Anda di halaman 1dari 76

PEMBATASAN JUMLAH PEMBUATAN AKTA NOTARIS BERDASARKAN PERATURAN

DEWAN KEHORMATAN PUSAT IKATAN NOTARIS INDONESIA


NOMOR 1 TAHUN 2017 & KAITANNYA DENGAN KODE ETIK NOTARIS

Disusun Guna Memenuhi Tugas Tengah Semester


Mata Kuliah Etika Profesi Notaris

Dosen Pengampu :
Dr. Noor Saptanti., S.H., M.H.
Dr. Habib Adjie., S.H., M.H.

Disusun Oleh :

1. Faisal Surya Pratama (S3520010090)


2. Bethari Laksita R.L.S (S352008006)
3. Debi Susanti (S352008007)
4. Dina Ayu Rizky T. (S352008009)
5. Sheilla Octaviani (S352008037)
6. Veronica Kinanthi Sihutami (S352008042)

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEBELAS MARET
SURAKARTA
2021

1
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS

Kami yang bertandatangan di bawah ini :


1. Nama : Faisal Surya Pratama
NIM/NPM : S3520010090
Alamat : Surowedan, RT 001/ RW 009, Pulisen, Boyolali
Email : Fgenduts@gmail.com
No. Telp/Hp :085799595956

2. Nama : Bethari Laksita R.L.S


NIM/NPM : S352008006
Alamat : Gambiran, RT 002/RW 005, Sine, Sragen
Email :betharilukman82@gmail.com
No. Telp/Hp : 085800059919

3. Nama : Debi Susanti


NIM/NPM : S352008007
Alamat :Perumahan Grogol Indah, Jalan Nakula, G-27, Grogol, Sukoharjo
Email : debi.solo11@gmail.com
No. Telp/Hp : 081391239997

4. Nama : Dina Ayu Rizky T


NIM/NPM : S352008009
Alamat : Dojoharjo, RT.004/RW002, Wuryorejo, Wonogiri
Email : tyasdinaart@gmail.com
No. Telp/Hp :085239843426

5. Nama : Sheilla Octaviani


NIM/NPM : S352008037
Alamat : Dusun Durenan, RT.009/RW001, Kec.Kedunggalar, Kab.Ngawi
Email : sheillaoctaviani2@gmail.com
No. Telp/Hp :081235687703

6. Nama : Veronica Kinanthi Sihutami


NIM/NPM : S352008042
Alamat : Perumahan Surya Gedangan Residence, Nomor 7B, Gedangan, Grogol, Sukoharjo
Email : verokinanthi@gmail.com
No. Telp/Hp : 081328915712

2
Dengan ini kami menyatakan bahwa tugas kelompok mata kuliah :
ETIKA PROFESI NOTARIS

Apa yang kami kerjakan/lakukan :


1. Tidak Copypaste dari teman/rekan sesama mahasiswa atau angkatan sebelumnya.
2. Tidak meminta bantuan dari pihak lain, atau dengan
3. Cara-cara lainnya yang melanggar peraturan perkuliahan dan peraturan-peraturan
lainnya yang tertulis maupun yang tidak tertulis.

Jika Pernyataan saya ini tidak benar, kami sanggup dan bersedia nilai mata kuliah yang
bersangkutan untuk dicabut dan dinyatakan tidak lulus.
Demikian Pernyataan ini kami buat dengan sebenarnya, tidak lain daripada yang sebenarnya,
dan tanpa paksaan serta tekanan dari siapapun.

Surakarta, 07 Oktober 2021

1. (Veronica Kinanthi Sihutami)

2. (Bethari Rahmania R.L.S)

3. (Debi Susanti)

4. (Sheilla Octaviani)

5. (Dina Ayu R)

6. (Faisal Surya Pratama)

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..........................................................................................................................................1

LEMBAR KEASLIAN TUGAS.......................................................................................................................2

DAFTAR ISI......................................................................................................................................................4

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................................................................6
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................................9
C. Tujuan Penelitian.....................................................................................................................................9
D. Manfaat Penelitian .................................................................................................................................9
E. Kerangka Teori dan Konsepsi................................................................................................................10
F. Metode Penelitian..................................................................................................................................14

BAB II
PEMBAHASAN
A. Tinjauan Umum Tentang Jabatan Notaris............................................................................................17
B. Pembuatan Akta Autentik Dalam Praktiknya Oleh Notaris Sebagai Pejabat Umum............................19
C. Peraturan Pembuatan Akta Notaris Berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris.............................21
D. Pembuatan Akta Notaris Berdasarkan Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia
Nomor 1 Tahun 2017............................................................................................................................31

BAB III
PEMBATASAN JUMLAH PEMBUATAN AKTA NOTARIS BERDASARKAN PERATURAN
DEWAN KEHORMATAN PUSAT IKATAN NOTARIS INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2017 & KAITANNYA DENGAN KODE ETIK NOTARIS
A. Fungsi Kode Etik Dalam Suatu Organisasi Profesi...................................................................................39
B. Penerapan Kode Etik Notaris...................................................................................................................39
C. Faktor Yang Mempengaruhi Banyaknya Jumlah Akta Notaris Dikaitkan Dengan Peraturan Jumlah Akta
Yang dibuat Notaris..................................................................................................................................43
D. Akibat Hukum Dari Penerapan Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1
Tahun 2017...............................................................................................................................................51
E. Urgensi Ketentuan Pembatasan Jumlah Pembuatan Akta Oleh Notaris..................................................56

4
BAB IV
PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PENGURUS DEWAN
KEHORMATAN NOTARIS BERKAITAN DENGAN PERATURAN
DEWAN KEHORMATAN PUSAT IKATAN NOTARIS INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2017

A. Pengawasan Dewan Kehormatan Notaris Berkaitan Dengan Sanksi Terhadap


Pelanggaran Pembuatan Akta Perhari.............................................................................................................59
B. Pembinaan oleh Dewan Kehormatan Notaris berkaitan dengan Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan
Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017........................................................................................................66

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................................................................................69
B. Saran..............................................................................................................................................................71

DAFTARPUSTAKA..........................................................................................................................................72

5
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jabatan Notaris merupakan salah satu Jabatan yang diciptakan pemerintah untuk melayani
kebutuhan masyarakat khususnya dalam memberikan pelayanan yang berhubungan dengan pengikatan
kepentingan yang menyangkut hak dan kewajiban para pihak yang datang menghadap kepadanya.
Sehingga pengikatan kepentingan hak dan kewajiban tersebut dapat dijamin dan dilindungi sesuai dengan
Undang-Undang yang berlaku. Dengan demikian seorang Pejabat Notaris dalam bertindak melaksanakan
tugas dan kewenangan yang diberikan kepadanya wajib menjalani dan melayani kebutuhan masyarakat
dengan sikap penuh rasa tanggung jawab dan profesional.
Jabatan Notaris secara khusus dapat disebut juga sebagai profesi. Profesi Jabatan Notaris adalah
bidang pekerjaan yang dilandasi keahlian untuk membuat akta autentik dan wewenang lainnya oleh
mereka yang menjabat sebagai Notaris sebagaimana dimaksud di dalam Undang-undang Jabatan Notaris
( UUJN ). Jabatan Notaris merupakan jabatan kepercayaan. Oleh karena itu, Notaris di dalam
menjalankan jabatan luhur tersebut tidak semata-mata hanya dituntut keahlian di bidang kenotariatan
tetapi juga perlu dijabat oleh mereka yang berakhlak tinggi. 1 Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga
yang diciptakan oleh Negara 2 merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh
aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu (kewenangan tertentu) serta bersifat
berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap. Selain itu Jabatan Notaris diadakan atau
kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat
yang membutuhkan alat bukti tertulis yang sifatnya autentik mengenai keadaan peristiwa atau perbuatan
hukum. 3 Dalam menjalankan tugas, peranan, dan fungsinya didalam masyarakat, selain sebagai Pejabat
Umum, Notaris dapat disebut juga sebagai Pejabat Publik. Notaris sebagai Pejabat Publik tidak berarti
sama dengan Pejabat Publik dalam bidang pemerintahan yang dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara tersebut. Notaris sebagai Pejabat Publik yaitu membuat akta autentik yang terikat
dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian, akta merupakan formulasi
keinginan atau kehendak (wilsvorming) para pihak yang dituangkan dalam akta Notaris yang dibuat di
hadapan atau oleh Notaris sedangkan Pejabat Publik dalam bidang pemerintahan produknya yaitu Surat
Keputusan atau Ketetapan yang terikat dalam ketentuan Hukum Administrasi Negara yang memenuhi
syarat sebagai penetapan tertulis yang bersifat, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau badan hukum perdata, dan sengketa dalam Hukum Administrasi diperiksa di

1
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, (Bandung : Citra Adita Bakti, 2013), hlm.
162.
2
Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2004), hlm. 15.
3
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, (Bandung : Refika Aditama, 2009)
, hlm. 32.

6
Pengadilan Tata Usaha Negara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Notaris sebagai Pejabat
Publik yang bukan Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara. 4
Dalam melaksanakan tugas tugas pengawasan terhadap Notaris dilakukan oleh Majelis Pengawas
Notaris dan Dewan Kehormatan merupakan amanat Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris,
khususnya Pasal 67 Ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa menteri berwenang dalam mengawasi
Notaris dan dalam melaksanakan pengawasannya menteri membentuk Majelis Pengawas. Pengawasan
ditujukan untuk pentaatan terhadap Kode Etik dan ketaatan untuk menjalankan ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan peraturan perundang-undangan. 5
Adapun maksud dan tujuan dilakukan pengawasan terhadap Notaris adalah agar para Notaris
ketika menjalankan tugas jabatannya memenuhi semua persyaratan yang berkaitan dengan pelaksanaan
tugas Jabatan Notaris, demi untuk pengamanan dari kepentingan masyarakat, karena Notaris diangkat
oleh pemerintah, bukan untuk kepentingan diri Notaris sendiri, tapi untuk kepentingan masyarakat yang
dilayaninya. 6 Tujuan lain dari pengawasan terhadap Notaris, bahwa Notaris dihadirkan untuk melayani
kepentingan masyarakat yang membutuhkan alat bukti berupa akta autentik sesuai permintaan yang
bersangkutan kepada Notaris, sehingga tanpa adanya masyarakat yang membutuhkan Notaris, maka
Notaris tidak ada gunanya. Tidak mudah untuk melakukan pengawasan terhadap Notaris tersebut, hal ini
juga kembali kepada Notaris sendiri dengan kesadaran dan penuh tanggung jawab dalam tugas
jabatannya mengikuti atau berdasarkan aturan hukum yang berlaku, dan tidak kalah pentingnya, yaitu
peranan masyarakat untuk mengawasi dan senantiasa melaporkan tindakan Notaris yang dalam
melaksanakan tugas jabatannya tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku kepada Majelis
Pengawas Notaris setempat. 7
Penerapan Kode Etik Notaris dan Undang-Undang Jabatan Notaris memiliki hubungan yang
saling mengisi satu dengan yang lainnya. Berkaitan dengan Kode Etik Notaris yang mengatur tentang
etika dan moral Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya, salah satunya yang menjadi pokok
pembahasan pada tesis ini adalah menyangkut pembatasan jumlah pembuatan akta per hari Notaris.
Didalam Perubahan Kode Etik Notaris dalam Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia di Banten
pada tanggal 29 sampai 30 Mei 2015 ditegaskan dalam bab III tentang kewajiban, larangan dan
pengecualian Pasal 3 angka 18 mengatakan:
“Membuat akta dalam jumlah batas kewajaran untuk menjalankan peraturan perundang-
undangan, khususnya Undang-Undang tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik.”
Selanjutnya melalui peraturan Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia
Nomor 1 Tahun 2017 melahirkan Peraturan dengan berlandas pada ketentuan Pasal 4 Angka 16 Kode

4
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Op.Cit, hlm. 31.
5
Enny Mirfa, Perbandingan Hukum Jabatan Notaris Di Indonesia dan Di Negara Belanda, Jurnal ilmiah Research Sain
Vol.2 No.2 Juni 2016, hlm. 61.
6
G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Erlangga:Jakarta, 1989), hal. 301 dalam Habib Adjie, Majelis
Pengawas Notaris Sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, ( Refika Aditama : Bandung, 2011), hlm. 3.
7
Ibid, hlm. 4.

7
Etik Notaris (KEN) Ikatan Notaris Indonesia selanjutnya dapat disingkat Peraturan DKP INI. Secara
garis besar isi dari Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017
mencakup 3 (tiga) bab yakni bab I mengenai Ketentuan Umum yang terdiri dari 1 (satu) pasal; bab II
mengenai Batas Jumlah Kewajaran Pembuatan Akta yang terdiri dari 1 (satu) pasal; dan bab III mengenai
Ketentuan Penutup yang terdiri dari 1 (satu) pasal. 8
Adapun maksud dibuatnya ketetapan pembatasan jumlah akta per hari memang tidak ada
dijelaskan didalam Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017
akan tetapi mengingat Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun
2017 lahir dari ketentuan Kode Etik Notaris yang menyangkut kaidah moral dan Jabatan Notaris
merupakan jabatan dengan menjunjung tinggi nilai profesionalitas dan berwibawa maka sudah
sewajarnya seorang Notaris dalam bertindak harus menjunjung tinggi sikap profesionalitas kerja dalam
melayani masyarakat khususnya pada pembuatan akta dalam jumlah batas kewajaran yakni 20 (dua
puluh) akta per hari. Disamping itu apabila memperhatikan jam kerja Notaris yang lazim digunakan oleh
Notaris maka penggunaan waktu tersebut adalah antara pukul 8 ( delapan ) pagi sampai dengan pukul 17
(tujuh belas) Waktu Indonesia Barat, dan jam istirahat pada pukul 12 (dua belas) sampai dengan pukul
13 (tiga belas) Waktu Indonesia Barat, maka jumlah jam yang dipergunakan adalah 8 (delapan) jam
sehari, artinya apabila tanpa jeda keluar masuk atau berganti orang yang membuat akta, jumlah waktu
yang dibutuhkan dengan jumlah pembatasan akta 20 ( dua puluh) akta satu hari adalah 8 (delapan) dikali
60 (enam puluh) menit dan dibagi 20 (dua puluh) akta maka didapat hasil 24 (dua puluh empat) menit
waktu yang dibutuhkan. Lazimnya waktu 24 menit dalam membuat 1 (satu) akta sudah termasuk
didalamnya pembacaan dan penandatangan akta lebih kurang apabila dikalkulasikan adalah 10 (sepuluh)
menit, dengan demikian pembuatan akta memakan waktu 14 (empat belas) menit dan pembacaan akta
selama 10 ( sepuluh ) menit.
Pembuatan akta yang dilakukan oleh Notaris ada yang melebihi jumlah 20 (dua puluh) akta
perhari dan tidak menutup kemungkinan dengan Notaris lain yang bisa saja dalam 1 ( satu ) hari tersebut
terdapat pembuatan akta melebihi 20 (dua puluh) akta atau bahkan lebih. Adapun dari keseluruhan sifat
akta yang dibuat oleh masing-masing Notaris berbeda-beda tergantung dengan maksud dan keinginan
para pihak.
Pembuatan akta Notaris umumnya akan terkait dengan akta yang saling berkaitan, dan atau akta-
akta lainnya, sebagai contoh Notaris yang memiliki rekanan dengan pihak perbankan dan perusahaan
leasing akan menerima pembuatan akta yang berkaitan dengan perbankan dan pembiayaan. Akta yang
berkaitan dengan pembiayaan motor dan mobil yaitu berupa akta fidusia sedangkan akta perbankan
berkaitan dengan pengikatan jaminan yang diinginkan sesuai dengan kepentingan yang diinginkan oleh
pihak bank. Sebagai contoh akta dalam hal pembiayaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR), umumnya bank
akan meminta untuk dibuatkan beberapa akta berkaitan dengan KPR seperti akta Perjanjian Pengikatan
Jual Beli, akta Perjanjian Kredit Kepemilikan Rumah, akta Perjanjian Penyerahan Jaminan dan Kuasa,

8
Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia (DKP INI) Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Batas Kewajaran
Jumlah Pembuatan Akta Perhari.

8
Surat Kuasa, akta Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. Jenis akta yang hendak dibuat umumnya
mengikuti order dari pihak bank, kemudian Notaris yang bersangkutan akan meneliti dan mencermati
hal-hal yang dianggap penting terutama idenditas para pihak serta bukti-bukti dokumen lainnya seperti
sertifikat dan lain sebagainya.
Proses adminstrasi pembuatan akta juga harus memperhatikan ketentuan dalam Undang-undang
Jabatan Notaris yang demikian panjang. Apabila dikaji dari sisi prinsip bekerja seorang Notaris maka
sangat diperlukan sikap Notaris yang cepat, tepat dan cermat. Cermat dalam arti disini adalah sikap
kehati-hatian dalam bertindak, bukan hanya cepat dengan mengabaikan ketentuan Undangundang
Jabatan Notaris dan Kode Etik yang berlaku. Sebab resiko utama apabila tidak cermat dan hati-hati yang
dapat dihadapi oleh Notaris adalah resiko yang berujung pada perbuatan Notaris yang bersangkutan dapat
disangkakan pada perbuatan melawan hukum dan apabila terbukti Notaris yang bersangkutan wajib
mengganti kerugian sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1365 KUH Perdata dan menerima sanksi
lain sebagaimana diatur dalam Kode Etik Notaris dan Undang-undang Jabatan Notaris.
Dengan demikian sebagaimana telah diuraikan tentang perlunya pembatasan akta Notaris dan
potensi hukum yang dapat dihadapi oleh Notaris bilamana membuat akta melebihi jumlah yang dibatasi
sesuai dengan ketentuan Kode Etik Notaris maka berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut
diatas yang menjadi alasan untuk memilih judul “Analisis Pembatasan Jumlah Pembuatan Akta Perhari
Pasca Keluarnya Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017.”

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses pembuatan akta Notaris yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku?
2. Bagaimana akibat hukum terhadap kewenangan Notaris apabila
melanggar Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris
Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 ?

C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk menganalisis dan mengetahui bagaimana bentuk pembuatan akta Notaris yang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Untuk menganalisis dan mengetahui akibat hukum dalam terhadap kewenangan Notaris dan akibat
hukum terhadap akta yang melanggar ketentuan Peraturan Dewan Kehormatan Ikatan Notaris
Indonesia Pusat Nomor 1 Tahun 2017 dan kaitannya dengan Etika Profesi Notaris.
.
D. Manfaat Penelitian
Adapun Manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoretis

9
Secara teoretis hasil penelitan ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan khususnya didalam bidang Kenotariatan yang berkaitan dengan tanggung jawab
Notaris dan pengawasan terhadap penerapan Kode Etik Notaris dan Undang-Undang Jabatan
Notaris.
2. Secara praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan, saran ataupun
informasi yang berguna bagi para pihak khususnya kepada Pemerintah, Notaris dan Organisasi
Ikatan Notaris Indonesia dan Masyarakat khususnya dalam hal penerapan peraturan tentang
pembatasan jumlah akta per hari.

E. Kerangka Teori dan Konsepsi


1. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau
memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah kerangka
pemikiran atau butir butir pendapat, teori, tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak
disetujui. 910 Bagi suatu penelitian, teori dan kerangka teori mempunyai kegunaan. Kegunaan tersebut
paling sedikt mencakup hal hal sebagai berikut: 11
a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam fakta;
b. Teori sangat berguna di dalam klasifikasi fakta;
c. Teori merupakan ikhtiar dari hal-hal yang diuji kebenaranya.
Untuk menjawab permasalahan diperlukan landasan teoritis yang relevan dengan
permasalahan yang dibahas, kerangka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penulisan
ini adalah menggunakan Teori Efektivitas Hukum dihubungkan dengan Teori Pengawasan yang
berkeadilan Soerjono Soekanto mengatakan bahwa efektif adalah taraf sejauh mana suatu kelompok
dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat dikatakan efektif jika terdapat dampak hukum yang positif,
pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam membimbing ataupun merubah perilaku manusia
sehingga menjadi perilaku hukum. 12 Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah
bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu : 13
1. Faktor hukumnya sendiri ( undang-undang )
2. Faktor penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

9
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hlm. 10

11
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1981), hlm. 121.
12
Soerjono Soekanto, Efektifitas Hukum dan Penerapan Sanksi, (Bandung : CV Ramadja Karya, 1988), hlm. 80.
13
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2008),
hlm. 8.

10
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia
didalam pergaulan hidup.
Menurut Soerjono Soekanto ukuran efektivitas pada elemen pertama adalah : 14
1. Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah cukup sistematis.
2. Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah cukup sinkorn, secara
hierarki dan horizontal tidak ada pertentangan.
3. Secara kualitatif dan kuantitatif peraturan-peraturan yang mengatur bidangbidang kehidupan
tertentu sudah mencukupi.
4. Penerbitan peraturan-peraturan tertentu sudah sesuai dengan persyaratan yuridi yang ada.
Sedangkan pada elemen kedua yang menentukan efektif atau tidaknya kinerja hukum tertulis
adalah aparat penegak hukum. Dalam hubungan ini dikehendaki adanya aparat penegak hukum.
Menurut Soerjono Soekanto bahwa masalah yang berpengaruh terhadap efektivitas hukum tertulis
ditinjau dari segi aparat akan tergantung pada hal berikut :15
1. Sampai sejauh mana petugas terikat oleh peraturan-peraturan yang ada
2. Sampai sejauh mana petugas diperkenankan memberikan kebijaksanaan
3. Teladan macam apa yang sebaiknnya diberikan oleh petugas kepada masyarakat.
4. Sampai sejauh mana derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang diberikan kepada petugas
sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada wewenangnya.
Relevansi Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017
Tentang Batas Kewajaran Jumlah Pembuatan Akta Perhari dengan teori efektivitas yang
dikemukakan oleh Soerjono Soekanto dikatakan efektifitas suatu hukum dipengaruhi oleh 5 (lima)
faktor salah satunya yaitu faktor undang-undang itu sendiri. Tolak ukur efektivitas dari undang-
undang yang dimaksud adalah apakah undang-undang tersebut telah memenuhi unsur suatu
pembentukan undang-undang atau tidak. Suatu undang-undang yang efektif tersebut harus disusun
secara sistematis, sudah sinkron dengan kehidupan yang dianut dalam bidang-bidang kehidupan
masyarakat, dan secara hierarki dan horizontal tidak ada pertentangan. Selain itu peraturan tersebut
dibuat sesuai dengan persyaratan yuridis.
Sedangkan relevansi efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto dari sisi faktor penegakan
hukum yang terkait dalam hal ini adalah subjek yang membuat dan menjalankan peraturan itu
sendiri. Dalam hal ini Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia merupakan subjek yang
membuat peraturan tentang pembatasan pembuatan jumlah akta. Dewan Kehormatan Notaris
dibentuk oleh Organisasi Ikatan Notaris Indonesia. Dewan Kehormatan berwenang melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap pelanggaran Kode Etik Notaris. 15 Dewan Kehormatan
dibentuk didasarkan pada Perubahan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris Indonesia dengan

14
Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, (Bandung : Bina Cipta, 1983), hlm. 80. 15 Ibid, hlm. 82.
15
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris Pasal 67 ayat (2)

11
diadakannya Kongres. 16 Kongres diadakan dengan dihadiri oleh anggota perkumpulan Ikatan
Notaris Indonesia dan para anggota memiliki hak suara untuk memilih Dewan
Kehormatan. 17 Dengan keluarnya Peraturan tersebut tentu membutuhkan pengawasan dari para
pihak terkait sehingga pelaksanaan peraturan terhadap pembatasan jumlah akta perhari dapat
berjalan dengan baik dan efektif dan Notaris dapat menerima serta menjalankan peraturan tersebut
tanpa adanya keterpaksaan melainkan dapat memberi manfaat bagi Notaris tersebut dalam
menjalankan tugas membuat akta autentik untuk lebih cermat, teliti dan profesional sehingga dapat
memberikan manfaat juga bagi masyarakat yang menggunakan jasa Notaris dalam membuat akta
autentik sebab dengan tindakan Notaris yang semakin profesional akan semakin menjamin kepastian
hukum bagi para pihak yang datang membuat akta autentik tersebut.
Menurut Sujamto, ada tiga jenis keahlian yang diperlukan bagi setiap pengawas atau pemeriksa,
yaitu keahlian tentang objek pengawasan, keahlian tentang teknik/cara pengawasan, dan keahlian
tentang objek pengawasan. Yang dimaksud keahlian tentang objek pengawasan ialah pengetahuan
tentang standar yang berlaku bagi objek pengawasan yang bersangkutan. 18
Pengawasan terhadap Notaris sebelumnya diatur dalam Peraturan Jabatan Notaris (PJN) yang
secara struktur kelembagaan lebih tepat namun kurang efektif karena bagi masyarakat terlalu jauh
dan rumit, berbeda dengan Majelis Pengawas yang saat ini diatur dalam Undang-Undang Jabatan
Notaris. Masyarakat bisa mengadukan praktik kenotariatan yang menyimpang kepada Majelis
Pengawas yang terdiri dari wakil akademisi, wakil organisasi profesi atau wakil pemerintah.
Jelas hal ini memberikan akses yang lebih mudah dibandingkan dengan Peraturan Jabatan Notaris
(PJN) yang hanya memberikan satu akses yakni ke Pengadilan Negeri. 19
Setiap pengawasan, terdapat fungsi pembinaan dan perlindungan. Karena tanpa pembinaan maka
pengawasan akan menjadi unsur yang kontraproduktif. Pengawasan juga harus mengandung unsur
perlindungan khususnya berkaitan dengan azas praduga tidak bersalah dan posisi sebagai pejabat
umum yang sedang melaksanakan tugas negara.21 Dengan demikian pengawasan terhadap Notaris
dalam hal penerapan peraturan tentang pembatasan jumlah akta perhari harus didasarkan atas 3 (tiga)
hal yang utama :
1. Pengawasan dilakukan oleh subjek hukum yang memang memiliki keahlian dalam bidangnya.
2. Pengawasan yang dilakukan harus tetap berpedoman para hirarki peraturan perundang-
undangan sehingga pengawasan tersebut dapat efektif untuk dilaksanakan dan ditaati semua
pihak.

16
Perubahan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris Indonesia, Hasil Rapat Pleno Pengurus Pusat Yang Diperluas Banten
– 30 Mei 2015 tentang Kongres dan Kongres Luar Biasa Pasal 12 ayat 5 tentang pemilihan, penetapan dan pelantikan Ketua
Umum dan Dewan Kehormatan Pusat.
17
Perubahan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris Indonesia, Hasil Rapat Pleno Pengurus Pusat Yang Diperluas Banten
– 30 Mei 2015, pasal 6 ayat 1 tentang hak anggota memilih dan dipilih sebagai anggota Pengurus atau Dewan Kehormatans
dan pasal 7 ayat 8 tentang Pemilihan Dewan Kehormatan Pusat dalam Kongres dilaksanakan oleh anggota biasa (Notaris
Aktif) secara langsung, umum, bebas dan rahasia.
18
Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, (Jakarta :RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 357.
19
Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Jati Diri Notaris Indonesia Dulu, Sekarang dan Di Masa Datang, ( Jakata:
Gramedia Pustaka, 2008) hlm. 237. 21 Ibid., hlm. 238.

12
3. Terhadap terjadinya indikasi pelanggaran dari peraturan tentang pembatasan jumlah akta perhari
yang dilakukan oleh Notaris harus didasari dengan asas praduga tidak bersalah. Tolak ukur
terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris yang bersangkutan harus didasari dari alasan-
alasan yang dikatakan Notaris tersebut terlebih dahulu, kemudian ditindaklanjuti dengan
mencari bukti dan fakta yang dicocokkan dengan nilai kepatutan dan kepantasan yang dilakukan
oleh Notaris tersebut saat membuat akta melebihi batas perhari.
Pengawasan yang dilakukan oleh subjek hukum yang memiliki kewenangan penting pada
dasarnya memegang peranan penting sehingga pengawasan tersebut dapat berjalan dengan efektif,
akan tetapi pengawasan saja tidak cukup untuk ditelaah lebih lanjut, tolak ukur utama dilakukannya
pengawasan adalah untuk mendapatkan keadilan, dengan didapatnya keadilan maka akan
menciptakan kepastian hukum dan perlidungan hukum. Pengawasan yang telah dilakukan dengan
baik atau tidak pada akhirnya adalah untuk mendapatkan keadilan. Pengawasan merupakan satu
bentuk upaya untuk menjamin keadilan. 20Keadilan menurut Adam Smith merupakan keadilan yang
komulatif yang menyangkut kesetaraan, kesimbangan, keharmonisan hubungan antara satu orang
atau pihak dengan orang atau pihak yang lain. Keadilan sesungguhnya mengungkapkan kesetaraan
dan keharmonisan hubungan diantara manusia ini. Itu berarti dalam interaksi sosial apa pun tidak
boleh ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya. Ketidakadilan lalu berarti pincangnya
hubungan antar manusian karena kesetaraan tadi terganggu. 21
Kaitannya dengan pengawasan yang dilakukan oleh pihak yang berwenang mengawasi seluruh
kegiatan Notaris khususnya adalah dalam hal pengawasan terhadap jumlah pembuatan akta yang
berpedoman pada hirarki peraturan perundang-undangan harus dilandasi dengan rasa keadilan.
Keadilan tersebut dapat diwujudkan dengan sikap subjek pengawas yang memiliki kewenangan
untuk itu. Sikap ini ditujukan kepada setiap Notaris tanpa memandang jumlah akta yang dibuat,
sebab secara keseluruhan fungsi pengawasan sendiri adalah untuk menjamin kepastian hukum dan
menciptakan perlindungan hukum itu sendiri bagi setiap Notaris khususnya berkaitan dengan
pembuatan akta per harinya. Oleh sebab itu pengawasan yang baik bukan hanya pengawasan
terhadap salah satu pihak Notaris saja yang dianggap berpotensi melanggar ketentuan undang-
undang sedangkan Notaris yang lain dianggap tidak berpotensi melanggar ketentuan undang-undang
bukan termasuk target pengawasan. Tentunya dengan pandangan yang demikian akan menimbulkan
ketidakadilan yang berakibat pengawasan tersebut menjadi tidak efektif. Selain itu pengawasan yang
berkeadilan tidak menimbulkan akibat kerugian bagi pihak Notaris yang melanggar akan tetapi justru
pengawasan yang berkeadilan yang baik adalah memberikan pemahaman atau teguran yang
bermanfaat bagi Notaris yang bersangkutan untuk dapat bersikap hati-hati dimasa yang akan datang
khususnya terhadap akta yang ia buat dengan resiko yang harus ia terima. Sehingga dengan demikian

20
Berpartisipasi dalam Upaya Peningkatan Jaminan Keadilan salah satunya melalui Partisipasi dalam bentuk Pengawasan
dalam Aim Abdulkarim, Pendidikan Kewarganegaraan Keterbukaan dan Jaminan Keadilan, (Jakarta:Grafindo Media
Pratama, 2006), hlm. 65.
21
Sonny Keraf, Etika Bisnis, Tuntutan Dan Relevansinya, (Yogyakarta : Kanisius, 1998) , hlm. 146.

13
aturan hukum yang telah diciptakan tadi tidak menimbulkan pro dan kontra di tengah kalangan
Notaris.

2. Konsepsi
Konsepsi adalah suatu bagian penting dari teori. Peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk
menghubungkan teori dan observasi antara abstraksi dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata
yang menyatu abtraksi yang di generalisasikan dari hal hal yang khusus yang disebut dengan defenisi
operasional. 22
Kerangka konsepsi merupakan gambaran bagaimana hubungan antara konsep-konsep yang akan
diteliti. Salah satu cara untuk menjelaskan konsepkonsep tersebut adalah dengan membuat definisi.
Definisi merupakan suatu pengertian yang relatif lengkap tentang suatu istilah dan definisi bertitik
tolak pada referensi. Berikut ini diuraikan beberapa konsep/definisi/pengertian yang dijumpai dalam
tesis ini yaitu:
a. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki
kewenangan lainya sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang ini atau berdasarkan undang-
undang lain.
b. Akta Notaris adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan
tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.
c. Tugas Notaris adalah memformulasikan keinginan/tindakan para pihak dalam akta autentik,
dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku. 23
d. Dewan Kehormatan adalah alat perlengkapan Perkumpulan sebagai suatu badan atau lembaga
yang mandiri dan bebas dari keberpihakan dalam Perkumpulan yang bertugas untuk melakukan
pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota dalam menjunjung tinggi kode etik;
memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan kode etik yang bersifat
internal atau yang tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan masyarakat secara langsung;
memberikan saran dan pendapat kepada Majelis Pengawas atas dugaan pelanggaran kode etik
dan jabatan Notaris. 24

F. Metode Penelitian
Pada penelitian hukum ini menjadikan ilmu hukum sebagai landasan ilmu pengetahuan induknya.
Menurut Soejono Soekanto, yang dimaksud dengan penelitian hukum adalah “kegiatan ilmiah yang
didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu
25
atau segala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.” Metode ( Inggeris : method, Latin :
Methodus, Yunani : methodos – meta berarti sesudah, di atas, sedangkan hodos, berarti suatu jalan,

22
Sumadi Surya Brata, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,1998) , hlm. 3.
23
Ibid, hlm. 35.
24
Kode Etik Ikatan Notaris Indonesia (INI), Bab I Ketentuan Umum Pasal 1.
25
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:Universitas Indonesia, 1986), hlm. 43.

14
suatu cara). 26Metode merupakan suatu cara atau jalan sehubungan dengan upaya ilmiah maka metode
menyangkut masalah cara kerja yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran
ilmu yang bersangkutan. 27 Jadi metode penelitian yaitu cara-cara ilmiah atau alat tertentu yang
digunakan untuk menguji suatu kebenaran untuk memecahkan permasalahan yang ada dan turut
menentukan hasil yang akan diperoleh. Supaya mendapat hasil yang lebih maksimal maka peneliti
melakukan penelitian hukum dengan menggunakan metode motode sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif.
Metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode
atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka yang ada. 28
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini yaitu bersifat deskiptif analitis.
Deskriptif maksudnya untuk mengetahui gambaran secara menyeluruh dan sistematis mengenai
peraturan yang dipergunakan yang berkaitan dengan masalah yang dikaji. Analitis adalah
mengungkapkan karakteristik objek dengan cara mengurai dan menafsirkan fakta fakta tentang
pokok persoalan yang diteliti. Jadi penelitian ini mengungkapkan peraturan perundang-undangan
29
yang berkaitan dengan objek penelitian, yang berkaitan dengan tanggung jawab Notaris dan
pengawasan terhadap Notaris terkait dengan jumlah akta yang dibuat perhari.
3. Sumber Data
Pengumpulan data adalah bagian penting dalam suatu penelitian,karena dengan
pengumpulan data akan diperoleh data yang diperlukan untuk selanjutnya dianalisis sesuai
kehendak yang diterapkan.Dalam penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data
30
kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara menghimpun data dengan
melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. 31
Data Sekunder diperoleh melalui studi pustaka atau literatur, data sekunder tersebut
meliputi:
a) Bahan Hukum Primer ,yang merupakan bahan hukum yang mengikat berupa peraturan
perundang-undangan antara lain dari:
1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor
30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

26
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet IV, ( Jawa Timur: BayuMedia Publishing, 2008),
hlm. 25.
27
Husin Sayuti, Pengantar Metodologi Riset, (Jakarta: CV. Fajar Agung, 1989), hlm. 32.
28
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke – 11. (Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 13-14.
29
Zainuddin Ali, Metode Penelitian hukum, (Jakarta : Sinar Grafika,2009) , hlm. 105.
30
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian hukum,Suatu Pengantar, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 10.
31
Soejono Soekanto dan Sri Manudji, (Penelitian Hukum Normatif Suatu Tingkatan Singkat, (Jakarta:Raja Grafindo
Indonesia, 1995), hlm. 38.

15
2) Peraturan Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia di Banten tanggal 29-30 Mei 2015.
3) Perubahan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris Indonesia Hasil Rapat Pleno
Pengurus Pusat Yang Diperluas Di Balikpapan 12 Januari 2017
b) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder,merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer sebagaimana yang terdapat dalam kumpulan pustaka yang bersifat
sebagai penunjang dari bahan hukum primer,yang terdiri dari :
1) Buku-buku;
2) Majalah-majalah;
3) Artikel-artikel media;
4) Dan berbagai tulisan lainnya.
c) Bahan Hukum Tersier atau bahan non hukum,yaitu berupa kamus,ensiklopedia dan lain
lain. 32

32
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Jakarta :Pustaka Pelajar), hlm.
156-159.

16
BAB II
PROSES PEMBUATAN AKTA NOTARIS BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG
UNDANGAN

A. Tinjauan Umum Tentang Pejabat Notaris


Pemberian kualifikasi Notaris sebagai Pejabata Umum berkaitan dengan wewenang Notaris. Menurut
Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris bahwa Notaris berwenang membuat akta autentik,
sepanjang pembuatan akta-akta tersebut tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. 33
Dalam penataan kelembagaan (hukum), khususnya untuk Notaris, cukup untuk Notaris dikategorikan
sebagai Pejabat Umum saja dan tidak perlu menempelkan atau memberikan sebutan lain kepada Notaris. 34
Dengan demikian Pejabat Umum merupakan suatu jabatan yang disandang atau diberikan kepada mereka
yang diberi wewenang oleh aturan hukum dalam pembuatan akta autentik, dan Notaris sebagai Pejabat
Umum kepadanya diberikan kewenangan untuk membuat akta autentik. Oleh karena itu Notaris sudah pasti
Pejabat Umum, tapi Pejabat Umum belum tentu Notaris, karena Pejabat Umum dapat disandang pula oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau Pejabat Lelang. 35
1. Lahirnya Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement Stb nomor 3 Tahun 1860
Sejarah lahirnya Notaris di Indonesia baru muncul dalam permulaan abad ke 17 (tujuh belas).
Gabungan perusahaan-perusahaan dagang Belanda untuk perdagangan di Hindia Timur (Oost Indie)
yang dikenal dengan nama V.O.C singkatan Vereenigde Oost Indische Compagnie, dengan Gubernur
Jenderalnya yang bernama Jan Pieterszoon Coen, telah mengangkat Melchior Kerchem sebagai Notaris
pertama di Jakarta yang pada waktu itu disebut Jacarta kemudian Batavia atau Betawi yang surat
pengangkatannya bertanggal 27Agustus 1620. 36
Kerchem ditugaskan untuk kepentingan publik khususnya berkaitan dengan pendaftaran semua
dokumen dan akta yang telah dibuatnya. Awalnya para Notaris adalah pegawai VOC (Vereenigde Oost
Indische Compagnie) sehingga tidak memiliki kebebanan dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat
umum yang melayani masyarakat. Baru sesudah tahun 1650 Notaris benar benar diberikan kebebasan
dalam menjalankan tugasnya dan melarang para prokureur mencampuri pekerjaan kenotariatan.46
Keberadaan Notaris pertama sekali di Indonesia dapat disimpulkan dibawa oleh Belanda.
Sedangkan bangsa Belanda dan negara-negara Eropa Barat lainnya mengimpor dari negara-negara kuno
lain, seperti Mesir dan Yunani. Seperti diketahui dalam buku-buku sejarah, peradaban kuno berasal

33
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Op.Cit, hlm. 28.
34
Ibid., hlm. 29.
35
Ibid., hlm. 30.
36
Komar Andasasmita, Notaris Selayang Pandang, (Bandung : Alumni, 1983), hlm. 1. 46 Pengurus Pusat Ikatan Noraris
Indonesia ,Op. Cit., hlm. 49.

17
antara lain dari Mesir dan Yunani, dimana sejak zaman purbakala bangsa-bangsa itu telah mengenal
tulisan-tulisan dan karena mempunyai kepandaian akan menulis/tulisan maka menurut sahibulhikayat
sejak abad ke 3 (tiga) sebelum Masehi, di Mesir telah lahir semacam “notariat” dan berfungsi sebagai
semacam “marktmeester” yang mengawasi masalah-masalah yang menyangkut berbagai perjanjian di
pasar-pasar.
Sebagai perbandingan, di Belanda aturan umum tentang Notariat ini baru diumumkan pada
tanggal 21 Maret 1524 oleh Karel V. 37
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah tidak segera mengembangkan konsep peraturan baru.
Indonesia menjadi ahli waris di bidang hukum khususnya dari bekas penjajahan Belanda, secara
otomatis menganut pula sistem Kontinental-Romawi yang dianut oleh penjajah. Khususnya di bidang
Notariat pada saat itu masih berlaku suatu peraturan yang diberi nama aslinya “Reglement op het
Notarisambt in Indonesia” yang disingkat sebagai “Notaris Reglement” dan oleh para ahli hukum
Indonesia diterjemahkan menjadi “Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia” yang mulai berlaku di
Indonesia sejak tanggal 11 Januari tahun 1860 melalui Lembaran Negara Tahun 1860 No. 3. 38
Peraturan Jabatan Notaris (PJN) yang berlaku sejak tahun 1860 terus dipakai sebagai satu-satunya
undang undang yang mengatur kenotariatan di Indonesia sampai tahun 2004. Padahal dari berbagai segi
Peraturan Jabatan Notaris (PJN) sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman, Oleh karena itu sejak
tahun 1970 an, Ikatan Notaris Indonesia berusaha membangun undang undang kenotariatan yang baru
dan bisa mengakomodasi perkembangan lingkungan hukum dan bisnis di Indonesia. Undang-undang
induknya yakni Notariswet sendiri telah mengalami beberapa kali perubahan untuk menyesuaikan
dengan perkembangan hukum dan bisnis di negeri Belanda, jadi perubahan Peraturan Jabatan Notaris
(PJN) adalah sebuah hal yang tidak bisa dihindarkan, 39

2. Lahirnya Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014
Pemerintah dengan Ikatan Profesi Notaris dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membuat
undang-undang nasional mengenai peraturan jabatan Notaris untuk menggantikan peraturan perundang
undangan peninggalam zaman kolonial Hindia Belanda membuahkan hasil. Akhirnya setelah menunggu
dan berjuang lebih dari tiga dasa warsa, Rancangan Undang-Undang Jabatan Notaris disahkan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) di gedung DPR/MPR pada tanggal 14
September 2004. 40
Perkembangan selanjutnya pada tanggal 6 Oktober 2004 diundangkan Undang-Undang No. 30
Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris di Jakarta. Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004

37
Ibid., hlm. 49.
38
Muhammad Adam., Asal-Usul Dan Sejarah Akta Notarial, (Bandung: Sinar Baru, 1985)., hlm. Vii.
39
Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Op.Cit., hlm. 49.
40
Abdul Basyit, Undang-Undang Jabatan Notaris Pembaharuan Bidang Kenotariatan, Media Notariat, Edisi September-
Oktober, 2004., hal.6, dalam Koming Pratiwi Juwita, Kedudukan Notaris Setelah Berstatus Tersangka Dalam Pembuatan
Aktanya, (Denpasar : Universitas Udayana, 2017)., hlm. 2.

18
kemudian dilanjutkan dengan perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dengan
pertimbangan bahwa Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat. 41 UUJN 2014 Disahkan di Jakarta pada
tanggal 15 Januari 2014 , yang berarti bahwa usia UUJN 2004 berkisar selama 10 tahun. 42

B. Pembuatan Akta Autentik Dalam Praktiknya Oleh Notaris Sebagai Pejabat Umum
Pembuatan akta autentik dalam praktiknya yang dilakukan oleh Notaris tentunya berbeda-beda, dalam
penelitian ini akan dijelaskan secara garis besar tentang pembuatan akta autentik pada salah satu Notaris di
Kota Medan yang telah berdiri lebih kurang 10 (sepuluh tahun) dan memiliki hubungan kerjasama dengan
perbankan dan perusahaan pembiayaan.
1. Pra Pembuatan Akta Notaris
Pra pembuatan akta Notaris merupakan awal sebelum akta Notaris atau Minuta akta dibuat,
dengan kata lain akta Notaris belum lahir atau belum dibuat sama sekali. Pada tahap ini biasanya diawali
dengan seseorang dapat datang atau menelepon ke kantor Notaris terlebih dahulu untuk membuat janji
pertemuan atau dapat langsung mendatangi kantor Notaris. Jika Notaris tidak berada di tempat, maka
dapat bertemu dengan karyawan atau asisten Notaris dengan mengutarakan niat dan maksud kedatangan
kepada mereka. 43
Saat menghadap Notaris, seseorang harus sudah dapat memastikan maksud dan tujuan
menemuinya. Jangan sampai mendatangi Notaris tanpa tujuan dan keinginan yang jelas. Akan sulit bagi
seorang Notaris untuk membantu jika hal seperti itu yang terjadi. Jujur mengutarakan kepada Notaris
yang menjadi keinginan dan kehendak secara detail. Selain keterangan-keterangan yang perlu
disampaikan secara jelas dan jujur kepada Notaris, sebaiknya juga disiapkan juga dokumen-dokumen
penting berkaitan dengan keperluan para pihak tersebut. 44Secara umum biasanya dokumen yang harus
dibawa adalah idenditas diri, idenditas istri/suami apabila sudah berkeluarga atau dokumen kepemilikan
barang jika akta yang dibuat menyangkut barang-barang tertentu. Seandainya ada dokumen-dokumen
yang dirasa kurang lengkap oleh Notaris maka dapat segera dilengkapi oleh para pihak. Lalu akta yang
akan dibuat oleh Notaris adalah akta autentik berdasarkan hukum yang diperoleh dari dokumen-dokumen
yang lengkap dan valid. 45
Pra pembuatan akta Notaris diatas merupakan salah satu contoh pra pembuatan akta Notaris yang
dimana para pihak datang secara langsung menemui Notaris yang bersangkutan lalu mengutarakan
maksud hendak membuat akta yang diinginakan oleh para pihak. Akan tetapi terdapat model atau cara

41
Dalam Pertimbangan huruf d tentang Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
42
Disahkan di Jakarta pada tanggal 15 Januari 2014 dalam Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
43
Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, Ke Notaris, (Jakarta : Raih Asa Sukses.,2009), hlm. 61.
44
Ibid.
45
Ibid.

19
lain dimana para pihak tersebut merupakan pihak perbankan yang telah menjalin hubungan rekanan
dengan pihak perbankan.
Secara garis besar suatu perbankan akan diwakili oleh seorang manager atau pimpinan cabang
manager atau pimpinan cabang inilah yang akan mewakili pihak perbankan untuk menandatangani atau
melakukan perbuatan hukum terkait dengan akta yang nantinya akan dibuat oleh Notaris. Dalam
praktiknya manager suatu perbankan tidak mungkin langsung datang menghadap ke Notaris
mengutarakan keinginan pihak perbankan untuk membuat akta apabila tidak begitu berkepentingan
sebab mengingat manager atau pimpinan cabang perbankan juga memiliki tugas lain dalam suatu
perbankan.
Oleh sebab itu dalam praktiknya hubungan antara perbankan dengan Notaris dijalin dengan
komunikasi via telepon, email, atau fax kemudian akan ditindak lanjuti dengan dibuatnya surat resmi
dari perbankan yang isinya menerangkan mengenai permohonan kepada Notaris untuk membantu
membuatkan akta yang diinginkan oleh pihak perbankan tersebut berikut dengan dokumen pendukung
dan selanjutnya perbankan akan mengirim atau mengantar langsung ke kantor Notaris yang
bersangkutan.

2. Pelaksanaan Pembuatan Akta Notaris


Lazimnya surat resmi ini sering disebut dengan “orderan”, dalam orderan ini sudah termuat jenis
atau akta apa sajakah yang akan dimintakan kepada Notaris untuk dibuatkan aktanya berikut dengan
dokumen pendukung lainnya seperti dokumen kartu tanda penduduk, surat nikah, kartu keluarga, dan
lain sebagainya. Selanjutnya orderan ini lalu diterima oleh Notaris atau pegawai Notaris, kemudian
orderan ini akan dikonfirmasikan kepada Notaris, setelah dikonfirmasi kepada Notaris, maka Notaris
akan meneruskan orderan ini kepada pegawai Notaris untuk ditindaklanjuti pembuatan aktanya.
Pada proses ini Notaris tidak “ikut campur” terlebih dahulu melainkan menyerahkan seluruh
tanggung jawab kepada pegawai Notaris untuk mengkonsep dalam komputer terkait dengan idenditas
yang dilampirkan, kemudian isi pada akta dan penutup akta. Hal ini dilakukan mengingat dalam
merumuskan isi pada menerangkan mengenai secara garis besar tentang awal pertama sekali pada saat
pra pembuatan akta yang melibatkan Perbankan. Akta seorang Notaris ataupun pegawai Notaris
membutuhkan konsentrasi penuh untuk mengetik idenditas dan isi yang berkaitan dengan akta tersebut
sehingga nantinya akta yang telah dicetak tidak lagi terjadi kesalahan-kesalahan pengetikan, atau
kesalahan penulisan.
Setelah akta telah selesai dibuat, akta tidak langsung segera di cetak di kertas A3 melainkan akta
akan dicetak di kertas A4, biasanya kertas A4 yang dipakai juga bukan merupakan kertas A4 yang “baru”
kertas A4 yang dipakai digunakan kertas A4 bekas cetakan yang salah disalah satu sisinya. Hal ini juga
merupakan kiat Notaris untuk menghemat kertas cetakan, sebab kertas A4 tersebut digunakan hanya
untuk sekedar mencetak akta yang telah jadi tadi untuk selanjutnya akan di cross cek kembali atau dicek
kembali hasil dari akta yang telah dikonsep tersebut.

20
Selanjutnya akta yang telah dicetak tersebut akan diberikan kepada Notaris yang bersangkutan
untuk diminta melakukan cross cek dengan mencocokan dengan idenditas dan dokumen penting lainnya
berkaitan dengan pembuatan akta tersebut. Disini sepenuhnya akan menjadi tanggung jawab Notaris,
oleh sebab itu Notaris yang melakukan cross cek harus juga memiliki ketelitian, kecermatan dan kehati-
hatian serta konsentrasi yang tinggi sehingga pada saat cross cek tersebut apabila masih ada kesalahan
tidak terlewatkan begitu saja oleh Notaris. Jika diperlukan cross cek dilakukan 2 (dua) kali untuk
menghindari kesilapan terhadap pengecekan akta tersebut. Dengan demikian pada saat penandatangan
tidak diharapkan tidak ada lagi atau kecil kemungkinan terjadi renvoi pada minuta akta. Tahap
selanjutnya apabila telah selesai dilakukan cross cek maka Notaris akan memberikan konfirmasi segara
kepada pegawainya untuk mencetak akta tersebut dalam kertas A3 atau minuta akta yang akan
ditandatangani. Setelah akta dicetak kemudian ditempel dengan materai 6000. Maka bersamaan dengan
itu berakhir pula pembuatan akta Notaris.
Pembuatan akta Notaris dalam perbankan dengan perorangan yang datang langsung menghadap
dan mengutarakan keinginannya tidak ada perbedaan signifikan, hampir sama saja prosesnya dimana
akta perorangan juga akan dilakukan cross cek seperti tahapan pada akta perbankan.

3. Pasca Pembuatan Akta Notaris.


Pasca pembuatan akta Notaris merupakan kelanjutan dari pembuatan akta Notaris yang dijelaskan
diatas. Pasca pembuatan akta Notaris dalam hal ini akta sudah selesai dicetak dalam bentuk kertas A3
atau hal ini sering disebut juga dengan minuta akta Notaris. Minuta akta Notaris ini masih dalam keadaan
belum ditandatangani oleh para pihak, kemudian oleh Notaris kembali menghubungi para pihak baik itu
pihak perbankan atau pihak perorangan untuk menginformasikan bahwa akta telah siap untuk
ditandatangani.
Dengan demikian melalui info tersebut para pihak akan membuat janji dengan Notaris yang
bersangkutan untuk menentukan waktu kapan akan dilaksanakan perjanjian tersebut. Saat tiba pada hari
yang telah disepakati bersama maka dalam praktiknya perjumpaan penandatanganan tersebut dapat
terjadi di kantor Notaris atau dapat dilakukan di tempat para pihak. Kebanyakan dalam praktik
dilapangan khususnya berkaitan dengan akta perbankan, penandatangan akta banyak dilakukan di kantor
perbankan, dan para pihak juga hadir di kantor perbankan tersebut. Memang pada umumnya apabila
dikaji dari sisi UndangUndang Jabatan Notaris atau Kode Etik tidak dijelaskan mengenai tempat
penandatanganan yang diharuskan di kantor Notaris, oleh sebab itu selama Notaris tidak merasa
keberatan untuk datang ke kantor perbankan menjumpai para pihak hal itu tentu tidak menjadi masalah.
Menyikapi hal ini kembali lagi ke sikap dan pandangan masing-masing Notaris.
Kemudian Notaris akan dengan segera membacakan akta di hadapan pihak yang meminta
pembuatan akta tersebut dan dihadiri oleh saksi-saksi. Setelah semua memahami dan menyetujui isi akta
lalu diikuti dengan penandatanganan akta oleh semua yang hadir (Notaris, para pihak, dan saksi-saksi).
Pembacaan akta ini merupakan salah satu poin penting karena jika tidak dilakukan pembacaan maka akta
yangg dibuat dapat dianggap sebagai akta dibawah tangan.

21
C. Peraturan Pembuatan Akta Notaris Berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, akta adalah surat tanda bukti berisi pernyataan (keterangan,
pengakuan, keputusan, dsb) tentang peristiwa hukum yang dibuat menurut peraturan yang berlaku, dan
disahkan oleh pejabat resmi. Seorang Notaris bekerja sesuai dengan ketentuan undang-undang yaitu
membuat akta autentik, kecuali akta-akta yang menjadi wewenang pihak lain. Akta yang tidak dibuat oleh
Notaris adalah akta-akta perkawinan, kematian, dan kelahiran. Akta-akta tersebut dibuat oleh catatan
sipil. 46Setiap akta yang dibuat oleh Notaris merupakan akta autentik. Selain akta autentik dikenal pula istilah
akta dibawah tangan.
1. Pembuatan Akta Autentik.
Tidak semua akta dapat disebut sebagai akta autentik. Sebuah akta disebut akta disebut akta autentik
jika memenuhi syarat sebagai berikut ini :
a. Bentuk akta tersebut sesuai dengan yang ditentukan undang-undang. Sebuah akta autentik sudah
memiliki bentuk pola sendiri. Jadi seseorang yang ingin membuat akta autentik di hadapan
Notaris tidak dapat membuat dengan format sembarangan.
b. Akta autentik dibuat di hadapan pejabat umum yang diangkat negara. Notaris adalah salah satu
pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membuat akta autentik.
c. Akta autentik dibuat oleh pejabat yang berwenang atau Notaris yang berhak. Seorang Notaris
yang sedang cuti atau sedang bermasalah tidak berwenang untuk membuat akta autentik.
Seorang Notaris yang sedang dibekukan izinnya atau yang belum memiliki izin, tidak dapat
membuat sebuah akta autentik.
Sebuah akta autentik merupakan dokumen yang sah dan dapat menjadi alat bukti yang sempurna.
Sempurna di sini berarti hakim menganggap semua yang tertera dalam akta merupakan hal yang benar,
kecuali ada akta lain yang dapat membuktikan bahwa isi akta pertama tersebut salah. Oleh karena itu,
pembuatan sebuah akta autentik menjadi sesuatu yang penting. 47
Pembuatan akta Notaris baik akta yang dibuat oleh maupun akta yang dibuat dihadapan Notaris,
yang menjadi dasar utama atau inti dalam pembuatan akta Notaris, yaitu harus ada keinginan atau
kehendak dan permintaan dari para pihak. Akta yang dibuat oleh Notaris dalam praktiknya disebut
Akta Relaas, ada yang menyebutnya dengan Ambterlijke Akten atau Akta Berita Acara yang berisi
uraian Notaris yang dilihat dan disaksikan oleh Notaris sendiri atas permintaan para pihak,agar
tindakan atau perbuatan para pihak yang dilakukan tersebut tertuang ke dalam bentuk akta Notaris.
Contoh yang dapat disebutkan disini adalah akta berita acara rapat umum pemegang saham suatu
perseroan terbatas (RUPS). RUPS disini disaksikan sendiri (disaksikan langsung) oleh Notaris yang
bersangkutan. 48

46
Ibid., hlm. 82.
47
Ibid.
48
Daeng Naja, Teknik Pembuatan Akta, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2012), hlm. 72.

22
Akta yang dibuat di hadapan Notaris dalam praktiknya disebut Partij Akten atau Akta Pihak, yang
berisi uraian atau keterangan serta pernyataan para pihak yang diberikan atau diceritakan di hadapan
Notaris. Dan para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk
akta Notaris. Contoh yang dapat disebutkan disini adalah akta pernyataan keputusan rapat umum
pemegang saham suatu perseroan terbatas (RUPS). RUPS disini tidak disaksikan sendiri (tidak
disaksikan langsung) oleh Notaris yang bersangkutan. 49
Menurut G.H.S Lumban Tobing, pembedaan antara partij akten dan relaas akten penting,
dalam kaitannya dengan pemberian pembuktian sebaliknya terhadap isi akta itu. Terhadap kebenaran
isi dari relaas akten tidak dapat digugat kecuali dengan menuduh bahwa akta itu adalah palsu. Pada
partij akten dapat digugat isinya, tanpa menuduh akan kepalsuannya, dengan jalan menyatakan
bahwa keterangan dari para pihak yang bersangkutan yang diuraikan dalam akta itu, adalah tidak
benar. Artinya, terhadap keterangan yang diberikan itu diperkenankan pembuktian sebaliknya
(tegenbewijs). 50 Mengenai akta yang dibuat menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam
Undang-Undang Jabatan Notaris, artinya adalah untuk menjadikan suatu akta Notaris sebagai akta
autentik terdapat syarat yang harus dipenuhi dalamhal bentuk dan tata cara pembuatannya dan
mengenai hal ini secara tegas diatur dalam ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris yaitu Pasal 38
sampai dengan Pasal 53.
Dimulai dari awal atau kepala akta memuat judul, nomor, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun,
serta nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris yang membacakan akta. Di dalam pasal 38 ayat
(1) Undang-Undang Jabatan Notaris disebutkan setiap akta Notaris terdiri atas : (a) awal akta atau
kepala akta; ( b ) badan akta; dan (c) akhir atau penutup akta. Kemudian dilanjutkan dengan ayat 2
yang menyebutkan bahwa awal akta atau kepala akta memuat : (a) judul akta; ( b ) nomor akta; (c)
jam, hari, tanggal, bulan dan tahun; dan (d) nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.
Walaupun judul tidak merupakan syarat sahnya suatu akta atau dengan kata lain tidak
mempengaruhi keabsahan suatu kontrak, namun demikian sebagai idenditas suatu kontrak, judul
adalah mutlak adanya. Dengan adanya judul maka setiap orang akan dengan mudah mengetahu jenis
akta apa yang sedang mereka baca/lihat. Walaupun tidak ada aturan mengenai pemberian judul suatu
akta, namun judul akta harus dapat mengakomodasi seluruh isi akta. Artinya antara judul dengan isi
akta harus ada korelasi dan relevansinya. Judul suatu akta haruslah selaras dengan isi akta, karena
judul akta akan menentukan ketentuan peraturan hukum mana yang mengatur isi atau apa yang
diperjanjikan dalam akta. 51
Penomoran akta yang dibuat dihadapan Notaris diletakkan dibawah judul akta. Sedangkan
esensi daripada keharusan menulis jam, hari, tangga, bulan dan tahun (atau yang lebih pas berturut-
turut adalah hari, tanggal, bulan, tahun dan kemudian jam), adalah kepastian waktu, atau yang lebih
dikenal dengan kepastian tanggal. Artinya adalah bahwa setiap akta yang dibuat secara Notarial (

49
Ibid.
50
Ibid.
51
Ibid. 72 Ibid.

23
akta Notaris, maka salah satu yang dijamin kepastiannya untuk dapat menjadi akta autentik adalah
kepastian waktunya (kepastian tanggalnya). Dengan kata lain waktu yang disebutkan dalam akta
Notaris tersebut adalah waktu pada saat peresmian (pembacaan dan penandatangan) akta yang dibuat
dihadapan Notaris tersebut.
Hal yang perlu diperhatikan adalah angka-angka yang menunjukkan tanggal, bulan, dan tahun
serta jam, juga harus menunjukkan dituliskan dalam bentuk huruf. Notaris tidak boleh membuat
kesalahan dalam menuliskannya sehingga menampakkan perbedaan antara penulisan angka dan
huruf, yang akan menimbulkan perselisihan di kemudian hari. Pasal 42 ayat (3) Undang-Undang
Jabatan Notaris menyebutkan bahwa semua bilangan untuk menentukan banyaknya atau jumlahnya
sesuatu yang disebut dalam akta, penyebutan tanggal, bulan dan tahun dinyatakan dengan huruf dan
harus didahului dengan angka. 52
Notaris harus menjamin tanggal (waktu) yang tertera pada akta. Artinya bahwa tanggal (waktu)
yang disebutkan dalam akta adalah tanggal diresmikannya akta, yaitu dibuatnya akta, dibacakannya oleh
Notaris dan ditandatanganinya oleh para penghadap, saksi-saksi dan Notaris. Dengan demikian, akta
tidak boleh diberi tanggal (waktu) yang berlainan atau berbeda dengan peresmian ( verlijden ) akta. Suatu
contoh fatalnya akibat terjadi kesalahan penulisan tanggal ( waktu ) pada akta, misalnya disebutkan
dalam akta bahwa jangka waktu perjanjian 12 (dua belas) bulan sejak tanggal ditandatanganinya akta
tersebut. Praktiknya pembuatan akta Notaris dikaji dari tanggal dan waktu pembuatan akta Notaris bila
dihubungkan dengan kepastian tanggal dan waktu dalam proses pembuatannya memerlukan waktu yang
bila dikaji dalam 1 ( satu ) hari kerja, seorang Notaris memerlukan waktu 8 (delapan) jam perharinya
untuk membuat akta. sehingga untuk menjamin kepastian waktu, tanggal, sampai dengan pembacaan
akta dan penutupan akta Notaris maka rata-rata jumlah akta yang dapat dipastikan untuk dibuat lazimnya
untuk 1 (satu) akta adalah 14 ( empat belas) menit tergantung dengan jenis akta apa yang hendak dibuat,
sedangkan untuk memastikan ketetapan waktu mulai dari saat pembacaan akta dari awal sampai dengan
akhir memerlukan waktu lebih kurang 10 (sepuluh) menit, dengan demikian dapat disimpulkan untuk
menjamin kepastian tanggal dan waktu salah satu tolak ukur yang menentukan akta tersebut telah sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris adalah pada proses pelaksanaan pembuatan aktanya
mulai dari pra pembuatan akta sampai dengan pelaksanaan pembuatan Aktanya.

2. Pembuatan Akta Dibawah Tangan.


Menelusuri pembuatan akta dibawah tangan maka tidak terlepas dari pengertian akta dibawah tangan itu
sendiri. Pengertian akta dibawah tangan dalam pasal 1874 ayat (1) KUH Perdata berbunyi “Sebagai tulisan
dibawah tangan dianggap akta akta yang ditandatangani dibawah tangan, surat-surat register, surat-surat urusan
rumah tangga dan lain lain tulisan yang dibuat tanpa perantara seorang pejabat umum.” 53Sedangkan mengenai
kewenangan Notaris terhadap akta dibawah tangan tertuang dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Jabatan

52
Ibid. 74Ibid.
53
M.U Sembiring, Tehnik Pembuatan Akta, (Medan: Program Pendidikan Spesialis Notariat Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, 1997), hlm. 8. 77 Ibid., 8.

24
Notaris salah satunya tentang kewenangan mengesahkan tanda tangan dan membukukan tanda tangan. Jika
diperbandingan isi pasal 1868 KUH Perdata dengan isi pasal 1874 KUH Perdata maka dapat disimpulkan bahwa
perbedaan pokok antara akta otentik dan akta dibawah tangan ialah:
1) Akta otentik diperbuat dengan bantuan dari atau oleh pejabat umum
2) Akta dibawah tangan diperbuat oleh yang berkepentingan sendiri tanpa campur tangan pejabat umum.
Menelusuri penerapan pasal 1868 KUH Perdata dalam kaitannya dengan kegiatan Notaris membuat akta
maka penerapan pembuatan akta dibawah tangan juga memiliki campur tangan dari pejabat Notaris yang
bersangkutan. Ada beberapa jenis akta dibawah tangan, Pertama adalah akta dibawah tangan yang dibuat oleh
pihak yang terlibat tanpa adanya campur tanganNotaris. Misalnya membuat perjanjian hutang-piutang dengan
rekanan. Kesepakatan ditaungkan dalam bentuk surat perjanjian yang ditandatangani oleh kedua pihak dengan
menempelkan materai. Perjanjian seperti ini memang tampak sederhana tetapi jika sewaktu-waktu salah satu
pihak ingkar janji dan tidak mengakui ini perjanjian maka pihak yang dirugikan akan kesulitan untuk melakukan
pembuktian. Surat perjanjian yang dibuat tersebut tidak cukup kuat untuk dijadikan bukti di pengadilan sehingga
akan sulit bagi pihak yang dirugikan untuk menuntut rekannya yang telah ingkar tersebut. 54
Kedua, adalah akta dibawah tangan yang dibuat pihak-pihak yang berkepentingan lalu didaftarkan ke
pihak Notaris. Proses pembuatan kesepakatan dan penandatangan akta dilakukan tidak dihadapan Notaris serta
tidak melibatkan Notaris. Setelah perjanjian disepakati dan selesai ditandatangani lalu akta tersebut dibawa ke
Notaris. Pihak Notaris selanjutnya melakukan pendataan dan mencantumkan akta tersebut dalam buku khusus.
Meskipun demikian kekuatan hukumnya tetap tidak sekuat akta autentik. 55
Ketiga, akta dibawah tangan yang dilegalisasi oleh Notaris, sedikit berbeda dengan kedua akta dibawah
tangan sebelumnya, pada akta dibawah tangan jenis ini penandatangannya dilakukan dihadapan Notaris. Jadi
pihak pihak yang memiliki kepentingan menghadap ke Notaris sambil membawa perjanjian yang telah
disepakati. Akta dibawah tangan jenis ini dilakukan untuk memastikan kebenaran dan keaslian dari pihak yang
bertanda tangan. Selain itu juga dilakukan untuk memastikan keabsahan dan kepastian tanggal dilakukannya
tanda tangan itu. Secara sekilas jenis akta dibawah tangan ini tidak berbeda dengan akta autentik. Meskipun
demikian, terdapat perbedaan mendasar antara keduanya. Perbedaannya yaitu jika akta bawah tangan yang
dilegalisasi proses pembuatan perjanjiannya tidak melibatkan Notaris. Notaris hanya berperan saat terjadi
penandatanganan perjanjian dan penandatanganan akta dilakukan dihadapan Notaris. Sementara itu,akta autentik
seluruh prosesnya melibatkan peran Notaris, mulai dari penyusunan isi perjanjian hingga penandatangan
perjanjian. Khusus terhadap legalisasi Tan Thong Kie menyatakan bahwa kasus legalisasi, terdapat tiga hal
penting.yaitu: 56
1) tanggal dan tanda tangan adalah pasti.
2) karena isi akta dijelaskan oleh Notaris maka penanda tangan tidak dapat mengatakan bahwa ia tidak
mengerti apa yang ditandatangani (penting bagi orang-orang buta huruf dan orang orang yang pura-pura
tidak mengerti

54
Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, Op.Cit., hlm. 86.
55
Ibid., hlm. 86. 80 Ibid., hlm. 87.
56
Ibid., 159.

25
3) penanda tangan adalah benar orang yang namanya tertulis dalam keterangan ini.
Dalam praktiknya penerapannya diruang lingkup kerja Notaris, terkadang proses pembuatan akta
dibawah tangan baik yang dilegalisasi maupun yang di daftarkan juga ikut melibatkan Notaris dalam
pembuatannya. Praktik seperti ini jika dipandang dari pengertian legalisasi dimana isi perjanjian dibuat oleh para
pihak justru Notaris terkadang turut serta membuatkan perjanjian tersebut. Hal yang demikian sebenarnya
tergantung dari sikap kehati-hatian Notaris.
Para pihak yang hadir tidak selamanya mengerti tentang pengetahuan hukum khususnya dalam
menyusun kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian. Para penghadap yang datang menghadap ke Notaris
pada intinya sudah memiliki padangan jika Notaris adalah pejabat yang mengesahkan perjanjian. Kata
“disahkan”ini langsung menyerang Notaris. Apakah dengan adanya tanda tangan dan cap Notaris isi surat/akta
dibawah tangan itu langsung menjadi sah atau wettig? Sudah tentu tidak, namun apabila para pihak ditanya
perlunya tanda tangan Notaris justru para pihak menjawab tidak tahu menahu sebab hal tersebut merupakan
permintaan dari bank yang mengatakan apabila tanda tangan Notaris, maka surat itu dapat diterima oleh bank. 57
Ada yang beranggapan bahwa dengan dilegalisasinya surat dibawah tangan maka surat itu memperoleh
kedudukan sebagai akta autentik. Pendapat demikian salah, Perbedaan surat yang dilegalisasi oleh pejabat yang
berwenang untuk itu dengan surat di bawah tangan yang tidak dilegalisasi ialah surat di bawah tangan yang
dilegalisasi memilik tanggal pasti, tanda tangan yang dibubuhkan di bawah tangan itu benar berasal dari orang
yang namanya tercantum dalam surat itu dan orang yang membubuhkan tanda tangan dibawah tangan surat
dibawah tangan itu tidak lagi mengatakan bahwa ia tidak mengetahui isi surat itu, oleh karena isinya telah
terlebih dahulu dibacakan dan dijelaskan, sebelumnya ia membubuhkan tanda tangannya di hadapan pejabat
yang bersangkutan. 58

3. Kekuatan Pembuktian Akta Autentik Dan Dibawah Tangan


Kebenaran untuk menjamin akta tersebut sejak semula sengaja dibuat untuk pembuktian. Alat bukti tertulis
atau surat dapat digolongkan dalam 2 ( dua ) jenis yaitu : 59
a. Akta autentik
b. Akta dibawah tangan.
Menurut George Whitecross Patton 60 alat bukti dapat berupa oral (words spoken by a witness in court) dan
documentary (the production of a admissible documents) atau material (the production of a physical res
other than a document). Alat bukti yang sah atau diterima dalam suatu perkara (perdata) pada dasarnya
terdiri dari ucapan dalam bentuk keterangan saksisaksi, pengakuan, sumpah, dan tertulis dapat berupa
tulisan-tulisan yang mempunyai nilai pembuktian
Dalam Hukum Acara Perdata, alat bukti yang sah atau yang diakui oleh hukum, terdiri dari:
1) Bukti tertulis;

57
Daeng Naja, Op.Cit., hlm.157-158.
58
G.H.S. Lumban Tobing dalam Daeng Naja, Teknik Pembuatan Akta, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2012), hlm.159-160.
59
Achmad Ali, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 91.
60
George Whitecross Patton, dalam Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris Sebagai Pejabat
Publik, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 47. 86 Ibid, 47.

26
2) Bukti dengan saksi-saksi;
3) Persangkaan-persangkaan;
4) Pengakuan;
5) Sumpah.
Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan autentik maupun dengan tulisan-tulisan dibawah
tangan. 61 Jadi dapat disimpulkan dalam suatu akta baik itu akta autentik atau dibawah tangan harus dapat
ditemukan 3 unsur yaitu: 62
1) harus ada tanda tangan.
2) harus memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari suatu perikatan atau menjadi dasar dari suatu
hak.
3) harus sejak dibuatnya sengaja dimaksudkan untuk pembuktian.

a. Kekuatan Pembuktian Akta Autentik.


Dalam Pasal 1867 KUH Perdata disebutkan ada istilah Akta autentik dan Pasal 1868 KUH Perdata
memberikan batasan secara unsur yang dimaksud
dengan akta autentik yaitu: 63
1) Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang Pejabat Umum.
2) Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
3) Pegawai Umum (Pejabat Umum) oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat harus mempunyai wewenang
untuk membuat akta tersebut.
Otentik atau Autentik dapat diartikan bersifat umum, bersifat jabatan, memberi pembuktian yang sempurna (dari
surat-surat): khusus dalam kata: authentieke akte. Para Notaris istimewa ditunjuk untuk membuat akta otentik
baik atas permintaan atau atas perintah; akan tetapi juga beberapa pejabat negeri yang berhak membuatnya
mengenai hal-hal yang berhubungan dengan tugas
pekerjaannya. 64
Arti akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dapat pula ditentukan bahwa siapa
pun terikat dengan akta tersebut, sepanjang tidak dapat dibuktikan sebaliknya berdasarkan putusan pengadilan
yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Akta Notaris sebagai akta autentik mempunyai kekuatan pembuktian
nilai pembuktian: 65
1) Lahiriah
Kemampuan lahiriah akta Notaris, merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan
keabsahannya sebagai akta autentik. Jika dilihat dari luar (lahirnya) sebagai akta otentik serta sesuai dengan
aturan hukum yang sudah ditentukan mengenai syarat akta otentik, maka akta tersebut berlaku sebagai akta

61
Ibid, hlm. 48.
62
Ibid., hlm. 91.
63
Habib Adjie, Kebatalan Dan Pembatalan Akta Notaris, (Bandung: Refika Aditama, 2013), hlm. 5.
64
N.E Algra, H.R.W. Gokkel-dkk, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, Belanda Indonesia, Jakarta: Binacipta, 1983,
hal.37 dalam Habib Adjie, Kebatalan Dan Pembatalan Akta Notaris, Ibid., hlm. 6.
65
18.

27
otentik, sampai terbukti sebaliknya, artinya sampai ada yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta
otentik secara lahiriah.
2) Formal.
Akta Notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian atau fakta tersebut dalam akta betul-betul
dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta
sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta. Secara formal untuk membuktikan
kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun dan tanda tangan para pihak/ penghadap, saksi dan
Notaris, serta membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh Notaris (pada akta pejabat/berita acara)
dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihak/penghadap (pada akta pihak).
3) Materil
Merupakan kepastian tentang materi suatu akta, bahwa apa yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian
yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum,
kecuali ada pembuktian sebaliknya.

b. Kekuatan pembuktian Akta dibawah tangan.


Akta dibawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian, seperti juga akta autentik, jika tanda tangan
yang ada didalam akta tersebut diakui oleh yang menandatangani. Untuk pembuktian di depan hakim, jika salah
satu pihak mengajukan bukti akta dibawah tangan, dan akta tersebut dibantah oleh pihak lawannya, maka pihak
yang yang mengajukan akta dibawah tangan itu yang harus mencari bukti tambahan (misalnya saksi-saksi). Ini
dimaksudkan untuk membuktikan bahwa akta dibawah tangan yang diajukan sebagai alat bukti tersebut benar-
benar ditandatangani oleh pihak yang membantah. Supaya akta dibawah tangan tidak mudah dibantah atau
disangkal kebenaran tanda tangan yang ada dalam akta tersebut dan untuk memperkuat pembuktian di depan
hakim, maka akta yang dibuat dibawah tangan sebaiknya dilakukan legalisasi. Dengan adanya legalisasi oleh
Notaris atas akta dibawah tangan maka kekuatan hukum pembuktian akta tersebut seperti akta autentik. 66
Dari uraian diatas mengenai kekuatan pembuktian akta autentik dan akta dibawah tangan kekuatan
pembuktian suatu akta autentik dapat berubah menjadi kekuatan pembuktian akta dibawah tangan. Akta autentik
yang dibuat oleh Notaris memiliki kekuatan pembuktian yang kuat di pengadilan akan tetapi akta Notaris
kekuatan pembuktiannya dapat berubah menjadi menjadi akta dibawah tangan jika tidak memenuhi ketentuan
Pasal 1869 KUH Perdata karena : 67
1) Tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan atau
2) Tidak mampunya pejabat umum yang bersangkutan; atau
3) Cacat dalam bentuknya.
Meskipun demikian, akta seperti itu tetap mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan
jika akta tersebut ditandatangani oleh para pihak. Ketentuan-ketentuan tersebut dibawah ini dicantumkan
secara tegas dalam pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang Jabatan Notaris yang menyebutkan jika

66
YLBHI dan PSHK, Panduan Bantuan Hukum Di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007, hlm. 135.
67
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Op.Cit., hlm. 94.

28
dilanggar oleh Notaris, sehingga akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah
tangan yaitu : 68
a. Melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf i, yaitu tidak membacakan akta dihadapan penghadap dengan
dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi
dan Notaris.
b. Melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (7) dan ayat (8) yaitu jika Notaris pada akhir akta tidak mencantumkan
kalimat bahwa para penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap membaca sendiri,
mengetahui dan memahami isi akta.
c. Melanggar ketentuan Pasal 41 dengan menunjuk kepada Pasal 39 dan Pasal 40, yaitu tidak dipenuhi
ketentuan-ketentuan:
1) Pasal 39 bahwa
1.1. Penghadap paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan
hukum.
1.2. Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi
pengenal yang berumur paling sedikit 18 tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan
hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya.
2) Pasal 40 menjelaskan bahwa setiap akta dibacakan oleh Notaris dengan dihadiri paling sedikit 2 (dua)
orang saksi palign sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah, cakap melakukan perbuatan hukum,
mengerti bahasa yang digunakan dalam akta dan dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf serta tidak
mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus keatas atau kebawah tanpa
derajat pembatas derajat dan garis kesamping sampai dengan derajat ke tifa dengan Notaris atau para
pihak.
3) Melanggar ketentuan Pasal 52, yaitu membuat akta untuk diri sendiri, istri/suami, atau orang lain yang
mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris, baik karena perkawinan maupun hubungan darah
dalam garis lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatas derajat serta dalam garis lurus kesamping
sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihakuntuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan
ataupun dengan perantara kuasa.
Kekuatan pembuktian akta autentik dapat menjadi akta dibawah tangan. Suatu perjanjian yang tidak
memenuhi syarat objektif, yaitu objeknya tidak tertentu dan kausa yang terlarang, maka perjanjian tersebut dapat
batal demi hukum. Pasal 1335 BW menegaskan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena
suatu sebab yang palsu atau terlarang, maka perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan, tetapi menurut Pasal
1336 BW jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada sesuatu sebab yang halal ataupun jika ada sesuatu sebab
lain daripada yang dinyatakan persetujuannya namun demikian adalah sah. Suatu sebab adalah terlarang apabila
dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum (Pasal 1337 BW).
Dengan demikian suatu perjanjian batal demi hukum jika : (1) tidak mempunyai objek tertentu yang dapat

68
hlm. 95-96.

29
ditentukan; (2) mempunyai sebab yang dilarang oleh undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaan atau
ketertiban umum. 69
Ketentuan jika dilanggar mengakibatkan akta Notaris menjadi mempunyai kekuatan pembuktian sebagai
akta dibawah tangan, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya disebutkan dengan tegas dalam pasal-pasal
tertentu dalam UndangUndang Jabatan Notaris yang bersangkutan sebagaimana tersebut diatas. Dapat
ditafsirkan bahwa ketentuan-ketentuan yang tidak disebutkan dengan tegas bahwa akta Notaris menjadi
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan, maka selain itu termasuk ke dalam akta Notaris
yang batal demi hukum, yaitu: 70
a. Melanggar kewajiban sebagaiamana tersebut dalam Pasal 16 ayat (1) huruf j, yaitu tidak membuat daftar
akta wasiat dan mengirim ke Daftar Pusat Wasiat dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap
bulan ( termauk memberitahukan bilamana nihil).
b. Melanggar kewajiban sebagaimana tersebut dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l yaitu tidak mempunyai
cap/stempel yang memuat lambang Negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya
dituliskan nama jabatan, dan tempat kedudukannya.
c. Melanggar ketentuan Pasal 44, yaitu pada akhir akta tidak disebutkan atau dinyatakan dengan tegas
mengenai penyebutan akta telah dibacakan untuk akta yang tidak dibuat dalam Bahasa Indonesia atau
bahasa lainnya yang digunakan dalam akta, memakai penerjemah resmi, penjelasan, penandatangan akta di
hadapan penghadap, Notaris, dan penerjemah resmi.
d. Melanggar ketentuan Pasal 48, yaitu tidak memberikan paraf atau tidak memberikan tanda pengesahan lain
oleh penghadap, saksi dan Notaris, atas pengubahan atau penambahan berupa penulisan tindih, penyisipan,
pencoretan, atau penghapusan dan menggantinya dengan yang lain dengan cara penambahan, penggantian
atau pencoretan.
e. Melanggar ketentuan Pasal 49, yaitu tidak menyebutkan atas perubahan akta yang dibuat tidak di sisi kiri
akta, tapi untuk perubahan yang dibuat pada akhir akta sebelum penutup akta, dengan menunjuk bagian
yang diubah atau dengan menyisipkan lembaran tambahan. Perubahan yang dilakukan tanpa menunjuk
bagian yang diubah mengakibatkan perubahan tersebut batal.
f. Melanggar ketentuan Pasal 50 yaitu tidak melakukan pencoretan, pemarafan, dan atas perubahan berupa
pencoretan kata, huruf, atau angka, hal tersebut dilakukan dengan tercantum semula dan jumlah kata, huruf
atau angka yang dicoret dinyatakan pada sisi akta, juga tidak menyatakan pada akhir akta mengenai jumlah
perubahan, pencoretan dan penambahan.
g. Melanggar ketentuan Pasal 51, yaitu tidak membetulkan kesalahan tulis dan atau kesalahan ketik yang
terdapat pada Minuta Akta yang telah ditandatangani, juga tidak membuat berita acara tentang pembetulan
tersebut dan tidak menyampaikan berita acara pembetulan tersebut kepada pihak yang tersebut dalam akta.
Jika ukuran akta Notaris batal demi hukum berdasarkan kepada unsurunsur yang ada dalam Pasal 1335,
1336, 1337 BW maka penggunaan istilah “batal demi hukum” untuk akta Notaris karena melanggar pasal-pasal

69
hlm. 97.
70
hlm. 97-98

30
tertentu dalam Pasal 84 Undang-Undang Jabatan Notaris menjadi tidak tepat, karena secara substansi Notaris
sangat tidak mungkin membuatkan akta untuk para pihak yang jelas tidak memenuhi syarat objektif. 71
Berdasarkan penelusuran isi tiap pasal tersebut, tidak ditegaskan akta yang dikualifikasikan sebagai akta
yang mempunyai kekuatan pembuktian di bawah tangan dan akta yang batal demi hukum dapat dimintakan
kerugian kepada Notaris berupa penggantian biaya, ganti rugi atau bunga. Hal ini dapat ditafsirkan akta Notaris
yang terdegradasi mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan dan akta Notaris yang batal
demi hukum keduanya dapat dituntut biaya, ganti rugi, dan bunga hanya ada satu pasal , yaitu Pasal 52 ayat (3)
UndangUndang Jabatan Notaris. Pasal itu menegaskan bahwa akibat akta yang mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta dibawah tangan, Notaris wajib membayar biaya, ganti rugi dan bunga. 72
Sanksi akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan dan akta menjadi
batal demi hukum merupakan sanksi eksternal, yaitu sanksi terhadap Notaris dalam melaksanakan tugas
jabatannya tidak melakukan serangkaian tindakan yang wajib dilakukan terhadap (atau untuk kepentingan) para
pihak yang menghadap Notaris dan pihak lainnya yang mengakibatkan kepentingan para pihak tidak
terlindungi. 73

D. Pembuatan Akta Notaris Berdasarkan Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia
Nomor 1 Tahun 2017
Pembuatan akta oleh Notaris sudah pasti merupakan akta autentik seperti yang telah diuraikan
sebelumnya tentang akta autentik oleh sebab itu mengkaji pembuatan suatu akta Notaris maka harus mengacu
pada aturan Undang-Undang Jabatan Notaris sebagaimana mengatur tentang pembuatan akta autentik. Ketika
kepada para Notaris masih diberlakukan Peraturan Jabatan Notaris (PJN) masih diragukan apakah akta yang
dibuat sesuai dengan undang-undang? Pengaturan pertama kali Notaris Indonesia berdasarkan Instruktie voor
de Notarissen Residerende in Nederlands Indie dengan Stbl. No. 11, tanggal 7 Maret 1822 74, kemudian dengan
Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie dan Reglement ini berasal dari Wet op Notarisambt tahun 1942,
kemudian Reglement tersebut diterjemahkan menjadi PJN. 75 Meskipun Notaris di Indonesia diatur dalam bentuk
Reglement, hal tersebut tidak dipermasalahkan karena sejak lembaga Notaris lahir di Indonesia, pengaturannya
tidak lebih jauh dari bentuk Reglement dan secara kelembagaan dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun1954,
yang tidak mengatur mengenai bentuk akta. Setelah lahirnya UndangUndang Jabatan Notaris keberadaan akta
Notaris mendapat pengukuhan karena ditentukan oleh undang-undang, dalam hal ini ditentukan dalam Pasal 38
UndangUndang Jabatan Notaris. 76
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pembuatan akta Notaris berdasarkan Peraturan Dewan
Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 alangkah baiknya terlebih dahulu mengkaji
secara garis besar mengenai kewenangan dari Notaris serta kewajiban dan larangan bagi Notaris khususnya

71
Ibid., hlm. 98.
72
Ibid.
73
Ibid.
74
R Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, (Jakarta:Rajawali, 1982), hlm. 24-25.
75
Tan Thong Kie, Studi Notariat, Serba-serbi Praktek Notaris, (Jakarta : Ichtiar baru van
Hoeve, 1994), hlm. 362
76
Habib Adjie, Kebatalan Dan Pembatalan Akta Notaris, Op.Cit., hlm. 12.

31
dalam Undang-Undang Jabatan Notaris yang nantinya akan menjadi tolak ukur perbandingan antara kewenangan
Notaris, kewajiban, larangan dan penerapan Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia
Nomor 1Tahun 2017 dalam hal pembatasan pembuatan akta perharinya.

1. Kewenangan Notaris Membuat Akta Autentik


Sejalan dengan keberadaan Undang-Undang Jabatan Notaris sebagai undang-undang yang mengatur
mengenai bentuk akta maka, diatur juga didalam mengenai kewenangan dari Notaris. Sebelum membahas lebih
jauh tentang kewenangan Notaris, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai istilah kewenangan yang sering
disejajarkan dengan istilah wewenang. Istilah wewenang digunakan dalam bentuk kata benda dan sering
disejajarkan dengan istilah “bevoegheid” dalam istilah hukum Belanda. 77
Menurut Philipus M. Hadjon istilah kewenangan sedikit berbeda dengan istilah “bevoegheid”. Perbedaan
tersebut terletak pada karakter hukumnya. Istilah bevoegheid digunakan, baik dalam konsep hukum publik
maupun dalam konsep hukum privat. Dalam hukum istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan
dalam konsep hukum publik. Sedangkan dalam konsep hukum tata negara, wewenang dideskripsikan sebagai
kekuasan hukum jadi dalam hukum publik wewenang berkaitan dengan kekuasaan.
Kewenangan adalah apa yang disebut “kekuasan formal”, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang
diberikan oleh undang-undang atau legislatif dari kekuasan eksekutif atau adminsitratif. Karenanya, merupakan
kekuasan dari segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintah atau urusan
pemeritahan tertentu yang bulat. Sedangkan wewenang hanya mengenai suatu bagian tertentu dari
78
kewenangan. Dengan demikian jelas perbedaan antara kewenangan dengan wewenang. Penyebutan dalam
ranah hukum Notaris antara kewenangan dan wewenang sering disebut sebagai kewenangan. Jadi sejalan dengan
uraian diatas jika kewenangan Notaris berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh Undang-undang dalam hal ini
yakni Undang-Undang Jabatan Notaris. Notaris merupakan pejabat umum yang diangkat oleh negara dengan
kewenangan kewenangan khusus, dan bertugas untuk membantu masyarakat. Undang-undang Jabatan Notaris
memberikan beberapa kewenangan kepada Notaris. Salah satunya adalah kewenangan membuat akta autentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh perundangundangan, atau yang
dikehendaki oleh para pihak, sepanjang pembuatan akta tidak ditugaskan kepada pejabat lain. 79
Kewenangan Notaris dicantumkan dalam Pasal 15 ayat (1), (2), dan (3) revisi Undang Undang Jabatan
Notaris yang menentukan wewenang utama Notaris adalah membuat akta otentik dan wewenang lainnya. Pasal
15 UndangUndang Jabatan Notaris, ditentukan:
1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang
diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan

77
Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006, hlm. 210. 104 Ibid.
78
Ibid.
79
Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) 1992, Sarjana Hukum: Bukan Sekadar Pengacara dan Hakim,
(Jakarta: Gramedia, 2017), hlm. 85.

32
grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
2) Notaris berwenang pula:
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar
dalam buku khusus;
b. Membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana
ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. Membuat akta risalah lelang.
3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain
yang diatur dalam peraturan perundangundangan.
Berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang Jabatan Notaris tersebut di atas, maka kewenangan Notaris dapat
dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu: kewenangan umum Notaris, kewenangan khusus, dan kewenangan yang
ditentukan kemudian. Kewenangan umum Notaris adalah membuat akta otentik.
Apabila dapat dijabarkan wewenang utama Notaris adalah membuat akta otentik, tetapi tidak semua
pembuatan akta otentik menjadi wewenang Notaris. Akta yang dibuat oleh pejabat lain bukan menjadi
wewenang Notaris, seperti akta kelahiran, pernikahan, dan perceraian dibuat oleh pejabat selain Notaris. Akta
otentik yang berwenang dibuat oleh Notaris antara lain: membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh
yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik. Sedangkan kewenangan khusus Notaris dalam Pasal
15 ayat (2) Undang-Undang Jabatan Notaris, antara lain:
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar
dalam buku khusus;
b. Membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis
dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. Membuat akta risalah lelang.
Terdapat pula kewenangan khusus Notaris lainnya yaitu membuat akta dalam bentuk in originali, yaitu
akta-akta: 80
a. Pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun.

80
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris,
(Bandung: refika Aditama, 2008). hlm. 82.

33
b. Penawaran pembayaran tunai.
c. Protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga.
d. Akta kuasa.
e. Keterangan kepemilikan.
f. Akta lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian terdapat pada Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang
Jabatan Notaris, mengandung prinsip ditentukan kemudian (ius constituendum) berdasarkan ketentuan
perundang-undangan. Wewenang jenis ini akan muncul di tentukan di kemudian hari. Tentunya kewenangan itu
bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh legislatif maupun eksekutif atau keputusan badan atau
pejabat tata usaha negara di tingkat pusat dan daerah mengikat secara umum. 81
Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan tertentu harus ada aturan hukumnya. Sebagai batasan
agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Jika seorang
Notaris melakukan tindakan di luar wewenangnya yang telah ditentukan, maka dapat dikategorikan bahwa
perbuatannya itu adalah perbuatan melanggar hukum. 82
Sebagaimana di atas bahwa wewenang utama Notaris adalah membuat akta dan akta yang dibuatnya
merupakan akta otentik. Selain wewenang Notaris yang ditentukan dalam Pasal 15 Undang-Undang Jabatan
Notaris, ada lagi wewenang lainnya yang terdapat di luar atau selain revisi Undang-Undang Jabatan Notaris,
yaitu berwenang membuat:
a. Akta pengakuan anak di luar kawin (Pasal 281 BW)
b. Akta berita acara tentang kelalaian pejabat penyimpan hipotik (Pasal 1227 BW)
c. Akta berita acara tentang penawaran pembayaran tunai dan konsinyasi ( Pasal 1405 dan 1406 BW)
d. Akta protes wesel dan cek (Pasal 143 dan Pasal 218 WvK).
e. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) (Pasal 15 ayat (1) UU No.4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta BendaBenda Yang Berkaitan Dengan Tanah).

2. Kewajiban Dan Larangan Bagi Notaris Dalam Menjalankan Tugas Dan Jabatannya
Kewajiban Notaris pada umumnya adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat yang memerlukan
jasanya dengan dijiwai oleh Pancasila, sadar dan taat kepada hukum dan peraturan perundang-undangan, revisi
Undang-Undang Jabatan Notaris, Kode Etik Notaris, sumpah jabatan dengan bekerja secara jujur, mandiri, tidak
berpihak dan penuh rasa tanggung jawab. 83
Aturan mengenai kewajiban Notaris diatur dalam Pasal 16 UndangUndang Jabatan Notaris. Didalam ayat
(1) terdapat penjabaran mengenai kewajiban Notaris yang terdiri dari 14 (empat belas huruf). Berkaitan dengan
penelitian ini maka penjabaran dari kewajiban yang berkenaan dengan kewajiban yang perlu dibahas menurut
peneliti adalah mengenai:

81
Ibid., hlm. 83
82
Habib Adjie, Sekilas Dunia Notaris & PPAT Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 23.
83
Nuzuarlita Permata Sari Harahap, Pemanggilan Notaris Oleh Polri Berkaitan Dengan Akta Yang Dibuatnya, (Medan:
Pustaka Bangsa Press, 2011)., hlm. 86-87.

34
a. Kerahasiaan akta (tercantum dalam Pasal 16 ayat (1) huruf f)
Menurut ketentuan undang-undang apabila seseorang yang karena pekerjaan atau jabatannya wajib
merahasiakan segala sesuatu sehubungan dengan pekerjaan atau jabatannya. Ada kalanya suatu jabatan wajib
diikuti dengan kewajiban merahasiakan sesuatu yang berkaitan dengan jabatan itu. Seorang Notaris mempunyai
kewajiban untuk menjaga kerahasiaan akta. Kewajiban untuk merahasiakan hal yang diketahuinya memang
berkaitan dengan jabatan dan kepentingan tertentu. Apabila hal yang seharusnya dirahasiakan ternyata
disampaikan kepada pihak yang tidak berhak, maka hal ini dapat berakibat fatal. 84
Melalui Undang-Undang Jabatan Notaris negara mewajibkan seorang Pejabat Notaris untuk
merahasiakan isi akta dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta. Kewajiban untuk menjaga
kerahasiaan akta ini membuat Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, memberitahukan bahwa isi
akta, grosse akta, dan salinan akta ataupun kutipan akta, kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta,
ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. 85
Merahasiakan isi akta dan keterangan baik lisan maupun tertulis yang diperoleh guna pembuatan akta,
menjadikan hal tersebut sebagai rahasia jabatan Notaris. Kewajiban merahasiakan akta yang dibuat oleh Pejabat
Notaris yang diperintahkan undang-undang (mandatory) tersebut, diperkuat dengan adanya sumpah/janji jabatan
Notaris, dalam sumpah jabatan Notaris tersebut di dalamnya disampaikan bahwa seorang Pejabat Notaris wajib
untuk melaksanakan jabatan dengan amanah, jujur, saksama, mandiri dan tidak berpihak. 86
Membuka kerahasiaan isi akta Notaris mesti ditentukan undang-undang. Selain sebagai perlindungan
hukum atas hak-hak keperdataan warga negara, kewajiban merahasiakan isi akta oleh Notaris, tentu juga
dimaksudkan untuk memberikan perlindungan atas kerahasiaan kepentingan dan rahasia pribadi para pihak
menurut tatanan hukum yang termuat di dalam akta. Dalam konteks kepentingan pribadi atau keperdataan, sudah
jelas bahwa isi akta merupakan kehendak dan pernyataan para pihak. Adanya perintah merahasiakan isi akta
oleh Notaris, secara implisit tentu memberi makna bahwa pihak lainnya yang tidak berkepentingan dengan akta
Notaris tidak diperkenankan membocorkan isi akta Notaris. Dengan penjelasan lain bahwa Notaris saja yang
lebih tahu tentang isi akta mulai dari keterangan, kehendak, keinginan dan pernyataan para pihak dilarang untuk
membukanya apalagi pihak lain yang tidak berkompeten dengan akta. 87

b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris
(Pasal 16 ayat (1) huruf b)
Didalam ketentuan ini jelas mengartikan jika Minuta akta yang telah dibuat nantinya setelah ditandatangani
akan disimpan sebagai bukti dan arsip dokumen dalam bentuk Protokol Notaris. Protokol Notaris adalah

84
Y Sri Pudyatmoko, Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak, (Jakarta:Gramedia, 2005), hlm. 126.
85
Nina Damayanti Sekaringtiyas, Batas Kewajiban Untuk Merahasiakan Segala Sesuatu Yang Berkaitan Dengan Akta
Notaris, Jurnal Program Studi PGMI Surabaya: Universitas Narotama, 2017, hlm. 136.
86
Pasal 16 ayat 1 huruf a tentang kewajiban Notaris bertindak Amanah, Jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
87
Nina Damayanti Sekaringtiyas, Op.Cit., hlm. 139.

35
kumpulan dokumen yang merupakan arsip negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh Notaris. 88Mengenai
ketentuan mengenai protokol Notaris diatur dalam Pasal 58 sampai Pasal 65 Undang-Undang Jabatan Notaris Jo
Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 dalam hal menyangkut pembuatan, penyimpanan dan
penyerahan protokol Notaris.

c. Membacakan Akta dihadapan penghadap (Pasal 16 ayat (1) huruf m)


Dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l ditegaskan bahwa dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban
membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan
ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris.
Dari ketentuan tersebut jelas bahwa setiap akta Notaris, sebelum ditandatangani, harus dibacakan terlebih
dahulu kepada para penghadap dan saksisaksi. Pembacaan akta tersebut merupakan bagian dari pembuatan atau
peresmian (verlijden) suatu akta. Dan oleh karena akta tersebut dibuat oleh Notaris, maka yang membacakan
pun harus Notaris yang bersangkutan.
Esensi dari ketentuan ini adalah bahwa hanya apabila Notaris sendiri yang membacakan akta tersebut,
maka para penghadap yang memang berniat untuk membuat akta autentik akan mempunyai jaminan bahwa :117
a. akta tersebut dibuat oleh pejabat yang berwenang
b. memenuhi syarat formal akta
c. meyakini isi akta sesuai dengan yang diharapkan oleh para penghadap
d. mengeliminasi adanya kesalahan-kesalahan yang tidak perlu, baik yang akan mempengaruhi autentitas akta,
maupun kesalahan pengetikan, yang bisa jadi akan menimbulkan masalah dikemudian hari.
Esensi lain adalah seperti yang disampaikan oleh J.C.H Melis yang mengatakan bahwa pembacaan akta
oleh Notaris adalah : 89
a. jaminan kepada para penghadap bahwa apa yang mereka tanda tangani adalah sama dengan apa yang mereka
dengar dari pembacaan itu;
b. kepastian bagi para penghadap bahwa apa yang ditulis dalam akta adalah benar kehendak dari para
penghadap.
Pengecualian atas pembacaan tersebut disebutkan pada Pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Jabatan Notaris
yang menyatakan bahwa pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m tidak wajib dilakukan,
jika penghadap menghendaki agar Akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui,
dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup Akta serta pada setiap
halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi dan Notaris.

3. Penerapan Peraturan Dewan Kehormatan Notaris Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun
2017

88
Pasal 1 ayat (13) tentang pengertian protokol Notaris dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang Undang No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris 116117 Daeng Naja, Op.Cit., hlm. 113.
89
Ibid., hlm. 113-114.

36
Sejalan dengan Undang-Undang Jabatan Notaris yang menjadi pedoman dan tolak ukur bagi setiap
Notaris dalam membuat akta terdapat aturan baru berkenaan dengan peraturan dari Peraturan Dewan
Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017, peraturan ini merupakan wujud dari
pelaksanaan Pasal 3 ayat 18 jo Pasal 5 ayat 16 Kode Etik Notaris yang menegaskan bila Dewan Kehormatan
akan menentukan batas jumlah kewajaran akta.
Menganalisis kedudukan dari Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1
Tahun 2017 dapat dipandang dari sistem hukum (legal system). Pemikiran dari Herbert L.A. Hart seorang
pemikir besar dalam tradisi positifisme hukum memandang suatu sistem hukum dipahami sebagai kombinasi
dari aturan-aturan primer dan sekunder. Hukum primer terdiri dari standar-standar bagi tingkah laku yang
membebankan berbagai kewajiban. Aturan yang masuk ke dalam jenis ini muncul sebagai akibat dari kebutuhan
masyarakat itu sendiri. Adapun kekuatan mengikat dari berbagai aturan jenis ini didasarkan dari penerimaan
masyarakat secara mayoritas. 90
Aturan sekunder merupkan aturan yang memberikan kekuasaan untuk mengatur penerapan aturan-aturan
hukum yang tergolong ke dalam kelompok yang sebelumnya atau aturan-aturan primer. Aturan-aturan yang
dapat digolongkan ke dalam kelompok ini adalah aturan yang memuat prosedur bagi pengadopsian dan
penerapan hukum primer.
Apabila Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017
dihubungkan dengan sistem hukum yang dikemukakan oleh Herbert L.A. Hart diatas maka kedudukan dari
Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 dapat dipandang
kedudukannya merupakan hukum sekunder sebab lahirnya Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris
Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 didasari keputusan dari Dewan Kehormatan Notaris Pusat dan aturan mengenai
kewenangan terkait pengawasan dan pelaksanaan Dewan Kehormatan Notaris Pusat diatur dalam Kode Etik
Notaris yang merupakan hukum primenya 91sedangkan aturan pembentukan Peraturan Dewan Kehormatan Pusat
Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 telah terlebih dahulu juga diatur didalam Kode Etik Notaris
kemudian dibentuk aturan pelaksana tersendiri yakni Peraturan Dewan Kehormatan Notaris Pusat Ikatan Notaris
Indonesia Nomor 1 Tahun 2017. 92
Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Nomor 1 Tahun 2017 tentang Batas Kewajaran Jumlah Pembuatan
Akta Perhari dibentuk berdasarkan pertimbangan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 angka 16 Kode Etik
Notaris (KEN) Ikatan Notaris Indonesia, perlu ditetapkan Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris
Indonesia tentang Batas Kewajaran Jumlah Pembuatan Akta Perhari. 93
Mengenai batas kewajaran Pembuatan Akta Perhari merupakan Kode Etik Notaris yang disepakati oleh
Kongres seperti yang artikel berita elektronik dari website resmi Ikatan Notaris Indonesia menjelaskan lebih

90
Pranoto Iskandar dan Yudi Junadi, Memahami Hukum Indonesia, (Cianjur:IMR Press, 2011), hlm. 46.
91
Kode Etik Notaris Kongres Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia Banten 2930 Mei 2015 bab V pasal 7 tentang
Tata Cara Penegakan Kode Etik oleh Dewan Kehormatan
92
Ibid., Bab III tentang Kewajiban, Larangan dan Pengecualian Pasal 3 ayat 18, tentan membuat akta dalam jumlah batas
kewajaran untuk menjalankan peraturan perundan-undangan, khususnya Undang-Undang tentang Jabatan Notaris dan Kode
Etik.
93
Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Batas Kewajaran Jumlah
Pembuatan Akta Perhari tentang Menimbang.

37
jauh yaitu didasari atas pertimbangan Pasal 7 Anggaran Dasar Ikatan Notaris Indonesia menentukan bahwa
tujuan perkumpulan adalah tegaknya kebenaran dan keadilan serta terpeliharanya keluhuran martabat jabatan
Notaris sebagai pejabat umum yang bermutu dalam rangka pengabdiannya kepada Tuhan Yang Maha Esa,
Bangsa dan Negara agar terwujudnya kepastian hukum dan terbinanya persatuan dan kesatuan serta
kesejahteraan anggotanya. Kemudian Pasal 13 ayat 1 Anggaran Dasar Perkumpulan menentukan bahwa untuk
menjaga kehormatan dan keluhuran martabat jabatan Notaris tersebut Perkumpulan mempunyai Kode Etik
Notaris yang ditetapkan oleh Kongres dan merupakan kaidah moral yang wajib ditaati oleh setiap anggota
Perkumpulan.
Dimana Keputusan kongres adalah merupakan kesepakatan bersama para anggota perkumpulan yang
sah. Apa yang telah disepakati di dalam Kongres wajib dipatuhi oleh semua anggota perkumpulan. Salah satu
yang telah disepakati di dalam Kongres Ikatan Notaris Indonesia adalah mengenai batas kewajaran pembuatan
akta. Hal ini tercantum di dalam Pasal 4 Kode Etik Notaris, yang menentukan “ Notaris maupun orang lain
(selama yang bersangkutan menjalankan jabatan Notaris) dilarang : ... 16. Membuat akta melebihi batas
kewajaran yang batas jumlahnya ditentukan oleh Dewan Kehormatan;”
Dengan ditetapkannya ketentuan tersebut, maka sangat jelas bahwa batasan kewajaran pembuatan akta
adalah merupakan norma yang masuk dalam Kode Etik Notaris, yang wajib dipatuhi oleh semua Notaris atau
semua orang yang menjalankan jabatan Notaris.
Artikel Tentang Ketentuan Mengenai Batas Kewajaran Pembuatan Akta Perhari Bagi Notaris, Bukan
Merupakan Pembatasan Pembuatan Akta Bagi Notaris diakses dari Website Resmi Pengurus Pusat Ikatan
Notaris Indonesia.

38
BAB III
PEMBATASAN JUMLAH PEMBUATAN AKTA NOTARIS BERDASARKAN PERATURAN
DEWAN KEHORMATAN PUSAT IKATAN NOTARIS INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2017 & KAITANNYA DENGAN KODE ETIK NOTARIS

A. Fungsi Kode Etik Dalam Suatu Organisasi Profesi.


Fungsi kode etik penting sebagai sarana kontrol sosial. Kode etik memberikan secama kriteria bagi para
calon anggota kelompok profesi dan membantu mempertahankan pandangan anggota lama terhadap prinsip
profesionalitas yang telah digariskan. Kode etik profesi juga mencegah pengawasan atau campur tangan yang
dilakukan oleh pemerintah atau oleh masyarakat melalui beberapa agen atau pelaksananya. Selain itu kode
berfungi untuk mengembangkan kehendak yang lebih tinggi. Kode etik dasarnya adalah suatu perilaku yang
sudah dianggap benar serta berdasarkan metode prosedur yang benar pula. 94
Kode etik semacam ini sudah banyak dilakukan oleh para anggota sebuah kelompok profesional, dan ini
akan dilaksanakan lebih lancar serta lebih efektif lagi bila kode etik tersebut dirumuskan sedemikian rupa
sehingga dapat mendatangkan rasa puas pada pihak yang bersangkutan. Jadi Kode etik adalah kristalisasi dari
hal-hal yang biasanya sudang dianggap baik menurut pendapat umum serta didasarkan atas pertimbangan
kepentingan profesi yang bersangkutan. Jadi kode etik tersebut pada dasarnya dimaksudkan untuk sedapat
mungkin mencegah kesalahpahaman dan konflik serta memudahkan kelompok untuk menekan semua hal yang
dapat menyebabkan menurunnya posisi kelompok atau sebaliknya dapat dipergunakan sebagai bahan refleksi
atas nama baik kelompok. 95
Lembaga penegak etik dibidang kehakiman, Komisi Kejaksaan di bidang kejaksaan, Kompolnas di
bidang kepolisian, Mahkamah Kehormatan DPR ( MKD ) di DPR. Kesemuanya adalah lembaga penegakan etik
pada bidangnya masingmasing. Demikian halnya juga di organisasi profesi, lembaga etik pada masingmasing
profesi telah dibentuk. Di bidang pers ada Dewan Pers, dibidang kedokteran ada Konsil Kedokteran Indonesia
(KKI) 96 dan berkaitan dengan penelitian ini Notaris ada Ikatan Notaris Indonesia ( INI ).
Menurut Jimly, lembaga-lembaga penegak kode etik kedepan harus menjadi lembaga etik yang bersifat
fungsional terbuka. Artinya tradisi penegakan kode etik harus dilakukan secara transparan dan akuntabel sehinga
putusannya dapat dipertanggungjawabkan secara objektif, jujur dan berkeadilan.130

B. Penerapan Kode Etik Notaris

94
E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995) , hlm. 35.
95
Ibid.
96
I. Nur Hidayat Sardini, 60 Tahun Jimly Asshiddiqie Sosok, kiprah dan pemikiran, Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 2016,
hlm. 214.

39
Berdasarkan uraikan diatas diketahui jika kode etik menciptakan rasa perlindungan hukum bagi para
anggota profesi dan juga menjalankan hal yang selaras dengan aturan yang sudah diatur sehingga pelayanan oleh
profesi tersebut kepada masyarakat dapat terlaksana dengan semaksimal mungkin. Demikian halnya dengan
salah satu profesi yakni Notaris. Tidak semua profesi yang ada merupakan profesi yang luhur atau terhormat,
atau profesi mulia. Notaris merupakan suatu profesi hukum dan dengan demikian profesi Notaris adalah suatu
jabatan dan profesi mulia (officium nobile). Disebut officium nobile dikarenakan profesi Notaris sangat erat
hubungannya dengan kemanusian. 97
Notaris sebagai suatu profesi memiliki karakteristik sebagai berikut : 98
1. Meliputi bidang tertentu;
2. Mempunyai keahlian dan keterampilan khusus;
3. Bersifat tetap dan terus menerus;
4. Mengutamakan pelayanan dari pada imbalan;
5. Memperoleh penghasilan berupa honorarium sebagai bentuk penghargaan;
6. Adanya kewajiban untuk merahasiakan informasi dari klien;
7. Terkelompok dalam suatu organisasi; 8. Adanya kode etik dan peradilan kode etik.
Peraturan terkait dengan kode etik Notaris yang terakhir diatur dalam Perubahan Kode Etik Notaris Kongres
Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia Banten, 29-30 Mei 2015. Salah satu kewajiban yang diatur dalam Kode
Etik Notaris yaitu pengabdian kepada masyarakat dan Negara.
1. Perubahan Kode Etik Notaris Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia Banten 29-30 Mei 2015 berkaitan
dengan Pembatasan Pembuatan Akta Perhari Adapun ruang lingkup kode etik diatur dalam Pasal 2 berlaku
bagi seluruh anggota Perkumpulan maupun orang lain (selama yang bersangkutan menjalankan jabatan
Notaris), baik dalam pelaksanaan jabatan maupun dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Kode Etik Notaris
diatur mengenai kewajiban dan larangan, sebagaimana kewajiban diatur dalam Pasal 3, salah satu yang
berkaitan dengan penelitian ini yaitu mengenai pembatasan pembuatan akta diatur dalam Pasal 3 ayat 18
yaitu “Membuat akta dalam jumlah batas kewajaran untuk menjalankan peraturan perundang-undangan,
khususnya Undang-Undang tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik” sementara dalam larangan diatur dalam
Pasal 4 ayat 16 yang isinya yaitu “ Membuat akta melebih batas kewajaran yang batas jumlahnya ditentukan
oleh Dewan Kehormatan.
Mengkaji lebih lanjut tentang penerapan pembuatan akta dalam jumlah batas kewajaran, tidak ada
diuraikan lebih jauh dalam Kode Etik Notaris akan tetapi apabila dapat dianalisis dari penerapan Kode Etik
Notaris secara keseluruhan mengambil dari pengertian dari kewajiban dalam Ketentuan Umum Pasal 1 angka
10, “kewajiban adalah sikap, perilaku, perbuatan atau tindakan yang harus atau wajib dilakukan oleh anggota
Perkumpulan maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris dalam rangka menjaga
dan memelihara citra serta wibawa lembaga kenotariatan dan menjunjung tinggi keluhuran harkat dan
martabat jabatan Notaris.”

97
Munir Fuady, Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa, Advokat, Notaris, Kurator dan Pengurus), (Bandung
: Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 1.
98
Ghansham Anand, Karakteristik Jabatan Notaris di Indonesia, (Kabupaten Sidorjo :Zifatama Publisher, 2014) hlm. 102.

40
Pengertian diatas dapat ditemukan bila maksud dari kewajiban setiap Notaris untuk mentaati
peraturan perkumpulan diatas adalah untuk menjaga citra serta wibawa lembaga Notaris dan menjunjung
tinggi keluhuran harkat dan martabat jabatan Notaris.
Guna menjaga wibawa lembaga Notaris dan menjunjung tinggi harkat dan martabat jabatan Notaris
diperlukan sikap mental yang balik. Sikap mental yang harus dimiliki oleh seorang Notaris diatur dengan
sangat jelas dalam Kode Etik Notaris, yaitu pada Bab III Pasal 3 tentang Kewajiban. Pada Kode Etik
Notaris disebutkan bahwa seorang Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan
Notaris wajib: 99
1. Memiliki moral, akhlak, serta kepribadian yang baik.
2. Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat jabatan Notaris.
3. Menjaga, membela kehormatan Perkumpulan.
4. Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh tanggung jawab, berdasarkan peraturan perundang-
undangan dan isi sumpah jabatan Notaris
5. Meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak terbatas pada ilmu pengetahuan hukum
dan kenotariatan.
6. Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan negara.
Seorang Notaris dituntut untuk selaku menunjukkan sikap yang pantas, moral yang bagus, akhlak
yang mulia dan kepribadian yang baik. Semua itu bukan hanya dilakukan saat bertemu klien, tetapi juga
dalam kesehariannya. Seperti seorang Notaris yang ternyata suka mabuk-mabukan, hal ini tentu saja
sangat mencoreng jabatan Notaris secara keseluruhan. Pada praktiknya sehari-hari, seorang Notaris
bertindak bukan hanya sebagai tempat membuat akta, tetapi juga sering kali dijadikan tempat “curhat”
seputar masalah hukum yang dihadapi kliennya. Ada kalanya seorang juga masyarakat atau pihak-pihak
yang datang kepada seorang Notaris mengemukakan maksudnya untuk dibuatkan akta sewa menyewa
padahal sebenarnya yang dilakukan oleh para pihak tersebut bukan sewa menyewa akan tetapi pinjam
pakai, tentu saja hal ini sangat berbeda hukumnya. 100
Pada saat seperti inilah seorang Notaris harus mampu memberikan penjelasan atau informasi yang
berkaitan dengan akta yang akan dibuat beserta konsekuensi dari perbuatan-perbuatanan klien. Seorang
Notaris yang telah benarbenar memahami dan menanamkan dalam hati sanubarinya tentang isi kode etik,
dapat dipastikan bahwa ia akan menjadi seorang Notaris yang profesional dalam menjalankan tugas dan
jabatannya. Notaris yang profesional biasanya akan memberikan pelayanan yang cerdas kepada
masyarakat, mampu membangun jaringan yang luas, dan selalu berusaha menghasilkan kinerja terbaik
tanpa perlu melakukan segala cara untuk bersaing dengan rekan sesama Notaris. 101
Uraian singkat diatas, kembali lagi bila dihubungkan dengan batasan kewajaran pembuatan akta
Notaris per harinya menurut Kode Etik adalah sebagai sebuah wujud dari pelayanan seorang Notaris
kepada masyarakat agar tidak sembarangan bertindak khususnya dalam membuat akta sebab pelayanan

99
Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, Op.Cit., hlm. 50-51.
100
Ibid., hlm. 51.
101
Ibid., hlm. 52.

41
pembuatan akta Notaris membutuhkan keahlian dan tindakan profesional yang tidak sembarangan atau
mengejar pembuatan akta demi untuk mengejar materi semata.
Oleh sebab itu mentaati batasan kewajaran pembuatan akta perharinya maka Notaris dalam hal
ini telah memenuhi kriteria Notaris yang profesional, sebagaimana juga telah terpenuhinya penerpana
asas-asas Pemerintahan yang baik salah satunya profesionalitas yakni tertuang dalam Pasal 16 ayat (1)
huruf d yakni Notaris wajib memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam UndangUndang
Jabatan Notaris , kecuali ada alasan untuk menolaknya. Asas ini mengutamakan keahlian Notaris dalam
menjalankan tugas jabatannya berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Jabatan
Notaris. 102
2. Perubahan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris Indonesia Hasil Rapat Pleno Pengurus Pusat Yang
Diperluas Di Balikpapan 12 Januari 2017 Berkaitan Struktur Dewan Kehormatan Notaris Anggaran Rumah
Tangga Notaris merupakan bentuk pelaksanaan dari Undang-Undang Jabatan Notaris sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 82 ayat (4) yaitu “Ketentuan mengenai tujuan, tugas, wewenang, tata kerja, dan
susunan organisasi ditetapkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Organisasi Notaris”
Jadi secara keseluruhan yang diatur dalam Anggaran Rumah Tangga adalah mengenai tujuan, tugas,
wewenang, tata kerja, dan susunan organisasi Ikatan Notaris Indonesia. Perubahan Anggaran Rumah Tangga
Ikatan Notaris Indonesia terakhir adalah dalam Rapat Pleno Pengurus Pusat di Balikpapan pada tanggal 12
Januari 2017.
Dalam kaitan penelitian ini Dewan Kehormatan Notaris memiliki peranan penting dalam memberikan
pengawasan dan pembinaan kepada setiap anggota. Adapun stuktur organisasi dalam kepengurusan Dewan
Kehormatan Pusat diatur dalam Pasal 57 tentang Dewan Kehormatan Pusat yakni
1. Perkumpulan mempunyai Dewan Kehormatan Pusat pada tingkat Nasional.
2. Dewan Kehormatan Pusat merupakan badan yang bersifat otonom di dalam mengambil keputusan.
3. Dewan Kehormatan Pusat terdiri dari 7 (tujuh) orang anggota biasa yaitu sekurang-kurangnya 4 (empat)
orang anggota luar biasa dari Notaris aktif dan sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang anggota luar biasa dari
Werda Notaris. Jika tidak terpenuhi 4 orang dari Notaris aktif, maka diambil berdasarkan suara terbanyak
berikutnya.
4. Pada anggota Dewan Kehormatan Pusat dipilih oleh Kongres dari calon-calon yang telah dipilih dalam
Rapat Pleno Pengurus Pusat Yang Diperluas ( Pra Kongres)
5. Susunan Dewan Kehormatan Pusat terdiri dari sekurang-kurangnya seorang Ketua, seorang Wakil Ketua,
seorang Seketaris yang dipilih dari dan oleh anggota Dewan Kehormatan Pusat yang merupakan
kepemimpinan bersama.
6. Dewan Kehormatan Pusat bertanggung jawab dan memberikan laporan pertanggungjawaban kepada
Kongres ata pelaksanaan tugas dan kewajibannya.
7. Masa Jabatan Dewan Kehormatan Pusat adalah sama dengan masa jabatan (periode) Pengurus Pusat.
8. Sebelum menjalankan tugasnya Dewan Kehormatan Pusat dilantik oleh Presdium Kongres

102
Penerapan Asas-Asas Pelaksanaan Tugas Jabatan Notaris yang Baik, salah satunya adalah asas profesionalitas, dalam
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Op.Cit, hlm. 28.

42
9. Seorang anggota Dewan Kehormatan Pusat tidak boleh merangkap sebagai anggota Pengurus Pusat,
Penasihat Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah, Penasihan Pengurus Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah,
Pengurus Daerah, Penasihat Pengurus Daerah dan Dewan Kehormatan Daerah.
10. Menyimpang dari ketentuan dalam ayat (3) diatas maka jika selama masa jabatan Dewan Kehormatan Pusat
karean suatu hal terjadi jumlah anggota Dewan Kehormatan Pusat kurang dari jumlah yang ditetapkan, maka
Dewan Kehormatan Pusat yang ada tetap sah walaupun jumlah anggotanya berkurang.
11. Dewan Kehormatan Pusat memberikan pertimbangan kepada Pengurus Pusat terhadap anggota biasa (dari
Notaris aktif) yang mengajukan permohonan pindah tempat kedudukan atau perpanjang masa jabatannya.
12. Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, Dewan Kehormatan Pusat dapat mengadakan pertemuan
dengan Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah, Pengurus Derah dan Dewan
Kehormatan Daerah.
13. Rapat Dewan Kehormatan Pusat adalah sah jika dihadiri oleh lebih dari ½ (satu per dua) bagian dari seluruh
jumlah anggota. Apabila pada pembukaan rapat jumlah korum tidak tercapai, maka rapat diundur selama
30 (tiga puluh) menit. Apabila setelah pengunduran waktu tersebut korum belum juga tercapai, maka rapat
dianggap sah dan dapat mengambil keputusan yang sah.
14. Setiap anggota Dewan Kehormatan Pusat mempunyai hak untuk mengeluarkan satu suara.
15. Dewan Kehormatan Pusat, Dewan Kehormatan Wilayah, Dewan Kehormatan Daerah, Pengurus Pusat,
Pengurus Wilayah dan Pengurus Daerah mengadakan pertemuan berkala, sedikitnya 6 (enam) bulan sekali
atau setiap kali dipandang perlu oleh Pengurus Pusat dan Dewan Kehormatan Pusat atau atas permintaan 2
(dua) Pengurus Wilayah dan Dewan Kehormatan Wilayah atau atas permintaan 5 (lima) Pengurus Daerah
berikut Dewan Kehormatan Daerah.
16. Anggota Dewan Kehormatan Pusat sedapatnya menjadi Majelis Pengawas Pusat Notaris dan Majelis
Kehormatan Notaris dari unsur Notaris yang diusulkan oleh Pengurus Pusat berdasarkan kriteria yang
ditetapkan oleh Rapat Pleno Pengurus Pusat.
Dalam pelaksanaannya pelanggaran etika diawasi oleh dua lembaga yaitu Dewan Kehormatan untuk
internal organisasi dan Mejelis Pengawas Notaris sebagai perpanjangan dari menteri yang diatur dalam Undang-
103
Undang Jabatan Notaris. Namun lebih lanjut ada perbedaan kewenangan antara Majelis Pengawas Notaris
dengan Dewan Kehormatan Notaris yang akan dibahas lebih lanjut pada sub bab bertikutnya.

C. Faktor Yang Mempengaruhi Banyaknya Jumlah Akta Notaris Dikaitkan Dengan Peraturan Jumlah
Akta Yang dibuat Notaris
Secara etimologi arti kata faktor adalah sesuatu hal, keadaan, pengertian dan sebagainya yang ikut
menyebabkan, mempengaruhi terjadinya sesuatu. 104Dalam kajian pembahasan penelitian mengenai jumlah akta
yang dibuat di Notaris juga berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi banyaknya jumlah akta yang

103
Pelanggaran Kode Etik Notaris diawasi oleh dua lembaga pandangan dari Ketua Umum Pengurus Pusat INI (PP INI)
Adrian Djuani di kantornya, Jakarta, tanggal 8 maret 2016 dikutip dari Media Elektonik
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56dea68beec21/catatNotaris-dikawal-dua-lembaga-etik pada tanggal 7 Maret
2018.
104
Retoning Tyas, Kamus Genggam Bahasa Indonesia., Yogyakarta: Frasa Lingua, 2016 , hlm. 171.

43
dibuat. Terlepas dari pada faktor-faktor yang akan diuraikan lebih jauh pada penelitian ini, faktor-faktor yang
akan dibahas pada penelitian ini bukan merupakan suatu faktor penentu yang mempengaruhi jumlah akta Notaris
perharinya, akan tetapi tergantung pada situasi dan kondisi di setiap masingmasing daerah, serta pandangan
masing-masing peneliti yang tentunya berbedabeda.

1. Faktor Yang Berkaitan Dengan Pembuatan Akta Perbankan


Akta perbankan merupakan penyebutan bahasa yang dipakai dalam keseharian Notaris membuat akta
yang berhubungan dengan dunia perbankan. Hal umum yang lazim ditemukan pertama sekali dalam perbankan
adalah
pembuatan perjanjian kredit.
Dalam prakteknya ada 2 bentuk perjanjian kredit, yaitu 105
a. Perjanjian kredit yang dibuat dibawah tangan dinamakan akta dibawah tangan. Artinya perjanjian
pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang hanya dibuat diantara mereka (kreditur dan debitur)
tanpa Notaris. Namun pada praktiknya dalam perjanjian kredit bank, akta dibawah tangan disiapkan dan
dibuat sendiri olehh bank kemudian ditawarkan kepada debitur untuk disepakati.
b. Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris yang dinamakan akta otentik atau akta notaril.
Yang menyiapkan dan membuat perjanjian ini adalah seorang Notaris namun dalam praktek semua syarat
dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh kreditur kemudian diberikan kepada Notaris untuk
dirumuskan dalam akta Notaris.
Adapun tata cara pembuatan akta telah diuraikan pada sub bab sebelumnya mengenai pembuatan akta
autentik yakni melibatkan Notaris mulai dari awal sampai dengan akhir penandatangan akta Notaris.
Berkaitan dengan jumlah akta yang dimintakan oleh bank selain dari perjanjian kredit yang sifatnya
notaril, terdapat perjanjian tambahan yang lazim dilakukan oleh perbankan pada umumnya. Seperti halnya dalam
perjanjian kredit pinjaman dalam hal ini bank selaku kreditur tidak hanya meminjamkan uang tanpa adanya
jaminan sebagaimana kebijakan dan aturan masing-masing bank.
Sebagai contoh dalam praktiknya dilapangan, pihak bank akan memintakan Notaris membuatkan akta
notaril yang berhubungan dengan “pengikatan jual beli sebagian” dalam bentuk “order pengikatan” oleh bank
yang bersangkutan. 106
Adapun dalam contoh perbuatan pembuatan akta Notaris yang dilakukan oleh Notaris melibatkan 1 (satu)
orang debitur yang hendak membeli sebagian bidang tanah berikut bangunan yang tanah dan bangunannya
belum dipecah atau belum dipisahkan sehingga membutuhkan jasa Notaris untuk membantu pengurusan
pemecahan sertifikat. Dalam pemecahan sertifikat tersebut atas kehendak dari para penjual dan pembeli serta
Bank selaku pihak peminjam dengan persertujuan bersama tanpa perlu menunggu lama waktunya pemecahan
sertifikat tersebut sudah dapat melakukan transaksi, dimana transaksi tersebut dibuat sejalan dengan pengurusan

105
YLBHI dan PSHK, Op.Cit., hlm. 134-135.
106
Judul pada surat perbankan yakni tentang order pengikatan yang dimintakan perbankan kepada salah satu Notaris di Kota
Medan.

44
pemecahan sertifikat yang kemudian setelah selesai dilakukan pemecahan maka akan segera dibalik nama ke
atas nama pembeli.
Oleh sebab itu disinilah peranan seorang Notaris untuk membuatkan pengikatan mereka terlebih dahulu
dengan membuatkan akta notarilnya. Melihat proses pemecahan sertifikat tersebut tentunya ada hak-hak dan
kewajiban dari masing-masing pihak baik pihak penjual, pembeli merangkap sebagai nasabah maupun bank
yang meminjamkan uang. Adapun pengamanan terhadap hak dan kewajiban masing-masing pihak disini
dibuatkan suatu pengikatan yang disifatnya Notaril.
Adapun jenis akta notaril yang diminta untuk dibuatkan oleh pihak perbankan dalam bentuk oderan
tersebut antara lain yakni :
a. Akta Pengikatan Jual Beli
b. Akta Pernyerahan Jaminan dan Kuasa
c. Akta Surat Kuasa setelah pemecahan Sertifikat
d. Roya Sertifikat
e. Cek Bersih Sertifikat
f. Akta Jual Beli berikut balik nama
g. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dilanjutkan dengan Akta Pembebanan Hak Tanggungan.
Adapun penjelasan singkat mengenai akta diatas dimulai dari:
1. Roya
Sertifikat yang akan dipecah ini masih terdaftar atas nama pemegang hak sebelumnya, karena pada orderan
disini ada permintaan untuk dilakukan roya, jadi dalam prosesnya Notaris akan dimintakan untuk
“membaliknamakan” sertifikat tersebut ke atas nama pemilik sebenarnya karena sebelumnya mungkin
pemilik ada meminjam sejumlah uang ke bank dan seluruh utangnya telah lunas sehingga nama bank yang
tercantum dalam sertifikat sebelumnya akan diganti kembali ke atas nama pemilik tanah.
2. Cek Bersih Sertifikat
Bersamaan setelah proses roya selesai maka akan dilakukan pengecekan sertifikat tersebut ke Kantor Badan
Pertanahan setempat.
3. Pengikatan Jual Beli
Pengikatan Jual Beli dilakukan atas dasar kesepakatan bersama kedua belah pihak antara pihak penjual dan
pembeli atas sebagian tanah yang akan dipecah tersebut yang dibuat dalam kata Notaris.
4. Akta Penyerahan Jaminan dan Kuasa
Isinya menerangkan mengenai jika pembeli sebagai debitur akan menyerahkan seluruh objek tanah dan
bangunan sebagian tersebut berikut dan kuasa sebagai jaminan pelunasan utang dari debitur.
5. Akta Surat Kuasa setelah pemecahan Sertifikat
Akta ini menerangkan bila telah selesai dipecah debitur memberikan kuasa penuh kepada kreditur atas
pengurusan yang dianggap perlu oleh kreditur.
6. Akta Jual Beli
Akta Jual Beli merupakan kewenangan yang dilakukan oleh PPAT yang biasanya merangkap sebagai
Notaris.

45
7. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang dibuat oleh Notaris dan dilanjutkan dengan Akta
Pembebanan Hak Tanggungan oleh PPAT
Contoh lain akta yang sering diminta oleh perbankan untuk dibuatkan adalah Surat Kuasa Membebankan
Hak Tanggungan atas beberapa bidang tanah yang dijadikan objek jaminan terhadap pinjaman kredit bank.
Biasanya pengikatan dengan membuat Surat Kuasa Hak Tanggungan dilanjutkan dengan membuat Akta
Pembebanan Hak Tanggungan tergantung berapa nominal besaran plafon yang dipinjam, dan berapa jumlah
sertifikat yang dipasang hak tanggungan. Sebagai contoh dalam hal ini seorang debitur menerima pinjaman
sebesar Rp. 1.700.000.000,- (satu milyar tujuh ratus juta rupiah), dengan pinjaman sebesar itu ia memberikan
jaminan berupa 21 (dua puluh satu) sertifikat yang akan dipasangkan Surat Kuasa Pembebanan Hak Tanggungan
dilanjutkan dengan Akta Pembebanan Hak Tanggungan untuk dipasang HakTanggungannya.
Contoh pengikatan diatas merupakan sebagaian gambaran dari hubungan antara bank dengan Notaris
memintakan kepada Notaris membuatkan aktanya, faktor besarnya plafon, dan banyaknya jaminan yang hendak
dipasang Hak Tanggungan, menjadi salah satu faktor akta Notaris semakin banyak dibuat dalam kaitan dengan
1 (satu) orang debitur.
Seperti pada contoh ke 2 (dua) akta Notaris yaitu Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang
mesti dibuat adalah dibagi berdasarkan nilai hak tanggungan yang akan ditanggung, sebagai contoh orderan dari
perbankan mengkehendaki:
a. Sertifikat A, B, C dipasang hak tanggungan dengan nilai Rp. 300.000.000,-
(tiga ratus juta rupiah.
b. Sertifikat D, E, F, G,H dipasang hak tanggungan dengan nilai Rp. 642.000.000 (enam ratus empat puluh
dua juta rupiah)
c. Sertifikat I, J, K,L dipasang hak tanggungan dengan nilai Rp. 322.500.000,-
(tiga ratus dua puluh dua juta lima ratus ribu rupiah)
d. Sertifikat M,N,O,P,Q dipasang hak tanggungan dengan nilai Rp. 510.000.000
(lima ratus sepuluh juta rupiah)
e. Sertifikat R,S,T,U dipasang hak tanggungan dengan nilai Rp. 350.000.000 (tiga ratus lima puluh juta rupiah)
Jadi jumlah akta SKMHT yang harus dibuat adalah 5 (lima) akta ditambah dengan perjanjian kredit,
Jaminan Pribadi, Legalisasi sehingga untuk 1 debitur bank saja sudah mencakup 8 (delapan) akta dalam sekali
penandatanganan pada hari yang sama itu juga.
Contoh model lain dalam orderan suatu perbankan adalah dimana orderan tersebut dilakukan sekaligus
dari perbankan dengan mencantumkan seluruh debitur perbankan tersebut untuk dilakukan pengurusan cek
bersih, akta jual beli dan pemasangan SKMHT-APHT. Jadi orderan tersebut mencakup jumlah debitur sebanyak
23 (dua puluh tiga), yang masing-masing akan diurus cek bersih, balik nama sertifikat dan pemasangan Hak
Tanggungan, artinya masing-masing dari debitur tersebut akta yang harus dibuat berjumlah 3 (tiga) akta. Dengan
total keseluruhan berarti 69 (enam puluh sembilan) akta, dan akta Notaris berupa akta SKMHT yang harus dibuat
berjumlah 23 (dua puluh tiga) akta.

2. Faktor yang berkaitan dengan pembuatan akta Perusahaan

46
Pembiayaan.
Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha di luar Bank atau Lembaga Keuangan Bukan Bank yang
Khusus didirikan untuk melakukan kegiatan termasuk dalam bidang usaha Lembaga
Pembiayaan. 107 Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI No. 84/PMK.012/2016, tentang Perusahaan
Pembiayaan, disebutkan bahwa : “Perusahaan Pembiayaan adalah suatu badan usaha di luar Bank dan
Lembaga Keuangan Bukan Bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang
usaha Lembaga Pembiayaan dalam bentuk penyedia dana atau barang modal dengan tidak menarik dana
secara langsung dari masyarakat.”
108
Adapun kegiatan yang termasuk Usaha Lembaga Pembiayaan yaitu:
1. Sewa Guna Usaha (Leasing)
2. Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance)
3. Anjak Piutang (Factoring)
4. Usaha Kartu Kredit (Credit Card)
Berkaitan dengan faktor akta perusahaan pembiayaan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah berkaitan
dengan usaha leasing. Leasing merupakan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik
secara sewa guna usaha tanpa dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi
(operating lease) yang digunakan oleh lease dalam jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara
berkala. 109
Lessor sebagai pihak yang menyewakan barang modal pasti menghendaki adanya jaminan terhadap
barang modal yang disewakan kepada lessee. Dalam hal ini, lessor dapat meminta jaminan-jaminan dari lessee,
yang salah satunya dapat berupa jaminan kebendaan. Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang
berupa hak mutlak atas suatu benda, yang mempunyai ciri-ciri hubungan langsung atas benda tertentu dari
debitur, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya, dan dapat diperalihkan. 110
Jaminan fidusia sendiri diartikan sebagai hak jaminan atas benda bergerak, baik yang berwujud maupun
tidak berwujud dan benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap
berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya yang terdapat dalam Pasal 1
angka 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999. 111
Perjanjian pembebanan jaminan fidusia ditentukan dengan bentuk akta otentik sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Jaminan Fidusia, bahwa “ Pembebanan benda dengan jaminan fidusia

107
Ryan Filbert Wijaya, Negative Investment, Kiat Menghindari Kejahatan Dalam Dunia Investasi, (Jakarta:Gramedia, 2014),
hlm. 100.
108
Ibid., hlm. 101.
109
Ibid., hlm. 101-102.
110
Sri Soedewi Masjchoen, dalam Davina Eka Maretasari Dkk, Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Pemberi Jaminan
Fidusia Dalam Hal Terjadinya Kredit Macet., Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Privat law Edisi 07
Januari-Juni 2015, hlm. 80.
111
Ibid., hlm. 81.

47
dibuat dengan akta Notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia” Berdasarkan ketentuan
tersebut, pembebanan jaminan fidusia harus memenuhi syarat-syarat : 112
a. Bentuk akta harus akta Notaris;
b. Menggunakan bahasa Indonesia; dan
c. Judul akta “AKTA JAMINAN FIDUSIA”
Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi manusia meluncurkan sistem fidusia online pada
tanggal 5 maret 2012. Sebelum adanya sistem fidusia online, pendaftaran dilakukan secara manual. Direktorat
Jenderal Administrasi Hukum Umum (Kemenkumham) sebagai institusi yang melaksanakan pendaftaran
jaminan fidusia menindaklanjuti sistem fidusia online dengan menerbitkan Surat Edaran Dirjen AHU No. AHU-
06.OT.03.01 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan Sistem Administrasi Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara
Elektronik (Online System), yang selanjutnya ditulis, ”Surat Edaran Dirjen AHU”. Menurut Surat Edaran Dirjen
AHU, pemberlakuan sistem pendaftaran jaminan fidusia online merupakan pelaksanaan amanat Pasal 14 ayat
(1) dan Pasal 16 ayat (2) Undang-Udnang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Permohonan
pendaftaran jaminan fidusia selanjutnya akan dijadikan dasar pembuatan akta jaminan fidusia. Pembuatan akta
jaminan fidusia ini dikenakan tarif sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak ( PNBP ).
Didalam praktiknya dilapangan perusahaan pembiayaan cukup banyak, terlebih lagi melihat kredit
kendaraan semakin mudah, dengan down payment yang ringan sebesar Rp 500.000 (lima ratus ribu) seseorang
sudah dapat memiliki sebuah kendaraan bermotor hal ini juga berlaku dengan mobil dengan down payment
sebesar Rp. 30.000.000 (tiga puluh jutaan), ditambah lagi dengan syarat administrasi yang semakin mudah.
Faktor inilah yang juga menjadi salah satu penyebab semakin banyaknya perusahaan pembiayaan meminta jasa
Notaris untuk dibuatkan legalitas akta fidusianya kemudian didaftarkan ke Dirjen AHU. Jadi hal ini wajar jika
Notaris kemudian membuat suatu akta fidusia yang dimintakan oleh suatu perusahaan pembiayaan, akan tetapi
dalam praktiknya dilapangan tanpa menduga atau berprasangka “negatif”, tetapi berdasarkan data jumlah akta
yang dibuat dalam 1 (satu) bulan dapat melebihi jumlah yang tidak wajar bila dihubungkan dengan jumlah hari
kerja dalam waktu 1 minggu.
Perlu diketahui akta fidusia juga sama halnya dengan akta Notaris lain yang harus dibacakan dihadapan
para pihak atau dibaca sendiri oleh para pihak apabila itu kehendak dari para pihak dan didalam komparisi para
penghadap terdapat 2 (dua) jenis model komparisi yaitu:
1. Pertama pihak lesse sebelumnya sudah memberikan kuasa tertulis kepada perusahaan pembiayaan untuk
mewakili lesse terhadap segala urusan sampai dengan pendaftaran akta fidusia. Artinya nanti didalam “Akta
JaminanFidusia” hanya ada 1 (satu) orang penghadap saja yaitu Pihak dari Perusahaan Pembiayaan yang
bertindak berdasarkan surat kuasa dari lesse. Jadi dalam hal ini hanya ada 1 (satu) pihak dari perwakilan
Perusahaan Pembiayaan yang menandatangani isi akta.
2. Kedua pihak lesse dan pihak perusahaan pembiayaan sama-sama ada hadir dan disebutkan dalam Akta
Jaminan Fidusia tersebut, jadi nanti kedua belah pihak akan turut menandatangani. Dalam praktiknya model
komparisi yang banyak digunakan adalah model pertama dimana hanya ada 1 ( satu penghadap saja yaitu

112
Supianto, Hukum Jaminan Fidusia: Prinsip Publisitas pada Jaminan Fidusia., (Yogyakarta: Garudhawaca, 2015), hlm.
128.

48
pihak perwakilan dari perusahaan pembiayaan yang sebelumnya sudah mendapatkan kuasa dari pihak
lesse.)
Meskipun bertindak berdasarkan surat kuasa dan penghadapnya hanya 1 (satu) orang saja, bukan berarti
akta tidak dibacakan atau dibaca sendiri. Akta berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris jelas harus
dibacakan atau dibaca sendiri oleh para pihak kemudian ditandatangani pada hari dan jam selesai pembacaan
akta tersebut. Sebagai contoh tolak ukur pembahasan dalam penelitian ini terkait dengan jumlah akta yang
apabila dianalisis perharinya dapat berpotensi melanggar ketentuan peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan
Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 oleh salah satu Notaris di Kota Medan, terlepas daripada itu penelitian
ini hanya berfokus menjadikan fakta dilapangan terkait dengan data yang diperoleh dan menjadikan data tersebut
sebagai kajian dengan mengkaji dari sisi Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor
1 Tahun 2017 tanpa bermaksud menyudutkan atau mencari kesalahan dari Notaris yang bersangkutan.
Sebagaimana juga contoh ilustrasi tersebut Notaris X dalam 1 bulan membuat 2000 (dua ribu akta)
dikalkulasikan dalam 1 hari membuat akta fidusia sebanyak 100 (seratus) akta. Notaris X dibantu oleh
pegawainya sebanyak 2 ( dua orang). Pembuatan 1 (satu) akta fidusia katakanlah memakan waktu lebih kurang
10 (sepuluh menit). Apabila seorang Notaris memulai buka kantor pada pukul 08.00 WIB sampai tutup pukul
17.00 WIB, ditambah jam istirahat siang selama 1 (satu) jam maka jumlah waktu kerja efektif adalah 8 (delapan)
jam. 8 (delapan) jam apabila dikalkulasikan dengan hitungan menit maka 8 (delapan) jam sama dengan 60 (enam
puluh) menit dikali 8 (delapan) maka hasilnya sama dengan 480 (empat ratus delapan puluh) menit. Pengerjaan
akta fidusia yaitu 10 (sepuluh) menit, berarti apabila akta yang dikerjakan 100 ( seratus ) akta maka waktu yang
dibutuhkan untuk pengerjaan akta saja adalah 100 ( seratus ) akta dikali dengan 10 (sepuluh) menit maka hasilnya
adalah 1000 menit artinya untuk menyelesaikan pembuatan 100 akta saja sudah memerlukan waktu lebih kurang
17 (tujuh belas) jam, belum lagi ditambah dengan waktu pembacaan akta memakan waktu sebanyak 10 (sepuluh)
menit setiap aktanya.
Persoalannya adalah apakah akta yang dibacakan atau dibaca sendiri oleh para pihak dapat dilaksanakan
tepat pada pukul selesai dilaksanakannya pembacaan atau dibaca sendiri aktanya dan ditandatangani pada saat
itu juga? Sebab pasca akta telah dibacakan atau dibaca sendiri seketika itu wajib langsung ditandatagani oleh
penghadap. Contohnya dalam komparisi awal akta ada disebutkan:
“-Pada pukul sembilan titik kosong-kosong Waktu Indonesia Barat (09.00 WIB)”, artinya waktu mulai
dibacakan atau dibaca sendiri adalah pukul 9 (sembilan) dan diakhir akta ditulis “Akta ini diselesaikan pada
pukul sembilan titik sepuluh Waktu Indonesia Barat (09.10 WIB)”, artinya waktu selesai adalah pada pukul 9
(sembilan) lebih 10 (sepuluh menit).”
Jumlah lembaran akta yang hendak dibaca memang pada beberapa bagian sama sehingga dapat diabaikan
pembacaannya, seperti klausul yang berisi pasalpasal, dan penghadap dari perwakilan berdasarkan surat kuasa,
yang hanya perlu diperhatikan dalam hal ini adalah idenditas dari lesse dan type kendaraan, nomor rangka, nomor
mesin serta tahun yang harus diperhatikan seksama oleh
penghadap.163
Secara logika, dengan menerapkan asas kepatutan tidak mungkin 100 (seratus) akta dapat dibaca sendiri
atau dibacakan oleh Notaris, meskipun yang dibacakan tersebut adalah poin-poin penting tetap saja tetap saja

49
pembacaan tersebut akan memakan waktu lebih kurang 10 (sepuluh) menit, atau paling cepat adalah 5 (lima)
menit jika dikali dengan 100 (seratus) akta maka secara keseluruhan memakan waktu 500 menit atau lebih
kurang 8 (delapan) jam lebih, yang artinya selama jam kerja Notaris digunakan hanya untuk membaca akta saja,
dan hal tersebut secara logika berpikir dipastikan tidak mungkin terjadi.164

3. Faktor Yang Berkaitan Dengan Wilayah Kerja Dan Tempat Kedudukan


Notaris.
Dalam ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Undang-Undang Jabatan Notaris tanpa
ada perubahan peraturan Undang-Undang Jabatan Notaris yang baru, dimana kedudukan Notaris mempunyai
tempat kedudukan di daerah atau kota, sementara itu Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh
wilayah provinsi dari tempat kedudukannya.
Dijelaskan dalam Pasal 19 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Jabatan Notaris terbaru nomor 2 tahun
2014 yakni Notaris wajib mempunyai satu kantor, yaitu ditempat kedudukannya. Tempat kedudukan Notaris
sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah wajib mengikuti tempat kedudukan Notaris. Notaris tidak berwenang
secara berturut-turut dengan tetap menjalankan jabatan di luar tempat kedudukannya.
Pasal 18 Undang-Undang Jabatan Notaris yang lama Jo Pasal 19 UndangUndang Jabatan Notaris yang
baru telah menguraikan tempat kedudukan Notaris yaitu hanya 1 (satu) tempat saja, yakni antara di kabupaten
atau di kota. Sementara itu kewenangan Notaris meliputi seluruh 1 (satu) provinsi.
Berkaitan dengan jumlah akta yang dibuat berpotensi melebihi aturan dari pembatasan jumlah akta per
hari yakni sebanyak 20 (dua puluh) akta tentunya dalam hal ini dipengaruhi juga dari faktor kewenangan wilayah
kerja Notaris. Seperti salah satu contoh diatas dimana dalam praktiknya seorang klien yang berasal dari
Perbankan atau Perusahaan Pembiayaan tidak mau istilahnya “ribet” atau “ambil pusing” bila klien tersebut
sudah rekanan dengan Notaris di
Kabupaten Deli Serdang atau sebaliknya klien tersebut sudah rekanan dengan Notaris Medan, maka seluruh
orderan akan diberikan sepenuhnya pengurusan kepada salah satu Notaris saja. 113
Sebagai salah satu contoh dalam dunia Perbankan, Notaris Medan juga ada mendapat orderan pengikatan
Jaminan yang tanah yang diikat tersebut terletak di Kabupaten Deli Serdang, dan hal ini Notaris juga tidak
mungkin menolak kleinnya tersebut. Dengan demikian pengikatan jaminan untuk pembuatan Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dapat dibuat di Notaris Medan karena Surat Kuasa Membebankan
Hak Tanggungan tersebut (SKMHT) dibuat dengan menggunakan Akta Notaris, tetapi untuk pembuatan Akta
Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) sebagai dasar untuk dipasang Hak Tanggungan harus dibuat oleh
Notaris/PPAT yang berada di wilayah Kabupaten Deli Serdang. Biasanya solusi yang dilakukan oleh Notaris di
Kota Medan tersebut adalah setelah SKMHT tersebut telah ditandatangani maka Notaris di Kota Medan akan
menghubungi Notaris/PPAT di Kabupaten Deli Serdang untuk dibuatkan APHT nya lalu dipasang Hak
Tanggungannya ke Badan Pertanahan Nasional (BPN).

50
D. Akibat Hukum Dari Penerapan Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor
1 Tahun 2017
Adapun tolak ukur terhadap analisis penelitian penerapan Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan
Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 difokuskan pada dampak/akibat hukum bagi Notaris dalam membuat
akta apabila melebihi batas kewajaran yang ditetapkan oleh Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris
Indonesia Nomor 1 Tahun 2017, sebab dampak hukum tentu akan berdampak secara langsung bagi Notaris yang
bersangkutan dalam melaksanakan kegiatan membuat akta dan akibat hukum berdampak pada keberlangsungan
akta yang telah dibuat dan penegakan sanksi bagi Notaris yang melanggar Peraturan Dewan Kehormatan Pusat
Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017. Medan
Selain dari pembatasan jumlah akta perhari ini memberikan peluang bagi Notaris untuk saling berbagi
dengan Notaris-Notaris lain, karena bagaimanapun profesi Notaris apabila dipandang dari sisi Kode Etik Jabatan
Notaris dimana anggotanya yang saling menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dalam satu wadah organisasi
Ikatan Notaris Indonesia sehingga Notaris yang memiliki akta yang banyak tidak dianggap sebagai Notaris yang
di berikan status “rakus” atau dicap sebagai Notaris monopoli akta.
Dipandang dari sisi ketentuan undang-undang, sebuah ketentuan/ perundang-undangan dipandang
memiliki dampak ketika secara kausal terkait dengan perilaku seseorang, dan ketentuan hukum tersebut efektif,
apabila perilaku orang “bergerak” ke arah yang dikehendaki oleh pemuat hukum tadi, yaitu ketika orang
mentaatinya.
Demikian halnya pemberlakuan Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1
Tahun 2017 apabila peraturan dilaksanakan dan dapat berjalan dengan ditaatinya pemberlakuan tersebut oleh
seluruh Notaris maka dampaknya tentu berdampak positif. Oleh sebab itu antara Penerapan Peraturan Dewan
Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 dengan
Notaris sebagai subjek yang dimaksud oleh Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor
1 Tahun 2017 harus saling sinkronisasi.
Menganalisis sisi Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Pusat Nomor 1 Tahun
2017 dalam Pasal 2 ayat (1) dikatakan:
“Batas Kewajaran dalam pembuatan akta oleh Notaris sebagai anggota Perkumpulan adalah 20 (dua puluh)
akta perhari.” Kemudian dalam Pasal 2 ayat (2) dikatakan “apabila Notaris akan membuat akta melebihi 20
(dua puluh) akta perhari dalam satu rangkaian perbuatan hukum yang memerlukan akta yang saling berkaitan,
dan/atau akta-akta lainnya, sepanjang dapat dipertanggungjawababkan yang dilakukan sesuai dengan
Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN), tata cara pembuatan akta Notaris Kode Etik Notaris (KEN)
kepatutan, kepantasan serta peraturan perundang-undangan lainnya.”
Penjelasan pasal 2 ayat (1) dan (2) diatas dapat diartikan apabila Notaris yang bersangkutan membuat
akta melebihi jumlah 20 (dua puluh) akta sekalipun dalam 1 (satu) hari sepanjang akta itu saling berkaitan dan
Notaris dapat mempertanggungjawabkan serta dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Jabatan Notaris,
kepatutan dan kepantasan maka Notaris tidak perlu khawatir penerapan Peraturan Dewan Kehormatan Pusat
Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 akan berdampak merugikan Notaris yang bersangkutan.

51
Dihubungkan dengan kepatutan, maka perlu mencari pengertian kepatutan terlebih dahulu. Kepatutan
adalah merupakan kebajikan yang menggerakkan manusia untuk berbuat secara rasional dalam menggunakan
apa yang adil. 114Demikian pentingnya pengertian mengenai kepatutan akta para pihak yang dirumuskan oleh
Notaris untuk dijelaskan agar dapat diletakkan relasi antara kepatutan dan perbuatan Notaris dalam merumuskan
akta para pihak, sehingga dapat mengakomodasi keinginan para pihak sesuai dengan asas kepatutan sebagai
dasar perjanjian. Oleh karena pembentukan pengertian sangat penting dalam Undang-Undang Jabatan Notaris
yang dimaksud untuk mengatur perilaku masyarakat, maka harus dibuat jelas bagi mereka mengenai perilaku
apa yang diharapkan (dituntut) dari para pihak. 115
Berdasarkan rumusan tersebut Undang-Undang Jabatan Notaris belum memberikan pengertian dan
defenisi mengenai akta perjanjian para pihak yang dibuat atau dirumuskan oleh Notaris berdasarkan prinsip
kepatutan. Dengan kata lain kepatutan akta para pihak yang dirumuskan oleh Notaris belum secara jelas
dicantumkan dalam pasal-pasal Undang-Undang Jabatan Notaris. 116
Kepatutan yang dipersyaratkan oleh undang-undang untuk dijadikan sebagai pegangan oleh undang-
undang untuk dijadikan sebagai pegangan oleh Notaris belum memiliki parameter yang pasti. Hal ini perlu
dilihat dan dikaji secara komprehensif dan mendalam mengenai kepatutan sebagai asas maupun kepatutan
sebagai landasan normatif sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) jo Pasal 1339 KUH Perdata maupun
juga yurisprudensi sebagai bagian dari landasan historis yang menunjukkan betapa pentingnya kepatutan dalam
perbuatan hukum, baik oleh para pihak yang membuat perjanjian maupun Notaris selaku pihak yang membuat
perjanjian dalam suatu akta autentik.
Undang-Undang Jabatan Notaris dan KUH Perdata sebagaimana seperti yang telah diterangkan diatas
sudah tersirat mengenai arti kepatutan terutama bagi Notaris sendiri dalam menjalankan fungsi jabatannya
membuat akta autentik. Dalam hal ini sudah terdapat landasan hukum bagi Notaris untuk berbuat sehingga
kepatutan itu dapat di jalankan. Akan tetapi melihat sisi perjanjian para pihak yang memakai jasa Notaris yang
kemudian dituangkan dalam akta autentik masih perlu dikaji lebih lanjut.
Dimulai dari tahapan pembuatan akta harus dipertanyakan lebih jauh apakah akta yang hendak dibuat
tersebut sudah layak atau patut sebagaimana yang ditentukan oleh Undang-undang. Akta yang patut dapat
tercipta apabila Notaris selaku pihak yang mengkonstatasi merumuskan perjanjian dalam kapasitasnya sebagai
pejabat yang diberi wewenang untuk membuat maupun menjelaskan isi atau substansi dari perjanjian tersebut
melaksanakan kewenangan dengan sebaikbaiknya. Apabila dikaitkan dengan kewenangan Notaris secara formal,
salah satu bentuk kepatutan terletak pada bentuk pelayanan yang diberikan oleh Notaris terhadap para pihak
yang membuat perjanjian dihadapannya. Notaris diwajibkan membacakan akta yang telah dibuat dan
memberikan pengarahan dan penjelasan mengenai perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut. 117

114
Notohamidjojo dalam E Sumaryono, Etika profesi hukum: norma-norma bagi penegak hukum, (Yogyakarta: Kanisius,
1995), hlm. 132.
115
Ibid., hlm. 58.
116
Herry Susanto, Peranan Notaris Dalam Menciptakan Kepatutan Dalam Kontrak, (Yogyakarta:FH UII Press, 2010), hlm.
57.
176
Ibid., hlm. 63.
117
Ibid., hlm. 73.

52
Akta Notaris dibuat sesuai dengan kehendak para pihak yang berkepentingan guna memastikan atau
menjamin hak dan kewajiban para pihak, kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum para pihak. Akta pada
hakikatnya membuat kebenaran yang sesuai dengan apa yang diberitahukan oleh para pihak kepada pejabat
umum (Notaris). Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan dalam akta tentang yang sungguh-sungguh
telah dimengerti sesuai dengan kehendak para pihak dan membacakannya ke para pihak sehingga menjadi jelas
isi dari akta tersebut. Pernyataan atau keterangan para pihak tersebut oleh Notaris dituangkan dalam akta
Notaris. 118
Eksistensi terhadap pembuatan akta yang harus diakhiri dengan pembacaan akta
merupakan salah satu tolak ukur mengukur tingkat kepatutan dari akta yang dibuat oleh Notaris, sebab dengan
akta dibacakan tentunya dalam hal ini merupakan bentuk tindakan prefentif sebagai perlindungan hukum yang
selaras dengan apa yang dikatakan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris tentang pembacaan akta dan bentuk
sikap dari Notaris untuk mematuhi ketentuan formalitas pembuatan akta autentik itu sendiri. Sehingga maksud
dari pengertian autentik dari akta bukan hanya tertuju dari akta itu sendiri melainkan dari bentuk pembuatan
pelaksanaan dari awal hingga akhir penandatanganan.
Dengan demikian dapat diambil suatu kesimpulan terhadap akibat hukum menurut Peraturan Dewan
Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia nomor 1 Tahun 2017 yaitu sepanjang Notaris yang bersangkutan
dapat melaksanakan kewenangannya dalam pembuatan akta dengan membacakan akta yang telah dibuat dan
memberikan pengarahan yang jelas mengenai perjanjian tersebut meskipun jumlah akta yang dibuat melebihi
jumlah 20 (dua puluh) akta perhari maka tidak menjadi masalah.
Tetapi perlu digaris bawahi hal tersebut tentunya berpotensi melanggar nilai kepatutan sebagaimana dari
uraian data penelitian yang dikaji pada awal proposal penelitian telah diuraikan jika dari sisi pengerjaan akta
dihubungkan dengan waktu kerja efektif seorang Notaris adalah 8 (delapan) jam perharinya dan apabila
dikalkulasikan dengan waktu istirahat dan pembuatan sampai dengan pembacaan akta dalam 1 (satu) hari jumlah
20 (dua puluh) akta yang dibuat sudah sesuai dengan waktu yang dianggap patut bagi seorang Notaris
menjalankan kegiatannya membuat akta dari awal sampai dengan pembacaan akta. Sehingga akta yang dibuat
apabila melanggar ketentuan Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia nomor 1 Tahun 2017
maka akibat hukum dari akta tersebut jelas berakibat potensi akta yang dibuat tidak sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Jabatan Notaris.
Apabila membandingkan dengan pembuatan akta yang dalam 1 (satu) hari kerja mencapai 200 akta
perhari jelas hal ini berpotensi melanggar Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor
1 Tahun 2017 tetapi bagaimana halnya jika akta yang dibuat melebihi sebanyak 1 (satu) atau 2 ( dua ) akta
artinya dalam 1 (satu) hari terdapat kelebihan membuat akta ke-21 (dua puluh satu) atau akta ke- 22 (dua puluh
dua) apakah hal ini juga melanggar ketentuan Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia
Nomor 1 Tahun 2017.
Dihitung dengan kalkulasi waktu apabila rata- rata perhari seorang Notaris membuat 22 (dua puluh) akta
perharinya maka dalam 1 (satu) hari kerja dengan waktu efektif sama dengan 8 (delapan) jam bila dikalkulasikan

118
Habib Adjie, Hukum Notaris di Indonesia-Tafsiran Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris,
Op.Cit., hlm. 45.

53
dalam hitungan menit maka sama dengan 480 (empat ratus delapan puluh) menit sehingga apabila dibagi 22
(dua puluh dua) akta maka waktu pengerjaan masing-masing akta membutuhkan waktu lebih kurang 21 (dua
puluh satu) menit, tentunya dengan waktu pembuatan akta dan pembacaan 1 (satu) akta dengan waktu lebih
kurang 21 (dua puluh satu) masih dapat dimungkinkan. Selain itu bila memperhatikan faktor yang telah diuraikan
pada sub bab sebelumnya mengenai faktor wilayah, seorang Notaris bisa saja membuat akta dalam 1 (satu) hari
sebanyak 21 (dua puluh satu) atau 22 (dua puluh dua) akta, menyikapi hal ini tentu Notaris tidak dapat menolak
sepanjang akta yang dibuat tersebut saling berkaitan atau membuat jadwal ulang/menjadwalkan ulang
penandatangan akta yang ke-21 (dua puluh satu) atau ke-22 (dua puluh dua) tersebut. Tentu hal ini masih dapat
dimungkinkan, bandingkan dengan pembuatan akta yang mencapai 200 (dua ratus) akta perharinya dengan rata-
rata waktu yang diperlukan hanya 2 (dua) menit, tentunya potensi terjadi pelanggaran melanggar nilai kepatutan
pembuatan akta lebih besar.
Dipandang dari sanksi mengambil pengertian dari akibat hukum secara etimologis akibat hukum timbul
dari suatu hubungan hukum yang diberikan oleh hukum. Akibat hukum dapat berwujud sanksi, baik sanksi
pidana maupun sanksi privat. 119 Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun
2017 juga memilik sanksi akan tetapi tidak disebut secara langsung terhadap kata sanksi melainkan ditegaskan
terhadap pelanggaran yang ditimbulkan.
Dalam Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 disebutkan
apabila melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) diatas dapat dalam ayat (3) dikatakan “Anggota
Perkumpulan yang melanggar ketentuan ayat (1) dan ayat (2) pasal ini merupakan objek pemeriksaan Dewan
Kehormatan Notaris (Dewan Kehormatan Daerah (DKD), Dewan Kehormatan Wilayah (DKW), Dewan
Kehormatan Pusat (DKP) yang dilakukan secara berjenjang, dan dalam ayat (4) dikatakan “ Pembuatan akta
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) pasal ini berada dalam ruang lingkup prilaku Notaris
berdasarkan Kode Etik Notaris ( KEN ).
Penjelasan Pasal 2 ayat (3) diatas tidak memuat sanksi tersirat yang langsung mengarah pada sanksi
hukum seperti halnya sanksi dalam UndangUndang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris melainkan sanksi
tersebut tersirat dari bahasa “pelanggaran akan menjadi objek pemeriksaan”. Dalam Pasal 2 ayat (3) atau ayat
selanjutnya tidak ada diuraikan lebih jelas bagaimana seandainya terhadap objek pemeriksaan tersebut ternyata
terbukti melanggar, hal ini tentunya akan menimbulkan pertanyaan kembali yaitu sanksi yang bagaimana yang
akan diterima oleh Notaris yang bersangkutan apakah sanksi tersebut mengacu pada ketentuan kode etik atau
tidak.
Dalam hal ini aturan mengenai Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1
Tahun 2017 belum jelas merinci lebih jauh mengenai hal tersebut. Akan tetapi bila melihat pasal 2 ayat (4) bila
batas kewajaran pembuatan akta per hari dan aturan mengenai akta yang dibuat masih dalam ruang lingkup Kode
Etik Notaris Sehingga dapat disimpulkan apabila ranah sanksi yang akan diterapkan oleh Dewan Kehormatan
Notaris adalah sanksi dalam ruang lingkup Kode Etik Notaris.

119
Achmad Ali, Menguak Realitas Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 5.

54
Apabila merujuk pada sanksi Kode Etik Notaris yakni mengacu pada Perubahan Kode Etik Notaris
Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia
Banten, 29-30 Mei 2015, dalam Pasal 6 jelas diatur yakni :
1. Sanksi yang melanggar kode etik dapat dikenai sanksi:
1) Teguran;
2) Peringatan;
3) Pemberhentian sementara dari keanggotaan Perkumpulan; 4) Pemberhentian dengan hormat dari
keanggotaan Perkumpulan;
4) Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan.
2. Penjatuhan sanksi diatas tentunya disesuaikan dengan kantitas dan kualitas pelanggaran yang dilakukan oleh
anggota tersebut.
3. Dewan Kehormatan berwenang untuk memutuskan dan menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran yang
dilakukan oleh anggota biasa ( dari Notaris aktif) Perkumpulan, terhadap pelanggaran norma susila atau
perilaku yang merendahkan harkat dan martabat Notaris, atau perbuatan yang dapat mengurangi
kepercayaan masyarakat terhadap Notaris.
4. Pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh orang lain ( yang sedang dalam menjalankan jabatan Notaris),
dapat dijatuhkan sanksi teguran dan/atau peringatan.
5. Keputusan Dewan Kehormatan berupa teguran atau peringatan tidak dapat diajukan banding.
6. Keputusan Dewan Kehormatan Daerah/ Dewan Kehormatan Wilayah berupa pemberhentian sementara atau
pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan
dapat diajukan banding ke Dewan Kehormatan Pusat.
7. Keputusan Dewan Kehormatan Pusat tingkat pertama berupa pemberhentian sementara atau pemberhentian
dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan dapat diajukan
banding ke Kongres.
8. Dewan Kehormatan Pusat berwenang pula untuk memberikan rekomendasi disertai usulan pemecatan
sebagai Notaris kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Dari penerpaan sanksi diatas dapat dijelaskan sanksi yang diatur dalam kode etik dimulai dari teguran
sampai diberhentikan dengan tidak hormat dari anggota perkumpulan dan sanksi yang paling berat adalah sanksi
untuk mengusulakan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia untuk dilakukan
pemecatan terhadap Notaris yang bersangkutan. Artinya dari sisi penegakan sanksi Kode Etik Notaris sangat
tegas, akan tetapi kembali lagi penegakan sanksi tersebut tentunya memerlukan pengawasan yang didukung
dengan perangkat aturan hukum yang lebih rinci dan konkrit mengatur kewenangan dari Dewan Kehormatan
Notaris itu sendiri dalam pelaksanaannya dilapangan.
Kemudian akibat hukum terhadap akta yang dibuat pasca Notaris terbukti melanggar ketentuan Peraturan
Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 yang membuat akta 20 (dua puluh)
akta perharinya tidak dijelaskan bagaimana status akta tersebut. Akan tetapi bila melihat kesalahan yang telah
ditemukan oleh Dewan Kehormatan tentunya potensi pelanggaran terhadap pembuatan akta juga semakin besar.

55
Akta yang dibuat oleh Notaris yang bersangkutan merupakan akta yang sifatnya autentik artinya dibuat dan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris.
Pembuatan akta Notaris tentunya merupakan kewenangan Notaris yang bersangkutan bukan merupakan
kewenangan dari Dewan Kehormatan Notaris sebab sewaktu pembuatan akta Notaris yang dimulai dari awal
pembentukan akta sampai dengan pembacaan akta dan penandatangan akta dilakukan dengan keinginan,
persetujuan, dan kesepakatan dari penghadap untuk dibuatkan akta tersebut. Sehingga akta yang telah dibuat
tersebut tentu sudah memiliki kekuatan pembuktian yang sifatnya autentik artinya dari sisi tertulis sudah
memenuhi ketentuan Undang-undang Jabatan Notaris akan tetapi akan dapat berakibat hukum bila dikemudian
hari isi akta yang dibuat merugikan para pihak maka hal ini tentunya akan menjadi tanggungjawab pribadi dari
Notaris yang bersangkutan, dan sifat dari akta sebagaimana bila tidak ditaatinya prosedur seperti pembacaan
akta maka akta tersebut tentu kekuatan pembuktian akta yang tadinya sifatnya autentik dapat menjadi akta yang
sifatnya dibawah tangan sebagaimana yang dimaksud telah melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf i, yaitu
tidak membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan
ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris.

E. Urgensi Ketentuan Pembatasan Jumlah Pembuatan Akta Oleh Notaris


Notaris sebagai pejabat umum menjalankan suatu fungsi sosial yang sangat penting, yang
meliputi kehidupan masyarakat pada umumnya, yang mana masyarakat meminta nasehat-nasehat dari
Notaris mengenai isi dari akta-akta yang dibuat oleh Notaris. Notaris juga memberikan nasehat-nasehat
dan petunjuk-petunjuk sebagaimana dimaksud dari para pihak yang bersangkutan, dengan mengindahkan
peraturan-peraturan dalam perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat diwujudkan dengan
sebaik-baiknya dan sedapat mungkin menghindarkan terjadinya perselisihan- perselisihan.
Dalam menjalankan tugas dari jabatannya Notaris mempunyai tugas untuk membuat akta otentik
bagi masyarakat yang membutuhkan, akta otentik yang dibuat oleh Notaris adalah merupakan suatu
pembuktian yang sempurna yang melahirkan suatu kepastian hukum apabila sewaktu-waktu terjadi
perselisihan diantara para pihak yang membuat atau membutuhkan akta tersebut.
Oleh karena tugas dan jabatannya sebagai pejabat umum yang berwenang, untuk membuat akta
otentik, dan demi kepentingan masyarakat banyak maka untuk menghindari penyalahgunaan atau
penyimpangan tugas dan jabatannya maka diperlukan pengawasan atas segala pekerjaan yang dilakukan
oleh Notaris terutama dalam pembuatan akta agar tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Mekanisme pengawasan yang dilakukan terhadap pelaksanaan tugas dan jabatan Notaris adalah
bersifat preventif maupun represif. Pengawasan yang dilakukan secara preventif adalah pengawasan
yang dilakukan sebelum pelaksanaan, yang berarti pengawasan terhadap segala sesuatu yang masih
bersifat rencana sedangkan pengawasan yang dilakukan secara represif adalah pengawasan yang
dilakukan setelah pekerjaan atau kegiatan dilaksanakan. Dewan kehormataan merupakan salah satu alat
perlengkapan organisasi Ikatan Notaris Indonesia (INI) dan terdiri dari 3 (tiga) tingkat, yaitu tingkat
pusat, wilayah, dan daerah. Keberadaan lembaga Dewan kehormatan diatur dalam Anggaran Dasar INI.

56
Oleh karenanya, untuk melindungi Jabatan Notaris dan masyarakat yang menggunakan jasa
Notaris terkait kepastian hukum dari akta yang dibuat oleh Notaris, Dewan Kehormatan Pusat Ikatan
Notaris Indonesia mengeluarkan Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Nomor 1 Tahun 2017 Tentang
Batas Kewajaran Jumlah Pembuatan Akta Perhari. Dalam (selanjutnya ditulis PDKP INI 1/2017),
peraturan tersebut ditentukan oleh Dewan Kehormatan Pusat bahwa batas kewajaran dalam pembuatan
akta per hari adalah sebanyak 20 (dua puluh) akta. Kehadiran peraturan ini menimbulkan pro dan kontra
di kalangan khususnya di kalangan Notaris terkait kewenangan Dewan Kehormatan membatasi jumlah
akta yang boleh dibuat oleh Notaris tersebut.
Sebelum adanya pembatasan jumlah pembuatan akta per hari, banyak dijumpai adanya Notaris
yang membuat akta dengan jumlah di luar kewajaran. Pada saat rapat koordinasi Majelis Pengawas yang
dihadiri Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung dan Polri, timbul anggapan bahwa akta yang dibuat dalam
jumlah yang tidak wajar dianggap mempunyai/ada indikasi kuat merupakan pelanggaran jabatan dan
dapat pula menjadi indikasi adanya pelanggaran pidana.
Sebagaimana layaknya seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan, maka
Notaris juga adalah manusia sehingga Notaris juga bisa saja berbuat kesalahan dalam menjalankan tugas
dan jabatannya sebagai seorang pejabat umum.
Maka maksud dan tujuan pembatasan pembuatan akta bagi Notaris sebanyak 20 (dua puluh) akta
perhari sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 PDKP INI 1/2017 adalah untuk melindungi masyarakat
pengguna jasa Notaris dan Notaris itu sendiri. Hampir semua penegak hukum berpendapat bahwa dalam
pembuatan akta yang melebihi jumlah wajar terindikasi terjadi suatu pelanggaran terhadap UUJN di
dalamnya. Pelanggaran yang dimaksud adalah berkaitan dengan aspek formal suatu akta otentik. Pada
Pasal 1868 BW telah disebutkan bahwa salah satu syarat akta otentik adalah dibuat dalam bentuk yang
telah ditentukan oleh Undang-Undang. terbatas pada bentuk secara fisik tetapi meliputi juga tata cara
pembuatannya. Untuk sempurnanya suatu akta otentik, maka akta tersebut harus dibacakan dan
ditandatangani oleh para penghadap, 2 (dua) orang saksi dan Notaris. 120
Mengenai pembacaan akta tersebut menjadi kewajiban bagi Notaris dan juga menjadi aspek
formal dalam akta otentik. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN yang
jabatannya, Notaris wajib : ... m. membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling
sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah
tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris ini memang diberikan
sedikit alternatif yaitu dalam Pasal 16 ayat (7) UUJN yang menyatakan: “Pembacaan Akta sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf m tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar Akta tidak
dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan
ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup Akta serta pada setiap halaman Minuta Akta
diparaf oleh penghadap, saksi dan Notaris.

120
Habib Adjie,Penafsiran Tematik Hukum Notaris Indonesia: Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, 2015, hlm. 17-19.

57
Namun hal tersebut dibatasi melalui ketentuan dalam Pasal 16 ayat (8) UUJN yang menyatakan:
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikecualikan terhadap pembacaan kepala Akta,
komparasi, penjelasan pokok Akta secara singkat dan jelas, serta penutup Akta” sehingga meskipun
penghadap menghendaki untuk membaca sendiri aktanya, tetap menjadi kewajiban Notaris untuk
membacakan kepala akta dan komparisi, menjelaskan secara singkat isi akta serta membacakan bagian
penutup akta. Ketentuan lain mengenai pembacaan akta disebutkan pula pada Akhir atau penutup akta
memuat: a. Uraian tentang pembacaan akta…” Terakhir ketentuan pembacaan akta disebutkan dalam
Pasal 44 ayat (1) UUJN yang menyatakan dibacakan, Akta tersebut ditandatangani..” Ketentuan tersebut
menegaskan bahwa pembacaan akta merupakan hal yang wajib dilakukan dalam pembuatan akta otentik
dan apabila tidak dilaksanakan maka akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta
di bawah tangan saja sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 16 ayat (9) Jo. Pasal 41 Jo. Pasal 44 ayat
(5) UUJN.
Uraian tentang kedudukan pembacaan akta tersebut diatas menunjukkan betapa pentingnya
pembacaan akta dalam pembuatan akta oleh Notaris karena berkaitan dengan otensitas suatu akta. Hal
inilah yang mendasari lahirnya PDKP INI 1/2017.
Suatu akta yang dibuat melebihi jumlah wajar terindikasi mengesampingkan aspek formal tentang
pembacaan akta. Pelanggaran yang sering terjadi adalah bahwa akta tersebut tidak dibacakan sehingga
hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Akta yang hanya mempunyai
kekuatan pembuktian di bawah tangan tersebut tidak akan terlalu menjadi masalah jika yang termuat
dalam akta hanya sebatas perjanjian yang disepakati oleh para pihak dan para pihak mengakui kebenaran
semua perbuatan yang dilakukan dalam akta. Namun hal ini akan menjadi masalah jika akta yang dibuat
merupakan syarat lahirnya suatu hubungan hukum yang telah ditentukan oleh Undang-Undang misalnya
dalam suatu pendirian Perseroan Terbatas yang disyaratkan dibuat dengan akta otentik. Terdegradasi
kedudukan akta menjadi akta dibawah tangan karena tidak dibacakan membuat akta pendirian PT
tersebut menjadi tidak sah sebab aktanya hanya akta dibawah tangan dan bukan akta otentik. Atas dasar
itulah Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia mengeluarkan PDKP INI 1/2017 sebagai solusi
untuk mengendalikan perilaku Notaris dalam menjalankan tugas jabatan sehingga mampu memberikan
kepastian hukum dalam produk yang dibuatnya.

58
BAB IV
PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PENGURUS DEWAN
KEHORMATAN NOTARIS BERKAITAN DENGAN PERATURAN
DEWAN KEHORMATAN PUSAT IKATAN NOTARIS INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2017

A. Pengawasan Dewan Kehormatan Notaris Berkaitan Dengan Sanksi Terhadap


Pelanggaran Pembuatan Akta Perhari
Secara etimologis pengertian pengawasan menurut beberapa pendapat para ahli antara lain menurut
Lyndal F. Urwick, pengawasan adalah upaya agar sesuatu dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang telah
ditetapkan dan instruksi yang telah dikeluarkan. Menurut Sondang Siagian, pengawasan adalah proses
pengamatan pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang dilaksanakan
sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. 121
Salah satu jenis pengawasan menurut Fachruddin pengawasan adalah pengawasan dipandang dari
“kelembagaan” yang dikontrol dan yang melaksanakan kontrol dapat diklasifikasikan : 122
a. kontrol intern (internal control)
Pengawasan yang dilakukan oleh suatu badan/organ yang secara struktural masih termasuk organisasi
dalam lingkungan pemerintah. Misalnya: pengawasan yang dilakukan oleh pejabat atasan terhadap
bawahannya secara hierarkhis. Bentuk kontrol semacam itu dapat digolongkan teknis-
administratif.
b. kontrol ekstern
Pengawasan yang dilakukan oleh badan atau organ yang secara struktur organisasi berada diluar pemerintah
dalam arti eksekutif. Misalnya kontrol yang dilakukan secara langsung, seperti kontrol keuangan yang
dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat dan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) termasuk media massa dan kelompok masyarakat yang berminat pada bidang
tertentu, kontrol politis yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terhadap pemerintah (eksekutif). Kontrol reaktif yang
dilakukan secara tidak langsung melalui badan peradilan (judicia control) ataupun badan lain yang dibentuk
melakukan fungsi pengawasan seperti Komisi Yudisial.

1. Struktur Pengawasan Dewan Kehormatan menurut Kode Etik Notaris


Menghubungkan pengawasan diatas maka dalam ruang lingkup kode etik Notaris, pengawasan terhadap
Notaris merupakan pengawasan yang bersifat internal. Pengawasan internal khususnya berkaitan dengan
Dewan Kehormatan Notaris diatur dalam kode etik Notaris dan struktur dalam Dewan Kehormatan Notaris
diatur dalam anggaran dasar sebagaimana telah diuraikan pada sub bab tentang Perubahan Anggaran Rumah

121
Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara,( Jakarta: Grasindo, 2009), hlm. 131.
122
Ibid., hlm. 133-134.

59
Tangga Ikatan Notaris Indonesia Hasil Rapat Pleno Pengurus Pusat Yang Diperluas Di Balikpapan 12
Januari 2017 Berkaitan Struktur Dewan Kehormatan Notaris.
Pengertian Dewan Kehormatan dalam Kode Etik Notaris adalah alat perlengkapan Perkumpulan
yang dibentuk dan berfungsi menegakkan Kode Etik, harkat dan martabat Notaris, yang bersifat mandiri
dan bebas dari keberpihakan, dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dalam Perkumpulan. 123
Posisi Dewan Kehormatan sangat strategis karena dipundaknya tersemat amanat untuk memastikan
para Notaris memahami dan melaksanakan kode etik secara konsisten baik dan benar. Dewan kehormatan
juga ikut memberikan kontribusi kepada eksistensi kehorrmatan dan keluhuran profesi jabatan Notaris di
tengah masyarakat. Apabila Dewan Kehormatan tidak bisa menegakkan kode etik sesuai dengan perintah
yang diamanatkan organisasi maka kredibilitasnya sebagai institusi penegak kode etik akan diremehkan oleh
pihak luar. Misalnya dalam kasus tertentu, integritas dan ketegasan Dewan Kehormatan bisa turut serta
membentengi profesi Notaris dari campur tangan pihak luar.188
Hal ini karena secara logis apabila para Notaris telah konsisten melaksanakan kode etik maka kecil
kemungkinan para Notaris akan tersangkut kasus-kasus yang merugikan masyarakat. Dengan demikian jika
peran Dewan Kehormatan telah mencapai taraf ideal maka dengan sendirinya kualitas Notaris secara umum
akan meningkat.189
Adapun proses pengangkatan Dewan Kehormatan Pusat terdiri dari 7 (tujuh) orang anggota biasa
yaitu sekurang-kurangnya 4 (empat) anggota biasa dari Notaris aktif dan sebanyak-banyaknya 3 (tiga)
anggota biasa dari Werda Notaris dan jika tidak terpenuhi 4 (empat) orang dari Notaris aktif, maka diambil
berdasarkan suara terbanyak berikutnya. 124
Kemudian dalam pemilihan anggota Dewan Kehormatan Pusat dipilih oleh Kongres dari calon-calon
yang telah dipilih dalam Rapat Pleno Pengurs Pusat yang diperluas atau pra kongres dimana susunan Dewan
Kehormatan Pusat terdiri dari sekurang-kurangnya seorang Ketua, seorang Wakil Ketua, seorang Seketaris
yang dipilih dari dan oleh anggota Dewan Kehormatan Pusat merupakan kepemimpinan bersama. Dalam
hal pertanggungjawabannya Dewan Kehormatan Pusat bertanggungjawab dan memberikan laporan kepada
Kongres atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya. Sebelum menjalankan tugasnya Dewan Kehormatan
Pusat akan dilantik oleh Presidium Kongres. 125
Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, Dewan Kehormatan Pusat dapat mengadakan
pertemuan dengan Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah, Pengurus Daerah dan
Dewan Kehormatan Daerah, dimana Rapat Dewan Kehormatan Pusat sah apabila dihadiri oleh lebih dari ½
(satu per dua bagian dari seluruh jumlah anggota. Setiap anggota Dewan Kehormatan memiliki hak untuk
mengeluarkan satu suara dan setiap 6 (enam) bulan sekali atau setiap kali dipandang pelu oleh Pengurus

123
Pasal 1 angka (8) tentang pengertian Dewan Kehormatan Notaris dalam Perubahan Kode Etik Notaris
Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia di Banten, 29-30 Mei 2015. 188 Pengurus Pusat Ikatan
Notaris Indonesia., Op.Cit., hlm. 200. 189 Ibid.
124
Pasal 57 tentang tata cara pemilihan dan pengangkatan Dewan Kehormatan Pusat dalam Perubahan
Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris Indonesia Hasil Rapat Pleno Pengurus Pusat Yang Diperluas
Di BalikPapan, 12 Januri 2017.
125
Ibid.

60
Pusat dan Dewan Kehormatan Pusat atau atas permintaan 2 (dua) Pengurus Wilayah dan Dewan
Kehormatan Wilayah atau atas permintaan 5 (lima) Pengurus Daerah berikut Dewan Kehormatan Daerah. 126
Adapun Pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik Notaris dilakukan oleh: 127
1. Pada tingkat Kabupaten/Kota oleh Pengurus Daerah dan Dewan Kehormatan Daerah;
2. Pada tingkat Propinsi oleh Pengurus Wilayah dan Dewan Kehormatan
Wilayah;
3. Pada tingkat Nasional oleh Pengurus Pusat dan Dewan Kehormatan Pusat.
Ikatan Notaris Indonesia membangun sistem berjenjang dalam organisasi Dewan Kehormatan. Dewan
Kehormatan dibangun di tingkat kabupaten/kota, propinsi dan pusat. Dewan Kehormatan Daerah bertugas untuk
melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota dalam menjunjung kode etik; memeriksa
dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran kode etik dan/atau disiplin organisasi yang bersifat internal
atau tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan masyarakat secara langsung pada tingkat pertama. 128
Dewan Kehormatan Wilayah dapat melakukan tugas Dewan Kehormatan Daerah jika di daerah tersebut
jumlah Notaris masih relatif kurang. Demikian juga dalam kondisi daerah tidak memungkinkan dibentuk Dewan
Kehormatan Daerah karena berbagai pertimbangan berkaitan dengan sumber daya manusia, sistem maupun
infrastruktur yang tidak mendukung. 129
Pada tingkat pusat, Ikatan Notaris Indonesia membentuk Dewan Kehormatan Pusat yang bertugas untuk
melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota dalam menjunjung tinggi kode etik,
memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan kode etik dan atau disiplin organisasi
yang bersifat internal atau yang tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan masyarakat secara langsung pada
tingkat banding dan dalam keadaan tertentu pada tingkat akhir yang bersifat final, serta memberikan saran dan
pendapat kepada Majelis Pengawas atas dugaan pelanggaran kode etik dan jabatan Notaris. 130

2. Proses pemeriksaan oleh Dewan Kehormatan terhadap dugaan pelanggaran menurut Kode Etik
Notaris
Secara garis besar proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan Notaris terhadap
pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris merupakan laporan dari masyarakat, adapun sanksi yang selama ini
diberikan masih sebatas teguran. Adapun proses pemeriksaan terkait dugaaan pelanggaran yang dilakukan oleh
Notaris adalah:
a. Adanya laporan terkait dugaan pelanggaran yang dilapor oleh masyarakat.
b. Kemudian dilakukanlah rapat antara anggota Dewan Kehormatan Notaris untuk membahas dugaan
pelanggaran tersebut.
c. Pemanggilan Para pihak dan Notaris yang bersangkutan

126
Ibid.
127
Pasal 7 tentang Tata Cara Penegakan Kode Etik dalam hal Pengawasan dalam Perubahan Kode Etik
Notaris Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia Banten, 29-30 Mei 2015
128
Ibid.
129
Ibid., hlm. 202.
130
Ibid.
...................................................................................................................................

61
d. Seluruh anggota Dewan Kehormatan Notaris akan mengambil sikap dan segera membuat berita acara dalam
waktu lebih kurang 2 ( minggu )
e. Kemudian Dewan Kehormatan Pusat atau Wilayah akan menentukan sikap terhadap dugaan pelanggaran
tersebut kepada Notaris yang bersangkutan dimana ia berkedudukan.
Dalam prosesnya pemeriksaan dan penjatuhan sanksi Dewan Kehormatan Daerah/ Dewan Kehormatan
Wilayah/Dewan Kehormatan Pusat dapat mencari fakta atas dugaan Pelanggaran Kode Etik oleh anggota
Perkumpulan atas prakarsa sendiri atau setelah menerima pengaduan secara tertulis dari anggota Perkumpulan
atau orang lain disertai dengan bukti-bukti yang meyakinkan bahwa telah terjadi dugaan Pelanggaran Kode Etik
oleh anggota Perkumpulan.
Kemudian Dewan Kehormatan Daerah/Dewan Kehormatan Wilayah/ Dewan Kehormatan Pusat setelah
menemukan fakta dugaan Pelanggaran Kode Etik selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja
Dewan Kehormatan yang memeriksa wajib memanggil secara tertulis anggota yang bersangkutan untuk
memastikan terjadinya Pelanggaran Kode Etik oleh anggota perkumpulan dan memberi kesempatan kepada
yang bersangkutan untuk memberikan penjelasan dan pembelaan.
Dalam hal anggota yang dipanggil tidak hadir pada pemanggilan kedua, maka Dewan Kehormatan yang
memeriksa akan memanggil kembali untuk ketiga kali selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari
kerja setelah pemanggilan kedua. Apabila setelah pemanggilan ketiga ternyata masih juga tidak hadir, maka
Dewan Kehormatan yang memeriksa tetap bersidang dan menentukan keputusan dan/atau penjatuhan sanksi.131
Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut kemudian dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani
oleh anggota yang bersangkutan dan Dewan Kehormatan yang memeriksa. Dalam hal anggota yang
bersangkutan tidak bersedia menandatangani berita acara pemeriksaan, maka berita acara pemeriksaan cukup
ditandatangani oleh Dewan Kehormatan yang memeriksa.
Dewan Kehormatan yang memeriksa, selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tigapuluh) hari kerja
setelah tanggal sidang terakhir, diwajibkan untuk mengambil keputusan atas hasil pemeriksaan tersebut
sekaligus menentukan sanksi terhadap pelanggaran apabila terbukti ada pelanggaran, apabila anggota yang
bersangkutan tidak terbukti melakukan pelanggaran, maka anggota tersebut dipulihkan namanya dengan Surat
Keputusan Dewan Kehormatan yang memeriksanya. Dalam pemeriksaan Dewan Kehormatan wajib mengirim
Surat Keputusan kepada anggota yang diperiksa dengan surat tercatat dan tembusannya kepada Pengurus Pusat,
Dewan Kehormatan Pusat, Pengurus Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah, Pengurus Daerah dan Dewan
Kehormatan Daerah. 132

3. Analisis penerapan sanksi bagi Notaris bila terbukti bersalah melanggar ketentuan Peraturan Dewan
Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017
Seperti yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya mengenai sanksi dalam Kode Etik Notaris terkait
dengan adapun terhadap sanksi yang dapat diberikan oleh Dewan Kehormatan menurut Kode Etik Notaris
adalah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 yakni:

131
Ibid.
132
Ibid.

62
a. Sanksi yang melanggar kode etik dapat dikenai sanksi:
1) Teguran;
2) Peringatan;
3) Pemberhentian sementara dari keanggotaan Perkumpulan; 4) Pemberhentian dengan hormat dari
keanggotaan Perkumpulan;
5) Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan.
b. Penjatuhan sanksi diatas tentunya disesuaikan dengan kantitas dan kualitas pelanggaran yang dilakukan
oleh anggota tersebut.
c. Dewan Kehormatan berwenang untuk memutuskan dan menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran yang
dilakukan oleh anggota biasa ( dari Notaris aktif) Perkumpulan, terhadap pelanggaran norma susila atau
perilaku yang merendahkan harkat dan martabat Notaris, atau perbuatan yang dapat mengurangi
kepercayaan masyarakat terhadap Notaris.
d. Pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh orang lain ( yang sedang dalam menjalankan jabatan Notaris),
dapat dijatuhkan sanksi teguran dan/atau peringatan.
e. Keputusan Dewan Kehormatan berupa teguran atau peringatan tidak dapat diajukan banding.
f. Keputusan Dewan Kehormatan Daerah/ Dewan Kehormatan Wilayah berupa pemberhentian sementara
atau pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan
Perkumpulan dapat diajukan banding ke Dewan Kehormatan Pusat.
g. Keputusan Dewan Kehormatan Pusat tingkat pertama berupa pemberhentian sementara atau pemberhentian
dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan dapat diajukan
banding ke Kongres.
h. Dewan Kehormatan Pusat berwenang pula untuk memberikan rekomendasi disertai usulan pemecatan
sebagai Notaris kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Mencermati dari sisi pengawasan pemberian sanksi terhadap penegakan peraturan Dewan Kehormatan
Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 yang dilakukan oleh Notaris sebenarnya apabila mengacu
pada angka 8 jelas sangat tegas sebab sanksi yang diberikan merupakan sanksi yang dapat memberhentikan
Notaris dengan usulan pemecatan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia akan
tetapi dalam proses pengawasan penegakan sanksi tersebut tentu harus didahului dengan pemeriksaan kemudian
dari pemeriksaan itu barulah dapat ditemukan adanya pelanggaran atau tidak sehingga sanksi tersebut dapat
diterapkan. Dalam hal ini perlu diperbandingkan aturan pemeriksaan terkait dengan kewenangan dari Majelis
Pengawas dimana pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas ruang lingkup dari Majelis Pengawas
daerah lebih luas mencakup ruang lingkup Undang-Undang Jabatan Notaris dan penegakan kode etik Notaris
sebagaimana yang juga dimiliki oleh Dewan Kehormatan Notaris.
Demikian juga dengan struktur organ dari Majelis Pengawas lebih lengkap susunannya, dalam Pasal 67
ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris menentukan bahwa yang melakukan pengawasan terhadap Notaris
dilakukan oleh Menteri. Dalam melaksanakan pengawasan tersebut Menteri membentuk Majelis Pengawas

63
(Pasal 67 ayat (2) UUJN). Pasal 67 ayat (3) Undang-Undang Jabatan Notarismenentukan Pengawasan tersebut
terdiri dari 9 (sembilan) orang, terdiri dari unsur : 133
a. Pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang;
b. Organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang; dan
c. ahli/akademik sebanyak 3 (tiga) orang.
Dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri ditentukan pengusulan
Anggota Majelis Pengawas. Pasal 3 ayat (1) menentukan pengusulan Anggota Majelis Pengawas Daerah (MPD)
dengan ketentuan: 134
a. Unsur pemerintah oleh Kepala Devisi Pelayanan Hukum Kantor Wilayah;
b. Unsur organisasi Notaris oleh Pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia;
c. Unsur ahli/akademisi oleh pemimpin fakultas hukum atau perguruan tinggi setempat.
Selain itu juga dari sisi perangkat kebijakan dalam pemeriksaan Notaris juga lebih jelas diatur dalam
kewenangan Majelis Pengawas Daerah sebagaimana yang diatur didalam Pasal 70 Undang-Undang Jabatan
Notaris berkaitan dengan :
1. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau
pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris;
2. Melakukan pemeriksaan terhadap Protokol Notaris secara berkala 1 ( satu ) kali dalam 1 (satu) tahun atau
setiap waktu yang dianggap perlu;
3. Memberikan izin cuti untuk waktu sampai dengan 6 (enam) bulan;
4. Menetapakan Notaris Pengganti dengan memperlihatkan usul Notaris yang bersangkutan;
5. Menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah terima Protokol Notaris terlah
berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih;
6. Menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang sementara Protokol Notaris yang diangkat
sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) ;
7. Menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau
pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini;
8. Membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf
e dan g kepada Majelis Pengawas Wilayah.
Selain dari kewenangan diatas Majelis Pengawas Notaris juga dapat menjatuhkan sanksi seperti sanksi
yang diberikan oleh Dewan Kehormatan kepada Notaris, yang membedakan penjatuhan sanksi dalam hal ini
sanksi Majelis Pengawas Notaris diatur didalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Dalam Keputusan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M. 39-PW.07.10 Tahun 2004 juga ada diatur
mengenai sanksi yakni: 135
1. Mengenai wewenang Majelis Pengawas Wilayah untuk menjatuhkan sanksi, dalam Pasal 73 ayat (1) huruf
e Undang-Undang Jabatan Notaris, bahwa Majelis Pengawas Wilayah berwenang menjatuhkan sanksi

133
Habib Adjie, Majelis Pengawas Notaris Sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, Op.Cit., hlm. 4.
134
Ibid.
135
Ibid., hlm. 22-23.

64
berupa teguran lisan dan teguran secara tertulis, tapi dalam Keputusan Menteri angka 2 butir 1 menentukan
Majelis Pengawas Wilayah juga berwenang untuk menjatuhkan sanksi sebagaimana yang tersebut dalam
Pasal 85 UndangUndang Jabatan Notaris.
2. Mengenai wewenang Majelis Pengawas Pusat, yaitu mengenai penjatuhan sanksi dalam pasal 84 Undang-
Undang Jabatan Notaris. Dalam angkat 3 butir 1 Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor M. 39-PW.07.10. Tahun 2004 bahwa Majelis Pengawas Pusat mempunyai
wewenang untuk melaksanakan sanksi yang tersebut dalam Pasal 84 Undang-Undang Jabatan Notaris.
Pada dasarnya tidak semua Majelis Pengawas mempunyai wewenang untuk menjatuhkan sanksi, yaitu : 136
1. Majelis Pengawas Daerah tidak mempunyai wewenang untuk menjatuhkan sanski apapun. Meskipun
Majelis Pengawas Daerah mempunyai kewenangan untuk menerima laporan dari masyarakat dan dari
Notaris lainnya dan menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik
Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris; tapi tidak diberi kewenangan untuk menjatuhkan
sanksi apapun, tapi Majelis Pengawas Daerah hanya berwenang untuk melaporkan hasil sidang dan
pemeriksaannya kepada Majelis Pengawas Wilayah dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan,
Notaris yang bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat dan
Organisasi Notaris.
2. Majelis Pengawas Wilayah dapat menjatuhkan sanksi teguran lisan atau tertulis. Majelis Pengawas Wilayah
hanya dapat menjatuhkan sanksi berupa sanksi berupa teguran lisan atau tertulis dan sanksi seperti ini
bersifat final, dan mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa
pemberhentian sementara dari jabatan Notaris selama 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan, atau
pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatan Notaris.
3. Majelis Pengawas Pusat dapat menjatuhkan sanksi terbatas. Pasal 77 huruf c Undang-Undang Jabatan
Notaris menentukan bahwa Majelis Pengawas Pusat berwenang menjatuhkan sanksi pemberhentian
sementara. Sanksi seperti ini merupakan masa menunggu dalam jangka waktu tertentu sebelum dijatuhkan
sanksi yang lain seperti pemberhentian tidak hormat dari jabatan Notaris atau pemberhentian dengan
hormat dari jabatan Notaris.
Dengan demikian pengaturan sanksi yang terdapat dalam Pasal 85 Undang-Undang Jabatan Notaris,
sanksi berupa teguran lisan dan teguran tertulis hanya dapat dijatuhkan oleh Majelis Pengawas Wilayah. Sanksi
berupa pemberhentian sementara dari jabatan Notaris hanya dapat dilakukan oleh Majelis Pengawas Pusat, dan
sanksi berupa pemberhentian tidak hormat dari jabatan Notaris dan pemberhentian dengan hormat dari jabatan
Notaris hanya dapat dilakukan oleh Menteri atas usul dari Majelis Pengawas Pusat. 137
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan yaitu perbandingan sanksi oleh Majelis Pengawas dengan
sanksi Dewan Kehormatan Notaris terdapat perbedaan.
Perbedaan paling utama adalah terletak pada aturan pelaksanaannya dimana Majelis Pengawas Notaris dalam
menerapkan sanksi berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris selain itu Majelis Pengawas Notaris juga
memiliki ruang lingkup pemeriksaan dalam kode etik dan memiliki aturan yang lebih konkrit terkait dalam

136
hal. 23-24.
137
hlm. 24-25.

65
pemeriksaan berkas atau dokumen akta yang dibuat oleh Notaris sebab Notaris setiap bulannya diwajibkan
untuk mengirim laporan bulanan terkait dengan ada dan tidaknya akta yang dibuat setiap bulannya, sedangkan
Dewan Kehormatan Notaris menerapkan sanksi hanya berdasarkan Kode Etik Notaris, meskipun berdasarkan
Peraturan Kode Etik Notaris tegas dikatakan Notaris dapat menetapkan sanksi dengan mengusulkan langsung
ke Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk diberhentikan apabila melanggar ketentuan Kode Etik Notaris
salah satunya terkait dengan pelanggaran Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor
1 Tahun 2017
Oleh sebab itu dalam meningkatkan efektifitas pengawasan didalam praktik penegakan hukumnya
dibutuhkan perpaduan keanggotaan Majelis Pengawas dari unsur Notaris yang nantinya diharapkan dapat
memberikan sinergi pengawasan dan pemeriksaan yang objektif, sehingga setiap pengawasan dilakukan
berdasarkan aturan hukum yang berlaku, dan para Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tidak
menyimpang dari Undang-Undang Jabatan Notaris karena diawasi secara internal dan ekstenal.
Dengan adanya Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017
sebab selama ini juga banyak laporan masuk terutama dari masyarakat yang merasa dirugikan oleh Notaris,
terlebih lagi aturan pembatasan jumlah akta perhari merupakan bagian dari teknis pembuatan akta yang
berpedoman pada Undang-Undang Jabatan Notaris sehingga dengan adanya Peraturan Dewan Kehormatan
Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 para Notaris wajib mengikut aturan pembuatan suatu akta
autentik sesuai dengan Undang-Undang Jabatan Notaris juga dan dengan adanya Peraturan Dewan Kehormatan
Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 setidaknya memberikan suatu batasan yang berguna bagi
Notaris itu sendiri terutama dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dengan mengutamakan sikap kehati-
hatian dan cermat dalam melayani masyarakat bukan hanya karena mengejar materi saja. Kedepannya
diharapkan antara Majelis Pengawas dan Dewan Kehormatan dalam penegakan sanksi ini dapat saling
membantu mengawasi dan membina guna menegakkan Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris
Indonesia Nomor 1 Tahun 2017.

B. Pembinaan oleh Dewan Kehormatan Notaris berkaitan dengan Peraturan Dewan Kehormatan Pusat
Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017
Struktur dari Dewan Kehormatan Notaris seperti yang telah diuraikan sebelumnya terdapat pembagian
Dewan Kehormatan, mulai dari tingkat daerah, provinsi, dan pusat. Dewan Kehormatan Daerah adalah unsur
pelaksana penting dalam berinteraksi langsung dengan Notaris. Dewan Kehormatan Daerah mempunyai posisi
strategis dalam membawa sebuah kasus pelanggaran Notaris ke ranah internal terlebih dahulu sebelum diekspos
ke wilayah eksternal melalui Majelis Pengawas. 138
Disinilah tugas Dewan Kehormatan Daerah yang harus mengemban fungsi check and balance pertama
sekali terhadap sebuah kasus dugaan pelanggaran kode etik. Untuk mencapai tingkat tersebut Dewan
Kehormatan Daerah harus semakin proaktif dan sensitif dalam melihat permasalahan Notaris di daerahnya, tidak
reaktif menuggu laporan semata. Disinilah fungsi Dewan Kehormatan untuk melakukan khususnya pembinaan

138
Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia., Op.Cit., hlm. 201.

66
dan bimbingan dan pembenahan anggota dalam menjunjung tinggi kode etik Notaris untuk menegakkan
keluhuran martabat Notaris. 139
Adapun wujud pembinaan Notaris sudah digalakkan dalam hal:
1. Menyelenggarakan Ujian Kode Etik dan Uji Kompetensi yang menyertakan Dewan Kehormatan
Pusat. 140Sebagai contoh Ujian Kode Etik Notaris yang telah berlangsung sebelumnya yang diadakan pada
tahun 2017 yang dibagi dalam 2 gelombang, dimana gelombang 1 (pertama) Ujian Kode Etik telah
berlangsung pada 20 – 21 Maret 2017 lalu di Balai Sudirman, Jakarta Selatan yang dibuka oleh Menteri
Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, pada hari pertama Ujian Kode Etik adalah sesi pembekalan bagi
perserta yang langsung diberikan jajaran Dewan Kehormatan dan Pengurus Pusat Ikatan Notaris
Indonesia. 141
2. Pengadaan atau pelaksanaan seminar-seminar yang melibatkan Dewan Kehormatan Notaris yang dilakukan
baik dalam ruang lingkup calon Notaris yang masih menempuh pendidikan Notaris maupun bagi calon
Notaris yang sudah selesai menempuh pendidikan Notaris dan hendak mengajukan permohonan
pengangkatan Notaris. Sebagaimana untuk memenuhi ketentuan Peraturan Menteri Hukum dan HAM
Nomor 62 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor
25 Tahun 2014 Tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Perpindahan, Pemberhentian dan
Perpanjangan Masa Jabtan Notaris yang diperketat bekerja sama dengan Dirjen AHU Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan dikut sertakan juga Dewan Kehormatan Pusat Ikatan
Notaris Indonesia, Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia dan Akademisi.
Selain hal tersebut diatas wujud pembinaan terhadap Notaris khususnya terhadap penerapan peraturan
Dewan Kehormatan Notaris Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 yang pernah dilakukan adalah
seminar yang diselenggarakan oleh Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia pada tanggal 26 Pebruari
2017 di hotel Win Grand yang melibatkan Nara sumber Kementerian Hukum dan HAM, Dewan Kehormatan
Pusat serta Perbankan. 142
Diharapkan agar terwujudnya pembinaan dalam rangka penegakan peraturan Dewan Kehormatan Pusat
Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 akan diadakan seminar-seminar berikutnya yang membahas
tentang pentingnya pembatasan jumlah akta setiap harinya. Pembinaan melalui seminarseminar yang diadakan
sejak dini tentunya kedepan akan melahirkan calon-calon Notaris baru yang profesional dalam melayani
kebutuhan masyarakat.
Selain pembinaan melalui sosialisasi seminar-seminar yang diadakan, Dewan Kehormatan Notaris juga
dalam hal ini dapat juga melakukan pendekatan persuasif bagi para Notaris, hal ini tidak terikat pada Notaris

139
Ibid.
140
Perubahan Anggaran Dasar Rumah Tangga Ikatan Notaris Indonesia Hasil Rapat Pleno Pengurus Pusat Yang Diperluas
Di Balikpapan, 12 Januari 2017 dalam Pasal 39, huruf i tentang penyelenggaraan Ujian Kode Etik dan Uji Kompetensi yang
menyertakan Dewan Kehormatan
141
INI Gelar Ujian Kode Etik Notaris pada tanggal 20-21 Maret 2017 diakses dari Website resmi Ikatan Notaris Indonesia
https://www.ini.id/apps/pendaftaran-uken/ pada tanggal 12 April 2018
142
Salah satu berita tentang seminar yang diadakan oleh Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia dengan tema
Relevansi aturan pembatasan jumlah akta dalam rangka menjaga keluhuran martabat Jabatan Notaris diakses dari media
Elektronik https://www.facebook.com/events/646141038910566/ berita pada tanggal 24 Mei 2017, yang diakses pada tanggal
06 April 2018.

67
yang membuat akta melebihi 20 (dua puluh) akta perharinya akan tetapi juga terhadap Notaris baru atau Notaris
yang tidak melanggar ketentuan tersebut.
Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 tidak dapat
dipandang sebagai suatu peraturan yang sifatnya memaksa kemudian ada sanksi tegas bagi yang melanggar,
melainkan aturan ini jika dipahami dapat menjadi payung hukum atau perlindungan hukum bagi setiap Notaris
dalam menjalankan tugasnya membuat akta khususnya dalam kaitannya dengan sikap kehati-hatian yang sejalan
dengan teknik pembuatan akta yang baik dan benar sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris.
Melalui Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017, setidaknya
dapat memberikan kesadaran bagi Notaris akan betapa pentingnya membatasi jumlah akta per harinya guna
segala aturan mulai dari pembuatan akta sampai dengan penandatangan akta dilakukan dengan hikmat dan
dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Jabatan Notaris tanpa perlu khawatir terjadinya kesalahan dalam
melahirkan sebuah akta autentik. Jadi secara umum dapat disimpulkan Peraturan Dewan Kehormatan Notaris
Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 ini sangat bermanfaat sekali sebagai pedoman bagi Notaris
dan bukan menjadi pembatasan bagi Notaris dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya membuat akta. 143

143
Sejalan dengan pandangan Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia tentang Peraturan Dewan Kehormatan Ikatan Notaris
Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 tentang Batas Kewajaran Pembuatan Akta Perhari, tidak membatasi Notaris di dalam
pembuatan akta, tidak sedikitpun mengurangi hak dan kewenangan Notaris di dalam menjalankan jabatannya selaku pejabat
umum, khususnya membuat akta diakses dari website resmi Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, https://ini.id/artikel-
content.php?id=1, pada tanggal 06 April 2018.

68
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Terbitnya Per.DKP No. 1/2017 menimbulkan pertanyaan di kalangan Notaris yang menyatakan bahwa
pearturan tersebut membatasi Notaris di dalam pembuatan akta. Pembatasan tersebut melanggar UUJN karena
UUJN tidak mengatur perihal pembatasan pembuatan akta, peraturan tersebut bertentangan dengan anggaran
dasar Perkumpulan, pertauran tersebut bukan merupakan kode etik Notaris. Dan ada yang menyatakan bahwa
jika kita mau menjadi Peraturan DKP berlaku sebagai kode etik Notaris maka harus terlebih dahulu melakukan
perubahan anggaran dasar.
Pendapat-pendapat tersebut menimbulkan kegelisahan di kalangan Notaris, khususnya Notaris yang biasa
melayani pembuatan akta Jaminan Fidusia dan akta-akta terkait dengan Kredit Pemilikan rumah (KPR), yang
biasa melayani pembuatan akta lebih dari 20 (dua puluh) akta dalam satu kali pengikatan, bahkan ada sampai
dengan 100 (seratus) akta dalam satu kali pengikatan.
Kegelisahan tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi apabila kita memahami hakekat pelaksanaan tugas
jabatan kita selaku Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik yang mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna sesuai UUJN. peraturan perundang-undangan lainnya, anggaran dasar Perkumpulan,
Kode Etik Notaris, kepatutan dan kepantasan serta tatacara pembuatan akta Notaris.
Yang harus dipahami bersama adalah bahwa Peraturan Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia
Nomor 1 Tahun 2017 tentang Batas Kewajaran Pembuatan Akta Perhari, TIDAK MEMBATASI NOTARIS DI
DALAM PEMBUATAN AKTA, TIDAK SEDIKITPUN MENGURANGI HAK DAN KEWENANGAN
NOTARIS DI DALAM MENJALANKAN JABATANNYA SELAKU PEJABAT UMUM, KHUSUSNYA
MEMBUAT AKTA, tidak ada yang dikurangi haknya. Tidak perlu gelisah, bahkan marah dan benci,
sehingga mengambil sikap yang “aneh-aneh”.
Ketentuan Peraturan Pasal 2 ayat 1 menentukan “Batas Kewajaran dalam pembuatan akta oleh Notaris
sebagai anggota Perkumpulan adalah 2O (dua puluh) akta perhari.” Dengan ditetapkannya ketentuan ayat 1
ini maka DKP memandang bahwa sebagai seorang manusia, maka berdasarkan kodrat manusia, didalam
menjalankan jabatannya khususnya didalam melayani pembuatan akta mulai dari adanya permintaan bantuan
dari masyarakat, mempelajari dokumen yang disampaikan, menyusun pembuatan akta, membacakan akta,
memberikan penjelasan kepada para penghadap terkait dengan isi akta tersebut dan menandatangani akta serta,
singkatnya membuat akta sesuai dengan ketentuan UUJN, pertauran perundang-undangan lainnya, Kode Etik
Notaris, kepatutan dan kepantasan serta tatacara pembuatan akta Notaris, ditambah dengan beban Notaris
didalam menjalankan jabatan selaku PPAT, maka ditetapkan bahwa batas kewajaran dalam pembuatan akta
adalah 20 (dua puluh) akta perhari, yang sebelumnya ada wacana untuk menetapkan sebesar 15 (lima belas) akta
perhari.
Apabila pembatasan tersebut bukan merupakan pembatasan jumlah pembuatann akta, apakah Notaris
boleh membuat lebih dari 20 (dua puluh) akta? Berkaitan dengan pertanyaan tersebut mari kita lihat ketentuan
Pasal 2 ayat 2, yang menentukan:

69
“Apabila Notaris akan membuat akta melebihi 20 (dua puluh) akta perhari dalam satu rangkaian
perbuatan hukum yang memerlukan akta yang saling berkaitan, dan/atau akta-akta lainnya, sepanjang
dapat dipertanggungjawabkan yang dilakukan sesuai dengan Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN),
tatacara pembuatan akta Notaris, Kode Etik Notaris (KEN), kepatutan dan kepantasan serta peraturan
perundang- undangan lainnya. “
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat 2, sangat jelas bahwa Notaris tetap boleh membuat akta melebihi 20 (dua
puluh) akta perhari, apabila:
a. akta-akta yang dibuat tersebut merupakan satu rangkaian perbuatan hukum yang memerlukan akta yang
saling berkaitan; dan/ atau
b. akta-akta lainnya;
- sepanjang dapat dipertanggungjawabkan yang dilakukan sesuai dengan :
a. Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN);
b. tatacara pembuatan akta Notaris;
c. Kode Etik Notaris (KEN);
d. kepatutan dan kepantasan; serta
e. peraturan perundang- undangan lainnya. “
Jadi sudah sangat jelas bahwa Notaris dapat membuat akta berapapun jumlahnya, tanpa ada pembatasan
jumlah, sepanjang pembuatan akta tersebut memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 2
Peraturan Per.DKP No. 1/2017 tersebut. Notaris boleh membuat akta kurang dari 20 (dua puluh) akta perhari
atau membuat lebih dari 20 (dua puluh) akta perhari, Notaris dapat membuat 15 (lima belas) akta perhari dan
dapat membuat 50 (lima puluh) akta perhari.
Pertanyaan selanjutnya, apa akibatnya jika ada Notaris yang membuat akta lebih dari 20 (dua puluh) akta
perhari?
Ketentuan Pasal 2 ayat 3, yang menentukan:
“Anggota Perkumpulan yang melanggar ketentuan yang tersebut dalam ayat (1) dan (2) pasal
ini merupakan objek permeriksaan Dewan Kehormatan Notaris (Dewan Kehorrnatan Daerah (DKD),
Dewan Kehormatan Wilayah (DKW), Dewan Kehormatan Pusat (DKP) yang dilakukan secara
berjenjang.”
Peraturan Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 tentang Batas Kewajaran
Pembuatan Akta Perhari, bukan bertujuan untuk membatasi pembuatan akta, akan tetapi untuk membatasi
perilaku Notaris di dalam pelaksanaan jabatannya, agar diperoleh Notaris-Notaris yang menjalankan jabatannya
sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tetap menjaga harkat martabat jabatan Notaris.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat 3 tersebut, maka apabila terdapat Notaris yang membuat akta
melebihi 20 (dua puluh) akta perhari, maka belum tentu terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris,
adanya ketentuan pembatasan kewajaran pembuatan akta menjadi dasar bagi Dewan Kehormatan Notaris untuk
melakukan pemeriksaan dalam rangka penegakan kode etik Notaris terhadap Notaris yang bersangkutan, karena
dengan adanya pembuatan akta melebihi batas kewajaran yang ditetapkan dalam satu hari maka Notaris yang
bersangkutan menjadi “Objek Pemeriksaan Dewan Kehormatan Notaris”.

70
Apabila dari hasil pemeriksaaan Dewan Kehormatan Notaris ternyata pembuatan akta-akta yang
bersangkutan telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku maka sudah seharusnya Dewan Kehormatan Notaris
menyatakan bahwa Notaris yang bersangkutan dinyatakan tidak bersalah, dan bilamana perlu apa yang
dilakukan oleh Notaris tersebut dapat dijadikan contoh bagi rekan-rekan lainnya, dalam arti contoh yang positif
dalan menjalankan jabatan khusunya pembuatan akta yang melebihi batas kewajaran yang ditetapkan, akan
tetapi dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku. Dan disamping itu sudah seharusnya segala hak yang
seharusnya menjadi haknya dapat diberikan sebagaimana mestinya, misalnya hak untuk memperoleh
rekomendasi untuk pindah jabatan.
Namun demnikian apabila ternyata dari hasil pemeriksaan memang terdapat pelanggaran maka tentunya
Dewan Kehormatan Notaris harus dapat memberikan sanksi kepada Notaris yang bersangkutan. Dalam
pemberian sanksi seperti yang juga disampaikan oleh Rekan Pieter latumenten, sansksi tersebut bukanlah
bersifat menghukum, akan tetapi bersifat mendidik dan merupakan pembinaan bagi Notaris yang
bersaangkutan.
Berdasarkan uraian diatas jelaslah bahwa ketentuan pembatasan yang tercantum didalam Per.DKP No.
1/2017 bukanlah pembatasan pembuatan akta, oleh karena itu tidak bertentangan dengan UUJN, melainkan
merupakan pembatasan perilaku Notaris di dalam pembuatan akta, agar Dewan Kehormatan Notaris dapat
melakukan pemanggilan dan pemeriksaan bagi Notaris yang bersangkutan karena adanya dugaan pelanggaran
kode etik Notaris akibat telah melakukan pembuatan akta yang melebihi batasan kewajaran pembuatan akta
perhari.

B. Saran
1. Khususnya kepada setiap Notaris dengan lahirnya Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris
Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 maka Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya bersikap
menjunjung tinggi nilai-nilai dalam kode etik Notaris sebab dalam praktiknya dilapangan masih ditemukan
teknis pembuatan dan pelaksanaan akta tidak sesuai, hal ini tentu dapat menyebabkan Notaris yang
bersangkutan dapat berpotensi terjerat pada permasalahan hukum.
2. Perlunya pembinaan lebih lanjut dengan menyelenggarakan berbagai kegiatan melalui seminar yang
dilakukan oleh Dewan Kehormatan Notaris bekerjasama dengan Pengurus Ikatan Notaris Indonesia dalam
memberikan penyuluhan mengenai kode etik sejak dini mulai dari tingkat instansi pendidikan kenotariatan
dan pemberian pembinaan tidak hanya dilakukan pada tingkat ujian pengangkatan sebagai Anggota Luar
Biasa Ikatan Notaris saja melainkan perlu pembinaan lanjutan setelah menjadi Notaris sehingga diharapkan
kedepannya pembinaan khususnya penerapan Kode Etik Notaris dapat berjalan dengan baik dan efektif.

71
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Adjie, Habib, 2009. Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Bandung :
Refika Aditama.

----------------,2011. Majelis Pengawas Notaris Sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, (Refika Aditama :
Bandung.

------------------,2011. Kebatalan Dan Pembatalan Akta Notaris, Bandung: Refika Aditama.

------------------,2008. Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No.30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris, Bandung: refika Aditama.

-------------------, 2009. Sekilas Dunia Notaris & PPAT Indonesia, Bandung: Mandar Maju.

Ashshofa, Burhan, 1996. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Adam, Muhammad., 1985. Asal-Usul Dan Sejarah Akta Notarial, Bandung: Sinar Baru.

Andasasmita, Komar, 1983. Notaris Selayang Pandang, Bandung : Alumni.

Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) 1992, 2017. Sarjana Hukum: Bukan Sekadar Pengacara
dan Hakim, Jakarta: Gramedia.

Ali, Zainuddin, 2009. Metode Penelitian hukum, Jakarta : Sinar Grafika.

Ali, Achmad, 2012. Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, Jakarta: Kencan.

----------------, 2009. Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Jakarta: Kencana.

-----------------, 2008. Menguak Realitas Hukum, Jakarta: Kencana.

Anand, Ghansham, 2014. Karakteristik Jabatan Notaris di Indonesia, Kabupaten Sidorjo :Zifatama Publisher.

Baro, Rachmad, 2016. Penelitian Hukum Non Doktrinal,Yogyakarta: deepulish.

Brata, Sumadi Surya, 1998. Metodologi Penelitian , Jakarta: Raja Grafindo Persada.

72
Budiono, Herlien, 2013. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang
Kenotariatan, Bandung : Citra Aditya Bakti.

Fajar , Mukti ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Jakarta :Pustaka
Pelajar

Fuady, Munir, 2005. Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa, Advokat, Notaris, Kurator dan
Pengurus), Bandung : Citra Aditya Bakti.

H.R.W, N.E Algra Gokkel-dkk, 1983. Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, Belanda Indonesia, Jakarta:
Binacipta.

Harahap, Nuzuarlita Permata Sari, 2011. Pemanggilan Notaris Oleh Polri Berkaitan Dengan Akta Yang
Dibuatnya, Medan: Pustaka Bangsa Press.

Ibrahim , Johnny, 2008. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet IV, Jawa Timur: BayuMedia
Publishing.

Ikatan Notaris Indonesia, Pengurus Pusat, 2008. Jati Diri Notaris Indonesia Dulu, Sekarang dan Di Masa
Datang, Jakata: Gramedia Pustaka.

Iskandar, Pranoto dan Yudi Junadi, 2011. Memahami Hukum Indonesia, Cianjur:IMR
Press.

Juwita, Koming Pratiwi, 2017. Kedudukan Notaris Setelah Berstatus Tersangka Dalam Pembuatan Aktanya,
Denpasar : Universitas Udayana.

Kie, Tan Thong, 1994. Studi Notariat, Serba-serbi Praktek Notaris, Jakarta : Ichtiar baru van Hoeve.

Koesoemawati, Ira dan Yunirman Rijan, 2009. Ke Notaris, Jakarta : Raih Asa Sukses.

Keraf, Sonny, Etika Bisnis, 1998. Tuntutan Dan Relevansinya, Yogyakarta :


Kanisius,.

Kumorotomo, Wahyudi, 2011. Etika Administrasi Negara, Jakarta : RajaGrafindo Persada

Latuihamallo, Abednego Isa, 2014. Dilema Dunia Multifinance, Jakarta: grasindo.

73
Lumban, G.H.S Tobing, 1989. Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga : Jakarta.

Lubis , M. Solly, 1994. Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Mandar Maju.

Manan , Bagir, 2004. Hukum Positif Indonesia, Yogyakarta: FH UII Press.

Maleonf, Lexi J, 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung:Remaja Rosdakarya.

------------------2005. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta: Balai Pustaka.

Naja , Daeng, 2012. Teknik Pembuatan Akta, Yogyakarta : Pustaka Yustisia.

Nazir, Mohammad, 2005. Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Pudyatmoko, Y Sri, 2005. Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak, Jakarta:Gramedia.

Riduan, 2004. Metode & Teknik Menyusun meda, Bandung : Bina Cipta.

Surya, Sumadi Brata, 1998. Metodologi Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Susanto, Herry, 2010. Peranan Notaris Dalam Menciptakan Kepatutan Dalam Kontrak, Yogyakarta:FH UII
Press.

Sembiring, M.U, 1997. Tehnik Pembuatan Akta, Medan: Program Pendidikan Spesialis Notariat Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.

Sunggono , Bambang, 2003. Metodologi Penelitian hukum,Suatu Pengantar, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.

Sumaryono, E., 1995. Etika Profesi Hukum, Yogyakarta: Kanisius.

Sayuti, Husin, 1989. Pengantar Metodologi Riset, Jakarta: CV. Fajar Agung.

Soekanto,Soejono dan Sri Manudji, 1995. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tingkatan Singkat, Jakarta : Raja
Grafindo Indonesia.

Soekanto , Soerjono, 1981. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press.

74
-------------------------1988. Efektifitas Hukum dan Penerapan Sanksi, Bandung : CV Ramadja Karya

---------------------------2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta : PT.


Raja Grafindo Persada.

--------------------------1983. Penegakan Hukum, Bandung : Bina Cipta. --------------------------2009. Penelitian


Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke – 11. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Supianto, 2015. Hukum Jaminan Fidusia: Prinsip Publisitas pada Jaminan Fidusia., Yogyakarta:
Garudhawaca.

Sunggono, Bambang, 2003 Metodologi Penelitian hukum,Suatu Pengantar, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Soejono dan H. Abdurrahman, 2005. Metode Penelitian : Suatu Pemikiran dan Penerapan, Jakarta: Rineka
Cipta.

Tyas, Retoning, 2016. Kamus Genggam Bahasa Indonesia., Yogyakarta: Frasa Lingua.

Tjandra, Riawan, 2009. Hukum Keuangan Negara, Jakarta: Grasindo.

Wuisman ,J.J.J M, dengan penyunting M. Hisman. 1996. Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid 1 ,Jakarta: Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.

Wijaya, Ryan Filbert, 2014. Negative Investment, Kiat Menghindari Kejahatan Dalam Dunia Investasi,
Jakarta:Gramedia.

YLBHI dan PSHK, 2007. Panduan Bantuan Hukum Di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

B. Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

Peraturan Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia di Banten tanggal 29-30 Mei 2015

Perubahan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris Indonesia Hasil Rapat Pleno Pengurus Pusat Yang

75
Diperluas Di Balikpapan 12 Januari 2017

Peraturan Dewan Kehormatan Pusat Ikatan Notaris Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Batas Kewajaran
Jumlah Pembuatan Akta Perhari

C. Makalah dan Jurnal


Anik Suryani, Peranan Ikatan Notaris Indonesia (INI) dalam Pelaksanaan Tugas Notaris sesuai Kode Etik,
Jurnal Reportorium Volume III No 2 Juli Desember 2016

Abdul Basyit, Undang-Undang Jabatan Notaris Pembaharuan Bidang Kenotariatan, Media Notariat, Edisi
September-Oktober, 2004

Enny Mirfa, Perbandingan Hukum Jabatan Notaris Di Indonesia Dan Di Negara Belanda, Jurnal ilmiah
Research Sains Vol. 2 No. 2 Juni 2016.

Hardijan Rusli, “Metode Penelitian Hukum Normatif: Bagaimana?”, Law Review Fakultas Hukum Universitas
Pelita Harapan, Volume V No. 3 Tahun 2006

Nina Damayanti Sekaringtiyas, Batas Kewajiban Untuk Merahasiakan Segala Sesuatu Yang Berkaitan Dengan
Akta Notaris, Jurnal Program Studi PGMI Surabaya: Universitas Narotama, 2017

Sri Soedewi Masjchoen, dalam Davina Eka Maretasari Dkk, Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Pemberi
Jaminan Fidusia Dalam Hal Terjadinya Kredit Macet., Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret, Privat law Edisi 07 Januari-Juni 2015

D. Media Internet
Artikel Tentang Ketentuan Mengenai Batas Kewajaran Pembuatan Akta Perhari Bagi Notaris, Bukan
Merupakan Pembatasan Pembuatan Akta Bagi Notaris diakses dari Website Resmi Pengurus Pusat Ikatan
Notaris Indonesia http://ini.id/artikel-content.php?id=1

76

Anda mungkin juga menyukai