Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

IMAN DALAM PERWUJUDAN MASYARAKAT YANG ADIL, TERBUKA SERTA


DEMOKRATIS

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama Islam

Oleh:
Kelompok 6
Terynina Salsa Adelia (2020210155)
Dinda Pramudita Anggreni (2020210462)
Fania Rahmadina (2020210467)
Fredy Muly Ciesyar Putra (2020210476)
Sarah Faticha (2020210480)
Ramadhan Hidayatullah (2020210522)

UNIVERSITAS HAYAM WURUK PERBANAS


SURABAYA
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT karena dengan rahmatnya,
karunia, serta taufik dan hidayah-nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik
meskipun banyak kekurangan didalamnya. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
mata kuliah Pendidikan Agama Islam.

Pemilihan tema makalah didasari atas tugas kelompok yang sudah di tentukan oleh
dosen mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Juga agar lebih mengetahui lebih dalam soal
agama islam. Semoga dengan adanya makalah tugas makalah ini menambah pengetahuan
dan pemahaman tim penulis dan pembaca umumnya.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih memilikki banyak
kekurangandokarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh
karena itu, kami mengharapkan segalah bentuk kritik dan saran yang membangun untuk
kesempurnaan makalah kami.

Surabaya, 27 Juni 2021

Tim Penulis

i
DFTA ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................i
DFTA ISI...............................................................................................................................ii
BAB I
PENDAHULUAN..................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang............................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.......................................................................................................2
1.3. Tujuan.........................................................................................................................2
BAB II
PEMBAHASAN....................................................................................................................3
2.1. Iman dalam Perwujudan Bermasyarakat-Bernegara...................................................3
2.2.1 Tanda tanda orang beriman.............................................................................5
2.2. Iman dalam Prinsip Keadilan dan Keterbukaan........................................................10
2.3. Demokrasi serta Berpolitik dalam Pandangan Islam................................................12
2.3.1 Hubungan Islam Dengan Negara..................................................................12
2.3.3 Hubungan Islam Dan Demokrasi..................................................................16
BAB III
PENUTUP............................................................................................................................21
3.1 Kesimpulan...............................................................................................................21

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masyarakat yang adil dan terbuka telah diperankan dengan baik oleh masyarakat
klasik islam. Kini, masyarakat modern islam pun kembali memerankan peradaban mereka.
Fakta bahwa masyarakat salaf berada pada zaman yang berdekatan dengan tugas Nabi
Muhammad SAW dalam mengemban risalah islam. Tetapi tugas merealisasikan tatanan
kehidupan berperadaban ideal itu akan terus berlangsung.

Kehidupan bernegara dan bermasyarakat memerlukan pemimpin. Pemimpin


nasional dalam konteks demokrasi di Indonesia dipilih melalui pemilihan umum dan
diusung oleh partai politik. Keberadaan parpol sebagai ’roda’ demokrasi sangat penting.
Fungsi parpol pada esensinya adalah merealisasikan kesejahteraan masyarakat dan politik
yang adiluhung dalam bentuk: (1) sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan
masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan
kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; (2) sebagai
sarana penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk
kesejahteraan masyarakat; (3) sebagai sarana pemyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi
politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara; (4) sebagai
sarana partisipasi politik warga negara, dan sarana rekrutmen politik dalam proses
pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memerhatikan kesetaraan
dan keadilan jender. Dengan demikian, terpilihnya pemimpin mewakili aspirasi rakyat
berperan sebagai penyambung lidah rakyat. Keberadaan pemimpin sebuah keharusan
karena tanpa pemimpin, tatanan kehidupan bernmasyarakat, berbangsa, dan bernegara tidak
akan berjalan optimal.

1
1.2. Rumusan Masalah
A. Bagaimana iman dalam perwujudan bermasyarakat dan bernegara?
B. Bagaimana iman dalam prinsip keadilan serta keterbukaan?
C. Bagaimana demokrasi dan berpolitik dalam pandangan islam?

1.3. Tujuan
A. Untuk mengetahui bagaimana iman dalam perwujudan bermasyarakat dan
bernegara
B. Untuk mengetahui bagaimana iman dalam prinsip keadilan serta
keterbukaan
C. Untuk mengetahui bagaimana demokrasi dan berpolitik dalam pandangan
islam

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Iman dalam Perwujudan Bermasyarakat-Bernegara


Secara sederhana diketahui bahwa Indonesia merupakan negara beriman,
sebagaimana diakui dalam Pancasila sila pertama; “Ketuhanan Yang Maha Esa”   dan
ditetapkan dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (1); “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa secara formal seluruh penduduk
Indonesia merupakan masyarakat beriman yang mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa.
Mengingat salah satu syarat absolut yang harus dipenuhi oleh setiap warga negara
Indonesia adalah mengakui Pancasila dan UUD 1945, sebagaimana diatur dan ditetapkan
dalam UU. No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganeraan Republik Indonesia. 

Oleh karena itu, tidak salah kiranya apabila kita mempertanyakan keimanan kita
masing-masing kepada Tuhan Yang Maha Esa. Terutama sekali para pejabat yang
memegang amanah untuk mengelola dan memajukan bangsa dan negara. Hal ini karena
diketahui salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh calon pejabat negara, baik Presiden,
Wakil Presiden, Gubernur, Bupati, Wali Kota DPR, DPD, maupun Hakim (Pengadilan
Umum, Agama, Tata Usaha dan lainnya) bukan hanya beriman, tetapi juga harus bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Ini sebagaimana diatur dalam UU. No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden Pasal 6 huruf a., UU. No. 22 Tahun 2004 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Pasal 13 ayat (1) huruf a., UU. No. 49 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas UU. No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum Pasal 14 ayat (1)
huruf b., UU. No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU. No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama Pasal 13 ayat (1) huruf c., dan UU. No. 51 tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas UU. No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal
14 ayat (1) huruf b.

3
Dalam Islam sendiri, agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia,
keimanan bukan hanya saja menjadi kunci penting terhadap keislaman seseorang—tidak
lain karena seseorang dapat dikatakan Muslim apabila dia memenuhi beberapa syarat
penting yang tidak bisa ditawar lagi keberadaannya, salah satunya iman—tetapi juga
memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia, baik secara individu
maupun sosial, seperti dalam hal pembangunan bangsa dan negara. Iman (îmân) secara
bahasa, menurut Ibn Manẓûr dalam Lisân al-‘Arab, diartikan oleh sebagai at-
taṣdîq (membenarkan), lawan dari at-takżîb (mendustakan). Dengan demikian, apabila
iman berarti percaya dan membenarkan, maka lawan(kebalikan)nya adalah kafir atau
ingkar (I: 140).

Selanjutnya, al-Mawsû’ah al-Fiqhiyyah (Ensiklopedi Fikih) yang diterbitkan oleh


Kementerian Wakaf dan Urusan Keislaman Kuwait  menyebutkan definisi iman secara
istilah seperti: membenarkan (percaya) terhadap ajaran-ajaran Allah yang dibawa oleh Nabi
Muhammad saw. dan mematuhi serta menerimanya. Proses pembenaran terhadap ajaran
Allah ini meliputi tiga hal,

pertama,  meyakini dengan hati seperti percaya (iman) kepada Allah, malaikat, kitab
suci, rasul, hari akhir, dan kada-kadar;

kedua, mengucapkan dengan lisan seperti mengucapkan dua kalimat syahadat;

dan ketiga, mengerjakan dengan anggota tubuh seperti melaksanakan perintah Allah


dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Dijelaskan bahwa definisi ini diberikan oleh para ulama salaf dan kalangan
Mu’tazilah. Cuman perbedaannya, kalangan Mu’tazilah manjadikan perbuatan (a’mâl)
sebagai syarat sahnya iman. Sementara ulama salaf menjadikannya sebagai penyempurna
iman. Definisi lain diberikan oleh sebagian ulama fikih, yaitu bahwa iman bermakna
membenarkan (percaya) dengan hati dan lisan saja (1983, VII: 314-315).

Sayyid Muḥammd Rasyîd Riḍâ memeras inti iman yang dibawa oleh seluruh rasul
Allah menjadi tiga bagian, di antaranya: iman kepada Allah, hari akhir, dan berbuat

4
kebajikan, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah (2): 62 & al-Mâ’idah
(5): 69 (al-Manâr, 1993, XII: 206).

Dengan demikian, Riḍâ menambahkan, keimanan yang benar dan tauhid yang tulus
dari seseorang (mukmin) adalah ketika dia dapat mensyukuri nikmat yang telah diberikan
oleh Allah dan memiliki perbuatan baik (III: 21). Tidak lain karena keimanan, menurut
Wahbah az-Zuḥailî, memberikan dampak nyata terhadap ketaatan seseorang (mukmin)
kepada Allah, yaitu dengan mengikuti seluruh perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-
Nya, dan tidak membatasi diri terhadap kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan serta
tidak tenggelam dalam kemaksiatan (at-Tafsîr al-Munîr, 2009, II: 148). wa Allâh A’lam wa
A’lâ wa Aḥkam.

2.2.1 Tanda tanda orang beriman

1. Menunaikan Zakat

bersedekah merupakan bukti keimanan seseorang. Orang-orang beriman hendaknya


menunaikan kewajiban dan ibadah yang terkait harta ini dengan ikhlas untuk
membersihkan harta dan menyucikan jiwa mereka.

Allah Ta’ala berfirman:

َ‫َو ِم َّما َرزَ ْق ٰنَهُ ْم يُنفِقُون‬

Artinya: “dan yang menginfakkan rizki yang Kami berikan kepada mereka” (QS. Al-
Anfal: 3). Rasul juga pernah menjelaskan tentang bukti keimanan seseorang dapat
dilihat dari sholat dan sedekahnya.

‫ص َدقَةُ بُرْ هَان‬


َّ ‫صاَل ةُ نُو ٌر َوال‬
َّ ‫َوال‬

Artinya: "Sholat adalah cahaya dan sedekah adalah bukti” (HR. Muslim no. 223)

5
2. Meneladani Rasul

Dalam ciri-ciri orang beriman bukan hanya sekedar menjalankan perintah Allah
SWT saja, melainkan juga meneladani setiap perbuatan dan perkataan rasul. Dari Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu, berkata:

“Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Aku tinggalkan dua perkara
yang kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya yaitu
Kitabullah dan Sunnahku, serta keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya
mendatangiku di Telaga (di Surga).”

3. Tawakal

Orang tawakal dan ikhlas pada setiap ketetapan dan takdir yang diberikan Allah
SWT.

َ‫َو َعلَى هَّللا ِ فَتَ َو َّكلُوا إِ ْن ُك ْنتُ ْم ُم ْؤ ِمنِين‬

Artinya: “Dan hanya kepada Allah-lah kalian betawakal, jika kalian benar-benar orang
yang beriman” (QS. Al-Maidah : 23).

ُ‫َو َم ْن يَتَ َو َّكلْ َعلَى هَّللا ِ فَهُ َو َح ْسبُه‬

Artinya: “Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, maka Dialah Yang
Mencukupinya” (QS. Ath-Thalaq: 3).

4. Sabar

Seberat dan sesullit apapun ujian yang diberikan, maka dirinya akan selalu bersabar
menghadapinya. Allah SWT berfirman dengan artinya yang berbunyi:

“Dan, orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan,
mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang
bertaqwa”. (Al-Baqarah : 177)

6
5. Punya Akhlak yang Baik

Orang beriman tidak mungkin memiliki akhlak yang buruk, karena dirinya akan
selalu meneladani Rasul yang berakhlak mulia. Abu Darda meriwayatkan bahwa Nabi
SAW, mengatakan:

“Tidak ada sesuatu yang diletakkan pada timbangan hari kiamat yang lebih berat
daripada akhlak yang mulia, dan sesungguhnya orang yang berakhlak mulia bisa
mencapai derajat orang yang berpuasa dan shalat.” (At-Tirmidzi, 2002)

6. Selalu Bersyukur

Seseorang yang sedang ditimpa masalah, baik maupun buruk akan membuat dirinya
selalu bersyukur atas apa yang dimilikinya. Inilah merupakan 10 ciri-ciri orang
beriman yang kuat. Allah berfirman:

‫َولَقَ ْد َءاتَ ْينَا لُ ْق ٰ َمنَ ْٱل ِح ْك َمةَ أَ ِن ٱ ْش ُكرْ هَّلِل ِ ۚ َو َمن يَ ْش ُكرْ فَإِنَّ َما يَ ْش ُك ُر لِنَ ْف ِس ِهۦ ۖ َو َمن َكفَ َر فَإ ِ َّن ٱهَّلل َ َغنِ ٌّى َح ِمي ٌد‬

Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu:
“Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka
sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak
bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (QS: Luqman
Ayat : 12)

7. Menjauhkan Diri dari Kegiatan yang Sia-sia

Ciri-ciri orang beriman tidak akan melakukan hal yang sia-sia atau tidak
bermanfaat. Dirinya justru akan sibuk melakukan urasan ibadah yang akan menambah
keimanannya. Allah Ta’ala pun berfirman:

ِ ‫َوالَّ ِذينَ هُ ْم َع ِن اللَّ ْغ ِو ُمع‬


َ‫ْرضُون‬

7
Artinya: dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang
sia-sia (Q.S. Al-Mukminun 23: 3)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau


bersabda,

‫ِم ْن ُحس ِْن إِ ْسالَ ِم ْال َمرْ ِء تَرْ ُكهُ َما الَ يَ ْعنِي ِ˜ه‬

Artinya: “Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak
bermanfaat” (HR. Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih).

8. Senang Mendengar Bacaan Ayat Al-Qur’an

Senang mendengar bacaan ayat Al-Aur’an merupakan satu dari ciri-ciri orang
beriman. Bukan hanya itu, keimanan dalam hati mereka juga semakin bertambah
ketika mendengar ayat-ayat Allah SWT. Allah Ta’ala pun berfirman:

‫ت َعلَ ْي ِه ْم َءا ٰيَتُهۥُ زَ ا َد ْتهُ ْم إِي ٰ َمنًا‬


ْ َ‫َوإِ َذا تُلِي‬

Artinya: “dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka


(karenanya)” (QS. Al-Anfal: 2)

Rasulullah mengatakan:

“Orang mu’min yang membaca Al-Qur’an dan mengamalkan isinya, ibarat buah jeruk
manis, rasanya enak dan baunya harum. Sedangkan orang mu’min yang tidak
membaca Al-Qur’an tetapi mengamalkan isinya, ibarat buah kurma, rasanya enak dan
manis tetapi tidak ada baunya. Adapun perumpamaan orang munafik yang membaca
Al-Qur’an, maka ibarat minyak wangi, baunya harum tetapi rasanya pahit. Sedangkan
orang munafik yang tidak membaca Al-Qur’an, ibarat buah kamarogan, rasanya pahit
dan baunya busuk.” (Al-Bukhari & Muslim, 5).

8
9. Punya Rasa Takut Terhadap Allah SWT

Memiliki rasa takut terhadap Allah SWT merupakan satu dari 10 ciri-ciri orang
beriman. Dirinya tidak akan berani melanggar apapun apa yang telah ditetapkan
menjadi suaru larangan Allah dan akan selalu mentaati setiap perintah-Nya.

Rasa takut terhadap Allah SWT merupakan salah satu bentuk mengagungkan-Nya.
Seperti yang dijelaskan dalam Q.S Al-Anfal : 2

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang bila disebut nama
Allah Subhanahu Wata’ala gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan ayat-
ayatNya bertambahlah iman mereka, dan hanya kepada Tuhanlah mereka
bertawakkal.”

10. Khusyuk saat Melaksanakan Sholat

Seseorang yang telah memiliki keimanan yang kuat akan lebih khusyuk dalam
menjalankan ibadah sholat, baik wajib atau sunnah meski banyak gangguan.

Allah Ta’ala berfirman,

َ ‫الَّ ِذينَ هُ ْم فِي‬


ِ ‫صاَل تِ ِه ْم خ‬
َ‫َاشعُون‬

Artinya: (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sholatnya (Q.S. al-Mukminum 23:2)

9
2.2. Iman dalam Prinsip Keadilan dan Keterbukaan

Dalam Islam, keadilan merupakan salah satu asas yang harus dijunjung. Allah
sendiri mempunyai sifat Maha Adil (al-„Adlu) yang harus dicontoh oleh hamba-Nya. Bagi
kebanyakan manusia, keadilan sosial adalah sebuah cita-cita luhur. Bahkan setiap negara
sering mencantumkan secara tegas tujuan berdirinya negara tersebut di antaranya untuk
menegakkan keadilan. Banyak ditemukan perintah untuk menegakkan keadilan karena
Islam menghendaki agar setiap orang menikmati hak-haknya sebagai manusia dengan
memperoleh pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasarnya yakni terjaminnya keselamatan
agamanya . Keselamatan dirinya (jiwa, raga, dan kehormatannya), keselamatan akalnya,
keselamatan harta bendanya, dan keselamatan nasab keturunannya. Sarana pokok yang
menjamin terlaksananya hal-hal tersebut adalah tegaknya keadilan (al-adl) di dalam tatanan
kehidupan masyarakat.

Keadilan Islam bersifat komprehensif yang merangkumi keadilan ekonomi, sosial,


dan politik. Asas keadilan dalam Islam merupakan pola kehidupan yang memperlihatkan
kasih sayang, tolong menolong dan rasa tanggungjawab, bukannya berasaskan sistem sosial
yang saling berkonflik antara satu kelas dengan kelas yang lain. Manusia senantiasa
mempunyai kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri akibat dipengaruhi oleh hawa
nafsu sehingga tidak berlaku adil kepada orang lain. Oleh itu, usaha untuk mewujudkan
keadilan sosial dalam Islam bukan hanya dengan menumpukkan perhatian terhadap
undangundang dan peraturan saja, tetapi harus melalui proses pendisiplinan nafsu diri.

Keadilan merupakan suatu hal yang paling mendasar yang harus ada dalam institusi
sosial, sebagaimana halnya kebenaran dalam sistem pemikiran. Dalam keadilan terdapat
kehormatan seseorang sehingga masyarakat sekalipun tidak bisa mengganggu gugat. Atas
dasar ini keadilan menolak hilangnya suatu kebebasan sejumlah orang oleh sebagian orang
lainya. Keadilan tidak membiarkan pengorbanan yang dipaksakan pada segelintir orang
diperberat oleh sebagian besar keuntungan yang dinikmati banyak orang.

10
Agama Islam mengajarkan bagi penganutnya untuk menjunjung tinggi nilai
keadilan,Islam memerintahkan setiap manusia untuk berbuat adil atau menegakkan
keadilan pada setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan (QS.an-Nisaa (4) ayat 58:

‫ن اَ §˜َّلل ِ َّم إ ِ َ ِ ِ َ َّن اَ §˜َّلل ِ إ ِْْ َ ََْ˜ْل ا ا َع َن َِ َكا َ َّن اَ §˜َّلل ِ إ ِ ِ ِ ب ْ ُُ ُكم ِ َ َ ا َ ا ا ِصري َ ب‬

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada orang


berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat.

Menurut Pandangan ini, Keadilan memberikan sebuah landasan bagi agama, dan
dengan demikian keadilan lebih diutamakan daripada agama. Pandangan tersebut dengan
implikasinya menunjukkan bahwa dalam keadilan adalah kriteria hal yang baik dan hal
buruk, yang berarti bahwa seluruh kebaikan dan keburukan ditentukan secara logis atau
rasional . Iman merupakan pondasi dasar dalam berlaku adil. Iman merupakan keyakinan
dalam ajaran teologis Islam dan menjadi landasan agar muslim dapat berbuat adil.

Namun seruan untuk berbuat adil bukan saja bagi orang mukmin semata. Lebih dari
itu, keadilan diserukan kepada seluruh manusia di bumi. Tanpa kehadiran iman dalam jiwa,
kemungkinan untuk berbuat adil sangatlah sulit. Karenanya, sebagai muslim sangat penting
untuk berangkat dari keimanan menuju keadilan. Adil karena iman, dan dengan keimanan
dalam Islam kemudian mewujudkan keadilan sosial. Karena itu, keimanan tiada lain
merupakan respon personal terhadap segala titah Allah lewat wahyu-Nya. Keimanan tidak
saja berhenti pada ranah privat dan esoterisme jiwa, namun lebih jauh dari itu. Ia harus
diejawantahkan dalam interaksi sosial dengan menyentuh segala dimensi kehidupan.

Inti iman tidak saja berkutat pada keyakinan kepada Allah, utusan, hari akhir dan
kitab suci yang diturunkan-Nya. Tetapi yang lebih penting adalah bagaimana keimanan
menjadi kekuatan besar yang berfungsi menjadi modal besar dalam pembebasan manusia
(membebaskan manusia dari ketidakadilan manusia lain). Relasi antara keimanan dan
keadilan sosial, keduanya saling berhubungan erat. Dalam mengusahakan keadilan sosial,
ia sehendaknya didasarkan pada nilai-nilai tauhid yang diyakini sebagai iman. Seseorang

11
belum dikatakan beriman apabila masih melakukan penyelewengan dan mengorbankan
pihak lain dalam perlakuannya. Keadilan adalah hak dasar manusia sejak lahir, bukan
sebagai pemberian manusia, melainkan manusia hanya sebagai pelindung hak tersebut.

Iman berfungsi sebagai pembebas jiwa dari berbagai macam jeratan/belenggu


penyimpangan. Saat keimanan mampu membebaskan jiwa, ia akan membimbing manusia
pada perilaku keadilan. Al-Quran berusaha untuk membebaskan manusia, sehingga potensi
manusia dalam mewujudkan keadilan sosial bisa dikenali dengan sempurna. Jika segenap
umat Muslim menjalankan perintah al-Quran dengan baik, maka besar kemungkinan
keadilan akan terwujud. Riffat Hassan menyebutnya dengan konsep paradise of justice and
peace on earth. Keadilan sosial dalam makna sederhana merupakan bentuk persamaan di
muka hukum, atau bahasa sosialisnya adalah keadilan untuk semua. Dalam lintasan sejarah,
belum ada satu pun tercatat adanya wujud keadilan sosial secara praktik. Islam datang
dengan semangat egaliterian, mengangkat harkat martabat manusia guna menggapai
keadilan.

“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena
Allah (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan jangan karena kebencianmu terhadap suatu
kaum mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena itu amat dekat
dengan takwa. Dan bertawakkal kepada Allah, sungguh Allah Maha Teliti terhadap apa
yang kamu kerjakan.” (Al-Maidah: 8). Firman ini mengisyaratkan bahwa keadilan yang
diimani oleh umat islam adalah keadilan yang rahmatan lil ‘alamin. Tak ada batasan kepada
siapa kita berlaku adil, dan merupakan tindakan yang tidak menghormati martabat
kemanusiaan apabila tidak berlaku adil kepada manusia lain. Tak bisa dipungkiri lagi,
bahwa segala bentuk penindasaan dan ketidakadilan kepada manusia lahir karena adanya
kesenjangan. Yang kuat menindas yang lemah, seperti itulah corak pemberlakuan hukum di
negeri kita. Yang berkuasa dan berharta menganggap diri lebih unggul atas yang lainnya.

2.3. Demokrasi serta Berpolitik dalam Pandangan Islam

2.3.1 Hubungan Islam Dengan Negara

12
Tafsir mengenai hubungan Islam dan negara di kalangan umat Islam sampai
sekarang terbagi dalam tiga aliran. Pertama, aliran yang berpendirian bahwa Islam
bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat, yaitu hanya menyangkut
hubungan manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah suatu agama yang sempurna
dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan termasuk kehidupan
politik. Para pendukung aliran ini berpendapat bahwa (1) Islam adalah suatu agama
yang serba lengkap. Di dalamnya terdapat pula antara lain sistem ketatanegaraan
atau politik. Oleh karena itu, dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali
kepada sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru
ketatanegaraan Barat; (2) Sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang diteladani
adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW dan empat al-
Khulafa’ ar-Rasyidun. Tokoh-tokoh utama dari aliran ini antara lain Hasan al-
Banna, Sayyid Qutb, Muhammad Rasyid Rida dan al-Maududi. Aliran ini sering
disebut dengan aliran tradisionlis.

Aliran yang kedua adalah aliran yang berpendirian bahwa Islam adalah
agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan
kenegaraan. Menurut aliran ini Nabi Muhammad hanyalah seorang rasul biasa
seperti halnya rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia
kembali kepada kehidupan mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur, dan
Nabi tidak pernah diutus dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai satu
negara. Tokoh-tokoh terkemuka dari aliran ini antara lain Ali ‘Abd ar-Raziq dan
Taha Husain. Aliran ini sering dinamakan aliran sekularis.

Aliran yang ketiga adalah aliran yang menolak pendapat bahwa Islam adalah
suatu agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem
ketatanegaraan. Akan tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah
agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur bungan manusia dan Tuhan.
Aliran ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan,
tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Di antara

13
tokoh dalam aliran ini yang menonjol adalah Muhammad Husein Haikal. Aliran
yang ketiga ini dinamakan aliran modernis atau aliran substansialis.

Tidak diragukan lagi bahwa di samping berusaha untuk membangun


individu, keluarga dan masyarakat yang berguna, Islam juga berusaha untuk
membangun negara yang berguna. Islam menurut pemahaman dan penerapannya
yang benar tidak mengenal terminologi “kaum agamawan” seperti yang terdapat
dalam berbagai masyarakat agamis yang lain. Setiap muslim adalah agamawan.
Sedangkan para ulama yang mengkhususkan diri untuk mempelajari ilmu
pengetahuan Islam, sama posisinya sama dengan para pakar ilmu etika, falsafah dan
hukum yang ada dalam berbagai masyarakat lain. Adapun hubungan para ulama
dengan negara adalah bahwa mereka kewajiban untuk memberikan nasehat kepada
para penguasa. Kewajiban ini mencakup semua kaum muslim yang punya
kemampuan untuk itu.

Al-Qur’an memang tidak merumuskan secara konseptual apa itu negara dan
bagimana bentuk suatu negara, namun ada beberapa term yang bisa dijelaskan untuk
menjelaskan komponen-komponen suatu negara antara lain:

1. Balad (negeri atau tanah air)


Kata balad dalam Al-Qur’an, dengan segala derivasinya terulang sebanyak
sembilan belas kali. Sebagian berkaitan dengan permohonan Nabi Ibrahim a.s. agar
negeri yang ditempati menjadi negeri yang aman (QS. Al-Baqarah [2]:126), dan
juga pentingnya memiliki cita-cita mulia akan adanya negara yang baik di bawah
ampunan Allah SWT. (QS. Saba’ [34]:15). Sebagian lain berkaitan dengan sumpah
Allah SWT dengan balad negeri (QS. At-Tin [96]: 3), dan sebagian lagi berbicara
tentang orang-orang kafir yang berbuat zalim di suatu negeri (Fajr [89]:8) dan lain
sebagainya. Apapun konteks penyebutan kata balad atau baldah dalam Al-Qur’an,
yang jelas semuanya bermuara pada pengertian bahwa kata balad atau baldah adalah
daerah, tempat, kota, negeri, negara, kampung atau wilayah tertentu. Dalam konteks
kehidupan bernegara, jelas bahwa keberadaan wilayah atau tanah air menjadi suatu
keniscayaan bagi tegaknya suatu bangsa dan negara.

14
2. Sya’b (bangsa)
Dalam al-Qur’an kata sya‘b disebut sekali dalam bentuk plural, yakni syu‘ub
sebagaimana dalam QS. Al-Hujurat [49]:13. Pada mulanya kata tersebut bermakna
cabang dan rumpun, sebab bangsa sesungguhnya merupakan suatu rumpun
kelompok kabilah tertentu yang tinggal di wilayah tertentu. Suatu bangsa
terbentuk biasanya karena ada unsur-unsur persamaan, seperti asal-usul keturunan,
sejara, suku, ras, cita-cita meraih masa depan.
Walaupun, Islam memang tidak memberikan ketentuan yang tegas dan rinci
bagaimana sistem pemerintahan suatu negara dibentuk, apakah sistem republik,
sistem khilafah, imamah, monarchi, otoriter atau demokrasi. Islam lebih
menekankan bagaimana sebuah sistem itu mampu melahirkan dan mengantarkan
suatu bangsa ke dalam suasana adil dalam kemakmuran dan makmur dalam
keadilan, bebas dari tekanan tirani mayoritas terhadap minoritas. Dengan kata lain
meminjam bahasa Al-Qur’an, yang penting adalah bagaimana pemerintahan itu
mampu mngantarkan pemerintahan itu menuju baldah tayyibah wa Rabb ghafur
(QS. Saba’ [34]:15). Sedangkan bentuk pemerintahannya diserahkan sepenuhnya
kepada kreatifitas manusia sesuai dengan tuntutan kondisi sosio-kultural masing-
masing bangsa, sebab tidak ada bentuk spesifik tentang sistem pemerintahan yang
secara tegas dinyatakan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam panggung sejarah
umat Islam sendiri, terdapat berbagai varian tentang sistem pemerintahan, ada
yang menganut sistem khilafah (model Sunni), imamah (model Syiah), monarkhi
(kerajaan), seperti Saudi Arabia, dan lain sebagainya. Namun demikian, hal ini
bukan berarti Islam tidak memberikan prinsip-prinsip dasar dan tata nilai dalam
mengelola pemerintahan. Istilah-istilah lain yang sering dikaitkan dengan konsep
negara, kekuasaan politik atau pemerintahan, bahkan istilah-istilah tersebut
menjadi dasar bagi bentuk negara atau pemerintahan di kalangan kaum muslimin.

15
Istlah-istilah tersebut diantaranya adalah daulah, khilafah dan hukumah dan aliran-
aliran pemikiran politik di dunia Islam.
Kehadiran sebuah negara menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari. Negara
diartikan sebagai organisasai tertinggi di antara kelompok masyarakat yang
mempunya cita-cita untuk bersatu, hidup dalam suatu wilayah, mempunyai
pemerintahan yang berdaulat. Dalam sebuah masyarakat yang memiliki beragam
kepentingan, negara berfungsi untuk mengorganisir kepentingan-kepentingan
tersebut agar tercipta sebuah harmoni sosial. Hal penting yang perlu mendapat
perhatian adalah bagaimana agama itu berhubungan dengan persoalan-persoalan
negara. Indonesia adalah negara yang secara konstitusional bukan bukan negara
Islam ataupun negara agama, tetapi tidak dapat disangkal sejak berdirinya hingga
saat ini, agama khususnya Islam memiliki andil dan peran penting dalam
membentuk karakter Indonesia sebagai negara bangsa.

2.3.3 Hubungan Islam Dan Demokrasi

Pengertian demokrasi secara harfiah sudah tidak asing hampir sebagian


besar umat manusia dimana-mana di muka bumi ini telah memahami dan
menghayatinya. Dengan perkataan lain, hal demokrasi sudah menjadi bagian dari
kebudayaan bangsa-bangsa di dunia ini sehingga berbicara mengenai pegertian dari
demokrasi tidak asing lagi bagi kalangan masyarakat terutama kaum elite. Esensi
dari ide demokrasi adalah adanya partisipasi rakyat dalam hal pengambilan
kebijakan untuk menata khidupan kenegaraan yang dicita-citakan. Bahwa apapun
yang dilakukan negara, harus melibatkan rakyat. Konsep demokrasi merupakan
salah satu dari berbagai aliran atau teori kenegaraan, politik mupun hukum.

Secara garis besar wacana Islam dan demokrasi dapat dikelompokkan


menjadi tiga kelompok pemikiran: Pertama, Islam dan demokrasi adalah dua
sistem politik yang berbeda. Islam tidak bisa disubordinatkan dengan demokrasi.
Islam merupakan sistem politik yang mandiri. Hubungan keduanya saling
menguntungkan secara eksklisif (mutually exclusive). Islam dipandang sebagai
sistem politik alternatif terhadap demokrasi. Kedua, Islam berbeda dengan

16
demokrasi apabila demokrasi didefinisikan secara prosudural seperti dipahami dan
di praktekkan di negara-negara Barat.40 Kelompok kedua ini menyetujui adanya
prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam. Tetapi mengakui adanya perbedaan antara
Islam dan demokrasi. Dalam pandangan kelompok ini, demokrasi adalah konsep
yang sejalan dengan Islam setelah diadakan penyesuaian penafsiran terhadap
konsep demokrasi itu sendiri. Di antara tokoh dari kelompok ini adalah al-
Maudu>di, Rashid al-Ghanaoushi, Abdul Fattah Morou dan Taufiq As-Syawi. Di
Indonesia diwakili oleh Moh. Natsir dan Jalaluddin Rahmat.

Ketiga, Islam adalah sistem nilai yang membenarkan dan mendukung


sistem politik demokrasi seperti yang dipraktikkan negara-negara maju. Islam di
dalam dirinya demokratis tidak hanya karena prinsip syura (musyawarah), tetapi
juga karena adanya konsep ijtihad dan ijma (konsensus). Seperti dinyatakan oleh
pakar ilmu politik R. William Liddle dan Saeful Mujani, di Indonesia
pandangan yang ketiga tampaknya yang lebih dominan karena demokrasi sudah
menjadi bagian integral sistem pemerintahan Indonesia dan negara-negara muslim
lainnya.

Konsep demokrasi bukanlah konsep yang mudah dipahami, sebab konsep


ini memiliki banyak konotasi makna yang bervariatif, evolutif dan dinamis.
Demokrasi bermakna variatif, karena sangat bersifat interpretatif. Setiap penguasa
negara berhak mengklaim negaranya sebagai demokratis, meskipun nilai yan dianut
atau praktek politik kekuasaannya amat jauh dari prinsip-prinsip dasar demokrasi.
Karena sifatnya yang interpretatif itu, kita mengenal berbagai tipologi demokrasi
seperti demokrasi liberal, demokrasi rakyat, demokrasi proletar, demokrasi
komunis, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, demokrasi parlementer dan
lain- lain.

Dalam konteks negara Indonesia, peran agama khususnya Islam sebagai


agama mayoritas sangat strategis bagi proses transformasi demokrasi saat ini.
Dalam konteks konsolidasi demokrasi, umat Islam seyogyanya memandang dan
menjadikan kesepakatan (agreement) di antara kalangan nosionalis sekuler dan

17
nasionalis muslim untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar NKRI sebagai
komitmen kebangsaan yang harus tetap di pertahankan sampai kapan pun.
Kesepakatan harus dipandang sebagai komitmen suci (sacred commitment) pada
pendiri bangsa (founding fathers) itu yang harus dilestarikan sepanjang masa
oleh semua warga bangsa. Komitmen untuk menjaga kesepakatan para pendiri
bangsa inilah masa depan demokrasi Indonesia harus diletakkan dalam tataran
Indonesia yang plural dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dengan ungkapan lain, konsep NKRI dan Pancasila dengan kebinekaannya adalah
tidak bisa dilepaskan dari ijtihad kelompok Islam Indonesia yang harus dijaga,
dilestarikan, dan diaktualisasikan dengan pengembangan ajaran-ajaran Islam
yang berwawasan inklusif, kemanusiaan, keadilan, dan keindonesiaan. Hal serupa
berlaku juga bagi negara. Ia memiliki kewajiban konstitusional untuk menjamin
kemajemukan dalam demokrasi Indonesia.

2.3.2 Islam, hukum dan Politik dalam Konteks Negara Indonesia.

Manusia diakui oleh Islam sebagai makhluk berpikir yang kreatif.


Kreativitas itu perlu ditujukan untuk pengatura kehidupan manusia, yang antara
lain, melalui penggalian dan penyusunan aturan-aturan hukum. Sebagai makhluk
beriman dan bertakwa, dalam rangka penggalian dan penetapa hukum yang
bersumber pada manusia dan lngkungannya, manusia perlu selalu memperhtian
norma-norma transendental. Dalam hal pengaturan hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, Al-Qur’an mengandung seperangkat tata nilai etika dan
hukum bernegara yang dapat dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara. Bentuk dan sistem pemerintahan negara diserahkan kepada
manusia untuk menetapkan dan mengaturnya.

Menurut ajaran Islam, hukum itu ada tanpa harus seseorang hidup dengan
orang lain. Meskipun seumpanya orang hidup sendiri, hukum itu ada karena hukum
diberlakukan sebagai alat kontrol dan pengatur hidup seseorang sebagai “khalifah”
baik hubungan yang berkaitan dengan Allah sebagai Al-Khaliq, maupun hubungan
dengan manusia dan makhluk lainnya. Islam memandang bahwa setiap manusia,

18
sendiri maupun bersama orang lain, berhubungan dengan manusia atau makhluk
lain, sekalipun, diikhkan berhubungan dengan Allah swt. diikat oleh hukum Allah
yang bersumber utama dari Al-Qur’an dan Sunnah.

Dalam realitas politik, Indonesia secara konstitusional adalah bukan negara


Islam melainkan negara Pancasila, sehingga secara formal kelembagaan tidak
memungkinkan bagi umat Islam untuk mewujudkan seutuhnya prinsip-prinsip
Islam tentang hukum terutama dalam bentuknya yang resmi. Pancasila adalah
“religious nation state”yakni negara kebangsaan yang bukan negara agama
(berdasarkan agama tertentu) dan bukan negara sekuler (negara yang tak
mengurusi agama sama sekali). Ada yang mengatkan konsep ini sebagai negara
teo-demokrasi.

Negara Pancasila membina dan mengakui agama-agama yang dianut oleh


rakyatnya sepanjang berkeadaban dan adil. Umat Islam tidak perlu lagi berdebat
apakah mereka itu kafir, zalim, atau fasik atas ketidakmampuannya
memberlakukan hukum Islam, karena umat Islam sudah terikat dan mengikatkan
diri pada hukum nasional yang pemberlakuannya harus bersifat prosedural oleh
rakyat (legislatif), terutama untuk hukum-hukum publik yang sumbernya
merupakan aspirasi dari berbagai gagasan hukum masyarakat (hukum Barat,
hukum Adat dan hukum Islam).

Untuk memberlakukan hukum Islam pada umatnya berdasarkan sistem


politik yang ada sekarang ini, yang dapat dilakukan oleh umat Islam adalah
berjuang dalam bingkai politik hukum agar nilai-nilai Islam dapat mewarnai, bahan
dapat menjadi materi, dalam produk hukum. Keterlibatan secara aktif dalam proses
legislasi tersebut sangat penting, sebab pada kenyataannya hukum itu merupakan
produk politik sehingga politik sangat independen bahkan determinan atas hukum.56
Sebagai produk politik, hukum itu merupakan kristalisasi kehendak-kehendak
politik yang saling berinteraksi dan saling bersaingan yang kemudian menhasilkan
kesepakatan. Apa yang kemudian dikenal sebagai hukum dalam arti peraturan
umum yang abstrak dan mengikat sebenarnya tidak lain merupakan hasil

19
pertarungan aspirasi politik tersebut. Oleh sebab itu, secara riil siapa atau
kelompok apa yang ingin memasukkan nilai-nilai tertentu dalam suatu produk
hukum harus mampu menguasai atau meyakinkan pihak legislatif, bahwa nilai-
nilai itu perlu dan harus dimaksukkan dalam produk hukum.

Jika ditanyakan, apakah Islam juga mengajarkan umatnya untuk


berpolitik, maka hampir semua orang Islam pasti menjawabnya. Tentang ini,
paling tidak tiga alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, dalam kenyataan
hidup ini tidak pernah dapat dilepaskan dari politik. Setiap manusia hidup di dalam
organisasi yang bernama negara dan dapat ia memperjaungkan hak-hak dan
keyakinannya melalui organisasi negara itu. Kedua, Islam sendiri diyakini sebagai
agama yang kaffah atau sempurna yang ajarannya mencakup semua kehidupan,
temasuk politik. Islam tidak hanya mengajarkan ibadah mah}d}ah (ritual), tetapi
ia mengajarkan juga mu‘amalah dalam arti luas yang mencakup semua segi
kehidupan yang semuanya harus berujung pada pertanggungjawaban dalam
kehidupan akhirat. Ketiga, Islam memerintahkan umatnya untuk melakukan
dakwah amar ma’ruf nahi munkar agar ajaran-ajarannya menjadi rahmat bagi
seluruh alam (rah}matan lil ‘alami>n).

20
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
seluruh penduduk Indonesia merupakan masyarakat beriman yang mengakui adanya
Tuhan Yang Maha Esa. Mengingat salah satu syarat absolut yang harus dipenuhi oleh
setiap warga negara Indonesia adalah mengakui Pancasila dan UUD 1945. hubungan Islam
dan negara di kalangan umat Islam sampai sekarang pun masih berhubungan erat. Selain itu
setiap negara sering mencantumkan secara tegas tujuan berdirinya negara tersebut di
antaranya untuk menegakkan keadilan. Banyak ditemukan perintah untuk menegakkan
keadilan karena Islam menghendaki agar setiap orang menikmati hak-haknya sebagai
manusia dengan memperoleh pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasarnya yakni terjaminnya
keselamatan agamanya

21

Anda mungkin juga menyukai