lebih
tegas kepada hak-hak minoritas kelompok agama berdasarkan
kekuatan birokrasi dan hukum, maka akan mendorong tingkat
pemerintahan di bawahnya mulai dari tingkat provinsi hingga
RT/RW dalam mereproduksi struktur dan kultur yang toleran
terhadap keberadaan kelompok agama minoritas maupun
juga kelompok agama yang dominan. Akan tetapi minor
secara mazhab atau aliran seperti pada kelompok Syiah dan
Ahmadiyah. Dalam hal ini, Hardiman (2016) menegaskan
bahwa pentingnya kembali kepada politik multikulturalisme

109
Muhammad Makro Maarif Sulaiman, S.Sos., M.A.

yaitu mendengarkan suara minoritas yang dalam demokrasi


dengan prinsip mayoritas diabaikan secara sistematis. Maksud
dari apa yang disampaikan oleh Hardiman (2016) tersebut ialah
mayoritas atau kekuatan dominan harus memiliki kekuasaan
yang memberikan kesamaan dan keadilan kepada kelompok
minoritas dengan menghargai keberlainan dan kekhasan yang
ada serta mengabaikan prasangka terhadap keberlainan serta
kekhasan tersebut.
Dalam menghadapi dinamika dan tekanan global terhadap
identitas keislaman termasuk juga isu fundamentalisme Islam
di dalamnya, maka masyarakat Muslim sebagai kekuatan
dominan di Yogyakarta perlu menegaskan ulang mengenai
makna berislam dalam konteks budaya lokal, komunikasi
antarbudaya yang multikultural dan dalam kancah politik-
ekonomi nasional. Peran tokoh-tokoh agama, aparat keamanan,
organisasi massa, institusi pendidikan maupun elite-elite politik
berada pada posisi yang signifikan karena memiliki kekuatan
legitimasi dalam menengahi berbegai persoalan intoleransi
kehidupan beragama dan juga dalam mewujudkan entitas
masyarakat sipil yang multikultural yang di dalamnya ada
apresiasi terhadap setiap keunikan individu maupun komunitas
selama tidak menimbulkan pelanggaran terhadap nilai-nilai dan
norma sosial. Masyarakat Muslim Yogyakarta sebagai kekuatan
dominan dalam identitas keislaman harus pula berpegang teguh
pada identitas sebagai masyarakat sipil dalam ruang-ruang
demokrasi yang menjadikan ruang publik tidak hanya untuk
kelompok dominan, akan tetapi juga untuk hak-hak minoritas
dalam kontekstualisasi agama.

110
Dinamika Keberagaman di Tengah
Jargon Kota Toleransi

Penutup

Permasalahan toleransi dan intoleransi kehidupan antarumat


beragama di Yogyakarta sebagai city of tolerance tidak bisa
dilepaskan dari relasi dengan permasalahan sentimen
keagamaan di tingkat global. Yogyakarta sebagai daerah dengan
pertemuan anak bangsa dari berbagai suku, bahasa, agama
dan budaya di satu sisi memiliki identitas multikultural, akan
tetapi berdasarkan faktor historis dan demografi, Yogyakarta
juga memiliki identitas ke-Islam-an sebagai pondasi kekuatan
budaya, ekonomi, politik dan sosial masyarakat Yogyakarta
yang mayoritas beragama Islam. Masyarakat Muslim Yogyakarta
sebagai kekuatan dominan sekaligus sebagai masyarakat sipil
dalam keterbukaan ruang demokrasi hendaknya memiliki
sikap, aturan, tatanan, kesepakatan maupun konsensus dalam
menetapkan karakteristik toleransi yang berpihak kepada
kelompok agama minoritas agar kelompok agama minoritas
di satu sisi tetap mengakui identitas dominan keislaman
Yogyakarta dan di sisi yang lain tetap merasa aman dan tenang
dalam menjalankan praktik ritual dan sosial keagamaan
sebagaimana semangat dalam jargon city of tolerance dan sesuai
dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 2.
Dalam hal yang lebih praksis, organisasi masyarakat sipil
maupun organisasi keagamaan didukung oleh pemerintah
daerah setempat hendaknya menghimpun modal sosial dalam
membangun produksi ruang yang ramah terhadap kelompok
agama minoritas disertai dengan aturan yang mengikat dalam
lingkup masyarakat yang heterogen agar meminimalisasi
terjadinya tindakan intoleran bahkan konflik sosial antarumat
beragama. Produksi ruang yang ramah terhadap hak-hak
kelompok minoritas agama tersebut setidaknya menghasilkan

111
Muhammad Makro Maarif Sulaiman, S.Sos., M.A.

tiga ruang toleransi: Pertama adalah ruang negosiasi di mana


kelompok agama minoritas berhak dalam menyampaikan
aspirasi, kritik, keberatan maupun usulan terhadap aturan,
wacana maupun kebijakan melalui berbagai forum tatap muka
langsung (bukan online) terkait dengan hak menjalankan ritual
dan praktik beragama; kedua adalah ruang komunikasi di mana
kelompok agama minoritas berhak untuk aktif menyampaikan
gagasan dan solusi dalam kaitannya dengan pembangunan
sumber daya manusia yang inklusif melalui kanal-kanal
komunikasi baik melalui media sosial online, televisi, radio,
media cetak maupun melalui kanal online kehumasan
pemerintah daerah setempat; dan yang ketiga adalah ruang
aktualisasi dimana kelompok agama minoritas berhak untuk
menampakkan identitas keagamaan yang berbeda dalam
ritus-ritus keagamaan maupun dalam upaya bersama menjaga
citra Yogyakarta yang digemakan sebagai daerah yang inklusif
terhadap pluralitas yang secara langsung maupun tidak langsung
berdampak pada kehidupan ekonomi, politik, dan budaya.
Pada akhirnya, kerjasama antarelemen masyarakat yang
kukuh dengan mengendalikan ego identitas dominan dapat
mendukung pembangunan citra Yogyakarta yang dinamis dan
toleran terhadap heterogenitas agama maupun heterogenitas
yang lain demi mewujudkan kesejahteraan sosial yang
berkeadilan dan tanpa diskriminasi sehingga tidak berhenti
pada tataran konseptual semata. Dengan demikian, segala
bentuk stigma yang mengarah pada tindakan intoleran maupun
pembentukan gerakan radikal destruktif berbasis agama bisa
diredam dan bisa diarahkan pada gerakan-gerakan sosial
maupun aktivitas-aktivitas yang bersifat integratif antarelemen
masyarakat yang heterogen di Yogyakarta.

112
Dinamika Keberagaman di Tengah
Jargon Kota Toleransi

Daftar Pustaka

Hardiman, Budi. 2011. Hak-Hak Asasi Manusia: Polemik dengan


Agama dan Kebudayaan. Yogyakarta: PT. Kanisius.
Haryanto, Sindung. 2015. Sosiologi Agama dari Klasik hingga
Modern. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
http://kkpkc-kas.org/2019/12/27/catatan-kasus-intoleransi-di-
jawa-tengah-dan-di- yogyakarta-sepanjang-2019/. Diakses
pada tanggal 10 Agustus 2020.
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/09/25/
indonesia-negara-dengan-penduduk-muslim-terbesar-dunia.
Diakses pada tanggal 10 Agustus 2020.
https://www.google.com/amp/s/amp.tirto.id/daftar-skor-
indeks-kerukunan-beragama-versi-kemenag-2019-engH.
Diakses pada tanggal 10 Agustus 2020.
https://www.google.com/amp/s/m.jpn.com/amp/news/daftar-
provinsi-intoleran-berdasar-hasil-riset-setara-institute.
Diakses pada tanggal 10 Agustus 2020.
https://www.top10.id/10-provinsi-terkecil-di-indonesia/.
Diakses pada tanggal 10 Agustus 2020.
Ringkasan Eksekutif: Indeks Kota Toleran Tahun 2018. Setara
Institute for Democracy and Peace. Diunduh https://dari
setara-institute.org. Diakses pada tanggal 11 Agustus 2020.
Sirry, Mun’im A. 2003. Membendung Militansi Agama. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Yasraf Amir Piliang dan Jejen Jaelani. 2018. Teori Budaya
Kontemporer: Penjelajahan Tanda dan Makna. Yogyakarta:
Cantrik Pustaka.

113
Agama bukan hanya dibutuhkan
manusia untuk memenuhi
kebutuhan kodratnya, tetapi juga
mempunyai berbagai fungsi dan
disfungsi sosal.

114
9

Aspek Sosiologi Sastra Dalam Serat


Darmogandhul

Oleh: Aris Wahyudin

Pendahuluan

Dari waktu ke waktu, penelitian sosiologi sastra semakin subur,


dan tentu cermin pun semakin hidup. Tentu saja, harapan saya
tidak hanya terfokus pada satu genre saja. Banyak genre sastra
lain yang menggoda jika diteliti dari sisi sosiologis, terlebih
dengan memandang sebuah cermin. Paling tidak melalui
penelitian sosiologi sastra, para peneliti akan memperoleh
manfaat penting, yaitu: (1) memahami riak gelombang sosial
yang diobsesikan oleh sastrawan, (2) memahami pengaruh
timbal balik antara sastra dan masyarakat, dan (3) memahami
sejauhmana resepsi masyarakat terhadap karya sastra.
Dari penelitian tersebut, setidaknya akan terdeteksi karya-
karya sastra mana yang memiliki pengaruh besar terhadap
perkembangan sosial.
Sastra ditulis, jelas tidak mungkin lepas dari zaman. Maka,
peneliti perlu membawa cermin untuk meneropong zaman yang
senantiasa dinamis ini. Aspek-aspek zaman yang panas, penuh
sensasi, dapat digali lewat penelitian sosiologi sastra yang
mapan. Penelitian teater, novel, dongeng, cerita rakyat, puisi,
pantun, dan sebagainya akan menggugah semangat masyarakat.
Informasi sosial dalam sastra yang begitu berharga, akan

115
Aris Wahyudin

mengangkat derajat struktur masyarakat. Berbagai dokumen


penting yang terdapat di masyarakat pada gilirannya akan
terangkum lewat kacamata sosiologis.
Yang menjadi masalah adalah penelitian sosiologi sastra
yang serampangan, tanpa dasar epistemologi dan cermin
bening, kiranya akan menghasilkan penelitian yang kurang
handal. Tulisan ini, mencoba memberikan tawaran baru
tentang bagaimana meneliti sosiologi sastra yang profesional
dan proporsional. Antara sosiologi dan sastra yang semula ada
jarak, dapat dijembatani lewat penelitian sosiologi sastra yang
memanfaatkan teori sosia sastra secara akurat. Lewat berbagai
tokoh pemikir seperti Wordworth, Taine, Coleridge, Escarpit,
Lowenthal, dan lain-lain diharapkan peneliti dapat belajar
banyak tentang apa dan harus mencerminkan apa.
Tulisan ini juga menyajikan metode yang khas tentang
cermin estetis. Yang saya maksud khas, mulai dari pengumpulan
data sampai analisis, diskenario secara sosiologis. Penelitian
sosiologi sastra, memang sebaiknya tidak menggunakan metode
umum. Tulisan ini menyediakan alternatif pemikirian metode-
metode termaksud, agar peneliti benar-benar akrab dengan
sosiologi sastra. Tiap karya sastra, membutuhkan perhatian
khusus dan metode khusus pula. Tiap karya sastra yang lahir
dalam bentuk baru, misalnya avant-garde dan common sense,
jelas membutuhkan paradigma khusus dalam penelitian
sosiologi sastra.
Adapun analisis mengunakan pendekatan kualitatif, di mana
peneliti menggunakan deskriptif analisis. Melalui pengumpulan
data berupa kalimat serat darmogandhul karya bangsa benda.
Teks kalimat ini digunakan untuk melakukan pembacaan hingga
interpretasi.

116
Aspek Sosiologi Sastra dalam
Serat Darmogandhul

Jenis yang digunakan adalah Serat. Objek pembacaan lebih


pada kalangan muda hingga dewasa terutama para penikmat
sastra. Kajian ini menggunakan teori pertukaran sosial, metode
yang digunakan adalah metode deskriptif analisis dengan cara
mendeskripsikan penggunaan bahasa yang disusul analisis.
Adanya pemahaman, penjelasan dan penafsiran secara
mendalam berdasar teori sosiologi.

Analisis Isi dan Pembahasan

Serat Darmagandul merupakan kitab kontroversial yang


mengambil ide cerita dari Serat Babad Kadhiri. Meskipun
merupakan hasil plagiasi dari Babad Kadhiri, namun Serat
Darmagandul tampaknya ditulis berdasarkan motif tertentu
yaitu keberpihakan pengarangnya terhadap pemerintah
kolonialis Belanda dan kecenderungan terhadap keberadaan
misi Kristen di tanah Jawa. Unsur Kristen dalam Serat ini boleh
dikatakan dominan dengan menggunakan simbolisasi wit
katvruh dan berbagai cerita yang berasal dari Bibel.
Serat Babad Kadhiri ditulis berdasarkan perintah Belanda.
Sedangkan serat Darmagandul menunjukkan wujud apresiasi
yang baik terhadap Belanda, bukan dalam pandangan sebagai
musuh atau penjajah namun justru sebagai kawan. Mengingat
pengarang Darmagandul tidak jelas identitasnya, maka
kemiripannya dengan Babad Kadhiri ini jelas menimbulkan
sebuah pertanyaan besar. Dapat diduga bahwa Babad Kadhiri
yang ditulis atas perintah dari Belanda, kemudian dimanfaatkan
untuk membuat Serat Darmagandul dengan tujuan
memarginalkan ajaran Islam dan sekaligus memanipulasi
sejarah Islam.
Secara umum buku Darmagandul banyak memiliki

117
Aris Wahyudin

kesalahan data dalam mengungkapkan fakta sejarah. Oleh


karena itu, sulit dipastikan bahwa buku tersebut benar-benar
ditulis pada masa peralihan antara keruntuhan Majapahit dan
berdirinya Demak. Bukti lebih kuat justru menekankan bahwa
buku tersebut di tulis di era belakangan pasca penjajahan
bangsa Eropa di Bumi Nusantara. Oleh karena itu, cerita sejarah
dalam serat tersebut boleh diabaikan dari kedudukannya
sebagai sebuah fakta.
Buku Darmagandul merupakan tulisan yang sebagian
besar mengisahkan tentang keruntuhan kerajaan Majapahit
dan berdirinya kesultanan Demak. Dalam versi Darmagandul,
Majapahit runtuh akibat serangan dari Adipati Demak yang
bernama Raden Patah. Sebenarnya Raden Patah masih
merupakan putra Prabu Brawijaya, raja Majapahit terakhir,
dengan seorang putri dari China. Namun, menurut buku
Darmagandul, para ulama yang dipimpin Sunan Giri dan Sunan
Benang (Bonang) yang tergabung dalam Majelis Dakwah Wali
Sanga, memprovokasi Raden Patah agar merebut tahta kerajaan
dari ayahnya yang masih kafir, karena memeluk agama Budha.
Bujukan para wali berhasil, sehingga pada akhirnya
Majapahit dapat dibumihanguskan dan Prabu Brawijaya
berhasil meloloskan diri. Buku Darmagandul juga mengupas
tentang ‘budi buruk’ para ulama yang oleh Prabu Brawijaya
diberi kebebasan untuk berdakwah di wilayah Majapahit, namun
pada saat Islam telah menjadi besar mereka berbalik melawan
Majapahit dan melupakan budi baik sang raja Brawijaya. Hal
ini ditunjukkan dengan ekspresi penulis Darmagandul ketika
mengartikan wali adalah walikan (kebalikan). Artinya diberi
kebaikan namun membalas dengan keburukan.
Darmogandul, di telinga orang Jawa pun hal itu terdengar

118
Aspek Sosiologi Sastra dalam
Serat Darmogandhul

lucu. Tapi buku ini, Serat Darmogandul, memang dimaksudkan


sebagai ejekan yang lucu, yang dikaitkan dengan hal-hal porno.
Pada 1920-an, Darmogandul pernah diprotes masyarakat Islam
dan Cina ketika pertama kali dimuat dalam sebuah almanak.
Darmogandul yang ditulis dalam bahasa Jawa dan dalam bentuk
sekar atau puisi Jawa itu memang mencemooh orang Cina, orang
Arab, dan menyerang Islam.
Siapa pengarang Darmogandul? tak jelas. Pada terbitan
Dahara Prize memang disebutkan bernama Ki Kalamwadi. Tapi
ini nama samaran (kalam adalah pena, wadi berarti rahasia:
“penulis yang merahasiakan namanya”). Pengarang yang
sesungguhnya mungkin Raden Budi Sukardi, yang beberapa kali
disebut oleh Ki Kalamwadi (pencerita dalam buku itu) sebagai
“guru yang dapat dipercaya”. Beberapa ahli juga tak berhasil
menemukan nama dan identitas pengarangnya.
Menurut M. Hari Soewarno dalam Serat Darmogandul
dan Suluk Gatoloco tentang Islam, pengarangnya adalah
Ronggowarsito (1802-1873), sastrawan Jawa terkenal dari
Keraton Surakarta. Menurut Simuh, dekan Fakultas Ushuluddin
IAIN Yogya, buku itu ditulis pada zaman Kerajaan Surakarta
antara tahun 1755 dan 1881. Tapi doktor yang disertasinya
mengenai karya Ronggowarsito Wirid Hidayat Jati itu tidak tahu
persis siapa penulisnya.
Menurut Prof. Dr. G.W.J. Drewes, dalam  The Struggle
between Javanism and Islam as Illustrated by the Serat
Dermogandul dan Javanese Poems Dealing with or Attributed
to the Saint of Bonang, buku itu karangan seorang bangsawan
tinggi di Kediri, dan bersumber dari Babad Kediri yang ditulis
sekitar 1873. Sementara, menurut Prof. Dr. H.M. Rasjidi, dalam
Islam dan Kebatinan, pengarang Darmogandul adalah Pangeran

119
Aris Wahyudin

Suryonegoro, putra Hamengku Buwono VII. Menteri Agama


RI yang pertama itu yakin bahwa Darmogandul ditulis pada
zaman penjajahan Belanda, terbukti dari adanya beberapa kata
Belanda seperti kelah (klacht) dan puisi.
Sebelum Dahara Prize menerbitkannya, pada tahun 1954
(sekitar tiga puluh tahun setelah heboh), penerbit buku-buku
Jawa di Kediri yang ketika itu sangat terkenal, Tan Koen Swie,
sudah menerbitkannya sebagai cetakan kedua. Sampai kini,
buku itu hanya dikenal kalangan terbatas: generasi tua dan para
ilmuwan yang khusus mempelajari literatur Jawa yang berkaitan
dengan paham kebatinan.
Darmogandul memang pernah jadi salah satu acuan para
penganut kepercayaan. Tapi, menurut tokoh kejawen almarhum
Mr. Wongsonegoro, Darmogandul kemudian tidak menjadi
pedoman para penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Isi Darmogandul sebenarnya mengenai penyebaran Islam
di Jawa (dari kawasan pesisir utara) dan runtuhnya Kerajaan
Majapahit (di pedalaman), yang dituturkan secara fiktif.
Paham keagamaan di dalamnya merupakan cerminan
perbenturan nilai setelah datangnya agama baru, juga antara
kerajaan pesisir yang Islam dengan kerajaan pedalaman yang
masih Budha-Hindu. Orang Jawa, ketika itu hanya menerima
nilai-nilai Islam yang rada-rada cocok dengan paham lama lalu
mencampur-adukkannya, yang belakangan melahirkan paham
kepercayaan yang sinkretis. Sebenarnya, yang mengundang
keresahan masyarakat Islam ialah penyajian pikiran pikiran
tentang seks dalam buku itu, yang dipakai sebagai usaha untuk
meletakkan “penafsiran” materi ajaran Islam pada kedudukan
pornografis, yang tidak lepas dari kerangka pertentangan politik
dan budaya antara kedua kerajaan itu, antara ‘Jawa’ dan ‘Islam’.

120
Aspek Sosiologi Sastra dalam
Serat Darmogandhul

Semangat anti Islam muncul akibat trauma keruntuhan


Majapahit yang diserang oleh Raden Patah, putra raja Majapahit
Brawijaya V sendiri yang sebelumnya diangkat sebagai Adipati
di Demak. Raden Patah dinilai sebagai anak durhaka, apalagi ia
sebenarnya bukan “Jawa asli” tapi lahir dari rahim ibundanya
yang berdarah Cina (tepatnya: Campa, Kamboja). Sampai
sekarang “kambing hitam” keruntuhan Majapahit adalah Raden
Patah. Padahal, menurut Tardjan Hadidjaja dan Kamajaya
dalam Serat Centhini, dituturkan dalam Bahasa Indonesia Jilid
I-A, sesungguhnya Raden Patah hanyalah merebut kekuasaan
Girindrawardhana, yang sebelumnya telah lebih dahulu
memporak-porandakan Majapahit dari dalam. Darmogandul
juga melukiskan, meski Brawijaya V akhirnya dibaiat sebagai
muslim oleh Sunan Kalijaga “secara lahir batin”, banyak rakyat
dipaksa masuk Islam. Ini tentu penilaian sepihak, sebab para
wali di Jawa selama ini dikenal sebagai penyebar Islam yang
akulturatif.

Kesimpulan

Serat Darmogandhul karya bangsa Belanda ini lebih


menekankan pada aspek sejarah dalam melakukan kajiannya
dalam serat ini selain menyimpan sejarah yang di sembuyikan
ada juga pesan moral di dalammya yang dikemas begitu merarik
pada tulisan yang di pakai, isi dari serat tersebut dapat di
analisis menggunakan diksi-diksi didalamnya. Serat ini dapat
dianalisis mengunakan teori pertukaran social, di mana sebuah
hubungan sosial terdapat reward dan punishment yang saling
mempengaruhi sebagai akibat dari tindakan sosial yang di
lakukan individu.

121
Aris Wahyudin

Daftar pustaka

http://penadakwah.multiply.com/journal/item/125/
SERAT_DARMO_GANDUL_dan_SULUK_GATOLOCO.

SERAT DARMOGANDHUL

Sang Prabu setelah potong rambut kemudian berkata


kepada Sabdapalon dan Nayagenggong, “Kamu berdua
kuberitahu mulai hari ini aku meninggalkan agama Buddha dan
memeluk agama Islam. Aku sudah menyebut nama Allah yang
sejati. Kalau kalian mau, kalian berdua kuajak pindah agama
rasul dan meninggalkan agama Buddha.”
Sabdapalon berkata dengan sedih, “Hamba ini Ratu Dang
Hyang yang menjaga tanah Jawa, Siapa yang bertahta menjadi
asuhan hamba. Mulai dari leluhur Paduka dahulu, Sang Wiku
Manumanasa, Sakutrem dan Bambang Sakri, turun-temurun
sampai sekarang. Hamba mengasuh penurun raja-raja Jawa.
Hamba jika ingin tidur sampai 200 tahun. Selama hamba tidur
selalu ada peperangan saudara musuh saudara, yang nakal
membunuh manusia bangsanya sendiri. Sampai sekarang umur
hamba sudah 2000 lebih 3 tahun dalam mengasuh raja-raja Jawa,
tidak ada yang berubah agamanya, sejak pertama menempati
agama Buddha, Baru Paduka yang berani meninggalkan
pedoman luhur Jawa. Jawa artinya tahu. Mau menerima berarti
Jawan. Kalau hanya ikut-ikutan, akan membuat celaka muksa
Paduka kelak,” Kata Wikutama yang kemudian disambut
halilintar bersahutan.
Prabu Brawijaya disindir oleh Dewata, karena mau masuk
agama Islam, yaitu dengan perwujudan keadaan di dunia
ditambah tiga hal: (1) rumput Jawan, (2) padi Randanunut, dan

122
Aspek Sosiologi Sastra dalam
Serat Darmogandhul

(3) padi Mriyi.


Sang Prabu bertanya, “Bagaimana niatanmu, mau apa tidak
meninggalkan agama Buddha masuk agama Rasul, lalu menyebut
Nabi Muhammad Rasullalah dan nama Allah Yang Sejati?”
Sabdopalon berkata dengan sedih, “Paduka masuklah
sendiri. Hamba tidak tega melihat watak sia-sia, seperti manusia
Arab itu. Menginjak-injak hukum, menginjak-injak tatanan.
Jika hamba pindah agama, pasti akan celaka muksa hamba
kelak. Yang mengatakan mulia itu kan orang Arab dan orang
Islam semua, memuji diri sendiri. Kalau hamba mengatakan
kurang ajar, memuji kebaikan tetangga mencelakai diri sendiri.
Hamba suka agama lama menyebut Dewa Yang Maha Lebih.
Dunia itu tubuh Dewata yang bersifat budi dan hawa, sudah
menjadi kewajiban manusia itu menurut budi kehendaknya,
menjadi tuntas dan tidak mengecewakan, jika menyebut Nabi
Muhammad Rasulullah, artinya Muhammad itu makam kubur,
kubur rasa yang salah, hanya men-Tuhan-kan badan jasmani,
hanya mementingkan rasa enak, tidak ingat karma dibelakang.
Maka nama Muhammad adalah tempat kuburan sekalian rasa.
Ruh idafi artinya tubuh, jika sudah rusak kembali kepada asalnya
lagi. Prabu Brawijaya nanti akan pulang kemana. Adam itu
sama dengan Hyang Ibrahim, artinya kebrahen ketika hidupnya,
tidak mendapatkan rasa yang benar. Tetapi bangunnya rasa
yang berwujud badan dinamai Muhammadun, tempat kuruban
rasa. Jasa budi menjadi sifat manusia. Jika diambil Yang Maha
Kuasa, tubuh Paduka sifatnya jadi dengan sendirinya. Orang
tua tidak membuat, maka dinamai anak, karena adanya dengan
sendirinya, jadinya atas suatu yang ghaib, atas kehendak Lata
wal Hujwa, yang meliputi wujud, wujudi sendiri, rusak-rusaknya
sendiri, jika diambil oleh Yang Maha Kuasa, hanya tinggal rasa

123
Aris Wahyudin

dan amal yang Paduka bawa ke mana saja. Jika nista menjadi
setan yang menjaga suatu tempat. Hanya menunggui daging
basi yang sudah luluh menjadi tanah. Demikian tadi tidak ada
perlunya. Demikian itu karena kurang budi dan pengetahuannya.
Ketika hidupnya belum makan buah pohon pengetahuan dan
buah pohon budi. Pilih mati menjadi setan, menunggu batu
mengharap-harap manusia mengirim sajian dan selamatan.
Kelak meninggalkan mujizat Rahmat memberi kutukan kiamat
kepada anak cucunya yang tinggal. Manusia mati tidak dalam
aturan raja yang sifatnya lahiriah. Sukma pisah dengan budi,
jika tekadnya baik akan menerima kemuliaan. Akan tetapi jika
tekadnya buruk akan menerima siksaan. Coba Paduka pikir kata
hamba itu!”
Prabu berkata “Kembali kepada asalnya, asal Nur bali
kepada Nur”.
Sabdapalon bertutur “Itu pengetahuan manusia yang
bingung, hidupnya merugi, tidak punya pengetahuan ingat, belum
menghayati buah pengetahuan dan budi, asal satu mendapat
satu. Itu bukan mati yang utama. Mati yang utama itu sewu
satus telung puluh. Artinya satus itu putus, telu itu tilas, puluh itu
pulih, wujud kembali, wujudnya rusak, tetapi yang rusak hanya
yang berasal dari ruh idhafi lapisan, bulan surup pasti dari mana
asalnya mulai menjadi manusia. Surup artinya sumurup purwa
madya wasana, menepati kedudukan manusia.”
Sang Prabu menjawab, “Ciptaku menempel pada orang yang
lebih.”
Sabdopalon berkata, “Itu manusia tersesat, seperti
kemladeyan menempel di pepohonan besar, tidak punya
kemuliaan sendiri hanya numpang. Itu bukan mati yang utama.
Tapi matinya manusia nista, sukanya hanya menempel, ikut-

124
Aspek Sosiologi Sastra dalam
Serat Darmogandhul

ikutan, tidak memiliki sendiri, jika diusir kemudian gentayangan


menjadi kuntilanak, kemudian menempel kepada awal mulanya
lagi.”
Sang Prabu berkata lagi, “Aku akan kembali kepada yang
suwung, kekosongan, ketika aku melum mewujud apa-apa,
demikianlah tujuan kematianku kelak.”
“Itu matinya manusia tidak berguna, tidak punya iman
dan ilmu, ketika hidupnya seperti hewan, hanya makan, minum,
dan tidur. Demikian itu hanya bisa gemuk kaya daging. Penting
minum dan kencing saja, hilang makna hidup dalam mati.”
Sang Prabu, “Aku menunggui tempat kubur, apabila sudah
hancur luluh menjadi debu.”
Sabdopalon menyambung, “Itulah matinya manusia bodoh,
menjadi setan kuburan, menunggui daging di kuburan, daging
yang sudah luluh menjadi tanah, tidak mengerti berganti ruh
idhafi baru. Itulah manusia bodoh, ketahuliah. Terima kasih!”
Sang Prabu berkata, “Aku akan muksa dengan ragaku.”
Sabdopalon tersenyum, “Kalau orang Islam terang tidak
bisa muksa, tidak mampu meringkas makan badannya, gemuk
kebanyakan daging. Manusia mati muksa itu celaka, karena
mati tetapi tidak meninggalkan jasad. Tidak bersyahadat, tidak
mati dan tidak hidup, tidak bisa menjadi ruh idhafi baru, hanya
menjadi gunungan demit.”
Sang Prabu, “Aku tidak punya kehendak apa-apa, tidak bisa
memilih, terserah Yang Maha Kuasa.”
Sabdopalon, “Paduka meninggalkan sifat tidak merasa
sebagai titah yang terpuji, meninggalkan kewajiban sebagai
manusia. Manusia diwenangkan untuk menolak atau memilih.
Jika sudah menerima akan mati, sudah tidak perlu mencari ilmu

125
Aris Wahyudin

kemuliaan mati.”
Sang Prabu, “Keinginanku kembali ke akhirat, masuk surga
menghadap Yang Maha Kuasa.”
Sabdopalon berkata, “Akhirat, surga, sudah Paduka kemana-
mana, dunia manusia itu sudah menguasai alam kecil dalam bear.
Paduka akan pergi ke akhirat mana? Apa tidak tersesat? Padahal
akhirat itu artinya melarat, dimana-mana ada akhirat. Bila mau
hamba ingatkan, jangan sampai Paduka mendapat kemelaratan
seperti dalam pengadilan negara. Jika salah menjawabnya tentu
dihukum, ditangkap, dipaksa kerja berat dan tanpa menerima
upah. Masuk akhirat Nusa Srenggi. Nusa artinya manusia, sreng
artinya berat sekali, enggi artinya kerja.
Jadi maknanya manusia dipaksa bekerja untuk Ratu Nusa
Srenggi. Apa tidak celaka, manusia hidup di dunia demikian tadi,
sekeluarganya hanya mendapat beras sekojong tanpa daging,
sambal, sayur. Itu perumpamaan akhirat yang kelihatan nyata.
Jika akhirat manusia mati malah lebih dari itu, Paduka jangan
sampai pulang ke akhirat, jangan sampai masuk ke surga,
malah tersesat, banyak binatang yang mengganggu, semua tidur
berselimut tanah, hidupnya berkerja dengan paksaan, tidak salah
dipaksa.
Paduka jangan sampai menghadap Gusti Allah, karena Gusti
Allah itu tidak berwujud tidak berbentuk. Wujudnya hanya asma,
meliputi dunia dan akhirat, Paduka belum kenal, kenalnya hanya
seperti kenalnya cahaya bintang dan rembulan. Bertemunya
cahaya menyala menjadi satu, tidak pisah tidak kumpul, jauhnya
tanpa batasan, dekat tidak bertemu. Saya tidak tahan dekat
apalagi Paduka, Kanjeng Nabi Musa toh tidak tahan melihat Gusti
Allah. Maka Allah tidak kelihatan, hanya Dzatnya yang meliputi
semua makhluk. Paduka bibit ruhani, bukan jenis malaikat.

126
Aspek Sosiologi Sastra dalam
Serat Darmogandhul

Manusia raganya berasal dari nutfah, menghadap Hyang Lata


wal Hujwa. Jika sudah lama, minta yang baru, tidak bolak-balik.
Itulah mati hidup. Orang yang hidup adalah jika nafasnya masih
berjalan, hidup yang langgeng, tidak berubah tidak bergeser,
yang mati hanya raganya, tidak merasakan kenikmatan, maka
bagi manusia Buda, jika raganya sudah tua, sukmanya pun keluar
minta ganti yang baik, melebihi yang sudah tua. Nutfah jangan
sampai berubah dari dunianya. Dunia manusia itu langgeng,
tidak berubah-ubah, yang berubah itu tempat rasa dan raga yang
berasal dari ruh idhafi.
Prabu Brawijaya itu tidak muda tidak tua, tetapi langgeng
berada di tengah dunianya, berjalan tidak berubah dari tempatnya
di gua hasrat cipta yang hening. Bawalah bekalmu, bekal untuk
makan raga. Apapun milik kita akan hilang, berkumpul dan
berpisah. Denyut jantung sebelah kiri adalah rasa, cipta letaknya
di langit-langit mulut. Itu akhir pengetahuan. Pengetahuan
manusia beragama Buda. Ruh berjalan lewat langit-langit mulut,
berhenti di kerongkongan, keluar lewat kemaluan, hanyut dalam
lautan rahmat, kemudian masuk ke gua garbha perempuan.
Itulah jatuhnya nikmat di bumi rahmat. Di situ budi membuat
istana baitullah yang mulia, terjadi lewat sabda kun fayakun.
Di tengah rahim ibu itu takdir manusia ditentukan, rizkinya
digariskan, umurnya juga dipastikan, tidak bisa dirubah, seperti
tertulis dalam Lauh Mahfudz. Keberuntungan dan kematiannya
tergantung pada nalar dan pengetahuan, yang kurang ikhtiarnya
akan kurang beruntung pula.

127
10

Mencari Pemaknaan Agama


(Sebuah Refleksi Agama dalam
Perspektif Ilmu Psikologi dan Sosiologi)

Oleh: Gratia Wing Artha & Winda Sari

Manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang bertuhan. Ada


banyak sekali kajian tentang pembuktian akan keberadaan
tuhan yang dapat dijelaskan secara saintifik, bahkan para
ilmuwan psikologi turut memberikan sumbangsih pemikirannya
akan keberadaan tuhan secara monistik. Salah satunya adalah
tokoh psikologi Sigmund Freud yang menjelaskan bahwa
sumber agama -dalam hal ini bertuhan- adalah berasal dari
libido sexual atau naluri seksual di mana pada tahap oudipus
complexs (tahap perkembangan psikoseksual) seorang
anak memiliki kecemburuan terhadap orang tua/seseorang
dengan jenis kelamin berbeda–seperti seorang anak laki-laki
yang menganggap ayahnya adalah saingan untuk mendapat
perhatian ibunya– perasaan-perasaan ini akan menimbulkan
rasa kebencian kepada sang ayah, seperti halnya pada mitos
Yunani Kuno di mana sang anak membunuh ayahnya dan
mengawini ibunya. Akibat kecemburuan tersebut, pada proses
selanjutnya seorang anak akan mengalami perasaan bersalah
kepada sang ayah (Father Image) sehingga memunculkan
perasaan penyesalan sekaligus ide baru dalam rangka menebus
kesalahan yang dilakukan. Ide-ide ini menurut Freud akan

128
Mencari Pemaknaan Agama

dimanifestasikan dalam bentuk upacara keagamaan, sehingga


dalam hal ini agama lahir dari ilusi manusia. Oleh karena
agama merupakan produk dari ilusi manusia, tentu interpretasi
seseorang terhadap manifestasi keberadaan Dzat Adikodrati
akan berbeda pula, ada yang memanifestasikan dalam bentuk
benda-benda, ritual-ritual, pengkultusan terhadap tokoh-tokoh
tertentu, dan lain sebagainya. Terlepas dari bagaimana seseorang
menginterpretasikan dan memanifestasikan akan keberadaan
tuhan (dalam hal ini agama). Interpreasi agama yang baik
adalah agama yang dimaknai dapat membawa seseorang pada
kedamaian, keselamatan dan keluhuran bagi umat manusia.
Beragamnya cara manusia dalam menginterpretasikan akan
adanya agama, membuat agama sendiri dapat berfungsi seperti
mata pisau yang bermata dua, di mana agama jika dimaknai
secara benar dapat menciptakan keluhuran dan kedamaian baik
secara individu maupun kolektif yang mana secara psikologis
dapat memberikan sumbangsih pada kesehatan mental manusia,
kemudian ketika agama kurang dimaknai secara humanis akibat
dari kakunya seseorang dalam memahami esensi ayat yang
termaktub dalam kitab suci (mabuk agama) maka akan menjadi
ladang “kehancuran” bagi manusia itu sendiri. Oleh karena itu,
sangat diperlukan pembentukan pemahaman agama yang dapat
memahami keberagaman baik dari segi pola pikir maupun
perilaku manusia dalam memberikan ketenangan secara
individu ditengah keberagaman atau kemajemukan masyarakat.
Dalam ranah psikologi, terdapat banyak bukti yang
mengatakan bahwa seseorang yang memiliki pengalaman
spritualitas keagamaan yang baik dapat memberikan kontibusi
terhadap kualitas kesehatan mental manusia. Pada Penelitian
Wardaningsih & Widyaningrum (2018) menjelaskan bahwa

129
Gratia Wing Artha & Winda Sari

terdapat pengaruh yang signifikan pada seseorang yang


diberikan intervensi doa dan dzikir terhadap tingkat penurunan
depresi yang dialami pada pasien yang mengalami penyakit
diabetes melitus. Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh
pernyataan Vanela (2017) yang mengatakan bahwa terapi
do’a memiliki efektifitas yang sangat baik terhadap perbaikan
kesehatan, di mana manfaatnya adalah dapat memberikan efek
ketenangan batin, kepasrahan, dan keikhlasan atas peristiwa-
peristiwa tidak menyenangkan dalam hidup. Wujud kepasrahan
ini akan menghasilkan paradigma baru yang positif terhadap
kehidupan yang pada akhirnya dapat memberikan efek placebo
berupa kesehatan mental dan fisik yang baik.
Berdasarkan penjabaran-penjabaran tersebut, dapat
saya katakan bahwa keyakinan akan tuhan yang diwujudkan
dalam bentuk ritual seperti sholat/ sembahyang, do’a, dzikir,
dan lainnya ternyata tidak hanya sekadar memenuhi syarat
ritual keagamaan yang bersifat formal, namun secara esensial
dan psikologis ritual-ritual tersebut apabila dilakukan dengan
penuh pengkhayatan dan keyakinan akan berfungsi sebagai
efek terapeutik yang berpengaruh terhadap kesehatan mental
manusia. Berdasarkan pendekatan psikoanalisis Freud tentu
ini sangat memiliki kaitan, di mana berdo’a dapat dijadikan
sebagai media katarsis di mana seseorang ketika berdo’a
dapat menceritakan hal-hal yang tidak menyenangkan yang
terjadi dalam hidupnya, dari hal yang remeh, menguras emosi,
menjijikan, kotor dan sebagainya kepada Tuhannya. Pelepasan
emosi-emosi negatif tersebut dapat menimbulkan efek kelegaan
pada seseorang sehingga tidak akan terjadi pe-repress-an emosi
negatif dalam alam tidak sadar manusia.
Selanjutnya, berpijak kembali pada persektif yang kedua,

130
Mencari Pemaknaan Agama

yakni ketika agama dimaknai secara berlebihan dan tidak


humanis yang kemudian sampai mempengaruhi seseorang
dalam mempersepsikan sesuatu maka bukan tidak mungkin
agama yang tadinya dapat memberikan efek kedamaian dan
kemaslahatan bagi umat dapat menjadi boomerang sendiri
bagi penganutnya, akibat terlalu candu dalam beragama,
sehingga sampai-sampai tidak bisa membedakan khayalan dan
kenyataan. Seseorang yang sudah mengalami ini dalam ranah
psikologis dapat mengalami delusi/ waham agama. Dalam
ranah psikologis maupun sosiologis mabuk atau candu agama
ini, yang sangat menjunjung tinggi idealisme kesempurnaan
dan merasa superior dapat berakibat pada dorongan-dorangan
melakukan tindakan-tindakan radikal, sikap intoleransi dalam
keberagaman, dan lain sebaginya. Tindakan-tindakan tersebut
tentu sangat merugikan secara realitas sosial di mana agama
yang diyakini secara superior dapat menjadi hambatan bagi
persatuan manusia.
Ada berbagai intervensi yang mungkin dapat dilakukan
dalam menyikapi fenomena mabuk agama yang dialami oleh
seseorang. Secara psikologis dan sosiologis, dapat dilakukan
indoktrinasi secara kognitif dalam rangka proses pembentukan
paradigma baru secara humanis dan benar yang menitikberatkan
pada toleransi akan keberagaman. Hal yang perlu ditekankan
adalah dengan cara melakukan pembentukan konstruksi agama
yang humanis dan dapat saling melakukan negosiasi dan dialog
antar agama. Harapannya seseorang dapat memahami ajaran
agama secara manusiawi yang mana pemaknaan agama harus
dapat memberikan keyakinan akan negosiasi perbedaan–
perbedaan yang ada sebagai upaya untuk persatuan.
Mungkin, refleksi filosofis mengenai agama dan persatuan

131
Gratia Wing Artha & Winda Sari

ini bagi sebagian orang terasa mustahil, namun yang diperlukan


dalam upaya hadirnya negosiasi agama adalah pemahaman
akan makna toleransi beragama. Dari sini, masyarakat yang
majemuk harus dapat membangun pemahaman akan agama
yang dapat bersatu dalam nuansa toleransi, nuansa toleransi
yang dimaksudkan dalam hal ini adalah pemahaman akan
hakikat agama sebagai keniscayaan yang lahir dari keberagaman
sosial. Keberagaman agama akan membangun toleransi agama
bila ada negosiasi identitas termasuk didalamnya negosiasi
akan identitas keagamaan. Selayaknya perlu dilakukan sebuah
pemahaman akan kehidupan beragama yang memasyarakat,
dengan cara ini akan dirajut makna keberagaman dalam
beragama.
Mungkin, yang perlu ditekan lagi adalah memahami makna
agama secara manusiawi dengan mengedepankan naluri
kemanusiaan dalam memahami agama. Hal ini dikarenakan
negosiasi beragama akan menghadirkan wacana persatuan
yang dilandaskan akan saling menghargai keberagaman
agama. Keberagaman agama sejatinya dapat terwujud bila ada
pemahaman akan pentingnya komunikasi dan interaksi antar
agama. Dengan adanya komunikasi dan interaksi antar agama
akan membuka peluang agar agama dapat saling menyapa.
Saling menyapa di sini diartikan saling berunding, berdiskusi,
dan saling memahami akan makna keberagaman dalam
beragama.
Dari sini akan ditemukan benang merah yang dapat
menentukan pemahaman akan keberagaman yang ada di
Indonesia. Memang, merajut keberagaman tidaklah mudah
terlebih keberagaman agama. Namun, tidak ada kata tidak
bisa bila dilakukan secara bersungguh–sungguh. Dalam

132
Mencari Pemaknaan Agama

melaksanakan hal ini, sangat dibutuhkan pendewasaan dalam


beragama. Pendewasaan itu dapat dilakukan bila adanya
negosiasi yang baik. Oleh karenanya, perlu upaya yang sangat
keras untuk menghasilkan negosiasi yang baik dan dapat
membuka cakrawala berfikir masyarakat akan toleransi
beragama.
Hal ini dapat dipahami bahwasannya negosiasi akan dapat
tercapai dengan berbagai rintangan. Rintangan tersebut dapat
dihadapi dan diselesaikan bila adanya kerjasama yang solid antar
umat beragama untuk menyingkirkan ego dalam beragama. Hal
ini dikarenakan selama ini ego beragama dapat dikatakan sebagai
“penyakit” yang sering menjadi permasalahan dalam membuka
ruang negosiasi dan mediasi dalam beragama. Sehingga dengan
semakin menguatnya ego beragama menimbulkan konflik–
konflik sosial yang cukup besar meresahkan kehidupan sosial
masyarakat.
Yang diiperlukan di sini adalah kehadiran agen–agen
sosial di masyarakat yang dapat membuka dialog lintas agama
di mana melalui ini akan menghasilkan negosiasi agama.
Seharusnya yang diperlukan adalah kesadaran masyarakat
untuk bersikap lebih dewasa dan menghargai keberagaman
agama. Di mana dalam hal ini juga penganut agama lokal yang
dinamakan “kelompok penghayat”, ini sangat diperlukan karena
kelompok penghayat seringkali kurang mendapatkan perhatian
sebagaimana agama–agama yang lain. Dari sini sedikit dilihat
sebagai ironi praktik beragama di Indonesia. Dari realitas sosial
ini dapat dipahami bahwa sangat diperlukan pemahaman dan
penghormatan akan kelompok penghayat sebagai kelompok
“beragama” seperti penganut agama lainnya.
Sebab saya berpikir batasan perbedaan antara orang yang

133
Gratia Wing Artha & Winda Sari

mabuk agama dengan orang yang taat beragama adalah dia yang
menerapkan nilai-nilai agama secara humanis (memanusiakan
manusia). Dan saya mengakui ini cukup sulit untuk dilakukan
terlebih masih terdapat seseorang atau kelompok dalam
masyarakat yang belum menerima toleransi dan negosiasi dalam
membuka praktik keberagaman agama. Namun, hal ini dapat
berubah dengan semakin terbukanya pemikiran masyarakat.
Dengan cara ini akan mewujudkan dua sila terpenting Pancasila
yakni kemanusiaan yang adil dan beradab dan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Mungkin, ini dapat dikatakan
masih proses, tetapi perubahan dan toleransi akan semakin
menguat dalam masyarakat Indonesia.

Daftar Pustaka

Ariko, D. 2019. Bipolar dan Skizofrenia dari Faktor Religius.


(Online).(https://neur olism.web.id/bipolar-skizofrenia-
faktor-relegius/),diakses 20 Agustus 2020.
Rohmah, N. 2020. Psikologi Agama Edisi Revisi. Surabaya: CV.
Jakad Media Publishing.
Wardaningsih & Widyaningrum .2018. Pengaruh Intervensi Doa
dan Dzikir AlMa’tsurat terhadap Skor Depresi pada Pasien
Diabetes Melitus di Puskesmas Mlati 1. Indonesian Journal
of Nursing Practices, 2(2). Dari http://journal.umy.ac.id/
index.php/ijnp.
Vanela, Y. 2017. Doa Sebagai Metode Psikoterapi Islam Untuk
Kesehatan Mental Pasien Di Rumah Sakit Umum Daerah
(Rsud) Dr. Hi. Abdul Moeloek Bandar Lampung. Skripsi.
Lampung: IAIN Raden Intan.

134
11

Tafsir Agama Islam dan Kristen Atas


Keberagaman Gender dan Seksualitas

Oleh: Gratia Wing Artha

Agama mayoritas, dalam hal ini Islam dan Kristen yang selama
ini dianggap “homophobia” dan mengutuk keras perilaku
homoseksualitas. Dalam hal ini, sepatutnya ditelaah secara
lebih kritis dengan metode hermeutika dikarenakan makna
yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Bibel tidak hanya serta
merta dipahami secara teksual, namun perlu pengkajian
untuk menelaah dan mengejewantahkan arti ayat-ayat yang
termaktub dalam kitab suci agama yang yang dianut oleh
masyarakat di seluruh belahan dunia. Sebagai mahasiswa
sosiologi yang mempelajari sosiologi agama sebagai bidang
keilmuwan yang menjadi keahlian saya. Narasi-narasi tekstual
dalam kitab suci Al-Qur’an dan Bibel (Injil) harus diartikan dan
dipahami dengan pendekatan humanistik. Bila dicermati secara
kritis dan mendalam agama Islam dan Kristen mengajarkan
manusia berbuat kebajikan dan “memanusiakan manusia”
dalam hal ini agama berupaya untuk menghargai segala macam
perbedaan termasuk yang salah satunya keberagaman gender
dan seksualitas. Namun, yang menjadi permasalahan adalah
seringkali penafsiran terhadap agama lebih mengarah pada
tafsir dehumanisasi. Sehingga agama seakan–akan menunjukan

135
Gratia Wing Artha

wajah ganas, tidak ramah, dan kurang toleran pada perbedaan


dan keunikan sosial yang ada.
Maka dalam hal ini, sangat diperlukan tafsir dengan
analisa semiotika yang berpedoman apada analisa ilmu sosial
dan filsafat. Dalam menafsirkan ayat yang terkandung dalam
agama harus menekankan pada universalitas dan kemanusiaan.
Bila, tafsir agama tidak mengikutsertakan aspek sosial dan
kemanusiaan agama akan menjadi “kehancuran bagi manusia”.
Memang ini dapat dianggap sedikit menakutkan dan bahkan
bisa dikatakan mengolok–olok agama yang suci dan sakral.
Akan tetapi, makna sebenarnya adalah agama harus dapat
berperan sebagai kunci kemanusiaan. Oleh karenanya, para
agamawan hendaknya menafsirkan ayat–ayat dalam kitab
suci baik Al–Qur’an dan Bibel (Injil) dengan memasukkan
perspektif sosial dan hubungan kemasyarakatan. Untuk itu,
para agamawan harus dapat memahami tafsir sosial dari kitab
suci. Bagaimanapun agama mengajarkan berbuat baik pada
sesamanya dan sangat jelas kebaikan dapat dilakukan melalui
menghargai keberagaman gender dan seksualitas serta tidak
mendiskriminasi kelompok yang dianggap memiliki orientasi
yang “unik”. Dari sini yang perlu ditekankan adalah bahwa
gender itu beragam dan tidak biner. Untuk melihat hal ini,
para agamawan baik dari agama Islam maupun Kristen harus
melihat sejarah gender dan seksualitas di masa lampau dan
menganalisanya dengan pendekatan Historis Hermeutika
agar dapat memahami dimensi sosial dan kemanusiaan yang
terkandung dalam kitab suci baik Al–Qur’an maupun Bibel
(Injil).
Agama Islam dan Kristen merupakan agama mayoritas yang
dianut oleh masyarakat di Indonesia. Dalam penyampaiannya,

136
Tafsir Agama Islam dan Kristen Atas
Keberagaman Gender dan Seksualitas

Muhamad dan Yesus yang merupakan orang suci dan pembawa


risalah masing–masing agama, yakni Islam dan Kristen sangat
menjunjung tinggi kemanusiaan dan perbedaan. Lantas,
mengapa kita seakan mendisriminasi perbedaan orientasi
seksual individu atau sekelompok orang. Bila dilihat secara
kritis agama Islam dan Kristen sangat jelas mengajarkan akan
kebajikan kepada manusia. Menghormati keberagaman yang
diciptakan oleh Tuhan merupakan refleksi menghormati Tuhan.
Bukankah manusia merupakan cerminan Tuhan (?). Hal inilah
yang ingin saya tekankan, yakni bagaimana kita beragama dan
menghormati dan memanusiakan kelompok homoseksualitas.
Saya meyakini bahwa agama mengajarkan kebajikan,
dan kebajikan akan selalu ada dalam agama mayoritas dianut
masyarakat di Indonesia seperti Islam dan Kristen. Yang perlu
ditekankan adalah menempatkan manusia dalam kesetaraan
tanpa memandang apakah homoseksual atau heteroseksual.
Dari sini akan ditemukan titik temu bahwasannya dalam
beragama kita akan menyelaraskannya dengan kebajikan
budi dan menghormati keberagaman. Karena keberagaman
merupakan keniscayaan dan harus diterima oleh manusia
serta tidak dapat disalahkan, dicaci atau dimusuhi. Mungkin,
kita perlu belajar dari mendiang Gus Dur mengenai bagaimana
memanusiakan – manusia, sebagai seorang kiai (ulama) Gus Dur
sangat menjunjung tinggi keberagaman gender dan seksualitas
termasuk ketika dia (Gus Dur) diminta oleh Persatuan Waria
Jakarta untuk menjadi ketua dewan pembina, Gusdur menerima
dan tidak menolak. Dalam hal ini, mendiang Gus Dur telah
mengajarkan pelajaran berharga untuk menghormati manusia,
meski memiliki orientasi seksual yang tidak “umum” bagi
masyarakat.

137
Gratia Wing Artha

Demikian pula teladan berharga yang diberikan oleh K.H


Mustofa Bisri (Gus Mus) yang menerima kunjungan Sinta Ratri
dan teman–teman dari Ponpes Waria Al- Fattah Yogyakarta.
Gus Mus memperlihatkan perilaku “nguwungno uwong”
(memanusiakan manusia) tanpa memandang identitas dan
orientasi seksualnya. Gus Mus menguatkan Sinta Ratri dan
teman–teman Ponpes Waria Al–Fattah untuk terus melakukan
kebaikan agar masyarakat dapat menyadari bahwa waria tidak
buruk dan memahami ajaran agama dengan baik. Begitu pula
yang ditunjukan oleh pendeta Darwita Purba, Pendeta Stephen
Suleman, dan sebagian pendeta lain yang memiliki pemahaman
humanisme dalam menafsirkan ajaran agama Kristen, di mana
dalam hal ini menekankan bahwa Yesus mengajarkan untuk
menghormati dan menyayangi semua makhluk hidup di Bumi
tanpa terkecuali. Dalam hal ini, juga termasuk kelompok
homoseksual yang juga merupakan manusia.
Kemajuan ulama dan pendeta yang sudah menekankan
humanisme dalam beragama dan mengajarkan kepada umat
untuk memanusiakan manusia sebagai salah satu upaya
melayani Tuhan akan perlahan membawa perubahan. Suatu
saat nanti agama mayoritas Islam dan Kristen dapat memahami
dan menghormati keberagaman atau ekspresi gender dan
seksualitas sebagai upaya memahami ajaran agama yang
berupaya menemukan Tuhan dalam kemanusiaan universal.

138
12

Hakikat Konflik

Oleh: Gratia Wing Artha

Konflik merupakan hal yang seringkali menimpa individu,


kelompok maupun masyarakat. Tidak heran konflik sudah
menjadi hal yang biasa dalam kehidupan manusia. Dalam
sejarahnya, manusia selalu terlibat dalam konflik. Hal ini
dikarenakan setiap individu atau kelompok pasti memiliki
kepentingan subjektif yang berupa material dan non material.
Perbedaan kepentingan ini mengakibatkan suatu peristiwa
yang berupa pertikaian atau pertentangan yang dalam istilah
ilmu sosial disebut konflik sosial. Dalam hal ini, konflik tidak
bisa dipisahkan dalam kehidupan masyarakat. Hal ini karena
sangat sulit menyamakan dan menyelaraskan kepentingan
antar tiap-tiap individu yang menjadi anggota dari masyarakat
yang kompleks dan setiap anggota masyarakat memiliki ego
yang diharapkan dapat tercapai dengan sangat maksimal.
Konflik paling sering terjadi adalah konflik antara dua kelas
yang berbeda. Kelas yang merasa tertindas dan yang memiliki
kekuatan atau seringkali dianggap menindas.
Dalam kosep pemikiran Karl Marx, konflik seringkali terjadi
karena adanya penindasan kelas. Pemikiran Marx bisa dipahami

139
Gratia Wing Artha

bahwa konflik terjadi karena terdapat kelompok kelas yang


berhasil mewujudkan bahkan memaksakan kepentingannya
terhadap kelas yang gagal mewujudkan kepentingannya. Bila
dilihat secara kritis peradaban manusia tidak akan lepas dari
apa yang dinamakan konflik. Realitas konflik selalu hadir dan
tersusun dalam sejarah peradaban manusia, dalam kehidupan
manusia tidak akan bisa terlepas dari jeratan konflik. Semua
individu hidup di mana realitas konflik akan terus terjadi dan
akan terus berjalan seiring kehidupan individu dan masyarakat,
yang mana tragisnya belum tentu semua individu memahami apa
itu konflik dan individu juga belum tentu paham apakah saat ini
sedang berada dalam situasi konflik atau tidak. Ketidakpahaman
inilah yang sangat berbahaya mengigat individu akan sadar atau
tidak sadar menerima konflik yang dialaminya.
Mengigat dewasa ini adalah zaman dimana sangat mudah
mematik sumbu pertentangan untuk menciptakan konflik demi
kepentingan pribadi tiap aktor maupun kepentingan kelompok
yang terlibat dalam pusaran arus konflik. Di dalam sebuah
konflik tentu mengandung kepentingan subjektif yang sudah
sejak awal ditetapkan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam
pusaran konflik. Kepentingan sendiri dapat diartikan sebagai
keinginan subjektif seorang aktor atau kelompok yang harus
segera dipenuhi dengan sumber daya material maupun non-
material. Sumber daya material disini dikategorikan sebagai
benda–benda, misalnya seperti kendaraan, makanan, pakaian,
tempat tinggal, elektronik dan sebagainya. Sedangkan sumber
daya non-material selalu diidentikan dengan kekuasaan,
jabatan, nama baik atau pamor dan sebagainya. Masing-masing
aktor dan kelompok inilah yang akan bersaing dan melakukan
persaingan untuk memenuhi sumber daya yang diinginkan.

140
Hakikat Konflik

Mereka akan berjuang mati-matian dengan segala daya dan


upaya demi mencapai apa yang diinginkan (kepentingan
subjektif). Seringkali cara seperti kekerasan harus dilakukan
untuk mencapai sumber daya yang mereka inginkan. Dari
sinilah konflik muncul dalam rentetan sejarah umat manusia
sejak dulu hingga sekarang ini.
Di Indonesia, dewasa ini telah terjadi berbagai macam
konflik dengan berbagai bentuk, mulai dari konflik yang
berskala ringan dan terlihat sederhana hingga konflik yang
berat dan sangat merepotkan. Kasus konflik yang seringkali
terjadi di Indonesia yaitu, kriminalitas. Kriminalitas ini dapat
terjadi di mana saja, kapan saja dan oleh siapa saja tanpa
memandang status sosial, entah terjadi di kota yang metropolis
hingga desa yang masih sangat sederhana. Pagi hingga malam
sampai individu yang terlihat baik maupun individu yang
memiliki tanda-tanda “menyimpang” oleh masyarakat. Kasus
kriminalitas yang sangat sering terjadi di Indonesia sangat miris
yaitu, pencurian. Hal ini bila dilihat dalam kacamata konflik bisa
dianalisa bahwa konflik pasti mengandung kepentingan. Pada
kasus pencurian sang pencuri memiliki kepentingan untuk
mendapatkan uang dengan menjual barang curian atau ingin
memilikinya sendiri. Hal ini menunjukan pencuri melakukan
hal yang dianggap tercela untuk mendapatkan sumber daya
yang ia idam–idamkan atau butuhkan. Selain pencurian,
penyalahgunaan kekuasaan juga termasuk kriminalitas yang
terjadi di Indonesia. Penyalahgunaan kekuasaan dilakukan demi
mencari keuntungan dengan mengorbankan orang lain bahkan
orang terdekat sekalipun. Penyalahgunaan kekuasaan seperti ini
seringkali terjadi dalam struktur politik kita saat ini yang mana
kita sudah mengetahuinya melalui media sosial maupun media

141
Gratia Wing Artha

massa yang kita ketahui dan sudah tersebar maupun belum kita
ketahui dan bersifat internal dan tertutup.
Terjadinya realitas konflik sudah pasti menimbulkan
konsekuensi yang terbentuk dari konflik itu sendiri. Konsekuensi
konflik tergolong menjadi 2, yaitu terkelola dan tidak terkelola
dengan baik dan benar. Konflik yang terkelola adalah konflik
yang sejak awal sudah diramalkan atau diperediksi akan
terjadi sehingga pihak-pihak yang terlibat dapat bekerjasama
dalam menyelesaikan dampak konflik dengan tujuan akhir
meredam konflik agar tidak terlalu parah dan agar konflik tidak
terjadi lagi namun ini tentu sulit. Sedangkan konflik yang tidak
terkelola adalah konflik yang tidak dapat dikendalikan dengan
baik dan tidak dapat diprediksi terlebih dahulu dan tidak dapat
dikendalikan dampak konflik yang terjadi. Salah satu contoh
yang tepat adalah kekerasan. Kekerasan memiliki 2 tipologi,
yaitu kekerasan fisik (melukai, merusak dan membunuh dan
berhubungan dengan fisik). Serta kekerasan komunikasi
(identik dengan SARA bersifat verbal). Dewasa ini terjadi
kasus kekerasan komunikasi di Indonesia yaitu rasisme yang
menimpa saudara kita masyarakat Papua. Kekerasan seperti ini
menimbulkan dampak negatif yang sangat besar bagi individu,
masyarakat dan bahkan negara.
Tentunya kita mengharapkan konflik yang terjadi di
Indonesia dapat dikelola dan diredamkan dengan efektif dan
efisien. Maka, sangat diperlukan pengetahuan dan wawasan
yang luas mengenai konflik. Dengan begitu, akan mewujudkan
kesatuan, persatuan dan keharmonisan dalam kehidupan sosial.
Konflik memang akan selalu terjadi dalam kehidupan sejarah
manusia karena manusia memiliki beragam kepentingan
yang berbeda. Maka, sangat dibutuhkan toleransi dan saling

142
Hakikat Konflik

menghargai untuk menciptakan harmoni sosial dan integrasi


sosial bagi seluruh masyarakat dan negara. Inilah tugas para
ilmuwan sosial (Sosiolog, Antropolog, dan Ilmuwan sosial
lainnya) untuk menjaga integrasi masyarakat tetap utuh.

143
13

Islam, Gender dan Radikalisme


Oleh: Rr. Siti Kurnia Widiastuti

Kekerasan sering dialami kelompok masyarakat yang dianggap


lemah. Perempuan dalam konstruksi masyarakat seringkali
dianggap lemah sehingga ditempatkan pada posisi kedua.
Stereotipe terhadap perempuan adalah lemah secara fisik,
lembut perasaannya dan tutur katanya. Sehingga anggapan yang
diyakini masyarakat, perempuan itu harus feminin, lembut,
mudah menangis. Jika perempuan maskulin, kasar, tidak
bisa mudah menangis dianggap tidak wajar. Di sisi lain, ada
kelompok masyarakat yang keberadaannya sering lebih kurang
beruntung dari perempuan yaitu transgender. Transgender
itu bisa transpuan (waria) dan transpria. Transpuan secara
psikologis seperti perempuan tetapi secara biologis (fisik) laki-
laki. Sedangkan transpria itu secara fisik terlahir perempuan
tetapi secara psikologis merasa sebagai laki-laki. Saat ini,
fenomena transpuan di Indonesia lebih terlihat dan lebih eksis
daripada transpria. Ada transpuan yang ingin dirinya diakui
sebagai perempuan, tetapi sebagian yang lain menginginkan
waria sebagai jenis kelamin ketiga. Oleh karena itu, kondisi
transpuan lebih sering termarginalkan dan terdiskriminasikan
dari masyarakat secara umum. Isu yang dihadapi perempuan
dan transpuan ini terkait dengan isu gender.

144
Islam, Gender dan Radikalisme

Diskursus gender di kalangan masyarakat Muslim


seringkali meminggirkan kelompok-kelompok perempuan
dan transgender. Hal itu dipengaruhi oleh konstruksi sosial
dan budaya pada masyarakat Indonesia yang masih patriarkis.
Pemahaman yang kurang berkesetaraan gender tersebut
sering memicu tindakan-tindakan kekerasan yang dialami oleh
perempuan maupun transgender. Wacana kesetaraan gender
ini sering mendapat reaksi negatif di kalangan masyarakat
Indonesia, khususnya masyarakat Muslim, karena dianggap
sebagai produk pemikiran Barat yang notabene non Muslim.
Sehingga ketika seorang Muslim mengacu pada pemikiran
masyarakat Barat dianggap tidak Islami. Persepsi seperti ini
sering digaungkan oleh kelompok Muslim tertentu. Tindakan
kekerasan yang dilakukan kepada kelompok-kelompok marginal
tersebut sering mengarah kepada tindakan radikalisme. Menteri
Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Republik
Indonesia (Menko Polhukam RI), Mahfud MD membedakan
definisi radikalisme menjadi definisi umum dan stipulatif. Dalam
pengertian stipulatif, radikalisme merupakan setiap usaha
untuk mengubah dengan cara kekerasan pada suatu sistem
yang sudah ada dalam suatu tatanan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Secara mudahnya diartikan sebagai “cara melawan
orang lain yang berbeda pandangannya”1.
Tulisan ini akan dibagi menjadi beberapa sub judul untuk
memudahkan alur pemikiran bagi para pembaca: pertama,
tentang salah kaprah dalam memahami seks dan gender; kedua,
apa itu seksualitas; ketiga tentang perempuan dan transgender;
1
Robertus Wardi. Ini Tiga Definisi Radikalisme Menurut Menko
Polhukam. Diakses dari https://www.beritasatu.com/nasional/584889-
ini-tiga-definisi-radikalisme-menurut-menko-polhukam pada tanggal 11
Agustus 2020.

145
Rr. Siti Kurnia Widiastuti

keempat tentang aksi radikalisme yang menimpa perempuan


dan transgender, kelima, gender dalam Al Qur’an, dan keenam
merupakan penutup.

Salah Kaprah dalam Memahami Seks dan Gender

Ketika berbicara tentang gender, orang sering salah pengertian


dengan seks. Kadang-kadang orang menggunakan istilah
gender itu adalah untuk menunjuk kepada perempuan. Dalam
studi gender, istilah seks dan gender itu berbeda. Seks itu
terkait dengan unsur biologis, contohnya: perempuan memiliki
vagina, payudara, rahim dan memproduksi ovum sehingga dia
bisa hamil dan menyusui; laki-laki memiliki penis, jakula, dan
memproduksi sperma.
Adapun gender itu terkait dengan peran yang
dikonstruksikan secara sosial dan budaya. Menurut Mansour
Fakih, konsep gender merupakan “suatu sifat yang melekat
pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan
secara sosial maupun kultural”.2 Seseorang kadang-kadang
memiliki pemahaman yang keliru ketika menyebut kodrat,
sebagai contoh: kodrat perempuan itu memasak dan laki-laki
mencari nafkah. Padahal memasak dan mencari nafkah itu
merupakan peran sosial yang dapat dilakukan oleh perempuan
maupun laki-laki. Artinya dalam hal ini, peran tersebut dapat
dipertukarkan pelaksananya. Kodrat itu merupakan sesuatu
yang diberikan Tuhan, sehingga jika merujuk pengertian awal
tadi, maka kodrat itu yang terkait dengan hal-hal bersifat
biologis yang merupakan pemberian dari Allah SWT dan tidak
bisa dipertukarkan. Sedangkan peran yang dibentuk secara
sosial itu bisa dipertukarkan.
2
Mansour Fakih. 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial.
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hal. 3.

146
Islam, Gender dan Radikalisme

Apa itu Seksualitas?

Seksualitas merupakan “kesadaran seseorang akan hasrat


seksual dan ekspresi keintiman dan kesenangan, yang mencakup
tidak hanya orientasi seksual seseorang (apakah seseorang
menginginkan kontak seksual dengan lawan jenis atau pasangan
sesama jenis) tetapi juga masalah yang lebih halus dari
tingkat hasrat seksual (apakah seseorang menginginkannya,
mengalami hasrat seksual sama sekali, misalnya), intensitasnya
dan fokusnya.”3 Antar individu dalam kehidupan di masyarakat
dimungkinkan akan memiliki orientasi seksual yang berbeda-
beda, seperti: homoseksual (hasrat seksual sesama jenis
kelamin), heteroseksual (hasrat seksual berbeda jenis kelamin),
biseksual (hasrat seksual dengan sesama maupun berbeda
jenis kelamin) atau aseksual (tidak memiliki hasrat seksual
sama sekali). Namun, karena mayoritas masyarakat memiliki
orientasi heteroseksual, maka norma-norma seksual yang
dibangun lebih mengakui heteronormatifitas (orientasi seksual
yang dianggap ‘normal’ adalah heteroseksual). Oleh karena itu,
individu yang tidak berorientasi heteroseksual dalam kehidupan
di masyarakat dianggap “tidak normal”. Kaitannya dengan hal
ini, seorang transgender itu sering diasumsikan homoseksual,
padahal menurut pengalaman yang dialami transgender, kondisi
yang dihadapi oleh transgender dengan homoseksual berbeda.
Jika transpuan diasumsikan sama dengan gay, maka apa yang
dialami transpuan dan gay itu berbeda. Begitu juga yang dialami
oleh transpria yang berbeda dengan apa yang dialami oleh
lesbian. Jadi, kondisi ini juga yang menambah problem bagi
seorang transgender.
3
Scot Alan Kagle dalam Rr. Siti Kurnia Widiastuti. 2019. Metode
Penelitian dan Isu-isu Kontemporer dalam Studi Transgender. Bandung: CV
Rasi Terbit, hal. 80.
147
Rr. Siti Kurnia Widiastuti

Perempuan dan Transgender

Perempuan seringkali mendapatkan perlakuan diskriminatif


dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Banyak perempuan
sukses tetapi di sisi lain perempuan juga banyak yang terabaikan,
terpinggirkan dan terdiskriminasi. Perempuan terkadang
menjadi alasan utama suatu agenda, tetapi adakalanya hal itu
justru menempatkan perempuan pada pihak yang tereksploitasi.
Sebagai contoh, dalam dunia politik, ada affirmative action
untuk calon legislatif sebanyak 30 persen kuota perempuan.
Tidak jarang partai politik menempatkan 30 persen perempuan
tersebut hanya sebagai pelengkap untuk memenuhi persyaratan
bisa ikut dalam ajang pemilihan umum (pemilu). Banyak juga
perempuan berdaya, berpendidikan dan memenuhi kualitas
untuk terjun ke dunia politik. Akan tetapi, dari sekian banyak
perempuan di dunia politik tersebut, dalam beberapa kasus ada
beberapa perempuan yang hanya dimanfaatkan saja oleh suatu
partai politik tertentu untuk sekedar memenuhi persyaratan
keikutsertaan partai politik tertentu tersebut dalam pemilu.
Beberapa kasus juga dijumpai dalam struktur organisasi
partai ataupun organisasi, para perempuan akan ditempatkan
pada posisi yang dianggap cocok untuk perempuan, seperti
bendahara atau konsumsi. Sehingga posisi mereka di partai
politik atau organisasi tersebut hanya sebagai pelengkap dan
pembantu di belakang.
Fenomena yang terjadi pada perempuan ini juga dialami
oleh transgender. Kalau perempuan seringkali posisinya di level
kedua setelah laki-laki, maka transgender yang memiliki identitas
gender yang tidak sesuai dengan seksnya ini mengalami kondisi
yang lebih terpuruk lagi. Identitas gender itu merupakan suatu
perasaan mendalam yang melekat pada diri seseorang sebagai

148
Islam, Gender dan Radikalisme

laki-laki, perempuan atau alternatif gender seperti gender queer,


gender yang tidak sesuai, gender netral, yang mungkin sesuai
atau tidak sesuai dengan jenis kelamin yang ditentukan saat
dilahirkan atau jenis kelamin utamanya.4 Transpuan (waria)
secara fisik terlihat laki-laki tetapi secara psikologis dia merasa
sebagai perempuan. Dalam pandangan masyarakat umum, hal
itu sudah dianggap tidak lazim, sehingga keberadaannya tidak
diakui. Kalau perempuan di posisi kedua, maka transgender
posisinya akan lebih tidak menguntungkan lagi. Sehingga
kondisi yang dihadapi oleh transpuan dimungkinkan akan lebih
mengalami banyak problem daripada perempuan.
Perempuan dan transgender seringkali menjadi objek
untuk dimanfaatkan oleh kelompok lain. Sebagai contoh: dalam
iklan, perempuan seringkali dieksploitasi penampilan tubuhnya
untuk membuat suatu produk menjadi lebih menarik dan
banyak diminati. Ide lawakan yang lucu seringkali menampilkan
perilaku seperti transpuan (waria) di media elektronik untuk
mendapat respon pemirsa yang lebih banyak. Tidak hanya dalam
iklan penawaran suatu produk atau program di media, tetapi
seringkali perempuan dan transgender juga dimanfaatkan untuk
tindakan atau menjadi korban kekerasan atau radikalisme.

Aksi Radikalisme yang Menimpa Perempuan dan


Transgender

Ada tiga pengertian radikal menurut Mahfud MD, yaitu: 1.


Tafkiri (menganggap orang yang tidak sepaham atau berbeda
dengannya adalah kafir) dan dikaitkan agama; 2. Jihadi, dalam
hal ini suka membunuh dan melakukan pengeboman terhadap
4
American Psychological Association. 2015. Guidelines for
Psychological Practice with Transgender and Gender Nonconforming People.
American Psychologist, 70(9), 834.

149
Rr. Siti Kurnia Widiastuti

orang lain; 3. Ideologis atau pemikiran, dalam hal ini selalu


bergerak. Untuk mengatasi gerakan radikalisme yang berbentuk
tafkiri dan ijtihadi ada landasan hukum yang mengaturnya
(dalil ujaran kebencian atau UU terorisme), sedangkan untuk
mengatasi gerakan radikalisme idiologis maka harus dilawan
dengan pemikiran juga.5
Aksi radikal di Indonesia seringkali memanfaatkan
perempuan. Pierre Bourdieu mengatakan bahwa “Keutamaan
perempuan adalah keperawanan dan kesetiaan.”6 Kesetiaan
yang menjadi salah satu keyakinan perempuan pelaku aksi
teror untuk merelakan dirinya diikutsertakan suaminya
dalam beberapa aksi teror di Indonesia. Perempuan secara
sukarela mengikuti suaminya hijrah ke Ghaza Palestina dalam
aksi dukungan terhadap ISIS. Para perempuan ini seringkali
tidak tahu konsekuensi yang akan dihadapinya nanti. Bentuk
kesetiaan perempuan terhadap suami tersebut juga terlihat
pada keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme pada
kasus penyerangan mantan Menko Polhukam Wiranto di Poso,
Sulawesi Tengah pada tanggal 10 Oktober 2019. Pada kasus
ini, istri bersedia melakukan aksi berbahaya yaitu penusukan
kepada Wiranto dalam rangka mendukung aksi teror yang
dilakukan suaminya. Hasil penelitian yang dilakukan Lembaga
Penguatan Masyarakat Sipil (LPMS) Poso bekerjasama
dengan Polres Poso dan Jurusan Sosiologi, Fisipol UGM yang
diungkapkan oleh Budiman Maliki, “Potensi melakukan itu
sebenarnya lebih pada upaya mendukung. Jadi, kalau istilahnya
dia berinisiatif sendiri untuk melakukan itu, kita belum melihat.
Tetapi upaya mendukung, baik pasif maupun aktif, itu cukup
5
Robertus Wardi. Ini Tiga Definisi Radikalisme.
6
Pierre Bourdieu. 2010. Dominasi Maskulin. Yogyakarta: Jalasutra, hal 73.

150
Islam, Gender dan Radikalisme

terlihat dari hasil penelitian yang ada.”7 Pada bulan Mei tahun
2018 juga terjadi aksi teror di beberapa gereja di Surabaya yang
melibatkan perempuan. Dalam hal ini, perempuan tersebut
melakukan aksi ini atas perintah suaminya.8 Jadi pada beberapa
contoh aksi radikalisme tersebut, perempuan dimanfaatkan
untuk melakukan aksi teror.
Aksi radikal juga sering dihadapi transpuan disebabkan
karena anggapan sekelompok masyarakat terhadap transpuan
adalah sesat. Bahkan transpuan muslimah yang akan belajar
agama dengan baik di pesantren waria pun juga mendapat aksi
kekerasan dari kelompok muslim tertentu. Pada tahun 2016,
kelompok ormas Islam yang tergabung dalam Front Jihad Islam
mendatangi Pondok Pesantren Waria Al Fatah di Yogyakarta.
Kedatangan tersebut untuk menuntut ditutupnya pesantren
tersebut karena dianggap melegalkan LGBT (Lesbian, Gay,
Biseksual dan Transgender) dan merupakan sarang maksiat.9
Walaupun tidak terjadi kekerasan fisik, tetapi para transpuan
ini merasa diteror sehingga mereka mengalami kekerasan
psikologis dan kegiatan keagamaan di pesantren ini sempat
terhenti beberapa waktu.

7
Nurhadi Sucahyo. Menjaga Jarak Perempuan dari Radikalisme.
Diakses dari https://www.voaindonesia.com/a/menjaga-jarak-perempua
n-dari-radikalisme/5143646.html pada tanggal 2 Agustus 2020.
8
Nurhadi Sucahyo. Menjaga Jarak.
9
Adi Reynaldi. Merekam Jatuh Bangun Satu-satunya Pesantren
Khusus Transpuan di Indonesia. Diakses dari https://www.vice.com/
id_id/article/59nm4x/merekam-jatuh-bangun-satu-satunya-pesantren-
khusus-transpuan-di-indonesia-shinta-ratri pada tanggal 2 Agustus 2020.

151
Rr. Siti Kurnia Widiastuti

Gender dalam Al Qur’an

Peran laki-laki dan perempuan dalam Islam itu sama yaitu


menjadi khalifah di muka bumi (disebutkan dalam QS. Al
Baqarah: 30-33), bertugas untuk mengatur semua makhluk
di bumi. Al Qur’an menjelaskan perbedaan laki-laki dan
perempuan itu hanyalah ketakwaannya di hadapan Allah SWT,
sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dalam QS Al Hujurat:
13, “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami
jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu
saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di sisi Allah ialah
orang yang paling bertaqwa.”10 Jadi, mengacu kepada ayat ini,
dalam Islam peran semua umat di dunia ini tidak dibedakan
berdasarkan peran gendernya, artinya identitas gender itu tidak
menghalangi seseorang untuk bisa mendekatkan diri kepada
sang Pencipta.
Seseorang yang bisa menjalankan perintah dan menjauhi
larangan Allah SWT, dialah yang akan menjadi orang pilihan
dan menjadi contoh yang baik (uswatun hasanah) bagi orang
lain. Kalau diperluas maknanya, maka seseorang yang memiliki
identitas gender yang berbeda-beda (baik laki-laki, perempuan,
transgender, dan lainnya) dapat menjadi manusia pilihan dan
menjadi contoh baik bagi manusia lainnya. Sehingga tidak ada
halangan bagi seseorang yang bervariasi identitas gendernya
untuk beribadah kepada Allah SWT. Permasalahan akan muncul
ketika penafsiran terhadap suatu ayat itu dipahami dengan
perspektif yang bias gender, sehingga akan memunculkan
peluang ketidaksetaraan gender atau diskriminasi gender.
10
Tim Pelaksana. 1427 H. Al Qur’an Terjemah Indonesia. Kudus:
Menara Kudus, hal. 517.

152
Islam, Gender dan Radikalisme

Ada sebagian pandangan masyarakat Muslim di Indonesia


yang tidak menyetujui perempuan sebagai pemimpin. Alasan
yang dijadikan dasar penolakan tersebut mengacu pada QS An
Nisa ayat 34 bahwa laki-laki itu adalah pemimpin. Hal ini juga
didukung oleh kondisi sosial masyarakat Indonesia khususnya
sebagian masyarakat Muslim yang masih patriarkhis. Sehingga
seringkali ada perempuan yang mengalami banyak kendala
ketika akan menjadi pemimpin, khususnya di suatu lembaga
sosial keagamaan. Namun kondisi saat ini sudah banyak pejuang
kesetaraan gender yang tidak hanya dari kalangan perempuan
tetapi juga laki-laki. Sehingga banyak perempuan Indonesia yang
dapat menjadi pemimpin, baik itu di pemerintahan, perguruan
tinggi, legislatif, dan lain-lain. Bahkan perempuan yang menjadi
pemimpin di Indonesia jika dikomparasikan dengan perempuan
di Barat, seperti Amerika Serikat, keberadaannya lebih terlihat
secara kuantitas.
Perempuan sering kurang dipertimbangkan ketika menjadi
pemimpin daripada laki-laki, itu merupakan salah satu problem
ketidaksetaraan gender bagi perempuan. Adapun problem yang
dihadapi oleh transgender dalam masyarakat Islam adalah
keberadaannya yang dianggap sesat. Pandangan sebagian
pemikir Islam, transgender itu disamakan dengan homoseksual.
Kisah yang dijadikan acuan bagi sebagian pemikir Islam tersebut
adalah kisah pengikut Nabi Luth yang dianggap melakukan
penyimpangan seksual karena melakukan hubungan seksual
sesama jenis. Sementara dalam kajian Fikih Islam ada yang
membahas tentang transgender. Penyebutan transgender pada
ulama fikih itu adalah mukhannath (transpuan) dan mutarajjilat
(transpria). QS An Nur ayat 31 dan QS Al Hajj ayat 5 yang
menjadi inspirasi para ulama fikih untuk memahami kondisi

153
Rr. Siti Kurnia Widiastuti

transgender. Hal itu dilakukan oleh Al-Nawawi dan Ibn Hajar.11


Jadi, keberadaan transgender dalam Islam itu ada dan cara
beribadah bagi transgender itu juga diatur dalam fikih. Namun,
keberadaan transgender di sebagian masyarakat Muslim
masih belum bisa diterima bahkan ditolak keberadaannya.
Sehingga para transgender mengalami banyak permasalahan
ketika mereka akan melakukan ibadah di publik, sehingga
untuk menghindari penolakan tersebut mereka cenderung
beribadah secara individu atau dalam kelompok khusus sesama
transgender.

Penutup

Pada hakekatnya, peran gender dalam Islam itu tidak dibedakan,


hanya ketakwaan yang membedakan manusia di hadapan sang
Pencipta. Namun pandangan sebagian masyarakat Muslim
yang bias gender, seringkali menempatkan perempuan dan
transgender dalam posisi yang kurang menguntungkan.
Perempuan dan transgender seringkali dijadikan sebagai objek
atau korban dari aksi kekerasan atau radikalisme. Oleh karena
itu, diskusi dan penelitian terhadap isu-isu kesetaraan gender
secara umum dan secara khusus yang terkait dengan perempuan
dan transgender ini masih perlu dilakukan.

Daftar Pustaka

American Psychological Association. 2015. Guidelines for


Psychological Practice with Transgender and Gender
Nonconforming People. American Psychologist, 70(9), 832-
11
Rr. Siti Kurnia Widiastuti. 2017. Discourses and Practices of
Muslim Transgender in Yogyakarta and Central Java, Indonesia. Disertasi.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, hal 79-82.

154
Islam, Gender dan Radikalisme

864.
Bourdieu, Pierre. 2010. Dominasi Maskulin. Yogyakarta:
Jalasutra.
Fakih, Mansour. 2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial.
Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Reynaldi, Adi. Merekam Jatuh Bangun Satu-satunya Pesantren
Khusus Transpuan di Indonesia. Diakses dari https://www.
vice.com/id_id/article/59nm4x/merekam-jatuh-bangun-
satu-satunya-pesantren-khusus-transpuan-di-indonesia-
shinta-ratri pada tanggal 2 Agustus 2020.
Sucahyo, Nurhadi. Menjaga Jarak Perempuan dari Radikalisme.
Diakses dari https://www.voaindonesia.com/a/menjaga-
jarak-perempuan-dari-radikalisme/5143646.html pada
tanggal 2 Agustus 2020.
Tim Pelaksana. 1427 H. Al Qur’an Terjemah Indonesia. Kudus:
Menara Kudus.
Wardi, Robertus. Ini Tiga Definisi Radikalisme Menurut Menko
Polhukam. Diakses dari https://www.beritasatu.com/
nasional/584889-ini-tiga-definisi-radikalisme-menurut-
menko-polhukam pada tanggal 11 Agustus 2020.
Widiastuti, Rr. Siti Kurnia. 2017. Discourses and Practices
of Muslim Transgender in Yogyakarta and Central Java,
Indonesia. Disertasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Widiastuti, Rr. Siti Kurnia. 2019. Metode Penelitian dan Isu-isu
Kontemporer dalam Studi Transgender. Bandung: CV Rasi
Terbit.

155
14

Islam dan Ajaran Kebaikan


(Tinjauan Sosiologis Mengenai Nilai-Nilai Islam
Sebagai Pelengkap Keselarasan dengan
Nilai Sosial Budaya Indonesia)
Oleh: Gratia Wing Artha

Islam selalu dikaitkan dengan kebaikan dan keselarasan dengan


budaya. Bila merujuk pada pendapat pemikir Islam Nurcholis
Madjid, Islam merupakan pelengkap dari kebudayaan dan
nilai–nilai yang ada pada suatu bangsa. Dari sini kita ketahui
bahwasannya Islam itu tidak sekedar doktrin yang mengajarkan
benar dan salah tapi secara lebih luas, Islam mengajarkan
kebajikan dalam kehidupan sosial. Hal inilah yang menjadikan
Islam sangat menarik untuk dipelajari karena dengan ajaran
Islam yang kuat akan membentuk kebudayaan yang sudah baik
lagi menjadi lebih arif. Hal ini dikarenakan Islam itu luas dan
tidak terbatas pada kosa kata bahasa Arab. Dalam berbagai
literatur mengenai Islam dan budaya, dapat ditemukan suatu
benang merah bahwa Islam selalu selaras dengan kemajuan
dan penghargaan terhadap nilai-nilai budaya suatu bangsa.
Maka, hal yang perlu untuk ditekankan adalah pemaknaan
budaya yang disejajarkan dengan nilai-nilai keislaman akan
menghasilkan kepaduan yang kuat. Contoh yang sangat menarik
bisa dilihat dari berbagai kesenian yang memadukan ajaran
Islam dengan budaya lokal. Saya akan mengambil contoh budaya
selametan. Selametan memiliki arti yang sangat penting dan

156
Islam dan Ajaran Kebaikan

memiliki nilai filosofi yang sangat dalam bagi masyarakat Jawa.


Berbagai literatur telah mengupas selametan secara kuat dan
menyeluruh. Di sini bisa dilihat secara jelas bahwa Islam sangat
menghargai kecerdasan suatu bangsa, dengan cara membuat
akulturasi budaya lokal antara selametan dipadukan dengan
nilai-nilai dan ajaran keislaman.
Gus Dur selalu mengatakan bahwa Islam itu selalu
menjunjung tinggi budaya suatu bangsa serta selalu memandang
terhormat budaya yang ada. Tidak pernah sekalipun Islam
memandang salah suatu budaya yang jelas-jelas baik dan
mencerminkan kecerdasan suatu bangsa. Islam tidak selalu
identik dengan Arab atau Timur Tengah sebab Islam adalah
ajaran yang sangat universal. Ke-universalan Islam selalu
menjadi daya tarik untuk terus dipelajari dan diteliti. Dalam
literatur Islamic studies telah ditekankan Islam memiliki
pengaruh yang sangat kuat untuk menarik simpati masyarakat.
Karena Islam memiliki cara pandang liberal namun juga
bertanggungjawab. Hal ini diperkuat dengan berbagai literatur
di Universitas MC Gill Kanada Departemen Islamic studies, yang
dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam mudah beradaptasi
dengan berbagai budaya bangsa-bangsa yang ada di dunia dan
memiliki nilai dan ajaran yang sangat humanis serta sangat
menjujung tinggi budaya.
Bila dicermati secara lebiih detail Islam merupakan ajaran
agama yang sangat transformatif dan memiliki nilai-niali yang
sangat arif. Maka, tidak heran ajaran Islam mudah diterima oleh
semua bangsa yang ada dunia. Saya rasa dalam memaparkan
Islam, saya kurang menguasai bidang ini namun yang saya
harapkan semoga ada ahli atau mahasiswa yang mengkaji lebih
dalam mengenai Islam dan transformasi sosial.

157
15

Urgensi Interfaith Mentoring Mahasiswa


Sebagai Upaya Memperkokoh Integrasi Bangsa
Melindungi Jaminan Kebebasan Beragama
Oleh: Iman Pasu Purba,S.H., M.H

Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan keberagaman


keberagaman agama, keberagaman suku, keberagaman bahasa,
dan adat istiadat menjadi kekayaan yang patut disyukuri dan
dirayakan sebagai bagian dari ibadah kepada kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Akan tetapi, dalam praktiknya di Indonesia, konflik
horizontal atas nama suku agama ras antar golongan (SARA)
masih marak terjadi titik konflik yang paling sering mencuat
adalah konflik atas nama agama. Konflik atas nama agama
semisal praktik politik identitas, sulitnya mendirikan rumah
ibadah, toleransi yang sifatnya semu, bahkan tindakan anarki
terhadap keberlangsungan ibadah kerap terjadi di bangsa ini.
Konflik-konflik atas agama tersebut umumnya terjadi
karena adanya kesalahpahaman terhadap agama yang berbeda,
rasa superioritas mayoritas, prasangka, dan pengajaran
yang salah tentang agama lain oleh pemimpin agama. Setara
Institute mencatat bahwa dalam kurun waktu 12 tahun terakhir
terdapat 2400 pelanggaran kehidupan Kebebasan Bergama dan
Berkeyakinan (KBB) di Indonsia.1 Sementara lembaga Parsial
1
https://nasional.tempo.co/read/1271038/setara-ada-2-400-insid
en-pelanggaran-kebebasan-beragama/full&view=ok

158
Urgensi Interfaith Mentoring Mahasiswa Sebagai Upaya
Memperkokoh Integrasi Bangsa Melindungi Jaminan Kebebasan Beragama

merilis laporannya bahwa ada 31 kasus pelanggaran KBB di


Indonesia sepanjang tahun 2019. 2 Oleh karenanya, keberadaan
komunitas lintas iman menjadi kebutuhan di bangsa ini untuk
merekatkan relasi antar umat beragama dan membangun ikatan
batiniah antar umat beragama dengan adanya komunitas lintas
iman diharapkan visi dan tujuan cita-cita nasional bangsa kita
tidak terhalangi karena adanya konflik horizontal atas nama
agama di Indonesia.
Komunitas lintas iman yang dimaksudkan hendaknya
ada di beberapa level dan segmentasi di dalam kehidupan
bermasyarakat. Salah satu segmentasi yang sangat strategis
adalah dunia mahasiswa. Dunia mahasiswa menjadi sangat
penting karena mahasiswa sebagai Pemuda dalam perjalanan
sejarah bangsa Indonesia memiliki peranan yang sangat
luar biasa. untuk mendirikan bangsa ini sejarah mencatat
bahwa pergerakan mahasiswa Indonesia memberi buah
manis terhadap keberhasilan meraih kemerdekaan bangsa
ini. Hal yang tidak dapat dinafikan adalah bahwa mahasiswa
memiliki pemikiran kritis, daya juang yang tinggi, militansi
dan konsistensi di dalam pergerakannya. bahkan jika mengacu
kepada era reformasi, Pada tahun 1998, gerakan mahasiswa
yang masif dan agresif bertuah runtuhnya rezim Soeharto yang
selama 32 tahun memimpin bangsa ini. Ketika mahasiswa
bergerak perubahan yang fundamental terjadi di di Indonesia
pasca gerakan reformasi tersebut.
Untuk menyikapi problematika konflik horizontal atas
nama agama yang tersebut di atas, maka saat ini Indonesia juga

2
https://nasional.kompas.com/read/2019/11/17/16384041/impa
rsial-catat-31-pelanggaran-kebebasan-beragama-dan-berkeyakinan-
sepanjang

159
Iman Pasu Purba,S.H., M.H

membutuhkan pergerakan lintas iman yang militan dan konsisten.


Saat ini, di Indonesia ada beberapa kelompok lintas iman yang
yang bergerak dengan keunikan masing-masing organisasi.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi
pemuda lintas Iman ini mengacu kepada upaya merawat atau
merayakan kebhinekaan yang ada dan memperjuangkan
perdamaian di Indonesia dengan membumikan nilai-nilai
perdamaian dengan berbagai cara. Salah satu komunitas lintas
iman yang bergerak secara konsisten di Indonesia adalah Young
Interfaith Community Indonesia (YIPC).
YIPC Indonesia dalam pergerakannya melakukan banyak
aktivitas yang berfokus kepada penyadaran urgensi komunitas
lintas iman di Indonesia, mendesiminasikan nilai-nilai
perdamaian serta melakukan dialog dialog lintas iman dengan
tema-tema tertentu Salah satu program unggulan komunitas
ini adalah melakukan kegiatan Kemah Damai secara rutin 1 kali
di dalam 6 bulan di setiap regional di mana YIPC berada yang
mana YIPC sudah ada di Medan, Surabaya, Malang, Yogyakarta,
Salatiga, Jakarta, dan Bandung. Artinya dalam setahun ada
Kemah Damai dua kali diadakan disetiap regional. Tajuk Kemah
Damai yang dilakukan 1 kali didalam 6 bulan tersebut adalah
Student Interfaith Peace Camp (SIPC).
Di setiap Kemah Damai di semua regional yang ada, komunitas
ini biasanya menghadirkan 30 peserta mahasiswa Islam Kristen.
Melalui kegiatan ini, mahasiswa terlebih dahulu diberikan
penyadaran dan pemahaman tentang nilai-nilai perdamaian
yang menjadi basis pergerakan yang akan dikerjakan oleh para
mahasiswa tersebut. Nilai-nilai yang dimaksudkan seperti
menerima diri, mengatasi prasangka, merayakan keberagaman
baik keberagaman suku keberagaman agama keberagaman

160
Urgensi Interfaith Mentoring Mahasiswa Sebagai Upaya
Memperkokoh Integrasi Bangsa Melindungi Jaminan Kebebasan Beragama

ekonomi kesetaraan gender, memberi dan meminta maaf, serta


mengenal iman Islam dan Kristen. Dalam ilmu pembelajaran,
hal ini dimaksudkan untuk mempengaruhi kognitif peserta.
Sementara untuk mempengaruhi area afeksi peserta, peserta
dalam kelompok yang sudah di desain terdiri dari mahasiswa
Muslim dan Kristen untuk melakukan cerita perjalanan hidup
mulai kecil hingga usia mereka saat itu baik masa-masa bahagia,
masa sulit, orang yang paling berpengaruh dalam hidupnya dan
harapan untuk masa depannya diharapkan dapat membangun
ikatan batiniah antar peserta. Selain itu, ada juga sesi rekonsiliasi
hati di mana para peserta akan memberikan kesaksian pribadi
tentang relasi lintas Iman sebelum mengikuti Kemah Damai dan
jika pernah melakukan hal-hal yang tidak baik terhadap agama
yang berbeda, mereka akan meminta maaf kepada peserta dari
agama tersebut. Mereka juga akan minta maaf atas nama agama
mereka jika ada beberapa kasus intoleransi atas nama agama
dilakukan oleh saudara seagamanya. Dalam hal ini, para peserta
dilatih untuk mempraktikkan memberi maaf dan meminta maaf
di dalam relasi lintas iman mereka. Untuk aspek psikomotorik
atau perilaku para peserta, semua peserta akan merumuskan
rancangan tindakan langsung (RTL) sebagai langkah konkrit
tindak lanjut dari kegiatan Kemah Damai. Kegiatan-kegiatan
tersebut akan didampingi oleh para fasilitator yang ada di YIPC.
Kegiatan lanjutan atau follow up dari Kemah Damai
komunitas YIPC melakukan regional meeting satu kali dalam
seminggu. Agenda rutinan yang dilakukan adalah Scriptural
Reasoning (SR) dan dialog-dialog tematik. SR atau kajian
kitab suci yang dilakukan setiap minggu oleh komunitas yaitu
adalah salah satu keunikan. Komunitas ini meyakini bahwa
gerakan perdamaian yang dikerjakan di Indonesia harus

161
Iman Pasu Purba,S.H., M.H

berlandaskan kitab suci. Hal ini juga merupakan bagian dari


proses untuk mengenal agama yang berbeda dengan mereka.
Jika dibandingkan dengan gerakan fundamentalis lainnya
semisal HTI, maka keputusan untuk membangun gerakan
berbasis kitab suci adalah salah satu pilihan yang sangat baik.
Hal ini melatih para anggota YIPC untuk lebih sensitif dengan
ayat-ayat suci dan belajar secara langsung bahwa toleransi
dan menghormati agama yang berbeda ada adalah bagian dari
ibadah dan merupakan perintah dari Tuhan Yang Maha Esa hal
ini memberikan motivasi yang murni dan keyakinan yang kokoh
bahwa membumikan nilai-nilai perdamaian di Indonesia adalah
ibadah dan harus dilakukan dengan serius.
Satu hal lagi yang menjadi concern dari komunitas lintas
iman didalam pergerakkannya adalah dengan melalukan
interfaith dialogue secara rutin. Ini menjadi salah satu kunci
keberhasilan relasi lintas iman menurut komunitas ini. Menurut
Gerade Ford, dialog lintas agama adalah “cooperative and positive
interactions between people of different religious traditions at
both the individual and institutional level. It is about people of
different faiths coming to a mutual understanding and respect that
allows them to live and cooperate with each other in spite of their
differences”. Dapat diartikan bahwa interfaith dialogue adalah
interaksi yang kooperatif dan positif antar umat beragama baik
pada level personal dan level institusi. Mereka yang berbeda
iman ini saling berinteraksi dengan saling memahami dan saling
menghormati untuk hidup bersama dan bekerjasama satu sama
dengan segala perbedaan yang ada.3 Jadi, kunci dari keberhasilan

3
Gerade Ford, A Journey Together. Muslims and Christians in Ireland:
building mutual respect, understanding and cooperation. Cork, Ireland:
Cois Tine, 2013.

162
Urgensi Interfaith Mentoring Mahasiswa Sebagai Upaya
Memperkokoh Integrasi Bangsa Melindungi Jaminan Kebebasan Beragama

dari interfaith dialogue adalah adanya saling memahami satu


samalain dan saling menghormati di tengah segala keberbedaan
khususnya tentang apa yang diyakini. Hal ini merupakan salah
satu upaya yang sangai baik untuk menghancurkan tembok-
tembok yang menghambat keharmonisan hubungan antar umat
beragama.
Secara praktis, komunitas ini mempraktikkan dialog lintas
iman berdasarkan teori Prof. Dr. Banawiratma, ada 7 dataran
dialog lintas iman. Dialog tersebut adalah dialog kehidupan,
dialog sosial etis, dialog tradisi iman, dialog pengalaman
iman, dialog teologis, dialog aksi dan dialog intra. Adapun
yang merupakan tujuan dialog lintas iman itu sendiri adalah
mengenal dan saling menghargai keunikan masing-masing
(menghilangkan prasangka, menghargai keberagaman),
meningkatkan pengenalan/ pemahaman terhadap iman sendiri,
menciptakan kehidupan bersama yang lebih damai/harmonis
dan saling percaya serta bergandengan tangan memecahkan
persoalan-persoalan bersama didalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. YIPC Indonesia didalam gerakannya disetiap
regional selama 5 tahun pertama sangat eksis dan banyak
memberi dampak positif di kalangan pemuda lintas iman.
Namun, aktivitas gerakan ini mulai mengalami penurunan
kurun waktu 2 tahun terakhir ini. Sebagai salah satu pembina
dan senior fasilitator di komunitas ini, penulis menemukan
bahwa militansi dan konsistensi anggota komunitas ini semakin
menurun. Tindak lanjut dari Kemah Damai kurun waktu dua
tahun terkahir ini terasa kurang signifikan dampaknya. Anggota-
angota baru yang baru saja mengikuti Kemah Damai hanya
kisaran 5 persen saja yang terus konsisten bergerak. Justru,
para generasi “tua”, baik itu anggota semester akhir dan bahkan

163
Iman Pasu Purba,S.H., M.H

yang sudah alumni yang masih konsisten bergerak menjadi


motor pergerakan ini. Tidak mengherankan jika para Fasilitator
dikomunitas ini mulai mempertanyakan apa yang kurang atau
yang belum maksimal dilakukan untuk memastikan ini terus
berjalan dan memiliki dampak positif bagi bangsa yang semakin
banyak tindakan intoleransi terjadi diberbagai tempat.
Berdasarkan pengamatan dan mencoba mengidentifikasi
masalah yang muncul dalam pergerakan perdamaian lintas
iman ini, penulis setelah melakukan analisa SWOT (Strenght,
Weakness, Opportunity dan Threat) maka ditemukan bahwa
saat ini gerakan ini membutuhkan suatu sarana atau alat
untuk melahirkan anggota-anggota yang militan dan konsisten
dalam pergerakan ini. Sarana atau alat tersebut adalah adanya
kelompok Interfaith Mentoring di komunitas. Bagi komunitas
YIPC yang berusia menginjak 8 tahun pada tahun 2020 ini,
hal ini menjadi bagian penting dan urgent untuk dilakukan.
Bukan hanya untuk YIPC tetapi bagi komunitas-komunitas
serupa mentoring menjadi salah satu pilihan untuk memastikan
gerakan berjalan mencapai visi organisasi.
Mentoring berasal dari bahasa Inggris, mentor yang
artinya penasehat. Sementara itu, Mentor adalah seorang
yang penuh kebijaksanaan, pandai mengajar, mendidik,
membimbing, membina, melatih, dan menangani orang lain.
Orang yang sedang di mentoring disebut dengan Mentee.
Mentoring adalah sebuah proses untuk membantu seseorang
menemukan jati dirinya. Konteks berorganisasi atau komunitas,
Mentoring adalah suatu alat yang digunakan organisasi untuk
memelihara dan mengembangkan setiap anggota organisasi
dan komunitasnya. Mentoring juga mencakup aspek melatih,
membimbing, konseling dan ikatan kerjasama dengan individu

164
Urgensi Interfaith Mentoring Mahasiswa Sebagai Upaya
Memperkokoh Integrasi Bangsa Melindungi Jaminan Kebebasan Beragama

lain.4 Apapun definisi mentoring, yang jelas tidak akan lepas


dari unsur keteladanan. Itu sebabnya bagi mentor integritas
menjadi sebuah kata kunci yang harus tertanam dalam karakter.
Konteks YIPC Indonesia, jika melihat dari jumlah fasilitator
yang tersebar disetiap regonal yang ada, paling tidak ada
50 orang fasilitator yang masih aktif dan kontributif dalam
gerakan perdamaian ini. Paling tidak ada 8-10 orang di setiap
regional yang ada. Tentu Fasilitator ini sudah memenuhi
syarat untuk menjadi seorang Mentor. Karena mereka-mereka
yang terpilih menjadi fasilitator adalah mereka yang sudah
terbukti berkomitmen tinggi dan berkontribusi dalam gerakan
perdamaian. Para Fasilitator ini sudah mengikuti beberapa
kegiatan dan pelatihan baik di level regional maupun nasional.
Idealnya, seorang fasilitator adalah penjaga visi gerakan
perdamaian ini sekaligus sebagai pelatih, pendamping dan
pembimbing bagi para anggota lain untuk mengeksekusi
beberapa strategi dan rencana kegiatan yang dianggap akan
mencapai visi gerakan. Oleh karenanya dengan sendirinya
maka para Fasilitator inilah yang akan menjadi Mentor didalam
gerakan perdamaian ini sehingga gerakan tidak menjadi stagnan
bahkan kemungkinan terburuk adalah mati. Mentoring diyakini
sebagai wadah dan alat untuk menginternalisasi nilai-nilai
perdamaian dan memastikan output dari proses internalisasi
tersebut adalah kegiatan-kegiatan yang berdampak besar
terhadap proses merawat kbhinekaan dan mewujudkan
perdamaian di Indonesia.
Konsep mentoring ini sebenarnya tidak hanya dilakukan
dalam konteks organisasi nirlaba saja. Perusahaan-perusahaan
4
Clutterbuck David, Mentoring Executives & Directors, Butterworth-
Heinemann; 1 edition November 19, 1999

165
Iman Pasu Purba,S.H., M.H

juga pada umumnya menggunakan konsep mentoring ini


juga. Terbukti sudah jika mentoring salah satu alat efektif
untuk memastikan visi organisasi dan perusahaan tercapai.
Dalam konteks gerakan lintas iman ini, tentu salah satu
faktor penentu utama adalah lahirnya anggota-anggota yang
militan, konsisten dan produktif. Tetapi bagaimana mereka
bisa militan jika ternyata mereka memilki segudang masalah
didalam kehidupannya. Bagaimana mereka konsisten jika
untuk memperjuangkan sesuatu untuk dirinya saja, dia dapati
dia sedang tidak sanggup berjuang. Bagaimana pula dia bisa
produktif jika ternyata dia sendiri sedang tidak produktif untuk
dirinya karena penghakiman-penghakiman yang dia lakukan
terhadap dirinya karena masa lalunya. Para Mentor harus hadir
dalam hidup mereka. Membagikan teladan mereka, cerita hidup
mereka dan mendampingi mereka untuk bisa menjalani hidup
dengan produktif termasuk produktif didalam mengerjakan visi
komunitas atau visi organisasi.
Oleh karenanya, Interfaith Mentoring ini sangat penting
dan relavan untuk diaplikasikan di YIPC Indonesia demikian
juga gerakan lintas iman lainnya. Interfaith Mentoring berarti
bahwa ada sekelompok orang didalam kelompok Mentoring
berasal dari agama atau iman yang berbeda. Inilah yang menjadi
keunikannya. Jika mentoring yang homogen anggotanya
harusnya tidak menjadi hal yang baru. Semisal dikelompok
Kristen, mereka menyebutnya sebagai Kelompok Sel atau
Kelompok Bertumbuh Bersama. Demikian juga di kelompok
Islam dengan kelompok kajian-kajian yang ada. Mengapa
kelompok interfaith, karena tujuan akhir dari mentoring ini
adalah melahirkan generasi-generasi muda yang menjunjung
tinggi bahwa keberagaman adalah kekayaan dan berproses

166
Urgensi Interfaith Mentoring Mahasiswa Sebagai Upaya
Memperkokoh Integrasi Bangsa Melindungi Jaminan Kebebasan Beragama

dengan rekan yang berbeda agama dengannya adalah bagian


dari membangun relasi yang berkualitas dan mereka siap
menjadi motor perdamaian atau penggerak komunitas untuk
meminimalisir konflik atas nama agama di Indonesia.
Ada beberapa yang menjadi kunci keberhasilan dari
Interfaith Mentoring ini. Pertama, Trust Each Other/Mutual Trust.
Rasa saling percaya merupakan kunci utama dari keberhasilan
dari proses mentoring ini. Keyakinan bahwa keberadaan saudara
yang berbeda iman dan agama dengannya adalah anugerah dan
berkah besar dalam hidupnya. Ini akan mengawali kerelaan
untuk berproses bersama dan menikmati hidup bersama-
sama di dalam kasih dan damai dari Tuhan Yang Maha Esa.
Sehingga setiap anggota akan hidup apa adanya dan terbuka
belajar dari keberhasilan dan kegagalan dari rekan sekelompok
mentoringnya. Kedua, relasi yang mendalam. Setelah ada Mutual
Trust maka selanjutnya adalah menjalin relasi yang mendalam.
Relasi yang mendalam ini tentunya sangat penting, karena di
dalam relasi inilah setiap anggota akan berproses menemukan
jati dirinya. Sehingga aspek konseling, pembimbingan dan
pembinaan dapat berjalan baik didalam relasi tersebut. Seorang
mentor tentu juga adakalanya menjadi pribadi yang ditolong
didalam proses mentoring. Karena baik mentee maupun mentor
keduanya sedang berproses bersama untuk menjalani rencana
Allah atas hidup mereka masing-masing.
Ketiga, komitmen yang kokoh. Komitmen yang kuat
menjadi faktor yang penting juga. Komitmen untuk mentoring
tentunya tidak hanya komitmen kepada diri sendiri, kepada
rekan mentoring saja, melainkan komitmen kepada Tuhan Yang
Maha Esa bahwa keyakinan bahwa Interfaith Mentoring adalah
sarana yang baik dan Allah pasti memberkahi proses tersebut.

167
Iman Pasu Purba,S.H., M.H

Sehingga komitmen ini akan berbuah bahwa mentoring salah


satu satu agenda rutin bagi setiap anggota kelompok mentoring.
Keempat, materi atau kurikulum di dalam Mentoring. Hal ini
juga tidak kalah penting di dalam proses mentoring. Bahan
mentoring ini diharapkan disusun berdasarkan kebenaran-
kebenaran yang ada didalam kitab suci. Jika di Kemah Damai
sudah belajar tentang nilai-nilai perdamaian, maka dikelompok
mentoring bisa menggali nilai-nilai lain didalam kehidupan yang
harus dinternalisasikan. Bisa jadi pengembangan dari nilai-nilai
yang sudah didalami di Kemah Damai. Nilai-nilai kehidupan
yang akan digali dan didalami dirumuskan bersama oleh para
fasilitator. Semisal tentang nilai leadership, nilai-nilai didalam
komunitas, atau nilai-nilai lain yang dapat dijadikan patron
didalam menjalani hidup atas rencana Allah bagi hidup setiap
anggota mentoring.
Kelima, langkah konkrit dari setiap pertemuan mentoring.
Hal ini menjadi sangat penting juga, karena mentoring tanpa
langkah konkrit itu akan menjadikan mentoring sebagai
wadah untuk berkumpul dan memuaskan kepentingan pribadi
saja. Konteks yang lebih besar, bahwa di dalam memperkuat
kebhinekaan dan merawat perdamaian adalah agenda yang
sangat penting. Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia,
diperlukan kontribusi nyata di mana kontribusi tersebut dapat
melibatkan komunitas secara keseluruhan yang akan memberi
dampak besar bagi negeri kita, Indonesia yang sangat besar
ini. Dengan demikian, jika ada 5 saja kelompok mentoring
yang konsisten berjalan dan 5 kelompok itu diisi oleh 5 orang
saja mahasiswa lintas iman, maka ada 25 orang di setiap kota
yang militan, konsisten dan produktif bergerak mencapai
visi komunitas perdamaian ini. Bukankah Soekarno pernah

168
Urgensi Interfaith Mentoring Mahasiswa Sebagai Upaya
Memperkokoh Integrasi Bangsa Melindungi Jaminan Kebebasan Beragama

berkata “Beri aku 10 Pemuda, maka Akan Guncang Dunia!”?


dengan 25 orang di setiap regional yang militan, konsisten dan
produktif pasti akan memberi dampak positif yang besar dalam
kehidupan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Itu masih
YIPC saja, bagaimana dengan komunitas dan organisasi lintas
iman lainnya? Pasti akan berdampak sangat besar bagi negeri
yang kita cintai ini. Indonesia Hebat! Indonesia Jaya!

169
Kepercayaan manusia didasarkan atas
keterbatasan kemampuan akal bersifat
relatif. Apa yang dipercaya sebagai suatu
kekuatan transenden bagi masyarakat
atau individu akan berbeda

170
Biografi Penulis

GRATIA WING ARTHA Mahasiswa sosiologi Universitas


Airlangga Surabaya yang tengah menempuh semester tujuh.
Memiliki kepercayaan bahwa ilmu pengetahuan sosial dan
humaniora saling mempengaruhi perspektif keilmuwan satu
ilmu dengan ilmu lain. Artha (pangggilan Gratia Wing Artha)
sangat mendukung perspektif filsuf Perancis Michael Foucault.
Sangat menyukai dunia sastra, ilmu sejarah dan teori – teori
filsafat, ilmu sosial dan humanoira. Penulis dapat dihubungi
melalui Email gratiaartha123@gmail.com.

VALENSIUS NGARDI alumnus Magister Kajian Budaya


Universitas Sanata Dharma Juni 2020, lahir di Manggarai Flores
4 Juli 1975. Pernah mengabdi diri di Merauke 2007-2010 sebagai
guru honorer dan kemudian Juli 2010-Juni 2014 mengajar di
SMA Santo Paulus Pontianak dan kemudian juli 2014-Juni 2016
menjadi guru di SMP Santo Tarsius Singkawang. Saat ini mengisi
waktu luang di Jogjakarta membuat Jurnal dan menulis beberapa
artikel di beberapa media internal Gereja utusan dan Rohani.
Jurnal yg pernah terbit bisa diakses jurnal Handep-sejarah
dan budaya vol. 1 no. 2Juni 2018 tentang gagasan Pendidikan
multikulturalisme di SMP/MTs di Kalimantan abarat dan juga
buku bunga rampai dengan judul Kenduri pendidikan terbitan
USD 2018. jika ingin berbagi bisa kontak di Email flavingardi@
gmail.com.

171
KHORISKIYA NOVITA, S.Pd. Tempat dan tanggal lahir,
Pekalongan 24 November 1994. Pendidikan terakhir S1
Pendidikan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Semarang, lulus tahun 2018. Saat ini penulis
adalah guru aktif yang mengajar sejak 8 Januari 2019 hingga
sekarang. Penulis mengampu mata pelajaran Ilmu Pengetahuan
Sosial dan Sosiologi di Pondok Pesantren Terpadu SMP dan
SMA Yayasan Fasihul Lisan Kecamatan Kedungwuni, Kabupaten
Pekalongan. Sebelumnya penulis belum pernah melakukan
publikasi karya tulis dengan tema yang sama, namun beberapa
kompetisi menulis dan penghargaan pernah diraih oleh penulis,
diantaranya; sebagai Juara Pembimbing Lomba Karya Tulis
Ilmiah Nasional SMA Al Fusha Pekalongan Kompetisi Tingkat
Nasional SMA, Juara 3 Kisah Inspiratif Nasional FIORA 2020, Juara
3 Esai Nasional Kartini 2020, Pemakalah Simposium Pendidikan
2019, Wisudawan Teladan Program Studi Pendidikan Sosiologi
dan Antropologi FIS Universitas Negeri Semarang 2018, Finalist
South East Asian Article Competition 2018, Juara 2 Sociology and
Anthropology National Essay Competition 2018, Juara 3 LKTIN
Himakua Paper Competition 2017, Finalis Debat Mahasiswa
PKnH tahun 2017, Finalis LKTIN KSEIVENT 2017, Harapan 2
LKTIN Social Article 2017, Juara 2 LKTIN ILMISPI 2017, Juara
1 LKTI Halalpatika 2017, Best Paper Mahasiswa Berprestasi FIS
Universitas Negeri Semarang tahun 2017, Semifinalis Lomba
Karya Tuis Ilmiah Nasional ESFRA 2016, Terbaik 3 Business
Plan PKM Hibah PT. Sido Muncul 2016, Finalis Business Plan
Competition 2015, Finalis Idea Concept Project Social Education
Camp 2015.

172
RIVANI lahir di Sumatera Barat, 8 September 1997. Sedang
menempuh pendidikan di bidang Filsafat UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Penulis sangat bercita-cita menjadi seorang Feminist dan
Antropolog. Sangat tertarik dengan isu Human Rights terutama
tentang feminis, gender, Kebebasan berkeyakinan dan beragama
dan pelanggaran HAM masa lalu Indonesia. Sangat menyukai
travelling dengan mengunjungi tempat berhistory culture dan
membaca novel dan sastra. Terlibat aktif dalam Relawan Aksi
Kamisan Jakarta dan sering terlibat kampanye climate change
isu lingkungan. Penulis bisa dihubungi di Email vanirivani84@
gmail.com atau via Instagram @rivvani__az.

RIZAL RAMADHAN IVANDI seorang laki laki yang lahir


di Blitar, 03 Januari 1999. Saat ini Rizal (nama panggilan)
sedang menempuh studi strata 1 / S1 di salah satu kampus
guru bangsa yang ada di Indonesia yaitu Jurusan Sosiologi
Universitas Negeri Surabaya. Adapun Hobi penulis adalah
menulis, membaca dan gemar menyerap aspirasi atau pendapat
dari masyarakat. Kegemaran tersebut membuat penulis
pernah melakukan penelitian PKM (Program Kreativitas
Mahasiswa), sekaligus aktif dalam berbagai organisasi intra
kampus (Badan Esekutif Mahasiswa ) dan menjadi pengurus di
koperasi mahasiswa Unesa.Selain berfous pada intra kampus
penulisa juga berkeimpung pada organisasi luar kampus seperti
organisasi kedaerahan,komunitas peduli lingkungan . Penulis
memiliki minat di dalam bidang Sosiologi Pedesaan,Sosiologi
Perkotaan,Sosiologi Disabilitas. Adapun tujuan hidup penulis
adalah bermanfaat untuk masyarakat. Penulis dapat dihubungi
di Email rizal.17040564111@mhs.unesa.ac.id.

173
KEVIN NOBEL KURNIAWAN lahir di Jakarta pada tanggal 18
Oktober 1993. Pada tahun 2013, penulis mulai menempuh studi
sarjana dalam jurusan Sosiologi di Universitas Indonesia, dan
lulus pada tahun 2017. Setelah itu, Kevin melanjutkan studi
Master dalam bidang yang sama University Of Leeds dengan
menulis tesis tentang “Hospitality in the Midst Of Refugee-
phobia” yang kemudian dianugerahi dengan hadiah Jamina
Bauman Prize pada tahun 2019. Penulis kembali ke Indonesia
untuk mengajar, meneliti, memberi konsultasi, dan menulis
buku. Penulis memiliki minat dalam bidang teori, metode
kuantitatif dan kualitatif, serta isu tentang etika khususnya
dalam membahas tentang keberadaan “Sang Lain” (The Other)
sebagai pijakan utama Sosiologi.

MUHAMMAD MAKRO MAARIF SULAIMAN, S.Sos., M.A. Lahir


di Yogyakarta pada tanggal 13 Februari 1990, berdomisili di
Bantul Yogyakarta, menyelesaikan studi S1 Sosiologi UGM
tahun 2013 dan S2 Sosiologi UGM tahun 2020. Memiliki minat
pada kajian pembangunan, ketimpangan sosial, gender, hak-
hak minoritas dan seputar teori sosial dan metode penelitian.
Saat ini Muhammad Makro Maarif Sulaiman memiliki rutinitas
mengembangkan tulisan-tulisan akademik berkaitan dengan
Sosiologi, aktif mengikuti diskusi akademik online dan
mengembangkan jejaring dengan siapapun yang memiliki minat
dengan Sosiologi dan ilmu-ilmu sosial-humaniora.

ARIS WAHYUDIN terlahir di kota Bayu sebelah barat kota


Kediri dengan 8 bersaudara, kini sedang menempuh Strata 1
di Institut Agama Islam Negri Tulungagung dengan jurusan
sosiologi agama dan juga aktif di organisasi internal kampus

174
LPM Dimensi, teater dan BEM kampus. Penulis lebih aktif
berkegiatan di luar kampus entah di LSM dan komunitas yang
berhubungan langsung dengan masyarakat, hal tersebut sangat
menunjang penulis yang terfokus pada sosiologi pedesaan
karena prinsip penulis yang terpenting adalah menanam, entah
kapan kita akan memanen.

WINDA SARI dilahirkan di kota Situbondo pada tanggal 26


april 1999, anak pertama dari dua bersaudara, lahir dan
tinggal di Situbondo. Saat ini Penulis baru saja menyelesaikan
gelar sarjana strata 1 / S1 Psikologi di Universitas Negeri
Malang. dalam Psikologi Penulis tertarik dengan Psikologi
klinis yang membahas tentang berbagai mental issue manusia
secara klinis. Salah satu artikel jurnal yang pernah tulis adalah
terkait mental illnes pada anak usia dini. Selama kuliah sampai
saat ini, penulis tergabung dalam komunitas literasi di Kota
Malang yang aktif membahas tentang isu-isu sosial, budaya,
dan pendidikan khususnya di Indonesia. Sisi lain penulis
adalah memiliki hobi melukis. Kecintaan penulis terhadap
dunia psikologi, literasi, dan seni membuat penulis memiliki
ketertarikan ingin mendalami lebih lanjut tentang psikologi
seni, yakni bagaimana seni dapat berkontribusi terhadap
keilmuan psikologi terutama sumbangsih terhadap teknik
healing sebagai bentuk nyata kebermanfaatan dan keluhuran
dalam ranah kesehatan mental manusia. Adapun prinsip hidup
penulis adalah “tidak ada hal sulit ketika sesuatu itu di motivasi
oleh cinta.” Penulis dapat dihubungi di Email wsari070@gmail.
com atau Ig @winda.s___

175
Rr. SITI KURNIA WIDIASTUTI adalah Dosen Tetap pada
Program Studi Sosiologi Agama, Fakultas Ushuluddin dan
Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. S1 ditempuhnya
di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, S2 diselesaikan di Program
Studi Penelitian Evaluasi Pendidikan (PEP) Universitas Negeri
Yogyakarta. Selanjutnya, dia mengambil program master
dalam bidang Social Justice in Intercultural Relations di School
for International Training, Brattleboro, Vermont, USA dengan
beasiswa International Fellowship Program (IFP) dari Ford
Foundation. Program S3 diselesaikannya dari Program Inter-
Religious Studies Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan
beasiswa dari DIKTIS Kementrian Agama RI. Selain pendidikan
formal, dia pernah mengikuti Short Course on Research
Metodology in Overseas Countries dari DIKTIS Kemenag RI di
Agha Khan University London, Inggris (2015) dan menjadi salah
satu invited speaker di “International Discussion on Social and
Cultural Changes in The Modern Society” di The University of
Shimane, Matsue, Shimane, Japan (2019). Penulis sangat tertarik
untuk mengkaji ataupun penelitian bidang keadilan sosial,
gender, sosial keagamaan, pemberdayaan masyarakat, dan isu-
isu kelompok marginal. Beberapa buku karyanya antara lain:
“Pemberdayaan Masyarakat Marginal” (kontributor artikel) yang
diterbitkan oleh Pustaka Pelajar bekerjasama dengan LABSA
(2015), “Bunga Rampai Sosiologi Agama: Teori, Metode, dan
Ranah Studi Ilmu Sosiologi Agama” (kontributor artikel) yang
diterbitkan oleh Diandra Pustaka Indonesia (2015), “Tenaga
Kerja Indonesia di Malaysia” yang diterbitkan oleh Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
(2019), “Metode Penelitian dan Isu-isu Kontemporer dalam
Studi Transgender” diterbitkan oleh CV. Rasi Terbit (2019), dan

176
Kekerasan Anak di Derah Istimewa Yogyakarta yang diterbitkan
El-Markazi (2020). Email penulis: niasosag@gmail.com.

MUNIR lahir di Banyumas 20 April 1995 kecil sampai remaja


menghabiskan waktu Melalun Di kota Satrio, lalu mendapat
wahyu untuk hijrah ke Yogyakarta untuk Meneruskan
lamunannya di Kampus pojok Selatan Yogyakarta, sampai
sekarang. dan aktif di Kolektif kolektif kecil dalam bidang seni.
Dapat di Email: pengaruhwarna@gmail.com.

Iman Pasu Marganda Hadiarto Purba, S.H., M.H. merupakan


salah satu Dosen di Universitas Negeri Surabaya di bidang
Hukum Tata Negara. Ia menyelesaikan studi sarjana dan magister
di Universitas Sumatera Utara pada bidang Ilmu Hukum. Selain
menjadi seorang tenaga dosen, ia juga merupakan Advisor
YIPC Indonesia. Karya ilmiah nya berbentuk buku tesis yang
telah terbit sejumlah 8 karya sejak 2015-2019. Beliau juga aktif
menulis beberapa jurnal nasional dan prosiding Internasional
tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sejak tahun
2013 dan 2016 serta 2017 ia telah menerbitkan 3 judul buku
diantaranya Jaminan Kehidupan Beragama Dalam Konstitusi,
Pengantar Ilmu Hukum dan Teori; Hukum Konstitusi.

177
Memberi Warna, Menggerakkan Makna

PENERBIT LAWWANA lahir dari keprihatinan beberapa anak muda atas


maraknya penerbitan buku yang berisi pandangan-pandangan eksklusif
dalam beragama. Di sisi lain aneka wacana dalam agama, budaya, sosial,
ekonomi, politik dan yang lainnya seakan-akan berhenti dan menguap
begitu saja di ruang-ruang diskusi tanpa diabadikan dalam bentuk tulisan
serta disebarluaskan sebagai upaya penyebaran ilmu dan pengayaan
wacana yang dapat dinikmati publik secara luas dan lintas generasi.
Berdasarkan dua alasan di atas, yakni menjaga keterbukaan dalam
beragama, dan mendorong para pemikir serta pemilik gagasan dengan
beragam tema supaya menulis, didirikanlah penerbitan buku pada tanggal
7 Agustus 2019 dengan nama “Lawwana”, kata berbahasa Arab yang
artinya “menjadikan beraneka warna” atau “memberikan warna”. Nama
ini sengaja dipilih dengan harapan karya-karya yang akan diterbitkannya
dapat berkontribusi terhadap kehidupan sosial dengan tetap menjaga
keberagaman dalam kerukunan dan keteraturan sesuai dengan fitrah
diciptakannya manusia, serta memberikan warna dalam aktivitas ilmu
pengetahuan.
Penerbit Lawwana berkomitmen untuk menghadirkan buku-buku
bermutu dalam berbagai tema yang meliputi agama, budaya, sosial,
ekonomi, politik dan yang lainnya dengan tetap berada pada harapan
dan kehendak menjaga keberagaman dan progresivitas dalam berpikir.
Sebab tujuan ini, Penerbit Lawwana membawa slogan: Memberi Warna,
Menggerakkan Makna.

Alamat Kantor Redaksi:


Jl. Totem VI Blok B-9 No. 22, RT 005 RW 007, Kel. Sadeng
Kec. Gunung Pati Semarang Jawa Tengah 50222
Call Center: 081-226-888-662

Alamat Kantor Pemasaran Jawa Tengah:


Perumahan Bukit Walisongo Permai, Jl. Sunan Ampel
Blok V No. 10 Kel. Tambakaji Kec. Ngalian Semarang
Jawa Tengah 50185

Email: penerbit@lawwana.com
Lawwana.com

178

Anda mungkin juga menyukai