Anda di halaman 1dari 18

KONSEP DASAR ILMU HADIS RIYAWAH

Makalah
(Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Hadis)

DOSEN PENGAMPU
Latifah Anawar M.Ag.
Oleh
Lukman Nugraha Pratama [ 07020621037 ]
Iswanto [ 07020621035 ]
Khuriyah Ambar Alfiyah [ 07020621036 ]

JURUSAN TASAWUF DAN PSIKOTERAPI


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SUNAN AMPEL SURABAYA
Daftar Isi

Daftar Isi..............................................................................................................................................2
Bab 1.....................................................................................................................................................3
A. Latar Belakang...........................................................................................................................3
B. Rumusan masalah.........................................................................................................................3
Bab 2.....................................................................................................................................................4
A. Pengertian Ilmu Riwayah...........................................................................................................4
B. Sejarah ilmu Hadist Riwayah.....................................................................................................4
C. Kaidah Periwayatan...................................................................................................................5
1. Hadis dalam bentuk perkataan.................................................................................................5
2. Hadits yang berupa perbuatan....................................................................................................6
3. Hadis dalam bentuk taqrir.........................................................................................................7
4. Hadis dalam bentuk hal ihwal....................................................................................................7
D. Periwayatan dengan Lafal dan Makna.......................................................................................8
1. Hadist Riwayah BIL-LAFDZI (Lafal).......................................................................................8
2. Hadist Riwayah BIL-MA’NA (MAKNA)................................................................................9
E. Ahliyyat al-Rawi......................................................................................................................12
1. Ahliyyat al-Tahammul.........................................................................................................12
2. Ahliyyat al-Ada’..................................................................................................................13
3. Tata cara Tahammul dan Ada’ al-hadis...............................................................................13
F. Adab Periwayatan Hadits.........................................................................................................15
1, Adab Muhaddits.....................................................................................................................16
2. Adab Pelajar Hadits.................................................................................................................16
BAB 3..................................................................................................................................................17
A. Kesimpulan..............................................................................................................................17
Bab 1
Pengantar
A. Latar Belakang
Bagi umat Islam, Hadist merupakan sumber pokok ajaran agama Islam setelah
Al-Quran. Hadist identik dengan segala sesuatu yang berasal atau yang disandarkan pada
Nabi SAW, baik ucapan, perbuatan ataupun penetapan.
Para ahli hadis telah membuat berbagai klasifikasi dalam ilmu hadis. Sebagai suatu
disiplin ilmu, Ilmu Hadis juga memiliki cabang-cabang sebagaimana ilmu yang lain.
Salah satunya ialah ilmu riwayah dan kaidah periwayatan dan kaidah periwayatan
Mempelajari cabang-cabang ilmunya merupakan langkah awal dalam memahami hadis
lebih lanjut.
Dalam makalah ini akan membahas mengenai ilmu riwayah dan kaidah periwayatan.
Semoga dengan makalah ini kita dapat lebih mengenal hadis Nabi Muhammad SAW
secara lebih baik. Sehingga dalam menjalankan ketentuan Islam lebih yakin karena kita
mengetahui dasar atau dalilnya.
B. Rumusan masalah
1. Apa itu Ilmu Riwayah?
2. Bagaimana sejarah Ilmu Riwayah?
3. Bagaimana Kaidah Periwayatan?
C. Tujuan dan manfaat penulisan
Adapun tujuan kami menulis makalah ini adalah agar kita dapat mengetahui Ilmu
Riwayah dan Kaidah Periwayatannya, dan manfaat dari penulisan makalah ini adalah
untuk meningkatkan pengetahuan penulis dan pembaca tentang hadis dan dapat
diaplikasikan dalam kehidupan sehingga menjadi muslim yang sebenar-benarnya
muslim.
Bab 2
Pembahasan
A. Pengertian Ilmu Riwayah
Menurut bahasa riwayah berasal dari kata rawa-yarwi-riwayatan yang berarti annaql
(memindahkan dan penukilan).
Ilmu Hadis Riwayah adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW.,
sahabat, atau tabiin. Itulah sebabnya pembahasan ilmu ini berkisar tentang periwayatan,
pencatatan, dan pengkajian sanad-sanadnya, serta menguji status setiap hadis dan faedah-
faedah yang dapat dipetik darinya.
Pada dasarnya adalah membahas tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan
penulisan atau pembukuan Hadis Nabi saw.
Objek kajian ilmu Hadits Riwayah adalah Hadis Nabi SAW dari segi periwayatan dan
pemeliharaannya. Hal tersebut mencakup: Cara periwayatan Hadis, baik dari segi cara
penerimaan dan demikian juga dari cara penyampaiannya dari seorang perawi ke perawi
lain; Cara pemeliharaan Hadis, yaitu dalam bentuk penghafalan, penulisan, dan
pembukuannya.
Ilmu hadis Riwayah ialah ilmu yang membahas perkembangan hadis Dari segi
kelakuan para Perawinya, mengenai kekuatan hafalan dan keadilan mereka dan dari segi
keadaan sanad.
Ilmu hadis riwayah ini berkisar pada bagaimana cara-cara penukilan hadis yang
dilakukan oleh para ahli hadis, bagaimana cara menyampaikan kepada orang lain dan
membukukan hadis dalam suatu kitab
Menurut Syaikh Manna’ A-Qhaththan, obyek pembahasan ilmu riwayatul hadits:
sabda Rasulullah, perbuatan beliau, ketetapan beliau, dan sifat-sifat beliau dari segi
periwayatannya secara detail dan mendalam.
Faedahnya: menjaga As-Sunnah dan menghindari kesalahan dalam periwayatannya
Sementara itu, obyek Ilmu Hadits Riwayah, ialah membicarakan bagaimana cara
menerima, menyampaikan pada orang lain dan memindahkan atau membukukan dalam
suatu Kitab Hadits. Dalam menyampaikan dan membukukan Hadits, hanya dinukilkan
dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya.
Adapun kegunaan mempelajari ilmu ini adalah untuk menghindari adanya
kemungkinan yang salah dari sumbernya, yaitu Nabi Muhammad Saw. Sebab berita yang
beredar pada umat Islam bisa jadi bukan hadis, melainkan juga ada berita-berita lain
yang sumbernya bukan dari Nabi, atau bahkan sumbernya tidak jelas sama sekali.
B. Sejarah ilmu Hadist Riwayah
Ilmu Hadis Riwayah ini sudah ada semenjak Nabi SAW masih hidup, yaitu
bersamaan dengan dimulainya periwayatan dengan hadis itu sendiri. Para Sahabat Nabi
SAW menaruh perhatian yang tinggi terhadap Hadis Nabi saw. Mereka berusaha untuk
memperoleh hadis-hadis Nabi SAW dengan cara mendatangi Majelis Rasul SAW serta
mendengar dan menyimak pesan atau nasihat yang disampaikan beliau. Sedemikian
besar perhatian mereka, sehingga kadang-kadang mereka berjanji satu sama lainnya
untuk bergantian menghadiri majelis Nabi saw. Tersebut, Manakala di antara mereka ada
yang sedang berhalangan. Hal tersebut seperti yang dilakukan Umar RA, yang
menceritakan, “Aku beserta tetanggaku dari kaum Ansar, yaitu Bani Umayyah ibnu Zaid,
secara bergantian menghadiri majelis Rasul saw. Apabila giliranku yang hadir, maka aku
akan menceritakan kepadanya apa yang aku dapatkan dari Rasul SAW pada hari itu; dan
sebaliknya, apabila giliran dia yang hadir, maka dia pun akan melakukan hal yang sama.”
Demikianlah periwayatan dan pemeliharaan Hadis Nabi SAW berlangsung hingga
usaha penghimpunan Hadis secara resmi dilakukan pada masa pemerintahan Khalifah
‘Umar ibnu ‘Abd al-‘Aziz (memerintah 99 H/717 M- 124 H/ 742 M).
Al-Zuhri dengan usahanya tersebut dipandang sebagai pelopor Ilmu Hadis Riwayah;
dan dalam sejarah perkembangan Hadis, dia dicatat sebagai ulama pertama yang
menghimpun Hadis Nabi SAW atas perintah Khalifah ‘Umar ibn ‘abd al-Aziz.
Usaha penghimpunan, penyeleksian, penulisan, dan pembukuan Hadis secara
besar-besaran terjadi pada abad ke 3 H yang dilakukan oleh para ulama, seperti Imam al-
Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam al-Tarmidzi, dan lain-lain. Dengan
dibukukan hadis-hadis Nabi SAW oleh para Ulama di atas, dan buku mereka pada masa
selanjutnya telah jadi rujukan para Ulama yang datang kemudian, maka dengan
sendirinya Ilmu Hadis Riwayah tidak banyak lagi berkembang.
C. Kaidah Periwayatan
Cara Nabi Muhammad SAW Menyampaikan Hadis
Dalam menyampaikan hadis, Rasulullah Saw tidak melakukannya dengan satu
cara saja, namun beliau menyampaikan dalam berbagai macam, sesuai dengan bentuk-
bentuk hadis yang terdiri dari perkataan atau sabda, perbuatan, taqrir dan hal ikhwal
atau keadaan Nabi, serta situasi dan kondisi yang ada.
Berikut ini dikemukakan cara-cara Nabi menyampaikan hadis sebagai berikut:
1. Hadis dalam bentuk perkataan
a. Nabi menyampaikan hadis dengan lisan.
Hadis yang disampaikan Nabi dengan lisan dilaksanakan dengan cara-
cara sebagai berikut:
o Cara lisan di muka orang banyak yang terdiri kaum laki-laki.
o Pengajian rutin di kalangan kaum laki-laki.
o Pengajian diadakan juga di kalangan kaum wanita setelah kaum
wanita memintanya.
Riwayat yang mengisyaratkan cara menyampaikan hadis tersebut
adalah sebagai berikut:
‫ ِه‬Lْ‫الَقِيَه َُّن فِي‬L‫ َده َُّن يَوْ ًم‬L‫كَ فَوْ ِع‬L‫ا ِم ْن نَ ْف ِس‬L‫وْ ًم‬Lَ‫ا ي‬Lَ‫لْ لَن‬L‫ ا ُل فَاجْ َع‬L‫ اَ لّ ِر َج‬:‫ك‬ َ ‫ غَل ْبنَا َعلَ ْي‬.‫ م‬.‫َّبي ص‬Lَِّ‫ت اَلنَّ َسا ِء لِلِن‬ْ َ‫قَال‬
َّ
َ‫ا ِمن‬Lً‫انَ لهَا َ ِح َجاب‬LL‫ ِدهَا اِالّ َك‬Lَ‫ةَ ِم ْن َول‬Lَ‫ َّد ُم ثَالَ ث‬Lَ‫ َرا ةُ تُق‬L‫ا ِم ْن ُك َّن اِ ْم‬L‫ َم‬:‫فَو ِعظَه َُّن واَ ْم َر ه َُّن فَ َكانَ فِ ْي َما قَا َل لَه َُّن‬
)‫ َوا ْثنَتَ ْي ِن (رواه ا اابخا رو ي عن اسعيد‬:‫ْن – فَقَا َل‬Lِ ‫ َو ْاثنَتَي‬:َ‫ت اِ ْم َر اَ ة‬ ْ َ‫ارفَقَال‬ َ ّ‫الن‬
Artinya:
“Berkata kaum wanita kepada Nabi; kaum pria telah mengalahkan kami
(untuk memperoleh pengajaran) dari anda. Karena itu kami mohon anda
menyiapkan waktu satu hari untuk kami (kaum wanita).” Maka Nabi
menjanjikan satu hari untuk memberikan pengajaran kepada kaum wanita
itu. (dalam pengajian itu) Nabi memberi nasehat dan menyuruh mereka
(untuk berbuat kebajikan). Nabi bersabda kepada mereka” tidaklah
seseorang bagi kalian yang ditinggal mati oleh tiga orang anaknya,
melainkan ketiga anak itu menjadi dinding baginya dari ancaman api
neraka” Seorang wanita bertanya: “dan (bagaimana jika yang mati) dua
orang anak saja?” Nabi menjawab: “ dua orang anak juga” (HR. Al-Bukhari
dari Abi Said al-Khudri)
Selain itu masih ada riwayat lain yang menyatakan cara-cara Nabi
menyampaikan hadisnya melalui yaitu :
 Dengan lisan dan perbuatan di hadapan orang banyak, dan
disampaikan di masjid pada waktu malam dan subuh.
 Hadis Nabi disampaikan sebagai teguran terhadap orang yang
melakukan “korupsi” berupa penerimaan hadis dari masyarakat.
 Hadis Nabi disampaikan dengan cara lisan, tidak di hadapan orang yang
banyak, berisi jawaban yang diajukan oleh sahabat dan bentuk jawaban
Nabi itu berupa tuntutan teknis suatu kegiatan yang berkaitan dengan
agama.
 Cara Nabi juga menyampaikan hadisnya selain cara lisan juga secara
permintaan penjelasan terhadap sahabat, berupa takrir atas amalan
ibadah sahabat yang belum dicontohkan langsung oleh Nabi.
 Riwayat lain juga mengatakan cara Nabi menyampaikan hadisnya
dengan bentuk tulisan.
b. Nabi menyampaikan hadis dalam bentuk tertulis
Cara seperti ini dilakukan Nabi misalnya ajakan Nabi untuk memeluk
agama Islam kepada berbagai kepala Negara dan pembesar daerah yang
non Islam lewat surat, perjanjian-perjanjian yang dilakukan Nabi dengan
orang-orang musyrik di Mekah dan penduduk Madinah, seperti perjanjian
Hudaibiyah dan piagam Madinah.
2. Hadits yang berupa perbuatan
Nabi menyampaikan hadis selain dengan cara lisan juga dalam bentuk
perbuatan. Cara ini dilakukan di depan orang banyak di masjid pada waktu
malam dan subuh. Contoh.
, ُ‫ َر النَّاس‬Lُ‫ ِة فَ َكث‬Lَ‫ص َّل ِمنَ ْالقَا بِل‬
َ ‫ ثُ َم‬, ‫س‬ ٍ ‫صلالَ تِ ِه نَا‬
َ ِ‫ص ّل ب‬َ َ‫صلِّ َذ اتَ لَ ْيلَ ِة ِف ْال َم ْس ِخ ِد ف‬ َ ‫ م‬.‫اَ َّن َرسُوْ ُل هللاَ ص‬
َّ
‫ْت ال ِذى‬ُ ‫ ْد َراَي‬Lَ‫ال ق‬L َ Lَ‫بَ َح ق‬L‫ص‬ ْ َ‫ فَلَ َّماا‬.‫وْ ُل هللا ص‬L‫ ُر ُخ اِ لَ ْي ِه ْم َر ُس‬L‫ ِة فَلَ ْم يَخ‬L‫ ِة اَوْ الرَّابِ َع‬Lَ‫ثُ َم اجْ تَ َمعُوا ِمنَ الَّ ْيلَ ِةالثَّا لِث‬
ْ
‫ا‬LL‫ضانَ (رواه الب‬ َ ‫ف َر َم‬ َ ‫ْت اَ ْن تُ ْق َر‬
ِ َ‫ َو َذ ِلك‬,‫ض َعلَ ْي ُك ْم‬ ِ ْ‫صنَ ْعتُ ْم َولَ ْم يَ ْمنَ ْعنِى ِم ِن ْال ُخ ُر و‬
ُ ‫خ اِلَ ْي ُك ْم ِءالَّاِنِّى قَ ْد خَ ِشي‬ َ
)‫رى عن عاءشة‬
Artinya:
Pada suatu malam, Rasulullah SAW salat di masjid, lalu orang-orang ikut salat
bersama Nabi, pada malam berikutnya, Nabi salat di masjid, orang-orang
yang ikut salat bersamanya makin banyak, kemudian pada malam ketiga atau
keempat, orang-orang berkumpul lagi, akan tetapi Muhammad SAW tidak
keluar. Pada waktu subuh, Rasulullah bersabda” sesungguhnya saya telah
melihat apa yang kalian lakukan dan tidak ada yang menghalangi saya untuk
keluar menjumpai kalian, kecuali saya sungguh khawatir (salat malam tersebut
diwajibkan atas kalian”. Peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadan. )HR
Bukhari dari Aisyah).
3. Hadis dalam bentuk taqrir
Nabi menyampaikan hadis dalam bentuk taqrir dengan cara meminta
penjelasan dari sahabat, dan berupa taqrir berupa dalam amalan ibadah sahabat
yang belum pernah dicontohkan langsung oleh Nabi. Contoh lain adalah
sebuah riwayat tentang tindakan ‘Amr bin al-‘Ash yang mimpi bersanggama
dan keluar sperma. Ketika masuk waktu subuh, ia lalu bertayamum dan tidak
mandi janabah karena udara terlalu dingin. Dia menjadi imam salat pada hari
itu. Para sahabat kemudian melaporkan peristiwa itu kepada Nabi. Nabi segera
meminta penjelasan dari ‘Amr perihal tindakan itu ‘Amir menjawab, bahwa ia
bertayamum karena udara terlalu dingin, kemudian ‘amir menyatakan, bahwa
ia mendengar firman Allah SWT dalam surah An-Nisa ayat 29:
Terjemahannya: Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya
Allah maha penyayang kepadamu.
Mendengar penjelasan tersebut ’Amr bin al-Ash tersebut Nabi hanya
diam saja dan tidak memberi komentar apa-apa.

4. Hadis dalam bentuk hal ihwal.


Hadis dalam bentuk hal ihwal ini dengan cara berupa keadaan Nabi
sesungguhnya bukan merupakan aktivitas Nabi, karena menyampaikan hadis
Nabi bersikap pasif saja, pihak aktif adakah para sahabat Nabi, dalam arti
sebagai perekam terhadap keadaan Nabi tersebut.
Contoh:
ِ َ‫ ِن َوالَ باِْ لق‬Lِ‫كاَنَ َرسُوْ ُل هللا ص م اَحْ سَنَ ا لنَا ِس َوجهَا َوأَحْ َس ْنهُ َخ ْلقَا لَ ْي َسى بِاالطَّ ِو ْي ِل البَا ِْْن‬
‫صيْر‬
(‫)راواه البخارى عن البراء‬
Artinya: Rasullah Saw adalah seorang elok wajahnya, ciptaan (Tuhan) paling
bagus, (postur tubuhnya) tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek.
Dari penjelasan di atas dapatlah dipahami bahwa dalam menyampaikan
hadisnya, Nabi tidak terikat hanya dengan satu macam cara saja. Dari
keragaman cara penyampaian hadis oleh Nabi tersebut membawah beberapa
akibat di antaranya adalah: (a) hadis yang berkembang dalam masyarakat
jumlahnya banyak. (b) perbendaharaan dan pengetahuan para sahabat tentang
hadis Nabi tidaklah sama.
D. Periwayatan dengan Lafal dan Makna
1. Hadist Riwayah BIL-LAFDZI (Lafal)

Meriwayatkan hadis dengan lafal adalah meriwayatkan hadis sesuai dengan


lafal yang mereka terima dari Nabi SAW dan mereka hafal benar lafal dari Nabi
tersebut. Atau dengan kata lain meriwayatkan dengan lafal yang masih asli dari
Nabi saw. Riwayat hadis dengan lafaz ini sebenarnya tidak ada persoalan, karena
sahabat menerima langsung dari Nabi baik melalui perkataan maupun perbuatan,
dan pada saat itu sahabat langsung menulis atau menghafalnya.
Hal ini dapat kita lihat pada hadis-hadis yang memakai lafal-lafal sebagai berikut:
Saya mendengar Rasulullah SAW
Contoh:
‫ سمعت رسول هللا صلّى هللا عليه وسلّم يقول‬:‫عن المغيرة قال‬:
Lً‫ي ُمتَ َع ِّمدا‬ َ ‫ب َعلَى أَ َح ٍد فَ َم ْن َك َذ‬
َّ َ‫ب َعل‬ َّ َ‫إِ َّن َك ِذبا ً َعل‬
َ ‫ي لَي‬
ٍ ‫ْس َك َك ِذ‬
ْ
ِ َّ‫فَ ْليَتَبَوَّأ َم ْق َع َدهُ ِمنَ الن‬
)‫ار (رواه مسلم وغيره‬
Artinya: Dari Al-Mughirah ra., ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw.
Bersabda: “Sesungguhnya dusta atas namaku itu tidak seperti dusta atas nama
orang lain, dan barang siapa dusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya ia
menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim dan lain-lainnya)
a. Menceritakan kepadaku Rasulullah SAW
Contoh:
‫ْن َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن‬Lِ ‫ب ع َْن ُح َم ْي ِدب‬ ٌ ِ‫َح َّدتَنِى َمال‬
ٍ ‫ك َع ِن ا ْب ِن ِشهَا‬
‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل‬
َ ِ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ اَ َّن َرسُوْ ُل هللا‬
ِ ‫ع َْن اَبِى هُ َري َْرةَ َر‬:
‫ضانَ اِ ْي َمانًا َواحْ تِ َسابًا ُغفِ َر لَهُ َما تَقَ َّد َم ِم ْن َذ ْنبِ ِه‬
َ ‫َم ْن قَا َم َر َم‬
Artinya: Telah bercerita kepadaku Malik dari Ibnu Syihab dari Humaidi bin
Abdur Rahman dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Siapa
yang beramadan dengan iman dan mengharap pahala, dihapus dosa-dosanya
yang telah lalu.”
b. Mengabarkan kepadaku Rasulullah SAW
c. Saya melihat Rasulullah SAW berbuat
Contohnya:
‫ رأيت عمربن الخطّاب رضي هللا عنه يقبّل الحجر “يعنى األسود” ويقول‬:‫عن عبّاس بن ربيع قال‬
‫ك َح َج ٌر الَتَضُرُّ َوالَ تَ ْنفَ ُع َولَوْ الَ أَنِّى‬
َ َّ‫إِنِّى الَ َء ْعلَ ُم أَن‬
َ ُ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يُقَبِّلُكَ َما قَب َّْلت‬
‫ك‬ ُ ‫َرأَي‬
َ ِ‫ْت َرسُوْ َل هللا‬
(‫)رواه البخارى ومسلم‬
Artinya: Dari Abbas bin Rabi’ ra., ia berkata: Aku melihat Umar bin Khotab
ra., mencium Hajar Aswad dan ia berkata: “Sesungguhnya benar-benar aku
tahu bahwa engkau itu sebuah batu yang tidak memberi mudarat dan tidak
(pula) memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah saw.
Menciummu, aku (pun) tak akan menciummu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits yang menggunakan lafal-lafal di atas memberikan indikasi, bahwa
para sahabat langsung bertemu dengan Nabi SAW dalam meriwayatkan hadis.
Oleh karenanya para ulama menetapkan hadis yang diterima dengan cara itu
menjadi hujjah, dengan tidak ada khilaf.

2. Hadist Riwayah BIL-MA’NA (MAKNA)

Adapun periwayatan hadis dengan makna sebagaimana yang terdapat dalam


bukunya Hasbi Ash Shiddiq yang berjudul “Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis”,
sebagai berikut:
Adapun bentuk-bentuk atau cara para sahabat meriwayatkan hadis sebagai berikut:
a. Dengan lafal yang asli, yakni menurut lafal yang mereka terima dari Nabi, dan
mereka hafal benar lafal dari Nabi itu.
b. Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan lafalnya,
karena mereka tidak hafal lafalnya yang asli lagi dari Nabi saw.
Namun demikian Jumhur Ulama berpendapat bahwa, boleh bagi perawi
hadis menyebut makna bukan lafal, atau meriwayatkan hadis dengan makna
apabila ia seorang yang mengetahu bahasa arab dengan sempurna dan cara-cara
orang arab menyusun kalimat-kalimatnya. Jika ia bersifat demikian, bolehlah dia
menukilkan lafal hadis dengan makna, karena dia dengan pengertiannya mendalam
dapat memelihara riwayatnya dari perubahan makna tersebut.
Bukti lain adalah periwayatan hadis dengan maknanya telah dilakukan oleh
para sahabat dan ulama salaf periode pertama. Sering kali mereka mengemukakan
suatu makna dalam satu masalah dengan beberapa redaksi yang berbeda-beda. Hal
ini terjadi karena mereka berpegang kepada makna hadis bukan kepada lafalnya.
Al-Imam Asy Syafi’I telah menerangkan tentang sifat-sifat perawi;
“Hendaklah orang yang menyampaikan hadis itu seorang yang dapat dipercaya
tentang agamanya dan dikenal bersifat benar dalam pembicaraannya, memahami
apa yang diriwayatkan, mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafal
dan hendaknya dia dari orang yang menyampaikan hadis persis sebagaimana yang
didengar, bukan diriwayatkannya dengan makna; karena apabila dia meriwayatkan
dengan makna sedang ia tidak mengetahui hal-hal yang memalingkan makna,
boleh jadi dia memalingkan yang halal kepada yang haram”.
Tetapi apabila menyampaikan hadis yang secara langsung didengarnya, tidaklah
lagi kita khawatir bahwa dia memalingkan hadis kepada yang bukan maknanya,
dan hendaklah ia benar-benar meriwayatkan hadis yang diriwayatkan itu apabila
dia meriwayatkan dari lafalnya dan benar-benar memelihara kitabnya jika dia
meriwayatkan hadis itu dari kitabnya.
Meriwayatkan hadis dengan makna adalah meriwayatkan hadis dengan
maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang
meriwayatkan. Atau dengan kata lain apa yang diucapkan oleh Rasulullah hanya
dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafal atau
susunan redaksi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat tidak sama daya
ingatannya, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu kemungkinan
masanya sudah lama, sehingga yang masih ingat hanya maksudnya sementara apa
yang diucapkan Nabi sudah tidak diingatnya lagi.
Menukil atau meriwayatkan hadis secara makna ini hanya diperbolehkan
ketikan hadis-hadis belum ter-kodifikasi. Adapun hadis-hadis yang sudah
terhimpun dan dibukukan dalam kitab-kitab tertentu (seperti sekarang), tidak
diperbolehkan mengubahnya dengan lafal/matan yang lain meskipun maknanya
tetap.
Adapun contoh hadis ma’nawi adalah sebagai berikut:
‫ب نَ ْف َسهَالَهُ فَتَقَ َّد َم َر ُج ٌل فَقا َ َل‬ َ ‫َت اِ ْم َرأَةٌ اِلَى النَّبِ ِّي‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َواَ َرا َد اَ ْن تَ ِه‬ ْ ‫ َجائ‬:

‫ْض ْالقُرْ آ ِن‬


ِ ‫يَا َرسُوْ َل هللاِ اَ ْن ِكحْ نِ ْيهَا َولَ ْم يَ ُك ْن َم َعهُ ِمنَ ْال َمه ِْر َغ ْي َر بَع‬
‫ك ِمنَ ْالقُرْ آ ِن‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم اَ ْنكَحْ تُ َكهَا بِ َما َم َع‬
َ ‫فَقا َ َل لَهُ النَّبِ ُّي‬

ِ ْ‫ك ِمنَ ْالقُر‬


‫آن‬ َ ‫ قَ ْد َز َّوجْ تُ َكهَا بِ َما َم َع‬, ‫وفىرواية‬

ِ ُ‫ َز َّوجْ تُ َكهَا َعلَى َم َعكَ ِمنَ ْالق‬, ‫وفىرواية‬


‫رآن‬
)‫ َملَ ْكتُ َكهَا بِ َما َم َعكَ ِمنَ ْالقُرآ ِن (الحديث‬, ‫وفىرواية‬
Artinya: Ada seorang wanita datang menghadap Nabi SAW, yang bermaksud
menyerahkan dirinya (untuk dikawin) kepada beliau. Tiba-tiba ada seorang laki-
laki berkata: Ya Rasulullah, nikahkanlah wanita tersebut kepadaku, sedangkan
laki-laki tersebut tidak memiliki sesuatu untuk dijadikan sebagai maharnya selain
dia hafal sebagian ayat-ayat Al-Quran. Maka Nabi SAW berkata kepada laki-laki
tersebut: Aku nikahkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar (mas kawin)
berupa mengajarkan ayat Al-Quran.
Dalam satu riwayat disebutkan:
Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar berupa (mengajarkan)
ayat-ayat Al-Quran.
Dalam riwayat lain disebutkan:
Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut atas dasar mahar berupa
(mengajarkan) ayat-ayat Al-Quran.
Dan dalam riwayat lain disebutkan:
Aku jadikan wanita tersebut milik engkau dengan mahar berupa (mengajarkan)
ayat-ayat Al-Quran.
(Al-Hadits)

Hukum Meriwayatkan Hadits Ma’nawi


Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan meriwayatkan hadis dengan
cara ma’nawi. Sebagian ahli hadis, ahli ushul dan ahli fiqh mengharuskan para
perawi meriwayatkan hadis dengan lafalnya yang didengar, tidak boleh ia
meriwayatkan hadis dengan maknanya sekali-kali.
Jumhur ulama lain berpendapat membolehkan seseorang mendatangkan atau
meriwayatkan hadis dengan pengertiannya tidak dengan lafal aslinya. Kalau ia
seorang yang penuh ilmunya tentang Bahasa Arab dan mengetahui sistem
penyampaiannya, berpandangan luas tentang fiqh dan kemungkinannya lafal-lafal
yang mempunyai beberapa pengertian sehingga akan terjaga dari pemahaman yang
berlainan dan hilangnya kandungan hukum dari hadis tersebut, kalau tidak
demikian maka tidak diperbolehkan meriwayatkan hadis hanya dengan maknanya
saja dan wajib menyampaikan dengan lafal yang ia dengan dari gurunya.
Imam Syafi’i menerangkan tentang sifat-sifat perawi:
“Hendaknya orang yang menyampaikan hadis itu seorang yang kepercayaan
tentang agamanya lagi terkenal bersifat benar dalam pembicaraannya, memahami
apa yang diriwayatkan, mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafal
dan hendaklah dia dari orang yang menyampaikan hadis persis sebagaimana yang
didengar, bukan diriwayatkan dengan makna., karena apabila diriwayatkan dengan
makna sedang dia seorang yang tidak mengetahui hal-hal yang memalingkan
makna niscaya tidaklah dapat kita mengetahui boleh jadi ia memalingkan yang
halal kepada yang haram. Tetapi apabila ia menyampaikan hadis secara yang
didengarnya, tidak lagi kita khawatir bahwa dia memalingkan hadis kepada yang
bukan maknanya. Dan hendaklah ia benar-benar memelihara kitabnya jika dia
meriwayatkan dengan hadis itu dari kitabnya.”

Dari penjelasan ini nyatalah bahwa orang yang mengetahui hal-hal yang
memalingkan makna dari lafal, boleh meriwayatkan dengan makna apabila dia
tidak ingat lagi lafal yang asli, karena dia telah menerima hadis, lafal dan
maknanya.
Imam Mawardi mewajibkan menyampaikan hadis dengan maknanya kalau
lafalnya terlupa, karena kalau hadis itu tidak disampaikan walaupun dengan
maknanya, termasuk yang menyembunyikan hadis. Al-Mawardi berkata: “Jika
seseorang tidak lupa kepada lafal hadis niscaya tidak boleh dia menyebutkan hadis
itu dengan bukan lafalnya, karena di dalam ucapan-ucapan nabi sendiri terdapat
fashahah yang tidak terdapat pada perawinya.”
Ada pendapat lain yang membolehkan meriwayatkan hadis dengan maknanya
saja dengan syarat bahwa hadis itu bukan yang di ibadati dan ini hanya terjadi pada
periode sahabat dan tabi’in, dan dibolehkan hanya bagi ahli-ahli ilmu saja.
Menjaga kehati-hatian dalam meriwayatkan hafits yang hanya dengan maknanya
itu setelah meriwayatkan hadis harus memakai kata-kata ‫ كما قال‬dan ‫ شبهه‬serta yang
serupa dengannya.

Secara lebih terperinci dapat dikatakan bahwa meriwayatkan hadis dengan


maknanya itu sebagai berikut:
1. Tidak diperbolehkan, pendapat segolongan ahli hadis, ahli fiqh dan ushuliyyin.
2. Diperbolehkan, dengan syarat yang diriwayatkan itu bukan hadis marfu’.
3. Diperbolehkan, baik hadis itu marfu’ atau bukan asal diyakini bahwa hadis itu
tidak menyalahi lafalz yang didengar, dalam arti pengertian dan maksud hadis
itu dapat mencakup dan tidak menyalahi.
4. Diperbolehkan, bagi para perawi yang tidak ingat lagi lafalz asli yang ia dengar,
kalau masih ingat maka tidak diperbolehkan menggantinya.
5. Ada pendapat yang mengatakan bahwa hadis itu yang terpenting adalah isi,
maksud kandungan dan pengertiannya, masalah lafal tidak jadi persoalan. Jadi
diperbolehkan mengganti lafal dengan murodif-nya.
6. Jika hadis itu tidak mengenai masalah ibadah atau yang di ibadati, umpamanya
hadis mengenai ilmu dan sebagainya, maka diperbolehkan dengan catatan:
• Hanya pada periode sahabat
• Bukan hadis yang sudah didewakan atau di bukukan
• Tidak pada lafal yang di sibadati, umpamanya tentang lafal tasyahud dan
qunut

E. Ahliyyat al-Rawi
Ahliyyat al-Rawi ialah kelayakan seseorang untuk mendengarkan hadis dan
talaqqi (penerimaannya) juga kelayakan meriwayatkan dan menyampaikannya.
Para ulama mengistilahkan talaqqi dan mendengar hadis dengan istilah ‘al-
Tahammul’, sedangkan meriwayatkan dan menyampaikannya ‘al-Ada’.
Maka dengan demikian ahliyyat al-Rawi itu ialah Ahliyyat al-Tahammul dan Ahliyyat
al-Ada’.
1. Ahliyyat al-Tahammul
Syarat-syarat yang dimaksud dalam penerimaan hadis adalah kelayakan si penerima
hadis, apakah disyaratkan islam dan balig atau tidak.
a. Tahammul anak kecil
Jumhur ulama berpendapat bahwasanya tidak diisyaratkan bagi
tahammul (penerimaan) hadis harus Islam dan balig, karena dari kalangan
sahabat, tabi’in dan ahli ilmu menerima riwayat sahabat yang masih
berusia anak-anak, seperti Hasan, Husain, Ibnu Abbas, ‘Abdullah al-
Zubair, Anas bin malik dan yang lainnya tanpa membedakan apakah
mereka menerimanya setelah balig atau setelahnya.
Sebagian ulama membatasi dengan usia lima tahun, karena ada
dalil dalam riwayat al-Bukhari dalam kitab sahihnya yaitu sahabat
Mahmud bin Raby’:
‫علقت من النّبي صلى هللا عليه وسلّم م ّخة مخهاف وجه ّي من دلووأناابن خمس سنين‬
Artinya: “Saya ingat Nabi SAW meludahkan air yang diambilnya dari
timba ke mukaku, sedang pada saat itu saya berusia lima tahun”.
Sebagian lainnya berkata, yang tepat ialah dengan
memperhatikan tamyiz, yaitu apabila anak itu sudah bisa memahami
percakapan dan tepat dalam jawaban (tamyiz), ia disebut mumayyiz, sah
pendengarannya sekalipun usianya di bawah lima tahun.
b. Tahammul Orang Kafir dan Orang Fasik.
Jumhur Muhaddisin berpendapat bahwa seorang yang menerima hadis
sewaktu masih dalam keadaan kafir atau fasik dapat diterima
periwayatannya setelah memeluk Islam dan bertobat.

2. Ahliyyat al-Ada’
Jumhur imam hadis, ushul dan fiqih sepakat bahwa syarat diterimanya suatu
riwayat, baik laki-laki maupun wanita ialah:
 Islam; berarti hadis dari orang kafir tidak bisa diterima.
 Baligh; berarti riwayat dari anak yang belum dewasa tidak bisa diterima.
 Adil; yaitu orang yang takwa, menjauhi dosa besar dan tidak membiasakan
dosa kecil. Ini berarti riwayat dari orang yang durhaka atau suka dusta tidak
dapat diterima.
 Dha’bith; ialah kuat hafalan dan catatan. Ini berarti riwayat dari orang yang
suka lupa tidak dapat diterima.
3. Tata cara Tahammul dan Ada’ al-hadis
Adapun teknik periwayatan hadis oleh ulama pada umumnya dibagi kepada
delapan macam:
a. Al-Sima’ (mendengarkan);
Al-Sima’ ialah seorang syaikh yang membacakan hadis dari hafalan
atau kitabnya sedangkan yang hadir mendengarkannya.
Lafal penyampaiannya:
 SAMI’TU (aku mendengar).
 HADDATSANI (ia menceritakan kepadaku).
 HADATSANA (ia menceritakan kepada kami).
 TSANA (ia menceritakan kepada kami).

b. Membacakan kepada Syeikh (sistem setor);


Para ahli hadis mengistilahkan ‘membacakan kepada syaikh’ dengan
istilah ‘Aradhan (setoran).
Gambarannya ialah: Seorang murid membacakan sedangkan syaikh
mendengarkannya. Sama saja apakah murid itu yang membacakan langsung
atau yang lainnya sedangkan syaikh mendengarkannya, sama saja apakah dari
hafalannya sendiri atau dari kitabnya.
Lafal penyampaiannya:
 QARA’ATU ‘ALA FULANIN (aku membacakan kepada si fulan).
 QURI’ATU ‘ALAIHI WA ANA ASMA’U (dibacakan kepadanya
sedangkan aku mendengarnya).
 HADDATSANA QIRA’ATAN ‘ALAIHI (menceritakan kepada kami
secara bacaan).
 AKHBARANA (mengabarkan kepada kami).

c. Al-Ijazah
Al-Ijazah ialah izin untuk meriwayatkan hadis secara lafal maupun
secara tulisan. Seperti ucapan seorang syaikh: Aku izinkan kamu untuk
meriwayatkan dariku shahih al-Bukhari atau aku izinkan kamu meriwayatkan
kitab si fulan dariku.
Lafal penyampaiannya:
 AJAZA LI FULANUN (telah mengizinkan kepadaku si fulan).
 HADATSANA IJAZATAN (ia menceritakan kepadaku secara perizinan).
 AKHBARANA IJAZATAN (ia mengabarkan kepadaku secara ijazah).
d. Al-Munawalah
Al-Munawalah ada dua macam, yaitu:
a) Al-Munawalah al-Mujarradah an-al-ijazah (munawwalah yang tidak
disertai dengan ijazah ) ialah seorang syaikh menyerahkan kitabnya
kepada murid dengan ungkapan singkat: Ini yang aku dengar.
b) Al-Munawwalah al-Magrunah bi al-Ijazah (munawwalah yang disertai
dengan ijazah; izin untuk menyampaikan lagi) ialah seorang syaikh
menyerahkan kitabnya kepada muridnya sambil mengucapkan: Ini adalah
riwayatku dari si fulan, maka riwayatkanlah dariku olehmu.
Lafal penyampaiannya:
NAWALANI (ia memberikan kepadaku). Atau NAWALANI WA
AJAZA LI’ (ia memberikan dan mengizinkan kepadaku).
 HADDATSANA MUNAWALATAN (ia menceritakan kepada kami
secara pemberian). Atau AKHBARANA MUNAWALATAN WA
IJAZAN (ia mengabarkan kepada kami secara pemberian dan perizinan).
e. Al-Kitabah
Al-Kitabah ialah seorang syaikh menulis yang di dengarnya untuk
yang hadir maupun yang tidak hadir dengan tulisannya atau dengan
perintahnya. Al-Kitabah ada dua macam, yaitu:
a) Disertai ijazah: yaitu misalkan syaikh mengatakan: Aku izinkan kamu
(untuk meriwayatkan) sesuatu yang aku tulis untukmu atau kepadamu.
b) Tidak disertai ijazah: yaitu misalkan syaikh menulis untuknya sebahagian
hadis dan mengirimkannya kepadanya (muridnya).
Lafal penyampaiannya:
 KUTIBA ILA FULANIN (ditulis untuk si fulan).
 HADDATSANI FULANUN (menceritakan kepadaku si fulan).
 AKHBARANI KITABATAN (ia mengabarkan kepadaku secara tertulis).
f. Al-I’lam
Al-I’lam ialah seorang syaikh memberitahukan kepada murid, bahwa
hadis atau kitab ini hasil pendengarannya.
Lafal penyampaiannya: A’LAMANI SYAIKHI BIKADZA (syaikh ku
memberitahukanku begini).
g. Al-Washiyyat
Al-Washiyyat ialah seorang syaikh mewasiatkan menjelang wafatnya
atau menjelang safarnya kepada seseorang suatu kitab dari kitab-kitabnya
yang ia riwayatkan.
Lafal penyampaiannya: USHIY ILA FULANIN KADZA (aku
wasiatkan kepada si fulan begini), atau HADDATSANI FULANUN
WASHIYATAN (menceritakan kepadaku si fulan secara wasiat).
h. Al-Wijadah
Al-Wijadah ialah seorang murid meriwayatkan beberapa hadis tulisan
seorang syaikh yang ia temukan. Dan murid itu mengetahuinya, ia tidak
mendengarnya langsung dan tidak pula mendapatkan izinnya.
Lafal penyampaiannya: yang menemukan mengatakan: WAJADTU
BIKHATHTHI FULANIN (aku menemukan tulisan si fulan), atau QARA’TU
BIKHATHTHI FULANIN KADZA (aku membaca tulisan si fulan begini),
kemudian ia mencuri sanad dan matan.
F. Adab Periwayatan Hadits
Sesungguhnya urusan periwayatan hadis itu menempati tingkatan tertinggi karena
seorang muhaddits mewakili Rasulullah SAW dalam hal menyampaikan hukum-hukum
syar’i, menjelaskannya, meriwayatkan beritanya, petunjuknya, sifat-sifatnya dan yang
lainnya kepada seluruh manusia setelahnya.
Oleh karena itu sudah sepatutnya para pelajar dan para muhaddits memiliki adab
yang tinggi dan akhlak mulia yang sesuai dengan ilmu yang dicarinya yaitu hadis
Rasulullah SAW.
1, Adab Muhaddits
a) Niat yang baik dan ikhlas, hati yang bersih dari tujuan-tujuan dunia.
b) Hendaklah memiliki semangat yang besar untuk menyebarkan atau
menyampaikan hadis dari Rasulullah SAW karena mengharap pahala yang
banyak.
c) Hendaklah tidak berbicara di hadapan orang yang lebih utama umur dan
ilmunya.
d) Hendaklah menyucikan diri, mewangikan, bergosok gigi dan menghadapi
manusia dalam keadaan bersih pakaiannya dan duduk dengan tenang dan
penuh wibawa.
e) Hendaklah berlaku ‘adil terhadap seluruh muridnya dan tidak membeda-
bedakan di antara mereka.
f) Hendaklah mengamalkan hadis-hadis yang di dengarnya.
2. Adab Pelajar Hadits
a) Meluruskan niat yang ikhlas dalam belajarnya semata-mata karena Allah
SWT.
b) Hendaklah memohon taufik, kemudahan dan pertolongan kepada Allah SWT
dalam memahami hadis.
c) Hendaklah mengagungkan dan menghormati gurunya.
d) Tidak menghalanginya perasaan malu dan sombong dalam mendengarkan
hadis atau belajar sekalipun dari yang lebih rendah usia dan kedudukannya.
e) Memberi petunjuk kepada yang lainnya atas apa yang ia dengar sesuai dengan
kapasitas keilmuannya.
f) Hendaklah mengamalkan hadis-hadis yang didengarnya
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa sumber yang menjadi rujukan makalah ini yang membahas tentang “Ilmu
Riwayah dan Kaidah Periwayatannya” dan kaitannya dengan Bentuk-bentuk Periwayatan
hadis dari Nabi, Periwayatan dengan lafal dan makna, dan Tahammul wa Ada’ al-Hadis.
Maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Periwayatan Hadis dari Nabi dan Para Sahabat, sebagaimana kita ketahui bahwa
Muhammad sebagai Nabi dan Rasul terkadang menurut suatu riwayat bahwa beliau
terkadang menyampaikan hadis dengan cara pengajian secara rutin di hadapan orang
banyak dan secara lisan. Sedangkan para sahabat dalam menyampaikan riwayat hadis
adakala dengan lafal asli dan adakalanya dengan maknanya saja.
2. Menurut para ulama periwayatan hadis dengan lafal lebih kuat kebenarannya dari pada dengan
makna.
3. Adapun tingkatan-tingkatan Tahammul dan Ada’ al-hadis dengan Sima’, Munawalah
(menyerahkan), Ijazah tanpa munawalah, yakni seorang guru membolehkan muridnya untuk
meriwayatkan hadis dari gurunya, Munawwalah tanpa ijazah yakni seorang guru menyerahkan
kitab kepada muridnya seraya berkata, “Ini hadis yang saya dengar”, I’lam yakni seorang guru
berkata kepada muridnya, “Kitab ini yang saya dengar, “tanpa memberi izin meriwayatkan,
Wasiat, yakni seorang ketika dalam bepergian atau menjelang meninggalnya berwasiat dengan
sebuah kitab kepada salah seorang muridnya, Wijadah, yakni Al-Muhaddis menemukan hadis
atau kitab yang ditulis ulama yang dikenal adil dan dhabit. Kemudian seorang muhaddits berkata,
“Saya temukan tulisan seseorang begini. Atau saya membaca tulisan seorang demikian,” tanpa
mengatakan, “Saya mendengar atau dia mengijazahkan kepadaku.

Demikian pembahasan ini semoga bermanfaat. Kami sadar bahwa dalam makalah ini
masih banyak kekurangan.
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Nuruddin ‘itr. 2012. Manhaj An-Naqd Fii Uluum Al-Hadist. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Zakaria. 2014. Pokok-Pokok Ilmu Mushthalah Hadits. Garut: IBN AZKA press

Anda mungkin juga menyukai