1. Mahasiswa memahami secara lebih baik konsep dan prinsip corporate parenting
2. Mahasiswa mampu melakukan assessment corporate parenting
3. Mahasiswa mampu mengusulkan strategi corporate parenting yang sejalan dengan kebutuhan
perusahaan
Menurut Goold (1994), keberhasilan perusahaan membangun keunggulan asuhan tergantung pada 3 variabel
pokok:
(1) peluang intervensi (parenting opportunities) yang dapat ditemukan;
(2) model dan proses intervensi yang pas; dan
(3) tingkat kecocokan (fit) yang dimiliki antara korporat (characteristic of the parent) dan variabel kunci (key
success factor) UB.
Nilai tambah yang hendak disajikan oleh korporat terhadap UB tidak saja ditentukan oleh seberapa besar
peluang intervensi yang berhasil ditemukan, akan tetapi juga bergantung bagaimana strategi dan teknik yang
hendak digunakan oleh korporat dalam mengintervensi berbagai portofolio bisnisnya (UB-nya). Tidak saja
bergantung pada apa yang harus dikerjakan oleh korporat, akan tetapi juga bagaimana cara mengerjakannya.
Selain itu, keberhasilan penciptaan nilai tambah oleh korporat juga bergantung seberapa jauh tingkat
penerimaan intervensi (buy in) yang ditunjukkan oleh UB, yang ditentukan oleh tingkat kecocokan antara
korporat dan UB. Jika tidak atau hanya sedikit ditemukan tingkat kecocokan antara keduanya dan akibatnya
korporat tidak mampu memformulasikan dan mengimplementasikan strategi intervensi yang diperlukan pada
UB, maka yang terjadi bukan penciptaan nilai, melainkan justru perusakan nilai (value destruction).
Manajemen korporat bersama-sama dengan manajemen UB (unit bisnis) terlebih dahulu harus menemukan peluang
asuhan (parenting opportunities) atau peluang intervensi yang menjadi cikal bakal lahirnya keunggulan asuhan yang
dimiliki oleh korporat.
Jika disederhanakan, peluang intervensi adalah identifikasi area manajemen –manajemen umum (general
management) dan manajemen fungsional – yang selama ini masih menjadi kelemahan UB, yang pada ujungnya
berpengaruh pada lemahnya keunggulan bersaing yang dimilikinya.
Kelemahan tsb dimungkinkan dilakukan perbaikan secara bersama-sama oleh korporat dan UB. UB memberikan
peluang – membuka pintu – menerima bantuan (asuhan) dari korporat, baik langsung maupun tidak langsung melalui
intervensi yang diberikan oleh korporat. Dengan demikian, peluang intervensi dapat bersumber dari mana saja, sejak
dari yang abstrak, misalnya pendefinisian ruang lingkup bisnis yang kurang sesuai hingga pada yang begitu riil,
misalnya tingginya biaya tidak langsung (sebagai catatan, biaya langsung adalah terkait biaya personil langsung, bahan
langsung pembuatan produk/jasa).
Secara bersama-sama mereka – korporat dan UB – melakukan penilaian (assessment) pada kinerja UB, sekali pun
perlu tetap didasari bahwa sebetulnya kewenangan penilaian UB berada di tangan korporat. Apakah UB telah memiliki
kinerja yang bagus sesuai dengan posisi pasar dan lingkungan bisnisnya? Jika belum, maka dengan sendirinya tersedia
peluang perbaikan yang dapat diberikan oleh korporat. Jika UB yang dimiliki merupakan perusahaan baru, maka
peluang perbaikan yang dilakukan bersama-sama terbuka lebar, sekali pun dalam praktiknya kemudian tidak
diharuskan korporat melakukan intervensi pada banyak hal sekaligus. Ada penentuan skala prioritas. Semuanya – baik
korporat maupun unit usaha yang dimiliki – masih berada dalam tahap belajar membesarkan perusahaan.
Pada umumnya tersedia 10 jenis peluang intervensi yang dapat dilakukan oleh korporat untuk memperbaiki
keunggulan bersaing UB yang dimiliki, secara berturut-turut sbb; (Goold et al, 1994):
1) Definisi bisnis;
2) Besaran (skala) bisnis;
3) Manajemen;
4) Kecenderungan negative (temptation);
5) Hubungan sinergis antar UB;
6) Kompetensi bersama (common capabilities);
7) Keahlian yang unik;
8) Hubungan dengan pihak luar;
9) Keputusan-keputusan penting dan besar;
10) Perubahan besar (major change).
Peluang intervensi di atas bersumber dari empat area manajemen yang umumnya menjadi kewenangan
korporat, yakni: manajemen SDM; penganggaran; perencanaan strategis; dan proses persetujuan investasi
(capital approval).
Keseluruhan intervensi yang dilakukan oleh korporat terhadap berbagai peluang intervensi yang
tersedia, didesain untuk mencapai salah satu atau kedua tujuan berikut secara simultan: (Ward et
al, 2005)
(1) Menurunkan biaya total yang harus ditanggung oleh grup; dan atau
(2) Menciptakan tambahan nilai pada grup.
Tujuan pertama menyasar pada penurunan biaya untuk keseluruhan perusahaan sebagai holding,
sedangkan tujuan kedua adalah penciptaan keunggulan diferensiasi, juga untuk keseluruhan
perusahaan.
Intervensi korporat bisa berbentuk langsung maupun tidak langsung, Jika digabungkan antara
bentuk intervensi dan ke 2 tujuan di atas, maka akan menghasilkan matriks 2 x 2, yang dikenal
sebagai matriks intervensi korporat (MIK), sebagaimana terlihat pada gambar setelah ini.
SEL 1 SEL 4
Langsung
SEL 2 SEL 3
KONFIGURASI PENGENDALIAN KONFIGURASI KREATIF
* Pengendalian * Kreativitas dan Inovasi
* Pemegang Saham (Shareholder) * Pemimpin (leader)
* Manajemen keuangan * Visi dan nilai
Sumber Keunggulan
Dr. Ir Budhi Prihartono, DEA, Prodi Teknik Industri - Manajemen
18
Rekayasa TMI FTI ITB April 2021
Matriks Intervensi Korporat (2)
SEL 1 matriks intervensi korporat (MIK) menggambarkan bahwa korporat tidak saja terlihat melainkan melakukan
intervensi secara langsung pada UB, yang dimiliki dengan tujuan menurunkan biaya grup yang harus ditanggung.
Secara riil, korporat melakukan sesuatu dengan melakukan sentralisasi kegiatan tertentu yang dinilai berlaku umum
(menyeluruh) bagi UB yang dimiliki. Jadi, korporat tidak sekadar menunjukkan (showing) jalan yang harus dilewati.
Korporat melakukan aktivitas bisnis yang penting (key activities) atas nama UB, umumnya aktivitas penunjang,
misalnya proses akuntansi, teknologi informasi, penarikan tenaga kerja, dan pengembangan manajemen. Namun
demikian, kadang-kadang juga harus dijumpai korporat yang melakukan intervensi sampai pada aktivitas pokok bisnis
yang secara langsung membentuk nilai produk, misalnya pengadaan dan pemasaran. Oleh karena itu, tugas pokok
korporat dalam model ini sering disebut sebagai konfigurasi sentralisasi atau skala (scale configuration).
Korporat perlu menemukan justifikasi yang kuat ketika SEL hendak dipilih. UB kerap tidak mudah menerimnya, bahkan
bisa melakukan resistensi dan perlawanan terbuka, khususnya bagi grup/holding yang awalnya dibentuk dari aneka
perusahaan, yang sudah tahunan memiliki pola pengambilan keputusan mandiri. Manajemen UB merasa dikurangi
kewenangannya dan di sisi lain mereka menilai pilihan sentralisasi justru bisa memperpanjang rantai birokrasi
pengambilan keputusan. Sentralisasi bisa juga dinilai oleh UB bahwa korporat terlalu dalam terlibat dalam operasi
keseharian UB. Padahal, justifikasi untuk melakukan sentralisasi adalah kemungkinan tercapainya biaya grup yang
lebih rendah ketika aktivitas dilakukan secara menyatu dibanding jika dilakukan dengan cara sendiri-sendiri, yang
membuka peluang terjadinya duplikasi aktivitas pada banyak UB. Oleh karena itu, korporat tidak disarankan
menggunakan waktu yang terlalu lama untuk membuktikan keberhasilan tujuan ini.
SEL 2, bertolak belakang dengan SEL 1 pada MIK, menggambarkan bahwa korporat melakukan intervensi
secara tidak langsung. Namun, keterlibatan tsb tetap bertujuan untuk melakukan reduksi biaya grup.
Korporat tidak melakukan sesuatu secara langsung – melalui sentralisasi – melainkan hanya menunjukkan
jalan yang harus ditempuh oleh UB-nya agar keseluruhan biaya yang ditanggung grup menjadi lebih
rendah. Biasanya dimulai dengan pencarian skala usaha (economies of scale) yang memungkinkan. UB
bekerja secara efisien, umumnya dalam ukuran yang relatif besar. Diikuti dengan penetapan ukuran
kinerja, khususnya yang berkaitan dengan target-target keuangan, yang harus dicapai oleh masing-masing
UB. Target yang ditetapkan biasanya dicoba dilakukan setinggi mungkin (stretch), sekalipun tetap pada
ukuran masih terjangkau. Korporat juga menetapkan ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan
perusahaan yang relatif seragam bagi seluruh portofolio bisnis yang dimiliki, dan oleh karena itu masing-
masing UB tidak perlu menyusunnya sendiri.
Model SEL 2 ini dilakukan dengan cara korporat memberikan petunjuk dan nasihat (advice and guidance)
yang harus dipenuhi oleh manajemen UB. Korporat juga membuat aturan pemberian ganjaran dan
hukuman bagi manajemen UB yang berhasil dan gagal dalam mencapai target-target kinerja yang telah
ditetapkan bersama. Bahkan jika perlu korporat dapat melakukan penutupan usaha dari US tertentu.
Dengan demikian, peran utama korporat dalam model SEL 2 ini bukan saja pada fungsi perencanaan,
akan tetapi lebih dekat dengan pengendalian dan pengawasan. Pengawasan dilakukan dengan rinci dan
ajeg. Oleh karena itu, model SEL 2 ini kerap disebut sebagai konfigurasi pengawasan (control
configuration).
SEL 3 MIK menunjukkan pada kemungkinan intervensi tidak langsung dengan korporat dengan tujuan
penciptaan pengetahuan-teknologi baru yang diharapkan dengan teknologi baru tsb dapat dihasilkan
nilai tambah baru perusahaan secara keseluruhan. Teknologi baru tsb tidak saja sebatas pada pengertian
yang keras, akan tetapi sampai yang termasuk kategori lunak. Cakupannya bukan hanya berkaitan dengan
produksi, akan tetapi sampai pada pemasaran. Ada kemungkinan penemuaan dan penerapan teknologi
baru tsb mengakibatkan kenaikan biaya, akan tetapi diharapkan kenaikan nilai tambah yang diperoleh
lebih besar dari pada kenaikan biaya yang ditanggung. Konfigurasi ini disebut sebagai konfigurasi kreatif
(creative configuration).
Untuk keperluan tsb, kantor pusat (corporate center) terlebih dulu membangun visi perusahaan secara
grup dengan ideologi inti (nilai-nilai inti dan tujuan inti) yang hendak menjadi pedoman bagi keseluruhan
portofolio bisnis yang dimiliki. Ketaatan pada visi tsb dibangun lebih karena korporat dapat membangun
rasa percaya pada UB yang dimiliki dan di saat yang sama ada rasa memiliki (sense of belonging ) yang
juga tinggi. Korporat dengan demikian lebih banyak memfasilitasi agar penciptaan pengetahuan teknologi
baru, yang tidak lagi didasari pada siapa yang menemukan dan siapa yang beruntung dari proses tsb.
Dalam praktik, siapa yang diuntungka dan siapa yang dirugikan sering menjadi perdebatan panjang yang
dapat menunda implementasi pemanfaatan teknologi baru. Kepentingan perusahaan selayaknya menjadi
kunci dalam penyelesaian perdebatan tsb.
SEL 4 MIK menyatakan adanya kemungkinan intervensi langsung korporat terhadap UB yang dimiliki
dengan tujuan penyebarluasan penggunaan pengetahuan-teknologi yang sebelumnya telah dimiliki
dan dikembangkan sendiri oleh salah satu atau beberapa UB tertentu. Teknologi yang telah ada tsb
terbukti telah menjadi salah satu keunggulan bersaing UB yang memilikinya. Misalnya jika salah satu
UB memiliki reputasi merk, keunggulan layanan, produk yang terdiferensiasi, maka korporat
mendesak UB lain untuk mengadopsi salah satu keunggulan tsb sesuai dengan pilihan masing-
masing, yang sangat kontekstual.
Dengan demikian, peran penciptaan nilai tambah yang diberikan korporat bukan pada penciptaan
yang baru, melainkan pada penjaminan bahwa teknologi yang sudah ada dapat disebarluaskam
penggunaannya secara maksimal pada keseluruhan anak perusahaan yang dimiliki. Manajemen
korporat dalam batas-batas tertentu memaksa kepentingannya pada UB tertentu yang dinilai perlu
memiliki keunggulan bersaing tertentu. Ujungnya, UB yang mengadopsi diharapkan memiliki
keunggulan bersaing yang dapat dihandalkan. Namun demikian, proses transfer pengetahuan dan
teknologi pada UB tidak selalu berjalan mulus. Korporat perlu memiliki kecakapan manajerial dalam
mengelola proses transfer tsb. Peran korporat yang demikian ini disebut sbg konfigurasi perluasan
dan pendalaman (leveraging atau scope configuration).
Matriks Keunggulan Korporat (MKK) diperkenalkan secara luas pertama kali oleh Michael Goold, Andrew
Campbell, dan Marcus Alexander pada tahun 1994 dalam buku mereka yang berjudul Corporate Level Strategy:
Creating Value in the Multibusiness Company (1994). Usaha memperkenalkan tsb dilanjutkan dalam beberapa
tulisan mereka yang muncul berikutnya (1995, 1996). Kristalisasi ide mereka mendapatkan momentum Ketika
pada tahun 1986 Sigurd Reinton, yang kemudian menjadi direktur McKinsey & Company, mengatakan bahwa “
adding value wa a necessary but insufficient requirement for corporate center”. Yang justru dibutuhkan adalah
apakah penciptaan nilai tambah tsb lebih besar dibanding jika UN dikelola oleh korporat lain.
Matriks Keunggulan Asuhan (parenting advantage matrix) mencoba membantu memberikan jawaban
terhadap 2 pengelolaan yang krusial dalam pengelolaan perusahaan – sebagai korporat – yang telah
melakukan diversifikasi, yakni perusahaan yang telah memiliki banyak ragam UB yang berbeda satu sama lain.
Secara sederhana, tugas pokok korporat dapat dibedakan dalam 2 kategori, yang mana keduanya bisa dibantu
oleh MKK. Pertama, MKK mencoba memberikan pertimbangan tentang jenis UB apa saja yang seharusnya
dimiliki oleh perusahaan (Goold, Campbell, dan Alexander, 1994). Kedua, MKK mencoba memberikan pijakan
konseptual tentang jenis intervensi strategis yang dapat dilakukan oleh korporat untuk menambah kinerja
masing-masing UB yang dimilik, sehingga pada akhirnya mengakibatkan peningkatan kinerja perusahaan secara
keseluruhan (Goold, Campbell, dan Alexander, 1994).
Peluang Asuhan/
Intervensi
Keunggulan Asuhan
Nilai Tambah
Terakhir, manajemen perlu melakukan evaluasi efek positif atau negatif dari berbagai
intervensi yang pernah dilakukan berbagai UB yang dimiliki. Ada kemungkinan penilaian ini
melibatkan pendapat yang kadang-kadang tentu masih mengandung subyektivitas.
Dari konsep ini kelihatan, 2 kepentingan, yaitu korporat dan UB didiskusikan secara
bersama-sama. Tidak ada untungnya bagi korporat mengelola bisnis yang tidak sesuai
dengan karakteristik induk/pengasuh dan/atau kesempatan yang ditawarkan
induk/pengasuh, sebagaimana tidak ada untungnya bagi UB berada dalam portofolio
korporasi jika korporasi juga tidak memberikan kesempatan berkembang yang lebih baik.
Konsep keunggulan asuhan yang ditawarkan ketiga penulis di atas menyoroti perlunya
korporasi untuk mempertimbangkan 3 hal utama dalam menciptakan nilai bgai UB-UB
dalam korporasi. 3 hal itu adalah : (1) faktor-faktor sukses kritikal; (2) karakteristik
pengasuh/induk; (3) peluang yang ditawarkan pengasuh/induk dalam korporasi.
Dalam upaya mencari kesesuaian antara bisnis dan induk/pengasuh/parent, Langkah pertama
adalah mengidentifikasi faktor-faktor sukses kritis (CSF-Critical Success Factors). CSF di dalam setiap
UB didefinisikan sebagai kegiatan atau masalah tertentu yang sangat penting untuk kinerja dan
penciptaan keungulan kompetitif UB. CSF UB bisa saja merek produk; teknik penjualan; bauran
produk; skala ekonomi; kecakapan pengembangan bisnis; mutu bahan baku; seleksi lokasi; biaya;
rekayasa nilai (value engineering); pengendalian; jaringan rantai pasok; rendahnya biaya tidak
langsung; seleksi dan pengembangan manajemen; dsb. Untuk setiap UB mempunyai sejumlah
karakteristik khas CSF.
Analisa CSF merupakan fondasi penting untuk menilai kecocokan. Induk/pengasuh/parent yang
tidak memahami CSF dalam bisnis cenderung merusak nilai. Bahkan pemahaman atas hal ini
menjadi prasyarat untuk analisa peluang pengasuhan UB dalam korporasi. Patut dicatat bahwa
korporat memerlukan analisa CSF untuk setiap UB yang ada dalam pengasuhannya. Makin banyak
UB dalam korporasi, makin banyak dan kompleks analisa CSF tsb.
Sebuah UB yang berada pada posisi Ballast – Wilayah Pemberat, mempunyai ciri sbb: ada ketidaksesuaian
yang rendah antara CSF dan karakteristik induk/pengasuh dan memiliki kesesuaian yang rendah antara
peluang induk/pengasuh dan karakteristik korporat/induk/pengasuh. Di masa lalu, UB tsb mungkin
sukses, karena induk/pengasuh/korporat memahami bisnis dengan baik, tetapi di masa depan tidak
cukup kesempatan atau peluang perbaikan yang dapat ditawarkan oleh induk/pengasuh/korporat. Jika
tidak didivestasi, UB dalam posisi ini harus dihindarkan dari birokrasi korporasi.
Posisi UB selanjutnya adalah Allien Territory – Wilayah Asing. Apakah penghancuran nilai (value
destruction) lebih mungkin terjadi disbanding penciptaan nilai (value creation) jika posisi UB berada pada
ketidaksesuaian yang tinggi antara CSF dan karakteristik induk/pengasuh/korporat dan kesesuaian yang
rendah antara peluang induk/pengasuh dengan karakteristik induk/pengasuh? Keluar dari posisi ini bisa
jadi pilihan yang terbaik.
UB dalam posisi Value-Trap – Jebakan Nilai adalah ketika UB berada dalam ketidaksesuaian yang tinggi
antara CSF dan karakteristik induk/pengasuh/korporat dan kesesuaian yang tinggi antara peluang
intervensi induk/pengasuh/korporat dan karakteristik korporat. Bagaimana mungkin UB dengan
ketiadaan CSF dapat menjadi sumber penciptaan nilai ? Lebih mudah bagi korporasi untuk mendivestasi
UB ini ke induk perusahaan lain yang dapat menambah nilai.
UB dalam posisi Edge of Heartland – Wilayah Tepian Inti bercirikan beberapa karakteristik
induk/pengasuh/korporat sesuai dengan UB dan beberapa tidak cocok. Korporat tidak dapat
memberikan semua ketrampilan dan sumber daya yang dibutuhkan bisnis. Dengan kata lain, UB
perlu mendapat banyak perhatian pengasuhan dari induk/pengasuh/korporat untuk mengubahnya
menjadi Heartland Business - Wilayah Inti.
Dengan posisi memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri dan induk/korporat memahami
bagaimana caranya serta memiliki CSF ketika induk/pengasuh/korporat memahami dengan baik,
maka UB Heartland – Wilayah Inti menjadi UB yang harus diprioritaskan dalam pengembangan
portofolio korporasi, sekarang dan masa depan.
Ketergantungan antar UB dan antara UB dan korporasi dalam hal sumber daya, kapabilitas adalah hal
yang lumrah terjadi dalam sebuah korporasi. Hubungan perusahaan korporat dan UB tercermin pada
ketergantungan antara UB dan korporasi dalam sumber daya dan kapabilitas, diposisikan pada sumbu
vertikal. Hubungan antar UB tercermin pada ketergantungan antara UB satu dengan UB lainnya dalam
sumber daya dan kapabilitas, diposisikan di sumbu horizontal. Membandingkan 2 jenis ketergantungan ini
menjadi sebuah matriks yang ditawarkan oleh Sull, Turconi, Sull, dan Yoder (2019). Ini dilakukan dalam
rangka penciptaan nilai korporasi, melalui 4 pilihan logika strategi korporat.
Pada posisi Portofolio, UB dapat beroperasi secara independen dari korporasi dan dari UB yang lain dalam
korporasi yang sama. Bagi korporat, pedoman yang dipakai adalah menyiapkan aturan bisnis apa saja
yang perlu dimasuki, bisnis apa saja yang justru perlu mengundurkan diri, dan bagaimana merelokasi
sumber daya. Bagi UB, pedoman yang diterapkan adalah strategi stand-alone untuk setiap bisnis.
Pada posisi Leverage, UB tergantung pada aset dan kapabilitas korporasi dengan koordinasi yang minimal
antara lintas bisnis atau lintas UB. Bagi korporat, pedoman yang dipakai adalah bagaimana
mengembangkan dan me-leverage sumber daya dan kompetensi serta ke mana melakukan ekspansi
bisnis. Bagi UB, pedoman yang diterapkan adalah tidak perlu strategi stand-alone, melainkan
berkoordinasi dengan kantor pusat.
Posisi Federal, UB – UB yang ada berkoordinasi satu dengan yang lain dengan pengaruh korporasi
yang minimal. Bagi korporat, pedoman yang dipakai adalah tidak ada strategi tingkat korporat. Bagi
UB, pedoman yang diterapkan adalah strategi stand-alone untuk setiap UB dan menyiapkan
peraturan untuk mengoordinasikan bisnis-bisnis yang saling bergantung.
Pada posisi Integrative, UB tergantung pada aktiva korporasi dan aktiva UB yang lain untuk
beroperasi secara sukses. Bagi korporat, pedoman yang dipakai adalah bagaimana korporat
membangun dan me-leverage sumber daya dan kompetensi, bagaimana menjalin koneksi kritis di
seluruh UB dan menyiapkan aturan bisnis apa saja yang perlu dimasuki, bisnis apa yang justru perlu
mengundurkan diri, dan dan bagaimana merelokasi sumber daya. Bagi UB, pedoman yang
diterapkan adalah membangun strategi UB yang mendukung strategi korporat.